KEBIJAKAN EKONOMI UMAR IBN KHATHTHAB Oleh : Naili Rahmawati, M. Ag*1
Pendahuluan Islam sebagai agama yang rahmat lil ‘alamin tidak hanya memberikan perhatian kepada masalah ‘ubudiyah, tetapi juga memberikan perhatian yang tinggi
terhadap masalah
mu‘amalah.
Banyaknya
ayat
al-Qur’an,
yang
menjelaskan, bahkan memberikan nilai yang sangat tinggi dan positif secara hukum terhadap bidang tersebut, khususnya yang berkaitan dengan aktifitas ekonomi. Hal ini dikarenakan, hasil aktifitas ekonomi dalam pandangan ajaran Islam mempunyai kaitan erat dengan rahmat Allah SWT. yang dilimpahkan kepada umat manusia. Pemikiran tentang ekonomi Islam telah ada sejak Nabi Muhammad SAW. Setelah masa tersebut ternyata para ulama banyak memberikan kontribusi karya pemikiran ekonomi. Karya-karya mereka sangat berbobot, yaitu memiliki dasar argumentasi religius dan sekaligus intelektual yang kuat, dengan didukung oleh fakta empiris yang ada pada waktu itu. Banyak di antaranya juga sangat futuristik dan baru dikaji oleh pemikir-pemikir barat ratusan abad kemudian. Pemikiran ekonomi di kalangan pemikir muslim banyak mengisi khasanah pemikiran ekonomi dunia pada masa di mana barat masih dalam kegelapan (dark age). Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami puncak kejayaan dalam berbagai bidang. Islam mengakui kepemilikan pribadi, mencari nafkah sesuai hukum yang berlaku dan dengan cara yang adil merupakan suatu kewajiban yang sesuai dengan kewajiban dasar dalam Islam. Munculnya Islam membuka zaman baru dalam sejarah kehidupan manusia. Kehadiran Rasulullah Muhammad SAW, telah
membawa
perubahan
yang
sangat
besar.
Selain
lihai
dalam
menyelesaikan masalah politik dan urusan konstitusional Rasulullah SAW juga merubah sistem ekonomi dan keuangan negara, sesuai dengan ketentuan alQuran. Dalam al-Quran telah dituliskan secara jelas semua petunjuk bagi umat
1
Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Syari’ah IAIN Mataram
manusia, yang tentunya dapat diambil dan diadopsi menjadi petunjuk untuk semua urusan manusia. Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, syari’at Islam juga tidak dapat diberlakukan secara sempurna. Saat itu, para sahabat dihadapkan pada berbagai kenyataan hidup dan kondisi sosial yang berbeda dengan yang terjadi pada masa Rasul, sehingga menuntut mereka untuk melakukan ijtihad, serta bermusyawarah di antara mereka. Suatu saat, para sahabat dapat saja sependapat dan bersepakat mengenai satu hal, tetapi pada saat lain tidak menutup kemungkinan justru berselisih pendapat. Dan hal tersebut juga terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab.
Kebijakan Ekonomi Umar Ibn Khaththab Ketika
dilantik
menjadi
khalifah
oleh
Rasulullah,
Umar
ibn
Khaththabmengumumkan kepada rakyat tentang pengaturan kekayaan negara Islam. Beliau berkata : “Barang siapa ingin bertanya tentang al-Quran, maka datanglah pada Ubay ibn Ka’ab. Barang siapa bertanya tentang ilmu faraidh (ilmu warisan), maka datanglah pada Zaid ibn Tsabit. Dan barang siapa bertanya tentang harta, maka datanglah padaku. Karena Allah SWT telah menjadikanku sebagai penjaga dan pembagi harta”. Dalam
sambutannya
ketika
diangkat
menjadi
khalifah,
beliau
mengumumkan kebijakan ekonomi yang akan dijalankannya. Di antara kebijakan-kebijakan Umar menggunakan dasar-dasar sebagai berikut : 1. Negara Islam mengambil kekayaan umum dengan benar, dan tidak mengambil hasil kharaj atau harta fai’ yang diberikan Allah kepada rakyat kecuali melalui mekanisme yang benar. 2. Negara memberikan hak atas kekayaan umum, dan tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya, dan negara menambahkan subsidi serta menutup hutang. 3. Negara tidak menerima harta kekayaan dari hasil yang kotor. Seorang penguasa tidak mengambil harta umum kecuali seperti pemungutan harta
anak yatim. Jika dia berkecukupan, dia tidak mendapat bagian apapun. Kalau dia membutuhkan, maka dia memakai dengan jalan yang benar. 4. Negara menggunakan kekayaan dengan benar. Strategi yang dipakai oleh Amirul Mukminin Umar bin Khaththab adalah dengan cara penanganan urusan kekayaan negara, di samping urusan pemerintahan, karena khalifah Umar memiliki kemampuan dalam mengatur ekonomi. Umar adalah seorang pemimpin yang amanah, menjaga diri, berpengetahuan, pembaru umat dan keras terhadap kebatilan. Umar adalah seorang yang dipandang sebagai penggagas terbentuknya ilmu pemerintahan Islam, karena dia adalah seorang yang pertama kali memberikan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan baku yang terkait dengan hukum dan peradilan, bagaimana mengatur pemerintahan dengan membaginya ke beberapa daerah kecil untuk lebih mudah mengaturnya dan sebagainya. Umar adalah seorang yang dalam memutuskan sesuatu yang terkait dengan hukum, selalu berpegang teguh pada al-Qur’an sebagai perundangundangan (dustur) utama dan pertama. Setiap pandangan hukum yang dikelurkannya selalu dibangun berdasarkan ketentuan tersebut, dan tidak pernah menyalahinya. Akan tetapi sebagian besar pemahaman yang dibentuk untuk menetapkan suatu hukum, oleh Umar bin Khattab adalah tidak lepas dari aspek-aspek kemaslahatan masyarakat (umat), seperti menjunjung tinggi nilainilai keadilan, kebaikan, tolong menolong, dan penegakan hak-hak yang ada dalam masyarakat, termasuk dalam kebijakan-kebijakan ekonomi. Umar ibn Khattab terkenal sangat berani melakukan ijtihad, hal ini dilakukan karena Umar melihat lebih jauh dan lebih dalam terhadap ajaran Islam, yaitu adanya prinsip kemaslahatan umat. Ia tidak memberikan hak zakat untuk orang muallaf. Begitu pula Umar tidak membagikan harta rampasan tanah di Iraq kepada tentara Islam yang ikut berperang, yang sebenarnya menurut ayat 41 surat al-Anfal, mereka yang berhak atas tanah itu.
Hal tersebut di atas adalah kebijakan revolusioner Umar ibn al-Khattab r.a, ketika menjabat khalifah kedua, yaitu dengan tidak membagi-bagikan tanah-tanah pertanian di Siria dan Irak yang baru dibebaskan kepada tentara muslim, melainkan kepada penduduk setempat. Dipelopori oleh Bilal, para sahabat segera memprotesnya, karena dianggap bertentang dengan teks-teks sharih al-Qur’an (dalam surat al-Anfal), bahwa harta rampasan perang itu diantaranya harus didistribusikan kepada para tentara muslim. Inilah ijtihad Umar r.a mengenai rampasan perang yang tidak didasari pada riwayat. Sebab jika bersandar pada riwayat, maka Umar telah menyalahi sunnah Nabi yang pernah membagi-bagikan tanah pertanian rampasan di Khaibar yang baru saja dibebaskan dari orang-orang Yahudi. Namun, dalam musyawarah, Umar berhasil mengemukakan interpretasinya sendiri yang meyakinkan tentang semangat ajaran Kitab Suci dan Sunnah Nabi secara keseluruhan, sehingga justru mendapat dukungan para pembesar sahabat.
Devisa Negara pada Masa Umar Ibn Khaththab Aktifitas lembaga keuangan memiliki tugas yang sangat penting.dalam perencanaan ekonomi di masa Umar, umar mewajibkan pembayaran pajak tanah (kharaj) dan ghanimah. Pemasukan negara di masa Umar ibn Khattab meliputi beberapa macam, yaitu : zakat, 1/5 hasil rampasan perang, kharaj, jizyah dan bea cukai (usr). Beliau mengumpulkan data-data yang diperlukan. Ketika beliau melihat luasnya lahan, maka beliau memutuskan untuk tidak dibagikan dan mengambil langkah musyawarah. Umar telah membahas mengenai cara pembagian harta ghanimah yang sangat banyak, beliau meletakkan dasar-dasar yang digunakan dalam pembagian harta tersebut. Kebijakan Umar dalam hal ini berbeda dengan kebijakan yang diterapkan oleh Abu Bakar RA. Begitu
pula
strategi
Umar
dalam
mengatur
peperangan
yang
menghasilkan kemenangan dan harta ghanimah. lebih dari itu, keberhasilan strateginya dalam perang juga diterapkan dalam urusan ekenomi. Beliau memberi alternatif bagi ahlul kitab antara masuk Islam atau membayar jizyah,
dan juga meminta para petani untuk tetap bercocok tanam di tanah mereka dengan membayar pajak kharaj. Beliau juga membuat perencanaan tempat tinggal bagi tentara. Baitul Maal Dalam pemerintahan, kontribusi yang terbesar adalah membentuk perangkat administrasi yang baik untuk menjalankan roda pemerintahan yang besar. Pada
masa jabatannya, Umar mendirikan institusi administratif yang
hampir tidak mungkin dilakukan pada abad ketujuh sesudah masehi. Baitul Maal secara tidak langsung bertugas sebagai pelaksana kebijakan fiskal Negara Islam dan Khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut, tetapi ia tidak diperbolehkan menggunakannya untuk pengeluaran pribadi. Dan beliau tidak mengambil keuntungan materi atas posisinya yang biasa dilakukan oleh pemerintah zaman sekarang. Islam telah meletakkan sistem khusus untuk membiayai misi perluasan Islam, yaitu menyerahkan diri dan harta demi panggilan jihad fisabilillah. Ketika harta rampasan perang dihalalkan bagi para pejuang, maka dengan demikian modal untuk misi perluasan bukan hanya dari Baitul Maal. Peran Baitul Maal bukan saja untuk pembiayaan peperangan, tetapi yang terpenting adalah pengabdian diri dan harta. Properti Baitul Maal dianggap sebagai “harta kaum muslim”, sedangkan Khalifah dan amil-amilnya hanyalah pemegang kepercayaan. Jadi, merupakan tanggung
jawab
negara
untuk
menyediakan
tunjangan
yang
berkesinambungan untuk janda, anak yatim, anak terlantar; membiayai penguburan orang miskin, membayar utang orang-orang bangkrut, membayar diyat untuk kasus-kasus tertentu (seperti membayar diyat prajurit Shebani yang membunuh seorang Kristen untuk menyelamatkan nyawanya) dan untuk memberikan pinjaman tanpa bunga untuk urusan komersial (seperti membayar Hind Bint Ataba dan lainnya). Bahkan Umar pernah meminjam sejumlah uang untuk keperluan pribadinya. Secara garis besar kebijakan ekonomi Umar terpancar dalam mengatur pendapatan negara dalam hal di bawah ini :
♦ Zakat Ketika jabatan diserahkan kepada Umar, kewajiban untuk membayar zakat telah kembali normal setelah dinetralkan oleh Abu Bakar ra dengan memerangi
mereka
berkonsentrasi
yang
dengan
membangka.
persoalan
Setelah
penerapannya
itu, yang
Umar
lebih
dipercayakan
kepadanya. Dalam sebuah riwayat, Umar juga meringankan zakat tanaman, karena tidak semua yang dipanen dapat mengembalikan modal usaha petani. Dengan demikian tidak semua buah yang dihasilkan bumi harus dikenakan zakat karena dikhawatirkan berkurang untuk kebutuhan pokok. Dengan demikian Umar telah meletakkan dasar-dasar keadilan untuk penarikan zakat. Beliau telah memberikan petunjuk – dengan melihat situasi dan kondisi – agar benar-benar memperhatikan ketika pengambilan zakat. Dalam hal kebijakannya untuk tidak memberikan bagian zakat bagi salah satu ashnaf, yaitu kelompok al-Mu’allaf ini, Umar mengeluarkan pendapatnya yang cukup tekenal : “Tidak ada kepentingan bagi kami atas kamu (kamu masuk Islam atau tidak), karena Allah-lah yang membuat Islam jaya dan membuat kamu kaya jika kamu masuk Islam, dan jika tidak, maka hal itu menjadi masalah antara kami dan kamu semua”. Dari pendapat yang dikeluarkan Umar tersebut, beberapa ulama banyak yang menentangnya, terutama dari golongan Syiah Imamiyah yang mengatakan bahwa bagaimana mungkin Umar berani mengeluarkan kebijakan
yang
menyangkut
pendistribusian
zakat
tersebut
kepada
golongan mu’allaf yang telah ditetapkan dengan jelas dalam nash al-Qur’an untuk diberikan tetapi dibatalkannya, apakah boleh ijtihad dilakukan didasarkan pada pertimbangan istihsan dari sudut pandang rasional (‘aqliyyah) dan sebab (‘illah) yang masih bersifat dzanniyyah terhadap suatu nash yang telah jelas (tsabit)mengaturnya. Terhadap pertanyaan kontradiktif tersebut, dalam hal ini para ulama menjelaskan bahwa pendapat Umar tersebut adalah didasarkan pada
pertimbangan kemaslahatan yang menuntut hal tersebut (sebagaimana dijelaskan
Ustadz
Kahlid
Muhammad
Khalid
dalam
bukunya
Al-
Dimaqrathiyyah. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam hal ini sosok Umar dianggap sebagai tokoh yang pertama kali menetapkan suatu hukum yang masih bersifat umum (tasyri’ ‘am) dengan menggunakan metode yang baru yaitu berdasarkan pertimbangan kemaslahatan untuk menghilangkan kesulitan (raf’ul haraj) dalam masyarakat. ♦ 1/5 harta rampasan perang Islam
telah meletakkan sistem khusus untuk membiayai misi
perluasan Islam, yaitu dengan menyerahkan diri dan harta demi panggilan jihad fisabilillah. Ketika harta rampasan perang dihalalkan bagi para pejuang, maka dengan demikian modal untuk misi perluasan bukan hanya dari Baitul Maal. Posisi Baitul Maal dalam pembiayaan peperangan baik di masa Rasulullah maupun Abu Bakar sangatlah besar, dikarenakan kecilnya sumber pemasukan umum dan tidak ada pengaturan atas pemasukkannya. Adapun di masa Umar, peran Baitul Maal telah pasti, yang tidak sekedar untuk membiayai perang, tetapi yang terpenting adalah pengabdian diri dan harta. Mengenai pengertian ganimah dalam ayat 41 surat al-Anfal, telah terjadi perbedaan pendapat antara fuqaha. Syafii mengartikan ghanimah sebagai harta yang diambil dari orang kafir melalui peperangan. Para ahli fiqh duwali menyatakan ganimah adalah segala harta benda yang diperoleh dari tentara musuh atau dari medan perang yang berupa peralatan perang seperti kuda, senjata amunisi dan sebagainya. ♦ Kharaj Pada masa Nabi, kharaj dan tanah yang dibayar sangat terbatas dan tidak
dibutuhkan
perangkat
yang
terelaborasi
untuk
administrasi.
Sepanjang pemerintahan Umar, banyak daerah yang ditaklukkan melalui perjanjian damai. Dari sini timbul pertanyaan tentang pembagian tanah sebagai hasil rampasan. Sebelum Umar mengambil keputusan, terjadi perdebatan antara sahabat.
Menurut Abu Bakar al-Jashshash, ia mengatakan bahwa apa yang mereka dapatkan dari tanah musuh, maka sang penguasa mempunyai pilihan. Jika beliau ingin membagikannya, maka dibagi menjadi 5 bagian dan membagikannya kepada pasukan yang merebutnya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW atas tanah Khaibar. Sedangkan menurut Syafii, apa yang dilakukan oleh Umar terhadap tanah rampasan yaitu setelah mereka rela meninggalkan hak-hak mereka terhadap tanah yang dikuasai. Kalaupun mereka menolak untuk meninggalkan tanah itu, tidak berhak seorang pun melarang bagiannya dari mereka. Semua itu didapatkan dari pendudukannya apabila terjadi dengan pemaksaan. Kalau dikuasai dengan perdamaian, maka tidak diberlakukan hukum harta rampasan. ♦ Jizyah Sumber pajak lain pada masa Umar adalah jizyah yang dipungut dari non muslim yang hidup di bawah pemerintahan Islam tapi tidak mau masuk Islam. Pajak yang dikenakan pada mereka merupakan pengganti dari imbalan atas fasilitas ekonomi, sosial dan layanan kesejahteraan yang merka terima dari pemerintahan Islam juga sebagai jaminan dan keamanan hidup dan harta mereka. Pajak ini mirip dengan zakat fitrah yang dipungut dari muslim setiap tahun. Perjanjian dengan umat non muslim – ahlu dzimmah – tersebut dapat memberikan jaminan keamanan baik untuk diri mereka, harta dan agama. Selain merupakan kewajiban dari Allah SWT, jizyah juga merupakan dasardasar penegak hukum agar para kafir dzimmi itu dapat menikmati perlindungan dari negara Islam, seperti pembangunan, pelayanan dan fasilitas yang ada, maka mereka harus ikut berpartisipasi dalam mengelola harta kekayaan umum. Adapun pembayarannya dilakukan setelah tiba masa panen, agar sesuai dengan situasi dan kondisi ahlu dzimmah. Mereka dapat membayar setelah sumber untuk membayar jizyah telah tersedia, yaitu hasil bumi yang telah dipanen. Dengan demikian, hal itu memberikan kemudahan dan keringan kepada mereka.
♦ ‘Usyur ‘Usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam, atau datang dari negara Islam itu sendiri. peraturan usr ini telah ada sejak zaman sebelum Islam, yaitu seperti yang diterapkan oleh orang-orang Yunani. ‘Usyur belum sempat dikenal pada masa Rasulullah dan Abu Bakar. Permulaan diterapkannya ‘usyur di negara Islam adalah di masa Umar ibn Khaththab, yang berlandaskan demi penegakan keadilan. ‘Usyur telah diambil dari para pedagang kaum muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan. Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar ibn Khaththab memutuskan untuk memperlakukan pedagang non muslim dengan perlakukan yang sama jika mereka masuk ke negara Islam. Distribusi pembayaran negara pada masa Umar, dapat diurai sebagai berikut : -
Pendapatan Zakat dan Usr, umumnya didistribusikan
dalam tingkat
lokal jika kelebihan penerimaan sudah disimpan di Baitul Maal pusat dan sudah dibagikan ke delapan kelompok yang disebutkan secara jelas dalam al-Quran. -
Pendapatan dari Khums dan Shadaqah, dibagikan pada orang yang sangat membutuhkan dan fakir miskin atau untuk membiayai kegiatan mereka dalam mencari kesejahteraan tanpa diskriminasi.
-
Pendapatan yang diperoleh dari kharaj, fai, usr, dan sewa tetap tahunan tanah digunakan untuk membayar dana pensiun dan dana bantuan (allowances), serta menutupi pengeluaran operasional administrasi, kebutuhan militer dan seterusnya.
-
Pendapatan yang didapat dari semua sumber dikeluarkan untuk para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar dan dana sosial lainnya.
Keunggulan Perekonomian pada Masa Umar Ibn Khaththab Perencanaan ekonomi Islam secara umum seperti halnya perencanaan lainnya, yaitu untuk merealisasikan harapan dan target dalam jangka waktu tertentu menurut situasi dan kondisi yang ada. Dalam menjalankan tampuk kepemimpinannya,
beliau
selalu
mengutamakan
keputusan
melalui
musyawarah, dengan memberikan kesempatan bagi pendapat orang lain, sehingga dasar-dasar pendapat nantinya dapat mengantarkan pada pemilihan pendapat yang terbaik. Umar
ibn
Khattab
telah
mempertimbangkan
program
dan
perencanaannya, jika terjadi masyarakat suatu keadaan yang menuntut suatu pertimbangan. Beliau tidak hanya menunda kewajiban pembayaran keuangan negara terutama di musim paceklik, akan tetapi juga meringankan biaya bea cukai bagi komoditi yang dibutuhkan masyarkat Islam karena terbatasnya barang tersebut. Dalam membuat perencanaan yang dilakukan Umar memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pengumpulan data, yaitu dengan kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Kalau didalamnya ditemukan hal yang mengisayaratkan petunjuk hukum, maka beliau mengambilnya. Sperti ketika beliau akan memutuskan jizyah kepada kaum Majusi, terlebih dahulu Umar memeriksa apakah Rasulullah SAW telah menerapkannya pada mereka. 2. Mencari keunggulan di antara dua hal, karena dengan demikian maka dapat dipilih yang terbaik untuk kebaikan Islam dan umatnya. Di antaranya adalah perihal penetapan jizyah untuk bani Tughlab, dimana mereka menolak jizyah dan meminta penerapan zakat atas meraka, padahal mereka kelompok paling ganas dalam pertempuran. Kebijakan Umar tersebut,
semata-mata didasarkan pada konteks
masyarakat saat itu dalam rangka menggapai sebanyak mungkin maslahat. Inilah salah satu titik tolak dimana kemudian ajaran Islam berkembang. Dari sini, sejatinya kita bisa mengambil pelajaran, bahwa suatu teks harus dipahami secara kontekstual, yang sesuai dengan semangat zamannya, dan didasarkan
pada realitas sosial-kemasyarakatan yang berkembang. Di sinilah letak peran akal, yaitu memfungsikannya untuk menangkap semangat zaman, dan memahami kondisi sosialnya dalam penakwilan al-Qur’an.
Penutup Umar melihat bahwa nash syari’ah tersebut adalah muncul karena atau memiliki beberapa ‘illah yang dapat mempengaruhinya. Yang menurut para ahli Ushul Fiqih dikatakan bahwa, apabila suatu ‘illat hukum hilang, maka secara tidak langsung tuntutan hukum yang ada juga hilang dengan sendirinya. Oleh karenanya, penghapusan hukum yang dilakukan oleh Umar didasarkan atas pertimbangan adanya hubungan nash tersebut dengan ‘illat yang melatar belakanginya ketika itu. Ia melihat bahwa pada saat itu keputusannya untuk tidak memberikan bagian kepada muallaf
dilakukan bukan dengan maksud
untuk menghapus atau menghilangkan ketetapan hukum yang telah ada (dzahirnya), akan tetapi hal itu dilakukan semata-mata dengan melihat kondisi dan ‘illat yang terjadi saat itu. Dalam pandangan Umar, pemberian bagian zakat kepada golongan muallaf pada awalnya adalah dilakukan karena melihat yang ada pada saat itu, yaitu kondisi mental para muallaf yang masih rawan untuk dapat kembali berbuat tidak baik kepada kelompok Islam, yang saat itu juga masih dalam kondisi lemah. Oleh karenanya, kelompok ini perlu untuk diberikan. Akan tetapi menurut Umar, ketika kondisi umat Islam telah mampu mandiri dan dalam kondisi sangat kuat, maka pemberian tersebut adalah tidak perlu dilakukan, dan hal ini dilakukannya merupakan sebagai bagian dari siasat politik yang diterapkannya untuk memperkuat pemerintahan Islam saat itu. Oleh karenanya, yang terjadi kemudian ialah, mengambil kesimpulan hukum, baik yang dilakukan melalui ijtihad pribadi atau kelompok tertentu, ataupun melaksanakan keputusan hukum yang menjadi konsensus bersama di kalangan para sahabat. Baik ijma’ (konsensus) maupun ijtihad, keduanya merupakan prinsip ketiga dan keempat dalam urutan hirarkis prinsip-prinsip syari’at Islam.
Dengan kata lain, prinsip-prinsip itulah yang menjadi
komplementer dalam menyempurnakan syari’at Islam. Sebab itu, statemen
mengenai “pemberlakuan syari’at Islam secara sempurna” adalah tidak benar, setidaknya jika dilihat dari segi prinsip-prinsip dalam syari’at itu sendiri. Syari’at Islam tidak dapat diberlakukan secara sempurna, kecuali jika telah memenuhi prinsip-prinsip yang empat; al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas (baca: ijtihad). Demikianlah kebijakan-kebijakan ekonomi Umar, yang sarat dengan prinsip kemaslahatan. Penangan permasalahan – yang termasuk juga di dalamnya permasalahan ekonomi – suatu negara memerlukan sosok yang handal, sosok yang mampu menggabungkan antara pengetahuan teoritis dan pengalaman praktis mengenai kekayaan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Madani, Nadharat fi Fiqhi Umar
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, IIIT, Jakarta, 2002
Depag RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jilid 3, Anda Utama, Jakarta, 1996
Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Jilid 3, Mizan, Bandung, 2001
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Ekonosia, Yogyakarta, 2003
Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khaththab, Jakarta, Pustaka Azzam, 2002