Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
KEBIJAKAN DALAM UPAYA MEMERANGI KEMISKINAN DI NIAS
Talizaro Gulo, Bengkel Ginting, Agus Suriadi
Abstract: Actually, NIAS district which is surrounded by sea a great potential in various sector, such as agricultural, fishing, and tourism. Until 2002, these potential are not exploit optimally and that’s why we have to use the inspirational force method that is appropriate and efficient. One of the obstacles in exploiting the potential in various sectors is the width of Nias district I sonly 5.624 square kilometers or 7.8% from the width of North Sumatera Province. Other obstacles that are clearly seen is the low budget and low human resources that are available. All of these are the conditions faced by that have tangled them. To over come or solve the problems faced by the Nias community some policies are made in order to increase the welfare of the people. The main method of this is interviewing the people through free interview that is non structural and non observational. The analyses unit are the people that know the conditions of NIA area now, with the limited time, difficulties in finding the data totally, and the research approach taken, the analysis unit that are approach are prominent figure in the community, the bureaucrats, prominent figure of culture and other community members that are considered to be experts in knowing and understanding the conditions of Nias. The results show that actually the development of Nias district itself is caused of instability from different sectors, and very remote. The facilities/infrastructure of the transportation and roads that cause the low productivity of agricultural growth. The development of transportation means and infrastructures has to be the main priority to increase the community’s mobility that includes the marketing of agricultural/plantation goods of the people. The agricultural development as an effort to increase the lives of the farmers has also faced a serious problem. There are still few groups of farmers and agricultural illumination, besides the way of thing of the people that is still traditional and stiff, causing a little development in agricultural pattern. This concern mainly on education background of the people that is relatively low, and which its’ development is done recently. Poverty was also caused by some factors such as: lack of supporting facilities/infrastructure, constriction of agricultural land cultivated by families, and cultural factor that still influence the way of thinking and behavior of the community. Factors that influenced the poverty in Nias district can be identified as: low productivity of the labor, low education and health, opportunity of working is limited, low quality in human resources and isolated conditions. Keywords: policy and poverty PENDAHULUAN Salah satu daerah yang sangat tertinggal di Indonesia berada di Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Nias. Di Kabupaten ini pada tahun 1983 terdapat 64% desa tertinggal yang pada berikutnya oleh Pemerintah Pusat dinyatakan semua desanya adalah penerima IDT. Masuknya daerah Nias dalam kategori sebagai daerah miskin di Indonesia cukup mengejutkan melihat potensi-potensi yang dimilikinya. Kondisi tersebut memberi gambaran banyak hal tentang pelaksanaan pembangunan di
daerah ini. Pembangunan regional Sumatera Utara yang demikian pesatnya hanya sedikit mempengaruhi perkembangan ekonominya. Disamping itu juga Kabupaten Nias mempunyai PDRB perkapita yang kecil di Sumatera Utara bila dibandingkan daerah tingkat II lainnya. Pertumbuhan ekonomi regional, terutama untuk daerah seperti Nias, sangatlah tergantung pada pola kebijakan yang digariskan oleh pihak pemerintah sebagai pengelola pembangunan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan pembangunan dan sejauh mana hasil yang dapat dicapai.
Talizaro Gulo adalah Staf Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Bengkel Ginting & Agus Suriadi adalah Dosen MSP SPs USU
29
Gulo, dkk., Kebijakan dalam Upaya Memerangi Kemiskinan di Nias
Di daerah Nias beberapa dasawarsa lalu telah mulai dilaksanakan pembangunan, namun begitu masih banyak yang merasa bahwa pelaksanaan pembangunan belum maksimal, hasil dapat dilihat dari tingkat kemiskinan yang dialami oleh daerah ini. Misalnya pada tahun 1993 Nias telah menjadi sasaran dari program IDT untuk mengentaskan kemiskinan. Saat ini melalui berbagai program telah dirumuskan beberapa kegiatan seperti dirumuskan beberapa kegiatan, antara lain: 1. meningkatkan percepatan pembangunan di sektor perhubungan, pariwisata, perkebunan, pertanian, industri dan maritim yang memiliki nilai jual bagi penanaman investasi di Kabupaten Nias oleh para investor dalam dan luar negeri. 2. meningkatkan percepatan pembangunan dan pengembangan Sumber Daya Manusia 3. meningkatkan percepatan dan penanggulangan kemiskinan 4. meningkatkan pembangunan pedesaan yang berbasis industri kerakyatan. Banyak faktor yang menyebabkan lambatnya pembangunan di Kabupaten Nias, salah satu faktor utama adalah dikarenakan Kabupaten Nias berada diluar jangkauan sarana/prasarana yang ada di Sumatera Utara sebagai akibat letak geografisnya yang terpisah dari daratan Sumatera Utara. Hal ini sejalan dengan pendapat Robert Chamber (1991, 140) yang menyebutkan bahwa ”kemiskinan kelompok masyarakat secara keseluruhan disebabkan oleh keberadaannya yang jauh terpencil dan tidak memadainya sumber daya”. Untuk Daerah Nias, terdapat potensi sumber daya alam, tetapi tidak memadai dalam mendukung perkembangan ekonomi penduduk. Letak geografis Nias telah menyingkirkannya dari suatu gerak ekonomi regional. Kondisi tersebut menyebabkan semakin sedikitnya sentuhan gerak pembangunan yang dilaksanakan pada daerah yang berangkaian karena letak geografisnya. Jadi inilah salah satu masalah yang dikemukakan oleh pemerintah dalam upaya memahami ketertinggalan pembangunan di Nias. Ketertinggalan pembangunan ini sendiri memiliki dampak yang sangat jelas pada kondisi ekonomi masyarakatnya. Daya dukung pembangunan bagi keluarga-keluarga di daerah itu untuk memperbaiki nasibnya sangat rendah. Akibatnya, selain mengalami ketertinggalan dalam gerak pembangunan, juga telah
30
menyebabkan ketertinggalan dalam kehidupan ekonomi. Kemiskinan merupakan salah satu ciri kehidupan ekonomi mereka. Upaya-upaya untuk meningkatkan laju pembangunan di daerah ini dari tahun ke tahun, dari PELITA ke PELITA terus dilakukan, namun hasilnya belum terlihat sebagaimana diharapkan semua pihak, baik pemerintah sendiri dan terutama masyarakat. Potensi terbesar Nias selain di sektor Pertanian adalah sektor Pariwisata. Walaupun upaya-upaya untuk menggali potensi sektor pariwisata telah dilakukan semenjak akhir tahun 1970-an, namun penanganannya belum mulai terlihat titik terang. Investasi pemerintah belakangan semakin tinggi di Nias, didorong oleh image pembangunan kepariwisataan, namun dengan masuknya investor dan upaya pengadaan jaringan transportasi yang lebih memadai untuk mencapai sektor pariwisata Nias belum bisa memperlihatkan harapan, di mana jumlah wisatawan dari tahun ke tahun semakin menurun. Sekalipun sektor ini memberi harapan, namun hanya sedikit melibatkan penduduk Nias. Sehingga yang masih menjadi pertanyaan adalah seberapa besar pengaruh langsung sektor pariwisata pada kehidupan masyarakat Nias yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, di mana pola pertanian mereka yang masih tradisional tidak mempunyai hubungan dengan sektor pariwisata yang mendapat prioritas tersebut. Memang untuk membangun pertanian dibutuhkan mobilisasi rakyat pedesaan (Wolf, 1969:19). Mobilisasi rakyat pedesaan sendiri menuntut adanya struktur ekonomi yang mendukung, misalnya prasarana pertanian, investasi dan sarana/prasarana transportasi. Struktur ekonomi itulah yang hingga kini masih sangat lemah di Nias, dalam artian belum tersedia secara memadai untuk mendukung usaha pertanian rakyat. Sebagai petani, penduduk Nias masih melakukan pola-pola pertanian turun-temurun yang sifatnya tradisional dan jauh tertinggal dibandingkan pola-pola pertanian yang dikembangkan selama ini. Hal ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan rata-rata penduduk. Walaupun pembangunan pendidikan telah dilaksanakan semenjak awal, yakni jauh sebelum Indonesia merdeka oleh kaum misionaris, dan mencapai puncaknya pada dekade 1980-an. Namun hingga saat ini sebagian besar penduduk
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
belum menikmati bangku sekolah dasar. Artinya sebagian besar dari penduduk Nias tentu tidak mampu membaca dan menulis, kurang mampu berbahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar. Mutu Sumber Daya Manusia Nias jauh lebih rendah dibandingkan mutu Sumber Daya Manusia di Kabupaten lainnya di Sumatera Utara. Sementara itu, mereka yang berpendidikan, yakni tamatan SLTA keatas, umumnya meninggalkan Nias dan mengadu nasib di daerah yang lebih layak. Kecenderungan ini menyebabkan Nias tidak hanya menjadi ”pulau kemiskinan” tetapi juga ”pulau SDM rendah” dan lebih jauh telah mengakibatkan rendahnya upayaupaya untuk menggali potensi sumber daya alam. Chamber juga menyebutkan bahwa kurang memadainya sumber daya merupakan salah satu penyebab kemiskinan. Upaya-upaya penggalian potensi sumber daya manusia selain terbatasi oleh rendahnya SDM penduduk, juga sikap dan pandangan hidup yang masih tradisional, yakni masih berpegang teguh pada adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan leluhur mereka. Dalam beberapa hal, sebagian nilai-nilai ini kurang mendukung pelaksanaan pembangunan. Misalnya masih berpegangnya mereka pada status sosial yang mereka miliki dan penempatan harga diri pada tempat tertinggi telah menyebabkan mereka kurang cepat tanggap dan berubah dalam perkembangan zaman. Selain kondisi tersebut, pengadaan sarana/prasarana terkesan sangat terlambat. Hingga tahun 1992, masih terdapat beberapa kota kecamatan yang belum bisa dilalui oleh kendaraan, dan hingga tahun 2001 hanya 38,03 % jalan propinsi yang hanya dapat dilalui kendaraan roda empat, selebihnya sebesar 61,97% rusak total didalamnya meliputi kondisi jembatan dan ruas jalan. Masih kurangnya sarana/prasarana transportasi telah menyebabkan rendahnya arus barang dan jasa dari kota ke desa dan sebaliknya, ongkos transportasi cukup tinggi, terganggunya distribusi kebutuhan pokok dan tentunya membawa akibat pada harga kebutuhan pokok dan tentunya membawa akibat pada harga kebutuhan pokok yang cukup mahal atau tinggi. Di samping itu permasalahan lainnya misalnya, para petani mengeluhkan hasil pertanian mereka tidak bisa diangkut ke kota juga sekaligus mengeluhkan kesulitan mendapatkan kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan usaha pertanian
mereka. Beberapa desa bahkan baru bisa dicapai setelah berjalan kaki lebih dari 12 jam. Kesempatan yang harus diciptakan oleh pemerintah dalam menggali potensi sumber daya alam adalah berupaya mengarahkan kebijakan investasi kedaerah terpencil. Kurangnya investasi pemerintah di Nias terlihat dari masih sedikitnya proyek pemerintah di daerah ini. Berbagai sarana/prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat belum tersedia, sehingga terkesan pemerintah kurang memberi perhatian terutama terhadap sektor utama, yakni sektor pertanian di mana lebih dari 81% penduduk Nias menggantungkan nasibnya. Selain itu, dalam beberapa hal sektor pedesaan juga kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Kalau melihat kebijakan pemerintah saat ini, investasi pembangunan lebih banyak ke daerah perkotaan yang cenderung kegiatan industri padat modal, sehingga sebagian kecil penduduk yang terlihat di dalamnya. Dalam kaitan munculnya Nias dalam peta kemiskinan Indonesia telah menunjukkan terjadinya disparitas investasi pemerintah. Pengabaian ini terjadi karena kuatnya daya tarik sektor perkotaan terhadap investasi pemerintah. Dalam beberapa kasus dapat diungkapkan bahwa telah terjadi dominasi kota atas desa, dengan kata lain dominasi sektor industri atas sektor pertanian. Perimbangan pengembangan daerah persektoral merupakan kenyataan kelam. Bila suatu perbandingan antara ekonomi desa tidak mendapat porsi perhatian yang cukup berimbang dengan kota. Srtuktur ekonomi agrarian yang bertopang pada usaha pertanian rakyat merupakan tempat dominan penduduk Indonesia berkecimpung. Di sisi lain, struktur ekonomi perkotaan jauh bertumbuh lebih cepat dan lebih mapan dengan adanya perhatian khusus. Ternyata kemudian, struktur ekonomi pedesaan yang bersandarkan pada agrarian semakin tertinggal dan terpuruk semakin dalam, nilai tukar petani (NTP) dari tahun ke tahun tidak meningkat sebanding dengan kepesatan ekonomi bangsa yang sedang melaju. Rakyat tidak punya kekuatan untuk membangun ekonominya pada saat ekomoni raksasa perkotaan semakin tegar. Ketidak keseimbangan ini telah memunculkan dua mata sisi mata uang ekonomi, yakni sisi mata uang yang satu ekonomi perkotaan dengan akumulasi kapital yang cukup tinggi dan sisi mata uang
31
Gulo, dkk., Kebijakan dalam Upaya Memerangi Kemiskinan di Nias
lainnya ekonomi pedesaan dengan lilitan kemiskinan. Dengan demikian partisipasi ekonomi antara perdesaan dengan perkotaan menjadi tidak seimbang pula; adanya kecendrungan penyerapan atau dominasi ekonomi perkotaan terhadap ekonomi pedesaan. Telah memperkecil kemungkinan sektor ekonomi pedesaan ambil bagian terhadap gerak ekonomi perkotaan. Malah hanya menjadi objek, yakni penyuplai kebutuhan kota di satu sisi dan disisi lain sebagai pengkonsumsi produksi kota. Kondisi hubungan ini tidak menghadirkan hubungan timbal balik dalam proses ketergantungan yang seimbang, tetapi pedesaan layaknya hanya diciptakan untuk membentuk ekonomi yang seimbang, tetapi pedesaan layaknya hanya diciptakan untuk membentuk ekonomi yang cenderung terisolasi. Kondisi ini semakin diperparah oleh pertambahan penduduk yang sangat cepat sehingga menyebabkan beban atas lahan pertanian semakin kecil, sehingga pendapatan sebuah keluarga atas sebidang tanah menjadi mengecil pula. Petani Nias tidak hanya mengalami semakin mengecilnya pendapatan sebagai akibat mengecilnya lahan pertanian, juga sebagai akibat hasil pertanian mereka yang tidak dapat dipasarkan. Hal ini sendiri disebabkan oleh terbatasnya sarana transportasi yang menyangkut hasil pertanian dari desa ke kota dan ke luar Nias. Dari berbagai analisis dan permasalahan yang terdapat di Nias, maka peneliti ingin merumuskan masalah yang akan dikaji melalui penelitian ini dengan melihat persoalan pada ”Bagaimana upaya dan Kebijakan Pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Nias dalam upaya memerangi kemiskinan?”, dengan tujuan untuk mendeskripsikan kemajuan pembangunan yang telah dicapai oleh Kabupaten Nias dan kondisi kemiskinan serta faktor yang mempengaruhi kemiskinan di daerah ini khususnya di pedesaan yang merupakan wilayah terbesar di Nias serta upaya apa saja yang telah dilakukan oleh Pemerintah setempat. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis lebih dalam tentang kontribusi dan kebijakan yang telah dibuat dalam upaya mengentaskan kemiskinan. METODE Penggunaan metodologi dalam penelitian merupaka rangkaian sistematis yang tidak dapat
32
dipisahkan dalam menulis karya ilmiah yang menguraikan dan menjabarkan beberapa aspek yang ingin dicari untuk menarik kesimpulan dari sesuatu permasalahan. Dalam penelitian ini model yang digunakan adalah metode kualitatif. Kecenderungan untuk meneliti apa yang ingin dilihat dan melakukan keinginan yang akan dicapai, mengumpulkan sumber data sangatlah penting. Artinya penekanan obyek/subyek dan muatan data diperoleh diperlukan langkahlangkah yang akurat dan sistematis guna dijadikan acuan dalam mengelola data/informasi yang berhubungan dengan penelitian ”Kebijakan Memerangi Kemiskinan di Kabupaten Nias”. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan narasumber melalui interview (wawancara) bebas non struktural dan Observasi (pengamatan). Unit analisis pada penelitian ini adalah orang-orang (nara sumber) yang mengetahui tentang kondisi daerah Nias saat ini, dengan keterbatasan waktu yang ada, kesulitan dalam memperoleh data secara keseluruhan, dan dengan pendekatan metode yang dilakukan dalam penelitian ini, maka unit analisis yang diambil dalam penelitian ini yang terdiri dari para tokoh yang masyarakat, birokrat, tokoh adat dan masyarakat lainnya yang dianggap mengetahui dan memahami kondisi Nias saat penelitian ini berlangsung dengan melakukan wawancara melalui interview guide. Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik wawancara bebas (non struktur), pengamatan (observasi), partisipasi dan telaahan dokumen berdasarkan sumber tertulis (dokumen), catatan lapangan, foto-foto, pesta, dan data statistik. PEMBAHASAN Fakta dan data telah menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan di Nias berjalan sedikit lebih lambat dibandingkan dengan daerah lainnya di Sumatera Utara. Masyarakat Nias sendiri juga menyadari akan hal ini, bahkan kebanyakan mengatakan bahwa mereka sangat kecewa dengan kondisi kehidupan di daerah ini, terutama karena disebabkan kurangnya fasilitas pendukung untuk usaha-usaha mereka melepaskan diri dari keterbelakangan ekonomi. Masyarakat juga mengetahui tentang adanya pelaksanaan berbagai program pembangunan. Namun demikian, pada kenyataannya masih banyak fasilitas yang telah dinikmati oleh
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
masyarakat daerah lain tapi belum dapat dinikmati masyarakat Nias. Mereka mengatakan telah bosan mendengar janji-janji pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup mereka, kondisi ini menumbuhkan kejenuhan bagi masyarakat karena tidak disertai suatu terobosan yang benar-benar akan menyentuh akar permasalahan utama, yang juga sekaligus menjadi peluang baru penyelesaiannya. Walaupun kemiskinan mewarnai kehidupan masyarakat akan tetapi tidak pernah terungkap kepermukaan secara resmi. Banyak orang yang menyatakan bahwa masyarakat Nias tidak miskin, pandangan ini terutama dilontarkan oleh aparat Pemerintah. Sementara pada kenyataannya masyarakat semakin terhimpit oleh beratnya beban kemiskinan. Masih malunya aparat pemerintah mengemukakan keadaan Nias yang lebih serius, walaupun sebenarnya telah banyak kebijakan pembangunan yang dilaksanakan. Selanjutnya laporan-laporan pembangunan Nias menurut seorang tokoh masyarakat yang peneliti wawancarai disebutkan isinya terlalu baik. Kemiskinan dan kegagalan pelaksanaan dan pencapaian target pembangunan tidak pernah disinggung. Soejono (dalam Sayogyo, 1991:87) menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan resultant dari interaksi teknologi, sumber daya alam dan kapital, sumber daya manusia serta kelembagaan. Dengan demikian kemiskinan dapat dilihat sebagai akibat (endogenous variabel). Oleh karena itu ada dua hal yang perlu diperhatikan walaupun keduanya saling berinteraksi secara evolutif yaitu (1) faktor penyebab kemiskinan dan (2) dampakan kemiskinan itu sendiri terhadap masyarakat. Ada anggapan bahwa salah satu penyebab masih terkukungnya Nias dalam kemiskinan karena kurangnya perhatian pemerintah Nias dan aparat pemerintah dalam mengelola dan mencapai maksud pembangunan di Nias. Tidak tercapainya upaya dan kebijakan pembangunan dalam memerangi kemiskinan di Nias, membawa konsekuensi bahwa kredibilitas pemerintah dimata masyarakat rendah, dan ini mencerminkan bahwa memang pemerintah tidak serius dan bersungguh-sungguh dalam melihat persoalan kemiskinan di Nias. Upaya penanggulangan kemiskinan tidak hanya sekedar mencakup upaya peningkatan
pendapatan golongan masyarakat yang dipandang miskin tetapi dibelakang upaya tersebut banyak hal yang harus dijelaskan, khususnya untuk kepentingan analisis kebijaksanaan. Analisis tentang kemiskinan lebih baik dilihat dari sudut dimensi sosial, karena manusia sebagai individu adalah bagian dari suatu komunitas (community). Secara teoritis upaya penanggulangan kemiskinan sendiri dapat dipandang sebagai redistribusi pendapatan dari golongan masyarakat kaya kepada yang miskin, karena kesejahteraan golongan kaya dapat dibandingkan dengan golongan miskin, sehingga pendapat klasik yang menyatakan bahwa bagi golongan miskin tambahan pendapatan tersebut diperoleh dari golongan kaya. Dengan demikian, jika seluruh pendapatan golongan kaya diredistribusikan kepada golongan miskin melalui pajak dan subsidi pada desa miskin, maka penurunan kesejahteraan yang dirasakan oleh golongan kaya adalah lebih kecil daripada peningkatan kesejahteraan yang akan dialami oleh golongan miskin. Dengan demikian, kesejahteraan keseluruhan akan meningkat, kendatipun pendapatan yang didistribusikan adalah tetap, namun manfaat atau nilai sosial di masyarakat menjadi meningkat. Penanggulangan kemiskinan di pedesaan akan sia-sia sepanjang alat ukur yang digunakan dalam mengukur kemiskinan penduduk desa, dengan pendapatan penduduk kota. Yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan kemiskinan dipedesaan adalah, agar mereka dapat hidup secara manusiawi (Miraza, 1993). Bagi masyarakat Nias sendiri terutama bagi mereka yang berada di daerah terpencil kenyataan hidup mereka yang menurut ukuran orang yang berada di luar Nias adalah miskin, bukan masalah yang sangat menakutkan dan menggelisahkan secara psikologis. Kemiskinan yang dikonsepkan diluar Nias tidak berlaku bagi mereka. Dalam kehidupan sekarang ini, mereka cukup bahagia dan menikmatinya dengan hati yang tenang. Mereka tidak pernah merasa miskin, sebab kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi sekalipun itu misalnya hanya mengkonsumsi ubi setiap harinya. Ini tentu merupakan gambaran kehidupan masyarakat pedesaan yang telah merasa sejahtera secara psikologis dengan kondisi kehidupan mereka yang sederhana. Kebutuhan hidup masyarakat Nias tidak bisa diukur menurut
33
Gulo, dkk., Kebijakan dalam Upaya Memerangi Kemiskinan di Nias
keadaan materi yang dipunyai dan mesti dimiliki ataupun tingkat pendapatan dan jumlah konsumsi kalori per kepala perharinya. Yang menjadi ukuran adalah hubungan sosial yang terpelihara dengan baik, keamanan yang terjamin, harga diri atau penghargaan yang tinggi dari orang lain, selain itu memang mereka juga harus memiliki tanah dan emas kalau ada. Keadaan ini telah berlangsung bertahuntahun lamanya, bahkan jauh sebelum masyarakat Nias mengenal lebih jauh peradaban dari luar dengan segala konsekuensi yang menyertainya. Mereka telah hidup dalam alam pikiran yang mereka bentuk berdasarkan pemahaman atas pengalaman hidup mereka sehari-hari. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada kehidupan yang amat menyedihkan dalam kehidupan masyarakat Nias, selain ketenangan batin mereka tidak terjamin. Kesederhanaan hidup ini menjadi inti kesejahteraan dan menyebabkan tidak terlalu pentingnya kebutuhan material dalam kehidupan masyarakat Nias. Beberapa tahun belakangan ini dengan masuknya informasi dari luar, seperti siaran TV, koran dan lain sebagainya menyebabkan terjadinya perubahan pandangan pada masyarakat. Perubahan yang terjadi akibat kontak dengan masyarakat dan budaya dari luar, kompleksitas kehidupan dan peningkatannya, telah mendorong masyarakat Nias ikut dalam perkembangan pemahaman baru kondisi kehidupan mereka. Kebutuhan akan kesejahteraan yang utuh kini mulai berubah bentuknya. Kadar pemenuhannya juga tidak lagi berpatokan pada ukuran-ukuran yang semula ada pada masyarakat Nias, akan tetapi dari mana datangnya budaya tersebut. Perubahan-perubahan tersebut sedikit demi sedikit memberi pula kesadaran baru akan arti dan bentuk kebutuhan-kebutuhan mereka pada masa lalu, dewasa ini dan pada masa mendatang. Timbul suatu kesadaran akan kondisi kehidupan mereka dengan kondisi kehidupan masyarakat lainnya. Terutama kesadaran bahwa tingkat kemiskinan di tengah-tengah kehidupan masyarakat Nias sudah sangat mengkhawatirkan, pendapatan perkapita yang rendah produktivitas lahan pertanian yang masih buruk, tingkat pendidikan yang masih rendah dan biaya hidup yang semakin hari semakin tinggi. Dengan tumbuhnya kesadaran-kesadaran tersebut, maka sebagian masyarakat Nias ada yang mampu membenahi diri dan sebagian lagi
34
tetap hanyut dalam situasi masa lalu. Bagi mereka yang mampu membenahi diri dengan secepatnya mengikuti perkembangan zaman. Banyak di antaranya yang cukup berhasil terutama dalam meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Sedangkan lainnya yang masih terbuai dengan kejayaan masa lalu dan dengan sendirinya memperlihatkan bagaimana ekonomi keluarga mereka secara perlahan ambruk dan jatuh dalam lingkaran kemiskinan. Ada yang menyatakan bahwa masyarakat Nias tidak menyadari keterbelakangan ekonomi mereka. Pendapat ini adalah tidak benar adanya. Kesadaran yang timbul tidak menyebabkan suatu gejolak psikologis. Hal ini sebagai akibat rambatan penyebaran informasi yang sedikit melemah dan melambat. TV dan informasiinformasi impersonal yang memberikan gambaran kehidupan yang jauh lebih maju memang merupakan salah satu faktor penyadar tersebut. Pengaruhnya tidak kontras, hanya pembentuk imej semata. Imej itu mungkin dapat dirumuskan dalam kalimat ”begitulah kehidupan mereka yang lebih maju”. Selain imej tersebut pengaruh yang langsung menyentuh sendi-sendi kehidupan mereka adalah apa yang mereka lihat, mereka rasakan dan mereka harus lakukan atau penuhi. Di samping itu, kewajiban-kewajiban yang mesti mereka penuhi, bagi diri mereka sendiri, bagi keluarga maupun bagi anakanaknya, misalnya pajak, uang kesehatan, uang sekolah anak-anak. Pada beberapa dekade yang lalu, kebutuhan-kebutuhan seperti ini sama sekali tidak di kenal, kalau sekarang uang semakin memegang peranan penting. Dulu kalau tidak punya uang bukan masalah penting, sebab mereka tidak perlu membeli barang-barang seperti dewasa ini. Pada dasarnya apa yang diperkenalkan pada mereka selalu memerlukan uang. Dengan demikian juga memahamkan masyarakat Nias bahwa mereka tidak mampu membelinya atau memenuhinya dengan suatu penyebabnya yaitu mereka tidak punya uang. Ukuran miskin yang kita kenal sepenuhnya tidak bisa diartikan sebagaimana pemahaman masyarakat Nias. Pandangan ini tidak saja hanya berlaku bagi mereka yang tinggal di pedesaan, tetapi juga yang hidup diperkotaan, bahkan mereka yang juga berpendidikan. Perdebatan apakah masyarakat Nias miskin, lebih sering menggambarkan sikap kebanyakan masyarakat sangatlah sulit menerima
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
kata miskin atau numana, daripada sebagai penolakan untuk memberi pemahaman bahwa kemiskinan mempunyai kriteria dan objektivitas yang berbeda. Selo Soemardjan (1984:25) mengatakan bahwa kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur sosial yang ada, menjadikan masyaraka itu tidak dapat memperoleh pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Untuk mengatasi hal ini, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan pembangunan kwalitas sumber daya manusia. Secara lebih tegas Koentjaraningrat (1990:63) mnekankan akan perlunya mentalitas pembangunan pada setiap diri manusia dan untuk menstimulir mentalitas tersebut dapat dicapai melalui pendidikan. Apa yang dikenal tentang kemiskinan di negara-negara dunia ketiga menunjukkan wajah yang mirip, tetapi berlaku menurut konteksnya masing-masing sesuai dengan kondisi suatu daerah. Perkembangan ekonomi bagi negaranegara dari dunia ketiga mengalami percepatan yang tidak selaju negara maju di bentangan benua Asia dan Afrika sebagian kecil benua Amerika bagian Selatan. Meskipun memang kondisi sedemikian jeleknya tidak menjadi gambaran secara menyeluruh di negara-negara dunia ketiga, juga masih terdapat daerah-daerah yang berkembang cepat dan mengikuti kemajuan negara Barat yang industrialis. Keadaan ini memperlihatkan disparitas pada wajah negara-negara dikawasan tersebut. Munculnya daerah-daerah yang maju cepat dengan baik untuk memenuhi kebutuhan kemajuan globalisasi dewasa ini, seiring dengan tersebarnya kantong-kantong kemiskinan. Kasus ini di negara kita tidak hanya muncul diperkotaan, tetapi menghiasi seantero Indonesia. Ketimpangan ini membutuhkan suatu pemahaman tersendiri. Terutama bahwa daerahdaerah yang jauh dari pusat pemerintahan berarti jauh dari pusat pergerakan ekonomi, maka daerah tersebut akan mengalami ketertinggalan dan ketimpangan ekonomi. Hal ini dialami oleh daerah-daerah yang secara fisik terisolir dan terpencil, dan Nias merupakan salah satu daerah yang mengalami ketertinggalan tersebut. Jalur pergerakan ekonomi dalam beberapa hal sangat menentukan. Dalam beberapa kasus, misalnya faktor penyebab kemiskinan di Nias bukan hanya disebabkan kemiskinan di Nias bukan hanya dan diakibatkan oleh keterpencilan atau keterisolasian
saja, di mana terdapat kesulitan transportasi dan komunikasi antar daerah, tetapi juga disebabkan oleh berbagai faktor lain seperti : 1. produktivitas tenaga kerja rendah akibat rendahnya teknologi 2. rendahnya taraf pendidikan masyarakat 3. rendahnya taraf kesehatan masyarakat 4. terbatasnya lapangan kerja 5. rendahnya kualitas SDM dan rendahnya produktivitas 6. sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang kurang baik 7. kondisi keterisolasian Arus pergerakan ekonomi pada tingkat nasional hanya sedikit menyentuh gerak ekonomi daerah ini. Keadaan ini sekaligus mengkondisikan daerah seperti ini jauh dari kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah, kenyataan ini disadari dengan munculnya isu pantai barat yang jauh tertinggal dibandingkan pantai timur Sumatera Utara. Hal ini memperlihatkan bahwa ternyata kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah (pusat dan provinsi) masih jauh dari harapan dengan kebutuhan pembangunan di Nias sendiri. Perimbangan pengembangan daerah per sektoral juga merupakan kenyataan kelam. Bila suatu perbandingan antara ekonomi desa – kota diangkat kepermukaan untuk melihat pertumbuhan pembangunan, seringkali struktur ekonomi desa tidak mendapat porsi perhatian yang cukup berimbang dengan kota. Struktur ekonomi perkotaan tumbuh jauh lebih cepat dan lebih mapan dengan adanya perhatian khusus. Di sisi lain, struktur ekonomi pedesaan yang berdasarkan pada agraria semakin tertinggal dan terpuruk semakin dalam, hal ini dapat dilihat dari Nilai Tukar Petani yang dari tahun ke tahun tidak meningakat sebanding dengan kepesatan ekonomi bangsa yang sedang melaju. Sedangkan struktur ekonomi agraria yang bertopang pada usaha pertanian rakyat merupakan tempat dominan penduduk Indonesia berkecimpung. Hal tersebut umumnya berawal dari kebijaksanaan alokasi penggunaan investasi dalam negeri. Michael Lipton (1977:16) menguraikan bahwa dana sebesar 1 Dollar AS investasi yang dipilih dengan seksama mempunyai dampak dalam bidang pertanian dua hingga tiga kali lipat daripada diinvestasikan pada sektor-sektor lainnya. Namun kebijaksanaan pemerintah dan kekuatan pasar swasta telah mendorong penggunaan tabungan dalam negeri
35
Gulo, dkk., Kebijakan dalam Upaya Memerangi Kemiskinan di Nias
dan bantuan luar negeri untuk kepentingan nonpertanian. Kemauan dan kebijakan pemerintah dalam mengalokasikan dana investasi ke sektor ekonomi perkotaan telah mendorong adanya pengabaian terhadap sektor pertanian di pedesaan. Sehingga nilai ekonomis sektor-sektor ekonomi pedesaan yang cukup tinggi akhirnya tidak bisa digali dan ditingkatkan. Selain itu sumber daya-sumber daya semakin terdorong jauh dari kegiatan-kegiatan yang dapat membantu dan menguntungkan si miskin. Jelas bahwa, ketika arah konsentrasi pembangunan menuju ke salah satu sektor dengan keberhasilan yang dicapai, maka akan mengakibatkan munculnya korban disektor lainnya. Pertimbangan yang timpang dalam pengalokasian investasi pembangunan tidak terlepas dari konsep pembangunan yang sedang dijalankan negara kita. Dalam banyak studi, Bank Dunia menyimpulkan bahwa pembagian yang tidak seimbang dan tidak samanya kesempatan untuk mendapatkan sumber daya (yang meliputi tanah, investasi swasta dan pemerintah, kualitas manusia) didiagnosis sebagai konsekuensi politik pembangunan dan adanya orientasi pada pertumbuhan (Senghaas, 1988:236) Paradigma pertumbuhan ekonomi yang belakangan ini mendapat kritikan tajam telah menciptakan terjadinya akumulasi kapital pada segelintir orang di sektor perkotaan. Terdapat kecenderungan pengabaian terhadap pembagian kapital secara lebih seimbang dan merata antara berbagai sektor ekonomi dan sekaligus secara regional. Ketidakseimbangan akumulasi kapital ini telah memurukkan rakyat pedesaan pada kondisi tanpa penguasaan terhadap sumber daya potensial dan sekaligus kemampuan untuk menggalinya agak bermanfaat untuk peningkatan taraf hidup mereka. Rakyat menjadi tidak punya kekuatan untuk membangun ekonominya pada saat ekonomi raksasa perkotaan semakin tegar. Ketidakseimbangan ini telah memunculkan dua sisi mata uang ekonomi yang membuat partisipasi ekonomi antara keduanya menjadi tidak seimbang, yaitu adanya kecenderungan penyerapan atau dominasi ekonomi perkotaan (dengan akumulasi kapital yang cukup tinggi) terhadap ekonomi pedesaan (dengan lilitan kemiskinan). Hal ini telah memperkecil kemungkinan sektor ekonomi pedesaan ambil bagian terhadap gerak ekonomi perkotaan. Malah hanya
36
menjadi objek, yakni penyuplai kebutuhan kota disatu sisi dan sebagai pengkonsumsi produk kota disisi lain. Kondisi hubungan ini tidak menghindarkan hubungan timbal balik dalam proses ketergantungan seimbang. Tetapi pedesaan layaknya hanya diciptakan untuk membentuk ekonomi yang cenderung terisolasi. Frederich List (1961:58) memperlihatkan bahwa terisolasinya usaha pertanian dari suatu pergerakan ekonomi secara nasional ataupun regional akan berpengaruh pada kehidupan petani. Pengolahan tanah pertanian secara terisolasi adalah dan tetap merupakan suatu keadaan yang menyengsarakan. Tanpa peralatan yang sempurna dan modal yang cukup, tanpa pendidikan, penyuluhan dan usaha untuk bersaing, bagitu juga tanpa rangsangan akan kebutuhan yang baru. Maka petani hanya akan melakukan pekerjaan untuk dirinya sendiri dan satu macam saha dati suatu generasi ke generasi berikutnya secaru rutin, cukup senang jika menghasilkan sesuatu dati tanahnya dengan susah payah mulai dari lahir sampai mati.......dan karena ia hanya mendapatkan sedikit hasil, maka ia juga tidak mempunyai sesuatu yang bisa ditukarkan (dijual) apalagi untuk mengangkutnya ke tempat lain. Karena itu tidak ter dapat penyebab untuk memperbaiki jalan-jalan hubungan dan transportasi yang merupakan pendorong kuat bagi pengingkatan ekonomi rakyat. Keterisolasian pengolahan lahan ini bagi masyarakat Nias telah terjadi sekian lama, produksi pertanian tidak sepenuhnya memasuki pasar, baik sebagai konsumsi langsung maupun bahan baku. Terhambatnya produksi pertanian Nias sebagai komsumsi langsung disebabkan oleh tidak adanya alat pengangkutan yang menyebabkan barang tidak sampai ke pasar sekaligus karena daya tampung pasar lokal sangat rendah. Di Nias juga tidak terdapat industri yang dapat menampung produksi pertanian sebagai bahan baku. Sehingga produksi pertanian sama sekali tidak terjangkau jaringan pemasaran dan karenanya pertanian di pedesaan Nias menjadi sangat terisolasi yang mengawali lilitan kemiskinan. Keterpencilan Nias, baik diakibatkan kepekatan konsentrasi investasi pembangunan di perkotaan atau oleh kebijakan-kebijakan lainnya, telah memperkecil kemungkinan masyarakat pedesaan Nias untuk ikut ambil bagian dalam
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
arus pergerakan ekonomi nasional. Sehingga tidak hanya terpencil secara geografis, tetapi lebih jauh lagi terpencil dari kegiatan ekonomi pembangunan. Ini telah membawa malapetaka yang sangat tragis sekali akibatnya, yakni bahwa 65% desa di Nias berada di bawah garis kemiskinan. Tidak dapat disangkal bahwa banjirnya arus urbanisasi ke kota-kota di daratan Sumatera dan Jawa disebabkan oleh kadar kemiskinan ini. Data yang pasti tentang jumlah perantau ini hingga kini belum ada. Tetapi kenyataan yang pantas diperhatikan ini bisa disaksikan dari membludaknya pemuda-pemuda Nias (umur 15 sampai 30 tahun umumnya) yang mencari nafkah di kota-kota besar, bekerja di sektor formal dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah. Kenyataan bahwa masyarakat Nias miskin merupakan hal yang tidak bisa dipungkiri lagi. Kemiskinan tidak hanya dialami oleh penduduk yang bertempat tinggal di daerah pedesaan, tetapi juga bahkan mereka yang hidup di sekitar kota kabupaten. Kemiskinan yang dialami tidak hanya dalam bentuk kemiskinan ekonomi, tetapi juga dalam berbagai bentuk seperti di bidang pendidikan, fasilitas sosial dan umum yang dapat mendukung perkembangan ekonomi mereka. Ada dua sektor perekonomian yang berperan di Nias, yaitu sektor Pertanian yang merupakan sektor dominan dengan sumbangan kontribusinya diatas 10%, yang kedua yaitu sektor Perdagangan, hotel dan restoran. Dengan memperbandingkan pendapatan per kapita dan pengeluaran perkapita setiap bulannya, dapat diketahui bagaimana kondisi kehidupan penduduk Nias saat ini. Menurut data yang dikeluarkan kantor statistik Kabupaten Nias, ternyata selisih pendapatan dengan pengeluaran perkapita sangat kecil. Rata-rata pendapatan perkapita hanya menutupi pengeluaran perbulannya. Kalaupun ada kelebihan, hanya dipergunakan untuk kebutuhan hidup lainnya yang sangat mendesak dan atau biaya-biaya sosial yang tak terduga. Dari kenyataan ini dapat dilihat bagaimana tidak mungkinnya terbentuk investasi pada masyarakat Nias. Dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa kondisi masyarakat di Nias jauh lebih memprihatinkan daripada masyarakat daerah lain. Bukan hal yang sangat mustahil bahwa di sektor pertanian di pedesaan terjadi penumpukan tingkat pendapatan yang tidak berimbang di
tengah masyarakat, yang terjadi akibat pemilikan lahan pertanian yang luas dan modal yang cukup besar pada tangan orang-orang tertentu. Maka pendapatan yang kecil menyebar pada sebagian besar masyarakat yang tidak punya modal dan lahan pertanian yang cukup untuk menyokong keluarganya. Kondisi pendapatan yang sedemikian rendahnya memberikan gambaran yang cukup transparan tentang kemiskinan penduduk Nias. Kemiskinan dalam memenuhi kebutuhankebutuhan dasar mereka, terutama kebutuhan hidup yang sesuai dengan perkembangan zaman. Kemiskinan menurut Robert Chambers (1991:51) berdasarkan pandangan kelompok lingkungan fisik menyebutkan dapat dilihat dari sifat-sifat fisik, seperti penyakit, kekurangan gizi, kondisi lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, dan lain-lain. Sifat-sifat fisik tersebut untuk masyarakat pedesaan Nias merupakan ciri umum yang dapat diamati langsung. Akan tetapi, Robert mengkategorikan kemiskinan pada tingkat keluarga, yaitu: 1. rumah tangga yang miskin, yang sedikit sekali bahkan tidak ada memiliki kekayaan. 2. rumah tangga yang lemah jasmani, di mana lebih banyak tanggungan keluarga daripada pencari nafkahnya. 3. rumah tangga yang tersisih dari arus kehidupan, yaitu yang bertempat tinggal di daerah pinggiran, terpencil dari pusat keramaian dan jalur komunikasi, atau jauh dari pusat perdagangan dan pusat informasi. 4. rumah tangga yang rentan, yaitu yang sedikit sekali memiliki penyangga untuk menghadapi kebutuhan yang sangat mendadak. 5. keluarga tidak berdaya, di mana kedudukan tingkat sosialnya berada pada tingkat paling bawah. Kebanyakan keluarga-keluarga di Nias ternyata hampir memiliki ciri-ciri tersebut yang disebabkan oleh keterpencilan akibat tidak adanya dan sarana/prasarana transportasi yang memadai. Umumnya keluarga di Nias dapat digolongkan sebagai rumah tangga tersisih dari arus kehidupan. Dari segi pembangunan ekonomi, komunikasi, kesehatan, teknologi dan lainnya. Ternyata mereka tersisih dan tidak bisa menikmatinya. Jarangnya mereka bersentuhan dengan kemajuan masyarakat di luar dari mereka menyebabkan masyarakat Nias tersisih dari perkembangan masyarakat yang sedang
37
Gulo, dkk., Kebijakan dalam Upaya Memerangi Kemiskinan di Nias
berlangsung. Kondisi ini juga menyebabkan kurang luasnya cakrawala wawasan dan tingkat pengetahuan yang sangat rendah. Lebih lanjut perlu dilihat bentuk-bentuk kemiskinan pada masyarakat Nias yang dapat digolongkan dalam beberapa kekurangan atau kemiskinan, antara lain Kemiskinan Material yang dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan sehari-hari (sandang - pangan). Selain itu dapat dilihat dari kondisi rumah dan perabot rumah tangga yang sangat memprihatinkan. Selain terbuat dari bahan bangunan yang murah dan tidak tahan lama, juga berukuran kecil dan tidak terpelihara. Namun terdapat perbedaan antara masyarakat yang tinggal di tepi jalan raya yang umumnya memiliki penghasilan tetap sebagai pegangan atau pegawai dan atau petani-petani yang dapat memasarkan hasil lahan pertaniannya dengan baik, dengan masyarakat petani yang tinggal di pedalaman yang tidak terjangkau oleh sarana transportasi. Kehidupan penduduk pedesaan memperlihatkan gambaran kemiskinan daripada di daerah perkotaan karena penghasilan masyarakat kota yang tinggi, dan kebanyakan diantaranya tidak menggantungkan nasib keluarganya dari sektor pertanian tetapi banyak yang bekerja di sektor perdagangan dan jasa. Pendapatan yang sangat sedikit turut mempengaruhi pola konsumsi baik kualitas maupun kuantitas, karena mereka terpaksa mengkonsumsi penghasilan mereka sekecil mungkin untuk tetap bertahan. Alternatif yang mereka lakukan adalah dengan memperkecil pengeluaran, misalnya beras diganti dengan umbi-umbian atau pisang. Hal ini ditunjukkan dari data, bahwa masyarakat pedesaan lebih banyak menghabiskan pendapatan untuk membeli umbi-umbian dibandingkan masyarakat kota. Pemenuhan kebutuhan khususnya bagi mereka yang hidup sebagai petani pekebun, terutama di dataran tinggi Nias, seringkali tidak memenuhi target minimun kebutuhan dasar manusia. Pakaian umumnya juga memberi gambaran kemiskinan masyarakat pedesaan, baik kualitas maupun kuantitas pakaian yang dimilikinya tidak terlepas dari kesanggupan keuangan untuk membelinya. Di pedesaan Nias bukan pemandangan aneh kalau anak-anak kecil berpakaian dekil dan compang-camping, anak-
38
anak petani ini tidak terpenuhi kebutuhan pakaiannya karena keterbatasan kemampuan keuangan orangtua. Bentuk kemiskinan masyarakat Nias selanjutnya adalah Kemiskinan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Disebabkan oleh terkondisikannya masyarakat Nias dalam kehidupan yang terisolir, maka masyarakat Nias tidak tersentuh oleh perkembangan Era Globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta modernisasi, dan persaingan tingkat produktivitas serta konsekuensi dari kesemuanya itu. Tingkat pendidikan yang rendah bahkan belum terbebaskan dari tiga buta (buta aksara, bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar), jauh dari pusat informasi menciptakan masyarakat Nias jauh terbelakang. Buta pengetahuan dasar telah menyebabkan kemiskinan masyarakat Nias dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi dibutuhkan, minimal kemampuan-kemampuan dasar tersebut tersebut di atas. Untuk daerah Nias sudah dapat tergambar bahwa masyarakat Nias sangat miskin ilmu pengetahuan dan rendah kemampuan penguasaan teknologi sederhana. Sudah dapat dipastikan bahwa masyarakat Nias sangat miskin ilmu pengetahuan dan teknologi, hal ini dapat terlihat dari cara pengolahan lahan pertanian yang masih tergolong sangat sederhana dan masih bercirikan tradisional. Bentuk ketiga adalah Kemiskinan Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum. Masih banyak fasilitas umum dan sosial yang belum tersedia untuk mendukung peningkatan taraf hidup masyarakat, khususnya yang tinggal di pedesaan. Fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama jalan raya. Di pedesaan jalan masih didominasi oleh jalan tanah yang berlumpur, sehingga mempersulit pengangkutan barang dari desa ke kota dan sebaliknya. Fasilitas pendidikan, terutama pendidikan kejuruan yang dapat memberi keterampilan bagi pemuda, masih tergolong belum mencukupi kebutuhan, baik pendidikan formal terlebih pendidikan non formal. Di Nias tidak tersedia kursus dan balai latihan kerja yang cukup memadai untuk mempersiapkan mereka memasuki lapangan pekerjaan, baik desekitar pertanian sebagai sektor dominan maupun sektor industri dan jasa. Berbagai fasilitas lain, seperti fasilitas pemasaran, kesehatan, juga dibidang sosial dan
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
budaya, tidak tersedia memadai untuk dimanfaatkan untuk penduduk. Antara lain ini telah menjadi penyebab tidak adanya terobosanterobosan masyarakat dalam memperbaiki taraf hidupnya, telah juga menyebabkan masyarakat statis dalam pola hidup turun menurun tanpa perubahan sama sekali. Pendekatan kelembagaan merupakan unsur yang penting dalam mengkaji problema kemiskinan dalam rangka merumuskan alternatif preskripsi yang dapat diberikan untuk upaya penanggulangannya, karena kemiskinan merupakan hubungan orang dengan orang terhadap sesuatu yang diatur oleh tatanan kelembagaan yang ada. Pengertian kelembagaan dalam hal ini adalah suatu sistem organisasi yang mempunyai kontrol terhadap sumber daya alam maupun manusia. Sementara jika dipandang dari sudut individual, kelembagaan merupakan kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan untuk melaksanakan aktivitasnya. Secara umum, terdapat dua jenis pengertian kelembagaan yaitu kelembagaan sebagai suatu organisasi yang biasanya menunjuk kepada lembaga-lembaga formal, dan
income
health
nutrition
education
fertility
keterangan: a. Health : Public health, sanitation, an housing b. Nutrition : Food production, subsidies/ rations, food fortification c. Education : Public education d. Fertility : Family planning incentive Gema strategi kebutuhan dasar dalam pendekatan kemiskinan dan pembangunan manusia semakin merebak dan banyak dianut
kelembagaan sebagai aturan main atau rule of the game . Menurut Hayami dan Ruttan, kelembagaan dibangun sebagai aturan main untuk mengatur pelaku-pelaku ekonomi dalam suatu msyarakat. Definisi kelembagaan yang dipergunakan disini adalah bahwa kelembagaan merupakan aturan yang dianut oleh masyarakat atau organisasi yang dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi dengan orang lain. Laporan Bank Dunia tahun 1980 tentang kemiskinan dan pembangunan manusia menyimpulkan bahwa kebutuhan dasar manusia untuk mengatasi kesenjangan sosial ekonomi masyarakat miskin segunungan dengan pembangunan manusia tidak lain adalah kesempatan pemenuhan gizi, pelayanan kesehatan, cukup penghasilan, kesempatan memperoleh pendidikan, dan kehidupan keluarga yang sejahtera (policy againts poverty). Kebijakan pengentasan penduduk miskin merupakan sasaran multidimensi yang terpadu dan dirumuskan dalam model hubungan kebutuhan dasar manusia. oleh negara berkembang. Kita harus mengakui bahwa kebutuhan dasar setiap negara berbedabeda. Perbedaan ini dilandasi oleh model dan strategi pembangunan yang dilaksanakan, juga konsep kebutuhan dasar bersifat dinamis, yaitu kebutuhan dasar dari satu periode ke periode lainnya akan berbeda. Semakin maju suatu negara, kebutuhan dasar manusianya akan semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal dari setiap negara, peran pemerintah dalam menyalurkan pelayanan masyarakat (public services) sangat penting. Pelayanan publik yang dilakukan birokrasi pemerintahan di negara-negara berkembang terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengaruh arus informasi dan dinamika serta tuntutan masyarakat. Dalam peradigma pembbangunan untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia dan masyarakat miskin, selain dibutuhkan pelayanan publik yang efisien oleh birokrasi pemerintahan juga dituntut terciptanya kondisi yang memberikan akses yang sama kepada setiap penduduk untuk memperoleh pelayanan publik. Terciptanya akses yang terbuka dan sama dalam pelayanan publik kepada lapisan
39
Gulo, dkk., Kebijakan dalam Upaya Memerangi Kemiskinan di Nias
masyarakat sangat diperlukan bagi pemerataan hasil-hasil pembangunan dan pelayanan publik. Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka memperoleh akses dan memanfaatkan kesempatan serta kemampuan menggunakan pelayanan publik. Terdapat keterhubungan yang erat antara pembangunan, kebutuhan dasar menusia, dan kepentingan lapisan masyarakat di satu sisi dengan pelayanan publik yang optimal dan birokrasi pemerintahan disisi lain. Keterjalinan yang erat itu tentu harus didukung oleh kesempatan untuk memanfaatkan dan menggunakannya. Dalam pelaksanaannya, strategi pembangunan yang berorientasi pada kebutuhan dasar manusia, lebih cenderung memanifestasikan ”charity strategy” daripada menumbuhkembangkan kemampuan masyarakat agar dapat ”self sustaining”. Bentuk strategi seperti ini oleh Feire disebut sebagai ”assistencialism” yang memandang bahwa masyarakat adalah objek assistensi dan bantuan dalam bentuk pelbagai pelayanan dan pemberian fasilitas sosial. Strategi pembangunan dengan penitikberatan pada bantuan kepada masyarakat jusrtu memperbesar ketergantungan masyarakat kepada uluran tangan pemerintah (dependency). Ketergantungan ini pada hakikatnya merendahkan hakikat dan martabat kemanusiaannya. Ini perlu disadari bahwa untuk menumbuhkan otoaktifitas dan swadaya masyarakat dalam proses pembangunan, stimulasi dari pemerintah sangant dibutuhkan, terutama bagi lapusan masyarakat miskin. Posisi yang strategis dari peran dan fungsi pemerintah di negara berkembang pun menjadi sangat dominan selaku motivator, dinamisator, dan komunikator dalam berbagai aspek pembangunan. Yang perlu disadari, meskipun berbagai program pembangunan dilaksanakan secara optimal, bukanlah suatu jaminan bahwa akses masyarakat miskin terhadap program pembangunan akan cepat meningkat dengan sendirinya, terutama berkaitan dengan strategi asistensi pemerintah. Korten (1984:176) mengatakan bahwa banyak program pembangunan yang tidak mampu meningkatkan akses masyarakat terhadap program pengentasan penduduk miskin dan keterbelakangan, bahkan gagal mencapai tujuan program tersebut. Kendala yang sangat besar dalam pelayanan publik adalah adanya perbedaan sosial ekonomi antara
40
masyarakat yang beragam dan kemampuan birokrasi pemerintah. Karena itu, pemerintah dalam melakukan pelayanan publiknya harus memperhatikan kondisi lokal, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan kelompok sasaran masyarakat. Inti dasar pelayanan ini terletak pada proses kebijakan publik dan operasionalnya. Bertitik tolak pada kelemahan yang melekat dalam strategi pembangunan yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan menutupi kelemahan tersebut, pada akhirnya memunculkan strategi pembangunan kualitas manusia (strategy of human approach). Strategi ini sering disebut sebagai ”people centered development” atau pembangunan yang berpusat pada kualitas manusia. Pembangunan yang berpusat pada peningkatan kualitas manusia di Indonesia mendapat tempat khusus sejak dikeluarkannya GBHN tahun 1988-1993 dan GBHN tahun 19931998. Tujuan Pembangunan Nasional Indonesia adalah untuk membangun kualitas manusia Indonesia seutuhnya, karena itu arah pembangunan PJPT II di fokuskan pada peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia agar makin maju, mandiri, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan yang berpusat pada manusia memandang bahwa manusia sebagai individu dan sekaligus warga masyarakat adalah fokus dan sumber utama pembangunan. G. Satari dan Kedi Suradisastra dalam Seminar Nasional Upaya Peningkatan Pendidikan Dalam Pengentasan Kemiskinan di Desa Tertinggal yang diselenggarakan di IKIP Bandung pada 24-26 Oktober 1994, menegaskan bahwa ”dalam PJPT II manusia dan masyarakat Indonesia ditempatkan sebagai titik pusat dari segenap pembangunan, sekaligus sebagai modal dasar atau kekuatan, sebagai faktor dominan dan determinan, serta sebagai sasaran utama pembangunan. Pembangunan manusia merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman sosiobudaya dan perkembangan kondisi ekonomi antar golongan masyarakat dan wilayah yang berbeda tingkat kemampuannya.
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
KESIMPULAN Strategi sebagai platform pembangunan mesti memiliki sebuah visi yang jelas dalam memajukan kehidupan masyarakat. Suatu daerah, bagaimanapun dalam hal ini, selalu masih bergantung pada kebijakan dan kemauan pemerintah, terutama dalam mengalokasikan investasi pembangunan. Tidak adanya perimbangan antara sektor regional dan antar-sektor ekonomi, menyebabkan ketimpangan yang terwujud dalam ketertinggalan pada sektor tertentu. Pemerintah berusaha memacu ketertinggalan ini dengan berbagai upaya, terutama mengangkat sektor unggulan pariwisata. Namun, dalam rencana pembangunan daerah Nias, sektor pertanian tetap menjadi prioritas utama mengingat luas lahan pertanian, hampir 80% penduduk Nias hidup sebagai petani. Kondisi pembangunan di Nias sendiri, sebagai akibat ketidakberimbangan tersebut, sangat tertinggal. Didapati masih banyak sarana/prasarana pendukung perekonomian rakyat yang belum terpenuhi, terutama prasarana transportasi dan jalan yang menyebabkan mendeknya laju produktifitas pertanian. Pembangunan sarana dan prasarana perhubungan harus merupakan salah satu prioritas utama untuk meningkatkan mobilitas penduduk termasuk pemasaran hasil pertanian/perkebunan rakyat. Jalan Kabupaten telah banyak mengalami kerusakan bahkan sangat memprihatinkan termasuk jembatan dan jalan lingkar Nias yang perlu segera penanganan pembangunan dan rehabilitasi sehingga dapat berfungsi sebagai leading sektor dalam mengembangkan sentra-sentra produksi dan membuka keterisoliran. Dalam mendukung pelaksanaan kegiatan ini juga perlu pengadaan alat-alat berat pembangunan seperti mesin gilas, dumtruk dan peralatan lainnya sehingga pembangunan sarana perhubungan dapat memberikan manfaat secara optimal. Pembangunan sektor pertanian sebagai upaya mendongkrak kehidupan para petani, juga mengalami masalah serius. Didapati kelompokkelompok tani dan penyuluhan pertanian yang masih kurang, disamping pandangan masyarakat yang masih terikat pada tradisi yang kaku, menyebabkan hanya sedikit perubahan pada pola pertanian. Hal ini tentu saja terkait dengan tingkat pendidikan rata-rata penduduk yang
relatif rendah, sebagai akibat pembangunan pendidikan yang baru belakangan ini mendapat perhatian. Ketersediaan fasilitas pendidikan di Kabupaten Nias hingga tahun 2000 masih belum memadai baik itu dalam jumlah gedung, jumlah tenaga pendidik, dan jenis pendidikan. Dari segi pemerataan sekolah di tingkat kecamatan, masih ada 13 kecamatan dari 22 kecamatan yang ada di kabupaten Nias yang belum memiliki sekolah SMU Negeri, dan bahkan 1 kecamatan balum memiliki sekolah SLTP. Selain tingkat sekolah tersebut di atas, di kabupaten Nias terdapat 5 perguruan tinggi. Di mata penduduk Nias, sektor pertanian semakin tak menjanjikan, sehingga terjadi perubahan orientasi mata pencarian ke sektor non pertanian. Dalam upaya mewujudkan Nias yang swasembada pangan maka perlu dilaksanakan pembangunan pertanian baik sarana dan prasarana serta pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan produktifitas dengan diiringi pemberdayaan petani dan pengembangan berbagai komoditi unggulan yang siap dipasarkan secara nasional dan internasional sehingga pada akhirnya menumbuhkan perekonomian daerah yang mandiri yang mampu menyelenggarakan otonomi daerah (perlu gerakan yang menyeluruh dalam membangunan pertanian dari rakyat di semua pelosok desa). Di samping itu perlu mendorong pembentukan koperasi untuk menampung hasil perkebunan rakyat agar terdapat persaingan yang sehat dikalangan pedagang. Diatas semua itu kemiskinan menjadi gambaran umum kehidupan masyarakat Nias. Kekurangan kebutuhan hidup (sandang, pangan, pendidikan, kesehatan dan perumahan), ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi kenyataan yang tidak dipungkiri atas kemiskinan masyarakat. Kemiskinan ini sendiri disebabkan oleh banyak hal, diantaranya sebagai akibat kurangnya sarana/prasarana pendukung, terjadinya penyempitan lahan pertanian yang dikelola oleh setiap keluarga, dan faktor budaya yang masih mempengaruhi pola fikir dan perilaku masyarakat. Kemiskinan itu sendiri disebabkan oleh banyak hal, diantaranya sebagai akibat kurangnya sarana/prasarana pendukung, terjadi penyempitan lahan pertanian yang dikelola oleh setiap keluarga, dan faltor budaya yang masih mempengaruhi pola fikir dan perilaku
41
Gulo, dkk., Kebijakan dalam Upaya Memerangi Kemiskinan di Nias
masyarakat. Faktor-faktor penyebab kemiskinan di Nias dapat diidentifikasi seperti: produktivitas tenaga kerja dan taraf pendidikan yang rendah, rendahnya tingkat kesehatan masyarakat, terbatasnya lapangan kerja, rendahnya kualitas SDM dan kondisi keterisolasian. Perubahan dan kebijakan pembangunan yang lebih terarah akan menciptakan adanya perimbangan pembangunan antara sektor fisik dan non fisik yang kesemuanya itu dapat menciptakan platform pembangunan dengan visi dan strategi yang tepat, tentu saja semua itu akan dapat menolong kehidupan masyarakat Nias terlepas dari jerat kemiskinan. SARAN Dalam rangka memerangi kemiskinan dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Nias, maka berbagai aktivitas yang harus dilaksanakan oleh pemerintah setempat adalah: 1. meningkatkan sumber daya manusia melalui berbagai jenjang pendidikan non formal (SD,
42
SMP, SMA dan PT) dan pendidikan non formal, seperti magang, training yang harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat serta potensi yang dimilikinya. 2. mengembangkan swadaya masyarakat, dengan anggapan bahwa masyarakat miskin paham dan mengerti akan kebutuhannya, guna perbaikan dan peningkatan kesejahteraannya melalui berbagai kebijakan yang komprehensif dan menyentuh masyarakat lapisan bawah. 3. perlunya perbaikan dan pemanfaatan sarana ekonomi, pariwisata, transportasi, irigasi, pasar, sarana kesehatan, sarana pendidikan dan lebih mengembangkan dan menggali potensi daerah Nias yang terpendam, agar dapat dinikmati untuk kesejahteraan masyarakat. 4. menjalin hubungan dan keterbukaan yang seluas-luasnya dengan daerah yang dapat menopang roda ekonomi Nias menuju daerah yang terbuka.
Jurnal Studi Pembangunan, Oktober 2005, Volume 1, Nomor 1
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, Robert. 1991. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES Hayami dan Peter. 1986. Agriculture Development and International Perspective. London: John Hopkins Press. Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia. Korten, David C. 1984. Pembangunan yang Berwawasan Kemanusiaan. Jakarta :Yayasan Obor. Miraza, Bachtiar Hasan. 1993. Mengentaskan Desa dan Masyarakat Miskin. Harian Umum Waspada Medan. Sajogyo. 1991. Kemiskinan dan Pembangunan di Nusa Tenggara Timur. Bogor: PSP IPB. Satari, G dan Kedi Suradisastra. 1994. Upaya Pendidikan dalam Pengentasan Kemiskinan di Desa Tertinggal. Makalah IKIP Bandung. Soemardjan, Selo, dkk. 1984. Kemiskinan Struktural. Jakarta: PT. Sanghala Pulsar. Wolf, Eric R. 1989. Petani Sebuah Tinjauan Antropologis. Jakarta: Rajawali Pers.
43