KEBIJAKAN ANTI KEMISKINAN : ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP CONDITIONAL DAN UNCONDITONAL CASH TRANSFER
Editor : Jusmaliani
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 2009
i
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd i
6/22/2010 6:13:25 PM
©2009 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI)
KATALOG DALAM TERBITAN PUSAT DOKUMENTASI DAN INFORMASI ILMIAH LIPI
Kebijakan Anti Kemiskinan : Analisis Komparatif Terhadap Conditional Dan Unconditonal Cash Transfer/editor Jusmaliani - [Jakarta] : Departemen Pendidikan Nasional; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009.
i-xiv + 139 hlm: 15 cm x 21 cm
338 ISBN : 978-602-8659-10-9
Penerbit:
LIPI Press, anggota Ikapi Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Widya Graha Lt. 4 - 5 Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710 Telp: 021- 5207120 Fax: 021- 5262139
ii
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd ii
6/22/2010 6:13:32 PM
KATA PENGANTAR
Untuk pertama kalinya dalam era globalisasi, dunia mengalami resesi global yang dimulai dari pasar derivative di Amerika Serikat. Keynes mengatakan bila negara mengalami resesi, pemerintah perlu melakukan intervensi kebijakan dengan menggunakan instrumen fiskal dan moneter untuk meminimalisasi efek resesi tersebut. Sejalan dengan Keynes, pemerintah di banyak negara berusaha mengatasi masalah resesi dengan memberikan stimulus fiskal. Pertemuan G-20 di London pada 2 April 2009 bersepakat melakukan ekspansi fiskal yang mencapai US$ 5 triliun sampai akhir tahun 2010. Dengan didahului oleh hitung-hitungan matematika, maka Indonesia telah mengucurkan stimulus sebesar US$ 6,7 miliar atau setara dengan 1,4% output Indonesia di tahun 2008. Bagaimanapun, dari kacamata aggregat kondisi Indonesia adalah suatu negara yang stabil dengan demokrasi yang damai dan perekonomian yang tumbuh. Hal yang boleh dikatakan suatu keajaiban, mengingat keterpurukan Indonesia pada krisis 19971998. Pada tahun 2009 Indonesia mengarungi samudera resesi dunia dengan aman. Hal ini terutama karena pertumbuhan ekonomi bersumber pada permintaan domestik dan tidak pada ekspor. Jika pada tahun 2005 produk domestik bruto (PDB) perkapita telah mencapai tingkat yang sama dengan sebelum krisis 1997, maka pada tahun 2009 PDB/kap diatas US$ 2.200, suatu angka yang lebih tinggi dari Filipina atau SriLanka. Acungan jempol yang diberikan Bank Dunia adalah pada pengurangan utang publik dari sekitar 80% PDB pada 1999 menjadi hanya 30% pada akhir 2008. Stabilnya kondisi perekonomian aggregate Indonesia yang membingkai peristiwa-peristiwa politik penting, ternyata hanya dari analisis makro semata, jika kita bedah lebih dalam ternyata kondisi mikro dalam bidang ekonomi ataupun bidang sosial lainnya tidak sebaik gambaran makronya tersebut. Indonesia masih diganggu
i
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:i
6/22/2010 6:13:33 PM
oleh berbagai permasalahan dan pemerintah disibukkan dengan berbagai tindakan, seperti misalnya pemilu, pabrik yang tutup, pengangguran dan kemiskinan serta upaya menghindari krisis melalui stimulus fiskal. Diantara program-program yang dikucurkan dalam rangka stimulus fiskal adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Semua kebijakan ini menjelaskan bahwa memang lebih dari 15% penduduk masih miskin. Kemiskinan ini bahkan terlihat dengan mata telanjang dengan menyimak panjangnya antri BLT atau Sembako, pembagian zakat fitrah yang berdesakan, demikian pula zakat mal, pembagian daging kurban di Mabes Polri, pembagian bingkisan Natal di Sumatera Utara juga jauh dari tertib. Semuanya ini seolah mengiklankan eksistensi dari kemiskinan. Laporan ini merupakan hasil penelitian lapangan tentang program anti-kemiskinan dalam bentuk tunai (cash transfer) yang didanai dari Program Insentif Peneliti dan Perekayasa. Fokus dari tim adalah membandingkan BLT sebagai bantuan tunai tidak bersyarat (unconditional cash transfer) dengan PNPM Mandiri Perdesaan yang diberikan untuk kelompok perempuan sebagai bantuan tunai bersyarat (conditional cash transfer) di tiga lokasi yaitu Jawa Timur, Pekalongan dan DKI Jakarta Dalam kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini, baik di pusat maupun di daerah. Jakarta, Desember 2009 Kepala Pusat Penelitian Ekonomi, LIPI
Drs. Darwin MSC NIP. 195511211983031003
ii
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:ii
6/22/2010 6:13:33 PM
ABSTRAK
Kemiskinan merupakan masalah kritis yang terus dihadapi Indonesia dari waktu ke waktu. Begitu kronisnya permasalahan ini dalam pembangunan ekonomi Indonesia hampir-hampir nada pesimis muncul dalam setiap kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah. Kebijakan anti kemiskinan dapat diberikan berupa bantuan uang maupun dalam bentuk bahan kebutuhan pokok. Kebijakan pemberian pancing maupun stimulus seperti Operasi Pasar Tebuka, Inpres Desa Tertinggal, P2KP dan sebagainya bagi penduduk miskin merupakan kebijakan yang paling populer dan dianggap sesuai dengan karakteristik penduduk miskin Indonesia. Tetapi, ketika pemerintah dihadapkan pada sebuah gejolak ekonomi yang temporer, kebijakan yang diambil justru pemberian uang tunai langsung (Bantuan Langsung Tunai/BLT). Cash transfer, sebenarnya bukan strategi baru bagi Indonesia untuk pengentasan kemiskinan. Namun, dalam tiga kali pelaksanaannya strategi ini terus menuai kritik dan kecaman. Oleh karena itu, untuk mendesain sebuah strategi pengentasan kemiskinan dengan pendekatan transfer pendapatan melalui pemberian uang tunai, perlu menjadi perhatian penting. Penelitian ini mengevaluasi dan membandingkan kebijakan anti kemiskinan dengan pendekatan transfer pendapatan baik yang bersyarat maupun tanpa syarat, melalui telaah efektivitas program tersebut terhadap kondisi masyarakat Indonesia. Disamping itu penelitian ini juga mencoba menyusun model yang mendesain sebuah program anti kemiskinan yang menggunakan transfer pendapatan dan transfer sosial, mulai dari penyusunan hingga bagaimana mengakhirinya dan menggantikannya dengan strategi yang baru, sehingga tumpang tindih kebijakan dapat dihindari.
iii
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:iii
6/22/2010 6:13:33 PM
iv
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:iv
6/22/2010 6:13:33 PM
ABSTRACT
Poverty has long been a major problem in Indonesia. Over the years, the government of Indonesia has engaged in the wide variety of poverty alleviation programs. Such anti-poverty programs include cash transfers and various in kind benefits to the poor. Other programs, such as open market operation for staple food (e.g., rice to the poor), and financial support to backward villages (Inpres Desa Tertinggal), and urban and rural poverty alleviation programs (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Perdesaan) has also been delivered to fight poverty. However, many believe that the result of such programs has been disappointing, in terms of unsuccessful reducing poverty incidence.
v
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:v
6/22/2010 6:13:33 PM
vi
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:vi
6/22/2010 6:13:33 PM
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................. i ABSTRAK ................................................................................ iii ABSTRACT .............................................................................. v DAFTAR ISI.............................................................................. vii DAFTAR TABEL ...................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .................................................................. xiii BAB 1 TRANSFER TUNAI UNTUK MENGURANGI KEMISKINAN: BERSYARAT ATAU TIDAK BERSYARAT. Oleh :Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, 1.1 Latar Belakang .................................................... 1.2 Kemiskinan di Indonesia ..................................... 1.3 Sekilas Program UCT dan CCT .......................... 1.4 Permasalahan dan Tujuan Penelitian ................. 1.5 Alur Pikir Penelitian ............................................. 1.6 Metodologi ........................................................... 1.7 Sistematika Penulisan ......................................... DAFTAR PUSTAKA ..................................................... BAB 2 FAKTOR INSTITUSIONAL, AKUNTABILITAS DAN KETEPATAN PADA SASARAN: KOMPARASI ANTARA BLT DAN PNPM MANDIRI PERDESAAN. .................. Oleh : Jusmaliani 2.1 Pendahuluan ....................................................... 2.2 Mekanisme Penyaluran Program BLT dan PNPM Mandiri ..................................................... 2.3 Akuntabilitas Program ......................................... 2.4 Ketepatan pada Sasaran (Out Reach)................
1 1 3 10 16 17 18 22 23
25 25 26 38 42
vii
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:vii
6/22/2010 6:13:33 PM
2.5 Kesimpulan ......................................................... 45 DAFTAR PUSTAKA ...................................................... 46 BAB 3 AKSELERASI KEGIATAN EKONOMI MASYARAKAT MISKIN PENERIMA BANTUAN TUNAI....................... Oleh : Umi Karomah Yaumidin 3.1 Pendahuluan ...................................................... 3.2 Responden Penerima BLT dan PNPM Mandiri berdasarkan Gender, Pendapatan, Utang dan Tabungan ........................................................... 3.3 Dampak Pemberian BLT dan PNPM .................. 3.4 Analisis Indeks dalam Melihat Dampak dari Modal Fisik (Physical Capital) ............................ 3.5 Kesimpulan ........................................................ DAFTAR PUSTAKA ...................................................... BAB 4 DAMPAK UNCONDITIONAL DAN CONDITIONAL CASH TRANSFER TERHADAP AKSESIBILITAS MASYARAKAT MISKIN DI SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN.... Oleh : Diah Setiari Suhodo 4.1 Pendahuluan ...................................................... 4.2 Aksesibilitas Masyarakat Miskin pada Sektor Pendidikan dan Kesehatan ................................ 4.3 Program Pengentasan Kemiskinan untuk Aksesibilitas Pendidikan dan Kesehatan yang Lebih Baik .......................................................... 4.4 Unconditional dan Conditional Cash Transfer Dampaknya Terhadap Aksesibilitas Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat Miskin .................... 4.5 Dampak BLT dan PNPM Mandiri terhadap Aksesibilitas Pelayanan Pendidikan ..................
47 47
50 55 62 64 67
71 71 75
77
82 90
viii
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:viii
6/22/2010 6:13:33 PM
4.6 Kesimpulan ........................................................ 92 DAFTAR PUSTAKA ...................................................... 94 BAB 5 PROGRAM ANTI-KEMISKINAN DAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT MISKIN ............................................... 95 Oleh : Toerdin S. Usman 5.1 Pendahuluan ...................................................... 95 5.2 Dialektika Solusi Kemiskinan ............................. 96 5.3 Modal Sosial Anti Kemiskinan : Kasus Desa Jeruksari ........................................ 102 5.4 Kesimpulan ........................................................ 112 DAFTAR PUSTAKA...................................................... 113 BAB 6 ANALISIS PROGRAM ANTI-KEMISKINAN: BLT DAN PNPM MANDIRI PERDESAAN .................. Oleh : Agus Eko Nugroho 6.1 Pendahuluan ..................................................... 6.2 Tinjauan Pustaka ............................................... 6.3 Aspek Penting dalam Program Anti-kemiskinan 6.4 Analisis Komparasi terhadap Aspek-Aspek Penting dalam Program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan ............................................ 6.5 Kesimpulan ........................................................ DAFTAR PUSTAKA .....................................................
115 115 116 123
126 135 137
ix
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:ix
6/22/2010 6:13:33 PM
x
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:x
6/22/2010 6:13:33 PM
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kebijakan Anti Kemiskinan Periode 1994 – 2000 ..
7
Tabel 1.2 Responden Penelitian menurut Lokasi ..................
19
Tabel 1.3 Angka Indeks .........................................................
21
Tabel 2.1 Kriteria Keluarga Miskin .........................................
28
Tabel 2.2 Perhitungan untuk Indeks Sistematis Program BLT
39
Tabel 2.3 Perhitungan untuk Indeks Sistematis Program PNPM Mandiri ........................................................
39
Tabel 2.4 Indeks Akuntabilitas Program BLT dan PNPM.......
41
Tabel 2.5 Indeks Ketepatan pada Sasaran Program BLT dan PNPM .............................................................
44
Tabel 3.1 Defisit Pendapatan Penduduk Miskin (%) .............
54
Tabel 3.2 Alokasi Surplus Bersih Dana SPP – UPK PNPM MD Kabupaten Pekalongan Tahun 2007 ......................
60
Tabel 3.3 Indeks Akselerasi Aktivitas Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima BLT .............................................
62
Tabel 3.4 Indeks Akselerasi Aktivitas Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima SPP PNPM MD ..........................
63
xi
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:xi
6/22/2010 6:13:33 PM
Tabel 4.1 Perbandingan Total Indeks Pendidikan dan Kesehatan, BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan ....
90
Tabel 5.1 Perilaku Sosial Masyarakat ................................... 106 Tabel 5.2 Mengatasi Kekerasan di Sekitar Tetangga ............ 106 Tabel 5.3 Pentingnya Agama dalam Kehidupan.................... 108 Tabel 5.4 Keteladanan Tokoh Agama dalam Kehidupan ....... 109 Tabel 5.5 Pengajaran Agama pada Anak .............................. 110 Tabel 5.6 Rasa Takut terhadap Dosa .................................... 110 Tabel 5.7 Indeks Modal Sosial Kemasyarakatan BLT dan PNPM ............................................................. 111 Tabel 5.8 Indeks Modal Sosial Keagamaan BLT dan PNPM. 112 Tabel 6.1 Indeks Dampak Ekonomi Program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan ................................................. 127 Tabel 6.2 Indeks Dampak Sosial Program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan ................................................. 128 Tabel 6.3 Indikator Akuntabilitas Program Anti-Kemiskinan BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan ...................... 131 Tabel 6.4 Indikator Ketepatan Sasaran Program Anti-Kemiskinan BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan ............................................................. 133
xii
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:xii
6/22/2010 6:13:33 PM
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Perkembangan Kemiskinan 1976-2009 ............
5
Gambar 1.2 Proses Pemberdayaan Masyarakat ..................
15
Gambar 1.3 Alur Pikir Penelitian ...........................................
17
Gambar 2.1 Alur Pengembangan Pengembangan Kelompok ..........................................................
36
Gambar 2.2 Indeks Akuntabilitas Program BLT dan PNPM dibandingkan .....................................................
42
Gambar 2.3 Indeks Ketepatan Pada Sasaran Program ........
44
Gambar 3.1 Penerima Bantuan BLT dan PNPM berdasarkan Gender ..............................................................
51
Gambar 3.2 Pendapatan Responden ...................................
51
Gambar 3.3 Utang Responden .............................................
52
Gambar 3.4 Tabungan Responden .......................................
53
Gambar 3.5 Pemanfaatan Dana BLT oleh Rumah Tangga Miskin ...................................................
55
Gambar 3.6 Penggunaan Dana BLT untuk Kegiatan Konsumsi dan Persepsi Penerima BLT terhadap Pemanfaatan untuk Usaha Mandiri ....
57
Gambar 3.7 Angka Indeks Akselerasi Aktivitas Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima BLT dan SPP PNPM MD .................................................
64
xiii
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:xiii
6/22/2010 6:13:33 PM
Gambar 4.1 Pemanfaatan Dana PNPM Generasi ................
81
Gambar 4.2 Harapan yang Diberikan oleh Program untuk Menyekolahkan Anak ke Tingkat yg Lebih Tinggi .
86
Gambar 4.3 Penggunaan Bantuan untuk Membiayai Kebutuhan Sekolah Anak ..................................
87
Gambar 4.4 Jumlah Bantuan yang Digunakan Untuk Membiayai Pendidikan ........................................................
88
Gambar 4.5 Penggunaan Bantuan untuk Biaya Berobat ......
89
Gambar 4.6
Indeks Pendidikan dan Kesehatan BLT dan PNPM ........................................................
91
Gambar 6.1
Sirkuit Reproduksi Finansial Kapital ................. 118
Gambar 6.2
Aspek Penting dalam Pengentasan Kemiskinan ....................................................... 124
Gambar 6.3
Analisis Komparasi Terhadap Empat Aspek Penting antara Program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan ........................................... 127
xiv
KATAPENGANTAR LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd Sec1:xiv
6/22/2010 6:13:33 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
BAB 1 TRANSFER TUNAI UNTUK MENGURANGI KEMISKINAN: BERSYARAT ATAU TIDAK BERSYARAT Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan semakin kecilnya insiden kemiskinan serta menurunnya ketimpangan pendapatan antar kelas dan wilayah dalam masyrakat. Mengacu pada pembangunan sebagai akumulasi modal-sosial, maka pertumbuhan ekonomi harus mampu meningkatkan aksesibilitas penduduk (baik yang miskin maupun yang non-miskin) terhadap fasilitas kesehatan, nutrisi, pendidikan, kelembagaan sosial-ekonomi serta alat-alat produksi (means of production) termasuk akses terhadap kredit dan sumberdaya lainnya. Dalam pembangunan, perlu digaris-bawahi bahwa kemiskinan bukan sebagai ekses tetapi sebagai hasil (outcome). Implikasinya adalah bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan selayaknya dilihat sebagai suatu variabel yang terkait secara endogeneous, bukan eksogeneous (lihat Barro 2001; Foster 2000; Stiglitz, 2002). Konsep ini menghasilkan dua implikasi penting. Pertama, pertumbuhan ekonomi seharusnya bukan tujuan akhir tetapi sebagai pondasi bagi pembangunan sosial-ekonomi. Dalam konsep endogeneous ini, masalah kemiskinan akan otomatis terpecahkan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi (melalui trickle down effects). Kedua, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi memiliki keterkaitan yang besifat sirkular (circular causation). Artinya, pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh terhadap kemiskinan, dan kemiskinan juga memiliki effek terhadap pertumbuhan ekonomi (Myrdal 1968). 1
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 1
6/22/2010 6:13:56 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
Pencapaian target pertumbuhan ekonomi yang hanya didasarkan pada kuantitas pertumbuhan antara 7 – 10 persen menyisakan berbagai persoalan sosial di masyarakat. Menurunnya kualitas hidup masyarakat ditandai dengan rendahnya peringkat indeks pembangunan manusia.1 Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat diharapkan akan menjadi pemicu bagi pembangunan yang juga meningkat menjadi lebih baik. Namun, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi an sich tidaklah mampu membuat sebuah harmonisasi pembangunan ekonomi. Meningkatnya jumlah masyarakat miskin di Jawa misalnya merupakan paradoks dari hipotesa ini. Singkatnya, pembangunan ekonomi disinyalir menghasilkan ‘output kembar’ (twin outcomes): pertumbuhan ekonomi di satu sisi dan kemiskinan pada sisi yang lainnya. Beberapa pendapat mengatakan bahwa masyarakat miskin sebenarnya adalah hasil dari proses pembangunan ekonomi yang dikendalikan oleh hegemoni para elit penguasa dan pengusaha dalam masyarakat. Dominasi yang berlebihan oleh elit pengusaha terhadap buruh menyebabkan eksploitasi dan pemasungan hak-hak buruh. Artinya proses akumulasi kapital (suplus value) dari kegiatan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh klas pengusaha (capitalist) melalui surplus product yang berlebihan (profit, interest, dividen). Sedangkan, tingkat upah ditekan sedemikian rupa (melalui kebijakan upah minimal) sehingga buruh menikmati upah (labour surplus) pada tingkat subsistence. Pengusaha tidak mampu memberikan upah kerja yang lebih tinggi karena mereka diharuskan mengalokasikan sebagian dari surplus product kepada elit penguasa melalui biaya siluman dan korupsi. Kondisi yang demikian ini memberikan implikasi negatif berupa: kemiskinan buruh dan ketimpangan yang cenderung melebar yang pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai kerawanan sosial (gejolak buruh, perdagangan barang ilegal, narkoba, human trafficking dan HIV). Ironisnya, dampak dari 1
Meskipun sejak tahun 2000 IPM Indonesia secara berangsur angsur meningkat, tetapi secara peringkat cenderung menurun dibandingkan Vietnam dan Malaysia (Lihat laporan Bank Dunia, 2002?).
2
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 2
6/22/2010 6:14:12 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
kerawanan sosial ini lebih banyak dirasakan oleh keluarga miskin. Pada tataran makroekonomi, upah buruh yang rendah dapat meningkatkan ketidakstabilan ekonomi akibat ketidakcukupan permintaan agregate (underconsumption), yang kemudian dapat bermuara pada penurunan profitabilitas usaha (falling rate of profit tendency).
1.2 Kemiskinan di Indonesia Ketimpangan dalam pembangunan Indonesia sudah disadari sejak lama. Pemusatan pembangunan di kawasan barat Indonesia (KBI) menimbulkan efek positif dan negatif. Efek positif yang muncul adalah pesatnya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi2 di wilayah ini melalui proses aglomerasi. Kestabilan (harmonisasi) antara wilayahwilayah pusat (inti) pertumbuhan dengan penyangga (core-pheriphery nexus) dapat mendorong efisiensi produksi, distribusi dan pertukaran (production, distribustion dan exchange). Dalam konsep ekonomi, kestabilan ini pada akhirnya akan mempercepat proses reproduksi (akumulasi) kapital di wilayah tersebut. Dalam ukuran agregat, percepatan akumulasi kapital inilah salah satu penyebab pendapatan per kapita yang relatif lebih tinggi di kawasan Barat Indonesia (KBI) dibandingkan di kawasan Timur Indonesia (KTI). Namun demikian, ‘gemerlap’nya pembangunan ekonomi di wilayah KBI bukanlah indikator keberhasilan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia bukan hanya ditunjukkan oleh proses percepatan reproduksi finansial-kapital, tetapi juga sosial-kapital. Artinya, keberhasilan pembangunan ekonomi harus pula ditandai oleh 2
Keberhasilan pertumbuhan ekonomi lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan, sedangkan keberhasilan pembangunan ekonomi lebih bersifat kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam lembaga, pengetahuan dan teknik.
3
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 3
6/22/2010 6:14:12 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
semakin kecilnya insiden kemiskinan dan menurunnya ketimpangan pendapatan antar kelas dan wilayah di masyarakat. Gambar 1-1 memberi ilustrasi kemiskinan selama periode 1976 – 2009. Tampak bahwa insiden kemiskinan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Ketika krisis 1997 berlangsung, angka kemiskinan pada saat itu hampir sama dengan jumlah angka kemiskinan sebelum masa Orde Baru dimulai. Selama periode 2002 – 2009 proporsi penduduk miskin berfluktuasi antara 14 – 18,2 persen dari total populasi. Sementara itu, proporsi penduduk miskin di pedesaan cenderung lebih besar dibanding di perkotaan. Hal Ini menunjukkan bahwa pembangunan selama ini cenderung menyebabkan pemiskinan di pedesaan. Setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebab, pertama kebijakan ekonomi yang bias terhadap perkotaan (urban-bias strategy) terlihat dari pembangunan infrastruktur ekonomi yang memusat di perkotaan. Sedangkan pembangunan infrastruktur pedesaan, seperti irigasi, sarana dan prasarana transportasi pedesaan, terabaikan. Kedua, terjadinya transfer subsidi dari pedesaan ke perkotaan. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, seperti kebijakan stabilitas harga pertanian terutama beras dan penurunan nilai tukar produk pertanian terhadap produk industri. Singkatnya, banyak kebijakan ekonomi yang tidak memihak pada si miskin yang menyebabkan melonjaknya angka kemiskinan di pedesaan. Sektor keuangan juga mendorong pemiskinan pedesaan melaui tranfer surplus value dari sektor pertanian ke dalam investasi di perkotaan. Salah satu indikatornya adalah rendahnya penyaluran kredit perbankan di pedesaan dibanding dengan total deposito dan tabungan yang dimobilisasi dari pedesaan. Volatilitas kemiskinan yang terlihat dari gambar1-1 menandakan bahwa proses pengentasan kemiskinan tidak bersifat linier. Artinya bahwa upaya masyarakat miskin keluar dari kemiskinan memberikan hasil positif, tetapi secara cepat hasil tersebut terkoreksi akibat adanya berbagai gejolak eskternal (shocks), seperti krisis ekonomi, wabah 4
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 4
6/22/2010 6:14:12 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
penyakit, bencana alam dll. Hal ini menunjukkan begitu rentannya kondisi kemiskinan di Indonesia terhadap beragam gejolak ekonomi. Volatilitas kemiskinan menunjukkan bahwa selama kurun 10 tahun terakhir, kebijakan anti kemiskinan apapun yang ditempuh pemerintah terkesan tidak memiliki arti terhadap pengurangan angka kemiskinan.
Gambar 1.1 Perkembangan Kemiskinan 1976-2009 Sumber: Bappenas, 2009
Bank Dunia (2008) mencatat bahwa “…Indonesia has now rejoined the category of ‘emergent middle-income countries’ as a result of careful macroeconomic management following the crisis”. Catatan ini jelas tidak memperhatikan angka kemiskinan di dalamnya dan hanya melihat angka pertumbuhan semata. Meskipun selama periode 2002 tingkat kemiskinan senantiasa menurun, tetapi laju penurunannya melambat dibandingkan periode sebelum krisis. Menurut Bapenas (2009) dibutuhkan waktu kurang lebih 12 tahun untuk kembali pada tingkat kemiskinan yang sama dengan sebelum krisis. Jika pernyataan ini benar, maka Indonesia tidak akan pernah meraih target MDG’s yang menetapkan target tingkat kemiskinan sebesar 7,5 persen sebelum tahun 2015. Yang artinya dengan sisa waktu 5 tahun lagi, seberapa besar upaya Indonesia dapat memenuhi target tersebut? 5
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 5
6/22/2010 6:14:12 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 3 – 4 persen pertahun, hanya dapat berkontribusi pada penurunan angka kemiskinan sebesar 1 persen. Dalam hitungan kasar, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sekitar 7 – 8 persen pertahun untuk mencapai pemenuhan target MDG’s di tahun 2015. Pemerintah bukannya tidak responsif terhadap permasalahan kemiskinan di Indonesia. Selama tiga dekade terakhir, setiap rezim pemerintahan mengklaim telah memiliki program untuk mengentaskan kemiskinan melalui berbagai pendekatan, baik sektoral, regional, kelembagaan maupun kebijakan khusus. Meski pada rezim orde baru program pengentasan kemiskinan ini tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi hal ini sudah dimasukkan dalam kerangka pembangunan nasional melalui pendekatan sektoral program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Pada tahun 1990an program pengentasan kemiskinan mulai secara jelas dinyatakan melalui pendekatan regional, yakni melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dimana setiap desa tertinggal atau desa miskin diberikan sejumlah dana guna membangun infrastruktur desa dan menggiatkan aktivitas ekonomi warganya. Pada era reformasi berbagai program penanggulangan kemiskinan tetap dijalankan rezim penguasa meskipun mengalami perubahan nama dan orientasi. Contoh beberapa program tersebut diantaranya, program JPS (Jaring Pengaman Sosial), OPK (Operasi Pasar Khusus) yang sekarang berubah nama menjadi Raskin (Beras untuk keluarga miskin), SLT (Subsidi Langsung Tunai) yang sekarang berganti nama menjadi BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan masih ada beberapa program lainnya. Bantuan yang berupa kebijakan cash transfer ini tidak popular bagi masyarakat di Indonesia karena dikhawatirkan hanya akan memicu kemalasan dan ketergantungan masyarakat miskin. Namun kebijakan ini tetap mulai diperkenalkan pada medio 2000, dan ketika bulan Maret 2005 harga minyak dunia melambung tinggi dan melampaui 30 persen APBN, September 2005 kenaikannya mencapai 120 persen, dan diikuti 6
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 6
6/22/2010 6:14:13 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
pula pada Maret 2008 yang mencapai 30 persen. Seolah pemerintah mengalami kepanikan, sehingga kebijakan cut-off sesaat harus segera diambil hanya untuk mengamankan data statistik kemiskinan atau lebih bijaknya mencegah semakin banyaknya jumlah keluarga miskin. Tabel 1.1 berikut memberikan gambaran tentang dana yang dikeluarkan untuk kebijakan anti-kemiskinan periode 1994-2000 dalam triliun rupiah Tabel 1.1 Kebijakan Anti Kemiskinan Periode 1994 – 2000 PROGRAM ANTI KEMISKINAN
94/95
95/96
Cash transfer: 1. Keuntungan dalam bentuk Barang 2. Subsidi beras (OPK) 3. Jaring pengaman Kesehatan 4. Pendidikan
96/97
97/98
98/99
2000B 0.11
0.49
0.69
5.73
5.14
2.96
3.70
3.14
1.22
0.16
0.34
0.97
1.16
0.99
0.33
0.36
1.06
0.84
0.75
3.94
1.87
2.58
0.22
0.33
0.29
0.04
0.28
1.16
0.40
0.24
0.61
0.51
0.43
5. Penciptaan lapangan kerja
0.61
1.37
1.2
1.27
6. IDT
0.59
0.61
0.53
0.13
7. KDP 8. UPP 9. PDM-DKE 10. Infrastruktur Kota dan Desa
0.33
0.26
0.61
11. Proyek Padat karya (PK) 12. Skim pinjaman
99/00
1.01 0.02
0.43
0.43
0.53
13. Lainnya
0.22
0.46
0.48
.92
0.49
0.12
0.20
Total
0.61
1.37
1.70
1.96
967
7.01
5.65
Total program anti kemiskinan (Rp triliun)
0.43
1.07
1.54
1.98
14.24
13.95
10.35
0.1
0.23
0.28
0.29
1.39
1.23
1.05
% of GDP
Sumber: Anne and Fane (2002, p.?)
7
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 7
6/22/2010 6:14:13 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
Banyak kalangan menyesalkan sikap pemerintah dan berpendapat seharusnya pemerintah tetap meneruskan kebijakan subsidi dalam program BBM dan bukan menciptakan kebijakan baru seperti cash transfer ini. Hasil studi LPEM FEUI (2005) juga menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kemiskinan ketika program dana kompensasi BBM diintrodusir melalui program beras miskin dan subsidi SPP. Ringkasnya, terdapat arah perbaikan ketika program kompensasi ini berjalan seperti yang ditunjukkan dengan penurunan tingkat kemiskinan tahun 2003 dan 2004 meskipun pada tahun 2002 dan 2003 telah terjadi kenaikan harga BBM. Hal senada juga diungkapkan oleh Hastuti (2006) yang menyebutnya sebagai tindakan tidak kreatif dari pemerintah sedangkan Dartanto (2005) mensinyalir bahwa kebijakan ini hanya akan memberikan tekanan kepada inflasi dan tidak memperhatikan kondisi sosial-budaya masyarakat Indonesia. Ide dasar dibalik terselenggaranya program bantuan tunai ini sangat sederhana, seperti yang disampaikan oleh De Brauw & Hoddinott (2007), “Cash transfers are provided to households that meet certain specific conditions. In other words, for a household to receive a cash transfer they must undertake certain activities (like regular health exams for children or ensuring that school-aged children go to school). The objective is to make short-term income transfers contribute to the longer-term objective – protecting the health and schooling of lowincome children as a strategy for more sustained poverty reduction”. Kutipan ini pada intinya mengatakan bahwa bantuan tunai dianggap lebih efektif daripada bantuan berbentuk material. Terdapat pra-syarat khusus yang digunakan untuk memberikan bantuan dalam bentuk uang tunai. Biasanya bantuan tunai selalu diiringi oleh sebuah kondisi dimana si miskin berkewajiban untuk membelanjakan uang tersebut sesuai dengan kebutuhan utamanya yang dirasakan kurang 8
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 8
6/22/2010 6:14:13 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
seperti untuk pemenuhan kesehatan, pendidikan anak-anak, ataupun dapat diberikan semacam uang pensiun. Tujuannya adalah untuk membuat tambahan pendapatan dalam jangka pendek, yang memiliki kontribusi bagi terciptanya tujuan jangka panjang yaitu perlindungan kesehatan, dan pendidikan bagi mereka yang berpendapatan rendah guna mencapai strategi pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan. Dalam pengertian ini, seharusnya semua bantuan tunai terkondisikan untuk menjaga efektifitas tujuan jangka panjangnya. Akan tetapi bantuan tunai ini juga dapat dilaksanakan dalam kondisi dadakan yang tidak permanen seperti Bantuan Tunai Langsung (BLT) maupun Subsidi Tunai Langsung (SLT). Kondisi inilah yang menyebabkan berbagai argumentasi pesimis mengenai program BLT/ SLT yang bertujuan mengkompensasi kebijakan lain yang tidak prorakyat yaitu kenaikan harga BBM. Berbagai evaluasi dan studi terhadap program-program tersebut menunjukkan faktor-faktor kelemahan dan penyebab ketidakberhasilan program, terutama dalam penetapan sasaran penerima program (lihat SMERU, 2007; P2E-LIPI, 2008). Pelaksanaan program yang datang dan pergi ini menimbulkan kesan ketidak-seriusan pemerintah dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah kebanyakan merupakan kebijakan insidental. Lebih lanjut lagi, sebagian besar masyarakat juga tidak mengetahui bahwa suatu program sudah berakhir dan mengapa program tersebut berakhir padahal masyarakat masih membutuhkannya. Tidak adanya strategi pengakhiran program (exit strategy) menambah deretan bukti ketidakseriusan pemerintah memperbaiki kesejahteraan masyarakatnya. Sudah saatnya pemerintah menyusun kebijakan anti-kemiskinan yang lebih sistematis, akuntabel dan tepat sasaran. Banyak pertanyaan yang harus dijawab dalam hal ini, antara lain: apakah program antikemiskinan merupakan program pemerintah pusat? Siapa atau lembaga apa yang satu-satunya bertanggungjawab terhadap keberhasilan 9
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 9
6/22/2010 6:14:13 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
program anti-kemiskinan? Bagaimana menyusun prasyarat sehingga program anti-kemiskinan tepat sasaran. Dengan demikian penelitian ini menjadi penting untuk dapat menemukan desain strategis bagi penciptaan strategi anti-kemiskinan yang sistematis, akuntabel dan tepat sasaran. Secara umum, penelitian ini akan mengevaluasi program anti kemiskinan yang menggunakan skim transfer tunai. Ada dua jenis skim yang dibandingkan yaitu transfer tunai bersyarat (conditional cash transfer = CCT) yang dalam hal ini adalah PNPM Mandiri kelompok Simpan Pinjam Perempuan Pedesaan dengan transfer tunai tidak bersyarat (unconditional cash transfer = UCT), yang dalam hal ini adalah BLT
1.3 Sekilas Program UCT dan CCT Pengalaman Meksiko dengan CCT Pengalaman Meksiko dengan program PROGRESA (sekarang berubah menjadi Opportunidades) misalnya, CCT biasanya digunakan untuk menanggulangi setidaknya dua ekternalitas yang disebabkan oleh aktivitas ekonomi yaitu 1) externalitas pembelajaran dan 2) externalitas lingkungan. Dengan demikian prinsip CCT ini lebih banyak digunakan untuk program pendidikan dan kesehatan anak-anak. Tujuannya adalah untuk mendororng para orang tua agar mengikutsertakan anak-anaknya untuk bersekolah daripada bekerja. Program ini begitu popular dikalangan politikus dan agen pembangunan internasional, hal ini dikarenakan program tersebut memiliki orientasi efisiensi, dan juga melayani sumber kebutuhan kaum miskin. Bapenas sebagai lembaga perencana di tingkat nasional berencana akan mengadopsi model seperti ini untuk mengantikan program Bantuan Tunai Langsung. Dengan rangkaian program yang sifatnya bantuan sosial, pemerintah tetap mempertahankan kebijakan cash transfer yang sedikit mulai diberlakukan dengan persyaratan seperti keluarga harapan, beras untuk orang miskin dan seterusnya. 10
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 10
6/22/2010 6:14:13 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
Namun, beberapa program seperti ini, yang pernah diterapkan khususnya di Negara-negara Amerika Latin, juga seringkali tidak berhasil karena justeru menelan dana dalam jumlah besar, dan tujuan utamanya tidak tercapai. Pada intinya kegagalan ini dikarenakan pendekatan CCT seharusnya diciptakan untuk efek harga bukan efek pendapatan yang dialihkan melalui transfer. Jika under investment ini dikarenakan kegagalan pasar, efek pendapatan yang terjadi adalah tidak ada jatah untuk kesehatan dan pendidikan, karena semua diutamakan untuk makanan dan kebutuhan primer lainnya. Dalam semua kasus, menarik benang merah antara perilaku sosial dengan swasta (kapitalis) lebih mudah diciptakan melalui mekanisme efek harga perilaku daripada melalui efek pendapatan (SIEF; 2008). Penjelasan mengenai kelemahan program CCT di Meksiko, menyiratkan bahwa bagaimanapun UCT juga diperlukan ketika sisi efisiensi dari program CCT tidak tercapai. Inti dari penjelasan diatas adalah bagaimana sebuah kebijakan dianggap berhasil dalam menangani sebuah masalah. Bagaimana dengan Indonesia? Ribuan karya tulis dan penelitian mendalam tentang kemiskinan telah melahirkan ribuan resep penyelesaian yang menjadi bahan rekomendasi pemerintah. Secara umum semua penelitian menghasilkan kesimpulan yang sama, bahwa Indonesia membutuhkan “sound macroeconomic stability’ seperti penghapusan larangan impor beras, investasi dibidang kontruksi untuk wilayah perdesaan dan pedalaman; akses pada air bersih dan kecukupan layanan sanitasi; mengurangi subsidi untuk kelompok targeted yang di proteksi; mengambil langkah-langkah preventif untuk mencegah meningkatnya angka kematian ibu dan balita; serta promosi bagi anakanak usia sekolah tingkat dasar (wajardiknas 9 tahun) (Maxwell, 2008). Dari kesekian program manakah yang lebih efektif dan efisien, serta tepat sasaran dalam upaya menangulangi kemiskinan di Indonesia? Jawabannya mungkin lebih bijak dilihat dari sisi politik ekonomi.
11
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 11
6/22/2010 6:14:13 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
UCT dan CCT di Indonesia a. Unconditional Cash Transfer (Bantuan Langsung Tunai) Indonesia telah menggelontorkan dana subsidi BBM sebesar 4 persen dari total GDP selama tahun 2001 - 2005 (World Bank, 2006). Dana subsidi tersebut digunakan untuk mengatasi dampak sesaat dari kenaikan harga minyak pada periode yang sama. Kenaikan harga minyak yang cukup drastis terjadi pada 1 maret 2005 dengan rata-rata kenaikan 30 persen. Dilanjutkan pada 1 oktober 2005 yang mengalami kenaikan lebih dari 120 persen, dan 24 Mei 2008 mengalami kenaikan 29 persen. Berdasarkan hasil riset SMERU (2008) kenaikan harga minyak bersifat progresif karena mencakup kebutuhan hidup masyarakat miskin secara langsung terutama kebutuhan minyak tanah dan produk turunan lainnya. Sehingga pemberian subsidi langsung tunai (2005) dan bantuan langsung tunai (2008) dirasa sangat memungkinkan. Sehingga program ini dilaksanakan dua kali, yang pertama pada bulan oktober 2005 – September 2006; dan di tahun 2008 hanya selama 10 bulan mulai dari Mei 2008 hingga Februari 2009. Dari sisi jumlah penerima bantuan, program in iadalah program cash transfer yang paling besar di dunia (SMERU, 2008). Hasil estimasi SMERU menunjukkan bahwa program ini seharusnya mencakup 19.2 juta rumah tangga miskin atau lebih dari 75 juta penduduk miskin. Pada pelaksaanaannya digunakan data dari BPS, data tersebut merupakan hasil proxy dari 14 kriteria penduduk miskin. Berdasarkan hasil pencacahan tersebut melalui modul susenas 2005 diperoleh 15,5 juta rumah tangga miskin yang memperoleh bantuan sebesar Rp. 100.000 per bulan (angka didasarkan pada pendapatan perkapita rata-rata penduduk Indonesia) yang dibayarkan setiap 3 bulan sekali dalam 1 tahun. Secara teoritis, program cash transfer tidak bersyarat ini hanya dapat diberikan kepada seseorang yang memenuhi kreteria tertentu misalnya seseorang akan mendapatkan insentif pengangguran jika dia menunjukkan bahwa dirinya memang mengangur, dan seterusnya. 12
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 12
6/22/2010 6:14:13 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
Menurut Hooper (2005), kebijakan ini akan bekerja lebih baik didalam sebuah kondisi dimana sang penerima bebas menentukan apa yang lebih dibutuhkan olehnya dan mekanisme pasar berjalan sempurna. Ide dasar diberikannya BLT pada penduduk miskin dengan melonjaknya harga BBM adalah untuk mengantisipasi semakin besarnya jumlah rumah tangga miskin yang tadinya termasuk kedalam kelompok hampir mendekati miskin (yang rentan terhadap gejolak ekonomi dan force majeur lainnya) menjadi kelompok penduduk miskin bahkan sangat miskin. Argumentasi logisnya adalah, ketika harga BBM atau kebutuhan pokok lainnya melonjak tajam, akan berkorelasi pada laju inflasi yang cukup tinggi. Sementara laju inflasi berpotensi bagi peningkatan defisit pendapatan penduduk miskin. b. Conditional Cash Transfer (PNPM) Pada kesempatan yang sama, pemerintah juga memiliki program anti kemiskinan yang berbasis pada cash transfer bersyarat. Salah satunya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MD) kelompok perempuan. Program ini merupakan program pemberdayaan masyarakat yang digunakan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan. Program ini dilakukan untuk lebih mendorong upaya peningkatan kualitas hidup, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat di perdesaan. PNPM Mandiri Perdesaan ini menjadi bagian tak terpisahkan dari PNPM Mandiri dan telah dilakukan sejak 1998 melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan berada di bawah binaan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Departemen Dalam Negeri. Program ini didukung dengan pembiayaan yang berasal dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana hibah dari sejumlah lembaga pemberi bantuan, dan pinjaman dari Bank Dunia. 13
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 13
6/22/2010 6:14:13 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
Secara lebih khusus PNPM Mandiri Perdesaan memberikan dana bergulir sebagai bentuk bantuan kepada masyarakat miskin untuk akses terhadap permodalan. Kegiatan Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang berasal dari PPK adalah bentuk dari penyaluran dana bergulir yang diatur dalam penjelasan PTO IX mengenai penataan administrasi kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan. Secara umum dalam setiap proses perumusan pemberdayaan di PNPM MD telah melibatkan proses partisipasi atau demokrasi yang cukup tinggi dengan pentahapan yang sangat rigid melalui serangkaian musyawarah yang intensif (lihat gambar 1-2). Akan tetapi seberapa efektifkah musyawarah tersebut dalam merumuskan dan memutuskan kegiatan yang dipilih? Sejauh manakah kemampuan leadership seorang fasilitator yang ditunjuk mendapatkan apresiasi dari anggotanya? Pertanyaan pertanyan yang bersifat manajerial ini jarang sekali terungkap dalam laporan pertanggung jawaban musyawarah baik ditingkat desa, kota maupun nasional. Konsekuensi logis dari kelemahan manajerial tentunya berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat miskin terhadap fasilitatornya yang berujung pada tingkat partisipasi anggota dalam kegiatan tersebut. Secara khusus, diperoleh informasi bahwasanya tingkat kemacetan pengembalian dana SPP PNPM MD juga dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan masyarakat terhadap fasilitatornya. Terdapat keluhan di masyarakat bahwasanya terlalu banyak tangan yang mengatur ketika masyarakat miskin mulai mengalami kesulitan dalam menganggsur.
14
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 14
6/22/2010 6:14:13 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
Gambar 1.2 Proses Pemberdayaan Masyarkat Sumber : Pedoman Umum PNPM Mandiri, 2009
15
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 15
6/22/2010 6:14:13 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
1.4 Permasalahan dan Tujuan Pada dasarnya program anti-kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi bantuan tunai dan bantuan non-tunai. Bantuan tunai bagaimanapun haruslah bersifat temporer, karena menjadi tugas pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dengan membuat orang miskin mandiri. Permasalahan yang dihadapi adalah strategi maupun kebijakan yang digunakan pemerintah tampak tidak berkesinambungan, sehingga program demi program harus dievaluasi keberhasilannya. Evaluasi ini dimulai dari kajian terhadap bantuan tunai. Dari uraian di atas, maka permasalahan ini dapat dirumuskan menjadi pertanyaan penelitian berikut: 1.
Bagaimanakah dampak program anti kemiskinan dengan pendekatan bantuan uang tunai yang conditional dan unconditional terhadap sosial-ekonomi masyarakat miskin?
2.
Sejauhmanakah kondisi pra-syarat bagi program anti-kemiskinan melalui “cash transfer”?
Dari rincian permasalahan yang diformulasikan sebagai pertanyaan penelitian ini, maka tujuan yang ingin dicapai adalah: 1.
Menganalisa dampak program anti kemiskinan dengan pendekatan cash transfer yang conditional dan unconditional.
2.
Merumuskan berbagai pra-syarat bagi terselenggaranya program cash transfer.
16
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 16
6/22/2010 6:14:13 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
1.5 Alur Pikir Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka alur pikir yang digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. Setiap program anti-kemiskinan dapat diukur akuntabilitas, sistematis, ketepatannya pada sasaran dan dampak sosial ekonominya. Dampak sosial ekonomi ini dapat dilihat dari dampak fisikal, sosial dan tim menambahkan pula disini aspek religiositas dari penerima bantuan. Dengan alur pikir seperti inilah penelitian ini melakukan kajian terhadap Bantuan Langsung Tunai dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan khusus Kelompok Simpan Pinjam Perempuan.
Gambar 1.3 Alur Pikir Penelitian
17
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 17
6/22/2010 6:14:13 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
1.6 Metodologi Pendekatan Penelitian Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ekonomi kelembagaan (institutional economics) yang mengaitkan variabel ekonomi dengan variabel-variabel sosial, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Metode kuantitatif akan digunakan untuk mengukur tingkat efektivitas dan efisiensi penyaluran dana kemiskinan melalui skema bantuan tunai (cash transfer). Selain itu metode ini juga akan menganalisis dampak sosio-ekonomi dari skim tersebut. Selanjutnya, untuk mengetahui berbagai permasalahan baik yang menyangkut konflik vertikal maupun horisontal yang terjadi selama pelaksanaan program cash transfer diluncurkan akan digunakan metode kualitatif.
Ruang Lingkup dan Pembatasan Lingkup penelitian ini dibatasi pada program BLT dan program PNPM Mandiri. Untuk PNPM Mandiri diadakan pembatasan lebih lanjut yaitu pada program perdesaan untuk kelompok perempuan, karena program inilah satu-satunya yang memberikan transfer tunai. Batasan lainnya adalah pada lokasi yang dipilih. Lokasi untuk BLT adalah di Surabaya dan DKI Jakarta, sedangkan untuk PNPM di Pekalongan dan Surabaya. Jumlah responden juga dibatasi sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1.2 berikut:
18
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 18
6/22/2010 6:14:13 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
Tabel 1.2 Responden Penelitian menurut Lokasi
Unit Analisis Unit analisis dalam kajian ini dikelompokkan ke dalam dua bagian: 1. Keluarga miskin penerima bantuan dalam bentuk transfer tunai yang conditional dan unconditional. 2. Beberapa institusi dan elemen masyarakat yang terkait dengan program anti kemiskinan seperti Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, PNPM, Tokoh Masyarakat dan LSM.
Metode Pengumpulan Data Penelitian ini akan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan observasi, penyebaran kuesioner kepada masyarakat miskin dan wawancara mendalam dengan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, PNPM, Tokoh Masyarakat dan LSM. Selain itu akan dilakukan Focus Group Discussion dengan berbagai narasumber terkait seperti kelompok masyarakat penerima bantuan, pemerintah daerah, LSM, tokoh masyarakat, akademisi dan praktisi yang peduli dengan permasalahan kemiskinan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai lembaga yang terkait dengan program anti kemiskinan. 19
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 19
6/22/2010 6:14:14 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
Pengumpulan data primer dilaksanakan di tiga (3) lokasi penelitian: Gorontalo, Jawa Tengah dan DKI Jakarta. Untuk wilayah kemiskinan kota akan diambil penduduk miskin di dua (2) kecamatan di DKI Jakarta, sedangkan untuk wilayah perdesaan akan diambil dua (2) desa di Propinsi Gorontalo dan Jawa Tengah. Pengambilan sampling di wilayah perkotaan dan pedesaan dilakukan untuk membandingkan pengaruh kebijakan anti kemiskinan terhadap kondisi sosioekonomi masyarakat miskin. Sedangkan teknik pengambilan sampel digunakan metode purposive random sampling. Metode ini dilakukan dengan memilih sample keluarga miskin di masing-masing lokasi penelitian, dimana setiap individu rumah tangga memiliki probabilitas yang sama untuk dapat terpilih sebagai sampel penelitian. Identifikasi populasi rumah tangga miskin akan diperoleh dari data dan informasi dari kantor kelurahan setempat. Metode Analisis Data Penelitian ini akan menggunakan analisa data sebagai berikut: 1.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak program anti kemiskinan yang conditional dan unconditional terhadap kesejahteraan masyarakat miskin dan merumuskan berbagai pra-syarat bagi terselenggaranya program cash transfer. Untuk mencapai tujuan tersebut maka akan digunakan metode analisis berupa angka indeks, tabulasi silang dan analisa rasio. Dalam hal ini indikator kesejahteraan yang digunakan adalah kemampuan keluarga miskin untuk mengakses: (1) sumberdaya ekonomi (physical capital), antara lain alat-alat produksi (means of production). (2) sumberdaya manusia ’unggul’ (human capital), mencakup pelayanan kesehatan, pendidikan, dan makanan yang sehat. (3) modal sosial (social capital), seperti keterlibatan dalam berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, jejaring sosial dan keluarga (familial-social networks), mencakup kerukunan bertetangga (neighborhood) dan keagamaan.
20
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 20
6/22/2010 6:14:14 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
2.
Untuk menganalisis tujuan perumusan pra-syarat program cash transfer, maka dilakukan penghitungan angka indeks. Adapun variabel-variabel yang digunakan untuk membentuk indeks tersebut adalah (1) Akuntabilitas, (2) Tepat sasaran (Outreach) dan Dampak sosio-ekonomi terhadap keluarga miskin penerima.
Adapun angka indeks akan diperoleh dengan formula sebagai berikut: Index =
P X (m,n)
Dimana P adalah bobot tertimbang dan X adalah variabel ke m dan n, dan m = 3 dan n = 4, secara lebih rinci tabel untuk menyusun matriks untuk mendapatkan angka indeks dapat dijabarkan sebagai berikut: Tabel 1.3 Angka Indeks
Catatan: Butir-butir yang ditanyakan untuk masing-masing variabel dapat dilihat di lampiran
21
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 21
6/22/2010 6:14:14 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
1.7 Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini diawali dengan bab pendahuluan yang dalam studi ini diberi judul Mengurangi Kemiskinan: Transfer Tunai Bersyarat atau Tidak Bersyarat. Hakekat dari penelitian ini adalah membandingkan efektivitas program anti-kemiskinan yang berupa bantuan tunai yang tidak bersyarat (dalam kasus ini adalah BLT) dengan program bantuan tunai bersyarat dengan mengambil kasus PNPM mandiri Perdesaan untuk kelompok perempuan. Pada bab 2 fokus kajian adalah pada akuntabilitas dan ketepatan pada sasaran dari kedua program. Selain analisis terhadap data primer yang diperoleh dari lapangan, bab ini mengkaji pula aspek institusional dari kedua program tersebut. Topik yang diangkat adalah Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan. Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai dianalisis dari dampak physical capital yang mereka terima. Selain itu karakteristik responden digambarkan dengan rinci dalam bab ini. Analisis terhadap dampak modal fisik dalam akselerasi ekonomi masyarakat dikaji pula berdasarkan analisis indeks. Kemiskinan selalu diiringi dengan ketiadaan akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Sektor kesehatan menjadi penting karena kemiskinan akan mengakibatkan kekurangan asupan gizi, sehingga perbaikan nutrisi diperlukan. Bagi anak-anak hal ini diperlukan untuk meningkatkan kecerdasan mereka dan dengan bekal cerdas diharapkan akses ke pendidikan lebih terbuka bagi mereka ini. Masalah ini dikaji dalam bab empat yang khusus melihat dampak UCT dan CCT terhadap aksesibilitas masyarakat miskin di sektor pendidikan dan kesehatan. Program anti kemiskinan ini pada bab lima dikaitkan dengan modal sosial masyarakat miskin. Aspek yang jarang disentuh yaitu masalah religi dikemukakan pula disini. Akhirnya bab enam menuntaskan analisis terhadap UCT dan CCT ini dengan membandingkan berbagai indikator dari kedua program tersebut. 22
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 22
6/22/2010 6:14:14 PM
Transfer Tunai untuk Mengurangi Kemiskinan: Bersyarat atau Tidak Bersyarat
DAFTAR PUSTAKA
Ames, Brian; Gita Bhatt and Mark Plant, 2002. “Taking Stock of Poverty Reduction Efforts”, Finance and Development, June 2002 De Brauw, Alan and John Hoddinott 2007. Must Conditional Cash Transfer Programs be Conditioned to be Effective? The Impact of Conditioning Transfers on School Enrollment in Mexico, Washington, World Bank Hastuti, et.al 2006. Kajian Cepat Pelaksanaan Subsidi Langsung Tunai Tahun 2005 di Indonesia: Studi Kasus di Lima Kabupaten/Kota, Jakarta, SMERU The World Bank, “Attacking Poverty”, World Development Report, 200/2001
23
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 23
6/22/2010 6:14:14 PM
Jusmaliani, Agus E. Nugroho, Umi K. Yaumiddin, Toerdin S. Usman, Diah S. Suhodo
24
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 24
6/22/2010 6:14:14 PM
Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
BAB 2 FAKTOR INSTITUSIONAL, AKUNTABILITAS DAN KETEPATAN PADA SASARAN: KOMPARASI ANTARA BLT DAN PNPM MANDIRI PERDESAAN Jusmaliani
2.1 Pendahuluan Kemiskinan adalah masalah umat manusia dan kehadirannya sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Walaupun demikian studi ilmiah tentang kemiskinan dimulai oleh Joseph Rowntree yang kemudian menginspirasi anaknya Seebohm Rowntree untuk malanjutkan studi serupa. Berbekal keyakinan bahwa merupakan tugas mereka memperhatikan kaum miskin dan yang tidak beruntung, pada tahun 1901, Seebohm mempublikasikan hasil penelitiannya yang berjudul Poverty. A Study of Town Life. Dalam studi ini ia membedakan antara kemiskinan primer (primary poverty) dimana keluarga miskin tidak memilki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum; dengan kemiskinan sekunder (secondary poverty) dimana keluarga miskin memiliki pendapatan yang cukup dimana sebagian pendapatan tersebut dibelanjakan untuk hal-hal lain yang berguna seperti susu, buku; maupun yang tidak berguna seperti rokok, minuman keras. Terminologi primary and secondary poverty ini kemudian berkembang, dan saat ini terminologi serupa seperti poor, near-poor, keluarga pra-sejahtera, sejahtera dan lain sebagainya banyak digunakan, selain terminologi yang sudah lama dikenal dalam agama Islam seperti pembedaan antara fakir dan miskin. Kemiskinan di Indonesia juga sudah ada sejak lama, dan untuk ini pemerintahpun telah meluncurkan 25
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 25
6/22/2010 6:14:14 PM
Jusmaliani
berbagai program anti kemiskinan, beberapa diantaranya mencoba memprioritaskan kepada primary poverty. Setelah berjalan beberapa lama, walaupun proporsi perkembangan bantuan pemerintah untuk kaum miskin jauh lebih besar daripada pertumbuhan masyarakat miskin itu sendiri, hal ini tetap tidak mampu menghilangkan kemiskinan. Periode tahun 2004 – 2008 pertumbuhan masyarakat miskin 15% atau dari 36,1 juta pada tahun 2004 menjadi 41,5 juta tahun 2008. Dalam pada itu bantuan juga naik sebanyak 134%, dari Rp 28 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 65,5 triliun pada tahun 2008. Dari berbagai program anti-kemiskinan ini maka program anti kemiskinan yang efektif dan efisien adalah yang perlu dilanjutkan jika masyarakat miskin masih banyak. Efektif dan efisiennya program dapat dilihat dari akuntabilitasnya dan ketepatannya pada sasaran. Tulisan ini akan mengevaluasi akuntabilitas dan tepat sasarannya dua jenis program cash transfer di Indonesia. Tulisan ini dimulai dengan melihat mekanisme penyaluran dua jenis program dengan penekanan pada aspek institusionalnya; kemudian pada bagian berikutnya baru dikaji akuntabilitas dan ketepatan pada sasaran dari dua program ini.
2.2 Mekanisme Penyaluran Program BLT dan PNPM Mandiri Program BLT Program ini dipicu oleh harga BBM di pasar internasional yang meningkat terus, sehingga pemerintah memutuskan untuk menghapus subsidi harga BBM. Untuk itu dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 2005 tentang Bantuan Langsung Tunai (BLT). Jadi jika dulu yang disubsidi adalah BBM sehingga harga jualnya terjangkau maka 26
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 26
6/22/2010 6:14:14 PM
Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
kini subsidi tersebut langsung dialihkan pada rumah tangga miskin. Program ini melibatkan Kantor Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Departemen Keuangan, Departemen Sosial, Bappenas, Departemen Dalam Negeri, Departemen Komunikasi dan Informatika, PT Posindo dan BRI1. Koordinasi antar departemen yang dilakukan ini lebih banyak mengenai besaran BLT yang akan dibagikan. Seperti diketahui besaran tersebut adalah Rp 100.000 per bulan. Dalam implementasi program, ada tiga organisasi yang secara resmi terlibat, yaitu: 1.
Pemerintah Pusat sebagai penyandang dana dari program ini
2.
Badan Pusat Statistik (BPS) yang bertanggung jawab mencatat jumlah keluarga miskin yang dijadikan target. Oleh karena tgl 1 Oktober ditetapkan sebagai tanggal dimana pertama kali BLT akan dibagikan maka pendataan Rumah Tangga Miskin juga dipercepat dengan mempercepat penyelesaianPendataan Sosial Ekonomi 2005 (PSE05) yang semula selesai 1 Januari 2006 menjadi 15 September 2005. Selain itu Badan ini juga bertanggung jawab dalam mendistribusikan Kartu Kompensasi BBM (KKB) dengan terlebih dulu diverifikasi kelayakan dan kecocokan identitas.
3.
Kantor Pos sebagai organisasi yang bertugas mencetak KKB, sedangkan kantor pos lokal ( di daerah) berfungsi sebagai titik distribusi, tempat dimana keluarga miskin datang dan menerima BLT. Dalam hal pendistribusian semua dilakukan melalui kantorpos dan samasekali tidak ada pemotongan. Ini dimungkinkan karena biaya petugas untuk menyalurkan BLT sudah disediakan secara khusus.
1 BPS, 2006; Pendataan Sosial Ekonomi 2005
27
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 27
6/22/2010 6:14:14 PM
Jusmaliani
Tabel 2.1 Kriteria Keluarga Miskin
Tidak ada persyaratan apapun bagi penerima BLT (kecuali terpenuhinya kriteria miskin) dan tidak ada pembatasan cara penggunaan dana. Oleh karena pada tahun 2009, data yang digunakan adalah data 2005 ini, maka disini perlu diuraikan lagi kriteria yang digunakan BPS (table 2-1). Target dari program ini adalah keluarga miskin, sedangkan pemerintah pusat dan daerah sebagaimana kebiasaannya di negara berkembang, tidak memiliki daftar lengkap dari individu dan/atau keluarga yang masuk dalam kategori miskin. Untuk memperoleh data ini, pemerintah pusat dengan bantuan BPS melaksanakan sensus yang 28
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 28
6/22/2010 6:14:14 PM
Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
disebut Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05). Tujuan sensus ini adalah memetakan keluarga miskin baik di desa maupun di kota. Menurut petunjuknya terdapat 14 kriteria keluarga miskin yang masuk dalam kategori miskin versi pemerintah. Dalam pendataannya BPS menggunakan dua langkah: langkah pertama adalah mendaftar rumah tangga yang diduga miskin berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat dan verifikasi petugas. Langkah kedua adalah mencacah lebih lanjut RTM untuk memperoleh informasi tentang karakteristik kemiskinan. Setelah melalui proses pencatatan, setiap rumah tangga yang tergolong kedalam kategori miskin dari pemerintah memperoleh katu KKB, dimana kartu ini berlaku sebagai identifikasi untuk memperoleh bantuan tunai di kantor pos lokal. Sebelum program BLT dijalankan, sebenarnya proyek percobaan untuk BLT telah diuji cobakan pada program Jaring Pengaman Sosial (JPS) tahun 2000 dimana hanya sejumlah kecil transfer tunai dilaksanakan pada keluarga miskin dalam waktu 3 bulan. Program BLT pertama kali diperkenalkan pada bulan Oktober 2005 melalui Inpres No.12/2005, bulan dimana harga BBM naik 87,5%.Pada tahun 2005 dilakukan 2 kali pembayaran dimana masing-masing keluarga miskin menerima Rp 300.000 untuk 3 bulan atau Rp 100.000 sebulan. Program ini berlangsung selama 6 bulan, sejak Oktober 2005 sampai Maret 2006 dan kemudian dihentikan. Untuk kedua kalinya pada Mei 2008, dimana harga BBM naik lagi 33,3%, BLT kembali digelontorkan selama 10 bulan mulai Mei 2008 tersebut hingga Februari 2009. Dari studi yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap pendistribusian BLT tahun 2005-2006, ternyata program ini memiliki pula titik-titik rawan untuk perilaku korupsi yaitu penggelapan dana, pemotongan dana dan meminta dana yang bukan haknya. Penggelapan dana BLT dilakukan oleh kepala desa, camat, aparat desa, pemotongan dana BLT dilakukan oleh pengurus RT, RW, ketua RT, RW, 29
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 29
6/22/2010 6:14:14 PM
Jusmaliani
Pos dan Giro; meminta dana BLT dilakukan oleh Polsek, BPD (Badan Perwakilan Desa), Dinas Sosial. Penyimpangan lainnya adalah dalam bentuk pungutan kupon BLT, kartu tidak diserahkan pada rumah tangga miskin, pengurangan jumlah rumah tangga miskin, pengendapan dana, salah sasaran, penyelewengan dana, pemalsuan kartu dengan surat keterangan asli, kartu tidak diserahkan ke RTS (rumah tangga sasaran) dan akurasi data. Dalam implementasi program BLT tahun 2005 tersebut, ternyata lebih banyak lagi pihak yang terlibat seperti pemerintah daerah, kepala desa, elit lokal, polisi lokal dan lainnya. Pihak-pihak yang belakangan ini terlibat tanpa koordinasi awal dengan tiga organisasi resmi di atas. Survei terhadap penerima BLT tahun 2005 memperlihatkan masih adanya pemotongan dana. Penyimpangan-penyimpangan mana umumnya menyangkut birokrasi (red-tapes problem), dan ini memang dimungkinkan karena beberapa hal antara lain: 1.
2. 3. 4. 5. 6.
Dana didistribusikan sama rata pada penduduk miskin, namun tidak tercatat oleh surveyor BPS. Jumlah pembagi menjadi lebih banyak, akibatnya jumlah yang diterima menjadi lebih kecil. Digunakan sebagai biaya transport pengelola BLT Sebagai biaya administrasi Untuk merawat fasilitas publik Honorarium pengelola BLT Biaya keamanan
Survei ini lebih lanjut mnegungkapkan bahwa aktor yang memotong dana adalah kepala dusun, ketua RW, ketua RT, lurah, camat, staf BPS dan orang lain yang tidak terlibat dalam distribusi BLT baik di desa maupun di kota. Kritik lainnya dari ICW terhadap pelaksanaan program ini di tahun 2008 adalah bahwa BLT merusak modal sosial masyarakat miskin melalui empat hal: 30
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 30
6/22/2010 6:14:14 PM
Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
•
Kemandirian
•
Kepercayaan
•
Solidaritas
•
Empati
: Tingkat ketergantungan penerima BLT terhadap semakin tinggi. Masyarakat penerima BLT selalu berharap mendapatkan BLT. : Kepercayaan diantara masyarakat semakin menurun seiring munculnya saling curiga diantara mereka yang mendapatkan dan yang tidak mendapatkan BLT. : Solidaritas masyarakat menurun karena kompetisi mendapatkan BLT menonjolkan kemampuan individu. Kerjasama dalam membangun ekonomi bersama semakin berkurang : empati diantara masyarakat setelah mendapatkan BLT semakin menurun.
Pada 2009 pemerintah mengalokasikan dana total sekitar Rp 3,766 trilyun untuk pembagian BLT selama dua bulan bagi 18.832.053 rumah tangga sasaran (RTS). Pemerintah mambayar biaya jasa pembayaran sejumlah Rp 5.000 per RTS kepada PT Pos Indonesia. Beberapa diantara kasus yang terjadi pada tahun 2005 sudah tidak dijumpai lagi pada tahun 2009. Pemotongan boleh dikatakan sudah tidak ada, dan pengambilan di kantorpos lokal juga sudah lebih teratur. Berikut tanggapan warga penerima BLT yang dapat direkam oleh tim peneliti dari tiga lokasi penelitian: 1. 2. 3.
4. 5.
Tempat pengambilan BLT yang terlalu jauh. Saran: Pengambilan dilakukan di kelurahan Pembagian BLT yang kurang untuk mencukupi kebutuhan pokok. Saran: Jumlah bantuan diperbesar Bantuan tidak tepat sasaran dikarenakan banyak warga yang tergolong mampu mendapat bantuan, sedangkan warga yg tidak mampu banyak yg belum mendapatkan BLT Antrian dalam pengambilan terlalu panjang Jadwal yang terkadang tidak tepat/molor 31
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 31
6/22/2010 6:14:14 PM
Jusmaliani
Tanggapan responden penerima bantuan ini tampaknya lebih bernuansa negatife, namun hal ini justru bermanfaat untuk perbaikan mendatang, seperti lokasi pengambilan, ketidak tepatan pada sasaran, jumlah tidak mencukupi. Kelemahan yang agak mendasar adalah data RTS untuk BLT adalah data tahun 2005. Kurun waktu empat tahun kemuka tentunya membawa banyak perubahan baik yang positif seperti pindah lokasi, kondisi RTS yang menjadi lebih sejahtera; ataupun negative seperti timbulnya RTM baru sebagai akibat yang tidak direncanakan (bencana, PHK).
Program PNPM Program Nasional Permodalan Mandiri (PNPM) atau National Program for Community Empowerment memilki tujuan akhir mengurangi kemiskinan melalui partisipasi masyarakat dalam mengembangkan rencana dan manajemen serta menyiapkan jasa dasar (delivery of basic services) termasuk infrastruktur. PNPM Perdesaan memilki akar historis dari PPK (Program Pengembangan Kecamatan). Pada tahun 1998 PNPM dimulai dengan fase inisiasi, kemudian tahun 1999-2002 memasuki fase internalisasi, dan baru pada 2006 dimulai fase institusionalisasi kemudian scaling-up terjadi pada 2007. Cash transfer hanya dilakukan pada PNPM Perdesaan untuk kelompok perempuan. Dibawah strategi dan program CSP (country strategy and program) dari Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia 2006-2009, lembaga ini berkomitmen untuk meneruskan bantuannya terhadap pembangunan infrastruktur perdesaan dengan menindaklanjuti Rural Infrastructure Support Project (Rural Infrastructure Support to PNPM Mandiri). Proyek ini akan menjadi bagian dari program besar pemerintah dalam penurunan kemiskinan. PNPM Mandiri (National Program for Community Empowerment) bertujuan menurunkan kemiskinan melalui partisipasi masyarakat dalam mengembangkan perencanaan, manajemen dan penyampaian jasa-jasa dasar, termasuk infrastruktur. 32
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 32
6/22/2010 6:14:14 PM
Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
PNPM Mandiri akan memberikan infrastruktur yang secara kritis dibutuhkan di daerah itu melalui perlibatan masyarakat, sehingga menghindar dari risiko tidak terpenuhinya kapasitas pada tingkat pemerintah daerah untuk memberikan jasa publik. PNPM Mandiri diharapkan dapat diimplementasikan setidaknya sampai 2015, waktu yang ditargetkan untuk tercapainya MDGs (Millenium Development Goals) Program PNPM memiliki dua “tiers” yaitu program inti (PNPM-Inti) dan program penguatan (support program). Program inti memberikan tunjangan/support untuk pemberdayaan masyarakat, menciptakan dan memperkuat organisasi implementasi berbasis-masyarakat atau Lembaga Keswadayaan Masyarakat (CIO = community-based implementation organizations) dan membangun kapasitas masyarakat untuk mengenali kebutuhannya dan menyiapkan rencana penurunan kemiskinan desa jangka menengah atau disebut PJM Pronangkis; serta mengimplementasikan kegiatan proyek melalui pemberian hibah awal. Program penunjang memberikan jasa khusus melalui program sektoral (misal pertanian, kesehatan, pendidikan, keuangan mikro dan lain sebagainya) dengan memanfaatkan struktur CIO yang sudah ada. PNPM Mandiri mengadopsi pendekatan CDD (community-driven development) dimana masyarakat merupakan partisipan aktif. Aktivitas mereka dimulai dengan menyusun prioritas kebutuhan pembangunan. Setelah prioritas ditentukan mereka kemudian bersaing untuk mendapatkan sumberdaya dengan menyusun proposal. Jadi transfer yang diberikan pertama kali adalah kemampuan untuk membuat proposal yang baik karena ini akan di kompetisikan. Jika dilaksanakan dengan benar, CDD lebih efektif dibanding pendekatan lainnya selain menawarkan prospek untuk meningkatkan akuntabilitas. Transparansi dalam pembuatan keputusan dan pengadaan barang (procurement) serta tantangan audit jelas mengurangi korupsi dan kebocoran. Proses perencanaan dari bawah (bottom-up planning) CDD juga memberi lebih banyak peluang bagi wanita dan orang miskin untuk berpartisipasi 33
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 33
6/22/2010 6:14:15 PM
Jusmaliani
dengan efektif dalam proses bermasyarakat dan tata-kelola di tingkat lokal. Proyek-proyek yang dibangun nantinya akan konsisten dengan program dan strategi pembangunan pemerintah. Rancangan infrastruktur perdesaan dibawah proyek ini akan berbasis pada pedoman rinci yang dipersiapkan untuk PNPM Mandiri. PNPM Mandiri Oversight Body akan memastikan harmonisasi dari semua bagian yang didanai oleh donor pada program ini. Dampak yang diantisipasi dari proyek ini adalah kondisi social-ekonomi yang meningkat dari masyarakat desa dalam wilayah proyek yang segaris dengan tujuan keseluruhan PNPM Mandiri. Outcome yang diharapkan dari proyek ini adalah membaiknya akses orang miskin dan hampir-miskin (nearpoor) di wilayah perdesaan dalam propinsi yang berpartisipasi melalui infrastruktur dasar perdesaan. Terdapat 1600 desa yang dipilih dari empat propinsi di bagian Barat Indonesia, dimana dalam lokasi proyek akan terfokus pada desa yang kurang berkembang dan kecamatan dengan tingkat kemiskinan tinggi. Secara umum, proyek terdiri dari dua komponen pertama fasilitasi dan mobilisasi masyarakat dan kedua pembangunan infrastruktur perdesaan. Komponen pertama ini berupaya memberdayakan masyarakat dan memperkuat kapasitas mereka untuk implementasi program-program prioritas. Bantuan akan diberikan dalam bentuk: (i)
Melakukan kampanye kesadaran untuk mengakrabkan anggota masyarakat dengan program (ii) Melakukan fasilitasi masyarakat termasuk pemetaan kemiskinan pada tingkat desa, mengenali masalah dan kebutuhan, mengevaluasi kapasitas implementasi dari masyarakat, mengembangkan mekanisme perencanaan dan proses pembuatan keputusan
34
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 34
6/22/2010 6:14:15 PM
Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
(iii) Membantu menciptakan dan membangun kapasitas Lembaga Keswadayaan Masyarakat (iv) Membantu masyarakat memformulasikan PJM Pronangkis dan rencana investasi tahunan yang berkaitan untuk pendanaan dari block grants (v) Membantu menyusun prioritas PJM Pronangkis pada tingkat kecamatan (vi) Memberikan pedoman teknis selama berjalannya aktifitas yanag diidentifikasi dalam PJM Pronangkis (vii) Membantu masyarakat dalam formulasi dan implementasi rencana O7M untuk memasikan keberlangsungan fasilitas komplit Komponen kedua akan memberikan block grant pada desa-desa untuk menerapkan kebutuhan infrastruktur masyarakat perdesaan yang dikenali dalam PJM Pronangkis dan di prioritaskan pada forum masyarakat kecamatan. Pinjaman SPP yang dikaji dalam penelitian ini secara spesifik diperuntukkan bagi wanita dengan pertimbangan bahwa wanita lebih pandai dalam mengatur keuangan dan diberikan secara berkelompok bukan melalui individu. Bahkan kelompok ini disyaratkan memiliki pengalaman dalam mengelola simpanan dan pinjaman minimal selama 3 tahun, disamping persyaratan lainnya. Yang lebih menarik dari keberadaan kelompok adalah alur pengembangan kelompok. Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pendanaan yang memanfaatkan dana bergulir hanya kelompok simpan pinjam, kelompok usaha bersama,dan kelompok aneka usaha yang ditujukan pada RTM. Kelompok ini harus termasuk dalam kategori berkembang atau siap.
35
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 35
6/22/2010 6:14:15 PM
Jusmaliani
Gambar 2.1 Alur Pengembangan Kelompok Sumber : Penjelasan A, PNPM Mandiri Perdesaan, 2006
36
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 36
6/22/2010 6:14:15 PM
Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
Kelompok tersebut dibagi menjadi dua yaitu kelompok penyalur (chanelling) dan kelompok pengelola (executing). Perbedaan antara kelompok penyalur dengan pengelola hanya terbatas pada wewenang pengelolaan, jika kelompok penyalur hanya menyalurkan dana bergulir tanpa berhak merubah persyaratan apapun kepada kelompok usaha bersama dan aneka usaha. Sedangkan kelompok pengelola berhak mengelola pinjaman dari UPK secara mandiri sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh kelompok. Implikasinya, kelompok penyalur badan hukum usahanya dapat berbentuk koperasi maupun perseroan, sedangkan kelompok pengelola berbadan usaha koperasi simpan pinjam. Besaran jasa pinjaman ditentukan berdasarkan referensi bunga pasar untuk pinjaman dari lembaga keuangan di masing-masing daerah dengan system tetap (flat rate) ataupun menurun (sliding rate). Jangka waktu pinjaman untuk kelompok penyalur maksimal 18 bulan dan kelompok pengelola 36 bulan. Untuk menghindari kredit macet, pemerintah menyiapkan dana talangan sebesar Rp. 2 triliun, artinya jika terdapat tunggakan ataupun pailit, pengelola dapat menggunakan dana tersebut. Hasil penelitian tim menghimpun tanggapan responden penerima bantuan sebagai berikut: -
Proses pengambilan mudah dan informasi dari kecamatan jelas Petugas kecamatan yang peduli dalam pengambilan PNPM Bantuan yang cukup baik untuk modal usaha Jumlah bantuan diperbesar sehingga lebih menunjang modal usaha Bantuan PNPM terus ada tiap tahun, karena menunjang perekonomian warga sekitar, jangan sampai dihentikan.
Dibandingkan dengan tanggapan penerima BLT, tampaknya untuk penerima bantuan PNPM ini tanggapan lebih positif. Hal ini dapat difahami karena penerima disini bukanlah mereka yang tergolong 37
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 37
6/22/2010 6:14:15 PM
Jusmaliani
amat miskin, dan bantuan yang mereka terima bukan untuk konsumtif melainkan dapat digunakan untuk modal usaha
2.3 Akuntabilitas Program Akuntabilitas adalah konsep etika dan tatakelola (governance) dengan beberapa pengertian. Terminologi ini kadang digunakan sinonim dengan konsep-konsep seperti tanggung-jawab, kemampuan menjawab (answerability), dapat disalahkan, liability dan terminologi lainnya yang berkaitan dengan ekspektasi pemberi dana (accountgiving). Sebagai aspek tatakelola, ia menjadi sentral dalam diskusi berkaitan dengan masalah-masalah di sektor publik, nirlaba dan swasta. Sebagai contoh sederhana A akuntabel terhadap B jika A berkewajiban memberitahu B tentang tindakan dan putusan A baik yang telah lalu maupun mendatang. Dalam kaitannya dengan program anti kemiskinan maka program tersebut haruslah memiliki akuntabilitas tinggi karena merupakan bagian dari kebijakan publik. Dalam penelitian ini, ada empat faktor yang dilihat untuk menilai akuntabilitas program yaitu sistematisnya cara pemberian bantuan, transparansi pada penerima, tanggapan penerima dan kepuasan penerima. Empat factor ini semuanya dilihat dari kacamata penerima bantuan. Sistematis Sistematis yang dimaksud disini adalah sejauh mana pemberian bantuan dilakukan dengan sistematis. Ada 4 pertanyaan yang harus dijawab responden, dimana tiap pertanyaan memilki 4 alternatif jawaban. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertama jarak tempuh ke tempat pengambilan bantuan, kedua lama menunggu di tempat pengambilan bantuan, ketiga tertundanya pembayaran dari jadwal semula dan terakhir kemudahan informasi tentang program 38
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 38
6/22/2010 6:14:15 PM
Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
bantuan. Dua tabel berikut ini menunjukkan hasil perhitungan indeks untuk mengukur kadar sistematis dari program BLT dan PNPM. Tabel 2.2 Perhitungan untuk Indeks Sistematis Program BLT
Sumber : Diolah dari data primer, 2009
Hasil perhitungan yang disajikan dalam table 2.2 menunjukkan indeks sistematis program BLT adalah 0,748 Tabel 2.3 Perhitungan untuk Indeks Sistematis Program PNPM Mandiri
Sumber : Diolah dari data primer, 2009
Hasil perhitungan yang disajikan dalam table 2-3 menunjukkan indeks sistematis program PNPM adalah 0,868. 39
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 39
6/22/2010 6:14:15 PM
Jusmaliani
Dengan membandingkan indeks rata-rata dari kedua program ini terlihat bahwa program PNPM lebih sistematis dibandingkan BLT.
Transparansi Kata transparansi mengandung arti keterbukaan, komunikasi dan akuntabilitas. Kata ini mencerminkan obyek yang dapat dilihat. Prosedur yang transparan termasuk pertemuan-pertemuan terbuka, pernyataan keuangan, kebebasan informasi, review anggaran, audit dan lain sebagainya. Pertanyaan yang harus dijawab responden ada tiga yaitu ada tidaknya kesempatan bertanya tentang cara pengambilan bantuan, kedua kesempatan bertanya tentang jumlah bantuan yang tidak sesuai dan ketiga bertanya tentang keterlambatan bantuan. Dengan cara yang sama seperti menghitung indeks sistematis, maka indeks transparansi untuk BLT adalah 0,4535, sedangkan untuk PNPM sebesar 0,6925. Dengan perkataan lain program PNPM lebih transparan dibanding program BLT
Tanggapan Ada tiga pertanyaan yang disodorkan pada responden, menyangkut tanggapan ini, pertama tentang penjelasan dari petugas, kedua tentang sikap petugas dan ketiga tentang sikap responden jika menemukan permasalahan dalam penyaluran bantuan. Hasil perhitungan indeks tanggapan adalah 0,665083 untuk program BLT dan 0,767667 untuk program PNPM Mandiri simpan pinjam kelompok perempuan.
40
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 40
6/22/2010 6:14:15 PM
Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
Kepuasan Selanjutnya dalam menghitung keseluruhan aspek akuntabilitas, kepuasan penerima bantuan penting pula untuk diukur. Menyangkut hal ini ada tiga pertanyaan yang diajukan yaitu pertama, puas dengan jumlah bantuan, kedua puas dengan prosedur pelaksanaan program, dan terakhir puas dengan pelayanan petugas. Perhitungan indeks kepuasan untuk penerima program BLT adalah 0,695833, sedangkan untuk penerima PNPM 0,725667. Artinya penerima program PNPM lebih puas dengan bantuan yang diterimanya dibandingkan dengan penerima program BLT.
Total Indeks Rata-rata Akuntabilitas Jika dibandingkan total indeks rata-rata untuk akuntabilitas program BLT dan PNPM Mandiri akan diperoleh gambaran sebagai dijelaskan dalam Tabel 2.1 berikut ini Tabel 2.4 Indeks Akuntabilitas Program BLT dan PNPM
Sumber : Diolah dari data primer, 2009
Gambar 2.2 lebih memperjelaskan bahwa dalam semua indikator indeks, ternyata program PNPM mengungguli program BLT. Hal ini terlihat nyata dari garis yang menghubungkan indikator untuk indeks akuntabilitas PNPM yang semuanya berada di atas indikator untuk indeks akuntabilitas BLT 41
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 41
6/22/2010 6:14:15 PM
Jusmaliani
Gambar 2.2 Indeks Akuntabilitas Program BLT dan PNPM dibandingkan Sumber : Diolah dari data primer, 2009
2.4 Ketepatan pada Sasaran (Outreach) Untuk melihat ketepatan pada sasaran digunakan tiga faktor yaitu terpenuhinya sasaran, kebocoran dan akurasi data. Sasaran tidak terpenuhi Sasaran tidak terpenuhi dijaring melalui tiga pertanyaan yaitu pertama, sejauh mana pengetahuan responden tentang tujuan pemberian bantuan. Kedua apakah bantuan sudah mencukupi kebutuhan pokok dan ketiga berapa porsi bantuan yang digunakan untuk modal kerja. Hasil perhitungan indeks rata-rata adalah 0,453667 untuk BLT dan 0,743583 untuk PNPM. Artinya kinerja program PNPM untuk terpenuhinya sasaran lebih baik daripada BLT. Kebocoran Hanya dua pertanyaan untuk mengidentifikasi kebocoran program. Pertanyaan pertama adalah selisih antara jumlah yang 42
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 42
6/22/2010 6:14:15 PM
Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
seharusnya diterima dengan jumlah yang sebenarnya diterima, jika selisih ini tidak ada, masih ada pertanyaan berikut yaitu pemberian hadiah pada petugas setelah menerima bantuan. kedua tentang sanksi kepada mereka yang tidak menepati aturan main. Jika yang terakhir ini juga kosong dapat diartikan dengan tidak ada kebocoran. Pertanyaan kedua untuk melihat kebocoran adalah sejauh mana responden mengetahui adanya sanksi yang diberikan petugas kepada penerima bantuan yang tidak menepati aturan. Hasil perhitungan indeks kebocoran untuk BLT adalah 0,494875 dan untuk PNPM 0,6739
Akurasi Data Mengenai akurasi data ada tiga pertanyaan yaitu pertama, sejauh mana pengetahuan responden tentang adanya petugas yang melakukan pendataan untuk program bantuan. Pertanyaan kedua pengetahuan responden tetang adanya tetangga miskin yang tidak menerima bantuan dan ketiga pengetahuan responden tentang tetangga yang menerima bantuan tetapi tidak miskin (tidak layak menerima) Hasil perhitungan indeks untuk akurasi data bagi program BLT adalah 0,70025 dan untuk PNPM 0,69925. Beda angka ini dapat diartikan bahwa data untuk program BLT lebih akurat dibanding program PNPM. Total Indeks Rata-rata Ketepatan pada Sasaran Program BLT dan PNPM Tabel 2.5 menunjukkan indeks rata-rata ketepatan pada sasaran seperti halnya akuntabilitas tetap diungguli oleh PNPM. Akan tetapi kalau melihat tiga factor yang membentuk indeks ini maka akurasi data untuk program BLT lebih baik disbanding program PNPM. Artinya perbaikan dalam data telah dilakukan untuk program ini. 43
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 43
6/22/2010 6:14:16 PM
Jusmaliani
Tabel 2.5 Indeks Ketepatan pada Sasaran Program BLT dan PNPM No
Indikator
Nilai Indeks BLT
PNPM
1.
P2.1Sasaran tidak terpenuhi
0.45367
0,743583
2.
P2.2 Kebocoran
0.49488
0,673916
3.
P2.3 Akurasi Data
0.70025
0,69925
0.549597
0,7055833
Indeks Rata-rata (%) Sumber : Diolah dari data primer, 2009
Gambar berikut lebih memperjelas indeks ketepatan pada sasaran dari dua jenis program ini 0.8
0.743583 0.7
0.673916
0.70025
0.6 0.5
0.49488
0.4
BLT
0.3
PNPM
0.2 0.1 0
P2.1 Sasaran tidak terpenuhi
P2.2 Kebocoran
P2.3 Akurasi Data
Gambar 2.3 Indeks Ketepatan Pada Sasaran Program BLT dan PNPM Sumber : Diolah dari data primer, 2009
44
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 44
6/22/2010 6:14:16 PM
Faktor Institusional, Akuntabilitas dan Ketepatan pada Sasaran: Komparasi antara BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
2.5 Kesimpulan Membandingkan faktor institusional dari kedua program ini tampak bahwa PNPM lebih terencana, dengan pengaturan yang lebih kompleks bahkan sampai pada berakhirnya program. Menariknya program ini mampu memby-pass birokrasi local dengan langsung ke berbagai program di lokasi baik perdesaan maupun perkotaan yang membutuhkan. Akan tetapi dalam waktu dekat masyarakat miskin tidak merasakan manfaatnya secara langsung, yang mereka dapatkan adalah pembelajaran bagaimana memberikan partisipasi dalam memajukan komunitas mereka. Program BLT dirancang dengan lebih sederhana, namun banyak kekurangan terutama dari sisi akurasi data dan jumlah yang dinilai terlalu kecil oleh penerima, namun dinilai tidak mendidik oleh sebagian kalangan akademisi. Program konsumtif ini memang tidak bersyarat sehingga kemana mereka menggunakan dana juga tidak terpantau. Banyak yang namanya terdaftar dan masih menerima dana BLT adalah orang-orang yang sudah bekerja di Jakarta. Jika tiba waktunya untuk mendapatkan dana BLT di kampungnya maka mereka akan pulang kampung.
45
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 45
6/22/2010 6:14:16 PM
Jusmaliani
DAFTAR PUSTAKA Glennerster, Howard; John Hilla, David Piachaud and Jo Webb, 2000. One hundred years of poverty and policy. The Joseph Rowntree Foundation Indonesia Corruption Watch, BLT, Korupsi dan Dampaknya, di download dari http:///www.antikorupsi.org, 27 Oktober 2009 Widjaja, Muliadi, 2009; An Economic and Social Review on Indonesian Direct Cash Transfer program to Poor Families 2005, paper presented in Association for Public Policy Analysis and Management International Conference, Asian Social Protection in Comparative Perspective, Singapore, January 7-9 ---------------------, 2008; Land Acquisition and Resettlement Framework. Rural Infrastructure Support to PNPM Mandiri ---------------------, Penjelasan A, PNPM Mandiri Perdagangan 2009
46
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 46
6/22/2010 6:14:16 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
BAB 3 AKSELERASI KEGIATAN EKONOMI MASYARAKAT MISKIN PENERIMA BANTUAN TUNAI Umi Karomah Yaumidin
3.1 Pendahuluan Berkah krisis 1997 yang lebih banyak menyoroti tentang meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia melahirkan serangkaian program baik yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi naik turunnya angka kemiskinan. Namun demikian sampai saat ini belum ada satupun program yang keberhasilannya 100% dalam penurunan angka kemiskinan. Meskipun masih dalam tataran kritikan tajam dan persilangan pendapat yang hebat di tataran pemerintah ditambah lagi dengan adanya perubahan radikal dalam kekuatan desentralisasi dengan pemegang otoritas wilayah, maka hal ini secara langsung telah merubah lanskap politik dan diharapkan perubahan ini adalah ke arah yang positif dan lebih baik. Perubahan ini diharapkan secara khusus juga terjadi dalam penanggulangan kemiskinan kronis. Sebagaimana telah ditekankan pada bab-bab sebelumnya, fokus kajian penelitian ini menekankan pada evaluasi komparatif terhadap program Bantuan Langsung Tunai yang tidak bersyarat (unconditional cash transfer = UCT) dan PNPM Mandiri Perdesaan yang merupakan bantuan bersyarat (conditional cash transfer = CCT). Secara teoritis, apapun bentuk program anti kemiskinan baik yang bersifat insidental maupun permanen, bertujuan untuk menanggulangi angka kemiskinan yang kian melebar. Selain tujuan tersebut, kemungkinan lainnya adalah untuk mengkoreksi kegagalan pasar yang tidak mampu mengakomodir 47
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 47
6/22/2010 6:14:16 PM
Umi Karomah Yaumidin
kepentingan masyarakat miskin. Dengan demikian baik strategi CCT maupun UCT menurut Janvry et.all (2004) adalah “…….seek to create incentives for individuals to adjust their behavior toward matching the social optimum”. Kegagalan dalam implementasi program kemiskinan sebetulnya sudah diantisipasi karena kendala-kendala dalam keberhasilan kebijakan itu sendiri. Menyitir pandangan Boediono (2005), menjalankan kebijakan ekonomi dalam dunia nyata sangat berbeda dengan kegiatan-kegiatan akademis yang bersifat analisis dalam menemukan sintesa baru. Pertama, perumus kebijakan ekonomi biasanya menghadapi situasi/ permasalahan yang dinamis, sehingga ia sering menghadapi informasi yang ketinggalan atau tidak lengkap. Kedua, ia menghadapi kendala waktu dan harus mengambil kesimpulan dan keputusan mengenai respons terhadap masalah yang timbul. Ketiga, respons kebijakan biasanya merupakan hasil dari proses pembahasan antar instansi terkait di dalam pemerintah, tapi kadangkala juga menyangkut lembaga di luar eksekutif. Keempat, apa yang diputuskan sebagai kebijakan di tingkat konsep belum tentu terlaksana sesuai dengan yang dimaksud di tingkat lapangan. Kelima, kebijakan ekonomi dalam praktik bukan sesuatu yang sekali jadi-diputuskan, dilaksanakan, kemudian selesaimelainkan suatu proses dinamis yang menyangkut umpan balik dan penyesuaian. Keenam, kebijakan atau respon pemerintah terhadap suatu masalah akan berinteraksi dengan respon pelaku ekonomi lain dan menghasilkan suatu keadaan ekonomi tertentu, yang selanjutnya kembali dapat mengundang respon dari pemerintah dan pelakupelaku lain.
48
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 48
6/22/2010 6:14:16 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
Singkat kata dalam pemikiran Budiono, aplikasi kebijakan ekonomi ditataran operasional lebih merujuk pada format berpikir ala game theory. Dinamika dunia nyata ini menyebabkan kebijakan yang dijalankan harus selalu dimonitor dampaknya, dikaji feed-backnya untuk kemudian jika kurang sesuai dirumuskan lagi sesuai tuntutan. Dalam konteks pelaksanaan program anti kemiskinan dengan pendekatan cash transfer, melihat dari sisi dampak akselerasi kegiatan ekonomi masyarakat miskin, pemikiran ini mungkin sesuai. Kesesuaian ini dalam arti bukan menjadi pegangan defensif pemerintah terhadap kegagalan program, sebaliknya memutar kembali alur irama kebijakan anti kemiskinan yang telah dilakukan selama ini agar menjadi lebih baik. Belajar pada “worst practice” (kegagalan) akan memberikan beberapa simulasi agar kesalahan yang sama tidak terulang dimasa mendatang. Menemukan sintesa baru yang lebih aktual, tepat sasaran, efisien, dan akuntabilitasnya terpercaya sangat diperlukan untuk memulihkan tingkat kepercayaan masyarakat miskin terhadap serangkaian program anti kemiskinan yang digelontorkan baik oleh pemerintah maupun organisasi nasional dan internasional lainnya. Pendekatan ini tentunya akan lebih baik daripada menerapkan ‘best practice program’ yang telah teruji dari negara lain, namun mungkin tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat lokal, maupun jenis kemiskinan yang dihadapi. Jika ini dilakukan maka intinya yang terjadi akan berujung pada penghamburan uang yang sia-sia. Dengan demikian, seharusnya menangulangi kemiskinan dimulai dari menelaah ‘worst practice’ daripada ‘best practice’, mengingat masalah kemiskinan adalah masalah multidimensi yang berbeda antara ruang, waktu, nilai, norma dan atribut lainnya yang ada di tengah masyarakat miskin tertentu. Oleh karena itu paper ini akan mencoba menjawab tujuan penelitian tentang evaluasi kebijakan anti kemiskinan dengan pendekatan cash transfer melalui akselerasi kegiatan ekonomi masyarakatnya. Tulisan ini 49
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 49
6/22/2010 6:14:16 PM
Umi Karomah Yaumidin
dibatasi pada peran UCT dan CCT dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin; khususnya analisa tentang dampak UCT dan CCT.
3.2 Responden Penerima BLT dan PNPM Mandiri berdasarkan Gender, Pendapatan, Utang dan Tabungan Seperti diuraikan di bab-bab terdahulu, responden penelitian ini adalah penerima UCT dan/atau CCT berada di wilayah Jakarta, Pekalongan dan Surabaya. Untuk BLT, pilihan responden jatuh pada wilayah yang penduduknya mayoritas nelayan seperti Kecamatan Muara Angke (Jakarta) dan Kecamatan Mulyosari (Kota Surabaya), sebagai pusat konsentrasi penduduk miskin. Berbeda dengan wilayah perkotaan lainnya yang basis pekerjaan masyarakatnya berdagang, penduduk aslinya cenderung miskin, sementara masyarakat pendatang seperti aparat pemerintah relatif lebih kaya dan tidak menetap di wilayah tersebut. Sementara masyarakat miskin perkotaan yang berprofesi non nelayan, biasanya berasal dari luar kota (desa). Karakteristik ini berlaku umum, meskipun mungkin tidak berlaku secara individu. Dengan kata lain, urbanisasi berkontribusi positif terhadap meningkatnya angka kemiskinan di kota. Baik penerima BLT maupun Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPP) lebih banyak di dominasi oleh kaum wanita. Untuk skim SPP mungkin hal ini wajar karena yang menjadi target program adalah wanita. Di lain pihak untuk program BLT, wanita atau pria tidak terlalu diperhitungkan. Seorang wanita dapat saja memperoleh bantuan BLT jika dan hanya jika wanita tersebut sebagai kepala keluarga.
50
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 50
6/22/2010 6:14:16 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
Gambar 3.1 Penerima Bantuan BLT dan PNPM Berdasarkan Gender Sumber: Data primer diolah, 2009
Proporsionalitas antara pendapatan, utang dan tabungan responden sangat penting untuk mendeskripsikan lebih rinci mengenai tingkat kesejahteraan penerima bantuan dari sisi ekonomi. Gambar 3.2 berikut memberikan ilustrasi tentang Pendapatan Responden
Gambar 3.2 Pendapatan Responden Sumber: Data primer diolah, 2009
Gambar 3-2 ini menunjukkan bahwa mayoritas responden (18%) berpendapatan Rp 300.000 per bulan diikuti oleh 13,1% yang berpendapatan Rp 400.000. Cukup banyak responden (11,5%) yang tidak mau memberitahukan jumlah pendapatan mereka. 51
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 51
6/22/2010 6:14:16 PM
Umi Karomah Yaumidin
Bagaimanapun bervariasinya pendapatan responden, satu hal yang pasti yaitu pendapatan mereka semuanya tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan hidup, pastinya jumlah yang mereka terima masih di bawah UMP. Kemiskinan biasanya ditutupi dengan utang, oleh karena itu besaran utang turut ditanyakan dalam penelitian. Hasilnya, hampir 48,4% responden tidak menjawab pertanyaan mengenai besaran utang yang mereka miliki. Data dari Gambar 3.3 menunjukkan bahwa 17,9 persen kelompok penerima bantuan ini memiliki utang berkisar Rp.300.000 – Rp. 500.000. Jumlah ini hampir sama dengan besaran tingkat pendapatan, maupun bantuan yang mereka terima, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa penggunaan dana bantuan lebih banyak digunakan untuk menutupi utang daripada untuk kegiatan ekonomi produktif maupun pemberdayaan.
Gambar 3.3 Utang Responden Sumber: Data primer diolah, 2009
52
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 52
6/22/2010 6:14:16 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
Pertanyaan tentang besaran utang juga ditutup-tutupi dengan tidak memberikan jawaban, namun lebih dari separuh responden memilki utang dengan jumlah yang bervariasi. Jumlah utang yang melebihi Rp 2 juta ternyata dimiliki oleh 0,8% responden. Mereka yang memiliki utang secara logika tidak akan memilki tabungan; dan hal ini terbukti dengan jawaban yang diberikan berkenaan dengan tabungan. Data yang sangat fantastis ditunjukkan dalam Gambar 3.4, dimana lebih dari 90 persen responden menyatakan tidak memiliki tabungan. Hanya 7 orang responden yang memiliki tabungan rata-rata dibawah Rp. 500.000,-, meskipun terdapat pula responden penerima PNPM Mandiri Perdesaan yang memiliki tabungan hingga Rp. 2.000.000,-. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa besaran bantuan yang diterima masyarakat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsisten mereka, khususnya pada tingkat yang sangat rendah.
Gambar 3.4 Tabungan Responden Sumber: Data primer diolah, 2009
53
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 53
6/22/2010 6:14:17 PM
Umi Karomah Yaumidin
Sebagai gambaran, tabel 3.1 menunjukkan indikator prosentase defisit pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan menyatakan prosentase kekurangan yang harus ditutup penduduk miskin secara keseluruhan masih sekitar 17,5 persen pada periode 2002 – 2005. Artinya dengan garis kemiskinan sebesar Rp. 117.259,sebulan per kapita di perdesaan maka defisit sebulan dalam rumah tangga berjumlah sekitar 5 orang akan mencapai sekitar Rp. 110.000 (BPS, 2006). Tabel 3.1 Defisit Pendapatan Penduduk Miskin (%)
Sumber : BPS, 2006
Penentuan besaran kompensasi diperhitungkan dari asumsi ketika kenaikan harga BBM mencapai 50 persen maka besaran jumlah penduduk miskin akan menjadi 42 juta jiwa (setara 10,5 juta rumah tangga miskin) dan jumlah penduduk tergolong mendekati miskin (near poor) sebesar 20 juta jiwa (setara 5 juta rumah tangga). Menurut perhitungan BPS pada tahun 2002 saja yang menunjukkan tingkat diferensiasi defisit pendapatan penduduk miskin yang relatif kecil dibandingkan tahuntahun didepannya, kebutuhan masyarakat miskin baru dapat terpenuhi dengan tambahan dana Rp. 150.000,-/bulan. Dengan demikian, instruksi Presiden Nomor 12 tahun 2005 tentang Bantuan Langsung Tunai sebesar Rp. 100.000,-/ bulan hanya mampu menutupi defisit pendapatan rumah tangga miskin kurang dari 50 persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa BLT belum mampu memperbaiki kualitas hidup masyarakat miskin pada saat terjadi shock ekonomi.
54
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 54
6/22/2010 6:14:17 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
3.3 Dampak Pemberian BLT dan PNPM Dampak Pemberian BLT Sekedar kilas balik perbandingan dengan hasil penelitian SMERU (2008) mengenai pemanfaatan dana BLT (lihat gambar 3-5). Kekhawatiran banyak ekonom terhadap tekanan inflasi yang cukup tinggi dengan penggelontoran BLT sebagai kompensasi subsidi BBM, terjawab sudah. Hampir 90 persen (tahun 2005), dana BLT digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Sedangkan pada tahun 2008 lebih banyak digunakan untuk perbaikan rumah.1 Dilain pihak alokasi untuk pendidikan mengalami peningkatan sekitar 10%, sedangkan alokasi untuk kesehatan antara 2005 dan 2008 meningkat lebih dari 30%. Peningkatan ini dapat berarti banyak hal; biaya kesehatan meningkat, kesehatan yang lebih buruk atau bahkan gizi jelek yang mengakibatkan sakit.
Gambar 3.5 Pemanfaatan Dana BLT oleh Rumah Tangga Miskin Sumber: Sumarto (2008) 1 Survei yang dilakukan oleh SMERU (2008; 2005) mengambil sample di lokasi yang menjadi percontohan penerapan CBMS (Community Based Monitoring System). Di wilayah tersebut penduduk miskinnya cenderung telah memiliki pandangan terhadap konsep kemiskinan yang lebih baik dibandingkan wilayah yang bukan menjadi target CBMS. Artinya hasil quick response ini tidak dapat digeneralisasikan sebagai gambaran umum pemanfaatan dana BLT secara nasional.
55
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 55
6/22/2010 6:14:17 PM
Umi Karomah Yaumidin
Berdasarkan data yang di peroleh tim peneliti di lapangan ternyata BLT lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sekitar 44 persen menyatakan hanya digunakan antara 25% – 50% (lihat gambar 3-5). Sementara 33 persen responden menyatakan bahwa dana BLT itu digunakan lebih dari 75 persen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Observasi dilapangan menunjukkan adanya pergeseran pemanfaatan dana BLT dari tahun 2005 ke tahun 2008, alasan yang paling logis adalah akurasi data yang tidak optimal. Apabila SMERU dengan yakin menyatakan bahwa dana BLT tidak serta merta menyebabkan masyarakat miskin semakin manja dan tidak produktif, karena kekhawatiran penggunaan dana BLT tidak untuk kegiatan ekonomi produktif perlu ditinjau ulang kembali. Hasil kuesioner dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa dana BLT kurang mendorong masyarakat miskin untuk melakukan usaha mandiri. Berdasarkan hasil Focus Group Discussion dengan masyarakat penerima diperoleh respon masyarakat terhadap pemanfaatan dana BLT yang justru semakin memperburuk potret kemiskinan di Indonesia; “……………………….tapi kami yg permasalahkan adalah BLT khususnya yang sekarang kami terima (2008), padahal pendaftaran BLT dilakukan sejak dua tahun lalu (tahun 2005). Tetapi kondisi sekarang ini justeru lebih buruk dengan banyaknya pabrik-pabrik yg tutup, sawah-sawah yg sudah tidak ada. Dengan adanya BLT itu, bukannya malah mengurangi kemiskinan tapi malah menambah kemiskinan. Karena program ini mendorong masyarakat sendiri untuk menyadari bahwasanya mereka miskin dan tidak mampu, sehingga berbondongbondong meminta bantuan BLT…..”
56
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 56
6/22/2010 6:14:17 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
Gambar 3.6 Penggunaan Dana BLT untuk Kegiatan Konsumsi dan Persepsi Penerima BLT terhadap Pemanfaatan untuk Usaha Mandiri Sumber: Data Primer diolah, 2009
Dampak Pemberian PNPM Mandiri Perdesaan Lokasi yang dipilih untuk kegiatan SPP PNPM Mandiri Perdesaan adalah Kecamatan Krembung Kabupaten Sidoarjo dan Kecamatan Kajen Kabupaten Pekalongan. Secara umum tujuan dari kegiatan SPP PNPM Mandiri Perdesaan adalah “Meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan”. Dengan berprinsip pada kesetaraan gender, strategi yang digerakan untuk mengupayakan pengurangan pengeluaran dan penambahan pendapatan bagi masyarakat miskin diwujudkan melalui kegiatan ekonomi produktif melalui mekanisme pengelolaan dana bergulir. Di kabupaten Pekalongan alokasi dana SPP sebesar Rp. 5.441.225.000 atau setara dengan 22 persen dari seluruh total dana 57
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 57
6/22/2010 6:14:17 PM
Umi Karomah Yaumidin
BLM yang di terima selama tahun 2007 – 2009. Prioritas utama tetap ditujukan untuk pembangunan infrastruktur sebesar 49 persen. Dari 11 kecamatan yang ada, dana SPP hanya bisa dialokasikan pada 8 kecamatan2. Dari 8 kecamatan tersebut hanya lima kecamatan yang beroperasi dengan baik. Pada awalnya dana SPP ini ditujukan sebagai modal awal bagi kelompok usaha yang diharapkan dapat menstimulasi pendapatan. Berdasarkan hasil pelaporan dari fasilitator kabupaten ternyata dana SPP dianggap mampu menstimulasi peningkatan pendapapatan masyarakat miskin sebesar 39 persen dengan tingkat rata-rata penambahan modal 3 – 4 persen pertahun. Tingkat kelancaran angsuran kegiatan kelompok dikabupaten pekalongan sebenarnya cukup bagus. Dari 8 kecamatan, hanya kecamatan Kesesi yang tingkat pengembalian dana SPP hanya sebesar 50 persen, selebihnya memiliki tingkat pengembalian 100 persen. Alasan utama terjadinya tunggakan bukan karena adanya penyimpangan, tetapi lebih banyak dikarenakan terlambat mengangsur. Menurut masyarakat setempat, tingginya tingkat pengembalian lebih didasari pada dorongan masyarakat untuk lebih maju.
“……………Kalau selama ini, ketuanya atau teamnya akan mendatangi anggota yang menunggak, kalau tidak bisa minggu ini diharapkan minggu depan ada uang yang bisa masuk. Selama ini yang macet total bisa tertangani mungkin karena kita mengacu pada pembangunan. Kalau ibu tidak mau membantu nanti akibatnya semua warga yang ada di desa setempat yang kena. Soalnya ada kejadian ditempat saya sendiri yang memang macet, Pak… terus saya datangi orangnya kerumah, terus saya jelasin. “Bu, kalau ibu 2
Kabupaten Pekalongan menerima dana PNPM MD pertama kali tahun 2007, yang dialokasikan kepada 5 Kecamatan yang mencakup 90 desa. Lokasi PNPM MD tahun 2008 diperluas menjadi 8 kecamatan, sedangkan pada tahun 2009, Kabupaten Pekalongan menambah lokasi kegiatan menjadi 11 lokasi dengan tambahan cost sharing pemerintah daerah sebesar 20 persen dan pemerintah pusat sebesar 80 persen. Alokasi dana BLM dari tahun 2007 – 2009 meningkat 3,5 kali yaitu dari 6.5 Milliar menjadi 22.8 Miliar.
58
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 58
6/22/2010 6:14:17 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
tidak mau memfollow up bukan ibu yang menanggung, warganya yang akan menanggung. Takutnya ibu yang disalahkan sama pak RTnya atau warga disitu”. Saya bilang begitu. Alhamdulillah kok sudah 3 hari dia jawab (titip sama saya). Maksudnya ada yang tidak percaya sama ketua RTnya. Terus saya bilang kalau kayak begitu. Ibu bisa merekrut ibu-ibu yang sefaham sama ibu. Nanti di titip sama saya. Nanti saya mengatur sama yang satunya yang memang terbuka. Memang kalau sudah macet total. Sedikit-sedikit sudah pada mengatur………..”. (wawancara dengan Ibu Suryani, ketua kelompok SPP Kecamatan Kajen, 18 Agustus 2009)
Pencatatan resiko pinjaman didasarkan bukan pada resiko tunggakan tetapi resiko pinjaman berbasis kelompok, sehingga dapat dikatakan bahwa laporan kolektibilitas menunjukkan kualitas kelompok peminjam. Dalam laporan kolektibilitas satu kelompok hanya mempunyai satu tingkatan kolektibilitas. Laporan dapat digunakan untuk mengetahui NPL (Non Performing Loan) atas dana bergulir yang dikelola UPK. Pada periode 1 Januari 2009 sampai dengan 25 Juni 2009, kolektibilitas kelompok SPP –UPK PNPM MD Kabupaten pekalongan yang termasuk kategori lancar (kolektibilitas 1) sebesar 92 persen atau senilai Rp.3.026.627.250. sementara yang termasuk kategori kurang lancer (kolektibilitas II sampai dengan IV) hanya 7 persen, dan tidak ada kredit macet atau kategori kolektibilitas V. Tahun 2007 – 2008, terdapat lima kecamatan (Kandangserang, Kajen, Kesesi, Sragi, dan Siwalan), yang telah mengadakan satu kali Musyawarah Antar Desa (MAD) pertanggungjawaban tahunan, sudah
59
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 59
6/22/2010 6:14:17 PM
Umi Karomah Yaumidin
melakukan pembagian surplus netto, dengan berdasarkan ketentuan pemanfaatan surplus dalam PNPM MD sebagai berikut3: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penambahan modal Dana sosial bagi RTM Penguatan kelembagaan Insentif Pengurus UPK Cadangan Tujuan Subsidi asset pelestarian sarana prasarana
Hasil MAD pertanggung jawaban tahunan UPK pada lima kecamatan tersaji dalam Tabel 3.2 berikut: Tabel 3.2 Alokasi Surplus Bersih Dana SPP – UPK PNPM MD Kabupaten Pekalongan Tahun 2007
Meskipun secara matematis maupun kasat mata manfaat ekonomi belum terlalu dirasakan, setidaknya dengan program SPP PNPM MD ini dapat mengakomodasi setiap kebutuhan ekonomi masyarakat miskin. Sikap gotong royong yang menonjol dan menjadi budaya khas bangsa Indonesia sangat tampak dalam kegiatan SPP PNPM MD sebagaimana di tuturkan oleh fasilitator Kabupaten Pekalongan (Ibu Intan) melalui wawancara mendalam; 3
Surplus netto adalah surplus kotor yang sudah dikurangi dengan cadangan resiko.
60
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 60
6/22/2010 6:14:17 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
“……….Kalau memang manfaat ekonomi mungkin belum tapi mungkin manfaat sosialnya ada, misalnya kita menjadi lebih sering berkumpul, lebih sering bergaul. Kita yang dulunya tidak begitu akrab sekarang menjadi lebih akrab atau kemungkinan masyarakah itu lebih tahu permasalahannya sendiri. Apa itu yang lebih banyak dirasakan. Dari sosialisasi awal, kita sudah bersentuhan dengan masyarakat. Jadi apa yang dibutuhkan mereka, apa yang jadi kesulitan mereka, mereka bisa mengutarakan, jadi kita bisa membantu. Program ini juga menjadi ajang pendewasaan warga. Karena komunikasi yang terjalin tidak hanya di tingkat RT dan RW namun hingga tingkat desa dan antar desa, sehingga mereka merasa lebih nyaman dalam menyampaikan aspirasi dan mengkoordinasikan kepentingankepentingan yang ada…” (wawancara, tanggal 21 Agustus 2009) Di sisi lain yang memanfaatkan dana SPP PNPM MD tidak 100 persen perempuan, terdapat pula kelompok pria. Argumentasi mereka, karena program ini mensyaratkan harus memiliki usaha, sementara kebanyakan ibu-ibu di desa tidak berusaha. Selain itu, stigma bahwa perempuan lebih handal dalam pengelolaan keuangan tidak serta merta disetujui oleh semua masyarakat miskin. Dalam persepsi mereka itu sangat tergantung pada individu masing-masing. Sehingga merekapun dengan kesadaran penuh akan membentuk kelompok yang menurut mereka nantinya nyaman dan dapat diorganisasikan dengan baik. Seperti di Kecamatan Kajen, keputusan akhirnya diperoleh;
“……………Karena yang namanya usaha itukan bersifat bebas. Akhirnya keputusannya gitu. Bapak-bapaknya boleh. Jadi tidak membedakan ya. Yang mau pinjam itu bapak-bapak atau ibu-ibu. Tapi dalam 1 rumah itu bisa pinjam hanya satu bapak atau ibu, tidak bisa dua- duanya.....”
61
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 61
6/22/2010 6:14:17 PM
Umi Karomah Yaumidin
Secara khusus, kegiatan PNPM MD terutama program SPP untuk kabupaten Pekalongan telah memasuki tahapan pemeliharaan dan pelestarian pada tahun 2007. Tahun 2008 semua kecamatan yang menerima program PNPM MD memasuki tahapan MDST dan pada tahun 2009, 11 kecamatan memasuki tahapan verifikasi usulan, MAD Prioritas Usulan; Validasi SPP; Survey, RAB dan Desain dan Pembahasan AD/ART BKAD.
3.4 Analisis index dalam Melihat Dampak dari Modal Fisik (Physical Capital) Secara sederhana ulasan berikut ini akan melihat proporsi indeks keberhasilan program BLT dan PNPM MD dikaitkan dengan tingkat kemanfaatan ekonomi yang diterima oleh masyarakat miskin. Tabel 3.3 dan 3.4 berikut ini menunjukkan bahwa nilai indeks SPP PNPM MD hanya sedikit lebih baik dibandingkan program BLT. Angka indeks yang masih berkisar di nilai 0.5 memiliki arti bahwa kedua program tersebut belum terlalu signifikan berkontribusi pada peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat miskin yang pada gilirannya akan meningkatkan kapasitas masyarakat miskin untuk memperoleh tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih baik. Tabel 3.3 Indeks Akselerasi Aktivitas Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima BLT
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
62
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 62
6/22/2010 6:14:17 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
Secara lebih rinci dapat terlihat bahwa sejatinya kedua program ini tidak dapat diperbandingkan mengingat tujuan dan sasaran yang dicapai adalah berbeda. Jelas terlihat pada Tabel 3.2 bahwa program BLT memiliki angka indeks tertinggi untuk kategori pemenuhan kebutuhan pokok. Dan sebaliknya Tabel 3.3 menunjukkan bahwa SPP PNPM MD memiliki nilai indeks lebih tinggi untuk kategori modal kerja. Secara alami dampak yang dihasilkan dari kedua program ini tentunya berkorelasi positif terhadap tujuan dari program tersebut, meskipun terdapat beberapa kelemahan dan kelebihan. Pengambilan kesimpulan secara umum bahwa program yang satu out perform dibandingkan dengan program yang lain tidak dapat dilakukan karena hanya akan menyesatkan. Tabel 3.4 Indeks Akselerasi Aktivitas Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima SPP PNPM MD
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Visualisasi yang lebih sederhana dapat dilihat dari Gambar 3.7, dimana semakin jelas bahwa kecilnya dana yang diterima melalui program BLT memiliki konsekuensi logis pada rendahnya pemanfaatan dana tersebut untuk modal kerja, sehingga dalam jangka panjang juga tidak terlalu berkontribusi pada peningkatan pendapatan si miskin. Sementara itu, relative lebih besarnya dana yang diterima oleh individu dari kegiatan SPP PNPM MD yang juga di dorong oleh tujuan program 63
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 63
6/22/2010 6:14:18 PM
Umi Karomah Yaumidin
tersebut untuk pemberdayaan ekonomi, maka alokasi dana tersebut lebih banyak diperuntukkan untuk modal kerja yang secara tidak langsung dalam jangka panjang akan meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengeluaran si miskin.
Gambar 3.7 Angka Indeks Akselerasi Aktivitas Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima BLT dan SPP PNPM MD Sumber: Data Primer Diolah, 2009
3.5 Kesimpulan Hasil studi kualitatif yang dilakukan oleh World Bank (2007; 13) yang membandingkan desa yang menerima bantuan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang menjadi cikal bakal PNPM MD dan yang tidak menerima bantuan, menunjukkan bahwa desa yang mendapatkan treatment tersebut memiliki performa yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak memiliki program PPK. 64
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 64
6/22/2010 6:14:18 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
“……KDP is well implemented in many locations, mainly due to active KDP actors and continued emphasis on villager participation. These village-level KDP actors more consistently perform well if they have been democratically elected since they have greater autonomy…..”. Jelas sekali terlihat bahwa studi bank dunia ini merujuk pada konsep pemberdayaan yang demokratis sebagai tolok ukur keberhasilan program. Pilihan terhadap program anti kemiskinan dengan pendekatan transfer pendapatan (tunai) memang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan transfer barang kebutuhan pokok jika dilihat dari sisi preferensi masyarakat miskin. Akan tetapi keputusan untuk menjatuhkan pilihan apakan transfer pendapatan ini diberikan tanpa syarat atau harus melalui persyaratan tertentu masih sangat riskan terhadap gejolak konflik. Pada dasarnya pilihan apapun yang dipilih oleh pemerintah, imbas hasil yang diperoleh tentunya sangat berbeda-beda. Jika kalangan akademisi pemerhati kemiskinan sepakat bahwa tidak ada definisi tunggal tentang siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai orang miskin, maka dalam kesimpulan ini, kami ingin menkankan bahwa tidak ada satupun program anti kemisinan yang “out perform’ dibandingkan program anti kemiskinan yang lain. Dasar pernyataan ini dikaitkan dengan implikasi dari besarnya dana anti kemiskinan yang dikucurkan pemerintah berdampak pada akselerasi kegiatan ekonomi masyarakat miskin. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik BLT maupun program SPP PNPM MD tidak terlalu signifikan dalam mendorong akselerasi aktivitas ekonomi masyarakat miskin. Persepsi logis masyarakat pada saat ini tentunya secara metodologis adalah sah. Karena dampak peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat miskin tidak dapat di ukur melalui periode waktu 65
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 65
6/22/2010 6:14:18 PM
Umi Karomah Yaumidin
1 – 2 tahun. Peningkatan pendapatan masyarakat miskin peneriman program anti kemiskinan baru dirasakan dalam satu atau dua dasawarsa kedepan jika kondisinya tetap “ceteris paribus” sesuai asumsi ekonomi. Tetapi dinamika yang ada pada aktivitas ekonomi masyarakat miskin sangat sulit untuk di ukur dan di prediksikan, bisa jadi peningkatan kualitas hidup mereka tidak dipengaruhi oleh rangkaian bantuan yang mereka terima, tetapi ada faktor lain yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya seperti kebekahan dari Ilahi ataupu meningkatnya peran modal sosial di sekitar mereka.
66
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 66
6/22/2010 6:14:18 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
DAFTAR PUSTAKA De Brauw, Alan and John Hoddinott, (2007) Must Conditional Cash Transfer Programs be conditioned to be effective? The impact of conditioning transfers on school enrollment in Mexico, World Bank. Washington DC: Bappenas, (2009) Peran Iptek dalam Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia, Direktorat Penanggulangan Kemiskinan, Bappenas, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Human Development Index: Implementasi Iptek untuk Peningkatan HDI dalam Mendukung MDGs, Kementrian Negara Ristek dan Teknologi, Gedung BPPT, Jakarta, 25 November 2009. Boediono, (2009) Ilmu Ekonomi Dalam Praktik: Krisis Dan Penanganannya 1997 – 2005, Materi Kuliah Yang Disampaikan Kepada Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada 28 November 2005, dalam Ekonomi Indonesia Mau ke Mana? Kumpulan Esai Ekonomi, Zaim R. dan Candra G. (ed), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. BPS, (2006) Pendataan Sosial Ekonomi 2005, Uraian Kegiatan dalam rangka Pendataan Rumah Tangga Miskin menurut Inpres 12/2005, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Coady, David. (2004) Alleviating Structural Poverty in Developing Countries: The Approach of PROGRESA in Mexico, Background Paper for the 2004, World Development Report, February 2003. Currie J. and Gahvari F. (2007). Transfers in cash and in kind: Theory meets data. Nationa, Bureau of Economic Research Working paper series 13557
67
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 67
6/22/2010 6:14:18 PM
Umi Karomah Yaumidin
DEPDAGRI, (2006) Penjelasan X Pengelolaan Dana Bergulir: Petunjuk Teknis Operasional, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan, TK PNPM MD, Jakarta. Dinas PMD, (2009) Laporan PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten Pekalongan, Bulan Juni 2009. Hooper E. (2006). Social protection and human security. Paper presented at the Human Resource Development Network conference on 25 November 2006, in Islamabad, Pakistan. IDS, (2006) Unconditional Cash Transfer In Africa, Issues No.1, Social Protection, IDS in Focus. ILO Subregional Office for South East Asia, (2006) Indonesia: Conditional Cash Transfer To The Poor, Series: Social Security Extension Initatives In South East Asia, Asian Decent Work Decade. Janvry, Alain de and Elisabeth Sadoulet, (2004) Conditional Cash Transfer Programs: Are They Really Magic Bullets, Department of Agricultural and Resource Economics, University of California at Berkeley. Jebbari, Habiba dan Jeffrey Smith, (2008) Heterogenous Impact on Progressa, Discussion Paper No. 3362, February 2008, The Institute for the Study of Labor (IZA), Bonn, Germany. Raza, Anya, (2009) Can conditional cash transfers contribute to reducing poverty in Pakistan? Master Thesis, Faculty of Economics and Business, Universiteit van Amsterdam , diakses pada 21 Oktober 2009, http://ssrn.com/abstract=1365276. SIEF.(2009) Conditional Cash Transfer, Spanish Trust Fund for Impact Evaluation and Results-based Management in Human Development Sectors (SIEF) Cluster Fund, Spain. Sumarto, Sudarno., (2008) How to Design a Social Transfer Program in Developing Countries: The Lessons Learned from The Indonesian Unconditional Cash Transfer Program, The SMERU Research 68
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 68
6/22/2010 6:14:18 PM
Akselerasi Kegiatan Ekonomi Masyarakat Miskin Penerima Bantuan Tunai
Institute, INDONESIA, paper Presented at the 7th PEP Network General Meeting CBMS Network Policy Conference, Manila, December 10-12, 2008. World Bank, (2007) Kecamatan Development Program Qualitative Impact Evaluation, Jakarta. World Bank. (2008) For Protection and Promotion: The design and implementation of effective safety nets. World Bank. (2006) Making the New Indonesia Work for the Poor, World Bank, Washington DC.
69
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 69
6/22/2010 6:14:18 PM
Umi Karomah Yaumidin
70
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 70
6/22/2010 6:14:18 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
BAB 4 DAMPAK UNCONDITIONAL DAN CONDITIONAL CASH TRANSFER TERHADAP AKSESIBILITAS MASYARAKAT MISKIN DI SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN Diah Setiari Suhodo
4.1 Pendahuluan Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar itu meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang dan papan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, air bersih, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari tindak kekerasan serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Definisi di atas menempatkan kemiskinan sebagai sesuatu yang dapat dilihat dari berbagai dimensi. Kemiskinan bisa dilihat dari dimensi pendapatan, dimana masih terdapat 16,7% penduduk Indonesia yang tergolong miskin karena memiliki penghasilan di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan juga dapat dilihat dari dimensi non-pendapatan, yakni melihat kemiskinan dengan memperhitungkan semua dimensi kesejahteraan seperti konsumsi yang memadai, akses terhadap pendidikan dasar, memiliki jaminan kesehatan dan akses terhadap infrastruktur dasar. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa jika dimensi non-pendapatan ini dimasukkan ke dalam perhitungan angka kemiskinan maka setidaknya hampir separuh rakyat Indonesia pernah mengalami paling sedikit satu jenis kemiskinan (World Bank, 2006).
71
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 71
6/22/2010 6:14:18 PM
Diah Setiari Suhodo
Teori pertumbuhan baru memasukkan unsur modal manusia (human capital) sebagai unsur terpenting dalam pertumbuhan ekonomi. Manusialah yang pada akhirnya akan berperan dalam aktivitas-aktivitas ekonomi sehingga bisa mendorong kondisi perekonomian suatu negara ke arah yang lebih baik. Pentingnya modal manusia dalam pembangunan ekonomi mendorong pemerintah memperbaiki kualitas penduduknya dengan melakukan investasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Artinya lagi kemiskinan tidak boleh menghalangi akses pada pendidikan dan kesehatan. Investasi di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolahsekolah baru, mengentaskan buta huruf, meningkatkan ketrampilan masyarakat, memperbaiki sistem pendidikan dan memperluas serta mempermudah akses masyarakat dalam memperoleh pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang terindikasi dari meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan masyarakat. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan akan mendorong peningkatan produktivitas kerja seseorang. Produktivitas kerja yang tinggi akan meningkatkan output dan mengefisienkan biaya produksi, sehingga perusahaan akan bisa mengoptimalkan produksi dan mendapatkan hasil yang lebih baik. Produktivitas yang tinggi juga dapat meningkatkan posisi tawar sehingga tingkat kompensasi yang diterima masyarakat bisa menjadi lebih besar. Tingkat upah yang tinggi pada gilirannya akan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang dapat dilihat dari peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Sebagaimana halnya dengan bidang pendidikan, investasi di bidang kesehatan juga dapat meningkatkan produktivitas masyarakat. Masyarakat yang sehat, terpenuhi kebutuhan gizinya akan bisa beraktivitas dengan baik karena tidak lekas lelah dan tidak mudah sakit. Beban kerja yang bisa ditanggung oleh masyarakat yang sehat pun akan jauh lebih besar dibanding masyarakat yang rentan terhadap penyakit.
72
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 72
6/22/2010 6:14:18 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi sumber daya manusia di bidang pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan rumah tangga (Sitepu dan Sinaga, 2007). Investasi tersebut juga akan menurunkan indeks rasio kemiskinan, indeks intensitas kemiskinan dan indeks kesenjangan. Lebih jauh lagi, investasi untuk pendidikan memberi manfaat lebih besar bagi rumah tangga perdesaan dibandingkan rumah tangga perkotaan, sedangkan investasi kesehatan memberi manfaat lebih besar bagi rumah tangga di perkotaan. Dalam kenyataannya di sektor kesehatan, masyarakat miskin memiliki derajat kesehatan yang rendah yang berdampak pada rendahnya daya tahan mereka untuk bekerja, rendahnya kesehatan tumbuh kembang anak, kurangnya kecukupan pangan, keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat serta kurangnya layanan kesehatan reproduksi. Di sektor pendidikan masyarakat miskin meniliki akses yang rendah terhadap pendidikan formal dan non-formal. Hal ini ditambah lagi dengan terbatasnya jumlah dan mutu sarana dan prasarana pendidikan, jumlah guru bermutu di komunitas miskin, serta jumlah, sebaran dan mutu pendidikan non-formal. Secara umum Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam pencapaian pendidikan di tingkat sekolah dasar, pelayanan kesehatan dasar dan pengurangan angka kematian baik angka kematian ibu dan bayi, akan tetapi beberapa indikator kesejahteraan non-pendapatan, utamanya yang terkait dengan MDGs, masih tertinggal jauh dari negaranegara tetangga. Seperempat anak di bawah usia lima tahun masih mengalami gizi buruk; angka kematian ibu masih tinggi, yakni 307 per 100.000 kelahiran hidup1. Tingkat kematian balita di kalangan keluarga miskin juga sangat tinggi, mencapai 53 balita per 1000 kelahiran hidup. Di quantil pengeluaran rumah tangga terendah, hanya 40% perempuan yang melahirkan dengan dibantu tenaga medis. Di sektor pendidikan, 1
tiga kali lebih besar dari Vietnam dan enam kali lebih besar dari Malaysia
73
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 73
6/22/2010 6:14:18 PM
Diah Setiari Suhodo
meskipun tingkat partisipasi di level sekolah dasar cukup tinggi, yakni 91.95%, tetapi pada level pendidikan yang lebih tinggi, angka ini mengalami penurunan drastis. Pada tingkat pendidikan menengah pertama (SMP), hanya 49.97% anak-anak dari keluarga miskin yang bisa melanjutkan ke SMP, dan di tingkat SMA angka ini terus mengalami penurunan hingga hanya tersisa 21.9% saja yang bisa bersekolah hingga SMA. Penelitian ini dilakukan untuk melihat dampak dari Bantuan uang tunai tidak bersyarat (Unconditional Cash Transfer-UCT) dan Bantuan uang tunai bersyarat (Conditional Cash Transfer-CCT) terhadap aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan. Seperti sudah diuraikan di bagian awal tulisan ini, pendidikan dan kesehatan merupakan dua indikator penting untuk melihat kemiskinan, utamanya sebagai indikator non-ekonomi, dimana masyarakat miskin biasanya mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan pendidikan dan kesehatan yang memadai. Apakah adanya program UCT dan CCT bisa memperbaiki aksesibilitas masyarakat miskin pada dua pelayanan dasar tersebut, jika bisa apakah hal tersebut terjadi secara langsung atau tidak langsung, dan bagaimana mekanismenya, sehingga selain memiliki dampak ekonomi, kedua program tersebut juga bisa memperbaiki kualitas hidup masyarakat miskin dari segi pendidikan dan kesehatan. Untuk mengetahui hal tersebut, penelitian ini memilih 120 responden dari tiga lokasi penelitian yakni Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Sidoarjo dan Kota Jakarta Utara, dimana responden terdiri dari para penerima bantuan dalam bentuk uang tunai yakni BLT dan SPP PNPM Mandiri Perdesaan. Tidak ada responden yang menerima dua program tersebut secara bersamaan sehingga pendapat responden bisa terhindar dari bias.
74
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 74
6/22/2010 6:14:18 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
4.2 Aksesibilitas Masyarakat Miskin pada Sektor Pendidikan dan Kesehatan Keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan pendidikan yang memadai, baik pendidikan formal maupun non-formal, utamanya karena tingginya biaya pendidikan serta terbatasnya jumlah sekolah dan infrastrukturnya termasuk tenaga pengajar. Meskipun pemerintah sudah menghapuskan biaya SPP (Sumbangan Penunjang Pendidikan) sehingga biaya sekolah menjadi nol, dalam realitanya masyarakat tetap terbebani dengan biaya-biaya lain di luar biaya SPP seperti biaya pembelian buku, seragam, kegiatan ekstrakurikuler, dsb. Meskipun biaya-biaya ini sudah ada sejak SPP belum dihapuskan, tetapi tetap saja masyarakat miskin terbebani, bahkan dalam beberapa kasus jumlahnya lebih tinggi dibanding SPP itu sendiri. Selain biaya-biaya yang harus dibayar setiap tahunnya tersebut, terdapat biaya lain yang jauh lebih besar yang diminta pihak sekolah ketika pertama kali seorang anak didik menginjakkan kakinya di sekolah, biaya ini biasa disebut ‘uang gedung’. Besaran uang gedung ini bervariasi di setiap sekolah baik di sekolah swasta maupun negeri. Meskipun pembayarannya bisa dicicil oleh orangtua siswa selama periode tertentu, uang gedung ini tetap saja memberatkan orangtua siswa, utamanya mereka yang miskin. Studi dari SMERU (2008) menunjukkan bahwa biaya-biaya penunjang pendidikan yang harus dibayar oleh orang tua siswa seperti biaya buku, peralatan sekolah, seragam, dan lain-lain jumlahnya sangatlah besar, sebagai contoh di beberapa SMP di Sumedang, Jawa Barat, total biaya yang harus dibayarkan oleh siswa sebesar Rp 400.000 hingga Rp 600.000, di Nusa Tenggara Timur total biaya pendukung pendidikan tidak kurang dari Rp 700.000 per siswa, sungguh suatu jumlah yang amat besar terutama bagi masyarakat miskin. Faktor biaya tinggi ini juga menjadi penyebab tingginya angka drop-out dari sekolah serta rendahnya angka partisipasi sekolah di 75
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 75
6/22/2010 6:14:18 PM
Diah Setiari Suhodo
tingkat yang lebih tinggi. Meskipun ada program bantuan di sektor pendidikan dari pemerintah seperti biaya sekolah yang gratis, dana bantuan BOS (Bantuan Operasional Sekolah), PKH (Program Keluarga Harapan), dan lain-lain, tetapi kesemua program ini tidak secara serta merta meringankan beban orang tua murid untuk mempertahankan pendidikan anak-anak mereka (bagi yang telah bersekolah) dan tidak secara otomatis pula memberikan insentif bagi masyarakat untuk mendaftarkan anak-anak mereka yang belum mengenyam pendidikan formal karena tetap ada biaya lain-lain yang harus dibayar orang tua2. Selain memiliki keterbatasan pada pelayanan pendidikan, masyarakat miskin biasanya juga memiliki keterbatasan akses pada pelayanan kesehatan. Jarak yang jauh antara tempat tinggal dan tempat layanan kesehatan (puskesmas) dan biaya tinggi yang dibutuhkan untuk sampai ke puskesmas menjadi kendala utama rendahnya akses masyarakat miskin kepada layanan kesehatan. Masih banyak daerahdaerah di Indonesia yang lokasi puskesmas terdekat berjarak berpuluhpuluh kilometer dari tempat tinggal masyarakat, terutama sekali di daerah-daerah terpencil. Selain faktor jarak dan biaya, kendala lain adalah sedikitnya jumlah tenaga medis yang melayani mereka dan terbatasnya peralatan medis serta obat-obatan yang memadai. Tenaga medis yang melayani masyarakat miskin biasanya “hanya” bidan dan mantri desa, itupun hanya satu atau dua orang saja, kalaupun jumlahnya memadai biasanya merupakan penduduk asli daerah tersebut yang memang berprofesi sebagai bidan atau mantri. Jumlah tenaga medis sangat tidak seimbang antara daerah kota dan desa, dimana biasanya tenaga medis jauh lebih banyak ditempatkan di kota dan sedikit sekali yang (bersedia) ditempatkan di desa, tempat dimana banyak orang miskin yang membutuhkan. Sedikitnya tenaga medis yang tersedia, jauhnya jarak antara tempat tinggal dengan lokasi pelayanan kesehatan, dan mahalnya 2
Biaya seragam, buku, transportasi dll
76
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 76
6/22/2010 6:14:18 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
biaya transportasi yang dibutuhkan untuk mencapai pusat pelayanan kesehatan menjadi faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya akses masyarakat miskin terhadap layanan kesehatan. Oleh karena itu mereka lebih memilih cara-cara tradisional untuk menyembuhkan penyakit, seperti meminum ramuan-ramuan tradisional, atau menjalankan ‘ritual-ritual’ tradisional yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara medis-ilmiah. Masyarakat miskin juga lebih memilih pergi ke dukun beranak ketika mereka hendak melahirkan dan jarang diantaranya yang menjalankan pemeriksaan rutin baik sebelum maupun sesudah melahirkan, menyebabkan tingginya angka kematian ibu melahirkan dikalangan masyarakat miskin.
4.3 Program Pengentasan Kemiskinan untuk Aksesibilitas Pendidikan dan Kesehatan yang Lebih Baik 1. Program Keluarga Harapan (PKH) Program Keluarga Harapan (PKH) adalah salah satu program pengentasan kemiskinan yang diluncurkan pemerintah di tahun 2007 dan dilakukan di 7 provinsi, yakni Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur. Daerah-daerah tersebut dipilih karena memenuhi kriteria yang ditetapkan program, yakni wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi; penduduknya banyak yang mengalami gizi buruk atau malnutrisi; angka putus sekolah yang tinggi, utamanya untuk pendidikan dasar; memiliki fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai; serta adanya dukungan dari pemerintah daerah yang bersangkutan. PKH merupakan program dengan metode Conditional Cash Transfer (CCT) atau Transfer Tunai Bersyarat dimana program diberikan kepada masyarakat miskin untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan 77
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 77
6/22/2010 6:14:18 PM
Diah Setiari Suhodo
pendidikan mereka. Selain bertujuan mengurangi kemiskinan, kebijakan PKH ini juga memiliki tujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin, terutama anak-anak. Target penerima program CCT PKH adalah keluarga miskin, jadi kebijakan CCT anti-kemiskinan ini merupakan kebijakan yang berbasiskan pada keluarga (family), bukan individu maupun komunitas. Ide untuk melaksanakan program CCT terinspirasi dari keberhasilan program ini di beberapa negara Amerika Latin (Hutagalung, 2009), dimana CCT telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. PKH memberikan bantuan tunai kepada rumah tangga sangat miskin yang memenuhi salah satu persyaratan berikut: terdapat ibu hamil atau menyusui, memiliki anak kecil usia 0-6 tahun, memiliki anak usia sekolah 6-15 tahun, atau memiliki anak usia di bawah 18 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar. Bantuan PKH yang berupa uang tunai diberikan kepada ibu di tiap-tiap keluarga, dimana besaran bantuan bervariasi tergantung pada kondisi di masing-masing keluarga penerima bantuan. Besaran bantuan dan pra syaratnya adalah: 1.
2.
3.
Jika di keluarga penerima bantuan terdapat ibu hamil dan/atau memiliki anak usia 0-6 tahun, karena bantuan diberikan per tiga bulan maka ibu akan menerima uang bantuan Rp 250.000 per tiga bulan atau Rp 1.000.000 per tahun. Jumlah uang yang diberikan tidak melihat jumlah anak usia 0-6 tahun yang dimiliki keluarga penerima. Keluarga yang memiliki dua anak usia 6-12 tahun (usia sekolah dasar - SD) dan satu anak usia 13-15 tahun (usia sekolah menengah – SMP) yang bersekolah, akan mendapat bantuan Rp 450.000 per tiga bulan atau setara dengan Rp 1.800.000 per tahun. Keluarga yang memiliki anak usia 0-6 tahun dan tiga anak usia SD akan menerima uang Rp 550.000 per tiga bulan, setara dengan Rp 2.200.000 per tahun.
78
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 78
6/22/2010 6:14:19 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
Keluarga miskin yang mendapat bantuan PKH harus memenuhi indikator-indikator di bidang kesehatan dan pendidikan, tergantung bantuan di sektor apa yang diberikan kepada keluarga tersebut. Di sektor kesehatan, indikator-indikator yang harus dipenuhi keluarga penerima bantuan antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
4 kali kunjungan periksa kehamilan bagi ibu hamil, mengkonsumsi zat besi selama kehamilan, melahirkan dibantu tenaga medis, 2 kali kunjungan setelah melahirkan, melengkapi imunisasi dasar bagi anak usia 0-5 tahun, terpenuhinya berat badan ideal bagi balita penimbangan berat badan secara teratur bagi balita pemberian vitamin A dua kali bagi balita
Kemudian dalam sektor pendidikan, indikator-indikator yang harus dipenuhi antara lain: 1. 2. 3.
terdaftar sebagai siswa sekolah dasar bagi anak-anak usia 6-12 tahun terdaftar sebagai siswa sekolah menengah pertama bagi anakanak usia 13-15 tahun memenuhi target kehadiran di sekolah paling sedikit 85% untuk semua siswa usia sekolah
Sang ibu di keluarga penerima PKH akan tetap mendapatkan bantuan uang tunai selama mereka bisa menjalankan syarat-syarat di atas, baik dalam hal pendidikan maupun kesehatan. Jika mereka tidak bisa memenuhi salah satu persyaratan, maka bantuan akan dihentikan, tentu saja dengan peringatan terlebih dahulu.
79
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 79
6/22/2010 6:14:19 PM
Diah Setiari Suhodo
2. PNPM Generasi Selain PKH, program pengentasan kemiskinan lewat peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat juga dilakukan lewat program PNPM Generasi. Berbeda dengan PKH yang berbasis keluarga, PNPM Generasi diberikan kepada komunitas. Masyarakat dibantu para fasilitator melakukan proses perencanaan partisipatoris untuk mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan dan kesehatan di lingkungan mereka. Selanjutnya masyarakat akan mengusulkan kegiatan yang akan dibiayai dengan dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) dan swadaya untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Beberapa contoh kegiatan masyarakat di sektor pendidikan dan kesehatan yang bisa didanai dari PNPM Generasi antara lain membangun pos kesehatan seperti posyandu, pemberian imunisasi dan makanan tambahan untuk balita, insentif untuk dokter dan bidan desa, dsb. Dimulai pada pertengahan tahun 2007, PNPM Generasi bertujuan untuk mencapai tiga dari delapan tujuan MDGs, yakni mencapai pendidikan dasar untuk semua, menurunkan angka kematian balita dan meningkatkan kesehatan ibu. Terdapat 12 indikator kesehatan dan pendidikan dasar guna mencapai ketiga tujuan tersebut, yakni: 1.
2.
Indikator mencapai pendidikan dasar untuk semua a. Anak usia 7-12 tahun harus bersekolah SD/MI b. Tingkat kehadiran setiap siswa SD/MI minimal 85% c. Setelah lulus SD/MI, anak melanjutkan ke SMP/MTs d. Tingkat kehadiran setiap siswa SMP/MTs minimal 85% Indikator menurunkan angka kematian balita a. Memberikan imunisasi lengkap b. Berat badan bayi harus naik c. Memberi vitamin A 2x setahun d. Menimbang balita secara rutin
80
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 80
6/22/2010 6:14:19 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
3.
Indikator meningkatkan kesehatan ibu a. Periksa kehamilan 4x b. Minum pil zat besi selama kehamilan c. Melahirkan dibantu bidan atau dokter d. Perawatan nifas dibantu bidan atau dokter
Di tahun pertama pelaksanaannya, PNPM Generasi telah dilaksanakan di 1.610 desa dengan menyerap dana sebesar Rp 127,2 milyar dalam bentuk dana BLM. Selain itu, terdapat dana swadaya masyarakat sebesar Rp 6,7 milyar yang juga digunakan untuk program ini. Dari dana sebesar itu, 56% dana digunakan untuk membiayai kegiatan di sektor pendidikan, sedangkan sisanya yang 44% dipakai untuk membiayai aktivitas yang menunjang kesehatan masyarakat, utamanya ibu dan anak.
Pendidikan 56% Kesehatan 44%
Gambar 4.1 Pemanfaatan Dana PNPM Generasi Sumber: Buletin PNPM, 2008
Beberapa kegiatan pendidikan yang didanai oleh program ini antara lain sarana perlengkapan dan seragam sekolah (59%), bantuan keuangan sekolah (31%), prasarana (5%), insentif keuangan tenaga pendidikan (4%) serta penyuluhan dan pelatihan (1%). Sedangkan 81
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 81
6/22/2010 6:14:19 PM
Diah Setiari Suhodo
kegiatan-kegiatan di sektor kesehatan yang dibiayai antara lain pemberian makanan tambahan untuk balita (40%), bantuan keuangan pemeriksaan kesehatan ibu hamil dan menyusui (30%), prasarana (13%), sarana dan perlengkapan (11%), penyuluhan dan pelatihan (3%) serta insentif tenaga kesehatan (3%).
4.4 Unconditional dan Conditional Cash Transfer: Dampaknya terhadap Aksesibilitas Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat Miskin Seperti disebutkan dalam bab-bab sebelum ini, untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak di tahun 2005/2006 dan 2008 terhadap angka kemiskinan, pemerintah melaksanakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang merupakan pemberian bantuan uang tunai tanpa syarat (unconditional cash transfer) kepada 19,1 juta rumah tangga di seluruh Indonesia. Jumlah uang yang diberikan kepada masing-masing rumah tangga sebesar Rp 100.000 per bulan yang didistribusikan setiap 3 bulan melalui kantor pos di wilayah masing-masing. BLT diberikan bukan hanya kepada rumah tangga miskin saja, tetapi diberikan juga kepada rumah tangga hampir miskin, dimana rumah tangga jenis ini sangat rentan masuk ke dalam kategori miskin bila sedikit saja terkena gejolak ekonomi. Sebagai jaring pengaman sosial, BLT diharapkan menjadi katup pengaman tercepat sehingga masyarakat hampir miskin dan miskin tetap bisa memenuhi kebutuhan mereka di saat harga-harga kebutuhan hidup meningkat seiring kenaikan harga BBM. Meskipun memiliki banyak kelemahan di dalam implementasinya, seperti target penerima BLT yang kurang tepat dimana mereka yang tidak termasuk rumah tangga miskin bisa menerima bantuan, sedangkan sebagian rumah tangga miskin yang layak mendapatkannya justru silap menerima bantuan. Konsep BLT yang memberikan uang begitu saja
82
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 82
6/22/2010 6:14:19 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
kepada masyarakat dianggap kurang mendidik dan akan membentuk mental masyarakat miskin menjadi mental pemalas dan peminta-minta, serta jumlah rupiah yang dianggap terlalu kecil sehingga hanya cukup untuk konsumsi tidak akan cukup untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin dan menggeser posisi mereka menjadi tidak miskin. Dalam perjalanannya, pemerintah ternyata memiliki pemikiran untuk melaksanakan program pengentasan kemiskinan yang bisa benar-benar mengentaskan kemiskinan secara jangka panjang, maka dibentuklah Program Pemberdayaan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang kemudiann menjadi cikal bakal PNPM Mandiri (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri). PPK dilaksanakan untuk mengatasi kemiskinan di wilayah perdesaan, sedangkan P2KP ‘bertugas’ mengatasi kemiskinan di wilayah perkotaan. Kedua program ini menitikberatkan pada peran aktif masyarakat –utamanya masyarakat miskin- pada proses pelaksanaan program, mulai dari menentukan jenis program apa yang mereka butuhkan, berapa biaya yang dibutuhkan untuk merealisasikan program hingga pada pelaksanaan program tersebut masyarakatlah yang mengambil inisiatif lebih banyak. Selain masyarakat, peran dan inovasi institusi lokal seperti perangkat desa, PKK, dsb juga terlibat aktif dalam menjalankan kegiatan PPK dan P2KP, sehingga bisa dikatakan kedua program ini berjalan dengan basis pemberdayaan masyarakat dimana seluruh elemen masyarakat memiliki peluang yang sama untuk terlibat aktif dalam melaksanakan program tersebut, baik laki-laki maupun perempuan. Di PNPM Mandiri, masyarakat tidak diberikan bantuan dalam bentuk uang tunai yang bisa mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka, tetapi dana diberikan untuk membiayai kegiatan yang diusulkan oleh masyarakat, dimana kegiatan tersebutlah yang akan berdampak pada pengurangan kemiskinan di wilayahnya. Sebagai contoh masyarakat menginginkan kegiatan perbaikan pasar 83
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 83
6/22/2010 6:14:19 PM
Diah Setiari Suhodo
desa sehingga masyarakat bisa melakukan aktivitas jual beli dengan lebih nyaman, maka bantuan yang diberikan oleh pemerintah bisa saja diberikan dalam bentuk uang tunai yang nantinya akan dibelikan bahan bangunan untuk memperbaiki pasar, atau bisa juga bantuan yang diberikan oleh pemerintah bukan berupa uang tunai telah berupa bahan bangunan yang perinciannya sudah diberikan oleh masyarakat ketika mereka mengajukan proposal kegiatan perbaikan pasar dahulu. Ada beberapa kegiatan PNPM Mandiri dimana masyarakat diberikan bantuan dalam bentuk uang tunai, yakni pada sub-program dana bergulir yang dinamakan Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Berbeda dengan BLT dimana masyarakat bisa memanfaatkan bantuan uang tunai untuk apa saja terserah pada kebutuhan mereka, di SPP penerima bantuan uang tunai hanya bisa menggunakan uang bantuan tersebut untuk menambah modal usaha mereka, tidak untuk yang lain apalagi digunakan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Tujuan dari SPP adalah memberdayakan perempuan untuk bisa mandiri secara ekonomi dengan memberikan mereka modal usaha (dalam bentuk mikro) yang hasilnya nanti akan bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jumlah dana yang diberikan dalam SPP bervariasi, antara Rp 500.000 hingga Rp 2.000.000 per orang. Dampak terhadap Aksesibilitas Pendidikan Sebagian besar responden dalam penelitian ini mengatakan bahwa pendidikan penting bagi kehidupan anak-anak mereka. Hampir 50% responden bahkan menguatkan pendapat ini dengan mengatakan bahwa pendidikan sangat penting menurut mereka. Hanya ada 1.7% responden yang mengatakan bahwa pendidikan tidak penting bagi mereka. Program bantuan tunai bersyarat yang berupa BLT dan PNPM Perdesaan ini rupanya memberikan harapan bagi masyarakat miskin untuk bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi, setidaknya lebih baik daripada tingkat pendidikan mereka saat ini 84
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 84
6/22/2010 6:14:19 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
selaku orangtua. Bantuan bersyarat tunai dalam bentuk PNPM rupanya memberikan harapan yang lebih besar daripada program BLT, hal ini bisa dilihat pada Gambar 4-2 yang menggambarkan bahwa total 62.7% responden mengatakan bahwa PNPM memberikan harapan bagi mereka untuk dapat menyekolahkan anak-anak mereka ke tingkat yang lebih tinggi dari mereka sekarang. Hanya 3.4% responden yang mengatakan bahwa program ini (PNPM) tidak memberikan harapan sama sekali. Sedangkan BLT rupanya kurang memberikan harapan bagi masyarakat miskin untuk memperbaiki akses anak-anak mereka kepada pendidikan, 21% responden berpendapat bahwa BLT tidak memberikan harapan sama sekali kepada peningkatan pendidikan anak-anak mereka. Meskipun bantuan PNPM memberikan harapan yang lebih besar akan perbaikan tingkat pendidikan, rupanya BLT lebih banyak digunakan oleh masyarakat miskin untuk membiayai kebutuhan sekolah anakanak mereka, hal ini disebabkan oleh sifat BLT yang unconditional atau tidak mensyaratkan apapun bagi para penerimanya, dengan artian para penerima BLT bebas menggunakan dana bantuan untuk memenuhi kebutuhan mereka, apapun itu, sedangkan PNPM yang bersifat conditional atau bantuan bersyarat memiliki kriteria-kriteria tertentu dalam hal penggunaan bantuan, seperti misalnya bantuan hanya boleh digunakan untuk modal usaha saja dan tidak untuk keperluan lain. 59% responden penerima BLT menyatakan menggunakan bantuan BLT untuk membiayai kebutuhan sekolah anak-anak mereka, jumlah yang jauh lebih kecil yakni 37% berlaku hal yang sama untuk penerima bantuan PNPM.
85
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 85
6/22/2010 6:14:19 PM
Diah Setiari Suhodo
Gambar 4.2 Harapan yang Diberikan oleh Program untuk Menyekolahkan Anak ke Tingkat yg Lebih Tinggi Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009, diolah
Angka persentase penggunaan dana bantuan untuk membiayai sekolah anak yang relatif kecil untuk PNPM sesungguhnya merupakan hal yang wajar jika melihat sifat dari bantuan seperti dijelaskan di atas, bahkan seharusnya angka ini jauh lebih kecil lagi bahkan nol karena bantuan PNPM Mandiri Perdesaan khusus simpan pinjam yang dijadikan obyek dalam penelitian ini mengkhususkan programnya hanya untuk membantu menambah modal si penerima bantuan, jadi jika bantuan tersebut sebagiannya ternyata ada yang digunakan untuk membiayai kebutuhan sekolah maka bisa berarti terdapat penyimpangan dalam hal penggunaan bantuan khususnya untuk bantuan yang bersifat bersyarat (conditional cash transfer). Responden yang tidak menggunakan dana bantuan untuk membiayai kebutuhan sekolah anak-anak mereka memiliki beragam alasan. Empat puluh satu persen responden penerima BLT yang tidak menggunakan dana BLT-nya untuk pendidikan memiliki alasan bahwa dana yang mereka terima jumlahnya tidak terlalu besar dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi saja atau untuk membayar utang, 86
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 86
6/22/2010 6:14:19 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
yang biasanya adalah utang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian mereka. Beberapa lagi beralasan bahwa untuk pendidikan anakanak mereka sudah tidak lagi dikenakan biaya sekolah alias sekolah gratis, juga ada bantuan lain yang khusus di bidang pendidikan seperti bantuan BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Alasan 63% responden yang tidak menggunakan dana bantuan untuk membiayai kebutuhan sekolah anak-anaknya juga beragam, sebagian besar mengatakan bahwa bantuan yang mereka dapatkan hanya digunakan untuk menambah modal usaha mereka seperti membeli bibit ikan, modal berdagang, dan sebagainya. Alasan lainnya adalah jumlah bantuan yang mereka dapatkan sangat kecil, jika digunakan untuk membiayai kebutuhan sekolah anak maka tidak akan cukup untuk digunakan sebagai modal usaha, sehingga mereka mementingkan pemanfaatan dana untuk modal usaha terlebih dahulu. Selain alasan-alasan tersebut, adanya program bantuan lain untuk sekolah anak merupakan faktor penunjang tidak digunakannya bantuan PNPM untuk membiayai kebutuhan pendidikan. Sekolah yang sudah gratis dan adanya program BOS sangat membantu masyarakat penerima PNPM untuk mengakses pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak mereka.
Gambar 4.3 Penggunaan Bantuan untuk Membiayai Kebutuhan Sekolah Anak Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009, diolah
87
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 87
6/22/2010 6:14:19 PM
Diah Setiari Suhodo
Meskipun beberapa responden menggunakan bantuan tunai BLT dan PNPM untuk membiayai pendidikan anak-anaknya, tetapi ternyata porsi yang digunakan untuk hal tersebut tidaklah besar, tidak ada penerima BLT yang menggunakan lebih dari 75% dana yang diterimanya (berarti ekuivalen dengan lebih dari Rp 75.000 per bulan) untuk membiayai sekolah anak-anak mereka, sedangkan hanya 18% untuk penerima PNPM dan 34% untuk penerima BLT yang menggunakan 25-50% dari uang bantuan untuk membayar biaya sekolah. Biaya pendidikan ini bukan hanya biaya sekolah saja (SPP) tetapi juga termasuk biaya-biaya pendidikan lainnya seperti membeli buku, seragam, alat tulis dan keperluan sekolah lainnya. Sebagian besar responden hanya menggunakan kurang dari 25% uang bantuan untuk biaya pendidikan. Kecilnya jumlah bantuan (untuk BLT) membuat masyarakat mendahulukan memenuhi kebutuhan konsumsi. Di sisi lain pemanfaatan dana yang sudah pasti untuk modal usaha (untuk PNPM), tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan lain akan diartikan adanya indikasi penyimpangan pemanfaatan dana.
Gambar 4.4 Jumlah Bantuan yang Digunakan untuk Membiayai Pendidikan Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009, diolah
88
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 88
6/22/2010 6:14:19 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
Dampak terhadap Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan Serupa dengan temuan di sektor pendidikan, dampak bantuan tunai baik yang bersayarat dan tidak bersyarat tidak memberikan peningkatan yang terlalu berarti terhadap akses masyarakat miskin ke pelayanan kesehatan, utamanya membantu mereka dalam hal membiayai pengobatan jika sakit. Penerima BLT lebih bias menggunakan dana bantuan untuk membiayai pengobatan jika mereka sakit, 65% responden mengatakan dapat menggunakan bantuan yang mereka terima untuk mengakses pelayanan kesehatan. Sebaliknya, penerima bantuan PNPM sedikit sekali yang dapat menggunakan uang tunai yang mereka terima untuk mendapatkan akses kesehatan yang lebih baik. Hanya 30% responden penerima PNPM menggunakan bantuan tersebut untuk membiayai pengobatan jika mereka sakit. Sedangkan 70% sisanya tidak menggunakan dana tunai tersebut untuk mengakses pelayanan kesehatan. Hal ini lagi-lagi dilandasi oleh sifat bantuan yang berbeda, BLT yang tidak mensyaratkan apapun bagi pemanfaatannya membuat penerimanya bisa leluasa menggunakan dana tunai-nya untuk keperluan apapun, sedangkan penerima PNPM yang pemanfaatan bantuannya sudah ditentukan di awal tidak dapat menggunakan dana tersebut dengan sembarangan.
Gambar 4.5 Penggunaan Bantuan untuk Biaya Berobat Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009, diolah
89
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 89
6/22/2010 6:14:20 PM
Diah Setiari Suhodo
4.5 Dampak BLT dan PNPM Mandiri terhadap Aksesbilitas Pelayanan Pendidikan Penelitian ini mencoba merumuskan indeks untuk melihat dampak PNPM dan BLT terhadap peningkatan akses pendidikan dan kesehatan. Indeks disusun dengan memberikan pembobotan pada pilihan responden terhadap pertanyaan penelitian, baik untuk sektor pendidikan maupun kesehatan. Kesimpulan hasil indeks tersebut dapat dilihat di bawah ini: Tabel 4.1 Perbandingan Total Indeks Pendidikan dan Kesehatan, BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
Kategori
BLT
PNPM
Pendidikan
0.507
0.570
Kesehatan
0.628
0.703
Total
0.553
0.620
Sumber: Data Primer P2E LIPI, 2009, diolah
Dari tabel di atas terlihat bahwa PNPM memiliki angka indeks yang lebih tinggi dibandingkan dengan angka indeks untuk BLT. Jika dilihat secara individual persektor pun angka tersebut masih lebih tinggi untuk PNPM dibandingkan BLT, baik di sektor pendidikan maupun kesehatan. Angka indeks PNPM yang lebih tinggi daripada BLT dapat diartikan bahwa PNPM memiliki dampak yang lebih baik dalam hal akses masyarakat miskin pada pelayanan pendidikan dan kesehatan, dibandingkan dengan BLT. Angka indeks yang relatif rendah sebenarnya menunjukkan ”keragu-raguan” akan bisa tidaknya kedua program pengentasan kemiskinan tersebut meningkatkan akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Karena jika melihat kepada struktur bantuan, sangat kecil kemungkinan kedua program ini bisa berdampak langsung pada peningkatan akses pendidikan dan kesehatan masyarakat miskin. 90
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 90
6/22/2010 6:14:20 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
Gambar 4.6 Indeks Pendidikan dan Kesehatan BLT dan PNPM Sumber : Data Primer P2E LIPI, 2009, diolah
PNPM Mandiri Perdesaan program Simpan Pinjam Perempuan yang menjadi obyek dalam penelitian ini memiliki persyaratan bahwa penggunaan bantuan uang tunai hanya diperbolehkan untuk membiayai modal usaha para penerima bantuan, tidak boleh selain itu. Tetapi jumlah bantuan yang diterima memang relatif besar, yakni antara Rp 500.000 hingga Rp 2 juta rupiah, dimana dalam penggunaannya tidak bisa 100% diawasi oleh petugas PNPM sehingga bisa saja diantara penerima bantuan ada yang menggunakan uang tersebut untuk membiayai kebutuhan pendidikan dan/atau kesehatan mereka, meskipun prosentase yang dipakai untuk hal tersebut sedikit. Adapun PNPM memang memberikan harapan bagi para penerimanya untuk bisa menyekolahkan putra-putrinya ke jenjang yang lebih tinggi, karena bantuan modal usaha yang diberikan diharapkan bisa melancarkan dan meningkatkan skala usaha mereka. Meningkatnya skala usaha ini diharapkan dapat meningkatkan kesejateraan para penerima bantuan PNPM dalam jangka panjang. Berbeda dengan PNPM, BLT merupakan bantuan yang memiliki fleksibilitas tinggi, para penerimanya bebas menggunakan uang tunai yang mereka terima untuk kegiatan apapun. Hanya saja, jumlah bantuan yang kecil yang hanya Rp 300.000 per tiga bulan, membuat para penerima bantuan hanya bisa memanfaatkan uang yang 91
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 91
6/22/2010 6:14:20 PM
Diah Setiari Suhodo
mereka terima untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti membeli bahan makanan atau untuk membayar utang. Jumlah bantuan yang kecil ini membuat masyarakat miskin tidak bisa menggunakannya untuk keperluan pendidikan dan kesehatan, dan kalaupun ada yang menggunakan uang bantuan untuk kedua hal tersebut, maka jumlah yang digunakan tidak banyak.
4.6 Kesimpulan Dampak program pengentasan kemiskinan BLT dan PNPM tidak bisa secara langsung meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan. Hal ini disebabkan karakteristik program yang membuat para penerima bantuan tidak bisa menggunakan uang tunai yang mereka terima untuk mengakses pendidikan dan kesehatan dengan memadai. Kalaupun kedua program tersebut memiliki dampak terhadap peningkatan akses pendidikan dan kesehatan, maka dampak tersebut tidak terjadi secara langsung dan baru akan bisa dirasakan dalam jangka panjang. Hasil penghitungan angka indeks untuk PNPM Mandiri terlihat memiliki jumlah yang lebih tinggi dibandingkan angka indeks pada program BLT. Hal ini menunjukkan bahwa PNPM Mandiri memberikan peluang kepada akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik dibandingkan BLT. Tetapi mengingat persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima PNPM dimana uang tunai yang mereka terima harus digunakan untuk modal usaha, bukan untuk yang lain, maka hasil angka indeks untuk PNPM yang lebih tinggi dibandingkan BLT menjadi ambigu. Jika melihat besaran angka indeks yang ternyata relatif kecil (di kisaran 0.5) maka bisa dijelaskan bahwa meskipun pemanfaatan PNPM ditujukan sebagai modal usaha, tetapi jumlah bantuan yang relatif besar dapat digunakan untuk keperluan lain di luar tujuan yang seharusnya, misalnya untuk membayar sekolah anak maupun untuk biaya berobat. Petugas PNPM pun tidak akan mungkin bisa mengawasi 92
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 92
6/22/2010 6:14:20 PM
Dampak Unconditional dan Conditional Cash Transfer terhadap Aksesibilitas Masyarakat Miskin di Sektor Pendidikan dan Kesehatan
100% penggunaan uang tunai dari PNPM tersebut, sehingga hal-hal tersebut tadi bisa saja terjadi. Di sisi yang lain, BLT yang tidak memiliki persyaratan apapun dalam penggunaannya, sehingga para penerimanya bebas membelanjakan uang yang mereka terima, juga tidak memiliki pengaruh besar dalam meningkatkan akses masyarakat miskin pada pelayanan pendidikan dan kesehatan. Hal ini dikarenakan jumlah bantuan yang diterima masyarakat miskin sangat kecil sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makanan harian saja, kalaupun bisa digunakan untuk membiayai keperluan pendidikan dan kesehatan, jumlahnya tidaklah seberapa.
93
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 93
6/22/2010 6:14:20 PM
Diah Setiari Suhodo
DAFTAR PUSTAKA
Morrisson, Christian, 2002, Health, Education and Poverty Reduction, Policy Brief No. 19, OECD Development Center, OECD PNPM Mandiri, 2008, Generasi Sehat dan Cerdas, Buletin Kuartalan Edisi 3, September Sitepu, Rasidin K dan Bonar M. Sinaga, 2007, Dampak Investasi Sumber Daya Manusia terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan di Indonesia: Pendekatan Model Computable General Equilibrium, Jurnal SOCA (Socio-Economic of Agriculture and Agribusiness), Vol. 7 No. 2, Universitas Udayana SMERU, 2008, Studi Baseline Kualitatif PNPM Generasi dan PKH: Ketersediaan dan Penggunaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dan Pendidikan Dasar di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur Hutagalung, Stella A., et al, 2009, Problems and Challenges for the Indonesian Conditional-Cash Transfer Programme – Program Keluarga Harapan (PKH), Social Protection Asia Working Paper Issue No.04
94
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 94
6/22/2010 6:14:20 PM
Program Anti Kemiskinan dan Modal Sosial Masyarakat Miskin
BAB 5 PROGRAM ANTI KEMISKINAN DAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT MISKIN Toerdin S. Usman
5.1 Pendahuluan Kehidupan yang ideal – pada semua tingkat dan konteks – akan menjadi titik-tuju setiap manusia. Setiap manusia akan berupaya dengan seoptimal mungkin untuk menggapai titik-tuju kehidupan yang ideal tersebut, sebagai upaya perbaikan nasib: proses dialektik ke arah titik-akhir determinasi kehidupan. Bagaimanapun, wilayah perubahan yang bisa dikelola oleh manusia hanyalah proses perbaikan sebelum sampai pada titik-akhir upaya yang dilakukannya. Titik-akhir upaya itulah yang lazim disebut sebagai takdir. Karena itu, acuan sukses/ tidak suksesnya kehidupan secara permanen mutlak perlu disandarkan pada nilai-nilai tersebut sehingga keseluruhan aktivitas hidup bisa diselaraskan ke dalam hakikat terkait. Kecuali itu, universalitas sistem nilai akan melampaui ruang dan waktu. Sistem nilai individual yang terekayasa oleh lingkungannya akan menjadi satu sistem nilai kolektif yang berperan sebagai modal sosial dengan segala turunannya. Modal sosial yang terbangun dari sistem nilai adalah niscaya bahkan bersifat determinatif. Demikianlah, modal sosial1 dan sistem nilai2 akan saling terkait. Dalam masyarakat yang dominan diwarnai nilai-nilai luhur, yang berasal dari sosial-kemasyarakatan dan/atau sosial-keagamaan, sistem nilai akan secara relatif terwarnai oleh nilai-nilai luhur tadi. Pada 1
Agregat sumber-sumberdaya potensial dan aktual yang berhubungan dengan kepemilikan dan jaringan yang berlangsung lama karena adanya hubungan terinstitusionalisasi dan saling mengakui (Bourdieu, 1985).
2
Sistem nilai adalah keseluruhan cara-pandang (worldview), sikap (attitude) dan perilaku (behaviour), yang mempunyai peran determinatif dalam hidup dan kehidupan manusia.
95
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 95
6/22/2010 6:14:20 PM
Toerdin S. Usman
gilirannya akan membuahkan etos kerja atau sikap strategis seseorang pada dirinya sendiri dan pada lingkungan sosialnya. Pada paparan di bawah akan mengemuka modal sosial kemasyarakatan dan modal sosial keagamaan yang wujud di Desa Jeruksari, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Modal sosial tersebut niscaya sedikit-banyak akan berperan signifikan dalam pengentasan kemiskinan. Sistematika keseluruhan tulisan terdiri atas pertama pendahuluan, yang diikuti oleh paparan tentang dialektika solusi kemiskinan, kemudian bagian berikutnya tentang modal sosial anti kemiskinan dengan mengambil kasus desa Jeruksari Tulisan diakhiri dengan bagian penutup.
5.2 Dialektika Solusi Kemiskinan Kemiskinan tidak berdimensi atau berkategori tunggal. Ellis (Nugroho, 1995), misalnya, telah membagi dimensi kemiskinan ke dalam tiga kategori yaitu: pertama, kemiskinan yang berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan berdimensi sosial dan budaya. Untuk memahami kemiskinan dimensi ini, ukurannya sangat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan membentuk kantong-kantong kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan, yang dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan lain-lain. Karena itu, serangan terhadap kemiskinan sama artinya dengan pengikisan budaya tersebut. Apabila budaya kemiskinan tidak dihilangkan, maka kemiskinan ekonomi akan sulit ditanggulangi. Ketiga, kemiskinan berdimensi struktural atau politik. Orang yang mengalami kemiskinan ekonomi karena orang tersebut pada hakekatnya mengalami kemiskinan struktural atau politis. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik juga tidak memiliki kekuatan politik, 96
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 96
6/22/2010 6:14:20 PM
Program Anti Kemiskinan dan Modal Sosial Masyarakat Miskin
sehingga menduduki struktur sosial paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural atau politis akan berakibat pula pada kemiskinan secara material (ekonomi). Karena itu, jika upaya pengentasan kemiskinan ingin efektif, maka harus juga ada upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis. Sementara itu Lewis (Ancok, 1995) mengkategorisasi masalah kemiskinan berdasarkan tiga pendekatan yaitu: pendekatan kultural, pendekatan situasional, dan pendekatan interaksional. Dengan konsep cultural poverty yang dikemukakannya, Lewis – tokoh utama yang menggunakan pendekatan kultural – berpendapat bahwa kemiskinan merupakan suatu budaya yang terjadi karena penderitaan ekonomi (economic deprivation) yang berlangsung lama. Berdasarkan penelitian pada beberapa kebudayaan kelompok etnik, Lewis menemukan bahwa kemiskinan merupakan salah satu sub-kultur masyarakat yang mempunyai kesamaan ciri di antara etnik yang satu dengan lainnya. Adapun yang menjadi akar penyebab timbulnya budaya miskin tersebut, menurut Lewis, adalah masyarakat itu sendiri yang bercirikan: 1. 2. 3. 4.
5. 6.
Sistem perekonomian yang terlalu berorientasi pada mencari keuntungan; Tingginya angka pengangguran dan angka under employment bagi kelompok yang tidak memiliki keahlian (unskilled labour); Rendahnya upah/gaji yang diperoleh para pekerja; Tidak adanya organisasi sosial, politik, dan ekonomi bagi kaum miskin; baik yang didirikan oleh pemerintah maupun oleh swadaya masyarakat (non-governmental organization); Hadirnya sistem kekeluargaan bilateral, yang menggantikan sistem kekeluargaan unilateral; Hadirnya kelas masyarakat yang dominan, yang menekankan
97
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 97
6/22/2010 6:14:20 PM
Toerdin S. Usman
pada penumpukan harta dan kekayaan juga kesempatan untuk terus meningkat dalam status (upward mobility). Anggota kelas masyarakat ini beranggapan bahwa penyebab kemiskinan adalah sifat pribadi yang lemah dan inferior. Menurut Lewis pula, budaya kemiskinan adalah suatu cara yang dipakai oleh orang miskin untuk beradaptasi dan bereaksi terhadap posisi mereka yang marginal dalam masyarakat yang memiliki kelaskelas dan bersifat individualistik—kapitalistik. Budaya kemiskinan merupakan disain kehidupan bagi orang miskin yang berisikan pemecahan problema-problema kehidupan mereka, yang diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Berbeda dengan apa yang diasumsikan Lewis (Ancok, ibid.) mengatakan bahwa ciri-ciri sub-kultur orang miskin bukan karena kebudayaan yang dihasilkan secara turun-temurun. Ciri-ciri itu timbul karena situasi yang menekan: itulah pendekatan situasional. Bilamana situasi yang menekan itu hilang, maka ciri-ciri tersebut akan hilang dengan sendirinya. Situasi yang menekan tersebut timbul karena struktur total dari sistem sosial yang ada di dalam suatu masyarakat. Masih menurut Valentine bahwa untuk merubah keadaan orang-orang miskin ke arah yang lebih baik, harus diupayakan perubahan yang simultan dalam tiga hal: pertama, penambahan resources (kesempatan kerja, pendidikan, dan lain-lain) bagi orang miskin. Kedua, perubahan struktur sosial masyarakat; dan ketiga, perubahan-perubahan di dalam sub-kultur masyarakat orang miskin tersebut. Sumber perubahan yang paling mungkin adalah gerakan-gerakan sosial untuk menghidupkan kembali keyakinan diri kelompok miskin. Gerakan ini harus berasal dari dalam kelompok orang miskin itu sendiri. Bila telah timbul keyakinan diri, maka hambatan-hambatan kultural, sebagai ciri masyarakat miskin akan terkikis. Ahli lain yang mengajukan pendapatnya tentang kehidupan orang 98
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 98
6/22/2010 6:14:20 PM
Program Anti Kemiskinan dan Modal Sosial Masyarakat Miskin
miskin – yang terkait dengan pendekatan interaksional – adalah Gans. Menurut Gans yang dikutip oleh Djamaludin (1995), perilaku dan ciriciri yang ditampilkan kaum miskin merupakan hasil interaksi di antara faktor kebudayaan yang sudah tertanam di dalam diri orang miskin, dan juga karena faktor situasi yang menekan. Gans tidak sependapat dengan Lewis yang menyatakan bahwa orang miskin di semua negara mempunyai ciri-ciri yang sama. Gans berpendapat bahwa orang-orang miskin bersifat heterogen. Sebagian orang miskin menjadi miskin karena warisan generasi sebelumnya, sedangkan sebagian orang miskin yang lain hanya miskin secara periodik. Sebagian orang miskin bertambah miskin (downwardly mobile), sedangkan kehidupan sebagiannya lagi bertambah baik (upwardly mobile). Sebagian dari mereka berorientasi ke atas dan melihat adanya kesempatan untuk maju, sedangkan sebagian lainnya tidak berorientasi demikian dan tidak menggunakan kesempatan yang tersedia untuk peningkatan kualitas hidup. Gans menolak anggapan bahwa kebudayaan itu bersifat holistik yang elemennya hanya dapat berubah bilamana semua sistem budaya tersebut berubah. Menurut Gans, pemecahan terakhir masalah kemiskinan terletak pada upaya untuk mengetahui berbagai faktor yang menghambat orang-orang miskin dalam menggunakan kesempatan yang tersedia. Juga, upaya untuk memberikan keyakinan diri pada si miskin untuk menggunakan kesempatan yang tersedia, walaupun mungkin bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan yang dianut saat itu. Untuk menyediakan kesempatan tersebut diperlukan suatu pemahaman tentang perubahan yang diperlukan dalam sistem ekonomi, struktur kekuasaan dan norma-norma serta aspirasi kelompok orang kaya yang ikut memunginkan timbulnya kelompok orang miskin. Dialektika kemiskinan di atas kiranya akan bermakna jika diikuti wujud operasionalnya, sebagai bagian dari upaya solutif kemiskinan itu sendiri. Terkait ini, sebagai contoh kasus, sejak tahun 1999 di Pekalongan, Jawa Tengah, telah wujud pelaksanaan Program Penanggulangan 99
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 99
6/22/2010 6:14:20 PM
Toerdin S. Usman
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), sebagai upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara mandiri. Program ini sangat strategis karena menyiapkan landasan kemandirian masyarakat berupa institusi masyarakat yang representatif, mengakar dan menguat bagi perkembangan modal sosial (social capital) masyarakat di masa mendatang serta menyiapkan pondasi kemitraan masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat. Kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan dipercaya (secara generik disebut Badan Keswadayaan Masyarakat atau disingkat BKM) tersebut dibentuk melalui kesadaran kritis masyarakat untuk menggali kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pondasi modal sosial kehidupan masyarakat. Dengan demikian, BKM selain diharapkan mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin dalam menyuarakan aspirasi dan kebutuhan mereka, sekaligus menjadi motor bagi upaya penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh masyarakat secara mandiri dan bekelanjutan, mulai dari proses penentuan kebutuhan, proses penyusunan program, pelaksanaan program hingga pemanfaatan dan pemeliharaan hasil-hasil program3. Etos kerja BKM tersebut akan semakin mengental karena tampak bersinergi dengan garis kebijakan pemerintah daerah. Terkait ini, pemberdayaan dan pengembangan ekonomi masyarakat melalui kerjasama dengan pihak luar menjadi bagian dari kebijakannya. Hal itu dinyatakan oleh Wali Kota Pekalongan4. Berbicara tentang kebijakan penanggulangan kemiskinan di Pekalongan itu sendiri, prosesnya tidak linier. Dikatakan demikian karena hubungan kausal di antara faktor-faktor terkait berlangsung secara tidak harmonis, sehingga program PNPM Mandiri memiliki ‘kecacatan’ implementatif. Bahkan, dalam PNPM Mandiri – sebagai 3 4
http://pnpmkabpekalongan.web.id/index.php Wawancara dengan walikota, 12 Agustus 2009
100
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 100
6/22/2010 6:14:20 PM
Program Anti Kemiskinan dan Modal Sosial Masyarakat Miskin
program payung yang di dalamnya diharapkan terintegrasi seluruh program-program penanggulangan kemiskinan – juga masih muncul ketidakharmonisan. PNPM Mandiri Perkotaan dan PNPM Mandiri Perdesaan yang menjadi garda depan program PNPM-pun masih berjalan sendiri-sendiri, dengan konsep sendiri-sendiri pula (ibid.). Sementara itu, PNPM Mandiri Perkotaan di Kabupaten Pekalongan sampai dengan tahun 2008 meliputi 8 (delapan) kecamatan di Kabupaten Pekalongan, yaitu Kecamatan Wonokerto, Tirto, Buaran, Wiradesa, Bojong, Kedungwuni, Karangdadap, dan Wonopringgo. Total desa/kelurahan yang didampingi adalah 119 desa/kelurahan dengan sebaran 10 (sepuluh) desa/kelurahan di Kecamatan Buaran, 16 (enam belas) desa/kelurahan di Kecamatan Wiradesa; 22 (dua puluh dua) desa/kelurahan di Kecamatan Bojong; 11 (sebelas) desa/kelurahan di Kecamatan Karangdadap, 14 (empat belas) desa/kelurahan di Kecamatan Wonopringgo, 19 (sembilan belas) desa/kelurahan di Kecamatan Kedungwuni, 16 (enam belas) desa/kelurahan di Kecamatan Tirto, dan 11 (sebelas) desa/kelurahan di Kecamatan Wonokerto (ibid). Dialektika solusi kemiskinan tampak juga pada jajaran kepemimpinan desa. Kepala Desa Jeruksari5 beserta Staf menuturkan tentang kompleksnya permasalahan pengentasan kemiskinan. Hal ini, antara lain, terkait dengan kehidupan masyarakat yang tidak menentu, dalam kondisi lingkungan yang sangat kumuh. “Apabila di suatu desa ada permasalahan kemiskinan, hal itu harus ditanggulangi. Terkait BKM, lembaga tersebut akan solid jika pinjaman modalnya tidak bermasalah”, demikian tuturnya. Dituturkannya pula tentang program penanggulangan kemiskinan yang berbasis wilayah provinsi; yang sangat disayangkan adalah BKM yang terbaik di suatu kota/kabupaten disuruh mengusulkan suatu program penanggulangan kemiskinan, yang nilainya sekitar 1 milyar rupiah, tetapi harus berkompetisi dengan BKM yang lain. Dalam hal ini, mungkin pemerintah tidak melihat pada keadaan dan prioritas, tetapi hanya melihat isi peraturan dan dokumen 5
Wawancara tim dengan Kepala Desa, 11 Agustus 2009
101
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 101
6/22/2010 6:14:21 PM
Toerdin S. Usman
yang ada. Akibatnya, BKM yang sangat memerlukan pendanaan justru tidak masuk nominasi. Sebaliknya, BKM yang masuk nominasi justru kelompok masyarakat yang kehidupannya sudah mapan. Terhadap permasalahan tersebut sudah dilakukan pengaduan ke Bappeda. Bagaimana program pengentasan kemiskinan akan dapat menyelamatkan masyarakat, jika penangganannya seperti itu. Terkait dana bergulir, hal itu perlu disosialisasikan kepada masyarakat bahwa dana tersebut merupakan dana dari pemerintah; karena itu, tidak boleh dijadikan rebutan. Dituturkannya: “Kami orang miskin – tetapi kaya batin – kok mengurusi masalah kemiskinan?! Apa yang bisa didapat? Kami tidak menerima semacam honor atau kompensasi; justru di antara kami banyak yang nombok. Aturan dari PNPM menegaskan bahwa BKM tidak boleh menerima honor sepeserpun. Tetapi, masyarakat selalu negative thinking. Padahal, apapun yang diperbuat, tidak dimakan duitnya; takut dianggap membohongi. BKM ada 13 anggota; makin ke sini, yang bisa eksis adalah yang kepeduliannya masih melekat. Yang lain-lain mungkin merasa tidak ada apa-apanya; memikirkan keluarga saja memerlukan konsentrasi, dan sebagainya. Akhirnya, tingkat kehadiran anggota BKM makin berkurang saja. Bahkan, akhir-akhir ini, untuk mengumpulkan yang 13 anggota terasa sulit. Lebih dari itu, ada pengalaman yang melemahkan kinerja karena BKM hampir tiap hari diserang masyarakat”.
5.3 Modal Sosial Anti Kemiskinan : Kasus Desa Jeruksari Modal Sosial Kemasyarakatan Sampai dengan bulan April 2009 (Profil Desa Jeruksari, 2009), penduduk Desa Jeruksari Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan, berjumlah 6.764 orang: 3.372 laki-laki, 3.392 perempuan. 95% di antara mereka merupakan penduduk asli, yang 5% lagi merupakan pendatang. Meskipun Desa Jeruksari merupakan desa pesisir, tetapi tingkat 102
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 102
6/22/2010 6:14:21 PM
Program Anti Kemiskinan dan Modal Sosial Masyarakat Miskin
pendidikan penduduknya – jika dibandingkan dengan desa pesisir pada umumnya – relatif baik. Betapa tidak; di desa tersebut penduduk yang berhasil menamatkan jenjang pendidikan tinggi sebanyak 46 orang, jenjang SMTA sebanyak 275 orang, jenjang SMTP sebanyak 438 orang, dan jenjang S.D. sebanyak 2.622 orang. Sementara yang tidak berhasil menamatkan jenjang pendidikan S.D. sebanyak 886 orang, yang masih menjalani jenjang pendidikan S.D. sebanyak 751 orang, dan yang tidak bersekolah sebanyak 571 orang. Terkait mata-pencaharian, penduduk Desa Jeruksari menjalaninya dengan beragam. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai PNS (32 orang), sebagai petani (189 orang), sebagai buruh tani (162 orang), sebagai nelayan (183 orang), sebagai pengusaha (27 orang), sebagai buruh industri (1.245 orang), sebagai buruh bangunan (234 orang), sebagai pedagang (33 orang), sebagai pekerja sektor angkutan (328 orang), sebagai pensiunan (11 orang), dan sebagai pekerja sektor lainnya (2865 orang). Desa Jeruksari yang terletak di pesisir pantai utara, berbatasan dengan Kota Pekalongan. Desa tersebut merupakan wilayah pemukiman penduduk yang padat dengan berbagai persoalan kemiskinan. Adapun garis besar permasalahan kemiskinan yang dihadapi masyarakat tersebut terbagi ke dalam tiga kategori yaitu: 1. Permasalahan di bidang lingkungan; terkait ini, yang paling sering menjadi problem utama adalah masalah banjir: air hujan maupun rob, pembuangan limbah dan sampah yang belum tertangani dengan baik, perumahan yang tidak/kurang layak huni bagi warga miskin, dan juga belum semua warga memiliki sarana mandi-cucikakus (mck) yang memadai. 2. Permasalahan di bidang ekonomi; antara lain terkait dengan banyaknya jumlah pengangguran, pendapatan masyarakat yang relatif kecil sehingga tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, serta kurangnya permodalan bagi masyarakat yang mempunyai usaha. 3. Permasalahan di bidang sosial; banyak masyarakat Desa Jeruksari berada di usia produktif, tapi pada kenyataannya mereka tidak 103
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 103
6/22/2010 6:14:21 PM
Toerdin S. Usman
memiliki pekerjaan atau penghasilan karena tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja; kecuali itu, banyak anak warga yang putus sekolah. Permasalahan kemiskinan tersebut teridentifikasi dalam Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (PJM Pronangkis), sebagai acuan dalam penanggulangan kemiskinan di Desa Jeruksari. PJM Pronangkis Desa Jeruksari 2007 – 2009 telah dirumuskan secara partisipatif melalui pelaksanaan siklus review partisipatif (21 November 2008 s.d. 14 Februari 2009) dan melalui lokakarya revisi PJM Pronangkis Desa Jeruksari (20 Februari 2009). PJM Pronangkis merupakan rencana tiga tahunan yang berfungsi sebagai pedoman dasar dan arahan program penanggulangan kemiskinan masyarakat di Desa Jeruksari Di Desa Jeruksari terdapat beberapa lembaga yang dibentuk oleh masyarakat, antara lain: Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Majelis Ta’lim, Lembaga Swadaya Masyarakat (Pattiro dan PMPCL: Paguyuban Masyarakat Pesisir Cinta Lingkungan), PKK, Kelompok Petani Sawah (Kelompok Tani Resmi Tani, Sari Tani dan Pari Maju), dan Kelompok Petani Ikan Lele “Soponyono”, serta Kelompok Petani Tambak. Terkait kelembagaan tersebut, infrastruktur modal sosial yang paling berperan adalah Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) “Akur Jaya”. BKM tersebut berperan sebagai organisasi masyarakat warga dalam membangun kapasitas sosialnya melalui pemberdayaan masyarakat. Mekanisme yang dilakukan adalah membangun kepercayaan dengan pihak luar, termasuk juga dengan pemerintah dan kelompok yang peduli. Jalinan kemitraan tersebut dibangun untuk membagi peran (sharing) dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan sekaligus optimalisasi potensi dan sumberdaya dari luar. Di antara jenis kegiatan 104
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 104
6/22/2010 6:14:21 PM
Program Anti Kemiskinan dan Modal Sosial Masyarakat Miskin
yang terealisasi adalah: pembangunan prasarana lingkungan (mck, pavingisasi) dan pembangunan jalan aspal. Keberhasilan BKM “Akur Jaya” dalam membangun kapasitas sosial tentunya tidak terlepas dari peran lembaga pemerintahan desa sebagai mitra dalam pembangunan; terkait ini, koordinasi dengan pihak desa selalu dibangun melalui agenda pertemuan antara lain: rutin bulanan, musrenbang – serta dengan keterlibatan aparat pemerintahan desa sebagai pengawas kegiatan. Demikianlah, BKM “Akur Jaya” merupakan lembaga milik masyarakat Desa Jeruksari yang menjadi motor penggerak masyarakat dalam menumbuhkan partisipasi, membangun kontrol sosial, serta melembagakan nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip-prinsip kemasyarakatan (sikap-perilaku): sebagai modal sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Sejauh mana modal sosial tersebut wujud secara empirik, hal itu sedikit-banyak tampak pada temuan penelitian berikut. Terkait itu, temuan menunjukkan bahwa modal sosial kemasyarakatan di Desa Jeruksari tampak mendukung. Dikatakan demikian karena tingkat kehadiran masyarakat dalam perkumpulan sosial (arisan, PKK, pengajian) termasuk menggembirakan; jumlah mereka yang sering menghadiri perkumpulan sosial tersebut frekuensinya tingggi, jauh melampaui mereka yang tidak pernah dan/atau jarang-jarang melibatkan diri. Dalam hal tolong-menolong ketika mengalami kesusahan, kebersamaan di antara mereka cukup mendukung; di antara mereka yang sering meminjam/memberikan pinjaman uang kepada tetangga melebihi yang tidak pernah meminjam/memberikan pinjaman uang.
105
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 105
6/22/2010 6:14:21 PM
Toerdin S. Usman
Tabel 5.1 Perilaku Sosial Masyarakat
Sumber : Dihitung dari data primer, 2009
Kebersamaan lainnya tampak pada upaya dominan dalam mengatasi kekerasan rumah-tangga yang dilakukan melalui perdamaian dan/atau pelaporan kepada pihak R.T./R.W. setempat; bagaimanapun, pelaporan pada aparat keamanan – dengan skor relatif kecil – tampak dilakukan. Dalam urusan internal keluarga, kebersamaan suami-isteri dalam melakukan pekerjaan rumah-tangga tampak juga mendukung; dikatakan demikian karena mereka sering melakukan hal itu. Tabel 5.2 Mengatasi Kekerasan di Sekitar Tetangga
No.
Kategori Jawaban
Jumlah
1
Membiarkan
2
2
Melaporkan pada aparat keamanan
7
3
Melaporkan pada R.T./R.W.
4
Berusaha mendamaikan
5
Jumlah
38
24
Sumber : Dihitung dari data primer, 2009
106
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 106
6/22/2010 6:14:21 PM
Program Anti Kemiskinan dan Modal Sosial Masyarakat Miskin
Kesemua indikator modal sosial tersebut merupakan gambaran tentang wujudnya sistem nilai komunikasi – dengan segala unsurnya yang terkait – yang kondusif, sebagai pendorong ke arah pencapaian target-target pengentasan kemiskinan. Dalam implementasinya, sistem nilai komunikasi harus dilihat sebagai satu kesatuan yang saling terkait dengan sistem-sistem nilai lainnya, secara permanen-komprehensifintegral. Jika tidak, sistem nilai komunikasi bukan hanya tidak akan terakomodasi dengan efektif sehingga pemberdayaannyapun tidak akan optimal, tetapi juga justru akan mengkondisikan sesuatu yang kontraproduktif. Permasalahan tersebut akan sangat terkait pula dengan pola dan jaringan komunikasi—interaksi—interrelasi – sesuatu yang tidak bisa dielakkan karena kehidupan yang satu merupakan bagian akumulatif dari kehidupan yang lainnya – sebagai upaya untuk mengoptimalisasi manfaat sistem nilai komunikasi. Sistem nilai komunikasi seperti itu akan lebih memberi akses pada pembinaan lembaga-lembaga kemasyarakatan terkait sehingga peran-serta lembaga kemasyarakatan dalam menyukseskan program-program pengentasan kemiskinan akan lebih terarahkan. Kecuali itu, sistem nilai komunikasi yang kondusif di antara warga masyarakat akan menjadi akses penyerapan inovasi secara lebih efektif.
Modal Sosial Keagamaan Tidak jauh berbeda dengan modal sosial kemasyarakatan, modal sosial keagamaan juga tampak mendukung. Bagaimana tidak; sangat pentingnya agama dalam kehidupan telah mengemuka dengan begitu signifikan. Sementara itu yang menyatakan tentang sangat tidak penting dan/atau kurang pentingnya agama dalam kehidupan tidak mengemuka sama sekali.
107
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 107
6/22/2010 6:14:21 PM
Toerdin S. Usman
Tabel 5.3 Pentingnya Agama dalam Kehidupan
No.
Kategori Jawaban
Jumlah
1
Sangat tidak penting
0
2
Kurang penting
0
3
Penting
8
4
Sangat penting Jumlah
30 38
Sumber : Dihitung dari data primer, 2009
Keteladanan tokoh agama dalam kehidupan juga begitu berarti; yang menyatakan bahwa agama dalam kehidupan sangat tidak berperan dan/atau kurang berperan mengemuka dengan tidak signifikan. Keteladanan adalah modal sosial keagamaan yang paling strategis karena terkait dengan keteladanan tokoh agama dalam kehidupan. Betapa tidak; keteladanan merupakan fungsi akumulatif dari apa-apa yang ada di benak (afeksi) dan hati (kognisi) seseorang yang membuahkan perilaku (psikomotorik) positif. Eksistensi dan kesadaran keagamaan itu sendiri lazim akan dipicu oleh keteladanan yang operasional-fungsional. Dalam makna transendental, keteladanan terkait erat dengan makna Nabawiyah-Illaahiyah: ”Sesungguhnya Rasulullah Muhammad SAW diutus dengan keteladanan akhlak yang luhur”, ”Allah SWT murka pada mereka yang jika berkata tidak seiring dengan perbuatannya” (Al-Qur’an). Dengan demikian, penyerapan keteladanan tokoh agama akan memberikan makna fungsional yang signifikan bagi siapapun peneladannya; terlebih manakala wawasan para peneladan masih dominan terkategori buntu dan miskin informasi serta juga pengetahuannya yang relatif belum berfungsi dan terspesialisasi.
108
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 108
6/22/2010 6:14:21 PM
Program Anti Kemiskinan dan Modal Sosial Masyarakat Miskin
Dalam kondisi yang seperti itu, ketokohan karena kateladannya akan memicu anggapan bahwa sang tokoh tersebut adalah manusia yang serba tahu; kemampuannya dalam menjelaskan satu masalah tertentu akan juga dianggap mampu menjelaskan permasalahan yang lain. Hal tersebut akan menjadi lebih kondusif jika paradigma para peneladan belum mengacu pada fungsi dan spesialisasi terkait yang niscaya berdampak pada keterbatasan kemampuan dalam memetakan permasalahan yang diperlukan dalam kehidupannya. Kiranya dapat dikatakan bahwa keteladanan para tokoh agama akan mempunyai kemampuan mempengaruhi perilaku kelompok atau masyarakat dalam lingkungannya dan, karena itu, mereka akan bisa mengakses sekaligus mengakomodasi bahkan mendesiminasi kebijakan pengentasan kemiskinan, sebagai bagian integral dari kebijakan yang komprehensif, yang akan merepresentasikan kepentingan bersama dalam satu konteks kepentingan. Tabel 5.4 Keteladanan Tokoh Agama dalam Kehidupan
No.
Kategori Jawaban
Jumlah
1
Sangat tidak beperan
1
2
Kurang berperan
2
3
Berperan
17
4
Sangat beperan
18
Jumlah
38
Sumber : Dihitung dari data primer, 2009
Berikut dilihat pula apresiasi terhadap pengajaran agama pada anak, tingkat apresiasinya signifikan. Indikasi permasalahan tersebut terkait dengan selalu dilakukannya pengajaran agama pada anak, dengan tingkat perlakuan yang begitu dominan. Sebaliknya terkait tidak pernah dilakukannya pengajaran agama pada anak, indikasi tentang hal itu tidak ada sama sekali. Bagaimanapun, tentang jarangnya 109
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 109
6/22/2010 6:14:21 PM
Toerdin S. Usman
dilakukan pengajaran agama pada anak, skor terkait melebihi tingkat seringnya pengajaran agama pada anak. Tabel 5.5 Pengajaran Agama pada Anak
No.
Kategorin Jawaban
1
Tidak pernah
2 3 4
Jarang Sering Selalu
Jumlah 1
Jumlah
3 14 20 38
Sumber : Dihitung dari data primer, 2009
Terkait rasa takut terhadap dosa, permasalahan tersebut sepenuhnya diapresiasi positif karena mereka yang sangat takut dan/ atau takut terhadap dosa tingkat indikasinya begitu tinggi; sementara mereka yang sangat tidak takut dan/atau kurang takut terhadap dosa tidak ada sama sekali. Tabel 5.6 Rasa Takut terhadap Dosa
No.
Kategorin Jawaban
Jumlah
1
Sangat tidak takut
2 3
Kurang takut Takut
0 10
4
Sangat takut
28 Jumlah
0
38
Sumber : Dihitung dari data primer, 2009
110
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 110
6/22/2010 6:14:22 PM
Program Anti Kemiskinan dan Modal Sosial Masyarakat Miskin
Indeks Modal Sosial Kemasyarakatan dan Keagamaan Berbicara tentang indeks keberhasilan program BLT dan PNPM terhadap penguatan modal sosial kemasyarakatan dan keagamaan, gambarannya cukup variatif. Sehubungan itu, dalam konteks modal sosial kemasyarakatan, indeks keberhasilan program PNPM melebihi indeks keberhasilan program BLT. Lebih dari itu, akses “meminjamkan uang” tingkat kelebihannya cukup ekstrem: 2.656 (PNPM) berbanding 1.59 (BLT). Kiranya hal itu bisa dijadikan indikator bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin yang bersifat produktif akan lebih memicu penguatan modal sosial kemasyarakatan. Tabel 5.7 Indeks Modal Sosial Kemasyarakatan BLT dan PNPM
Akses Sosial
BLT
PNPM
Perkumpulan sosial Meminjam uang
2.475 2.107
2.853 2.312
Meminjamkan uang
1.59
2.656
Pekerjaan rumah
2.51
3.03
Kekerasan rumah tangga
2.658
3.258
Sumber: Dihitung dari data primer, 2009
Sementara itu, dalam konteks modal sosial keagamaan, indeks keberhasilan program PNPM justru teratasi oleh indeks keberhasilan program BLT. Bahkan, terkait akses “keteladanan tokoh agama”, indeks keberhasilan program BLT menunjukkan kelebihan yang begitu rupa: 3.712 (BLT) berbanding 3.05 (PNPM). Hal ini kiranya sebagai gambaran bahwa kontribusi keteladanan tokoh agama dalam menangani permasalahan sosial yang bersifat konsumtif merupakan keniscayaan yang lebih sensitif; jika keteladanan tokoh agama dalam permasalahan sosial yang bersifat konsumtif tidak menunjukkan kredibilitasnya yang mumpuni, apalagi dalam permasalahan sosial yang bersifat produktif: yang relatif lebih bisa “dimainkan ke mana-mana”. 111
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 111
6/22/2010 6:14:22 PM
Toerdin S. Usman
Tabel 5.8 Indeks Modal Sosial Keagamaan BLT dan PNPM
Akses Keagamaan
BLT
PNPM
Kepentingan agama
3.883
3.575
Keteladanan tokoh agama
3.712
3.05
Pengajaran agama anak
3.302
3.231
Rasa takut pada dosa
3.867
3.718
Sumber : Dihitung dari data primer, 2009
5.4 Kesimpulan Setiap manusia akan senantiasa dihadapkan pada berbagai permasalahan hidup – selesai satu datang yang lain – dengan tantangan juga tentangan yang akan senantiasa menerpa. Bagaimanapun, di balik itu, terposisikan juga peluang dan harapan. Sebagai manifestasi dari pilahan dan pilihan hidup-kehidupannya, manusia – dengan seizin Sang Pencipta: Allah SWT – akan menuai hasil diusahakannya. Permasalahan hidup-kehidupan yang berada pada tataran prinsip – yang telah diatur Sang Pencipta: Allah SWT – mutlak tidak bisa dicampuri, diatur-atur dan diapa-apakan oleh manusia manapun; dan sebaliknya pada tataran yang teknis, manusia berperan otonom-kontekstual. Demikianlah, makna kehidupan akan saling terkait sekaligus bertumpang-tindih dengan makna dan manfaat sosialnya. Seperti terpapar di atas, modal sosial kemasyarakatan dan keagamaan di Desa Jeruksari, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan – dengan segala turunannya - tampak cukup mendukung. Modal sosial tersebut mempunyai peran penting dalam pengentasan kemiskinan, lebih-lebih manakala beban hidup bertambah berat (Media Indonesia, 10 Oktober 2009).
112
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 112
6/22/2010 6:14:22 PM
Program Anti Kemiskinan dan Modal Sosial Masyarakat Miskin
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Djamaludin, ”Pemanfaatan Organisasi Lokal Untuk Mengentaskan Kemiskinan”, dalam Dewanta, Awan Setya, et.al. (1995), Kemiskinan Dan Kesenjangan Di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Aditya Media. Bourdieu dalam Tim Peneliti PMB - LIPI (t.th.).
Media Indonesia, 10 Oktober 2009 Profil Desa Jeruksari, 2009. (http://pnpmkabpekalogan.web.id/index.php)
113
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 113
6/22/2010 6:14:22 PM
Toerdin S. Usman
114
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 114
6/22/2010 6:14:22 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
BAB 6 ANALISIS PROGRAM ANTI-KEMISKINAN: BLT DAN PNPM MANDIRI PERDESAAN Agus Eko Nugroho
6.1 Pendahuluan Selama tiga dekade terakhir, setiap rezim pemerintahan mengklaim telah memiliki program untuk mengentaskan kemiskinan melalui berbagai pendekatan, baik sektoral, regional, kelembagaan maupun kebijakan khusus. Pada rezim Orde Baru program pengentasan kemiskinan pengentasan kemiskinan mulai secara jelas dinyatakan melalui pendekatan regional, yakni melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dimana setiap desa tertinggal atau desa miskin diberikan sejumlah dana guna membangun infrastruktur desa dan menggiatkan aktivitas ekonomi warganya. Pada era reformasi berbagai program penanggulangan kemiskinan tetap dijalankan rezim penguasa meskipun mengalami perubahan nama dan orientasi. Contoh beberapa program tersebut diantaranya, program JPS (Jaring Pengaman Sosial), Raskin (Beras untuk keluarga miskin), BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan masih ada beberapa program lainnya. Kebijakan anti-kemiskinan yang paling baru adalah PNPM Mandiri. Banyaknya program anti-kemiskinan yang dilakukan berbagai departemen maupun pemerintah daerah memberi kesan bahwa tidak ada koordinasi yang cukup solid dalam program pengentasan kemiskinan. Pergantian nama dan sasaran dari program anti-kemiskinan menandakan bahwa kebijakan tersebut lebih bersifat populis daripada upaya yang terstruktur dalam menurunkan insiden kemiskinan di Indonesia. Silih bergantinya program anti-kemiskinan 115
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 115
6/22/2010 6:14:22 PM
Agus Eko Nugroho
tanpa di ikuti dengan sistem evaluasi dan transparansi yang baik tentu akan berakhir pada pemborosan anggaran. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengevaluasi kebijakan antimemiskinan BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan. Ada empat indikator yang akan dikaji: Akuntanbilitas, ketepatan sasaran (outreach), dampak ekonomi (economic impact) dan dampak sosial (social impacts) dari kedua program tersebut. Seperti yang telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya, analisis dalam bab ini akan menggunakan angka indeks.
6.2 Tinjauan Pusataka 6.2.1 Sirkuit Reproduksi Sosial Kapital dalam Pengentasan Kemiskinan Pembangunan ekonomi seringkali dimaknai secara sempit sebagai suatu proses yang digerakkan oleh pertumbuhan ekonomin (lihat misalnya model-model pertumbuhan ekonomi Neoklasik). Salah satu kritik terhadap konsep ini dikemukakan oleh Seers (1972), bahwa sangat sulit mengatakan pembangunan ekonomi dikatakan berhasil, meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi pesat, bila dibarengi oleh tingginya tingkat kemiskinan, membengkaknya ketimpangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran. Seers (1972) menggaris bawahi bahwa keberhasilan pembangunan tidak hanya dilihat dari peningkatan pendapatan dan produksi. Dewasa ini, sebagian ekonom mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi penting, tetapi perlu mengintegralkan dengan berbagai indikator sosial, seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, kebebasan politik dan hak asasi manusia. Dalam bukunya “Reflection on Human Development, Haq (1995) menyatakan bahwa tujuan pembangunan adalah untuk mencapai suatu kondisi dimana masyarakat mampu hidup lebih sehat dan lebih kreatif. Menurut Sen (2001) dalam bukunya “Development as Freedom”, pembangunan sebagai suatu pro116
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 116
6/22/2010 6:14:22 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
ses memperkuat kemampuan (capability) dari individu untuk mengakses bukan hanya sumberdaya produktif tetapi juga akses terhadap modal sosial. Dalam kerangka ini, insiden kemiskinan merupakan masalah multidimensional, yang tidak hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya dan lingkungan (Myrdal 1968; Sen 2001). Kemiskinan diyakini tidak hanya disebabkan oleh deprivasi terhadap akses pada kegiatan ekonomi tetapi juga keterasingan dalam reproduksi modal sosial, seperti jejaring business dan sosial (sosical and business networks). Misalnya, rendahnya tingkat pendidikan, skills dan ketrampilan menyebabkan masyarakat miskin tidak cukup percaya diri untuk terlibat dalam berbagai organisasi sosial dan bisnis. Di sisi lain, salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis insiden kemiskinan adalah sirkuit reproduksi modal sosial (circuit of social capital reproduction)1. Berbeda dengan pendekatan Neo-klasik, pendekatan ini menyatakan bahwa kegiatan ekonomi pada intinya adalah suatu proses reproduksi capital di masyarakat. Namun demikian, menurut pendekatan ini proses reproduksi finansial kapital tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi tetapi juga aspek sosiokultural dalam masyarakat. Pada tataran ekonomi (economic sphere), proses reproduksi (finansial) kapital mengharuskan adanya reinvestasi profit dan pembiayaan melalui kredit (O’Hara 2006, 2007). Dalam hal ini kredit dapat dialokasikan dari penerimaan upah tenaga kerja (labour surplus) yang ditabung. Sedangkan profit diperoleh dari penjualan output (sales) oleh dunia usaha/pengusaha. Namun demikian, reproduksi finansial kapital ini dalam jangka panjang tidak hanya dipengaruhi faktor ekonomi saja tetapi juga oleh berbagai aspek dalam masyarakat, mencakup stabilitas keluarga, kekerabatan, adat-istiadat, kepercayaan, agama dan lain sebagainya (Gambar 6.1).
1 Sirkuit reproduksi sosial kapital merupakan pengembangan dari sirkuit dari financial capital yang diperkenalkan oleh Karl Marx dalam bukunya: Capital Volume 2 (1885).
117
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 117
6/22/2010 6:14:22 PM
Agus Eko Nugroho
Gambar 6.1 Sirkuit Reproduksi Finansial Kapital
Pada level rumah tangga, faktor keluarga dan kekerabatan dapat memberikan kontribusi pada reproduksi kapital melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia. O’Hara (2006) mengemukaka bahwa keharmonisan keluarga (family stability) dapat mendorong perkembangan anak untuk meraih tingkat pendidikan yang baik, sebagai faktor penting dalam penguasaan skils dan ketrampilan. Pada tataran komunitas, modal sosial dapat memberikan kontribusi pada kinerja ekonomi melalui kuatnya jejaring sosial (social networks) dan rasa saling kepercayaan (trustfulness). Misalnya kuatnya rasa saling percaya dapat mendorong aktifitas ekonomi melalui penurunan biaya transaksi. Menurut Streeten (2000), bila rasa saling percaya dalam masyarakat adalah rendah cenderung meningkatkan perilaku saling curiga yang seringkali menimbulkan banyak konflik dalam masyarakat. Kondisi yang tidak-stabil ini cenderung menyebabkan ketidak-saling percaya dan konflik, yang dapat bermuara pada rendahnya iklim bisnis dan investasi (O’Hara, 2006). Sirkuit reproduksi sosial kapital ini dapat menjelaskan bagaimana proses pengentasan kemiskinan. Keunggulan dari pendekatan ini adalah bahwa proses pengentasan kemiskinan bukan hanya didorong oleh kemampuan keluarga miskin untuk terlibat dalam proses ekonomi 118
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 118
6/22/2010 6:14:22 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
produktif, tetapi juga dalam jejaring sosial. Singkatnya, pendekatan ekonomi saja dalam kebijakan pengentasan kemiskinan tidaklah cukup. Kebijakan anti-kemiskinan harus juga melibatkan keluarga miskin dalam kegiatan sosial. Dalam hal ini mencakup pula upaya memperkuat kemampuan sumberdaya manusia keluarga miskin, melalui peningkatan skills, ketrampilan teknis, dan pendidikan, maupun kesehatan (pola hidup sehat). Tujuannya adalah membangun keluarga miskin yang memiliki moral (attitude) dan kebiasaan (habit) yang produktif dan mementingkan pendidikan dan kesehatan. Mengacu pada definisi kemiskinan sebagai suatu proses ketidakmampuan (incapability) untuk mengakses sumberdaya ekonomi dan modal sosial (Sen 2001), maka kebijakan anti-kemiskinan harus mampu menyediakan sistem pendidikan dan kesehatan yang mampu diakses oleh keluarga miskin. Dalam hal ini kemampuan keluarga miskin untuk mengakses sumber daya tersebut, maka akan mengakselerasi kegiatan ekonominya melalui peningkatan produktifitas, inovasi, dan luasnya jejaring sosial dan bisnis. Faktor ini yang kemudian sangat penting bagi peningkatan upaya keluarga miskin untuk berani berinvestasi dalam berbagai usaha kecil. Juga sangat penting adalah akses terhadap keuangan mikro. Sementara kredit mikro membantu pembiayaan investasi keluarga miskin, kebiasaan menabung, meskipun kecil, akan memperkuat kemampuan mereka dalam menghadapai berbagai resiko akibat fluktuasi kegiatan ekonomi. Sebaliknya, pembangunan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kesejahteraan melalui transformasi struktur ekonomi akan menghasilkan pemiskinan bila sebagian dari masyarakat tidak mampu mengakses sumberdaya produktif untuk bisa terlibat dalam proses tersebut. Telah menjadi kesepakatan bahwa persaingan pasar penting bagi proses percepatan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, persaingan pasar yang tidak terkendali justru akan menyebabkan pemiskinan (lihat Polanyi 1944). Ada dua faktor yang menyebabkan persaingan pasar tanpa kendali dapat menyebabkan proses pemiskinan. 119
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 119
6/22/2010 6:14:23 PM
Agus Eko Nugroho
Pertama, kekuatan modal yang besar dan berlebihan (corporate hegemoni) dapat mengeksploitasi buruh dan SDA tanpa terkendali. Dalam kondisi supply tenaga kerja yang berlebihan seperti di Indonesia, dominansi korporasi cenderung menekan upah buruh pada tingkat yang subsisten. Konsekuensinya, manfaat finansial (surplus value) dari proses kegiatan ekonomi (produksi, distribusi dan pertukaran) akan lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal (klas korporat), sementara buruh memperoleh bagian yang sangat kecil dari manfaat finansial tersebut. Artinya, proporsi manfaat finansial yang diperoleh buruh sangat timpang dibanding proporsi yang diperoleh pemilik modal. Dalam kondisi yang demikian terjadi tingkat eksploitasi buruh yang berlebihan, atau pemiskinan buruh. Karena itu sangat ironis bila manfaat finansial korporasi yang diperoleh dari kekuatan monopoli ini diberikan oleh Pemerintah. Adalah suatu kenyataan bahwa terdapat kontradiksi antara reproduksi modal sosial dan modal finansial. Hal ini terjadi karena karakeristik yang berbeda antara kedua jenis modal tersebut. Satu sisi, modal sosial adalah barang publik (public goods), di sisi lain modal finansial adalah barang pribadi (private goods). Sebagai barang pribadi, reproduki modal finansial secara alamiah akan terjadi dalam sistem persaingan pasar. Sebaliknya, dalam sistem persaingan pasar, individu tidak memiliki insentif untuk melakukan reproduksi modal sosial, seperti sifat gotong-royong, kekeluargaan, dan rasa toleransi. Bahkan, ada kecenderungan bahwa upaya pemerintah untuk terus mendorong proses reproduksi modal finansial cenderung memperlemah upaya masyarakat untuk mereproduksi modal-modal sosial tersebut. Contoh yang tampak adalah bagaimana nilai-nilai sosial masyarakat seperti kekeluargaan, kooepratif dan toleransi terkikis sejalan dengan intensitas kegiatan ekonomi di perkotaan. Kenyataan bahwa tingkat kriminalitas di perkotaan lebih tinggi dibanding di pedesaan yang notabenenya memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi adalah contoh sederhana bagaimana modal sosial sebagai faktor peredam kemiskinan sudah terkikis di perkotaan. Hal ini mensyaratkan bahwa program anti-kemiskinan tidak 120
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 120
6/22/2010 6:14:23 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
bisa dilakukan secara parsial. Untuk mengoptimalkan program antikemiskinan, pemerintah harus memperhitungkan adanya kontradiksi antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan sosial. Artinya, pemerintah harus terus memperkuat reproduksi modal sosial sejalan dengan pembangunan ekonomi yang diarahkan. Modal sosial yang kuat di masyarakat dapat menjadi faktor peredam dalam permasalahan kemiskinan. 6.2.2 Keterkaitan antara Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Menurut Hanifan (1916), modal sosial adalah asset intangibel, seperti keinginan baik, kekerabatan (fellowship), rasa simpati dan keterkaitan sosial (social intercourse) diantara individu-individu dalam masyarakat. Loury (1977) menyebutkan bahwa modal sosial adalah suatu sumberdaya dalam hubungan keluarga dan komunitas. Modal sosial sangat penting untuk pengembangan diri anak dalam proses pembentukan sumberdaya manusia yang unggul. Bourdieu (1986 p. 248) merujuk modal sosial sebagai sumberdaya potensial yang terkait dengan penguasaan jejaring sosial yang memberikan manfaat finansial dan non-finasial bagi kepentingan pribadi dan kelompok (lihat juga Coleman 1990). Putnam (1993 p.67) mengidentifikasikan modal sosial sebagai bentuk jejaring sosial, norma-norma sosial dan rasa saling percaya (social trust) yang sangat penting dalam kehidupan sosial, ekonomi dan kooperatif. Secara umum definisi modal sosial di atas merujuk pada sumberdaya produktif yang mencakup jejaring sosial (social networks) dan rasa-saling percaya (trust). Menurut Burt (2005), struktur sosial masyarakat terbentuk dari berbagai kluster-kluster yang saling berhubungan satu-dengan yang lain. Dalam setiap kluster terjalin interaksi dan komunikasi yang kuat (intens) antara individu-individu. Contahnya adalah interaksi yang kuat dalam bertetangga, klub olahraga, asosiasi bisnis dan sebagainya (Burt 1992, 2005). Namun demikian, 121
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 121
6/22/2010 6:14:23 PM
Agus Eko Nugroho
Burt (1992, 2005) menyebutkan bahwa dalam suatu komunitas, seringkali terdapat gap antara satu kluster dengan kluster lainnya yang menciptakan kekosongan (holes) tertentu. Namun demikian, kekosongan ini tidak berbarti bahwa antara satu kluster denang klaster lainnya tidak terjadi pergerakan arus informasi. Sebaliknya, arus informasi ini dijembatani oleh jejaring-jejaring sosial tertentu yang menghubungkan antara kluster-kluster tersebut. Implikasinya adalah bahwa individu-individu yang mampu menjembatani arus informasi ini cenderung memperoleh manfaat ekonomi, sebagai broker informasi (Quibria 2003). Broker informasi ini adalah suatu nilai kewirausahaan yang berani menginvestasikan sumberdaya, waktu, dan upaya untuk mengembangan jejaring sosial antara berbagai kluster-kluster yang ada (Burt 2005). Elemen kedua dari modal sosial adalah rasa saling percaya (social trust). Dalam konsep ekonomi (Neo-)Klasik, faktor rasa saling percaya ini seringkali terabaikan karena asumsi bahwa setiap pelaku ekonomi mengetahui informasi secara penuh. Konsekuensinya, tidak ada alasan bagi setiap individu untuk berperilaku tidak jujur karena pasar akan menghukumnya. Seperti Williamson (1993) kemukakan, “trust adds nothing to the analysis of commercial or more broadly economic problems” (p.469). Rasa saling percaya adalah “moral sentiment” dan tidak relevan bagi transaksi ekonomi karena individu tidak peduli kualitas moral dari rekan bisnisnya. Namun demikian, pendekatan ekonomi modern mengemukakan bahwa arus informasi di pasar tidaklah sempurna (Stiglitz and Weis 1981). Karenanya, rasa saling percaya memainkan peran penting dalam setiap transaksi bisnis. Arai (2007) berpendapat bahwa faktor rasa saling percaya dapat meningkatkan produksi dan efisiensi organisasi melalui penurunan biaya transaksi. Fukuyama (1995 p.26) mengatakan bahwa rasa saling percaya muncul dalam komunitas yang memiliki pola kerjasama yang kuat dan didasarkan norma-norma yang diakui. Lebih jauh Bebbington and Gomez (2006) merujuk rasa-saling percaya mencakup juga 122
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 122
6/22/2010 6:14:23 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
perilaku baik (kindness), dermawan dan keperdulaian antar individu yang kuat (p.116). Hal ini menandakan bahwa rasa-saling percaya adalah produk dari perilaku sosial suatu komunitas. Sistem sosial dapat mempengaruhi sikap saling percaya melalui intesitas interaksi dan komunikasi melalui keharusan menerima dan mengamalkan norma-norma saling memberi-menerima (reciprocity), kooperatif, dan pertemanan (friendships) (Putnam 1993). Dalam kaca-mata ekonomi, interaksi sosial yang berlanjut pada kuatnya rasa saling percaya sangat penting bagi setiap transaksi bisnis. Hal ini karena rasa saling percaya dapat menurunkan risiko ketidak-pastian akibat masalah-masalah kecurangan (moral hazard problems). Artinya, rasa saling percaya dapat menjadi mekanisme control bagi individu untuk berperilaku jujur. Dalam konteks pengentasan kemiskinan, rasa saling percaya sebagai modal sosial diperlukan untuk memperkuat solidaritas dan kooperatif antar individu (miskin dan non-miskin) untuk saling membantu memecahkan masalah kemiskinan. Kooperatif dan solidaritas ini juga dapat memperbesar jejaring-sosial keluarga miskin yang penting untuk promosi dan penjualan produk yang mereka hasilkan.
6.3 Aspek Penting dalam Program Anti-kemiskinan Untuk mengkaji progam anti-kemiskinan yang berkelanjutan, tepat sasaran dan memiliki dampak positif pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat miskin, ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan. Pertama adalah pengelolaan (governance) program anti-kemiskinan. Kedua adalah aspek tepat sasaran yaitu bagaimana bantuan kemiskinan dapat menstimulir pengelolaan sumberdaya produkstif yang dimiliki oleh individu dan masyarakat: modal finansial, SDM dan modal sosial. Ketiga adalah dampak positif bagi peningkatan sosil-ekonomi (kemakmuran/welfare) yang tercermin dari ketahanan ekonomi dan ketahanan sosial di masyarakat. Gambar 6.2 menunjukkan kerkaitan antara ketiga aspek penting dalam pengentasan kemiskinan. 123
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 123
6/22/2010 6:14:23 PM
Agus Eko Nugroho
Gambar 6.2 Aspek Penting dalam Pengentasan Kemiskinan
Keberhasilan implementasi progran anti-kemiskinan tidak hanya terkait dengan peran pemerintah, tetapi juga semua komponen lain dalam masyarakat, termasuk tokoh masyarakat, LSM, individu miskin dan non-miskin. Keikut-sertaan semua komponen di masyarakat ini akan meningkatkan kualitas tata kelola program (good governance) antikemiskinan. Peran pemerintah ini mencakup pengelolaan ekonomi makro, seperti menjaga stabilisasi ekonomi, kebijakan anggaran dan kebijakan ekonomi lain yang pro-poor. Sedangkan tokoh masyarakat dan LSM dapat berperan dalam melakukan kontrol dan monitoring terhadap program antikemiskinan. Ini penting untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas program. Kedua komponen masyarakat ini juga sangat penting untuk memperkuat solidaritas dan kerja-sama antar individu dimasyarakat untuk memecahkan masalah kemiskinan di sekitarnya. Dalam hal ini, tulisan ini akan mengkaji kemampuan finansial dan non-finansial pemerintah dan komponen lain masyarakat (LSM, konsultan) dalam mengimplementasikan program anti-kemiskinan yang sistematis dan akuntabel.
124
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 124
6/22/2010 6:14:23 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
Program anti-kemiskinan dapat diawali dengan pemberian bantuan baik secara finansial maupun teknis yang ditujukan untuk memperkuat akses keluarga miskin terhadap tiga jenis sumber daya: (1) sumber daya finansial (e.g., SDA, alat-alat produksi, kredit), (2) kualitas sumber daya manusia (SDM) yang unggul, mencakup akes terhadap pendidikan dan kesehatan yang baik. (3) Modal sosial yang mencakup penguatan jejaring sosial, dan rasa saling percaya, solidaritas, kooperatif dan lain sebagainya. Dalam hal ini penelitian akan mengkaji bagaimana suatu program-anti kemiskinan yang komprehensif mampu memberikan dampak pada ketiga modal tersebut. Artinya, program anti-kemiskinan diyakini berhasil bila memiliki dampak positif pada peningkatan akses individu miskin terhadap modal finansial, SDM yang baik dan modal sosial. Kemampuan penduduk/masyarakat miskin mengakses ketiga modal tersebut akan menghasilkan: ketahanan ekonomi dan ketahanan sosial sebagai cerminan dari kemakmuran. Selanjutnya, kemamuran akan mempengaruhi tata-kelola ekonomi maupun program antikemiskinan. Proses ini akan berkaitan secara sirkular. Sebagai suatu sistem, maka bekerjanya sistem ini akan tergantung pada stabilitas internal dan eksternal. Stabilitas internal akan terkait erat dengan pola hubungan antara komponen-komponen di masyarakat: elit penguasa, pengusaha dan masyarakat umum. Dominasi yang terlalu berlebihan oleh salah satu diantara komponen tersebut dapat menyebabkan ketidakstabilan sistem. Dan ini dapat berakhir pada kegagalan pengentasan kemiskinan. Misalnya, dominasi elit penguasa seperti di era Orde Baru, dapat menyebabkan ketidakmampuan komponen lain masyarakat (e.g., LSM dan tokoh masyarakat) untuk melakukan kritik, kontrol dan monitoring terhadap program anti kemiskinan. Akibatnya adalah manipulasi keuangan program anti-kemiskinan yang berakhir pada kegagalan program ataupun program yang tidak mengena pada sasaran yang dituju. Dalam hal ini penelitian akan mengkaji bagaimana pola keterkaitan antara ketiga komponen di masyarakat tersebut mampu menjaga stabilitas sistem yang diharapkan menghasilkan progam anti125
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 125
6/22/2010 6:14:23 PM
Agus Eko Nugroho
kemiskinan yang berkelanjutan, tepat sasaran dan memiliki impak positif terhadap soial ekonomi masyarakat. Pada sub-bab selanjutnya akan menguraikan perbandingan antara program anti-kemiskinan BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan dilihat dari keempat aspek: akuntabilitas, tepat sasaran, dampak ekonomi dan dampak sosial.
6.4 Analisis Komparasi terhadap Aspek-Aspek Penting dalam Program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan 6.4.1 Indikator Dampak terhadap Proses Reproduksi Finansial Kapital Gambar 6.3 menunjukkan bahwa program PNPM Mandiri perdesaan relatif lebih baik dibanding program BLT. Meskipun, kedua program ini memiliki dampak sosial dan ekonomi terhadap keluarga miskin relatif kecil. Program BLT menunjukkan angka indeks untuk dampak ekonomi sekitar 0,55. Sedangkan program PNPM Mandiri Perdesaan ,emghasilakn angka indeks sekitar 0,59. Dilihat dari angka indeks tersebut, kedua program ini memiliki dampak ekonomi yang relatif kecil terhadap keluarga miskin penerima bantuan. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa program BLT terutama memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok keluarga miskin. Sebaliknya program ini hanya memiliki pengaruh kecil terhadap peningkatan modal kerja maupun Pendapatan. Hal ini memberikan indikasi bahwa program BLT memiliki pengaruh kecil terhadap proses reproduksi finansial kapital keluarga miskin. Seperti dikemukakan dimuka bahwa untuk mempercepat proses reproduksi finansial kapital memerlukan reinvestasi aset produksitif, termasuk penggunaan bantuan program anti-kemiskinan untuk permodalan.
126
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 126
1.0
6/22/2010 6:14:23 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
Tabel 6.1 Indeks Dampak Ekonomi Program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan No
Indikator Dampak Ekonomi
BLT
PNPM Mandiri
1
Pendapatan
0,48
0,68
2
Modal Kerja
0,53
0,74
3
Kebutuhan Pokok
0,68
0,35
0,56
0,59
4
Total
Sumber: Survey oleh Tim Peneliti (diolah).
Sementara itu, program PNPM Mandiri Perdesaan memiliki dampak ekonomi pada sisi peningkatan modal kerja bagi penerima bantuan. Tambahan modal ini akan mempercepat proses sirkulasi reproduksi finansial kapital keluarga miskin, melalui penjualan produk yang mereka hasilkan. Karena itu cukup beralasan bila penggunaan modal kerja dari bantuan ini berpotensi meningkatkan pendapatan keluarga miskin. Dari sini terlihat bahwa penggunaan bantuan dari PNPM Mandiri lebih digunakan secara produktif oleh keluarga miskin dibanding program BLT yang penggunaan untuk pemenuhan kebutuhan pokok (konsumtif ).
Gambar 6.3 Analisis Komparasi Terhadap Empat Aspek Penting antara Program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan Sumber: Survey oleh Tim Peneliti (diolah).
127
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 127
6/22/2010 6:14:23 PM
Agus Eko Nugroho
6.4.2 Indikator Dampak terhadap Proses Reproduksi Sosial Kapital Dilihat dari dampak sosial, program PNPM Mandiri memiliki pengaruh yang relatif lebih baik dibanding program BLT. Dari Tabel 5.2 terlihat bahwa PNPM Mandiri menghasilkan angka indeks untuk dampak sosial skitar 0,66. Sementara itu, program BLT sekitar 0,57. Dengan kata lain, PNPM Mandiri memiliki dampak sosial sekitar 15,8 persen lebih besar dibanding program BLT. Namun demikian, kedua program ini memiliki pengaruh yang hampir sama terhadap peingkatan pengeluaran untuk pendidikan anak. Perbedaan yang cukup signifikan antara program BLT dan PNPM Mandiri terjadi pada dampak peningkatan pengeluaran untuk kesehatan. Hal ini memberikan implikasi bahwa meningkatnya penggunaan bantuan anti-kemiskinan untuk mendukung pengeluaran kesehatan akan berpotensi untuk meningkatkan kualitas sdm keluarga miskin. Peningkatan kualitas kesehatan keluarga miskin merupakan faktor penting dalam mendorong produktifitas dan semangat bekerja. Hal ini penting untuk mengakselerasikan proses sirkuit reproduksi finansial kapital keluarga miskin. Tabel 6.2 Indeks Dampak Sosial Program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan No
Indikator Dampak Sosial
BLT
PNPM Mandiri
1
Pendidikan
0.507
0.570
2
Kesehatan
0.628
0.703
3
Dampak Sosial Kapital
0.567
0.711
0.57
0.66
4
Total
Sumber: Survey oleh Tim Peneliti (diolah).
Yang juga menarik untuk dikemukakan di sini adalah perbedaan yang cukup besar antara indeks dampak pada akumulasi sosial kapital antara program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa indeks dampak social capital untuk program PNPM Mandiri adalah sekitar 0,71, sementara itu untuk program BLT 128
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 128
6/22/2010 6:14:23 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
adalah 0,56. Program PNPM Mandiri yang dilaksanakan berdasarkan partisipatif masyarakat secara kelompok memberikan pengaruh positif pada perluasan jejaring sosial keluarga miskin. Hal ini dapat terjadi karena untuk dapat mengakses program penanggulangan kemiskinan ini, keluarga miskin harus secara aktif terlibat dalam pertemuanpertemuan kelompok. Intensitas interaksi keluarga miskin dengan anggota kelompok lainnya akan memberikan pengaruh pada manfaat non-finansial, seperti meningkatnya kekerabatan, merasa diterima di masayarakat dan yang terpenting adalah mendapatkan kepercayaan oleh anggota kelompok lain. Manfaat non-finasial yang diterima oleh keluarga miskin ini adalah proses akumulasi sosial kapital yang berpotensi untuk mempercepat proses reproduksi finansial kapital. Misalnya, semakin luas jejaring sosial dan bisnis akan mempermudah akses informasi pasar dan berbagai kesempatan-kesempatan bisnis lainnya. Kecilnya pengaruh program BLT terhadap proses akumulasi sosial capital keluarga miskin karena kharakteristik program yang bersifat individual. Program bantuan BLT ini penarikannnya dilakukan secara individual di kantor-kantor pos terdekat, sehingga kurang mampu memfasilitasi intensitas interaksi dan komunikasi antara penerima BLT dengan berbagai komponen masyarakat lainnya. 6.4.3 Indikator Akuntabilitas Program Anti-kemiskinan Good Governance merujuk pada pratek otoritas politik, ekonomi, dan administratif dalam pelayanan publik pada berbagai level dalam suatu negara. Dalam hal ini Good Governance memiliki beberapa atribut kunci seperti partisipatif, transparan dan akuntabel. Mengacu pada atribut ini, mekanisme kontrol (check and balance) memegang peranan kunci untuk menghindari/mengeliminir absolutisitas salah satu komponen. Untuk itu, dalam pelayanan publik yang baik perlu ditegakkan sistem akuntabilitas, transparansi struktur dan organisasi 129
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 129
6/22/2010 6:14:23 PM
Agus Eko Nugroho
serta partisipasif masyarakat. Dalam hal ini akuntabilitas merujuk pada keharusan administratif bagi staf dan organisasi publik untuk memberikan laporan pada semua penggunaan sumberdaya public dan mampu mempertanggungjawabkan bila terjadi kegagalam dalam pemenuhan tugas pokoknya. Sedangkan tranparansi dapat didefinisikan sebagai proses yang memberikan ruang masyarakat luas untuk mendapatkan akses pada setiap informasi yang berkaitan dengan pelayanan publik. Implementasi dari proses akuntabilitas dan transparansi ini dapat berjalan baik bila peran aktif masyarakat luas (NGO, individu atau kelompok dalam masyarakat) diperkuat untuk memebrikan check and balance pada setiap pelayanan publik (Armstrong 2005). Dalam konteks program anti-kemiskinan, ada empat indikator yang mencerminkan bagaimana implementasi prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pelayanan publik dilakukan: proses sistematis, transparansi, tanggapan terhadap permasalahan dan kepuasan dari stakeholder (masayarakat miskin penerima bantuan anti-kemiskinan). Data diperoleh dengan menanyakan bagaimana persepsi masyarakat terhadap empat indikator tersebut. Tabel 5.1 menunjukkan bagaimana indeks dari setiap indikator dalam program BLT dan PNPM. Terlihat bahwa pelaksanaan program PNPM Mandiri Perdesaan relatif lebih baik dibanding dengan BLT. Dari sisi prosedur administratif bagaimana memperoleh bantuan ant-kemiskinan melalui kedua program tersebut relatif baik, dengan nilai indeks sebesar 0,75 untuk BLT dan 0,87 untuk PNPM Mandiri Perdesaan. Prosedur yang sistematis dari program PNPM ini terlihat dari tahapan-tahapan yang jelas mulai dari penetuan program hingga pelaksanaan. Sementara itu, proses sistematis dari Program BLT terindikasi dari kemudahan administratif dalam mendapatkan bantuan.
130
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 130
6/22/2010 6:14:24 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
Tabel 6.3 Indikator Akuntabilitas Program Anti-Kemiskinan BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan No
BLT
PNPM Mandiri
1
Sistematis
Indikator Akuntabilitas
0.75
0.87
2
Transparansi
0.45
0.69
3
Tanggapan
0.66
0.77
4
Kepuasan
0.69
0.73
0.64
0.76
5
Total
Sumber: Data Primer, 2009
Perbedaaan yang cukup besar terjadi pada indikator transparansi antara Program BLT dan PNPM Mandiri. Indeks transparansi untuk BLT sebesar 0,45, sementara itu untuk program PNPM Mandiri Perdesaan sebesar 0,69. Kelemahan program BLT menurut responden adalah pada proses penentuan penerima bantuan yang tidak jelas atau tidak mudah dipahami oleh keluarga miskin. Hal ini ada kemungkinan berkaitan dengan beberapa keluarga miskin yang tidak menerima bantuan, sementara itu, keluarga yang menurut mereka tidak miskin justru menerima bantuan. Sedangkan faktor yang kekuatan yang menetukan tingkat transparansi program PNPM Mandiri Perdesaan adalah prosedur pelaksanaan yang jelas dan masyarakat penerima mendapatkan kekuasaan untuk mengelola dan mempertanggungjawabkan semua proses pelaksanaan termasuk laporan keuangan. Proses pertanggungajwaban ini dilakukan secara terbuka dalam berbagai rapat kelompok maupun antar kelompok. Bagaimana staff di lapangan merespon semua permasalahan yang muncul, pogram PNPM Mandiri perdesaan juga lebih baik dibanding dengan program BLT. Dalam konteks ini PNPM Mandiri memiliki indeks tanggapan sekitar 0,77 sementara itu BLT sebesar 0,66. Hal ini cukup beralasan karena PNPM Mandiri ini melibatkan pihak pendamping baik pada tataran desa dan kecamatan hingga kabupaten/kota sehingga memudahkan mereka merespon secara cepat setiap permasalahan 131
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 131
6/22/2010 6:14:24 PM
Agus Eko Nugroho
ayng ada di lapangan. Sementara itu, dalam program BLT penyaluran bantuan adalah melalui PT Pos namun, mereka hanya sebatar penyalur dan tidak memiliki peran dalam memecahkan permaslahan yang muncul dalam program ini. Faktor ini didukung dari persepsi keluarga miskin penerima bantuan terhadap kepuasan dari kedua program antikemiskinan tersebut. Terlihat bahwa indeks kepuasan untuk program BLT sebesar 0,69, sedangkan untuk program PNPM Mandiri Perdesaan sebesar 0,73. 6.4.4 Indikator Ketepatan Sasaran Program Anti-kemiskinan Salah satu indikator penting dalam setiap program anti-kemiskinan adalah mampu tidaknya suatu program bantuan tersalurkan pada target yang diinginkan. Kegagalan suatu program anti-kemiskinan untuk disalurkan pada sasaran yang tepat akan sangat sulit akan memberikan dampak ekonomi dan sosial yang positif pada masyarakat miskin. Ada banyak faktor yang berpengaruh pada kemampuan suatu program anti-kemiskinan untuk disalurkan pada sasaran yang diinginkan. Dari sisi keluarga miskin, faktor pertama adalah ketidakmampuan mereka terhadap akses informasi. Sangat mungkin bahwa lemahnya akses informasi ini menyebabkan keluarga miskin tidak mengetahui bagaimana memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan bantuan. Faktor kedua adalah rendahnya akses politik terhadap elit penguasa lokal yang pada umumnya diberikan tanggungjawab untuk menyalurkan program anti-kemiskinan. Dampaknya adalah bahwa bantuan ini diberikan kepada lingkungan dekat penguasa lokal, yang notabenenya mungkin bukan tergolong keluarga miskin (non-targeted recipient). Dari sisi prosedur, seringkali beberapa syarat adminstratif untuk menerima bantuan tidak mudah dipenuhi oleh keluarga miskin. Masalah seperti ini seringkali muncul dalam kasus penduduk migrasi musiman, yang menghadapi kesulitan untuk mendapatkan kartu tanda 132
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 132
6/22/2010 6:14:24 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
penduduk sebagai syarat untuk menerima bantuan. Sedangkan dari sisi pelaksanan, factor kepentingan politik atau pribadi menyalahgunakan kewenangannya. Misalnya, memanipulasi data dan informasi sehingga bantuan kemiskinan tersalurkan pada kelompoknya (political affiliation) atau keluarganya. Pemberian bantuan kepada kelompok politik ini dimotifasi oleh keinginan untuk mempertahankan pengaruh dan simpatik dari mereka. Tabel 6.4 menunjukkan indeks persepsi keluarga miskin terhadap ketepatan sasaran program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan. Terlihat bahwa indeks sasaran terpenuhi untuk program BLT sebesar 0,45. Nilai indeks ini dibawah PNPM Mandiri yaitu sebesar 0,74. Program BLT ini dirasa kurang mengena pada sasaran adalah karena banya keluarga miskin yang tidak menerima, sebaliknya justru beberapa keluarga yang bukan miskin justru menerima bantuan. Namun demikian, sangat mungkin bahwa skala program BLT ini yang mememang tidak cukup untuk memberikan bantuan kepada setiap keluarga miskin di lapangan. Tabel 6.4 Indikator Ketepatan Sasaran Program Anti-Kemiskinan BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan No
Ketepatan Sasaran
BLT
PNPM Mandiri
1
Sasaran terpenuhi
0.45
0.74
2
Ketidak-bocoran
0.49
0.67
3
Akurasi Data
0.70
0.70
0.55
0.71
4 Total Sumber: Survey oleh Tim Peneliti (diolah).
Sedangkan indeks sasaran terpenuhi untuk program PNPM Mandiri Perdesaan yang cukup besar ini berkaitan dengan penyusunan program yang dilakukan sendiri oleh masyarakat. Karena itu, masyarakat sendiri yang mengelola dana bantuan untuk disalurkan pada upaya pengentasan kemiskinan. Namun demikian, perlu dikemukakan di sini bahwa penentuan program prioritas ditentukan oleh kelompok133
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 133
6/22/2010 6:14:24 PM
Agus Eko Nugroho
kelompok yang anggotanya bukan keluarga miskin. Karena itu, sangat mungkin bahwa prioritas penggunaan dana bantuan tidak secara langsung dapat berpengaruh pada kegiatan ekonomi keluarga miskin. Dana bergulir yang ada dalam program PNPM ini disalurkan kepada semua anggota kelompok yang terdiri dari miskin dan non-miskin. Karena itu, mengingat probabilitas yang besar untuk gagal bayar oleh keluarga miskin, maka pemberian bantuan tidak diutamakan pada mereka. Sebaliknya, penyaluran bantuan dana cenderung kepada keluarga nonmiskin atau tidak cukup msikin yang memiliki probabilitas gagal bayar yang rendah. Menurut pendapat keluarga miskin, probabilitas ketidak-bocoran untuk program PNPM Mandiri Perdesaan lebih tinggi dibanding progam BLT. Terlihat di Tabel 5.4, indeks ketidak-bocoran penyaluran bantuan program PNPM Mandiri ini sebesar 0,67, sedangkan untuk program BLT sebesar 0,49. Program PNPM Mandiri memiliki kemungkinan kebocoran yang rendah ini terkait dengan pola pengelelolaan yang tedesentralisasi pada kelompok-kelompok di tingkat kelurahan dan kecamatan. Keterbukaan pengelolaan yang ada dalam tingkat kelompok menyebabkan kemudahan untuk mengontrol (check and balance) setiap penggunaan dan penyaluaran bantuan. Sementara itu, program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan mengasilkan nilai yang sama untuk indeks akurasi data. Namun demikian, kelemahan dalam akurasi data untuk program BLT terkait dengan penentuan keluarga miskin penerima bantuan. Ketidaksamaan data yang dijaring petugas lokal dengan data yang disajikan oleh BPS sebagai penentu dari ketidakakurasian data tentang keluarga miskin.
134
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 134
6/22/2010 6:14:24 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
6.5 Kesimpulan Bab ini telah mengkaji empat aspek penting dalam mengevaluasi program anti-kemiskinan: (1) dampak ekonomi, (2) dampak sosial, (3) akuntabilitas dan ketepat sasaran (outreach). Dalam hal ini analisis komparasi antara program BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan terhadap keempat aspek tersebut di atas telah dilakukan. Secara umum program PNPM Mandiri memiliki performa yang lebih baik dibanding program BLT pada keempat aspek tersebut. Hal ini ditunjukkan dari nilai indeks ratarata dari program PNPM Mandiri Perdesaan yang lebih besar dibanding dengan program BLT. Dari sisi dampak sosial ekonomi, program PNPM Mandiri berpotensi untuk memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap reproduksi finansial dan sosial kapital keluarga miskin dibanding dengan program BLT. Potensi reproduksi finansial kapital yang lebih besar akan terjadi karena penggunaan dana bantuan dari program PNPM mandiri yang lebih produkstif, seperti untuk permodalan, pendidikan dan kegiatan produktif lainnya. Sementara itu, penggunaan dana bantuan dari program BLT yang cenderung untuk menopang konsumsi keluarga miskin. Penggunaan dana untuk tujuan konsumsi seringkali kurang memberikan yang signifikan terhadap akselerasi produksi. Sementara itu, prosedur pemberian bantuan dari program PNPM Mandiri Perdesaan yang bersifat kelompok dan partisipatif memberikan fasilitas interaksi dan komunikasi antar individu miskin dan non-miskin. Proses interkasi dan komunikasi ini kemudian berpotensi untuk menggerakan reproduksi sosial kapital di masyarakat. Reproduksi sosial kapital ini akan terjadi melalui perluasan jejaring sosial dan bisnis (social dan business networks). Intensitas ineteraksi dan kumunikasi juga akan fasilitasi reproduksi sosial kapital melalui penguatan rasa saling percaya dan kebersaan (gotong-royong) antara anggota kelompok baik miskin maupun non-miskin. Sebaliknya, pemberiaan bantuan BLT secara individu kurang memiliki pengaruh terhadap interaksi dan komunikasi antara kelompok miskin dan non-msikin 135
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 135
6/22/2010 6:14:24 PM
Agus Eko Nugroho
Dilihat dari akuntabilitas ketepatan sasaran, pengelolaan program PNPM Mandiri juga relatif lebih baik dibanding dengan program BLT. Hal ini sebagai implikasi pola pengelolaan yang bersifat partisipatif dan kelompok. Keterbukaan dalam pengelolaan finansial mapun nonfinansial (penentuan prioritas program) memberikan pengaruh yang signifikan pada persepsi positif terhadap akuntabilitas program PNPM Mandiri. Sebaliknya, program BLT yang cenderung menggunakan pendekatan top-down berimplikasi pada kelemahan dalam akuntabilitas program tersebut. Begitu juga dari sisi ketepatan sasaran, masalah utama adalah ketidaakurasian data dan lemahnya respon petugas terhadap berbagai kelemahan yang muncul di lapangan.
136
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 136
6/22/2010 6:14:24 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
DAFTAR PUSTAKA
Arai, K. (2007), Trust, Organization and Efficiency, Paper presented at Weekly Seminar of School of Economics and Finance, Curtin University of Technology, Perth, Australia. Barber, B. (1983) The Logic and Limits of Trust, New Jersey: Rutgers University. Bebbington, A. (1999) “Capitals and Capabilities: A Framework for Analyzing Peasant Viability, Rural Livelihoods and Poverty,” World Development, 27(12), 2021-44. Bebbington, D.H. and Gomez, A. (2006) “Rebuilding Social Capital in Post-conflict Regions,” in J. L. Fernando (eds.), Microfinance Perils and Prospects, London and New York: Routledge. Bourdieu, P. (1986) “Form of Capital” in J. Richarson (ed.), Handbook of Theory and Research for Sociology of Education, Westport: Greenwood Press. Bowles, S. and Gintis, H. (1998) Recasting Egalitarianism, New York: Verso. Bowles, S. and Gintis, H. (2002) “Social Capital and Community Governance,” Economic Journal, 112(487), 419-436. Burt, R.S. (2005) Brokerage and Closure: An Introduction to Social capital, New York: Oxford University Press.
137
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 137
6/22/2010 6:14:24 PM
Agus Eko Nugroho
Coleman, J.S. (1988) “Social capital and the Creation of Human Capital,” American Journal of Sociology, 94, pp. 95-120. Coleman, J.S. (1990) The Foundation of Social Theory, Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University. Collier, P. (2002) “Social Capital and Poverty: A Microeconomic Perspective” in C. Grootaert and T. Van Bastelaer (eds.), The Role of Social Capital in Development: An Empirical Assessment, Cambridge: Cambridge University Press. Dasgupta, P. (2002) “Economic Progress and the Idea of Social Capital“ in P. Dasgupta and I. Serageldin (eds.), Social Capital: A Multifaceted Perspective, Washington, DC.: The World Bank. Fukuyama, F. (1995) Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, London: Hamish Hamilton. Granovetter, M.S. (1973) “The Strength of Weak Ties,” American Journal of Sociology, 78, 1360-1380. Grootaert, C. and Van Bastelaer, T. (eds.) (2002) The Role of Social Capital in Development: An Empirical Assessment, Cambridge: Cambridge University Press. Guinnane, T.W. (2005) Trust: A Concept Too Many, Center Discussion Paper No. 907, Economic Growth Center, New Heaven: Yale University. Hanifan, L. (1916) “The Rural School Community Center,” Annals of the American Academy of Political and Social Sciences, 67, 130-138.
138
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 138
6/22/2010 6:14:24 PM
Analisis Program Anti-Kemiskinan: BLT dan PNPM Mandiri Perdesaan
Henning, C. and Lieberg, M. (1996) “Strong Ties or Weak Ties? Neighborhood Networks in a New Perspective,” Scandinavian Housing and Planning Research, 13(1), 3-26. Loury, G. (1977) “A Dynamic Theory of Racial Incomes Difference” in P.A. Wallace and A. LeMund (eds.), Women, Minorities, and Employment Discrimination, Lexington Books, Lexington, MA. Luhmann, N. (1979) Trust and Power: Two Books by Niklas Luhmann, , New York: John Wiley and Sons. Lyon, F. (2000) “Trust, Networks and Norms: The Creation of Social capital in agricultural Economies in Ghana,” World Development, 28(4), 663-681.
139
LAP-DIKTI 2009 JUSMAILANI.indd 139
6/22/2010 6:14:24 PM