KEBERADAAN MANUSIA MENURUT AL-QUR’AN Hemlan Elhany Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro E-mail:
[email protected]
Abstrak Tulisan ini mencoba menelusuri Al Qur’an dalam proses kejadian manusia terdiri dari dua tahap, yakni tahap kejadian manusia pertama yang langsung diciptakan oleh Allah, sedangkan tahap kedua melalui proses keturunan dari manusia pertama yakni dengan bercampurnya sperma lakilaki dan sperma perempuan. Peneliti juga menemukan pengertian bahwa manusia dalam Al Qur’an adalah salah satu baian dari makhluk Allah yang diciptakan dalam keadaan bentuk fisik yang sempurna dan diberikannya dua unsur jasmani dan rohani walaupun dua unsure ini dimilikinya oleh binatang namun tetap berbeda dengan manusia. Al Qur’an mengakui bahwa kemampuan manusia berbeda dengan makhluk lain, tidak saja dari segi diberikannya akal tetapi juga perasaan. Al Qur’an mengakui bahwa manusia adalah makhluk bertanggung jawab untuk memikul beban, sehingga bagi manusia yang tidak dapat melaksanakan bahkan menyia-nyiakan beban atau amanat itu termasuk zholim. Dalam Al Qur’an bahwa status manusia disamping khalifah tetapi juga sebagai hamba. Sementara filusuf mengakui bahwa manusia bukanlah hamba tetapi pemimpin. Oleh karena itu tidak mengakui bahwa manusia harus pasrah kepada ketentuan Tuhan. Dalam Al Qur’an bahwa yang disebut khalifah itu ialah manusia, manusialah yang sanggup menjadi khalifah karena sanggup mempertanggung jawabkan apa yang ia pimpin. Khalifah yang dimaksud disini ialah pengganti atau penanggung jawab untuk mengatur dunia serta segala isinya dan memakmurkannya. Kemudian dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa kehadiran Al Qur’an ditengah-tengah umat manusia sangat diperlukan, hal ini dimaksudkan sebagai pembeda mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang batil dan mana yang hak serta untuk menghilangkan keraguan dan ketidak percayaan yang ditimbulkan oleh akal manusia. Karena kalau Al Qur’an bertentangan dengan akal, maka yang diperlukan diteliti kebenarannya bukan Al Qur’an tapi akal manusianya. Kata Kunci: Al Qur’an, Islam, dan Manusia
98
|
TAPiS, Vol. 16, No. 01 Januari-Juni 2016
Abstract This paper attempts to explore the Qur’an in the process of creation of human that consists of two stages. The first stage of human creation was directly created by God, while the second stage was through the descendants of the first humans is by mixing the male sperm and female sperm. Researchers also found that the Qur’an, human is one part of creatures that God has created in a state of perfect physical form and given two elements of the physical and spiritual. Although these two elements are also owned by the animals, they are different from human beings. The Qur’an acknowledges that human ability is different from other creatures, not just in terms of given sense but also feelings. The Qur’an acknowledges that human beings are responsible to carry the mandate, so people who are not able to carry out even the wasted expense or mandate include zholim people. In the Qur’an, human status is not only the caliph, but also as a servant. While philosophers admit that the man is not a slave but a leader. Therefore, it does not admit that a man must surrender to God’s determination. In the Qur’an, what is called the caliph is humans, humans who could become caliph because what could account for his leadership. Khalifahhere is meant to substitute or person in charge to organize and prosper the world and its everything. Then from the results of this study, it is also noted that the presence of the Qur’an in the midst of mankind’s life is necessary, it is intended to distinguish what is good and what is bad, what is false and what is right and to dispel doubts and distrust caused by human reason. Because if the Qur’an is contrast to logic, it is required to be investigated by the truth is not the Koran but human sense. Keywords: Qur’an, Islam and Human
A.
Pendahuluan
Manusia atau insan merupakan makhluk yang tersusun paling kompleks, dari aspek luar maupun dalamnya dan satu-satunya model dan satu-satunya prototype (model asli), yang kita kenal sebagai makhluk yang mampu memproblemkan dirinya sendiri sejak munculnya dimuka bumi ini, kita tidaknya tahu sejak kapan kecerdasan manusia tertarik untuk mempersoalkan dirinya sendiri. Dari evolusi inteleknya yang makin tahu kedudukan manusia yang sentral dalam aktivitasnya dan tata hidup masyarakat. Dimulai dari kebudayaan yang sangat primitif, para ahli sekarang membangun jembatan, mengungkap berbagai kekayaan alam dan diselidikinya, yang semua itu untuk memanfaatkan dan didayagunakan serta diolahnya oleh manusia serta semata-mata untuk menjamin kelangsungan hidup insan/manusia, karena manusia yang
Keberadaan Manusia menurut al-Qur’an |
99
sanggup memikirkan hari ini dan hari esok bahkan manusia sanggup memikirkan alam, hal ini karena manusialah yang bisa berpikir. Dalam hubungan ini dijelaskan surat Al-A’raf ayat 179 yang artinya:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (akal), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya unutuk mendengar (ayat0ayat Allah) . Mereka itiu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.1
Jadi Al Qur’an menganggap bahwa orang-orang yag bodoh (tidak mampu menggunakan akalnya) sebagai hewan atau dengan perkataan lain bahwa manusia yang tidak mempunyai akal sama saja dengan binatang bahkan lebih rendah dari binatang. Oleh karena itu manusia adalah makhluk yang tidak pernah berhenti mencari dan menggali ilmu pengetahuan untuk dirinya dan orang lain. Sejak adanya dimuka bumi ini rupanya sudah hinggap pada daya intelek manusia untuk ingin tahu, apa dan siapa manusia itu, dari mana asalnya, untuk apa hidupnya di dunia ini dan akhirnya kemana sesudah mati. Masalah ini rupanya masih merupakan problema yang belum terdapat didalam atas maupun yang terdapat di alam bawah bahkan juga dalam diri eksistensi dirinya sebagai manusia. Kebesaran dan keagungan Allah akan semakin jelas bagi manusia jika ia mengarahkan penalarannya kepada hal-hal tersebut, sehingga iman dan keyakinan terhadapnya akan menjadi lebih kuat dan mendalam bukan sebaliknya. Al Qur’an pada dasarnya memberikan otonomi yang luas dalam bentuk free will dan free choice kepada manusia untuk menentukan nasib dan corak hari depannya, tapi dengan tekanan kuat agar ia mematuhi hukum-hukum moral tentang masalah baik dan buruk demi kelestarian eksistensinya di dunia ini.2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, h. 251-252 Ahmad Syafi’i Syarif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Pustaka Bandung, 1985, h. 23 1 2
100
|
TAPiS, Vol. 16, No. 01 Januari-Juni 2016
Otonomi yang diberikan kepada manusia menurut pandangan Al Qur’an haruslah digunakan secara bijak dan etis. Penyalahgunaan otonomi ini dapat berakibat fatal. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan kita menyaksikan usaha manusia untuk menundukkan alam melalui pendekatan induktif dengan obsevasi dan eksperimen. Agar terarah dalam tulisan ini maka rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana Eksistensi manusia menurut Al-Qur’an, eksistensi manusia dimuka bumi ini baik sebagai khalifah maupun sebagai makhluk berpikir dan pencari kebenaran. Didalam seseorang bergerak dan berjalan tentunya mempunyai tujuan, adapun yang menjadi tujuan penelitian :Mengetahui tentang eksistensi manusia dilihat dari kacamata Al-Qur’an, Mengetahui kedudukan manusia yang sesungguhnya di muka bumi ini baik sebagai khalifah maupun sebagai hemba dan pencari kebenaran. Di dalam membahas tulisan ini jenis penelitian library research, dimana mengambil buku-buku bacaan sebagai bahan utama rujukan penulisan ini, karena perlengkapan seseorang penyelidik tidak akan sempurna manakala tidak dilengkapi fasilitas-fasilitas perpustakaan. Pendekatan dengan menggunakan metode komperative, dimana metode ini digunakan untuk mengungkapkan perbandingan. Dalam menganalisa data menggunakan metode kritis, adalah sebuah metode filsafat yang bersifat analisa istilah dan pendapat.3 Cara mengambil kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif. Bertitik tolak dari definisi-definisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya ditarik kesimpulan.4 B.
Kajian Teori
1.
Manusia menurut Al Qur’an
Manusia adalah salah satu jenis makhluk Allah yang diberikan kelebihan dari makhluk-makhluk lain. Kelebihan itu antara lain dalam bentuk fisik, diberikannya akal fikiran shingga dengan demikian manusia mampu membedakan antara yang hak dan yang batil, yang Anton Barker, Metode-Metode Filsafat, Chalia Indonesia, Jakarta, 1981,
3
h. 21 4
Ibid, h.21-22
Keberadaan Manusia menurut al-Qur’an |
101
benar dan salah, baik maupun buruk. Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang paripurna, sebagaimana firman Allah dalam surat At-Tin ayat 4 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”5 Taqwim menurut Hamka dalam tafsir Al-Azharnya adalah pendirian. Yaitu bahwasannya diantara makhluk Allah diatas permukaan bumi ini, manusialah yang diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk; bentuk lahir dan bentuk batin, bentuk tubuh dan bentuk nyawa, sehingga dinamai basyar artinya wajah yang mengadung gembira, sangat berbeda dengan bintang lain.6 Jadi jelas bahwa manusia adalah makhluk Allah yang paling baik dan paling sempurna. Binatang misalnya, hanya diberi naluri tanpa diberi akal, oleh karenanya perbuatan dan tindakannya tanpa berfikir panjang. Malaikat adalah salah satu makhluk Allah yang hanya diberikan akal tanpa diberinya hawa nafsu, oleh karenanya tidak ada hal-hal yang mendorong untuk berbuat jahat sehingga tetap setia dan patuh kepada yang menciptakannya. Sebaliknya manusia diberikannya kedua-duanya, sehingga bertempur antara kedua unsur tersebut. Dia akan berbuat baik kalau akalnya yang menang, tapi sebaliknya dia akan berbuat jahat dan amoral kalau nafsunya yang menang. Lebih jauh Hamka mengatakan dan manusia diberi pula akal, bukan semata-semata nafsunya yang turun naik. Maka dengan keseimbangan sebaik-baiknya tubuh dan pedoman pada akalnya itu dapatlah ia hidup dipermukaan bumi ini menjadi pengatur. Kemudian Tuhan mengutus Rosul yang membawa petunjuk bagaimana cara menjalani hidup ini supaya selamat.7 Allah telah meniggikan atau mengangkat martabat manusia sebagai individu dengan dilarangnya manusia menyembah selainNya, seperti berhala dan lain-lain yang disembah oleh bangsa Arab yang mereka percaya bahwa berhala-berhala itu berperan sebaga pernghubung atau pendekat mereka kepada Allah. 5
Departmen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pelita III, 1979/1980, h.
6
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Pustaka Islam, Surabaya, 1973, h. 185 Hamka, Loe cit.
1076 7
102
|
TAPiS, Vol. 16, No. 01 Januari-Juni 2016
Semenjak lahir anak manusia telah membedakan dirinya dari pada anak hewan. Ia mempunyai perasaan rohaniah, ia merasa suka dan duka, ia tertawa dan menangis. Ia memiliki kehidupan batin, tubuhnya kesadaran akan diri dan akan lingkungannya. Dan yang amat penting ialah tu,buh kemampuan berfikir, sehingga ia dapat memperlajari bahasa yang didengarnya. Dengan bahasa itu dapatlah ia menyalurkan apa yang ada dalam dirinya (fikiran, perasaan, pengalaman,keinginan) kepada orang-orang yang dipergaulinya.8 Di sisi lain proses pertumbuhan anak manusia, ialah ia memiliki aktifitas kejiwaan, yang memungkinkannya menyertai aktifitas sosial.9 Keterangan diatas, jelaslah abhwa manusia adalah makhluk paripurna, diberikannya akal fikiran, nafsu bahkan sangat terpenting adalah diberkannya kalbu (hati). Sebenarnya kalbu inilah yang akan memutar segenap tubuh manusia terutama yang berkaitan batiniyah, sehingga nantinya apa yang ia alkukan (manusia) akan dipertanggung jawabkan bukan saja dimuka bumi tapi yang paling penting ialah dihadapan Mahkamah Ilahi. Manusia terkadang mengingkari kodratnya sebagai manusia, sehingga akhirnya berbuat diluar kemampuannya maka timbul keonaran, kekacauan, keributan dan sebagainya. Hal yang semacam ini tidak akan pernah terjadi pada hewan/binatang lain, akhirnya manusia lebih rendah dari binatang. Sebenarnya banyak ayat-ayat lain yang bercerita tentang manusia/insan itu. 2.
Kejadian Manusia
Bila mempelajari buku-buku Biologi terlebih ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan manusia, ternyata proses kejadiannya memakan waktu yang lama, namun proses awalnya manusia diciptakan oleh Allah dengan mengatakan Kun Fayakun, dengan mengatakan jadi, maka jadilan seperti halnya Nabi Adam, Isa As. Sehingga Al Qur’an telah menguraikan tentang kejadian manusia/insane dengan jelas sekali, namun saja ayat-ayatnya tersebar dibeberapa surat. Sidi Gazalba, Ilmu, FIlsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, Cet. 2, h. 10 9 Ibid, h. 11 8
Keberadaan Manusia menurut al-Qur’an |
103
Kalau diamati ayat-ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang kejadian manusia dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, adalah tentang kejadian manusia pertama. Dan tahap kedua, tentang kejadian manusia keturunan dari manusia pertama tadi. a. Tentang kejadian manusia pertama Al Qur’an menjelaskan sebagai berikut: Permulaannya dijadikan Allah seorang manusia, sesudah itu baru dijadikan Allah pula istrinya. Dari kedua manusia inilah dikembang biakkan Allah keturunannya yang amat banyak. Seperti yang dijelaskan dalam surat AnNisa ayat 1 yang artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan lakilaki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.10
Menurut kebanyakan Ulama bahwa dikehendaki “Nafsin Wahidatin = diri yang satu”, ialah Adam. Mereka menamakan nafsunya dengan diri, bahwa adam bapak manusia atau Khito dihadapkan kepada orang quraisy yang ada dimasa Nabi, yaitu keluarga Qusay diri Qusay.11 b. Kejadian manusia keturunan manusia pertama antara lain dijelaskan dalam Al Qur’an pada surat As-Sajadah ayat 8 yang artinya: “Kemudia Ia jadikan keturunannya dari air mani dan dari sebagian air yang meneuner”12
Bila memperhatikan dua ayat diatas, jelaslah bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam dua priode (tahap). Pertama, dijadikannya dari tanah kemudia ditiupkan roh Hasby As-Siddieqy, Tafsir Al-Qur’an An-Nur, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, Cet.ketujuh, Juz IV, h. 196 11 Hasby As-Siddieqy, Loe Cit. 12 Departmen Agama RI, On Cit, h. 661 10
104
|
TAPiS, Vol. 16, No. 01 Januari-Juni 2016
dan yang kedua manusia hasil kembang biak antara Adam dan Hawa. Namun demikian Darwin mengemukakan teori evolusinya bahwa kejadian manusia itu melalui proses evolusi dimulai dari hewan yang paling kecil dan rendah akhirnya sampai kepada manusia. Dari teori evolusi ini makin lama makin nyata kelemahannya. Kelemahan yang banyak diperdebatkan ialah tentang “missing link”, yakni putusnya hubungan atau tidak ditemukannya jenis antara dari bangsa hewan kepada jenis manusia.13 Jadi jelaslah bahwa asal mula kejadian manusia adalah bukan berdasarkan teori evolusi sebagaimana yang dikemukakan Darwin, namun karena kekuasaan Allah, oleh karenanya manusia dan hewan ada perbedaan bahkan jauh lebih asasi. Berbicara tentang manusia/insan dari segi kejadiaannya tidak dapat terlepas dari pada hukum-hukum perciptaan secara menyeluruh. Al Qur’an sebagai sumber tersalurnya pengenalan terhadap ciptaan Allah, kebanyakannya bersandar kepada dalil-dalil: kekuasaan, kehendak, kerapihan, keindahanperencanaan, ketertiban, perimbamngan, kesempurnaan, keistimewaan, yang semua itu tercipta karena kodrat dan iradat-Nya: dari tidak ada menjadi ada. Islam tidak mengenal dalil Emanasi, yaitu suatu peralihan atau pelimpahan dari Dzat Allah kepada makhluk-makhluk-Nya.14 Proses kejadian manusia baik mengenai manusia pertama maupun manusia keturunan terdiri dari dua unsur yakni jasad dan ruh. Jasmani manusia pertama langsung dijadikan oleh Tuhan dari tanah, sedangkan jasmani manusia keturunannya dari air mani. Roh manusia pertama ditiupkan kedalam tubuhnya leh Malaikat atas perintah Allah. Demikian pula roh manusia pertama maupun roh
Sidi Gazalba, Op Cit, h. 4 S. Qomarul Hadi, Membangun Insan Seutuhnya, AL-Ma;arif, Bandung, 1986, h. 82 13 14
Keberadaan Manusia menurut al-Qur’an |
105
manusia keturunannya ditiupkan kedalam tubuhnya setelah tubuh itu sempurna. 3.
Status Manusia
Berbicara masalah makhluk Allah yang mempunyai status, harga diri dan lain sebagainya tidak lain hanyalah manusia, karena manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab. Sudah pasti bahwa makhluk yang bertanggung jawab itu ialah pilihan dari sifat-sifat yang telah disebut dalam Al Qur’an tentang manusia, baik sebagai pemikul beban (taklif) atau sebagai sasaran pujian dan celaan dari sebab watak dan perbuatannya.15 Al Qur’an disebut manusia dengan pujian yang sangat tinggi dan dengan celaan yang sangat jelek dalam berbagai ayatnya dan juga dalam ayat satu saja. Ini tidak berarti bahwa Al Qur’an memuji dan mencela manusia dalam waktu yang sama, tetapi sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan dan kekurangan dengan menciptakan dalam dirinya potensi bagi dua macam tersebut. Manusia adalah mahkluk yang dapat menjadi baik dan buruk karena ia adalah makhluk pemikul beban (taklif). Manusia bertanggung jawab tentang kerjanya-individu dan masyarakat, bahkan alam sekelilingnya. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Ahzab ayat 72 :
“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”16
Mereka disebut zholim karena mereka sia-siakan amanat itu tidak mereka junjung tinggi tawaran Allah yang telah mereka terima bahkan mereka sia-siakan.17 Pijakan tanggung jawab dalam Al Qur’an adalah menjangkau semua rukunnya, termasuk penafsiran para pembahas tentang hikmat syari’at agama dan sedangkan yang dimaksud dalam amanat pada M. Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat, Alih bahasa Ahmad Daudy, Bulan Bintang, Jakarta, 1988, h.48 16 Hamka, Op Cit, h.147 17 Hamka, Loe Cit 15
106
|
TAPiS, Vol. 16, No. 01 Januari-Juni 2016
ayat tersebut adalah masalah syari’at agama. Jadi tanggung jawab dan amanat itu tidak berhak dipikulkan kepada benda-benda,langit, bumi dan gunung kecuali kepada manusia. Status manusia selain makhluk yang bertanggung jawab jawab ia juga sebagai pencari kebenaran. Dalam hubungan ini Allah berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 8 artinya: “Dan Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya”18
Jelaslah bahwa status manusia adalah sebagai makhluk bertanggung jawab, artinya apa yang ia kerjakan sanggup mananggung resikonya, selain itu manusia/insan sebagai pencari kebenaran artinya ia belum puas kalau hal-hal sesuatu belum dibuktikan dengan dalil naqli maupun dalil aqli. 4.
Kemampuan Manusia
Manusia atau insan diberikan kemampuan dan kelebihan dari makhluk-makhluk lain. Namun demikian pertama-tama yang dijumpai oleh pengertian kita ialah bahwa yang hidup di dunia ini tersusun dari pada suatu tubuh materi untuk dapat menampakan eksistensi/keberadaannya. Disamping itu setiap orang mengerti bahwa prinsip hidup bukanlah materi itu sendiri, tetapi sesuatu yang bergabung dengan materi dan merupakan eksistensi yang lengkap. Dari susunan tersebut manusia disatu pihak adalah makhluk yang lemah (QS. An-Nisa : 28). Namun dipihak lain manusia mempunyai kemampuan yang luar biasa. Kemampuan yang dimaksud tidak akan menyamai apa lagi melebihi kemampuan Sang Pencipta. Kemampuan disini ialah kemampuan rohani yang luar biasa mengatasi kemampuan makhluk-makhluk lain, seperti disebutkan dalam surat Ar-Rohman ayat 33: Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Diponegoro, Bandung, 1984, Cet. Ke 4 , h. 381 18
Keberadaan Manusia menurut al-Qur’an |
107
penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.19
Dalam suku kata yang pertama diberikan kebebasan bagi manusia melintasi segala penjuru bumi, baik untuk mengetahui rahasia yang terpendam dimuka bumi ini. 20 Dalam hubungan ini manusia sudah mencobanya dan berhasil walaupun pada Apollo 13 mengalami kegagalan. Hal ini mustahil akan bisa dilakukan oleh binatang atau hewan lainnya. Dalam hubungan ini Allah menjelaskan dalam surat Al-Kahfi ayat 93-98 bahwa Zulkarnaen dengan kemampuan rohaninya pernah membuat dinding yang amat tinggi dan tebal pada suatu daerah dibumi ini dari paduan antara besi dan tembaga. Di Negeri Barat berdasar kemampuan rohani manusia ini telah timbul antara lain: a. Hipnotis, dengan ilmu ini manusi mampu mengangkat barang-barang yang amat berat b. Magnetisme, dengan ilmu ini manusia dapat memisah roh dari jasadnya c. Spiritisme, manusia dapat memanggil roh-roh yang telah mati d. Telephati, manusia dapat menyuruh roh seseorang untuk mengembari kesegala tempat21 Di Negeri Timur dapat dijumpai tidak tembus peluru dan senjata tajam. Dalam sejarah Islam terjadi ketika Perang Yarmuk. C.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
1.
Keberadaan Manusia Menurut Al-Qur’an
Eksistensi manusia menurut Al Qur’an selain pada amal shaleh, akal juga pada kalbunya, artinya tidak mutlak ditentukan oleh kemampuan Departmen Agama RI, Op Cit, h. 887 Hamka, Tafzir Al Azhar, H. Abdul Karim, Surabaya, 1977, Juz XXVII,
19 20
h. 226 Syahminan Zaini, Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an, Bina Ilmu, Surabaya, 1980, h. 166 21
108
|
TAPiS, Vol. 16, No. 01 Januari-Juni 2016
akal fikirnya. Manusia mempunyai jiwa yang memungkinkan otak untuk berfikir. Kalbunya menjadi sumber penghayatan rohaniah dan tangan menjadi pangkal tekhnik, mewujudkan apa yang difikirkan oleh otak dan dirasakan oleh kalbunya.22 Akal fikiran sebagai instrument pengetahuan dan pengetahuan tentang wahyu, merupakan pembimbing kebenaran agamawi, dan kebenaran agamawi juga akal fikiran keduanya saling membutuhkan.23 Di samping itu akal fikiran merupakan alat pengukur untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam kaitan amal shaleh ini dapat dijumpai diantaranya pada surat An-Nahl ayat 97: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”
Jadi dengan tegas bahwa eksistensi manusia menurut Al Qur’an tidak berdiri pada kemampuan akalnya saja melainkan ditunjang dengan amal shaleh dan kalbunya. Hanya dengan akal manusia berbeda dengan makhluk lain, sehingga nilai derajat manusia melebihi makhluk lain. Di sisi lain bahwa eksistensi manusia menurut Al Qur’an juga terdapat pada kalbunya. Sebab kalbu inilah yang akan mengatur jalannya roda seluruh anggota tubuh manusia/insane. Manakala kalbu itu baik maka yang akan ditimbulkan adalah perbuatan serta moral yang baik, sebaliknya manakala kalbu itu jelek makan yang akan ditimbulkan jelek pula. Jelas eksistensi manusia menurut Al Qur’an ialah manusia yang mempunyai akal fikiran dan difungsikan sesuai dengan kehendak yang memberi sehingga nantinya akan berbuat amal shaleh. Sebab amal shaleh ini timbul sebagai akibat pemanfaatan akal sesuai yang Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, h. 12 23 Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, Terjemahan Johan Smit dan Anas Mahyuddun, Pustaka Salman ITB, Bandung, 1981, h. 74 22
Keberadaan Manusia menurut al-Qur’an |
109
dikehendaki oleh sipemberi. Adanya akal, amal shaleh inipun akibat adanya pemutar roda seluruh tubuh. Itulah yang disebut kalbu/hati. Dalam Al Qur’an manusia diberikan kebebasan, namun kebebasan yang terkontrol artinya masih ada yang mengawasi sehingga dengan demikian tidak mutlak. Yang mutlak itu ialah yang menciptakan manusia. 2.
Manusia Sebagai Khalifah di Muka Bumi
Yang sanggup memikul amanat dan tanggung jawab adalah manusia atau disebut sebagai taklif (pemikul amanah). Makhluk lain tidak sanggup untuk memikul amanat tersebut, hal ini dapat dimaklumi disamping bentuk fisik yang memungkinkan tetapi yang sangat menonjol adalah karena kemampuan akalnya. Sehingga Allah SWT berani memberikan beban kepada manusia, sampai diberikan predikat khalifah. Khalifah artinya pengganti atau kepala atau juga wakil yang sanggup mempertanggung jawabkan apa yang ia kerjakan oleh karenanya sampai masalah dunia dengan segala isinya diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mengelola, membudidayakan bahkan memakmurkan. Hal ini dapat dijumpai misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 29: ” Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.24
Dari ayat tersebut jelas bahwa ditujukan kepada manusia karena selain manusia tidak sanggup untuk mengolahnya. Dalam kata-kata khalifah dapat dijumpai dalam lnjutan ayat tersebut yakni ayat 30 pada surat yang sama. Dalam ayat 30 kata khalifah artinya pengganti. Tentunya setiap pengganti mesti ada yang digantikan. Syahmina Zaini membaginya pengganti sebagai berikut: Pengganti manusia; Pengganti Allah, yakni wakilnya; Pengganti satu makhluk yang lain; dan Pengganti jin-jin25 Namun demikian tidak Departmen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Pelita III, 1979/1980,
24
h. 13 Syahmina Zaini, Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an, Bina Ilmu, Surabaya, 1980, h.35 25
110
|
TAPiS, Vol. 16, No. 01 Januari-Juni 2016
akan membentangkan secara rinci megenai pengertian khalifah, tapi yang dimaksud bahwa manusia sebagai khalifah. Di dalam Al Qur’an karena manusia adalah makhluk yang paling tinggi ditambah kapasitasnya sebagai khalifah tentunya akan dapat memanfaatkan segala apa yang ada dimuka bumi sesuai apa yang diinginkan oleh yang digantikannya, dalam kedudukannya sebagai khalifah baik dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan sebagai khlaifah dalam Negara dan agama. Resikonya apa yang ia pimpin maka akan dipertanggung jawabkan bukan saja di akhirat tetapi juga di muka bumi ini. sebagaimana kita maklum bahwa manusia adalah makhluk sosial maka berjalannya khalifah itu karena adanya yang dipimpin (bawahan). Diangkatnya manusia sebagai khalifah bukan semata-mata karena kemampuan akalnya tetapi karena manusia sebagai taklif dan makhluk sosial, dan ini yang terdapat dalam AlQur’an. Oleh karena itu manusia derajatnya yang tinggi tadi akan lebih rendah manakala tidak sanggup memikul bahkan menyi-nyiakan amanahnya tersebut. Selain itu manusia tentunya ingin mencari hal-hal yang masuk akal (rasio), atau dengan kata lain mencari kebenaran. Sebagaimana dimaklumi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah sebagaimana disitir dalam surat Ar-Rum ayat 30. Pada dasarnya manusia ingin mencari kebahagiaan, kesenangan semua manusia tanpa terkecuali, hanya saja manusia menempuh untuk itu bermacammacam. Ada yang dibenarkan dan ada yang tidak dibenarkan. Yang dibenarkan tentunya melalui syarat-syarat tertentu yang tidak merugikan orang lain, menyiksa diri sendiri apalagi maksiat kepada Khaliknya. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran hakiki, tentunya dalam Islam menusia untuk mencari kebenaran itu sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an dan sabda Rasul, oleh karenanya manusia akan selamat, tapi sebaliknya dalam filsafat walaupun manusia pencari kebenaran, kadang dipusatkan pada kemampuan akalnya saja sehingga terkadang apa yang ia temukan itu mungkin cocok dimasa sekarang tetapi belum tentu seminggu kemudian. Kebenaran itu sendiri yang berada diluar pengetahuan manusia, tidak mempunyai riwayat dan perkembangannya. Hanya kebenaran
Keberadaan Manusia menurut al-Qur’an |
111
yang diketahui manusia yang meiliki riwayat.26 Dengan demikian ada kebenaran yang bersifat tetap ada yang berubah didalam pemahamannya. Lebih jauh Al-Ghazali mengatakan kebenaran sebagai sesuatu yang utama bagi kebahagiaan dianggap oleh kaum muslimin sudah berada secara lengkap di dalam Al Qur’an dan Sunnah.27 Dari uraian di atas nyatalah bahwa manusia sebagai pencari kebenaran dan ini merupakan fitrah, kebenaran yang lengkap dan paripurna tentunya terdapat pada Al Qur’an dan Sunnah. D.
Simpulan
Pertama: Al Qur’an dalam proses kejadian manusia terdiri dari dua tahap, yakni tahap kejadian manusia pertama yang langsung diciptakan oleh Allah, sedangkan tahap kedua melalui proses keturunan dari manusia pertama yakni dengan bercampurnya sperma laki-laki dan sperma perempuan. Kedua: manusia dalam Al Qur’an adalah salah satu baian dari makhluk Allah yang diciptakan dalam keadaan bentuk fisik yang sempurna dan diberikannya dua unsur jasmani dan rohani walaupun dua unsure ini dimilikinya oleh binatang namun tetap berbeda dengan manusia. Ketiga: Al Qur’an mengakui bahwa kemampuan manusia berbeda dengan makhluk lain, tidak saja dari segi diberikannya akal tetapi juga perasaan. Keempat: Al Qur’an mengakui bahwa manusia adalah makhluk bertanggung jawab untuk memikul beban, sehingga bagi manusia yang tidak dapat melaksanakan bahkan menyia-nyiakan beban atau amanat itu termasuk zholim. Dalam Al Qur’an bahwa status manusia disamping khalifah tetapi juga sebagai hamba. Sementara filusuf mengakui bahwa manusia bukanlah hamba tetapi pemimpin. Oleh karena itu tidak mengakui bahwa manusia harus pasrah kepada ketentuan Tuhan. Kelima: Dalam Al Qur’an bahwa yang disebut khalifah itu ialah manusia, manusialah yang sanggup menjadi khalifah karena 26 27
Ali Issa Othman, Op Cit, h. 37 Ali Issa, Loe Cit
112
|
TAPiS, Vol. 16, No. 01 Januari-Juni 2016
sanggup mempertanggung jawabkan apa yang ia pimpin. Khalifah yang dimaksud disini ialah pengganti atau penanggung jawab untuk mengatur dunia serta segala isinya dan memakmurkannya. Keenam: Kehadiran Al Qur’an ditengah-tengah umat manusia sangat diperlukan, hal ini dimaksudkan sebagai pembeda mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang batil dan mana yang hak serta untuk menghilangkan keraguan dan ketidak percayaan yang ditimbulkan oleh akal manusia. Karena kalau Al Qur’an bertentangan dengan akal, maka yang diperlukan diteliti kebenarannya bukan Al Qur’an tapi akal manusianya [.]
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Syafi’i Syarif, , Al Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Pustaka Bandung, 1985 Anton Barker, , Metode-Metode Filsafat, Jakarta , Chalia Indonesia, 1981. Ali Issa Othman, , Manusia Menurut Al-Ghazali, Terjemahan Johan Smit dan Anas Mahyuddun, Bandung, Pustaka Salman ITB. 1981 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah Hamka, Tafsir Al-Azhar, Surabaya, Pustaka Islam.1973 ---------, Tafzir Al Azhar, Terjemah H. Abdul Karim Juz XXVII, Surabaya.1977 Hasby As-Siddieqy, , Tafsir Al Qur’an An-Nur, Jakarta, Bulan Bintang.1976 Shaleh dan Dahlan, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an, Bandung, Diponegoro. 1984 Sidi Gazalba, Ilmu, FIlsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama, Jakarta, Bulan Bintang. 1985 S. Qomarul Hadi, Membangun Insan Seutuhnya, Bandung, almarif, 1986 Syahminan Zaini,, Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an, Surabaya, Bina Ilmu. 1980 Yusuf Musa, Al Qur’an dan Filsafat, Alih bahasa Ahmad Daudy, Jakarta, Bulan Bintang, 1988