KEBEBASAN BERSERIKAT MENURUT UNDANG – UNDANG NO.2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK SKRIPSI Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
OLEH : Nama
: Hafizurrahman
NIM
: 20040610088
Jurusan
: Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2008
i
HALAMAN PERSETUJUAN KEBEBASAN BERSERIKAT MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
SKRIPSI
Diajukan oleh :
Nama
: Hafizurrahman
NIM
: 20040610088
Telah disetujui oleh dosen pembimbing pada tanggal...................................
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Septi Nurwijayanti, S.H, M H NIP. 153. 029
Iwan Satriawan, S.H, MCL NIK. 153. 039
ii
HALAMAN PENGESAHAN KEBEBASAN BERSERIKAT MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
SKRIPSI Telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal............................... yang terdiri dari :
Ketua
Yulianto Ahmad, SH, M.H. NIP. 131847701
Anggota
Anggota
Septi Nurwijayanti, S.H, M H NIK. 153. 029
Iwan Satriawan, S.H, MCL NIP. 153. 039
Mengesahkan, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Muhammad Endrio Susilo, S.H, MCL NIK. 153 042 Motto
iii
Sesengguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai dari sesuatu urusan, kerjakan dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. (Qs: Al Insyirah ayat 6)
Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Qs: Al Mujadalah ayat 11)
Hidup memang kegelapan, jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat keinginan akan buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan semua segala pengetahuan akan hampa, jika tidak diikuti dengan pekerjaan. Dan semua pekerjaan akan sia-sia apabila tidak disertai dengan cinta (Kahlil Gibran)
Kita semua yang merasa bahagia punya tujuan untuk menjadi bahagia. Hal itulah yang membukakan mata saya bahwa kunci semua ini adalah adanya tujuan. (Janet Jantzen)
iv
Persembahan
Seiring rasa syukurku kepada Allah Swt Yang selalu memberikan kenikmatan Kupersembahkan karya kecilku ini untuk untuk orang-orang yang Kukasihi dan mengasihiku
¾ Ayahku (M Yasin) dan Mamakku (Deliani) tercinta, sebagai tanda baktiku atas kasih sayang dan segala pengorbanan demi kesuksesan anaknya Dalam menuntut ilmu. Dan Terima kasih atas doa, dukungan, cinta, kepercayaan dan pengorbanan yang telah diberikan. ¾ Adik-adikku Yunda, Vita, Yoon yang selalu mendorong langkah yang saya tempuh dan selalu memotivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini. ¾ Kepada almamaterku Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan ruang dan tempat untuk menuntut ilmu dan belajar. ¾ Terkasihku (Sinta Fitra Dewi), yang selalu menyayangiku, dan memotivasiku.Terimakasih atas do’a, kasih sayang, pengorbanan dan kesempatan yang telah diberikan. Semoga yang kita cita-citakan dapat tercapai, Amin............. ¾ Terima kasi kepada kawan – kawan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia), dan kepada semua kawan – kawan yang konsisten di garis perjuangan untuk membebaskan rakyat yang tertindas
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayahNya, dan kasihNya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas skripsi ini dengan judul “Kebebasan Berserikat menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik”. Sholawat serta salam saya panjatkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk meraih gelar Sarjana Hukum, pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Adapun pengambilan Judul skripsi ini didasarkan pada peraturan yang berlaku atas pelaksanaan kebebasan berserikat tentang partai politik. Secara khusus dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada : 1. Septi Nurwijayanti, S.H, M H selaku Dosen Pembimbing I dan penguji skripsi yang telah memberikan bimbingan, serta nasehat dalam penyusunan skripsi ini; 2. Iwan Satriawan, SH. , MCL selaku Dosen Pembimbing II dan penguji skripsi yang telah memberikan bimbingan, serta nasehat dalam penyusunan skripsi ini; Seluruh pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu, yang dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi.
vi
Saya menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu saya mengharapkan saran dan kritik yang dapat menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya. Amien Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, Juni 2008
Penulis
Hafizurrahman
vii
DAFTAR ISI Hlm HALAMAN JUDUL……………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………….
ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………..
iii
HALAMAN MOTTO…………………………………………………..
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………...
v
KATA PENGANTAR………………………………………………….
vi
DAFTAR ISI……………………………………………………………
viii
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………….
1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………...
1
B. Rumusan Masalah…………………………………………
3
C. Tujuan Penelitian………………………………………….
4
D. Manfaat Penelitian………………………………………...
4
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG KEBEBASAN BERSERIKAT………………………………………………… 5 A. Reformasi…………………………………………………... 5 A. Demokrasi………………………………………………….
11
1. Pengertian Demokrasi………………………………….
11
2. Sejarah Demokrasi……………………………………..
15
3. Perkembangan Demokrasi Di Indonesia………………
20
viii
B. Partai Politik……………………………………………...
23
1. Pengertian Partai Politik……………………………..
23
2. Sejarah Partai Politik…………………………………
24
3. Klasifikasi Sistem Kepartaian………………………..
26
4. Fungsi Partai Politik………………………………….
34
C. Hak Asasi Manusia………………………………………
41
1. Pengertian Hak Asasi Manusia………………………
41
2. Sejarah Hak Asasi Manusia…………………………
45
3. Hak Asasi Manusia di Indonesia……………………
48
BAB III. METODE PENELITIAN…………………………………
56
BAB IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN TENTANG KEBEBASAN BERSERIKAT……………… A.
Kebebasan berserikat menurut Undang – Undang Dasar 1945………………………………………………
B.
59
Kebebasan berserikat menurut Undang – Undang Nomor. 2 Tahun 2008……………………………………
C.
59
67
Hak asasi manusia dan kebebasan berserikat menurut Undang - Undang Nomor 39 tahun 1999………………… 70
BAB V. PENUTUP................................................................................
72
A. Kesimpulan……………………………………………….
72
B. Saran……………………………………………………...
73
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Pasca runtuhnya rezim Orde Baru (rezim tiran) 21 Mei 1998 bangsa Indonesia memasuki babak baru yaitu Orde Reformasi. Dalam era reformasi terjadi perubahan–perubahan di dalam kondisi politik Indonesia. Salah satunya yaitu munculnya kembali sistem multi partai di Indonesia yang terjadi akibat pengekangan demokratisasi pada era Orde Baru. Munculnya multi partai di Indonesia merupakan salah satu wujud reformasi yang menginginkan proses demokrasi yang lebih ideal sehingga dapat membawa bangsa ini ke arah yang lebih maju. Meskipun demikian, runtuhnya rezim Orde Baru dominasi dari rezim ini masih terasa sampai sekarang salah satunya yaitu aturan yang terdapat dalam partai politik yang berkaitan tentang pelarangan penyebarluasan ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme, ajaran-ajaran ini dilarang tumbuh dan berkembang di Indonesia hingga era reformasi saat ini (Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002, dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008). Eforia demokrasi pada era reformasi saat ini dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk ikut dalam berpartisipasi mewarnai demokrasi di Indonesia
1
dengan mendirikan partai–partai politik baru, yang merupakan implementasi dari kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang telah di atur di dalam Pasal 28 E ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. Jika dilihat lebih jauh lagi kebebasan berserikat dan berkumpul yang telah di amanatkan
oleh
Undang–undang
Dasar
1945
tidak
sepenuhnya
di
Implementasikan, hal ini dapat dilihat di dalam Undang – Undang No 2 Tahun 2008 Pasal 40 ayat (5) yang berbunyi sebagai berikut, “Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme atau Marxisme-Leninisme.” Pasal 40 ayat (5) tersebut menyatakan dengan jelas bahwa apabila masyarakat ingin mendirikan partai politik yang berlandaskan paham–paham Marxisme– Leninisme, partai tersebut tentunya dilarang tumbuh dan berkembang di Indonesia, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang terdapat di dalam konsideran Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 di perjelas. Berdasarkan konsep Demokrasi secara universal ketika suatu negara mengklaim bahwa negaranya merupakan negara Demokrasi maka kebebasan berserikat, dan mengeluarkan pendapat menjadi suatu kewajiban bagi negara untuk menjamin kebebasan–kebebasan tersebut. Indonesia sebagai negara Demokrasi mendukung hal tersebut yang tertuang di dalam UUD 1945 Pasal 28 E ayat (3). Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka salah satu larangan bagi partai politik di Indonesia yang berkaitan dengan
2
pengembangan ajaran atau paham Marxisme–Leninisme perlu diperjelas, dengan menggunakan prinsip–prinsip Demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Dilihat dari aspek hak asasi manusia yang diatur di dalam Undang–undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kebebasan berserikat merupakan statu hal yang mutlak, hal ini dapat dilihat pada Pasal 3 Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat, pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya“ Pasal 3 Undang–undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut menyatakan dengan tegas bahwa masyarakat Indonesia diberikan kebebasan dalam bidang politik (berorganisasi, melakukan aktifitas politik, dan beridiologisasi) kebebasan dalam bidang politik ini tentunya harus memiliki batasan–batasan tertentu yaitu tidak boleh menyimpang dari Pancasila sebagai dasar negara. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu : menganalisis secara yuridis Bagaimana kebebasan berserikat menurut Undang–undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik di Indonesia?
3
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji kebebasan berserikat menurut Undang–undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis Untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Kebebasan berserikat. 2. Manfaat Praktis Memberikan pemahaman terhadap masyarakat tentang kebebasan berserikat dan sebagai masukan terhadap pemerintah dan instansi yang terkait terhadap kebebasan berserikat.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Reformasi Istilah reformasi
mengandung berbagai interpretasi yang sangat
tergantung pada konteksnya. Kalau dikaitkan dengan gerakan keagamaan pada paruh kedua abad ke-16, reformasi mengacu pada pembaruan gereja Katolik Roma yang melahirkan kristen Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther1. Namun, sebagaimana istilah pada umumnya, makna yang terkandung di dalamnya bisa berubah dengan perjalanan waktu. Bahkan secara ekstrim, suatu istilah yang semula mengandung makna positif atau netral bisa saja berubah menjadi negatif. Pengertian reformasi dalam konteks mencari jalan keluar dari krisis yang kita hadapi dewasa ini setidaknya mengandung dua unsur. a. Pembaruan. Karena sistem yang ada tak mampu lagi merespon persoalanpersoalan yang muncul sebagai akibat dari perubahan yang di ciptakan oleh reformasi, sehingga di tuntut adanya pembaruan terhadap sistem – sistem lama tersebut secara total.
1
Seorang reformis gereja yang melakukan pemberontakan terhadap ajaran – ajaran gereja katolik Roma, khususnya yang berkaitan dengan surat penghapusan dosa.
5
b. Perubahan Perubahan terjadi hampir di seluruh sendi kehidupan masyarakat yang mengiginkan adanya suatu kehidupan masyarakat yang lebih demokratis. Kehidupan yang lebih demokratis ini menjadi suatu tuntutan terhadap pemerintah pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Menurut Afan Gaffar2 reformasi di Indonesia haruslah bersifat konkret dan jelas sehingga reformasi tersebut dapat mewujudkan pemerintahan yang demokratis, bersih dan berwibawa, sehinnga dapat menciptakan kehidupan Politik, Ekonomi dan budaya yang setabil di Indonesia. Untuk mewujudkan reformasi yang ideal di Indonesia, menurut Afan Gaffar terdapat 6 langkah yang harus dilakukan di Indonesia3 : 1). Pembatasan masa jabatan presiden, Dalam era reformasi di haruskan adanya pembatasan jabatan Presiden agar dapat menghilangkan vested interest sehingga dapat menciptakan proses demokratisasi yang lebih riil. 2). Redefinisi fungsi dan rekuitmen MPR, Menurut Afan Gaffar harus adanya penegasan mengenai fungsi MPR, agar MPR dapat menjadi penyeimbang terhadap lembaga keperesidenan. Namun sekarang ini dengan bergantinya SSP di
2 3
Afan Gaffar, op. cit hlm 164. Afan Gafar, op. cit hlm 63 – 172.
6
Indonesia peran dan fungsi MPR telah diambil alih oleh MK sehingga fungsi pengontrol dan penyeimbang berada di tangan DPR. 3). Kesetaraan di antara lembaga tinggi negara, Telah kita ketahui bersama pada masa Orde Baru dominasi lembaga keperesidenan sebagai lembaga tinggi negara sangat kuat, sehingga tidak adanya checks and balances di antara lembaga – lembaga negara. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut di atas di dalam era reformasi ini seharusnya lembaga – lembaga tinggi negara harus memiliki kesetaraan, sehingga diharapkan dapat terciptanya checks and balances di antara lembaga – lembaga tinggi negara tersebut. 4). Rekruitmen politik yang terbuka, Rekruitmen politik yang terbuka yang paling baik adalah melalui mekanisme Pemilihan Umum, yang dilakukan secara kompetitif dan demokratis. Rekruitmen politik yang terbuka juga menyangkut rekruitmen kalangan pejabat eksekutif misalnya seperti penunjukan seorang menteri hendaknya tidak lagi didasarkan atas Patronage politik seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Dan selain itu rekruitmen politik yang terbuka juga harus diberlakukan
terhadap
partai–partai
politik
sehingga
dapat
melahirkan para pemimpin politik yang tangguh dan berakar pada masyarakat.
7
5). Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, Desentralisasi
penyelenggaraan
pemerintahan
di
daerah
merupakan tuntutan Zaman, karena hal itu akan mendekatkan pemerintah kepada rakyat, dan juga akan menciptakan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. 6). Implementasi HAM dengan lebih jelas dan konkret, Masalah demokratisasi tidak dapat dilepaskan dari derajat implementasi HAM. Oleh karena itu, sudah waktunya implemtasi HAM tersebut diwujudkan secara jelas dan konkret. Hal tersebut dapat dimulai dengan penyelenggaraan pemilihan Umum yang bebas dan kompetitif, dengan memberikan peluang terjadinya wacana publik. Selain penegakan HAM di bidang politik Indonesia juga harus mencegah terjadinya pelanggaran–pelanggaran HAM seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Keenam hal yang dipaparkan di atas menurut Afan Gaffar merupakan langkah yang harus diambil pemerintah untuk demokratisasi yang ideal, sehingga reformasi yang dilakukan Mei 1998 tidak sia–sia. c. Tuntutan–Tuntutan Reformasi (Bidang Politik dan Ekonomi). 1). Reformasi sosial–politik Pada bidang ini rakyat meminta kepada pemerintah untuk memperbaharui sistem politik yang ada secara menyeluruh.
8
Reformasi secara menyeluruh diartikan sebagai segenap perubahan sistem atau kehidupan politik, baik berupa aspek atau unsur–unsur yang berarti bahwa reformasi politik menyangkut aspek kultur, struktur, proses dan produksi. Dari kehidupan politik Indonesia yang diberlakukan saat ini. Berarti pula bahwa idiologi, konstitusi, penguasa eksekutif, legislatif, yudikatif, birokrasi, organisasi politik, organisasi massa (ORMAS) pola interaksi kekuasaan sampai kepada berbagai kebijakan
publik
sebagai
unsur
politik
yang
memerlukan
pembaharuan4. 2). Reformasi Ekonomi. Harus diakui bahwa selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi hampir tanpa putus sejak dimulainya pemerintahan Orde Baru oleh Soeharto pada tahun 1966 (pertumbuhan ekonomi pada masa Orde Baru ini selalu di topang hutang luar negeri). Akan tetapi sejak reformasi bergulir maka terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat itu hanya bersifat semu belaka. Salah satunya yang menyebabkan hal ini yaitu terjadinya tindak KKN yang dilakukan oleh para penguasa dan birokrat. 4
Arbit Sanit, 1998, Reformasi Politik, Jakarta, Pustaka Pelajar, hal 105.
9
Kelemahan ekonomi yang terjadi pada masa Orde Baru ini mengakibatkan Indonesia menjadi negara yang paling parah saat krisis moneter menyerang kawasan regional pada tahun 1997 yang lalu. Kurs mata uang rupiah pun menjadi jatuh dan hutang luar negri semakin membengkak. Krisis ekonomi pada akhirnya memunculkan tuntutan adanya pembaharuan pada bidang ekonomi dengan berpijak pada politik ekonomi Indonesia sebagai paradigma baru yang harus ditempuh dalam era reformasi meninggalkan politik ekonomi Orde Baru. Politik ekonomi yang pertama adalah penghapusan sentralisme dengan melaksanakan desentralisasi pembagunan melalui otonomi daerah secara penuh dan luas, melepaskan ketergantungan hutang luar negeri, dalam hal ini Indonesia telah bertekat mengakhiri kerjasama dengan IMF (International Monetary Fund). Pada akhir 2003, melepaskan ketergantungan pada migas kecuali memproduksinya
untuk
cadangan
nasional.
Dengan
adanya
reformasi ekonomi diharapkan Indonesia kembali menemukan format ekonomi yang berpihak kepada rakyat, karena rakyatlah yang paling merasakan akibat krisis ekonomi tersebut.
10
B. Demokrasi 1. Pengertian Demokrasi Demokrasi merupakan suatu alternatife yang banyak digunakan oleh negara–negara yang ada di dunia untuk menjalankan sistem pemerintahan di suatu negara. Hal ini terjadi karena masyarakat internasional melihat bahwa demokrasi lebih dapat menjamin keberlangsungan hak asasi manusia, daripada negara–negara yang menggunakan sistem otoriter maupun totaliter. Secara umum dapat dikatakan bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang akomodatif dan merakyat. Artinya dapat digambarkan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebelum melihat lebih jauh pengertian demokrasi menurut beberapa tokoh terlebih dahulu kita melihat pengertian demokrasi di dalam ilmu politik, di dalam ilmu politik dikenal dua pemahaman tentang demokrasi5 : a. Demokrasi Normatif (demokrasi sebagai ide) Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, hal ini dapat dilihat dari ungkapan “ pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat “ ungkapan normatif tersebut, diterjemahkan dalam konstitusi Negara–Negara yang menggunakan sistem demokrasi.
5
Robert A Dahl, 2001, Prihal Demokrasi, Jakarta, Yayasan Obor.
11
Indonesia adalah salah satu Negara yang menggunakan paham demokrasi, ungkapan normatif tersebut dapat dilihat dalam UndangUndang Dasar 1945 Pasal 2 ayat (1) “ kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undan-undang Dasar” Pasal 28 E ayat (3) ”setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat ” b. Demokrasi Empirik Dalam ilmu politik demokrasi empirik yaitu demokrasi yang diterapkan
perwujutannya dalam kehidupan politik praktis didalam
sebuah Negara menurut Robert A Dahl6 terdapat 8 indikator untuk melihat perkembangan demokrasi empirik di dalam suatu negara : 1) Kebebasan menyatakan pendapat 2) Hak memilih dalam pemilihan umum 3) Kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi 4) Hak untuk menduduki jabatan publik 5) Hak para pemimpin untuk bersaing mendapatkan dukungan dan suara 6) Tersedianya sumber–sumber informasi alternatif 7) Terselenggaranya pemilihan umum 8) Adanya lembaga–lembaga yang menjamin agar public policy tergantung pada suara dalam pemilihan umum.
6
Robert A Dahl, 2001, Prihal Demokrasi, Jakarta, Yayasan Obor.
12
Secara umum berdasarkan pengertian demokrasi empirik dan 8 indikator demokrasi yang dipaparkan di atas, ada beberapa persyaratan untuk mengamati apakah sebuah tertib politik itu demokrasi atau tidak, dengan syarat sebagai berikut: a) Akuntabilitas Dalam sistem demokrasi setiap pemegang jabatan harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaanya. Dalam hal ini pemegang jabatan harus bersedia menghadapi pemeriksaan publik terutama oleh media massa. b) Rotasi kekuasaan Peluang akan terjadinya rotasi (pergantian kekuasaan) harus ada dan dilakukan secara teratur dan damai. Partai politik yang menang pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif. c) Rekruitmen politik secara terbuka Hal ini dimaksudkan untuk memungkinkan terjadinya rotasi (pergantian kekuasaan) maka harus ada sistem rekruitmen politik yang terbuka.. Setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi.
13
d) Menikmati hak–hak dasar Mengemukakan hak–hak dasar manusia secara bebas. Hak untuk menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menentukan preferensi politiknya tentang suatu masalah. e) Pemilihan umum Pemilihan umum dilaksanakan secara teratur, luber dan jurdil. Setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya untuk
ikut
dalam pemilu, Jika dilihat dari indikator–indikator di atas dapat disimpulkan bahwa pilar–pilar untuk menegakkan demokrasi adalah infra struktur politik (partai politik, oraganisasi masa,
kelompok
kepentingan, kelompok penekan dan media massa) yang berperan penuh dalam melakukan kontrol terhadap jalannya suatu demokrasi. Untuk memahami lebih jauh apa yang dimaksud dengan demokrasi, perlu dilihat beberapa definisi megenai demokrasi dari beberapa tokoh dunia, diantaranya : Schumpeter . Menurut schunpeter demokrasi adalah suatu pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan – keputusan politik dimana individu – individu melaluai perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan.
Diamon, linz, dan lipset . Menurut mereka demokrasi adalah suatu sistem yang memenuhi 3 syarat – syarat utama : 1. kompetisi
14
2. Partisipasi politik 3. Suatu tingkat kebebasan sipil dan politik Marx Marx mendefinisikan demokrasi berbeda dari tokoh – tokoh demokrasi yang lain menurut Marx demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana kelas proletar yang berkuasa menjalankan kekuasaan atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat7. Soekarno Menurut sukarno demokrasi adalah ”pemerintahan rakyat” cara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah8.
2. Sejarah Demokrasi Pada permulaan pertumbuhannya demokrasi telah mencakup beberapa asas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perag agama yang menyusulnya. Sistem demokrasi yang terdapat di negara-kota (city-state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 S.M.) merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas 7
Dikutip dalam manifesto komunis. Sukarno, 1965, Di bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, Jakarta, Dewan Pertimbangan Agung, hlm 171. 8
15
(negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit. Lagi pula, ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang terdiri atas budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku. Dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi merupakan demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy). Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia Barat waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki Abad Pertengahan (600-1400). Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal dan lord); yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya, yang kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuataan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat
dari
sudut
perkembangan
demokrasi
Abad
Pertengahan
menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna Charta (Piagam Besar) (1215). Magna Charta merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja John dari Inggris di mana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan priveleges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Walaupun piagam ini lahir dalam
16
suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi. Sebelum Abad Pertengahan berakhir dan pada permulaan abad ke-16 di Eropa Barat muncul negara-negara nasional (national state) dalam bentuk yang modern. Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Dua kejadian ini ialah Renaissance (1350-1600) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti Italia, dan Reformasi (1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di Eropa Utara, seperti di Jerman dan Swiss. Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang terjadinya semata-mata diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan ke arah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pendangan-pandangan baru. Reformasi
serta
perang-perang
agama
yang
menyusul
akhirnya
menyebabkan manusia berhasil melepaskan diri dari penguasaan Gereja, baik di bidang spiritual dalam bentuk dogma, maupun di bidang sosial dan politik. Hasil dari pergumulan ini ialah timbulnya gagasan mengenai perlunya ada kebebasan beragama serta ada garis pemisah yang tegas antara soal-soal agama dan soal-soal keduniawian, khususnya di bidang pemerintahan. Ini dinamakan ’Pemisahan antara Gereja dan Negara’
17
Kedua aliran pikiran yang tersebut di atas mempersiapkan orang Eropa Barat untuk, menyelami masa Aufklarung (Abad Pemikiran) beserta Rasionalisme, suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh Gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal (ratio) semata-mata. Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluaskan gagasan ini di bidang politik. Kemudian timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja, yang menurut pola yang sudah lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tak terbatas. Monarki-monarki absolut ini telah muncul dalam masa 1500-1700, sesudah berakhirnya Abad Pertengahan. Raja-raja absolut menganggap dirinya berhak atas tahtanya berdasarkan konsep Hak Suci Raja (Divine Right of Kings). Raja-raja yang terkenal di Spanyol ialah Isabella dan Ferdinand (1479-1516), sedangkan di Prancis raja-raja Bourbon dan sebagainya. Kecaman-kecaman yang dilontarkan terhadap gagasan absolutisme mendapat dukungan kuat dari golongan menengah (middle class) yang mulai berpengaruh berkat majunya kedudukan ekonomi serta mutu pendidikannya. Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas suatu teori rasionalitas yang umumnya dikenal sebagai social contract (kontrak sosial). Salah satu asas dari gagasan kontrak sosial ialah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang imbul dari alam (nature) yang mengandung
18
prinsip-prinsip keadilan yang universal; artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia, apakah ia raja, bangsawan, atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan Hukum alam (Natural Law, ius naturale). Unsur universalisme inilah yang diterapkan pada masalah-masalah politik. Teori kontrak sosial beranggapan bahwa hubungan antara raja dan rakyat didasari oleh suatu kontrak yang ketentuan-ketentuannya mengikat kedua belah pihak. Kontrak sosial menentukan di satu pihak bahwa raja diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana di mana rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya (natural rights) dengan aman. Di pihak lain rakyat akan menaati pemerintahan raja asal hak-hak alam itu terjamin. Pada hakikatnya toeri-teori kontrak sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini antara lain John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755). Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty dan property). Montesquieu mencoba menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak politik itu, yang kemudian dikenal dengan istilah Trias Politika. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi Prancis pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan Inggris.
19
Sebagai akibat dari pergolakan tersebut, maka pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu kesamaan hak (equal rights), serta hak pilih untuk semua warga negara (universal suffrage)9. 3. Perkembangan Demokrasi di Indonesia Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik. Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk (kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, dan kebebasan untuk berpolitik), kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR). Presiden Habibie yang dilantik sebagai presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto dapat dianggap sebagai presiden yang akan memulai langkah-langkah demokratisasi dalam Orde Reformasi. Oleh karena itu,
9
Miriam Budiarjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm,108.
20
langkah yang dilakukan pemerintahan Habibie adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi. UU politik yang meliputi UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru disahkan pada awal 1999. UU politik ini jauh lebih demokratis dibandingkan dengan UU politik sebelumnya sehingga Pemilu 1999 menjadi pemilu yang demokratis yang diakui oleh dunia internasional. Pada masa pemerintahan Habibie juga terjadi demokratisasi yang tidak kalah pentingnya, yaitu penghapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosialpolitik ABRI (sekarang TNI atau Tentara Nasional Indonesia) dihilangkan. Fungsi pertahanan menjadi fungsi satu-satunya yang dimiliki TNI semenjak reformasi internal TNI tersebut. Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oelh MPR hasil pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar 1945 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga legislatif diperkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum unuk memilih presiden dan
21
wakil presiden secara langsung (pilpres). Pilpres pertama dilakukan pada tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga legislatif. Langkah demokratisasi berikutnya adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah secara langsung (pilkada) yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini mengharuskan semua kepala daerah di seluruh Indonesia dipilih melalui pilkada mulai pertengahan 2005. Semenjak itu, semua kepala daerah yang telah habis masa jabatannya harus dipilih melalui pilkada. Pilkada bertujuan untuk menjadikan pemerintah daerah lebi demokratis dengan diberikan hak bagi rakyat untuk menentukan kepala daerah. Hal ini tentu saja berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang bersifat tidak langsung karena dipilih oleh DPRD. Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004 merupakan tonggak sejarah politik penting dalam sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya presiden dan wakil presiden yang didahului oleh terpilihnya anggota-anggota DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan DPRD telah menuntaskan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga politik di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa demokratisasi telah berhasil membentuk pemerintah Indonesia yang demokratis karena nilai-nilai demokrasi yang penting telah diterapkan melalui pelaksanana peraturan perundangan mulai dari UUD 1945. Memang benar bahwa demokratisasi adalah proses tanpa akhir karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud
22
secara tuntas. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tadi, demokrasi di Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkembang. C. Partai Politik 1. Definisi Partai Politik Partai politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu pengaruh mereka bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan. Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional – untuk melaksanakan programnya. Banyak sekali definisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para sarjana. Di bagian ini dipaparkan beberapa contoh definisi yang dibuat para ahli ilmu klasik dan kontemporer. Carl J. Friendrich menuliskan sebagai berikut : Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materil.10 10
Miriam Budiardjo, op.cit hlm. 404.
23
Sigmund Neumenn mendefinisikan sebagai berikut : Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.11 Menurut Neumann, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembagalembaga pemerintah yang resmi. Ahli lain yang juga turut merintis studi tentang kepartaian dan membuat definisinya adalah Giovanni Sartori, yang karyanya juga menjadi klasik serta acuan penting. Menurut Sartori : Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan, melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon –calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik.12
2. Sejarah Partai Politik Partai politik pertama–tama lahir di Negara–Negara Eropa Barat. Kelahiran partai–partau politik ini diawali dengan gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka berdasarkan kondisi inilah salah satu fungsi partai politik yang paling pokok yaitu sebagai penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.
11 12
Miriam Budiardjo, loc.cit. Miriam Budiardjo, loc.cit.
24
Pada awal perkembangannya, pada akhir abad-18 di negara – negara eropa barat seperti Inggris dan Prancis, kegiatan politik dipusatkan pada kelompok– kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula–mula bersifat elitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan–tuntutan raja. Sesuai perjalanan waktu dan perkembangan eskalasi politik pada masa ini, hak pilih merupakan suatu hak yang mutlak yang diinginkan oleh masyarakat pada masa ini, sehingga kegiatan politik bukan hanya terkonsentrasi pada parlemen tetapi kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia–panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum. Berdasarkan hal di atas maka masyarakat menjadi suatu basis masa yang berperan penting didalam pemilihan umum dan sekaligus masyarakat berperan penting didalam memberikan dukungan kepada elit–elit politik yang ada pada masa itu. Maka dari itu kelompok–kelompok politik di parlemen lambat laun juga berusaha mengembangkan organisasi massa. Sehingga pada akhir abad ke-19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya berkembang menjadi penghubung (link) antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. Di akhir abad ke19 sampai sekarang partai politik dijadikan suatu syarat mutlak di dalam sebuah Negara karena partai politik merupakan salah satu
25
wujud dari kebebasan berserikat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. 3. Klasifikasi Sistem Kepartai Untuk melihat bentuk sistem kepartaian yang dianut masing – masing Negara yang ada di dunia ini maka menurut beberapa sarjana menganggap perlu analisis ini ditambah dengan meneliti perilaku partai-partai sebagai bagian dari suatu sistem, yaitu bagaimana partai politik berinteraksi satu sama lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari sistem itu. Analisis semacam ini yang dinamakan “sistem kepartaian” (party systems) pertama kali dibentangkan oleh Maurice Duverger. Duverger mengadakan klasifikasi menurut tiga kategori, yaitu sistem partai-tunggal, sistem dwipartai, dan sistem multi partai. a. Sistem Partai-Tunggal Ada sementara pengamat yang berpendapat bahwa istilah sistem partaitunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (contradictio in terminis) sebab suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu bagian. Namun demikian, istilah ini telah tersebar luas di kalangan masyarakat dan dipakai baik untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai kedudukan dominan diantara beberapa partai lain. Dalam kategori terakhir terdapat banyak variasi.
26
Pola partai-tunggal terdapat di beberapa negara : Afrika, China, dan Kuba, sedangkan dalam masa jayanya Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur termasuk dalam kategori ini. Suatu kepartaian dinamakan non kompetitif karena semua partai harus menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak dibenarkan bersaing dengannya. Terutama di negara-negara yang baru lepas dari kolonialisme ada kecenderungan kuat untuk memakai pola sistem partai tunggal karena pimpinan (sering seorang pemimpin yang karismatik) dihadapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial serta pandangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini tidak diatur dengan baik akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik yang menghambat usaha pembangunan. Padahal pembangunan itu harus memfokuskan diri pada suatu program ekonomi yang future-oriented. Fungsi partai adalah meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsi pimpinan partai mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Dewasa ini banyak negara Afrika pindah ke sistem Multi-Partai. Negara yang paling berhasil dalam menyingkirkan partai-partai lain ialah Uni Soviet pada masa jayanya. Partai komunis Uni Soviet bekerja dalam suasana yang non-kompetitif tidak ada partai lain yang diperbolehkan bersaing oposisi dianggap sebagai pengkhianatan. Partai-
27
Tunggal serta organisasi yang bernaung di bawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat dan menekankan perpaduan dari kepentingan partai dengan kepentingan rakyat secara menyeluruh. Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai-tunggal sesuai dengan pemikiran yang pada saat itu banyak dianut di negaranegara yang baru melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi “motor perjuangan’. Akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan karena dianggap berbau fasis. b. Sistem Dwi-Partai Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya diartikan bahwa ada dua partai diantara beberapa partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan. Dewasa ini hanya beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwipartai, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Filipina, Kanada, dan Selandia Baru. Oleh Maurice Duverger malahan dikatakan bahwa sistem ini adalah khas Anglo Saxon. Dalam sistem ini partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum). Dengan demikian jelaslah dimana letak tanggung jawab mengenai pelaksanaan kebijakan umum.
28
Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama tapi yang setia (loyal opposition). Terhadap kebijakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang ada di tengah dua partai dan yang sering dinamakan pemilih terapung (floating vote) atau pemilih di tengah (median vote). Sistem dwi-partai pernah disebut a convenient system for contented people dan memandang kenyataannya ialah bahwa sistem dwi-partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi masyarakat bersifat homogen (social homogeneity), adanya konsensus kuat dalam masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik (Political consensus), dan adanya kontinuitas sejarah (historical continuity). Inggris biasanya digambarkan sebagai contoh yang paling ideal dalam menjalankan sistem dwi-partai ini. Partai buruh dan Partai Konservatif boleh dikatakan tidak mempunyai pandangan yang banyak berbeda mengenai asas dan tujuan politik, dan perubahan pimpinan umumnya tidak terlalu mengganggu kontinuitas kebijakan pemerintah. Perbedaan yang pokok antara kedua partai hanya berkisar pada cara serta kecepatan melaksanakan berbagai program pembaharuan yang menyangkut masalah sosial, perdagangan, dan industri.
29
Partai
buruh
lebih
condong
agar
pemerintah
melaksanakan
pengendalian dan pengawasan terutama di bidang ekonomi, sedangkan partai konservatif cenderung memilih cara-cara kebebasan berusaha. Di samping kedua partai ini, ada beberapa partai kecil lainnya, diantaranya Partai Liberal Demokrat. Pengaruh partai ini biasanya terbatas, tetapi kedudukannya berubah menjadi sangat krusial pada saat perbedaan dalam perolehan suara dari kedua partai besar dalam pemilihan umum sangat kecil. Dalam situasi seperti partai pemenang terpaksa membentuk koalisi dengan Partai Liberal demokrat atau partai kecil lainnya. Pada umumnya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih kondusif untuk terpeliharanya stabilitas karena ada perbedaan yang jelas antara partai pemerintah dan partai oposisi. Akan tetapi perlu juga diperhatikan peringatan sarjana ilmu politik Robert Dahl bahwa dalam masyarakat yang terpolarisasi sistem dwi-partai malahan dapat mempertajam perbedaan pandangan antara kedua belah pihak, karena tidak ada kelompok di tengah-tengah yang dapat meredakan suasana konflik.13 Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan single-member constituency (Sistem Distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem
13
Robert A. Dahl, Political Oppositions in Western Demokracy (New Haven, Connecticut: Yale university Press 1966) hlm. 394.
30
pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai.14 Di Indonesia pada tahun 1968 ada usaha untuk menggantikan sistem multi-partai yang telah berjalan lama dengan sistem dwi-partai, agar sistem ini dapat membatasi pengaruh partai-partai yang telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa ekses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwipartai ini, sesudah diperkenalkan di beberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini dihentikan pada tahun 1969. c. Sistem Multi-Partai Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multi-partai. Perbedaan tajam antara ras, agama, atau suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola multi-partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik daripada pola dwi-partai. Sistem multi-partai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan Federasi Rusia. Prancis 14
Miriam Budiardjo, op.cit hlm 418.
31
mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17 dan 28, sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya Partai Komunis jumlah partai mencapai 43. Sistem multi-partai, apalagi jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan
parlementer,
mempunyai
kecenderungan
untuk
menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan dengan partai-partai lain. Keadaan semacam ini partai yang berkoalisi harus selalu mengadakan musyawarah
dan
kompromi
dengan
mitranya
dan
menghadapi
kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen hilang. Di lain pihak, partai-partai oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk dalam pemerintahan koalisi baru. Hal semacam ini menyebabkan sering terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan situasi yang dihadapi partai masing-masing. Lagi pula, seringkali partai-partai oposisi kurang mampu menyusun suatu program alternatif bagi
32
pemerintah. Dalam sistem semacam ini masalah letak tanggung jawab menjadi kurang jelas. Dalam situasi dimana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas politik dapat lebih dijamin. India di masa lampau sering dikemukakan sebagai negara yang didominasi satu partai Kongres. Partai ini mulai dari zaman kemerdekaan menguasai kehidupan politik India. Jumlah wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat pada saat itu melebihi jumlah total wakil partai-partai lainnya, dan karena itu sering disebut sistem satu setengah partai (one and a half party system). Sekalipun partai kongres mengalami kemunduran sesudah pemilihan umum 1967, namun ia berhasil memerintah India sampai tahun 1977. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pemerintahan koalisi selalu lemah. Belanda, Norwegia, dan Swedia merupakan contoh dari pemerintah yang dapat mempertahankan stabilitas dan kontinuitas dalam kebijakan publiknya. Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan Berimbang (Proportional representation) yang memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongangolongan baru.15 Melalui sistem perwakilan Berimbang partai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya di suatu daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan
15
Miriam Budiardjo, op.cit hlm 420.
33
lain
untuk
menggenapkan
jumlah
suara
yang
diperlukan
guna
memenangkan satu kursi. Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem multi-partai. Sistem ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetetif yang berbeda-beda. Mulai 1989 Indonesia hingga saat ini berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi-partai yang mengambil unsur–unsur positif dari pengalaman masa lalu sambil menghidari unsur negatifnya. 4. Fungsi Partai Politik a. Sebagai Sarana Komunikasi Politik Di masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation). Seandainya tidak ada yang mengagregasikan dan mengartikulasikan, niscaya pendapat atau aspirasi tersebut akan simpang siur dan saling berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi kepentingan
34
kesimpangsiuran dan benturan dikurangi. Agregasi dan artikulasi itulah salah satu fungsi komunikasi partai politik. Setelah itu partai politik merumuskan menjadi usul kebijakan. Usul kebijakan ini dimasukkan ke dalam program atau plat from partai (goal formulation) untuk diperjuangkan atau disampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public politicy). Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik. Di sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena di satu pihak kebijakan
pemerintah
perlu
dijelaskan
kepada
semua
kelompok
masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat. Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai perantara (broken) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengaran, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras suara”
35
Menurut Sigmund Neumann dalam hubungannya dengan komunikasi politik,
partai
politik
merupakan
perantara
yang
besar
yang
menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi dan yang mengaitkan dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas. 16 Akan tetapi sering terdapat gejala bahwa pelaksanaan fungsi komunikasi ini, sengaja atau tidak sengaja, menghasilkan informasi yang berat sebelah dan malahan menimbulkan kegelisahan dan keresahaan dalam
masyarakat.
Misi
informasi
semacam
itu
menghambat
berkembangnya kehidupan politik yang sehat. b. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik Dalam ilmu politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Ia adalah bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban. Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu normanorma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan
16
Miriam Budiardjo, op.cit hlm 406.
36
demikian sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya politik (political culture) suatu bangsa. Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli sosiologi Politik M. Rush (1992): Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali sistem politiknya. Proses ini sedikit banya menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik.
Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanakkanak. Ia berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan partai politik. Ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilainilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya partai dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik. Pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader, penataran, dan sebagainya. Sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai adalah upaya menciptakan citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya.
37
Ada lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggotaanggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Secara khusus perlu disebutkan di sini bahwa di negara-negara yang baru merdeka, partai-partai politik juga dituntut berperan memupuk identitas nasional dan integrasi nasional. Ini adalah tugas lain dalam kaitannya dengan sosialisasi politik. Namun, tidak dapat disangkal adakalanya partai mengutamakan kepentingan partai atas kepentingan nasional. Loyalitas yang diajarkan adalah loyalitas kepada partai, yang melebihi loyalitas kepada negara. Dengan demikian ia mendidik pengikut-pengikutnya untuk melihat dirinya dalam konteks yang sangat sempit. Pandangan ini malahan dapat mengakibatkan pengotakan dan tidak membantu proses integrasi, yang bagi negara-negara berkembang menjadi begitu penting. c. Sebagai Sarana Rekrutmen politik Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan
38
diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional. Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga berkepentingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi massa (sebagai onderbouw) yang melibatkan golongan-golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih caloncalon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan rekrutmen politik, yaitu melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain. d. Sebagai sarana Pengatur Konflik (conflict management) Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), sosialekonomi, ataupun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konflik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di negara-negara yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konflik.
39
Di sini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian diantara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya. Pada tataran yang lain dapat dilihat pendapat dari ahli yang lain, Arend Lijphart (1968). Menurut Lijphart: perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja sama diantara elite-elite politik. (Segmented or sub cultural cleavages at the mass level could be overcome by elite cooperation).17 Dalam konteks kepartaian, para pemimpin partai adalah elite politik. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahannya. Selain itu partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat. Partai juga merekrut orang-orang yang cakap untuk menduduki posisi-posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat dijadikan instrumen untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik di negara demokrasi. Di pihak lain dapat dilihat bahwa seringkali malahan mempertajam pertentangan yang ada. Dan jika hal ini terjadi dalam suatu masyarakat 17
Miriam Budiardjo, op.cit hlm 409.
40
yang
rendah
konsensus
nasionalnya,
peran
semacam ini
dapat
membahayakan stabilitas politik. D. Hak Asasi Manusia 1. Pengertian Hak Asasi Manusia HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sehingga mereka diakui kemanusiannya tanpa membedakan ras, jenis kelamin, warna kulit, bahasa, agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan, serta kelahirannya.18 Pengertian mendasar tentang Hak Asasi Manusia dipahami sebagai hak yang dimiliki oleh manusia yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya atau kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat. Hak yang melekat pada diri manusia itu ditegaskan tanpa memandang perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau kelamin dan karena itu bersifat asasi dan universal19. Hak Asasi Manusia sering disebut juga hak kodrat, hak dasar manusia, hak mutlak atau dalam bahasa Inggris sering disebut natural right, human right, dan fundamental right, sedangkan dalam bahasa Belandan dikenal ground rechten, rechten van den mens, keanekaragaman istilah tersebut sesungguhnya tetap menunjukkan titik berat terhadap pengakuan adanya hak manusia. Interaksi manusia dengan manusia lainnya dalam suatu komunitas masyarakat mengakibatkan hak asasi manusia memiliki konsekuensi dengan 18 19
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB, 1948 Miriam Budiarjo, 2002, dasar – dasar ilmu politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm
120.
41
kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi. Aktualisasi hak manusia dalam pola interaksi itu akhirnya memunculkan suatu wewenang atau tuntutan, karena melekatnya wewenang sehingga tuntutan tersebut bagian integral dari hak itu sendiri. Artinya apabila hak–hak kemanusian diinjak–injak, dikesampingkan, disepelekan, dilecehkan, dilanggar sampai dihapus akan timbul tuntutan pemulihannya, Louis Henkin, dalam tulisannya The Right of Man Today, yang dikutip oleh Philipus Hadjon, menjelaskan wewenang atau tuntutan dalam hak asasi manusia ini sebagai beriku: ”Human Rightsare clims asseted recognized ”as of right” not claims upon love, or grace or brotherhood, or charity one does not have to earn or deserved then. They are not merely aspirations or moral assertion but increasingly, legal claims under some applicable low”20. Hak asasi manusia biasanya dianggap sebagai hak yang dimiliki setiap manusia yang melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia. Dalam mukaddimah perjanjian internaionsl hak–hak sipil dan politik PBB dirumuskan ” the Right drive from the inheren dignity of human person”. (hak–hak ini berasal dari martabat yang inheren dalam kemanusiaan)21. Hak–hak ini sifatnya sangat mendasar atau asasi dalam arti bahwa pelaksannannya mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita – cita, serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal 20
Mansyur Efendi, 1994, Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan internasional, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 15. 21 Ibid. hal 17.
42
artinya dimiliki manusia tanpa perbedaan berdasarkan agama, ras bangsa, politik dan kelamin. HAM menurut kamus politik adalah hak yang dimiliki manusia karena kelahirannya bukan diberikan kepada masyarakat ataupun negara. Ham tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negar. HAM menurut kamus politik meliputi hak melakukan perlawanan terhadap penindasan dan hak untuk mencapai kebahagian22. Berikut ini beberapa pendapat filsuf terkemuka mengenai pengertian HAM, John Locke, filsuf berkebangsaan Inggris adalah yang pertama kali memasukkan HAM sebagai teori politik, menurutnya HAM adalah: ” The natural liberty of man is to be free from any superior power on earth, and not to be under will or legiuslatif authority of man, but to have only the low of nature for his rule. The libary of man in society is to be under no other legislafe power, but that estabilished by the common wealty..”23. Lebih lanjut menurut locke, setiap individu memiliki hak alamiah atas hidup, kebebasan dan serta penguasa harus memerintah memerintah dengan persetujuan rakyat (Goverment of Connent). Pemerintah didasrkan atas kontrak sosial antara yang memerintah dan yang diperintah. Warga negara diharuskan mematuhi peraturan hanya jika pemerintah melindungi hak asasi
22 23
BN. MArbun, 1996, Kamus Politik, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm 68. Jack Dennely, what are Human Rights, dalam situs http://www.Usembassy.
43
mereka (suatu perjanjian tentang sejauh mana dan bagaimana membatasi kekuasaan pemerintahan). Selanjutnya Thomas Panie, adalah seorang penulis dan politikus, mendifinisikan HAM sebagai berikut : ”Natural rights are thosse which appertain to man in rights of his existence of this kind are all the intlectual rights, or rights of the main, and also all those rights of acting as an individual for own comfort and happeness, which are not injurios to the natural rights of others..”. Menurut Thomas Panie, bahwa setiap individu memiliki hak alamiah yang melekat pada setiap manusia (natural rights), seperti hak – hak intelektual, hak atas berpikir, dan juga hak atas sikap individu atas kebahagian dan kesenangannya. Berdasarkan beberapa pengertian filsof di atas dapat disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dimiliki seseorang di dalam menjalani kehidupannya, dan tidak ada kekuatan apapun yang dapat menghilangkannya.
44
2. Sejarah Hak Asasi Manusia. Jika kita melihat sejarah hak asasi manusia di dunia Barat, hal ini tentunya tidak terlepas dari pemberontakan–pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat terhadap penguasa (raja, negara), setiap perjuangan yang dilakukan oleh rakyat untuk menuntut hak–haknya yang telah diselewengkan oleh penguasa sudah tentu menuntut pengorbanan baik jiwa maupun raga. Akan tetapi pengorbanan untuk perjuangan terhadap hak asasi manusia tersebut bukanlah menjadi suatu perjuangan yang sia–sia karena perjuanganperjuangan yang dilakukan masyarakat di Barat telah melahirkan beberapa naskah penting yang berkaitan dengan hak–hak asasi manusia yang bersifat universal. Naskah tersebut adalah sebagai berikut : 3. Magna Charta (Piagam Agung 1215), adalah suatu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh raja John Lockland dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka, dan naskah ini juga sekaligus membatasi kekuasaan raja John Lockland. 4. Bill of Rights (Undang–undang Hak, 1689), suatu Undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris sesudah berhasil melakukan perlawanan terhadap raja William II, dalam suatu Revolusi tak berdarah (The Glorious Revolution of 1688), yang isinya sebagai berikut: 1) Pembuatan Undang–undang penetapan pajak dan pembentukan tentara harus berdasarkan persetujuan parlemen.
45
2) Parlemen memiliki kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat serta berhak merubah keputusan. 3) Pemilihan parlemen harus bebas. 5. Declaration des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak – hak manusia dan warga negara, 1789), suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap kesewenangan dari rezim lama, naskah deklarasi ini diumumkan pada 27 Agustus 1789, dan isinya antara lain : 1) Pasal 1: Manusia dilahirkan bebas dan mempunyai hak yang sama, perbedaan dalam masyarakat hanya didasarkan atas kepentingan umum. 2) Pasal 2: Hak–Hak adalah kemerdekaan, milik, keamanan dan menentang terhadap penindasan 3) Pasal 3: rakyat adalah sumber dari segala kedaulatan Pernyataan hak–hak asasi manusia dan warga negara dari rakyat Perancis kemudian dimasukkan ke dalam Undang–undang dasar Perancis yang disahkan pada 14 Juli 1790. Undang–undang ini tidak menghapuskan kerajaan tetapi kekuasaanya dibatasi menjadi Monarki Konstitusional. Raja hanya punya hak veto yang dapat menunda keputusan tetapi tidak dapat membatalkan keputusan konstituante. d.
Bill of Rights (1798), naskah ini mengandung makna ”Human Rights” ini pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari pernyataan Declaration
46
of Independen yang disusun oleh Thomas Jefferson. Yang merupakan Proklamasi rakyat Amerika. Dan deklarasi ini merupakan bagian dari Undang–undang Dasar Amerika24. Ke-empat naskah yang telah dipaparkan di atas tersebut, ternyata tidak terlepas dari konstelasi dan pengaruh ilmu pengetahuan pada abad ke-17 dan ke-18, yang dipengaruhi oleh gagasan John Locke dan J.J Rousseau, terutama mengenai konsep hukum alam atau Natural Law. Pemikiran John Locke menegaskan bahwa jaminan terhadap HAM dalam negara merupakan satu tugas pokok dari negara itu sendiri, karena negara adalah produk dari kehendak manusia, dalam arti selama negara melaksanakan tugasnya dengan baik maka negara tidak dapat ditentang. Sementara
itu
pemikiran
Roussea
telah
mendorong
upaya
merasionalisasikan hak –hak kodrati melalui konsep perjanjian masyarakat, sehingga hak asasi manusia pada masa ini memiliki sifat sekuler, universal, individual, demokratik, dan terkesan radikal. Sehingga hak yang menonjol pada masa ini yaitu hak sipil dan hak milik (perjuangan hak–hak asasi manusia pada masa ini memicu perkembangan kapitalisme sanpai sekarang). Selanjutnya pada abad ke-20 hak–hak sipil dan politik yang terdapat di dalam naskah–naskah tersebut di atas, dianggap kurang sempurna dan mulailah dicetuskan beberapa hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya yang
24
Miriam Budiardjo Op.cit. hlm 121
47
dirumuskan oleh Franklin D Roosevelt (Presiden Amerika Serikat) yang isinya memuat The Four Freedoms (empat kebebasan), yaitu: 1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat. 2. Kebebasan beragama. 3. Kebebasan dari ketakutan. 4. Kebebasan dari kemelaratan. Jika kita melihat perkembangan sejarah hak asasi manusia di atas, merupakan suatu perkembangan yang dialektis dan akhirnya masyarakat Internaisonal melalui PBB mencetuskan Universal Declaration oh Human Rights yang diumumkan pada 10 Desember 1984, dan akhirnya deklarasi ini menjadi suatu standar universal mengenai HAM, karena deklarasi PBB ini memuat pemikiran ham yang tidak terbatas pada hak politik dan sipil saja, tetapi juga memuat tentang hak ekonomi, sosial dan budaya yang bersifat universal.
3. Hak Asasi Manusia di Indonesia Hak asasi manusia yang diatur di dalam Undang – Undang Dasar 1945 pada awalnya hanya terdapat 7 butir ketentuan yang berkaitan mengenai hak asasi manusia, dan pada saat sekarang pasca amandemen Undang– Undang Dasar 1945 keseluruhan norma hukum yang berkaitan mengenai hak asasi manusia itu dapat dikelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir sebagai berikut:
48
a. Kelompok yang menyangkut hak–hak sipil, Hak Asasi Manusia saat ini merupakan suatu hal yang harus ada di dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak. Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum yang telah di tegaskan di dalam Undang–Undang Dasar 1945 Bab I Pasal I ayat (3) ”Negara Indonesia adalah negara hukum ”. Dengan demikian negara Indonesia haruslah menjamin perlindungan hak asasi manusia di dalam konstitusinya. b. Kelompok yang menyangkut hak–hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya c. Kelompok yang menyangkut hak–hak khusus dan hak atas pembangunan d. Kelompok yang menyangkut pengaturan mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban hak asasi manusia. Kebebasan
berserikat
berkumpul
dan
mengeluarkan
pendapat
merupakan salah satu wujud dari hak asasi manusia yang dapat di kelompokkan kedalam hak–hak politik, dan kebebasan berserikat ini di atur di dalam Undang–Undang dasar 1945 Pasal 28 E ayat (3). Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap warga negara indonesia diberikan kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan
49
mengeluarkan pendapat yang seluas- luasnya untuk membentuk, partai politik, organisasi, dan perkumpulan–perkumpulan masyarakat serta kebebasan dalam melakukan aktifitas politik asalkan tidak bertentangan dengan pancasila, Undang–undang dasar 1945 serta menjaga kesatuan dan persatuan negara Indonesia.
Perkembangan hak asasi manusia di Indonesia telah mengalami pasang surut, pada masa rezim Orde Lama, Orde Baru dan saat reformasi ini. Jika dilihat lebih jauh lagi pelaksanaan hak asasi di Indonesia pada saat era Reformasi ini, yang lebih menonjol yaitu hanya pelaksanaan hak politik, sedangkan hak asasi dibidang ekonomi belum dapat dilaksanakan secara maksimal. Walaupun demikian Indonesia pada saat era reformassi ini mencoba untuk mengkonkritkan pembentukan HAM, baik di dalam konstitusi (UUD 1945) dan di dalam Undang - Undang (UU No 39 tahun 1999). Materi yang berkaitan dengan HAM dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Materi yang sebelumnya hanya berisi 7 butir mengenai HAM, sekarang pasca amandemen ke-2 UUD 1945 tahun 2000 materi yang berkaitan dengan HAM berisi 37 butir ketentuan dan dapat dikelompokkan dalam empat kelompok25.
25
Jimmly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI, hlm 104.
50
a. Kelompok pertama, kelompok yang menyangkut ketentuan hak–hak sipil yang meliputi : 1) Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. 2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan. 3) Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perbudakan. 4) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamany. 5) Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani. 6) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum. 7) Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. 8) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. 9) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan berdasarkan perkawinan yang sah. 10) Setiap orang berhak atas dasar status kewarganegaraan. 11) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya. 12) Setiap orang berhak memproleh suaka politik. 13) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif dan berhak mendapat perlindungan hukum dari perlakuan diskriminatif tersebut.
51
b. Kelompok kedua, kelompok hak–hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang meliputi : 1) Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai. 2) Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat. 3) Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan–jabatan publik. 4) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan. 5) Setiap orang berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja. 6) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi 7) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup yang layak. 8) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memproleh informasi. 9) Setiap orang berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. 10) Setiap orang berhak mengembangkan diri dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan. 11) Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak–hak masyarakat lokal. 12) Negara mengakui setiap budaya sebagai kebudayaan nasional.
52
13) Negara menjamin kemerdekaan tiap–tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing–masing
dan
untuk
beribadat
menurut
kepercayaannya itu. c. Kelompok ketiga, kelompok hak–hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputu: 1) Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama. 2) Hak prempuan dihamin dan dilindungi untuk mendapat kesetaraan gender dalam kehidupan nasional. 3) Hak khusus yang melekat pada prempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum 4) Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orang tua. 5) Setiap warga negara turut berperan serta dalam pengelolahan dan turut memproleh manfaat yang dihasilkan dari pengelolaan kekayaan alam. 6) Setiap orang berhak atas lingkungan alam yang bersih dan sehat. 7) Kebijakan, perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam praturan perundang – undangan yang sah.
53
d. Kelompok keempat, kelompok yang mengatur tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi: 1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam kehiudupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2) Dalam menjalan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang–undang dengan maksud semata–mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai–nilai agama, kesusilaan, moralitas, keamanan, dan ketertiban umum. 3) Negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak–hak asasi manusia. 4) Untuk menjamin pelaksanaan HAM, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak. Hak–hak tersebut di atas ada yang termasuk kategori hak asasi manusia yang berlaku bagi semua orang yang tinggal dan berada
dalam wilayah
hukum Republik Indonesia, dan ada juga yang hanya berlaku bagi warga negara Republik Indonesia. Sedangkan ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia yang diatur dalam UU No. 39 tahun 1999, jika dilihat dari pembuatan undang–undang tersebut hanya mengatur mengenai pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan
54
kebebasan manusia, sedangkan mengenai 37 butir tambahan mengenai Hak Asasi Manusia yang diatur UUD 1945 pasca amandmen ke 2 tahun 2000 belum ada peraturang yang menggantikan UU No.39 Tahun 1999. Walaupun demikian, UU No. 39 Tahun 1999 tersebut masih menjadi suatu dasar hukum apabila terjadinya pelanggaran mengenai HAM. Namun dalam konteks penegakan hak asasi manusia bukan hanya di implementasikan dalam bentuk tertulis (UUD 1945 dan UU 39 tahun 1999), akan tetapi perlunya suatu iktikad baik dari aparat negara di dalam pelaksanaan penegakan hak asasi manusia. Kebebasan berserikat yang merupakan pokok bahasan dari penelitian ini, merupakan suatu kebebasan yang mutlak dan menjadi suatu hak asasi yang harus di berikan dan dijamin oleh negara, karena kebebasan berserikat merupakan suatu bentuk dari cerminan negara demokrasi, artinya negara tidak boleh mendiskriditkan suatu pemikiran maupun suatu paham yang ada dan hidup di masyarakat dan bangsa Indonesia. Akan tetapi kebebasan berserikat masih tetap memiliki suatu batasan–batasn tertentu yang tidak bertentangan dengan dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila.
55
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisis data primer dan sekunder yang terdapat di dalam peraturan perundang undangan, buku, dokumen–dokumen dan hasil laporan peneltian yang berkaitan dengan permasalahan26 B. Sumber Data Sumber data penelitian kepustakaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum, yang terdiri dari: 1. Bahan Hukum Primer a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari: 1) Undang–Undang Dasar 1945 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 3)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
4) Peraturan lain yang berkaitan dengan partai politik.
26
Mukti Fajar, Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Yogyakarta Pensil Komunika, hlm 109
56
b. Bahan Hukum Sekunder. Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti: hasil penelitian, makalah, karya ilmiah, buku-buku, atau literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sesuai dengan objek penelitian. c. Bahan Hukum Tersier. Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder misalnya kamus dan ensiklopedia. C.
Teknik Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Dalam hal ini penulis meneliti dan menggali bahan-bahan hukum atau data tertulis, baik berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah, surat kabar serta bahan tertulis lainnya yang berhubungan atau berkaitan dengan obyek penelitia. Untuk keperluan akurasi data sekunder di atas maka akan dilakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang memiliki otoritas dalam bidang hukum ketatanegaraan, dan juga anggota partai politik seperti: Nara sumber : A. Ni’Matul Huda .SH, M.Hum. B. Agus Wahyudi. M.Hum C. Hartanto.SIP (Sekretaris Hanura Kab. Boyolali)
57
D. Teknik pengolahan data. Setelah data terkumpul maka data disusun secara sistematis secara Deskriptif Kualitatif yaitu data – data yang diperoleh dari teori maupun hasil penelitian kemudian disusun dan disajikan dalam bentuk uraian atau kalimat sehingga sampai pada suatu kesimpulan dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. 4. Analisis data. Analisis data yaitu merupakan suatu kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori–teori yang telah didapatkan sebelumnya. Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan yaitu Deskriptif analitis, yaitu memberikan suatu gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian. Dengan menggunakan aturan–aturan yang berkaitan tentang partai politik, dan teori–teori yang mendukung didalam penelitian ini yang di gunakan sebagai pisau analisis.
58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kebebasan Berserikat Menurut Undang – Undang Dasar 1945 Undang–undang dasar 1945 merupakan konstitusi bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih terus di sempurnakan, dengan jalan amandemen yang berdasarkan perkembangan masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia telah melakukan sebanyak IV kali amandemen yang telah dilakukan dari tahun 19992002. Amandemen terhadap Undang–undang Dasar 1945 terjadi paska runtuhnya rezim otoritarianisme pada Mei 1998 yang dilakukan dengan reformasi sosial, hal ini tidak terlepas dari endapan–endapan permasalahan dan pembungkaman demokratisasi yang dilakukan oleh rezim otoritarianisme. Reformasi yang terjadi pada Mei 1998 telah banyak memberikan perubahan yang sangat signifikan terhadap bangsa Indonesia, karena salah satu tuntutan reformasi yang harus segera dilakukan yaitu membuka keran-keran demokrasi, salah satu implementasi tuntutan dari reformasi yaitu mengamandemen Undang– undang Dasar 1945 (yang sampai saat ini telah diamandemen sebanyak 4 kali). Salah satu amandmen yang paling signifikan yang terdapat pada Undang– undang Dasar 1945 yaitu yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia ini mendapatkan porsi yang tersendiri karena di dalam amandemen ke 2
59
pada tahun 2000 ditambahnya satu bab dengan 10 pasal yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia yang terdapat di dalam BAB X A. Bunyi bab dan pasal tambahan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia pada saat amandmen ke – 2 tahun 200027. Bunyi bab dan pasal tambahan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia pada saat amandemen ke – 2 tahun 2000.
Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya Pasal 28B (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memproleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahterahan umat manusia.
27
Dalam Undang – Undang dasar 1945 BAB X A amandemen ke 2.
60
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bagsa dan negaranya. Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan huku. (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (3) Setiap warga Negara berhak memproleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (4) Setiap orang berhak atas status keamanan. Pasal 28E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan
kewarganegaraan,
dan
memilih
pengajaran, tempat
memilih
tinggal
di
pekerjaan, eilayah
memilih
Negara
dan
meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak ats kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
61
Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memproleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memproleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memproleh suaka politik dari Negara lain. Pasal 28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahterah lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memproleh pelayanan kesehatan.
62
(2) Setiap orang berhak mendapat perlakuan khusus untuk memproleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang – wenang oleh siapa pun. Pasal 28I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan berfikir dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakuai sebagai pribadi di hadapan hokum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan pradapan. (4) Perlindungan pemajuan dan penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.
63
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur. Dan dituangkan dalam peraturan perundang – undangan. Pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang – undang dengan maksud semata–mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai–nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Kebebasan berserikat yang menjadi objek dari penelitian ini, dimuat di dalam bab yang berkaitan dengan hak asasi manusi yang tercantum di dalam Pasal 28E ayat (3) “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, jika dilihat lebih jauh dari pasal 28E ayat (3) tersebut jelas bahwa Negara memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berserikat (membentuk oraganisasi, partai politik, komunitas–komunitas, dll). Kebebasan berserikat yang diberikan oleh Negara, kalau dilihat lebih jauh tentunya memiliki hubungan yang sifatnya horizontal dan vertical.
64
1.
Serikat yang sifatnya horizontal Serikat yang memiliki hubungan horizontal ini artinya serikat–serikat yang ada di masyarakat yang langsung berhubungan dengan Negara yaitu partai politik. Hal ini dikarenakan Indonesia menggunakan system demokrasi perwakilan, artinya seluruh lapisan rakyat Indonesia diberikan kesempatan yang seluas–luasnya untuk mengisi dan menjalankan roda–roda pemerintahan. Di dalam Undang–undang Dasar 1945 telah diatur suatu mekanisme untuk menjalankan system demokrasi perwakilan, mekanisme tersebut yaitu pemilihan umum yang tertulis di dalam BAB VIIB Pasal 22E Undang– undang Dasar 1945 Bab VIIB. Pasal 22E (1)
Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2)
Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah.
(3)
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah partai politik.
(4)
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
(5)
Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional tetap dan mandiri.
65
(6)
Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang – undang. Berdasarkan ketentuan pasal (3) di atas jelas bahwa partai politiklah yang
boleh mengikuti pemilihan umum yang diselenggarakan dalam lima tahun sekali untuk mengisi pemerintahan dan sekaligus menjalankan amanah yang telah ditentukan di dalam Undang – Undang Dasar 1945. Selain partai politik terdapat juga serikat–serikat yang ada di dalam masyarakat yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Negara tetapi kehadiran serikat–serikat tersebut merupakan suatu interprestasi dari berbagai kepentingan yang ada di dalam masyarakat yang harus dilihat oleh negara, contoh dari serikat ini, Serikat Tani, Serikat Buruh, Serikat mahasiswa, Serikat Nelaya, LSM, dll. Kalau dilihat secara umum serikat – serikat ini hanya menyuarakan apa yang menjadi kepentingan dari serikat tersebut 2.
Serikat yang sifatnya vertikal. Serikat–serikat ini tentunya tidak sama dengan serikat yang memiliki hubungan horizontal, karena hubungan yang dibangun oleh serikat ini adalah masyarakat dengan masyarakat, artinya serikat–serikat ini tidak memiliki suatu kepentingan golongan dan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi ini bukan kegiatan politis contoh dari serikat ini yaitu organisasi–organisasi paguyupan yang ada dan hidup di masyarakat.
66
B. Kebebasan Berserikat Menurut Undang – Undang no.2 tahun 2008 Telah dipaparkan di atas bahwa partai politik merupakan salah satu bentuk kebebasan berserikat yang memiliki hubungan langsung dengan negara (Hubungan Horizontal), pengaturan partai politik yang telah diamanahkan dalam Undang–undang Dasar 1945 diatur di dalam Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (pengganti Undang–undang Nomor 31 Tahun 2002). Berkaitan dengan kebebasan berserikat di dalam Undang–undang Nomor 2 Tahun 2008 Negara Indonesia memberikan kebebasan yang seluas luasnya kepada masyarakat Indonesia untuk membentuk partai politik dan menyuarakan aspirasinya melalui partai politik hal ini telah ditentukan di dalam Undang– undang Nomor 2 Tahun 2008 karena tidak ada satu pasalpun yang menyatakan tentang pembatasan pembentukan partai politik di Indonesia. Hal ini dapat dilihat di dalam Bab I Pasal 1 ayat (1) ”Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita – cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dari ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang – Undang No.2 Tahun 2008 disini terlihat jelas bahwa Negara Indonesia memberikan kebebasan berserikat yang
67
seluas – luasnya kepada seluruh masyarakat Indonesia dalam hal mendirikan partai politik, yang hal ini telah diamanahkan oleh Undang – Undang Dasar 1945 Bab X Pasal 28 E ayat (1) (2) (3). Namun di tegah arus kebebasan berserikat dalam membentuk partai politik di Indonesia yang diatur di dalam Undang – Undang No 2 Tahun 2008 tentu memiliki batasan – batasan tertentu agar kebebasan berserikat tentang partai politik yang ada di Indonesia tidak kebablasan dan tidak mengancam perpecahan di Indonesia. Batasan – batasan yang di maksudkan di dalam Undang – Undang No. 2 Tahun 2008 yaitu secara gambaran besar partai politik yang berdiri di Indonesia tentunya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945, dan adanya suatu larangan yang secara tegas di tentukan di dalam Undang – Undang No. 2 Tahun 2008 terhadap partai politik yang menganut paham Komunisme, hal ini dapat di lihat di dalam Bab XVI Pasal 40 ayat (5). ”Partai Politik dilarang menganut dan megembangkan serta menyebarkan ajaran atau
paham Komunisme/Marxisme Leninisme”.
Pembatasan terhadap partai politik tersebut dilakukan karena PKI (Partai Komunis Indonesia) sebagai partai yang pernah meganut paham Komunisme Marxisme/Leninisme telah terbukti secara nyata melakukan pemberontakan terhadap Negara republik Indonesia, dan hal ini telah di tentukan di dalam KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA NO : XXV/MPRS/1966
68
TENTANG pembubaran
partai komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara republik Indonesia bagi partai komunis Indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 dinyatakan masih berlaku sampai sekarang yang berdasarkan pada Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003. Menurut salah satu partai politik yang telah penulis wawancara yaitu partai HANURA (Hati Nurani Rakyat) di Kabupaten Boyolali menyatakan bahwa kebebasan berserikat yang diatur di dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2008 tentang partai politik telah sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia karena kebebasan berserikat yang diatur di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 karena telah sesuai dengan prinsip demokrasi yang ada di Indonesia. Namun kebebasan berserikat tentang partai politik tersebut memiliki suatu batasan-batasan tertentu yaitu ketika masyarakat Indonesia ingin membentuk suatu partai politik tentunya harus mengikuti Rule Of Game (aturan main) yang telah datur di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 yaitu yang terdapat di dalam BAB II Pasal 2, 3, dan 4. Selain itu penulis juga penulis melakukan wawancara mengenai pelarangan partai politik yang berpaham Komunisme/Marxisme Leninisme di Indonesia menurut partai politik HANURA menyatakan bahwa wajar ketika partai politik tersebut di larang di Indonesia karena telah terbukti melakukan pemberontakan pada tahun 1965 terhadap negara Republik Indonesia sehingga pelarangan
69
terhadap partai politik yang beraliran Komunisme/ Marxisme Leninisme tidak melanggar hak asasi manusia yang ada di Indonesia dan tidak bertentangan dengan kebebasan berserikat yang ada di Indonesia. Berkaitan dengan kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Undang – Undang No. 2 Tahun 2008.
C.
Kebebasan berserikat di dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 Melihat kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Undang – Undang no.2 Tahun 2008 tentunya hal ini tidak terlepas dari hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang – Undang Dasar 1945 dan Undang – Undang No. 39 Tahun 1999, karena kebebasan berserikat merupakan suatu kesatuan dari Hak Asasi Manusia. Di dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdapat pasal yang mengatur tentang kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Bab III Pasal 24 ayat (1) dan (2).
“Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat, untuk maksudmaksud damai”.
“Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan
70
tuntutan perlindungan, penegakkan dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dari BAB III Pasal 24 yang terdapat di dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tersebut di jelaskan bahwa negara Indonesia memberikan hak yang seluas – luasnya kepada masyarakat untuk berserikat khususnya untuk membentuk partai politik untuk ikut dalam menjalankan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, kebebasan berserikat dalam mendirikan partai politik yang di atur di dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentunya harus bertujuan untuk menciptakan kedamaian dan mendukung terciptanya proses demokratisasi
di Indonesia. Kebebasan berserikat yang terdapat di dalam
Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 dapat diartikan bahwa seluruh lapisan masyarakat Indonesia dapat mendirikan partai politik untuk ikut di dalam menjalankan pemerintahan secra damai. Berkaitan dengan kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Undang – Undang No. 2 Tahun 2008 tantang partai politik tentunya kebebasan berserikat tersebut telah sessuai dengan Hak Asasi Manusia yang ada di Indonesia, dan kalau di lihat lebih jauh lagi tentang larangan terhadap partai politik yang berpaham Komunisme/Marxisme Leninisme di Indonesia hal ini juga tidaklah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang telah diatur di dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 karena telah terbukti telah melakukan pemberontakan terhadap negara Republik Indonesia.
71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari semua yang telah penulis paparkan dan yang berdasarkan hasil wawancara pada bagian sebelumnya kini dapat disimpulkan bahwa kebebasan berserikat yang diatur di dalam Undang – Undang No.2 Tahun 2008 telah sesuai dengan apa yang telah diamanahkan oleh Undang – Undang Dasar 1945, dan juga tidak bertentangan dengan hak asasi manusia baik secara universal maupun yang ada di Indonesia. Kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Undang – Undang No.2 Tahun 2008 memberikan kebebasan yang seluas – luasnya kepada masyarakat Indonesia untuk membentuk partai politik dan menyuarakan apa yang menjadi kepentingannya. Asalkan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur di dalam Undang – Undang No. 2 Tahun 2008 tersebut. Namun kebebasan berserikat yang diatur di dalam Undang – Undang No.2 Tahun 2008 tetap memiliki batasan – batasan tertentu khususnya yang berkaitan dengan pendirian partai yang berpaham/idiologi Komunisme, pada dasarnya Komunisme tidaklah bertentangan dengan idiologi bagsa yaitu Pancasila, namun di dalam perkembangannya telah terbukti pada tahun 1965 PKI
sebagai
partai
yang
beridiologi
Komunisme
pemberontakan terhadap Negara Republik Indonesi.
72
telah
melakukan
Saran. 1. Setelah penelitian ini dilakukan, diharapkan adanya peran kontrol dari pemerintah di dalam menjalankan amanah yang terdapat di dalam UndangUndang No.2 Tahun 2008 tentang partai politik, agar kebebasan berserikat yang diatur di dalam Undang-Undang tersebut benar – benar dapat dijalankan dan dapat menghasilkan suatu proses politik yang baik. 2. Di dalam kehidupan partai politik di Indonesia yang memberikan kebebasan yang sebesar – besarnya kepada masyarakat Indonesia untuk membentuk partai politik, haruslah tetap konsisten untuk menjalankan apa yang telah diamanahkan oleh Pancasila. 3. Harus adanya pengawalan terhadap kebebasan berserikat di dalam kehidupan partai politik yang ada di Indonesia, khususnya fakulats hokum yang harus berperan aktif di dalam memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Undang – Undang no.2 Tahun 2008.
73
DAFTAR PUSTAKA
Afan, Gafar, 2002, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Andrianus dkk, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik, Bandung, Nuansa. Arbit Sanit, 1998, Reformasi Politik, Jakarta, Pustaka Pelajar. Jimly, Asshiddiqie, 2006, Hukum Tata Negara dan Pilar – Pilar Demokrasi, Jakarta, Konsitusi Press. Jimly, Asshiddiqie, 2006, pengantar ilmu hukum tata negara, Jakarta, Mahkamah konstitusi Republik Indonesia. Mansyur Efendi, 1994, Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan internasional, Jakarta, Ghalia Indonesia. Miriam, Budiarjo, 2006, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Miriam Budiarjo, 2008, dasar – dasar ilmu politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama Mukti Fajar, Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, cetakan 1, Yogyakarta, Pensil Komunika. Robert, A, Dahl, 2001, Prihal Demokrasi, Jakarta,Yayasan Obor. Soekarno, 1961, Tujuh Bahan – Bahan Pokok Indoktrinasi, Jakarta, Panitia Pembina Jiwa Revolusi. Soekarno, 1965, Dibawah Bendera Revolusi, , jilid pertama.
74
Peraturan perundang – undangan. RI, Undang-Undang Dasar 1945 RI, UU No 2 tahun 2008 tentang partai politik. RI, UU No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. :XXV/MPRS/1996 tentang pembubaran partai komunis di Indonesia
Jurnal. Jurnal Kiri, Volume 1 No.2, Juli 2000
Internet. http://www.gogle.com. http://www.yahoo.com.
75