KEBAYA SEBAGAI MEDIA PRESENTASI DIRI PEREMPUAN BALI DI KELURAHAN UBUD, GIANYAR 1)
2)
Putu Setia Aprillia Dewi , Ni Luh Nyoman Kebayantini , Ikma Citra Ranteallo Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1 3 Email:
[email protected] ,
[email protected]
3)
ABSTRACT
Cultural and religious ceremonies are an inseperable part of the life of Balinese people. Numerous ceremonies that need to be done by Balinese people indirectly makes kebaya an important clothing. This research describes different ways that are done by Balinese women in Ubud Village to create ideal impressions through their kebaya. The concept of dramaturgy by Erving Goffman and qualitative methods are used to portray this phenomenon. In ceremonies that bring happiness Balinese women usually use kebaya in bright colors. However, in ceremonies that cause sadness, they prefer to use kebaya in darker colors. White or yellow kebaya are usually used for religious ceremonies. Thus, Balinese people in Ubud use different kinds of kebaya for different ceremonies. As the front stage, Balinese women will wear new kebaya with high heels, makeup and hairdo to represent their concept of a beautiful and ideal appearance. On the other hand, back stage is various activities to prepare for their appearance in the front stage. This activity includes buying kebaya, going to the salon, and exercising. These activities are done to prepared beautiful and ideal appearance when they interact with others, because essentially every human being wants to represent themselves to others. Key words: Balinese women, kebaya, cultural and religious ceremonies, ideal impression
1. PENDAHULUAN
Secara etimologi kebaya berasal dari bahasa Arab kaba yang berarti pakaian dan diperkenalkan dalam bahasa Portugis (Suciati, t.t.: 1-2). Kebaya didefinisikan sebagai baju perempuan bagian atas, berlengan panjang, dipakai dengan kain panjang. Menurut Lombard (2005), kebaya adalah atasan atau blouse yang mulai populer di kalangan masyarakat Indonesia pada abad ke-15 dan ke-16. Pada zaman tersebut kebaya merupakan ciri khas busana perempuan Jawa. Perkembangan kebaya di Bali mulai dari masuknya Belanda antara tahun 1919-1931. Sebelumnya kebaya hanya dikenal oleh kalangan puri saja. Seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh dari penjajahan Belanda, kebaya kemudian menjadi busana yang fashionable di kalangan perempuan di Bali (Jayanti, 2008: 60). Tingginya intensitas dilaksanakannya upacara adat dan keagamaan di Bali mengharuskan perempuan Bali untuk memiliki kebaya dengan jumlah yang lebih banyak dari perempuan di daerah lainnya di Indonesia. Sehingga, kebaya menjadi kebutuhan penting bagi perempuan Bali. Pada awalnya, kebaya merupakan pakaian yang digunakan untuk kegiatan adat dan keagamaan. Akan tetapi, sekarang, kebaya telah mengalami perkembangan makna. Kebaya tidak hanya
Pakaian merupakan suatu simbol sosial sehingga memberikan identitas kultural terhadap seseorang (Jayanti, 2008: 48). Fashion dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, salah satunya adalah dari sudut pandang agama. Jilbab adalah pakaian yang diidentikkan dengan agama Islam. Perempuan muslimah menggunakan jilbab untuk melindungi kerendahan hati mereka (Ingham dan Dirgantoro, 2006). Sebagai sebuah bentuk fashion, jilbab juga berfungsi sebagai identitas diri seorang muslimah dan menjadi bagian dari ekspresi diri dalam berbusana. Penggunaan jilbab pun juga tidak dipungkiri sebagai media komunikasi nonverbal, dimana pengguna jilbab ingin mengirim pesan tentang identitas agama dan selera berbusananya. Di sisi lain, Bali adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu. Masyarakat Hindu dari etnis Bali mengikat masyarakatnya untuk melangsungkan berbagai upacara seremonial yang bersifat adat dan dengan diterapkannya ajaran-ajaran agama Hindu. Telah terjadi kesepakatan sosial untuk menggunakan kebaya sebagai pakaian adat untuk menghadiri upacara adat dan keagamaan.
1
sekedar pakaian akan tetapi berubah menjadi simbol yang dapat memberikan dan membentuk identitas seseorang. Ubud adalah salah satu kelurahan yang ada di Provinsi Bali. Pemakaian kebaya bagi perempuan di Ubud sudah mengalami pergeseran makna (Jayanti, 2008: 56). Kebaya tidak hanya sekedar pakaian untuk menutupi tubuh, akan tetapi menjadi media mempresentasikan diri. Bagi perempuan di Ubud, pemakaian kebaya dapat menjelaskan ‘siapa dia’, sehingga dapat membedakannya dengan orang lain. Motivasi pemakaian kebaya untuk pengembangan identitas diri bagi perempuan di Ubud berdampak kepada perilaku mereka. Berbagai cara dilakukan oleh mereka agar selalu berpenampilan cantik dan ideal. Maka dari itu, penelitian ini meneliti tentang bagaimana perempuan Bali di Kelurahan Ubud, Gianyar mempresentasikan diri melalui penggunaan kebaya. Adapun batasan masalah dari penelitian ini adalah lokasi penelitian hanya dilakukan di Kelurahan Ubud, Gianyar dan penelitian ini hanya meneliti bagaimana perempuan di Ubud mempresentasikan diri hanya pada saat pemakaian kebaya saja.
seseorang. Bagi seorang individu gaya pakaian, gaya rambut, aksesoris yang menempel atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Ekspresi wajah pada saat berhadapan dengan orang lain juga semakin diperhatikan. Senyuman merupakan suatu ideologi baru, seperti layaknya pakaian seragam yang harus dipakai di bibir seseorang. Berbeda dengan penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Hendraningrum (2008) berfokus kepada cara berpakaian masyarakat luas. Sehingga objek dan subjek dari penelitian ini juga berbeda. Penelitian ini melihat bagaimana pakaian kebaya dapat mempresentasikan diri perempuan Bali di Ubud. Budiastuti (2012: 3) melakukan penelitian tentang makna penggunaan jilbab di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Penelitiannya menghasilkan bahwa penggunaan jilbab memiliki makna sebagai pencitraan identitas religius dan identitas sosial yang bernuansa budaya yang dipengaruhi oleh peradaban manusia. Menggunakan jilbab di lingkungan kampus menjadi bagian dari realitas dan tindakan seseorang yang mendorongnya untuk mengekspresikan diri dalam berpenampilan yang dilatarbelakangi oleh berbagai motif. Akhirnya, Budiastuti (2012: 130) menyimpulkan bahwa terdapat tiga makna jilbab di lingkungan kampus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta yaitu jilbab biasa, jilbab tanggung, dan jilbab modis. Pengguna jilbab biasa adalah mereka yang menggunakan jilbab tanpa dimodifikasi dan tujuan menggunakan jilbab adalah untuk menutupi aurat. Jilbab tanggung adalah mereka yang menggunakan jilbab masih kurang mengerti dan bingung dalam menentukan pilihan berjilbab. Hal ini terlihat dari penggunaan pakaian dari bahan yang ketat atau tipis dan bagian tubuh yang masih terlihat, sehingga sedikit melenceng dari ketentuan agama Islam. Pengguna jilbab modis adalah mereka yang menggunakan jilbab dengan model terkini. Tujuan utama dari pengguna jilbab modis karena tuntutan agama, akan tetapi di lain sisi mereka juga ingin tetap terlihat modis dan mengikuti perkembangan mode. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan Budiastuti (2012), penelitian ini meneliti tentang caracara yang dilakukan oleh perempuan Bali di
2. KAJIAN PUSTAKA
Hasil penelitian Jayanti (2008: 60) menunjukkan bahwa dengan kebaya dapat melahirkan suatu gaya hidup baru di dalam masyarakat. Kebaya kemudian berubah menjadi sebuah simbol dalam masyakarat, dimana mereka akan berlomba-lomba untuk menggunakan kebaya terbaiknya. Perkembangan kebaya di Bali terjadi karena berkembangnya teknologi dan komunikasi. Sehingga perkembangan kebaya mulai dari corak dan modelnya membuat keinginan perempuan di Bali ingin mengkonsumsi kebaya tersebut. Akan tetapi, dalam penelitian ini membahas tentang bagaimana perpaduan pemakaian kebaya, fashion penunjang lainnya dan gerak tubuh perempuan Hindu Bali dapat mengkonsepsikan kesan penampilan yang ideal. Untuk mendapatkan citra yang ideal, maka berbagai aktivitas pun dilakukan, seperti berdiet, menyewa kebaya, ataupun membeli kebaya dengan cara kredit. Penelitian Hendraningrum (2008: 25-29) mengungkapkan bahwa fashion dapat menjadi sebuah etalase kecil tentang seseorang bagi orang lain. Gaya berbusana merupakan sebuah bahan penilaian awal 2
Ubud untuk mendapatkan kesan cantik dan ideal.
Pada tahun 2013 jumlah populasi Kelurahan Ubud yaitu 11.183. Terdiri dari 5.621 laki-laki dan 5.554 perempuan. Dari segi ekonomi, sumber utama pendapatan masyarakat di Kelurahan Ubud berasal dari usaha penginapan, hotel dan pariwisata (Kelurahan Ubud Dalam Angka, 2014). Pada tahun yang sama, 11.154 jiwa orang penduduk di Kelurahan Ubud beragama Hindu, sedangkan 20 orang memeluk agama lain. Terdapat 41 pura berlokasi di Ubud, mulai dari Pura Khayangan Tiga, sampai dengan pura yang diwarisi secara turun temurun, seperti Pura Batukaru, Pura Gunung Lebah, Pura Batur Sari dan lainnya. Kehidupan masyarakat Bali dikenal dengan upacara-upacara adat dengan perpaduan ajaran agama Hindu. Menurut Ida Pedanda Made Gunung (dalam Darma, 2008: 1) masyarakat Bali melakukan ritual keagamaan berdasarkan tradisi yang diwarisi oleh para leluhur.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini mendeskripsikan realita yang sedang terjadi di lapangan pada saat penelitian dilakukan. Lokasi penelitian ini adalah Kelurahan Ubud, Gianyar. Metode purposive digunakan dalam menentukan informan yang terdiri dari pengguna kebaya, masyarakat luas, penjual kebaya, penjahit kebaya dan pegawai kebaya. Dalam memperoleh data digunakan metode observasi dan wawancara. Observasi dilakukan di beberapa upacara adat seperti upacara tiga bulanan, pernikahan dann potong gigi. Pada saat wawancara kenyamanan para informan menjadi hal yang sangat diperhatikan, khususnya penentuan tempat dan waktu wawancara. Hal ini bertujuan untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi informan untuk memberikan informasi yang diketahui. Pada penelitian ini menggunakan model interaktif dari Miles dan Huberman (1992) dalam proses menganalisis data. Model interaktif dilakukan dalam beberapa tahap diantaranya adalah mereduksi data, menyajikan data dan penarikan kesimpulan. Akan tetapi, karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka proses mengalisis data tidak selesai sampai tahap penarikan kesimpulan saja. Jika data yang dimiliki masih kurang dan perlu untuk terjun ke lapangan kembali, maka data yang diperoleh akan masuk pada tahap awal lagi. Sehingga proses analisis data menjadi suatu kesatuan. Pencarian data berhenti pada saat data yang diperoleh sudah cukup dan jenuh.
SEJARAH KEBAYA DI BALI
Pada tahun 1908an perempuan Bali diidentikan dengan perempuan yang bertelanjang dada dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Kemiskinan dan udara yang panas adalah beberapa faktor yang membuat perempuan Bali terbiasa untuk bertelanjang dada (Putra, 2007: 33). Pada saat itu perempuan di Bali tidak malu untuk bertelanjang dada dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari mereka. Akan tetapi, pada saat datang bersembahyang ke pura para perempuan Bali menggunakan kemben dan kamben. Kemben adalah kain yang dililitkan ke tubuh sehingga menutupi bagian atas tubuh dan kamben adalah kain yang melingkar pada bagian bawah tubuh. Citra perempuan Bali bertelanjang dada terus berlanjut dan disaat yang bersamaan muncul berbagai protes tentang hal ini. Para aktivis-aktivis, khususnya perempuan Bali yang sudah mengenyam pendidikan, merasa bahwa foto-foto perempuan Bali bertelanjang dada yang diabadikan wisatawan mancanegara menjadi produk komodifikasi membuat geram. Ni Loeh Sami (dalam Putra, 2007: 35) adalah salah satu aktivis wanita Bali melakukan berbagai aksi protes tentang eksploitasi tubuh perempuan Bali pada saat itu. Ditambah lagi dengan pernyataan Ni Loeh Sami bahwa orang-orang asing mengabadikan gambar perempuan Bali yang bertelanjang dada dengan motif imbalan uang.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ubud adalah salah satu kelurahan yang ada di Kabupaten Gianyar. Secara geografis o kelurahan Ubud terletak pada 8 25’19” S dan o 115 14’42”E dengan luas wilayah 779,92 ha. Wilayah Ubud berada pada ketinggian 325m dari permukaan laut. Kelurahan Ubud adalah salah satu kelurahan di Kabupaten Gianyar. Sedangkan, secara administratif Kelurahan Ubud terdiri dari 13 (tiga belas) Lingkungan, yaitu Lingkungan Ubud Kelod, Ubud Tengah, Ubud Kaja, Sambahan, Bentuyung, Junjungan, Tegelantang, Taman Kaja, Taman Kelod, Padang Tegal Kaja, Padang Tegal Tengah, Padang Tegal Kelod, dan Padang Tegal Merta Sari (Profil Kelurahan Ubud, 2009). 3
Perkembangan kebaya di Bali mulai dari masuknya Belanda antara tahun 1919-1931. Sebelumnya kebaya hanya dikenal oleh kalangan puri saja. Seiring dengan banyaknya protes tentang perempuan yang bertelanjang dada, diperjualbelikan foto-foto perempuan Bali yang bertelanjang dada, perkembangan zaman dan pengaruh dari penjajahan Belanda, kebaya kemudian menjadi busana yang fashionable di kalangan perempuan di Bali. Kemudian, kebaya disepakati secara sosial sebagai busana yang digunakan untuk menghadiri berbagai upacara agama, adat dan pesta seremonial lainnya. Secara tidak langsung kebaya telah dilegitimasi oleh adat sebagai bentuk identitas kultural (Jayanti, 2008: 60).
banjar dilibatkan karena banten yang diperlukan lebih banyak dan rumit sehingga memerlukan bantuan dari anggota banjar. Pada saat kegiatan nguopin, perempuan datang dengan pakaian adat lengkap. Kebaya menjadi pakaian atasan yang masih dipergunakan pada saat kegiatan ini. Penampilan perempuan Bali di Ubud pada kegiatan sangat sederhana. Kebaya yang dipergunakan adalah kebaya dengan bentuk sederhana dengan warna kebaya yang bervariatif. Tidak hanya itu, kain kebaya yang digunakan pada saat kegiatan ini biasanya kain sari. Kain sari dipergunakan karena bahannya yang ringan dan tidak panas jika dipakai. Salah satunya upacara yang bersifat suka adalah upacara tiga bulanan atau nelu bulanin. Tujuan dari upacara ini adalah untuk mendoakan bayi agar tumbuh dengan sehat. Pada rangkaian upacara nelu bulanin, biasanya kebaya yang digunakan adalah kebaya dengan warna yang cerah. Jenis kain bordiran menjadi salah satu pilihan yang sering dipakai dalam upacara ini. Upacara lainnya yang dilakukan oleh masyarakat Bali adalah upacara pernikahan. Upacara pernikahan menjadi salah satu kegiatan upacara bersifat suka bagi masyarakat Bali di Ubud. Upacara pernikahan bagi umat Hindu di Bali dilakukan dalam beberapa tahapan, diantaranya adalah ngidih anten, natab, mapejati dan diakhiri dengan acara resepsi. Pada saat acara ngidih anten, para perempuan yang datang cenderung untuk memilih memakai kebaya dengan model yang sederhana dengan warna yang cukup mencolok. Kebaya yang paling banyak dipakai pada saat upacara ini biasanya kain bordiran full kerawang atau kain sofia. Perempuan di Ubud biasanya cenderung memilih untuk memakai kebaya modifikasi pada saat natab banten dalam upacara pernikahan adat Bali. Natab banten adalah rangkaian kegiatan dimana pengantin pria dan wanita akan membersihkan diri dari energi negatif dalam diri keduanya. Selanjutnya adalah upacara mapejati, dimana pengantin laki-laki dan perempuan datang ke rumah pengantin perempuan untuk berpamitan dengan keluarga. Biasanya kegiatan ini dilangsung setelah upacara natab banten. Maka dari itu kebaya yang digunakan oleh perempuan di Ubud adalah kebaya yang sama. Pada acara resepsi ini biasanya perempuan di Ubud cenderung untuk menggunakan kebaya modifikasi. Selain acara ini bersifat santai, acara ini juga
KEBAYA UNTUK KEGIATAN SOSIAL
Masyarakat di Ubud melaksanakan berbagai upacara adat dan keagamaan yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu, upacara yang bersifat suka, upacara yang bersifat duka dan upacara keagamaan. Pada setiap upacara yang dilakukan mereka diharuskan untuk menggunakan pakaian adat kebaya. Sehingga, kebaya menjadi pakaian penting dalam kehidupan perempuan di Ubud. Kegiatan suka adalah kegiatan-kegiatan yang mendatangkan rasa bahagia bagi keluarga maupun lingkungan sekitar. Kegiatan suka biasanya adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar kehidupan manusia, dan seringkali dikaitkan dengan manusa yadnya. Manusa yadnya adalah upacara suci yang bertujuan untuk mendapatkan kesempurnaan dalam kehidupan manusia. Adapun beberapa upacara penting yang dilakukan pada masa peralihan oleh masyarakat Bali adalah upacara magedong-gedongan, upacara kelahiran, upacara lepas puser, upacara nelu bulanin, upacara otonan, upacara menek kelih, upacara potong gigi sampai dengan upacara pernikahan. Sebelum melaksanakan upacaraupacara tersebut, biasanya keluarga yang akan melaksanakan upacara akan melakukan berbagai kegiatan untuk mempersiapkan segala keperluan. Kegiatan tersebut biasanya dikenal dengan nguopin. pada saat nguopin untuk upacara tiga bulanan, masyarakat Ubud biasanya hanya melibatkan keluarga dekat saja. Hal ini karena banten yang diperlukan untuk upacara ini tidak terlalu banyak. Akan tetapi, pada saat nguopin untuk upacara pernikahan atau potong gigi, biasanya melibatkan semua anggota banjar. Anggota 4
menjadi ajang untuk memperlihatkan kebaya terbaik milik mereka kepada orang lain. Di sisi lain, kegiatan duka tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan masyarakat Bali. Kegiatan duka adalah kegiatan yang mendatangkan kesedihan kepada keluarga ataupun lingkungan sekitar. Biasanya kegiatan ini diidentikan dengan upacara kematian, seperti upacara ngurugin atau nanemin dan upacara ngaben. Upacara ngurugin cenderung lebih banyak dilakukan oleh masyarakat Ubud yang memiliki wangsa yang lebih rendah. Pada upacara ini, jenazah akan dikubur sampai datangnya hari baik untuk melakukan upacara ngaben. kebaya yang digunakan oleh kaum perempuan pun cenderung berwarna gelap. Warna gelap dipilih karena warna tersebut diidentikan dengan kesedihan. Pada upacara ini cenderung terlihat para perempuan berpenampilan apa adanya, tanpa riasan wajah ataupun rambut yang disanggul. Selain karena upacara ini bersifat kehilangan dan kesedihan, ngurugin biasanya dilakukan dalam waktu yang singkat setelah seseorang meninggal, sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk mempersiapkan keperluan untuk penampilan. Upacara kematian lainnya adalah upacara ngaben. Ngaben adalah proses upacara pengembalian unsur-unsur pembentuk badan kepada asalnya (Swastika, 2008: 20-21). Pada saat datang ke upacara ngaben kebaya yang digunakan oleh perempuan di Ubud biasanya berwarna gelap. Warna gelap, seperti hitam atau biru tua, menjadi pilihan perempuan di Ubud untuk menghadiri upacara ngaben karena warna gelap pada masyarakat di Ubud diidentikan sebagai warna kematian. Pada saat upacara ngaben, kebaya yang digunakan oleh keluarga puri adalah kebaya dengan model yang sederhana dengan warna gelap.
KEBAYA UNTUK KEAGAMAAN
untuk menggunakan kebaya sebagai pakain adatnya. Sebelum datangnya hari piodalan di suatu pura, perempuan Bali di Ubud akan mempersiapkan segala banten yang diperlukan untuk acara piodalan tersebut. Persiapan ini disebut dengan ngayah. Kebaya yang digunakan pada saat itu biasanya adalah kebaya dari kain sari atau kain sofia dengan warna yang bervariasi, bahkan kadang kebaya yang mereka gunakan adalah kebaya lama atau sudah dipakai berulang kali. Salah satu alasan penggunaan kebaya lama karena pada saat ngayah mereka harus melakukan berbagai kegiatan seperti majejahitan ataupun matanding. Kegiatan ini memerlukan gerak yang cukup banyak dan bahkan kadang sampai berkeringat, sehinga kebaya yang digunakan pun adalah kebaya biasa dan nyaman digunakan. Penampilan perempuan di Ubud nampak berbeda pada hari pertama piodalan. Pada kesempatan ini mereka untuk menggunakan kebaya terbaik miliknya. Kebaya dengan warna putih atau kuning menjadi pilihan mereka, karena kedua warna tersebut memiliki arti suci bagi mereka. Terlihat pada saat datang ke pura, perempuan Bali di Ubud cenderung untuk memilih menggunakan kebaya dengan model yang lebih tertutup untuk kegiatan religius seperti bersembahyang di pura. Salah satu alasannya adalah karena sudah disiarkan pengumuman secara lisan oleh klian adat bagi perempuan Bali untuk tidak menggunakan kebaya dengan panjang lengan di atas siku ke pura. Pengumuman yang disiarkan oleh klian adat kemudian disebarkan keseluruh masyarakat. Dalam pengamatan telah disimpulkan beberapa model kebaya yang paling banyak digunakan oleh perempuan Bali di Ubud, khususnya untuk kegiatan bersembahyang ke pura. Kebaya Kutubaru, Kebaya Kartini dan Kebaya Encim menjadi beberapa model kebaya yang sederhana favorit perempuan di Ubud untuk digunakan pada saat kegiatan keagamaan. Tidak jarang, para perempuan yang masuk dalam keanggotaan pemudi atau PKK banjar diperintahkan untuk menggunakan seragam kebaya pada saat piodalan di suatu pura. Pada awalnya, seragam kebaya dibuat untuk mencirikhaskan suatu kelompok, seperti menggambarkan asal banjar seseorang. Tidak hanya itu, seragam kebaya dibuat untuk menyeragamkan anggota banjar sehingga tidak terlihat perbedaan status sosial mereka. Akan tetapi, perlahan ternyata muncul
KEGIATAN
Bersembahyang ke pura menjadi salah satu kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Hindu-Bali di Ubud. Jumlah pura yang ada di Ubud kurang lebih 41 pura (Kecamatan Ubud Dalam Angka, 2014) membuat kegiatan bersembahyang ke pura menjadi suatu kegiatan yang rutin. Kebaya adalah busana adat yang selalu digunakan oleh perempuan pada saat datang bersembahyang ke pura. Tidak hanya itu, hampir semua kegiatan keagamaan yang ada di Ubud mengharuskan kaum perempuan 5
kontestasi antar banjar terhadap pemilihan seragam kebaya. Akan tetapi, perbedaan terlihat pada penampilan perempuan di Ubud pada saat melakukan persembahyangan rutin ke pura. Bersembahyang ke pura rutin dilakukan oleh masyarakat Bali di Ubud pada saat hari Purnama, Tilem ataupun Kajeng Kliwon. Harihari baik tersebut datang setiap lima belas (15) hari sekali. Setiap datangnya hari-hari tersebut setiap sore masyarakat, biasanya kaum perempuan, akan datang maturan ke pura. Menggunakan model, warna dan kain kebaya tertentu tidak menjadi bahan pertimbangan mereka pada saat datang maturan Purnama, Tilem dan Kajang Kliwon. Penampilan perempuan pada saat kegiatan keagamaan ini terlihat sangat sederhana dan polos. Mereka terlihat tidak terlalu memperdulikan penampilan mereka, berbeda dengan penampilan mereka pada saat datang ke piodalan suatu pura. Sehingga sangat terlihat terjadi pengklasifikasian jenis kebaya yang digunakan oleh perempuan di Ubud. Situasi dan kondisi kegiatan yang akan dihadiri juga menjadi acuan seseorang untuk menggunakan jenis kebaya yang akan digunakan. Secara umum, kebaya dengan model yang lebih sederhana menjadi pilihan perempuan di Ubud untuk acara keagamaan. Sedangkan, untuk menghadiri upacara adat dan keagamaan, mereka cenderung memilih untuk menggunakan kebaya dengan model yang lebih rumit. Hal ini terjadi karena mereka sadar bahwa acara religius memiliki tujuan utama untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, bukan untuk memperlihatkan kemampuan ekonomi seseorang. Disamping itu, seringkali acara-acara religius seperti piodalan di pura, mengharuskan perempuan untuk menggunakan kebaya yang sudah ditentukan oleh ketua panitia piodalan.
pembentukan konsep cantik dan ideal bagi seseorang. Bagi perempuan Bali di Ubud salah satu cara yang mereka lakukan untuk mendapatkan kesan ideal dan cantik dari orang lain dan untuk diri sendiri adalah dengan memakai kebaya baru. Berbagai model dan jenis kain kebaya telah mengalami perkembangan. Tidak dapat dipungkiri tingginya kebutuhan akan penggunaan kebaya juga berdampak pada cepatnya perkembangan kebaya di Bali, khususnya di daerah Ubud. Inspirasi tentang model dan jenis kebaya yang paling diminati datang dari berbagai sumber. Tidak dapat dipungkiri, media, khususnya media sosial, seperti instagram, facebook sampai dengan google menjadi tempat paling sering dikunjungi oleh perempuan di Ubud untuk mendapatkan inspirasi mengenai kebaya. Dari media sosial mereka dapat mendapatkan informasi dan gambaran tentang model kebaya yang sedang diminati, ditambah lagi dengan banyaknya penjual-penjual kebaya yang menjual kebaya secara online. Hal ini secara tidak langsung membuat media sosial menjadi salah satu tempat pilihan untuk melihat perkembangan kebaya saat ini. Tidak hanya itu, pada saat berinteraksi dengan orang lain, juga menjadi tempat untuk mendapatkan inspirasi tentang kebaya. Dalam teori dramaturgi Goffman menjelaskan bahwa individu berinteraksi dalam posisi aktor dan penonton dalam waktu yang bersamaan (Stolley, 2005: 71). Sehingga, perempuan di Ubud dapat mendapatkan inspirasi dari kebaya yang digunakan oleh orang lain. Keluarga Puri Ubud dapat dikatakan menjadi salah satu inspirasi perempuan di Ubud dalam berbusana kebaya, khususnya diminatinya penggunaan kebaya modifikasi. Pada upacara pernikahan yang dilakukan oleh keluarga Puri Ubud, rata-rata semua anggota puri menggunakan kebaya modifikasi. Setalah upacara tersebut, perlahan kebaya modifikasi digunakan oleh masyarakat Ubud lainnya. Dalam perspektif teori dramaturgi, perempuan di Ubud melakukan berbagai cara untuk mendapatkan penampilan yang ideal. Aktivitas-aktivitas ini dikategorikan ke dalm panggung belakang. Sedangkan, pada panggung depan adalah penampilan yang diharapkan dan diidealkan pada saat berinteraksi dengan orang lain. Membeli dan menjahit kebaya dapat dikategorikan ke dalam aktivitas panggung belakang perempuan di Ubud. Biasanya
PENAMPILAN IDEAL PEREMPUAN BALI DI KELURAHAN UBUD
Menurut Goffman (dalam Stolley, 2005: 70), setiap manusia selalu ingin mempresentasikan dirinya ke dalam lingkungannya. Hal yang serupa juga terjadi pada perempuan Bali di Ubud. Mereka ingin mempresentsikan diri di dalam masyarakat dan dianggap sebagai seseorang yang cantik dan ideal. Konsep cantik dan ideal bagi setiap perempuan tentunya sangat subjektif, akan tetapi lingkungan sangat mempengaruhi
6
kegiatan ini rutin dilakukan perempuan Ubud menjelang hari raya atau hari piodalan di suatu pura. Kebaya baru tidak identik dengan kebaya yang mahal bagi perempuan di Ubud, karena kain kebaya yang dijual saat ini dapat diperoleh dengan harga yang sangat terjangkau. Kain kebaya yang dijual di berbagai tempat ternyata sangat bervariatif dalam harga. Mulai dari puluhan ribu sampai dengan jutaan rupiah. Kain sofia dan kain rangrang menjadi salah satu kain yang sekarang ini paling digemari oleh perempuanperempuan di Ubud. Kedua kain tersebut ternyata dijual dengan berbagai macam warna, bahkan ada kain yang dijual dengan dua warna. Rata-rata penjual kebaya yang ada di Ubud menjual kain kebaya ini, dengan harga yang terjangkau. Di sisi lain, banyak kain kebaya dijual dengan harga di atas lima ratus ribu. Bagi sebagian perempuan di Ubud, harga kain tersebut cukup mahal. Akan tetapi, tekanan sosial untuk mengikuti perkembangan kebaya membuat perempuan di Ubud melakukan berbagai cara untuk memiliki kain tersebut. Salah satunya adalah membeli kebaya dengan cara kredit. Membeli kain kebaya dengan cara mencicil menjadi fenomena yang sudah sangat lumrah dilakukan oleh perempuan Bali di Ubud. Mencicil kain kebaya tidak lagi sesuatu yang buruk menurut mereka. Sehingga tidak mengherankan perempuan di Ubud dapat membuat kebaya baru dengan jumlah yang cukup banyak dalam setahun. Sistem dari pembelian kebaya dengan cara mengkredit tergantung dari kesepakatan awal antara pembeli dan penjual kebaya. Mengangsur pembayaran sebanyak tiga kali menjadi salah satu sistem pembayaran yang paling lumrah dilakukan di Ubud. Pembelian kebaya dengan cara menyicil dilakukan oleh perempuan dari semua kalangan, mulai dari mereka yang memiliki wangsa atau kasta tinggi sampai dengan yang memiliki wangsa atau kasta yang lebih rendah. Selain membeli kain kebaya, menjahit kebaya menjadi aktivitas rutin yang dilakukan oleh perempuan Bali di Ubud. Aktivitas ini akan meningkat dratis pada saat akan datang suatu periode piodalan di salah satu pura atau menjelang hari raya. Bagi sebagian perempuan di Ubud, mereka mengklasifikasikan tempat untuk menjahit kebaya. Kebaya dengan model sederhana yang biasanya digunakan untuk kegiatan keagamaan biasanya dijahit di sekitar daerah Ubud. Kebanyakan penjahit di Ubud belum
menguasi teknik menjahit kebaya modifikasi, menjahit kebaya modifikasi ternyata memerlukan waktu yang cukup lama. Ongkos menjahit kebaya dengan model sederhana seperti model kutubaru, kartini ataupun encim pada penjahit yang berlokasi di Ubud biasanya berkisar lima puluh ribu sampai dengan dua ratus ribu per kebaya. Di sisi lain, perempuan di Ubud lebih selektif dalam memilih tempat menjahit untuk menjahit kebaya modifikasinya. Menjahit kebaya modifikasi memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini karena model kebaya modifikasi sangat rumit, bahkan beberapa model mengkombinasikan dua jenis kain yang berbeda. Mayoritas dari mereka memilih untuk menjahit kebaya modifikasinya di sekitar Denpasar, karena kebanyakan dari penjahit di Denpasar sudah menguasai teknik menjahit kebaya modifikasi, dan mereka lebih memiliki wawasan tentang model kebaya terbaru. Ongkos untuk menjahit kebaya modifikasi sangat bervariasi, tergantung tempat menjahit dan model kebaya yang akan dijahit. Dapat disimpulkan bahwa ongkos menjahit kebaya modifikasi mulai dari lima ratus ribu sampai dengan jutaan rupiah. Jika ingin ditambahkan ornamen, seperti payet, maka ongkosnya akan bertambah lagi, kurang lebih tiga ratus sampai tujuh ratus ribu. Waktu untuk menjahit kebaya modifikasi juga lebih lama dibandingkan dengan menjahit kebaya dengan model sederhana. Memerlukan waktu kurang lebih tiga bulan untuk menjahit kebaya modifikasi. Relatif mahalnya ongkos untuk menjahit kebaya melahirkan jasa penyewaan kebaya. Sebelumnya, penyewaan kebaya hanya menyewakan kebaya untuk pengantin. Akan tetapi, sekarang kebaya modifikasi sudah banyak disewakan. Menyewa kebaya dapat dikategorikan ke dalam panggung belakang dalam teori dramaturgi, karena aktivitas ini akan menunjang penampilan seorang aktor dalam berinteraksi dengan orang lain. sistem yang paling sering digunakan adalah dengan cara menghitung berapa lama kebaya tersebut akan disewa. Semakin lama kebaya tersebut disewa, maka semakin mahal ongkos untuk mendapatkan layanan ini. Biasanya seseorang yang ingin menyewa kebaya harus membayar lunas sebelum mendapatkan kebaya tersebut, dan harus dikembalikan sesuai dengan hari yang sudah ditentukan. Beberapa alasan perempuan di Ubud memakai jasa penyewaan kebaya karena mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk menjahit kebaya modifikasi, sehingga jasa ini 7
menjadi cara alternatif untuk tetap mengikuti perkembangan mode kebaya dan tuntutan lingkungan. Tidak hanya itu, alasan lainnya adalah karena mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk menjahit kebaya modifikasi, sehingga menggunakan jasa ini agar tetap menggunakan kebaya dengan model terkini. Terakhir, alasan yang paling sering dikemukakan adalah karena kebaya akan digunakan hanya sekali saja. Maka dari itu, mereka memilih untuk menggunakan jasa penyewaan kebaya. Layanan menyewa kebaya akan bertambah intensitasnya menjelang acara wisuda ataupun menjelang hari baik untuk melakukan upacara, khususnya pernikahan. Selain membeli dan menjahit kebaya baru, bentuk tubuh juga menjadi salah satu faktor pembentuk penampilan yang ideal. Dalam era modern seperti sekarang ini, tubuh yang langsing menjadi salah satu bagian dari konsep perempuan yang ideal. Media berperan dalam membentuk pandangan perempuan masa kini bahwa seseorang yang ideal adalah mereka yang memiliki tubuh yang langsing. Hal ini dapat dilihat dari berbagai artikel dan foto-foto para model dan selebritis yang memiliki tubuh langsing (Wykes dan Gunter, 2005). Namun, berbeda menurut perempuan di Ubud, penampilan ideal pada saat menggunakan kebaya adalah dengan tubuh yang sedikit berisi, khususnya pada bagian pinggul dan bokong. Tubuh yang ideal pada saat menggunakan kebaya adalah tubuh dengan pinggang yang kecil, pinggul dan bokong sedikit berisi, dan perut yang rata. Tubuh yang langsing tidak menjadi patokan bahwa pada saat menggunakan kebaya mereka akan terlihat ideal. Maka dari itu, beberapa kegiatan seperti berolah raga dan menjaga pola makan atau berdiet menjadi kegiatan rutin yang dilakukan oleh perempuan di Ubud, khususnya yang berusia dua puluh tahunan. Keinginan yang besar untuk selalu berpenampilan cantik dan ideal pada setiap kesempatan membuat para remaja putri di Ubud melakukan segala cara untuk mendapatkan tubuh yang ideal. Contohnya, berdiet atau menjaga pola makan. Mereka akan berbagai macam diet, mulai dari mengurangi porsi nasi, tidak makan malam sampai dengan menahan rasa lapar, hanya untuk mendapatkan tubuh yang ideal. Khususnya bagi remaja putri, kegiatan berdiet akan bertambah intensitasnya menjelang harihari penting bagi mereka. Menjelang datang ke acara kundangan, wisuda atau pun upacara penting lainnya, remaja putri akan
melakukan diet ketat agar mendapatkan tubuh ideal. Hal yang berbeda dilakukan oleh perempuan pada usia di atas tiga puluh tahunan. Alasan utama mereka untuk menjaga pola makan adalah untuk alasan kesehatan. Perempuan di Ubud sudah mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan, khususnya pada kalangan ibu-ibu. Mereka cenderung lebih menerima bentuk tubuh mereka. Selain menjaga pola makan atau berdiet, kegiatan olah raga juga menjadi semakin digemari oleh perempuan di Ubud. Lari dan yoga adalah dua olah raga favorit perempuan di Ubud. Tempat kebugaran khusus yoga sangat mudah ditemukan di Ubud sehingga menjadi salah satu olah raga favorit. The Yoga Barn dan Radiantly Alive menjadi tempat favorit perempuan di Ubud untuk beryoga. Dua tempat ini dikelola oleh pihak asing, biasanya beryoga di tempat ini sangat mahal, bahkan kelas beryoga di dua tempat ini seharga jutaan rupiah per bulannya. Akan tetapi, bagi masyarakat yang memiliki KTP (kartu tanda penduduk) Ubud, maka mereka hanya perlu memberikan sumbangan saja. Selain beryoga, lari juga menjadi olah raga favorit dan tidak memerlukan banyak biaya. Bukit Campuhan atau Uma Sok Wayah menjadi tempat favorit para perempuan di Ubud untuk berlari. Dua tempat ini menjadi tempat favorit karena selain berolah raga mereka dapat menikamati pemandangan. Walaupun tubuh langsing tidak menjadi patokan seseorang akan berpenampilan cantik dan ideal, akan tetapi berbagai kegiatan dilakukan untuk menjaga bentuk tubuh mereka. Berpenampilan cantik dan ideal pada setiap kesempatan menjadi keinginan para perempuan di Ubud. Motivasi mereka untuk berpenampilan ideal adalah ingin mendapatkan pujian dari orang-orang sekitarnya. Motivasi ini tidak hanya ditemukan pada kalangan perempuan tertentu saja, akan tetapi, sudah rata perempuan dari golongan secara sadar maupun tidak sadar memiliki motivasi ini. Sama seperti yang diungkapkan oleh Argyle (1970), salah satu motivasi seseorang untuk mempresentasikan diri adalah untuk mendapatkan imbalan sosial. Maka dari itu, berbagai aktivitas dilakukan oleh perempuan di Ubud yang diperumpakan ke dalam aksi panggung belakang untuk mendapatkan penampilan cantik dan ideal. Maka dari itu, penampilan cantik dan ideal dapat dirangkum menjadi penggunaan kebaya dengan model terbaru, high heels, 8
riasan wajah, tatanan rambut dan sikap yang sopan. Menggunakan kebaya dengan model terbaru dapat menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa orang tersebut mengikuti perkembangan kebaya dan kemampuan ekonomi seseorang. Sejak awal, hal yang akan dilihat dari penampilan seseorang adalah kebaya yang dipakai. Berbagai model dan jenis kain kebaya telah mengalami perkembangan. Tidak dapat dipungkiri tingginya kebutuhan akan penggunaan kebaya juga berdampak pada cepatnya perkembangan kebaya di Bali, khususnya di daerah Ubud. Inspirasi tentang model dan jenis kebaya yang paling diminati datang dari berbagai sumber. Tidak dapat dipungkiri, media, khususnya media sosial, seperti instagram, facebook sampai dengan google menjadi tempat paling sering dikunjungi oleh perempuan di Ubud untuk mendapatkan inspirasi mengenai kebaya. Dari media sosial mereka dapat mendapatkan informasi dan gambaran tentang model kebaya yang sedang diminati, ditambah lagi dengan banyaknya penjual-penjual kebaya yang menjual kebaya secara online. Hal ini secara tidak langsung membuat media sosial menjadi salah satu tempat pilihan untuk melihat perkembangan kebaya saat ini. Penampilan perempuan Bali di Ubud pada saat menggunakan kebaya ternyata tidak pernah bisa lepas dari berbagai bentuk fashion lainnya, seperti sandal hak tinggi atau yang dikenal dengan high heels. Dalam panggung depan seorang perempuan Bali di Ubud pada saat memakai kebaya mereka selalu terlihat memakai high heels. High heels adalah sandal atau sepatu yang meningkatkan tumit kaki dari pemakai sehingga akan terlihat lebih tinggi. Menurut perempuan di Ubud pada saat menggunakan high heels, khususnya dipadupadankan dengan kebaya, mereka terlihat lebih anggun dan menambah rasa percaya diri. High heels ternyata dapat memberikan kesan yang lebih bagi pemakainya karena dengan sandal ini mereka akan terlihat lebih jenjang dan tinggi. Namun, high heels yang digunakan oleh perempuan Bali di Ubud berbeda-beda tingginya sesuai dengan usia perempuan tersebut. Mereka yang masih remaja atau berumur sekitar dua puluh tahunan memilih untuk menggunakan high heels dengan tinggi sekitar 8-12cm. Sedangkan, perempuan yang berusia lebih tua cenderung untuk memilih high heels yang lebih pendek.
Tidak hanya itu, riasan wajah dan tatanan rambut yang rapi menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan dari penampilan cantik dan ideal perempuan di Ubud. Contohnya pada saat berinteraksi dengan lingkungannya, seperti pada upacara pernikahan atau acara resepsi. Terlihat bahwa mereka sangat mempersiapkan penampilannya. Hal ini dilakukan tidak luput karena tujuan mendapatkan kesan ideal, cantik dan berbeda dari orang lain. Sudah bukan hal yang aneh lagi bagi perempuan di Ubud mempersiapkan penampilannya sebelum datang ke suatu acara. Mengunjungi salon atau tempat kecantikan adalah salah satu aktivitas yang dilakukan. Mereka mengunjungi salon untuk mempercantik diri, khususnya melakukan perawatan seperti wajah dirias (make-up), rambut ditata rapi (hair-do), perawatan kuku (manicure dan pedicure), ataupun perawatan lainnya. Dalam teori dramaturgi, sikap seorang aktor akan berbeda pada saat pentas di panggung depan dengan panggung belakang. Aktor akan bersikap seperti konsep ideal yang mereka pikirkan dan orang lain harapkan. Sedangkan, pada saat berada di panggung belakang seorang aktor akan bersikap seperti layaknya diri dia sendiri (Ritzer, 2014: 282). Maka dari itu, dalam kehidupan perempuan di Ubud, pada saat mereka berinteraksi dengan orang lain mereka cenderung bersikap seperti sikap ideal yang disepakati oleh lingkungannya. Mereka akan menyembunyikan sikap-sikap yang tidak diharapkan, salah satunya adalah sikap duduk dengan kaki yang terbuka. Dapat disimpulkan bahwa penampilan ideal dan cantik perempuan di Ubud adalah pada saat menggunakan kebaya model terbaru. Memakai kebaya dengan model terbaru dapat menambah rasa percaya diri seseorang karena dapat menunjukkan bahwa perempuan tersebut mengikuti perkembangan zaman. Tidak hanya itu, kebaya menjadi bahan pertimbangan pertama bagi perempuan di Ubud pada saat menentukan pakaian adat yang akan digunakan. Setelah menentukan kebaya yang akan dipakai, maka selanjutnya akan dicocokkan kamben dan senteng yang selaras dengan kebaya tersebut. Tidak hanya itu, pemakaian high heels juga merupakan aspek penting lainny untuk mendapatkan penampilan yang ideal. High heels dapat menambah kesan anggun pada saat pemakaian kebaya. Penampilan cantik dan ideal perempuan di Ubud pada saat 9
menggunakan kebaya tidak dapat dilepaskan dari riasan wajah dan tatanan rambut. Kedua aspek ini selain menambah rasa kepercayaan diri, juga akan mempercantik penampilan. Penampilan ideal dan cantik tidak hanya dipertontonkan oleh perempuan di Ubud dari kalangan menengah ke atas saja. Akan tetapi, rata-rata semua golongan sudah mengikuti gaya hidup seperti ini. Hal ini terlihat pada saat perempuan di Ubud menggunakan kebaya modifikasi. Kebaya modifikasi tidak hanya dipakai oleh perempuan dari keluarga puri atau kalangan menengah ke atas saja, akan tetapi rata-rata semua kalangan sudah memiliki kebaya modifikasi. Maka dari itu, kesimpulan tentang penampilan cantik dan ideal telah diterapkan oleh perempuan di Ubud dari semua golongan.
dan tatanan rambut yang rapi, biasanya perempuan Bali di Ubud datang ke salon. Di sisi lain, bentuk tubuh tidak terlalu mempengaruhi penampilan seseorang pada saat menggunakan kebaya. Seseorang dengan tubuh langsing belum tentu dikategorikan sebagai perempuan ideal dan cantik. Akan tetapi, perempuan di Ubud cenderung sangat takut dengan kegemukan. Maka dari itu berbagai cara dilakukan oleh perempuan di Ubud, khususnya para remaja putri, untuk menjaga bentuk tubuh mereka. Diantaranya adalah dengan cara menjaga pola makan dan berolahraga. Tampil cantik dan ideal dalam berbagai kegiatan dapat ditentukan oleh model dan warna kebaya. Pada upacara adat dan keagamaan yang bersifat suka, seperti acara tiga bulanan dan pernikahan, perempuan di Ubud cenderung memilih kebaya dengan model yang lebih rumit. Tidak hanya itu, warna kebaya yang digunakan didominasi dengan warna yang cerah, bahkan beberapa diantaranya menggunakan kebaya dengan kain kombinasi dua atau lebih warna. Hal ini sangat terlihat pada saat upacara pernikahan, pada upacara ini perempuan di Ubud memilih untuk menggunakan kebaya modifikasi. Sedangkan pada saat upacara tiga bulanan, kebaya yang digunakan tidak semewah kebaya yang digunakan pada saat upacara pernikahan. Pada saat upacara yang bersifat duka, perempuan di Ubud memilih menggunakan kebaya dengan warna gelap, seperti hitam atau biru tua. Model kebaya yang dipakai juga sederhana, seperti kebaya kutubaru atau kebaya kartini. Perbedaan jenis kebaya yang digunakan pada saat upacara kematian sangat terlihat pada saat upacara ngurugin dan upacara ngaben. Kebaya lama dan cenderung terlihat lebih lusuh digunakan perempuan di Ubud untuk menghadiri upacara ngurugin. Sedangkan, pada saat upacara ngaben, kebaya yang terlihat lebih bersih daripada kebaya yang digunakan pada saat upacara ngurugin. Pada saat datang ke ritual keagamaan, perempuan di Ubud memilih untuk menggunakan kebaya yang didominasi berwarna putih atau kuning. Akan tetapi, pada saat kegiatan ngayah, mereka memilih untuk menggunakan kebaya lama dari kain yang nyaman, karena pada saat kegaitan ini banyak aktivitas yang harus dilakukan. Kebaya baru milik perempuan di Ubud biasanya digunakan pada hari pertama piodalan.
5. KESIMPULAN
Masyarakat Bali melangsungkan berbagai upacara adat dan kegamaan semenjak lahir, mulai dari upacara yang bersifat suka dan duka, sampai dengan kegiatan religius. Banyaknya upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali membuat kebaya menjadi salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan. Setiap upacara yang dilakukan mengharuskan perempuan Bali datang dengan atasan kebaya sebagai pakaian adat. Di sisi lain, setiap perempuan selalu ingin berpenampilan cantik dan ideal pada setiap kesempatan. Bagi perempuan Bali di Ubud, salah satu mereka berpenampilan cantik dan ideal adalah melalui pemakaian kebaya. Berbagai cara dilakukan oleh perempuan Bali di Ubud untuk mendapatkan penampilan yang cantik dan ideal pada saat menggunakan kebaya. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan kebaya baru dalam setiap kesempatan. Kebaya baru biasanya diperoleh dengan cara membeli dan menjahit kebaya. Membeli kebaya dapat dilakukan dengan cara langsung membeli kain kebaya dengan membayar secara lunas, akan tetapi banyak perempuan di Ubud membeli kebaya dengan cara mengkredit. Tidak hanya itu, jasa penyewaan kebaya juga menjadi cara alternatif bagi perempuan Bali untuk menggunakan kebaya dengan model terbaru. Selain kebaya baru, aspek lain yang menunjang penampilan perempuan Bali di Ubud agar terlihat cantik dan ideal adalah pemakaian high heels, wajah yang dirias dan rambut yang ditata dengan rapi. High heels digunakan untuk mendapatkan kesan anggun dan glamor. Sedangkan, untuk merias wajah 10
Jadi, terlihat bahwa perempuan di Ubud mengklasifikasikan kebaya yang mereka gunakan, tergantung dengan situasi dan kondisi upacara yang akan didatangi. Namun, keinginan untuk tampil cantik dan ideal tidak dapat dilepaskan dari perempuan di Ubud.
Hendraningrum, Retno. 2008. “Fashion dan Gaya Hidup: Identitas dan Komunikasi.” Jurnal Ilmu Komunikasi, 32 (6), 25-32. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.
6. SARAN
Ingham, Sue dan Dirgantoro, Wulandani. 2007. “Identity, Religion, Repression or Fashion? The Indonesian Jilbab.” Contemporary Visual Arts + Culture Broadsheet, 36 (1), 25-29. Sydney: University of Sydney.
Berdasarkan hasil dari penelitian dan kesimpulan yang dibuat maka saran yang dapat diberikan kepada peneliti lainnya adalah penelitian selanjutnya diharapkan dapat ditinjau dari teori lain sepeti teori masyarakat konsumsi dari Jean Baudrillard. Teori masyarakat konsumsi dapat menjelaskan tentang perilaku perempuan di Ubud yang membeli kebaya baru dalam jumlah yang banyak, sehingga mengakibatkan mereka cenderung masuk ke dalam masyarakat yang konsumtif. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa perempuan Bali di Ubud membuat banyak sekali kebaya baru dalam satu tahun, sehingga terlihat sangat konsumtif. Maka dari itu, hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada mereka agar ke depannya perilaku membeli kebaya dipikir ulang kembali oleh mereka. Sehingga, secara tidak langsung dan tidak disadari oleh perempuan di Ubud terjadi kontestasi pemakaian kebaya. Hal ini terjadi tidak luput karena motivasi mereka ingin berpenampilan cantik dan berbeda dari orang lain untuk mendapatkan imbalan sosial, meningkatkan harga diri dan pengembangan identitas diri.
Jayanti, I Gusti Ngurah. 2008. “Perempuan Dalam Gaya Hidup. Kebaya dan Gaya Hidup Perempuan Bali.” Kembang Rampai Perempuan Bali. - , 41-64. Denpasar: Pusat Studi Wanita Universitas Udayana. Kecamatan Ubud Dalam Angka. 2014. Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya. Volume 2 (cetakan 3). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Miles, Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Kelurahan Ubud. 2009. Ubud.
Profil Kelurahan
7. DAFTAR PUSTAKA
Putra, I Nyoman Darma. 2007. Wanita Bali Tempoe Doeloe. Denpasar: Pustaka Larisan.
Argyle, Michael. 1970. The Psychology of Interpersonal Behaviour. Middlesex: Pelican Book.
Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenadamedia Group. Stolley, Kathy S. 2005. The Basics of Sociology. Connecticut: Greenwood Press.
Budiastuti. 2012. “Jilbab Dalam Perspektif Sosiologi. Studi Pemaknaan Jilbab di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.” Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Suciati. t.t.. Analisis Busana Sebagai Sistem Tanda. Diunduh dari www.file.upi.edu pada 14 Januari 2015.
Darma, I Dewa Putu. 2008. “Upacara Agama Hindu Di Bali.” Udayana Mengabdi, 7 (1), 7-16. Denpasar: Lembaga Penelelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana.
Swastika, I Ketut Pasek. 2008. Pitra Yadnya. Denpasar: CV Kayumas Agung. Wykes, Maggie dan Gunter, Barrie. 2005. The Media and Body Image. If Looks Could Kill. London: Sage Publications.
11