Sekarang kita akan membahas satu topik yang sangat seru sekali yaitu tentang kedisiplinan. Anda mungkin sering mendengar bahwa banyak orang tua atau mungkin Anda sendiri yang mengatakan saya akan mendisiplinkan anak saya. Apa yang Anda maksud dengan mendisiplinkan anak Anda? Atau mungkin, Anda bertemu dengan gurunya dan gurunya mengatakan anak ibu ini harus sering di disiplinkan dan kemudian Anda menimpali perkataan gurunya yah saya setuju bu guru, Anda juga harus mendisiplinkan anak saya di sekolah. Nah apa sih yang sebenarnya disebut dengan mendisiplinkan anak?
Selama ini saya berbicara dan saya bertanya dengan orangtua “apa sih yang dimaksud dengan
mendisiplinkan
anak?”
Jika
kita
mengatakan “saya mau mendisiplinkan anak saya” sebetulnya asosiasi atau persamaannya apa sih? Biasanya kebanyakan orang tua mengasosiasikan
mendisiplinkan
dengan
MENGHUKUM. Betul? Kebanyakan itulah yang sering terjadi, mendisiplinkan berarti sama dengan menghukum seorang anak, sama dengan membuat seorang anak itu jera melakukan sesuatu.
Marilah sekarang coba kita lihat sebetulnya apa sih disiplin itu. Disiplin berasal dari satu kata latin Discipulus yang artinya adalah pemuridan atau cara kita memberikan contoh, cara kita mengangkat seorang murid. Nah kalau kita berbicara tentang pemuridan maka sebenarnya disiplin adalah bagaimana cara kita itu melatih pikiran dan karakter itu dari seorang anak secara bertahap, dengan kemudian dia bisa menjadi seseorang yang memiliki kontrol diri dan akhirnya dia bisa bersosialisasi dan
diterima oleh masyarakat. Itulah sebetulnya maksud dan tujuan dari disiplin. Saya ulangi, melatih pikiran dan karakter seorang anak secara bertahap sehingga kemudian ia menjadi seseorang yang bisa memiliki kontrol diri dan diterima oleh lingkungannya atau bisa bersosialisasi.
Nah melatih mereka tidak harus melalui sebuah hukuman, hukuman hanyalah salah satu dari sekian cara dan biasanya itu adalah cara yang paling akhir untuk membuat seorang anak bisa memiliki satu kontrol diri yang baik. Namun yang sering terjadi di masyarakat adalah hukuman ini dipakai di nomor satu, artinya jika kita mengatakan saya mau mendisiplinkan seorang anak maka itu berarti tidak lama lagi anak itu pasti dihukum dan anak itu pasti mengalami sesuatu yang menyakitkan. Selama ini kita mendengar kata mendisiplinkan itu konotasinya agak negatif padahal sebetulnya tidak.
Sekarang mari kita lihat lebih jauh tentang disiplin. Kalau kita bagi, disiplin itu ada dua jenis, yaitu sebuah disiplin yang bisa membangun harga diri dan sebuah disiplin yang digunakan dengan cara merusak harga diri atau menggunakan rasa bersalah untuk membuat seseorang menjadi lebih baik lagi. Nah, misalkan saya contohkan menggunakan rasa bersalah pada seorang anak adalah “tuh kan salah, kamu gak boleh seperti itu, coba lihat tuh akibatnya, kan orang lain bisa terluka, bisa begini begitu, kamu itu harusnya lebih sopan, harus lebih begini lebih begitu dsb” nah seorang anak akan menjawab “ya.. saya salah”, apakah itu bagus? Dalam tingkatan tertentu kadar sedikit itu bagus, tetapi jika terlalu banyak maka sangat buruk sekali. Karena harga diri seseorang akan rusak dan dia akan merasa bahwa saya ini memang orang tidak berguna, buktinya saya selalu salah, selalu disalahkan, mendingan saya tidak usah melakukan apapun dan dia akan tumbuh menjadi seseorang yang tidak punya inisiatif dalam hidupnya. Kita tentu tidak mau anak kita seperti itu bukan, karena itu hindari disiplin dengan menggunakan perasaan bersalah.
Kebanyakan dari apa yang saya amati dan diceritakan oleh klien-klien saya, mereka mengatakan bahwa sebenar-nya mereka itu kesal dengan dirinya sendiri, mereka capek harus mengurus ekonomi keluarga, harus mengurus bekerja, harus mengurus bisnis harus ini itu dsb. Termasuk juga harus mengurus pasangan, mengurus papanya, mengurus mamanya dan kemudian sekarang tiba-tiba dihadapkan seorang anak yang “mama..” dan dia merengek ini dan itu. Anda begitu capek dengan diri sendiri dan terpicu, kemudian Anda punya ekspektasi seharusnya kamu nggak boleh begitu, kamu sudah besar. Kita meledak dan kita marah, pada akhirnya kita menghukum mereka. Yah itulah salah satu penyebab disiplin negatif, sebetulnya kita capek, kita kesal dengan diri kita sendiri. Anda pernah merasakannya, saya juga pernah merasakannya.
Berikutnya adalah melihat contoh, bahwa kita dulu dibesarkan dengan cara seperti itu dan sekarang akhirnya kita sukses. Karena itu kita berpikir bahwa itulah cara mendidik anak yang sebenarnya dan kemudian kita mencontoh cara-cara itu dan kita melakukannya tanpa berpikir panjang lagi. Jadi kita melihat contoh-contoh bahwa seperti itulah seharusnya disiplin dilakukan dan mungkin jika Anda bertanya “kalau saya dengan begitu saja bisa sukses seharusnya anak saya juga bisa dong”. Disamping bertanya seperti itu, menurut saya ada baiknya dia juga bisa berdoa semoga suatu hari dia memperoleh pencerahan sehingga apa-apa yang dilakukan di masa kecil anaknya itu tidak akan dimaknai dengan salah oleh sang anak. Sebab yang lainnya adalah, karena kita belajar sepotong-sepotong dan kita tidak tahu cara yang lain. Satu-satunya cara yang kita tahu adalah itu dan akhirnya kita pakai terus cara itu sampai kapanpun.
Coba Anda renungkan satu hal lagi, mari bersama-sama kita pikir seandainya kita dibesarkan dengan cara yang lebih positif, pasti akan lebih baik lagi. Apakah kemungkinan sukses kita saat ini jauh lebih besar dari yang sekarang kita capai? Atau mungkin jauh lebih cepat dari yang sekarang ini kita capai, apakah ada kemungkinan itu? Ya tentu ada, karena itu marilah kita menggunakan sebuah disiplin yang bisa membangun harga diri seseorang sehingga akhirnya anak kita nantinya tidak harus menghabiskan waktunya untuk mencari puzzle-puzzle di dalam dirinya yang tercerai berai karena proses pendidikan dan proses pola asuh yang kurang tepat yang ia alami waktu kecil.
Sangat banyak sekali, saya mendaftar beberapa disiplin negatif yang cukup merusak anak kita di masa depan, yang pertama adalah perasaan bersalah. Jika seseorang punya perasaan bersalah maka dia tidak akan bisa berpotensi secara maksimal dan perasaan salah yang berlebihan itu akan menyebabkan seseorang akan memiliki gangguan di pencernaannya, penyakit maag adalah salah satunya. Kemudian dampak yang berikutnya adalah kita akan cenderung menghukum diri kita dengan yang disebut self sabotase, dimana pada saat kita ingin melakukan sesuatu dan kemudian hampir berhasil “ah udah deh gak usah, gak usah, ribet-ribet, gak usah, batal-batal” dsb. Akhirnya batal lagi dan mengulangi suatu yang lain lagi, ingin sukses lagi saat-saat hampir mencapai sukses “udah deh bubar-bubar terusin sendiri” dsb. Itu adalah satu simtom dari menghukum diri sendiri.
Kemudian seseorang anak akan makin merasa tidak dicintai karena adanya disiplindisiplin negatif, karena anak akan memaknai bahwa “wah papa jahat, mama jahat, katanya sayang tapi kalo sayang kenapa saya harus dibeginiin?” Anak akan menjadi tidak merasa dicintai oleh orangtuanya, kemudian hal itu akan membuat seseorang membutuhkan pengakuan atau perhatian yang berlebihan dan biasanya dia akan menjadi seorang yang pemarah, jika ada sesuatu yang tidak dikehendaki dia akan gampang marah, nah itu adalah salah satu cara untuk mendapatkan pengakuan dari
orang lain. Itu adalah dampak dari disiplin-disiplin negatif, dimana seseorang akan memerlukan pengakuan yang berlebihan dari orang lain.
Dampak yang berikutnya adalah kemampuan sosialisasi yang jelek sekali. Anak minder, menutup diri dan menarik diri dari pergaulan sosial. Itulah simtom dari sebuah perasaan harga diri rendah sebenarnya. Yang berikutnya adalah perasaan diri tidak berharga, inilah yang sangat-sangat merusak sekali. Begitu seseorang merasa dirinya tidak berharga maka ia akan susah sekali mencapai apa yang ia inginkan dalam hidupnya, mengapa? Karena bisa jadi ia akan memiliki khayalan-khayalan saja tetapi tidak akan berani untuk mewujudkannya. Karena ia merasa tidak layak untuk mendapatkan itu semua. Itulah sebuah dampak dari disiplin negatif yang kita lakukan pada seorang anak.
Tanda-tanda yang pertama adalah ketika seseorang anak mulai susah diatur dan susah diajak kerja sama. Biasanya dia akan membangkang, dia akan semaunya sendiri dan kemudian dia mulai mengatur “saya tidak mau ini dan itu, pokoknya harus begini”. Itulah satu tanda dimana kita harus mulai membuat disiplin itu menjadi lebih manusiawi lagi, itu adalah tanda-tanda seorang anak memiliki harga diri yang negatif. Dia ingin mendapatkan pengakuan yang berlebihan, dia ingin mendapatkan perhatian. Kemudian dia akan menjadi kurang terbuka pada orang tuanya. Anda mungkin sering menjumpai seorang anak yang ditanya “eh bagaimana tadi sekolahnya?”, “ah biasa aja” “lo kok biasa aja, tadi diajarin apa?” “ yah begitu itu”, “terus gimana perasaan kamu?” “malas ah!” Anda sering menjumpai perkataanperkataan seperti itu bukan? Yah, anak-anak akan menjawab pertanyaan kita dengan
biasa, malas, ya begitu itu, udahlah gak usah tanya-tanya, bicara yang lain. Mereka kurang begitu terbuka, namun anehnya mereka begitu banyak cerita kepada temannya. Anda tentu heran bukan, mengapa pada temannya bisa begitu banyak cerita sementara pada kita orangtuanya hanya dijawab malas ah, ya begitu itu, tidak usah tanya lah, ah biasa. Aneh bukan ya? Itulah yang sering terjadi pada anak-anak kita. Kekurang terbukaan pada orangtua dan kemudian anak-anak mulai menanggapi negatif tentang segala sesuatu. “Yah biarin saja, emang jelek kok, hasil kerjaan ku” nah itu adalah tanda seorang anak memiliki harga diri yang mulai terluka disana. Anda harus waspada, Anda harus mengganti pendekatan Anda secepatnya.
Sekarang kita akan mempelajari apa saja yang perlu kita lakukan untuk menerapkan sebuah disiplin yang bisa membangun harga diri. Ingat seperti yang saya katakan tadi, disiplin itu ada tahapannya. Disiplin adalah satu proses yang secara bertahap melatih seorang anak memiliki kontrol diri. Nah kalau begitu apa saja tahapantahapan yang kita perlu lakukan sehingga kita tidak sampai melukai harga diri seorang anak?
Ya, kita meminta dia misalkan untuk menggosok giginya. “Papa boleh minta? Papa minta setiap malam kamu gosok gigi, Papa akan temenin kamu, kalau kamu merasa nggak bisa nanti papa akan bantu kamu”. Kita meminta dia, lakukan permintaan ini sampai beberapa kali sehingga akhirnya dia mulai terbiasa dan dia mulai memiliki satu kebiasaan sendiri disitu. Ya kita minta dan minta, minta, minta terus, terus dan terus seperti itu sampai itu menjadi sebuah kebiasaan bagi dia. Meminta saja cukup, itu yang kita lakukan. Ok kita tetap bisa minta ke dia untuk melakukan sesuatu, maka mintalah jika tidak perlu melakukan yang lain lagi.
Yah tentunya dengan memperhatikan cara-cara komunikasi yang baik. Berikan penjelasan yang benar dan tepat, bukan ancaman atau hal yang dirasa membingukan anak (misal: jika bermain didepan pintu nanti kalau tidur malam di mimpiin tuyul, padahal hal jika bermain didepan pintu menghalangi lalu lintas dirumah). Dalam bagian ini termasuk memberikan penjelasan aturan mana yang boleh dan tidak, serta berikan penjelasannya. Komunikasikan peraturannya.
Biasanya ini untuk hal-hal yang sifatnya sudah mengarah ke hal-hal yang membahayakan diri anak. Maka kita akan memberikan instruksi langsung dan memerintah dia. Tentunya setiap kali kita melakukan proses kedisiplinan ini tetap patuhi aturan komunikasi yang baik, komunikasi yang bisa membangun harga diri seorang anak. Saya ulangi saja, komunikasi itu harus melibatkan unsur mengakui perasaan, memahami perasaan dan kemudian mulai mengarahkannya.
Seseorang belajar dengan pengalaman, ada seorang anak yang ketika diberitahu bahwa kalau ulangannya jelek itu sangat tidak enak. Mungkin beberapa anak bisa diberi tahu, bisa diminta mau belajar untuk ulangannya. Tapi mungkin beberapa anak harus diberikan beberapa pengalaman, begitu ulangannya jelek dia merasa sedih. Dan mungkin beberapa anak lebih parah lagi dia harus mengalami suatu proses dimana dia tidak naik kelas dan kemudian setelah itu dia terpacu untuk belajar. Itulah cara seseorang belajar, belajar melalui pengalaman. Jika memang itu harus terjadi ya terjadilah, tetapi
maknai itu dengan positif. Usahakan bahwa Anda bisa melakukan dengan yang nomor satu yaitu meminta, dengan penjelasan atau memberikan perintah kepada anak dengan komunikasi yang baik.
Ya, tahapan yang berikutnya adalah dengan memberikan satu hadiah kepada mereka, tentunya Anda harus menyesuaikannya. Yang Anda harus beri hadiah adalah usahanya, bukan prestasinya dia. Jadi bukan nilai sepuluh yang dia dapat di ulangan yang diberi hadiah, tetapi usahanya dia dalam belajar untuk mengalahkan keinginannya untuk menonton televisi. Nah itulah yang kita berikan sesuatu hadiah, artinya perilakunya yang kita perkuat di situ. Yah, rasa bangga dirinya bahwa dia bisa menaklukkan dirinya dari keinginan menonton televisi untuk belajar. Inilah yang kita perlu beri penghargaan, bukan nilainilainya.
Pastikan hukuman itu mendidik dia, pastikan hukuman itu bisa membuat dia merenung, pastikan hukuman itu bisa membuat dia mengintrospeksi dirinya, jadi bukan sekedar memuaskan emosi diri kita sendiri. Hukuman itu harus konstruktif (membangun) bagi anak kita, misalkan dia diminta menulis satu kalimat yang positif misalkan saya akan semakin rajin, bukan saya berjanji tidak malas, bukan saya berjanji tidak akan bohong, sebaiknya saya berjanji akan mengatakan yang sebenarnya. Ingat prinsip komunikasi, katakan apa yang Anda inginkan untuk terjadi. itulah salah satu contoh hukuman-hukuman yang konstruktif.
Berikut ini, kita akan belajar bagaimana menyampaikan pesan tentang disiplin kepada anak kita atau anak didik kita disekolah. Hal apa yang perlu mereka tangkap dan bagaimana kita menyampaikannya. Saya berikan ilustrasinya dan Anda boleh mengubahnya sesuai kebutuhan situasi ataupun berdasarkan pengalaman Anda. Gunakan bahasa yang mudah bagi anak seusianya, sehingga tujuan dari perubahan karakter ini tercapai.
Alkisah ada seekor katak dengan sebuah ember air. Dalam kisah ini menggambarkan tentang hukum kemerosotan.
Kalau kamu mengambil seekor katak yang cerdas dan bahagia, lalu menjatuhkannya ke dalam seember air mendidih, apa yang akan ia lakukan? Melompat ke luar! Seketika itu juga sang katak memutuskan: “Tempat ini tidak menyenangkan, aku harus keluar dari sini!” Akan tetapi, ambillah katak yang sama, atau saudaranya dan jatuhkan dia ke dalam seember air dingin, letakkan embernya di atas kompor, kemudian panaskan embernya secara bertahap. Lalu bagaimana? Sang katak akan tetap rileks dan beberapa menit kemudian ia mengatakan kepada diri sendiri: “Tampaknya di sini agak hangat.” dan setelah itu segeralah kamu mendapatkan katak rebus.
Pesan moral ceritanya? Ketika perubahan terjadi secara bertahap, sang katak tidak memperhatikan apa yang terjadi hingga semuanya terlambat sudah. Seperti sang katak, kita juga bisa terkecoh dan tiba-tiba semua terlambat sudah!
PERTANYAAN - Seandainya besok pagi kamu bangun dengan 20 kilo lebih berat, akankah kamu khawatir? Tentu saja! Kamu akan menghubungi rumah sakit: “Unit Gawat Darurat! Saya gendut!” Akan tetapi, ketika segalanya terjadi secara bertahap, satu kilo pada bulan ini, satu kilo pada bulan berikutnya, kita cenderung membiarkannya saja, tiba-tiba kamu sudah 20 kilo lebih berat.
Ketika kamu melampaui anggaran belanjamu atau jajanmu sebesar seribu rupiah dalam sehari, hal itu bukan masalah besar. Akan tetapi, kalau kamu mengulanginya besok, hari berikutnya dan berikutnya lagi, pada akhirnya kamu tidak mempunyai uang. Bagi orang yang tidak mempunyai uang, mengalami kenaikan berat badan, gagal dalam ujian, biasanya bukan karena satu bencana besar-melainkan sedikit demi sedikit, lalu suatu hari “Duarrr!” dan mereka mengatakan: “Apa yang terjadi?”
Hal-hal kecil menumpuk menjadi hal-hal besar-seperti tetesan air yang melubangi batu karang. Prinsip katak mengajarkan kita untuk memperhatikan setiap kecenderungan. Setiap harinya, kita bertanya kepada diri sendiri: “Ke mana aku menuju? Apakah aku lebih bugar, lebih sehat, lebih bahagia, lebih makmur daripada tahun lalu?” Kalau tidak, kita perlu mengubah apa yang kita lakukan.
Jadi tetaplah disiplin melakukan hal-hal kecil yang tidak kamu sukai, maka kamu bisa melewatkan kehidupanmu melakukan hal-hal besar yang kamu sukai. Disiplin bukanlah kata yang disukai semua orang. Dalam hal popularitasnya di Inggris, kata ini mungkin terletak kira-kira di antara kata dokter gigi dengan kata diare (Dentist, Discipline and Diary: hal yang tidak diinginkan manusia pada umumnya). Padahal disiplin diri menghasilkan segala perbedaan.
Disiplin diri dalam hal-hal kecil adalah belajar, bukan menonton TV dan hal ini menuntun pada suatu hal besar dan hasil yang lebih baik. Disiplin diri dalam hal-hal kecil adalah tiga kali dalam seminggu berolahraga di pusat kebugaran dan akan menuntun pada suatu hal besar kehidupan yang lebih sehat.
Kunci disiplin diri adalah mengetahui MENGAPA kamu menginginkan sesuatu. Kalau kamu mempunyai sasaran dan sesuatu untuk menabung, menabung akan lebih mudah. Kalau kamu mengetahui jelas mengapa kamu ingin memperbaiki nilai ujianmu, belajar akan lebih mudah.
Satu hal lagi tentang disiplin: ketika kamu mendisiplinkan
diri,
kamu
tidak
perlu
didisiplinkan orang lain. Akibatnya, kamu bisa mengelola kehidupanmu sendiri tanpa perlu disuruh.
Ketika
kamu
tidak
disiplin,
kamu
akan
didisiplinkan orang lain. Orang yang tidak sanggup mendisiplinkan diri sendiri sering ditempatkan dalam pekerjaan di mana mereka diperintah. Orang yang mutlak tidak berdisiplin diri akan dipenjara!
Baiklah para pembaca yang budiman, sekarang kita sudah sampai pada penghujung dari e-book ini. Semoga kehadiran kami dapat membantu dan menginspirasi banyak masyarakat terutama guru dan orangtua untuk mengambil tanggung jawab dalam membentuk karakter anak dan karakter bangsa dimasa depannya, serta demi majunya pendidikan Indonesia dan kehidupan yang jauh lebih berkualitas di negara kita yang tercinta ini.