KEBANGKITAN PENDIDIKAN MORAL DAN ETIKA BISNIS DI PERGURUAN TINGGI Faisal Afiff
Tidurlah, pangeran kecilku, tidurlah. Domba-domba dan burung-burung Kebun dan padang rumput dan burungburung, tak bersuara lagi, Anak lebah pun tak mengumbang lagi. Rembulan dengan sinar keperakan, Mengintip dari luar jendela, Tidurlah dalam sinar keperakan; Tidurlah, pangeran kecilku, tidurlah, tidurlah, tidurlah. (“WIEGENLIED”, dari W.A. Mozart/F.W. Gotter; nyanyian Vienna Boys Choir; saduran Actors Unlimited Bandung).
ara filosof sudah sejak
berabad-abad yang lalu menyatakan
bahwa seorang anak pada dasarnya adalah sebuah kertas putih yang bersih (tabularasa), dan apakah kelak di kemudian hari ia akan menjadi manusia berguna atau ngelantur sangat tergantung dari pendidikan yang akan diperolehnya, baik itu pendidikan yang bersifat formal maupun non formal. Para orang tua pun akan senantiasa berharap bahwa anak-anak mereka suatu saat nanti
dapat menjadi orang yang baik dan bijak,
bermoral dan bermartabat, seorang kesatria yang punya etika; sehingga melalui syair nyanyian lagu Wiegenlied yang sangat sendu dan penuh kasih sayang itu, diimajinasikanlah pengharapan tersebut dengan memanggil sang anak sebagai pangeran kecilku. Para
pakar
psikologi
berkeyakinan
bahwa
penanaman
(internalisasi) awal nilai-nilai kedisiplinan, moral dan etika yang dilakukan pada masa balita
(0-5 tahun) akan sangat berpengaruh terhadap
Jurnal Universitas Paramadina Vol 1 No. 1, Agustus 2001: 72-78
Faisal Afiff Kebangkitan Pendidikan Moral dan Etika Bisnis di Perguruan Tinggi pembentukan persepsi hati nurani (superego) seseorang tatkala ia beranjak dewasa. Superego tersebut tentunya akan pula berpengaruh pada psikodinamika individu tentang bagaimana kecenderungannya nanti sewaktu ia akan memaknai hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan, kehidupan dan etika (bisnis) yang diperolehnya semasa di bangku kuliah maupun di lapangan pertarungan bisnis yang riil, dimana pemaknaanpemaknaan seperti itu pada akhirnya akan menuntun lahirnya resultante model-model perilaku bisnis yang seperti apakah yang kelak akan dimunculkannya, baik secara individual maupun berkelompok. Di Indonesia renungan mengenai moral dan etika bisnis kini mulai bergaung kembali dipergunjingkan
para dosen di Perguruan Tinggi,
dengan munculnya wacana yang menganggap bahwa salah satu sumber krisis multi dimensional yang kini tengah kita hadapi sesungguhnya terjadi akibat merosotnya
pelaksanaan prinsip-prinsip penegakan moral dan
etika dalam tatanan sendi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan, khususnya yang menyangkut setting perilaku kalangan pebisnis maniak. Harus diakui secara jujur bahwa kelembagaan pendidikan tinggi sebagai institusi yang melahirkan intelektual-praktisiprofesional, dan sekaligus tenaga akademisi; secara langsung atau tidak langsung turut bertanggungjawab dalam proses terjadinya kemerosotan tatanan moral dan etika bangsa dewasa ini. M e n g a p a
?
Sumber daya manusia (SDM) yang dilahirkan melalui proses pendidikan tinggi di alam kemerdekaan yang sedianya diharapkan menjadi penyangga dan pembaharu terhadap tegaknya tatanan moral dan etika dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, malahan terperosok di arus sesaat untuk ikut-ikutan tergelincir pada pola perilaku pragmatisme ekonomi (bisnis) semata. Berjalan seiring dengan warna zaman
yang memang menonjolkan keangkuhan dan keyakinan
pemikiran tentang paradigma muluk mengenai adanya
mimpi
perihal
pertumbuhan ekonomi (bisnis) yang akan menetes ke bawah dengan sendirinya (trickle down effect) sebagai satu-satunya pilihan kita agar
73
Jurnal Universitas Paramadina Vol 1 No. 1, Agustus 2001: 72-78
mampu lolos dari belitan kemiskinan.Akibatnya, moral (sosial /agama) dan etika tidak lagi dikembangkan sebagai way of life generasi saat itu (Orde Baru), namun lebih merupakan slogan dan retorika politik semata dalam rangka merangkul maupun menyingkirkan lawan-lawan politik atau kemasan bagi ideologi politik yang tengah dianutnya. Munculnya perilaku fiksasi maupun regresi
bangsa kita dalam
proses perkembangan pemahaman moral (sosial/agama)dan etika seperti ini semakin terlihat dengan hadirnya ketidakmampuan insan Perguruan Tinggi dalam mengurai suatu sistem berfikir yang taat azas antara agama (yang dipenuhi kandungan pesan-pesan moralita dan etika) dengan ilmu pengetahuan (yang dipenuhi kandungan pesan-pesan menganalisis dan memecahkan beragam permasalahan kehidupan); berupa munculnya rakitan-rakitan sintesa pemikiran antara kaidah-kaidah moralita dan etika dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, yang seringkali terasa rancu dan terlalu dipaksakan. Misalnya saja kita akan menjumpai fenomena menarik tatkala menyaksikan usaha-usaha penyampaian pesan keilmuan dan pesan keagamaan,
melalui model perilaku pergantian
peran (role
playing), dimana seorang dosen atau pendidik yang ilmuwan berperan sebagai ulama yang mencari pembenaran atas disiplin keilmuannya melalui dalil-dalil keagamaan; sebaliknya, ada pula ulama yang menjadi ilmuwan yang mencoba menalarkan agama dengan dalil-dalil keilmuan untuk pembenaran agamanya sekaligus untuk mengubah citra tradisional ke citra modern dari status keulamaannya. Disamping itu, terdapat pula ilmuwan sekuler yang kurang peduli dengan kaidah moral dan etika dalam menyampaikan disiplin ilmu mereka; serta ada pula dosen agama yang kurang peduli dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Dari
fenomena
tersebut
terlihat
masih
adanya
nuansa
kesenjangan antara pemahaman moral (sosial/ agama) dan etika dengan pemahaman disiplin ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Kesenjangan lainnya berangkat pula dari adanya perbedaan kultural antara asal muasal pengetahuan yang diajarkan yang sebahagian besar bersetting Barat
74
Faisal Afiff Kebangkitan Pendidikan Moral dan Etika Bisnis di Perguruan Tinggi (yang tentunya memiliki kandungan moralita dan etika yang khas mereka dan bersifat individualis-globalis) yang bertolak belakang dengan nuansa sosial tempat pengajarannya yang bersetting Indonesia (ke-Timur-an) dengan kandungan moralita dan etika yang khas kita dimana oleh sementara
kalangan
dianggap
masih
bersifat
lokalis-komunalis.
Kesenjangan-kesenjangan seperti ini nampaknya melahirkan berbagai kegagalan kita didalam menciptakan sistem, kurikulum dan metodologi pendidikan moral dan etika yang terintegrasi, konsisten dan terpadu dengan disiplin ilmu pengetahuan yang hendak diajarkan, yang mencakup hampir di setiap jenis dan strata pendidikan formal, khususnya di dunia Perguruan Tinggi, dimana sebahagian besar lulusannya akan terserap di sektor bisnis dan sebahagian lagi terserap di sektor publik. Dampak
yang
muncul
dikemudian
hari
adalah
retaknya
kepribadian (split of personality) kolektif dari para alumni hasil pendidikan tinggi ini yang memunculkan kecenderungan perilaku yang bercirikan inkonsistensi antar nilai baik pada tahapan ideal-self maupun real-self nya, berupa lahirnya pola-pola kinerja bisnis yang egosentrik, manipulatif, monopolistik, kolutif, dan paranoid. Menyaksikan warna zaman yang seperti ini tentunya sangatlah menyedihkan dan menyakitkan. Semoga saja dengan bangkitnya semangat nasionalisme kita semua untuk kembali memikirkan program internalisasi nilai-nilai moralita dan etika yang sanggup menjadi bingkai persepsi bagi para pebisnis agar mampu memilah-milahkan mana perilaku bisnis yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk, mana yang sportif dan bertanggungjawab, mana yang curang dan serampangan. Menurut kajian penulis, untuk masa mendatang ini akan terdapat beberapa isu penting yang berkaitan erat dengan dimensi moralita dan etika bisnis, seperti lingkungan hidup, keselamatan konsumen, kesehatan dan keselamatan pekerja, kerahasiaan informasi, dan kepentingan pemilik perusahaan; mendampingi beberapa isu moralita dan etika yang sudah menjadi klasik, seperti buruh anak-anak, diskriminasi gender, kesenjangan
75
Jurnal Universitas Paramadina Vol 1 No. 1, Agustus 2001: 72-78
upah dan gaji, pengingkaran hak cuti, PHK, jaminan hari tua, dan objektifitas penilaian prestasi kerja. Bila demikian, mengapakah dimensi moralita dan etika bisnis ini semakin hari menjadi sedemikian pentingnya? Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan di sini, antara lain: bahwa pada umumnya ada kelaziman masyarakat yang sudah maju untuk cenderung menuntut para pebisnisnya agar mampu bertindak etis; untuk menghindari kerugian kelompok kepentingan dalam masyarakat seperti pelanggan, perantara, pemasok, kreditor, pesaing, pemerintah dan publik yang kesemuanya
adalah merupakan pemerhati eksternal; untuk
melindungi perusahaan dari perilaku pebisnis yang tidak etis, baik dari dalam maupun dari luar; untuk melindungi masyarakat yang akan bekerja di sektor bisnis dari ancaman lingkungan kerja yang tidak adil, produk yang berbahaya, pemalsuan laporan akuntansi, ventilasi yang tidak segar atau sumpeknya ruangan kerja; untuk memberikan kontribusi pada ketenangan, keamanan dan kenyamanan psikologis bagi para pebisnis agar mampu berkiprah melakukan tindakan bisnis yang konsisten sesuai dengan norma-norma yang berlaku . Selanjutnya kita pun akan dapat menyaksikan pula munculnya beberapa kasus
lain yang melahirkan problematik moralita dan etika
bisnis, seperti adanya kepentingan pribadi yang berlawanan dengan kepentingan orang lain yang lahir dari mentalitas pebisnis yang egoistis; hadirnya tekanan persaingan dalam meraih keuntungan yang melahirkan konflik perusahaan dengan pesaingnya yang disebabkan oleh mentalitas pebisnis yang kerdil; munculnya pertentangan antara tujuan perusahaan dengan nilai-nilai pribadi yang kemudian melahirkan pertentangan antara kepentingan bos dengan bawahannya akibat adanya mentalitas pebisnis yang otoriter; terjadinya tension lintas budaya yang diakibatkan oleh tidak sejalannya kepentingan bisnis dengan nilai-nilai tradisi dan budaya setempat dikarenakan masih melekatnya mentalitas pebisnis yang etnosentris. Dari sisi yang lain, kasus-kasus problematik moralita dan etika bisnis dapat pula muncul sebagai akibat adanya praktik-praktik
76
dan
Faisal Afiff Kebangkitan Pendidikan Moral dan Etika Bisnis di Perguruan Tinggi perilaku bisnis yang ilegal yang meminta korban yang tidak kecil nilainya di pihak konsumen; seperti misalnya kejahatan yang melibatkan para karyawan, kejahatan terhadap perusahaan lain, kejahatan terhadap negara, juga kejahatan terhadap para pemerhati maupun masyarakat umumnya. Sekali lagi, menyaksikan betapa sedemikian parahnya standard norm moralita dan etika yang berlaku di kalangan pebisnis kita ini, yang sebahagian besar diantaranya pernah memperoleh kesempatan emas menempuh jalur pendidikan tinggi; maka mudah-mudahan belumlah terlambat
jika
terinspirasikan
seluruh untuk
jajaran
bangkit
Perguruan
kembali
Tinggi
menata
di
Indonesia
kurikulum
(silabus,
komposisi dan muatan) yang dianggap lebih mampu mencetak insan akademis yang
kecerdasan intelektualnya setara dengan kepekaan
nuraninya. Sebagai bahan renungan kita bersama, 2 tahun yang lalu penulis pernah melakukan survei
dengan tema
“Relativisme
Etika pada
Mahasiswa” dengan mengambil responden sebanyak 2000 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung dan di Jakarta. Dari salah satu temuan survei, terungkap gambaran, bahwa sebagian besar mahasiswa tersebut ternyata belum memiliki kemampuan dalam melakukan penalaran terhadap problematik moral dan etika pada tataran yang abstrak dan kompleks, berbeda misalnya jika mereka dihadapkan kepada problematik moral dan etika yang hanya memerlukan standar moral yang konkrit dan sederhana.
Dengan
meminjam
pendekatan
Kholberg,
kategori
kemampuan penalaran mereka kurang lebih hanya berkisar di sekitar tingkat pra-konvensional dan konvensional. Menghadapi tantangan dan problematik moral dan etika di masa mendatang, kondisi ini tentu sangat memprihatinkan kita semua sebagai tenaga pendidik. Tentunya kita sama sekali tidak berharap jika kelak di kemudian hari anak-anak kita seusai menempuh pendidikan tinggi malahan berubah menjadi
“monster”
yang
berbisnis
sambil
menghisap
darah
77
Jurnal Universitas Paramadina Vol 1 No. 1, Agustus 2001: 72-78
masyarakatnya sendiri dengan penuh tawa dan canda, tanpa ada segenggam rasa dosa di lubuk hatinya … !
78
Faisal Afiff Kebangkitan Pendidikan Moral dan Etika Bisnis di Perguruan Tinggi
DAFTAR PUSTAKA : Afiff, Faisal. 1999. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Jakarta: Universitas ParamadinaMulya. Beekun, Rafik Issa. 1997. “Islamic Business Ethics”. The International Institute of Islamic Thought, Human Development. Series No. 2. th Beauchamp, Tom L.; Norman E. Bowie. 1997. Ethical Theory and Business. 5 ed. New York: Prentice Hall.
Dahlan, M. Alwi. 1998. Memahami Globalisasi: tantangan Perguruan Tinggi Abad 21. Bogor: Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) Pusat. De Pelsmacker, P., & M. Jegers. 1997. Management voor een Levenskunstenaar. Garant Leuven-Apeldoorn. Frederick, William C.; Post, James E.; and Davis, Keith. 1992. Business and Society: corporate strategy, public policy, ethics. 2nd ed. New York: McGraw-Hill. Halloran, Hary R.; Lawrence S. Bole. 1997. “Toward a Viable Global Ethos”. World Business Academy, Perspectives on Business and Global Change, Vol. 11, No. 1, March 1997. Katanegara, Mulyadhi. 2000. “Filsafat Islam dan Isyu-isyu Kontemporer”. Materi Kuliah Falsafah di Universitas ParamadinaMulya Tahun Akademik 1999/2000. Jakarta: Universitas ParamadinaMulya. Keraf, Sonny. 1998. Etika Bisnis: tuntutan dan relevansinya. Jakarta: Kanisius. Moller, Kim. 1997. “Social Responsibility as Corporate Strategy”. World Business Academy, Perspectives on Business and Global Change, Vol. 11, No. 1, March 1997. Poedjawinata, I.R. 1982. Etika, Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Bina Aksara. Porter, Lyman W. and McKibbin, Lawrence E. 1988. Management Education and Development. New York: McGraw-Hill. Suryasumantri, Jujun S. 1981. Ilmu dalam Perspektif: sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan LEKNASLIPI. Wilson, Rodney. 1988. Bisnis Menurut Islam: teori dan praktik. Jakarta: PT. Intermassa.
79