Dengan begitu terhindarlah ia dari ancaman bahaya maut, cuma bajunya yang mewakilkan. Sampai di situ. terbukalah jalan untuk Hoei Liong menyingkir dari tempat yang berbahaya itu. Giok Lo Sat kenal baik istana, ia pimpin ayah angkatnya itu keluar pintu Sinboe moei untuk menyingkir ke gunung Kengsan. Sedangnya Giok Lo Sat membantu ayahnya mengamuk musuh, Bouwyong Tjiong telah menemui Kek Peng Teng, melihat siapa, ia menjadi terkejut. Nona itu rambutnya terurai, pundak kirinya berlumuran darah. Tapi yang aneh, di situ tidak ada musuh satupun. “Semua penjahat sudah kabur!” berkata Nona Kek. “Si hantu wanita telah menikam pundakku ini, syukur tidak berbahaya. Paling perlu kamu pergi padamkan api!” Pemimpin pahlawan itu heran, ia bercuriga. “Ilmu pedang dari Giok Lo Sat sangat liehay.” pikirnya “Setiap ia menyerang, ia cari jalan darah. Apa mungkin terhadap bocah ini ia menaruh belas kasihan?…” Meski begitu, ia toh pergi melihat api. Kebakaran belum hebat, oleh karena ada orang banyak, tak lama api telah dapat dipadamkan. Keksie tarik puterinya, dibawanya masuk ke dalam untuk menukar pakaian, setelah mana, ia obati lukanya. Sambil menolong anaknya, nyonya ini mengutuk tak hentinya kepada si Raksasi Kumala. Peng Teng tertawa di dalam hatinya, ia biarkan ibunya mendumal terus. Luka itu ia buatnya sendiri, itu cuma semacam lecet, untuk keluarkan darah saja, guna mengabui mata umum. Sesudah huru-hara itu selesai, lantas pengawal Sinboe moei memberi laporan bahwa semua penjahat sudah kabur. Mendengar laporan itu, barulah Goei Tiong Hian mengeluarkan napas lega, lalu ia menitahkan agar penjagaan selanjutnya ia perkeras, dan semua pengawal harus berhatihati, kemudian ia pergi kepada Keksie. Tentu saja ia datang secara diam-diam.
80 Ketika itu Peng Teng sudah selesai menukar pakaian dan memakai obat, lalu ia rebah dengan berpurapura tidur. Agaknya ia beristirahat akan tetapi otaknya bekerja. Ia asyik memikirkan kata-katanya Giok Lo Sat. Ia meram, akan tetapi ia dengar tindakan kaki dari ibunya dan Goei Tiong Hian, di luar pintu. Hatinya memukul keras. “Apakah harus aku turut perkataannya Giok Lo Sat atau jangan?” berulang-ulang ia tanya dirinya sendiri. “Apakah harus aku bunuh mati padanya?” Tiba-tiba cahaya api berkelebat. Nona ini terus meram, akan tetapi ia dapat bayangkan Goei Tiong Hian sedang membungkuk akan menilik kepadanya. “Sekarang ini, bila aku gerakkan tanganku, tentu dia terbinasa,” pikirnya. “Akan tetapi ada ibu di sini. Bagaimana aku dapat membiarkan ibu menyaksikan darah berlumuran?” “Anak Teng!” tiba-tiba Keksie memanggil. Anak itu pura-pura tidur, ia tidak menyahuti, pun tidak menggerakkan tubuhnya. “Dia pulas!” ia dengar ibunya berkata. “Apakah lukanya berbahaya?” ia dengar pertanyaannya Goei Tiong Hian. “Syukur tidak berbahaya,” sang ibu menjawab. “Kasihan dia…” mengeluh si dorna. “Kita menyuruh dia tinggal di istana, pikirku supaya dia merasakan hidup senang dan berbahagia, mana aku tahu malam ini dia akan terluka. Dia menggantikan aku…” Keksie heran. “Apa? Menggantikan kau?” tanya nyonya ini. “Oh, kau belum tahu?” Goei Tiong Hian balik menanya. “Pembunuh-pembunuh itu datang sengaja untuk membunuh aku.” Peng Teng dengarkan semua pembicaraan itu, hatinya tersentak hingga tubuhnya sedikit bergerak. “Sudah, jangan kita pasang omong di sini,” kata Goei Tiong Hian dengan perlahan,, “kita harus jaga supaya dia jangan sampai mendusin…”
81 Dia tarik tangannya Keksie dan bertindak hatihati keluar. Pintu pun ditutupnya dengan perlahanlahan. Peng Teng heran. “Mengapa Goei Tiong Hian berlaku baik sekali terhadapku?” ia tanya dirinya sendiri. “Dia seperti anggap aku anaknya sendiri… Sekalipun benar ia baik sekali terhadap ibu. terhadapku tak selayaknya ia menaruh perhatian sebesar ini… Katanya dia sangat telengas terhadap kaum Tonglim Tong, mengapa terhadapku dia begini baik hati? Kenapa? Kenapakah?…” Tidak ia peroleh jawabannya. Biasanya, karena ia jemu pada Tiong Hian, kalau dorna itu datang menengok ibunya, Peng Teng senantiasa menjauhkan diri. Belum pernah ia mendengarkan pembicaraan mereka itu, apapula untuk mendengarkan dengan mencuri. Akan tetapi malam ini, ia seperti terdampar gelombang, hatinya bimbang, goncang keras. Gerak-geriknya Tiong Hian menimbulkan kecurigaan. Maka akhirnya ia bangkit turun dari pembaringannya. Lalu ia menguntit ibu dan dorna itu, untuk mendengarkan pembicaraan mereka terlebih jauh. Kedua orang itu duduk di dalam kamar rahasia. Peng Teng mendekati jendela, untuk membasahkan kertas dengan ludahnya. Karena ia tidak puas dengan memasang kuping saja, ingin juga ia melihat gerak-gerik mereka. Maka tertampaklah olehnya tangannya Tiong Hian diletakkan di pundak ibunya, sikapnya orang itu sangat menyayanginya. “Beberapa hari lagi umurnya si Teng jangkap dua puluh tahun,” berkata Goei Tiong Hian. “Benar, bukan?” “Memang,” sahut sang ibu. “Aku kira kau sudah lupa. Nyata kau masih mempunyai liangsim…” (Liangsim = kesadaran hati sanubari.). Jantungnya Peng Teng seolah-olah lompat mendengar pembicaraan itu. “Heran, kenapa dia tahu hari ulang tahunku?” dia berpikir. “Sejak dia dibawa ke istana ini. kelihatannya dia seperti memikirkan sesuatu.” berkata Goei Tiong Hian pula. “Umumnya dia berada dalam kemasgulan. Apakah kau pernah menanyakan itu kepadanya? Bukankah karena meningkatnya 82 usianya, hingga ia memikirkan soal pernikahan? Tidak apa jikalau dia tidak sudi menjadi selir sri baginda, di istana masih banyak menteri sipil dan militer dan anak-anak bangsawan.
Bila dia setuju tentu akan terkabul maksud hatinya!” Keksie tertawa sebentar, lalu ia menghela napas. “Memang bila ia memikirkan untuk menikah itu mudah diurus…” kata ibu ini dengan masgul. “Sebaliknya, dia tidak menginginkan suami! Aku juga tidak tahu kenapa dia tidak gembira. Di masa kecilnya, dia sangat nakal, dia selalu memanjat dan berlompat-lompatan. Sekarang, untuk menyuruh dia mendengarkan beberapa perkataan saja, sukarnya bukan main. Setiap kali aku bicara dengannya, kalau dia tidak sebut-sebut keinginannya akan pulang ke rumah, dia utarakan kehendaknya untuk pergi mencari gurunya. Dia bikin aku jengkel saja…” Goei Tiong Hian pun menghela napas. “Mungkin budak itu ditakdirkan berperuntungan rendah?” katanya kemudian. “Ah, jangan kau menyebutkan begitu,” kata Keksie, masgul. “Memang dahulu penghidupannya di desa, walaupun melarat, ada juga kebaikannya.” Goei Tiong Hian tertawa tawar. “Memang, kalau diingat dahulu di desa, bagaimana kurang senang hidup kita…” kata nyonya itu. Ia mau tunjukkan hidupnya yang romantis. Goei Tiong Hian tertawa. “Apakah sekarang kau tidak hidup senang?” tanyanya. Parasnya nyonya itu menjadi bersemu merah. Ia menarik napas. “Inilah yang dibilang mulut anjing tidak mengeluarkan caling gajah!” katanya. “Sekarang ini aku justeru lebih banyak pikiran dari semasa dahulu, aku jadi tambah pusing. Selainnya kita berjaga-jaga dari serangannya pihak Tonglim Tong, kita juga kuatirkan kalau nanti sri baginda sudah lanjut usianya. Setelah raja dewasa, kekuasaan kita sekarang tidak bakal kekal abadi lagi. Menurut katanya Peng Teng, raja cilik itu bertubuh sangat lemah, dikuatirkan dia tidak akan hidup lama. Umpama kata 83 terjadi pertukaran raja, entah bagaimana nanti kesudahannya kedudukan dan hidup kita…” Sebaliknya dari si nyonya, yang berkuatir dan berduka itu, Goei Tiong Hian tertawa besar. “Sekarang ini menteri-menteri sipil dan militer di dalam istana, kalau dia bukannya anak angkatku, dia tentu muridmuridku,” katanya dengan jumawa. “Di samping itu, aku juga berkuasa atas Tongtjiang dan Seetjiang. Apa yang hendak dikata raja baru terhadap aku? Pendeknya siapa dengar kata kita, dialah yang menjadi raja! Ha-ha-ha! Kalau aku ingat dahulu, di masa aku masih tinggal di desa, orang mencaci aku sebagai si
buaya darat, tetapi sekarang mereka itu tak akan menduga bahwa aku adalah Kioetjianswee! Hm, bukan saja Kioetjianswee, malah Banswee sendiri berada dalam genggamanku!” (Kioetjianswee = umur sembilan ribu tahun — artinya raja muda, pangeran. Banswee = umur sepuluh ribu tahun — artinya raja.). Walaupun orang sangat gembira dan jenaka nampaknya Keksie sendiri, tersenyum pun tidak. “Masih ada lagi satu hal.” dia menambahkan. “Kita juga mesti waspada terhadap pembunuh. Lihatlah malam ini. sampaipun Peng Teng telah kena dilukai, hingga aku kaget hampir mati! Bukannya aku omong mainmain, aku menjadi lebih takut daripada masa di desa sewaktu kita mencuri main asmara-asmaraan…” Tapi Goei Tiong Hian kembali tertawa besar. “Turut kau itu.” katanya, “bukankah itu waktu lebih baik kau jangan masuk ke keraton untuk menjadi inang pengasuh dan aku jangan aku kasih diriku dikebiri untuk menjadi thaykam! Tidakkah aku menjadi terlebih kecewa dan penasaran! Coba kita tidak temahakan pangkat dan kemuliaan, bukankah setelah mampusnya suamimu yang berpenyakitan itu, boleh kita berlaku terus terang menjadi suami isteri yang hidup bersama-sama, supaya kita dapat memelihara lebih banyak anak-anak. Dengan begitu tak usahlah aku menjadi putus anak cucu! Sekarang ini kita cuma punya satu budak yang hina akan tetapi dia masih tak dapat diberi tahu bahwa akulah ayahnya yang tulen!…”
84 Peng Teng mendengarkan hatinya kebat-kebit, makin lama makin hebat denyutannya, apalagi ketika ia dengar perkataanperkataan yang terakhir, kaki tangannya menjadi dingin, hatinya sakit bagaikan disayat-sayat. Sama sekali tidak pernah ia terka bahwa orang kebiri ini, adalah ayahnya sendiri. Ia menjadi malu. Celaka, ia rasakan dirinya. Lebih sulit ia menerima ini daripada diludahi orang. Ia ingin bertemu liang ke dalam mana ia bisa terjun masuk, supaya ia tak bertemu siapa jua. Ia tutupi mukanya, hampir ia menangis menggerung-gerung… Tak dapat ia memasang kupingnya lebih jauh, ia putar tubuhnya untuk lari pergi. Ketika ia sampai dijalan, mendadak ia tampak satu bayangan berkelebat di atas genteng beling, hingga ia menjadi kaget dan heran. Syukur ia masih sempat menyembunyikan dirinya di belakang tiang besar yang berukiran naga-nagaan. Dari sini ia dapat lihat tegas bayangan itu ialah Bouwyong Tjiong. “Begini malam dia datang kemari, mau apa ia?” ia tanya dirinya sendiri. Bouwyong Tjiong lantas mendekam di atas penglari di ruang luar dari Lengnio hoe. Peng Teng sedang kalut pikirannya, tak ada keinginannya akan mengintai pemimpin pahlawan istana itu, tak juga ia berniat menemuinya. Maka dengan jalan mutar, ia lari terus, untuk pulang ke kamarnya. Ia sekap dirinya dalam kamar yang gelap, ia bercokol menjublak di atas pembaringannya. Secara begini, tak tahulah ia apa yang diperbuat lebih jauh oleh Bouwyong Tjiong. Setelah kebakaran padam, Bouwyong Tjiong kembali ke kamarnya. Segera ia keluarkan pisau belatinya Tiat Hoei Liong, untuk diperiksa. Pada ujung pisau itu terdapat sepotong kertas, lalu ia baca: “Aku tantang kau tiga hari kemudian untuk bertempur satu sama satu di jurang Pitmo gay, waktunya ialah tengah hari tepat. Kedua pihak tak dapat mengundang kawan untuk membantu. Jikalau kau berani datang, kau benar satu enghiong, tetapi jikalau kau tidak berani muncul, kaulah seekor anjing!”
85 Dari Tiat Hoei Liong Tak terhingga murkanya kepala pahlawan ini. “Bangsat she Tiat, kau sangat menghina aku!” dia kata seorang diri. “Mungkin tak dapat aku menangkan kau tetapi juga belum pasti aku akan kalah di tanganmu! Siapa jeri terhadapmu?” Ia kepal-kepal surat itu hingga bergumpal, terus ia lemparkan! Pada hari-hari biasa, apabila Bouwyong Tjiong menerima tantangan dari lawan yang tangguh, tentu dia lantas pusatkan perhatiannya, untuk memikirkan cara-cara guna menghadapi musuh, untuk merebut kemenangan, akan tetapi kali ini, ia tidak berbuat demikian. Ia telah tertarik oleh satu urusan lain, yang terlebih penting. Bukankah ia telah dengar sendiri cacian nyaring dari Tiat Hoei Liong selama di Tjengyang kiong — cacian bahwa Goei Tiong Hian adalah dorna yang sudah sekongkol dengan pihak asing untuk menjual negara? Itulah halnya. “Apakah benar-benar Goei Tiong Hian seorang penghianat bangsa yang sudah berkongkol dengan bangsa asing untuk menjual negara?” demikian berulangkali Bouwyong Tjiong bertanya dalam hatinya sendiri. Ia ingat, setelah cacian itu, Goei Tiong Hian jadi seperti kalap. Ia teringat juga akan sikapnya Goei Tiong Hian apabila dia sedang berkumpul bersama Eng Sioe Yang dan Lian Seng Houw, bahwa kalau ada dia, dia seperti hendak dijauhkannya. Makin ia berpikir kesitu, makin bercuriga ia. “Tua bangka she Tiat itu memang berkepala besar akan tetapi dialah seorang Rimba Persilatan yang berderajat, maka tak mungkin dia ngaco tidak keruan!” demikian ia berpikir pula. Bouwyong Tjiong ialah seorang dari propinsi Kamsiok, termasuk suku bangsa Hwee. Dia memang bertenaga besar sejak kecilnya. Ia diterima sebagai muridnya Tjiauw Bantjoe. satu begal tunggal yang tersohor di Barat utara, ia diberi pelajaran silat. antaranya Engdjiauw Kang dan Tiatpousan. Yang terakhir ini adalah ilmu kekuatan tubuh yang tak mempan senjata tajam. Setelah itu ia pergi ke Koenloen san untuk mengikuti Teng Hie Taysoe memahamkan 86 ilmu silat Sinkoen-“Kepalan Dewa” - yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Sejak itu, setelah memasuki dunia kangouw, dengan cepat namanya menjadi terkenal. Ketika Kaisar Sin Tjong mengeluarkan pengumuman mencari anak
buah pasukan Kimwiekoen, dia segera pergi ke kota raja untuk mendaftarkan nama, karena dia sangat kemaruk pangkat, dan ini juga dapat mengangkat derajat anak isterinya. Kebetulan untuknya, ia dapatkan pembesar yang suka memberi tanggungan. Dalam pemilihan, ia berhasil diangkat menjadi touwtjiehoei, komandan. Kedudukan itu ia pangku terus sampai sepuluh tahun lebih. Liehay ilmu silatnya Bouwyong Tjiong, tinggi kedudukannya dalam pasukan pengawal raja itu, akan tetapi ia tak pandai bergaul, ia tak paham ilmu menempel orang-orang yang terlebih atas, sebaliknya, ia jumawa karena terlalu mengandalkan kegagahannya itu, hingga di antara kawan sejahatnya ia juga kurang cocok, maka selama tahun itu, ia tak pernah naik pangkat, tetap ia menjadi touwtjiehoei. Setelah Goei Tiong Hian berpengaruh, dorna ini ketahui orang ini liehay, dia ingin pakai tenaga orang, baru sekarang ia mendapat kenaikan pangkat, derajatnya dari tingkat satu dinaikkan ke tingkat ketiga, lalu belum sampai setengah tahun, ia diangkat pula menjadi Tjongkauwtauw, guru besar, dari barisan Tongtjiang. Bouwyong Tjiong cuma ingat pangkat, sekarang ia diberi kenaikan oleh Goei Tiong Hian, dengan sendirinya ia menjadi sangat berterima kasih kepada orang kebiri itu. Tapi di samping sifatnya itu, belum lenyap kejujuran dan ketulusannya. Maka itu tak setuju ia terhadap perbuatan Goei Tiong Hian yang suka mencelakai menteri atau pembesarpembesar setia. Beberapa kali pernah hatinya yang murni itu berontak, akan tetapi karena terdesak oleh keinginan memperoleh pangkat besar, hatinya yang bersih itu selalu dapat ditindih. Maka pada akhirnya, Goei Tiong Hian menggunakan dia sebagai perkakas. Akan tetapi malam ini, setelah mendengar kata-katanya Tiat Hoei Liong itu, teringatlah ia kepada kejadian yang sudahsudah yang ia pernah saksikan sendiri. Ia percaya Goei Tiong 87 Hian harus dicurigai telah berkongkol dengan bangsa Boan. Kembali tergerak hatinya yang putih bersih. Dia berpikir: “Jikalau benar Goei Tiong Hian menjadi penghianat bangsa, apakah aku tidak terlibat juga?” Bouwyong Tjiong anggap dirinya sebagai satu enghiong, ia tidak insaf bahwa ia telah menjadi gundal orang. Sekarang berkelahilah hatinya yang bersih menghadapi ketemahaannya kepada pangkat. Ia ingin tinggalkan Goei Tiong Hian tetapi tak ikhlas ia meninggalkan kedudukannya itu. Jikalau ia tidak jauhkan diri, ia kuatir Goei Tiong Hian benar-benar berkhianat. Lama pahlawan ini melamun, pikirannya masih tetap berkutat, tatkala kupingnya dengar tanda jam empat. Adalah pada saat ini tiba-tiba saja ia ingat suatu hal. “Mengapa tak mau aku menyelidikinya?” demikian pikiran yang timbul di kepalanya. Maka dengan tak mensia-siakan waktu lagi, ia pergi ke Tjengyang kiong. Di sana tak dapat ia jumpai Goei Tiong Hian, terus ia pergi ke Lengnio hoe, gedungnya Keksie. Goei Tiong Hian dan Keksie melanjutkan pembicaraan mereka, dan Bouwyong Tjiong dari tempat mendekam memasang kupingnya.
“Apa yang dipikirkan Peng Teng, malas aku memperhatikannya,” demikian suaranya Tiong Hian, yang bicara sambil tertawa. “Cis anak sendiri tidak hendak diurusnya!” jawab Keksie. Bouwyong Tjiong terperanjat. “Ah. kiranya budak cilik itu ada anaknya!” pikir dia. “Bukannya aku tidak hendak mengurusnya,” kata Goei Tiong Hian. “Bukankah kau telah melihatnya sendiri bagaimana sayangnya aku padanya? Yang benar adalah aku tak dapat mengurusnya dan diapun tak dapat diurus. Setiap kali dia menemui aku, nyata-nyata dia tak suka bicara denganku. Jadi bagaimana bisa aku bicara dengannya, dari hati ke hati?” “Habis,” katanya kemudian, “perlukah aku memberitahukan siapa sebenarnya ayahnya?” Goei Tiong Hian mengangkat tangannya cepat-cepat. “Jangan, jangan!” cegahnya.
88 Keduanya lantas berdiam. “Bukankah kau kuatirkan. jikalau raja yang baru naik tahta, kedudukan kita jadi goncang?” kata pula Tiong Hian kemudian. “Kau tahu. kekuatiranmu itu tidak beralasan.” “Kenapa kau bilang begitu?” tanya Keksie. “Apakah kau masih mengandalkan semua menteri sipil dan militer, yang kau katakan kalau bukan anak angkatmu tentu muridmuridmu? Tetapi mereka itu semua adalah bangsa yang mudah dipengaruhi, jikalau nanti gunung es gempur, apakah kau tidak kualir mereka akan mencari suatu gunung yang baru?” Tiong Hian tertawa. “Itu, itulah ada dalam dugaanku,” katanya. “Nyonya yang baik, kau belum tahu…” “Belum tahu? Belum tahu apa?” tanya sang kekasih. “Aku kuatir, belum lagi raja yang baru naik atas tahta, maka bangsa Tartar dari Boantjioe nanti sudah datang menyerbu…” sahut dorna kebiri itu. Keksie nampaknya terkejut. “Tidakkah itu berarti lebih celaka lagi?” tanyanya. “Apa yang harus dibuat kuatir?” jawab Tiong Hian dengan tenang. “Jikalau bangsa Boantjioe telah dapatkan negara ini maka kebahagiaan kita menjadi lebih terjamin!” Keksie menjadi heran. “Apa kau bilang?” tanya dia pula. “Apakah kau telah berkongkol dengan bangsa Boantjioe itu?” “Perlahan sedikit.” cegah Tiong Hian sambil menggoyangkan tangannya. “Tidakkah pepatah mengatakan, dialah seorang gagah siapa kenal selatan? Sekarang ini negara ada dalam ancaman bahaya besar, di dalam, semua bandit main bergerombolan, di luar, musuh yang tangguh tengah mengintai, maka itu jikalau kita tidak roboh di tangan bandit-bandit pasti kita bakal termusnah di tangan musuh! Atau lebih tegas lagi, negara Kerajaan Beng ini sudah pasti tidak akan menjadi kekal abadi. Menurut aku, daripada negara musnah di tangan bandit, lebih baik dirampas bangsa Boan saja. Jikalau negara dimusnahkan bandit, kita akan terbinasa dengan tidak mendapat tempat untuk mengubur tubuh kita, sebaliknya jikalau termusnah di tangan bangsa Boan, 89 sedikitnya kita masih dapat makan nasi. Nah, coba kau pikir, beralasan atau tidak apa yang aku katakan?” Keksie berdiam, ia berpikir, akhirnya, ia menghela napas.
“Biasanya kecerdasan kau ada di atas kecerdasanku,” ia kata kemudian. “Sebenarnya aku sangat tidak menginginkan kau memanggul nama busuk sebagai penghianat bangsa pada bebokongmu, akan tetapi setelah suasana menjadi sedemikian rupa, baiklah aku tidak mengatakan suatu apa lagi…” Mendengar kata-kata terakhir dari nyonya yang berpengaruh itu, Bouwyong Tjiong terkejut sampai hampir terguling dari tempat mendekamnya, karena bingungnya. “Benarbenar dia berkongkol dengan musuh, untuk menjual negaranya!” pikir pahlawan ini. “Bagaimana sekarang? Jikalau aku berontak terhadapnya, dia sebenarnya adalah orang yang mengangkat aku dalam kedudukkanku ini. Jikalau aku tetap mengikuti dia, aku kuatir rahasia ini bocor atau urusan gagal, apabila itu sampai terjadi, pasti orang akan mencaci aku. Itu waktu, benarbenar aku bukan lagi enghiong hanya anjing!” Pembicaraan antara Goei Tiong Hian dan Keksie telah selesai, orang kebiri itu sudah lantas ambil selamat berpisah dari kekasihnya. Melihat demikian, Bouwyong Tjiong buruburu mendahului menyingkir dari tempat sembunyinya itu. Ketika pahlawan ini sudah lewati dua undakan genteng, tiba-tiba ia mendengar suara orang menangis di dalam gedung. Ia menjadi heran. “Ah, bukankah itu Peng Teng?” dia tanya dirinya sendiri. “Sudah begini malam, kenapa dia masih belum tidur?” Ia segera berhenti menindak. Mendadak ia ingat hal lukanya si nona, yang ia curigai. III Tanpa bersangsi lagi Bouwyong Tjiong turun ke payon, untuk menyantelkan kakinya, hingga tubuhnya bergelantung 90 dengan kaki di atas dan kepala di bawah, setelah mana ia pasang kupingnya. Ia ingin dengar sesuatu dari si nona. Kamar yang tadinya gelap tiba tiba menjadi terang. Peng Teng telah menyulut lilin. “Tak mau aku mempunyai ayah semacam dia!…” begitu terdengar perkataan Peng Teng tersedu-sedu. “Ah. kiranya dia sudah tahu,” pikir Bouwyong Tjiong. Ia lantas mendekati jendela, untuk mengintai ke dalam. Peng Teng memegang satu boneka dari batu kemala, ia bawa itu ke dekat api, lantas ia ludahi, sesudah itu dengan sekuat tenaga, ia banting, hingga dengan suara nyaring boneka itu pecah, hancur berserakan! * Itulah patungnya Goei Tiong Hian.
Soenboe dari Soetjoan hendak ambil hatinya dorna kebiri itu serta Keksie, ia perintahkan tukang yang pandai membuat patung itu dari kemala pilihan. Patungnya Keksie pun dibuatnya. Dan kedua patung itu dipersembahkan kepada mereka berdua. Keksie menghendaki puterinya mendapat kesan baik terhadap Goei Tiong Hian. ia serahkan kedua patung itu kepada anaknya. ia perintahkan meletakkannya di meja rias. Sebenarnya Peng Teng heran atas sikap ibunya ini, pernah ia menanyakan. Atas itu sang ibu berkata: Kemala semacam ini adalah kemala yang langka sekali. Tidakkah itu bagus diserahkan kepada kau untuk dipajang? Buat apa kau menanyakan itu ada patungnya siapa?” Peng Teng jemu terhadap Goei Tiong Hian, akan tetapi terhadap ibunya ia menurut, tidak lagi ia mencampuri urusan kecil itu. Dengan sembarangan saja ia letakan patung itu di pojok. Tapi sekarang, ia sadar, maka dalam murkanya, ia banting hancur patung itu. “Sayang…” kata Bouwyong Tjiong dalam hatinya. “Kenapa ia benci Goei Tiong Hian sampai begini rupa?” Peng Teng angkat juga patung ibunya, ia pandang itu sekian lama. Kelihatannya hendak ia banting juga patung itu tetapi batal. “Jikalau kau pun seperti dia, berkongkol dengan bangsa asing dan menjual negara, aku juga tak menghendaki ibu 91 semacam kau…” demikianlah ia perdengarkan suaranya perlahan. Walaupun suara itu perlahan, di waktu sesunyi itu, Bouwyong Tjiong dapat juga mendengarnya. Pahlawan ini menjadi heran. “Kek Peng Teng ini tinggal di dalam keraton dengan keagungannya melebihi puteri raja. akan tetapi mengetahui ayahnya satu dorna, ia toh membencinya sampai begini…” Sikapnya nona ini mempengaruhi pahlawan itu. Peng Teng berjalan mundar mandir, lantas ia berbenah, merapikan satu buntalan kecil. Di kamarnya itu ada banyak barang berharga, tidak sepotong juga yang ia jemput untuk dimasukkan ke dalam buntalannya itu. Pada akhirnya ia jemput pula patung ibunya, ia pandang itu sekian lama, ia menghela napas. Kelihatannya hendak dimasukkan ke dalam bungkusannya, tapi batal, lalu ia letakkan pula di atas meja riasnya. “Patung ini ada sepasang,” terdengar suaranya, perlahan, “yang satu telah aku banting, yang ini untuk apa? Lebih baik aku tidak bawa pergi…” Ia berpaling ke arah jendela. Samar-samar ia tampak bayangan sang fajar. “Ibu,” tiba-tiba ia mengeluh, “inilah malam penghabisan yang aku berada bersama kau…” Ia memandang pula ke jendela. “Belum waktunya aku pergi…” katanya. Dan ia duduk pula di muka meja riasnya. Dari laci ia keluarkan selembar kertas tulis putih berkembang, ia angkat pit, lalu ia menulis. Baru satu baris, ia
sudah berhenti. Kembali terdengar tangisnya, sedih, perlahan. “Tentu ia menulis surat untuk ibunya, rupanya tak mau ia kembali ke istana ini,” Bouwyong Tjiong menduga-duga. Melihat sikapnya si nona, ia jadi berpikir: “Di sini Peng Teng hidup bagaikan puteri raja, tapi dia tidak sayang akan kedudukannya itu, maka, apa artinya bagiku pangkat Tjongkauwtauw dari Tongtjiang ini?” Darahnya pahlawan ini meluap, mukanya ia rasakan panas.
92 “Aku bertubuh tujuh kaki, akulah satu laki-laki!” pikirnya pula. “Mustahil aku kalah terhadap budak ini?” Sampai di situ, pahlawan ini meninggalkan tempatnya mengintai. Ketika ia menoleh, kamarnya Peng Teng sudah gelap, rupanya si nona telah memadamkan lilinnya. Fajar pun sudah mulai menyingsing. Segera Bouwyong Tjiong kembali ke gedungnya, ketika ia sampai di taman, tiba-tiba ia dengar teguran: “Selamat pagi, Bouwyong Tjongkoan!” Ketika ia angkat kepalanya, ia tampak Eng Sioe Yang. Segera ia ingat: “Diapun salah satu penghianat penjual negara! Jika aku hendak binasakan dia, aku dapat melakukan itu dengan gampang sekali, seperti juga membalik telapak tanganku, akan tetapi Goei Tiong Hian tetap ada orang yang telah mengangkat aku, maka, setelah aku tidak memikir untuk bantu dia, aku pun tak perlu menjadi satrunya… Sudah, sudahlah! — Oh, Bouwyong Tjiong kau telah bertemu dengan orang yang tidak tepat! — Biarlah aku sesalkan diri yang bernasib buruk, baiklah mulai sekarang ini aku umpetkan diri di gunung untuk jangan pedulikan pula urusan dunia… !” Karena berpikir demikian, kegembiraannya tjongkauwtauw jadi hilang. Eng Sioe Yang menghampiri, ia tampak wajah tak wajar dari pemimpin Tongtjiang ini, ia menjadi heran. Ia tepuk pundaknya. Dengan tawar Bouwyong Tjiong tolak tangan rekan itu. “Begini pagi kau sudah bangun, kau hendak bikin apa?” dia tanya Eng Sioe Yang tertawa bermuka-muka: “Aku hendak menanyakan kesehatannya Hong Seng Hoedjin,” dia menyahut. “Kau mau turut atau tidak?” “Tidak!” jawab orang yang ditanya itu, dengan sikapnya tak sabaran. Eng Sioe Yang menjadi bertambah heran. Ia awasi tjongkauwtauw itu, terus sampai orang itu lenyap di balik pohon-pohonan. Rupanya ia sedang memikirkan sesuatu, ia lantas cari satu orang kebiri kepada siapa ia berikan 93 pesannya, setelah itu ia lanjutkan perjalanannya ke Lengnio hoe. Di pihak lain, Tiat Hoei Liong dan anak angkatnya sudah kembali ke Tiangan Piauwkiok. Giok Lo Sat tuturkan kepada ayah angkatnya tentang dayanya menolongi ayah ini, halnya ia bekerja sama dengan Kek Peng Teng sampai nona itu melepaskan api. i’Aku tidak sangka Keksie si cabul mempunyai anak semacam dia!” kata jago tua itu sambil tertawa. Kemudian jago ini beritahukan anaknya bahwa ia sudah mengirim surat untuk menantang Bouwyong
Tjiong pieboe satu sama satu. “Apakah ayah berani pastikan dia bakal datang seorang diri saja?” sang anak tegaskan. “Bouwyong Tjiong anggap dirinya sebagai enghiong, jikalau dia tidak datang apakah ia tidak malu nanti ditertawakan kaum kangouw?” jawab ayahnya. “Anak Siang, hendak aku bicara kepadamu, yaitu jangan sekali-sekali kau turun tangan membantui aku, jikalau kau membantui maka itu berarti putuslah perhubungan kita ayah dan anak!” Si Raksasi Kumala tertawa. “Ayah, mustahil anakmu tak tahu aturan kaum kangouw ini?” katanya. Ayah itu pun tertawa. “Aku tahu kau mengetahuinya!” katanya. “Tetapi aku tahu juga kau paling doyan berkelahi!” Giok Lo Sat tertawa. Kemudian ia keluar meninggalkan ayah angkat itu. Ia cari Liong Tat Sam, untuk berbicara dengannya. Selang tiga hari, seorang diri Tiat Hoei Liong pergi ke jurang Pitmo gay. Di sana ia menantikan Bouwyong Tjiong. Tidak lama ia menanti, atau ia tampak Bouwyong Tjiong datang seorang diri. Ia lantas ingat sakit hati puterinya, tidak dapat ia kendalikan dirinya lagi, maka ia lompat maju, akan menghadapi musuh itu. Ia lompat sambil perdengarkan seman keras. “Orang tua she Tiat, kenapa kau hendak adu jiwa denganku?” tanya Bouwyong Tjiong.
94 “Siapa membunuh orang, dia mesti mengganti jiwanya, siapa meminjam uang, dia harus membayarnya!” sahut Hoei Liong dengan bengis. Diam-diam Bouwyong Tjiong bergidik sendirinya. “Memang selama tahun ini aku telah membunuh banyak orang baik-baik. semua untuk Goei Tiong Hian,” pikirnya. “Tetapi Tiat San Ho itu bukanlah aku sendiri yang membunuhnya…” “Apakah kau tidak mau maju untuk menerima hajaran?” tanya Hoei Liong apabila ia lihat orang berdiam saja. “Jikalau kau memikir untuk minta ampun dari aku, itulah tidak bakal terjadi!” Oleh karena sangat terdesak, Bouwyong Tjiong membuka mulut juga. “Membunuh orang mesti mengganti jiwa, meminjam uang mesti membayarnya…” katanya, seperti menggerutu. “Baiklah, kau boleh gerakkan tanganmu! Aku Bouwyong Tjiong, aku bukan bangsa yang tak punya nama! Baiklah kita bertempur dengan memakai tiga syarat. Umpama kau menang, nanti aku serahkan jiwaku kepadamu!” Hoei Liong tertawa dingin. “Bagaimana caranya?” dia tanya. “Pertama ialah pertandingan secara boen,” sahut Bouwyong Tjiong, “kedua secara boe dan yang ketiga ialah separuh boen dan separuh boe.” Hoei Liong tertawa dingin pula. “Hai siapa punyakan kesabaran akan main boen dan main boe itu!” serunya. “Kau jangan ngaco! Aku beritahukan padamu, inilah pembalasan sakit hati. bukannya adu silat biasa saja! Kita harus mencari putusan dengan kepalan!” Segera ia gerakkan tubuhnya, tangannya pun menyambar, untuk menjambret tjongkauwtauw dari Tongtjiang itu. Ia telah gunakan Tjitkim tjiang. Tangan Tujuh Tangkapan. Bouwyong Tjiong berkelit, ia menjadi sangat murka. “Orang she Tiat. kau terlalu menghina aku!” serunya. Di dalam hatinya, ia berpikir: “Seharusnya aku berdamai dengannya tetapi jikalau aku mengalah, dapat dia pandang aku takut kepadanya…”
95 Karena ini, habis mendak, dia balas menyerang pada dadanya. Hoei Liong tangkis serangan itu. Keduanya segera saja bertempur, dengan sengit, hingga kaki, tangan mereka bergerak-gerak tak hentinya. Yang satu sengit, yang lainnya melawan dengan tak kalah sengitnya. Kalau dua jago bertempur, tidak heran mereka berkelahi sampai sekian lama, karena tidak ada satu yang suka mengalah. Giok Lo Sat saksikan pertempuran itu. hatinya kebat-kebit, matanya dibuka lebar-lebar. Ia ikut ayah angkatnya tetapi ia tidak perlihatkan diri. Ia taat kepada pesan ayahnya untuk jangan membantu ayah itu. Sebenarnya ayahnya melarang dia ikut tetapi ia menyusul dengan diam-diam. Malah ia datang bersama-sama “Liong Tat Sam. Supaya Hoei Liong tidak lihat mereka, mereka umpetkan diri di balik batu besar, dari mana sebaliknya dapat mereka memasang mata. Berselang sekian lama, terdengarlah seruan nyaring dari Bouwyong Tjiong. dibarengi dengan serangannya bertubi-tubi hingga Hoei Liong tampak main mundur. Liong Tat Sam saksikan perubahan itu, ia kaget. Tapi kawannya tertawa. “Tidak apa!” kata si Raksasi Kumala. “Bouwyong Tjiong andalkan tubuhnya yang kuat dan tenaganya yang besar, dia hendak mencoba mendesak ayah supaya dia segera dapat dipukul roboh. Dia berkelahi dengan ilmu silat “Hangliong Hokhouw Koen”, ilmu silat simpanan dari Ngobie pay. Ayah kenal baik ilmu pukulan itu, ia dapat memecahkannya. Ayah melawan dengan ilmu silat Loeiteng Patkwa Koen, yang dipakainya separuh menangkis dan separuh menyerang. Kau lihat sendiri, bukankah gerakannya ayah tidak kalut?” (Hangliong Hokhouw Koen = ilmu silat Menakluki Naga dan Menunduki Harimau. Loeiteng Patkwa Koen = ilmu silat Delapan Garis Geledek.). Liong Tiat Sam pasang matanya, ia lihat betul kakinya Tiat Hoei Liong mengambil kedudukan patkwa — delapan garis, atau delapan penjuru - tindakannya tak kacau sedikit juga.
96 Dan kedua tangannya jago tua itu pun gesit tetapi tetap, pembelaannya selalu dibarengi dengan serangan membalas. “Sudah lama aku dengar ilmu silat Loeiteng Patkwa Koen dari ayahmu itu,” katanya, “sebegitu jauh belum pernah aku saksikan dia menjalankannya, baru sekarang…” Si Raksasi Kumala tidak menyahuti, dia hanya berseru: “Lekas lihat! Lekas! Jikalau kau tak melihat pertempuran semacam ini, artinya selama hidupmu kau telah melewatkan ketika yang baik!…” Tat Sam juga tidak sahuti si nona, dia hanya pentang lebar kedua matanya. Pertempuran benar-benar sangat menarik hati — sangat hebat. Hoei Liong perdengarkan suara keras, dia balik menyerang, hingga sekarang adalah Bouwyong Tjiong yang terdesak. Serangannya jago tua itu hebat bertubi-tubi, meskipun usianya telah lanjut. “Inilah dia, jahe tambah tua tambah panas!” kata Tat Sam akhirnya. “Meski pun Bouwyong Tjiong sangat liehay, dia bukanlah tandingan ayahmu!” “Tetapi, untuk mendapatkan kepastian menang atau kalah, waktunya masih lama,” kata si nona. Memang benar, walaupun Bouwyong Tjiong main mundur, gerakan kakinya tidak kalut, kedua tangannya juga bergerak dengan cepat tetapi rapi. Ia juga adalah satu jago yang berpengalaman, ia mengerti akan keadaan. Maka ketika didesak, ia terus bersilat dengan Tjittjapdjie Lowsinkoen, hingga ia dapat bela diri rapat sekali, umpama kata angin dan hujan tak dapat menembusnya… Maka, meskipun hebat kedua tangannya Tiat Hoei Liong, tidak sanggup dia menggempur pembelaan diri lawannya yang bagaikan tembok besi dan baja. Pertempuran berjalan terus, sampai lebih dari seratus jurus, keduanya tetap sama tangguhnya, tibatiba keduanya berseru keras sekali, menyusul mana terdengar suara “Buk! Buk! dua kali, setelah itu keduanya sama-sama lompat mundur tiga tindak. Sebab Bouwyong Tjiong kena hajar pundaknya Tiat 97 Hoei Liong yang sebaliknyapun dapat membabat pinggang lawannya itu! “Orang she Tiat,” berkata Bouwyong Tjiong, “kau tidak dapat menangkan aku, aku juga tidak dapat menangkan kau, maka hitunglah kita sudah seri. Apakah artinya berkelahi terus secara gila begini?” Tapi Hoei Liong masih tetap sangat gusar. “Kita berkelahi hari ini sampai mati baru berhenti!” dia berteriak. “Baiklah kita anggap gebrakan ini ada gebrakan boe,” kata Bouwyong Tjiong, yang masih dapat
berlaku tenang. “Jikalau kau hendak bertempur terus, mari kita bertempur secara boen, lalu disusul dengan yang ketiga, yang separuh boen dan separuh boe… Jikalau aku kalah, di depanmu ini nanti aku bunuh diri!” “Adakah itu kata-katanya seorang koentjoe…” kata Hoei Liong. “Itu seperti kuda gesit dicambuk satu kali!” sambung Bouwyong Tjiong. “Nah, kau tunjukkan caramu!” kata jago tua itu. “Bagaimana hendak kau aturnya?” Bouwyong Tjiong keluarkan kantong tempat menyimpan senjata rahasianya, ia tuangkan semua isinya ke tanah. “Apakah kau hendak adu senjata rahasia?” tanya Hoei Liong. “Adakah itu namanya mengadu kepandaian?” Di dalam hatinya, ia berkata: “Biasanya tak pernah aku menggunai senjata rahasia, maka jikalau dia hendak menggunakan senjata itu, lebih baik kita bertempur secara biasa…” Bouwyong Tjiong berkata: “Senjata rahasia biasanya dipakai menghajar bangsat cilik, maka bila senjata rahasia ini dipakai terhadapmu, apakah gunanya?” Tiat Hoei Liong tidak gusar, sebaliknya dia tertawa. Dia pale kumis jenggotnya. “Kau mengerti itu, bagus!” katanya. Bouwyong Tjiong terima kata-kata jago tua itu. “Kita berdua tersohor jago karena kepalan kita, karena kita rebut kemenangan dengan andalkan tenaga dalam,” kata dia, 98 “maka itu sekarang, mari kita adu tenaga tangan kita. Di sini terdapat banyak pohon kayu besar, mari kita gunakan tangan kita untuk menebangnya. Masing-masing menebang sepuluh pohon, untuk melihat siapa yang terlebih liehay!” “Baik, akan aku turut kau!” sahut Hoei Liong, yang tidak berpikir panjang lagi. “Habis, bagaimana, andaikata kita berdua sama-sama dapat menebangnya?” “Itulah sebabnya kenapa aku menghendaki kantong ini,” sahut Bouwyong Tjiong sambil menunjukkan kantong kulitnya, tempat menyimpan senjata rahasia. Ia patahkan secabang pohon, ia tusukkan itu ke arah kantong kulitnya guna membuat lubang kecil, setelah mana ia pergi ke solokan di sampingnya, untuk diisi dengan air. Tentu saja, karena adanya lubang kecil itu, airnya keluar menetes. “Kau mengerti atau belum?” tanya Bouwyong Tjiong apabila ia telah kembali ke depan lawannya. “Kita menebang masing-masing sepuluh pohon, siapa yang dapat menebang sebelum air ini habis, dialah yang menang. Andaikata kita sama-sama dapat menebang sebelum air ini habis, kita mulai pakai batas dari airnya, yaitu sisanya air masih berapa banyak lagi. Kita bukan tukang mendusta, maka kau tentunya tidak curiga bukan? Apa lagi yang kau pikirkan?”
“Pohon itu tidak tentu besar dan kecilnya,” kata Hoei Liong. “Itupun gampang diurus,” kata Bouwyong Tjiong. “Kita pilih dulu dua puluh pohon, untuk ditetapkan, lantas kita pecah itu menjadi dua, masing-masing terdiri dari sepuluh pohon. Aku percaya, kalau ada perbedaannya, tentu tidak seberapa.” Hoei Liong setuju. “Baik,” sahutnya. Lalu berdua mereka pilih pohon-pohon itu, terus mereka beri tanda. “Cukup!” kata si jago tua kemudian. Bouwyong Tjiong pergi pula ke solokan, untuk mengisi pula kantongnya yang bolong. Lubangnya itu ia sumpel dengan gulungan kertas, kemudian ia gantung kantong itu di cabang pohon. “Secara begini siapa pun tak dapat main gila!” dia kata.
99 Hoei Liong lantas gulung tangan bajunya, hendak ia memulai. “Aku dulu!” mencegah Bouwyong Tjiong. “Itulah usulku maka akulah yang harus mulai, sambil memberi contoh kepadamu. Begitu lekas aku gerakkan tanganku, kau mesti singkirkan tutup kertas itu.” Hoei Liong setuju, maka ia lantas mundur ke cabang pohon, mendekati kantong air itu. Begitu lekas ia dengar suaranya lawan itu, yang memberi tanda, segera ia cabut sumpel itu. Segera juga Bouwyong Tjiong serang sebuah pohon di depannya, ia membacok dengan tangannya sampai enam tujuh kali. hingga terdengarlah suara yang keras dari beradunya tapak tangan dengan pohon kayu itu, setelah itu, dengan kedua tangannya, ia peluk pohon itu dibarengi dengan seruan keras: “Roboh!” Dan benar-benar, pohon kayu yang besar itu jatuh menggabruk! “Aku mengerti!” kata Hoei Liong di dalam hatinyaa. “Mulamulanya dengan tenaga dalam dia gempur pohon itu, lalu dia peluk dan mencabutnya. Inilah kepandaian yang dicampur dengan akal, Tapi inipun menandakan mahirnya tenaga dalamnya itu…” Bouwyong Tjiong melanjutkan caranya menebang pohon itu, sampai roboh sepuluh-sepuluhnya, ketika kantong kulit itu diturunkan, untuk diperiksa, tepatlah tetesan air yang terakhir itu. Mereka nantikan sekian lama, tidak ada tetesan lainnya lagi. “Sungguh berbahaya!” kata tjongkauwtauw dari Tongtjiang itu. “Sekarang ada giliran kau!” Tanpa menyahut, Hoei Liong bawa kantong itu ke solokan, untuk diisi pula. Ia menyumpel liang seperti Bouwyong Tjiong tadi, lalu kantong itu digantungkan pula di tempatnya. “Tak usah kau yang mencabutnya!” kata dia pada lawannya sesudah ia awasi lawan itu. “Apakah kau tidak akan dirugikan?” tanya Bouwyong Tjiong.
100 “Rela aku mendapatkan kerugian,” sahut si jago tua, yang segera mencabut sumpelnya, setelah mana dia lompat ke pohon kayu yang diberi tanda. Ia berlaku begini karena ia curiga Bouwyong Tjiong nanti berbuat curang terhadapnya. Pahlawan istana itu tertawa di dalam hati. “Aku tidak takuti kau, setan bangkotan yang cerdik!” katanya dalam pikirannya. “Kau akan dapat kuakali! Tentu saja tidak aku gunakan segala akal busuk dengan main gila sama kertas sumpelan. Tak usah aku berbuat demikian…” Hoei Liong sendiri sudah lantas bekerja. Caranya ia menebang pohon berlainan daripada caranya Bouwyong Tjiong. Pahlawan itu lihat orang itu mula-mula memutari pohon, lantas dia menyerang dengan kedua tangannya saling susul, habis itu dengan tenaga yang diempos, dia dorong pohon itu, yang roboh dengan segera. Pohon itu roboh seperti ditebang. Tentu saja pahlawan ini menjadi terperanjat. “Benarbenar dia jauh terlebih liehay daripada aku…” pikirnya. “Coba umurku setua dia. aku pasti tidak dapat menandingi padanya.” Hoei Liong bekerja terus, menebang sepuluh pohon kayu. Tentu saja, waktunya jauh terlebih pendek daripada lawannya itu. Ketika ia hampiri sang lawan, ia tunjukkan senyuman puas. Tapi, ketika ia angkat kantong air itu, ia menjadi heran. Air itu baru saja habis, dan ketika ditunggu, tetesan terakhir itu tidak ada lagi. “Heran!” pikirnya. Ia sangat tidak mengerti. “Bouwyong Tjiong tidak main gila. Selagi aku menebang pohon, aku senantiasa melirik padanya, umpama kata dia gerakkan tangannya, tidak nanti mataku kena dikelabui…” Jago tua ini cerdik, dia telah bersiap sedia. Tetapi satu hal dia tidak ingat. Kantong itu ada kantong bekas, kalau tadi lubangnya kecil sekali, karena berulang kali disumpel, lubang itu berubah, walaupun sedikit. Dan perubahan itu pasti besar bedanya untuk tetesan air. Bouwyong Tjiong sebenarnya sangat berkuatir, hingga di dalam hatinya ia mengeluh, “Sungguh berbahaya!…” Tapi 101 ketika ia tampak lawannya bengong, seperti orang yang tawar hatinya, ia tertawa. “Bagaimana?” kata pahlawan ini. “Kali ini juga kita seri!”
Ia menggoda walaupun orang sedang kecele. Giok Lo Sat dari tempat sembunyinya telah menyaksikan itu semua, ia pun dengar jengekan dari si pahlawan, tidak puas dia. “Hm, Bouwyong Tjiong tidak punya malu!” katanya pada Liong Tat Sam. Ia bicara sesukanya saja. “Nyata-nyata dia kalah, dia mengatakannya seri. Nanti aku buka rahasianya!” Liong Tat Sam sadar. Ia dekati kuping nona ini. “Apakah kau tidak takut Tiat si tua nanti persalahkan kau?” dia tanya. Si nona sadar, ia tersenyum. Ia mesti tahan sabar. “Coba kita lihat sekali lagi,” katanya. “Entah apa caranya yang ketiga…” Bouwyong Tjiong baru hendak mengatakan caranya yang ketiga itu ketika Tiat Hoei Liong tertawa dengan sekonyongkonyong, matanya pun memain dengan tajam mengawasi lawannya itu. “Hai, sudah berapa puluh tahun aku si tua berburu, si burung belibislah sebaliknya yang telah mematok mataku!” kata dia, sambil tertawa. “Tidak apa, meskipun kau menggunakan akal, itu bukanlah akal yang busuk!” Bouwyong Tjiong tertawa tawar. Ia jengah juga sedikit sebab orang telah ketahui rahasianya itu. “Bukankah yang ketiga ada cara separuh boen dan separuh boe?” kata jago tua pula. “Apakah itu?” “Betul!” jawab Bouwyong Tjiong. “Cara yang ketiga ini membuat aku ingat suatu cara,” kata Hoei Liong. “Kau akur atau tidak?” “Apakah itu? Coba katakan!” “Dengan caraku ini. kedua pihak tidak dapat menggunakan akal,” kata Hoei Liong. Tak enak hatinya si pahlawan, wajahnya agaknya Sikat. “Sudah, jangan banyak bicara, katakanlah!” ia desak. “Pasti akan aku bersedia menemani kau!”
102 Hoei Liong mencelat ke atas sebuah batu besar, lantas ia berpaling sambil melambaikan tangannya kepada lawannya itu. “Mari, kita main saling dorong tangan di sini!” katanya. Bouwyong Tjiong lompat naik ke atas batu itu. “Mari kita tempelkan tangan kita masing-masing,” kata Hoei Liong. Dan ia lonjorkan kedua telapakan tangannya. “Kau dorong aku, aku dorong kau. Siapa yang terdorong hingga jatuh ke bawah, dialah yang kalah. Kita memang beradu tangan tetapi kita tidak saling tubruk. Bukankah ini separuh boen dan separuh boe?” Di dalam hatinya, Bouwyong Tjiong mengeluh. “Terang sudah dia terlebih kuat tenaga dalamnya daripada aku,” pikirnya. “Oleh karena aku memang telah memikir untuk tidak hidup lebih lama, baiklah aku layani dia. Jikalau aku mati karena adu kepandaian semacam ini, aku bukannya mati tak dengan muka terang…” Tidak dapat pahlawan ini berpikir lama, ia lantas merasakan Hoei Liong sudah mulai mendorong padanya. Maka mau atau tidak, ia lantas mendorong juga. Ia kertak giginya selagi ia pusatkan tenaganya di tangan dan tubuh, guna melayani jago tua itu. Mereka mengadu tenaga tidak sambil berdiri, tetapi sambil duduk bersila. Tidak hanya kedua tangannya saja yang dirapatkan satu pada lain, juga kedua mata mereka berpandang satu sama lain. Belum ada setengah jam, .keduanya sudah mengucurkan keringat di dahinya. Adu tenaga semacam ini memang ada lebih berat daripada adu tenaga dengan bertempur. Siapa saja yang alpa sedikit, tenaganya dielakkan, dia pasti bakal terbinasa… Hoei Liong mempunyai tenaga dalam yang mahir sekali, tetapi di depan dia ada satu lawan muda yang sedang tangguhnya, yang cuma “kalah seurat”, yang dapat melayani dia dengan baik. Sesaat kemudian di samping mengeluarkan keringat, keduanya mulai merasakan panas di kepala dan hati, tenggorokan mereka kering. Keringatnyapun keluar lebih 103 banyak pula, hingga keringat itu membasahi seluruh tubuh mereka. Bouwyong Tjiong insaf, lagi beberapa detik, dia bakal kalah. Tentu saja, pada saat yang memutuskan itu, siapa juga tak dapat mengalah. Mereka akan dapat ditolong jikalau mereka kendorkan tenaganya dengan bareng dan perlahanlahan. Dia sudah tempelkan tangannya, tak dapat dia menyatakan menyerah. Sama sekali dia tidak berani pecahkan pemusatan pikirannya, sebab, itu berarti mengurangi tenaga.
Sesaat kemudian, dari kepalanya Bouwyong Tjiong menghembus hawa panas, hatinya mulai tergerak, karena mana, kembali dia empos semangatnya, untuk terus membuat perlawanan. Batu yang mereka duduki menghadap gua dari jurang Pitmo gay, di saat yang sangat genting itu, mendadak mereka dengar suara berisik yang keluar dari gua itu, suara tertawanya Lian Seng Houw dan kawan-kawannya, yang muncul dengan tiba-tiba. Mereka itu masing-masing membawa senjata, mereka memburu ke arah Hoei Liong, yang hendak mereka serang. Munculnya Lian Seng Houw ini adalah hasil kelicikannya Eng Sioe Yang setelah malam itu ia bertemu dengan Bouwyong Tjiong dan melihat wajah orang yang luar biasa, hingga ia segera menyuruh si orang she Lian, mencarinya untuk memberi kisikan, hingga selanjutnya orang she Bouwyong itu diintai tanpa dia mengetahuinya. Setelah mengisiki Lian Seng Houw, seperti diketahui, Eng Sioe Yang terus pergi ke Lengnio hoe. Adalah Lian Seng Houw, yang terus menyusul ke kamarnya tjongkauwtauw itu mendapatkan sang kepala tidak ada di kamarnya. Ia lantas selidiki. Ia mendapat keterangan, Bouwyong Tjiong sudah pergi ke luar istana. Ia jadi heran dan bercuriga. Dengan berani ia masuk ke dalam kamar Bouwyong Tjiong, untuk menggeledah. Di situ ia dapatkan surat tantangan Hoei Liong untuk bertempur.
104 “Oh, kiranya begitu…” Seng Houw berpikir. “Tentu dia pergi mencari bantuan orang liehay. Anehnya, mengapa dia tidak memberi tahu sama sekali pada aku atau yang lainnya?” Lantas Lian Seng Houw bawa surat tantangan itu pada Eng Sioe Yang. Tetapi orang she Eng itu tidak ada di Lengnio hoe. juga di Tjengyang kiong, tidak tahu ke mana ia pergi. Pada waktu magrib, Lian Seng Houw dengar kabar yang mengejutkan, ialah Kek Peng Teng juga lenyap! Nona Peng Teng itu keluar di waktu tengah hari, ia keluar dengan naik kereta kurungnya yang indah, sampai lewat lohor, ia tidak kelihatan kembali. Keksie heran. Ibu ini perintahkan untuk pergi mencari, ingin ia ketahui, ke mana anaknya itu pergi. Pelbagai tempat yang terkenal telah dikunjungi, tapi Peng Teng tidak dapat diketemukan. Akhirnya yang dapat dicari adalah kereta kurungnya, di gunung Seesan, kereta itu sudah rusak ringsak. Menduga puterinya telah lenyap, Keksie menangis menggerung-gerung, sampai ia lupa orang. Ia penasaran, ia kirim orang akan cari terus puterinya itu, ia sendiri pergi ke kamar si puteri, untuk memeriksa. Maka akhirnya ia dapatkan surat peninggalannya si anak, yang memberitahu, dia pergi dan tidak akan kembali… Lian Seng Houw segera beri laporan kepada Goei Tiong Hian. Thaykam yang berpengaruh itu seorang yang pintar, ia juga sangat gampang bercuriga, maka ia gabung laporan hal lenyapnya Eng Sioe Yang, perihal minggatnya Kek Peng Teng dan tentang perginya Bouwyong Tjiong dengan diam-diam untuk menerima tantangannya Tiat Hoei Liong. “Dalam satu hari satu malam Bouwyong Tjiong tidak kembali, dia terima tantangannya Tiat Hoei Liong tanpa melaporkan, inilah aneh,” berkata dorna itu. “Pada hari pertandingan itu, pergi kau ajak beberapa kawan ke Pitmo gay untuk mengintai, apabila benar-benar dia bertanding, kamu boleh bantu padanya, jikalau tidak, baik kamu binasakan saja mereka berdua!” Lian Seng Houw terima titah itu, ia sudah lantas bersiap, maka pada hari pertandingan itu, ia ajak kawan-kawannya 105 pergi mengintai, untuk menyaksikan, untuk turun tangan apabila ia mendapatkan buktinya. Yang dijadikan kawan adalah tiga orang kosen undangannya Eng Sioe Yang serta Lhama besar Tjiang Kim, yang menjadi pelindung bagi kaisar cilik. Dalam jumlah berlima mereka mengintai dari lubang gua. Tadinya ke empat kawan itu sudah hendak lantas keluar, guna menyerang, akan tetapi Lian Seng Houw. yang jeri terhadap Tiat Hoei Liong, mencegah. Dengan tertawa bermuka-muka dia berikan penjelasan: “Apakah tidak baik kita turun tangan setelah mereka menjadi lelah?”
Tjiang Kim Hoatsoe setuju, tiga kawan lainnya pun akur. Mereka menunggu sambil menonton terus, sampai tiba saatnya Tiat Hoet Liong dan Bouwyong Tjiong menjadi lelah, baru mereka keluar sambil menerbitkan suara berisik. Sebetulnya Tiat Hoei Liong sudah girang, karena segera ia akan peroleh kemenangan, tapi ia menjadi kaget ketika ia melihat musuh datang, yang hendak menyerang kepadanya. Ia pun gusar terhadap Bouwyong Tjiong. “Jahanam Bouwyong!” dia mencaci, “kalau hari ini aku pulang ke langit maka terlebih dahulu hendak aku membikin kau mampus!” Kata-kata ini disusul dengan emposan tenaganya yang dahsyat sekali. Bouwyong Tjiong pun berseru, tapi mendadak saja habis tenaga perlawanannya, sama sekali ia tidak membela diri. maka serangannya Hoei Liong tidak menghadapi rintangan. Berbareng dengan itu. sepasang gaetannya Lian Seng Houw sudah mengancam pada Tiat Hoei Liong. Di saat yang genting itu, mendadak Bouwyong Tjiong menyambar kepada lengannya orang she Lian itu, hingga sepasang gaetannya terlempar tinggi, karena lengannya patah remuk dan tubuhnya roboh. Tapi juga Bouwyong Tjiong sendiri, dia menyemburkan darah hidup dan tubuhnya roboh terguling dari atas batu! Lian Seng Houw adalah yang maju paling depan, dia juga yang mendahulukan lompat menyerang kepada Tiat Hoei 106 Liong, maka itu, kejadian itu membuat Tjiang Kim Hoatsoe dan tiga kawannya melengak. Selagi keadaan tegang begitu, tiba-tiba terdengar tertawa yang nyaring panjang, datangnya dari batu gunung di dekat mereka, dan sebelumnya mereka ketahui, tiba-tiba satu tubuh sudah lompat melayang ke arah mereka! Itulah Giok Lo Sat, yang muncul karena bahaya mengancam ayah angkatnya. Ia sangat gusar, tanpa bicara lagi, ia lompat kepada Tjiang Kim Hoatsoe, yang berada paling dekat dengan Hoei Liong. Menyusul aksinya si Raksasi Kumala itu, dari batu tadi terdengar lagi suara yang nyaring berpengaruh: “Kawanan ikan sudah kena terpancing, saudara-saudara keluarlah tangkap mereka!” Suara itu berkumandang di selat. Itulah seruannya Liong Tat Sam. yang menuruti ajarannya Giok Lo Sat. guna menggertak musuh, sebab si nona kuatir musuh akan berjumlah lebih besar lagi. Tipu daya si Raksasi Kumala memberi hasil dengan segera. Tjiang Kim Hoatsoe dan tiga kawannya jadi bernyali kecil.
Mereka memang sudah jeri terhadap si nona, sedang di situ ada Tiat Hoei Liong yang mereka tahu juga keliehayannya. Merekapun kuatir jumlah besar dari kawan-kawan si nona, yang masih belum muncul itu. “Angin keras!” demikian si Lhama serukan pada ketiga kawannya selagi ia paksa tangkis pedangnya Giok Lo Sat, sedang satu kawannya pondong tubuhnya Lian Seng Houw, untuk dipanggul dan dibawa lari, dan yang dua lagi mencoba melindunginya di sebelah belakang. Lalu Lhama itu meninggalkan si nona, untuk lari bersama turun gunung. Si Raksasi Kumala tidak mengejar mereka, ia mengawasi sebentar, lantas ia berpaling pada ayahnya, muka siapa tampak pucat pasi, romannya sangat lelah. “Apakah ayah terluka?” tanya anak ini. Tiat Hoei Liong berdiam ia tidak dapat lantas menyahuti.
107 Wajahnya si nona menjadi suram, ia maju satu tindak, ujung pedangnya lantas mengancam Bouwyong Tjiong. “Jangan bunuh dia!” seru Hoei Liong. Anak itu melengak. hingga pedangnya tertunda. “Ayah!…” katanya kepada ayah angkatnya itu. “Aku tidak ierluka.” kata Hoei Liong. “Dialah yang menolong aku. Gendong dia. bawa turun gunung…” Suara jago tua ini dalam, ia seperti orang yang baru sembuh dari sakit yang berat. Kemudian muncul Liong Tal Sam. sambil tertawa. “Lian Liehiap,” kata dia. “kau tadi sedang lompat, kau tidak dapat melihat tegas. Memang benar jiwanya si Tiat tua ini dia yang menolongnya! Aku tidak sangka kejadian akan menjadi sedemikian rupa…” “Sakit hatinya San Ho tak dapat dibalas…” kata Hoei Liong dengan perlahan, suatu tanda ia sangat menyesal. “Dalam kebinasaannya adik San Ho, dia ini adalah salah satu orang jahat,” kata Giok Lo Sat. “Memang dia bukannya penjahat utama. ‘Penjahat utamanya adalah Kim Laokoay. yang telah dibinasakan Gak Beng Kie. Penjahat yang lainnya yaitu Eng Sioe Yang!” “Walaupun dia ada si penjahat utama, dia harus diberi ampun,” kata Hoei Liong pula. Lantas dia gerakkan kaki tangannya, pinggangnya, untuk melatih tubuh. Habis itu. dia sendirilah yang mengangkat tubuhnya Bouwyong Tjiong. untuk dipanggul dibawa pulang ke Tiangan Piauw Kiok. Lukanya pahlawan itu hebat. Hoei Liong telah memberikan dia beberapa butir pil. di sepanjang jalan dia tetap tak sadarkan diri. Dia pun keluarkan darah dari hidungnya. “Kelihatannya dia sukar ditolongnya.” kata Giok Lo Sat. Hoei Liong sangat bersusah hati. “Kita harus berusaha menolong dia,” katanya. Setibanya mereka di piauwkiok. waktu sudah magrib. Di piauwkiok mereka disambut oleh hoepiauwtauw Lim Tjin Kau w.
“Terima kasih kepada langit dan bumi, kamu telah pulang dengan selamat!” katanya. “Ah, Tiat Loo telah menawan musuhnya hidup-hidup? Sungguh liehay!-Hari 108 ini dalam piauwkiok telah terjadi hal yang aneh!…” ia tambahkan. Hoei Liong menyahuti dengan perlahan. Liong Tat Sam melirik pada pembantunya itu. “Apa yang telah terjadi?” tanyanya. “Tidak lama setelah kamu berangkat.” sahut Tjin Kauw, “kami kedatangan satu nona yang berkerudung cala. yang datangnya dengan naik sebuah kereta kuda. Katanya dia membawa satu bungkusan untuk disampaikan kepada Lian Liehiap. dan dia pesan pada kami untuk jangan membuka bungkusan itu. Habis berkata dia angkat satu karung besar dari keretanya, yang dilemparkan ke lataran, setelah itu, dia berlalu. Ketika aku angkat karung itu, aku merasakan berat, ketika aku merabaraba, aku rasakan isi karung itu adalah satu manusia. Dengan cepat aku bawa karung itu ke dalam, lalu aku buka untuk melihatnya. Benar saja, isi karung itu adalah satu orang, yang sudah tak sadar akan dirinya, baunya bau arak yang keras. Rupanya dia telah dilupa daratkan dengan pengaruh arak. Setelah aku periksa lebih jauh, nyata selainnya sinting dia pun telah ditotok jalan darahnya. Aku tak tahu dia orang mana, tidak berani aku sembarang membikin dia sadar. Di dalam karung itu juga ada sepucuk surat, yang di alamatkan kepada Nona Giok Lo Sat…” Mendengar itu, si Raksasi Kumala tertawa terpaksa. “Pastilah dia itu Kek Peng Teng adanya!” kata dia. “Dia tidak tahu she dan namaku, maka itu dia memanggil Nona Giok Lo Sat!” “Orang siapakah yang dia antarkan?” tanya Hoei Liong. Dengan memondong Bouwyong Tjiong, jago tua ini bertindak cepat masuk ke dalam sambil diiring kawan-kawannya. Begitu ia lihat orang di dalam karung itu, Giok Lo Sat berseru: “Inilah Eng Sioe Yang!” Hoei Liong terkejut. “Jadi sakit hatinya San Ho dapat dibalaskan!” katanya. Giok Lo Sat ambil surat yang dialamatkan kepadanya, ia buka surat itu lalu dibaca:
109 “Nona Giok Lo Sat! “Aku tidak ada muka untuk menjumpai kau. Tak dapat aku membunuh Goei Tiong Hian. Aku cuma dapat mengirimkan kau satu penghianat Eng Sioe Yang guna menebus dosaku.” Hormatnya, Kek Peng Teng “Sebenarnya dia mempunyai urusan apakah?” si Raksasi Kumala berkata seorang diri. Tidak dapat dia menerka “keberatannya” nona itu. Dia pun heran yang Peng Teng sanggup membekuk Eng Sioe Yang. Dia berpikir pula: “Goei Tiong Hian mempunyai orang-orang kosen sebagai pelindung, maka di mata kita, lebih gampang membinasakan Eng Sioe Yang, daripada membunuh dia. Akan tetapi, dengan seorang sebagai Kek Peng Teng. keadaan adalah lain. Kek Peng Teng mempunyai banyak ketika untuk berada berdua saja dengan Goei Tiong Hian, untuknya lebih gampang membinasakan si dorna daripada membunuh Eng Sioe Yang. Dia berani menempuh bahaya besar dengan menawan Eng Sioe Yang, kenapa dia tidak sudi membunuh Goei Tiong Hian?” Benarbenar ia tidak mengerti. Hoei Liong sendiri sudah lantas meletakan Bouwyong Tjiong di tempat yang demak, supaya dia dapat menghirup hawa adem. setelah itu dia hampiri Eng Sioe Yang, untuk segera totok jalan darahnya, hingga penghianat itu lantas ingat akan dirinya. Tapi ia telah mabuk arak selama beberapa hari, karenanya seluruh tubuhnya lemah tak bertenaga, maka itu ia sadar bagaikan orang dalam mimpi. Ketika ia buka kedua matanya, ia lihat Tiat Hoei Liong mengawasi dengan matanya mendelik, sedang si Raksasi Kumala berdiri di sampingnya sambil tertawa dingin, la jadi sangat kaget, bagaikan rohnya terbang pergi. Hendak ia _ lompat bangun, apamau kedua kakinya tak bertenaga. “Eh, tempat ini tempat apa?” tanyanya. “Ke mana Peng Teng?” Ia anggap bahwa ia sedang bermimpi buruk… Giok Lo Sat angkat kakinya, lalu ia letakan di atas dadanya Sioe Yang. ujung kakinya menginjak dengan perlahan, tetapi Eng Sioe Yang merasakan demikian sakit hingga ia berkaok bagaikan disembelih.
110 “Jangan bunuh dia!” Hoei Liong mencegah anak angkatnya. “Biarlah dia buka mulutnya, untuk memberikan pengakuannya. Tugas ini aku serahkan padamu.” Giok Lo Sat tertawa. “Pekerjaan mengambil pengakuan, akulah yang paling tepat mengurusnya!” kata puteri ini. “Ayah, jangan kau kuatir!” Hoei Liong lantas pusatkan perhatiannya untuk menolongi Bouwyong Tjiong, sedang si Raksasi Kumala segera tengteng Eng Sioe Yang untuk dibawa ke dalam kamar rahasia. Waktu Eng Sioe Yang pergi ke Lengnio hoe, untuk menanyakan kesehatannya Keksie, dia bertemu dengan Kek Peng Teng yang sedang masgul berbareng mendongkol, karena kesulitan urusannya, yang ia tidak dapat segera pecahkan. Begitu melihat pahlawan itu, si nona berkata dalam hatinya: “Dia ini juga satu penghianat. Baiklah, aku bekuk dia dulu, untuk dijadikan bingkisan!” Maka ketika Eng Sioe Yang sambil tersenyum memberi selamat pagi dan menanyakan kesehatannya, ia paksakan dirinya menahan hawa amarahnya, ia berpura-pura tersenyum. “Terima kasih, kau baik sekali,” katanya. “Mari minum!” Ia terus menyuguhkan arak. Itulah penyambutan yang ia kehendaki, meskipun ia tidak terlalu mengharapnya. Dan tidak peduli ia sangat cerdik dan licin, tidak pernah ia menduga si nona akan menipu padanya untuk dibikin celaka Begitulah ia terima undangan itu, sambil menghaturkan terima kasih, ia tenggak kering tiga cawan berisikan susu macan. Arak yang disuguhkan Peng Teng itu ada arak buatan istana, namanya “Pek Djit Tjoei”, artinya: “Seratus Hari Mabuk”. Dengan perkataan lain, bila orang minum arak itu, maka ia akan mabuk selama dua tiga hari. Eng Sioe Yang telah tenggak tiga cawan penuh, dia roboh dengan segera. Tapi Peng Teng masih merasa kurang aman, maka ia menambahkannya dengan menotok jalan darahnya, sesudah mana, ia masukkan pahlawan itu ke dalam kereta kurungnya, yang terus dibawa pergi sampai di gunung Seesan. Di kaki Gunung Barat itu, si nona rusakan keretanya dan Eng Sioe Yang dimasukkan ke dalam karung guni yang telah 111 disediakan, la sendiri lantas salin pakaian. Untuk melewatkan sang malam, ia pergi menumpang pada satu penduduk di luar kota Masih saja Peng Teng kualirkan mangsanya itu mendusin, maka pada setiap dua belas jam, ia ulangi totokannya, hingga selama tiga hari, tidak pernah Eng Sioe Yang sadarkan dirinya. Kek Peng Teng tidak tahu Giok Lo Sat berada di Tiangan Piauwkiok, kebetulan ia ingat hal gurunya, Anghoa Koeibo, yang sehabis bertanding dengan Tiat Hoei Liong, pernah menyebutkan bahwa Hoei Liong bersahabat dengan pemimpin dari piauwkiok itu. Maka ia pikir: “Tidak peduli Giok Lo Sat ada di Tiangan Piauwkiok atau tidak, baiklah aku bawa Eng Sioe Yang ke sana, pasti sekali Giok Lo Sat akan dapat menerimanya.”
Begitulah ia tulis suratnya untuk “Nona Giok Lo Sat”, lantas ia sewa sebuah kereta untuk pergi ke Tiangan Piauwkiok. Eng Sioe Yang tetap di tempatkan di dalam karung. Ia sendiri sengaja memakai cala, supaya orang tidak dapat melihat tegas wajahnya. Begitu mendapat kepastian halnya, piauwkiok dan si nona, ia gabrukkan karungnya itu dan ditinggal pergi. Dan si Raksasi Kumala, sesampainya di kamar rahasia, sudah lantas mulai dengan pemungutan pengakuannya Eng Sioe Yang. Dalam hal ilmu totok, ia sangat liehay, apapula untuk menyiksa korban. Maka itu, meski dia sangat bandel, Eng Sioe Yang merasakan setengah mati setengah hidup, hingga akhirnya, dia keluarkan semua pengakuannya berkongkol dengan bangsa asing, guna menjual negara. Ia sebutkan semua orang yang tersangkut. Giok Lo Sat ambil sehelai kertas guna mencatat semua nama dan pangkat mereka. Ia catat rapi pengakuannya orang she Eng itu. Selesai dengan itu, ia kembali kepada ayah angkatnya. Ketika itu Tiat Hoei Liong sudah berhasil membuat Bouwyong Tjiong sadar akan dirinya. Hebat percobaannya menolong, baik dengan obat-obatan maupun dengan ilmu urut. Tapi karena lukanya berat sekali, tjongkauwtauw itu 112 belum sadar betul, dia pun tidak punyakan tenaga, karena mana, dia belum dapat bicara. Eng Sioe Yang menjadi sangat kaget melihat Bouwyong Tjiong rebah di tanah dalam keadaan tidak berdaya itu. Hoei Liong tertawa dingin. “Eng Sioe Yang, kau lihat apa?” tanyanya kepada penghianat itu. “Bouwyong Tjiong tidak seperti kau!” Orang she Eng itu melengak, mukanya pucat. Giok Lo Sat berbisik di kuping ayahnya. “Bagus!” seru Tiat Hoei Liong. “Karena telah didapat catatan nama-nama lengkap, bolehlah dia dikirim kepada Giam Lo Ong!” Kemudian dia berseru memanggil anaknya: “Anakku, musuh kau telah terbinasakan semua, bolehlah kau meramkan matamu!…” (Giam Lo Ong = Raja Akherat). Kata-kata ini ditutup dengan melayangnya tangan yang sangat liehay, menyusul mana pecahlah batok kepalanya Eng Sioe Yang. Tapi menyusul itu. bercucuranlah air matanya. Giok Lo Sat lantas pimpin ayah itu ke dalam kamar, supaya si ayah dapat beristirahat. “Anak Siang, Bouwyong Tjiong itu bukannya musuh kita,” kata Hoei Liong sambil jalan, “maka itu harus kamu rawat dia baik-baik.” “Aku tahu,” sahut Giok Lo Sat, yang pun menangis.
Berselang, dua hari, meski ia dirawat sempurna sekali. Bouwyong Tjiong tidak juga berubah menjadi terlebih baik. Tenaga tangan dari Hoei Liong dapat menggempur hancur batu, bisa menembusi perut kerbau, maka kalau tenaga dalamnya tidak mahir, mungkin siang-siang dia telah terbinasa. Di hari ketiga, napasnya orang she Bouwyong itu menjadi sangat lemah. “Tiat Loodjie. terima kasih…” ia mengatakan. Ia paksa kuatkan diri untuk mengucap demikian. “Bouwyong Laotee, akulah yang bersalah…” Hoei Liong akui.
113 “Aku tidak terkalahkan…” kata pahlawan itu. Menghadapi kematian, dia masih tak melupakan pertandingannya yang dahsyat itu. Di waktu begitu, Hoei Liong tidak merasa lucu. “Ya, kau tidak terkalahkan…” ia jawab. Wajahnya Bouwyong Tjiong menjadi terang, sejenak ia tersenyum, kemudian ia tutup rapat kedua matanya. Hoei Liong lekas-lekas taruh tangannya di atas hidung pahlawan itu. Ia rasakan hawanya panas. Ia segera pasang kupingnya di dada pahlawan itu, ia masih dengar denyutan jantungnya perlahan. Ia menjadi kaget dan berduka, tetapi ia kuatkan hatinya, untuk tidak perdengarkan tangisnya. Selagi jago tua ini berduka. Giok Lo Sat datang sambil berlari-lari berlompatan, terus saja dia tolak daun pintu, untuk nerobos masuk. Dia pun tertawa, wajahnya sangat terang. “Kenapa kau berbuat gaduh?” tegur Hoei Liong seraya mengkerutkan alisnya. “Orang sakit hendak tidur…” “Bouwyong Tjiong tertolong!” sahut si nona, sambil tertawa pula. Hoei Liong terkejut. Sejenak saja ia bergirang, lantas ia kerutkan pula alisnya. “Kau jangan mendustai” katanya. “Aku telah melukai dia begitu hebat, mana dia dapat ditolong lagi…” Masih si anak tertawa. Malah dia sambar tangan ayahnya, untuk ditarik, dan diajak lari keluar. “Lihat! Siapa itu yang datang?” katanya seraya tangannya menunjuk. Hoei Liong angkat kepalanya. “Oh, saudara Touw!” serunya. Yang datang itu adalah Touw Beng Tiong, itu orang she Touw yang pergi ke kota raja untuk menolongi pamannya (engkoe). Hoei Liong bingung juga. Setelah beberapa hari hatinya pepat, tak dapat ia berpikir, apa ada hubungannya di antara Beng Tiong dan Bouwyong Tjiong. “Saudara Touw ini hendak menghaturkan bingkisan kepadaku,” kata Giok Lo Sat pada ayahnya. “Coba ayah katakan, harus aku terima atau tidak…”
114 “Apa?” katanya, menegaskan. Giok Lo Sat buka sebuah kotak panjang di atas meja. Di dalamnya tampak serupa barang hitam mengkilap, macamnya mirip dengan bayi. “Hai, inilah hosioeouw yang berumur seribu tahun?” Hoei Liong berseru. “Jadi obat ini saudara Touw tidak haturkan kepada si dorna kebiri?” Ia ingat itu obat istimewa, yang Beng Tiong niat persembahkan pada Goei Tiong Hian. Matanya orang she Touw itu menjadi merah. “Pamanku telah dihukum mati si dorna kebiri,” katanya dengan sangat berduka, “katanya sudah sejak belasan hari yang lalu. Paman dihukum mati secara diam-diam dalam penjara… Baru kemarin dulu aku dengar hal ini.” “Pamanmu itu Tjoh Kong Tauw?” tanya Giok Lo Sat. “Betul. Kau masih ingat dia, liehiap.” “Dia di penjarakan bersama Yo Lian, dalam penjara Paktin Boesoe,” kata si nona. “Benar. Bagaimana kau ketahui itu?” “Karena aku telah tengok Yo Lian.” “Sama sekali ada enam orang yang telah dihukum mati, dan pamanku serta Yo Lian dibinasakan dalam satu hari berbareng-itu malam,” kata Beng Tiong. “Mereka terbinasa dalam cara sangat kejam dan menyedihkan, mereka mati engap karena ditungkrap dengan karung terisi debu…” Giok Lo Sat sangat terharu. Dalam hatinya, ia berkata: “Pastilah mereka terbinasa malam itu ketika aku mengacau dalam penjara…” “Aku menyesal dahulu karena tidak mendengar nasihat Lian Liehiap,” Beng Tiong berkata pula. “Aku masih memikir untuk mohon belas kasihannya si dorna kebiri. Syukur sebelum barang itu dipersembahkan, aku sudah lantas ketahui kematiannya pamanku itu, dengan begitu tidaklah kedua barang ini dihaturkan secara sia-sia dan kecewa. Lian Liehiap, ketika itu hari di Bankoan aku terluka oleh Sin Tay Goan, apabila tidak ada kau yang memaksa dia mengeluarkan obatnya, pasti aku tidak akan dapat tertolong, maka itu, karena aku tak dapat membalas budimu ini, sukalah kau 115 terima hosioeouw ini. Mungkin obat ini ada gunanya untukmu…” “Memang sangat besar gunanya untuk aku!” kata si nona. Dan ia ambil hosioeouw itu. “Kau tahu tidak, kawan sejahatmu Wan Tjong Hoan sekarang ada di sini?”
“Aku pernah mendengarnya tetapi tak dapat aku cari dia,” sahut Beng Tiong. “Dia ada di Sinong hoe,” si nona beritahu. “Pergi lekas kau cari dia di sana. “Eh, ya, aku mempunyai surat untuk disampaikan padanya.” “Nanti aku sampaikan,” kata orang she Touw itu. Giok Lo Sat masuk ke dalam, untuk memasukkan daftar namanya Eng Sioe Yang ke dalam sampul. Ia menulis sepucuk surat, untuk memberi penjelasan, surat mana dimasukkan bersama dalam sampul itu. Dalam hatinya, ia berpikir: “Sekarang ini Goei Tiong Hian sangat berpengaruh, walaupun telah ada bukti yang dia berkongkol dengan bangsa asing, untuk menjual negara, tapi sukar untuk menggulingkan dia. Maka baiklah aku serahkan ini semua pada Wan Tjong Hoan, supaya nanti kalau Sin Ongya telah peroleh kedudukannya, dia mempunyai bukti-bukti untuk menghukum mampus dorna kebiri itu!” Rendah pengetahuannya si nona tentang ilmu surat, maka itu, untuk menulis surat itu, ia membutuhkan waktu lama, hingga ia membuat Hoei Liong tidak sabar karena ayah angkat ini ingin lekas-lekas menolongi Bouwyong Tjiong. Pada akhirnya muncul juga nona itu. Ia serahkan suratnya, untuk disampaikan pada Wan Tjong Hoan. Tadinya ia niat menyuguhkan teh, untuk menyuruh tetamunya pergi, tetapi Touw Beng Tiong nampaknya tak mau segera pamitan. Hoei Liong lihat anaknya sedang melayani tetamu, ia ambil hosioeouw, ia mohon undurkan diri dari Beng Tiong, lalu lekas-lekas ia masuk ke dalam. Ia sendiri segera menggodok hosioeouw itu, tanpa ayal lagi, begitu obat matang, ia cekoki Bouwyong Tjiong. “Apakah Liehiap ketahui tentang Him Kengliak?” tanya Beng Tiong kemudian pada si nona. “Urusan apakah itu?” Giok Lo Sat, tegaskan.
116 “Setelah dia dihukum mati, bukankah kepalanya telah dipisahkan?” kata Beng Tiong. “Tapi pada beberapa hari yang lalu, kepalanya itu sudah dibawa ke kota raja. Orang mengatakan bahwa secara tiba-tiba Sri Baginda telah ingat jasanya Kengliak dahulu terhadap negara, lalu ia memberi ijin untuk mengembalikan kepalanya kepada keluarganya, dan keluarga itu diberi ijin pula untuk melakukan penguburan dengan upacara, malah pada harian penguburan, digantung juga tengloleng yang bermuatkan tulisan nama pangkatnya Kengliak…” Si Raksasi Kumala tertawa Ia tahu bahwa itu adalah hasil perbuatannya, yang telah mengirim surat tertusuk pisau belati kepada raja. “Itulah sudah selayaknya!” katanya. “Wan Tjong Hoan di kemudian hari akan besar sekali gunanya maka itu bolehlah kamu nanti memegang senjata pula untuk membelai daerah perbatasan!” “Mudah-mudahan demikian adanya!” memuji Beng Tiong. “Apa yang dikuatirkan adalah kawanan dorna nanti melintang pula di tengah jalan, hingga walaupun Wan Tjong Hoan telah menjadi Kengliak, mungkin dia tidak dapat berbuat banyak…” Benar katanya Beng Tiong ini, di belakang hari Wan Tjong Hoan telah diangkat menjadi Kengliak di Liauwtong dan dia sendiri telah menjadi opsir sebawahannya, akan tetapi hikayat telah mengulangkan dirinya, belasan tahun kemudian setelah memangku jabatannya itu, Tjong Hoan difitnah dan dianiaya kawanan dorna, ia dituduh berkongkol dengan musuh, hingga ia terbinasa di tangan Kaisar Tjong Tjeng, ialah kaisar yang mengangkat ia ke dalam kedudukan tinggi itu. Setelah pgmbicaraan itu, baru Touw Beng Tiong pamitan dan pergi. Sehabis antar tetamunya, Giok Lo Sat lari masuk, untuk tengok Bouwyong Tjiong. Baru ia sampai di depan pintu kamar, ia segera dengar suara orang bicara, ketika ia tolak daun pintu, ia dengar seruan kegirangan dari Hoei Liong terhadapnya: “Sungguh obat-obat ini mustajab! Gbat yang membikin orang mati hidup pula! Belum lama dia minum obat, parasnya sudah berubah menjadi segar!”
117 “Terima kasih banyak-banyak kepada kamu!” berkata Bouwyong Tjiong. “Tiat Looenghiong, budimu adalah budi seperti kau menjelmakan pula padaku!” Tiat Hoei Liong tertawa besar. “Kau telah menolong jiwaku, karenanya aku pun ingin menolong jiwamu!” katanya. “Apakah artinya itu? kau baru sembuh, jangan kau omong banyak. Sekarang kau beristirahat dulu.” Lewat beberapa hari, Bouwyong Tjiong tampak bertambah segar. Selama beberapa hari itu, banyak yang telah dibicarakan dengan Hoei Liong dan Giok Lo Sat hingga bekas pahlawan ini tergerak hatinya. “Pastilah Goei Tiong Hian sangat benci padaku,” kata ia, “maka setelah sembuh benar, tidak sudi aku berdiam lebih lama pula di kota raja ini. sebab aku segan membantu berbuat jahat terlebih jauh!” “Jikalau kau tidak ingin injak kota raja lebih lama pula, bolehlah kau pergi ke dalam pasukannya Giam Ong,” Tiat Hoei Liong menganjurkan. “Nie Siang kenal baik sekali rombongan Giam Ong itu, dia dapat memberi jaminan kepadamu.” Bouwyong Tjiong berdiam, ia tidak utarakan pikirannya. Hoei Liong tahu kenapa orang bungkam. Teranglah orang she Bouwyong ini segan menyatrukan Goei Tiong Hian, tidak peduli orang kebiri itu satu dorna. Maka ia pun tidak hendak mendesaknya. Pada suatu hari, selagi Giok Lo Sat dan ayah angkatnya berada di dalam rumah asyik pasang omong, mereka diberitahukan satu pegawai piauwkiok. katanya: “Di luar ada satu pengemis jahat sedang mengacau, sekarang ini ketua kita dan wakilnya tidak ada, tolong looenghiong melihatnya.” “Begitu? Bagaimana dia mengacaunya?” Giok Lo Sat tegaskan. “Dia minta uang sebanyak sepuluh ribu tail perak,” menerangkan pegawai ini. “Dia bertangan cuma sebelah tetapi dia sangat liehay. Dia duduk bersila di tanah, dia angkat sebelah tangannya itu, yang memegang sebuah mangkok batu yang besar. Dia menghendaki mangkoknya itu diisikan 118 penuh uang perak. Kami belasan orang telah mendorong d