KEARIFAN TRADISIONAL TERHADAP PERLINDUNGAN HUTAN DI KABUPATEN DAIRI ISKANDAR SEMBIRING HASNUDI IRFAN SAYED UMAR Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Perlindungan hutan saat ini bukan hanya menjadi problem yang bersifat regional (nasional) tetapi sudah merupakan problem dunia (global). Hal ini terkait dengan fungsi hutan dalam memelihara keseimbangan ekologis yang juga berpengaruh terhadap iklim global, seperti efek ‘panas global’ yang dapat mengancam keselamatan jiwa manusia. Namun demikian, realitas memperlihatkan bahwa fungsi ekonomi hutan, yaitu sebagai sumber mata pencaharian hidup bagi sekelompok masyarakat, sebagai sarana mengakumulasi kapital (modal) bagi pengusaha (kapitalis), dan sebagai sumber devisa bagi negara, seringkali mengalahkan fungsi hutan dalam memelihara keseimbangan ekologis (termasuk iklim global). Tekanan jumlah penduduk yang terus meningkat merupakan salah satu faktor yang turut mempercepat kerusakan hutan. Ini terjadi karena diperlukannya lahan yang lebih luas dan material bangunan yang lebih banyak, baik lahan untuk pemukiman maupun lahan untuk kegiatan bercocok tanam, dan bahan material untuk bangunan-bangunan baru. Pemanfaatan fungsi ekonomi hutan secara berlebihan oleh manusia (eksploitasi hutan) tanpa mempedulikan keseimbangan ekologis dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, dan memerlukan biaya (cost) ekonomi dan sosial yang jauh lebih besar dibanding hasil ekonomi yang telah diperoleh. Masyarakat yang tinggal dan bermata pencaharian di sekitar hutan, di satu sisi seringkali dituding sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan, tetapi di sisi lain seringkali pula diharapkan sebagai pelaku utama bagi upaya perlindungan hutan itu sendiri. Harapan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sebagai pelaku utama bagi perlindungan hutan merupakan sesuatu yang wajar, karena dalam kehidupan kesehariannya mereka berinteraksi langsung dengan hutan dan merupakan orang pertama yang langsung menerima dampak dari kerusakan hutan, seperti bencana alam berupa banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan. Perbedaan pandangan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan Eghenter dan Bernard Sellato (1999:25), bahwa “… kelihatannya ada serangkaian asumsi yang dipertautkan secara kausal tentang peranan yang ‘dianggap’ kunci masyarakat setempat dalam pengelolaan kawasan lindung secara berkelanjutan: orang-orang setempat merupakan pelestari alam yang baik, dan karena itu akan menjadi manajer yang baik dari area pelestarian alam, dan karena itu pula sangatlah penting untuk mempelajari cara-cara mereka. Dalam Anggapan ini, sikap para manajer kawasan lingdung terdahulu, yang menyalahi para pemukim setempat karena merusak lingkungan, dengan mudah berbalik ke sikap yang berlawanan, yang sesungguhnya tetap terlalu menyederhanakan masalah jika tidak didukung oleh bukti yang nyata…”. 1 ©2004 Digitized by USU digital library
Perlindungan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan dimana mereka bertempat tinggal umumnya dilakukan melalui seperangkat nilai budaya, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif dalam pengelolaan hutan (Dove, 1985). Cara perlindungan seperti itu dikenal dengan istilah kearifan tradisional [(indigenous knowledge/local knowledge); (lihat Bulmer, 1982; Bentley, 1989; Thrupp, 1989; dan Fisher, 1993)]. Pengetahuan masyarakat yang seperti itu bersumber antara lain melalui mitos1. Pemanfaatan kearifan tradisional (indigenous knowledge) dalam keseimbangan ekologis dapat dilihat dari studi yang dilakukan Schefold (1980) terhadap orang Mentawai di Siberut, dimana kepercayaan tradisional mengenai keseimbangan lingkungan alamiah, dan keinginan untuk melindunginya melalui ketaatan tentang pantang memburu telah menghasilkan keseimbangan ekologis. Pantang (tabu) untuk menebang pohon tertentu karena dianggap memiliki kekuatan gaib yang hidup dalam suatu masyarakat merupakan contoh lain kearifan tradisional yang dapat berfungsi sebagai perlindungan hutan. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat (kearifan tradisional) ternyata memiliki arti yang positif bagi upaya konservasi hutan. Ironisnya, pengetahuan-pengetahuan (kearifan tradisional) tersebut dewasa ini, karena berbagai faktor telah melemah, bahkan telah banyak ditinggalkan atau tidak dipatuhi lagi oleh masyarakat komunitas dimana kearifan tradisional tersebut sebelumnya hidup dan dipraktekkan. Kabupaten Dairi merupakan salah satu daerah di Sumatera Utara yang memiliki potensi hutan cukup luas dan beberapa wilayahnya merupakan daerah yang termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Meskipun terdapat heterogenitas etnik di Kabupaten Dairi, namun Etnik Pakpak, Etnik Batak Toba, dan Etnik Karo merupakan etnik dominan di sana, dimana Etnik Pakpak merupakan penduduk asli Dairi. Sebagaimana masyarakat di daerah lainnya, masyarakat di Dairi juga memiliki kearifan tradisional dalam perlindungan hutan sebagaimana dikemukakan Pelly (1987), bahwa masyarakat Pakpak sangat menghargai alam dengan adanya tabutabu yang selalu dipatuhi; dan Zuraida, dkk. (1992) yang menyatakan bahwa orang Pakpak memiliki aturan-aturan dalam menjaga konservasi alam. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana pandangan (persepsi) masyarakat Dairi tentang perlindungan hutan, kiranya perlu dilakukan penelitian yang berjudul “Studi Kearifan Tradisional Terhadap Perlindungan Hutan di Kabupaten Dairi. 1.2.
Perumusan Masalah Dari latar belakang sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut: 1. Bagaimanakah persepsi masyarakat sekitar terhadap keberadaan dan perlindungan hutan? 2. Apakah masyarakat memiliki kearifan tradisional (nilai, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, dan upacara tertentu) dalam rangka perlindungan hutan? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
1
Bagi masyarakat arkais tradisional, mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita yang benar ini menjadi milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci , bermmakna, menjadi contoh model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai bagi kehidupan ini (Minsarwati, 2002:2). 2 ©2004 Digitized by USU digital library
1. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan perlindungan hutan sehingga dapat pula dipahami tindakan-tindakan yang mereka lakukan terhadap hutan, baik yang positif maupun negatif bagi upaya perlindungan hutan. 2. Untuk mengetahui beberapa kearifan tradisional (indigenous knowledge) yang dimiliki oleh masyarakat dalam rangka perlindungan hutan. 1.4.
Manfaat Penelitian Pengetahuan tentang persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan perlindungan hutan bermanfaat sebagai acuan bagi pembuatan dan implementasi kebijakan perlindungan hutan yang berbasis pada komunitas lokal (local community). Sedangkan pengetahuan tentang potensi kearifan tradisional (indigenous knowledge) yang dimiliki oleh masyarakat lokal dalam perlindungan hutan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pembuatan kebijakan perlindungan hutan dengan memanfaatkan secara maksimal kearifan tradisional tersebut, dan bila perlu dapat dilakukan rekayasa sosial (social enginering).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat dan Hutan Keterkaitan masyarakat (manusia) dengan hutan tampak dalam pengetahuan manusia dalam mengelola lahan hutan. Cara yang dilakukan oleh manusia (masyarakat) dalam mengelola hutan, antara lain yaitu: merubah hutan menjadi lahan pertanian (kebun dan ladang), baik dengan cara perladangan berpindah (tebas bera) maupun dengan cara perladangan menetap. Pengetahuan masyarakat tentang hutan merefleksikan bagaimana hutan tersebut dilihat dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pengetahuan masyarakat tentang hutan berimplikasi penting dalam manajemen pemeliharaan hutan, karena pengetahuan masyarakat (kearifan lokal) mengandung nilai-nilai ekologi, yaitu adanya fokus perhatian pengaturan penempatan dalam hal letak lahan dan perhatian topografi setempat untuk penanaman, serta penggunaan petak kecil dan garis petak yang hati-hati dapat membantu mengurangi erosi pada lereng curam (Lawrence, 1995). Implikasi penting dalam pemeliharaan hutan dengan pengetahuan lokal menurut Dove (1985) meliputi: idiologi, ekonomi, dan ekologi. Idilogi menekankan bahwa adanya dasar yang empiris terhadap sistem pengetahuan dan kepercayaan tradisional, baik sebagai agama tradisional maupun sistem upacara. Penelitian Minsarwati (2002) mengenai kepercayaan tradisional terhadap gunung berapi di Jawa menunjukkan bahwa semua kepercayaan tersebut memiliki pertalian empiris yang nyata, seperti menggunakan petunjuk-petunjuk alam di sekitar mereka untuk meramalkan kapan gunung akan meletus. Penelitian Daeng dalam Dove (1985) tentang Ngadha di Pulau Flores, dimana pesta gaya persaingan yang merupakan kebiasaan yang kelihatannya bersifat pemborosan ternyata berfungsi untuk membagi tanah secara optimal diantara penduduk terhadap tanah, yang dicapai melalui penyerahan bagian-bagian tanah yang diperebutkan kepada suku-suku yang menyembelih jumlah hewan yang paling banyak. Pembuktian menunjukkan bahwa melalui upacara adat tersebut ternyata memiliki arti penting dalam mengatur keseimbangan populasi manusia, ternak, dan tanah. Dari segi ekonomi dapat diketahui bahwa ekonomi tradisional masyarakat di sekitar hutan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga sistem, yaitu perlandangan berpindah, pengumpulan sagu, serta berburu dan meramu. Suatu hal yang menarik 3 ©2004 Digitized by USU digital library
dari perladangan berpindah ditemukan pada orang Mentawai oleh Schefold (1980). Menurut Schefold, orang Mentawai membudidayakan pisang, umbi-umbian, dan membuka perkebunan talas dan buah-buahan. Mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan berpindah dengan tidak membakar hutan. Di samping itu, orang Mentawai juga mengeksploitasi pohon-pohon sagu yang tumbuh secara alamiah karena beberapa hal, pertama, sagu relatif melimpah dan merupakan tanaman yang tumbuh secara alamiah; kedua, sagu dapat dibudidayakan dan dieksploitasi tanpa modal apapun, ketiga, merupakan tanaman potensial untuk tujuan komersial dan dieksploitasi untuk kebutuhan subsistensi; dan keempat, sagu hanya dieksploitasi oleh kelompok masyarakat terbelakang, dan belum maju. Ironisnya, pembudayaan sagu ini tidak mendapat penghargaan dari pelaksana pembangunan. Selanjutnya, implikasi ekologis, terlihat dari sistem penggunaan lingkungan oleh orang pedesaan, terdapat asas-asas tradisional mengenai pemanfaatan dan pemeliharaan lingkungan yang dapat diterima akal. Hasil pemelitian Schefold (1980) di Mentawai menemukan bahwa pengaruh manusia terhadap lingkungan mendapat perhatian yang utama dan tegas, dan diatur secara seksama dalam tata upacaraupacara keagamaan. Hasil penelitian Laksono dalam Dove (1985) juga menunjukkan adanya kaitan kepercayaan tradisional dengan keseimbangan ekologi. Laksono melihat bahwa upacara keagamaan mempunyai peranan dalam menafsirkan dan menyesuaikan diri dengan bencana gunung merapi. Peranan upacara keagamaan dalam mengatur suatu penyimpangan, merupakan ciri kebudayaan tradisional. Ketentuan-ketentuan dan pantangan-pantangan keagamaan yang mengatur hubungan tersebut melambangkan pengetahuan empiris yang penting terhadap lingkungan. Implikasi-implikasi penting (idiologi, ekonomi, dan ekologis) dalam perlindungan (pemeliharaan) hutan yang dilakukan oleh masyarakat, menunjukkan bahwa pengetahuan ekologi masyarakat di dalam berbagai aktivitas pengelolaan lingkungan dan pelestariannya sesuai dengan budaya yang mereka miliki perlu diapresiasi. 2.2. Konsep Mitos Mitos merupakan suatu kata yang sudah akrab di telinga kita. Namun seringkali kita belum mengetahui secara benar apa sebenarnya arti dari kata mitos tersebut. Meskipun diakui sulit untuk merumuskan definisi mitos secara pasti, namun demikian, mitos dapat dipahami dalam batas-batas yang lazim digunakan dalam definisinya. Pemahaman terhadap konsep mitos secara benar diperlukan dalam konteks penelitian ini, karena pengetahuan lokal (kearifan tradisional) tentang perlindungan dan pelestarian hutan dapat diketahui dari mitos-mitos yang hidup dalam masyarakat setempat, khusunya yang berkaitan dengan hutan. Kata mitos berasal dari bahasa Inggris “myth” yang berarti dongeng atau cerita yang dibuat-buat. Dalam bahasa Yunani disebut dengan “Muthos” yang berarti cerita tentang Tuhan dan Suprahuman Being, Dewa-dewa (Eliade, 1987). Mitos juga dipahami sebagai realitas kultur yang sangat kompleks. Lebih lanjut Eliade (1987) menyebutkan bahwa secara terminologis dapat diartikan sebagai kiasan atau cerita sakral yang berhubungan dengan even pada waktu primordial, yaitu waktu permulaan yang mengacu pada asal muasal segala sesuatu dan dewa-dewa sebagai objeknya, cerita atau laporan suci tentang kejadian-kejadian yang berpangkal pada asal mula segala sesuatu dan permulaan terjadinya dunia. Menurut Hadiwiyono dalam Minsarwati (2002), mitos dikatakan sebagai suatu kejadian-kejadian pada jaman bahari yang mengungkapkan atau memberi arti kepada hidup dan yang menentukan nasib di hari depan. Pemaknaan mitos yang seperti ini akan membawa pengaruh pada perilaku manusia dalam segala segi kehidupan, baik segi sosial, ekonomi, budaya, dan ekologis. Pemaknaan mitos yang 4 ©2004 Digitized by USU digital library
seperti itu juga menjadi acuan dan aturan seseorang (masyarakat) dalam melakukan berbagai interaksinya, termasuk interaksinya dengan hutan. Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitos diartikan sebagai cerita suatu bangsa tentang dewa-dewa dan pahlawan-pahlawan pada jaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu sendiri dan mengandung arti yang mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Mitos juga bisa merupakan uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu menyangkut kejadian-kejadian luar biasa yang berada di luar pengalaman manusia sehari-hari. Penuturan ini umumnya diwujudkan dalam ceritacerita tentang dunia yang supranatural (Rahardjo, 1996). Pada kenyataannya, keberadaan mitos sampai pada saat ini terus terjadi dan diadakan, ini terbukti dengan adanya kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib atau supranatural yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, maupun peristiwa-peristiwa yang berada di luar jangkauan pikiran manusia ntuk menjawabnya seperti adanya proses kelahiran, kematian, perjalanan jagat raya, perputaran musim dan adanya bencana alam. Mitos ternyata juga punya daya kekuatan. Menurut anggapan-anggapan kuno (primitif), menyediakan sesembahan dan melakukan upacara-upacara keagamaan atau melakukan tari-tarian dengan sesuatu yang dimitoskan berarti menjaga ketertiban kosmik dan dunia. Menurut Daeng (2000:81), melalui mitos manusia dibantu untuk dapat menghayati daya kekuatan gaib tersebut sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya. Mitos memberi jaminan masa kini, dalam arti dengan mementaskan atau menghadirkan kembali suatu peristiwa yang pernah terjadi dahulu, maka usaha serupa dijamin terjadi sekarang. Dalam melakukan interaksinya dengan hutan, terutama yang berkaitan dengan aspek ekonomi, seperti berburu, berladang, mencari hasil hutan, dan sebagainya, praktek-praktek mitos masih banyak dilakukan hingga saat ini. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan hutan yang terangkum dalam buku “Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan Selatan yang disunting oleh Eghenter dan Bernard Sellato (1999) menunjukkan bahwa praktek mitos masih hidup dalam masyarakat, baik ketika seseorang (masyarakat) akan bercocok tanam, berburu, maupun ketika akan pergi mencari hasil hutan seperti rotan dan gaharu. Praktek mitos tersebut dilakukan melalui serangkaian upacara-upacara persembahan hingga pantangan-pantangan yang harus dipatuhi oleh setiap orang. Ada kepercayaan tradisional, bila upacaraupacara persembahan dan pantangan-pantangan tersebut dilanggar maka pekerjaan (aktivitas) yang dilakukan tidak akan berhasil dengan baik, bahkan dapat mendatangkan malapetaka. Praktek-praktek mitos tersebut didasarkan adanya kepercayaan tradisional pada masyarakat setempat bahwa hutan yang akan mereka usahakan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan gaib berupa dewa-dewa atau roh leluhur mereka. Untuk itu mereka wajib melakukan upacara-upacara persembahan yang ditujukan kepada dewa-dewa dan roh leluhur tersebut sehingga para dewa dan roh leluhur yang menguasai hutan tersebut bersikap bersahabat dan melindungi mereka. Demikian juga dengan beberapa pantangan yang harus dipatuhi oleh seseorang (masyarakat) dalam melakukan berbagai aktivitasnya merupakan perwujudan dari praktek mitos yang dilakukan masyarakat demi terciptanya keseimbangan alam. Sasongko (1991) menyebutkan bahwa dalam masyarakat Jawa, Gunung Merapi dipercaya oleh penduduk setempat sebagai keraton makhluk halus dan tempat tinnggal para roh leluhur, danyang dan lelembut. Merapi juga dianggap sebagai surga pangratunan atau tempat penantian bagi roh yang selama ini hidupnya banyak berbuat kebaikan. Sistem kepercayaan terhadap Merapi erat kaitannya dengan alam kodrati. Merapi digunakan penduduk setempat sebagai 5 ©2004 Digitized by USU digital library
kerangka landasan untuk beradaptasi, berinteraksi, dan mendayagunakan sumber daya merapi. Kepercayaan ini diyakini pula oleh Keraton Yogyakarta yang diwujudkan dalam bentuk upacara Labuhan Gunung Merapi. Modernisasi yang lebih mengutamakan logika dan rasionalitas seringkali dibenturkan dengan pengetahuan lokal (kearifan tradisional) yang mengemas segala mitos. Dengan kata sakti bahwa mitos hanyalah persoalan mistis belaka, maka atas nama kemajuan, peradaban manusia yang merupakan kearifan tradisional, lalu menjadi diabaikan. Padahal seringkali kearifan tradisional tersebut membawa dampak positif bagi kelestarian dan keseimbangan alam, seperti telah diuraikan di atas. Karena itu eksplorasi terhadap potensi kearifan tradisional dalam setiap komunitas masih tetap perlu dilakukan. 2.3. Kearifan Tradisional (Indigenous Knowledge) dan Perlindungan Hutan Menurut Bulmer (1982:66), pengetahuan masyarakat, baik yang masih hidup atau yang sudah ditinggalkan namun telah hidup dalam jangka waktu yang lama dan menjadi pandangan hidup tradisional adalah penting karena dua alasan, Pertama, penelitian-penelitian ilmiah tentang tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang dapat dipercepat jika menggunakan orang-orang lokal yang mengetahui hal tersebut. Kedua, suatu kehormatan bagi pengetahuan dan konteks kebudayaannya yang memungkinkan digunakannya pengetahuan tersebut bagi upaya konservasi. Kedua alasan yang dikemukakan Blumer tersebut menunjukkan bahwa kearifan tradisional yang berisi antara lain pengetahuan-pengetahuan lokal berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang diperlukan dalam rangka percepatan penelitian dan pemanfaatan mereka sendiri dalam upaya perlindungan hutan. Alasan tersebut juga didasarkan pada pemikiran bahwa orang setempat yang sudah berinteraksi cukup lama dengan lingkungan dimana dia hidup dan mencari nafkah tentu memiliki banyak pengetahuan berkenaan dengan lingkungan dimana mereka hidup, termasuk pengetahuan tentang hutan sebagai salah satu tempat mereka berladang dan mencari nafkah. Kearifan tradisional yang dimiliki suatu komunitas seringkali merupakan aturan-aturan yang sangat berguna bagi upaya konservasi atau perlindungan hutan. Seperti yang dikemukakan Poffenberger et al. (1990) dan Alcorn & Molnar (1990), bahwa pada dasarnya masyarakat pedesaan telah sejak lama melakukan tindakan konservasi secara tradisional. Hasil penelitian Konradus (1999) di Kalimantan membuktikan hal tersebut, dimana menurutnya pengelolaan hutan umumnya, dan pengelolaan Gaharu khususnya, yang berlaku di kalangan masyarakat Kenyah merupakan suatu tindakan dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan hutan. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat memanfaatkan lingkungannya sesuai perangkat pengetahuan lokal tentang sumberdaya hutan yang ada, dan juga mengatur pengelolaan hutan dengan mengacu pada adat tradisi dan sistem kepercayaan setempat. Hasil penelitian Ngindra (1999:61-67), menemukan bahwa masyarakat suku Kenyah Bakung memiliki pengetahuan tradisional dalam melakukan kegiatan perladangan yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kelestarian alam (hutan). Mereka memiliki aturan-aturan dan upacara-upacara tertentu yang harus dipatuhi apabila mereka akan melakukan kegiatan perladangan. Aturan-aturan tersebut sudah ditentukan sejak mereka memilih lokasi tempat berladang hingga panen hasil pertanian mereka. Ada sejumlah pantang (tabu) yang harus dihindari, karena dipercaya apabila pantang (tabu) tersebut dilanggar maka akan muncul malapetaka atau panen mereka tidak akan berhasil dengan baik. Seringkali pantang (tabu) itu ternyata berkaitan dengan pelestarian (keseimbangan) ekologis. Dalam masyarakat suku Kenyah Bakung misalnya, menurut Ngindra (1999) memiliki beberapa tahapan dalam persiapan kegiatan perladangan setelah lokasi 6 ©2004 Digitized by USU digital library
lahan perladangan yang cocok ditemukan, yaitu : menebas (midik); menebang (menepeng); memotong dahan (meto); menjemur tebangan pohon (pegang); membakar ladang (nutung); membakar sisa (mekup) menanam padi (menugan); merumput (mabau); dan memanen (majau). Dalam setiap tahapan kegiatan tersebut maka ada aturan-aturan yang harus dipatuhi, ada upacara-upacara adat, dan juga ada pantangan (tabu). Kesemua tahapan tersebut harus dipatuhi kalau ingin panen berhasil. Dalam konteks masyarakat Pakpak, Brutu (2002) mengemukakan bahwa masyarakat Pakpak juga memiliki kearifan tradisional (pengetahuan lokal) yang berfungsi dalam perlindungan (konservasi) hutan. Ini terbukti dari ditemukannya pada masyarakat Pakpak sejumlah nilai budaya, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif dalam pengelolaan lingkungan. Lebih lanjut Brutu (2002) mengemukakan bahwa kearifan dalam konservasi alam tersebut terjadi dalam berhubungan dengan alam. Ada yang disadari dan ada pula yang tidak disadari oleh masyarakat Pakpak yang terkandung dalam sejumlah nilai, aturan, tabu, dan upacara, terutama kegiatan yang berhubungan langsung dengan alam seperti dalam sistem ladang berpindah, mencari damar, berburu dan meramu, serta penge-lolaan hutan kemenyan. Bukti ekologis bagi dampak positif kegiatan manusia secara tradisional di beberapa area membenarkan partisipasi masyarakat setempat dalam perlindungan, pengelolaan dan pemulihan lingkungan (Walters, 1997). Mereka memiliki pengetahuan yang sangat kaya tentang lingkungan alam mereka, yang dapat dipakai untuk mendesain strategi-strategi pengelolaan pelestarian alam yang lebih efektif, yang cenderung mengikutsertakan masyarakat lokal di dalamnya. Pandangan umum proyek Pelestarian Alam dan Pembangunan Terpadu (ICDP), secara spesifik berasumsi bahwa pengelolaan yang efektif dari sumber daya alam dan penggunaannya yang berkelanjutan seharusnya memasukkan praktek-praktek pengelolaan tradisional, dan mengikutkan orang setempat mulai dari tahap perencanaan (Eghenter dan Bernard Sellato, 1999). Dalam pengelolaan hutan lindung Leuser di Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam, Unit Manajemen Leuser (UML) juga banyak bekerjasama dengan masyarakat lokal, dan memanfaatkan pengetahuan lokal tersebut dalam rangka perlindungan hutan. Identifikasi kearifan tradisional (pengetahuan lokal) yang berkaitan dengan perlindungan hutan juga menjadi agenda penting dari UML dalam melaksanakan program-programnya. Penelitian tentang kearifan tradisional di Kabupaten Dairi ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan UML untuk dapat mengeksplorasi kearifan tradisional tersebut.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta yang berkaitan dengan masalah yang diteliti sebagaimana adanya yang diikuti oleh interpretasi rasional. Dalam hal ini, deskripsi dilakukan berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap keberadaan dan perlindungan hutan, serta mendeskripsikan pula kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat (nilai, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, dan upacara tertentu) dalam rangka perlindungan hutan.
©2004 Digitized by USU digital library
7
Pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian ini bersifat eksplorasi2, yaitu ingin menggali pengetahuan lokal (kearifan tradisional) yang ada dalam komunitas masyarakat, baik yang sudah ditinggalkan (hilang) maupun yang masih hidup (dipraktekkan) di dalam kehidupan masyarakat lokal. 3.2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berasal dari dua sumber, yaitu sumber-sumber tangan pertama (data primer) dan sumber-sumber tangan kedua (data sekunder). Data-data primer diperoleh melalui teknik wawancara mendalam (in-depht interview), Kelompok Diskusi Terfokus (Focus Group Discussion - FGD), dan observasi. Sedangkan data-sata sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen, laporan, publikasi, dan sebagainya. Wawancara mendalam akan dilakukan dengan sejumlah informan. Informan dalam penelitian ini antara lain terdiri dari kepala desa, tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat yang telah berusia lanjut. Dipilihnya tokoh masyarakat yang berusia lanjut didasarkan pada pemikiran bahwa yang berusia lanjut lebih mengetahui kebiasaan-kebiasaan dan mitos-mitos masa lalu dan dapat membandingkannya dengan situasi dan keadaan saat ini. Diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan penduduk setempat, khususnya dengan penduduk yang banyak melakukan aktivitas yang terkait dengan hutan, baik sebagai mata pencaharian maupun aktivitas-aktivitas lainnya. Pengamatan dilakukan terhadap aktivitas-aktivitas masyarakat yang terkait dengan perlindungan hutan, baik yang bersifat kepercayaan-kepercayaan maupun tradisi-tradisi yang hidup dalam masyarakat. 3.3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditetapkan secara purposive di empat kecamatan, yaitu, Kecamatan Tanah Pinem, Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kecamatan Siempat Nempu Hilir, dan Kecamatan Tigalingga, Kabupaten Dairi. Penetapan lokasi di empat kecamatan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sehingga dapat dipastikan bahwa daerah tersebut memiliki kawasan hutan yang cukup luas dan harus dilindungi (dilestarikan). 3.4. Teknik Analisis Data Sejalan dengan pendekatan penelitian yang digunakan, maka analisis data dilakukan secara simultan bersamaan dengan proses pengumpulan data (on going analysis). Teknik analisis data lainnya yang lazim digunakan dalam penelitian kualitatif juga digunakan dalam penelitian ini. Penarikan kesimpulan akan berproses dari temuan kesimpulan yang sifatnya longgar dan umum, lalu secara bertahap terfokus pada eksplanasi dan interpretasi masalah penelitian. 3.5.
Jadwal Kegiatan Penelitian ini memakan waktu selama dua bulan dengan rincian tahapan kegiatan sebagai berikut:
2
Bila penelitian bersifat eksplorasi, maka pendekatan peneletian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, untuk penelitian yang bersifat eksplanasi digunakan pendekatan kuantitatif, sedangkan penelitian yang bersifat deskriptif dapat digunakan pendekatan kualitatif atau pendekatan kuantitatif (lihat: Creswell, 1994; Maxwell, 1996). ©2004 Digitized by USU digital library
8
Tabel 1. Tahapan kegiatan survei kearifan tradisional terhadap perlindungan hutan di Kabupoaten Dairi. Tahapan Kegiatan 1 Persiapan 1. Mapping/Feasibillity Study 2. Penyusunan Instrumen (, Wawancara, Pedoman FGD) 3. Pengurusan Izin Penelitian
Pedoman
Pelaksanaan: 1. Pengumpulan Data - Studi Dokumentasi - Observasi - Wawancara - FGD 2. -
2
Minggu ke 3 4 5 6
7
8
a a a
a
a a
a a a
Pengolahan Data Tabulasi Reduksi Data Pembahasan Analisis
a a a a a
Laporan: 1. Penulisan 2. Seminar 3. Penggandaan
a
a a a
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI SURVEY Lokasi survey meliputi wilayah kecamatan yang termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yaitu Kecamatan Silima Pungga-pungga, Siempat Nempu Hilir, Tigalingga dan Tanah Pinem. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kepadatan penduduk di empat kecamatan lokasi survey disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk lokasi survey Kepadatan Laki-laki No. Kecamatan Luas penduduk (orang (km2) (jiwa/km2) 1. Silima Pungga-pungga 83,40 173 6.983 2. Siempat Nempu Hilir 105,12 132 6.783 3. Tigalingga 77,0 120 12.169 4. Tanah Pinem 439,40 45 9.949 Jumlah 704,92 103,75 35.874 Sumber : Kabupaten Dairi Dalam Angka Tahun 2002 ©2004 Digitized by USU digital library
Perempuan (orang) 7.457 7.075 12.685 10.042 37.262 9
Dari Tabel 2 terlihat bahwa untuk tahun 2002 jumlah penduduk laki-laki lebih rendah dari pada penduduk perempuan.dengan angka sex ratio sebesar 96,03%. Luas kawasan hutan menurut fungsinya di empat kecamatan lokasi survey disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Luas kawasan hutan menurut fungsinya No. Kecamatan Hutan Hutan produksi Jumlah lindung terbatas (ha) (ha) (ha) 1. Silima Pungga-pungga 13.900 800 14.700 2. Siempat Nempu Hilir 458 458 3. Tigalingga 14.575 2.603 17.178 4. Tanah Pinem 9.781 26.625 36.406 Jumlah 38.714 30.028 68.742 Sumber : Kabupaten Dairi Dalam Angka Tahun 2002. Dari Tabel 3 terlihat bahwa hutan lindung masih lebih luas dibandingkan dengan hutan produksi terbatas di empat kecamatan, kecuai di Kecamatan Tanah Pinem luas hutan lindung luasnya semakin berkurang dan berubah menjadi hutan produksi terbatas. Luas lahan sawah dan lahan kering menurut penggunaannya di empat kecamatan lokasi survey disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Luas lahan sawah dan lahan kering menurut penggunaannya No. Kecamatan Lahan Lahan kering (ha) sawah Pekarangan/ Tegal/ (ha) bangunan kebun 1. Silima Pungga-pungga 1.895 864 788 2. Siempat Nempu Hilir 625 255 9.616 3. Tigalingga 120 1.685 2.280 4. Tanah Pinem 38 100 7.000 Jumlah 2.678 2.904 19.684 Sumber : Kabupaten Dairi Dalam Angka Tahun 2002.
Ladang huma 2.821 712 6.425 500 10.458
Dari Tabel 4 terlihat bahwa masyarakat di empat kecamatan survey lebih banyak bekerja di lahan tegal/kebun dan perladangan (lahan kering) dibandingkan pada lahan sawah.
BAB V PEMBAHASAN Hutan merupakan bagian dari ekosistem yang harus dipelihara kelestariannya karena hutan memiliki peranan sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Kerusakan hutan seringkali mengakibatkan bencana bagi manusia yang tidak hanya menimpa masyarakat di sekitar hutan tersebut, tetapi masyarakat yang jauh dari lokasi hutan, bahkan masyarakat dunia melalui “efek panas global” misalnya. Mengingat hutan memiliki banyak fungsi (fungsi ekonomi, fungsi budaya, fungsi sosial) maka banyak pula perlakuan dari masyarakat yang ditujukan pada ©2004 Digitized by USU digital library
10
hutan. Perlakuan-perlakuan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap hutan, baik oleh masyarakat di sekitar hutan maupun masyarakat yang berada jauh dari hutan dapat bersifat positif dalam arti pelestarian hutan, dan dapat pula bersifat negatif dalam arti terjadinya eksploitasi yang berakibat pada kerusakan hutan. Perlakuan yang bersifat positif atau negatif tersebut sangat dipengaruhi oleh persepsi (pandangan) masyarakat terhadap hutan. Karena itu perlu diketahui bagaimana persepsi masyarakat, khususnya masyarakat yang bermukim di sekitar hutan terhadap keberadaan hutan tersebut. Berikut ini akan dipaparkan bagaimana persepsi masyarakat yang bermukim di sekitar hutan terhadap keberadaan hutan. 5.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan dan Perlindungan Hutan Bagi masyarakat Kabupaten Dairi yang bermukim di sekitar hutan, khususnya di daerah lokasi penelitian, memiliki pandangan bahwa hutan adalah bagian dari kehidupan mereka. Pandangan bahwa “hutan adalah bagian dari kehidupan mereka” berdampak pada perilaku mereka yang tidak semena-mena terhadap hutan. Mereka memiliki aturan-aturan yang disepakati bersama yang harus dipatuhi oleh setiap warga ketika akan berhubungan (membuka) hutan. Pemilik hak ulayat tanah3 yang sekaligus juga sebagai penghulu (raja) merupakan orang yang berhak menentukan lokasi mana yang diperbolehkan, bila seseorang ingin membuka suatu lahan untuk berladang. Menurut Informan, dalam menentukan lokasi hutan mana yang boleh dibuka untak ditanami oleh penduduk, raja akan mengutus seseorang (yang masih memiliki hak ulayat atas tanah) untuk meninjau lokasi mana yang baik. Untuk menentukan baik atau tidaknya suatu lokasi, maka ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, dan ada suatu kepercayaan tradisional (kekuatan gaib) yang dapat memberi petunjuk bahwa lokasi itu memang baik untuk dijadikan lahan pertanian. Setelah segala persyaratan dipenuhi dan petunjuk melalui kepercayaan tradisional (kekutuatan gaib) memperlihatkan tanda-tanda kebaikan, maka barulah seseorang (penduduk) tersebut boleh mengerjakan hutan tersebut. Ini menunjukkan bahwa pembukaan lahan hutan untuk kegiatan bercocok tanam tidaklah dilakukan secara sembrono, melainkan dilakukan dengan cara-cara yang sangat arif. Pandangan dan perilaku yang seperti ini sangat positif dalam rangka perlindungan hutan. Bagi masyarakat di sekitar hutan, hutan tiudak hanya dipandang memiliki fungsi ekonomis dalam arti sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi hutan juga mereka pandang memiliki fungsi budaya dalam arti bahwa hutan merupakan tempat bermukimnya para roh leluhur mereka sehinga perlu untuk dilindungi dan dipelihara. Mereka juga mempercayai bahwa hutan dihuni oleh keuatan-kekuatan gaib yang dapat mempengaruhi keselamatan kehidupan mereka, untuk itu mereka harus bersikap arif dan santun kepada hutan. Mereka juga mempercayai bahwa pada pohon-pohon tertentu (biasanya pohon-pohon besar) dihuni oleh roh-roh halus sehingga dilarang bagi mereka untuk menebangnya, karena ada kepercayaan tradisional bahwa bila mereka melanggarnya maka akan 3
Pemilik hak ulayat tanah (hutan) merupakan kelompok marga yang pertama sekali bermukim di daerah tersebut. Pemilik hak ulayat tanah tersebut juga menjadi pemimpin (raja/penghulu) di desa tersebut. Raja (penghulu) biasanya memiliki kekuatan supranatural yang dapat berhubungan dengan makhluk-makhluk gaib dan merupakan seorang yang arif dan bijaksana sehingga sangat dipatuhi oleh warganya. Menurut informan, pengakuan terhadap hak ulayat tanah ini efektif pada masa pemerintahan kolonial, khususnya pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Pengakuan hak ulayat atas tanah menjadi semakin longgar dan tidak efektif setelah kemerdekaan Republik Indonesia, dimana kekuasaan raja sudah tidak diakui lagi. Di samping faktor tersebut, tingginya jumlah migrasi masuk ke daerah tersebut dari daerah lain (khususnya dari Batak Toba) juga menjadi faktor yang turut memperlemah pengakuan hak ulayat atas tanah. ©2004 Digitized by USU digital library
11
terjadi mala-petaka yang akan menimpanya atau masyarakat di sekitarnya. Adanya persepsi masyarakat yang seperti itu terhadap hutan berimplikasi pada tetap terpeliharanya hutan. Adanya kepercayaan bahwa roh-roh leluhur bermukim di hutan merupakan bagian dari kepercayaan agama tradisional. Masuknya agamaagama besar seperti Islam dan Kristen telah memudarkan kepercayaan tradisional tersebut, meskipun dalam beberapa hal belum sepenuhnya mereka tinggalkan Menurut salah seorang informan, persepsi masyarakat bahwa hutan adalah bagian dari kehidupan mereka, baik dalam arti ekonomis maupun budaya, dan karena itu harus dipelihara, sangat kuat dalam masyarakat pada periode sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Saat itu hutan sangat terpelihara dan tidak ada bencana alam seperti sekarang ini. Pengelolan hutan dalam fungsi ekonomis selaras dengan fungsi budaya (cultural) sehingga keseimbangan lingkungan tetap terpelihara dengan baik. Dengan kata lain, tidak terjadi eksploitasi terhadap hutan. Namun setelah Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, seiring dengan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, kerusakan hutan mulai terjadi. Seluruh informan menyatakan bahwa “kerusakan hutan yang paling parah terjadi adalah setelah dikeluarkannya izin HPH kepada para pengusaha”. Eksploitasi terhadap hutan terjadi secara besar-besaran, tanpa memperhatikan dampak yang diakibatkannya. Masyarakat sekitar hutan sama sekali kehilangan kekuatan kontrol atas hutan, dan mereka tidak berdaya untuk mencegahnya. Realitas yang seperti itu sedikit banyak telah merubah persepsi masyarakat sekitar terhadap hutan, meskipun dalam beberapa hal masih tetap bertahan. Memudarnya pengakuan masyarakat atas Hak Ulayat tanah dan hutan juga menjadi stimulus bagi perubahan persepsi masyarakat terhadap hutan. Meskipun UndangUndang Pokok Agraria No. 5/1960 Jo Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 telah mengakui eksistensi Hak Ulayat dari masyarakat Hukum Adat, namun karena beberapa hal eksistensi Hak Ulayat tidak berlaku lagi dalam masyarakat, kecuali di Desa Sopo Komil Kecamatan Tana Pinem, dimana masyarakat masih mengakui eksistensi Hak Ulayat dalam penguasaan dan pengelolaan “Hutan Pama” seluas kurang lebih 15 hektar. Hasil pengamatan dan wawancara terhadap informan menunjukkan pengakuan atas eksistensi Hak Ulayat atas “Hutan Pama” menjadikan hutan tersebut tetap terpelihara dengan baik. Meskipun ada sebagian warga yang melakukan pelanggaran dengan menebang hutan, namun dengan sanksi yang kuat dari masyarakat maka hal itu dapat dicegah. Yang melakukan pelanggaran akan dikenai sanksi yaitu diharuskan menanam kembali pohon sejenis dan dikenai denda dengan membayar sejumlah uang kepada penghulu (pemilik Hak Ulayat). Meskipun fungsi budaya dari hutan dalam beberapa hal masih dipegang dan dipraktekkan oleh masyarakat, namun fungsi ekonomis menjadi lebih dominan. Persepsi masyarakat terhadap hutan sebagai sumber ekonomi (mata pencaharian hidup) tumbuh sejalan dengan kehadiran HPH (kapitalis). Sebagian dari para pekerja untuk kepentingan pemilik HPH direkrut dari masyarakat sekitar, dengan imbalan berupa gaji. Hutan yang dulunya bagi mereka memiliki fungsi budaya yang disakralkan, mulai mengalami pergeseran, karena ada anggapan bahwa hal tersebut tidaklah benar. Tekanan ekonomi dan tekanan jumlah penduduk yang semakin besar juga menjadi penyebab perubahan persepsi mereka terhadap hutan sehingga mereka beranggapan bahwa hutan lebih bersifat ekonomis. Penegakan hukum yang “amburadul” juga mempengaruhi persepsi masyarakat tentang hutan. Pemerintah (aparat keamanan) yang seharusnya berfungsi untuk menegakkan hukum bagi para perusak hutan, seringkali menjadi pelindung bagi perusak hutan. Masyarakat menjadi semakin kehilangan kemampuan untuk melindungi hutan, dan akhirnya berkemabang persepsi dalam masyarakat bahwa mereka juga harus mampu memanfaatkan hutan semaksimal mungkin untuk kepentingan ekonomi mereka. Berbagai aturan yang selama ini dipatuhi masyarakat 12 ©2004 Digitized by USU digital library
dalam melakukan penebangan kayu di hutan, mulai ditinggalkan. Sebagian dari mereka juga berupaya untuk mendapatkan bagian keuntungan dari eksploitasi hutan yang dilakukan oleh para pengusaha (kapitalis) dengan melakukan kolusi, khususnya yang berkaitan dengan izin penguasaan hutan oleh penguasa HPH. Keadaan ini kondusif bagi kerusakan hutan yang semakin parah. Meskipun tidak dinafikan bahwa sebagian dari aparat pemerintah masih memiliki perhatian yang besar terhadap pelestarian hutan dengan memberikan sanksi yang berat bagi para pelaku pencurian kayu (illegal logging), namun untuk beberapa tempat, kondisi hutan di Kabupaten Dairi, khususnya di daerah penelitian juga sudah mengalami kerusakan. Hal ini sangat terkait dengan persepsi mereka terhadap hutan yang sudah mengalami perubahan, dari persepsi mereka bahwa hutan adalah bagian dari kehidupan mereka dalam arti ekonomis dan budaya, ke arah yang lebih bersifat ekonomi semata (economic dominant). Namun upaya penyadaran kembali bahwa hutan tidak hanya berfungsi ekonomi, tetapi juga memiliki fungsi budaya dan ekologis oleh berbagai kalangan, termasuk UML, menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan kembali persepsi mereka akan pentingnya hutan bagi keseimbangan ekosistem, termasuk untuk keamanan ekonomi mereka dan keselamatan hidup mereka (terhindar dari bencana). Namun penegakan hukum yang sungguh-sungguh dari pemerintah mutlak diperlukan, dalam rangka perlindungan hutan.
5.2. Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Hutan Sebagaimana diketahui bahwa penduduk yang tinggal di Kabupaten Dairi terdiri dari beragam etnik, dengan etnik Pakpak sebagai penduduk asli. Etnik lain yang dianggap sebagai etnik pendatang yang juga dominan di Kabupaten Dairi termasuk di empat kecamatan yang dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah etnik Batak Toba dan etnik Karo. Ketiga etnik tersebut, masing-masing memiliki kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan, hal ini diketahui dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap informan yang berasal dari ketiga etnik tersebut. Namun secara substansi, kearifan tradisional yang dimiliki oleh ketiga etnik tersebut tidaklah berbeda jauh. Perbedaan lebih banyak pada istilah yang digunakan (karena perbedaan dalam bahasa), sedangkan makna dan tujuan dari kearifan tradisional yang dimiliki oleh ketiga etnik tersebut relatif sama. Dalam pembahasan berikut, peneliti lebih menekankan pada kearifan tradisional yang dimiliki oleh etnik Pakpak dengan alasan bahwa etnik Pakpak adalah penduduk asli Kabupaten Dairi, sedangkan etnik lainnya adalah penduduk pendatang. Namun demikian, dalam beberapa hal juga akan dibahas kearifan tradisional dari etnik Batak Toba dan etnik Karo sebagai bahan pembanding untuk memperkaya analisis. 5.2.1. Kegiatan Berladang dan Berkebun Hampir seluruh penduduk yang bermukim di sekitar hutan yang termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah petani dengan cara berladang dan berkebun4. Tanaman yang ditanam cukup bervariasi, namun jagung merupakan
4
Dalam penelitian ini dibedakan pengertian ladang dan kebun. Ladang merupakan lahan yang khusus diperuntukkan bagi tanaman padi; sedangkan kebun merupakan lahan yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman, baik yang berumur pendek (seperti kacang, jagung, tomat, cabe) maupun tanaman berumur panjang (tanaman keras). ©2004 Digitized by USU digital library
13
tanaman yang dominan di samping padi dan jenis tanaman yang lainnya. Kopi5 juga merupakan jenis tanaman yang banyak ditanam di daerah ini karena keadaan tanah yang sangat cocok untuk tanaman tersebut. Sedangkan untuk tanaman keras, pohon kemiri merupakan tanaman dominan, di samping tanaman keras lainnya seperti pohon durian. Di dalam pemilihan tempat berladang dan berkebun, ada sejumlah aturan dan kebiasaan yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Aturan dan kebiasaan tersebut sangat kuat dipatuhi oleh masyarakat pada zaman dahulu dan mulai ditinggalkan pada masa sekarang ini, walaupun dalam beberapa hal kebiasaan tersebut tetap dipraktekkan dalam masyarakat. Menurut salah seorang informan, pada waktu yang lalu (khususnya sebelum kemerdekaan Republik Indonesia) dimana Hak Ulayat Marga atas tanah masih kuat dan kuta (desa) masih dipimpin oleh seorang Pertaki6 (kepala desa) maka aturanaturan dalam membuka hutan untuk kegiatan perladangan dan berkebun sangat kuat dalam masyarakat. Semua orang sangat patuh dengan aturan dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat setempat. Seorang Pertaki memiliki kekuasaan yang tinggi dalam masyarakat, namun ia juga menjadi seorang pemimpin yang jujur dan arif. Dalam melakukan kegiatannya, perladangan dan berkebun bukanlah kegiatan ekonomi semata-mata, tetapi berhubungan dengan aspek sosial budaya. Ada sejumlah aturan, nilai budaya, pengetahuan, upacara, kepercayaan, tabu dan sanksi yang mengikat mereka, sehingga mereka berbuat sebagaimana mestinya. Beberapa dari aspek sosial budaya tersebut kondusif bagi perlindungan hutan (Berutu, 2002). Merintis Lahan (Menoto) Sebelum membuka lahan perladangan ada sejumlah aturan, kepercayaan, pengetahuan, upacara dan tabu yang harus dipatuhi oleh orang yang akan membuka ladang. Menurut informan, jika seseorang ingin membuka lahan untuk perladangan atau berkebun, maka ia terlebih dahulu harus memberitahukannya kepada Pertaki. Ketika orang tersebut memberitahu keinginannya untuk membuka lahan, maka ia harus membawa sejumlah persyaratan untuk diserahkan kepada Pertaki. Persyaratan tersebut adalah: satu ekor ayam, dua liter beras, dan sebutir kelapa7. Persyaratan tersebut disebut dengan perkakah bohan (hutang adat), yang memiliki makna sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Pertaki sebagai seorang pemimpin kuta dan sebagai pemilik Hak Ulayat tanah. Setelah persyaratan tersebut diserahkan, maka Pertaki akan mengutus orangnya (yang masih termasuk dalam kelompok pemilik Hak Ulayat tanah) untuk mencari lahan di hutan yang dianggap baik untuk bercocok tanam, sekaligus menentukan hari yang baik untuk berangkat menuju hutan. Ada sejumlah kepercayaan dan pengetahuan yang dimiliki untuk menentukan apakah suatu lahan baik atau tidak baik untuk dijadikan sebagai lahan bercocok tanam. Pengetahuan tentang kesuburan tanah misalnya ditandai dengan ukuran besar dan tingkat 5
Kopi (Kopi Sidikalang) merupakan salah satu komoditas pertanian andalan Kabupaten Dairi dan sudah terkenal tidak hanya dalam lingkup regional (nasional), tetapi juga ke Mancanegara. 6
Pertaki merupakan seorang pemimpin di tingkat kuta (desa), yang termasuk ke dalam kelompok pemilik Hak Ulayat atas tanah dan sebagai ketua adat. Pertaki adalah seorang raja. 7
Jumlah dan ukuran masing-masing persyaratan tersebut (ayam, beras, dan kelapa) berbeda menurut masing-masing informan dari etnik Pakpak, etnik Karo, dan etnik Batak Toba, tetapi jenis barang yang dibawa adalah sama menurut semua informan, yaitu ayam, beras, dan kelapa. ©2004 Digitized by USU digital library
14
kesuburan pohon dan jenis tumbuhan serta fauna yang hidup di atasnya. Sesuai dengan pengetahuan (kearifan tradisional) mereka, lahan subur ditandai dengan warna pohon yang hijau tua, adanya jenis tumbuhan melata yang disebut teladan (sejenis talas), komil (tumbuhan merambat), adanya bekas telapak kaki rusa atau kambing hutan dan warna tanah hitam abu-abu. Namun pengetahuan tersebut saja tidak cukup untuk menentukan bahwa lahan tersebut baik untuk ditanami. Tingkat kemiringan lahan juga menjadi pertimbangan. Di samping itu, daerah-daerah yang diketahui sebagai sumber air juga dilarang untuk digarap, bahkan tidak diperbolehkan sama sekali untuk menebang pohon yang ada di sekitar areal tersebut. Setelah suatu lahan diputuskan baik untuk bercocock tanam, baik dilihat dari pengetahuan mereka akan kesuburan tanah, kemiringan dan jauh dari sumber air, maka tahap selanjutnya sebelum diputuskan bahwa lahan tersebut boleh digarap, ditentukan oleh Pertaki. Setelah mendapatkan informasi dari orang yang diutusnya untuk meninjau lahan tersebut, maka berdasarkan kepercayaan yang mereka miliki, sebelum mengambil keputusannya, maka Pertaki menunggu mimpinya8 apakah lahan tersebut boleh atau tidak untuk digarap. Kalau berdasarkan kepercayaannya yang terwujud dalam mimpinya lahan tersebut baik dan boleh untuk ditanami, maka sang Pertaki akan mempersilahkan orang tersebut untuk mengerjakannya, tetapi bila berdasarkan mimpinya ternyata lahan tersebut tidak boleh diusahakan maka sang Pertaki akan kembali mencari lahan yang baru dengan cara dan aturan yang sama seperti yang pertama. Di samping pengetahuan dan kepercayaan tersebut, mereka juga memiliki sejumlah pentangen (pantangan) ketika memasuki hutan. Pentangen (pantang) tersebut diantaranya, tidak boleh ngomong sembarangan, tidak boleh mandi telanjang, tidak boleh buang hajat semabarangan, dan tidak boleh menebang pohon sembarangan. Pengetahuan, kepercayaan dan pantangan tersebut menjadi acuan mereka bertindak terhadap hutan. Dari pengetahuan, kepercayaan, dan pandangan tersebut terlihat bahwa mereka tidak menjadikan hutan hanya sebagai objek yang dapat diperlakukan semena-mena, tetapi merupakan bagian hidup mereka, baik dalam arti ekonomi maupun sosial budaya. Kearifan tradisional yang mereka miliki memiliki arti penting dalam upaya pemeliharaan dan perlindungan hutan, sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. Menurut informan, pengetahuan, kepercayaan, dan aturan yang seperti itu tidak lagi semuanya dipatuhi dan dipraktekkan oleh masyarakat setempat, khususnya yang berkaitan dengan persetujuan Pertaki dalam menentukan lahan yang boleh diusahakan. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, dimana Hak Ulayat tanah menjadi lemah dan digantikan dengan hak milik pribadi, tidak harus dijadikannya pemilik Hak Ulayat tanah sebagai pemimpin desa (kepala desa) membuat aturan-aturan yang berkaitan dengan kegiatan perladangan di hutan menjadi tidak terkontrol. Kontrol dan perlindungan yang diharapkan datang dari
8
Selain melalui mimpi, kepercayaan untuk menentukan apakah suatu lokasi tanah dapat dijadikan lahan perladangan atau tidak, juga dapat dikatahui melalui cara menebang sebatang pohon di areal tersebut. Jika pohon yang ditebang jatuh kearah Utara meskipun sudah diarahkan ke Selatan maka ada kepercayaan bahwa lahan tersebut tidak boleh untuk diusahakan. Kepercayaan lainnya adalah, bila pada saat mereka pergi menuju hutan untuk mencari lahan yang baik, mereka bertemu dengan suatu rintangan (seperti ketemu binatang buas), maka mereka percaya bahwa daerah yang mereka tuju tidak baik, dan mereka harus membatalkan rencana mereka dan akan dilakukan kembali dengan melihat hari yang baik menurut kepercayaan mereka. Kepercayaan yang seperti itu juga ditemuai pada masyarakat suku lain seperti ditemui pada masyarakat suku Kenyah Bakung di Kalimantan (lihat Ngindra, 1999). ©2004 Digitized by USU digital library
15
pemerintah, juga tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Faktor-faktor tersebutlah antara lain yang menyebabkan kerusakan hutan yang semakin parah. Kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat tidak hanya terbatas pada penetapan lahan yang baik dan boleh untuk ditanamai atau diusahakan, tetapi mencakup semua tahapan kegiatan, mulai dari mempersiapkan lahan untuk ditanami hinga tahapan memanen hasil tanaman. Ada beberapa kearifan tradisional (pengetahuan, kepercayaan, upacara, dan tabu) yang harus dilaksankan oleh seseorang yang ingin melakukan kegiatan perladangan setelah tahap penetapan (pemeriksaan) hutan selesai, yang termasuk dalam kelompok kegiatan persiapan ladang. Menebas (Mengrabi/Rumabi) Setelah kegiatan merintis lahan (menoto) selesai dilakukan, maka kegiatan selanjutnya adalah menebas (mengrabi). Menebas merupakan pekerjaan yang dilakukan sebelum menebang pohon-pohon yang besar. Di bawah pohon-pohon yang besar biasanya ditemui pohon-pohon kecil dan semak belukar di sela pohonpohon besar. Pekerjaan memotong dan membabat pohon-pohon kecil dan semak belukar inilah yang disebut dengan menebas (mengrabi). Tujuan utama dari menebas adalah untuk mematikan pohon-pohon kecil dan tumbuh-tumbuhan kecil sehingga dapat mempermudah pekerjaan selanjutnya. Hasil wawancara dengan salah seorang informan menyebutkan, ada dua tujuan dari pekerjaan menebas (mengrabi) ini, yaitu: pertama, menebas hutan untuk mematikan pohon dan tumbuh-tumbuhan kecil sehingga pohon dan tumbuh-tumuhan tersebut kering dan dapat dengan mudah dibakar pada saat pekerjaan membakar lahan. Hal ini penting karena tumbuh-tumbuhan yang ditebas nantinya akan ikut membantu pembakaran pohon-pohon besar yang akan ditebang pada tahap berikutnya, yang lebih sulit kering dan dibakar. Kedua, Menebas bertujuan untuk untuk mempersiapkan tempat yang terbuka dan bebas dari semak belukar, sehingga mereka dapat bekerja lebih aman dan leluasa ketika menebang pohon-pohon besar. Alat yang dipergunakan untuk pekerjaan menebas adalah parang dan arit. Setelah menebas selesai maka dilanjutkan dengan mengumpukannya menjadi tumpukan-tumpukan yang siap untuk dibakar besama pohon besar yang akan ditebang pada tahap selanjutnya. Ada aturan, kepercayaan dan upacara tententu yang harus dilakukan oleh masyarakat sebelum, maupun ketika melakukan pekerjaan menebas. Sebelum pekerjaan menebas dilakukan, terlebih dahulu diberitahukan kepada Pertaki untuk menentukan hari yang baik memulai pekerjaan tersebut. Di samping Pertaki, untuk menentukan hari yang baik memulai pekerjaan tersebut juga dapat diperoleh dari orang-orang yang memiliki kekuatan gaib (dukun), yang dipercaya dapat berkomunikasi dengan para roh leluhur (Halempung). Setelah ditetapkan hari yang baik untuk memulai pekerjaan menebas, maka mulailah pekerjaan menebas dilakukan. Pada hari pertama pekerjaan menebas, sebelum pekerjaan dimulai, maka diadakan terlebih dahulu upacara “setampuk sirih” yang dilakukan oleh seorang dukun. Dalam pelaksanaannya, sirih tersebut diletakkan menghadap hulu sungai dan sang dukun membacakan beberapa mantera. Mantera tersebut antara lain berbunyi: “Oh alempung beras pati ni tanoh aku roh misen mengodobamu lako merjuma” [Oh nenek (roh leluhur) aku datang ke sini berladang untuk mencari hidupku]. Ada mitos (kepercayaan) dalam masyarakat setempat, jika upacara dan mantera tersebut dibacakan maka roh leluhur yang bermukim di lahan tersebut akan melindungi mereka dan tanaman yang mereka tanam sehingga berproduksi dengan baik. Upacara tersebut sekaligus bermakna penghormatan pada roh leluhur. Sebelum menebas dimulai, sang dukun biasanya juga membacakan mantera yang lain, diantaranya berbunyi: “Oh alempung jagame rubia-rubiamu” [Oh nenek (roh leluhur) jagalah natek-natekmu], sambil menanam akar (andor) sepanjang 16 ©2004 Digitized by USU digital library
kurang lebih setengah meter yang dibuat melingkar (digulung) ke dalam tanah. Akar diambil dari hutan yang akan ditebas tersebut. Mantera ini dimaksudkan agar sepanjang pekerjaan persiapan ladang, seluruh hama (ular, babi, dan binatangbinatang pengganggu lainnya) keluar dari lahan yang akan dikerjakan sehingga tidak mengganggu pekerjaan dan tanaman mereka. Beberapa kearifan tradisional tersebut masih tetap dipraktekkan oleh masyarakat setempat, walaupun sebagian telah mereka tinggalkan. Menebang (Merrabah) Setelah selesai menebas areal ladang, barulah dilanjutkan dengan pekerjaan menebang pohon-pohon besar (merrabah). Tujuan menebang pohon yang besarbesar tersebut ada dua, yaitu: pertama, agar pohon-pohon yang besar bisa mati dan kering untuk selanjutnya dilakukan pembakaran. Pembakaran tersebut mereka lakukan karena ada pengetahuan mereka bahwa abu sisa pembakaran merupakan faktor penting untuk kesuburan tanah. Kedua, bertujuan agar tanam-tanam yang ditanam dapat terkena sinar matahari secara leluasa. Berdasarkan pengetahuan mereka, sinar matahari sangat diperlukan oleh tanam-tanaman. Meskipun pohon yang besar dapat mengganggu penyinaran matahari pada tanaman mereka, tetapi tidak semua pohon-pohon yang besar tersebut dipotong. Ada beberapa alasan mengapa pohon-pohon yang besar tersebut tidak dipotong, pertama, terlalu besar sehingga memerlukan waktu yang lama untuk dapat menebangnya, sehingga biasanya hanya hanya dilakukan pemotongan terhadap dahan dan rantingnya saja; kedua, ada kepercayaan masyarakat bahwa pohon yang besar dihuni oleh roh-roh halus sehingga pantang untuk ditebang; dan ketiga, ada kesepakatan dalam masyarakat bahwa pohon yang dekat dengan sumber air tidak boleh ditebang. Cara menebang kayu yang besar-besar dimulai dengan menebang pohon yang berada dilereng bukit dan tidak sampai tumbang. Baru terakhir mereka menebang pohon yang besar yang berada di puncak bukit (bagian lereng yang lebih tinggi). Pohon yang berada di bagian atas bukit rebah diarahkan ke bawah, sehingga menimpa pohon yang berada di lereng bagian bawah dan semuanya bisa sekaligus tumbang. Alat yang mereka gunakan untuk menebang pohon-pohon besar tersebut pada waktu yang lalu adalah kampak dan beliung, serta gergaji tangan. Sekarang umumnya mereka sudah menggunakan singshaw (gergaji mesin). Menurut informan, kehadiran alat pemotong kayu singshaw (gergaji mesin) merupakan salah satu faktor yang turut mempercepat kerusakan hutan, karena dengan mudah dan cepat orang dapat menebang semuan pohon, termasuk pohon-pohon dalam ukuran besar yang sulit dan memakan waktu yang lama bila menggunakan alat-alat yang tradisional seperti kampak dan beliung. Ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi yang tidak diikuti oleh pemnfaatan yang baik dan benar dapat menimbulkan dampak negatif yaitu kerusakan hutan yang semakin parah, yang dapat mengakibatkan munculnya bencana alam. Memotong (Menemet/Merapet/Cincang Purun) Memotong (cincang purun) merupakan tahap pekerjaan yang dilakukan sesudah melakukan penebangan terhadap pohon-pohon besar (merrabah). Memotong (cincang purun) adalah memotong dahan dan ranting dari pohon-pohon besar yang baru ditebang menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sehingga mudah untuk dikumpulkan dan dibakar bersama batang-batang pohon besar dari hasil tebasan (mengrabi). Sebagian dahan-dahan yang sudah dipotong kecil-kecil tersebut dibawa pulang ke rumah untuk dijadikan sebagai kayu bakar untuk memasak. Sebagian dari pohon-pohon tersebut juga dimanfaatkan untuk pembuatan rumah 17 ©2004 Digitized by USU digital library
tempat tinggal dan sebagian lagi untuk pembuatan gubuk di ladang. Pembuatan gubuk di lahan yang baru mereka buka menjadi penting karena pada waktu-waktu sibuk pekerjaan ladang, biasanya mereka tidak pulang ke rumah, melainkan menginap di ladang mereka tersebut agar dapat menghemat waktu. Pengeringan Tahap selanjunya setelah dilakukan pemotongan terhadap dahan dan rantingranting kecil (cincang purun), maka dilakukan pengeringan terhadap pohon dan ranting-ranting tersebut. Pengeringan dilakukan agar mudah dalam melakukan pembakaran, sehingga seluruh pohon dapat segera menjadi abu yang berfungsi untuk kesuburan tanah. Waktu yang diperlukan untuk pengeringan sangat relatif, bisa dalam waktu yang singkat dan bisa pula memakan waktu yang lama. Hal ini tergantung pada cuaca. Jika cuaca cukup cerah (panas), maka pohon-pohon akan cepat kering dan segera bisa dibakar, sebaliknya jika musim hujan maka pohonpohon yang sudah ditebang akan lama keringnya, sehingga masa pengeringan memerlukan waktu yang lebih lama. Untuk mesiasati lamanya waktu pengeringan, biasanya mereka memilih musim kemarau untuk melakukan pembukaan lahan. Biasanya masa pengeringan ini memakan waktu kurang lebih 1 (satu) bulan. Membakar (Memuluhi) Sebelum pembakaran dilakukan, dilakukan pengamanan di sekeliling ladang yang akan dibakar, yaitu dengan cara membersihkan lahan sekeliling ladang dari dahan, ranting, daun, dengan lebar 2-5 meter. Tindakan ini disebut dengan menglinglingi, yang bertujuan agar lahan perladangan ketika dibakar tidak merambat membakar hutan lain di sekitarnya. Tindakan menglinglingi ini merupakan kearifan tradisional yang sangat kondusif bagi upaya perlindungan hutan. Cara pembakaran dilakukan setelah mempelajari arah angin yang bertiup di ladang pada saat itu. Api haruslah di sulut dari arah datangnya angin, sehingga pembakaran pertama kali ini dapat menjalar dengan cepat ke seluruh bagian ladang lainnya. Apabila dahan dan ranting sudah dikumpulkan dalam tumpukan-tumpukan maka pembakaran dilakukan pada setiap tumpukan tersebut. Tidak semua dahan dan batang pohon dibakar. Sebagain dari dahan dan batang pohon tersebut dijadikan sebagai pematang dari ladang/kebun. Tujuan pembuatan pematang dari dahan dan batang kayu tersebut adalah untuk mencegah terjadinya pengikisan terhadap humus tanah dan abu sisa pembakaran apabila turun hujan. Dengan demikian, ladang/kebun tersebut akan terlindung dari kerusakan dan tetap terpelihara kesuburannya. Membersihkan (Mengakut) Selang beberapa hari setelah dilakukan pembakaran, maka dilakukan pengumpulan dahan-dahan dan ranting-ranting yang belum habis terbakar di suatu tempat, biasanya dekat tunggul kayu yang besar dan belum habis terbakar. Ini dimaksudkan agar seluruh ladang bersih, sehingga akan mudah menanaminya dan rumput akan lebih lama tumbuhnya. Apabila lahan tersebut terbakar secara sempurna pada waktu pembakaran pertama, maka pekerjaan mengakut ini hampir tidak ada. Pembakaran hutan dengan sempurna bertujuan agar padi atau tanaman lainnya tumbuh subur dan agar rumput tidak banyak (lama) tumbuhnya. Menanam (Mardang) Menjelang penanaman padi dilakukan akan diadakan upacara menanda tahun, yang dilakukan di tingkat kuta (desa). Upacara menanda tahun ini merupakan upacara terpenting dalam kaitannya dengan perlindungan hutan karena dalam upacara tersebut terkandung sejumlah aturan dan tabu yang mengatur bagaimana 18 ©2004 Digitized by USU digital library
perladangan harus dilakukan baik yang bersifat temporer maupun secara kontiniu. Tujuan dasarnya adalah berkaitan dengan kepercayaan terhadap penguasa gaib antara lain: dewa tanah atau alam (beras pati ni tanoh), roh padi (tendi page), dewa matahari (Sinimataniari), dan penguasa langit, air, dan udara (lihat Brutu, 2002). Upacara ini dipimpin oleh pemimpin desa (raja) yang dimaksudkan agar penanaman padi dapat berlangsung dengan baik dan panennya kelak juga akan berhasil dengan baik, dan tetap menjaga kelestarian hutan. Setelah upacara menanda tahun dan setelah beberapa hari pembakaran ladang selesai, maka mulailah tahap menanam padi (mardang) dilakukan. Pada tahap mardang ini, penanaman padi pertama kali dilakukan di lahan milik Pertaki dan kelompok pemilik Hak Ulayat tanah. Tidak dibenarkan warga biasa (di luar pemilik Hak Ulayat tanah) melakukan mardang terlebih dahulu. Semua warga, biasanya secara beramai-ramai turut membantu Pertaki dan kelompok pemilik Hak Ulayat melakukan penanaman. Barulah setelah selesai penanaman di lahan Pertaki dan kelompok pemilik Hak Ulayat tanah, diperbolehkan menanam padi di lahan warga lainnya (warga biasa). Tanggal dan hari mulai menanam ditentukan oleh Pertaki atau dukun (Permangmang/Guru Sibaso), yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan tentang hari yang baik bagi penanaman awal. Perhitungan hari baik itu didasarkan pada perhitungan Hari Batak. Hari yang dianggap baik untuk memulai penanaman biasanya adalah hari beras pati. Untuk menentukan hari baik tersebut juga didasarkan pada mimpi dari sang Pertaki atau sang dukun (Permangmang/Guru Sibaso). Pertaki atau kelompok pemilik Hak Ulayat tanah adalah orang pertama yang memulai menanam padi. Setelah itu barulah diikuti oleh orang-orang lainnya yang hadir dalam upacara penanamam padi tersebut. Ada aturan dan upacara tertentu dalam penanaman padi hari pertama (pemena) ini. Sebelum penanaman dimulai, maka terlebih dahulu diadakan upacara makan bersama (berkuah), yang dipimpin oleh Pertaki atau Guru Sibaso. Tata cara berkuah (kenduri) tersebut adalah dengan duduk melingkar di tengah-tengah lahan yang akan ditanami, dan nasi dengan lauk-pauknya yang telah disediakan diletakkan di tengah-tengah lingkaran orang tersebut. Nasi dibuat sedemikian rupa sehingga membubung seperti gunung kecil. Setelah sang Pertaki atau Guru Sibaso membacakan beberapa mantera (do’a) kemudian ia memulai untuk memakan nasi tersebut. Barulah setelah itu diikuti oleh orang-orang yang lainnya. Setelah upacara makan tersebut selesai barulah penanaman boleh dimulai oleh sang Pertaki. Apabila nasi tersebut belum habis, maka dapat dimakan kembali pada waktu-waktu istirahat, dan apabila belum juga habis maka boleh dibawa pulang oleh masing-masing orang. Setelah upacara makan (berkuah) selesai dilakukan, maka sang Pertaki atau orang yang memiliki Hak Ulayat tanah mulai melakukan penanaman yang pertama. Penanaman yang pertama ini dilakukan pada areal empat persegi kecil (masingmasing sisi kurang lebih 1 meter). Di areal empat persegi kecil inilah sang Pertaki atau orang yang memiliki Hak Ulayat tanah menanam padi sambil membacakan mantera-mantera. Areal empat persegi kecil yang dijadikan sebagai tempat penanaman padi pertama ini dimaksudkan agar tanaman yang ditanam nantinya terlindung dari berbagai serangan hama, sehingga dapat berproduksi dengan baik. Penanaman padi hari pertama ini biasanya selesai dalam satu hari karena dilakukan beramai-ramai oleh seluruh warga. Pada penanaman padi hari pertama ini juga dilarang menyalakan api dengan maksud agar panen berhasil dengan baik. Penanaman padi baru dapat dilakukan oleh warga biasa setelah seluruh penanaman di lahan pemilik Hak Ulayat selesai dilakukan. Penetapan hari pertama penanaman padi (pemena) di lahan-lahan warga lainnya juga ditentukan oleh Guru Sibaso atas permintaan warga tersebut. Sepanjang penanaman padi dilarang berbicara sembarangan (berbicara porno dan berbicara kotor). 19 ©2004 Digitized by USU digital library
Memanen (Merani) Memanen (Merani) merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh petani, karena mereka akan memetik hasil dari jerih payah mereka selama ini, baik ketika membuka lahan, maupun persiapan ladang. Memanen juga merupakan hari yang dinanti-nanti setelah sekian lama waktu menunggu. Namun demikian, hari untuk memanen tidaklah sembarangan. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa ada harihari yang baik untuk setiap tindakan atau pekerjaan yang akan dilakukan. Demikian juga halnya dengan merani, ada hari baik untuk melakukannya. Tidak semua orang dapat mengetahui hari baik tersebut. Sama halnya dengan hari pertama menanam, hari pertama memanen (merani) juga ditentukan oleh sang Pertaki atau Guru Sibaso. Merekalah yang memiliki kemampuan untuk melihat-hari-hari baik tersebut. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, ada kepercayaan dalam masyarakat setempat bahwa panennya tidak akan baik dan memuaskan atau panennya akan cepat habis. Setelah hari yang baik ditetapkan untuk memanen (merani), maka ada pula aturan-aturan cara memanen. Pada hari pertama merani, diambil (dipotong) padi yang mengarah ke Timur sebanyak 7 (tujuh) tangkai dan diikat dengan daun padi, lalu dibawa ke rumah dan disimpan di tempat penyimpanan padi. Pada hari kedua, diambil (dipotong) padi yang mengarah ke Timur sebanyak 9 (sembilan) tangkai dan diikat dengan daun padi, lalu dibawa kerumah dan disimpan ditempat penyimpanan padi seperti yang dilakukan pada hari pertama. Hari ketiga adalah hari istirahat (mengaso), yaitu berhenti selama satu hari dan istirahat di rumah. Barulah pada hari keempat dilakukan pemanenan terhadap seluruh padi yang ada di lahan tersebut. Cara tersebut dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa padi memiliki roh (tendi page). Dengan melakukan cara yang seperti itu maka ada kepercayaan bahwa tendi page ikut ke rumah, sehingga padi yang telah dipanen tetap terpelihara, sehingga tidak mudah habis. Bagi warga biasa (yang tidak termasuk dalam kelompok pemilik Hak Ulayat) setelah panen selesai datang menhadap raja (Pertaki) dengan membawa 1 ekor ayam, 2 liter (muk) beras, dan dua butir kelapa. Pemberian ini merupakan simbol rasa terima kasih terhadap kebaikan raja yang telah memberikan lahan baginya untuk diusahakan. Pemberian yang seperti itu dilakukan setiap kali panen. Tahapan-tahapan kerja yang dilakukan dalam kegiatan perladangan dan berkebun menunjukkan bahwa masyarakat setempat memiliki kearifan tradisional dalam mengusahakan lahan pertaniannya. Ada sejumlah aturan yang harus mereka patuhi, ada sejumlah kepercayaan yang harus mereka lakukan ada sejumlah tabu yang harus mereka hindari, dan ada sejumlah upacara yang harus mereka lakukan agar hasil ladang dan kebun mereka memuaskan. Sejumlah aturan, kepercayaan, tabu, dan upacara tersebut seringkali berisi nilai dan norma yang sangat kondusif bagi upaya pelestarian hutan. Walaupun secara eksplisit tujuan mereka melakukan itu tidak langsung terkait dengan upaya perlindungan hutan, namun dari praktekpraktek yang mereka lakukan sangat bermanfaat bagi upaya perlindungan hutan. Menurut salah seorang informan, masyarakat setempat memiliki konsep sendiri tentang hutan. Konsepsi mereka, yaitu bahwa hutan yang mereka buka sebagai kebun maupun ladang adalah kawasan yang harus mereka olah dan manfaatkan agar tetap lestari, karena itu merupakan warisan nenek moyang dan karunia dari Tuhan yang harus dijaga kelestariannya. Konsepsi lainnya terkait dengan kepercayaan agama-agama tradisional yang dianut oleh nenek moyang mereka dahulunya, bahwa di hutan bersemayam roh leluhur mereka yang memiliki kekuatan gaib yang dapat bersikap ramah dan murka. Ramah dan murkanya roh leluhur sangat tergantung dari bagaimana sikap mereka terhadap hutan. Agar roh leluhur tetap ramah dan berbuat baik kepada mereka, maka mereka juga harus memperlakukan hutan yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya para roh leluhur dengan baik, dan melakukan upacara-upacara tertentu yang dipercaya akan 20 ©2004 Digitized by USU digital library
menyenangkan roh leluhur tersebut. Konsepsi tentang hutan menurut masyarakat suku Pakpak yang ada di Dairi, hampir sama dengan konsepsi masyarakat suku Jawa terhadap Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta (lihat Minsarwati, 2002). Menurut masyarakat etnik Jawa yang bermukim di sekitar Gunung Merapi, Gunung Merapi diyakini sebagai salah satu gunung yang mempunyai kekuatan besar, antara lain mempunyai danyang, dan ditunggu oleh roh-roh leluhur yang mempunyai fungsi tertentu. Karena itu pula lahir kepercayaan, pengetahuan dan upacara-upacara tertentu yang ditujukan agar keseimbangan kosmos tetap terpelihara. Kepercayaan, pengetahuan, dan upacara tersebut merupakan kearifan tradisional yang berfungsi memelihara kelestarian dan keseimbangan antara Gunung Merapi dan masyarakat sekitar khususnya, dan seluruh masyarakat umumnya. Dalam konteks masyarakat di Kabupaten Dairi, dari hasil wawancara dengan beberapa informan menunjukkan bahwa pada waktu yang lalu, penduduk telah memanfaatkan sumber daya alam, khususnya sumber daya hutan dengan baik. Ditinjau dari sudut ilmiah, sistem perladangan yang mereka lakukan mempunyai arti ekologi yang cukup dalam, pembukaan hutan (menoto) tidak mereka lakukan pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan tanah tinggi karena dapat membahayakan tanaman mereka sendiri karena termakan erosi. Mereka juga memilih tanah-tanah yang subur untuk dibuka menjadi ladang atau kebun yang ditandai oleh sifat-sifat alamiah hutan seperti ditumbuhi oleh pohon tertentu, warna daun tanaman yang hijau tua dan sebagainya. Mereka juga masih mempertimbangkan faktor lain di samping kesuburan tanah, yaitu letak tanah yang tidak pada sumber mata air. Meskipun tanah sangat subur, tetapi bila tanah tersebut dekat dengan sumber air (mata air), maka mereka tidak boleh menjadikannya sebagai ladang atau kebun. Jangankan menjadikannya sebagai ladang dan kebun, menebang pohonnya saja mereka tidak dibolehkan. Menurut salah seorang informan, meskipun ada larangan menebang pohon di sekitar sumber air (mata air), namun sekarang ini, ada juga yang berani melanggar aturan tersebut. Kalau zaman dahulu, ketika Hak Ulayat masih kuat, tidak ada yang berani melakukannya karena sanksi yang diberikan Pertaki (raja) sangat keras, dan semua warga mendukungnya. Sekarang ini, dimana hukum kurang begitu ditegakkan oleh pemerintah dan Hak Ulayat sudah tidak kuat lagi, maka pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan yang sudah ada sejak zaman dahulu (dari nenek moyang) sudah mulai ditinggalkan. Pengetahuan-pengetahuan yang seperti itulah (yang sudah ada sejak zaman dahulu, yang diwariskan secara turun-temurun), merupakan kearifan tradisional yang perlu digali dan dipraktekkan kembali dalam kehidupan masyarakat karena kearifan tardisional baik secara langsung atau tidak langsung sebenarnya bermanfaat bagi upaya perlindungan hutan. 5.2.2. Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Hutan Kemenyan Selain kegiatan berladang dan berkebun, masyarakat yang ada di sekitar hutan di Kabupaten Dairi, sebagian juga melakukan kegiatan budidaya hutan untuk dijadikan kebun kemenyan yang disebut dengan menggelang. Sama halnya dengan kegiatan berladang dan berkebun, kegiatan menggelang ini mereka lakukan juga dengan pengetahuan, kepercayaan, aturan, upacara, tabu dan sanksi yang hidup di tengah-tengah masyarakat setempat. Kesemuanya bila ditelusuri lebih jauh sangat penting bagi upaya perlindungan hutan. Budidaya kemenyan (menggelang) dilakukan dengan cara pembersihan pada areal lahan tersebut, yaitu melakukan pembabatan terhadap semak belukar yang ada di bawah pohon. Pembersihan dilakukan pada diameter 1-2 meter dari pohon. Pohon-pohon lain yang tumbuh di lahan tersebut tidak serta merta ditebang, hanya dipilih pohon-pohon yang betul-betul mengganggu terhadap tanaman budidaya tersebut. Cara mematikan pohon tersebut pun tidaklah langsung ditebang, 21 ©2004 Digitized by USU digital library
melainkan hanya dikuliti pada pangkal pohon tersebut, sehingga pohon tidak langsung mati, tetapi baru 1-2 tahun kemudian. Cara ini dilakukan karena diyakini bahwa daun-daun yang gugur akan menjadi pupuk, demikian pula kelak, pohon tersebut setelah membusuk juga akan menjadi pupuk yang dapat menyuburkan tanaman. Cara yang seperti itu menunjukkan bahwa budidaya kemenyan tidak dilakukan secara monokultur (hanya satu jenis tanaman saja) tetapi tetap memelihara heterogenitas tanaman, dengan memelihara jenis tanaman produktif lain seperti, durian, duku, jengkol, dan tanaman alamiah lainnya, yang hanya akan ditebang bila dibutuhkan untuk membangun rumah. Cara budidaya yang seperti itu sangat penting dalam upaya tetap terpeliharanya hutan, setidaknya tidak menimbulkan kerusakan hutan yang parah, karena tanah masih terlindungi oleh berbagai pepohonan yang dapat menahan dan menyerap air ketika musim hujan. Cara budidaya seperti ini merupakan kearifan tradisional yang perlu untuk dilestarikan, karena memberi manfaat secara ekonomis dan memiliki arti ekologis bagi perlindungan hutan. Sama seperti sistem berladang dan berkebun, dalam proses produksi selalu disertai dengan berbagai aturan dan upacara yang berfungsi sebagai kontrol dalam proses produksi (lihat Brutu, 2002). Jenis upacaranya yaitu, merkotas (makan bersama/kenduri), dan meminta ijin penguasa hutan (persintabien) ketika hendak merencanakan dan mengawali pekerjaan membuka lahan. Lahan-lahan yang diperbolehkan untuk dibudidayakan juga harus mendapat izin dari Pertaki atau pemilik Hak Ulayat. Lahan-lahan yang dianggap keramat dan sumber mata air tidak diijinkan untuk pembudidayaan kemenyan tersebut. Setelah sampai di hutan, juga masih ada aturan yang harus dipatuhi, antara lain, tidak boleh buang hajat, tidak boleh bicara kotor dan menjerit, serta tidak diperkenankan pula menyebut nama-nama binatang buas. Kesemuanya itu menunjukan betapa kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat lokal memiliki fungsi positif bagi upaya pelestarian dan perlindungan hutan. BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan pada dasarnya sangat positif bagi upaya pelestarian dan perlindungan hutan. Ini diketahui dari konsepsi mereka tentang hutan, yaitu “hutan adalah bagian dari kehidupan mereka”. Konsepsi ini melahirkan pandangan bahwa hutan tidak hanya dianggap berfungsi ekonomis, tetapi juga berfungsi sosial budaya. Pandangan yang seperti itu melahirkan perilaku yang ramah terhadap hutan, karena hutan dijadikan sebagai sumber mata pencaharian hidup, sekaligus dipercaya memiliki kekuatan gaib dan tempat bersemayamnya roh leluhur yang harus dihormati. Menghormati roh leluhur yang bersemayam di hutan, berarti harus tetap melestarikan hutan. 2. Persepsi masyarakat yang positif tersebut dalam upaya pelestarian hutan mengalami pergeseran sejalan dengan terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat. Tidak kuatnya pengakuan terhadap Hak Ulayat, penegakan hukum yang lemah setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, Eksploitasi hutan yang dilakukan para pengusaha HPH (kapitalis) telah menggeser persepsi sebagian masyarakat lokal terhadap Hutan. Hutan yang dulu dianggap memiliki fungsi ©2004 Digitized by USU digital library
22
3. 4.
5.
ekonomi dan fungsi sosial budaya yang seimbang, bergeser menjadi fungsi ekonomi yang dominan. Hal ini berpengaruh terhadap kerusakan hutan. Tekanan jumlah penduduk, baik pertumbuhan penduduk alamiah melalui angka kelahiran yang meningkat, maupun pertambahan penduduk akibat migrasi dari luar, merupakan faktor lainnya yang berpengaruh terhadap kerusakan hutan. Masyarakat di Kabupaten Dairi, khususnya di daerah lokasi penelitian memiliki kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan menjadi lahan pertanian, yaitu adanya perhatian terhadap lahan-lahan dengan tingkat kemiringan tertentu yang boleh diusahakan, larangan berladang dan berkebun pada daerah yang menjadi sumber air (mata air), dan pantang menebang pohon-pohon besar. Kearifan tradisional lainnya adalah berbagai upacara dan pantangan-pantangan memasuki kawasan tertentu yang dianggap keramat (anker). Kearifan tradisional tidak hanya ditemui pada pengelolaan kegiatan perladangan dan berkebun, tetapi juga pada kegiatan bididaya tanaman kemenyan.
6.2. Saran 1. Penegakan hukum mutlak dilakukan tanpa pandang bulu bagi para pelanggar peraturan yang berlaku, khususnya yang terkait dengan kerusakan hutan. 2. Perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam tentang eksistensi Hak Ulayat dalam upaya pelestarian dan perlindungan hutan. 3. Perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam berkaitan dengan keberadaan lembaga adat dan fungsinya, khususnya yang terkait dengan upaya pelestarian dan perlindungan hutan. 4. Perlu dilakukan penelusuran terhadap tradisi dan adat istiadat yang menjadi penghambat dan penunjang dalam pengembangan sosial. 5. Perlu dilakukan pemberdayaan peranan kepemimpinan adat. 6. Perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk mengetahui secara lebih mendalam kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat lokal berkaitan dengan pengelolaan hutan baik dari segi fauna maupun floranya. 7. Penyadaran melalui penyuluhan terhadap komunitas lokal perlu terus dilakukan, khususnya yang terkait dengan kearifan tradisional yang pernah hidup dalam komunitas mereka untuk tetap mereka pelihara dan pertahankan, khususnya yang berkaitan langsung dengan upaya pelestarian lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Berutu,
Lister dan Pasder Berutu. (2002). Kearifan Tradisional Pengelolaan Lingkungan Pada Masyarakat Pakpak di Sumatera Utara. Dalam Makmur, Mariana; Berutu Lister; dan Berutu Pasder (Ed.). 2002. Aspek-Aspek Kultural Etnis Pakpak: Suatu Eksplorasi Tentang Potensi Lokal. Medan: Monora.
Bulmer, R.N.H. 1982. Traditional Conservation Practices in Papua New Guinea. Boroko: Institute of Applied Social and Economic Research. Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. Thousands Oaks, London, Sage. Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
©2004 Digitized by USU digital library
23
Dove,
Michael R. 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Indonesia
Dalam
Eghenter, Cristina dan Bernard Sellato (Penyunting). 1999. Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Bogor: SMK Grafika Mardi Yuana. Fisher, Bob. Creating Space: Development Agencies and Local Institutions in Natural Resource Management. Newsletter. No. 22. Konradus, Blajan. 1999. Jaringan Pemasaran Gaharu, Pengelolaan Hutan, dan Dampak Sosiologis, Ekonomis, dan Ekologisnya di Kawasan Sungai Bahau. Dalam: Cristina Eghenter dan Bernard Sellato (Penyunting). Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Bogor: SMK Grafika Mardi Yuana. Makmur, Mariana; Berutu Lister; dan Berutu Pasder (Ed.). 2002. Aspek-Aspek Kultural Etnis Pakpak: Suatu Eksplorasi Tentang Potensi Lokal. Medan Monora. Maxwell, Joseph A. 1996. Qualitative Research Design: An Interactive Approach. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage. Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi: Menguak Bahasa Mitos Dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Ngindra, Fredrik. 1999. Pemenuhan Kebutuhan Pangan pada Masyarakat Suku Kkenyang Bakung di Desa Kong Aran. Dalam: Cristina Eghenter dan Bernard Sellato (Penyunting). Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan. Bogor: SMK Grafika Mardi Yuana. Siregar, Noni Astrida. 1999. Pengelolaan Hutan Dengan Sistem Perladangan Tebas Bera (Hilangnya Kearifan Tradisional Dalam Pengelolaan Hutan Mengancam Kelestarian Kawasan Penyangga (Buffer Zone) Ekosistem Leuser, Kemukiman Menggamat, Kecamatan Kluet Utara, Kabupaten Aceh Selatan. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Pelly, Usman. 1986. Pelaksanaan Penelitian Uji Coba Andalsosbud pada Proyek Transmigrasi di Kabupaten Dairi. Medan: Monora. Thrupp, Lori Ann. 1989. Legitimizing Local Knowledge: From Displacement to Empowerment for Third World People. Agriculture and Human Values. Vol. 6. No. 3.
©2004 Digitized by USU digital library
24