KEARIFAN LOKAL “LILIFUK” MENDUKUNG PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU BERBASIS MASYARAKAT
Rahmad Hidayat, Guntur Wibowo PENDAHULUAN Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut bertujuan untuk kelestarian sumberdaya dan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, aspek ekologi, sosial dan budaya masyarakat lokal dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut harus diperhatikan dan dipertahan sebagai landasan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Aspek ekologi dalam fungsi-fungsi ekosistem dan aspek sosial budaya seperti kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang tidak merusak harus dipertahankan sebagai modal utama untuk mencapai kelestarian sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kearifan lokal atau tradisional menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula bahwa kearifan lokal/tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Indonesia masih terdapat berbagai bentuk kearifan lokal dari kelompok masyarakat adat yang mempraktekkan cara tradisional untuk mengelola
sumberdaya pesisir, seperti Sasi di Papua dan Maluku, Awig-awig di Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi sejalan dengan proses dinamika kehidupan masyarakat, kearifan lokal terdegradasi dengan nilai-nilai dan norma adat yang memudar, karena perkembangan dan tantangan kehidupan yang semakin kompleks. Sejumlah substansi kearifan lokal yang pernah dianut dalam masyarakat tidak lagi menjadi pedoman berperilaku. Kearifan lokal dalam pelestarian wilayah pesisir misalnya untuk menjaga dan mengatur sistem penangkapan ramah lingkungan, saat ini sudah menghilang dan digantikan dengan sistem eksploitasi berlebihan. Seiring adanya perubahan rezim pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi mengubah sistem hukum Indonesia, termasuk di bidang kelautan dan perikanan. Bahwa kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dapat melibatkan masyarakat lokal melalui kemitraan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Keikutsertaan
masyarakat lokal dan kearifan lokal diakui secara hukum dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Pengakuan tersebut tercermin dalam kebijakan tentang perlindungan SDA dan keterlibatan masyarakat, seperti UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan jo UU No. 45 tahun 2009, UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo UU No. 01 tahun 2014, dan PP 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Berbagai upaya pengelolaan kawasan pesisir dan laut yang berkelanjutan adalah dengan melakukan upaya konservasi yang berbasis masyarakat, partisipatif dan kolaboratif.
Kawasan Konservasi Perairan Nasional Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No. 5 tahun 2014 yang meliputi perairan Selat Sumba dan Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek seluas 3.355.352,82 hektar di 10 Kabupaten Propinsi Nusa Tenggara Timur. Tujuan penetapan Taman Nasional Perairan Laut Sawu adalah mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya sebagai bagian wilayah ekologi perairan laut Sunda Kecil (Lesser Sunda Marine Eco-Region), melindungi dan mengelola ekosistem perairan Laut Sawu dan sekitarnya, sebagai platform pembangunan daerah (bidang perikanan, pariwisata, masyarakat pesisir, pelayaran, ilmu pengetahuan dan konservasi) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mata pencaharian yang berkelanjutan (sustainable livelihood). Dalam dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu terdapat sekitar 20 kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat desa pesisir di TNP Laut Sawu. Dari dekitar 20 kearifan lokal yang ada di TNP Laut Sawu Salah satu contohnya adalah Lilifuk di Kabupaten Kupang tepatnya di Desa Kuanheum, Kecamatan Kupang Barat.
KONDISI UMUM DAN POTENSI DESA KUANHEUM Desa Kuanheun terletak di bagian Barat Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara
:
Desa Bolok
Sebelah Selatan
:
Desa Oematnunu
Sebelah Barat
:
Selat Semau/Laut Sawu
Sebelah Timur
:
Kelurahan Batakte
Luas wilayah desa Kuanheun secara keseluruhan adalah 2146 Ha. Dari total luas wilayah Desa Kuanheun tersebut dibagi menjadi 8 (delapan) penggunaan yaitu : Luas Wilayah menurut penggunaan Tahun 2014 No
Penggunaan
Luas Wilayah (Ha)
1
Luas Pemukiman
658
2
Luas Persawahan
280
3
Luas Perkebunan
128
4
Luas Kuburan
40
5
Luas Pekarangan
740
6
Luas Taman
100
7
Perkantoran
25
8
Luas Prasarana umum lainnya
175
Jumlah
2146
Sumber : Daftar isian profil Desa Kuanheun, 2014
Topografi dan Klimatologi Keadaan topografi Desa Kuanheun secara umum merupakan dataran rendah dengan tingkat kemiringan 0.10 (Daftar isian profil Desa Kuanheun 2014) dan terletak di pesisir pantai. Sedangkan keadaan iklim di Desa Kuanheun pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu beriklim tropis dengan : 1.
Suhu rata-rata 31.5°C
2.
Jumlah bulan hujan selama 3 (tiga) bulan.
3.
Curah hujan 1000 mm
KEADAAN SUMBERDAYA ALAM A. Pertanian Sumberdaya pertanian Di Desa Kuanheun, dapat dikatakan sangat tergantung dengan kondisi alam dan musim. Lahan pertanian yang ada umumnya relatif terbatas sebagai akibat kondisi tanah yang kurang menguntungkan. Potensi pertanian di Desa Kuanheun meliputi : 1. Pertanian tanaman pangan Pertanian tanaman pangan di Desa Kuanheun memiliki 2 komoditas, meliputi : a. Komoditas tanaman pangan No.
Jenis
Luas (Ha)
Jumlah produksi (Ton/ha)
1.
Jagung
100
1.5
2.
Kacang Tanah
308
0.8
3.
Padi Ladang
280
0.5
4.
Ubi Kayu
5
0.7
No.
Jenis
Luas (Ha)
Jumlah produksi (Ton/ha)
5.
Ubi Jalar
0.7
0.2
6.
Tomat
0.2
0.4
7.
Sawi
0.1
0.4
8.
Bayam
0.1
0.1
9.
Terong
0.1
1
10.
Kangkung
0.2
0.2
Sumber : Daftar isian profil Desa Kuanheun, 2014 b. Komoditas buah - buahan No.
Jenis
Luas (Ha)
Jumlah produksi (Ton/ha)
1.
Mangga
0.4
6
2.
Papaya
0.2
2
3.
Pisang
0.4
1
4.
Semangka
0.1
-
Sumber : Daftar isian profil Desa Kuanheun, 2014 Pemasaran untuk hasil tanaman pangan diatas dilakukan dengan berbagai cara, yaitu 1). Dijual langsung ke konsumen; 2). Dijual ke pasar; 3). Dijual melalui pengecer; dan 4). Tidak dijual. 2. Tanaman Apotik Hidup dan sejenisnya Potensi tanaman apotik dan sejenisnya di Desa Kuanheun meliputi tanaman kunyit dan lengkuas.
B. Perkebunan Tanaman perkebunan yaitu Jambu Mete yang diusahakan oleh 6 (enam) Keluarga dengan luas lahan kurang dari 10 Ha yang diusahakan oleh 5 Keluarga. Pemasaran untuk hasil tanaman perkebunan diatas dilakukan dengan berbagai cara, yaitu 1). Dijual langsung ke konsumen; 2). Dijual ke pasar hewan; dan 3). Tidak dijual C. Kehutanan Ada tiga tipe kepemilikan lahan di Desa Kuanheun yaitu 1). Milik Negara seluas 240 Ha; 2). Milik adat/ulayat seluas 508 Ha; 3). Milik masyarakat perseorangan seluas 1398 Ha. Hasil hutan yang ada di Desa Kuanheun diantaranya yaitu; No.
Hasil Hutan
Jumlah Produksi
1.
Kayu
8 m3/th
2.
Bambu
12 m3/th
3.
Jati
10 m3/th
4.
Lontar
100 ton/th
5.
Gula Lontar
0.4 ton/th
Sumber : Daftar isian profil Desa Kuanheun, 2014 D. Peternakan Jenis populasi ternak di Desa Kuanheun meliputi; No.
Jenis Ternak
Jumlah Pemilik
Perkiraan Jumlah Populasi
(orang)
(ekor)
1.
Sapi
275
1.850
2.
Babi
328
2.112
3.
Ayam Kampung
328
1.603
4.
Jenis Ayam Broiler
18
12.600
No.
Jenis Ternak
Jumlah Pemilik
Perkiraan Jumlah Populasi
(orang)
(ekor)
5.
Kambing
46
730
6.
Anjing
120
440
7.
Kucing
200
200
E. Perikanan Perairan laut Desa Kuanheun merupakan bagian dari Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu, memiliki potensi perikanan yang cukup baik dan sudah memiliki pengelolaan secara tradisional melalui kearifan lokal yang disebut LILIFUK. Produksi perikanan laut masih sangat terbatas dikarenakan sebagian besar masyarakat lebih dominan dengan budidaya Rumput laut.
SUMBERDAYA MANUSIA Kepadatan Penduduk Jumlah penduduk Desa Kuanheun adalah 1506 jiwa dengan jumlah lakilaki berjumlah 718 jiwa dan perempuan 788 jiwa. Pekerjaan penduduk Desa Kuanheun yang paling dominan adalah Petani.. Lembaga
yang
bertanggungjawab
untuk
perlindungan dan pesletarian sumberdaya pesisir
menjamin
pelaksanaan
di Desa Kuanheum adalah
Pemerintah Desa, BPD, LINMAS Desa, Pokmaswas dan pihak berwenang lainnya.
KEARIFAN LOKAL “LILIFUK” Kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sudah terbukti dapat menjamin keberlangsungan sumberdaya tersebut. Hal ini perlu diperhatikan untuk memperkuat ataupun mengembalikan budaya yang sudah tidak dilaksanakan. Upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kearifan lokal untuk sumberdaya pesisir dan laut perlu dilakukan, yaitu memperkuat kelembagaan masyarakat lokal, peningkatan apresiasi budaya lokal dan menggali substansi kearifan lokal yang mulai memudar. TNP Laut Sawu memiliki banyak kearifan lokal yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi, seperti budaya Lilifuk di Kabupaten kupang. Lilifuk merupakan suatu upaya masyarakat untuk mendukung konservasi pesisir dan laut yang terdiri dari penagkapan ikan dengan alat dan cara ramah lingkungan. Kearifan lokal pengelolaan Lilifuk bermjla pada kebiasaan masyarakat yang mencadangkan suatu area tertentu pada wilayah perairan desa yang hanya mengijinkan operasi penangkapan ikan 2 (dua) kali dalam satu tahun. Lilifuk adalah suatu kolam besar yang dipenuhi dengan rumput halus yang menjadi pusat atau penuh dengan ikan lada dan ikan dusung yang berada di tepi laut. Apabila air laut surut, maka kolam besar ini akan tampak dengan kedalam maksimum 5 meter dengan luas 20.000 m2. Lilifuk berada didalam penguasaan suku Baineo penduduk kampung RT 14 Taunesi Desa Kuanheun. Lilifuk atau dengan kata lain menurut istilah Lokal Masyarakat Desa Kuanheun yakni Nifu adalah ; Daerah
cekung pada permukaan dasar perairan
Pantai yang menyebabkan adanya genangan air laut pada saat surut tertinggi . Kondisi tergenangnya air laut pada saat surut ini menyerupai Kolam besar diLaut
,sehingga masyarakat Desa Kuanheun menyebutnya dengan istilah Nifu dalam bahasa Dawan yang artinya Kolam. Terbentuknya Lilifuk/ Nifu Loles yang di Prakarsai oleh salah satu Suku/ Klan adat di Desa Kuanheun yakni Suku/ Klan Baineo, terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu , menurut seorang Nara sumber yang juga adalah salah seorang Anak suku /Klan Baineo menuturkan bahwa , Hak penuh Suku/Klan Baineo terhadap Lilifuk/ Nifu Loles diawali dengan Perang antara Suku/ Klan Baineo ( Suku di Desa Kuanheun) dan Suku/ Klan Lai Kopan ( Suku di Desa Bolok)memperebutkan Tiga gugusan Lokasi terhitung dari lokasi perairan pantai (Tinmau) Nama Tinmau adalah sebuah kolam yang sederetan dengan Lilifuk/ Nifu Loles ,memiliki kedalaman lebih dari 15 Meter,berbentuk lingkaran yang berdiameter ± 500 Meter dan dasar kolam tersebut terdiri dari populasi terumbu karang yang merupakan tempat berkembangbiaknya ikan ,kondisi inilah yang menyebabkan daerah pantai Loles sangat Strategis untuk dilestarikan sebagai sebuah Lilifuk. Sebuah padang yang saat ini dijadikan lahan pertanian (Sel Baun) dan Oeli’i. yang menurut istilah adat Suku Baineo bahwa Oeli’i adalah bagian Kepala Tanah, Sel Baun adalah Badan Tanah dan Tinmau adalah Kaki Tanah. Dalam Peperangan tersebut terdengar Kalimat-kalimat umpatan yang dilontarkan oleh kedua Kubu sehingga terdengar sebuah kata Umpatan (Maki) dalam bahasa Dawan yang ditujukan suku/Klan Baineo kepada Suku/ Klan Laikopan Yang berbunyi HO LOEL MAN yang artinya Kau punya Otak , bermaksud menghina cara berpikirnya suku/ Klan Laikopan . Sehingga Sejak saat itu tempat / pantai dimana terjadi peperangan itu dinamakan Pantai Loles ( terjemahan dari kata Ho LoEL MAN). Dalam peprangan itu Suku / Klan Laikopan mengalami kekalahan
dan melarikan diri ke Pulau Semau. Sehingga Suku/Klan Baineo memiliki hak penuh terhadap ketiga Lokasi itu. Sejak Suku Baineo menguasai Lilifuk maka pengelolaannya pun diatur berdasarkan kesepakatan adat suku Baineo. Selain itu juga terdapat ragam larangan dalam pengelolaan lilifuk ini antara lain: Bahwa setiap orang dilarang masuk dan mengambil ikan di dalam Lilifuk/Nifu Loles sampai dengan batas waktu yang ditentukan. Masa panen Lilifuk/Nifu Loles dilaksanakan satu kali dalam setahun, kebiasaan setahun sekali ini dikenal dengan istilah TUT NIFU, namun yang sekarang menjadi wacana adalah panen Lilifuk dilakukan 2 tahun sekali yaitu pada bulan Juni dan bulan Desember. Pada saat panen Lilifuk/Nifu Loles diharuskan memberi undangan kepada desadesa tetangga. Upeti/kontribusi bagi suku Baineo selaku pemilik Lilifuk/Nifu Loles pada saat panen adalah beberapa ekor ikan yang diambil dari hasil tangkapan setiap undangan yang datang dalam istilah adatnya adalah TANAIB IKA artinya seikat ikan. Semua larangan tersebut ditetapkan dalam sebuah upacara ritual yang dikenal dengan istilah adat yakni TASAEB TALAS yang artinya mendirikan rambu-rambu. Sedangkan sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggar adalah, apabila ada oknum-oknum yang kedapatan melanggar maka akan dikenakan sanksi barupa 1 (satu) ekor hewan (sapi, babi dan kambing) dan berdasarkan peraturan tersebut maka bagi pelaku yang melakukan pencurian ikan di Kolam Lilifuk pada masa penutupan akan dikenakan sanksi adat berupa babi 1 ekor
dengan beras 100 kg dan juga bagi pelaku yang menggunakan pukat garu yang dapat mengakibatkan rusaknya lilifuk akan dikenakan sanksi adat berupa uang Rp. 500.000,-. Upaya melegalisasi nilai-nilai tradisional dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya pesisir telah dilakukan oleh lembaga pemerintahan desa melalui Peraturan Desa Nomor 1 tahun 2012 tentang Perlindungan Sumberdaya Laut di Wilayah Lilifuk. Peraturan ini dibuat berdasarkan pada nilai, norma dan prinsip yang dianut sejak turun-temurun oleh masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya pesisir. Peraturan ini sekaligus menggambarkan adanya kemauan dan kegiatan pemerintahan desa, lembaga adat, dan masyarakat untuk memunculkan kembali fungsi kearifan lokal dalam pelestarian sumberdaya pesisir dan laut. Perdes ini mengatur pengelolaan wilayah pesisir dalam kegiatan penangkapan ikan, budidaya, pariwisata, dan pertambangan pasir laut. Juga mengatur fungsi dan peran masyarakat dalam perlindungan sumberdaya laut dan pesisir, peran kelembagaan desa seperti Pemerintah Desa, Badan Permusyaratan Desa, Linmas Desa, dan Kelompok Masyarakat Pengawas. Selanjutnya Perdes ini mengatur mengenai pendanaan berkelanjutan bagi pelestarian dan perlindungan sumberdaya pesisir, larangan dan sanksi bagi yang melanggar Perdes.
LARANGAN DAN SANKSI Sejak Suku Baineo menguasai Lilifuk/Nifu Loles maka manajemen pengelolaannya pun diatur berdasarkan kesepakatan Adat Suku Baineo pada saat itu . Larangan yang diatur adalah sebagai berikut : Bahwa setiap orang dilarang masuk dan mengambil Ikan didalam Lilifuk/ Nifu Loles sampai dengan batas waktu yang ditentukan Masa Panen Lilifuk/ Nifu Loles dilaksanakan satu kali dalam setahun, kebiasan setahun sekali ini dikenal dengan istilah TUT NIFU Pada saat Panen Lilifuk / Nifu Loles diharuskan memberi undangan kepada Desa -desa tetangga Upeti/ Kontribusi bagi Suku Baineo selaku pemilik Lilifuk/ Nifu Loles pada saat panen adalah beberapa ekor Ikan yang diambil dari hasil tangkapan setiap undangan yang datang yang dalam istilah Adatnya adalah TANAIB IKA artinya ; seikat Ikan Semua larangan tersebut ditetapkan dalam sebuah upacara Ritual yang dikenal dengan istilah Adat yakni TASAEB TALAS yang artinya mendirikan Rambu-rambu. Dalam Peraturan Desa ini, terdapat 7 larangan yang disertai dengan 12 sanksi bagi setiap pelanggar. Larangan dalam peraturan desa ini, antara lain setiap orang dilarang menggunakan alat tangkap yang merusak biota laut, dilarang menangkap ikan di zona kearifan lokal (Lilifuk) sebelum waktunya, dilarang merusak, mengambil penyu, dan terumbu karang, dilarang melakukan pencurian, termasuk pasir dan batu laut, dilarang dilakukan pencemaran laut, serta dilarang merusak tempat pengeringan garam.
Sanksi bagi pelanggar yang terbukti melakukan kegiatan yang dilarang oleh Perdes yaitu sanksi adat, misalnya setiap orang yang menggunakan pukat garu dalam Lilifuk dikenai sanksi adat berupa denda Rp 1 juta dan beras 100 kg, setiap orang yang menggunakan sorok lingkar dikenakan sanksi Rp 500.000. Juga ada sanksi bagi setiap orang yang melakukan penangkapan ikan dengan bubu, menangkap penyu, penggunaan bom dan racun ikan, merusak terumbu karang, pencurian ikan di zona kearifan lokal, pencemaran perairan dan pengrusakan tempat pengeringan garam.
ZONA KEARIFAN LOKAL DALAM TNP LAUT SAWU Salah satu tujuan pengembangan TNP Laut Sawu adalah pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat. Potensi kearifan lokal yang ada dimasyarakat dapat menjadi salah satu faktor pendukung terlaksananya tujuan ini. Dengan merevitalisasi kearifan lokal, maka masyarakat dapat ikut serta mendukung upaya perlindungan terhadap sumberdaya pesisir dan laut yang ada di desa pesisir pada kawasan konservasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu. TNP Laut Sawu terdiri dari 4 Zona yaitu Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan dan Zona Lainnya. Zona Kerifan Lokal adalah Zona Lainnya yang diperuntukkan untuk melindungi daerah-daerah yang memiliki nilai-nilai budaya-tradisional yang penting dan mengakomodir kearifan lokal masyarakat yang terdapat dan tersebar di masing-masing daerah di dalam kawasan TNP Laut Sawu yang mempunyai keunikan dan mendukung upaya konservasi. Kegiatan yang diperbolehkan di zona kearifan lokal yaitu pariwisata dan rekreasi, penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan,
budidaya ramah lingkungan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan alur pelayaran.
Sementara kegiatan dilarang adalah pembangunan infrastruktur
pariwisata, menggunakan bahan beracun, kompresor dan bom, penangkapan ikan dengan pukat, menangkap jenis yang dilindungi (penyu, lumba-lumba, paus), dan merusak ekosistem penting (mangrove, terumbu karang dan lamun). Tabel 1. Potensi, Fitur dan Letak Zona Kearifan Lokal Lilifuk Lokasi/
Kategori Fitur
ID_Zona/Luas
Konservasi
Koordinat
Zona
Potensi BT
LS
123° 29'
10° 15'
51,25"
53,32"
123° 29'
10° 15'
46,44"
54,39"
Dalam dan
123° 29'
10° 15'
Oseanografi
43,42"
45,65"
123° 29'
10° 15'
47,02"
44,81"
Zona
Desa
Habitat Wilayah
Lainnya
Kuanheun
Pesisir
Sub Zona
ID_ Zona
Kearifan
3000
Lokal
Luas 3,79 ha
Terumbu Karang
Lamun
Habitat Perairan
Upwelling
Kondisi yang
Lilifuk (Kearifan
Mendukung
Lokal)
Konservasi
Pos pengawasan
123° 29'
10° 15'
(Polair dan TNI
47,07"
44,80"
123° 29'
10° 15'
51,25"
53,32"
AL)
Sumber : Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu
PENUTUP Kearifan lokal dalam tradisi, perilaku dan pengetahuan lokal memiliki nilai-nilai ekologis dan prinsip pelestarian lingkungan pesisir sebagai bentuk kecerdasan ekologis masyarakat perlu dipertahankan dalam rangka mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan. Dengan adanya kawasan TNP Laut Sawu dapat mengakomodir kearifan masyarakat lokal di Nusa Tenggara Timur dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut berbasis masyarakat. Kearifan lokal di TNP Laut Sawu yang sudah direvitaliasi adalah Lilifuk di Desa Kuenheun Kabupaten Kupang. Upaya pelestarian kearifan ini sudah dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Desa Kuenheum tentang perlindungan sumberdaya laut di wilayah Lilifuk.
Dengan adanya peraturan ini dapat
bermanfaat bagi upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di TNP Laut Sawu. Agar upaya pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya pesisir dapat dijalankan secara efektif dan optimal oleh masyarakat, maka perlu keterlibatan kelembagaan lokal lembaga adat dan pemerintahan desa, memunculkan kembali peran lembaga adat dalam kearifan lokal dan peningkatan peran dan partisipasi masyarakat dalam upaya pemanfaatan dan perlindungan kawasan.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous.
2014. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 6 tahun
2014 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu 2014 – 2034. --------------- . 2012. Peraturan Desa Kuanheum Nomor 1 tahun 2012 tentang Perlindungan Sumberdaya Laut di Wilayah Lilifuk. Dahuri, R., S.P. Ginting, J. Rais, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Keraf, A. Sony. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Yayasan Pengembangan Pesisir dan Laut, 2010. Pemetaan Partisipatif Taman Nasional
Perairan
Laut
Sawu.
Conservancy. Kupang, Indonesia
Laporan
untuk
The
Nature
LAMPIRAN
Gambar 1. Peta lokasi Lilifuk dalam TNP Laut Sawu
Gambir 2. Kegiatan Sosialisasi dan Peresmian Lilifuk kepada masyarakat
Gambar 3. Papan Informasi dan aturanLilifuk
Gambar 4. Panen Ikan di Lilifuk yang dilakukan 2 kali dalam setahun