MINA WISATA SETASEAN DI TAMAN NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR
Nama
: Rayzcha Hotty
NIM
: 1304051010
Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang 2015
Taman Nasional Perairan Laut Sawu Sejak 2009, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan Laut Sawu sebagai salah satu Taman Nasional Perairan (TNP).terletak di wilayah perairan Selat Sumba dan perairan Timur Rote-Sabu-Batek. Taman yang juga terletak di Ecoregion Lesser Sunda ini berada pada koordinat 118° 54’54,44” BT, 124° 23’ 17,.089” BT dan 8045’49,964” LS 11° 9’43,919” LS.Wilayah perairan yang terletak di bentang laut Paparan Sunda Kecil ini dikelilingi oleh rangkaian kepulauan yakni Pulau Timor, Sabu, Sumba, dan Flores dan Kepulauan Alor. Kawasan TNP Laut Sawu dicadangkan berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.38/MEN/2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas 3.521.130,01 hektar yang terdiri dari 2 (dua) wilayah yaitu perairan Selat Sumba dan sekitarnya seluas 567.165,37 hektar dan perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek dan sekitarnya seluas 2.953.964,37 hektar. Secara administratif, kawasan TNP Laut Sawu terletak di Kabupaten Kupang, Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Sabu Rajua, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Barat Daya. Taman Nasional Perairan Laut Sawu telah ditetapkan 18 titik koordinat batas kawasan dan telah dimasukkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 38 tahun 2009 tentang pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu memiliki cakupan 151 desa pesisir (zona perairan Selat Sumba dan zona perairan pulau Timor-Rote-Sabu-Batek) dan 28 kecamatan.Total penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 4.448.873 jiwa dengan kepadatan penduduk 93,96 jiwa per km2, dengan laju pertumbuhan penduduk 1,79 persen per tahun (BPS Provinsi NTT, 2008). Perairan Laut Sawu memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat melimpah.Lebih dari itu, perairan ini menjadi lintasan berbagai biota laut yang dilindungi. Karena keunikan tersebut, maka kawasan perairan Laut Sawu dan sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur ditetapkan sebagai Taman Nasional Perairan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.05 Tahun 2014 yang 2
Rayzcha Monicha Immerganzhia Hotty
ditandatangani tanggal 27 Januari 2014 sebagai tindak lanjut KepMen KP 38/Men/2009 (pencadangan).Laut Sawu merupakan jalur migrasi 31 spesies mamalia laut yang terdiri dari 18 spesies Paus, 12 spesies Lumba-lumba, dan 1 spesies dugong ditemukan, diantaranya adalah Blue Whale (Balaenoptera musculus), Sperm Whale (Physeter macrocephalus), Pygmy Killer Whale (Feresa attenuata), Short-finned Pilot Whale (Globicephala macrohynchus), Risso’s Dolphin (Grampus griseus), Pantropical Spotted Dolphin (Stenella attenuata), Spinner Dolphin (Stenella longirostris), Rough-toothed Dolphin (Steno bredanensis), dan Bottlenose Dolphin (Tursiops truncatus) (Pet-Soede, 2002). Hasil pengamatan Kahn (2005) terhadap paus sepanjang tahun 2001-2005 di perairan Pulau Solor dan Pulau Alor, mengungkapkan bahwa beberapa jenis paus telah "menetap" di Laut Sawu, antara lain: paus sperma (sperm whale), paus pembunuh kerdil (pigmy killer whale), paus kepala semangka (melon headed whale), lumba-lumba paruh panjang (spinner dolphin), lumba-lumba totol (pan-tropical spotted dolphin), lumbalumba gigi kasar (rough-toothed dolphin), lumba-lumba abu-abu (risso's dolphin), dan lumba-lumba Fraser (Fraser's dolphin). Khan juga mengungkapkan bahwa paus tersebut meskipun bermigrasi namun paus tetap kembali ke Laut Sawu dan sekitarnya.Hal ini menunjukkan bahwa Laut Sawu merupakan habitat paus. Selain paus, lumba-lumba juga sering ditemukan.Namun demikian, jumlah lumba-lumba lebih banyak dibanding paus. Pada saat musim, jumlah paus yang dapat dilihat sekitar 30 ekor sedangkan lumba-lumba sekitar 100 s/d 200 ekor. Jenis lumbalumba tersebut adalah Temu Bele (Common Dolphin), Temu Noteng (Spinner Dolphin), Temu K Bong, dan Temu Kire (Risso's Dolphin). Jenis penyu yang sering ditemukan adalah Penyu Mobbo (hitam bintik putih, kulit halus dan tipis) dan Kea (Kulit merah, hitam). Rusydi, dkk (2013) melaporkan bahwa keberadaan setasea selalu terlihat (sighting) baik dari kelompok paus maupun kelompok lumba-lumba terdapat hampir merata di 10 kabupaten lokasi studi pada sekitar 33 titik lokasi untuk kelompok paus dan sekitar 37 titik lokasi untuk kelompok lumba-lumba. Waktu sighting setasea dari kelompok paus secara umum adalah sepanjang tahun, terutama pada Bulan September Oktober sebagaimana terjadi pada 2010 hingga 2012.
3
Rayzcha Monicha Immerganzhia Hotty
Arah pergerakan dari sighting paus dan lumba-lumba pada setiap lokasi juga terjadi secara bervariasi. Arah pergerakan setasea dari kelompok paus yang terlihat oleh para nelayan pada umumnya adalah ke arah Timur, dan sedikit ke arah selatan dan utara.Sementara untuk setasea dari kelompok lumba-lumba pada umumnya arah pergerakannya tidak menentu namun memiliki kecenderungan tetap ke arah Timur, baru kemudian ke arah Barat, Selatan dan sedikit ke Utara (Rusydi, dkk, 2013). Dengan demikian dengan jalur migrasi setasea pada Laut Sawu merupakan potensi besar dalam mengembangkan pengelolaan konservasi terpadu, untuk mencapai keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya dan keuntungan sosial-ekonomi bagi masyarakat agar tercipta harmonisasi dan kesejahteraan. Potensi Industri Wisata Setasea Menonton setasea merupakan salah satu industri di dunia yang kini berkembang pesat dengan pendapatan di seluruh dunia lebih dari 1,5 miliar dolar US setiap tahunnya (Hoyt, 2001). Lebih dari 90 negara pesisir mendapat manfaat dari pengembangan operasional menonton Paus yang dikelola dengan baik (Hoyt,2004). Industri ini di Indonesia masih dalam pertumbuhan, dengan menggunakan pendekatan klaster, industriini dapat dikembangkan sebagai minapolitan berbasis mina wisata.Wisata menonton Setasea bisa menjadi industri wisata bahari baru yang bernilai ekonomi tinggi untuk negara berkembang dan berbentuk kepulauan seperti Indonesia.Provinsi NTT dan Laut Sawu khususnya, memiliki potensi untuk mengambil bagian dalam pembangunan wisata bahari ini (Kahn, 2013). Diharapkan pula, bahwa pelaku bisnis dalam industri ini tetap menerapkan konsep bisnis berkelanjutan yang terfokus kepada keseimbangan antara people, profit dan planet (P3). Hal ini dinilai penting untuk mengurangi persoalan kerusakan lingkungan.Ketiga pertimbangan itu dimasukkan ke dalam setiap komponen kegiatan usaha untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat. Melalui pendekatan sistem berbasis wilayah (klaster minapolitan) yang sejalan dengan program kebijakan pengembangan ekonomi dan pembiayaan usaha kelautan dan perikanan (Kemenko Ekonomi, 2010) yang tertulis dalam strategi utama pembangunan 2010-2014. Pendekatan klaster minapolitan dalam pengembangan sumberdaya
4
Rayzcha Monicha Immerganzhia Hotty
perikanan dapat diartikan sebagai suatu bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan di suatu lokasi tertentu seperti yang dinyatakan dalam Porter, 2013. Klaster Minapolitan yang baik dicirikan oleh tingginya tingkat keterkaitan berbagai kegiatan yang saling mendukung antara satu pelaku dengan pelaku yang lain. Dalam rangka mencapai tingkat keberhasilan industri mina wisata, beberapa faktor kunci yang harus diperhatikan dalam klaster minapolitan antara lain: pertama, tercipta kemitraan dan jaringan (networking) yang baik; kedua, adanya inovasi, riset dan pengembangan. Inovasi secara umum berkenaan dengan pengembangan produk atau proses, sedangkan riset dan pengembangan berkenaan dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, tersedianya tenaga kerjaatau sumber daya manusia (SDM) yang handal. Produktivitas SDM merupakan salah suatu indikator keberhasilan dari sebuah klaster. Dengan SDM yang handal dan memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, maka keberadaan kapital maupun kelembagaan dapat dijalankan dengan baik. Strategi untuk industri menonton paus dan setasean lainnya berbasis klaster yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut: 1. Klaster Pemasaran atau PromosiMina Wisata Di dalam klaster ini pelaku usaha dapat mempromosikan atau memperkenalkan industri menonton Paus, lewat leaflet ataupun website dengan penambahan itenary jika diperlukan. Menurut kajian Rusidy dkk,2013 bahwa waktu sighting setasea di 33 titik lokasi ini menjadi acuan untuk jalur wisata/kapal pada saat proses menonton paus, 33 titik yang akan dipaparkan pada wadah promosi, dengan sedikit sentuhan fotografi/seni.Bentuk apresiasi bahwa wisatawan telah dating ke wisata setasean di TNP Laut Sawu adalah pemberian sertifikat telah mengikuti wisata setasean.Klaster pemasaran dapat dikelola oleh masyarakat dengan pendampingan dari pemerintah daerah atau swasta.Lokasi yang paling memungkinkan untuk klaster pemasaran ini berada di Kota Kupang sebagai ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Akses dari dan ke lokasi wisata menjadi lebih mudah dalam transportasi baik laut dan udara ke lokasi mina wisata jika berada di Kota Kupang sebagai sentra klaster mina wisata setasean.Untuk keperluan klaster ini, diperlukan pelabuhan khusus sesuai dengan peruntukkan kapal wisata untuk mina wisata setasesean.
5
Rayzcha Monicha Immerganzhia Hotty
2. Klaster Produksi atau Proses KegiatanMina Wisata Klaster ini memuat rangkaian kegiatan perjalanan pertunjukan dan tontonan Setasea di Perairan Laut Sawu berbasis edukasi.Contoh kegiatan yang dapat dilakukan seperti pengisian kuesioner penampakan paus, pengambilan gambar paus/setasean, diskusi tentang tingkah laku paus yang nampak, dan sebagainya.Lokasi klaster ini haruslah dinamis sesuai dengan rute perjalanan mina wisata.Lokasi klaster yang ditawarkan adalah: a) Klaster Produksi I meliputi: Kupang – Alor – Lembata b) Klaster Produksi II meliputi: Kupang – Rote – Sabu Kedua lokasi klaster ini ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya tentang keberadaan setasean di TNP Laut Sawu. Pada klaster produksi ini, kapal wisata harus dilengkapi dengan peralatan menonton setasean seperti teleskop atau teropong, kamera digital jarak jauh, peralatan keselamatan laut, dan sebagainya. Klaster ini merupakan klaster inti atau titik keberhasilan dari industri menonton setasean; oleh karena itu perlu disiapkan dengan cermat dan kompherensif. 3. Klaster Pendukung Mina Wisata Klaster pendukung berupa kegiatan yang akan dilakukan setelah tontonan di perairan usai, pada sesi ini para penonton dapat melihat-lihat pertunjukan budaya (tarian daerah, nyanyian adat, kegiatan tenunadat, dll), dan juga kerajinan tanganyang dilakukan oleh masyarakat lokal. Lokasi dari klaster pendukung ini berada di Desa Lamakera - Kabupaten Lembata(terdapat desa adat untuk ritual penangkapan paus yang mana merupakan kearifan lokal) dan Desa Nembrala - Kabupaten Rote (terdapat beberapa desa wisata konservasi penyu, desa wisata alam yang menyuguhkan keunikan sumberdaya alam seperti laut mati dan lokasi surfing internasional yang dapat menjadi minat wisata lainnya).
Kemitraan merupakan salah satu kunci keberhasilan dari industrimenonton paus dan setasean lainnya, dan membutuhkan kerjasama yang baik daripara stakeholder seperti, pemerintah daerah dan provinsi, perguruan tinggi, LSM/NGO, serta operator wisata bahari (pemandu wisata, travel and tour unit, kapten dan ABK serta reservasi). Upaya konservasi dan minat pengembangan industri paus dari pemerintah pusat dan
6
Rayzcha Monicha Immerganzhia Hotty
daerah sudah terlihat dalam pembentukan Dewan Konservasi Perairan Provinsi Nusa Tenggara Timur (DKPP NTT) dan Kelompok Kerja Setasean (kelompok kerja dari beberapa instansi kerja yang dbentuk oleh Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional atau disingkat dengan BKKPN). Namun perjuangan konservasi dan wisata paus/setasea ini tidak mudah tapi bukan mustahil untuk dilakukan, perlu adanya visi yang sama bagi stakeholders dan mengesampingkan ego sektoral. Untuk keperluan ini kebijakan daerah seperti Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Gubernur (Pergub) dibutuhkan sebagai alat penggerak dan pemersatu berbagai stakeholders dari industi mina wisata. Beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan industri mina wisata, diantaranya : 1) Daya dukung kawasan dengan potensi wisatawan. Setiap waktu berlangsungnya kegiatan di perlukan ketersediaan ruang yang cukup untuk jumlah wisatawan yang dating sesuai persayaratan jumlah maupun kuota yang ditetapkan. Misalnya, berapa jumlah pengunjung maksimal yang diperbolehkan masuk ke lokasi wisata per satu trip atau perjalanan. Kedepannya, dibatasi jumlah kapal wisata dan wisatawan berdasarkan hasil penelitian dari perguruan tinggi atau lembaga pendidikan yang pernah melakukan penelitian tentang mina wisata setasean. 2) Limbah Domestik Pembuangan limbah meningkat pesat di dan sekitar Teluk Kupang dan daerah lainnya di Laut Sawu (Laporan Akhir Pokja Setasean, 2014). Dampak terhadap setasea sangat signifikan dan sering fatal seperti menelan plastik akan menyebabkan penyumbatan lambung dan selanjutnya mati kelaparan, belitan jaring yang dibuang. Limbah menjadi perhatian bagi pengguna wisata atau wisatawan dalam rangka menjaga kelestarian biota laut dan kebersihan laut.Terkait dengan industri mina wisata setasean, aturan mengenai limbah wisatawan harus tertuang dalam Perda tentang Industri Mina Wisata Setasean. Industri mina wisata ini haruslah berbasis lingkungan, misalnya larangan membawa plastik atau penggunaan bahan yang mengandung zat kimia seperti sabun, deterjen, dan sebagainya.
7
Rayzcha Monicha Immerganzhia Hotty
3) Pengelolaan Berbasis Masyarakat. Masyarakat adalah kunci utama dalam kemitraan pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan harus sesuai dengan prinsip Community Based Management (CBM), yaitu menggunakan pendekatan “bottom up”, dimana pemerintah maupun LSM memfasilitasi semua partisipasi lokal stakeholder (masyarakat) dalam planning, research, development, management dan policy sehingga bukan hanya kesejahteraan masyarakat itu sendiri, tetapi dampak baik pengelolaan untuk lingkungan yang sehat. Misalnya, untuk keperluan pemandu wisata diambil dari pemuda/i lokal (baik sekolah ataupun lulusan diploma) di daerah yang dilatih dengan standar pelayanan dunia internasional dan diberikan sertifikat khusus untuk menjadi pemandu mina wisata, koperasi mina wisata untuk keperluan produksi cenderamata (handy craft) lokal seperti produksi tenun adat, cenderamata berbahan limbah lokal seperti tempurung kelapa, cangkang kerang atau tiram dan sebagainya.
Semoga ide dan pemikiran ini dapat menjadi salah satu destinasi wisata dalam Visit Wonderful Indonesia selain Danau Kelimutu dan Pulau Komodo di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? Salam Konservasi…
8
Rayzcha Monicha Immerganzhia Hotty