KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI EKOSISTEM MANGROVE SILVOFISHERY DAN MANGROVE ALAMI KAWASAN EKOWISATA PANTAI BOE KECAMATAN GALESONG KABUPATEN TAKALAR
SKRIPSI
Oleh: ANGGI AZMITA FIQRIYAH MARPAUNG
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
ABSTRAK ANGGI AZMITA FIQRIYAH MARPAUNG. Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Dibawah bimbingan INAYAH YASIR selaku Pembimbing Utama dan MARZUKI UKKAS selaku Pembimbing Anggota.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos dan mangrove pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami serta membandingkan kelimpahan makrozoobenthos dikedua ekosistem yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 hingga Februari 2013 berlokasi di dalam tambak Desa Mappakalompo dan di daerah estuaria Kawasan Ekowisata Pantai Boe, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Dengan jumlah stasiun pengamatan sebanyak dua lokasi yaitu pada mangrove silvofishery dan mangrove alami. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode survey dan metode sampling, kemudian dianalisis di laboratorium. Hasil yang didapat adalah keanekaragaman makrozoobenthos di kedua ekosistem terdapat 16 jenis, pada mangrove silvofishery terdiri atas 5 jenis yang terbagi atas 3 jenis dari class Gastorpoda,1 jenis dari class Bivalvia dan 1 jenis dari class Maxillopoda sedangkan pada mangrove alami terdapat 6 jenis dari class Gastropoda, 7 Jenis dari class Bivalvia, 1 jenis dari class Maxillopoda serta 1 jenis dari class Crustacea. Terdapat dominansi makrozoobenthos dari jenis Cerithidea cingulata. Kesimpulan yang didapat yaitu keanekaragaman makrozoobenthos, pada kawasan ekosistem mangrove alami menunjukkan bahwa memiliki jumlah jenis yang tertinggi 15 jenis yang terdapat pada mangrove alami, sedangkan pada mangrove silvofishery terdapat lima jenis. Kelimpahan makrozoobenthos, ekosistem mangrove silvofishery merupakan kawasan yang memiliki makrozoobenthos yang sangat melimpah tetapi jenis species yang sedikit dengan total jumlah individu 1219. Sedangkan, pada ekosistem mangrove alami merupakan kawasan yang makrozoobenthosnya sedikit tetapi jenis speciesnya cukup beragam dengan total jumlah individu 730. Untuk kelimpahan mangrove, pada mangrove alami lebih beragam sedangkan mangrove silvofishery hanya terdapar dua jenis mangrove karena mangrove di silvofishery merupakan mangrove yang ditanam oleh petani tambak. Kata Kunci: Makrozoobenthos, Estuaria, Ekosistem Mangrove, Silvofishery
KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI EKOSISTEM MANGROVE SILVOFISHERY DAN MANGROVE ALAMI KAWASAN EKOWISATA PANTAI BOE KECAMATAN GALESONG KABUPATEN TAKALAR
Oleh: ANGGI AZMITA FIQRIYAH MARPAUNG
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi
:
Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Ekosistem Mangrove Silvofishery Dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar
Nama Mahasiswa : Anggi Azmita Fiqriyah Marpaung Nomor Pokok
: L 111 08 303
Program Studi
: Ilmu Kelautan
Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
Dr. Inayah Yasir, M.Sc NIP. 19661006 199202 2 001
Ir. Marzuki Ukkas, DEA NIP. 19560801 198503 1 001
Mengetahui, Dekan
Ketua Program Studi
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Ilmu Kelautan,
Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, MP NIP. 196112011987032002
Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si NIP. 196311201993031002
Tanggal Lulus: 29 Mei 2013
iii
RIWAYAT HIDUP
Anggi Azmita Fiqriyah Marpaung, lahir di Medan pada tanggal 14 April 1991. Penulis merupakan anak bungsu (siapudan) dari empat bersaudara. Buah cinta dari pasangan Drs. Ir. Mangadar Marpaung, M.Ap dan Syahriana Harahap, S.Pd. Pada tahun 1996 pertama kali mengeyam pendidikan di Taman KanakKanak Adzidin, Deli Serdang. Kemudian melanjutkan sekolah dasar di SD Negeri 066665, Medan, lulus pada tahun 2002, pada tahun 2005, lulus dari SMP Negeri 6 Medan, tahun 2008 lulus dari SMA Negeri 5 Medan dan tahun yang sama penulis yang sejak kecil suka akan air ini diterima sebagai mahasiswa Universitas Hasanuddin Makasar pada Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, melalui jalur UMB. Selama menjalani dunia kemahasiswaan, penulis pernah aktif disenat ilmu kelautan (KEMA) sebagai pengurus senat periode 2010-2011 dan UKM Koperasi Mahasisiwa (Kopma) pada tahun 2010. Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir diantaranya, pada tahun 2012 penulis melaksanakan kegiatan kuliah Kerja Nyata Profesi (KKNP) di Desa Manyili Kecamatan Takalalla Kabupaten Wajo. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan penulis menulis skripsi dengan judul “Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar”.
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdulillah, Penuh haru dan
sujud simpuh dalam
pengakuan kebesaran-Nya terukir pada rasa cinta kepada Allah Subhanahu Wa Taala yang melimpahkan Rahmat dan Ridho-Nya sehingga penulis dapat melewati
tahap
demi
tahap
penyusunan
skripsi
yang
berjudul
“Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar’’. Sebagai salah satu syarat kelulusan di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Tak lupa shalawat dan salam atas Nabi Muhammad SAW, Rasul Allah yang
telah
mencucurkan
keringat
jihad
sebanyak-banyaknya
dalam
menda’wahkan kebenaran dan mengamalkan kebajikan. Setiap kata demi kata dalam karya ini merupakan hasil kerja keras penulis serta bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis patut menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Kupersembahkan karya terbaikku pada kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Drs. Ir. Mangadar Marpaung M.Ap dan Ibunda Syahriana Harahap S.Pd yang telah memberikan kehangatan sebuah keluarga yang utuh baik itu secara materi, semangat maupun do’a restunya.
2.
Ibu Dr. Inayah Yasir, M.Sc selaku pembimbing dan penasehat akademik serta Bpk. Ir. Marzuki Ukkas, DEA atas waktu, pikiran, bantuan dan perannya yang begitu penting untuk penyelesaian skripsi ini.
v
3.
Prof. Dr. Ir. Ambo Tuwo, DEA, Prof. Dr. Amran Saru, ST, M.Si, Dr. Wasir Samad, S.Si, M.Si dan Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Sc selaku dosen penguji, memberikan tanggapan, dan saran utuk penyempurnaan skiripsi ini.
4.
Ibu Prof. Dr. Ir. A. Niartiningsih, M.Si selaku Dekan FIKP (Terima kasih atas pinjaman bukunya).
5.
Bapak Dr. Ir. Amir Hamzah Muhiddin, M.Si selaku ketua jurusan Ilmu kelautan yang terus memberikan semangat dan dorongan bagi penulis selama masa studi hingga tahap penyelesaian skripsi.
6.
Abangku Tomi Maxs Experanza Marpaung, S.Sos dan kakak - kakakku dr. Faradina Utami Marpaung dan Marissa Reizky Marpaung, SE yang telah memberikan semangat dan motivasi selama saya berada di kota rantau (Makassar).
7.
Seluruh teman-teman Tim Galesong buat kekompakannya.
8.
Sahabat
seperjuanganku,
Hardianthy
terimakasih
untuk
waktu,
kebersamaan dan kesempurnaan arti sahabat. 9.
Teman-temanku, Darmiati “Speaker aktif”, Nur Ipa “Ehm”, Andi Rizka “Curhat Dong ma”, Atrasina Adlien, Ahmad Faisal Ruslan, Aryo Ramadhan dan Musriadi buat bantuan dan canda tawanya.
10. Buat sodara-sodariku MEZEIGHT (2008), yang tidak bisa disebutkan satu persatu kalian keluarga besarku di kota Daeng ini. 11. Bang Nawir dan keluarga yang memperkenalkan seluk beluk kota Angin Mamiri ini serta bersedia memberikan tempat tinggal pada saat pertama kali menginjakkan kaki di kota Makassar. 12. Teman-teman KKNP Kak Rangga, Kak Fatha, Ipul, Neny Leweng, Rukia, Ali Khan (Acos) dan Zul.
vi
13. Seluruh staf dosen dan pegawai Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS, yang telah dalam proses belajar mengajar dan menyelesaikan skripsi.
Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik membangun untuk skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi penulis. JALASVEVA JAYA MAHE
Makassar Juni 2013 Penulis
Anggi Azmita Fiqriyah Marpaung
vii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................xi DAFTAR GAMBAR…………….. ........................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN…………….. .................................................................... xiii I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 A. Latar Belakang ........................................................................................... 1 B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................ 2 C. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4 A. Defenisi dan Sifat Makrozoobenthos ........................................................... 4 B. Pengelompokan Ukuran Benthos ............................................................... 4 C. Parameter Lingkungan Makrozoobenthos .................................................. 5 1. Substrat (sedimen) ................................................................................. 5 2. Suhu ....................................................................................................... 6 3. pH……………. ........................................................................................ 6 4. Oksigen Terlarut (DO) ............................................................................ 7 5. Salinitas .................................................................................................. 8 6.Bahan Organik Total (BOT) .................................................................... 9 D. Defenisi, Ciri dan Fungsi Ekosistem Mangrove .......................................... 9 E. Penyebaran Mangrove ............................................................................. 10 F. Struktur Komunitas Ekosistem Mangrove .................................................. 11
viii
G. Defenisi dan Fungsi Mangrove Silvofishery .............................................. 12 H. Hubungan Antara Mangrove dan Makrozoobenthos ................................. 13 III. METODE PENELITIAN ................................................................................. 15 A. Waktu dan Tempat.................................................................................... 15 B. Alat dan Bahan ......................................................................................... 15 C. Prosedur Penelitian .................................................................................. 16 1. Tahap Persiapan .................................................................................. 16 2. Tahap Pengambilan Data ..................................................................... 18 a. Sampling Mangrove ......................................................................... 18 b. Sampling Makrozoobenthos ............................................................. 18 c. Pengukuran Parameter Lingkungan ................................................. 18 3. Tahap Analisis Laboratorium ................................................................ 19 a. Kandungan Bahan Organik Sedimen ............................................... 19 b. Ukuran Butir Sedimen ...................................................................... 20 c. Oksigen Terlarut (DO) ...................................................................... 20 4. Analisis Data......................................................................................... 21 a. Makrozoobenthos............................................................................. 21 1. Kelimpahan Jenis Makrozoobenthos ............................................ 21 2. Kelimpahan Relatif....................................................................... 22 3. Indeks Keanekaragaman Makrozoobenthos ................................ 22 4. Indeks Keseragaman Makrozoobenthos ...................................... 23 5. Indeks Dominansi (C) .................................................................. 23
ix
b. Analisis Data Mangrove ................................................................... 23 1. Kerapatan Jenis (Di) .................................................................... 23 2. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) ...................................................... 24 3. Frekuensi Jenis (Fi) ..................................................................... 24 4. Frekuensi Relatif Jenis (RFi)........................................................ 24 5. Penutupan Jenis (Ci) ................................................................... 25 6. Penutupan Relatif Jenis (RDi) ...................................................... 25 c. Hubungan Antara Struktur Komunitas dan Karakteristik Habitat ....... 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 26 A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ............................................................... 26 B. Kondisi Lingkungan................................................................................... 27 1. Suhu ..................................................................................................... 28 2. Salinitas ................................................................................................ 28 3. pH Air ................................................................................................... 29 4. pH Tanah .............................................................................................. 29 5. Substrat Sedimen ................................................................................. 30 6. Kandungan BOT Sedimen .................................................................... 31 7. Oksigen Terlarut (DO) .......................................................................... 31 C. Kondisi Ekosistem Mangrove .................................................................... 32 1. Kerapatan Jenis Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami ............... 32 2. Frekuensi Jenis Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami ............... 33 D. Struktur Komunitas dan Indeks Ekologi Makrozoobenthos ....................... 34
x
1. Struktur Komunitas Makrozoobenthos .................................................. 34 a. Komposisi Jenis Makrozoobenthos .................................................. 34 b. Kelimpahan Rata-rata Makrozoobenthos ......................................... 36 c. Kelimpahan Relatif Makrozoobenthos .............................................. 37 2. Indeks Ekologi Makrozoobenthos ......................................................... 38 a. Indeks Keanekaragaman Makrozoobenthos .................................... 39 b. Indeks Keseragaman Makrozoobenthos .......................................... 40 c. Indeks Dominansi Makrozoobenthos ................................................ 40 V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 42 A. Simpulan .................................................................................................. 42 B. Saran ........................................................................................................ 42 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 43 LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan .................................... 7 2. Ukuran Partikel Sedimen Menurut Standar Wenworth .................................. 20 3. Data Hasil Pengukuran Parameter lingkungan ............................................ 28 4. Persentase Hasil Ukuran Butir Sedimen....................................................... 30 5. Jenis Mangrove yang Ditemukan di setiap Stasiun Penelitian ...................... 32 6. Komposisi Jenis Makrozoobenthos Berdasarkan jumlah Individu ................. 35 7. Kelimpahan Relatif Makrozoobenthos .......................................................... 38 8. Nilai Indeks Ekologi Makrozoobenthos ......................................................... 39
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Tata Letak Tambak Silvofishery Komplang .................................................. 12 2. Peta Lokasi Penelitian .................................................................................. 15 3. Peta Penentuan Lokasi Stasiun.................................................................... 17 4. Kerapatan Jenis Mangrove silvofishery dan Mangrove alami ....................... 33 5. Frekuensi Jenis Ekosistem Mangrove Silvofishery dan alami ....................... 33 6. Komposisi Jenis Makrozoobenthos .............................................................. 34 7. Komposisi Jenis Makrozoobenthos Berdasarkan Jumlah Jenis .................... 35 8. Kelimpahan Rata-rata Individu Makrozoobenthos ........................................ 36
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Data di Ekosistem Mangrove Silvofishery dan Alami .................................. 47 2. Hasil Perhitungan Kerapatan jenis, Kerapatan Relatif Jenis, Frekuensi Jenis, Frekuensi Relatif Jenis, Penutupan Jenis, Penutupan Relatif Jenis dan Indeks Nilai Penting............................................................................. 52 3. Klasifikasi Jenis Makrozoobenthos yang ditemukan pada Mangrove Silvofishery dan Alami ................................................................................ 53 4. Jenis dan Jumlah Makrozoobenthos yang ditemukan diekosistem Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami ............................................... 54 5. Komposisi Jenis Masing-masing Stasiun.................................................... 55 6. Frekuensi Jenis Makrozoobenthos ............................................................. 56 7. Hasil Perhitungan Kelimpahan Relatif Makrozoobenthos .......................... 57 8. Hasil Perhitungan Indeks Ekologi Makrozoobenthos .................................. 58 9. Hasil Uji Statistik One-way ANOVA Kelimpahan Makrozoobenthos ........... 59 10. Hasil Pemilahan partikel Sedimen di setiap stasiun Pengamatan ............... 60 11. Gambar Makrozoobenthos Yang Ditemukan .............................................. 67 12. Gambar Jenis Mangrove Yang Ditemukan ................................................. 69 13. Foto-foto Kegiatan Penelitian ..................................................................... 70
14
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, dimana kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Sumberdaya alam diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia, sehingga selayaknya bila sumberdaya alam tersebut dikelola dengan baik untuk menghindari terjadinya krisis lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagai sumber kehidupan. Namun, jarang sekali yang memperhatikan tumbuh-tumbuhan yang ada di kawasan pesisir pantai, yang sekilas hanya merupakan semak belukar yang tidak terawat dan tidak berfungsi. Kawasan pantai yang ditumbuhi jenis tumbuhan tersebut dikenal sebagai hutan mangrove (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau (Arief, 2003). Silvofishery (mangrove dalam tambak) merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/ udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Kawasan estuaria khususnya pada ekosistem mangrove sangat kompleks dengan kehidupan biota-biota yang hidup pada bagian dasar sedimen, di antaranya makrozoobenthos sebagai grup hewan bentik yang mempunyai sifat khas
15
yang dikenal sebagai komunitas dasar dengan kondisi lingkungan hidup yang lebih spesifik (Hutabarat dan Evans, 1985). Contohnya pada substrat berpasir, lingkungan ini lebih didominasi oleh hewan seperti molluska, bivalvia dan lain-lain. Makrozoobenthos merupakan organisme yang hidup melata, menempel, memendam dan meliang baik di dasar perairan maupun di permukaan dasar perairan. Makrozoobenthos yang menetap di kawasan mangrove kebanyakan hidup pada substrat keras sampai lumpur (Arief, 2003). Keberadaan hutan mangrove di daerah estuaria Kawasan Ekowisata Pantai Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar dan fungsi ekologis yang penting untuk tambak dan ekosistem alaminya. Kawasan ekosistem mangrove harus terus dijaga dan dilestarikan keberadaan untuk kehidupan makrozoobenthos dalam kawasan ekosistem mangrove, mengingat kegiatan eksploitasi hutan mangrove semakin tidak terkontrol yang merupakan habitat makrozobenthos, maka Faktor lain yang menarik untuk diteliti adalah keberadaan jenis makrozoobenthos pada dua tempat yang berbeda antara wilayah mangrove silvofishery (dalam tambak) dan mangrove yang tumbuh alami di daerah pinggir sungai kawasan ekowisata pantai (estuaria) Desa Mappakalompo. B. Tujuan dan Kegunaan Tujuan penelitian yang dilakukan pada tambak mangrove dan mangrove di muara sungai adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos dan mangrove pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami. 2. Membandingkan kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami.
16
Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kehidupan fauna bentik pada dua ekosistem mangrove yang berbeda yaitu kawasan mangrove yang tumbuh alami di daerah muara Sungai Saro’ dan mangrove silvofishery (mangrove dalam tambak). C. Ruang Lingkup Penelitian ini dibatasi pada identifikasi makrozoobenthos, komposisi jenis makrozoobenthos,
kelimpahan
relatif,
indeks
keanekaragaman
(H’),
indeks
keseragaman (E), dan indeks dominansi (D) makrozoobenthos. Pada identifikasi mangrove meliputi kerapatan jenis (Di), kerapatan relatif jenis (RDi), frekuensi jenis (Fi), frekuensi relatif jenis (RFi), penutupan jenis (Ci), dan penutupan relatif jenis (RCi). Parameter lingkungan yang diukur yaitu: suhu, salinitas, substrat sedimen, pH, Oksigen terlarut (DO) dan Bahan Organik Total (BOT).
17
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi dan Sifat Makrozoobenthos Benthos adalah organisme yang mendiami dasar perairan atau tinggal dalam sedimen dasar perairan. Benthos mencakup organisme nabati yang disebut fitobenthos dan organisme hewani yang disebut zoobenthos (Odum, 1993). Ketika air surut, organisme akan kembali ke dasar perairan untuk mencari makan. Beberapa makrozoobenthos yang umum ditemui di kawasan mangrove Indonesia adalah makrozoobenthos dari kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustacea, dan Polychaeta (Arief, 2003). Dalam siklus hidupnya, beberapa makrozoobenthos hanya hidup sebagai benthos dalam separuh saja dari fase hidupnya, misalnya pada stadia muda saja atau sebaliknya. Pada umumnya cacing dan bivalvia hidup sebagai benthos pada stadia dewasa, sedangkan ikan demersal hidup sebagai benthos pada stadia larva (Nybakken, 1992). Umumnya makrozoobenthos relatif tidak aktif, dengan ciri khusus seperti: tubuhnya dilindungi cangkang, memiliki bagian tubuh yang dapat dijulurkan, berkembangnya bagian tubuh tambahan seperti rambut, bulu-bulu keras serta tersusun atas otot-otot yang memudahkan pergerakannya di atas maupun di dalam sedimen. B. Pengelompokan Ukuran Benthos Berdasarkan ukurannya, Lind (1979) mengklasifikasikan zoobenthos menjadi dua kelompok besar yaitu mikrozoobenthos dan makrozoobenthos. Hutabarat dan
18
Evans (1985), juga mengklasifikasikan zoobenthos ke dalam tiga kelompok berdasarkan ukurannya, yaitu : 1. Mikrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih kecil dari 0,1 mm yang digolongkan ke dalam protozoa dan bakteri. 2. Meiofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran 0,1 hingga 1,0 mm. Digolongkan ke dalam beberapa kelas protozoa berukuran besar dan kelas krustasea yang sangat kecil serta cacing dan larva invertebrata. 3. Makrofauna adalah hewan-hewan dengan ukuran lebih besar dari 1,0 mm. Digolongkan ke dalam hewan moluska, echinodermata, krustasea dan beberapa filum annelida. Berdasarkan tempat hidupnya, zoobenthos dibagi atas dua kelompok, yaitu : (a) epifauna yaitu organisme bentik yang hidup dan berasosiasi dengan permukaan substrat dan, (b) infauna yaitu organisme bentik yang hidup di dalam sedimen (substrat) dengan cara menggali lubang (Hutabarat dan Evans, 1985; Nybakken 1992). C. Parameter Lingkungan Makrozoobenthos 1. Substrat (sedimen) Jenis substrat berkaitan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan nutrien dalam sedimen. Pada substrat berpasir, kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan dengan substrat yang halus, karena pada substrat berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya pencampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya. Namun demikian, nutrien tidak banyak terdapat dalam substrat berpasir. Sebaliknya pada substrat yang halus, oksigen tidak begitu banyak tetapi biasanya nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup besar (Bengen, 2004).
19
Substrat lumpur dan pasir merupakan habitat yang paling disukai makrozoobenthos (Lind 1979). Benthos tidak menyenangi dasar perairan berupa batuan, tetapi jika dasar batuan tersebut memiliki bahan organik yang tinggi, maka habitat tersebut akan kaya dengan benthos (Nichol, 1981 dalam Sudarja, 1987). Makrozoobenthos (terutama molluska) terdapat dalam jumlah yang sedikit pada tipe tanah liat. Hal ini dikarena substrat liat dapat menekan perkembangan dan kehidupan makrozoobenthos, karena partikel-partikel liat sulit ditembus oleh makrozoobenthos untuk melakukan aktivitas kehidupannya. Selain itu, tanah liat juga mempunyai kandungan unsur hara yang sedikit (Arief, 2003). 2. Suhu Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukan derajat panas benda. Suhu biasa digambarkan sebagai ukuran energi gerakan molekul. Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem suatu perairan. Suhu sangat memengaruhi segala proses yang terjadi di perairan baik fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken 1992). Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya. Makin tinggi kenaikan suhu air, maka makin sedikit oksigen yang terkandung di dalamnya. Suhu yang berbahaya bagi makrozoobenthos adalah yang lebih kurang dari 350 C. (Retnowati, 2003). 3. pH Organisme perairan mempunyai kemampuan berbeda dalam menolerir pH perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973).
20
Sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0-9,0 hal ini menunjukkan adanya kelimpahan dari organisme makrozoobenthos, dimana sebagian besar organisme dasar perairan seperti polychaeta, moluska dan bivalvia memiliki tingkat asosiasi terhadap derajat keasaman yang berbeda-beda (Hawkes, 1978). Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan (Effendi, 2003) Nilai pH 6,0 – 6,5
Pengaruh Umum Keanekaragaman benthos sedikit menurun Kelimpahan total, biomassa, dan produktifitas mengalami perubahan
tidak
5,5 – 6,0
Penurunan nilai keanekaragaman benthos semakin tampak Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti
5,0 – 5,5
Penurunan keanekaragaman dan komposi jenis benthos semakin besar Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos
4,5 – 5,0
Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis benthos semakin besar Penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos
pH tanah di kawasan mangrove juga merupakan salah satu faktor yang ikut berpengaruh terhadap keberadaan makrozoobenthos. Jika keasaman tanah berlebihan, maka akan mengakibatkan tanah sangat peka terhadap proses biologi, misalnya proses dekomposisi bahan organik oleh makrozoobenthos. Proses dekomposisi bahan organik pada umumnya akan mengurangi suasana asam, sehingga makrozoobenthos akan tetap aktif melakukan aktivitasnya (Arief, 2003). 4. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air. Menurut APHA (1989), oksigen terlarut di dalam air dapat
21
berasal dari hasil fotosintesis organisme laut atau tumbuhan air serta difusi dari udara. Konsentrasi O2 terlarut di dalam air dapat dipengaruhi oleh koloidal yang melayang di dalam air maupun oleh jumlah larutan limbah yang terlarut di dalam air. Pada umumnya air pada perairan yang telah tercemar, kandungan oksigennya sangat rendah. Dekomposisi dan oksidasi bahan organik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Peningkatan suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi O2 sekitar 10% (Brown, 1987 dalam Effendi, 2003). Oksigen terlarut sangat penting bagi pernapasan hewan benthos dan organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1993). Retnowati (2003), menyatakan bahwa keberadaan O2 terlarut di dalam substrat dapat berkurang, hal ini disebabkan oleh banyaknya plankton diperairan tersebut. Tingginya kandungan bahan organik dan tingginya populasi bakteri pada sedimen menyebabkan besarnya kebutuhan akan O2 terlarut. Kadar O2 terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/LI (Effendi, 2003). 5. Salinitas Perubahan salinitas akan memengaruhi keseimbangan di dalam tubuh organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis. Semakin tinggi salinitas, semakin besar tekanan osmosisnya sehingga organisme harus memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas tertentu melalui mekanisme osmoregulasi (Koesoebiono, 1979), yaitu kemampuan mengatur konsentrasi garam atau air di cairan internal. Selanjutnya Nybakken (1992), menjelaskan bahwa fluktuasi salinitas di daerah intertidal dapat disebabkan oleh dua hal, pertama akibat hujan lebat
22
sehingga salinitas akan sangat turun dan kedua akibat penguapan yang sangat tinggi pada siang hari sehingga salinitas akan sangat tinggi. Organisme yang hidup di daerah intertidal biasanya telah beradaptasi untuk menoleri perubahan salinitas hingga 15‰. Menurut Mudjiman (1981), kisaran salinitas yang dianggap layak bagi kehidupan makrozoobentos
berkisar
15-45‰,
karena
pada
perairan
yang
bersalinitas rendah maupun tinggi dapat ditemukan makrozoobentos seperti siput, cacing (Annelida) dan kerang-kerangan. 6. BOT (Bahan Organik Total) Bahan organik pada sedimen merupakan penimbunan dari sisa tumbuhan dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan (Soepardi, 1986). Sedimen pasir kasar umumnya memiliki jumlah bahan organik yang sedikit dibandingkan jenis sedimen yang halus, karena sedimen pasir kasar kurang memiliki kemampuan untuk mengikat bahan organik yang lebih banyak. Sebaliknya, jenis sedimen halus memiliki kemampuan cukup besar untuk mengikat bahan organik. Karena bahan organik sedimen memerlukan proses aerasi. Standar bahan organik total yang diperbolehkan agar organisme dapat hidup berkisar 0,68-17ppm (Soepardi, 1989 dalam Ukkas, 2009). D. Definisi, Ciri dan Fungsi Ekosistem Mangrove Hutan bakau (mangrove) adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di perairan asin (Nybakken, 1992). Karakteristik habitat mangrove menurut Bengen (2000), adalah :
23
1. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. 2. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. 3. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. 4. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. 5. Air bersalinitas payau (2–22 permil) hingga asin mencapai 38 permil. 6. Ditemukan banyak di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Fungsi dan manfaat hutan mangrove mangrove menurut Bengen (2004), adalah : 1.
peredam gelombang dan angin badai, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan penangkap sedimen.
2. Penghasil sejumlah besar dentritus dari daun dan dahan pohon mangrove. 3. Daerah asuhan (nursery grounds) daerah mencari makanan (feeding grounds) dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya. 4. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku kertas (pulp). 5. Pemasok larva ikan, udang, dan biota lainnya. 6. Sebagai tempat pariwisata. E. Penyebaran Mangrove Hutan mangrove tumbuh di bagian hutan tropis dunia, terbentang dari Utara ke Selatan, dari Florida (Amerika Serikat) di bagian utara turun ke pantai Argentina
24
di Amerika Selatan. Hutan mangrove juga terdapat di sepanjang barat dan timur pantai Afrika dan terpencar sampai ke anak benua India hingga Ryuky di Jepang. Lebih jauh ke selatan, hutan mangrove terdapat di New Zaeland dan membentuk kawasan Indo-Malaya (Arief, 2003). Di Indonesia, perkembangan hutan mangrove terjadi di daerah pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai. Hutan mangrove tumbuh hampir di seluruh provinsi di Indonesia, dengan luas kawasan yang berbeda. Wilayah hutan mangrove yang paling luas terdapat di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, Riau dan Maluku. Pada tahun 1982, luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar, terutama terdapat di sepanjang pesisir pulau-pulau besar Indonesia (FAO, 1982). Namun hasil survei terakhir pada tahun 1995 menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia hanya tersisa 2,06 juta hektar (Susilo, 1995). Whitten dkk (1987), menyatakan bahwa di hutan mangrove pulau Sulawesi hanya dijumpai 19 jenis pohon utama. Jenis-jenis tersebut adalah Avicennia alba, Avicennia marina, Avicennia officinalis, Lumnitzera littorea, Lumnitzera racemosa, Excoecaria agallocha, Xylocarpus moluccensis, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Ceriops tagal, Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris dan Sonneratia ovata. F. Struktur Komunitas Ekosistem Mangrove Mangrove meliputi pepohonan dan semak dengan 12 genera tumbuhan berbunga dari 8 family yang berbeda. Genera penting
atau dominan adalah
Rhizophora, avicennia, Bruguiera dan Sonneratia. Mangrove mempunyai sejumlah
25
bentuk khusus yang memungkinkannya untuk hidup di perairan lautan yang dangkal yaitu berakar pendek, meyebar luas dengan akar penyangga atau tudung akarnya yang khas tumbuh dari batang atau dahan (Nybakken,1992). Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa faktor penting seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang surut. Di pantai terbuka, pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis (pionir) umumnya adalah api-api (Avicennia) dan pedada (Sonneratia). Api-api cenderung hidup pada tanah yang berpasir agak keras sedangkan pedada pada tanah yang berlumpur lembut (Nontji, 2007). Hewan-hewan yang hidup di ekosistem mangrove berasal dari darat, laut dan air tawar (Romimohtarto, 2001). Kebiasaan meliang banyak terdapat pada hewan mangrove. Liang-liang itu digunakan untuk tempat hidup, makan, bernapas, sembunyi dan berbiak. Beberapa hewan mangrove beradaptasi hidup melekat pada akar mangrove. Tiram mangrove biasa menempel pada akar Rhizophora, biasanya bersama komunitas kecil yang terdiri dari keong, kerang, kepiting, udang, teritip, Isopoda, Amphipoda, cacing dan ikan (Romimohtarto, 2001). G. Definisi dan Fungsi Mangrove Silvofishery Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan atau udang dengan kegiatan
26
penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Mangrove silvofishery ditanam di sepanjang tambak dengan jarak tanam 1 meter antara satu pohon dengan pohon yang lain. Mangrove yang digunakan pada sistem silvofishery ini adalah Avicennia dan Rhizophora.
Gambar 1. Tata letak tambak silvofishery komplangan (Saparinto, 2007). Manfaat yang dapat diperoleh dengan menerapkan silvofishery pada tambak budidaya (Sualia. dkk, 2010) adalah : peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan petani ikan.
Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat, sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut. Dengan model sistem silvofishery, aspek ekonomi masyarakat dapat terpenuhi dari kegiatan budidaya ikan dan udang dalam tambak, sedangkan aspek perlindungan pantai dan konservasi bakau dilakukan dengan tetap menjaga bakaubakau di pematang tambak dan bagian luar dari tambak. Kegiatan penanaman bakau dan pembuatan tambak dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat tanpa bantuan pemerintah, sehingga konsep social forestry atau community forestry tercipta dengan sendirinya di wilayah pesisir tersebut. H. Hubungan Antara Mangrove dan Makrozoobenthos
27
Benthos relatif hidup menetap, sehingga baik untuk digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya.
Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya
perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu (Rosenberg, 1993). Keberadaan hewan benthos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan benthos. Faktor abiotik, faktor fisika-kimia air yang meliputi: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen terlarut (BOT) dan tipe substrat dasar (Allard dan Moreau, 1987).
Penggunaan
makrozoobenthos
sebagai
indikator
kualitas
perairan
dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, pengetahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas perairan (Rosenberg, 1993).
28
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
29
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012, sampling benthos dilaksanakan di dalam tambak Desa Mappakalompo dan di daerah estuaria Kawasan Ekowisata Pantai Boe, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar (Gambar 2). Identifikasi sampel dan analisa sedimen serta pengukuran DO dilakukan di Laboratorium Biologi Laut, Geomorfologi dan Manajemen Pantai (GMP) serta Laboratorium Oseanografi Kimia, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian B. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui titik posisi stasiun pengamatan, plot kuadran untuk batas daerah pengambilan sampel, rol meter untuk mengukur luasan ekosistem dan jarak stasiun, ayakan benthos 1 mm untuk memisahkan sedimen dengan benthos, sabak
30
dan pensil untuk mencatat hasil pengamatan, Botol terang untuk menyimpan air untuk dititrasi, pH meter untuk mengukur pH perairan, salinometer untuk mengukur salinitas perairan, termometer untuk mengukur suhu perairan, lup (kaca pembesar) untuk mempermudah mengidentifikasi benthos, coolbox untuk menyimpan sampel, sekop untuk sampling sampel sedimen dan makrozoobenthos serta Kamera sebagai alat dokumentasi kegiatan. Alat-alat yang digunakan di laboratorium meliputi oven untuk mengeringkan sampel sedimen, sieve net untuk menentukan besar butiran sedimen, desikator untuk mendinginkan sampel sedimen setelah hasil proses BOT, cawan porselen dan cawan petri sebagai wadah sampel sedimen, buret asam, gelas ukurur, enlemeyer untuk mentitrasi air menjadi nilai DO. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kantong sampel untuk menyimpan sampel makrozoobenthos dan sedimen, kertas Label (spidol permanen) untuk menandai sampel pada kantong sampel, alkohol 70% untuk mengawetkan sampel makrozoobenthos, dan buku identifikasi untuk mengidentifikasi sampel seperti: Siput dan
Kerang
Indonesia
Jilid
I
dan
II
serta
Conchology,
Ind
(http://www.conchology.be). C. Prosedur Penelitian 1. Tahapan persiapan Pengambilan data lengkap di lapangan dilakukan pada hari minggu tanggal 13 Januari 2013. Perlokasi titik stasiun ditentukan dengan Global Positioning System (GPS) mengacu pada Peta RBI skala 1:50.000 lembar 2010-52 (Bakosurtanal, 1991).
31
Gambar 3. Peta titik sampling pada lokasi penelitian Berdasarkan kondisi lingkungan ditetapkan dua stasiun dan tiap stasiun terdiri atas tiga sub stasiun. A. Stasiun I : Tambak (mangrove silvofishery) terdiri atas tiga sub stasiun dengan lima ulangan. Pada Stasiun I daerah silvofishery dipilih dua petakan (plot) tambak. Plot satu dan plot dua berada di dalam satu petakan tambak dan plot ke tiga pada petakan tambak lainnya.
Sub stasiun (plot) I : mewakili vegetasi mangrove bagian pinggir mangrove silvofishery (dalam tambak) dekat mangrove alami.
Sub stasiun (plot) II : mewakili vegetasi mangrove lajur tambak bagian dalam.
Sub stasiun (plot) III : mewakili vegetasi mangrove petakan tambak lainnya.
B. Stasiun II : Muara Sungai (mangrove alami) terdiri atas tiga sub stasiun dengan lima ulangan.
Sub stasiun I : mewakili vegetasi mangrove bagian dalam muara (ke arah hulu) Sungai Saro’.
32
Sub stasiun II : mewakili vegetasi mangrove bagian tengah muara sungai Saro’.
Sub stasiun III: mewakili vegetasi mangrove yang berbatasan dengan laut.
2. Tahap Pengambilan Data a. Sampling Mangrove Pengambilan data mangrove dilakukan dengan menghitung jumlah tegakan yang berada dalam masing-masing plot dan menghitung lingkar batang pohon mangrove pada ketinggian dada orang dewasa (±1,3 m) dengan menggunakan meteran. b. Sampling Makrozoobenthos Untuk masing-masing sub stasiun (plot) dilakukan lima ulangan kuadran 1m x 1m dengan kedalaman 20 cm untuk menghitung keragaman dan dominansi benthos. Sampel yang telah diambil kemudian disaring dengan menggunakan ayakan benthos dengan lubang berdiameter 1 mm. Makrozoobenthos yang tersaring diambil dan dimasukkan ke dalam kantong sampel atau botol dan diberi fixative atau pengawet (alkohol 70 %). Sampel kemudian diidentifikasi dengan bantuan lup dan buku identifikasi makrozoobenthos di Laboratorium Biologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Identifikasi jenis-jenis makrozoobenthos berdasarkan petunjuk Dharma (1988) dan Conchology, Ind (http://www.conchology.be). c. Pengukuran Parameter Lingkungan Pengukuran parameter lingkungan sebagai data penunjang adalah suhu perairan yang langsung diukur di setiap stasiun dengan menggunakan thermometer, salinitas diukur dengan menggunakan salinometer pengukuran salinitas dilakukan
33
langsung di lapangan, pengukuran DO dititrasi langsung di lapangan dan pH air (universal indicator pH). Pengukuran parameter lingkungan ini dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel makrozoobenthos. Sampel sedimen diambil dengan menggunakan sekop selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong sampel untuk dilakukan pemilahan partikel sedimen dan pengukuran kandungan BOT sedimen di labolatorium. Untuk pengukuran pH sedimen menggunakan pH meter dilakukan langsung di lapangan dengan menancapkan pH meter kedalam kantong sampel yang berisi sedimen. 3. Tahap Analisis Laboratorium a. Kandungan Bahan Organik Sedimen Adapun prosedur kerja dari kandungan bahan organik dari sedimen sebagai berikut: 1. Menimbang berat cawan petri. 2. Menimbang
berat
sampel
sedimen
yeng
telah
dikeringkan
untuk
menghilangkan air sebanyak kurang lebih 5 gram dan mencatatnya (cawan petri + sampel kurang lebih 5 gram) sebagai berat awal. 3. Membakar dengan tanur pada suhu 600o C selama kurang lebih 3 jam. 4. Setelah mencapai 3 jam keluarkan dari tanur dan dinginkan dengan menggunakan desikator. 5. Menimbang kembali sampel (cawan petri + sampel terbakar) yang sudah dipanaskan sebagai berat akhir. kandungan bahan organik :
Berat BOT = (BCK + BS) – BSP)
34
% Bahan Organik =
(
)
Dimana : BCK = Berat Cawan Kosong ( gram) BS = Berat Sampel ( gram) BSP = Berat Setelah Pijar ( gram) b. Ukuran Butir Sedimen Analisis sampel sedimen dilakukan dengan metode Wentworth. Metode ini dipakai untuk menunjukkan distribusi ukuran butir sedimen untuk mengetahui dominansi jenis sedimen pada daerah penelitian.
% Berat sedimen =
𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥 𝐚𝐲𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐭𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐡𝐚𝐬𝐢𝐥 𝐚𝐲𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥
× 𝟏𝟎𝟎
Tabel 2. Ukuran partikel sedimen menurut standar Wenworth
Kerikil Besar (boulder)
Ukuran (mm) >256
Kerikil Kecil(Gravel)
2 – 256
Keterangan
Pasir Sangat Kasar (Very coarse sand) Pasir Kasar (Coarse sand) Pasir Sedang (Medium sand)
1–2 0,5 – 1 0,25 – 0,5 0,125 – 0,25
Pasir Halus (Fine sand) Pasir Sangat Halus (very fine sand)
0,0625 – 0,125
Lanau/Debu (silt)
0,002 - 0,0625
Lempung (clay)
0,0005 – 0,002
35
<0,0005
Material terlarut
Sumber : Pengantar Oseanografi Hutabarat S dan M. Evans S (1985) c. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen Terlarut (DO) merupakan jumlah mg/L gas oksigen yang terlarut dalam air. Penentuan oksigen secara titrimetri dilakukan menurut metode standar Winkler sebagai berikut: 1. Pindahkan air sampel kedalam botol terang sampai meluap (jangan sampai terdapat gelembung udara dalam botol), tutup kembali. 2. Tambahkan 2 ml Mangan Sulfat (MnSO4) dan 2 ml NaOH-KI. Penambahan reagen-reagen ini juga dengan memasukkan pipet kedalam permukaan air dalam botol. Tutup dengan hati-hati dan aduk dengan membolak-balik botol sampai 8 kali. Biarkan beberapa saat hingga endapan yang ada terbentuk dengan sempurna. 3. Tambahkan 2 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati (gunakan ruang asam), aduk dengan cara yang sama hingga semua endapan larut. Lalu, ambil 100 ml air dari botol terang dengan menggunakan gelas ukur, masukkan dalam Erlenmeyer, usahakan jangan sampai terjuadi aerosi. 4. Titrasi dengan Na-Thiosulfat 0,025 N hingga terjadi perubahan warna dari kuning tua menjadi kuning muda. Tambahkan 5-8 tetes indikator amylum hingga berbentuk warna biru. Lanjutkan titrasi dengan Na-Thiosulfat hingga tidak berwarna (bening). Penentuan nilai DO dengan menggunakan persamaan berikut :
Oksigen Terlarut dalam mg/L =
1000 x A x N x 8 Vc x Vb (Vb-6)
36
Dimana : A = mL larutan baku natrium tiosulfat yang digunakan Vc = mL larutan yang dititrasi N = Kenormalan larutan natrium tiosulfat Vb = Volume botol
4). Analisis Data A. Makrozoobenthos 1. Kelimpahan Jenis Makrozoobenthos Kelimpahan makrozoobenthos dihitung berdasarkan jumlah individu persatuan luas (ind/m2), dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener (Wibisono 2005) :
a Y=
χ 10.000 b
Dimana : Y = Indeks kelimpahan jenis (Jumlah Individu) (ind/m2) a = Jumlah makrozoobenthos yang tersaring (ind) b = Luasan plot x Jumlah Ulangan 10.000 = Nilai Konversi dari cm² ke m² 2. Kelimpahan Relatif Kelimpahan relatif dihitung dengan rumus Shannon-Wiener (Odum, 1993)
Dimana : R = Kelimpahan relatif
37
ni = Jumlah individu setiap jenis (ekor)
N = Jumlah seluruh individu 3. Indeks Keanekaragaman Indeks keanekaragaman dihitung dengan rumus Shannon-Wiener (Odum,1993)
Dimana :
H’ = Indeks keanekaragaman jenis ni = Jumlah individu jenis N = Jumlah total individu
4. Indeks Keseragaman Indeks keseragaman dihitung dengan menggunakan rumus Evennes-Indeks (Odum, 1993).
Dimana :
E = Indeks keseragaman jenis H’= Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis organisme
5. Indeks dominansi (C) Indeks domonansi dihitung dengan rumus Dominance of Simpson (Odum, 1993).
Dimana :
C = Indeks dominansi
38
ni = Jumlah individu setiap jenis N = Jumlah total individu B. Analisis data mangrove 1. Kerapatan Jenis (Di) Kerapatan Jenis i (Di) adalah Jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area, yang perhitungannya menurut oleh Bengen (2000).
𝐷𝑖 =
𝑛𝑖 𝐴
Dimana : Di
= Kerapatan Jenis
ni
= Jumlah total tegakan jenis i
A
= Luas total areal pengambilan data
2. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis i (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Ʃn), dengan rumus (Bengen, 2000).
𝑅𝐷𝑖 = Dimana :
𝑛𝑖 𝑥 ∑𝑛
Di
= Kerapatan Relatif
ni
= Jumlah total tegakan jenis i
∑
= Jumlah total tegakan seluruh jenis
3. Frekuensi jenis (Fi)
39
Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam plot yang diamati (bengen, 2000).
𝐹𝑖 =
Dimana :
𝑃𝑖 ∑𝑃
Fi
= Frekuensi jenis i
Pi
= Jumlah plot yang ditemukan jenis i
∑
= Jumlah plot yang diamati
4. Frekuensi Relatif Jenis (RFi) Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (ƩF) dengan rumus (Bengen, 2000).
𝑅𝐹𝑖 =
Dimana :
𝐹𝑖 𝑥 ∑𝐹
RFi
= Frekuensi relatif jenis i
Fi
= Frekuensi jenis i
∑
= Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
5. Penutupan Jenis (Ci) =
∑
= = Dimana :
Ci
= Penutupan jenis
DBH
= Diameter pohon jenis i = 3,14
40
A
= Luas total area pengambilan contoh
CBH
= Lingkaran pohon setinggi dada (130 cm)
Keliling = 2 BA
r
= Basak Area
Penutupan Relatif Jenis (RCi) =∑ Dimana :
RCi
= Penutupan relatif Jenis
Ci
= Luas area penutupan jenis i
∑
= Luas total area untuk seluruh jenis i
C. Hubungan antara Struktur Komunitas dan Karakteristik Habitat Dalam mengkaji hubungan makrozoobenthos di kedua ekosistem dengan mewakili jenis kelimpahan makrozobenthos di ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami dengan menggunakan uji statistik One-way ANOVA.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kawasan Ekowisata Pantai Boe merupakan wilayah Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Kabupaten Takalar adalah salah satu kabupaten dalam wilayah propinsi Sulawesi Selaptan yang memiliki luas 566,51 km2 dan berada pada posisi 5,300-5,380 LS dan 119,220-
41
199,390BT. Kabupaten Takalar berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Gowa pada sebelah Utara, Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Gowa sebelah Timur, Laut Flores pada sebelah Selatan dan Selat Makassar pada sebelah Barat. Di Kabupaten Takalar terdapat banyak wilayah pantai yang dimanfaatkan sebagai objek ekowisata pantai, baik pada lahan di belakang garis pantai maupun pada perairan pantai depan garis pantai. Pantai Boe di Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar merupakan salah satu bagian dari wilayah pesisir Kabupaten Takalar yang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai objek wisata pantai. Lahan di belakang pantai berupa empang dan kebun campuran. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa luas empang yaitu ±2 ha dan luas kebun campuran yaitu ±1 ha. Mangrove yang berada di dalam empang terdiri atas dua jenis yaitu Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa yang ditanam petani tambak, sedangkan di ekosistem mangrove alami terdapat empat jenis mangrove yaitu Avicennia sp., Bruguiera sp., Rhizophora stylosa dan Rhizophora mucronata. Mangrove tersebut ditanam di sekitar pematang dan di tengah-tengah tambak. Tujuan penanaman mangrove di sekitar pinggir tambak dengan tujuan untuk memperkuat struktur pematang dari tambak itu sendiri. Sedangkan mangrove yang ditanam dengan rapi di tengah tambak bertujuan untuk mengembalikan kesuburan tanah pada tambak dan sebagai daerah tempat ikan berlindung, mencari makan (feeding ground), mengasuh dan membesarkan (nursery ground) dan sebagai tempat untuk bertelur (spawning ground). Empang tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk budidaya ikan bandeng (Chanos chanos). Empang tersebut masih mendapat pengaruh air tawar
42
dari sungai Saro’ yang bermuara di sebelah Selatan pantai Boe. Namun tidak semua empang dapat dimanfaatkan oleh karena pada musim kemarau sistem drainase kurang baik karena suplai air laut tidak begitu banyak yang masuk ke lahan tambak sehingga hanya beberapa lahan tambak saja yang cukup tergenang oleh air dan dapat dimanfaatkan. Empang lainnya yang berada di depan kebun campuran ukurannya juga cukup luas. Empang tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk kegiatan perikanan tambak seperti budidaya ikan dan udang. B. Kondisi Lingkungan Ekosistem mangrove di silvofishery merupakan mangrove yang terkontrol karena mangrove di ekosistem silvofishery ditanam dengan sengaja oleh petani tambak.Sedangkan pada ekosistem mangrove alami, mangrove tumbuh secara alami tanpa ada campur tangan petani tambak. Mangrove alami terjadi pergantian (siklus) air. Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan keanekaragaman jenis makrozoobenthos dan pertumbuhan ekosistem mangrove. Dalam suatu ekosistem tentunya terdapat berbagai parameter lingkungan yang menentukan karakteristik dari ekosistem tersebut. Hasil pengukuran parameter lingkungan yang dijadikan sebagai faktor pendukung setiap stasiun penelitian pada mangrove silvofishery dan mangrove alami adalah antara lain. Tabel 3. Data hasil pengukuran parameter lingkungan pada setiap stasiun pengamatan Stasiun
Plot
Suhu o ( C)
Salinitas (‰)
pH air
pH Sedimen
DO (mg/l)
BOT (%)
Mangrove Silvofishery
I-1 I-2 I-3 II-1 II-2
31 30 31 29 29
20 20 18 26 27
7 7 7 8 8
5,9 5,9 6,1 5,6 5.8
5,28 5,12 4,8 6,24 5,28
68,89 43,02 56,06 47,23 22,04
Mangrove Alami
43
II-3
30
27
7
5,8
6,4
35,62
1. Suhu Suhu dapat membatasi sebaran hewan-hewan bentik secara geografis. Pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme dipengaruhi oleh suhu, sehingga kehidupan organisme dasar perairan secara langsung maupun tidak langsung. Kisaran suhu yang didapatkan di semua stasiun penelitian (29–310 C) umumnya masih bisa ditolerir oleh tumbuhan mangrove dan makrozoobenthos di ke dua stasiun penelitian yaitu mangrove silvofishery dan mangrove alami. Pada mangrove silvofishery suhu perairannya lebih tinggi karena, mangrove silvofishery (dalam tambak) statis dan tidak dipengaruhi oleh suplai air dari luar sedangkan suhu mangrove alami lebih rendah karena adanya pergantian perairan dari aliran sungai saro’. Sukarno (1988), menyatakan bahwa suhu 25–36o C adalah nilai kisaran yang dapat ditolerir oleh makrozoobenthos, khususnya di ekosistem mangrove. 2. Salinitas Kisaran salinitas yang terukur ini masih sesuai untuk pertumbuhan mangrove. Secara umum kisaran salinitas yang didapatkan di lokasi penelitian untuk setiap stasiun penelitian cukup bervariasi dengan kisaran nilai antara 18–27 ‰ (Tabel 3). Hal ini dipengaruhi oleh posisi sampling yang terletak di muara Sungai Saro’ Salinitas perairan ini berubah-ubah sesuai dengan pola pasang surut yang terjadi dan mewakili vegetasi mangrove yang berbatasan dengan pintu air dari tambak.Kisaran
salinitas
ini
masih
dianggap
layak
makrozoobenthos yang berkisar 15–45 ‰ (Mudjiman, 1981). 3. pH Air
untuk
kehidupan
44
Hasil pengukuran pH air di semua stasiun penelitian menunjukkan kisaran nilai 7–8. Pada mangrove silvofishery pH lebih rendah karena, mangrove silvofishery termasuk perairan payau, sedangkan pH mangrove alami lebih tinggi karena mendapat suplai air laut. pH air pada hibah penelitian Ukkas (2009), antara 7,5–8. Berdasarkan nilai pH ini, maka perairan di Kawasan Ekowisata Pantai Boe yaitu mangrove silvofishery (mangrove dalam tambak) dan mangrove alami di tepi Sungai Saro’ dapat dikatakan perairan yang produktif. Kisaran nilai pH di setiap titik penelitian cukup baik untuk kehidupan makrozoobenthos, sesuai pernyataan Effendi (2003), bahwa sebagian besar biotik aquatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH berkisar 7,0–8,5. 4. pH Tanah pH tanah yang terukur memiliki kisaran antara 5,6–6,1. Kisaran pH tanah tertinggi terukur pada stasiun I plot III (6,1). Menurut Hardjowigeno (2003), tanah dengan pH 6,0–7,0 sering dikatakan cukup netral meskipun sebenarnya masih agak asam tetapi masih dapat ditoleril atau masih cukup baik untuk perkembangan makrozoobenthos. pH tanah pada setiap stasiun termasuk dalam kategori asam karena besaran nilai pHnya ± 6,0. Menurut Arief (2003), pH tanah di kawasan mangrove juga merupakan salah satu faktor yang ikut berpengaruh terhadap keberadaan makrozoobenthos berbagai jenis makrozoobenthos pada umumnya sangat peka terhadap keasaman tinggi. 5. Substrat/Sedimen Hasil pemilahan partikel sedimen menunjukkan bahwa daerah silvofishery dan daerah mangrove alami didominasi partikel sedimen pasir sedang (Tabel 4).
45
Tabel 4. Persentase hasil pemilahan ukuran butir sedimen pada setiap stasiun penelitian. Ekositem
Stasiun
Mangrove Silvofishery
Plot I Plot II Plot III Plot I Plot II Plot III
Mangrove Alami
% 0,5 – 0,25 34,026 26,666 32,966 31,629 29,612 31,886
2–1 9,021 11,792 6,614 15,389 20,015 31,301
Komponen 0,125 – 0,063 55,238 58,034 59,342 52,373 48,199 33,056
< 0,063 0,945 0,727 1,042 0,624 0,796 2,071
Q2 (mm)
Jenis Sedimen
0,23 0,22 0,22 0,21 0,25 0,4
Pasir Halus Pasir Halus Pasir Halus Pasir Halus Pasir Sedang Pasir Sedang
Jenis sedimen pada mangrove silvofishery termasuk dalam kategori pasir halus, hal ini disebabkan oleh tidak adanya pengaruh gelombang, pasang surut dan arus yang dapat mempengaruhi proses terjadinya sedimentasi, dengan kata lain ekosistem mangrove silvofishery sebagai siklus air tertutup. Sedangkan pada mangrove alami termasuk pasir sedang karena terjadi pengaruh langsung dari arus dan gelombang air laut. Makrozoobenthos hidup dengan membenamkan diri dalam lumpur di bawah mangrove.
Fraksi
makrozoobenthos
pasir di
mengakibatkan
hutan
mangrove.
terjadinya Pasir
penekanan
dibutuhkan
dalam
kepadatan kehidupan
makrozoobenthos, yakni untuk memperbaiki aerasi (menyatu dengan debu) ketika benthos menyusup ke dalam substrat ataupun tempat beristirahat (Arief, 2003). Menurut Bengen (2004), bakau (Rhizophora) dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang berlumpur dan dapat mentolerir tanah lumpur berpasir. 6. Kandungan Bahan Organik Total (BOT) Sedimen Ekosistem mangrove selain ditinjau oleh adanya endapan lumpur, dan kehidupan dari tegakan-tegakan mangrove juga ditinjau oleh proses dekomposisi sisa-sisa bagian pohon (daun, bunga, ranting, akar dan kulit batang) jadi bahan organik. Hasil analisis kandungan bahan organik yang berasal dari sedimen di
46
kawasan mangrove silvofishery berkisar antara 43,02–68,89% dan pada ekosistem mangrove alami 22,04–47,23% (Tabel 3). Pada mangrove silvofishery BOT sedimen lebih tinggi karena, pada mangrove silvofishery kerapatan mangrove lebih tinggi dan ekosistem mangrove silvofishery (mangrove dalam tambak) merupakan siklus air tertutup sedangkan pada mangrove alami kerapatan mangrovenya lebih rendah tetapi jenisnya lebih beragam. Sehubung dengan penelitian Nur (2002), produksi serasah hutan mangrove tergolong rendah hal ini dipengaruhi oleh luas empang, fenomena ini disebabkan oleh iklim dan kondisi vegetasi mangrove yang ada. Kandungan bahan organik dipengaruhi oleh jenis sedimen pada masingmasing stasiun. Kemampuan pasir halus dalam penyerapan unsur hara tergolong tinggi.Semakin kecil ukuran butiran sedimen semakin besar kemampuan menyimpan bahan organik (Soepardi, 1986). Menurut Arief (2003), partikel-partikel ini banyak mengandung bahan organik hasil dekomposisi serasah mangrove. 7. Oksigen Terlarut (DO) DO yang terukur pada setiap stasiun pengamatan berada pada kisaran 4,80–5,28 mg/l pada daerah mangrove silvofishery dan pada daerah mangrove alami nilai DO berkisar antara 5,28–6,40 mg/l. Nilai DO tersebut masih dalam kondisi normal untuk menunjang kehidupan makrozoobenthos. Dowing (1984) dalam Sudarja
(1987),
mengatakan
bahwa
kadar
DO
yang
dibutuhkan
oleh
makrozoobenthos berkisar 1,00–3,00 mg/l. Semakin besar kadar DO dalam suatu ekosistem,
maka
semakin
baik
pula
kehidupan
makrozoobenthos
yang
mendiaminya. Kadar DO untuk tiap stasiun relatif sama karena tidak terdapat perbedaan yang signifikan di tiap stasiun pengamatan (Tabel 3).
47
C. Kondisi Ekosistem Mangrove Mangrove siilvofishery yang ditanam di dalam tambak telah membentuk vegetasi mangrove sebagai satu habitat.Hasil pengamatan menunjukkan bahwa mangrove yang tumbuh di Kawasan Ekowisata Pantai Boe terdiri atas dua jenis yaitu Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa yang merupakan hasil penanaman oleh petani tambak. Di ekosistem mangrove alami terdapat beberapa jenis mangrove yaitu Avicennia sp., Bruguiera sp., Rhizophora stylosa dan Rhizophora mucronata (Tabel 5). Tabel 5. Jenis mangrove yang ditemukan di setiap stasiun penelitian
No
Mangrove Silvofishery
Species Plot I
Mangrove Alami
Plot Plot II III
Plot I
Plot Plot II III
√
1
Avicennia sp.
2
Bruguiera sp.
3
Rhizophora mucronata
√
√
4
Rhizophorastylosa
√
√
√
√ √
√
√ √
1. Kerapatan jenis Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami Kerapatan jenis pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan ketersediaan unsur hara yang terbatas disebabkan oleh kerapatan tegakan pohon mangrove. Kerapatan jenis masingmasing stasiun pengamatan dapat dilihat pada gambar 5.
48
Kerapatan Jenis (ind/m²) 1,5
1,25
1,40
1,27
1 0,5
0,20
0,24
0,22
Plot I
Plot II
Plot III
0 Plot I
plot II
Plot III
Mangrove Silvofishery
Mangrove Alami
Gambar 4. Kerapatan jenis ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami (ind/m²). Antara pohon satu dengan pohon mangrove lainnyauntuk mangrove silvofishery tidak memiliki jarak (Gambar 5). Kerapatan jenis mangrove silvofishery dan mangrove alami sangat jauh berbeda, pada ekosistem mangrove silvofishery sangat padat karena ditanam dengan sengaja. Rendahnya kerapatan jenis mangrove pada ekosistem mangrove alami dapat dipengaruhi oleh pasang surut karena mangrove alami berbatasan dengan laut dan kurangnya pemeliharaan terhadap pohon mangrove. 2. Frekuensi Jenis Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami 4,67
4,23
Frekuensi Jenis (ind/m²)
4,17
Plot I
plot II
Plot III
Mangrove Silvofishery
0,67
0,8
0,73
Plot I
Plot II
Plot III
Mangrove Alami
Gambar 5. Frekuensi jenis ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami.
49
Frekuensi jenis mangrove dapat menentukan peluang ditemukannya jenis mangrove dalam plot yang diamati. Frekuensi jenis pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami memiliki nilai yang hampir sama (Gambar 6). Jenis mangrove yang paling sering ditemukan dikedua ekosistem adalah jenis mangrove Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa.
E. Struktur Komunitas dan Indeks Ekologi Makrozoobenthos 1. Struktur Komunitas Makrozoobenthos Struktur komunitas makrozobenthos terdiri dari komposisi jenis, kelimpahan jenis dan kelimpahan relatif jenis. a. Komposisi Jenis Makrozoobenthos Ditemukan 16 jenis makrozoobenthos di dua ekosistem hasil penelitian, tujuh jenis diantaranya dari class Gastropoda, tujuh jenis dari class Bivalvia, satu jenis dari class Maxillopoda, dan satu jenis dari class Crustacea dengan total jumlah individu sebanyak 1949 individu (Gambar 7). Komposisi Makrozoobenthos Berdasarkan Jumlah Jenis Crustacea Maxillopoda 6,25% 6,25% Gastropoda 43,75% Bivalvia 43,75%
Gambar 6.
Komposisi jenis makrozoobenthos berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami.
50
Komposisi jenis yang ditemukan berdasarkan jumlah jenis pada masingmasing ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami menunjukkan, bahwa ekosistem yang memiliki jumlah jenis yang tertinggi terdapat pada mangrove alami dengan 15 jenis terdiri dari enam dari class Gastropoda, tujuh dari class Bivalvia, satu jenis dari class Maxillopoda dan satu jenis dari class Crustacea. Pada mangrove silvofishery denganlima jenisterdiri dari tiga jenis class gastropoda, satu jenis dari class Bivalvia dan satu jenis dari class Maxillopoda. Ekosistem mangrove silvofishery umumnya didominasi oleh class gastropoda sedangkan untuk ekosistem mangrove alami didominasi dari class Bivalvia (Gambar 8, Lampiran 6). Mangrove Alami
Mangrove Silvofishery
Crustacea 6,67%
Maxillopoda 6,67%
Maxillopoda
20%
Gastropoda 40%
Bivalvia 20%
Gastropoda 60%
Bivalvia 46,67%
Gambar 7. Komposisi jenis makrozoobenthos berdasarkan jumlah jenis. Tabel 6. Komposisi jenis makrozoobenthos pada tiap stasiun berdasarkan jumlah individu Mangrove Silvofishery No
Class
Plot I
Plot II
Mangrove Alami Plot III
Plot I
Plot II
Plot III
JL
%
JL
%
JL
%
JL
%
JL
%
JL
%
1
Gastropoda
355
98,89
408
100,00
443
98,01
200
97,56
136
88,89
363
97,58
2
Bivalvia
0
0,00
0
0,00
6
1,33
4
1,95
14
9,15
6
1,61
3
Maxillopoda
4
1,11
0
0,00
3
0,66
1
0,49
2
1,31
3
0,81
4
Crustacea
0
0,00
0
0,00
0
0,00
0
0,00
1
0,65
0
0,00
359
100
408
100
452
100
205
100
153
100
372
100
Total
51
Komposisi jenis makrooobenthos pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami didominasi olehclass gastropoda (Tabel 6). Gastropoda mempunyai cangkang kedap air yang berfungsi sebagai pembatas, sehingga saat surut gastropoda menutup rapat cangkang dengan operkulum. Selain itu, class gastropoda juga memakan mikroorganisme atau bahan organik tanah, serta naik keatas pohon mangrove untuk mendapatkan makanan seperti jenis Uca sp., Clithon oualaniensi dan Terebralia sulcata. Menurut Arief (2003), Pada bivalvia Jika diamati, cangkangnya terbagi dalam dua belahan yang diikat oleh ligamen sebagai pengikat yang kuat dan elastis. Ligamen ini biasanya selalu terbuka, apabila diganggu maka akan menutup. b. Kelimpahan Rata-rata Makrozoobenthos Kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami kawasan Ekowisata Pantai Boe berkisar antara 107–1020 ind/m2 (Gambar 9). Nilai kelimpahan cukup bervariasi, kelimpahan rata-rata individu yang diperoleh pada mangrove silvofishery lebih tinggi dibandingkan kelimpahan di ekosistem mangrove alami.
Kelimpahan (Ind/m²)
1200 1000 800 600 400 200 0 I
II M. Silvofishery
III M. Alami
52
Gambar 8. Kelimpahan rata-rata individu makrozoobenthos pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami. Kelimpahan tertinggi terdapat pada ekosistem mangrove silvofishery yaitu plot II 1020 ind/m² tingginya kelimpahan makrozoobenthos stasiun I plot II (mangrove silvofishery) didukung oleh tingginya BOT sedimen yang berasal dari serasah pohon mangrove dalam tambak. Sedangkan kelimpahan rata-rata terendah terdapat pada ekosistem mangrove alami stasiun II plot II 107 ind/m² rendahnya kelimpahan
makrozoobenthos
pada
daerah
mangrove
alami
kemungkinan
dikarenakan pencemaran perairan di pinggir sungai saro’ yang disebabkan oleh aktifitas pekerja kapal. Nelayan menggunakannya sebagai tempat persinggahan kapal untuk melakukan aktifitas seperti mengecat dan memperbaiki kapal. Penyebab lainnya, rendahnya jumlah kelimpahan makrozoobenthos pada mangrove alami dikarenakan fator manusia, yaitu seringnya masyarakatan sekitar mengambil makrozoobenthos khususnya pada jenis kerang-kerangan untuk dikonsumsi. Dari hasil analisis uji Anova diperoleh nilai f hitungnya sebesar 9,202 dengan nilai signifikan sebesar 0,039 (p<0,05), berarti terdapat perbedaan yang signifikan antar mangrove silvofishery dan mangrove alami dalam hal jumlah jenis makrozoobenthos. Hal ini disebabkan oleh jumlah jenis mangrove pada ekosistem mangrove silvofishery sangat rendah, karena ekosistem ini kurang menarik untuk habitat makrozooebnthos. c. Kelimpahan Relatif Makrozoobenthos Kelimpahan relatif setiap species pada ekosistem mangrove silvofishery dan mangrove alami dengan nilai tertinggi terdapat pada mangrove silvofishery (dalam tambak) yaitu class gastropoda dengan jenis Cerithidea cingulata 95,0779%
53
dan makrozoobenthos yang kelimpahan relatifnya rendah ditemukan pada mangrove alami dengan jenis-jenis Littoraria articulate 0,1370%, Semipallium luculentum 0,1370%, dan Uca sp. 0,1370% (Tabel 7).
Tabel 7. Kelimpahan relatif makrozoobenthos Stasiun
Class
Gastropoda M. Silvofishery Bivalvia Maxillopoda
Jumlah Individu (ni)
ni/N
%
Clithon oulaniensis
20
0,016407
1,6407
Cerithidea cingulata
1159
0,950779
95,0779
Terebralia sulcata
27
0,022149
2,2149
Saccostrea cucullata
6
0,004922
0,4922
Balanus sp.
7
0,005742
0,5742
1219
1
Clithon oulaniensis
8
0,010959
1,0959
Cerithidea cingulata
632
0,865753
86,5753
Terebralia palustris
2
0,002740
0,2740
Melanoides torulosa
3
0,004110
0,4110
Litoraria articulate
1
0,001370
0,1370
Faunus ater
53
0,072603
7,2603
Saccostrea cucullata
1
0,001370
0,1370
Placuna ephippium
5
0,006849
0,6849
Semipallium luculentum
1
0,001370
0,1370
Anadara granosa
2
0,002740
0,2740
Corbicula Javanica
2
0,002740
0,2740
Scapharca pilula
9
0,012329
1,2329
Nama Species
Total
Gastropoda
M. Alami
Bivalvia
54
Maxillopoda Crustacea
Vepricardium Sinense
4
0,005479
0,5479
Balanus sp.
6
0,008219
0,8219
Uca sp.
1
0,001370
0,1370
730
1,000000
Total
2. Indeks Ekologi Makrozoobenthos Persentase analisis data terhadap indeks ekologi makrozoobenthos yang ditemukan di Kawasan Ekowisata Pantai Boe berdasarkan jumlah individu.
Tabel 8. Nilai indeks ekologi makrozoobenthos pada ekosistem mangrove silvofishery. Stasiun
Class
Gastropoda M. Silvofishery Bivalvia Maxillopoda Total
Clithon oulaniensis
Jumlah Individu (ni) 20
Cerithidea cingulata
1159
Nama Species
Terebralia sulcata
27
Saccostrea cucullata
6
Balanus sp.
7
5 Jenis
Gastropoda
M. Alami
Bivalvia
1219
Clithon oulaniensis
8
Cerithidea cingulata
632
Terebralia palustris
2
Melanoides torulosa
3
Litoraria articulata
1
Faunus ater
53
Saccostrea cucullata
1
Placuna ephippium
5
Semipallium luculentum
1
Anadara granosa
2
Corbicula Javanica
2
Scapharca pilula
9
H'
E
C
0,25559601
0,15881073
0,90479831
0,62820650
0,23197742
0,75526365
55
Maxillopoda Crustacea Total
Vepricardium Sinense
4
Balanus sp.
6
Uca sp.
1 15 Jenis
730
a. Indeks Keanekaragaman Makrozobenthos (H) Indeks Keanekaragaman makrozoobenthos yang tertinggi terdapat di ekosistem mangrove alami dengan total nilai 0,62820650. Kedua ekosistem ini tidak masuk dalam kategori keanekaragaman karena Nilai indeks keanekaragaman ini dipengaruhi oleh banyaknya jumlah jenis yang diperoleh di beberapa sampling. H' ≥ 3,0 Tinggi. Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies/genera tinggi, kestabilan komunitas tinggi dan perairannya masih belum tercemar berat. Menurut Odum (1993), keanekaragaman jenis bukan hanya sinonim dengan banyaknya jenis, melainkan sifat komunitas yang ditentukan oleh banyaknya jenis serta kemerataan kelimpahan individu tiap jenis.
b. Indeks Keseragaman Makrozoobenthos (E) Nilai indeks keseragaman makrozobenthos, mangrove alami memiliki nilai yang paling tinggi yaitu 0,23197742. Mangrove alami memiliki indeks keseragaman yang lebih baik dibandingkan dengan ekosistem mangrove silvofishery karena jumlah individu dari tiap jenis makrozoobentos yang ditemukan lebih merata. Secara umum, nilai indeks keseragamana makrozoobenthos pada Kawasan Ekowisata Pantai Boe termasuk dalam kategori rendah 0,00< E < 0,50 komunitas Tertekan, karena pada benthos jenis Cerithidea cingulata sangat melimpah. Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan organisme lain yang berada dalam satu ekosistem. Menurut Odum (1993), keseragaman menunjukkan komposisi individu dari setiap species dalam suatu komunitas.
56
c. Indeks Dominansi Makrozobenthos (C) Indeks dominansi makrozoobenthos digunakakn untuk menghitung adanya species tertentu yang mendominasi suatu komunitas makrozoobenthos. Untuk nilai indeks dominasi makrozoobenthos, mangrove silvofishery memiliki nilai indeks dominansi yaitu 0,90479831. Nilai indeks dominansi termasuk dalam kategori hampir mendekati adanya dominansi 0,75< C < 1,00. Cerithidea cingulata mendominansi species terhadap species lain di semua stasiun penelitian. Hal ini disebabkan oleh, Cerithidea cingulata merupakan salah satu benthos yang habitatnya di substrat berlumpur seperti substrat dalam tambak. Adanya dominansi karena kondisi lingkungan yang sangat menguntungkan dalam mendukung pertumbuhan spesies tertentu. Selain itu dominansi juga dapat terjadi karena adanya perbedaan daya adaptasi tiap jenis species terhadap lingkungan. Menurut Odum (1993), Nilai indeks dominani berkisar antara 1-0. Semakin mendekati satu, maka semakin tinggi tingkat dominansi spesies tertentu, sebaliknya bila nilai mendekati nol berarti tidak ada jenis yang mendominansi.
57
V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1.
Pada mangrove silvofishery terdapat lima jenis makrozoobenthos terdiri dari tiga jenis class gastropoda, satu jenis dari class Bivalvia dan satu jenis dari class Maxillopoda yang didominansi oleh class Gastropoda. Mangrove alami menunjukkan memiliki jumlah jenis yang lebih tinggi yaitu 15 jenis terdiri dari enam dari class Gastropoda, tujuh dari class Bivalvia, satu jenis dari class Maxillopoda dan satu jenis dari class Crustacea yang didominansi oleh class Bivalvia. Untuk keanekaragaman mangrove, pada ekosistem mangrove silvofishery terdapat dua jenis yaitu mangrove Rhizophora mucronata dan Rhizophora stylosa sedangkan pada ekosistem mangrove alami terdiri dari Avicennia sp., Bruguiera sp., Rhizophora stylosa dan Rhizophora mucronata.
2.
Kelimpahan makrozoobenthos di ekosistem mangrove silvofishery merupakan kawasan yang memiliki makrozoobenthos yang sangat melimpah tetapi jenis species yang sedikit dengan total jumlah individu 1219. Sedangkan, pada ekosistem mangrove alami merupakan kawasan yang makrozoobenthos sedikit tetapi jenis speciesnya cukup beragam dengan total jumlah individu 730. Untuk kelimpahan mangrove, pada mangrove alami lebih beragam sedangkan mangrove silvofishery hanya terdapar dua jenis mangrove karena mangrove di silvofishery merupakan mangrove yang ditanam oleh petani tambak.
B. Saran
Untuk daerah silvofishery diharapkan penanaman mangrove lebih
beragam, agar benthos lebih tertarik untuk tinggal di ekosistem silvofishery (mangrove dalam tambak).
58
DAFTAR PUSTAKA Allard, M. And Moreau,G., 1987, Effect of Experimental Acidification on lotic Macroinvertebrate Community. Hydrobiologia APHA, 1989. Standard Metods for the Examination of Water and Waste Water. APHA. AWWA.APCH. Port City Press. Baltimore. Maryland. Arief, A. M. P., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Bengen, D.G., 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB. Bogor. 59 hal. ., 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB, Bogor. Brower JE, Zar JH. 1977. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Iowa: WM. J Brown Company Publ. Dubuque. 94 p. Cox, C. B., 1967. Biogeography. 2nd. Edn. Blackwell Scientifc Publication Oxford. Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia jilid I dan jilid II (Indonesia Shell). PT. Sarana, Jakarta. Cummins. 1975. Indikator Makrozoobenthos. PT. TKCM. Tangerang. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. FAO., 1982. Management and Utilization of Mangrove in Asia and the Pasific. dalam : FAO Environmental Paper. No. 4 FAO, Rome Graha, D.S, 1987. Batuan dan Mineral. NOVA Bandung. Hardjowigeno, S., 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hawkes, H. A., 1978 River Zonation and Classification in River Ecology, ed. By. B. A. Whitten. Blackwell Scientific Publication. Oxford. Hutabarat dan Evans., 1985. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta. Koesoebiono., 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Fakultas Perikanan, IPB Bogor. Lind, L. T., 1979. Hand Book of Common Method in Lymnology. Second Edition. The C. V. Mosby Company St. Louis. Toronto. London. Mudjiman, A. 1981. Budidaya Udang Windu. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
59
Nontji, Anugrah., 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nur, H. S. 2002. Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove Secara Lestari Untuk Tambak Tumpangsari Di Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia. Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. PESCOD, M. D. 1973. Investigation of Rational Effluen for Tropical Countries. A.I.T. Bangkok, 59 pp
and
Stream
Standards
Retnowati, D. N. 2003. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Beberapa Parameter Fisika Kimia Perairan Situ Rawa Besar, Depok, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Romimohtarto, K., 2001. Biologi Laut. LIPI. Gramedia. Jakarta. Romimohtarto. K, dan Juwana. S., 1999. BIOLOGI LAUT Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. P3O-LIPI. Jakarta. Rosenberg, D. M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York. London. Sabar, Mesrawaty. 2004. Studi Komunitas dan Pemanfaatan Hutan Mangrove [Makalah]. Dalam Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut. Jakarta, Indonesia. Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove, cetakan pertama. Dahara Prize Semarang. Siregar, B. P., 1997. Struktur Sebaran Spasial dan Asosiasi Komunitas Makrozoobenthos pada Ekosistem Padang Lamun di Perairan Teluk Banten, Jawa Barat. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. Soedharma, Dedi., 2005. Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dan Mangrove Untuk Menjunjang Kestabilan Ekosistem Bahari di Perairan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. [Makalah]. Dalam Makassar Maritime Meeting, Seminar Nasional Tanggal 28-29 November 2005. Makassar. Soepardi. 1986. Sifat dan Ciri Tanah. Modul Pembelajaran. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sualia, I, Eko B.P., dan I N.N. Suryadiputra. 2010. Panduan Pengelolaan Budidaya Tambak Ramah Lingkungan di Daerah Mangrove. Wetlands International – Indonesia Programme. Bogor.
60
Sudarja, Y., 1987. Komposisi Kelimpahan dan Penyebaran mangrove dari Hulu ke Hilir Berdasarkan Gradien Kedalaman di Situ Lentik, Dermaga. Kab Bogor. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. Sukarno., 1988. Terumbu Karang Buatan Sebagai Sarana Untuk Meningkatkan Prosuktivitas Perikanan di Perairan Jepara, Perairan Indonesia. LON-LIPI. Jakarta. Sunarto. 2008. Peranan ekologis dan antropogenis ekosistem mangrove. Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan Univ. Padjajaran. Susilo, E., 1995. Manusia dan Hutan mangrove. dalam : Pelestarian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Bakau Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Ukkas, M. 2009. Kajian Aspek Bioekologi Vegetasi Mangrove Alami dan Hasil Rehabilitasi di Kecamatan Keera Kab Wajo Sulawesi Selatan. Hibah Penelitian. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Whitten. A. J., Mustafa. M., Henderson. G. S., 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
.