1
TRANSFORMASI NANDAI KE DALAM NASKAH PERTUNJUKAN; SEBUAH SOLUSI PENGEMBANGAN KREATIVITAS PELESTARIAN BUDAYA LOKAL (Keragaman Sastra Daerah di Sumatera Selatan Peluang Meningkatkan Potensi Berkreasi dan Berpikir Kritis Generasi Penerus)
A. Latar Belakang Indonesia dengan berbagai suku bangsa mempunyai keanekaragaman kearifan lokal, yang didalamnya terkandung nilai-nilai etika, moral, normanorma yang sangat dijunjung tinggi sejak nenek moyang dulu. Nilai-nilai tersebut menyatu dalam kehidupan masyarakat dengan dinamis. Bahkan kearifan lokal menjadi pedoman masyarakat dalam berperilaku dan berinteraksi dengan alam dan sosialnya. Aktivitas kebudayaan dalam masyarakat tidak terlepas dari tatanan nilai yang terbentuk dan disepakati secara bersama melalaui produk budaya. Salah satu produk budaya masyarakat yaitu sastra lisan (tutur)1 yang diwariskan secara turun menurun. Sebagai produk budaya, sastra lisan sering juga disebut cerita rakyat. Hal ini karena sastra lisan muncul dan berkembang di tengah kehidupan rakyat sejak mereka belum mengenal tulisan, dan disampaikan secara turun temurun dari mulut ke mulut suatu kelompok masyarakat tertentu. Makanya dalam teori sastra, tidak dikenal adanya pemilik tunggal cerita lisan. Setiap masyarakat cerita berhak untuk mengakui bahwa cerita lisan yang ada padanya adalah miliknya. Hal ini disebabkan oleh proses kelahiran sastra lisan itu sendiri. Beberapa daerah yang tersebar di Nusantara ini, memiliki sastra lisan yang menjadi kekayaan budaya.
Demikian juga dengan Sumatera Selatan yang
memiliki kearifan lokal bermacam-macam lengkap dengan kekhasannya. Misalnya di Kota Pagaralam dan Kabupaten Lahat, maka kita mengenal sastra lisannya, andai-andai, pantun,
rejung,
tadut, guritan, ringit, mantra. Lalu
Kabupaten Empat Lawang ada andai-andai (nandai), pantun, rejung, mantra. Ke kabupaten Musi Banyu Asin, selain mantra, pantun, ada senjang. Kabupaten 1
Jenis sastra lisan di Lubuklinggau; cerita rakyat (prosa rakyat), Puisi rakyat; pantun, mantra, senjang, rejung, lagu daerah.
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
2
Musi Rawas, Kota Lubuklinggau, Kabupaten Musi Rawas Utara , ada nandai, rejung, senjang, mantra, lagu daerah dan lain sebagainya. Berbicara sastra lisan di Sumatera Selatan, fenomena yang terjadi sastra lisan-sastra lisan ini tidak terwariskan dengan baik, dan diambang kepunahan. khususnya cerita rakyat.
Kearifan lokal yang paling mencolok mendekati
kepunahan ialah sastra lisannya dalam bentuk
cerita daerah. Sebagaimana
dikemukakan peneliti muda bidang sastra di Sumatera Selatan,
Ery Agus
Kurnianto, M.Hum yang menyatakan sastra tutur di Sumsel ada 127 jenis yang diambil dari kota dan kabupaten dan di Sumatera Selatan diambang kepunahan. Karena di lapangan sulit mencari penutur yang bisa menuturkan dengan baik. Hal senada disampaikan Ketua Lembaga Budaya Komunitas Batang Hari Sembilan, Vebri Al Lintani, yang mengatakan saat ini sastra tutur di Sumatera Selatan hampir punah. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat untuk mempertahankan tradisi sastra tutur. Demikian pula sastra lisan yang berada di kota Lubuklinggau dan sekitarnya, sastra lisan ini pun nyaris punah karena tidak terwariskan dengan baik. Problemnya sama minim sekali penutur bahkan beberapa daerah sudah tidak ada lagi penuturnya. Padahal kita tahu sastra lisan merupakan aset budaya. Salah satu sastra lisan di Lubuklinggau, yaitu cerita rakyat2 yang disebut nandai. Sesuai dengan sifatnya, cerita rakyat (nandai) di Lubuklinggau umumnya diwarisi secara turun menurun, dari mulut kemulut. Hal ini sejalan dengan hal yang diungkapkan Harianto dan Evi Novianti (2004:1) cerita rakyat merupakan sastra yang pewarisan dan penyebarannya dilakukan secara lisan dari mulut ke mulut sehingga cerita rakyat disebut sastra lisan. Sistem pewarisan nandai di Lubuklinggau juga dilakukan secara turuntemurun kepada anak-anak atau generasi penerusnya. Nandai dilakukan secara intensif pada saat menjelang tidur, atau pada saat berkumpul ketika ada hajatan, atau pada waktu istirahat berkebun, berladang, di sawah sembari menjaga padi 2
Cerita rakyat di Lubuklinggau disebut ‘nandai’, cerita daerah yang dituturkan dengan menggunakan bahasa daerah, disampaikan oleh orang-orang tua sebagai penutur. Dari delapan kecamatan wilayah Lubuklinggau, penutur hanya tinggal dua orang saja; Lubuklinggau Barat I yaitu Bapak Komarudin, Lubuklinggau Timur I, bapak Ali Pitah.
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
3
dari serbuan burung pipit. Dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, seorang tukang cerita pada para pendengarnya, nenek atau kakek pada cucu-cucunya, ataupun antar sesama anggota masyarakat. Selain itu, nandai-nandi ini merupakan media untuk mendidik. Karena umumnya nandai yang disampaikan mengandung ajaran moral yang layak diteladani.
Namun saat ini, nandai
semakin langka, utamanya di kalangan
keluarga dan masyarakat yang bermukim di Lubuklinggau. Cerita rakyat tidak lagi menjadi media mendidik bagi anak-anak sekaligus pembentukan karakter sejak dini. Tuntutan kehidupan saat ini menggiring setiap orang untuk materialis, hedonistis, individualistis, praktis, dan berusaha memenuhi kebutuhan secara instant. Jika dulu nandai
sebagai sarana hiburan, saat ini masyarakat lebih
memilih media elekrto yang praktis. Akibatnya sastra lisan berupa nandai di Lubuklinggau semakin kritis, masyarakat penutur semakin sedikit, bahkan sebagian besar sudah meninggal. Sementara kalangan muda yang idealnya penjadi pewaris penuturnya tidak berminat samasekali untuk mempelajari apalagi mengembangkan nandai sebagai warisan nenek moyangnya.
Hal di atas hanya
sebagian kecil penyebab nandai di kota Lubuklinggau makin terkubur. Di samping itu minimnya pemerhati dan kolektor cerita rakyat dan tukang cerita menjadi penyebab nandai terancam punah. Bisa dipastikan, jika tidak dikembangkan dan dijaga kelestariannya, masa mendatang masyarakat sudah tidak kenal nandai sebagai ciri khas daerahnya. Pudentia dikutip Taum (2011:6) dalam Muhtar (2014:5)
menyatakan
bahwa kematian sebuah tradisi lisan bisa berarti kita kehilangan ensiklopedi sebuah masyarakat. Jika melihat kenyataan, pernyataan tersebut benar adanya, tentu saja sangat menyakitkan. Maka tidak menutup kemungkinan masa yang akan datang sastra lisan-sastra lisan itu akan menjadi kenangan. Selanjutnya anak cucu tidak akan kenal lagi berbagai kekayaan budaya nenek moyangnya. Ensiklopedi sebuah masyarakat benar-benar mati. Beradasarkan
fenomena
di
atas,
sudah
selayaknya
masyarakat,
budayawan, pemerhati sastra lisan melakukan tindakan tertentu. Minimal mempertahankan nandai yang telah terdokumentasi. Sebagian besar nandai ini
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
4
sudah di dokumenkan oleh budayawan daerah H. Suwandi Syam. Diantaranya nandai; Bujang Kurap, Dayang Torek, Putri Silampari, Bute Puru, Putri Berias, Asal Mula Batu Urip, Asal Mula Nama Lubuklinggau, Asal Mula Nama Selangit, dan beberapa legenda lainnya. Selanjutnya RD Kedum dalam versi yang berbeda berdasarkan nara sumber yang berbeda pula; Asal Mula Danau Rayo, Putri Berias, Asal Mula Nama Dusun Kayu Are, Putri Selaka, Legenda Bujang Kurap, Gentayu Ulak Dalam, Putri Selindang Abang, Selindang Koneng (Peri Mandi Kasai), dan lain-lain. Nandai-nandai di atas hanyalah sebagian kecil dari berbagai sastra lisan yang tersebar di Lubuklinggau dan sekitarnya, karena sebagian besar sudah tidak ada
penuturnya maka harus ada upaya untuk pelestariannya,
salah satunya
mentransformasi nandai ke dalam bentuk karya sastra yang lebih menarik. Transformasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya mengubah manuskrip nandai menjadi naskah seni pertunjukkan. Transformasi adalah suatu proses atau cara mengubah yang ada menjadi bentuk baru. Bentuk baru ini bisa berupa fisik, bentuk, dan fungsinya. Mengapa pentingnya transformasi sastra lisan ke dalam bentuk lain? Mengapa tidak mempertahankannya sesuai dengan pakemnya? Dengan cara mentransformasikan sastra lisan terutama nandai ke dalam bentuk baru, misalnya naskah drama, maka kekhawatiran kehilangan sastra lisan nandai ini dapat diminimalisir.
Apapun
bentuknya, nama dan jenis sastra lisan di negeri ini, menggambarkan betapa kayanya warisan nenek moyang dan dapat ditransformasi ke bentuk lain sebagai salah satu pengembangan sastra daerah. Sekaligus bentuk kreativitas berangkat pada kearifan lokal. Pertanyaannya upaya apa saja yang harus dilakukan dalam melestarikan kearifan
lokal, terutama
sastra
lisan
nandai?
Bagaimana
mentransfortasi nandai menjadi bentuk naskah pertunjukan?
B. Nandai Sastra Lisan Lubuklinggau Lubuklinggau tidak berbeda dengan daerah lainnya yang ada di Sumatera Selatan. Lubuklinggau juga memiliki sastra lisan- sastra lisan yang tersebar dan menjadi milik masyarakat Lubuklinggau. Salah satu sastra lisan yang ada di
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
5
Lubuklinggau adalah cerita rakyat yang disebut nandai. Cerita rakyat ini pernah menjadi bagian penting dari kehidupan para pewarisnya. Berkembang sebelum sastra tulis digunakan sebagai wahana untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Cerita rakyat atau nandai,
merupakan bagian dari sastra lisan yang
berbentuk prosa. Wujud kelisanan cerita rakyat sudah berlangsung lama, sehingga saat ini tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan cerita itu diciptakan dan siapa penciptanya. Ia tumbuh dan berkembang dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Egoff dan Saltman menyatakan bahwa cerita rakyat 3 sebagai primitive and non literate society (1990:228), selanjutnya Bettelheim menyebutkan preliterate society (1997:25). Artinya, cerita rakyat dapat dipahami sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya, seperti agama dan kepercayaan, undang-undang, kegiatan ekonomi, sistem kekeluargaan, dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Cerita rakyat mempunyai fungsi dalam masyarakatnya, misalnya sebagai media pendidikan, pengajaran moral, hiburan, proses sosial dan sebagainya, bersifat pralogis, yakni mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika ilmu pengetahuan. Sebagai produk masyarakat kolektif masa lalu nandai memiliki nilai-nilai yang dapat kita petik dalam penuturannya, antara lain nilai-nilai nilai moral, nilai religi, nilai budaya,
nilai
kehidupan, dan nilai kepahlawanan dan lain-lain.
Sehingga kita dapat melihat gagasan-gagasan, pandangan hidupan, sistem masyarakat, sistem kebudayaan, dan pesan-pesan yang hendak disampaikan dalam nandai.
3
Mukmin dan Izzah (2010:2) menyatakan umumnya cerita–cerita rakyat mengisahkan tentang terjadinya alam semesta, manusia pertama, kematian, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam tertentu, tokoh sakti yang lahir dari perkawinan sumbang, tokoh pembawa kebudayaan, makanan pokok, (seperti pagi, jagung, sagu, dsb.), asal–mula nama suatu daerah atau tempat, tarian, upacara, dan binatang tertentu. Adapun tokoh–tokoh dalam cerita rakyat biasanya ditampilkan dalam berbagai wujud, baik berupa binatang, manusia maupun dewa, yang kesemuanya disifatkan layaknya manusia.
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
6
Orang yang bernadai, atu tukang cerita (penutur), biasanya tidak hanya mampu menuturkan cerita rakyat ini dengan runtut. Akan tetapi, di dalam penuturannya, tukang cerita akan menyelinginya dengan rejung, senjang, mantra, pepatah, lagu, pantun, dan lain sebagainya. Di Lubuklinggau dan sekitarnya, zaman dulu yang menjadi penutur, tidak dibatasi pada jenis kelamin, muda atau tua. Siapapun bisa menjadi tukang nandai yang penting adalah kemampuan menyampaikan nandai dengan menarik, menguasai berbagai sastra lisan lainnya, minimal rejung, senjang dan lagu, dan dapat bertutur dengan lancar. Biasanya, tukang cerita menuturkan nandai pada waktu-waktu tertentu. Misalnya pada waktu ada hajatan, usai bekerja di ladang, sawah dan kebun. Atau dilakukan oleh orang-orang tua sebagai pengantar tidur pada anak atau cucucucunya. Tidaklah berlebihan, jika dikatakan nandai merupakan cermin pribadi masyarakat Lubuklinggau dan sekitarnya masa lalu. Maka sudah sepatutnyalah ada upaya menumbuhkembangkan serta melestarikan kearifan lokal ini sebagai salah sayu kekayaan budaya.
C. Transformasi Nandai dalam Bentuk Naskah Pertunjukkan (Drama)
Di dalam kamus Bahasa Indonesia transformasi dapat diartikan perubahan rupa bentuk, sifat, fungsi, dan lain sebagainya.
Transformasi juga dapat
didefiniskan sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap yang paling sempurna. Berangkat pada definisi di atas, transformasi nandai ke dalam bentuk naskah drama, artinya mengubah nandai sebagai sastra lisan ke dalam bentuk naskah pertunjukan. Dalam mentranformasi sastra lisan nandai ke dalam naskah pertunjukan diharapkan dapat menghidupkan kembali sastra lisan nandai ini sekaligus menjadi media kreativitas orang-orang yang bergiat di dalamnya; penulis, pengamat budaya, pemilik cerita, masyarakat, pendidik, mahasiswa, pelajar, seniman dan lain-lain. Transformasi nandai ke dalam bentuk naskah drama bukan satu satunya cara untuk melestarikan dan membuat nandai ini menjadi luntur dari pakemnya. Akan tetapi sebagai alternatif agar isi nandai yang tumbuh di masyarakat tetap
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
7
hidup. Sekaligus merupakan kreativitas di dalam pengembangan sastra kearifan lokal. Sebagai warisan budaya masa lampau yang memiliki nilai sejarah dan estetika budaya. Dengan mentransformasi nandai menjadi naskah pertunjukan maka pemahaman isi cerita lisan akan hadir lebih hidup karena dikemas sedemikian rupa sesuai dengan tujuannya sebagai seni pertunjukan. Maka mentfansformasinyapun ada kriteria-kriteria yang harus dipahami sebagai seni pertunjukan dengan tidak mengurangi keajekan nandai.
Hal ini dianggap perlu
sehingga akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan sastra lisan nandai sebagai salah satu kekayaan budaya. Metransfortasi naskah lisan nadai ke dalam naskah drama bukanlah satusatunya
bentuk baru pelestraian sastra tutur nandai. Akan tetapi bisa juga
ditransformasikan ke dalam bentuk sendra tari, tari daerah, lagu daerah, pantun, dan sebagainya. Sehingga yang semula hanya dituturkan, akhirnya menjadi seni yang divisualkan. Inilah yang dikatakan kreativitas. Berkaitan dengan kreativitas, menurut Munandar (1995: 25) kreativitas adalah suatu kemampuan umum untuk menciptakan suatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubunganhubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Dijelaskan lebih lanjut, kreativitas adalah sebuah kemampuan yang dimiilki oleh individu atau seseorang untuk memahami keadaan dalam meninterprestasikan pengalaman dan memecahkan masalah dengan cara yang baru dan asli, sehingga terciptalah menciptakan suatu hal yang baru dan manfaat.
D. Naska Petunjukan (Drama) Naskah drama adalah karya fiksi yang memuat kisah atau lakon. Naskah yang lengkap terdiri atas babak dan adegan-adegan. Ada beberapa kategori naskah pentas, yaitu : a) Naskah yasan, artinya teks drama yang sengaja diciptakan sejak awal sudah berupa naskah drama. Naskah semacam ini biasa ditulis oleh seorang sutradara. b) Naskah garapan, artinya teks drama yang berasal dari olahan cerita
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
8
prosa atau puisi diubah ke dunia drama. Biasanya penggarapan naskah terikat oleh jalan cerita sebelumnya. sehingga bagian kecil saja yang diubah. Hal ini memang lebih mudah. Sebab penggarap tidak perlu berimajinasi dari awal. c) Naskah terjemahan artinya naskah yang berasal dari bahasa lain, diperlukan adopsi dan penyesuaian dengan budanyanya. (Endraswara. 2011: 37). Berdasarkan pandangan di atas, transformasi nandai menjadi naskah drama masuk ke dalam kategori garapan. Sebab naskah pertunjukan ini berasal dari sastra lisan atau prosa lisan. Sesuai dengan kriteria naskah pertunjukan, maka ketika mengubah nandai menjadi naskah pertunjukan perlu rancangan kretivitas dan pemahaman tentang seni pertunjukan ini. Artinya, dibutuhkan pemahaman dasar tentang karya sastra seni pertunukan (drama) secara mumpuni. Sebab, ketika seseorang menulis naskah pertunjakan, maka imajinasinya harus bermain pada wilayah panggung dengan berbagai macam peristiwanya. Hal ini agar menghasilkan naskah yang baik. Menurut Arifin (1980:15), naskah yang baik apabila naskah itu kaya dengan ide-ide baru, baik dilihat dari filsafat, sosial, kulturil, politis dan asli (bukan jiplakan). Selanjutnya bagaimana nilai sastranya, bagaimana bahasa yang dipakai, segar atau penuh klise. Derek Bowskill dalam bukunya menyebutkan naskah yang baik; Pertama, mencetuskan kegembiraan dan ketakutan-ketakutan manusia yang akan berbaur dengan kegembiraan dan ketakutan yang ada pada penonton. Kedua, memberikan kekayaan batin, membebaskan manusia dari prasangka-prasangka dan memberikan rasa senang. Ketiga, menciptakan situasi yang membutuhkan jawaban, mendorong imajinasi dan dan menyediakan pengalaman-pengalaman yang intens, kuat dan hebat. Keempat, tidak membuat pertanyaan-pertanyaan dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan atau malah tak terjawabkan.
Kelima,
dialog-doalognya
enak,
bahasanya
mudah
untuk
menyatakan perasaan hingg tema yang dikandung dapat terwujudkan. Keenam, jika dibaca berulang-ulang, dan digali akan menimbulkan pengertian-pengertian yang lebih jelas. Tujuh, yang dilontarkan adalah kebenaran-kebenaran
dari
pandangan seseorang tentang kondisi manusia. Asli, luas, mendalam, dan tidak palsu atau dibikin-bikin.
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
9
Berbicara tentang kriteria naskah drama yang baik, maka tidak lepas berbicara struktur. Endraswara (2011: 21) membagi struktur drama yang baku yaitu; pertama, ada babak yang akan membentuk keutuhan kisah kecil, lengkap dengan petunjuknya. Kedua, adegan. Setiap babak biasanya akan dibagi-bagi menjadi beberapa adegan yang dibatasi oleh perubahan peristiwa. Ketiga, merupakan bagian yang sangat penting dan secara lahiria membedakan sastra drama dengan jenis fiksi lainnya. Keempat, prolog. Sebagaimana prosa maka drama pun mengenal bagian awal, tengah dan solusi serta peleraian. Prolog dalam drama tidak terlalu dianggap penting. Prolog biasanya bagian naskah yang ditulis pengarang pada bagian awal yang memuat pengenalan pemain. Kelima, epilog. Yaitu penutup drama yang biasanya cukup disampaikan oleh pembawa acara atau narator di belakang panggung. Contoh Transformasi Nandai Menjadi Naskah Drama
Putri Selaka (Legenda Sungai Temam Kota Lubuklinggau) Di sebuah perkampungan kecil jauh di dalam hutan, ada sebuah kelompok kehidupan yang bersahaja, damai, sejuk, subur, memiliki aliran sungai yang jernih, bernama Lubuk Timang yang dipimpin oleh seorang Kepala Suku Gindo Redam. Kampung Lubuk Timang berasal dari nama salah satu lubuk dalam yang mengalir mengelilingi dusun. Kehidupan masyarakatnya, sebagian ada yang sudah memilki ladang, sebagian lagi hanya mengandalkan hasil hutan, makan umbi-umbian; gadung, ketela, ubi kayu, dan buah rotan. Meski berada jauh di tengah rimba, Gindo Redam memiliki seorang putri yang cantik luar biasa. Namanya Putri Selaka. Selain cantik, putri Selaka juga pandai berejung, bersenjang, dan menari. Setiap petang, ia bersama gadis-gadis (dehe-dehe) di kapungnya akan belajar menari senjang. Ternyata, kecantikan Putri Selaka, sudah tersohor ke dusun-dusun lainnya. Baik ke hulu sungai, maupun ke wilayah hilir. Tidak ketinggalan Rantana, anak kepala suku hulu Air. Sudah lama ia mendengar kalau di salah satu dusun rimba ini, ada seoranng putri yang cantik luar biasa. Rentana Air Kati, yang terletak hulu sungai, mulai mencari dusun tempat Putri Selaka berada. Tidak sulit baginya, dalam waktu singkat ia menemukan dusun yang terletak di hilir dusun. Angin telah membawa suara merdu Putri Selaka yang tengah bersenjang. Ayah Rantana, Gindo Sangsang Lubuk Kati, sebenarnya saudara Gindo Redam. Mereka adik dan kakak. Namun Gindo Sangsang Lubuk Kati diusir dari dusun dan disumpah nenek moyang, karena kelakuannya yang tak lazim. Sikapnya
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
10
yang kejam, suka membunuh hewan dan memakan dagingnya mentah-mentah, membuat nenek moyangnya marah. Demi melihat kecantikan Putri Selaka, Rentana langsung hendak menjadikannya istri. Tentu saja Putri Selaka menolak. Apalagi kedatangan Rantana yang tibatiba, sungguh tidak beradat. Kedatangan Rentana ke Lubuk Timang, benar-benar membawa petaka. Rentana dengan berani ingin mempersunting Putri Selaka. Putri Selaka, gadis Lubuk Timang itu tidak pernah bermimpi jika ia akan menjadi sumber segalanya. Penolakkannya terhadap Rantana, telah membuat pemuda itu mengamuk, dan mengancam akan menghancurkan Lubuk Timang. Gindo Redam, ayah Putri Selaka jelas tidak suka dengan cara Rantana. Apalagi ketika ia mengetahui kalau Rantana adalah keponakannya. Anak kakaknya yang sengaja di usir dari sukunya. Marah karena ditolak mentah-mentah, Rantana menancapkan sebatang aur gading di pinggir dusun dan berkata, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat mengubah sumpahku, selagi aur ini masih tertancap, tidak ada satupun yang bisa mempersunting Putri Selaka, kecuali aku. Lalu jika menolak maka semua gadis Lubuk Timang pun, tidak akan menemukan jodohnya. Akhirnya Gindo Redam berusaha menyatukan kekuatan untuk melawan Rantana yang sakti. Jalan satu-satunya untuk menawarkan kekuatan aur gading yang ditanam Rantara, Gindo Redam harus menyatukan kekuatan bersama Tetua adat Intan Lanang. Dusun Lubuk Timang akan disilamkan dari pandangan Rantana. Menjelang malam purnama, ritual dilaksanakan. Namun belum usai ritual Rantana datang. Rantana tahu jika Gindo Redam berniat menyilamkan dusun dari padangannya. Rantana naik pitam. Ia menyerang Tetua Intan Lanang dengan pusala yang terselip di pinggangnya. Tanpa di duga, senjatanya mengenai Putri Selaka yang berlindung di belakang ayahnya. Putri Selaka tewas seketika. Menyadari hal itu, Rantana terkejut. Dia ambil tubuh Putri Selaka, lalu dibawanya pergi entah kemana. Gindo Redam, dan penduduk panik. Mereka berlari berusaha mengejar Rantana. Namun gagal. Putri Selak tak tahu dibawa Rantana kemana. Akhirnya, sejak saat itu, untuk melindungi kampungnya dari ganguan orang jahat, akhirnya Gindo Redam benar-benar menyilamkan dusunnya. Sejak itu, dusun Lubuk Timang silam dari pandangan. Yang ada hanya air terjun yang mirip seperti tirai. Sejak itu, orang menamakan air terjun Temam, terletak kurang lebih 12 km dari Kota Lubuklinggau, dan menjadi salah satu objek wisata kota Lubuklinggau.*** Sumber : Kusem (alm)-65 tahun, petani dari Desa Jukung Kota Lubuklinggau. Tidak ada pewarisnya. Teks cerita di tulis RD Kedum
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
11
PUTRI SELAKA (Legenda Air Terjun Temam) Karya; RD.Kedum
Putri Selaka (Anak Gindo Redam-Kepala Suku Lubuk Timang) Gindo Redam (Kepala Suku Lubuk Timang) Intan Lanang (Tetuo Adat Lubuk Timang) Rantana Lubuk Katti (Putra Gindo Muara Katti) Penduduk 1,2 SINOPSIS Putri Selaka, gadis Lubuk Timang itu tidak pernah bermimpi jika ia akan menjadi sumber malapetaka. Penolakkannya terhadap Rantana, telah membuat pemuda itu mengamuk, dan mengancam akan menghancurkan Lubuk Timang. Gindo Redam, ayah Putri Selaka tidak setuju. Sebab, Gindo Sangsang Lubuk Katti, ayah Rantana adalah saudara kandungnya yang dikucilkan dan disumpah nenek moyang, karena kebiasaan anehnya-membunuh hewan lalu memakan dagingnya mentah-mentah. Rantana menancapkan sepotong aur gading di pinggir dusun dan berkata, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat mengubah sumpahnya, dan tidak ada satupun yang bisa mempersunting Putri Selaka, kecuali Dia. Lalu semua gadis Lubuk Timang pun, tidak akan menemukan jodohnya. Jalan satu-satunya untuk menawarkan kekuatan aur gading yang ditanam Rantara, Gindo Redam harus menyatukan kekuatan bersama Tetua adat Intan Lanang. Dusun Lubuk Timang akan disilamkan dari pandangan Rantana. Menjelang malam purnama, ritual dilaksanakan. Namun belum usai ritual Rantana datang. Rantana menyerang Tetua Intan Lanang. Tanpa di duga, senjatanya mengenai Putri Selaka yang berlindung di belakangnya. Putri Selaka tewas seketika. Menyadari hal itu, Rantana terkejut. Dia ambil tubuh Putri Selaka, lalu dibawanya pergi entah kemana. Gindo Redam, dan penduduk panik. Mereka berlari berusaha mengejar Rantana. SETTING Suasana petang hari. Musik etnik mengalun tenang. Beberapa gadis bercengkrama gembira. Samar-samar terdengar rejung; Oii…
tiang boloh ditetak empat Seje di unde ke ulu doson Putri Selaka namea royat Dere tekenal beparas anggon
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
12
Dusun kami si Lubuk Timang Mengalir ayow jenih ke ilir Royat kami perlu dikenang Anak cucung jan ian mangkir ………………….. Musik etnik berubah, satu dere menari pisau, bergerak gemulai. Beberapa penduduk yang melintas tertegun kagum.
BABAK I Penduduk 1 Wow!! Luar biasa. Ternyata dere-dere kita masih ada yang bisa menari. Tari pisau ini warisan nenek moyang kita. Tidak banyak yang bisa menarikan tari mistis ini. Penduduk 2 Benar sekali sanak. Aku tidak bisa bayangkan. Ternyata budaya nenek moyang kita jaman dulu luar biasa. Tapi, mengapa tari ini dikatakan tari mistis? Penduduk 1 Sebab, tari ini biasa dilakukan oleh nenek moyang kita ketika melakukan ritual tolak bala, menjaga dusun. Sekaligus menggambarkan kekuatan dan keberanian batin nenek moyang kita, yang tidak tembus dengan senjata tajam. Penduduk 2 Oo…camtu…(manggut-manggut) Artinya, nenek moyang kita dulu kebal. (Beranjak keluar panggung) Putri Selaka Sanak, aghai sudah petang. Mari kita pulang. Besok kita lanjutkan lagi permainan kita. Lihatlah, burung enggang sudah hendak pulang ke sarangnya. Pertanda malam sudah makin dekat. Tapi, mengapa dusun kita bekabut. Padahal lembayung masih tampak gerah menerangi alam. Ah, sudahlah..mudah-mudahan ini bukan pertanda buruk. (Semua bergegas- out stage- empty stage) Babak II (Pagi hari. Putri Selaka masuk dan duduk mengayam tikar, sembari bersenjang; Ooi Alangkah anggon burung seriti Terbang ke ilir kadang ke ulu Bedan hebatang nak di tangisi Lum ade lananga lum ade judu ( tiba-tiba Rantana sudah berada di hadapan Putri Selaka) Rantana Ahai…tak salah rupanya angin senjangmu membawaku kemari, ternyata benar kalau di dusun ini ada seorang peri, berparas cantik luar biasa. Engkaukah yang bernama Putri Selaka itu dehe? (mendekat dan memegang dagu Putri Selaka) Putri Selaka Hei…siapa engkau anak lanang? Kurang ajar sekali. Tak diajarkan sopan santunkah engkau bagaimana caranya masuk ke dusun orang?
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
13
Rantana (tertawa) Bukankah aku sudah menyapamu lebih dulu? Kurang sopankah itu, Putri cantik? Putri Selaka Sikapmu menunjukkan jika kau tidak beradat anak lanang. Rantana Hei…dari tadi kau memanggiku anak lanang-anak lanang. Apakah itu sopan? Aku Rantana. Anak gindo ayow ulu. Gindo Sangsang Lubuk Katti. Putri Selaka (Kaget) Gindo Sangsang Lubuk Katti? Rantana Iya..kenapa? Mengapa terkejut? Nama Bakku memang menggetarkan tanah Silampari ini, Sangsang Lubuk Katti. (tertawa) Kau kenal? Gindo Redam (Tiba-tiba) Siapa yang menyebut-nyebut Sangsang Lubuk Katti? Anak lanang. Siapa kau? Bisakah kau bersikap sedikit sopan. Rantana Akulah yang menyebut-nyebut Sangsang Lubuk Katti. Mengapa? Tiap kali aku masuk dusun asing, semua heran dan menyatakan takut mendengar nama Bakku. Gindo Redam Ow..jadi kau anak Sangsang Lubuk Katti? Ia adalah saudaraku yang diusir dari dusun dan disumpah nenek moyang, karena kelakuannya yang tak lazim. Ia kejam, suka membunuh hewan dan memakan dagingnya mentah-mentah. Rantana (Terbahak) Sampai sekarang kebiasaan itu masih Gindo. Jangankan hewan, manusia pun bisa dimakannya hidup-hidup. Kau takut? Kau juga ikut-ikutan menyumpah Bakku, bukan? Gindo Redam Itu urusan Bakmu. Ada apa engkau datang kemari. Siapa namamu? Rantana Rantana. Namaku Rantana Lubuk Katti. Angin senjang Putri Selaka telah membawaku kemari, Gindo. Sudah lama aku mendengar kecantikannya. Ahaiii…ternyata benar. Putri Selaka cantik luar biasa. Aku hendak menjadikannya istriku. Putri Selaka Tutup mulutmu Rantana, kau sedang berbicara dengan siapa? Rantana Dengan Bakmu Putri Selaka. Calon mertuaku. Siapa namanya? (bersikap biasa-biasa saja) Gindo Redam Rantana, aku pamanmu, Redam. Saudara Bakmu. Mana mungkin kau mempersunting putriku. Putri Selaka saudaramu.
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
14
Rantana Aaah !!! Aku tak peduli! Sumpah nenek moyang telah memutuskan tali darah Bakku dan engkau Gindo Redam. Aku benci dengan orang yang menghalangi keinginanku. Termasuk engkau! Putri Selaka Siapa yang sudi mejadi istrimu, Rantana. Kuharamkan diriku di persunting manusia binatang sepertimu. Intan Lanang (Masuk) Hmmm…ada tamu yang tak beradat rupanya. Tak kau ukur tingginya langit dan dalamnya laut anak lanang. Panjang rotan ada batasnya. Kuat akar pun ada putusnya. Jangan kau inginkan jadi tunggul tercancang di tengah subur hutan. Rantana Ahai..siapa pula kau pak Tua. Pandai sekali kau berbicara. Tak akan aur mati sia-sia, selagi tertancap di tanah basah. Aku kemari berniat baik, hendak mempersunting Putri Selaka jadi istriku. Putri Selaka Kau tak berotak Rantana. Apa kurang jelas yang telah disampaikan Bakku? Rantana Jelas…sangat jelas!! Putri Selaka calon istriku!! Kuncinya satu, kau harus mau! (menyambar tubuh Putri Selaka, Putri Selaka menjerit, memberontak. Intan Lanang menyerang secepat kilat. Putri Selaka terlepas dan berlari mendekati Baknya.) Intan Lanang Rantana, beraninya kau berlaku kurang ajar di hadapan orang tua. Pergilah dari sini sebelum habis kesabaran kami. Kau salah alamat anak lanang. Aur gading tetap jadi aur gading. Tak akan berubah jadi aur betung. Keputusan Gindo Redam ibarat tebing, tak akan terbis karena angin. Rantana Baik, Orang tua! Aku belum kalah. Aku akan datang tepat malam bulan purnama. Ini hinaan! Akan ku tantang kau orang tua. (berpaling ke Gindo Redam) Pikirkan baik-baik lamaranku Gindo. (mengambil sepotong bambu lalu menancapkannya) Ingat!! Aur ini akan menjadi saksi. Putri Selaka tidak akan pernah menikah kecuali dengan Rantana. Dan gadis dusun inipun tidak akan ada yang menikah, sebelum Putri Selaka menjadi istriku. (Menghilang) Putri Selaka Bak,(cemas) Bagaimana dengan sumpahnya? Jika benar-benar terjadi, sungguh hidupku tidak ada artinya. Aku telah membuat semua dehe dusun ini menjadi dehe tua, Bak. (menangis) Gindo Redam Tidak usah cemas anakku…di atas langit masih ada langit. Meski ancamannya menakutkan. Kita mampu melawan tantangannya. Yakinlah itu. Intan Lanang, kita harus melakukan sesuatu sebelum Rantana datang purnama mendatang. (di sambut anggukan oleh Intan Lanang - Out stage)
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
15
Babak III (Beberapa penduduk sibuk menyiapkan bahan ritual. Putri Selaka tampak sedih dipapah beberapa orang, diikuti Intan Lanang dan Gindo Redam) Putri Selaka (Menerawang) Jika sumpah Rantana benar-benar terjadi. Maka petaka besar untuk dusun kita. Kalian akan menjadi perawan tua. Tak akan kita dengar lagi dendang rejung, senjang, dan tabuhan besindo di dusun kita. Dusun kita akan jadi dusun mati (menangis sedih) Intan Lanang Untuk itulah Putri Selaka, dusun kita akan kita pagari, agar Rantana tidak bisa kemari lagi. (memandang ke atas) Purnama sudah dekat. Putri Selaka Tapi aur itu sudah tertancap Tetua. Bukankah kekuatan bumi telah memaku ucapan Rantana? Intan Lanang (Ragu, sembari bersiap-siap melakukan ritual) Tidak Selaka. Kita mampu melawan kekuatan Rantana yang tak beradat itu. Mari Gindo Redam, kita satukan kekuatan. Kita cabut sumpah Rantana yang tertanam di aur gading. Kita kumpulkan kekuatan para mambang penunggu dusun. Roh nenek moyang akan berpihak pada kebenaran Gindo Redam Mari Tetua..sebelum bulan naik di atas kepala (keduanya bersedekap, yang lain menunggu harap-harap cemas) Intan Lanang Sungsang sangkarat getah betih getah limau Kayu cendane kayu paku kayu bumi tembesi tembesu Pirak ganting pirak gantung yap,,yap selayap upai Upai abis tiang bejenjang jenjang kido jenjang kanan Lang beketek lang betakup lang lang..lang Uuuwah!! Beting segale beting, bukit, gunung, langit, bumi, Mate aghai, mate ayow mate segale mate silap mpuk dusun kami (Intan Lanang memercikan air ke seluruh penjuru. Belum usai tiba-tiba Rantana datang dengan muka merah) Rantana Kurang ajar, Tetua! Lancang sekali kau menghalangi aku (pedang terhunus) Memagari dusun agar silam dalam pandangan mataku. (Demi melihat kedatangan Rantana yang tiba-tiba, Putri Selaka berlindung di belakang Tetua Intan Lanang) Orang tua! Berapa tinggi ilmu yang kau punya sehingga berani-beraninya kau hendak menyilamkan Lubuk Timang. Kau belum tahu siapa Rantana. Kau harus mati tetua…Hiaaat…
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
16
(menebaskan pisau besarnya. Tetua menghindar dengan lincah. Pisaupun mengenai Putri Selaka. Putri Selaka terpekik tumbang berlumuran darah. Semua panik. Rantana yang tidak menduga peristiwa itu pun ikut terkejut) Putri Selaka! Putri!! Aku akan bawa Selaka pergi, tak dapat mempersuntingnya, jasadnya pun jadi. Hiiiiat!! (Rantana membopong lalu mengejar)
tubuh Putri Selaka, lalu dibawanya pergi. Semua baru tersadar
Koor: (riuh) Selaka…Putri Selaka….Putri Selaka Putri Selakaaaa…..Putri.. (Semua berlari-mengejar. Musik etnik kembali hingar bingar. Rejung/lagu penutup terdengar menyayat. Stage kembali sepi)
Tamat
Lubuklinggau, 12 April 2014 Catatan: Aghai = hari Bak = ayah Besindo = berkenalan/bercinta Camtu = seperti itu Dere = gadis Gindo = kepala suku Rejung = lagu daerah Sanak = saudara Senjang = pantun dilagukan Silam = hilang/ghaib Terebis = longsor Tetuo = tokoh adat/dituakan
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
17
Simpulan Bergesernya minat masyarakat terhadap cerita rakyat, menggambarkan bergesernya pula fungsi cerita rakyat. Cerita rakyat bukan lagi sebagai media hiburan. Generasi muda bayak tidak kenal lagi sastra lisan nandai sebagai bagian budaya leluhurnya. Sehingga semakin hari sastra lisan ini semakin tergerus karena sudah tidak ada lagi penuturnya. Akibatnya peran sastra lisan di masyarakat pun menjadi pudar. Generasi muda umumnya tidak mengenal dan enggan untuk lebih jauh mendalami cerita rakyat ini. Sehingga, lambat laun cerita rakyat ini akan hilang sama sekali. Transformasi nandai menjadi naskah pertujukkan, hanya sebagai alternatif bagi siapapun, menjadikan sastra lisan khusunya nandai menjadi bentuk lain. Masih banyak kearifan-kearifan lokal yang bisa di transformasi ke dalam bentuk naskah drama ini. Misalnya misalnya adat perkawinan, ritual pengobatan, tata cara adat lainnya yang tersebar luas di Sumatera Selatan. Sastra lisan -satra lisan yang tersebar, idealnya menjadi sumber inspiratif dan kreasi bagi pengamat, pecinta, kearifan lokal. Hal tersebut bukan saja sebagai upaya melestarikan dan mengembangkan sastra lisan dalam bentuk lain, namun juga sebagai ajang krativitas bagi penulis, pelajar, dan pendidik. Kreativitas dalam berkarya ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan ajar. Misalnya untuk di Perguruan Tinggi sebagai materi pendukung mata kuliah Apresiasi Drama, Sanggar Teater, Perencanaan Pementasan Drama, Keterampilam Menulis, Sastra Daerah, dan lain sebagainya. Termasuk juga bagi guru dan pelajar sebagai materi mata pelajaran yang berkaitan dengan seni pertunjukan atau drama.
---0000--
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
18
REFERENSI
Agus DS. 2008.Mendongeng Bareng Kak Agus Ds Yuk. Yokyakarta. Kanisius. Arifin. Max. 1980. Teater Sebuah Perkenalan Dasar. Flores: Nusa Indah Danandjaja, James. 2003. Folklor Amerika: Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: Grafiti. Egoff. Shella dan Judith Saltman.1990. The New republic of Chidhood: A Critical Guide to Canadian Children,s Literature in English. Toronto: Oxford University Press. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Epistomologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: MedPress. -------- 2011. Metode Pembelajaran Drama. Apresisi, Ekspresi, dan Pengkajian. Yogyakarta: Buku Seru Fuadi Aziz. Cerita Rakyat Peran dan fungsinya. Dalam Koran Merdeka, 5 Mei 1993. Hutomo. Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan, Pengantar Studi Satra Lisan. Surabaya. HISKI. Harianto, Evi Novianti. 2004. Mantra Muar Wayek (Analisis Struktur dan Fungsi). Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Kedum, RD. Kumpulan Cerita Rakyat Lubuklinggau-koleksi pribadi belum dipublikasikan secara Nasional. Mukmin, Suhadi dan Izzah. Menjadikan Cerita rakyat Bangka sebagai Industri kreatif dan Media Pembelajaran yang Integratif. Bangka Belitung. Makalah Internasional Lisan VII, tanggal 19-22 nopember 2010. Munandar.Utami. 2004. Pengembangan Emosi dan Kreativitas. Jakarta : Rineka Cipta Pundentia. 2008. Metodologi kajian Tradisi Lisan. Jakarta: ATL
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
19
Pradotokusumo, Partini Sarjono.2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Rusyana Yus. 200. Prosa Tradisional; Pengertian Klasifikasi, dan Teks, Jkaarta: Pusat Bahasa , Departemen Pendididkan Nasional. Sukatman. 2009. Butir-butir Tradisi Lisan Indonesia: Pengantar Teori dan Pembelajarannya. Yogyakarta: LaksBang PRESSSindo. Syam, Suwandi. Kumpulan Cerita Rakyat Musi Rawas (tidak ada tahunmanuskrip) Taum, Yosep Yapi. Studi Sastra Lisan: Sejarah, teori, Metode dan Pendekatan Disertasi Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Lamera. Wellek, Rene dan Austin Waren. 1995. Teori Kesusatraan. Jakarta. PT Gramedia. Internet: http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA/1 98104252005012-HALIMAH/INTEERTEKSTUAL_ks.pdf (diakases 18 April 2016)
https://dkpalembang.wordpress.com/2015/08/20/sastra-tutur-sumsel-punahbergurulah-pada-metode-iqra/ http://forumlintangempatlawang.blogspot.co.id/2008/08/sastra-tutur-di-sumselhampir-punah.html
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi
20
l k
Disampaikan dalam “Seminar Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan Hasil Karya dan Pikiran Kritis Tenaga Kebahasaan dan Kesastraan” Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Palembang, 20 April 2016
rusmana dewi