Kaya dan Bahagia Cara Syariah Iwan P. Pontjowinoto
KAYA DAN BAHAGIA CARA SYARIAH Karya Iwan P. Pontjowinoto Copyright © All rights reserved
Anggota IKAPI
Daftar Isi
1. MENGAPA HARUS KAYA
2. KAPAN MENJADI KAYA
v
Iwan P. Pontjowinoto
4.
KAYA SECARA HALAL DAN Syarat
8.
vi
DAFTAR ISI
9.
Mudharaba—
10.
vii
Mukadimah
‘Kaya’ dan ‘bahagia’ adalah impian bagi sebagian besar
manusia. Keduanya mempunyai hubungan yang khas. Kebahagiaan rasanya akan lebih mudah dicapai bila sudah memiliki kekayaan. Namun kekayaan tidak selalu membawa kebahagiaan. Bagaimana cara untuk ‘kaya’ dan ‘bahagia’ dengan cara yang sesuai nurani, sesuai ketentuan agama, sesuai syariah. Adakah jurus kaya dan bahagia cara syariah? Mungkin pertanyaan yang pertama sekali timbul adalah: ”Apakah manusia berdosa bila bahagia karena kaya?” ”Apakah manusia yang rajin beribadah tidak boleh kaya?” Teman saya yang taat beragama menyatakan dengan tegas bahwa: ”kebahagiaan tidak selalu identik dengan kekayaan”. Namun secara kritis teman saya tersebut juga mengakui bahwa:
ix
Iwan P. Pontjowinoto
”kekayaan tidak selalu identik dengan ketidakbahagiaan”. Sebagaimana halnya kebahagiaan tidak selalu identik dengan tidak kaya, maka kekayaan tidak selalu membuat orang tidak bahagia.
Kebahagiaan dan Kekayaan Sebagian besar manusia akan merasa bahagia bila telah mencapai cita-cita hidupnya. Tetapi cita-cita hidup manusia tidak selalu sama. Sewaktu masih kecil, cita-cita saya dan teman-teman saya umumnya sederhana dan terkait dengan profesi tertentu, misalnya mau jadi dokter, jadi insinyur, jadi guru, jadi pilot, dsb. Memang ada juga teman saya yang bercita-cita ingin jadi presiden, ingin jadi gubernur, dan berbagai jabatan tinggi lainnya. Namun pada saat itu, hanya sedikit di antara teman saya yang bercita-cita ingin menjadi kaya. Setelah beranjak dewasa, apalagi setelah memasuki usia produktif dan telah berkeluarga, sebagian besar diantara kita mulai menyadari peran kekayaan dalam hidup. Peran uang dalam berkeluarga dan berusaha. Pentingnya mencari keuntungan dalam kegiatan usaha, bahkan termasuk dalam kegiatan pendidikan. Mulai dari sekedar untuk hidup, untuk tetap sehat, untuk tambah ilmu dan kemampuan, untuk menjaga tali silaturahmi dengan keluarga dan teman, sampai dengan untuk mengembangkan kegiatan usaha, untuk menyediakan kesempatan kerja, untuk membantu mereka yang dalam kesulitan, untuk membangun sekolah, pelayanan kesehatan, dan tempat ibadah, serta untuk membangun jiwa yang beriman dan bertakwa—semua akan lebih mudah bila ada uang, ada kekayaan.
x
MUKADIMAH
Tetapi mencari uang, mencari keuntungan, mencapai keberhasilan tidaklah mudah. Dan dalam era di mana makin banyak orang-orang yang menjadi kaya dengan jalan korupsi dan semacamnya, banyak teman dan murid saya yang bertanya: ”Apakah mungkin memperoleh keuntungan dengan jalan yang jujur?” ”Apakah mungkin jadi kaya dengan melakukan kegiatan usaha menurut aturan agama?” Mungkin karena ada beberapa orang yang menjadi kaya, bahkan sangat kaya, dengan cara yang tidak jujur maka orang berpendapat bahwa sangat sulit untuk jadi kaya dengan cara yang jujur. Sehingga muncul pendapat yang menyatakan bahwa: ”Cari rejeki yang haram saja sudah susah, apalagi yang halal?” .... “Jangan mencampuradukkan urusan agama dalam urusan bisnis.” “Jangan mengaitkan masalah agama dengan masalah dunia.” ..... Sebenarnya hati kecil saya dan semua manusia yang beriman pasti akan menjerit bila mendengar pernyataan-pernyataan itu. Orang tua dan guru-guru kita telah mengajarkan bahwa Tuhan pasti akan menyediakan rezeki yang halal bagi manusia yang beriman dan sungguh-sungguh dalam berusaha. Tetapi mengapa susah untuk mendapat rezeki yang halal? Apa benar susah? Atau kita yang tidak tahu caranya? Atau kita yang ‘banyak mau’nya? Bila sudah tidak menemui jawaban atas pertanyaan yang saya hadapi, biasanya saya mencoba kembali ke ‘referensi utama’ dalam hidup, yaitu Kitab Suci dan sabda Rasul Allah.
xi
Iwan P. Pontjowinoto
Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci bahwa sesungguhnya harta manusia dan anak-anaknya adalah cobaan (fitnah) bagi manusia, namun sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar (QS Al Anfaal : 28). Dan mengenai kekayaan, Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan bahwa: “Manusia beriman yang kuat lebih baik daripada manusia beriman yang lemah” “Lebih baik meninggalkan keturunanmu dalam keadaan sehat dan kaya daripada dalam keadaan miskin, sehingga harus meminta-minta”. “Pada satu sisi kelebihan kekayaan dapat membahayakan keimanan dan moral, dan pada sisi lain kemiskinan dapat menyeret kepada kekufuran”. Kita tahu bahwa beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW adalah pedagang-pedagang yang berhasil dan mempunyai kekayaan yang berlimpah. Dan mereka memperoleh kekayaannya dengan cara-cara yang sesuai dengan syariah, serta menggunakan kekayaannya di jalan yang benar. Sehingga jelaslah bahwa agama tidak melarang manusia untuk menjadi kaya. Namun kekayaan itu ibarat pisau bermata dua, bila tidak hati-hati bisa membahayakan keimanan. Tetapi apakah hal itu masih berlaku di era globalisasi ini? Sebagai manusia yang beriman pasti kita percaya bahwa Tuhan Maka Kuasa. Semua yang terjadi adalah atas kehendak dan keputusan Tuhan Yang Mahakuasa. Namun tentu saja perilaku manusia akan terlibat di dalamnya dan menjadi sebab semua hal yang terjadi. Karena itu manusia harus berusaha dan berdoa kepada Tuhan agar ketentuan Tuhan sesuai dengan
xii
MUKADIMAH
harapannya. Hanya saja bila manusia merasa telah berusaha sekuat tenaga dan rajin beribadah, mengapa harapan-harapannya serta permintaan-permintaannya tidak dikabulkan Tuhan. Apa yang salah?
Bagaimana Jurus Kaya dan Bahagia Cara Syariah Sejak saya mulai belajar tentang sistem keuangan dan sistem ekonomi yang sesuai dengan prinsip syariah, banyak temanteman yang bertanya tentang bagaimana cara kaya dengan jalan yang halal. Apakah ada ’jurus’ untuk kaya dengan cara yang sesuai syariah? Saya beruntung pernah bekerja di berbagai jenis perusahaan, mulai dari perusahaan multi nasional, perusahaan swasta lokal, perusahaan semi BUMN, sampai dengan BUMN yang ’murni’ maupun BUMN yang mirip perusahaan asing. Saya juga beruntung pernah mengajar di berbagai perguruan tinggi, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, di kota besar maupun di kota yang tidak terlalu besar, yang berbasis teknologi, keuangan maupun ilmu agama. Pengalaman tersebut memberi saya pandangan yang lebih luas mengenai kekayaan, kebahagiaan dan kejujuran. Buku ini saya tulis untuk semua orang—tanpa memandang jenis kelamin, keyakinan agama, maupun profesi- yang ingin mencari jurus-jurus untuk berhasil dalam kegiatan usaha dengan mengikuti prinsip-prinsip yang diajarkan oleh agama—yang sesuai dengan nurani. Berhasil menjadi kaya dan bahagia dengan cara yang sesuai ajaran agama.
xiii
Iwan P. Pontjowinoto
Sebagaimana dalam semua kegiatan kita, bila ingin berhasil dalam kegiatan usaha dengan mengikuti prinsip syariah maka kita harus melatih diri sendiri. Mungkin seperti halnya bila ingin menjadi juara dalam kegiatan olahraga. Seperti bila ingin menjadi Tiger Wood di olahraga golf, menjadi Pele di sepakbola, menjadi Roger Federer di tenis. Semua membutuhkan latihan fisik, latihan dasar, dan latihan teknik. Buku ini memberikan latihan-latihan untuk menguasai jurus-jurus kaya dan bahagia dengan cara syariah. Bagian awal dari buku ini ditulis untuk melatih kemampuan internal manusia dalam memahami prinsip-prinsip syariah. Bagian selanjutnya dirancang untuk mempelajari dan menguasai prinsip-prinsip serta kaidah syariah dalam kegiatan usaha. Dan diikuti dengan kiat-kiat berusaha yang sesuai dengan prinsip dan kaidah syariah. Buku ini diakhiri dengan kesimpulan mengenai falsafah, tata nilai, prinsip dan kaidah yang sebaiknya dianut agar manusia dapat berhasil dalam mencapai tujuan dari keberadaannya. Pada bagian awal, buku ini seakan-akan memberikan latihan fisik agar Anda siap untuk menjadi kaya. Dimulai dengan membahas mengapa harus kaya yaitu dengan mengenal diri sendiri dan memahami kebutuhan yang sebenarnya sehingga faham mengapa harus kaya. Pembahasan kedua adalah untuk memahami kapan menjadi kaya, yaitu apa yang harus dipenuhi agar menjadi kaya. Pembahasan ketiga adalah untuk memahami modal untuk kaya, yaitu modal yang telah disediakan oleh Tuhan agar manusia bisa kaya. Diikuti dengan pembahasan keempat tentang berusaha untuk kaya, dengan memahami hubungan antara usaha manusia dengan balasan yang diterimanya yang
xiv
MUKADIMAH
diwarnai dengan hubungan antara kekayaan, kemaslahatan dan keadilan. Pembahasan terakhir adalah untuk memahami bagaimana seharusnya mengelola kekayaan yang sebenarnya merupakan amanah bagi manusia. Berikutnya buku ini akan memberikan latihan prinsip dasar dan jurus-jurus penerapannya. Dimulai dengan pembahasan mengenai bagaimana kaya secara halal dan thoyib. Bagaimana cara memisahkan hasil yang halal dari yang haram maupun meragukan. Sehingga dapat menghindari kemunkaran dan kemudharatan guna memberikan manfaat yang membawa kearifan. Dalam bab ini disampaikan jurus kurma yang menjadi dasar dari jurus-jurus terkait uang, valuta asing, etika bisnis, dan mekanisme pasar. Latihan prinsip dasar kedua adalah latihan hindari riba yaitu dengan menolak berlaku zhalim dan menolak diperlakukan secara zhalim sehingga tercipta kondisi saling ridha. Dalam bab ini diuraikan jurus-jurus terkait jual-beli, yaitu jurus mencari tambahan berazas manfaat, jurus simpan-bayar, jurus bayartertunda, jurus bayar-cicil. Latihan prinsip dasar ketiga membahas cara kendalikan risiko, yaitu untuk menghancurkan ketidakpastian yang merugikan dengan meningkatkan transparansi. Dalam bab ini diterangkan jurus-jurus nisbah hutang atas modal, jurus sewa manfaat, jurus SBSN, jurus DSN, jurus saling tolong dan saling jamin, jurus jaminan PHK, jurus lindung nilai, dan jurus risiko sistemik. Sedangkan latihan prinsip dasar keempat menekankan prinsip bersama kita bisa, yaitu bagaimana membangun kebersamaan dan menciptakan sinergi. Dalam bab ini disampaikan
xv
Iwan P. Pontjowinoto
jurus sapi betina yang menjadi acuan dari jurus IDB MudharabaMurabaha, jurus reksa dana syariah, jurus obligasi Mudharaba, jurus Jakarta Islamic Index, jurus prinsip syariah di pasar modal dan jurus unit-link. Dan akhirnya, latihan prinsip dasar kelima adalah ciptakan kekayaan, yaitu bagaimana menciptakan nilai tambah berbasis objek riil dan peningkatan produktivitas. Dalam bab ini diterangkan jurus istishna untuk pembangunan infrastruktur, jurus ijarah yang kreatif, jurus penjaga kekayaan, jurus rumahku surgaku, jurus rusunawa-rusunami, dan jurus PNB-PNM. Dengan membaca buku ini, insya Allah akan diperoleh inspirasi untuk menjadi kaya dan bahagia dengan cara-cara yang sesuai syariah. Jurus Kaya dan Bahagia Cara Syariah.
xvi
Ilmu (Mu’adz bin Jabal) Pelajarilah ilmu, sebab mencari ilmu karena Allah adalah kebaikan, menuntut ilmu adalah ibadah, mempelajari ilmu adalah tasbih, mengkaji ilmu adalah jihad, mengajarkan ilmu adalah sedekah, dan menyampaikan ilmu kepada yang berhak adalah qurbah (kedekatan). Ilmu adalah teman yang menghibur dalam kesendirian, sahabat dalam kesepian, petunjuk dalam suka dan duka, pembantu di sisi karib dan teman di sisi kawan, penerang di jalan surga. Dengan ilmu, Allah mengangkat bangsa-bangsa, lalu Allah jadikannya pemimpin, penghulu, dan pemberi petunjuk pada kebaikan. Jejak mereka diikuti, perbuatan mereka diperhatikan. Ilmu menghidupkan hati dari kebutaan, memberi cahaya dari kezhaliman, memberi kekuatan dari kelemahan. Ilmu adalah pemimpin, amalan adalah pengikutnya. Ilmu diilhamkan kepada orang-orang yang berbahagia, diharamkan bagi orang-orang yang celaka.
Bab 1
Mengapa Harus Kaya? Pada tahun 1978, setelah lulus dari ITB, saya mengawali karier
sebagai marketing representative untuk IBM. Saat itu, IBM adalah perusahaan komputer terbesar di dunia. Suatu ketika, saya ada janji dengan Direktur Keuangan dari satu perusahaan swasta yang cukup besar. Direktur Keuangan itu seorang wanita— yang setahu saya adalah juga pemilik perusahaan itu. Janji untuk meeting pukul 08.30, pagi. Karena takut terlambat, saya datang pagi sekali. Saat itu kantor masih sepi, hanya ada seorang lelaki tua berkaos oblong yang sedang merawat tanaman hias dan merangkai bunga di ruangan tamu Direksi. Tanamannya memang bagus dan bunga yang dirangkainya indah sekali. Saya gunakan kesempatan itu untuk ’ngobrol’ dan mencari tambahan informasi tentang perusahaan tersebut, juga tentang Ibu Direktur Keuangan. Kebetulan, saya memang suka tanaman hias dan bunga.
1
Iwan P. Pontjowinoto
Kemudian, Bapak Tua itu bercerita bahwa cara kita merawat tanaman adalah cermin dari cara kita memandang kehidupan. Tanaman akan tumbuh subur dan berkembang indah bila kita merawatnya dengan baik. Begitu pun halnya dengan kehidupan ini. Bila kita merawat atau menjaga kehidupan dengan baik, maka kehidupan akan memberi kita keindahan dan kebahagiaan. Setelah berbincang ringan dengan Bapak Tua itu sekitar setengah jam, Ibu Direktur Keuangan datang dan langsung mencium pipi si Bapak Tua perawat tanaman hias itu. Saya terkejut, bengong. Ternyata Bapak Tua yang begitu bersahaja adalah suami Ibu Direktur Keuangan, sekaligus pendiri dan pemilik perusahaan itu. Untung saja obrolan kami, sebelumnya, berjalan cukup akrab dan menarik. Wah, orangtua itu kaya sekali, tetapi sangat sederhana. Sewaktu keluar dari ruang meeting, saya bertemu dengan Bapak Tua itu lagi. Saat itu, dia sudah pakai baju batik kuno yang terlihat sangat indah. Dia bilang, ”Kamu akan merasa
kaya bila kamu merasa bahagia. Rawatlah kehidupanmu. Baik itu kehidupan usaha, kehidupan ilmu, kehidupan sosial, ataupun kehidupan keluarga. Maka kehidupan akan memberimu kebahagiaan, dan kamu akan menjadi kaya.” Sekarang, tiga dasawarsa kemudian, saya semakin yakin bahwa kriteria atau ukuran ’kaya’ tergantung pada bagaimana kita memahami siapa sebenarnya diri kita dan hal-hal yang menjadi kebutuhan hidup kita. Sebagai umat beragama, saya yakin, jawaban atas siapa diri saya dan kebutuhan hidup saya sudah dijelaskan seterang-teraangnya dalam Kitab Suci dan sabda Rasul Tuhan.
2
MENGAPA HARUS KAYA?
Siapakah Anda? Siapa yang setiap hari Anda lihat sewaktu memandang pada cermin di rumah Anda? Manusia yang Anda lihat di cermin itu tentu sangat Anda kenal: “Diri Anda sendiri!” Tetapi, siapakah Anda? Apa yang Anda butuhkan di dunia ini? Tahukah Anda kapan akan menjadi ‘kaya’? Anda mungkin saja seorang suami, seorang istri, atau lajang yang hidup sendiri. Di samping sebagai suami, boleh jadi Anda juga seorang ayah. Sebaliknya, selain sebagai seorang istri, mungkin Anda juga seorang ibu. Atau, Anda masih punya orangtua yang berarti Anda masih berstatus seorang anak. Bahkan, mungkin saja Anda punya saudara, sehingga Anda bisa saja seorang kakak atau adik, ataupun seorang ”Tanaman akan tumbuh subur dan berkembang paman atau tante dari putraindah bila kita putri saudara Anda. Dari sisi status sosial, mungkin Anda merawatnya dengan baik. memiliki jabatan manajer, Begitu pun halnya dengan kehidupan ini. Bila kita pemimpin, direktur, atau merawat atau menjaga wakil rakyat yang terhormat, Menteri, bahkan Presiden. kehidupan dengan baik, maka kehidupan akan Secara profesi, bisa saja Anda seorang dokter, teknisi, memberi kita keindahan dan kebahagiaan.” pengemudi, pelayan, atau pemegang peran-peran lain dalam kehidupan. Keberagaman status, peran, dan profesi itu tergambar jelas dalam lagu Panggung Sandiwara yang dinyanyikan oleh Ahmad Albar. Salah satu syair pada bait dalam lagu itu mengungkap
3
Iwan P. Pontjowinoto
bahwa, “Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura.” Sebenarnya, syair lagu itu bukan sekadar menyampaikan pesan mengenai “kontradiksi keberagaman peran” yang dijadikan lelakon kehidupan manusia. Tetapi jauh lebih dalam lagi, mengandung pertanyaan besar tentang hakikat keberadaan manusia di dunia, termasuk ihwal mengapa dan untuk apa manusia diciptakan. Mengenai keberadaan manusia, firman Allah SWT dalam Kitab Suci (QS 51:56) dengan jelas menyatakan bahwa tujuan penciptaan manusia semata-mata untuk beribadah kepadaNya. Artinya, Allah SWT menciptakan manusia tidak untuk tujuan selain beribadah kepada-Nya. Dalam hal ini, makna ibadah berarti mengabdi atau menjadi hamba-Nya. Istilah mengabdi berarti manusia adalah abdi Tuhan atau dalam bahasa sederhananya: hamba Allah. Jadi, saya dan Anda adalah abdi Tuhan atau hamba Allah, dan kebutuhan hidup kita telah ditentukan oleh Allah SWT, sebagaimana dijabarkan dalam Kitab-Nya. Dan menurut Imam Ghazali, tujuan utama dari hidup manusia adalah mencapai kecintaan semata-mata karena Allah SWT Sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Suci (QS 2:165 dan 5:54) , orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah, dan Allah mencintai mereka. Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa tidaklah seorang manusia beriman kecuali bila ia telah menjadikan Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya, dan manusia seluruhnya.
4
MENGAPA HARUS KAYA?
Imam Ghazali juga mengajarkan bahwa terdapat empat tingkatan hamba Allah SWT Pertama, hamba yang mengenal syariat (hukum-hukum) Allah dan mulai menjalankannya. Kedua, hamba yang telah memahami syariat dan oleh karenanya bersungguh-sungguh berada dalam tarekat (jalan) Allah. Ketiga, hamba yang telah mendapatkan hasil dari tarekat yang dijalankannya sehingga menemukan hakikat dari syariat. Dan yang tertinggi, hamba yang telah mencapai ma’rifat (tingkat kecintaan) sehingga menjalankan syariat Allah semata-mata karena cinta kepada Allah dan rasul-Nya, serta semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT
Pelajaran dari Pengalaman Nabi Adam Setelah memahami bahwa manusia adalah hamba Allah, perlu dipahami pula apa sebenarnya yang dibutuhkan manusia untuk mencapai tujuan penciptaannya. Pelajaran pertama mengenai kebutuhan manusia tergambar pada takdir manusia pertama yang diciptakan oleh Tuhan Yang Mahakuasa, Adam. Dan istrinya, Hawa. Dalam Kitab Suci (QS 20:117-119) telah diterangkan oleh Allah SWT kepada Nabi Adam bahwa sesungguhnya iblis adalah musuh bagi mereka. Adam dan Hawa juga diingatkan agar jangan sampai iblis membuat mereka terusir dari surga. Karena, di dalam surga mereka tidak akan pernah merasakan tajuu’a, ta’roo, tazhma’u, dan tidak tadhhaa. Hikmah apa yang dapat kita petik dari kejadian ini? Apa maksud firman Allah SWT dalam ayat ini? Baiklah. Coba kita uraikan satu demi satu. Tajuu’a artinya lapar, tetapi secara umum mengandung arti “tidak cukup
5
Iwan P. Pontjowinoto
makanan”. Sementara ta’roo berarti telanjang atau ”tidak berpakaian”. Adapun makna tazhma’u adalah dahaga, atau mengandung arti ”tidak terpuaskan”. Sedangkan tadhhaa artinya tidak duhaa, maksudnya “terkena panas matahari”. Secara tersirat, kita dapat memahami bahwa maksud firman Allah SWT tersebut adalah: selama berada di surga, semua kebutuhan hidup Adam dan Hawa akan selalu terpenuhi. Kebutuhan hidup yang oleh Allah SWT digambarkan sebagai tidak tahuu’a, tidak ta’roo, tidak tazhma’u, dan tidak tadhhaa. Namun, apa yang terjadi, ternyata Adam dan Hawa tergoda setan, dan mencoba mencari sesuatu yang lebih dari yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta. Manusia pertama yang diciptakan Tuhan telah tergoda setan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. Padahal, Tuhan telah menyediakan segalanya secara sempurna di surga, sehingga dijamin bahwa segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, yang sesuai dengan aturan Tuhan, akan terpuaskan. Namun, manusia—karena dorongan ”Rasulullah Saw. nafsunya—masih mencari menjelaskan bahwa “kelebihan” yang kemudian kebaikan datang dari mendorongnya pada perilaku kebaikan. Harta di dunia hidup berlebihan, boros, dan ibarat rumput hijau. menyia-nyiakan (mubazir). Jika seekor binatang Memang manusia diberi memakannya secara motivasi untuk memenuhi berlebihan, rumput itu kebutuhan hidupnya dalam dapat menciderai atau jumlah yang banyak, bahkan membunuhnya.” motivasi untuk berusaha menjadi kaya akan “hal-hal
6
MENGAPA HARUS KAYA?
yang penting dalam hidupnya”. Namun, apa saja sebenarnya yang merupakan “hal-hal yang penting dalam hidup manusia” itu? Sebagian manusia berpendapat, dengan memiliki banyak harta, manusia dapat memperoleh hal-hal yang penting dalam hidupnya. Karena itu, logikanya, siapa saja yang berniat ingin ‘kaya’, berarti harus memiliki banyak harta. Sesungguhnya, perihal harta, Nabi Muhammad SAW telah menuturkan banyak rambu-rambu. Pada satu sisi, menurut Rasulullah SAW, kemiskinan dapat menyeret manusia kepada kekufuran. Namun di sisi lain, kelebihan harta dapat membahayakan keimanan dan moral. Lebih lanjut, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa kebaikan datang dari kebaikan. Harta di dunia ibarat rumput hijau. Jika seekor binatang memakannya secara berlebihan, rumput itu dapat menciderai atau membunuhnya. Yang paling baik adalah binatang yang makan rumput hijau, kemudian berjalan di bawah cahaya matahari seraya mencerna makanannya, dan kembali menikmati makan rumput. Begitu pula harta. Materi yang satu ini ibarat gula yang manis. Dalam jumlah sedikit dapat memberikan kekuatan, meskipun rasa manisnya sangat menggoda agar terus-menerus dinikmati. Namun, bila dikonsumsi secara berlebihan, gula dapat memicu banyak penyakit. Nah, seperti itulah harta. Terlalu banyak harta dapat menimbulkan “penyakit”. Oleh karenanya, sebaik-baik manusia adalah mereka yang memperoleh harta secara halal dalam jumlah yang cukup dan menafkahkannya di jalan yang benar. Kemudian berusaha lagi mencari tambahan
7
Iwan P. Pontjowinoto
yang kelak digunakan di jalan Tuhan. Karena harta yang kita miliki, kelak akan menjadi saksi di Hari Pembalasan. Jadi, berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami, berbeda dengan pendapat sebagian manusia yang menyatakan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, ketentuan dari Sang Pencipta menyatakan bahwa kebutuhan manusia adalah tertentu atau terbatas. Karena Tuhan telah menciptakan manusia dengan kemampuan yang terbatas untuk memakai atau menghabiskan sesuatu, baik berupa pakaian, makanan, maupun harta benda lainnya. Dalam memahami keterbatasan kebutuhan ini, Muhammad SAW telah mengajarkan agar jangan mencari
pembenaran atas segala sesuatu yang tidak bisa dibenarkan. Ruang Lingkup Kebutuhan Manusia Firman Allah SWT dan ajaran Rasulullah SAW di atas menyiratkan pengertian tentang tingkatan kebutuhan manusia. Beberapa tingkatan kebutuhan manusia itu dapat kita uraikan sebagai berikut. Pertama, dengan memakai istilah tajuu’a, terkait dengan kecukupan makanan yang dibutuhkan manusia, sebagai mahluk, untuk hidup. Kedua, dengan menggunakan istilah ta’roo, terkait kebutuhan yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya, yaitu kebutuhan sebagai makhluk sosial untuk menutup aurat dan untuk tampil menarik. Ketiga, dengan memakai istilah tazhma’u, terkait dengan memenuhi dahaga atau dapat disebut sebagai kepuasan, yaitu sesuatu yang membuat manusia ingin mendapat lebih. Keempat, atau yang terakhir, dengan istilah tadhhaa, yang memakai panas sinar matahari sebagai analogi.
8
MENGAPA HARUS KAYA?
Dalam jumlah yang cukup, panas sinar matahari akan sangat berguna dan menyehatkan. Tetapi bila terlalu banyak atau berlebihan, bisa membakar kulit dan menimbulkan masalah. Dengan demikian, ”Pada satu sisi, manusia seharusnya dapat menurut Rasulullah memahami bahwa Allah SAW telah menunjukkan Saw., kemiskinan dapat adanya pembedaan (diffe- menyeret manusia kepada kekufuran. Namun di rentiation) atas semua hal yang diperlukan dalam sisi lain, kelebihan harta dapat membahayakan hidup manusia. Menurut keimanan dan moral.” pem bedaan itu, hal-hal yang diperlukan dalam hidup manusia dapat dikelompokkan sebagai keperluan (darurat), kebutuhan (haajat), keinginan (raghbat), dan hasrat (syahwat). Sebenarnya, istilah yang diadopsi dari bahasa Arab ini sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, pengertian dari istilah-istilah tersebut banyak yang menyimpang jauh dari makna sebenarnya, bahkan sering kali menyesatkan.
Darurat, dalam konteks kebutuhan, adalah segala sesuatu yang diperlukan manusia sebagai makhluk untuk tetap hidup. Sebut saja air, oksigen, dan makanan. Bila kebutuhan yang termasuk dalam golongan darurat tidak terpenuhi, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk—yang digambarkan dengan istilah tidak cukup makan (tajuu’a). Haajat, dalam konteks kebutuhan, adalah segala sesuatu yang secara mendasar harus dipenuhi untuk mencapai fitrah sebagai manusia. Di antaranya, kebutuhan untuk berpakaian,
9
Iwan P. Pontjowinoto
berkomunikasi, berkeluarga, punya tempat tinggal yang layak, dan kebutuhan lainnya. Kebutuhan-kebutuhan ini digambarkan dengan istilah tidak berpakaian atau ta’roo. Bila kebutuhan yang tergolong darurat dan haajat sudah terpenuhi, sebenarnya manusia sudah dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan maksud dan tujuan Sang Pencipta, yaitu menjadi abdi Tuhan. Namun, Allah SWT menetapkan bahwa manusia harus diberi cobaan, diberi ujian, untuk kemudian dinilai: mana yang layak masuk surga dan mana yang
tidak layak masuk surga. Raghbat, yaitu keinginan yang diharapkan dipenuhi untuk mencapai kepuasan yang lebih luas dari kebutuhan dasar, yang digolongkan sebagai darurat dan haajat. Keinginan ini layak menjadi motivasi untuk mencari fadhilah, kelebihan dari Allah SWT, sehingga manusia tidak melupakan haknya atas nikmat dunia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Keinginan jenis ini digambarkan sebagai dahaga atau tazhma’u. Syahwat, yaitu keinginan atau raghbat yang sebenarnya tidak diperlukan. Sehingga, bila dipenuhi, manfaatnya sangat kecil atau bahkan tidak ada, sedangkan mudharatnya lebih besar. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan syahwat bukanlah semata-mata berkaitan dengan masalah seksual, tetapi segala macam bentuk rangsangan atau hasrat untuk segera memenuhi keinginan. Sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan, atau belum saatnya untuk dipenuhi, sehingga menjadi kelebihan yang merugikan (tadhdha).
10
MENGAPA HARUS KAYA?
Masalah utama dalam syahwat adalah bila manusia menyegerakan sesuatu yang dianggapnya sebagai kebutuhan, padahal sebenarnya tidak pernah menjadi haknya. Contoh paling sederhana adalah makan berlebihan hingga jatuh sakit, bahkan mungkin meninggal dunia. Contoh lainnya adalah keinginan untuk memiliki barang mewah yang berada di luar jangkauan kemampuan, baik kemampuan saat ini maupun di masa mendatang. Syahwat semacam ini sangat berbahaya, karena bisa memicu timbulnya pikiran “liar”—seperti menipu, mencuri, atau korupsi—untuk memenuhinya. Syahwat atau rangsangan untuk segera memenuhi keinginan—yang mungkin belum menjadi kebutuhan atau tidak pernah menjadi kebutuhan—terbukti telah menimbulkan berbagai kerusakan di muka bumi. Bukan hanya memicu timbulnya peperangan, tetapi juga dapat menjerumuskan manusia ke dalam khamar—seperti narkoba, maysir—seperti judi maupun spekulasi, hingga transaksi riba yang terbukti telah menciptakan resesi akibat krisis keuangan dunia.
11
Iwan P. Pontjowinoto
Kaya = Kebutuhan Manusia terjaga Manusia diciptakan untuk menjadi abdi Tuhan, menjadi hamba Allah Swr. Manusia diciptakan untuk mempunyai kebutuhan, di mana bila kebutuhan tersebut terpenuhi, manusia akan merasa ‘kaya’. Kebutuhan manusia sebenarnya terbatas, dan hanya meliputi: Darurat adalah kebutuhan dasar manusia sebagai mahluk adalah setara dengan wajib, karena bila tidak dipenuhi maka manusia tidak bisa bertahan hidup sebagai mahluk. Bila dipenuhi maka manusia akan kaya secara fisik. Haajat adalah kebutuhan manusia agar dapat memenuhi fitrahnya. Keadaannya mirip dengan hukum sunah. Bila tidak dipenuhi, manusia tetap akan hidup sebagai mahluk. Namun bila terpenuhi, manusia akan memenuhi fitrahnya sebagai manusia, menjadi kaya secara intelektual dan finansial. Raghbat adalah keinginan manusia dapat disetarakan dengan mubah. Bila dipenuhi manusia akan lebih bahagia. Kalaupun tidak terpenuhi, manusia tetap dapat hidup sebagai hamba Allah. Bila manusia sudah bisa menjaga diri terhadap raghbat, maka manusia sudah kaya secara emosional. Syahwat atau hasrat adalah dorongan hati yang minta dipenuhi tetapi bila dipenuhi mungkin sangat sedikit—atau bahkan tidak ada—manfaatnya, namun berpotensi menjadi dosa. Apabila sudah dapat menjaga diri dari syahwat, manusia sudah kaya secara spiritual.
12
Bab 2
Kapan Menjadi Kaya? B
ujang, seorang pria tampan dan cerdas, berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ia menikah dengan Dara yang cantik jelita dan luwes bergaul. Bujang bekerja di suatu perusahaan asing, sementara Dara bekerja di salah satu BUMN. Sebagaimana keluarga muda lainnya, mereka mulai membina kehidupan dengan membeli rumah dan mobil. Karena penghasilan masih terbatas, mereka mengambil KPR dan kredit kendaraan bermotor. Mereka juga memanfaatkan kartu kredit untuk membeli barang-barang yang relatif mahal dengan sistem pembayaran cicilan. Secara umum mereka relatif bahagia, walaupun living dangerously karena besarnya kredit yang mereka ambil. Pepatah mengibaratkan, besar pasak dari tiangnya. Suatu ketika, bencana datang. Bujang terlibat ”silang-pendapat” yang sangat sengit dengan atasannya. Akibatnya, ia ”terlempar” ke posisi yang tidak sesuai dengan kemampuannya dan tidak disukainya. Bujang sangat terpukul. Ia pun ”ngambeg” dan memilih
13
Iwan P. Pontjowinoto
berhenti bekerja. Lalu, ia mencari kesibukan dengan melanjutkan kuliah untuk program MM. Guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, pasangan muda itu hanya mengandalkan penghasilan Dara. Akibatnya, mereka tidak sanggup membayar cicilan kredit dan mulai dikejar-kejar debt collector. Sementara itu, Jahil, seorang pengusaha yang sedang mengejar mega proyek di BUMN tempat Dara bekerja, berusaha memanfaatkan situasi. Jahil membujuk agar Dara mau bekerja sama dengannya. Dara diminta menggunakan kecantikan dan keluwesannya untuk ”mengatur” agar Jahil menang dalam tender dengan cara mengantar ”kemenyan” ke Panitia Tender. Sebagai upah dari jerih payahnya, Dara akan mendapat ”bagian” yang cukup besar. Pada mulanya, Dara bingung menghadapi indecent proposal yang disodorkan oleh Jahil. Karena itu, Dara meminta pendapat sahabat karibnya, Acuh. Setelah mendengar cerita Dara, Acuh mendorong agar Dara memanfaatkan peluang emas itu. ”Dara, bekerja di BUMN gajinya kecil. Kalau kamu nggak pinter-pinter, nggak bisa memanfaatkan situasi, kamu tidak akan pernah kaya. Lihat saja teman-teman dan bos kamu di BUMN. Dari mana mereka bisa hidup bergelimang kemewahan seperti itu kalau mereka nggak pinter-pinter?” Begitu saran Acuh. Karena saran itulah Dara menerima tawaran Jahil. Dia berhasil menjalankan misi yang diembannya. Jahil menang tender, meskipun harga penawarannya di mark-up sedemikian rupa dan kualitas yang ditawarkan tidak memenuhi persyaratan. Tentu saja, Jahil sangat puas dan memberikan ”hadiah” fantastis bagi Dara. Dari uang pemberian Jahil itulah Dara melunasi utang kredit. Tentu saja, Bujang sangat bahagia karena istrinya mendapat penghasilan
14
KAPAN MENJADI KAYA?
besar, dan mereka tidak dikejar-kejar debt collector lagi. Akan tetapi, Bujang tidak tahu bagaimana caranya dan dari mana Dara mendapatkan uang tersebut. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Korupsi pada tender yang dimenangkan oleh Jahil itu tercium oleh KPK. Jahil dan pejabat BUMN ditangkap dan didakwa sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Dara menjadi saksi dan berpotensi besar menjadi tersangka. Mendengar kabar yang sangat memalukan itu, Bujang marah besar. Tanpa pikir panjang, Bujang menceraikan Dara. Dara sangat bersedih hati karena niat baiknya berakhir dengan kepahitan. Dia pulang ke rumah orangtuanya. Ketika bertemu Sangar, kakaknya, dia tumpahkan segala rasa kecewa di hatinya. Mendengar cerita adiknya, Sangar naik pitam. Dia segera mencari Bujang. Begitu bertemu, Sangar menghajar Bujang habis-habisan sampai Bujang harus dirawat di rumah sakit.
Kisah di atas adalah cerita fiktif yang sering saya gunakan untuk memulai seminar atau pelatihan yang terkait dengan tata nilai di organisasi atau perusahaan. Pertanyaan yang saya ajukan kepada peserta seminar atau pelatihan adalah: ”Masingmasing orang dalam cerita ini mempunyai kesalahan. Menurut pendapat Anda, siapa yang paling bersalah? Tolong beri urutan untuk kelima orang ini, dari yang paling salah sampai dengan yang paling sedikit kesalahannya.” Reaksi peserta seminar atau pelatihan setelah menyimak kisah di atas selalu beragam.
15
Iwan P. Pontjowinoto
”Dara pangkal segala bencana. Kalau saja dia punya keteguhan hati untuk menolak tawaran Jahil, dan mengabaikan saran Acuh, bencana ini tidak akan terjadi.” ”Ya ampun, kok tega-teganya Bujang menceraikan Dara yang sudah berkorban besar. Seharusnya Bujang yang mencari nafkah untuk keluarga, bukannya Dara.” ”Jahil penyebab semuanya. Dia sumber korupsi di BUMN, Dara hanya jadi korban karena terdesak dalam himpitan hutang.” ”Gawat betul si Sangar. Mau jadi hakim sendiri padahal tidak tahu apa-apa.” ”Acuh yang kurang ajar, dia yang menjerumuskan Dara.” Begitulah. Macam-macam pendapat yang mencuat. ”Bagaimana dengan Anda?” ”Apakah Anda juga akan memberikan reaksi serupa, atau malah berbeda sama sekali, setelah membaca kisah di atas?” Sebetulnya, apa pun reaksi Anda, yang paling penting adalah memahami hakikat cerita itu. Ya, kisah ini adalah cerita mengenai tata nilai. Bila Anda memilih Bujang sebagai pihak yang paling bersalah, maka Anda menempatkan tanggung jawab pribadi sebagai tata nilai tertinggi. Ketika Anda memilih Dara, berarti Anda menempatkan tanggung jawab moral sebagai tata nilai tertinggi. Apabila Anda memilih Jahil, itu pertanda Anda menempatkan etika usaha sebagai tata nilai tertinggi. Pada saat Anda memilih Acuh, berarti tanggung jawab sosial adalah tata nilai utama. Namun, bila Anda memilih Sangar, maka kepatuhan atau keteraturan menjadi tata nilai tertinggi.
16
KAPAN MENJADI KAYA?
Saya kerap menggunakan cerita semacam ini untuk mengetahui tata nilai dalam seminar atau pelatihan di lembaga pemerintah, BUMN, perusahaan asing, perusahaan swasta, lembaga keuangan, organisasi profesi, organisasi sosial, bahkan di organisasi mahasiswa, OSIS, dan sekolah. Ternyata, urutan tata nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok tersebut memiliki perbedaan yang cukup besar. Tata nilai kita mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dengan kebutuhan kita—atau lebih tepatnya: Hal-hal yang kita anggap se bagai kebutuhan kita. ”Ternyata, jauh sebelum Namun, apakah pendapat Maslow mengajukan teori atau pandangan kita sudah Hierarchy of Needs, Imam sesuai dengan ajaran agama? Ghazali telah mempelajari kaidah-kaidah dasar Inilah hal yang penting kita hierarki kebutuhan cermati. manusia.” Lantas, bagaimana tata nilai menurut ajaran agama?
Hierarki Kebutuhan Manusia Sewaktu kuliah, dosen saya mengajarkan teori Hierarchy of Needs dari Maslow. Needs (berbagai kebutuhan manusia) memberi motivasi kepada manusia untuk berupaya dan bertindak. Maslow menyatakan, manusia mempunyai 3 jenis general needs yang dimulai dari physiological needs atau kebutuhan fisik, kemudian meningkat menjadi safety needs atau kebutuhan untuk mengamankan kebutuhan fisik tersebut. Dan, social needs pada tingkat ketiga, yaitu kebutuhan nonfisik sebagai manusia. Sementara, di atas general needs, Maslow menyatakan bahwa manusia juga mempunyai esteem needs, yaitu kebutuhan untuk 17
Iwan P. Pontjowinoto
diperhatikan, diakui, dan dihormati. Sedangkan kebutuhan tertinggi manusia, menurut Maslow, adalah self-actualization, yaitu kebutuhan untuk mewujudkan keberadaan dirinya. Namun, setelah saya mempelajari ekonomi syariah, saya menemukan informasi menarik. Ternyata, jauh sebelum Maslow mengajukan teori Hierarchy of Needs, Imam Ghazali telah mempelajari kaidah-kaidah dasar hierarki kebutuhan manusia. Dalam bukunya yang berjudul Al-Mustasyfa, Imam Ghazali mendefinisikan kaidah dasar hierarki kebutuhan manusia sebagai Maqashid asy-Syariah. Menurut Imam Ghazali, manusia akan sejahtera bila kebutuhannya terpenuhi. Hanya saja, kebutuhan itu harus sejalan dengan hierarki kebutuhan menurut syariah Islam, yakni kebutuhan utama untuk menjaga dien (keimanan), diikuti oleh kebutuhan untuk menjaga nafs (kehidupan), menjaga aql (akal), menjaga nasl (keturunan), dan terakhir untuk menjaga maal (harta).
Menjaga Keimanan Dien atau iman artinya percaya, sedangkan makna “keimanan” adalah keyakinan terhadap suatu keberadaan atau yang dianggap benar. Manusia akan bertindak sesuai dengan keyakinannya. Bila ia yakin bahwa ada Tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta, serta yakin bahwa Rasul adalah pembawa firman Tuhan kepada manusia, maka ia pasti yakin akan kebenaran perintah-Nya, sebagaimana tersurat dan tersirat di dalam ayat-ayat Kitab Suci. Menurut syariah, untuk menjaga dien atau keimanan, manusia harus memenuhi Rukun Iman, yakni: percaya akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa;
18
KAPAN MENJADI KAYA?
“kekayaan dapat percaya bahwa Tuhan telah memutar-balik hati menciptakan malaikat yang manusia, dari baik hati mengemban tugas-tugas tertentu dari Tuhan; percaya menjadi jahat atau buruk bahwa Tuhan menyampaikan hati. Namun bukan hanya harta berlebihan yang firman-Nya sebagaimana termaktub dalam kitab- dapat memutar-balik hati manusia, kekurangan kitab-Nya; percaya bahwa harta juga dapat Tuhan telah mengutus para menyebabkan hal yang Rasul untuk menyampaikan sama.” firman-Nya kepada manusia; percaya akan adanya akhirat yang abadi; dan percaya terhadap takdir Tuhan atas manusia. Manusia yang baik akan berusaha dengan sungguh-sungguh melaksanakan tugas pengabdian atau ibadah sebagaimana yang disampaikan dan diajarkan oleh rasul-rasul-Nya. Pada bagian lain, ia akan berupaya mencari ilmu untuk melaksanakan tugas pengabdiannya sebagai hamba Allah SWT dengan sebaikbaiknya.
Menjaga Kehidupan Penjagaan kehidupan (nafs) menduduki peringkat kedua setelah penjagaan keimanan (dien). Mengapa demikian? Dalam bahasa Arab, nafs dapat berarti jiwa, kehidupan, atau manusia. Selain itu, nafs juga digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berharga dan sangat tinggi nilainya sehingga tidak dapat dinilai dengan uang.
19
Iwan P. Pontjowinoto
Jadi, manusia dan kehidupan adalah sesuatu yang sangat berharga. Mahakarya Tuhan yang tidak dapat dinilai dengan uang. Karena itu manusia harus menjaga kehidupan dengan menjaga keimanannya. Untuk menjaga kehidupan, manusia memerlukan hal-hal yang oleh Maslow dikategorikan sebagai general needs, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan keamanan, dan kebutuhan sosial. Kebutuhan untuk menjaga kehidupan sebenarnya sama bagi seluruh manusia, terlepas dari suku bangsa atau jenis kelamin. Hanya saja, tindakan yang akan diambil manusia untuk menjaga kehidupan dapat berbeda-beda, tergantung pada tingkat keimanannya.
Menjaga Akal Penjagaan akal berada pada peringkat ketiga, setelah keimanan, dan kehidupan. Dalam bahasa Arab, aql —sebagai kata kerja—berarti menjaga, menganalisa, atau mengetahui. Sebagai kata sifat, aql berarti kecerdasan, kepandaian, kemampuan untuk mengetahui, atau intelektual. Itulah sebabnya penjagaan akal ditempatkan sesudah penjagaan manusia, setelah kehidupan (nafs). Karena manusia dan kehidupan adalah sesuatu yang paling berharga. Manusia, kehidupan, dan keimanan harus tetap terjaga sehingga akal harus dikembangkan untuk menjaga kehidupan. Bukan sebaliknya! Akal tidak boleh digunakan untuk menghilangkan kehidupan, mengekang kehidupan, dan juga tidak dapat digunakan untuk menciptakan jiwa. Akal harus dijaga dengan belajar. Itu pula sebabnya ayat pertama yang disampaikan melalui malaikat Jibril adalah iqra: “bacalah”. Maksudnya, manusia harus aktif
20
KAPAN MENJADI KAYA?
membaca “ayat-ayat” Tuhan yang ada di alam, dan menggunakan akalnya untuk berpikir. Dengan berpegang teguh pada keyakinan—sebagaimana dijabarkan dalam Rukun Iman, manusia harus berusaha mencari kebenaran dan mengembangkan manfaat sehingga menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Menjaga Keturunan Penjagaan nasab atau nasl menempati urutan keempat setelah keimanan, kehidupan, dan akal. Dalam bahasa Arab, nasab berarti keturunan dari nenek moyang, sedangkan nasl berarti anak keturunan. Keturunan diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Karena itulah agama memberikan ketentuan mengenai perkawinan, kelahiran, warisan, muhrim, dan ketentuan untuk menghormati orangtua, menghormati jenazah serta arwah orang yang telah meninggal dunia. Dalam upaya menjaga kelangsungan hidup manusia, juga telah ditetapkan ketentuan mengelola rezeki untuk kepentingan anak keturunan, atau generasi penerus. Menjaga keturunan atau keluarga diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Lalu timbul pertanyaan, mengapa menjaga keturunan berada di bawah tingkat menjaga akal? Ternyata, penetapan menjaga keturunan atau keluarga ditempatkan setelah menjaga akal berdasarkan pertimbangan bahwa manusia tidak boleh kehilangan akal sehat karena suami, istri, atau anak. Bahkan dalam Kitab Suci, Tuhan telah mengingatkan manusia bahwa keturunan—suami, istri, dan anak—dan harta dapat menjadi
21
Iwan P. Pontjowinoto
cobaan berat bagi mereka. Keturunan dan harta, hakikatnya, adalah cobaan yang dapat membolak-balikkan hati manusia dan menyebabkan manusia kehilangan akal sehat.
Menjaga Harta Kebutuhan untuk menjaga maal ditempatkan dalam hierarki paling bawah. Dalam bahasa Arab, maal dapat berarti harta, milik, atau kekayaan. Tetapi, istilah maal juga dapat berarti memutar-balik. Maksudnya, harta milik dan kekayaan dapat memutar-balik hati manusia, dari baik hati menjadi jahat atau buruk hati. Namun bukan hanya harta berlebihan yang dapat memutar-balik hati manusia, kekurangan harta juga dapat menyebabkan hal yang sama. Nabi Muhammad SAW telah menyatakan bahwa kafakiran atau kemiskinan lebih dekat dengan kekufuran, kehilangan iman. Dalam Kitab Suci (QS 91:09-10), Allah SWT menyatakan, sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang zakkaaha dan merugilah orang yang dassaha. Zakkaaha artinya berzakat, dan maksudnya untuk membersihkan diri. Sedangkan dassaha artinya menutupi, maksudnya adalah melindungi yang kotor atau salah. Jadi, harta adalah karunia sekaligus cobaan. Itulah sebabnya manusia dianjurkan untuk membersihkan harta
dengan cara mengeluarkan zakat. Sebaliknya, manusia dilarang menyimpan atau tidak mengeluarkan bagian harta yang menjadi hak orang lain, karena hal itu akan mengotori harta yang telah menjadi haknya. Saya yakin, Maqashid asy Syariah yang diajukan oleh Imam Ghazali telah memberikan definisi yang sangat jelas tentang
22
KAPAN MENJADI KAYA?
hierarki dari hal-hal yang dibutuhkan dalam hidup manusia untuk menjadi ‘kaya’. ,l;mBagaimanapun, kekayaan yang baik adalah kekayaan yang membawa rahmat dan dapat dinikmati dalam waktu yang cukup lama. Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa kebersamaan (jama’ah) membawa rahmat dan panjang umur. Istilah jama’ah pada masa kini dapat disetarakan dengan teman atau mitra dan jejaring atau networking. Mungkin itu sebabnya, sewaktu saya masih kecil, ibu saya menuturkan kepada saya bahwa ‘seribu teman masih belum cukup, tetapi satu musuh sudah berlebihan’. Namun, teman atau sahabat seperti apa yang kita perlukan untuk menjadi kaya? Seorang bijak pernah mengajarkan kepada anaknya: “Wahai anakku, jika engkau perlu bersahabat dengan seseorang, maka bersahabatlah dengan orang yang jika engkau berkhidmat kepadanya, ia memeliharamu. Jika engkau menemaninya, ia menghiasimu. Jika engkau kehilangan (sumber) penghidupan, ia mengasihimu. Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau ulurkan tangan untuk kebaikan, ia menyambutmu. Jika ia melihat kebaikan padamu, ia menghitungnya. Jika ia melihat kejelekan padamu, ia menutupinya. Bersahabatlah dengan orang yang jika engkau meminta padanya, ia memberi. Jika engkau diam, ia datang padamu. Jika engkau ditimpa musibah, ia menolongmu. Bersahabatlah dengan orang yang bila engkau berkata, ia mendukung perkataanmu. Jika engkau berusaha mencapai
23
Iwan P. Pontjowinoto
sesuatu dengan tipu daya, ia menasihatimu. Dan jika engkau berselisih dengannya, ia mendahulukan kepentingan bersama.” Hierarki Kekayaan Manusia Kebutuhan utama kita sebagai hamba Allah SWT adalah untuk menjaga keimanan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian, demi niat menjaga keimanan, kita harus menjaga kehidupan yang sangat berharga. Karena itu, kita perlu menjaga akal dengan terus iqra (membaca tanda-tanda Allah SWT), tafakur (berfikir), serta mengamalkan ilmu. Untuk menunjang kebutuhan menjaga keimanan, kehidupan dan akal, maka kita perlu menjaga keturunan dan menjaga maal (harta, milik). Apabila berhasil memenuhi kebutuhan, kita akan “kaya”. Dan ”kekayaan” tertinggi adalah memiliki keimanan. Agar bisa ”kaya iman”, hidup kita perlu ”kaya” akan hal-hal yang berguna. Untuk itu kita perlu ”kaya ilmu pengetahuan” yang bermanfaat dan ”kaya akan kasih sayang dari keluarga”, dan akhirnya untuk mempermudah itu semua kita perlu ”kaya harta yang digunakan untuk kemaslahatan”. Berdasarkan keyakinan tersebut, manusia adalah socially and economically responsible religious man. Mengingat religious menjadi tujuan utama, dan karena manusia harus mempunyai kehidupan yang berguna, ilmu yang bermanfaat dan keluarga yang mengasihi, maka manusia menjadi socially responsible. Akhirnya, dalam memenuhi tujuan religious dan tanggung jawab social, maka manusia harus pula menjadi economically responsible.---
24
Modal untuk Kaya Ketika bekerja di Lippo Group, saya mendapat banyak
kesempatan untuk mempelajari berbagai hal dari Bapak Mochtar Riady, pendiri Lippo Group. Salah satu di antaranya mengenai peluang atau opportunity. Beliau mengatakan, terkait dengan peluang usaha, manusia terbagi empat. Kelompok pertama adalah mereka yang tidak bisa melihat peluang datang. Manusia yang tergolong dalam kelompok ini baru menyadari adanya peluang, setelah peluang itu diambil oleh orang lain dan mencapai keberhasilan. Kelompok kedua adalah orang-orang yang dapat melihat peluang sebelum datang sehingga bisa mempersiapkan diri untuk memanfaatkan peluang. Selanjutnya, manusia yang tergolong kelompok ketiga, ialah siapa saja yang bisa menciptakan peluang dari sesuatu yang dianggap bukan peluang dan karenanya selalu “selangkah di depan”. Mereka adalah orang-orang yang sukses. 25
Iwan P. Pontjowinoto
”modal tidaklah harus berupa uang, harta, atau aset. Fakta menunjukkan bahwa modal kemampuan, informasi, jejaring pertemanan, dan “modal dengkul” lainnya, mempunyai andil besar dalam keberhasilan usaha.”
Ya n g m e n y e d i h k a n adalah orang-orang yang tergolong dalam kelompok keempat, yaitu mereka yang sewaktu peluang datang dan pergi, tetap saja tidak tahu bahwa itu adalah peluang.
Banyak orang berhasil atau memperoleh keuntungan karena mereka dapat mengenali, memanfaatkan, atau bahkan menciptakan peluang. Namun, peluang tetaplah peluang. Jika kita tidak punya modal yang cukup, kita tidak akan bisa memanfaatkan peluang itu. Yang perlu kita sadari, modal tidaklah harus berupa uang, harta, atau aset. Fakta menunjukkan bahwa modal kemampuan, informasi, jejaring pertemanan, dan “modal dengkul” lainnya, mempunyai andil besar dalam keberhasilan usaha. Lalu, modal apa saja yang dibutuhkan untuk “kaya” menurut prinsip syariah?
Modal Utama: Peran Manusia Modal utama bagi kita untuk menjadi “kaya” adalah diri kita sendiri. Karena itu, hal pertama yang perlu kita pahami adalah keadaan diri kita sendiri. Memahami peran kita di dunia, agar dapat mencapai hasil yang optimal dalam hidup. Manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta semata-mata untuk mengabdi atau menjadi hamba-Nya. Karena diciptakan
26
MODAL UNTUK KAYA
semata-mata untuk menjadi abdi-Nya, semua tindakan manusia—baik yang dilakukan demi kepentingan sendiri, demi hubungan antarmanusia, ataupun dilakukan terhadap bumi dan segala isinya—harus dilakukan dalam koridor hubungan antara manusia dengan Tuhan. Semata-mata mengikuti semua perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya. Bila mengacu pada konsep “pengabdian”, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci, maka sebenarnya semua yang dilakukan manusia, baik untuk urusan keluarga, urusan bisnis, urusan negara, maupun urusan politik, seharusnya sematamata dilakukan sebagai abdi Tuhan. Ini berarti, manusia harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Pertanyaannya kemudian adalah, “Apa tugas manusia di dunia?” Jawabannya telah dinyatakan dalam firman Tuhan yang disampaikan kepada rasul-rasul-Nya dan tercantum di berbagai Kitab Suci. Salah satu di antara jawaban tersebut tertuang dalam Kitab Suci (QS 02:30), tatkala Allah SWT berfirman kepada para malaikat: “Bahwa sesungguhnya Aku di atas bumi ciptakan khalifah.”
Dan, malaikat pun bertanya: “Apakah Engkau akan jadikan di atas bumi ini orangorang yang merusak kepadanya dan menumpahkan darah, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan-Mu?”
27
Iwan P. Pontjowinoto
Lalu, Allah SWT kembali berfirman: “Aku mengetahui apa-apa yang kalian (para malaikat) tidak ketahui.”
Istilah khalifah mengandung maksud sebagai pihak yang diberi kewenangan untuk memutuskan sesuatu. Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang—atas nama Allah—terhadap semua hal yang ada dan terjadi di dunia. Itu pula sebabnya, sebelum melakukan sesuatu, manusia diperintahkan untuk berikrar bahwa yang akan dilakukannya adalah semata atas nama Tuhan. Ikrar tersebut, dalam bahasa Kitab Suci, dilafalkan dengan bismillahir rahman nir rohim. Yang berarti, “Dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Sekali lagi, semua tindakan manusia seharusnya dilakukan dengan mengatasnamakan Tuhan. Karena posisinya sebagai khalifah, manusia akan dan harus bertanggung-jawab kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas semua tindakan yang dilakukannya di dunia. Bahwa sebagian manusia adalah perusak bumi, sebagaimana yang dicemaskan para malaikat, benar adanya. Akan tetapi, Tuhan tetap memutuskan untuk mengangkat derajat manusia sebagai khalifah di muka “Manusia dilimpahi bumi. Mengapa demikian? kemampuan dan Apakah manusia perlu mekewenangan untuk ngetahuinya? Ternyata Allah mengelola bumi dan SWT telah menyatakan segala isinya—yang dipusakakan Tuhan—guna dalam Kitab Suci, bahwa menyebarluaskan rahmat ke hanya Dia yang Maha seluruh alam.” Mengetahui.
28
MODAL UNTUK KAYA
Lalu, apakah tugas utama manusia sebagai khalifah di muka bumi? Menurut Kitab Suci (QS 21:107), telah dinyatakan bahwa tidaklah Allah SWT mengutus manusia sebagai rasul-Nya, melainkan agar menjadi “rahmat” bagi seluruh alam. Sementara itu, dalam Kitab Suci (QS 07:128), diceritakan bahwa Nabi Musa a.s. berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, dipusakakan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hambaNya, untuk mencapai akhir yang baik bagi orang-orang yang bertakwa.”
Jadi, jelas bahwa Tuhan Yang Mahakuasa sangat sayang kepada manusia. Di samping telah mengangkat manusia sebagai khalifah, Tuhan juga telah memberi modal berupa bumi dan segala isinya. Manusia dilimpahi kemampuan dan kewenangan untuk mengelola bumi dan segala isinya—yang dipusakakan Tuhan—guna menyebarluaskan rahmat ke seluruh alam. Untuk mendapat akhir yang baik, manusia harus bertakwa dengan menjalankan semua perintah-Nya, menjauhi segala laranganNya, dan ridha menerima takdir-Nya. Apabila tugas itu dilaksanakan dengan semestinya, manusia akan mendapat akhir yang baik.
Modal Kedua: Bumi Pusaka Allah SWT Sebagian di antara kita pernah berkunjung ke tempat yang sangat indah, mendaki gunung yang tinggi, menyelam ke dasar
29
Iwan P. Pontjowinoto
laut, atau masuk ke gua yang dalam. Sewaktu menyaksikan keindahan, kehebatan, dan kebesaran “mahakarya” Sang Maha Pencipta, tentu kita akan mengagumi keagungan Tuhan dan merasa betapa kita teramat kecil di tengah kebesaran-Nya. Namun, kita juga terperanjat dan terpana ketika melihat bencana mahadahsyat, seperti tsunami yang menimpa Aceh, banjir bandang, longsor, letusan gunung berapi, hingga meluapnya lumpur Lapindo. Pada saat-saat seperti itu, mungkin hati kita bertanya-tanya. “Mengapa hal ini bisa terjadi?” “Mengapa takdir ini menimpa manusia?”
Jika mau bersikap lebih arif dan berpikir lebih kritis, pertanyaan-pertanyaan seperti itu takkan tumbuh di dalam hati. Bukankah semua itu merupakan bagian dari ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa? Telah dimaklumi bahwa banyak kerusakan di muka bumi yang terjadi akibat ulah manusia, di samping kerusakan yang terjadi tanpa campur tangan manusia. Bumi dan segala isinya telah dieskploitasi habis-habisan untuk memenuhi apa yang dianggap sebagai kebutuhan manusia. Itulah yang selama ini terjadi, “pemaksaan kehendak” manusia yang berdampak pada kerusakan di muka bumi.
”manusia mestinya menghormati kemudahan yang diberikan Tuhan dan menerima hasil dari pengelolaan sumber daya alam sebagai nikmat lahir dan batin.”
30
MODAL UNTUK KAYA
Dalam Kitab Suci (QS 07:128), Allah SWT menegaskan bahwa: “Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, dipusakakan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dari hamba-hambaNya….”
Dengan demikian, jelaslah bahwa bumi dan segala isinya adalah milik Sang Maha Pencipta, milik Allah SWT, yang kemudian dipusakakan kepada manusia sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, manusia harus menjaga bumi dengan baik, agar Sang Pemilik tidak marah atau tidak kecewa, karena milik-Nya—yang diberikan kepada manusia sebagai modal—telah diperlakukan semena-mena oleh abdi-Nya, yang diangkat menjadi wakil-Nya dan ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi. Dalam mengkaji bumi sebagai pusaka bagi manusia, saya ingin mengajak Anda untuk menyusuri hikmah yang tersaji dalam syair lagu Indonesia Pusaka. Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya Indonesia sejak dulu kala tetap dipuja-puja bangsa Di sana tempat lahir beta Dibuai dibesarkan bunda
31
Iwan P. Pontjowinoto
Tempat berlindung di hari tua Sampai akhir menutup mata
Syair lagu di atas dengan jelas menyatakan bahwa bagian bumi yang disebut sebagai Indonesia adalah tanah dan air yang dipusakakan bagi bangsa Indonesia. Tanah Air yang disediakan bagi bangsa Indonesia sejak lahir hingga menutup mata. Tanah Air yang harus dijaga agar sumber daya alamnya tetap mempunyai daya guna untuk memenuhi kebutuhan seluruh bangsa Indonesia. Dari masa ke masa. Dari generasi ke generasi. Hingga, pada akhirnya, menjadi Tanah Air yang
abadi dan jaya. Perusakan dan penyalahgunaan atas sumber daya alam terjadi karena kesalahan dan ketidakmampuan manusia dalam menggunakan sumber daya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Salah satunya, merupakan efek atas anggapan bahwa sumber daya alam adalah terbatas, sedangkan kebutuhan manusia adalah tidak terbatas. Dengan asumsi seperti itu, tidak mengherankan jika manusia berlomba-lomba menguasai dan memanfaatkan sumber daya alam yang dianggap “terbatas”. Berlomba menguras habis sumber daya alam yang dipusakakan Tuhan kepada umat manusia. Masya Allah. Rumusan itu pula yang kemudian menimbulkan berbagai kerusakan dan memicu terjadinya bencana alam dan bencana ekonomi. Padahal, seharusnya, segala rumus buatan
manusia seharusnya berpedoman pada aturan yang telah ditentukan oleh Sang Pemilik dunia dan segala 32
MODAL UNTUK KAYA
isinya. Aturan dari Sang Pencipta yang telah mengangkat manusia menjadi khalifah di muka bumi. Tatanan dan aturan yang telah ditetapkan Tuhan Yang Mahakuasa, terkait dengan peran manusia di dunia. Mulai dari pengelolaan keberadaan sumber daya yang dipusakakan-Nya kepada manusia, penguasaan, tujuan, hingga cara memanfaatkannya. Aturan Tuhan telah menyatakan dengan tegas bahwa Tuhan telah menyediakan sumber daya secara seimbang bagi kebutuhan manusia. Pernyataan tersebut termaktub dalam Kitab Suci (QS 15:19-22). Allah SWT menegaskan: “Allah SWT telah membentangkan bumi, dan padanya Allah SWT telah meletakkan gunung-gunung serta telah menumbuhkan segala sesuatu dengan seimbang (mizan).” “Allah SWT telah menjadikan pada bumi, termasuk makhluk-makhluk, untuk keperluan hidup manusia, di mana Allah SWT juga telah memberi kebutuhan hidup bagi makhluk-makhluk itu agar dapat memenuhi keperluan hidup manusia secara berkesinambungan.” “Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi sematamata berasal dari perbendaharaan (khazanah) Allah SWT” “Allah SWT telah menurunkan segala sesuatu itu mengikuti ukuran (qadar) yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan (ilm).”
33
Iwan P. Pontjowinoto
“Allah SWT telah menciptakan udara dan air, serta telah mengatur perputaran dan penyimpanan udara dan air, agar menjadi sumber kehidupan bagi manusia serta tumbuhan yang menjadi sumber hidup manusia.”
Dalam firman-Nya di atas, Allah SWT menggunakan istilah mizan (seimbang) untuk bumi dan segala isinya, istilah khazanah (perbendaharaan) untuk menyatakan asal usul dari bumi dan segala isinya, istilah qadar (ukuran atau takaran), serta istilah alim atau ilm (mengetahui atau pengetahuan) untuk jumlah sumber daya yang disediakan bagi manusia. Dengan demikian, bumi dan segala isinya—yang merupakan sumber daya alam—telah disediakan oleh Allah SWT dalam jumlah yang cukup dan seimbang menurut ukuran yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan. Falsafah yang akan berlaku bila perkembangan jumlah manusia dan pemanfaatan bumi dan segala isinya dilakukan dengan pertimbangan yang sesuai dengan ilmunya. Apalagi, dalam Kitab Suci (QS 31:20), Allah SWT telah menyatakan bahwa Dia telah memudahkan segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi bagi kepentingan manusia. Lebih dari itu, sumber daya alam tersebut telah disempurnakan sebagai nikmat bagi manusia, baik nikmat lahir maupun batin. Karena itu, manusia mestinya menghormati kemudahan yang diberikan Tuhan dan menerima hasil dari pengelolaan sumber daya alam sebagai nikmat lahir dan batin. Jelaslah, bumi dan segala isinya telah diciptakan Tuhan sebagai “modal” bagi manusia untuk mencapai tujuan hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Modal dengan jumlah
34
MODAL UNTUK KAYA
yang seimbang. Sehingga, kalau ada manusia yang berpandangan bahwa sumber daya alam terbatas, manusia tersebut sebenarnya belum mengetahui atau belum mempunyai ilmu pengetahuan yang memadai untuk memahami qadar (ukuran) dan mizan (keseimbangan). Karena itu pula, manusia tersebut belum pantas menjadi khalifah di muka bumi.
Mengenal Pusaka Allah SWT Karena Allah Mahakuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang, maka segala sesuatu yang ada di langit dan bumi dilimpahkan sebagai pusaka bagi kita, umat manusia. Pusaka yang—sejatinya—harus senantiasa kita jaga agar manfaatnya berkelanjutan dari generasi ke generasi, sehingga menjadi “pusaka yang abadi nan jaya”. Sumber daya alam yang dipusakakan Tuhan kepada kita sebenarnya telah disediakan secara seimbang, dan dalam jumlah yang mengikuti ilmu pengetahuan. Tidak hanya itu, semua sumber daya alam yang ada di bumi telah dimudahkan untuk digunakan dan disempurnakan sebagai nikmat bagi kita—umat manusia, baik nikmat lahir maupun batin. Bila kita merasa bahwa sumber daya tersebut bersifat terbatas, hal itu merupakan kesalahan dan ketidakmampuan kita dalam menggunakan sumber daya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Secara jariah.---
35
Iwan P. Pontjowinoto
Kepemilikan Modal dari Tuhan Ketika bekerja di Lippo Bank, saya pernah diajak seorang teman untuk meninjau kegiatan usahanya, karena ia ingin mendapat modal untuk membiayai kegiatan usahanya. Teman saya ini adalah seorang pengusaha yang menguasai tanah di pegunungan. Secara kebetulan, di lokasi tanah miliknya, terpancar mata air yang sangat jernih dengan debit air yang cukup besar. Selain mutu airnya sangat bagus, mata air itu juga mengandung mineral yang menyehatkan. Dengan kualitas mata air sehebat itu, ia berniat membangun usaha pengadaan air mineral dalam kemasan. Usahanya itu pastilah akan menyedot sumber daya alam dari mata air yang dianggap sebagai “miliknya” itu. Sementara itu, di hilir, tak seberapa jauh dari lahan milik teman saya, tinggal ratusan penduduk yang mengandalkan sumber air dari sungai kecil di sana. Celakanya, sungai kecil tersebut berhulu pada mata air yang terletak di tanah sang teman. Perlahan-lahan debit air di sungai kecil itu menyusut dan akhirnya kering. Penduduk pun kesulitan air, baik untuk memenuhi kebutuhan pertanian maupun bagi kebutuhan hidup sehari-hari. “Apakah air mineral yang “memancur” dari mata air di lahan teman saya tersebut adalah “milik” teman saya?” “Apakah usaha yang dijalankan teman saya sesuai dengan ajaran Tuhan?”
Baiklah. Sebelum kita mencari jawaban tepat dari pertanyaan di atas, coba kita luangkan waktu sejenak untuk tafakur, berpikir.
36
MODAL UNTUK KAYA
Dalam Kitab Suci, Allah SWT telah menegaskan bahwa bumi dan segala isinya telah diberikan Tuhan sebagai modal manusia untuk memenuhi tujuan hidupnya. Dalam bahasa keuangan, bumi dan segala isinya telah dihibahkan oleh Tuhan menjadi milik manusia. Tetapi, jumlah manusia banyak sekali, sementara bumi serta segala isinya juga luas sekali. “Bagaimana aturan Tuhan mengenai kepemilikan bumi dan segala isinya oleh—dan untuk—umat manusia?” “Bagaimana aturan pemanfaatan, dan pengelolaan, bumi serta segala isinya untuk mencapai tujuan hidup manusia?” “Bagaimana aturan Tuhan mengenai kepemilikan dan penguasaan bumi serta segala isinya?” Sekarang, perlu saya tuturkan bahwa kisah teman saya di atas berkaitan erat dengan “rasa memiliki” yang kerap memicu lahirnya “rasa menguasai” atas bagian bumi dan segala isinya oleh sebagian umat manusia. Padahal memiliki dan menguasai adalah dua hal yang dapat berbeda jauh. Cerita-cerita semacam itu banyak terjadi di sekitar kita.
Sebut saja, cerita tentang seorang Bupati yang menerbitkan ijin kegiatan penambangan atas lokasi yang menjadi tempat wisata. Padahal, sudah puluhan tahun lokasi itu diandalkan sebagai daya tarik wisata yang memberi “hidup” bagi masyarakat di sekitarnya. Lokasi wisata alam yang memiliki pantai serta terumbu karang yang indah itu, tiba-tiba akan dijadikan area penambangan emas. Meskipun, Bupati mengetahui bahwa tambang emas mengeluarkan limbah yang cukup berbahaya dan berpotensi merusak lingkungan
37
Iwan P. Pontjowinoto
hidup. Kegiatan penambangan emas itu, tentu saja, akan merusak keindahan objek wisata laut yang selama ini dinikmati oleh masyarakat. Nah, hasrat Bupati itu pun memicu pertanyaan-pertanyaan menarik. “Siapa sebenarnya pemilik alam yang indah dan bumi yang kaya dengan kandungan logam mulia di sana?” “Siapa yang berhak menentukan apakah lokasi tersebut sebaiknya dijadikan lokasi wisata atau lokasi pertambangan?” “Siapa yang harus bertanggung jawab bilamana keputusan yang diambil ternyata berdampak negatif?” Cerita lain adalah tentang seorang pengusaha yang menguasai ratusan hektar lahan subur di daerah pegunungan. Sebelumnya, lahan tersebut adalah perkebunan yang cukup produktif. Tetapi karena usaha sang pengusaha besar ini sedang terpuruk, beberapa tahun kemudian, lahan tersebut tidak lagi digunakan sebagaimana mestinya. Bahkan, berubah menjadi lahan tidur. Ironisnya, di sekitar lahan tersebut dihuni oleh ratusan keluarga petani yang mempunyai kemampuan bercocok tanam, namun tidak memiliki lahan yang cukup. Cerita-cerita di atas menimbulkan pertanyaan mengenai siapa sebenarnya pemilik dan penguasa sumber daya alam, baik berupa pantai yang indah, kandungan emas di dalam bumi, lahan pertanian yang subur, maupun mata air sumber kehidupan.
“Siapa?” “Apa yang dimaksud dengan memiliki dan apa yang dimaksud dengan menguasai?”
38
MODAL UNTUK KAYA
“Bagaimana kepemilikan atas sumber energi fosil—seperti minyak dan batubara; sumber energi alam lainnya—seperti gas bumi, panas bumi, arus air; ataupun mineral dan batu-batu mulia—seperti emas, nickel, bijih besi, berlian, dan sebagainya. Bagaimana kepemilikan atas hutan, ikan, dan mahluk yang ada di dalam lautan, bahkan atas keindahan karang di bawah laut?” “Bagaimana seharusnya pembagian atas hasil yang diperoleh dari penguasaan sumber daya alam yang merupakan milik seluruh rakyat di negara tersebut?” “Bagaimana syariah Tuhan mengenai hal ini?” Nabi Muhammad SAW telah memberikan petunjuk bahwa semua tanah adalah milik Allah SWT, dan umat manusia adalah abdi-Nya yang telah diangkat menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Karena itulah manusia memiliki kewenangan untuk mengelola bumi dan segala isinya. Barangsiapa yang dapat meningkatkan manfaat dari suatu tanah, maka tanah tersebut akan dapat dikuasainya. Batas waktu yang diterapkan untuk seseorang menguasai tanah sebelum berproduksi pada masa itu adalah tiga tahun. Kemudian, setelah batas waktu tersebut, bila tanah tidak digunakan secara produktif, maka tanah tersebut dapat dialihkan pada pihak lain yang diyakini dapat memanfaatkannya secara produktif. Banyak contoh dari penerapan prinsip dan kebijakan ini di masa lalu. Pada masa Nabi Muhammad SAW, Bilal bin Harris memperoleh hak untuk mengolah lahan di daerah Kadi Aqiq agar menjadi produktif. Namun setelah beberapa tahun, ternyata tidak seluruh tanah yang luas tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik. Karena itu, diputuskan bahwa hak atas bagian
39
Iwan P. Pontjowinoto
tanah yang tidak dapat dimanfaatkan harus diberikan pada pihak lain yang tidak memiliki tanah, tetapi mampu memanfaatkannya untuk kegiatan produktif. Contoh lainnya, tanah di Maarib yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada Abbaz bin Hamal. Kemudian diketahui bahwa pada tanah tersebut terdapat danau yang mengandung garam. Pada saat itu, garam adalah barang langka yang sangat dibutuhkan masyarakat, terutama di daerah pedalaman jazirah Arab yang relatif kering. Karena pertimbangan bahwa garam yang dihasilkan danau tersebut diperlukan oleh masyarakat, maka Nabi Muhammad SAW mengambil kembali tanah tersebut dari Abyaz bin Hamal, lantas memutuskan untuk menyerahkannya kepada negara untuk dikuasai dan dikelola bagi kepentingan masyarakat. Jelaslah bahwa semua sumber daya alam adalah
ciptaan Tuhan, sehingga mutlak merupakan milik-Nya. Akan tetapi, semua sumber daya alam tersebut telah dipusakakan kepada manusia untuk digunakan bagi kemaslahatan seluruh alam. Kepemilikan tersebut meliputi sumber daya yang tersimpan baik di dalam bumi, maupun yang terdapat atau hidup di muka bumi. Pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana pengaturan kepemilikan bumi dan segala isinya?”
Tingkatan Kepemilikan Mengenai kepemilikan atas sumber daya alam, Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa masyarakat berbagi kepemilikan bersama dalam tiga hal, yakni air, api, dan padang rumput.
40
MODAL UNTUK KAYA
Dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud air oleh Nabi Muhammad SAW adalah segala hal di alam yang menjadi sumber kehidupan. Sedangkan yang dimaksud dengan api adalah semua sumber energi dan sumber penerangan. Adapun yang dimaksud dengan padang rumput adalah seluruh tanaman yang tumbuh dengan sendirinya, termasuk hutan di pantai, daratan, dan pegunungan. Karena itu, dapat dipahami jika terdapat tingkatan kepemilikan atas semua sumber daya alam yang ada di dunia.
Kepemilikan Negara Kepemilikan tertinggi atas sumber daya alam yang ada adalah kepemilikan negara yang digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat di negera tersebut. Dalam praktiknya, semua sumber daya alam yang ada akan dikuasai dan dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Dengan berpedoman pada syarat-syarat tertentu, negara atau pemerintah dapat melakukan kerja sama pengelolaan sumber daya alamnya dengan pihak-pihak lain. Pihak tersebut dapat mewakili umat, masyarakat, atau bahkan perseorangan. Syarat utama yang harus dipenuhi adalah kepemilikan negara atas sumber daya alam tersebut tetap terjaga dan kepentingan rakyat atas manfaat dari sumber daya alam tersebut dapat terpenuhi. Jika negara melakukan kerja sama dengan pihak lain, maka sistem bagi hasil atas kerja sama tersebut harus diperhitungkan dengan seadil-adilnya.
41
Iwan P. Pontjowinoto
Kepemilikan Publik Tingkatan kedua adalah kepemilikan publik, yang terdiri dari kepemilikan umat dan kepemilikan masyarakat. Pemerintah dapat mengalihkan sebagian dari kepemilikan negara untuk kepentingan publik sehingga menjadi kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan umat, semua manusia bebas memakainya sesuai dengan kebutuhannya. Tanpa batasan agama, bangsa, usia, dan kewarganegaraan. Karena itu, diperlukan pengaturan agar hak manusia tetap terjaga. Sedangkan dalam hal kepemilikan masyarakat, pengelolaan sumber daya alam diutamakan untuk kepentingan masyarakat atau umat tertentu di suatu daerah. Namun, kepemilikan sumber daya alam yang tergolong kepemilikan publik tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Penguasaan atas kepemilikan publik dapat diberikan kepada negara atau lembaga lain, seperti lembaga masyarakat maupun lembaga sosial.
Kepemilikan Pribadi Tingkatan yang terakhir adalah penguasaan pribadi atau individu. Pemerintah dapat memberikan hak penguasaan atas sebagian dari kepemilikan negara kepada badan usaha atau individu, yang kemudian memberikan hak pribadi atau hak privat atas sumber daya alam tertentu dengan persyaratan tertentu. Persyaratan yang utama adalah, sumber daya alam tersebut harus digunakan untuk kegiatan produktif dengan hasil yang terbukti mampu memberikan manfaat kepada masyarakat. Hak penguasaan pribadi dapat dialihkan kepada pihak lain, baik dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemilik hak
42
MODAL UNTUK KAYA
dengan pihak lain, maupun karena pemilik hak ternyata tidak dapat menggunakan sumber daya alam tersebut secara produktif.
Jelas bahwa kepemilikan pribadi atas suatu sumber daya alam diijinkan selama manusia itu bisa meningkatkan manfaat dari suatu sumber daya alam. Jika seseorang mendapat hak untuk menguasai suatu sumber daya alam tapi tidak dapat menggunakannya untuk kegiatan produktif, maka ia harus rela melepaskan haknya dan menyerahkan kembali untuk digunakan secara produktif. Menurut syariah, sumber daya tersebut harus diambil alih oleh Pemerintah, dan penguasaannya diberikan kepada manusia lain yang diyakini mampu menggunakannya untuk kegiatan produktif.
Redistribusi Hasil Atas penguasaan pribadi tersebut, disyaratkan adanya bagi hasil atau redistribusi hasil kepada masyarakat, khususnya masyarakat yang kurang mampu. Redistribusi dimaksud, dikenakan kepada pihak yang mendapat hak penguasaan dari Allah SWT Keadilan dalam proses bagi hasil dijunjung tinggi melalui instrumen yang dikenal sebagai zakat dan kharaj. Istilah zakat diartikan untuk membersihkan hasil atas bagian-bagian orang lain yang kurang mampu, yang dititipkan Allah SWT di dalam hasil tersebut. Sedangkan kharaj adalah bagi hasil untuk masyarakat yang dibagikan kepada masyarakat melalui pemerintah. Demi keadilan, terhadap sumber daya alam yang dikuasai dan digunakan untuk kegiatan produktif
43
Iwan P. Pontjowinoto
tidak dikenakan zakat. Namun, bila sumber daya alam yang dikuasai ternyata tidak digunakan untuk kegiatan produktif, maka tetap akan dikenakan zakat atas seluruh nilai sumber daya alam tersebut. Redistribusi hasil juga disesuaikan dengan kontribusi manusia dalam proses penciptaan hasil. Atas hasil hutan atau hasil alam yang hanya tinggal dipungut atau digali, sehingga usaha manusia hanya sedikit, maka dikenakan zakat yang lebih tinggi. Sedangkan atas hasil pertanian dan perkebunan di mana diperlukan usaha manusia yang lebih besar, dikenakan zakat yang lebih rendah. Lalu, atas hasil pertanian dan perkebunan yang memanfaatkan air untuk irigasi yang diperlukan upaya manusia yang lebih besar, dikenakan zakat lebih rendah lagi. Dan atas hasil yang sebagian besar adalah akibat usaha manusia, dikenakan zakat paling rendah.
44
MODAL UNTUK KAYA
Kepemilikan atas Bumi dan segala isinya Bumi dan segala isinya adalah milik bersama seluruh manusia. Tidak seorang pun yang menjadi pemilik mutlak atas bumi dan segala isinya. Kepemilikan rakyat atas bagian bumi dan segala isinya—yang ada dalam suatu negara—diwakilkan dalam kepemilikan negara, yang sebagian dapat dialihkan menjadi kepemilikan publik, dan kepemilikan pribadi. Manusia telah diangkat sebagai wakil Tuhan di dunia dan telah mendapat pusaka berupa bumi dan segala isinya yang telah diciptakaan secara seimbang menurut qadar yang sesuai ilmu pengetahuan. Kemudian, bagian dari bumi dan segala isinya yang merupakan milik bersama seluruh rakyat, harus digunakan secara produktif, efektif dan efisien, baik dalam konteks kepemilikan negara, kepemilikan publik, maupun penguasaan badan usaha atau pribadi.---
45
Bab 4
Berusaha untuk Kaya Selama lebih dari 30 tahun saya bekerja, baik di perusahaan
asing, perusahaan swasta nasional, perusahaan ’semi’ BUMN, BUMN, maupun usaha milik sendiri, kadang-kadang usaha yang saya lakukan tidak memberikan hasil seperti yang saya harapkan. Bahkan, saya sering merasa hasil yang saya dapatkan lebih buruk dari hasil yang diperoleh orang lain. Padahal, saya merasa tidak kalah dari orang lain, baik dari segi kemampuan maupun usaha yang saya jalankan. Tetapi, mengapa hasil saya lebih buruk? Sewaktu bekerja di Danareksa, saya pernah didatangi salah seorang anak buah saya. Ia seorang muslim yang taat, dan karyawan yang rajin. Selama ini, saya melihat ia cukup rajin bekerja dan sungguh-sungguh dalam berusaha. Namun, hasil kerjanya, pada saat itu, memang masih kalah dibandingkan beberapa rekan kerjanya yang lain. Sehingga kenaikan pangkat dan gajinya masih kalah dibandingkan beberapa temannya. 47
Iwan P. Pontjowinoto
“Dia Yang Mahakuasa akan memberikan kesenangan yang hasanah (baik) pada waktu yang tertentu. Bahkan diberikan fadhilah (tambahan) kepada setiap manusia yang beramal lebih baik.”
Karyawan ini bertanya kepada saya, apa yang salah pada dirinya. Saya jawab, tidak ada yang salah pada dirinya dan saya juga merasa senang bekerja bersamanya. Hanya saja, pada saat itu, Direksi memang belum merasa bahwa ia pantas mendapat promosi atau kenaikan gaji sebagaimana yang diharapkannya. Ia mengucapkan terima kasih atas jawaban saya yang lugas, jujur, dan berterus terang. Keesokan harinya, ia mengajukan surat pengunduran diri. Saya sedih karena ia memilih pindah kerja dan tidak lagi bersama saya di Danareksa. Namun, saya yakin, suatu ketika ia akan mendapat balasan yang layak atas usaha dan ibadahnya. Ternyata, beberapa tahun kemudian, ia diangkat menjadi Direktur Utama di salah satu perusahaan terkemuka. Lebih membahagiakan lagi, sampai sekarang ia masih sangat sopan dan hormat bila bertemu dengan saya. Alhamdulillah. Rencana Tuhan Yang Mahakuasa memang tidak selalu bisa dimengerti oleh manusia.
Balasan atas Usaha Manusia Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengadakan perniagaan untuk memperoleh imbalan atau balasan atas sesuatu yang telah diberikan kepada orang lain. Baik itu berupa barang ataupun jasa. Kadangkala kita untung, kadangkala kita rugi. Namun, kadangkala kedua belah pihak sama-sama untung atau bahkan
48
BERUSAHA UNTUK KAYA
sama-sama rugi. Dasar utama dari perniagaan yang saling menguntungkan adalah “saling percaya”. Dalam istilah Kitab Suci, perniagaan adalah tijarotan, yang akar kata kerjanya adalah tijara dan akar kata bendanya adalah ujroh (upah) atau ajrun (pahala). Hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta dapat pula dianalogikan sebagai perniagaan atau tijarotan. Tuhan menentukan hukum-hukum atau aturannya, lalu manusia melakukan dan mengusahakan sesuatu, kemudian Allah SWT memberikan upah atau balasan atas usaha tersebut. Istilah lain yang digunakan sebagai balasan atas tindakan manusia adalah fadhilah dan rahmah. Fadhilah berasal dari kata fadhl dan Allah, di mana fadhl artinya kelebihan, sehingga istilah fadhilah berarti kelebihan dari Allah SWT, atau memperoleh tambahan imbalan dari-Nya. Sedangkan rahmah (rahmat) adalah sesuatu yang diberikan sebagai tanda rasa kasih Allah SWT kepada manusia. Dalam Kitab Suci (QS 06:165), Allah SWT menyatakan telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan meninggikan derajat sebagian manusia di atas sebagian lainnya untuk menguji manusia. Dengan kata lain, Tuhan telah mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi dan memberi sebagian manusia kemampuan yang lebih dari sebagian lainnya. Hal itu dimaksudkan sebagai ujian, baik bagi sebagian manusia yang telah ditinggikan derajatnya, maupun kepada sebagian manusia lain yang tidak ditinggikan. Sebagaimana
layaknya ujian, yang lulus ujian akan mendapat balasan yang setimpal. Yang tidak lulus, ya harus mengulang!
49
Iwan P. Pontjowinoto
Allah SWT juga berfirman kepada orang-orang beriman dalam Kitab Suci (QS 61:10-11) dengan menyatakan bahwa Dia telah menunjukkan kepada mereka tijarotan (perniagaan) yang dapat menyelamatkan mereka dari azab yang sangat, yaitu dengan cara beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Kemudian juhud (bersungguh-sungguh) di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah SWT juga menegaskan bahwa yang demikian itu lebih baik bagi manusia, jika saja mereka mengetahuinya. Kemudian, dalam Kitab Suci (QS 16:95-97), Allah SWT memperingatkan agar manusia tidak menukar perjanjian kepadaNya dengan perjanjian atau hal lain yang sebenarnya tidak ada harganya. Karena sesungguhnya hanyalah yang berasal dari Allah yang lebih baik bagi manusia. Apa yang berasal dari
manusia akan lenyap dan apa yang berasal dari Allah SWT akan kekal. Dan, Allah SWT akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Tuhan menjanjikan kehidupan yang lebih baik kepada siapa pun yang mengerjakan amal saleh— baik laki-laki maupun perempuan—dan akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Jadi, jelaslah bahwa Tuhan telah mengangkat manusia menjadi khalifah di muka bumi dan telah meninggikan sebagian manusia dari sebagian lainnya dengan maksud untuk menguji manusia. Ujian tersebut bukanlah seperti antara guru dan murid, tetapi lebih tepat diibaratkan sebagai perniagaan antara Tuhan dengan manusia. Agar dapat berhasil atau memperoleh
50
BERUSAHA UNTUK KAYA
keuntungan dalam perniagaan dengan Tuhan, manusia harus bersungguh-sungguh di jalan-Nya, dengan harta dan jiwanya. Allah SWT telah memperingatkan manusia agar perjanjian dengan-Nya tidak ditukar dengan perjanjian oleh pihak lain. Karena Dia telah menjanjikan apa yang berasal dari-Nya pasti lebih baik dan akan kekal. Sayangnya, kita lebih sering mengabaikan perintah ini. Padahal, Tuhan akan memberi imbalan kepada manusia yang sabar dengan balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Bagi orang yang pada “Menurut Imam Ghazali, awalnya tidak mengetahui mashlahah adalah hal itu, tetapi kemudian istilah bagi upaya untuk mengetahui dan berniat menciptakan kebaikan untuk melakukan perniagaan dan menghindari yang baik dengan Tuhan, kemudharatan.” maka dalam Kitab Suci (QS 11:03), Allah SWT menyatakan bahwa hendaknya manusia memohon ampun kepada-Nya, kemudian bertaubatlah. Dia Yang Mahakuasa akan memberikan kesenangan yang hasanah (baik) pada waktu yang tertentu. Bahkan diberikan fadhilah (tambahan) kepada setiap manusia yang beramal lebih baik. Dalam hal perniagaan, baik antara sesama manusia maupun dengan Tuhan, dengan tegas dinyatakan bahwa manusia tidak akan memperoleh kecuali yang diusahakannya. Dan, atas semua usaha manusia, akan diberikan balasan yang sempurna. Firman Allah SWT dalam Kitab Suci (QS 53:39-41) menyatakan bahwa manusia tiada memperoleh kecuali apa yang diusahakannya. Dan atas usaha manusia, kelak akan diperlihatkan penilaian
51
Iwan P. Pontjowinoto
untuk kemudian diberi balasan dengan jazaa’a (balasan) yang sempurna dari-Nya. Balasan tersebut dapat berupa ujroh (upah) di dunia, ajrun (pahala di akhirat), dan dapat pula diberikan tambahan fadhilah (tambahan), atau pemberian sebagai tanda kasih dari Allah berupa rahmah (rahmat). Sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci (QS 35:02), segala sesuatu yang Allah SWT berikan kepada manusia sebagai suatu rahmat, maka tidak ada seorang atau sesuatu pun yang bisa menahannya. Sebaliknya, segala yang Tuhan tahan untuk diberikan kepada manusia sebagai suatu rahmat, maka tidak akan ada yang bisa melepaskannya. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
“Dan kekayaan yang maslahat hanya dapat diperoleh melalui keuntungan yang berkeadilan. Jadi, kekayaan haruslah berkeadilan.”
Ukuran kesempurnaan dari balasan atas usaha manusia— berupa upah (ujrah), pahala (ajrun), kelebihan (fadhilah), dan (rahmah)—semuanya ditentukan oleh Allah SWT Kesempurnaan tersebut juga meliputi cakupan dari balasan, besaran dari balasan, kapan saja balasan diberikan, dan berapa lama balasan diberikan.
52
BERUSAHA UNTUK KAYA
Balasan yang Sempurna Dalam perjalanan hidup, kita dapat “berniaga” dengan Tuhan, di mana kita melakukan sesuatu tindakan, yang dalam istilah Kitab Suci adalah amal, artinya perbuatan untuk memenuhi harapan Allah SWT. Kemudian, Tuhan akan membalasnya dengan memberikan imbalan di dunia berupa ujroh (upah) dan imbalan di akhirat berupa ajrun (pahala). Allah SWT juga memberikan fadhilah (kelebihan), dan rahmah (rahmat). Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang telah diangkat menjadi khalifah di muka bumi, maka harus dipahami bahwa esensi keadilan dalam perniagaan dengan-Nya adalah percaya atau beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Bersungguhsungguh mengikuti aturan-Nya, menjalankan perintah-Nya, dan meninggalkan larangan-Nya. Kemudian, percaya bahwa Tuhan pasti akan memberikan balasan yang sempurna, dengan cara menerima keputusan atau takdir-Nya.---
Kekayaan dan Kemashlahatan Pada awal tahun 2010, Michael Ruslim meninggal dunia. Almarhum adalah Direktur Utama PT. Astra International Tbk. Sebelum beliau wafat, sudah banyak pimpinan perusahaan besar lain yang meninggal dunia. Namun jumlah liputan berita dan iklan belasungkawa atas berpulangnya Michael Ruslim sangat mencengangkan. Mengapa?
53
Iwan P. Pontjowinoto
PT. Astra International Tbk. adalah perusahaan besar dengan kegiatan usaha di bidang otomotif, jasa keuangan, alat berat, pertambangan dan energi, teknologi informasi dan solusi dokumen, agribisnis, serta infrastruktur. Pada tahun 2010 Astra memiliki 153 anak perusahaan dengan 126.000 karyawan. Astra juga menjadi perusahaan berkapitalisasi pasar terbesar di antara 400-an perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesia. Tetapi bukan itu yang menyebabkan banyaknya orang yang turut berduka cita atas berpulangnya Michael Ruslim. Ternyata, banyaknya orang yang berduka cita disebabkan karena selama dipimpin oleh Michael Ruslim, Astra telah membawa banyak maslahat bagi masyarakat di Indonesia. Selain itu, almarhum dikenal sebagai pengusaha yang sangat kuat memegang prinsip dan etika bisnis, sangat memerhatikan karyawan dan mitra bisnis, serta berjiwa sosial. Mengapa kemaslahatan yang dibawakan Astra memberi ‘kekayaan’ kepada Michael Ruslim? Mashlahah berasal dari bahasa Arab. Artinya, kebaikan dan kemanfaatan. Lawan kata maslahah adalah mafsadah, yang berarti kerusakan. Akar kata maslahah adalah al-shalah yang berarti baik dan manfaat. Menurut Imam Ghazali, mashlahah adalah istilah bagi upaya untuk menciptakan kebaikan dan menghindari kemudharatan. Esensi mashlahah adalah kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki Allah untuk hamba-Nya, bukan kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki manusia untuk dirinya sendiri. Karena, manfaat dalam pandangan manusia, belum tentu baik menurut Allah.
54
BERUSAHA UNTUK KAYA
Untuk lebih memahami makna kemaslahatan, para ahli telah memberikan tiga rumusan. Rumusan pertama adalah mashlahah yang diakui, yaitu mashlahah yang keberadaannya telah dijabarkan dalam Kitab Suci dan yang telah diajarkan atau dicontohkan oleh para nabi dan rasul Allah. Rumusan kedua adalah “Nabi Muhammad SAW mashlahah yang dilarang, mengajarkan bahwa yaitu hal-hal yang oleh manusia yang paling baik sebagian manusia dianggap adalah yang paling baik baik atau bermanfaat, tetapi dalam mengembalikan sebenarnya menyalahi pinjaman yang kemaslahatan yang telah diterimanya.” dijabarkan dalam Kitab Suci ataupun ajaran nabi dan rasul. Salah satu contoh adalah firman Allah SWT dalam Kitab Suci (QS 02:219) mengenai khamar (minuman yang memabukkan) dan maysir (mengambil risiko berlebihan atau judi). Telah dinyatakan, bahwa pada keduanya terdapat dosa besar dan manfaat yang sangat sedikit bagi manusia. Dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Jadi, meskipun dalam minuman khamar dan tindakan maysir terdapat beberapa manfaat bagi manusia, tetapi karena dosa yang menyertai keduanya lebih besar, maka manusia dilarang untuk minum khamar, dan melakukan maysir. Sedangkan rumusan ketiga adalah mashlahah yang dibolehkan, yaitu segala hal yang baik dan bermanfaat walaupun tidak dijabarkan secara eksplisit dalam Kitab Suci maupun dalam ajaran nabi dan rasul—baik untuk mewujudkannya, meninggalkannya, atau bahkan mengabaikannya. Misalnya,
55
Iwan P. Pontjowinoto
menentukan suatu mata uang sebagai alat pertukaran nilai yang sah dari suatu negara. Atau, mewajibkan kepada warganegara yang mampu agar ikut memikul beban pembangunan ketika keuangan negara tidak mencukupi. Dalam Kitab Suci ataupun ajaran nabi dan rasul, tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang memerintahkan, menganjurkan, memerhatikan, atau mengabaikan hal-hal yang terkait penentuan mata uang maupun kewajiban warganegara dalam pembangunan.
Hierarki Kemaslahatan Di samping memahami rumusan kemaslahatan, kita juga perlu memahami hierarki kemaslahatan. Dalam Kitab Suci (QS 42:20), Allah SWT menyatakan bahwa barangsiapa menghendaki harsa (keuntungan) di akhirat, maka Tuhan akan menambahkan baginya harsa (keuntungan) di akhirat dan di dunia. Sedangkan bagi yang menghendaki keuntungan di dunia saja, Allah SWT hanya akan memberikan keuntungan di dunia, tanpa bagian keuntungan di akhirat. Padahal, kita faham dan percaya (beriman) bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, sedangkan kehidupan di akhirat adalah kekal. Abadi, selama-lamanya. Dengan demikian, manusia yang hanya menghendaki keuntungan di dunia—yang bersifat sementara, pastilah akan merugi. Tuhan juga telah berfirman dalam Kitab Suci (QS 28:77) agar manusia mencari bagiannya berupa kebahagiaan di akhirat, namun tidak melupakan bagiannya dari kenikmatan duniawi. Firman itu juga menyebutkan bahwa manusia diperintahkan untuk berbuat baik, sebagaimana Allah SWT telah berbuat baik
56
BERUSAHA UNTUK KAYA
kepadanya. Dan, tidak membuat kerusakan di bumi, karena Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Jelaslah bahwa menurut syariah, kemaslahatan yang utama bagi manusia adalah keuntungan atau kebahagiaan di akhirat. Namun pada saat yang sama, manusia juga diperintahkan untuk tidak melupakan bagiannya atas keuntungan atau kenikmatan di dunia. Karena itu, dalam Kitab Suci (QS 02:201), Allah SWT telah menuntun manusia untuk berdoa agar Allah SWT memberi hasanah atau kebaikan di dunia, kebaikan di akhirat, sekaligus meminta agar dijauhkan dari api neraka. Dengan mengacu pada Kitab Suci serta ajaran nabi dan rasul, Ibnu Khaldun menjabarkan hierarki kemaslahatan sebagai berikut: “Hierarki yang paling rendah adalah keuntungan individu, karena manusia memang harus berjuang untuk mencari keuntungan bagi dirinya dan keluarganya. Namun, manusia tidak boleh hanya memikirkan dirinya ataupun keluarganya, karena manusia adalah hamba-hamba Allah yang diperintahkan untuk hidup bermasyarakat. Kumpulan dari keuntungan individu tersebut harus dapat menciptakan keuntungan bersama. Keuntungan berserikat yang sering disebut sebagai keuntungan usaha. Dengan demikian, akan timbul persatuan yang dapat menciptakan sinergi, sehingga keuntungan berserikat atau keuntungan usaha mempunyai hierarki yang lebih tinggi dari keuntungan individu.
57
Iwan P. Pontjowinoto
Selanjutnya, keuntungan berserikat atau keuntungan usaha harus dapat terakumulasi menjadi keuntungan ekonomi bagi masyarakat atau negara. Dengan adanya keuntungan ekonomi, akan tercipta kesejahteraan masyarakat, baik masyarakat yang tergabung dalam suatu usaha maupun masyarakat lainnya. Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, diharapkan akan meningkatkan kemampuan berproduksi, daya beli, dan meningkatnya permintaan akan barang dan jasa. Keuntungan ekonomi dalam suatu negara harus dapat memberikan keuntungan kemanusiaan di dunia. Karena, tujuan dari pengelolaan bumi dan segala isinya oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah menyebar-luaskan rahmat Tuhan bagi seluruh alam. Rahmatan lil alamin.”
Jelas bahwa kekayaan yang kita miliki harus diperoleh dengan cara yang dapat memberikan keuntungan secara bertingkat. Dari keuntungan individu, keuntungan usaha, keuntungan ekonomi, dan puncaknya adalah keuntungan bagi seluruh umat manusia. Memahami Kemaslahatan Sebagai hamba Allah SWT dan khalifah di muka bumi, kita harus menggunakan bagian dari bumi dan segala isinya secara produktif, efektif, efisien, dan berkelanjutan. Semua itu ditujukan untuk menciptakan kemasalahatan yang bisa dinikmati secara adil. Dari generasi ke generasi.
58
BERUSAHA UNTUK KAYA
Kemaslahatan yang utama adalah harsa (keuntungan) dan hasanah (kebaikan) di akhirat, namun kita diperintahkan untuk tidak melupakan hak kita atas kenikmatan di dunia. Hierarki kemasalahatan dimulai dengan keuntungan bagi individu, yang kemudian harus dapat menciptakan keuntungan dalam berserikat, dan menciptakan keuntungan usaha. Kemudian, keuntungan usaha harus terakumulasi menjadi keuntungan ekonomi di suatu negara. Seterusnya, keuntungan ekonomi suatu negara harus menciptakan keuntungan bagi seluruh umat manusia di dunia. Dengan demikian, akan tercipta kemaslahatan dari pusaka Allah SWT yang dikelola manusia, di mana rahmat Allah akan terdistribusikan ke seluruh umat manusia dan seluruh alam. Rahmatan lil alamin.---
Kekayaan dan Keadilan Tidak lama setelah Michael Ruslim meninggal dunia, William Soeryadjaya juga berpulang ke sisi-Nya. Michael Ruslim lama menjadi pimpinan di PT. Astra International Tbk., sedangkan William Soeryadjaya adalah pendiri sekaligus yang pimpinan yang membesarkan perusahan itu. Jelas bahwa William Soeryadjaya adalah orang yang kaya dalam segi harta. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan yang dibesarkannya, Astra International, pada tahun 2009 telah memberikan kemaslahatan kepada karyawan berupa gaji dan upah di sebesar Rp.1,5 triliun, membawa kemaslahatan kepada pemegang saham berupa pertumbuhan aset Rp.9 triliun dan dividen Rp.4,5 triliun, memberi kemaslahatan kepada
59
Iwan P. Pontjowinoto
masyarakat berupa produk dan jasa serta perniagaan senilai Rp. 100 triliun, serta membayar pajak sebesar Rp.4,5 triliun. Menurut Jusuf Kalla, mendiang William Soeryadjaya adalah pengusaha yang selalu menekankan persahabatan, kekeluargaan, kebersamaan, dan harus sama-sama untung. Selain itu, beliau juga sangat terbuka, jujur, dan memegang prinsip dan etika bisnis. Pandai menjaga jarak dengan pemerintah, tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Prinsip bisnisnya menanamkan nilai-nilai agama yang bersifat universal, seperti kejujuran, kerja keras, saling bantu, dan ramah. Tetapi yang paling menonjol adalah ketika Bank Summa— yang dimiliki oleh anaknya—mengalami kesulitan. Ketika, pada 1993, Pemerintah memutuskan untuk menutup Bank Summa, William Soeryadjaya menjual saham Astra yang dimiliknya untuk membayar semua kewajiban Bank Summa kepada nasabahnya. William berpendapat bahwa dalam berbisnis haruslah adil. Ketika untung berhak menikmati hasilnya, tetapi bila rugi harus bertanggung jawab memenuhi semua kewajibannya. Hal serupa diutarakan Arifin Panigoro dalam bukunya, Berbisnis itu (tidak) Mudah. Berlaku adil dengan prinsip pantang ambil rezeki orang lain, transparansi usaha, dan menghormati mitra usaha dan karyawan, telah membuat Arifin Panigoro membesarkan PT. Meta Epsi Pribumi Drilling Company menjadi PT. Medco Energi Internasional Tbk. Tetapi—mirip seperti pengalaman William Soeryadjaya—prinsip “utang mesti dibayar” yang diyakini oleh Arifin Panigoro berdasarkan pengalaman orangtuanya, diterapkan dengan konsisten ketika Medco mengalami masalah keuangan akibat krisis moneter
60
BERUSAHA UNTUK KAYA
1997-1998. Medco terpaksa meminta restrukturisasi utang, dan Arifin terpaksa menjual saham Medco yang dimilikinya. Berbeda dengan William yang tidak berhasil memiliki kembali Astra, hanya dalam waktu 5 tahun, Arifin berhasil membeli lagi saham Medco dan kembali menjadi pemegang saham mayoritas. Baik cerita di atas maupun hierarki kemaslahatan, menunjukkan bahwa harus tercipta keadilan dalam proses penciptaan keuntungan. Dan kekayaan yang maslahat hanya dapat diperoleh melalui keuntungan yang berkeadilan. Jadi, kekayaan haruslah berkeadilan. Adil adalah kata singkat yang mudah diucapkan, tetapi sangat sulit diterapkan. Namun, kita tidak perlu bingung. Apalagi, khawatir. Dalam Kitab Suci (QS 57:25), Allah SWT menyatakan bahwa sesungguhnya Dia telah mengutus para rasul-Nya dengan membawa kejelasan, dan telah diturunkan melalui mereka Kitab Suci dan al-mizan, agar manusia dapat menegakkan keadilan. Dan kepada manusia telah diturunkan pula al-hadiid—yang padanya terdapat kekuatan, dan syadiid— dengan berbagai manfaat bagi manusia. Dalam Kitab Suci (QS 02:143), Tuhan menegaskan bahwa Dia telah menjadikan manusia yang menjadi hamba-Nya sebagai umat pilihan yang adil, agar manusia dapat menjadi saksi atas perbuatan manusia. Allah SWT juga menjadikan rasul sebagai saksi atas perbuatan manusia yang menjadi umat rasul tersebut. Jadi, Tuhan sebenarnya telah memberikan bekal dan kemampuan kepada kita untuk berlaku adil. Namun, apakah kita bisa memakai kemampuan tersebut sesuai petunjuk-Nya? Mengapa kita sering berpendapat bahwa sangat manusiawi untuk rajin
61
Iwan P. Pontjowinoto
menuntut hak, namun lambat dalam menjalankan kewajiban? Padahal, Tuhan telah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dalam mencatat perjanjian atas kewajiban-kewajibannya. Allah SWT memerintahkan—sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci (QS 02-282)—kepada semua orang yang beriman kepada-Nya agar bila melakukan tadaayan (berniaga), di mana seseorang mempunyai kewajiban sampai waktu yang tertentu, dan hendaklah kewajiban tersebut dicatat dengan baik. Untuk itu, harus ditunjuk suatu pihak yang bertindak sebagai kaatib atau penulis (mungkin sekarang disebut sebagai notaris) yang akan mencatat dengan berlaku adil. Tuhan juga telah memerintahkan kepada orang yang mempunyai kewajiban untuk menyatakan kepada penulis atas hak orang yang berhutang. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT, dan janganlah mengurangi kewajiban sedikit pun, baik kecil atau besar, hingga sampai waktunya atau jatuh tempo. Perlu dicatat, Tuhan memberikan pengecualian pada hubungan perniagaan yang tijarotan haadirotan (perniagaan secara tunai), sehingga perniagaan secara tunai tidak perlu dibuat catatan karena tidak ada kewajiban yang belum ditunaikan. Tuhan juga telah menetapkan bahwa manusia harus mengambil keputusan dengan adil bila terjadi perbedaan pendapat. Dalam Kitab Suci (QS 03:58), Allah SWT telah
meminta kepada manusia untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak. Dan, apabila menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah ditetapkan dengan adil. Tuhan telah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada manusia, dan sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
62
BERUSAHA UNTUK KAYA
Keadilan tersebut juga berlaku dalam takaran dan timbangan, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci (QS 07:85), bahwa Nabi Syuaib telah berkata kepada penduduk Madyan untuk menyembah Allah SWT karena tidak ada bagi mereka Tuhan selain dari Dia. Bahwa sesungguhnya telah datang kepada penduduk Madyan bukti yang nyata dari Tuhan. Karena itu takaran dan timbangan harus disempurnakan, dan dilarang mengurangi segala hak manusia. Dan dilarang melakukan kerusakan di bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, karena yang demikian itu lebih baik bagi kaum yang beriman.
Menegakkan Keadilan Sebagai hamba Allah SWT, kita juga harus selalu teguh atau istiqomah dalam menegakkan keadilan. Bahkan dalam menegakkan keadilan terhadap diri sendiri dan keluarga, baik pihak yang kaya maupun yang miskin. Bila kita merasa menjadi orang yang beriman, Allah SWT berfirman dalam Kitab Suci (QS 03:135) agar kita menjadi orang-orang yang menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah SWT, walaupun terhadap diri sendiri, terhadap ibu-bapak, dan terhadap kerabat, baik yang kaya ataupun yang miskin. Sesungguhnya Tuhan lebih dekat dengan ibu-bapak atau kerabat tersebut, sehingga manusia tidak perlu berpihak dalam mengambil keputusan. Tuhan juga melarang manusia mengikuti hawa nafsu untuk tidak berbuat adil. Dan jika menusia memutar-balikkan kebenaran atau enggan berlaku adil, perlu diingat bahwa Allah Maha Mengetahui atas semua yang manusia kerjakan.
63
Iwan P. Pontjowinoto
Dalam suka-duka kehidupan, manusia terkadang masuk dalam suatu golongan. Celakanya, entah karena pengalaman masa lalu atau hal-hal lain, dapat terjadi satu golongan cenderung membenci golongan yang lainnya. Padahal, dalam Kitab Suci (QS 05:8), Allah SWT telah berfirman kepada manusia yang beriman untuk menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena-Nya, dan menjadi saksi dengan adil, walaupun terhadap golongan yang membencinya. Tuhan juga melarang orang-orang yang beriman menjadi berdosa dengan berlaku tidak adil karena kebenciannya terhadap suatu kaum. Tuhan menyuruh manusia berlaku adil, karena berbuat adil lebih dekat dengan takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu yang kita kerjakan. Dalam hidup saat ini, kadangkala kita terpaksa berhubungan dengan orang-orang yang suka berbohong, korupsi, atau memeras. Oleh karena itu, sulit bagi kita untuk menjalankan perintah-Nya. Khususnya karena tahu dengan pasti bahwa orang-orang itu suka berbohong dan mengambil yang haram. Namun, Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci (QS 05:42) bahwa jika orang-orang yang suka berbohong dan banyak mengambil yang haram datang untuk meminta keputusan, maka putuskanlah dengan adil di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka. Allah SWT menjamin, jika manusia berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberikan mudharat sedikit pun, karena sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berlaku adil. Adil juga harus berlaku dalam pinjam-meminjam. Ketika kita memiliki kewajiban mengembalikan pinjaman, syariah
64
BERUSAHA UNTUK KAYA
mewajibkan kita untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa manusia yang paling baik adalah yang paling baik dalam mengembalikan pinjaman yang diterimanya. Akan tetapi, berlaku adil bukan sematamata kewajiban bagi yang meminjam, melainkan juga bagi yang meminjamkan. Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci (QS 02:282) bahwa jika seseorang mempunyai kewajiban (mengembalikan pinjaman) kepada kita dan ia mengalami kesulitan, kita dianjurkan untuk memberi kelonggaran. Dan bila kesulitan berlanjut, maka bila kita sedekahkan sebagian atau seluruh dari kewajiban itu, itu akan lebih baik bagi kita—bila saja kita mengetahuinya. Oleh karena itu, penjadwalan kembali hutang (debtrescheduling), perubahan struktur hutang (debt-restructuring), pengurangan pokok hutang (debt ‘hair-cut’), bahkan penghapusan hutang (write-off) adalah langkah-langkah keadilan bila peminjam terbukti telah bersungguh-sungguh mencoba memenuhi kewajibannya namun takdir berkata lain. Allah Yang Maha Bijaksana akan membela dan melindungi orang-orang yang berlaku adil.
65
Iwan P. Pontjowinoto
Memahami Keadilan Esensi adil adalah penciptaan keseimbangan antara kemaslahatan seseorang dengan kemaslahatan umat. Adil memerlukan keimanan yang tinggi, sehingga kita harus bersedia dan bersungguh-sungguh mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi. Keseimbangan ini adalah prinsip hakiki yang tidak berubah. Sebagai hamba Allah SWT yang telah diangkat menjadi wakil-Nya di dunia, maka prinsip hakiki ini harus didasarkan atas perintah-Nya, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Kitab Suci dan dijabarkan melalui ajaran nabi dan rasul. Kitab Suci (QS 02:278) menyatakan dengan jelas bahwa manusia tidak boleh berlaku zhalim dan tidak boleh pula diperlakukan secara zhalim. Nabi Muhammad SAW juga telah menjabarkan bahwa janganlah merugikan orang lain, dan jangan pula bersedia dirugikan oleh orang lain. Dengan berpegang teguh pada pedoman tersebut, insya Allah manusia dapat menempuh jalan yang adil.---
66
Mengelola Kekayaan Sewaktu bekerja di Lippo Bank, Bank Papan Sejahtera, dan Danareksa, saya melihat banyak orang yang mendadak jadi kaya raya karena melakukan kegiatan usaha di pasar modal. Namun, saya juga mengetahui banyak orang yang sekonyong-konyong jatuh miskin karena pasar modal.
Di masa lalu, saya juga mengenal beberapa orang yang mempunyai harta berlimpah, rumah di mana-mana, mobil mewah dan berbagai ”tanda-tanda” kekayaan lainnya. Namun pada hari tuanya, mereka terpaksa hidup sangat sederhana karena hartanya sudah habis terpakai—baik untuk hidup, maupun karena kegagalan dalam berbisnis atau berinvestasi. Guru saya pernah mengajarkan bahwa kita perlu mengenal hubungan antara hasil yang kita peroleh dengan sebab utama kita memperoleh hasil tersebut. Karena kriteria ”kaya” atau ”belum kaya” tergantung pada kemampuan kita memahami bagaimana seharusnya mengelola hasil yang kita peroleh secara optimal. 67
Iwan P. Pontjowinoto
Hidup hanya sementara, dan masa produktif dalam hidup kita ”lebih sementara” lagi. Lantas, bagaimana cara mengelola balasan yang telah diberikan Allah SWT kepada kita? Itulah sebabnya setelah putri saya yang pertama, Prita Hapsari, lulus dari Fakultas Ekonomi UI dan kuliah S2 di Sydney, saya anjurkan untuk mengambil keahlian financial planning. Tujuannya jelas, agar dia bisa membantu orangtuanya dan orang-orang lain yang membutuhkan jalan untuk mengelola kekayaan yang telah diamanahkan kepada mereka. Sehingga bisa menolong orang untuk hidup lebih bahagia di hari tua. Dan mudah-mudahan diterima oleh Allah SWT sebagai amal yang saleh.
”Sebaik-baik manusia adalah mereka yang senantiasa ber-zikir dan banyak-banyak mengingat Allah SWT.”
Rezeki adalah Modal Ibadah Walaupun telah mendapat gelar doktor, saya merasa bahwa saya tidak mempunyai kecerdasan, pengetahuan, dan kemampuan yang memadai untuk memahami ukuran kesempurnaan dari balasan yang diberikan Tuhan atas segala jerih payah saya. Sehingga bila cakupan, besaran, serta waktu dan lama balasan yang ditentukan oleh Allah SWT ternyata melebihi dari yang saya harapkan, saya akan merasa beruntung. Sedangkan bila balasan tersebut tidak sesuai dengan harapan, baik dari segi cakupan, besaran, waktu dan lama balasan yang diterima, maka sering kali saya merasa kecewa, merasa tidak beruntung, bahkan merasa diperlakukan secara tidak adil.
68
MENGELOLA KEKAYAAN
Padahal, sebagai orang yang beriman, seharusnya saya yakin bahwa segala sesuatu yang saya peroleh adalah balasan yang sempurna atas usaha saya sendiri. Melalui firman-Nya, dalam Kitab Suci (QS 02:172), Allah SWT memerintahkan kepada semua orang yang beriman untuk hanya mengambil yang thoyib (baik). Jika itu diwujudkan, Allah SWT akan memberikan rezeki kepada mereka. Manusia juga diperintahkan untuk bersyukur, berterima kasih kepada-Nya, karena hanya kepada-Nya mereka mengabdi. Maka, sebaik-baik manusia adalah mereka yang senantiasa ber-zikir dan banyakbanyak mengingat Allah SWT Melalui firman-Nya dalam Kitab Suci (QS 61:10), diperintahkan juga kepada manusia untuk bertebaran di muka bumi setelah selesai menjalankan ibadah salat Jumat, guna mencari fadhillah atau kelebihan dari Allah SWT Meskipun sesungguhnya manusia tidak akan memperoleh kecuali apa yang diusahakannya, tetapi karena Allah Mahakaya dan Mahakuasa, maka Dia dapat memberikan tambahan balasan kepada manusia sesuai kehendak-Nya. Oleh karena itu, dalam Kitab Suci (QS 14:07), Allah SWT telah menyampaikan bahwa
jika manusia bersyukur atau berterima kasih atas nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya, maka Dia akan menambahkan nikmat-Nya. Namun, jika manusia mengingkari bahwa nikmat itu berasal dari-Nya, sesungguhnya Allah SWT akan menurunkan azab-Nya yang sangat pedih. Jadi, sebenarnya Tuhan telah memudahkan manusia dalam mendapat rezeki, dalam mendapat balasan yang menyenangkan dari-Nya. Manusia diperintahkan untuk mengabdi kepadaNya karena manusia memang diciptakan sebagai abdi-Nya.
69
Iwan P. Pontjowinoto
Kemudian, diperintahkan untuk selalu mengingat-Nya. Dan ketika sudah menerima nikmat, manusia diperintahkan untuk berterima kasih atas semua yang telah diperoleh. Bila hal itu dilakukan, Allah SWT berjanji akan memberikan tambahan balasan yang menyenangkan, tambahan rezeki dari arah yang tak terduga. Di samping sematamata hidup untuk mengabdi kepada Tuhan, selalu ingat kepada-Nya, dan berterima kasih atas segala balasan dari-Nya, manusia juga diingatkan untuk menggunakan rezeki yang diterimanya untuk kebaikan. Dalam Kitab Suci (QS 24:22), telah diperingatkan kepada orang-orang yang mempunyai fadhil (kelebihan) dan sa’at (kelapangan) agar jangan bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabatnya, kepada orangorang miskin, maupun kepada orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Bila orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan itu memberi bantuan, maka dosa mereka akan diampuni. Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
”Di dalam rezeki yang dilimpahkan kepada manusia, terdapat hak untuk orang lain yang dititipkan kepada manusia, hak dirinya dan anak keturunannya serta masa depannya, dan juga hak untuk masyarakat.”
Secara logika, memberi akan mengurangi apa yang telah manusia miliki. Akan tetapi, apabila memberi secara ikhlas kepada yang berhak, milik Anda bukannya susut atau berkurang, malah semakin bertambah. Karena dengan memberi secara
70
MENGELOLA KEKAYAAN
ikhlas, maka berarti Anda telah bersyukur dan karena itu Tuhan akan memberi tambahan. Tuhan juga menyatakan bahwa tindakan manusia untuk memberikan bantuan kepada manusia lainnya yang memerlukan, dipandang sebagai memberi pinjaman kepada-Nya.
Tuhan adalah penerima pinjaman yang paling baik, dan akan mengembalikan pinjaman dengan balasan-Nya yang berlipat ganda. Allah SWT menyatakan, sebagaimana tertera dalam Kitab Suci (QS 02:245), barangsiapa memberi pinjaman kepadaNya—dengan pinjaman untuk kebaikan, maka Dia akan melipatgandakan pengembalian pinjaman tersebut dengan adh’aafan—dengan berlipat ganda. Masih dalam kutipan firmanNya di atas, ditegaskan pula bahwa Dia dapat menyempitkan atau melapangkan rezeki seseorang, dan kemudian mengingatkan manusia bahwa hanya kepada-Nya manusia akan kembali. Namun, jika manusia yang telah menerima rezeki ternyata tidak mengikuti ketentuan-Nya, bahkan bermewah-mewahan dengan rezeki yang dititipkan kepada mereka, maka Allah SWT akan menghukum mereka. Hal ini ditegaskan melalui firmanNya dalam Kitab Suci (QS 17:16), yang menyatakan bahwa diperintahkan kepada orang-orang yang bermewah-mewah dalam suatu negeri untuk taat kepada-Nya. Tetapi bila mereka durhaka dan tidak mengikuti perintah-Nya, maka atas mereka akan berlaku hukum-Nya. Allah SWT akan menghancurkan negeri itu dengan sehancur-hancurnya. Mengenai rezeki, Nabi Muhammad SAW telah memberikan banyak pelajaran kepada manusia, baik dalam bentuk perbuatan, nasihat, ataupun pernyataan.
71
Iwan P. Pontjowinoto
“Yang terbaik di antara manusia ialah mereka yang tidak meninggalkan dunia untuk akhirat, dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunia, dan juga tidak menjadi beban bagi orang lain.” “Manusia dianjurkan untuk bekerja guna mendapatkan balasan di dunia seolah-olah mereka akan hidup selamalamanya dan untuk beribadat guna mendapat pahala di akhirat seolah-olah mereka akan mati esok hari.” “Dalam bekerja maupun beribadat, manusia harus mengupayakan agar segala yang mereka kerjakan hari ini lebih baik dari hari-hari yang lalu, dan agar apa pun yang mereka kerjakan hari esok lebih baik dari hari ini.”
Kekayaan = Rezeki Tuhan Yang Mahakuasa pasti akan memberi balasan yang sempurna atas semua usaha kita. Baik berupa balasan di dunia (ujroh), balasan di akhirat (ajrun), dan tambahan (fadillah), maupun rahmat tanda kasih dari Allah SWT Bila balasan dari-Nya melebihi harapan, maka kita akan merasa senang dan menerimanya sebagai rezeki. Namun, bila balasan tersebut tidak sesuai dengan harapan, kita dapat tergoda untuk merasa kecewa, bahkan tidak bersyukur atas balasan yang telah diperoleh. Bila kita bersyukur, Allah SWT berjanji akan memberi tambahan balasan yang mungkin akan memenuhi, bahkan melebihi harapan kita. Tuhan telah memberikan kemudahan bagi kita agar dapat menerima rezeki, yaitu cukup dengan bersungguh-sungguh mengabdi kepada-Nya, selalu ingat, dan bersyukur atas semua rezeki yang dilimpahkan-Nya.---
72
MENGELOLA KEKAYAAN
Kekayaan adalah Amanah Kekayaan yang kita terima sebenarnya adalah amanah yang harus digunakan atau dinafkahkan sesuai dengan ketentuan-Nya. Nabi Muhammad SAW mengajarkan: “Setiap manusia akan ditanya tentang hartanya, dengan cara apa dia memperolehnya dan bagaimana dia menafkahkannya.” “Harta yang sedikit tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan adalah lebih baik daripada harta yang banyak tetapi dapat menyesatkan manusia.” “Manusia yang kuat lebih baik daripada manusia yang lemah, karena bila diperlukan oleh orang lain akan dapat berguna, dan bila tidak diperlukan oleh orang lain, setidaknya ia dapat mengurus dirinya sendiri.”
Amanah I: Hak Orang Lain Pertama-tama, yang perlu diingat bahwa di dalam kekayaan yang diberikan Allah SWT kepada kita terdapat bagian yang wajib dinafkahkan kepada orang lain. Sebagaimana firman-Nya dalam Kitab Suci (QS 57:07, 51:19, 70:2425), kita diperintahkan untuk percaya atau beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Karena itu, kita diperintahkan untuk menafkahkan apa pun yang Allah SWT jadikan kita menguasainya.
73
Iwan P. Pontjowinoto
Allah SWT juga berjanji bahwa kepada orang-orang yang beriman dan menafkahkan sebagian hartanya akan mendapat pahala (ajrun) yang besar. Mengapa demikian? Karena telah dinyatakan bahwa di dalam harta mereka terdapat hak tertentu untuk orang miskin atau kekurangan, baik yang meminta maupun yang tidak meminta. Di dalam harta yang diterima oleh manusia, terdapat hakhak orang lain yang dititipkan kepadanya. Hak-hak tertentu yang merupakan ”bagian” dari orang lain yang diberikan melalui manusia itu harus diserahkan kepada yang berhak. Dengan menafkahkan sebagian ”kelebihan” kepada orang yang berhak, maka harta yang dikaruniakan kepadanya telah dibersihkan dari bagian yang bukan haknya. Allah SWT juga memberikan petunjuk mengenai cara menafkahkan kelebihan yang telah diberikan kepada kita. Salah satu petunjuk itu terdapat dalam Kitab Suci (QS 02:219, 02:267). Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa yang perlu dinafkahkan oleh orang-orang yang mendapat kelebihan dan kelapangan adalah dari apa yang menjadi kelebihan dari keperluan. Petunjuk sederhana ini diberikan kepada manusia sebagai keterangan atas ayat-ayat-Nya, supaya manusia mau berpikir. Petunjuk lain terdapat pada firman Allah SWT, (QS 02:267), yang menyatakan kepada orang-orang yang beriman agar menafkahkan bagian yang baik dari apa yang mereka usahakan dan dari apa yang telah dikeluarkan untuk mereka dari bumi. Allah SWT juga memperingatkan agar dalam menafkahkan, mereka tidak memilih yang buruk-buruk dari apa yang mereka peroleh. Apalagi, hanya karena mereka tidak
74
MENGELOLA KEKAYAAN
mau mengambil, bahkan tidak mau melihat yang buruk-buruk itu. Tuhan telah menegaskan bahwa Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Amanah II: Hak Hidup Masa Kini Setelah membersihkan kekayaan kita dari hak orang lain dengan mengeluarkan zakat, infaq dan sedekah, maka bagian kedua adalah hak hidup masa kini. Tuhan telah berfirman agar manusia mencari kebahagiaan di akhirat, namun diperintahkan untuk tidak melupakan haknya untuk memperoleh kenikmatan duniawi. Guna memperoleh kenikmatan duniawi, manusia diperintahkan berbuat baik dan dilarang berbuat kerusakan. Baik kerusakan atas dunia, makhluk, orang lain, maupun diri sendiri. Allah SWT telah menyatakan bahwa tidak semua manusia akan memperoleh rezeki yang banyak. Pada saat yang sama, juga diingatkan bahwa Tuhan tidak akan memikulkan beban melebihi kemampuan seseorang. Allah SWT juga mengisyaratkan bahwa setelah setiap satu kesukaran, akan diberikan banyak kemudahan, bila manusia mau mengikuti perintah-Nya. Dalam Kitab Suci (QS 65:07), Allah SWT berfirman bahwa orang yang mempunyai keleluasaan diperintahkan untuk menafkahkan dari kemampuannya. Sementara, bagi orang yang disempitkan rezekinya, maka hendaklah memberi nafkah dari rezeki yang diberikan kepadanya. Kemudian, ditegaskan bahwa Tuhan tidak memikulkan beban kepada seseorang kecuali menurut apa yang Dia berikan padanya, dan berjanji akan menjadikan banyak kemudahan sesudah
setiap satu kesukaran.
75
Iwan P. Pontjowinoto
Amanah III: Hak Masa Sulit Dalam kehidupan manusia selalu terdapat masa senang dan masa sulit. Karena itulah, Allah SWT menyatakan bahwa manusia yang baik adalah mereka yang dalam menafkahkan hartanya tidak berlebih-lebihan, namun juga tidak kikir. Manusia yang baik akan berlaku di antara keduanya, yaitu menafkahkan lebih banyak dari yang kikir, tetapi menafkahkan lebih
sedikit dari yang berlebih-lebihan. Allah SWT juga memperingatkan agar janganlah orangorang bakhil (kikir) dari kelebihan yang telah diberikan kepadanya. Jangan pula mereka mengira bahwa hal itu adalah baik bagi mereka, karena bakhil itu sebenarnya buruk bagi mereka. Allah SWT menegaskan bahwa sebenarnya semua yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan-Nya yang dipusakakan kepada manusia. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang manusia kerjakan (QS 03:180). Dia juga melarang manusia untuk tubazzir (menyia-nyiakan) harta mereka dengan boros, karena sesungguhnya orang-orang yang mubazzirin (menyia-nyiakan) adalah teman setan (QS 17:27). Nabi Muhammad SAW juga telah mengingatkan bahwa Allah SWT akan memberikan rahmat kepada manusia yang membelanjakan harta dengan hemat, serta menyisihkan kelebihan untuk menghadapi hari kefakiran.
Amanah IV: Hak Masa Depan Allah SWT telah memberi pelajaran mengenai menghadapi masa depan, salah satunya melalui kisah Nabi Yusuf yang bermimpi tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk
76
MENGELOLA KEKAYAAN
dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus. Dalam mimpi tersebut, Nabi Yusuf juga memegang tujuh bulir gandum yang hijau dan tujuh bulir gandum kering (QS 12:46-48). Mimpi itu ditafsirkan oleh Nabi Yusuf sebagai perintah untuk menyimpan kelebihan dari tujuh masa panen yang sangat baik untuk digunakan pada tujuh masa yang sulit. Penafsiran itu memberi ilham kepada Nabi Yusuf untuk melakukan persiapan agar di akhir masa-masa sulit mereka masih mempunyai sedikit simpanan hasil panen untuk memulai kembali kehidupan mereka. Yang menarik, jumlah masa panen dan masa sulit dalam pelajaran ini adalah tujuh, bukan enam atau lima atau bahkan tiga. Hal ini bukan kebetulan, melainkan untuk menegaskan bahwa walaupun terjadi berulang-ulang, tidak ada jaminan bahwa hal itu akan berkelanjutan. Setelah sesuatu yang baik terjadi untuk pertama kali, umumnya kita akan sangat bersyukur. Bila terjadi kedua kalinya, biasanya kita tetap bersyukur. Setelah terjadi secara terus menerus, apalagi sampai lebih dari lima kali, kita dapat tergoda untuk merasa bahwa hal yang baik itu terjadi semata-mata karena usaha kita sendiri. Buktinya setiap kita berusaha, kita berhasil. Akibatnya, kita bisa ingkar bahwa hasil tersebut sebenarnya adalah nikmat Tuhan. Pelajaran lain dari kisah Nabi Yusuf di atas adalah menyerukan kepada orang-orang yang beriman agar bertakwa kepada-Nya, dan hendaklah setiap manusia memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS 59:18). Pelajaran-pelajaran di atas mengarahkan manusia untuk
menyimpan sebagian dari rezeki masa kini untuk
77
Iwan P. Pontjowinoto
kehidupan masa depan, baik masa depan untuk diri sendiri maupun masa depan keluarga dan keturunannya. Nabi Muhammad SAW juga telah menyatakan bahwa: “Adalah lebih baik kamu meninggalkan keturunanmu dalam keadaan sehat dan kaya daripada meninggalkannya dalam keadaan miskin sehingga harus memintaminta.”
Amanah V: Hak Masyarakat Di dalam rezeki yang dilimpahkan kepada manusia, terdapat hak untuk orang lain yang dititipkan kepada manusia, hak dirinya dan anak keturunannya serta masa depannya, dan juga hak untuk masyarakat. Karena itu, kelebihan rezeki dan harta harus digunakan untuk kegiatan produktif, sehingga dapat menyebar-luaskan kemasalahatan bagi masyarakat. Contohnya adalah pada harta emas dan perak. Pada masa Nabi Muhammad SAW, uang dibuat dari emas dan perak. Hal itu terutama disebabkan, pada masa itu, hubungan perdagangan dan hubungan informasi masih sangat terbatas oleh kondisi fisik. Sementara itu, menurut syariah, Pemerintah harus menetapkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dan harus menjamin nilai dari uang tersebut. Karena itu, jaminan nilai yang terbaik pada saat itu adalah jaminan intrinsik pada materi uang itu sendiri. Fungsi utama dari emas dan perak pada saat itu adalah sebagai uang. Sehingga bila ada manusia yang menyimpan
78
MENGELOLA KEKAYAAN
atau mengumpulkan emas dan perak, maka berarti manusia tersebut menimbun uang. Tindakan ini menimbulkan dampak berkurangnya jumlah uang dalam peredaran, sehingga mengurangi kemungkinan masyarakat melakukan transaksi perniagaan. Tindakan menimbun emas dan perak dianggap perilaku asosial. Allah SWT berfirman bahwa orang-orang yang menyembunyikan, atau tidak menggunakan emas dan perak di jalan Allah, maka mereka akan menerima azab yang paling menyiksa (QS 09:34). Rezeki dari Allah SWT dapat pula dilimpahkan melalui kegiatan usaha manusia dalam bentuk keuntungan berusaha. Dalam menjalankan usaha, manusia dianjurkan untuk bekerja sama dengan manusia lain, baik dalam bentuk perserikatan maupun dengan mempekerjakan manusia lain. Melalui firman-Nya dalam Kitab Suci (QS 16:71) telah diingatkan bahwa Allah SWT melebihkan sebagian dari manusia atas sebagian yang lain. Bagi orang-orang yang memperoleh “kelebihan” juga telah diingatkan agar memberi rezeki kepada orang-orang yang bekerja padanya. Apabila mereka tidak mau melakukan hal itu, maka mereka telah mengingkari nikmat-Nya, dan akan menerima azab yang sangat pedih.
79
Iwan P. Pontjowinoto
Mengelola Kekayaan Kekayaan yang dilimpahkan kepada kita bukanlah semata-mata untuk diri kita sendiri. Dalam kekayaan juga terdapat amanah berupa hak pihak lain yang diberikan melalui manusia kita. Amanah tersebut adalah amanah untuk orang lain, untuk masa kini, untuk masa sulit, untuk masa depan, serta amanah untuk masyarakat yang harus dikelola. Pertama, hal yang penting dilakukan dalam mengelola harta adalah membersihkan harta dengan mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah. Kedua, menafkahkan harta untuk hidup masa kini sesuai dengan keleluasaan atau kesempitan, serta tidak melupakan hak atas kenikmatan yang halal di dunia. Ketiga, membelanjakan harta dengan hemat dan menyisihkan kelebihan untuk masa-masa sulit. Keempat, mempersiapkan untuk masa depan agar dapat hidup bahagia setelah tidak produktif, serta dapat meninggalkan keturunan dalam keadaan sehat dan kaya. Kelima, atau yang terakhir, mengembangkan harta untuk meningkatkan penyebarluasan kemaslahatan bagi masyarakat.---
80
Kaya Secara Halal dan Thoyib Pada 1984, saya bekerja di IBM Asia Corporation yang
berlokasi di Hongkong. Waktu itu, saya bekerja sebagai Program Manager untuk Market Research dengan tim yang terdiri dari 5 orang, masing-masing dari Malaysia, Taiwan, Philippines, Hongkong, dan saya dari Indonesia. Sebagai seorang Muslim, saya tidak boleh makan makanan yang mengandung babi. Teman saya dari Malaysia adalah keturunan India yang tidak makan daging sapi. Sisanya ada yang alergi seafood, ada yang tidak suka makan sayuran, ada juga yang tidak doyan ayam. Kami berlima kompak sekali dan sering makan bersama. Masalahnya adalah bagaimana cara kami memesan makanan agar semua dapat menikmatinya dengan adil. Saya telah menceritakan masalah ini dalam berbagai kesempatan, dan tentunya menanyakan tentang makanan apa yang dapat kami pesan agar semua dapat menikmati dengan adil. Ada yang menyarankan memesan masakan daging kambing, ada
81
Iwan P. Pontjowinoto
yang menyarankan pesan bakmi atau burung dara (mungkin karena di Hongkong), dan sebagainya. Tetapi bukan itu yang kami lakukan.
“Di samping menghindari hal-hal yang secara dzat adalah syubhat atau haram, cara memperolehnya juga tidak boleh melalui cara yang dilarang oleh Allah SWT.”
Kami selalu berusaha memesan 1 masakan dengan daging babi, 1 masakan daging sapi, 1 masakan ayam, 1 seafood, dan 1 sayuran. Dengan demikian semua dapat menikmati 4 dari 5 masakan yang kami pesan. Adil, bukan?
Untuk makanan, halal atau haram adalah menurut keyakinan masing-masing. Tetapi menurut hemat saya, halal atau haram untuk hasil usaha atau kegiatan keuangan akan berlaku secara universal. Mengapa? Karena hasil usaha yang halal pasti akan membawa kemaslahatan. Anda tidak sependapat? Silakan baca lebih lanjut.
Mengapa Hanya yang Halal dan Thoyib Dalam melakukan kegiatan ekonomi untuk mencapai hasil tertentu, baik berupa keuntungan ataupun hasil-hasil lainnya, manusia tetap harus mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT Dalam hal kegiatan ekonomi, Allah SWT berfirman dalam Kitab Suci (QS 02:168), yang menyatakan agar manusia hanya mengambil dari bumi apa saja yang halal dan thoyib, serta agar manusia tidak mengikuti jalan-jalan setan
82
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. Jadi, jelas bahwa Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk hanya mengambil yang halal dan thoyib dari bumi dan segala isinya. Lebih lanjut, Allah SWT menyatakan bahwa bila tidak mengikuti perintah ini, berarti manusia telah mengikuti jalan-jalan setan, musuh nyata bagi manusia. Sekarang, bagaimana cara memilih yang halal dan membedakannya dengan yang tidak halal? Perihal yang halal, Nabi Muhammad SAW telah memberikan pelajaran yang sangat jelas melalui sabda-sabdanya. “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan sesungguhnya yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat yang tidak diketahui banyak orang. Maka, bila takut (maksudnya: menghindar dari) pada syubhat, maka ia terbebas dari kecaman atas pribadinya dan agamanya. Dan barangsiapa yang jatuh ke dalam syubhat, maka ia akan jatuh pada yang haram. Seperti roin (gembala/pemimpin) yang memimpin di sekitar batas daerah syubhat, dapat diduga akan jatuh ke dalam daerah syubhat dan oleh karenanya akan jatuh ke dalam daerah yang haram. Ingat! Sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada sebuah gumpalan, apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh, gumpalan itu adalah hati.”
83
Iwan P. Pontjowinoto
Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa sesungguhnya yang halal maupun yang haram itu jelas. Dan, di antara yang halal dan yang haram, terdapat hal-hal yang syubhat yang tidak diketahui banyak orang. Manusia sebaiknya menghindar dari yang syubhat, karena hampir dipastikan ia akan jatuh kepada yang haram. Jadi, bukan hanya harus meninggalkan yang haram, tetapi juga harus menghindari yang syubhat, yang meragukan. Karena wajib menghindari yang syubhat, berarti manusia harus pula meninggalkan hal yang lebih besar mudharatnya dibandingkan dengan manfaatnya, lebih besar potensi ruginya dibandingkan peluang untungnya. Allah SWT juga memerintahkan kepada manusia agar jangan saling mengambil harta di antara manusia dengan jalan atau cara yang batil. Dia pun melarang manusia untuk membawa urusan harta kepada hakim dengan maksud agar dapat mengambil harta dari orang lain dengan jalan berbuat dosa, yaitu jalan yang dilarang Allah SWT, padahal mereka mengetahui bahwa jalan itu dilarang (QS 02:188). Berarti, di samping menghindari hal-hal yang secara zat adalah syubhat atau haram, cara memperolehnya juga tidak boleh melalui cara yang dilarang oleh Allah SWT
“Nabi Muhammad SAW mengajarkan melakukan transaksi pada harga pasar yang wajar. Berapa pun harga yang terjadi, transaksi akan saling ridha karena penjual-pembeli sepakat bertransaksi setelah mengetahui harga pasar yang wajar.”
84
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
Setelah membahas cara membedakan yang halal dari yang haram serta yang syubhat, maka perlu dibahas bagaimana cara memilih yang halal dan juga thoyib. Sebelum mengetahui cara memilih yang thoyib, tentunya perlu dipahami apa itu thoyib? Ternyata, Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci (QS 07:157) bahwa Nabi telah diperintahkan Allah SWT untuk menyuruh manusia mengerjakan yang ma’ruf dan melarang yang munkar, serta menghalalkan bagi manusia hal-hal yang thoyib dan mengharamkan atas manusia hal-hal yang khobaais. Dalam bahasa Arab, kata thoyib secara umum berarti baik. Tetapi apakah hanya sekadar baik? Karena sebagaimana halnya kata ridha, kata thoyib membawa pengertian yang berkaitan dengan perasaan dan kesungguhan hati. Dari firman tersebut dapat kita perkirakan bahwa hal-hal yang thoyib tentunya akan ma’ruf, tidak akan munkar dan bukan khobaais. Ma’ruf maksudnya adalah arif, bijak, dan oleh karenanya menjadi benar. Munkar berarti ingkar terhadap ketentuan dan perintah Allah, dan karenanya tidak benar atau bahkan merusak. Sedangkan khobaais artinya buruk atau rusak. Oleh karena
itu, istilah thoyib mempunyai pengertian akan hal-hal yang dilakukan secara arif dan bijaksana, tidak ingkar terhadap ketentuan dan perintah Allah, tidak merusak, serta tidak buruk. Sehingga thoyib sejalan dengan arif, bijak, benar, dan membawa kebaikan. Jadi, Allah SWT menghendaki dalam mengelola bumi dan segala isinya, serta dalam menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan sesamanya, hamba-hamba-Nya
85
Iwan P. Pontjowinoto
melakukannya dengan arif dan bijaksana sehingga menghasilkan hal-hal yang benar serta membawa kebaikan.
Syarat Kehalalan Maka, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang harus dipenuhi untuk mencapai kehalalan, yaitu kehalalan dari zat atau barangnya, kehalalan dari cara perolehannya, dan kehalalan dari cara penggunaannya. Untuk kehalalan zat-nya, contoh yang paling lazim adalah minuman, makanan, atau obat-obat yang dalam jumlah atau kadar tertentu akan memabukkan. Minuman atau makanan tersebut bisa membuat manusia kehilangan kesadaran. Dan dalam keadaan tidak sadar, manusia dapat saja melakukan halhal yang tidak baik, yang dalam keadaan sadar tidak mungkin dilakukannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa barang-barang yang halal secara zat adalah barang-barang yang bermanfaat, tidak membawa mudharat, serta memenuhi ketentuan Allah SWT dan tidak dilarang untuk dimiliki, dipakai, atau dikonsumsi. Kemudian, walaupun sudah pasti kehalalan atas zatnya, juga harus dipastikan kehalalan dari cara perolehan dan tidak boleh melanggar ketentuan Allah SWT Karena bila diperoleh dengan cara-cara yang batil—seperti mencuri, menipu, korupsi, dan semacamnya, barang yang halal secara zat jadi haram bagi yang memperolehnya serta bagi keluarganya. Secara zat, uang itu halal, Namun bila diperoleh melalui transaksi secara riba akan menjadi haram. Jadi, secara umum dapat disimpulkan bahwa di samping kehalalan dari zat, harus pula dipastikan kehalalan
86
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
dari cara perolehan, yaitu cara yang tidak bathil, tidak curang, tidak zhalim, atau tidak merugikan orang lain. Akhirnya, kehalalan cara pemakaian, karena barang yang secara zat dan cara perolehan dapat diyakini kehalalannya hanya boleh digunakan untuk hal-hal yang tidak bertentangan dengan perintah Allah SWT Karena bila digunakan untuk berbuat zhalim, untuk merusak milik sendiri maupun milik orang lain, untuk membunuh, atau tujuan lain yang tergolong dosa, maka zat yang halal dan telah diperoleh dengan cara yang halal akan menjadi haram. Contohnya, beberapa jenis obat yang tergolong penghilang rasa sakit atau narkotika, bila digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada korban kecelakaan adalah halal. Namun bila disalahgunakan untuk menghilangkan kesadaran dari orang yang tidak sakit akan menjadi haram. Prinsip Kehalalan Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat. Dengan mempunyai hati yang baik, maka yang halal, yang haram, maupun yang syubhat dapat kita lihat dengan jelas. Kehalalan harus memenuhi kehalalan dari zatnya, dari cara perolehannya, dan dari cara penggunaannya. Esensi dari kehalalan adalah memberikan manfaat dan menghindari mudarat bagi manusia, sehingga akan menghilangkan kebathilan, kecurangan, ke-zhalim-an, dan kerugian. Karena itu, perintah Allah SWT untuk hanya mengambil yang halal serta menghindari yang haram maupun syubhat, pada hakikatnya adalah dalam rangka menyebarluaskan kemaslahatan bagi umat manusia.---
87
Iwan P. Pontjowinoto
Syarat Thoyib Allah SWT telah berfirman kepada orang-orang yang beriman untuk tidak saling mengambil harta di antara manusia dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara saling ridha di antara manusia. Kemudian Allah SWT menegaskan agar manusia tidak mematikan dirinya sendiri, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada manusia (QS 04:29). Dari firman ini dapat dipahami bahwa hal yang halal dan thoyib tentu tidak diperoleh dengan cara yang batil, melainkan dengan jalan perniagaan yang berlaku secara saling ridha. Perniagaan yang baik tentunya yang saling memberi manfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam perniagaan tersebut. Sedangkan yang dapat diperoleh dengan saling ridha berarti keputusan diambil dengan hati yang ikhlas. Dengan demikian, tentunya para pihak tidak berlaku zhalim dan juga tidak mau diperlakukan secara zhalim. Sementara bila diperoleh dengan cara yang batil, sama saja seperti manusia membunuh dirinya sendiri. Kemudian di samping berfirman agar manusia tidak mengambil harta sesamanya dengan cara yang batil, Allah SWT juga telah berfirman agar manusia tidak mengambil harta dari orang lain dengan jalan berbuat dosa, yaitu jalan yang dilarang Allah SWT (QS 02:188). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang halal dan thoyib tidak mungkin diperoleh dengan jalan berbuat dosa. Dengan kata lain, hal-hal yang halal dan thoyib hanya akan diperoleh melalui jalan-jalan yang tidak melanggar ketentuan
88
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
Allah SWT Dalam hal ini, dapat dikaji pendapat yang disampaikan oleh para pakar bahwa kaidah yang digunakan dalam melakukan ibadah vertikal ke hadirat Allah SWT adalah, “Semuanya tidak boleh kecuali yang telah diperintahkan Allah SWT”. Sedangkan kaidah dalam melakukan ibadah horizontal melalui hubungan antarmanusia adalah, “Semuanya boleh kecuali yang telah dilarang Allah SWT”. Perintah-Nya disampaikan melalui firman-Nya, pelajaran dari nabi dan rasulNya, maupun disampaikan melalui ilham. Prinsip Ke-thoyib-an Thoyib terkait dengan kehalusan hati dan memiliki nilai yang lebih tinggi dari baik. Karena selain baik, yang thoyib juga memenuhi aspek menunjang yang ma’ruf, menghindari yang munkar, bersikap ramah dengan lembut dan murah hati, serta saling ridha dan saling memberi manfaat. Sikap ramah, lembut dan murah hati membuat hubungan menjadi semakin baik dan menunjang saling ridha. Kondisi saling ridha mengakibatkan para pihak yang terkait akan ikhlas menerima hasil yang diberikan. Karena ikhlas, maka akan saling memberi manfaat dan para pihak yang terkait merasa diperlakukan secara adil. Sehingga segala yang thoyib itu akan memberikan kepuasan lahir dan bathin, baik di dunia maupun kelak di akhirat.---
89
Iwan P. Pontjowinoto
Jurus Halal 1: Kurma dan Uang Salah satu pelajaran yang menarik dari Nabi Muhammad SAW tentang halal-haram adalah hadis yang saya sebut sebagai hadis kurma. Abu Said mengatakan bahwa suatu hari Bilal datang menghadap Rasulullah SAW dengan membawa kurma yang baik. Beliau bertanya, “Dari mana engkau mendapat kurma ini?” Bilal menjawab, “Kami mempunyai kurma yang bermutu rendah, karena itu kami berikan 2 keranjang kurma tersebut untuk ditukar dengan 1 keranjang kurma yang baik ini, dengan maksud untuk dihadiahkan kepada Rasulullah”. Setelah mendengar penjelasan itu Beliau bersabda, “Ini jelas riba. Jangan ulangi perbuatan ini. Jika kamu menginginkan kurma yang bermutu baik, pertama-tama engkau jual kurma yang bermutu rendah itu, lalu dengan hasil penjualannya engkau beli kurma yang berkualitas baik.” Bilal dikenal sebagai orang yang jujur dan baik. Pastilah Bilal hanya akan berhubungan dengan orang-orang yang jujur dan baik. Apalagi bila terkait dengan kurma yang hendak ia hadiahkan kepada Rasulullah SAW Oleh karena itu, tentunya mereka akan bertransaksi dengan jujur dan saling ridha. Termasuk dalam hal tukar-menukar kurma. “Akan tetapi, mengapa Nabi Muhammad SAW melarangnya?” “Apa yang berbeda bila kurma tersebut dijual terlebih dahulu ke pasar?” “Apa perbedaan antara membeli kurma di pasar dengan menukar kurma?”
90
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
Pedagang kurma di pasar adalah orang-orang yang seharihari melakukan jual-beli kurma. Sepatutnya mereka paham betul jenis-jenis kurma dan sangat mengerti harga pasar dari kurmakurma tersebut. Karena itu, penjualan kurma Bilal pasti akan ditakar dengan harga yang layak untuk kurma jenis atau kualitas tersebut. Demikian pula pembelian kurma yang baik oleh Bilal akan dihitung dengan harga yang layak. Sehingga, mungkin saja perbandingan harga kurma-kurma yang ditransaksikan oleh Bilal bukanlah 2 : 1. Mungkin saja 2,2 : 1,0 atau 1,8 : 1,0. Selisih yang mungkin terjadi dapat saja membuat Bilal atau pemilik kurma yang bagus menjadi tidak ridha. Akibatnya, transaksi menjadi batil. Jadi, sebenarnya Nabi Muhammad SAW mengajarkan melakukan transaksi pada harga pasar yang wajar. Berapa pun harga yang terjadi, transaksi akan saling ridha karena penjualpembeli sepakat bertransaksi setelah mengetahui harga pasar yang wajar.
Inilah salah satu jurus syariah untuk mendapatkan hasil yang halal. Dalam kasus “tukar kurma” tersebut, Nabi Muhammad SAW sebenarnya juga mengajarkan tentang peran uang. Ketika itu, Bilal diajarkan untuk menjual kurma yang bermutu rendah ke pasar. Kemudian dengan “hasil penjualan” itu, Bilal membeli kurma yang bermutu baik. Dalam hal ini, akan timbul kebutuhan akan alat pertukaran nilai yang disebut sebagai “hasil penjualan”. Alat pertukaran nilai atau alat pembayaran tersebut kita kenal sebagai uang.
91
Iwan P. Pontjowinoto
Bila terdapat jarak waktu antara saat Bilal menjual kurma yang bermutu rendah dan menerima uang hasil penjualan dengan saat Bilal membeli kurma bermutu baik dan membayar uang sebanyak harga pembelian, akan timbul kebutuhan untuk menjamin nilai dari uang tersebut. Itulah sebabnya Ibnu Khaldun menyatakan syarat uang adalah telah ditetapkan oleh pihak yang berwajib sebagai alat pembayaran yang sah dan terdapat jaminan yang dapat dipercaya dari nilai dari uang tersebut. Jaminan nilai uang tersebut dapat berbentuk jaminan secara intrinsik (uang berupa koin emas atau perak), jaminan berdasarkan harta dengan nilai yang stabil (jaminan emas dan perak), atau jaminan lainnya. Karena itu, Pemerintah harus menentukan uang sebagai alat pembayaran yang sah “Suatu ketika, salah satu serta harus menjamin nilai dari mitra usaha tersebut ingin mengirim hadiah uang tersebut. Bila hal ini dipenuhi, maka uang sebagai sebagai tanda apresiasi kepada saya. Namun, “zat” sudah memenuhi syarat karena hal tersebut kehalalan. Bila nilai uang tidak dilarang, saya minta mitra di jamin oleh pemerintah usaha tersebut mengirim atau tidak dapat dijaga nilai- hadiah dalam bentuk lain kepada badan sosial.” nya, maka masyarakat yang menyimpan hartanya dalam bentuk simpanan uang (semisal deposito, obligasi) akan menderita kerugian. Maka, pada saat itu, “zat” uang yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat kehalalan.
92
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
Karena uang adalah alat pembayaran yang sangat diperlukan untuk perniagaan dan mengingat hukum penawaran-permintaan (supply-demand), Pemerintah harus mengatur jumlah uang yang beredar. Tujuannya adalah untuk menjaga nilai dari uang tersebut. Karena itu, masyarakat dilarang menyimpan atau menyembunyikan uang, sebab dapat mengganggu perniagaan. Mungkin itu sebabnya dalam Kitab Suci Allah SWT juga melarang manusia untuk menyimpan emas dan perak, sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran dalam perdagangan (QS 06:34). Karena pada masa Nabi Muhammad SAW, uang dibuat dari emas dan perak. Sehingga bila emas atau perak disimpan, maka jumlah material untuk membuat uang akan berkurang dan akan mengganggu perniagaan. Inilah pelajaran yang sangat berharga mengenai kehalalan. Walaupun secara zat, uang rupiah telah memenuhi syarat kehalalan dan diperoleh dengan cara yang halal, namun bila digunakan untuk menimbulkan kerugian bagi masyarakat, akan menjadi haram.
Jurus Halal 2: Valas yang Fals Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998 membawa pengalaman yang tak terlupakan bagi saya. Ketika itu, saya sedang memimpin Danareksa Investment Management dan sedang getol-getolnya mengembangkan reksa dana. Jumlah investor maupun jumlah dana yang kami kelola berkembang pesat. Hasil investasi juga sangat menggembirakan. Tetapi, setelah “krismon” menghantam, harga saham hancur lebur, harga obligasi apalagi—turun ke tingkat yang paling tidak masuk akal. Bayangkan, ada obligasi yang baru diterbitkan kurang
93
Iwan P. Pontjowinoto
dari 12 bulan, ternyata harganya turun sampai tinggal 10% dari nilai nominal. Jadi, bila Anda membeli obligasi tersebut senilai Rp.100 miliar, dalam waktu kurang dari 12 bulan nilai pasarnya tinggal Rp.10 miliar. Aduh biyung… Ternyata “krismon” terjadi karena banyaknya orang yang berspekulasi dengan valuta asing. Selama bertahun-tahun, Pemerintah Orde Baru “menjaga” nilai tukar (kurs) rupiah agar “stabil” sehingga praktis tidak ada risiko akibat penurunan nilai kurs. Sementara itu, suku bunga pinjaman dalam rupiah sekitar 5% di atas suku bunga pinjaman dalam US$. Bahkan, bunga pinjaman US$ masih lebih rendah dari bunga deposito rupiah. Tidak heran kalau banyak orang nekad mengambil pinjaman dalam valas untuk membiayai usaha yang memberikan pendapatan rupiah. Perbankan juga seakan-akan “tutup mata” atas praktik yang sangat berisiko ini. Setelah “krismon” berlalu, dalam berbagai kesempatan, saya sering menerima pertanyaan. “Apakah investasi dalam valas itu halal?” “Apakah investasi di luar negeri—yang tentunya dalam valas—itu halal? “Apakah usaha tukar uang valas itu halal?” “Apakah pasar uang valas itu halal?” “Apa sih yang salah dari valas itu?” Wah, pertanyaan-pertanyaan di atas, sesungguhnya, bagus sekali. Akan tetapi, untuk memahami valas dengan bijak, baiklah kita kaji lebih dahulu apa itu uang. Pada zaman dulu, dulu sekali, tentu uang—apalagi uang kertas—belum dikenal. Perdagangan masih dilakukan dengan
94
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
barter—padahal zaman dulu juga belum ada komputer, handphone, atau internet. Uang diciptakan manusia untuk memudahkan transaksi dengan memudahkan pembayaran. Sehingga, pada awalnya, uang adalah alat pembayaran. Kemudian dengan adanya perbedaan nilai transaksi serta nilai objek transaksi maka uang menjadi alat ukur nilai. Dan berikutnya karena terdapat jangka waktu antara penerimaan dan pemakaian uang maka uang harus disimpan dan menjadi alat simpan nilai. Tentu tidak ada yang salah dari ketiga peran uang ini. Untuk memastikan bahwa uang menjadi alat pembayaran yang sah dan memastikan nilai uang, maka uang harus diatur oleh Pemerintah. Namun, tidak berarti bahwa uang harus diterbitkan oleh Pemerintah. Buktinya, pada zaman Nabi Muhammad SAW, pemerintahan Beliau tidak pernah menerbitkan uang, tetapi menetapkan uang logam yang diterbitkan oleh pemerintahan lain sebagai alat pembayaran yang sah di daerah pemerintahan Beliau. Jadi, suatu jenis uang berlaku untuk daerah pemerintahan yang menetapkan uang tersebut sebagai alat pembayaran yang sah. Bank Indonesia atas nama Pemerintah RI menerbitkan uang rupiah dan menyatakan, “Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bank Indonesia menerbitkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai ……..” Begitu pun dengan Pemerintah Amerika Serikat yang menetapkan US$ sebagai “legal tender” di daerah yang mengakui US$ sebagai alat pembayaran yang sah. Lalu, bagaimana nilai tukarnya?
95
Iwan P. Pontjowinoto
Secara rasional, nilai tukar antara dua macam uang (valuta) akan ditentukan oleh kondisi perdagangan antarnegara yang bersangkutan. Bila ada orang Indonesia yang menjual produknya ke Amerika Serikat, mungkin akan menerima pembayaran dalam US$. Karena dia ingin memakai uangnya di Indonesia, maka seharusnya dia mencari orang di Indonesia yang ingin membeli produk dari Amerika Serikat dan membutuhkan US$ untuk membayar pembelian tersebut. Demikian seterusnya, sehingga atas penawaran-permintaan akan penukaran uang tersebut akan terbentuk “harga” kurs yang wajar. Di sini jelas bahwa usaha tukar uang valas akan banyak membantu pihak-pihak yang terkait dalam jual-beli antarnegara, sehingga usaha itu halal. Tetapi timbul godaan bila ternyata nilai tukar bisa berubah dengan tajam dalam waktu yang relatif singkat. Muncul pula godaan untuk menukar uang rupiah dengan US$, karena mengharapkan adanya penurunan nilai rupiah. Dengan demikian, ketika US$ ditukar kembali dengan rupiah akan diperoleh jumlah rupiah yang lebih besar. Makin besar selisih yang pernah terjadi, makin besar godaannya. Lantas, di mana letak kesalahannya? Pertama, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Imam Ghazali maupun Ibnu Khaldun, uang diperlukan untuk alat pembayaran guna mempermudah perdagangan. Bila uang disimpan, maka jumlah uang yang tersedia untuk perdagangan jadi berkurang. Dalam firman Allah SWT (QS 06:34), hal ini dilarang— istilahnya, kanzul maal. Tindakan ini mengakibatkan jumlah US$ yang tersedia untuk membeli produk dari luar negeri yang memakai harga US$ akan berkurang. Sesuai dengan hukum
96
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
penawaran-permintaan, maka nilai rupiah akan berkurang, masyarakat umum dirugikan. Maka ini akan haram. Kemudian, perubahan “harga” nilai tukar seharusnya terjadi mengikuti kondisi perdagangan (ekspor-impor). Manfaat yang dihasilkan dalam perdagangan ini akan dibagikan di antara pihak-pihak yang terkait—termasuk manfaat akibat perubahan nilai tukar yang mempunyai hubungan sebab-akibat dengan perdagangan. Bila ada orang yang menyimpan US$ padahal ia tidak terlibat dalam perdagangan antarnegara sehingga tentunya tidak berperan dalam perubahan kurs tersebut. Sehingga bila ia ingin mendapat hasil, maka ia mengambil risiko yang berlebihan. Hasil ini akan haram. Dapat disimpulkan, “investasi” dalam uang US$ atau valas lainnya adalah tidak benar dan tidak dibenarkan. Tetapi bila menempatkan uang dalam aset atau usaha di luar negeri— yang diukur dan dibukukan dalam valas—maka hal ini serupa dengan investasi di dalam negeri. Hanya kondisinya dan jenis uangnya berbeda. Jadi, selama dilakukan dengan ikatan yang benar, investasi ini akan halal. Kemudian, bagaimana kalau kita menyimpan valas untuk berjaga-jaga? Jawabannya, tentu saja boleh. Tetapi, kemudian akan muncul pertanyaan-pertanyaan baru. “Berjaga-jaga terhadap risiko apa?” “Apakah karena mau membeli barang atau jasa dari luar negeri?” “Apakah karena akan bepergian ke luar negeri?” Selanjutnya, dari pertanyaan-pertanyaan di atas bermunculan pertanyaan lain.
97
Iwan P. Pontjowinoto
“Kapan valas tersebut akan diperlukan?” “Apakah pada saat diperlukan valas tersebut akan sulit didapat?” “Atau malah kurs akan naik?” Apabila sudah jelas jumlah nilai valas yang diperlukan, sudah jelas kapan valas tersebut akan diperlukan, dan sudah jelas bahwa valas tersebut akan sulit diperoleh, maka tentu saja boleh memiliki valas sebagai simpanan. Namun, bagaimana kalau meminjam uang dalam valas untuk dipakai dalam usaha yang memberikan hasil dalam rupiah? Tentu saja, tidak ada yang salah dengan menerima pembiayaan dalam valas, selama ikatannya benar dan perhitungan (pembukuan) juga dalam valas. Tetapi kalau pendapatan dalam rupiah dan pembukuan dalam valas, akan terdapat risiko selisih kurs. Risiko ini menjadi besar bila mayoritas pendapatan dalam rupiah. Sehingga, sebaiknya pembukuan mengikuti valuta yang digunakan dalam pendapatan. Bila tidak, akan timbul risiko yang berlebihan. Artinya, haram. Jadi, kenapa sih cari risiko yang berlebihan. Bukankah Tuhan Yang Mahakuasa telah menyatakan bahwa semua manusia akan mendapat balasan yang sempurna atas semua yang diusahakannya—tentunya usaha yang halal dan thoyib? Karena itu, ikuti saja cara syariah, semua akan kaya, semua akan bahagia. Betul, kan?
98
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
Sudah bertahun-tahun Transparency International menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia. “Prestasi” yang—sesungguhnya—tidak layak dibanggakan. Menurut hemat saya, salah satu penyebabnya adalah toleransi yang salah mengenai penyimpangan etika dalam berusaha. Salah satu di antaranya adalah mengenai hadiah atau ongkos
administrasi. Saya beruntung karena memulai karier tahun 1978 di sebuah perusahaan yang sangat menjunjung tinggi etika usaha. Pada saat itu, belum banyak orang yang bicara tentang gratifikasi, tetapi IBM dengan tegas melarang karyawannya menerima gratifikasi. Ketika bekerja untuk IBM, saya pernah bertanggung jawab atas penjualan produk IBM melalui mitra usaha yang disebut sebagai dealer, value-added remarketer, maupun system integrator. Tugas tim saya adalah membina kemampuan mitra usaha, baik dari segi teknologi, pemasaran, bahkan manajemen. Saat itu, banyak mitra usaha yang mendapat keuntungan dan merasa bahwa tim saya berperan besar dalam keberhasilan mereka. Suatu ketika, salah satu dari mitra usaha tersebut ingin mengirim hadiah sebagai tanda apresiasi kepada saya. Namun, karena hal tersebut dilarang, saya minta mitra usaha tersebut mengirim hadiah dalam bentuk lain kepada badan sosial. Hasilnya, mitra usaha saya gembira karena tetap bisa menyampaikan rasa terima kasih, sekaligus beramal. Sedangkan badan sosial gembira karena mendapat bantuan. Saya juga gembira karena semua bisa diselesaikan tanpa harus melanggar peraturan perusahaan.
99
Iwan P. Pontjowinoto
Praktik ini saya coba lanjutkan di berbagai perusahaan lain tempat saya bekerja. Salah satunya, ketika saya mengelola reksa dana syariah. Karena aktivitas transaksi efek, terkadang dana tunai dari reksa dana syariah mengendap di bank kustodian. Oleh karena saat itu tidak ada bank kustodian, kami terpaksa memakai bank umum konvensional sebagai bank kustodian. Sehingga atas pengendapan dana tunai tersebut, bank kustodian biasanya memberikan jasa giro. Jelas saja saya menghadapi dilema. Jasa giro tidak boleh dibukukan dalam reksa dana syariah, namun sayang juga bila jasa giro tersebut dikembalikan ke bank kustodian. Atas persetujuan DPS, kami membentuk dana sosial dengan nama Danareksa Syariah Peduli. Jasa giro dan hasil-hasil lain yang tidak dapat dibukukan ke dalam reksa dana syariah kami tampung dalam dana sosial tersebut. Dana tersebut kemudian kami gunakan dalam berbagai kegiatan sosial. Namun, sesuai dengan arahan dari DPS, dana tersebut tidak bisa diberikan sebagai zakat maupun dalam bentuk makanan atau pakaian. Pertanyaan lain yang sering saya terima adalah mengenai uang administrasi atau pungutan tidak resmi. Misalnya, bila kita sedang mengurus surat tanpa pengenal atau surat ijin, kadangkala kita merasa mengalami kesulitan. Kemudian, dengan alasan “gaji kecil” atau “fasilitas tidak cukup” atau “anggaran terbatas”, kita diminta untuk membayar “pungutan tidak resmi”. Bagaimana seharusnya kita bersikap? Guru saya mengajarkan bahwa bila Anda terpaksa membayar lebih dari yang seharusnya untuk mendapatkan hak Anda, maka itu bukan salah Anda. Situasinya darurat. Tetapi bila Anda
100
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
membayar lebih untuk mendapatkan sesuatu yang bukan hak Anda, maka Anda bersalah. Mungkin ada baiknya kita mengambil pelajaran dari pengalaman Arifin Panigoro. Suatu ketika, ada perusahaan asing yang mencari mitra usaha di Indonesia. Arifin mempersiapkan proposal untuk menjadi mitra. Tanpa sepengetahuan Arifin, ternyata sudah ada kesepakatan awal antara perusahaan asing dengan perusahaan lokal. Namun karena proposal Arifin sangat menarik dan perusahaan asing itu juga sudah mengenal Arifin, maka perusahaan asing tersebut membatalkan kesepakatan awal dan menunjuk perusahaan Arifin sebagai mitra. Apa yang Arifin lakukan? Ternyata nurani Arifin terusik. Hanya saja, tidak mungkin untuk membatalkan perjanjian dengan perusahaan asing tersebut. Karena itu, tanpa sepengetahuan perusahaan asing tersebut, Arifin mengikutsertakan perusahaan lokal tadi sebagai bagian dari perusahaan Arifin. Dan yang mengejutkan, setelah pekerjaan kemitraan tersebut selesai, Arifin memutuskan untuk memberikan bagian keuntungannya kepada perusahaan lokal yang menjadi mitranya. Apakah Arifin rugi? Tidak. Selain perusahaan lokal tadi sangat berterima kasih dan menyebarluaskan etika dan kebaikan Arifin, jangan lupa bahwa Allah SWT menjanjikan balasan yang sempurna atas semua tindakan Arifin. Pertanyaan lain yang sering saya terima terkait dengan nasabah yang mengalami kesulitan dalam mengembalikan pinjaman. Dalam Kitab Suci (QS 02:282), Allah SWT telah
101
Iwan P. Pontjowinoto
memberikan panduan mengenai penanganan masalah dalam pengembalian pinjaman—yang sekarang dikenal sebagai debt rescheduling, debt restructuring, debt hair-cut, dan debt write-off. Jadi, apabila Anda menjadi nasabah debitur dan mengalami kesulitan dalam mengembalikan pinjaman, Anda berhak mendapat kelonggaran. Tetapi pertanyaannya, apakah Anda sudah bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban Anda? Apakah Anda melakukan perencanaan dengan baik dan tidak mengambil risiko yang berlebihan? Apakah Anda menjalankan kegiatan usaha dengan cermat dan kreatif? Dan apakah Anda sudah teliti dan hemat dalam mengelola keuangan kegiatan usaha tersebut? Apakah Anda memakai uang sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan? Jika salah satu jawabannya adalah tidak, mungkin Anda tidak berhak mendapat kelonggaran.
Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan tentang berniaga dengan thoyib. Nabi Muhammad SAW telah berkata bahwa Beliau mendoakan agar Allah SWT memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada orangorang yang lembut dan murah hati dalam niaganya dan bersikap ramah dalam menagih kewajiban orang kepadanya. Ada dua pelajaran berharga yang dapat ditarik dari ajaran Rasulullah ini. Pertama, harus lembut dan murah hati dalam berniaga. Artinya hal-hal yang halal dan thoyib akan diperoleh melalui kelembutan dan kemurahan hati, bukan dengan cara niaga yang keras dan kejam.
102
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
Kedua, walaupun kewajiban orang kepada kita adalah hak kita, tetapi Nabi Muhammad SAW mengajarkan agar tetap bersikap ramah dalam menagih hak tersebut kepada mitra usaha kita. Keramahan tersebut akan menyentuh hati mitra usaha, sehingga mereka akan bersungguh-sungguh dalam memenuhi kewajibannya. Tentunya, harus bersikap tegas bila mitra usaha tersebut kurang baik. Dan, bahkan, bila mitra usaha terbukti tidak baik, maka harus ditinggalkan.
Jurus Thoyib 2: Mekanisme Pasar yang Wajar Hakikat dari firman Allah SWT dalam Kitab Suci (QS 04:29) agar manusia jangan saling mengambil harta sesamanya dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku secara saling ridha. Dan hakikat dari hadis tentang menukar kurma adalah bahwa kehalalan juga ditentukan oleh ke-thoyib-an dari transaksi. Dan untuk kegiatan perniagaan haruslah melalui mekanisme pasar yang wajar. Namun, bagaimana cara penerapannya? Saya sering menerima pertanyaan dan pernyataan bahwa investasi di bursa efek itu sama halnya dengan judi. Pertanyaan dan pernyataan tersebut muncul karena adanya tindakan spekulasi di bursa efek. Tetapi, perlu disadari bahwa tindakan spekulasi juga terjadi di mana-mana. Bahkan, di jalan raya banyak pengemudi yang berspekulasi dalam mengemudikan sepeda motor, mobil, bus, atau truknya dengan risiko kehilangan nyawa—bukan hanya nyawanya sendiri, tetapi juga nyawa orang lain yang tidak bersalah.
103
Iwan P. Pontjowinoto
Akan tetapi, apakah berarti berada di jalan raya sama dengan berjudi dengan maut? Tentu saja tidak. Salah satu pilar dari bentuk pasar modal ideal adalah adanya infrastruktur informasi Bursa Efek yang transparan, tepat waktu dan merata di publik, ditunjang oleh mekanisme pasar yang wajar. Mekanisme Bursa Efek yang wajar juga menyangkut kewajaran permintaan dan penawaran serta menyangkut niat investor dalam melakukan transaksi. Nabi Muhammad SAW melarang suatu pihak untuk menjual barang yang belum dimiliki. Akibatnya praktik short-selling dengan menjual efek yang belum dimiliki, untuk kemudian (berusaha) membeli efek yang sama pada hari yang sama untuk memenuhi kewajiban yang terbentuk pada saat menjual efek, menjadi dilarang. Demikian juga short-selling dengan meminjam efek dari pihak lain (share lending). Hal ini dilarang karena efek yang menjadi objek penjualan tidak benar-benar dimiliki atau dikuasai oleh pihak penjual. Yang ada hanyalah jaminan dari pihak lain untuk meminjamkan efek yang sama bila penjual tersebut tidak bisa mendapatkannya di pasar. Namun, hal ini dibolehkan bila pihak yang akan menjual membeli dahulu efek yang dimaksud dari pihak ketiga tersebut sebelum menjualnya kembali, dan pihak ketiga tersebut berjanji akan membelinya kembali efek tersebut pada harga tertentu dan hari yang sama bila pihak penjual tersebut dapat membeli efek yang dimaksud melalui mekanisme pasar. Nabi Muhammad SAW juga melarang gangguan pada penawaran yang dicontohkan dengan praktik menimbun barang dan praktik membeli hasil pertanian dari petani sebelum
104
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
petani tersebut sampai di pasar. Dalam hal mekanisme bursa efek, kondisi penawaran dalam pasar adalah fungsi dari jumlah efek yang beredar (free float), distribusi kepemilikan, jumlah investor dan likuiditas perdagangan. Oleh karena itu, praktik yang mengganggu penawaran, misalnya kepemilikan oleh pihak terafiliasi yang terselubung dan praktik cornering, tentunya dilarang. Selain itu, Rasulullah SAW juga melarang suatu pihak membeli atau mengajukan permintaan untuk membeli tanpa memiliki kebutuhan dan daya beli. Karena itu, transaksi marjin dilarang karena pihak pembeli sebenarnya tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli efek tersebut. Memang ada pihak ketiga yang berjanji memberikan pembiayaan untuk melunasi kewajiban (dengan menimbulkan kewajiban baru), sehingga berarti pembeli tersebut mengambil risiko yang berlebihan. Karena takdir yang terjadi atas harga efek berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Apalagi kalau atas pinjaman tersebut dikenakan beban yang tidak sesuai dengan manfaat yang timbul, misalnya dikenakan bunga. Demikian juga halnya dengan praktik short-buying, karena pada saat membeli kemungkinan besar pihak pembeli tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan pembelian. Atau karena tujuan (niat) melakukan pembelian adalah bukan untuk melakukan investasi yang wajar dan berhati-hati. Praktik gangguan pada permintaan juga dilarang, misalnya dengan menempatkan permintaan beli pada suatu harga tertentu, namun kemudian segera menarik kembali permintaan beli tersebut ketika harga sudah mendekati harga yang diajukan.
105
Iwan P. Pontjowinoto
Pasar yang wajar akan menghasilkan harga transaksi yang wajar sehingga disebut sebagai harga pasar wajar. Oleh karena itu, prinsip syariah menginginkan adanya kegiatan pasar yang wajar, termasuk dalam hal likuiditas perdagangan. Sehingga harga yang terbentuk dalam transaksi di Bursa Efek merefleksikan kekuatan tawar menawar pasar yang sebenarnya. Karena itu, harga pasar yang diakui sebagai acuan harus memenuhi persyaratan likuditas tertentu. Melakukan investasi dengan tujuan untuk memperoleh capital gain tidaklah dilarang. Karena hal itu adalah konsekuensi yang wajar atas suatu investasi. Namun, bagaimana kalau kita membeli saham dan kemudian kita jual lagi pada hari yang sama dengan memperoleh keuntungan (capital gain)? Bolehkah? Itu semua tergantung pada niatnya. Sebelum melakukan investasi, investor tentu sebaiknya melakukan analisa dan menentukan batas harga jual dan batas harga beli atas efek yang menjadi objek investasi. Katakanlah, Anda membeli saham perusahaan X pada harga Rp.1.000 per saham dan berpendapat bahwa harga tertinggi yang wajar adalah Rp.1.200 per saham. Tiba-tiba pada hari yang sama, harga saham X naik pesat sehingga telah melampaui batas harga jual (Rp.1.200 per saham). Maka, Anda dapat saja menjual saham X yang telah Anda miliki itu sehingga memperoleh keuntungan (capital gain). Bila pada keesokan harinya, harga saham X ternyata jatuh sehingga berada di bawah batas harga beli (Rp.1.000 per saham), sementara Anda tidak merasa adanya perubahan fundamental dari sisi perusahaan X, maka Anda dapat saja membeli kembali saham X tersebut.
106
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
Infrastruktur informasi Bursa Efek yang transparan, tepat waktu dan merata di publik harus juga mencakup kewajaran dari informasi. Kewajaran informasi ini akan ikut menentukan proses pembentukan harga dan pada akhirnya akan menentukan kewajaran dari harga yang terjadi.
Pasar yang wajar harus didukung oleh informasi yang wajar. Investor harus mempunyai kemampuan untuk memahami peluang hasil dan kemungkinan risiko, sehingga tidak mengambil risiko yang berlebihan. Untuk itu, Bursa Efek harus memastikan agar investor dapat memperoleh informasi yang diperlukan secara wajar. Sedangkan perusahaan yang menerbitkan efek (dalam istilah pasar modal disebut emiten) bertanggung jawab sepenuhnya atas informasi yang dipublikasikan. Dalam kelaziman prinsip syariah, suatu pihak dapat membatalkan transaksi dalam waktu tiga hari. Dengan mengambil analogi ini, bila emiten mengetahui adanya atau menerbitkan informasi yang salah atau menyesatkan, maka emiten hanya mempunyai waktu tiga hari untuk memperbaikinya. Bila dalam waktu tiga hari tidak ada koreksi, maka informasi tersebut dianggap valid dan emiten sepenuhnya bertanggung jawab dan tidak bisa menyatakan kesalahan sebagai keteledoran. Di lain pihak, apabila setelah menerbitkan suatu informasi yang benar ternyata telah terjadi kejadian berikutnya yang berakibat besar, maka emiten wajib menerbitkan laporan keuangan baru dengan segera dan menyatakan dengan spesifik kejadian tersebut, serta dampaknya pada laporan keuangan. Secara umum, investor akan memakai informasi harga harian untuk mengetahui kondisi efek yang menjadi sasaran
107
Iwan P. Pontjowinoto
investasinya. Prinsip syariah menginginkan agar harga tersebut menunjukkan kekuatan pasar yang sebenarnya. Di sini terdapat perbedaan yang cukup mendasar. Dalam penerapan prinsip Syariah, harga yang dicatatkan sebagai indikasi harga pada suatu hari perdagangan adalah bukan harga penutupan, melainkan harga rata-rata tertimbang. Sehingga transaksi dalam nilai yang relatif kecil pada detik-detik terakhir dari hari perdagangan tidak akan dapat memengaruhi nilai rata-rata tertimbang. Pasar hanya akan mendapat informasi mengenai kekuatan tawar-menawar pasar yang sesungguhnya. Prinsip syariah menginginkan agar terdapat harga pasar yang wajar. Oleh sebab itu, sebaiknya investor memiliki analisa valuasi harga efek sehingga dapat menetapkan batas harga beli dan jual yang wajar. Maka, sebagai pihak yang memfasilitasi perdagangan sebaiknya Bursa Efek juga harus memberi informasi mengenai valuasi atas suatu efek sehingga investor dapat memperoleh pandangan yang fair.
“Hakikat dari hadis tentang menukar kurma adalah bahwa kehalalan juga ditentukan oleh kethoyib-an dari transaksi. Dan untuk kegiatan perniagaan haruslah melalui mekanisme pasar yang wajar.”
Bursa Efek dapat menentukan beberapa analis untuk setiap efek yang dicatatkan sebagai Efek Syariah. Konsensus dari para analis tersebut dapat dipublikasikan. Kemudian, bila terjadi transaksi pada harga di luar konsensus tersebut, Bursa Efek dapat meminta analis untuk melihat apakah ada informasi yang mendukung justifikasi harga yang terbentuk. Sebagai
108
KAYA SECARA HALAL DAN THOYIB
konsekuensinya, maka dalam Bursa yang memperdagangkan Efek Syariah, batas kisaran harga yang diperbolehkan untuk Efek Syariah bisa berbeda-beda, sehingga batas suspensi untuk Efek Syariah tersebut bisa berbeda dengan batas suspensi untuk efek lainnya. Bila kebersamaan antara investor, analis, emiten, dan bursa efek dapat dibina dengan baik, maka investor akan menerima dengan baik apa pun hasil investasi yang diperolehnya. Tercipta kondisi saling ridha, sehingga keuntungan yang diperoleh—baik oleh emiten, investor, bursa efek, dan analis—akan menjadi hasil yang halal lagi thoyib.
Semua akan kaya, semua akan bahagia, dengan cara syariah.
109
Hindari Riba 1992. Itulah tahun untuk pertama kalinya saya mengenal sistem keuangan syariah. Waktu itu, saya masih bekerja di Lippo Bank dan mendapat tugas untuk mengelola kerja sama antara Lippo dengan PP Muhammadiyah dalam agribisnis. Ketika itu, Bank Muamalat baru berdiri dan di mana-mana orang sibuk membicarakan bank syariah. Karena kegiatan yang saya kelola adalah kerja sama antara bank umum konvensional dengan ormas Islam, tentu saja banyak pertanyaan mengenai penerapan prinsip syariah dalam kerja sama tersebut. Saat itu, semua orang berbicara tentang bank syariah sebagai bank yang tidak menerima ataupun memberikan bunga, melainkan bagi hasil. Secara sederhana, aksioma yang dipakai saat itu bank
syariah adalah bank tanpa bunga, karena bunga bank adalah riba. Apakah aksioma ini benar? Pada masa itu, saya bertemu dengan banyak tokoh Islam dan praktisi perbankan. Ada yang menyatakan, menerima bunga bank bagi nasabah tabungan dan deposito bukanlah riba karena 111
Iwan P. Pontjowinoto
dibayarkan bukan atas permintaan nasabah. Jadi, dianggap sebagai hadiah. Ada juga yang menyatakan, kalau nilainya masih di bawah nilai inflasi, maka itu bukan riba melainkan ganti rugi terhadap inflasi. Ada juga yang menyatakan bahwa bank umum konvensional itu membawa manfaat bagi umat, maka bunga bank yang dibayarkan menjadi halal. Tetapi apakah benar begitu? Ada suatu kejadian yang sangat menarik. Ada kenalan saya yang ingin membeli mobil dengan kredit. Ia mencari informasi ke bank umum konvensional dan bank syariah. Tak lama berselang, ia mengatakan kepada saya bahwa—ternyata—cara perhitungan keduanya sama. Bedanya, yang syariah pakai istilah marjin, sedangkan yang konvensional menggunakan istilah bunga. Tetapi nilai marjin yang syariah sama dengan nilai bunga yang konvesional. Persyaratan lainnya juga mirip sekali. ”Kalau begitu, apa bedanya?” ”Mengapa yang satu halal dan yang lain haram?”
Konsep Riba Memang sering terjadi kesalahpahaman tentang konsep riba. Selain disebabkan penjelasannya yang tidak terlalu mudah— karena “bunga” sudah sedemikian memasyarakat, juga harus diakui bahwa banyak petugas di lembaga keuangan syariah yang tidak menjelaskan konsep marjin dalam pembiayaan syariah secara terstruktur. Memang lebih cepat dan mudah membandingkan marjin dengan bunga, dan kalau nasabah yang meminta pembiayaan sudah setuju, toh akadnya akan
112
HINDARI RIBA
dijalankan. Mungkin mereka berpendapat bahwa salah paham sedikit, “biarlah”. Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci (QS 04:29) agar semua orang yang beriman tidak mengambil keuntungan dari sesama manusia dengan jalan yang batil, tetapi harus dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridha. Dan Allah SWT telah memperingatkan manusia untuk tidak melanggar aturan itu, karena sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang. Salah satu cara terbaik untuk mencapai saling ridha adalah dengan tidak berlaku zhalim, maupun tidak mau diperlakukan secara zhalim. Dan, ternyata, salah satu bentuk kezhaliman yang terbesar adalah riba. Firman Allah SWT yang pertama tentang riba, sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci (QS 02:275), menyatakan bahwa orang-orang yang bertransaksi dengan riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena sentuhan atau menyentuh setan. Keadaan yang demikian itu terjadi disebabkan mereka berpendapat bahwa sesungguhnya jual beli itu hanyalah sama seperti riba. Padahal, Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Nabi Muhammad SAW pun telah memberi pelajaran mengenai hal ini. Suatu ketika, seorang sahabat menyatakan bahwa temannya pernah menjual perak dengan pembayaran yang ditangguhkan sampai musim haji. Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa untuk jual beli perak, selama langsung diserahterimakan, tidak apa-apa. Namun bila ditangguhkan penyelesaian kewajibannya, maka menjadi riba. Memang contoh tersebut terjadi pada masa lalu.
113
Iwan P. Pontjowinoto
Lantas, bagaimana penerapannya pada era globalisasi seperti masa kini? Kalau kita perlu suatu barang modal—misalnya mobil--dan ada penjual yang mau menjual mobil yang kita perlukan dengan harga yang pantas, tetapi dana kita tidak cukup secara tunai, apakah kita tidak boleh membeli mobil dengan cara mencicil? Padahal, dengan memiliki mobil tersebut dapat berusaha lebih baik dan lebih hemat. Hasilnya akan memberi kita tambahan penghasilan yang dapat membayar kembali harga mobil ditambah dengan keuntungan. Dan bila penjual tidak punya cukup dana untuk menjual dengan cara mencicil, sementara ada lembaga keuangan yang mau meminjamkan uangnya, apakah kita tidak boleh mengadakan kerja sama tiga pihak. “Di mana salahnya?” “Di mana haramnya?” Jual-Beli versus Riba Tambahan yang diperoleh sebagai keuntungan dari transaksi jual beli suatu objek adalah halal karena terdapat kejelasan objek maupun manfaat, sedangkan tambahan yang diperoleh dari riba adalah haram.
Tambahan karena Penangguhan Melalui firman-Nya, Allah SWT dengan tegas menyatakan bahwa jual-beli berbeda dengan riba. Dalam bahasa Arab, riba mempunyai arti tambahan. Dengan demikian, dapat ditafsirkan
114
HINDARI RIBA
bahwa tambahan yang diperoleh dari jual-beli bukanlah riba. Atau dengan kata lain, tambahan yang berupa riba berbeda dengan tambahan yang diterima dari transaksi jual beli. Bagaimana penjelasannya? Ternyata ada perbedaan yang besar antara jual beli dengan riba. Pada jual beli, penjual tidak akan mau menjual sesuatu apabila ia tidak merasa akan mendapatkan keuntungan kalau menjual objek jual beli tersebut. Di lain pihak, pembeli juga tidak akan membeli bila ia tidak merasa ada untungnya membeli objek jual beli tersebut. Apa pun bentuk keuntungan, bagi penjual maupun pembeli, adalah hak penjual ataupun pembeli untuk menentukannya. Pada jual beli secara “Transaksi secara riba tunai, objek jual beli dan ternyata membuat pembayaran langsung diserahorang tidak bisa berpikir terimakan secara seketika. dengan jernih atau Penjual langsung menerima waras, sehingga seakanpem bayaran harga barang akan “kesetanan” atau jasa yang diberikan dan cenderung akan (dijual). Pembeli langsung mengambil risiko yang menerima barang atau jasa berlebihan.” yang dibeli. Dalam keadaan normal, penjual memperoleh tambahan berupa selisih antara biaya perolehan dengan harga transaksi—yang lazim disebut marjin penjualan. Sedangkan pembeli memperoleh tambahan berupa perubahan nilai dari uang menjadi barang atau jasa. Namun, jual beli juga dapat dilaksanakan tidak secara tunai. Mungkin karena objek jual beli tidak langsung diserahkan,
115
Iwan P. Pontjowinoto
ataupun karena pembayaran tidak langsung ditunaikan. Dalam hal ini, ada salah satu pihak yang menerima manfaat walaupun belum menunaikan seluruh kewajibannya. Misalnya, pembeli menerima barang atau jasa yang merupakan objek transaksi walaupun belum melunasi pembayarannya. Atau penjual menerima pembayaran, walaupun belum menyerahkan barang atau jasa yang menjadi objek transaksi. Akibatnya, manfaat yang diterima oleh pihak lain akan berkurang. Oleh karena itu, harus ada kompensasi atau tambahan yang diberikan kepadanya oleh pihak yang menerima objek jual beli atau pembayaran sebelum menunaikan seluruh kewajibannya. Kompensasi atau tambahan tersebut harus dinyatakan dengan jelas pada saat transaksi. Masalah akan timbul bila kompensasi atau tambahan tersebut tidak dinyatakan secara jelas. Hal ini dapat memicu terjadinya kesalahpahaman, khususnya dari pihak yang harus memberi kompensasi atau tambahan. Kesalahpahaman akan berakibat negatif bila pihak yang memberi tambahan merasa bahwa tambahan yang harus diberikan ternyata lebih besar dari manfaat yang diterima. Sehingga pihak yang memberi tambahan merasa dipaksa, dan dia telah diperlakukan secara zhalim. Tambahan karena Penangguhan versus Riba Penangguhan pembayaran maupun penyerahan objek dalam transaksi jual-beli adalah fasilitas pinjaman, karena itu tambahan karena penangguhan ini adalah riba kecuali: (1) terdapat kejelasan manfaat bagi pihak yang menerima penangguhan; (2) tambahan lebih kecil dari manfaat tersebut; dan (3) jumlah tambahan disepakati di muka dan bersifat tetap.
116
HINDARI RIBA
Bahaya Riba “Bila sebenarnya tambahan karena penangguhan pembayaran adalah halal dan mudah dilakukan, mengapa masih ada orang yang mau bertransaksi dengan riba?” “Mengapa tambahan berasas manfaat berbeda dengan riba?” “Apabila fasilitas atau kemudahan tersebut bukan diberikan oleh penjual, melainkan oleh pihak ketiga (misalnya bank), apakah prinsip tambahan ini masih berlaku?” “Bagaimana jika ternyata manfaat yang terjadi berbeda dengan manfaat yang diperkirakan?” Ternyata, kemudahan yang diberikan dengan memberi penangguhan pembayaran bisa membuat pihak yang mendapat kemudahan merasa mendapatkan keuntungan hingga membuatnya lupa akan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari penerimaan penangguhan tersebut. Demikian juga dengan pihak yang menerima tambahan dengan memberikan kemudahan (pinjaman) merasa beruntung mendapat tambahan yang besar, sehingga lupa bahwa pinjaman yang diberikan mungkin tidak terbayar kembali. Transaksi secara riba ternyata membuat orang tidak bisa berpikir dengan jernih atau waras, sehingga seakan-akan “kesetanan” dan cenderung akan mengambil risiko yang berlebihan. Persis seperti ungkapan dalam firman Allah SWT, (QS 02:275), yang menyatakan bahwa orang-orang yang bertransaksi dengan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan, karena “sentuhan” atau “menyentuh” setan. Mereka “kesetanan riba” dan tidak dapat berpikir dengan waras.
117
Iwan P. Pontjowinoto
Dengan demikian, jelas bahwa tambahan yang diberikan harus didasarkan pada manfaat yang diterima oleh pihak yang mendapat keuntungan (manfaat) dari penundaan pembayaran atau penyerahan tersebut. Ada kemungkinan bahwa penjual tidak mempunyai kemampuan keuangan untuk memberikan fasilitas penundaan pembayaran. Dan pembeli tidak mempunyai cukup dana untuk membeli secara tunai. Tetapi baik pembeli maupun penjual sangat ingin melaksanakan transaksi ini karena melihat adanya peluang keuntungan yang rasional—bukan berspekulasi atau membawa risiko yang tinggi. Dalam hal ini, bisa saja ada pihak ketiga yang mempunyai kemampuan keuangan—misalnya bank—untuk ikut berperan serta membantu penjual-pembeli dengan memberikan fasilitas pinjaman. Pihak ketiga tersebut membantu pihak penjual untuk memberikan fasilitas penangguhan pembayaran, dengan cara pihak ketiga membayar pelunasan harga barang atau jasa yang menjadi objek transaksi kepada penjual. Kemudian, pihak ketiga tersebut menerima pengalihan hak tagih dari pihak penjual untuk menagih cicilan atau angsuran pembayaran dari pihak pembeli. Dalam sistem keuangan syariah, ikatan jual-beli dengan fasilitas penangguhan pembayaran disebut sebagai Akad Murabaha. Adapun ikatan jual-beli dengan fasilitas penangguhan penyerahan objek jual-beli disebut sebagai Akad Salam. Bila di kemudian hari, manfaat yang diterima oleh pihak yang mendapat fasilitas atau kemudahan tersebut ternyata lebih kecil daripada yang diperkirakan, maka pihak tersebut dapat
118
HINDARI RIBA
mengajukan permohonan keringanan. Namun, hak untuk memberikan keringanan tetap ada pada pihak yang memberikan fasilitas, bukan pada pihak yang menerima fasilitas. Bahaya Riba Pihak yang memberi pinjaman atau penangguhan menerima hasil yang umumnya lebih besar dari hasil yang biasa diperolehnya sehingga “kesetanan” lupa akan risiko. Pihak yang menerima pinjaman atau penangguhan “kesetanan” karena dapat memiliki objek sebelum mempunyai cukup uang untuk melunasi, sehingga lupa akan risiko bila ternyata tidak sanggup melunasi kewajibannya.
Beda Riba dengan Hadiah atau Sedekah Riba yang paling berbahaya adalah riba (tambahan) yang berkaitan dengan peminjaman uang. Khususnya peminjaman uang tanpa ada kejelasan penggunaan uang pinjaman tersebut, sehingga manfaat yang diterima oleh pihak yang meminjam juga tidak jelas. Dengan demikian, sulit menentukan jumlah tambahan yang wajar dan adil berdasarkan manfaat yang ada. Karena itu, akan terjadi kondisi zhalim dari pihak yang memberikan pinjaman kepada pihak yang menerima pinjaman. Apalagi bila pihak yang meminjam berada dalam kesulitan atau sedang terkena “sentuhan” atau godaan setan. “Sentuhan” atau godaan setan juga bisa terjadi pada pihak yang memiliki uang. Godaan lain adalah pendapat bahwa tambahan tersebut bukan karena terpaksa, melainkan adalah hadiah atau sedekah sebagai tanda terima kasih atas bantuan
119
Iwan P. Pontjowinoto
(pinjaman) yang diberikan. Namun, godaan ini mudah dipatahkan. Jika memang tambahan itu adalah hadiah atau sedekah, seharusnya pihak yang memiliki uang harus rela bisa pihak yang meminjam uang ternyata tidak memberikan hadiah atau sedekah. Namanya hadiah atau sedekah tidak boleh dipaksa atau terpaksa. Harus sesuai kerelaan yang memberi hadiah atau sedekah itu.
“bahwa akan sia-sia mencoba “menipu” Allah SWT. dengan menyatakan bahwa riba tersebut adalah sedekah, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa saja yang manusia kerjakan.”
Allah SWT telah berfirman dalam Kitab Suci (QS 02:276), bahwa Allah SWT menghapuskan riba sedikit demi sedikit dan menyuburkan sedekah. Dan, Allah SWT menegaskan bahwa Dia tidak menyukai setiap orang yang berulangulang melakukan kekufuran dan banyak berbuat dosa.
Firman ini menganjurkan bahwa tambahan yang diberikan atau diterima akibat pinjaman, yang merupakan riba, akan dihapuskan. Tambahan itu tidak akan bermanfaat bagi semua pihak. Sedangkan tambahan yang diberikan benar-benar secara ikhlas tanpa ikatan apa pun—dalam bentuk sedekah—akan berkembang dengan subur. Tambahan itu akan memberi manfaat berkelanjutan bagi semua pihak. Jadi, jelas bahwa akan sia-sia mencoba “menipu” Allah SWT dengan menyatakan bahwa riba tersebut adalah sedekah, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa saja yang manusia kerjakan. Di samping itu, perlu diingat bahwa Allah SWT juga
120
HINDARI RIBA
memberikan kebijaksanaan dalam meninggalkan riba, yaitu bisa dilakukan secara bertahap atau sedikit demi sedikit. Riba Versus Sedekah Riba dibayar oleh pihak yang menerima pinjaman atau penangguhan karena terpaksa atau terperdaya. Riba diterima oleh pihak yang memberi pinjaman atau penangguhan karena keserakahan. Yang terjadi adalah kezhaliman, bukan keridhaan. Sedekah atau hadiah diberikan dengan ikhlas tanpa paksaan, karena mengharapkan ridha Allah SWT Hasilnya, akan tumbuh saling tolong-menolong, saling mengasihi, dan Tuhan adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Godaan lain dapat timbul melalui pendapat yang terkait dengan nilai atau daya beli dari uang adalah inflasi. Karena bila terjadi inflasi, maka nilai atau daya beli uang akan menurun. Sementara sebagian besar manusia yang mencari nafkah dengan bekerja pada Pemerintah, organisasi, perusahaan, atau orang lain, umumnya tidak memiliki kemampuan untuk ‘memutarkan’ uangnya pada kegiatan usaha. Akibatnya, mereka menyimpan kelebihan harta dalam bentuk uang. Dan inflasi menurunkan nilai dari uang simpanan mereka. Karena itu timbul pendapat, apabila tambahan yang diterima lebih kecil atau sama dengan inflasi, maka tambahan tersebut bukan riba. Walaupun tambahan tersebut diterima tanpa kejelasan manfaat. Lebih lanjut, mereka berpendapat bahwa tambahan akan menjadi riba hanya bila
121
Iwan P. Pontjowinoto
tambahan itu berlipat ganda. Selama masih sedikit, tambahan itu bukan riba. Pendapat tersebut mungkin kesalahpahaman atas firman Allah SWT (QS 03:130) yang memerintahkan kepada orangorang yang beriman agar jangan mengambil untung dengan riba yang lipat ganda yang berlipat ganda dan mereka diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah supaya beruntung. Istilah yang dipakai untuk pengertian lipat ganda yang berlipat ganda adalah adh’afan mudhaa’afatan. Untuk lebih jelasnya, baiklah kita simak firman Allah SWT lainnya yang berkaitan dengan riba dan berlipat ganda. Allah SWT telah berfirman (QS 30:39) bahwa riba yang manusia peroleh dengan maksud untuk menambah pada harta manusia, tidak menambah pada sisi Allah. Tetapi, segala yang manusia berikan dari zakat dengan maksud untuk memperoleh ridha Allah SWT, maka mereka yang berbuat demikian itu akan menjadi orang-orang yang memperoleh hasil secara berlipat ganda. Istilahnya adalah mudh’ifuuna, artinya orang-orang yang mudhaa’afatan. Jadi, jelas bahwa riba yang besar maupun yang kecil, tetap saja riba. Dan, tentu saja, tetap haram.
Riba bersifat “memabukkan”. Orang yang mengambil riba akan “kesetanan” dan berusaha melipatgandakan keuntungan. Padahal, yang diperoleh dari riba tidak akan menambah kekayaan seseorang di dunia ataupun di akhirat. Berbeda dengan sedekah atau zakat yang diberikan semata-mata karena mengharap ridha Allah, akan dibalas dengan pahala berlipat ganda, di dunia dan akhirat.
122
HINDARI RIBA
Sebagai ilustrasi, mungkin kita bisa mengambil hikmah dari kisah Robin Hood. Dalam kisah ini, Robin Hood menjadi pahlawan karena membela rakyat kecil. Namun caranya cukup “menarik”, yaitu dengan mencuri harta dari orang kaya yang zhalim. Niatnya baik, hasilnya juga bermanfaat bagi rakyat kecil. Tetapi cara memperolehnya dilakukan dengan melanggar hukum, baik hukum positif maupun prinsip agama (syariah). Karena itu, yang dilakukan oleh Robin Hood tetap saja salah, tetap saja berdosa, dan tetap saja haram. Demikian pula halnya dengan korupsi. Apa pun yang dilakukan dengan menggunakan harta hasil korupsi, meskipun digunakan untuk beramal, disedekahkan kepada rakyat miskin, membangun rumah-rumah ibadah, tetap saja korupsi itu haram.
Ibnu Khaldun menyatakan. “Bila pekerjaan penduduk sebuah daerah (negara) dibagibagikan semua sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan penduduk itu (spesialisasi atau fokus), maka (jumlah) hasilnya akan lebih banyak daripada bila masing-masing penduduk berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Kelebihan (produksi) tersebut akan dikeluarkan untuk memenuhi keinginan serta hasrat penduduk daerah itu, dan kelebihan berikutnya untuk memenuhi kebutuhan penduduk daerah-daerah lain. Para penduduk akan saling mengambil barang-barang yang mereka butuhkan dan yang mereka kehendaki dari penduduk yang memiliki
123
Iwan P. Pontjowinoto
surplus, melalui tukar-menukar atau jual-beli. Maka, penduduk yang memiliki surplus akan mendapat bagian yang baik dari kekayaan (mendapat keuntungan).”
Pernyataan Ibnu Khaldun tersebut mengusung pengertian bahwa penduduk harus terus mencari jalan untuk mengetahui tingkat kebutuhan yang optimal, begitu pun cara mendistribusikan hasil produksi secara optimal. Karena hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan secara penuh, maka di beberapa tempat akan terjadi ketidakseimbangan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga harga akan naik—bila permintaan lebih besar, atau harga akan turun— bila penawaran lebih besar. Apabila penduduk yang memiliki surplus barang/jasa memperoleh keuntungan, maka daya belinya akan meningkat. Akibatnya permintaan akan meningkat, bukan hanya atas kebutuhan pokok tetapi juga atas kebutuhan sekunder atau kemewahan. Sehingga harga-harga secara umum akan meningkat. Akan timbul inflasi. Namun karena kemampuan dan kekayaan juga meningkat, maka inflasi merupakan dampak yang logis atas pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut Ibnu Khaldun menyatakan: “Kekayaan (harta/aset) tidak akan berkembang bila dana yang terhimpun (tabungan) hanya ditimbun atau ditumpuk (istilahnya, kanzul maal) sehingga tidak dimanfaatkan dalam kegiatan ekonomi. Dana suatu masyarakat akan tumbuh dan bertambah bila digunakan seluruhnya untuk kesejahteraan masyarakat, memenuhi
124
HINDARI RIBA
hak-hak masyarakat, serta mengurangi penderitaan masyarakat. Penggunaan dana yang demikian akan membuat masyarakat makin baik, pada gilirannya akan membuat negara makin kuat dan makmur sehingga dapat mencapai kedaulatannya.”
Oleh karena itu, Pemerintah harus menyediakan sarana agar dana (kekayaan) masyarakat dapat digunakan dengan aman dan baik, guna mencapai hasil yang optimal. Sehingga pertumbuhan hasil produksi serta tingkat keuntungan yang dicapai oleh masyarakat akan lebih tinggi dari tingkat kenaikan harga (inflasi) akibat peningkatan keuntungan dan ketidakseimbangan distribusi barang dan jasa. Dengan demikian, jelas bahwa inflasi merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi, selama pertumbuhan produksi lebih tinggi dari inflasi serta tersebar dengan baik dan wajar, maka masyarakat tetap akan menikmati hasilnya. Dalam hal ini, kesalahpahaman mengenai riba—yang lebih kecil dari inflasi adalah halal—tidak perlu terjadi.
Perintah Meninggalkan Riba Allah SWT telah berfirman kepada orang-orang yang beriman agar mereka bertakwa kepada Allah dan meninggalkan apa yang tersisa dari riba yang belum dipungut, jika memang beriman (QS 02:278). Karena itu, sebagai manusia yang beriman, kita harus mulai meninggalkan transaksi dengan riba, walaupun hanya dilakukan secara bertahap, dan percaya kepada Allah bahwa kita akan tetap memperoleh hasil yang baik dan halal dengan meninggalkan riba.
125
Iwan P. Pontjowinoto
Allah SWT juga telah memperingatkan bahwa barangsiapa yang telah menerima pengetahuan atau peringatan dari Tuhannya menyangkut riba, lalu berhenti melakukan transaksi riba, maka baginya apa yang telah lalu yaitu yang telah diambilnya sebelum datang larangan. Dan, Allah SWT menegaskan bahwa kebijakan maupun perhitungan atas apa yang telah lalu adalah menjadi hak prerogatif dari Allah SWT Namun, Allah SWT juga memperingatkan bahwa siapa saja yang kembali melakukan transaksi dengan riba walaupun sudah mendapat peringatan, maka mereka itu adalah penghuni-penghuni neraka dan mereka akan kekal di dalam neraka (QS 02:275). Kemudian, Allah SWT “Dana suatu masyarakat men deklarasikan dalam akan tumbuh dan Kitab Suci (QS 02:279) bertambah bila bahwa jika manusia tidak digunakan seluruhnya mau meninggalkan transaksi untuk kesejahteraan dengan riba, akan ada permasyarakat” nyataan perang dari Allah SWT dan rasul-Nya. Namun, jika manusia bertobat dari bertransaksi dengan riba, maka baginya pokok hartanya. Pada akhirnya, Allah SWT memberikan pedoman pokok tentang riba, bahwa manusia yang tidak bertransaksi dengan riba adalah manusia yang tidak berlaku zhalim dan tidak pula mau diperlakukan zhalim. Karenanya, manusia tersebut akan bertransaksi melalui perniagaan yang berlaku secara saling ridha. Pedoman ini juga berarti bahwa larangan riba berlaku baik bagi manusia yang menerima riba, maupun yang membayar atau memberi riba, baik secara sukarela maupun karena terpaksa.
126
HINDARI RIBA
Pada 1985, ketika kembali dari tugas kerja di Hongkong, saya mengambil kredit pemilikan mobil di suatu bank. Sewaktu mengadakan pengikatan perjanjian kredit, pejabat bank mengatakan bahwa perhitungan bunga mengikuti sistem effective annual rest. Terus terang, saya tidak terlalu paham sistem tersebut, tetapi saya malu bertanya. Akibatnya, saya “sesat di jalan”. Ternyata yang dimaksud dengan annual rest adalah bunga dibebankan di awal tahun. Misalnya, saya pinjam Rp.50 juta dengan bunga 25%, maka sehari setelah saya tandatangani pinjaman, saldo hutang saya menjadi Rp.62,5 juta, yaitu pokok Rp.50 juta ditambah bunga (untuk setahun) Rp.12,5 juta. Kalau saya mau melunasi di pertengahan tahun, tetap saja saya harus membayar bunga untuk satu tahun. Wah, saya merasa dizhalimi. Tapi, salah sendiri, kenapa mau! Ternyata perasaan saya pada pertengahan 1980-an itu tergambar dalam firman-firman Allah SWT mengenai riba. Mungkin perasaan yang sama dialami oleh orang-orang yang belanja berlebihan dengan kartu kredit dan ternyata tidak sanggup membayar kewajibannya. Atau, nasabah bank yang mengambil kredit untuk kegiatan yang spekulatif, namun tetap mendapat kredit karena menyodorkan jaminan yang bagus. Setelah usaha yang dijalankannya tidak berhasil karena spekulatif dan akhirnya kredit macet, lalu jaminan disita. Sedih sekali! Dalam kasus saya di tahun 1985, bila terjadi jual-beli atas mobil tersebut, di mana penjual sudah menyerahkan mobil tapi saya belum melunasi pembayaran, maka saya beruntung sudah bisa mendapatkan mobil walaupun belum membayar lunas. Sedangkan keuntungan penjual berkurang karena
127
Iwan P. Pontjowinoto
tidak menerima pembayaran secara lengkap, padahal sudah menyerahkan mobil. Oleh karena itu, harus ada kompensasi atau tambahan yang saya diberikan kepada penjual. Namun, kompensasi atau tambahan tersebut harus lebih kecil dari manfaat yang akan saya terima karena sudah menerima mobil walaupun belum melunasi pembayarannya. Kompensasi ini harus dinyatakan di muka dan disepakati oleh saya dan penjual mobil. Berapa besar kompensasi yang selayaknya saya berikan? Kompensasi atau tambahan tersebut saya berikan karena saya mendapat manfaat, yaitu sudah menerima mobil meskipun belum melunasi pembayaran. Nilai manfaat tersebut merupakan fungsi dari pemakaian mobil oleh saya dan jangka waktu pelunasan. Untuk itu, saya dan penjual harus bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan nilai tambahan dan cara pembayarannya. Kesepakatan tersebut harus berada dalam koridor manfaat yang saya terima. Kalau penjual tidak sepakat, tentunya transaksi batal. Kemudian, ternyata penjual tidak memiliki kemampuan keuangan untuk memberikan fasilitas penundaan tersebut. Dalam hal ini, penjual dapat mencari pihak lain—bank—untuk membantu memberikan fasilitas penundaan. Motivasi utama penjual tentunya adalah agar mobil terjual dan penjual mendapat untung. Apabila saya dan pihak lain tersebut dapat mencapai kesepakatan atas nilai tambahan dan cara pembayaran, barulah transaksi dapat dijalankan. Penjual menyerahkan mobil dan menerima pembayaran total harga tunai atas mobil tersebut dari saya (berupa “uang muka”) dan dari pihak lain (bank). Saya menerima mobil dan mempunyai kewajiban membayar cicilan atau angsuran
128
HINDARI RIBA
kepada pihak lain (bank) tersebut. Dan pihak lain (bank) yang membayar pelunasan harga tunai atas mobil akan mempunyai hak menerima pembayaran cicilan atau angsuran dari saya sesuai dengan kesepakatan. Bila saya jujur dan berhati-hati dalam menghitung perkiraan manfaat yang saya terima, serta saya menjalankan kewajiban saya kepada pihak lain tersebut, maka semua pihak akan bahagia, dan bertambah kaya, dengan cara syariah. Tetapi, dalam kasus saya sewaktu menerima pinjaman dengan bunga effective annual rest, saya menerima manfaat karena bisa memakai mobil walaupun belum membayar lunas. Karena itu saya wajib memberi tambahan. Namun, tambahan yang berupa besarnya bunga tidak dikaitkan atau dibandingkan dengan manfaat yang saya terima. Ditambah lagi, sebenarnya syarat dan kondisinya tidak jelas bagi saya, sehingga saya diperlakukan secara zhalim. Akibatnya, tambahan yang saya bayar menjadi riba. Bank mungkin bahagia, penjual mobil juga bahagia, tetapi saya akan tersenyum “kecut” karena terpaksa membayar riba.
Dalam suatu seminar, saya pernah ditanya, apakah mengambil uang dari ATM bank konvensional itu halal? Penanya ini kemudian mengambil ilustrasi tentang memasak makanan yang zatnya halal, tetapi karena memakai alat masak yang sama dengan alat masak yang baru saja dipakai untuk memasak makanan haram, maka makanan yang zatnya halal tadi menjadi haram. Alasannya, ada kemungkinan bahan masakan yang haram tadi
129
Iwan P. Pontjowinoto
masih melekat di alat masak tersebut sehingga mencemari makanan yang zatnya halal itu. Saya teringat peristiwa tahun 2003 sewaktu ikut rombongan Bapak BJ Habibie ke kantor pusat Islamic Development Bank di Jeddah. Pada saat itu, BPPN sedang mengadakan tender untuk menjual Bank BCA yang sudah direkapitalisasi. BCA jelas bukan bank syariah, tetapi BCA memiliki sistem pembayaran yang terbaik pada saat itu. Selain itu, BCA juga ditunjang oleh jaringan ATM, EDC, merchant dan sistem kartu yang paling luas dan paling banyak pemakainya pada saat itu. Karena itu, saya mengusulkan kepada Pak Habibie untuk meminta dukungan IDB untuk membeli BCA. Bukan untuk dijadikan bank syariah, karena komposisi nasabah BCA pada saat itu dirasakan belum cocok untuk jasa perbankan syariah. Tetapi usulan saya adalah untuk spin-off sistem pembayaran BCA dan dijadikan unit usaha terpisah. Kemudian unit usaha ini akan menyediakan jasa pelayanan ATM dan merchant untuk seluruh bank umum syariah, BPR syariah, dan semua lembaga keuangan syariah—termasuk BMT, Koperasi, dan sebagainya. Saya bayangkan, bila semua lembaga keuangan syariah—besar, kecil, maupun yang mikro—bisa terlayani dengan sistem ini, lembaga keuangan syariah bisa tumbuh pesat. Usulan ini diterima oleh Pak Habibie. Kemudian karena keahlian Pak Habibie bernegoisasi, usulan ini diterima oleh Presiden IDB. Tapi sayang, tim kami di Indonesia tidak berhasil menjalankan rencana ini sehingga usulan ini—dan dukungan IDB—hanya menjadi cerita belaka. Sayang sekali!
130
HINDARI RIBA
Pertanyaannya sekarang, apakah ada perbedaan antara sistem pembayaran yang sesuai syariah dengan sistem pembayaran yang berlaku di bank umum di Indonesia? Sistem pembayaran mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu sistem bayar dari simpanan—yang lazim disebut sebagai sistem bayar debit, dan sistem bayar atas transaksi yang telah dilaksanakan di muka atau sistem bayar tertunda—yang lazim disebut sebagai sistem kredit. Sistem simpan-bayar untuk mengambil uang melalui ATM adalah suatu mekanisasi dari proses pengambilan uang di kantor cabang suatu bank. Karena melalui mekanisasi, maka diperlukan sarana identifikasi. Sarana identifikasi pada masa kini umumnya berupa kartu seperti kartu penduduk atau paspor. Untuk transaksi keuangan, sarana tersebut umumnya berupa kartu plastik dengan fasilitas pengecekan data. Dulu, pengecekan data dilakukan dengan tanda tangan, kemudian dilakukan dengan menggunakan data magnetis, data grafis (bar-code), dan foto. Sekarang, sebagian besar menggunakan data digital. Dengan memakai kartu tersebut—yang untuk ATM disebut sebagai kartu ATM, maka nasabah bisa mengambil uang yang disimpan di bank yang bersangkutan melalui ATM. Pada masa lalu, ATM yang dapat digunakan hanyalah ATM dari bank di mana nasabah menyimpan uangnya. Tetapi dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, saat ini nasabah dapat pula mengambil uang dari ATM bank lain. Karena uang adalah uang, tidak ada perbedaan antara uang yang dipakai di bank konvensional dengan bank syariah. Dan
131
Iwan P. Pontjowinoto
karena selama uang dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah dan dijamin nilainya. Maka uang tersebut adalah halal. Sehingga tidak ada tindakan yang melanggar prinsip syariah dalam mengambil uang dari ATM bank konvensional selama seluruh syarat administrasi terpenuhi. Kartu identitas untuk transaksi keuangan, yang dikenal dengan nama kartu ATM dan kartu kredit, telah berkembang dengan cukup pesat. Saat ini kartu identitas dapat memuat data digital, menjadi store-card, dan menjadi kartu pintar (smart card) dengan chip yang dapat diprogram untuk memuat data dan transaksi. Karena dapat memuat data dan transaksi, maka kartu identitas tadi dapat pula berfungsi seperti buku-tabungan. Bank Muamalat telah menjadi pelopor penggunaan storecard untuk menjadi bukti penyimpanan uang—seperti buku tabungan—yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran pada tempat-tempat yang terhubung dengan bank. Kartu tersebut diberi nama ‘Shar-e’. Dengan menggunakan perangkat penerima data secara elektronik (electronic data capture atau EDC), penjual dapat menerima pembayaran dari nasabah Bank Muamalat dengan mendebet dana nasabah melalui transaksi atas data yang tersimpan dalam kartu Shar-e. Jika dananya telah habis, nasabah dapat melakukan setoran dana melalui tempattempat yang telah ditentukan, dan data di dalam kartu Shar-e akan di’up-date’ untuk merefleksikan saldo dana yang baru. Produk kartu simpan-bayar (store card), seperti Shar-e, sekarang sudah diterbitkan oleh banyak bank. Termasuk Bank BCA dengan kartu Flash, dan Bank Mandiri dengan e-Toll. Karena pada dasarnya kartu tersebut adalah semacam buku tabungan, maka dana yang disimpan sebenarnya dapat pula
132
HINDARI RIBA
diperlakukan seperti tabungan. Oleh sebab itu, bank dapat memberikan bagi hasil atas saldo dana yang mengendap di kartu simpan-bayar tersebut. Hasilnya, nasabah merasa bahagia karena memperoleh kemudahan dalam simpan-bayar dan tetap memperoleh bagi hasil. Penjual produk atau jasa juga berbahagia karena bisa menerima pembayaran secara digital, bank juga bahagia bisa memperoleh dana simpanan dan fee.
Semua bahagia, semua kaya—dan sesuai syariah.
Di samping sistem simpan-bayar, bank dan lembaga keuangan bisa memberikan jasa pembayaran untuk transaksi jual-beli. Sistem pembayaran untuk transaksi jual-beli sebenarnya sederhana, yaitu sistem untuk melaksanakan pembayaran dari suatu pihak yang menerima suatu barang atau jasa (disebut pembeli) kepada pihak lain yang memberikan barang atau jasa tersebut (disebut penjual). Tetapi, kadangkala pembeli dan penjual tidak bertemu di suatu tempat, mungkin karena memang lokasi atau domisilinya berbeda, sehingga pembeli harus mengirim uang tersebut ke alamat penjual. Mungkin juga karena pembeli adalah suatu perusahaan atau organisasi, sehingga pembayaran harus melalui suatu proses untuk administrasi yang baik. Mungkin juga pembeli tidak mau repot-repot membawa uang, sehingga perlu proses untuk membuktikan bahwa transaksi telah terjadi, barang atau jasa telah diterima, sehingga penjual bisa yakin akan memperoleh pembayaran di kemudian hari.
133
Iwan P. Pontjowinoto
Perkembangan proses tersebut memerlukan empat sarana, yaitu (1) sarana identifikasi penjual dan pembeli, (2) sarana untuk membuktikan hak penjual untuk mendapatkan pembayaran, (3) sarana penjaminan bahwa pembeli akan melakukan pembayaran kepada penjual dalam waktu tertentu, dan (4) sarana untuk membuktikan bahwa pembeli sudah melakukan pembayaran. Sarana identifikasi serupa dengan sarana identifikasi untuk ATM. Sarana pembuktian hak penjual untuk mendapatkan pembayaran umumnya diberikan dalam bentuk pernyataan pembeli bahwa pembeli telah menerima barang/jasa dan akan melakukan pembayaran, yang umumnya diperkuat dengan tanda tangan pembeli. Tantangan terbesar adalah pada sarana penjaminan pembayaran. Pihak yang paling lazim memberikan jaminan semacam ini adalah pihak bank umum. Ikatan untuk memberi jaminan atas kewajiban suatu pihak kepada pihak lain dalam istilah syariah disebut Akad Kafala. Pada masa lalu, jaminan ini diberikan dalam bentuk cek atau giro yang diterbitkan oleh bank, kemudian diisi oleh pembeli dan dilengkapi dengan tanda tangan. Sekarang, jaminan diberikan melalui perangkat eletronik yang merupakan kombinasi dari kartu identifikasi pembeli dan perangkat EDC. Dengan ikatan penjaminan (akad kafala) antara bank dengan pembeli, maka penjual akan mendapat kepastian bahwa pembayaran akan diterima, tentunya bila persyaratan administratif dipenuhi. Untuk kemudahan, biasanya penjual telah melakukan perikatan dengan suatu bank atau lembaga keuangan untuk memastikan diterimanya pembayaran dari pembeli.
134
HINDARI RIBA
Dalam istilah perbankan, pembeli adalah pemegang kartu (cardholder), bank yang memberikan jaminan atas nama pembeli dengan menerbitkan kartu adalah penerbit kartu (issuer), penjual adalah pedagang (merchant), dan bank yang memberikan jaminan kepada penjual dan akan mewakili penjual menagih pembayaran ke bank penjamin adalah penerima tagihan (acquirer). Setelah terjadi transaksi, penjual akan menagih ke bank (acquirer). Bila syarat lengkap maka bank (acquirer) akan melakukan pembayaran kepada penjual. Kemudian bank (acquirer) akan mewakili penjual untuk menagih ke bank (issuer). Jika syarat lengkap, maka bank (issuer) akan membayar ke bank (acquirer). Dan akhirnya bank (issuer) akan menagih ke pembeli, dan pembeli membayar ke bank (issuer). Tentunya akan ada persyaratan mengenai waktu pembayaran, baik dari bank (acquirer) ke penjual, dari bank (issuer) ke bank (acquirer), dan dari pembeli ke bank (issuer). Ikatan antara pembeli (cardholder) dengan bank (issuer) adalah ikatan penjaminan—dengan Akad Kafala. Ikatan antara penjual dengan bank (acquirer) adalah ikatan pengalihan hak tagih—dengan Akad Hawala. Dan ikatan antara bank penjamin pembeli (issuer) dengan bank wakil penjual (acquirer) adalah ikatan pengalihan hak tagih—dengan Akad Hawala. Ikatan-ikatan tersebut memberi hak kepada bank untuk menerima imbal jasa (fee). Dalam istilah perbankan, imbal jasa yang diterima bank (acquirer) dari penjual disebut sebagai merchant discount, nilainya menurut syariah dapat merupakan bagian (prosentase) dari nilai tagihan. Imbal jasa yang diterima bank (issuer) dari bank (acquirer) disebut interbank fee, nilainya
135
Iwan P. Pontjowinoto
menurut syariah dapat merupakan bagian (prosentase) dari nilai tagihan. Dan akhirnya, imbal jasa yang diterima bank (issuer) dari pembeli (cardholder) adalah imbal jasa pengelolaan pembayaran yang nilainya tetap dan dapat dipungut secara periodik yang biasa disebut annual fee, dan imbal jasa penjaminan pembayaran yang menurut syariah nilainya dapat merupakan bagian (prosentase) dari nilai tagihan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, selama tidak ada beban biaya atau imbal jasa yang dikaitkan dengan nilai dan jangka waktu penundaan pembayaran, maka tidak ada hal-hal yang bertentangan dengan prinsip syariah dan tidak ada pihak yang berlaku atau diperlakukan secara zhalim. Tentunya, tidak diharapkan penjual menaikkan harga untuk transaksi dengan sistem ini. Tetapi hal ini tidak dilarang, selama pembeli tidak berkeberatan. Bila jumlah transaksi dengan sistem ini cukup dominan, maka tentunya penjual dapat menyesuaikan sistim penentuan harga. Terlepas dari nama atau istilah yang dipakai, sistem pembayaran untuk transaksi jual-beli ini adalah halal, tidak ada riba.
Semua pihak akan bahagia, dan bertambah kaya dengan cara syariah.
“Bagaimana kalau kita mau membeli barang atau bahkan jasa yang sangat kita perlukan, tetapi saat itu kita tidak memiliki dana cukup untuk membayar secara tunai?” “Bila barang atau jasa tersebut sangat kita perlukan dan bermanfaat bagi kita, serta dengan memiliki barang atau jasa
136
HINDARI RIBA
tersebut kita bisa makin produktif, dapatkah kita membeli barang tersebut dengan sistem bayar cicil?” Contohnya ketika seseorang jatuh sakit atau ada keluarganya yang sakit dan memerlukan pengobatan tetapi tidak memiliki uang tunai untuk membayar lunas. Bila tidak diobati maka kehidupan orang tersebut akan terganggu, dan produktivitas berkurang. Contoh lain adalah bila seseorang mendapat peluang pekerjaan yang membutuhkan peralatan tertentu, misalnya komputer, kamera atau lainya, di mana dengan keahliannya maka keuntungan dari pekerjaan itu akan cukup untuk membayar harga peralatan tersebut. Dapatkah sistem pembayaran membantu untuk bayar cicil? Jawabannya, tentu bisa! Ikatan yang digunakan dalam transaksi ini adalah Akad Murabaha, yaitu membeli dengan fasilitas penundaan pembayaran—termasuk cicilan. Ikatan ini lazimnya diadakan antara penjual dengan pembeli yang dalam sistem pembayaran kita disebut merchant dan cardholder. Tetapi bila penjual (merchant) tidak mempunyai kemampuan keuangan atau administrasi untuk member fasilitas bayar cicil, maka dapat saja bank (issuer) yang membantu. Hanya saja, caranya harus sesuai agar terhindar dari keadaan zhalim (riba). Fasilitas ini mirip dengan fasilitas yang diberikan oleh bank umum konvensional dengan memakai kartu identitas yang disebut “kartu kredit”. Dalam hal ini, pembeli (cardholder) yang memiliki kartu kredit bisa membeli barang di penjual (merchant) dengan otorisasi dari bank (issuer). Kemudian bank
137
Iwan P. Pontjowinoto
(issuer) memberi fasilitas kredit sehingga pembeli (cardholder) bisa membayar dengan cara mencicil. Namun, ada kondisi yang bisa membuat keadaan zhalim. Dalam skim yang diberikan oleh bank umum konvensional, pembeli bisa menentukan jumlah cicilan selama lebih tinggi dari nilai pembayaran minimum yang ditentukan oleh bank (issuer). Kelihatannya menarik bukan? Tapi, tunggu dulu, bank (issuer) berhak meminta tambahan yang besarnya ditentukan secara sepihak oleh bank (issuer) menurut sisa harga yang belum dibayar dengan besar tambahan tidak ditentukan dimuka. Akibatnya, jumlah pembayaran bisa membesar tanpa disepakati terlebih dahulu oleh pembeli (cardholder). Karena fasilitas terlihat “sangat menarik”, maka pembeli (cardholder) tidak bisa berfikir dengan jernih atau waras sehingga seakan-akan “kesetanan” dan cenderung akan mengambil risiko yang berlebihan. Persis seperti ungkapan dalam firman Tuhan (QS 02:275) yang menyatakan bahwa orang-orang yang bertransaksi dengan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena sentuhan atau menyentuh setan. Mereka “kesetanan riba” dan tidak dapat berfikir dengan waras. Dalam sistem pembayaran yang antiriba, sebelum memberi fasilitas bayar cicil bank (issuer) harus memastikan bahwa pembeli memiliki kemampuan untuk membayar cicil. Banyak cara untuk memastikan hal ini, termasuk dengan melihat data pendapatan bulanan dan sejarah transaksi. Kemudian, bank (issuer) harus memberi penawaran dimuka atas fasilitas bayar cicil ini dengan memberi rincian jumlah tambahan (marjin)
138
HINDARI RIBA
yang diminta serta jumlah dan jadwal cicilan. Pembeli harus mengetahui tawaran bank sebelum mengambil keputusan untuk menerima tawaran dan terikat dalam akad murabaha. Mekanisme pelaksanaannya tidak terlalu sulit karena kemajuan dari teknologi informasi dan telekomunikasi. Contohnya, kita bisa “membeli” pulsa telepon dengan mengirim pesan SMS, kemudian operator telepon menambah pulsa kita dan bank mendebit dana kita. Mengikuti cara tersebut, salah satu alternatif adalah setelah pembeli (cardholder) menentukan akan membeli barang atau jasa yang akan dibayar cicil dari penjual (merchant), maka melalui perangkat EDC, penjual (merchant) akan memberitahu bank (acquirer dan issuer) bahwa pembeli (cardholder) meminta fasilitas bayar cicil selama waktu tertentu. Kemudian, melalui data dan fasilitas telekomunikasi yang dimiliki, bank (issuer) mengirim penawaran bayar cicil melalui pesan SMS kepada pembeli (cardholder). Bila pembeli (cardholder) setuju, pembeli (cardholder) mengirim pesan SMS ke bank (issuer). Setelah kesepakatan dicapai, bank (issuer) memberikan otorisasi kepada penjual (merchant) untuk melakukan transaksi. Penjual menerima pembayaran, pembeli menerima barang atau jasa, dan bank menerima imbal jasa.
Semua bahagia, semua kaya. “Apa bedanya dengan kartu kredit biasa?” “Mengapa tidak menjadi riba?” Jawabannya sederhana, bank harus mengetahui kemampuan pembeli sebelum memberikan fasilitas bayar cicil. Fasilitas hanya diberikan untuk barang atau jasa yang bersifat barang modal usaha kecil atau untuk keadaan darurat. Pembeli mengetahui
139
Iwan P. Pontjowinoto
pasti tambahan (marjin) serta jumlah dan jadual pembayaran. Bila terjadi masalah, bank tidak boleh meminta tambahan (marjin) lagi—apalagi yang dikaitkan dengan waktu. Semua sesuai Akad Murabaha, kondisi zhalim dapat dihindari.
Insya Allah halal, insya Allah kaya dan bahagia, dengan cara syariah.
140
Bab 8
Kendalikan Risiko Dubai adalah salah satu dari tujuh emirat di Uni Emirat Arab.
Pada 1999, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke Dubai, sewaktu diajak oleh Dirjen Hubungan Ekonomi Luar Negeri untuk menjajaki kerja sama investasi di Indonesia. Wah, waktu itu saja saya sudah tercengang melihat bandara Dubai, lapangan golf, dan pembangunan menara-menara komersial. Apalagi sekarang, pastilah sudah jauh berbeda dibanding tahun 1999. Dubai World adalah salah satu BUMN Dubai yang bergerak dalam pembangunan infrastruktur. Melalui anak perusahaannya bernama Al Nakheel, Dubai World mengembangkan properti wisata yang mewah, seperti The Palm Island—konsep perumahan megah yang teletak di tengah laut berbentuk pohon kurma, The Dubai Mall—salah satu Mall terbaik di dunia, dan Burj Dubai—gedung tertinggi di dunia yang memiliki ketinggian sekitar 800 meter.
141
Iwan P. Pontjowinoto
Proyek-proyek Al Nakheel dibiayai dengan modal dan utang. Salah satu di antaranya adalah dengan menerbitkan sukuk (obligasi syariah) dengan akad ijarah (sewa) pada Desember 2006. Sukuk Al Nakheel memegang rekor sebagai sukuk ijarah terbesar di dunia, nilainya mencapai US$3,52 miliar (lebih dari Rp.30 triliun), dengan jangka waktu tiga tahun dan memberikan imbal hasil berupa sewa dengan besaran 6,345% per tahun. Sukuknya disebut sebagai ”Pre-QPO Equity-link Sukuk Ijarah”. Pre-QPO adalah Pre Qualified Public Offering. Maksudnya, bila Al Nakheel atau Dubai World atau anak perusahaan Dubai World akan menawarkan saham kepada publik, maka pemegang sukuk berhak untuk membeli saham pada harga diskon sebelum penawaran umum. Bingung, ya! Sukuk diterbitkan pada Desember 2006 dan akan jatuh tempo Desember 2009. berkaitan dengan prinsip Pada Oktober-November kehati-hatian dalam 2008 terjadi krisis keuangan pengambilan risiko, yaitu dunia yang dipicu oleh gharar, khamar, dan masalah pembiayaan properti maysir. Gharar adalah di Amerika Serikat. Proyek ketidakjelasan yang Al Nakheel adalah properti merugikan.” mewah untuk kegiatan wisata. Pada November 2009, setahun setelah krisis keuangan global dan sebulan sebelum jatuh tempo, sukuk Al Nakheel dinyatakan tidak dapat dibayarkan pada saat jatuh tempo. Alamak!
“Istilah yang digunakan
142
KENDALIKAN RISIKO
Dubai salah satu ”keajaiban” zaman modern, pembiayaan dengan cara syariah. Pertanyaannya, kok bisa macet? Kenapa bisa gagal bayar? Apa yang salah?
Konsep Risiko Dalam kehidupan, manusia memang selalu menghadapi ketidakpastian. Perubahan atau ketidakpastian hasil selain dapat menguntungkan, juga dapat merugikan. Karena itu, manusia harus berupaya mengelola dampak negatif dari perubahan atau ketidakpastian. Nabi Muhammad SAW pernah mengajarkan. “Manfaatkan masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, masa lapangmu sebelum datang masa sempitmu, masa hidupmu sebelum datang kematianmu. Karena kamu tidak tahu apa yang akan menimpamu esok hari.”
Dalam dunia ekonomi, terdapat faktor-faktor penyebab dari sesuatu kejadian yang membawa kerugian, seperti pendapatan yang lebih kecil dari pengeluaran, terlambat atau bahkan tidak diterimanya pembayaran, tidak ada uang tunai pada saat harus melakukan pembayaran, dan sebagainya. Ada risiko yang melekat dalam sistem ekonomi, yang disebut sebagai risiko sistemik. Ada pula risiko yang terkait dengan kondisi industri, kondisi persaingan, atau bahkan kondisi internal perusahaan. Di samping faktor-faktor yang secara langsung menjadi penyebab—yang sering disebut sebagai peril, juga terdapat suatu hal atau kondisi yang meningkatkan kemungkinan terjadinya
143
Iwan P. Pontjowinoto
kerugian. Misalnya kelalaian administrasi, pemakaian yang tidak semestinya, mengabaikan aturan, dan sebagainya. Hal atau kondisi itu disebut sebagai hazard. Kombinasi hazard dan peril umumnya menjadi risiko, di mana risiko atas kemungkinan terjadinya kerugian bisa menjadi masalah bila tingkat kepastian terjadinya risiko semakin tinggi. Karena kerugian yang tidak diperkirakan akan memberi dampak negatif yang lebih tinggi. Boleh jadi Anda bertanya, “Apakah hazard dan peril itu?” Secara umum, hazard atau hal dan kondisi yang “Setelah berhasil meningkatkan risiko menmeluncurkan tiga reksa derita kerugian terbagi dana di tahun 1996, maka dua. Pertama, kondisi yang pada tahun 1997 mulai ditimbulkan oleh karak temencoba mewujudkan ristik dari suatu objek yang mimpi saya dengan dapat menimbulkan risiko. meluncurkan reksa dana Kedua, kondisi yang ditimsyariah.” bulkan oleh perilaku atau sudut pandang seseorang yang dapat menimbulkan tingkah laku yang merugikan atau meningkatkan risiko, baik secara sengaja (direncanakan) ataupun tidak. Dalam bahasa bisnis, kelompok pertama disebut physical harazd, sedangkan kelompok kedua dinamakan moral hazard. Cuaca buruk yang mengganggu jarak pandang meningkatkan kemungkinan terjadinya kecelakaan, baik kecelakaan di jalan raya, di udara, maupun di laut. Cuaca buruk adalah physical hazard, sedangkan kecelakaan yang terjadi adalah peril. Pengusaha yang berani mengambil pinjaman dalam valas untuk kegiatan usaha dengan pendapatan rupiah, maupun spekulasi
144
KENDALIKAN RISIKO
dalam investasi serta pembiayaan rumah yang digunakan untuk spekulasi adalah moral hazard. Sedangkan krisis moneter tahun 1997/1998 dan krisis keuangan tahun 2008 yang terjadi akibat moral hazard tersebut adalah peril. Biaya atau kerugian yang timbul akibat peristiwa peril yang disebabkan oleh kedua moral hazards tersebut, bukanlah sekadar kerugian langsung yang diderita oleh pengusaha, investor, maupun lembaga keuangan yang melakukan kesalahan tersebut. Tetapi juga menimpa pihak-pihak lain yang secara sadar maupun tidak sadar—atau bahkan terpaksa—terkait dengan pengusaha, investor, lembaga keuangan, maupun sistem keuangan yang bersangkutan. Padahal, perilaku atau mental yang tidak berhati-hati, tanpa peduli akan risiko yang mungkin ditimbulkan, sangat dilarang oleh syariah.
Pengendalian Risiko Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk mencari kebahagiaan di akhirat, namun tidak boleh melupakan bagiannya atas kenikmatan dunia yang halal dan thoyib (QS 28:77). Nabi Muhammad SAW juga telah mengajarkan bahwa: “Ibadah itu sepuluh bagian, dan sembilan bagian di antaranya adalah mencari rezeki yang halal.” “Dunia adalah sebaik-baik kendaraan, dengannya orang dapat meraih kebaikan dan dapat selamat dari kejahatan.” “Dunia adalah ladang akhirat.”
145
Iwan P. Pontjowinoto
Jadi, jelas bahwa manusia diperintahkan juga untuk mencari kebahagiaan di dunia. Artinya tingkah laku, keberhasilan, dan kebaikan di dunia akan menjadi investasi yang akan dinikmati di akhirat. Dan, untuk itu manusia harus berusaha. Sementara itu, tidak ada manusia yang mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi di kemudian hari. Oleh karenanya, manusia harus mengambil keputusan di dalam ketidakpastian. Bagaimana pedoman untuk memegang prinsip kehati-hatian dalam pengambilan keputusan di tengah ketidakpastian? Dalam firman-Nya (QS 35:05), Allah SWT telah menegaskan bahwa janji-Nya adalah benar, oleh karena itu Allah SWT memerintahkan agar dalam menjalani hidup, manusia tidak boleh tertipu atau terpedaya oleh kehidupan dunia. Kemudian Dia juga menegaskan agar manusia jangan tertipu atau terpedaya tentang Allah SWT Secara umum, kita tertipu karena masuk ke dalam kondisi yang memberikan informasi yang tidak benar atau menyesatkan. Akibatnya, kita salah pengertian dan sering mengambil keputusan yang salah. Kondisi seperti itu sering disebut sebagai physical hazard. Keputusan yang salah tersebut tidak akan kita ambil bila kita mendapat informasi yang benar. Sehingga dapat dikatakan kita tertipu oleh kondisi physical hazard dan mengambil keputusan yang salah sehingga mengalami kerugian. Dalam melakukan transaksi, pihak yang menawarkan seharusnya memberikan informasi yang jelas sehingga tidak menimbulkan kondisi yang membuat pihak lain terperdaya. Istilah yang dipakai dalam Kitab Suci untuk terperdaya adalah
146
KENDALIKAN RISIKO
taghararan. Sedangkan istilah untuk keadaan yang memperdaya atau physical hazard adalah gharar. Bila ada pihak yang dengan sengaja memberikan informasi yang tidak jelas atau tidak lengkap atau salah sehingga menimbulkan kondisi yang merugikan atau meningkatkan risiko—kondisi gharar, maka pihak tersebut berdosa. Seharusnya manusia mengambil keputusan hanya apabila telah mempunyai informasi yang memadai, serta mempunyai keyakinan atas informasi yang dimilikinya. Namun seringkali manusia berani mengambil keputusan walaupun sebenarnya belum mempunyai informasi yang memadai atau belum mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengambil keputusan tersebut. Akibatnya jelas, mengalami kerugian. Bila manusia harus mengambil keputusan di tengah ketidakpastian, berarti harus berani mengambil risiko. Bagaimana prinsip kehati-hatian dalam pengambilan risiko? Allah SWT telah berfirman tentang meminum khamar dan melakukan maysir. Dikatakan bahwa khamar, maysir dan zalamu adalah perbuatan keji yang berasal dari perbuatan setan (QS 05:90). Menjelaskan hal ini, Allah SWT menyatakan bahwa pada khamar dan maysir terdapat beberapa manfaat dan dosa yang besar. Tetapi karena dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya, karena itu Allah SWT melarang manusia untuk melakukannya (QS 02:219). Khamar adalah minuman yang memabukkan, maysir adalah mengambil risiko yang berlebihan, dan zalamu adalah mengundi nasib dengan anak panah. Maysir dan zalamu tergolong judi. Lebih lanjut diperintahkan untuk menjauhi perbuatan ini karena setan memperdaya manusia untuk melakukan perbuatan itu
147
Iwan P. Pontjowinoto
dengan maksud agar timbul permusuhan dan kebencian di antara manusia, yang akan menghalangi manusia dari zikir dan shalat, dari mengingat dan menyembah Tuhan (QS 05:91). Karena itu, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menjauhi perbuatan-perbuatan itu agar mendapatkan keberuntungan (QS 05:90). Jadi, untuk mencapai kehati-hatian, manusia tidak boleh mengambil risiko yang kemungkinan mendapat kerugian lebih besar dari kemungkinan mendapat manfaat. Dengan demikian, manusia akan mendapat keberuntungan. Contoh lain dalam kehidupan sehari-hari adalah mengendarai mobil. Apakah mengemudi mobil di jalan raya dengan kecepatan 140 km per jam adalah mengambil risiko yang berlebihan? Jawabannya tergantung. Maksudnya tergantung pada kondisi. Setidaknya tergantung pada kondisi mobil, jalan, lalu lintas, cuaca, dan pengemudi. Bila mobil yang dikendarai adalah mobil Formula-1, di jalan raya yang bernama sirkuit balap, lalu lintas yang hanya boleh dilalui oleh mobil Formula-1 untuk mengikuti balapan, dengan kondisi cuaca baik, dan pengemudinya sekelas Michael Schumacher, bahkan kecepatan lebih dari 200 km per jam pun masih dianggap dalam risiko yang terkendali, masih memenuhi prinsip kehati-hatian. Istilah yang digunakan dalam firman Allah SWT berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dalam pengambilan risiko, yaitu gharar, khamar, dan maysir. Gharar adalah ketidakjelasan yang merugikan. Khamar adalah minuman yang memabukkan, sehingga orang yang meminumnya mungkin mengambil keputusan di luar kesadarannya. Maysir adalah mengambil risiko yang melebihi kemampuan menanggulangi akibat dari
148
KENDALIKAN RISIKO
risiko tersebut. Nabi Muhammad SAW menguraikan masalah ini dengan menggunakan tamsil tentang larangan jual-beli ikan yang masih berada di dalam air (laut). Di Indonesia, jual-beli ikan dalam air sama seperti analogi membeli kucing dalam karung. Bagaimana penjelasan menjual atau membeli ikan dalam air? Dalam ilmu fisika dijelaskan bahwa air membiaskan cahaya. Karena itu, sesuatu yang masih ada di dalam air bisa tampak berbeda dengan kondisi yang sebenarnya. Informasi yang diterima mengenai objek transaksi melalui penglihatan kita, bisa memperdaya. Artinya bila terjadi transaksi jual-beli sesuatu, penjual tidak boleh memberikan informasi yang sengaja dibuat atau diketahui sebagai “tidak jelas” atau bahkan yang menyesatkan. Ibarat ikan di dalam air. Jika hal seperti ini terjadi, berarti penjual menciptakan kondisi gharar. Dalam hal ini penjual yang bersalah, sementara pembeli akan tertipu atau terperdaya. Begitu juga dengan se“Dalam Akad Salam, suatu yang ada di dalam karung, misalnya kucing, petani dan pembeli harus mempunyai bukti dan hanya dapat diketahui keberadaannya melalui perubahan keyakinan akan kuantitas bentuk karung, mungkin dan kualitas hasil panen.” juga lewat bunyi (suara), atau baunya. Maka, tidak mungkin seseorang mengetahui dengan jelas spesifikasi dari sesuatu yang ada di dalam karung tersebut. Kalau pembeli tetap
149
Iwan P. Pontjowinoto
melakukan transaksi jual-beli, padahal ia tidak mempunyai informasi yang memadai mengenai objek transaksi, maka pembeli telah mengambil risiko yang berlebihan. Pembeli telah melakukan maysir. Pembeli yang bersalah, bukan penjual. Walaupun tentunya itikad baik penjual diragukan, karena menjual sesuatu yang masih ada di dalam karung, dan tidak bisa diketahui dengan jelas spesifikasinya. Oleh karena itu, untuk memegang prinsip kehati-hatian dalam kegiatan ekonomi, manusia harus terlebih dahulu memahami manfaat dan risiko dari pilihan-pilihan yang tersedia sebelum mengambil keputusan, terutama bila memasuki situasi yang merupakan “zero-sum game”.
Jurus Tolak Risiko I: Nisbah Hutang Atas Modal Salah satu masalah utama dalam kegiatan usaha adalah mencari dana untuk membiayai usaha tersebut. Sumber dana utama adalah dari pemilik atau pendiri atau dalam hal perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas disebut sebagai pemegang saham. Menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia, dana setoran modal tersebut dibukukan sebagai saham. Tetapi sering kali—hampir selalu—modal disetor tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan dana hingga manajemen perusahaan lalu mengambil utang. Sesuai dengan ikatan yang dibuat, modal (saham) adalah dana yang ditempatkan ke dalam perusahaan dan tidak direncanakan untuk ditarik kembali dari perusahaan, sampai perusahaan tersebut dibubarkan. Sedangkan dana yang dibukukan sebagai utang, harus dikembalikan pada waktu tertentu, sesuai dengan ikatan
150
KENDALIKAN RISIKO
(kesepakatan) yang dibuat pada saat dana tersebut ditempatkan sebagai utang. Kemudian, sebagai imbalannya, dana yang disetorkan sebagai modal (saham) akan mendapat bagi hasil dari keuntungan usaha setelah dipotong pajak, yaitu dalam bentuk dividen. Sedangkan dana yang ditempatkan untuk jangka waktu tertentu dan dibukukan sebagai utang akan mendapat imbalan sesuai dengan kesepakatan. Di sini timbul peluang untuk terjadinya kondisi zhalim yang membawa risiko. Coba kita simak pertanyaan-pertanyaan berikut. “Apakah kesepakatan pemberian imbalan atas penempatan dana tersebut sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari penggunaan dana tersebut?” “Bagaimana penggunaan dana tersebut?” “Apakah ada ketentuan tertentu mengenai penggunaan dana tersebut?” “Apakah dana tersebut hanya boleh digunakan untuk membiayai aset tertentu atau kegiatan tertentu?” “Bila hanya untuk membiayai aset tertentu atau kegiatan tertentu, bagaimana manfaat yang diperoleh dari aset atau kegiatan tertentu tersebut?” “Bila imbalan dihitung bukan berdasarkan manfaat, bagaimana bila imbalan tersebut lebih besar dari manfaat yang diperoleh?” Kemudian, masalah hak yang terkait dengan pengembalian dana yang ditempatkan. Dana modal (saham) jelas haknya, yaitu berhak atas seluruh kekayaan (aset) perusahaan dikurangi dengan kewajiban (utang) perusahaan—yang terdiri dari
151
Iwan P. Pontjowinoto
kewajiban lancar (jangka kurang dari 12 bulan) dan kewajiban jangka panjang. Bila kekayaan dikurangi kewajiban lebih kecil dari jumlah dana modal yang telah disetor—maka pemegang saham rugi. Sedangkan kalau selisihnya positif, pemegang saham untung. Dana yang ditempatkan untuk jangka waktu tertentu dan dibukukan sebagai utang mempunyai hak atas kekayaan perusahaan sesuai dengan nilai kewajibannya. Namun, bila ternyata kekayaan perusahaan lebih kecil dari kewajibannya, maka pihak yang menempatkan dana tersebut mengalami kerugian. Pertanyaan yang penting dikemukakan adalah: “Apakah pada waktu penempatan, pihak pemilik dana menyadari dan siap untuk mengalami kerugian?” “Bagaimana jaminan atas pengembalian dana sebagaimana telah disepakati?” Dari kedua hal tersebut di atas, yaitu imbalan atas penempatan dana dan jaminan untuk pengembalian dana, jelas terdapat risiko akan terjadinya kondisi zhalim, yaitu zhalim atas perusahaan bila imbalan lebih besar dari manfaat dan zhalim kepada pemilik dana bila ternyata dana tersebut tidak bisa dikembalikan sesuai kesepakatan. Karena itu, Nabi Muhammad SAW menganjurkan batasan tertentu atas nisbah (rasio) uang orang lain terhadap modal pemilik usaha. Dalam konteks pembukuan modern, batasan itu adalah rasio kewajiban (utang) atas modal atau debt-to-equity ratio, yang juga dikenal sebagai struktur modal (capital structure). Tahun 1999, saya memimpin Danareksa. Pada saat menerbitkan Reksa Dana Syariah, K.H. Ma’ruf Amin yang
152
KENDALIKAN RISIKO
bertindak sebagai Dewan Pengawas Syariah meminta usulan saya tentang nisbah utang atas modal ini. Mungkin karena beliau memandang bahwa nisbah yang berlaku pada masa kini harus disesuaikan dengan kondisi aktual yang berlaku. Saya kemudian meminta teman-teman di Danareksa untuk memilih 100 emiten saham yang tercatat di BEJ menurut criteria screening yang ditetapkan oleh Pak Kiai. Kemudian, kami menghitung rata-rata rasio struktur modal dari 100 emiten tersebut. Data rasio tersebut kemudian saya sampaikan ke Pak Kiai. Tahun 2001, DSN MUI menerbitkan fatwa tentang Reksa Dana Syariah dengan ketetapan batas maksimum nisbah utang terhadap modal adalah 82%. Kemudian, tahun 2003, Bapepam mencanangkan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Batas nisbah tersebut kemudian dicantumkan dalam Keputusan Bapepam. Selanjutnya, tahun 2007, ketika saya menyelesaikan program S-3 di Unpad, saya mengadakan penelitian atas struktur modal optimal untuk perusahaan yang telah mencatatkan sahamnya di bursa dan telah menerbitkan obligasi. Hasil penelitian tersebut menjadi disertasi doktor saya, dan hasilnya telah saya sampaikan ke Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Bapepam-LK. Alhamdulillah, berarti DSN dan Bapepam-LK telah mengetahui cara yang ilmiah berdasarkan data empiris untuk menghitung nisbah utang terhadap modal yang optimal. Bila diterapkan, ketentuan nisbah utang terhadap modal ini dapat mengurangi risiko terjadinya kondisi zhalim dan risiko yang berlebihan. Bila diterapkan dalam kasus Al Nakheel, Dubai World, mungkin malapetaka yang terjadi dapat dihindari. Bila diterapkan, insya Allah dapat menjadi jurus tolak risiko.
153
Iwan P. Pontjowinoto
Hasilnya, semua akan bahagia, semua akan kaya dengan cara syariah.
Ikatan (akad) yang dipakai dalam sukuk (obligasi) yang diterbitkan oleh Al Nakheel, sebagaimana diceritakan di bagian awal bab ini, adalah Akad Ijarah. Akad ini adalah akad syariah. Hanya saja, ada beberapa hal yang mengganjal. “Mengapa terjadi gagal bayar?” “Siapa yang salah?” “Apakah akadnya ataukah cara penerapannya?” Kegiatan usaha lazimnya memerlukan aset tertentu untuk menjalankan usahanya. Usaha produksi memerlukan pabrik atau sarana produksi. Usaha jasa transportasi memerlukan alat transportasi, seperti kapal, pesawat terbang, bus, truk atau mobil. Usaha penjualan atau ritel memerlukan toko atau tempat menjajakan produk yang dijualnya. Usaha jasa telekomunikasi memerlukan perangkat telekomunikasi. Begitu pula dengan jenis usaha lainnya. Perusahaan dapat memiliki sendiri aset produktif tersebut kalau memiliki cukup dana untuk itu. Bila tidak, perusahaan bisa mencari pembiayaan untuk memiliki aset produktif itu. Atau dapat juga perusahaan menyewa aset produktif itu. Yang penting bagi perusahaan adalah dapat memakai manfaat atau kemampuan dari aset produktif tersebut. Bila menyewa, maka pada hakikatnya terjadi kerja sama antara pemilik atau penguasa aset dengan perusahaan yang memerlukan manfaat atau kemampuan dari aset tersebut. Agar
154
KENDALIKAN RISIKO
tercapai keadilan, perlu diadakan bagi hasil atas pemanfaatan aset atau kemampuan produksi dari aset. Sistemnya bagi hasil yang dilakukan atas pemanfaatan aset ataupun kemampuan produksi dari aset, setara dengan sewa atas manfaat atau aset tersebut. Bagi hasil dapat dianggap sebagai upah atas pemanfaatan aset. Dalam istilah syariah, upah adalah ujroh dan akadnya disebut ijarah. Esensi dari kerja sama ini adalah adanya manfaat atau kemampuan dari suatu aset. Atas pemakaian manfaat atau kemampuan tersebut dikenakan upah (ujroh) atau sewa. Dan untuk menghindari keadaan gharar atau keraguan yang merugikan, harus jelas keberadaan dan penguasaan aset tersebut, dan jelas manfaat atau kemampuan yang menjadi objek kerja sama. Kemudian, untuk menghindari kondisi maysir atau pengambilan risiko yang berlebihan, maka bagi pihak pemakai (penyewa) harus jelas hasil yang dapat diperoleh dari penggunaan manfaat atau kemampuan tersebut. Besaran hasil ini menjadi batasan dari besaran nilai upah atau sewa (ujroh) yang akan dikenakan. Dalam kasus Al Nakheel, ternyata aset yang memberikan manfaat atau kemampuan tersebut belum dibangun. Bahkan untuk membangun aset yang dimaksud akan digunakan dana US$3,52 miliar yang diperoleh dari penerbitan sukuk ijarah. Dana lebih dari Rp.30 triliun adalah dana yang sangat besar. Untuk membangun aset senilai US$3,52 miliar, tentu memerlukan waktu yang cukup lama. Sementara jangka waktu sukuk ijarah hanya 3 tahun, tidak memadai untuk bisa membangun dan memperoleh hasil sewa yang diperlukan.
155
Iwan P. Pontjowinoto
Apalagi mengingat aset yang dimaksud adalah aset wisata yang mewah. Imbal hasil (sewa) yang dijanjikan adalah 6,345% per tahun atau dalam 3 tahun berarti 19,035%. Jika untuk membangunnya saja membutuhkan waktu 12 bulan untuk membangun—ini juga cukup mustahil, dan seluruh aset mewah tersebut disewa selama 18 bulan, maka nilai keuntungan dari sewa—dipotong biaya operasi dan biaya lainnya—harus lebih dari 1% per bulan. Hal yang sangat sulit dilaksanakan. Jadi, salah akadnya atau salah yang menerapkan akad? Belum lagi opsi membeli saham sebelum IPO pada harga diskon, membawa peluang kondisi keraguan yang merugikan (gharar) dan godaan untuk mengambil risiko yang berlebihan (maysir). Yang jelas, kerja sama antara pemilik atau penguasa aset dengan pihak atau perusahaan yang memerlukan manfaat atau kemampuan dari aset tersebut adalah kerja sama yang akan saling menguntungkan. Bila dijalankan sesuai dengan ketentuan, jurus sewa manfaat akan membuat semua pihak kaya, semua pihak bahagia.
Jurus Tolak Risiko III: SBSN Instrumen pembiayaan jangka panjang yang lazim di pasar modal adalah obligasi. Menurut ketentuan Bapepam-LK, obligasi adalah surat pengakuan utang jangka panjang yang diterbitkan oleh suatu pihak atas pinjaman uang dari masyarakat dengan imbalan bunga tertentu dan pembayaran secara berkala. Bila yang menerbitkan surat pengakuan utang tersebut adalah Pemerintah (atas nama Negara), namanya menjadi Surat Utang Negara (SUN). Dan menurut ketentuan Undang-undang, SUN
156
KENDALIKAN RISIKO
adalah surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia. Dalam dunia keuangan, imbal hasil yang diberikan oleh efek yang diterbitkan oleh negara disebut sebagai risk-free return. Maksudnya, imbal hasil yang bebas risiko. Sebenarnya bukan benarbenar bebas risiko, tetapi risiko yang terkandung di dalamnya adalah risiko yang akan dihadapi oleh semua efek di negara itu. Jadi, karena semua menghadapi hal yang sama, maka risiko tersebut menjadi titik acuan, alias dianggap tidak ada, sehingga SUN menjadi acuan untuk semua efek utang yang konvensional. Tetapi, bagaimana untuk efek yang syariah? Adakah efek yang dapat dipakai sebagai acuan untuk efek syariah?
“Bank Century harus memberikan informasi yang memadai kepada nasabah—Bank Century harus menghindari kondisi gharar.”
Sejak UU tentang Surat Utang Negara ditetapkan pada tahun 2002, saya telah beberapa kali bertemu dengan Pak Fuad Rachmany, Pak Rahmat Waluyanto, dan Pak Dahlan Siamat untuk menyampaikan usulan penerbitan SUN Syariah. Mengingat obligasi syariah dapat diterbitkan dengan memakai ketentuan UU mengenai obligasi (konvensional), maka saya usulkan bagaimana kalau diterbitkan SUN Syariah dengan memakai ketentuan mengenai SUN. Pada prinsipnya, Pak Fuad dan teman-teman di PMON sangat mendukung diterbitkannya SUN Syariah, tetapi karena UU tentang SUN sangat spesifik sehingga secara hukum kurang tepat bila dipakai untuk
157
Iwan P. Pontjowinoto
menerbitkan SUN Syariah. Di samping itu, banyak pertanyaan mengenai struktur (ikatan/akad) dan nama dari efek tersebut. Istilah surat utang dirasa kurang tepat. Selain itu, penerbitan SUN tidak harus didukung oleh suatu aset tertentu, sedangkan sukuk ijarah harus didukung oleh suatu aset tertentu. Bagaimana seharusnya? Obligasi adalah istilah Indonesia yang berasal dari bahasa Inggris, obligation. Artinya, kewajiban. Namun istilah yang dipakai untuk obligasi dalam bahasa Inggris adalah bond. Arti kata bond adalah ikatan. Sedangkan padanan kata ikatan dalam bahasa Arab adalah akad. Pada awal penerbitan obligasi yang sesuai dengan prinsip syariah, digunakan istilah obligasi syariah. Tetapi kemudian istilah “obligasi syariah” diganti dengan istilah sukuk, yakni dari istilah bahasa Arab yang padanan katanya dalam bahasa Indonesia adalah surat berharga. Sedangkan istilah yang dipakai dalam UU Pasar Modal untuk surat berharga adalah efek. Jadi, obligasi adalah kewajiban adalah bond adalah
ikatan adalah akad adalah sukuk adalah surat berharga adalah efek. Seru juga, ya? Sementara itu, dalam kaidah syariah dinyatakan bahwa tidak boleh membayar utang dengan mengambil utang baru. Istilah dalam dunia perbankan untuk praktik tersebut adalah evergreen loan. Maksudnya, utang yang tidak pernah terbayar lunas. Mungkin istilah umum yang lumrah di Indonesia adalah gali lubang (untuk) tutup lubang. Lalu, kapan beresnya?
158
KENDALIKAN RISIKO
Mengapa istilah obligasi atau bond dihindari? Ternyata mirip dengan istilah pinjaman atau kredit yang juga dihindari. Obligasi atau bond, secara umum dikenal sebagai surat utang, dan umumnya memberi hasil berupa bunga. Karena ada kaidah tidak boleh membayar utang dengan utang, yang kemudian diartikan bahwa tidak boleh berinvestasi pada utang. Dan juga, karena pinjaman dalam bahasa Arab adalah qard, dan istilah qard umumnya bersambungan dengan hasanah menjadi qard al hasan. Maknanya, pinjaman untuk kebaikan. Pada qard al hasan tidak boleh ada tambahan atau bagi hasil. Oleh karena istilah pinjaman atau kredit dihindari, mestinya istilah obligasi dan bond juga dihindari. Dengan demikian, untuk penempatan dana yang harus dikembalikan kembali dan berhak mendapat bagi-hasil atau marjin atau sewa, istilah yang tepat untuk digunakan adalah pembiayaan. Dan digunakan istilah sukuk yang berarti sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas: 1) kepemilikan aset berwujud tertentu; 2) nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu; atau 3) kepemilikan atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu. Dengan definisi tersebut, tentunya instrumen seperti yang diterbitkan tanpa ada kejelasan nilai manfaat atau proyek atau aset tertentu tidak bisa dinamakan sukuk. Bagaimana dengan yang diterbitkan oleh Al Nakheel seperti yang dituturkan di atas? Silakan analisa sendiri.
159
Iwan P. Pontjowinoto
Akhirnya, pada 2008, lebih dari lima tahun sejak saya presentasikan SUN Syariah ke Pak Fuad Rachmany dan temanteman, UU tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) ditetapkan oleh Presiden. Menurut UU tersebut, SBSN atau Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti penyertaan dalam aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Oleh karena harus jelas adanya penyertaan dalam aset tertentu, diharapkan SBSN akan membuat semua bahagia, semua kaya, dengan cara syariah.
Jurus Tolak Risiko IV: DSN Tahun 1995, waktu saya bersama Glenn Yusuf, Agus Prodjosasmito, dan Edgar Ekaputra Suyanto diangkat menjadi Direksi di Danareksa, masing-masing mengajukan “mimpi” yang akan kita wujudkan di Danareksa. Mimpi saya adalah mengembangkan Islamic mutual fund, walaupun waktu itu sebenarnya saya belum tahu apa itu Islamic mutual fund. Alhamdulillah, rupanya Allah SWT sudah menentukan bahwa tahun itu diterbitkan UU tentang Pasar Modal yang juga mengatur tentang reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK)—yang merupakan implementasi mutual fund dalam sistem hukum di Indonesia. Setelah berhasil meluncurkan tiga reksa dana di tahun 1996, maka pada tahun 1997 mulai mencoba mewujudkan mimpi saya dengan meluncurkan reksa dana syariah. Waktu itu, kami tidak bisa menemukan pakar di Indonesia yang faham tentang Islamic mutual fund atau reksa dana syariah.
160
KENDALIKAN RISIKO
Teringat amar pepatah malu bertanya sesat di jalan, kami mencoba mencari informasi dan pendapat dari para ulama serta teman-teman di bank syariah dan asuransi syariah. Beruntunglah karena saat itu sudah banyak lembaga perbankan syariah yang membentuk Dewan Pengawas Syariah, seperti di Bank Muamalat, Syarikat Takaful, dan Bank Syariah Mandiri. Ibarat gayung bersambut, kami segera menghubungi beliaubeliau yang duduk di Dewan Pengawas Syariah. Ternyata, banyak di antara mereka yang belum memahami pasar modal—apalagi reksa dana—dan tidak ada referensi yang jelas mengenai pasar modal dan reksa dana dari sudut pandang syariah. Alhamdulillah, K.H. Ma’ruf Amien bersedia mempelajari lebih lanjut, sehingga kami ajukan nama beliau ke Bapepam. Lebih bersyukur lagi, karena ajuan kami diterima oleh Bapepam sehingga reksa dana syariah yang pertama dapat diluncurkan. Namun, tidak berarti masalahnya selesai. Kenapa? Karena, berani memakai nama “syariah” berarti harus pula siap bertanggung jawab atas “kehalalan” reksa dana tersebut. Kami, di Danareksa, jelas tidak memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi, kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi? Kemudian, mencuat ide untuk meminta para ulama berkumpul dan membahas perihal pasar modal. Tetapi karena cakupan pasar modal cukup luas—sehingga mungkin jadi tidak efektif, maka diputuskan untuk membatasi pembahasan hanya pada reksa dana. Aries Mufti—waktu itu menjabat Direktur Bank Muamalat—bersedia membantu. Maka, Danareksa menjadi sponsor bagi Bank Muamalat untuk mengadakan Lokakarya Ulama tentang Reksa Dana Syariah.
161
Iwan P. Pontjowinoto
Lucu juga ya, Bank Muamalat tidak ada urusan dengan reksa dana, tetapi mengadakan lokakarya ulama tentang reksa dana. Segala hajat baik selalu diberkahi. Begitulah. Allah SWT meridhai niat baik kami. Lokakarya ulama yang membahas pandangan syariah tentang Reksa Dana ternyata bahkan mengajukan rekomendasi untuk membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) guna mengawasi dan mengarahkan lembagalembaga keuangan syariah secara nasional, serta menjadi rujukan bagi Dewan Pengawas Syariah pada semua lembaga keuangan syariah. Dengan demikian, akan terbentuk kesatuan pendapat dan fatwa ulama yang akan mengurangi peluang perbedaan pendapat yang mungkin berpeluang “membingungkan”. Tentu saja, buah dari semua itu, risiko melakukan kesalahan dalam mengikuti prinsip syariah dapat dikurangi, karena ada DSN yang secara nasional menerbitkan fatwa-fatwa yang diperlukan. Selain itu, fatwa-fatwa DSN dapat digunakan sebagai rujukan atau acuan sehingga kondisi gharar dan maysir dapat dihindari. Akhirnya, di tahun yang sama, 1999, MUI membentuk DSN. Lalu, pada April 2000, ditentukan pedoman dasar dan pedoman pelaksanaan DSN. Kemudian, pada Juni 2003, diterbitkan SK tentang pengembangan organisasi dan keanggotaan DSN untuk periode 2000-2005. Alhamdulillah, saya mendapat amanah untuk ikut dalam Badan Pelaksana Harian dari DSN. Sungguh, banyak ilmu dan pengalaman yang saya peroleh selama “terjun” dalam kegiatan DSN. Ilmu tersebut kemudian berkembang dan sebagian saya paparkan dalam buku yang
162
KENDALIKAN RISIKO
sedang Anda baca ini. Mudah-mudahan bisa menambah amal ibadah kita. Dan, insya Allah, semua bahagia dan semua ‘kaya’
akan amal ibadah. Jurus Tolak Risiko V: Saling Tolong, Saling Jamin Salah satu jurus mengendalikan risiko adalah mengalihkan risiko, yang dikenal sebagai asuransi. Menurut ketentuan undang-undang, asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana salah satu pihak menjadi penanggung dan mengikat diri kepada pihak lain yang menjadi tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian atau pembayaran tertentu karena terjadinya suatu risiko pada pihak tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti. Risiko yang ditanggung meliputi risiko karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau karena tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, atau karena meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Tetapi, tertanggung tetap menghadapi suatu risiko, yaitu bila penanggung terjadi tidak dapat atau tidak mau memberikan penggantian atau pembayaran sebagaimana disepakati. Bagaimana cara mengelola risiko dengan adil? Allah SWT telah berfiman (QS 5:2) agar manusia saling tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa. Dalam firman ini, Tuhan mengggabungkan kebajikan dan takwa. Ada pelajaran yang penting dalam firman ini. Manusia diperintahkan untuk saling tolong menolong dalam kebajikan, yaitu dengan
163
Iwan P. Pontjowinoto
saling memberikan kebaikan. Namun, dalam usaha saling memberikan kebajikan, manusia diingatkan untuk bertakwa— untuk menerima takdir Allah SWT Yaitu, bila ternyata usaha mereka untuk saling tolong menolong tidak memberikan hasil sebagaimana yang mereka harapkan. Pertama, saling tolong menolong melalui Akad Ta’awun dengan membentuk suatu dana kumpulan untuk kepentingan bersama. Kedua, saling melindungi melalui Akad Takaful untuk memberikan perlindungan (santunan, penggantian, pembayaran) atas terjadinya suatu risiko sebagaimana yang telah disepakati bersama. Hal ini disebut ta’awun wa takafuli. Karena niatnya adalah saling tolong menolong, maka dana kumpulan adalah dana yang dimaksudkan untuk mendapat berkah dari Allah SWT Dana yang terkumpul disebut sebagai dana tabarru’. Dan karena niatnya untuk menolong, peserta saling tolong ini memberikan dana melalui Akad Hibah atau Akad Tabarru’ sehingga peserta seharusnya tidak boleh mengambil kembali (sisa) uangnya yang diberikan ke dalam dana kumpulan itu. Agar perlindungan dapat diberikan sesuai dengan harapan peserta, tentunya diperlukan kemampuan untuk menghitung risiko—kemampuan aktuaria, kemampuan untuk mengadministrasikan dana—mulai dari penagihan, pencatatan, pembukuan, sampai pembayaran, serta kemampuan mengelola sebagai dana investasi—agar diperoleh hasil pengembangan. Yang perlu dipahami, tujuannya adalah untuk saling tolong menolong dan saling melindungi sesuai dengan kemampuan yang ada. Jadi bila ternyata kemampuannya terbatas, maka
164
KENDALIKAN RISIKO
perlindungan yang diberikan mungkin tidak sesuai harapan. Mungkin saja dana tabarru’ tidak cukup untuk memberikan perlindungan kepada peserta yang mengalami risiko yang terakhir. Tetapi selama tetap mengingat firman Tuhan untuk saling tolong menolong dalam kebajikan dan takwa, apa pun yang terjadi, semua akan merasa bahagia—dan merasa kaya.
Jurus Tolak Risiko VI: Jaminan PHK Bagi sebagian besar kita yang tidak punya bakat, nyali, dan kemampuan untuk berwirausaha, maka pilihan yang paling aman adalah bekerja di suatu perusahaan. Namun, pilihan yang paling aman itupun mempunyai risiko yang cukup besar. Salah satu yang paling menakutkan adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kegiatan usaha menurun (downsizing) atau bahkan perusahaan terancam ditutup, baik karena masalah internal maupun karena kondisi pasar atau ekonomi. Bagaimana solusinya? Sebenarnya, Pemerintah berkewajiban mengupayakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Salah satu upaya yang utama adalah mengusahakan lapangan kerja bagi seluruh rakyat yang mampu dan mau bekerja. Dan, bila ada yang kehilangan pekerjaan, seharusnya Pemerintah memberi santunan atau bantuan agar dapat hidup layak selama mencari pekerjaan lain—misalnya selama 6 bulan. Akan tetapi, bagaimana bila Pemerintah tidak mempunyai anggaran yang cukup untuk memberi santunan atau bantuan tersebut (unemployment social security)?
165
Iwan P. Pontjowinoto
Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia memuat ketentuan mengenai jaminan pasca hubungan kerja yang lazim disebut sebagai uang pesangon (PHK) dan uang penghargaan masa kerja. Jaminan tersebut dihitung berdasarkan masa kerja dan gaji terakhir. Semua pemberi kerja wajib menyisihkan sebagian dari hartanya untuk jaminan pasca hubungan kerja ini, yang dibukukan sebagai kewajiban manfaat karyawan. Masalahnya, perusahaan yang mengalami penurunan kegiatan usaha, apalagi yang akan bangkrut, umumnya tidak memiliki cukup dana untuk memenuhi kewajiban manfaat karyawan tersebut. Bahkan, seringkali tidak cukup punya uang untuk bayar gaji, apalagi pesangon. Yang lebih gawat lagi, ada perusahaan yang berjalan baik tetapi direksi perusahaan tersebut “lupa” menyisihkan dana jaminan pesangon (PHK), dan komisaris atau serikat pekerjanya tidak mempersoalkan “kelupaan” ini. Gawat juga, ya! Ketika saya memimpin PT. Jamsostek di tahun 2005-2007, saya menghadapi masalah serupa. Banyak pemberi kerja dan tenaga kerja yang mengalami masalah dalam pembayaran uang pesangon (PHK). Umumnya karena perusahaan tidak membuat cadangan pesangon (PHK) sesuai ketentuan. Bahkan, saya menemukan data bahwa cadangan uang pesangon (PHK) untuk karyawan PT. Jamsostek sendiri masih kurang. Alhamdulillah, tahun 2006, kami berhasil mendapat laba usaha yang jauh lebih besar dari sasaran yang ditentukan oleh pemegang saham (Pemerintah), sehingga kami dapat menggunakan sebagian dari laba usaha (sekitar Rp.200 miliar) untuk memenuhi kekurangan yang sebenarnya harus dipenuhi oleh direksi sebelum kami menjabat.
166
KENDALIKAN RISIKO
Tetapi, bagaimana dengan perusahaan yang tidak memperoleh keuntungan? Salah satu tindakan yang dilakukan adalah “menyalahgunakan” Jaminan Hari Tua (JHT). Sesuai ketentuan yang berlaku, pemberi kerja dan tenaga kerja harus ikut program JHT. Program ini dirancang untuk mempersiapkan tabungan untuk digunakan setelah peserta mencapai hari tua—yaitu usia 55 tahun. Namun, kemudian ditambah ketentuan bahwa “tabungan” JHT dapat diambil setelah peserta tidak lagi bekerja—berarti bukan lagi memenuhi syarat sebagai tenaga kerja. Tambahan ketentuan ini lalu “diplesetkan” menjadi dapat diambil setelah 6 bulan berhenti bekerja. Plesetan ini membuat JHT seakan-akan serupa dengan jaminan pesangon. Ketika pemberi kerja melakukan PHK dan tidak dapat membayar pesangon, maka tenaga kerja yang terkena PHK bisa meminta agar JHT mereka “dicairkan”. Konsekuensinya, mereka tidak lagi punya tabungan untuk hari tua. Umumnya para pekerja tersebut berkilah bahwa mereka membutuhkan uang tersebut untuk meneruskan hidup. Tanpa uang tersebut mereka tidak bisa mencapai usia 55 tahun. Bagaimana sebaiknya? Pada awal tahun 2007, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengusulkan untuk membuat program Jaminan Pesangon dengan prinsip asuransi. Tetapi dari segi asuransi, program ini termasuk program manfaat pasti (defined benefit), karena manfaat yang diberikan ditentukan oleh UU bukan berdasarkan iuran yang dibayarkan. Akibatnya, setelah dihitung secara aktuaria, ternyata premi/iuran yang harus dibayar menjadi besar sekali. Pengusaha yang menjadi pemberi kerja keberatan dengan nilai premi/iuran yang harus dibayar. Jadi, bagaimana penyelesaiannya?
167
Iwan P. Pontjowinoto
Pada kenyataannya, masalah pesangon PHK umumnya menimpa karyawan atau buruh dengan gaji atau upah yang kecil. Dan, pada umumnya terjadi pada perusahaan yang pembukuannya tidak baik—sehingga kekurangan cadangan dana pesangon tidak diketahui dan dilaporkan dengan baik. Kalau cadangan dana pesangon mencukupi, tentunya tidak ada masalah dalam pembayaran pesangon. Jadi, yang sangat memerlukan perlindungan atau jaminan adalah tenaga kerja (karyawan/buruh) dengan gaji atau upah yang di bawah nilai tertentu—katakanlah lebih kecil dari 3x pendapatan tidak kena pajak, atau PTKP. Dalam hal ini, bisa dibuat program Jaminan Pesangon (PHK) dengan prinsip ta’awun dan takafuli. Namun, perlu diingat bahwa menurut UU yang berlaku, pembayaran uang pesangon adalah kewajiban pemberi kerja. Jadi, program Jaminan Pesangon (PHK) bukan menggantikan kewajiban pemberi kerja, melainkan program untuk membantu tenaga kerja tertentu untuk mendapatkan haknya berupa uang pesangon. Dalam program Jaminan Pesangon (PHK), dana ta’awun dikumpulkan dari pemberi kerja berupa dana amanah yang dititipkan kepada Penyelenggara program Jaminan Pesangon (PHK). Dana amanah tersebut merupakan bagian dari cadangan dana pesangon yang merupakan kewajiban pemberi kerja. Besarnya ditentukan berdasarkan perhitungan aktuaria. Selisihnya—sisa dana pesangon—tetap dikelola oleh pemberi kerja. Penerima manfaat dari dana amanah adalah tenaga kerja dengan gaji atau upah tertentu yang bekerja pada pemberi kerja tersebut.
168
KENDALIKAN RISIKO
Penyelenggara harus memiliki sistem informasi mengenai tenaga kerja yang ikut program Jaminan Pesangon (PHK), di mana tenaga kerja tersebut harus dapat mengakses data mengenai keikutsertaannya pada program dan haknya atas uang pesangon. Penyelenggara memberikan jaminan (takafuli) atas pembayaran uang pesangon. Sehingga, bila terjadi PHK atas tenaga kerja yang ikut program ini, sementara dana amanah yang dititipkan oleh pemberi kerja ternyata tidak mencukupi, maka penyelenggara harus menalangi kekurangannya. Dengan demikian, tenaga kerja tersebut mendapat jaminan akan memperoleh uang pesangon yang menjadi haknya. Kemudian, penyelenggara akan menagih kekurangan dana tersebut kepada pemberi kerja. Kewajiban pembayaran uang pesangon ditentukan oleh UU. Oleh karena itu, bila perusahaan pemberi kerja tidak dapat membayar kekurangan tersebut, maka kewajiban tersebut beralih kepada pemegang saham. Pada tahun 2006-2007, kami mengimplementasikan sistem informasi untuk pelayanan terpadu di PT. Jamsostek. Kami juga telah memperbaiki aturan akuntansi Jamsostek sehingga dapat mengelola dana amanah secara terpisah dari aset milik Jamsostek. Kami juga telah mendapatkan sertifikasi ISO 2001 untuk kegiatan operasi dan investasi di Jamsostek. Dan, pada saat itu, saldo dana cadangan teknis untuk program JKK, JK, dan JPK telah lebih besar dari total santunan untuk 3 tahun. Artinya bila dalam waktu 3 tahun jumlah klaim santunan tidak bertambah, maka Jamsostek dapat membayar santunan walaupun peserta tidak membayar iuran. Mengingat Jamsostek memiliki kompetensi teknologi, operasional, dan investasi, serta memiliki kekuatan keuangan,
169
Iwan P. Pontjowinoto
maka kami usulkan kepada Pemerintah agar program Jaminan Pesangon (PHK) tersebut diterapkan dengan menunjuk PT. Jamsostek sebagai penyelenggara. Insya Allah, bila terkena musibah PHK, tenaga kerja dengan penghasilan di bawah 3x PTKP akan memperoleh haknya berupa uang pesangon sesuai dengan ketentuan UU. Risiko masalah sosial bisa lebih terkendali. Hanya sayangnya, pada saat itu usulan kami belum diterima oleh Pemerintah.
Jurus Tolak Risiko VII: Lindung Nilai Salah satu tantangan terbesar bagi petani dan pengusaha yang bergerak dalam bidang pertanian adalah modal kerja serta kepastian harga jual. Demikian juga bagi pengrajin dan pengusaha yang mengekspor produksinya ataupun yang mengimpor bahan baku untuk produksi. Salah satu tantangan terbesar adalah modal kerja, kepastian pembayaran ekspor dan penyerahan impor, serta nilai tukar pada saat pembayaran. Oleh karena itu, baik petani, pengrajin maupun pengusaha, berusaha melakukan lindung nilai. Petani dan pengusaha pertanian memerlukan modal untuk berproduksi. Masa produksi pertanian memakan waktu yang cukup lama, hingga kadang-kadang mereka kehabisan dana. Bahkan, kadang-kadang tidak lagi memiliki uang untuk melanjutkan hidup dan bekerja, padahal belum masa panen. Bila dalam kondisi sulit itu mereka tidak mendapat dukungan pembiayaan, mereka dapat tergoda untuk menjual hasil panen dengan cara ijon. Padahal, ada cara lain yang lebih baik.
170
KENDALIKAN RISIKO
Cara yang saya maksud adalah menjual hasil panen dengan Akad Salam. Pada akad ini, pembeli dapat memberi pembayaran di muka, baik sebagian maupun seluruhnya, kemudian menerima penyerahan hasil produksi setelah panen. Loh, kok sama dengan ijon? Oh, tidak sama! Dalam akad ijon, pembeli membayar untuk seluruh panen. Karena itu, tidak jelas kuantitas, kualitas, dan waktu, serta cara penyerahan produk pertanian yang menjadi objek jual-beli. Bila hasil panen lebih banyak atau lebih baik dari perkiraan, berarti petani akan rugi. Dan, memang pada umumnya petani terpaksa menerima harga dan perkiraan jumlah yang rendah karena sangat memerlukan uang untuk terus bertahan hidup dan berproduksi. Dalam Akad Salam, petani dan pembeli harus mempunyai bukti dan keyakinan akan kuantitas dan kualitas hasil panen. Tentunya dibuat berdasarkan data dan bukti hasil panen sebelumnya. Kemudian, berdasarkan prakiraan tersebut, ditentukan kuantitas, kualitas dan waktu serta cara penyerahan. Lalu, ditentukan harga jual-beli. Bedanya dengan Akad Ijon, bila hasil panen lebih baik dari perkiraan, maka petani cukup menyerahkan dalam kuantitas dan kualitas yang telah disepakati. Kelebihannya menjadi hak—dan keuntungan—petani. Tetapi, bila hasil panen lebih buruk dari perkiraan, dan kuantitas atau kualitas tidak sesuai dengan kesepakatan, maka petani harus memenuhi kekurangannya dengan membeli dari petani lain atau dari pasar. Jadi, keuntungan petani akan lebih kecil dari yang diharapkan.
171
Iwan P. Pontjowinoto
Namun, cara dengan Akad Salam lebih adil. Pembeli akan mendapat objek jual-beli sesuai dengan kesepakatan, dan petani akan mendapat sesuai dengan hasil panen. Dengan kata lain, for better, for worse semua akan mendapat bagian sesuai takdirnya. Bagaimana dengan pengrajin atau pengusaha yang melakukan ekspor-impor? Untuk yang mengekspor, biaya umumnya dalam rupiah, sedangkan pendapatan dalam valuta asing. Untuk yang mengimpor, sebagian biaya dalam valuta asing sedangkan pendapatan dalam rupiah. Dalam titik tertentu, hal seperti ini akan membawa risiko dan menimbulkan kekhawatiran. “Bagaimana bila kurs tukar rupiah-valas berubah sehingga merugikan?” “Apakah ada jurus tolak risiko yang halal?” Jurus yang sama dapat digunakan. Tentunya dengan sedikit variasi. Tergantung pada situasi yang menimbulkan risiko. Apakah risiko timbul bila kurs rupiah-valas lebih tinggi dari perkiraan, atau lebih rendah dari perkiraan. Pengrajin atau pengusaha dapat mengadakan Akad Salam dengan bank—atau pihak lain—untuk tukar valas. Pada waktu yang ditentukan, pengrajin atau pengusaha akan membayar rupiah dengan jumlah tertentu dan akan menerima valas menurut kurs tukar yang ditentukan di muka. Atau sebaliknya, membayar valas dengan jumlah tertentu dan akan menerima rupiah menurut kurs tukar yang ditentukan di muka. Sesuai dengan Akad Salam, pengrajin atau pengusaha harus membayar sebagian dari rupiah (atau valas) di muka. Dan atas pembayaran uang muka tersebut, bank terikat untuk
172
KENDALIKAN RISIKO
menyerahkan valas (atau rupiah) pada waktu tertentu, bila pengrajin atau pengusaha melunasi pembayaran. Dan, Akad Salam juga memungkinkan bank memberi hak kepada pengrajin atau pengusaha untuk membatalkan pertukaran dengan tidak melakukan pelunasan. Tetapi, uang muka tetap menjadi hak bank. Tercipta kondisi win-win karena semua beruntung, dalam sudut pandang masing-masing.
Jurus Tolak Risiko VIII: Risiko Sistemik Pada awal tahun 1980-an, saya bekerja di IBM yang berkantor di Wisma Metropolitan, Jakarta. Pada suatu hari, ketika sedang memimpin rapat, tiba-tiba terdengar suara ledakan keras. Rupanya, ada bom mobil—mungkin bom mobil pertama di Jakarta. Kebetulan saya sedang memandang ke arah jendela sehingga saya melihat—dan mendengar—ledakan itu. Kebetulan juga, mobil saya diparkir di dekat tempat terjadinya ledakan. Saya pun segera turun dan ternyata memang lokasi mobil saya sangat dekat dengan mobil yang meledak itu. Saya segera memindahkan mobil saya dan membantu mendorong mobil-mobil yang ada di sekitar lokasi ledakan. Ternyata ada satu mobil yang tidak bisa didorong karena rem parkir terpasang. Setelah ditunggu beberapa lama, sang pemilik mobil tidak juga datang. Saya khawatir mobil itu ikut terbakar dan akan membuat situasi tambah berbahaya. Karena itu, saya mengambil batu dan memecahkan kaca jendela mobil itu. Akhirnya saya berhasil melepaskan rem parkir, dan bersama-sama kami memindahkan mobil tersebut. Setelah kebakaran reda, pemilik mobil datang. Tentu saja ia kaget melihat mobilnya sudah dipindahkan dan kaca jendelanya
173
Iwan P. Pontjowinoto
pecah. Ia marah dan bertanya siapa yang telah memecahkan kaca mobilnya. Dengan tenang saya sampaikan bahwa sayalah yang memecahkan kaca jendela mobilnya dan mengutarakan alasan mengapa melakukannya. Ternyata pemilik mobil itu tidak bisa menerima penjelasan saya, dan masih marah. Karena tidak mau ribut-ribut, saya berikan kartu nama saya dan mempersilakan pemilik mobil untuk menemui saya guna meminta ganti kerugian. Keesokan harinya, pemilik mobil datang bersama istrinya. Ternyata, ia sudah tidak marah lagi, bahkan meminta maaf karena telah memarahi saya di muka umum. Saya katakan tidak apa, saya paham, yang penting sekarang kita jadi saling kenal dan mudahmudahan di lain waktu bisa saling bantu. Cerita tersebut sering saya pakai untuk membuka diskusi ketika orang bertanya mengenai kasus Bank Century. Cerita itu saya pakai sebagai analogi untuk menjelaskan tentang risiko sistemik. Sewaktu saya dan pemilik mobil itu memarkir mobil di tempat parkir, kita tidak tahu bahwa ada mobil yang akan diledakkan—dan tentunya kita tidak tahu mobil mana yang akan diledakkan. Jadi, kita memilih tempat parkir yang paling memudahkan di antara tempat parkir yang ada. Ketika bom mobil itu diledakkan, otomatis semua mobil yang ada di sekitar bom mobil tersebut mempunyai risiko ikut terbakar. Terlepas siapa pemilik mobil tersebut, atau bagus tidaknya mobil tersebut. Dan bila mobil tersebut berisi bahan bakar yang cukup banyak dan pada gilirannya turut terbakar, tentu saja akan memperbesar dampak kebakaran. Itulah ilustrasi dari dampak sistemik.
174
KENDALIKAN RISIKO
Contoh lain adalah masalah Yunani dan Masyarakat Eropa. Yunani adalah negara kecil di bagian Selatan Eropa dengan GDP tahun 2009 hanya US$350 miliar. Sementara, GDP semua negara yang menggunakan mata uang Euro sekitar US$14 triliun. Artinya, kontribusi GDP Yunani hanya 2,5% dari total GDP Masyarakat Eropa. Dari sudut pandang perdagangan, ekspor Yunani tahun 2009 hanya US$19 miliar, dan impor US$63 miliar. Berarti, defisit perdagangan Yunani sekitar US$43 miliar. Padahal cadangan devisa Yunani hanya US$4 miliar. Total perdagangan luar negeri Masyarakat Eropa sekitar US$ triliun, di mana sekitar 60% adalah perdagangan intra Masyarakat Eropa. Tetapi, kenapa Eropa dan IMF merasa perlu menyelamatkan Yunani? Rata-rata rasio defisit fiskal negara-negara Eropa adalah 80% dan Yunani yang tertinggi dengan rasio 115%. Defisit fiskal Yunani terhadap GDP sudah mencapai 14%, sementara rata-rata negara Eropa mendekati 8%. Berarti, sumber utama pembiayaan anggaran negara-negara Eropa adalah dengan menerbitkan obligasi pemerintah. Nah, bila Yunani tidak dibantu, imbal hasil yang harus dibayarkan oleh Pemerintah Yunani atas obligasi yang telah diterbitkannya akan meningkat. Mau tidak mau, hal ini akan menular ke negara-negara Eropa lainnya. Akibatnya, Pemerintah negara -negara Eropa akan kesulitan menerbitkan obligasi. Cerita bom mobil dan kasus Yunani dapat digunakan dalam membahas masalah yang dihadapi oleh Pemerintah terkait masalah Bank Century. Ada kaitan hubungan yang tidak dapat dielakkan. Pertama, masyarakat cenderung bereaksi secara berlebihan atas suatu (berita) risiko yang berpotensi merugikan.
175
Iwan P. Pontjowinoto
Kedua, kenyataan bahwa sebagian besar aset bank di Indonesia adalah dalam bentuk Surat Utang Negara. Apabila terjadi penarikan dana yang besar, maka instrumen yang paling mudah untuk dilikuidasi adalah SUN. Akibat besarnya penawaran jual SUN, maka harga pasar SUN akan turun. Berarti imbal hasil SUN akan naik. Siapa yang harus membayar kenaikan imbal hasil SUN tersebut? Tentu saja seluruh rakyat Indonesia melalui Pemerintah. Sebenarnya di mana masalah utamanya? Menurut hemat saya, masalah utama adalah kezhaliman. Mungkin Anda bertanya, “Apa maksudnya?” Begini, nasabah yang menempatkan dana di Bank Century sebenarnya cukup mengetahui situasi Bank Century, karena sudah cukup banyak berita di media massa mengenai Bank Century. Jadi, kalau mereka tidak mau mengambil risiko, maka kemungkinan besar mereka akan menempatkan dana mereka di bank yang lebih kecil risikonya. Persoalannya, mengapa mereka tetap mau menempatkan dana di Bank Century? Pertama, karena mereka mengharapkan mendapatkan imbal hasil yang lebih besar—karena Bank Century menjanjikan bunga yang lebih besar. Apakah mungkin kita mendapatkan imbal hasil yang lebih besar, namun tetap aman? Secara teoritis, mungkin saja—walaupun secara pribadi saya kurang setuju— yaitu menempatkan dana dalam batasan yang ditentukan oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Sehingga bila terjadi masalah dengan bank tersebut, setidaknya kita masih mendapatkan kembali pokok dana yang ditempatkan tersebut.
176
KENDALIKAN RISIKO
Masalahnya, LPS memberikan batasan jumlah simpanan serta batasan bunga untuk mendapatkan jaminan LPS. Kalau simpanan kita lebih besar, terpaksa kita mengandalkan kemampuan bank mengembalikan dana simpanan kita. Kedua, ada penempatan yang dialihkan ke “reksa dana” yang dipasarkan oleh staf yang berkantor di kantor cabang Bank Century. Apakah nasabah tahu dan faham mengenai reksa dana ini? Mungkin tahu dan paham, mungkin juga tidak. Kalau nasabah tahu dan paham, seharusnya mereka siap menanggung risiko. Bila tidak tahu dan tidak paham, mengapa mereka mau memindahkan simpanan mereka ke “reksa dana” tersebut? Jadi, salah siapa? Kemudian, bagaimana tanggung jawab Pemerintah sebagai otoritas dalam perbankan dan dalam pasar modal (reksa dana)? Pertama, sebagai otoritas perbankan, sebenarnya Pemerintah sudah menerapkan jurus saling tolong-saling jamin. Pemerintah sudah mendirikan LPS, para nasabah—melalui bank tempat mereka menyimpan dana—telah membayar iuran. Dana tabarru hasil iuran para nasabah tersebut dikelola oleh LPS untuk memberikan jaminan kepada (bagian) dari para nasabah tersebut yang menderita akibat terjadinya risiko—bank tidak bisa mengembalikan simpanan mereka. Jadi, Pemerintah sudah menjalankan tugasnya. Mungkin ada pertanyaan, dapatkah jaminan tersebut ditingkatkan dengan menghilangkan batasan nilai yang dijamin—istilahnya, full guarantee? Jawabannya, ya. Tentu saja dapat. Untuk itu, nilai premi perlu dihitung dan tetap saja akan ada persyaratan yang perlu dipenuhi oleh pihak bank.
177
Iwan P. Pontjowinoto
Kemudian, mengenai peran Pemerintah terkait “reksa dana” yang dipasarkan oleh karyawan yang berkantor di Bank Century. Tentunya, Bank Century harus memberikan informasi yang memadai kepada nasabah—Bank Century harus menghindari kondisi gharar. Dan nasabah harus punya kesadaran. Nasabah harus bisa menghindari kondisi maysir. Pemerintah, melalui Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan dan melalui Bapepam selaku otoritas pasar modal, harus mengupayakan agar jangan ada pihak yang memberikan informasi yang tidak benar. Bila hal itu terjadi, maka seharusnya pihak tersebut—yang memasarkan “reksa dana” di kantor Bank Century—dikenakan tuntutan sesuai peraturan UU yang berlaku. Dengan demikian, jelas bahwa risiko sistemik adalah risiko yang nyata, yang akan dihadapi oleh semua pihak yang bersentuhan dengan dunia keuangan. Ada “biaya” yang harus dibayar untuk mengatasi dampak risiko sistemik tersebut. Biaya yang harus ditanggung oleh pemilik dana—melalui pembayaran premi LPS—dan biaya yang ditanggung oleh rakyat. Ada pilihan biaya yang ditanggung oleh rakyat, yaitu melalui peningkatan imbal hasil SUN dan SBSN, atau melalui modal Pemerintah di LPS. Yang jelas, kalau semua pihak—otoritas, lembaga keuangan, pemilik dana—bersungguh-sungguh menghindari kondisi gharar dan maysir, serta menerapkan jurus saling tolong, saling jamin, seyogyanya risiko dapat dikendalikan. Sayangnya, godaan setan memang berat. Dengan keimanan yang memadai kita akan dapat mengatasinya. Insya Allah.
Semua akan kaya, semua akan bahagia, dengan cara syariah.
178
Bab 9
Bersama Kita Bisa! T
ersebutlah suatu negara antah berantah di sebuah pulau kecil yang hanya dihuni oleh sekelompok manusia. Pulau tersebut banyak ditumbuhi pohon kelapa sehingga menarik minat kawanan monyet untuk menetap di sana. Penduduk di pulau itu—kita sebut saja Pulau Monyet—hidup sederhana, namun cukup bahagia. Pohon kelapa memberikan berbagai hasil yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, sementara monyet berperan untuk memetik kelapa, sekaligus dilatih sebagai hiburan. Pada suatu ketika, datang seorang investor asing bernama Mr. Ferry Greedy. Menurutnya, monyet-monyet di sana cocok untuk dijadikan skilled monkeys alias tenaga terlatih untuk membuat produk-produk khusus yang sangat berbahaya jika harus dikerjakan oleh manusia. Monyet-monyet itu juga dibutuhkan untuk mendukung kegiatan penelitian. Untuk kepentingan itulah, ia menemui pemuka masyarakat Pulau Monyet dan menyampaikan minatnya untuk mengekspor skilled monkeys ke luar negeri.
179
Iwan P. Pontjowinoto
Guna membuktikan keseriusannya, Mr. Ferry Greedy menunjukkan beberapa brosur dan proposal tentang pusat penelitian dan konsep produksi yang membutuhkan tenaga skilled monkeys. Rencananya, ia akan mendirikan monkeys training camp (MTC) dan membeli monyet-monyet untuk dilatih terlebih dahulu. Rencana bisnis Mr. Greedy sontak mendapat persetujuan pemuka masyarakat dan warga Pulau Monyet. Sebagai bentuk awal penanaman modal asing di sana, ia mendirikan fasilitas MTC berbentuk beberapa kandang besar untuk monyet-monyet. Ia juga mengumumkan bahwa MTC akan membeli 2.000 ekor monyet dengan harga US$10 per ekor. Penduduk kaget, namun gembira mendengar pengumuman tersebut. Mereka pun berbondong-bondong menangkap monyet untuk dijual ke MTC. Tak heran, target Mr. Greedy membeli 2.000 ekor monyet terpenuhi hanya dalam waktu satu minggu. Kemudian, Mr. Greedy menyatakan bahwa monyet-monyet tersebut ternyata “bermutu tinggi”. Karena itulah, ia kembali bermaksud membeli 2.000 ekor monyet dengan harga lebih tinggi, US$15 per ekor. Bukan main. Permintaannya lagi-lagi terpenuhi hanya dalam waktu 2 minggu. Kemudian, dengan pertimbangan populasi monyet yang telah sangat menurun, ia kembali mengumumkan bahwa harga beli monyet telah meningkat menjadi US$20 per ekor. Namun, MTC tetap bersedia membeli semua monyet yang ditawarkan. Singkat cerita, hampir semua monyet yang ada di pulau itu, atau sebanyak 4.321 ekor telah ditangkap dan dijual ke MTC. Namun, menurut Mr Greedy, permintaan luar negeri terus meningkat. Karena itulah, ia kembali mengumumkan niatnya
180
BERSAMA KITA BISA!
untuk membeli monyet. Mr. Greedy menyebut angka US$45 per ekor. Tapi sayang, sudah tidak ada lagi monyet di sana. Dengan alasan itulah Mr. Greedy pergi mencari skilled monkeys di pulaupulau tetangga. Selama Mr. Greedy pergi, pengawasan MTC ia serahkan kepada asistennya, Pak Culas. Sepeninggal Mr. Greedy, Pak Culas menemui beberapa penduduk. Setengah berbisik ia menawarkan untuk menjual monyet yang ada di MTC dengan harga US$30 per ekor kepada penduduk Pulau Monyet. Strateginya, Pak Culas akan berbohong kepada Mr. Greedy dengan mengatakan bahwa semua skilled monkeys di MTC telah kabur. Kandang-kandang di MTC jebol akibat serangan babi hutan ketika terjadi hujan lebat di suatu malam. Penduduk pun terbuai oleh tawaran Pak Culas. Maklum, terbayang keuntungan besar dari hasil penjualan monyet yang harganya telah membengkak menjadi US$45 per ekor, seperti tawaran Mr. Greedy. Dengan harga beli yang cuma US$30 per ekor, mereka akan memperoleh keuntungan 50%. Jadi, tak usah heran jika dalam waktu singkat Pak Culas berhasil menjual 4.000 ekor monyet di MTC kepada penduduk Pulau Monyet. Total jenderal, Pak Culas berhasil mengumpulkan dana sebesar US$120.000 dari hasil penjualan monyet-monyet yang selama ini ditampung di MTC. Keesokan harinya, Pak Culas minta ijin pada tetangga untuk pulang kampung. Menurutnya, ia baru menerima kabar bahwa istrinya sakit keras. Pak Culas memberikan honor US$100 kepada seorang tetangga untuk menjaga MTC selama seminggu. Tapi itulah, hingga berminggu-minggu penduduk menunggu di rumah yang penuh monyet, Pak Culas maupun Mr. Greedy tak pernah lagi kelihatan batang hidungnya di Pulau Monyet.
181
Iwan P. Pontjowinoto
Apa yang sebenarnya terjadi? Mari berhitung keuntungan yang berhasil diraup penipu ulung berkedok investor asing itu. Mr. Greedy dan Pak Culas menghabiskan dana sekitar US$70.000 untuk mendapatkan ijin penanaman modal asing, membangun MTC, membeli dan memelihara monyet. Tetapi mereka pergi dengan membawa US$120.000 atau meraup untung US$50.000 dalam waktu kurang dari 3 bulan. Fantastis! Tetapi, salah siapa?
Usaha adalah Risiko Agar berhasil dan menjadi kaya, kita harus berusaha. Dalam melakukan usaha, kita harus mengambil keputusan di tengah ketidakpastian hasil, harus berani mengambil risiko. Itu sebabnya dikenal pemeo, “Business is risk, if you don’t want to take any risk, don’t go to business”. Usaha adalah risiko, bila tidak berani mengambil risiko, maka jangan memulai suatu usaha. Sementara setiap usaha harus dibentuk berdasarkan suatu tujuan. Sebagai hamba Allah SWT, tentunya tujuan hidup adalah memenuhi perintah Allah SWT, dengan ukuran keberhasilan adalah mencapai akhir yang baik, husnul khotimah. Sehingga, usaha apa pun yang kita lakukan harus ditujukan untuk mencapai ukuran keberhasilan tersebut. Namun, bagaimana caranya? Allah SWT telah berfirman bahwa barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat, maka Allah SWT akan menambahkan keuntungan tersebut di dunia dan di akhirat. Sedangkan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia, maka Allah
182
BERSAMA KITA BISA!
hanya akan memberikan keuntungan di dunia dan tidak sedikit pun keuntungan di akhirat (QS 42:20). Allah SWT juga menyatakan bahwa manusia harus mencari apa-apa yang telah dianugerahkan Allah SWT kepadanya berupa kebahagiaan di akhirat, namun juga diperintahkan agar tidak melupakan bagiannya yang halal dari kenikmatan duniawi (QS 28:77). Di samping itu, Allah SWT juga menegaskan bahwa bagi manusia yang bertakwa, akhir lebih baik daripada awal, yang berarti hasil di akhirat lebih baik atau lebih utama daripada hasil di dunia (QS 93:04). Jadi, jelas bahwa hasil yang utama atau tujuan utama dari segala usaha dalam hidup kita sebagai hamba Allah SWT adalah memperoleh keuntungan atau kebahagiaan di akhirat. Tetapi kita diperintahkan untuk tidak melupakan hak atas hasil berupa kenikmatan yang halal di dunia. Sehingga dalam berusaha, kita harus mencari hasil atau kemaslahatan untuk diri sendiri, yang kemudian hasilnya harus dapat memberikan kemaslahatan untuk keluarga, kelompok, atau perusahaan tempat kita berada. Kemudian, hasil yang diberikan untuk keluarga, kelompok, atau perusahaan tersebut harus terakumulasi menjadi hasil ekonomi di negara kita. Dan seterusnya, hasil ekonomi di negara kita harus menciptakan hasil atau keuntungan bagi seluruh umat manusia di dunia. Hanya saja, praktiknya tidaklah semudah itu. “Bagaimana cara mencari keseimbangan antara keuntungan individu, keuntungan usaha, keuntungan ekonomi, dan keuntungan umat manusia?”
183
Iwan P. Pontjowinoto
“Dan, bagaimana mencari keseimbangan antara keuntungan di dunia dan kebahagiaan di akhirat?” Allah SWT berfirman bahwa manusia tidak boleh melakukan sesuatu yang risiko berbuat dosanya lebih besar daripada peluang mendapatkan manfaat (QS 02:219). Karena itu, jelas bahwa dalam berusaha, manusia dianjurkan untuk mengutamakan perolehan hasil dengan Asas Manfaat. Untuk menciptakan manfaat yang berpotensi memberikan hasil keuntungan, usaha harus mengeluarkan biaya. Dan, walaupun sudah berusaha dan sudah mengeluarkan biaya, terdapat risiko bahwa hasil yang diperoleh bisa lebih kecil dari usaha dan biaya yang telah dikeluarkan. Kenyataan ini menegaskan bahwa manusia tidak boleh mengharapkan hasil, bila tidak mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan biaya dan tidak punya kemampuan untuk memahami risiko yang terkait dengan usaha dan pengeluaran biaya tersebut. Allah SWT juga telah memerintahkan semua orang yang beriman untuk tidak mengambil harta antara sesama dengan cara yang bathil, tetapi harus dengan jalan perniagaan yang berlaku secara saling ridha (QS 4:29). Esensi dari perintah ini, manusia harus mengejar manfaat dengan cara yang thoyib, cara yang baik dan dengan pemahaman akan risiko yang diambil, sehingga akan saling ridha atas hasil yang diperoleh. Itulah sebabnya, akad-akad yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT akan mengutamakan Asas Manfaat. Karena itu, dikenal kaidah hasil adalah fungsi dari pengeluaran biaya atau istilahnya al kharaj bi al dhaman, serta kaidah hasil adalah fungsi dari risiko yang telah diambil, atau istilahnya alghunmu bi al ghumi.
184
BERSAMA KITA BISA!
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang sahabat yang menempatkan dana untuk digunakan dalam kegiatan usaha yang dikelola oleh seorang sahabat yang lain. Pada masa itu, risiko usaha cukup tinggi karena infrastruktur pengangkutan dan sarana pembayaran antardaerah masih sangat terbatas. Untuk membatasi risiko atas dana yang dimilikinya, sahabat pemilik dana memberi syarat atau batasan tertentu kepada sahabat pemilik usaha. Syaratnya, aset yang dibeli dengan dananya tidak boleh dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau untuk membeli ternak. Nabi Muhammad SAW menyetujui adanya syarat atau batasan ini, karena dengan demikian modal yang dimiliki oleh sahabat pemilik dana dapat menjadi produktif dan bermanfaat bagi masyarakat, sementara risiko masih dalam batas yang dapat diterima. Dalam hubungan kerja “Yang lebih sama antara pemilik modal dengan pemilik usaha, di membanggakan, ternyata IDB “belajar” dari mana pemilik modal meDanareksa mengenai nye diakan seluruh modal pengelolaan portofolio untuk usaha, terdapat kaidah pembiayaan.” khusus. Kaidah tersebut menentukan bahwa sebelum kerja sama dimulai, pemilik modal dan pemilik usaha harus sepakat atas rasio atau nisbah pembagian hasil keuntungan yang akan diperoleh. Namun, bila ternyata terjadi kerugian, maka kerugian harus ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Ketentuan ini dibuat mengingat pemilik usaha tidak ikut menyetor modal, melainkan hanya memberi kontribusi berupa
185
Iwan P. Pontjowinoto
tenaga, kemampuan, pengalaman, dan jaringan. Jadi, bila terjadi kerugian dan pemilik usaha harus ikut menanggung kerugian, maka pemilik usaha akan mempunyai utang kepada pemilik modal karena pemilik usaha tidak menyetor modal yang dapat dipakai untuk mengganti kerugian. Kondisi ini tidak diharapkan terjadi karena akan merusak hubungan kerja sama. Bila terjadi kerugian, pemilik usaha sudah kehilangan tenaga, waktu, dan reputasi. Tetapi lain halnya bila pemilik usaha tidak amanah, maka pemilik usaha harus bertanggung jawab. Contoh lain tentang sahabat yang mempunyai suatu barang dan ingin menjualnya ke pasar. Ternyata dalam perjalanan ke pasar, sahabat pemilik barang bertemu dengan sahabat lain yang ingin membeli barang tersebut. Kemudian mereka bernegosiasi dan sepakat melakukan transaksi jual beli sebelum si penjual sampai ke pasar. Namun karena ketentuan yang melarang pembelian barang sebelum penjual sampai ke pasar, maka mereka sepakat bahwa penjual mendapat hak khiyar, yaitu hak untuk meneruskan jual-beli atau membatalkan transaksi bila ternyata harga di pasar lebih tinggi daripada harga transaksi. Jelas bahwa sejak zaman Nabi Muhammad SAW, manusia telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan manfaat dari kegiatan usaha, dengan mengendalikan biaya dan risiko melalui ketentuan-ketentuan tertentu atas akad-akad yang dibuat.
Salah satu cara menciptakan manfaat adalah melalui akad kerja sama untuk saling memperkuat sehingga dapat memperoleh
186
BERSAMA KITA BISA!
hasil yang lebih besar dari jumlah hasil secara sendiri-sendiri, dan dapat menciptakan sinergi. Allah SWT telah berfirman bahwa Dia telah menjadikan sebagian manusia lebih baik dari sebagian yang lain, agar dapat berguna bagi yang lain (QS 43:32). Dengan kata lain, manusia memang diciptakan untuk dapat berbeda, sebagian diciptakan untuk lebih baik dari sebagian yang lain supaya dapat berguna bagi sebagian yang lain tersebut. Sebaliknya, sebagian yang lain diciptakan untuk membutuhkan sebagian lain yang diciptakan lebih baik dari mereka. Namun, jarang sekali ada manusia yang diciptakan lebih baik dalam segala hal dari manusia yang lain, sehingga tidak pernah memerlukan manusia yang lain. Karena itu, Ibnu Khaldun menyatakan: “Setiap individu tidak dapat dengan sendirinya memperoleh atau memenuhi kebutuhan hidupnya. Semua harus saling bekerja sama untuk memperoleh kebutuhan hidup dalam peradabannya. Hasil kerja sama sejumlah manusia dapat menutupi kebutuhan beberapa kali lipat dari jumlah mereka sendiri. Bila pekerjaan penduduk sebuah kota dibagi-bagikan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan penduduk itu, maka hasilnya akan lebih banyak dari yang dibutuhkan (oleh seluruh penduduk itu).”
Bekerja sama atau berserikat dengan tujuan untuk menggabungkan kemampuan yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia merupakan hal yang sangat dianjurkan.
187
Iwan P. Pontjowinoto
Bahkan, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Allah SWT telah berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah satu pihak tidak mengkhianati yang lain. Jika salah satu pihak berkhianat, Aku keluar dari (perserikatan) mereka.”
Di samping menganjurkan kerja sama melalui serikat atau kongsi atau bentuk-bentuk kerja sama ekonomi lainnya, Allah SWT menegaskan bahwa modal utama dari kerja sama adalah kejujuran dan kemampuan memegang amanah. Sedangkan musuh utama kerja sama adalah pengkhianatan. Dapat dipahami bahwa persekutuan yang paling baik adalah persekutuan dengan pihak yang paling bermodal dan paling berkuasa. Dan Allah SWT adalah Yang Maha Kaya dan Mahakuasa. Sehingga dengan menyatakan bahwa Allah SWT akan menjadi sekutu dari semua manusia yang berserikat, selama tidak ada di antara mereka yang berkhianat. Itu adalah endorsement atau dukungan yang paling tinggi yang dapat diterima oleh manusia, oleh hamba Allah SWT Bila saja manusia dapat memahaminya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, beliau menetapkan bahwa tanah-tanah yang mengandung air, baik untuk air minum, air pertanian maupun air garam, serta padang rumput dan hutan adalah milik bersama, milik seluruh umat manusia. Namun, Nabi Muhammad SAW juga pernah memberikan kepada orang Yahudi hak untuk mengelola tanah di Khaibar dengan prinsip bagi hasil tertentu. Kebijakan ini menandaskan, walaupun
188
BERSAMA KITA BISA!
sumber daya yang menyangkut kepentingan masyarakat harus dikuasai negara sebagai aset negara. Namun aset negara dapat pula dikelola melalui kontrak kerja sama untuk meningkatkan produktivitasnya. Dan, semua manusia—tanpa memandang agama atau golongan—mempunyai kesempatan yang sama menjadi mitra negara dalam mengelola aset negara tersebut. kerja sama antara badan atau lembaga umumnya dilakukan melalui suatu perjanjian atau ikatan (akad). Dalam akad kerja sama antara badan usaha ataupun lembaga Pemerintah, harus ditetapkan bagi hasil atau imbal jasa bagi badan atau lembaga yang menjadi mitra sesuai dengan kontribusinya dalam peningkatan nilai. Bila bagi hasil dilakukan atas hasil produksi, baik bagi hasil pendapatan maupun bagi hasil keuntungan, maka akad yang berlaku tergantung pada hubungan dan kontribusi para pihak yang bekerja sama. Pada masa Khalifah Umar ditetapkan bahwa bagi hasil atas penggunaan tanah pemerintah adalah 50% dari hasil produksi, sedangkan bila seluruh modal dan biaya dibebankan kepada negara maka hasil untuk pengelola adalah sepertiga (33%). Kalau semua pihak sama-sama memberikan kontribusi modal atau aset dan kontribusi kemampuan usaha, akad kerja sama yang terjadi disebut Akad Musyarakah atau Shirkah. Mirip dengan kerja sama melalui badan hukum berbentuk perseroan terbatas. Perbedaannya terdapat pada penentuan bagi hasil (dividen). Karena dalam hal musyarakah, rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) atau nisbah bagi hasil harus ditentukan di muka (awal tahun anggaran). Sedangkan pada perseroan terbatas umumnya ditentukan pada setelah periode pembukuan berakhir.
189
Iwan P. Pontjowinoto
Bila ada satu pihak yang memberikan harta atau aset dan ada pihak lain yang menjadi pengelola atau pengusaha, dalam istilah syariah, pemilik harta adalah shahibul maal dan pengusaha adalah ‘mudharib’. Ada pun akadnya disebut Akad mudharabah. Pada akad ini, kerugian menjadi tanggung jawab pemilik harta, sedangkan keuntungan dibagi antara pemilik harta dan pengusaha menurut nisbah bagi hasil yang ditentukan di muka. Di samping itu, pemilik harta berhak sewaktu-waktu menarik penempatan dana atau hartanya. Mengapa ikatan musyarakah dan mudharaba lebih adil? Baiklah, kita kaji jurus-jurus berikut ini.
Saya sering mendapat pertanyaan maupun pernyataan yang menyatakan bahwa investasi dalam bentuk saham maupun obligasi di pasar modal adalah haram. Karena saham maupun obligasi hanyalah secarik kertas. Juga jual beli saham di bursa efek sama saja dengan judi. Bahkan, yang lebih menarik, banyak orang yang tidak bisa membedakan antara pasar modal dengan bursa saham. Firman-firman Allah SWT mengenai riba sebagian besar terdapat dalam surat Al Baqarah. Dalam bahasa Arab, al baqarah berarti sapi betina. Oleh karena itu, saya sering memakai cerita tentang sapi betina untuk menjelaskan mengenai perserikatan dan saham. Coba kita simak tamsil yang tersirat dari cerita berikut ini. Ada tiga orang sahabat: Ahmad, Benny, dan Cecep. Mereka sepakat untuk menjalin usaha bersama. Untuk menjalankan
190
BERSAMA KITA BISA!
usaha itu, mereka sepakat membeli seekor sapi betina yang akan mereka pelihara di mana susunya akan dijual, kotorannya akan dibuat pupuk, dan mudah-mudahan bisa melahirkan anak sapi. Mereka membeli seekor sapi dengan harga Rp.9 juta. Masingmasing menyeahkan modal Rp.3 juta, sehingga masing-masing memiliki sepertiga dari sapi betina tersebut. Sembilan bulan kemudian, sapi semakin gemuk. Selama jangka sembilan bulan itu pula, sapi peliharaan mereka telah menghasilkan susu yang banyak. Kotorannya pun telah diolah menjadi pupuk dan diperjual-belikan. Tiga sekawan itu sangat gembira karena mendapat hasil yang baik. Lebih-lebih setelah sapi betina itu bunting. Meeka semakin girang, karena alamat usaha menjanjikan banyak keuntungan. Tiba-tiba ada masalah pelik yang pelu mereka atasi. Cecep mendapat berita dari kampungnya. Orangtuanya meminta Cecep segera pulang kampung, karena orangtuanya berharap Cecep bisa meneruskan usaha keluarga di kampung. Karena itu, Cecep ingin mengambil haknya atas sapi betina tersebut. Bagaimana caranya? Tentu saja, Cecep memiliki hak sepertiga dari sapi betina itu. Tetapi ada masalah.
“Menerbitkan reksa dana syariah adalah salah satu mimpi saya sewaktu diangkat menjadi Direktur di Danareksa.”
“Apa yang harus dilakukan agar modal Cecep bisa dikembalikan, dan usaha bisa tetap dijalankan?” “Apakah sapi betina harus dipotong dan diambil sepertiganya?”
191
Iwan P. Pontjowinoto
Tentu cara yang terbaik bukanlah dengan memotong sapi betina yang sedang bunting, tetapi adalah mencari orang lain yang mau menggantikan Cecep dalam investasi di sapi betina tersebut. Tentunya Ahmad atau Benny juga boleh. Pertanyaan berikut yang tak kalah pelik. “Berapa nilai penggantian modal Cecep?” “Apakah tetap Rp.3 juta sesuai modal setoran awal?” “Ataukah pada nilai lain?” Sebenarnya, solusinya tidaklah sepelik yang dibayangkan. Jawabannya adalah mengikuti “nilai pasar”, persis seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang terjadi pada kasus kurma Bilal. Tiga sekawan itu hanya perlu mencari tahu berapa harga sapi betina itu bila dijual di pasar. Katakanlah, sekarang harganya naik menjadi Rp.12 juta. Maka, nilai hak Cecep adalah sepertiga dari Rp.12 juta, yaitu Rp.4 juta. Berapa harga yang terjadi? Terserah Cecep dan “investor” yang mau mengambil alih hak Cecep. Untuk bukti hak atas sapi betina tersebut, bisa saja tiga sekawan membuat sertifikat kepemilikan atas sapi. Bisa dibuat tiga lembar, masing-masing menyatakan kepemilikan atas sepertiga dari sapi betina tersebut. Nilai sertifikat berubah sesuai dengan nilai atau harga pasar dari sapi betina itu. Sejatinya, kisah sapi betina di atas hanyalah analogi, semacam tamsil yang dapat kita hubungkan dengan usaha lain di era mutakhir ini. Misalnya, ganti saja sapi betina dengan jenis usaha lain, seperti foto copy, usaha penyewaan mobil, atau dengan perusahaan seperti Astra International atau Medco Energi.
192
BERSAMA KITA BISA!
Dengan demikian, sertifikat kepemilikan sapi dapat kita sebut sebagai saham. Nah, sekarang menjadi lebih mudah. Apakah jual beli hak atas sepertiga sapi betina yang dinyatakan dengan sertifikat tadi dinyatakan sebagai jual beli kertas? Tentu jawaban yang tepat, tidak. Dan, apakah akan dikatakan haram? Jawabannya masih sama, tidak. Lalu, apakah mau dikatakan judi? Karena “asset”-nya dan nilai pasar dari “asset” tersebut sangat jelas, tentu tidak bisa dikategorikan sebagai judi. Itulah analogi pasar modal. Pasar adalah pertemuan antara pihak yang saling memerlukan dan siap untuk menukarkan dengan sesuatu yang dimilikinya. Pasar ikan adalah pertemuan antara pihak yang punya ikan dan perlu uang, bertemu dengan pihak yang punya uang tapi perlu ikan. Demikian pula pasar burung, pasar buah, dan lain sebagainya. Pasar modal adalah pertemuan antara pihak yang punya peluang usaha atau investasi dan perlu modal bertemu dengan pihak yang punya modal tapi perlu peluang usaha atau investasi. Sertifikat atau saham yang dibicarakan sebelumnya, dalam istilah keuangan disebut sebagai surat berharga dan dalam istilah pasar modal disebut sebagai ‘efek’. Jadi saham, obligasi, dan beberapa instrumen keuangan lainnya disebut sebagai efek. Karena itu, pasar modal menurut ketentuan Undang-undang adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan efek, penawaran efek kepada masyarakat, dan perdagangan efek, serta tentunya lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Sedangkan bursa efek adalah suatu pihak atau lembaga yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana
193
Iwan P. Pontjowinoto
untuk mempertemukan penawaran jual dan permintaan beli dari pihak-pihak yang ingin memperdagangkan efek di antara mereka. Jadi, bursa efek adalah salah satu lembaga di
pasar modal, sedangkan pasar modal itu tidak ada bentuk fisiknya. Tidak seperti Pasar Baru atau Pasar Senen. Pasar modal akan memungkinkan orang-orang yang memiliki usaha ataupun peluang usaha untuk mendapat modal bagi usahanya—baik yang dibukukan sebagai modal ataupun kewajiban jangka panjang. Pasar modal juga memungkinkan orang-orang yang mempunyai dana yang tidak terlalu besar untuk ikut memiliki suatu perusahaan yang besar dan ikut menikmati hasilnya. Tentunya seperti yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, selama tidak ada yang berkhianat— misalnya dengan memberikan informasi yang menyesatkan atau dengan menipu atau dengan korupsi, maka Tuhan akan selalu bersama mereka. Dan bila disertai oleh Tuhan Yang Mahakuasa, kebersamaan dalam usaha tersebut akan memberikan hasil yang baik dan halal. Karena itu, bila tidak ada yang khianat, usaha bersama akan memberikan keuntungan.
Semua akan kaya, semua akan bahagia, dengan cara sesuai syariah.
Pada tahun 1997, saat mengikuti seminar di Jogjakarta, saya berkenalan dengan Bapak M. Siddik, waktu itu Direktur IDB untuk kawasan Asia Tenggara. Seusai seminar, beliau mengirim beberapa buku dan jurnal terbitan Islamic Research and Training
194
BERSAMA KITA BISA!
Institute—IDB, yang kemudian saya share ke Ibu Sri Mulyani Indrawati, dosen FE-UI. Lalu, setelah terjadi krisis moneter di Indonesia, Menteri Keuangan, Bapak Mar’ie Muhammad, mengimbau IDB untuk membantu Indonesia. Delegasi IDB, dipimpin oleh Mr. D. M. Qureshi, Treasurer, datang ke Jakarta untuk mengatur pelaksanaan dukungan IDB dalam pasar keuangan. Sebenarnya, saat itu, delegasi IDB dijadwalkan hanya bertemu dengan kalangan perbankan. Tetapi karena salah satu masalah besar adalah terkait dengan pasar modal, maka Pak Siddik mengusulkan saya untuk membawa proposal Danareksa ke delegasi IDB. Waktu itu, saya belum mengenal IDB. Tetapi karena kami di Danareksa cukup paham masalah di pasar modal, maka kami ajukan proposal dalam pertemuan dengan IDB di Departemen Keuangan. Alhamdulillah, setelah acara pertemuan di Departemen Keuangan selesai, D.M. Qureshi memutuskan untuk mengubah jadwal dan berkunjung ke kantor Danareksa yang berlokasi tepat di sebelah Bursa Efek Jakarta. Pertemuan siang itu berlanjut dengan pertemuan sampai malam di hotel tempat delegasi IDB menginap. Dan, pada akhir kunjungan, delegasi IDB menyatakan akan menempatkan dana sebesar US$ 100 juta dari Treasury IDB melalui Danareksa untuk jangka waktu 3 tahun. Tantangan yang dihadapi tidak mudah karena IDB belum pernah menempatkan dana dalam portofolio saham—apalagi di Indonesia yang sedang krisis moneter. Sementara itu, Danareksa juga belum pernah mengelola portofolio saham secara syariah— apalagi dana IDB. Apalagi dana treasury IDB tidak boleh mencatatkan kerugian—dan harus dibukukan dalam US$ atau
195
Iwan P. Pontjowinoto
Islamic Dinar. Oleh karena itu, IDB meminta adanya proteksi dana awal (capital protection). Waktu itu, nilai tukar rupiah sedang merosot dahsyat, harga saham anjlok tajam, tidak ada lembaga keuangan yang berani memberi jaminan nilai tukar. Menurut aturan IMF, Pemerintah Indonesia tidak boleh memberikan jaminan atas risiko penurunan nilai. Dan BI tidak bisa memberikan jaminan nilai tukar valuta. Bagaimana solusinya? Pak Siddik mengajarkan kepada saya, M. Hanif dan Kanny Hidaya mengenai akad Mudharaba dan Murabaha. Pada akad Mudharaba, IDB sebagai pemilik dana akan menempatkan dana melalui Danareksa untuk dikelola dalam portofolio efek. Kalau untung, Danareksa akan mendapat bagi hasil. Kalau rugi, IDB yang akan menanggung semua kerugian. Tetapi IDB dapat sewaktu-waktu—tanpa pemberitahuan terlebih dahulu— menarik sebagian atau seluruh dana itu. Sedangkan dalam akad Murabaha, IDB akan membeli saham, kemudian menjual saham tersebut ke Danareksa dengan menambahkan marjin, karena Danareksa diberi waktu tiga tahun untuk melunasi pembayaran saham tersebut. Selama tiga tahun, tentunya, Danareksa bisa mengelola saham tersebut dan mendapatkan keuntungan kalau harga saham meningkat. Jelas lebih baik bagi Danareksa bila memakai akad Mudharabah, karena Danareksa tidak menanggung risiko. Namun, IDB keberatan karena IDB tidak bisa menanggung risiko. Bagi IDB, lebih baik memakai akad Murabaha karena ada kepastian marjin (dalam rupiah) dan bila dapat dikelola dengan baik tentunya
196
BERSAMA KITA BISA!
Danareksa bisa mendapat keuntungan. Itu kalau kondisi pasar uang membaik, bagaimana kalau tidak membaik? Setelah bolak-balik Jakarta-Jeddah untuk negosiasi, akhirnya IDB setuju untuk mengadakan akad Mudharaba dan Murabaha. Berdasarkan perhitungan Danareksa, untuk jangka waktu 3 tahun, peluang untuk memperoleh hasil minimal 0% (alias tidak rugi, alias kembali modal) adalah bila 30% dana dalam akad Mudharaba dan 70% dalam akad Murabaha. Dengan demikian, IDB tidak memerlukan jaminan Pemerintah atas hasil pengelolaan. Tetapi, agar Pemerintah tetap memberikan perhatian atas pengelolaan dana IDB oleh Danareksa, maka IDB meminta Pemerintah qq Kementerian Negara BUMN dan Bapepam untuk memberikan comfort letter yang menyatakan bahwa pengelolaan Danareksa memenuhi GCG. Akan tetapi, bagaimana “Portofolio reksa dana dengan kepastian hasil dalam syariah hanya boleh berisi US$? Karena BI tidak bisa efek syariah, sehingga memberikan jaminan nilai ‘zat’-nya juga sudah tukar, maka Danareksa mehalal.” minta Bank BUMN untuk memberikan standby letter of credit. Kemudian Danareksa meminta BI untuk memberikan surat kepada IDB yang menyatakan bahwa BI mengetahui adanya standby letter of credit tersebut. Dengan demikian, pengendalian risiko kerugian diatasi dengan kombinasi 30% dana Mudharaba dan 70% dana Murabaha. Sedangkan pengendalian risiko nilai tukar diatasi dengan penerbitan standby letter of credit. Keduanya diperkuat dengan pernyataan dari Pemerintah sebagai pemilik Danareksa—
197
Iwan P. Pontjowinoto
melalui Meneg BUMN, otoritas pasar modal—melalui Bapepam, dan otoritas moneter—melalui BI. Wah, lumayan juga solusinya! Ada negosiasi yang menarik mengenai ketentuan akad Mudharaba yang menyatakan bahwa pemilik dana (IDB) dapat sewaktu-waktu menarik dananya. Sesuai kelaziman di pasar modal, lawyer Danareksa mengajukan klausul bahwa IDB dapat sewaktu-waktu menarik dana Mudharaba dengan pemberitahuan 40 hari kerja di muka (40 working days prior notice). Tetapi lawyer IDB menyatakan bahwa kontrak Mudharaba yang dipakai IDB selalu menyatakan bahwa IDB dapat sewaktu-waktu menarik dananya without prior notice (tanpa pemberitahuan di muka). Namun Danareksa diberi waktu 40 hari kerja untuk mencairkan dana tersebut ke dalam US$. Sebenarnya masalahnya sederhana. Dana Mudharaba dari IDB digunakan untuk investasi di saham dengan valuasi menurut harga pasar wajar pada hari yang bersangkutan. Karena jumlah dana cukup besar, sedangkan pasar saham di Jakarta tidak selalu “likuid”, maka apabila Danareksa harus segera menjual saham pada satu hari dikhawatirkan harga saham tersebut akan turun. Hal yang logis karena keseimbangan penawaran-permintaan akan terganggu. Lalu, siapa yang harus menanggung risiko turunnya harga saham? Belum lagi adanya risiko perubahan nilai tukar dari Rupiah ke US$. Ternyata proses negosiasi ini sangat merepotkan, karena baik lawyer Danareksa maupun lawyer IDB sama-sama bersikeras dengan klausul yang mereka ajukan. Negosiasi melalui telepon
198
BERSAMA KITA BISA!
dan e-mail tidak membuahkan hasil. Lalu, saya nekad terbang ke Jeddah untuk bertemu lawyer IDB. Sesampai di Jeddah, saya langsung umroh dulu ke Mekkah, baru keesokan harinya ke kantor IDB. Dengan keyakinan, insya Allah, kalau niat baik akan ada jalan yang baik. Lawyer IDB kaget juga sewaktu saya muncul di kantornya. Lawyer asal Mesir ini cukup senior, badannya besar, penampilannya sangat berwibawa. Saya ajak ngobrol dulu agar lebih santai. Rupanya ia belum pernah ke Indonesia. Alkisah, sewaktu saya berikan oleh-oleh lukisan batik berisi peta Indonesia, kami bisa berbincang banyak hal tentang Indonesia. Kemudian, saya jelaskan tentang kondisi pasar modal di Indonesia, dan masalah likuiditas pasar yang memengaruhi harga saham. Alhamdulillah, lebih membahagiakan lagi, ia memahami penjelasan saya. Sebaliknya, ia menjelaskan bahwa dana Mudharaba adalah aset IDB dan nilai yang dilaporkan adalah nilai pembukuan. Jadi sewaktu IDB menarik kembali dana Mudharaba, maka yang diserahkan ke IDB adalah aset Mudharaba dengan nilai buku dalam Rupiah yang dikonversikan ke US$ menurut nilai tukar hari tersebut. Nah, setelah serah terima, IDB akan meminta Danareksa untuk menjual aset IDB tersebut dalam waktu 40 hari kerja. Berapa pun hasilnya, IDB akan menerima. Meskipun, tentu saja, IDB berharap agar Danareksa berusaha dengan baik. Wah, rupanya telah terjadi kesalahpahaman. Danareksa khawatir atas risiko penurunan harga saham dan risiko nilai tukar, karena itu lawyer Danareksa meminta proteksi dalam bentuk 40 working days prior notice. Padahal, IDB sudah siap menanggung risiko tersebut dengan memberi klausul 40 working
199
Iwan P. Pontjowinoto
days to liquidate the Mudharaba asset. Dengan klausul ini, maka risiko penurunan harga saham dan risiko nilai tukar akan ditanggung IDB, Danareksa tidak perlu menanggung risiko itu. Jadi, masalahnya adalah masalah kemampuan komunikasi. Sudah diberi klausul yang bagus, kok malah ‘ngotot’. Ada kejadian yang menegangkan sewaktu akad dimulai. Hari Jumat adalah hari libur bagi IDB, sedang hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur untuk Jakarta. Maka, untuk memulai pembelian saham, sebaiknya Danareksa membeli pada hari Kamis-Jumat dan laporan dikirim ke IDB pada hari Jumat malam dengan harapan IDB akan memproses pada hari SabtuMinggu sehingga pada hari Senin Danareksa dapat menerima dana pembayaran pembelian saham. Setelah semua dokumen selesai ditandatangani, kami mulai membeli saham pada hari Kamis-Jumat. Pada hari Senin, kami menunggu kiriman dana IDB di rekening Danareksa. Karena sampai siang hari dana belum sampai, maka kami menghubungi IDB. Ternyata IDB menyatakan bahwa ada satu dokumen yang belum diterima, padahal data kurir menunjukkan bahwa dokumen sudah sampai di kantor IDB, Jeddah. Kami panik, karena pada hari Rabu, Danareksa harus membayar pembelian saham-saham tersebut, sementara kami belum terbiasa menyelesaikan masalah seperti ini dengan IDB. Padahal, nilai pembelian lumayan besar. Kami putuskan untuk menjual kembali saham tersebut. Alhamdulillah, mungkin karena Danareksa banyak membeli saham, maka harga saham secara umum naik. Hasilnya, sampai hari Rabu, saham-saham yang kami beli tersebut dapat kami jual dengan harga lebih
200
BERSAMA KITA BISA!
tinggi dari harga pembelian. Untuk sementara kami lega karena ternyata untung. Tiba-tiba treasury kami, Pak Evy Firmansyah mengabarkan bahwa hari Rabu itu ada dana masuk dari IDB, dengan nilai sama dengan nilai pembelian awal yang telah kami laporkan ke IDB. Berarti dokumen sudah diterima lengkap oleh IDB dan kontrak sudah berlaku. Tetapi masalahnya saham-saham itu sudah dijual dan harga sudah naik. Bagaimana pula ini?
Allah SWT memang sangat baik kepada kami, sewaktu kami berupaya membeli kembali saham pada hari Kamis-Jumat, ternyata harga saham turun menjadi seperti harga pada Kamis-Jumat minggu sebelumnya. Jadi, kami bisa membeli kembali saham-saham tersebut pada harga yang setara dengan dana yang dikirim IDB, berdasarkan laporan kami minggu sebelumnya. Alhamdulillah!! Untuk menjaga transparansi dan mengurangi kesalahpahaman, walaupun tidak diminta oleh IDB, Danareksa mengajukan investment guidelines dan trading guidelines yang akan menjadi aturan tambahan dalam pengelolaan portofolio saham tersebut. Baik atas saham yang secara hukum memang milik IDB—yaitu dana Mudharaba, ataupun yang secara hukum sebenarnya sudah milik Danareksa—yaitu portofolio Murabaha. IDB meminta laporan bulanan, Danareksa memberikan laporan mingguan. Dan setiap tiga bulan sekali, Danareksa datang ke kantor IDB untuk memberikan presentasi ke Treasury dan Risk Management IDB. Mereka senang sekali, Danareksa dipandang sebagai manajer investasi yang profesional setara manajer investasi global.
201
Iwan P. Pontjowinoto
Yang lebih membanggakan, ternyata IDB “belajar” dari Danareksa mengenai pengelolaan portofolio pembiayaan. Kemudian IDB menggunakan komposisi portofolio pembiayaan pendapatan teratur (murabaha) dikombinasikan dengan portofolio pembiayaan atas aset (ijarah atau mudharabah) dalam produk IDB yang disebut sebagai trust certificate (semacam unit penyertaan reksa dana). Logika komposisi selaras dengan logika akad Mudharaba-Murabaha IDB dengan Danareksa, dan investment guidelines yang digunakan juga mirip dengan yang kami usulkan pada tahun 1999. Selama tahun pertama, harga saham terus meningkat dan nilai tukar terus membaik. Sehingga portofolio saham yang kami kelola berdasarkan dana IDB terus meningkat nilainya. Baik dalam ukuran rupiah, apalagi dalam ukuran US$. IDB senang sekali. Selain mendapat apresiasi karena membantu Indonesia, ternyata secara komersial beruntung pula. Danareksa juga untung, dapat tambahan dana dan dapat bagi hasil. Pemerintah, Bapepam, dan BI juga gembira karena hasilnya baik. Saya juga beruntung, setelah saya tidak lagi di Danareksa ada teman-teman seperti M. Hanif, Josep Ginting, Priyo Santoso dan Reza Zahar yang melanjutkan langkah saya. Alhamdulillah, dengan niat baik, semua untung, semua kaya, semua bahagia, dengan cara sesuai syariah.
Jurus Kebersamaan III: Reksa Dana Syariah Saya beruntung karena ketika ditunjuk sebagai Direktur Utama PT. Danareksa Fund Management pada tahun 1995, Pemerintah dan DPR menerbitkan UU Pasar Modal yang memuat ketentuan tentang reksa dana—termasuk reksa
202
BERSAMA KITA BISA!
dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Sementara itu, Danareksa masih mengelola portofolio untuk Sertifikat Danareksa. Sehingga, kami dapat dengan segera menerbitkan reksa dana berbentuk KIK. Reksa dana pertama yang kami terbitkan adalah reksa dana portofolio saham (Danareksa Mawar), portofolio efek pendapatan tetap (Danareksa Melati), dan portofolio campuran (Danareksa Anggrek). Ketika itu, saya juga beruntung karena kondisi pasar modal sedang marak, sehingga—dalam waktu singkat—dana yang dikelola dalam ketiga reksa dana tersebut sudah hampir mencapai batas maksimum. Dengan pengalaman kami mengelola reksa dana dan jumlah dana yang hampir mencapai batas maksimum, terbuka kesempatan bagi kami untuk menerbitkan reksa dana baru—berarti peluang bagi kami untuk menerbitkan reksa dana syariah. Ya, menerbitkan reksa dana syariah adalah salah satu mimpi saya sewaktu diangkat menjadi Direktur di Danareksa. Mungkin saja terlintas pertanyaan di benak Anda. “Apakah reksa dana syariah itu?” “Bagaimana cara menerbitkan dan mengelola reksa dana syariah?” “Apa manfaat reksa dana syariah bagi masyarakat?” Baiklah, sebelum saya menguraikannya, kita kupas dulu masalah investasi di pasar modal. Investasi di pasar modal membutuhkan kemampuan mengelola suatu portofolio efek serta dukungan sistem informasi yang dapat memberikan data dan informasi yang akurat dan mutakhir. Di samping itu, untuk membentuk suatu portofolio yang baik, diperlukan jumlah dana investasi yang cukup besar. Sehingga, bagi banyak
203
Iwan P. Pontjowinoto
orang yang hanya memiliki dana investasi terbatas, serta tidak memiliki kemampuan pengelolaan investasi dan dukungan sistem informasi, akan mengalami kesulitan dalam mencapai hasil yang optimal. Di sinilah reksa dana dapat berperan. Reksa dana adalah wadah untuk menghimpun dana “Pasar modal bukanlah suatu lembaga keuangan dari masyarakat pemodal, yang akan diinvestasikan atau produk keuangan, kembali ke dalam portofolio tetapi serangkaian efek, yang dikelola oleh makegiatan yang terkait najer investasi. Harta berdengan instrumen sama milik para pemodal investasi yang disebut itu akan disimpan dan diadefek.” ministrasikan oleh bank kustodian. Jadi, manajer investasi dan bank kustodian akan menjadi wakil dari para pemodal untuk mengelola dana investasi milik para pemodal, dalam bentuk suatu portofolio investasi. Dalam istilah syariah, ikatan ini disebut Akad Wakala. “Bagaimana cara memastikan bahwa manajer investasi dan bank kustodian memiliki kemampuan yang diperlukan serta akan menjalankan tugas sesuai dengan amanah yang diberikan?” Itu adalah tugas dan wewenang Bapepam. Oleh karena itu, Bapepam membuat peraturan tentang kualifikasi dan sertifikasi bagi perusahaan sekuritas yang memberikan jasa manajemen investasi, serta bank yang memberikan jasa bank kustodian. Kemudian, Bapepam juga membuat aturan mengenai cara pembuatan Kontrak Investasi Kolektif (KIK), cara penerbitan reksa dana, dan cara pengelolaan portofolio reksa dana. Sehingga,
204
BERSAMA KITA BISA!
pemodal dapat mengetahui manajer investasi, bank kustodian dan reksa dana mana yang memenuhi syarat dan mana yang tidak. “Bagaimana cara mengetahui peluang hasil dan risiko yang dihadapi?” “Bagaimana mengetahui hak kita atas harta bersama dalam reksa dana?” Bapepam juga telah membuat aturan mengenai keterbukaan informasi. Pada saat reksa dana diterbitkan, pengelola reksa dana harus menerbitkan prospektus yang memuat informasi tentang batasan komposisi portofolio, pedoman investasi, risiko investasi, dan berbagai informasi lainnya. Kemudian, Bapepam juga telah membuat aturan cara bank kustodian membukukan harta bersama milik pemodal, menghitung nilai bersih dari harta tersebut, mencatat jumlah unit penyertaan, serta menerbitkan nilai aktiva bersih untuk tiap unit penyertaan pada setiap hari kerja bursa. Dengan demikian, pemodal bisa mengetahui nilai bersih dari investasinya. Di samping itu, setiap enam bulan sekali, harus diterbitkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik. Jadi, governance dan transparansi dari reksa dana sangat baik sekali. Pertanyaan berikutnya: Bagaimana cara mengetahui bahwa kehalalan dari hasil investasi reksa dana syariah? Peraturan Bapepam mengenai pengelolaan reksa dana jelas menjamin terhindarnya kondisi gharar dan maysir. Jadi, cara perolehannya sudah jelas halal. Kemudian, portofolio reksa dana syariah hanya boleh berisi efek syariah, sehingga ‘zat’-nya juga sudah halal. Kebersamaan pemodal dalam reksa dana
205
Iwan P. Pontjowinoto
juga memberi manfaat dalam mencapai diversifikasi portofolio yang optimal. Jadi, membawa kemaslahatan bersama. Sehingga melalui reksa dana syariah diharapkan pemodal mendapat hasil yang optimal dan halal, perusahaan (emiten) mendapat pembiayaan melalui penerbitan efek, likuiditas pasar modal meningkat, ketahanan pasar modal terhadap serbuan spekulan bertambah.
Semua bisa tambah kaya dan tambah bahagia, dengan cara syariah. Jurus Kebersamaan IV: Obligasi Mudharaba Sistem pembukuan di Indonesia, memisahkan pembukuan penempatan modal menurut ikatan jangka waktu. Bila penempatan modal adalah untuk selamanya, alias tidak akan ditarik kembali, maka dibukukan sebagai setoran modal— yang dalam bahasa Inggris disebut equity. Bila penempatan untuk jangka panjang, artinya wajib dikembalikan, maka dibukukan sebagai kewajiban jangka panjang. Sedangkan kalau penempatannya untuk jangka pendek, yang umumnya terkait dengan transaksi antara perusahaan dengan pihak lain, maka dibukukan sebagai kewajiban jangka pendek. Di samping masalah jangka waktu penempatan, ada juga masalah imbal hasil. Penempatan dana sebagai setoran modal berhak untuk mendapat imbal hasil berupa dividen (bagi hasil keuntungan). Penempatan dalam jangka waktu tertentu, baik jangka panjang maupun jangka pendek, umumnya mendapat imbal hasil berupa bunga. Namun, ada masalah dengan bunga, yaitu bila tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh perusahaan dari pemanfaatan dana yang ditempatkan tersebut.
206
BERSAMA KITA BISA!
Oleh karena itu, timbul ide untuk mengatur penempatan dalam jangka waktu tertentu dengan imbal hasil berupa bagi hasil. Penempatan serupa ini dalam istilah syariah adalah menurut Akad Mudharabah. Hanya ada beberapa hal yang perlu disesuaikan. Pertama, menurut syariah, pemilik dana berhak menarik dana sewaktu-waktu, sehingga dalam hal ini pemilik dana harus menyatakan bahwa pemilik dana tidak akan menarik dananya sebelum waktu yang telah disepakati. Kedua, dalam akad Mudharabah, pemilik dana menyediakan seluruh dana yang diperlukan untuk kegiatan usaha tertentu tersebut. Dalam hal ini, manajemen perlu membuat pembukuan khusus atas pemanfaatan dana mudharabah ini, termasuk pembukuan atas hasil yang diperoleh. Dengan demikian, perhitungan dan pembayaran bagi hasil bisa lebih transparan dan lebih adil. Ketiga, nisbah atau rasio bagi hasil harus ditetapkan di muka. Di sini ada hal yang menarik, bagi hasil adalah untuk pemilik dana dan untuk pemilik usaha. Dalam hal perseroan terbatas, pemilik usaha terdiri dari pemegang saham, manajemen, dan perseroan. Sehingga, dalam hal ini, sebelum kegiatan usaha dijalankan, harus ditentukan nisbah bagi hasil untuk pemilik dana—yang akan dibukukan sebagai biaya, nisbah bagi hasil untuk pemegang saham—yang akan dibukukan sebagai dividen, nisbah bagi hasil untuk manajemen—yang lazim disebut sebagai tantiem/bonus, dan nisbah bagi hasil bagi perseroan—yang lazim disebut laba ditahan atau cadangan. Yang menarik bagi saya yang pernah jadi Direktur, rasio tantiem atau bonus terhadap laba usaha ditentukan di muka. Hasilnya, manajemen mempunyai motivasi yang kuat untuk
207
Iwan P. Pontjowinoto
mencapai laba usaha yang tinggi. Sewaktu saya menjadi Direktur Utama Jamsostek, kami pernah mencapai laba usaha di atas Rp.800 miliar—jauh di atas anggaran. Akan tetapi, sebagai Direktur Utama, saya hanya mendapat tantiem tidak sampai 1/1000 dari laba usaha tersebut. Sedih juga. Curhat nih! Penempatan dana untuk jangka panjang dibukukan sebagai kewajiban jangka panjang, dan instrumen yang diterima oleh pemilik dana disebut sebagai obligasi. Jadi, bila atas penempatan dana jangka panjang tersebut akan diberikan bagi hasil, maka ikatannya adalah akad mudharabah, sehingga instrumen yang digunakan disebut sebagai “obligasi mudharabah”. Obligasi syariah yang pertama diterbitkan di Indonesia adalah obligasi mudharabah yang diterbitkan oleh PT. Indonesia Sattelite (Indosat). Orang yang “nekad” menerbitkan obligasi syariah tersebut adalah Yunino Yahya, Direktur Keuangan Indosat. Saya sebut nekad karena pada saat itu belum ada peraturan yang mengatur penerbitan obligasi syariah. Jadi, obligasi tersebut diterbitkan mengikuti ketentuan Bapepam mengenai penerbitan obligasi, ditambah dengan fatwa DSN mengenai obligasi syariah mudharabah. Dan, Sang Direktur Keuangan sudah menyiapkan pembukuan yang khusus untuk perhitungan bagi hasil. Dengan “bondo nekad” alias “bonek”, tetapi didukung dengan sistem yang baik dan kepatuhan pada peraturan, maka investor mendapat hasil yang halal dan adil, Indosat memperoleh dana yang diperlukan untuk pengembangan usaha dan mendapat keuntungan. Selain itu, Bapepam senang peraturan dipatuhi, DSN bahagia karena obligasi syariah diterbitkan, Direktur Keuangan juga senang karena terobosannya mendatangkan keuntungan.
208
BERSAMA KITA BISA!
Semua kaya, semua bahagia, dengan jurus syariah.
Setelah menerbitkan reksa dana syariah pertama di Indonesia, kami menghadapi tantangan untuk membuktikan bahwa pengelolaan reksa dana yang sesuai dengan prinsip syariah akan memberikan hasil yang lebih baik dengan risiko yang lebih kecil. Tantangannya, bagaimana cara membuktikan pendapat itu? Pada 1997, sewaktu saya memimpin teman-teman di Danareksa menerbitkan reksa dana syariah, pengetahuan kami tentang prinsip syariah masih sangat terbatas. Kami hanya tahu bahwa syariah adalah bagi hasil. Saat itu, instrumen investasi di pasar modal yang memberikan bagi hasil hanyalah saham. Bagi hasil atas keuntungan dalam bentuk dividen. Memang ada obligasi bagi hasil yang diterbitkan oleh CMNP, tetapi jumlahnya kecil dan struktur bagi hasil masih belum jelas. Jadi, saat itu kami berpendapat bahwa reksa dana yang sesuai dengan syariah hanyalah reksa dana saham. Sehingga reksa dana syariah pertama adalah reksa dana dengan portofolio saham. Namun, ada pertanyaan yang mencuat setelahnya. “Saham-saham mana yang boleh dibeli?” “Bagaimana mengukur tingkat keberhasilan pengelolaan portofolio saham yang sesuai dengan prinsip syariah itu?” Sebenarnya, pada saat kami meluncurkan reksa dana syariah yang pertama, DSN belum didirikan dan MUI belum mengeluarkan fatwa tentang reksa dana syariah. Tetapi karena saat itu Bapak Putu Ary Suta -Ketua Bapepam, Bapak Arys Ilyas,
209
Iwan P. Pontjowinoto
dan K.H. Ma’ruf Amin sangat mendukung niat kami, maka reksa dana syariah itu dapat diluncurkan. Untuk amannya, portofolio investasi reksa dana syariah tersebut hanya kami isi dengan saham. Adapun dana likuiditas kami tempatkan di bank umum syariah. Sedangkan untuk seleksi perusahaan (emiten), kami menggunakan kriteria yang umum dipakai oleh bank umum syariah. Jadi, melalui dukungan kerja sama dengan Bapepam, MUI, dan bank umum syariah, reksa dana syariah yang pertama dapat diluncurkan dan dapat beroperasi sesuai prinsip syariah. Sebagai tolok ukur untuk investasi saham secara “Saling tolong-menolong dalam menanggulangi umum, Bursa Efek Jakarta risiko dapat dilakukan (BEJ)—yang sekarang telah dengan jurus ta’awunbergabung dengan Bursa takafuli. Efek Surabaya menjadi Bursa Efek Indonesia, telah memiliki Indeks Harga Saham Gabungan (IHSQ) dan Indeks Saham-Saham yang Likuid (LQ-45). Sementara itu, pada Februari 1999, Dow Jones, lembaga penyedia jasa informasi untuk dunia keuangan, telah meluncurkan indeks saham untuk saham-saham yang diperdagangkan di New York Stock Exchange. Dow Jones menggunakan nama The Dow Jones Islamic Market Index (DJIM). Maksudnya adalah indeks atau tolok ukur untuk investasi di NYSE yang sesuai dengan pasar/investor Islami. Pada November 1999, Financial Times Stock Exchange (FTSE) International di London juga meluncurkan The FTSE Global Islamic Indices Series (FTSE-GIIS) dan The International
210
BERSAMA KITA BISA!
Finance Corporation Indices, unit dari IFC-World Bank, telah meluncurkan tolok-ukur (benchmark) untuk Islamic Leasing Fund. “Apakah Indonesia bisa punya indeks harga saham yang sesuai dengan syariah?” Saya mengontak Mas Ahmad Daniri, pimpinan BEJ, untuk mengajak BEJ menerbitkan indeks harga saham syariah. Ternyata Pak Daniri dan teman-teman di BEJ sangat antusias. Tetapi pertanyaannya, “Siapa yang akan bertanggung jawab atas
kesesuaian dengan prinsip syariah dari saham-saham yang akan dipilih sebagai bagian dari indeks harga saham tersebut?” Setelah negosiasi yang cukup alot, tetapi karena semua pihak sangat ingin meluncurkan indeks harga saham syariah maka akhirnya kesepakatan diperoleh. BEJ akan menerbitkan indeks yang akan diberi nama Jakarta Islamic Index (JII). Saham-saham yang membentuk JII akan dipilih dari daftar saham syariah. Danareksa bertanggung jawab untuk menyusun daftar saham syariah. Untuk itu, Danareksa akan meminta pendapat dari Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang telah ditunjuk MUI untuk Danareksa—yang terdiri dari K.H. Ma’ruf Amin, Dr. Anwar Ibrahim, dan Drs. Hasanuddin Syathori. Bila untuk LQ-45 dipilih 45 saham dari saham-saham yang paling liquid di BEJ, berapa jumlah saham yang masuk ke JII? Pada saat itu, Danareksa memperkirakan ada lebih dari 100 saham yang sesuai syariah. Jadi, jumlahnya sebaiknya tidak lebih dari 50. Karena LQ-45 terdiri dari 45 saham, berarti dari angka keramat 17 atau 8 atau 45, tinggal 17 atau 8. Namun,
211
Iwan P. Pontjowinoto
kedua-duanya terlalu kecil untuk menjadi representasi saham syariah. Akhirnya kita pilih 28 saham. Guna memilih saham yang akan membentuk JII, pertamatama dipilih perusahaan yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan syariah serta telah mencatatkan sahamnya di bursa lebih dari 1 tahun. Kemudian, dipilih perusahaan yang pendapatan bunga kurang dari 5% dan rasio hutang terhadap total aset kurang dari 90%. Dari daftar yang tersusun, dipilih 60 saham dengan kapitalisasi pasar yang terbesar. Kemudian dipilih 28 saham berdasarkan likuiditas perdagangan yang tertinggi. Daftar ini akan diteliti ulang setiap 6 bulan dan daftar baru akan digunakan setiap awal bulan Januari dan Juli. Dengan kebersamaan Bapepam, MUI, bank umum syariah, BEJ, dan Danareksa, maka Jakarta Islamic Index dapat diluncurkan pada bulan Juli tahun 2000.
Semua bahagia, semua “kaya teman”. Jurus Kebersamaan VI: Prinsip Syariah di Pasar Modal Setelah penerbitan reksa dana syariah dan obligasi syariah, serta peluncuran Jakarta Islamic Indeks, Bapepam merasa sudah waktunya dibuat aturan khusus tentang investasi syariah di pasar modal. Oleh karena itu, di tahun 2003, Bapepam bersama BEJ dan lembaga penunjang pasar modal lainnya, dengan dukungan DSN, mencanangkan peluncuran pasar modal syariah. Namun, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab.
Jika pada perbankan ada Bank Umum Syariah, BPR Syariah, dan Unit Usaha Syariah di bank umum konvensional, bagaimana di pasar modal?
212
BERSAMA KITA BISA!
Bila ada Dewan Pengawas Syariah untuk Bank Umum Syariah, BPR Syariah, dan Unit Usaha Syariah, bagaimana di pasar modal? Menurut ketentuan Undang-undang, pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik (terbuka atau Tbk.) yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Lembaga pasar modal adalah bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian. Sedangkan lembaga keuangan yang terkait adalah perusahaan sekuritas yang memberikan jasa penjaminan emisi efek, perantara pedagang efek, dan manajemen investasi. Instrumen investasinya antara lain adalah saham dan obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan (emiten) serta unit penyertaan dari reksa dana. Jadi, yang mana yang harus syariah? Pada saat itu, saya menerbitkan buku dengan judul Prinsip Syariah di Pasar Modal. Mengapa judulnya demikian? Menurut pendapat saya, pasar modal bukanlah suatu lembaga keuangan atau produk keuangan, tetapi serangkaian kegiatan yang terkait dengan instrumen investasi yang disebut efek. Sehingga, bukan pasar modalnya yang dijadikan syariah, tetapi kegiatan pasar modal harus sesuai dengan prinsip syariah. Tidak sependapat? Mari kita kaji satu persatu. Perusahaan sekuritas adalah lembaga keuangan, tetapi tidak memberikan produk kepada nasabah melainkan jasa, yaitu jasa penjaminan emisi—guna membantu perusahaan menerbitkan efek, jasa perantara pedagang efek—guna membantu investor
213
Iwan P. Pontjowinoto
dalam memebli atau menjual efek, serta jasa manajemen investasi—guna membantu investor dalam mengelola suatu portofolio investasi. Bursa Efek adalah pihak atau lembaga yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli investor (pemodal) dengan tujuan untuk memperdagangkan efek di antara investor. Jadi, bursa efek dapat dianalogikan dengan bursa mobil, atau bursa lukisan. Produk yang menjadi objek pada bursa efek adalah efek, pada bursa mobil adalah mobil, dan pada bursa lukisan adalah lukisan. Pada perbankan, yang menerima dana masyarakat adalah bank, dan bank adalah lembaga keuangan. Sedangkan pada pasar modal, yang menerima dana masyarakat adalah perusahaan (emiten) atau reksa dana, di mana perusahaan menerima dana tersebut bukan dalam fungsi sebagai lembaga keuangan. Jadi, yang perlu sesuai syariah adalah objek investasi yaitu efek, yaitu instrumen yang diterbitkan oleh pihak yang menerima dana masyarakat yaitu emiten dan reksa dana, serta cara perdagangan efek. Karena itu, secara pribadi saya sangat berbahagia, ketika tahun 2006 Bapepam menerbitkan keputusan tentang penerbitan efek syariah di mana Bapepam memakai istilah Prinsip Syariah di Pasar Modal, bukan istilah Pasar Modal Syariah. Menurut ketentuan tersebut, prinsip syariah di pasar modal adalah “prinsip-prinsip hukum Islam dalam
kegiatan di bidang pasar modal berdasarkan fatwa DSNMUI, baik fatwa DSN-MUI yang ditetapkan dalam peraturan Bapepam-LK maupun fatwa DSN-MUI yang telah diterbitkan sebelumnya, sepanjang fatwa tersebut
214
BERSAMA KITA BISA!
tidak bertentangan dengan peraturan Bapepam-LK yang didasarkan pada fatwa DSN-MUI.” Bapepam juga menetapkan bahwa Efek Syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya, yang akad maupun cara penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. Sedangkan Akad Syariah adalah perjanjian/kontrak yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bapepam-LK. Bagaimana dengan Dewan Pengawas Syariah? Kelihatannya Bapepam berpendapat bahwa DPS adalah “domain”-nya DSN. Sehingga, Bapepam membuat ketentuan bahwa setiap pihak yang menerbitkan Efek Syariah wajib memenuhi kepatuhan terhadap Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang terkait dengan Efek Syariah yang diterbitkan. Jadi, apabila DSN mengeluarkan fatwa bahwa harus ada DPS, maka semua perusahaan yang menerbitkan obligasi syariah (sukuk) atau suatu reksa dana menerbitkan unit penyertaan syariah harus mempunyai DPS. Di samping itu, ada kaidah syariah yang menyatakan bahwa untuk urusan hubungan antarmanusia (muamalah), segala sesuatu diperbolehkan sampai timbulnya larangan. Oleh karena itu, Bapepam membuat aturan bahwa bila suatu pihak yang menerbitkan Efek Syariah dan menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaannya berdasarkan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal, maka pihak tersebut wajib menyatakan bahwa kegiatan usaha serta cara pengelolaan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah di pasar modal, sebagaimana
215
Iwan P. Pontjowinoto
tertuang dalam Anggaran Dasar Perseroan atau Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Selain itu, pihak (perusahaan atau reksa dana) tersebut wajib menyatakan bahwa jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan, aset yang dikelola, akad, dan cara pengelolaan perusahaan pihak yang melakukan penawaran umum tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. Dan, karena Bapepam tidak memiliki jurisdiksi atas Dewan Pengawas Syariah (DPS), maka Bapepam membuat ketentuan bahwa perusahaan tersebut wajib memiliki anggota direksi dan anggota komisaris yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah di pasar modal. Sedangkan reksa dana harus memiliki wakil manajer investasi (pada perusahaan manajemen investasi) dan penanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan kustodian (pada bank kustodian) yang mengerti kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan prinsipprinsip syariah di pasar modal. Dengan demikian, para pemodal, perusahaan (emiten), perusahaan sekuritas, lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek akan dapat membangun kebersamaan yang saling menguntungkan dan tetap mematuhi prinsip syariah. Jadi semua kaya, semua bahagia, cara syariah.
Jurus Kebersamaan VII: Unit Link Sebagaimana telah disampaikan, saling tolong-menolong dalam menanggulangi risiko dapat dilakukan dengan jurus ta’awun-takafuli. Kebersamaan dalam melakukan investasi di pasar modal dapat dilakukan melalui reksa dana syariah. Tolong-
216
BERSAMA KITA BISA!
menolong antara masyarakat dan negara dalam meningkatkan perekonomian dapat berlangsung melalui instrumen Surat Berharga Syariah Negara—atau lebih dikenal dengan nama Sukuk Ritel. Kita dapat pula menggalang kebersamaan yang menggabungkan jurus ta’awun-takafuli, reksa dana syariah, obligasi/sukuk syariah, dan Sukuk Ritel. Seperti apa kebersamaan itu? Ketika saling tolongKebersamaan dalam menolong dalam menangmelakukan investasi gu langi risiko melalui di pasar modal dapat pro duk ta’awun-takafuli, para pihak (peserta) akan dilakukan melalui reksa dana syariah.” menghimpun dana melalui pembayaran iuran. Dana tersebut akan digunakan untuk memberikan jaminan atau santunan bila salah seorang peserta mengalami musibah. Tentunya, jaminan atau santunan tersebut harus sesuai dengan kesepakatan bersama. Iuran tersebut bersifat waqaf atau sedekah dengan harapan akan memperoleh barokah dari Allah SWT. Karena itu, dana yang terbentuk disebut sebagai dana tabarru’. Untuk meningkatkan daya guna, dana tabarru’ tersebut harus dikelola dengan baik oleh pengelola. Cara pengelolaan dana tabarru’ agar sesuai prinsip syariah dapat dilakukan dengan cara yang mirip dengan pengelolaan portofolio investasi di reksa dana syariah. Sementara itu, pengelola juga bertugas untuk mengumpulkan iuran dari para peserta. Oleh karena itu, pengelola tersebut akan mempunyai kompetensi yang baik dalam melakukan penagihan (collection) dan pencatatan iuran. Nah, bagaimana kalau kedua keahlian pengelola tersebut digabungkan?
217
Iwan P. Pontjowinoto
Bila kita gabungkan, maka produk gabungan akan memberikan perlindungan atas risiko tertentu (misalnya risiko kehilangan penghasilan karena meninggalnya sese orang) seperti produk ta’awun-takafuli dan akan memberikan hasil investasi yang halal dan baik seperti produk reksa dana syariah. Dalam industri keuangan, gabungan produk pertanggungan (asuransi) dan produk investasi (reksa dana) disebut dengan unit-link, maksudnya mengadakan “link (hubungan) unit penyertaan dari suatu reksa dana dengan perlindungan risiko (ta’awun-takafuli atau asuransi syariah)”.
“Cara pengelolaan dana tabarru’ agar sesuai prinsip syariah dapat dilakukan dengan cara yang mirip dengan pengelolaan portofolio investasi di reksa dana syariah.”
Apakah produk unit-link itu halal dan baik? Selama pengelolaan dana investasi tersebut sesuai dengan pengelolaan portofolio investasi reksa dana syariah, maka produk tersebut adalah produk yang halal dan insya Allah akan memberikan hasil yang baik. Dan bila perlindungan risiko tersebut mengikuti prinsip ta’awun-takafuli, maka perlindungan atau pertanggungan yang diberikan adalah halal, sehingga produk unit-link adalah produk yang halal dan insya Allah memberikan hasil yang baik.
Semua bisa tetap kaya, semua bisa bahagia, dengan cara syariah.
218
Bab 10
Ciptakan Kekayaan Sepanjang periode tahun 2002 hingga 2005, rata-rata
harga rumah di Amerika Serikat meningkat sekitar 13,5% per tahun. Pada kurun waktu yang sama, suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang berlaku, paling tinggi dipatok pada level 6%. Saat itu, bank maupun lembaga keuangan berlomba menyalurkan KPR (mortgage) meski kepada nasabah yang sebenarnya tidak layak menerima KPR (sub-prime). Di tengah sumringah-nya industri properti yang seperti itu, tak mengherankan jika banyak nasabah yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan mencicil, tergoda memanfaatkan fasilitas KPR untuk membeli rumah yang harganya naik terus itu. Celakanya, tujuan mereka bukan mengejar target untuk segera memiliki rumah sendiri, tetapi untuk dijual kembali. Maklum, uang muka yang dipersyaratkan sangat rendah dengan beban suku bunga yang juga rendah, atau cuma 6% per tahun. Dengan asumsi kenaikan harga rumah yang rata-rata 13,5%
219
Iwan P. Pontjowinoto
per tahun, dengan hitung-hitungan secara kasar saja, mereka akan meraih untung cukup besar, jika dalam 2 tahun rumah KPR-nya bisa dijual kembali. Ambil contoh, untuk pembelian rumah seharga US$200.000, calon nasabah hanya dikenakan uang muka 10% atau US$20.000. Bunga KPR 6% per tahun cuma US$21.600 untuk 2 tahun. Dengan asumsi kenaikan harga rumah yang menunjukkan kenaikan rata-rata 13,5% per tahun, maka dalam 2 tahun ke depan harga rumah tersebut diharapkan membengkak menjadi US$257.000. Artinya, dengan modal awal sebesar US$20.000 (untuk uang muka), nasabah akan memperoleh keuntungan dari harga jual sebesar US$57.000 (US$257.000 - US$200.000). Potong biaya bunga US$21.600 dan biaya-biaya lain, katakanlah US$10.000, maka nasabah tersebut masih menangguk margin (keuntungan) sebesar US$25.400. Singkat cerita, dengan modal yang cuma US$20.000, spekulasi pada jual beli rumah nasabah KPR itu memiliki potensi keuntungan sebesar US$25.400 atau 127% dalam waktu 2 tahun. Siapa yang tak tergiur? Pertanyaannya kemudian tentulah: “Apa benar begitu?” “Siapa yang menentukan harga rumah?” “Apakah kenaikan harga yang diterapkan cukup wajar?” “Mungkinkah kenaikan harga terjadi karena “permainan” pihak-pihak tertentu yang didukung spekulasi “gila-gilaan”?” “Apakah situasi ini ibarat cerita “Pulau Monyet” di Amerika Serikat?”
220
CIPTAKAN KEKAYAAN
Menariknya, cerita ajaib ini ternyata tak cukup hanya berhenti sampai di situ. Di Amerika Serikat juga berkembang pasar sekunder untuk portofolio KPR yang disebut secondary mortgage. Instrumen ini dipasang untuk menarik investor institusi dengan iming-iming mempunyai pendapatan yang stabil (dari cicilan KPR). Berdasarkan aset riil atau underlying asset, dan umumnya mempunyai tingkat bunga yang cukup menarik. Dan instrument secondary mortgage ini diterbitkan oleh lembaga keuangan yang mendapat dukungan dari Pemerintah Amerika Serikat, sehingga dianggap sebagai BUMN, yang dikenal dengan julukan Fannie Mae dan Freddie Mac. Fenomena lain yang “Bila sudah membuat menarik saat itu, pada kurun waktu 2002-2004 tingkat akad yang sesuai dengan ketentuan, maka Allah pengembalian atau imbalSWT memerintahkan hasil (return) dari secondary semua orang yang mortgage ditawarkan sekitar 5,25%, sementara suku bunga beriman untuk memenuhi akad-akad yang telah pinjaman (prime rate) dipatok mereka buat (QS 5:1).” sebesar 4,25%. Artinya, terdapat selisih (spread) sebesar 1.00% di atas suku bunga pinjaman (prime rate). Bila benar atas instrumen ini ada underlying asset dengan valuasi yang wajar dan pendapatannya stabil, maka instrumen investasi ini tentu sangat menarik. Tapi bila tidak, “Wah, pasti bisa gawat”. Hebatnya lagi, “kegawatan” itu ternyata belum ingin berhenti sampai di sini. Harga rumah terus melejit bak “harga monyet”. Prinsip kehati-hatian dilanggar dengan memberi
221
Iwan P. Pontjowinoto
pinjaman kepada nasabah yang tidak layak (sub-prime). Nasabah mengambil pinjaman bukan untuk membeli rumah yang akan dihuni sendiri, tetapi dengan tujuan spekulasi. Bukan main! Atas aset KPR yang “gawat” itu diterbitkan secondary mortgage, kemudian atas instrumen tersebut ternyata juga dijual instrumen derivatif. Artinya, “kegawatan” semakin berulang dan menumpuk, karena ada praktik gali lubang tutup lubang yang telah digali untuk menutup lubang sebelumnya, lalu digali lagi, dan seterusnya. Begitu selalu. Celakanya, instrumen derivatif yang dijual pun bukan hanya satu tingkat, tetapi bertingkat-tingkat. Hingga saat itu, Amerika Serikat adalah negara adidaya. Negara yang menjadi panutan negara-negara maju lainnya. Jadi, tak mengherankan jika instrumen yang dinilai “inovatif ” ini laris manis bak pisang goreng. Penikmat ragam instrumen investasi yang ditawarkan itu datang dari berbagai penjuru dunia, terutama Jepang dan Eropa. Ibarat pepatah, untung tak mudah diraih malang tak dapat ditolak, pada tahun 2006-2007 gelembung harga rumah di Amerika Serikat pecah. Harga rumah di Amerika Serikat terjun bebas. Menukik tajam. Bila informasi ini dipahami oleh otoritas keuangan dan masyarakat keuangan, seharusnya mereka segera mengambil langkah-langkah untuk mengatasi risiko yang mungkin terjadi. Tapi, entah kenapa, tak banyak tindakan yang diambil. Akhirnya krisis keuangan pun meledak di akhir 2008. Tak jauh berbeda dengan virus komputer, flu burung, atau H1N1, dampaknya segera menyebar dengan gegap gempita ke seantero dunia.
222
CIPTAKAN KEKAYAAN
“Mengapa hal ini bisa terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat?” “Mengapa pula dampaknya tak dapat dibendung meski di negara-negara maju yang selama ini dianggap mempunyai sistem ekonomi, sistem keuangan, dengan budaya tata kelola (corporate governance) yang baik?” “Bagaimana sebenarnya sistem ekonomi dan sistem keuangan yang berlaku?” “Apakah sistem-sistem tersebut tidak bisa mencegah situasi yang sangat berbahaya itu?” “Apakah ada cara lain yang lebih sesuai untuk menuju dunia yang lebih baik?”
“Shariah Way for a Better World?”
Prinsip ekonomi yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT adalah mencari hasil yang halal dan thoyib, dengan cara yang penuh keridhaan (tidak terkait riba) dan kehati-hatian (mencegah kondisi gharar dan menghindari maysir), serta menjaga keseimbangan hasil dengan risiko. Esensi dari prinsip ekonomi tersebut adalah menciptakan manfaat yang dapat menghasilkan nilai tambah dan dapat dibagihasilkan oleh pihakpihak yang bekerja sama dalam penciptaan manfaat tersebut. Manfaat diperoleh dengan menciptakan sesuatu yang mempunyai nilai lebih tinggi dari nilai jumlah biaya dan usaha yang dicurahkan untuk menghasilkan sesuatu tersebut. Sesuatu tersebut dapat berbentuk barang atau jasa. Nilai barang atau jasa tersebut diukur dari sudut pandang pihak yang membutuhkan
223
Iwan P. Pontjowinoto
atau memakai barang atau jasa tersebut, bukan dari sudut pandang pihak yang menghasilkan barang atau jasa tersebut. Nilai tersebut terwujudkan bila terjadi transaksi antara pihak yang memberikan barang atau jasa dengan pihak membutuhkan barang atau jasa tersebut. Agar nilai tersebut terwujudkan sesuai dengan niat para pihak yang terkait, maka diadakan kesepakatan yang mengikat, dengan tujuan agar para pihak yang terkait memenuhi kewajibannya dan mendapatkan haknya. Kesepakatan yang mengikat tersebut adalah ikatan (akad). Ikatan atau akad akan dibuat sesuai dengan keyakinan pihak-pihak yang mengadakan ikatan atau akad. Kaidah dalam hubungan antarmanusia menyatakan bahwa semua hal pada prinsipnya diperbolehkan kecuali yang telah dilarang. Karena itu, Nabi Muhammad SAW menganjurkan bahwa
manusia bebas mengadakan akad kecuali bila dalam akad tersebut ada syarat atau ketentuan yang mengharamkan yang halal maupun adanya syarat atau ketentuan yang menghalalkan yang haram. Dan bila sudah membuat akad yang sesuai dengan ketentuan, maka Allah SWT memerintahkan semua orang yang beriman untuk memenuhi akad-akad yang telah mereka buat (QS 5:1). Manfaat yang tercipta dari suatu kegiatan ekonomi merupakan hak dari pihak-pihak yang terkait dalam penciptaan manfaat tersebut sehingga nilai tambah yang dihasilkan oleh penciptaan manfaat juga merupakan hak dari pihak-pihak terkait. Oleh karena itu, nilai tambah atau keuntungan akibat manfaat yang tercipta harus dibagihasilkan di antara para pihak yang terkait dalam penciptaan manfaat tersebut. Sehingga, bila
224
CIPTAKAN KEKAYAAN
tidak ada manfaat yang tercipta, maka tidak ada nilai tambah yang dapat menjadi objek untuk bagi hasil, dan oleh karena itu tidak terjadi akad. Karena itu, gerakan pertama untuk memperoleh keuntungan adalah dengan menciptakan nilai tambah.
Berbasis Objek Riil Krisis keuangan yang menimpa seluruh dunia pada akhirakhir ini adalah karena maraknya pembiayaan dan investasi tanpa ada kejelasan manfaat dari objek transaksi. Hal ini terjadi karena objek transaksi tidak dapat berfungsi sebagai aset produktif. Sehingga, dapat dikatakan bahwa transaksi tersebut tidak memiliki underlying asset. Karena nilai tambah yang diciptakan oleh objek transaksi tidak jelas, maka pembiayaan atau investasi tersebut tidak dapat mengacu pada valuasi yang wajar atas objek transaksi berdasarkan kemampuan objek tersebut dalam memberikan nilai tambah sehingga tambahan yang diperoleh dari transaksi tersebut adalah riba. Dunia mengalami krisis keuangan karena meluasnya transaksi dengan riba. Riba dalam hal ini bukanlah semata-mata bunga bank, tetapi riba yang sebenar-benarnya karena telah terjadi kezhaliman. Kezhaliman terjadi karena transaksi bukan ditujukan untuk menciptakan manfaat melalui nilai tambah yang dihasilkan oleh objek transaksi. Sebenarnya, untuk nilai tambah diperoleh bila nilai objek transaksi lebih besar dari jumlah nilai atau biaya yang dibutuhkan untuk menciptakan dan menyampaikan objek transaksi kepada pemakainya. Nilai objek transaksi hanya dapat ditentukan dengan adil berdasarkan valuasi yang wajar atas objek
225
Iwan P. Pontjowinoto
transaksi. Maka, bila pemberi pembiayaan maupun penerima pembiayaan sama-sama tutup mata, pura-pura tidak tahu bahwa valuasi atas objek transaksi sudah sangat tidak wajar. Bila nilai sebenarnya adalah dibawah nilai transaksi, maka timbul kondizi zhalim, dan tambahan yang dihasilkan adalah riba. Haram! Itulah sebabnya Allah SWT membandingkan riba dengan jual-beli (QS 2:275), bukan dengan bagi hasil atau perserikatan atau kongsi. Karena jual-beli adalah dasar dari perniagaan, dan dalam jual-beli harus ada objek jual beli atau objek transaksi yang merupakan sesuatu barang atau jasa yang mempunyai nilai sehingga dapat menjadi harta. Dan harga yang terjadi dalam transaksi tersebut tentunya berdasarkan valuasi dari objek transaksi, di mana valuasi dari objek transaksi ditentukan oleh manfaat yang diharapkan diterima oleh masing-masing pihak, dalam mekanisme pasar yang wajar. Karena itu gerakan kedua untuk memperoleh keuntungan adalah dengan melakukan transaksi atas objek riil, atau aset, khususnya melalui transaksi jual-beli atau peralihan kepemilikan atau penguasaan manfaat dari objek riil tersebut.
Ibnu Khaldun telah menyatakan bahwa setiap individu tidak dapat dengan sendirinya memperoleh seluruh kebutuhan hidupnya, semua harus bekerja sama untuk memperoleh kebutuhan hidup dalam peradabannya. Dan hasil kerja sama sejumlah manusia dapat menutupi kebutuhan hidup beberapa kali lipat dari jumlah mereka. Jadi, pemikir Islam ini telah menyatakan bahwa manusia harus saling tolong-menolong agar dapat meningkatkan produktivitasnya.
226
CIPTAKAN KEKAYAAN
Allah SWT telah berfirman agar manusia saling tolongmenolong dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan melanggar aturan (QS 05:02). Manusia pun harus saling tolong-menolong karena Allah SWT telah menjadikan sebagian manusia lebih baik dari sebagian lain agar mereka dapat berguna bagi yang lain (QS 43:32), serta karena Allah SWT menghendaki kemudahan bagi manusia dan tidak menghendaki kesukaran bagi manusia. Bahkan, Allah SWT menjanjikan bahwa dibalik setiap satu kesukaran akan ada banyak kemudahan, bila manusia bertakwa (QS 65:07). Memudahkan sesuatu yang sukar serta mengurangi atau bahkan menghilangkan kesukaran adalah salah satu cara tolong-menolong. Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan, barangsiapa memudahkan kesukaran seseorang, maka Allah SWT akan memudahkan baginya di dunia dan di akhirat. Allah SWT selalu menolong hamba-Nya yang suka menolong temannya. Bahkan, orang yang hanya memberi petunjuk kepada kebaikan sama pahalanya dengan orang yang memberikan kebaikan itu.
“Dunia mengalami krisis keuangan karena meluasnya transaksi dengan riba. Riba dalam hal ini bukanlah sematamata bunga bank, tetapi riba yang sebenarbenarnya karena telah terjadi kezhaliman.”
Tolong-menolong bukan hanya antara manusia dengan manusia lain secara langsung, tetapi juga bisa dilakukan antara manusia dengan suatu organisasi atau antarorganisasi, baik
227
Iwan P. Pontjowinoto
organisasi usaha, organisasi masyarakat, organisasi sosial, maupun organisasi pemerintah. Tolong-menolong bukan hanya dalam bentuk kerja sama atas suatu tanah atau aset, dapat juga karena kemampuan atau kesempatan yang dimiliki oleh suatu pihak dan dibutuhkan oleh pihak lain. Bila pihak yang mempunyai kemampuan atau kesempatan yang lebih baik memberikan jasa kepada pihak lain yang membutuhkan kemampuan atau kesempatan tersebut, maka secara total hasil yang diperoleh dapat ditingkatkan. Dengan kata lain, melalui pemberian jasa tersebut produktivitas dapat ditingkatkan. Pertama, peningkatan produktivitas karena efisien. Hal ini dapat terjadi karena pihak yang paling tepat dalam arti mempunyai kemampuan yang tepat, atau kesempatan yang tepat dan dengan waktu yang paling singkat. atau biaya yang paling rendah akan melaksanakan pekerjaan atau tugas tersebut. Sehingga dapat mencapai hasil yang diinginkan dengan biaya atau waktu atau bahan yang lebih sedikit. Kedua, peningkatan produktivitas karena efektif. Hal ini dapat terjadi bila pihak yang memberikan jasa mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik sehingga dengan biaya atau waktu atau bahan yang sama dapat diperoleh hasil yang lebih baik.
Pada tahun 2000, saya mengikuti delegasi yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri RI, Bapak Alwi Shihab, mengunjungi beberapa negara Timur Tengah untuk menawarkan peluang
228
CIPTAKAN KEKAYAAN
investasi di Indonesia. Dalam kesempatan itu, saya bertemu dengan salah satu investor dari Oman yang sangat berminat untuk berinvestasi di Indonesia. Sebagaimana diketahui, negara-negara Timur Tengah ”KPR adalah pembiayaan banyak memasok energi ke yang aman, memberikan hasil yang relatif pasti, negara-negara Asia Timur, khususnya China, Jepang, dan secara tidak langsung akan meningkatkan dan Korea. Dalam perjalanan perekonomian negara kembali dari Asia Timur, dan kesejahteraan kapal pengangkut energi masyarakat.” tersebut relatif kosong— membuka peluang memanfaat kan kapasitas angkut yang tidak terpakai itu. Di negara-negara Teluk, termasuk Oman, energi cukup berlimpah. Sementara itu, negaranegara Teluk memerlukan bahan logam untuk konstruksi dan industri. Untuk mengolah bijih logam menjadi bahan logam (smeltering) diperlukan energi yang besar. Oleh karena itu, investor dari Oman menawarkan untuk membangun smeltering facility di Oman untuk mengolah bijih logam dari Indonesia. Pengangkutan bijih logam dari Indonesia ke Oman akan memanfaatkan kapal pengangkut energi yang kembali dari Asia Timur ke Kawasan Teluk. Sungguh suatu proposal yang menarik. Sayangnya, waktu itu, saya tidak mampu mewujudkannya. Enam tahun kemudian Oman mewujudkan rencana tersebut, tetapi kerja sama yang terjadi bukan dengan Indonesia. Sohar Aluminium, anak perusahaan Oman Oil Company, membangun aluminium smelter lengkap dengan fasilitas
229
Iwan P. Pontjowinoto
pendukungnya untuk memanfaatkan sumber energi Oman guna menghasilkan aluminium. Ternyata sebagian pendanaan diperoleh dengan menerbitkan obligasi (sukuk) dengan nilai US$260 juta. Ikatan yang digunakan adalah akad Istishna dan akad Ijarah.
Akad Istishna adalah akad pembelian suatu objek yang perlu memerlukan proses pembuatan. Melalui penerbitan sukuk istishna oleh Sohar, investor mengadakan kontrak dengan Sohar untuk membeli aluminium smelter. Jadi, investor menyediakan dana. Sohar yang membangun aluminium smelter. Investor kemudian akan memiliki aluminium smelter tersebut. Sohar mendapat keuntungan dari kontrak pembangunan aluminium smelter ini.
Akad Ijarah adalah akad penyewaan suatu aset. Sohar menyewa aluminium smelter dari investor—aluminium smelter ini dibuat oleh Sohar dalam akad Istishna. Karena Sohar akan menyewa aluminium smelter tersebut setelah selesai dibuat berdasarkan akad Istishna, maka tentunya spesifikasi aluminium tersebut harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh Sohar. Investor memperoleh hasil sewa dari investasi dalam bentuk aluminium smelter ini. Kontrak penyewaan dimulai setelah aluminium smelter selesai dibuat, dan berakhir 15 tahun setelah pembangunan aluminium smelter dimulai. Jadi, investor menanam investasi selama 15 tahun dan memperoleh imbal hasil dalam bentuk sewa. Sebagai pelengkap akad Istishna dan akad Ijarah ini, investor mengadakan kontrak penjualan aluminium smelter ini kepada Sohar pada akhir masa sewa. Jadi, investor akan
230
CIPTAKAN KEKAYAAN
mendapatkan kembali dana pokok investasinya pada akhir masa 15 tahun setelah awal penempatan dana. Tentunya besar marjin keuntungan Sohar dari kontrak Istishna, nilai sewa yang diperoleh investor selama masa Ijarah, dan nilai penjualan aset aluminium smelter harus lebih kecil dari manfaat dan nilai aset aluminium smelter yang diperoleh Sohar. Dan, tentu saja harus memenuhi imbal hasil yang diharapkan oleh investor. Kombinasi kontrak Istishna dan Ijarah ini terbukti sangat sesuai untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas produksi. Dengan pola pembiayaan semacam ini, fasilitas jalan tol, bandara, pelabuhan laut, transportasi kereta, pembangkit tenaga listrik, dan sebagainya, dapat dibangun. Pola pembiayaan ini memberi peluang kepada masyarakat—baik yang memiliki dana yang besar maupun yang hanya memiliki dana terbata—untuk ikut menikmati imbal hasil dari proyek-proyek infrastruktur. Proyek infrastruktur juga akan meningkatkan perekonomian yang pada gilirannya akan meningkatkan peluang mendapatkan keuntungan. Bila pola pembiayaan ini diterapkan, semua akan kaya, semua akan bahagia, dengan cara syariah. Maukah pemerintah, pengusaha, dan masyarakat menerapkannya?
Jurus Cipta II: Ijarah Di Hongkong, ada suatu tempat yang namanya Admiralty. Tempat itu sangat strategis karena di sana terdapat stasiun kereta bawah tanah yang menghubungkan berbagai rute, baik di Pulau Hongkong maupun yang menuju ke daratan Kowloon. Di lokasi itu, seorang pengusaha dari Australia dan New Zealand
231
Iwan P. Pontjowinoto
mendirikan bangunan menara kembar dengan rancangan arsitektur yang cukup unik: Menggambarkan beberapa koala sedang memanjat pada suatu batang pohon. Bangunan itu diberi nama “The Bond Tower”, dan relatif cukup laku karena menempati lokasi yang strategis. Untung tak dapat dikejar, malang tak dapat ditolak. Pengusaha tersebut terkena suatu kasus keuangan sehingga dihukum penjara. Akibatnya, banyak penyewa ruangan di Bond Tower yang pindah ke bangunan lain. Peluang ini dilihat oleh Mochtar Riady, pemilik Lippo Group. Ia menghubungi pengelola Bond Tower dan mengadakan negosiasi untuk menyewa seluruh ruangan di bangunan tersebut dengan harga murah. Maklum saat itu Bond Tower kekurangan penyewa karena penyewa tidak ingin dikaitkan dengan nama pemilik bangunan itu. Tidak hanya meminta harga yang sangat murah, Mochtar Riady juga meminta hak untuk menyewakan kembali serta hak untuk mengganti nama bangunan tersebut. Setelah mendapat hak menyewa dan mengganti nama bangunan menjadi “Lippo Center”, ruangan di bangunan tersebut kemudian ditawarkan kepada mitra usaha Lippo. Karena Lippo juga akan berkantor di Lippo Center, maka banyak pengusaha yang berminat. Akhirnya, Lippo dapat menyewakan sebagian besar dari ruangan tersebut dengan jumlah harga yang lebih besar dari harga yang dibayar oleh Lippo untuk seluruh bangunan itu. Sehingga, Lippo mendapat nama bangunan dan sebagian ruangan serta mendapat keuntungan dari menyewakan kembali.
Dalam konsep syariah, akad yang digunakan Mochtar Riady dalam kasus di atas disebut sebagai akad
232
CIPTAKAN KEKAYAAN
Ijarah. Akar katanya adalah ujrah, artinya upah. Dalam akad ini, yang menjadi objek akad adalah manfaat dari suatu “aset”. Karena itu, tidak menjadi soal, siapa yang sebenarnya memiliki aset tersebut. Selama pihak tersebut memiliki kuasa atau mendapat kuasa untuk menggunakan manfaat dari aset tersebut, maka pihak tersebut dapat menjual manfaat tersebut kepada menerima bayaran. Menjual manfaat mungkin lebih dikenal sebagai “menyewakan”, dan bayaran yang diterima lebih dikenal sebagai “uang sewa”. Jadi Mochtar Riady memiliki hak manfaat atas bangunan yang sebelumnya diberi nama Bond Tower, kemudian berhak mengganti nama serta menyewakan kembali ruangan-ruangan pada bangunan tersebut kepada orang lain. Bila harga yang dibayar kepada pemilik bangunan lebih kecil dari harga yang dibayar oleh penyewa, maka tentunya Mochtar Riady memperoleh keuntungan. Smart bukan? Ada cerita lain. Setelah krisis moneter, Merpati Nusantara tidak memiliki armada pesawat terbang yang cukup, sehingga banyak awak pesawat, termasuk pramugari dan pramugara yang tidak mendapat tugas “terbang”. Hal ini cukup meresahkan para awak pesawat, karena penghasilan mereka sangat tergantung pada “jam terbang”. Artinya, kalau jumlah “jam terbang” pada suatu bulan tidak memadai, maka penghasilan mereka juga tidak memadai. Sementara itu, Saudia Airlines memenangkan “tender” untuk melayani perjalanan haji Indonesia. Saudia Airlines memiliki cukup uang untuk mengadakan pesawat terbang yang diperlukan untuk melayani perjalanan haji. Namun, Saudia Airlines tidak memiliki cukup pramugari/pramugara untuk
233
Iwan P. Pontjowinoto
melayani perjalanan haji tersebut. Di samping itu, sebagian besar jamaah haji belum terbiasa mengadakan perjalanan dengan pesawat terbang, apalagi untuk ibadah haji. Sehingga, Saudia Airlines memerlukan pramugari/pramugara yang bisa berbahasa Indonesia dan memahami budaya jamaah haji Indonesia agar dapat melayani dengan baik. Merpati Nusantara yang “kelebihan” awak pesawat dan memerlukan kesempatan “terbang” dan Saudia Airlines yang memerlukan awak pesawat dan memiliki kesempatan “terbang” bisa mengadakan kerja sama. Merpati bisa “menjual” manfaat dari “aset” yang dikuasainya, yaitu awak pesawat yang terlatih dan mampu melayani jama’ah haji Indonesia, dan menerima bayaran atau “upah”. Akadnya juga disebut Ijarah. Merpati senang menerima bayaran, awak pesawat senang mendapat honor “terbang” dan kesempatan untuk haji atau umrah, Saudia Airlines senang bisa menjalankan pekerjaan dengan baik.
Semua senang, semua kaya, semua bahagia, dengan cara syariah. Jurus Cipta III: Penjaga Kekayaan Dalam upaya mengelola risiko yang dihadapi, manusia dapat saling tolong-menolong (ta’awun) dan saling menjamin (takaful) dengan niat mendapat berkah dari Allah SWT dan membentuk dana tabarru’. Semua pihak yang menjadi peserta ta’awun-takaful akan memerlukan suatu pihak untuk mengelola dana tabarru’. Mulai dari menghitung dan menentukan jumlah iuran (hibah) yang harus dibayarkan agar dapat memberikan perlindungan
234
CIPTAKAN KEKAYAAN
yang diharapkan, memungut iuran (hibah) yang telah disepakati, mengelola dana untuk meningkatkan nilainya, memeriksa klaim perlindungan, dan membayar santunan perlindungan. Pihak pengelola dana tersebut tentunya berhak memperoleh imbal jasa. Dan karena pihak pengelola adalah wakil peserta untuk mengelola dan atas jasanya berhak mendapat imbal jasa (ujrah), maka ikatannya disebut akad wakalah bi al ujrah. Kebutuhan para peserta “all well will end well. untuk mempunyai wakil Semua niat baik, yang yang profesional guna mengelola dana tabarru’ dijalankan dengan baik, akan berakhir baik.” ini dilihat oleh pengusaha sebagai peluang. Oleh karena itu, beberapa perusahaan yang mempunyai kompetensi dalam menghitung risiko (aktuari), mengadministrasikan dana, penagihan dan pembayaran, dan mengelola dana, mengajukan diri untuk jadi pengelola. Tentu saja dalam proses pengalihan pengelolaan ini harus ditentukan pedoman pengelolaan, batasan pengelolaan, serta kuasa atau wewenang yang diberikan. Dan atas jasa yang diberikan dapat diberikan imbal jasa dengan nilai tertentu atau bahkan imbalan berupa bagi hasil dengan nisbah yang besarnya telah disepakati sebelumnya. Perusahaan seperti itu adalah perusahaan asuransi. Akadnya tetap akad wakalah bi al ujrah. Perusahaan asuransi juga mempunyai kompetensi dalam memberikan perlindungan atau jaminan (takaful). Karena itu, perusahaan asuransi dapat menawarkan untuk ikut memberikan jaminan, sehingga bila ternyata dana tabarru’ tidak cukup untuk membayar santunan, maka perusahaan asuransi akan
235
Iwan P. Pontjowinoto
memberikan dana talangan. Atas dana talangan itu, perusahaan asuransi berhak mendapatkan imbalan yang lazim disebut premi. Akadnya menjadi akad Takaful. Dana talangan atau dana pinjaman dari perusahaan asuransi kepada dana tabarru’ untuk menanggulangi ketidakcukupan dana tabarru’ yang diperlukan untuk membayar santunan atau klaim dari peserta, yang dalam istilah syariah disebut qardh. Perusahaan asuransi juga dapat menawarkan untuk mengambil alih semua kegiatan pengelolaan dan penjaminan dalam kegiatan ta’awun-takafuli tersebut. Dengan demikian perusahaan asuransi menjadi pengusaha (mudharib) yang mendapat kuasa untuk dalam mengelola dana tabarru’ dan kuasa untuk menggabungkan dana tabarru’ tersebut dengan kekayaan (aset) perusahaan asuransi. Peserta ta’awun-takafuli menjadi pemilik dana (shahibul maal). Dan perusahaan asuransi berhak mendapat imbalan berupa bagi hasil dengan nisbah yang besarnya ditentukan berdasarkan komposisi kekayaan perusahaan asuransi terhadap dana tabarru’ yang digabungkan. Akadnya disebut akad Mudharabah Musytarakah. Dalam uraian di atas, inisiatif untuk melakukan kerja sama saling tolong-menolong (ta’awun) dan saling menjamin (takaful) dengan membentuk dana tabarru’, berasal dari para peserta. Bagaimana bila sebenarnya banyak orang-orang yang perlu untuk saling tolong-menolong dan saling menjamin tetapi mereka tidak saling mengenal? Mungkin ibaratnya banyak pria dan wanita yang saling memerlukan pasangan untuk membina keluarga, tetapi tidak saling mengenal. Maka, timbul peluang untuk jasa biro jodoh. Dalam hal ini, timbul peluang bagi perusahaan asuransi
236
CIPTAKAN KEKAYAAN
untuk menawarkan diri menjadi pengelola dana tabarru’ dan memberikan jasa takaful. Produk yang ditawarkan tersebut disebut produk takaful. Produk tersebut dirancang oleh perusahaan asuransi. Bila produknya sesuai dengan kebutuhan (calon) peserta, maka akan banyak orang yang menjadi peserta. Sebaliknya, bila tidak sesuai, peminatnya jarang. Bila pesertanya tidak memenuhi batasan keekonomian, maka tentunya perusahaan asuransi akan rugi. Peserta semakin banyak, berarti dana tabarru’ akan surplus dan perusahaan asuransi akan untung. Kemudian, perusahaan asuransi dapat menurunkan nilai premi sehingga semakin banyak peserta yang ikut. Semakin banyak orang yang mendapat perlindungan dan jaminan. Di samping kebutuhan ”Bisnis harus punya untuk mendapat perlindungan dan jaminan terhadap tanggung jawab sosial.” risiko di usia produktif, manusia juga membutuhkan “perlindungan” ketika sudah tidak lagi produktif. Atau, masa-masa pensiun. Ada mekanisme yang dipakai untuk pengelolaan dana tabarru’ maupun untuk dana investasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan ini. Dana yang dihimpun disebut sebagai dana pensiun. Perbedaannya, pada dana tabarru’ atau dana investasi yang mengambil inisiatif adalah para peserta, karena itu mereka yang membayar iuran. Sedangkan pada dana pensiun dimulai sebagai penghargaan kepada karyawan dan pegawai negeri, sehingga yang mengambil inisiatif adalah pemberi kerja, yaitu perusahaan atau Pemerintah. Akibatnya, yang membayar iuran adalah perusahaan atau
237
Iwan P. Pontjowinoto
Pemerintah. Dana pensiun seperti ini disebut sebagai dana pensiun pemberi kerja. Tetapi tidak semua orang bekerja di perusahaan atau menjadi pegawai negeri. Banyak juga orang yang bekerja mandiri sebagai profesional, memberikan jasa bersama beberapa partner, atau berwirausaha sebagai UKM dengan jumlah karyawan yang sedikit. Mereka juga memerlukan perlindungan untuk masa pensiun. Mereka juga perlu memiliki dana pensiun. Memang sebaiknya mereka bergabung dalam suatu dana kumpulan atau dana bersama. Tetapi, bagaimana bila mereka belum saling mengenal? Seperti halnya pada program ta’awuntakafuli, terbuka bagi lembaga keuangan untuk menawarkan produk dana pensiun. Produk ini disebut Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Bila pengelolaan investasi DPLK mengikuti ketentuan yang sama dengan pengelolaan investasi reksa dana syariah, maka tentunya hasilnya akan halal, dan mudah-mudahan thoyib.
Semakin banyak merasa orang kaya, makin bahagia di hari tua, dengan cara syariah. Jurus Cipta IV: Rumahku, Surgaku Salah satu jurus sistem ekonomi neo-liberal menyatakan bahwa Pemerintah harus menerapkan disiplin kebijakan fiskal yang menghindari defisit anggaran. Untuk memenuhi hal itu, anggaran belanja negara harus diutamakan pada layanan umum, termasuk pendidikan, pelayanan kesehatan, dan prasarana (infrastruktur). Ini berarti bahwa Pemerintah sebaiknya tidak membiayai pembangunan infrastruktur dengan dana yang
238
CIPTAKAN KEKAYAAN
diperoleh dari utang, tetapi harus mengandalkan penerimaan pajak. Apakah ini benar? Sementara cerita di awal bab ini menunjukkan bahwa krisis keuangan dunia berawal dari masalah subprime mortage di Amerika Serikat. Lantas, bagaimana cara mengatasi masalah ini? Baiklah, saya ambil suatu analogi. Coba lihat pada kehidupan kita sendiri. Pada saat kita memulai kehidupan berkeluarga, sebagian besar dari kita belum memiliki mobil dan—apalagi—rumah. Dalam kondisi semacam itu, dengan hanya mengandalkan pada sisa penghasilan—setelah dipotong biaya hidup, apakah kita dapat membeli mobil dan rumah? Memang dengan disiplin yang ketat, kita bisa menabung. Tetapi, kapankah tabungan kita akan cukup untuk membeli mobil dan rumah? Faktanya, harga mobil dan rumah meningkat lebih pesat dari peningkatan nilai tabungan kita. Apalagi kalau kita harus membayar biaya sewa rumah dan biaya transportasi. Tidak heran jika pertanyaan seperti di bawah ini kerap menghantui kita. ”Kapan kita punya mobil?” ”Kapan kita punya rumah?” ”Kapan kita bisa kaya dan bahagia?” Karena itu, fakta menunjukkan bahwa pembiayaan kepemilikan mobil dan rumah adalah suatu keniscayaan. Suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Tetapi, bagaimana cara yang terbaik? Adakah cara penciptaan kekayaan yang sesuai syariah? Kenyataan menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang menabung sejak usia belasan tahun sampai dengan usia tiga
239
Iwan P. Pontjowinoto
puluhan. Sebagian besar dari mereka berharap bisa mempunyai rumah, setidaknya ketika mereka telah mencapai usia tiga puluh tahun. Jadi, mereka menabung selama sekitar 10 tahun, dan selama itu mereka berharap mendapat imbal hasil (selama ini disebut ”bunga”) yang baik (maksudnya, ”tinggi”). Namun ketika mereka berusia 30 tahun, mereka mengambil KPR untuk jangka waktu 15 tahun lebih dan berharap membayar beban atau imbal hasil (selama ini disebut ”bunga”) yang rendah. Lucu juga ya, selama menabung meminta imbal hasil yang tinggi dan selama mencicil KPR berharap beban imbal hasil yang rendah. Padahal, imbal hasil dari tabungan menentukan imbal hasil KPR. Karena sebagian dana untuk KPR yang dicicil orang-orang pada usia 30 sampai 45 tahun berasal dari tabungan orang-orang pada usia 15 hingga 30 tahun. Bagaimana kalau mereka berserikat untuk menciptakan sinergi di antara mereka? Pembiayaan KPR adalah pembiayaan yang sangat menarik. Pertama, orang yang memerlukan KPR banyak sekali dan mereka dalam usia produktif. Rumah adalah aset utama suatu keluarga sehingga nasabah KPR akan berjuang sekuat tenaga untuk membayar cicilan KPR mereka. Rumah juga suatu jenis aset yang—secara umum—harganya terus meningkat. Dan, rumah mempunyai fungsi ekonomi dan sosial yang besar sekali. Dengan rumah yang baik, suatu keluarga akan sehat dan bahagia. Dan keluarga yang sehat dan bahagia akan produktif dan menjadi anggota masyarakat yang baik pula. Jadi, KPR adalah pembiayaan yang aman, memberikan hasil yang relatif pasti, dan secara tidak langsung akan meningkatkan
240
CIPTAKAN KEKAYAAN
perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat. KPR juga sangat dibutuhkan oleh masyarakat berpenghasilan terbatas (maksudnya ”rendah”). Jadi, KPR sangat dibutuhkan oleh suatu negara. Rumah bagi suatu keluarga adalah identik dengan infrastruktur bagi suatu negara. Kalau begitu, kenapa neo-liberal tidak mendukung negara menerbitkan obligasi untuk membiayai infrastruktur dan kenapa KPR untuk golongan tidak mampu (subprime mortgage) di AS memicu krisis keuangan di dunia? kerja sama antara ma”Rasulullah SAW juga syarakat yang menabung atau menyimpan dana dengan menganjurkan agar kita masyarakat yang memerlukan mendengarkan hal yang benar, sekalipun yang pembiayaan KPR akan memenyampaikan adalah nimbulkan sinergi yang akan anak kecil.” menguntungkan masyarakat. Imbal hasil dari penempatan dana tidak boleh dilihat hanya dari hasil bulanan atau tahunan yang diterima oleh masyarakat pemilik dana. Akan tetapi, juga harus dilihat dari dampak positif pada ekonomi dan kesejahteraan. Karena bila ekonomi membaik dan rakyat makin sejahtera maka perusahaan akan semakin mudah memperoleh keuntungan, dan imbal hasil dari kegiatan ekonomi akan meningkat. Hal serupa juga berlaku untuk pembiayaan infrastruktur bagi Pemerintah. Bila pemilik dana menempatkan dana pada obligasi yang diterbitkan Pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur, maka imbal hasil yang diperoleh bukan hanya yang secara langsung diterima dari penempatan dana di obligasi, tetapi juga pada kemudahan kegiatan
241
Iwan P. Pontjowinoto
masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi yang difasilitasi oleh infrastruktur tersebut. Jadi, siapa bilang Pemerintah sebaiknya membatasi peminjaman dana untuk pembangunan infrastruktur? Lalu, bagaimana dengan pembiayaan KPR bagi masyarakat berpenghasilan terbatas (rendah)? Apakah mereka tidak berhak untuk mendapatkan fasilitas KPR? Tentu saja mereka berhak, karena mereka juga anggota masyarakat. Hanya saja, mereka ditakdirkan mempunyai penghasilan yang terbatas. Lantas, bagaimana caranya? Sebenarnya tidak ada batasan minimum untuk nilai cicilan atau angsuran. Hanya saja, bila nilai cicilan lebih rendah dari imbal hasil yang diharapkan oleh pemilik dana, akan timbul masalah. Tetapi perlu diingat bahwa dalam jangka panjang (5 tahun atau lebih), harga rumah akan meningkat dan penghasilan nasabah KPR juga akan meningkat. Khususnya karena nasabah tersebut akan makin sehat dan produktif. Jadi, bagaimana caranya? Pada akhir tahun ’80-an, saya bekerja di Lippo Bank sebagai Senior Vice President untuk Consumer Banking. Saat itu banyak bank yang ”jor-joran” menawarkan KPR. Saya diajak ke Batam untuk menjual KPR bagi orang Indonesia dan Singapura yang ingin memiliki rumah atau apartemen di Batam. Sepulang dari Batam, saya dipanggil oleh Pak Mochtar Riady. Beliau menasehati saya untuk berhati-hati dalam memberikan KPR. Kata beliau, ”Pak Iwan, saya tidak ingin Anda membuat orang yang sudah cukup bahagia menjadi tidak bahagia karena mendapat KPR dari Lippo”. Waktu itu saya bingung juga. Saya
242
CIPTAKAN KEKAYAAN
tidak mengerti maksud Pak Mochtar Riady. Tapi saya ”manut” saja karena toh beliau sudah terbukti bisa berhasil dalam bisnis perbankan dan beliau pemilik Lippo. Tidak lama setelah dinasehati oleh Pak Mochtar, Pemerintah menerapkan kebijakan uang ketat, tight money policy. Wah gawat, suku bunga naik menjadi lebih dari 15% per tahun. Dampaknya cukup besar untuk cicilan KPR. Karena berjangka panjang, pada tahap awal, sebagian besar dari cicilan KPR adalah pembayaran bunga. Jadi, kalau suku bunga naik dari 10% menjadi 15%, maka cicilan KPR bisa naik lebih dari 30%. Cukup merepotkan untuk nasabah yang penghasilannya terbatas. Akibatnya bisa lebih dari 50% gajinya dipakai untuk membayar cicilan KPR. Dampaknya, banyak juga nasabah KPR Lippo yang tidak sanggup dan meminta keringanan. Bersama anggota tim lainnya, Fransiscus The Fon Kiu dan Muliadi Hardja, saya harus mengatur strategi untuk mencari solusi yang tepat. Solusi yang dapat mengakomodasikan keterbatasan nasabah dan tetap memberikan imbal hasil yang memadai bagi bank serta nasabah pemilik dana. Kami membuat analisis portofolio KPR berdasarkan nilai rumah, saldo pinjaman, dan pendapatan bulanan nasabah. Dari analisis tersebut kami menemukan bahwa kami dapat menerapkan cicilan yang tetap selama 36 bulan dan membukukan tambahan pinjaman agar imbal hasil tetap di atas biaya dana. Mengingat bahwa harga rumah umumnya meningkat, maka nilai jaminan juga akan meningkat sehingga dimungkinkan adanya penambahan pinjaman. Kemudian pendapatan nasabah juga meningkat, maka kemampuan mencicil juga akan meningkat. Sehingga,
243
Iwan P. Pontjowinoto
bila nilai cicilan ditingkatkan setiap 3 sampai dengan 5 tahun sekali, nasabah tetap akan mampu membayar. Lalu, saya menghadap Pak Mochtar. Pertama-tama, saya meminta maaf karena saya tidak paham nasihat Pak Mochtar. Setelah itu, saya sampaikan analisis kami atas portofolio KPR. Setelah yakin Pak Mochtar bisa menangkap ide yang kami sampaikan, kami mengajukan usul menerapkan cicilan tetap untuk nasabah dengan penghasilan terbatas. Alhamdulillah, Pak Mochtar tersenyum dan berkata bahwa beliau senang kami paham maksud dari nasihat yang telah diberikan. Beliau juga menyatakan bahwa bisnis harus punya tanggung jawab sosial. Dan, beliau mendukung usulan kami serta menyuruh kami menghadap ke direksi untuk ditindaklanjuti. Alhamdulillah. Ketika saya undang nasabah-nasabah yang bersangkutan dan saya sampaikan keputusan kami banyak nasabah yang menangis gembira. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang berusaha memeluk saya. Ada juga yang berusaha mencium tangan saya. Tentu saja saya menghindar dan menyatakan bahwa memang sudah kewajiban kami untuk memberikan yang terbaik bagi nasabah dan bagi bank. Alhamdulillah, seperti ungkapan di cerita Tintin, “all well will end well”. Semua niat baik, yang dijalankan dengan baik, akan berakhir baik. Pengalaman ini memberi pelajaran bahwa cicilan KPR sebaiknya tidak berubah sewaktu-waktu. Cicilan KPR sebaiknya ditentukan di muka dan nilainya bertambah secara berkala— misalnya setiap lima tahun sekali. Cara ini persis sama dengan cara pemberian KPR dengan akad Murabaha. Cara yang lebih adil dibandingkan dengan KPR yang cicilannya berubah
244
CIPTAKAN KEKAYAAN
berdasarkan perubahan kondisi ekonomi makro. Karena manfaat dari rumah yang dibeli dengan fasilitas KPR tidak berubah berdasarkan perubahan kondisi ekonomi makro, tentunya tidak adil bila cicilan KPR boleh berubah berdasarkan perubahan kondisi ekonomi makro.
Jurus Cipta V: Rusunawa Rusunami Ternyata, sebelum saya diserahi amanah memimpin Jamsostek, direksi sebelumnya telah mendirikan rumah susun sewa di Bekasi dan Batam. Dalam istilah Kementerian Negara Perumahan Rakyat, rumah susun sederhana yang disewakan disebut rusunawa, sedangkan rumah susun sederhana yang dapat dimiliki disebut rusunami . Kebetulan, saya mengenal dengan baik Menteri dan beberapa pejabat di Kementerian Perumahan Rakyat sehingga sering ikut rapat membahas program rusunawa-rusunami. Pemerintah mempunyai rencana akan membangun banyak rusunawa dan rusunami. Karena rusun berupa bangunan tinggi, maka dicanangkan program “1000 tower”. Maksudnya, 1000 bangunan rusuna. Pemerintah juga menyusun program insentif agar pengembang maupun rakyat berminat untuk membangun dan tinggal di rusuna. Jamsostek mengelola dana yang berasal iuran peserta dan hasil pengembangannya. Dengan dana tersebut, Jamsostek memberikan perlindungan berupa Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Kematian (JK), serta mengelola dana Jaminan Hari Tua (JHT). Sepanjang masa kepesertaan dalam program Jamsostek, tenaga kerja mungkin memanfaatkan fasilitas JPK beberapa kali dalam
245
Iwan P. Pontjowinoto
setahun, mengajukan klaim JKK satu atau dua kali setahun, klaim kematian (JK) tentunya hanya sekali, dan mengambil JHT seharusnya hanya setelah berusia 55 tahun. Karena itu, lebih dari 70% dana amanah yang dikelola oleh Jamsostek adalah merupakan tabungan JHT. Otomatis, dana JHT terus meningkat setiap tahun, baik karena pertambahan iuran maupun karena akumulasi hasil investasi (pengembangan). “Ke mana dana JHT diinvestasikan?” Menurut ketentuan, dana JHT dapat diinvestasikan ke dalam obligasi pemerintah, deposito di bank, obligasi korporasi, saham serta beberapa instrument investasi lainnya. Apa manfaatnya bagi tenaga kerja? Manfaat utamanya adalah mendapatkan hasil investasi. Kapan mereka menikmatinya? Seharusnya setelah mencapai usia 55 tahun. Wah, lama bener nih. Padahal, sementara itu, mereka membutuhkan dana untuk membeli rumah, membeli kendaraan untuk transportasi, membayar biaya pendidikan untuk anak-anak mereka, dan biaya kebutuhan hidup yang lainnya. Karena itu, timbul pemikiran untuk meningkatkan manfaat dana JHT bagi tenaga kerja dengan menggunakan dana JHT untuk pembiayaan KPR bagi tenaga kerja. Tetapi, untuk mewujudkannya ternyata tidaklah mudah. “Bagaimana caranya menentukan alokasi dana JHT untuk pembiayaan KPR ini?” “Bagaimana caranya menentukan tenaga kerja yang berhak menerima?” “Bagaimana pula caranya pelaksanaan yang memenuhi prinsip kehati-hatian?
246
CIPTAKAN KEKAYAAN
Pembiayaan perumahan, khususnya untuk rumah pertama, adalah salah satu jenis investasi yang paling aman. Dari segi aset yang dibiayai, cukup aman, karena permintaan akan jenis rumah (atau rusun) yang tersebut relatif besar sehingga harga juga relatif terjaga baik. Dari segi kemauan nasabah untuk membayar kembali pinjamannya, juga cukup baik, karena rumah adalah kebutuhan utama setiap keluarga dan tentunya mereka akan berjuang untuk membayar cicilan KPR agar tidak kehilangan rumah satu-satunya itu. Memang imbal hasil tidak akan setinggi hasil investasi di saham, tetapi bagi tenaga kerja yang belum punya rumah, lebih baik mendapat fasilitas KPR dengan biaya terjangkau selama 15 tahun di usia 30-an walaupun untuk itu harus imbal hasil yang lebih kecil untuk dana yang akan mereka nikmati di usia 55 tahun. Karena itu, tidak ada salahnya mengalokasikan sebagian besar dana JHT untuk pembiayaan KPR bagi tenaga kerja peserta JHT.
“Diharapkan kerja sama PNM-Danareksa dapat memberi manfaat kepada rakyat Indonesia yang tidak kalah dengan manfaat yang diberikan PNB kepada rakyat Malaysia.”
Sampai tahun 2005, Jamsostek telah menerbitkan lebih dari 20 juta kartu untuk peserta program JHT. Memang sistem yang digunakan memungkinkan seorang peserta mempunyai lebih dari satu kartu. Karena bila ia pindah kerja dan tidak mengalihkan kartu yang lama, maka peserta tersebut akan mempunyai lebih dari satu kartu. Padahal, peserta yang aktif membayar iuran hanya sekitar 8 juta orang. Sehingga, mungkin peserta program JHT hanya sekitar 15 juta orang.
247
Iwan P. Pontjowinoto
Jumlah dana JHT saat itu sekitar Rp.30 triliun. Kelihatannya besar, bukan? Tetapi bila pinjaman KPR rata-rata Rp.100 juta per orang, maka dana JHT saat itu hanya cukup untuk 300.000 peserta. Bila dana JHT digunakan untuk pembiayaan “uang muka” KPR dengan nilai Rp.30 juta per orang, maka dana JHT bisa untuk 1 juta peserta. Perbankan umumnya mensyaratkan nilai cicilan KPR maksimum sepertiga dari penghasilan bulanan. Untuk jangka waktu 20 tahun, bila imbal hasil 10% dan nilai cicilan bulanan tidak berubah, maka nilai KPR sekitar 100 kali cicilan bulanan. Namun bila cicilan meningkat 5% per tahun, maka nilai KPR sekitar 300 kali cicilan tahun pertama. Jadi, untuk peserta dengan gaji Rp.1 juta per bulan, cicilan KPR tahun pertama adalah Rp.330.000 per bulan dan nilai pinjaman KPR bisa mencapai Rp.100 juta. Bila 30% dari harga rumah (rusun) dibiayai oleh dana JHT dan sisanya oleh bank, maka harga netto rumah (rusun) yang dapat dibiayai mencapai Rp.100 juta. Setiap tahun, peserta program JHT yang mendapat KPR dari dana JHT akan membayar cicilan ke dana JHT. Berarti, akan ada pengembalian dana JHT yang dapat digunakan untuk memberikan pinjaman KPR untuk peserta JHT lainnya. Dari simulasi perhitungan di atas, ada kemungkinan 1 juta peserta yang akan membayar cicilan Rp.330.000 per bulan. Berarti tahun pertama akan terdapat pengembalian dana sekitar Rp.4 triliun. Dana hasil pengembalian ini bisa dimanfaatkan untuk memberikan pinjaman KPR serupa kepada 130.000 peserta. Dan, tentunya pada tahun kedua, jumlah pengembalian dari tiap peserta akan meningkat. Demikian pula jumlah peserta yang mengembalikan juga akan meningkat. Sehingga, semakin
248
CIPTAKAN KEKAYAAN
banyak peserta yang akan mendapat kesempatan memperoleh pinjaman KPR dengan dukungan dana JHT. Ada satu hal menarik yang perlu kita ketahui. Jumlah penduduk Indonesia hampir 10 kali lipat dari penduduk Malaysia, tetapi jumlah dana JHT di Malaysia lebih dari 10 kali lipat dari dana JHT di Indonesia. “Kenapa hal ini bisa terjadi?” “Mengapa keberhasilan penghimpunan dana JHT di Malaysia bisa 100 kali lebih baik dari di Indonesia?” Di samping sistem informasi yang digunakan lebih baik, ternyata kesadaran tenaga kerja Malaysia untuk ikut program JHT jauh lebih baik daripada tenaga kerja Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah manfaat pengelolaan dana JHT di Malaysia lebih baik. Di Malaysia, tenaga kerja yang ikut program JHT dapat menggunakan sebagian dari dana JHT mereka untuk membeli rumah melalui fasilitas KPR. Tentunya hanya rumah yang pertama. Kemudian dapat juga digunakan untuk membeli mobil, juga hanya mobil pertama. Bahkan, peserta JHT di Malaysia dapat menentukan pilihan investasi untuk sebagian dana JHT mereka, sehingga sesuai dengan pilihan mereka tersebut. Asyik, kan? Jadi, bila Peraturan Pemerintah mengenai investasi dana JHT bisa disesuaikan, fasilitas KPR tersebut di atas mulai diterapkan untuk peserta program JHT dengan gaji maksimal Rp.1 juta per bulan, dan dilanjutkan dengan peserta dengan gaji maksimal Rp. 2 juta per bulan, maka daya beli peserta program JHT akan meningkat dan tentunya makin banyak pengembang yang akan membangun rusuna untuk memenuhi permintaan dari
249
Iwan P. Pontjowinoto
peserta program JHT. Dan bila peserta program JHT merasa bahwa program JHT memberi manfaat yang lebih dini—bukan hanya setelah mereka mencapai usia 55 tahun, berarti makin banyak orang yang menjadi peserta program JHT dan semakin mereka peduli akan akurasi pembayaran dan pencatatan iuran JHT mereka. Bila hal itu terjadi, tentu saja jumlah dana JHT di Indonesia akan lebih banyak dari yang di Malaysia. Dan dengan dana yang lebih besar, makin banyak peserta program JHT yang akan mendapat kesempatan memiliki rumah. Makin banyak
keluarga yang kaya, makin banyak keluarga yang bahagia, dengan cara syariah. “Kapan hal ini akan mulai terjadi?” Mungkin bila Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Tenaga Kerja, dan Menteri BUMN membaca buku ini. Insya Allah.
Sebelum reksa dana KIK yang pertama diterbitkan, PT. Danareksa Investment Management (waktu itu namanya PT. Danareksa Fund Management) mengelola beberapa produk investasi Danareksa yang disebut sebagai Sertifikat Danareksa. Pada dasarnya, Sertifikat Danareksa serupa dengan reksa dana KIK. Bedanya terdapat pada dasar hukum dan mekanisme kerjanya. Pada saat diterbitkan, Sertifikat Danareksa dimaksudkan untuk memberi peluang bagi rakyat dengan dana serta pengetahuan investasi yang terbatas untuk ikut serta mendapat
250
CIPTAKAN KEKAYAAN
keuntungan sebagai pemegang saham dari perusahaanperusahaan yang besar dan menguntungkan. Termasuk beberapa perusahaan multinasional. Saat itu, diberikan beberapa pilihan. Ada yang hanya berisi saham satu perusahaan. Ada pula yang merupakan portofolio dari saham beberapa perusahaan. Kemudian secara berkala, pemegang Sertifikat Danareksa mendapat pembagian hasil yang mirip dengan dividen. Namun, karena diberikan beberapa kali dalam satu tahun, maka untuk sebagian investor Sertifikat Danareksa dianggap seperti deposito. Ketika kami akan menerbitkan reksa dana KIK yang pertama, Bapepam menanyakan rencana kami dengan produk Sertifikat Danareksa yang selama ini kami kelola. Khususnya, karena dasar hukum untuk penerbitannya sudah berubah karena sudah ada UU tantang Pasar Modal Tahun 1995. Karena itu, kami perlu mempersiapkan rencana yang baik. Kemudian, saya mendapat informasi mengenai keberhasilan Permodalan Nasional Berhad (PNB) di Malaysia dalam menggalang dana investasi dari masyarakat. Oleh karena itu, saya segera mengadakan studi banding ke PNB. Pada saat studi banding itu, saya mendapat kesempatan bertemu dengan Tan Sri Dato’ Seri Ahmad Sarji bin Abdul Hamid (saat itu Chairman— Komisaris Utama—PNB), Tan Sri Dato’ Abdul Khalid Ibrahim (mantan CEO PNB), dan Hamad Kama Piah bin Che Othman (saat itu CEO PNB). Ada sesuatu yang agak “lucu” ketika bertemu dengan Hamad Kama Piah. Ia menanyakan sejak kapan saya bekerja di Danareksa. Ketika saya menjawab bahwa saya belum lama ditunjuk sebagai Direktur Utama DIM, ia tersenyum. Lalu, ia sampaikan bahwa sebenarnya di tahun 1970-an, ia datang ke
251
Iwan P. Pontjowinoto
Danareksa untuk belajar. Waktu itu dia masih berstatus staf biasa. Dua puluh tahun kemudian, ia sudah jadi orang no-1 di PNB. Lucunya, Direktur Danareksa datang untuk belajar ke PNB—yang dulu belajar di perusahaannya. “Apa tidak aneh?” Katanya. Dengan lugas saya menjawab bahwa Nabi Muhammad SAW menganjurkan agar kita belajar sampai ke “Negeri Cina”. Selain itu, Rasulullah SAW juga menganjurkan agar kita mendengarkan hal yang benar, sekalipun yang menyampaikan adalah anak kecil. Jadi, tidaklah salah atau aneh kalau sekarang saya sebagai “anak kemarin sore” di Danareksa belajar ke “orang yang paling berhasil” di PNB. Hamad Kama Piah tersenyum lagi, dan kami menjadi sahabat baik.
Dari hasil studi banding itu, saya juga mendapat pelajaran berharga dan berkesimpulan bahwa kunci keberhasilan (key success factors) dari PNB ada lima, yaitu: adanya Jaminan Modal Awal (Capital Guarantee), Dividen tahunan lebih baik dari bunga tabungan atau deposito, kemudahan investasi bagi pemodal, independensi dari Pengelola Investasi (Amanah), dan transparansi pengelolaan Mulai tahun 1981, PNB meluncurkan produk Amanah Saham Nasional (ASN) yang sebenarnya dibuat mengikuti pola Sertifikat Danareksa. Untuk menarik minat masyarakat karena investasi dalam saham umumnya membawa resiko penurunan nilai modal (capital loss), diberikan jaminan pencairan unit pada nilai modal awal, yaitu RM1.00. Jaminan modal awal ini dirancang untuk mendorong pemerataan kesempatan pemilikan atas aset nasional karena portofolio investasi adalah pada
252
CIPTAKAN KEKAYAAN
perusahaan nasional yang merupakan aset nasional. Namun, jaminan ini mempunyai dampak “penyimpangan hukum pasar”, karena harga pasar dari unit penyertaan dapat bergerak sesuai dengan nilai aktiva bersih (NAB) dari portofolio investasi, sehingga tidak selalu sama dengan RM1.00. Karena itu, perlu diadakan ketentuan mengenai batas maksimum kepemilikan atas unit penyertaan dari ASN agar fasilitas ini tidak disalahgunakan. ASN diluncurkan tahun 1981 dan menurut perjanjian pada saat pendirian, jaminan modal diberikan untuk jangka waktu 10 tahun, dan setelah itu pencairan unit dilakukan pada harga pasar (Nilai Aktiva Bersih). Namun dalam survei pada 1989, diketahui bahwa sebagian besar pemodal akan mencairkan unitnya bila harga pasar (NAB) lebih tinggi dari nilai modal awal. Sementara itu, harga saham yang menjadi portofolio ASN telah meningkat pesat. Karena tidak mungkin merubah ketentuan ASN, maka diluncurkanlah Amanah Saham Bumiputera (ASB) yang memberikan jaminan modal awal untuk jangka waktu yang tidak terbatas. PNB menganut prinsip bahwa tidak boleh ada subsidi dalam pembagian dividen. Baik subsidi pendapatan pengelolaan investasi, maupun subsidi (potongan) harga pembelian saham (efek) dalam portofolio. Tingkat hasil yang tinggi dimungkinkan karena pada saat ASN diluncurkan, kondisi ekonomi Malaysia sedang baik sehingga tingkat suku bunga cukup rendah dan kemampuan menabung cukup tinggi. Di samping itu, ASN diluncurkan tiga tahun setelah PNB didirikan (1978). Selama tiga tahun tersebut, modal awal PNB—yang nilainya sekitar RM 3 miliar—telah dikelola dengan baik sehingga memberikan hasil yang baik. Hasil investasi ini dibukukan sebagai cadangan
253
Iwan P. Pontjowinoto
atas jaminan modal awal. Untuk mendorong investasi jangka panjang, dividen dibagikan secara pro-rata menurut jangka waktu investasi dalam tahun dividen. Dan nilai dividen diupayakan selalu lebih tinggi dari imbal hasil tabungan maupun deposito. Kemudahan investasi yang berupa kemudahan dalam membeli, mencairkan dan mengetahui saldo unit penyertaan secara on-line adalah merupakan bagian dari Strategi Pemasaran. Kemudahan dalam membeli dan mencairkan dilakukan dengan menunjuk agen-agen penjualan di seluruh Malaysia sehingga memudahkan distribusi. Kemudahan dalam mengetahui saldo unit penyertaan secara on-line diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan pemodal karena setiap saat pemodal dapat mencek saldo kepemilikan mereka. Walaupun merupakan organisasi yang sarat dengan pejabat pemerintah, PNB sebagai pengelola investasi memiliki kebebasan secara profesional dan bebas dari intervensi anggota kabinet. Hal ini dimungkinan karena PNB bukanlah suatu perseroan (Berhad) yang dimiliki oleh Pemerintah (seperti BUMN), tapi perseroan didirikan oleh Yayasan Pelaburan Bumi Putra, suatu yayasan yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri. Pengawasan atas operasi PNB dilakukan melalui suatu Dewan yang dipimpin oleh PM dan beranggotakan 3 Menteri dan 2 Tokoh Masyarakat. Pedoman Investasi dijabarkan secara jelas dan tegas oleh Dewan, dan Pengelola Investasi harus mengikuti pedoman tersebut sehingga investasi tidak spekulatif. Tim Pengelola Investasi PNB dipimpin oleh Professional Investment Manager dan memiliki jenjang karier yang jelas. Bukti yang paling jelas adalah Hamad Kama Piah sendiri. Ia adalah
254
CIPTAKAN KEKAYAAN
karyawan PNB yang memulai karier sebagai Analis Pengelola Investasi dan 20 tahun kemudian menjadi CEO. Amanah Saham adalah Public Trustee. Karena itu, ada wakil pemodal yang duduk dalam Dewan dan Badan Pengawas. Portofolio investasi diumumkan secara berkala dan dimuat dalam informasi on-line sehingga kepercayaan pemodal semakin bertambah. Ada pedoman yang jelas mengenai posisi PNB dalam perusahaan (emiten) di mana PNB memiliki saham. Bila PNB memiliki saham 51% atau lebih, maka perusahaan tersebut disebut subsidiary company dan posisi Chairman (Komisaris Utama) akan ditunjuk oleh PNB. Bila PNB memiliki saham lebih dari 30% namun kurang dari 51%, maka perusahaan tersebut menjadi associate company dan wakil dari PNB akan menempati posisi Direktur Keuangan. Perusahaan yang menjadi sasaran investasi bukan hanya perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah (BUMN), tetapi juga pada badan usaha swasta dan anak perusahaan (subsidiary) dari usaha multinasional. PNB jelas merupakan contoh keberhasilan pemerataan penciptaan kekayaan kepada masyarakat. Memang selalu ada perbedaan situasi dan kondisi sehingga muncul hal-hal yang dapat dianggap sebagai tantangan dalam penerapan. Misalnya, bagaimana memberikan jaminan modal awal yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan serta tidak membebani APBN. Atau, apakah pengelola dapat mengelola dana dengan baik sehingga mampu member imbal hasil (dividen) yang lebih baik daripada imbal hasil tabungan maupun deposito? Di samping itu, ada tantangan besar dalam bersaing dengan produk tabungan serta kesalahpahaman mengenai investasi di pasar modal. Kebetulan saya ikut serta dalam tim BCA-Lippo
255
Iwan P. Pontjowinoto
sewaktu mempromosikan produk tabungan “Tahapan”. Jadi, saya paham betul tantangan yang dihadapi dalam hal komunikasi dan promosi. Yang terakhir adalah tantangan mengenai struktur hukum dari badan pengelola investasi dan produk investasi keuangan yang akan ditawarkan. Dengan adanya UU Pasar Modal, maka bentuk produk seperti Sertifikat Danareksa harus diganti dengan reksa dana atau produk yang mengacu pada reksa dana. Pada saat itu, Presiden kita adalah Prof. B.J. Habibie, Meneg BUMN adalah Tanri Abeng, Menteri Keuangan adalah Bambang Subianto, dan Menteri Koperasi dan UKM adalah Adi Sasono. Kabinet memberi arahan untuk membentuk badan baru yang mengikuti keberhasilan PNB dengan nama Permodalan Nasional Madani. Mengingat keterbatasan anggaran di kantor Meneg BUMN, maka Danareksa menjadi penyandang dana dari lokakarya pendirian PNM. Setelah mempelajari tujuan pendirian dan situasi serta kondisi Indonesia, pada tahun 1999, kami mengusulkan agar PNM didirikan sebagai BUMN yang menjadi Perusahaan Pengelola Aset Keuangan milik Negara. Pemerintah sebagai pemegang saham BUMN diharapkan membentuk portofolio yang terdiri dari saham-saham BUMN yang sudah dan akan “go-public”. Kemudian, PNM ditunjuk sebagai pengelola portofolio tersebut. Melanjutkan pengalaman dan kompetensi yang terbina selama mengelola Sertifikat Danareksa dan reksa dana, kami usulkan Danareksa mendirikan reksa dana saham dan reksa dana campuran dengan portofolio berisi saham dan obligasi yang diterbitkan oleh BUMN. PNM kemudian menjadi sponsor
256
CIPTAKAN KEKAYAAN
utama reksa dana tersebut dengan “inbreng” portofolio saham BUMN. Reksa dana tersebut dapat diberi nama reksa dana Amanah Madani Saham, Amanah Madani Nusantara, atau nama-nama lainnya. Kemudian, Danareksa akan bekerja sama dengan bank-bank BUMN dan perusahaan asuransi BUMN untuk memasarkan produk reksa dana tersebut. Untuk itu akan dilakukan sosialisasi dan promosi yang terstruktur agar dapat diperoleh pemahaman yang baik atas tujuan, potensi, risiko, dan manfaat dari investasi di reksa dana tersebut. Data empiris menunjukkan bahwa dalam periode 19901999 BUMN yang sudah go-public umumnya memberikan imbal hasil rata-rata dengan nilai lebih dari 15%/tahun. Sedangkan imbal hasil deposito di bawah 10%/tahun. Karena PNM (yang kami usulkan) bukanlah lembaga keuangan, melainkan perusahaan pengelola aset, maka PNM dapat memberikan jaminan pembelian kembali pada akhir tahun ke-5 dan seterusnya yang akan memberikan imbal hasil 12% per tahun. Saya membuat simulasi portofolio saham dan obligasi BUMN yang ada pada periode 1999-2004 dan sampai dengan 2009. Ternyata portofolio tersebut memberikan imbal hasil rata-rata lebih dari 20% per tahun. Sehingga, tentu saja tidak akan ada investor yang memanfaatkan jaminan PNM karena harga pasar sudah lebih tinggi. Bila PNM—yang kami usulkan—dan Danareksa beroperasi mengikuti ketentuan UU BUMN dan UU Pasar Modal, maka good corporate governance dapat diterapkan dengan baik. Di samping itu, kami usulkan membentuk Dewan Pengarah Investasi yang akan terdiri dari pejabat publik (Menteri atau
257
Iwan P. Pontjowinoto
Dirjen) dan orang-orang yang ditunjuk oleh 100 pemegang unit penyertaan terbesar. Dewan tersebut dapat memberi arahan, panduan dan penilaian atas kegiatan pengelolaan investasi reksa dana oleh Danareksa. Dengan demikian diharapkan kerja sama PNM-Danareksa dapat memberi manfaat kepada rakyat Indonesia yang tidak kalah dengan manfaat yang diberikan PNB kepada rakyat Malaysia. Mengikuti dinamika politik yang ada, akhirnya kantor Meneg BUMN mendirikan BUMN baru dengan nama PT. Permodalan Nasional Madani. Kegiatan usaha PNM difokuskan pada pembinaan dan pengembangan UKM. Walaupun saya banyak terlibat dalam pendirian PNM, tapi karena tujuan saya adalah untuk ikut berperan serta dalam upaya penciptaan kekayaan masyarakat, maka saya menolak tawaran untuk menjadi Direksi PNM. Dan, akhirnya PNM berdiri dan berkembang. Tentu saja, saya berdoa dan berharap agar PNM dapat berkembang mengikuti keberhasilan PNB. Karena dengan keberhasilan tersebut maka
makin banyak orang yang bisa menjadi kaya, makin banyak orang yang bahagia, dengan cara syariah.
258
Khatimah
Dunia memang tengah berada pada situasi yang cukup sulit.
Hal itu, nyata terlihat pada beberapa fenomena yang membuat sebagian besar manusia hampir kehilangan akal. Mulai dari dampak gejolak ekonomi di negeri adidaya Amerika Serikat yang meluas ke berbagai penjuru dunia, dilema perdagangan bebas, efek sampingan demokrasi dan pemakaian teknologi informasi yang kebablasan, sampai dengan perubahan iklim yang tidak terduga-duga. Namun bila percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Yang Mahakuasa, Pencipta seluruh alam, tentu yakin pula bahwa pasti ada jalan untuk mengatasi semua kesulitan yang dihadapi. Tuhan telah berjanji: bahwa pada setiap satu kesukaran akan terdapat banyak kemudahan. Karena itu, pasti ada cara yang cerdas untuk menemukan dunia yang lebih baik. Ada Shariah Ways for a Better World.
259
Iwan P. Pontjowinoto
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menyesuaikan kaidah usaha, etika bisnis, dan sistem ekonomi yang ada, sehingga bisa memudahkan manusia dalam mencapai dunia yang lebih baik. Memang, bangun sistem ekonomi—di mana pun juga—pada hakikatnya adalah serupa. Tercipta atau terbentuk dari peristiwa dan fenomena-fenomena ekonomi yang nyaris serupa. Sebagai sistim ekonomi yang terbangun dalam upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan sumber daya dan kesempatan yang ada. Hanya memang, peristiwa dan fenomena ekonomi di suatu tempat, biasanya tergantung pada faktor penentu dan faktor pengaruh yang sangat menentukan dan mempengaruhi kondisi, tindakan, hingga hasil dari kegiatan ekonomi yang diterapkan. Ringkasnya, sistim ekonomi yang berlaku di suatu tempat, sangat tergantung pada paradigma dan keyakinan manusianya. Pada falsafah hidup dan nilai-nilai dasar masyarakatnya, bangsa atau negara.
“Pasti ada cara yang cerdas untuk menemukan dunia yang lebih baik. Ada Shariah Ways for a Better World.”
Indonesia didirikan oleh para founding fathers (dan founding mothers) yang telah menetapkan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itulah, siapapun yang tinggal dan hidup di negeri ini, harus menerima Pancasila sebagai dasar negara. Seluruh bangsa Indonesia paham betul dengan sila pertama dari Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, semua warganegara Indonesia mengakui, percaya atau beriman kepada
260
KHATIMAH
Tuhan Yang Maha Esa. Seluruh bangsa Indonesia memiliki keyakinan pada keberadaan Tuhan yang telah menciptakan manusia dan alam raya beserta segala isinya. Jurus Kaya dan Bahagia Cara Syariah adalah cara-cara cerdas untuk menuju dunia yang lebih baik berdasarkan keyakinan atau keimanan manusia kepada Tuhan. Karena itulah, keyakinan dan paradigma para pelaku ekonomi di negeri ini seharusnya mengikuti falsafah, tata nilai, prinsip, dan kaidah seperti dijabarkan dalam firman Tuhan dan diajarkan oleh para nabi dan rasul-Nya.
Manusia akan lebih mudah menjadi ‘kaya dan bahagia’ bila dapat memahami dirinya, peran dan tugas yang harus dijalankan di muka bumi dengan berpegang pada pemahaman bahwa: 1. Manusia adalah abdi Tuhan atau hamba Allah SWT yang telah diangkat menjadi wakil-Nya di muka bumi untuk menyebarluaskan rahmat Tuhan ke seluruh alam. Dalam menjalankan tugas sebagai wakil-Nya, manusia diberi wewenang untuk mengatasnamakan Tuhan atas segala sesuatu yang dilakukannya. Keistimewaan itu dilakukan dengan mengucapkan: “dengan nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, atau “bismillahir rahmanir rahiim”. 2. Untuk mendukung peran manusia, Tuhan telah menciptakan bumi dan segala isinya secara seimbang menurut ukuran yang sesuai dengan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, semua sumber daya yang ada telah dimudahkan untuk kepentingan manusia, dan disempurnakan sebagai nikmat lahir dan batin.
261
Iwan P. Pontjowinoto
3. Atas bumi dan segala isinya yang telah diciptakan dan telah dipusakakan-Nya kepada manusia, Allah SWT juga memberi manusia kewenangan sebagai pemilik sementara dari (sebagian) bumi dan segala isinya agar digunakan untuk kegiatan produktif, efektif, efisien dan berkelanjutan. Manusia harus mengelola sumber daya yang ada untuk kegiatan produktif, sehingga dapat terus dinikmati umat manusia. Dari generasi ke generasi. 4. Tugas utama manusia adalah menggunakan bumi dan segala isinya untuk menciptakan kemasalahatan bagi umat manusia. Kemaslahatan utama bagi manusia adalah keuntungan atau kebahagiaan di akhirat. Pada saat yang sama, manusia juga diperintahkan untuk tidak melupakan haknya atas keuntungan atau kenikmatan di dunia. 5. Dalam menjalankan tugasnya, manusia harus berlaku adil kepada dirinya dan kepada orang lain. Karena, esensi keadilan adalah terciptanya keseimbangan antara kemasalahatan individu dengan kemasalahatan umat manusia. Selain meyakini pandangan hidup manusia sebagaimana diuraikan di atas, manusia yang ingin menjadi ‘kaya dan bahagia’ harus pula mengikuti prinsip-prinsip tata nilai yang terungkap setelah mempelajari prinsip syariah, yaitu: 1. Ruang lingkup tugas manusia sebagai hamba Allah SWT yang utama adalah menjaga keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, diikuti dengan menjaga kehidupan, menjaga akal, menjaga kelangsungan keturunan, dan menjaga harta, milik atau kekayaan yang telah dikaruniakan kepadanya. 2. Kebutuhan manusia adalah terbatas. Namun, kebutuhan utama manusia adalah memenuhi keperluan hidup sebagai makhluk,
262
KHATIMAH
dan melengkapi kebutuhannya untuk mencapai fitrah sebagai manusia. Lebih dari itu, manusia juga diberi keinginan untuk memenuhi kebutuhannya secara lebih baik. Namun manusia senantiasa diuji dengan “hasrat” untuk memenuhi keinginan yang sebenarnya belum menjadi haknya. Keinginan atau hasrat ini harus dikendalikan agar tidak menimbulkan kerugian. 3. Atas segala upaya yang dilakukan manusia dalam membawakan peran dan melaksanakan tugasnya di muka bumi, Tuhan telah berjanji akan memberi balasan yang sempurna. Balasan tersebut dapat berupa hasil di dunia maupun pahala di akhirat. Tak hanya itu, Tuhan Yang Maha Pemurah masih memberikan tambahan, dan hadiah karena kasih sayang-Nya kepada manusia. 4. Bila balasan yang diberikan oleh Tuhan melebihi harapan, maka manusia akan merasa beruntung dan memperoleh rezeki. Bahkan, bila manusia berterima kasih atas semua balasan dari-Nya, maka Tuhan akan memberi tambahan balasan-Nya. Karena itulah, agar senantiasa memperoleh rezeki, manusia diperintahkan untuk berterima kasih kepada Tuhan atas segala rezeki-Nya. 5. Dalam rezeki yang Tuhan berikan terdapat kewajiban berupa amanah yang perlu disampaikan, yaitu amanah untuk orang lain (zakat), amanah untuk masa kini, masa sulit, masa depan, hingga amanah untuk masyarakat. Karena itulah, manusia harus mengelola rezeki yang diterima dengan sebaik-baiknya. Dengan semua keyakinan yang telah dipegangnya, manusia harus mengikuti prinsip-prinsip dasar dan kaidah-kaidah berikut ini:
263
Iwan P. Pontjowinoto
1. Hasil yang diperoleh harus memenuhi kriteria kehalalan yang meliputi kehalalan dari sisi dzatnya, cara memperolehan dan penggunaannya. 2. Hasil yang diperoleh juga harus memenuhi kriteria kethoyyiban, yaitu hal-hal yang membawa kebaikan dan membuat manusia lebih arif, sehingga teguh mengikuti perintah Tuhan, menjauhi larangan-Nya dan menerima takdir-Nya. 3. Cara terbaik untuk memperoleh hasil yang halal dan thoyyib adalah melalui jalan peniagaan yang berlaku secara saling ridha. Tidak berlaku zhalim dan tidak mau diperlakukan secara zhalim. Tidak merugikan dan tidak pula bersedia dirugikan oleh orang lain. 4. Di samping berlaku saling ridha, manusia harus menghindari keraguan yang merugikan maupun keputusan untuk mengambil risiko yang melebihi kemampuan untuk mengatasinya. 5. Agar dapat berlaku saling ridha, menghindari keraguan yang mungkin merugikan dan risiko yang melebihi kemampuan, harus dicari keseimbangan antara pendapatan dengan biaya serta antara hasil dengan risiko. 6. Tujuan utama dari kegiatan ekonomi sesuai prinsip, tata nilai dan falsafah di atas adalah untuk menciptakan nilai tambah yang diperoleh bila nilai atas hasil lebih besar terhadap jumlah nilai biaya dan usaha yang dikeluarkan dalam upaya memperoleh hasil tersebut. 7. Cara terbaik untuk menciptakan nilai tambah adalah dengan melakukan kerja sama yang menghasilkan sinergi antara pihakpihak yang memiliki kesempatan, kemampuan, dan sumber daya.
264
KHATIMAH
8. Cara lain untuk menciptakan nilai tambah adalah melalui transaksi atas objek transaksi yang menciptakan manfaat bagi para pihak yang terlibat dalam transaksi. 9. Di samping melalui kerja sama yang menghasilkan sinergi dan transaksi atas objek yang bermanfaat, nilai tambah dapat diciptakan melalui cara saling tolong menolong berdasarkan kemampuan, keahlian dan kesempatan dengan memberikan jasa. 10. Penciptaan nilai tambah dengan jalan perniagaan yang berlaku secara saling ridha, akan terselenggara melalui mekanisme pasar yang wajar dan didukung oleh informasi yang dapat menghindarkan keraguan yang merugikan maupun risiko yang melebihi kemampuan.
Tuhan telah menyatakan bahwa Dia tidak akan mengubah nasib suatu bangsa, kecuali bila bangsa itu telah berupaya untuk mengubah nasibnya. Jika hal itu yang dilakukan, maka pertolongan Tuhan akan datang. Semoga pemikiran yang tersurat maupun tersirat dalam buku ini mampu memberikan inspirasi bagi pembaca untuk mengambil langkah-langkah nyata dalam upaya merubah nasib bangsanya. Ilmu pengetahuan yang disebarkan akan digunakan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat manusia. Semua kegiatan itu akan dicatat sebagai amal ibadah bagi para pihak yang mengajarkan dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Insya Allah akan membuat kita menjadi kaya dan bahagia.
265
Addendum
Sistem Ekonomi Syariah Bangun Sistem Ekonomi Sistem ekonomi adalah suatu sistem di mana kehidupan ekonomi terjadi dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan kehidupan ekonomi adalah kumpulan dan rangkaian peristiwaperistiwa serta fenomena-fenomena yang tampak secara lahiriyah dalam kehidupan yang terkait dengan produksi, distribusi, dan pemakaian produk serta jasa dalam kehidupan. Peristiwa ekonomi adalah semua transaksi-transaksi yang terjadi dalam kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi dari produk atau jasa yang diperlukan atau diinginkan oleh masyarakat dalam suatu negara, yang mempunyai nilai. Fenomena ekonomi adalah gejala-gejala yang dapat dipantau dalam peristiwa ekonomi yang mempengaruhi perubahan peristiwa ekonomi. Peristiwa ekonomi dan fenomena ekonomi terjadi karena adanya faktor-faktor yang menjadi penentu atau penyebab terjadinya peristiwa dan gejala ekonomi tersebut (yang disebut faktor penentu) serta karena
267
Iwan P. Pontjowinoto
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya peristiwa dan gejala ekonomi (yang disebut faktor pengaruh). Bangun sistem ekonomi sendiri sebenarnya sangat mengikuti fitrah dan kodrat manusia, yaitu yang memerlukan hubungan dan keteraturan sosial untuk memenuhi segala kebutuhan, keinginan dan hasratnya. Inti pokok dari bangun sistem ekonomi adalah interaksi dan saling ketergantungan antara tenaga kerja dengan pengusaha serta antara konsumen dengan produsen. Tenaga kerja memberikan tenaga dan jasanya kepada pengusaha atau perusahaan, dan sebagai imbalannya pengusaha atau perusahaan memberikan gaji dan upah. Di lain pihak, pengusaha atau perusahaan sebagai produsen dari barang dan jasa membutuhkan konsumen untuk membeli barang dan jasa yang dihasilkan. Dari interaksi dan saling ketergantungan para pihak diharapkan akan tercipta nilai tambah atau bahkan sinergi, sehingga nilai hasil yang diperoleh lebih besar dari nilai biaya dan usaha yang diberikan. Akibatnya para pihak memperoleh keuntungan dan dapat meningkatkan kemampuan dan daya belinya. Jadi inti pokok dari sistem ekonomi adalah sistem produksi, konsumsi dan niaga yang sering disebut sebagai sektor riil. Untuk mempermudah transaksi para pihak memerlukan sarana pertukaran nilai yang disebut uang dan membutuhkan pihak lain untuk memberikan jasa terkait dengan transaksi dan pembayaran. Kemudian bila para pihak mendapat keuntungan, maka mereka membutuhkan pihak lain untuk menyimpan nilai dari keuntungan tersebut atau bahkan untuk meningkatkan nilai dari keuntungan. Pihak lain tersebut adalah lembaga keuangan. Sehingga terbentuk suatu sub-sistem untuk kegiatan
268
ADDENDUM
pembayaran, penyimpanan dan pembiayaan, yang disebut sebagai sistem keuangan atau sektor keuangan. Baik pihak-pihak yang terkait dalam sektor riil maupun pihak-pihak yang terkait dalam sektor keuangan, semuanya memerlukan kepastian dan keteraturan dalam melakukan kegiatannya. Oleh karena itu mereka membutuhkan pemerintah yang melindungi mereka dengan peraturan dan penegakkan peraturan. Untuk itu para pihak wajib membiayai kegiatan pemerintah dengan membayar pajak. Di samping itu para pihak yang terkait dalam pembayaran dan penyimpanan nilai memerlukan keabsahan dan kepastian nilai uang. Oleh karena itu mereka membutuhkan lembaga pemerintah yang menerbitkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dan menjamin nilainya. Selanjutnya lembaga keuangan memerlukan dukungan untuk menyalurkan kelebihan dana serta sebagai ‘lender of last resort’. Sehingga sistem ekonomi juga meliputi pihak pemerintah yang akan memberikan keteraturan dan oleh karena itu berhak memungut pajak serta lembaga yang akan menerbitkan dan pengatur jumlah uang yang beredar. Dan terbentuklah subsistem ekonomi yang disebut sistem fiskal dan sistem moneter. Dan akhirnya pemerintah sebagai wakil dari seluruh warga negara bertugas untuk mengelola sumber daya alam yang dimiliki negara tersebut serta menyebarluaskan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Sehingga bangun sistem ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut:
269
Iwan P. Pontjowinoto
Sistem Ekonomi
Bangun sistem ekonomi ini bersifat bebas norma, karena berlaku untuk seluruh masyarakat, dalam berbagai negara. Bangun sistem ekonomi ini akan menjadi sistem ekonomi komunis, sosialis, kapitalis, liberal, atau apapun juga tergantung pada paradigma atau sudut pandang dari pelaku ekonomi yang mempengaruhi tindakan yang diambil oleh pelaku ekonomi. Paradigma pelaku ekonomi sangat tergantung oleh keyakinannya akan falsafah, tata-nilai, prinsip dan kaidah yang mempengaruhi keputusan yang diambil dan tindakan yang dilakukan. Keyakinan dan paradigma pelaku ekonomi akan menentukan cara atau metode yang dipilih dan diikuti dalam kehidupan serta dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Bila keyakinan pelaku ekonomi adalah sosialisme, maka faktor-faktor yang menentukan dan mempengaruhi keputusan
270
ADDENDUM
ekonominya juga akan mengutamakan persamaan hak dengan metoda kompensasi yang egaliter. Sehingga fenomena dan peristiwa ekonomi yang terjadi juga akan mendukung faham sosialis di mana sumber daya produksi dan distribusi dimiliki secara kolektif. Sedangkan bila keyakinan pelaku ekonomi adalah kapitalis, maka faktor-faktor yang menentukan dan mempengaruhi keputusan ekonominya juga akan mengutamakan kebebasan untuk menggunakan kekuatan ekonomi dengan hak kepemilikan individu. Sehingga fenomena dan peristiwa ekonomi yang terjadi juga akan mendukung faham kapitalis di mana sumber daya produksi dan distribusi dimiliki, digunakan serta diperdagangkan dengan tujuan mendapatkan keuntungan bagi pemiliknya. Sementara bila keyakinan pelaku ekonomi adalah liberalis, maka faktor-faktor yang menentukan dan mempengaruhi keputusan ekonominya juga akan mengutamakan kepemilikan swasta dengan kebebasan berkontrak untuk kepentingan individu atau kelompok. Sehingga fenomena dan peristiwa ekonomi yang terjadi juga akan mendukung faham liberalis di mana perdagangan dibebaskan seluas-luasnya sementara peran pemerintah dalam kegiatan ekonomi dibatasi dalam penyediaan prasarana dan sarana untuk layanan umum. Bagaimana bila keyakinan pelaku ekonomi di Indonesia mengikuti syariah?
Sistem Ekonomi Syariah Dalam hidupnya, semua manusia pasti mau berjuang untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Kebahagiaan yang sesuai dengan keyakinan hidupnya. Untuk itu manusia terus mencari cara-cara yang lebih baik untuk mencapai kebahagiaan
271
Iwan P. Pontjowinoto
hidup. Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dalam dunia yang lebih baik. Manusia akan berjuang mengikuti keyakinannya, yang membentuk paradigma serta faktor-faktor yang menentukan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan-keputusan dalam kehidupannya, termasuk dalam kehidupan ekonominya. Keyakinan yang paling mendasar dan karenanya menempati hierarki tertinggi bagi rakyat Indonesia adalah kepercayaan atau keimanan atas Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian diikuti dengan keyakinan bahwa keimanan tersebut dapat dijaga bila mereka dapat menjaga kemanusiaan secara adil dan beradab. Dan sebagai bangsa, untuk menjaga kemanusiaan secara adil dan beradab maka perlu dijaga persatuan bangsa Indonesia. Berikutnya, persatuan bangsa dapat dijaga bila mereka dapat memenuhi harapan rakyat melalui hikmah musyawarah. Dan akhirnya, agar harapan rakyat dapat dipenuhi dengan optimal maka hak-hak sosial dari seluruh rakyat harus dapat dipenuhi secara adil. Itulah Pancasila. Bila hierarki keyakinan itu yang diyakini oleh rakyat Indonesia, maka bagaimana sistem ekonomi yang paling cocok untuk rakyat Indonesia dapat terbentuk? Bagaimana falsafah, tata nilai, prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang menjadi dasar bagi faktor penentu dan faktor pengaruh dalam pengambilan keputusan ekonomi yang sesuai dengan hierarki keyakinan tersebut? Kemudian, bagaimana peran lembaga pemerintah, peran lembaga kemasyarakatan, peran lembaga usaha, dan peran individu dalam sistem ekonomi tersebut? Dan akhirnya, bagaimana cara para pelaku ekonomi mengadakan ikatan-ikatan transaksi di antara mereka, baik ikatan kerja sama, ikatan jual-
272
ADDENDUM
beli, ikatan jasa, maupun ikatan pembiayaan? Bagaimana ciri sistem ekonomi yang paling sesuai untuk Indonesia? Sistem ekonomi yang mengikuti prinsip-prinsip syariah, atau Sistem Ekonomi Syariah, pada dasarnya mempunyai ciriciri sebagai berikut:
1. Falsafah Dasar: Sistem ekonomi yang sesuai dengan fitrah manusia adalah sistem ekonomi yang sesuai dengan falsafah hidup manusia. Karena itu falsafah dasar dari Sistem Ekonomi Syariah harus sesuai dengan falsafah hidup manusia menurut syariah. Semua kajian tentang falsafah hidup manusia tentunya dimulai dengan kajian tentang siapa manusia itu. Menurut syariah, manusia diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi Abdi Tuhan dan telah diangkat menjadi khalifah di muka bumi untuk menyebarkan rahmat Tuhan ke seluruh alam. Untuk itu Tuhan telah memberikan fasilitas berupa bumi dan segala isinya yang telah diciptakan Tuhan secara seimbang menurut ukuran yang berdasarkan ilmu pengetahuan dan telah dimudahkan sebagai nikmat lahir dan bathin bagi manusia. Sehingga pasti dapat memenuhi seluruh kebutuhan manusia, lahir dan bathin. Kemudian bumi dan segala isinya telah di’pusaka’kan untuk manusia. Dan sebagai khalifah, manusia berhak mengatur kepemilikan sementara atas bumi dan segala isinya untuk dimanfaatkan dengan tujuan untuk memberikan kemasalahatan bagi umat manusia, yang harus dilaksanakan secara adil. Sehingga dalam Sistem Ekonomi Syariah lembaga-lembaga yang dibentuk oleh manusia, baik lembaga pemerintahan, lembaga masyarakat, lembaga bisnis, maupun lembaga sosial
273
Iwan P. Pontjowinoto
harus diatur untuk mendukung peran manusia dalam mengelola dan mengatur alokasi kepemilikan sumber daya alam untuk menciptakan kemaslahatan dan menegakkan keadilan sesuai dengan prinsip syariah. Syariah mengatur prioritas kepemilikan atas sumber daya alam pada kepemilikan negara (daulat). Kemudian sebagian sumber daya alam tersebut dialokasikan untuk kepemilikan ummat, dan kepemilikan masyarakat. Akhirnya bagian dari kepemilikan negara dapat dialokasikan untuk kepemilikan swasta (perorangan maupun badan hukum) bila digunakan secara produktif sehingga memberikan nilai tambah. Karena itu dalam konteks ekonomi nasional, semua sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup rakyat harus dikuasai oleh negara, baik melalui lembaga pemerintah (departemen, kementerian, dsb.), badan layanan umum (BLU), maupun badan usaha milik negara (BUMN). Sumber daya alam yang menyangkut kepentingan ummat dan masyarakat, misalnya jalan raya, saluran air, lapangan, ruang terbuka hijau, situs bersejarah, dsb. harus dikuasai oleh lembaga yang ditunjuk oleh negara, termasuk BLU, BUMN, lembaga khusus milik negara dan lembaga masyarakat. Penguasaan sumber daya alam melalui kepemilikan swasta harus bersifat sementara (maksudnya: tidak boleh mutlak) karena bila dikemudian hari ternyata sumber daya alam tersebut ternyata menyangkut hajat hidup rakyat maupun kepentingan ummat atau masyarakat, maka kepemilikan swasta harus bisa dialihkan menjadi kepemilikan masyarakat, atau kepemilikan ummat, atau bahkan kepemilikan negara.
274
ADDENDUM
2. Tata Nilai : Sistem ekonomi juga harus sesuai dengan tata nilai dalam falsafah hidup manusia. Sebagai Abdi Tuhan, manusia mempunyai hierarki kebutuhan di mana kebutuhan tertinggi adalah kebutuhan untuk menjaga keimanan, diikuti dengan kebutuhan untuk menjaga kehidupan, akal, keturunan, dan yang terakhir adalah kebutuhan untuk menjaga harta duniawi. Kemudian mengacu pada pengalaman Nabi Adam dan Hawa sebagaimana dijabarkan dalam Kitab Suci dapat difahami bahwa kebutuhan manusia bukanlah tidak terbatas, melainkan mempunyai tingkatan tertentu yang perlu difahami dan dikendalikan. Karena manusia pasti akan berupaya untuk memenuhi semua tingkat kebutuhannya, maka syariah juga mengatur karakteristik hubungan antara usaha manusia dengan hasilnya. Syariah menegaskan janji Tuhan untuk memberi balasan yang sempurna atas semua usaha manusia. Dan bahwa balasan yang Tuhan berikan dapat melebihi harapan manusia sehingga manusia merasa beruntung dan mendapat rezeki. Namun atas semua balasan yang Tuhan berikan kepada manusia terdapat amanah yang perlu disampaikan, baik untuk diri sendiri, untuk keluarga, dan untuk masyarakat; pada masa kini, masa sulit, dan masa depan. Sehingga dalam Sistem Ekonomi Syariah, manusia bukanlah sekedar ”economic man”, melainkan ”socially and economically responsible religious man”. Definisi ini mempunyai makna bahwa hierarki kebutuhan utama manusia adalah ’religious’, kemudian mempunyai tanggung jawab sosial dan mempunyai kebutuhan ekonomi. Sehingga kebutuhan manusia adalah tertentu dan terbatas. Karena itu manusia melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan keyakinan akan diperolehnya
275
Iwan P. Pontjowinoto
balasan yang adil dan sempurna, serta memiliki tanggung jawab untuk memenuhi semua amanah yang terkait dengan hasil yang diterima. Dan tentunya lembaga-lembaga yang dibentuk oleh manusia, baik lembaga pemerintahan, lembaga masyarakat, lembaga bisnis, maupun lembaga sosial harus diatur untuk mendukung peran manusia sebagai ”socially and economically responsible religious man”. Pemerintah harus mengatur agar rakyatnya memiliki kesempatan yang wajar untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya, yang terdiri dari kebutuhan dasar sebagai mahluk hidup (basic needs), kebutuhan normatif sebagai manusia (social needs), serta kebutuhan untuk berusaha memenuhi keinginan dan hasratnya (wants and desires). Untuk itu kebijakan ekonomi harus ditujukan untuk memberikan kesempatan kerja yang seluas-luasnya (full employment), berdasarkan semangat kebangsaan (nasionalisme) yang ditunjang dengan jaminan sosial sebagai sasaran primer, serta peluang untuk memenuhi keinginan dan hasrat manusia dengan memberikan peluang berusaha yang seluas-luasnya dalam kondisi persaingan yang adil dan mekanisme pasar yang wajar (socially responsible market) sebagai sasaran sekunder. Pemerintah juga harus mengatur dan menyediakan fasilitas, baik melalui lembaga negara, lembaga masyarakat, maupun lembaga sosial, agar penduduk dapat memperoleh bimbingan dan pembinaan serta dapat menjalankan kegiatan ibadahnya sesuai dengan keyakinan agamanya, berdasarkan sila Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
276
ADDENDUM
3. Prinsip Ekonomi: Sistem ekonomi juga harus mengikuti prinsip-prinsip yang mendukung tata nilai dalam falsafah hidup manusia. Karena itu sistem ekonomi harus diatur menurut kriteria dari hasil yang perlu dicari oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan tata nilai dalam falsafah hidup manusia serta kriteria dari cara memperolehnya. Kriteria hasil adalah harus halal dan thoyib, sedangkan kriteria cara memperoleh hasil adalah dengan jalan yang saling ridha, berlandaskan pada prinsip kehati-hatian, dan dengan menjaga keseimbangan hasil dengan risiko. Kriteria kehalalan terdapat pada dzat, pada cara perolehan, dan cara penggunaan. Kriteria thoyib adalah segala hal-hal yang baik dan dapat membuat manusia lebih arif sehingga teguh mengikuti perintah Tuhan, menjauhi larangan-Nya serta menerima takdir-Nya dengan ikhlas. Sedangkan keridhaan dapat diperoleh bila para pihak tidak bertindak zhalim ataupun mau diperlakukan secara zhalim sehingga keridhaan akan memastikan bahwa tidak ada pihak yang dirugikan maupun merugikan pihak lain. Kehati-hatian dapat dicapai dengan menghindari keraguan yang merugikan serta pengambilan risiko yang melebihi kemampuan yang wajar untuk menanggulangi. Sedangkan keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara pendapatan dengan biaya, antara hasil dengan risiko. Sehingga dalam Sistem Ekonomi Syariah, ketentuan dibuat agar manusia hanya memperoleh hasil yang halal, dan mengutamakan yang thoyib, melalui transaksi atau kegiatan yang menghindari kezhaliman (riba), menghindari keraguan yang merugikan (gharar), tidak mengambil risiko yang melebihi
277
Iwan P. Pontjowinoto
kemampuan (maysir), dengan menjaga keseimbangan antara pendapatan dengan biaya, serta antara hasil dengan risiko. Dan tentunya lembaga-lembaga yang dibentuk oleh manusia, baik lembaga pemerintahan, lembaga masyarakat, lembaga bisnis, maupun lembaga sosial harus diatur agar rakyat dan penduduk dapat memperoleh hasil dan mengelola hasil (harta) dengan cara-cara yang menghindari kezhaliman (riba), menghindari keraguan yang merugikan (gharar), tidak mengambil risiko yang melebihi kemampuan (maysir), dengan menjaga keseimbangan antara pendapatan dengan biaya, serta antara hasil dengan risiko. Untuk itu pemerintah harus mengatur kegiatan perniagaan (produksi, distribusi, dan perdagangan), pendukung perniagaan (infrastruktur), pembayaran (uang sebagai alat tukar, sistim pembayaran), pembiayaan (lembaga keuangan, pasar uang, dan pasar modal), serta perlindungan nilai hasil usaha dan harta rakyat (stabilitas nilai uang atau inflasi, dan nilai tukar valuta). 4. Kaidah Hubungan Ekonomi: Sistem ekonomi adalah suatu sistem di mana kehidupan ekonomi terjadi dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan kehidupan ekonomi adalah kumpulan dan rangkaian peristiwa-peristiwa serta fenomena-fenomena yang tampak secara lahiriyah dalam kehidupan yang terkait dengan produksi, distribusi, dan pemakaian produk serta jasa dalam kehidupan. Karena itu dalam sistem ekonomi harus diatur kaidah-kaidah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah mengenai tujuan utama dari kegiatan ekonomi serta cara-cara melaksanakan kegiatan ekonomi. Tujuan utama dari kegiatan ekonomi menurut syariah adalah menciptakan nilai tambah,
278
ADDENDUM
yaitu agar nilai hasil yang diperoleh lebih jumlah nilai dari biaya dan usaha yang dikeluarkan untuk memperoleh hasil tersebut. Cara menciptakan nilai tambah adalah melalui penciptaan sinergi dan manfaat, dengan meningkatkan produktivitas, serta melalui mekanisme pasar yang wajar. Kitab Suci menegaskan bahwa sebagian manusia diciptakan oleh Tuhan lebih baik dari sebagian lain agar dapat berguna bagi yang lain. Dan bila manusia bersyarikat maka Tuhan akan bergabung dalam persyarikatan itu selama tidak ada diantara mereka yang berkhianat. Dengan bergabungnya Tuhan ke dalam persyarikatan tersebut pastilah hasil yang diperoleh lebih besar dari jumlah yang diberikan ke dalam persyarikatan. Sehingga melalui perserikatan tanpa pengkhianatan niscaya akan tercipta sinergi. Kegiatan ekonomi harus dapat menciptakan manfaat bagi para pihak yang melakukan kegiatan ekonomi dan atas manfaat yang tercipta dapat dilakukan pembagian hasil. Cara lain untuk menciptakan nilai tambah adalah dengan cara tolong-menolong berdasarkan kemampuan dan kesempatan melalui pemberian jasa. Serta dengan menciptakan nilai tambah dengan memegang prinsip keridhaan yaitu melalui mekanisme pasar yang wajar. Syariah mengatur kaidah ikatan-ikatan (akad) kegiatan usaha atau transaksi ekonomi, baik akad kerja sama, akad jual-beli, akad jasa, maupun akad pembiayaan. Kaidah ikatan diatur berdasarkan kontribusi para pihak dalam transaksi, yaitu kontribusi tenaga, kompetensi, dana, dan aset. Sehingga dalam Sistem Ekonomi Syariah pengaturan bukan melalui jenis badan hukum melainkan menurut hubungan antara pemilik harta (dana) dengan pemilik usaha. Spektrum hubungan meliputi perserikatan penuh (musyarakah), penggabungan
279
Iwan P. Pontjowinoto
dana dan kemampuan usaha (mudharabah), pembangunan aset (istishna’), penyewaan aset (ijara), pembiayaan jual beli baik kepada pembeli (murabahah) ataupun kepada penjual (salam), jasa dengan kekuatan aset seperti penjaminan (kafala), pengalihan kewajiban (hawala) dan gadai (rahn), sampai ke pemberian jasa kompetensi (wakala, dsb.). Oleh karena itu negara perlu memberikan prasarana hukum untuk memberikan kepastian dan perlindungan kepada pelaku ekonomi dalam melakukan transaksi ekonomi. Sementara itu hubungan transaksi ekonomi pemerintah dengan pelaku ekonomi harus disesuaikan dengan akad-akad tersebut. Termasuk dalam transaksi dengan pemasok dan penyedia jasa, hubungan kerja sama dengan swasta (public-private partnership), sampai kepada pembiayaan APBN melalui penerbitan surat berharga (sukuk). 5. Peran Pelaku Ekonomi: Pelaku dalam sistem ekonomi terdiri dari perseorangan dan lembaga. Oleh karena sistem ekonomi juga harus mengatur peran lembaga, baik lembaga pemerintah, peran lembaga kemasyarakatan dan sosial, serta peran lembaga usaha. Sistem Ekonomi Syariah mengatur peran lembaga negara dalam pemanfaatan sumber daya melalui kepemilikan negara dan kepemilikan ummat, dalam menegakkan keadilan ekonomi melalui kewajiban menjaga nilai uang (inflasi) dan mekanisme pasar yang wajar, dalam distribusi kesejahteraan dan jaminan sosial, dalam pengembangan perniagaan dan kesempatan kerja, dalam pengembangan kegiatan keuangan, serta dalam hubungan internasional. Lembaga negara adalah pengejawantahan dari kedaulatan dan adalah pemegang amanah dari bangsa untuk menjaga dan melindungi kesatuan,
280
ADDENDUM
persatuan dan kesejahteraan bangsa. Lembaga kemasyarakatan merupakan penjabaran dari konsep jamaah serta merupakan perpanjangan dari peran keluarga. Karena itu lembaga kemasyarakatan, atas nama daulah atau pemerintah, berperan dalam pengumpulan dan distribusi zakat, pengembangan dan pemanfaatan waqaf, pelayanan pendidikan dan kesehatan, penanganan masalah sosial, serta dalam perlindungan hak masyarakat. Lembaga usaha melengkapi peran yang tidak dapat dilakukan oleh lembaga negara maupun lembaga kemasyarakatan. Lembaga usaha merupakan badan yang memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk memperoleh hasil, baik melalui usaha dalam sektor riil, sektor jasa, maupun sektor keuangan. Syariah mengatur hubungan antara pemegang saham dengan pengurus perusahaan serta karyawan dalam suatu perusahaan, hubungan pemilik dana dengan lembaga keuangan, hubungan antara pemilik usaha dengan lembaga keuangan, serta hubungan antara pemberi jasa dengan penerima jasa. Dan akhirnya sistem ekonomi akan membentuk karakteristik manusia yang berhasil serta karakteristik kepemimpinan yang sesuai, yaitu yang jujur (siddiq), teguh pendirian (istiqomah), cerdas (fathonah), dapat dipercaya (amanah) dan mempunyai kemampuan berkomunikasi (tabligh).
281