HASIL PENELITIAN OBLIGASI SYARIAH KORPORASI Oleh Iwan Pontjowinoto, 2007 Diambil dari disertasi Program Doktor UNPAD
PENDAHULUAN Tidak dapat disangkal lagi, krisis keuangan tahun 1997-1998 telah membawa banyak perubahan dalam pasar keuangan dan pengelolaan keuangan di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah perubahan pembiayaan dari perbankan ke pasar modal, serta dari pembiayaan melalui penjualan saham kepada publik menjadi penerbitan obligasi. Fenomena lain yang patut disimak adalah pertumbuhan emisi obligasi syariah yang pesat untuk beberapa tahun, tetapi kemudian terjadi penurunan yang drastis. Fenomena ini patut dikaji untuk dapat lebih mengetahui potensi penerapan prinsip syariah di pasar modal Indonesia. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa pada periode tahun 2002-2004, pertumbuhan kredit yang diberikan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan ratarata 16,6%. Demikian pula loan to deposit ratio (LDR) perbankan meningkat dari 44,4% menjadi 58,3% pada akhir tahun 2004. Walaupun harus diakui bahwa tingkat LDR yang hanya di bawah 60% masih jauh dari nilai ideal sekitar 85%. Disamping itu, data Bank Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit perbankan terutama didorong oleh pertumbuhan kredit perorangan, sementara pertumbuhan kredit untuk dunia usaha masih sangat terbatas. Bank Indonesia mencatat bahwa pada tahun 2002, dari sekitar Rp. 51 triliun tambahan kredit yang diberikan hanya kurang dari Rp. 28 triliun yang diberikan kepada perusahaan. Dan pada tahun 2003 dan 2004, tambahan kredit kepada perusahaan hanya sekitar Rp. 25 triliun. Sementara pembiayaan yang diterima perusahaan melalui emisi obligasi pada tahun 2003 telah melebihi Rp. 25 triliun.
Populasi Emisi Obligasi periode 2000 - 2005 Periode Emisi Obligasi Emiten Obligasi Total Observasi Konvensional Syariah Emisi Nilai Emisi Nilai Σ Emisi Σ Nilai 2000 15 5.613,0 15 5.613,0 2001 3 2.875,0 3 2.875,0 2002 7 5.975,0 1 175,0 8 6.150,0 2003 50 25.111,1 5 560,0 55 25.671,1 2004 36 14.643,0 7 654,0 43 15.297,0 2005 20 6.510,9 2 525,0 22 7.035,9 2006 14 11.150,1 1 200,0 15 11.350,1 Total 145 71.878,1 16 2.114,0 161 73.992,1 Sumber : Laporan Tahunan Bapepam
Data Bapepam-LK menunjukkan bahwa setelah masa krisis ekonomi tahun 19971998, pembiayaan yang diberikan melalui pasar modal telah beralih dari mayoritas pembiayaan saham menjadi mayoritas pembiayaan obligasi, baik dari jumlah emiten yang melakukan emisi maupun dari nilai emisi. Dan sejalan dengan berkembangnya pembiayaan yang mengikuti prinsip Syariah Islam, sebagian dari pembiayaan obligasi yang telah diberikan adalah pembiayaan obligasi syariah. Dimulai dengan penerbitan Obligasi Syariah Mudharabah oleh PT Indonesia Sattelite Tbk. pada November 2002, sampai dengan akhir tahun 2006 telah diterbitkan 16 obligasi syariah oleh berbagai jenis perusahaan di Indonesia. Dan alasan karena sentimen agama tidak terbukti karena beberapa perusahaan tersebut kepemilikannya tidak dikendalikan oleh orang yang beragama Islam, dan bahkan manajemen puncak dari beberapa perusahaan juga bukan muslim. Pembiayaan obligasi secara alami mempunyai resiko yang lebih tinggi dari pembiayaan dalam bentuk pinjaman bank yang umumnya berjangka lebih pendek, baik bagi perusahaan yang menerima pembiayaan maupun bagi pemberi pembiayaan itu sendiri. Pengambilan keputusan untuk memilih pembiayaan obligasi (hutang jangka panjang) dapat berdasarkan pada strategi manajemen untuk mencapai suatu nisbah hutang terhadap modal, atau lazim disebut rasio struktur modal, yang tertentu (sesuai dengan teori-teori trade-off) ataupun lebih mempertimbangkan biaya dalam mendapatkan pembiayaan (mengikuti model pecking order), atau mempertimbangkan kondisi pasar modal atau market timing. Sesuai dengan ketentuan Majelis Ulama Indonesia, semua pembiayaan syariah, termasuk pembiayaan obligasi syariah, harus mengikuti persyaratan yang ditentukan dalam Syariah Islam. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia telah mendirikan Dewan Syariah Nasional yang antara lain bertugas untuk memberikan fatwa mengenai kegiatan lembaga keuangan Syariah. Dewan Syariah Nasional (2001) telah telah memberikan fatwa bahwa pembiayaan hanya dapat diberikan pada perusahaan yang jenis usahanya tidak bertentangan dengan Syariah Islam dan yang kondisinya layak untuk mendapat pembiayaan secara Syariah. Jenis usaha yang sesuai dengan Syariah adalah jenis usaha yang tidak termasuk (a) usaha perjudian atau perdagangan yang dilarang oleh peraturan perundang undangan yang berlaku, (b) usaha lembaga keuangan konvensional, (c) usaha memproduksi, mendistribusi serta memperdagangkan makanan dan minuman yang haram menurut Syariah Islam, dan (d) usaha memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan barangbarang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat. Sedangkan kondisi perusahaan yang tidak layak untuk menerima pembiayaan syariah adalah perusahaan yang (a) struktur hutang terhadap modal yang sangat tergantung pada pembiayaan ribawi, yaitu pembiayaan yang bertentangan dengan Syariah Islam, (b) nisbah hutang terhadap modal lebih dari 82 persen, dan (c) kegiatan manajemen telah melanggar prinsip usaha yang Islami.
Ketentuan mengenai struktur modal yang dalam keuangan syariah disebut sebagai nisbah hutang terhadap modal, ditetapkan untuk menghindari timbulnya kondisi yang dalam Syariah Islam disebut sebagai kondisi gharar dan maysir (Vogel dan Hayes, 1998). Kondisi gharar secara umum dapat disamakan dengan kondisi yang memiliki keraguan yang dapat merugikan. Sedangkan kondisi maysir secara umum adalah pengambilan resiko yang melebihi kemampuan yang wajar dalam mengelolanya. Penentuan nisbah hutang terhadap modal –atau yang dalam istilah keuangan disebut sebagai rasio struktur modal– yang telah diambil oleh Dewan Syariah Nasional didasarkan pada praktek usaha dan perdagangan pada zaman Nabi Muhammad SAW yang kemudian diusahakan untuk disesuaikan dengan kondisi masa kini. Pada zaman Nabi Muhammad SAW sebagian besar kegiatan usaha berkaitan dengan perdagangan dan pertukangan serta pengadaan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Pada saat itu kelaziman pedagang tidak memiliki hutang lebih dari setengah dari nilai modal (debt-toequity ratio ≤ 0.5), baik pembiayaan melalui akad pembiayaan dimana pemilik modal dapat ikut dalam kegiatan usaha maupun dimana pemilik modal tidak ikut dalam kegiatan usaha. Hutang yang terjadi umumnya akibat transaksi perdagangan yang tidak tunai, baik melalui akad jual beli dengan pembayaran tertunda, atau dengan penyerahan tertunda, atau atas dasar pesanan dengan pembayaran uang muka. Sedangkan kewajiban yang timbul akibat akad sewa dari aset umumnya hanya berkaitan dengan pengadaan barang modal. Pada saat ini kegiatan usaha tidak terbatas pada perdagangan dan pertukangan saja, tetapi sudah mencakup kegiatan ekploitasi sumber daya alam, pengolahan dan produksi secara masal, serta jasa-jasa baik untuk memenuhi kebutuhan perorangan maupun untuk memenuhi kebutuhan perusahaan dan lembaga-lembaga lainnya. Akibatnya sebagian dari kebutuhan usaha yang dahulu harus diusahakan sendiri oleh pengusaha atau pedagang, seperti kebutuhan untuk transportasi, komunikasi, pengepakan, distribusi dan perbaikan barang dagangan, kini dapat dikerjakan oleh pihak lain sebagai pemberi jasa (outsourcing). Sehingga kebutuhan modal untuk melaksanakan kegiatankegiatan tersebut bisa digantikan dengan biaya jasa-jasa kepada pemberi jasa. Oleh karena itu timbul pertanyaan mengenai batasan maksimal nisbah hutang terhadap modal yang wajar untuk kegiatan usaha dibandingkan dengan (sasaran) batas nisbah yang optimal.
KONSEP PEMBIAYAAN SYARIAH Sebenarnya pembiayaan syariah tidak mengenal pembedaan antara pembiayaan instrumen hutang dengan pembiayaan instrumen ekuitas. Konsep Syariah Islam hanya mengenal dana sendiri dari pemilik usaha, yang membawa hak kepada pemilik usaha, dan dana dari pihak lain, yang membawa kewajiban kepada perusahaan. Sehingga bila diterapkan dalam sistim konvensional, maka obligasi syariah dengan akad mudharaba dapat didefinisikan sebagai dana pihak lain dengan prinsip bagi hasil seperti efek ekuitas. Namun karena berupa obligasi maka instrumen tersebut mendapat perlakukan pajak dan senioritas dalam pembayaran kembali seperti efek hutang.
Teori-teori mengenai struktur modal umumnya dikembangkan dengan asumsi bahwa semua hutang yang diberikan membawa beban biaya berupa bunga, dan perlakuan pajak atas bunga tidak selalu sama dengan perlakuan pajak atas pajak maupun atas dividen dan capital gain. Sementara dalam pembiayaan syariah dilarang adanya bunga sebagaimana yang dikenakan pada pembiayaan konvensional. Dalam sistim ekonomi syariah terdapat pandangan bahwa all-equity structure adalah satu-satunya solusi yang efisien, sehingga seharusnya pembiayaan ekuitas lebih mendapat prioritas dibandingkan dengan pembiayaan hutang. Namun dalam dunia keuangan yang berlaku saat ini terdapat hal-hal yang membuat pembiayaan hutang lebih disukai dibandingkan dengan pembiayaan ekuitas, yaitu (1) manfaat dari pajak (tax shield) yang diberikan pada pendapatan akibat biaya bunga yang dibayarkan, (2) berkurangnya resiko moral hazard, (3) menghindari dilusi pendapatan, (4) biaya pembiayaan yang (dipandang) lebih rendah. Dalam konteks Syariah Islam, manfaat pajak tidak bisa secara langsung berlaku karena dalam pembiayaan syariah tidak dikenal pembayaran (maupun penerimaan) bunga. Sementara resiko moral hazard dalam sistim syariah relatif lebih tinggi karena kebutuhan akan informasi yang lebih tinggi pada pembiayaan ekuitas dibandingkan dengan pembiayaan hutang. Pada pembiayaan hutang, persyaratan dan kondisi dari kontrak memberikan perlindungan yang lebih besar kepada pemberi pembiayaan hutang dibandingkan dengan pada pembiayaan ekuitas (Vogel dan Hayes, 1998). Sistim syariah yang lebih mengutamakan ekuitas dibandingkan dengan kredit mempunyai dua moda pembiayaan. Moda pembiayaan yang primer merupakan akad penggabungan sumber daya keuangan dimana (1) pemberi pembiayaan dapat terlibat secara aktif dalam kegiatan usaha -yang lazim disebut sebagai akad Musyarakah-, atau (2) pemberi pembiayaan hanya bersifat pasif namun memberikan seluruh pembiayaan yang diperlukan -atau lazim disebut sebagai akad Mudharabah-. Dalam moda pembiayaan primer, pemberi pembiayaan berhak memperoleh bagi dari hasil (baik positif maupun negatif) dari kegiatan usaha yang dibiayai (Umer Chapra, 2000). Moda pembiayaan sekunder merupakan akad pertukaran produk/jasa dengan dana atau lazim disebut akad jual beli, yang umumnya dapat berbentuk: (1) pemberian fasilitas penundaan pembayaran - akad Murabahah, (2) pemberian fasilitas penundaan penyerahan obyek transaksi - akad Salam, (3) pemberian modal untuk memproduksi obyek transaksi sesuai dengan kontrak akad Istisna’, (4) pemberian fasilitas sewa - akad Ijarah, dan (5) pemberian fasilitas sewa dengan opsi untuk membeli - akad Ijarah wa Iqtina. Dalam moda pembiayaan sekunder, pemberi pembiayaan berhak untuk menetapkan marjin laba yang umumnya merupakan fungsi dari manfaat yang diterima oleh perusahaan. Dan pemberi pembiayaan dapat menentukan jangka waktu dan cara
pembayaran (atau penyerahan obyek transaksi), namun tidak berhak untuk meminta tambahan atau mengenakan denda atas keterlambatan pembayaran (penyerahan). Moda pembiayaan primer yang disebut Musyarakah mempunyai ciri serupa dengan pembiayaan melalui penerbitan saham. Namun pemberi pembiayaan dalam pembiayaan syariah, yang dalam hal ini adalah pemegang saham, berhak menentukan waktu dan jumlah pembelian kembali saham oleh perusahaan. Moda pembiayaan primer yang disebut Mudharabah, instrumen yang digunakan dapat berbentuk saham ataupun obligasi –termasuk obligasi konversi. Karena kegiatan usaha yang menjadi obyek pembiayaan tidak harus berbentuk badan hukum perusahaan, tetapi dapat merupakan divisi atau unit usaha yang memiliki pembukuan yang terpisah dari induk perusahaan. Hanya dalam moda pembiayaan mudharabah, pemberi pembiayaan menanggung seluruh resiko pembiayaan karena kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab pemberi pembiayaan. Instrumen yang digunakan dalam moda pembiayaan sekunder dapat berupa surat hutang, obligasi, atau dalam hal ijarah dan ijarah wa iqtina dalam berupa kontrak sewa dan kontrak sewa-beli. Sehingga dalam pembukuan perusahaan, pembiayaan yang diterima melalui moda pembiayaan sekunder ini akan dibukukan sebagai hutang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam pembiayaan syariah, jenis pembiayaan dapat dikelompokkan menjadi: 1) Pembiayaan ekuitas dalam bentuk saham dengan akad Musyarakah dengan biaya atas pembiayaan yang diterima berupa dividen. 2) Pembiayaan kuasi-ekuitas yang bisa berbentuk saham maupun obligasi dengan ketentuan tertentu, dengan akad Mudharabah dengan biaya atas pembiayaan yang diterima berupa bagi hasil. 3) Pembiayaan hutang untuk pengadaan obyek transaksi, baik berupa barang modal, bahan baku, maupun barang dagangan, dengan akad-akad Murabahah, Salam, dan Istisna’ dengan biaya atas pembiayaan yang diterima berupa marjin pembiayaan. 4) Pembiayaan sewa dengan akad Ijarah, dengan biaya berupa biaya sewa. Akibatnya dalam pembiayaan syariah, biaya atas pembiayaan yang diterima dapat berupa dividen/bagi hasil, marjin pembiayaan atau biaya sewa. Bagi hasil merupakan fungsi dari hasil usaha berupa laba perusahaan tanpa memperhitungkan bunga dan dampak pajak atas bunga, dengan suatu nisbah atau dividend payout ratio yang telah ditentukan dimuka dan tidak dapat dirubah oleh manajemen tanpa persetujuan pemegang saham sebagai pemberi pembiayaan. Marjin pembiayaan ditentukan dimuka atas kesepakatan dari manajemen dengan pemberi pembiayaan, berdasarkan perkiraan hasil usaha yang dibiayai dan tidak merupakan fungsi dari jangka waktu pembiayaan. Oleh karena itu penelitian ini berusaha untuk mendalami implikasi dari karakteristik pembiayaan syariah pada teori-teori yang mendukung model dari struktur modal., untuk selanjutnya diterapkan dalam mencari hubungan antara struktur modal dengan indikatorindikator finansial yang berkaitan dengan kinerja perusahaan
PEDOMAN KELAYAKAN PEMBIAYAAN OBLIGASI SYARIAH Masalah utama yang perlu dipecahkan sehubungan dengan pembiayaan obligasi syariah adalah penilaian tingkat kelayakan pembiayaan obligasi syariah. Dalam pembiayaan konvensional dikenal pembedaan antara pembiayaan ekuitas (modal) dengan pembiayaan hutang, sehingga dikenal rasio pembiayaan hutang terhadap modal. Dimana dalam pembiayaan ekuitas pemberi pembiayaan berhak untuk mendapatkan dividen, sedangkan dalam pembiayaan hutang pemberi pembiayaan umumnya berhak mendapat imbalan bunga. Dan sebagaimana diketahui biaya bunga dapat mengurangi pajak, sedangkan dividen dibayarkan setelah pembebanan pajak. Dalam pembiayaan syariah dikenal pembedaan antara pembiayaan primer yang merupakan pembiayaan langsung atas suatu kegiatan usaha dan pembiayaan sekunder yang merupakan pembiayaan yang terkait dengan akad pengadaan produk/jasa yang pada dasarnya adalah ikatan transaksi, atau akad, jual-beli. Pembiayaan primer umumnya memberi hak atas bagi hasil untuk pemberi pembiayaan (investor), sedangkan pembiayaan sekunder umumnya memberi hak atas marjin laba atau sewa bagi pemberi pembiayaan. Berbeda dengan pembiayaan konvensional, biaya bagi hasil dalam pembiayaan syariah tidaklah sama dengan dividen karena dapat menggunakan instrumen obligasi, yaitu Obligasi Syariah Mudharabah. Sehingga sebenarnya biaya bagi hasil dapat dibebankan sebagai biaya dana yang dapat mengurangi pajak. Hal ini disebabkan karena dalam pembiayaan konvensional obligasi pada dasarnya adalah instrumen untuk pembiayaan hutang, sehingga tidak digunakan dalam pembiayaan ekuitas. Karena itu obligasi umumnya membawa konsekuensi biaya bunga kepada penerbit (emitan). Dalam pembiayaan syariah, obligasi dipandang sebagai instrumen yang membawa kewajiban (obligation) bagi pihak penerbit (emiten) dan hak bagi pihak pembeli instrumen (investor). Sehingga obligasi dapat digunakan untuk pembiayaan primer yang berdasarkan prinsip bagi hasil, maupun untuk pembiayaan sekunder yang memberikan hak marjin laba atau hak menerima pembayaran sewa. Beban biaya yang terkait dengan pembiayaan obligasi dapat dibebankan sebagai biaya, yang akan mengurangi pajak. Obligasi Syariah yang telah diterbitkan berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia adalah Obligasi Syariah Mudharabah dan Obligasi Syariah Ijarah. Obligasi Syariah Mudharabah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah Mudharabah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah Mudharabah berupa bagi hasil dari kegiatan usaha yang dibiayai oleh dana obligasi, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Nisbah bagi hasil atas keuntungan (maupun kerugian) yang diperoleh dari kegiatan usaha yang dibiayai oleh dana obligasi tersebut, ditentukan sesuai kesepakatan yang diambil sebelum emisi Obligasi Syariah Mudharabah tersebut.
Sedangkan Obligasi Syariah Ijarah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah Ijarah berupa sewa/fee ijarah secara teratur pada masa sewa dan membayar sisa sewa/fee ijarah pada saat jatuh tempo. Pemegang Obligasi Syariah Ijarah dapat bertindak sebagai penyewa maupun sebagai pemberi sewa. Emiten dapat bertindak sebagai wakil pemegang Obligasi Syariah Ijarah untuk menyewa obyek ijarah dan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri atau menyewakan obyek ijarah kepada pihak lain. Dalam hal Emiten bertindak sebagai penyewa untuk kepentingannya sendiri, maka Emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan sebagaimana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain. Obligasi syariah yang menjadi obyek penelitian ini terdiri dari 2 Obligasi Syariah Mudharabah dan 6 Obligasi Syariah Ijarah. Seluruh obligasi syariah tersebut diterbitkan bersamaan dengan penerbitan obligasi konvensional, yaitu: 1. Obligasi Syariah Mudharabah Indosat Tahun 2002, senilai Rp.175 milyar, diterbitkan untuk jangka waktu 5 tahun, bagi hasil dihitung berdasarkan pendapatan jasa internet dan pendapatan sewa satelit yang sudah dimiliki oleh PT Indosat Tbk. dengan nisbah bagi hasil mengambang. Bagi hasil untuk tahun 2003 sebesar Rp.28,67 milyar atau setara 16,38% per tahun. Pada saat yang bersamaan Indosat menerbitkan a) obligasi konvensional senilai Rp.775 milyar dengan bunga tetap 15.75% per tahun untuk jangka waktu 5 tahun, b) obligasi konvensional senilai Rp.200 milyar dengan bunga tetap 16,0% per tahun untuk jangka waktu 30 tahun, dan c) obligasi konvensional senilai Rp.100 milyar untuk jangka waktu 5 tahun dengan bunga mengambang sebesar bunga deposito bank umum tertentu ditambah premi 1.625% dengan tingkat bunga dibatasi minimal 15% dan maksimal 18% per tahun. 2. Obligasi Syariah Mudharabah Berlian Laju Tanker Tahun 2004, senilai Rp. 60 milyar, diterbitkan untuk jangka waktu 5 tahun, bagi hasil dihitung berdasarkan pendapatan operasi KM Gandhini yang sudah dimiliki oleh PT Berlian Laju Tanker dengan nisbah bagi hasil 25% dari pendapatan operasi. Nilai bagi hasil untuk tahun 2004 adalah Rp.8,875 milyar, setara 14,79% per tahun. Pada saat yang bersamaan Berlian Laju Tanker menerbitkan a) obligasi konvensional sebesar Rp.294,8 milyar untuk jangka waktu 5 tahun dengan bunga tetap 14.75% per tahun dan b) obligasi konvensional sebesar Rp. 45,2 milyar untuk jangka waktu 5 tahun dengan bunga mengambang sebesar deposito bank tertentu ditambah premi 2,5%. 3. Obligasi Syariah Ijarah Berlina Tahun 2004, dengan obyek ijarah adalah aset yang sudah dimiliki oleh Berlina, dengan cicilan fee ijarah sebesar Rp.2,92 milyar/triwulan untuk jangka waktu 5 tahun, sisa fee ijarah Rp. 85 milyar dibayarkan pada akhir ijarah. Biaya dana ini setara dengan bunga tetap 13,75%/tahun. Pada saat yang bersamaan Berlina menerbitkan a) obligasi konvensional dengan bunga tetap 12.625% per tahun senilai Rp.43 milyar untuk 3 tahun, dan b) obligasi konvensional dengan bunga tetap 13,75% per tahun senilai Rp.32 milyar untuk 5 tahun.
4. Obligasi Syariah Ijarah Humpuss Intermoda Tahun 2004, dengan obyek ijarah adalah kapal yang sudah dimiliki oleh PT Humpuss Intermoda, dengan cicilan fee ijarah Rp.17,08 milyar per tahun untuk jangka waktu 5 tahun, Sisa Fee Ijarah sebesar Rp.122 milyar dibayarkan pada akhir ijarah. Biaya dana ini setara dgn bunga tetap 14,0% per tahun. Pada saat yang bersamaan Humpuss menerbitkan a) obligasi konvensional senilai Rp.109 milyar untuk jangka waktu 3 tahun dengan bunga tetap 13,625% per tahun dan b) obligasi konvensional senilai Rp.119 milyar untuk jangka waktu 5 tahun dengan bunga tetap 14,0% per tahun. 5. Obligasi Syariah Ijarah Matahari Tahun 2004, dengan obyek ijarah adalah ruang usaha yang akan disewa sesuai kebutuhan Matahari, dimana cicilan fee ijarah Rp.20,7 milyar per tahun dibayarkan untuk jangka waktu 5 tahun, sisa fee ijarah sebesar Rp.150 milyar dibayarkan pada akhir ijarah. (Setara dengan 13,8% per tahun.) Pada saat yang bersamaan Matahari menerbitkan obligasi konvensional dengan bunga tetap 13,8% per tahun senilai Rp.300 milyar untuk jangka waktu 5 tahun. 6. Obligasi Syariah Sona Topas Tahun 2004, dengan obyek ijarah adalah ruang usaha yang sudah dimiliki oleh Sona Topas, dengan cicilan fee ijarah Rp.7,67 milyar per tahun dibayarkan untuk jangka waktu 5 tahun dan sisa fee ijarah Rp.52 milyar dibayarkan pada akhir Ijarah. (Setara dengan 14.75% per tahun). Pada saat yang bersamaan, Sona Topas menerbitkan obligasi konvensional senilai Rp.100 milyar untuk jangka waktu 5 tahun dengan bunga tetap 14,75% per tahun. 7. Obligasi Syariah Ijarah Apexindo Tahun 2005, dengan obyek ijarah rig pengeboran minyak yang sudah dimiliki oleh Apexindo, dimana fee ijarah Rp.29,4 milyar per tahun dibayarkan untuk jangka waktu 5 tahun dan sisa fee ijarah Rp.240 milyar dibayarkan pada akhir ijarah. (Setara dengan bunga tetap 12.25% per tahun). Pada saat yang bersamaan, Apexindo menerbitkan obligasi konvensional sebesar Rp. 510 milyar untuk jangka waktu 5 tahun dengan bunga tetap 12.25% per tahun. 8. Obligasi Syariah Ijarah Indosat Tahun 2005, dengan obyek ijarah adalah Satelit sudah dimiliki oleh PT Indosat, dimana cicilan fee ijarah Rp. 8,55 milyar per triwulan dibayarkan untuk jangka waktu 6 tahun dan sisa fee ijarah sebesar Rp. 285 milyar dibayarkan pada akhir Ijarah. (Setara dengan bunga tetap 12,0% per tahun). Pada saat yang bersamaan Indosat menerbitkan obligasi konvensional dengan bunga tetap 12,0% per tahun senilai Rp.815 milyar untuk jangka waktu 6 tahun. Dari data emisi obligasi tersebut di atas, dapat dilihat bahwa nilai emisi dan biaya dana untuk obligasi syariah adalah 2 obligasi syariah mudharabah dengan nilai emisi Rp. 235 milyar dan biaya dana variabel, serta 6 obligasi syariah ijarah dengan nilai emisi Rp. 934 milyar dan biaya dana tetap. Sementara pada saat yang bersamaan, emiten-emiten tersebut juga menerbitkan obligasi-obligasi konvensional dengan bunga mengambang sebesar Rp. 145 milyar dan dengan bunga tetap sebesar Rp.3.300 milyar. Baik biaya dana mengambang (variabel rate) untuk obligasi syariah mudharabah maupun biaya dana tetap (fixed rate) untuk obligasi syariah ijarah yang ditetapkan oleh emiten, dan diterima oleh investor, pada awal periode penerbitan obligasi syariah adalah setara dengan biaya dana untuk obligasi konvensional dengan bunga tetap.
Penelitian dengan model pengaruh struktur modal tidak memberikan perbedaan yang signifikan antara pengaruh obligasi konvensional dibandingkan dengan pengaruh obligasi syariah, maka dapat diambil kesimpulan bahwa obligasi syariah ijarah secara kuantitatif tidak memberikan pengaruh yang berbeda dengan obligasi konvensional. Sedangkan obligasi syariah mudharabah mungkin memberikan pengaruh yang berbeda. Namun nisbah bagi hasil yang ditentukan ternyata memberikan biaya dana yang setara dengan obligasi konvensional. Oleh karena itu, setidaknya untuk obligasi syariah ijarah, nilai optimal dari struktur dana untuk pembiayaan dengan obligasi konvensional juga berlaku untuk pembiayaan dengan obligasi syariah. Secara kualitatif terdapat perbedaan yang mungkin signifikan antara pembiayaan dengan obligasi syariah dibandingkan dengan pembiayaan dengan obligasi konvensional. Pada semua emisi obligasi syariah yang ada, pembiayaan dikaitkan langsung dengan pengadaan atau penguasaan aset yang telah, atau diyakini akan, diusahakan dan memberikan hasil usaha yang memadai. Keyakinan tersebut dilandaskan pada data-data untuk 2 tahun sebelum emisi yang sesuai dengan ketentuan Bapepam-LK wajib dicantumkan dalam prospektus emisi obligasi untuk menjadi pertimbangan bagi (calon) investor yang (berminat) membeli obligasi tersebut. Berbeda dengan obligasi syariah, pada emisi obligasi konvensional, emiten tidak harus menguraikan pengadaan atau penguasaan aset yang akan diusahakan. Bahkan bila emiten sudah menguraikan rencana pengadaan atau penguasaan aset, tidak terdapat sanksi atau kewajiban melaporkan bila aset tersebut tidak diadakan atau tidak dikuasai dalam jangka waktu tertentu. Disamping itu, pembiayaan dengan obligasi tersebut mungkin relatif lebih rendah dari pembiayaan lainnya. Sehingga walaupun terdapat aset yang dimiliki atau dikuasai dengan menggunakan dana hasil emisi obligasi tersebut, terdapat aset lain yang mungkin relatif lebih besar yang diperoleh dengan pembiayaan lain. Akibatnya bila kegiatan usaha berdasarkan aset lain tersebut mengalami masalah atau setidaknya memberikan hasil yang lebih rendah dari kegiatan usaha berdasarkan aset yang diperoleh dengan dana hasil emisi obligasi tersebut, maka terjadi penurunan kinerja secara keseluruhan yang dapat mempengaruhi kemampuan emiten untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang obligasi tersebut. Sedangkan pada seluruh emisi obligasi syariah, kecuali pada kasus Matahari, semua aset yang menjadi dasar pembiayaan obligasi syariah sudah dimiliki atau dikuasai oleh emiten. Sehingga risiko pembiayaan obligasi syariah tentunya lebih rendah dari risiko pembiayaan obligasi konvensional, oleh karena itu batas kelayakan dari nisbah hutang terhadap modal pada pembiayaan obligasi syariah dapat lebih tinggi dari nisbah yang sama pada pembiayaan obligasi konvensional.
STRATEGI KEUANGAN DENGAN OBLIGASI SYARIAH Operasionalisasi strategi dalam perspektif keuangan tergantung kepada jenis industri, kondisi ekonomi, kondisi pasar keuangan dan karakteristik perusahaan. Dalam penelitian lebih lanjut mengenai emisi obligasi syariah oleh emiten tersebut diketahui bahwa :
1. PT Indosat menerbitkan obligasi syariah mudharabah dengan nilai Rp.175 milyar untuk pembiayaan usaha internet dan penyewaan satelit pada tahun 2002 dan kemudian menerbitkan obligasi syariah ijarah senilai Rp.285 milyar dengan obyek ijarah adalah satelit pada tahun 2005. Porsi pembiayaan syariah meningkat dari 20% di tahun 2002 menjadi 26% di tahun 2005. Laporan keuangan PT Indosat menyatakan dengan khusus hasil usaha dalam bidang internet dan penyewaan satelit sehingga terdapat keterbukaan informasi mengenai pengaruh pembiayaan obligasi syariah pada kinerja keuangan perusahaan. 2. PT Berlian Laju Tanker menerbitkan obligasi syariah mudharabah pada tahun 2004 dengan nilai Rp.60 milyar untuk pembiayaan usaha penyewaan kapal tertentu. Laporan keuangan PT Berlian Laju Tanker menyatakan dengan khusus hasil usaha penyewaan untuk kapal tertentu tersebut sehingga terdapat keterbukaan informasi mengenai pengaruh pembiayaan syariah pada kinerja keuangan perusahaan. Laporan keuangan juga menunjukkan bahwa PT Berlian Laju Tanker mengambil pinjaman dalam valuta asing untuk tahun 2005 dan 2006 dengan bunga yang relatif lebih rendah dan laba usaha untuk tahun yang bersangkutan meningkat. 3. PT Sona Topas menerbitkan obligasi syariah ijarah pada tahun 2004 senilai Rp.52 milyar dengan obyek ijarah ruang usaha tertentu yang sudah dimiliki oleh PT Sona Topas. Laporan keuangan PT Sona Topas menunjukkan nilai aktiva tetap untuk kegiatan penyewaan dan hasil pendapatan sewa sehingga terdapat keterbukaan informasi mengenai pengaruh pembiayaan syariah pada kinerja keuangan. Disamping itu terdapat informasi yang menunjukkan bahwa PT Sona Topas menggunakan dana hasil penerbitan obligasi untuk melunasi hutang dalam valuta asing. 4. PT Apexindo menerbitkan obligasi ijarah pada tahun 2005 senilai Rp.240 milyar dengan obyek ijarah rig pengeboran minyak yang sudah dimiliki oleh PT Apexindo. Walaupun laporan keuangan PT Apexindo menunjukkan hasil pendapatan dari usaha pengeboran minyak, namun tidak terdapat informasi mengenai nilai rig pengeboran minyak yang disewakan sehingga tidak terdapat informasi yang diperlukan untuk mengetahui pengaruh pembiayaan obligasi syariah pada kinerja keuangan perusahaan. Terdapat informasi yang menunjukkan bahwa PT Apexindo melakukan swap bunga atas obligasi yang diterbitkan dengan pinjaman valas sehingga dapat menurunkan beban biaya atas pembiayaan obligasi (konvensional dan syariah) tersebut. 5. PT Berlina dan PT Matahari Putra Prima juga menerbitkan obligasi syariah ijarah untuk membiayai kembali aset usaha yang dimiliki sebagaimana halnya yang dilakukan oleh PT Sona Topas. Namun dalam laporan keuangan PT Berlina maupun PT Matahari Putra Prima tidak terdapat informasi yang diperlukan untuk mengetahui pengaruh pembiayaan obligasi syariah pada kinerja keuangan perusahaan. 6. PT Humpuss Intermoda juga menerbitkan obligasi syariah ijarah untuk membiayai kembali kapal yang sudah dimiliki sebagaimana yang dilakukan oleh PT Berlian Laju Tanker, dimana pendapatan sewa kapal dihitung dalam valuta asing. Namun dalam laporan keuangan PT Humpuss Intermoda tidak terdapat
informasi yang diperlukan untuk mengetahui pengaruh pembiayaan obligasi syariah pada kinerja keuangan perusahaan. 7. Seluruh emiten yang menerbitkan obligasi syariah dan konvensional tersebut (7 emiten dengan 8 emisi) ternyata telah membeli kembali sebagian dari obligasi yang diterbitkannya yang mempunyai dampak baik dalam penurunan beban pembiayaan obligasi maupun dalam penurunan tingkat leverage struktur modal. Disamping itu, ternyata seluruh emiten tersebut sudah atau masih memiliki pinjaman dalam valuta asing dan pernah atau masih mempunyai pendapatan dalam valuta asing. Penerbitan obligasi syariah adalah untuk menarik dana investasi dari sumber baru, yaitu lembaga keuangan syariah dan para pemilik dana yang ingin melakukan investasi yang sesuai dengan prinsip Syariah Islam. Disamping itu penerbitan obligasi syariah diperlukan untuk memberikan alternatif investasi bagi lembaga keuangan syariah dan reksa dana syariah, serta untuk melengkapi portofolio investasi syariah dengan instrumen investasi jangka panjang yang memberikan hasil yang tetap atau teratur (fixed income). Namun beberapa pihak terkait dengan emisi obligasi syariah menyatakan bahwa usaha menerbitkan obligasi syariah adalah bagian dari idealisme mereka untuk mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia, bahkan ingin menunjukkan bahwa prinsip syariah berlaku universal. Jenis akad atau jenis obligasi syariah yang paling diharapkan adalah jenis obligasi syariah mudharabah yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Hal itu terbukti bahwa 2 obligasi syariah yang pertama diterbitkan adalah obligasi syariah mudharabah. Namun penerbitan obligasi syariah mudharabah mendapat kendala pada penyusunan pedoman penghitungan bagi hasil, yang seharusnya dihitung terhadap laba usaha. Oleh karena itu diadakan pendekatan dengan mengadakan bagi hasil terhadap pendapatan usaha. Kemudian setelah diterbitkan obligasi syariah ijarah yang dikaitkan langsung dengan pengadaan atau keberadaan aset tetap yang dapat disewakan (misalnya kapal, ruang komersil), maka struktur akad ijarah lebih disukai karena dapat memberikan keteraturan dan kepastian hasil investasi. Proses penentukan tingkat bagi hasil atau fee ijarah ditentukan oleh mekanisme pasar. Mengingat pasar obligasi lebih mengenal obligasi konvensional, maka untuk seluruh emisi obligasi syariah dilakukan bersamaan dengan emisi obligasi konvensional dan dengan tingkat hasil investasi yang setara. Secara struktur maupun dari tingkat hasil investasi (yang menjadi biaya agensi bagi perusahaan), tidak terdapat perbedaan antara obligasi syariah dan obligasi konvensional. Namun secara kualitatif, risiko investasi pada obligasi syariah lebih kecil daripada obligasi konvensional karena pada obligasi syariah terdapat pembatasan (covenants) penggunaan dana yang hanya dapat digunakan untuk pengadaan aset produktif. Sementara tidak terdapat pembatasan dan sanksi atas ketidakpatuhan pada penggunaan dana hasil emisi obligasi konvensional.
Data dari laporan keuangan menunjukkan bahwa seluruh emiten menggunakan penerbitan obligasi (konvensional maupun syariah) untuk mengatur kembali pembiayaan hutang yang diterima dan telah membeli kembali sebagian dari obligasi yang diterbitkan untuk mendapat keseimbangan rasio pembiayaan hutang dan ekuitas (struktur modal). Dari analisis atas strategi keuangan yang diambil oleh manajemen sehubungan dengan emisi obligasi syariah dapat diambil kesimpulan bahwa emiten telah menjalankan kegiatan market timing yang menjadi taktik dari strategi valuasi pasar terhadap aset, dengan menyesuaikan jumlah saham dan/atau obligasi yang beredar dengan keseimbangan rasio pembiayaan ekuitas dan hutang yang diharapkan (struktur modal yang optimal). Emiten yang telah menerbitkan obligasi syariah berarti menjalankan strategi pembiayaan aset produktif karena pembiayaan obligasi syariah harus dikaitkan dengan pengadaan atau keberadaan aset produktif.
PENGELOLAAN KINERJA KEUANGAN DENGAN OBLIGASI SYARIAH Dari emiten obligasi syariah diadakan penelitian kasus pada 3 (tiga) emiten, yaitu PT Indosat Tbk., PT Berlian Laju Tanker Tbk. dan PT Sona Topas Tourism Industry Tbk. Adapun alasan utama pemilihan adalah karena terdapat keterbukaan informasi dalam laporan keuangan untuk mengetahui pengaruh pembiayaan obligasi syariah pada kinerja keuangan perusahaan. PT. Indosat Tbk. Laporan keuangan PT Indosat Tbk. menunjukkan bahwa laba usaha perusahaan meningkat dengan baik dan walaupun total nilai pembiayaan ekuitas dan hutang juga meningkat, namun rasio antara laba usaha terhadap total pembiayaan juga meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pembiayaan obligasi membawa pengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Tingkat financial leverage selama tahun penelitian menunjukkan rata-rata 34,6%, berada di sekitar tingkat optimal yaitu 32,20%. Walaupun pendapatan dari kegiatan telekomunikasi internasional dan sewa satelit yang awalnya menjadi kegiatan utama PT Indosat Tbk menurun, namun dengan investasi pada aset produktif lainnya, pendapatan dari kegiatan usaha selular dan MIDI telah meningkat pesat. Sehingga membawa dampak positif pada kinerja keuangan, walaupun pendapatan telekomunikasi internasional dan sewa satelit umumnya dalam valuta asing dan pendapatan usaha selular umumnya dalam rupiah. Laporan keuangan menunjukkan bahwa laba bersih yang menjadi hasil bagi pemegang saham ternyata mengalami penurunan yang diakibatkan oleh perubahan beban pembiayaan dan beban transaksi derivatif akibat perubahan nilai tukar valuta. Ternyata kegiatan lindung nilai yang dilakukan oleh manajemen tidak membawa hasil yang positif. Walaupun telah mengambil kebijakan yang tepat dalam pengelolaan struktur modal, namun perlu mengambil strategi pengelolaan risiko valuta yang lebih baik.
Kinerja Keuangan PT Indosat Tbk. INDOSAT Laba Bersih Ekuitas Hasil Pembiayaan Ekuitas Beban Pembiayaan Obligasi Total Pembiayaan Obligasi Hasil Pembiayaan Obligasi Laba Usaha Pembiayaan Ekuitas dan Hutang Hasil Pembiayaan E dan H Beban Pembiayaan Syariah Pembiayaan Obl. Syariah Hasil Pembiayaan Obligasi Syariah Laba Usaha Syariah Nisbah Bagi Hasil Syariah
2002
2003
2004
2005
2006
Rata2
569,2
1,604,5
1,658,2
1,654,9
1,446,6
1,386,7
10,603,4
12,039,9
13,184,6
14,315,3
15,201,7
13,069,0
5.37%
13.33%
12.58%
11.56%
9.52%
10.47%
359,8
694,3
701,2
816,1
621,8
638,7
2,250,0
4,750,0
4,750,0
5,850,0
4,850,0
4,490,0
15.99%
14.62%
14.76%
13.95%
12.82%
14.43%
1,911,8
2,347,9
3,234,7
3,651,9
3,398,7
2,909,0
18,809,6
22,474,4
22,721,1
26,817,6
26,623,2
23,489,2
10.16%
10.45%
14.24%
13.62%
12.77%
12.25%
5,2
31,2
38,8
62,5
77,6
43,1
175,0
175,0
175,0
460,0
460,0
289,0
17.92%
17.85%
22.15%
13.58%
16.87%
17.67%
17,1
96,8
135,5
209,1
188,1
129,3
30.52%
32.28%
28.60%
29.89%
41.25%
32.51%
Sumber : Laporan Keuangan PT Indosat Tbk. diolah kembali.
PT Berlian Laju Tanker Tbk. Laporan keuangan PT Berlian Laju Tanker Tbk. menunjukkan bahwa laba usaha perusahaan meningkat dengan baik dan walaupun total nilai pembiayaan ekuitas dan hutang juga meningkat, namun rasio antara laba usaha terhadap total pembiayaan juga meningkat. Hal ini dapat menunjukkan bahwa pembiayaan obligasi membawa pengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Kinerja Keuangan PT Berlian Laju Tanker Tbk. BERLIAN LAJU TANKER Laba Bersih Pembiayaan Ekuitas Hasil Pembiayaan Ekuitas Beban Pembiayaan Obligasi Total Pembiayaan Obligasi Hasil Pembiayaan Obligasi Laba Usaha Total Pembiayaan Ekuitas dan Hutang Hasil Pembiayaan Ekuitas dan Hutang Beban Obligasi Syariah Pembiayaan Obligasi Syariah Hasil Pembiayaan Obl. Syariah Laba Usaha Syariah Nisbah Bagi Hasil Syariah
2003
2004
2005
2006
149,150
243,204
645,186
722,369
Rata2 439,977
1,081,890
1,665,460
2,008,385
3,131,160
1,971,724
13.79%
14.60%
32.12%
23.07%
20.90%
86,993
89,008
57,725
57,510
72,809
600,000
600,000
400,000
400,000
500,000
14.50%
14.83%
14.43%
14.38%
14.54%
203,122
305,432
945,822
946,392
600,192
2,921,093
4,181,366
7,421,035
7,795,590
5,579,771
6.95%
7.30%
12.75%
12.14%
9.79%
4,905
8,875
8,818
8,829
7,857
60,000
60,000
60,000
60,000
60,000
14.72%
14.79%
14.70%
14.72%
14.73%
6,923
11,549
15,551
13,965
11,997
70.85%
76.84%
56.70%
63.22%
66.90%
Sumber : Laporan Keuangan PT Berlian Laju Tanker Tbk. diolah kembali.
Namun ternyata PT Berlian Laju Tanker pada tahun 2005 dan 2006 mempunyai pinjaman dalam valuta asing yang nilainya sekitar 2 (dua) kali nilai ekuitasnya. Sehingga financial leverage selama tahun penelitian menunjukkan rata-rata 59,2%, jauh di atas tingkat optimal yaitu 32,02%. Walaupun laba bersih yang menjadi hasil bagi pemegang saham ternyata meningkat pesat yang diakibatkan oleh menurunnya beban pembiayaan, namun penambahan pembiayaan dalam valuta asing yang sangat signifikan memberikan risiko akibat perubahan nilai tukar valuta. Pembiayaan dalam valuta asing ditunjang oleh kontrak penyewaan kapal untuk jangka panjang yang dihitung dan dibayarkan dalam valuta asing, sehingga terjadi lindung nilai alami (natural hedge). PT Sona Topas Tourism Industry Tbk. Laporan keuangan PT Sona Topas Tourism Industry Tbk. menunjukkan bahwa perusahaan berhasil keluar dari kerugian akibat keberhasilan manajemen mengganti pinjaman dalam valuta asing menjadi pembiayaan obligasi dengan beban tetap (fixed rate). Pendapatan usaha menurun akibat menurunnya penjualan toko bebas. Kinerja Keuangan PT Sona Topas Tourism Industry Tbk. SONA TOPAS
Laba Bersih Pembiayaan Ekuitas Hasil Pembiayaan Ekuitas Beban Pembiayaan Obligasi Total Pembiayaan Obligasi Hasil Pembiayaan Obligasi Laba Usaha Total Pembiayaan Ekuitas dan Hutang Hasil Pembiayaan Ekuitas dan Hutang Beban Obligasi Syariah Pembiayaan Obl. Syariah Hasil Pembiayaan Obl. Syariah Laba Usaha Syariah Nisbah Bagi Hasil Syariah
2004
2005
2006
Rata2
-7,385
4,173
7,788
1,525
117,480
129,423
121,638
122,847
-6.29%
3.22%
6.40%
1.11%
11,210
22,420
22,420
18,683
202,203
202,603
203,003
202,603
11.09%
11.07%
11.04%
11.07%
40,439
33,656
23,910
32,668
319,683
332,026
324,641
325,450
12.65%
10.14%
7.37%
10.05%
3,835
7,670
7,670
6,392
52,000
52,000
52,000
52,000
14.75%
14.75%
14.75%
14.75%
12,620
9,567
14,240
12,142
60.78%
80.17%
53.86%
64.94%
Sumber : Laporan keuangan PT Sona Topas Tourism Industry Tbk. diolah. Manajemen telah mengambil langkah-langkah penghematan dan penurunan kegiatan usaha (downsizing) sehingga dapat kembali memperoleh laba bersih serta tetap memenuhi kewajiban atas pembiayaan hutang. Tingkat financial leverage selama tahun penelitian menunjukkan rata-rata 49,2% karena mengambil pinjaman dalam valuta asing yang nilainya meningkat karena perubahan nilai tukar. Manajemen berhasil menurunkan tingkat financial leverage menjadi 37,26% pada tahun 2006, yang berada di sekitar tingkat optimal yaitu 32,02%. Namun manajemen masih harus dapat meningkatkan produktivitas dari penggunaan aset karena rasio laba usaha terhadap total pembiayaan telah menurun menjadi hanya 7,37%. Bila berhasil maka perusahaan akan memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dan mengembangkan usaha di masa mendatang.
USULAN PENGELOLAAN OBLIGASI SYARIAH Penelitian menunjukkan bahwa pembiayaan obligasi, termasuk obligasi syariah, terbukti mempengaruhi kinerja keuangan emiten non keuangan. Kebijakan manajemen dalam mengambil pembiayaan dari luar perusahaan dalam bentuk obligasi mempengaruhi rasio struktur modal dan biaya agensi serta mempengaruhi keleluasaan manajemen dalam mengelola perusahaan. Sampai batas tertentu pembiayaan obligasi terbukti meningkatkan kinerja keuangan perusahaan, namun bila rasio pembiayaan obligasi terhadap total aset melebihi kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai maka beban dari penambahan hutang tersebut terbukti dapat lebih besar dari manfaat yang diberikan. Situasi ini terbukti mempunyai pengaruh pada kinerja keuangan perusahaan. Disamping itu kondisi pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi dan kinerja pembiayaan obligasi (pasar obligasi) terbukti telah menjadi faktor kontrol pada kinerja keuangan perusahaan. Perubahan kondisi ekonomi, baik tingkat pertumbuhan produk domestik bruto maupun tingkat inflasi, terbukti telah berpengaruh pada kinerja keuangan perusahaan sehingga manajemen berusaha menyesuaikan komposisi pembiayaan obligasi terhadap total aset (rasio struktur modal) perusahaannya untuk dapat mengatasi dampak perubahan kondisi ekonomi ataupun untuk memanfaatkan peluang yang timbul sebagai akibat dari perubahan kondisi ekonomi. Penentuan pembiayaan obligasi pada emiten non keuangan dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor penentu yang terdiri dari faktor-faktor makro ekonomi, faktor kinerja pembiayaan obligasi dan valuasi pasar atas perusahaan dan faktor-faktor mikro di dalam perusahaan emiten tersebut. Kebijakan manajemen dari emiten non keuangan untuk mengambil pembiayaan obligasi dipengaruhi secara positif oleh faktor-faktor makro ekonomi yaitu pertumbuhan domestik bruto dan inflasi, dipengaruhi secara positif oleh faktor ‘sentimen pasar’ yaitu pertumbuhan nilai emisi obligasi, dipengaruhi secara negatif oleh valuasi pasar atas harga saham perusahaan tersebut, dipengaruhi secara positif oleh ukuran perusahaan dan tangibilitas dari aset, serta dipengaruhi secara negatif oleh peningkatan arus dana bebas dan likuiditas keuangan. Kinerja pasar modal, baik berupa perubahan nilai emisi obligasi maupun perubahan valuasi pasar atas perusahaan, terbukti memberi peluang bagi manajemen untuk mengatur pembiayaan usaha dengan lebih efisien. Keadaan internal perusahaan, baik profitabilitas maupun karakteristik perusahaan, mempengaruhi kebutuhan akan pembiayaan dari pihak di luar perusahaan (misalnya pembiayaan obligasi) serta persepsi pasar akan keadaan keuangan perusahaan yang pada gilirannya mempengaruhi keputusan pembiayaan obligasi. Bila perusahaan mempunyai dana internal yang cukup maka manajemen dapat kebutuhan pembiayaan dari luar akan berkurang dan manajemen dapat menyesuaikan komposisi pembiayaan obligasi terhadap total aset (rasio struktur modal), baik dengan membeli kembali saham atau membeli kembali obligasi atau melunasi hutang bank.
Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengaruh pembiayaan obligasi syariah dibandingkan dengan obligasi konvensional terhadap kinerja keuangan emiten non keuangan, namun secara kualitatif pembiayaan obligasi syariah memberikan batasan-batasan untuk pengendalian risiko. Penelitian atas 30 (tiga puluh) emiten yang telah menerbitkan saham dan obligasi dengan 7 (tujuh) emiten diantaranya telah menerbitkan obligasi syariah dan konvensional tidak dapat membuktikan adanya perbedaan yang signifikan antara pengaruh pembiayaan obligasi syariah dibandingkan dengan obligasi konvensional terhadap kinerja keuangan emiten non keuangan. Walaupun pembiayaan dengan obligasi syariah mudharabah secara teoritis membawa biaya dana yang berimbang dengan hasil dari kegiatan usaha yang dibiayai dan pembiayaan dengan obligasi syariah ijarah secara teoritis membawa biaya dana yang merupakan fungsi dari manfaat aset yang dibiayai, namun ternyata pada data penelitian, 2 (dua) obligasi syariah mudharabah dan 6 (enam) obligasi syariah ijarah memberikan pengaruh yang mirip dengan obligasi konvensional dengan bunga tetap. Namun karena semua pembiayaan obligasi syariah yang diteliti dikaitkan dengan pengadaan aset produktif, maka pembiayaan obligasi syariah telah membawa pembatasan (covenants) yang terbukti membantu dalam pengendalian risiko. Penelitian menunjukkan bahwa komposisi pembiayaan obligasi terhadap total aset (rasio struktur modal) terbukti dapat mencapai suatu rasio tertentu yang dapat memaksimalkan kinerja keuangan perusahaan (profitabilitas) sehingga dapat dijadikan acuan dalam menentukan tingkat kelayakan pembiayaan obligasi pada emiten non keuangan. Rasio struktur modal optimal yang dapat memaksimalkan profitabilitas terjadi karena marjinal pertumbuhan biaya agensi menjadi lebih tinggi dari marjinal laba usaha. Bila biaya agensi akibat pembiayaan obligasi telah melebihi kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai sehingga tambahan biaya agensi lebih besar dari tambahan manfaat yang diberikan, maka setiap penambahan pembiayaan hutang akan menambah risiko pembiayaan. Oleh karena itu terdapat rasio struktur modal tertentu dapat dijadikan acuan dalam menentukan tingkat kelayakan pembiayaan obligasi pada emiten non keuangan. Pada tingkat rasio struktur modal yang optimal perusahaan akan mencapai profitabilitas yang maksimal, sementara pada tingkat rasio struktur modal yang maksimal total tambahan biaya agensi akan lebih besar dari total tambahan manfaat akibat pembiayaan hutang. Manajemen sebaiknya mengetahui rasio struktur modal yang optimal untuk perusahaannya dan memperhatikan perubahan kondisi ekonomi dan pasar modal dalam mengelola kewajiban (baik terhadap pemegang saham maupun pemegang surat hutang) untuk dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Sementara investor dan lembaga keuangan disarankan untuk menggunakan kriteria dan batasan komposisi pembiayaan obligasi terhadap total aset (rasio struktur modal) yang lebih tepat dalam menilai kelayakan pembiayaan dengan obligasi. Emisi obligasi syariah mudharabah dengan prinsip bagi hasil yang relatif jauh lebih sedikit dari emisi obligasi syariah ijarah yang memberikan ‘fixed income’ menunjukkan bahwa emiten masih memandang obligasi syariah sebagai pembiayaan
‘pendamping’, walaupun sebenarnya pembiayaan bagi hasil melalui obligasi syariah mudharabah dapat memberikan hasil yang baik bagi pemegang obligasi dengan risiko yang lebih rendah bagi emiten. Otoritas pengawas lembaga keuangan, baik Bank Indonesia maupun BapepamLK, sebaiknya memberikan ketentuan yang mewajibkan semua perusahaan non keuangan yang menerima pembiayaan syariah untuk memberikan informasi yang jelas dalam laporan keuangan mengenai aset produktif yang diperoleh dengan pembiayaan syariah serta nilai buku, pendapatan usaha dan laba usaha dari aset produktif tersebut. Sehingga investor maupun lembaga keuangan dapat melakukan penilaian yang lebih tepat mengenai kelayakan dari pembiayaan syariah yang diberikan. Disamping itu pemberi pembiayaan, baik bank, lembaga keuangan lain, maupun investor secara umum dapat menghitung hak bagi hasil yang wajar. Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia disarankan untuk menyesuaikan fatwa mengenai nisbah hutang terhadap modal yang diperbolehkan bagi perusahaan yang berhak mendapat pembiayaan dengan obligasi syariah, yaitu dengan menetapkan batasan nisbah maksimum dengan memperhatikan tingkat optimal dari komposisi pembiayaan obligasi terhadap total aset (rasio struktur modal). Perlu diadakan penelitian tentang hubungan antara kinerja dari bagian kegiatan usaha yang dibiayai dengan obligasi syariah dengan beban biaya obligasi syariah yang dapat bermanfaat dalam menentukan nilai nisbah bagi hasil yang lebih adil. Khususnya apabila jumlah emisi dan nilai emisi obligasi syariah sudah cukup memadai untuk kegiatan penelitian. Pemeringkatan bagi emiten yang ingin dipandang memenuhi persyaratan sebagai emiten syariah dan dapat menjadi komponen bagi Jakarta Islamic Index, sebaiknya juga memperhatikan batasan rasio struktur modal yang ideal serta persyaratan keterbukaan informasi untuk (bagian) usaha yang mendapat pembiayaan obligasi syariah.
DEFINISI INSTRUMEN KEUANGAN SYARIAH Fatwa Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia 1. Obligasi Syariah. Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada Pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada Pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan Obligasi Syariah antara lain Mudharabah (Muqaradhah/Qiradh), Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna, dan Ijara. Jenis usaha Emiten tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten kepada Pemegang Obligasi harus bersih dari unsur non halal. Pendapatan (hasil) yang diperoleh Pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan. Dalam hal Obligasi Syariah dengan akad Mudharabah atau Musyarakah pendapatan yang dibagikan merupakan bagi hasil. Dalam hal akad jual-beli seperti Murabahah, Salam, atau Istishna, pendapatan yang dibagikan merupakan marjin. Sedangkan dalam hal akad Ijarah, pendapatan yang dibagikan merupakan fee (sewa) dari aset yang disewakan. Pemindahan kepemilikan Obligasi Syariah mengikuti akad-akad yang digunakan. 2. Akad Mudharabah. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang diberikan oleh Pemilik Dana (Shahibul Maal) kepada Pengusaha (Mudharib) untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan mudharabah, Shahibul Maal membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha) sedangkan Mudharib bertindak sebagai Pengelola Usaha. Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan dimuka berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Mudharib boleh melakukan berbagai usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan Syariah, dan Shahibul Maal tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Shahibul Maal menanggung semua kerugian akibat dari akad mudharabah kecuali jika Mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Biaya pengelolaan usaha dibebankan kepada Mudharib. 3. Akad Musyarakah Pembiayaan Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Ketentuan mengenai hasil usaha harus dinyatakan secara jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi bagi hasil atau pada waktu penghentian Musyarakah. Sistim pembagian hasil usaha harus tertuang dengan jelas. Keuntungan harus dibagi secara proporsional dan tidak ada jumlah yang ditentukan dimuka bagi seorang mitra atau lebih. Namun bila disepakati, jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau sebagian dari kelebihan tersebut dapat diberikan kepada seorang mitra atau lebih. Kerugian
harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal usaha. 4. Akad Murabahah Pembiayaan Murabahah adalah pembiayaan untuk membeli (mengadakan) suatu barang dimana Pemberi Pembiayaan akan membeli barang yang telah disepakati (obyek pembiayaan) untuk kemudian bertindak sebagai Penjual untuk dijual kepada Penerima Pembiayaan (yang bertindak sebagai Pembeli) senilai harga beli ditambah keuntungan yang telah disepakati. Penerima Pembiayaan akan membayar harga barang (harga beli ditambah keuntungan) yang telah disepakati pada jangka waktu tertentu dan dengan cara tertentu sesuai kesepakatan. Setelah terjadi jual-beli, maka barang yang menjadi obyek pembiayaan menjadi milik Penjual (Penerima Pembiayaan) dan yang bersangkutan bebas menggunakan barang tersebut, termasuk untuk menjual kembali. Dalam hal Penerima Pembiayaan (Pembeli) menjual barang tersebut sebelum masa pembayaran berakhir, Penerima Pembayaran tidak wajib untuk melunasi pembayaran sebelum masa pembayaran berakhir. Untuk menjamin agar Penerima Pembiayaan (Pembeli) melunasi kewajibannya, Pemberi Pembiayaan (Penjual) dapat menentukan jaminan dari Penerima Pembiayaan. 5. Akad Salam Pembiayaan Salam adalah pembiayaan pembelian (pengadaan) barang dimana Pemberi Pembiayaan memesan barang dan membayar dimuka harga barang kepada Penjual (Penerima Pembiayaan) yang akan mengadakan barang tersebut, untuk kemudian dijual kembali kepada Pembeli yang akan membayar harga barang sesuai dengan kesepakatan kepada Pemberi Pembiayaan. Pemberi Pembiayaan memperoleh keuntungan dari selisih harga barang yang dibayar dimuka dengan harga yang dibayarkan oleh Pembeli. 6. Akad Istishna Pembiayaan Istishna adalah pembiayaan pembelian (pengadaan) barang tertentu (termasuk kapal, bangunan, dsb) dimana Pemberi Pembiayaan akan memesan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara Penerima Pembiayaan (Pembeli) dengan Penjual (Produsen atau Pembuat Barang). Pemberi Pembiayaan akan membayar kepada Penjual dan akan menerima pembayaran dalam jumlah dan jangka waktu tertentu. Pemberi Pembiayaan memperoleh keuntungan dari selisih harga barang yang dibayarkan kepada Penjual dengan jumlah harga yang dibayarkan Penerima Pembiayaan. 7. Akad Ijarah Akad pembiayaan Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang (maal) atau jasa (amal) dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Pihak yang berakad terdiri atas Pemberi Sewa (pihak yang memilik/menguasai barang atau pemberi/penguasa jasa) dan Penyewa (pihak yang mengambil manfaat dari barang/jasa) dimana sebagai obyek akad adalah pembayaran sewa dan manfaat dari barang/jasa. Para pihak harus menjamin tersedianya obyek akad karena ia adalah
rukun yang harus dipenuhi dalam akad Ijarah. Manfaat harus dinyatakan dan dapat dikenali secara spesifik, termasuk jangka waktu dari tersedianya dan pemakaian manfaat. Manfaat harus sesuai Syariah dan kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata serta sesuai Syariah. Jangka waktu dan ketentuan pembayaran sewa tidak harus terkait dengan jangka waktu pemakaian manfaat. Pemberi Sewa wajib menyediakan barang/jasa yang disewakan, menanggung biaya pemeliharaan barang, menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan. Penyewa wajib membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang yang disewa dan biaya pemeliharaan ringan, namun tidak bertanggung jawab atas kerusakan yang bukan akibat pelanggaran ketentuan pemakaian atau akibat kelalaian.
Fatwa Audit Accounting Organization for Islamic Banks and Financial Institutions (AAOIFI) 1. Mudaraba (Muqaradah) Sukuk. Mudaraba Sukuk are investments in sukuk that represent ownership of units of equal value in the Mudaraba equity and are registered in the names of holders on the basis of undivided ownership of shares in the Mudaraba equity and its returns according to percentage ownership of share. 2. Musharaka Sukuk. Musharaka Sukuk are investments in sukuk that represent ownership of Musyaraka equity which is not differ from the Mudaraba Sukuk except in the organization of the relationship between the party issuing sukuk forms a committee from the holders of the sukuk who can be referred to in investment decisions. 3. Salam Sukuk. Salam Sukuk are investments in sukuk that represent a sale of commodity on the basis of deferred delivery against immediate payment. The deferred commodity is a debt in-kind against the supplier because it refers to a commodity accepted based on the description of the seller. 4. Ijara Sukuk Ijara Sukuk are investments in sukuk that represent ownership of equal shares in a rented real estate (assets) or the usufruct (benefit) of the real estate (assets). The sukuk gives the owners the right to own (or control of) the real estate (assets), receive the rent and dispose of their sukuk in a manner that does not affect the right of the lessee, i.e. the sukuks are tradeable. The holder of the sukuk bear all cost of maintenance of and damage of the real estate (assets). 5. Istishna Sukuk Istishna Sukuks are investments in sukuk that represent a sale of commodity (assets) on the basis of deferred delivery against advance and deferred payments. The deferred commodity is a debt in-kind against the manufacturer or builder because it refers to a commodity (assets) accepted based on the description of the manufacturer or builder.
DEFINISI TERKAIT OBLIGASI SYARIAH
Akad Ijarah : akad Ijarah yang ditanda tangani oleh Emiten dan Wali Amanat sebagai dasar pengalihan manfaat Obyek Ijarah. Obyek Ijarah : manfaat yang akan diterima oleh Emiten, berasal dari aset tertentu yang dinyatakan secara rinci dalam Akad Ijarah. Untuk menjaga kelangsungan Akad Ijarah dapat ditentukan Obyek Ijarah Pengganti yaitu manfaat serupa yang dapat berasal dari aset lain yang dinyatakan secara rinci dalam Akad Ijarah. Fee Ijarah : sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh Emiten sebagai Penerima Manfaat Ijarah kepada Pemegang Obligasi Syariah Ijarah sebagai Penguasa Obyek Ijarah sehubungan dengan Emisi Obligasi Syariah Ijarah yang berupa Cicilan Fee Ijarah, Sisa Fee Ijarah, dan Kompensasi Kerugian Akibat Keterlambatan (bila ada) yang harus dibayar oleh Emiten dari waktu ke waktu selama berlakunya Perjanjian Perwaliamanatan Obligasi Syariah Ijarah. Cicilan Fee Ijarah : bagian dari Fee Ijarah yang wajib dibayarkan oleh Emiten kepada Pemegang Obligasi Syariah Ijarah sebagai imbalan atas manfaat yang diterima oleh Emiten atas dasar Akad Ijarah, yang pembayarannya akan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Perwaliamanatan Obligasi Syariah Ijarah. Sisa Fee Ijarah : bagian dari Fee Ijarah yang belum dibayarkan dalam bentuk Cicilan Fee Ijarah, yang wajib dibayarkan oleh Emiten kepada Pemegang Obligasi Syariah Ijarah untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan Akad Ijarah, dimana nilai Sisa Fee Ijarah umumnya sama dengan nilai Emisi Obligasi Syariah Ijarah. Dana Cadangan Fee Ijarah : dana yang wajib dibentuk secara bertahap oleh Emiten yang khusus digunakan sebagai cadangan atas pembayaran Fee Ijarah, baik berupa Cicilan Fee Ijarah maupun Sisa Fee Ijarah, sesuai ketentuan dalam Perjanjian Perwaliamanatan Obligasi Syariah Ijarah. Kompensasi Kerugian Akibat Keterlambatan Pembayaran Fee/Bagi-Hasil: jumlah yang harus dibayar oleh Emiten kepada Pemegang Obligasi Syariah sebagai akibat dari kelalaian aau keterlambatan Perseroan memenuhi kewajiban pembayaran Fee/Bagi –Hasil dimana dalam hal ini tidak ada unsur kesalahan dari Pemegang Obligasi Syariah serta Pemegang Obligasi Syariah dirugikan akibat kelalaian atau keterlambatan tersebut. Besarnya Kompensasi Kerugian Akibat Keterlambatan dihitung berdasarkan jumlah hari kelalaian/keterlambatan dan tidak dapat dihitung berdasarkan nilai Fee/Bagi-Hasil yang bersangkutan. Dokumen Emisi Obligasi Syariah : dokumen-dokumen yang terdiri dari a) AkadAkad Syariah, b) Perjanjian Perwaliamanatan Obligasi Syariah, c) Pengakuan Hutang, d) Perjanjian Penjaminan Emisi Obligasi Syariah, e) Perjanjian Agen Pembayaran, f) Perjanjian Pendaftaran Obligasi Syariah di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan g) Perjanjian Pendahuluan Pencatatan Efek. Perjanjian Perwaliamanatan Obligasi Syariah : perjanjian yang dibuat antara Emiten dengan Wali Amanat untuk kepentingan Pemegang Obligasi Syariah dan bertugas untuk mewakili kepentingan para Pemegang Obligasi Syariah baik dimana dinyatakan hak-hak Pemegang Obligasi Syariah dan hak-hak serta kewajiban Wali Amanat untuk melakukan tindakan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang berkaitan dengan kepentingan para Pemegang Obligasi Syariah mengenai pelaksanaan hak-hak para Pemegang Obligasi Syariah sesuai dengan syarat-syarat
Emisi Obligasi Syariah, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Perjanjian Perwaliamanatan serta berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia dan peraturan tentang penawaran umum dan Obligasi. Wali Amanat : badan yang telah memiliki izin usaha Wali Amanat dari instansi yang berwenang, yang diberi kepercayaan untuk mewakili kepentingan para Pemegang Obligasi Syariah untuk memperoleh hak-hak para Pemegang Obligasi Syariah sesuai dengan syarat-syarat Emisi Obligasi Syariah. Pengakuan Hutang : akta yang dibuat oleh Emiten untuk kepentingan Pemegang Obligasi Syariah yang diwakili oleh Wali Amanat yang dimaksudkan untuk memberi kepastian pembayaran Fee atau Bagi Hasil kepada Pemegang Obligasi Syariah dengan memperhatikan ketentuan dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional. Perjanjian Penjaminan Emisi Obligasi Syariah : perjanjian yang dibuat antara Emiten dengan Penjamin Emisi dimana Emiten menyatakan akan melakukan Emisi Obligasi Syariah dengan syarat-syarat tertentu dan Penjamin Emisi menyatakan akan menjamin pelaksanaan Emisi Obligasi Syariah dengan syarat-syarat tertentu. Perjanjian Agen Pembayaran : perjanjian yang dibuat antara Emiten dengan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian mengenai pembayaran Fee atau Bagi Hasil baik berupa Cicilan Fee/Bagi-Hasil maupun Sisa Fee/Bagi-Hasil atau Pokok Obligasi Syariah. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian : adalah lembaga self-regulating organization sesuai ketentuan Undang Undang Pasar Modal yang dalam Emisi Obligasi Syariah bertugas sebagai Agen Pembayaran sesuai dengan Perjanjian Agen Pembayaran dan melakukan administrasi atas Obligasi Syariah sesuai dengan Perjanjian Pendaftaran Obligasi Syariah.