Saratri Wilonoyudho -- Pertumbuhan Megaurban Kedungsepur
KAWISTARA VOLUME 1
No. 1, 21 April 2011
Halaman 1-102
DAFTAR ISI Daftar Isi ----- i Editorial ----- ii Politik Islah: Re-Negosiasi Islah, Konflik, dan Kekuasaan dalam Nahdlatul Wathan di Lombok Timur ----- 1-14 Saipul Hamdi
% % %
Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo ----- 15-27 Benny Baskara
%
Biofilia dan Nekrofilia: Analisis Sosiologi Sastra Novel La Bête Humaine Karya Emile Zola ----- 28-39 Ali Shahab
%
Konsep Diri Remaja dalam Film Indonesia: Analisis Wacana atas Film Remaja Indonesia Tahun 1970-2000-an ----- 40-54 Ratna Noviani
%
Diskursus “Illegitimate Sexual Activity” Anak Bangsa dalam Perspektif Tabloid Indonesia ----- 55-67 Nisa Kurnia I
%
Keefektifan Pembelajaran Sosial Kearifan Lokal Budidaya Ubi Jalar di Kalangan Suku Arfak Kabupaten Manokwari ----- 68-77 Amestina Matualage
%
Pertumbuhan Megaurban Kedungsepur ----- 78-91 Saratri Wilonoyudho
%
Resensi ----- 92-98 Endy Saputro
%
Indeks ----- 99-102
%
i
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 29-42
KAWISTARA VOLUME 1
No. 1, 21 April 2011
Halaman 1-102
EDITORIAL Jurnal Kawistara terbit atas kesadaran akademik akan pentingnya publikasi ilmiah bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada sejak awal pendiriannya berkomitmen untuk pengembangan bidang-bidang keilmuan yang berbeda. Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora adalah aspek-aspek penting dalam pengembangan keilmuan tersebut. Ilmu-ilmu sosial dan humaniora berkembang secara pesat dan dinamis dalam konteks internasional termasuk di Indonesia. Perkembangannya berjalan secara paralel dalam konteks teoritis maupun metodologis. Bentuk-bentuk pendekatan dan perspektif baru diproduksi kemudian dikonsumsi dan sesudahnya direproduksi kembali secara terus-menerus sehingga menghasilkan satu paradigma keilmuan yang tidak lagi bersifat mono-interpretasi dan mono-perspektif tetapi lebih bersifat multi-interpretasi dan multi-perspektif serta sangat dinamis. Hal inilah yang memperkaya bidang-bidang keilmuan ini sehingga terkadang semakin sulit dilacak faktor-faktor yang seringkali dianggap bersifat standar, valid, atau objektif di dalam bidang itu sendiri. Justru sebaliknya, muncul pendekatan-pendekatan kritis yang seringkali mempertanyakan yang dianggap bersifat standar, objektif, atau valid tersebut. Bukankah standar, objektivitas dan validitas juga dibuat oleh rejim kekuasaan tertentu? Demikian beberapa ahli berpendapat. Justru inilah tantangan ke depan bidang-bidang keilmuan ini yang sekarang semakin dirasakan dalam lingkungan akademik di Indonesia, khususnya di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Pada edisi awal ini ada tujuh artikel yang dipilih untuk dipublikasikan. Artikel pertama berjudul Politik Islah: Re-Negosiasi Islah, Konflik, dan Kekuasaan dalam Nahdlatul Wathan di Lombok Timur. Artikel ini mencoba melihat persoalan konflik organisasi dari perspektif studi agama yang pendekatannya menggunakan kaca mata relasi kekuasaan. Penulis artikel, yakni Saipul Hamdi mencoba mengeksplorasi latar belakang dan motivasi terjadinya islah di antara dua kubu yang berseteru di dalam organisasi Nahdlatul Wathan yang nota bene bersaudara. Artikel kedua ditulis oleh Benny Baskara yang berjudul Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo. Benny Baskara mencoba menjelaskan bahwa Islam ternyata menjadi bagian dari proses identitas orang-orang Bajo. Meskipun sebagai komunitas nomad yang seringkali disebut sebagai gyspi laut dan tradisional, mereka ternyata memiliki catatan kehidupan yang mereka tulis sendiri. Dengan demikian, budaya tulisan yang merupakan cerminan masyarakat modern juga dipraktikkan oleh masyarakat ini. Tulisan dalam Lontarak Assalenna Bajo inilah yang menjadi fokus tulisan Benny Baskara. Tulisan ketiga berjudul Biofilia dan Nekrofilia: Analisis Sosiologi Sastra Novel La Bête Humaine karya Emile Zola. Ali Shahab mencoba menganalisis novel karya pengarang terkenal Prancis tersebut dengan pendekatan strukturalisme genetik. Pandangan dunia pengarang yang menjelaskan vision du monde atau pandangan dunia secara umum dalam konteks masyarakat tertentu, yang dalam hal ini Prancis dicermati dalam tulisan ini. Penulis selanjutnya adalah Ratna Noviani yang menulis tentang Konsep Diri Remaja dalam Film Indonesia: Analisis Wacana atas Film Remaja Indonesia Tahun 1970-2000-an. ii
Saratri Wilonoyudho -- Pertumbuhan Megaurban Kedungsepur
Ratna Noviani berpendapat bahwa film merupakan representasi zaman yang bisa menjadi alat untuk melihat dinamika kehidupan masyarakat pada masa tertentu. Remaja menjadi topik yang dibicarakan dalam tulisan ini. Persoalan yang diangkat adalah mengenai konsep diri fisik dan konsep diri psikologis mereka. Artikel selanjutnya dalam bidang kajian yang sama berjudul Diskursus “Illegitimate Sexual Activity” Anak Bangsa dalam perspektif Tabloid Indonesia. Dalam artikel ini, Nisa Kurnia menjelaskan bahwa seksualitas yang tidak dilegitimasi atau tidak diakui oleh negara terjadi karena ada pendefinisian mutlak di tangan negara terhadap persoalan orientasi seksualitas tersebut. Artikel ini mencoba mengeksplorasi penggunaan bahasa maskulin heteroseksual oleh media massa Indonesia. Penulis menggunakan metode analisis wacana. Tulisan berikutnya berjudul Keefektifan Pembelajaran Sosial Kearifan Lokal Budidaya Ubi Jalar di Kalangan Suku Arfak Kabupaten Manokwari. Penulis artikel ini adalah Amestina Matualage. Penulis memberikan ulasan mengenai bentuk-bentuk pembelajaran berdasarkan kearifan lokal dalam upaya pengembangan budidaya ubi jalar yang merupakan salah satu makanan pokok yang populer di wilayah Papua. Artikel terakhir oleh Saratri Wilonoyudho yang tertarik meneliti persoalan pertumbuhan megaurban di wilayah Kedungsepur. Saratri memulai dari pendapat bahwa kawasan urban mengalami pertumbuhan yang sangat cepat akibat pertumbuhan penduduk dan juga ekonomi. Wilayah Kedungsepur mengalami trauma yang sama. Hal ini akibat masuknya imigran dari wilayah-wilayah lain. Penulis berargumen bahwa migran dari wilayah inti memberikan dampak pada pertumbuhan megaurban yang berbeda dengan migran dari wilayah yang lain. Penulis menawarkan model yang komprehensif untuk penanganan masalah demografi ini. Artikel-artikel di atas perlu dicermati lebih lanjut sebagai bahan diskusi dan refleksi terhadap perspektif keilmuan dan paradigma penelitian dalam bidang sosial humaniora. Selamat Membaca.
iii
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 29-42
iv
Saipul Hamdi -- Politik Islah
KAWISTARA VOLUME 1
No. 1, 21 April 2011
Halaman 1-102
POLITIK ISLAH: RE-NEGOSIASI ISLAH, KONFLIK, DAN KEKUASAAN DALAM NAHDLATUL WATHAN DI LOMBOK TIMUR Saipul Hamdi Program Studi Manajemen Lingkungan, Jurusan Manajemen Hutan, Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, Kalimantan Timur Email:
[email protected]
ABSTRACT This article aims to examine how islah or reconciliation was achieved by Nahdlatul Wathan’s elites. The conflict of NW in 1998 is one of the protracted conflicts in Lombok because the negotiation process of islah has been failed. Both groups did not find an appropriate point or an ideal format of islah proposal. Through long way process of negotiation which is more than one decade finally both groups have achieved an agreement of islah on Mei 2010. In particular, this article aims to explore what are the backgrounds and what are motivations of NW islah between both groups? What are the efforts of NW elite for conducting islah during the conflict of NW? This article also aims to understand what the format of islah that they have achieved and how they maintain the continuity of islah commitment and agreement? This article based on ethnographic research during two years (2008-2010) in East Lombok West Nusa Tenggara. In term of collecting and analyzing data it applied qualitative method. While the technique of collecting data it applied participant-observation, in-depth interview, and focus group discussion. Keywords: Islah, Politic, Conflict, Nahdlatul Wathan
ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk menguji bagaimana islah atau rekonsiliasi dapat tercapai di kalangan elite-elite Nahdlatul Wathan (NW). Konflik NW 1998 merupakan salah satu konflik yang berkepanjangan karena proses negosiasi islah selalu kandas di tengah jalan. Kedua kubu belum menemukan titik temu atau format yang tepat mengenai proposal islah NW. Melalui proses negosiasi yang panjang akhirnya pada bulan Mei 2010 kedua kubu NW mencapai kesepakatan untuk islah. Secara khusus artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana latar belakang dan motivasi terjadinya islah antara kedua kubu? Bagaimana upaya-upaya islah yang dilakukan selama konflik berlangsung? Selain itu, artikel ini juga bertujuan untuk memahami format islah yang telah disepakati dan bagaimana mereka mempertahankan islah tersebut? Artikel ini merupakan hasil penelitian selama dua tahun (2008-2010) di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah etnografi dengan menggunakan metode kualitatif untuk pengambilan dan analisa data. Sedangkan teknik pengambilan data dilakukan melalui observasi-partisipasi, wawancara mendalam, dan fokus diskusi kelompok. Kata Kunci: Islah, Politik, Konflik, Nahdlatul Wathan
1
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 1-14
PENGANTAR Konflik merupakan salah satu ancaman besar yang dihadapi bangsa Indonesia pada masa Reformasi. Jatuhnya rezim Suharto 1998 ditandai dengan munculnya berbagai konflik komunal hampir di setiap daerah di Indonesia (Anwar et al., 2005; Nugroho et al., 2004). Konflik yang muncul pada masa Reformasi lebih bersifat komunal yang melibatkan sebuah masyarakat, komunitas, organisasi atau institusi sosial (Tomagola, 2006; Colombijn, 2001). Konflik tidak hanya disebabkan oleh perbedaan identitas budaya, bahasa, dan agama, tetapi juga karena adanya kepentingan ekonomi, politik, dan kekuasaan. Anthony Giddens mengatakan bahwa konflik sangat dekat dengan ideologi, politik, dan kekuasaan. Bahkan sebagian besar konflik yang muncul hanya disebabkan oleh faktor kekuasaan (Giddens, 1989: 571). Konflik komunal di Ambon, Maluku, Poso, Kalimantan, dan Lombok memiliki kaitan yang kuat dengan kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan. Kuatnya pengaruh dari faktor-faktor tersebut menyebabkan konflik terus mengalami polarisasi, reproduksi, dan eskalasi di masyarakat (Van Klinken, 2005: 94, 99; Wilson, 2008: 130131). Lombok merupakan salah satu daerah rawan konflik sejak rezim Orde Baru turun dari tahta kekuasaan. Dalam satu dekade terakhir telah terjadi berbagai konflik komunal seperti konflik antara kampung, antara agama, dan konflik internal keagamaan yang melibatkan organisasi-organisasi Islam. Konflik agama sangat dominan mewarnai konflik komunal di Lombok seperti konflik antara agama Islam dengan Kristen (2000), konflik internal organisasi Nahdlatul Wathan (1998-2009), konflik antara jamaah Ahmadiyah dengan masyarakat lokal (20022011), konflik kelompok Amphibi dengan komunitas Hindu di Mataram (1999) dan dengan masyarakat di desa Perampauan (2000) di Lombok Barat, dan konflik LDII dengan masyarakat lokal (2002) di Lombok Timur (Kristiansen, 2003: 121-122; Avonius, 2004: 66; Macdougall, 2007: 297; Smith dan Hamdi, 2009: 2). 2
Artikel ini membahas konflik komunal internal organisasi (NW) dan upaya-upaya islah atau rekonsiliasi yang dilakukan oleh kelompok elite. Konflik NW termasuk konflik yang berkepanjangan karena setip upaya proses negosiasi islah antara agen selalu mengalami kegagalan. NW adalah organisasi sosial keagamaan lokal yang didirikan pada tahun 1953 oleh Tuan Guru Hajji (TGH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid atau lebih dikenal dengan Maulana Syaikh di Pancor, Lombok Timur. Dalam waktu yang tidak lama NW mengalami kemajuan yang sangat pesat dan menjadi kelompok mayoritas Muslim terbesar di Lombok. Jumlah warga NW di Lombok diperkirakan 2 juta orang sehingga ia memiliki peran penting di dalam pembangunan civil society dan pemerintahan (Baharuddin, 2007: 111-115; Rasmianto dan Baharuddin, 2004: 42; Nu’man, 1999: 32). Sebagai organisasi besar di tingkat lokal NW menghadapi berbagai persoalan baik dari internal maupun eksternal. NW mengalami konflik dan perpecahan setelah pendiri NW Maulana Syaikh wafat tahun 1997. Terdapat dua kubu yang muncul pascaSyaikh yang dipimpin oleh kedua keluarga putrinya yaitu kubu Rauhun (R1) dan Raihanun (R2). Kedua kubu dan pendukungnya bersaing memperebutkan posisi sebagai pemimpin NW yang baru menggantikan Syaikh (Macdougall, 2007: 286). Konflik NW mengalami puncak pada Muktamar NW ke 10 tahun 1998 di Praya, Lombok Tengah. Hasil Muktamar Praya menunjukkan bahwa salah satu kubu terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NW, namun hasil Muktamar ini tidak diterima oleh kubu yang lain yang menilai tidak sah dan melanggar aturan organisasi. Hasil Muktamar melahirkan pro dan kontra di kalangan jamaah NW dan akhirnya berubah menjadi konflik sosial yang berkepanjangan (Saprudin, 2005; Nazri, 2000). Konflik NW pasca-Muktamar Praya 1998 belum memperlihatkan adanya tandatanda islah antara kedua kubu. Selama satu dekade lebih upaya-upaya islah NW selalu kandas dan gagal di tengah jalan karena
Saipul Hamdi -- Politik Islah
disebabkan oleh berbagai faktor. Di tengah kebuntuan proses negosiasi islah secara mengejutkan kedua kubu NW mencapai kesepakatan islah pada bulan Mei 2010. Islah NW yang mendadak ini menimbulkan kontraversi di masyarakat karena sarat dengan kepentingan politik elite-elite NW. Islah NW tidak bisa dipisahkan dari proses pencalonan salah satu tokoh NW dari kubu R2 sebagai calon bupati pada Pilkada di Lombok Tengah. Untuk memenangkan Pilkada ini dibutuhkan penyatuan suara NW dari kedua kubu, jika tidak maka sulit bagi calon dari NW untuk meraih kemenangan. Bagaimana proses islah dan motivasi yang melatarbelakanginya akan dibahas berikutnya. Lombok Timur adalah kabupaten yang paling padat penduduknya di provinsi NTB yakni 1.053.347 jiwa, dengan kategori lakilaki 480.791 jiwa, dan perempuan 572.556 jiwa (BPS Lombok Timur, 2006: 73-91). Laju pertumbuhan penduduk di Lombok Timur dan lapangan kerja yang semakin menyempit berdampak pada tingginya jumlah buruh migran (TKI) yang bekerja ke luar negeri seperti di Malaysia dan Arab Saudi. Masyarakat Lombok Timur menganut berbagai macam agama dan aliran kepercayaan seperti Islam, Hindu, dan Kristen. Islam adalah agama mayoritas masyarakat Lombok Timur. NW didirikan oleh Maulana Syaikh pada tahun 1953 di Pancor, Lombok Timur, dan NTB. Kata NW berasal dari bahasa Arab yakni nahdlah berarti kebangkitan atau pergerakan, dan wathan berarti tanah air, sedangkan Nahdlatul Wathan artinya gerakan tanah air (Nu’man, 1999: 48). Istilah NW bukan lahir dari Syaikh, tetapi telah dikembangkan oleh Kiai Wahab Hasbullah dan Kiai Mansur sebagai nama organisasi pergerakan di Surabaya tahun 1916 (Noor et al., 2004: 294). Selain NW mereka juga membentuk Nahdlatul Tujjar (NT) dan Nahdlatul Fikri (NF). Fakta sejarah ini menimbulkan pertanyaan, apakah terdapat hubungan antara NW versi Hasbullah dan Mansur dengan NW versi Syaikh. Menurut
Muhammad Noor secara organisatoris tidak ada hubungan antara keduanya karena jarak waktu yang cukup jauh, meskipun Syaikh pernah diangkat sebagai konsulat NU di tahun 1950 perwakilan dari pulau Sunda Kecil (Noor et al., 2004: 304). NW fokus di tiga bidang pembangunan yaitu pendidikan, sosial dan dakwah. Jumlah lembaga pendidikan di bawah naungan NW sebanyak 1.500 buah dari tingkat SD hingga perguruan tinggi (Noor et al., 2004; Nu’man, 1999). Pembangunan lembagalembaga pendidikan ini dilakukan melalui peran kader yang tersebar di berbagai daerah di Lombok. NW juga mendirikan panti asuhan untuk anak yatim dan anak kurang mampu. Mereka disekolahkan dan diberi beasiswa hingga selesai. Untuk kegiatan dakwah para tuan guru NW mengadakan pengajian keliling desa. Pengajian ini dihadiri oleh jamaah NW dari berbagai desa dan sifatnya harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. NW mengembangkan tradisi ritual yang dikenal dengan hiziban, wiridan atau zikiran, barzanji, dan syafa’ah. NW juga mengembangkan kesenian dengan menciptakan lagu-lagu berbahasa Arab, Indonesia, dan bahasa Sasak (Noor et al., 2004; Nu’man, 1999; Baharuddin dan Rasmianto, 2004). NW menganut aqidah Ahlussunnah wa Al-Jama’ah dengan menerapkan mazhab Syafi’i sebagai mazhab tunggal organisasi. Asas organisasi NW adalah Pancasila sesuai dengan undang-udang nomor 8 tahun 1985. Khittah NW adalah tidak berafiliasi kepada salah satu organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan mana pun (Nu’man, 1999; Noor et al., 2004). Dalam praktiknya khittah ini berbeda karena NW sejak berdiri telah aktif di kegiatan politik praktis. Pada Pemilu pertama 1950 pendiri NW aktif di Partai Masyumi dan pernah menduduki jabatan Penasehat Partai Masyumi di tahun 1952. Setelah Masyumi dibubarkan dia ikut membentuk Parmusi bersama tokoh-tokoh dari ormas lain (Noor et al., 2004: 245-246). Sejak Orde Baru muncul NW bergabung dengan Sekertariat Bersama (Sekber) Partai 3
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 1-14
Golkar dan pada tahun 1970 NW secara resmi bermitra dengan Partai Golkar (Noor et al., 2004: 257-248). Perubahan sistem demokrasi dengan multi-partai di Indonesia pasca-Suharto memposisikan NW sebagai organisasi yang sangat diperhitungkan oleh partai politik nasional. Di Era Reformasi, afiliasi politik NW ikut mengalami perpecahan karena kondisi NW yang sedang mengalami konflik internal. Pada Pemilu 1999 kubu R1 bergabung dengan PDR dan kubu R2 memilih tetap bersama Partai Golkar. Pada Pemilu 2004 kedua kubu kembali mengganti bendera partai politiknya, kubu R1 berafiliasi ke Partai Bulan Bintang (PBB), dan kubu R2 berafiliasi ke Partai Bintang Reformasi (PBR). Kedua partai afiliasi NW PBB dan PBR selalu masuk tiga besar dalam perolehan suara di tingkat lokal. Mereka juga berhasil mengantarkan salah satu kadernya sebagai anggota DPR RI. Dikarenakan perolehan kedua partai ini tidak mencapai Parliamentary Threshold (PT) pada Pemilu 2009 di tingkat nasional, maka NW disinyalir akan berganti partai politik. Menurut informasi di lapangan NW kubu R1 akan bergabung ke Demokrat sedangkan R2 bergabung ke Gerindra.
Muktamar Praya: Konflik Tafsir Agama atas Kepemiminan Perempuan Konflik sosial yang muncul di masyarakat tidak terjadi secara instan, tetapi hasil dari proses, sejarah, relasi, dan interaksi sosial yang panjang antara agen-agen sosial di masyarakat (Broomley, 2002; Tambiah, 1996; Horowitz, 1985). Konflik NW 1998 merupakan akumulasi dari konflik sebelumnya, puncak dari proses rentetan sejarah panjang yang melibatkan elite-elite NW dalam pertarungan perebutan kekuasaan dan dominasi sumber-sumber modal di dalam dan luar NW (Hamdi, 2011; Hadi, 2010; Saprudin, 2005). Meskipun terlalu jauh mengaitkan hubungan konflik NW 1998 dengan konflik NW 1977 karena konteks yang berbeda, tetapi secara tidak langsung terdapat benang merah yang menghubungkan konflik yang berbeda dekade 4
ini. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar aktor yang terlibat konflik 1998 ini adalah aktor-aktor lama yang pernah terlibat konflik 1977. Dengan demikian konflik NW adalah konflik ‘warisan’ antara keluarga dan kerabat Syaikh yang ingin menguasai seluruh modal ekonomi, nonekonomi, dan modal simbolik di dalam NW. Konflik NW terjadi pada masa transisi di tingkat lokal dan nasional. Pendiri NW wafat pada 1997 bersamaan dengan munculnya krisis ekonomi menimpa Indonesia yang berdampak pada reformasi dan transisi politik dari Orde Baru ke Reformasi (Hadi, 2010; Nazri 2001; Hamdi, 2011). Masa transisi ini memiliki pengaruh pada instabilitas sosial-politik di masyarakat termasuk instabilitas di kalangan jamaah NW. Kepergian Syaikh melahirkan pertanyaan siapa yang akan mengganti posisinya sebagai pemimpin NW khususnya dan ummat Islam pada umumnya? Syaikh tidak memiliki anak laki-laki tetapi hanya dua anak perempuan Rauhun (R1) dan Raihanun (R2) yang lahir dari ibu yang berbeda karena dia menganut poligami. Wafatnya Syaikh merupakan sebuah babak baru bagi organisasi dan jamaah NW. Selama ini NW selalu identik dengan Syaikh karena selain menjadi pendiri NW, dia juga dikenal sebagai pemimpin yang kharismatik yang sangat disegani dan dihormati. Kepergian tokoh kharismatik NW diikuti dengan munculnya konflik dan perpecahan terbuka antara keluarga, kerabat, dan elite-elite NW. Meskipun konflik keluarga dan elite-elite NW ini pada dasarnya telah muncul sejak Syaikh masih hidup, namun bersifat sembunyi-sembunyi karena para aktor konflik merasa sungkan dengan Syaikh yang memiliki kharisma yang kuat. Konflik keluarga Syaikh selain karena persaingan juga karena sikap elite-elite NW yang tidak pernah netral memperlakukan kedua putri Syaikh. Padahal Syaikh di beberapa kesempatan telah berpesan kepada jamaahnya untuk bersikap netral dan tidak membedabedakan keduanya. Syaikh mengatakan bahwa kedua putriku adalah ibarat kedua mataku dan siapa yang berpihak kepada
Saipul Hamdi -- Politik Islah
salah satu di antara mereka sama artinya dengan menusuk salah satu mataku. Sikap kelompok elit NW yang diskriminatif sangat mempengaruhi determinasi konflik dan perpecahan yang terjadi di kalangan keluarga Syaikh. Kekuatiran berbagai pihak akan muncul konflik dan perpecahan terbuka antara kedua kubu NW pasca-wafatnya Syaikh menjadi kenyataan. Konflik NW tidak dapat dihindari dan mengalami puncak pada Muktamar ke-10 di Praya Lombok Tengah 1998 (Nazri, 2001; Hamdi, 2011; Hadi, 2010). Nuansa Muktamar kali ini berbeda dengan Muktamar-muktamar NW sebelumnya. Setidaknya ada tiga hal yang membedakannya, yaitu (1) muktamar ini tidak diikuti oleh pendiri sekaligus pemimpin kharismatik NW karena dia telah wafat. Biasanya Syaikh selalu hadir di acara Muktamar NW dan memiliki peran dan pengaruh besar untuk menentukan formasi struktur kepengurusan organisasi; (2) muktamar ini sarat dengan kepentingan politik para elit dalam perebutan posisi-posisi penting di dalam kepengurusan organisasi NW. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa ada dua kubu yang muncul bersaing memperebutkan kursi kepemimpinan NW; (3) Muktamar NW diadakan pada masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi. Masa transisi dengan turunnya Suharto telah menimbulkan ketidakstabilan sosial-politik di tingkat nasional. Kondisi ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi sosio-politik lokal di Lombok termasuk juga di dalam konteks politik NW. Muktamar Praya diwarnai persaingan dan pertaruhan gengsi elite-elite NW dari kedua kubu. Menjelang Muktamar mobilisasi massa dan manuver-manuver politik terus dilakukan oleh para elite dalam rangka memenangkan calon mereka. Acara Muktamar berlangsung dari tanggal 24-26 Juli 1998 di lapangan Koni Praya Lombok Tengah. Peserta Muktamar yang berhak memberikan suara pada pemilihan calon ketua umum (Ketum) PB NW sebanyak 92 orang (Hamdi, 2011: 185; Mugni, 2005: 22).
Ada dua tahapan pemilihan calon Ketum yaitu penjaringan bakal calon dan pemilihan calon Ketum. Seorang bakal calon berhak maju untuk tahap kedua jika memperoleh minimal 18 suara dari 92 suara. Dari hasil tahap pertama penjaringan bakal calon Ketum terdapat dua nama yang muncul yaitu Raihanun dan Ma’sum Ahmad. Raihanun didukung oleh kubu R2 sedangkan Ahmad didukung oleh kubu R1. Raihanun memperoleh 54 suara, dan Ahmad 34 suara, 1 abstain, 1 batal, dan 2 utusan tidak ikut memilih (Hamdi, 2011: 186; Mugni, 2005: 2003). Munculnya nama Raihanun pada bursa bakal calon Ketum tidak pernah diperkirakan sebelumnya oleh kubu R1 karena selama ini dia dikenal sebagai ibu rumah tangga. Kesuksesan Raihanun tidak lepas dari posisinya sebagai putri Syaikh dan juga pengaruh kuat suaminya yang memiliki pengikut yang fanatik ketika memimpin NW bersama Syaikh (Hadi, 2010: 58; Hamdi, 2011: 187). Selesai penghitungan hasil tahap pertama sidang Muktamar diskor untuk istirahat dan Shalat Jumat. Kubu R1 cukup resah dengan hasil Mutamar apalagi nama yang muncul adalah putri Syaikh yang tentunya sulit untuk dikalahkan. Dia hanya dapat ditandingi oleh kakaknya Rauhun, namun dia terlanjur tidak mencalonkan diri dengan alasan menghindari konflik keluarga. Sidang Muktamar untuk tahap kedua dimulai lagi setelah selesai shalat jumat. Sebelum sidang dimulai Ahmad seorang calon dari kubu R1 mempertanyakan kepada ketua sidang tentang keabsahan status perempuan sebagai pemimpin dalam mazhab Syafi’i. Menurut penafsiran Ahmad dan kubu R1 bahwa mazhab Syafi’i tidak membolehkan perempuan sebagai pemimpin termasuk pemimpin organisasi, sementara NW hanya menganut mazhab ini. Merespons pertanyaan Ahmad anggota Dewan Syuro PB NW terdiri dari TGH. Ruslan Zain dan TGH. Hilmi Najamuddin mengatakan bahwa tidak ada larangan bagi kaum perempuan sebagai pemimpin di dalam mazhab Syafi’i khususnya pemimpin organisasi. Menurut 5
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 1-14
penafsiran mereka mazhab Syafi’i tidak membolehkan perempuan sebagai pemimpin hanya pada kasus-kasus tertentu seperti menjadi kepala negara, imam shalat bagi laki-laki, dan menjadi hakim pidana (Hadi, 2010: 58; Hamdi, 2011: 188; Saprudin, 2005). Mendengar respons dari anggota Dewan Syuro PB NW yang notabenenya adalah pendukung R2, Ahmad, dan kubu R1 menyatakan tidak puas. Ahmad mengundurkan diri sebagai salah satu calon Ketum dan menyatakan tidak akan bertanggung jawab dengan hasil Muktamar. Dia dan pendukungnya walk out dari arena Muktamar, sedangkan peserta Muktamar yang lain (mayoritas pendukung R2) tetap melanjutkan agenda pemilihan calon Ketum. Mereka secara aklamasi memilih Raihanun karena Ahmad mengundurkan diri. Raihanun resmi dilantik sebagai Ketum PB NW untuk masa jabatan 1998-2003. Hasil Muktamar Praya melahirkan pro dan kontra di kalangan jamaah NW. Kubu R1 menolak hasil Muktamar karena dinilai melanggar aturan organisasi yang menganut mazhab Syafi’i, sedangkan kubu R2 menilai kepengurusan mereka telah sah dan tidak melanggar ajaran mazhab Syafi’I (Hadi, 2010; Hamdi, 2011; Saprudin, 2005; Smith dan Hamdi, 2009). Terjadi konflik tafsir agama tentang kepemimpinan perempuan di kedua kubu yang mengklaim sebagai kelompok mereka yang benar dan kelompok lain yang salah. Kedua kubu aktif menyosialisasikan hasil Muktamar melalui pengajian di desa-desa yang menjadi basis pendukung mereka. Kedua kubu menggunakan agama sebagai alat legitimasi wacana dan media agama sebagai alat reproduksi wacana dengan melibatkan para Tuan Guru sebagai agen. Implikasinya konflik dan kekerasan antara jamaah kedua kubu sulit untuk dihindari ketika mereka di dalam satu desa. Kedua kubu berkompetisi memperoleh legitimasi kekuasaan dari masyarakat NW. Elite-elite NW tidak hanya memperebutkan massa, tetapi juga teritori pengajian yang dinilai penting sebagai 6
bentuk legitimasi. Jika massa mereka lebih besar dari massa kubu yang lain, maka teritori tersebut diklaim sebagai milik mereka dan tidak boleh bagi kubu lain melakukan kegiatan keorganisasian termasuk pengajian di wilayah itu. Keduanya berupaya saling menggagalkan pengajian karena dinilai politis dan merebut teritori kekuasaan mereka. Proses dan mekanisme meluasnya konflik dan kekerasan akan dibahas berikutnya.
PEMBAHASAN Meluasnya Konflik NW: dari Wacana ke Praktik Konflik Perang wacana yang terjadi antara eliteelite NW dari kedua kubu pasca-Muktamar Praya telah berubah menjadi praktik konflik dan kekerasan antara pendukung mereka. Wacana yang berkembang adalah masing-masing mengklaim sebagai kelompok yang sah dan legitimate dan menyalahkan kelompok yang lain. Proses produksi dan reproduksi wacana dikonstruksi dan direproduksi melalui media agama yaitu pengajian. Wacana agama difungsikan sebagai pendukung dan penguat wacana kekuasaan yang diproduksi oleh kedunya. Apa yang dikatakan dan diwacanakan oleh elite NW menjadi ‘kebenaran mutlak’ yang diterima begitu saja oleh jamaah NW. Wacana ini ibarat ‘sabda’ yang mempunyai kekuatan magis yang dapat membentuk dan mempengaruhi perilaku dan tindakan para jamaah (Foucault, 1972: 80; Mills, 1997: 3; Bourdieu, 1977: 80). Mereka akan mengikuti seluruh instruksi elit tanpa bertanya asal-usul, orientasi dan dampaknya terhadap kehidupan mereka. Misalnya ketika mereka diundang ke medan perang untuk bertempur, maka dengan suka rela mereka datang melaksanakan tugas yang diklaim sebagai perang suci. Praktik konflik dan kekerasan yang dilakukan antara jamaah NW mengalami polarisasi dan reproduksi dari satu tempat ke tempat yang lain. Hijrahnya tokoh dan jamaah NW kubu R2 dari Pancor setelah mendapat tekanan dan serangan kelompok R1 tidak membuat konflik berhenti begitu
Saipul Hamdi -- Politik Islah
saja, justru konflik semakin meluas ke desadesa yang menjadi basis jamaah NW (Macdougall, 2007; Hamdi, 2011; Hadi, 2010). Apalagi secara organisatoris NW menganut dualisme kepemimpinan setelah kubu R1 mengadakan Muktamar Reformasi pada tahun 1999. Dualisme kepemimpinan di dalam NW memposisikan jamaah pada pilihan yang sulit dan dilematis karena harus memilih salah satu dari dua kubu NW yang ada (Hamdi, 2011; Smith dan Hamdi, 2009; Hadi, 2010). Meskipun pilihan netral adalah pilihan yang ideal dalam struktur konflik NW, tetapi mereka yang memilih posisi ini akan mengalami diskriminasi dan seringkali dicurigai oleh salah satu kubu atau dari kedua kubu NW. Sementara jika memihak salah satu kubu sama artinya melibatkan diri ke dalam konflik. Pilihan yang sulit dan dilematis ini terus menghantui jamaah NW selama satu dekade sampai lahirnya konsesus untuk islah. Kekerasan antara jamaah NW lebih banyak terjadi di Lombok Timur daripada di Lombok Tengah dan Barat. Meskipun demikian konflik dan kekerasan ini melibatkan hampir seluruh jamaah di Lombok. Perang NW bukan hanya perang antara warga NW tetapi perang antara pepadu atau orang sakti yang saling menguji tingkat kesaktian ilmu mereka (Hamdi, 2011: 240: Smith dan Hamdi, 2009). Para pepadu memanfaatkan konflik NW sebagai ajang pembuktian tingkat kesaktian mereka. Sementara di satu sisi kedua kubu saling mengundangkan pepadu dari desa-desa lain untuk memperkuat pertahanan dan serangan mereka. Menurut informasi di lapangan, perang ‘atas’ lebih dahsyat daripada perang ‘bawah’. Yang dimaksud dengan istilah perang ‘atas’ adalah perang di udara yang melibatkan orang-orang sakti yang berkelahi dengan cara terbang dan biasanya dilakukan pada malam hari. Sedangkan perang ‘bawah’ adalah perang di darat yang melibatkan masyarakat secara umum dan biasanya pada siang hari (Hamdi, 2011: 241). Perang ‘atas’ hanya melibatkan orang-orang yang mempunyai ilmu kesaktian tinggi yang bisa mengubah dirinya ke berbagai jenis bi-
natang. Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa jumlah orang yang meninggal dalam perang ‘atas’ ini. Wilayah-wilayah yang rawan konflik dan kekerasan adalah kecamatan Suralaga, Selong, Masbagik, Kota Raja, Wanasaba, Peringgasela, Peringgabaya, Suka Mulia, dan Aikmel. Konflik mengalami ekstrimasi jika terdapat elite-elite NW terutama Tuan Guru dari kedua kubu di dalam satu desa. Konflik dan kekerasan tidak bisa dihindari karena para Tuan Guru saling berebut simpati massa dan ingin menunjukkan kekuatan kubu masing-masing di desa tersebut. Kerusuhan pertama terjadi di Pancor 1998 ketika pendukung R1 menyerang tokoh dari kubu R2 (Mugni, 2005: 32; Nazri, 2001: 14; Hamdi, 2011: 242). Pendukung kedua kubu terus saling meneror dan melakukan tindak kekerasan. Kubu R1 lebih diuntungkan karena mayoritas masyarakat Pancor adalah pendukung mereka. Rumah dan toko-toko milik tokoh R2 dijadikan sasaran serangan oleh pendukung R1 yang kecewa dengan sikap mereka yang tidak netral dengan putri Syaikh. Di antara Tuan Guru yang menjadi target serangan adalah TGH. Anas Hasyri, TGH. Mahmud Yasin, dan TGH. Tahir. Serangan demi serangan terus dilakukan oleh pendukung R1 yang berakhir dengan hijrahnya kubu R2 dan pendukungnya dari Pancor ke desa Kalijaga kemudian ke desa Anjani. Peristiwa di Pancor hanya merupakan babak awal terjadinya konflik dan kekerasan antara jamaah NW. Perang terbuka terus meluas ke wilayah-wilayah lain di Lombok Timur setelah kubu R2 meninggalkan Pancor dan membangun kekuatan di desa Kalijaga dan Anjani. Pada tahun 2000 terjadi kerusuhan antara kedua pendukung di desa Gotong Royong ketika pengajian kubu R1 berusaha digagalkan oleh kubu R2. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini, hanya beberapa orang terluka (Hamdi, 2000: 251; Mugni, 2005; Nazri, 2001). Di tahun yang sama 2000 juga terjadi kerusuhan di Desa Kesik, Kecamatan Masbagik ketika kedua jamaah NW saling menghadang dan menggagalkan pengajian. 7
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 1-14
Kerusuhan ini menyebabkan puluhan orang terluka akibat saling melempar dengan batu dan senjata tajam (Hamdi, 2011: 255-256). Sepanjang tahun 2000-2001 terjadi aksi saling serang di beberapa desa sehingga menimbulkan kerusakan rumah seperti di desa Kelayu, dusun Majuet, dan Kota Raja (Ibid, 268). Pada tahun 2002 terjadi perang besar antara kedua pendukung di desa Wanasaba. Kubu R2 mengadakan pengajian, tetapi digagalkan oleh kubu R1 sebagai aksi balasan atas serangan pengajian sebelumnya. Menurut catatan kepolisian 4 orang meninggal dunia dan puluhan orang terluka (Ibid, 272). Kerusuhan Wanasaba merembet ke desa-desa yang lain termasuk desa Paok Lombok, Borok Tumbuh dan desa Tebaban. Korban dalam kerusuhan di desa-desa tersebut adalah 4 orang meninggal dunia, ratusan rumah dibakar dan dirusak, dan ratusan orang mengungsi ke desa lain. Kerusuhan di Paok Lombok disebabkan keinginan tokoh dari kubu R2 untuk mengadakan acara Maulid di masjid, tetapi tidak diberi izin oleh tokoh-tokoh R1 sehingga massa dari kedua kubu bentrok. Kerusuhan ini melibatkan desa-desa tetangga seperti Dusun Majuet, Dusun Borok Tumbuh dan Desa Tebaban. Melihat pola konflik dan kekerasan antara jamaah NW di atas secara keseluruhan hampir sama yaitu terjadi pada waktu pengajian dan motivasinya adalah perebutan massa dan pengaruh di kalangan jamaah NW sebagai bagian dari legitimasi kekuasaan kedua kubu. Masing-masing kubu membutuhkan pengakuan sebagai kubu yang sah memimpin organisasi NW. Media agama seperti pengajian dijadikan sebagai alat reproduksi kekuasaan dan sekaligus kekerasan. Setiap ada pengajian maka kekerasan juga muncul di pengajian tersebut. Pengajian bukan lagi berfungsi sebagai tempat siraman rohani, tetapi lebih sebagai tempat saling memfitnah, menjatuhkan, menyerang dan sebagai tempat aksi kekerasan. Salah satu kubu berupaya menggagalkan pengajian dari kubu yang lain karena dinilai politis dan dapat mempengaruhi massa dari kubu mereka. Ada kekuatiran jika nantinya 8
pendukung mereka akan beralih ke kubu yang lain. Pola-pola konflik di dalam pengajian ini terus mengalami reproduksi dan terinternalisasi di dalam diri jamaah NW.
Upaya-Upaya Islah yang Selalu Gagal Islah atau rekonsiliasi merupakan salah satu tahapan penting dalam proses resolusi konflik NW. Islah mengarah pada restorasi dan rekonstruksi struktur yang mengalami kekacauan sosial (disorder) dan instabilitas akibat konflik dan kekerasan yang berkepanjangan. Islah identik dengan proses penyembuhan (healing) luka dan trauma masyarakat yang menjadi korban, mencari keadilan (justice) dan kebenaran (truth) dan saling memaafkan (forgiveness) antara korban dan pelaku kekerasan (Skaar dan Bloomfield, 2008: 14). Islah tidak hanya merupakan sebuah tujuan yang harus dicapai, tetapi juga merupakan sebuah proses yang harus dijalani dan dilakukan oleh para pelaku dan korban konflik (Bloomfield et al., 2006: 11). Tujuan islah adalah membangun kembali kehidupan bersama antara pelaku dan korban konflik, tidak harus mencintai mereka, atau memaafkan mereka, atau melupakan masa lalu, tetapi co-exist untuk mengembangkan tingkat kerja sama membagi kehidupan sosial kemasyarakatan (Ibid, 2006: 11). Proses islah atau rekonsiliasi bukanlah sesuatu yang mudah untuk direalisasikan. Pada kasus-kasus tertentu terkadang islah mengalami keberhasilan, dan terkadang juga banyak mengalami kegagalan total. Menurut David Bloomfield islah harus dilihat sebagai proses yang panjang yang membutuhkan beberapa dekade bahkan pergantian beberapa generasi (Bloomfield, 2006: 22). Konflik di Aceh, Ambon, Poso, TimorTimur, Kalimantan, dan Lombok membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mencapai rekonsiliasi. Konflik NW termasuk salah satu konflik yang berkepanjangan di Indonesia dan untuk sementara waktu dapat dikatakan gagal dalam mencapai islah. Konflik NW yang telah menginjak satu dekade lebih belum memperlihatkan tandatanda akan terjadinya islah atau rekonsiliasi
Saipul Hamdi -- Politik Islah
terutama di tingkat elite. Sejak 1998-2009 proses islah belum mengalami kemajuan yang berarti, bahkan setiap adanya inisiasi dan upaya islah selalu kandas di tengah jalan (Hamdi, 2010: 353). Kedua kubu belum menemukan titik temu dan format islah yang tepat karena adanya sarat dan tuntutan yang tidak mungkin terpenuhi oleh salah satu kubu. Peran pemerintah daerah sebagai pihak yang seharusnya netral dan mampu memfasilitasi proses islah NW ikut terjebak dalam konflik. Kecenderungan yang terjadi adalah mereka memihak salah satu kubu sehingga menimbulkan perlawanan dari kubu NW yang lain. Misalnya mantan Bupati Lombok Timur M. Sahdan dinilai lebih condong ke kubu R1, sementara mantan bupati setelahnya Ali Bin Dahlan cenderung ke kubu R2. Sulit bagi pemerintah daerah bersikap netral karena kepentingan yang besar terhadap NW. Bahkan pemerintah seringkali memamfaatkan konflik NW untuk tujuan politik praktis. Mereka tidak mau melihat NW bersatu, jika bersatu, maka NW akan menjadi rivalitas politik yang sangat kuat melihat kekuatan NW sebagai kelompok majoritas di Lombok. Terbukti pada Pilkada 2008 NW dari kubu R1 berhasil mengantarkan kader terbaiknya sebagai gubernur NTB dan Bupati Lombok Timur. Kemenangan ini diraih tanpa dukungan kubu R2 yang justru mendukung calon lain di luar NW. Kegagalan islah di tingkat elite pada kenyataannya tidak berlaku bagi jamaah NW. Di beberapa desa yang sebelumnya sangat rawan dan parah akibat konflik mulai membangun kembali kehidupan mereka (Hamdi, 2011: 343-344). Sebagian besar masyarakat di desa itu berupaya melakukan islah secara natural tanpa tekanan atau arahan dari kelompok elite. Mereka mulai sadar dengan apa yang menimpa mereka dan keluarga yang terpecah belah akibat konflik. Mereka mulai saling menegur dan mengundang kembali keluarga mereka yang berbeda afiliasi ke-NW-annya. Ikatan komunalitas dan kekeluargaan yang hancur akibat terjangan badai konflik seakan menemukan
kembali eksistensi dan fungsinya di masyarakat. Hambatan utama islah NW hanya pada kelompok elite. Mereka masih berupaya mempertahankan konflik untuk menjaga kepentingan mereka dan kelompoknya tanpa mempedulikan keadaan masyarakat (Ibid, 354). Setidaknya terdapat empat faktor yang menyebabkan kegagalan islah NW yaitu (1) faktor kepentingan, (2) gengsi, (3) lemahnya budaya dialog, dan (4) faktor wasiat Maulana Syaikh. Faktor kepentingan telah menghambat proses islah NW. Kepentingan di sini tidak hanya kepentingan politik, tetapi juga kepentingan ekomomi, status, pengaruh dan pengakuan sosial. Selain itu, faktor gengsi juga menjadi penghambat proses islah karena kedua kubu merasa lebih mampu, legitimate, dan lebih besar sehingga merasa gensi menerima kehadiran kubu lain. Budaya dialog yang tidak berkembang di lingkungan NW juga menjadi faktor kendala islah karena para elit tidak pernah bertemu dan berdialog untuk mencari titik temu masalah yang mereka hadapi. Para elit sangat alergi dengan dialog, mereka hanya berani saling mengkritisi di balik layar. Sementara wasiat Maulana Syaikh yang memprediksi perpecahan NW yang akan berlangsung 20 tahun telah diyakini kebenarannya sehingga sebesar apa pun usaha untuk islah tidak akan berhasil kecuali menunggu apa yang dikatakan dalam wasiat tersebut. Kalau dihitung dari sejak konflik NW 1998, maka islah NW akan terwujud pada tahun 2018.
Islah NW: antara Kepentingan Politik atau Kepentingan Ummat Di tengah kebuntuan para elite NW dalam upaya mewujudkan islah, sebuah ‘keajaiban’ datang pada Mei 2010, kedua kubu NW akhirnya sepakat untuk islah. Kesepakatan islah ini menimbulkan kontroversi di masyarakat karena prosesnya dinilai instan dan motivasinya sarat dengan kepentingan politik. Kubu R2 secara tiba-tiba menerima tawaran islah dari kubu R1, padahal sebelumnya berbagai langkah dan pendekatan telah dilakukan namun tidak 9
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 1-14
pernah berhasil. Islah NW dalam konteks sekarang ini sulit untuk dipisahkan dari realitas dan dinamika politik lokal ketika salah seorang putra Raihanun Gede Sakti dicalonkan oleh kubu R2 sebagai calon bupati Lombok Tengah priode 2010-2015. Pencalonan Sakti didukung oleh partai politik afiliasi NW Partai Bintang Reformasi (PBR) yang berkoalisi dengan Partai Demokrat. Untuk memenangkan Pilkada Sakti membutuhkan dukungan seluruh suara dari jamaah NW baik dari kubu ibunya R2 maupun dari kubu bibiknya R1. Sulit bagi Sakti menggapai kemenangan jika suara NW terpecah dan terbagi-bagi ke calon lain. Melihat momentum politik inilah elit-elit kubu R1 menawarkan kerja sama mendukung pecalonan Sakti dengan sarat NW harus bersatu. Tawaran islah dari kubu R1 adalah pilihan yang mendekati mustahil bagi R2 karena selama ini mereka tidak mengakui kepengurusan NW versi R1. Bahkan satu-satunya sarat yang diberikan oleh R2 adalah pembubaran kepengurusan R1 dan mengakui kubu R2 sebagai kelompok yang sah hasil Muktamar Praya. Dikarenakan tidak ada pilihan lain bagi kubu R2 yang mencalonkan Sakti, mereka akhirnya menerima tawaran islah tersebut. Langkah politik R2 yang menerima tawaran islah R1 menimbulkan pertanyaan di tengah-tengah masyarakat tentang keseriusan mereka dalam melakukan islah. Muncul kesan jika islah NW bersifat semu atau sementara disebabkan oleh kepentingan politik yang mendasarinya. Masyarakat kuatir islah NW terancam gagal apabila agenda politik mereka tidak tercapai dalam konteks ini Sakti mengalami kegagalan pada Pilkada. Elite-elite R2 mengemukakan proposal islah khususnya islah keorganisasian dapat terwujud jika Sakti memenangkan Pilkada, sebaliknya jika dia gagal dalam Pilkada, maka islah organisasi sulit terwujud dan hanya bersifat islah keluarga. Sementara kubu R1 menginginkan islah secara total termasuk islah organisasi yakni penyatuan kepengurusan dalam satu komando. 10
Terdapat dua hal yang mendasari terjadinya islah NW terlepas dari asumsi dan opini yang berkembang di masyarakat yaitu: pertama, adanya kerinduan antara keluarga Syaikh untuk bertemu. Setajam apapun konflik dan perpecahan di kalangan pemimpin NW, mereka masih memiliki hubungan persaudaraan. Keluarga Syaikh tidak pernah bertemu lebih dari satu dekade (1998-2009) sejak muncul konflik dan kekerasan secara terbuka antara pendukung mereka. Selama konflik kedua keluarga Syaikh saling serang melalui mimbar-mimbar keagamaan seperti pengajian. Konflik NW seperti virus ganas yang masuk ke semua sendi kehidupan jamaah NW. Kedua, adanya kepentingan politik eliteelite NW terkait Pilkada Lombok Tengah. Kepentingan politik sangat dominan dalam islah ini, seandainya bukan karena kepentingan politik kenapa islah tidak dilakukan sebelumnya. Padahal jamaah NW secara umum telah lama menginginkan islah. Keinginan masyarakat bawah ini tidak pernah dihiraukan oleh sebagian elite-elite NW. Mereka berusaha mempertahankan konflik demi menjaga kekuasaan mereka di semua ranah. Islah NW diikuti dengan bertemunya elit-elit NW dari kedua kubu. Setelah difasilitasi oleh elite-elite NW akhirnya kedua putri Syaikh Rauhun dan Raihanun bertemu untuk pertama kalinya setelah berpisah selama 12 tahun. Pada tanggal 2 Mei 2010 mereka bertemu di makam Maulana Syaikh di Pancor, Lombok Timur. Keduanya didampingi oleh putra mereka dan sebagian elite NW yang menggagas islah ini. Pertemuan keluarga besar Syaikh ini sangat spesial dan mengharukan semua pihak karena sebelumnya betapa sulit mempertemukan mereka dalam satu ruang. Ucapan takbir ‘Allahu akbar’ dengan suara gemuruh oleh para jamaah dan elite-elite NW mengawali pertemuan keduanya. Mereka melakukan doa bersama yang dipimpin oleh TGB. Zainul Majdi. Selesai berdoa mereka selanjutnya berkunjung ke rumah R1 yang tidak jauh dari area makam.
Saipul Hamdi -- Politik Islah
Sepanjang pertemuan islah tersebut Raihanun terlihat kurang nyaman karena kehadiran media massa. Dia tidak menginginkan wartawan datang meliput karena pertemuan ini dinilai sebagai pertemuan awal keluarga. Dia menutupi wajahnya dengan kerudung dan berusaha menghindari pengambilan gambar, namun usahanya gagal karena para wartawan tidak berhenti mendokumentasikan foto mereka berdua. Setelah acara doa di ruang tamu di rumah R1 seluruh keluarga Syaikh masuk ke dalam ruangan dan tidak diperbolehkan seorang wartawan meliput acara inti keluarga. Hanya seorang petugas pengambil foto dari NW yang dipercaya menemani mereka sehingga semua pembicaraan dapat direkam. Mereka sangat antusias dan bahagia dapat berbicara, menuangkan rasa rindu yang selama ini terpendam akibat konflik yang panjang. Mereka berfoto bersama sebagai bukti bahwa NW telah menyatu dan tidak ada lagi persoalan di antara mereka. Foto ini kemudian diabadikan dalam bentuk baleho besar yang dipajang di pinggir jalan di depan kantor PB NW Pancor. Selain bercerita tentang keluarga mereka juga membicarakan situasi politik kaitannya dengan pencalonan Gede Sakti dan langkahlangkah politik yang dilakukan oleh tim suksesnya. Sebelum pertemuan kedua tokoh kunci NW di atas terlebih dahulu diadakan pertemuan oleh kedua putra mereka yang diwakili oleh Syamsul Lutfi (wakil Bupati Lombok Timur) dan Sakti pada acara tablig akbar sekaligus kampanye politik di Praya Lombok Tengah. Para tuan guru, politisi, dan jamaah NW dari kedua kubu untuk pertama kalinya kumpul bersama-sama di acara pengajian tablig akbar ini. Lutfi dalam ceramahnya mengatakan: “dulu konflik dan perpecahan NW terjadi di Praya Lombok Tengah ketika NW mengadakan Muktamar ke 10 di tahun 1998, maka sekarang islah NW juga dimulai dari Praya Lombok Tengah.” Pidato Lutfi disambut tepuk tangan meriah oleh jamaah NW. Lutfi juga mengata-
kan bahwa tolong acara silaturrahmi dan islah ini disebarluaskan kepada seluruh jamaah NW yang belum mengetahui supaya tidak ada lagi sesuatu yang tidak diinginkan. Sakti dari kubu R2 juga memberikan sambutan dengan menekankan pentingnya jamaah NW untuk bersatu, merapatkan barisan, dan melanjutkan perjuangan Syaikh. Dia mengatakan untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan, maka biarlah untuk urusan orang tua dengan orang tua, sedangkan urusan anak diselesaikan dengan anakanak. Untuk mensosialisasikan islah ini kedua kubu mengadakan pawai keliling Lombok. Pawai ini melibatkan seluruh elemen masyarakat NW seperti siswa, guru, mahasiswa, dosen, politisi, serta jajaran pengurus NW. Pawai ini bertujuan supaya masyarakat umum mengetahui adanya islah NW dan tidak ada lagi keraguan yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua jamaah dan elite-elite NW setuju dengan islah, sebagian menolak dan tidak mempercayai dan mengakui islah NW. Apalagi kubu R2 tidak pernah secara terbuka dan transparan mengumumkan islah di depan jama’ahnya. Selain pawai islah kedua elite NW juga mengadakan acara ritual keagamaan bersama-sama seperti mengadakan pengajian dan membaca hizib NW. Kedua putri Syaikh juga diundang untuk hadir pada kampanye politik Sakti. Kehadiran mereka diharapkan mampu menarik perhatian dan simpati masyarakat supaya mendukung Sakti dan menunjukkan jika NW benar-benar islah. Terlepas dari pro dan kontra mengenai kebenaran dan keikhlasan islah oleh kedua kubu NW ini, tetapi islah ini telah memberikan dampak yang sangat positif bagi masyarakat Lombok khususnya jamaah NW. Islah ini telah melebur sekat-sekat yang selama ini menjadi jurang pemisah antara kubu R1 dan R2. Islah juga secara tidak langsung mengurangi tekanan bagi jamaah NW sebagai orang yang selalu ‘dicurigai’ memihak ke salah satu kubu. Sedangkan secara poli11
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 1-14
tik islah NW telah mendongkrak perolehan suara Sakti dengan memenangkan Pilkada pada putaran pertama. Sakti berhasil memenangkan Pilkada pada putaran pertama dengan memperoleh 24,71% suara yang disusul oleh pasangan Maik-Meres 21,83%, Jari 19,94%, dan Suke 19,33%. Meskipun di urutan pertama Sakti harus bertarung pada putaran kedua karena tidak ada pasangan yang memperoleh lebih dari 50% lebih dari jumlah total suara. Walaupun Sakti telah memenangkan putaran pertama, namun belum ada jaminan jika dia mampu memenangkan putaran kedua karena jarak suara yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan rival politiknya. Putaran kedua juga menjadi pertaruhan terakhir atas paket islah NW. Jika gagal, maka islah NW secara organisasi akan terancam gagal. Pil pahit harus ditelan oleh calon NW karena pada putaran kedua Sakti kalah dari pasangan Maik-Meres. Sakti yang diprediksi memenangkan Pilkada menurut hasil survey LSI mengalami kekalahan cukup besar dengan perolehan suara 40%, sedangkan lawan politiknya Maik-Meres 59,3%. Kekalahan ini mencoreng reputasi dan legitimasi politik NW karena sebelumnya tokoh NW dari kubu R1 berhasil memenangkan dua jabatan penting yaitu gubernur NTB dan Bupati Lombok Timur pada Pilkada 2008. Selain itu kekalahan ini juga berdampak pada proses islah yang telah berlangsung dan hubungan kedua keluarga Syaikh. Hingga sekarang islah dalam konteks organisasi tidak terwujud, bahkan tidak ada upaya pembicaraan kembali mengenai islah oleh elite-elite NW. Kedua kubu masih berjalan seperti sebelumnya mengelola organisasi masing-masing.
SIMPULAN Proses negosiasi islah NW mengalami jalan buntu sejak pecahnya konflik dan kekerasan antara kedua kubu 1998-2009. Selama konflik pintu negosiasi islah sepertinya sudah tertutup, kedua kubu berjalan dengan sendiri-sendiri dan tidak mau menerima mediasi islah baik dari internal elite-elite NW maupun eksternal pemerintah daerah. 12
Ruang-ruang konflik yang semakin melebar ke ranah-ranah yang lain tidak hanya di NW tetapi juga di ranah politik praktis, ikut mempersempit ruang dan prospek islah ke depan. Sementara islah NW membutuhkan pengorbanan yang cukup besar khususnya kepentingan-kepentingan dari kelompok elite. Kalau mereka tidak mau mengorbankan kepentingan pribadi dan kelompoknya, maka islah NW tidak mungkin dapat terwujud. Pro dan kontra islah NW di tahun 2010 merupakan sesuatu yang wajar karena masyarakat dan jamaah NW telah lama menunggu pencapain islah tersebut. Selama ini negosiasi islah hanya bersifat wacana tanpa aksi dan realisasi sehingga melahirkan rasa skeptis dari masyarakat. Jamaah NW mengaku pasrah dengan proses negosiasi islah dan menyerahkan semuanya kepada kedua pemimpin NW. Tidak ada angin dan badai tiba-tiba kedua kubu menyosialisasikan kesepakatan islah yang sarat dengan motivasi kepentingan politik di samping kepentingan ummat. Ranah politik diambil sebagai media untuk islah karena ranah-ranah yang lain tidak dapat diterima dan tidak marketable bagi kedua kubu. Langkah islah dengan jalan politik mengindikasikan kalau faktor kekuasaan sangat dominan, di dalam konflik NW selain faktor ekonomi dan keluarga. Ketika faktor kekuasaan atau politik yang dominan, maka jalan islah yang ditempuh harus melalui jalur politik atau sharing kekuasaan. Apa yang dilakukan oleh elite-elite NW untuk merekonstruksi proses islah di jalur politik sudah tepat. Elite-elite NW tidak memiliki banyak pilihan pendekatan untuk islah. Saya berpendapat bahwa konflik NW harus diselesaikan melalui jalur politik dan sharing kekuasaan karena dominasi faktor itu terhadap konflik NW. Masyarakat tidak terlalu peduli dengan strategi dan pendekatan yang dilakukan untuk islah, yang penting islah dapat dilaksanankan secara berkelanjutan. Pilihan transaksi politik sebagai jaminan islah NW bukan tanpa risiko, seandainya Sakti gagal kemungkinan besar islah NW akan mengalami kegagalan.
Saipul Hamdi -- Politik Islah
kekuatiran banyak pihak atas langkah eliteelite NW dengan menyandera islah dalan transaksi politik memperlihatkan tanda-tanda kebenaran. Hingga sekarang belum ada lagi upaya islah NW secara organisasi pasca kakalah Sakti pada putaran kedua Pilkada Lombok Tengah. Padahal elit-elit NW dari kedua kubu telah berkomitmen untuk menyatukan kepengurusan NW dalam satu komando. Sebagian elit-elit yang tidak setuju dengan islah NW membuat dalih, jika islah NW sekarang ini hanya pada tataran keluarga, bukan pada tataran organisasi. Sementara organisasi NW tidak bisa dipisahkan dengan keluarga Syaikh. Ketika kedua putri Syaikh (Rauhun dan Raihanun) sudah islah, maka semua lapisan di bawahnya harus ikut islah. Namun fakta di lapangan sangat berbeda karena elite-elite di bawahnya menilai apa yang mereka lakukan adalah bagian dari islah NW dalam konteks keluarga bukan organisasi. Dengan demikian islah NW belum tuntas dan konflik NW akan menjadi bom waktu yang akan siap meledak setiap saat. Momentum-momentum politik akan menguji kembali apakah NW akan islah secara organisasi atau sebaliknya tetap mempertahankan konflik. Gesekan massa sangat dikuatirkan terjadi kembali seandainya islah secara organisasi tidak segera direalisasikan. Ada tiga hal yang perlu dilakukan oleh elite-elite NW dalam rangka melanjutkan proses islah organisasi. Pertama, pemimpin kedua kubu NW segera melakukan Muktamar islah untuk memilih pemimpin NW yang baru yang lebih legitimate dan bersih dari sejarah konflik. Muktamar islah ini penting dilakukan dalam rangka memutus mata rantai konflik dan pro-kontra terhadap kepengurusan NW sebelumnya. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa kepengurusan NW di kedua kubu sekarang ini adalah produk konflik. Kedua, calon pemimpin NW yang baru harus mampu mengakomodasi kepentingan kedua kubu NW secara berimbang dan adil sehingga tidak memunculkan resistensi dari
salah satu kubu. Formasi kepengurusan harus diisi dengan jumlah yang sama dari kedua kubu. Dengan demikian tidak ada kubu yang dominan terhadap kubu yang lain. Ketiga, melakukan modernisasi NW di semua bidang termasuk sistem kepengurusan, rekruktmen dan adminsitrasi organisasi. Dengan modernisasi organisasi ini diharapkan dapat meminimalisasi potensi konflik di kalangan elite-elite NW akibat penyimpangan aturan organisasi.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, D.F., Bouvier, Helen, Smith, Glenn dan Tol, Roben (eds.), 2005, Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi, Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta: Kerjasama Yasasan Obor Indonesia, LIPI, Lasema-CNRS, KITLV. Avonius, Leena, 2004, Reforming Wetu Telu: Islam, Adat and the Promises of Re-gionalism in Post-New Order Lombok, Yliopistopaino: Helsinki. Baharuddin, 2007, Nahdlatul Wathan & Per-ubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Press. Baharuddin dan Rasmianto, 2004, Maulana Lentera Kehidupan Umat, Malang: Mintra Insan Cendekia. Bloomfield, David, Barnes, Teresa and Huyse, Luck, 2006, Reconciliation After Violent Conflict: A Handbook, Stockholm: IDEA. Bourdieu, Pierre, 1977, Outline of a Theory of Practice, Cambridge, UK: Cambridge University Press. BPS Lombok Timur, 2006, Lombok Timur dalam Angka, Lombok Timur: BPS. Bromley, D.G., dan Melton, J.G. (Eds.), 2002, Cults, Religion and Violence, Cambridge, UK: Cambridge University Press. Colombijn, Freek, 2001, “What is so Indonesian about Violence”, Dalam Wessel, Ingrid and Georgia, Wimhofer, 13
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 1-14
Violence in Indonesia, Hamburg: Hem. Abera Press. Foucault, Michel, 1972, The Archeology of Knowledge, New York: Pantheon Books. Giddens, Anthony, I989, Sociology, Oxford: Polity Press. Hadi, Abdul, 2010, Charismatic Leadership and Traditional Islam in Lombok: History and Conflict in Nahdlatul Wathan, Thesis: MA Program of the School of Culture, History and Languages, The Australian National University. Hamdi, Saipul, 2011, Reproduksi Konflik dan Kekuasaan dalam Organisasi Nahdlatul Wathan (NW) di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat, Belum Diterbitkan, Disertasi: Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Horowitz, D.L., 1985, Ethnicity Group in Conflict, Los Angles: University of Berkeley Press. Kristiansen, Stein, 2003, “Violent Youth Groups in Indonesia: The Cases of Yogyakarta and Nusa Tenggara Barat,” Sojourn, vol. 18, pp.110-138. Macdougall, 2007, “Criminality and the Political Economy of Security in Lombok” dalam Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia, Leiden: KITLV Press.
hammad Zainuddin Abdul Madjid 19041997, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu bekerjasama dengan Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Jakarta. Nugroho, Fera, Dirdjosanjoto, Pradjarto, Kana, Nico L., 2004, Konflik dan Kekerasan Pada Aras Lokal, Yogyakarta: Pustaka Percik & Pustaka Pelajar. Nu’man, Hayyi, 1999, Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Mataram: Pengurus Besar Nahdlatul Wathan. Saprudin, 2005, Konflik Kekuasaan di Tubuh Organisasi Nahdlatul Wathan Antara Kubu Hajjah Siti Rauhun dengan Kubu Hajjah Siti Raihanun, Belum diterbitkan, Tesis: Program Master Jurusan Sosiologi, Universitas Gadjah Mada. Smith, Bianca J. dan Hamdi, Saipul, 2009, “The Politics of Female Leadership in Nahdlatul Wathan Pesantren, Lombok, Eastern Indonesia” dalam International Journal of Pesantren Studies, Vo-l.3, No. 1, pp 1-25. Tambiah, Stanley J., 1996, Leveling Crods: Ethnonationalist Conflict and Collective Violence in Sout Asia, Berkeley, London dan Los Angles: University of California Press. Tomagola, Tamrin Amal, 2006, Republik Kapling, Yogyakarta: Resist Book.
Nazri, 2001, Membedah Konflik Rauhun-Raehanun, Pancor: Penerbit Kita.
Van Klinken, G., 2005, “Pelaku Baru, Identitas Baru: Kekerasan antar Suku pada Masa Pasca Suharto”, dalam Anwar et al., (ed), Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi, Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta: Kerjasama Yasasan Obor Indonesia, LIPI, Lasema-CNRS, KITLV.
Noor, Mohammad et al., 2004, Visi Kebangsaan Religius: Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Mu-
Wilson, Chris, 2008, Ethno-Religious Violence in Indonesia: From Soil to God, USA and Canada: Routledge.
Mills, Sara, 1997, Discourse, London and New York: Routledge. Mugni, 2005, Nahdlatul Wathan Pasca Maulana Syaikh, Draf buku yang belum diterbitkan.
14
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo
KAWISTARA VOLUME 1
No. 1, 21 April 2011
Halaman 1-102
MANIFESTASI IDENTITAS ISLAM SUKU BAJO DALAM NASKAH LONTARAK ASSALENNA BAJO Benny Baskara Inter Religius Studies (IRS) Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta Email:
[email protected] dan
[email protected]
ABSTRACT The Bajo people are known as the sea wanderers because they always wander the sea. However, beside their unique characteristic as the sea people, the Bajo are also known as Muslims. Therefore, Islam becomes the important element in their identity either reflected in their daily life or already written in the Lontarak Assalenna Bajo manuscript as the form of self-narration of their life history. Islam was accepted through negotiation and development process with their identity construction. The Bajo people were not Muslim by their origin before they became the sea wanderer people. They received the influence of Islam from the land people surrounding them as a result of their contact with the land people. Keywords: Bajo, Islam, identity
ABSTRAK Suku Bajo dikenal sebagai suku pengembara laut karena kebiasaan hidupnya yang mengembara di lautan lepas. Namun demikian, di samping karakteristiknya yang unik sebagai pengembara laut tersebut, suku Bajo ternyata beragama Islam. Dengan demikian, Islam telah menjadi bagian dari identitas orang Bajo, yang tercermin dari kehidupan mereka sehari-hari maupun tercantum dalam naskah “Lontarak Assalenna Bajo”sebagai catatan tentang kehidupan masyarakat Bajo yang ditulis oleh mereka sendiri. Islam diterima oleh orang Bajo tidak secara serta merta, namun melalui proses negosiasi dan perkembangan terus-menerus. Orang Bajo bukanlah orang Islam dari awal sebelum mereka menjadi pengembara laut, namun mereka menerima pengaruh Islam dari orang-orang darat di sekitarnya sebagai akibat dari hubungan mereka dengan orang-orang darat. Kata kunci: Bajo, Islam, identitas
15
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 15-27
PENGANTAR Suku Bajo dikenal sebagai suku pengembara laut karena kebiasaan hidupnya mereka yang selalu mengembara mengarungi lautan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang suku Bajo antara lain menyebut mereka sebagai “Suku Pengembara Laut” (Zacot, 2008), (Sopher, 1965; Chou, 2003), atau “Sea People” (Nimmo, 1972, 2001; Sather, 1997). Sebagai suku pengembara laut, suku Bajo tidak hanya dijumpai di wilayah perairan Indonesia saja, tetapi juga hampir di seluruh wilayah perairan Asia Tenggara, dan mungkin juga di wilayah-wilayah perairan lainnya. Suku Bajo pada zaman dahulu memang mengembara di lautan lepas dengan perahu-perahu tradisional mereka yang disebut leppa. Namun saat ini, mereka telah banyak bermukim di tepi-tepi pantai maupun gugusan-gugusan karang. Pemukiman tersebut tetap didirikan di atas air yang menunjukkan bahwa kehidupan mereka memang tidak bisa dilepaskan dari laut. Sebutan “Bajo”, “Suku Bajo”, atau “Orang Bajo”, umumnya digunakan oleh penduduk di wilayah Indonesia Timur untuk menyebut suku pengembara laut ini, yang tersebar di berbagai wilayah (Anwar, 2006). Sementara itu, di wilayah Indonesia Barat, kelompok masyarakat ini disebut “Orang Laut”, “Suku Laut”, atau “Rakyat Laut”, sebutan yang biasa digunakan oleh Orang Melayu di Riau dan penduduk Pulau Sumatera pada umumnya, juga di Kepulauan Natuna, Malaysia Barat, serta Johor Selatan. Namun di Johor Utara, mereka disebut “Orang Kuala”, sedangkan di Sabah dan Tawau di Malaysia Timur, juga di Brunei Darussalam dan Filipina, mereka disebut “Orang Bajau”, “Suku Asli”, “Sama Bajau”, “Sama Dilaut”, “Bajau Laut”, “Orang Samal”, atau “Samal Bajau Laut” (Anwar, 2006; Chou, 2003). Di wilayah Myanmar dan Thailand mereka disebut sebagai orang “Mawken” atau “Chao Nam” (Hope, 2001; Ahimsa-Putra, 2006). Meskipun kelompok masyarakat ini mempunyai sebutan yang berbeda-beda 16
namun dari sisi kebudayaan mereka memiliki kesamaan yang bisa menjadi suatu ciri khas. Karakteristik yang paling mencolok adalah pola pemukiman yang umumnya didirikan di atas air di pesisir pantai atau di gugusan-gugusan karang, dan mata pencaharian utama sebagai nelayan tradisional. Selain itu, mereka juga menggunakan bahasa yang sama, adat-istiadat, kepercayaan, dan pola perilaku yang cenderung sama, yang menunjukkan suatu kesamaan budaya. Berdasarkan kesamaan budaya ini, maka bisa dikatakan bahwa mereka adalah termasuk dalam satu rumpun atau berasal dari satu rumpun yang sama (Anwar, 2006; Liliweri, 2002). Dalam makalah ini, istilah yang digunakan untuk menyebut suku laut ini adalah “Bajo” karena mengacu pada naskah Lontarak Assalenna Bajo sebagai naskah yang ditulis oleh orang Bajo sendiri tentang sejarah kehidupan mereka. Naskah tersebut disebut oleh Anwar (2006) sebagai suatu bentuk keluhuran dan ketinggian budaya suku Bajo karena mereka mampu menuangkan idenya dalam bahasa tulisan, bila dibandingkan dengan beberapa suku lainnya di Nusantara yang masih mengandalkan budaya tutur dan tradisi lisan dalam menceritakan sejarah kehidupannya. Dengan karakteristiknya yang unik sebagai suku pengembara laut, yang tentunya lebih banyak menghabiskan kehidupannya dengan mengembara di lautan, ternyata orang Bajo juga penganut Islam. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Islam telah menjadi bagian penting dalam identitas orang Bajo. Hal ini dibuktikan antara lain dengan pengamatan Thomas Forrest (1779, dikutip dari McAllister, 1996) sebagai berikut: “The Badjoo people, called Orang Badjoo, are a kind of itinerent fishermen ... They lived chiefly in small covered boats on the coasts of Borneo and Celebes and adjacent islands. Others dwell close to the sea on these islands, their houses being raised on poles, a little distance into the sea ... They are Mahometans.”
Dalam penelitian La Marihi (2007) dikutip
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo
hasil sensus penduduk tahun 2000 di desa Bajo Mantigola, Kepulauan Wakatobi, menyebutkan bahwa di desa tersebut seluruhnya adalah orang Bajo dan semuanya (100%) beragama Islam. Demikian pula dari beberapa penelitian etnografis sebelumnya (Sopher, 1965; Nimmo, 1972, 2001; Sather, 1997; Chou, 2003) bahwa ajaran-ajaran Islam itu tampak dalam kehidupan sehari-hari orang Bajo. Dari bukti-bukti tersebut, Islam memang telah menjadi bagian penting dalam identitas orang Bajo, yang juga tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari dan tertuang dalam tulisan tentang sejarah kehidupan mereka. Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengungkap identitas keislaman orang Bajo yang tertulis dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo. Dalam pandangan Liliweri (2002), bentuk identitas ada tiga macam, yaitu identitas pribadi, identitas sosial, dan identitas budaya. Identitas pribadi adalah identitas berdasarkan keunikan karakteristik pribadi yang berbeda dengan orang lain, seperti bakat, kemampuan, dan pilihan pribadi. Identitas budaya adalah karakteristik yang muncul karena seseorang itu merupakan anggota sebuah suku bangsa atau kelompok budaya tertentu. Identitas budaya meliputi proses pembelajaran dan penerimaan terhadap tradisi, ciri-ciri bawaan, bahasa, agama, dan turunan dari kebudayaan tertentu. Identitas sosial terbentuk karena seseorang menjadi anggota suatu kelompok atau komunitas tertentu dalam kebudayaan, antara lain kelompok-kelompok sosial yang berdasarkan gender, usia, kelas sosial, profesi, agama, dan lokasi tertentu (Liliweri, 2002: 96-97). Identitas budaya terbentuk di dalam struktur kebudayaan dan peran-peran dalam struktur tersebut, yang meliputi polapola persepsi, pemikiran, dan perasaan. Pola-pola kebudayaan mempengaruhi identitas seseorang, terutama dalam membentuk identitas dari gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran tertentu, yang pada gilirannya akan membimbing perilaku seseorang. Hal yang penting di sini adalah identitas itu selalu terbentuk dalam struktur kebudayaan
dan struktur sosial. Makna identitas budaya adalah karakteristik suatu kebudayaan yang kita ketahui batas-batasnya, dibandingkan dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya. Identitas budaya tidak hanya bermakna karakter fisik semata, namun lebih bermakna sebagai suatu sistem dan menunjukkan suatu tata cara, motivasi, dan orientasi berpikir, merasa, dan bertindak (Liliweri, 2002: 72). Dari kerangka pemikiran Liliweri (2002) di atas, hal yang ingin ditegaskan di sini adalah bahwa naskah tersebut merupakan cerminan dari identitas budaya masyarakat Bajo secara umum. Dalam hal ini, naskah Lontarak Assalena Bajo adalah naskah yang ditulis oleh orang Bajo sendiri mengenai kehidupan mereka, yang merupakan artikulasi dari persepsi, gagasan, dan pemikiran orang Bajo. Lebih jauh, naskah Lontarak Assalena Bajo juga merupakan rujukan untuk tata cara, motivasi, serta orientasi berpikir, merasa, dan bertindak orang-orang Bajo, yang membimbing perilaku orang Bajo dalam menjalani kehidupan sebagai suatu masyarakat. Stuart Hall (1996) menyatakan bahwa konsep tentang identitas tidak bisa dilepaskan dari konsep tentang diri dan identifikasi. Identifikasi merupakan proses artikulasi dan pengakuan diri dalam hubungannya dengan faktor-faktor yang berpengaruh di sekitarnya. Dengan demikian, identifikasi selalu berada dalam proses pembentukan. Dalam hubungannya dengan sejarah, identitas merupakan subjek konstruksi historis dan selalu berada dalam proses perubahan dan transformasi. Identitas selalu dibangun dalam perkembangan historis dan praktikpraktik dalam masyarakat dan kebudayaan. Identitas dibangun dalam diskursus dihasilkan dalam rentang historis dan institusional tertentu dalam bentuk-bentuk diskursus yang spesifik. Di sini, konsep identitas bukanlah konsep esensialis, melainkan strategis dan posisional. Artinya, konsep identitas bukanlah sesuatu yang stabil dalam diri manusia, sesuatu yang permanen dari awal sampai akhir tanpa perubahan. Identitas bukanlah 17
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 15-27
sesuatu yang utuh, selalu terbagi-bagi dan terpilah-pilah. Identitas dibangun melalui diskursus, praktik, dan posisi yang berbedabeda menjadi subjek historisasi radikal dan selalu berada dalam proses perubahan dan transformasi. Rasa memiliki (sense of belonging), yang dengannya identitas dibangun, terletak di dalam representasi simbolik dan imajiner, dan oleh karenanya bisa dikatakan berada dalam ranah fantasi atau imajiner (Hall, 1996: 4). Berdasarkan proses ini, bisa dikatakan juga bahwa identitas itu selalu berada dalam proses negosiasi. Melalui kerangka teori dari Hall (1996) ini akan dilihat bagaimana orang Bajo mengkonstruksi dan menegosiasikan identitasnya, terutama berkaitan dengan Islam sebagai identitas religiusnya. Sebagai suku pengembara laut, suku Bajo telah mempunyai kepercayaan tradisional (indigenous belief) mereka sendiri, yaitu suatu kepercayaan terhadap penguasa lautan, yang mereka sebut sebagai Mbo Ma Dilao. Proses penerimaan nilai-nilai Islam oleh orang Bajo tentu tidak terjadi dengan serta-merta, namun melalui proses negosiasi, terutama dinegosiasikan dengan kepercayaan tradisional mereka kepada penguasa lautan atau Mbo Ma Dilao. Proses negosiasi inilah yang akan dilihat melalui teori negosiasi identitas Hall (1996) tersebut. Identitas seseorang selalu dibentuk dalam masyarakat, demikian pendapat Berger dan Luckmann (1966). Mereka mengatakan bahwa “identitas adalah unsur kunci realitas subjektif dan berada dalam hubungan dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses sosial; identitas dibentuk, diubah, dan disesuaikan oleh hubungan-hubungan sosial.” (Berger dan Luckmann, 1966: 173). Proses sosial sendiri ditentukan oleh struktur sosial; dengan demikian, pembentukan, perubahan, dan penyesuaian identitas bergantung kepada struktur sosial. Identitas seseorang juga ditentukan oleh kondisi biologisnya sebagai makhluk hidup. Hubungan antara manusia dan lingkungannya adalah suatu bentuk hubungan yang khas, yaitu sebagai bentuk dialektika yang terus-menerus antara manusia sebagai 18
makhluk hidup dengan situasi sosio-historisnya. Dialektika ini berlangsung secara berganda: ke luar adalah dialektika antara individu dengan lingkungan sosialnya, dan ke dalam adalah dialektika antara kebutuhan biologis individu dengan identitasnya yang terbangun secara sosial (Berger dan Luckmann, 1966: 180). Lebih lanjut, Amartya Sen (2006) juga menegaskan bahwa identitas selalu bergantung kepada konteks sosial atau lingkungan sosial. Manusia tergabung ke dalam kelompok yang berbeda-beda, melalui kelahiran, pergaulan, dan persekutuan. Dengan keanggotaan ini, setiap identitas kelompok akan memberikan rasa keterikatan atau loyalitas, yang biasa disebut dengan “rasa memiliki” (sense of belonging). Latar belakang sosial seseorang juga selalu berbasis pada komunitas atau kebudayaan tertentu, yang menentukan proses pemikirannya dalam membuat pilihan. Pengaruh yang menentukan dalam komunitas atau kebudayaan ini berupa bentuk-bentuk pengetahuan lokal, norma, persepsi, dan nilai yang berlaku dalam komunitas atau kebudayaan tertentu (Sen, 2006: 34-35). Dari kedua teori yang telah dipaparkan di atas, yaitu dari Berger dan Luckmann (1966) dan Amartya Sen (2006), akan dilihat bagaimana identitas Islam orang Bajo dibentuk dalam hubungannya dengan lingkungan sosial mereka, baik dinamika kehidupan sosial mereka sebagai orang laut maupun dalam hubungan mereka dengan orang darat. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa Islam merupakan agama dan kepercayaan orang darat yang kemudian diterima oleh orang Bajo sebagai keyakinannya. Oleh karena itu, perlu dilihat sejarah dan dinamika hubungan antara orang Bajo dengan orang darat, sehingga proses penerimaan Islam sebagai pengaruh dari daratan oleh orang Bajo bisa diketahui. Di antara para ahli lainnya, Hans Mol (1986) mampu memberikan gambaran yang paling jelas tentang hubungan antara identitas dan agama. Hans Mol (1986: 66-70) mengemukakan empat kategori peranan agama dalam masyarakat, yang pada gi-
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo
lirannya juga menentukan dalam pembentukan identitas. Pertama, agama berperan dalam dramatisasi dialektika hal-hal yang mendasar dalam masyarakat. Hal tersebut lazim diketahui sebagai mitos dalam bentuk keyakinan primitif dan kebijaksanaan moral, teologi dalam agama-agama dunia, dan ideologi dalam bentuk sekuler. Mitos, teologi, dan ideologi menyediakan suatu “petunjuk” bagi individu dan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik. Kedua, agama membuat suatu keteraturan transendental dalam masyarakat. Semakin kompleks sebuah masyarakat, diperlukan suatu “langit suci” (sacred canopy) yang lebih luas untuk menjamin keteraturannya. Fungsi ini berkaitan dengan menjamin keadilan, keutuhan, dan kelangsungan identitas sosial. Ketiga, agama bisa mengembangkan keterikatan emosional atau komitmen dalam masyarakat. Komitmen seringkali berkaitan erat dengan agama, yang akan membawa kepada satu kepentingan dan kehendak bersama, seperti yang dilakukan oleh sebuah suku bangsa untuk meningkatkan solidaritas internal. Keempat, agama, terutama dalam bentuk ritual, bisa menegakkan kebersamaan dalam masyarakat. Ritual bisa memberikan rasa memiliki dan identitas bagi manusia (Mol, 1986: 70). Berdasarkan empat kategori tersebut, Hans Mol mendefinisikan agama sebagai “sakralisasi identitas”. Keyakinan, loyalitas, dan komitmen memperkuat ikatan emosional dari berbagai unsur dalam organisasi sosial, sehingga setiap unsur ini akan semakin kohesif. Di tingkat fungsional, mekanisme sakralisasi memiliki andil dalam konsolidasi setiap unsur dalam organisasi sosial. Agama dapat menjembatani kesenjangan dan mampu memadukan unsur-unsur dalam masyarakat. Mekanisme sakralisasi meliputi mitos, ritual, komitmen, dan transendentalisasi akan menjamin berjalannya fungsi dan kelangsungan hidup masyarakat (Mol, 1986: 70-71). Melalui kerangka pemikiran Hans Mol ini, akan dilihat bagaimana peran agama,
khususnya Islam, dalam konstruksi identitas orang Bajo. Peran tersebut adalah bagaimana Islam menjadi petunjuk bagi kehidupan sehari-hari mereka, bagaimana Islam menjadi “langit suci” yang mampu membentuk komitmen dan kebersamaan dalam kehidupan orang Bajo. Akhirnya, bagaimana secara umum Islam menjadi sebuah “sakralisasi identitas” orang Bajo. Semua kerangka teori inilah yang akan digunakan untuk meninjau naskah Lontarak Assalenna Bajo.
PEMBAHASAN Naskah Lontarak Assalenna Bajo Naskah Lontarak Assalenna Bajo secara harfiah berarti “Lontarak tentang asal-usul suku Bajo”. Naskah ini ditemukan di masyarakat Bajo di Kecamatan Lasolo, Kabupaten Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara, dan salinannya telah disimpan di Museum Negeri Sulawesi Tenggara di Kendari. Naskah aslinya sendiri ternyata telah lapuk dimakan usia. Naskah ini ditulis di atas kertas dengan huruf Lontarak dan Arab, dalam bahasa Bugis-Makassar dan Arab, berbentuk prosa (Anwar, 2000). Nama “lontarak” sendiri adalah nama aksara atau huruf yang digunakan dalam naskah-naskah kuno berbahasa Bugis-Makassar, yang kemudian umumnya juga dijadikan sebagai nama depan sebuah naskah. Naskah Lontarak Assalenna Bajo yang ditelaah dalam makalah ini adalah naskah yang telah diterjemahkan dan dialihaksarakan oleh Anwar (2000) ke dalam Bahasa Indonesia dengan huruf Latin. Adapun metode yang digunakan adalah metode analisis-deskriptif- interpretatif. Naskah Lontarak Assalenna Bajo ditelaah dan dianalisis untuk mengetahui bagian-bagian atau ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai keislaman atau bernuansa ajaran Islam. Bagian-bagian atau ayat-ayat tersebut kemudian dideskripsikan, diuraikan, dan diberikan penjelasan-penjelasan seputar konteks ayat-ayat atau bagian-bagian tersebut. Selanjutnya, dilakukan interpretasi atau penafsiran dari bagian-bagian atau ayat-ayat tersebut dengan kerangka teori-teori tentang 19
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 15-27
identitas, untuk menjelaskan bahwa Islam telah menjadi bagian yang penting dalam identitas masyarakat Bajo.
Nilai-nilai Islam yang termuat dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo Manifestasi keyakinan Islam masyarakat Bajo yang tertuang dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo dimulai dari ayat yang pertama, yaitu pengakuan dan pujian kepada Allah, Tuhan Yang Maha Tinggi dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Bunyi ayat pertama tersebut sebagai berikut: “Naiyya sininna pappujie, koi ri puwang Allahu Taalaa, engrengngE ri suroona Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallama.”
Terjemahan dari ayat tersebut (Anwar, 2000) adalah:
“Segala puji bagi Allah Yang Maha Tinggi dan Rasul-Nya Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam”.
Ayat pertama sebagai pembuka naskah tersebut mencerminkan suatu ikrar keimanan kepada Tuhan Allah dan Rasul-Nya Muhammad, yang mencerminkan ucapan dua kalimat syahadat sebagai tanda keislaman seseorang yang paling mendasar, sekaligus merupakan Rukun Islam yang pertama. Ayat kedua menyatakan bahwa orangorang Bajo itu adalah keturunan Nabi Adam dan Siti Hawa, yaitu manusia yang pertama menurut ajaran Islam dan sebagai nenek moyang seluruh manusia yang ada di muka bumi ini. Ayat kedua berbunyi sebagai berikut: “… Naiyya ri munrinna adaE. IyyanaE, poadaadangngi, sure’ lontaraE ri onro marippeE, ri asengngE mula tau. Neneeta Adang nennia neneeta Hawa iyyanatu riasengngi Opu Sengngeng mallai bine.”
Terjemahan ayat tersebut (Anwar, 2000) sebagai berikut:
“Inilah yang membahas, surat lontarak dalam keadaan ringkas, mengenai asal-usul manusia pertama. Nenek kita Adam dan Hawa, yang disebut penghuni pertama bumi suami istri”.
Kemudian dilanjutkan dengan ayat ketiga sebagai berikut: 20
“Iyyana mula-mula ri paturung ri linoE, maddeppaE, ri lapatella, nakonna riapanritannaE ri ware, nainappa ri paturung ri tanaE…”
Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut:
“Dialah yang pertama diturunkan di dunia yang berkembang biak, karena kemuliaannya ditempatkan di atas, kemudian diturunkan di bumi…”
Dari ketiga ayat yang dikutip di atas, jelaslah bahwa orang Bajo mengakui bahwa mereka adalah orang Islam, yang berarti bahwa Islam menjadi bagian yang penting dalam identitas mereka. Namun demikian, tidak dapat diketahui dengan pasti kapan Islam pertama kali masuk dan dianut oleh orang Bajo. Dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo sendiri tidak disebutkan kapan orang Bajo pertama kali memeluk Islam. Walaupun demikian, kita bisa melihat pada konteks naskah tersebut, sehingga kemungkinan orang Bajo memeluk Islam karena pengaruh dari kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Konteks naskah Lontarak Assalenna Bajo sendiri ditulis sekitar abad ke-16 hingga ke17 di wilayah BajoE, perkampungan masyarakat Bajo di teluk Bone, yang dahulu merupakan wilayah kerajaan Bone. Oleh karena itu, kemungkinan masyarakat Bajo memeluk Islam karena pengaruh dari kerajaan Bone. Dalam naskah “Lontarak Assalenna Bajo” ayat 249 disebutkan: … salama naengkangngE tturung pole ri Mekka ri ammulangenna asengngE Syaehe Al-Hajji Yusupu, iyyana ammulangenna mappaselleng, pasellengngi to Bone nadipoanreguru tooni Petta MatinroE ri Rompegading, iyya toona ripatettong Kali ri Bone nariasenna Mupeti Yusupu.
Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut:
“… selamat kedatangan dari Mekah pada saat pertama kalinya seorang yang bernama Syeh Haji Yusuf, dialah yang pertama kali menyebarkan Islam, mengislamkan Bone dan menjadi guru Petta MatinroE ri Rompegading, dia pula diangkat menjadi Kadhi di Bone dan diberi gelar Mufti Yusuf.”
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo
Setelah kita mengetahui bahwa yang menyebarkan Islam pertama kali di kerajaan Bone adalah Syeh Haji Yusuf, keterangan selanjutnya yang tercantum dalam ayat 250 sebagai berikut: Riwetu mappasellenna ri Bone, nauttama selleng Karaeng 1016 Hujerana Nabitta SAW, nauttama selleng to SoppengngE 1018 Hujerana Nabitta SAW, nauttama selleng to WajoE 1019 Hujerana Nabitta SAW, nauttama selleng to Bone 1020 Hujerana Nabitta SAW …
Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut:
“Pada saat mengislamkan Bone, setelah masuknya Islam Raja Gowa tahun 1016 Hijriah (Nabi SAW), masuknya Islam orang Soppeng tahun 1018 Hijriah, masuknya Islam orang Wajo tahun 1019 Hijriah, masuknya Islam orang Bone tahun 1020 Hijriah …”
Dari ayat di atas, diketahui bahwa Islam masuk ke kerajaan Bone adalah yang terakhir (tahun 1020 H), setelah Islam lebih dahulu masuk ke kerajaan-kerajaan sekitarnya, yaitu Gowa tahun 1016 H, Soppeng 1018 H, dan Wajo 1019 H antara 1595 M sampai 1600 M pada penghujung abad ke16 dan memasuki abad ke-17. Dari keterangan tersebut, bisa diduga bahwa Islam masuk ke suku Bajo pada periode-periode ini, karena interaksi mereka dengan orangorang darat. Khusus untuk masyarakat Bajo di BajoE, bisa diduga Islam masuk pada sekitar abad ke-17, karena pengaruh dari kerajaan Bone. Proses penyebaran Islam di kalangan masyarakat Bajo juga tidak ditulis secara terperinci dalam Lontarak Assalenna Bajo. Hanya disebutkan bahwa ulama-ulama dari tanah Arab datang menyebarkan Islam, dan setelah Islam menyebar, minuman keras, sesajian, dan dukun tradisional dilarang. Hal tersebut disebutkan dalam ayat 228 sebagai berikut: “Napada sempe’na lao muttama ri Bone, napada tanraapiina ri pada onro-onronna, naengka toona LoloE sibawa Ponggawa Bajo alauuna Cellu, napada marape’na pada mabbola, namajere’na agamaE napada engkana tuwan-tuwan Ara’E mappattareka, namajere’na berejama’E, naripeddenni bissu-bissuE nennia massoro-soroE, nennia tua
paiE napada dee manenni sikuwaero, nariesseriattoni paimeng ade abbiasangenna BajoE ri kampong kasiwingngE ri Petta MatinroE ri Rompegading, narape’si riatettongenna paimeng TanaE ri BajoE.”
Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut:
“Mereka berlayar menuju ke Bone, sampailah mereka di tempat semula, datang pula Lolo dan Ponggawa Bajo di sebelah timur Cellu, mereka bermukim membangun rumah, berkembanglah agama, datanglah tuan-tuan orang Arab menyebarkan tarekat (Islam), ramailah jamaah shalat, dihilangkanlah BissuBissu (dukun tradisional) dan persembahan, serta minuman arak, dan hilanglah yang demikian itu, dan dikembangkan pula adat tradisi orang Bajo di kampung yang diberikan oleh Petta MatinroE ri Rompegading, maka bangkitlah kembali eksistensi negeri BajoE."
Dari ayat di atas, tampak bahwa setelah Islam disebarkan oleh ulama-ulama dari Arab, tradisi-tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam dilarang. Namun demikian, adat tradisi yang lain juga dikembangkan dan didukung oleh Raja Bone, Petta MatinroE ri Rompegading, sehingga kehidupan masyarakat Bajo lebih berkembang. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa ajaran Islam bisa masuk dan berpadu dengan tradisi orang Bajo, dan bentuk perpaduan tersebut turut disebarluaskan melalui kekuasaan oleh Raja Bone, Petta MatinroE ri Rompegading, kepada seluruh rakyatnya, termasuk orang-orang Bajo. Perpaduan antara ajaran Islam dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Bajo telah terjalin erat dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari orang Bajo sebagai norma-norma dan tata aturan hidup yang harus dipatuhi. Di samping memuat sejarah kehidupan, tata kekuasaan dan sosial kemasyarakatan, naskah Lontarak Assalenna Bajo juga memuat aturan-aturan hukum yang berlaku di masyarakat Bajo. Di antara aturan-aturan tersebut, yang menunjukkan pengaruh ajaran Islam yang cukup kuat adalah aturan-aturan tentang tata cara perkawinan. Salah satu dari beberapa ayat
21
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 15-27
yang menyebutkan tentang aturan-aturan dalam perkawinan adalah ayat 428 yang tertulis sebagai berikut: Sibuangessi gau, ripassalenna gau abbainengngE ri sesena sompaE komui riabbatireng ammanarengngE pada rialena ripatuttungi poasengngE sompa, iyyagi na 88 (aruwa polona aruwa) iyyagi na 77 (pituppulo pitu) iyyagi na 66 (enneppulona enneng) iyyagi na 44 (patappulo eppaa) iyyagi na 22 (duwappulo duwa) iyyagi na 11 (seppulo seddi). Nako sompa 88 (aruwa polona aruwa), AdeE makeppunna 8 (aruwa) rellana, nako sompa 44 (patappulo eppaa), AdeE makeppunna 4 (eppaa) rellana, nako sompa 22 (duwappulo duwa), AdeE makeppunna 2 (duwa) rellana ….
Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut:
“Suatu perbuatan tentang perkawinan sekitar mahar yang tergantung pada strata keturunan yang diikuti dengan mahar, apakah 88, atau 77, atau 66, atau 44, atau 22, atau 11. Jika mahar 88 adat memperoleh bagian 8 real, jika mahar 44 adat memperoleh 4 real, jika mahar 22 adat memperoleh 2 real ...”
Dari ayat tersebut bisa diketahui bahwa dalam perkawinan pihak laki-laki harus membayar mahar atau maskawin kepada pihak perempuan, seperti yang diwajibkan oleh ajaran Islam. Besarnya nilai mahar tergantung dari status sosial pihak laki-laki, yang menunjukkan kemampuan untuk membayarnya. Jumlah mahar adalah kelipatan sebelas (88, 77, 66, 44, 22), dan adat memperoleh sekitar sepuluh persen dari jumlah mahar tersebut. Nilai mahar dihitung dengan standar mata uang real, yaitu mata uang Arab, yang menunjukkan adanya pengaruh budaya Arab.
Islam sebagai Identitas Suku Bajo Islam telah menjadi bagian penting dalam identitas budaya orang Bajo, yang terbukti dari ayat-ayat dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo yang diwarnai oleh nilainilai ajaran Islam sebagai buah pikiran orang Bajo dalam melukiskan kehidupan mereka. Meskipun Islam telah diterima oleh masyarakat Bajo sebagai identitas, namun penerimaan ajaran Islam tersebut tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Penerimaan Islam oleh masyarakat Bajo tentu melalui pro22
ses negosiasi dan perkembangan terus-menerus, dalam rangka proses pembentukan dan pembangunan identitas mereka. Proses negosiasi ini yang terpenting adalah proses negosiasi antara penerimaan nilai-nilai Islam dengan kepercayaan tradisional (indigenous belief) mereka sebagai suku laut, dan proses interaksi dengan masyarakat di luar mereka, yaitu dengan orang-orang darat. Oleh karena itu, perlu dilihat konteks sejarah kehidupan orang Bajo, termasuk tentang asalusul, untuk mengetahui proses pembentukan identitasnya. Dalam beberapa penelitian tentang masyarakat Bajo, ditemukan bahwa dalam legenda dan cerita rakyat Bajo, orang Bajo mengaku bahwa nenek moyang mereka berasal dari Johor di Semenanjung Malaya (McAllister, 1996; Hope, 2001; Anwar, 2007; Zacot, 2008; Lapian, 2009). Dalam legenda tersebut dikisahkan bahwa pada zaman dahulu putri raja Malaka hilang dan tenggelam di laut ketika sedang berlayar. Raja Malaka memerintahkan para prajurit untuk mencari putrinya yang hilang itu, dan melarang mereka kembali jika tidak menemukannya. Para prajurit sudah mencari ke berbagai penjuru namun tidak menemukan putri Sang Raja, dan memutuskan tidak kembali ke kerajaan karena takut terhadap hukuman dari raja. Mereka memilih mengembara di lautan lepas, dan mereka inilah yang menjadi cikal-bakal suku Bajo (Anwar, 2007). Dugaan yang lebih dekat secara historis adalah ketika Malaka ditaklukkan oleh Portugis pada awal abad ke-16, beberapa prajurit kerajaan Malaka menolak untuk menyerah kepada Portugis dan memilih untuk mengembara di lautan lepas. Inilah asal-usul persebaran orang laut atau orang Bajo ke berbagai wilayah perairan Nusantara dan sekitarnya (Anwar, 2007). Namun demikian, Lapian (2009: 106) mempunyai pendapat lain. Menurutnya, penyebaran orang laut atau orang Bajo yang umumnya mengarah ke timur perairan Nusantara bukan karena penaklukan Portugis, namun karena konflik internal kerajaan Malaka sendiri. Para prajurit yang tidak ingin terlibat dan memi-
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo
hak siapa pun dalam konflik politik memilih untuk mengembara di lautan, terutama menuju ke arah Timur. Berdasarkan dugaan bahwa orang Bajo berasal dari Malaka atau Johor di Semenanjung Malaya, maka implikasinya adalah mereka sudah lebih dulu menganut Islam sebelum menjadi suku pengembara laut, mengingat Malaka adalah sebuah kerajaan Islam atau kesultanan. Dengan demikian, mereka membawa serta identitas keislamannya ke mana pun mereka mengembara, hingga akhirnya bermukim di tepi-tepi pantai atau gugusan karang di berbagai wilayah perairan. Namun demikian, salah satu catatan Lapian (2009: 109) menyebutkan bahwa orang-orang laut ini telah menyebar ke arah Timur dari Johor ke wilayah kepulauan Sulu, Filipina, sebelum Islam masuk ke wilayah tersebut, sehingga orang-orang laut ini memeluk Islam karena pengaruh dari orangorang Sulu. Dugaan bahwa nenek moyang orang Bajo berasal dari Semenanjung Malaya dibantah oleh Horst (Hope, 2001), ia menyatakan bahwa orang Bajo mengaku nenek moyangnya berasal dari Johor karena mereka mengalami tekanan dari kesultanan di sekitarnya. Ia memberi contoh seperti orang Bajo di Sulu yang mendapat tekanan dari kesultanan Tausug, sehingga mereka merujukkan nenek moyangnya kepada kesultanan yang lebih tua dan lebih kuat, yaitu kesultanan Johor. Selanjutnya, Horst merujuk pada penelitian Pallesen (1985) yang menyebutkan bahwa berasal dari rumpun bahasanya, yaitu bahasa proto-Sama, orangorang Bajo ini berasal dari Filipina. Mereka menyebar ke Selatan ke wilayah perairan Sulawesi dari Filipina. Karena dugaan nenek moyang orang Bajo berasal dari Semenanjung Malaya dibantah, maka dugaan bahwa orang-orang Bajo telah memeluk Islam sebelum mereka menjadi pengembara laut juga terbantahkan. Dengan demikian, orangorang Bajo ini memeluk Islam karena pengaruh dari kesultanan atau orang-orang darat di sekitarnya. Di sisi lain, Lapian (2009: 111) juga mengemukakan pendapat yang mendu-
kung, yaitu bahwa orang-orang Bajo di perairan Bone dan Teluk Tomini lebih berorientasi ke kerajaan Bone. Dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo sendiri disebutkan bahwa orang-orang Bajo berasal dari daerah Ussu di Luwu, Sulawesi Selatan. Pada suatu ketika, sebuah pohon besar yang disebut Walenreng ditebang sehingga mengakibatkan banjir besar yang membuat para penduduknya mengungsi, termasuk orangorang Bajo yang dipimpin oleh Ipapu hanyut ke laut dan akhirnya terdampar di kerajaan Gowa. Kutipan peristiwa tersebut termuat dalam ayat 8 dan 9 sebagai berikut: 8. “… Ipapu ritubbangngi WalenrengngE nalempe…” 9. “Nasiappimalirenna ri lauu…”
Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut:
8. “…Ipapu menyatakan bahwa pohon Walenreng telah ditebang dan terjadi banjir…” 9. “Banyak yang hanyut ke laut…”
Namun demikian, istilah walenreng sendiri bisa diartikan sebagai runtuhnya sebuah kerajaan, yang dalam proses keruntuhannya itu terjadi pertumpahan darah yang membuat banyak penduduk mengungsi (Anwar, 2006: 1). Karena peristiwa tersebut, orang Bajo mengungsi ke kerajaan Gowa, bahkan salah seorang putri bangsawan Bajo diperistri oleh Raja Gowa. Ketika kerajaan Gowa ditaklukkan oleh kerajaan Bone, orang Bajo memilih untuk tunduk kepada Raja Bone. Oleh Raja Bone, mereka diberi tempat di pesisir Timur kerajaan Bone, yang diberi nama BajoE (Anwar, 2006: 2). Kemungkinan orang laut ini disebut orang “Bajo” karena berasal dari nama tempat “BajoE” yang diberikan oleh Raja Bone tersebut. Apabila ditelusuri lebih jauh, ternyata kisah tentang tumbangnya pohon besar dan terjadinya banjir besar yang menjadi asalusul orang Bajo ini dekat dengan kisah Sawerigading yang berasal dari masyarakat Bugis (Hope, 2001). Lebih jauh, kisah tentang asal-usul sebuah suku atau kelompok etnis yang berasal dari sebuah banjir besar juga ditemukan di beberapa kelompok etnis di Asia Tenggara (Nghiem, 1993). Oleh ka-
23
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 15-27
rena itu, secara tidak langsung, orang-orang Bajo ingin memosisikan identitas diri mereka sejajar dengan orang-orang darat di sekitarnya dengan mengonstruksikan bahwa asal-usul identitas mereka itu satu rumpun dengan orang Bugis (kisah Walenreng dan Sawerigading), orang Melayu (asal-usul dari Semenanjung Malaya), dan orang Islam pada umumnya (sebagai anak-cucu Adam). Itulah mengapa McAllister (1996) mengatakan bahwa sesungguhnya asal-usul orang Bajo ini tetaplah sebagai sebuah spekulasi. Walaupun orang Bajo mengidentifikasi diri sebagai orang laut, namun kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan sama sekali dari daratan. Orang Bajo tetap membutuhkan bahan makanan pokok, seperti beras, sagu, atau umbi-umbian, air tawar, dan kayu bakar, yang hanya bisa diperoleh dari daratan. Sementara itu, orang darat tetap bisa hidup tanpa mengandalkan hasil-hasil laut yang menjadi hasil utama dan mata pencaharian orang Bajo. Dengan keadaan seperti ini, maka posisi tawar orang Bajo menjadi lebih lemah dibandingkan dengan orang darat, karena bagaimana pun juga ketergantungan mereka kepada daratan lebih tinggi dibandingkan orang darat yang tidak terlalu bergantung kepada lautan (Ahimsa-Putra, 2006: 214). Lemahnya posisi tawar orang Bajo bila dibandingkan dengan orang darat ini antara lain dilukiskan oleh McAllister (1996) bahwa orang-orang Bajo cenderung meminta perlindungan kepada kesultanan di sekitar tempat mereka bermukim dari serangan bajak laut. Dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo sendiri disebutkan bahwa orang Bajo harus memberikan kasiwiang atau persembahan kepada Raja Bone sebanyak satu pikul atau satu perahu penuh. Mengenai kasiwiang tersebut disebutkan dalam ayat 349 sebagai berikut: “Nakkeda Ilolo ri ana-eppona maegaE napada mabberena tassikappala’na, gennei sipikulu napaenre’ni Ilolo ri Bone tanraapii ri Puwanna, makkoniro rimula-appongenna ri kasiwiang sisengngE…”
Terjemahannya (Anwar, 2000) sebagai berikut: 24
“Berkata Lolo (pemimpin Bajo) kepada anak cucunya yang banyak, maka mereka masingmasing memberi satu kapal, setelah cukup sepikul dibawalah Lolo naik ke Bone di hadapan Baginda (Raja), demikianlah asal-usul persembahannya…”
Dengan lemahnya posisi tawar orang Bajo di hadapan orang darat, maka keadaan tersebut memaksa mereka untuk menerima berbagai pengaruh dari darat. Penyerahan kasiwiang atau persembahan kepada Raja Bone menunjukkan adanya kepatuhan orang Bajo terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh kerajaan di sekitarnya. Apabila kerajaan di sekitarnya tersebut adalah sebuah kesultanan yang menetapkan nilainilai ajaran Islam dalam aturan-aturannya, maka aturan-aturan itu juga harus dipatuhi oleh orang-orang Bajo. Dari sinilah kemungkinan besar orang-orang Bajo mendapatkan pengaruh ajaran Islam ke dalam kehidupannya. Sebelum mendapatkan pengaruh ajaran Islam, masyarakat Bajo telah mempunyai keyakinan tradisional mereka sendiri (indigenous belief), yang ajaran-ajarannya tertuang dalam adat, tradisi, dan ritual-ritual tradisional mereka. Bentuk keyakinan tradisional masyarakat Bajo ini antara lain adanya keyakinan spiritual terhadap penguasa laut yang diistilahkan sebagai Mbo Ma Dilao. Sebelum pergi melaut, masyarakat Bajo umumnya membaca mantra-mantra tertentu untuk memohon keselamatan dan hasil laut yang banyak kepada Mbo Ma Dilao. Selain itu, masyarakat Bajo juga melakukan ritual dan membaca mantra-mantra untuk memohon kesembuhan kepada Mbo Ma Dilao ketika ada anggota masyarakat yang sakit, dan juga untuk memohon perlindungan dan kesejahteraan. Setelah mendapatkan pengaruh dari ajaran Islam, masyarakat Bajo kemudian menegosiasikan dan memadukannya dengan keyakinan tradisional mereka, sehingga bentuk-bentuk ritual dan mantra-mantra tersebut menjadi wujud perpaduan antara nilai-nilai ajaran Islam dengan keyakinan tradisional mereka. Oleh karena itulah sebenarnya keberagamaan orang Bajo ini
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo
merupakan suatu bentuk sinkretisme antara keyakinan tradisional mereka dengan ajaran-ajaran Islam (Stacey, 2007). Contohnya adalah salah satu bentuk mantra memohon keselamatan yang diucapkan menjelang pergi melaut sebagai berikut (dikutip dari Uniawati, 2006): Bismillahirrahmanirrahim Opapu oh Mbo Ma Dilao Ombotumbira Daha aku Sasapata madilao (Bismillahirrahmanirrahim Oh Tuhan, Oh Mbo Ma Dilao dan wakilnya jangan saya ditegur dan jangan saya diganggu di laut)
Sebagaimana tersebut dalam mantra di atas, ucapan “Bismillahirrahmanirrahim” berpadu dengan permohonan kepada Mbo Ma Dilao, yang menunjukkan adanya sinkretisme antara keyakinan tradisional masyarakat Bajo dengan ajaran Islam. Demikianlah, bentuk sinkretisme antara keyakinan tradisional dan ajaran Islam tersebut menunjukkan adanya suatu proses negosiasi serta penerimaan atas ajaran-ajaran Islam dalam konstruksi identitas masyarakat suku Bajo, dalam hubungannya dengan lingkungan hidupnya sebagai orang laut, dan juga dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya, khususnya ketika mereka berhubungan dengan orang-orang darat. Dari gambaran tersebut, tampak peran Islam sebagai identitas orang Bajo yang strategis dan posisional seperti pendapat Hall (1996). Islam merupakan salah satu strategi orang Bajo dalam mempertahankan hidupnya, yaitu dengan mengadopsi nilai-nilai Islam yang berasal dari darat ketika mereka harus berhubungan dengan orang darat. Secara posisional, orang Bajo tampil memosisikan diri sebagai orang Islam ketika berhubungan dengan orang darat, sehingga mereka lebih mudah diterima. Di sinilah tampak jelas bahwa konstruksi identitas masyarakat Bajo juga ditentukan oleh lingkungan sosialnya, seperti pendapat Sen (2006) serta
Berger dan Luckmann (1966), yaitu ditentukan oleh hubungan mereka dengan orang darat. Identitas keislaman orang Bajo juga selalu mengalami proses negosiasi (Hall, 1996) atau dialektika (Berger dan Luckmann, 1966), yaitu ke dalam berdialektika dengan keyakinan tradisional masyarakat Bajo, dan ke luar berdialektika dalam hubungan dengan orang-orang darat. Dalam kerangka teori Hans Mol (1986), Islam merupakan bentuk sakralisasi identitas masyarakat Bajo, yang menjamin ikatan sosial di dalam masyarakat Bajo maupun hubungannya dengan orang-orang darat. Bentuk sakralisasi identitas tersebut antara lain: Pertama, Islam menyediakan nilai-nilai yang bisa menjadi petunjuk hidup bagi masyarakat Bajo; Kedua, Islam menjadi dasar bagi aturan-aturan yang berlaku di dalam masyarakat Bajo, di antaranya adalah aturan tentang perkawinan; ketiga, Islam mampu mengembangkan keterikatan emosional, komitmen, dan kebersamaan di dalam masyarakat Bajo maupun dalam hubungannya dengan orang darat sebagai sesama Muslim; Keempat bentuk sakralisasi identitas tersebut telah tertuang dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo sebagai catatan dan ungkapan masyarakat Bajo tentang kehidupan mereka sendiri.
SIMPULAN Islam telah menjadi bagian penting dalam identitas budaya suku Bajo, baik tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari maupun yang tercantum dalam naskah Lontarak Assalenna Bajo sebagai bentuk kearifan budaya Bajo yang berisi catatan tentang kehidupan masyarakat Bajo yang ditulis oleh mereka sendiri. Ikrar keyakinan pada Tuhan Allah dan Nabi Muhammad serta pengakuan Adam dan Hawa sebagai nenek moyang mereka dalam naskah tersebut menunjukkan keimanan orang Bajo terhadap ajaran Islam. Lebih jauh, nilai-nilai ajaran Islam juga telah menjadi dasar bagi aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat Bajo, salah satunya adalah mengenai aturan tentang perkawinan. 25
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 15-27
Walaupun Islam telah diterima oleh masyarakat Bajo, proses penerimaan tersebut tidak terjadi begitu saja, namun melalui proses negosiasi dan perkembangan terusmenerus. Orang Bajo memang bukan orang Islam dari awal sebelum mereka menjadi pengembara laut, namun mereka menerima pengaruh Islam dari orang-orang darat di sekitarnya, sebagai akibat hubungan antara orang Bajo dengan orang darat. Dalam konteks naskah Lontarak Assalenna Bajo, yang ditulis oleh orang Bajo di BajoE yang berada di perairan teluk Bone, masyarakat Bajo menerima pengaruh Islam dari hubungannya dengan orang-orang dari kerajaan Bone.
DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, H.S., 2006, Strukturalisme Levi-Strauss, Yogyakarta: Kepel Press. Anonim, Lontarak Assalena Bajo, terjemahan Anwar, 2000, Jakarta: Program Penggalakan Kajian Sumber-sumber Tertulis Nusantara, Ditjen Dikti Depdiknas. Anwar, 2007, Etnik Bajo: Bermula dari Prajurit Kerajaan, Melayu Online: www. melayuonline.com Anwar, 2006, Kajian Pendidikan dan Kebudayaan Bajo, Tinjauan Historis dan Kontemporer, makalah Seminar Perumusan Naskah Sejarah (tidak terbit), Kendari: Universitas Haluoleo. Berger, P. dan Luckmann, T., 1966, The Social Construction of Reality, New York: Anchor Book. Chou, C., 2003, Indonesian Sea Nomads, London: IIAS-RoutledgeCurzon. Hall, S., 1996, “Who Needs Identity?”, dalam Hall, S. dan du Gay, P. (eds), Questions of Cultural Identity, London: Sage Publications. Hope, S., 2001, Outcasts of the Islands, London: HarperCollins Publishers. Lapian, A.B., 2009, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XX, Jakarta: Komunitas Bambu. 26
Liliweri, A., 2002, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: LKIS. Marihi, L., 2007, Kepemimpinan Kepala Madrasah Tsanawiyah Mantigola dalam Membina Hubungan Sekolah Dengan Masyarakat Bajo, M.A. Tesis (tidak terbit), Kendari: Universitas Haluoleo. McAllister, K.E., 1996, Ethnic Identity and Changing Relations of Dependency Among the Bajo Fishers of Central Sulawesi, Disertasi (tidak terbit), Halifax, Nova Scotia: Dalhousie University. Mol, H., 1986, “Religion and Identity: A Dialectic Interpretation of Religious Phenomena”, dalam Hayes, V.C. (ed.), Identity Issues and World Religions, Bedford Park, Australia: Australian Association for the Study of Religion. Nghiem, D.V., 1993. “The Flood Myth and the Origin of Ethnic Groups in Southeast Asia”, Journal of American Folklore, Vol. 106, No. 421: 304-337. Nimmo, H.A., 1972, The Sea People of Sulu: a Study of Social Change in the Philippines, San Fransisco, USA: Chandler Publishing Company. Nimmo, H.A., 2001, Magosaha: an Ethnology of the Tawi-tawi Sama Dilaut, Manila, the Philippines: Atteneo de Manila University Press. Pallesen, A.K., 1985, Culture Contact and Language Convergence, Manila, the Philippines: Linguistic Society of the Philippines. Sather, C., 1997, The Bajau Laut: Adaptation, History, and Fate in a Maritime Fishing Society of South-Eastern Sabah, Kuala Lumpur, Malaysia: Oxford University Press, Sen, A., 2006, Identity and Violence, London: Penguin Books. Sopher, D.E., 1965, The Sea Nomads: a Study Based on the Literature of the Maritime Boat People of South East Asia, Singapore: National Museum of Singapore.
Benny Baskara -- Manifestasi Identitas Islam Suku Bajo dalam Naskah Lontarak Assalenna Bajo
Uniawati, 2006, Fungsi Mantra Melaut pada Masyarakat Suku Bajo di Sulawesi Tenggara, Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara,.
Zacot, F.R., 2008, Orang Bajo, Suku Pengembara Laut, terj. Fida Muljono dan Ida Budi Pranoto, Jakarta: GramediaEFEO-FJP.
27
KAWISTARA VOLUME 1
No. 1, 21 April 2011
Halaman 1-102
BIOFILIA DAN NEKROFILIA: ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA NOVEL LA BÊTE HUMAINE KARYA EMILE ZOLA Ali Shahab Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Email:
[email protected]
ABSTRACT Based on the analysis of genetic structuralism suggested by Lucien Goldmann, showed that Emile Zola as an adherent of naturalism, through the mediation of his work La Bête Humaine, has managed to bring a distinctive world view. In his career as an author who engage fully in social and political life of his time, Zola has been firmly demonstrated a world view that is different with the rulers at that time. His involvement in the political field, as well as to the weak, and become victims of an unjust system of capitalism, and his commitment to the truth which he believed, had produced changes in the field of social and political. This is evident with the recognition of social rights of workers in those days, and the release of Alfred Dreyfus from prison. Yet all that must be redeemed by his life. Zola died of assassinated by political opponents. Keywords: La bête humaine, world vision, Emile Zola.
ABSTRAK Berdasarkan analisis strukturalisme genetik yang disarankan oleh Lucien Goldmann, menunjukkan bahwa Emile Zola merupakan penganut naturalisme, melalui perantaraan karyanya La Bête Humaine, telah berhasil mengemukakan sebuah pandangan dunia yang khas. Dalam karirnya sebagai seorang penulis yang terlibat penuh dalam kehidupan sosial dan politik pada masanya, Zola telah dengan tegas menunjukkan pandangan dunia yang berbeda dengan penguasa pada waktu itu. Keterlibatannya dalam bidang politik, serta berpihak kepada yang lemah, dan menjadi korban dari suatu sistem kapitalisme yang tidak adil, serta komitmennya kepada kebenaran yang dia percaya, telah menghasilkan perubahan di bidang sosial dan politik. Hal ini terbukti dengan pengakuan hak-hak sosial pekerja dan pelepasan Alfred Dreyfus dari penjara. Namun semua itu harus ia tebus dengan nyawanya. Zola meninggal karena dibunuh oleh lawan-lawan politiknya. Kata kunci: La bête humaine, pandangan dunia, Emile Zola.
28
Ali Shahab -- Biofilia dan Nekrofilia
PENGANTAR Karya monumental Emile Zola, Les Rougon Macquart, merupakan kumpulan puluhan novel yang mengambarkan berbagai karakteristik manusia yang hidup pada zamannya. Les Rougon Macquart memunculkan tokoh-tokoh luar biasa dari kelas dan lingkungan sosial yang beragam. Bukan sekedar mengandalkan imajinasi, Zola bahkan melakukan penelitian sosiologis secara serius untuk karyanya ini sekaligus mempraktikkan metode ilmiah yang biasa dilakukan oleh penganut aliran naturalis. Dia percaya bahwa psikologi adalah subordinasi dari fisiologi. Artinya, situasi fisiklah yang mempengaruhi kepribadian manusia, bukan sebaliknya. Zola menyatakan bahwa tokohtokoh dalam novelnya bukanlah jiwa-jiwa murni (sebuah pandangan yang bersifat abstrak mengenai manusia), yang merupakan pemikiran mainstream abad XIX, (Lagard et Michard, 1969: 482). Salah satu novel dari kumpulan Les Rougon Macquart adalah La Bête Humaine (Manusia Binatang) yang menceritakan sekelompok pekerja kereta api (chemin de fer). Sepintas mereka tampak normal, tetapi sesungguhnya mengidap kelainan jiwa yang diwarisi secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Kehidupan mereka didominasi oleh nafsunafsu instingtif kebinatangan (bestial); dikendalikan oleh hasrat libidinal dan keinginan untuk membunuh. Penelitian ini bermaksud mengungkap latar belakang kemunculan manusia-manusia aneh dalam La Bête Humaine, adakah korelasi tokoh novel tersebut dengan proses industrialisasi yang sedang terjadi di Prancis saat itu, dan pandangan dunia seperti apa yang hendak disampaikan oleh Zola melalui karyanya tersebut? Untuk menjawab tiga pertanyaan ini, penulis menilai pendekatan strukturakisme genetik adalah pilihan yang tepat. Pendekatan sosiologi sastra tidak saja mendeskripsikan karakter manusia, tetapi juga menelisik interaksi dan proses sosial antara pengarang sebagai representasi kelas sosial tertentu dengan situasi zamannya (zeitgeizt). Demikian pula bahwa sifat kolektif dari kreasi sastra, ber-
muara pada kenyataan bahwa struktur alam dalam karya sejalan dengan struktur mental kelompok sosial tertentu atau memiliki hubungan yang dapat dipahami dengannya (Goldmann, 1964: 226). Dengan pemilihan metode penelitian yang tepat, dimaksudkan agar kerja penelitian dapat berlangsung secara objektif, dan terhindarnya unsur prasangka (Chamamah, 2011: 64). Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode struktural, datadata yang berhubungan dengan permasalahan penelitian diambil dari unsur-unsur novel. Pertama, data dikumpulkan dari identifikasi tiap-tiap tokoh yang dipaparkan. Kedua, data-data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif agar mampu menjawab tujuan penelitian ini, yakni mengungkap pengaruh sosial terhadap proses alienasi yang dialami oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Dengan novelnya La Bête Humaine, Zola bermaksud pula mengritik situasi ilmu pengetahuan pada zamannya yang menempatkan manusia sebagai subjek fisiologis. Pandangan yang menyatakan bahwa jiwa dapat berfungsi dengan sendirinya tanpa pengaruh apa pun, menurut Zola adalah sebuah pandangan yang keliru. (Lagard & Michard, 1969: 483). Baginya, manusia yang terdiri dari organ-organ tubuh tidak sekedar entitas biologis. Manusia merupakan makhluk dimanis yang bergulat dalam lingkungan sosial, sehingga setiap saat ia mengalami berbagai sensasi yang mempengaruhi dan menggerakkan jiwanya. Gerakan-gerakan jiwa tersebut dipengaruhi oleh penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, ataupun rabaan. Berangkat dari pandangan tersebut, penulis memilih pendekaan sosiologi sastra sebagai pisau analisis untuk penelitian ini.
Vision du Monde dan Pendekatan Biofilia dan Nekrofilia Salah satu teori sosiologi sastra yang populer di kalangan akademisi adalah teori yang dikemukan oleh Lucien Goldmann. Dalam karyanya yang berjudul Pour Une Sociologie du Roman (1964), dan Le Dieu Caché 29
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 28-39
(1959), Goldmann memuji Marx karena teori yang dikemukakannya dianggap lebih mematerial dibandingkan dengan teori-teori yang dikemukakan oleh ahli-ahli lain. Namun, dikarenakan karya sastra merupakan gagasan-gagasan yang bersifat imajiner, maka menurut Goldmann diperlukan mediasi, antara lain pandangan dunia (vision du monde). Vision du monde adalah aspirasi dan gagasan pengarang yang termuat dalam sebuah karya, yang juga merupakan representasi kelas sosial (Goldmann 1964:34-52). Kedua buku karya Goldmann tersebut, di samping memuat tinjauan teoretis, juga dilengkapi dengan contoh-contoh bahasan. Dalam buku Pour Une Socilogi du Roman (1964), Goldmann menggunakan novel-novel karya André Malraux sebagai contohcontoh bahasan. Sementara buku Le Dieu Caché (1959) menggunakan drama-drama karya Racine. Dengan contoh-contoh bahasan tersebut diharapkan akan membantu penerapan teori-teori yang dipergunakan dalam penelitian karya sastra. Selain Goldman, penulis menilai pandangan Erich Fromm tentang analisis karakter individual layak untuk dicermati. Erich Fromm (1900-1990) menyebutkan dua macam posisi manusia dalam menyikapi kehidupan. Pertama adalah biofilia, yang berarti mencintai kehidupan. Sikap ini merupakan orientasi normal yang dimiliki oleh orang-orang yang waras. Biofilia tidak dibentuk oleh sifat tunggal, tetapi merepresentasikan orientasi total, sebuah keseluruhan cara berada manusia. Biofilia dimanifestasikan oleh proses-proses kebertubuhan seseorang, baik dalam emosi, pikiran maupun gerak-geriknya dalam kehidupan sosial. Pendekatan biofilia terhadap kehidupan lebih bersifat fungsional daripada mekanis. Kedua adalah necrofilia, yang berarti mencintai kematian. Manusia jenis ini dalam kehidupan sehari-hari seakan-akan tampak normal. Mereka bersikap ramah, bicaranya mudah memancing keakraban, dan bersahabat, tetapi sesungguhnya sangat mencintai kematian. Ia sangat terpesona terhadap kematian, jenazah, kerusakan, kekotoran, dan 30
segala sesuatu yang bagi orang normal bersifat mengerikan. Tokoh historis yang memiliki kecenderungan nekrofilik semacam ini antara lain Adolf Hitler, Eichmann, dan Stalin. Erich Fromm menganggap bahwa necrofilia merupakan gejala patologis yang bersifat menular melalui jalinan antar-manusia dalam struktur sosialnya. Dalam jaringan sosial, necrofilia mampu berkembang secara cepat. Kehidupan yang dibirokratisasikan dengan corak industrial dan peradaban masal merupakan lahan yang sempurna bagi berkembang-biaknya necrofilia. Dalam dunia industrial, hubungan antar-manusia berubah menjadi hubungan antara bendabenda dan kehilangan makna kemanusiaannya. Oleh karena itu, tidak jarang manusia bahkan menjadi lebih akrab dengan mesinmesin (Fromm 1964: 4-5). Pandangan Fromm di atas sebenarnya merevisi pandangan gurunya, Sigmund Freud yang berkesimpulan bahwa necrofilia bersifat given. Freud (1856-1939) menyebutkan adanya dua jenis dorongan yang dimiliki oleh manusia. Yang pertama adalah eros, yaitu dorongan untuk hidup. Yang kedua disebut thanatos, yaitu dorongan untuk mati. Freud beranggapan bahwa dorongan untuk hidup dan dorongan untuk mati sebagai sesuatu yang bersifat terberi (given) begitu saja secara biologis dan bersifat konstan. Pandangan Freud semacam ini merupakan salah satu ciri pandangan terhadap manusia yang bersifat positivistik sebagaimana pandangan yang banyak dianut oleh para pengarang Prancis abad XIX, menurut mereka, watak dasar manusia pada dasarnya ditentukan oleh faktor-faktor keturunan dan faktor lingkungan.
PEMBAHASAN Zola, dikenal sebagai seorang tokoh naturalis yang bercirikan epikal. Dalam Les Rogons Macquart, ia menampilkan tokohtokoh yang mempunyai karakter-karakter khas. Di samping menampilkan individuindividu yang mempunyai perwatakan yang menonjol dan berkarakter kuat, Zola juga mempertontonkan kerumunan-kerumunan
Ali Shahab -- Biofilia dan Nekrofilia
manusia yang selalu berada dalam keadaan bergerak sesuai dengan latar sosial. Gerombolan manusia dalam jumlah besar yang bergerak dengan berbagai bentuk tubuh dan pakaian yang beraneka ragam, memberikan kesan kolosal, dan epikal. Novel La Bête Humaine, yang dibahas dalam tulisan ini, menggunakan dunia perkeretaapian sebagai latar cerita. Dengan kereta api, manusia-manusia dari berbagai jenis ras dan pekerjaan masing-masing, selalu tampak bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Manusia-manusia yang selalu tampak sibuk tersebut kelihatan asing antara satu sama lain. Demikian pula dengan suasana di stasiun-stasiun, tempat kereta api berhenti untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Suasana latar tersebut menghadirkan kesan dinamis.
Karakter Manusia Biofilia, Nekrofilia, dan Keterasingan Tokoh utama La Bête Humaine adalah Jacques Lantier, seorang pemuda berumur 26 tahun yang bertubuh tinggi dan berperawakan tegap. Ia hidup membujang dan bekerja sebagai masinis kereta api jurusan Paris-Le Havre. Le Havre merupakan sebuah kota pelabuhan perdagangan yang ramai, berjarak kurang lebih tiga jam perjalanan dengan kereta api atau berjarak ± 180 km dari kota Paris. Jacques sangat mencintai pekerjaannya. Ia bekerja dengan disiplin, tepat waktu, dan telaten merawat lokomotif yang dikemudikannya, hingga terjadi hubungan personal antara Jacques dengan lokomotif tersebut: Et c’était vraie, il l’aimait d’amour, sa machine, depuis quatre ans qu’il la conduisait. Il en avait mené d’autres, des dociles et des rétives, des courageuses et des fainéants; il n’ignorait point que chacune avait son caractère, que beaucoup ne valaient pas grand chose, comme on dit des femmes de chair et d’os; de sorte que, ‘il aimait celle-là, c’était en vérité qu’elle avait des qualités rares de brave femme. Elle était douce, obéissante, facile au démarrage, d’une marche régulière et continue, grâce a sa bonne vaporisation. On prétendait bien que, si elle démarrait avec tant d’aisance, cela provenait de l’excellent bandage des roués et
surtout du réglage parfait des tiroirs; de même que, si elle vaporisait beaucoup avec peu de combustible, on mettait cela sur le compte de la qualité du cuivre des tubes et de la disposition heureuse de la chaudière. Mais lui savait qu’il y avait autre chose, car d’autres machines, identiquement construites, monte avec le même soin, ne montrait aucune de ses qualités. Il y avait l’âme, le mystère de la fabrication, ce quelque chose que le hasard du martelage ajoute au métal, que le tour de main de l’ouvrier monteur donne aux pièces: la personnalité de la machine, la vie…, qu’elle avait l’exemple des belles femmes, le besoin d’être graissée trop souvent. (Zola, 1977: 196). Benar, ia mencintai mesin tersebut. Sejak empat tahun ia mengemudikan mesin itu. Telah beberapa kali ia berganti lokomotif. Ia menyadari benar, bahwa masing-masing mempunyai karakternya sendiri-sendiri. Semua itu tidak banyak berarti kalau dibandingkan dengan wanita, ya seperti tulang dan daging saja. Tidak ada yang istimewa. Kalau ia menyukai yang itu (la Lison), karena ia memang mempunyai karakter seperti seorang wanita yang pemberani. Ia lembut lagi penurut. Mudah dijalankan. Gerakannya teratur dan lancar. Tenaganya bagus. Semua itu, orang bilang karena memang setelan roda-rodanya bagus, komponen-komponen mesinnya dibuat dari bahan-bahan yang bagus pula. Juga kalau yang penguapannya bagus, hanya dengan menggunakan bahan bakar yang hemat, orang beranggapan bahwa semua itu karena kualitas tembaga yang dipergunakan untuk membuat tabung-tabungnya, dan juga karena posisi memasang tungku pemanas yang tepat. Akan tetapi dia (Jacquess Lantier), dia tahu. Ada sesuatu yang lain. Karena, mesin-mesin yang lain, yang dibuat dengan cara yang sama, dan dirakit dengan kehati-hatian yang sama, tidak mempunyai kualitas yang sama. Ada jiwa, ada suatu misteri dalam pembuatannya. Ada suatu faktor kebetulan yang tercampur dalam proses penempaan bahan-bahannya, ada sesuatu yang menjiwai gerak tangan buruh yang merakit bagian-bagian mesin; yaitu kepribadian mesin itu, sebuah roh...... Memang, kadang ia terlalu banyak membutuhkan pelumas. Ah, wajar katanya. Seperti perempuan cantik pada umumnya. Ia juga butuh sering-sering dilumasi.
Jacques sangat mencintai lokomotif tersebut. Ia memberikan sebuah nama pada mesin yang dicintainya itu dengan nama 31
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 28-39
seorang perempuan, yaitu La Lison. Ia merasa bahwa hubungan dengan La Lison telah telah lebih dari segalanya. Oleh karena itu, ia seolah tidak membutuhkan kehadiran sosok spesial yang lain. Jacques adalah tipe pemuda pendiam. Apabila tidak bekerja, seringkali ia menyendiri dan menghabiskan waktu dengan berjalan menyusuri rel kereta api. Ia jarang sekali bersosialisasi dengan teman sejawat di tempat ia bekerja. Jacques menderita penyakit kelainan jiwa. Perilakunya mudah berubah-ubah secara tiba-tiba. Penyakit jiwa yang dideritanya merupakan semacam penyakit turun-temurun. Diceritakan suatu ketika, di waktu liburan, Jacques berjalan-jalan di sekitar daerah perdesaan. Sewaktu melewati rumah tantenya, yaitu tante Phasie, ia mampir ke rumah tersebut untuk menengok tantenya yang sedang sakit. Tante Phasie adalah adik ayah Jacques Lantier. Sewaktu Jacques masih kecil, ayahnya meninggal, dan ia diasuh oleh tantenya tersebut. Tante Phasie, juga menderita semacam penyakit jiwa. Ia selalu merasa curiga dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia menuduh suaminya berusaha membunuh dengan meracuninya lewat makanan. Selain menderita penyakit jiwa secara turun-temurun, para tokoh La Bête Humaine pada umumnya merupakan manusiamanusia yang terasing dari lingkungannya. Mereka terasing karena merasa tidak terlibat dengan kehidupan yang semakin maju. Kehadiran mesin-mesin (seperti lokomotif yang dapat begerak cepat) dan kemajuan industri telah membuat manusia-manusia La Bête Humaine semakin terpinggirkan. Mereka menjadi manusia-manusia yang teralienasi dari dunianya sendiri. Suasana mengenai keterasingan manusia tersebut, tercermin dari ungkapan Tante Phasie sebagai berikut: Ca c’était les progrès, tous frères, roulant tous ensemble, là bas, vers un pays de cocagne. Elle essayait de les compter, en moyenne, à tant par wagon: il y en avait trop, elle n’y parvenait pas. Souvent, elle croyait reconnaitre des visages, celui d’un monsieur a barbe blonde, un Anglais sans
32
doute, qui faisait chaque semaine le voyage de Paris, celui d’une petite dame brune, passant régulièrement le mercredi et le samedi. Mais l’éclair les emportait, elle n’était pas bien sur de les avoir vus, toute les faces se noyaient, se confondaient, comme semblables, disparaissant les unes dans les autres. Le torrent coulait, en ne laissant rien de lui. Et ce qui la rendait triste, c’était sur ce roulement continu, sous tant de bien-être et tant d’argent promenait, de sentir que cette foule toujours si haletante ignorait qu’elle fut la, en danger de mort, a ce point que, si son home l’achevait un soir, les trains continueraient a se croiser près e son cadavre, sans se douter seulement du crime, au fond de la maison solitaire. (Ah! C’est une belle invention. Il n’y a pas ê dire. On va vite, on est plus savant… Mais les bêtes sauvages restent des bêtes sauvages, et on aura beau inventer des mécaniques meilleurs encore, il y aura quand même des bêtes sauvages dessous) (Zola, 1977: 71-72). Itulah kemajuan. Semua bersaudara. Semua menggelinding bersama menuju Negara yang berbeda-beda. Ia mencoba mengenali wajahwajah yang dilihatnya. Tetapi wajah-wajah itu tampak sama. Wajah-wajah itu menghilang begitu saja. Dan yang membuatnya merasa sedih, adalah merasakan, bahwa dari begitu banyaknya manusia, begitu banyaknya uang yang beredar di antara mereka, mereka tidak mempedulikan dirinya ada di sana, terancam kematian. Apabila suatu malam suaminya menghabisinya, kereta api akan tetap saja lewat di samping mayatnya yang tergeletak di rumahnya yang sepi ...... Ah, memang benar. Sebuah penemuan yang bagus. Tidak bisa disangkal. Kita menjadi semakin cepat. Orang menjadi semakin pintar. Tetapi bagaimanapun, binatang buas tetap binatang buas. Meskipun akan ditemukan lagi mesinmesin yang lain yang lebih bagus lagi, tetap saja akan ada binatang-binatang buas di situ ( Zola, 1977: 72-75).
Dalam perjalanan pulang dari rumah tantenya, Jacques kembali berjalan menelusuri jalan kereta api di tengah remang-remang malam. Ia berjumpa dengan seorang gadis bernama Flore, anak tante Phasie atau sepupunya sendiri. Flore sudah lama tertarik kepada Jacques. Pada saat itu Flore sedang memotong-motong tali dengan sebuah gunting besar untuk dicuri dan dibawanya pulang. Setelah mengobrol beberapa saat,
Ali Shahab -- Biofilia dan Nekrofilia
Jacques merasakan ada gairah seksual yang muncul pada dirinya. Keduanya saling bersentuhan dan berciuman. Jacques dan Flore hampir saja bercinta. Pada saat gairah Jacques memuncak, dan Flore terbaring dengan tubuh setengah telanjang, Jacques melihat sebuah gunting besar di dekat tubuh Flore. Tiba-tiba saja secara mendadak, gairah seksualnya berubah menjadi hasrat membunuh. Jacques meraih gunting besar tersebut dan bermaksud menancapkannya pada leher Flore:
Jaques kemudian berlari pergi meninggalkan Flore yang tergolek setengah telanjang. Ia kemudian terisak menangis menyesali perbuatannya. Bertanya dalam hati, kenapa penyakit (hasrat untuk membunuh) yang dikiranya telah sembuh itu muncul kembali. Penyakit itu telah diidapnya sejak kecil. Ada sesuatu dalam dirinya yang selalu mengganggu. Telah lama ia mempertanyakan, mengapa perasaan ingin membunuh tersebut muncul kembali? (Zola, 1977: 84):
Le corsage fut arraché, les deux seins jaillirent, durs et gonflés de la bataille, d’une blancheur de lait, dans l’ombre Claire. Et elle s’abattit sur le dos, elle se donnait, vaincue. Alors, lui, haletant, s’arrêta, la regarda, au lieu de la posséder. Une fureur semblait le prendre, une férocité qui le faisait chercher des yeux, autour de lui, une arme, une pierre, quelque chose enfin pour la tuer. Ses regards rencontrèrent les ciseaux, luisant parmi les bouts de corde; Et il les ramassa d’un bond, et ils les auraient enfoncés dans cette gorge nue, entre les deux seins blancs, aux fleurs roses. Mais un grand froid le dégrisait, et il les rejeta, il s’enfuit, éperdu (Zola, 1977: 83). Behanya tercerabut, kedua buah dadanya menyembul, keras, dan melembung karena bergumul, seputih susu, dalam bayangan terang. Ia tergeletak pada punggungnya, menyerah pasrah. Kemudian ia, sambil terengahengah, berhenti, memandanginya. Kemarahan menguasai dirinya. Matanya nanar, mencari sesuatu untuk digunakannya sebagai senjata, sebuah batu, atau apa saja untuk membunuhnya. Pandangannya menangkap sebuah gunting mengkilat di antara tumpukan tali; dan ia merengutnya. Ia bermaksud menancapkannya pada leher yang telanjang itu, di antara dua buah dadanya yang putih, dengan bunga-bunga mawar merah. Tetapi, tibatiba rasa dingin menggigil yang merasukinya, membuatnya tersadar, ia lemparkan gunting itu dan berlari bagai orang kerasukan (Zola, 1977: 82-83).
Alors, Jacques, les jambes brisées, tomba au bord de la ligne, et éclata en sanglots convulsifs, vautre sur le ventre, la face enfoncée dans l’herbe. Mon Dieu! Il était donc revenu, ce mal abominable dont il se croyait guéri? Voila qu’il avait voulu la tuer, cette fille! Tuer une femme, tuer une femme! Cela sonnait à ses oreilles, du fond de sa jeunesse, avec la fièvre grandissante, affolante du désir. Comme les autres sous l’éveil de la puberté, rêvent d’en posséder une, lui s’était enrage a l’idée d’en tuer une. Car il ne pouvait se mentir, il avait bien pris les ciseaux pour les lui planter dans la chair, des qu’il avait vue, cette chair, cette gorge, chaude et blanche. Et ce n’était point parce qu’elle résistait, non! C’était pour le plaisir, parce qu’il en avait une envie, une envie telle, que s’il n’était pas cramponne aux herbes, il serait retourne la bas, en galopant, pour l’égorger. Elle, mon Dieu! Cette Flore qu’il avait vue grandir, cette enfant sauvage dont il venait de sentir aime si profondément! Ses doits tordus entrèrent dans la terre, ses sanglots lui déchirèrent la gorge, dans un râle d’effroyable désespoir. (Zola, 1977: 84-85). Maka, Jacques, dengan kaki lemas, terjatuh di sisi rel kereta api. Ia menangis tersedu-sedu. Wajahnya tertelungkup di atas rumput. ‘Tuhanku, penyakit itu datang lagi. Penyakit yang ia kira telah hilang? Hampir saja ia membunuh gadis itu! Membunuh seorang perempuan, seorang perempuan!’ Kalimat-kalimat itu telah lama berdengung di telinganya. Sejak masa remajanya, pada saat remaja yang lain ingin memiliki seorang gadis untuk dijadikan kekasihnya, tetapi ia justru terobsesi untuk membunuhnya. Ia tak bisa berbohong, ia telah meraih gunting itu untuk menancapkannya pada tubuhnya. Begitu ia melihat dagingnya, lehernya yang hangat dan putih. Bukan, bukan karena ia telah menolaknya. Akan tetapi, semata-mata hanya untuk kesenangan.
Menarik untuk dicermati bagaimana Zola membuat narasi dalam novelnya. Segala sesuatunya dideskripsikan secara detail dan apa adanya. Inilah salah satu ciri gaya aliran realisme yang banyak dianut oleh pengarang Prancis abad XIX.
33
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 28-39
Ia begitu ingin menggorok batang lehernya. Dia, oh Tuhan. Flore yang ia kenal sejak kecil. Anak yang tumbuh liar itu, yang sangat ia sukai. Jari-jari tangannya terasa kaku. Menghujam ke dalam tanah. Tangisnya yang meledak, dirasakan menyayat tenggorokannya, dalam keputusasaan yang mengerikan
Jacques sangat menyesali perbuatannya terhadap Flore, yang tak lain adalah sepupunya sendiri. Ia teringat akan ibunya, Gervaise, yang melahirkannya pada usia lima belas tahun. Ayahnya, Lantier, adalah tokoh utama dalam novel Zola yang lain, L’Assommoir, seorang pecandu berat alkohol dan pemabuk. Ia menderita penyakit jantung akibat terlalu banyak meneguk minuman keras. Kebiasaan buruk tersebut membuat ibu Jacques sangat menderita dan sering menangis. Jacques mempunyai dua orang adik laki-laki. Salah satunya adalah Etienne, yang sejak kecil bercita-cita menjadi pelukis. Bakat tersebut sering membuatnya bersikap aneh, sehingga dianggap setengah gila. Jacques menyadari bahwa dirinya mewarisi sebuah penyakit bawaan turun-temurun. Ia pun tahu bahwa kedua saudaranya sebenarnya mewarisi penyakit yang sama, yang disebut sebagai La Félure Héréditaire (sebuah retakan yang berada dalam otak manusia. Akibat retakan tersebut membuat penderitanya memiliki kelainan jiwa, yaitu keinginan untuk membunuh). Sifat inilah yang disebut oleh Erich Fromm sebagai nekrofilia, yaitu kondisi kejiwaan yang seakan-akan normal, tetapi memiliki naluri untuk membunuh, terpesona dengan kematian, jenazah, kekotoran serta kebengisan. Jacques mecoba menganalisis apa penyebabnya. Ia bertanya, apakah mungkin hal tersebut disebabkan oleh pengaruh alkohol? Mungkinkah alkohol telah secara turuntemurun meracuni keluarganya? Ia tahu bahwa kebiasaan minum alkohol juga merupakan kebiasaan turun-temurun yang juga diwarisi dari kakek-kakeknya. Oleh karena itu, ia menolak untuk minum alkohol. Ia percaya bahwa alkohol akan memperburuk kondisi kejiwaannya. Kebiasaan turun-temurun generasi pemabuk dalam 34
mengkonsumsi alkohol secara berlebihan tersebut telah membuatnya dan keluarganya menjadi semacam serigala-serigala buas pemangsa wanita, yang juga membuatnya hidup terasing dalam hutan kebuasan: Lui, certain heures, la sentait bien, cette fêlure héréditaire; non pas qu’il fut d’une santé mauvaise, car appréhension et la honte de ses crises l’avaient seules maigri autrefois; mais c’était dans son être, de subites pertes d’équilibre, comme des cassures, des trous auxquels son moi lui échappait, au milieu d’une sorte de grande fumé qui déformait tout. Il ne s’appartenait plus, il obéissait a ses muscles, a la bête enragée (Zola, 1977: 85). Dia, pada saat-saat tertentu, sangat merasakan, penyakit bawaan tersebut (la félure héréditaire). Bukan karena kesehatannya buruk. Sebab, dulu rasa malunya karena mengetahui keadaannya tersebut, pernah membuat badannya agak mengurus. Tetapi ada sesuatu yang terjadi dalam jiwanya. Kehilangan keseimbangan yang mendadak, semacam retakan, atau lobang, yang karenanya dirinya seperti terlepas di tengah-tengah semacam asap yang mengacaukan segalanya. Ia tak dapat lagi menguasai dirinya. Ia tunduk pada otot-otot tubuhnya, seperti binatang terserang rabies (Zola, 1977: 85).
Di tengah kesadaran mengenai penyakit bawaan yang diidapnya itu, Jacques juga berusaha menyelesaikan pendidikannya di sekolah Politeknik (Art et Métiers). Setelah menempuh pendidikan selama empat tahun, ia lulus dari sekolah tersebut dan kemudian bekerja sebagai seorang masinis kereta api. Dengan ketekunan dan kedisiplinannya, ia digaji sebesar 4000 francs, sebuah angka yang cukup untuk hidup layak. Akan tetapi Jacques memilih menyewa sebuah kamar kecil, menyendiri, dan menjauhi pergaulan. Ia mencurahkan seluruh waktunya untuk bekerja dan merawat La Lison, lokomotif kesayangannya. Ia memutuskan untuk terus menggelinding dan menggelinding di atas rel kereta api bersama La Lison, yang dianggapnya sebagai kekasih. Hanya La Lison sajalah yang mampu menenangkan dan meredam gairah-gairah aneh yang selalu merasuki dirinya.
Ali Shahab -- Biofilia dan Nekrofilia
Jacques Lantier, yang digambarkan sebagai seorang pemuda yang berperawakan tegap, berwajah tampan, meskipun mengidap penyakit kejiwaan, sebenarnya merupakan seorang yang cerdas. Ia selalu berusaha berpikir secara logis dan mencari jawaban atas peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Akan tetapi di sisi lain, ia juga tidak bisa keluar dari pengaruh naluri-naluri aneh yang bersarang dalam dirinya. Kemampuannya untuk berpikir, selalu dikalahkan oleh hasrat-hasrat alamiah yang seolaholah telah menyatu dengan jiwanya, yaitu hasrat seksual sebagai karakter biofilia dan dorongan-dorongan untuk membunuh sebagai karakter nekrofilia. Tokoh utama lain dalam La Bête Humaine adalah Séverine, yang digambarkan sebagai seorang perempuan muda yang berperawakan sensual. Rambutnya terurai lebat. Wajahnya tidak begitu cantik, namun pandangan matanya tajam, terkesan seperti seorang wanita pemangsa. Diceritakan sewaktu kanak-kanak, karena keluarganya miskin, ia bersama seorang adiknya terpaksa menumpang hidup bersama keluarga borjuis di desanya, Le Croix–de-Maufras. Keduanya tinggal dan diasuh oleh keluarga Grandmorin. Monsieur Grandmorin, selain berstatus sebagai ayah angkat Séverine, ia juga menjabat sebagai kepala stasiun. Suatu ketika Louissete, adik Séverine, ditemukan meninggal dunia tanpa sebab yang jelas. Menurut gosip yang beredar di desa, kemungkinan Louissette dibunuh oleh Grandmorin. Séverine tinggal serumah dengan Grandmorin dan kedua anak perempuannya yang lain. Pada saat Séverine berusia lima belas tahun, ia pernah diperkosa oleh ayah angkatnya tersebut. Seiring perjalanan waktu, hubungan Severine dengan Grandmorin, selain sebagai hubungan ayah dan anak angkat, berkembang menjadi hubungan kekasih tidak resmi. Setelah dewasa, Séverine oleh Grandmorin, dinikahkan dengan Roubaud, seorang pemuda yang bekerja sebagai wakil kepala stasiun, bawahan Grandmorin. Meskipun telah menikah dengan Roubaud, Séverine tetap melan-
jutkan hubungan asmaranya dengan Grandmorin. Semacam hubungan incest antara ayah angkat dan anaknya. Pada mulanya Roubaud tidak mencurigai hubungan tersebut. Suatu hari, Roubaud mengajak Séverine bercinta, namun Séverine menolak, dengan alasan tidak nyaman bercinta di siang hari. Roubaud yang berkarakter sebagai seorang lelaki yang temperamental, kemudian mencurigai dan memukuli Séverine. Séverine kemudian mengakui hubungannya dengan Grandmorin. Séverine menceritakan semua cerita kehidupannya dengan Grandmorin kepada Roubaud, termasuk bahwa ia pernah diperkosa oleh Grandmorin pada saat ia berumur lima belas tahun. Roubaud menjadi sangat marah dan hampir saja membunuh Séverine dengan sebuah pisau yang dihadiahkan Séverine kepadanya. Niat membunuh Séverine ia urungkan. Sebaliknya, ia berencana ingin membunuh Grandmorin. Pada akhirnya keduanya bersamasama merencanakan dan membunuh Grandmorin, dan melemparkan mayatnya dari kereta api yang sedang berjalan cepat. Dikarenakan tidak terdapat bukti-bukti yang cukup, Roubaud dan Séverine terbebas dari hukuman bahkan ternyata Grandmorin meninggalkan wasiat bahwa ia mewariskan seluruh hartanya kepada Séverine sebagai anak angkatnya. Akan tetapi setelah membunuh Grandmorin, Roubaud menjadi setengah gila. Ia lebih banyak menghabiskan waktu minum alkohol dan berjudi. Séverine yang sering ditinggalkan sendirian oleh Roubaud, kemudian berselingkuh dengan Jacques Lantier. Séverine, dengan alasan untuk berobat, seminggu sekali pergi ke Paris dengan menumpang kereta api yang dijalankan oleh Jacques. Suatu ketika, setelah selesai bercinta, Séverine menceritakan kepada Jacques seluruh cerita tentang pembunuhan Grandmorin yang dilakukannya bersama Roubaud secara sangat detail (Zola, 1977: 298-300). Pembunuhan yang dilakukan oleh Roubaud dan Séverine, sebenarnya dilandasi oleh suatu alasan lain. Roubaud yang 35
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 28-39
merasa cemburu terhadap perlakuan Grandmorin terhadap Séverine, juga merasa takut terhadap Grandmorin yang tidak lain adalah atasannya. Ketakutan Roubaud akan kehilangan Séverine, dan juga rasa takutnya kepada Grandmorin sebagai atasannya inilah yang memicu hasratnya untuk membunuh Grandmorin. Grandmorin sebagai seorang pimpinan perusahaan kereta api tempat Roubaud bekerja, menurut Roubaud bisa saja memecatnya, atau melakukan tindakan lainnya yang lebih kejam. Menarik untuk disitir di sini pendapat yang dikemukakan oleh Todorof dalam bukunya The fear of Barbarians, bahwa ketakutan kita terhadap tindakan-tindakan kejam (barbarian) yang akan menimpa kita, justru akan mendorong kita untuk berbuat lebih kejam (The fear of barbarians is what risks making us barbarian) (Todorov, 2010: 6). Cerita Séverine tentang pembunuhan tersebut tidak disangka-sangka merangsang kembali keinginan Jacques untuk membunuh. Hampir saja Séverine dibunuh oleh Jacques, namun niat tersebut urung karena Séverine terjaga dari tidurnya. Mereka berdua kemudian berencana membunuh Roubaud yang dianggap menghalangi hubungan mereka. Setelah membunuh Roubaud, Jacques dan Séverine berencana menjual rumah yang diwariskan oleh Grandmorin, kemudian pindah ke Amerika untuk memulai hidup baru dan membuka usaha pabrik kancing di sana. Jacques sudah lama bercita-cita membuka usaha sendiri. Ia tertarik dengan cerita dari beberapa temannya mengenai wirausaha dan kemajuan di bidang perekonomian, yang baginya menjanjikan perubahan hidup. Ia ingin keluar dari jeratan rutinitas kehidupan yang dirasa menjenuhkan. Flore, tokoh lain, yang juga merupakan saudara sepupu Jacques, seperti yang telah sekilas dibicarakan sebelumnya, telah lama tertarik kepada Jacques. Ia mengetahui bahwa Jacques berselingkuh dengan Severine. Flore merasa sangat cemburu, dan bermaksud membunuh keduanya. Suatu hari, ia mengetahui bahwa Jacques dan Severine 36
berada dalam satu kereta. Flore, dengan sengaja menarik sebuah kereta kuda yang bermuatan penuh batubara untuk persediaan bahan bakar kereta api ke tengah rel. Kereta api yang dikemudikan Jacques terguling, lokomotif kesayangan Jacques, La Lison, hancur. Banyak korban tewas, namun Jacques dan Severine selamat. Flore, mengetahui orang-orang yang hendak dicelakainya selamat. Justru banyak penumpang yang menjadi korban atas dendam kesumatnya itu. Akhirnya, ia bunuh diri dengan menabrakkan diri pada kereta api yang sedang melaju kencang. Jacques merasakan kesedihan mendalam karena La Lison hancur berantakan. Penyakit kejiwaannya timbul kembali dan keinginan membunuh kambuh lagi. Selama sakit akibat kecelakaan, Jacques dirawat oleh Severine di rumah peninggalan Grandmorin. Luka-luka di tubuhnya berhasil disembuhkan, namun penyakit jiwanya menjadi semakin parah. Jacques kemudian membunuh Severine, dengan menggunakan pisau yang diberikan Severine kepadanya untuk membunuh Roubaud. Pisau yang sama yang dipergunakan oleh Roubaud untuk membunuh Grandmorin, yang merupakan hadiah yang diberikan oleh Severine kepada suaminya, Roubaud. Secara semiotis, pisau yang dipergunakan untuk membunuh tersebut, bisa dimaknai sebagai lambang mengenai warisan turun-temurun la felure heriditaire yang merasuki seluruh tokohtokoh novel La Bête Humaine. Pisau dan la felure, keduanya membunuh. La felure merupakan energi yang mendorong terjadinya pembunuhan. Sedangkan pisau merupakan alat yang dipergunakan untuk membunuh. Keduanya seolah saling melengkapi. Demikianlah tragedi kebiofiliaan dan kenekrofilian terjadi secara beruntun dalam penokohan yang diperankan para tokoh novel La Bête Humaine.
Interpretasi terhadap La fêlure Héréditaire Dalam pembicaraan di atas, beberapa kali disinggung istilah la fêlure. Apa sebenar-
Ali Shahab -- Biofilia dan Nekrofilia
nya yang dimaksud dengan la fêlure? Secara leksikal, la fêlure berarti retakan atau lobang. Akan tetapi sehubungan dengan roman La Bête Humaine, la fêlure mempunyai makna khusus, yaitu dalam hubungannya dengan penyakit bawaan. La fêlure dimaksud adalah la fêlure cerebral. Istilah tersebut digunakan dalam bidang psychophysiology, yaitu semacam retakan atau lobang dalam jiwa penderitanya, yang menimbulkan kelainan jiwa dan cenderung mencintai kematian, atau selalu terobsesi untuk melakukan pembunuhan. Penyakit tersebut bersifat menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Gilles Deleuze, dalam kata pengantarnya yang dimuat pada bagian awal novel La Bête Humaine, memberikan ulasan menarik mengenai permasalahan la fêlure heriditaire tersebut. Baginya, la fêlure heriditaire merupakan tema utama dalam novel-novel Zola. Dalam seri novel Les Rougon Macquart, tema tersebut bahkan merupakan benang merah yang menghubungkan satu novel dengan novel yang lain dalam seri Les Rougon Macquart. Menurut Deleuze, la fêlure muncul pada tokoh-tokoh novel Zola dalam dua bentuk berbeda, yaitu yang disebut retakan kecil (la petite fêlure) dan retakan besar (la grande fêlure). Retakan kecil bersifat nyata. Artinya, kecenderungan tersebut dapat dilihat karena termanifestasikan berupa hasrat-hasrat yang dapat diindera seperti kecenderungan pada uang, alkohol, perempuan, dan ambisi-ambisi dalam kehidupan sosial. Gilles Deleuze menyebutnya sebagai les instincs atau les petits instincs. Novel-novel Zola dihidupi dengan gemuruh kehidupan tokoh-tokoh dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap insting-insting tadi atau mungkin lebih tepat disebut sebagai hasrat-hasrat kehidupan. Jika novel-novel lain cenderung menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai hubungan percintaan, maka dalam novel Zola, hubungan tersebut hanyalah hubungan “ketubuhan” yang tidak dilandasi oleh perasaan.
Segala sesuatu yang dilakukan oleh para tokoh dalam novel Zola, hanyalah pengalihan dari hasrat lain yang lebih besar (la grande fêlure), yaitu hasrat terhadap kematian. Sebagai contoh, Jacques Lantier, tokoh utama La Bête Humaine, begitu mencintai lokomotifnya, La Lison. Ia merasa mempunyai hubungan batin dengan mesin tersebut. Sebaliknya terhadap Severine, ia tidak merasakan cinta. Hubungan dengan Severine, tidak lain merupakan hubungan instingtif ketubuhan saja. Ia tertarik kepada Severine, bukan karena perempuan tersebut cantik melainkan ia melihat hasrat kematian yang sangat kuat pada diri Severine. Jacques sempat melihat sewaktu Severine dan suaminya Roubaud membunuh Grandmorin di atas kereta api. Oleh karena itu, perempuan tersebut telah membunuh, dengan berhubungan dengannya, Jacques merasa hasratnya untuk membunuh telah tersalurkan melalui Severine. Demikian pula dengan Roubaud, suami Severine. Setelah membunuh Grandmorin, Roubaud membiarkan Severine berhubungan dengan Jacques. Sementara ia sendiri, karena hasrat besarnya telah terpenuhi, yaitu hasrat untuk membunuh, ia kembali pada hasrat kecil (petit instinc), yaitu minum alkohol dan berjudi. Keinginan Jacques untuk memenuhi hasrat besarnya, muncul kembali karena La Lison yang dicintainya hancur karena kecelakaan. Séverine yang menceritakan secara detail sensasi yang dialaminya sewaktu membunuh Grandmorin, membuat hasrat besar Jacques muncul kembali ke permukaan. Hal tersebut kemudian dilampiaskannya dengan membunuh Severine. Hasrathasrat kecil seperti keinginan pergi ke Amerika untuk membuka sebuah usaha kancing di sana, terkalahkan oleh hasrat besarnya untuk membunuh. Di mata Jacques, Séverine bukan perempuan biasa. Baginya Séverine adalah perempuan yang dipenuhi oleh hasrat besar (grand insticnt atau grand apetit) hasrat kematian. Dalam bercinta pun Severine menunjukkan kecenderungan tersebut. Sebagaimana contoh pada kutipan berikut.
37
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 28-39
Embrasse-moi, oh! Si fort, si fort! Embrasse-moi comme si tu me mangeais, pour qu’il ne reste plus rien de moi en dehors de toi” (Zola, 1977: 416) “Ciumlah aku, kekasihku, ciumlah aku kuatkuat! Cium aku, seolah kau memakanku, agar tak tersisa lagi diriku di luar dirimu” (Zola, 1977: 416).
Kalimat-kalimat di atas diucapkan Séverine pada saat ia dan Jacques menunggu kedatangan Roubaud (untuk membunuhnya) di kamar. Kalimat-kalimat yang diucapkan Séverine tersebut, secara instingtif dipahami oleh Jacques sebagai sebuah keinginan agar Jacques memenuhi keinginannya terhadap grand instintct (insting besar atau gairah untuk mati). Keinginan untuk lenyap dan menyatu dengan Jacques dan instingnya. Apa yang disampaikan Séverine kepada Jacques pada gilirannya telah membangkitkan insting Jacques untuk membunuh. Secara naluriah tangan Jacques langsung meraih pisau yang hendak digunakan untuk membunuh Roubaud, dan menancapkannya ke leher Séverine. Dengan membunuh Séverine, Jacques merasa bahwa keinginannya untuk membunuh yang telah menggerogoti jiwanya selama bertahuntahun terpuaskan. Setelah melakukan pembunuhan, Jacques merasa menjadi manusia normal lagi. Ia kembali bekerja sebagaimana semula, seolah-olah tidak penah terjadi apa-apa. Bahkan secara fisik, ia tampak lebih sehat dari sebelumnya. Hal lain yang menarik dari novel La Bête Humaine, adalah pengambarkan tokohtokoh yang berpikir dengan sangat logis, khususnya Jacques Lantier. Contoh kutipan berikut menunjukkan bagaimana Jacques berpikir dengan model Cartésian, yang pada masanya menjadi model cara berpikir dan ukuran intelektualitas: Rentré rue François-Mazeline, couché près de Pecqueux, qui renflait Jacques ne put dormir. Malgré lui son cerveau travaillait sur cette idée de meurtre, ce canevas d’un drame qu’il arrangeait, dont il calculait les plus lointaines conséquences. Il cherchait, il discutait les raisons pour, les raisons contre. En somme, à la réflexion, froidement, sans fièvre aucune, toutes étaient pour. Roubaud n’était I pas l’unique obstacle à son Bonheur? Lui mort, il
38
épousait Séverine qu’il adorait, il ne se cachait plus, la possédait a jamais, tout entière. Puis, il y avait l’argent, une fortune. Il quittait son dur métier, devenait patron a son tour, dans cette Amérique… (Zola, ibid: 336). “Pulang ke tempat tinggalnya di jalan Francois-Mezeline, tidur di samping Pecqueux yang tidur mendengkur, Jacques tidak bisa tidur. Di luar keinginannya, otaknya terus bekerja mengenai rencana pembunuhan itu. Ia memperhitungkan dengan cermat konsekuensi-konsekuensi yang harus dihadapinya. Ia meneliti, mendiskusikannya: alasan-alasan yang menyetujui (les raisons pour), dan alasanalasan yang menolak (les raisons contre). Secara keseluruhan, setelah dipikirkan, secara dingin, tanpa perasaan sama sekali. Semuanya setuju (pour). Bukankah Roubaud merupakan satu-satunya penghalang bagi kebahagiaannya? Roubaud mati, ia menikahi Severine, tanpa perlu sembunyi-sembunyi untuk memilikinya secara penuh. Kemudian juga ada uang, kekayaan. Ia akan meninggalkan pekerjaannya yang berat, dan menjadi pengusaha di Amerika....” (Zola,1977:336)
Tampak jelas bahwa Jaques sebenarnya secara intelektual dapat berpikir sebagaimana orang normal. Akan tetapi dalam menjalani kehidupan, ia tidak mampu melepaskan diri dari jeratan penyakitnya. Ia tetap saja dikuasai oleh insting kebinatangan, sebuah penyakit yang diidap secara turun-temurun. Demikianlah karakter-karakter manusia yang ditampilkan oleh Zola dalam novelnya yang berjudul La Bête Humaine. Manusiamanusia yang terpinggirkan dan terasing, serta tercerabut dari lingkungan sosial dan pada akhirnya tercerabut pula dari harkat kemanusiaan. Dengan karya tersebut, Zola bermaksud menyampaikan sebuah pandangan dunia, bahwa sesungguhnya revolusi industri yang terjadi di Prancis, yang semula diharapkan akan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, ternyata telah gagal. Hal tersebut disebabkan oleh sistem politik dan tatanan sosial yang tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat pada waktu itu, sehingga tercerabutlah kaum lemah dari akar sosial dan lingkungannya.
Ali Shahab -- Biofilia dan Nekrofilia
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Emile Zola sebagai seorang penganut naturalisme, melalui novelnya La Bête Humaine, menunjukkan bahwa manusia sesungguhnya tidak lain adalah binatang yang berpikir. Pemunculan tokoh-tokoh aneh oleh Zola dalam novelnya, bukanlah sebuah kebetulan belaka. Akan tetapi dengan gaya tersebut, Zola ingin menunjukkan dan menyadarkan pembacanya bahwa selogis apapun manusia berpikir, tetap saja ia tidak mampu melepaskan kodratnya sebagai makhluk yang setengah binatang (La Bête Humaine). Makhluk yang tetap saja terseret pada hasrat-hasrat alamiahnya sebagai makhluk biologis semata. Zola dalam novelnya La Bête Humaine, menarik sebuah kesimpulan, mengapa manusia mempunyai watak seperti binatang dan cenderung untuk saling membunuh satu sama lain. Kita membunuh bukan karena otak memerintahkan untuk membunuh, tetapi dorongan darah dan saraf-saraf dalam tubuh, warisan sifat primitif, kebutuhan untuk bertahan hidup, dan kesenangan karena merasa diri lebih kuat dari orang lain. Sifat manusia seperti yang digambarkan oleh Erich Fromm, biofilia dan necrofilia, bisa saja ada dan tidak ada dalam satu tubuh. Novel “La Bête Humaine” benar-benar mampu mempertontonkan proses sosialisasi dan interaksi manusia dengan watak mencintai kehidupan dan merindukan pembunuhan. Hal itu merupakan salah satu efek yang diakibatkan oleh Era industrialisasi yang carutmarut yang terjadi pada abad XIX di Prancis. Yang mengakibatkan manusia menjadi terasing dari kemanusiaannya sendiri. Dengan karyanya ini pula, Zola tampaknya telah berhasil menyampaikan sebuah pandangan dunia yang berbeda, bahkan bertentangan dengan sistem politik dan hukum yang dijalankan oleh penguasa pada masanya. Sebuah sistem pemerintahan yang ditampilkan lebih berpihak pada kelas sosial tertentu, daripada pada rakyat jelata.
Escarpit, Robert, 1978, Sociologie de la Litterapture, Paris: Press Universitaires De France. Fromm, Eric, 1964, Creators and destroyers, Tuebingen: Rainer Func, Usrainer Ring. Goldmann, Lucien, 1959, Le Dieu Caché, Pa-ris: Gallimard. __________, 1964, Pour Une Socilogie du Roman, Paris: Gallimard. Lacan, Jacques, 1997, Diskursus dan Per-ubahan Sosial: Pengantar Kritik Budaya Psikoanalisis, Yogyakarta: Jalasutra. Michard, Laurent, 1969, XIX Siècle, Les Grands Auteurs Francais du Programme, Paris: Bordas. Shahab, Ali, 2008, ”Manusia Binatang Karya Emile Zola: Gambaran tentang Alienasi Manusia pada Era Industrialisasi II di Prancis: sebuah Analisis Sosiologi Sastra”, Laporan Penelitian. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Soeratno, Siti Chamamah, 2011, Sastra:Teori dan Metode, Yogyakarta: Elmatera. Swingwood, Alan, 1972, The Sociology of Li-terature, London: Granada Publishing Limited. Todorov, Tzvetan, 2010, The Fear of Barbarians, Chicago: The University of Chicago Press. Zola, Emile, 1977, La Bête Humaine, Paris: Editions Gallimard. __________ , 1992, Germinal, Canada: Nouveaux Classiques Larousse.
39
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 40-54
KAWISTARA VOLUME 1
No. 1, 21 April 2011
Halaman 1-102
KONSEP DIRI REMAJA DALAM FILM INDONESIA: ANALISIS WACANA ATAS FILM REMAJA INDONESIA TAHUN 1970-2000-AN Ratna Noviani Staf Pengajar Program Studi Komunikasi Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Email:
[email protected]
ABSTRACT Film is a system of representation, which provides information of social dynamics during the period, when the film is produced and distributed. This study is aimed to identify and reveal how teenage selfconcept is discursively constructed through film imagery and narrative in the context of Indonesian society. This study focuses particularly on the physical and psychological teenage self-concept. Corpus of analysis are eight teenage films which were produced in the period of 1970s to the 2000s. By applying Norman Fairclough’s critical discourse analysis, the close examination of the teenage films reveals that there are similarities, modification and differences in the way in which teenage self-concept has been constructed from decade to decade. This study also identifies that teenage self-concept has been constructed through various discourses, among other things, through discourse of good vs bad teenager, of role model seeking and of teenage lifestyle. Keyword: Film, teenager, self-concept, discourse
ABSTRAK Film merupakan sistem representasi yang bisa menjadi jendela untuk melihat dinamika kehidupan masyarakat pada kurun waktu ketika film dibuat. Kajian dalam tulisan ini merupakan kajian tentang teks film yang bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan merumuskan bagaimana konsep diri remaja dalam konteks masyarakat Indonesia dikonstruksi dan diwacanakan melalui citra dan narasi film. Korpus kajian adalah delapan film remaja yang diproduksi dalam kurun waktu empat dekade yaitu dari tahun 1970-an hingga 2000-an. Konsep diri remaja yang dianalisis dalam kajian ini meliputi konsep diri fisik dan konsep diri psikologis. Dengan menggunakan model analisis wacana kritis dari Norman Fairclough, kajian mendalam terhadap kedelapan film tersebut menunjukkan adanya persamaan modifikasi dan juga perbedaan konstruksi konsep diri remaja dari dekade ke dekade khususnya melalui wacana remaja baik-baik versus remaja nakal, pencarian role model serta wacana tentang gaya hidup remaja. Kata Kunci: Film, remaja, konsep diri, diskursus
40
Ratna Noviani -- Konsep Diri Remaja dalam Film Indonesia
PENGANTAR Film adalah salah satu media hiburan yang semakin populer dan diminati oleh khalayak umum. Lebih dari itu, film merupakan sebuah teks sosial yang merekam dan sekaligus berbicara tentang dinamika kehidupan masyarakat pada saat film tersebut diproduksi. Bisa dikatakan bahwa citra dan naratif dari sebuah film adalah jendela yang cukup signifikan untuk melihat dan memahami realitas sosial yang terjadi pada ruang dan kurun waktu tertentu. Film bertema remaja misalnya, merupakan entry point yang penting untuk menyimak liku-liku kehidupan para remaja. Berkaitan dengan hal ini, Ashadi Siregar (2008) menegaskan bahwa setiap media massa yang secara spesifik ditujukan pada khalayak remaja pada dasarnya adalah indikator dari pemikiran, nilai dan juga cara pandang para remaja dalam masyarakat di mana media tersebut diproduksi dan didistribusikan. Di dalam dunia perfilman Indonesia, film dengan genre remaja menjadi populer dan mulai ikut memainkan peran yang krusial sejak pertengahan 1970-an (Sen & Hill, 2000: 153). Pada saat itu, remaja menjadi pasar yang sangat menjanjikan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan kelas atas dan kelas menengah Indonesia. Sejak pertengahan tahun 1970-an mulai banyak diproduksi film remaja yang diadopsi dari novel-novel remaja yang sukses. Film-film remaja, seperti ‘Ali Topan Anak Jalanan’, atau ‘Gita Cinta dari SMA’ cukup fenomenal dan menjadi legenda. Bintang-bintang perempuan baru mulai muncul dengan memainkan peran protagonis sebagai anak SMA perkotaan, sebut saja Yessy Gusman atau Yati Octavia. Tren film remaja ini diikuti oleh produksi film remaja di tahun 1980-an yang ditandai dengan suksesnya film ‘Lupus’,yang merupakan adopsi dari novel laris dan ‘Catatan Si Boy’, yang juga adopsi dari serial sandiwara radio yang sukses besar hingga dibuat sekuel-sekuelnya dan mampu bertahan hingga awal era 1990-an dan berhasil mengangkat pemain utamanya, yaitu Ryan Hidayat dan Onky Alexander
yang notabene adalah pemain film baru menjadi menjadi idola baru anak muda pada waktu itu. Memasuki pertengahan tahun 1990-an, film Indonesia mengalami mati suri, yang ditandai dengan menurunnya jumlah produksi. Akibatnya, film remaja pada masa itu juga tak banyak lagi diproduksi. Setelah mengalami kelesuan produksi, seiring dengan krisis yang melanda dunia perfilman Indonesia pada dekade 1990-an, film bertema remaja kembali menjadi ujung tombak di awal dekade 2000-an. Pasar remaja sebetulnya adalah pasar yang terus dibidik oleh para pembuat film di Indonesia. Film-film remaja tersebut tidak hanya menyajikan hiburan dan gambaran tentang dunia remaja di Indonesia, tetapi sebagai film yang secara spesifik bicara tentang remaja, mereka memuat asumsi-asumsi ideologis tertentu terkait dengan realitas remaja. Film remaja yang bercerita tentang remaja dan dinamikanya telah mampu memberikan warna bagi dunia perfilman dan juga bagi kehidupan remaja di setiap dekade dalam sejarah perfilman di Indonesia. Namun demikian, perlu dicatat pula bahwa meskipun industri perfilman Indonesia cukup produktif menghasilkan film bertema remaja sejak dekade 1970-an, namun kajian komprehensif yang secara spesifik berbicara tentang film remaja Indonesia masih sangat minim jumlahnya. Oleh karena itu, kajian di dalam tulisan ini difokuskan pada bagaimana film remaja di Indonesia membuat wacana tentang realitas dunia remaja. Secara khusus, kajian ini membahas tentang konsep diri remaja yang dikonstruksi melalui bahasa verbal maupun visual yang digunakan oleh film-film remaja dari dekade 1970-an hingga 2000-an. Dari analisis terhadap film-film remaja tersebut diharapkan tidak hanya wacana tentang konsep diri remaja saja yang akan teridentifikasi tetapi juga pergeseran wacana tentang realitas remaja dari dekade ke dekade. Dari pengalaman dan pengetahuan penulis, hingga saat ini belum ada kajian akademik yang secara komprehensif menganalisis realitas rema41
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 40-54
ja yang direpresentasikan di dalam film Indonesia dan pergeseran atau perubahannya dalam rentang waktu empat dekade yaitu dari 1970-an hingga 2000-an. Bagaimana cara film Indonesia menggambarkan dan mendefinisikan realitas dalam kurun waktu tersebut belum pernah diungkap dan dianalisis secara mendalam. Padahal penelitian-penelitian paling aktual tentang hubungan remaja dan media menunjukkan bahwa film adalah media paling populer dan diminati oleh kaum remaja di samping televisi (Roberts dalam Kirsh, 2006: 77). Media massa, termasuk film, telah menggantikan peran orang tua sebagai sumber informasi tentang berbagai hal. Apalagi sebagai tahap kehidupan di mana individu sedang mencari identitas diri, masa remaja sering dianggap sebagai masa yang rawan, penuh gejolak dan problematika. Pada masa ini, individu sangat membutuhkan apa yang disebut sebagai role model dalam rangka pembentukan identitas diri. Dalam hal ini, media massa sering diposisikan sebagai sumber informasi akan gaya hidup, cara bergaul, gaya bicara, dan berpenampilan (Widyastuti, 2006). Tak heran jika media yang dikhususkan untuk pasar remaja cenderung laris manis dan mampu menarik perhatian para remaja. Selain itu, media massa juga cenderung menjadi rujukan bagi anak-anak dan remaja untuk memperoleh informasi tentang posisi-posisi sosial (Hurlock, 1999: 45). Sementara, seperti telah disebutkan di atas, media massa yang diperuntukkan bagi kaum remaja cenderung mengartikulasikan cara pandang dominan tentang kehidupan remaja di dalam masyarakat dan budaya di mana media tersebut diproduksi dan didistribusikan. Dengan kata lain, teks media termasuk teks film tentang dunia remaja memiliki interrelasi dengan konteks sosial di mana film itu diproduksi. Melacak wacana tentang dunia remaja yang ditampilkan oleh film Indonesia dalam kurun empat dekade menjadi sangat penting mengingat dunia remaja selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. 42
Kajian akademik tentang film Indonesia sebetulnya semakin berkembang seiring dengan produktivitas film Indonesia yang juga semakin meningkat. Namun demikian, kajian tentang film-film Indonesia yang mengusung tema remaja, sampai saat ini masih sangat sedikit jumlahnya. Salah satu dari sedikit kajian akademik tentang film remaja Indonesia adalah studi yang dilakukan oleh David Hanan (2008) dari Australia dengan judul Changing Social Formations in Indonesian and Thai Teen Movies. Dalam kajiannya, Hanan menganalisis film Catatan Si Boy yang diproduksi pada tahun 1991 dan film Ada Apa Dengan Cinta? yang diproduksi pada tahun 2001. Kedua film tersebut merepresentasikan dua era politik yang berbeda di Indonesia yaitu era Orde Baru dan Pasca Orde Baru. Dalam kajiannya, Hanan menemukan bahwa kedua film remaja tersebut banyak mewacanakan tentang pelestarian tradisi budaya meskipun remaja-remaja itu juga mengikuti arus budaya global. Selain itu, persoalan kelas dan perilaku seksual juga menjadi bagian penting dari analisis Hanan. Kedua tema ini dikaitkan dengan persoalan konsumerisme yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dan juga dikaitkan dengan konteks politik dari dua rezim politik yang berbeda di Indonesia. Kajian ini mempertegas asumsi bahwa teks film selalu memiliki inter-relasi dengan konteks sosial dalam periode waktu di mana film tersebut diproduksi. Sayangnya, Hanan kurang membahas pergeseran konstruksi identitas diri remaja dan konflik-konflik yang dialami remaja dari era Orde Baru ke Pasca Orde Baru. Marshall Clark (2004) dalam karyanya Men, Masculinities and Symbolic Violence in Recent Indonesian Cinema juga menganalisis teks film remaja Indonesia, yaitu film Kuldesak. Namun, dalam kajiannya Clark tidak memberikan perhatian pada fenomena dunia remaja di Indonesia, tetapi melihat pada bagaimana definisi laki-laki Indonesia kontemporer secara umum ditampilkan dalam film tersebut. Clark juga mengkaitkan isu tentang maskulinitas dengan seksualitas, di
Ratna Noviani -- Konsep Diri Remaja dalam Film Indonesia
mana ia menyimpulkan bahwa film Indonesia cenderung menyajikan maskulinitas heteroseksual sebagai citra laki-laki dominan di Indonesia. Dari beberapa kajian akademis tentang film remaja Indonesia, terlihat bahwa kajian tentang konstruksi diskursif konsep diri remaja dan pergeserannya dalam film Indonesia belum banyak ditemukan.
Film sebagai Sistem Representasi dan Konsep Diri Remaja Kajian film yang berkembang sejak tahun 1970-an memberikan tekanan pada bagaimana film memproduksi makna-makna melalui citra dan naratifnya. Selain itu, kajian film juga mencoba memposisikan film sebagai sebuah teks yang sarat dengan operasi ideologi (Grant, 2003: xvii). Dalam hal ini, teks film memuat kode-kode diskursif tertentu yang berfungsi untuk membangun makna-makna. Film, mengacu pada Stuart Hall (1997: 28), adalah sebuah sistem representasi di mana praktik-praktik pemaknaan dilakukan. Makna-makna diproduksi melalui bahasa dengan menggunakan kode-kode atau tanda-tanda yang mensimbolisasi atau merujuk pada objek, orang, peristiwa atau hal-hal yang dianggap sebagai “the real world”. Film dalam konteks ini bekerja seperti bahasa yang memuat kode-kode atau tanda-tanda yang berfungsi untuk memproduksi makna-makna. Sebagai sebuah sistem representasi, film adalah entitas yang tidak diproduksi dalam keadaan vakum. Sebaliknya, film adalah sebuah teks sosial yang selalu memiliki interrelasi dengan konteks sosial budaya di mana teks tersebut diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi (Kellner, 1995: 102). Berkaitan dengan praktik atau operasi ideologis di dalam teks media, termasuk film, Stuart Hall (1995: 19) mengemukakan bahwa media [film] adalah situs yang cukup signifikan untuk produksi, reproduksi maupun transformasi ideologi. Apa yang diproduksi oleh media (film) dalam hal ini merupakan representasi realitas sosial yang merupakan jendela untuk memahami seperti apa reali-
tas itu dan bagaimana ia bekerja. Film, oleh karenanya, bisa berfungsi sebagai entry point yang penting untuk melihat dan memahami isu-isu atau perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Film remaja adalah sebuah genre atau kategori dalam film yang menunjukkan bahwa film tersebut diformat secara spesifik dan ditujukan pada remaja. Icon Group (2008) mendefinisikan film remaja sebagai, “A film genre in which the plot is based upon interests targeted of teenagers” (sebuah genre film di mana plotnya mengacu pada kepentingankepentingan dari khalayak targetnya yaitu remaja). Sementara itu, Krishna Sen & David T. Hill berpendapat bahwa film remaja umumnya tergantung pada konstruksi remaja secara visual, sosial maupun linguistik (2000, 153). Dengan kata lain, film remaja mencoba berbicara tentang remaja dengan bahasa remaja kepada para remaja. Remaja sendiri sering didefinisikan sebagai masa transisi antara masa kanakkanak dan masa dewasa (Brown et al., 2000: 2). Dari sisi usia, para psikolog perkembangan menetapkan remaja sebagai individu yang berumur antara 8-17 tahun. Pada tahap ini, individu mengalami perubahanperubahan mulai dari fisik, kognitif, perkembangan sosial, maupun psikologis. Masa remaja juga dikenal sebagai masa di mana para remaja sedang berusaha mencari identitasnya (Widyastuti 2006). Upaya ini seringkali melibatkan penggunaan media massa, termasuk film. Penelitian menunjukkan, bahwa dalam sehari remaja menggunakan sepertiga waktunya untuk mengkonsumsi media. Penelitian yang dilakukan Roberts et al. (2005) yang dikutip oleh Kirsh (2006: 77) menunjukkan bahwa para remaja menghabiskan waktu hampir sembilan jam untuk mengkonsumsi media. Dalam hal ini, film merupakan salah satu media yang populer dan paling diminati di kalangan remaja. Tidak mengherankan jika berkembangnya genre film remaja cenderung berkaitan dengan persoalan pasar. Secara umum, menurut Shary (2005: 1) film remaja telah menjadi media hiburan 43
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 40-54
yang paling berpengaruh di dunia karena ia berperan besar dalam proses pembentukan gagasan-gagasan budaya yang berkaitan dengan sejarah, perilaku maupun nilai-nilai yang berkaitan dengan dunia remaja. Mengacu pada apa yang sudah diungkapkan sebelumnya, film remaja bisa menjadi jendela untuk melihat bagaimana realitas remaja dan pandangan serta sikap masyarakat terhadap kaum remaja. Dalam konteks dunia perfilman Indonesia, Krishna Sen & David T. Hill (2000: 153) juga menegaskan bahwa popularitas film remaja di Indonesia sangat erat kaitannya dengan munculnya pasar remaja yang merupakan akibat dari meningkatnya kesejahteraan kelas menengah dan kelas atas Indonesia. Fenomena ini terutama bisa ditemui pada dekade 1980-an, di mana produksi film remaja menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Pasar film remaja juga mengalami peningkatan lagi sejak awal 2000-an setelah berakhirnya krisis moneter yang melanda Indonesia dan khususnya dunia perfilman pada pertengahan 1990-an. Mulai awal 2000-an, semakin banyak film bertema remaja yang diproduksi dan diputar di Indonesia (Kompas, 2006). Dari segi isi cerita, film-film remaja Indonesia cenderung mendefinisikan masa remaja sebagai sebuah fase kehidupan yang sarat dengan perilaku menyimpang dan konflik-konflik (Sen & Hill 2000: 153). Problematika remaja seperti ini secara naratif dipecahkan ketika individu mulai beranjak dewasa. Dalam hal ini, individu dianggap sudah mulai melakukan penerimaan terhadap nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Konflik-konflik antar-generasi umumnya tidak mendapatkan tempat dalam teks-teks film tersebut. Memasuki tahun 2000-an, tema cerita dari film remaja mulai mengalami perubahan, meskipun persoalan seputar percintaan, komunikasi antar-teman dan relasi dengan orang tua masih cukup mendominasi. Namun, setting film remaja pada periode ini tidak lagi melulu seputar anak sekolah dan gambaran remaja pun sudah jauh lebih luas dan kompleks. 44
Berkaitan dengan wacana identitas, film-film remaja juga cenderung memotret proses konstruksi konsep diri atau pencarian identitas diri oleh para remaja. Dalam hal ini, teks film bisa menjadi indikator untuk melihat proses-proses tersebut (Shary, 2005). Konsep diri sering didefinisikan sebagai “the image we hold of ourselves” (Hoge & Renzully dalam Gross, Rinn & Jamieson (2007: 242). Sementara, Corey & Peterson (2003) mendefinisikan konsep diri secara lebih luas yaitu sebagai konsep yang dimiliki setiap individu tentang dirinya sendiri dan citra diri individu di mata orang lain. Konsep diri atau identitas diri, dalam hal ini, berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang “siapa saya” dan bagaimana orang lain melihat “saya”. Menurut Elizabeth Hurlock (1979) konsep diri memiliki dua komponen utama yaitu physical self concept yang berkaitan dengan citra seseorang mengenai penampilan fisiknya dan pentingnya penampilan fisik itu untuk perilaku dan harga diri individu dan psychological self concept yang berkaitan dengan pikiran, perasaan atau emosi. Konsep diri psikologis ini terdiri dari kualitas dan kemampuan yang dimiliki individu seperti kemandirian, kepercayaan diri, pendirian yang teguh atau kebalikan dari sifat-sifat itu (Retnaningsih 1996, 35). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa konsep diri atau identitas diri ini selalu mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Identitas diri tidak pernah final tetapi selau berada dalam proses. Berkaitan dengan hal ini, Michel Foucault, pemikir dari Perancis menyebutkan bahwa identitas itu tidak pernah stabil dan statis, karena identitas dibentuk atau diproduksi di dalam wacana. Wacana dalam bahasa Foucault adalah “a group of statements which provide a language for talking about, a way of representing knowledge about, a particular topic at a praticular historical moment” (Hall, 1997: 44). Wacana, menurut Foucault, adalah produk dari kuasa atau power. Ia bekerja membentuk dan mendefinisikan subjek maupun pengetahuan. Wacana juga sering dipahami sebagai sebuah rezim kuasa/pengetahuan
Ratna Noviani -- Konsep Diri Remaja dalam Film Indonesia
(power/knowledge) yang merumuskan topiktopik yang dianggap penting, tidak penting, krusial, dan sebagainya. Foucault juga menegaskan bahwa wacana itu tidak pernah stabil dan statis, tetapi selalu berubah setiap saat dan oleh karenanya memiliki konteks sosial dan historis yang spesifik. Korpus kajian adalah teks film Indonesia bertema remaja yang diproduksi dan didistribusikan pada tahun 1970-an hingga 2000-an. Ada delapan film bertema remaja yang diteliti sebagai representasi dari masing-masing dekade, mulai dari 1970-an hingga 2000-an. Film remaja yang dipilih untuk kajian ini adalah film dengan tema remaja yang khususnya berbicara tentang remaja berusia sekolah yaitu tingkat SMA. Setiap dekade dipilih dua film dengan alasan bahwa produksi film bertema remaja tidaklah banyak untuk tiap dekade, apalagi remaja tingkat SMA. Oleh karena itu, penulis hanya memilih dua film saja untuk setiap dekadenya. Pemilihan film untuk masing-masing dekade berdasarkan pada ketersediaan dokumentasi film serta popularitas film pada saat diluncurkan. Hal ini misalnya berdasarkan pada data jumlah penonton dan/atau penghargaan perfilman yang diterima oleh film-film tersebut. Kedelapan film tersebut adalah Ali Topan Anak Jalanan (1977), Gita Cinta dari SMA (1979), Merpati Tak Pernah Ingkar Janji (1986), Lupus I: Kejarlah Daku Kau Kujitak (1987), Ricky Nakalnya Anak Muda (1990), Olga dan Sepatu Roda (1992), Ada Apa Dengan Cinta? (2001) dan Ekskul (2007). Kedelapan film tersebut dianalisis menggunakan metode analisis wacana kritis dari Norman Fairclough, untuk membongkar dan mengkaji bagaimana konsep diri remaja dikonstruksi secara diskursif di dalam teks film. Wacana dalam pandangan Fairclough (2000: 309) meliputi penggunaan bahasa baik dalam bentuk tulisan maupun verbal, serta citra visual dan juga bentukbentuk komunikasi non-verbal. Ada tiga dimensi analisis yang dikemukakan oleh Fairclough yaitu, analisis teks, di mana teks diasumsikan sebagai rekaman
peristiwa dan berfungsi mengkomunikasikan fakta tertentu. Dimensi yang kedua adalah praktik diskursif, yang berkaitan dengan proses-proses sosial yang terlibat dalam proses produksi maupun interpretasi teks. Dalam pengertian ini proses produksi dan interpretasi teks turut dipengaruhi oleh norma-norma, aturan, perilaku atau kesepakatan-kesepakatan tertentu dalam masyarakat. Proses-proses tersebut terekam dan termuat di dalam proses penggunaan bahasa. Dimensi yang ketiga adalah praktik sosial budaya, di mana teks dilihat sebagai bagian dari praktik sosial dan budaya tertentu. Interrelasi antara teks dengan aspek-aspek sosial budaya yang lebih luas akan diamati dan dikaji pada tahap ini.
PEMBAHASAN Hal-hal yang berkaitan dengan cara individu melihat dirinya sendiri dan menunjukkan siapa dirinya kepada orang lain merupakan sesuatu yang dipelajari dan dihasilkan dari pengalaman. Artinya, konsep diri individu tidak melekat atau inheren pada individu sejak lahir. Konsep diri pada dasarnya merupakan refleksi dinamis dari dunia sosial di mana seorang individu hidup. Analisis tentang konsep diri remaja yang diwacanakan dalam delapan film remaja Indonesia dari dekade 1970-an hingga dekade 2000-an meliputi konsep diri fisik yaitu citra yang dimiliki dan ditampilkan individu tentang fisiknya serta kesan yang ditampilkannya pada orang lain dan konsep diri psikologis yaitu sifat-sifat dan karakteristik psikologis yang dimiliki dan ditampilkan individu pada orang lain. Kajian mendalam terhadap kedelapan film tersebut menunjukkan adanya persamaan, modifikasi dan juga perbedaan konsep diri remaja dari dekade ke dekade.
Remaja Baik vs Remaja Nakal Wacana tentang remaja ideal atau remaja yang dianggap baik di dalam film remaja dari dekade ke dekade tidak menunjukkan adanya perubahan yang berarti. Bahkan bisa dikatakan bahwa film remaja In45
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 40-54
donesia memiliki konstruksi yang cenderung sama tentang sosok remaja yang dianggap baik maupun remaja yang dianggap nakal. Sosok tentang remaja ideal dimunculkan lewat film-film remaja itu melalui wacana tentang tubuh baik tubuh luar (baca: penampilan) dan tubuh dalam (baca: kepribadian dan kualitas psikologis). Sosok remaja yang baik adalah remaja yang cantik atau ganteng secara fisik, pandai, berprestasi, dan tidak suka bikin ulah atau masalah. Dalam film tahun 1970-an, Gita Cinta dari SMA (GCdS), kategori remaja yang dianggap baik ditampilkan lewat sosok Galih dan Ratna. Keduanya digambarkan sebagai remaja yang sederhana, cenderung pendiam, tidak suka berkonflik, pandai, rajin beribadah, dan patuh pada orang tua. Ratna, terutama, ditampilkan sebagai individu yang sederhana, rendah hati, tidak sombong, dan tidak materialistis, meskipun ia sendiri berasal dari keluarga yang cukup berada karena jabatan ayahnya sebagai kepala dinas pertanian di Indramayu. Pada zaman Orde Baru, orang yang menjadi pejabat pemerintah, apalagi menjadi kepala dinas, adalah orang yang posisinya dianggap cukup penting. Tidak hanya tinggi secara ekonomi, tetapi secara sosial pun posisi pejabat pemerintah selalu dianggap tinggi dan terhormat. Hal ini memang berkaitan dengan posisi pegawai negeri sipil di zaman Orde Baru yang merupakan salah satu pilar utama pendukung Golkar, partai politik pendukung Soeharto (Tanjung, 2007: 153). Pada masa Orde Baru, PNS memang terkenal tidak netral karena PNS terikat kebijakan monoloyalitas dengan mengarahkan suara mereka hanya pada partai Golkar. Akibatnya PNS pun kemudian identik dengan suara pemerintah, hal ini menyebabkan posisi PNS sendiri di kalangan masyarakat dianggap sebagai posisi yang kuat, mapan, dan harus dihormati. Sifat-sifat positif Ratna ini sangat ditonjolkan di dalam film GCdS untuk menggarisbawahi sosoknya sebagai remaja baik-baik. Bersama Galih, Ratna sama-sama ditampilkan sebagai murid teladan. Selain cerdas otaknya, Galih juga digambarkan memiliki 46
keterampilan lain yang positif seperti jago main basket dan terampil berkesenian, seperti bermain gitar, menciptakan lagu, dan membuat puisi. Secara fisik, Galih juga ditampilkan sebagai sosok yang cakep atau ganteng. Hanya saja, wacana tentang penampilan fisik Galih yang ganteng dan menarik, tidak diekspresikan secara verbal, khususnya oleh teman-teman perempuannya. Akan tetapi kekaguman akan sosok Galih sebagai remaja yang baik, lebih banyak diarahkan pada citra diri psikologisnya sebagai individu yang cerdas dan memiliki kemampuan lebih dibanding teman-temannya dalam hal olah raga maupun seni. Sementara itu, wacana tentang penampilan fisik perempuan secara eksplisit terlontar misalnya ketika teman-teman sekelas Ratna mengomentari penampilan fisik Ratna sebagai murid yang baru pindah ke SMA itu. Perbincangan tentang penampilan fisik Ratna yang dianggap “cantik” diwacanakan secara verbal di antara murid-murid laki-laki. Hal itu bisa dilihat misalnya dari potongan dialog di bawah ini: Galih : Siapa (sambil berbisik) Teman sebangku : Murid baru. Cantik ya. Galih : Ehmm.... Teman Basket : Eh, Nana (nama panggilan Ratna) itu cantik ya Galih : Naksir?
Dari dialog-dialog yang digunakan dalam film GCdS terlihat bahwa tubuh luar atau penampilan juga menjadi salah satu cara untuk mendefinisikan remaja yang dianggap baik dan ideal. Di tahun 1980-an, konstruksi tentang remaja ideal masih cenderung sama. Seperti tokoh Lupus misalnya, ia digambarkan sebagai remaja yang cerdas dan berprestasi meskipun dari sisi penampilan ia dianggap melanggar aturan sekolah. Secara umum, Lupus ditampilkan sebagai remaja SMA yang jahil dan tidak takut melakukan sesuatu yang dianggap melanggar aturan. Salah satu contohnya adalah rambutnya yang dibiarkan gondrong. Rambut gondrong dianggap jelek dan tidak diijinkan oleh pihak sekolah. Namun, rambut gondrong itu menjadi “termaafkan” ketika pihak sekolah
Ratna Noviani -- Konsep Diri Remaja dalam Film Indonesia
mengetahui aktivitas positif dan prestasi yang ditunjukkan oleh Lupus, seperti ketika ia berhadapan dengan Kepala Sekolah (KepSek): KepSek: Hmmm, yak Lupus, ahhh … Kamu yang sering menulis laporan ilmu pengetahuan dari sekolah-sekolah yang lain kan. Lupus : Iya Pak. … KepSek: Rambutmu gondrong, tapi ini melanggar peraturan. Apa kau tadi tidak kena pemeriksaan? Lupus : Itulah, Pak. Kalau rambut saya dipotong seperti anak-anak lain, yahh, Bapak sulit mengenali saya. …… Gimana Pak, saya bisa keluar? Saya akan selalu mengangkat sekolah ini. KepSek: Iya, selamat untuk Anda. Selamat berkarya. Mumpung masih muda. Ingat, rambut tidak ada dispensasi.
Berdasarkan dialog itu, penampilan rambut gondrong Lupus dan teman-temannya dianggap tidak baik oleh pihak sekolah. Untuk itu, rambut mereka harus dipaksa untuk dipotong di sekolah. Namun, karena Lupus memiliki prestasi sebagai wartawan yang mampu mengangkat nama sekolah ia akhirnya dibiarkan memelihara rambut gondrongnya itu. Ia melawan pendapat pihak sekolah tentang citra rambut gondrong melalui prestasinya sebagai wartawan. Konstruksi yang sama terlihat juga dalam film remaja tahun 1990-an misalnya dalam film Olga dan Sepatu Roda. Olga sebagai representasi dari remaja yang baik juga digambarkan sebagai remaja yang mampu menjaga keseimbangan antara belajar dan hobi. Ia memang tidak digambarkan sebagai sosok yang sangat pintar dan menonjol kecerdasaannya di sekolah, tetapi ia juga bukan anak yang prestasinya jelek di sekolah. Seperti terlihat dalam dialog berikut ini: Olga : Ada apa Mam? Mami : What’s wrong with you? Nilai kamu dulu lumayan dibanding papi kamu Olga : Belum mujur kali Mam Mami : Nonsense!
Dialog di atas terjadi ketika Mami menemukan hasil ujian Fisika Olga yang ternyata tidak bagus. Dengan kata “dulu”, Mami membandingkan prestasi Olga sebelumnya yang dianggap “lumayan” dengan hasil ujian Fisika tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Olga bukan sosok remaja yang bodoh sebetulnya, meskipun juga tidak terlalu cemerlang. Namun, film ini ingin menonjolkan prestasi Olga yang lain di luar dunia sekolah, yaitu prestasi yang berkaitan dengan hobinya, yaitu bermain sepatu roda. Film ini menggambarkan bahwa sebagai remaja yang baik, Olga mampu menyeimbangkan antara kegiatan belajar di sekolah dan hobi. Ini ditegaskan oleh komentar Papinya ketika berdebat dengan Mami tentang hobi Olga. “Mam, hobinya kan nggak jelek. Nggak ganggu sekolah. Apalagi raportnya bagus”. Raport yang bagus di sekolah itu diimbangi pula oleh Olga lewat prestasinya dalam hal hobi. Di kamarnya misalnya terlihat deretan tropi, piagam penghargaan, dan medali yang diperoleh Olga dari beberapa kompetisi sepatu roda yang telah diikutinya seperti terlihat pada ilustrasi Gambar 1.
Gambar 1. Olga dan trofi-trofi yang diraihnya Di antara teman-teman bermainnya, prestasi Olga yang sering menang dalam kompetisi sepatu roda memang sudah sangat terkenal. Prestasi itu pula yang membuat teman-teman Olga menaruh respek padanya. Sosok remaja seperti ini juga direpresentasikan oleh sosok Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta pada dekade 2000-an. Cinta digambarkan sebagai siswi SMA yang cantik, pintar, aktif, dan sangat populer di sekolahnya. Ia terkenal jago bikin puisi dan langganan juara lomba puisi tahunan yang diselenggarakan di sekolah. Ia juga suka menyanyi dan 47
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 40-54
main gitar. Di sekolah, bersama keempat temannya ia aktif dalam kegiatan majalah dinding. Mirip dengan gambaran remaja pada dekade 1990-an, remaja-remaja pada era 2000-an juga digambarkan sebagai remaja yang tidak melulu berurusan dengan sekolah. Mereka digambarkan sebagai remaja yang pandai dan berprestasi di sekolah tetapi tidak kehilangan waktu untuk santai dan bersenang-senang. Cinta dan teman-temannya misalnya digambarkan sebagai remaja yang kompak, yang tidak saja aktif dalam kegiatan-kegiatan ekstra-kurikuler di sekolah, tetapi mereka juga suka nongkrong atau nonton konser bersama. Meskipun wacana tentang remaja ideal dan dianggap baik di film-film remaja itu cenderung sama dari dekade ke dekade, tetapi terlihat ada sedikit pergeseran terutama sejak dekade 1980-an. Berbeda dengan dekade sebelumnya, remaja pada film remaja sejak dekade 1980-an ditampilkan lebih aktif, enerjik, dan berani berdebat serta bernegosiasi termasuk dengan orang tua. Dalam film remaja produksi tahun 1980-an yaitu Lupus dan Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, sosok remaja yang baik mulai digambarkan sebagai sosok yang berani memberontak dan menolak hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan pandangan hidupnya. Di film Lupus misalnya ditandai dengan kegigihan Lupus untuk menolak memotong rambut gondrongnya, meskipun rambut gondrong dianggap negatif. Citra bahwa rambut gondrong itu negatif sebetulnya berkaitan dengan agenda rezim Orde Baru yang menganggap rambut gondrong adalah musuh. Pemerintah Orde Baru sejak tahun 1970-an, pernah mengeluarkan peraturan anti-rambut gondrong. Kebijakan tersebut yang dibarengi dengan hukum potong rambut di tempat bagi siapa pun yang melanggarnya. Di awal rezim Orde Baru, menjadi awal bagi negara untuk mempersiapkan kebijakan ekonomi dengan membuka investasi modal asing. Komunisme dihapuskan dengan menjaga stabilitas ekonomi. Di saat yang sama, dunia 48
dilanda gerakan perlawanan budaya anakanak muda dalam bentuk hippies dan menjadi gerakan counter culture. Kehidupan hippies ditandai dengan trend fashion yang eksentrik, antara lain rambut gondrong. Gerakan itu kemudian menyebar sampai ke Indonesia melalui media massa. Anakanak muda mulai berpakaian longgar, memanjangkan rambut, melakukan seks bebas, dan menggunakan narkotika. Mereka tumbuh menjadi generasi yang apolitis dan sibuk mencari identitas diri. Sementara itu di Indonesia, mahasiswa justru menjadi kelompok anak muda yang kritis terhadap pemerintah. Hal tersebut ternyata meresahkan pemerintah Orde Baru. Pemerintah mengkhawatirkan radikalisme mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah dan juga pengaruh gaya hidup hippies di kalangan anak-anak muda Indonesia. Untuk itulah kebijakan anti-rambut gondrong dikeluarkan. Kebijakan yang menjadi upaya melindungi anak-anak muda Indonesia sekaligus melakukan kontrol terhadap anak-anak muda lain yang kritis. Pelarangan rambut gondrong dilakukan melalui dua hal, pertama, melalui kuasa wacana. Rambut gondrong dicitrakan negatif dalam berita yang muncul di media massa. Misalnya saja dalam judul-judul berita seperti “7 Pemuda Gondrong Merampok Bus Kota”, “6 Pemuda Gondrong Perkosa 2 Wanita”, dan “Disambar si Gondrong” menjadi sesuatu yang biasa (Yudhistira, 2010: 104). Kedua, pemerintah melakukan serangkaian tindakan fisik secara sistematis lewat peraturan yang ditindaklanjuti oleh institusi-institusi negara di daerah. Misalnya, anggota ABRI dan karyawan sipil yang bekerja di lingkungan militer beserta keluarganya dilarang berambut gondrong. Razia dan pelarangan rambut gondrong kemudian dilakukan di jalan-jalan. Salah satu implementasi dari kebijakan itu adalah kepala sekolah SMP dan SMA melakukan lokakarya dan menghasilkan keputusan untuk melarang siswa SMP dan SMA berambut gondrong. Hal inilah yang dilawan oleh Lupus dengan berani dan percaya diri. Ia tidak takut ber-
Ratna Noviani -- Konsep Diri Remaja dalam Film Indonesia
hadapan dengan guru-guru untuk menolak memotong rambutnya. Dalam dimensi yang berbeda, Guntur dalam film ‘Merpati Tak Pernah Ingkar Janji’ juga digambarkan jahil seperti Lupus dan berani melawan sesuatu yang dianggapnya tidak benar. Guntur berani mendekati Maria dan berusaha membebaskan Maria dari kekangan ayahnya. Lupus dan Guntur sama-sama melakukan perlawanan namun tidak dengan cara yang anarkis dan frontal. Remaja aktif dan percaya diri seperti Lupus dan Guntur adalah sosok remaja yang dianggap lazim pada dekade 1980-an. Sementara, remaja yang pendiam dan tidak percaya diri dianggap sebagai sosok remaja yang sudah ketinggalan jaman, seperti sosok Maria di dalam film Merpati Tak Pernah Ingkar Janji. Label “antik”, “kuper”, “norak” dan “udik” juga dilekatkan pada Maria karena sifatnya yang pendiam, pemalu, rendah diri, pasrah, dan sangat patuh pada ayahnya yang kolot. Sedangkan remaja yang dianggap ideal di dalam film ini adalah remaja dengan sifat yang merupakan kebalikan dari sifat Maria. Teman-teman sekolah Maria digambarkan sebagai gadis-gadis yang ceria, ekspresif, dan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri. Film ini menampilkan upaya negosiasi dan perlawanan yang dilakukan oleh kaum remaja dalam menentukan identitas dirinya. Remaja yang pendiam, pemalu, dan terlalu menuruti keinginan orang tua justru dianggap sebagai sosok remaja yang aneh, dan kurang pergaulan sehingga dianggap tidak “normal”. Ini agak berbeda dengan konsep diri remaja pada film tahun 1970-an, di mana sosok remaja yang baik justru direpresentasikan melalui sosok yang pendiam, pemalu, dan patuh sekali pada orang tua seperti direpresentasikan oleh tokoh Ratna dalam film ‘Gita Cinta’ dan Anna Karenina dalam film ‘Ali Topan’. Di dalam film ‘Merpati Tak Pernah Ingkar Janji’, remaja seperti itu justru menjadi bahan olok-olokan dan objek lelucon bagi teman-teman sebayanya. Berseberangan pendapat dengan orang tua oleh
film ini tidak dianggap sebagai hal yang tabu dan bukan faktor yang membuat para remaja itu menjadi remaja yang dianggap tidak baik. Konstruksi seperti ini terus terlihat pada film-film remaja hingga dekade 2000-an. Kedelapan film yang dianalisis dalam penelitian ini juga menunjukkan kecenderungan yang sama ketika berbicara tentang sosok remaja yang dianggap nakal. Kedelapan film tersebut menggambarkan remaja nakal sebagai remaja yang suka merokok, suka berkelahi, dan suka nongkrong bersama teman-temannya. Hal itu terlihat misalnya pada Gambar 2.
Gambar 2. Searah jarum jam, sosok Ali Topan, Guntur, Ricky, dan Jerry adalah representasi remaja nakal. Merokok adalah salah satu aktivitas yang menunjukkan ‘kenakalan” mereka Remaja yang suka merokok seperti terlihat pada Gambar 2 dianggap sebagai remaja yang nakal. Meskipun remaja-remaja tersebut punya prestasi, namun karena kebiasaannya merokok, suka berkelahi dan nongkrong membuat prestasi itu menjadi seolah-olah hilang karena tertutup oleh hal yang dianggap nakal tadi. Dalam film ‘Ali Topan Anak Jalanan’ misalnya, Topan sebetulnya adalah murid yang cerdas, jago matematika, dan pintar main basket. Pada saat ujian, ia selalu bisa menyelesaikan soal dengan benar dan paling cepat di antara 49
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 40-54
teman-temannya. Topan juga seorang remaja yang setia kawan dan suka menolong temannya. Akan tetapi sisi baik dari Topan tersebut menjadi tenggelam dengan perilaku bandelnya seperti yang tampak pada komentar gurunya pada dialog berikut ini, ketika Topan dipanggil menghadap direktur sekolah karena merokok di kantin: Maya : Kenapa si Topan, Bob? Bobby : Tahu, tuh Maya : Oya, kenalkan Bob (sambil menunjuk Anna di sampingnya) Bobby : Bobby Anna : Anna Guru : Kawanmu itu (Topan) memang istimewa, pintar tapi bandel (sambil geleng-geleng kepala)
Dari dialog di atas terlihat bahwa Guru pun melihat kualitas positif dari Topan yaitu pintar menjadi tereduksi atau bahkan bisa jadi hilang maknanya karena kualitas negatifnya sebagai remaja bandel. Hal yang sama juga terlihat pada sosok Ricky dalam film ‘Ricky Nakalnya Anak Muda’. Prestasi Ricky dalam bidang softball pun juga membuat teman-temannya menaruh respek padanya, meskipun citra Ricky sebagai anak nakal masih tetap menonjol di dalam film itu. Ricky dikenal sebagai pemain softball yang hebat. Ia menjadi andalan teman-teman satu klub softball-nya. Beberapa dialog dari teman-teman Ricky menggambarkan kekaguman mereka atas kemampuan Ricky dalam bermain Softball. Lita : Wik, Ricky itu siapa sih? Wiwik : Nanti Lu juga bisa tau sendiri siapa dia. Lita : Lumayan juga. Teman : Iya Lit, dia andalan di klub kita. Setiap pertandingan, kalo ada dia pasti menang melulu. Wiwik : Cuma, dia berandal. Sok jagoan Lita : Tapi, kelihatannya orangnya baik, yah?
Dari percakapan tersebut, teman-teman Ricky melihat dia sebagai sosok yang berprestasi bagi teman-teman seklubnya dan hal tersebut menjadi sisi positif seorang Ricky. Sementara di sisi lain, Wiwik menyebut Ricky seorang berandalan yang sok jagoan, 50
mengacu pada perilaku Ricky yang suka berkelahi. Istilah berandalan mengacu pada seseorang yang memiliki perilaku menyimpang dalam masyarakat, sedangkan jagoan sendiri berarti adalah orang yang suka berkelahi. Lita bahkan mengajukan kemampuan Ricky bermain softball sebagai salah satu kriteria laki-laki yang bisa dibanggakan ketika sedang berdebat dengan ayahnya. Ayah : Jadi kamu lebih suka sama cowok gondrong yang sok seniman itu ya? Anak pengusaha yang brengsek itu? Iya? Lita : Dia baik, Pa. Ayah : Lita, papa tau siapa ayahnya. Dan tau dari Bani siapa Ricky itu. Berandal pasar, tukang bikin onar, pemabuk, tukang ngebut. Apa yang kamu harapkan dari makhluk seperti itu? Ha? Apa? Lita : Dia pemain softball terbaik, Pa. Ayah : Sofball, sofball .. apa kamu bisa makan dengan itu?
Ayah Lita menilai Ricky sebagai sosok yang negatif. Hal itu ditunjukkan lewat serangkaian sebutan yang berkonotasi negatif. Misalnya rambut gondrong. Rambut gondrong memiliki konotasi negatif sebagai sosok pemberontak, yang anti tehadap kemapanan. Rambut gondrong identik dengan berandalan dan penjahat. Selain itu, ayah Lita juga menyebut Ricky dengan istilah "makhluk". Makhluk adalah sebutan bagi semua ciptaan Tuhan, misalnya makhluk hidup, makhluk sosial, makhluk beragama dan sebagainya. Namun, makhluk yang dimaksud ayah Lita di sini dapat dimaknai sebagai sosok di luar manusia. Kata makhluk yang diucapkan secara emosional, apalagi dengan beberapa istilah negatif sebelum kata tersebut diucapkan (berandal pasar, tukang bikin onar, pemabuk, tukang ngebut) menunjukkan bahwa makhluk yang dimaksud adalah bukan manusia atau manusia dengan perilaku menyimpang.
Role Model dan Gaya Hidup Masa remaja adalah masa ketika seorang individu sedang berusaha menemukan jati dirinya. Aktualisasi diri remaja dilakukan
Ratna Noviani -- Konsep Diri Remaja dalam Film Indonesia
dalam rangka menegaskan jati diri tadi di mana dalam hal keluarga dan lingkungan, memegang peran yang sangat penting. Tidak jarang remaja berusaha mencari dan melakukan identifikasi dengan sosok-sosok di luar dirinya dan menjadikannya sebagai role model. Pencarian role model ini menjadi salah satu hal yang diwacanakan dalam film remaja yang menjadi korpus analisis. Ada kesamaan tentang role model yang menjadi rujukan para remaja dalam mencari jati dirinya. Dari dekade ke dekade terlihat bahwa idola dari negara Barat menjadi sosok yang disukai dan dianggap penting oleh remaja dan menjadi acuannya untuk melakukan identifikasi diri. Salah satu dialog dalam film GCdS menunjukkan hal itu: Antok : Erlin Erlin : Ada apa? Antok : Bilang sama Nana, ada salam dari David Cassidy Erlin : David Cassidy??..ha..ha..ha.. Antok : Ssstt....jangan keras-keras ngomongnya, ahh Erlin : David Cassidy lagi nahan batuk? Boleh jadi.... (pergi sambil tertawa geli) Antok : Huuhh (kesal)
Pada dialog di atas, terlihat bagaimana Antok mencoba mengidentifikasikan dirinya dengan figur David Cassidy, yaitu seorang aktor dan penyanyi asal Amerika. David Cassidy pada awal tahun 1970-an memang merupakan sosok artis terkenal terutama karena perannya dalam sebuah komedi situasi musikal berjudul The Patridge Family (www.davidcassidy.com). Meskipun demikian, popularitas David Cassidy di Indonesia lebih karena sosoknya sebagai musisi dengan lagu-lagunya. Pada era tersebut, David Cassidy menjadi teen idol atau idola kawula muda yang sangat dipuja dan memiliki karier sukses di panggung hiburan. Antok mencoba mendefinisikan dirinya sebagai sosok yang mirip dengan David Cassidy. Upaya ini dia lakukan sebagai salah satu cara untuk mendekati Ratna. Meskipun upaya Antok ini mendapat cemoohan dari Erlin, tetapi film ini telah menunjukkan bahwa David Cassi-
dy sebagai artis asing telah menjadi seorang role model bagi remaja di Indonesia, khususnya remaja pria seperti Antok. Biasanya, remaja tersebut akan melakukan peniruan atau imitasi, baik imitasi dari sisi fisiknya seperti mengikuti gaya rambutnya, cara berpakaian, gaya bicaranya maupun dari sisi non-fisik seperti sikap dan gaya hidupnya. Mengenai bagaimana remaja Indonesia mengenal sosok David Cassidy tentu tidak bisa dilepaskan dari peran media, khususnya media radio, di mana lagu-lagu David Cassidy banyak diperdengarkan pada publik Indonesia. Identifikasi terhadap sosok dari Barat juga turut mempengaruhi selera berpakaian dari kaum remaja pada dekade 1970-an. Pada film ‘Ali Topan’ misalnya, Topan dan teman-temannya digambarkan mengenakan jaket yang ditempeli dengan beberapa badge. Model jaket seperti ini ternyata terinspirasi gaya berbusana anak-anak muda di Amerika pada tahun 1970-an khususnya ketika gerakan anti perang Vietnam digaungkan pada tahun 1972 (Herald, 2007: 9). Model jaket seperti itu terinspirasi oleh seragam militer dari tentara Amerika yang pada saat itu banyak dikirim ke Vietnam. Selain itu, model celana jeans bell-bottoms seperti yang dikenakan oleh Topan dan teman-teman juga merupakan trend fashion yang sangat populer di Barat pada era 1960an dan 1970-an (Pendergast & Pandergast. 2004: 902) sama halnya dengan sepatu kulit bersol tebal seperti yang dikenakan oleh Topan dan teman-temannya. Syal yang dililitkan di leher Topan juga merupakan trend fashion yang terinspirasi dari gaya penampilan penyanyi atau grup band rock terkenal pada era tersebut. Herald misalnya melihat bahwa penyanyi Rod Stewart atau David Bowie sering mengenakan syal semacam itu ketika bernyanyi di panggung (2007: 41). Sementara dalam film Lupus, John Taylor, basis kelompok musik Duran-duran menjadi sosok ideal yang diidentifikasi oleh remaja-remaja seusia Lupus. Pada era 1980-an itu, John Taylor banyak disukai oleh remaja di seluruh dunia, termasuk Indonesia terutama perempuan karena wajahnya yang tampan. Penampilan Lupus, juga teman-te51
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 40-54
mannya identik dengan gaya dan penampilan Taylor dengan rambut gondrong berjambul yang ditata klimis dengan menggunakan styling foam, dan t-shirt di bagian dalam plus kemeja yang terbuka di bagian luarnya yang dipadu dengan celana jeans. Begitu pula dengan penampilan remaja perempuan yang kerap menggunakan blus atau t-shirt dengan rok mini atau celana panjang yang berbahan jeans. Gaya berpakaian mereka adalah gaya berpakaian yang diadopsi dari fashion yang berkembang di Barat. Kedekatan anak muda secara kultural dengan para selebritis asing tersebut menjadi simbol gaya hidup anak muda yang modern. Seperti telah dijelaskan di atas, anak muda adalah usia dinamis di mana mereka akan mudah terpengaruh gaya hidup asing. Dalam hal berpakaian, remaja menjadi agent of mode. Dalam hal ini, remaja yang modern adalah remaja dengan penampilan ala Barat. Oleh karena itu, mereka cenderung menghindari pergaulan atau menjadi bagian dari sesuatu yang dianggapnya tidak modern atau kuno dan ketinggalan zaman. Anak-anak muda menjadi tidak nyaman bergaul dengan mereka yang dianggap kuno. Trend fashion seperti itu bertahan sampai pada awal 1990-an, seperti yang terlihat dalam film Olga maupun Ricky. Pada film Ekskul, sosok yang menjadi idola remaja Joshua adalah Kurt Cobain. Pemujaan terhadap sosok Kurt Cobain di dalam film tersebut pada akhirnya membawa Joshua mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama dengan yang dilakukan oleh Kurt Cobain yaitu menembak kepalanya sendiri dengan pistol. Dari kedelapan film tersebut terlihat bahwa meniru gaya hidup yang berasal dari budaya asing dari dekade ke dekade dianggap sebagai sebuah keharusan jika remajaremaja itu tidak ingin disebut sebagai remaja kuno. Pada film ‘GCdS dan Ali Topan’, gaya hidup ala Barat ini memang diwacanakan sebagai sesuatu yang cenderung negatif dan dianggap bisa merusak rasa cinta pada budaya dan kesenian anak bangsa. 52
Pada film GCdS khususnya, remaja yang baik didefinisikan sebagai remaja yang tidak hanyut dengan pengaruh budaya asing. Menyatunya berbagai kesenian tradisional dalam satu panggung pentas seni dalam film tersebut merupakan metafora negara Indonesia, yang terdiri dari banyak etnis dan budaya, tetapi menjadi satu kesatuan, Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini dipertegas misalnya melalui bahasa visual panggung. Para penari dan penyanyi dengan berbagai kostum tadi, tampil dengan sangat kompak di atas panggung dengan latar belakang bendera merah putih. Wacana film ini tampaknya berkaitan dengan manuver pemerintahan Orde Baru pada era 1970-an untuk membangun Taman Mini Indonesia Indah. Proyek Taman Mini ini sebetulnya diprakarsai oleh Ibu Tien Soeharto, yaitu berupa miniatur pulau-pulau di Indonesia yang disatukan dalam satu taman. Meskipun memunculkan kontroversi seperti isu korupsi dalam proyek ini, namun pembangunan Taman Mini terus berlanjut sebagai upaya pemerintah Orde Baru untuk mempromosikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Vickers 2005, 165). Tidak heran jika film Ali Topan yang juga diproduksi tahun 1970-an mewacanakan Topan dan teman-temannya sebagai sosok remaja yang negatif karena ditampilkan sangat mengikuti gaya hidup Barat baik dari fashion maupun selera lagu. Namun, mulai tahun 1980-an film-film remaja justru semakin akrab dan terbiasa dengan simbol-simbol yang menandai pengaruh asing di Indonesia. Pada film tahun 1980-an, tidak hanya selera fashion yang meniru penyanyi dari Amerika, tetapi pesta dansa dan shopping mall sudah digambarkan sebagai bagian dari gaya hidup remaja pada saat itu. Maraknya gaya hidup yang dipengaruhi oleh budaya asing di dalam film remaja tahun 1980-an tampaknya berkaitan dengan konteks sosial di Indonesia pada dekade tersebut. Pada pertengahan 1980-an, Indonesia mengalami booming ekonomi seiring dengan kebijakan liberalisasi ekonomi dan keterbu-
Ratna Noviani -- Konsep Diri Remaja dalam Film Indonesia
kaan yang dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru (Vickers, 2005: 198). Akibatnya Indonesia membuka pintu investasi untuk investor asing dan arus kapital pun bergerak dengan lebih bebas. Pada pertengahan 1980-an pertumbuhan ekonomi pun meningkat lebih dari 7 %, bisnis pun jadi booming di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya tanda-tanda budaya konsumen seperti shopping mall, café-café, dan restoran waralaba dari Barat seperti McDonald. Anak-anak muda di Indonesia pun mulai sangat akrab dengan budaya-budaya populer dari Barat dan mulai aktif berpartisipasi dalam gaya hidup konsumtif. Gaya hidup seperti ini makin terlihat jelas pada film remaja dekade 1990-an. Dalam film Olga dan Ricky, negara Barat yang mengacu pada Amerika dan Eropa terasa makin kental terutama terlihat dari dialog-dialognya yang banyak menggunakan sisipan-sisipan bahasa Inggris. Bahkan untuk bersekolah pun, ‘luar negeri’, terutama Barat dianggap sebagai tempat bersekolah yang ideal. Kiblat ke Barat sebagai barometer kemajuan dan modernitas juga terkait dengan konteks sosial budaya di Indonesia pada tahun 1990-an. Seperti yang dikemukakan oleh Vickers (2005: 199) sejak dimulainya era keterbukaan pada pertengahan 1980-an, arus kapital dan budaya dari Barat seakan tidak terbendung lagi masuk ke Indonesia. Pada tahun 1990-an muncul istilah baru yang digaungkan oleh media yang menunjukkan keterlibatan Indonesia yang semakin intens dalam komunikasi dan interaksi global, yaitu globalisasi. Di era globalisasi ini, berbagai sekat yang membatasi hubungan antar bangsa pun menjadi semakin hilang berkat perkembangan media dan teknologi komunikasi. Tidak heran jika apapun gaya yang sedang trend di Barat dengan cepat diadopsi dan bisa ditemukan serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Gaya hidup global yang difasilitasi oleh teknologi komunikasi yang makin canggih juga diwacanakan oleh film remaja pada dekade 2000-an. Remaja di dalam film ini, digambarkan sebagai remaja yang melek
teknologi. Joshua misalnya, digambarkan belajar tentang seluk-beluk pistol dan cara merakitnya dari internet. Handphone pun digambarkan sebagai alat komunikasi yang sudah biasa dan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari kaum remaja. Akibat dari perkembangan teknologi dan konsumsi teknologi yang dilakukan oleh remaja, berbagai hal yang datang dari Barat pun seolah tidak terfilter lagi. Artinya, remaja bisa dengan bebas mengaksesnya dan digambarkan mengikutinya. Seperti penyanderaan yang dilakukan oleh Joshua, oleh film Ekskul perilaku itu dianggap seperti kisah di dalam film-film Barat Hollywood. Joshua sendiri dengan teknologi internet dan media mempelajari drama penyanderaan dan juga cara menggunakan senjata. Cara mengakhiri hidupnya pun, juga mencontoh cara Kurt Cobain yang notabene adalah penyanyi dari Barat. Berbagai hal yang berbau Barat menjadi sesuatu yang sudah akrab menjadi bagian dari gaya hidup remaja dan tidak diwacanakan sebagai sesuatu yang negatif.
SIMPULAN Analisis terhadap delapan film remaja yang diproduksi dari tahun 1970-an hingga 1980-an menunjukkan adanya pergeseran wacana tentang dinamika dunia remaja yang semakin kompleks dari dekade ke dekade. Wacana tentang remaja yang dianggap baik dan remaja yang dianggap nakal cenderung tidak berubah dari dekade ke dekade. Remaja yang baik selalu diwacanakan lewat figur remaja yang pandai, aktif, dan berprestasi. Sedangkan remaja yang nakal adalah remaja yang suka membuat masalah baik di rumah maupun di sekolah, merokok, mabuk, dan suka berkelahi. Dalam proses pembentukan identitas dirinya, remaja juga digambarkan membutuhkan role model yang dari dekade ke dekade selalu mengacu pada figur yang berasal dari Barat, khususnya dari Amerika dan Eropa. Gaya hidup yang dipengaruhi oleh budaya asing semakin dianggap sebagai sesuatu yang ideal, dianggap lebih baik, ditiru, dan menjadi indikator perkembangan zaman. 53
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 40-54
Remaja yang tidak mengikutinya cenderung dianggap sebagai kuno dan ketinggalan zaman.
DAFTAR PUSTAKA Brown, Jane Delano, Jeanne R. Steele and Kim Walsh, 2002, Sexual Teens, Sexual Media, Lawrence Erlbaum Associates. Clark, Marshall, 2004, Men, Masculinities and Symbolic Violence in Indonesian Cinema dalam Journal of Southeast Asian Studies Vol. 35 (1), hlm. 113-131. Corey, Anton and Valerie V. Peterson, 2003, “Who Said What: Subject Positions, Rhetorical Strategies and Good Faith.” In Communication Studies Journal, Winter. Diunduh dari http://findarticles. com/p/articles/mi_qa3669/ is_200301/ ai_n9235810 [Diakses pada 05 July 2007]. Fairclough, Norman, 2000, Critical Analysis of Media Discourse”, dalam Paul Marris & Sue Thornham (eds.), Media Studies: A Reader, 2nd ed. Washington Square, New York: New York University Press. Grant, Barry Keith, 2003, Film Genre Reader III, Texas: University of Texas Press. Gross, Candace M., Anne N. Rinn & Kelly M. Jamieson, 2007, Gifted Adolescents’ Over-excitabilities and Self-Concept dalam Roeper Review Vol 29 No. 4, hlm. 240-248. Hall, Stuart, 1995, “The White of Their Eyes: Racist Ideologies and the Media”, dalam Dines, Gail and Jean M. Humez (eds.), Gender, Race and Class in Media: A Text Reader, London: Thousand Oaks & New Delhi: Sage Publications. — — — — — — — — — , 1997, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage. Hanan, David, 2008, “Changing Social Formations in Indonesian and Thai Teen Movies”, dalam Ariel Heryanto (ed.), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics. London: Routledge, hlm. 54-69.
54
Herald, Jacqueline, 2007, Fashions of a Decade The 1970s, New York: Chelsea House. Hurlock, Elizabeth, 1999, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga. Icon Group International, 2008, Teenagers: Webster’s Quotations, Facts and Phrases. Kellner, Douglas, 1995, Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics bet-ween the Modern and the Postmodern, London & New York: Routledge. Kirsh, Steven J, 2006, Children, Adoloscents and Media Violence, London: Sage. Pandergast, Sara, Tom Pandergast, 2004, Fashion, Costume and Culture: Clothing, Headwear, Body Decorations, and Foot-wear through Ages, vol, Modern World Part II: 1946 to 2003. New York: Thomas & Gale. Retnaningish, Ritandiyono, 1996, Aktualisasi Diri, Jakarta: Gunadarma. Shary, Timothy, 2005, Teen Movies: American Youth on Screen, New York: Wallflower Press. Siregar, Ashadi, 2008, Manfaat Media untuk Menunjang Perkembangan Remaja. Diunduh dari http://ashadisiregar.files. wordpress.com/2008/08/manfaatmedia-massa-perkembangan-remaja. pdf (Diakses pada 10 Maret 2009). Sen, Krishna & David T. Hill, 2000, Media, Culture and Politics in Indonesia, New York: Oxford University Press. Tanjung, Akbar, 2007, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Vickers, Adrian, 2005, A History of Modern Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press. Widyastuti, Rini, 2006, Remaja dan Media, Kompas, 10 Februari 2006. Yudhistira, Aria Wiratama, 2010, Dilarang Gondrong: Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970an, Jakarta: http://www. davidcassidy. com. (Diakses tanggal 23 Agustus 2009).
Nisa Kurnia -- Diskursus "Illegitimate Sexual Activity" Anak Bangsa dalam Perspektif Tabloid Indonesia
KAWISTARA VOLUME 1
No. 1, 21 April 2011
Halaman 1-102
DISKURSUS “ILLEGITIMATE SEXUAL ACTIVITY” ANAK BANGSA DALAM PERSPEKTIF TABLOID INDONESIA Nisa Kurnia I Staf Pengajar Universitas Airlangga Surabaya Email:
[email protected]
ABSTRACT In Indonesia, sexual activity that has not been legitimized by the state is one of the realities that are constructed by the language of “masculine-heterosexual”, as an absolute discourse defines in the hands of the state. This paper is about to dismantle about usage of “masculine-heterosexual” language by the Indonesian mass media discourse in defining and putting illegitimate sexual activity in the landscape of the nation’s sexuality discourse in Indonesia. Using critical multiculturalism framework, identity theory and constructivist paradigm, this paper will explore discourse articulated by mass media in the articles that explain those matters. Using discourse analysis as the method, there’s four tabloids as research subject, Tabloid Nova No. 1165/XXIII 21-27 Juni 2010, Tabloid Bintang Edisi 997 Tahun XX Minggu Ketiga Juni 2010, Tabloid Wanita Indonesia No. 1069 21-27 Juni 2010, and Tabloid Genie Edisi 50 Tahun VI, 21-27 Juni 2010. Keywords: nation identity, illegitimate sexual activity, media studies, discourse analysis, Indonesian’s tabloid.
ABSTRAK Di Indonesia, aktivitas seksual yang belum dilegitimasi oleh negara merupakan salah satu realitas yang dikonstruksi oleh bahasa “maskulin-heteroseksual” yang dalam konteks tersebut merupakan diskursus yang pendefinisiannya mutlak di tangan negara. Tulisan ini hendak membongkar lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa “maskulin-heteroseksual” oleh media massa Indonesia dalam mendefinisikan serta meletakkan diskursus illegitimate sexual activity anak bangsa dalam lanskap diskursus seksualitas Indonesia. Menggunakan kerangka pikir critical multiculturalism, teori identitas serta paradigma konstruktivis yang berargumen bahwa media massa merupakan agen konstruksi realitas, tulisan ini hendak mengeksplorasi diskursus yang berusaha diartikulasikan media dalam artikel-artikel yang membahas mengenai hal tersebut. Untuk memetakan diskursus tersebut digunakan metode analisis wacana. Empat tabloid yang digunakan sebagai subjek penelitian, yaitu Tabloid Nova No. 1165/XXIII 21-27 Juni 2010, Tabloid Bintang Edisi 997 Tahun XX Minggu Ketiga Juni 2010, Tabloid Wanita Indonesia No. 1069 21-27 Juni 2010, dan Tabloid Genie Edisi 50 Tahun ke VI, 21-27 Juni 2010. Kata kunci: illegitimate sexual activity, identitas bangsa, media studies, analisis wacana, tabloid Indonesia.
55
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 55-67
PENGANTAR Di Indonesia, sebuah aktivitas seksual yang belum dilegitimasi oleh negara merupakan salah satu realitas yang dikonstruksi oleh bahasa “maskulin-heteroseksual” (Alimi, 2004: 64). Pengkonstruksian tersebut juga berlaku dalam pendefinisian realitas video mirip Ariel-Luna Maya-Cut Tari, yang utamanya dilakukan oleh media massa. Tulisan ini hendak membongkar lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa “maskulinheteroseksual” oleh medua massa Indonesua dalam mendefinisikan serta meletakkan diskursus illegitimate sexual activity anak bangsa dalam lanskap diskursus seksualitas Indonesia. Untuk memetakan diskursus itu, saya menggunakan beberapa tabloid yang membingkai kasus celebrity porn video yang sanggup menyaingi gempita World Cup 2010, di Indonesia (Tabloid Bintang, Edisi 997, 2010: 3). Kasus illegitimate sexual activity yang melibatkan selebriti ini sebenarnya bukan yang pertama di Indonesia. Namun, yang menyebabkannya mencuat di puncak diskursus adalah para pelakunya yang tengah berada pada puncak popularitas (Tabloid Nova, No.1165, 2010: 3). Seperti yang diungkapkan oleh O’Guinn (2003 dalam Ibrahim, 2007: 133): “Masyarakat abad ke-21 segalanya adalah mengenai selebriti”. Apalagi masyarakat Indonesia yang dicekoki tayangan berbumbu selebritas tiap hari dengan intensitas yang tidak bisa dikategorisasikan sebagai sedikit, hingga menganggap kehidupan selebritas menjadi makanan pokok yang tidak mungkin dilewatkan (Haryanto, 2006: 5). Selain acara infotainment di televisi, salah satu media massa garda depan yang menjadikan selebritas sebagai bahan dasarnya adalah tabloid. Menjadi semakin problematis manakala pasangan selebritis yang tengah disorot tersebut menjadi salah satu pasangan “panutan” bagi para remaja Indonesia (http:/ /www.facebook.com/74677948965/). Selain status sebagai selebritis, kedua individu tersebut memiliki status lain sebagai bagian dari bangsa Indonesia, saya menggunakan istilah anak bangsa. Kasus illegitimate sexual 56
activity di Indonesia yang dilakukan oleh para remaja semakin meningkat tiap tahunnya, ditambah lagi dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi yang digunakan untuk mendokumentasikan sekaligus menyebarluaskan aktivitas tersebut. Fenomena ini seolah-olah memecahkan puncak gunung es kasus illegitimate sexual activity yang banyak mencuat pada kondisi realitas Indonesia. Urgensi untuk “meluruskan” diskursus illegitimate sexual activity mulai muncul manakala seksualitas sebagai salah satu bagian dari identitas nasional bangsa mulai dipertanyakan. Identitas nasional sendiri merupakan salah satu konsep yang problematis di Indonesia. Anggapan bahwa identitas nasional merupakan sesuatu yang given dan karenanya mutlak dilekatkan pada tiap individu, sehingga mengarahkan segala tingkah laku mengikuti standar nilai “nasional” tersebut, menyebabkan berbagai problem yang paradoksal. Sesuai dengan pemikiran Anderson (1983: 5-6) yang mendefinisikan bangsa sebagai “imagined political community and imagined as inherently limited and soveirgn” sehingga konstruk sebuah kondisi kebangsaan pada dasarnya merupakan diskursus ideologi yang dibayangkan. Menjadi menarik manakala bangsa yang pada dasarnya dibentuk dari beragam latar belakang sosial budaya ditransformasikan menjadi suatu konsep “nasional” yang memiliki nilai seragam. Inilah yang menyebabkan bangsa menjadi sebuah fenomena modern, sejarah dan kebersamaan yang dibentuk dan dibayangkan, dengan cepat dan secara terus-menerus, oleh banyak orang. Bangsa kemudian menjadi ada melalui sebuah system of signification (Ibid, 40). Karenanya, kebangsaan merupakan sebuah bayangan yang dibangun dan direproduksi terus-menerus melalui sistem pemaknaan serta bahasa yang digunakan oleh individu dalam kehidupan kesehariannya di dalam masyarakat. Menurut Hall, nilai-nilai dasar kebangsaan tersebut dibentuk dari the narrative of nation (Hall, 1992: 293). A set of stories, image, landscapes, scenarios, historical events, national symbols and rituals which
Nisa Kurnia -- Diskursus "Illegitimate Sexual Activity" Anak Bangsa dalam Perspektif Tabloid Indonesia stand for or represent the shared experience which give meaning to the nation.
Reproduksi nilai-nilai kebangsaan melalui sistem penandaan tersebut turut mengkonstruksi sebuah konsep seksualitas yang dianggap “pantas” oleh negara untuk dilekatkan pada tiap warganya. Akibat dari reproduksi konsep kebangsaan melalui sistem penandaan tersebut, konstruksi mengenai identitas individu yang menjadi anggota suatu bangsa pada dasarnya akan selalu berubah bergantung pada penguasa sistem penandaan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Foucoult (1968: 127): But we know very well that, in its distribution, in what it permits and what it prevents, it follows the lines laid down by social differences, conflicts and struggles. Every educational system is a political means of maintaining or modifying the appropriation of discourses, with the knowledge and power they bring with them.
sehingga diskursus ke”bangsaan” menjadi terartikulasikan dalam penggunaan bahasa sehari-hari dalam membingkai sebuah realita. Realita yang bersinggungan langsung dengan lokus identitas, seperti etnisitas, agama, kelas, wilayah serta gender dan seksualitas menjadi bergantung pada penggunaan bahasa tersebut untuk mendefinisikannya. Termasuk dalam kasus video “mirip” artis tersebut. Seperti yang disampaikan oleh Foucault, heteroseksualitas bukan hanya didirikan di atas naturalisasi dan pelipatgandaan tingkah laku seksual yang prokreatif, melainkan juga pada patologisasi, abnormalisasi setiap bentuk praktik seksual yang nonprokreatif. Sehingga bagi setiap aktivitas seksual yang dinilai nonprokreatif, yang dalam konteks paper ini adalah illegitimate sexual activity didefinisikan sebagai sesuatu yang patologis. Pemerintah Indonesia, khusunya pada masa Orde Baru yang mengusung konsep negara integralistik (Suryakusuma, 1991 dalam Hadiz, 2004: 355) menganalogikan Negara dengan konsep azas kekeluargaan. Dengan kata lain, negara sebagai keluarga yang memiliki dasaran UUD 1945 sehingga menggunakan Patrimonialisme (suatu
ideolog yang menggabungkan laki-laki dan perempuan dalam suatu konteks yang integral (rumah tangga) sebagai landasan struktur pelapisan sosial di Indonesia, dengan Presiden sebagai Bapak Utama. Terdapat ciri hubungan kawula-gusti yang kuat dalam budaya politik Jawa, yang ditandai oleh hormat pada kekuasaan dan otoritas, yang sejalan dengan hirarkhi. “Kawula” digunakan sebagai kata ganti orang dengan kedudukan yang lebih rendah, sementara “Gusti” digunakan untuk penguasa atau yang lebih tinggi. Salah satu slogan yang diusung Orde Baru adalah proyek “Pembangunan Nasional” yang membutuhkan pemerintah yang kuat, stabil dan berwibawa, yang didukung oleh aparat negara yang “sempurna”, salah satunya adalah keluarga sebagai bagian integralistik dari negara. Rumah tangga adalah merupakan unit masyarakat yang terkecil dari sebuah negara … Negara hanya akan kuat apabila terhimpun dari rumah tangga-rumah tangga yang kuat. Negara yang adil hanya akan terwujud dari susunan rumah tangga yang adil. (Rekso Soedirjo, 1990:17; Hadiz, 2004:360)
Oleh karena itu, menegakkan sebuah rumah tangga berarti ikut berpartisipasi menegakkan suatu Dasar Negara. Pandangan konstruksi identitas nasional bangsa yang didengungkan pada masa Orde Baru ternyata masih direproduksi pada masa reformasi. Sesuai dengan pandangan heteronormativitas yang lebih memihak pada politik maskulin, negara sebagai manifestasi puncak dari konsep “keluarga” tersebut memiliki kewajiban untuk “menjaga” anak-anak bangsa mereka menggunakan ideological state apparatus yang salah satunya diartikulasikan oleh media massa. Untuk mempertahankan diskursus kebangsaan yang sesuai dengan identitas nasional maka seluruh proses yang menggunakan sistem penandaan dikonstruk sedemikan rupa sehingga berjalan sejalan dengan the narrative of nation. Saya menggunakan empat tabloid untuk membongkar konstelasi diskursus illegitimate sexual activity di Indonesia yang direpresentasikan oleh kasus celebrity porn vi57
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 55-67
deo tersebut. Pemilihan tabloid sebagai objek pengamatan bukannya tanpa implikasi, mengingat tabloid merupakan suatu media yang pada dasarnya memiliki segmentasi kelas bawah, salah satu indikatornya adalah harganya yang berada pada kisaran 60007000 rupiah serta bahan dasarnya yang dari kertas koran, bukan glossy (McLaughlin, 2000: 5). Penggunaan kata glossy adalah salah satu indikator dari media massa yang ditujukan untuk kelas menengah. Sehingga, asumsi dasar yang digunakan bahwa menurut kelas tersebut, isu illegitimate sexual activity masih menjadi diskursus seksualitas yang memiliki tingkat urgensi cukup tinggi mengingat peletakannya sebagai isu utama di semua tabloid yang tengah beredar pada masa ini. Menggunakan pendekatan ‘critical multiculturalism’, penulis hendak membedah konstelasi wacana multikulturalisme dan seksualitas yang berusaha diartikulasikan melalui artikel-artikel dalam keempat tabloid yang digunakan sebagai sampel. Untuk memaparkan realitas seksualitas dan multikulturalisme tersebut, penulis akan memperhatikan beberapa elemen. Karena sebuah pendekatan critical multiculturalism memiliki perspektif yang cukup luas, sehingga penilaian mengenai realitas multikultur harus disarikan dari berbagai elemen pembentuk diskursus. Seperti yang diungkapkan oleh Kellner (Ibid): A critical multicultural perspective takes seriously the conjunction of class, race, ethnicity, gender, sexual preference, and other determinants of identity as important constituents of culture which should be carefully scrutinized and analyzed in order to detect sexism, racism, classism, homophobia, and other tendencies that promote domination and oppression.
Untuk itu, saya akan memaparkan pemosisian pelaku dan korban, serta peran serta saksi ahli yang memiliki legitimasi pengetahuan untuk menjustifikasi kebenaran video tersebut, dan yang terakhir posisi negara sebagai puncak legitimasi seksualitas, untuk menganalisis bagaimana diskursus seksualitas dalam perspektif critical multicul58
turalism dalam artikel-artikel yang ditampilkan oleh tabloid-tabloid tersebut. Dengan pendekatan ini diharapkan hasil analisis yang lebih komprehensif. Pertanyaan utama yang akan dijawab melalui tulisan ini adalah bagaimanakah artikel-artikel dalam tabloid Indonesia mengartikulasikan diskursus seksualitas anak bangsa, utamanya illegitimate sexual activity, melalui sistem penandaan, menggunakan perspektif multikulturalisme kritis.
Identitas dan Tabloid sebagai Agen Konstruksi Realitas Pendefinisian mengenai gender dan seksualitas sebagai salah satu lokus identitas individu sendiri selalu mengalami perdebatan. Menurut Judith Butler (1999: 25), gender itu bersifat performatif, hal ini menyatakan secara tidak langsung bahwa identitas gender seseorang dihasilkan melalui penampilan (performance) dan permainan peran (role-playing). Pengulangan memainkan peran penting dalam proses ini, karena dengan menampilkan tindakan-tindakan tertentu secara berulang individu memperoleh sebuah identitas koheren yang nyata. Selanjutnya pengulangan didikte oleh seperangkat tata nilai yang berupa ekspektasi oleh budaya tertentu terhadap anggotanya, oleh ideologi dominan dan cara-cara mengatur perilaku seksual. ‘Performa gender’, menurut Butler, bergantung pada praktik-praktik pengulangan rezim-rezim seksual yang bersifat mengendalikan. Sebuah peran gender, oleh karenanya, tidak bersifat alami maupun opsional. Pada kenyataannya peran gender terkonstruksi oleh pelbagai wacana kultural, dan khususnya oleh bahasa. Melalui kegiatan mendisiplinkan tubuh dan menyesuaikannya dengan performa gender yang dituntut oleh lingkungan sosiokultural akan memungkinkan terjadinya, apa yang disebut Foucault sebagai “ledakan diskursus seksualitas”. Menurut Foucault (1988 dalam Alimi, 2004: 76), seksualitas merupakan ruang yang paling dalam tempat terkuburnya kebenaran tentang diri, sebagai inti esensial
Nisa Kurnia -- Diskursus "Illegitimate Sexual Activity" Anak Bangsa dalam Perspektif Tabloid Indonesia
yang mendasari kesadaran rasional yang mungkin muncul dan membentuk identitas. Sebagai respons atas pemikiran tersebut, Yuval Davis (1977 dalam Alimi, 2004: 76) mengungkapkan bahwa seksualitas memainkan peranan penting dalam reproduksi bangsa secara sosial (the social production of nation) atau disebut juga dengan kulturnation dan reproduksi bangsa secara biologis (the biological production of nation) atau disebut juga sebagai volknation. Melalui kulturnation, relasi gender dan seksual digunakan sebagai pusat pembentukan identitas nasional. Sementara volknation, digunakan untuk mengamankan integritas bangsa, batas dan fungsi tubuh diatur ketat. Batas-batas ditentukan, dijaga, dan para penyimpang seksualnya diidentifikasi melalui teknikteknik baru pengetahuan, dan dieksklusi melalui teknik “kuasa” sehingga bangsa dapat mengonsolidasikan pemahaman komunitas yang lebih kuat. Sejalan dengan pemikiran tersebut, proses pendefinisian sebuah praktik seksual menjadikan “the narrative of nation” sebagai acuan utama. Tabloid merupakan sebuah produk budaya yang dibuat oleh suatu institusi media massa yang notabene merupakan bagian dari masyarakat sosial itu sendiri. Menurut McQuail (2000: 61) tabloid (media massa), budaya (culture), dan masyarakat (society) adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan. Tabloid merupakan suatu produk budaya yang memanifestasikan gagasangagasan suatu masyarakat mengenai suatu realita (objek). Objek tersebut tidak sertamerta ditampilkan sebagaimana adanya, melainkan mengalami sebuah presentasi ulang yang merupakan hasil konstruksi pihak yang memroduksi teks tersebut. Bahasa populer untuk realitas kedua ini adalah representasi. Menurut Stuart Hall (2002: 15) yang dimaksud dengan representasi adalah suatu aktivitas komunikasi yang menggunakan bahasa yang memiliki makna tertentu yang didefinisikan secara sosiokultural untuk menggambarkan, mewakilkan, atau mempresentasikan ulang suatu objek (atau realita). Sehingga proses representasi pada dasarnya adalah proses meng-
konstruksi ulang realita melalui bahasa yang memiliki pemaknaan konsensual. Bentuk representasi realitas ideal ini pada akhirnya menjadi suatu praktik diskursif yang dijalankan oleh sistem masyarakat untuk melanggengkan status quo mereka. Dapat dikatakan bahwa melalui tabloid, institusi yang memroduksinya juga melakukan penetrasi ideologi terhadap para pembacanya dalam bentuk representasi realitas tersebut. Sehingga sedikit banyak dapat dikatakan bahwa praktik diskursif yang berlangsung dalam sebuah tabloid, sebenarnya juga tengah berlangsung dalam realitas sosial masyarakat itu sendiri. Praktik-praktik diskursif tersebut pada akhirnya memproduksi, mereproduksi, atau bahkan melanggengkan wacana yang mendukung suatu kekuasaan dominan yang menghasilkan “common sense” atau “taken for granted” bagi publik yang mengonsumsinya. Dapat dikatakan bahwa tabloid menampilkan suatu realitas simbolis yang merupakan representasi dari realitas faktual yang terjadi di lingkungan sosial. Realitas simbolis ini diproduksi melalui interaksi simbolis yang dibentuk oleh bahasa dan konvensi atau pemaknaan bersama (Fiske, 1996: 5356). hingga penggunaan bahasa yang digunakan untuk merepresentasikan realitas tersebut menjadi bias dan tidak bebas nilai. Oleh karena itu, dalam setiap pemilihan bahasa yang hendak digunakan selalu ada nilai-nilai yang melekat dalam penggunaan bahasa tersebut. Penggunaan bahasa di sini tidak hanya terbatas pada kata-kata, melainkan juga pada atribut, gestur, serta bahasabahasa tabloid seperti angle, plot, ataupun layout (McLaughlin (2000: 8). Jadi, pada dasarnya realitas simbolis yang ada pada tabloid memberikan penawaran nilai-nilai tertentu kepada pembacanya mengenai kondisi masyarakat yang ideal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis paradigma kritis, menggunakan metode Discourse Analysis. Pendekatan kualitatif artinya penelitian ini adalah sebuah Grounded Research yang berangkat dari fenomena sosial yaitu konstruksi sosial mengenai konsep “illegitimate sexual activi59
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 55-67
ty” yang direpresentasikan dalam tabloid Indonesia. Fenomena ini dianalisis menggunakan paradigma kritis yang dasar filosofinya adalah realitas sosial yang ada sekarang ini adalah sebuah realita yang timpang dikarenakan adanya dominasi dari kelompok tertentu yang melanggengkan kekuasaannya melalui wacana dalam kehidupan sehari-hari (everydaylife discourse). Sehingga Discourse Analysis dalam konteks penelitian ini digunakan sebagai instrumen dalam upaya peneliti untuk memahami, mengungkap, membongkar, dan akhirnya melawan struktur kekuasaan yang terbentuk dari wacana-wacana yang dilanggengkan oleh kultur mengenai diskursus “illegitimate sexual activity” anak bangsa dalam tabloid Indonesia. Keempat tabloid yang saya gunakan adalah, Tabloid Nova No. 1165/ XXIII 21-27 Juni 2010, Tabloid Bintang Edisi 997 Tahun XX Minggu Ketiga Juni 2010, Tabloid Wanita Indonesia No. 1069 21-27 Juni 2010, dan yang terakhir adalah Tabloid Genie Edisi 50 Tahun ke VI, 21-27 Juni 2010.
PEMBAHASAN Siapa Pelaku, Siapa Korban? Salah satu perdebatan yang timbul dari munculnya kasus ini adalah mengenai posisi pelaku dan korban. Dari judul yang terpampang di sampul depan tabloid-tabloid tersebut sudah tampak penggunaan sistem penandaan yang mengartikulasikan pandangan mereka mengenai posisi korban dan pelaku. Judul yang diusung oleh Tabloid Nova yaitu “Main Api Terbakar Sendiri” jelas memosisikan para anak bangsa yang terlibat sebagai pemain video tersebut sebagai pelaku yang sudah selayaknya mendapat hukuman. Penggunaan metafora main api terbakar sendiri, memiliki makna denotatif bahwa para pemeran dalam video tersebut telah melewati batas-batas norma kesusilaan di Indonesia sehingga mereka “wajar” memperoleh akibatnya. Sudut pandang lain ditampilkan oleh Tabloid Genie yang memilih judul utama “Video itu Asli; Ariel hanya Memanfaatkan Luna”. Posisi korban disandangkan pada 60
Luna sebagai objek pasif dari pelaku Ariel sebagai subjek aktif. Posisi ini ditentukan oleh penggunaan kata “memanfaatkan”. Bahasa maskulin ini juga melegitimasi bahwa perbuatan mereka tidak prokreatif karena menimbulkan kerugian bagi pihak lain, yang dalam hal ini adalah Luna. Sementara Tabloid Bintang yang menggunakan judul utama “Imej dan Karier Berantakan, ArielLuna Tetap Tak terpisahkan”, menawarkan sudut pandang lain bahwa illegitimate sexual activity akan memberikan konsekuensi buruk bagi kehidupan individu yang melakukannya. Walaupun tabloid ini tidak menawarkan posisi pelaku atau korban, namun secara gambling tabloid ini mengusung diskursus dominan bahwa illegitimate sexual activity adalah kesalahan yang harus mendapat hukuman. Tabloid Bintang merupakan salah satu tabloid yang memaparkan perdebatan posisi pelaku-korban dari berbagai perspektif. Tidak hanya menghakimi anak bangsa pelaku illegitimate sexual activity secara sepihak, Bintang mencoba untuk memberikan wadah bagi para “pelaku” adegan-adegan tersebut untuk membeberkan perasaan mereka. Dalam sesi wawancara itu, berkali-kali LunaAriel menekankan mereka korban dari orangorang yang ingin melihat karier mereka hancur (Tabloid Bintang, Edisi 997, 2010: 3).
Pada dasarnya, para partisipan illegitimate sexual activity merasa menjadi korban dengan beredarnya video tersebut, dan mereka menempatkan para pengganda video tersebut sebagai pelaku. Senada dengan bintang, Tabloid Genie juga menyuarakan hal serupa, bahwa tidak ada ruginya meminta pihak yang bersangkutan secara langsung dalam memberikan pandangan mereka terhadap masalah tersebut. Walaupun sebagai implikasi logis dari beredarnya dokumentasi tersebut menimbulkan efek domino bagi korban-korban lainnya. Menggunakan angle yang berbeda, Bintang juga memaparkan pendapat individuindividu seperti Ade Armando dan Tifatul Sembiring yang dianggap memiliki legitimasi
Nisa Kurnia -- Diskursus "Illegitimate Sexual Activity" Anak Bangsa dalam Perspektif Tabloid Indonesia
akan kebenaran mengenai siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban. Masalah utamanya, penyebaran video porno yang tidak terbendung dengan cara yang jahat, secara sengaja, dan sistematis. Jadi kalau ada yang menyebut Luna dan Ariel korban, harusnya kita melihat lebih luas lagi. Korban sebenarnya masyarakat luas. Bukan mereka” (Ibid, 2). Masalah video itu cukup menguras perhatian publik. Kalau itu benar mereka, bukan saya saja yang kecewa. Mereka ini idola puluhan juta jiwa anak muda Indonesia…Menurut saya, korban sebenarnya anak-anak. Mereka bisa saja meniru (Ibid, 4).
Tabloid Bintang mengutip pernyataan Ade Armando, seorang pengamat media yang telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Ade Armando yang dianggap memiliki kredibilitas untuk menanggapi kasus ini menyatakan bahwa korban yang lebih luas adalah masyarakat Indonesia, dan para pelaku video tidak sepantasnya memosisikan diri mereka sebagai korban. Pernyataan ini ditekankan kembali oleh tabloid Bintang menggunakan pernyataan Tifatul Sembiring, Menkominfo Kabinet Indonesia Bersatu II. Korban sebenarnya adalah anakanak, yang ditekankan oleh Tifatul sebagai penggemar Ariel dan Luna, yang bias saja meniru perbuatan mereka. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, kondisi sebuah negara yang sistemik pada akhirnya menempatkan sebuah diskursus seksualitas pada jalinan diskursus identitas nasional pada sebuah masyarakat. Sehingga, tidak heran jika bagi media massa, selalu ada berbagai macam versi yang merujuk pada pelaku maupun korban dari kasus tersebut. Namun, dengan melihat paparan dari tabloid Bintang, bisa dilihat kecenderungan angle yang lebih memihak pada diskursus identitas nasional yang menempatkan anak bangsa yang berpartisipasi dalam video sebagai pelaku dan masyarakat luas sebagai korban. Jika Bintang berusaha menampilkan dari berbagai perspektif, lain halnya dengan Nova yang cenderung mengambil posisi ofensif dalam kasus ini.
Mereka ini kan, sengaja merekam aktivitas seksual mereka. Video itu tidak akan pernah ada jika mereka tidak merekamnya. Bagaimana mungkin mereka hanya sebagai korban? (Tabloid Nova, No.1165, 2010: 8).
Bagi Tabloid Nova, Ariel, Luna dan Cut Tari tidak mungkin diposisikan sebagai korban mengingat merekalah yang memroduksi dokumentasi illegitimate sexual activity tersebut. Namun yang menjadi polemik, dari ke semua taboid tersebut tidak ada yang menyuarakan secara gamblang siapa yang bisa divonis menjadi pelaku. Meskipun hingga artikel tersebut dipublikasikan Ariel sudah ditetapkan menjadi tersangka dan menjadi tahanan tetap, media massa juga belum merujuk pada pelaku utama yang patut dihukum. Menurut saya, setidaknya para tabloid itu masih mengusung asas praduga tak bersalah. Walaupun di setiap artikel memiliki nada-nada yang memihak, namun belum ada yang mengutuk atau menjustifikasi salah satu individu yang ditetapkan sebagai pelaku sebelum hukum menyatakan demikian. Sehingga, dari perdebatan ini bisa disimpulkan jika media massa berada pada posisi mediator dalam kasus ini, mereka menyiarkan, menambahi sedikit bumbu agar sedap, namun tidak langsung menjustifikasi. Namun, media massa tidak sepenuhnya lepas tangan dalam mendengungkan pemberitaan tersebut sehingga menjadi penting bagi publik yang mengonsumsinya. Tabloid Bintang menyadari benar kalau diri mereka turut andil dalam kasus ini, sebagai “pelaku” penyebaran: Kasus ini jelas tidak bisa disepelekan. Apalagi media memberitakan dengan gencar. Masyarakat disuguhi gambar, tontonan yang mendorong rasa ingin tahu”. Ketiga tabloid lain, juga merasa bahwa pemberitaan yang dilakukan oleh media massa semakin mendorong rasa ingin tahu masyarakat, utamanya anak-anak penggemar ketiga selebritas tersebut, sehingga memosisikan media massa sebagai salah satu pelaku penyebaran video tersebut. Hal ini juga diafirmasi oleh Tifatul Sembiring yang mera61
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 55-67
sa media massa terlalu sering menampilkan peristiwa tersebut. Di sisi lain, dalam memosisikan pelaku dan korban dalam ulasan rubriknya, para tabloid ini memiliki kecenderungan yang seragam. Pertama, mereka sepakat meletakkan masyarakat, utamanya anak-anak, sebagai korban dari peristiwa ini. Kedua, semua sepakat bahwa para pelaku illegitimate sexual activity memiliki andil dalam peristiwa tersebut, walaupun posisinya tidak dapat dikatakan sebagai pelaku atau korban. Yang terakhir, seluruh tabloid menyepakati bahwa illegitimate sexual activity adalah perbuatan yang salah. Jika melakukannya maka akan menerima konsekuensi negatif baik itu formal (dituntut secara hukum) maupun informal (dikucilkan, disalahkan dan dicela oleh publik) karena menyalahi norma kesusilaan yang dikonstruk oleh identitas nasional sebagai anak bangsa.
Posisi “Saksi Ahli” Di sini, istilah saksi penulis gunakan untuk merujuk pada individidu yang dianggap tabloid memiliki kredibilitas untuk membahas peristiwa ini dari sudut pandang kompetensi masing-masing. Menurut Stephen Littlejohn (2000: 237-238), Foucault menyatakan bahwa setiap periode peradaban manusia memiliki perbedaan sudut pandang dalam melihat dunia, yang ia sebut sebagai struktur konseptual (conceptual structure), yang menentukan pendefinisian kebenaran melalui pengetahuan yang dianggap sudah seharusnya (the nature of knowledge) pada masa itu. Sehingga, setiap pengetahuan pasti memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan periode peradaban di mana ia digunakan. Foucault menyebutnya sebagai epistemé atau formasi diskursif (discursive formation). Maka dari itu, untuk melanggengkan kekuasan melalui formasi wacana yang beredar, maka harus ada kontrol terhadap wacana itu sendiri. Foucault menyebutnya sebagai ‘rarefaction of the speaking subjects’ dengan tiga cara utama, yaitu memberikan suatu kualifikasi tertentu agar individu dapat diakui sebagai subjek yang berbicara, 62
terkait dengan dimensi ruang dan waktu di mana wacana tersebut disampaikan. Yang kedua dengan membatasi kelompok tertentu yang dapat diakui sebagai subjek, serta yang terakhir adalah legitimasi secara formal terhadap subjek yang berbicara, dan legitimiasi tersebut hanya bisa didapatkan dengan satu cara, pendidikan formal. Individu yang memiliki legitimasi sebagai subjek yang berbicara pada akhirnya memiliki akses terhadap peredaran wacana. Seperti yang diungkapkan oleh Foucault (1968: 127) berikut ini: But we know very well that, in its distribution, in what it permits and what it prevents, it follows the lines laid down by social differences, conflicts and struggles. Every educational system is a political means of maintaining or modifying the appropriation of discourses, with the knowledge and power they bring with them.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah gerbang untuk meraih kekuasaan (power) dalam merumuskan dan melanggengkan ideologi dominan bagi suatu tatanan masyarakat melalui proses komunikasi yang memroduksi wacana. Itulah yang tergambar jelas dalam pendefinisian kebenaran dalam kasus illegitimate sexual activity yang divideokan tersebut. Para ahli telematika seperti Roy Suryo dan Abimanyu dijadikan garda depan dalam pembuktikan kebenaran sekaligus menjustifikasi secara moral para pelaku dan aktivitas yang mereka lakukan. Para psikolog berlomba-lomba membuat pernyataan yang melegitimasi kebenaran versi mereka mengenai realita illegitimate sexual activity yang dilakukan oleh selebriti. Para pengacara, juga dengan standar kebenarannya secara judicial, turut memosisikan illegitimate sexual activity dalam diskursus seksualitas nasional. Setelah lihat video tersebut dari bukti yang dipegang polisi, saat itu pula saya merasa Luna berbohong menyatakan video itu rekayasa. Tadinya saya kira Luna jujur kesaya, menyatakan video itu rekayasa. Setelah melihat video itu, saya nyatakan, video itu asli 100%. Tidak mungkin rekayasa (Tablodi Nova, No.1165, 2010: 4).
Nisa Kurnia -- Diskursus "Illegitimate Sexual Activity" Anak Bangsa dalam Perspektif Tabloid Indonesia
Menjadi problematis, manakala saksi ahli yang dijadikan pelegitimasi kebenaran dalam kasus tersebut tidak hanya sekedar memberikan pendapat objektif mengenai asli tidaknya video yang beredar. Namun mereka turut menjustifikasi moralitas para pesertanya serta memberikan alternatif hukuman bagi mereka. Seperti yang dilakukan oleh Roy Suryo, yang merasa kuatir jika peredaran video ini bisa merusak moral bangsa. Selain melihat dari sudut pandang moralitas, berbagai saksi ahli dihadirkan untuk mengulas peristiwa ini dari berbagai sudut pandang. Seperti yang dilakukan oleh tabloid Bintang yang menggunakan Effendi Ghazali, seorang pengamat media, sebagai narasumber utamanya. Yang bisa menjerat Ariel dan Luna adalah kenyataan lain bahwa mereka melakukan hubungan seks sebelum menikah. Mereka bisa terjerat undang-undang perzinahan (Tabloid Bintang, Edisi 997, 2010: 2).
Ghazali memberikan pernyataan bahwa, illegitimate sexual activity yang didokumentasi dan disebarluaskan pada dasarnya bukan faktor terpenting. Yang lebih penting adalah aktivitas seksual di luar konsep pernikahan yang dilegitimasi oleh Negara. Pelanggaran, pada dasarnya dilakukan oleh para anak bangsa ini karena aktivitas seksual diatur sepenuhnya oleh negara. Sebagai pengamat media Ghazali mengambil posisi komentator yang menyatakan bahwa hukum berpihak pada individu yang mematuhi hukum Negara dalam melakukan aktivitas seksual. Para tabloid ini juga menyoroti perilaku para pemain video ini dari sudut pandang psikologis. Sudut pandang psikologis yang digunakan pun diambil dari dua sisi. Sisi pertama adalah psikologi popular dan sisi kedua adalah sudut pandang psikologi agama. Ariel itu superstar, naughty boy. Di dalam dunia pergaulan, naughty boy hard to resist. Saya enggak akan bilang dia psycho … Wahai Ariel, Luna, Cut Tari, bangsa Indonesia itu bangsa yang permisif dan pardonis, mudah memaafkan serta nrima. Kalau Anda berulang-ulang
tidak mengaku, orang bisa kesal (Tabloid Nova, No.1165, 2010: 7). Mengacu pada kasus video porno yang pelakunya mirip Ariel dan Luna, Psikiater Dadang Hawari menduga si pelaku pria menderita 3 penyimpangan seks sekaligus, narsisme, ekshibisionist dan satirisme … “Sekarang begini, pasangan suami istri melakukan seksual memang hal yang sah di agama. Masalahnya timbul karena dilakukan bukan dengan pasangan. Lalu semakin menjadi masalah lagi, ketika video tersebut bocor ke publik” (Tabloid Wanita Indonesia, No.1069, 2010: 31).
Narasumber yang dipilih oleh Tabloid Nova, Prasantyo, mewakili sudut pandang psikologi populer menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Ariel bukanlah hal yang patologis di dalam lingkungan sosial. Yang menjadikan seorang Ariel menjadi berganta-ganti pasangan dalam melakukan illegitimate sexual activity adalah kepribadiannya yang sulit ditolak oleh para selebriti perempuan Indonesia. Berbeda lagi sudut pandang yang digunakan oleh Dadang Hawari. Menurut Dadang, apa yang dilakukan oleh para pemain video tersebut, utamanya adalah pemeran pria, merupakan suatu hal yang patologis. Dadang bahkan menjustifikasi pemain pria dalam video tersebut sebagai individu yang menderita penyimpangan seksual. Dadang bahkan tidak ragu untuk menyebut Ariel sebagai “penderita” penyimpangan seksual dan menyampaikan bahwa pokok permasalahan dari peristiwa itu adalah terjadinya illegitimate sexual activity. Masalah tersebut menjadi makin besar manakala publik telah mencium permasalahan tersebut. Sementara itu, tabloid Genie mengambil angle berbeda dengan membahas masalah ini dari sudut pandang agama. Menggunakan Ketua MUI, Amidhan, sebagai narasumber utama. Dari sisi agama sudah jelas itu perbuatan dilarang. Dosa besar. Tidak bisa ditolerir. Tapi kalau agama kan hukumannya di akhirat,
63
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 55-67
ya… Karena ini kejahatan sosial yang sangat merusak masyarakat. Video itu kan bisa diakses jutaan orang dan akan merusak moral jutaan orang (Tabloid Genie, Edisi 50, 2010: 5).
Setiap ahli dari masing-masing bidang yang dianggap memiliki legitimasi untuk menjustifikasi kasus tersebut turut memberikan perspektifnya mengenai kebenaran dalam konteks diskursus illegitimate sexual activity yang didokumentasikan tersebut. Apakah mengategorisasikan mereka sebagai pembohong, pezinah atau bahkan memiliki kelainan seksual. Para tabloid Indonesia mengambil anglenya masing-masing dalam mendefinisikan para pemain dari dokumentasi seksual tersebut. Kesepakatan yang tibul dari pemberitaan tersebut adalah para pemain dianggap melanggar prinsip good sex heteronormativitas dari perspektif manapun. Mulai dari perspektif agama, sosial hingga psikologikal. Atau dengan kata lain, tabloid masih mengikuti narasi besar heteronormatif yang meletakkan illegitimate sexual activity yang didokumentasikan sebagai diskursus seksualitas yang menyimpang dan harus dibenahi. Hal ini senada dengan konstruksi identitas nasional bangsa yang diartikulasikan menggunakan bahasa maskulin-heteroseksual yang meletakkan para anak bangsa sebagai pihak yang melakukan pengrusakan identitas bangsa.
Negara sebagai Puncak Legitimasi Seksualitas Diskursus negara integralistik yang diusung oleh Orde Baru untuk mengonstruksi identitas nasional ternyata masih direproduksi serta dijadikan kerangka pikir utama negara dalam mengonstruksi kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga pihak-pihak yang memiliki hubungan langsung dengan pemerintah, yang menjadi “bapak” negara, merasa memiliki urgensi untuk turut campur mengonstruksi pemikiran publik mengenai kasus ini. Tidak hanya Menteri Komunikasi dan Informatika yang memiliki keterkaitan dengan peredaran infor64
masi, baik itu cetak maupun elektronik, mulai dari Presiden hingga Ketua RT merasa perlu untuk berkomentar dan meluruskan pemikiran bangsa dalam memandang dan mencerna kasus ini. Atau dengan kata lain untuk memberikan arahan bagi “anakanaknya”. Ketua MUI yang berbicara dari sudut pandang agama bahkan menyatakan perlunya para anak bangsa yang menjadi pelaku untuk segera “diamankan” karena mereka akan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. “Pengamanan” itu juga bukan bentuk pengamanan sembarangan, Ketua MUI mendesak kepolisian sebagai Repressive State Apparatus untuk bertindak cepat dalam memberikan hukuman bagi para pemain video tersebut. Pernyataan dia (Ariel, red) yang menyatakan korban berarti ia mengakui itu (video) ada. Mengakui itu benar. Dan para ahli menyatakan video ini bukan rekayasa. Menurut saya, polisi jangan lamban seperti sekarang … Bagi kita, polisi seharusnya melihat dampak yang besar di masyarakat. Polisi harus lebih tegas dan tidak hanya mengatakan mereka sebagai korban (Ibid, 5).
Kepolisian sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah dianggap sebagai pihak yang paling memiliki legitimasi untuk mengkonstruksi pandangan masyarakat mengenai kasus ini yang bisa dikategorikan sebagai “kejahatan”. Para pelaku juga tidak memiliki hak untuk mendeklarasikan diri mereka sebagai korban mengingat dampak yang terlalu besar yang mereka timbulkan pada masyarakat. Tidak hanya Ketua MUI yang menganggap polisi sebagai legitimasi puncak dalam menindak para pelaku video tersebut, Ketua RT di kediaman Luna Maya juga merasa perlu untuk berlaku sebagai pihak berwenang dan menertibkan perilaku mereka. Ruswandhi juga sempat “menertibkan” Luna dan Ariel. Mereka, katanya, “ditangkap” komandan regu keamanan kompleks. “Ia pernah datang bersama Ariel dini hari. Saya punya danru yang seorang tentara pernah menahan KTP Ariel sama Luna Maya..Ariel sering menginap di sini,” ungkapnya (Ibid, 4).
Nisa Kurnia -- Diskursus "Illegitimate Sexual Activity" Anak Bangsa dalam Perspektif Tabloid Indonesia
Tindakan Ariel dan Luna yang tidur di bawah satu atap, yang walaupun dilakukan tepat di atas properti pribadi, namun masih dalam teritori kekuasaan rumah “Bapak” yang oleh negara diwakilkan pada Ketua RT, dianggap menyalahi identitas bangsa yang menempatkan hal tersebut sebagai melanggar norma moral. Sehingga Pak RT merasa perlu memanggil komandan regu keamanan, yang seorang tentara, untuk “menangkap” keduanya dan kemudian menahan KTP Ariel. Menkominfo, sebagai perwakilan dari Presiden, yang diserahi tanggung jawab pada peredaran informasi di rumah “keluarga besar Indonesia” pun merasa perlu memberikan pengarahan kepada para pelaku, penonton sekaligus pengedar informasi ini. Padahal, tekanan dari berbagai kalangan agar masalah ini segera dituntaskan semakin kuat saja. Bahkan Presiden SBY pun akhirnya ikut bersuara mengenai kasus ini. Intinya, SBY mendukung pemeriksaan hingga tuntas, antara lain demi menjaga moral bangsa ini (Tabloid Nova, No.1165, 2010: 3). Kalau bisa ada lembaga yang memberikan award untuk Ariel sebagai orang yang berhasil merusak generasi bangsa sepanjang sejarah Masalah video itu cukup menguras perhatian publik. Kalau itu benar mereka, bukan saya saja yang kecewa. Mereka ini idola puluhan juta jiwa anak muda Indonesia. Dan ini bisa menjadi preseden buruk (Tabloid Bintang, Edisi 997, 2010:4). Menkominfo Tifatul Sembiring meminta Ariel, Luna Maya, dan Cut Tari membantu kepolisian dengan mengaku terus terang, “Saya imbau supaya mereka bersikap gentle. Videonya ada dan tersebar luas, tapi tidak ada yang mengaku bertanggung jawab” (Tabloid Genie, Edisi 50, 2010: 5).
Imbauan” diberikan oleh menkominfo sebagai perwakilan dari “Bapak Negara” kepada para anak bangsa yang melakukan illegitimate sexual activity untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bentuk tanggung jawab macam apa yang dituntut tidak dijelaskan secara eksplisit, namun “Bapak” Menteri menghimbau mereka untuk seti-
daknya mengaku dan memohon maaf kepada Bangsa Indonesia. Utamanya kepada adik-adik mereka yang menjadikan para selebritis ini sebagai “role model”. Preseden yang disampaikan oleh Tifatul bisa jadi mengarah pada perusakan identitas nasional yang sudah dikonstruk bertahun-tahun mengenai illegitimate sexual activity. Untuk itulah, militer, yang dalam hal ini diwakili oleh pihak kepolisian menjadi alat negara dalam menegakkan moral bangsa. Dengan kata lain, illegitimate sexual activity, menurut “Bapak” adalah tindakan perusakan moral bangsa, sehingga untuk menggesernya ke tepi diskursus seksualitas diperlukan repressive state apparatus, yang dalam hal ini adalah polisi. Dari semua artikel yang dimuat oleh tabloid-tabloid tersebut, negara diposisikan sebagai institusi puncak yang memiliki legitimasi dalam mendefinisikan posisi tiap pemain dalam kerangka narasi ini. Nagara pula yang dianggap sebagai sutradara yang harus bertanggungjawab atas “kenakalan” para pemainnya untuk kemudian ditindak sesuai dengan diskursus seksualitas yang telah direproduksinya terus-menerus. Hal ini memperkuat diskursus heteronormativitas yang dianut oleh Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Rubin (1984: 14). …Sexuality that is “good”, “normal” and “natural” should ideally be heterosexual, marital monogamous, reproductive and non-commercial. It should be coupled, relational, within the same generation and occur at home. It should not involve pornography, fetish objects, sex toys of any short, or roles other than male and female. Any sex that validates this rules is “bad, “abnormal”, or “unnatural”. Bad sex may be homosexual unmarried, promiscuous, non-procreative, or commercial. It may be masturbatory or take place at orgies, may be causal, may cross generational lines, and may take in “public”, or at least in the bushes or the baths. It may involve the use of pornography, fetish objects or unusual roles.
Maka setiap aktivitas seksual yang berada di luar ranah good sexuality harus “diluruskan” oleh institusi puncak yang memiliki legitimasi dalam menata diskursus seksualitas, yang dalam konteks heteronormativitas adalah maskulin. Dengan kata lain, jika di-
65
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 55-67
tarik lebih jauh lagi dalam tataran Indonesia, simbol maskulinitas dalam asas kekeluargaan bangsa terletak pada Presiden dan aparaturnya sebagai “Bapak” bangsa yang memiliki legitimasi pendefinisian seksualitas yang “patut”, menggunakan kerangka nasional maskulin, bukannya multikultural.
SIMPULAN Berdasarkan pembahasan tersebut, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa diskursus illegitimate sexual activity yang didokumentasikan, masih menjadi realitas yang secara kultural bisa diperdebatkan bagi tabloid Indonesia. Melihat dari perspektif multikulturalisme kritis, tabloid Indonesia masih berada pada posisi hegemoni ideologi dominan negara yang menganut heteronormativitas. Pendefinisian fenomena tersebut diambil dari sudut pandang negara yang meletakkan diskursus seksualitas di peripheri wacana kebangsaan, sehingga illegitimate sexual activity yang didokumentasikan tersebut dijadikan indikator moralitas bangsa sekaligus, sebuah aib yang harus direpresi secara hukum publik karena mengakibatkan “kerusakan” moral bangsa. Terkait dengan konstruksi identitas nasional yang direproduksi terus-menerus melalui wacana kebangsaan menggunakan sistem penandaan, media massa sebagai agen dari sistem penandaan negara menjalinkan diskursus seksualitas tanpa legitimasi tersebut sebagai pelanggaran yang sudah selayaknya diberikan hukuman. Media massa sebagai ideological state apparatus memainkan perannya dalam mengkonstruksi pandangan publik mengenai peristiwa tersebut sejalan dengan wacana kebangsaan. Para narasumber yang digunakan oleh tabloid untuk mengulas permasalahan ini juga didasarkan pada legitimasi negara melalui kredibilitas narasumber tersebut. Setiap tabloid yang membahas kasus tersebut, belum mampu memperluas pandangan mereka di luar diskursus tersebut sehingga pemberitaan yang dipublikasikan cenderung seragam. Namun, tidak bisa dikatakan mutlak demikian, karena tabloid In66
donesia mulai berani menampilkan suarasuara marginal yang dalam hal ini diwakili oleh para pemeran video tersebut. Sangat disayangkan, ketika masyarakat sebagai pihak yang bersinggungan langsung dengan dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut tidak mendapatkan tempat untuk berbicara. Yang terakhir, menurut saya pemberitaan dari para tabloid tersebut menjadi berlebihan mengingat pengulangan dan peletakkannya sebagai isu utama, karena hal ini berimplikasi pada konstruksi isu yang dianggap penting bagi publik, sehingga masyarakat melupakan isu-isu lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Alimi, Moh Yasir, 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama, Jogjakarta: LKiS. Anderson, Benedict, 1983, Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso. Butler, Judith, 1999, “Gender Trouble” da-lam Feminism and The Subversion of Identity, London: Routledge. Fiske, John, 1996, “Communication, Meaning and Sign” dalam Introduction to Communication Studies, London: Routledge. Foucault, Michel, 1968, “Discourse, Power and Knowledge”, dalam The Will to Truth, New York: Tavistock Publication. Hall, Stuart, 2002, “The Work of Representation” dalam Stuart Hall (ed.), Representation; Cultural Representations and Signifying Practices, London: Sage Publication. Ibrahim, Idi Subandy, 2007, Budaya Populer sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer, Bandung: Jalasutra. Kellner, Douglas, 1995, Media Culture, New York: Routledge. Littlejohn, Stephen W, 2000, “Critical Theories” dalam Theories of Human
Nisa Kurnia -- Diskursus "Illegitimate Sexual Activity" Anak Bangsa dalam Perspektif Tabloid Indonesia
Communication. London: Wasdworth Publishing. _______________ , 2000, Theories of Human Communication, London: Wasdworth Publishing.
Suryakusuma, Julia I, 1991, “Seksualitas dalam Pengaturan Negara” dalam Liza Hadiz (ed.), Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru: Pilihan Artikel Prisma, Jakarta: LP3S.
McLaughlin, Linda, 2000, The Language of Magazines, New York: Routledge.
Tabloid Bintang Edisi 997 Tahun XX, Minggu Kedua Juni 2010.
McQuail, Dennis, 2000, “Theory of Media and Theory of Society” dalam Mass Communication Theories, London: Sage Publication.
Tabloid Genie Edisi 50 Tahun VI, 21-27 Juni 2010. Tabloid Nova No. 1165/XXIII 21-27 Juni 2010.
Rubin, Gayle, 1984, “ Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuality”. Boston and London: Routledge.
Tabloid Wanita Indonesia No. 1069 21-27 Juni 2010
Rubin, Gayle, 1984, Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuali-ty, Boston and London: Routledge.
67
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 68-78
KAWISTARA VOLUME 1
No. 1, 21 April 2011
Halaman 1-102
KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN SOSIAL KEARIFAN LOKAL BUDIDAYA UBI JALAR DI KALANGAN SUKU ARFAK KABUPATEN MANOKWARI Amestina Matualage Universitas Negeri Papua, Manokwari Email:
[email protected]
ABSTRACT The aimed of this research are to find a man/woman, who made a figure by sweet potato Arfak farmers in social learning about indigenous knowledge on sweet potato cultivation, understand the process of social learning about indigenous knowledge on sweet potato cultivation, analyzed the effectiveness of social learning about indigenous knowledge on sweet potato cultivation and analyzed factors that affect to effectiveness of social learning about indigenous knowledge on sweet potato cultivation. Method of this research is descriptive analyze with 120 sweet potato farmers samples were randomly obtained from 2 district and 4 villages at Manokwari regency. This study resulted that parent is the only one figure in social learning process about indigenous knowledge on sweet potato cultivation. The effectiveness rate on Arfak tribe farmer is high and it’s affected by age and self efficacy. The effect of self efficacy on social learning effectiveness is reinforced by social support provided by parents. Keyword: effectiveness, social learning, indigenous knowledge, sweet potato cultivation, Arfak tribe.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menemukan tokoh yang dijadikan figur oleh petani ubi jalar Suku Arfak, termasuk faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keefektifan di dalam proses pembelajaran sosial kearifan lokal pada budidaya ubi jalar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, menggunakan responden sebanyak 120 petani ubi jalar Suku Arfak yang diperoleh secara acak sederhana dari 2 kecamatan dan 4 desa di Kabupaten Manokwari. Penelitian ini menghasilkan satu tokoh, yaitu orangtua sebagai figur dalam proses pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar. Tingkat keefektifan yang dicapai oleh petani Suku Arfak tergolong tinggi dipengaruhi oleh faktor umur dan efikasi diri. Pengaruh efikasi diri terhadap keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar ini diperkuat dengan adanya dukungan sosial yang diberikan oleh orangtua. Kata kunci: Keefektifan, pembelajaran sosial, kearifan lokal, budidaya ubi jalar, suku Arfak.
68
Amestina Mutualage -- Keefektifan Pembelajaran Sosial Kearifan Lokal Buididaya Ubi Jalar di Kalangan Suku Arfak Kabupaten Manokwari
PENGANTAR Ubi jalar telah lama dikenal oleh masyarakat Papua sebagai bahan pangan pokok penghasil karbohidrat. Menurut hasil penelitian Sawor dkk. (1993) dalam Matanubun dkk. (1995) ubi jalar yang diusahakan secara subsisten oleh petani di Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat) dengan menggunakan kearifan lokal merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Apabila hasil panen ubi jalar meningkat, maka sebagian dapat pula dijual. Hasil penelitian Widyastuti (1994) menunjukkan bahwa terdapat upaya transfer kearifan lokal budidaya ubi jalar oleh petani melalui pengamatan terhadap model/ figur tertentu, yaitu dengan menirukan perilaku model/figur tersebut. Proses transfer pengetahuan ini menurut Bandura (1977) disebut sebagai proses pembelajaran sosial. Proses ini tidak dilakukan dalam waktu singkat, tetapi berlangsung sepanjang kehidupan seseorang, yaitu melewati tahapan perhatian (atensi), penyimpanan dalam ingatan (retensi), dan peniruan (reproduksi motorik). Jika seseorang mendapat penguatan dari dalam dirinya dan lingkungannya, maka ia akan termotivasi untuk tetap melakukannya. Manokwari dipilih sebagai daerah penelitian karena kabupaten di Provinsi Papua Barat ini merupakan daerah paling banyak menghasilkan ubi jalar (Anon, 2009a), sedangkan Suku Arfak merupakan penduduk asli Kabupaten Manokwari yang menjadikan ubi jalar sebagai makanan pokok di samping beras. Pembudidayaan ubi jalar di Kabupaten Manokwari belum memperlihatkan hasil yang maksimal. Menurut Data Statistik Indonesia (Anonim, 2009b), produksi ubi jalar dari kabupaten ini (9,91 ton/ ha) lebih rendah dibanding produksi ubi jalar di Provinsi Papua (10,07 ton/ha) dan Nasional (10,78 ton/ha). Rendahnya produktivitas ubi jalar di Kabupaten Manokwari merupakan ancaman bagi ketersediaan pangan di kabupaten ini, mengingat ubi jalar merupakan bahan pangan pokok masyarakat lokal.
Untuk mengatasi hal tersebut, ada banyak hal yang dapat dilakukan, antara lain dengan mengintroduksi teknologi budidaya ubi jalar yang dapat meningkatkan produksi. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, petani Suku Arfak masih menggunakan kearifan lokal dalam mengusahakan ubi jalar.Agar mengintroduksi teknologi baru, seorang agen pembangunan perlu mengetahui proses transfer pengetahuan yang efektif di antara petani. Apabila seorang agen pembangunan memahami proses transfer pengetahuan yang telah ada di tengah masyarakat, maka ia dapat menggunakan proses tersebut untuk mendifusikan inovasi (teknologi). Untuk dapat memahami proses transfer pengetahuan khususnya mengenai kearifan lokal budidaya ubi jalar di kalangan petani Suku Arfak, perlu dilakukan penelitian mengenai proses pembelajaran sosial yang meliputi siapa tokoh yang diposisikan oleh petani sebagai figur untuk ditiru perilakunya dan juga bagaimana keefektifan proses transfer pengetahuan ini serta faktorfaktor apa yang mempengaruhi tingkat keefektifan tersebut.
Kearifan Lokal dan Sosialisasinya Ocholla (2007) dan Akullo (2007) menyatakan bahwa Indigenous Knowledge/IK adalah seperangkat pengetahuan dan teknologi yang tersimpan dalam memori dan dilakukan dalam kehidupan masyarakat kemudian dikembangkan oleh penduduk asli dalam kondisi tertentu. Kearifan lokal budidaya ubi jalar di kalangan Suku Arfak meliputi beberapa tahapan. Pertama, pemilihan lahan. Pemilihan lahan didasarkan pada warna tanah dan jenis tanah. Tanah yang berwarna hitam atau merah dan berkerikil merupakan tanah yang cocok untuk budidaya ubi jalar. Kedua, Pembersihan lahan. Kegiatan ini dikenal dengan istilah babat (Bahasa Sougb: Mahanlo). Tujuan dari tahapan ini adalah membersihkan semak-semak dan rumputrumput yang tumbuh di kebun tersebut.
69
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 68-78
Ketiga, penebangan pohon besar dan pembakaran. Kegiatan ini dalam bahasa setempat disebut mahiro. Penebangan dilakukan oleh satu atau dua orang laki-laki selama kurang lebih satu bulan. Setelah dahan pohon yang telah ditebang mengering kemudian dilakukan pembakaran. Keempat, penyimpanan bahan tanam. Penyimpanan ini dilakukan selama tiga sampai lima hari untuk mempercepat proses tumbuhnya ubi jalar. Kelima, penanaman. Sebelum pucuk ubi jalar ditanam, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu jenis kayu yang digunakan sebagai tugal dan cara tanam. Jenis kayu yang digunakan sebagai tugal adalah jenis kayu yang berasal dari pohon yang menghasilkan buah. Keenam, pemanenan. Ada dua kegiatan penting dalam pemanenan ubi jalar dengan menggunakan kearifan lokal, yaitu (1) menentukan waktu panen dan cara melakukan pemanenan. Petani Suku Arfak menentukan waktu panen dengan cara menghitung umur tanaman. Tanaman yang bisa dipanen adalah tanaman yang berumur 3 atau 4 bulan; (2) melihat keadaan tanah. Umumnya tanah yang menjadi indikator tanaman ubi jalar siap panen adalah tanah yang kelihatan menggunung dan tidak keras (gembur). Bagi petani Suku Arfak, cara melakukan pemanenan adalah memanen secara bertahap. Petani tidak memanen seluruh ubi jalar sekaligus karena ubi jalar yang sudah di panen tidak bisa disimpan dalam waktu lama tanpa di olah. Sementara pengetahuan petani Suku Arfak pengolahan ubi jalar agar dapat tahan dalam waktu yang lama sangat terbatas. Oleh karena itu, petani membiarkannya di kebun dan akan dipanen jika persediaan di rumah telah habis. Biasanya ubi jalar yang dibiarkan di kebun akan terus berproduksi selama kurang lebih tiga sampai empat bulan dan produktivitasnya akan semakin menurun. Ketujuh, waktu pembukaan kebun baru. Petani Suku Arfak harus membuka kebun baru ketika ubi jalar di mulai panen. Hal ini dimaksudkan supaya ketika ubi jalar yang 70
ditanam di kebun sebelumnya habis dipanen, petani tetap memiliki kebun ubi jalar yang sudah siap panen sehingga mereka tidak akan kehabisan bahan pangan. Hasil penelitian tentang proses sosialisasi pengetahuan kearifan lokal budidaya ubi jalar di daerah Lembah Baliem yang dilakukan oleh Widyastuti (1994) menunjukkan bahwa pembelajaran sosial dimulai ketika seorang anak bermain, dengan cara teman sepermainan mensosialisasikan budidaya ubi jalar, dimulai dengan pengenalan kultivar ubi jalar yang biasanya digunakan untuk bahan pangan manusia dan untuk ternak (babi). Sosialisasi dilanjutkan ketika anak tersebut membantu ibunya menyiapkan makanan bagi anggota keluarga di rumah, ibu mulai memperkenalkan jenis ubi jalar yang cocok untuk anak-anak, orang dewasa hingga ternak. Sosialisasi mengenai cara melakukan budidaya dilakukan ketika seorang anak mengikuti orangtuanya ke kebun. Di kebun, orang tua khususnya ibu memperkenalkan cara membuka lahan, membuat bedeng hingga menanam, serta memelihara dan memanen ubi jalar. Di lembah Baliem, proses sosialisasi ini didominasi oleh kaum ibu. Ibu bertanggung jawab mengelola kebun, sedangkan ayah bertugas melindungi keluarga dari bahaya. Di kalangan anggota masyarakat yang usianya lebih tua, ibu-ibu yang tidak lagi menghabiskan waktu bermain bersama teman, proses pembelajaran sosial dilakukan sesama ibu-ibu. Di lembah Baliem Kabupaten Wamena, jumlah istri menunjukkan status sosial, sehingga laki-laki yang status sosialnya tinggi biasanya mempunyai istri lebih dari satu. Pola-pola seperti ini merupakan kebiasaan yang terbentuk secara alamiah oleh masyarakat, artinya tidak ada rekayasa dalam melakukan pembelajaran tersebut.
PEMBELAJARAN SOSIAL Keafektifan Pembelajaran Sosial Konsep pembelajaran sosial yang dikemukakan oleh Bandura (1977) adalah suatu metode pembelajaran melalui pengamatan
Amestina Mutualage -- Keefektifan Pembelajaran Sosial Kearifan Lokal Buididaya Ubi Jalar di Kalangan Suku Arfak Kabupaten Manokwari
terhadap tokoh yang dijadikan sebagai model. Pembelajaran dapat terjadi secara tidak disengaja melalui pengamatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap seorang tokoh. Keberadaan tokoh menjadi pusat perhatian pengamat. Oleh karena itu, karakteristik tokoh menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan belajar sosial. Terdapat empat tahapan menuju perubahan perilaku akibat proses peniruan digambarkan sebagai berikut: Pertama atensi, yaitu proses ini sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang baru tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian dari pembelajar; Kedua retensi, yaitu proses menyimpan informasi. Proses ini merupakan mental yang melibatkan banyak komponen dalam diri manusia, mulai dari menerima informasi yang akan diingat melalui panca indera, kemudian disimpan dalam otak yang melibatkan kerja otak dalam mengolah dan menyimpan informasi, serta memanggil atau memunculkan kembali informasi yang telah disimpan; Ketiga reproduksi motorik, yaitu proses meniru apa yang telah diamati dan diingat; Keempat motivasi, yaitu dorongan untuk tetap melakukan apa yang telah ditiru. Menurut Anon (2010a), efektif berarti ada pengaruhnya, ada akibatnya, ada efeknya, dapat membuahkan hasil, mulai berlaku (tentang undang-undang dan peraturan), sedangkan keefektifan adalah keberhasilan dalam usaha dan tindakan. Keefektifan pembelajaran sosial merupakan keberhasilan yang dicapai setelah melakukan proses pembelajaran sosial atau keberhasilan seseorang untuk meniru perilaku figur yang dijadikan sebagai model dalam pembelajaran sosial. Jika dikaitkan dengan budidaya ubi jalar dengan menggunakan kearifan lokal, maka keefektifan pembelajaran sosial budidaya ubi jalar dengan menggunakan kearifan lokal adalah keberhasilan petani meniru cara-cara budidaya ubi jalar dengan menggunakan kearifan lokal yang dilakukan oleh figur. Berdasarkan teori Bandura yang telah dikemukakan sebelumnya, proses pembelajaran
sosial dapat berlangsung secara efektif apabila pengamat telah mencapai tahapan keseluruhan tahapan dengan baik (efektif).
Peran Tokoh dalam Pembelajaran Sosial Ditinjau dari formalitasnya, tokoh masyarakat yang biasanya dijadikan tokoh oleh masyarakat Suku Arfak adalah tokoh formal dan informal. Tokoh formal adalah aparat pemerintah (desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi), guru, peneliti, aktivis LSM, dan usahawan, sedang yang termasuk tokoh informal adalah tokoh agama dan tokoh adat. Bagi masyarakat Suku Arfak, tidak semua tokoh masyarakat yang disebutkan sebelumnya mempunyai pengaruh bagi mereka. Tokoh yang disegani dan dihormati masyarakat Suku Arfak adalah aparat pemerintah, tokoh adat, dan tokoh agama (Sumule, 1994: 46). Tokoh-tokoh ini mempunyai pengaruh dalam proses pembelajaran sosial di kalangan Suku Arfak, di samping orang tua sebagai agen sosialisasi primer dalam keluarga. Pertama, aparat pemerintah. Aparat pemerintah yang biasanya berhubungan langsung dengan masyarakat Suku Arfak di desa adalah aparat desa dan guru. Mereka disegani dan dihormati oleh masyarakat karena mempunyai kekuasaan di bidang pemerintahan (aparat desa) dan juga karena mempunyai pengetahuan yang lebih dibanding masyarakat umumnya (guru). Tokohtokoh ini biasanya ditaati oleh masyarakat sehingga mereka digunakan oleh pemerintah sebagai agen pembaharu di desa. Kedua, tokoh adat. Masyarakat adat Arfak secara struktural dipimpin oleh seorang kepala suku dibantu oleh pembantupembantunya. Tokoh-tokoh ini disegani dan dihormati oleh masyarakat Suku Arfak sebagai pemimpin mereka, sehingga apa pun yang diputuskan oleh tokoh-tokoh ini akan ditaati oleh anggota masyarakatnya. Ketiga, tokoh agama. Tokoh agama di kalangan masyarakat Suku Arfak adalah mereka yang berprofesi sebagai pemuka agama, seperti Gembala (istilah bagi seorang 71
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 68-78
pendeta) dan Guru Jemaat (seseorang yang berpendidikan guru agama). Tokoh agama ini mulai berperan sebagai tokoh yang dijadikan model bagi masyarakat Suku Arfak setelah peristiwa masuknya Injil di Tanah Papua dengan ditandai datangnya misionaris dari Jerman ke Pulau Mansinam di Manokwari. Keempat, orangtua. Di kalangan masyarakat Arfak, seorang anak laki-laki dalam keluarga tinggal bersama kedua orangtuanya hingga ia menikah, sedangkan anak perempuan akan meninggalkan orangtuanya setelah menikah. Ketika anak-anak tinggal serumah dengan orangtuanya, maka proses sosialisasi primer berlangsung antara orang tua dan juga keluarga luas yang tinggal bersama-sama. Dalam proses ini, seorang anak diperkenalkan dengan dunia barunya, misalnya cara makan, cara berpakaian, cara berbicara hingga cara tidur. Menurut Uno (2006), motivasi diartikan sebagai dorongan dasar yang menggerakkan seseorang untuk bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang menggerakkannya melakukan sesuatu yang sesuai dengan dengan dorongan dalam dirinya. Oleh karena itu, perbuatan seseorang yang didasarkan atas motivasi tertentu mengandung tema sesuai dengan motivasi yang mendasarinya. Bertolak dari Teori Maslow ini, Clyton Alderfer mengemukakan teori motivasi ERG. Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu: E=Existence (kebutuhan akan eksistensi), yaitu semua kebutuhan yang berkaitan dengan dengan keberadaan manusia yang dipertahankan dan berhubungan dengan kebutuhan fisiologis dan rasa aman pada hirarki Maslow, R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan), yaitu kebutuhan dengan perkembangan potensi perorangan dengan kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri yang dikemukakan oleh Maslow. Menurut teori ini, semua kebutuhan timbul pada waktu yang sama. Kalau satu tingkat kebutuhan terten72
tu tidak dapat dipuaskan, seseorang akan kembali ke tingkat yang lain. Bandura (1977) mendefinisikan efikasi diri sebagai pertimbangan subjektif individu terhadap kemampuannya untuk menyusun tindakan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas khusus yang dihadapi. Efikasi diri tidak berkaitan langsung dengan kecakapan yang dimiliki individu, melainkan pada penilaian diri tentang apa yang dapat dilakukan tanpa terkait dengan kecakapan yang dimiliki. Menurut Bandura, perbedaan efikasi diri pada setiap individu terletak pada tiga komponen, yaitu magnitude, strength, dan generality. Magnitude (tingkat kesulitan tugas), yaitu masalah yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas individu. Strength (kekuatan keyakinan), yaitu berkaitan dengan kekuatan pada keyakinan individu atas kemampuannya. Generality (generalitas), yaitu hal yang berkaitan cakupan luas bidang tingkah laku sehingga individu merasa yakin terhadap kemampuannya. Farmer and Farmer (1996: 433) dalam Pavri Shireen and Lisa Monda-Amaya (2001: 391-392): social suport as “processes of social exchange that contribute to the development of individuals’ behavioral patterns, social cognition, and values.” Definisi ini menekankan pentingnya dukungan sosial yang diterima oleh individu dalam membentuk nilai dan sistem keyakinan, dan proses berpikir. Dengan proposisi ini, individu yang melihat diri mereka kurang mendapat dukungan mungkin mengalami kesulitan dalam mengembangkan perilaku sosial dan sesuai dengan konsepsi efikasi sosial mereka. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analitis sebagai metode dasar. Subjek penelitian adalah petani ubi jalar yang berjumlah sekitar 120 orang yang berasal dari enam desa di dua kecamatan yang dipilih dengan metode simple random sampling. Metode analisis yang digunakan untuk menemukan tokoh yang dijadikan figur dalam pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar adalah metode perbandingan berpasangan (paired comparison method),
Amestina Mutualage -- Keefektifan Pembelajaran Sosial Kearifan Lokal Buididaya Ubi Jalar di Kalangan Suku Arfak Kabupaten Manokwari
sedangkan untuk menganalisis keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budi daya ubi jalar digunakan statistik deskriptif. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran sosial digunakan regresi linear berganda sedangkan regresi moderasi digunakan untuk menganalisis ada tidaknya interaksi di antara variabel independen.
PEMBAHASAN Hasil uji perbandingan berpasangan menunjukkan bahwa hanya ada satu tokoh yang dijadikan figur oleh petani Suku Arfak dalam melakukan budidaya ubi jalar, yaitu orangtua yang ditunjukkan pada Tabel 1. Analisis regresi berganda dengan metode stepwise menunjukkan bahwa variabel independen berpengaruh terhadap keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar di kalangan Suku Arfak, yaitu umur dan efikasi diri (Tabel 2).
Tabel 1. Hasil uji perbandingan berpasangan tentang tokoh yang paling banyak dijadikan figur dalam pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar
Sumber: Analisis data primer, 2010 Hasil uji regresi linear berganda adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil uji regresi linear berganda
Sehingga menghasilkan persamaan regresi sebagai berikut : y = 174,0568 – 0,398X1 + 0,428X4 + ε Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa umur dan efikasi diri baik secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan terhadap keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar. Untuk menganalisis apakah ada pengaruh interaksi antara efikasi diri dan dukungan sosial dalam mempengaruhi keefektifan pembelajaran sosial budidaya ubi jalar di kalangan Suku Arfak, digunakan analisis regresi moderasi (Moderating Regression Analysis). Hasil uji regresi moderasi pada tabel 3 menunjukkan bahwa pengaruh positif dari efikasi diri terhadap keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar diperkuat oleh adanya dukungan sosial yang diberikan oleh figur (orang tua). Secara detail, Tabel 3 menunjukkan bahwa: (1) model 1: secara simultan efikasi diri dan dukungan sosial secara simultan mempengaruhi keefektifan pembelajaran sosial (p<0,05, Fhit (11,176)
Ftab (2,68); (3) secara parsial, interaksi antara efikasi diri dan dukungan sosial berpengaruh terhadap keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar (p < 0,05). Berdasarkan tabel 3 dapat disusun persamaan regresi moderasi sebagai berikut: y = 219,530+0,570X 4+0,59X5+0,05X4X 5 + ε
Sumber: Analisis data primer, 2010
Hasil penelitian menunjukkan bahwa satu-satunya figur yang digunakan sebagai model dalam pembelajaran sosial adalah orang tua. Orang tua, yaitu bapak maupun ibu bagi masyarakat Suku Arfak adalah “guru” karena melalui orang tua, anak-anak diajarkan mengenai cara bercocok tanam, berburu, membangun rumah, hingga bagaimana menjalani hidup. Hal ini sejalan 73
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 68-78
dengan Sopari (2010) bahwa salah satu fungsi keluarga adalah pendidikan dan melalui keluarga (orang tua). Pengajaran dari orang tua ini dilakukan sambil bekerja, misalnya pengajaran tentang bercocok tanam dilakukan sambil bekerja di kebun. Orang tua (bapak) menebang pohon bersama dengan anak laki-lakinya sambil memberitahu cara menebang yang benar supaya tidak mencelakai penebang dan orang yang ada di sekitar. Begitu juga dengan cara menanam, ibu berjalan di depan sambil memegang tugal diikuti oleh anaknya sambil memegang bibit ubi jalar disertai pengarahan dari orang tua bagaimana cara menanam yang benar supaya dapat menghasilkan ubi jalar yang banyak dan baik. Pengajaran tentang bagaimana menjalani hidup biasanya dilakukan di rumah, ketika seisi rumah makan pagi bersama, orang tua memberikan pengajaranpengajaran seperti mengapa harus bekerja dan untuk apa kita bekerja. Keadaan ini menggambarkan bahwa dalam kehidupan keluarga petani Suku Arfak, peran keluarga sebagai tempat pendidikan dan sosialisasi masih berlangsung dengan baik. Peran ibu berbeda dibandingkan dengan bapak dalam keluarga Suku Arfak, ini terlihat dari pembelajaran yang diberikan
kepada anak-anaknya. Ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan makanan bagi anggota keluarga berperan untuk memilih jenis tanaman apa yang akan ditanam, menanam tanaman di lahan, memelihara hingga memanennya. Bapak sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan anggota keluarga, bertanggung jawab melakukan pembukaan lahan, khususnya penebangan pohon ketika ibu akan menanam ubi jalar di lahan yang baru. Pembukaan lahan ini dilakukan oleh kaum pria (bapak) karena memerlukan banyak tenaga untuk menebang pohon-pohon besar. Selain itu, penebangan harus dilakukan dengan hati-hati karena bisa mencelakai orang lain dan diri sendiri. Berdasarkan fenomena-fenomena ini, orang tua di kalangan masyarakat Suku Arfak merupakan potensi yang dapat digunakan sebagai agent of change dari program-program pembangunan. Tingkat kepercayaan yang tinggi dari petani terhadap orang tuanya dapat dimanfaatkan oleh penyuluh untuk menjadikan orang tua sebagai agent of change dalam usaha mengintroduksi inovasi dalam bidang pertanian. Meskipun demikian, teknologi yang akan diintroduksi harus disesuaikan dengan
Tabel 3. Hasil uji regresi moderasi
Sumber : Analisis data primer, 2010 74
Amestina Mutualage -- Keefektifan Pembelajaran Sosial Kearifan Lokal Buididaya Ubi Jalar di Kalangan Suku Arfak Kabupaten Manokwari
kearifan lokal yang ada sehingga keuntungan dari penggunaan kearifan lokal dapat dimaksimalkan. Keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar di kalangan Suku Arfak tergolong tinggi (efektif). Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi kearifan lokal budidaya ubi jalar di kalangan petani Suku Arfak dilakukan melalui proses pembelajaran sosial. Keadaan ini mengindikasikan bahwa metode penyuluhan yang digunakan untuk mengkomunikasikan program pembangunan kepada petani Suku Arfak sebaiknya menggunakan metode pembelajaran sosial. Petani Suku Arfak mempunyai kebiasaan belajar sendiri dan bukan melalui ceramah-ceramah seperti petani dari suku lain. Kebiasaan belajar sendiri dengan mengamati, mengingat, dan mencoba ini terbukti efektif dalam budidaya ubi jalar karena dengan mengamati apa yang dilakukan orang tuanya sambil mendengar penjelasan yang diberikan dengan penuh kasih sayang dan dengan bahasa yang dipahami anaknya, petani mempunyai keyakinan yang kuat akan kemampuannya dalam membudidayakan ubi jalar dengan menggunakan kearifan lokal, sehingga ia termotivasi untuk tetap melakukan seperti apa yang orang tuanya ajarkan. Implikasi dari penggunaan metode ini dalam kegiatan penyuluhan adalah perlunya penyiapan orang tua (perubahan perilaku) sebagai model bagi anak-anaknya. Setelah perilaku orang tua diubah, diharapkan anak-anaknya dapat melakukan pembelajaran sosial melalui pengamatan terhadap orang tuanya sehingga pada gilirannya perilaku anaknya akan berubah. Proses ini bisa berlangsung dengan baik jika penyuluh memahami fungsi keluarga dan bagaimana peran orang tua dalam melakukan sosialisasi di dalam keluarganya, sehingga orang tua dapat diarahkan untuk menunjukkan perilaku baru tersebut kepada anakanaknya. Metode dan waktu pengajaran tentang cara bercocok tanam ubi jalar dengan menggunakan kearifan lokal berbeda dengan
pengajaran tentang bagaimana menjalani hidup. Pengajaran tentang bagaimana seharusnya menjalani kehidupan dilakukan berulang kali, sedangkan pengajaran tentang cara bercocok tanam dilakukan hanya sekali dan selanjutnya anak-anak melihat dan meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Walaupun demikian, dalam berinteraksi sehari-hari, seorang anak dapat bertanya kepada orang tuanya jika ada halhal yang masih belum dipahami tentang cara-cara bercocok tanam. Menurut Suryanto (2008), lingkungan keluarga merupakan suatu tempat bagi anak bila berinteraksi sosial dengan orangtua yang paling lama. Interaksi yang intensif ini membuat seorang anak dapat melakukan pembelajaran sosial dengan efektif. Oleh karena itu, pembelajaran sosial yang menggunakan orang tua sebagai figur dapat dilakukan secara efektif. Metode pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar yang digunakan oleh orang tua sebagai figur adalah metode learning by doing, artinya bahwa anak-anak mulai belajar cara budidaya ubi jalar dengan menggunakan kearifan lokal ketika mereka membantu orang tuanya bekerja di kebun. Biasanya, orang tua menyuruh anaknya memperhatikan apa yang mereka lakukan kemudian memberi kesempatan anaknya menirukan apa yang telah dilihat sebelumnya. Jika ada kesalahan, orang tuanya memperbaiki saat itu juga sehingga anaknya mengetahui kesalahan, dan bagaimana memperbaiki kesalahannya. Kesuksesan penggunaan metode learning by doing ini berkaitan dengan apa yang Rogers sebut sebagai homophily, yaitu keadaan di saat komunikan dan komunikator mempunyai kesamaan seperti atribut seperti status sosial, berasal dari sistem yang sama, dan banyak kesamaan lainnya (Roger, 1983: 18-19). Semakin sama atribut yang dimiliki oleh model dan petani. Semakin efektif komunikasi yang terjadi di antara mereka, semakin efektif pembelajaran sosial yang terjadi.
75
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 68-78
Tahapan pembelajaran sosial yang dilalui oleh petani meliputi atensi, retensi, reproduksi motorik, dan motivasi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa petani Suku Arfak mencapai tingkat tinggi pada setiap tahapan tersebut, yang berarti bahwa untuk mencapai hasil pembelajaran sosial yang efektif, petani perlu memberikan perhatian yang tinggi terhadap perilaku figur, kemudian menyimpan dalam memorinya sehingga ia mampu mereproduksi perilaku yang telah diamati tersebut dengan baik dan pada akhirnya ia termotivasi untuk tetap melakukan apa yang telah ia reproduksi. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa dalam proses pembelajaran sosial, penting sekali memperhatikan memiliki daya tarik terhadap perilaku yang akan diintroduksi dan kesesuaiannya inovasi dengan kebutuhan petani. Jika perilaku yang akan diintroduksi daya tarik yang kuat, maka petani akan lebih mudah mengingatnya dan mereproduksi perilakunya tersebut. Jika perilaku yang telah direproduksi tersebut dianggap mampu memenuhi kebutuhannya, maka ia akan terus berperilaku seperti yang diinginkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar adalah umur efikasi diri dan dukungan sosial. Sementara tingkat keyakinan diri akan kemampuan melakukan budidaya ubi jalar dengan menggunakan kearifan lokal masih kurang. Jika hal ini terus berlanjut, petani Suku Arfak akan sulit melakukan tugas-tugasnya.
SIMPULAN Tokoh yang dijadikan figur dalam pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar di kalangan petani Suku Arfak adalah orang tua. Proses pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar meliputi waktu pembelajaran, yaitu setiap kali anak diajak orang tuanya ke kebun, sedangkan metode pengajaran yang digunakan oleh orang tua (figur) adalah metode learning by doing dan sumber insiatif untuk melakukan pembelajaran sosial berasal dari orang tua 76
Tingkat keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar di kalangan petani Suku Arfak tergolong tinggi (efektif). Tingkat keefektifan pembelajaran sosial yang tinggi yang dicapai oleh petani Suku Arfak merupakan hasil dari tingginya perhatian yang diberikan terhadap perilaku figur, tingginya tingkat retensi petani terhadap apa yang telah diamati, tingginya frekuensi mereproduksi apa yang telah diamati dan terentensi di dalam pikirannya serta sesuainya hasil dari perilaku yang diamati dengan kebutuhan petani Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar adalah umur dan efikasi diri. Umur berpengaruh negatif terhadap keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar, sebaliknya efikasi diri berpengaruh positif terhadap keefektifan pembelajaran sosial budidaya ubi jalar. Pengaruh efikasi diri terhadap keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budi daya ubi jalar diperkuat dengan adanya dukungan sosial yang diberikan oleh orang tua (figur). Pendidikan dan kosmopolitan tidak berpengaruh terhadap keefektifan pembelajaran sosial kearifan lokal budidaya ubi jalar. Dalam melakukan kegiatan penyuluhan bagi petani Suku Arfak, orang tua dapat dijadikan sebagai agent of change, sehingga orang tua perlu diubah perilakunya terlebih dahulu. Dengan demikian melalui proses pembelajaran sosial yang berlangsung secara alami dan anak-anaknya akan meniru perilaku orang tuanya tersebut. Pendidikan petani Suku Arfak perlu diperbaiki sehingga dengan pembenahan tingkat pendidikan, sehingga petani mempunyai kesempatan mendapatkan informasi melalui bahan cetakan. Program siaran radio perlu disesuaikan dengan kebutuhan petani di daerah pedesaan, sehingga petani tertarik untuk mendengar radio. Dengan demikian, radio dapat menjalankan fungsinya sebagai media komunikasi pembangunan. Kehadiran penyuluh di daerah ini masih sangat diperlukan khususnya yang bisa
Amestina Mutualage -- Keefektifan Pembelajaran Sosial Kearifan Lokal Buididaya Ubi Jalar di Kalangan Suku Arfak Kabupaten Manokwari
memahami karakteristik masyarakat Suku Arfak sehingga ia mampu menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat. Untuk bisa memahami dan menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat Suku Arfak, penyuluh perlu dibekali dengan pengetahuan tentang budaya masyarakat setempat. Selain itu, pengetahuan tentang sosiologi keluarga juga dipandang perlu untuk dipahami sehingga penyuluh mampu memaksimalkan potensi yang ada dalam keluarga untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.
DAFTAR PUSTAKA Akullo, Diana, 2007, “Indigenous Knowledge in Agriculture: A case study of the challenges in sharing knowledge of past generations in a globalized context in Uganda.” Paper of World Library and Information Congress: 73rd Ifla General Conference And Council 19-23 August 2007, Durban, South Africa. <> Diakses pada tanggal 21 Oktober 2009. Anon, 2009a, “Manokwari dalam Angka.” << h t t p : / / w w w . m a n o k w a r i k a b . go.id>> Diakses pada tanggal 5 juni 2010. Anon, 2009b, Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (Statistics Indonesia of The Republic Indonesia) http:// www.bps.go.id/tnmnpgn. php?eng=0. Diakses pada tanggal 22 November 2009. Anon, 2010a, Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline. http://pusatbahasa. kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. Diakses pada tanggal 5 Oktober, 2010. Bandura. A., 1977, Social Learning Theory. New Jersey: Prentice Hall. Engelwood Cliffs. Matanubun, Hubertus, Agus Sumule dan Achmad Rochani, 1995, Some Aspect of the Indigenous Knowledge of Selected
Sweet Potato farming System in Irian Jaya. Kota: Penerbit Ocholla, Denis, 2007, “Marginalized Knowledge: An Agenda for Indigenous Knowledge Development and Integration with Other Forms of Knowledge,” International Review of Information Ethics, Vol. 7, No. 9, pp. 1-10. Pavri Shireen and Lisa Monda-Amaya, 2001, “Social Support in Inclusive Schools: Student and Teacher Perspectives,” The Council for Exceptional Children, Vol. 67, No. 3, pp. 391-411. > Diakses pada tanggal 13 Februari 2010. Roger Everret M., 1983, Diffusion of Innovation. London: Collier Macmillan Publishers. Sopari, Agus Ridwan, 2010, Fungsi Keluarga dalam Tanggung Jawab Pendidikan. Buletin Ekselenizer, edisi 18 April 2010. <>. Diakses tanggal 5 Oktober 2010. Sumule, Agus Irianto, 1994, “The Technology Adoption Behaviour of the Indigenous People of Irian Jaya: A Case Study of the Arfak Tribals. Dissertation.” Queensland: University of Queensland. Uno, Hamzah B., 2008, Teori Motivasi dan Pengukurannya: Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Widyastuti, Caecilia Afra, 1994, “Peranan Wanita Suku Dani dalam Mempertahankan Kelangsungan Ubi jalar sebagai Makanan Pokok di Kabupaten Irian Jaya.” Edisi Khusus Balittan Malang, No. 3, hal. 353-360.
77
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 78-91
KAWISTARA VOLUME 1
No. 1, 21 April 2011
Halaman 1-102
PERTUMBUHAN MEGAURBAN KEDUNGSEPUR Saratri Wilonoyudho Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang Email: [email protected].
ABSTRACT Over the last 20 years many urban areas have experienced dramatic growth, as a result of rapid population growth and as the world‘s economy has been transformed by a combination of rapid technological and political change. In the cases of Kedungsepur, there is much more than a doubling. The inner zones are where the action is migrant come there from both the core and elsewhere in the country. Net migration in many cases contributes as much as two thirds of the population growth in these zones, whereas in the city cores, net migration contributes little to growth. A comprehensive model suggest that urbanization in Kedungsepur is influenced by structural and social demographic factors. So, the balance between managing urban discharges to environment and enhancing environmental resource capacity is the key determinant of the sustainability. Keywords: economic growth, population growth, urbanization, megaurban.
ABSTRAK Lebih dari 20 tahun banyak kawasan urban yang mengalami pertumbuhan dramatis sebagai hasil dari pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dan transformasi ekonomi dunia akibat kombinasi dari perubahan teknologi dan politik. Dalam kasus di Kedungsepur, kawasan dalam didatangi para migran yang datang dari kawasan inti maupun dari pelosok negeri. Migrasi netto dalam banyak kasus memberi kontribusi bagi pertumbuhan penduduk di kawasan tersebut, sedangkan di kawasan inti migrasi netto kecil kontribusinya. Model yang komprehensif disarankan karena pertumbuhan megaurban Kedungsepur dipengaruhi oleh faktor-faktor demografi yang bersifat struktural dan sosial. Oleh karena itu, keseimbangan antara pelaksanaan manajemen lingkungan perkotaan dengan peningkatan kapasitas sumberdaya lingkungan merupakan kunci utama bagi keberlanjutan di kawasan ini. Kata Kunci: pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, megaurban.
78
Saratri Wilonoyudho -- Pertumbuhan Megaurban Kedungsepur
PENGANTAR Tulisan ini dilatarbelakangi oleh fenomena pesatnya pertumbuhan megaurban di kawasan ASEAN yang mengalami pertumbuhan penduduk perkotaan yang luar biasa cepatnya dalam enam dekade terakhir ini. Pertumbuhan dan dinamika penduduk seperti ini terkait dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut, yang cenderung membentuk sebuah formasi yang berbentuk “Extended Metropolitan Region” (EMR) yang dicirikan oleh pertumbuhan di kota-kota inti yang meluber ke kawasan periperi di sekitarnya (Firman, 2003, McGee, 1971 dan 1991). Dalam sebuah studinya, Firman (2003) juga menemukan bahwa kabupaten-kabupaten yang memiliki basis industri, mengalami pertumbuhan penduduk urban yang lebih cepat. Pertumbuhan ini dapat dilihat kabupaten-kabupaten yang terletak di pantai Utara Jawa yang membentang dari Jakarta hingga Semarang melalui Cirebon. Studi tentang formasi EMR dan hubungan desa-kota di Jawa juga dilakukan oleh Jones (2001), dan McGee (1971 dan 1991). Globalisasi perdagangan, produksi, dan keuangan memunculkan banyak megaurban di Asia Pasifik (Douglass, 1995 dan 2000). Hal yang sama juga ditemukan di banyak negara di Asia lainnya seperti Taiwan (Liu and Tsai,1991), China (Yixing,1991) dan, Japan (Ginsburg, 1990 dan Latz, 1991). Dengan kata lain, fenomena EMR merupakan bagian dari urbanisasi di Asia (Lin, 1994). Fenomena megaurban di Indonesia yang mencolok adalah pertumbuhan kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan), dan Kedungsepur (Kendal, Demak, Semarang, Purwodadi). Pada sisi lain, temuan dari United Nations juga mengatakan bahwa penduduk dunia yang tinggal di perkotaan akan tumbuh dari 3 miliar jiwa pada tahun 2003 menjadi sekitar 4,9 miliar jiwa pada tahun 2030, atau dari 48% dari penduduk dunia menjadi 60%. Yang menarik bahwa pertumbuhan
tersebut tidak terjadi di kota-kota besar (megacity) sebagaimana selama ini diperkirakan orang, namun justru tumbuh di kota-kota kecil dan menengah (dengan penduduk kurang dari 500.000 jiwa) yang terdapat di negara-negara berkembang (Bremner, 2005). Hanya yang menjadi masalah, pertumbuhan penduduk di perkotaan tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pelayanan, sehingga di masa mendatang pertumbuhan kota-kota membutuhkan perencanaan yang lebih baik, terutama dalam mengantisipasi kedatangan kaum migran yang banyak mendiami kampung-kampung kumuh dan liar. Hal lain yang menarik adalah temuan dari Brown (2002) yang mengkaji pertumbuhan ekonomi Hongaria pasca-peralihan dari sistem sosialisme ke kapitalisme. Sistem kapitalisme ternyata menghasilkan ketidakadilan. Ini terbukti oleh adanya pergerakan penduduk dari perdesaan yang jauh dari kota. Dinamika penduduk yang terjadi di daerah perdesaan ini menunjukkan adanya ketidakadilan dalam pembangunan ekonomi. Daerah perdesaan pada tahun 1990an menjadi tujuan para pendatang dari golongan ekonomi marginal, serta menciptakan sebuah stratifikasi sosial antara desakota. Dengan kata lain, dekonsentrasi penduduk di Hongaria boleh jadi bukan mencerminkan perpindahan yang positif untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik ke depan, serta bukan seperti yang terjadi di kebanyakan negara-negara Barat sebagai “counter-urbanization”, namun lebih sebagai hasil tekanan ekonomi yang memaksa penduduk untuk pindah karena mereka tidak memiliki pilihan hidup yang lain. Dari latar belakang masalah tersebut tampak bahwa munculnya istilah Kedungsepur mengindikasikan bahwa Semarang dan daerah di belakangnya seperti Kendal, Demak, Ungaran, Purwodadi, Kudus, dan sebagainya bagaikan sebuah “region based urbanization”. Daerah di belakangnya tersebut setidaknya menjadi satu sistem pertumbuhan regional, yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Ini artinya, setiap perubahan yang terjadi di Semarang juga akan 79
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 78-91
berpengaruh terhadap daerah belakangnya, dan sebaliknya. Dari titik pemahaman inilah artikel ini akan mempelajari pertumbuhan dan urbanisasi di daerah di belakang kota Semarang, sehingga muncul pertanyaan penelitian: 1) Bagaimanakah proses perkembangan urbanisasi sehingga terjadi gejala megaurban di kawasan Kedungsepur?; dan 2) Faktor-faktor apa yang menjadi determinan pokok urbanisasi di Kedungsepur? Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari, menganalisis, dan menjelaskan proses terjadinya urbanisasi di Kedungsepur. Dari hasil analisis diharapkan dapat diperoleh kejelasan hubungan antara urbanisasi dengan faktor-faktor sosial, ekonomi, demografi, politik atau kebijakan pembangunan kota dan perubahan fisik keruangan di Kedungsepur. Dari titik inilah diharapkan dapat diperoleh kejelasan, terutama terkait dengan rekonseptualisasi urbanisasi berlebih yang “khas” dan “kontekstual” Indonesia khususnya di Kedungsepur. Harapan lebih jauh, hasilnya dapat memperkaya teori-teori tentang urbanisasi serta dapat digunakan sebagai landasan untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pembangunan kota yang berkelanjutan.
Megaurban dan Pertumbuhan Kota Kedungsepur sebagai “Extended Metropolitan Region”, akan menjadi salah satu fenomena kota yang memiliki pertumbuhan penduduk yang luar biasa cepatnya. Menurut berbagai hasil studi, antara tahun 20002030, jumlah penduduk dunia akan tumbuh 1,8 % sampai 2 % setahun. Pada tahun 2030, diperkirakan 61 % orang akan hidup di kota. Pada awal abad XX hanya ada 16 kota di dunia yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa. Namun, sekarang ada sekitar 400 kota di dunia yang berpenduduk satu juta jiwa atau lebih. Dari jumlah itu, 70 % di antaranya ada di negara-negara sedang berkembang (Cohen, 2006). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sejak tahun 2007 lalu, sejarah manusia dimulai dengan penduduk lebih banyak tinggal di kota. Bahkan pada tahun 2017 diperkirakan, “urban area” akan 80
lebih menonjol dibandingkan “rural area”. Menurut Cohen (2006) hal ini disebabkan melambatnya pertumbuhan penduduk yang ada di daerah “rural”. Diperkirakan dua tahun ke depan pertumbuhan penduduk perdesaan akan menurun dari 3,3 miliar jiwa (2003) menjadi 3,2 miliar jiwa (2030). Kalau pada tahun 1950-an ada sekitar 1,8 milyar orang yang tinggal di perdesaan atau rural area, namun pada tahun 2000 jumlah itu menjadi 3,2 miliar jiwa. Pada sisi lain, dalam 30 tahun jumlah penduduk kota bertambah 2 miliar jiwa. Menurut John Friedmann (dalam Laquian, 2008), tipe-tipe urban fields akan melebar ke luar dari batas administratif pusat kota sejauh 100 kilometer, termasuk di wilayah itu adalah bandara kota, lokasi industri baru, pusat rekreasi, sumber air dan saluran pembuangan, pertanian, dan sebagainya. Dalam istilah McGee fenomena kewilayahan seperti itu disebut “desa kota”, karena ada percampuran antara karakter kota dan karakter perdesaan yang unik. Industrialisasi di negara-negara berkembang yang berdampak terhadap dinamika penduduk, merupakan buah dari penetrasi kapitalisme dunia, yang sering disebut globalisasi ekonomi. Menurut Tyner (2002), wilayah Asia adalah wilayah yang paling dramatis terkena pengaruh globalisasi ekonomi. Perubahan struktur sosial ekonomi merupakan harga wajar yang harus dibayar oleh pengaruh seperti ini, seperti perubahan-perubahan pola investasi yang mulai meninggalkan daerah pusat kota untuk dipindahkan ke kawasan pinggiran. Sebagai akibatnya, kawasan pinggiran di kota-kota metropolitan berkembang sangat pesat, yang memunculkan istilah peri-peri, interzone, atau outer zone kawasan kota. Globalisasi ekonomi menciptakan hubungan kultural antara negara kapitalis inti dengan negara-negara “hinterland”-nya (Light, 2001). Fenomena globalisasi ekonomi dunia memunculkan istilah “global city”. Kota-kota besar di dunia “dipersatukan” dalam globalisasi kapitalisme melalui internasionalisasi produksi, jasa, dan kapital yang
Saratri Wilonoyudho -- Pertumbuhan Megaurban Kedungsepur
dimotori oleh perusahaan transnasional. John Friedmann (dalam Melchert, 2005) mengatakan ada hubungan antara pertumbuhan ekonomi dunia dan pertumbuhan kota-kota terutama di negara-negara sedang berkembang. Global ekonomi dikomando dan dikontrol dari pusat kapitalisme dunia (Saskia Sassen dalam Melchert, 2005). Dalam bahasa kiasan dapat digambarkan, jika Tokyo, London, New York, dan Paris “bersin-bersin”, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia akan ikut terkena “flu”. Menurut Jones (2001), lebih dari separuh megaurban di dunia berada di kawasan Asia. Dua megaurban Jakarta dan Manila berpenduduk hampir sama dengan seluruh penduduk benua Australia Pertumbuhan kota-kota kecil yang menyatu menjadi megaurban ini tampaknya belum mampu diatasi permasalahannya oleh pemerintah setempat. Menurut Laquian (2008) masalah yang menonjol dalam memanajemen kawasan megaurban adalah: Pertama, tidak terselesaikannya masalahmasalah fisik seperti pembangunan jalan, saluran, perumahan, pembuangan sampah, drainase, dan sebagainya; Kedua, sedikitnya perencana dan perancang kota yang memiliki visi komprehensif yang dapat memadukan antara berbagai kepentingan sosial, ekonomi, lingkungan, untuk diformulasikan menjadi satu kesatuan dalam merancang dan merencana kota; Ketiga, perencanaan dan perancangan wilayah dan kota, dipengaruhi oleh konsep yang masih mendikotomikan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Isu utama pembangunan perdesaan adalah pembangunan pertanian yang modern, terbukanya akses jalan dan pasar untuk hasil-hasil pertanian, reformasi agraria, produktivitas hasil pertanian, mekanisasi pertanian, dan isu-isu kemiskinan lainnya; Keempat masih belum terkoordinasinya antar-hirarkhi dan tingkatan institusi dan pemerintahan dalam membangun kota dan daerah, serta fragmentasi sektoral. Berbagai peraturan perundangan dan produk perencanaan tidak lintas sektoral dan lintas batas administratif.
Penelitian ini berusaha untuk mengungkap makna dari suatu fenomena urbanisasi dengan berbagai sebab dan akibatnya, menggunakan sumber data berupa angkaangka, data atau informasi yang berkaitan hasil survai BPS atau instansi terkait lainnya. Dengan kata lain, penelitian ini lebih dekat ke arah penelitian kualitatif-kuantitatif (Brannen,1997). Penelitian kualitatif memiliki karakter (1) bertujuan memperoleh gambaran yang lebih mendalam; (2) bertujuan untuk memahami makna dari suatu fenomena; (3) memandang fenomena secara utuh dan holistik; dan (4) desain penelitian bersifat emergensi, artinya terbuka untuk disempurnakan (Nasution, 1988). Penelitian ini menggunakan pendekatan kompleks wilayah. Unit wilayah di Kedungsepur diidentifikasi perbedaan dan persamaannya sesuai tujuan penelitian, atau teknik diferensiasi areal melalui teknik klasifikasi. Wilayah bukan tujuan akhir studi ini (objective region) melainkan sebagai alat (subjective region) untuk mempelajari kelompok gejala yang ada di wilayah tersebut. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi dan pengamatan di lapangan. Variabel dari penelitian ini, adalah variabel tergantung, yaitu urbanisasi dan variabel bebas, yaitu perubahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan dinamika perubahan lingkungan. Berbagai dokumen dan data dianalisis setelah dikaitkan dan digabungkan dengan data lain. Model analisis isi (content analysis model) digunakan untuk menganalisis substansi berbagai data dan dokumen. Berbagai data dan analisis tersebut dipadukan dengan model analisis interaktif (interactive analysis model).
PEMBAHASAN Dalam satu dasawarsa 1995-2005 Semarang dan beberapa daerah di belakangnya (Kedungsepur: Kendal, Demak, Ungaran, Semarang, dan Purwodadi) mengalami pertumbuhan penduduk perkotaan yang luar biasa cepatnya. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk 81
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 78-91
Tabel 1. Pertumbuhan Penduduk Kota dan Desa Di Kedungsepur Tahun 1995-2005
Sumber: BPS Supas 1997-2007
perkotaan di Kendal dan Demak menunjukkan angka yang paling besar di antara daerah belakang lainnya, yakni masingmasing 5,69 % dan 5,71 %. Pertumbuhan penduduk perkotaan di dua kabupaten ini dapat dipahami karena Kendal dan Demak merupakan rangkaian koridor yang nyaris menjadi satu dengan kota Semarang untuk membentuk megaurban. Pertumbuhan dan dinamika penduduk seperti ini nampaknya terkait dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut.
Ketimpangan Desa-Kota? Yang menarik, meskipun Kedungsepur tumbuh menjadi megaurban, namun tidak terjadi ketimpangan antar-wilayah. Pada Tabel 2 terlihat bahwa dari indikator ekonomi maupun indikator sosial, tidak terjadi ketimpangan yang cukup berarti antara kota Semarang dengan daerah di belakangnya. Salah satu kunci pengendalian utama pertumbuhan megaurban adalah memberi perhatian terhadap kota kecil di sekitarnya. Kecenderungan investasi besar yang memusat di kota besar mendorong terjadinya peningkatan primasi dan ketimpangan wilayah. Pertanyaannya apakah kota kecil di sekitar kota Semarang seperti Kendal dan Demak dirugikan atau tidak? Tabel 2 jawabannya cukup tegas yakni tidak terjadi pemusatan kemakmuran di kota Semarang. Diduga hal ini terjadi karena penyebaran investasi ke kota kecil di sekitarnya berjalan 82
baik. Hal ini tampaknya sejalan dengan gagasan Rondinelli (1984) agar penyebaran pembangunan ke kota-kota yang lebih rendah hirarkinya perlu dilakukan dengan penanaman investasi agar terjadi pemerataan pembangunan. Dalam hal ini yang dimaksud kota kecil bukan dalam arti jumlah penduduknya lebih sedikit, namun berdasarkan fungsi yang dimiliki. Secara umum tidak ada ketimpangan pembangunan antar-wilayah di Kedungsepur, namun jika mencermati pertumbuhan penduduk kota Semarang (yang merupakan “pusat” dari Kedungsepur), tampaknya pernyataan tersebut harus ditafsirkan hati-hati. Bagaimanapun migrasi yang masuk ke kota Semarang diduga kuat akibat sempitnya lapangan kerja di desa sehingga penduduk desa tetap tertarik bekerja di kota besar seperti Semarang. Secara umum yang dicatat BPS kota Semarang (2008) adalah bahwa selama kurun waktu tahun 2002 2006, penduduk yang datang di kota Semarang berturut-turut adalah 34.270 orang (tahun 2002), selanjutnya 37.063 orang (tahun 2003), 35.105 orang (tahun 2004), 30.910 orang (tahun 2005), dan 42.714 orang (tahun 2006). Sedangkan lima kecamatan yang tergolong padat, juga kedatangan penduduk yang cukup banyak tahun 2006. Lima kecamatan itu adalah Banyumanik yang kedatangan 4.128 orang, Kecamatan Tembalang 4.136 orang, Kecamatan Pedurungan 6.209 orang, Kecamatan
Saratri Wilonoyudho -- Pertumbuhan Megaurban Kedungsepur
Gambar 1. Peta Kedungsepur (Kendal, Demak, Ungaran, Semarang, Purwodadi) Tabel 2. Indeks Pembangunan antar-Kabupaten di Daerah Kedungsepur Tahun 2008
Sumber : BPS, Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2009 (diolah) Keterangan Indeks Ekonomi : A : Jumlah pendapatan per kapita B : Pertumbuhan pendapatan per kapita C : Tingkat partisipasi angkatan kerja D : Persentase nilai tambah manufaktur terhadap total PDRB Kabupaten/kota E : Persentase tenaga kerja manufaktur dibanding total tenaga kerja kabupaten F : Persentase penduduk tinggal di kota G : Panjang jalan per 10.000 km persegi Indeks Sosial : H : Indeks Pembangunan Manusia I : Jumlah murid SD per 1000 murid J : Persentase pekerja lulusan akademi/perguruan tinggi K : Rasio guru SD/ 10.000 murid L : Rasio dokter/ 10.000 penduduk M : Rasio tempat tidur rumah sakit/ 10.000 penduduk
83
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 78-91
Semarang Barat 4.002 orang dan Kecamatan Ngaliyan 4.059. Lima kecamatan tersebut berkembang pesat karena aktivitas baru banyak dibangun seperti pembukaan kampuskampus baru, pusat perbelanjaan, perumahan, kawasan wisata, industri, dan sebagainya. Migrasi masuk dapat diduga dari masih adanya ketimpangan pembangunan antara desa dan kota hingga terjadi fenomena “urban bias”. Dalam sejarah pembangunan di negeri ini, teori kutub pertumbuhan dijadikan paradigmanya. Dalam paradigma ini diasumsikan bahwa ada produk pertanian yang dapat dipacu produktivitasnya sehingga akan mencapai tingkat tertinggi dalam produksi pangan, memperluas kesempatan kerja dan pendapatan pada sebagian besar masyarakat, terutama dalam level subsisten. Dari titik inilah diharapkan tumbuh usaha kecil menengah usaha farm, ada pergerakan modal, ada kredit, teknologi dengan riset. Dengan mendorong kerangka institusional di perdesaan, maka diharapkan dapat mendorong pertumbuhan regional. Dalam kenyataannya, strategi kutub pertumbuhan ini tidak cocok di negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena ada dualisme antara sektor pertanian dan industri, serta penetrasi kapitalisme global sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya. Pada satu sisi sektor pertanian banyak mengalami hambatan karena lahan pertanian terutama di Jawa sangat sempit serta banyak terjadi fragmentasi atau pewarisan. Pada sisi lain, sektor industri sangat padat modal dan berorientasi pada substitusi impor. Kendali teknologi dan pertumbuhan ekonomi praktis berada di negara-negara maju, dan Indonesia hanya sebagai “tukang jahit”. Akibatnya hanya tenaga kerja terampil saja yang dapat memasuki sektor industri. Adanya urban bias semacam ini mengakibatkan tumbuhnya sektor informal karena luapan tenaga kerja dari sektor pertanian tidak banyak yang dapat ditampung di sektor industri. Teori-teori dari Boeke (1961) tentang dualisme sektor ekonomi maupun dari Geertz (1963) tentang involusi pertanian 84
banyak menjelaskan tentang kemiskinan dan peluang kerja di perdesaan. Internasionalisasi atau globalisasi kapital dari negara-negara maju yang dipenetrasikan ke negara-negara berkembang, telah banyak menimbulkan kesulitan bagi para wirausahawan lokal. Membanjirnya produk-produk tekstil dari Cina maupun terperangkapnya Indonesia dalam produksi pangan, menunjukkan bahwa daya ekspor negeri ini masih lemah. Mulai dari hilir sampai hulu, Indonesia masuk dalam perangkap pangan (food trap) dari negaranegara maju. Sebagai contoh, industri perbenihan kita dikuasai perusahaan raksasa trans-nasional (MNCs) seperti Syngenta, Monsanto, Bayer Crop, dan sebagainya dengan total nilai 40 miliar US dollar. Demikian pula dalam industri pengolahan pangan, MNCs seperti Nestle, Kraft Food, Cargill dan Unilever juga menguasai pangsa pasar dengan nilai 490 miliar US dollar, bahkan di tingkat pengecer pangan, MNCs seperti Carrefour, Wal Mart, Tesco dan Metro Group juga menguasainya dengan total nilai sebesar 1.091 miliar US dollar (Jawapos,11/9/2008). Akibatnya petani kita terus terpuruk, karena kedelai, gula, beras, bahkan garam pun harus diimpor.
Studi Kasus Petani di Kabupaten Kendal Tentang nasib petani yang tidak menguntungkan di daerah hinterland kota Semarang, yakni kabupaten Kendal, telah dilakukan sebuah penelitian kecil. Studi kasus ini didukung oleh hasil penelitian di lapangan pada Bulan Juni 2010 yang dibantu oleh para peneliti dari Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Kendal (daerah hinterland kota Semarang) dilaksanakan di empat kecamatan, yakni Kecamatan Weleri, Kecamatan Gemuh, Kecamatan Cepiring, dan Kecamatan Rowosari. Jumlah responden yang diambil adalah 20 orang petani yang terdiri dari 10 orang pemilik, 6 orang petani penyewa, dan 4 orang petani penggarap. Kebanyakan pemilik menggunakan sawahnya untuk dua
Saratri Wilonoyudho -- Pertumbuhan Megaurban Kedungsepur
kali masa tanam dan memberi waktu jeda untuk menyuburkan tanah kembali, sedangkan para penyewa dan penggarap memaksimalkan masa tanam sebanyak tiga kali dengan tujuan mengejar setoran terhadap pemilik sawah tanpa memberikan waktu jeda untuk penyuburan tanah. Semua responden menanam padi dalam waktu satu tahun. Sebagian besar untuk masa tanam tiga kali mereka menanam padi, jagung dan tembakau, sedangkan untuk masa tanam dua kali mereka hanya menanam padi atau padi dan tembakau. Semua responden di Kendal semuanya menggunakan pupuk kimia dan tidak ada yang menggunakan pupuk kandang. Hal tersebut dikarenakan di wilayah tersebut jarang terdapat pupuk kandang. Pembelian pupuk di Kabupaten Kendal rata-rata dibeli dari toko atau agen yang menjual pupuk di desa masing-masing, hal ini disebabkan di wilayah responden keberadaan kelompok tani belum efektif dan efisien.
rata-rata mengalami kesulitan dalam mendapatkan pupuk. Semua responden ratarata juga mengalami masalah terhadap harga pupuk dan kelangkaan pupuk. Kesulitan ekonomi yang dialami para petani ditunjukkan oleh rencana mereka jika subsidi pupuk diganti dengan uang. Hampir seluruh responden setuju dengan adanya subsidi langsung berupa uang tunai kepada petani, Lebih dari 50% responden akan menggunakan subsidi tersebut tidak hanya untuk pupuk. Bahkan ada responden yang akan mengunakan subsidi tersebut untuk keperluan sehari-hari. Hanya 32% responden yang akan menggunakan subsidi tersebut untuk keperluan pupuk. Penggunaan uang subsidi
Gambar 3. Grafik Rencana para Petani Terkait Pemberian Subsidi Pupuk Berujud Uang Sumber: Wawancara di Lapangan (Juni 2010)
Gambar 2. Grafik Masalah dalam Memperoleh Pupuk Sumber: Hasil Wawancara (Juni 2010)
Dari hasil wawancara diketahui bahwa kehidupan petani umumnya bertanah sempit sehingga produktivitasnya rendah sehingga sebagian dari mereka lebih memilih untuk hutang pupuk pada toko atau agen dan membayarnya hampir dua kali lipat ketika sudah jatuh tempo hutang tersebut. Fakta ini cukup memberi bukti betapa marginalnya kehidupan para petani berlahan sempit. Para petani di Kabupaten Kendal
Urbanisasi sebagai Way of Life Hasil penelitian lapangan tersebut hanya sekadar menggambarkan betapa lemahnya kehidupan para petani, khususnya di daerah pinggiran kota Semarang. Secara nasional, semakin melemahnya sektor pertanian ditunjukkan oleh data BPS (2003), yakni jumlah petani gurem meningkat 2,6 % per tahun. Yakni dari 10,8 juta petani pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta pada tahun 2003. Petani gurem adalah petani berlahan sempit kurang dari 0,25 hektar. Jumlah lahan petani menurun dari 0,5 ha per petani pada tahun 1993 menjadi hanya 0,3 ha per petani pada tahun 2003. Petani pangan hanya mampu memenuhi 30 % dari kebutuhan 85
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 78-91
keluarganya jika lahan yang diolahnya hanya satu hektar. Padahal, jumlah petani pangan adalah 72 % dari total petani yang ada. Menurut BPS (2008) kontribusi sektor pertanian terhadap PDB fluktuatif, namun cenderung menurun. Angka sementara pada semester satu tahun 2008 persentase sektor pertanian berada pada kisaran angka 14 persen yang berarti menurun dari angka 15,46 persen pada tahun 2002. Namun kisah swasembada pangan itu kini juga telah berhenti karena menurut BPS (2008), pada tahun 2007 Indonesia harus mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand, masing-masing senilai 335,6 juta US dollar dan 122,4 juta US dollar. Kalau dilihat besarannya, maka pada tahun 2004 Indonesia mengimpor 250 ribu metrik ton, tahun 2005 sebanyak 225 ribu metrik ton, tahun 2006 sebanyak 495 metrik ton dan melonjak tajam menjadi 1.495 ribu metrik ton pada tahun 2007. Kondisi pembangunan pertanian di tingkat nasional tersebut nampaknya juga terjadi pula di daerah belakang kota Semarang. Hasil penelitian juga menunjukkan hal yang sangat menarik, yakni di semua kabupaten di daerah belakang kota Semarang, sektor pertanian tidak dapat diharapkan lagi menjadi penopang utama kehidupan di perdesaan. Pernyataan ini didukung oleh fakta sebagaimana diperlihatkan pada tabel 3 dan tabel 4 bahwa proporsi pekerja bebas di sektor non-pertanian, justru lebih besar dibandingkan dengan proporsi pekerja bebas di sektor pertanian. Jika pekerja sendiri tanpa bantuan orang lain dan pekerja dengan bantuan orang lain yang tidak dibayar disebut sebagai pekerja informal, maka tabel 3 dan tabel 4 juga menunjukkan pekerja sektor informal jumlahnya lebih banyak dibandingkan yang lainnya. Fenomena tersebut makin meneguhkan sinyalemen yang mengatakan bahwa anak muda dari desa saat ini makin enggan melanjutkan pekerjaan orang tuanya sebagai petani atau buruh tani. Fakta ini diduga kuat berkaitan dengan semakin membaiknya tingkat pendidikan pemuda 86
desa sehingga mereka lebih merasa cocok kalau bekerja di “kantoran” atau setidaknya yang tidak masuk ke “lumpur” sawah. Data BPS (2009) menunjukkan bahwa ada penurunan jumlah petani di Kabupaten Demak, yakni dari 302.603 petani pada tahun 1998 menjadi 221.241 petani pada tahun 2008. Kenyataan ini didukung oleh pernyataan para petani di kota Semarang dan daerah belakangnya dalam Focus Group Discussion (FGD) di Semarang pada Juli 2010 yang lalu. Dari titik inilah pemerintah daerah dituntut untuk merespon perubahan besar ini dan berusaha bagaimana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang memiliki inovasi untuk bekerja secara mandiri. Pada satu sisi memang satu hal yang menggembirakan tumbuhnya jiwa kewirausahaan ini, namun di sisi lain, merosotnya daya tarik sektor pertanian juga harus mendapat perhatian serius. Idealnya industrialisasi atau pertumbuhan sektor jasa terkait erat dengan pertumbuhan dan peningkatan produksi di sektor pertanian. Pemerintah daerah mesti mampu meyakinkan para pemuda desa untuk menekuni sektor pertanian, tentu saja dengan inovasi baru, agar produk pertanian terkait erat dengan industrialisasi dan pertumbuhan sektor jasa. Pemerintah daerah mesti aktif menunjukkan contoh inovasi pertanian terkait dengan agrobisnis yang berorientasi ekspor, sehingga pekerjaan pertanian tidak diidentikkan dengan pekerjaan “kotor’ oleh para pemuda yang berpendidikan. Menurunnya sektor pertanian di satu sisi ternyata tidak diimbangi dengan produktivitas di sektor industri, namun justru yang banyak diciptakan adalah pusat pertumbuhan baru yang berasal dari pemodal besar. Tumbuhnya industri perakitan di pinggiran kota dan tumbuh suburnya jaringan minimarket yang menggusur pasar-pasar tradisional menunjukkan adanya dominasi ekonomi global yang dikendalikan kapitalisme negara-negara maju. Globalisasi ekonomi ini akan mempengaruhi kebijakan makro-ekonomi yang mendorong ke arah pertumbuhan ekonomi melalui industrialisa-
Saratri Wilonoyudho -- Pertumbuhan Megaurban Kedungsepur
Tabel 3. Penduduk Usia 15 Tahun ke atas Bekerja Seminggu yang Lalu di kota Semarang dan Daerah Belakangnya Menurut Status Pekerjaan Utama di Kota Tahun 2006 Kota
Sumber: BPS Keadaan Angkatan Kerja Jawa Tengah Tahun 2007
Tabel 4. Penduduk Usia 15 Tahun ke atas Bekerja Seminggu yang Lalu di kota Semarang dan Daerah Belakangnya Menurut Status Pekerjaan Utama di Desa Tahun 2006 Desa
Sumber: BPS Keadaan Angkatan Kerja Jawa Tengah Tahun 2007 Keterangan : 1. Berusaha Sendiri Tanpa Bantuan Orang lain 2. Berusaha Sendiri Dibantu Buruh Tetap/Tidak Dibayar 3. Berusaha Sendiri Dibantu Buruh Tetap/ Dibayar 4. Buruh/Karyawan/Pegawai 5. Pekerja Bebas di Pertanian 6. Pekerja Bebas di Non-Pertanian 7. Pekerja Tidak Dibayar
si yang berorientasi ekspor. Dari titik inilah pertumbuhan kota terus terjadi sehingga kota menjadi daya tarik bagi lokasi kegiatan usaha karena adanya kepentingan ekonomi skala besar dan ekonomi aglomerasi yang menghasilkan tingkat produktivitas dan efisiensi yang lebih tinggi. Proses industrialisasi ini akan terus mempengaruhi transformasi struktur sosial. Para pekerja industri dan tenaga profesional sebagai kelas baru, dan para kaum migran dari desa yang tidak memiliki keterampilan, terus tumbuh di kotakota besar. Oleh karena itu, kaum migran pada umumnya berketerampilan rendah, maka mereka “terlempar” di sektor informal dan pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan tinggi. Fakta ini cukup menarik terutama jika dikaitkan dengan istilah urbanism as a way
of life sebagaimana dipopulerkan oleh Wirth (1980). Interaksi sosial diantara para pendatang dari desa di satu sisi dan interaksi pendatang dengan penduduk asli kota pada sisi yang lain, telah menimbulkan bentuk kebudayaan yang unik. Ditambah “brain washing” kapitalisme lewat iklan di televisi dan gaya hidup lainnya, pertumbuhan megaurban tidak saja menarik diamati secara ekonomis, namun juga secara sosial. Istilah urbanism as a way of life tampaknya memperkaya pemahaman tentang perilaku mobilitas yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi belaka namun juga terkait interaksi sosial. Keberadaan seseorang dalam lingkungan baru, misalnya penduduk desa yang bermigrasi ke kota, mengharuskan mereka melakukan penyesuaian baru, ada kebudayaan asal yang
87
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 78-91
harus dipertahankan dan ada sifat-sifat baru yang harus dibangun. Perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial, dan latar belakang kebudayaan akan terus berinteraksi. Proses reproduksi kebudayaan asal akan terus berjalan untuk pencarian identitas, sementara kota akan memberikan pilihan yang boleh jadi akan menjauhkan mereka dari ciri kebudayaan asal di perdesaan. Bagi mereka yang tidak siap, maka akan terjadi kebingungan dalam pencarian identitas karena kebudayaan kota yang plural dan terdiferensiasi. Apalagi, menurut Gilbert dan Gugler (1996) bahwa ideologi pembangunan kota merupakan perwujudan konflik antar-kelas. Penentuan tata ruang kota hanya dapat dipahami dari proses konflik dan beroperasinya sistem kapitalisme ini. Wajar pula jika unjuk rasa, bentrokan antara satuan polisi pamong praja dengan para pedagang kaki lima, maupun meningkatnya kejahatan di kotakota besar, dan sebagainya merupakan wujud dari konflik ini.
SIMPULAN Di Kedungsepur sektor industri menurun perannya, demikian pula sektor pertanian, dan sebaliknya sektor jasa dan usaha mandiri yang semakin meningkat. Di wilayah perdesaan di semua kabupaten di daerah belakang kota Semarang, “urbanisme” diduga kuat telah tumbuh dengan baik karena didukung oleh membaiknya tingkat pendidikan kaum muda di desa serta pengaruh brain washing dari televisi, media massa, alat komunikasi HP, dan sebagainya. Di daerah perdesaan, proporsi pekerja bebas di sektor pertanian malahan lebih rendah jika dibandingkan dengan proporsi pekerja bebas di sektor non-pertanian. Fakta ini menunjukkan adanya perubahan gaya hidup yang mendorong tumbuhnya urbanisasi, dan bukannya industrialisasi. Urbanisasi yang terjadi adalah karena ada peningkatan konsumsi masyarakat terkait “globalisasi” informasi. Di kawasan perde-
88
saan pun sudah terlibat konsumsi global lewat “brain washing” dari media massa terutama televisi, untuk memompakan ide-ide tentang citra sebuah produk (brand image), nilai, gaya hidup, dan sebagainya, sebagaimana pernah disebut Georg Simmel sebagai “the metropolis and mental life". Lewat manipulasi citra inilah para pebisnis sangat tanggap untuk menciptakan peluang usaha sehingga jaringan mini-market sudah merambah di setiap jengkal lahan di kawasan perdesaan dan kawasan pinggiran kota yang mengubah wajahnya menjadi sebuah “kota” lengkap dengan berbagai sarana dan prasarana pelayanan lainnya. Dengan kata lain, urbanisasi yang terjadi bukan karena meningkatnya daya inovasi masyarakat namun karena meningkatnya gaya konsumtivisme masyarakat (desa dan kawasan pinggiran), dan ini berarti proses difusi budaya konsumtif terjadi dengan cepatnya. Namun jika ditinjau dari fakta tentang tumbuhnya pekerja bebas di sektor non-pertanian, boleh jadi hal ini juga menunjukkan adanya peningkatan usaha kewirausahaan. Hanya yang menjadi masalah sampai seberapa jauh inovasi kewirausahaan ini mampu menopang perekonomian rakyat dan menyejahterakan mereka. Tumbuhnya kemandirian masyarakat mungkin juga sebagai respons atas tidak memadainya upah yang diterima jika mereka bekerja di sektor industri. Kenyataan menunjukkan bahwa terjadinya pergeseran basis ekonomi pertanian ke non-pertanian dan belum mampu memberikan kesejahteraan bagi tenaga kerja. Implikasi kebijakan yang diambil pemerintah kota dan kabupaten di wilayah Kedungsepur ini ialah, bagaimana menyikapi suburnya penetrasi pemodal yang terus mengembangkan usahanya sampai ke tingkat desa sebagaimana nampak dari ’serbuan’ dua jaringan mini-market besar yang merupakan simbol kekuatan modal. Kekuatan modal besar diduga banyak merugikan masyarakat bawah. Berbagai ’pemba-
Saratri Wilonoyudho -- Pertumbuhan Megaurban Kedungsepur
karan’ pasar-pasar tradisional menunjukkan hal tersebut, dan ini merupakan gejala awal untuk menggantikannya dengan ’pasar modern’. Fakta ini merupakan simbol gejala urbanisasi yang berbasis pertumbuhan ekonomi besar. Selanjutnya secara generalisasi, penelitian ini juga menyarankan kepada pemerintah daerah sebagai berikut: Pertama, sudah saatnya kebijakan pembangunan pusat-pusat industri di kota-kota besar yang padat modal ditinjau kembali, dan sebaliknya industri kecil dan menengah yang berbasis pertanian, perlu dikembangkan agar para petani dan buruh tani lainnya juga turut menikmati hasilnya. Fakta bahwa banyaknya unjuk rasa dan kerusakan lingkungan membuktikan bahwa kesejahteraan mereka tidak baik. Kedua, kebijakan pengembangan usahausaha mandiri atau kewirausahaan dan koperasi perlu diprioritaskan. Usaha yang dapat dilakukan di antaranya, programprogram pelatihan dan keterampilan manajemen, kredit murah tanpa agunan bagi wirausahawan yang dipandang mampu berkembang, perluasan informasi pasar perdagangan, dan pelibatan wirausahawan dan koperasi di pasar global dengan bantuan instansi/lembaga pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA EBadan Pusat Statistik, 1997, Survai Antar Sensus Indonesia. __________________ , 2003, Statistik Indonesia. __________________ , 2007, Survai Antar Sensus Indonesia. __________________ , 2008, Survai Sosial Ekonomi. __________________ , 2009, Statistik Indonesia. __________________ , 2009, Demak Dalam Angka. __________________ , 2007, Jawa Tengah Dalam Angka. __________________ , 2007, Keadaan Angkatan Kerja Jawa Tengah. __________________ , 2009, Jawa Tengah Dalam Angka. Boeke, JH, 1961, “The Theory of Dualism”, dalam Wertheim (eds.), The Concept of
Dualism in Theory and Policy, Amsterdam, W Van Hoeve Publisher Ltd., hlm. 165-193. Brannen, J. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bremner, Jason and Richard Bilsborrow, 2005, “Population Dynamics and Millennium Development Goal 7”, dalam Paper Prepared for PERN. University of North Carolina at Chapil Hill. 5-16 September. Brown, David L and Kai A. Schafft, 2002, “Population Decentration in Hungary During the Post-Socialist Transformation”, dalam Journal of Rural Studies. No.18, hlm. 233-244. Cohen, Barney, 2006, “Urbanization in Developing Countries: Current Trends, Future Projection, and Key Challenges for Sustainability”, dalam http:// www7.Nationalacademic.org/dbase. Cities Transformed World Technology In SociEty.Article.pdf. Douglass, M, 1995, “Global Interdependence and Urbanization: Planning for the Bangkok Megaurban Regions” dalam McGee,T. G and I. M. Robinson (eds.), The Megaurban Regions of Southeast Asia, Vancouver, the University of British Columbia Press, hlm. 45-77. __________________ , 2000, “Megaurban Regions and World City Formation: Globalization, the Economic Crisis and Urban Policy Issues in Pasific Asia”, dalam Urban Studies 37 (12), hlm. 15-36. Firman, Tommy, 2003, “The Spatial Pattern of Population Growth in Java, Indonesia 1990-2000: Continuity and Change in Extended Metropolitan Region Formation”, dalam The Fifth IRSA International Conference. Bandung 18-19 Juli.
89
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 78-91
Geertz, Clifford, 1963, Peddlers and Princes: Social Change and Economic Modernization in Two Indonesian Towns, Chicago: The University Of Chicago Press.
Lin,G.C.S.1994. “Changing Theoritical Pers-pective on Urbanization in Asian Developing Countries”, dalam Third World Planning Review. 16, hlm. 1-23.
Gilbert, Alan and Josef Gugler, 1996, Urba-nisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Liu,P.K.C and H.H. Tsai, 1991, “Urban Growth and Employment in Taiwan” dalam N. Ginsburg, B.Koppel and T. G. McGee (eds.), The Extended Metropolis: Settlement Transition in Asia. Honolulu: The University of Hawaii Press, hlm. 193-216.
Ginsburg, N, 1990, The Urban Transition: Reflections on the American and Asian Experiences, Hongkong: The Chinese University Press. Jones,Gavin W, 2001, “Studying Extended Metropilitan Regions in South-East Asia”, Paper Presented at the XXIV General Conference of the IUSSP. Salvador Brazil 18-24 August, dalam http://www.iussp.org/Brazil 2001/ s40/s42.02. Jones.pdf. Jawapos, edisi 11 September 2008. Latz, G, 1991, “The Persistence of Agriculture in Urban Japan: An Analysis of the Tokyo Metropolitan Area”, dalam N. Ginsburg, B. Koppel and T.G. McGee (eds.). The Extended Metropolis: Settlement Transition in Asia. Honolulu: The University of Hawaii Press, hlm. 137-156. Laquian, Aprodicio A, 2008, “The Planning and Governance os Asia`s Mega-Urban Regions” Population Division Department of Economic and Social Affairs United Nation Secretariat. New York 21-23 January. Diambil dari http://www.un.org/esa/population/meetings/EGM poDist/p04 Laquian.pdf. Light, Ivan, 2001, “Globalization, Transnationalism, and Trade”, dalam Asian and Pacific Migration Journal. Vol. 10, No. 1, hlm. 53-79.
90
McGee, Terry, 1971, The Urbanization Process in the Third World Exploration In Search of Theory, London: G. Bell and Son Ltd. __________________ , 1991, “The Emergence of Desa Kota Regions in Asia”, dalam N.Ginsburg, B. Koppel and TG McGee (Eds), The Extended Metropolis: Settlement Transition in Asia. Honolulu: University of Hawaii Press. Melchert, Lucian, 2005, “The Age of Environmental Impasse? Globalization and Environmental Transformation of Metropolitan Cities”, dalam Development and Change. Vol. 36, No.5, hlm. 803-824. Nasution, 1988, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito. Rondinelli, 1984, “Small Towns in Developing Countries: Potential Centers of Growth, Transformation, and Integration”, dalam HD. Kammeir and PJ Swan (eds.) Equity With Growth? Planning Perspectives for Small Towns in Developing Countries. Bangkok: AIT. Tyner, James A, 2002, “The Globalization of Transnational Labor Migration and the Filipino Family: a Narrative”, da-lam Asian and Pacific Migration Journal. Vol. 11 No. 1, hlm. 95116.
Saratri Wilonoyudho -- Pertumbuhan Megaurban Kedungsepur
Wirth, Louis, 1980, “Urbanism as a Way of Life”, Irwan Press and M. Estellie Smith (ed.). Urban Place and Process, New York: MacMillan Publishing co., Inc, hlm. 30-48.
Yixing, Z, 1991, “The Metropolitan Interlocking Region in China: A Preliminary Hypothesis”, dalam N. Ginsburg, B. Koppel and T.G. McGee (eds.), The Extended Metropolis: Settlement Transition in Asia. Honolulu: The University of Hawaii Press, hlm. 89-112.
91
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 92-98
KAWISTARA VOLUME 1
No. 1, 21 April 2011
Halaman 1-102
RESENSI CIVIC PLURALISM: KEMBALINYA OTORITAS KERAGAMAN SIPIL Judul Buku
: Pluralisme Kewargaan Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia Pengarang : Zainal Abidin Bagir, dkk. Penerbit : Mizan – Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana, UGM Tahun : 2011 Tebal Halaman : 200 halaman Endy Saputro*) Pluralisme merupakan strategi hidup bersama setelah konflik di suatu masyarakat terjadi. Sebagai sebuah strategi, menurut Sartori (1997), pluralisme dikenal pertama kali sekitar abad ke-16 dan ke-17, setelah perang berbasis agama usai di daratan Eropa. Menarik di sini, bahwa konflik yang terjadi justru berkaitan dengan agama dan bukan sekadar perang politik/fisik semata. Pluralisme dengan demikian tidaklah muncul dari ruang agama an sich, yang dikreasikan di dalam sebuah agama; meskipun, istilah ini lahir di dalam masyarakat beragama yang intoleran. Perlu ditekankan, masyarakat Eropa waktu itu menerapkan pluralisme sebagai sebuah konsep baru kehidupan bersama. Ia dibedakan dengan konsep sosial yang telah ada sebelumnya, yaitu toleransi. Perbedaan konsep keduanya terletak pada cara pandang atas nilai, sebagaimana tegas Sartori (1997), “Tolerance respects values, whereas pluralism posits values. For pluralism affirms the belief that diversity and dissent are values that enrich individuals as well as their polities and
societies.” Melalui pernyataan ini jelas, pluralisme merupakan sebuah konsep melampaui toleransi, yang mengeliminasi intoleransi. Jika toleransi mengafirmasi adanya sebuah perbedaan (difference), maka pluralisme mengkonfirmasi adanya keragaman (diversity). Pluralisme Eropa abad ke-16 dan ke-17 tersebut mengundang sebuah kritik, apakah basis pluralisme pada waktu itu? Bagaimana cara untuk “posit values”, padahal masyarakat memiliki nilai-nilai yang berbeda dan beragam? Mengandaikan sebuah common ground adalah sesuatu yang niscaya, namun hal ini masih mengundang banyak pertanyaan, antara lain, bagaimana mereka menemukan sebuah common ground di tengah keberagaman nilai-nilai? Kita sah mengandaikan bahwa common ground ada berkait erat dengan hukum sosial masyarakat pada waktu itu. Namun saya lebih berasumsi, hal ini lebih berkait erat dengan scarcity (kelangkaan). Turner dan Rojek (2001) memberikan ilustrasi apik, scarcity berlokasi di tengah dua
*) Staf Peneliti CRCS Sekolah Pascasarjana UGM 92
Resensi
kutub berseberangan, yaitu kekerasan dan solidaritas. Apabila pemerolehan scarcity dilakukan melalui proses ketegangan, maka akan menimbulkan konflik, dan selanjutnya perang terjadi untuk memeroleh scarcity tersebut. Sebaliknya, apabila bisa dikompromikan, pemerolehan scarcity tersebut justru bisa membawa pada proses solidaritas. Di sinilah pluralisme sebenarnya berkaitan erat dengan solidaritas dan bisa dikatakan bahwa solidaritas merupakan prasyarat pluralisme. Scarcity juga menegaskan bahwa pluralisme pada abad ke-16 dan ke-17 menyaratkan kebutuhan bersama melalui kompromi-kompromi bersama yang berujung pada aturan-aturan sosial yang disepakati bersama. Pertanyaannya kemudian, apakah agama tidak mampu menciptakan konsep pluralismenya sendiri? Pertimbangan penting dalam pertanyaan tersebut adalah agama memiliki dua sisi. Pada satu sisi, agama bisa dengan spontan menjadi sebuah faktor pendukung konflik, meskipun bukan sebagai sumber utama. Sebaliknya, pada sisi lain, ia dapat berperan sebagai sumber perdamaian. Jika pada ranah sosial, diprasyaratkan sebuah common ground, maka pluralisme dalam diskursus agama menyaratkan sebuah titik temu. Muncullah kemudian kredo-kredo, seperti “Satu Tuhan Banyak Jalan”, “Banyak Jalan Satu Tujuan, dan lain sebagainya yang berkaitan erat dengan penegasan bahwa karena kita menuju tujuan yang sama, mari kita berlomba-lomba dalam kebaikan. Yang ditekankan di sini adalah persamaan dalam transendental, bukan dalam scarcity. Dalam abad modern, kredo-kredo ini, dengan kekhasan konsepnya masing-masing, dipelopori oleh Fritjof Schuon (2009), Syed Hossein Nashr (dan William C. Chittick, 2009), John Hick (2005), dan Paul Knitter (1995).
Post-Nation dan Plural Society Memasuki abad ke-18, masyarakat Eropa memasuki fase masyarakat baru. Mereka menyebutnya nation. Bagi Sartori (1997), karakter utama nation terletak pada bahasa; penduduk di sebuah nation seharusnya me-
miliki sebuah bahasa “nasional”. Mengapa bukan nilai-nilai bersama atau norma-norma bersama yang dijadikan standar sebuah nation? Paling tidak ada dua implikasi di sini. Pertama, pluralisme, bagaimanapun, tetap membutuhkan sebuah medium penghubung antar-perbedaan, dan hal tersebut adalah bahasa yang bisa dipahami oleh pemilik perbedaan tersebut, minimal agar komunikasi dalam dialog dapat berjalan lancar. Kedua, tidak menutup spekulasi bahwa nation adalah produk pluralisme itu sendiri; dialog atas perbedaan dapat melahirkan sebuah “wadah untuk bersatu”. Sebuah nation tentu mengandaikan sebuah batas, baik batas budaya maupun batas teritori. Batas budaya mendenotasikan sebuah prasyarat bahwa “kita adalah warga nation, apabila kita berbahasa sama”. Batas teritori mengkonotasikan suatu argumen bahwa “kita adalah warga nation, apabila kita berada di sini”. Dua batas inilah yang kemudian merangsang kelahiran sebuah embrio kewarganegaraan, dalam makna kewargaan-dalam-kota. Karena batas ini pula, gelombang imigrasi mulai muncul, dengan tujuan untuk mendapatkan dan saling bertukar kebutuhan-kebutuhan yang masuk dalam scarcity. Akibat imigrasi , muncul istilah kosmopolitan. Kosmopolitan adalah sebuah semangat hidup bersama di dalam dunia yang telah dibatasi oleh teritori. Semangat ini mengimajinasikan sebuah keanggotaan global masyarakat dunia untuk saling berkomunikasi dan saling bertukar kebutuhan hidup, serta bisa jadi perkawinan antarteritori. Menurut Bryan S. Turner (2002), kosmopolitan, meskipun ide ini terlalu abstrak, namun tetap bisa diinterpretasikan sebagai sebuah cara untuk mewujudkan solidaritas tanpa ruang yang menuju suatu ide tentang kewarnegaraan dunia. Memasuki abad ke-19, eksplorasi scarcity semakin meluas dan mengganas. Gairah kapitalisme merangsang beberapa nation untuk melakukan ekspansi ke luar benua. Muncullah imperialisme untuk mengeruk sumberdaya-sumberdaya makanan lokal di daerah-daerah jajahan. Eropa dan teruta93
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 92-98
ma Inggris dan Belanda menguasai daerahdaerah lumbung pangan di sebagian besar kawasan, yang kini, disebut Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, kolonisasi Belanda dapat bertahan sampai 350 tahun lebih. Selain sumberdaya ekonomi, kurun waktu tersebut cukup untuk mengkonstruksi sistem sosial di daerah jajahan. Di Indonesia sendiri, strategi hidup bersama antarnation di Indonesia, oleh Belanda, disebut sebagai model plural society. Furnivall (1967), mendefinisikan plural society sebagai masyarakat yang “comprising two or more elements or social orders which live side by side, yet without mingling, in one political unit.” Masyarakat Indonesia dikonstruksikan sebagai sebuah enclave society yang, meskipun hidup dalam kawasan yang sama, tetapi enggan berkomunikasi satu sama lain. Mereka seakan hidup dalam batas sosialnya sendiri. Bisakah ini disebut sebagai pluralisme? Ya, sebut saja model pluralisme yang dikonstruksikan dalam definisi bahwa keragaman memang tetap ada namun tidak ada komunikasi satu sama lain. Untuk model pluralisme seperti ini, Furnivall (1967) menegaskan, ruang perjumpaan mereka berada di pasar, dan pada saat itulah komunikasi dilaksanakan, meskipun hanya dalam hal jual-beli atau perdagangan dan tidak untuk urusan lain. Konstruksi pluralisme seperti bertujuan meneguhkan sebuah rekognisi kolonial bahwa sebuah nation akan diakui ketika ia diakui oleh negara; terbukti pemerintah Belanda membuat distingsi antara penduduk Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. Sayangnya, ordonansi seperti itu, diadopsi mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia.
Nation-State dan Pluralisme Harmoni Salah satu pengaruh Belanda di Indonesia adalah pembentukan nation-state. Seluruh nation dalam kekuasaan Indonesia berusaha disatukan dalam sebuah nationstate bernama Indonesia. Kini, pola-pola plural society berusaha diubah menjadi semangat ideal nasionalisme. Persatuan dan kesatuan dikedepankan, daripada perbedaan 94
dan keragaman. Satu common platform yang diajukan, baik oleh Orde Lama maupun Orde Baru adalah kerukunan. Sangat disayangkan, pada akhirnya, kerukunan ini berubah menjadi penyatuan keragaman. Di awal era kemerdekaan, proses institusionalisasi kerukunan bisa dipahami. Pertama, nation-state bernama Indonesia baru saja merdeka, sehingga kerukunan merupakan sebuah nation-building. Kedua, setelah proklamasi didengungkan, gerakan-gerakan yang dianggap sebagai pemberontakan jamak terjadi. Kerukunan didengungkan agar rakyat ikut membantu, atau tidak ikut terlibat, dalam “pemberontakan” tersebut. Ketiga, kerukunan juga merupakan sebuah ideologi karena pada masa awal Indonesia merdeka, negeri ini terjadi perang ideologi, terutama dalam hal menentukan dasar negara: apakah Islam atau nasional. Di sini, kerukunan merupakan sebuah overlapping consensus yang agak dipaksakan. Di samping tiga faktor di atas, identitas politik bermain di balik politik identitas. Kerukunan juga bisa digunakan sebagai sebuah common ground untuk “menyatukan” agama-agama yang ada. Apa pun agama Anda yang penting bisa rukun. Namun, sekali lagi, politik kerukunan ini juga melahirkan sebuah kerukunan politik, dengan cara menegarakan agama, artinya pemerintah menetapkan standar agama-agama resmi yang diakui oleh negara, dan sebagian besarnya, atau kalau tidak semuanya, merupakan impor dari luar Indonesia. Bagaimana agama-agama impor tersebut bisa menjadi agama resmi di Indonesia? UU No. 1/PNPS/ 1965 adalah jawabnya. UU ini memiliki narasi panjang pada proses kelahiran, pertumbuhan, dan reformulasinya. Ada sebuah pertelingkahan agama dan politik dalam “pelembagaan” UU No. 1/PNPS/1965 ini karena kehadirannya tidak bisa dipisahkan dari debat konsep antara agama dan kepercayaan di satu sisi, dan di sisi lain antara “penyehatan” dan “penyesatan” dalam ranah politik. Bermula dari polarisasi nasionalis dan Islam(is) ketika terjadi rapat BPUPKI men-
Resensi
diskusikan undang-undang Indonesia. Ketika merdeka, polarisasi ini menjalar ke ranah masyarakat. Secara sederhana, nasionalis terdiri dari golongan muslim reformis, non-muslim, dan bukan golongan keduanya. Sedangkan, muslim ortodoks mencakup masyarakat Islam yang mendukung ditegakkannya syariat Islam di Indonesia. Polarisasi ini semakin tampak pada saat Pemilu 1955. Berdasarkan catatan Ricklefs (2008), pada pemilihan umum 1955, Partai Nasional Indonesia (PNI) meraup 8.434.653 suara sah, Masyumi 7.903.886 suara sah, NU 6.955.141 suara sah, PKI 6.176.914 suara sah, disusul PSII, Parkindo, Partai Katolik, PSI, Murba, dan lain-lain. Perolehan suara sah tersebut menggambarkan polarisasi masyarakat Indonesia: Nasionalis, Islam, Komunis dan non-Islam. Dari manakah suara nasionalis? Menurut catatan Departemen Agama, pada tahun 1952, sebagaimana analisis Patty (1986), aliran kebatinan di Jawa Barat berjumlah 52 dan menjadi 360 aliran pada tahun 1953. Pada saat yang sama, muncul orang-orang yang mengaku nabi, dan marak upacara perkawinan yang tidak mengikuti ritual resmi negara. Untuk meningkatkan fungsi pengawasan, menurut Baso (2005), pada tahun 1954 dibentuk panitia pengawas aliran kepercayaan (Panitia Interdep Pakem). Panitia ini terus mengalami penyempurnaan pada tahun 1958, 1960, 1961, dan 1963. Secara logis, aliran kebatinan tidak mungkin akan memilih partai yang berbasis agama, baik Islam, Kristen atau lainnya. Kemungkinan paling besar, mereka akan memilih partai berbasis nasionalis atau komunis. Kenyataannya, aliran kebatinan justru tetap bertahan dan bertambah, setelah diadakan pemilihan umum 1955. Beberapa bulan setelah pemilu 1955, tepatnya 19-20 Desember 1955, Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI) dideklarasikan saat kongres I kebatinan digelar di Semarang. Kongres ini dihadiri 67 organisasi kebatinan. Setahun kemudian, kongres II diadakan di Solo, dihadiri 2000-an wakil dari sekitar 2
juta anggota aliran kebatinan. Sedangkan kongres III dilaksanakan 17-20 Juli, 1957. Kongres IV dilaksanakan pada 22-25 Juli 1960. Kongres V BKKI dilaksanakan di Ponorogo, 28-29 Januari, 1961. Patut dicatat, mulai kongres III, BKKI mendesak pemerintah untuk mengundangundangkan aliran kebatinan menjadi salah satu agama formal di Indonesia. Namun, pengawasan yang dilakukan oleh PAKEM membuat aliran kebatinan di Indonesia tidak bisa leluasa bergerak. Hal ini membuat sebagian anggota BKKI ke luar dari keanggotaan. Pada April, 1961, BKKI berubah menjadi GMKI (Gabungan Musyawarah Kebatinan Indonesia). Sebagaimana analisis Patty (1986), pada fase inilah orangorang komunis mulai menyusup ke dalam organisasi-organisasi aliran kebatinan. Anti-klimaks aliran kebatinan terjadi saat dikeluarkannya PNPS No. 1/1965 pada tanggal 27 Januari 1965. Sekali lagi, selain konteks politik di atas, PAKEM dan lebih khusus Kejaksaan Agung sangat berpengaruh terhadap kelahiran PNPS tersebut. Sebelum PNPS No. 1/1965 ini, sebenarnya Pakem telah menjalankan fungsinya dengan baik dan menghasilkan beberapa pelarangan. Baso (2005) dengan cermat memberikan beberapa contoh. Misalnya, keputusan PM. Ir. Djuanda No. 122/PROMOSI/1959, 21 Maret 1959, yang melarang Agama Eyang; Keputusan Presiden Soekarno, No. 264 Tahun 1962, 15 Agustus 1962 yang melarang Liga Demokrasi, Rotary Club, Club Society dan Loge Agung Indonesia; Kepres RI No. 34 Tahun 1963, 3 April 1963, yang melarang Perhimpunan Theosofi seluruh cabang di Indonesia. Jika dicermati, pelarangan ini tidak hanya aliran kebatinan yang dianggap menyimpang, namun organisasi-organisasi yang kelihatannya jauh dari kebatinan. Aliran kebatinan mulai disusupi pihak komunis mulai tahun 1961. Tampaknya, infiltrasi ini cukup berhasil. Ketika peristiwa G/30 September 1965, Orde Baru tampak khawatir apabila aliran kebatinan dijadikan tempat bersembunyi para anggota Partai Komunis Indonesia. Untuk mencegah 95
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 92-98
hal ini, Orde Baru menetapkan UU No. 1 Tahun 1965 tersebut menjadi undang-undang (Baso 2005). Tujuan utama pengundangan ini tak lain adalah agar para penghayat kebatinan masuk ke salah satu agama resmi di Indonesia. Pada tahun 1973, MPR menetapkan perbedaan antara kepercayaan dan agama. Lima tahun setelah itu, MPR menetapkan bahwa aliran kepercayaan termasuk budaya, bukan agama, dan berada di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Soeharto, tampaknya tidak menghendaki aliran kepercayaan dibubarkan seluruhnya karena membubarkan aliran kepercayaan sama saja membubarkan dunia spiritual Soeharto sendiri yang nota bene kejawen. Pengawasan, pembinaan bahkan pembubaran aliran-aliran yang didakwa sesat terus terjadi selama pemerintahan Soeharto. Ketika pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pembubaran ini perlahan mulai berkurang. Bahkan, Gus Dur mulai mengampanyekan adagium bahwa agama bukan urusan negara. Melalui Keputusan Presiden No. 69 Tahun 2000, Gus Dur mencabut larangan Presiden No. 264 tahun 1962 tentang organisasi Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Loge Agung Indonesia, Moral Rearmament Movement, Ancient Mystical Organization of Rosi Crucians, dan Organisasi Bahai. Begitulah di era Orde Baru Indonesia, pluralisme bersinergi erat dengan kerukunan. Masyarakat dibiarkan majemuk dalam agama namun tetap dalam koridor agamaagama yang diakui oleh negara. UU PNPS No. 1/1965 adalah simpul pengaman agama-agama resmi tersebut agar tetap resmi dengan jumlah dan kualitas seperti itu. Silahkan berplural namun harus tetap mau dirukunkan. Di era Post-Suharto, para pegiat pluralisme melakukan judicial review atas UU PNPS tersebut. Namun, Mahkamah Konstitusi, setelah melalui diskusi dan persidangan yang panjang, akhirnya menolak judicial review tersebut. Akibatnya, UU PNPS tersebut masih berfungsi hingga kini, dan 96
dijadikan pembenaran untuk “menghakimi” penodaan/penyesatan bagi aliran-aliran yang dituduh sesat; meskipun sebenarnya standar penodaan/penyesatan tersebut sudah sangat hegemonik. Apakah kekuatan pluralisme bisa kembali ke ranah sivik?
Pluralisme dalam Kewargaan Keruntuhan rezim Soeharto merupakan bukti kembalinya kekuatan sipil. Kembalinya kekuatan sipil ini semakin diperjelas dengan pelaksanaan desentralisasi di tingkat daerah. Satu bukti mencolok adalah pelaksanaan Pemilukada, yang meskipun di satu sisi merupakan hasil kongkrit demokratisasi baru di Indonesia, namun di lain sisi juga memberikan “biaya” yang tinggi dan tidak selalu berhasil. Bagi Gerry van Klinken dan Joshua Barker (2009), gejala ini menandaskan bahwa kekuasaan tidak lagi terpusat pada negara, tetapi juga daerah, atau bahkan sipil. Mereka berdua merekomendasikan, analisis negara pada era Post-Soeharto seharusnya tidak lagi fokus pada institusi, tetapi bagaimana kuasa-daerah dan otoritas-otoritas di luar negara beroperasi. Meminjam Joel S. Migdal (2001), saat ini Indonesia memasuki era “state in society”. Buku Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk meretas negosiasi-negosiasi masyarakat terhadap negara. Buku ini tidak saja menawarkan konsep baru bagaimana menganalisis negosiasi masyarakat terhadap negara, tetapi juga memberikan preseden beberapa ranah masalah di mana otoritas masyarakat sebenarnya berperan dalam mengolah dan mengelola keragaman, yaitu ranah perempuan, kaum muda, agama, dan politik lokal. Ditulis oleh para akademisi dan praktisi, semakin membuat buku ini menemukan urgensinya, bahwa buku ini bisa dipakai untuk diskusi dan debat akademis maupun titik pijak bagi panduan para pengambil kebijakan. Latar utama buku ini muncul adalah adanya sebuah kegalauan atas beberapa masalah yang terjadi di Indonesia Post-Soeharto. Pertama, lahirnya otoritas-otoritas
Resensi
baru, khususnya dalam bidang agama, di ranah publik. Otoritas-otoritas baru ini sebenarnya tidak diminati oleh masyarakat, namun kekuatannya justru mengalahkan otoritas-otoritas yang berwenang. Beberapa otoritas baru ini berasal dari ormas-ormas Islam. Kedua, maraknya peraturan-peraturan daerah berbasis syariat di beberapa wilayah di Indonesia. Perda ini muncul sebagai dampak pergeseran otoritas kebijakan publik dari pusat ke daerah. Kedua latar utama itu menjadi masalah ketika bersinergi dengan dominasi mayoritas (Islam) yang bisa memunculkan politik identitas kelompok agama tertentu sampai menjurus ke tindakan-tindakan konflik anarkis. Apa itu civic pluralism ‘pluralisme kewargaan’? Daripada menjelaskan detail definisi, lebih baik mengurai elemen-elemen apa yang ada dalam konsep ini. Pertama, politik rekognisi; pengakuan liyan sebagai seseorang/ kelompok yang setara. Pengakuan ini tidak sekadar penghargaan tetapi mampu secara bersama mendialogkan berbagai masalah yang terkait dengan urusanurusan publik. Melalui politik rekognisi, terutama, para pemegang kebijakan diharapkan tidak mengambil kebijakan berdasarkan kepentingan kelompok atau golongan akan tetapi keragaman dan kesetaraan atas liyan. Kedua, politik representasi; partisipasi dan kompetisi secara adil dan setara oleh seluruh komponen warga negara atas segala kebijakan-kebijakan pada ranah publik. Dua aksi ini bisa berlangsung baik pada level akar rumput maupun politik-politik praktis. Ketiga, politik redistribusi, pemerataan secara adil atas akses-akses ekonomi politik pada seluruh warga. Negara dalam politik redistribusi berkewajiban secara bijaksana mengeliminasi korporasi-korporasi kelompok-kelompok pemegang kapital tertentu agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan redistribusi. Apakah kesetaraan bisa terwujud tanpa adanya liberalisme? Sebuah tawaran perspektif dalam buku ini adalah akomodasi transformatif, sebuah temuan Ayelet Schachar yang direproduksi oleh seorang penu-
lis buku ini. Akomodasi transformatif mencoba menunaikan tiga prinsip utama pluralisme kewargaan. Pertama, pembedahan dan pembagian masalah ke dalam detail masalah yang kelihatannya terpisah, namun sebenarnya bersinergi satu sama lain. Kedua, no monopoly rule, penyamarataan kekuasaan, tidak ada satu pihak yang berpandangan paling berkuasa atas pihak yang lain. Ketiga, tersedianya alternatif jalan keluar apabila solusi yang ditawarkan, khususnya dari pemerintah, justru tidak memberikan jawaban atas masalah yang dihadapi (hlm. 81-82). Salah satu penulis dalam buku ini memberikan contoh penerapan tiga prinsip tersebut dalam kasus agunah (hlm. 82), “Dalam kasus agunah misalnya, jika mantan suami tidak mau memberikan get (surat/ucapan cerai secara formal agama Yahudi), sementara istri ingin menikah kembali dalam tradisi Yahudi, akomodasi transformatif memberikan jalan keluar dengan pilihan untuk keluar dari kelompok tersebut dalam kasus ini dan meminta bantuan negara sebagai pemegang sebagian kuasa atas persoalan perkawinan ini.” Dari sini, jelas akomodasi transformatif tidak memberikan solusi radikal atas permasalahan yang ada, namun lebih memberikan “jalan tengah”. Penulis lain menawarkan sebuah cara alternatif kaum muda mengalami pluralisme. Beberapa siswa salah satu SMU di Magelang, Jawa Tengah, diberi forum dialog, tidak untuk berdiskusi dan berdebat, namun membahas pembuatan film etnografi. Mereka saling berbagi ide dan menemukan sebuah ide yang kurang popular, tentang waria. Dengan memegang handycam, para siswa tersebut mengalami hal-hal asing dalam diri mereka. Mereka menshoot gambar dan tanpa sadar sebenarnya telah menghargai, mengakui, dan memahami bagaimana seorang waria hidup. Ketika film ini di-launching, apa yang telah dilakukan oleh para siswa ini tidak hanya mengubah pandangan siswa itu sendiri tentang waria, tetapi para para penonton yang sempat menyaksikan film tersebut.
97
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 92-98
Cara alternatif tersebut ternyata lebih ampuh dalam mengubah stereotype dan prasangka seseorang terhadap suatu subjek. Hal ini berbeda dengan cara-cara yang ditempuh oleh para alumni pada SMU yang sama dalam melakukan indoktrinasi agama kepada beberapa siswa di SMU tersebut. Para alumni, melalui beberapa siswa, melakukan islamisasi di sekolah tersebut, misalnya melarang siswa perempuan untuk bernyanyi saat peringatan hari ulang tahun sekolah. Menjadi Islam taat bukan merupakan suatu masalah, akan tetapi “memaksa-
98
kan” suatu agama untuk mengatur urusan publik tentu akan mengundang masalah. Kemudian, apakah pluralisme kewargaan mengajak warga akar rumput untuk mengacuhkan negara? Di sinilah signifikansi konsep ini tampak. Pluralisme kewargaan lebih tepat dikatakan sebagai sebuah agensi politik keragaman atas dominasi kewarganegaraan negara atas aturan-aturan yang selama ini mengatur keragaman, namun seringkali hanya tampil sebagai politik pencitraan pemerintah.
Indeks
KAWISTARA VOLUME 1
No. 1, 21 April 2011
Halaman 1-102
INDEKS KAWISTARA Volume 1, No. 1, April 2011
A
C
A way of life 88 Agen pembangunan 69 Agent of change 75 Agent of mode 53 Aglomerasi 88 Alfred Dreyfus 56 Alienasi 57 Aliran realisme 61 Alkohol 62 Amartya Sen 18 Analisis wacana 28 Angle 34 Arab 19 Asal-usul orang Bajo 23 Atensi 71
Celebrity porn video 29 Chao Nam 16 Common sense 32 Conceptual structure 35 Counter culture 49 Counter-urbanization 80 Critical multiculturalism 31
B Bahasa Bugis-Makassar 19 Bahasa visual 53 Bajau Laut 16 Bajo 15, 16 BajoE 23 Barbarian 64 Bayer Crop 85 Berger dan Luckmann 18, 25 Berselingkuh 64 Bestial 57 BIOFILIA 56 Brain washing 88 Budaya global 43 Budidaya ubi jalar 68 Bugis 24 Bunuh diri 64
D Daya inovasi 89 Demografi 79 Dendam 64 Desa Bajo Mantigola 17 Desakota 81 Difusi budaya 89 Diperkosa 63 Discursive formation 35 Diskursus seksualitas 31 E Efikasi diri 68 Ekonomi marginal 80 Emile Zola 56 Eros 58 F Filipina 23 Fisiologis 57 Food trap 85 Fragmentasi 85
99
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 99-102
G
K
Generality 72 Genre 42 Global city 81 Good sexuality 39 Gowa 21, 23 Grand instintct 66
Kapitalisme 80 Karbohidrat 69 Kasiwiang 24 Kaum migran 80 Kawasan pinggiran 81 Kawula-gusti 30 Kearifan lokal 68 KEDUNGSEPUR 79 Kejahatan 37 Kekuasaan 30, 35 Kekuatan modal 89 Kelainan jiwa 60 Kelas sosial 57 Kepala stasiun 63 Kepulauan Wakatobi 17 Kerajaan Bone 21 Kesultanan Johor 23 Kesultanan Tausug 23 Kewirausahaan 90 Kisah Sawerigading 23 Kompleks wilayah 82 Konsep identitas 17 Konstruksi 44 Konsumtivisme 89 Kumuh 80
H Hans Mol 18, 19, 25 Hasrat 65 Hasrat kematian 65 Heteroseksual 44 Hinterland 81, 85 Hippies 49 Horst 23 Huruf Lontarak 19 I Identitas 15, 31, 45 Identitas bangsa 28 Identitas budaya 17 Identitas diri 43 Identitas individu 30 Identitas nasional 38 Identitas Suku Bajo 22 Ideologi dominan 35 Ideological state apparatus 30 Ideologis 42 Illegitimate sexual activity 28 Indigenous Knowledge 69 Industri kecil 90 Infotainment 29 Inovasi 69 Insting 66 Instingtif 66 Interaksi sosial 88 Interzone 81 Islam 15, 17, 22, 25 J Jacques Lantier 59 Johor 22
L La bête humaine 56 La grande fêlure 65 La Lison 60, 62 La Marihi 17 La petite fêlure 65 Lapian 23 Le Havre 59 Learning by doing 76 Leppa 16 Liar 80 Libidinal 57 Liliweri 17 Lokomotif 62 Lontarak Assalena Bajo 17 Louissette 63 M Magnitude 72
100
Indeks
Malaka 22 Manajemen lingkungan 79 Masinis 62 Maskulinitas 43 Mawken 16 Mbo Ma Dilao 18, 24, 25 McAllister 24 Media hiburan 42 Media studies 28 Megacity 80 Megaurban 79 Melayu 24 Menkominfo 34 Mental life 89 Merindukan pembunuhan 67 Metode stepwise 73 Metropolitan 81 Migrasi netto 79 Modifikasi 46 Monsanto 85 Motivasi 71 N Nabi Muhammad 20 Naskah Lontarak Assalenna Bajo 19, 20 Naskah Lontarak Assalenna Bajo 16, 25 Naturalisme 56 Negosiasi 50 NEKROFILIA 56 Nekrofilik 58 Nilai Islam 20 Norma moral 38 O Orang Bajau 16 Orang Bajo 16 Orang Bajo 17, 22, 24 Orang Kuala 16 Orang Laut 16 Orde Baru 30 Otoritas 30 Outer zone 81 P Pandangan dunia 56 Paradigma kritis 33
Pasar global 90 Pasar tradisional 89 Pecandu 62 Pelestarian tradisi 43 Pembelajaran sosial 68 Pembudidayaan 69 Pemerataan pembangunan 83 Penderita 36 Pendidikan dan kosmopolitan 77 Penetrasi pemodal 89 Penyakit bawaan 65 Perangkap pangan 85 Performance 31 Peri-peri 81 Perlawanan 50 Pertumbuhan ekonomi 79 Pertumbuhan penduduk 79 Petta MatinroE ri Rompegading 21 Pola investasi 81 Popularitas 46 Populer 42 Posisi tawar orang Bajo 24 Produksi 44 produksi pangan 85 Proses sosial 18 R Raja Bone 23 Raja Gowa 23 Rambut gondrong 47 Realitas 42 Reformasi agraria 82 Region based urbanization 80 Rekayasa 71 Representasi 44 Representasi 32 Reproduksi 44 Reproduksi motorik 71 Retakan 65 Retensi 71 Rezim politik 43 Role model 38, 52 Role-playing 31 Rural area 81 S Sakralisasi identitas 19 101
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 99-102
Sama Dilaut 16 Samal Bajau Laut 16 Seksualitas 43 Selebritas 29 Selebriti 29 Semenanjung Malaya 23 Simbol maskulinitas 39 Soppeng 21 Sosialisme 80 Status quo 32 Stratifikasi sosial 80 Strength 72 Strukturalisme 56 Stuart Hall 17 Styling foam 53 Suara marginal 39 Subsisten 85 Substitusi impor 85 Suku Arfak 68 Suku Asli 16 Suku Bajo 16 Suku Bajo 18 Suku Laut 16 Sulawesi 23 Sulu 23 Swasembada pangan 87 Syngenta 85 T Tabloid Indonesia 28 Terasing 67
102
Terdiferensiasi 89 Thanatos 58 The narrative of nation 29 The nature of knowledge 35 Thomas Forrest 16 Tokoh adat 72 Tokoh agama 72 Tragedi 64 Transfer pengetahuan 69 Transformasi ideologi 44 Transformasi struktur sosial 88 Trend fashion 49, 52 U Urban area 81 Urban bias 85 Urbanisasi 79 V Vision du monde 58 Visual 42 Volknation 32 W Wacana kebangsaan 39 Wacana kultural 31 Walenreng 23 Wirausahawan lokal 85 World vision 56