Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 29-42
KAWISTARA VOLUME 1
No. 2, 17 Agustus 2011
Halaman 103-212
EDITORIAL Dunia ini dibentuk atau dikonstruksi oleh wacana yang berkembang berdasarkan pengalaman yang beragam dalam tataran individual maupun kolektif secara historis. Persoalan kelompok masyarakat tertentu berada dalam sebuah marjin bukanlah semata merupakan sebuah realita tetapi merupakan sebuah konstruksi atas realitas marjinalitas itu sendiri. Peminggiran terhadap gender tertentu, kelompok yang dianggap “tidak normal”, produkproduk yang disebut “rakyat” dan bukan adiluhung, gagasan-gagasan yang dianggap tidak berkelas, semuanya bukanlah realita, tetapi merupakan pengkonstruksian dalam proses terbentuknya. Pendefinisian terhadap entitas yang dianggap pinggiran ini melibatkan subjek-subjek yang beragam. Proses peminggiran itu seringkali bersifat konstan karena adanya rezimrezim yang memiliki legitimasi dalam pengkonstruksian identitas tersebut atau yang lebih sering disebut sebagai dominant power. Rezim yang dimaksud tidak hanya negara tetapi juga rezim institusi yang lain, mulai dari keluarga, pertetanggaan, pendidikan hingga media. Kepemilikan ruang yang lebih besar bagi subjek yang merasa memiliki legitimasi menyebabkan tereduksinya ruang bagi yang “terpinggirkan”. Akan tetapi, ruang ini bukanlah ruang padat yang terisolasi dari perubahan. Ruang-ruang tersebut bersifat sangat cair sehingga agensiagensi yang mencoba menentang struktur dominan dan subjek-subjek baru seringkali muncul memperjuangkan sentralitas mereka. Artikel pertama dalam edisi ini berjudul Wacana Kekerasan dan Resistensi Perempuan dalam Film Karya Sutradara Perempuan. Artikel ini ditulis oleh Liestianingsih Dwi Dayanti yang mencoba menjelaskan wacana kekerasan yang sering dialami perempuan. Film yang diangkat sebagai objek material dalam artikel adalah karya sutradara perempuan. Penulis mengetengahkan bahwa dalam wacana kekerasan tersebut, perempuan bukan hanya objek pasif tetapi mereka melakukan resistensi-resistensi melawan wacana kekerasan tersebut. Artikel selanjutnya berjudul Performativitas Gender dan Seksualitas dalam Weblog Lesbian di Indonesia yang ditulis oleh Ari Setyorini. Penulis menjelaskan bahwa peminggiran terhadap lesbian direspons dengan agency mereka membentuk sebuah komunitas lewat media weblog. Penulis tertarik untuk melihat proformativitas mereka dalam berinteraksi dengan komunitas weblog tersebut. Turita Indah Setyani tertarik untuk meneliti persoalan sinkretisme dalam teks Tantu Panggelaran. Penulis mencoba untuk mengeksplorasi bentukbentuk sinkretisme terkait dengan agama Hindu, Budha dan konsep Jawa dalam melihat konsep kesempurnaan hidup. Persoalan multikulturalisme karena proses sejarah menjadi aspek penting yang diketengahkan dalam tulisan ini. Artikel selanjutnya ditulis oleh Ririt Yuniar yang berjudul Kode Etik Jurnalistik dalam Praktik Fotojurnalisme: Kasus Kampanye Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia. Penulis berargumen bahwa media sebagai kekuatan besar masakini tidak lepas dari manipulasimanipulasi oleh aktor-aktor sosial yang berbeda untuk kepentingan kampanye politik mereka. Para aktor sosial tersebut menggunakan foto jurnalistik sebagai sarana untuk berbagai bentuk pencitraan. Kazan Gunawan, dalam artikelnya yang berjudul Human Security dalam Negara Demokrasi; Perspektif Media Studies mencoba mengkritik ketidakterhubungan antara persoalan Human Security dengan Media. Padahal, ada keterhubungan yang sangat ii
Saratri Wilonoyudho -- Pertumbuhan Megaurban Kedungsepur
signifikan dari keduanya terutama ketika berbicara persoalan demokrasi di Indonesia di mana Media menjadi salah satu bagian dari pilar demokrasi tersebut. Artikel berjudul Regional Authonomy: Proliferation of Region, and Pseudo Local Government in Indonesia ditulis oleh M. Ali Imron. Artikel ini membahas dampak negatif maupun kegagalan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Penulis berargumen bahwa keberadaan aktor di belakang layar, yang dia sebut sebagai black market yang seringkali memiliki sumber-sumber modal finansial, seringkali digunakan oleh para elit politik dalam negosiasi kekuasaan. Hasse J, pada artikelnya yang berjudul Diskriminasi Negara terhadap Agama di Indonesia: Studi atas Persoalan Posisi Hukum Towani Tolotang Pasca Pengakuan Agama Resmi berpendapat bahwa Agama Towani Tolotang mengalami diskriminasi eksistensi dalam praktik beragama mereka. Diskriminasi tersebut datang dari dua arah, yakni dari masyarakat serta dari format diskriminatif sistematis pemerintah. Agama lokal ini merupakan sedikit dari agama lokal yang masih bertahan di Indonesia. Tulisan terakhir adalah kontribusi dari Kasiyan yang juga tertarik untuk melihat persoalan multikulturalisme dalam konteks sejarah dan historiografi terhadap seni rupa di Indonesia. Penulis memberikan argumen bahwa salah satu persoalan yang krusial terkait dengan multikulturalisme dalam seni rupa adalah persoalan gender. Hal ini tidak lepas dari persoalan hegemoni dominant culture sebagai yang paling berkuasa dalam pendefinisian-pendefinisian paradigma dalam seni rupa. Tulisan-tulisan di atas memberikan inspirasi akan pentingnya keberadaan ruang yang digunakan oleh aktor-aktor sosial, politik dan kultural maupun individu yang berbeda sebagai arena kontestasi.
iii
Kawistara, Vol. 1, No. 1, April 2011: 29-42
iv
Liestianingsih Dwi Dayanti -- Wacana Kekerasan dan Resistensi Perempuan dalam Film Karya Sutradara Perempuan
KAWISTARA VOLUME 1
No. 2, 17Agustus 2011
Halaman 103 - 212
WACANA KEKERASAN DAN RESISTENSI PEREMPUAN DALAM FILM KARYA SUTRADARA PEREMPUAN Liestianingsih Dwi Dayanti Departemen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Email:
[email protected]
ABSTRACT Movie titled “Mereka Bilang Saya Monyet”, created by women director Djenar Maesa Ayu was a movie about women with different perspective. This movie reveals a discourse on violence and women resistance against violence. The dimension of violence appears includes parents-child violent, adult men with his daughter, and adult men with adult women, psychologically, physically, and sexually. Violence appears due to the imbalance relation between subject and object. The effect of this violence could be in a form of fear, anger and undermining feeling, harassed, unworthy, and encourage the victim to act on it. The discourse of violence based on gender is a result of patriarchy culture construction. The resistance was portrayed in a form of victim sufferings, anger and resisting. Women director perceived these issues from different perspective. The violence on women would not be enough if only being observed from the perspective of normative, law and social obligation. This issue should be seen by positioning women as the subject (survivor) and also violence on women is a crime against humanity. Key words: Women Violence, Resistance, Film and Discourse
ABSTRAK Film Mereka Bilang Saya Monyet karya sutradara perempuan Djenar Maesa Ayu merupakan film tentang perempuan dengan perspektif berbeda. Film ini mengungkap wacana kekerasan dan resitensi perempuan melawan kekerasan. Dimensi kekerasan yang ditampilkan antara lain kekerasan orang tuaanak, laki-laki dewasa pada anak perempuan dan laki-laki dewasa pada perempuan dewasa berupa kekerasan psikis, fisik, dan seksual. Kekerasan muncul karena relasi yang timpang antara subjek dan objek. Efek kekerasan berupa ketakutan, kemarahan, rasa direndahkan, dilecehkan, tidak berharga dan mendorong korban melakukan perlawanan. Wacana kekerasan berbasis gender merupakan buah dari konstruksi budaya patriarkhi. Resistensi digambarkan dalam bentuk penderitaan pada korban, kemarahan dan perlawanan. Sutradara perempuan melihat persoalan perempuan dengan sudut pandang berbeda. Kekerasan pada perempuan tidak cukup dilihat dari perspektif normatif, hukum, dan kepatutan sosial, ia dilihat dengan menempatkan perempuan sebagai subyek (survivor) serta kekerasan pada perempuan adalah persoalan kejahatan pada kemanusiaan. Kata Kunci: Wacana kekerasan, Resistensi, Perempuan and Film
103
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 103 - 118
PENGANTAR Tumbangnya rezim Orde Baru membawa dampak dalam kebebasan berekspresi pekerja film. Film-film yang pada masa Orde Baru dilarang diproduksi bermunculan dan mendapat respon dari peminat film. Gie, Marsinah, Pasir Berbisik, Berbagi Suami, Arisan, Jamila dan Sang Presiden, Mereka Bilang Saya Monyet serta beberapa film yang bermuatan hal-hal yang selama ini dilarang penguasa, banyak diproduksi. Dari segi jumlah relatif kecil namun cukup menggambarkan adanya perubahan dalam kebebasan berkarya pekerja film. Namun demikian film-film dengan tema mainstream khususnya dalam merepresentasikan perempuan masih banyak dijumpai. Film-film ini menggambarkan perempuan dalam stereotip lemah, tidak rasional, penggoda dan di seberangnya laki-laki dengan stereotip kuat, rasional dan dominan. Film Mereka Bilang, Saya Monyet! (MBSM) karya sutradara perempuan Djenar Maesa Ayu merupakan film yang keluar dari mainstream tersebut. Film bertema perlawanan perempuan terhadap kekerasan, merupakan film tentang perempuan dengan perspektif perempuan. Film ini menarik diteliti karena tema film ini berbeda dengan filmfilm lain, dalam film ini perempuan diposisikan sebagai subjek (survivor). Dari berbagai studi tentang perempuan di media, hasilnya memperlihatkan representasi perempuan di ranah mainstream seperti berkulit putih, penggoda, lemah, tersubordinat. Vissia Ita Yulianto (2007) meneliti tentang Representasi Pesona Barat Di Indonesia menemukan bahwa, model iklan kosmetik didominasi wajah perempuan Indo, berkulit putih, berhidung mancung. Kajian tentang Peran Gender dalam Iklan Obat Kuat (Liestianingsih, 2003) menunjukkan perempuan digambarkan sebagai emosional, cengeng, tidak rasional, sensual, berada di wilayah domestik, dan tersubordinat. Demikian juga studi tentang Perempuan dalam Sinetron Komedi (Liestianingsih, 2005) memperlihatkan hasil perempuan dan lakilaki digambarkan tidak proporsional, pe104
rempuan bodoh, tunduk, lemah dan lakilaki digambarkan kuat, macho, agresif, pemberani, jantan, mandiri, tegar, berkuasa, pintar, rasional dengan peran sebagai kepala rumah tangga/pemimpin. Anindita dalam Srinthil, Media Perempuan Multikultural (2007) menyebutkan media mengkategorikan perempuan menurut tubuh dan penampilannya, dan pada dasarnya media adalah perpanjangan industri untuk mendapatkan keuntungan dengan tetap menempatkan perempuan dalam konstruksi tradisional, konstruksi ini dilanggengkan sehingga industri tetap hidup dan meraup untung besar. Di sinilah media meng-anihilisasi secara symbolic yakni menganggap perempuan tidak penting, tidak ada, memarjinalkan, meniadakan, dan mengabaikan. Mengapa media tidak berani keluar dari mainstream dalam merepresentasikan perempuan? Hal ini berkait dengan pertama, kontrol penguasa: pada masa orde baru kontrol terhadap media termasuk film sangat ketat. Badan Sensor Film (BSF) sebagai lembaga kontrol berperan menyeleksi film yang akan beredar dan salah satunya adalah tidak boleh bertentangan dengan ideologi penguasa pada waktu itu. Kedua, alasan pasar. Pembuat film akan mempertimbangkan faktor profit karenanya mereka akan memproduksi film yang “aman” yang tidak dicekal oleh Badan Sensor Film dan diterima pasar. Karena itu pembuat film akan memproduksi film pada arus utama, yang lebih bisa dijual dan mendatangkan untung dari pada film idealis yang selain akan berhadapan dengan penguasa juga ditolak pasar. Ketiga, pola pikir para para pembuat film yang sarat dengan ideologi patriarkhi. Ideologi ini merasuki para kreator film sehingga dalam melihat relasi perempuan dan laki-laki masih berada pada ranah tradisional. Studi tentang Kesadaran Gender Orang Media (Suryandaru, 2002) mengungkapkan bahwa para kreator, jurnalis, produser, pemilik media masih rendah kesadaran gendernya sehingga produk medianya bias gender.
Liestianingsih Dwi Dayanti -- Wacana Kekerasan dan Resistensi Perempuan dalam Film Karya Sutradara Perempuan
Pada era Orde Baru kemunculan sutradara perempuan yang diharapkan mampu menghasilkan karya yang berperspektif perempuan masih sedikit. Krishna Sen (Jurnal Perempuan, 2008) mengatakan kondisi ini disebabkan karena terbatasnya ruang gerak bagi (khususnya sutradara) perempuan dan hal ini memaksa mereka untuk mengadopsi sudut pandang dominan/patriarkis agar bisa bertahan di industri film. Berkait dengan representasi perempuan dalam film (Wood, 2005) menyebutkan bahwa dominasi ideologi patriarkhi terjadi juga dalam film-film Hollywood seperti Fight Club, Armageddon, Gladiator, dengan penggambaran laki-laki serius, percaya diri, mampu, dan berkuasa. Streotip tentang maskulinitas adalah keras, independen, agresif, berani, dan mampu mengontrol emosi dengan baik. Di sisi lain perempuan digambarkan sebagai penggoda, bekerja di wilayah domestik, mengelola hubungan dengan baik, dan stereotip tentang femininitas adalah setia, hormat, fokus pada rumah dan keluarga, serta subordinat laki-laki. Wood menambahkan di dalam film perempuan digambarkan dengan peran sebagai malaikat, putri, penolong, namun juga sebagai korban. Dengan tampilan yang demikian menurut Wood (2005) peran media sebagai gate keepers (penjaga gawang) dalam menyajikan informasi membentuk persepsi sesuai dengan persepsi yang diinginkan media. Sebagian besar isi media saat ini (termasuk film) masih pada arus utama dalam mengkonstruksi peran dan nilai-nilai yang bias gender dan hanya sedikit kreator yang mau memproduksi film di luar arus utama. Film Mereka Bilang Saya Monyet merupakan sedikit film yang mengungkap realitas di luar arus utama. Berkait dengan hal tersebut permasalahan penelitian yang menjadi fokus kajian adalah bagaimana wacana kekerasan terhadap perempuan dan perlawanan perempuan terhadap kekerasan dalam film Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu. Dengan permasalahan ini tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah mendeskripsikan dan meng-
eksplorasi wacana kekerasan terhadap perempuan dan resitensi perempuan terhadap kekerasan dalam film Mereka Bilang Saya Monyet karya Djenar Maesa Ayu. Studi tentang representasi perempuan dalam film relatif masih sedikit dibandingkan dengan studi representasi perempuan di media lain seperti televisi, iklan, majalah/ tabloid, apalagi studi yang secara spesifik menelaah wacana resistensi perempuan dalam film karya sutradara perempuan pasca Orde Baru. Jikapun ditemukan maka sebagian besar studi lebih didominasi tentang representasi perempuan dalam bingkai dikotomi gender femininitas dan maskulinitas. Fokus kajian-kajian tersebut lebih banyak membahas tentang bagaimana media menampilkan peran dan stereotipe gender lakilaki dan perempuan. Berkait dengan minimnya kajian tentang perempuan dan film menurut Intan Paramadhita (Jurnal Perempuan, 2008) studi ini masih bidang yang asing, dianggap sebagai urusan kalangan tertentu dan direduksi sebagai telaah tentang citra perempuan dan belum pada tataran membedah bagaimana perempuan dalam melawan dan resisten terhadap kemapanan. Pernyataan ini menyiratkan bahwa studi tentang perempuan dalam film masih sebatas melihat bagaimana film menggambarkan konstruksi konvensional media, perempuan di ranah domestik, lemah, tak berdaya, terdominasi dan di seberangnya laki-laki dengan penggambaran di ranah publik, kuat, mendominasi. Hasil studi seperti ini bisa memberikan gambaran bahwa film khususnya film karya sutradara Indonesia sebagian masih berada pada arus utama pada tema dan penokohan, bahkan jika film tersebut hasil karya sutradara perempuan. Dari jumlah yang terbatas tersebut dengan fokus kajian yang masih berada di arus utama, beberapa kajian menjadi acuan dari studi ini. Kajian Sunarto (2009) tentang representasi kekerasan terhadap perempuan dalam film animasi di televisi menemukan bahwa ideologi gender dominan dalam film anak-anak menggunakan kekekerasan se105
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 103 - 118
bagai justifikasi terhadap superioritas lakilaki terhadap perempuan, kekerasan fisik dan seksual sebagai alat laki-laki dalam peran sosial sebagai suami untuk menundukkan perempuan sebagai istri. Dalam film kartun anak-anak di televisi, telah dikonstruksi bagaimana kekerasan menjadi alat untuk menundukkan perempuan, baik kekerasan struktural, maupun personal yang mengindikasikan adanya relasi gender asimetris antara tokoh laki-laki dan perempuan. Temuan Sunarto masih dalam ranah perempuan sebagai korban, tersubordinat, tidak berdaya, dan di seberangnya laki-laki digambarkan sebagai sosok kuat, subjek yang mengendalikan relasi atas perempuan. Dalam film Armagedon (Wood, 2005) Bruce Willis digambarkan sosok tegas, percaya diri, agresif, berkuasa, dan ia sebagai laki-laki berdarah dingin dalam filmya The Seige. Di sisi lain Julia Robert digambarkan sebagai perempuan genit, menunggu lakilaki baik-baik dalam filmnya Runway Bride, ia juga digambarkan sebagai perempuan yang smart, asertif, seksi, dalam filmnya Erin Brockovich. Pernyataan Wood ini menjelaskan bahwa film-film Hollywood masih berada di arus utama dengan penggambaran peran gender yang dikotomis. Studi Setiawan (2008) tentang representasi perempuan dalam film Indonesia Era Tahun 2000an, menemukan bahwa tampilan perempuan dalam film-film popular dalam wacana ideologi dan praktik sosiokultural dalam masyarakat mengalami pergeseran untuk tidak menyebut perubahan. Hasil temuannya, sebagian film merepresentasi perempuan-perempuan mandiri yang dengan kekuatannya mampu menyelesaikan permasalahan hidup dengan konteks perjuangannya masing-masing. Sekalipun perempuan korban kuasa patriarkhi, namun mereka mampu memaknainya dan dengan kegigihan serta kekuatan mereka bertahan dan meneruskan kehidupan sembari memberi kebaikan kepada orang lain. Ada perlawanan terhadap patriarkhi dengan konsep politik tubuh dan seksualitas.
106
Beberapa film merepresentasikan perempuan sebagai subjek yg berani berjuang menghadapi permasalahan hidupnya dengan kekuatan fisik dan nalar kreatif meskipun terkadang harus terjerumus perilaku yang dianggap menyimpang dalam masyarakat kita dan tetap membutuhkan kehadiran laki-laki sebagai Dewa Penolong. Temuan Setiawan menyiratkan bahwa filmfilm Indonesia era 2000an dalam merepresentasikan perempuan sebagian masih berada di mainstream walaupun ada beberapa film yang merepresentasi perempuan di luar mainstream yakni perempuan dengan kegigihan dan kekuatannya melawan kuasa patriarkhis sekalipun masih menggunakan politik tubuh. Husninatul Ghassani (2010) meneliti film Jamila dan Sang Presiden dan hasilnya menujukkan hal yang berbeda dari kebanyakan film Indonesia yang didominasi seksualitas. Film ini mengungkap secara kritis persoalan perdagangan perempuan, pelecehan seksual, dan prostitusi. Kekerasan terhadap perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti kekerasan fisik, seksual, ekonomi, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dan psikologis. Patriarkisme dan kapitalisme menjadi latar belakang ideologi yang mendominasi tindak kekerasan. Dalam peristiwa kekerasan dengan pelaku laki-laki terdapat konstruksi gender berdasarkan kultur patriarkis tentang sikap laki-laki yang mendominasi karena perannya sebagai subjek dan sikap perempuan yang terdominasi karena perannya sebagai objek. Hal ini kemudian membuat perempuan menjadi kelompok yang rentan mendapat kekerasan. Dalam kapitalisme, kekerasan dijalankan di bawah kekuasaan orang-orang yang mengendalikan sarana-sarana produksi dengan hubungan eksploitatif. Lebih dari itu, film ini juga menunjukkan adanya perlawanan yang dilakukan perempuan, melalui tindakannya membunuh para pelaku kekerasan.
Liestianingsih Dwi Dayanti -- Wacana Kekerasan dan Resistensi Perempuan dalam Film Karya Sutradara Perempuan
PEMBAHASAN Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena yang banyak ditemui di masyarakat. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan, 2011) menyebutkan kasus kekerasan terhadap perempuam di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 105.103. Jumlah terbanyak adalah kekerasan di ranah personal sisanya kekerasan di ranah publik dan kekerasan oleh negara (www.komnasperempuan.or.id). Kondisi ini sebuah ironi, karena Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangi Deklarasi Penghapusan Kekerasaan Terhadap Perempuan (CEDAW), Desember 1993 dan tahun 2004 Negara telah mensyahkan Undang-undang No 24 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan disebutkan ada 3 lingkup kekerasan terhadap perempuan yakni lingkup domestik (domestic ), lingkup masyarakat atau public domain dan kekerasan yang dilakukan oleh negara atau state. Kekerasan terhadap perempuan adalah “setiap tindakan kekerasan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis termasuk ancaman tindakan semacam itu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau di kehidupan pribadi”. Kekerasan terhadap perempuan mencakup tindakan kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis terjadi dalam keluarga, masyarakat luas, kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh Negara, di mana pun terjadinya (Elsam, 2010, www.elsam.or.id). Setiap tindak kekerasan adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, Kalibonso (2010) menyebutkan dampak kekerasan pada perempuan sangat kompleks selain kesakitan fisik, dan gangguan mental, korban juga memiliki dorongan untuk melakukan tindak bunuh diri. Kekerasan adalah bentuk pemaksaan yang berujud dalam bentuk persuasif maupun fisik atau
keduanya. Pemaksaan berarti ada pelecehan terhadap kehendak pihak lain yang mengalami pelecehan hak-haknya secara total, eksistensinya sebagai manusia dengan akal, rasa, kehendak dan integritas tubuhnya tidak dipedulikan lagi (Sunarto, 2009). Kekerasan merupakan tindakan yang terjadi antara dua pihak, subjek (pelaku) dan obyek (korban), di dalamnya ada unsur menguasai dan dikuasai. Bentuk kekerasan dapat berupa kekerasan psikologis, fisik dan gabungan dari keduanya. Dimensi kekerasan berada dalam bentuk (1) kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, seksual, spiritual dan fungsional; (2) efek kekerasan (positif dan negatif); (3) partisipan kekerasan (pelaku dan korban); (4) motif kekerasan; dan (5) sumber kekerasan (personal atau struktural) (Sunarto, 2009). Kekerasan terhadap perempuan sering disebut sebagai kekerasan berbasis gender karena kekerasan yang terjadi akibat adanya relasi berdasar jenis kelamin (gender). Relasi ini menempatkan laki-laki sebagai pihak berkuasa atas yang lain (perempuan), dan akibatnya perempuan berada pada posisi dilemahkan, terkuasai dan tak memiliki kekuasaan untuk melawan. Heise dalam Dzuhayatin (2002) menyebutkan bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan berakar dari persoalan ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini kekerasan terhadap perempuan memilik basis secara kultural dan biologis. Basis biologis berakar dari pandangan umum bahwa seksualitas laki-laki secara alamiah bersifat agresif sedangkan seksualitas perempuan bersifat pasif dan submisif yang menempatkannya pada sex provider. Basis kultural merupakan perluasan dari konstruksi seksualitas perempuan yang berimplikasi pada proses disposisi dan relasi gender yang timpang. Budaya patriarkhi yang phallocentris memberikan privelege lakilaki pada posisi superior dan inferior pada perempuan. Terlahir sebagai perempuan telah menjadikan mereka target mata rantai kekerasan sepanjang hidupnya mulai dari 107
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 103 - 118
mutilasi genital, pembunuhan bayi perempuan, kekurangan gizi sejak masa kanakkanak dan kejahatan seksual di masa dewasa (Espiritu dalam Dzuhayatin, 2002). Budaya yang demikian menyebabkan minimnya upaya dari perempuan sendiri untuk melawan (resistensi) kekerasan yang dialami bahkan kesadaran bahwa kekerasan adalah pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan belum tumbuh di kalangan perempuan. Hanya sedikit perempuan yang melakukan perlawanan atau resistensi terhadap kekerasan, Ayu Utami melakukan perlawanan melalui novelnya Saman serta Larung. (Banita, dalam www.resources.unpad.ac.id.), sutradara film seperti Nia Dinata dengan filmnya Berbagi Suami, Djenar Maesa Ayu dengan filmnya Mereka Bilang Saya Monyet. Sebagai produk budaya film merupakan refleksi kondisi sosial budaya suatu masyarakat dalam suatu waktu. Di sisi lain film sebagai media massa memiliki kekuatan untuk menanamkan nilai-nilai ideologi atau norma pada penontonnya. Kekuatan media massa dalam menyosialisasikan nilai-nilai tersebut berkait dengan fungsi media massa sebagai piranti untuk menyosialisasikan warisan sosial (Dominick, 1993). Fungsi ini merupakan fungsi yang paling strategis dan menjadi kekuatan media massa dalam mempengaruhi khalayak. Salah satu yang diwariskan adalah ideologi patriarkhi, yang secara masif disebarkan media. Galliano (2003 dalam Ibrahim, 2007) menyebutkan media dianggap sebagai agen sosialisai gender yang penting dalam keluarga dan masyarakat, media mengungkapkan tentang peran laki-laki dan perempuan dari sudut pandang tertentu. Media menentukan dan mengukuhkan ideologi, “sistem kepercayaan” atau “pandangan dunia” tertentu, menanamkan kesadaran dan mitos tertentu tentang gender. Wood (2005) menguatkan pendapat ini bahwa sajian media dari film anak-anak hingga pornografi mempengaruhi bagaimana pandangan audiens memahami laki-laki dan perempuan, apa yang normal dan benar dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. 108
Secara historis media merepresentasikan laki-laki dan perempuan dalam stereotip tradisional. Media massa memiliki kontribusi besar dalam proses konstruksi realitas pada tataran individu. Tampilan media sesungguhnya adalah realitas simbolik hasil karya pekerja media yang dipengaruhi oleh latar belakangnya, realitas simbolik yang ditampilkan ini dimaknai sebagai realitas sesungguhnya oleh audiens. Realitas yang disajikan media menjadi rujukan individu dalam proses diri individu membangun identitas dirinya. Bagi audiens realitas yang dibangun media adalah fakta, dunia objektif. Individu tidak punya daya untuk mengubah dan campur tangan, bahkan individu secara sadar memahami dan menerimanya sebagai sebuah realitas. Thomas Luckman (Baran, 1999) mengatakan terjadi proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki. Problemnya realitas yang dibangun media, menjadi realitas yang sesungguhnya bagi individu. Tidak ada proses seleksi pada tataran individu, sehingga berbagai peristiwa yang terjadi ketika diangkat di media menjadi cerita atau wacana yang bermakna adalah realitas yang telah dikonstruksikan. Film, sebagai media komunikasi massa dalam mengkonstruksi relasi gender berkait dengan siapa kreatornya khusunya sutradara. Dialah yang memiliki peran dalam menentukan apakah karyanya berada pada arus utama dalam melihat relasi ini atau tidak. Peran sutradara dalam mentransfer ide-ide ke dalam bahasa gambar merupakan sentral, dialah yang memegang kendali dalam proses karya film. Ia menerjemahkan bahasa naskah ke dalam “bahasa” suara dan gambar secara spesifik. Naskah (script) divisualisaikan dengan memberikan konsep abstrak ke dalam bentuk yang konkrit atau nyata. Melalui pemilihan shot-shot, sutradara membangun sebuah pandangan atau point of view ke dalam suatu gagasan. Sutradara berperan dalam menempatkan dan pergerakan kamera, mengarahkan
Liestianingsih Dwi Dayanti -- Wacana Kekerasan dan Resistensi Perempuan dalam Film Karya Sutradara Perempuan
akting pemain, pengaturan dialog, dan menentukan latar suara (musik) menjadi satu kesatuan bahasa gambar dan suara. Tanggung jawab struktur dramatis dan alur cerita ke dalam bahasa audio dan visual terletak pada sutradara (www.filmmakers.com). Sutradara merupakan faktor penting dalam produksi sebuah film namun dia tidak dapat bekerja sendiri, dia memerlukan dukungan kru dan para pemain, seorang sutradara “mengendalikan” keseluruhan proses produksi film, dialog, narasi, pencahayaan, pemilihan dan mengarahkan pemain, artistik dan juga editing. Dengan demikian jelas bahwa sutradara menentukan penokohan, alur cerita sebuah film apakah akan berada pada bingkai patriarkhi atau tidak. Di Indonesia, sineas perempuan jumlahnya sedikit. Krishna Sen (Inside Indonesia No 83/2005) menyebutkan sejak tahun 1926 sampai sebelum reformasi hanya terdapat tiga sutradara perempuan di Indonesia, itu pun karyanya tidak mendapat respon menggembirakan baik secara populer maupun artistik. Pasca reformasi fenomena perempuan di belakang kamera jumlahnya tidak meningkat tajam, namun karya-karya mereka cukup fenomenal. Fenomena ini adalah bagian dari perubahan perfilman Indonesia pasca reformasi. Menurut Sen, pada masa Orde Baru para sutradara dan produser yang bekerja baik laki-laki maupun perempuan tunduk pada pandangan dominan (patriarkhis) di masa itu bahkan mungkin hal ini masih terjadi hingga kini. Film-film karya sutradara perempuan merupakan film dengan muatan pernyataan politik yakni perempuan sedang mendulum posisi mereka di ranah film Indonesia. Melalui film para sineas perempuan membawa persoalan perempuan kontemporer dipandang dari kacamata “perempuan”, hal ini sebuah fenomena yang relatif baru karena pandangan semacam itu juga baru berkembang belakangan ini (Eric Sasono dalam http://rumahfilm.org). Sen (Inside Indonesia, 2005), menyebut pasca Orde Baru muncul para sineas perempuan dengan karyanya yang menyentak dunia perfilman Indonesia
seperti Mira Lesmana (produser dan sutradara) dengan karyanya “Sherina”, Nan T Achnas (penulis dan sutradara film Pasir Berbisik) dan Nia Dinata (sutradara Ca-baukan dan Arisan). Untuk menganalisis wacana kekerasan dan resistensi perempuan dalam film MBSM digunakan analisis wacana kritis (CDA). Metode ini dipilih karena metode ini dalam mengungkap suatu wacana tidak hanya menganalisis aspek kebahasaan namun juga menghubungkan antara bahasa dan konteks, yaitu bahwa bahasa digunakan untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Analisis wacana kritis melihat wacana –pemakaian bahasa dalam tutur dan tulisan- sebagai bentuk dari praktik sosial. Dengan demikian, bisa ditampilkan efek ideologi, memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan perempuan, kelompok mayoritas dan minoritas. Melalui wacana ketimpangan dalam kehidupan sosial sebagai suatu kewajaran. Udasmoro (2009), CDA melihat fenomena-fenomena ketimpangan, ketidakseimbangan, ketidakadilan ataupun keberpihakan dalam suatu fenomena yang ditampilkan. Topik-topik yang seringkali diangkat adalah marginalisasi terhadap kelompok minoritas, persoalan seksisme, rasisme, dikriminasi, kemiskinan dan aspek-aspek ketimpangan kelas maupun gender. Bentukbentuk penelitian analitis terhadap wacana ini kemudian mengkaji kasus-kasus dominasi, eksploitasi, ketidakadilan yang terlihat dari text (tulisan) dan talk (ujaran) dalam konteks sosial politik. Pendekatan ini berargumen bahwa bahasa bukanlah sekedar produk netral yang hanya dilihat secara struktural unsur-unsur di dalamnya, dalam bahasa, ada nilai-nilai kekuasaan serta hubungan kekuasaan yang bersifat ideologis dan historis. Pemroduksian bahasa pun bersifat kultural. Penggunaan bahasa, wacana, interaksi verbal dan komunikasi dianggap hanya merupakan level mikro. Sementara itu, po109
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 103 - 118
wer, dominasi, ketidakadilan dalam realita sosial merupakan level makro dari analisis. CDA berfungsi memediasi antara teks dan masyarakat. Analisis diskursif bersifat interpretatif dan explanatory dengan melihat sumber-sumber fokus pada aspek-aspek power, dominasi, hegemoni, ideologi, kelas, gender, ras, diskriminasi, kepentingan, reproduksi, sosial struktur atau aturan sosial. Analisis wacana kritis digunakan untuk mengungkap hal yang tersembunyi dari subjek (kreator) film dalam menyampaikan suatu pernyataan, pemikiran, ide, perasaan dan kepercayaannya, bagaimana hubungan antara kekuasan dalam pembentukan subjek dan berbagai tindakan representasi. Fairclough (1992) membangun model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya dengan mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Menurut Fairclough sebuah teks tidak dapat lepas dari konteks sosial masyarakat. Karenanya model Fairclough sering disebut dengan model perubahan sosial, ia mengintegrasikan secara bersama analisis wacana yang didasarkan pada linguistik, pemahaman sosial dan politik dan secara umum diintegrasikan pada perubahan sosial. Bahasa menurut Fairclough adalah praktik sosial, refleksi individu mereflekasikan sesuatu. Bahasa sebagai praktik sosial mengandung implikasi, pertama, wacana dibentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai sebuah tindakan pada dunia khususnya sebagai bentuk representasi ketika melihat dunia realita. Kedua, model ini membawa implikasi adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial dan berkait dengan ini wacana terbagi oleh struktur sosial, kelas, dan relasi sosial lain yang dihubungkan dengan relasi spesifik dari institusi tertentu seperti pada buku, pendidikan, sosial dan klasifikasi (Fairclough, 1992). Untuk menganalisis wacana kekerasan dan resitensi perempuan dalam film karya sutradra perempuan, film yang akan diteliti adalah film “Mereka Bilang Saya Monyet” 110
karya Djenar Maesa Ayu. Alasan dipilihnya film MBSM karena film ini masih belum banyak dikaji khususnya kajian tentang wacana kekerasan dan resistensi perempuan. Secara ringkas film MBSM mengisahkan tokoh Ajeng, perempuan muda, modern dengan masa kecil yang kelam. Film bercerita dengan gaya flash back dimulai dari tampilan sosok Ajeng di kamarnya di sebuah apartemen. Bekerja sebagai penulis cerita anak, ia tinggal terpisah dengan ibunya meski mereka tinggal di satu kota. Ia memiliki teman kencan bernama Asmoro, seorang laki-laki yang telah beristri. Asmoro juga bertindak sebagai mentornya dalam menulis cerita. Sejak kecil kedua orang tua Ajeng berpisah. Ibunya berpacaran dengan seorang laki-laki. Saat kanak-kanak ia mengalami kekerasan seksual dari pacar ibunya secara berulang. Kekerasan lain diperoleh dari Ibunya berupa kekerasan verbal dan fisik. Hasil kajian terhadap film “Mereka Bilang Saya Monyet” antara lain dimensi bentuk kekerasn dalam film MBSM menampilkan kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, seksual dan dimensi partisipan menampilkan relasi antara ibu dan anak perempuan, lakilaki dan anak perempuan, laki-laki dan perempuan. Dari dimensi efek kekerasan menimbulkan efek negatif berupa trauma dan efek positif berupa resistensi terhadap kekerasan. Motif kekerasan yang dapat dianalisis motif beragam, dan dimensi sumber kekerasan personal dan struktural.
Wacana Kekerasan Orang Tua terhadap Anak dan Resistensi Anak terhadap Kekerasan Wacana kekerasan orang tua terhadap anak ditampakkan pada awal film dengan adegan Ajeng dewasa menulis di laptop: Ibu saya....adegan ini dilanjut dengan flash back adegan masa kecil Ajeng yang menulis: Ibu saya monyet... di halaman buku sekolah, pada saat Ajeng menulis, Ibu Ajeng berdiri di belakang dan dengan wajah marah ia mendorong kepala Ajeng hingga membentur meja. Visualisai posisi Ajeng kecil duduk di meja dan ibunya berdiri di belakang
Liestianingsih Dwi Dayanti -- Wacana Kekerasan dan Resistensi Perempuan dalam Film Karya Sutradara Perempuan
Ajeng, dapat dimaknai bahwa relasi antara Ajeng dan Ibunya adalah relasi yang timpang, ibu berada pada posisi lebih tinggi, dominan dan berkuasa atas tubuh Ajeng, dan di sisi lain Ajeng yang lemah, dengan ekspresi wajah ketakutan, menunjukkan tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk melakukan perlawanan. Namun dari teks yang ditulis Ajeng “Ibu saya monyet” menunjukkan perlawanan Ajeng kecil terhadap “kekuatan” Ibunya. Adegan ini merupakan awal penggambaran kekerasankekerasan yang dialami Ajeng (perempuan) dan perlawanan-perlawanan yang dilakukan terhadap orang tuanya (Ibu). Adegan lain yang menggambarkan kuasa atas tubuh anak oleh orang tua direpresentasi melalui adegan berikut, Ajeng tidur di samping pacarnya Asmoro, Ajeng menerima telpon dari Mommynya, terjadi dialog antara Ajeng dan Mommy. (A A M A M
A M
M A M A M A M A M
: : : :
Ajeng, M: Mommy) Morning Mommy, Morning Jeng, baru bangun? Udah dari tadi, ini leher sedang tidak sehat : Hah banyakan ngrokok! gimana mau sehat kalo masih ngrokok kayak kereta api, mau kena kanker? : Ini udah ngurangi mam, ini cuma 3 batang : Jangan bohong, Jumat malem pasti kamu dugem ga mungkin cuma ngrokok 3 batang (hening) : Jeng, kok diam : Ya Mam : Lemes amat kurang vitamin tuh, mau dibawain lagi? : Ga usah kemarin masih ada kok : Buah? : Kan masih ada : Lho kan udah lama, ga busuk tu : Kan ada kulkas : Ya udah jangan lupa sarapan, kurangi alkohol sama rokoknya
Dari teks visual dan dialog terlihat bahwa dominasi Ibu terhadap kehidupan Ajeng
dewasa sangat kuat. Padahal sebagai seorang perempuan yang hidup di kota besar Ajeng memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya. Penggunaan apartemen dengan interior tempat tidur, dapur, ruang tamu mewah sebagai setting tempat menunjukkan bahwa Ajeng adalah figur perempuan perkotaan kelas menengah yang sukses dan bebas mengatur hidupnya. Ia merepresentasi perempuan muda di kota besar, bebas, mandiri, dari kelompok kelas menengah atas, menikmati kehidupan malam di diskotik, minum dan merokok, kebebasan bergaul dengan teman perempuan dan lakilaki yang disukai. Namun pada saat berada di posisi sebagai anak ia tersubordinat orang tua (ibu). Kekerasan dan relasi tidak seimbang tergambar dalam adegan Ajeng kecil yang tertangkap Mommynya ketika memuntahkan makanan di closet. Mommynya memaksa Ajeng mengambil dan memakan kembali muntahan makanan yang ada di closet. M : M : A : M:
Mommy, A : Ajeng Kamu muntahin lagi sayurnya? diam Kalo ditanya jawab yang bener dong, sini kamu, ini apa? Kenapa sih kamu, Mommy bener-bener ga ngerti. Tiap detik kamu lihat dengan mata kepala kamu sendiri Bapak kamu ga kasih apa2. Mommy yang kerja banting tulang siang malam agar kamu bisa makan! Sekarang Mommy mau dengar, apa alasan kamu? ga suka makan sayur? A : mengangguk M : Oh ya jadi karena alasan ga suka kamu tega bohongi Mommy. Terus kenapa kamu muntahin? kenapa Mommy terus2an kamu bohongi, sudah mami bilang berkali-kali Mommy ga suka dibohongi. Bohong itu bukan berarti takut, tapi justru berani. Kamu senang melawan? Kenapa makannya selalu dimuntahin? ya udah kalo ga mau jawab. Jadi benar ya kamu suka sama makannya? ga ada masalah kan? ya udah makan!! makan!! dasar bapak 111
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 103 - 118
bangsat, anak keturunan bangsat, maunya diperlakuin seperti binantang, dasar bukan manusia, anak ga mau diuntung. Visualisai adegan kekerasan tersebut merupakan kekerasan psikis dan fisik, dengan dimensi partisipan pelaku (subyek) memiliki posisi dominan dari korban (obyek). Motif kekerasan yang dilakukan adalah pemaksaan kehendak, menempatkan anak pada posisi subordinat. Kekerasan ini merupakan kekerasan personal, kekerasan yang dilakukan oleh seorang pelaku kepada korban secara langsung. Efek yang ditimbulkan adalah ketakutan, kemarahan korban, dan rasa direndahkan, dilecehkan dan tidak berharga pada diri korban. Berkait dengan realitas sosial maka wacana ini merupakan wacana relasi kuasa antara orang tua dan anak dalam konteks budaya Indonesia yang memposisikan orang tua berkuasa atas anak sampai kapanpun usia anak. Anak (Ajeng) sekalipun telah dewasa, mandiri sebagai individu ia tetaplah diposisikan sebagai anak yang harus tunduk patuh pada orang tua. Orang tua memiliki kewenangan, kekuasaan untuk mendominasi, mengatur, mengendalikan anak. Tokoh Ibu dalam konteks ini diletakan sebagai sosok orang tua yang dalam konteks budaya Indonesia (Timur) dia adalah pemilik kebenaran, memiliki pengetahuan yang oleh Foucault, disebutkan bahwa kekuasaan selalu terartikulasikan melalui pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan selalu punya efek kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Kekuasaan bertanggung jawab atas penciptaan dunia sosial kita dan atas caracara tertentu dalam membicarakan dan membentuk dunia ini, dengan demikian mendorong lahirnya hubungan cara-cara alternatif pembicaraan dan keberadaan atas sesuatu. Dari relasi yang terbangun antara Ajeng dan Ibunya -selain karena kultur Indonesia yang menempatkan orang tua selalu benar- kekuasan itu ada karena Ibu memiliki pengetahuan tentang hidup sehat, hidup yang baik, hidup yang benar. 112
Kekerasan orang tua pada anak terlihat pada visualisasi adegan ketika cerpen Ajeng berjudul “Lintah” dimuat di sebuah harian terkenal. Pemuatan cerpen ini sebuah prestasi bagi Ajeng karena selama ini dia adalah penulis cerita anak dan tidak mudah menembus harian tersebut. Pemuatan cerpen “Lintah” ini memicu kemarahan ibunya yang menganggap bahwa isi cerita itu adalah kisah Ajeng dan Ibunya. Mommy: Puas setelah usaha Mommy untuk berubah, kamu pendendam! Kenapa dendam kamu cuma buat Mommy,apa pun yang mommy lakukan cuma buat kamu dan paling tidak sebagai orang tua tidak lepas tanggung jawab pada anak sementara bapak kamu, setelah kejadian itu kamu sempat tinggal bersama dia kamu lihat sendiri bapak kamu cuma ngurusi perempuan, perempuan, kalo tidak dengan gampangnya bapak kamu ninggalin kita, ga mungkin ada kejadian ini ga mungkin! Dialog ini divisualisasi dengan Ibu berdiri, Ajeng duduk. Adegan ini menempatkan Ajeng pada posisi sebagai anak tidak berdaya, lemah, diam, sementara Mommynya mendominasi, dengan suara geram, marah dan emosional. Ajeng walau telah dewasa dan punya kehidupan sendiri masih dikendalikan oleh Mommynya. Di sisi lain melalui Cerpen yang ditulis, Ajeng menyampaikan kemarahan, perlawanan terhadap kekerasan yang dialaminya semasa kecil yakni kekerasan seksual yang dilakukan oleh pacar Mommynya, bagi Ajeng kekerasan itu terjadi karena ibunya membiarkan lintah berada dalam rumahnya, ibunyalah yang mengundang lintah masuk ke dalam rumah dan merusak hidupnya. Bagi Mommynya cerpen ini bentuk dendam Ajeng pada ibunya. Relasi kuasa yang timpang antara orang tua dan anak, digambarkan dalam film ini berlatar belakang masyarakat modern, de-
Liestianingsih Dwi Dayanti -- Wacana Kekerasan dan Resistensi Perempuan dalam Film Karya Sutradara Perempuan
ngan simbol-simbol seperti apartemen, interior mewah, kehidupan malam dan perempuan mandiri yang identik dengan kebebasan. Dengan penggambaran ini maka realitas sosial yang diwacanakan film ini adalah relasi orang tua dan anak dalam kultur modern (melalui tokoh Ajeng), tidak mengalami perubahan. Kehidupan kota besar yang identik dengan kemajuan masih menyisakan kultur dan struktur sosial, di mana dominasi orang tua terhadap anak sesuatu yang masih berlangsung. Bahkan wacana ini menggambarkan realitas sosial tentang kekerasan pada anak yang dapat terjadi dimana-mana, baik pada masyarakat kelompok bawah, menengah bahkan atas. Pelakunya bisa ayah, ibu, kakak, kakek, dan orang-orang terdekat. Dalam konteks sosial masyarakat Indonesia kekerasan pada anak merupakan realitas yang banyak ditemui namun demikian ia merupakan fenomena gunung es, jumlahnya besar namun tidak mudah diungkap karena dalam konteks budaya Indonesia kekerasan pada anak sering dianggap sebagai masalah privat dan tidak dapat diintervensi oleh orang lain. Realitas sosial yang dapat disampaikan adalah bahwa anak berada pada posisi tawar yang sangat lemah. Anak menjadi sasaran kemarahan dan kekerasan orang tua. Anak dianggap sebagai property (barang) milik orang tua dan orang tua punya hak penuh atas tubuh dan jiwa anak.
Wacana Kekerasan dan Resistensi Perempuan Terhadap Kekerasan Simbolisasi kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan menggunakan lintah, binatang melata yang menghisap darah manusia, ia tidak akan berhenti menghisap sebelum kenyang. Simbolisasi ini sangat menarik, halus sehingga film yang menceritakan kekerasan seksual tidak mengesankan sebagai film vulgar. Namun demikian simbolisasi ini membawa penonton pada gambaran bahwa kekerasan seksual yang disampaikan dalam film ini “mengerikan”. Kekerasan seksual menghisap seluruh tubuh
dan hidup korbannya. Ajeng mengalami kekerasan seksual dari pacar Mommynya di usia anak-anak. Dimensi bentuk kekerasan Pacar Mommy terhadap Ajeng adalah kekerasan psikis, fisik dan seksual. Dimensi partisipan adalah laki-laki dewasa dan anak perempuan, dimensi motif adalah dominasi gender dan efek yang ditimbulkan negatif berupa trauma, sumber kekerasan personal, kekerasan dilakukan langsung oleh pelaku terhadap korban. Representasi kekerasan ditampilkan melalui adegan lintah melata di paha, punggung dan air bak mandi. Social code yang ditampakan adalah wajah ketakutan Ajeng kecil dan wajah kemenangan dan berkuasa pada tokoh pacar Mommy. Realitas yang ditampilkan bahwa tokoh pacar Mommy menempatkan Ajeng (perempuan) sebagai obyek seks. Ekspresi wajah Ajeng kecil yang ketakutan, jijik namun tidak mampu melawan sementara laki-laki pelaku digambarkan senang dan mendapat kepuasan atas korban, memperlihatkan bahwa dalam realitas sosial kekerasan gender dilatarbelakangi pada kultur patriarkhi bahwa laki-laki memiliki power atau kekuasaan pada tubuh perempuan. Foucault yang dikutip Prabasmoro (2006) menyebutkan bahwa wacana seksualitas tidak mungkin dilepaskan dari wacana kekuasaan dan pengetahuan, di dalamnya termasuk cara kerja budaya yang dikonstruksi untuk melanggengkan tatanan kekuasan yang patriarkhal. Dalam kajian ini representasi tokoh laki-laki sebagai pihak yang memiliki kuasa atas tubuh perempuan dan perempuan sebagai obyek kuasa tersebut. Wacana kekerasan yang disampaikan dalam film ini adalah wacana kekerasan berbasis gender sebagai buah dari konstruksi budaya patriarkhi, dan seolah-olah kekerasan semacam ini merupakan hal wajar karena dalam realitas sosial kekerasan berbasis gender sesungguhnya amat banyak terjadi di masyarakat namun kekerasan seperti ini sulit diungkap karena kultur menempatkan kekerasan gender dianggap sebagai sesuatu yang privat, terjadi di wilayah 113
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 103 - 118
domestik sehingga tidak layak diungkap. Ada anggapan bahwa kekerasan seksual berbasis gender jika diungkap akan menimbulkan sanksi sosial dari masyarakat, walau sesungguhnya korban sangat menderita. Ada ketidakadilan, korban yang seharusnya mendapat perlindungan, keadilan justru diposisikan sebagai penyebab aib keluarga, bahkan mendapat sanksi sosial. Jika dalam film-film mainstream, kekerasan berbasis gender membiarkan korban sebagi tokoh yang kalah, lemah dan tak berdaya, dalam film MBSM, sutradara menempatkan sosok Ajeng sebagai subjek yang melakukan perlawanan melalui adegan Ajeng menulis cerpen berikut: Ibu saya memelihara seekor lintah, lintah itu dibuatkan sebuah kandang, yang mirip seperti rumah boneka berlantai dua, lengkap dengan kamar tidur, ruang makan, ruang tamu, kamar mandi, yang ditempatkan tepat di sebelah kamar ibu. Saya selalu merengek kepada ibu agar ia mengganti lintah dengan hewan peliharaan lain. Namun ibu bersikeras mempertahankan lintah sebagai hewan peliharaan tunggal di rumah kami. Melalui teks ini sutradara menempatkan Ajeng sebagai perempuan yang berani melaukkan perlawanan terhadap kekerasan yang dialaminya, dan tergambar bagaimana kekerasan berdampak luar biasa berupa trauma psikologis sepanjang hidup. Keinginan Ajeng agar Ibunya membuang, menyingkirkan binatang paiaran lintah adalah refleksi dari kemarahan Ajeng atas kekerasan yang dialaminya. Sutradara menyodorkan pada penonton bahwa kekerasan yang dialami perempuan menimbulkan penderitaan dan luka, teks ini menyuarakan rasa sakit, kemarahan dan perlawanan perempuan atas ketidakadilan yang dialami. Teks lain yang menggambarkan perlawanan Ajeng terhadap kekerasan dan ketidakadilan, digambarkan dalam visualisasi pada saat Ajeng dewasa mendikusikan tentang cerpennya berjudul “Lintah” dengan Asmoro. Asmoro menilai tulisan Ajeng tidak layak. Ajeng lebih baik menulis cerita 114
anak daripada cerita dewasa. Mendengar komentar Asmoro, Ajeng sangat marah. Berikut dialog Ajeng dan Asmoro. Asmoro: Sedikit berlebihan ya, ini benerbener pernah kamu alami? Ajeng : Ya enggak lah As : Ini seperti menulis cerita anakanak, banyak imajinsi, terlalu hiperbola Aj : Fiksi itu imajinasi As : Ya oke coba kamu lihat tokoh utama, perempuan ini dilecehkan, diperkosa tetapi tidak pernah melawan Aj : Kamu ini tolol, ga pernah lihat tivi, baca koran. Berapa banyak korban perkosaan yang hanya terima nasib, berapa banyak yang ingin bunuh diri. Mereka sudah kehilangan semuanya, harga diri, kepercayaan diri, boro-boro mau melawan, semangat hidupnya hilang dan ini realitas. As : Tapi negara kita negara hukum, kenapa tidak seret bajingan pemerkosanya ke polisi. Dudukin di meja pengadilan Aj : Uhh, kamu tu buta apa buta? Sejak kapan hukum di negara ini berlaku? Jangankan lapor polisi, orang keluarga yang harusnya belain aja malah neken-neken korban dengan malu lah, aib keluargalah, terus takut kalo anaknyanya ga perawan ga ada yang ngawinilah, taiklah As : aku ga maksud membuat marah, aku kan diminta kasih pendapat, tulisanmu ini terlalu kelam, kelam sah-sah saja. tapi harus ada perubahan dalam cerita, ada penyelesaian tidak ngambang seperti ini ga dangkal kayak gini Aj : emangnya dalam realitas harus ada penyelesaian
Liestianingsih Dwi Dayanti -- Wacana Kekerasan dan Resistensi Perempuan dalam Film Karya Sutradara Perempuan
As
: justru itu, pembaca butuh penyelesaian. saya yakin pembaca lebih suka cerita anak-anak karyamu. Teks dalam dialog tersebut menunjukkan bahwa Asmoro (laki-laki) menganggap perkosaan sebagai sesuatu yang sederhana, dapat diselesaikan dengan mudah, melalui jalur hukum maka persoalan akan beres. Sementara Ajeng (perempuan) melihat perkosaan sebagai sesuatu yang sangat kompleks, menyangkut penderitaan, harga diri, kepercayaan dan ketidakberdayaan. Wacana dalam film ini adalah bahwa korban perkosaan mengalami penderitaan luar biasa, selain dampak fisik dan psikologis ia juga mengalami dampak sosial yang justru dilakukan oleh keluarganya. Keluarga yang seharusnya membela justru menekan korban karena perkosaan menimbulkan malu dan aib keluarga, bahkan kehilangan keperawanan sebagai nilai lebih tinggi dari penderitaan karena perkosaan. Realitas sosial menunjukkan bahwa masyarakat memiliki norma-norma bahwa perempuan korban perkosaan akan membawa petaka bagi keluarga, menimbulkan aib dan karena itu kasus perkosaan terutama jika pelakunya adalah anggota keluarga korban akan disembunyikan. Wacana yang dibangun adalah bahwa perempuan yang mengalami kekerasan tidak dapat menghapus, melupakan peristiwa itu kapanpun. Penderitaan itu akan muncul kembali dalam segala wujud. Teks tentang resistensi Ajeng terhadap ketidakadilan, kekerasan dan dominasi laki-laki di-
gambarkan melalui adegan seperti terlihat pada gambar 1. Adegan diawali saat Ajeng usai menerima tamu laki-laki. Ajeng tidak hanya bekerja sebagai penulis cerita anak namun dia juga bekerja sebagai PSK. Setelah ia tidur dengan laki-laki yang membayarnya, Asmoro datang. Ajeng telah siap tidur dengan Asmoro namun ternyata Asmoro menolak. Ajeng (Aj), Asmoro (As) As : puas! Aj : udah tahu dia ga bisa memuaskan saya masih nanya, tenang aja Cin kan cuma kamu yang bisa memuaskan aku As : sudahlah! Aj : jangan bilang kamu cemburu, belajar dari bini ya, catet ya, saya sudah berhubungan sama dia sebelum aku ketemu kamu, sama aja dengan kamu,kamu sudah punya bini sebelum ketemu aku lagian kamu tahu aku ga suka sama dia As : lagian kalau kamu ga suka kenapa mau ditidurin? Aj : kamu sendiri bilang ga cinta ma bini kenapa mau ditidurin? kalo saya sih jelas, saya harus makan, belanja, bayar apartemen buat kita ngewek, kurang enak apasih dapat cewek gratisan kayak saya, hari gini mana ada cewek yang mau ama cowok kere, cuma begobegonya saya ma bini kamu aja. As : gue pikir kamu dah berubah
Gambar 1. Adegan dan percakapan antara Ajeng dan Asmoro 115
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 103 - 118
Aj : berubah? untuk apa? emang kenapa saya? As : udahalah, susah ngomong sama orang yang kerjanya menbohongi diri sendiri Aj : ngomong apa sih kamu tentang saya, tahu apa kamu tentang hidup saya? ga ada di dunia ini yang tahu tentang hidup saya, ibu saya, bapak saya, temen-temen saya apalagi kamu Adegan ini memperlihatkan Ajeng yang mengendalikan dialog, posisi tubuh Ajeng lebih tinggi dari Asmoro, dengan posisi tubuh miring dan mendesak Asmoro menunjukkan Ajeng marah dan menekan Asmoro. Dari dialog terlihat bahwa Ajeng sangat marah dan melawan pendapat Asmoro tentang bagaimana seharusnya perempuan berpasangan. Represenasi yang disampaikan bahwa kekerasan pada perempuan baik semasa dia anak-anak atau dewasa akan membawa dampak luar biasa. Tidak mudah menjelaskan pada orang lain apa yang dirasakan perempuan. Bahkan Ibu dan Bapaknya saja tidak akan bisa mengerti apa yang dirasakan perempuan. Selain itu sutradara ingin menyampaikan bahwa ada dominasi laki-laki pada relasi antara Ajeng dan Asmoro, ketika Ajeng mendua (memiliki pasangan lain) Asmoro cemburu dan tidak dapat menerima perempuan memiliki pasangan lebih dari satu. Ada ketidakadilan yang memposisikan bahwa laki-laki boleh memiliki lebih dari satu pasangan sementara perempuan tidak. Ajeng merepresentasikan perlakuan yang tidak adil. Ungkapan Ajeng pada Asmoro tentang hubungan Asmoro dengan istrinya “lagian kamu kalau ga suka kenapa mau ditidurin ”, menunjukkan suatu hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, jika perempuan dilarang tidur dengan laki-laki lain walau mereka tidak terikat sebagai suami-istri, sementara laki-laki boleh tidur dengan perempuan lain. Selain itu ungkapan Ajeng yang disampaikan dengan suara tinggi, wajah marah dan mata melotot “kurang enak apa sih dapat 116
cewek gratisan kayak saya, hari gini mana ada cewek yang mau ama cowok kere, cuma begobegonya saya ma bini kamu aja”, menunjukkan bahwa Ajeng lah yang selama ini mengeluarkan uang dalam jalinan hubungan dengan Asmoro (laki-laki), namun ketika laki-laki itu bermaksud mengatur hidupnya Ajeng marah tidak bisa menerima hal itu. Dalam realitas sosial, laki-lakilah yang berkuasa atas tubuh perempuan. Laki-laki boleh memiliki hubungan dengan banyak perempuan, sementara perempuan tidak pantas memiliki pasangan laki-laki lebih dari satu. Selain itu laki-lakilah yang mengatur hidup perempuan sekalipun ia tidak memiliki kemampuan finansial. Dalam konteks ini ada ketidakadilan gender, ada ketimpangan, yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang tersubordinat. Realitas sosial yang dapat dijumpai di masyarakat bahwa lakilaki yang memiliki banyak pasangan justru dianggap macho, hal yang wajar. Perlawanan Ajeng terhadap ketimpangan terlihat dari ungakapan: “ngomong apa sih kamu tentang saya, tahu apa kamu tentang hidup saya? ga ada di dunia ini yang tahu tentang hidup saya, ibu saya, bapak saya, tementemen saya apalagi kamu!” Dialog ini merefleksikan bagaimana penderitaan Ajeng dan pengalaman masa kecilnya, kekerasan yang dialami dari ibunya, dari pacar Mommynya tidak ada satupun yang dapat mengerti. Ajeng sebagai simbol perempuan yang menderita karena kekerasan yang dialami di masa lalunya. Ucapan ini bentuk resistensinya terhadap kekerasan dan pengalamannya. Dalam konteks ini, realitas sosial memperlihatkan hanya sedikit perempuan yang mampu mengungkapkan perlawanan semacam ini. Sebagian besar perempuan akan menyembunyikan, jangankan melawan, membuka diri mengungkapkan pengalaman saja sebagai sesuatu yang sulit. Stigma masyarakat terhadap perempuan yang mengalami kekerasan masih terus terjadi, perempuan bahkan dikucilkan, dianggap membawa aib dan mendapat sanksi sosial. Di sisi lain, negara yang seharusnya memberikan perlindungan kadang justru
Liestianingsih Dwi Dayanti -- Wacana Kekerasan dan Resistensi Perempuan dalam Film Karya Sutradara Perempuan
melanggengkan terjadinya kekerasan. Sekalipun Negara telah menandatangani konvensi penghapusan kekerasan terhadapan perempuan (CEDAW) dan diterbitkannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) namun pemahaman masyarakat dan bahkan penegak hukum akan pentingnya perlindungan pada perempuan dan anak masih belum memadai.
SIMPULAN Berangkat dari keinginan untuk menyuarakan wacana kekerasan terhadap perempuan terlihat bahwa film ini mengantar kita pada wacana kekerasan terhadap perempuan yang berbeda dengan menempatkan persoalan kekerasan sebagai persoalan yang tidak hanya dilihat dari satu aspek saja yakni hukum (normatif). Film ini menyodorkan kepada audiens bahwa wacana kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah persoalan yang kompleks, persoalan kemanusiaan. Kekerasan membawa dampak luar biasa pada korban, fisik, psikologis dan sosial seumur hidup. Dalam film ini digambarkan juga perlawanan terhadap dominasi orang tua dan dominasi laki-laki. Bahwa kekerasan sebagai refleksi dari dominasi orang tua menimbulkan penderitaan pada anak, menimbulkan trauma dan dampak psikologis pada anak hingga ia dewasa. Demikian pula dengan dominasi laki-laki pada perempuan membawa permasalahan kompleks dan tidak dapat diselesaikan oleh aparat negara (polisi dan pengadilan). Kekuatan sutradara perempuan dalam memproduksi film mampu keluar dari mainstream yang selama ini lebih banyak merepresentasikan perempuan dalam stereotip: perempuan selalu kalah dan dikalahkan, cengeng, dan kurang rasional dalam memandang persoalan hidup. Sutradara memberikan ruang pada audiens untuk mendiskusikan bahwa persoalan kekerasan pada perempuan tidak cukup dilihat dari perspektif normatif, hukum, relasi orang tua dan anak, namun juga perspektif perempuan sebagai subyek. Sutradara membawa pe-
nonton pada kesadaran bahwa kekerasan pada perempuan adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, persoalan manusia, yang harus dilihat dengan “hati” bukan “rasional , hukum dan kepatutan masyarakat”.
DAFTAR PUSTAKA Baran, J. Stanley, 1999, Introduction to Mass Communication, California, Mayfield Publishing Company. Baso, Zohra Andi; Tina Dwia Aries; Haerani, S.; Rahman, Alwi, 2002, Kekerasan Terhadap Perempuan Menghadang Langkah Perempuan, Yogyakarta : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM dan Ford Foundation. Dominick, Joseph, R, 1993, The Dynamics of Mass Communication, United State of America, McGraw-Hill. Dzuhayatin, Siti Ruhaini; Yuarsi, Susi Eja, 2002, Kekerasan Terhadap Perempuan di Ruang Publik , Laporan Penelitian, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM dan Ford Foundation. Foucault, Michel, 2009, Pengetahuan dan Metode, Karya-karya Penting Foucault, Yogyakarta: Jalasutra. Ghassani, Husninatul, 2010. Kekerasan Terhadap Perempuan: Analisis Semiotika Film Jamila dan Sang Presiden, Tesis, Semarang : Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Diponegoro, Semarang. Ibrahim, Idi Subandy, 2007, Budaya Populer sebagai Komunikasi, Yogyakarta: Jalasutra Jorgensen, Marianne W. & Phillip, Louise J., 2007. Analisis Wacana, Teori dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Liestianingsih D, 2003, Peran Gender dalam Iklan Obat Kuat Kuku Bima TL & Stimultan Hemaviton di Televisi, Laporan Penelitian, Surabaya : LPPM-Universitas Airlangga ------------------------, 2005, Relasi Gender dalam Sinetron Komedi Bajai Bajuri di Trans TV, La117
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 103 - 118
poran Penelitian, Surabaya: LPPMUniversitas Airlangga. Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2006, Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra dan Budaya Pop, Yogyakarta: Jalasutra. Sen, Krishna & Hill, David T, 2000, Media Budaya dan Politik di Indonesia, Jakarta: ISAI. Sunarto, 2009, Televisi, Kekerasan & Perempuan, Jakarta, Kompas Media Nusantara Wood, Julia, T., 2005, Gendered Lives, Communication, Gender & Culture, Belmont, USA, Thomson, Wadsworth. Suryandaru, Yayan Sakti (ed), 2002, Potret Kesadaran Gender Orang Media, Laporan Penelitian, Pusat Studi Wanita Universitas Airlangga dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI.
Srinthil, Media Perempuan dan Multikultural, No. 011, 2007.
118
Yulianto, Vissia Ita, 2007, Pesona Barat, Analisa Kritis-Historis Tentang Kesadaran Warna Kulit di Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra. Udasmoro, Wening, 2009, "Critical Discource Analysis terhadap Wacana Politik Pluralis Prancis: Mempersoalkan Sentral dan Periferi" dalam Jurnal Leksika, Vol. 3, No. 2 Agustus, p.p. 1-11.
Sumber Lain: Jurnal Perempuan, No 61, 2008 Inside Indonesia, No 83, 2005. www.filmmakers.com. www.djpp.depkumham.go.id, www.komnasperempuan.or.id www.resources.unpad.ac.id www.elsam.or.id http://rumahfilm.org).
Ari Setyorini -- Performativitas Gender dan Seksualitas dalam Weblog Lesbian di Indonesia
KAWISTARA VOLUME 1
No. 2, 17 Agustus 2011
Halaman 103-212
PERFORMATIVITAS GENDER DAN SEKSUALITAS DALAM WEBLOG LESBIAN DI INDONESIA Ari Setyorini Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Surabaya Email:
[email protected]
ABSTRACT This study is aimed to know how gender and sexuality are performed in lesbian weblog in Indonesia. This research is particularly purposed to identify the ideological meaning behind the performative identity of lesbian blogger, and also to measure hir resistance against subordination. This is a multidisciplinary-based qualitative research. Using Foucault’s power relation and technology of the self which are elaborated in History of Sexuality, and Butler’s theory of performativity, this study then applies into the analytical method of Fairclough’s Critical Discourse Analysis (CDA). This research takes Fried Durian, an Indoensian lesbian weblog, as the corpus. The result of the research confirms that the identification of lesbian identity tends to be the combination of femininity and masculinity. Through the process of criss-crossing, lesbian performs hirself by doing “stage performativity”, embedding the identification of feminine and masculine identity through appearance, clothing, gesture, and sexuality. Thus, a lesbian blogger is a creative producer in which (s)he transforms the heteronormative discourse. Keywords: Weblog, Lesbian, Gender, Sexuality, Performativity
ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana identitas gender dan seksualitas ditampilkan dalam weblog lesbian Indonesia. Melalui tampilan tersebut, penelitian ini bertujuan mengetahui makna ideologis dibalik tampilan identitas gender dan seksualitas blogger lesbian Indonesia, serta sejauh mana praktik resistensi atas subordinasi terhadap lesbian ditampilkan dalam weblog. Kajian ini merupakan kanjian multidisiplin menggunakan pemikiran Foucault tentang relasi-kuasa, teknologi diri yang terangkum dalam History of Sexuality, serta pemikiran Butler mengenai perfomativitas. Selanjutnya, kajian ini menggunakan Critical Discouse Analysis (CDA) sebagai metode analisis. Sebagai kospus, kajian ini mengambil satu weblog lebian Indonesia, Fried Durian. Hasil penelitian mengkonfirmasikan bahwa identifikasi gender dan seksualitas lesbian yang cenderung merupakan kombinasi terhadap femininitas dan maskulinitas. Melalui proses criss-crossing lesbian memperformativitaskan diri mereka dengan “aksi panggung”, menempelkan identifikasi identitas feminin dan maskulin melalui dandanan, pakaian, gesture tubuh, dan seksualitas. Senyatanya, blogger merupakan produser kreatif atas wacana lesbian di mana mereka mereproduksi wacana heteronormativitas, hingga wacana tersebut tidak menjadi satu-satunya wacana dominan Kata Kunci: Weblog, Lesbian, Gender, Seksualitas, Performativitas
119
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 119 - 131
PENGANTAR Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang melahirkan internet dirayakan banyak orang. Internet mampu membentuk sistem komunikasi global yang mengubah hubungan personal menjadi sebuah ekspresi disclosed intimacy (Woodward dalam Jordan dan Phil, 2002), di mana seseorang dapat merasa dekat dengan orang lain tanpa harus menghadirkan dimensi ketubuhan mereka. Hubungan personal tersebut dibangun dalam interaksi performativitas tanpa menghadirkan tubuh. Dengan kata lain, komunikasi hadir melalui tulisan, suara, gambar, video dalam layar komputer, dalam dunia virtual. Sehingga, identitas pengguna dalam dunia nyata dapat ditinggalkan, seperti ungkapan Howard Rheingold (1994), people in virtual communities do just about everything people do in real life, but we leave our bodies behind. Identitas hanyalah berdasar pada apa yang pengguna tampilkan. Seseorang dapat menjadi siapa saja dan apa saja sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Bahkan pengguna memiliki pilihan anonimitas untuk menutupi identitas dirinya dari pengguna lain. Maka tak heran jika kemudian ada ungkapan yang mengatakan: on the internet, no one knows if you are a dog. Selama ini kelompok termarjinalkan, utamanya LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual) belum mendapat tempat sebagaimana kelompok heteroseksual. Di Indonesia sendiri, heteronormativitas menjadi ideologi dominan yang dilanggengkan oleh regime of truth yang berkuasa, misalnya oleh negara, agama, kedokteran bahkan oleh keluarga. Hal ini tampak dari beberapa aksi menentang eksistensi LGBT yang muncul dari berbagai kalangan. Misalnya, aksi demo terhadap ILGA yang berujung diberhentikannya kegiatan yang semestinya diadakan di Surabaya Maret 2010. Media pun tak luput dari perpanjangan tangan rejim kebenaran untuk membentuk stereotip LGBT. Isu-isu LGBT dan homoseksualitas akhirnya dianggap kebanyakan orang sebagai sesuatu yang negatif dan terlarang. Mohamad Yasir Alimi (2004) dalam 120
bukunya, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: dari Wacana Bahasa hingga Wacana Agama, menyimpulkan bahwa heteronormativitas masih menjadi wacana dominan yang dikonstruksi oleh media mainstream (Alimi mengambil Kompas sebagai media mainstream yang dikaji). Akibatnya, banyak individu LGBT yang harus menutupi identitas mereka dalam dunia nyata. Karenanya, kehadiran cyberspace dengan kecairan sifatnya dianggap mampu menjadi media alternatif untuk menyuarakan ketertindasan LGBT dalam menunjukkan identitas mereka, atau sebagai media untuk coming out of the closet. Selain itu pergeseran posisi subyek dalam kacamata posmodernitas, di mana subyek-subyek kecil mulai memiliki suara untuk menentang struktur kuasa, memungkinkan lesbian Indonesia sebagai subyek kecil untuk dapat berbicara, mengungkap identitas gender dan seksualitas mereka. Berangkat dari pendapat Bryson (2004) bahwa masih sedikit penelitian yang mengkaji tentang komunitas perempuan marjinal, utamanya perempuan lesbian, biseksual dan transeksual dalam kaitannya dengan cyberspace, maka tulisan ini akan mengkaji mengenai hal tersebut. Tulisan ini difokuskan pada performativitas blogger lesbian Indonesia dalam mengkonstruksikan identitas gender dan seksualitas mereka melalui blog. Blog dipilih sebagai media obyek kajian dengan alasan bahwa media ini memiliki kelebihan dari bentuk cyberspace lainnya. Di antaranya adalah karateristiknya sebagai jurnal online pribadi yang mengutamakan personalitas dan individualitas pemiliknya. Individualitas inilah yang melahirkan ekspektasi terhadap blog sebagai media alternatif. Williams (Mitra dan Gajjala, 2008) mengatakan bahwa blog dianggap mampu menjadi ruang yang memungkinkan lahirnya resistensi-resistensi atas struktur kuasa yang ada melalui cara speaking back. Cara ini mungkin dilakukan ketika blogger menampilkan subyektivitas sebagai individu yang menyuarakan keterasingan dan keter-
Ari Setyorini -- Performativitas Gender dan Seksualitas dalam Weblog Lesbian di Indonesia
tindasan dari tindakan opresif stuktur berkuasa. Singkatnya, Williams menilai blog sebagai media yang memuat individualization ideologies. Sejalan dengan pemikiran tersebut, David Gauntlett (2002: 65) juga menjelaskan mengenai kemampuan new media (khususnya website pribadi dan weblog) menyediakan alternatif-alternatif lain bagi individu atau grup sebagai tandingan atas ide dominan tentang perempuan dan laki-laki. Kajian ini akan mengupas mengenai perfomativitas identitas yang tampak pada weblog lesbian di Indonesia. Kemudian, kajian ini akan menggunakan teori Michel Foucault mengenai sejarah seksualitas dan relasi kuasa akan digunakan untuk mempertajam analisa. Lebih lanjut, kajian ini menggunakan teori identitas ala Judith Butler, di mana identitas dianggap sebagai sebuah performansi. Mengingat bahwa permasalah performativitas bukan hanya mengenai bagaimana seseorang atau sesuatu ditampilkan, namun juga mengenai apa maksud yang melatar belakangi penampilan tersebut, maka lebih detail penelitian ini akan menjawab permasalahan mengenai: (1) bagaimana identitas gender dan seksualitas lesbian ditampilkan dalam blog tersebut; dan (2) bagaimana praktik resistensi terhadap wacana dominan mengenai identitas gender dan seksualitas tampak dalam blog tersebut.
PEMBAHASAN Konsep Identitas sebagai Performativitas Kajian ini menempatkan diri dalam perspektif posmodernis. Dalam hubungannya dengan identitas gender dan seksualitas, posmodernis mulai menanyakan mengenai konsepsi kedua identitas tersebut terhadap para pemikir sebelumnya. Menurut posmodernis, feminisme kedua kontinum tersebut telah gagal memahami identitas seksualitas perempuan. Rubin (Alimi, 2004: 8-9) berpendapat, feminisme (kontinum sebelum posmodern) terlalu banyak terkonsentrasi pada gender dan menyepelekan seksualitas.
Kalaupun ada perbincangan soal seksualitas, feminisme kontinum sebelum posmodern masih an sich membicarakannya dalam bingkai heteroseksualitas. Meskipun sukses dalam menjelaskan ketidakadilan sosial berbasis gender, feminisme gagal memberikan penjelasan atas ketidakadilan yang terjadi karena orientasi seksual. Karenanya, kemudian muncul apa yang disebut sebagai queer, yang menjadi pokok pemikiran gender dan seksualitas periode posmodern ini. Queer, secara seksualitas, diartikan juga sebagai konseptualisasi atas non-heteroseksual, khususnya seksualitas same-sex. Jagose, lebih lanjut, menjelaskan bahwa dalam pandangan queer, apa yang disebut sebagai gender dan seksualitas adalah identitas tidak stabil dan inkoheren (Jagose, 1996: 73-79). Queer, menyitir pendapat Eve Sedgwick (Beasley, 2005: 108), dideskripsikan sebagai criss-crossing terhadap garis-garis identifikasi (self identity) dan hasrat (seksualitas) di antara gender, seksualitas dan identitas lainnya. Dengan kata lain, queer berkonsentrasi pada mixing up traditional assumption regarding supposedly inevitable combintion of attributes of the self. Misalnya, seseorang dengan gender feminin dapat saja mengombinasikan identitasnya sebagai maskulin yang tertarik pada gender feminin lain, yang secara seks dan seksualitas adalah sebagai perempuan. Kombinasi ini dipahami sebagai lesbian. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Judith Butler (1993: 116-117) menjelaskan bahwa queer dapat digunakan sebagai strategi alternatif bagi resistensi, misalnya oleh lesbian. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, feminisme posmodern mempertanyakan heteronormativitas atas identitas seksualitas serta gender differences yang ada dalam tubuh perempuan. Pemikiran ini merupakan kontribusi signifikan dari Michel Foucault, yang tertuang dalam bukunya The History of Sexuality I: Will to Knowledge (1998). Pemikiran Foucault mengenai seksualitas bertolak belakang dari pemikiran seksualitas konservatif yang bertumpu pada determinisme biologis. Ini ke121
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 119 - 131
mudian menjadi ide dasar feminisme posmodern dalam memahami diskursus gender dan seksualitas. Dia menggugat diskursus yang dibangun oleh regime of truth, seperti psikolog, dokter, maupun gereja yang menganggap esensialisme seksualitas sebagai sebuah realitas alamiah yang berada di luar sejarah, asosial dan tidak berubah. Seksualitas tidak dipahami sebagai semacam natural yang terberi yang oleh kekuasaan dicoba untuk dikendalikan, atau sebagai domain gelap yang oleh kekuasaan dicoba untuk disingkap sedikit demi sedikit. Seksualitas adalah nama yang diberikan pada sebuah konstruksi sejarah bukan realitas tersembunyi yang susah untuk dipahami, tetapi merupakan sebuah jaringan luas yang tampak jelas dimana stimulasi atas tubuh, intensifikasi kenikmatan, pembentukan terhadap diskursus, pembentukan pengetahuan tertentu, penguatan terhadap kontrol dan resistensi, dikaitkan antara satu dengan yang lainnya (Foucault, 1998: 105106) Pendeknya, seksualitas dalam kacamata Foucault dideskripsikan dalam relasi antara pleasure-power-knowledge. Pemikiran Foucault ini, kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Judith (1990) Butler dalam bukunya Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. Sex, bagi Butler dipahami bukan hanya sebagai sebagai fenomena biologis, melainkan sebuah kostruk ideal yang dimaterialkan oleh waktu dengan cara memaksa dan terus-menerus melalui norma-norma pengaturan. Sehingga, di dalam sex terdapat regulatory practice yang mendisiplinkan tubuh. Jika Foucault menempatkan seksualitas sebagai sesuatu yang terkonstruksi, maka Butler menarik konsep ini lebih jauh dalam termaterialisasikannya seksualitas dalam tubuh, the materiality of sex. Tubuh tidak hanya dipahami sebagai plat yang di atasnya kemudian dibentuk seksualitas dan gender, namun gender dan seksualitas itu sendiri yang dimateriilkan menjadi tubuh. Telah dijelaskan pada poin sebelumnya konsep Foucault mengenai teknologi diri, bahwa praktik ethics memungkinkan diri 122
melakukan performativitas. Konsep ini dikembangkan lebih jauh oleh Butler, utamanya dalam kaitannya dengan identitas gender. Menurut dia, identitas dibentuk secara performatif melalui diskursus. Identitas gender merupakan efek yang diproduksi oleh individu karena menampilkan praktik-praktik, Butler menyebutnya sebagai gender act, yang secara sosial disepakati sebagai penanda identitas sebagai perempuan atau laki-laki. Butler (1990: 136) menggambarkan bagaimana realness atau kebenaran tentang gender dan seksualitas diproduksi dan direproduksi melalui serangkaian tindakan, gestur dan hasrat yang mengimplikasikan identitas gender paling essensial. Waria, obyek yang dikaji oleh Butler, harus melakukan serangkaian pratik dan prosedural tertentu untuk memperoleh bentuk yang diidealkan di mana gesture dan penampilan mereka dianggap feminin. Praktik ini bagi mereka, menurut Butler, tidak sekadar menirukan femininitas perempuan. Lebih jauh, mereka juga menunjukkan bahwa femininitas adalah sebuah praktik peniruan, baik itu ketika dilakukan oleh waria maupun perempuan. Singkatnya, penentu the effect of realness adalah kemampuan untuk menghasilkan naturalised effect (Butler, 1993: 129). Dengan demikian, ditegaskan bahwa waria bukan sedang meniru yang asli, melainkan menginspirasikan bahwa yang asli itu tidak ada, yang ada hanyalah layers of performances hingga membentuk efek yang benar-benar dianggap alamiah. Praktik yang demikian juga sekaligus memparodikan anggapan-anggapan tradisional mengenai apa yang disebut feminitas dan maskulinitas. Bahwa penis tidak harus berperan maskulin, dan vagina juga tidak harus feminin “… the notion of an original or primary gender identity is … parodied within the cultural practices of drag, cross-dressing, and the sexual stylisation of butch/ femme identities …” (Butler, 1999: 174). Tidak ada identitas gender di balik ekspresi gender, karena gender adalah sebuah proses imitasi, pengulangan dan performativtas yang tidak pernah ber-
Ari Setyorini -- Performativitas Gender dan Seksualitas dalam Weblog Lesbian di Indonesia
henti. Identitas gender, karenanya, bukanlah sebuah hal yang tetap. Melalui proses imitasi pula, heteroseksulitas dinaturalkan dengan proses yang berulang-ulang. Ia beroperasi melalui devaluasi, stigmatisasi dan abnormalitas praktik seksual lainnya. Melalui konsep Foucault, histerisasi tubuh perempuan, Butler kemudian menegaskan bahwa gender dan seksualitas saling berkaitan dan saling berkelitkelindan satu sama lain. Secara bersamasama, gender dan seksualitas berinteraksi untuk menentukan definisi maskulinitas dan feminitas, dan juga membentuk relasi gender dengan menetapkan kondisi di mana orang dengan beragam gender berinteraksi. Kecenderungan orang akan membentuk hubungan heteroseksual terletak pada konstruksi sosial praktek dan kategori gender yang hirarkis dan dikotomis (Butler, 1999: 17) Korpus penelitian kajian ini adalah weblog lesbian di Indonesia. Tulisan ini akan menampilkan satu blog milik sepasang partner lesbian, Lushka dan Mithya. Weblog mereka berjudul Fried Durian (selanjutnya disingkat FD). Weblog ini dipilh bedasarkan jumlah pengunjung yang cukup tinggi serta keajegan mereka dalam melakukan posting.
Memaknai Identitas Gender dan Seksualitas dalam Fried Durian FD adalah weblog milik sepasang partner bernama virtual Lushka (L) dan Mitya (M). Struktur weblog ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi judul weblog, yakni Fried Durian, dan deskripsi terhadap identitas weblog. Bagian kedua merupakan struktur utama blog memuat post . Post terdiri dari waktu post, judul post, isi post, nama blogger yang melakukan posting, komentar dari pembaca weblog, dan identifikasi topik pembicaraan.
Perbincangan Mengenai Identifikasi Lesbian Weblog ini menarik karena dari awal LM tidak menempatkan identitas mereka ke
dalam kategorisasi identitas gender dan seksualitas manapun, baik dalam kategori identitas lesbian, maupun dalam kategori identitas normatif lain. Identifikasi identitas LM pada FD ini pertama kali tampak pada deskripsi yang terletak di bawah judul weblog mereka, yakni: Bisexual is an overstatement. Lesbian is an understatement. We just know how to enjoy live by being in each other arms. This is our fun queer story from Indonesia. Melalui deskripsi ini, L-M mendeskripsikan queer-itas identitas mereka. Perbandingan identitas yang tampak dalam pemilihan kata overstatement (sebagai biseksual) dan understatement (sebagai lesbian) menunjukkan bahwa kategorisasi identitas tersebut tidak cukup mewakili mereka. Bagi L-M, penyebutan sebagai biseksual sebagai identitas mereka merupakan sesuatu yang berlebihan. Sementara, identifikasi sebagai lesbian, bagi L-M, terlalu menyimplifikasi dan kurang cukup mewakili kompleksitas identitas mereka. Di sinilah tampak bagaimana identitas gender dan seksualitas merupakan sebuah hal yang tidak cukup hanya dibatasi melalui kategorisasi-kategorisasi tertentu, pun bukan pula sebagai sesuatu yang stabil dan koheren. Inkoherenitas tampak pada identifikasi L-M terhadap gender dan seksualitas yang bukan sebagai biseksual maupun lesbian (homoseksual), juga bukan sebagai heteroseksual. L-M bahkan dengan gamblang menyebut identitas mereka sebagai queer, di mana gender dan seksualitas bagi mereka adalah sebuah instabilitas. Identitas menjadi sebuah hal yang tidak ajeg, karena L-M menempatkan identitas sebagai sebuah hal yang dapat diubah, sebagai sebuah proses criss-crossing (Segwick dalam Beasley, 2005: 108). Deskripsi tersebut diperjelas melalui beberapa post L-M dalam FD. M mendeskripsikan identifikasi dirinya, “…gue nggak suka memasukkan diri gue ke kategori mana pun… dalam dunia kategori lesbian (femme, butch, andro)…Gue lebih suka mengelaborasi atau menggambarkan perilaku daripada menamai. Yep, saat ini gue in a rela-
123
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 119 - 131
tionship dan bahkan jatuh cinta dengan Lushka. Tapi saying myself a lesbian? Lah, I’m not that in to women juga. Masih bisa ngiler liat cowok berbadan atletis dan berwajah lutcu… “ (Mithya, 2008, “Don’t Label Yourself”,
diakses Senin, 8 Desember 2008).
M tidak melakukan kategorisasi dirinya berdasar identitas gender yang telah ada. Penggunaan istilah ‘mengelaborasi (identitas)’ mendeskripsikan tindakan untuk memperlakukan identitas sebagai sebuah hal yang dapat diubah atau diuraikan –pendeknya berada dalam sebuah proses, ketimbang sebuah hasil ajeg dalam kategorisasi. M memilih untuk tidak mengkategorisasikan dirinya menjadi femme, butch atau andro, karena kategorisasi lesbian tersebut tidak cukup mewakili dirinya. M menampilkan diri sebagai lesbian melalui partnership yang dilakukannya dengan L. Akan tetapi, M mengakui bahwa dirinya juga memiliki ketertarikan pada laki-laki (secara bodily sex). Namun, hal tersebut tidak menjadikan M termasuk dalam kategori biseksual. M mengungkapkan, “…soul gue itu sebenernya dilahirkan sebagai cowok biseksual. Jadi untuk jatuh cinta dengan cewek itu normal tapi diem-diem dan takut-takut sangat tertarik dengan cowok lain (especially gay man).” (Mithya, “FilmTwilight +ChauvinisMithya” diakses Senin, 7 Desember 2008). Bodily sex M adalah sebagai seorang perempuan. Namun, M menilai dirinya secara gender adalah laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual pada perempuan (secara bodily sex dan gender), sekaligus kepada lakilaki (secara bodily sex) yang feminin (gay man). M menilai jika ketertarikannya dengan perempuan adalah sebuah hal yang ‘normal’, sebagaimana normativitas laki-laki tertarik kepada perempuan. Lebih lanjut, ketertarikan M pada laki-laki dinilainya sebagai sebuah hal ‘kesalahan’, karena M menilai dirinya adalah laki-laki pula. Karenanya, M menilai, ketertarikannya dengan lakilaki dilakukan secara diam-diam dan takuttakut. Bahkan secara spesifik dalam kutipan 124
sebelumnya, M menjelaskan bahwa ia tertarik dengan laki-laki yang ‘bertubuh atletis’ dan ‘berwajah lucu.’ Kombinasi tubuh atletis dan berwajah lucu menjadi hal yang menarik, karena pada dasarnya kedua deskripsi tersebut menunjukkan hal yang saling bertentangan. Tubuh atletis kerap diidentikan dengan kejantanan atau maskulinitas laki-laki. Sebaliknya, diksi ‘lucu’ acap kali diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak maskulin –feminin. Berwajah lucu dapat diartikan sebagai berwajah polos, lugu, dan menggemaskan. Di sini ditunjukkan bagaimana identitas dan atribut diri diotak-atik sedemikian rupa. Maskulin dikombinasikan dengan feminin, homoseksual dipadu-padankan dengan heteroseksual. Hingga pada akhirnya, tidak ada yang disebut sebagai identitas utama dalam diri M. M tidak bisa dikategorikan sebagai lesbian (homoseksual) seutuhnya, bukan termasuk sebagai heteroseksual. M melakukan kombinasi-kombinasi terhadap identitas-identitas gender dan seksual. Melalui FD, L juga menggambarkan identitas dirinya sebagai ‘lesbian yang bersyarat’. Maksudnya adalah partnership yang dijalaninya dengan M merupakan partnership lesbian. Tetapi, sebagaimana M, dirinya juga memiliki kemungkinan untuk tertarik secara seksual terhadap laki-laki. Ditegaskan oleh L, “Gue dan Mithya ga ngeklaim diri kita murni lesbian tapi juga ga menolak kenyataan kalau saat ini gue berdua dalam hubungan sesama jenis” (Lushka, “Tobat Jadi Lesbian?” http://www.narth.com> diakses Selasa, 14 Juli 2009). Deskripsi-deskripsi identitas tersebut menunjukkan ambiguitas dan hibriditas LM dalam memaknai dirinya. Namun, hal ini tidak kemudian menjadi sebuah hal negatif karena ambiguitas tersebut menurut Butler (1993: 29) justru merupakan sebuah strategi untuk menggoyang apa yang disebut sebagai identitas center-margin. Normativitas masyarakat menganggap identitas yang koheren adalah identitas center, identitas yang paling benar. Artinya, seseorang akan dianggap benar jika identitas gender yang
Ari Setyorini -- Performativitas Gender dan Seksualitas dalam Weblog Lesbian di Indonesia
mereka tampilkan sesuai dengan bodily sex dan hasrat seksualitas mereka. Dengan kata lain, jika individu memiliki bodily sex sebagai perempuan, maka gender mereka harus menunjukkan femininitas dan tertarik secara seksual kepada laki-laki. Namun, yang dilakukan L-M ini justru mensubjetivikasi identitas tersebut dan menunjukkan bahwa apa yang disebut sebagai gender dan seksualitas hanyalah persoalan bagaimana hal tersebut diperformansikan. Hal ini akan nampak pada perilaku-perilaku dalam menampilkan identitas-identitas mereka yang dibahas dalam sub-sub bab selanjutnya. Pernyataan L-M untuk tidak mengkategorisasikan dirinya, senyatanya juga merupakan sebuah bentuk kategori lain, yakni no label. No Label menjadi sedikit banyak mewakili apa yang dijelaskan L-M ketika memilih untuk tidak memasukkan diri mereka ke dalam kategori lesbian sebagai femme, butch, dan andro. Sebagaimana pemikiran queer bahwa a refusal of a set identity adalah identitas itu sendiri. (Ibid.) Melalui no label, L-M mensubversi identitas yang telah ajeg dengan melakukan serangkaian percampuran terhadap normativitas identitas gender dan hasrat akan seksualitas sebagaimana ide Butler atas gender trouble.
Performativitas Penampilan dan Fisik Dunia cyber adalah dunia yang tidak membutuhkan hadirnya tubuh. Artinya, tubuh secara artifisial tidak harus dihadirkan untuk mewakili identifikasi identitas diri. Dimensi tubuh dapat dihadirkan melalui kata-kata, suara dan gambar. Karenanya, identifikasi fisik L-M dalam FD ini tampak melalui kata-kata dalam post. Penolakan LM untuk tidak mengategorikan dirinya ke dalam femme-butch-andro mempengaruhi cara bagaimana mereka menampilkan identitas gender dan seksualitas melalui tampilan fisik. Mereka cenderung mengkombinasikan penanda-penanda gender yang tampak melalui penampilan tubuh. Misalnya ketika L menceritakan tentang kebiasaan-kebiasaan L-M yang berhubungan dengan pe-
nampilan dan atribut fisik: “Siapa bilang kita se-tomboy or se-andro gitu. Emang penampakan gue lebih cewek dari Mithya, tapi kalau buat urusan kerapian Mithya ratunya.” (Lushka, “Mithya and Me” diakses Rabu, 10 Maret 2009). Agaknya, banyak yang mengira L-M berpenampilan ‘kelaki-lakian’. Hal ini tampak dari pertanyaan retoris L terhadap penampilannya yang cenderung diasumsikan banyak orang sebagai penampilan tomboy. Tomboy, sebagaimana dijelaskan oleh Boelstroff, adalah memiliki sifat “kelaki-lakian” (female-to-male transgenders), yang salah satunya tampak dari penampilan (Boellstroff, 2003). L menolak asumsi tersebut dengan menampilkan gambaran sisi ‘keperempuanan’ L-M yang tampak dalam kebiasaan mereka terkait penampilan atribut fisik. M memiliki kebiasaan-kebiasaan berdandan yang ‘lazim’nya dilakukan oleh perempuan. Digambarkan oleh L, bagaimana kepedulian M terhadap rambutnya: “Turun dari motor, buka helm, dia akan langsung bilang ‘rambutku berantakan ga?’ –trus gue jawab ‘engga’ –dia akan ngerapiin lagi, terus nanya ‘berantakan ga?’, gue tetep akan bilang ‘engga’ –dia megang2 rambut terus nanya ‘beneran?’ –nah, di bagian ini gue udah muter bola mata kalo engga melototin dia, ngunci motor terus ngeloyor dengan rambut gue berantakan. Fact: gimana mau berantakan, tiap mau pasang helm dia ngerapiin rambut, trus dijepit, trus dirapiin lagi helmnya” (Lushka, “Mithya and Me” diakses Rabu, 10 Maret 2009).
Pada post ini, L menjelaskan perbandingan penampilan antara dirinya dengan partnernya, M.. Dalam konteks ini, L menilai M memiliki sisi femininitas dalam penampilan yang lebih dominan daripada L. M memiliki kecenderungan berperilaku ‘keperempuan-perempuanan’, yang ‘kuatir’ dengan penampilan rambutnya. Rambut menjadi penanda penting bagi perempuan dalam normativitas masyarakat. Bahkan ada ungkapan yang menyebutkan bahwa rambut adalah mahkota wanita. Lebih lan125
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 119 - 131
jut, L menegaskan bagaimana M memiliki kegemaran berdandan sebagaimana normativitas perempuan dalam masyarakat. Misalnya, M memiliki ‘ritual’ menyisir rambut, membersihkan wajah, memakai bedak, menyemprotkan minyak wangi, dan terkadang memakai lip gloss ketika berada di toilet, setelah buang air kecil. M juga selalu membawa peralatan kosmetik di dalam tasnya. “Isi tas: Mithya, selain ada buku, pulpen, dan kertas pasti ada perlengkapan ceweknya, tissue, kertas minyak, sisir, bedak, kaca, lip gloss, perfume, jepitan rambut.” Penyebutan ‘perlengkapan cewek’ di sini menegaskan bahwa kosmetik memang melulu menjadi penanda bagi gender perempuan. Kebiasaan-kebiasaan M membuat L tertular untuk ikut-ikut menunjukkan femininitas dirinya melalui tampilan tubuh dengan berdandan. Disebutkan oleh L, “ Dulu, gue boro2 di tas ada bedak, sisir aja ada udah ajaib, yang wajib ada di tas itu buku, pulpen, dan notes. Sekarang, gue jadi ketularan Mithya, kemana-mana bawa peralatan ngelenong” (Ibid). L mengumpamakan peralatan kosmetik sebagai peralatan ngelenong (lenong). Hal ini mengindikasikan bahwa, bagi L, berdandan yang melibatkan peralatan kosmetik, tak ubahnya sebagai sebuah aksi pertunjukan lenong. Ketika L menampilkan dirinya yang berdandan menggunakan perlengkapan kosmetik, tak ubahnya seperti ketika pemain-pemain lenong yang akan melakukan pertunjukan. Pada pertunjukan lenong, setiap pemain akan menunjukkan sebuah karakter fiktif yang berbeda dengan karakter mereka sebenarnya. Pada akhirnya, berdandan bagi L adalah untuk menampilkan sebuah karakter fiktif yang berbeda dengan karater dirinya yang sebenarnya. Menyitir pendapat Butler (1990: 174) bahwa persoalan gender hanya semata persoalan performativitas, proses imitasi dan pengulangan yang tidak pernah berhenti, demikian halnya yang dilakukan oleh L-M. Penampilan fisik yang diidentifikasi oleh masyarakat sebagai identitas gender dijadikan sebagai sarana untuk memperformansi 126
gender mereka sebagaimana normativitas masyarakat. Mereka oleh masyarakat dianggap sebagai perempuan melalui performansi ritual-ritual berdandan. Hal yang menarik, L-M tak hanya berhenti pada tataran berdandan sebagai penanda identitas perempuan. L-M menggambarkan pertentangan-pertentangan dalam penampilan fisik mereka sebagai bentuk instabilitas gender. Misalnya, ketika L menjelaskan dominansi sisi femininitas dirinya yang tampak dari pilihan-pilihan pakaian, aksesoris dan sepatu. Beda halnya ketika L merasa kurang menyukai berdandan, sehingga sisi maskulinitas dirinya lebih dominan dalam hal berdandan. Sebaliknya, Mithya justru sangat tidak ‘perempuan’ ketika berurusan dengan busana, sepatu dan aksesoris. L menjelaskan: “Rok untuk dipake harian itu adalah big no no buat Mithya. Paling kalo mau kondangan aja dia baru mau. … Mithya sekarang baru belajar pake sepatu2 cewek. Untuk harian dia masih setia ama Conversenya” (Lushka, “Mithya and Me” diakses Rabu, 10 Maret 2009). Pakaian berbentuk rok, bagi masyarakat kita, adalah pakaian bagi perempuan. Karenanya, lazim jika perempuan memakai rok sebagai penanda keperempuanan mereka. Buktinya, seragam sekolah hingga baju bekerja perempuan rat-rata memiliki pakaian bawahan berbentuk rok. Rok pun kemudian identik dengan simbol femininitas. Namun, M menampilkan bentuk lain dari pilihan penggunaan rok sebagai identifikasi gender dirinya. Bagi M, rok bukanlah pakaian sehari-hari yang merepresentasikan dirinya. Ia hanya menggunakan rok jika mengadiri acara resmi, misalnya resepsi pernikahan. Selanjutnya, dijelaskan pula jika M lebih menyukai menggunakan converse, merk sepatu jenis kasual yang biasanya dikenakan oleh laki-laki. Pada pilihan ini, M menunjukkan sisi maskulinitas dirinya. Maskulinitas M ditegaskan L dalam postnya yang lain, “Have I told you that mithya is very handsome ” ( Lushka, “Mamerin Pacar Ah…”
Ari Setyorini -- Performativitas Gender dan Seksualitas dalam Weblog Lesbian di Indonesia
diakses Sabtu, 28 November 2008). Penyebutan ‘handsome’ menjelaskan penampakan M yang ganteng mirip laki-laki secara fisik. Lebih lanjut, L menjelaskan penampilan M yang maskulin membuat beberapa teman L mengira M adalah pacar L, yang tentunya dalam anggapan mereka M adalah laki-laki. Penggambaran-penggambaran tersebut menunjukkan non konformitas M dalam menentukan pilihan-pilihan terhadap tampilan tubuh. Di satu sisi, ritual berdandan M menandakan gender femininitas dirinya, namun di sisi lain maskulinitas muncul dari pilihan M akan model pakaian dan sepatu yang cenderung manly. Non konformitas juga ditunjukkan M saat menjelaskan bahwa soul dirinya terlahir sebagai laki-laki, namun di sisi lain M juga melakukan ritualritual yang menandakan identitas keperempuannya. Meski L-M menempatkan diri mereka sebagai a refusal of a set identity atau tak berlabel, namun dari penggambaran penampilan fisik, L-M cenderung menunjukkan penampilan androgini dalam hubungan lesbian. Baik L maupun M melakukan pemilihan terhadap beberapa identitas feminin yang kemudian dikombinasikan dengan identitas maskulin. Pada akhirnya crisscrossing identitas tersebut membentuk identitas lain yang berbeda dari identitas normatif dalam masyarakat, identitas androgini. Melalui criss-crossing, seperti yang dilakukan oleh L-M, apa yang disebut identitas gender center yang normatif tersebut dipermain-mainkan. Bahwa individu dapat saja melakukan modifikasi dengan menampilkan gender act secara subversif seperti yang dilakukan L-M dalam penampilannya. M yang memiliki ritual berdandan, akan tetapi kurang menyukai penggunaan rok dan sepatu perempuan. L yang kurang suka memakai kosmetik, namun menyukai rok, sepatu dan aksesoris perempuan. Performansi gender act yang dilakukan oleh LM memang tak selamanya mulus. Terkadang mereka harus menerima ‘hukuman’ dari orang-orang di sekeliling mereka jika ternyata gender act yang mereka tampilkan
tidak sesuai dengan ‘lazimnya’. Misalnya ketika M menceritakan bagaimana dirinya harus menampilkan identitas gender yang selaras dengan penampilan sebagaimana normatif masyarakat. Diceritakan M, “… gue …ngga suka dengan acara resepsi pernikahan. Gue kayak alergi dengan bajubaju pesta perempuan. Setiap hadir di resepsi pernikahan gue bakal sesak napas dan mulai banjir keringat karena canggung. Gue pasti jadi pusat perhatian. Gimana ngga, Mithya yang tomboy dan kayak laki itu dateng dengan full make up dan dress cantik. … a lot of people said that I am beautiful kalo mau didandanin dan pakai baju feminin. But it’s just not me” (Mithya, “I Hate Wedding Reception” diakses Senin, 12 Oktober 2009).
M harus menampilkan pilihan-pilihan gender yang selaras sebagaimana yang dinormatifkan masyarakat jika sedang menghadiri resepsi pernikahan, meski hal tersebut membuat dirinya tidak nyaman. M menceritakan bahwa suatu saat dirinya mencoba berpenampilan tidak seperti yang dinormatifkan masyarakat terhadap gender perempuan ketika menghadiri acara resepsi. Kemudian, ternyata hal tersebut dinilai orang-orang sekitarnya sebagai sebuah hal yang tidak lazim, M ‘ditegur’ untuk penampilannya tersebut. Pada akhirnya, M harus ‘tunduk’ terhadap normativitas masyarakat akan keselerasan penampilan tubuhnya dengan gender: “Akhirnya gue harus menerima norma masyarakat yang satu ini. … For now Mithya harus dateng … mengenakan pakaian perempuan lengkap dan dandanan tebal, berusaha menjadi cewek-cewek kebanyakan di sekitarnya” (Ibid). Hal ini sesuai dengan apa yang disebut Foucault sebagai biopower. Masyarakat mengatur norma-norma tertentu untuk mengatur tubuh individu. Tubuh Mithya didisiplinkan melalui norma-norma masyarakat. M telah membuktikan bahwa, di balik ketundukan M terhadap keselarasan antara penampilan dan identitas ini, apa yang disebut sebagai gender perempuan hanyalah bentuk-bentuk impersonasi. M meniru tam127
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 119 - 131
pilan gender perempuan dengan mengikuti normatif masyarakat akan ‘kepantasan’, yakni berdandan dan berpakaian perempuan (rok) untuk acara-acara formal seperti resepsi pernikaha, meskipun sebenarnya diri M merasa tidak sesuai dengan tampilan tersebut. Namun, justru aksi tiru itu, membuat M dikategorikan sebagai perempuan dan akhirnya diterima oleh masyarakat. Karenanya, tak ada yang dapat disebut sebagai identitas asli, yang ada hanya bentukbentuk impersonasi yang diulang-ulang di bawah tekanan, melalui apa yang disebut sebagai larangan, penyebutan atas tabu (Butler, 1993: 95) atau apa yang dinyatakan sebagai pantas-tidak pantas.
Performativitas Aktivitas Seksual Post L-M dalam FD beberapa kali menggambarkan aktivitas seksual mereka sebagai partner lesbian. Seperti misalnya diceritakan oleh M: “I spread kissess along your lips, neck, then to your breast where I lingered, gently squeezing every each one of them. … my lips eagerly returned to you back, your neck, and my hand cupped each and one of your breast. … my hand between your thigh, touching you. Your legs opened for me, and I slip between them, thrusting deeply as I can into you. As I make love to you, your breathing became frantic. … suddenly you screamed out as I touched the right spot, and as I felt the trembling wrack of your body, the pleasure burst through me as well…” (Mithya, “While you sleep…” diakses Kamis, 7 Juni 2007)
Gambaran M tersebut menunjukkan aktivitas seksual mereka, mulai dari foreplay hingga aktivitas utama seks. Yang menarik, M menyebut seks oral sebagai aktivitas utama seks mereka, bukan sebagai foreplay. Hal ini menjadi kritik bagi konstruksi masyarakat yang menyebut aktivitas seksual di luar penetrasi adalah aktivitas seksual tambahan, aktivitas seksual pemanasan. Hal ini tampak dari pilihan kata ‘make love’ yang biasanya dikaitkan dengan aktivitas seksual penetratif, namun mereka gunakan untuk menggambarkan seks utama mereka, seks oral. 128
Bandingkan pemakaian diksi ‘make love’ (have sex) dengan ‘make out’. Diksi pertama acap kali diidentikkan dengan seksual penetratif, sementara diksi selanjutnya sering terkait dengan aktivitas seksual non penetratif, salah satunya adalah seks oral (Encarta Dictionary, 2008). Aktivitas seksual yang ditampilkan oleh L-M menggambarkan bahwa apa yang disebut pleasure dalam aktivitas seksual, sebenarnya tidak terpaku pada bineritas anatomi tubuh, vagina-penis. L-M menunjukkan bahwa pleasure dalam seksualitas dapat terjadi bahkan pada dua anatomi tubuh yang sama, perempuan dengan perempuan, vagina dengan vagina. Salah satu hal terpenting dalam aktivitas seksual, yakni orgasme, dapat terjadi tanpa melibatkan perbedaan anatomi tubuh. Seperti yang dijelaskan M saat menggambarkan proses orgasme: “…you screamed out as I touched the right spot, and as I felt the trembling wrack of your body, the pleasure burst through me as well” (Ibid). Persoalan seksualitas bagi L-M adalah persoalan ketepatan menemukan spot yang benar, karenanya dapat dilakukan baik itu dengan sesama jenis, maupun berbeda jenis kelamin. Dipahami bahwa aktivitas seksual yang dianggap benar oleh masyarakat adalah aktivitas seksual prokreasi. Namun, selayaknya partnership lesbian yang lain, seksualitas bagi L-M tidak melulu diartikan sebagai aktivitas melestarikan keturunan karena mustahil bagi mereka untuk memperoleh keturunan secara biologis dari partner mereka. Variasi aktivitas seksual, seperti handjob, seks oral, dan seks di tempat umum, dilakukan oleh L-M lebih karena hasrat seksual itu sendiri. Apa yang dilakukan L-M dengan melakukan kombinasi terhadap identitas gender-seksualitas dengan tidak menjalankan keduanya sebagaimana normativitas masyarakat, sesuai dengan apa yang disebut Butler (1990: 36-37) sebagai pastiche. LM melakukan perpaduan terhadap identitas gender feminin-maskulin dan seksualitas perempuan dan laki-laki. Melalui cara
Ari Setyorini -- Performativitas Gender dan Seksualitas dalam Weblog Lesbian di Indonesia
ini L-M melakukan mockering terhadap apa yang disebut sebagai masyarakat sebagai normativitas gender dan seksualitas utama. Seksualitas bagi L-M bukanlah persoalan dikotomisasi anatomi tubuh atau pula perkara halal-haram, tapi lebih pada pleasure itu sendiri.
Blog sebagai Media Resistensi Penyebutan L-M mengenai diri mereka yang tak terkategorikan, nyatanya masih juga berpola pada pengelompokan sifat-sifat feminin dan maskulin. Disebutkan oleh L bagaimana sisi feminin M atau komentar M mengenai tuntutan masyarakat untuk bersifat feminin karena bodily sex mereka adalah perempuan, merupakan bukti bahwa dalam dunia nyata mereka tidak pernah bisa melepaskan kategorisasi feminin dan maskulin. Namun, L-M menyadari benar bahwa dalam dunia online mereka dapat bermain-main dan memanipulasi identitas yang dilekatkan pada mereka. L menjelaskan bahwa dirinya memiliki dua blog, satu blog digunakan untuk menampilkan sosok manipulatif dirinya sebagai straight, sementara FD mereka gunakan untuk mengekpresikan represi atas identitas mereka di dunia nyata. Blog, bagi FD kemudian menjadi media untuk melakukan coming out. Melalui blog, coming out menjadi sebuah momen liberasi, di mana lesbian mampu membuka dirinya kepada orang lain dengan identitas yang berbeda dari identitas mereka di dunia nyata. Kelebihan blog untuk membebaskan mereka mengatur isi serta apa saja yang dapat ditampilkan pada blog mereka. Praktik ini memberikan keleluasaan pada L-M untuk memoderas. Hal ini memberikan autoritas penuh pada L-M terhadap performansi mereka. Mereka tidak lagi harus kuatir dengan coming out yang biasanya jika di dunia nyata diikuti dengan ‘ceramah-ceramah’ akan dosa praktik homoseksualitas. Seperti yang digambarkan oleh L-M: “di blog satu-satunya tempat gue mengobati rasa terkekang gue di dunia nyata.” Hal tersebut menggambarkan betapa dalam du-
nia nyata, lesbian tidak dapat mengekpresikan identitas mereka karena batas-batas apa yang masyarakat sebut sebagai norma ketimuran, tidak memungkin bagi mereka untuk menyebut diri sebagai lesbian. Sebagaimana yang disebutkan Foucault, bahwa subyek menyadari diri mereka sebagai individual yang terbagi-bagi secara seksual, yang selanjutnya menganalisa perilaku seksual mereka tersebut atas dasar moralitas (Mills, 2003: 87). Blog melepaskan dari justifikasi tersebut dan mampu membangun justifikasi baru terhadap heteronormativitas yang ada dalam masyarakat Indonesia. L-M mereproduksi identitas diri mereka menjadi dua identitas yang berbeda sesuai dengan space yang mereka hadapi, atau mempresentasikan ilusi untuk memberikan impresi identitas yang benar terhadap audience tertentu jika menyitir pendapat Erving Goffman (Gauntlett, 2002). Identitas ganda yang mereka tampilkan berdasarkan impresi identitas ‘benar’ yang diharapkan audience, membuat L-M menampilkan identitas illusi dalam dunia off line agar tidak dianggap liyan oleh masyarakat heteroseksual. Sementara, mereka menampilkan identitas lain sebagai lesbian pada dunia online karena anonimitas yang diberikan oleh dunia tersebut membuat mereka leluasa menarasikan diri dengan mereproduksi identitas ilusi di dunia off line dan membentuk identitas baru di dunia anonimitas. Hal ini sejalan dengan ide Foucault (1990 dan 1986) atas teknologi diri, di mana dijelaskannya bagaimana diri bertindak terhadap praktik ethics, standar yang menjadikan diri sebagai sosok tertentu guna digambarkan kepada khalayak. Narasi diri sebagai lesbian pada weblog ini sebagai teknologi berstrategi yang memungkinkan subyek untuk memilih bagaimana hendak menampilkan diri mereka, berbeda dengan narasi yang diproduksi oleh diskursus heteroseksual. Di sini diketahui bahwa subyek adalah aktif, tidak sebagaimana konsep Althusser mengenai agen yang hanya berperan sebagai wayang yang menerima perannya karena tekanan dari apartus-aparatus. 129
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 119 - 131
SIMPULAN Narasi diri pada weblog merupakan sebuah ‘pengakuan dosa’, sebagaimana diceritakan Foucault dalam History of Sexuality bagaimana gereja memberlakukan pengakuan dosa akan seksualitas individu. Namun, berbeda dengan Foucault yang menilai pengakuan dosa tersebut sebagai sebuah hal negatif, narasi diri pada weblog ini malahan menunjukkan bagaimana agen-agen dapat mentranformasikan identitas gender lesbian sebagai identitas yang berbeda dari anggapan normatif. Berbeda dengan konsep agen Althusser di mana tiap agen seolaholah hanya melakoni perannya sebagai wayang dari aparatus-aparatus ideologi dominan, Foucault melalui teknologi diri dan perfomativitas Butler menyebut agen memiliki kemampuan untuk melakukan ‘speaking back’ ini sebagai strategi. Agen memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan yang dilingkupi dengan pengetahuan. L-M memiliki kuasa untuk mereproduksi narasi diri mereka melalui ‘pengakuan dosa’, yang justru melawan anggapan negatif atas diskursus heteroseksual. Melalui FD, L-M sebagai agen tahu dengan benar apa yang mereka lakukan, juga paham benar bagaimana normativitas sosial masyarakat dan aturan main di mana mereka dapat melakukan pengakuan dengan keluar dari kloset di weblog, speaking back terhadap homofobia dengan mereproduksi diskursus normatif.
DAFTAR PUSTAKA Alimi, M. Yasir, 2004, Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: dari Wacana Bangsa hingga Wacana Agama, Yogyakarta: LkiS. Althusser, Lois, “Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation)” dalam Kellner, Douglass (ed.), 2006, Media and Cultural Studies, Cornwall: Blackwell Publishing Ltd. Barker, Chris, 2008, Cultural Studies: Teori dan Praktik (terjemahan Nur Hadi), Yogyakarta: Kreasi Wacana. 130
Beasley, Chris, 2005, Gender & Sexuality: Chritical Theories, Critical Thinkers, London: Sage Publication. Butler, Judith, 1990, Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity, London dan New York: Routledge. --------------------, 1993, Bodies That Matter, New York: Routledge. --------------------, 1993, “Critically Queer” dalam GLQ: A Journal of Lesbian and Gay Studies, 1. Bryson, Mary, 2004, “When Jill Jack in Queer Women and the Net,” Feminist Media Studies, Vol. 4, No. 3, New York: Routledge. Boellstroff, Tom, 2003, “Dubbing Culture: Indonesian Gay and Lesbi Subjectivities and Ethnography in Already Globalized World” dalam jurnal American Ethnologist, Vol. 30, No. 2. Fairclough, Norman, 1989, Language and Power, London & New York: Longman. Foucault, Michel, 1978, The History of Sexuality: An Intorduction, Voume 1, Terjemahan dari Histoire de la Sexualite. New York: Random House Inc. -------------------- , 1990, The Use of Pleasure: Volume 2 of the History of Sexuality, New York: Vintage Books. --------------------, 1986, The Care of The Self: Volume 3 of the History of Sexuality, New York: Pantheon Books. Gauntlett, David, 2002, Media, Gender and Identity, New York: Rountledge. Jagose, Anamarie, 1996, Queer Theory, Melbourne: Melbourne University Press. Kadir, Hatib Abdul, 2007, Tangan Kuasa dalam Kelamin, Yogyakarta: Insist Press. Kellner, David, 1995, Media Culture, New York: Routledge. Mills, Sarah, 2003, Michel Foucault, London dan New York: Routledge.
Ari Setyorini -- Performativitas Gender dan Seksualitas dalam Weblog Lesbian di Indonesia
Mitra, Rahul dan Radhika Gajjala, 2008, “Quuer Blogging in Indian Digital Diasporas: a Dialogic Encounter” dalam Journal of Communication Inquiry, Vol.3, No.4, London: Sage Publication. Rubin, Gayle, 1984, ‘Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuality’ dalam C.Vance (ed.), Pleasure and Danger: Exploring Female Sexuality, Boston: Routledge & Kegan Paul. Salih, Sarah, 2002, Judith Butler, London dan New York: Routledge. Sedgwick, Eve, “Between Men: English Literature and Male Homosocial De-
sire,” dalam Beasley, Chris. Gender & Sexuality: Chritical Theories, Critical Thinkers, London: Sage Publication. 2005. Welhmeier, Sally (ed.), 2010, Oxford Advance Learner’s Dictionary, 7th Edition, New York: Oxford University Press. William dalam Mitra, Rahul dan Radhika Gajjala, 2008, “Quuer Blogging in Indian Digital Diasporas: a Dialogic Encounter” dalam Journal of Communication Inquiry, Vol.3, No.4, London: Sage Publication.
Sumber Lain: http://www.frieddurian.blogspot.com/
131
Ririt Yuniar, Irwan Abdullah, Timbul Haryono, dan G.R. Lono Lastoro Simatupang -- Kode Etik Jurnalistik dalam Praktek Foto-Jurnalisme: Kasus Kampanye Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia
KAWISTARA VOLUME 1
No. 2, 17 Agustus 2011
Halaman 103-212
KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PRAKTIK FOTOJURNALISME: KASUS KAMPANYE PEMILIHAN PRESIDEN 2009 DI INDONESIA Ririt Yuniar Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Irwan Abdullah, G.R. Lono Lastoro Simatupang Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Timbul Haryono Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT Journalistic photos appear on newspaper for news purposes. In many cases, there are many parties having interested in using the mass media for their vested interest. Regarding the photo uses for individual interests, the photos of the candidates of President and Vice-President in the 2009 election in Indonesia were examples of the photo uses containing symbols of photos manipulated and presented in public sphere. Hence, the photos also reflected power relations within the society which is full of interests. This study attempts to describe that the photojournalistic appearing on the media during the 2009 election time were intensively used by the candidates who were also the modal owners. The photos were not presented as they were but rather composed as requested by the candidates for the purposes of image building. For some reasons including media survival in the global era with high competition and pragmatic motivations, some media have shown that they lose their “independency.” This study also shows that journalistic photos could record the existence of values and interests in those appearing on newspaper. The campaign of 2009 election of President and Vice President of Indonesia which was framed in journalistic photos is a social reality indicating a drama analogy and performance. Keywords: Code of Ethics, Journalistic Photo, Campaign of Election of the President, Indonesia
ABSTRAK Foto-foto jurnalistik hadir dalam media cetak (koran) untuk sebuah pemberitaan. Dalam banyak kasus, disadari atau tidak, ada pihak-pihak yang berkepentingan menggunakan media sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan tertentu. Hal itu tampak pada foto-foto calon presiden pada pemilu 2009 yang merefleksikan simbol-simbol yang diangkat, ’dimanipulasi’, dan kemudian dihadirkan ke publik. Di samping itu, foto tersebut merefleksikan hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat yang sarat dengan kepentingan-kepentingan. Dalam studi ini ditunjukkan bahwa foto jurnalistik telah dimanfaatkan secara intensif oleh pemilik modal yang juga calon-calon presiden dan wakil presiden. Foto-foto mereka tidak ditampilkan apa adanya dalam surat kabar, tetapi dikomposisikan sesuai dengan tujuan dan citra yang ingin dibangun oleh para calon. Dalam tekanan kelangsungan hidup media yang berat, dan dalam dunia yang berubah menjadi lebih pragmatis, serta kompetisi yang semakin ketat antarmedia, maka media secara perlahan kehilangan sifat “independennya”. Media hidup dari pesanan-pesanan dan dari hal-hal yang sederhana berupa iklan hingga pesanan nilai, dan kepentingan yang diusung oleh hadirnya suatu surat kabar. Dengan demikian, foto sebagai media mampu merekam serangkaian nilai dan kepentingan. Kampanye pemilihan presiden 2009 yang dibingkai dalam foto merupakan realitas sosial yang tampak analog dengan drama sosial dan dengan suatu performance. Kata Kunci: Kode Etik, Foto Jurnalistik, Kampanye Pemilihan Presiden, Indonesia
145
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 145 - 153
PENGANTAR Foto-foto jurnalistik hadir dalam media cetak (koran) untuk sebuah pemberitaan. Dalam banyak kasus, disadari atau tidak, ada pihak-pihak yang berkepentingan menggunakan media sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan tertentu. Hal itu dikarenakan media mempunyai kekuatan untuk menaikkan citra positif seseorang di tengah masyarakat luas. Visualisasi tokoh dalam berbagai format foto jurnalistik saat kampanye pemilihan presiden, misalnya, telah menjadi instrumen penting yang memperlihatkan betapa sentralnya peranan foto jurnalistik di dalam-nya. Melalui foto jurnalistik, tokoh dan partai dihadirkan dengan apik serta dibungkus secara rapi dengan satu tujuan, yakni me-narik massa konstituen atau pemilik suara (voter preference) sebanyak-banyaknya. Lewat foto itu juga mereka membentuk opini publik akan pihak yang paling benar dan paling pantas dipilih untuk memimpin negara. Goffman meletakkan realitas politik seperti di atas dalam kerangka performance studies. Ia menjelaskan, bahwa kehidupan sosial politik dapat dipahami sebagai rangkaian pertunjukan yang terkait pada suatu pemahaman bahwa yang paling terlihat tentang kehidupan manusia terletak pada bagaimana kita melihat yang tampak di permukaan (Schechner, 2002: 175). Pemikiran Goffman itu menarik untuk alat analisa dalam studi foto jurnalistik pada kampanye pemilihan presiden 2009 di Indonesia. Studi ini mengkaji foto pemilu presiden 2009 sebagai sign yang merefleksikan dua hal. Pertama, foto merupakan refleksi nilainilai dalam simbol-simbol yang diangkat dan ’dimanipulasi’ serta dihadirkan ke publik. Kedua, refleksi hubungan kekuasaan dalam suatu masya-rakat yang sarat dengan kepentingan-kepentingan. Dengan cara ini diharapkan akan diperoleh pemahaman tentang bagaimana foto sebagai media mampu merekam serangkaian nilai dan kepentingan, dan menjadi landasan dalam penataan sosial yang lebih baik. Tidak hanya persoalan teknis permukaannya saja, tetapi juga kedalaman mak146
na yang berkaitan dengan elemen pendukung reproduksi seperti nilai-nilai ataupun latar belakang media baik secara ideologi maupun kreativitas fotografer, menjadi elemen pembentuk reproduksi tersebut. Perhatian pada pose, pencahayaan, setting latar layaknya persiapan sebuah pertunjukan (performance) dilakukan oleh politisi dan fotografer. Foto jurnalistik kampanye pemilu yang mengangkat realitas kehidupan itu juga dapat dikatakan sebagai performance. Kampanye pemilihan presiden sebagai realitas sosial yang dianalogikan sebagai drama sosial ini merupakan suatu performance yang dibingkai dalam bentuk foto jurnalistik. Foto jurnalistik sebagai karya visual mampu merekam atau mengabadikan sebuah peristiwa atau realitas yang dibingkai (frame) dengan nilai, estetika dan etika fotografi. Proses pembing-kaian (framing) membuktikan bahwa suatu peristiwa itu benarbenar terjadi dalam suatu kerangka kultural dan struktural yang sangat mempengaruhi pembentukan maknanya. Hadirnya suatu foto bukan hanya sebagai sebuah produk, tetapi juga sebagai suatu konstruk yang di dalamnya termuat berbagai gagasan dan nilai yang dapat menjadi petunjuk tentang keberadaan dan berlakunya sesuatu dalam suatu masyarakat. Kajian atas foto kemudian memberikan peluang yang terbuka bagi pemahaman yang saksama tentang suatu gejala sebagai constructed reality.
PEMBAHASAN Kontroversi Idealisme vs Komersial Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan suatu media sangat terikat pada sumber pembiayaan. Beberapa media mengalami kesulitan yang tidak jarang telah berujung pada kesejahteraan karyawan yang rendah yang menciptakan iklim kerja yang berbeda. Sumber finansial ini pula yang menentukan orientasi dari media karena perbedaan tentang idealisme dan pragmatisme dimulai dari sini. Pentingnya modal bagi keberlangsungan hidup koran dan media massa, ternyata juga memainkan peran dalam mempengaruhi pemberitaan yang dimuat di koran bersangkutan.
Ririt Yuniar, Irwan Abdullah, Timbul Haryono, dan G.R. Lono Lastoro Simatupang -- Kode Etik Jurnalistik dalam Praktek Foto-Jurnalisme: Kasus Kampanye Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia
Menurut Bourdieu, modal yang mencakup hal-hal material dan simbolik berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat di dalam suatu sistem pertukaran, yang kemudian merepresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam formasi sosial tertentu. Modal, lanjut Bourdieu, merupakan basis dominasi. Beragam jenis modal dapat ditukar dengan jenis modal lainnya, sehingga modal juga bersifat ‘dapat ditukar’. Penukaran paling hebat yang telah dibuat adalah penukaran pada modal simbolik, sebab dalam bentuk inilah bentuk-bentuk modal yang berbeda dipersepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang legitimate . Agar dapat dipandang sebagai seseorang atau kelas yang berstatus dan memiliki prestise, berarti ia juga harus diterima sebagai sesuatu yang legitimate, dan terkadang sebagai otoritas yang legitimate. Posisi semacam itulah yang kemudian membawa serta kekuasaan untuk memberi nama (untuk kelompok tertentu), kekuasaan untuk mewakili kesepakatan umum (common sense), dan yang terpenting adalah kekuasaan untuk menciptakan ‘versi dunia sosial yang resmi’ (Bourdieu, 1985). Peran pasar dan pemilik modal dalam pemberitaan seputar kampanye capres 2009 secara gamblang terungkap dalam focus group discussion (FGD) di kantor Antara pada 5 Agustus 2010. Seorang peserta dari media cetak nasional menyatakan bahwa ketika sudah mengerucut tiga tokoh, ada proses briefing untuk mengutamakan satu calon tertentu demi kepentingan institusional. Proses briefing yang dilakukan oleh atasan dan diteruskan kepada editor yang selanjutnya menugaskan wartawan dan fotografer, adalah salah satu bukti intervensi pasar dan pemilik modal terhadap content berita media terkait. Jika mereka tidak mematuhi itu, besar kemungkinan para stakeholder akan berpikir ulang untuk menanamkan modal lagi di sana. Dengan nada yang sama, peserta lain menyatakan adanya campur tangan dan kepentingan pasar serta pemilik modal yang bermain dalam pemberitaan, sehingga para
redaktur dan editor harus dengan jeli melihat mana berita yang memiliki nilai jual yang baik di antara berita yang lain. Dengan demikian tampak bahwa karakter suatu media tidak terlepas dari sumber pembiayaan media yang mengalami transformasi dari waktu ke waktu. Pada awalnya, suatu media tumbuh dengan kekuatan-kekuatan ideologis yang perlu diperjuangkan. Pada saat itu, surat kabar lebih merupakan suatu alat perjuangan untuk mencerdaskan dan menguatkan fungsi edukasi serta tumbuhnya kekuatan masyarakat sipil (civil society). Pada proses perubahan selanjutnya, surat kabar lebih sebagai alat bisnis yang nilai-nilai komersialnya telah menjiwai isi surat kabar dengan hal-hal yang bersifat pragmatis. Sifat pragmatis yang kemudian dilekatkan pada media, tentunya tidak bisa dilepaskan dari kredo bahwa bad news is good news (berita yang buruk akan menjadi baik dan menjual bagi media). Selain dipengaruhi oleh faktor pemilik modal dan kepentingan pasar, content yang terlihat pragmatis tersebut juga bisa muncul karena pilihan media untuk bersikap aman, alih-alih bersuara keras terhadap pemerintah. Sebagai contoh, ketika pemerintah dinilai membuat sebuah keputusan yang tidak layak, ada beberapa koran yang dengan tegas langsung menunjukkan sikap kontra, namun di sisi lain, ada juga yang memilih untuk ‘membungkus’ ketidaksetujuan itu dengan hal yang lebih netral. Pernyataan Andre (bukan nama sebenarnya) dari The Jakarta Post (TJP), dalam hal ini menarik disimak pernyataan Andre dalam sesi FGD yang dilakukan di kantor berita Antara pada tanggal 5 Agustus 2010: “Pengusaha-pengusaha biasanya akan merapat ke penguasa incumbent. Tapi TJP tetap memberikan sesuatu yang netral. Kita memberitakan dan menampilkan suatu foto untuk kita sampaikan ke masyarakat. Masyarakat akan membacanya dan mereka bisa melihat kita belok ke kiri atau kanan. Kalau kita netral, kita sudah pasti aman. Saat era Presiden Soeharto, TJP berita politiknya lebih aman dibandingkan media-media lokal. Kita menulis kritik terhadap Cendana, TJP aman, kare-
147
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 145 - 153
na pembaca tidak terlalu banyak. Dibandingkan Media Indonesia, Kompas, Tempo atau Republika, mereka mengritik sedikit, puspen TNI langsung menelepon redaksi masingmasing.”
Akan tetapi Andre tidak menampik bahwa pengusaha dan eks-patriat – selaku pembaca TJP – akan lebih memilih dekat kepada penguasa incumbent. Hal itu pulalah yang dirasa turut mempengaruhi arah pemberitaan TJP yang cenderung netral dan tidak memojokkan satu pihak tertentu. Koran ini ingin tetap mempertahankan citra sebagai koran bagi ekspatriat yang tidak terlalu keras mengritik pemerintah. Namun, tanpa disadari, hal itu juga yang membuat fungsi pemberitaan tidak berjalan dengan kritis. Ketika harusnya mereka bisa menyampaikan kritik terhadap pemerintah, namun mereka memilih untuk berpihak pada kepentingan komersial yakni mempertahankan pembaca. Mengambil contoh pada peristiwa liputan kampanye pilpres 2009 silam, bahwa partai besar akan menarik massa besar, dan dengan demikian akan menjadi berita yang menarik pula. Tetapi ketika sudah di tingkat institusi, persoalannya tidak lagi semudah mencari partai yang melakukan kampanye besar-besaran. Walaupun fotografer dan redaktur memiliki idealisme mana foto yang bagus dan memenuhi standar jurnalisme serta fotografi, tetapi ketika atasan tidak mengizinkan, maka foto yang sudah dipilih itu harus diganti dengan yang lain. Ditolaknya foto itu bisa dikarenakan alasan pragmatis, yakni kepentingan komersial saja.
Negosiasi Foto “Jurnalisme Pesanan” Kurator foto Oscar Matullah senantiasa mengingatkan bahwa “agama” seorang fotografer jurnalisik adalah profesionalitas, sehingga secara menyeluruh dedikasi dan intelektualitas menjadi poin penting. Fotografer jurnalis sebaiknya mampu memahami komentar dan berbagai persoalan yang ada diliput sebagai data yang independen. Ideologi yang mereka pegang sebaiknya memihak pada masyarakat umum. Seorang 148
fotografer tidak lain merupakan perantara yang menyuarakan kepentingan publik, khususnya pada saat masyarakat harus berhadapan dengan penguasa. Pada kenyataan riil di lapangan sebuah pemberitaan, terutama foto jurnalistik, menjadi hal yang sangat memprihatinkan jika telah luntur etika dan moralitas insan media. Hal ini dapat terjadi jika idealisme para fotografer menjadi menipis dikarenakan tuntutan finansial yang kurang memadai di masing-masing institusi. Oleh karenanya, tidak jarang foto dalam peristiwa kampanye pilpres yang lalu terlihat sebagai “pesanan” dari pihak tertentu yang berafiliasi dengan media bersangkutan. Dari sanalah muncul anggapan bahwa fotografer serta jurnalis bisa “dipesan” untuk melayani kepentingan pencitraan pihak-pihak tertentu. Dalam sesi FGD tanggal 5 Agustus di kantor berita Antara, Andre menyatakan: “Pemred dan managing editor pasti meminta semua foto yang ada. Kita tunjukkan frame yang sekiranya cocok untuk institusi. Untuk foto-foto yang subjektif atau pribadi di-keep.
Meskipun fotografer bisa mendapatkan gambar atau foto yang menarik serta memiliki nilai berita di lapangan, namun foto tersebut tidak serta merta bisa naik cetak. Ada kuasa dari pemimpin redaksi dan editor pelaksana yang akan meminta semua foto hari itu untuk kemudian diseleksi frame yang cocok dengan institusi. Fotografer tentu tidak bisa protes begitu saja ketika foto mereka tidak dimuat, karena mereka bekerja di bawah institusi yang juga diselimuti dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan modal. Jika fotografer tetap bersikeras dengan frame yang telah mereka ambil, bisa jadi mereka akan mendapat sanksi dari kantor dan kehilangan pekerjaan mereka. Halhal seperti itulah yang kemudian membuat citra jurnalis dan fotografer lekat dengan kata “pesanan”. Dalam tekanan kelangsungan hidup media yang berat di satu sisi, dan dalam dunia yang berubah menjadi lebih pragmatis, serta kompetisi yang semakin ketat antarmedia, maka media perlahan kehilangan si-
Ririt Yuniar, Irwan Abdullah, Timbul Haryono, dan G.R. Lono Lastoro Simatupang -- Kode Etik Jurnalistik dalam Praktek Foto-Jurnalisme: Kasus Kampanye Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia
fat “independennya”. Media hidup dari pesanan-pesanan dan dari hal-hal yang sederhana berupa iklan hingga pesanan nilai, dan kepentingan yang diusung oleh hadirnya suatu surat kabar. Dalam contoh kasus pemilihan presiden 2009, foto jurnalistik telah dimanfaatkan secara intensif oleh ketiga calon presiden dan wakil presiden. Foto-foto calon tidak hanya ditampilkan apa adanya dalam surat kabar, tetapi juga dikomposisikan sesuai dengan tujuan dan citra yang ingin dibangun atas kehadiran seorang tokoh. Dalam berbagai foto tampak bahwa usaha mencapai tujuan-tujuan politik cenderung dilakukan dengan memanfaatkan simbol-simbol yang mudah dipahami oleh publik, seperti simbol agama, etnis, dan kelas sosial. Foto kampanye pemilihan presiden bisa dilihat sebagai sebuah pertunjukan (performance) drama sosial dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dikatakan Schechner, bahwa politisi, aktivis, pengacara, bahkan teroris menggunakan teknik-teknik performance (memakai panggung atau podium, cara berbicara, menyapa audiens, cara berdiri, memakai setting tertentu) dengan tujuan untuk mendukung tindakan mereka. Ia menyatakan: The politician, activist, lawyer, or terrorist all use techniques of performance – staging, ways of adressing various audiences, setting, etc. – to present, demonstrate, protest, or support spesific social actions (Schechner, 2002: 68).
Hal tersebut dapat dianalogikan bahwa politisi merupakan aktor yang bermain dalam panggung sosial drama. Tindakantindakan mereka dalam kampanye pemilihan presiden berperan aktif dalam pembentukan konstruksi realitas atas citra diri mereka, yang dibekukan melalui still image oleh praktisi media untuk tujuan pemberitaan. Foto yang dimuat di media massa merupakan bentuk visual culture yang dapat dibaca melalui berbagai perspektif termasuk dalam konteks ini adalah perspektif budaya visual. Membaca foto sebagai still image yang merekam kegiatan politik melalui budaya visual dapat dilakukan salah satunya de-
ngan melihat representasi positif atau negatif. Membaca foto berarti melihat perbedaan image serta fungsi ideologi, media dan budaya mereproduksi dominasi sosial dan diskriminasi (Van der Veer, 2000). Dalam konteks ini, dapat dimengerti bahwa performance dalam perspektif politik dapat dilihat dari empat dimensi. Pertama, menyangkut hubungannya dengan kekuasaan. Kedua, menyangkut hubungan antara performance dengan ideologi, yaitu ba-gaimana performance mereproduksi, memungkinkan, melanjutkan, menantang, menentang, mengritik dan menetralkan ideologi. Ketiga, menyangkut hubungan performance dengan hegemoni yaitu bagaimana pertunjukan secara simultan mereproduksi dan meresistensi atau menolak hegemoni. Keempat, menyangkut hubungan pertunjukan dengan dominasi, yaitu bagaimana performance mengakomodasi dan mengontestasi dominasi (Conquergood, 2003: 19). Kampanye pemilihan presiden sebagai sebuah realitas sosial yang mewujud dalam drama sosial merupakan sebuah bentuk performance. Realitas tersebut mengalami transformasi tingkat pertama yang mewujud dalam sebuah performance. Kemudian, performance tersebut mengalami transformasi tingkat kedua dan mewujud dalam karya sebuah foto. Ada transformasi realitas ke dalam sebuah performance atau drama sosial yang kemudian mengalami transformasi pada tingkat selanjutnya dalam bingkai foto.
Mekanisme Pemberitaan Foto Jurnalistik di Media Mekanisme yang dimaksudkan di sini adalah suatu bentuk proses, prosedur, atau metode pemberitaan dari media yang digunakan sebagai standardisasi sistem pemberitaan itu sendiri. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Brian McNair (1994: 39-58) terdapat tiga pendekatan yang menjelaskan isi media yang merupakan substansi berita. Pertama, pendekatan ekonomipolitik, yang berpendapat bahwa isi media 149
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 145 - 153
lebih ditentukan oleh kekuatan ekonomi dan politik. Mekanisme produksi media dilihat sebagai bagian integral dari relasi ekonomi dan struktur produksi sehingga pola dan jenis pemberitaan ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang dominan dalam media. Kedua, pendekatan organisasi. Melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Berita dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada dalam ruang redaksi. Dalam hal ini maka kerangka ideologis redaktur menjadi salah satu faktor penentu dari kualitas pemberitaan, yang berkaitan dengan kebenaran dan kebijakan check and balances dari berita. Dengan kata lain, produksi berita adalah mekanisme keredaksian semata, setiap organisasi berita mempunyai pola dan mekanisme sendiri untuk memberitakan suatu peristiwa. Mekanisme itu bersifat internal dan tidak ditentukan oleh kekuatan di luar media. Media dianggap otonom dalam menentukan apa yang boleh atau tidak boleh, buruk atau tidak buruk, dan layak atau tidak layak untuk diberitakan. Kecenderungan ini berbeda dengan mekanisme pemberitaan oleh media-media di Indonesia yang juga mempertimbangkan kekuatan dari luar seperti segmen pasar dan cara mempertahankan diri di dunia media agar tetap survive dan establish seperti yang diungkapkan oleh redaktur Kompas pada 18 September 2010 sebagai berikut: “Untuk bisa seperti sekarang ini, penggunaan bahasa dan cara yang lebih santun dan tidak radikal menjadi pilihan oleh para redaktur di media tersebut…”
Ketiga , pendekatan kultural. Proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit dan lebih melibatkan faktor internal media (rutinitas organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal di luar media. Mekanisme yang rumit itu ditunjukkan dengan bagaimana meliput sebuah peristiwa dalam pemberitaan harus melalui perdebatan sengit di ruang redaktur, di samping terdapatnya pengaruh ekonomi-politik di luar media yang tidak bisa dianggap re150
meh begitu saja. Masing-masing media memiliki sistem dan mekanisme pemberitaannya sendiri. Mekanisme pemberitaan dalam Koran Tempo dapat dijadikan contoh di sini. Cara kerja bagian foto di Koran Tempo adalah: pertama, fotografer memotret berdasarkan penugasan yang diberikan oleh Koordinator Foto Tempo News Room (TNR) atau dari periset foto yang mengerjakan sesuai dengan rubrik atau halaman bidang yang dikerjakan. Kedua, prosesnya bisa saja redaktur halaman atau reporter yang mengerjakan rubrik tertentu meminta foto untuk kepentingan halaman atau tulisannya lalu meminta fotografer ke redaktur foto koran, koordinator foto TNR atau periset foto. Ketiga, yang berhak membagi penugasan adalah koordinator foto, karena dia yang paling tahu siapa saja fotografer yang bertugas pada hari itu. Periset foto memberikan daftar yang harus difoto ke koordinator foto. Keempat, periset foto di Koran Tempo memegang beberapa halaman dan rubrik tertentu yang tugasnya mencari foto yang sesuai yang dibutuhkan pada hari itu untuk penerbitan besok. Kelima, periset foto, koordinator foto, atau redaktur foto wajib memberikan informasi yang diperlukan fotografer agar memotret sesuai dengan yang diperlukan. Jika memungkinkan diberi konsep pemotretan untuk rubrik-rubrik tertentu. Keenam, redaktur foto yang bertugas selain memegang beberapa halaman juga bertanggung jawab atas foto halaman satu dan quality control pada semua foto yang tampil di koran. Di samping foto pesanan, terdapat proses lain yang dapat dipaparkan sebagai berikut: Pertama, perencanaan dibuat pada malam hari berdasarkan perencanaan liputan untuk besok atau berdasarkan undangan yang diterima redaksi. Penugasan dan undangan dipilih sesuai dengan kebutuhan, nilai beritanya, serta kemungkinan mendapatkan visual yang menarik. Informasi itu bisa juga inisiatif dari fotografernya sendiri untuk meliput berita. Kedua , malam itu penugasan diberikan kepada fotografer. Ke-
Ririt Yuniar, Irwan Abdullah, Timbul Haryono, dan G.R. Lono Lastoro Simatupang -- Kode Etik Jurnalistik dalam Praktek Foto-Jurnalisme: Kasus Kampanye Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia
tiga, pada rapat perencanaan pagi, rencana dimatangkan lagi, mana yang akan dimuat di berita utama, halaman depan atau halaman dalam. Jika ada perkembangan baru maka petugas piket dari bagian foto menginformasikan kepada koordinator foto TNR untuk menugaskan fotografer untuk meliput. Keempat, tidak menutup kemungkinan setiap saat penugasan bisa berubah sesuai dinamika berita yang terjadi saat itu. Kelima, fotografer yang meliput mengirimkan foto by email, kemudian dimasukkan ke jaringan intranet agar bisa diakses oleh semua pengguna di Tempo. Tentu saja setelah diedit oleh koordinator foto atau petugas piket. Keenam, pada rapat sore dilakukan pemilihan berita mana yang untuk halaman depan dan mana yang dalam. Bagian foto menawarkan foto-foto yang diperoleh saat itu. Jika visualisasi yang ditampilkan bukan dalam bentuk foto utuh, misalnya ilustrasi atau infografis, maka redaktur foto harus menyiapkan foto-foto yang dibutuhkan untuk melengkapinya. Ketujuh, redaktur foto dan periset memeriksa foto dan keterangan foto apakah sudah sesuai dengan halamannya. Untuk kriteria foto layak di Tempo sebetulnya sama dengan kriteria penilaian fotojurnalistik pada umumnya: tentu saja foto harus mempunyai nilai berita yang tinggi disertai dengan kualitas fotografis yang bagus, misalnya komposisi, teknis fotografi, ketajaman, pencahayaan dan sebagainya. Jika secara kualitas kurang baik, setidaknya nilai berita yang tinggi dan eksklusif menjadi pilihan utama untuk dimuat. Foto yang baik juga jika keterangan fotonya lengkap. Jika tidak, maka foto itu tidak akan dimuat karena rawan kesalahan (Hasil wawancara dengan redaktur foto Tempo tanggal 22 September 2010). Terlepas dari kualitas dan standar foto secara teknis, berbagai aspek muncul dalam proses produksi foto hingga dilansirnya sebuah pemberitaan foto jurnalistik. Jiwa dan ideologi serta platform dari suatu koran sangat menentukan foto yang nantinya akan dipilih oleh redaktur untuk dimuat. Aspek
pemihakan dan kepentingan-kepentingan merupakan suatu yang terlibat dengan jelas, otoritas individu dalam tim redaksi hadir tidak begitu tegas dibandingkan otoritas lembaga tempat mereka bekerja. Jika merujuk pada model framing Zhongdag Pan dan Gerald M. Kosicki, model ini berkaitan dengan pertama , sintaksis yaitu cara penyusunan berita yang pada dasarnya di masing-masing media memiliki kemiripan proses penyusunan berita. Kedua , skrip yaitu cara mengisahkan fakta (5W, 1H) pada tahap ini pun semua insan pers juga melakukannnya dengan memperhitungkan unsur 5W, 1H baik itu dalam pembuatan caption untuk foto maupun penulisan berita; Ketiga , tematik yaitu berkaitan dengan cara penulisan atau perekaman fakta; penulisan dan perekaman fakta ini memiliki prinsip dasar yang kuat sesuai dengan kode etik yang ada serta ketentuan dari media masing-masing. Ada semacam standardisasi dari masing-masing industri media. Keempat, retoris yaitu cara menekankan fakta. Dalam hal cara menekankan fakta, mereka cenderung memakai platform yang dimiliki masing-masing media. Analisis framing dalam hal ini merupakan suatu pendekatan di dalam pengelolaan data untuk menghasilkan suatu pemahaman yang lebih tajam atas data.
SIMPULAN Kecenderungan pemanfaatan media oleh partai-partai politik atau tokoh-tokoh politik dalam rangka pemenangan suatu pemilihan ditentukan oleh perubahan sistem politik yang bersifat desentralistik, yang karenanya dibutuhkan satu mode komunikasi yang lebih penetratif dengan masyarakat. Pemanfaatan media untuk tujuantujuan politik kemudian melahirkan dilemadilema tersendiri. Telah terbina satu jalinan kerjasama antara media dengan negara dan pasar, karena proses politik tidak hanya merupakan sebuah kegiatan negara tetapi juga merupakan kegiatan yang melibatkan stakeholders, seperti pasar dengan orientasi komersialnya.
151
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 145 - 153
Dalam proses semacam ini, tampak bahwa idealisme media dengan segala pilihan nilainya mulai tergadaikan. Media tidak bisa mengisolasi dirinya dari perkembanganperkembangan kapitalisme yang berlangsung di Indonesia yang tantangan media untuk survive menjadi semakin besar. Dalam konteks semacam ini, tidak jarang terjadi media menjadi alat propaganda politik tokoh-tokoh dan partai-partai politik. Fungsi edukasi publik seringkali terabaikan dalam peran media terhadap kelembagaan pers dan masyarakat. Foto jurnalistik dalam hubungannya dengan media tersebut telah menjadi hal penting untuk mencapai tujuan-tujuan politik dalam satu pemilihan khususnya calon presiden. Foto jurnalistik tidak hanya memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan nilai-nilai tentang tokoh atau partai, tetapi juga memadatkan serangkaian pesan yang dapat dibaca oleh publik tentang tokoh yang terlibat di dalam pemilu. Hal ini disebabkan oleh kemampuan fotografi di dalam mewakili begitu banyak nilai dan pesan sekaligus secara persuasif. Foto dalam media cetak, dengan demikian, selain telah dibingkai oleh frame yang diciptakan fotografer, juga dibingkai dengan sebuah konteks yang akan mengarahkan pembaca pada maksud yang dituju oleh media. Hal tersebut sejalan dengan proses kontruksi realitas dalam media, media merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi pemikiran pembaca atas hal-hal yang diberitakan. Fotografer dan tim redaksi dapat dikatakan sejajar dengan peran kurator pada seni rupa. Merekalah yang menciptakan konsep dan tema yang akan ditampilkan pada pembaca, yang pada puncaknya turut berpengaruh terhadap foto yang ditampilkan di media yang bersangkutan. Kedudukan dan fungsi foto kemudian ditentukan oleh bagaimana kurator mendefinisikan foto untuk ditampilkan. Dengan demikian, meskipun kerja fotografer berbasis pada teknik dan kreativitas, namun fotografer jurnalistik memiliki basis kreativitas yang berbeda dengan fo152
tografer seni. Pada diri fotografer jurnalistik, kreativitas mereka ditentukan oleh pasar (market based orientation). Hal-hal seperti permintaan pasar, berita seperti apa yang akan menarik minat pembaca, akan berpengaruh terhadap ideologi media bersangkutan, dan pada akhirnya akan berimbas pada gambar yang dihasilkan oleh fotografer. Walaupun dipengaruhi pasar, namun fotografer jurnalistik tidak sepenuhnya kehilangan kreativitas. Ia akan melakukan kompromi dengan tujuan agar ‘membentuk’ pasar yang akan memakai karya fotonya. Kompromi tersebut misalnya dengan sinkronisasi idealisme yang dimiliki dengan kepentingan dan atau permintaan pasar.
DAFTAR PUSTAKA Bourdieu, Pierre (ed.), 1977, Algérie 60, Paris: Les Editions de Minuit. -----------------, 1992, An Invitation to Reflexive Sociology, Chicago: University of Chicago Press. -----------------, 1995, Outline of a Theory of Practice, Cambridge: Cambridge University Press. Conquergood, Dwight, 1991, “Rethinking Ethnography: Towards a Critical Cultural Politics”, Communication Monographs 58, 179-194. McNair, Brian, 1994, News and Journalism in the UK: A Textbook, London and New York: Routledge. Schechner, Richard, 2003, Performance Studies: An Introduction, London: Routledge. -----------------, 2003, Performance Theory, London: Routledge. Van der Veer, R dan Valsiner J 2000, The social mind: Development of the idea, Cambridge, MA: Cambridge University Press. Yuniar, Ririt, 2009, “Representasi foto jurnalistik kampanye Pilpres 2009” dalam Irwan Abdullah et al. (ed.), Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer, Yogyakarta: Tici Publications & Pustaka Pelajar.
Ririt Yuniar, Irwan Abdullah, Timbul Haryono, dan G.R. Lono Lastoro Simatupang -- Kode Etik Jurnalistik dalam Praktek Foto-Jurnalisme: Kasus Kampanye Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia
-----------------, 2009, “Otentisitas dan Manipulasi dalam Dunia Fotografi: Suatu Analisis Ruang dan Waktu”, Timbul Har-
yono et al. ( ed.), Seni dalam Bentuk, Ruang dan Waktu, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
153
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 154 - 167
KAWISTARA VOLUME 1
No. 2, 17 Agustus 2011
Halaman 103-212
HUMAN SECURITY DALAM NEGARA DEMOKRASI: PERSPEKTIF MEDIA STUDIES Kazan Gunawan Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI)
Irwan Abdullah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Heru Nugroho Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT The aim of this article is to explain the relation between human security and media studies when looking at the problem of security in Indonesia, a country experiencing a process of democratization. In the media studies, human security problem has been coveraged by media only as discourses and news without relating it with human security problem. Connecting human security and media becomes very important because media has a very important role in constructing the public and State’s opinion. This article analyses the news in the media and gives also the context about the State and the problems related to human security. It is concluded that media has a very big role when talking about human security because it has economic, political and cultural interest. Keywords: Human Security, Media, Democratic State
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan keterkaitan antara keamanan manusia atau human security dengan kajian media atau media studies dalam melihat persoalan keamanan di Indonesia sebagai negara yang sedang menuju proses demokratisasi. Dalam kajian media, masalah-masalah keamanan manusia seringkali diberitakan tetapi lebih menekankan pada aspek analisis wacana atas peristiwa tanpa menghubungkannya dengan persoalan keamanan manusia. Menghubungkan human security dengan media menjadi penting karena media berperan besar sebagai pembentuk opini masyarakat dan negara. Kajian ini dilakukan dengan cara menganalisis berita di media, memberi konteks tentang negara dan masalahmasalah yang menjadi pokok dalam keamanan manusia. Simpulan yang ditarik antara lain adalah bahwa media sangat berpengaruh dalam kajian keamanan manusia karena memiliki pelbagai kepentingan, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Kata Kunci: Keamanan Manusia, Media, Negara Demokrasi
154
Kazan Gunawan, Irwan Abdullah, dan Heru Nugroho -- Human Security dalam Negara Demokrasi: Perspektif Media Studies
PENGANTAR Dalam sepuluh tahun terakhir situasi Indonesia terus mengalami dinamika politik yang luar biasa. Setelah konstelasi politik nasional mengalami perubahan secara cukup signifikan, dari sistem pemerintahan otoritarian menjadi pemerintahan yang demokratis, kehidupan politik berlangsung secara dinamis. Artikulasi politik masyarakat terus menguat yang diekspresikan dalam bentuk unjuk rasa menuntut berbagai kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.Apa saja yang mengusik kepentingannya, warga masyarakat begitu cepat bereaksi dan kemudian melakukan demonstrasi turun ke jalan, yang tidak jarang menjurus pada tindakan anarkis. Pemahaman tentang konsep keamanan nasional juga mengalami perubahan mengikuti konteks dan dinamika perkembangan masyarakat. Secara konvensional, pemahaman terhadap konsep keamanan nasional cenderung dikaitkan dengan situasi peperangan, kontes militer, atau parade kekuatan bersenjata untuk menghadapi suatu pertempuran terbuka. Ancaman dinilai bersifat pendudukan wilayah serta adanya ekspansi asing atau perang teritorial. Pemahaman tersebut menjadi identik perang dengan tendensi pengerahan seluruh kekuatan rakyat yang dipersenjatai untuk menyambut sebuah peperangan akbar (Nef, 1999; Thomas, 2000). Dalam pemahaman kontemporer, konsep keamanan nasional secara konvensional tersebut mulai terasa kurang relevansinya, bukan saja karena peperangan teritorial secara terbuka menguras biaya dan korban yang banyak, tetapi juga memeras energi moral dan psikologis warga negara. Pemahaman tersebut juga tidak sesuai lagi dengan kondisi faktual perkembangan peperangan generasi keempat (4thGW) yang mengisyaratkan format keamanan nasional tidak lagi bersifat linier (battlefield) tetapi bersifat spasial yang besar (battlespace), yakni penggunaan ruang-ruang yang ada dalam konteks sosial, politik, dan kultural dalam kehidupan kemasyarakatan. Media, misalnya, dapat ditempatkan dalam ruang
ini. Penyiaran berita tentang persoalan keamanan nasional di media, seperti konflik etnik, klaim suatu wilayah oleh negara asing serta terorisme merupakan ruang (battlespace) yang dimaksud. Dalam ruang media inilah keamanan nasional menjadi ajang kontestasi dari sisi politik, sosial, dan kultural. Pemaknaan baru terkait persoalan keamanan nasional pada masa kini muncul menggantikan konsepsi dan pemahaman tradisional-konvensional tentang kemanan nasional. Keamanan nasional tidak dapat dipisahkan dari perkembangan nilai dan tatanan global yang dapat melahirkan krisis dan ancaman (Thomas, 2000: 8). Pada masa kini, persoalan keamanan nasional memiliki pula dinamisme yang kompleks dengan merujuk pada definisi kontemporer. Persoalan terorisme misalnya, yang menjadi masalah keamanan nasional masa kini di Indonesia dan dunia dapat menjadi contoh bagaimana persoalan ini melibatkan pula persoalan discourse yang luas. Penangkapan teroris yang disiarkan lewat media membuktikan wacana baru battlespace selain battlefiled antara yang berwenang dengan para teroris. Masalah keamanan nasional tidak hanya menjadi persoalan negara tetapi seluruh masyarakat dengan peran media menjadi agen-agen baru yang terlibat dalam membangun kembali konsep keamanan nasional ini. Media menjadi kekuatan baru yang turut mengkonstruksi mindset khalayak terhadap konsep keamanan nasional dan bahkan mampu membentuk bangunan dan menggerakkan kekuatan sosial. Kendati media dapat diletakkan sebagai suatu institusi ekonomi, tetapi diskursus seputar media tidak sesederhana membincangkan institusi ekonomi yang lazimnya bergerak dalam sektor produksi, komodifikasi, distribusi dan konsumsi. Media memiliki kekuatan menyebarkan, mempromosikan, mempengaruhi, mengubah bahkan membentuk berbagai konstruksi sosial (Fairclough, 1995). Kekuatan inilah yang acap menjadi sorotan dan topik dalam studi media. Persoalan keamanan nasional dengan 155
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 154 - 167
demikian mengalami pendefinisian kembali oleh media. Ada definisi-definisi dan realita-realita baru yang diketengahkan oleh media ketika memotret persoalan keamanan nasional. Keamanan nasional menjadi lebih luas dan meliputi aspek-aspek yang lebih luas pula menyangkut persoalan yang beragam pula, mulai dari human trafficking, terorisme, dan persoalan human security secara luas. Pada konteks keamanan nasional yang sangat spesifik dalam penelitian ini, media juga dapat diletakkan sebagai pilar penjaga keamanan dan pertahanan nasional. Sebagaimana dalam hal menjaga keamanan dari bencana alam misalnya, negara juga memiliki tanggungjawab konstitusional untuk memberikan jaminan rasa aman dari bahaya bencana alam. Pada pertengahan bulan Oktober hingga pertengahan November 2010 terjadi peristiwa bencana alam yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pada tanggal 26 Oktober 2010, terjadi erupsi eksplosif Gunung Merapi dengan mengeluarkan awan panas dan memiliki jarak luncur hingga 4 km. Kemudian erupsi eksplosif yang lebih besar terjadi lagi pada tanggal 4 November 2010 dengan mengeluarkan awan panas yang jarak luncurnya mencapai 7 km. Atas pertimbangan tersebut, maka representasi dan konstruksi media televisi atas realitas di seputar bencana erupsi Gunung Merapi menjadi menarik diangkat menjadi topik studi ini. Nilai urgensinya menjadi semakin tinggi ketika media pada era liberalisasi media seperti sekarang ini mengalami perubahan secara signifikan dalam perilakunya. Melalui analisis wacana kritis, menarik diketahui bagaimana relasi antara media dan negara pada era liberalisasi media sekarang ini. Oleh karena itu, tulisan ini berpotensi untuk menemukan teori baru dalam kasanah studi budaya dan media. Selama tahun 1980-an, latar belakang teoretis dalam studi media berubah secara signifikan. Sejumlah pendekatan baru un156
tuk mempelajari media bermunculan, dan pendekatan-pendekatan baru inilah yang kini menjadi varian utama studi media (Sardar, 2008: 52). Beberapa pendekatan baru itu antara lain studi institusional, struktural, dan poststrukturalisme. Pendekatan institusional penekanannya terletak pada faktorfaktor yang mengatur hubungan di dalam organisasi dan menjaga keseluruhan struktur. Isi dan keluaran media dijelaskan sebagai hasil dari interaksi di antara berbagai anggota organisasi media. Sementara itu gagasan struktural tentang media didasarkan pada semiotika dan dekonstruksi, yaitu suatu model analisis filosofis yang berhubungan dengan tulisan Jacques Derrida. Gagasan mendasar dalam studi ini adalah pada sistem dan proses-proses signifikasi (penandaan) dan representasi. Studi media kaum strukturalis juga dihubungkan dengan reformulasi ideologi dari filosof Marxis dari Perancis, Louis Althusser. Sejak dekade 1970-an, kombinasi Marxisme Althusserian dengan semiotika memberikan daya dorong utama bagi penelitian berkelanjutan terhadap teks-teks media. Sedangkan pendekatan poststrukturalisme lebih berhubungan dengan teori-teori psikoanalisis dan peran dari penikmat dalam memproduksi dan meregulasi makna. Oleh karena itu, hubungan teks-teks dengan subyek diteorisasikan. Subyek di sini bukanlah subyek Althusser atau Marxisme tradisional, tetapi merupakan subyek yang kontradiksionaris dan tidak berpusat, berpindah-pindah di sepanjang jangkauan wacana di mana subyek berpartisipasi (Sardar, 2008: 58). Kedua, perspektif yang dikemukakan oleh Lazarsfeld yang membedakan antara perspektif kritis dan orientasi administratif. Asumsi yang dikembangkan adalah, menutut teori kritis memfokuskan dan menggarisbawahi problem-problem dan kesalahan praktek media dan hubungan mereka dengan isu-isu sosial yang dipandu oleh nilainilai tertentu. Teori-teori terapan bertujuan memanfaatkan dan memahami proses komunikasi untuk menyelesaikan problem praktis dengan menggunakan komunikasi
Kazan Gunawan, Irwan Abdullah, dan Heru Nugroho -- Human Security dalam Negara Demokrasi: Perspektif Media Studies
massa secara efektif (Windahl dan Signitzer, 1991, dalam McQuail’s, 2005: 12). Ketiga, berusaha membedakan dengan istilah pendekatan “media sentries” dan “sosio-sentris”. Asumsi yang dikembangkan adalah, menurut teori media sentris melihat media sebagai penggerak utama dalam perubahan sosial, mendorong kemajuan dengan perkembangan teknologi komunikasi yang tak terbendung. Sedangkan teori sosio-sentris asumsi utamanya bahwa media sebagai refleksi kekuatan ekonomi dan politik. Dengan demikian teori media menjadi lebih merupakan bagian kecil dari teori sosial yang lebih luas (Golding dan Murdock, 1978 dalam McQuil’s, 2005:13). Sedangkan ditinjau dari dimensi dan tipe-tipe teori media, dibedakan menjadi empat pendekatan utama yang dapat diidentifikasi menurut dua dimensi: mediasentris versus sosio-sentris; kulturalis versus materialis. (1) Perspektif kulturalis-media yang memberikan perhatian utama terhadap isi media dan bentuk serta penerimaan subyektif pesan media dipengaruhi oleh lingkungan personal terdekat; (2) Perspektif media-materialis yang menekankan aspek organisasional, finansial, dan teknologi media; (3) Perspektif sosial-kulturalis yang menekankan pengaruh faktor-faktor sosial pada produksi media dan penerimaan serta fungsi-fungsi media dalam kehidupan sosial; dan (4) Perspektif sosialmaterialis yang melihat media dan isi utamanya sebagai refleksi dari kekuatan politik dan ekonomi, sertra refleksi kondisi (McQuill’s, 2005: 14). Stuart Hall misalnya, telah menjelaskan proses itu melalui teori Encoding and Decoding in the Televisual Discourse. Dalam model komunikasi televisual dari Hall, sirkulasi makna dalam wacana televisual melewati tiga momen yaitu tahap encoding, wacana yang bermakna, dan decoding. Dalam momen encoding realitas mentah yang terdapat di masyarakat telah mengalami proses seleksi oleh praktisi media yang dipengaruhi oleh kerangka pengetahuan, hubungan produksi, dan sarana teknis. Realitas mentah yang
telah berproses pada tahap encoding itu kemudian dilempar ke publik dalam bentuk wacana yang bermakna, yang ini merupakan momen kedua. Kemudian wacana yang bermakna itu sampai ke khalayak masuk dalam momen decoding. Di sini programprogram televisi yang sampai pada khalyak kembali mengalami proses pemaknaan berdasarkan kerangka pengetahuan, hubungan produksi, dan sarana teknis dari para pemirsa (Hall, 1973). Sementara itu Shoemaker dan Reese (1991) berasumsi bahwa politik representasi media memberikan penegasan bahwa dalam memproduksi realitas, pihak media sudah menciptakan konstruksi serta sudut pandang tertentu terhadap realitas sosial yang dihadapi. Semua ini terjadi dalam tatanan bersifat hierarkis serta berlangsung simultan melalui berbagai mekanisme mulai dari sikap, kepentingan, dan latar belakang keyakinan praktisi media hingga pemilik dan sistem pemerintahan di mana media itu berada. Beberapa asumsi politik representasi media adalah: bahwa apa pun yang ditampilkan media bukanlah cermin realitas sosial; persoalan utamanya justru terletak pada bagaimana media menyajikan kembali realitas sosial yang dilaporkannya; dan representasi yang dijalankan media berarti menghadirkan lagi berbagai fakta dan apa yang dianggap sebagai realitas sosial. Oleh karena itu dalam politik representasi media senantiasa mempertanyakan: bagaimana representasi realitas sosial dalam media dapat dibandingkan dengan realitas sosial yang “nyata”?; representasi merupakan hasil seleksi yang bersifat sangat beragam. Bergantung kepentingan yang ada di baliknya, sehingga pasti ada realitas yang disembunyikan; media tidak mungkin mampu berfungsi sebagai cermin realitas, karena keterbatasan ruang dan waktu yang tersedia; klaim “nyata” dan “benar” itu menurut konstruksi siapa? Pandangan konstruksionis meyakini bahwa tidak ada representasi yang nyata dan benar, tergantung konstruksi siapa. 157
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 154 - 167
PEMBAHASAN Media, Masyarakat, dan Ideologi Hubungan antara masyarakat, kebudayaan dan media massa sangat erat, karena keberadaan ketiganya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena itu banyak teoretikus dan perspektif teori yang berusaha menjelaskan hubungan media massa dan masyarakat, serta budaya. Pada kenyataannya banyak teori media berhubungan dengan baik kebudayaan maupun masyarakat, dan juga berusaha menjelaskan keduanya. Para teoritisi dan perspektif teori utama yang terus berkembang untuk menjelaskan caracara media bekerja dan menguraikan produksi budaya yang tipikal. Penjelasan teoretik tentang hubungan antara kebudayaan dan masyarakat dalam kaitannya pula dengan media massa, berkisar pada asumsi struktur sosial mempengaruhi kultur, dan sebaliknya kultur mempengaruhi struktur sosial. Dalam upaya menjelaskan hubungan antara media, masyarakat, dan budaya, Rosengren (1981b) berusaha membuat tipologi sederhana dalam tabulasi silang yang menunjukkan proposisi berlawanan: “struktur sosial mempengaruhi kebudayaan”; dan sebaliknya, “kebudayaan mempengaruhi struktur sosial”, sebagaimana dapat dilihat dalam diagram berikut.
Struktur sosial mempengaruhi struktur Yes
No
Interdependesi (pengaruh dua arah)
Idealisme (pengaruh media kuat)
Materialisme (Media tergantung
Otonomi (tidak ada hubungan sebab akibat
Terdapat dua model kekuatan media, yang keduanya saling bertentangan, yaitu model media dominan dan media pluralis. Model media dominan melihat media sebagai yang menggunakan kekuatan atas nama lembaga-lembaga kuat. Organisasi media, dalam hal ini dimiliki dan dikontrol oleh sekelompok kecil yang memiliki kepen158
tingan. Model ini senantiasa mengkritik pada sistem kapitalis yang menggunakan media sebagai instrument imperalisme budaya dan hanya sebagai alat propaganda oleh kelompok dominan. Sementara itu model pluralis berasumsi bahwa media mempuyai ruang untuk tumbuh, sehingga media menjadi banyak dan masing-masing independen. Menurut Lull, perkembangan teori kebudayaan dan komunikasi kritis dewasa ini telah mengarahkan perhatiannya pada ideologi, kesadaran, dan hegemoni. Ketiga konsep tersebut saling berhubungan dan saling berkait satu sama lain, dengan masing-masing mempunyai peran dan penekanannya sendiri-sendiri yang unik. Seluruh konsep-konsep tersebut akan didiskusikan dalam buku ini. Untuk mengenalkan konsep-konsep itu, kita dapat mengatakan bahwa ideologi adalah sebuah sistem ide yang diekspresikan dalam komunikasi; sedangkan kesadaran adalah pokok atau totalitas perilaku, pandangan-pandangan, kepekaankepekaan yang dimiliki oleh individu atau kelompok; dan hegemoni adalah suatu proses di mana ideologi dominan ditransmisikan, kesadaran dibentuk, dan kekuasaan sosial dijalankan. Selain persoalan ideologi, hegemoni adalah kekuatan yang menunjukkan satu kelompok sosial tertentu mengontrol lainnya. Hal itu dapat merujuk pada saling ketergantungan asimetris dari hubungan politik, ekonomi, kebudayaan antarbangsa atau antarnegara (Straubhaar, 1991), atau perbedaan antar-kelas sosial dalam suatau negara. Hegemoni adalah dominasi dan subordinasi dalam arena relasi yang dikontrol oleh kekuasaan (Hall, 1985). Namun menurut Lull hegemoni lebih dari kekeuasaan sosial itu sendiri. Hegemoni adalah sebuah metode untuk untuk mencapai dan memelihara kekuasaan. Akan tetapi, dalam kenyataannya, ideologi dominan bukanlah kodekode yang menyatu. Media menunjukkan bahwa semua itu adalah bervariasi dan penuh kontradisi. Selanjutnya, efek representasi ideologi mediasi teknologi tidak dapat diprediksi de-
Kazan Gunawan, Irwan Abdullah, dan Heru Nugroho -- Human Security dalam Negara Demokrasi: Perspektif Media Studies
ngan mudah. Tak ada respons sosial yang seragam pada perspektif media yang diletakkan oleh media massa dan saluran informasi publik lainnya. Selama ideologi dominan ditanam secara hegemonik dan memberi kontribusi pada pembentukan kesadaran arus utama, kemanusiaan- sebagai individu, anggota khalayak, anggota keluarga, pekerja, mahasiswa, dan anggota kelompok sosial baik formal maupun non-formal menafsir danmenggunakan media (baik isi maupun bentuknya) sedikit banyak tentu saja tidak selalu sesuai dengan pesan penerima. Selanjutnya, ideologi bukan arus utama (kadang-kadang radikal) menyebar lewat media alternatif (media bawah tanah) dan juga membantu mengembangkan polapola sosial alternatif (kadang-kadang subversif). Oleh karena itu, ideologi, media, dan aktivitas sosial, semuanya meliputi wilayah kesesuaian dan kontestasi.
Media dan Konstruksi atas Realitas Persoalan konstruksi media dalam memotretkan masalah keamanan nasional sangat penting ditinjau dari beberapa teori yang mendukung. Persoalan konstruksi dalam hal ini merujuk pada teori konstruksi sosial realitas. Konsepsi konstruksi realitas sosial dapat diacu pada pemikiran Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociology of Knowledge (1966). Kerangka teori konstruksi realitas Berger dan Luckmann mengetengahkan terlebih dahulu pemisahan antara “kenyataan” dan “pengetahuan”. “Kenyataan” merupakan kualitas fenomena yang memiliki keberadaan (being), tidak tergantung oleh kehendak manusia, bahkan tidak dapat ditiadakan atau diciptakan oleh angan-angan sekalipun. Adapun “pengetahuan” merupakan kepastian bahwa fenomena sosial tersebut nyata (real) dan memiliki karakteristik dan kategori yang spesifik. Orang dapat berbeda memandang realitas karena mental dan pengetahuan sangat mempengaruhi yang bersifat riil. Namun demikian, hubungan antara yang riil dan pengetahuan sangat
erat. Bila pengetahuan diproses secara terusmenerus, ia dapat menjadi suatu realitas. Baik realitas maupun pengetahuan, keduanya berangkat dari gejala sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang terus-menerus berproses. Oleh karena itu, pemahaman terhadap gejala sosial ditemukan dalam pengalaman masyarakat. Terdapat kaitan yang erat antara realitas dan pengetahuan. Dalam kehidupan sosial, seperangkat pengetahuan yang diproses secara terus-menerus kemudian ditetapkan secara sosial sebagai suatu kenyataan. Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial dikonstruksi melalui tiga mekanisme: Eksternalisasi, yaitu pencurahan diri baik fisik dan mental setiap individu dalam dinamika masyarakat yang mengitarinya. Objektivasi, yaitu proses interaksi dan sosialisasi makna subjektif setiap individu terhadap makna subyektif individu lainnya. Atau dengan kata lain, hasil dari proses eksternalisasi individu tersebut menghasilkan realitas obyektif. Lewat proses objektivasi tersebut masyarakat menjadi suatu realitas sui generis. Internalisasi, yaitu menampilkan realitas objektif yang tertanam dalam individu atau pelaku sosial tadi akan disebarkan atau disosialisasikan pada individu atau pelaku sosial lainnya. Dalam tahap ini, kembali realitas objektif akan mengalami pemaknaan dan persepsi dari individu atau pelaku sosial lainnya. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan akan ditangkap kembali sebagai gejala realitas di luar kesadaran individu. Dalam perspektif ini, sebagian atau bahkan seluruh isi media dapat dikatakan merupakan hasil konstruksi. Akan tetapi, media juga memiliki kemampuan tertentu dalam menciptakan citra suatu realitas. Dari sinilah sebetulnya proses eksternalisasi dan internalisasi tersebut berlangsung. Isi media merupakan lokasi atau forum yang menampilkan berbagai peristiwa yang terjadi sehingga bagi masyarakat berfungsi untuk memperoleh gambaran atau citra realitas dan sekaligus nilai dan penilaian normatif terhadap realitas tersebut. Proses konstruk159
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 154 - 167
si realitas oleh media pada prinsipnya merupakan upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa. Karena pekerjaan media massa adalah “menceritakan” rangkaian peristiwa, maka seluruh isi media merupakan realitas yang telah mengalami proses konstruksi kembali. Pembuatan berita media massa pada dasarnya adalah penyusunan atau proses konstruksi kumpulan realitas-realitas sehingga menimbulkan wacana yang bermakna. Secara sederhana prosesi konstruksi media terhadap realitas tersebut digambarkan oleh Hamad (2003) sebagaimana berikut;
Menurut Pamela J. Shoemaker dan Stephen Reese (1996) pada dasarnya konstruksi berita oleh media merupakan sebuah kesatuan informasi verbal dan visual yang didistribusikan secara kuantitatif dan kualitatif di dalam media. Dalam hal ini, informasi yang disajikan oleh media dapat diukur secara kuantitatif dari unsur jumlah pemberitaannya. Sedangkan secara kualitatif dapat dilihat pada sebutan istilah atau pemakaian istilahnya atau berdasarkan persepsi dari khalayaknya (kualitatif). Namun demikian, kualitas suatu konstruksi dapat dilihat dari unsur objektivitas dan faktuali-
Gambar 1. Prosesi konstruksi media terhadap realitas 160
Kazan Gunawan, Irwan Abdullah, dan Heru Nugroho -- Human Security dalam Negara Demokrasi: Perspektif Media Studies
tas. Objektivitas dapat diukur dari media reality dan social reality. Sedangkan faktual, artinya berita memuat kebenaran berdasarkan fakta yang relevan dengan peristiwa. Oleh karena itu, kualitas suatu konstruksi ditentukan dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Shoemeker dan Reese (1996) menyebutkan berbagai faktor yang secara hirarkis dapat mempengaruhi isi media. Konstruksi atas realitas sebagaimana dikemukakan Berger dan Luckmann dalam konteks keamanan nasional berhubungan dengan media beserta dinamikannya. Realitas keamanan nasional secara formal seringkali dinyatakan secara tegas dalam sebuah paket undang-undang maupun dalam pengertian tersirat dengan menggunakan istilah lain seperti “keselamatan nasional”. Namun demikian, dapat juga dipahami dan diterima secara sosial melalui mekanisme konvensi. Secara historis, konsep keamanan nasional merujuk pada negara-negara yang terbentuk negara-bangsa (nation-state). Sebagaimana lazimnya karakter negarabangsa, di sini juga berlaku asas common sense, kepentingan nasional berada di atas kepentingan golongan maupun individu. Penelusuran lebih jauh terhadap konsep keamanan nasional dapat diusut pada awal mula perang yang bersifat massal dalam arti mengerahkan seluruh komponen kekuatan nasional diperkenalkan oleh Napoleon ketika melakukan penguasaan Eropa. Perang Napoleon dikenal dengan Levée en masse (perang semesta). Levée en masse versi perang Napoleon kemudian memberi inspirasi kepada Adam Robert untuk memilah negara bangsa (nation state) menjadi dua kelompok yaitu negara kesejahteraan (welfare state) dan Negara Bersenjata (armed state) . Secara garis besar negara kesejahteraan (welfare state) menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Negara kesejahteraan (welfare state) mengutamakan kesejahteraan
bagi rakyat/bangsanya. Perubahan orientasi ini ditegaskan oleh UNDP: “For most people today, a feeling of insecurity arises more from worries about daily life than from the dread of a cataclysmic world event. Job security, income security, health security, environmental security, security from crime, these are the emerging concerns of human security all over the world” (Thomas, 2000: 7).
Konteks ini telah melahirkan sikap penolakan perang secara meluas. Sedangkan negara bersenjata adalah negara yang mempersenjatai rakyatnya karena mereka dibayangi ketakutan akan invasi bangsa lain. Dari sinilah lahir konsep perang semesta dan konsep tentara rakyat. Perkembangan selanjutnya ada yang menyebutnya sebagai perang total (total war) konotasi yang lebih halus menyebutnya pertahanan total (total defence). Negara komunis menyebutnya dengan perang rakyat (people war) konotasi yang lebih halus menyebutnya pertahanan rakyat (people defence). Atas dasar gabungan berbagai teori-doktrin tentang perang itulah maka para pejuang kemerdekaan RI kemudian menyusun doktrin sendiri (doksen) yaitu doktrin pertahanan keamanan rakyat semesta (doktrin Hankamrata) dan dituangkan dalam suatu sistem yaitu Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) (Purwanegara, 2009). Konsep historis Hankamrata mengandaikan sistem pertahanan yang melibatsertakan rakyat secara menyeluruh dan menempatkan negara bukan sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan keamanan nasional. Oleh karena itu, negara bukanlah satu-satunya pihak yang dijadikan referensi bagi keamanan nasional dan kelangsungan suatu negara. Pengertian implisit yang terkandung di dalamnya adalah, walaupun pada prakteknya ada klasifikasi komponen kekuatan keamanan nasional seperti komponen dasar Rakyat Terlatih (Ratih), Komponen Utama TNI dan Komponen Khusus Perlindungan Masyarakat, Melihat frekuensi konflik yang terjadi semasa pemerintahan Megawati yang dilakukan oleh rakyat, mengindikasikan bah161
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 154 - 167
wa Ia kurang berhasil dalam membangun demokrasi secara substansial. Lemahnya kemampuan mengelola konflik di tubuh partainya sendiri, sehingga seringkali menimbulkan konflik di kalangan massa juga menjadi indikator ketidakberhasilan dalam meningkatkan kualitas demokrasi. Namun secara substantif roh Hankamrata tidak mengenal dikotomi kekuatan pertahanan keamanan nasional. Hal ini karena pada prinsipnya seluruh warga negara bertanggung jawab dan siap berjuang/berkorban demi menjaga keamanan nasional. Implikasi dari pemahaman ini berakibat pada meluasnya makna keamanan nasional. Keamanan nasional bukan lagi persoalan peperangan atau pertahanan segenap komponen negara baik kombatan maupun nonkombatan terhadap ancaman agresi atau serangan militer asing tetapi menyangkut keamanan dalam segala sektor yang mengancam kelangsungan kehidupan manusia. Dalam terminologi kontemporer, perspektif ini dikenal dengan human security (UNDP, 1994; Human Security Centre, 2005). Menurut Human Security Report 1994 (UNDP, 1994) setidaknya terdapat empat karakteristik, yang pada dasarnya merupakan asumsi pembentuk human security, yakni: (1) universalitas, bahwa human security bersifat universal, bersama atau relevan untuk semua orang di manapun; (2) human security memiliki karakter interdependen dalam arti bahwa tidak mungkin membatasi sebuah ancaman dalam batas-batas spasial atau temporal tertentu; (3) ancaman terhadap human security lebih optimal dilakukan dengan pencegahan daripada intervensi atau penanganan; dan (4) human security berorientasi pada manusia (people-centered), yakni bagaimana orang hidup dalam masyarakat, seberapa bebas mereka menentukan pilihan ataupun apakah mereka punya akses terhadap berbagai peluang yang ada. Jadi jelas, konsepsi keamanan nasional dalam arti human security harus memberi tekanan yang lebih kuat pada keamanan manusia atau masyarakat daripada ke162
amanan atau integritas negara. Sejalan dengan konsepsi ini Iorge Nef (1999) mengatakan bahwa: “Most important, though, is the question of whose security and whose interests are at stake, or, more specifically, of what the connection is between the abstract public, or “national,” interest and the specific and concrete interests of diverse national and international constituencies. Also needed is an understanding of the linkages between domestic and global concerns, above and beyond facile, dangerous, ethnocentric, and now outmoded ideological ciches” (Nef, 1999: 12).
Ketika definisi human human security tetap merupakan pertanyaan yang terbuka, di situ ada konsensus di antara para pengembang gagasan bahwa akan ada perubahan orientasi dari keamanan yang semula statecentered menjadi people-centered. Reorientasi ini mengandung makna bahwa berkembangnya human security menuntut adanya peran yang lebih besar dari masyarakat baik individu maupun komunitas untuk lebih mampu menjamin kebutuhan akan keamanannya. Meskipun human security merupakan public goods yang mempersyaratkan pada negara untuk memikul tanggung jawabnya, namun harus ada ruang yang cukup bagi individu untuk melaksanankan kewajibannya secara komplementer bersama masyarakatnya dan terlibat dalam keseluruhan prosesnya. Sejalan dengan itu MacFarlane dan Khong mengingatkan bahwa: Human security tidak hanya sebatas tantangan untuk melakukan perlindungan dan menjaminnya akan tetapi mencakup pula penguatan akan partisipasi mereka. Masyarakat bukanlah penikmat secara pasif dari pelayanan keamanan atau sebagai korban karena tiadanya jaminan keamanan, sebaliknya mereka adalah subyek yang aktif yang harus mampu berkontribusi secara langsung dalam mengidentifikasi dan mengimplementasi solusi terhadap masalah keamanan (MacFarlane dan Khong, 2006).
UNDP pada tahun 1994 mencoba mendefinisikan human security melalui pendekatan universal. Definisi tersebut bertolak dari prinsip umum bahwa manusia secara instinktif memahami apa makna security.
Kazan Gunawan, Irwan Abdullah, dan Heru Nugroho -- Human Security dalam Negara Demokrasi: Perspektif Media Studies
Mereka pada umumnya memaknai security sebagai surety—kepastian, safety—keselamatan, protection—perlindungan dari ancaman permanen seperti kelaparan, penyakit, kejahatan dan tindakan represif dari pihak lain. Security juga dimaknai sebagai perlindungan dari berbagai kesulitan dan kejadian menyakitkan dalam menjalani kehidupannya sehari-hari apakah ketika mereka berada di rumah, di lingkungan pekerjaannya, di lingkungan masyarakatnya atau di lingkungan kehidupan pada umumnya. Selanjutnya Komisi human security PBB pada tahun 2003, menyatakan bahwa esensi human security berarti jaminan keselamatan (safety) untuk umat manusia baik dari ancaman kekerasan maupun ancaman tanpa kekerasan, dengan perkataan lain mereka bebas dari ancaman yang serius (pervasive threat) terhadap hak-hak asasi mereka. Hal inilah yang mendorong timbulnya reorientasi terhadap makna security yang semula lebih terfokus pada keamanan teritorial atau keamanan negara menjadi lebih terfokus pada keamanan insani/individu/manusia.
Konteks Politik Wacana Negara Lemah Setelah Indonesia memasuki apa yang disepakati sebagai era reformasi, kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi pada negara dengan pelaku utama militer, birokrasi, dan kaum konglomerat yang ketiganya menjadi agen kekuatan kapitalisme global, maka muncul kekuatan baru yaitu elite parpol. Kemudian elite baru inilah yang kemudian menjadi kelompok-kelompok penekan yang mengontrol kebijakan negara melalui jalur politik di parlemen. Fenomena ini mengindikasikan bahwa perkembangan politik Indonesia mengalami pergeseran karakter dari negara korporasi ( corporatist state ), menuju organic state. Dalam negara seperti itu, konflik antarelite memanfaatkan momentum lemahnya negara, sehingga manajemen pemerintahan kian diwarnai oleh konfigurasi tarik-menarik kepentingan elite. Akibatnya berbagai persoalan mendasar, seperti kemiskinan, pengangguran massal, kesehatan masyarakat,
dan distribusi pendapatan tidak tertangani dengan baik, sehingga kredibilitas pemerintah cenderung menurun di mata rakyat. Di samping itu, pengelolaan terhadap masalahmasalah prostitusi, perjudian, narkoba, dan pornografi tidak dapat ditangani secara tuntas oleh pemerintah. Pada kurun waktu yang sama, berbagai bencana alam maupun akibat ulah manusia terus terjadi secara susul-menyusul yang diikuti oleh jatuhnya korban baik benda maupun manusia dalam jumlah yang besar. Mulai bencana gempa dan tsunami Aceh 2004, gempa bumi Yogyakarta 2006, semburan lumpur Lapindo Sidoarjo yang tidak kunjung mampat, gempa Padang, banjir bandang Wasior Papua, gempa dan tsunami Mentawai, dan terakhir erupsi Gunung Merapi yang disusul erupsi Gunung Bromo. Kemampuan negara dalam mengelola pemerintahan di bidang politik, ekonomi, dan sosial yang cenderung menurun berpengaruh terhadap citra diri negara di hadapan publik. Di tengah kebebasan ekspresi berpendapat pasca Orde Baru, media massa semakin leluasa menjalankan peranannya, terutama dalam melakukan kontrol sosial. Tak heran ketika apresiasi dan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara menurun, media massa menjadi tumpuah terakhir publik untuk mengambilperan sebagai alat kontrol dalam proses pengambilan keputusan. Kekuatan media untuk menggerakkan persepsi publik demikian besar. Hal itu tergambar dari setiap gempuran pemberitaan atas skandal atau isu yang melibatkan lembaga negara, sering disusul dengan hasil survei yang menunjukkan kemerosotan persepsi publik yang signifikan atas lembaga negara tersebut. Perubahan konstelasi politik dari otoritarian ke demokrasi membawa implikasi pola hubungan antara media massa, negara/pemerintah, dan publik. Jika sebelumnya negara sangat dominan terhadap kekuatan di luarnya, termasuk media massa, maka pada era reformasi media berada dalam posisi sejajar dan bahkan dalam situasi ter163
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 154 - 167
tentu lebih dominan. Di sinilah kemudian media televisi yang telah memiliki otonomi relatif terhadap negara, dengan leluasa mengkonstruksi negara yang ditampilkan dalam sosok besar tetapi rapuh, terutama pada saat menghadapi berbagai persoalan krusial yang berkaitan dengan fungsi melindungi warga dari gangguan keamanan. Terakhir, strukturasi berkaitan dengan relasi ide antaragen masyarakat, proses sosial dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai proses dimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras, dan gerakan sosial yang saling berhubungan. Gagasan tentang strukturasi ini pada mulanya dikembangkan oleh Anthony Giddens (Mosco, 1996: 212).
Konteks Politik Wacana Tentara Nasional Kuat Sebagaimana diuraikan dalam analisis praktik wacana pada bab sebelumnya, ketika mengekspose pemberitaan seputar penyergapan terorisme, anarkisme massa, dan bencana Gunung Merapi, TV One dan Metro TV juga mewacanakan militer lebih sigap dalam melakukan evakuasi korban. Representasi dan konstruksi wacana oleh televisi seperti ini memang berhubungan dengan kondisi sosio-kultural dan politik yang berkembang di Indonesia. Dengan kata lain, latar belakang historis dan sosiologis yang berkembang di Indonesia selama ini memang memposisikan militer cukup dominan dalam percaturan politik nasional. Dominasi politik militer mempunyai akar historis yang panjang sejak era kerajaan yang memberikan peran penting bagi kalangan prajurit. Dominasi militer tersebut mengalami puncaknya ketika Indonesia berada dalam pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto. Meskipun pada era pasca-Soeharto dominasi militer mulai surut, secara umum per164
sepsi bahwa militer layak menjadi pimpinan di berbagai bidang masih cukup signifikan. Beberapa Kepala Daerah, terutama di tingkat provinsi banyak yang dijabat oleh kalangan militer. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri juga seorang jenderal dan menjadi satu-satunya presiden yang terpilih secara langsung oleh rakyat dengan perolehan suara signifikan, sekitar 62 persen. Bahkan, ia juga terpilih kembali pada periode kedua 2009/2014 dengan perolehan suara yang signifikan pula. Peran militer hingga sekarang tetap penting sehingga di kalangan mereka sendiri tidak mau diabaikan untuk terlibat negara. Alasan utamanya adalah bahwa untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka terlalu riskan mengabaikan tentara. Lebih dari itu, memang harus diakui bahwa komitmen tentara terhadap NKRI dan dasar negara Pancasila adalah yang paling tinggi. Untuk itu, bagaimanapun tentara perlu mendapat tempat dalam manajemen pemerintahan, meskipun dalam konteks membangun demokrasi harus ditempatkan secara proporsional. Asumsinya bahwa jika tentara sudah bisa ditempatkan secara tepat dan proporsional dalam suatu bangunan sistem politik dan pemerintahan yang demokratis di masa depan, maka sejak awal tentara tidak akan merasa ditinggalkan dan diabaikan dalam menciptakan iklim kondusif bagi lancarnya proses transisi demokrasi. Dalam konteks hubungan sipil-militer di negara-negara berkembang ada beberapa model teoretik yang berupaya memberikan penjelasan. Finer (1992: 190) misalnya, menawarkan tiga pola pergeseran peran militer dalam masa transisi, yaitu abdication, civilianization, dan quasi-civilianization. Pada pola abdication, militer turun tahta dan mengabdikan diri sepenuhnya bagi profesionalisme. Sementara pola civilianization, militer memberi kesempatan kepada sipil untuk menduduki posisi kepala pemerintahan dengan dukungan militer. Pola quasi-civilianization, militer memberi kesempatan pada institusi sipil untuk muncul kembali. Sedangkan Ulf Sundhaussen menawarkan model:
Kazan Gunawan, Irwan Abdullah, dan Heru Nugroho -- Human Security dalam Negara Demokrasi: Perspektif Media Studies
(1) mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi masyarakat; (2) mempertahankan kekuasaan dan memperluas partisipasi masyarakat; (3) mengembalikan kekuasaan kepada sipil dan membatasi partisipasi; dan (4) mengembalikan kekuasaan kepada sipil dan memperluas partisipasi.
Konteks Sosio-kultural Wacana Mistis Khususnya yang berkaitan dengan peristiwa erupsi Merapi, konstruksi televisi terhadap korban yang tercermin dalam pemberitaannya, sebenarnya yang hendak digelindingkan adalah wacana mitologis yang masih berkembang subur dalam masyarakat. Konstruksi seperti itu jelas berhubungan dengan kondisi sosio-kultural masyarakat lereng Gunung Merapi yang berkultur Jawa. Sebagaimana masyarakat Jawa, karakter utamanya adalah mempercayai adanya mitos dan mistik. Pengalaman mistik dan manunggaling kawula-Gusti merupakan kata kunci yang senantiasa ada dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang masih berorientasi pada kebudayaan Jawa. Praktik mistik Jawa dan formulasi jalan mistik didasarkan pada doktrin mengenai kesempurnaan manusia. Menurut doktrin ini, manusia merefleksikan sifat-sifat Tuhan. Siklus kehidupan dan pengalaman mistik dipahami sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan dan kembali kepada esensi ketuhanan. Namun demikian, konsep ketuhanan bagi paham Jawa bukan saja bersifat transenden, melainkan juga imanen. Oleh karena itu, seorang raja misalnya, menurut paham Jawa juga merefleksikan sifat Tuhan sehingga konsep manunggaling kawula-gusti juga berlaku pada hubungan antara rakyat dan raja atau pemimpinnya. Dalam kebudayaan Jawa, secara praksis akan banyak dijumpai mitologisasi (memitoskan), sakralisasi (mengeramatkan), dan mistifikasi (memandang segala sesuatu sebagai misteri). Dalam buku primbon (orang Jawa menyebutnya sebagai kitab primbon) sangat sarat dengan ketiga unsur mistisisme Jawa tersebut. Dalam paham Jawa, ketiganya merupakan satu kesatuan dan tidak
bisa dipisah-pisahkan. Mitologi Jawa misalnya, berkembang mitos Sunan Kalijaga, tokoh spiritual yang sangat dihormati secara mistik, dan mitos Nyai Roro Kidul, ratu laut Selatan. Tentang sakralisasi, orang Jawa percaya akan kemanjuran doa di makammakam keramat, gunung, sungai, sendhang, dan senthong. Juga ada bentuk sakralisasi dalam upacara-upacara mitoni dan tedhak siti. Sedangkan mistifikasi terlihat pada kepercayaan orang Jawa terhadap hubungan keberuntungan atau kerugian dengan arah mata angin, tanggal, dan naga dina. Jika mengikuti proposisi Geertz (1974), bahwa kebudayaan bukan berada di antara pikiran-pikiran manusia, maka konsep utama Jawa, yaitu manunggaling kawula-gusti, mistisisme, harmoni atau keselarasan dan tentrem tersebut hingga kini ada dalam pikiran sebagian besar orang Jawa yang orientasi kebudayaan Jawanya masih kental. Atau jika Levy Strauss dalam bukunya Structural Anthropology (1968) menjelaskan bahwa struktur juga bersifat abstrak ada dalam pikiran manusia, maka konsep utama tersebut juga ada dalam struktur pikiran orang Jawa. Jika mengikuti pandangan strukturalis, maka tindakan individu orang Jawa dalam praktik kehidupan sehari-hari dipengaruhi oleh struktur kesadarannya tersebut. Dengan demikian, ekspresi atau tindakan budaya masyarakat Jawa sangat dipengaruhi oleh struktur kesadaran budayanya. Memang ada individu orang Jawa yang mampu menjadi aktor dan berupaya menyimpang atau bahkan mendekonstruksi konsep-konsep utama yang sudah terlembagakan tersebut. Akan tetapi orang-orang seperti ini, meskipun beretnis Jawa namun sudah tidak menjadi Jawa secara kebudayaan. Dengan perspektif tersebut, kiranya akan semakin memahami secara substantif tentang agama orang Jawa. Sebab jika tidak, orang akan dengan mudah terjebak dalam pehaman yang keliru dan dengan mudah menyimpulkan agama orang Jawa adalah Islam, meskipun secara kuantitatif memang demikian. Clifford Geertz telah berhasil de165
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 154 - 167
ngan baik ketika merekonstruksi praktik keberagamaan masyarakat Jawa, yang kemudian menemukan dua varian praktik keagamaan, yaitu abangan-priyayi dan santri. Geertz tanpa keraguan sedikit pun menyebut praktik keagamaan abangan-priyayi sebagai agama Jawi. Meskipun komunitas abangan dan priyayi pada umumnya mengaku memeluk Islam, tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak tampak mempraktikkan doktrin Islam. Bahkan secara substantif praktik-praktik spiritualnya sehari-hari, seringkali justru bertentangan dengan ajaran Islam, dan mereka melakukannya dengan kesadaran penuh dan mengaku memang berbeda dengan apa yang dianjurkan Islam. Dalam konteks bencana Merapi, warga di sekitar lereng Gunung Merapi mempercayai bahwa gunung tersebut memiliki penjaga, yaitu apa yang dikenal dengan Kyai Sapu Jagad. Mitos tentang penjaga gunung sama dengan mitos penjaga Laut Selatan, yaitu Nyai Roro Kidul. Mitos ini hidup dan berkembang hingga sekarang. Bagi warga yang percaya, akan melakukan ritual khusus untuk sesaji guna mencari keselamatan. Sebagaimana warga lereng Merapi, secara sosiologis daerah ini merupakan masyarakat yang berkultur agraris, menggantungkan hidupnya dari hasil budidaya pertanian baik sawah maupun perkebunan rakyat. Dari sisi politik, munculnya mitos-mitos tersebut sebenarnya merupakan produksi kalangan pengusa, dalam hal ini adalah keraton. Penciptaan mitologi adalah intrumen penting dalam tradisi kerajaan di Jawa demi meraih tujuan politik. Melalui mitologi, ia sekaligus menjadi alat untuk mengawasi rakyat agar terus tunduk pada kekuasaan keraton. Dengan menyebarkan ideologi penuh mistik, keraton terus membentuk kesadaran rakyat yang percaya bahwa semua kekuatan mistik tersebut memiliki hubungan dengan keraton. Pihak elite keraton dalam tradisi kekuasaan Jawa senantiasa membangun citra bahwa raja senantiasa memiliki otoritas untuk berkomunikasi dengan roh halus yang menjaga gunung dan laut Selatan. Citra bahwa hanya 166
raja yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan roh halus sangat penting bagi upaya kemapanan kekuasaan. Dengan cara tersebut, rakyat takut dan patuh kepada raja, bukan dengan cara dipaksa, tetapi melalui kesadaran. Proses ini sebenarnya mirip dengan hegemonisasi sebagaimana yang diajukan oleh Gramsi. Dalam perspektif gramsian ideologisasi yang membidik kesadaran adalah instrumen penting untuk menundukkan obyek. Dalam konteks ini pihak keraton sesungguhnya telah melakukan hegemonisasi pada rakyat lereng Merapi demi tujuan kemapanan kekuasaan.
SIMPULAN Dengan paparan diatas dapat kita katakan bahwa persoalan keamanan manusia dalam kaitannya dengan media dan negara demokrasi akan selalu menempatkan apakah negara dalam kondisi demokrasi, transisia ataukah otoriter. Jika negara transisional, maka masyarakat akan cenderung melakukan aktivitas yang menuju pada anarkhi dan terorisme, sementara jika negara demokratis, masyarakat akan cenderung berperilaku santun dan beradab. Sedangkan ketika negara otoriter, masyarakat akan cenderung keras dan benar-benar melakukan perlawanan sekalipun negara memposisikan dirinya sebagai negara kuat. Media sangat berperan dalam perspektif human security karena memberikan kontribusi yang jelas atas terjadinya konstruksi masyarakat dan negara, apakah negara kuat ataukah negara lemah. Media sangat berpengaruh dalam kajian keamanan manusia karena memiliki pelbagai kepentingan, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, 1966, The Social Construction of Reality. A Treatise in The Sociology of Knowledge. New York: Penguin Books. Fairclogh, Norman, 1995, Media Discourse, London: Edward Arnold. Hall, Stuart, 1980, Encoding and Decoding, London: Methusen.
Kazan Gunawan, Irwan Abdullah, dan Heru Nugroho -- Human Security dalam Negara Demokrasi: Perspektif Media Studies
------------------, 1982, The Rediscovery of Ideology: The Return of the Repressed in Media Studies, dalam Michael Gurevitch, Tony Bennett, James Curran, dan Janet Woollacott (ed.), Culture, Society and the Media, London: Methusen. McQuail’s, Denis, 2005, Mass Communication Theory, Fifth Edition, London: Sage Publications. Nef, Iorge, 1999, Human Security and Mutual Vulnerability. Ottawa: International Develompent Research Centre.
Prabowo, JS, 2009, Pokok-pokok Pemikiran tentang Perang Semesta. Jakarta: Pusat Pengkajian Strategi Nasional (PPSN). Rosengren, K.E, 1981, Mass Media and Social Change: some current approaches, dalam E. Katz dan T. Szecsko (eds.), Mass Media and Social Change, hal. 247-63, Beverly Hill, CA: Sage. Sardar Z., 2008, Membongkar Kuasa Media, Yogyakarta: Resist Book. Thomas, Caroline, 2000, Global Governance, Development and Human Security. London: Pluto Press.
167
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 168 - 179
KAWISTARA VOLUME 1
No. 2, 17 Agustus 2011
Halaman 103-212
REGIONAL AUTONOMY PROLIFERATION OF REGION AND PSEUDO LOCAL GOVERNMENT IN INDONESIA M. Ali Imron Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan Email: [email protected]
ABSTRAK Makalah ini membahas sisi lain dari dampak negatif bahkan kegagalan dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi di Indonesia. Salah satu penyebab tuntutan untuk membentuk daerah baru adalah Rent Seeking, di mana elit lokal dan politisi lokal mencoba untuk mendapatkan kembali kekuasaan melalui pembentukan daerah baru. Tapi satu hal yang diabaikan oleh para sarjana adalah keberadaan seorang pengusaha lokal yang juga bermain dalam pembentukan daerah baru. Kehadiran mereka tidak tampak begitu nyata dibandingkan dengan kehadiran elit lokal dan elit partai, karena mereka mengambil peran belakang layar sebagai pihak pemberi dana, kelompok ini kemudian disebut sebagai black market. Keberadaan black market di daerah selalu dibutuhkan oleh elit lokal dan elit politik daerah sebagai satu kekuatan untuk merebut kembali kekuasaan. Kata Kunci: Otonomi Daerah, Desentralisasi, Pemerintahan Daerah, Pengusaha lokal, dan Pembentukan daerah baru
ABSTRACT This paper discusses the other side of the potential negative effects, even the failure of the implementation of the decentralization policy in Indonesia. One cause of the demands to establish a new area is rent seeking, where local elites and local politicians try to regain power through the formation of new regions. But one thing overlooked by scholars is the existence of a local businessman who also played in the formation of new regions. Their presence did not look so real compared to the presence of local elites and party elites, because they take a role behind the scenes as lenders, the group was later referred to as the “black market.” The existence of black market in the regional area is always needed by local elites and political elites as one force to regain power. Keywords: Regional Autonomy, Proliferation of region, Black market, Rent seeking, and Pseudo local government
168
M. Ali Imron -- Regional Autonomy Proliferation of Region and Pseudo Local Government in Indonesia
INTRODUCTION Implementation of regional autonomy has given positive and negative impacts. Along with the passage of time, the policy of regional autonomy that emerged after the reform showed many problems, among others, such as coordination problems between local government districts with the provincial government. Decentralization within proliferation policy has led to various cases of horizontal conflicts in various regions. Proliferation cases same time became anarchic issues, for instance in province of North Sumatra is a portrait of the problems surrounding the proliferation, where a demonstration demanding the formation of Tapanuli province on February 3, 2009 has turned into a demonstration of anarchists and culminate is the killing chairman of Regional House of Representatives (DPRD) North Sumatra (Surya, February 3rd 2009). Aftermath of this incident, finally the President issued an instruction to temporarily stopping proliferation policy in Indonesia. According to the President, proliferation policy should not be used for the benefit of the elites or other political motivations (Batam Pos, July 2nd 2009). The problems that occur cannot be separated from Law No. 22 of the year 1999 regarding local government is still in the process of transition towards the ideal of regional autonomy. Based on various problems which often occur as a result of implementation of Law No. 22 of the year 1999, the government has change two important laws relating to the implementation of regional autonomy; the first is Law No. 22 of the year 1999 which later amended by the Law No. 32 of the year 2004 regarding local government; the second is Law No. 25 of the year 1999 which later amended by the Law No. 33 of the year 2004 regarding financial balance between Central Government and Local Government. Improvement of legislation intended to reduce negative impacts and increase the value of local autonomy. However, in reality, still cannot answer the issues raised in the area. Direct election of
regional head (Pilkada), new products from Law No. 32 year 2004, is the concrete form of political decentralization. Spirit direct elections as an attempt to create a better leadership in the area, more often turns into a new field of political conflict and often lead to social conflicts. Not many areas are able to conduct elections in a peaceful and dignified. Direct election of regional head began to be implemented in 2004 has brought many changes in the system of democratization in Indonesia. Pilkada has provided a very strong legitimacy for the regional head, so it is hoped will bring a positive impact that closer of the Regional Head with the people who voted, with the expected closeness of regional head will be getting a better understanding of the condition of the people they lead. But in reality, it has raised many serious problems in several areas. One of the problems that interest to be studied is the practice of money politics is mostly done in regional elections in Indonesia, from the nomination as a candidate until the campaign period. Consequently Pilkadal costs that must be spent by each candidate are very large, this does not only tarnish the journey of democracy in Indonesia, but money politic will bring to the low quality of leaders it produces. Thus, the political leader who was born in a corrupt election process will form a government that is not credible. The public will be increasingly not familiar with the political decision-making process, while the political elite will have strong correlation with the interest groups that play to benefit from political decisions.
DISCUSSION Regional Autonomy: The Model of Decentralization in Indonesia Indonesia have implemented autonomy policy effectively since January 2001, provides a valuable learning process, especially the essence in the life of building democracy, solidarity, justice, equality, and regional diversity in unity through go169
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 168 - 179
vernment encouragement to grow and the development of the early initiatives (regional and community) to welfare of the community. The basic principle of regional autonomy within the framework the regional administrations in conceptions are: delegation authority, the distribution of income (income sharing), power (discretion), diversity in unity (uniformity in unity) local self-reliance, development of local capacity (capacity building). Thus there has been a very fundamental change in the Indonesian system of government from a very centralized government toward a decentralized model of governance. Indeed, when viewed from the historical side, Indonesia has adopted a model of regional autonomy, look at how the founders of the Indonesian state have been thinking about decentralization, as stated Hatta (1967): according to the basis of popular sovereignty, the right of peoples to selfdetermination does not only exist on central of government, but also in everywhere in town, in the village, and the area …. with that case, then each section or class of people gain autonomy (to create and run their own regulations) and Zelfgbestur (regulations made by the council is higher) ... such circumstances it is very important, because for each place in one country is not the same, but different (Hatta, 1967). Hatta argument’s is very clear, that Indonesia is basically also built within the frame of democracy that later in the implementation of the government system adopted the system of decentralization. This is evident with the making of the Regional Autonomy Law No. 01 year 1945 as the first law of autonomy, but the application of this law could not maximum because of many interests of the central government. Then Soekarno was release Penpres No. 06 Year 1959, which changed the pattern of central and regional relations became centralized and with a very narrow scope. Penpres was later replaced by Law No 18 year 1965 which it is also almost exactly the same can be said Penpres No. 06 In 1959 that centralistic and authoritarian. 170
During the New Order regime under Soeharto, the condition not different from the Old Order, although in fact the stream of society to gain flexibility in managing the region has responded by MPRS by Decree No. XXI / MPRS / 1966 regarding the real autonomy. But in the fact, MPRS Decree cannot be done, because the Suharto regime in power have been canceled through the MPR Decree No. IV/MPR/1973 by changing the “real autonomy and responsibility.” The principle of real autonomy and responsible then elaborated in the Law no. 5 year 1974 regarding Regional Government, which obviously form a pattern of relationships that are not democratic. When the transition to democracy began, following the collapse of the New Order, the spirit of decentralization and local democracy had an awakening. The former law abolished and then replaced by Law no. 22 year 1999, and last amended by Law no. 32 year 2004 the more “concrete” and have the spirit of decentralization and local democracy. Decentralization in the context of Indonesia is believed to be a way to build effective governance, develop democratic governance, respect for the several of local diversity, respect and develop the potential of local livelihoods, and maintain national integration.
Proliferation of region in Indonesia There are many experts on political science stated that by implementing decentralization system, Indonesia has been included into “Big-Bang Theory” (quoting a term of Astronomic Theory). Decentralization to be said as big-bang decentralization (Pranab: 2006), because it brings an extraordinary impact on system of governance in Indonesia along with any radical shifts concerning authority and responsibility from central government down to local government both city and regency governments as autonomous areas. Other than that, big-bang decentralization has stimulated the existence of new districts all over Indonesia, well known as territorial reform. It also brings an institutional change implication that is dividing/reforming one
M. Ali Imron -- Regional Autonomy Proliferation of Region and Pseudo Local Government in Indonesia
district into two or three new districts, however, decentralization also enables unification of two to become one; but this has not take place in Indonesia yet. Since the enactment of Law No. 22 and No. 25 year 1999, later replaced by Law No. 32 and No. 33 year 2004, Indonesia began to try a new form of governance that provides a greater role to local government. Therefore, the arrangement of the New Autonomous Region (DOB) has become one important issue, which until now still is the focus of the Government. Structuring DOB is still very synonymous with regional divisions; no one has led to the abolition and merger of the region. Look at the Grand Design of Regional Settlement (Desartada) was the government’s attention remains focused on regional divisions that will be done until 2025. The desire to carry out its mandate regarding the decentralization of power is also bringing a new approach called the proliferation. Proliferation is one of the most important raison d’être for acceleration of regional growth. Since, the first initiation in 1999 up to now there have been 524 new areas registered both for provincial and district levels. Based on the data of the Indonesian Ministry of Home Affairs since 1999 up to present, Indonesia has already passed 205 new districts which consist of 7 provinces, 164 regencies, and 34 cities. Thus, currently the total of regions in Indonesia is 524 regions which consist of 33 provinces, 398 regencies, and 34 cities. Although, in 2009 the President issued a moratorium policy, but the aspiration and desire of people to form new districts are not ended, especially those of outside of Java, such as Kalimantan and Sulawesi. It is noticeable that the enthusiasm to form new regions in Java Island area is not strong compared to that of areas outside of Java Island such as Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Papua. From table 1, it can be seen that the Sumatra and Sulawesi ranked first and second, and was followed by Kalimantan in terms of the number of proliferation of regions. From a total of 205 new districts until
Table 1. List of the New Regions in Indonesia 1999-2010
Source: Ministry of Home Affair, 2010. the early of 2010, demand of proliferation of region is still very high, although the President had issued a moratorium to stop temporary the proliferation of region policy because 80% of new areas considered to have failed (Suara Media, July 15th 2010). Yet of course the demands of forming a new region cannot simply be shut down by the government, therefore government through the Ministry of Home Affair tried to make mapping policy of proliferation of region (pemekaran wilayah) what was then called the Grand Design Regional Settlement (Desartada). This design is a breakthrough of government to create the ideal number for local government in Indonesia, given the territory of the Unitary Republic of Indonesia, which has a vast territory. So with a total area proportional to the total area and population in Indonesia, the government through local governments can provide better public services to the community. Table 2. List of New Region Planning 2010-2025
Source: Ministry of Home Affair, 2010. 171
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 168 - 179
Table 2 above shows that the still high public demands of proliferation of the region throughout the territory of Indonesia. Sulawesi and Kalimantan and Sumatra islands still dominate the highest rankings to create new region. In accordance with data of grand design of Regional Settlement has been issued by the Ministry of Home Affairs until the year 2025 there will be the addition of new areas including; Province will increase 8 new Provincial, district will increase 54 city/region. Thus, until 2025 Indonesia will have 40 provinces and 545 cities/regencies. Proliferation of region also meant to strengthen the base of the implementation of government tasks in the area. As intended that regional autonomy has willed to give management authority to local governments, proliferation has the goal of keeping the central area of authority is not located in places that are too far from the presence of base communities. Thus, proliferation has meant that government’s attention can be done more effectively, efficiently and with quality. Proliferation wish to cut the distance between the centers of power to the outermost point of the area included in the scope of its authority. Areas that are part of the country are the tip of the spear and a benchmark for changes in Indonesia, hence strengthening the bases in the region is the right strategy to pave the road to prosperity. Out of the above issue, on the other side, within decentralization discourse, proliferation of the region is regarded as one of important aspect of the implementation of regional autonomy. The purposes of forming new district itself refer to the existed Act, which can be classified as followings: (1) there is a desire to provide a better public service in a measureable/limited authority area. The service approach through a new district’s government is assumed to be able to provide a better service; (2) accelerating economic growth of local people through improvement on framework of economic growth of area with local potential base; (3) absorbing more labor force into private 172
sectors, government and power sharing in terms of politics and governance (Hermanislamet, 2005). From various public discourse and academic studies many described encouragement proliferation of region came from the demand for more regional rather than central government initiatives. As revealed by Putra (2006) and Pratikno (2007) that the main reason for the proposed Proliferation of region are: first, the need for regional economic equality. According to IRDA data, the need for economic equality becomes the most popular excuse used to split a region. For example, the case of forming new region of North Minahasa in North Sulawesi Province. This reason is also widely used for proliferation of region, especially outside Java Island that there were gaps in terms of its economy with the island of Java. Second, geographical condition that is too broad. Many cases in Indonesia, public service delivery process was never implemented with optimal because inadequate infrastructure. As a result a very large area makes the management of government and public services are not effective as in the case splitting Bolango Bone in Gorontalo Province. Java Island is due to the existing wide area so that public services cannot be implemented optimally. Third, differences base identity. The reason for the difference of identity (ethnicity, home of the offspring) also appears to be one reason for the proliferation. The demand of proliferation arises because usually the people who live in the area to feel as separate cultural communities that are different from the main community of local culture. It can be seen in the case of the formation of South Solok regency in West Sumatra, Wakatobi in Southeast Sulawesi and the formation of Bharat Pakpak district in North Sumatra. Fourth, the failure of the management of communal conflict. Political turmoil cannot be resolved often creates demand for local separation as in the case of the proposed
M. Ali Imron -- Regional Autonomy Proliferation of Region and Pseudo Local Government in Indonesia
formation of West Sumbawa in West Nusa Tenggara and East Sulawesi province of discourse formation, and so forth. Fifth, the existence of fiscal incentives which are guaranteed by the Law to new areas where there results of proliferation the region policy through the General Allocation Fund (DAU), profit sharing of Natural Resources, Local Income. Of the five main reasons for the demands of the forming new region, the reason for economic equality, geographic and region needs to obtain fiscal incentives through the General Allocation Fund (DAU), profit sharing and natural resource revenue is to be the main triggers of many regions wish to be divided. Table 3. General Allocation Funds (DAU) for District and Municipalities in Indonesia 2001-2010
Source: The Ministry of Finance, 2010. From table 3, it can be seen that along with the increasing number of regional autonomy would lead to increased of total DAU should be provided by central government. However, if considered at the DAU distribution average, each year the numbers also increased significantly and these are increasingly pushing the region to split the new territory again with the hope for getting incentives DAU. In addition to objective reason for the public interest from the perspective of regions such as proposed earlier, were still a lot of other reasons that
trigger the occurrence of proliferation. The desire of power between elite bureaucrat and political elite has given the emergence of political broker or rent seeking (Fitriani, 2005 and Tanje, 2007). In the last ten years almost all cases the formation of new autonomous regions throughout Indonesia cannot be separated from the motive of rent seeking. With the proliferation of region, elite bureaucrats and political elites are always benefited by opening a new office items. For the bureaucrats of course with the new area will increase open the new campaign, new echelon structural positions and new opportunities. For the political elite will gain increased political resources in the form of a new political office, such as Regional Head, the Chairman and members of parliament. Another thing that is not less important is the reason for the splitting of gerrymandering. Gerrymandering motif is one of the goals of “hidden” from the political elite as a business division in the political area (Bakti in Ratnawati, Tri and Pamungkas, 2007). In this new area intentionally formed with the purpose of providing benefits to a particular party or candidate. The principle used is the maximization of effective votes of supporters and opponents to minimize the effective voice by creating the boundaries of electoral districts. Indeed, the layers are benefited by the establishment of new area is not just limited to political elites and elite local bureaucrats but also included business people or entrepreneurs regions. As Pratikno said (Mubarak, 2006) that in the case of the formation of new autonomous regions who have never harmed by the proliferation policy is a layer of elites in all components. In this case, the business also benefited from the increased circulation of money in line with the development of economic activities, such as the provision of physical infrastructure and other spending needs. Even the civil society organizations also obtain a new arena in bridging the relationship between communities and local governments. Hope there 173
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 168 - 179
will be new posts and positions this new economic resources being pursued by the majority of politicians, bureaucrats, and businessmen to propose proliferation of the region.
Direct Election of Regional Head (Pilkada) The second largest job in the implementation of regional autonomy after proliferation of region is the implementation of direct election of regional head. It is new product from Law No. 32 year 2004, which is a concrete form of political decentralization. The spirit of direct election of regional head (Pilkada) is a form of effort to create better leadership in an area that is more democratic because it is directly elected by the people so that it will create capable and accountable leader who have a high legitimacy that will further encourage the creation of good governance. Pilkada has given an anomaly in the practice of local democracy. The premise that democracy positively correlated with decreased levels of corruption which in fact does not apply in the context of Indonesia. Corruption is increasing even after the implementation of direct elections. As stated by Adnan Topan Husodo (Deputy Coordinator for ICW), based on Quantitative Data from Corruption Eradication Commission (KPK) shows that since 2005 there are 40 regional head, whether governors, mayors, and regents are to be convicted of corruption cases. While the Office of the State Secretariat reported, until 2010 President Yudhoyono has signed 150 license examinations for regional heads as a witness or suspect cases of corruption (http//forumparlemen.or.id). When analyzed, the increasing of corruption cases after pilkada actually comes from the use of high cost and unmanageable. In various cases of pilkada in several regions, money has become an important factor in supporting a wide range of activities ranging from nominating a candidate, campaign material procurement, logistics, and to finance campaign team could even say money is the driving force in the Pilkada, 174
without money it is very difficult for a candidate to be the winner in the elections. In a positive function, the money could help candidates reach the seat of power. In Pilkada, the money political practices of the most traditional is buying and selling effort of political party support in the early nominating process. In the process of partner candidate region head selection, some political party turned into a money machine. As ever written in the “Perahu Pukat Harimau“ (Kompas, June 25th 2007), so the nomination process was opened, the political party was making money for those interested. Similar to trawling (pukat harimau) the amount of got money also varied, ranging from the hundreds of millions of rupiah to billions of rupiah, when the practice of buying and selling boats so massive, many people believe that giving a space for individual candidates would reduce the practice of money politics in the nomination process. In fact, after the individual candidate was accommodated, the practice of buying and selling boats does not necessarily stop. Moreover, with boundary conditions that do not support a light, a candidate for regional head through an individual path is not easy and inexpensive option. Because of the requirement that, although not necessarily free, “get support” from political parties remain attractive options. Linier with opinion above, Ramlan Surbakti (the former of KPU member) have said that several potential political practices of money (money politics) in the administration of direct local election have to be identified. First , in order to become a candidate is required “rent a boat”, whether paid before or after the establishment candidate, in part or entirely. The number of rental to be paid is estimated to far exceed the limits sizable campaign fund contributions stipulated in the Act, but it is not known with certainty because it took place behind the scenes. Second, the candidate who is expected to receive strong support, usually the incumbent, will receive huge funds from
M. Ali Imron -- Regional Autonomy Proliferation of Region and Pseudo Local Government in Indonesia
businessmen who have economic interests in the area. The amount of money is also far exceeding the contribution limits established by law. Since going on behind the screen, then difficult to know who is giving to whom and how much the funds received. Third, to districts which number about 10,000 voters and 100,000 voters, but the territory has a high economic potential, entrepreneurs who have economic interests in the area can even determine who will be elected to head region. With the amount of funds that are not too large, the entrepreneur can influence the voters choose the candidate who wants through “political intermediaries” who was appointed in each village. Fourth , to areas with three or more candidates compete, vote by more than 25 percent to deliver a pair of candidates to be regional head and deputy head of the selected areas. In this situation, using the money influence the voters through “intermediaries’ politics” in every village may be the “rational” for the pair of candidates (http//spiritentete. blogspot.com). The phenomenon of the high cost politics of pilkadal have been agreed by Minister of Home Affair Gamawan Fauzi. He said a paradox between the high costs of pilkadal and demands a government free from corruption, collusion and nepotism. He also said that to become a governor needs funding of about 100 billion Rupiah, while the governor’s salary amounting to 8.7 million Rupiah per month (Kompas, July 23, 2010). Indeed, what is conveyed by the Minister of Home Affair is not something surprising, because it was not a secret anymore when to become a candidate of both the Governor and Regent/Mayor need of the high cost. As published in the Kompas, that the implementation of pilkadal in Bandung Regency is expected to cost hundreds of billions of rupiah. Not only 48 billion Rupiah from the budget of Bandung regency issued for the holding of local elections of 2010, tens of billions of rupiah from the pockets of the candidates for regent and deputy regent was pouring. It was like told
by the Chairman of the award of the National Mandate Party (PAN) Mukhlis Anwar Bandung regency, on Monday in Bandung (Kompas; July 27th 2010). The high cost is certainly not all come from private pockets, but many of them come from contributions of businessman both local and national level as Sebastian Salang (Coordinator of Community Care Forum Indonesian Parliament) was said that some employers still support the candidate whose orientation is materialistic and not rely the power of ideas. This is because some businessman that has economic interests if elected the candidate it supports. (Kompas, July 24th 2010).
Appearance of Pseudo Local Governance Pseudo government first recognized during the Second World War when the Soviet Union recognizes the existence of a puppet government, this term is then more famous by the name of pseudo-government as a shadow government of the actual administration (Harold, 1968). In further developments this term continues to grow until eventually the term hybrid organization to illustrate the existence of the pseudogovernment. Hybrid organization is a body that operates in both the public sector and the private sector; simultaneously fulfill public duties and developing commercial market activities. As result the hybrid organization becomes a mixture of both a part of government and commercial enterprises (Jacqueline; 2008). The existence of pseudo-government has promised an increase in efficiency and good service for the implementation of the tasks of government. It has grown and emerged as a new entity that receives delegation of government functions, so that activities occurring in the merger between the public and public sector organizations. By contrast, Koppel argued that when the policy carried out by a hybrid organization, the actual control of the government’s policy has been sacrificed. Even though hybrid organization is designed to limit the 175
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 168 - 179
loss of public control, but the existences of hybrid organization should be limited to tasks that are not very important for policy makers (Koppel; 2003). He apparently realized that the existence of a hybrid organization is not absolutely good for the government itself, and it should have certain limitations, so that its existence would not be stronger than the actual government. In the understanding of Pseudo government in Indonesia, this terminology is used to describe the condition of weak governance as a result of the control of a handful of people who lead the government in the shadow of other powers. Koppel expectations did not materialize in Indonesia, because in reality a pseudo government in Indonesia is more powerful influence in the process of policy rather than actual governance. The presence of pseudo local government in Indonesia was marked by strengthening of the role of businessman in the process of regional proliferation as well as in direct election of regional head. The rise of demands for make new region is a logical demand if it is related in order to improve public services and welfare of the community. However, if examined from the other side as in the theory of rent seeking and gerrymandering, the demand for proliferation of region as big question mark, is it true that all who want society? Or just the opposite that which wants it just a group of local elites and political elites and entrepreneurs who want to get the benefits of either position or material gain. One thing to be a consequence of proliferation of the region is the division of authority over
natural resources, human resources and budget. The consequences of the division often make the implementation of proliferation of region have follow-up impact of conflict of interest. It is possible also that proliferation is only for a group of elite interests in the region including entrepreneurs, to take possession of power that cannot be obtained if the area is not divided. With the formation of new autonomous regions (DOB), the next will bring up new political entrepreneurs who cannot be separated from the proliferation process of DOB. At the beginning of the proliferation process, the fighter group about new region requires for greater financial support for the proliferation costs, as well as for other costs. For that is usually a group of “fighters of splitting” will attract several businessmen. Perhaps businessmen are political leaders, local elites, but it could be the businessman’s really a pure businessman. After the area that they fight to be formed, for these entrepreneurs will emerge as contractors in construction projects DOB indeed have the physical development program. In addition, these entrepreneurs began to continue the “dominance” in the area of politics and government. From here began to appear a number of new political entrepreneurs. The emergences of new political entrepreneurs create a different impact depending on the position he held. On the one hand, new political entrepreneurs to strengthen civil society but on the other hand can actually weaken the position and role of civil society to criticize government policies in the DOB (Lesung, 2009).
Table 4. Effect of Proliferation Policy to Actors
Source: Author 176
M. Ali Imron -- Regional Autonomy Proliferation of Region and Pseudo Local Government in Indonesia
Table 4 presents an overview of how the proliferation policy and direct election of regional head have provided benefits to the actors in the area, both local politicians, local elites, and the businessman. For local politicians will earn a profit by maximizing the party vote in election and to obtain new space for a new political position. As for the local elite will obtain an opportunity to regain lost influence and power through political positions are available. While for the businessmen would more aggressively to get the advantage because they have rendered in the formation of new region, generally they get the advantage of taking advantage of physical development projects and opportunities to explore natural resources owned by the new area. The role of businessman will continue when the results of the proliferation of region has developed. As known in accordance with the mandate of Law no. 32 year 2004, regional autonomy should hold direct election of regional head (pilkada), this is where their role recalculated. The existence of businessman as provider of funds (black market) in the political area cannot be avoided. This is due to the occurrence of very high political costs both in direct election of regional head (pilkada) or election of members of the legislature. In practice the use of political funds in the form of money politics into something that is difficult to be avoided because many factors of which there are many gaps that facilitate the practice of money politics. Conscious or
not, campaign finance regulation is one of the substance of the laws that are not worked seriously. As we know, almost in every discussion of the draft electoral law (whether legislative, presidential, and regional head) legislators never seriously and are reluctant to explore crucial problems that led to the rise of money politics. Moreover, the act was not easily categorized as a crime. It is related to the difficulty of physical evidence obtained as well as the weakness of the existing rules. And what’s worse, is that the candidate of Regional head is not just supported the funding by business circles, but it turns out the local-level bureaucrats also played, it will raise complex issues in the future remuneration for elected regional head. Political Party cannot be abandoned or whether the organizational side and the individual side, they also have a big share of the election of a candidate for regional head, because political party has a big capital in the form of constituency parties, although in this case cannot be proven in some cases. For example, the Golkar Party as major parties who repeatedly won the legislative elections 2004, turned out in some areas pilkadal always suffered defeat. Of the three elements is what will cause Regional Head hostage in his position as a government because of the debt of gratitude to them, so sometimes the Regional Head of nothing more than a puppet for the donator to satisfy all their desires, so it is no wonder if a lot of policies issued by the Regional Head of the many nuances of the interests of donors.
Table 5. The Formation of Pseudo Local Government
Source: Author 177
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 168 - 179
This conditions which the next will bring up political deals between the political elite with the black market, and then the next would call with Pseudo Government, because of activities occurring in tug of interests between the government and the businessman. On one side, regional head has the task of public welfare, meanwhile black market on the other side that has the objective to achieve profitability. As a result, we see now a lot of the policies adopted by many local governments are not siding with people, which was more beneficial to the entrepreneurs or businessman. This matter as according to what told by Sri Mulyani (the former of minister of finance) that within the political system in Indonesia now, there has been a kind of marriage or in other term is called a cartel that has spawned the barter of interests between businessman and the government (Kompas, May 5th 2010). Fecklessness of regional head to businessmen is based more on debt of gratitude, which at the time of direct election of regional heads are generally candidate have received funds from them. Consequently, when they have become regional head, the authority they have held hostage, especially in making public policy, in which they must comply with the interests of businessmen. In this case, businessmen can be derived from pure businessmen or politicians who become businessmen, and businessmen who are also politicians. In this condition, barter between policies with business interests occurred in local government system. Indeed a very pitiful condition in Indonesia’s local government system, and if this continues over time, it will have a negative impact on government accountability system and would destroy the system of statehood and democratization. Indeed, with the implementation of direct election of regional head, local leaders are expected to be more accountable to the people who have been selected with more attention to their interests. In reality, the
178
regional head was more concerned with the interests of political parties and businessmen who have contributed to making them as local leaders. This condition cannot be separated from the practice of money politics in local elections. In addition, money politics and interests that cover for regional autonomy policy has emerged “little kings” in local government that tends to engage in abuse of power that ignores the values of ethics in politics, the widespread practice of corruption, transparency and accountability in low level.
CONCLUSION The desire to carry out the mandate of political decentralization has brought a new approach called proliferation of region and direct election of regional head (pilkada). Proliferation of region is one of the bright ideas to speed up the growth of the region. Since first implementation in 1999 up to now that 504 new regions are formed, either in the form of provincial and district / city, in hopes of drastic changes to the welfare of society. So there is no excuse for the government to escape responsibility for the welfare of society. Similarly, the direct election of regional head have given emergence of a legitimate leader by directly elected by the people so hopefully will be able to prosper the people who voted. However, in practice, it turns out great hope of proliferation of the region policy and local elections would have given the emergence of quasi local governance (Pseudo Local Government) which has given the emergence of political cartels and the creation of entrepreneurs towards government control. Pseudo Local Government also has given emergence to the system of government more like dynasty. All this really started from the rampant practice of money politics that actually has attacked the foundations of democracy, destroy the political ethics, and to improve the behavior of the corrupt.
M. Ali Imron -- Regional Autonomy Proliferation of Region and Pseudo Local Government in Indonesia
BIBLIOGRAPHY Bardhan, Pranab and Dilip Mookhereje, 2006, Decentralization and Local Governamce in developing Countries: A Comparative Perspective, Massachusetts, London England: The MIT Press. Fitriani, F. Hofman, B. and Kaiser, K, 2005, “Unity in Diversity? The Creation of New Local Governments in a Decentralizing Indonesia,” Bulletin of Indonesian Economic Studies, 41 (1), 57-79. Harold, J Laskin, 1968, Refelections on the Revolution of our Time, London: Geroge Allen & Urwin, Ltd. Hatta, Muhammad, 1967, Kedaulatan Rakyat, Surabaya: Usaha Nasional. Hermanislamet, Bondan, 1993, “Desentralisasi Perencanaan Pembangunan dan Otonomi Daerah” dalam Jurnal Forum Perencanaan Pembangunan, Vol.1, No. 2, Desember, Yogyakarta: Puslit Perencanaan Pembangunan Nasional UGM. Jacqueline, M. Edwards, 2008, “Hybrid Organization and Social Enterprise and Social Entrepreneurship” . Kammeier, H. Detlef, 2002, Linking Decentralization to Urban Development, New York: United Nation Human Settlements Programme, UN-HABITA. Koppel, Jonatan, G.S., 2003, The Politics of Quasi-Government: Hybrid Organizations and the Dynamics of Bureaucratic Control, London: Cambridge University Press.
sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI) dan European Union (EU). Pratikno, 2007, “Usulan Perubahan Kebijakan Penataan Daerah: Pemekaran dan Penggabungan Daerah,” Policy Paper, Jakarta: Kajian Akademik Penataan Daerah di Indonesia kerjasama dengan DRSP-Depdagri. Putra, R. Alam Surya, 2006, “Pemekaran Daerah di Indonesia: Kasus di Wilayah Penelitian IRDA,” Makalah Seminar Internasional Percik ke-7, Salatiga, Juli 2006. Ratnawati, Tri and Cahyo Pamungkas, 2007, “Pemekaran Daerah dalam Perspektif Nasional,” Laporan Pemekaran Daerah, Jakarta: DRSP dan LIPI. Steve, Leach, et. Al, 1994, The Changing Organisation and Management of Local Government, London : Macmillan Press Ltd. Tanje, Sixtus, 2007, “Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Lemahnya Pelayanan Publik Sektor Pendidikan di Kabupaten Manggarai Barat,” Makalah Seminar Internasional ke-8, Percik, Salatiga, Juli 2007.
Other Sources: Direktur Jenderal Otonomi Daerah, 2010, Potret 57 DOB: Sebuah Hasil Evaluasi Dini Perkembangan 57 Daerah Otonomi Baru. Jakarta: Dirjend OTDA. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daeah.
Lesung, Edisi Maret 2009, “Dinamika Relasi Sosial Politik Lokal Pasca-Pemekaran Wilayah,” Jakarta: Lesung.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Leemans, A.F, 1970, Changing Patterns of Local Government, The Hague: International Union of Local Authorities.
Kompas
Mubarak, M. Zaki, dkk. (eds), 2006, Blue Print Otonomi Daerah Indonesia, Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa bekerja
Batam Pos Suara Media Surya http//fokusparlemen.or.id http//spiritentete.blogspot.com
179
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 180 - 190
KAWISTARA VOLUME 1
No. 2, 17 Agustus 2011
Halaman 103-212
DISKRIMINASI NEGARA TERHADAP AGAMA DI INDONESIA Studi atas Persoalan Posisi Hukum Towani Tolotang Pasca Pengakuan Agama Resmi Hasse J. Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Email: [email protected]
Bernard Adeney Risakotta Program Studi Indonesian Consortium for Religious Studies Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Zainal Abidin Bagir Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT This paper aims to analize the legal position of Towani Tolotang in the case of restrictions on religion in Indonesia. This paper is based on research toward Towani Tolotang community in the Sidenreng Rappang Regency. Towani Tolotang is a local religion that still survive in the midst of attempts to disband on their teachings. That effort not only comes from a group or among those who disagree with their existence, but is also from state. Discrimination experienced by Towani Tolotang comes from two directions. First, from the public in the form of assumption that denounced them, and the second is the discrimination that is presented by the government through a variety of regulations that limit the space for Towani Tolotang in developing its teachings. Key words: Towani Tolotang, Discrimination, Religion and State Relation
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui posisi hukum Towani Tolotang setelah adanya pembatasan mengenai agama di Indonesia. Tulisan ini didasarkan pada penelitian pada agama Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang. Towani Tolotang merupakan agama lokal yang hingga kini masih bertahan di tengah berbagai upaya pemusnahan terhadap mereka. Upaya tersebut dilakukan bukan hanya dari kelompok atau kalangan yang tidak setuju dengan kehadiran agama-agama non-resmi, tetapi juga terjadi dari adanya regulasi negara mengenai agama-agama yang diakui. Diskriminasi yang dialami oleh Towani Tolotang datang dari dua arah. Pertama, dari masyarakat yang berupa anggapan-anggapan yang mencela mereka, dan kedua adalah format diskriminasi yang dihadirkan oleh pemerintah melalui berbagai macam regulasi yang membatasi ruang gerak Towani Tolotang dalam mengembangkan ajaranajarannya. Kata Kunci: Towani Tolotang, Diskriminasi, Relasi Agama dan Negara
180
Hasse J., Bernand Adeney Risakotta, dan Zainal Abidin Bagir -- Diskriminasi Negara terhadap Agama di Indonesia
PENGANTAR Negara secara formal hanya mengakui enam agama di Indonesia yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu (Qoyim, 2004: 28). Dengan demikian, hanya agama-agama tersebut yang memiliki representasi di Kementerian Agama baik di tingkat pusat maupun daerah. Agama-agama yang mendapat pengakuan memiliki ruang untuk mengekspresikan ajaran-ajaran melalui praktik-praktik keagamaan seperti ibadah dan perayaan-perayaan. Agama-agama tersebut memiliki struktur organisasi yang lengkap yang menunjang keberlangsungan pelaksanaan dan penyebaran ajaran. Dengan struktur organisasi seperti ini, agama-agama tersebut dimanjakan dengan fasilitas-fasilitas penunjang eksistensi di masa datang. Di samping Kementerian Agama, keberadaan beberapa organisasi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), WALUBI, dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) juga membuktikan keberpihakan negara terhadap agamaagama tertentu, khususnya keenam agama tadi. Organisasi-organisasi tersebut mencerminkan pengakuan negara terhadap agama yang diwakili masing-masing organisasi. Keberadaan wadah pendukung yang hanya terbatas dimiliki oleh enam agama menegaskan keterbatasan paham pluralitas yang dianut oleh negara (Kholiludin, 2009: 16). Pluralitas hanya dipahami sebatas agama resmi saja dan mengesampingkan keberadaan agama-agama lokal yang hadir bahkan lebih awal dari agama-agama besar saat ini. Agama-agama lokal merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia jauh sebelum agama-agama ‘impor’ dikenal. Agama ini hadir di setiap kelompok masyarakat yang menampilkan wajah yang berbeda dengan apa yang dianut di tempattempat lain. Di beberapa tempat seperti Jawa meskipun arus Islam sangat kuat, teta-
pi sisa-sisa agama orang terdahulu masih ada seperti Tengger, Samin, dan lain-lain (Nurudin, 2003; Rosyid, 2010). Di Sumatera juga demikian, agama Permalim masih dapat ditemukan meskipun penganutnya sangat sedikit. Di Kalimantan, Kaharingan masih dapat ditemukan di beberapa tempat khususnya di pedalaman. Di Sulawesi, eksistensi Towani Tolotang, Ammatoa, Aluk Todolo, dan lain-lain (Hasse J, 2008; Idaman, 2005; Ma’arif, 2003) menunjukkan masih adanya sisa-sisa agama pra-Islam yang dianut di daerah ini. Di Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua juga demikian, agama-agama lokal masih banyak ditemukan meskipun terbatas hanya di daerah-daerah tertentu yang sangat terpencil. Hal ini menegaskan bahwa hingga saat ini, agama-agama lokal ada namun dalam kondisi yang serba terbatas bahkan terancam keberadaannya. Pengakuan negara terhadap keberadaan agama yang hanya terbatas pada enam seperti uraian di atas, menciptakan persoalan krusial dalam pengelolaan agama di Indonesia. Salah satu persoalan yang timbul adalah lahirnya dikotomi antara agama yang ‘diakui’ dan yang ‘tidak diakui’, mayoritas dan minoritas, agama global dan agama lokal, primitif dan modern, dan lain sebagainya. Keberadaan agama-agama (yang diakui) selama ini menjadi ‘lawan’ agamaagama lokal. Agama-agama yang diakui mendapat kemudahan-kemudahan, sementara agama-agama lokal selalu diposisikan sebagai agama yang tertindas, termarjinalkan, dan terhakimi yang tidak memiliki ruang ekspresi keagamaan yang proporsional. Agama-agama lokal diposisikan sebagai sasaran ‘pencerahan’ melalui dakwah dan gerakan-gerakan penyadaran lainnya. Mengenai agama lokal khususnya di Indonesia juga telah banyak mendapat perhatian para peneliti. Nurudin (2003) menguraikan tentang potret kearifan hidup masyarakat Samin dan Tengger. Ia melihat bagaimana ‘agama’ Samin dan Tengger dipakai sebagai pedoman hidup dan dijadikan kaidah dalam menjalani kehidupan. Bagi anak-anak muda Samin, mereka cen181
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 180 - 190
derung mulai meninggalkan ke-Samin-annya. Bahkan, di antara mereka ada yang malu disebut sebagai keturunan Samin. Mereka lebih suka disebut santri daripada keturunan Samin. Sebaliknya, dalam masyarakat Tengger, mereka masih memegang kepatuhan terhadap tradisi leluhur yang diwarisinya secara turun-temurun. Mereka mempertahankan ajaran hingga saat ini. Nurudin dalam konteks ini melihat agama lokal sebagai sebuah pedoman hidup seperti halnya pemahaman penganut agama lain terhadap agamanya. Fokus tulisan ini adalah terdapat pada bagaimana agama lokal diamalkan oleh para penganutnya. Mattulada (1982) menyinggung perkembangan agama-agama lokal di Sulawesi Selatan di mana agama-agama lokal yang dikenal di kalangan orang Bugis merupakan agama leluhur yang masih dipercayai dan dianut oleh komunitas tertentu. Mereka menganut agama tersebut disebabkan oleh faktor keturunan. Ajaran diwariskan dari leluhur kepada generasi setelahnya. Mattulada hanya sebatas memperkenalkan bentuk-bentuk religi yang dikenal di kalangan masyarakat Bugis tanpa mengurai secara komprehensif persoalan yang dihadapi oleh agama yang masih dianut oleh beberapa kelompok. Dalam tulisan lain, Mattulada juga menguraikan secara singkat religi atau agama masyarakat Sulawesi Selatan sebelum kedatangan Islam di mana masyarakat Sulawesi Selatan sebelum memeluk Islam masih menjalankan kepercayaan-kepercayaan yang dikenal secara turun-temurun dari leluhur. Di antara kepercayaan yang dianut adalah kepercayaan orang Tolotang yang berpegang teguh pada tradisi leluhur yang ia kelompokkan ke dalam agama animisme. Martin Ramstedt (2004) memberikan gambaran yang lebih luas dan spesifik tentang keberadaan agama-agama lokal yang telah menjadi bagian agama Hindu di Indonesia. Ia menegaskan bahwa telah terjadi hinduisasi di beberapa tempat di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. Proses hin182
duisasi tersebut dilakukan oleh negara yang mengkategorikan beberapa agama lokal sebagai Hindu. Towani Tolotang merupakan salah satu ‘korban’ kebijakan tersebut. Towani Tolotang dianggap memiliki banyak persamaan dengan ajaran Hindu sehingga dikategorikan sebagai Hindu. Secara struktural Towani Tolotang menganut Hindu, namun secara kultural masih tetap pada ajarannya. Demikian pula, beberapa agama lokal dimerger ke dalam agama Hindu karena formalisasi agama. Mereka harus memilih salah satu agama yang telah diakui oleh negara untuk menghindarkan diri dari stigma ‘ateis’.
PEMBAHASAN Dinamika Kehidupan Sosial Kemasyarakatan Towani Tolotang Di kalangan Towani Tolotang, soliditas dan solidaritas sangat dikedepankan. Hal ini dilihat pada pelaksanaan kegiatan baik yang bersifat keagamaan maupun kegiatan sosial kemasyarakatan. Dalam pelaksanaan ritual Sipulung misalnya, yang dilaksanakan sekali setahun, para penganut berbondongbondong ke tempat ritual dengan penuh semangat dan meninggalkan segala aktivitas yang lain. Tempat ritual ini tidak berlokasi di tengah perkampungan mereka, tetapi berada sekitar 8 km dari pusat pemukiman Towani Tolotang. Lokasi yang jauh dari pemukiman tidak menyurutkan semangat mereka untuk mengikuti ritual. Ini menegaskan bahwa pada satu sisi, keyakinan mereka terhadap ajaran masih kuat dan pada sisi lain soliditas kelompok juga masih terjaga. Solidaritas Towani Tolotang berwujud kesadaran mereka untuk saling membantu dalam pelakasanaan atau perayaan hajatan. Pada pelaksanaan perkawinan salah satu pemuka Towani Tolotang (La Unga Setti, 29 September 2010) misalnya, mereka telah datang jauh hari sebelum pelaksanaan hajatan dan membantu mendirikan tempat di samping rumah. Pada perayaan hajatan seperti perkawinan, Towani Tolotang biasanya membuat sarapo, merupakan tambah-
Hasse J., Bernand Adeney Risakotta, dan Zainal Abidin Bagir -- Diskriminasi Negara terhadap Agama di Indonesia
an di samping rumah yang sejajar dengan rumah Induk, yang disambung dengan rumah induk sebagai tempat para tamu. Pada perayaan perkawinan tersebut, penganut Towani Tolotang dengan penuh semangat berada di tempat tanpa diundang untuk membantu. Pembuatan sarapo sendiri membutuhkan tenaga dan bahan yang tidak sedikit. Akan tetapi, mengingat rasa persaudaraan mereka sangat kental, maka pembuatan sarapo tersebut tidak memakan waktu yang lama karena dilakukan oleh banyak orang. Penganut yang datang tidak hanya dari lingkungan terdekat, tetapi juga berasal dari luar daerah mengingat yang melaksanakan hajatan adalah salah seorang pemuka Towani Tolotang. Di kalangan muslim, yang hidup berdampingan dengan Towani Tolotang, mengakui kuatnya soliditas dan solidaritas Towani Tolotang. Salah seorang pemuka muslim mengatakan, Towani Tolotang selalu bersatu dalam melaksanakan apapun, baik yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara-upacara agama maupun yang lain. Mereka selalu saling membantu. Mereka tidak hanya membantu sesamanya tetapi juga dengan orang lain (Wawancara dengan Usman Suara (46), tanggal 23 Agustus 2008).
Keterlibatan Towani Tolotang dalam kegiatan sosial tidak hanya terbatas pada kegiatan kemasyarakatan yang bersifat umum, tetapi juga pada kegiatan yang menunjukkan identitas sebuah kelompok agama tertentu. Dalam pembangunan masjid misalnya, salah seorang dari mereka juga ikut membantu. Seperti yang dilakukan oleh La Gugu (50 tahun) yang telah menyelesaikan pemasangan atap masjid al Mujahidin BolaBulu. Menurutnya, panitia pembangunan masjid yang langsung menghubunginya. Lanjut dia, permintaan tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan kapasitasnya sebagai penganut Towani Tolotang tetapi dalam hubungan yang bersifat professional yakni profesinya sebagai tukang kayu yang bisa memasang atap seperti yang sedang dibutuhkan oleh panitia pambangunan masjid.
Dalam kehidupan sosial yang lain, soliditas dan solidaritas Towani Tolotang dapat dilihat pada penyatuan sikap menghadapi berbagai persoalan. Merujuk pada masa lalu misalnya, ketika salah seorang Towani Tolotang meninggal yang kebetulan adalah putra uwa’, sikap resisten terhadap ‘dominasi Muslim’ sangat jelas. Saat itu, pemerintah bersama-sama masyarakat muslim di Amparita tidak mengijinkan penguburan menurut Towani Tolotang. Mereka menghendaki penguburan secara Islam, padahal yang meninggal adalah penganut Towani Tolotang. Ketegangan pun tidak bisa dihindari bahkan konflik terbuka antara Towani Tololang dan muslim hampir terjadi karena kedua pihak tetap pada prinsip masingmasing. Towani Tolotang dengan tegas menentang penguburan secara Islam, artinya mereka sama sekali tidak mau tunduk terhadap keinginan tersebut. Di kalangan masyarakat Sidenreng Rappang, saat ini bahkan telah tersimpan dalam ingatan mereka atas kesolidan internal Towani Tolotang. Di kalangan masyarakat telah terkonstruksi bahwa persatuan Towani Tolotang sangat kuat sehingga jika ingin melakukan konfrontasi dengan mereka sangat sulit. Pada persoalan konflik misalnya, pemuda muslim tidak ingin terlibat dengan pemuda Towani Tolotang karena dikhawatirkan akan terjadi konflik terbuka. Pemuka Towani Tolotang juga mengamini kondisi ini. Menurut Launga Setti, dari kecil, generasi Towani Tolotang memang telah ditanamkan sikap-sikap seperti itu (persatuan di internal kelompok) yang tidak hanya terbatas pada persoalan keagamaan, tetapi juga sosial kemasyarakatan. Ini menunjukkan bahwa, pihak luar pun (muslim) mengakui soliditas dan solidaritas internal Towani Tolotang. Hal yang lebih penting dari gambaran kondisi ini adalah adanya pengakuan pihak luar yang juga berdampak pada keberlangsungan hubungan antara Towani Tolotang dan muslim. Hal di atas menegaskan dua poin penting yang terjadi saat ini di kalangan Towani Tolotang dalam hubungannya dengan dinamika pergaulan di internal mereka. Per183
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 180 - 190
tama, soliditas di antara penganut tidak hanya berlangsung pada tataran yang bersifat ideologis atau pelaksanaan ajaran, tetapi juga pada tataran kehidupan sosial yang bersifat umum. Kedua, keterlibatan Towani Tolotang dalam kegiatan dan relasi sosial dengan masyarakat muslim menunjukkan adanya ‘penerimaan’ dari pihak lain terhadap kehadiran mereka. Hal tersebut memungkinkan pergaulan Towani Tolotang pada tataran sosial tidak mengalami hambatan yang mengakibatkan adanya resistensi dari kelompok lain dalam hal ini kelompok muslim yang hidup berdampingan dengan mereka.
Harmonisasi dengan Kekuasaan: Politik, Ekonomi, dan Pendidikan Afiliasi Towani Tolotang ke dalam agama Hindu sebagai agama induk berdampak langsung pada relasinya dengan kekuasaan (negara). Membicarakan persoalan ini, sangat terkait pula dengan bagaimana hubungan agama secara umum dengan negara. Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan bagaimana bentuk-bentuk relasi agama dengan negara dan bagaimana Towani Tolotang menempatkan diri sebagai bagian dari sebuah agama yang diakui oleh negara. Secara struktural, Towani Tolotang adalah bagian integral agama Hindu. Ini berarti, segala urusan tidak bisa terlepas dari agama induknya. Dalam struktur organisasi PHDI, Towani Tolotang tercantum sebagai salah satu mazhab Hindu. Di Kabupaten Sidenreng Rappang sendiri terdapat pengurus PHDI kabupaten. Saat ini, ketua PHDI Kabupaten Sidenreng Rappang adalah Sunarto atau Wa Narto, salah seorang tokoh Towani Tolotang. Keterlibatan Wa Narto sebagai pengurus PHDI merupakan langkah penting untuk menghubungkan Towani Tolotang dengan kekuasaan. Keterlibatan Towani Tolotang secara langsung dalam kepengurusan PHDI sangat berdampak pada posisi tawar ‘politik’ khususnya pada level lokal. Pada level politik lokal, Towani Tolotang yang menempati jumlah (kuantitas) terbesar kedua, memiliki 184
posisi yang sangat strategis dalam setiap pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang saat ini dilakukan secara langsung. Secara berturut-turut, salah seorang dari mereka duduk di DPRD Kabupaten. Bahkan, pada pemilihan 2009 lalu, terdapat dua kursi (La Panca dan Rukiyah merupakan dua orang berhasil duduk di kursi legislatif kabupaten Sidenreng Rappang periode 2009-2014) yang diduduki oleh Towani Tolotang. Pada setiap pemilu, beberapa orang dari kalangan Towani Tolotang maju sebagai calon anggota legislatif di Kabupaten Sidenrang Rappang. Fakta di atas menunjukkan bahwa posisi Towani Tolotang di Sidenreng Rappang berbeda dengan dengan posisi beberapa komunitas agama lokal di tempat-tempat lain. Towani Tolotang sangat penting terkait dengan dinamika politik lokal yang terus terjadi. Ini dapat dinilai sebagai sesuatu yang wajar mengingat jumlah penganut Towani Tolotang sangat signifikan, misalnya untuk kepentingan pemilukada. Demikian pula, soliditas kelompok Towani Tolotang hingga saat ini masih terjaga. Keterlibatan Towani Tolotang dalam politik lokal di satu sisi menguntungkan, namun di sisi lain justru merugikan. Keuntungan yang dapat diperoleh dari keterlibatan tersebut adalah keberlangsungan eksistensi komunitas masih terjaga meskipun keberhasilan penganutnya menduduki kursi legislatif bukan atas nama komunitas tetapi keterwakilan partai yang mengusungnya. Di sisi lain, keberhasilan Towani Tolotang masuk dalam area politik praktis berdampak pada ancaman terbukanya kran ‘konflik’ internal. Figur yang selama ini maju dan mencalonkan diri merupakan figur yang berlatar-belakang keluarga ‘elite’ Towani Tolotang, bahkan dari kalangan elite sendiri. Pada tahun 2004, salah seorang elite Towani Tolotang, La Unga Setti, lolos sebagai anggota legislatif. Ia merupakan salah seorang tokoh penting Towani Tolotang. Ia adalah juru bicara Towani Tolotang, juru bicara komunitas. Keterlibatan elite atau keturunan elite seperti berpotensi melahirkan perpecahan karena setiap uwa atau
Hasse J., Bernand Adeney Risakotta, dan Zainal Abidin Bagir -- Diskriminasi Negara terhadap Agama di Indonesia
uwatta memiliki basis massa sendiri. Massa masing-masing uwa atau uwatta tidak terkonsentrasi pada satu area saja tetapi tersebar di beberapa tempat. Identifikasi jumlah massa (umat) setiap uwa atau uwatta dapat dilakukan dengan melihat seberapa besar orang yang melakukan mappenre’ nanre (sebuah upacara siklus kehidupan Towani Tolotang). Setiap uwa atau uwatta memiliki pengikut. Pengikut setiap uwa atau uwatta dapat berupa umat yang berasal dari pengikut uwa terdahulu atau berasal dari penganut Towani Tolotang yang lain yang merasa sesuai dengan uwa yang bersangkutan. Apabila orang tua uwa sekarang adalah uwa , maka pengikutnya dilayani oleh anaknya yang saat ini menjadi uwa . Perpecahan pengikut bahka uwa dapat terjadi ketika orang tua meninggal dan meninggalkan beberapa generasi (anak) yang keseluruhannya menjadi uwa. Demikian pula sebaliknya, jika uwa tidak meninggalkan penerus atau tidak ada anak yang berkeinginan untuk mewarisi peran orang tua sebagai uwa. Afiliasi ke dalam agama Hindu yang bersifat struktural telah mengubah kondisi Towani Tolotang pada bidang termasuk pendidikan. Saat ini, di beberapa sekolah di Sidenreng Rappang telah ada guru agama Hindu yang berasal dari Towani Tolotang. Di SMP 1 Amparita misalnya, guru agama yang mengajarkan pelajaran agama Hindu adalah orang Hindu yang berasal dari Towani Tolotang. Jenjang kesarjanaannya diselesaikan pada institusi agama Hindu yakni pada Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) yang sekarang berubah nama menjadi Universitas Hindu Dharma (UHD) Bali. Berbeda pada tahun-tahun sebelumnya, pemberian pelajaran agama Hindu di Amparita dipusatkan di Pangkajene. Saat ini, pelajaran agama Hindu langsung diadakan di sekolah. Di SMP 1 Amparita, memang mayoritas siswanya merupakan keturunan Towani Tolotang sehingga pelajaran agama Hindu langsung diberikan di sekolah. Untuk daerah lain, pengajaran pelajaran agama Hindu dilakukan di Tanru Tedong (SMP 1) dan Pangkajene.
Pada persiapan Ujian Akhir Nasional (UAN), siswa-siswi yang berasal dari Towani Tolotang tidak lagi mendapat kesulitan menerima pelajaran agama dalam rangka menghadapi tes/ujian. Ketersediaan guru merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Kehadiran guru yang memiliki kualitas dan kapabilitas yang sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan peserta didik akan mempermudah transformasi ilmu dari guru ke peserta didik. Sebelumnya, pelajaran agama Hindu diberikan hanya sekali dalam seminggu dan dilakukan di tempat lain, bukan di sekolah peserta didik sendiri. Saat ini, peserta didik yang berasal dari Towani Tolotang menerima pelajaran yang diampu oleh guru yang memiliki latar berlakang kultural yang sama dengan mereka. Perhatian negara khususnya Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama dari aspek pendidikan bagi Towani Tolotang tidak mengalami kendala. Hal ini disebabkan oleh pilihan Towani Tolotang tadi yang telah menjadi bagian agama Hindu. Hal ini juga memperlihatkan bahwa pilihan Towani Tolotang untuk memilih salah satu agama adalah tepat. Segala urusan yang berhubungan dengan administrasi tidak mengalami kendala. Pelayanan publik pun sama dengan pelayanan yang diterima oleh masyarakat umum lainnya. Dengan demikian, Towani Tolotang telah memiliki peluang yang sama dengan penganut agama lain untuk mendapatkan pelayanan dan pemenuhan kepentingan yang lain. Tindakan diskrimasi dari aspek pendidikan tidak ada lagi karena keterpenuhan tenaga pengajar dan kurikulum telah tercapai, hanya saja muatan lokal (ajaran Towani Tolotang) tidak dimasukkan sehingga pewarisan nilai-nilai ketolotangan tidak terjadi di institusi pendidikan seperti di sekolah-sekolah formal.
Variasi Ide dalam Memposisikan Towani Tolotang UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama yang memuat tentang pembatasan 185
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 180 - 190
agama di Indonesia merupakan landasan negara melakukan upaya penyeragaman terhadap berbagai kelompok agama di Nusantara. Upaya tersebut dilakukan mengingat banyaknya agama atau keyakinan yang dianut oleh masyarakat yang tersebar di berbagai tempat. Di seluruh pelosok Nusantara terdapat beragam agama yang bersifat lokal yang hanya dianut oleh masyarakat setempat. Untuk menyatukan mereka, maka negara pun melakukan upaya penyeragaman melalui upaya ‘merger’ terhadap agama-agama lokal tersebut ke dalam salah satu agama yang telah diakui. Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang sangat jelas menjadi basis konstitusi kebebasan beragama tidak serta-merta dijadikan acuan dalam mengatur agama dan penganutnya. Pasal ini memuat sangat jelas hak yang diberikan kepada siapa pun untuk menjalankan apa yang diyakini. Namun, pada level implementasi seperti pada UU No. 1/PNPS/ 1965, justru membatasi kebebasan penganut agama menjalankan keyakinannya. Pengakuan negara terhadap enam agama berdampak pada sulitnya agama-agama lokal mengembangkan diri. Mereka terus berada di bawah bayang-bayang isu penodaan terhadap agama. Mereka pun dengan terpaksa menerima dan mengakui salah satu dari enam agama yang telah mendapat legitimasi negara. Pengakuan agama lokal terhadap agama resmi terwujud dalam bentuk afiliasi mereka ke dalam salah satu agama. Pilihan tersebut merupakan pilihan yang sulit. Di satu sisi, agama lokal ingin tetap mempertahankan eksistensi ajarannya yang sejak lama dipraktikkan. Di sisi lain, agama lokal berhadapan dengan kebijakan negara yang mengkooptasi hak-hak mereka. Pada kondisi seperti ini, afiliasi atau memilih salah satu agama tentu merupakan pilihan yang dilematis. Agama-agama lokal yang keberadaannya jauh sebelum agama resmi tidak memiliki pilihan lain kecuali bergabung dengan salah satu dari agama-agama tersebut demi keamanan dan keberlangsungan ke depan. 186
Dalam banyak kasus, agama lokal yang sebelumnya eksis digabungkan ke dalam salah satu agama. Dikatakan ‘digabungkan’ karena bukan semata keinginan mereka, tetapi keinginan negara melalui kebijakan dengan alasan penyeragaman untuk memudahkan kontrol terhadap agama. Agama lokal di beberapa tempat memilih salah satu agama juga bukan berdasarkan pilihan sendiri, tetapi dipilihkan oleh negara. Negara dengan leluasa mengatur seluruh aspek kehidupan warganya tak terkecuali kehidupan sosial keberagamaan. Akibatnya, agama menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan negara. Towani Tolotang merupakan satu dari sekian banyak agama lokal yang dipilihkan oleh negara ke dalam salah satu agama resmi oleh negara. Pada Keputusan Dirjen Bimas Hindu Bali/Budha No. 2/1966 disebutkan bahwa Towani Tolotang merupakan salah satu sekte agama Hindu. Mengacu pada keputusan hukum tersebut, Towani Tolotang otomatis menjadi bagian agama Hindu. Secara administrasi, segala bentuk urusan berkiblat pada agama Hindu. Penggabungan Towani Tolotang ke dalam agama Hindu didasarkan pada kenyataan bahwa ia memiliki banyak kemiripan praktik keagamaan dengan agama Hindu. Salah satu kemiripan praktik keagamaan Towani Tolotang dengan agama Hindu adalah persembahan sesajian dalam ritual yang dilakukan. Baik Towani Tolotang maupun Hindu memposisikan sajen pada posisi penting dalam setiap ritual. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sesajian Towani Tolotang pada pelaksanaan ritual mappenre’ nanre merupakan unsur pokok dan penentu karena dianggap sebagai media untuk menyampaikan permintaan kepada Dewata Seuwae. Demikian pula dalam praktik Hindu, sesajian memiliki arti yang sangat penting dalam setiap ritual yang dilakukan. Formalisasi agama berdampak pada bagaimana agama lokal seperti Towani Tolotang menentukan pilihan agama sebagai induknya. Towani Tolotang, agar tidak dicap sebagai agama sempalan, dipilihkan
Hasse J., Bernand Adeney Risakotta, dan Zainal Abidin Bagir -- Diskriminasi Negara terhadap Agama di Indonesia
menjadi bagian agama Hindu sebagai agama yang memayunginya. Pilihan tersebut, pada satu sisi membatasi ruang gerak Towani Tolotang untuk mempraktikkan ajaran-ajarannya. Ia harus tunduk di bawah ‘arahan’ Hindu. Pada sisi lain, pilihan untuk menganut agama Hindu memberikan peluang bagi Towani Tolotang baik ajaran maupun komunitas untuk tetap eksis karena tidak ada lagi ruang untuk mengganggunya karena secara formal telah berada di bawah agama Hindu.
Agamaisasi Towani Tolotang Towani Tolotang ‘selamat’ dari islamisasi pada saat Raja Wajo menginstruksikan seluruh warganya memeluk Islam. Pada saat itu, Towani merespons kebijakan tersebut dengan ‘pembangkangan’ yang berdampak pada pengusiran mereka dari daerah tempat tinggalnya. Setelah berdiam di Sidenreng Rappang, upaya negara untuk merampingkan agama-agama di Indonesia dilakukan. Hasilnya, hampir seluruh agama lokal yang tersebar di berbagai tempat memilih salah satu agama yang telah ditetapkan oleh negara. Towani Tolotang harus memilih agama Hindu sebagai agama induk dengan segala konsekuensinya. Afiliasi Towani Tolotang ke dalam agama Hindu terjadi dalam waktu yang cukup lama. Penerimaan terhadap Hindu tidak serta-merta terjadi. Berbagai upaya dilakukan oleh Towani Tolotang untuk tetap pada identitasnya. Pada tahun 1966, H.A. Sapada Mappangile sebagai Bupati Sidenreng Rappang mengeluarkan keputusan yang menegaskan bahwa Towani Tolotang bukan agama (Mudzhar, 2002:192). Akibatnya, segala bentuk praktik keagamaan Towani Tolotang tidak boleh dilakukan. Segala bentuk kegiatan Towani Tolotang pun harus dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam, termasuk upacara kematian dan perkawinan. Pada tahun yang sama, beberapa tokoh Towani Tolotang mengirim surat keberatan kepada DPR-GR dan MPRS di Jakarta yang berisi tentang adanya oknum pemerintah daerah yang berupaya menghalangi pelak-
sanaan upacara keagamaan yang sebelumnya dilakukan. Towani Tolotang pun mengirim surat kepada Ketua Presidium Kabinet Ampera yang mengajukan permohonan perlindungan dari pemaksaan terhadap mereka untuk memeluk Islam. Masih pada tahun 1966, surat Menteri Agama No. B-III/ 3/1356/1966 menyatakan bahwa Towani Tolotang bukan sebuah agama. Surat keputusan ini memperkuat keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah Sidenreng Rappang sebelumnya. Keputusan Menteri agama di atas dikuatkan lagi oleh keputusan Kementerian Kejaksaan No. 152/Sospol-K/Pakem/15 km/1966 yang berisi tentang perintah terhadap Kejaksaan Tinggi di Makassar untuk membubarkan dan melarang agama Tolotang (Mudzhar, 2002: 194). Melihat kenyataan tesebut, tokoh Towani Tolotang menyatakan untuk sementara waktu mereka bernaung di bawah agama Islam sambil menunggu keputusan dari pemerintah pusat. Pada saat itu, tokoh Towani Tolotang pun menyetujui sekiranya permohonan mereka tidak dikabulkan oleh pemerintah pusat, maka akan tetap berada di bawah agama Islam. Adanya pernyataan dari tokoh Towani Tolotang tersebut mengubah konstalasi politik di Amparita. Kondisi wilayah mulai tenang setelah terjadi perdebatan panjang mengenai status Towani Tolotang. Pada tahun 1966, berselang beberapa bulan setelah adanya pernyataan penerimaan Islam oleh tokoh Towani Tolotang, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Bali/Budha No. 2/1966 mengeluarkan keputusan susulan yang menyatakan bahwa Towani Tolotang merupakan salah satu sekte agama Hindu dan mengangkat Makkatungeng sebagai pembimbing Towani Tolotang dan melaporkan kepada Bimas Hindu Bali Budha di Jakarta tentang kegiatan Towani Tolotang secara berkala. Ini artinya, Towani Tolotang tidak lagi berada di bawah naungan agama Islam seperti keinginan orang-orang Islam tetapi berada di bawah agama Hindu. 187
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 180 - 190
Pada perkembangan selanjutnya, Dirjen Bimas Hindu Bali Budha mengeluarkan keputusan yang mempertegas keputusan sebelumnya. Bahkan, Kejaksaan Agung RI meminta kepada Bimas Hindu Bali Budha untuk mencabut surat tersebut. Melihat kasus Towani Tolotang tidak menemui titik terang, persoalan keputusan Dirjen Bimas Hindu Bali Budha diambil alih oleh Menteri Agama. Sementara, Panglima Kodam XIV Hasanuddin, mengeluarkan surat keputusan No. Kpe. 010/05/PPD/1967 yang menyatakan bahwa persoalan Towani Tolotang menjadi tanggungjawab KODAM XIV Hasanuddin dan surat keputusan Dirjen Bimas Hindu Bali Budha dinyatakan tidak berlaku di Sulawesi Selatan yang berujung pada Operasi Malilu Sipakainge yang dilancarkan terhadap penganut Towani Tolotang. Operasi tersebut bertujuan untuk meniadakan kegiatan Towani Tolotang. Uraian di atas menunjukkan adanya dua kepentingan yang berbeda terkait dengan Towani Tolotang. Pemerintah Daerah Sidenreng Rappang yang mewakili masyarakat menginginkan agar Towani Tolotang memeluk Islam. Akan tetapi, pemerintah pusat justru menghendaki Towani Tolotang menjadi bagian agama Hindu. Pada kenyataannya, sampai saat ini, Towani Tolotang masih berada di bawah naungan agama Hindu, bukan agama Islam. Hal ini ditegaskan oleh pengisian Hindu pada kolom Kartu Tanda Penduduk oleh Towani Tolotang. Terlihat pula dengan jelas bahwa Towani Tolotang berada pada bayang islamisasi dan hinduisasi. Hinduisasi tidak hanya terjadi terhadap Towani Tolotang, tetapi juga terhadap beberapa agama lokal di Sulawesi Selatan (Ramstedt, 2004).
SIMPULAN Towani Tolotang dalam perjalanannya, dihadapkan pada dua macam bentuk diskriminasi. Diskriminasi yang pertama adalah diskriminasi yang berasal dari negara dengan model yang rapi dalam bentuk regulasi-regulasi yang membatasi ruang gerak Tolotang dalam menjalankan ajaran-ajaran188
nya. Terlebih lagi, Towani Tolotang diafiliasikan ke dalam agama Hindu merupakan bentuk paksaan dari pemerintah. Namun, harus pula diakui bahwa diskriminasi seperti ini juga menguntungkan Towani Tolotang. Kedua adalah bentuk diskriminasi yang berasal dari masyarakat di mana Towani Tolotang berada karena tidak semua lapisan masyarakat menghendaki Towani Tolotang untuk tetap eksis. Bentuk-bentuk diskriminasi tersebut bukan hanya dialami oleh Towani Tolotang akan tetapi juga terhadap semua aliran/komunitas keagamaan yang ada di berbagai tempat. Kedua bentuk diskriminasi di atas mencerminkan kontrol pemerintah yang sangat jauh memasuki area privat agama. Ini berdampak pada ketidakleluasaan agama lokal untuk mengembangkan diri dan ketidaksiapan sebagian masyarakat dalam menerima perbedaan khususnya dalam hal perbedaan keyakinan serta ketidakdewasaan dalam beragama. Agama-agama lokal yang masih eksis hingga saat ini di satu sisi menerima segala bentuk penataan atau konstruk negara terhadapnya. Mereka menganut agama yang ditentukan oleh negara. Dalam persoalan administrasi kependudukan, mereka mencantumkan salah satu agama resmi negara sebagai agama resminya. Namun di sisi lain, mereka juga melakukan perlawanan-perlawanan atau pembangkangan-pembangkangan terhadap segala bentuk penataan dan regulasi negara. Meskipun telah berafiliasi ke dalam dalah satu agama resmi negara, tetapi mereka tetap menjalankan kepercayaan atau ajarannya. Secara struktur, mereka berada di bawah salah satu agama resmi negara, tetapi secara kultur tetap mempraktikkan ajaran-ajarannya. Proyek agamaisasi negara ternyata sangat menguntungkan agama lokal seperti Towani Tolotang. Tawaran enam agama di satu sisi merupakan pembatasan negara yang sangat jelas terhadap eksistensi agama-agama lokal. Dengan enam agama yang wajib dipilih, berdampak langsung pada konsistensi sikap agama-agama lokal untuk terus bertahan.
Hasse J., Bernand Adeney Risakotta, dan Zainal Abidin Bagir -- Diskriminasi Negara terhadap Agama di Indonesia
Namun di sisi lain, tawaran seperti ini harus pula dipahami sebagai bentuk tanggungjawab negara terhadap keberlangsungan kehidupan warga negara. Dalam konstitusi sangat jelas digariskan bahwa negara berkewajiban mewujudkan kehidupan yang tertib. Salah satu upaya negara untuk mewujudkan amanah tersebut adalah dengan melakukan penataan-penataan yang bersifat menyeluruh dalam segala sektor termasuk agama meskipun perlu ditinjau kembali untuk memastikan efektivitas penataan ditempuh. Regulasi-regulasi yang mengatur persoalan agama menjadikan agama lokal khususnya Towani Tolotang sebagai penganut yang memiliki identitas yang tidak terisolasi dengan penganut agama lain. Afiliasi terhadap agama tertentu memantapkan posisinya sebagai agama yang dapat dan mampu menjalankan aktivitas-aktivitas keagamaan di masa depan. Towani Tolotang bukan lagi sebuah komunitas agama yang memiliki pembatasan, tetapi ia telah menjelma sebagai penganut agama yang setara dengan yang lain. Namun demikian, regulasi negara menimbulkan perlawananperlawanan baru di kalangan agama lokal meskipun sangat halus. Hal ini menjadikan Towani Tolotang sebagai agama yang tidak hanya berusaha bertahan, tetapi juga terus dipertahankan oleh kalangan tertentu dengan kepentingan tertentu pula. Penataan negara terhadap agama merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang akan mematikan agama-agama lokal. Oleh karena itu, kebijakan negara tersebut perlu ditinjau kembali untuk memastikan adanya ruang yang cukup bagi agama-agama lokal untuk berkembang. Agama-agama lokal yang sejak dulu eksis merupakan salah satu kekeyaan bangsa yang harus dikelola dengan baik. Pengelolaan tersebut dapat ditempuh melalui regulasi yang tidak memarginalkan mereka. Keberpihakan negara terhadap agama-agama besar yang ada saat ini perlu ditafsir ulang bentuk-bentuk keberpihakannya. Keberpihakan bukan melulu diartikan sebagai bentuk pemberian fasilitas,
tetapi justru penghargaan terhadap yang lain.
DAFTAR PUSTAKA Hasse J., 2008, “Agama Tolotang di Tengah Dinamika Sosio-Politik Indonesia: Konstruksi Negara atas Komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan”, dalam Irwan Abdullah (ed.), Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM-Pustaka Pelajar. Idaman, 2005, “Rirual, Identitas, dan Modernitas: Redefinisi Kepercayaan Aluk Todolo di Tana Toraja Sulawesi Selatan” Tesis. Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM, Unpublished. Kholiludin, Tedi, 2009, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil. Semarang: RaSAIL. Ma’arif, Samsul, 2003, ‘Religious Freedom in Indonesia the Constitution, Islamization of the Ammatoa of Sulawesi’, Tesis. Yogyakarta CRCS-UGM, Unpublished. Mattulada, 1982, “Manusia dan Kebudayaan Bugis-Makassar”, dalam Berita Antropologi, tahun XI, Nomor 38 Juli-September, 1980. Jakarta: Universitas Indonesia. Mudzhar, Atho, 2002, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nurudin, (ed.). 2003. Agama Tradisional: Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. Yogyakarta: LkiS-FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. Qoyim, Ibnu, 2004, “Agama dan Pandangan Hidup Masyarakat Towani Tolotang” dalam Ibnu Qoyim (ed.), Religi Lokal dan Pandangan Hidup: Kajian tentang Masyarakat Penganut Religi Tolotang dan Patuntung, Sipelebegu (Permalim), Saminisme, dan Agama Jawa Sunda. Jakarta: Lembaga Ilmu Penge189
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 180 - 190
tahuan Indonesia Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI). Ramstedt, Martin, 2004, Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion between
190
Local, National, and Global Interests. London: Routledge Curzon. Rosyid, Moh, 2008, Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kasiyan -- Quo-Vadis Multikulturalisme dalam Historis dan Historiografi Seni Rupa Indonesia
KAWISTARA VOLUME 1
No. 2, 17 Agustus 2011
Halaman 103-212
QUO-VADIS MULTIKULTURALISME DALAM HISTORIS DAN HISTORIOGRAFI SENI RUPA INDONESIA Kasiyan Staf Pengajar Universitas Negeri Yogyakarta Email: [email protected]
ABSTRACT Multicultural paradigm has been becoming the topic of discussions, as its valuable values concerning the spirit of respecting difference. The fact that differences commonly considered as threat in the Modernism philosophy, has led to the decrease or even loss of the particularity space. In the Indonesian context, multiculturalism has a long historical basis in line with its absolute constructed by plural complexity. Hence, the multiculturalism deserves to get involved in every cultural activity, no matter when, and in whatever context, not to mention in Fine Art Discipline. Within this, multiculturalism has even been the main concern considering that this discipline deals with creativity and aesthetic terminologies which cannot be separated from the discussion of differences as one of the main topics. What becoming the main concern is the fact that, this multiculturalism aspect within this discipline uncounsciously has also been a quo-vadis reality as other cultural mainstream. Keywords: Quo-vadis, Multiculturalism, Historical, Historiography, Fine Art
ABSTRAK Paradigma multikultural akhir-akhir ini banyak mendapatkan perhatian karena di dalamnya sarat dengan nilai-nilai yang menjanjikan berkembangnya peradaban yang dijiwai spirit penghargaan atas perbedaan. Hal ini mengingat, persoalan perbedaan kerap ditempatkan sebagai ancaman dalam filsafat Modernisme, yang mengakibatkan ruang keniscayaan partikularitas menjadi semakin ternegasikan. Dalam konteks keindonesiaan, multikulturalisme mempunyai akar historis yang panjang, sejalan dengan absolutitas negeri ini yang historisitasnya memang juga dikonstruksi dengan kompleksitas yang plural. Oleh karena itu, eksistensi multikulturalisme layak untuk terus disemaikan dalam setiap kerja kebudayaan, termasuk dalam hal ini adalah dalam disiplin Seni Rupa. Dalam disiplin Seni Rupa, multikulturalisme bahkan sejak lama telah menjadi salah satu roh terpenting, karena memang disiplin ini eksistensiya berkutat pada terminologi kreativitas dan estetika, yang salah satu esensinya adalah menyoal teks perbedaan sebagai jangkar aras kesadarannya. Yang menjadi persoalan kemudian adalah potensi multikulturalisme dalam disiplin Seni Rupa ini, juga menjadi realitas quo-vadis sebagaimana mainstream kebudayaan lain pada umumnya. Kata Kunci: Quo-vadis, Multikulturalisme, Historis, Historiografi, Seni Rupa
191
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 191.- 201
PENGANTAR Multikultural, sebagai sebuah paradigma dalam praksis kebudayaan yang pertama kali semaian wacananya hadir dalam kesadaran kebudayaan Barat, sejak tahun 60 dan awal 70-an (May, 1999: 1), hingga saat ini masih tetap menarik untuk terus ditafsir dan ditafsir ulang, hampir di semua belahan dunia. Penyebabnya adalah, di dalamnya terkandung nilai-nilai yang relatif potensial menjanjikan bagi tumbuhkembangnya konstruksi harmoni peradaban yang lebih berkeadilan karena di dalamnya dijiwai oleh spirit yang sarat dengan penghargaan atas perbedaan di tengah-tengah kebersamaan (unity and harmony in diversity), sebagaimana kodrat absolut kebudayaan semesta raya ini. Terminologi perbedaan, yang sebenarnya lebih merupakan satu keniscayaan, justru menjadi domain terdepan bagi pemicu sekian deret problem serius dalam kebudayaan. Hal ini disebabkan oleh adanya salah tafsir atas teks perbedaan itu sendiri, yakni bukan sebagai berkah, namun lebih ditempatkan sebagai ancaman keharmonisan dan kebersamaan sebagaimana yang menjadi kutukan dalam filsafat modernisme selama ini. Dengan segala arogansi paham universalismenya, modernisme tidak mampu mengantarkan harapan pencerahan peradaban, sebagaimana semangat awal yang membimbingnya sejak zaman renaissance, karena dengan amat semena-mena telah menegasikan ruang keniscayaan partikularitas dan bahkan di banyak jejak empirisnya dan fenomena tersebut kerap terekspresikan secara amat anarkis. Dalam konteks ke-Indonesiaan, multikulturalisme telah mempunyai akar historis yang amat panjang sejalan dengan realitas absolut negeri ini yang dikonstruksi dengan kompleksitas yang juga plural, baik dari sisi etnis, budaya, bahasa, seni, keyakinan, dan sederet pilar lainnya. Bahkan, jauh hari sebelum konsep sebuah nation-state dengan segala narasi dan atribusi ke-Indonesiaan termanifesto secara de yure, multikulturalisme juga telah menjadi pilar penyangga utama bagi sejarah kejaya-rayaan kerajaan-ker192
ajaan Nusantara, seperti Majapahit dan Sriwijaya. Fakta ini semakin meneguhkan betapa multikulturalisme merupakan satu teks yang eksistensinya layak untuk terus disemaikan dalam setiap kinerja kebudayaan, kapan dan dalam konteks apa pun, termasuk yang utama adalah dalam ranah pendidikan. Dalam ranah pendidikan yang lebih spesifik, yakni pada disiplin seni, khususnya lagi dalam konteks ini Seni Rupa misalnya, eksistensi filsafat multikulturalisme bahkan telah lama menjadi salah satu roh vital ketika memang basis kinerjanya disiplin seni berkutat pada domain ordinat estetika. Totalitas praksis kreasi-estetis seni rupa, baik dalam ranah yang berorientasikan seni murni maupun terapan, keduanya sama-sama memegang teguh salah satu prinsip penting yakni penghargaan akan representasi ‘uniqueness’ sebagai jangkar dan aras kesadarannya. Tafsir klasik atas ‘uniqueness’ ini, tipikal stereotipnya adalah penghargaan atas teks keberbedaan. Artinya, penghargaan pula atas paham multikulturalisme. Namun prinsip-prinsip paradigmatik multikultural dalam ranah seni sebagaimana dimaksud, dalam praksisnya kerap ditemukan fenomena pengingkaran terutama ketika jagad seni juga tak mampu keluar dari cangkang dan kutukan modernisme. Dampak krusialnya adalah adanya kecenderungan kritik terhadap eksistensi seni yang relatif kurang berdaya dalam mengemban misi imperatif katarsisnya, sebagai salah satu pilar vital bagi kanal pembebasan dan pencerahan kebudayaan.
PEMBAHASAN Miskonsepsi Paradigma Multikultural Untuk memahami konsep ‘multikultural’ secara ontologis adalah dengan cara mengembalikannya konsep tersebut pada akar makna kebudayaan itu sendiri (Suparlan, 2002), karena memang kata multikultural itu dibentuk dari istilah ‘kultur’ yang diberi awalan ‘multi’. Kata ‘multi’ berarti banyak, lebih dari satu, lebih dari dua, atau berlipat ganda (Anton M, 2005: 761). Makna kata ‘kultur’, tidak memiliki keketatan
Kasiyan -- Quo-Vadis Multikulturalisme dalam Historis dan Historiografi Seni Rupa Indonesia
apalagi monodimensi. Kroeber & Kluckhohn menegaskan, culture has many definitions and conceptualizations(Kroeber & Kluckhohn, 1952). Namun, ada substansi besar yang dapat diekstrakkan untuk memayungi kompleksitas pemahaman teks kebudayaan sebagaimana dimaksud, yakni: sebagai keseluruhan aspek kehidupan masyarakat yang mana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu (Ihromi, 2000: 18). Pemahaman ini paralel dengan pemaknaan klasik dalam Antropologi, yang memandang kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupannya, yang dijadikan milik diri mereka dengan cara belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180). Jika disandarkan pada pengertian kebudayaan yang begitu plastis dan luas cakupannya tersebut, mestinya pengertian konsep ‘multikultural’ juga harus mampu mengkerangkai holistisitas keplastisan potensi persoalan yang mungkin ada dalam kerangka kebudayaan tersebut. Namun realitasnya adalah tidak demikian, pemahaman tentang multikultur selama ini telah terjadi miskonsepsi, yang disebabkan semata-mata dikaitkan dengan persoalan etnisitas dan rasialitas. Kata kunci ‘perbedaan’ yang senantiasa menjadi konsep sentral dalam diskursus multikulturalisme mestinya tidak direduksi dalam dialektikanya semata-mata dengan persoalan etnisitas dan rasialitas, melainkan mencakup keseluruhan kompleksitas dimensi lain yang melekat dalam diri kebudayaan itu sendiri, misalnya terkait dengan ranah psikologis, sikap, usia, jenis kelamin, sistem nilai, kebiasaan, adat-istiadat, dan lain sebagainya (Sinagatullin, 2003: 85). Implikasi pemahaman reduksionis atas paradigma multikultural tersebut, akhirnya juga berimbas pada penyempitan makna tentang konsep ‘pendidikan multikultural’ yang berkembang di masyarakat, yang juga tak lebih dari pergulatannya dengan wacana persoalan etnisitas semata (Sinagatullin, 2003: 5). Paradigma multikultural mestinya merupakan terninologi kebudayaan yang luas, yang prinsip terdasarnya sadalah ‘anti-
hegemoni’ (Goldberg, 1994: 3). Atau dalam kata-katanya Schubert, “conceptualized multiculturalism as a ‘counter-hegemony’ movement” (Schubert, 2002: 45). Demikian juga halnya ketika paradigma multikultural itu dikerangkakan dalam ranah pendidikan, mestinya juga harus sebagai sebuah ‘metadiscipline ’, yang di dalamnya mencakup: “content integration, the knowledge construction process, prejudice reduction, an equity pedagogy, and an empowering school culture and social structure”. Tujuan akhirnya adalah sebagai jembatan emas yang akan mengantarkan subjek didik terinternalisasi nilai-nilai ‘pervasive culture’, sebagai tiket utama untuk mewujudkan apa yang diistilahkan dengan‘cultural mosaic’ (Mio, 1999: 72) dan ‘cultural sustainaibilty’ (Bekerman & Kopelowitz, 2008: 5).
Bias Gender: Historis dan Historiografi Seni Rupa yang Berjenis Kelamin Salah satu persoalan yang krusial terkait dengan wacana ‘perbedaan’ yang selalu menampak dalam setiap lintasan kebudayaan kapan pun dan di mana pun, termasuk dalam konteks ini adalah dalam jagad seni rupa adalah persoalan yang berbasis jenis kelamin, yakni maskulinitas dan feminitas (Hofstede, 1991; 1998). Persoalan ini dalam wacana studi termutakhir banyak dielaborasi dengan bingkai paradigma ‘gender’ (Crystal, 1991: 487). Secara sederhana, substansi yang melekat dalam fokus ini, adalah kritik atas realitas kebudayaan selama ini, yang tanpa disadari adalah ‘berjenis kelamin laki-laki’ (androcentric), dan karenanya seksis. Kondisi ini berujung pada munculnya sekian deret fenomena ketidakadilan yang nyaris sempurna, terutama yang menimpa kaum perempuan, yang terinternalisasi dalam segala sistem pranata kebudayaan yang ada, kapan pun dan di mana pun. Lanskap seperti ini tak steril juga, bahkan dapat dikatakan sebagai satu persoalan serius dalam tradisi historis dan historiografi seni rupa, baik Indonesia maupun dunia. Hal itu dapat dijumpai dengan amat segera 193
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 191.- 201
misalnya, dalam dataran wacana baik yang menyangkut ‘tokoh’ maupun ‘pokok’. Pertama, terkait dengan wacana ‘tokoh’, kritik ini bisa dimulai dari pencarian posisi seniman perempuan dalam sejarah kesenirupaan kita. Jika diajukan pertanyaan, “Adakah perupa (besar/jenius) perempuan dalam sejarah seni rupa kita?” Maka upaya mencari jawaban atas pertanyaan ini, kerap akan berujung sia-sia, karena fakta menunjukkan historis dan historiografi seni rupa itu ter(di)susun melalui suatu prosedur dan protokol yang tipikal yakni ‘patriarki’ (Mies, 1986), yang berbasiskan bias ideologi ‘gender’. Karena itu tidak mengherankan, jika daftar nama seniman pencipta sejarah seni rupa, baik dunia maupun Indonesia, catatannya tak beranjak dari sederetan nama tokoh seperti Picasso, Rembrant, David, Michelangelo, Van Goch, Davinchi, Pollock, Raden Saleh, Affandi, Basuki Abdullah, Sudjojono, dan sederetan nama lainnya, yang semuanya adalah laki-laki. Demikian juga halnya dengan nama-nama untuk para intelektual, kritikus, serta kurator seninya, yang ada adalah juga deretan daftar lakilaki. Itulah sebabnya, upaya mencari kehadiran ‘Sudjojono perempuan’ atau ‘Michelangelo perempuan’ dalam peta sejarah seni rupa Indonesia dan dunia misalnya, bisa akan berakhir sia-sia (Supriyanto, 2001). Griselda Pollock dalam “Pengantar” untuk buku Vision and Difference: Femininity, Feminism, and the Histories of Art (1988), yang diadaptasi Enin Supriyanto karenanya menegaskan bahwa fenomena tersebut adalah salah satu pokok penting yang selama ini luput dalam kritik dalam historis dan historiografi modern dunia, yakni tidak hadirnya perupa perempuan sebagai bagian penting dari perkembangan seni rupa modern dunia, yang kemudian menyarankan untuk menguji ulang berbagai historisitas seni rupa modern selama ini, sebagai bagian dari upaya yang disebutnya: ‘intervensi feminis ke dalam sejarah seni rupa’ (Supriyanto, 2001). Hal ini sedikit banyak sejalan dengan rumusan kritis dari Louis Althusser, yang meyakini bahwa dalam setiap konsep, waca194
na, atau disiplin itu, selalu bisa dilacak kehadiran selubung ideologis, tempat makna dan nilai dari berbagai konsep dan disiplin ilmu itu disandarkan. Kedua, dari sisi perspektif ‘pokok’ tampaknya juga tidak jauh berbeda, yakni arus utama tematik representasi seni rupa Indonesia, sosok laki-laki tetap sebagai subject matter yang didedahkan dominan, jika dibandingkan dengan perempuan. Secara tradisional perempuan lebih tampak mengedepan dalam stereotip yang sudah terstigma, di antaranya yang paling menonjol adalah sebagai penanda pesan-pesan penggugah berahi, dalam wujud figur-figur telanjang, dan visualisasi domestikisasi eksistensi dirinya, baik di ranah domestik maupun publik (Kasiyan, 2007). Kenyataan yang hampir sama dan bahkan jauh lebih kitsch maknanya, adalah yang terjadi dalam wacana applied Art yang berbasisikan budaya massa misalnya, sebagaimana yang terdapat dalam karya-karya desain komunikasi visual, seperti periklanan, di mana perempuan menjadi taruhan komodifikasi-estetis utama, melalui eksploitasi, manipulasi, dan dehumanisasi tubuhanya (Kasiyan, 2006, 2008). Singkatnya, perempuan sampai hari ini masih merealitas sebagai objek yang merayakan ketakberdayaan. Di sinilah perempuan meng-ada dalam sejarah seni khususnya dan peradaban pada umumnya, tak lebih sebagai apa yang diistilah sebagai sosok ‘second sex’ (de Beauvoir, 2003: x). Adagium klasik yang menegaskan bahwa ‘perempuan tanpa sejarah’ dan ‘sejarah tanpa perempuan’ menemukan bukti dan verifikasi sahihnya dalam hal ini (Purwanto, 2006: xviii). Kuntowijoyo pernah memerkarakan realitas ini, dan mencoba mencari jawab akan akar pesoalan yang dapat dirujuk, dan menemukan satu jawaban: dikarenakan konstruksi sejarah yang menarik perhatian secara konvensional adalah sejarah yang memang dipenuhi dengan tema-tema sejarah politik dan militer. Sejarah politik dan militer adalah sejarah tentang kekuasaan dan keperkasaan, dua hal yang selalu men-
Kasiyan -- Quo-Vadis Multikulturalisme dalam Historis dan Historiografi Seni Rupa Indonesia
jadi milik kaum laki-laki. Oleh karena itu rekonstruksi sejarah kita bercorak ‘androcentric’, sejarah berpusat pada kaum laki-laki saja (Kuntowijoyo, 2003: 115). Lanskap yang agak berbeda akan didapatkan, jika fenomena yang yang ada dalam realitas historis dan historiografi seni rupa Indonesia tersebut, dibandingkan dengan fenomena yang terdapat dalam disiplin seni yang lain, taruhlah dalam seni tari, musik dan juga sastra. Di ketiga disiplin seni tersebut perempuan, baik sebagai tokoh maupun pokok telah menjadi bagian yang relatif jauh lebih bermartabat dan bermakna.
Bias Fine Art dan ‘Homonisasi’ Visual Art Paling tidak ada dua basis pijakan yang dapat dijadikan pintu masuk bagi pemahaman problem ‘hegemoni’ dalam seni rupa Indonesia ini, yakni pertama, dilihat pada dataran ‘praktik wacana’, dan kedua di ‘wacana praktik’ yang termanifesto secara sosiologis di masyarakat. Pertama, di tingkat ‘praktik wacana’, sandaran yang paling kuat dapat dijangkarkan pada analisis terkait dengan bagaimana wacana seni rupa itu meng-ada terutama dalam strukturasi disiplin akademi mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Hasilnyab menunjukkan, betapa strukturasi kajian teoretik disiplin seni rupa itu, tipikalnya cenderung mengafirmasi pandangan yang sudah tereduksi terlampau jauh tentang wacana seni rupa mayor (hight art) dan fine art, dengan mainstream-nya lukisan, patung, dan grafis. Sebaliknya, khazanah visual art lain di luar itu, misalnya yang berbasiskan pada etnik tradisi, seperti Kriya dan atau Kerajinan nyaris tak pernah masuk menjadi bagian narasi besar, karena stereotip sosiologisnya terlanjur dianggap sebagai low art yang tak penting. Berdasar dari kenyataan itulah, kiranya perlu apa yang dinamakan dengan revitalisasi paradigma keilmuan seni di perguruan tinggi, agar kita tidak selalu merasa ‘lack of discourse’ and ’lack of knowledge’ (Kasiyan, 2004). Kedua, yakni problem elitisme di tingkat ‘wacana praktik’, yang pemahamannya
paling tidak dapat dikerangkakan dari aras analisis terkait dengan bagaimana realitas praksis seni rupa Indonesia itu menyejarah di masyarakat. Fakta empiris di ranah ini, juga akan menghasilkan konklusi sama, yakni mainstream-nya juga tetap didominasi oleh seni rupa mayor fine art sebagai high art yang bersumber dari spirit ‘avant-gardism’. Realitas masih bersaksi betapa dominasi dan superioritas fine art sampai hari ini, bahkan harus ditebus dengan semakin inferioritasnya pada banyak dimensi visual art lain, misalnya ‘seni Kriya’, relatif tak mendapat ruang penghargaan yang memadai, bahkan semakin lebih tragis lagi di era kontemporer ini (Kasiyan, 2009). Inilah yang penulis maksud telah terjadi ‘homonisasi’ dalam historis dan historiografi seni rupa Indonesia selama ini, yakni: “seni rupa telah menjadi serigala bagi ‘seni rupa yang lain’-nya”.
Bias ‘Barat-Jawasentrisme’ Problem lain dalam seni rupa Indonesia terkait dengan eksistensi multikultural adalah konstelasinya yang selama ini mengafirmasi dua patron sentralistis, yakni Barat dan lokal-etnik, terutama Jawa. Pertama, patronase Barat telah menjadi keniscayaan terkait dengan dampak penjajahan Barat yang menimpa bangsa-bangsa bekas jajahan itu, berupa keterbelahan sikap dalam perkembangan budaya mereka. Bagaimana konsepkonsep modernitas yang ditawarkan kolonialisme Barat itu begitu memesona, sehingga hampir seluruh planet bumi ini akhirnya dikuasai oleh norma-norma Barat. Di negara-negara postkolonial segala infrastruktur, konsep kebijaksanaan, dan bahkan ideologinya merupakan fotokopi negara-negara kolonial. Perbedaannya adalah para penguasanya saja yang berganti warna kulit. Yang terjadi hanyalah ‘palihan nagari’ atau ‘scheuring van het rijk’, karena struktur sosial budayanya masih sama seperti pada masa kolonial (Onghokham, 2009: 163-164). Edward Said lewat Orientalism-nya mengintrodusir fenomena ini sebagai sebentuk realitas ‘postkolonial’ (Said, 1979). Kolonialisme telah menciptakan realitas budaya tersendiri yang khas bagi bangsa 195
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 191.- 201
terjajah yang nyaris mirip di seluruh dunia, yang salah satunya adalah memanifesto dalam bentuk ketidakmampuannya untuk merumuskan masa depan. Masa depan itu tidak merealitas di benak para korban penjajahan, di luar jangkauan, di tangan orang lain, bahkan menjadi milik orang lain. Untuk merumuskan masa depan itu, membutuhkan apa yang dinamakan dengan ’pengetahuan’, baik pengetahuan alam maupun pengetahuan buatan. Pengetahuan alam mengandung kadar keharusan, sedangkan pengetahuan buatan, mengandung kadar pilihan. Pemahaman akan adanya keharusan dan pilihan seperti itu membutuhkan tradisi tersendiri, yang akan bertanggungjawab atas himpunan kadar pilihan yang tersusun dan kemudian diyakini dan dipeluknya (Saliya, 2002: 44). Akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa bangsa-bangsa terjah, tidak pernah memiliki pengetahuan dan pilihan–pilihan itu. Pilihan merupakan hak prerogratif sang penjajah. Bagi kaum terjajah, pilihan adalah suatu kemewahan. Kalaulah bukan di tangan orang lain, nasibnya berada di luar jangkauannya, atau sama sekali di luar kesadaran kulturalnya. Karena itulah, nyaris semua kepranataan pengetahuannya bangsa-bangsa bekas jajahan itu, merupakan barang pinjaman atau bersumber dari Barat (Saliya, 2002:44). Termasuk dalam konteks iniadalah pengetahuan dalam bidang seni rupa. Hal ini dapat dirunut sejak awal perkembangan seni rupa modern Indonesia mulai era Raden Saleh, Mooi Indië, Gerakan Seni Rupa Baru, sampai Kontemporer, yang selalu mengikuti pola seni rupa Barat (Burhan, 2006: 275). Estetika seni rupa Indonesia adalah juga mengafirmasi penuh estetika Barat (Sutrisno, 1993; Gie, 1996; Djelantik, 1999; SUmardjo, 2000). Oleh karena itu, Linda Tuhiwai Smith menyarankan untuk melakukan ‘dekolonisasi metodologi’ atas segala konstruksi epistemis-historis yang kita miliki. (Smith, 2005). Kedua, adalah persoalan ‘Jawasentrisme’ dalam praksis kesenirupaan Indonesia, baik dalam format fine art maupun applied 196
art. Dalam format fine art misalnya, dapat dilihat betapa selama ini Jawa, terutama Yogyakarta dan Bandung, adalah pusat wacana segala-galanya bagi penjelasan perkembangan seni rupa Indonesia, sejak sebelum modern hingga kontemporer (Rahardjo, 2009: 8). Hal itu akan menafikkan fakta kekayaan eksistensi dan perkembangan seni Kriya di wilayah lain di Indonesia, yang bukan hanya juga amat kaya dan beragam, melainkan juga memiliki jejak dan akar historis yang tak kalah panjang di masa lampau. Kerajinan batu dan batu belah yang ada di Kalimantan tepatnya di situs gua Niah Sarawak misalnya, sudah ada sejak 40.000 tahun SM; kerajinan Toali, berupa ‘microlith’di wilayah Maros Sulawesi Selatan, ada sejak 8000 tahun lampau; di Sulawesi Utara, tepatnya di semenanjung Minahasa, dekat danau Tondano, kerajinan sudah ada sejak 6000 tahun SM; serta di Timor dan Flores yang sudah ada sejak 13.000 tahun lampau (Munoz, 2009: 19-22). Demikian juga halnya dengan fakta historis lain, ketika Indonesia masih dalam Era Kolonisasi Belanda, kekayaan khazanah Kriya kita yang ada membentang di seantero Nusantara, pernah menjadi kebanggaan yang amat luar biasa bagi pemerintahan kolonial Belanda, ketika diikutkan dalam acara ‘Exposition Coloniale Internationale’ (Festival Akbar Para Penjajah) di Bois de Vincennes Paris Perancis pada musim semi 1931. Anjungan pemerintah kolonial Belanda yang memamerkan berbagai khazanah produk kebudayaan dari negeri jajahannya (terutama Indonesia), berupa karya-karya kriya etnik yang sebagian besar berasal dari luar Jawa, yakni mulai dari Sumatera, Sulawesi, Bali, sampai Papua, betapa mendapatkan penghargaan teringgi dan paling berhasil menghipnotis lebih dari 34 juta pengunjung, karena karya-karya kriya yang dihadirkan langsung dari Indonesia itu sungguh amat luar biasa, hingga konon katanya manampak bak pemandangan di negeri dongeng (Gouda, 2007: 344-407). Dalam derivat lebih jauh lagi, proyek Jawanisasi ini juga menemukan legitimasi
Kasiyan -- Quo-Vadis Multikulturalisme dalam Historis dan Historiografi Seni Rupa Indonesia
akademiknya, ketika misalnya buku-buku kajian tentang perkembangan seni rupa Indonesia juga banyak dijangkarkan berlokuskan Jawa. Claire Holt misalnya, lewat Art in Indonesia: Continuities and Change, yang pertama kali diterbitkan oleh Cornell University Press di Ithaca New York (1967) dan kemudian diterjemahkan oleh R.M. Soedarsono menjadi Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia (2000), juga menempatkan Jawa sebagai situs utama ketika menarasikan tentang sejarah seni rupa Indonesia sejak zaman prasejarah hingga modern (Holt, 2000). Pertanyaannya adalah mengapa mesti Jawa? Denys Lombard lewat Magnum Opusnya: Le Carrefour Javanais: Essai d’Historie Globale (1990) pernah memberikan jawabannya. Menurutnya, karena memang Jawa adalah merupakan salah satu pusat kebudayaan yang kerap merepresentasikan Indonesia. Marco Polo misalnya, untuk menggambarkan betapa besar dan bermaknanya Jawa, ketika membincangkan tentang Indonesia, dalam bukunya La Description du Monde, (1955) menyebut Pulau Jawa sebagai ‘Jawa Besar’ atau ‘Jawa Mayor’, untuk membedakan dengan tetangganya, Sumatera misalnya, yang dinamakannya dengan istilah ‘Jawa Minor’. Meski luas pulau Jawa hanya sekitar tiga kali lebih kecil daripada Sumatera, namun dari mana pun kita menelaah kepulauan Indonesia, harus diakui bahwa Jawa memang menonjol. Kekaguman Marco Polo itu juga ada pada para musafir yang datang sesudahnya, semua memberikan kepada Jawa tempat utama dalam kisah dan kajian mereka. Di pulau itulah masa prasejarah dimulai, dengan ditemukannya sisa-sisa pithecanthropus erectus di pusat pulau, di Trinil, di lembah Bengawan Solo. Di pulau itu pula, dimulai ‘sejarah’ Indonesia, dengan ditemukannya batu bertulis pertama di sebelahnya. Sampai abad ke-15, dokumen-dokumen arkeologi dan epigrafi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur akan menyajikan inti dari dokumentasi bagi sejarawan. Pada abad ke-14, pulau Jawa menjadi pusat dari sebuah sistem
pelayaran antarpulau yang sangat canggih, yaitu ‘imperium Majapahit’, yang dalam arti tertentu merupakan citra penyatuan-penyatuan Nusantara yang dicapai kemudian. Pada abad ke-15, Islamisasi pantai utara menandai munculnya sebuah tata ekonomi dan sosial baru. Pada abad ke-16, ketika sumber-sumber Barat membawa informasi baru tentang daerah tersebut, terungkap lah betapa pentingnya kota-kota pelabuhan dagang di pesisir itu, terutama Kesultanan Banten, di barat. Jelaslah bahwa keputusan Belanda untuk menetapkan bandar utama mereka di dekat tempat tersebut bukan suatu kebetulan. Dengan menetap di Batavia, mereka mengakui dan sekaligus memperkuat kedudukan utama pulau Jawa. Kini, dengan berpusat di Jakarta pulalah, wilayah Indonesia mengambil bentuk (Lombard, 1996: 18-19). Demikian juga bagi Thomas Stamford Raffles misalnya, Jawa juga merupakan satu situs yang dianggap amat memukau, selama ia berada di Indonesia, yang dimulai pada tahun 1811, ketika disertakan dalam rombongan ekspedisi ke tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur (Lieutenant Governor of Java), di bawah perintah Gubernur Jenderal (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynynmod (1751-1814) atau yang lebih dikenal dengan Lord Minto, dan kemudian menjadi Gubernur Jenderal (1811-1816). Selama kepemimpinannya yang sebenarnya hanya lima tahun itu, dan didorong oleh keterpukauannya yang luar biasa atas Jawa, dihasilkannya karya masterpiece-nya The History of Java yang amat klasik dan melegenda itu (Raffles, 2008). Akan tetapi, semua bukti risalah historis maupun akademis itu, kiranya tetap tak cukup memadai untuk digunakan sebagai rujukan legitimasi atas persoalan hegemoni. Bahkan atas nama apa pun, yang dinamakan hegemoni dalam konteks berkebudayaan apa pun, kapan pun, dan di mana pun, tetap juga tak pernah dapat ditoleransi, karena sebagaimana diteguhkan oleh Nietzsche, memang kerapkali praksis hege197
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 191.- 201
moni pengetahuan itu sebenarnya ujungujungnya bermuara pada motif ‘kehendak untuk berkuasa’ (Der Wille zur Macht) semata (Sunardi, 2001: vii). Dengan demikian, Jawa dengan segala warna ideologi kebudayaannya, betapa telah menjadi sebentuk situs trauma, yang dengan hegeominya telah mengukuhkan dirinya sebagai sang pusat, sentral, superior, dan menjadi patron, sebaliknya, etnik-etnik lainnya di luar Jawa sebagai client yang berada dalam ordinat peripheral, dan karenanya selalu menderita ‘inferior complex’ yang tak berujung sudah. Model dialektika budaya yang dibangun seperti ini, betapa tanpa disadari telah menempatkan etnik-etnik di luar Jawa, seolah menjadi semacam ‘subaltern’, ‘the other’ (sang liyan), yang keberadaannya harus di-Jawa-kan, jika ingin masuk altar terhormat, situs harmoni sah di negeri ini (Loomba, 1998: 22). Model-model penyeragaman kebudayaan etnik Nusantara ini, dalam jangka panjang, betapa hasilnya sudah dapat dituai dan disaksikan: destruktivitas konflik kedaerahan yang berkembang dalam banyak varian yang sulit diselesaikan, karena memang jejaring pengaman kearifan budaya lokal sebagai modal sosialnya, telah banyak yang musnah ter(di)hancurkan. Dari sini dapat dilihat bahwa setiap politik penyeragaman hanya akan mematikan ke-Indonesiaan dalam pembekuan teks yang sekarat dan layu (Sutrinso, 2004: 6). Jawanisasi yang menyejarah panjang ini, menjadi begitu bertele-tele dan sulit untuk diurai, meski zaman bukan hanya telah beringsut, tetapi sudah berganti, yang disebabkan masih cukup dominannya kultur feodalisme, yang disokong oleh satu ‘Teologi Priyayi’, yang konon risalahnya berbeda benar jika dibandingkan dengan teologiteologi lain, taruhlah: Teologi Ortodoks dan Teologi Pembebasan. Jika Teologi Ortodoks ingin mengubah manusia untuk mengubah dunia, dan Teologi Pembebasan, ingin mengubah dunia untuk mengubah manusia, maka Teologi Priyayi ingin mengubah manusia untuk tidak mengubah dunia (Arsuka, 2002: 325). Terkait dengan hal inilah, 198
Loomba mengkritisi tentang perspektif sempit atas tafsir postkolonialisme yang ada selama ini, yang semata-mata penjajahnya itu dialamatkan ke Barat, padahal kolonisasi terbukti juga banyak dilakukan oleh diri-internal budayanya sendiri (Loomba, 1998: 22).
Seni Rupa Kontemporer: Harapan Oasis Multikultural Pelbagai problem baik seksis, elitis-hegemonik, maupun Barat-Jawasentris tersebut, sedikit banyak harapannya bisa dicairkan dengan kehadiran wacana Kontemporer dalam sejarah seni rupa Indonesia, yang gelagat momentumnya mulai memiuh di seputar era ‘90-an, yang ditandai dengan begitu mengedepannya spirit kebaruan yang diusungnya, yang menyediakan ruang toleransi luar biasa bagi terminologi ‘perbedaan’, baik dari sisi basis material, medium, keteknikan, maupun subject matter -nya dalam berkarya seni (Marianto, 2000). Fenomena perayaan atas ‘perbedaan’ dan keberagaman ini, bahkan kemudian tetap menjadi pemandu spirit utama dan terdepan bagi pencapaian puncak-puncak perkembangan art world seni rupa Indonesia sampai tahun 2000-an belakangan. Namun dari berbagai realitas yang menampak ke permukaan, dari begitu banyaknya representasi ke-kontemporer-an yang ada, ternyata tetap tidak atau paling tidak belum mampu merapuhkan ingatan apalagi menggeser akan maisntream mitos kutukan yang telah mapan dalam tradisi Seni Rupa Modern Indonesia yang sudah terbentuk sangat lama itu. Secara sosiologis bahkan bangunan imperium seni rupa Kontemporer, yang cenderung tampil kelewat ‘seksi’, dengan mengafirmasi kredo ideologi ‘anything goes’, dengan tingkat sofistikasi yang melampaui pemahaman publik, fenomenanya banyak yang masih menjadi wilayah asing, bahkan tak jarang keberadaanya diprotes, karena dianggap mengganggu dan menimbulkan ketidaknyamanan. Di sinilah dapat dilihat, betapa usaha-usaha keras dan panjang yang
Kasiyan -- Quo-Vadis Multikulturalisme dalam Historis dan Historiografi Seni Rupa Indonesia
dilakukan oleh seni selama ini, ternyata tidak atau belum berhasil mendidik publik untuk dekat dengan kesenian. Atau lebih tepat sebaliknya: tidak atau belum berhasil mendidik kesenian untuk menjadi dekat dan integral bagi kehidupan publik; menjadi salah satu sumber identifikasi persoalan dan diri publik itu sendiri (Dahana, 2001: 170). Karenanya manakala ditimbang secara benar, fenomena ke-Kontemporer-an yang mewajah dalam historis dan historiografi seni rupa Indonesia, terutama dalam kelindannya dengan paradigma multikultural, pada taraf tertentu dapat diatribusi sebagai sebentuk realitas yang cenderung ‘involutif’ (Kleden, 1995: 134-135; Geertz, 1983).
SIMPULAN Sebagai penutup dapat ditegaskan lagi bahwa hakikat makna multikultural itu baik dalam persepktif makrokultur yang luas maupun mikrokultur seperti dalam disiplin seni misalnya, adalah bukan sebagai pilihan, melainkan keharusan. Persoalannya kemudian adalah mau kita, baik perupa atau seniman, pendidik seni, pecinta seni, maupun masyarakat dalam arti luas memberi tafsir ulang yang lebih inklusif dan terbuka atas realitas quo-vadis itu, jika kita masih bersepakat mengidealkan seni sebagai salah satu situs penting yang menggendhong visi-nilai ‘katarsis’ bagi pemuliaan peradaban dan kehidupan yang kodrat sejatinya adalah memang plural, multikultural. Hingga harapannya akan mampu dihadirkan risalah kompleksitas ekspresi-kreatif-estetis seni rupa dengan segala narasi besarnya yang tak hanya cenderung tunggal, melainkan multi dan plural. Kita mestinya dapat melihat tidak hanya ada satu sejarah, tapi sejarah-sejarah, banyak sejarah, bahkan awan debu sejarahsejarah (Dewanto, 1996: 44). Paradigma multikultur mengajarkan pada kita, terutama tentang hakikat ‘liyaning liyan’, menghormati yang-beda dalam keberbedaannya dan yang-lain dalam kelainannya. Paradigma multikultural membukakan keluasan horizon cakrawala pada kita, sebuah afir-
masi akan ‘Yang-Lain’. Ia meneguhkan pentingnya penghargaan atas teks perbedaan, di tengah dunia yang dibayang-bayangi hasrat akan kebenaran yang ‘utuh’ dan ‘tak retak’.
DAFTAR PUSTAKA Arsuka, Nirwan Ahmad, 2002, “Priyayi, Kerja, dan Sejarah”, dalam Esay-esay Bentara 2002. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Bekerman, Zvi and Ezra Kopelowitz, (eds.), 2008, “Introduction”, in Cultural Education—Cultural Sustainability: Minority, Diaspora, Indigenous and EthnoReligious Groups in Multicultural Societies. New York & London: Routledge. Burhan, M. Agus, 2006, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”, dalam Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bhakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta. Crystal, David, (ed.), 1991, The Cambridge Encyclopedia. New York: Cambridge University Press. Dahana, Radhar Panca, 2001, “Seni yang Asyik Sendiri”, dalam Kebenaran dan Dusta dalam Sastra. Magelang: Indonesiatera. de Beauvoir, Simone, 2003, Second Sex: Fakta dan Mitos . Terjemahan Toni B. Febriantono. Surabaya: Pustaka Promothea. Djelantik, A.A.M, 1999, Estetika: Sebuah Pengantar . Cetakan Pertama. Bandung: MSPI. Geertz, Ciffort, 1983, Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Gie, The Liang, 1996, Filsafat Keindahan. Edisi Pertama, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna. Goldberg, David T., (ed.), 1994, Multiculturalism: A Critical Reader. Oxford: Blackwell. 199
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 191.- 201
Gouda, Frances, 2007, “Bab 6: Anjungan Hindia Belanda Terbakar: Kehadiran Belanda di Pameran Kolonial se-Dunia di Paris, 1931”, dalam Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942. Terjemahan Jugiarie Soegiarto & Suma Riella Rusdiarti. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Hofstede, G, 1991, Cultures and Organizations: Software of the Mind. London: McGraw-Hill. Holt, Claire, 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terjemahan R.M. Soedarsono. Cetakan Pertama. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Ihromi, T.O, 2000, “Konsep Kebudayaan”, dalam Pokok-pokok Antropologi Budaya . Edisi Kesebelas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kasiyan, 2004, “Revilatisasi Paradigma Keilmuan Seni di Perguruan Tinggi”, dalam Imaji, Jurnal Seni dan Pendidikan Seni Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Edisi April. __________ , 2006, “Komodifiaksi Seks dan Pornografi dalam Estetika Iklan di Media Massa”. Laporan Penelitian Tidak Diterbitkan. Lembaga Penelitian, Universitas Negeri Yogyakarta. __________ , 2007, “Tema Perempuan dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta: Tinjauan Perspektif Gender ”. Laporan Penelitian Kajian Wanita Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta. __________ , 2008, Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ombak. __________ , 2009a, “Seni Kriya dan Kearifan Lokal: Tatapan Postmodern dan Postkolonial”, dalam Suwarno Wisetrotomo (ed.), Lanskap Tradisi, Praksis Kriya, dan Desain: Cendera Hati Purnabhakti untuk Prof. Drs. SP. Gustami, 200
SU. Cetakan Pertama. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, Maret. Kleden, Ignas, 1985, “Pembaharuan Kebudayaan: Mengatasi Transisi”, dalam Prisma, Edisi 8. Koentjaraningrat, 1990, “Bab V Kebudayaan”, dalam Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan Kedelapan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Kroeber, A. L. & C. Kluckhohn, 1952, Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions. New York: Vintage Books. Kuntowijoyo, 2003, “Sejarah Wanita: dari Sejarah Androcentric ke Sejarah Androgynous”, dalam Metodologi Sejarah. Edisi Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana. Loomba, Ania, 1998, Colonialism/Postcolonialism. London: Routledge. Margalit, Avishai & Joseph Raz, 1995, “National Self-Determination”, in Will Kymlicka, (ed.), The Rights of Minority Cultures. New York: Oxford University Press. Marianto, M. Dwi, 2000, “Gelagat Yogyakarta Menjelang Millenium Ketiga”, dalam Jim Supangkat, et al., Outlet: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti Bekerjasama dengan Prince Claus Fund for Culture and Development Belanda. May, Stephen, (Ed.), 1999, “Introduction: Towards Critical Multiculturalism”, in Critical Multiculturalism: Rethinking Multicultural and Antiracist Education. Philadelphia: Falmer Press. Mies, Marla, 1986, Patriarchy and Accumulation on a World Scale: Woman in the International Division of Labour. Avon: The Bath Press. Mio, Jeffery Scott, et al, 1999, Key Words in Multicultural Interventions: A Dictionary. Westport, Connecticut, London: Greenwood Press. Munoz, Paul Michel, 2009, “Prasejarah”, dalam Kerajaan-kerajaan Awal Kepu-
Kasiyan -- Quo-Vadis Multikulturalisme dalam Historis dan Historiografi Seni Rupa Indonesia
lauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia: Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Jaman PrasejarahAbad XVI) . Terjemahan Tim Media Abadi. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Mitra Abadi. Onghokham, 2009, “India yang Dibekukan: Mooi Indië dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial”, dalam Harsya W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, dan Onghokham, Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie, dan Nasionalisme. Jakarta: Komunitas Bambu. Purwanto, Bambang, 2006, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?. Yogyakarta: Ombak. Raffles, Thomas Stamford, 2008, The History of Java. Terjemahan Eko Prasetyaningrum, et al. Yogyakarta: Narasi. Raharjo, Timbul, 2009, “Industri Kriya sebagai Media Percepatan Kesejahteraan Ekonomi Kerakyatan”, dalam Prosiding Seminar Nasional Seni Kriya: Kriya, Kesinambungan dan Perubahan, yang diselenggarakan oleh Jurusan Kriya, Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta, dalam rangka Purnatugas Prof. Drs. SP. Gustami, S.U. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Penerbitan Seni Kriya ISI Yogyakarta. Said, Edward W, 1979, Orientalism. New York: Vintage Books. Saliya, Yuswadi, 2002, “Berkenalan dengan Indonesia: Memahami Bumi dan Isinya” dalam Adi Wicaksono, et al., (eds.), Identitas dan Budaya Massa: As-
pek-aspek Seni Visual Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti dan The Toyota Foundation. Schubert, J. Danel, 2002, “Defending Multiculturalism: From Hegemony to Symbolic Violence”, in American Behavioral Scientist Journal, 2002; 45, London: Sage. Smith, Linda Tuhiwai, 2005, “Bab I: Imperialisme, Sejarah, Penulisan, dan Teori”, dalam Dekolonisasi Metodologi. Terjemahan Nur Cholis. Cetakan Pertama. Yogyakarta: INSIST Press, 2005. Sinagatullin, Ilghiz M, 2003, “The Nature of Multicultural Education”, in Constructing Multicultural Education in a Diverse Society. Lanharn, Maryland, and London: A Scarecrow Education Book. Sumardjo, Jakob, 2000, Filsafat Seni. Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung. Sunardi, St, 2001, Nietzsche. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: LKiS. Suparlan, Parsudi, 2002, “Menuju Masyarakat Multikultural”, dalam Makalah Simposium Internasional Bali ke-3. Denpasar Bali, 16-21 Juli. Supriyanto, Enin, 2001, “Perempuan, Seni Rupa, dan Sejarah”, dalam Kompas, Jum’at, 1 Juni. Sutrisno, Mudji, 2004, “Rumitnya Pencarian Diri Kultural”, dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, (Eds.), Hermeneutika Pascakolonial. Yogyakarta: Kanisius.
201
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 202-206
KAWISTARA VOLUME 1
No. 2, 17 Agustus 2011
Halaman 103-212
RESENSI PERJUANGAN MEMERDEKAKAN KAUM TERTINDAS: BELAJAR DARI MARTIN LUTHER KING, JR DAN MALCOLM X Judul Buku
: Perjuangan Hak-hak Sipil di Amerika dan Implikasinya Bagi Indonesia Membongkar Pemikiran Martin Luther King, Jr dan Malcolm X Pengarang : Valentinus Miharso Penerbit : Sekolah Pascasarjana Tahun : 2009 Tebal Halaman : 282 halaman
Zuly Qodir*) Amerika, negara adi daya yang mengklaim paling demokratis ternyata memiliki beberapa keburukan substansial. Bukan saja secara konseptual, tetapi dalam praktik politik, Amerika ternyata menyimpan persoalan sangat serius. Sayangnya jarang dikemukakan pada publik oleh pemerintahan Amerika maupun para pengamat dan sekaligus pemuka Negeri Paman Sam tersebut. Kebobrokan Amerika tertutup dengan kampanye yang sangat besar dan sistematik tentang kehebatan Amerika membantu negara lain atau memprovokasi negara lain untuk berbuat yang Amerika kehendaki. Hal seperti itu jelas memberikan koreksi yang fundamental pada negeri adi daya tanpa tanding di muka bumi ini. Apa yang dilakukan dan dikampanyekan Amerika mampu menyihir masyarakat dunia. Masyarakat dunia bak tak memiliki kekuatan apa pun berhadapan dengan kampanye Amerika. Dari dulu sekurang-kurangnya
telah berjalan dalam kurun waktu ke-43 kepresidenan negeri yang mendapuk dirinya sebagai kampiun demokrasi. Tentu saja kita bisa berdebat keras soal apakah benar Amerika adalah negeri demokratis di mana salah satu unsur fundamentalnya adalah adanya penghormatan hak-hak kaum minoritas etnis, minoritas agama maupun minoritas kelas sosial. Kita juga bisa berdebat apakah Amerika sudah menghilangkan perilaku politik dan kultur diskriminatif dalam bermasyarakat dan bernegara, serta apakah Amerika benarbenar ideal sebagai contoh dalam praktik politik yang berkeadaban (yang dicirikan dengan penghargaan atas keragaman etnis dan keragaman ras)? Persoalan-persoalan diskriminasi etnis yang dilakukan Amerika dengan cukup baik disampaikan oleh penulis buku Perjuangan Hak-Hak Sipil di Amerika, Membongkar Pikiran Martin Luther King, Jr dan Malcolm
*) Zuly Qodir, Sosiolog, Alumni Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Mengajar di Program Doktor Sosiologi UGM, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM. 202
Resensi
X, Valentinus Miharso, dalam studi yang ditulisnya pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Fakultas Ilmu Budaya. Valentinus Miharso memiliki penglihatan dan pengamatan yang “cermat” jeli dan kritis sehingga tidak menempatkan Amerika “serba luar biasa”, tetapi sekaligus menghadirkan kritik tajam atas perlakuan terhadap kaum kulit hitam yang sering disebut dan diasosiasikan dengan “negro”. Miharso dengan mendasarkan pada pemikiran Martin Luther King, Jr dan Malcolm X memberikan penjelasan pada publik bahwa Amerika pernah menjalani kehidupan politik dan kultural yang diskriminatif, sehingga jelas tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang Amerika Serikat kampanyekan, yakni kesetaraan dan penghormatan atas hak-hak warga negara sipil. Warga negara Negro adalah contoh yang paling jelas mendapatkan perlakuan diskriminatif oleh rezim politik dan kultur Amerika selama bertahun-tahun sehingga perlu dipersoalkan serius. Dua tokoh yang dijadikan rujukan (kajian) Miharso, Martin Luther King, Jr dan Malcolm X merupakan aktor-aktor yang memberikan perhatian pada perjuangan menempatkan kaum negro dan kulit hitam pada posisi “sederajat” dengan kaum kulit putih Amerika. Kaum kulit hitam selama bertahun-tahun berada dalam posisi sangat marginal, terpinggir dan tak dimanusiawikan. Warga negara kulit hitam diperlakukan semena-mena, penuh dengan kekerasan, penuh dengan penghinaan, dan penuh dengan tipu muslihat serta kebohongan-kebohongan sehingga warga kulit hitam tempatnya tidak lain kecuali “di pinggiran”. Warga kulit hitam tempatnya adalah “buritan” yang menyakitkan.
Dimulai dari diri sendiri Memperhatikan kondisi semacam itu, Martin Luther King, Jr sebagai seorang yang berdarah ningrat, berpendidikan tidak tinggal diam, sekalipun dia sendiri sebenarnya tidak termasuk golongan kulit hitam, tetapi golongan kulit putih. Martin Luther King,
Jr berasal dari kelompok borjuis, namun tidak kemudian menikmati borjuasi yang telah diperolehnya dengan semena-mena sebagaimana banyak kaum borjuis yang berlaku semena-mena kepada rakyatnya atau kepada mereka yang dianggap “kere” dan marginal apalagi pengabdinya. Sedikit berbeda dengan Martin Luther King, Jr, Malcolm X adalah bagian dari masyarakat warga kulit hitam yang selama ratusan tahun tertindas di Amerika. Malcolm X, sebagai bagian dari warga kulit hitam melihat apa yang terjadi pada masyarakatnya merupakan sesuatu yang tidak boleh dibenarkan dan terus berlangsung. Apa yang terjadi pada kelompok warga kulit hitam harus berakhir dan berobah sehingga warga kulit hitam tidak selalu dalam posisi pinggiran dan negatif. Semuanya tidak bisa berubah jika tidak ada niat serius untuk melakukan perubahan tersebut. Perubahan akan terjadi jika di mulai dari diri sendiri sebab itulah kekuatan perobahan yang internal adalah energy paling dahsyat untuk sebuah kebijakan politik. Hal yang menarik dari Martin Luther King, Jr dan Malcolm X adalah melakukan perubahan bukan karena dirinya teraniaya dan tersandra secara politik maupun ekonomi. Sekalipun dirinya “terbebas” dari Sandra politik dan ekonomi bahkan kultur, tetapi semangat merombak masyarakat tetap muncul dengan berkobar. Hal seperti itu yang kadang kurang berkembang di Indonesia. Perubahan hanya dilakukan oleh mereka yang merasa tertindas, teraniaya, terpinggir tetapi bukan oleh mereka yang “menikmati penindasan” bahkan penopang rezim penindas dan pengeruk uang rakyat. Hal ini yang membuat perubahan di Indonesia berjalan lambat, bahkan sangat lambat sebab terhalang tembok besar bernama para kroni kekuasaan yang despotik dan penindas rakyat. Kita memang harus bekerja keras menghapus penindasan atas bangsanya sendiri oleh bangsanya sendiri bukan oleh orang lain. Jika orang lain menindas memang dengan mudah kita melakukan perlawanan, 203
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 202-206
tetapi jika penindasnya adalah kawan dan kelompok bangsa sendiri seringkali kita turut memberikan dukungan dengan cara tidak memberikan kritik, berpura-pura tidak tahu bahkan turut menikmatinya karena merasa mendapatkan untung dari penindasan yang dilakukan pada kelompok lain.
Melihat realitas objektif Perubahan harus berjalan dalam rel yang sesuai dan mendasarkan pada realitas objektif yang kita lihat. Bukan saja yang kita alami, tetapi orang lain juga alami dan sementara kita melihatnya pun harus kita lakukan perubahan. Itulah yang dilakukan Martin Luther King, Jr dan Malcolm X melihat penindasan atas kaum kulit hitam Amerika oleh kulit putih dan kebijakan Negara. Dua tokoh perubahan tidak secara langsung mendapatkan perlakukan diskriminatif, tetapi melihat realitas objektif yang tidak bisa dibiarkan dan berlangsung terusmenerus. Membangun perubahan tidak efektif jika hanya sendirian alias solo karir. Perubahan membutuhkn dukungan yang kuat dari banyak pihak. Perubahan yang cepat dan mendasar akan berjalan jika ada topangan politik, aktif banyak bergerak, memiliki jaringan, dan program yang jelas sehingga tidak berjalan di tempat alias tidak ada progresivitas. Oleh karena itu, membangun kekuatan pendobrak sebagai kekuatan sentral perubahan harus dilakukan seksama tidak boleh main-main. Jaringan perubahan, aktor, dan program perubahan harus tersusun sistematik sehingga mudah melakukan pengukuran dan koreksi atas apa yang terjadi selama perubahan dilakukan. Aktor yang kuat dibutuhkan karena akan memberikan payung dan arah ketika kondisi chaotic, sebab seringkali perubahan menimbulkan situasi chaotic sehingga pemimpin yang kuat dan kharismatik dibutuhkan agar tidak gagap dan gagal melakukan perubahan ke depan yang lebih baik dari masa sebelumnya.
204
Dalam merefleksikan aktivitas yang telah dilakukan merupakan keharusan yang tidak boleh ditawar-tawar agar tidak lupa diri. Ini sekaligus semacam otokritik atas apa yang dilakukan dalam membuat perubahan dan mengawal perubahan yang kita kehendaki. Merefleksikan aktivitas masa lalu dan menuju aktivitas masa depan adalah prasyarat utama dalam sebuah gerakan sosial yang membutuhkan kesinambungan program, aktor, dan jaringan sosial tanpa batasan wilayah geografik. Untuk mempercepat dan mempermudah perjalanan perubahan, menggerakkan sistem kultural dan politik adalah prasyarat lain yang tidak boleh dilewatkan. Perubahan kultural merupakan prasyarat untuk melakukan kritik atas perilaku kultural yang dilakukan masyarakat sipil dan masyarakat politik yang dianggap “biasa” dengan penindasan yang selama ini dilakukan. Hal yang dianggap “biasa” harus dihilangkan sehingga ada perubahan kultural dan itulah yang harus dimulai dari perubahan habitus sosial. Perubahan politik membutuhkan perubahan sistem politik, yaitu politicall will pemerintah dan pelaku politik bangsa. Pemimpin yang bervisi dan bermartabat, menjunjung politik yang bersih, bebas Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) adalah syarat utama dalam perubahan politik nasional maupun politik kebangsaan. Apa yang dilakukan oleh Martin Luther King dan Malcolm X dengan melakukan perubahan kultural dan politik di Amerika akhirnya membuahkan hasil sehingga sekalipun belum seratus persen warga kulit hitam mendapatkan “tempat yang layak”, maka telah terjadi perubahan besar-besaran dalam sistem kultural dan politik Amerika di bawah Presiden Bill Clinton dan sekarang berharap pada Presiden Barack Obama. Bagaimana dengan Indonesia? Kita lihatlah realitas bangsa dengan kritis dan ketenangan, sudahkah terjadi perubahan signifikan dengan apa yang dinamakan reformasi politik dan kultural?
Resensi
Pelajaran untuk Indonesia “Kita kaum pribumi (boemi poetra) dianggap seperempat manusia oleh kaum kulit putih (bangsa Eropa), kolonialis yang menghisap darah, daging, dan susu kita! Bangsa pribumi dianggap tidak layak mendapatkan kesejahteraan. Tidak layak mendapatkan penghormatan dan tidak layak mendapatkan kemerdekaaan! Akankah kita terus menderita dalam kepalan kaum kolonialis? Tentu tidak! Kita harus bersatu, bangkit dan menghilangkan segala bentuk penindasan kaum pribumi!, demikian pidato HOS. Tjokroaminoto pada Rapat Akbar Sarekat Islam di Surabaya tahun 1924, yang disambut gemuruh peserta Rapat Akbar Sarekat Islam. Apa yang terjadi pada kaum kulit hitam Amerika dalam beberapa hal sama dengan yang terjadi di Indonesia. Penindasan fisik, penindasan struktural, penindasan kultural, dan penindasan keimanan berlangsung sangat lama, sepanjang Indonesia merdeka ke-66 tahun lamanya. Penindasan memang tidak selalu datang dari bangsa lain, tetapi datang pula dari bangsanya sendiri yang memperlakukan warganya secara tidak manusiawi. Sesama warga negara memperlakukan warga lainnya dengan cara-cara yang tidak beradab, menggunakan kekerasan, mengusir, membunuh maupun merusak tempat-tempat yang digunakan sebagai sarana kaum yang berbeda dengan pandangannya. Pluralisme SARA di Indonesia bukan hanya sebuah keniscayaan hidup dan dasardasar kenegaraan, tetapi pluralisme SARA adalah keharusan dalam politik dan kultural karena itu harus menjadi pandangan hidup dan perilaku politik kebangsaan agar bangsa ini tidak bercerai berai dan akhirnya tinggal kenangan sejarah masa lampau yang menyedihkan. Indonesia adalah pluralis dalam segi SARA sekaligus kultur. Hal ini tidak bisa diremehkan. Jika bangsa ini merehkan pluralisme SARA dan kultur Indonesia, apa yang terjadi di Uni Soviet bukan tidak mungkin menimpa negeri beribu-ribu pulau dan suku-
etnis yang bertebaran di seantero jagad nusantara. Ribuan pulau dan ratusan etnis harus dijaga menjadi kesatuan sehingga Indonesia tetap menjadi Indonesia yang pluralistik, Bhinneka Tunggal Ika, bukan Homogenisasi dan uniformitas. Proses politik homogenisasi dan uniformisasi harus dihilangkan dari jagad Republik ini. Kita harus jaga Indonesia sebagai negara yang menghargai kepelbagaian agama termasuk keragaman partai politik. Salah satu cara menghargai dan merawat keragaman agama dan politik tersebut adalah membuka ruang yang luas dan lebar tentang pelbagai macam ideologi politik atau ideologi kenegaraan yang tetap dipayungi dengan semangat Kesatuan Negara Republik Indonesia, bukan dalam semangat mengganti dasar negara dan merombak Indonesia menjadi negara federasi, sekalipun usaha-usaha seperti ini pernah coba dilakukan. Tetapi akhirnya juga tidak berlanjut sebab tidak sesuai dengan kultur nusantara. Indonesia yang pluralistik dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan pilar Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI sebenarnya telah final sebagai sebuah “maklumat politik”, tetapi seringkali digosok-gosok oleh sekelompok kecil kelompok masyarakat dengan dalih perlunya uji coba dasar negara dan ideologi lain dalam bernegara. Dalam kondisi yang serba compang-camping dalam hal penegakan hukum, pemenuhan kesejahteraan masyarakat, pendidikan yang tidak merata, politik yang nyaris tidak beradab, politik tanpa fatsoen politik dan bernegara tanpa negarawan memang kemungkinan adanya penggerogotan dan upaya mencari dasar negara dan ideologi negara yang lain dimungkinkan terjadi. Tetapi upaya-upaya penggantian dasar negara dan ideologi negara akan menghilang dengan sendirinya ketika para pemegang kendali politik negara ini berjibaku dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan mutu dan perluasan jangkauan akses pendidikan pada 205
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 202-206
seluruh warga negara, penegakan hukum yang baik, berpolitik yang santun dan bermartabat, maka upaya-upaya despotik mengubah dasar negara dan ideologi kenegaraan akan lenyap bahkan hancur dengan sendirinya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bila negara gagal memberikan pelayanan yang maksimal pada masyarakat, maka kemunculan gerakan-gerakan yang selama ini dianggap “separatis” dan makar akan terus berlangsung, sekalipun agak sulit besar, tetapi mengganggu. Oleh sebab itu, negara dan para pembawa kendali kebijakan politik negara tidak boleh menggandaikan negara ini kepada kekuatan-kekuatan negara lain, hanya untuk mendapatkan “citra politik” internasional yang bermartabat, dianggap demokratis, mengikuti perubahan dan mendapatkan hutang. Para punggawa ke-
206
bijakan negara harus berjibaku dalam koridor memperjuangkan hak dan martabat bangsanya sekalipun harus berhadapan dengan kekuatan senjata negara lain yang suka main-main dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Belajarlah kepada Martin Luther King, Jr dan Malcolm X dalam memperjuangkan hak-hak warga negara kulit hitam yang selama ratusan tahun didiskriminasi oleh kebijakan rezim politik Amerika, akhirnya juga mendapatkan haknya sehingga ketika Barack Obama menjadi presiden pertama dari bangsa kulit hitam, dunia menaruh harapan akan terjadi perubahan dalam perilaku politik negeri Paman Sam yang adidaya. Bagaimana dengan Indonesia, beranikan melakukan perubahan politik yang dimulai dari dirinya sendiri, bukan karena didikte negara lain.
Indeks
KAWISTARA VOLUME 1
No. 2, 17 Agustus 2011
Halaman 103-212
INDEKS KAWISTARA Volume 1, No. 2, Agustus 2011
A Afiliasi 185 Aksara wijjâna 139 Alasan pasar 104 Anak batari Uma 139 Analisis wacana 110 Andro 124 Animisme 133 Arisan 104 Arjuna 137 Armageddon 105 Audience 129 B Bad news is good news 147 Bahasa gambar 109 Basis konstitusi 186 Bathara Jagatnata 138 Bathara Jagatpramana 138 Bathara Mahakarana 138 Bathara Nilakanta 138 Battlefield 155 Battlespace 155 Bentuk kekerasan 107 Berbagi Suami 104, 108 Bertubuh atletis 124 Berwajah lucu 124 Bhagawat Gita 133 Bharatayuda 133 Bhatara Buddha 139 Bhatara Guru 136, 139, 140 Bhatara Parameçwara 141 Bhatara Parameçwara 139 Bhimasuci 133 Bhujangga 134
Bias gender 104 Black market 168, 177 Blog sebagai Media Resistensi 129 Blogger 119, 123 Blogger lesbian Indonesia 120 Bodily sex 124 Bodily sex 125 Borobudur 135 Brahman-dapurana 133 Buddha 135, 141 C çaiwa sogata 139, 141 çaiwapaksa 141 Caption 151 CDA 109, 110 Cerpen “Lintah” 112 çisya 136 Civilianization 164 Coming out 129 Constructed reality 146 Converse 126 Criss-crossing 127 Critical Discouse Analysis 119 Cyberspace 120 D Daerah Kutritusan 135 Dasasila Buddha 140 DAU 173 Decentralization 169, 170 Dehumanisasi 194 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan 107 Dewaguru 136, 141 207
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 207 -212
Dewaruci 133 Dhestar 141 Diakui 181 Differences base identity. 172 Dinamika politik 155 Dinamisme 133 Direct election 169 Direct Election of Regional Head (Pilkada) 174 Direct election of regional head (pilkada) 178 Disclosed intimacy 120 Diskriminasi 180, 188 Diskursus 122 Domain 192 Dominasi 149 Dominasi militer 164 Drama sosial 149 Dunia cyber 125
Formasi sosial 147 Fotografer 148, 152 Frame 146 Fried Durian 123 G Gajahmada 135 Gender 119 General Allocation Funds (DAU) 173 Gie 104 Gladiator 105 Golkar Party 177 Gramsi 166 Gunung Brahma 137 Gunung Katong 137 Gunung Kumukus 137 Gunung Mahameru 136, 137, 142 Gunung Pananggungan 137 Gunung Pawitra 137
E H Editor 147 Ekspatriat 148 Eksternalisasi 159 Epigrafi 197 Era reformasi 163 Etnisitas 193 F Failure of the management of communal conflict 172 Faktualitas 160 Feminisme 121 Feminisme posmodern 121 Feminitas 193 Femme, butch 124 Fight Club 105 Film 108 Film Armagedon 106 Film Jamila 106 Film Mereka Bilang Saya Monyet 105 Film Mereka Bilang, Saya Monyet! 104 Filmnya Runway Bride 106 Fine art 195 Fiscal incentives 173 Foreplay 128 Formalisasi 186 208
Hayam Wuruk 135, 141 Hegemoni 158, 195 Heteronormativitas 129 High cost politics 175 Hight art 195 Hindu 141 Hinduisasi 188 Hinduisasi 182 Hinduisme 143 Historiografi 199 Historis 199 History of Sexuality 119 Holistisitas 193 Homofobia 130 Homoseksual 123 Human security 162 Hyang Kandyawan 139 Hybrid organization 175 I Identifikasi identitas 123 Identifikasi Lesbian 123 Identitas 129, 183 Identitas Buddha 140 Identitas center-margin 124
Indeks
Identitas Gender 123 Identitas Hindu 139 Identitas Hindu 141 Identitas Jawa 138 Ideologi dominan 158 Ideologi patriarkhi 104 Ideologis 147 Iket 141 ILGA 120 Imperatif 192 In Indonesia 170 Incumbent, 174 Independen 105 Indianisasi 136, 137 Individualization ideologies 121 Inferior complex 198 Infografis 151 Internalisasi 159 Internet 120 Intervensi 147 Intervensi feminis 194 IRDA data 172 J Jambudwipa 136, 143 Jamila 104 Jawanisasi 136, 137, 196 Jurnalis 148 K Kabuyutan 134 Kadewaguruan 141 Kalakuta 137 Kalasan 135 Kampanye 148 Kampud 137 Karang kabhujanggan 134 Karang kapunjanggan 143 Kawi 137 Keamanan nasional 155 Kedewaguruan 141 Kekerasan 107, 113 Kekerasan 107 Kekerasan dan relasi tidak seimbang 111 Kekerasan fisik dan seksual 106 Kekerasan seksual 114 Kekuatan sosial 155
Kelembagaan pers 152 Kelompok dominan 158 Kenyataan 159 Keperkasaan 194 Kepranataan 196 Kesadaran Gender Orang Media 104 Kolofon 134 Kombatan 162 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 107 Komodifikasi-estetis 194 Konfrontasi 183 Konstelasi politik 155 Konstruksi realitas 108 Kontestasi 159 Kontrol penguasa 104 Konvensional 194 Kreasi-estetis 192 Kreativitas 152 Kriteria foto 151 Kualitas demokrasi 162 Kuasa atas tubuh anak 111 Kumara-siddhi 139 Kutritusan 143 Kutukan 198 L Lack of discourse 195 Lack of knowledge 195 Latar suara 109 Layers of performances 122 Legitimasi 196 Lesbian 119 Lesbian 123, 129 Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual 120 LGBT 120 Lip gloss 126 Low art 195 M Mahameru 143 Majapahit 132, 135 Make out 128 Makrokosmos 138, 141 Makrokultur 199 Mandala 141 209
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 207 -212
Manly 127 Marsinah 104 Maskulinitas 193 Mataki-taki 134 Mataram 135 Media dominan 158 Media massa 108, 158 Media Perempuan Multikultural 104 Media pluralis 158 Media sentries 157 Melaksanankan 162 Menafikkan 196 Mendhut 135 Mereka Bilang Saya Monyet 108 Mikrokosmos 138, 141 Mikrokultur 199 Mistik kejawen 133 Modal simbolik 147 Money politics 174 Monodimensi 193 Motif kekerasan 112 Mpu Bharang 141 Mpu Kumara-raray 139 Mpu Mahapalyat 141 Mpu Waluh-bang 141 Multikultural 133, 191 Multikulturalisme 132, 138 Multikulturalisme 133 Multikulturalisme normatif 134 N Nampa lan tampa 142 Narasi diri 130 Naskah 108 Negara 116 Negara komunis 161 Negara korporasi 163 New autonomous regions (DOB), 176 No Label 125 Non-kombatan 162 North Minahasa 172 North Sulawesi 172 O Objektivasi 159 Objektivitas 160 Off line 129 210
Online 120 Orde Baru 104 Otoritarian 155 P Pakaian berbentuk rok 126 Pañcaçiksa/pancasila 140 Pancagati sangsara 140 Pañcagati sangsara 141 Parade kekuatan bersenjata 155 Partnership 124 Partnership lesbian 128 Pasca reformasi 109 Pasir Berbisik 104 Patriarkhis 109 Patriarki 194 Patriarkis 105 Pawitra 142 Pawon 135 Pembatasan 185 Penampilan androgini 127 Pengakuan 181 Pengaruh Hindu 137 Pengetahuan 159 Penobatan 139 Pentahbisan 139 Peran Gender dalam Iklan Obat Kuat 104 Perempuan 113 Perempuan 109 Perempuan dalam Sinetron Komedi 104 Perfomativitas identitas 121 Performativitas 119 Performativitas Aktivitas Seksual 128 Performativity 119 Perlawanan 189 Perlengkapan cewek 126 Perspektif posmodernis 121 Phallocentris 107 Pilihan-pilihan gender 127 Pilkada 174 Pilkada 175 Pleasure 128 Pleasure-power-knowledge 122 Praktik ethics 129 Praktik sosial 110 Privelege 107 Proliferation 169, 171 Proliferation of region 170, 172
Indeks
Proliferation of region 168 Proses imitasi 122, 123 Protection 163 Proyek politik Nusantara 135 Pseudo Local Governance 175 Pseudo Local Government 178 Pseudo local government 168 Puncak Mahameru 137 Q Quasi-civilianization 164 Queer 123 R Rasialitas 193 Ratu Tribhuwanotunggadewi 135 Realitas 157 Realitas politik 146 Realitas sosial 116 Redaktur 147 Regime of truth 120, 122 Regional Autonomy 169 Regional autonomy 168 Regional autonomy 169, 170 Regional head 169 Regulasi 180 Regulatory practice 122 Relasi kuasa 112 Representasi 192 Representasi ideologi 158 Representasi kekerasan 113 Representasi perempuan 105 Representasi Pesona Barat Di Indonesia 104 Resistensi 113 Resistensi 108, 184 Resistensi Anak 110 Resistensi 110 Retoris 151 S Safety 163 Samsara 141 Sang Hyang Kamandalu 139 Sang Hyang Ktìk-mìlìng 139 Sang Hyang Tkìn-wuwung 137
Sang Karung Kalah 139 Sang Katung Malaras 139 Sang Mangukuhan 139 Sang Presiden 104 Sang Sandang Garba 139 Sang Wreti Kandayun 139 Seeking 168 Segmen pasar 150 Seksualitas 119 Seksualitas same-sex 121 Semiotika 156 Serat Centhini 133 Sewu 135 Sex provider 107 Sexuality 119 Shot-shot 108 Simbolisasi kekerasan 113 Sineas perempuan 109 Sinkretisme 132, 133, 138 Sinkretisme 132, 141 Sintaksis 151 Sisi feminin 129 Siwa 139, 141 Siwaisme 136, 143 Siwaistis 139 Skrip 151 Sofistikasi 198 Sogata 139 Solidaritas 182 Soliditas 182 Sosio-sentris 157 Speaking back 120, 130 Sriwijaya 135 Still image 149 Struktur sosial 158 Strukturasi 164 Suara 109 Subaltern 198 Sukawela 141 Sukayajna 141 Sumpah Palapa 135 Superioritas laki- 106 Surety 163 Sutasoma 133 Sutradara 109 Sutradara 105 Sutradara perempuan 117
211
Kawistara, Vol. 1, No. 2, Agustus 2011: 207 -212
T Talk 109 Tantu Panggì laran 132, 133 Tapanuli province 169 Tatwamrta çiwamba 137 Tatwâmrta çiwâmbha 139 Teknologi diri 129 Tematik 151 Teologi Priyayi 198 Teori media 157 Teroris 155 Text 109 The effect of realness 122 The implementation of regional autonomy 172 The materiality of sex 122 The “Perahu Pukat Harimau“ 174 Tidak diakui 181 Tokoh Ibu 112
Visual culture 149 Visualisai adegan kekerasan 112 Visualisasi 151 W Wacana Kekerasan 110, 113 Wacana kekerasan 113 wacana kekerasan 110 Wangsa Sanjaya 135 Weblog 119 Weblog 119, 123 Weblog lesbian 123 Welfare state 161 Wilis 137 Wisya 137 Wisya Kalakûta 142 Y Yawadipa 136, 143
V Visual art 195
212