Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 1-104
Daftar Isi i
Editorial ii
Paradoksalitas Di Balik Kemegahan Borobudur — 1-14
Studi Perkembangan Wilayah dan Daya Dukung Lingkungan Kepariwisataan di Wilayah Yogyakarta Utara — 15-24
Ritual Sebagai Media Transmisi Kreativitas Seni di Lereng Gunung Merbabu — 25-35
Ritual Ma’atenu sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha di Pelauw Maluku Tengah — 36-47
Pengembangan Madrasah Berparadigma Pembangunan Berkelanjutan — 48-57
Budaya Nasional di Tengah Pasar: Konstruksi, Dekonstruksi, dan Rekonstruksi — 58-72
Lanjut Usia: Antara Tuntutan Jaminan Sosial dan Pengembangan Pemberdayaan — 73-86
Pengujian Kesetaraan Presisi dan Skala Ukur Butir-Butir pada Skala Psikologi — 87-96
Resensi — 97-100
Indeks — 101-103
Bambang Suharto
Muhamad, Chafid Fandeli, dan M. Baiquni
Rr. Paramitha Dyah Fitriasari, Timbul Haryono, G. R. Lono Lastoro Simatupang, dan Irwan Abdullah
Yance Z. Rumahuru, Irwan Abdullah, Pujo Semedi, dan Abd Khalik Latuconsina
M. Imam Zamroni dan Lies Rahayu WF
Ikwan Setiawan
Eko Sriyanto
Wahyu Widhiarso
Maufur
i
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 1-104
EDITORIAL
Ketika Henry Lefebure menulis bukunya tentang The Production of Space, baru kita tersadar bahwa begitu kompleks definisi tentang ruang yang di satu sisi merupakan sebuah representasi materiil karena merupakan tempat untuk ditinggali, dikelola dan diatur dengan aturan-aturan rasional. Akan tetapi di sisi lain, ruang juga merupakan representasi simbolis dimana imajinasi akan ruang membawa dampak pada bagaimana orang mempersepsikan ruang yang materiil. Sebagai contoh, ghetto adalah sebuah ruang simbolis sekaligus materiil karena di tempat itu para pemukim dari kalangan kelas tertentu, yakni kelas bawah terkonsentrasi. Dari ghetto tersebut fungsi-fungsi simbolis dengan pendefinisian terhadap pemukim, sebagai yang kriminal, malas dan kotor diciptakan. Ruang menjadi sangat penting dalam konteks aktual karena seringkali menjadi rujukan untuk mengidentifikasikan orang lain. Ruang yang semakin terbatas juga menyebabkan kontestasi-kontestasi yang semakin rumit karena interseksi yang semakin ketat antara kelas sosial, kelompok, gender, usia dan agama yang menjadi taruhannya. Tulisan-tulisan dalam terbitan kali ini pada dasarnya berbicara tentang produksi, reproduksi, dan konsumen ruang simbolik dan materiil dari berbagai perpektif. Dua artikel pertama tertarik melihat objek wisata sebagai ruang sosial dan budaya. Penulis pertama, Bambang Suharto dengan artikelnya tentang Paradoksalitas di Balik Kemegahan Borobudur menjelaskan perebutan ruang antara ruang simbolis sebagai sebuah tempat wisata yang selalu dirujuk sebagai cerminan kemakmuran dan ruang riil di sekitar objek wisata tersebut. Penulis berargumen, justru situasi riilnya tidak merepresentasikan cerminan kemakmuran tersebut. Masyarakat lokal tidak mendapatkan keuntungan secara materiil dari keberadaan objek wisata. Artikel kedua dari Muhammad, Chafid Fandeli, dan Baiquni menjelaskan paradoksalitas yang lain. Menurut mereka, ruang wisata memberikan banyak aspek positif terhadap manusia akan tetapi ada pula aspek negatifnya ketika dihubungkan dengan kerusakan lingkungan akibat ketidaktepatan pengaturan ruang wisata tersebut. Artikel ketiga dari Rr. Paramitha Dyah Fitriasari berjudul Ritual sebagai Media Transmisi Kreativitas Seni di Lereng Gunung Merbabu mencoba melihat ritual sebagai sebuah ruang bagi penduduk sebagai wilayah yang terpencil untuk menunjukkan kreativitasnya. Ruang ritual menjadi ruang simbolis yang mengkonstruksi modal simmbolis masyarakat setempat. Sementara itu, Yance Z Rumahuru yang juga menulis tentang ritual memberikan argumen yang lain tentang ritual. Penulis berargumen bahwa ruang ritual merupakan ruang konstruksi identitas muslim Hutahuta serta ruang untuk membangun solidaritas.
ii
Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur
Penulis selanjutnya, Imam Zamroni dan Lies Rahayu, tertarik untuk melihat perkembangan ruang dalam pendidikan yang dalam hal ini adalah madrasah. Penulis memberi rekomendasi praktis tentang inovasi pendidikan yang seharusnya diperhatikan untuk mencapai pembelajaran yang berkelanjutan. Ikhwan Setiawan menulis tentang Budaya Nasional di Tengah Pasar: Konstruksi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi. Penulis berargumen bahwa ruang nasional yang dibentuk oleh pemerintah tidak berhasil membawa konstruksi kultural yang strategis bagi kemajuan dan kesejahteraan warga negara. Artikel selanjutnya datang dari Eko Sriyanto. Penulis tertarik untuk melihat bagaimana persoalan usia sebagai salah satu hal penting ketika membahas ruang simbolis keberadaan lansia (lanjut usia). Penulis berusaha memberikan rekomendasi tentang penciptaan ruangruang yang seharusnya diciptakan bagi para lansia paling tidak untuk merasa sebagai yang masih dihargai produktivitasnya. Artikel terakhir ditulis oleh Wahyu Widhiarso yang mencoba mengidentifikasi model pengukuran yang tepat dalam skala psikologi. Penulis menemukan sebuah ruang simbolis yakni ruang ukur berbentuk skala untuk melihat variasi relatif dari ukuran tersebut. Editor
iii
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14
iv
Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 1-14
PARADOKSALITAS DI BALIK KEMEGAHAN BOROBUDUR Bambang Suharto
Universitas Negeri Gorontalo Email:
[email protected]
ABSTRACT
This article aimes at exploring the destination organization management in Borobudur temple. The approach method used in this writing is descriptive interpretative of organization behavior. The data is collected from literature study, participated observation, and the discussions in the seminars. Its findings shows that the succes of an organization in managing Borobudur temple is not significant with the level of welfare at the community around it. In fact, the behavior’s organization management of Borobudur has been focusing on the running of legal and economics responsibilities rather than the social ones; such has been mandated by the vision of Ministry of State-Owned Enterprises in Law Nomor 40 of 2007 and Law Nomor 10 of 2009. Moreover, it is aggravated by the behavior of urban society who also has their own interests. Finally, the local community would be more marginalized if there is no serious empowerment actions taken by the government immediately. Keywords: management, organization, destination, welfare
ABSTRAK
Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui tata kelola organisasi destinasi candi Borobudur. Pendekatan metode yang digunakan dalam penulisan, yaitu deskriptif interpretatif mengenai perilaku organisasi yang datanya didapat dari studi literatur, pengamatan terlibat, dan diskusi-diskusi dalam seminar. Hasil temuan menunjukkan bahwa kesuksesan organisasi mengelola candi Borobudur, tidak sebanding dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya karena perilaku organisasi Taman Wisata Candi Borobudur lebih fokus menjalankan tanggung jawab hukum dan ekonomi dari pada tanggung jawab sosial yang diamanahkan oleh visi Kementrian Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomer 40 Tahun 2007, dan Undang-Undang Nomer 10 Tahun 2009. Hal ini juga diperburuk oleh perilaku masyarakat urban yang juga mempunyai kepentingan. Masyarakat lokal akan terus semakin termarginalkan apabila tidak segera dilakukan langkah-langkah pemberdayaan secara serius. Kata kunci: tata kelola, organisasi, destinasi, kesejahteraan
PENGANTAR
Belakangan ini penelitian tentang destinasi telah banyak dikaji dalam hal basis teknologi informasi (Bhairawa, Mulatsih, dan Rahayu, 2009; Chen dan Sheldon, 1997), pemasaran (Buhalis, 2000; Fodor dan Werthner, 2005), maupun tata kelola daerah tujuan wisatanya (Getz, Anderson,
dan Sheehan, 1998; McElroy, 2003). Namun, penelitian tentang daerah tujuan wisata, khususnya mengenai pengelolaan organisasinya jarang ditemukan, padahal organisasi ini mempunyai peran sentral yang tidak kalah pentingnya dengan destinasi (Presenza, Sheehan, dan Ritchie, 2005).
1
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14
Mereka menyatakan bahwa seringkali kesuksesan sebuah destinasi bergantung kepadanya. Organisasilah yang menjadi aktor penentu pengembangan atraksi, akses, dan amenitas. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi pengelola daerah tujuan wisata mampu membuat destinasi bermanfaat secara optimal dan berkelanjutan. Organisasi inilah yang pertama-tama akan mewadahi, menggerakkan, dan memerankan pemangku kepentingan dalam mengelola berbagai permasalahan sebuah destinasi. Keberadaan organisasi ini dapat mengakselerasikan kebijakan daerah tujuan wisata dengan memperhatikan kebijakan yang lain secara terarah dan terkoordinasi, seperti undangundang, peraturan, renstra, dan programprogram pariwisata yang lain. Organisasi juga dapat mengintegrasikan rencana pembangunan dan pemasaran daerah tujuan wisata dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota dalam mewujudkan tujuan pariwisata secara terpadu dan berkelanjutan (Budpar, 2010). Barangkali karena alasan itu pulalah organisasi pengelola sebuah destinasi ini penting, bahkan diperebutkan oleh stakeholder-nya, ingin dilibatkan dan diperankan sebagai pengelola destinasi tersebut. Kompleksitas organisasi pengelolaan destinasi ini melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan prioritas yang diuntungkan. Mereka membentuk kelompok-kelompok untuk memperkuat kepentingannya. Kepentingan kelompok yang beragam dengan karakteristik produk dan pemahaman yang bermacam-macam sering menimbulkan konflik. Konflik ini kian hari tampak semakin memanas dan tak kunjung datang penyelesaiannya. Akar pemicu konflik ialah dugaan akan kurang terintegrasinya pengelolaan organisasi destinasi dalam suatu sistem yang mampu mengoptimalkan kepentingan bersama. Kesenjangan kepentingan muncul
2
ketika optimalisasi pengembangan Candi Borobudur membuat gaya hidup masyarakat semakin konsumtif dan termarginalkan tanpa diimbangi dengan pemberdayaan mereka. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya penghargaan yang diraih oleh TWC (Taman Wisata Candi) Borobudur, namun, data persentase angka kemiskinan di Kecamatan Borobudur tercatat sebesar 61,7%, peringkat 17 kategori masyarakat miskin dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah (Kurniawati, 2008). Masyarakat yang merasa tergusur dan terampas kesejahteraannya melakukan perlawanan menuntut ketidakadilan. Ancaman muncul berkali-kali, antara lain warga masyarakat akan melakukan aksi tutup jalan menuju pintu Candi Borobudur (Aji dalam kapanlagi.com, 2006). Desas-desus revolusi Borobudur pun mulai didengungkan dengan keras dan mulai menghimpun basis kekuatan (suara audien dalam focus group discussion dan sarasehan, 2011). Gejolak kepentingan individu dan kelompok tertentu yang sudah diwadahi dalam organisasiorganisasi nonpemerintah semakin berani menyuarakan perihal ketidakadilan. Hal ini dikuatirkan akan memuncak dan berakhir pada tindakan anarkis, khususnya terhadap organisasi pengelola destinasi TWC Borobudur. Pengelola Candi Borobudur diduga kurang merespons kepentingan masyarakat setempat. Kalaupun pada akhirnya tindakan anarkis terjadi, semua akan rugi dan citra pariwisata lagi-lagi tercoreng. Oleh karena itu, penting adanya tata kelola organisasi daerah tujuan wisata yang biasanya dikenal dengan istilah MDO (Management of Destination-Organization). Presenza, Sheehan, dan Ritchie (2005) merupakan peneliti pertama yang mengkaji model DMO (Destination-Management Organization) dari sudut pandang EDM (External-Destination Marketing) dan IDD (Internal- Destination Development). Mereka menggali berbagai pandangannya, yaitu
Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur
pendekatan IDD dari produk pada sisi penawaran dan pendekatan EDM dari pemasaran pada sisi permintaan. Peneliti DMO yang lain adalah Ritchie dan Crouch (2007) dengan latar perencanaan pengelolaan daerah tujuan wisata yang dikenal dengan model DMP (Destination-Management Planning). Crouch lebih menitikberatkan kajiannya pada pemasaran dan tata kelola alam untuk menciptakan pariwisata yang berkelanjutan dan daerah tujuan wisata yang mempunyai daya saing. Pendekatan DMP didasarkan pada dua pilar penyangganya, yaitu destination marketing dan destination management. Namun demikian, perhatian kedua penelitian itu terpusat pada unsur objek dan bukan subjek kepariwisataan sehingga kurang mampu menafsir lebih luas penentu keadaan dalam konflik Borobudur ini. Sehubungan dengan hal itu, penulis lebih akrab menggunakan istilah MDO. MDO lebih cenderung melihat permasalahan ada pada organisasinya. Dengan demikian, perlu penyelesaian agar organisasi sebagai subjek dapat bekerja dengan baik bersama stakeholder-nya dalam mencapai tujuan. Bisa jadi, permasalahan ada pada sisi internal atau sisi eksternal. Hal ini berbeda dengan DMO, seperti dikemukakan oleh kedua peneliti sebelumnya yang cenderung menekankan permasalahan pada destinasi. Ancangan analisis MDO ini dipilih karena dapat mengungkapkan pengelolaan organisasi dikaitkan dengan kemajuan suatu destinasi di Borobudur dan kesejahteraan masyarakatnya (Bhairawa, Mulatsih, dan Rahayu, 2009). Selanjutnya, keterkaitan unsur-unsur tersebut membentuk nilai (Pitana, 2002) dan secara empiris teruji dapat menyejahterakan masyarakat sekitarnya (Semercioz, Donmez, dan Dursun, 2008; Damanik, 2010). Lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tata kelola organisasi daerah tujuan wisata Candi Borobudur. Pengorganisasian destinasi yang baik
merupakan jaminan kesuksesan suatu pengelolaan destinasi (Greech, 1995:517). Kesuksesan pengelolaan destinasi dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan secara adil dan merata, termasuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya (Bhairawa, Mulatsih, dan Rahayu, 2009; Pitana, 2002; Semercioz, Donmez, dan Dursun, 2008; Damanik, 2010). Akhirnya, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan langsung kepada organisasi pengelola destinasi, masyarakat, pemerintah, akademisi, dan elemen-elemen terkait.
K o n s e p Ta t a K e l o l a O r g a n i s a s i Destinasi
Ada tiga konsep penting yang perlu disepakati maknanya berkenaan dengan kajian ini, yaitu (a) konsep manajemen, (b) konsep organisasi, dan (c) konsep destinasi. Pemaknaan konsep diperlukan untuk mencegah bias arti kata-kata tersebut. Kata management merupakan kata benda yang berasal dari bahasa Inggris dan telah diindonesiakan menjadi manajemen, artinya penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien untuk mencapai sasaran. Sebagian masyarakat mengartikan bahwa manajemen sama dengan pengelolaan, yaitu proses sistemik perbuatan mengelola. Asumsi dasar dari pengelolaan organisasi destinasi pariwisata ini adalah sebuah sistem, yaitu satu kesatuan dari unsur-unsur yang saling berinteraksi untuk tujuan mengoptimalkan nilai-nilai penghidupan, kehidupan, kemanusiaan, keruangan yang berupa alam semesta, dan ketuhanan serta mendapatkan manfaat dari nilai tersebut secara adil (Baiquni, 2009). Nilai ini membentuk model bahwa keadilan manfaat dapat menentukan kuatnya dukungan terhadap organisasi pengelola destinasi pariwisata tersebut. Kata organization merupakan kata benda yang berasal dari bahasa Inggris dan diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi
3
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14
kata kerja organisasi yang secara harfiah berarti mengatur. Secara khusus Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (2011) menyatakan bahwa organisasi adalah suatu wadah yang mengatur dan memungkinkan kesatuan dari orang-orang atau kelompok orang dalam suatu perkumpulan berperilaku agar dapat meraih hasil optimal yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu. Pendekatan pengaturan organisasi dalam penelitian ini melalui perilaku keorganisasian. Perilaku keorganisasian didefinisikan sebagai studi tentang manusia bertindak dalam organisasi yang ditujukan bagi kemanfaatan orang (Tampubolon, 2004). Dari segi perilaku organisasi dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal (Tampubolon, 2004:3). Pengertian kata destinasi pariwisata dalam kaitannya dengan tata kelola organisasi dapat berupa tempat tujuan wisatawan, produk dan pelayanan yang menarik wisatawan, termasuk peradaban masyarakatnya, atau satu kesatuan pengalaman yang didapat oleh wisatawan yang dikelola oleh organisasi tersebut (Manente dan Minghetti, 2000). Hal ini juga ditegaskan dalam undangundang Nomer 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 1 Angka 6, yang menyatakan bahwa destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Jika ketiga kata tersebut dirangkaikan menjadi satu kesatuan makna MDO (Management of Destination-Organization), artinya adalah suatu sistem pengelolaan organisasi kepariwisataan terpadu yang mengintegrasikan fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan , d a n pengawasan secara inovatif serta sistemik. Semua itu dijalankan melalui jaringan yang terpimpin secara terpadu dengan melibatkan
4
peran masyarakat, asosiasi, industri, akademisi, dan pemerintah. Tujuannya ialah meningkatkan fungsi nilai sebagai tujuan akhir dan fungsi nilai yang dimaksud, sebagai berikut, (1) Berfungsi sebagai penggerak ekonomi lokal dalam menghasilkan pendapatan daerah, lapangan pekerjaan, dan penghasilan pajak. (2) Berfungsi sebagai pemasar lokal yang membentuk citra destinasi. (3) Berfungsi sebagai koordinator industri yang berkemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan industri daerah dengan mendatangkan hasil dan keuntungan daerah melalui bisnis pariwisata. (4) Berfungsi sebagai lembaga yang mewakili pengelola destinasi pariwisata dalam berhubungan dengan pengunjung. (5) Berfungsi membangun dan menggali nilai kearifan lokal yang dapat memperkuat identitas kedaerahan dan menjadi kebanggaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan holistik dengan metode deskriptif-interpretatif. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, wawancara secara mendalam, observasi terlibat, dan penjaringan data melalui diskusi kelompok. Studi literatur dilakukan terkait dengan berbagai data, termasuk beragam pandangan dan analisis dari para ahli sebelumnya tentang potensi kepariwisataan dan organisasi pengelolanya di Desa Borobudur, baik berupa buku, jurnal, laporan penelitian, kliping media massa, proceding seminar, dan informasi dari internet. Wawancara secara mendalam dilakukan terhadap informan untuk mengetahui lebih jelas dan rinci dalam mengungkap bukti-bukti dan data dari informasi yang ada. Upaya penggalian data dan informasi pun juga dilakukan dengan pengamatan secara langsung terlibat dalam kegiatan masyarakat di sekitar kampung dan di situs Candi Borobudur. Fenomena yang terjadi diamati terkait perihal sosiokultural dan organisasi yang ada. Pengamatan ini dilakukan dengan cara mengamati, mencatat, dan menghubungkannya dengan beberapa
Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur
data maupun informasi yang ada di lapangan. Prambanan, Borobudur, dan Boko) di bawah Diskusi kelompok dilakukan melalui pengelolaan Kementerian BUMN (Badan beberapa acara temu sarasehan, workshop, Milik informal Negara)sebanyak dan pengawasan seminar untuk membahas beragam pandangan.Usaha Forum-forum lima kali dan presentasi seminar untuk membahas Kementerian Pariwisata dan ekonomi kreatif. didesain berupa diskusi dan perdebatan sebagai cara untuk menguji argumen, mengklarifikasi beragam pandangan. Forum-forum informal Tatanan lingkungan internal organisasi pada data dan informasi, dan menemukan pandangan baru dari proses berpikir kritis. sebanyak lima kali didesain berupa diskusi tiap-tiap candi dikepalai oleh seorang kepala dan perdebatan sebagai cara untuk menguji unit dan dibantu seorang wakil kepala unit. argumen, mengklarifikasi data dan informasi, Penelitian ini fokus pada TWC Borobudur. dan PEMBAHASAN menemukan pandangan baru dari proses Tugas dan fungsi masing-masing jabatan Berdasarkan pemahaman konsep manajemen organisasioleh destinasi di atas, dataada perilaku berpikir kritis. dijalankan satuan yang pada Subbagian Tata diteliti Usaha,untuk Seksimengetahui Pelayanan organisasi dari sudut pandang lingkungan internal dan eksternal PEMBAHASAN Teknis, dan Kelompok Tenaga Fungsional pola tata kelola organisasinya. Berdasarkan pemahaman konsep dalam suatu sistem yang cukup baik. Tata Kelola Organisasi di Candi Borobudur manajemen organisasi destinasi di atas, Mereka semua bekerja dengan d a t a p e r iHasil l a k u analisis o r g a n iini s a stersaji i d a r ipada s u dBagan ut mengemban satu visi PT Taman Candi 1 dalam struktur organisasi PT.Wisata TWCPBB pandang lingkungan internal dan eksternal Borobudur. (Perseroan Terbatas. Taman Wisata Candi Prambanan, Borobudur, dan Boko) di bawah diteliti untuk mengetahui pola tata kelola Menjadikan perusahaan yang mempunyai pengelolaan Kementerian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan di bawah pengawasan organisasinya.
Kementerian Pariwisata dan ekonomi kreatif.
kemampuan dan kompetensi yang tinggi serta
Tatanan lingkungan internal organisasi profesional dengan dukungan sumber daya
Tata Kelola Organisasi di Candi yang seorang berkualitas untuk menjadikan pada tiap-tiap candi dikepalai oleh seorang kepala unitmanusia dan dibantu wakil kepala unit. Borobudur taman dan candi sebagai objek dan daya tarik
Hasil analisis ini pada tersajiTWC pada Borobudur. Bagan mampu bersaing secara global Penelitian ini fokus Tugaswisata dan yang fungsi masing-masing jabatan 1 dalam struktur organisasi PT. TWCPBB (Kurniawati, 2008). dijalankan oleh satuan yang ada pada Subbagian Tata Usaha, Seksi Pelayanan Teknis, dan (Perseroan Terbatas. Taman Wisata Candi Berdasarkan visi ini, TWC Borobudur Kelompok Tenaga Fungsional dalam suatu sistem yang cukup baik.
Bagan Bagan11 Kementrian BUMN
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Destinasi (Dirut PT TWCPBB) Kepala Unit Candi Prambanan (TWC Prambanan)
Kepala Unit Candi Boko (TWC Boko)
Kepala Unit Candi Borobudur (TWC Borobudur) Wakil Kepala Unit
Sub Tata Usaha
Seksi Pelayanan Teknis
Kel Tenaga Fungsional
Kepegawaian
Seksi Pemeliharaan
Perkantoran & Admin
Perlengkapan & Rumah Tangga
Seksi Operasional
Pemasaran
Keuangan
Seksi Pertamanan
Kajian & Laboratorium
Pelayanan Masyarakat
Seksi Aneka Usaha
Perizinan & Pengamanan
Sumber : Data Lapangan Candi Borobudur
5
Sumber : Data Lapangan Candi Borobudur 6
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14
mengalami kemajuan pesat. Mereka melakukan pembenahan dan penataan terhadap lingkungan candi melalui pembangunan Taman Wisata Candi Borobudur ini. Pada 23 Februari 1983 pemugaran Candi Borobudur diresmikan oleh Presiden Soeharto. Selanjutnya, pada 13 Desember 1991 Candi Borobudur terdaftar sebagai The World Cultural Heritage dengan nomor registrasi C.592 (Ibrahim dan Chaeosti, 1997:2526). Berbagai piagam dan penghargaan diraihnya, bahkan terakhir memenangkan kompetisi internasional Gold Awards sebagai pengelola heritage terbaik dari PATA (Pacific Asia Trade Association) di Beijing, Cina pada 11 April 2011. Fenomena lingkungan internal tanpa melihat lingkungan eksternalnya menjadi sesuatu yang paradoksal bila dijadikan referensi untuk menilai perkembangan destinasi Borobudur yang hingga sekarang masyarakat di sekitarnya masih miskin. Penguatan visi ini hanya akan memperkuat kesenjangan antara kemegahan Candi Borobudur dan kemiskinan masyarakatnya. Dukungan masyarakat yang semula diharuskan mengorbankan tanahnya untuk kepentingan yang lebih besar dengan ganti rugi yang tidak seberapa (Kompas, 6 Februari 1981) tidak dimaknai dengan baik dalam visi tersebut. Williams dan Lawson’s (2001) mengatakan hal tersebut sebagai berikut. ...If it is known why residents support or oppose the industry, it will be possible to select those developments which can minimise negative social impacts and maximise support for such alternatives. As such, quality of life for residents can be enhanced, or at least maintained, with respect to the impacts of tourism in the community.
Visi organisasi yang ideal bukan hanya mengobsisi pikiran dan tindakan internal organisasi, tetapi juga eksternalnya, yaitu segenap pihak terkait (Kaho, 2002; Nasikun, 2003). Visi TWC Borobudur sebagai
6
perusahaan BUMN tidak terintegrasi dengan visi Kementerian BUMN, yaitu meningkatkan peran BUMN sebagai instrumen negara untuk peningkatan kesejahteraan rakyat berdasarkan mekanisme korporasi. Visi TWC Borobudur juga tidak mendukung rumusan visi pariwisata Indonesia, yaitu menumbuhbinakembangkan kesejahteraan (Agenda 21 Sektoral, 2000). Hal ini agaknya mengisyaratkan bahwa penentuan visi seharusnya mampu menyejahterakan masyarakat, yang barangkali dapat dikaitkan dengan arti penting pariwisata dan dukungan masyarakat ketika mengorbankan tanahnya. Pariwisata dimaksudkan bukan sebagai tujuan, tetapi merupakan salah satu jalan menuju kesejahteraan masyarakatnya (Suharto, 2011). Seiring dengan pendapat tersebut, amanah Undang-Undang Nomer 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menegaskan bahwa peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Ada pengulangan yang juga memperkuat pendapat tersebut, yaitu Crouch dan Ritchie (1999) menyatakan sebagai berikut. ...not only will tourism be a major contributor to global prosperity, but also ... the very nature of the tourism phenomenon will shape the lifestyles, societal structures, and inevitably the quality of life...of many citizens of the world during the first segment of the third millennium.
Sehubungan dengan itu, pembangunan kepariwisataan berkontribusi terhadap kemakmuran sosial (societal prosperity) serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Negara mempunyai kewajiban menjalankan dan mengawasi hal tersebut. Hartanto (1997:49) menyatakan bahwa semakin optimal kontribusi tersebut, semakin banyak lingkup jumlah manusia, luas, dan
Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur
lama intensitas terkena kontribusi tersebut. Berdasarkan hipotesis studi ini, terlihat bahwa dibandingkan dengan masyarakat yang ada di desa-desa yang lain di Kabupaten Magelang, yang letaknya lebih jauh dari candi Borobudur tempat pengembangan pariwisata ini, seharusnya masyarakat di sekitar Candi Borobudur makmur dan sejahtera terlebih dahulu. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan realitas lain. Realitas itu dapat dijelaskan melalui faktor kepemimpinan. Peran pemimpin TWC Borobudur merupakan salah satu kunci sukses untuk menggerakkan segenap potensi dengan syarat mutlak mengetahui karakter pranata sosial, budaya, dan adat setempat. Misalnya, Dirut TWC Borobudur direkrut dari masyarakat lokal yang mempunyai kualifikasi di bidang tersebut dan memahami adat setempat (Best practice dari Bali Tourism Development Corporation dan Sekolah Tinggi Pariwisata Bali). Apabila masyarakat tidak pernah diberikan kepercayaan dan tanggung jawab memimpin, selamanya mereka tidak akan pernah bisa. Pemimpin tidak hanya membutuhkan keahlian manajerial dan teknis saja, namun keahlian non teknis, seperti pemahaman karakteristik pranata sosial masyarakat di sekitar Candi Borobudur penting. Sentuhan-sentuhan bersifat kedaerahan dalam suasana kekeluargaan dan dialog kerap kali terbukti mampu menyelesaikan kebekuan organisasi dan distorsi kepentingan tersebut (Satrya, 2011). Seiring dengan berjalannya waktu, perekrutan, dan pergantian generasi sumber daya manusia sejak 1973 masih kurang mengoptimalkan masyarakat sekitarnya dengan alasan tidak tersedianya kesesuaian pendidikan dan keahliannya (Kepegawaian TWC Borobudur, 2011). Namun, hal ini terjadi bertahun-tahun tanpa ada kaderisasi dan regenerasi dari masyarakat sekitar sebagai karyawan atau pimpinan sesuai dengan kualifikasinya. Warga masyarakat di dua puluh dusun sekitar Borobudur, tercatat 95%
masih membutuhkan pekerjaan (Kurniawati, 2008). Sementara itu, kegiatan program diklat, bintek, pemagangan diprogramkan secara berkelanjutan dengan anggaran yang cukup besar oleh TWC Borobudur untuk karyawannya yang bukan berasal dari masyarakat sekitar Borobudur (BKPCB, 2011). Kroc dalam Hunger dan David (1995) menyatakan bahwa keberanian mengambil keuntungan dari suatu daerah, harus ada imbal baliknya agar keuntungan tersebut berkelanjutan. Selanjutnya dikatakan bahwa ketidakmampuan masyarakat sekitarnya dipekerjakan oleh suatu perusahaan merupakan konsukuensi tanggung jawab sosial perusahaan mendidiknya. Hal itu konsekuensi perusahaan mengambil keuntungan di daerah tersebut, kecuali mereka tidak menginginkannya karena masyarakat daerah tersebut sudah makmur. Data hasil wawancara mendalam dengan informan sebagai berikut. Saya dibantu istri bekerja mencari batu di sungai untuk makan setiap hari. Anak dititipkan ke pondok pesantren biar jadi orang baik, karena tidak punya biaya banyak untuk sekolah. Ingin sebenarnya bekerja dekat-dekat di kawasan candi Borobudur biar bisa kumpul keluarga, namun tidak sekolah, tidak punya kenalan, dan tidak punya uang untuk modal kan tidak bisa.
(wawancara mendalam dengan informan)
Hal lain yang harus dicermati oleh pemimpin TWC Borobudur adalah program CSR (Corporate Social Responsibilities). Program CSR ini baru berupa jasa melayani dan mendampingi tamu-tamu dinas, tamu kantor, hari besar waisak, dan kegiatan pemanfaatan Candi Borobudur untuk acara festival (Seksi Pelayanan Masyarakat TWC Borobudur, 2011). Kegiatan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat hanya berupa pemberian informasi dalam mengemban kepentingan organisasi pengelola Candi Borobudur. Berbagai acara baik murni ritual maupun ritual yang sekedar untuk menyemarakkan
7
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14
pariwisata dilakukan oleh masyarakat di sekitar Candi Borobudur, seperti Ruwatan Borobudur, Sedekah Kedung Winong, Sedekah Gunung, Sedekah Kali Sibendha, Pasar Ngumandang Mirunggan, Jamasan Keris, Tetesan, Ritual Gaib, Renungan Dharma Budaya Siwi, Sedekah Tuk Pitu, Sedekah Punthuk Setumbu, dan masih banyak lagi tanpa bantuan TWC Borobudur. Padahal ritual ini juga suatu atraksi yang berpotensi yang mempunyai relevansi dengan keberadaan Candi Borobudur (Sucoro, 2011). TWC Borobudur belum memandang potensi masyarakat dan tanggung jawab sosial sebagai sesuatu yang semakin aktual dan relevan ketika dikaitkan dengan sasaran strategis bisnis yang mengemban asas keadilan sosial sebagaimana diamanatkan juga dalam Undang-Undang Nomer 40 Tahun 2007 Bab V Pasal 74 tentang Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas. Program CSR TWC Borobudur seharusnya didefinisikan bersama warga yang dikenai tanggung jawab sosial tersebut, seperti halnya konsep 3P, yaitu potensi, peluang, dan proteksi (Suharto, 2011). TWC Borobudur melakukan pengembangan kapasitas potensi masyarakat. Masyarakat yang sudah berpotensi harus diberi akses untuk mengaktualisasikan kebolehannya. Mereka ini penting untuk dilindungi agar yang baru saja mempunyai potensi tidak tersaingi oleh pesaing di pasar bebas yang lebih kuat serta berpengalaman. Perilaku lain yang direkomendasikan kepada organisasi TWC Borobudur ini, khususnya bagian keuangan adalah melakukan program kajian dengan merangsang, membina, dan memberikan pinjaman modal, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, pendampingan, promosi dagang, serta dukungan kelembagaan kepada masyarakat pengusaha mikro di sekitar Candi Borobudur. Program kemitraan dengan usaha kecil dan program bina lingkungan
8
didasarkan pada Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 dan Undang-Undang UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) Nomer 20 Tahun 2008 pasal 7 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah. Dana program kemitraan ini, disisihkan dari laba BUMN setelah dikurangi pajak maksimal 1%-5% (rata-rata 2%) atau hasil bunga pinjaman, bunga deposito, dan jasa giro dari dana kemitraan setelah dikurangi beban operasional. Usaha mikro diarahkan untuk menumbuhkembangkan usaha kreatif rumahan atau industri jasa pariwisata di bawah pengelolaan LWG (Lokal Working Group) di 20 dusun yang ada di Desa Borobudur tersebut, seperti konsep amoeba (Pearce, 1989; Mclalland, 2008). Program ini didorong untuk menginspirasi kesadaran pola pikir masyarakat bahwa mereka tidak hanya menjadi pedagang di Borobudur saja, tetapi justru menjadi pengusaha jasa kepariwisataan lain di rumahnya atau di desanya sendiri yang jauh lebih menguntungkan. Usaha-usaha kreatif inilah yang harus mendominasi aktivitas dan kegiatan kepariwisataan di Bhumisambhara ini. Mereka yang mempunyai usaha-usaha kreatif ini juga menjadi pengelola destinasi di usahanya masing-masing. Mereka yang mempunyai usaha kreatif jasa kepariwisataan sejenis di tingkat lokal ini dapat membentuk asosiasi sebagai wadah untuk mencari penyelesaian ke arah pengembangan usahanya. Misalnya, ketua organisasi-organisasi yang terdiri dari perwakilan pengusaha pariwisata, asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi, LWG sejenis, dan asosiasi lain yang terkait tersebut membentuk asosiasi yang lebih besar lagi, yaitu GIPD (Gabungan Industri Pariwisata Daerah) di tingkat provinsi dan GIPI (Gabungan Industri Pariwisata Indonesia) di tingkat pusat. GIPD dan GIPI dipilih oleh anggotanya yang mencerminkan prinsip-prinsip partisipatif, transparan, demokratis, akuntabilitas, berorientasi
Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur
hasil, dan berkelanjutan melalui tahapan perintisan. Organisasi yang sudah dirintis tersebut perlu diberi dukungan, legalisasi, dan akses operasional. Fungsi kedua asosiasi ini penting sebagai mitra kerja TWC Borobudur, Pemerintah daerah, dan Pemerintah Pusat yang independen. GIPD dan GIPI berfungsi sebagai wadah komunikasi, menyalurkan aspirasi, memelihara kerukunan, konsultasi para anggota, mengemban kepentingan, dan pengawasan bersama dalam rangka keikutsertaannya dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan. Keberadaan GIPD dan GIPI juga dapat mengurangi kecenderungan kepemimpinan yang otoriter. Asosiasi ini juga dapat mengurangi pihakpihak yang cenderung tidak transparan yang memungkinkan praktik kolusi dan nepotisme sebagai sumber permasalahan ketidakadilan. Kedua organisasi itu bersifat mandiri dan dalam melakukan kegiatannya bersifat nirlaba. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, keanggotaan, susunan kepengurusan, dan kegiatannya diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (UU No 10 Th 2009).
Tata Kelola Organisasi Destinasi Terintegrasi
Keterkaitan TWC Borobudur dan asosiasi pengusaha menjadi satu kesatuan MDO yang terintegrasi bersama asosiasi profesi, akademisi, dan pemerintah, seperti pada bagan 2. Walaupun struktur organisasi MDO terbentuk, permasalahan tetap saja tak kunjung tuntas diatasi ketika dihadapkan pada persoalan kontribusi pengelola destinasi candi di tengah-tengah tradisi dan praktik kehidupan masyarakat yang diidealkan adil dan sejahtera. Sering terjadi dalam suatu organisasi bahwa bila berkait dengan hal kewenangan selalu berebut dan bila dihadapkan pada tanggung jawab atau masalah saling melimpahkan atau cuci tangan. Dalam kaitan ini, agaknya mengisyaratkan
bahwa karakter TWC Borobudur sebagai aktor bisnis dituntut mampu memberikan contoh kepada swasta dalam merespons hal tersebut. Setiap proses pemilihan pemimpin yang akan duduk pada struktur organisasi yang ada pada MDO seharusnya mencerminkan prinsip-prinsip partisipatif, transparan, demokratis, akuntabilitas, berorientasi hasil, dan berkelanjutan. Koordinator asosiasi lokal dalam panduan DMO Budpar 2010 ini adalah seseorang yang ditunjuk oleh Proyek Manager. Penunjukan langsung ini membuat pimpinan koordinator ini cenderung bekerja mengabdi kepadanya, bukan kepada anggota. Pemilihan dengan penunjukan langsung tersebut sulit untuk mendapatkan dukungan, akses operasional, dan sulit untuk menjalin sinkronisasi program pengembangan kemitraan. Cara-cara ini hanya akan memperkuat kekuasaan yang terjalin antara destinasi TWC Borobudur, Pemerintahan Kabupaten, Pemerintahan Provinsi, dan Pemerintahan Pusat. Pada bagan struktur organisasi DMO Budpar, antara destinasi TWC Borobudur atau destinasi (n) dengan masyarakat lokal atau kelompok-kelompok subunit LWG atau organisasi lokal hanya mengenal garis pengendalian. Para pemangku kepentingan dari kelompok-kelompok subunit asosiasi lokal berada pada sistem yang tidak mempunyai kekuatan, mereka tersandera oleh ketergantungan kebijakan like/dislike destinasi TWC Borobudur. Usahausaha untuk menjalin kerja sama yang tidak henti-hentinya dilakukan kelompok asosiasi lokal melalui pertemuan-pertemuan formal dan nonformal bukan hal yang bersifat wajib bagi TWC Borobudur. Namun demikian, kebutuhan sinergitas ini penting (Utami, 1998). Data hasil wawancara mendalam dengan informan sebagai berikut. Saya sering mengundang Bapak Dirut TWC maupun Bapak Kepala Unit TWC Borobudur untuk menghadiri acara ritual masyarakat
9
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14
Bagan 2
Bagan 2
KEMENTERIAN KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi
Pusat
TIM POKJA NASIONAL Lintas Kementerian (Bappenas, Kehutanan, Lingkungan Hidup, PU, Perhubungan, Kelautan dan Perikanan)
Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata
Tim Pengendali/Steering Committee
GIPI
Sekretaris Direktur Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Monitoring & Evaluasi Advisory/Tim fasilitator
Propinsi
Project Manager 1. Wakil Kementerian Budpar 2. Tenaga Ahli
KMP
KMW
Instansi Pergurua n Tinggi/LS
GIPD
LWG koordinator
Bappeda Propinsi Dinas Pariwisata Propinsi
Tim Koordinas i Propinsi
Dinas Propinsi Lintas Sektor (Bappeda, Budpar, Kehutanan, Lingkungan Hidup, PU, Perhubungan, Kelautan)
Kabupate n Kota
Dinas Kabupaten Lintas Sektor (Bappeda, Budpar, Kehutanan, Lingkungan Hidup, PU)
Desa Wisata Borobudur Jawa Tengah Villages
Desa Wisata Candirejo
Tim Koordinas i Kab/Kota
Koperasi Desa Wisata Paguyuban Kerajinan Rebo Legi Kerajinan Gerabah BK Klepoh
SIPCO
Kerajinan Bambu Industri tahu Tanjungsari
LOkal
Kerajinan Kayu PHRI
Amanjiwo Hotel, dll
ASITA
Borobudur Trs&Trvl, dll
D E S T I N A S I
B O R O B U D U R
n
LABOCA Becak PAWIBA Ojek PUTRI
Kel. Budayawan Borobudur KSBI Pantai Nampu
GAHAWISRI Kkarimun Jawa Warung Info Borobudur PWI Persatuan Wartawan Jateng HPI
Sumber : Modifikasi DMO Budpar, 2010
10
Kel. Guide Wisata Borobudur
12
Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur
seperti sedekah Punthuk Setumbu, Mirunggan, Workshop dengan tema CSR, Sarasehan rembuk desa, dan lokakarya pengelolaan candi Borobudur, namun tidak pernah hadir. Pernah sekali seminar DMO dari Budpar, namun, masyarakat tidak mengerti apa itu DMO. Sebagian dari meraka datang ingin menyuarakan keluhan yang hingga kini belum tuntas dan sebagian lagi yang penting datang, makan-makan, dan dapat uang saku. (Wawancara mendalam dengan informan)
Hal ini mengisyaratkan bahwa proses koordinasi dan sosialisasi tidak berjalan baik. Berdasarkan pola ini, telah terjadi kesenjangan pada Bagan 2, terutama pada tataran lokal, yaitu antara Local Working Group (LWG) dengan petugas fungsional, struktural, dan pelaksana pengelola destinasi. Petugas fungsional melibatkan tim Pokja (Kelompok Kerja), KMP (Konsultan Manajemen Pusat), dan KMW (Konsultan Manajemen Wilayah. Petugas struktural meliputi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata, Sekditjen Pengembangan Destinasi Pariwisata, Projek Manager, dan Koordinasi asosiasi lokal. Petugas pelaksana pengelola destinasi adalah TWC Borobudur. Petugas fungsional, struktural, dan pengelola destinasi tampaknya kurang mampu berinteraksi dengan masyarakat, yang barangkali dapat dikaitkan dengan arti penting integritas organisasi yang selama ini masih lemah, semrawut, dan tidak berjalan di tingkat lokal atau LWG sebagaimana pada tataran konseptual. Mengacu pada tupoksi panduan (DMO, 2010), integritas pengelola organisasi ini dapat diidentifikasi dari karakter dasar yang melekat pada setiap aktor. Ketidaksesuaian ditunjukkan ketika melihat temuan tugas pokok dan fungsi panduan DMO Budpar dengan munculnya permasalahan yang mengisyaratkan hal-hal berikut. Tim pengarah kurang mengawasi dan kurang mengevaluasinya dengan melakukan tindak turun tangan yang diperlukan. Konsultan manajemen pusat yang ditugaskan kurang
melakukan analisis, koordinasi, dan kurang memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat berupa visi yang mengembangkan kepariwisataan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Unit Manajemen Proyek DMO dianggap kurang melakukan koordinasi, pengawasan, dan kurang melakukan kajian evaluasi untuk sinkronisasi pada asosiasi yang ada di daerah. Begitu juga, Konsultan manajemen wilayah kurang melakukan analisis, koordinasi, dan konsultasi kepada Pemerintah Daerah berupa masukan untuk mengembangkan kemitraan LWG. Padahal, LWG berfungsi sebagai wadah koordinasi penyelesaian masalah dan mitra kerja jajaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di tingkat operasional yang paling bawah dan terpenting. Dapat diamati dari Bagan nomor 2 dalam kaitannya dengan persepsi masyarakat bahwa cenderung ada pergeseran iritasi indeks dari masyarakat yang sebelumnya bersikap euphoria berubah menjadi apathy, kemudian annoyance, dan sekarang antagonism (Doxey, 1975 dalam Monterrubio-Cordero, 2008). Persepsi antagonism ini diperkuat oleh tipe pengelolaan wisata dengan sistem tertutup yang berdampak pada interaksi sosial yang cenderung rendah (PAU-UGM, 1991). Hal ini terlihat pada kompleks zona candi yang didesain sedemikian rupa sehingga memiliki posisi eksklusif yang berjarak dengan kehidupan masyarakat di sekelilingnya (Gunn, 1994). Kemudian, desain dan pembiaran ini membangun persepsi masyarakat tentang pengelolaan organisasi destinasi di Borobudur yang bersifat sentralistis. Panjangnya aturan birokrasi dan egoisme dari kepentingan politis dalam pengelolaan hanya berada di seputar pejabat pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pengusaha destinasi (Peer Discussion, 2011). Dugaan kepentingan yang menguntungkannya sebagai alibi politis adalah mereka bekerja secara normatif pada sistem kebijakan yang sudah ada, seperti Keputusan Presiden Nomer 1 Tahun 1992,
11
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14
Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomer 17 Tahun 2002, dan Surat Keputusan Direksi Perseroan Terbatas Taman Wisata Candi Borobudur Nomer 4 Tahun 2003 (Tupoksi, 2011). Keputusan Presiden Nomer 1 Tahun 1992 mengatur tentang kewenangan Taman Wisata Candi Borobudur dalam pengelolaannya di zona II. Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomer 17 Tahun 2002 mengatur tentang tata tertib secara umum. Adapun tata tertib secara khusus sebagai tindak lanjut dari Peraturan Daerah tentang pengelolaan, keamanan, dan ketertiban di lokasi objek wisata diatur oleh Surat Keputusan Direksi TWC Borobudur. Artinya, segala bentuk kebijakan perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan kawasan sudah menjadi kewenangannya. Hasil analisis dan temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pemimpin pemegang kewenangan tersebut gagal dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya. Pemimpin TWC Borobudur lalai dalam menjalankan visi BUMN, UU No. 40 Tahun 2007, dan UU No. 10 Tahun 2009. Dari segi perilaku keorganisasian, TWC Borobudur kurang berkomitmen menjalankan tupoksi panduan DMO 2010, CSR, dan misi BUMN mengenai UMKM. Analisis ini mengisyaratkan pentingnya perubahan kebijakan perekrutan (Satrya, 2011; Hunger dan David, 1995), perubahan visi (Visi BUMN, 2011; UU No. 40 Tahun 2007; UU No. 10 Tahun 2009), ketepatan program CSR yang dilakukan oleh organisasi (Suharto, 2011) dan penguatan bantuan modal lunak kepada usahausaha kreatif UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) dalam memberdayakan masyarakat di lingkungan Candi Borobudur (Damanhuri, 2011), dan diperlukan aplikasi modifikasi struktur organisasi DMO, seperti terkait pada Bagan 2. Sehubungan dengan hal itu, tata kelola organisasi daerah tujuan wisata yang baik akan menghasilkan pengelolaan destinasi yang baik. Hal itu akan membawa manfaat pada kesejahteraan masyarakat sekitarnya (Greech, 1995:517; Bhairawa, Mulatsih, dan Rahayu,
12
2009; Pitana, 2002; Semercioz, Donmez, dan Dursun, 2008; Damanik, 2010).
SIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan organisasi Candi Borobudur yang baik, juga akan memunculkan perilaku keorganisasian yang baik. Perilaku keorganisasian yang baik akan mempunyai komitmen yang baik terhadap tanggung jawab hukum, tanggung jawab ekonomi, dan tanggung jawab sosialnya. Komitmen organisasi yang baik ini akan menjalankan proses pengelolaan destinasi dengan baik. Organisasi yang menjalankan pengelolaan destinasi yang baik akan menghasilkan kesuksesan destinasi yang baik. Kesuksesan destinasi yang baik ialah apabila mampu memberikan manfaat seoptimal mungkin secara adil dan merata. Keadilan dan pemerataan manfaat destinasi ini akan mendukung keberlanjutan pengembangan organisasi yang baik. Sistem yang sudah terbangun tersebut dapat diterapkan dengan model struktur organisasi MDO yang sudah dimodifikasi pada Bagan 2. MDO hasil modifikasi tersebut merupakan rujukan alternatif bagi para pengelola destinasi pariwisata daerah agar selalu menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Baiquni, M, 2009, Belajar dari Pasang Surut Peradaban Borobudur dan Konsep Pengembangan Pariwisata Borobudur, Forum Geografi, Jurnal Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Vol. 23, No. 1, Juli, hlm.25—40. Bhairawa, P., Mulatsih, S., dan Rahayu, S, 2009, “Destination Management Organization (DMO): Paradigma Baru Pengelolaan Pariwisata Daerah Berbasis Teknologi Informasi”, Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI), Yogyakarta, 20 Juni.
Bambang Suharto -- Paradoksal Dibalik Kemegahan Borobudur
Buhalis, D, 2000, The Competitive Destination of the Future, Tourism Management, 21 (1), hlm. 97—116. Chen, H, dan Sheldon, P.J, 1997, Destination Information System: Design Issue and Directions, Journal of Management Information Systems, Vol. 14, No. 2, hlm. 151-17. Crouch, G. dan J.R.B. Ritchie, 1999, Tourism, Competitiveness, and Societal Prosperity, Journal of Business Researc. 33(3), hlm. 137—152. Damanhuri, D., S, 2011, “Kemitraan Usaha Skala Besar (USB) dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam Perspektif Pemberdayaan Masyarakat”, Bunga Rampai Pemberdayaa Masyarakat Jawa Barat, hlm. 145—156, Belum diterbitkan.
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., dan Donnelly, J.H, 2011, Organisasi: Perilaku, Struktur, dan Proses, Edisi ke-8, Jakarta: Binarupa Aksara. Greech, B, 1995, The Five Pillars of Total Quality Management, Jakarta: Binarupa Aksara. Gunn, C., A. 1994, Tourism Planning, Basics Concepts Cases, Washington: Taylor & Francis. Hartanto, F., M, 1997, Towards Sustainable Tourism Development: A Policy Planning Perspective, Bandung: ITB. Hunger, W, dan David, J, 1995, Strategic Management, USA: Addison-Wesley. Ibrahim, M., dan Chaerosti, L, 1997, Borobudur dalam Data, Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Damanik, J, 2010, “Merancang Format Baru Pariwisata yang Menyejahterakan Rakyat”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM.
Kurniawati, R. 2008, “Geger Bhumisambhara: Ketegangan Relasi dan Sinergi antara Rakyat, Perusahaan, dan Negara dalam Pengelolaan Kawasan Pariwisata Borobudur”, Skripsi.
Budpar, 2010, “Pedoman Pembentukan dan Pengembangan Destination Management Organization (DMO)”, Dirjen Pengembangan Dest i n a s i Pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Manente, M. dan Minghetti, V, 2000, Destination Management Organizations and Actors, http://www.download-it, Org/ learning-resources.
Fodor, O. dan Werthner, H, 2005, Harmonise: A Step Toward an Interoperable E-Tourism Marketplace, International Journal of Electronic Commerce, Vol. 9, No. 2, pp, hlm. 11-39. Getz, D., Anderson, D., dan Sheehan, L, 1998, Roles, Issues, and Strategies for Convention and Visitors Bureaux in Destination Planning and Product Development: A Survey of Canadian Bureaux, Tourism Management, 19 (4), hlm. 331—340.
McElroy, J.L, 2003, Tourism Development in Small Islands Across the World, Geografiska Annaler, Series B, Human Geography, Vol. 85, No. 4, Special Issue: Nature-Society Interactions on Islands, hlm. 231-242. Monterrubio-Cordero, J.C. 2008, Recidents’ Perception of Tourism: A Critical Theoretical and Methodological Review, Ciencia Ergo Sum, Marzo-Junio, Ano/ Vol.15, Numero 001, pp. 35—44. PAU-UGM, 1991, Penyusunan Indikator Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya di Bidang Pariwisata.
13
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 1-14
Pearce, A, 1989, Tourism A Community Approach 2nd Ed, USA: Longman Harlow. Pitana, I., G, 2002, Apresiasi Kritis terhadap Kepariwisataan Bali, Bali: PT The Works. Presenza, A., Sheehan, L., dan Ritchie, J., R., B, 2005, Towards a Models of The Role and Activities of Destination Management Organization, Destination Stakeholders: Exploring Identity and Salience, Annals of Tourism Research. 32 (3), 711—734. Ritchie, J., R. dan Crouch, G., I, 2007, A National Framework For Best Practice Destination Management Planning, The Competitive Destination – A Sustainable Tourism Perspective, Wallingford, UK: CAB International, Oxfordshire Publishing. Satrya, D., G, 2011, Perilaku Keorganisasian Surabaya Tourism Promotion Board, Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia, Vo. 40, No. 4, Juli. Semercioz, F., Donmez, D., dan Dursun,M, 2008, Relationships Between Destination Mana gement Organizations a n d
14
Destination Stakeholders A Research in Regions of Marmara in Turkey, Journal of Commerce & Tourism Education Faculty, No.1, hlm. 87—1001. Suharto, B, 2011, Kontribusi Hotel terhadap Kesejahteraan Masyarakat Lokal, Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan. Vol.6, No.1, hlm. 27— 42. Tampubolon, M., P, 2004, Perilaku Keorganisasian, Jakarta: Ghalia. Utami, S., D. 1998, “Pelaksanaan Koordinasi antar- Pelaku Pariwisata dalam Pengembangan Obyek Wisata di Daerah Istimewa Yogyakarta”, Tugas Akhir. UU No. 10 Tahun 2009, Tentang Kepariwisataan. UU No. 40 Tahun 2007, Tentang Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas. Williams, J dan R. Lawson, 2001, Community Issues and Resident Opinions of Tourism, Annuals of Tourism Research, 28(2): 269—290.
Muhamad -- Studi Perkembangan Wilayah dan Daya Dukung Lingkungan Kepariwisataan di Wilayah Yogyakarta Utara
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 15-24
STUDI PERKEMBANGAN WILAYAH DAN DAYA DUKUNG LINGKUNGAN KEPARIWISATAAN DI WILAYAH YOGYAKARTA UTARA Muhamad dan M. Baiquni
Staf Pengajar Program Studi Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Email:
[email protected] dan Email:
[email protected] dan
[email protected]
Chafid Fandeli
Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana UGM
ABSTRACT
The tourism region growth often indicates the decline of the environmental carrying capacity, including the conflict consequence in the carrying capacity and the spatial use. The un-control of the spatial growth and resources advantages is the effect of the increasing development policy that cause the damage of the environmental function. The spatial and natural resources advantage is needed for the consideration of the carrying capacity. A research is needed to define the safeguard traffic in connection with that problem. It is also important to be analyzed to the region carrying capacity that can define the tolerance border and the flexibility of capacity. The long purpose is too fulfill the tourists satisfactions in this area. The study sample is taken from 4 villages’ area in Pakem region (Kaliurang Area) and the Merapi Volcano National Park (TNGM) DIY province. There are 2 variables considered: (1) the region growth; (2) the ecology carrying capacity. The research sample is taken from the villages in the Pakem region (Kaliurang Area) and the Merapi Volcano National Park (TNGM) DIY province. Keywords: the region growth, the ecology carrying support, tourism region
ABSTRAK
Perkembangan wilayah kepariwisataan seringkali diindikasikan menurunkan daya dukung lingkungan, termasuk terjadinya konflik penggunaan ruang dan daya dukungnya. Perkembangan wilayah dan sumber daya alam yang tidak terkendali merupakan akibat meningkatnya kebijakan pembangunan sehingga dapat menyebabkan kerusakan fungsi lingkungan beserta daya dukung, terutama daya dukung fisik, dan daya dukung ekologis. Perlunya pemanfaatan ruang dan sumber daya alam secara komprehensif dengan mempertimbangkan daya dukung. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menentukan rambu-rambu pengaman berkenaan dengan masalah tersebut. Pada sisi yang lain, tingkat kenyamanan para wisatawan juga akan berkurang karena terjadi kepadatan yang tinggi. Untuk itu, perlu dilakukan analisis daya dukung kawasan yang dapat menentukan batas toleransi dan kelenturan kapasitas yang masih memungkinkan secara fleksibel. Tujuan jangka panjangnya adalah terpenuhinya kepuasan pengunjung secara berkelanjutan di kawasan tersebut. Untuk memantapkan implementasi tujuan jangka panjang ini, maka ditetapkan fokus tema dengan topik studi daya dukung kepariwisataan di wilayah Yogyakarta bagian Utara. Sampel penelitian terdiri dari empat wilayah desa di Kecamatan Pakem (Kawasan Kaliurang) dan Taman Nasional Gunung Merapi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk menjawab permasalahan di atas terdapat dua variabel, yaitu (1) perkembangan wilayah, (2) daya dukung ekologis. Sampel penelitian terdiri dari
15
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 15-24
wilayah desa di Kecamatan Pakem (Kawasan Kaliurang) dan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) Daerah Istimewa Yogyakarta. Kata kunci: Perkembangan wilayah, daya dukung ekologi, wilayah kepariwisataan
PENGANTAR
Tekanan secara fisik di wilayah Yogyakarta bagian utara adalah pembangunan yang tidak memperhatikan fungsi lingkungan. Hal ini diindikasikan dengan akibat kerusakan dan menurunya kualitas lingkungan, baik secara fisik maupun ekologis karena mempraktikkan pola pengelolaan kawasan konservasi yang tidak memperhitungkan daya dukung ekologinya. Berbagai konflik dan potensi ancaman pembangunan kepariwisataan merupakan kendala utama di dalam pembangunan terkait dengan peran dan fungsi wilayah di Yogyakarta bagian utara. Potensi dan ancaman antara lain berasal dari tekanan penduduk di wilayah Yogyakarta bagian utara yang diperkirakan akan melakukan konversi lahan, kegiatan kepariwisataan, dan permukiman (Douglas, 1991 dalam Muta’ali, 1997). Konflik lain adalah pengelolaan yang belum dilaksanakan secara optimal, terutama aspek tata lingkungan dan pengelolaan kegiatan kepariwisataan (Baiquni, 1996 dan Sutikno, 2006). Aspek kegiatan kepariwisataan dikritik sebagai pengeksploitasi, lingkungan, dan dituduh hanya sebagai pengejar keuntungan f i n a n si a l p a sa r t a n p a me n i n g k a t k a n kapasitas pengelolaan lingkungan dan tanpa memperhitungkan kemungkinan pengaruhnya terhadap daerah sekitar, lingkungan, dan masyarakatnya (Hasanah, 2004). Pendapat di atas mengindikasikan adanya berbagai dampak negatif terhadap komponen daya dukung lingkungan. Dampak ini terjadi karena benturan fungsi komponen pembangunan antara ekologi dan ekonomi. Jika pertimbangan ekologi lebih kuat, pembangunan terasa lemah, dan lamban. Akan tetapi, jika pertimbangan ekonomi ditekankan,
16
maka terjadi eksploitasi yang mempercepat berkurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya. Tanpa memberikan kesempatan terhadap sumber daya lingkungan tersebut untuk mendaur ulang hidupnya, langkah kompromi atas keduanya merupakan jalan tengah yang baik. Terdapat beberapa faktor lain dari dampak di atas yang menjadi permasalahan secara ekologis, yaitu tingkat perkembangan wilayah yang tinggi di wilayah ini. Permasalahan lain adalah adanya jumlah kunjungan wisatawan yang tinggi secara langsung maupun tidak langsung berakibat pada gangguan ekosistem lingkungan, bahkan dapat merusak lingkungan tersebut. Permasalahan pada tingkat kenyamanan para wisatawan juga akan berkurang apabila terjadi kepadatan yang tinggi. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian tentang daya dukung kawasan sebagai batas penentu toleransi kapasitas yang masih dimungkinkan secara fleksibel. Terkait dengan kajian daya dukung kawasan (carrying capacity), maka analisis nantinya lebih difokuskan pada kawasan yang menjadi pusat kunjungan. Adapun pada kawasan yang belum menghasilkan kunjungan yang signifikan, akan digunakan hasil analisis kawasan yang menjadi pusat kunjungan. Hasil analisis pada pusat kunjungan akan diasumsikan sama untuk membatasi jumlah pengunjung pada kawasan yang belum menghasilkan kunjungan secara signifikan. Asumsi ini dapat difungsikan pada masa yang akan datang dan tahapan berikutnya khususnya bila kawasan yang belum dikunjungi tersebut telah sukses sebagai daerah tujuan wisata dan berhasil dipromosikan.
Perkembangan Wilayah
Kegiatan rekreasi secara keruangan akan membentuk perembetan tata guna lahan yang dapat mempengaruhi perkembangan wilayah. Perkembangan wilayah akibat perembetan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi
Muhamad -- Studi Perkembangan Wilayah dan Daya Dukung Lingkungan Kepariwisataan di Wilayah Yogyakarta Utara
tiga, yaitu (1) perkembangan konsentris, (2) perkembangan meloncat, dan (3) perkembangan memanjang. Perkembangan konsentris merupakan perembetan kenampakan fisik yang terjadi pada semua sisi urban built land dan membentuk kesatuan yang kompak. Perkembangan meloncat merupakan perembetan kenampakan fisikal yang terjadi secara sporadis di daerah pinggiran kota, bersifat tidak menyatu dengan kenampakan kekotaan dan melewati lahan pertanian. Perkembangan memanjang merupakan perembetan kenampakan yang terjadi sepanjang jalur transportasi atau jalur-jalur memanjang lainnya (Yunus, 2006). Perkembangan daya tarik wisata dapat memicu perkembangan wilayah di sekitarnya, termasuk di dalamnya desa-desa. Hal tersebut sangat dimungkinkan karena perencanaan pengembangan pariwisata yang berkaitan dengan kewilayahan dilakukan melalui pusat pertumbuhan (growth center) (Yunus, 2006 dan Maryani, 2004). Perencanaan pembangunan ini difokuskan pada pembentukan pusatpusat pertumbuhan dalam suatu wilayah pengembangan tertentu (Yunus, 2001 dan sutaryono, 2007).. Pusat pertumbuhan (growth center) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan merupakan suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri karena sifat hubungannya memiliki kedinamisan sehingga mampu menstimuli kehidupan ekonomi, baik ke dalam maupun ke luar daerah belakangnya/hinterland. Secara geografis, pusat pertumbuhan merupakan suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di tempat tersebut dan masyarakat datang untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di lokasi tersebut (Jayadinata, 1986 dan Sutaryono, 2007).
Daya Dukung Lingkungan
Produk utama pariwisata adalah lingkungan itu sendiri (Soemarwoto, 2004). Dengan mengadaptasi UU No. 23 Tahun 1997 bahwa daya dukung kawasan pariwisata merupakan kemampuan tertentu suatu kawasan untuk menerima wisatawan. Pengertian daya dukung kawasan adalah kemampuan tertentu pada suatu daerah untuk menerima wisatawan atau jumlah wisatawan maksimal yang dapat memanfaatkan suatu kawasan tanpa menimbulkan penurunan kualitas lingkungannya (Sumarwoto, 1993). Hal yang mempengaruhi daya dukung kawasan pariwisata salah satunya adalah faktor lingkungan biofisik lokasi wisata tersebut. Selain faktor fisik, daya dukung kawasan pariwisata juga berkaitan dengan faktor psikologis wisatawan. Secara umum, untuk kawasan pegunungan yang memiliki hawa sejuk rata-rata wisatawan mencari nilainilai keheningan, jauh dari hiruk-pikuk polusi suara, dan rendahnya tingkat kepadatan manusia. Semuanya ini merupakan nilai dari sebuah kenyamanan untuk berwisata (Soemarwoto, 2004). Untuk itu, perencanaan pengembangan pariwisata haruslah memperhatikan daya dukung kawasan. Pembangunan wilayah destinasi serta dari kualitas objek daerah tujuan wisata yang berlebihan dapat menyebabkan iritasi/gangguan terhadap wisatawan dan lingkungan, terutama kawasan konservasi (Fandeli dan Muhamad, 2009). Penelitian Doxey (1975), Prosser (1994), Cater & Lowman, (1994) dalam Fandeli (2005) menyebutkan bahwa dalam akhir proses gangguan tersebut, yaitu lingkungan yang berubah tidak dapat dipulihkan dan seluruh sumber daya berubah, sehingga kebutuhan pariwisata juga akan berubah. Akhir proses gangguan tersebut tidak hanya pada wilayah, tetapi berpengaruh terhadap wilayah dan lingkungan sekitarnya secara lebih luas. IUCN memberi jaminan perlindungan terhadap lokasi untuk berwisata yang ditentukan oleh
17
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 15-24
Tabel 1. Aspek Perlindungan terhadap Lokasi Wisata No 1
2 3
Aspek Perlindungan Daya dukung
Tekanan terhadap area Kemenarikan
Penjelasan Dengan mengadaptasi dari UU No. 23 Tahun 1997: daya dukung kawasan pariwisata merupakan kemampuan tertentu suatu kawasan untuk menerima wisatawan. Daya dukung ini merupakan alat kontrol peringatan dini terhadap kemampuan area untuk mendukung jumlah wisatawan. Aspek ini merupakan dampak dari kumpulan ukuran yang disebabkan oleh aktivitas dan kedatangan wisatawan. Merupakan kualitas dari objek dan daya tarik wisata yang dapat berubah dari waku ke waktu.
Sumber: Dari Berbagai Sumber
tiga aspek seperti ditampilkan pada tabel 1 berikut di bawah ini. Tabel di atas menggambarkan beberapa pendekatan tentang cara perlindungan ODTW (Objek Daya Tarik Wisata) dengan menentukan daya dukung objek wisata. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan ODTW untuk mendukung/memenuhi kebutuhan sejumlah wisatawan. Angka ini dipergunakan sebagai pedoman menetapkan jumlah wisatawan yang dapat didukung ODTW agar tidak terjadi kerusakan kawasan. Terdapat tiga macam cara perhitungan daya dukung dan ketiganya dapat dipergunakan untuk menetapkan jumlah wisatawan yang boleh masuk kawasan, yaitu daya dukung fisik, daya dukung wilayah/ kawasan/tempat wisata, dan daya dukung di bidang kepariwisataan (Mowforth dan Munt, 1998 dan Douglass, 1975). Beberapa contoh daya dukung kawasan wisata merupakan bagian dari kajian daya dukung karena terkait dengan populasi yang mendukung kelangsungan kehidupan di alam. Pengertian daya dukung menurut konsep ekologi adalah jumlah maksimum individu/unsur hayati yang masih dapat dijamin hidup dengan baik pada suatu kondisi lingkungan, sedangkan definisi daya dukung tempat wisata adalah jumlah wisatawan yang menggunakan suatu areal untuk berwisata, yang masih dapat didukung oleh areal tersebut (Colinvaux, 1986 dan Douglass 1975). Hal tersebut ditandai kualitas
18
wisata sehingga keserasian dapat terjaga (Fandeli dan Muhammad, 2007). Secara operasional penggunaan konsep daya dukung di bidang kepariwisataan didefinisikan oleh ahli lingkungan sebagai kemampuan objek wisata alam untuk dapat menampung jumlah wisatawan pada luas dan satuan waktu tertentu (Soemarwoto, 1988). Pembangunan wilayah kepariwisataan pada dasarnya melihat ketersediaan objek, fasilitas, dan pelayanan pariwisata (Pearce, 1989). Kebutuhan ruang dan lingkungannya merupakan bagian fasilitas atau service bagi wisatawan (Gunn, 1994). Wisatawan dibedakan menjadi dua berdasarkan kategori wisatawan sesuai dengan jarak yang ditinggalkan dari tempat asal sebagai berikut: (1) wisatawan yang berasal dari urban ke sub-urban (urban and urban fringe) yaitu jarak kurang dari 40 mil dari tempat tinggalnya; (2) wisatawan yang berakhir pekan (the weekend use zone, yaitu jarak dengan radius antara 40 mil hingga 120 mil, menurut Standard Metropolitan Statistical Areal (Douglass, 1975). Beberapa faktor penting sebagai penentu daya dukung adalah perhitungan daya tampung kawasan berdasarkan data jumlah wisatawan yang tercatat dalam statistik jumlah kunjungan per-bulan. Pada kegiatan rekreasi tentunya wisatawan membutuhkan prasarana, maka variabel prasarana wisata juga akan dianalisis. Faktor daya dukung
Muhamad -- Studi Perkembangan Wilayah dan Daya Dukung Lingkungan Kepariwisataan di Wilayah Yogyakarta Utara
pariwisata sangat tergantung pada beberapa aspek yaitu kondisi lingkungan, jumlah, dan perilaku wisatawan yang akan berpengaruh terhadap keserasian wilayah (Fandeli dan Muhamad, 2009).
PEMBAHASAN
Posisi strategis Yogyakarta bagian utara yang terletak di antara Provinsi DIY dan Jawa Tengah menjadikannya sebagai channel untuk aktivitas pariwisata DIY- Jawa Tengah. Bandara Adisutjipto berada di Kabupaten Sleman mempermudah akses wisatawan ke DIY-Jawa Tengah, khususnya Kabupaten Sleman. Kemudahan akses ini menjadikan Kabupaten Sleman sebagai pusat pergerakan dari aktivitas kepariwisataan. Peluang ini ditangkap oleh para pelakupelaku pariwitasa di Kabupaten Sleman dengan layanan wisata berupa pengembangan destinasi wisata, penyediaan sarana prasarana wisata, dan lain-lain. Kegiatan kepariwisataan di wilayah Yogyakarta Utara mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan perhatian pemerintah daerah terhadap sektor kepariwisataan. Hal ini berdampak pada jumlah kunjungan wisatawan terhadap sebaran objek-objek dan daya tarik wisata (Tabel 2) di bawah ini. Jumlah pengunjung per-bulan pada wilayah ODTW di wilayah Yogyakarta bagian utara secara terinci ada pada tabel 1 dan tabel 2 merupakan data perolehan retribusi dari sektor pariwisata di Yogyakarta bagian utara. Destinasi wisata yang potensial, antara lain berupa potensi budaya yang terdiri dari budaya, wisata alam, upacara adat, dan tradisi budaya di wilayah Yogyakarta bagian utara. Destinasi/objek wisata di Kabupaten Sleman diklasifikasikan menjadi wisata alam, candi, museum, pedesaan, pendidikan, belanja, kuliner, dan alternatif. Berdasarkan hasil analisis di atas, diketahui bahwa konsentrasi pengunjung (pusat kunjungan) berada pada beberapa kawasan tertentu. Konsentrasi kunjungan
tersebut meliputi: (1) kawasan wisata Kaliurang, (2) lava tour, (3) desa wisata. Berdasarkan hasil observasi ini, berikut akan ditampilkan rekapitulasi data kunjungan pada bulan kunjungan. Rekapitulasi data kunjungan merupakan data sekunder tahun terakhir (2007) yang diperoleh dari Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya pemerintah setempat. Data sekunder yang diperoleh akan menjelaskan tentang jumlah penerimaan setoran dari kunjungan wisatawan Nusantara dan Mancanegara.
Potensi dan Perkembangan Wilayah Yogyakarta Bagian Utara
Analisis dan pembahasan untuk melihat potensi dan perkembangan pembangunan kepariwisataan di wilayah Yogyakarta bagian utara dinilai berdasarkan beberapa variabel atau indikasi yang merupakan wujud komponen wilayah beserta lingkungan dengan z-score periode up date 2006-2008. Komponen potensi perkembangan wilayah di dalam penelitian dinilai berdasarkan lima variabel atau indikator yang merupakan pertumbuhan ataupun perubahan dari nilai z score masing-masing indikator dari skala waktu yang berbeda. Indikator potensi dan perkembangan wilayah tersebut adalah indeks komposit yang akan dianalisis secara berurutan. Berdasarkan variabel dan indikator tersebut, diperoleh sampel penelitian (Lima wilayah desa di Kecamatan Pakem) Sampel tersebut merupakan kawasan wisata yang terbentuk pada masa penjajahan Belanda dan berada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Potensi perkembangan wilayah yang tinggi terjadi di desa Pakembinangun dan Hargobinangun memiliki potensi wilayah cukup tinggi karena merupakan kawasan wisata yang sudah terbentuk lama. Wilayah Pakembinangun dan Hargobinangun merupakan inti pengembangan kawasan Gunung Merapi. Komponen dari 5 (lima)
19
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 15-24
Tabel 2. Pengunjung Objek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Sleman bagi Wisatawan Asing Tahun 2007 Jenis wisata Candi Wis alam Museum Ds wisata Atraksi Total
Jan (%) 83.37 6.41 1.45 4.75 4.02 100
Feb (%) 90.06 3.32 1.40 1.61 3.61 100
Maret (%) 81.04 4.63 1.23 10.05 3.05 100
April (%) 86.59 4.09 2.16 2.34 4.83 100
Mei Jun Juli Ags Sept Okt Nov Des Jumlah (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) 83.51 80.49 80.67 84.21 85.88 83.63 88.88 78.46 66.10 5.73 4.89 2.97 2.62 4.16 4.76 2.90 3.38 3.11 1.28 1.31 2.69 1.08 0.96 4.05 2.36 10.57 1.93 0.50 1.88 0.43 1.58 0.11 0.21 1.96 2.97 22.49 8.98 11.42 13.23 10.51 8.89 7.35 3.89 4.62 6.36 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber : Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Sleman (dimodifikasi)
Tabel 3. Pengunjung Obyek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Sleman Bagi Wisatawan Domestik Tahun 2007 Jenis wisata Candi Wis alam Museum Ds wisata Atraksi Total
Jan (%) 36.41 42.08 20.06 0.03 1.41 100
Feb Maret April (%) (%) (%) 33.39 33.22 33.74 49.13 49.48 43.48 16.76 15.71 21.89 0.06 0.03 0.03 0.67 1.57 0.86 100 100 100
Mei (%) 32.64 39.93 25.29 0.04 2.10 100
Jun (%) 37.37 31.53 28.83 0.02 2.25 100
Juli (%) 42.63 40.10 14.28 0.04 2.94 100
Ags (%) 32.57 56.17 7.69 0.10 3.47 100
Sept (%) 32.49 57.18 8.01 0.06 2.26 100
Okt (%) 41.72 42.97 14.02 0.05 1.24 100
Nov (%) 34.56 50.03 12.99 0.01 2.41 100
Des (%) 51.43 33.49 13.87 0.03 1.18 100
Jumlah (%) 36.87 44.54 16.75 0.04 1.80 100
Sumber : Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Sleman (dimodifikasi)
indikator penilai memiliki pola yang mempunyai kevariasian terhadap potensi perkembangan wilayah. Indikator tersebut antara lain adalah kependudukan dan aksesibilitas wilayah umumnya tersebar secara merata dan mempengaruhi indeks potensi wilayah tersebut, seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Berdasarkan analisis z-score di atas menunjukkan beberapa kevariasian potensi perkembangan wilayah dengan indeks potensi perkembangan wilayah yang dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan dan geografis wilayah. Beberapa faktor tersebut antara lain sebagai beriku: infastruktur pembangunan (jalur transportasi wilayah dan kepariwisataan), tata guna lahan (proporsi lahan pertanian, kepadatan lingkungan, konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun), kependudukan (kepadatan penduduk, dan pertumbuhan penduduk).
20
Infrastruktur wilayah meliputi panjang jalan dengan kelas jalan, jarak terdekat dari dan ke sub-sub wilayah, struktur jaringan jalan semua bernilai (+) artinya komponen infrastruktur sudah terbentuk, hanya wilayah desa Harjobinangun yang bernilai negatif (-5,0469) karena terdapat beberapa segmen jalan yang belum teraspal dan kondisi yang kurang baik. Indeks potensi perkembangan wilayah Kecamatan Pakem mempunyai indeks perkembangan yang positif, yaitu Wilayah Hargobinangun 0,3008, Wilayah Pakembinangun (1,7167), dan Wilayah Purwobinangun 0,3694. Sehingga wilayah Pakem mempunyai indeks potensi perkembangan wilayah yang signifikan (dominan positif). Konversi lahan yang terjadi pada wilayah di Kecamatan Pakem tersebut didominasi oleh perubahan lahan untuk kegiatan kepariwisataan yaitu sarana dan prasarana pariwisata. Hampir
Muhamad -- Studi Perkembangan Wilayah dan Daya Dukung Lingkungan Kepariwisataan di Wilayah Yogyakarta Utara
70% perubahan itu terjadi sejak lama. Pada saat ini penggunaan lahan dan konversi lahan di wilayah Kecamatan Pakem tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan wilayah tersebut (sejak zaman penjajahan Belanda) Hasil analisis perkembangan wilayah menunjukan kevariasian terhadap penggunaan lahan dan konversi lahan. Konversi lahan yang terjadi terutama di wilayah Pakembinangun yang bernilai positif (1,4892). Perubahan kevariasian di wilayah tersebut ditunjukan dengan adanya perubahan dan pengkonversian lahan seperti perubahan lahan pertanian menjadi lahan perkebunan, permukiman, dan fasilitas di wilayah desa lainnya. Tingkat kevariasian di wilayah Kecamatan Pakem konversi lahan terbentuk dibeberapa kluster sedangkan lahan yang lain masih didominasi oleh lahan terbuka seperti sawah, kebun campuran, perkebunan, dan hutan. Walaupun lahannya masih terbuka dan luas, tetapi pemanfaatannya terbatas karena lereng yang terjal dan elevasinya tinggi. Selanjutnya setelah analisis potensi perkembangan wilayah yang dievaluasi, maka sejauh manakah daya dukung kawasan untuk kepariwisataan yang meliputi: daya dukung kawasan, karena diwilayah Kecamatan Pakem ini mempunyai sebaran obyek dan daya tarik wisata yang mempunyai tingkat kunjungan yang tinggi baik wisatawan nusantara maupun wisatwan asing.
Daya Dukung Kawasan Pariwisata.
Beberapa faktor penting sebagai penentu daya dukung adalah perhitungan daya tampung kawasan berdasarkan data jumlah wisatawan yang tercatat dalam statistik jumlah kunjungan per-bulan (pada tabel 1 dan 2) dan pada saat musim liburan. Wisatawan membutuhkan prasarana wisata dan variabel prasarana wisata yang dianalisis dengan analisis daya dukung yang menitikberatkan pada daya tampung kawasan pariwisata guna kegiatan rekreasi (Fandeli dan Muhammad, 2009). Analisis nilai daya tampung optimal merupakan data jumlah pengunjung perbulan, maka dari itu harus dicari berapa jumlah pengunjung tertinggi dan terendah yang selanjutnya dibagi dengan bulan perolehan data, sehingga dapat ditentukan kapasitas daya dukung berdasarkan jumlah pengunjung yang paling akhir. Analisis daya tampung kawasan wisata, difokuskan pada proses asosiasi antara pembagian jumlah pengunjung dengan luasan optimal pemanfaatan kawasan. Selanjutnya, dari angka tersebut dapat ditentukan daya tampung optimal dengan mekanisme pengurangan angka jumlah pengunjung dengan daya tampung maksimal. Beberapa variabel formula yang dipakai di dalam pendekatan ini sebagai berikut: daya tampung maksimal kawasan dan prasarana wisata (satuan orang/hektar) dan (satuan orang/meter persegi), jumlah
Tabel 3 Potensi Perkembangan Wilayah di Yogyakarta Bagian Utara. No
Kec
Wilayah
1 2 3 4 5
Pakem Pakem Pakem Pakem Pakem
Candibinangun Hargobinangun Harjobinangun Pakembinangun Purwobinangun
Kepadatan
Infrastruktur
Zscore -0,4212 -0,9903 -0,1152 0,6134 -0,7076
Zscore 0,1826 2,3733 -5,0469 2,6365 0,9154
Peng & konversi lhn zscore -1,0453 -0,0517 0,6726 1,4892 0,6337
Pertumbuhan zscore -1,8024 0,4579 -0,8337 0,4579 -0,1879
Aksesibilitas
Indeks potensi wilayah
2,6590 -1,4885 1,9314 -0,5019 -0,2842
-0,4273 0,3008 -3,3917 1,7167 0,3694
Sumber: Analisis dan Olah Data, 2009
21
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 15-24
wisatawan/bulan dan objek wisata yang menonjol, luas pemanfaatan optimal. Apabila telah diketahui daya tampung optimal, maka dilanjutkan dengan mencari keputusan kapasitas daya tampung optimal dari angka jumlah kunjungan. Jumlah kunjungan ini merupakan data pengunjung dengan karakter angka per-bulan, maka harus dicari berapa jumlah pengunjung tertinggi dan terendah yang selanjutnya dibagi dengan bulan perolehan data. Dengan demikian dapat ditentukan kapasitas daya dukung berdasarkan jumlah pengunjung yang paling akhir. Adapun rumusnya sebagai berikut: Untuk mengimplementasi lebih jelasnya ditampilkan dalam bentuk tabulasi perhitungan daya tampung. Berdasarkan data sekunder terdapat pusat kunjungan terpusat pada empat objek daya tarik wisata, yaitu taman rekreasi Kaliurang, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Lava tour, dan desa wisata. Terdapat empat wilayah yang memiliki data jumlah pengunjung yang relatif cepat dan jumlah kunjungan bulan tertentu (masa liburan). Adapun objek daya tarik wisata lainnya bahwa menggunakan pendekatan asumsi jumlah pengunjung (diperoleh tahun 2007). Asumsi ini berdasarkan faktor kedekatan dengan lokasi obyek daya tarik wisata tersebut. Terkait dengan hasil analisis keputusan yang diambil, maka akan dihasilkan melalui proses analisis ideal dengan kombinasi pada faktor etika kelenturan kebijakan lingkungan. Analisis ideal tersebut menghasilkan angka daya tampung pengunjung pada suatu kawasan, masih perlu dilanjutkan dengan tahap kelenturan. Tahap kelenturan ini merupakan mempertimbangan nilai tertinggi dan terendah pada bulan perolehan data, sehingga keputusan tidak menjadi kaku. Analisis daya tampung optimal di atas adalah rekapitulasi data kunjungan pada beberapa wilayah desa wisata dan objek daerah tujuan wisata. Rekapitulasi data
22
merupakan data sekunder tahun terakhir (2007-2008) yang diperoleh dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya di Pemerintah Kabupaten Sleman, sehingga kebutuhan area di dalam menampung kegiatan wisatawan yang berkunjung di wilayah tersebut dapat direncanakan terutama pusat-pusat kunjungan (konsentrasi kunjungan wisatawan). Hasil analisis dan keputusan untuk kelenturan tersebut sebagai berikut: (1) Untuk kawasan Taman Rekreasi Kaliurang, diputuskan daya tampung optimal jumlah pengunjung: 6.638 orang/hektar/bulan. (2) Untuk kawasan wisata pengamatan Taman Nasional Gunung Merapi (Hutan wisata Kaliurang), diputuskan daya tampung optimal jumlah pengunjung: 7.029 orang/ hektar/bulan. (3) Untuk kawasan Lava Tour, diputuskan daya tampung optimal jumlah pengunjung: 6.638 orang/hektar/bulan. (4) Seluruh desa wisata yang terdapat di wilayah Pakem diputuskan daya tampung optimal, yaitu Desa Wisata Ngipiksari, Desa Wisata Sambi, Desa Wisata Srowulan, Desa Kaliurang Timur, dan Desa Turgo daya tampung optimal jumlah pengunjung: 7.045 rata-rata orang/hektar/bulan. Dari hasil analisis di atas menunjukkan daya tampung optimal (keleluasaan) untuk berwisata mempunyai tingkat kelenturan yang tinggi di taman rekreasi Kaliurang, hutan wisata Kaliurang, kawasan Lava Tour, desa wisata, tingkat keserasian wilayah masih terjaga terutama kawasan wisata hutan, desa wisata, dan kawasan wisata Kaliurang terutama pada saat musim libur panjang pada bulan Juli dan Agustus. Untuk Taman Rekreasi Kaliurang dan Lava Tour mempunyai tingkat keleluasaan yang tinggi karena wilayah ini berada di kawasan penyedia jasa lingkungan yaitu Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) Provinsi DIY. Analisis dan keputusan daya dukung pariwisata sangat tergantung pada beberapa aspek yaitu kondisi lingkungan, jumlah, dan perilaku wisatawan (Fandeli dan Muhamad,
Muhamad -- Studi Perkembangan Wilayah dan Daya Dukung Lingkungan Kepariwisataan di Wilayah Yogyakarta Utara
2009) yang akan berpengaruh terhadap keserasian wilayah sehingga hasil analisis kebutuhan dan daya tampung wisatawan dapat direncanakan, terutama pusat-pusat kunjungan (konsentrasi wisatawan) di wilayah Kecamatan Pakem secara keseluruhan. Untuk itu, dapat diilustrasikan dengan istilah kemampuan lahan karena masih dapat menjamin jumlah maksimum individu unsur hayati yang masih dapat dijamin hidup dengan baik pada suatu kondisi lingkungan (Sutikno, 2007; Colinvaux, 1986) dan daya dukung tempat wisata terhadap jumlah wisatawan yang menggunakan suatu areal untuk berwisata, masih dapat didukung oleh areal tersebut.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap potensi perkembangan wilayah kepariwisataan dan daya dukung lingkungan kepariwisataan terlihat bahwa wilayah Yogyakarta bagian Utara sebagai penyedia
jasa lingkungan kepariwisataan merupakan wilayah yang sangat potensial untuk dikembangkan dan direncanakan pada masa yang akan datang. Kondisi daya dukung wilayah yang masih tergolong tinggi dan mempunyai kelenturan memungkinkan untuk lebih dioptimalkan dan tetap berorientasi pada kelestarian fungsi lingkungan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Baiquni. M, 1996, ”Fenomena Perkembangan Yogyakarta Utara”, makalah disampaikan dalam diskusi ilmiah Manajemen Pengembangan Kawasan Utara Yogyakarta”, 20 Desember 1996, BEM Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. Colinvaux. P, 1986, Ecology, John Wiley dan Sons, New York. Dauglas. RW, 1975, Forest Recreations, Second Edition, Pergamon Press Inc. New York.
Tabel 5. Daya Tampung Wilayah di Wilayah Yogyakarta Bagian Utara No Objek Wisata 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 13 14 15 16 17 18 29 20
Hutan Wisata Kaliurang Tlogo Putri Pengamatan Merapi Bumi Perkemahan Htn Percbn Kaliurang Tlogo Nirmolo View Lava Panorama Vulkanik Sistem Pemantauan Merapi Air Panas (SPA) Wisata Trekking Tmn Rekrsi Kaliurang Museum Ulen Sentalu Desa Wisata Ngipiksari Desa Wisata Sambi Desa Wisata Srowulan, Desa Kaliurang Timur Desa Turgo Djumadil Kubro TOTAL
Luas (Ha) 85 2 1,0 12 10 5 15 10 1,15 1,5 8 15 1,5 88 95 84,25 105 96,29 1,15 553,96
Juli jumlah 11.053 405 77 625 1.105 202 3.496 252 521 426 154 75.854 2.232 0 71 0 0 30 3.250 103.508
C_Opt 102.291 51.754 207 94.883 93.157 82.807 96.608 93.157 13.501 34.503 90.570 96.608 34.503 102.332 102.419 102.280 102.522 102.433 13.501 103.321
Agustus jumlah C_Opt 7.501 78.227 117 39.579 75 158 426 72.562 750 71.242 205 63.326 3.690 73.881 274 71.242 587 10.325 507 26.386 169 69.263 55.434 73.881 1.700 26.386 0 78.259 200 78.325 0 78.219 0 78.404 62 78.336 3.350 10.325 79.158 79.015
Kepts (org/ha) 7.029 3.556 14 6.520 6.401 5.690 6.638 6.401 928 2.371 6.401 6.638 2.371 7.032 7.038 7.028 7.045 7.039 928 7.100
Sumber: Analisis Peneliti, 2008
23
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 15-24
Fandeli. C. dan Muhamad, 2009, Prinsip-prinsip Dasar Mengkonservasi Lanskap Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Gunn C.A, 1994, Tourism Planning Basics. Concepts Cases, Third Edition. Taylor & Francis Publisher. Jayadinata. J.T, 1986, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Kantor Kementrian Lingkungan Hidup, 1997, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UNDANG-UNDANG PLH), Jakarta. Lascurain. HC, 1990, Tourism, Eco-tourism, and Protecd Area, IUCN Protected Areas Programme, IV, World Congres on National Parks dan Protected Areas. Caracas, Venezuela, 10-21 Februari 1992. Maryani. E, 2004, “Struktur Keruangan Pariwisata di Kawasan Inti Bandung Raya”. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, (tidak diterbitkan) Yogyakarta. Pemerintah Kabupaten Sleman, 2007, Data Monografi Kecamatan, Kecamatan Tempel, Semester Kedua, Sleman.
24
Soemarwoto, O, (penyunting) 2003, Menuju Jogja Provinsi Ramah Lingkungan Agenda 21 Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan, Pemerintah Provinsi DIY, Yogyakarta. , 1998, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta. Sutaryono, 2007, Dinamika Penataan Ruang dan Peluang Otonomi Daerah, Tugu Jogja Grafika, Yogyakarta. Sutikno, 1995, “Environment Degradation of Urban Area on Fluvio Volcanic Plain (Case Study of Yogyakarta)” dalam The International Journal of Geography, Faculty of Geography, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Yunus H.S, 2006, ”Problema Perkembangan Fisik kota, acuan khusus di daerah urban fringe”, Makalah disampaikan dalam forum Seminar Nasional Mengenai Fenomena Perkembangan Fisik Kota, 14 Desember 2006, diselenggarakan oleh Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
Rr. Paramitha Dyah Fitriasari -- Ritual Sebagai Media Transmisi Kreativitas Seni di Lereng Gunung Merbabu
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 25-35
RITUAL SEBAGAI MEDIA TRANSMISI KREATIVITAS SENI DI LERENG GUNUNG MERBABU Rr. Paramitha Dyah Fitriasari
Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Email :
[email protected]
Timbul Haryono
Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
G.R. Lono Lastoro Simatupang, Irwan Abdullah
Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
Tradition developed in a community should continue to be preserved from generations to generations. Efforts are being made one of them may be through the process of transmission or inheritance. Transmission can be done in various ways, one through the ritual. Rituals performed continuously and regularly can be a good medium in the transmission process. The ritual process of artistic creativity that was developed by the community on the slopes of Mount Merbabu can be an example. Art that goes hand in hand with the ritual can be one of the transmission medium to continue the tradition that already exists. This research seeks to answer how ritual can be a transmission medium of art precisely at the Slope creativity in Merbabu. Keyword : rituals, transmission, art creativity
ABSTRAK
Tradisi yang berkembang dalam sebuah kelompok masyarakat harus terus dilestarikan oleh generasi penerus dari generasi terdahulu. Upaya yang dilakukan salah satunya dapat melalui proses transmisi atau pewarisan. Transmisi dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui ritual. Ritual yang terus menerus dan rutin dilakukan dapat menjadi media yang baik dalam proses transmisi. Melalui ritual proses kreativitas seni yang dikembangkan oleh masyarakat di lereng Gunung Merbabu juga dapat berjalan dengan baik. Seni yang berjalan beriringan dengan ritual dapat menjadi salah satu media transmisi untuk dapat meneruskan tradisi yang sudah ada. Penelitian ini akan menjawab bagaimana ritual dapat menjadi media transmisi kreativitas seni tepatnya di Lereng Gunung Merbabu. Kata Kunci : Ritual, Transmisi, Kreativitas Seni
PENGANTAR
Geertz menyatakan bahwa sepanjang sejarah gunung-gunung api di Pulau Jawa selalu dipadati pemukiman penduduk karena
merupakan sumber bagi kehidupan, yaitu menyuburkan tanah pertanian melalui air mineral dan abu vulkanik. Gambaran di atas menunjukkan bahwa adanya hubungan
25
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 25-35
antara manusia dan gunung (Geertz, 1976: 33). Faktor-faktor kebudayaan dengan wujud kesenian seperti gerak, rupa, suara, dan lainlain yang menjadi latar belakang keharmonisan tampak melekat dalam sanubari masyarakat di daerah pegunungan. Hampir semua desa di Lereng Merbabu, mempunyai agenda seni budaya, yang sebagian besar berhubungan dengan ritual terhadap alam dan lingkungan sekitarnya. Ada pendapat bahwa masyarakat pegunungan cenderung hidup di dalam kelompok dan kurang berinteraksi dengan dunia luar (Firmansyah, 2007: 87). Kehidupan masyarakat gunung juga dianggap masih terisolir dan pendidikannya rendah, namun ini sangat berbeda keadaannya dengan masyarakat di lereng Gunung Merbabu. Meski memang sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani, namun semangat dan kekuatan untuk menjaga eksistensi seni mereka sangat besar. Lereng gunung Merbabu di sini adalah difokuskan pada daerah yang masuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang. Dalam satu kecamatan mempunyai 20 desa, 165 dusun. Rata-rata setiap desa kurang lebih mempunyai lima grup kesenian, sehingga dengan kata lain satu Kecamatan mempunyai kurang lebih 100 grup kesenian, walaupun satu jenis kesenian dapat dimainkan oleh beberapa grup yang berbeda-beda. Kesenian tersebut di antaranya adalah soreng, topeng ireng, warok bocah, kuda lumping, dan lain-lain. Namun perlu digarisbawahi bahwa jumlah tersebut masih berupa hitungan jumlah kesenian yang tercatat, jadi ada jenis kesenian yang hidup, berkembang, tidak berkembang, bahkan mati. Kesemuanya itu sangat diperlukan pendukung agar kesenian yang sudah ada di suatu wilayah dapat berkembang dan tidak mati ditelan perkembangan zaman. Upaya pelestarian sangat gencar dilakukan oleh beberapa pihak atau instansi terkait, namun ketika tidak mendapat dukungan dari masyarakat sekitar yang berhubungan langsung dengan tumbuh kembangnya seni
26
tersebut, maka semua itu tidak akan ada artinya. Masyarakat lereng Gunung Merbabu dapat dikatakan masih dalam lingkup tradisional, baik dalam mata pencaharian mereka ataupun dari sikap dan perilaku yang masih sangat kental dengan kehidupan agraris. Akan tetapi, dalam kehidupan kesenian seperti yang sudah dipaparkan di atas, dan jika mengacu pada pendapat Alex Inkeles, mereka dapat dianggap sebagai kelompok orang yang modern. Ciri-ciri orang modern yang sudah melekat dalam diri mereka, di antaranya adalah kesediannya untuk menerima pengalaman-pengalaman yang baru dan keterbukaannya bagi pembaharuan dan perubahan (Inkeles, 1983 : 87). Mereka juga mau belajar untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal, tidak hanya sekedar menerima dari pendahulunya dalam hal ini mereka berusaha untuk menambah kreativitas mereka di bidang seni. Terakhir adalah kehidupan kesenian mereka sangat teroganisir, walaupun masingmasing kelompok mempunyai cara yang berbeda untuk mengatur manajemen kelompok keseniannya. Masyarakat Gunung hidup dengan sistem sosial yang terbuka. Kelonggaran sistem sosial menyebabkan keadaan yang oleh Edi Sedyawati disebut “dinding antar golongan telah berpintu tembus” (Sedyawati, 1985). Keadaan serupa memungkinkan terjadinya tular menular nilai kesenian. Elemen-elemen dalam kesenian tradisional memang dapat dikatakan peluang untuk berubah karena tidak ada aturan khusus atau pakem yang harus dipatuhi. Berbeda halnya dengan seni istana atau seni keraton yang masih terikat kuat oleh pakem, bahkan beberapa di antaranya sangat jelas tertuang di naskah kuno. Oleh karena itu, seni tradisi sangat bergantung dengan masyarakat pendukungnya ketika masyarakat menginginkan adanya perubahan, maka otomatis kesenian juga akan ikut berubah. Seperti yang diungkapkan juga oleh Edward Shils dalam bukunya Tradition bahwa sebenarnya tradisi yang diturunkan
Rr. Paramitha Dyah Fitriasari -- Ritual Sebagai Media Transmisi Kreativitas Seni di Lereng Gunung Merbabu
dari generasi ke generasi itu sudah melalui proses perubahan dalam bentuk apapun dan sekecil apapun sudah dimodifikasi oleh generasi penerima (Shils, 1981: 12-15). Setiap masyarakat memiliki bentuk seni tertentu, mulai dari masyarakat sederhana sampai yang modern. Dalam komunitas masyarakat yang sederhana, seni cenderung dipandang sebagai ekspresi budaya. Sebagai ekspresi dan produk budaya, seni berkaitan dengan sistem sosial masyarakat pendukungnya.
PEMBAHASAN Transmisi dan Pewarisan Tradisi
Kesenian tradisi yang memang diterima sebagai tradisi yang melalui proses pewarisan ini tidak murni dapat diterima begitu saja. ... tidak ada bentuk pewarisan karya seni atau naluri berkesenian yang secara 100% diwariskan oleh suatu generasi ke generasi berikutnya, karena sesungguhnya setiap generasi atau kelompok dalam masyarakat secara khusus memiliki intepretasinya sendiri dan memberi makna pada zamannnya (Paeni, 1995 : 21).
James R. Brandon dalam bukunya Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara, menjelaskan bahwa bentuk dan formula seni pertunjukan di Asia Tenggara dilestarikan dan dialihkan kepada generasi penerus dengan dua jenis proses transmisi yaitu transmisi tradisional dan transmisi modern (Brandon, 2003; 212). Proses transmisi tradisional pada umumnya tidak terstruktur dan informal, seperti misalnya seorang pemuda duduk dibelakang pentas, sambil melihat, mendengarkan, maka ia sekaligus belajar. Proses transmisi tradisional yang sering dilakukan oleh seseorang yang ingin belajar bersama orang (tokoh) yang dianggap sudah terkenal atau ahli dibidangnya adalah dengan cara nyantrik, yaitu dengan mengikuti semua kegiatan tokoh tersebut bahkan tinggal dalam kehidupan sehari-hari sang tokoh. Proses penciptaan sebuah kesenian adalah secara tidak langsung juga sekaligus
merupakan warisan dari nenek moyang yang tidak dapat semata-mata muncul secara tiba-tiba. Kehadiran seni tari di Magelang merupakan keberlangsungan kehidupan kultural yang diduga sudah berakar sejak dulu. Setiap zaman melahirkan pola dan bentuk kesenian yang berbeda, sejalan dengan cara pandang mereka terhadap kehidupan dan bagaimana mereka mengekspresikan ke dalam ragam bentuk aktivitas seni. Namun, mempertahankan kebudayaan yang ada penting dengan langkah menyesuaikan perkembangan zaman tanpa mengubah ciri atau jati diri kebudayaan yang ada. Manusia selain menghasilkan kebudayaan, juga harus mampu mewariskan pengetahuan yang dimiliki kepada generasi penerus. Proses transmisi atau pewarisan dari generasi sebelumnya adalah langkah yang paling mudah untuk tetap melestarikan sebuah kesenian. Fortes mengungkapkan bahwa transmisi adalah proses belajar dengan meniru orang yang lebih tua dan mengidentifikasikan diri dengan berperan serta dalam kegiatan sehari-hari (Koentjaraningrat, 1990: 215). Transmisi merupakan salah satu cara untuk mempertahankan keberlangsungan sebuah kesenian, tidak hanya bentuk melainkan nilainilai moral yang terkandung di dalamnya. Proses ini terjadi secara alamiah sebab terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tanpa paksaan. Pewarisan kesenian di beberapa daerah tidak bisa secara otomatis berlaku bagi semua orang, dan melalui berbagai cara dan tidak sama bagi setiap jenis kesenian. Jika merujuk pada pendapat Masunah bahwa proses pewarisan dari adat istiadat desa serta didukung oleh masyarakat sesuai kondisi lingkungan, tradisi serta kepercayaan setempat (Masunah, 2003: 228). Masyarakat di lereng Gunung Merbabu juga melakukan pewarisan melalui adat dan kepercayaan masyarakatnya yaitu salah satunya dengan melakukan ritual. Ritual sebagai tradisi yang masih terus berlangsung tidak akan dirubah bentuk
27
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 25-35
dan elemen pendukungnya, seperti waktu, tempat dan sesaji yang menyertainya. Akan tetapi, tambahan unsur pendukung seperti kesenian yang disajikan dalam ritual tersebut dapat menambah kreasi para pendukungnya untuk lebih menambah semarak ritual tersebut tanpa mengurangi kesakralannya. Transmisi atau pewarisan yang terjadi di masyarakat lereng Gunung Merbabu ada dua aspek yang bisa diwariskan yaitu aspek bentuk dan aspek nilai serta religi. Aspek bentuk meliputi tarian, musik atau lagu, dan pengelolaan grup kesenian, sementara aspek nilai dan religi juga ditekankan sejak dini baik tergabung dengan grup kesenian maupun bukan. Kebiasaan atau adat istiadat yang sudah ada di wilayah desa tertentu sudah mulai dikenalkan dan diwariskan kepada generasi penerus agar dapat terus berjalan dan tidak hilang dimakan zaman. Johanes Mardimin menyatakan bahwa seni tradisi bukanlah benda mati, dengan demikian seniman dituntut untuk selalu pandai menyesuaikan diri. Pelestarian tidak mempunyai keharusan untuk mempertahankan seni seperti semula. Perubahan bisa dilakukan dengan membenahi salah satu atau beberapa bagian yang dirasa tidak memenuhi selera masa kini (Mardimin, 1994: 146). Dalam hal ini pewarisan tradisi memang sudah seharusnya dilakukan oleh generasi sebelumnya kepada generasi penerus, namun bagaimana generasi penerus menerima atau mengintepretasikan dengan cara yang sama atau berbeda tergantung dari generasi penerus dalam menerima sesuai dengan keadaaan zamannya. Aspek yang dapat ditransmisikan ada dua hal yaitu bentuk dan nilai. Aspek bentuk sudah dapat dipastikan harus ditransmisikan karena meliputi inti dari sebuah kesenian tersebut, di antaranya adalah tema, gerak, rias dan busana, iringan, durasi waktu, dan pelaku seni. Aspek yang kedua adalah nilai, tata aturan yang ada dalam suatu masyarakat memiliki nilai dan norma yang bertujuan untuk menunjang ketentraman bermasyarakat.
28
Nilai yang dapat ditransmisikan ada tiga yaitu nilai kedisiplinan, nilai kebersamaaan, dan nilai penjiwaan. Pertama, nilai kedisiplinan dapat dimulai dengan menanamkan bahwa setiap gerakan harus dilakukan dengan benar seperti yang telah ditentukan, sehingga gerak antara penari yang satu dengan yang lain dapat terlihat sama. Selain dalam gerak, kedisiplinan juga harus diterapkan dalam waktu saat latihan atau akan pentas. Jam berapa penari dan kru harus datang ke lokasi pertunjukan, dengan perkiraan waktu pentas yang telah ditentukan, sangat dilarang datang mendekati waktu pentas. Jika merias atau menyiapkan diri secara tergesa-gesa dapat mengakibatkan hal yang tidak baik. Misalnya karena terburu-buru pakaian yang digunakan kurang pas, atau karena belum bersiap-siap, maka sebelum pentas sudah kelelahan. Kedisiplinan yang diterapkan dalam tari diharapkan juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, nilai kebersamaan adalah setiap gerakan dalam tarian akan terlihat lebih menarik apabila dilakukan secara bersamasama. Tarian yang hidup di lereng Gunung Merbabu sebagian besar merupakan jenis tarian berkelompok. Kekompakan gerak penari sangat diutamakan, oleh sebab itu secara tidak langsung mengajarkan nilai kebersamaan kepada para penari untuk dapat saling merasakan kebersamaan antara mereka. Selain disiplin yang tinggi, hubungan satu penari dengan yang lain juga sangat menentukan kekompakan. Ketika hubungan tersebut dapat berjalan baik dan tidak ada satu permasalahan apapun maka hasil dari gerak dan kreasi mereka dalam mementaskan kesenian akan sangat terlihat rapi dan bagus. Ketika ada masalah yang menyangkut dengan kelompok kesenian akan lebih baik jika langsung dibicarakan bersama secara terbuka, sehingga diharapkan tidak ada yang memendam dalam hati masalah yang dihadapi. Melalui kebersamaan yang kuat hasil yang akan dicapai akan lebih maksimal.
Rr. Paramitha Dyah Fitriasari -- Ritual Sebagai Media Transmisi Kreativitas Seni di Lereng Gunung Merbabu
Ketiga, nilai penjiwaan. Penjiwaan menjadi unsur penting dalam menari, tidak hanya asal menggerakan tubuh. Penari akan lebih bagus apabila bisa menjiwai dan merasakan tarian itu dalam diri. Ekspresi penari akan Nampak apabila dari dalam juga menjiwai karakter yang ditampilkan. Secara nyata penjiwaan adalah nilai yang paling sulit untuk ditransmisikan, sebab penjiwaan seorang penari akan tergantung dari pribadi masing-masing dalam membawakan tarian. Ekspresi penari dapat saja diajarkan dan dipelajari namun ketika peran dalam tarian itu dapat masuk ke jiwa penari akan membutuhkan waktu yang relatif lama. Melalui pengalaman pentas, mereka akan menemukan roso atau jiwa dalam tarian tersebut sehingga dalam menggerakan badan akan terlihat lebih ekspresif. Media transmisi yang dilakukan di lereng Gunung Merbabu sebagian besar adalah melalui media non-formal seperti melalui masyarakat dan keluarga. Media non-formal pertama adalah keluarga bahwa peran keluarga merupakan lingkup paling kecil dari sebuah kelompok masyarakat sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan dari usia anak-anak sampai usia dewasa. Terutama pada anak-anak adalah dasar dari pembentukan mental dan moral yang dapat diajarkan dan ditanamkan oleh keluarganya dalam hal ini adalah orang tua. Pengenalan nilai agama, budi pekerti, bahkan sampai kesenian dapat dimulai dari keluarga. Oleh karena itu, keluarga akan berpengaruh penting pada proses transmisi kesenian sebab ketika keluarga tidak mengenalkan atau melarang anak atau anggota keluarga mengenal kesenian, maka proses transmisi tidak akan berjalan. Media non-formal kedua adalah masyarakat bahwa pendukung dari kesenian yang paling nyata adalah masyarakat baik yang terlibat langsung sebagai penari, pemusik, atau seluruh anggota masyarakat yang tinggal di wilayah Lereng Gunung merbabu. Komunikasi
yang terjadi antara generasi akan sangat mendukung kelancaran proses transmisi, bahkan kesediaan masyarakat tanpa adanya unsur paksaan juga sangat berpengaruh. Interaksi yang terjalin antar- anggota masyarakat akan sangat menentukan keberlangsungan hidup sebuah kesenian dan mereka dapat saling bahu membahu mempertahankan apa yang sudah menjadi warisan dari leluhur mereka sebagai penyangga kesenian, masyarakat harus memahami maksud dan tujuan sebuah kesenian, maka mereka akan lebih menghargai kesenian yang ada.
Ritual sebagai Media Transmisi
Seni pertunjukan dalam kehidupan manusia, bukanlah produk dari satu bagian masyarakat saja melainkan telah berkembang di banyak lingkungan sosial. Salah satunya yang berhubungan dengan kehidupan rakyat desa, terlebih yang berlatar belakang petani. Dalam kehidupan masyarakat petani tradisional, lahirnya seni pertunjukan berhubungan dengan kepercayaan atau ritual tertentu. Pelaksaannya berdasarkan waktuwaktu tertentu, atau pada saat kejadiankejadian tertentu. Salah satu proses transmisi yang paling kuat adalah melalui ritual karena ritual otomatis masyarakat meneruskan tradisi yang sudah ada. Upacara yang dilakukan oleh masyarakat Pakis biasanya berkaitan erat dengan ritual yang rutin dilakukan untuk menghormati roh nenek moyang yang telah mendahului masyarakat Pakis. Seperti yang sudah dipaparkan bahwa masyarakat Pakis rutin menyelenggarakan upacara ritual dengan menggelar kesenian sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangkaian ritual tersebut. Dengan kata lain upacara tidak dapat dilangsungkan tanpa kehadiran seni pertunjukan. Upacara dianggap tidak sah apabila tidak disertai dengan penyelenggaraan seni pertunjukan tertentu (Kusmayati, 1999: 129). Seni Pertunjukan dalam sebuah ritual dapat berfungsi kepada beberapa pihak
29
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 25-35
yang berkepentingan, seperti bagi para penonton dan penyelenggara. Penonton dalam hal ini dibedakan menjadi dua, pertama adalah jemaah atau peserta upacara. Mereka memposisikan dirinya sebagai pelaku atau peserta ritual dan juga sebagai penikmat atau penonton. Kedua adalah masyarakat yang berada di luar kepentingan upacara namun ikut hadir jika lokasi ritual dilaksanakan di tempat terbuka. Kedua kelompok tersebut dapat berbaur menjadi satu pada acara dan waktu yang sama. Ritual tersebut dapat menjadi sesuatu yang berarti bagi beberapa pihak, masing-masing dapat memperoleh kepuasan batin ketika melaksanakannya tanpa ada batasan-batasan. Ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Pakis yang berkaitan dengan pertanian di antaranya dilakukan pada: a). Aum Tandur, yaitu ritual permohonan kepada Dewi Sri yang diyakini sebagai dewi kesuburan penabur benih padi. Tujuannya agar padi dan sayur-mayur yang ditanam oleh petani bisa subur dan tidak diserang hama atau binatang perusak. Upacara diselenggarakan setiap habis masa tanam dengan melakukan sesaji dan pertunjukan kesenian atau wayang kulit semalam suntuk. Kegiatan ini biasa dilakukan hampir di seluruh desa yang tersebar di Kecamatan Pakis. b). Aum Panen, yaitu upacara syukuran sebagai ungkapan terimakasih atas hasil panen yang diberikan setiap habis panen kepada Dewi Sri yang oleh orang jawa diyakini sebagai Dewa Padi. Ia adalah pembawa berkah dalam bidang pertanian, dengan melaksanakan selamatan agar hasil pertanian yang dihasilkan lebih bermanfaat. Pada umumnya kegiatan ini diawali dengan kenduri dan makan bersama seluruh warga sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah yang diberikan Tuhan YME, melalui hasil panen masyarakat sambil dihibur dengan beberapa kesenian yang ada di masing-
30
masing desa. Kegiatan ini biasa dilakukan hampir di seluruh desa yang tersebar di Kecamatan Pakis. c). Bersih Desa, adalah upacara yang dilakukan oleh masyarakat hampir diseluruh desa di Kecamatan Pakis yang bertujuan untuk membersihkan desa dari segala pengaruh jahat atau negatif yang dapat mengganggu keberlangsungan desa. Biasanya setelah melaksanakan bersih desa diteruskan dengan pentas seni oleh warga, seperti ada keharusan untuk mementaskan kesenian yang ada di wilayahnya untuk dipentaskan setelah bersih desa. d). Nyadran Kali, yaitu ritual yang rutin dilaksanakan setiap Bulan Sapar ini diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh seorang juru kunci di sumber mata air yang dipercayai sebagai sumber kehidupan bagi warga Kecamatan Pakis, sebab dahulu beberapa desa pernah hidup tanpa air sama sekali, kemudian sesepuh desa berdoa dan menemukan sumber mata air yang kemudian disalurkan ke beberapa desa agar bias dimanfaatkan. Beberapa tahun terakhir ritual tersebut telah menjadi sebuah tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat sebagai ucapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah air yang melimpah di wilayah Gunung Merbabu. Kegiatan ini biasa dilakukan di beberapa desa yang tersebar di Kecamatan Pakis, khususnya Desa Muneng Warangan, Desa Ketundan, dan Desa Gondangsari. e). Nyadran Makam, yaitu merupakan sebuah ritual yang diselenggarakan di makam setiap Bulan Ruwah. Ditujukan untuk doa bagi para leluhur cikal bakal dari beberapa desa yang ada di Kecamatan Pakis dan juga orang-orang yang dikuburkan di makam tersebut. Tujuannya dimaksudkan untuk mendoakan agar arwah leluhurnya selalu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa, tetapi sebagai pelestarian penghormatan kepada arwah leluhur. Kegiatan ini biasa
Rr. Paramitha Dyah Fitriasari -- Ritual Sebagai Media Transmisi Kreativitas Seni di Lereng Gunung Merbabu
dilakukan hampir di seluruh desa yang tersebar di Kecamatan Pakis. Ritual lain yang berhubungan dengan hari besar Islam adalah pada hari raya idul fitri yaitu syawalan. Salah satunya adalah Sungkem Telompak, yaitu hampir sama dengan Nyadran Kali, sebab melakukan ritual doa di depan sumber mata air yang ada di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi yang biasa dilakukan setiap tanggal lima bulan Syawal. Secara fisik saat tradisi berlangsung, masyarakat dari Dusun Keditan berhalal-bihalal bertemu di dusun Gejayan, namun secara spiritual mereka menjalankan semangat untuk melestarikan lingkungan terutama mata air ‘telompak’. Secara umum, setelah diadakan ritual tersebut, selalu dilanjutkan dengan adanya pertunjukan kesenian baik dari dalam desa maupun luar desa. Kelompok lain adalah pada pihak penyelenggara, walaupun ritual dilakukan di tempat-tempat yang sudah ditentukan, namun semua itu pastilah ada pihak yang bertanggung jawab untuk menjalankan ritual tersebut dengan beberapa masalah teknis. Mereka juga turut menyiapkan kelengkapan pelaksanaan ritual, termasuk memberikan sumbangan pikiran, tenaga, bahkan biaya yang dibutuhkan. Mereka bekerja bersama-sama tanpa membedabedakan untuk terwujudnya kegiatan secara gotong-royong. Bagi para pemain atau pelaku maupun juga penyelenggara kepuasan dapat mereka peroleh dengan cara telah berpartisipasi mengikuti ritual tersebut, sehingga di benak mereka ada rasa tentram dan nyaman telah ikut serta dalam meneruskan ritual yang sudah dilaksanakan sejak nenek moyang sebelumnya. Ada rasa bangga karena telah ikut melestarikan budaya bangsa yang patut untuk diteruskan. Seperti yang diungkapkan oleh Budi (13 tahun) salah seorang penari Soreng yang ikut dalam ritual Nyadran Kali berikut ini:
“Saya itu sudah ikut bangga dan senang mbak, kalo ikut nari di Nyadran Kali. Bisa terpilih nari di situ saja harus nunggu saya sampai SMP padahal saya sudah senang ikut bapak ritual itu dari kecil. Apalagi ini juga bisa sekaligus ikut melestarikan tradisi”1
Hal serupa juga diungkapkan Lurah Desa Banyusidi Riyadi (35 tahun) mengenai ritual Sungkem Telompak. Satu hal yang bisa diambil manfaat dengan adanya ritual adalah dapat melestarikan lingkungan dengan merawat tempat-tempat yang dianggap sakral. “Saya sebagai lurah itu seneng sekali ketika warga saya ikut terlibat dalam ritual sungkem tlompak ini, sebab secara tidak langsung mereka juga ikut menjaga alam dengan rutin membersihkan arena ritual atau sumber air agar tidak dibiarkan begitusaja oleh rumput liar. Adanya ritual ini sekaligus mereka melestarikan tradisi tetapi juga melestarikan alam.”2
Berbagai fungsi dan manfaat dari beberapa lokasi yang disakralkan untuk diadakan ritual yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya dengan menggunakan seni pertunjukan sebagai salah satu medianya. Seni pertunjukan yang berfungsi sebagai ritual tidak sebatas pada melengkapi apa yang dipersyaratkan dalam ritual namun juga membawa manfaat lain yaitu sebagai pelestarian tradisi dan alam. Media transmisi dapat dilakukan melalui masyarakat secara umum atau dimulai dalam lingkup kecil yaitu keluarga. Selain melalui ritual, proses pewarisan dilakukan dengan mulai mengenalkan dan mendekatkan generasi penerus dalam hal ini adalah anak-anak dengan seni. Masyarakat lereng Gunung Merbabu adalah masyarakat pedesaan yang berbeda dengan gaya hidup masyarakat perkotaan. Ketika di kota atau di tempat lain terdapat sekolah atau sanggar Wawancara dengan Budi di Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Magelang, tanggal 18 Juni 2010. 2 Wawancara dengan Lurah Riyadi di Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Magelang, tanggal 18 Juni 2010. 1
31
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 25-35
yang secara rutin mendatangkan guru untuk mengajarkan beberapa tarian untuk dihafal dan diikuti yang bisa saja kesehariannya anak-anak tidak pernah mendengar musik atau melihat pertunjukan secara intensif. Transmisi kesenian dapat melalui dia kategori, yaitu melalui pendidikan formal dan pendidikan non formal. Proses formal adalah proses pendidikan yang dilakukan resmi oleh lembaga yang disahkan oleh pemerintah seperti sekolah dan harus taat pada kurikulum yang berlaku. Proses non formal adalah proses yang dilakukan dalam suatu lembaga tidak resmi dan aturan kurikulum tidak terlalu ketat (Djelantik, 1993: 16). Di Bali sebagai contoh, teknik penerapan materi kesenian dalam hal ini tari dibagi menjadi tiga, pertama yaitu imitasi dengan menyontoh dan si murid hanya menirunya. Kedua adalah koreksi yaitu memperbaiki yang salah, menuntun, dan mengarahkan secara tegas, dan yang terakhir adalah moulding yaitu mengubah bentuk agar tegak dan membentuk sesuai kehendak sang guru (Djelantik, 1993: 32). Di lereng gunung merbabu, hampir sebagian besar proses trasnmisi adalah melalui sistem non-formal tanpa pendidikan secara resmi. Meskipun pada akhirnya pada saat latihan bersama-sama ada salah seorang yang lebih ahli atau yang sudah terbiasa dengan kesenian tersebut mengikuti latihan dan memberikan contoh jika ada anggota yang tidak tepat gerakannya. Proses pengajaran yang harus mendatangkan guru secara khusus biasanya adalah pada saat penyampaian bentuk kesenian baru, seperti yang terjadi pada proses pembelajaran kesenian Gupolo Gunung di Desa Banyusidi. Waskito sebagai penata gerak mengajarkan kepada pemuda-pemuda yang berniat menjadi anggota Gupolo Gunung. Di desa khususnya lereng Gunung Merbabu generasi penerus atau anak-anak hampir setiap hari bersinggungan langsung dengan kesenian, sebab di desa suasana berkesenian lebih dapat dirasakan secara
32
intensif. Kreativitas masyarakat pedesaan dapat dikatakan lebih menonjol sebab mereka melakukannya tanpa beban atau paksaan apapun, sehingga karya yang keluar lebih bersifat pengungkapan ekspresi kegembiraan. Motivasi masyarakat atau pelaku seni sangat sederhana, karena mereka pada umumnya tidak mampu melanjutkan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi seni, maka jika mereka tidak berkarya, maka siapa yang akan mengenal mereka. Jiwa untuk dapat merasakan apa yang dilihat dan didengarkan secara langsung akan lebih tertanam, dibandingkan hanya beberapa saat latihan atau menonton pertunjukan. Pembicaraan sehari-hari yang juga tidak lepas dari kesenian juga menambah masyarakat atau generasi penerus akan selalu dekat dengan dunia seni. Anak-anak di Kecamatan Pakis ini ketika sudah hari sabtu atau minggu atau musim liburan akan sibuk mencari jadwal pentas atau pertunjukan yang akan diadakan dimana, kapan, jam berapa dan lain sebagainya. Terlebih ketika mereka sudah mempunyai idola sebuah grup kesenian, maka ia akan datangi lokasi pertunjukannya. Kalaupun itu jauh, maka ia akan mengajak orang yang lebih dewasa untuk mengantar dan menemaninya. Seperti yang diungkapkan Febri (9 tahun): “Aku itu paling suka sama Soreng yang dimainkan oleh grup dari jayan, banyak yang nari soreng tapi paling suka yang dari jayan. Soalnya musiknya lebih meriah, gerakannya juga lebih kompak. Gagah banget kalo liat rasanya pengen ikut nari. Jadi kali ada acara tak suruh bapak atau kakaku anterin.”3
Proses pewarisan masyarakat lereng gunung lebih terjadi begitu saja terkadang tanpa direncanakan lebih dulu. Anak-anak tidak sengaja ikut terlibat dalam proses berkesenian karena lingkungan yang mendukung, seperti keluarga atau teman-temannya yang ikut 3
Wawancara dengan Febri, di Desa Warangan, Kecamatan Pakis, Magelang, Tanggal 5 Mei 2010
Rr. Paramitha Dyah Fitriasari -- Ritual Sebagai Media Transmisi Kreativitas Seni di Lereng Gunung Merbabu
terlebih dahulu, atau karena lokasi rumah dekat dengan sanggar seni. Mereka secara tidak langsung melihat, mendengar, dan merasakan seni itu hadir dalam kehidupan mereka. Intensitas mereka berpartisipasi dalam setiap kegiatan mulai dari latihan sampai ke pentas itu akan menimbulkan rasa yang berbeda bagi mereka. tidak jarang anak-anak yang belum sekolah pun langsung menggerakkan kaki, tangan, atau kepala ketika mendengar gamelan dimainkan. Menurut Desmon Morris dapat dikatakan bahwa proses transmisi dapat terjadi pada absorbed actions dan trained actions atau perpaduan antara keduanya (Morris, 1977: 18-23). Absorbed actions adalah kegiatan yang dilakukan akibat mencontoh dari orang lain, sementara trained actions adalah kegiatan yang didapat melalui pembelajaran ataupun praktek terlebih dahulu. Proses transmisi dapat merupakan perpaduan antara keduannya yaitu melalui proses genetik, observasi pribadi, penyerapan dari lingkungan sosial, dan melalui latihan atau belajar. Oleh karena itu, seseorang mendapatkan sesuatu sebagai proses pewarisan dapat melalui berbagai cara, tidak hanya secara genetik namun yang terpenting adalah lingkungan sosial dan proses belajar. Haviland secara gamblang menjelaskan bahwa semua kebudayaan manusia dengan segala unsurnya termasuk didalamnya kesenian merupakan hasil dari belajar, bukan karena warisan biologis (Haviland, 1985: 338). Anak-anak atau generasi penerus bukan semata-mata memiliki ‘darah seni’ yang diwariskan, tetapi lebih pada situasi atau suasana yang kondusif untuk kegiatan berkesenian. Proses pewarisan juga dapat terjadi pada saat pertunjukan merupakan proses trasnformasi pengetahuan secara langsung dan teknik atau gaya menari yang langsung dapat dilihat. Anak-anak tidak selalu menjadi objek pewarisan bahwa masyarakat umum juga bisa mempelajari kesenian yang berkembang
di daerahnya. Pemuda-pemudi bahkan bapak-bapak, maupun ibu-ibu juga bisa belajar untuk bisa menari dan terlibat dalam sebuah kelompok kesenian. Ada sedikit perbedaan anak-anak yang memang sudah memiliki bakat, hanya dari sering menonton dan mencoba sendiri sebuah tarian, maka ia dapat langsung bergerak mengikuti irama sudah langsung dapat menari. Namun untuk usia remaja ke atas, maka diperlukan latihan atau guru secara khusus untuk berbagi ilmu dan teknik gerak dalam suatu kesenian. Akibat seringnya terlibat dalam sebuah kesenian, maka di situlah terjadi tradisi bagi individu ataupun masyarakat setempat untuk hidup berdampingan dengan kesenian. Transmisi tradisi juga dapat dikatakan sebagai invented tradition yang dapat diartikan tradisi temuan atau tradisi yang ditemukan, yaitu tradisi yang nyata ditemukan, dikonstruksi, dan secara formal dilembagakan. Dalam hal ini kesenian tradisional yang diwariskan kepada generasi penerus diaselenggarakan secara rutin sehingga menjadi sebuah tradisi. Seperti contoh pada sebuah ritual, yang pada awalnya kesenian bukan merupakan suatu keharusan namun diadakan oleh masyarakat setempat bahwa sebuah ritual tertentu diwajibkan ada salah satu kesenian tertentu yang dapat dimaksudkan agar kesenian tersebut tetap lestari karena paling tidak diperkenalkan kepada setiap generasi untuk mempertahankan kesenian tersebut. Meskipun demikian sebuah tradisi yang baru tidak dapat meninggalkan apa yang sudah menjadi bagian dari tradisi yang lama, hanya saja sudah ada kesepakatan bahwa tradisi tersebut sudah ada penyesuaian dengan keadaan yang sekarang. Kreativitas sudah mulai bisa di buktikan disini, ketika masyarakat tidak hanya menerima apa yang sudah ada di generasi sebelumnya. Masyarakat atau pelaku seni juga harus mampu memberikan inovasi terhadap sebuah kesenian yang diwariskan untuk
33
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 25-35
dapat mengikuti perkembangan agar tidak mati ditelan zaman. Proses transmisi juga dapat dijadikan sarana untuk menghasilkan sesuatu karya yang baru tanpa meninggalkan tradisi yang sebelumnya.
SIMPULAN
Ritual sebagai salah satu media trasnmisi atau pewarisan tradisi yang paling kuat. Transmisi tidak hanya berhasil hanya dengan teknis bagaimana ia dapat terus diwariskan, tetapi juga yang lebih penting adalah bagaimana transmisi peristiwa yang masih bisa berlangsung terus-menerus. Ritual yang dilakukan oleh generasi sebelumnya dapat terus dilakukan oleh generasi penerus tanpa ada unsur paksaan dari kedua belah pihak akan menjadikan proses transmisi berjalan lancar. Masyarakat akan terus melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya dengan terus melestarikan apa yang sudah ada dan menjadi kebiasaannya. Ritual yang biasa dilakukan di wilayah lereng Gunung Merbabu ini sangat dekat dengan unsur kesenian desa yang juga dilibatkan dalam setiap ritual. Hal ini menajdi salah satu cara untuk melestarikan kesenian tradisional yang sudah ada agar lebih dapat berkembang dengan dipentaskan setiap ritual diadakan. Beberapa pentas kesenian seperti soreng, topeng ireng, gupolo gunung, warok dan lain sebagainya ini juga menjadi salah satu daya tarik bagi warga masyarakat baik pelaku ritual maupun penonton untuk mengikuti ritual. Secara otomatis kreativitas pelaku seni juga menjadi faktor penting terciptanya suasana pertunjukan yang menarik dan tidak monoton dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, ritual juga dapat menjadi salah satu media transmisi kreativitas seni yang itu semua dilakukan oleh masyarakat dan untuk masyarakat agar tradisi yang sudah ada tidak mati atau hilang ditelan jaman yang semakin modern. Diperlukan juga bantuan dari berbagai pihak agar ritual dan kesenian menjadi salah satu tradisi yang terus dapat dilestarikan.
34
DAFTAR PUSTAKA
Atmosudiro, Sumijati dkk, 2001, Jawa Tengah: Sebuah Potret Warisan Budaya, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Brandon, James R, 2003, Jejak-Jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara, Terj. R.M. Soedarsono, Bandung: P4ST UPI. Djelantik, A.A.M, 1993, “Peranan Guru Seni Non Formal Dalam Masyarakat Suku Bangsa” dalam Mudra, Jurnal Seni Budaya, Denpasar: STSI Press edisi Februari. Firmansyah, 2007, Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor. Geertz, Clifford, 1976, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Haviland, William A, 1985, Antropologi Jilid I, Terj. R.G.Soekadjo, Jakarta: Erlangga. Inkeles, Alex, 1983, “Modernisasi Manusia” dalam Ed. Myron Weiner Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Kusmayati, A.M.Hermien, 1999, “Seni Pertunjukan Upacara di Pulau Madura 1980-1998”, disertasi untuk mencapai derajat S-3, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mardimin, Johanes et al. 1994, Jangan Tangisi Tradisi, Yogyakarta: Kanisius. Masunah, Juju, 2003, “Menegakan Benang Basah? Pewarisan Tari Topeng Di Desa Astana Langgar, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon”, Seni dan Pendidikan Seni, Sebuah Bunga Rampai, ed R.M.Soedarsono, Bandung: P4ST UPI. Morris, Desmon, 1977, Manwatching: A Field Guide to Human Behavior, New York: Harry N. Abrams, Inc.
Rr. Paramitha Dyah Fitriasari -- Ritual Sebagai Media Transmisi Kreativitas Seni di Lereng Gunung Merbabu
Paeni, Muklish, 1995, “Pengertian, Kedudukan, Hubungan Timbal Balik serta Fungsi Kesenian Nasional dan Kesenian Daerah,” (Makalah pada Konggres Kesenian Indonesia I.
Sedyawati, Edi, 1985, “Keindahan Apa yang Diharapkan?”, Paper dalam Sarasehan Wayang Orang. Shils, Edward, Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1981.
35
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 36-47
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 36-47
RITUAL MA’ATENU SEBAGAI MEDIA KONSTRUKSI IDENTITAS KOMUNITAS MUSLIM HATUHAHA DI PELAUW MALUKU TENGAH Yance Z. Rumahuru
Email:
[email protected]
Irwan Abdullah, Pujo Semedi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Abd. Khalik Latuconsina
Fakultas Syari’ah IAIN Ambon
ABSTRACT
This article aims to expalin identity construction of Hatuhaha moslem community in Pelauw territory lasting in a ritual as its main media. Data on ma’atenu ritual are found through observation of ma’atenu implementation, and interviews informans in Pelauw. There are ritual partisans and ritual leaders who use symbols in the ritual. The article is interested in relating the present ritual to their historical evens and the current condition of local community. This research concludes that (1) the ritual has been a strategic media and an instrument for identity construction, and (2) through the ritual implementation, the interpersonal solidarity of Pelauw poeple or Hatuhaha moslem community has been well-developed, which is locally called the maningkamu relation. Keywords: identity, ritual, media, construction, ma’atenu.
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan menjelaskan konstruksi identitas komunitas Muslim Hatuhaha di negeri Pelauw, yang berlangsung dalam ritual sebagai arena utamanya. Mengapa ritual dijadikan sebagai sarana atau media konstruksi identitas merupakan hal yang ingin dijawab dalam tulisan ini. Data tentang ritual ma’atenu diperoleh melalui pengamatan terhadap pelaksanaan ma’atenu dan wawancara dengan sejumlah informan di Pelauw. Hal-hal yang diamati antara lain peserta atau partisan ritual, pemimpin ritual, tempat, dan waktu ritual serta penggunaan simbol-simbol lain dalam ritual tersebut. Cara menganalisa ritual adalah dengan mengaitkan pelaksanaan ritual saat ini dengan peristiwa historis mereka dan dihubungkan juga dengan kondisi kekinian komunitas setempat. Penelitian ini menemukan konsep ritual, yaitu (1) ritual menjadi media yang strategis dan baik bagi konstruksi identitas, (2) melalui pelaksanaan ritual terbangun solidaritas antarsesama warga keturunan Pelauw atau komunitas muslim Hatuhaha dalam istilah setempat disebut dengan ikatan maningkamu. Kata kunci: identitas, ritual, media, konstruksi, ma’atenu.
36
Yance Z. Rumahuru -- Ritual Ma’atenu Sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha di Pelauw Maluku Tengah
PENGANTAR
Studi ritual komunal penting saat ini untuk melihat cara kelompok-kelompok masyarakat mengkonkritkan hal-hal abstrak terkait pandangan hidup dan kepercayaan mereka, serta cara menghadirkan sejarahnya saat ini dengan dikemas dalam berbagai simbol ritual. Bagaimana satu komunitas mengkonstruksikan identitas kelompoknya dalam ritual merupakan isu yang dibahas dalam artikel ini. Ritual dan identitas memiliki hubungan erat karena melalui ritual, maka kelompok-kelompok pelaksana ritual mengkomunikasikan dan merefleksikan eksistensinya melalui berbagai simbol, yang sarat makna dan sekaligus menjadi penanda identitasnya. Penyebab ritual memiliki posisi penting dalam membicarakan identitas sebagai berikut: Pertama, ritual merupakan media untuk memediasi dua atau lebih entitas yang berbeda, sekaligus penyeimbang dalam kosmos. Kedua, ritual merupakan suatu transformasi sikap dari yang profan kepada sesuatu yang sakral (Abdullah, 2002; Rumahuru, 2009: 283-284). Artikel ini mengacu pada penelitian lapangan di Pelauw, yaitu satu kampung Islam tua di Maluku Tengah. Pertanyaan yang hendak dijawab di sini mengapa ritual dijadikan sebagai media konstruksi identitas komunitas Muslim Hatuhaha di negeri Pelauw. Secara umum ritual dipandang kebanyakan orang sebagai suatu rutinitas dan menjadi hal biasa, tetapi penelitian ini melihat bahwa ritual berperan memberi informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial satu komunitas atau individu tertentu. Dalam hal ini pelaksanaan suatu ritual menghadirkan berbagai elemen, termasuk peristiwa masa lalu yang dikonstruksi dan dimaknai secara baru. Ma’atenu atau disebut juga sebagai cakalele adat dijadikan subjek studi ini adalah ritual komunal masyarakat Hatuhaha di Pulau Haruku Maluku Tengah, yang dikonstruksi dari konteks perang orang-orang tua Hatuhaha masa lalu untuk menarasikan keperkasaannya
di dalam menegakkan eksistensi Islam di Pulau Haruku dan menolak kehadiran bangsa Portugis dan Belanda di wilayah tersebut. Waktu pelaksanaan ritual ma’atenu adalah tiga tahun sekali tahun dan secara rutin dilakukan di negeri Pelauw sebelum Indonesia merdeka hingga kini. Dalam tulisan ini dimaksudkan dengan identitas, yaitu identitas kelompok atau identitas sosial. Studi tentang identitas Muslim Hatuhaha di negeri Pelauw diletakan dalam perspektif bahwa identitas merupakan sesuatu yang diproduksi, tetapi sekaligus dikonstruksi. Dalam hal ini, identitas adalah proses penamaan atau penempatan dari dalam suatu kategori atau konstruksi sosial tertentu. Identitas dibangun secara sosial mengandung pengertian, seseorang mengekspresikan dirinya yang kemudian mendapat penilaian dan penerimaan oleh kelompok lain. Identitas, dengan sendirinya merupakan sesuatu yang diciptakan dan memiliki dinamika atau ada dalam suatu proses yang dinamis (Barker, 2006; van Meijl, 2004; Salway, 2006; Plumer, 1994). Identitas kelompok dalam perspektif psikologi sosial memiliki konotasi lebih spesifik dengan menunjuk pada devinisi diri dalam pengertian keanggotaan seseorang dalam berbagai kelompok sosial. Konsep identitas dikembangkan berdasarkan hipotesis bahwa individu-individu menilai secara positif perbedaan dimiliki pada diri kelompoknya untuk dibandingkan dengan kelompok lain dalam hal mencapai identitas sosial yang positif. Konsep tentang identitas sosial atau kelompok dapat dipahami dengan melihat hubungan antara individu-individu dari satu kelompok dengan individu-individu dari kelompok lain. Seorang individu memosisikan diri sebagai bagian dari identitas kelompok karena memiliki emosi dan nilai yang sama dengan individu-individu lain dalam kelompok tersebut. Mengacu pada pemikiran bahwa kelompok tertentu hanya eksis dalam hubungan dengan kelompok lain, maka
37
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 36-47
identitas sosial dapat dimaknai bila berada dalam hubungan dengan kelompok lain di luar kelompok sendiri (Hewitt, 2003: 110-113). Pengertian identitas sosial sebagai berikut: ”social identification has to do with which groups a person belongs to, who her or she identities with, how pople establish and maintain invisible but socially effects boundaries between us and them” (Eriksen, 2004:156-157).
Secara antropologis bahwa konsep identitas sosial mengandung makna yang sama dengan konsep identitas etnis. Istilah etnis mengacu pada masalah perasaan bersama atau senasib dari satu kelompok etnik. Tumbuhnya perasaan ini merupakan produk dari sejarah dan asal usul yang diwarisi. Dalam pengertian yang lebih umum, istilah etnisitas juga merujuk keseluruhan aspek tentang masalah-masalah etnis dan mengacu pada hal-hal yang sifatnya biologis, maupun aspek non- fisik seperti kepercayaan, pengetahuan, budaya, agama, bahasa, dan adat-istiadat yang diwarisinya (Eriksen, 2002: 3-4; Reynolds, 2002). Konstruksi identitas dalam penulisan ini dikonsepkan sebagai identifikasi diri atau kelompok tertentu dalam satu ruang sosial dalam rangka menghasilkan ekspresi dinamis dari diri atau kelompok tersebut dan mendapat pengaruh secara internal dan eksternal. Dalam hal ini, konstruksi identitas diri maupun kelompok mendapat pengaruh dari kebudayaan dan kondisi sosial sendiri maupun kelompok lain di luar kelompok sendiri. Konstruksi identitas terjadi dalam ruang dan struktur sosial maupun kebudayaan tertentu secara dinamis. Para ahli sosiologi dan antropologi memahami ritual sebagai berikut: pertama, sarana yang digunakan untuk menghasilkan, mengalami, dan untuk membenarkan keyakinan dan gagasan sebagai hal yang nyata oleh komunitasnya (Durkheim 2001, 1984). Kedua, ritual dilihat sebagai pembenaran
38
kesatuan komunal (Turner 1967, 1977). Melalui pelaksanaan ritual, maka manusia atau orang-orang yang melakukan ritual merasa akrab atau dekat dengan subjek yang kudus dan mendapat perlindungan atau rasa aman (Bell, 1992; Susanto, 1987; Dhavamony, 1995; Gennep 1968). Tindakan ritual dibedakan dalam empat kategori. Pertama, tindakan magi yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistik. Kedua, tindakan religius dan kultus para leluhur, ketiga, ritual yang mengungkapkan hubungan sosial dan merujuk pada pengertian-pengertian mistik. Keempat, ritual yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan atau pemurnian dan perlindungan (Dhavamony,1995: 175). Di dalam ritus dan tingkah laku yang dikeramatkan, maka seseorang akan menemukan tujuan religiusnya (Geertz, 1992:32). Konsep ritual tersebut di atas menunjukkan bahwa ritual efektif untuk mengkonkritkan hal-hal yang abstrak agar dapat dipahami. Ritual juga dapat digunakan untuk mensakralkan praktek sehari-hari kelompok-kelompok masyarakat, sekaligus memberi makna baru terhadap praktek tersebut. Dalam perspektif ini penulis melihat bahwa ritual menjadi bagian integral yang penting dari kehidupan komunitas muslim Hatuhaha di Pelauw dan membedakannya dengan komunitas muslim lain di Maluku Tengah, maupun wilayah kepuluan Maluku secara keseluruhan. Guna menganalisis ritual ma’atenu, penulis mengikuti model yang dipraktekkan oleh Robert Wessing dengan mengkaji tari seblang di Banyuwangi Jawa Timur. Dalam hal ini setiap partisan ritual baik penari, pendamping penari, badut, busana, kelompok musik, sesaji maupun keadaan trans atau kemasukan roh pada penari ditafsir dan diberi makna masing-masing, dan memiliki hubungan satu dengan yang lain sehingga hasilnya terintegrasi menjadi
Yance Z. Rumahuru -- Ritual Ma’atenu Sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha di Pelauw Maluku Tengah
satu keutuhan. Model ini digunakan dalam menganalisis ma’atenu, merupakan ritual khas komunitas Muslim Hatuhaha di negeri Pelauw. Cara menganalisis ritual adalah dengan mengaitkan pelaksanaan ritual saat ini dengan peristiwa historis mereka dan dihubungkan juga dengan kondisi kekinian komunitas setempat.
PEMBAHASAN Persiapan Ritual
Beberapa bulan sebelum pelaksanaan ma’atenu, pemerintah negeri membentuk tim pelaksana yang terdiri dari keterwakilan semua soa dalam negeri. Melalui kerja sama dengan kepala-kepala soa, rencana pelaksanaan ma’atenu dikomunikasikan baik kepada anakanak soa dan upu ana1 yang ada di kampung halaman maupun yang berada di luar kampung (di perantauan), untuk mendaftarkan diri sebagai peserta. Setelah pendaftaran pada soa, kepala soa melanjutkan ke tim pelaksana pada tinggkat negeri (kampung). Seluruh peserta yang diusulkan oleh masing-masing soa dan ditetapkan sebagai peserta atau partisipan ma’atenu pada periode tersebut. Hal ini dapat dipahami dengan melihat penuturan informan di bawah ini: ...untuk ikut ma’atenu, orang-orang diundang dari samua soa par jadi (untuk menjadi) peserta. Jadi katong (kami) tahu barapa peserta dari masing-masing soa atau mata rumah. Biasa kalu su (bila telah) dekat waktu par biking (untuk melaksanakan) ma’atenu, su ada (terdapat) pengumuman dan dari jauh-jauh hari peserta dari masing-masing soa su lapor diri (Taha Tualepe, 58 th ,tokoh masyarakat Pelauw ).
Orang yang hendak mengikuti ritual ma’atenu perlu mempersiapkan diri (jasmani 1
Upu ana (bahasa Hatuhaha) adalah sebutan kepada anak cucu dari leluhur atau marga tertentu. Penyebutan ini terutama ditujukan kepada anak cucu dari orang perempuan marga tertentu. Di Pelauw, upu ana mendapat penghormatan khusus sehingga bila ada acara pada marga atau soa, mereka diundang dan para upu ana diberi perhatian khusus.
maupun rohani) secara baik karena ritual ini membutuhkan kekuatan fisik dan kondisi kejiwaan yang stabil. Fisik dan kejiwaan yang baik diperlukan oleh setiap calon peserta karena dalam ritual ini, peserta mengatraksikan atau mendemonstrasikan kondisi perang dengan membawah perlengkapan perang tradisional berupa parang atau kalewang, layaknya seorang prajurit tentara yang masuk medan pertempuran lengkap dengan senjatanya. Para peserta akan menempuh perjalanan sekitar 10 KM pergi-pulang (PP) dan berlari atau berjalan cepat melewati jalan berbatuan, menyeberang sungai, dan ada juga yang ke gunung. Selama perjalanan sampai dengan puncak ritual para peserta menguji kekebalan diri dengan memotong, mengiris dan menikam perut, dada, tangan, kaki, leher, pipi, lidah, dan kepala dengan alat tajam yang di bawahnya Peserta ma’atenu umumnya adalah lakilaki dewasa (pemuda dan orang tua), tetapi belakangan ini ada anak-anak juga yang ikut. Mengingat konteks pelaksanaan ma’atenu adalah perlawanan atau perang, maka peserta ma’atenu disimbolkan sebagai prajurit Hatuhaha. Untuk itu, syarat yang patut dipenuhi oleh mereka yang hendak mengikuti ma’atenu, yaitu pertama, mendapatkan restu atau persetujuan keluarga. Restu orang tua dan anggota keluarga dianggap sebagai keikhlasan mereka mengikutsertakan anak dan saudara mereka terlibat dalam medan pertempuran dan mereka siap atau rela menerima segala konsekwensi yang terjadi atas diri anak dan keluarganya itu. Begitu pula yang sudah menikah, perlu mendapat izin dan restu sang istri. Kedua, mencukur rambut. Mencukur rambut merupakan akta simbolis sebagai bagian dari proses pembersihan diri dan sekaligus menyatakan kesiapan selaku prajurit yang siap masuk medan perang.
Pelaksanaan Ritual
Malam hari sebelum besok dilaksanakan ritual, umumnya peserta sudah berkumpul pada rumah soa kecil masing-masing. Dalam hal ini salah satu rumah dari anggota marga yang
39
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 36-47
dituakan. Rumah soa kecil dibedakan dengan rumah soa besar atau disebut juga dengan rumah tua, yang menjadi pusat kegiatan di soa tersebut. Rumah soa besar ditempati oleh seorang tua dari garis keturunan ayah yang tertua atau dituakan dari marga dan soa tersebut. Rumah soa kecil merupakan bagian dari warga di rumah soa besar yakni rumah salah satu anggota marga atau soa yang dituakan dalam marga, dan masih memiliki hubungan yang sangat dekat, seperti bapak ibu atau kakek nenek mereka merupakan adik kakak kandung. Maksud berkumpul di sini adalah agar bersama-sama dengan anggota marga atau soa yang lain keesokan harinya secara bersama keluar menuju rumah tua atau rumah soa besar dari soa yang bersangkutan. Penulis melihat bahwa saat anak-anak soa dari satu keluarga dekat berkumpul pada rumah soa kecil, kesempatan ini digunakan oleh orang yang tua pada mata rumah tersebut untuk menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengikuti ma’atenu. Seorang informan yang merupakan peserta ma’atenu 2009 bertutur sebagai berikut: ...waktu datang di rumah soa kecil katong (kita) diperkenalkan oleh orang tua-tua tentang katong pung kapitan atau pemimpin perang asal soa, dan dong (mereka) cerita tentang kapitang itu par katong. Waktu orang tua-tua carita bagitu (tentang keperkasaan kapitan) ada di antara katong peserta yang su ka’a (bahasa Pelauw) artinya kemasukan (M. Latuconsina, 25 tahun).
Semua peserta yang tidur di rumah soa kecil pagi-pagi benar sudah bangun dan sarapan, mandi, mengenakan pakaian putih, dan bersiap-siap untuk ke rumah tua. Ada juga sebagian peserta yang tidur di rumahnya sendiri, tetapi jam 06.00 s/d 06.30 mereka sudah bergabung di rumah soa kecil. Pukul 07.00 s/d 08.00, seluruh peserta sudah berada di rumah tua masing-masing karena ritual akan dimulai dari sini. Seluruh rangkaian ma’atenu dipimpin oleh seorang Ma’ahala Lahat dan dibantu oleh
40
beberapa orang Ma’ataru Ame, semuanya berasal dari marga atau soa Tualepe. Ma’ahala Lahat adalah orang yang membawakan doadoa dan memimpin seluruh ritual ma’atenu. Sedangkan Ma’ataru Ame adalah mereka yang menjaga keteraturan dan ketertiban para peserta atau untuk menenangkan mereka selama proses ritual dilakukannya. Selain menenangkan para peserta, Ma’ataru Ame juga dapat memancing para peserta yang belum ka’a2 untuk ka’a dan memukul badan mereka dengan parang atau benda lain yang ada di tangan mereka, atau membentak mereka dengan suara keras. Sebagai pemimpin ritual, Ma’ahala Lahat merupakan orang yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keselamatan peserta ma’atenu. Selama pelaksanaan ritual, Ma’ahala Lahat menggendong satu kain warna merah yang disebut ”kain lahat”. Menurut seorang informan, kain itu tidak boleh lepas dari tangannya karena di situ terletak ”keselamatan” seluruh peserta. Saya memahami bahwa Ma’ahala Lahat adalah simbol dari kuasa tertinggi 3dan Ma’ataru Ame merupakan wakil-wakil Ma’ahala Lahat yang menjadi simbol dari kehadiran leluhur. Kain lahat dapat dilihat sebagai simbol dari jiwa peserta ma’atenu. Apabila mengikuti ma’atenu mengalami kemasukan roh leluhur Ka’a adalah peristiwa masuknya roh leluhur atau kapitan dalam diri peserta ma’atenu. 3 Di Pelauw maupun Maluku Tengah secara keseluruhan tidak dikenal konsep dewa-dewi seperti pada masyarakat di Jawa dan Bali atau tempat lain, tetapi di kenal adanya kuasa tertinggi atau paling besar, yang disebut dalam bahasa lokal masing-masing. Suku Wemale yang merupakan suku besar di Maluku Tengah misalnya menyebut kuasa itu dengan nama Upu Lainte Takule artinya Tuhan Langit dan Bumi. Orang Hatuhaha yang telah mendapat pengaruh Islam menyebut kuasa tertinggi itu dengan nama “Allah Taalah” artinya Allah yang berkuasa. Dalam praktek hidup sehari-hari, leluhur dianggap sebagai wakil Allah. Pemahaman bahwa leluhur yang telah meninggal menjadi perantara antara kuasa tertinggi tersebut dengan manusia yang hidup atau anak-cucucicit saat ini tampak dalam pelaksanaan ritual-ritual di Pelauw. 2
Yance Z. Rumahuru -- Ritual Ma’atenu Sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha di Pelauw Maluku Tengah
dan tidak menyadari apa yang dilakukannya, maka kain lahat perlu dijaga. Peserta ma’atenu dianalogikan sebagai anak dan disimbolkan oleh kain lahat yang digendong dan dijaga ketat oleh Ma’ahala Lahat selaku ibu yang menggendong anaknya. Keselamatan anak sangat ditentukan oleh sang ibu. Energi yang dimiliki Ma’ahala Lahat kemudian dibagikan kepada seluruh peserta sehingga semuanya memiliki kekuatan sama dalam mengikuti ritual. Busana yang dikenakan oleh peserta ma’atenu semuanya sama, terdiri dari: Baju kurung putih, celana tali (berbentuk celana koko) putih, ikat pinggang merah, ikat kepala putih. Warna merah dan putih menjadi warna utama masyarakat Hatuhaha, digunakan sejak orang tua-tua dahulu. Hal ini tampak dalam pernyataan seorang informan sebagai berikut: Warna merah dan putih yang digunakan di sini tidak ada hubungan dengan warna bendera Indonesia Merah Putih karena sebelum ada Indonesia katong pung orang tua-tua su pake warna merah putih (KH. Latukonsina, 47 tahun, tokoh masyarakat Pelauw).
Warna merah menunjuk pada keteguhan dan keberanian orang Hatuhaha mempertahankan dan memperjuangkan identitasnya. Adapun warna putih menunjuk pada ketulusan dan keterbukaan orang Hatuhaha. Setelah mendapat pengaruh Islam, warna putih juga melambangkan keadaan yang bersih atau kesucian dari kemunitas Hatuhaha. Sejak orang tua-tua dulu hingga kini, warna putih dominan digunakan oleh tokoh agama, sedangkan kombinasi putih dan merah digunakan oleh para pemimpin kelompok yang dikenal dengan kapitan atau penglima perang. Cara berpakaian peserta ma’atenu sekarang sudah diseragamkan. Menurut seorang informan, ikat pinggang warna merah yang dikenakan oleh peserta tidaklah tepat, yang benar adalah seluruh peserta mengenakan ikat pinggang warna putih. Hal ini tampak dari pernyataan informan berikut ini:
...dulu seng (tidak) seperti ini. Mestinya ikat pinggang peserta ma’atenu adalah warna putih. Orang yang menggunakan ikat pinggang warna merah cuma (hanya) pemimpin atau kapitan, mar (tetapi) saat ini su sabarang (tidak benar lagi), semua peserta menggunakan ikat pinggang warna merah (Taha Tualepe, 58 th ,tokoh masyarakat Pelauw).
Penggunaan warna di kalangan masyarakat Hatuhaha di Pelauw seperti disebut di atas telah menunjuk pada struktur dan fungsi dalam masyarakat. Warna merah hanya digunakan oleh pemimpin perang atau panglima, yang disebut dengan kapitan. Dalam konteks pelaksanaan ma’atenu bahwa yang berhak menggunakan ikat pinggang atau simbol lain warna merah adalah Ma’ahala Lahat dan Ma’ataru Ame. Ritual ma’atenu lahir dari konteks perang karenanya peralatan yang digunakan adalah parang atau pedang. Seorang informan menuturkan bahwa duhulu pada masa orang tua-tua mereka, peralatan yang digunakan adalah tombak dan parang, tetapi sekarang hanya parang yang digunakan. Tombak dan parang merupakan peralatan yang digunakan oleh masyarakat di Maluku, bahkan masyarakat Indonesia umumnya sebagai alat perang melawan kolonialisme dan imperialisme hingga memperoleh kemerdekaan 1945. Pengamatan terhadap pelaksanaan ma’atenu tahun 2009 menunjukan bahwa peserta ritual ma’atenu saat ini ada juga yang menggunakan pisau, silet, dan kapak untuk mengiris dan memotong badannya atau anggota tubuh lain dalam rangka menguji kekebalan tubuh mereka. Tempat pelaksanaan ma’atenu dapat dilihat sesuai dengan pentahapan ritual itu sendiri, dimulai dari rumah tua, ke keramat dan berakhir (puncak acaranya) di halaman masjid dan baileo atau rumah adat. Bila melihat prosesi ritual dari tahap pertama ke tahap yang lainnya, dapat disebutkan bahwa tempat pelaksanaan ma’atenu adalah wilayah adat negeri Pelauw. Umumnya orang
41
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 36-47
menyebutkan halaman masjid dan baileo sebagai tempat pelaksanaan ma’atenu. Hal ini karena puncak acara ma’atenu mengambil tempat di halaman masjid dan baileo Pelauw yaitu tempat yang menyatukan dari arah Selatan ke Utara. Peserta ma’atenu dibagi menjadi tiga kelompok sesuai arah mata angin dan keramat dari leluhur orang Pelauw. Kelompok pertama ke arah Barat. Kelompok ini dikenal
2
dengan nama Latu Rima. Lokasi keramat mereka adalah Matasiri. Kelompok kedua ke arah Timur. Kelompok ini dikenal dengan nama Tuni Mahua Waelapia, mengikuti nama keramat mereka yang terletak di satu dusun dekat muara sungai Waelapia. Kelompok ketiga adalah ke arah Selatan 11 (gunung). Kelompok ini dikenal dengan nama Urato Roho Rhima. Sering disebut juga dengan nama Waelurui karena keramat ini
3
Keramat Selatan
Keramat Barat Jalan lingkar Pulau Haruku
Jalan ke Hulaliu
1
Jalan dari Kailolo Negeri Pelauw
Keramat Timur
Keterangan: = posisi kampung = batas petuanan Pelauw = jalan utama = jalan setapak = benteng Hoornn = pelabuhan = rumah raja = mesjid = baileo (rumah adat) = halaman mesjid dan baileo sebagai arena atraksi ma’atenu = rumah soa = keramat yang dijadikan tempat siara peserta ma’atenu Gambar 1. Gambar 1. Posisi negeri Pelauw dan arena ma’atenu Posisi negeri Pelauw dan pelaksanaan arena pelaksanaan 42
ma’atenu
Kelompok atau sektor Barat terdiri dari marga: Latuconsina, Latupono, Latuamury, Sahubawa, dan Talaohu. Kelompok ini tidak berkumpul sekaligus pada satu tempat, tetapi pada dua tempat yang berbeda kemudian bergabung pada satu tempat
Yance Z. Rumahuru -- Ritual Ma’atenu Sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha di Pelauw Maluku Tengah
terletak di kepala (hulu) sungai Wae Marikee. Nama keramat mereka adalah Te’put. Posisi keramat yang menjadi tempat ziarah peserta maupun halaman masjid dan baileo yang menjadi arena pertunjukan ma’atenu dapat diilustrasikan melalui diagram gambar 1. Kelompok atau sektor Barat terdiri dari marga: Latuconsina, Latupono, Latuamury, Sahubawa, dan Talaohu. Kelompok ini tidak berkumpul sekaligus pada satu tempat, tetapi pada dua tempat yang berbeda kemudian bergabung pada satu tempat sebelum ke keramat. Marga Latuconsina, Latupono, dan Latuamury berkumpul di rumah Ela atau rumah nai Latuconsina sedangkan marga Sahubawa dan Talaohu berkumpul di rumah nai Lesirohi, milik soa Sahubawa. Marga atau soa Latuconsina, Latupono, dan Latuamury kemudian bergabung dengan Sahubawa dan Talaohu di rumah nai Lesirohi. Kelompok atau sektor Timur terdiri dari marga: Tualeka, Tuni, Tuahena, dan Tuasikal. Seluruh peserta kelompok ini berkumpul pada rumah adat marga Tualeka. Kelompok Timur dan Barat mengambil Ma’ahala Lahat dan Ma’ataru Ame dari soa Tualepe untuk memimpin mereka. Kelompok atau sektor Selatan terdiri dari marga: Tualepe, Tuankota, Tuakia, Salampessy, dan Angkotasan. Peserta dari kelompok ini semuanya langsung berkumpul pada rumah tua soa Tualepe. Di sini sudah ada Ma’ahala Lahat dan Ma’ataru Ame. Prosesi ritual berlangsung dari pagi hari hingga sore hari, mulai sekitar jam 07.00 s/d 16.00 waktu setempat. Setiap peserta dipersiapkan di rumah soanya sejak malam hari dan sekitar jam 09.00 mereka sudah keluar dari rumah soa, setelah dibacakan doa dan salawat nabi. Sekitar jam 10.00, semua peserta berjalan menuju keramat masing-masing. Sekitar dua jam peserta berada di keramat. Di keramat mereka membersihkan lokasi keramat dan melakukan doa selamatan, dipimpin oleh Ma’ahala Lahat, yang diawali dengan membakar damar di keramat. Walau tidak ada sesaji seperti
pada sejumlah ritual yang dijumpai di Jawa dan Bali, tetapi pembakaran damar dapat dimengerti sebagai bentuk pemujaan kepada kuasa paling besar atau kuasa tertinggi dan penghormatan kepada leluhur yang telah menjaga dan melindungi mereka. Setelah doa selamatan, peserta menyantap makanan yang telah disediakan oleh sejumlah ibuibu. Sehabis makan bersama di keramat, para peserta menuju kali yang dekat dengan keramat untuk mandi dan selanjutnya kembali ke kampung. Peserta ma’atenu mandi di kali setelah mereka kembali dari keramat dan dalam menuju kampung, ini dapat dipahami sebagai proses pembersihan diri dan kesiapan mengemban tugas sebagai ”prajurit Hatuhaha”. Orang-orang yang telah mengikuti ma’atenu mengalami perubahan, yakni memiliki keberanian tersendiri dalam hidupnya. Salah satu yang tampak menonjol di Pelauw adalah mereka memiliki keberanian untuk membangun hidup di manapun dan siap terhadap berbagai tantangan. Hal menjadi modal bagi mereka untuk berkompetisi dan berkembang seperti tampak sekarang. Dalam perjalan kembali ke kampung dan masuk arena atraksi di halaman masjid dan baileo, semua peserta mengalami kemasukan roh kapitan atau leluhur atau ka’a, dan tampak memiliki kekebalan terhadap benda-benda tajam. Setiap anggota keluarga yang mengantar anak atau saudara atau suami mereka mengikuti ma’atenu memiliki kebanggaan tersendiri saat melihat mereka ka’a, yang berarti bahwa mereka berhasil mendapat perhatian dari para leluhur atau kapitan. Relasi dengan leluhur begitu penting karena leluhur dianggap dapat memediasi mereka dengan kuasa yang paling besar atau dapat disebut Sang Pencipta. Apabila para pengantar melihat anggota keluarga mereka yang menjadi peserta ma’atenu belum ka’a, segera dipancing dengan cara bersuara keras atau menari-nari mencari perhatian mereka. Beberapa informan yang terlibat dalam ritual ma’atenu menuturkan bahwa bila mereka
43
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 36-47
berjumpa dengan anggota keluarganya, secara serentak mereka mengalami kemasukan roh atau ka’a. Apalagi kalau mereka melihat ibu atau saudara-saudara perempuan atau istrinya berada di dekat mereka. Pelaksanaan ma’atenu diramaikan oleh satu grup musik terdiri dari beberapa orang laki-laki dan perempuan, mereka memainkan tifa, dan rebana sambil menyanyikan syairsyair atau lani (bahasa Pelauw) untuk memberikan semangat kepada para peserta ritual. Ada dua lani (syair) yang dinyanyikan berulang-ulang. Lani 01. Lani 02. Tita heu-heu e Tita heu-heu e Upu tua poe yasela Tura lani rua Isi ana hutu telu Mantura lanai irua Bonbonua ma’atita urat4
Lani-lani ini merupakan pujian terhadap leluhur Hatuhaha, dan pada waktu dinyanyikan para peserta ma’atenu pun tampak semakin bersemangat, histeris, dan setiap peserta mendapat kemasukan roh leluhur mereka atau ka’a. Lani-lani di atas memiliki makna mengingatkan para peserta ma’atenu kepada kegagahan leluhur mereka mempertahankan identitas agama, menyiarkan agama Islam, dan bertempur melawan musuh-musuh mereka. Kelompok musik yang menabuh tifa dan rebana serta menyanyikan lagu atau lania di atas berperan memberi dukungan mental dan semangat perjuangan kepada para peserta ma’atenu. Ritual ma’atenu sudah harus berakhir sebelum tifa kamis (jam 16.00 WIT), untuk itu sekalipun menempuh perjalanan panjang (sekitar 10 s/d 15 KM PP) dan melelahkan tetapi sesuai waktu yang ditentukan, semua pasukan sudah berada di halaman masjid dan baileo untuk mempertunjukan kekebalan masing-masing terhadap benda-benda tajam. Lani-lani ini sesungguhnya merupakan pujian kepada pasukan perang Hatuhaha, yang disimbolkan dengan memberi semangat kepada Upu Rihia (Kepala Kapitan Hatuhaha) dan Upu Matawoku (Wakil Kapitan Hatuhaha).
4
44
Gambar 02. Atraksi peserta ma’atenu memotong, menikam dan mengiris badan mereka (Foto: Y.Z.Rumahuru, Mei 2009)
Atraksi memotong, mengiris, menikam badan, dan anggota tubuh dengan parang, pisau dan benda-benda tajam lain berlangsung di halaman masjid dan baileo sekitar 1 jam s/d 1,5 jam. Di akhir acara ma’atenu, semua peserta secara teratur satu demi satu masuk ke baileo dan diterima oleh ibu-ibu yang mengalungkan kain ke leher setiap peserta. Pengalungan kain oleh ibu-ibu atau orang perempuan kepada peserta ma’atenu sekaligus menandai berakhirnya ritual ini adalah suatu akta simbolik. Peran seorang ibu atau seorang istri (orang perempuan) sudah tampak sejak persiapan peserta. Sebagaimana disebut sebelumnya bahwa semua laki-laki yang mengikuti ma’atenu tentu mendapat restu dari ibu atau istri mereka. Sama seperti mengikuti ma’atenu membutuhkan restu ibu atau istri, maka mengakhiri ritual ini sejumlah ibu-ibu yang hadir di baileo merupakan representasi semua orang perempuan di Pelauw yang menerima kedatangan ”prajurit Hatuhaha” dengan ungkapan syukur, karena mereka
Yance Z. Rumahuru -- Ritual Ma’atenu Sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha di Pelauw Maluku Tengah
telah menunaikan tugasnya dengan baik dan dilindungi oleh Allah Taalah. Seorang informan menjelaskan bahwa pengalungan kain oleh ibu-ibu adalah untuk memulihkan kondisi para peserta dari kemasukan roh leluhur menjadi normal kembali. Hal ini mengandung pengertian bahwa perempuan menjadi sumber harmoni. Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan menjadi sumber energi yang ampuh bagi laki-laki Hatuhaha, yang berarti juga bahwa pengabaian terhadap perempuan berdampak pada konflik atau kehancuran. Peran perempuan di Pelauw tidak hanya tampak pada pelaksanaan ritual seperti ini, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Telah disebut sebelumnya bahwa sekalipun masyarakat Hatuhaha manganut sistem patriakal, tetapi perempuan diberi posisi tersendiri dalam hidup bermasyarakat. Realitas perempuan Pelauw dalam ritual sebagai sumber harmoni dan energi bagi laki-laki seperti disebut di atas memberi gambaran bahwa perempuan di manapun patut dihormati, dikasihi dan diberi posisi seimbang dengan laki-laki karena kesuksesan seorang laki-laki turut ditentukan oleh perempuan.
Makna Ritual Ma’atenu
Pelaksanaan ritual ma’atenu menjadi bagian penting dalam kehidupan komunitas muslim Hatuhaha di Pelauw karena ritual dijadikan sebagai momen untuk masing-masing orang mengerjakan dan mengumpulkan amalnya selaku bekal di akhirat nanti. Konsepsi ini begitu kuat sehingga dalam setiap pelaksanaan ritual musiman di negeri Pelauw, anakanak negeri di perantauan berusaha sedapatdapatnya kembali ke negeri untuk mengikuti ritual-ritual yang dilaksanakan. Apabila mereka tidak kembali ke negeri karena alasan yang mendasar seperti pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan, atau waktu yang singkat dan biaya yang terlampau besar padahal mereka memiliki prioritas kebutuhan lain, maka mereka tetap memiliki konstribusi dengan memberi
bagian yang menjadi tanggungan mereka untuk mendukung suksesnya pelaksanaan ritual tersebut. Telah disebut sebelumnya bahwa k ont ek s hist oris k ehadiran m a ’ a t e n u adalah perang melawan kolonialisme dan imperialisme yang mengikutsertakan misi kristenisasi oleh orang-orang Portugis dan Belanda, maka pelaksanaan ma’atenu di negeri Pelauw dimaksudkan untuk menegaskan identitas agama (Islam) di Pulau Haruku. Melalui pelaksanaan ma’atenu saat ini, orang Hatuhaha di Pelauw menarasikan keperkasaan dan heroisme orang Hatuhaha dahulu, dan nilai-nilainya itu diwariskan kepada generasi Hatuhaha turun-temurun. Fenomena pembagian tugas yang baik antara pemimpin ritual atau ma’ahalalahat dengan staf atau ma’ateruamae menunjukan adanya fungsi struktur masyarakat secara baik bahwa kekuasaan tidak dimaknai miliki seseorang atau kelompok tertentu semata, tetapi perlu di bagi. Hal ini berbeda dengan kecenderungan kekuasaan di era ini yang seakan dipusatkan dan dijadikan milik kelompok tertentu saja. Mengingat ritual ma’atenu ini dikonstruksi dalam kelompok-kelompok masyarakat yang telah memeluk agama Islam, maka makna ritual ma’atenu dapat dipahami dengan melihat hubungan antara agama (Islam) dan adat yang membentuk manusia Hatuhaha, secara khusus di negeri Pelauw. Memperhatikan konteks kemunculan ritual ma’atenu dan pelaksanaannya saat ini dengan simbol-simbol yang dimiliki, maka beberapa makna ritual ini dapat disebut sebagai berikut: Pertama, makna religius, yakni ketaatan dan penyembahan kepada kuasa tertinggi (Allah Taalah), yang berarti pula menjaga eksistensi agama yang telah dianut. Kedua, makna adatis, yaitu penghormatan kepada leluhur, sekaligus menjaga relasi baik dengan leluhur. Implementasi dari penghormatan kepada leluhur adalah melaksanakan tuntutan adat secara baik. Ketiga, makna sosial, yakni membangun solidaritas kelompok atau
45
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 36-47
yang dikenal dengan istilah lokal setempat ikatan maningkamu, yakni ikatan hubungan persaudaraan. Solidaritas kelompok tampak melalui saling tolong-menolong, saling menghormati, dan kerjasama. Makna ritual dan nilai-nilai yang disebut ini merupakan kekuatan yang menjadi modal sosial bagi semua orang Hatuhaha saat ini untuk membangun hidup dan mengalami perubahan.
SIMPULAN
Deskripsi tentang ritual ma’atenu di negeri Pelauw yang dianalisis ini menunjukan bahwa: pertama, ritual menjadi media yang strategis dan baik bagi konstruksi identitas. Di sini tampak bahwa pelaksanaan ma’atenu secara rutin di Pelauw efektif menjadi sarana sosialisasi nilai yang oleh penulis disebut sebagai media konstruksi identitas. Bahkan, ritual menjadi sarana efektif untuk mereproduksi dan melestarikan identitas orang Muslim Hatuhaha umumnya, secara khusus di negeri Pelauw. Kedua, melalui pelaksanaan ritual terbangun solidaritas antarsesama warga keturunan Pelauw atau komunitas Muslim Hatuhaha dan dalam istilah setempat disebut dengan ikatan maningkamu. Maningkamu atau ikatan persaudaraan menjadi faktor utama orang Peluaw untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan ritual. Selain itu, kuatnya gagasan tentang amalan yang diwujudkan malalui ritual, mendorong setiap anak negeri di Pelauw tidak absen dari pelaksanaan setiap ritual, baik melalui kehadiran secara langsung, maupun partisipasi dengan cara yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I., 2002, Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan pada Upacara Garebek, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. ----------, 2007, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bell, C., 1992, Ritual Theory, Ritual Practice, New York: Oxford University Press.
46
Chauvel, R., 2008, Nationalis, Soldiers And Separatists: The Ambonese islands from colonialism to revolt 1880-1950, (Second impression), Leiden: KITLV Press. Cortini, M., Mininni, G., and Manuti A., 2004, “The Diatextual Construction of the Self in Short Message Systems”. IDENTITY: AN INTERNATIONAL JOURNAL OF THEORY AND RESEARCH, 4(4), 355–370. Copyright © 2004, Lawrence Erlbaum sociates, Inc. Davies, Ch. A., 1999, Reflexive Ethnography: A Guide to Selves and Others, London and New York: Routledge. Dhavamony, M., 1995, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius. Durkheim, E., 2001, The Elementary Forms Of Religious Life, Oxford World’s Classics. ----------, 1984, The Division of Labor in Society, New York: The Free Press. Eriksen Th. H., 2002, Ethnicity and Nationalism (second edition), London: Pluto Press ----------, 2004, What is Anthropology?, London: Pluto Press. Finley, S.A. 2010, “An identity-based understanding of intergroup conflict”, Contemporary Justice Review Vol. 13, No. 4, December 2010, hlm: 425-441. Geertz, C., 1960, The religion Of Java, The University of Chicago Press, Chicago and London. Hall, Stuart,1991, Old and New Identities, Old and New Ethnicities, dalam Anthony, D.King (editor) Culture Globalization and the WorldSystem: Contemporary Conditions for the Representation of Identity, Hampshire and London: The Macmillan Press. Hastings-Black, M., 2009, American-Muslim Identity: Advertising, Mass Media + New Media, in Pink Johanna (ed.), Muslim Societies in the Age of Mass Consumption: Politics, Culture and Identity between the Local and the Global, Cambridge Scholars Publishing. Herzfeld, M., 1990, “Icon and Identity: Religious Orthodoxy and Social Practice
Yance Z. Rumahuru -- Ritual Ma’atenu Sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha di Pelauw Maluku Tengah
in Rural Crete”. Anthropological Quarterly, 63:3 (1990:July) p.109-121, Copyright 2001 Bell and Howell Information and Learning Company, Catholic University of America Press. Hewitt, Jhon P., 2003, Self and Society, A Symbolic Interactionist Social Psychology, Boston: A&B Press. Jimenes, T.R., 2010, “Affiliative ethnic identity: a more elastic link between ethnic ancestry and culture”, Ethnic and Racial Studies, Vol. 33 No. 10 November 2010 pp. 1756-1775. Mol, H., 1979, “The Identity Model of Religion: How It Compares with Nine Other Theories of Religion and How It Might Apply to Japan” Japanese Journal of Religious Studies, 6:1/2 (1979:Mar./June) p.11-38. Copyright 2006 ProQuest Information and Learning Company, Nanzan Institute for Religion and Culture. Naroll, R., 1964, “Ethnic Unit Classification”. Current Anthropology, hlm: 5-14 Norman, K. D., dan Yvonna, S. L., 1994, Handbook of Qualitative, Sage Publication, International Educational and Professional Publisher, New Delhi. Pink, Johanna (ed.), 2009, Muslim Societies in The Age of Mass Consumption: Politics, Culture and Identity The Local and The Global, UK: Cambridge Scholars Publishing. Plumer, K., 1999, “Identity”, dalam Willyam Outhwhite dan Tom Bottemore (eds.), The Blackwell Dictionary of Twentieth Century Sosial Through, Oxford: Blackwell Publishers. Rumahuru, Y.Z., 2009, Wacana Kekuasaan Dalam Ritual: Studi Kasus Ritual Ma’atenu
di Pelauw, dalam Irwan Abdullah (ed.), Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan TICI Publication. ----------, 2010, ”Dinamika Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha di Pulau Haruku Maluku Tengah”, Jurnal Masyarakat Indonesia, Edisi XXXVI, No.1, hal. 93112. Schilbrack, K., ed. 2004, Thingking Throug Rituals: Philosophical Perspective, New York: Routledge. Turner, V., 1967, The Forest Of Symbols: Aspects of Ndembu Ritual, London: Cornell University Press. ----------, 1977, The Ritual Process: Structure and Anti-Stucture, London: Cornell University Press. Von Benda-Beckmann, F. dan von BendaBeckmann, K., 2011, Identitas dalam Perselisihan di Minangkabau, dalam Ramstedt, M. dan Thufail, F.I. (eds.), Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca-Orde Baru, Jakarta: Gramendia Widiasarana. Wessing, R., 1999, “A Dance of Life: The Sablang of Banyuwangi, Indonesia, Bijdragen Tot De Taal-, Land-En Volkendkunde, Deel 155, pages 644-682. Wimberley, D.W. 1989, “Religion and Role-Identity: A Structural Symbolic Interactionist Conceptualization of Religiosity”, The Sociological Quarterly, Volume 30, No.1, pages 125-142. Copyright 2005 ProQuest Information and Learning Company, University of California Press.
47
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 48-57
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 48-57
PENGEMBANGAN MADRASAH BERPARADIGMA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN M. Imam Zamroni
Peneliti Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada Email:
[email protected]
Lies Rahayu WF
Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Email:
[email protected]
ABSTRACT
This study aims to discover learning innovation education for sustainable development (EfSD) that can bring sustainability messages to the resource values, environmental, social and cultural. EfSD can teach morality to human beings as actors in their environment to always be careful and wise in every activity that uses natural resources. The use of natural resources for the development is not only to meet short-term economic needs; therefore it is necessary to establish management strategies that ensure sustainability, fairness, and efficiency. Efforts to achieve these strategies are mediated by debriefing people with environment ethical values which in this case implemented in the children education. The results of this research explain: (1) developing sustainable development paradigmatic learning innovation must comply with the talents of students, which can be done by developing KTSP (curriculum of unit-level education); (2) socio-cultural values conservation become the basis to achieve sustainable development paradigm; (3) innovation towards sustainable development paradigm variation for each school background. This innovation is then expected could guarantee the realization of sustainable development paradigm in formal education; for the sake of inter generation environment conservation. Keywords: islamic education, madrasah and sustainable development
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk menemukan inovasi pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (EfSD) yang dapat membawa pesan-pesan keberlanjutan terhadap nilai-nilai sumberdaya, lingkungan hidup, dan sosial budaya. EfSD dapat mengajarkan moralitas kepada umat manusia untuk selalu berhati-hati dalam setiap aktivitas yang bersinggungan dengan lingkungan. Penggunaan sumberdaya alam untuk pembangunan tidak hanya menitikberatkan pada ekonomi jangka pendek, namun juga harus menekankan pada aspek keberlanjutan, keadilan, dan efisiensi. Usaha untuk mencapai strategi tersebut harus diberikan dalam pendidikan anak. Hasil penelitian ini menunjukkan, (1) pengembangan inovasi pembelajaran berparadigma pembangunan berkelanjutan harus sesuai dengan talenta siswa, yang dapat dilakukan dengan mengembangkan KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan); (2) pelestarian nilai sosial budaya menjadi basis untuk menuju paradigma pembangunan berkelanjutan; (3) inovasi menuju paradigma pembangunan berkelanjutan bervariasi untuk masing-masing latar belakang sekolah. Inovasi tersebut selanjutnya diharapkan dapat menjadi jaminan terwujudnya paradigma pendidikan pembangunan berkelanjutan pada jalur pendidikan formal, demi kelestarian lingkungan hidup yang berkesinambungan antargenerasi. Kata kunci: Pendidikan Islam, Madrasah dan Pembangunan Berkelanjutan
48
M. Imam Zamroni -- Pengembangan Madrasah Berparadigma Pembangunan Berkelanjutan
PENGANTAR
Pendidikan merupakan sebuah investasi jangka panjang yang memiliki peranan strategis dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Berangkat dari hakekat manusia sebagai homo educandum, homo educabili dan homo educator, pendidikan yang berkualitas merupakan ujung tombak kemajuan bangsa. Melalui pendidikanlah, seseorang terstimulasi untuk melahirkan kualitas-kualitas terbaiknya sebagai manusia. Lahirnya sumber daya manusia yang berkualitas dan cosmopolitan adalah capaian pendidikan yang tidak bisa diciptakan secara instant. Di Indonesia, citra pendidikan berkualitas unggul masih menjadi jauh dari harapan. Nandika mencatat keprihatinan pendidikan di Indonesia yang dari waktu ke waktu tidak kunjung mengalami perbaikan. Kondisi buruk pendidikan Indonesia tidak terlepas dari situasi dan kecenderungan makro dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sedang mengalami masa transisi. Sebagai bukti, hasil studi UNDP (2004) dalam hal indeks pembangunan manusia (human development index) yang menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi ke-111 dari 177 negara adalah sebuah kenyataan pahit yang menjadi bagian dari cermin buram wajah pendidikan di Indonesia. Kompleksitas persoalan pendidikan mulai dari minimnya anggaran pendidikan, rendahnya kualitas dan pendapatan guru, kurangnya prasarana, mahalnya biaya pendidikan, tingginya lonjakan drop out dari siswa berlatar belakang keluarga miskin, angka buta huruf yang memprihatinkan serta semakin meningkatnya jumlah keluaran pendidikan yang menjadi penggangguran tidak bisa dipahami sematamata sebagai masalah teknis pendidikan. Persoalan-persoalan yang saling berkelindan ini apabila tidak tertangani secara sistemik, dapat bergulir menjadi bola salju persoalan yang menjadi boomerang bagi pendidikan Indonesia.
Kenyataan ini pula yang terjadi dalam sistem pendidikan di madrasah. Madrasah sebagai salah satu institusi pendidikan islam di Indonesia, ternyata juga tidak luput dari persoalan pendidikan Indonesia. Banyak kalangan yang menilai perkembangan dan inovasi madrasah berjalan ‘merambat’ bahkan cenderung tertinggal. Oleh karenanya, inovasi terhadap madrasah sebagai salah satu pilar pendidikan Islam merupakan suatu jawaban. Model madrasah berparadigma pembangunan berkelanjutan tentunya membutuhkan kerangka pikir dan dasar epistemologi yang kuat, sehingga desain pembelajaran juga harus dilakukan secara kreatif dan inovatif untuk implementasi KTSP. Hal ini dapat dilihat dari gagalnya pencanangan program wajar sembilan tahun yang terlihat dari fakta masih sekitar 20 persen anak usia sekolah menengah pertama yang masih belum bersekolah. Fakta lain yang juga cukup memprihatinkan adalah perbedaan angka partisipasi sekolah yang cukup besar antar daerah perkotaan dan perdesaan. Bahkan ditemukan kecenderungan adanya penurunan angka partisipasi sekolah menengah pertama pada kelompok masyarakat miskin. Untuk mendapatkan bibit tunas bangsa yang cerdas dan berkualitas yang mampu yang berdaya saing global, namun dengan prinsip think globally, but act locally, peran pendidikan dasar melalui jalur formal atau sekolah menjadi sangat penting dan strategis. Kepekaan terhadap kebutuhan jangka panjang bagi kelangsungan kehidupan manusia yang lebih baik yaitu mempertimbangkan aspek kelangsungan lingkungan, manusia, dan ekonomi dapat diinternalisasi melalui jalur pendidikan formal. Sekolah tidak cukup lagi sekedar sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan pada anak didiknya pengetahuan exact dan non exact yang kemudian diujikan secara nasional dalam bentuk check point sebagai tolak ukur keberhasilan proses belajar mengajar atau tolak ukur kecerdasan seseorang. Hal ini karena pada saatnya nanti, anak-anak usia
49
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 48-57
pendidikan dasar akan menghadapi dunia terus berkembang, yaitu persaingan global dan ragam persoalan akan menjadi bagian dari kehidupannya. Persaingan global menuntut peningkatan standar kompetensi. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk lebih peka pada persoalan yang terjadi di sekitarnya termasuk dalam menciptakan ide-ide yang kritis, kreatif, dan solutif. Education For Sustainable Development (EFSD) merupakan sebuah konsep pendidikan yang membawa misi pembentukan perilaku manusia yang bijaksana dalam menyikapi dan memperlakukan sumberdaya alam dan lingkungan hidup didasarkan oleh nilainilai etika moral guna mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang harmonis di masa sekarang, dengan menjaga kelestariannya untuk kepentingan generasi yang akan datang. Sejak usia dini anak-anak di sekolah sudah diperkenalkan dengan pentingnya kelestarian lingkungan hidup yang berujung pada tumbuh dan berkembangnya kesadaran akan arti penting kelestarian lingkungan untuk kehidupan yang aman dan nyaman. Jalur madrasah menjadi jembatan yang sangat penting untuk menyampaikan pesan pembangunan berkelanjutan, dengan cara membangun moral manusia agar dalam kehidupan menjunjung tinggi nilai etika lingkungan, serta mau bertindak dan berpartisipasi dalam mencari jawaban yang fundamental tentang keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Keraf, 2002). Dengan kata lain, pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan itu pada hakekatnya tidak hanya memuat pesan-pesan lingkungan, tetapi juga kelestarian seluruh isi alam yang meliputi ranah sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dengan menekankan pada aspek keadilan sosial untuk kehidupan di muka bumi ini. The Ministry of Education, Wellington (2003) menyatakan bahwa untuk mencapai keberlanjutan tersebut, terdapat empat konsep kunci pendekatan, yaitu (1). Interdependence, (2).
50
Sustainabilit,; (3). Biodiversity, dan (4). Personal and social responsibility for action. Keempat konsep kunci tersebut memberikan petunjuk bahwa ketika membahas lingkungan hidup, kita harus berpijak pada basis ekosentris, yang menjunjung tinggi interdependence, yaitu nilai ekologis yang menyatakan bahwa makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Kompetensi serupa ini semestinya ditanamkan sejak dini bagi para generasi muda. Paradigma pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma pendidikan yang dikembangkan lima tahun terakhir ini merupakan salah satu alternatif solusi untuk menyiapkan generasi muda dalam merespon perkembangan zaman secara arif. Paradigma pendidikan ini pula yang diharapkan bisa menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Untuk itu penelitian ini akan mengangkat persoalan sejauhmana inovasi-inovasi yang sudah diupayakan dalam pendidikan dasar di madrasah ibtidaiyah (MI), khususnya di Yogyakarta, yang sudah mendukung program pembangunan berkelanjutan?. Adapun lokasi penelitian yakni di dua Madrasah Ibtidaiyah yang ada di kabupaten Bantul.
PEMBAHASAN Nilai Islam dan EfSD di Madrasah
Pendidikan agama Islam merupakan instrumen yang paling strategis untuk memperkenalkan wawasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), kepada peserta didik. Islam merupakan rahmatal li al alamiin (rahmat bagi seluruh isi alam) yang meliputi aspek ekologi, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Maka dari itu, melestarikan seluruh isi alam ini untuk tujuan kebaikan adalah suatu keharusan bagi umat Islam, bahkan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Spirit nilainilai agama tersebut sebenarnya selaras dengan pembangunan berkelanjutan dan ayat suci Al Qur’an (QS. Al A’raaf 7:56). Spirit pendidikan Islam selalu mengajarkan keselarasan dan
M. Imam Zamroni -- Pengembangan Madrasah Berparadigma Pembangunan Berkelanjutan
kearifan dalam kehidupan umat manusia dapat dijadikan sebagai basis yang fundamental untuk mendesain kurikulum pendidikan berwawasan pembangunan berkelanjutan (education for sustainable development atau EFSD), sebagai kurikulum inti (core curriculum) di dalam madrasah. Dalam praktik pembelajaran di madrasah, unsur-unsur pembangunan berkelanjutan diimplementasikan ke dalam mata pelajaran yang relevan. Seperti dalam pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang didalamnya terdapat unsur pengenalan dan pemahaman kepada peserta didik tentang lingkungan. Kemudian guru menyampaikan materi di dalam kelas secara teoritik dan kemudian dalam kesempatan pertemuan yang lain, guru bersama dengan siswa melakukan kunjungan ke alam. Dalam hal ini, guru menekankan materi untuk kelestarian lingkungan kepada siswa. Lingkungan yang ada di sekitar madrasah dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang efektif. Dalam hal ini, guru memaknai pembelajaran yang dilakukan dari dua sisi, yaitu sisi pembangunan berkelanjutan, sisi ajaran, dan norma-norma Islam yang terkait dengan kelestarian lingkungan. Inilah satu model pendidikan Islam terpadu (Islamicintegrated education). Mempunyai dua orientasi mendasar, yakni orientasi duniawi dengan melestarikan alam dan orientasi ukhrowi dengan selalu memikirkan kehidupan yang akan datang yang diyakini sebagai kehidupan yang lebih kekal dan abadi. Sebagai basis pengembangan pembelajaran berbasis pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan, maka guru harus memahami prinsip dan tujuan utama kurikulum yang ada di madrasah. Dasar normatif ini seharusnya dijadikan sebagai epistemologi pengembangan madrasah yang dikontekstualisasi dengan situasi dan kondisi kekinian di sekitar tempat belajar. Kerjasama yang baik antara madrasah dengan masyarakat lokal sangat penting untuk menunjang pembelajaran berparadigma pada
pembangunan berkelanjutan dengan tetap berpegang teguh pada standar kurikulum yang ada seperti KTSP.
EfSD di Madrasah Sebagai Best Practices
Penelitian ini dilakukan di dua madrasah yang ada di kabupaten Bantul, Yogyakarta yakni Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Jejeran dan Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Giriloyo. Satu madrasah berstatus negeri dan yang kedua berstatus swasta. Pemilihan dua madrasah tersebut didasarkan pada inovasi yang sudah dilakukan oleh madrasah ke arah pembangunan berkelanjutan karena madrasah yang ada di Bantul tidak semuanya melakukan inovasi dan pengembangan ke arah pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat beberapa inovasi di dua madrasah yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan. 1. Inovasi keberlanjutan ekonomi Inovasi pembelajaran ekonomi di madrasah menekankan pada aspek kejujuran dan moralitas dengan menggunakan pendekatan afektif. Media yang digunakan adalah dengan membangun ‘kantin kejujuran’. Pada ranah afektif tercermin dalam bangunan kejujuran dan moralitas saat para siswa melakukan transaksi di kantin. Para siswa diberikan pemahaman bahwa ketidakjujuran akan mengakibatkan kerugian terhadap orang lain. Anak-anak sudah diajarkan untuk berpikir jangka panjang dan dampak terhadap perbuatan yang dilakukan. Nilainilai pembelajaran dalam aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh siswa inilah yang menjadi poin penting bagi siswa untuk selalu memikirkan orang lain terhadap tindakan yang dilakukan. Di kantin kejujuran, praktik jual beli dilakukan dengan model self service. Para siswa mengambil makanan yang diminatinya dan kemudian membayarnya dengan meletakkan uang untuk membayar makanan di tempat
51
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 48-57
yang telah disediakan oleh penjaga kantin. Jika terdapat uang kembalian yang harus diambil, anak-anak juga mengambil uang kembalian tersebut di tempat yang telah disediakan. Penjaga kantin hanya bertugas mengawasi transaksi yang dilakukan oleh para siswa dan memberikan informasi harga makanan/ barang yang dijual di kantin. Terbangunnya sikap jujur di dalam diri siswa menjadi tujuan dibangunnya sistem jual-beli yang khas dan unik. Adanya kantin kejujuran bukanlah sebagai spirit akumulasi kapital sebagaimana laiknya ekonomi kapitalis, namun di dalam kantin kejujuran terdapat spirit edukasi bagi siswa yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan keadilan sosial. Kejujuran tidak hanya ada dalam pikiran maupun teori yang disampaikan di kelas, tetapi di madrasah ini kejujuran juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam praktik jual beli. Kejujuran menjadi hal yang sangat penting bagi bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis moral yang ditandai dengan semakin banyaknya kasus korupsi. Kesadaran akan pentingnya kejujuran tidak hanya sebagai alat dalam pendidikan, melainkan merupakan proses dialogis yang mengantarkan individuindividu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah eksistensial manusia. Di samping pembelajaran ekonomi yang berbasis pada kejujuran kepada para siswa dengan mempraktikkan secara langsung, para siswa juga diajarkan teoriteori ekonomi dasar sebagaimana yang ada di madrasah pada umumnya di dalam kelas. Guru terkadang juga mengajak kepada siswa untuk melihat praktik transaksi jual-beli yang ada di pasar tradisional yang dilakukan oleh para pedagang pasar. Mereka dilatih untuk dihadapkan secara langsung kepada realitas faktual dalam kehidupan seharihari. Refleksi menjadi bagian yang sangat penting untuk diperkenalkan kepada siswa tentang kehidupan yang kompleks yang
52
dialami oleh para pedagang pasar tradisional dengan mengacu pada teori-teori ekonomi yang dipelajari di dalam kelas, sehingga para siswa tidak terlalu kesulitan mempelajari teori-teori ekonomi yang rumit karena sudah menyaksikan realitasnya di lapangan. Dalam konteks kehidupan berkelanjutan, para siswa juga diajak untuk mengamati praktik ekonomi yang tidak mencerminkan sustainabilitas yang dilakukan oleh warga yang ada di sekitar sekolah dan tentunya dapat mengancam kehidupan orang lain. Terdapat penambang tanah yang digunakan sebagai bahan untuk mencetak batu bata, batako, maupun material lain sebagai bahan bangunan. Tanah sifatnya tidak berkembang, jika dilakukan pengerukan secara terus menerus, maka kondisi tanah akan rusak dan mengakibatkan usaha sektor ekonomi seperti ini akan berhenti. Bahkan juga menyebabkan terjadinya bencana bagi warga di sekitar lokasi penambangan. Kontekstualisasi aktivitas ekonomi yang mencerminkan pada pembangunan berkelanjutan dan aktivitas ekonomi yang eksplotatif ditelaah dengan menggunakan teori-teori ekonomi yang diajarkan di dalam kelas yang dipadukan dengan ajaran agama Islam. Siswa dibekali dengan pengetahuan umum dan pengetahuan agama dengan menekankan aspek keberlanjutan untuk kehidupan yang akan datang. 2. Kelestarian lingkungan Lingkungan menjadi perhatian bagi madrasah, terutama untuk menjaga kebersihan dan melestarikannya. Anak-anak didorong untuk selalu menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempat yang telah disediakan. Anak-anak juga diajarkan untuk mengolah sampah menjadi pupuk organik dan kemudian digunakan sebagai media untuk menanam tanaman, seperti tanaman sayuran, tanaman obat-obatan, dan tanaman bunga. Di sinilah mereka belajar mengaplikasikan teori yang didapatkan di dalam kelas untuk
M. Imam Zamroni -- Pengembangan Madrasah Berparadigma Pembangunan Berkelanjutan
pembangunan berkelanjutan dengan tidak memutus siklus di muka bumi ini. Dalam praktik penanaman, siswa ditumbuhkan rasa handarbeni (rasa memiliki) terhadap tanaman yang ditanam, sehingga jika nanti tanaman tersebut berbuah, maka siswa yang menanam berhak untuk memetik buahnya. Partisipasi siswa dalam pengelolaan lingkungan di sekolah merupakan hal yang sangat penting yang didukung oleh berbagai fasilitas seperti adanya 14 kamar mandi dan WC untuk siswa dan dua kamar mandi untuk guru dan karyawan serta satu ruang UKS. Pelestarian lingkungan di madrasah harus didukung oleh semua pihak dan bersifat partisipatif agar dapat dilakukan secara berkelanjutan. Di madrasah banyak sekali tanaman yang dibudidaya dan siswa yang menjadi lokomotifnya. Siswa dalam hal ini dilibatkan untuk merawat seperti menyiram tanaman, membersihkan gulma, dan melakukan pemupukan jika dibutuhkan. Bahkan terkadang siswa juga mengusulkan tanaman yang harus ditanam dengan membawa tanaman dari rumah. Dalam hal ini guru berperan sebagai pendamping dan fasilitator dalam kegiatan untuk mengarahkan aktivitas siswa. Aktivitas melestarikan lingkungan dalam pembelajaran siswa biasanya dikombinasikan dengan pendidikan kesehatan untuk siswa karena lingkungan yang bersih akan menciptakan hidup yang sehat. Pendidikan kesehatan dilaksanakan dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani dan Olah Raga Kesehatan (Penjaskes), dan sosialisasi kesehatan setiap hari selama 5 menit di awal pembelajaran yaitu jam pertama. Di dalam proses pembelajaran Penjaskes (Pendidikan Jasmani dan Kesehatan) yang bersifat praktik, terkadang kegiatan anakanak diarahkan untuk membantu menyiram tanaman dan merawatnya. Dalam mata pelajaran yang lain, hampir secara keseluruhan —dalam pertemuan tertentu— terdapat
dimensi kelestarian lingkungan. Seperti dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Bahasa Jawa, Qur’an Hadits, Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Berikut dijelaskan inovasi pembelajaran di sejumlah mata pelajaran yang berdimensi pelestarian lingkungan. Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa terdapat lima mata pelajaran yang dikontekstualisasikan dalam praktik pembelajaran untuk kelestarian lingkungan. Metode pembelajaran yang digunakan oleh masing-masing guru juga beragam. Terdapat guru yang mengajak para siswa untuk mengamati secara langsung fenomena alam yang ada di sekitar madrasah seperti di area persawahan maupun perkebunan. Di samping itu juga terdapat guru yang hanya melaksanakan pembelajaran di ruang-ruang kelas yang ada di madrasah. Di madrasah memang memadukan antara pembelajaran di dalam kelas dengan pembelajaran di luar kelas yang sifatnya kontekstual. Kontekstualisasi pembelajaran pada kelestarian lingkungan tidak hanya ditemukan pada mata pelajaran IPA dan IPS, tetapi juga pada mata pelajaran agama (Qur’an dan Hadits) dan muatan lokal (Bahasa Jawa). Nilai-nilai ajaran agama Islam dan budaya lokal mempunyai spirit dalam melestarikan lingkungan, sehingga kontekstualisasi materi pembelajaran pada fenomena empirik kepada peserta didik agar mereka dibekali dengan pemikiran jangka panjang dan berkelanjutan. Di samping itu, antara lingkungan alam dan sosial mempunyai hubungan timbal balik yang harus dikelola secara seksama. Inovasi pembelajaran untuk kelestarian lingkungan ini juga harus didukung dengan sistem kelembagaan yang baik dan mendukung pembelajaran kepada siswa yang menekankan pada aspek kelestarian lingkungan. Di MIN Jejeran terdapat program kerja 10 K, yakni kebersihan, keamanan, ketertiban, keindahan, kekeluargaan, kerindangan, kesehatan,
53
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 48-57
Tabel 1. Klasifikasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Berwawasan Lingkungan di Madrasah No. 1
Mapel IPA
2
IPA
3
IPA
4
Bahasa Jawa
5 6
Qur’an Hadits SKI
7
IPS
8
IPA
Materi ajar Aspek wawasan lingkungan Perubahan sifat-sifat - Memahami pentingnya pelestarian jenis mahluk hidup untuk benda mencegah kepunahan. - Mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan pemilihan benda/ bahan untuk tujuan tertentu (karet, logam, plastik) dalam kehidupan sehari-hari. Bagian-bagian - Memahami hubungan antara struktur bagian tumbuhan dan tumbuhan dan fungsinya fungsinya - Mengidentifikasi bagian-bagian tumbuhan dan fungsinya dengan melakukan praktik secara langsung terhadap beberapa contoh tumbuhan Memelihara dan - Menyebutkan jenis sumber daya alam yang berasal dari hutan dan melestarikan hutan manfaatnya - Menjelaskan perilaku yang benar dalam upaya memelihara hutan - Melakukan pengamatan secara langsung dan diskusi kelompok Membaca, memahami - Membaca kata, frase dan kalimat dengan ucapan dan intonasi yang dan menangggapi teks benar pada teks sederhana yang berkaitan dengan lingkungan tentang lingkungan hidup. hidup - Memahami teks berbahasa jawa sederhana yang berkaitan dengan lingkungan hidup - Memberikan tanggapan terhadap wacana yang terkandung dalam teks sederhana berbahasa jawa tentang lingkungan hidup. Hadits tentang - Melafalkan dan memahami hadits tentang kebersihan kebersihan - Guru menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan Cinta Rasul terhadap - Memprakarsai sikap yang baik terhadap hewan dan tumbuhan hewan dan larangan - Mengenal suri tauladan yang baik dalam memelihara hewan dan islam membunuh hewan melestarikannya dalam kehidupan sehari-hari. sewaktu ihram Lingkungan alam dan - Memelihara lingkungan alam dan buatan di sekitar rumah buatan - Mempraktekkan pelestarian lingkungan rumah Daur air - Melakukan pembiasaan cara menghemat air dan cara mengatasi kekurangan air - Mengamati gambar danau yang kekeringan karena kekurangan air
Sumber: dokumen MIN Jejeran, 2009. sudah diolah. Keterangan: IPA : Ilmu Pengetahuan Alam SKI : Sejarah Kebudayaan Islam IPS : Ilmu Pengetahuan Sosial
keagamaan, keberlanjutan, dan keserasian. Di samping merumuskan program kerja yang menunjang kelestarian lingkungan, MIN Jejeran juga membentuk tim kerja madrasah berwawasan lingkungan dengan Surat Keputusan kepala madrasah nomor: MI.L/14/PP.00.4/55/2006. Program kerja tersebut juga didukung oleh peraturan dan himbauan-himbauan yang dikeluarkan oleh madrasah, seperti larangan merokok di madrasah, anjuran membuang sampah pada tempatnya, membersihkan kamar mandi, dan lain
54
sebagainya. Pengelolaan sampah dilakukan dengan mengatur jadwal siswa dalam kegiatan Jumampah (juru pengambil dan pengumpul sampah), sedangkan untuk kebersihan kamar mandi dan bebas dari jentik diatur dalam kegiatan Jumantik (juru pemantau jentik) yang dilakukan oleh siswa secara berkala. Kegiatan Jumantik ini didukung dengan program Dokcil (Dokter Kecil) yang bekerjasama dengan tim dari Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) setempat. Pendek kata, untuk menciptakan madrasah yang berkualitas tentunya
M. Imam Zamroni -- Pengembangan Madrasah Berparadigma Pembangunan Berkelanjutan
membutuhkan suatu kepemimpinan yang baik dan transformatif. Berbagai kegiatan tersebut bertujuan untuk menanamkan tanggung jawab kepada siswa untuk menjaga kelestarian lingkungan, kebersihan, dan kesehatan. Di samping itu, metode pembelajaran dengan cara mempraktikkan secara langsung akan lebih mudah dipahami oleh siswa daripada hanya sekedar teori di dalam kelas. Pembelajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dimensi pembangunan berkelanjutan tercermin dari upaya pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh civitas akademika di madrasah dengan mendorong partisipasi semua pihak. 3. Kelestarian sosial-budaya masyarakat Pada ranah sosial-budaya inovasi yang dilakukan oleh madrasah adalah usaha secara sistematis untuk melestarikan budaya membatik yang ada di lingkungan MI Ma’arif Giriloyo. Desa Giriloyo dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai pusat pengrajin batik di kabupaten Bantul. Namun sampai saat ini, para pengrajin tersebut hanya diminati oleh generasi tua, sedangkan kelompok usia muda tidak tertarik untuk menekuni dunia batik. Akhirnya aktivitas membatik terus mengalami penurunan karena tidak ditopang oleh kelompok usia produktif yang ada di desa. Hal ini dikarenakan tidak adanya transformasi sosial aktivitas membatik antar- generasi. Berdasarkan fenomena tersebut, MI Ma’arif Giriloyo mencoba u n t u k memperkenalkan proses membatik kepada para siswa dengan memasukkan kegiatan membatik ke dalam kurikulum ekstrakurikuler di madrasah. Para pembatik menjadi pemateri bagi siswa yang ingin belajar membatik dengan didampingi oleh guru kesenian yang ada di madrasah. Masyarakat lokal yang ada di sekitar madrasah yang
mempunyai keahlian membatik berusaha memperkenalkan motif dan corak batik yang selama ini menjadi identitas batik di desa Giriloyo. Di samping itu, anak-anak juga diberikan ruang kebebasan untuk berkreasi dan menciptakan motif batik yang baru. Keterikatan yang kuat antara MI Ma’arif Giriloyo dengan lingkungan sosial di sekitarnya menciptakan suatu bentuk interaksi yang positif bagi kelangsungan kegiatan pendidikan. Bentuk interaksi yang terwujud memperlihatkan peran MI Ma’arif Giriloyo sebagai lembaga pendidikan sekaligus jembatan budaya antar generasi. Partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam melestarikan nilai-nilai budaya lokal dan sekaligus mentransformasikan kepada anak-anak di madrasah. Dalam konteks partisipasi masyarakat untuk melestarikan budaya lokal dan sebagai bentuk penguatan sosial ke arah pembangunan berkelanjutan diperlukan pelembagaan sosial. Institusi sosial di madrasah seperti komite madrasah yang dijadikan sebagai pijakan tangga partisipasi masyarakat terkadang masih dianggap sebagai sesuatu yang elitis bagi masyarakat desa di sekitar madrasah. Oleh karenanya, di MIN Jejeran berusaha menciptakan struktur mediasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di madrasah. Di bawah komite madrasah terdapat kelompok sosial yang disebut dengan patembayan dan paguyuban orangtua siswa. Peguyuban sebagai Kelompok sosial ini mempunyai tanggungjawab terhadap kelas anak-anaknya, jadi dalam setiap kelas yang ada di madrasah mempunyai paguyuban orangtua siswa yang otonomi. Adapun patembayan sebagai kelompok sosial di atas paguyuban mempunyai tanggungjawab terhadap madrasah secara keseluruhan yang dikoordinasikan dengan komite madrasah dan stakeholder di madrasah. Kelompok-kelompok sosial tersebut juga melakukan penggalian dana untuk
55
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 48-57
pembangunan madrasah dengan prinsip pengelolaan yang transparan dan akuntabel. Pembangunan di madrasah dapat dilakukan secara berkelanjutan karena didukung dengan partisipasi masyarakat lokal yang cukup kuat. Tingkat partisipasi masyarakat lokal yang cukup tinggi untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas ini tentunya memerlukan pengelolaan dan inovasi yang sesuai dengan konteks lokal yang mampu mengakomodasi aspirasi warga. Begitu pula dengan pola pengembangan madrasah berbasis pembangunan berkelanjutan harus ditopang dengan tingkat partisipasi masyarakat yang cukup kuat.
SIMPULAN
Inovasi pendidikan berparadigma pembangunan berkelanjutan (education for sustainable development) di madrasah dapat dikontekstualisasikan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadits. Seperti menjelaskan tentang ayat suci Al Qur’an maupun Hadits nabi yang relevan dengan aspek budaya lokal dan kewajiban manusia untuk menjaga alam beserta seluruh isinya. Dalam praktik pembelajaran, maka aspek lokalitas turut mewarnai praktik pembelajaran yang dilakukan di madrasah. Inovasi pendidikan Islam untuk pembangunan berkelanjutan sebagai bentuk investasi jangka panjang untuk berkontribusi kepada kehidupan umat manusia di muka bumi ini agar lebih aman, nyaman, dan berkeadilan sosial. Terdapat tiga aspek penting inovasi yang sudah dilakukan di dua madrasah yakni: ekonomi berkelanjutan, kelestarian lingkungan dan kelestarian sosial-budaya masyarakat lokal. Aspek lokalitas dan modal sosial yang ada madrasah mempunyai kontribusi penting terhadap arah pengembangan inovasi pendidikan yang dilakukan. Salah satu inovasi pendidikan berparadigma pembangunan berkelanjutan ini dilakukan dengan menggunakan metode pembelajaran
56
CTL (contextual teaching and learning) karena Education for Sustainable Development (EFSD) bukanlah satu materi tersendiri yang ada di sekolah, melainkan terintegrasi terhadap mata pelajaran yang ada di madrasah. Pembelajaran kontekstual menjadi metode yang sangat tepat dalam improvisasi pendidikan ke arah pembangunan berkelanjutan. Inovasi menuju paradigma pembangunan berkelanjutan bervariasi untuk masing-masing latar belakang madrasah. Inovasi tersebut selanjutnya diharapkan dapat menjadi jaminan terwujudnya paradigma pendidikan pembangunan berkelanjutan demi kelestarian lingkungan alam, sosial, dan budaya yang berkesinambungan antar-generasi. Bahasa menjadi bagian dari sistem kebudayaan, maka pengajaran bahasa jawa merupakan salah satu aspek praktik pembelajaran untuk kelestarian budaya lokal. Pendidikan Islam dengan berparadigma pembangunan berkelanjutan, maka secara bersama-sama mempunyai komitmen untuk berkontribusi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, dunia yang lebih aman-nyaman bagi kita semua, baik sekarang maupun di masa yang akan datang bagi anak cucu kita. Ini merupakan sebuah pemahaman tentang kompleksitas dan diversitas secara komprehensif serta pemahaman tentang bagaimana cara mengubah segala perkembangan dan pengembangan ke arah sustainibilitas, juga dilaksanakan melalui perencanaan dan pelaksanaan yang bijaksana dengan memadukan antara nilai-nilai pendidikan agama Islam dengan nilai-nilai pembengunan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2003, The Key Concept Underlying Environmental Education. Wellington, The Minister of Education, New Zealand. Darmaningtyas, 2007, Realitas Pemberlakukan UAN/UN. EDUKASI Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 5 (1): hlm. 41-54.
M. Imam Zamroni -- Pengembangan Madrasah Berparadigma Pembangunan Berkelanjutan
Idi, Abdullah, 1999, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Jakarta: Media Pratama. Johnson, Elaine B, 2009, Contestual Teaching anda Learning; Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, Bandung: Mizan Learning Center (MLC). Karni, Asrori S, 2009, Etos Studi Kaum Santri; Wajah Baru Pendidikan Islam, Bandung, Mizan. Keraf, A. Sony, 2006, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas. May, Robert M, 2008, The Britanica Guide to Climate Change; An Unbiased Guide to The Key Issue of Our Age, USE, Running Press Book Publishers. Muhaimin (ed), 2008, Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) pada Sekolah dan Madrasah, Jakarta: Rajawali Perss. Mulyasa, H.E, 2007, Manajemen Berbasis Sekolah; Konsep, Strategi dan Implementasi, Bandung: Rosdakarya. Nandika, Dodi, 2007, Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan, Jakarta: LP3ES. Raihani. 2010, Kepemimpinnan Sekolah Transformatif, Yogyakarta: LkiS. Smith A, William, 2001, Conscientizacao; Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Susilo, Rachmad K. Dwi, 2009, Sosiologi Lingkungan, Jakarta: Rajawali Press. Trianto, 2009, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif; Konsep, Landasan dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Kencana.
57
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 58-72
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 58-72
BUDAYA NASIONAL DI TENGAH PASAR: KONSTRUKSI, DEKONSTRUKSI, DAN REKONSTRUKSI Ikwan Setiawan
Staf Pengajar Sastra Inggris Universitas Jember Jawa Timur Email:
[email protected]
ABSTRACT
In the Reformation period, the state regime still mobilizes traditional-ideal values as national culture without giving conceptual and operational explanations. In this article, I combine two approaches, cultural studies and postcolonial studies, for reading national culture as represented in some President Soesilo Bambang Yudhoyono’s presidential speeches. I will analyze ideal-but-ambivalent constructions of national culture in regime’s perspective as represented in those speeches, particularly, in the context of continuous mobilization of traditional meanings as the invisible power for Indonesian people, while, at the same time, they always emphasize economic progress. Instead as strategic cultural construction, national culture produces its own deconstruction and fails to be discursive formation. Further, I argue that the regime operates their governmentality by reconstructing newer national culture based on market economics as discursive constructions, which ideally can provide conceptual and material basis for state regime in conducting governance and for citizens in achieving welfare in neoliberal formation. Keywords: national culture, regime’s perspective, construction, deconstruction, reconstruction, neoliberalism.
ABSTRAK
Pada masa Reformasi, rezim negara masih memobilisasi nilai-nilai tradisional-ideal sebagai budaya nasional tanpa memberikan penjelasan konseptual dan operasional. Dalam artikel ini, saya menggabungkan dua pendekatan, kajian budaya dan poskolonial, untuk membaca budaya nasional sebagaimana direpresentasikan dalam beberapa pidato Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Saya akan menganalisis konstruksi ideal-tetapi-ambivalen dari budaya nasional dalam perspektif rezim seperti direpresentasikan dalam beberapa pidato tersebut, khususnya, dalam konteks mobilisasi terus-menerus makna tradisional sebagai kekuatan tidak kelihatan bagi rakyat Indonesia, sedangkan pada saat bersamaan, mereka selalu menekankan kemajuan ekonomi. Alih-alih sebagai konstruksi kultural strategis, budaya nasional memproduksi dekonstruksinya sendiri dan gagal menjadi formasi diskursif. Lebih jauh, saya berargumen bahwa rezim menjalankan kepemerintahan mereka dengan merekonstruksi budaya nasional baru berbasis ekonomi pasar sebagai konstruksi diskursif yang secara ideal bisa menyediakan basis konseptual dan material bagi rezim untuk menjalankan pemerintahan dan bagi warga negara untuk memperoleh kesejahteraan dalam formasi neoliberal. Kata kunci: budaya nasional, perspektif rezim, konstruksi, dekonstruksi, rekonstruksi, neoliberalisme.
58
Ikwan Setiawan -- Budaya Nasional di Tengah Pasar: Konstruksi, Dekonstruksi, dan Rekonstruksi
PENGANTAR
Dalam Orasi Kebudayaan yang dilaksanakan pada Dies Natalis ke-30 Universitas Diponegoro, 30 Oktober 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disingkat Presiden SBY) mengatakan: Sejak Indonesia merdeka, bukan main tantangan, ujian, dan cobaan yang kita hadapi...Tetapi mengapa kita selamat, mengapa kita akhirnya bisa mengatasi, mengapa kita tidak runtuh?... Karena ada satu kekuatan, yang barangkali kita tidak sadari. Apa kekuatan itu, yaitu kebangsaan kita, ke-Indonesia-an kita, ketahanan kita, karakter kita sebagai pejuang, sikap tidak mengenal menyerah, dan sebagainya. Inilah yang saya katakan kekuatan, the power, the strength yang bersumber dari budaya bangsa, dahsyat. Ini boleh disebut the invisible power, kekuatan yang tidak kentara, dibandingkan kekuatan sumber daya alam, sumber daya keuangan, sumber daya manusia, dan sebagainya...The invisible power of culture…saya mengajak Saudara semuanya, marilah budaya sebagai sumber, sebagai energi, sebagai kekuatan ini kita jadikan pula untuk membangun bangsa kita di masa depan. (penekanan saya)
“Budaya” dalam perspektif Presiden SBY merupakan the invisible power—kekuatan tidak kentara/kelihatan—yang menjadi sumber kekuatan, energi, dan daya tahan untuk membangun Indonesia. Kekuatan tersebut merupakan “nilai-nilai unggul” berupa kebangsaan kita, ke-Indonesia-an kita, ketahanan kita, karakter kita sebagai pejuang, dan sikap tidak mengenal menyerah. Pilihan menempatkan budaya sebagai “kekuatan yang tidak kentara” dapat menghadirkan ambiguitas. Di satu sisi, budaya diposisikan sebagai kekuatan adikodrati yang sewaktuwaktu bisa dipanggil kembali ketika bangsa ini membutuhkannya. Di sisi lain, budaya merupakan bentuk jati diri esensialis dan retrospektif (klangenan) yang diidealisasi sebagai konsensus, sementara globalisasi dan neoliberalisasi telah, sedang, dan akan terus menawarkan ragam kultural baru. Dalam pandangan ini bahwa ambiguitas
memunculkan ketidakjelasan konseptual dan material konstruksi “budaya nasional” sebagai kekuatan bangsa, sejak rezim Soekarno, Soeharto, sampai dengan SBY. Budaya nasional bersendi kearifan lokal masih dibayangkan ada, tetapi masih sebatas slogan pemanis. Kalaupun budaya nasional diposisikan sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah”, “nilai-nilai unggul”, dan “kekuatan strategis bangsa”, konstruksikonstruksi itu tidak pernah dijelaskan, sehingga tidak pernah mewujud sebagai formasi diskursif yang mampu memperkuat kesadaran nasional. Dalam tulisan ini, pembacaan secara kritis ketidakjelasan diskursif budaya nasional dalam perspektif rezim negara sebagaimana direpresentasikan dalam beberapa naskah pidato Presiden SBY. Dengan menggunakan perspektif cultural studies dan kajian poskolonial, maka analisis ini menggunakan analisis wacana tentang budaya nasional yang dilontarkan Presiden SBY sebagai konstruksi yang mengidealisasi kekuatan kultural bangsa sebagai rezim kebenaran. Namun, konstruksi tersebut, pada dasarnya, memunculkan ketidakstabilan dari awal karena masih mengutamakan konsep esensialis dan retrospektif. Dengan perspektif dekonstruksi Derridean bahwa pembacaan budaya nasional sebagai konstruksi yang dipenuhi “penghancuran” dari dalam sehingga gagal menjadi formasi diskursif di tengah-tengah kompleksitas kultural masyarakat. Proses dekonstruksi tersebut, pada akhirnya, menghasilkan rekonstruksi “budaya nasional baru” dalam jejaring ekonomi-politik yang lebih berorientasi kepada ekonomi pasar. PEMBAHASAN
Membincang-Ulang Budaya Nasional
Fanon (1963: 233) secara visioner mengingatkan masyarakat di negara-negara pascakolonial terkait konstruksi budaya nasional yang seharusnya dikonstruksi sebagai 59
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 58-72
“segenap usaha” dalam bentuk “pemikiran” untuk menciptakan dan memperjuangkan “eksistensi diri”. Bukanlah mitos, tradisi lisan, ataupun kekuatan adikodrati yang bisa mendorong lahirnya budaya nasional, tetapi pemikiran-pemikiran strategis berbasis realitas—permasalahan dan kekuatan riil yang dimiliki masyarakat. Dengan demikian, budaya nasional bukan berhenti sebagai konsep-konsep abstrak populis—slogan dan propaganda, misalnya. Ia merupakan sesuatu yang berada dalam “proses menjadi” yang akan menghasilkan nilai, konsep, dan tindakan baru bagi keseluruhan masyarakat. Penekanan rasionalitas dalam budaya nasional menunjukkan bahwa orientasi bagi kemajuan bangsa menuntut adanya pikiranpikiran modern yang akan menjadi identitas kolektif dan memperkuat nasionalisme. Dalam perspektif Gellner, menguatnya normanorma kultural baru berbasis modernitas pada pendidikan, teknologi komunikasi, birokrasi, dan struktur negara modern digerakkan oleh aturan-aturan rasionalistis serta administratif akan mendorong lahirnya nasionalisme yang melampaui batasanbatasan etnis (Edensor, 2002: 3; Spencer & Wollman, 2002: 36; Gandhi, 1998: 104-105). Memang, menguatnya rasionalitas dan birokrasi modern menyebabkan kekayaan kultural etnis sebagai identitas masyarakat menempati posisi marjinal, meskipun tidak bisa dikatakan hilang—budaya residual. Nasionalisme berbasis modernitas di negaranegara pascakolonial ternyata menyebabkan ambivalensi, keberantaraan, dan kegandaan kultural yang terus berlanjut hingga saat ini (Faruk, 2007: 9; Mbembe, 2001: 12; Quayson, 2000: 16-17). Di satu sisi, nasionalisme menuntut kehadiran nilai-nilai kultural baru berorientasi kesamaan, rasionalitas, dan kebebasan yang berujung kepada kesejahteraan, bukannya mitos, dongeng, kuasa agama, maupun tradisionalisme lainnya. Di sisi lain, budaya residual berbasis etnis masih dianggap penting untuk 60
membangun solidaritas kebangsaan untuk melawan kekuatan-kekuatan asing yang dianggap membahayakan bagi kepentingan nasional. Dalam pandangan Bhabha (1994) masyarakat pascakolonial di tengah-tengah ambivalensi kultural bisa memunculkan strategi subjektivitas tanpa harus meninggalkan sepenuhnya nilai dan identitas kultural tradisional sekaligus tidak mengambil sepenuhnya yang modern—hibriditas. Praktik tersebut bisa menjadi kekuatan untuk memaknai-ulang jejak kuasa kolonial dan superioritas Barat (Radhakrisnan, 2003: 1-2), tetapi bisa juga menjadi tindakan yang menyulitkan ketika masyarakat sulit melepaskan diri dari bayang-bayang kuasa Barat (Gandhi, 1998: 5-7). Subjektivitas pascakolonial yang diwarnai keberantaraan dan hibriditas itulah yang menyebabkan proses kultural bersifat kompleks. Konstruksi budaya nasional tentu membutuhkan ketepatan dan kecerdasan dalam memaknai realitas keberantaraan kultural. Pola pikir transformatif merupakan pilihan strategis untuk dilakukan. Aschroft (2000: 1) menjelaskan transformasi sebagai modal berpikir dan bertindak pada masyarakat yang terjajah atau terdominasi mentransformasi kekuatan-kekuatan kultural yang mendominasi mereka untuk memberdayakan diri dan mengendalikan masa depan. Para elit politik di negara pascakolonial semestinya secara cerdas meng-apropriasi sebagian budaya modern dan menegosiasikan kearifan lokal yang akan disepakati menjadi konstruksi budaya nasional. Ketika budaya nasional telah dikonstruksi, para elit politik harus terus menyebarkannya sebagai formasi diskursif— mengikuti pemikiran Foucauldian (Foucault, 2002: 52-58; Hall, 1997: 44)—dalam bahasa/ representasi dan praksis rakyat kebanyakan. Dalam terma Foucauldian (Foucault, 2008; Collier, 2009; McNay, 2009), budaya nasional bisa menjadi mekanisme pendisiplinan dan
Ikwan Setiawan -- Budaya Nasional di Tengah Pasar: Konstruksi, Dekonstruksi, dan Rekonstruksi
kepemerintahan—dalam makna produktif— yang bisa memperbaiki kehidupan berbangsa. Dengan perspektif tersebut, budaya nasional secara ajeg perlu dievaluasi, dikritik, dan direkonseptualisasi. Sayangnya, para elit politik seringkali sekedar mengambil nilai-nilai stereotip berbasis etnis, moral, atau agama untuk digunakan sebagai konsep budaya nasional. Akibatnya, budaya nasional menjadi kebijakan yang bersifat (1) konservatif, (2) tertutup terhadap ketidakpuasan masyarakat, dan (3) tidak mengakomodir kesadaran kultural posmodern masyarakat yang mengutamakan pemenuhan selera kulturaldiri dan tidak menerima konsep kultural yang sudah mapan (McGuigan, 1996: 50). Budaya nasional menjadi kaku, tidak transformatif, dan represif. Tidak mengherankan, ketika mekanisme pasar memberikan keleluasaan pilihan kultural baru yang serba cepat dan beragam, konstruksi budaya nasional akan mengalami kegagapan karena hanya menjadi slogan konservatif rezim yang, ironisnya, juga larut dalam kuasa neoliberalisme.
Budaya Nasional Di Masa Reformasi: Konstruksi dan Dekonstruksi
Gerakan Reformasi secara politik memang membawa perubahan ke arah kehidupan yang lebih transparan dan demokratis, tetapi secara ekonomi memasukkan Indonesia ke dalam jejaring neoliberalisme. Kebijakan neoliberal secara umum berbentuk (1) pengurangan campur-tangan negara dalam sektor ekonomi—termasuk swastanisasi BUMN— dan pengutamaan mekanisme pasar, (2) optimalisasi peran swasta, dan (3) deregulasi kebijakan sosial (Clarke, 2005: 50-51; Palley, 2005: 20-24; Harvey, 2007: 64-87; England & Ward, 2007: 12). Namun demikian, perubahanperubahan tersebut belum berpengaruh pada perubahan paradigma rezim negara terhadap budaya nasional. Mereka masih mengkonstruksi budaya nasional sebagai
nilai-nilai dan jati diri bangsa yang harus dijaga di tengah-tengah perubahan sosial, ekonomi, dan politik saat ini. Dalam pidato sambutannya pada Kongres Persatuan Artis Film Indonesia XIII, 18 Mei 2006, Presiden SBY menegaskan: Salah satu bagian dari kebudayaan…adalah film Indonesia. Film...dapat menjadi media untuk mempertinggi derajat dan martabat seni dan budaya bangsa kita. Film...dapat menjadi bagian dari pilar kebudayaan, menumbuhkan ruang dialog yang kreatif dan memelihara kemajemukan budaya bangsa. Film, jangan hanya dijadikan tontonan penghibur saja, tetapi jadikanlah sebagai karya cipta seni budaya yang dapat menampilkan…karakter budaya…Saya mengajak seluruh pecinta film nasional, mendorong setiap upaya produksi film yang dapat memperkuat nilai-nilai dan jati diri budaya bangsa kita... Saya mengajak para insan film untuk lebih banyak menampilkan karya-karya sinema yang mengangkat etika, harkat dan martabat serta budaya bangsa kita. Kurangilah pembuatan filmfilm yang menampilkan kekerasan, kriminalitas dan pornografi, apalagi film-film yang dapat merusak akhlak dan moral bangsa kita...Saya berharap, para sineas muda memiliki komitmen yang kuat untuk mengedepankan nilai-nilai budaya kita dalam karya-karyanya...Marilah kita jadikan film nasional sebagai media yang dapat menyampaikan pesan-pesan moral dan mempromosikan keanekaragaman serta kekayaan budaya yang kita miliki. (penekanan saya)
Pidato tersebut menunjukkan keberlanjutan paradigma esensialis dan retrospektif dalam memandang budaya nasional oleh rezim negara. Budaya nasional masih diposisikan sebagai konsepsi ideal—“nilai-nilai” dan “jati diri”—yang disejajarkan dengan karakter, harkat, etika, dan martabat bangsa serta perlu menjadi acuan kolektif bagi tingkah laku, pemikiran, dan eskpresi, termasuk produksi film. Ajakan Presiden SBY kepada artis film dan sineas (subjek) untuk memperkuat dan menyebarkan budaya bangsa melalui film (teknologi tanda populer) memang strategis. Bennet (2005: 83) dengan perspektif Foucauldian menjelaskan 61
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 58-72
budaya dalam perspektif kepemerintahan seharusnya disebarkan sebagai formasi diskursif melalui mobilisasi makna dan pengetahuan yang ditopang teknologi tanda, kesiapan teknik, dan ragam aparat. Namun, Presiden SBY dan juga aparat negara lainnya tidak memperjelas kontekstualisasi budaya bangsa dalam produksi film, sehingga ia menjadi konstruksi konservatif yang menghalangi kebebasan berekspresi dan, pada level tertentu, menghadirkan resistensi. Gerakan Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang menuntut reformasi aturan perfilman nasional, termasuk pembubaran Lembaga Sensor Film, karena dianggap memangkas kebebasan dan kreativitas para sineas dalam berkarya dengan argumen moralitas dan budaya bangsa merupakan contoh konkrit dari resistensi tersebut (Indarto, 2007a, 2007b; Arsuka, 2008; Wardhana, 2008). Dengan mengkonstruksi budaya nasional berbasis nilai-nilai restropektif, rezim negara berusaha mengarahkan masyarakat untuk tetap mengedepankan nilai dan praktik tradisional yang digeneralisasi masih hidup di tengah-tengah kehidupan transaksional mereka. Gotong-royong, misalnya, masih diposisikan sebagai nilai dan praktik ideal yang harus terus dipertahankan. Bahkan, pemerintah meneruskan program Gerakan Nasional Bulan Bhakti Gotong Royong yang pada tahun 2011 memasuki tahun ke-8 dan pencanangannya dilaksanakan di Pontianak, 31 Mei 2011. Presiden SBY dalam pidato sambutannya mengatakan: ...saya ingin menyampaikan pesan dan ajakan khusus...yang pertama adalah dalam era reformasi...era demokratisasi dan...era globalisasi apalagi kita kaitkan dengan hajat kita hari ini, dengan falsafah dan budaya gotong royong dan kebersamaan sosial... maka sekali lagi pesan dan ajakan saya jangan tinggalkan jati diri, nilai dan kepribadian bangsa. Jangan menjadi bangsa lain, kita tetap bangsa Indonesia, manusia Indonesia. Jangan dibuang dan dianggap tidak perlu tata karma, budi pekerti dan sikap saling hormat menghormati di antara warga bangsa 62
karena itulah jati diri bangsa Indonesia. Jangan diremehkan atas nama reformasi, demokratisasi dan globalisasi yang namanya paguyuban, kerukunan sosial dan kearifan lokal. (penekanan saya)
Manusia Indonesia dalam imajinasi rezim negara semestinya adalah individu yang terus mengutamakan tata krama, gotong royong, budi pekerti, kesetiakawanan sosial, kerukunan, kesopanan, dan kearifan lokal. Konsepsi-konsepsi tradisional tersebut memang bersifat strategis di tengah-tengah orientasi kesejahteraan berbasis ekonomi pasar yang mengedepankan kompetisi dan invidualisme. Saya melihat Presiden SBY berusaha mengkonstruksi subjektivitas antara di tengah-tengah keberantaraan dan kompleksitas kultural pada era Reformasi, demokratisasi, dan globalisasi. Artinya, rezim negara berusaha berpikir transformatif dan tidak selalu terjebak dalam paradigma biner yang dipenuhi ketegangan kultural ketika memposisikan “yang tradisional” dan “yang modern”; menjalankan sebagian kekuatan tradisional, sembari menikmati kemajuan Subjektivitas antara yang berasal dari penyikapan keberantaraan kultural itulah yang diasumsikan rezim negara bisa menjadi kunci kemajuan Indonesia. Dalam lanjutan pidatonya SBY mengatakan: Ingat Saudara-saudara, kebebasan tanpa batas, mendewakan kebebasan, menganggap kebebasan itu Tuhan, lantas membuang kearifan termasuk kearifan lokal, etika dan tata karma itu bukan jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia, bukan. Bangsa-bangsa lainpun yang menganut faham demokrasi yang liberal sekalipun mereka juga tetap ada etikanya, tata karma dan penghormatan terhadap kearifan lokal. Mari kita menjadi manusia Indonesia, masyarakat Indonesia, bangsa Indonesia meskipun kedepan menjadi bangsa yang maju dan modern...Kita jangan silau dengan reformasi, demokratisasi dan globalisasi lantas keluar dari jati diri, nilai kepribadian, perilaku dan etika kita sebagai bangsa. Sedangkan yang kedua...ajakan, harapan dan pesan saya adalah juga dalam era reformasi, demokratisasi
Ikwan Setiawan -- Budaya Nasional di Tengah Pasar: Konstruksi, Dekonstruksi, dan Rekonstruksi
dan globalisasi janganlah ditinggalkan, dihina dan diremehkan pentingnya kesetiakawanan sosial, kerukunan masyarakat dan budaya gotong royong. (penekanan saya)
Secara imperatif sekaligus persuasif, SBY memberikan wejangan (nasehat) bahwa masyarakat Indonesia seyogyanya tidak “mendewakan atau menuhankan kebebasan” dan “membuang kearifan lokal”. Kebebasan yang menjadi kunci utama modernitas (Venn, 2006: 55-57, 2000: 17-19; McGuigan, 1999: 40-41) dimaknai-ulang sebagai ‘kebebasan bersyarat’ yang harus tetap memasukkan kearifan lokal yang nota-bene tidak menerima kebebasan mutlak. Indonesia modern dalam idealitas rezim negara adalah Indonesia yang masih meyakini dan menjalankan kearifan lokal di tengah-tengah usaha menuju “negara dan bangsa maju”. Dalam pemikiran Bhabha & Comaroff (2002: 24) kondisi ideal itu disebut vernacular cosmopolitanism, di mana dengan prinsip hibriditas masyarakat pascakolonial mendekonstruksi aspek-aspek modernitas tanpa harus mengedepankan “kedaulatan dan kebebasan liberal” serta tetap memasukkan aspek-aspek tradisional— “yang lampau” dalam “yang kontemporer”, atau mengikuti pemikiran Canclini (1995), “memasuki modernitas untuk kemudian meninggalkannya” karena pilihan menjalani hibriditas kultural berarti tetap memasukkan sebagian “yang tradisional” ke dalam “yang modern”—menjadi tidak sepenuhnya modern, tidak sepenuhnya tradisional. Konstruksi budaya nasional dalam konteks pola pikir dan tindakan yang secara ajeg menegosiasikan kearifan lokal sembari mengartikulasikan modernitas, sebenarnya bisa menjadi kekuatan bangsa di tengahtengah globalisasi. Di akui atau tidak, globalisasi saat ini menjadi formasi dan praktik diskursif yang menghadirkan ragam nilai dan praktik kultural baru di ruang nasional/lokal (Banerjee, 2002: 519-520; Wise, 2008: 34-35). Menegosiasikan kekuatan kultural bangsa
secara esensial untuk menghadapi pengaruh globalisasi memang bisa menjadi pilihan strategis. Pilihan itulah yang oleh Spivak (dikutip dalam Morton, 2007: 126) disebut esensialisme strategis: Jika seseorang menimbang strategi, maka ia harus melihat di mana sebuah kelompok—orang, orangorang, ataupun gerakan—disituasikan ketika ia membuat klaim-klaim untuk atau melawan esensialisme. Sebuah strategi menyesuaikan dengan situasi; sebuah strategi bukanlah teori…. Kegunaan strategi esensi sebagai slogan atau kata-utama yang dimobilisasi seperti perempuan atau pekerja atau nama bangsa secara ideal menjadi kesadaran-diri bagi mereka yang dimobilisir.
Mobilisasi jati diri, karakter, maupun martabat bangsa secara strategis memang bisa digunakan untuk menghadapi pengaruh ragam budaya dan kuasa asing yang masuk melalui ekonomi pasar. Namun, “kesadarandiri” dari semua subjek, termasuk aparat rezim, dan warga negara sangat dibutuhkan agar esensialisme kultural tersebut bisa berhasil. Fase kesadaran-diri tersebut membutuhkan keliatan dan kecerdasan untuk menjadikan “yang esensial” sebagai formasi dan praktik diskursif yang mampu menggerakkan kinerja kepemerintahan dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain itu, kearifan lokal juga perlu terus dibacaulang agar bisa menemukan pemaknaanpemaknaan baru yang bersifat transformatif dan tidak sekedar menguntungkan para elit, baik di tingkat nasional maupun lokal. Nilai-nilai komunalisme, seperti gotong-royong, saling menghormati, tolongmenolong, maupun toleransi, yang selama ini dianggap sebagai kearifan lokal masyarakat Indonesia memang tampak sangat ideal untuk dijadikan orientasi kolektif di tengah-tengah berkembangnya individualisme. Namun, realitas perubahan makna dari kearifankearifan tersebut tentu perlu diperhatikan dan dikritisi. Dalam masyarakat desa,
63
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 58-72
misalnya, gotong-royong semakin jarang dilakukan. Kerja bersama dalam membangun rumah atau mengerjakan sawah yang dulu menjadi penanda kultural masyarakat desa, saat ini telah menjadi pekerjaan berupah. Kalaupun masih ada, gotong-royong hanya sebatas pada aktivitas publik, seperti bersihbersih saluran air dan menguburkan orang meninggal. Tragisnya, banyak korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan negara juga dilakukan secara gotong-royong— dalam artian melibatkan banyak pihak yang bekerjasama untuk mengambil kuntungan ekonomi dengan cara jahat. Demikian pula sikap saling menghormati dan toleransi yang saat ini harus dipertanyakan-kembali ketika kekerasan yang mengatasnamakan agama konstalasinya semakin meningkat. Sayangnya, dengan memobilisasi konsepsi kearifan lokal sebagai jati diri dan karakter budaya bangsa tanpa memberikan penjelasan diskursif, rezim negara sebenarnya mengedepankan esensialisme kultural secara mentah-mentah; tanpa melakukan kritik, pembacaan-ulang, dan rekonseptualisasi. Budaya bangsa, mengikuti pemikiran politik identitas, diposisikan sebagai identitas yang mengikat keseluruhan anggota masyarakat (Alcoff & Mohanty, 2006: 6) sekaligus sebagai kekuatan dan strategi subjektivitas untuk bisa bertahan di tengah-tengah perubahan kultural dan relasi-relasi kuasa di dalamnya (D’Cruz, 2008: 2; Sawyer, 2006: 75). Namun, konsepsi tersebut juga bertentangan dengan fakta transformasi dan perubahan kultural serta bisa dieksploitasi untuk kepentingan kelas atau elit tertentu guna melegitimasi otoritasnya atas nama budaya (Gimenez, 2006: 431-432). Mobilisasi kearifan lokal tanpa menimbang realitas perubahan dalam masyarakat hanya akan menghasilkan “eksploitasi penanda” yang tidak akan memunculkan kesadaran-diri dan subjektivitas antara yang kuat. Ketika masyarakat disibukkan oleh aktivitas produktif di tengah-tengah mekanisme ekonomi pasar saat ini, kekuatan64
kekuatan lokal yang masih dianggap ada itu semestinya direpresentasikan ke dalam wacana dan program yang mampu menjawab permasalahan yang dihadapi mereka. Pikiran dan tindakan yang lebih masuk akal adalah bersiasat secara liat, terus menegosiasikan gagasan-gagasan tentang kearifan lokal yang sudah dimaknai-ulang sembari mengartikulasikan aspek-aspek modernitas yang juga sudah ditransformasi. Maka, mengikuti pemikiran Hall (1990: 22325) tentang identitas kultural, budaya nasional harus dikonsepsikan sebagai proses yang terus menjadi —memposisikan subjektivitas antara dalam narasi ke-masa-lampau-an— tanpa melupakan fakta perubahan yang dibawa modernitas. Gotong royong, misalnya, bisa dikonsepsikan sebagai kekuatan lokal untuk mengurangi angka kemiskinan dengan menciptakan usaha-usaha produktif yang dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat dengan prinsip keterbukaan. Rezim tentu harus mendukung aktivitas yang demikian melalui dukungan-dukungan finansial dan pendampingan yang benarbenar diorientasikan bagi pemberdayaan masyarakat. Ketika kearifan lokal bisa disiasati, dimaknai-ulang, dan direproduksi secara ajeg melalui beragam wacana dan praktik modern, maka mereka akan menjadi kekuatan yang menuntun gerak bangsa ke depan. Tanpa siasat untuk menemukan aspek-aspek strategis dalam keberantaraan kultural yang berlangsung, konstruksi budaya nasional secara esensialis hanya akan terdekonstruksi oleh (1) saling-selip konsep dan pemaknaan yang ada di dalamnya; (2) kontradiksi-kontradiksi berlanjut dari praktik dan permasalahan sosial terkait kearifan lokal; dan, (3) kuatnya kuasa pasar.
Rekonstruksi Budaya Nasional Baru Berbasis Ekonomi Pasar
Ketika secara diskursif, rezim negara tidak mampu mengkonstruksi budaya nasional yang bersifat konseptual dan operasional dalam
Ikwan Setiawan -- Budaya Nasional di Tengah Pasar: Konstruksi, Dekonstruksi, dan Rekonstruksi
menyelenggakaran kerja-kerja kepemerintahan dan kehidupan sehari-hari warga negara, maka yang terjadi adalah kegagalan dalam membangun “konsensus nasional baru” untuk menghadapi dan menyiasati perubahan kultural sebagai akibat menguatnya neoliberalisme. Pengaruh diskursif makna-makna kultural terkait neoliberalisme semakin menyebar dikarenakan (a) kuatnya pemodal swasta dan kendornya kontrol negara dalam industri budaya dan (b) berkembang pesatnya media hiburan berbasis teknologi yang memperluas sirkuit pemuas hasrat sekaligus memobilisasi makna ideologis kapitalisme pasar (Hesmondhalgh, 2008: 101; Curran, 2002: 198-199; Hall, 2000; Kellner, 2003). Bagaimanapun juga, masyarakat—dari petani, buruh, pelajar/mahasiswa, akademisi, hingga para pekerja industri budaya— semakin terbiasa dengan ideologi pasar dan lalu-lintas budaya asing, meskipun mereka juga masih menjalankan sebagian nilai-nilai tradisional. Ketika mereka dihadapkan lagi pada konstruksi esensialis budaya nasional sebagaimana diyakini rezim-rezim sebelumnya, maka resistensi akan berkembang karena yang mereka butuhkan adalah sebuah konstruksi budaya nasional baru di tengahtengah pertumbuhan ekonomi pasar sebagai keberlanjutan proyek serupa di masa Orde Baru. Dalam kondisi tersebut, posisi diskursif nilai-nilai tradisional seperti gotong royong, kesetiakawanan, dan tata krama, memang tampak hanya menjadi pelengkap karena orientasi ekonomi pasar, kemajuan, dan kesejahteraan lebih menjanjikan bagi bangsa ini. Ternyata, rezim negara memang lebih cerdas untuk menjelaskan secara konseptual dan operasional pentingnya ekonomi pasar bagi kehidupan masyarakat. Presiden SBY dalam lanjutan pidatonya dalam Kongres PARFI XIII, rupa-rupanya sangat sadar “pentingnya pasar” dalam industri film sebagai bentuk ekspresi kultural yang masih diminta mengedepankan karakter dan jati diri bangsa:
Maka, terhadap pasar yang sudah ada, bagaimana film kita ini menjadi a must seen movie. Artinya, pasar itu senang, cocok, tertarik dengan film… yang kita sajikan…Bisa judulnya baik. Bisa juga skenarionya baik. Bisa juga kekuatan dari artis-artisnya, bisa juga dengan bahasanya yang pas dengan market itu...kalau film…cocok untuk pasar, tanpa meninggalkan idealisme, tanpa meninggalkan nilai dan moralitas, maka pasarnya ada, movie yang kita bikin dibeli oleh pasar itu. Mari ke depan ini, kita konsentrasi apa yang diinginkan pasar. Kita lakukan penelitian, di Indonesia, di Malaysia, di Brunei dan lainlain, model film seperti apa, movie seperti apa yang hampir pasti ditonton, bahkan ditonton dua kali, tiga kali, empat kali. Mari kita mengadakan penelitian pasar, dengan demikian tidak sia-sia kalau kita memproduksi film dengan investasi yang lumayan…tetapi hampir pasti laku di pasaran. (penekanan saya)
Titik tekan kepada “pentingnya pasar”— sampai-sampai harus melakukan riset pasar—bagi perkembangan film Indonesia menunjukkan proses dekonstruksi terhadap jati diri bangsa dalam ekspresi kultural. Mengikuti perspektif Derridean (Derrida, 1989, 1997; Norris, 2002; Zima, 2002; Miller, 2001; Fynsk, 2001), sebagai struktur/konstruksi teks, pada naskah pidato sebelumnya, Presiden SBY menegaskan pentingnya budaya bangsa, tetapi penegasan keutamaan pasar, dengan sendirinya, menghancurkan makna-makna ideal bangsa tersebut. Logika pasar tentu lebih mengedepankan prinsipprinsip nilai tukar sebuah produk di tangan konsumen, sehingga aturan-aturan ketat terkait jati diri bangsa hanya akan menganggu berlangsungnya hukum pasar. Kalaupun ada sineas yang berusaha ‘mematuhi’ anjuran kultural dan moral rezim, mereka tentu akan menyesuaikan dengan prinsip-prinsip pasar. Dengan demikian, pun bagi rezim negara, pasarlah yang menjadi pertimbangan utama dalam ekspresi kultural, bukan budaya nasional. Dalam hal produksi kultural, pemerintah memasukkan industri kreatif sebagai salah satu prioritas dalam Perpres No. 28 2008 65
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 58-72
tentang Kebijakan Industri Nasional. Industri kreatif merupakan “industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan kerja dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta industri tersebut”. Sebanyak 14 sub-sektor industri kreatif juga telah ditetapkan, yaitu industri periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fashion, video film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangan. Pilihan kebijakan industri kreatif tersebut mengikuti trend serupa di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan Australia. Salah satu aspek penting dari industri kreatif adalah menempatkan entitas produk kultural, baik tradisional maupun modern, ke dalam mekanisme industri yang melayani kepentingan pasar, baik nasional maupun internasional. Kebijakan industri kreatif, dalam konteks kultural, semakin melegalisasi praktik komodifikasi etnisitas yang masih berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal. Produk-produk kerajinan bernuansa etnis, barang antik, maupun seni pertunjukan tradisional dikemas-ulang sebagai barang dagangan, atau paket wisata yang bisa, mengikuti pemikiran Venn (2006: 143-144), “memuaskan hasrat partikular posmodern dari masyarakat negara maju” atau masyarakat kota-kota besar Indonesia yang di tengahtengah kesibukan kerja dan keseragaman citarasa modern mulai merindukan kembali nuansa tradisional dan eksotis. Keunikan etnik-etnik di wilayah pedalaman, ritual tradisi, maupun dongeng dan legenda dikomodifikasi dalam produk-produk media, seperti program-program dokumenter, film, dan parodi di televisi. Alih-alih sebagai negosiasi identitas kultural, komodifikasi dan representasi etnisitas dan eskotisme menjadi formula bisnis baru kapitalisme neoliberal 66
yang sangat cair (Comaroff & Comaroff, 2009). Pun ajaran dan praktik keagamaan yang diyakini memiliki makna-makna keillahian dinarasikan dan direpresentasikan dalam film maupun televisi yang sudah diramu-ulang dengan menggunakan rumusrumus komersil (Einstein, 2008). Dimasukkannya nilai dan praktik etnisitas di ruang lokal dalam kebijakan industri kreatif memunculkan “titik-titik singgung” dari hal-hal yang semula saling berlawanan. Huggan (2001: 28) menyebut kondisi tersebut sebagai eksotika poskolonial. Di satu sisi, rezim negara pascakolonial di masa Reformasi ingin mempertahankan budaya bangsa sebagai kekuatan untuk menghapus dan melawan efek-efek epistemologis kolonialisme—kuatnya hasrat terhadap keBarat-an. Di sisi lain, mereka terikat kepada pasar global dan kapitalisasi baik dalam bentuk persebaran ide-ide keliyanan kultural dan lalu-lintas perdagangan artifak dan barang yang secara kultural ‘terliyankan’. Formasi diskursif keliyanan—eksotisme, ke-primitif-an, dan tradisionalisme—ang pada masa lampau menjadi alat legitimasi praktik kolonialisme (Said, 1978, 1994; Célestin, 1996; Weaver-Hightower, 2007; Brantlinger, 2009; Pennycook, 1998; Gillen & Ghosh, 2007; Mignolo & Tlostanova, 2008) di tangan rezim negara dan pemodal industri budaya diramu-kembali sebagai barang dagangan. Mereka, dengan demikian, melakukan ‘percumbuan manis’ untuk menjalankan “proyek liyanisasi” demi kepentingan baru bernama pasar. Produkproduk kultural menjadi “sirkus penanda” yang memuaskan hasrat eksotis/posmodern sekaligus mendatangkan uang. Selain penekanan ekonomi pasar dalam konteks produksi kultural, rezim negara secara sadar mengutamakan pembangunan ekonomi sebagai orientasi berpikir dan bertindak secara nasional. Masih dalam pidatonya pada Gerakan Nasional Gotong Royong di Pontianak, Presiden SBY mengatakan:
Ikwan Setiawan -- Budaya Nasional di Tengah Pasar: Konstruksi, Dekonstruksi, dan Rekonstruksi
...pemerintah telah meluncurkan yang disebut masterplan atau rencana induk untuk mempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi Indonesia. Mengapa itu perlu kita lakukan, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi itu? Karena sesungguhnya kesejahteraan rakyat itu dapat ditingkatkan jika ekonomi nasional, ekonomi seluruh tanah air terus tumbuh dan berkembang, dengan catatan pertumbuhan ekonomi itu bukan hanya sekedar tumbuh tetapi pertumbuhan yang kuat...pertumbuhan yang berimbang, semuanya tumbuh, daerah-daerah tumbuh, pertanian, industri dan jasa tumbuh... kemudian adil, jangan sampai yang miskin tidak berubah kesejahteraannya dari masa ke masa. Kemudian yang keempat, pertumbuhan itu juga berjalan imbang, sustainable, tidak merusak lingkungan. Itulah pertumbuhan ekonomi yang ingin kita wujudkan. (penekanan saya)
Pe-nomor-satu-an “pembangunan dan pertumbuhan ekonomi” dengan asumsi bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat merupakan, dalam istilah Barthes (1983), eks-nominasi dari peradaban pasar yang direpresentasikan secara lembut mampu membuat rakyat “sejahtera”. Kebijakan masterplan pembangunan ekonomi menunjukkan betapa rezim negara dengan terang-benderang tengah mengarahkan “orientasi kultural secara nasional” dalam hukum ekonomi pasar. Dalam perspektif ekonomi-politik (Marx, 1991, 1992; Lebowitz, 2002; Wood, 2003), segala kebijakan dan tindakan ekonomi negara sebagai base-structure akan mempengaruhi keberadaan superstructure yang salah satunya adalah budaya. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan persoalan kultural juga diidealisasi mengikuti hukum ekonomi pasar karena bisa membawa kemajuan dan kesejahteraan. Maka dari itu, dengan melihat rezim negara saat ini tengah merekonstruksi budaya nasional baru berbasis ekonomi pasar —sebagai transformasi dari konstruksi serupa di zaman Orba— yang lebih mengadopsi prinsip-prinsip peradaban neoliberal. Budaya nasional baru berbasis ekonomi pasar, pada dasarnya, lebih mudah menjadi formasi diskursif karena sejak era Orba,
kemajuan ekonomi telah menyebar sebagai rezim kebenaran melalui bermacam program, aparat, maupun wacana, dari kota hingga pelosok dusun. Trilogi Pembangunan (Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pemerataan Hasil-hasil Pembangunan) sebagai jiwa dari semua kebijakan pembangunan semasa Orba sangat menekankan pentingnya kemajuan ekonomi yang diidealisasi akan menurunkan angka kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat (“Strategi Trilogi Pembangunan”, (diunduh dari http:// www.tokoh-indonesia.com/ensiklopedi/s/ soeharto/mti/24/depthnews_07.shtml, 29 September 2011). Bukan hanya aspek industri yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan ekonomi nasional, tetapi juga sektor pertanian dengan program intensifikasi dan massifikasi. Akibatnya, masyarakat mulai terbiasa dengan kerja-kerja berorientasi pasar dan uang. Sementara, industri budaya pop yang memberikan hiburan kepada massa dan berorientasi komersil berkembang pesat. Untuk mendukung target ekonomi tersebut dibutuhkan “stabilitas nasional” berupa ketertiban, keamanan, dan integrasi sosial. Wajar kalau pada masa Orde Baru budaya bangsa seperti tepo sliro, tenggang rasa, dan toleransi menjadi formasi utama yang diproduksi secara massif, dari buku pelajaran, ucapan para pejabat, hingga Penataran P-4. Dengan cara itu, rezim berusaha mengeliminir potensi kritik dan resistensi dari warga negara yang bisa mengganggu pembangunan. Hampir sama dengan rezim Orde Baru, budaya nasional secara esensialis memang tetap muncul dalam pernyatan rezim negara saat ini, tetapi fakta itu tidak untuk menunjukkan kejelian dalam membaca keberantaraan kultural. Kerangka esensialis terhadap budaya nasional, menurut saya, lebih sebagai pencitraan untuk menutupi ketidakberdayaan menghadapi kuasa ekonomi pasar, sekaligus sebagai penanda untuk memberi kesan positif bahwa mereka masih memperhatikan aspek budaya. 67
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 58-72
Realitasnya, mereka lebih mengutamakan budaya baru berbasis pasar. Rezim tetap memimpikan (memaksakan?) kuasa-berbasis kultural, tetapi sebenarnya mereka sendirilah yang mendekonstruksi kuasa tersebut dengan merekonstruksi budaya nasional baru menuju peradaban pasar. Maka dari itu, motto Hari Pendidikan Nasional 2011, “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”, mungkin selayaknya diganti dengan menghilangkan kata “Bangsa” dan menggantikannya dengan kata “Pasar”. Meskipun oleh banyak pengamat dan akademisi dikritik karena telah menerapkan neoliberalisme, Presiden SBY dalam “Presidential Lecture” pada Indonesia Young Leader Forum 2011, 9 Juni 2011 di Jakarta, menjawab kritik tersebut sebagai berikut: ...ekonomi jalan tengah. Ini my belief...Jalan tengah yang saya maksudkan adalah tentu kita tidak menganut kapitalisme yang fundamental, kita juga tidak menganut yang disebut neoliberalisme. Contohnya, pemerintah tetap berperan di sistem yang amat fundamentalis, peran pemerintah dibatasi, tidak boleh terlalu banyak regulasi, ada policy yang menganggu pasar, subsidi tidak dibenarkan, dibatasi sekecil mungkin. Kita tidak, rakyat kita masih memerlukan subsidi yang terarah, yang tepat sasaran, bukan yang tidak tepat sasaran. Kebijakan masih kita perlukan, pengaturan masih kita perlukan. It means bahwa peran pemerintah masih perlu. Tetapi tidak berarti kaidah-kaidah ekonomi pasar yang bikin efisiensinya, bikin efisiennya sebuah ekonomi tidak kita perlukan, tetap kita perlukan, agar efisien, agar kompetitif, agar kita juga bisa menang dalam persaingan global. (penekanan saya)
“Ekonomi jalan-tengah” atau “ekonomi jalanketiga”, pada dasarnya, tetap mengadopsi prinsip neoliberalisme dalam hal kebebasan pasar. Negara memang tidak melupakan “subsidi” dan regulasi untuk ‘membela’ rakyat, tetapi peran tersebut semakin kecil dari hari ke hari. Pasar-lah yang tetap menjadi panutan karena bisa membuat perekonomian berjalan “efisien”, “kompetitif”, dan “bersaing secara global”. 68
Pasar memang telah melahirkan apa yang disebut oleh Hardt dan Negri (dikutip Venn, 2006: 136) sebagai kekaisaran baru yang dalam formasi diskursifnya bersifat cair dengan ciri-ciri: (1) ketidakberadaan pusat kuasa dan tidak bergantung pada batasanbatasan yang tetap; (2) mendesentralisasi dan mendeteritorialisasi aparat kuasa yang secara progresif menginkorporasi dunia global dalam keterbukaan untuk memperluas garis batas; dan (3) mengelola identitas hibrid, hirarki yang fleksibel, dan pertukaran beragam melalui aturan berjejaring. Rezim negara saat ini ternyata lebih mengutamakan budaya nasional baru berbasis ekonomi pasar sebagai formasi dirkursif dalam praktik kepemerintahan, termasuk masyarakat, meskipun masih menjalankan sebagian kearifan lokal dan memang lebih menerima pasar sebagai rezim kebenaran. Maka dari itu, budaya bangsa tidak perlu lagi dipaksakan berbasis kearifan lokal secara esensialis dan retrospektif karena sebagian besar “yang lokal” pun —mengikuti “yang nasional”— telah bergeser dan berubah dengan mengikuti hukum transaksional pasar.
SIMPULAN
Dalam kondisi masyarakat yang semakin terpasarkan pada era globalisasi, Schuerkens (2003: 218) dengan perspektif sosiologis memunculkan konsep lokalisme baru, yaitu masyarakat sebenarnya mampu meng-apropriasi pengaruh budaya pasar dan globalisasi ke dalam pemikiran dan tindakan sembari terus menegosiasikan sebagian budaya lokal yang masih eksis untuk kepentingan pemberdayaan lokal. Pemikiran tersebut sejalan dengan konsep transformasi pascakolonial yang ditawarkan Aschroft maupun ambivalensi dan hibriditas kultural yang ditawarkan Bhabha. Namun, konsepkonsep tersebut perlu dibaca dan dimaknaiulang karena peradaban pasar saat ini memberikan kemungkinan dekonstruktif bagi “proyek politis” keberdayaan subjektivitas
Ikwan Setiawan -- Budaya Nasional di Tengah Pasar: Konstruksi, Dekonstruksi, dan Rekonstruksi
masyarakat pascakolonial. Para penggerak neoliberalisme dengan prinsip cairnya seolah-olah membiarkan rezim negara dan masyarakat terus memproduksi esensialisme kearifan lokal yang seolah-olah masih bisa menjadi kekuatan untuk menegaskan jati diri budaya bangsa dan meresistensi hegemoni oksidentalisme. Para penggerak neoliberalisme, sebenarnya, terus menataulang kekayaan budaya lokal sebagai “ritual dan mata rantai penanda” yang sekedar elok untuk ditonton dan dikonsumsi, bukan untuk dipahami dan diresapi. Boleh saja dipahami dan diresapi, tetapi dengan makna-makna baru yang sudah disesuaikan dengan ideologi pasar. Ketika wacana dan kebijakan ekonomi yang mendominasi formasi diskursif kepemerintahan, maka kekuatan kultural bangsa hanya akan menjadi “dongeng masa lampau” yang memang perlu didongengkan sekedar sebagai dongeng. Mobilisasi makna kekuatan kultural, dengan demikian, hanya akan menghasilkan “ketidakberdayaan negosiasi” ketika kebijakan ekonomi pasar lebih dominan dibandingkan kebijakan budaya. Dalam peradaban pasar, konstruksi budaya nasional memang selalu memunculkan dekonstruksi. Akhir dari ‘permainan’ ini adalah rekonstruksi budaya nasional berbasis ekonomi pasar. Sementara, kearifan lokal, meminjam analogi sepak bola, hanya akan menjadi supporter atau penggembira di pinggir lapangan yang sesekali bisa ‘bersorak’, ‘marah’, maupun ‘berdemo’, tetapi tetap tidak bisa menghentikan transaksitransaksi ekonomi yang akan terus berlanjut sebagai rezim kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Alcoff, Linda Martín, and Satya P. Mohanty, 2006, “Reconsidering Identity Politics: An Introduction” dalam Linda Martín Alcoff, Michael Hames-García, Satya P. Mohanty, & Paula M. L. Moya (eds), Identity Politics Reconsidered. New York: Palgrave Macmillan.
Aschroft, Bill, 2001, Post-colonial Future: Transformation of Postcolonial Culture, London: Continuum. Banerjee, Indrajit, 2002, “The Local Strikes Back?: Media Globalization and Localization in the New Asian Television Landscape”, Gazette: The International Journal for Communication Studies, Vol. 64, No. 6: 517-535. Bennet, Tony, 2005, Critical Trajectoris: Culture, Society, Intellectuals, Sydney: Blackwell Publishing. Bhabha, Hommi K, 1994, The Location of Culture, London: Routledge. Bhabha, Homi & John Comaroff, 2002, “Speaking of Postcoloniality, in the Continues Present: A Conversation” dalam David T. Goldberg & Ato Quayson (eds), Relocating Postcolonialism, Victoria: Blackwell Publishing. Bhartes, Roland, 1983, Mythologies, New York: Hill and Wang. Brantlinger, Patrick, 2009, Victorian Literature and Postcolonial Studies, Edinburgh: Edinburgh University Press. Canclini, Néstor Garcia, 1995, Hybrid Cultures: Strategies for Entering and Leaving Modernity (English trans. Christopher L. Chiappari & Silvia L. López), Minneapolis: University of Minnesota Press. Célestin, Roger, 1996, From Cannibals to Radicals: Figures and Limits of Exoticism, Minneapolis: University of Minnesota Press. Clarke, Simon, 2005, “The Neoliberal Theory of Society” dalam Alfredo Saad-Filho & Deborah Johnston (eds), Neoliberalism: Critical Reader, London: Pluto Press. Collier, Stephen J, 2009, “Topologies of Power: Foucault’s Analysis of Political Governement beyond Governmentality”, Theory, Society & Culture, Vol. 26, No. 6: 78-108. Comaroff, John L. & Jean Comaroff, 2006, Ethnicity Inc, Chicago: The University of Chicago Press. 69
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 58-72
Curran, James, 2002, Media and Power, London: Routledge. D’Cruz, Carolyn, 2008, Identity Politics in Deconstruction: Calculating with the Incalculable, Hampshire: Ashgate Publishing Limited. Derrida, Jacques, 1997, Of Grammatology Corrected Edition (English trans. Gayatri C. Spivak), Baltimore (USA): The John Hopkins University Press. _____________, 1989, “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Science” dalam Davis Robert Con & Ronald Schleifer, Contemporary Literary Criticism: Literary and Cultural Studies, New York: Longman. Edensor, Tim, 2002, National Identity, Popular Culture, and Everyday Life, Oxford: Berg. England, Kim & Kevin Ward (eds), 2007, “Introduction” dalam Neoliberalization: States, Networks and Peoples, Oxford: Blackwell Publishing. Einstein, Mara, 2008, Brands of Faith: Marketing religion in a commercial age, London: Routledge. Fanon, Frantz, 1963, The Wretched of the Earth (English trans. Constance Farrington), New York: Grove Press. Faruk, 2007, Belenggu Pascakolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fynsk, Christopher, 2001, “Derrida and philosophy: acts of engagement” dalam Tom Cohen (ed), Jacques Derrida and the Humanities: Critical Reader, Cambridge: Cambridge University Press. Foucault, Michel, 2008, The Birth of Biopolitics, (English trans. Graham Burchell), London: Palgrave Macmillan. ______________, 2002, Arkeologi Pengetahuan, (Terj. oleh H.M. Mochtar Zoerni), Yogyakarta: Qalam. Gandhi, Leela, 1998, Postcolonial Theory: A Critical Introduction, New South Wales: Allen & Unwin Publishing.
70
Gillen, Paul & Devleena Ghosh, 2007, Colonialism and Modernity. Sydney: UNSW Press. Gimenez, Martha E, 2006, “With a little class: A critique of identity politics”, Ethnicities, Vol. 6, No. 3, hlm. 423-439. Hall, Stuart, 2000, “The Local and the Global: Globalization and Ethnicity” dalam Anthony D. King (et.al), Culture, Globalization, and the WorldSystem: Contemporary Condition for the Representation of Identity, Minneapolis: University of Minnesota Press. _________, 1997, “The Work of Representation” dalam Stuart Hall (ed), Representation, Cultural Representation and Signifying Practices, London: Sage Publication in association with The Open University. _________, 1990, “Cultural Identity and Diaspora” dalam Jonathan Rutherford (ed), Identity: Community, Culture, Difference, London: Lawrence & Wishart. Harvey, David, 2007, A Brief History of Neoliberalism, New York: Oxford University Press. Hesmondhalgh, David, 2008, “Neoliberalism, imperialism, and the media” dalam David Hesmondhalgh & Jason Toynbee (eds), The Media and Social Theory, London: Routledge. Huggan, Graham, 2001, The Postcolonial Exotic: Marketing the Margins, London: Routledge. Kellner, Douglas, 2003, Media Spectacle, London: Routledge. Krishnaswawy, Revathi, 2008, “Postcolonial and Globalization: Connections, Conflicts, and Complicities” dalam Revathi Krishnaswawy & John C. Hawley, The Postcolonial and the Global, Minneapolis: University of Minnesota Press. Lebowitz, Michael, 2002, “Karl Marx: The Needs of Capital vs. The Needs of Human Beings” dalam Douglas Dowd
Ikwan Setiawan -- Budaya Nasional di Tengah Pasar: Konstruksi, Dekonstruksi, dan Rekonstruksi
(ed), Understanding Capitalism: from Karl Marx to Amartya Sen, London: Pluto Press. Marx, Karl, 1992, The Capital: A Critique of Political Econnomy Volume 2 (English trans, David Fernbach), London: Penguin Books in association with New Left Review. ________, 1991, The Capital: A Critique of Political Econnomy Volume 3 (English trans. David Fernbach), London: Penguin Books in association with New Left Review. Mbembe, Achille, 2001, On Postcolony, Berkeley: University of California Press. McGuigan, Jim, 1996, Culture and Public Sphere, London: Routledge. ____________, 1999, Modernity and Postmodern Culture, London: Sage Publications. McNay, Lois, 2009, “Self as Enterprise: Dilemmas of Control and Resistence in Foucault’s The Birth of Biopolitics”, Theory, Society & Culture, Vol. 26, No. 6, hlm. 55-77. Mignolo, Walter D. & Madina Tlostanova, 2008, “The Logic of Coloniality and the Limits of Posctoloniality” dalam Revathi Krishnaswamy & John C. Hawley (eds), The Postcolonial and The Global, Minneapolis: University of Minnesota Press. Miller, J. Hillis, 2001, “Derrida and literature” dalam Tom Cohen (ed), Jacques Derrida and the Humanities: Critical Reader, Cambridge: Cambridge University Press. Morton, Stephen, 2007, Gayatri Spivak, London: Routledge. Norris, Christopher, 2002, Deconstruction: Theory and Practice 3rd Edition, London: Routledge. Palley, Thomas I, 2005, “From Keynesianism to Neoliberalism: Shifting Paradigms in Economics” dalam Alfredo Saad-Filho & Deborah Johnston (eds), Neoliberalism: Critical Reader, London: Pluto Press.
Pennycook, Alastair, 1998, English and The Discourses of Colonialism, London: Routledge. Quayson, Ato, 2000, Postcolonialism: Theory, Practice or Process? London: Polity Press. Radhakrishnan, R, 2003, Theory in an Uneven World, Sydney: Blackwell Publishing. Said, Edward W, 1978/2003, Orientalism: Western Conceptions of the Orient, London: Penguin Books. _____________, 1994, Culture and Imperialism, New York: Vintage Books. Sawyer, Paul, 2006, ”Identity as Calling: Martin Luther King on War” dalam Linda Martín Alcoff, Michael HamesGarcía, Satya P. Mohanty, & Paula M. L. Moya (eds), Identity Politics Reconsidered, New York: Palgrave Macmillan. Schuerkens, Ulrike, 2003, “The Sociological and Anthropological Study of Globalization and Localization”, Current Sociology, Vol. 5, No. ¾, hlm. 209-222. Spencer, Phillip & Howard Wollman, 2002, Nationalism: A Critical Introduction, London: Sage Publications. Venn, Couze, 2006, The Postcolonial Challenge: Toward Alternatif Worlds, London: Sage Publications. ___________, 2000, Occidentalism: Modernity and Subjectivity, London: Sage Publications. Weaver-Hightower, Rebecca, 2007, Empire Islands: Castaways, Cannibals, and Fantasies of Conquest, Minneapolis: University of Minnesota Press. Wise, J. Macgregor, 2008, Cultural Globalization: A User’s Guide, Victoria: Blackwell Publishing. Wood, Ellen Meiksins, 2002, The Origin of Capitalism: A Longer View, London: Verso. Zima, Peter V, 2002, Deconstruction and Critical Theory (English trans. Rainer Emig), London: Continuum.
71
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 58-72
Sumber surat kabar dan internet Arsuka, Nirwan Ahmad, 2008, “Sensor dan Kebebasan”, Kompas, 27 Januari. Indarto, Totot, 2007a, “Gonjang-ganjing Perfilman Indonesia”, Kompas, 14 Januari. ___________, 2007 b,“Mau Berubah ke Mana Film Kita?”, Kompas, 11 Pebruari. “Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional”, diunduh dari: http:// www.scribd.com/doc/23978616/PerpresNo-28, diunduh 29 September 2011. Soesilo, Bambang Yudhoyono, “Presiden Lecture dengan Tema SBY on Leadership”, pada acara Indonesia Young Leaders Forum, Jakarta, 9 Juni 2011, Diunduh dari: http://www.presidensby.info/ index.php/pidato/2011/06/09/1646. html, 11 Juni 2011. ____________, “Sambutan Presiden Republik Indonesia”, pada Acara Gerakan Nasional Bulan Bhakti Gotong Royong ke-8”, Pontianak, 31 Mei 2011, Diunduh dari:
72
http://www.presidensby.info/index. php/pidato/2011/05/31/1650.html, 11 Juni 2011. ____________, “Orasi Kebudayaan Nasional Presiden RI” dalam rangka Dies Natalis ke-51 Universitas Diponegoro Semarang, 30 Oktober 2008. Diunduh dari:http://www.presidensby.info/ index.php/pidato/2008/10/30/1029. htm, 11 Juni 2011. ______________, “Sambutan Presiden Republik Indonesia”, pada Pembukaan Kongres PARFI XIII, Jakarta, 18 Mei 2006. Diunduh: http://www.presidenri.go.id/index. php/pidato/2006/05/18/255.html, 20 Maret 2010. “Strategi Trilogi Pembangunan”, diunduh dari http://www.tokoh-indonesia. com/ensiklopedi/s/soeharto/mti/24/ depthnews_07.shtml, 29 September 2011. Wardhana, Veven SP, “Sensor Film dan Moral Right”, Kompas, 10 Pebruari 2008.
Eko Sriyanto -- Lanjut Usia: Antara Tuntutan Jaminan Sosial dan Pengembangan Pemberdayaan
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 73-86
LANJUT USIA: ANTARA TUNTUTAN JAMINAN SOSIAL DAN PENGEMBANGAN PEMBERDAYAAN Eko Sriyanto
Peneliti dan Fasilitator Waterplant NGO Yogyakarta Email:
[email protected]
ABSTRACT
Social service and social security for elderly in 2010 only covered 143.131 person (Direktorat PSLU, 2010) from expectation to serve 2,4 million elderly, whether it is poor and neglected elderly (BPS, 2010). Government capacity to serve social service and social security is limited, so it needs a new strategy to keep the sustainability of elderly’s life. We must have alternative way to assist them to solve their psychosocial and physical vulnerability through empowerment scheme. The psychosocial vulnerability of elderly is vulnerability that comprise from economic, social and psychological aspects so that it needs comprehensive understanding to make a program for them. Empowering the elderly will create activity that will be advantageous for them to use the leisure, create social relationship, decrease felt of loneliness, keep reciprocity relationship with their social environment, increase income, keep self existence and build the elderly capacity. Developing empowerment has to consider some aspects such as environment characteristic, social-demographic structure and multi generation. Alternative for empowerment program to through productive activity (care housing and non-care housing) and social activity (volunteer). Keyword: elderly, social security, empowerment, psychosocial vulnerability
ABSTRAK
Pelayanan sosial dan jaminan sosial bagi lansia (PSJSLU) hingga tahun 2010 hanya mampu menjangkau 143.131 lansia (Direktorat PSLU,2010) dari ekspektasi melayani 2,4 juta jiwa lansia miskin dan terlantar (BPS, 2010). Keterbatasan kemampuan pemerintah dalam menyediakan PSJSLU bagi seluruh lansia, maka diperlukan terobosan baru untuk menjaga keberlanjutan kehidupan lansia. Salah satu alternatif untuk membantu lansia mengatasi kerentanan psikososial dan fisiknya melalui skema pemberdayaan. Kerentanan psikososial lansia meliputi aspek ekonomi, sosial dan psikologis sehingga perlu pemahaman komprehensif dalam merencanakan skema program bagi lansia. Pemberdayaan lansia membentuk pola aktivitas lansia yang bermanfaat mengisi waktu luang, menciptakan hubungan sosial, mengurangi perasaan kesendirian, menjaga hubungan timbal-balik antara lansia dengan lingkungannya, menambah pendapatan, menjaga eksistensi diri dan meningkatkan kapasitas terkait kesehatan maupun ketrampilan lansia. Pola pemberdayaan yang dikembangkan harus mempertimbangkan beberapa aspek, seperti potensi karakter wilayah, struktur sosial demografi dan pelaku lintas generasi. Alternatif program pemberdayaan lansia melalui usaha produktif (panti dan non-panti) dan aktivitas sosial (sukarelawan). Kata kunci: lansia, jaminan sosial, pemberdayaan, kerentanan psikososial
PENGANTAR
Kesejahteraan selalu menjadi kajian penting dalam kehidupan berkebangsaan. Pencapaian atas kesejahteraan masyarakat
suatu negara adalah tujuan utama sebuah pemerintahan. Negara kesejahteraan merupakan sebuah ideologi kenegaraan untuk menunjukkan arah pencapaian negara
73
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 73-86
yang berorientasi pada upaya pencapaian kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu bentuk perwujudan kebijakan negara kesejahteraan adalah adanya skema perlindungan sosial yang diimplementasikan melalui jaminan sosial. Penyusunan skema jaminan sosial memang bukan sesuatu yang sederhana karena harus memperhatikan kompleksitas aspek. Jaminan sosial tidak hanya penting pada aspek kebudayan, sosial, ekonomi, isu politik, dan hukum, tetapi jaminan sosial adalah aspek yang integral dari kehidupan sosial dan ekonomi serta inti dalam memahami organisasi dan perubahan sosial (Benda-Beckman, 2000:8). Terdapat beberapa komponen yang harus menjadi pertimbangan, seperti kelompok sasaran, jenis kerentanan yang mungkin dialami, prinsip, azas, dan stakeholder yang terlibat dalam penyediaan jaminan sosial tersebut. Perubahan aspek demografis menjadi salah satu penyebab kerentanan yang mewajibkan negara memiliki pola penanganan persoalan kerentanan tersebut. Salah satu fenomena aktual di Indonesia adalah tingginya laju jumlah usia lanjut. Konsekuensi logis bahwa ledakan penduduk usia lanjut akan menjadi permasalahan pada negara yang tidak memiliki perencanaan menghadapi keadaan tersebut. Aspek demografi merupakan poin penting dalam menyusun sebuah perencanaan pembangunan yang akan menjadi kebijakan sebuah negara. Jumlah penduduk usia lanjut tahun 2010 mencapai 18,96 juta orang atau 8,42% dari jumlah penduduk Indonesia (Deputi Urusan Perempuan, Lansia dan Penyandang Cacat Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010, dalam KR, 2010). Persoalan populasi lansia meliputi berbagai aspek, menurut Bryan S. Turner, yaitu: “Ageing and age groups are demarcated not only by economic and political practices, but also by specific life-styles, a cultural habitus and dispositions which differentiate them from other, competing social group” (Turner, 1989:540)
74
Perkembangan jumlah lansia ini akan mempengaruhi pola pelayanan sosial maupun pelayanan publik yang harus disediakan negara dalam menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakatnya, terutama lansia. Keadaan tersebut telah digambarkan oleh banyak penulis, dimana telah menganalisis populasi lansia akan berdampak pada ukuran sistem jaminan sosial dalam pengaturan antar generasi (Casamatta, 2000; Tabellini, 2000; Breyer and Stolte, 2001; Wigger, 2001, dalam Hirazawa, Kitaura, Yakita. 2007: 560). Suatu hal ironis ketika salah satu indikator keberhasilan pembangunan sebuah negara yaitu meningkatnya angka harapan hidup (life expectancy) harus menjadi bumerang bagi negara itu sendiri. Sisi positif dan negatif dari fenomena perkembangan jumlah lansia ini bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Penurunan kondisi fisik dan psikososial lansia menyebabkan lansia mengalami penurunan beraktivitas, sehingga lansia dianggap tidak lagi mampu produktif dan menjadi beban negara. Anggapan umum ini tidak sepenuhnya benar karena masih banyak lansia yang aktif bekerja. Walaupun demikian, jumlah lansia terlantar masih cukup tinggi dan banyak lansia miskin yang hidup dalam kekurangan. Lansia yang masih aktif bekerja pun biasanya mereka bekerja di sektor informal dan berpendapatan rendah, sehingga mereka sangat rentan dengan keadaan insecurity. Skema jaminan sosial bagi lansia di Indonesia belum mencakup seluruh lansia yang berpotensi mengalami kerentanan (lansia miskin dan terlantar). Program jaminan sosial bagi lansia dari Departemen Sosial yang disebut Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) dengan memberikan santunan sebesar Rp300.000,00 setiap bulan kepada lansia terlantar dan miskin ini masih sangat terbatas. Jangkauan jaminan sosial pada tahun 2010 hanya 10.000 lansia, padahal jumlah lansia miskin dan terlantar mencapai 2,4 juta jiwa (BPS, 2010, dalam Sitepu, 2010),
Eko Sriyanto -- Lanjut Usia: Antara Tuntutan Jaminan Sosial dan Pengembangan Pemberdayaan
dengan kata lain jangkauannya kurang dari 1 persen lansia terlantar. Program JSLU berbeda dengan BLT (Bantuan Langsung Tunai) karena berlaku hingga lansia ini tutup usia. Selain dari sisi waktu pemberian bantuannya, penerima JSLU tidak harus mengambil di kantor pos tetapi ada petugas yang mengantarkan bantuan langsung ke rumah sasaran. Program ini telah berjalan 5 tahun dan sebagai proyek percontohan di 28 propinsi. Syarat lansia yang akan memperoleh JSLU antara lain mereka yang hidup sangat bergantung pada bantuan orang lain atau hanya bisa berbaring di tempat tidur (badridden), diutamakan yang berusia 70 tahun ke atas, sakit-sakitan dan tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Penyaluran bantuan menjadi kendala utama, khususnya di daerah terpencil atau terpelosok, seperti terjadi di Bandung dan beberapa wilayah Jawa Barat (Societa, 2011:11-15) Program lain untuk menjaga kualitas hidup lansia yaitu melalui Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW), Dekon, Pusaka dan organisasi sosial. Pelayanan kesejahteraan bagi lanjut usia sejak tahun 2010 telah mengalami peningkatan, sebanyak 56.041 lanjut usia terlayani, dan 2.746 lembaga/instansi telah melayani lansia (Dir. Pelayanan Sosial Lanjut Usia, 2010, dalam Yanrehsos, 2010). Keseluruhan lansia yang telah mendapat pelayanan sosial dari berbagai program, baik melalui PSTW, luar panti, dekonsentrasi dan uji coba PLJSU sebanyak 143.131 jiwa (Dir. Pelayanan Sosial Lanjut Usia, 2010; dalam Yanrehsos, 2010). Pada saat dikomparasikan dengan jumlah lansia terlantar, jumlah lansia penerima pelayanan sosial masih sangat kecil. Kajian tentang lansia telah banyak dilakukan sebelumnya. Riset aksi PHK-A3 Jurusan Ilmu Sosiatri (2008) melakukan penelitian mengenai pemberdayaan lansia melalui pengembangan usaha tenun. Lansia bersama dengan kelompok usia produktif membentuk sebuah kelompok tenun dan
mencoba mengembangkan jenis produksi (Tim Peneliti Jurusan Ilmu Sosiatri, 2008). Penelitian mengenai lansia pernah dilakukan penulis (Sriyanto, 2009) dengan fokus pengembangan jaminan sosial informal, dimana penelitian ini menunjukkan bahwa lansia perdesaan memiliki pola jaminan sosial informal yang berbasis masyarakat, lembaga sosial lokal dan aktivitas budaya. Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2011) telah berusaha mengkaji sebuah perencanaan komunitas yang bersahabat bagi lansia. Kajian ini didasari oleh masih kurangnya kesadaran pemerintah, masyarakat sipil dan LSM terhadap ekspektasi persoalan mengenai populasi lansia. Kajian ini mendiskusikan isu dan pelayanan utama yang dapat menjamin keberlanjutan kehidupan lansia dalam mencapai kesejahteraan melalui pengembangan komunitas lansia. Tahun 2006, Alex Arifianto meninjau kebijakan perlindungan sosial bagi lansia pada masa lalu dan sekarang serta kajian tentang dampak penyediaan jaminan sosial yang pantas bagi lansia dalam konteks Indonesia. Kesimpulan makalah ini adalah rekomendasi kebijakan yang komprehensif guna melindungi lansia di masa yang akan datang (Arifianto, 2006). Tulisan ini berbeda dengan beberapa kajian yang telah dilakukan di atas. Kajian jaminan sosial dan pemberdayaan merupakan dua sisi yang berbeda, dimana landasan pijakan berawal dari paham yang berseberangan. Walaupun demikian, dalam konteks peningkatan kualitas hidup lansia, keduanya memiliki tujuan yang dapat dipertemukan. Jaminan sosial cenderung melibatkan pemerintah sebagai pemberi bantuan, sedangkan sektor informal dan masyarakat merupakan pihak yang memberi kesempatan lansia untuk masih beraktivitas. Peran dominan yang ditunjukkan oleh sektor informal melalui aktivitas sosial dan budaya merupakan masukan penting untuk memahami mekanisme jaminan sosial yang selama ini sering diperoleh lansia. Aktivitas sosial dan budaya masyarakat secara langsung
75
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 73-86
maupun tidak langsung diartikan sebagai pranata sosial yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan lansia karena mengandung sistem nilai, norma, prosedur umum dan sistem hubungan (Horton dan Hunt, 1987 dalam Narwoko dan Suyanto, 2007: 217). Nilai-nilai keterlibatan lansia dalam aktivitas tersebut memberikan kesempatan lansia untuk menjaga eksistensi mereka. Menjaga lansia tetap beraktivitas adalah komponen utama yang harus diperhatikan dalam menyusun perencanaan jaminan sosial bagi lansia. Dengan demikian, guna menjaga aktivitas lansia maka diperlukan jaminan sosial alternatif. Skema pemberdayaan diharapkan memiliki nilai jaminan sosial bagi lansia. Hubungan upaya pemberdayaan lansia dan jaminan sosial ini dapat digambarkan dalam beberapa bentuk. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana skema pemberdayaan memiliki nilai jaminan sosial bagi lansia. Dengan demikian, tulisan ini memberi gambaran skema jaminan sosial dari proses pemberdayaan, sehingga mampu menjadi masukan pada berbagai stakeholder dalam memahami keadaan lansia. Selain itu, diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap perspektif pemberdayaan dari dari sudut pandang penciptaan jaminan sosial.
PEMBAHASAN Sejenak Memahami Lansia
Aspek demografi memiliki beberapa komponen kategori kependudukan yang diklasifikasikan berdasar usia. Salah satu klasifikasi penduduk adalah penduduk usia anak atau belum produktif, usia produktif dan usia tidak produktif. Lansia digolongkan dalam penduduk usia tidak produktif dengan definisi umum di Indonesia adalah mereka yang berusia lebih dari 60 tahun (Prayitno, 1982:49). Pada dasarnya definisi mengenai lansia cukup variatif, sehingga belum ada definisi yang mampu menggambarkan pengertian lansia secara sempurna.
76
In Psychosocial perspective, aging is defined here as the transformation of the human organism after the age of physical maturity so that the probability of survival decreases & it is accompanied by regular transformations in appearance, behavior, experience & social roles (Anonim, dalam Theories of Aging, 2010).
Perspektif psikososial menggambarkan adanya pengaruh dengan fungsi ketahanan (Cohen & Willis, 1985), meliputi cara seseorang dengan dukungan sosial, model penyelesaian kesulitan yang berhasil dan tingginya keadaan psikososial berfungsi mengurangi dampak pada penyakit (Yang & Glaser, 2000, dalam Anstey, Luszcz dan Andrews, 2002:74). Dengan demikian keadaan psikososial lansia ini akan berpengaruh dengan keadaan fisik, baik kemampuan maupu status kesehatan lansia. Perubahan yang dialami lansia baik secara fisik, psikologis, dan sosial adalah karakter pembeda utama dengan usia produktif. Penurunan kemampuan mereka seharusnya tidak menjadi justifikasi bahwa lansia tidak lagi produktif. Jumlah lansia yang bekerja masih cukup tinggi, biasanya di sektor informal, hal ini menunjukkan lansia masih memiliki potensi untuk produktif sesuai dengan kemampuannya. Lansia harus didorong untuk menjadi lansia yang aktif (active ageing), yaitu memelihara keberlanjutan secara fisik, psikologis, kesehatan sosial, partisipasi, kebebasan, kemandirian, dan pengaturan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka (Bowling, 2005:230). Reduksi kemampuan finansial dan sosial sangat berpengaruh pada keadaan fisik dan psikologis lansia, sehingga untuk menjaga kualitas hidup lansia maka mereka harus tetap berada dalam aktivitas sosialnya. Partisipasi lansia merupakan kunci utama untuk menjaga peran mereka dalam kehidupan sosial. Aktivitas ini akan berimplikasi pada keberlanjutan pemenuhan kebutuhan mereka, termasuk proses skema penyediaan jaminan sosial atas karakter kebutuhannya. Dalam teori aktivitas
Eko Sriyanto -- Lanjut Usia: Antara Tuntutan Jaminan Sosial dan Pengembangan Pemberdayaan
Tabel 1 Kerentanan Lansia dari Beberapa Aspek (Perspektif Psikososial) No. Aspek Karakter 1 Ekonomi (Economic Aspect) 2
Fisik (Physical Aspect)
3
Psikologis (Psychology Aspect)
4
Hubungan sosial (Social Relationship Aspect)
Konteks Kerentanan Kehilangan pekerjaan/jabatan (economic deprivation) Kehilangan pendapatan (income berkurang) Reduksi fisik-kesehatan, penyakit kronis dan ketidakmampuan Meningkatnya biaya hidup, (untuk) bertambahnya biaya pengobatan Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian Gangguan gizi akibat perubahan pola aktivitas Perasaan dekat dengan kematian (sense of awareness of mortality) perubahan terhadap gambaran diri, perubahan konsep diri, biasanya merasa tidak berguna. kehilangan status (dulu jabatan cukup tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya) kehilangan kegiatan kehilangan teman, kenalan atau relasi (dikarenakan pensiun atau teman sebaya telah meninggal) kehilangan hubungan dengan teman-teman dan family (ditinggal keluarga -anak- karena telah hidup mandiri)
Sumber: Disarikan dari perubahan sosial usia lanjut (Prayitno, 1982: 49-52)
disebutkan bahwa terdapat hubungan kuat antara partisipasi dan tingkat kepuasan. Teori aktivitas dimaknai sebagai pengaturan atau pengelolaan peran dan aktivitas sosial yang sangat bermakna bagi seseorang meningkatkan perasaan kesejahteraan pada usia lanjut (Havighurst and Albrecht 1953; Lemon, dkk., 1972, dalam Bowling, 2005:3). Dengan demikian, skema pemberdayaan yang berbasis karakter lansia dapat menjadi alternatif guna menjaga keberlanjutan kehidupan lansia di saat jangkauan jaminan sosial formal belum mereka terima. Karakter lansia memang c u k u p bervariasi yaitu lansia yang tinggal di wilayah perdesaan dan perkotaan memilliki pola hidup yang berlainan. Akan tetapi, proses pemberdayaan yang digunakan sebagai bagian dari upaya menjalankan skema jaminan sosial ini akan tetap mampu merepresentasikan karakter lansia di kedua wilayah tersebut. Diskursus yang harus diperhatikan adalah memahami lansia di Indonesia dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu perspektif jaminan sosial dan pemberdayaan. Pemahaman inilah yang menjadi basis teoretis dalam menggambarkan
komprehensivitas skema jaminan sosial melalui aktivitas pemberdayaan.
Jaminan Sosial dan Pemberdayaan: Antara Charity dan Participatory
Definisi umum jaminan sosial dan pemberdayaan memang berbeda, serta memiliki konteks yang berbeda pula. Menurut Midgley (2000:220), definisi jaminan sosial dapat diacu dari beberapa jenis program jaminan sosial yang berbeda, yaitu dikategorikan ke dalam skema asuransi sosial, bantuan sosial, hutang atau beban pekerja, dan tunjangan sosial. Menurut ILO (1984; dalam von Benda-Beckman, 2000:12) membatasi definisi jaminan sosial sebagai perlindungan yang disediakan masyarakat atau organisasi kepada anggotanya, yaitu rangkaian pengukuran umum menghadapi gangguan ekonomi dan sosial yang disebabkan oleh terhenti atau menurunnya pendapatan serta keadaan tersebut dapat dikarenakan sakit, persalinan, kecelakaan kerja, pengangguran, pemecatan, hari tua, kematian, persediaan perhatian medis, dan penyediaan tunjangan untuk keluarga bersama anaknya. Sasaran penerima jaminan
77
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 73-86
sosial ini adalah pihak-pihak yang mengalami gangguan dalam pemenuhan kebutuhannya. Sifat perlindungan yang diberikan oleh negara bersifat pemberian atau charity, hanya bertujuan untuk menjaga keberlangsungan hidup warga negaranya. Jaminan sosial yang bersifat charity cenderung tidak memberikan proses pembelajaran bagi masyarakat untuk mampu lepas dari kerentanan yang mereka hadapi dan besar kemungkinan bahwa akan menumbuhkan sikap ketergantungan pada negara, tetapi skema jaminan sosial ini memang diperlukan oleh masyarakat miskin. Lansia memiliki karakter kerentanan unik dan memerlukan skema jaminan sosial yang harus disesuaikan dengan kebutuhannya. Lansia diharapkan tetap berada dalam lingkungan sosialnya untuk menjaga kepastian pemenuhan kebutuhan. Keadaan tersebut seperti berikut di bawah ini. “if many of the processes and problems of ageing are to be understood, old people must be studied as members of families (which usually means extended families of three generations); and if this is true, those concerned with health and social administration must, at every stage, treat old people as an inseparable part of a family group, which is more than just a residential unit. They are not simply individuals, let alone ‘cases’ occupying beds or chairs. They are members of families and whether or not they are treated as such largely determines their security, their health, and their happiness” (Peter Townsend dalam Phillipson, dkk., 2001:20-21).
Salah satu upaya yang memberikan kesempatan kepada lansia untuk tetap beraktivitas adalah melalui proses pemberdayaan. Pemberdayaan lansia berperan menjaga kontribusi lansia dan proses ini bersifat partisipatif. Pemberdayaan adalah konsekuensi partisipasi dalam kegiatan kolektif dan pencapaian pengelolaan yang lebih luas atas sumber daya untuk penghidupan manusia Dalam hal ini, hubungan sosial dan kelembagaan merupakan hal penting
78
karena mereka dapat berkontribusi kepada individu atau rumah tangga. Pemberdayaan mengacu pada “organisasi masyarakat miskin-sendiri (mandiri)” sebagai upaya bertahan, menyediakan kebebasan, dan mendapatkan wewenang dalam mengelola sumber untuk penghidupan (Friedman, 1996 dalam Lyons, 2001: 1234--1235). Pemberdayaan lansia merupakan salah satu upaya untuk menciptakan skema perlindungan sosial supaya mampu menjaga keberlangsungan mereka dalam pemenuhan kebutuhan. Tujuan utama skema pemberdayaan adalah menjaga bagaimana lansia mampu tetap beraktivitas, walaupun produktivitas lansia tidaklah setinggi pada usia muda (produktif). Interaksi yang terjadi pada aktivitas pemberdayaan akan memberikan peluang bagi lansia untuk membentuk hubungan dan peran sosial yang baru, sehingga pola hubungan ini akan membantu lansia pada aspek psikologis (perasaan tidak berguna dan perasaan kesendirian). Pencapaian lain diharapkan dapat memberikan manfaat secara ekonomi, setidaknya berfungsi untuk membantu dalam pemenuhan kebutuhan dan tabungan ketika mereka berada pada keadaan mendesak (insecurity saving). Partisipasi lansia pada proses pemberdayaan memiliki makna universal dalam menciptakan skema jaminan sosial bagi diri mereka sendiri, yaitu yang distimulasi dari aktivitas lansia. Keterbatasan jangkauan pemerintah dalam menciptakan jaminan sosial merupakan pijakan untuk membangun sebuah skema pemberdayaan yang sekaligus mampu menciptakan jaminan sosial. Pembelajaran melalui pemberdayaan lansia ini dapat menjaga eksistensi lansia untuk tetap berkreasi. Proses pemberdayaan membutuhkan beberapa pertimbangan, seperti keterlibatan antargenerasi, jenis aktivitas atau usaha, dan stakeholder yang terlibat. Dengan demikian, lansia tidak lagi selalu dipahami sebagai pihak yang tidak produktif dan hanya menjadi beban bagi usia produktif.
Eko Sriyanto -- Lanjut Usia: Antara Tuntutan Jaminan Sosial dan Pengembangan Pemberdayaan
Pendekatan partisipatif sangat bertolak belakang dengan pendekatan skema jaminan sosial yang selama ini dilakukan secara masif. Pelayanan sosial dan jaminan sosial bagi lansia yang diberikan oleh pemerintah pada dasarnya telah berusaha untuk mencakup pendekatan pemberdayaan pula, tetapi jangkauannya sangat terbatas, sehingga mayoritas lansia di Indonesia belum mendapatkan pelayanan tersebut. Selama ini, persoalan lansia hanya ditangani oleh Departemen Sosial Republik Indonesia, padahal sangat membuka peluang departemen lain untuk memiliki program yang dapat disinergikan. Artinya adalah perlu adanya kajian komprehensif dalam memahami persoalan lansia di Indonesia dan master plan upaya atau program untuk mengatasi persoalan Indonesia yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (ageing structured population).
Menggagas Pemberdayaan Lansia Sebagai Bagian Jaminan Sosial
Penanganan persoalan tingginya lansia merupakan kajian komprehensif yang harus melibatkan beberapa aspek dan berimplikasi pula dengan pihak terkait yang berkompeten untuk mengatasi persoalan tersebut. Skema pelayanan sosial dan jaminan sosial di bawah pengelolaan Departemen Sosial belum mampu menjangkau seluruh lansia terlantar, apalagi seluruh lansia di Indonesia. Program pelayanan sosial dan jaminan sosial bagi lansia memang sangat bervariasi dan dilihat juga dari berbagai aspek, tetapi masih sangat jauh dari kebutuhan lansia. Program jaminan sosial dan bantuan sosial lain seperti Askeskin, Raskin, BLT, PKH, BOS, dan KMS diperuntukkan pada kelompok masyarakat hanya dengan kriteria miskin, belum membedakan antara usia produktif dengan lansia. Keadaan ini akan menimbulkan setidaknya dua aspek persoalan, yaitu secara administratif dan substantif. Secara administratif menimbulkan kerancuan pada data jumlah lansia yang telah
mendapatkan pelayanan sosial lanjut usia. Secara substantif bahwa karakter kebutuhan antara lansia dengan kelompok usia produktif tidaklah sama, sehingga bantuan sosial tidak akan optimal untuk mengurangi kerentanan pada lansia. Lansia diharapkan memiliki kemandirian dalam mengatasi semua persoalan yang dihadapinya, baik persoalan fisik, kesehatan, sosial, dan psikologis. Bagaimanapun, realisasi penuh dalam mengembangkan individu mereka sendiri tidak dapat terwujud tanpa ketersediaan penyeimbangan dan aktivitas pemberdayaan oleh sektor masyarakat yang lain (Kennie, 1993:21). Dengan melihat karakter lansia yang unik seharusnya lansia tidak dipahami secara kaku, artinya tidak semua lansia tidak potensial untuk produktif. Secara psikososial bahwa partisipasi adalah poin penting dalam membantu lansia yang potensial di dalam mengatasi kerentanan mereka, sehingga proses pemberdayaan akan memberikan peluang mereka untuk beraktivitas. Pola pemberdayaan memang cenderung usaha yang produktif, tetapi harus disesuaikan pula dengan kemampuan lansia. Selama ini memang telah ada bantuan usaha dari pemerintah untuk usaha mikro dan seringkali hanya dikhususkan kepada usia produktif. Sederhananya memang, tetapi dianggap berisiko dengan keadaan lansia yang mulai mengalami penurunan kemampuan untuk dapat berproduksi secara maksimal, tetapi pembagian kerja dapat disesuaikan dengan kapasitas lansia. Jenis kegiatan pemberdayaan disesuaikan dengan karakter lingkungan sosial dimana lansia tinggal. Pengembangan usaha produktif adalah kewenangan Depatemen Ketenagakerjaan dan Transmigrasi dan untuk proses pembentukan distribusi pasar harus melibatkan Departemen Perdagangan, sehingga perlu diupayakan integrasi dari departemen-departemen terkait. Departemen Sosial sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menciptakan
79
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 73-86
jaminan sosial seharusnya memiliki master plan atas pemahaman jaminan sosial yang sesuai dengan karakter lansia berdasar keadaan psikososial dan fisiknya. Pelayanan sosial dan jaminan sosial bagi lansia tetap harus dijalankan dengan catatan perlu ada pembenahan data adminstratif supaya tidak terjadi duplikasi penerimanya. Mekanisme yang berbasis pemberdayaan dan lokalitas harus diutamakan untuk memberikan porsi lebih besar pada partisipasi lansia. Prioritas tersebut harus disinergikan pada Depnakertrans dan Deperindagkop untuk dapat disusun program pemberdayaan produktif bagi lansia. Aktivitas produktif dapat dilakukan di lingkungan komunitas atau di luar panti (non-panti) maupun di dalam panti.
Usaha Mikro Berbasis Sumberdaya Lokal
Pola pemberdayaan yang dikembangkan harus mempertimbangkan beberapa aspek, seperti potensi karakter wilayah, struktur sosial demografi, dan pelaku lintas generasi. Basis potensi lokal adalah pertimbangan rasional dalam menciptakan usaha yang memiliki peluang lebih besar untuk dapat dijalankan. Potensi lokal ini tidak hanya dilihat hasil alamnya, tetapi juga dari potensi sumber daya manusia dan aksesibilitas lingkungan dengan pihak eksternal. Struktur sosial demografis diharapkan menjadi pertimbangan dalam penentuan lokasi upaya pemberdayaan, yaitu wilayah dengan rasio penduduk lansia yang tinggi dan tergolong dalam wilayah yang rentan (angka kemiskinan tinggi). Skema pemberdayaan dijalankan pula oleh lintas generasi, artinya integrasi antara usia produktif, pra-lansia, dan lansia. Pendekatan berorientasi komunitas berupaya agar sistem produksi mengacu kepada kebutuhan masyarakat dan komunitas (Korten, 1984). Beberapa ciri dari pendekatan ini adalah antara lain logika yang menonjol
80
adalah logika lingkungan hidup manusia yang berimbang, sumberdaya yang dominan adalah sumber daya informasi dan prakarsa yang kreatif yang tak kunjung habis, serta sasaran yang dominan adalah pertumbuhan umat manusia yang dirumuskan dalam rangka terealisasikannya potensi umat manusia (Soetomo, 2009:242). Upaya pemberdayaan lansia diharapkan berbasis pada potensi dan kebutuhan yang ada di wilayah mereka. Dengan demikian, pendekatan ini relevan demi menjaga keberlanjutan usaha dan menyesuaikan dengan karakter lansia di suatu wilayah. Pertimbangan keadaan sosial demografis menjadi titik penting untuk melihat bagaimana seharusnya komposisi yang akan dibangun dalam skema usaha. Selain pengembangan usaha sesuai dengan potensi wilayah, Pertama, komposisi manajerial atau pihak yang menggerakkan sirkulasi usaha adalah komponen utama supaya arus ekonomi dapat berkelanjutan. Kedua, pertimbangan mekanisme bantuan yang digulirkan. Pertimbangan kedua ini tidak lepas dari aspek pemberdayaan lansia. Ketiga, bahwa bantuan yang diberikan sebagai upaya pemberdayaan lansia disesuaikan dengan prosentase keterlibatan lansia dengan kelompok usia lain yang beraktivitas pada ekonomi kecil. Cross generation adalah komponen terakhir dalam upaya pemberdayaan lansia, dalam hubungan ini akan memunculkan jaringan sosial dan dukungan sosial. Jaringan sosial (social network) diidentifikasi sebagai sebuah instrumen pertalian di antara kelompok identitas masyarakat dan karakteristiknya yang memiliki beberapa kekuatan penjelas atas perilaku sosial keterlibatan masyarakat. Jaringan sosial merupakan kumpulan orang-orang yang menjalin hubungan dan membentuk sebuah ikatan sosial. Dukungan sosial didefinisikan sebagai proses interaksi yang didalamnya terkait secara emosional, instrumental,
Eko Sriyanto -- Lanjut Usia: Antara Tuntutan Jaminan Sosial dan Pengembangan Pemberdayaan
dan bantuan finansial dari jaringan sosial sesorang (Bowling, dalam Phillipson, Bernard, Phillips, Ogg, 2001:26). Dukungan sosial bagi lansia dalam mengurangi kerentanannya ini terbangun dari hubungan jaringan sosial lintas generasi antara lansia dan usia produktif lain. Pemberdayaan lansia pada sektor produktif memberikan keuntungan secara ekonomis pula dengan memperoleh pendapatan dari usaha tersebut. Pendapatan ini dapat menjadi tabungan bagi lansia untuk mempersiapkan diri menghadapi keadaan insecurity. Selain aktivitas produktif, pemberdayaan lansia meningkatkan pengalaman lansia yang berimplikasi pada peningkatan pengetahuan mereka. Pengalaman ini mengacu pemahaman subyektif seseorang terhadap situasi kehidupannya dan ini sebuah proses bahwa aktivitas hidup seseorang menjadi sangat bermanfaat, subyektif, dan tabiat khusus secara individu (Brown, 2004:58). Pengalaman atas aktivitas yang bermanfaat melalui berbagai informasi dapat meningkatkan pengetahuan lansia, terutama pada aspek kesehatan dan ketrampilan. Pemahaman inilah kemudian mempengaruhi pola perilaku lansia dengan pengetahuan yang baik, maka perilaku lansia dalam menjaga kualitas hidup mereka pun akan baik pula.
Aktivitas Kreatif Berbasis Panti
Panti sosial menjadi tempat alternatif bagi lansia untuk memiliki komunitas. Sistem panti adalah bentuk pelayanan yang menempatkan penerima pelayanan ke dalam suatu lembaga tertentu (panti), sedangkan luar panti (non-panti) merupakan bentuk pelayanan yang menempatkan penerima pelayanan di luar lembaga tertentu (panti) misalnya keluarga, masyarakat, dan lainlain (Dinsos Yogyakarta, 2005). Aktivitas kreatif yang dikembangkan dalam panti ini berbeda dengan usaha kecil yang dilakukan di masyarakat (non-panti).
Panti jompo tidak hanya sebagai rumah pelayanan sosial bagi lansia yang secara sengaja mengaksesnya disebut dengan klien, tetapi diperuntukkan pula bagi lansia terlantar yang berfungsi sebagai rumah perlindungan sosial. Lansia terjaga dalam lingkungan komunitasnya membuka peluang dalam berinteraksi dan beraktivitas bersama. Panti memiliki berbagai program pelayanan sosial, tidak sekedar berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, dan kesehatan, tetapi berkaitan pula dengan keadaan psikologis dan sosial. Dengan demikian, lansia diharapkan mampu lebih berbudaya. Pengembangan program panti sebagai pengembangan kapasitas lansia melalui usaha kreatif juga dapat dilakukan, seperti pembuatan kerajinan (handicraft) dan ketrampilan lain. Panti menjadi wadah bagi lansia guna memperoleh kehidupan yang mandiri dan sejahtera. Panti adalah kunci dalam menyediakan pelayanan kesehatan, kesejahteraan dan kemandirian bagi lansia, walaupun masih banyak panti memiliki perlengkapan yang kurang memadai (Kennie, 1993:229). Kekurangan yang dimiliki panti dari aspek kelengkapan fisik, aktivitas maupun program sehingga mayoritas panti hanya memiliki rutinitas yang biasanya membosankan bagi lansia. Harapan besar bahwa lansia dapat menyalurkan hobi atau setidaknya memiliki aktivitas produktif. Kerajinan dapat berupa produk kerajinan sejenis souvenir yang sederhana. Ketrampilan lain lansia sebagai bagian dari aktivitasnya seperti membuat makanan ringan. Hasil kerajinan maupun ketrampilan ini dapat difasilitasi oleh panti untuk dipasarkan, sehingga aktivitas ini pun menghasilkan keuntungan dari sisi finansial dan dapat dirasakan oleh lansia yang bersangkutan. Produk makanan ringan selain dipasarkan juga dapat dikonsumsi sendiri oleh warga panti, sehingga mereka mampu berinovasi dan sebagai hiburan adanya variasi jenis makanan.
81
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 73-86
Aktivitas Sosial atau Sukarelawan
Menurunkan aktivitas lansia bagi yang bekerja pada sektor formal dan diiringi menurun juga kemampuan fisik mereka, maka mereka tidak akan mampu melakukan aktivitas seperti waktu sebelumnya. Pensiun memberikan implikasi meningkatnya waktu luang dan pendapatan mereka. Konsekuensi logis ketika dihadapkan dengan penurunan finansial karena waktu bekerja mereka pun hilang, tetapi peningkatan waktu luang mereka akan menyebabkan kehidupan mereka tidak sehat. Dengan demikian, pada dasarnya mereka membutuhkan wadah untuk melakukan suatu aktivitas. Menurut Ekerdt (1986) bahwa aktivitas sukarelawan relevan dengan “etika sibuk” yang terbentuk oleh pensiunan modern dan ditambahkan oleh Havighurst (1963) menunjukkan keadaan ini layaknya keterlibatan yang dikenalkan dalam teori aktivitas (Settersten and Angel, 2011:333). Alternatif aktivitas tidak harus sejalan dengan aktivitas mereka terdahulu, melainkan mampu mengurangi waktu luang mereka tanpa aktivitas. Terdapat persoalan psikologis ketika lansia hanya bergelut dengan kevakuman minimnya aktivitas dan rasa kepuasan atas hidup tidak akan lagi mereka rasakan. Kepuasan dapat digambarkan dari aktivitas dan pencapaian, walaupun tidak berlaku sepenuhnya dalam pemenuhan kebutuhan (primer) yang mengikat pada aktivitas tertentu. Kepuasaan seringkali dimaknai sebagai hasil waktu luang atau hubungan sosial yang berkaitan dengan partisipasi yang lebih memuaskan dari pada aktivitas pekerjaan itu sendiri (Manzvelt, 1997:292). Di sisi lain, perubahan juga terjadi pada aspek psikologis, yaitu perubahan konsep diri yang merasa tidak berguna, perasaan dekat dengan kematian, dan kesendirian. Perasaaan kesendirian ini disebabkan menurunnya kemampuan lansia untuk menciptakan relasi social karena banyak teman sejawat mereka yang telah meninggal dan ditinggal keluarganya (anak) untuk hidup mandiri.
82
Aktivitas sosial yang lansia lakukan dapat menjadi seorang sukarelawan atau tenaga honorer dengan perincian tugas sesuai kemampuan mereka. Dalam hal ini memang tidak akan menghasilkan materi layaknya mereka bekerja penuh waktu sebelumnya. Sebagai pekerja honorer bisa diwadahi oleh institusi pemerintah maupun swasta, sedangkan sebagai sukarelawan dapat diwadahi oleh organisasi sosial seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM). Tujuan utama menempatkan lansia pada posisi ini bukan semata-mata karena ekonomi, melainkan menjaga eksistensi lansia dalam membangun kebutuhan sosial mereka. Skema ini cenderung diperuntukkan bagi seorang pensiunan yang masih ingin beraktivitas, baik dari institusi pemerintah ataupun swasta. Aktivitas ini dapat dianggap sebagai sebuah rekreasi pula, peran ini diharapkan mampu mengisi peran lansia yang hilang (Musick and Wilson, 2008; dalam Settersten and Angel, 2011:333). Aktivitas sukarelawan ini tidak lepas dari aktivitas berhubungan dengan pihak lain, sehingga akan menjaga relasi sosial terhadap sesamanya maupun lintas generasi. Relasi sosial menciptakan dukungan bagi lansia disaat mereka telah mengalami penurunan kemampuan dalam membentuk relasi sosial yang baru. Dukungan sosial dihubungkan dengan pengaruh positif seperti meningkatkan perasaan memiliki, keakraban, meninggikan penilaian diri dan peningkatan kemampuan kontrol, serta menjadi sumber informasi yang meningkatkan keberhasilan dalam mengatasi kesulitan (Fiksenbaum, 2005:3). Relasi dan dukungan sosial tersebut mampu mengatasi persoalan lansia yang berhubungan dengan kemampuan penciptaan hubungan sosial baru dari aspek psikologis tentang konsepsi atas dirinya. Sejenak menilik program bagi lansia dari negara Jepang dan Singapura. Lansia di Jepang disediakan sebuah taman kota yang khusus diperuntukkan bagi lansia
Eko Sriyanto -- Lanjut Usia: Antara Tuntutan Jaminan Sosial dan Pengembangan Pemberdayaan
dan dikelola sendiri oleh lansia. Taman kota ini menjadi pusat aktivitas lansia dan mendapatkan gaji dari pemeliharaan taman tersebut. Lansia beraktivitas dengan membersihkan taman, menghiasi taman dengan bunga-bunga, atau hanya berjalanjalan. Di Singapura, lansia yang telah pensiun mendapat kesempatan aktif di lembaga sosial sebagai sukarelawan atau tenaga honorer. Materi yang mereka peroleh memang tidak besar, tetapi tetap mampu melakukan aktivitas yang membuka kesempatan bagi pemenuhan kebutuhan psikososial mereka. Menurut direktur pelayanan sosial usia lanjut kementrian sosial (Societa, 2011:12), pemerintah telah meluncurkan program “kota yang bersahabat dengan lansia” yang dilakukan pertama kali di Jawa Timur. Program ini diikuti beberapa daerah lain di Jawa Barat, Bukittinggi, Gorontalo, Jawa Tengah, Palu, Manado, dan Sentani. Daerah-daerah tersebut telah memiliki dan mengembangkan taman kota serta fasilitas yang berorientasi dengan kebutuhan lansia. Progres program pemerintah sudah sepantasnya diapresiasi dengan baik, tetapi jangkauannya belum secara universal bagi lansia di Indonesia sehingga masih memerlukan inovasi program. Dengan kata lain, jangkauan perlindungan sosial bagi lansia harus ditingkatkan, terutama mereka yang kurang mampu dan beraktivitas di sektor informal. Di Indonesia belum familiar untuk menempatkan lansia sebagai tenaga honorer atau diperbantukan untuk sukarelawan, padahal tidak semua dari mereka sudah tidak lagi produktif. Perencanaan taman kota di Indonesia belum menunjukkan dampak signifikan karena tidak seluruh wilayah memiliki taman kota yang dikelola oleh lansia. Belum adanya integrasi aktivitas sosial lansia yang dikelola dinas sosial dengan dinas lain mengakibatkan lansia hanya memiliki aktivitas di dalam panti dan belum terlibat dalam aktivitas sukarela di luar panti.
Pengelolaan taman kota biasanya dilakukan oleh pemerintah setempat melalui SKPD atau dinas pekerjaan umum. Dinas sosial seharusnya berkoordinasi dengan pengelola taman kota untuk mengembangkan aktivitas lansia untuk berperan mengelola taman kota. Aktivitas sosial sebagai instrumen mengatasi persoalan yang dihadapi lansia, sekaligus peningkatan kualitas hidup. Peningkatan ini diharapkan mampu menjembatani lansia untuk menjadi lansia yang sukses. Seperti pendapat M. von Faber (2001, dalam Bowling, 2005:6) mengenai lansia berhasil (successful ageing), yaitu: “These include: having the physiological and psychological abilities of younger people, and engaging with life; reaching one’s potential and achieving physical, psychological and social well-being; the ability to adapt one’s values to meet the challenges of later life; maintaining a realistic sense of self; employing various compensatory and accommodative strategies in the face of depleting reserves; cognitive efficiency; psychological resources built up over a lifetime; self-mastery; control; maintenance of productivity; achievement; and, simply, a sense of being, coupled with optimum functioning”
Perspektif penuaan produktif, sukarelawan menjembatani -bersama dengan bekerja dan perlindungan- sebagai kegiatan yang harus dipromosikan karena menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat ((Morrow-Howell, Hinterlong, and Sherraden, 2001; dalam Settersten and Angel, 2011:334).
SIMPULAN
Jaminan sosial formal bagi lansia yang disediakan negara selama ini memang masih sangat terbatas. Tingginya jumlah penduduk lansia yang di luar jaminan sosial formal merupakan persoalan serius dan Indonesia pun mulai memasuki age population structured sehingga ketika lansia semakin besar akan mempengaruhi kebijakan. Begitu pula program perlu kajian yang mendalam karena karakter kebutuhan lansia yang berbeda
83
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 73-86
dengan kebutuhan kelompok usia yang lain. Perspektif psikososial lansia menunjukkan lansia adalah kelompok usia yang rentan dari berbagai aspek, baik ekonomi, fisik, sosial, dan psikologis. Ketika jaminan sosial belum mampu menjangkau seluruh lansia, maka pemerintah harus menyiapkan alternatif program guna menjaga kualitas kehidupan lansia. Lansia yang mengalami penurunan kemampuan dalam aspek psikososialnya menekankan bahwa lansia mengalami kerentanan karena hilang atau berkurangnya aktivitas mereka. Partisipasi lansia menjadi titik penting untuk menjaga aktivitas lansia, yaitu alternatif utama melalui skema pemberdayaan lansia. Melalui pemberdayaan lansia akan dihasilkan beberapa nilai penting, yaitu aktivitas bagi lansia, penciptaan hubungan sosial, dan pendapatan bagi lansia. Aktivitas yang dilakukan lansia ini akan mengurangi waktu luang lansia yang terbuang tanpa melakukan apapun, maka akan mengurangi pula perasaan bosan dan kesepian. Hubungan sosial yang tercipta akan berimplikasi luas pada kehidupan lansia, dimana sangat berkaitan dengan aspek psikologis dan fisik lansia. Dengan demikian, pemberdayaan lansia membentuk pola aktivitas lansia yang bermanfaat mengisi waktu luang, menciptakan hubungan sosial, mengurangi perasaan kesendirian, menjaga hubungan timbal-balik antara lansia dengan lingkungannya, menambah pendapatan, menjaga eksistensi diri dan meningkatkan kapasitas terkait kesehatan maupun ketrampilan lansia. Hasil dari pemberdayaan lansia tersebut merupakan nilai-nilai tujuan diselenggarakannya jaminan sosial. Wacana pemberdayaan lansia sebagai bagian dari jaminan sosial memang bukan hal sederhana, bahkan memerlukan perencanaan yang komprehensif. Universalitas perencanaan ini meliputi kajian perencanaan secara holistic dan masif, pelibatan berbagai stakeholder pemerintah (departemen/kementrian), serta
84
jenis aktivitas pemberdayaan itu sendiri. Pemberdayaan lansia sudah seharusnya disesuaikan dengan karakteristik lokal dalam hal wilayah (alam) dan karakter kemampuan lansia itu sendiri. Pemahaman mengenai pemberdayaan lansia yang mampu menciptakan nilai jaminan sosial, dimana potensi kerentanan lansia harus dipahami secara universal dari berbagai aspek karena perubahan secara biologis memengaruhi keadaan psikologis dan pola perilaku, serta terjadi perubahan lingkungan sosial lansia tersebut. Pola pemberdayaan lansia memberi kesempatan kepada lansia untuk tetap berpartisipasi aktif dalam sebuah kegiatan. Dalam hal ini akan membentuk hubungan sosial antara lansia dengan lingkungan sosial, sehingga dapat mereduksi kerentanan yang dialami lansia. Terdapat alternatif pemberdayaan lansia yang mampu menjadi wadah aktivitas lansia yaitu aktivitas sektor produktif (panti maupun non-panti) dan aktivitas sosial sebagai sukarelawan.
DAFTAR PUSTAKA
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2011, Designing Age Friendly Communities To Enhance Aging in Place, Artikel Seminar tanggal 13-14 Oktober 2011 di Sanur, Bali diselenggarakan oleh National Committe for Older Person Indonesia, Diunduh dari http://www.kopertis3. or.id/html/wp-content/uploads/ 2011/07/leaflet-aipi.pdf pada tanggal 11 Januari 2012 pukul 19.04 WIB. Anonim, 2010, Theories of Aging, Diakses dari http://www.angelfire.com/ns/ southeasternnurse/TheoriesofAgingC3, html pada tanggal 23 Februari 2011 pukul 11.15 WIB. Anstey, Kaarin J, Mary A. Luszcz and Gary Andrews, 2002, Psychosocial Factors, Gender and Late-life Mortality dalam Ageing International, Spring 2002, Vol. 27, No. 2, p. 73-89, hlm.73.
Eko Sriyanto -- Lanjut Usia: Antara Tuntutan Jaminan Sosial dan Pengembangan Pemberdayaan
Arifianto, Alex, 2006, Public Policy Towards the Elderly in Indonesia: Current Policy and Future Directions, Jakarta: SMERU Research Institute. Benda-Beckmann, Frans von and Keebet von Benda-Beckmann and Hands Marks, 2000, Coping with Insecurity: An “Underall” Perspective on Social Security in the Third World, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bowling, Ann, 2005, Aging Well: Quality of Life in Old Age, England: Open University Press. Brown, S, N Hine, A Sixsmith and P Garner, 2004, Care In The Community dalam BT Technology Journal, Vol 22 No 3, July, hlm.58. Dinas Sosial DIY, 2005, Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, Diakses dari http:// www.dinsos.pemda-diy.go.id/index. php?option=content&task=view&id =60 pada tanggal 9 Januari 2012 pada pukul 10.35 WIB. Fiksenbaum, Lisa M, Esther R, Greenglass, Sandra R. Marques, and Judy Eaton, 2005, A Psychosocial Model Of Functional Disability dalam Ageing International, Summer 2005, Vol. 30, No. 3, pp. 278295, hlm.280. Hirazawa, Makoto, Koji Kitaura, Akira Yakita, 2007, Aging, Fertility, Social Security, And Political Equilibrium, Springerlink: Journal Population Economic, 2010, pp. 23, hlm. 559–569. Kedaulatan Rakyat, 2010, 2010-2020 Akan Terjadi Ledakan Lansia di Indonesia, Diakses dari http://www.galerigriya. com/2010-2020-akan-terjadi-ledakanlansia-di-indonesia pada tanggal 23 Februari 2011 pukul 15.50 WIB. Kennie, David C, 1993, Preventive Care For Elderly People, New York: Cambridge University Press. Lyons, Michal, Carin Smuts and Anthea Stephens, 2001, Participation, Empowerment, and Sustainability:
(How) Do the Links Work?, diakses dari http://usj.sagepub.com/cgi/ content/ abstract/38/8/1233 tanggal 1 April 2009 pukul 09.35 WIB. Mansvelt, Juliana, 1997, Working at Leisure: Critical Geographies of Ageing, Source: Area, Vol. 29, No. 4 (Dec., 1997), pp. 289-298 Published by: Blackwell Publishing oh behalf of The Royal Geographical Society (with the Institute of British Geographers). Diakses dari
WIB, hlm.292. Midgley, James, 2001, Social Security Policy in Developing Countries: Integrating State and Traditional Systems dalam BendaBeckmann, Frans von and Keebet von Benda-Beckmann and Hands, Coping with Insecurity: An “Underall” Perspective on Social Security in the Third World, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Narwoko dan Suyanto, 2007, Sosiologi: Teks dan Terapan, Bandung: Grasindo. Phillipson, Chris, Miriam Bernard, Judith Phillips, Jim Ogg, 2001, The Family And Community Life Of Older People: Social Networks And Social Support In Three Urban Areas, London dan New York: Routledge. Prayitno, A, 1982, Usia Lanjut dan Aspek Psikososialnya di Indonesia dalam Idayu Press (ed), 1984, Manula, Jakarta: Idayu Press. Settersten, Richard A dan Jacqueline L. Angel, 2011, Handbook of Sociology of Aging, New York: Springerlink. Sitepu, Juena, 2010, “10 Ribu Lansia Mendapatkan Dana JSLU”, Artikel diakses dari http:// yanrehsos.depsos.go.id/ modules. php?name=News&file=article&sid =830 pada tanggal 23 Februari 2011 pukul 14.35 WIB. Societa (Informasi Pembangunan Kesejahteraan Sosial), 2011, Membuat Lansia Tetap Berdaya, Edisi III, Jakarta: Biro Humas Kementrian Sosial RI.
85
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 73-86
Societa (Informasi Pembangunan Kesejahteraan Sosial), 2011, Meretas Ketelantaran, Edisi II, Jakarta: Biro Humas Kementerian Sosial RI. Soetomo, 2009, Pembangunan Masyarakat: Merangkai Sebuah Kerangka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sriyanto, Eko, 2009, Pengembangan Jaminan Sosial Informal Bagi Lansia di Perdesaan Wonogiri, Yogjakarta UGM: Tidak dipublikasikan. Tim Peneliti Jurusan Ilmu Sosiatri, 2008, Pemberdayaan Lansia Melalui Usaha Tenun Berbasis Masyarakat Dalam Rangka Peningkatan Perekonomian Lansia Dan Masyarakat, Yogyakarta UGM: Tidak dipublikasikan.
86
Turner, Bryan S, 1989, Ageing, Status Politics and Sociological Theory/ Source: The British Journal of Sociology, Vol. 40, No. 4 (Dec., 1989), pp. 588-606 Published by: Blackwell Publishing on behalf of The London School of Economics and Political Science Stable URL: http:// www.jstor.org/stable/ 590890, diakses pada tanggal 15 April 2009 pukul 11.43 WIB. Yanrehsos, 70 Pendampingan JSLU Mengikuti Program Pembekalan: Organisasi Hukum dan Humas, Artikel diakses dari www. yanrehsos.depsos.go.id/modules, p hp?name=News&file=print&sid=873 tanggal 23 Februari 2011 pukul 15.30 WIB.
Wahyu Widhiarso -- Pengujian Kesetaraan Presisi dan Skala Ukur Butir-Butir pada Skala Psikologi
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 87-96
PENGUJIAN KESETARAAN PRESISI DAN SKALA UKUR BUTIR-BUTIR PADA SKALA PSIKOLOGI Wahyu Widhiarso
Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Email: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study is to identify the measurement models that appropriate to measure psychological attributes toward psychological scale. Measurement models that includes is parallel, tau-equivalent and konjenerik model. Each model has different assumptions according to each items precision and scale measuring on psychological scale. As a sample of psychological scale this study uses Child Depression Inventory (CDI) and Rosenberg Self-Esteem Scale. Data taken from the 3.183 adolescents from junior and senior high school with age range from 15 to 19 years in DIY. Both scale is tested using the Hotelling T2 test for testing the equality of mean and variance and confirmatory factor analysis through structural equation modeling to test the goodness fit of the model. This study found that psychological scales tend to fit with congeneric model than others. Congeneric model as one of measurements model that assumes every items in a scale has a different precision and scale of measure. Therefore, it is concluded that items in the measurements tend to be measured in psychological attributes to different amount of measure. Keywords : measurement model, psychological scale, items precision and scale measure
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi model pengukuran yang tepat dengan pengukuran melalui skala psikologi. Model pengukuran yang dilibatkan adalah model pengukuran model paralel, nilai tau setara dan konjenerik. Masing-masing model memiliki asumsi yang berbeda terhadap presisi dan ukur skala butir-butir dalam satu skala. Skala psikologi yang dipakai sebagai sampel adalah Inventori Depresi Anak (CDI) dan Skala Harga Diri. Data diambil dari 3.183 remaja SMP dan SMA dengan rentang usia 15 hingga 19 tahun di DIY. Uji statistik yang dilibatkan adalah uji Hotelling T2 untuk menguji kesetaraan rerata dan varians serta analisis faktor konfirmatori melalui pemodelan persamaan struktural untuk menguji ketepatan model. Penelitian ini menemukan bahwa model konjenerik memiliki ketepatan model yang lebih tinggi dibanding dengan kedua model lainnya. Model konjenerik adalah model pengukuran yang mengasumsikan bahwa setiap butir dalam satu skala memiliki presisi dan skala ukur yang berbeda-beda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa butir-butir dalam pengukuran melalui skala psikologi memiliki daya ukur yang relatif bervariasi. Kata Kunci : model pengukuran, skala psikologi, presisi dan skala ukur butir
PENGANTAR
Skala psikologi banyak dikembangkan dengan mengasumsikan bahwa setiap butir di dalam skala tersebut memiliki ketepatan ukur yang setara. Hal ini terlihat dari banyaknya pengembangan skala-skala psikologi
dievaluasi dengan menggunakan koefisien alpha sebagai ukuran keandalan pengukuran skala. Koefisien alpha dipakai untuk mengidentifikasi konsistensi internal butirbutir di dalam skala. Dengan menggunakan koefisien alpha sebagai acuannya, secara
87
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 87-96
tidak langsung para pengembang skala mengikuti apa yang diasumsikan oleh koefisien alpha yaitu butir-butir di dalam skala memiliki kesamaan presisi dan skala dalam mengukur. Dalam bahasa psikometri kesetaraan presisi ukur tersebut dinamakan dengan tau setara (tau-equivalent) (Salkind, 2010). Tau adalah huruf Yunani yang dalam psikometri menjelaskan skor murni (T). Berbagai penelitian menemukan bahwa asumsi kesamaan atau kesetaraan kapasitas ukur tersebut tidak mudah untuk dipenuhi (e.g. Lucke, 2005). Jika asumsi ini tidak dipenuhi maka koefisien reliabilitas yang dihasilkan berada pada nilai di batas estimasi terendah (underestimate). Dalam butir pengukuran depresi melalui Inventori Depresi dari Kovac (1985) misalnya, butir yang menanyakan gejala bunuh diri dan butir yang menanyakan kurangnya nafsu makan memiliki presisi ukur yang berbeda dalam mengukur depresi. Butir pertama memiliki lebih target yang lebih memusat dibanding dengan butir kedua. Hal ini dapat menyebabkan rerata dan varians skor dari kedua butir ini berbeda. Contoh lainnya adalah pengukuran kualitas hidup melalui Skala SF-36 dari Ware (1993) yang sering dipakai dalam mengukur kualitas hidup. Butir yang menanyakan keberfungsian badaniah memiliki kapasitas ukur yang berbeda dengan keberfungsian sosial dalam mengukur kualitas hidup individu. Ketidaksetaraan kapasitas ukur butirbutir dalam psikologi diakibatkan oleh sebagai berikut, Pertama, skala psikologi dikembangkan dari teori mengenai atribut yang hendak diukur yang kebanyakan tidak menyertakan secara mendetail operasionalisasi konsep teoritik di dalamnya menjadi indikator perilaku (DeVellis, 1991). Para pengembang skala sendiri yang banyak berperan dalam mengoperasionalisasikan konsep teoretik tersebut menjadi indikator perilaku yang nantinya akan diturunkan menjadi butir dalam skala psikologi. Kedua, tidak ada kaidah yang
88
baku dalam menurunkan indikator menjadi kalimat pernyataan (Colton & Covert., 2007). Dengan tidak adanya kaidah baku penulisan butir, maka perilaku memukul sebagai indikator perilaku agresi dapat diturunkan menjadi butir “Saya akan memukul orang yang menghina saya” atau butir “Saya akan memukuli orang yang menghina saya”. Jelas sekali bahwa meski sama-sama memukul namun kedua butir memiliki presisi ukur perilaku agresi yang berbeda. Ketiga, setiap pernyataan di dalam butir memiliki kecenderungan yang berbeda-beda untuk disetujui oleh responden (Bradburn, 2004). Antara pernyataan yang berisi opini normatif, misalnya “Remaja seharusnya….” dan pengalaman “Ketika pada masa remaja saya pernah…”, memiliki perbedaan kecenderungan yang berbeda untuk disetujui oleh responden. Penelitian Widhiarso dan Suhapti (2009) menemukan bahwa perbedaan sumber penilai antara sumber dari penilaian responden sendiri, misalnya “Saya adalah….”, dan sumber dari orang lain, misalnya “Menurut teman saya, saya adalah…”, turut mempengaruhi perbedaan respons dari responden. Perbedaan kecenderungan ini selain terkait dengan pernyataan di dalam butir, juga terkait dengan situasi pengukuran. Keempat, kesetaraan pengukuran hanya dapat dicapai ketika pengukuran bersifat unidimensi (Green & Yang, 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukuran dalam bidang psikologi cenderung bersifat multidimensi (Brunner & SÜβ, 2005; Kamata, Turhan, & Darandari, 2003); ditambah lagi dengan koefisien alpha tidak sensitif terhadap kemajemukan dimensi (Sijtsma, 2009). Banyak pengukuran yang sebenarnya bersifat multidimensi namun tetap memiliki koefisien alpha yang tinggi. Ada beberapa penyebab mengapa pengukuran psikologi yang bersifat unidimensi sulit untuk dicapai ketika skala memiliki butir-butir yang banyak. Penyebab tersebut antara lain karakteristik alamiah konstrak psikologi, adanya pelibatan aspek-
Wahyu Widhiarso -- Pengujian Kesetaraan Presisi dan Skala Ukur Butir-Butir pada Skala Psikologi
aspek dalam penyusunan alat ukur, jumlah skala dan presisi pengukuran oleh butir butir di dalam skala pengukuran, teknik serta varians sesatan pengukuran (error penulisan dan satuan pengukuran yang measurement) adalah sama. Model kesetaraan Modelbutir Pengukuran dalam Bidang Psikologi Dalam literatur empattau model pengukuran yang masingberbeda (Widhiarso, 2009). psikologi telah dikenalnilai (tau-equivalent) mengasumsikan Kecenderungan bahwa butir-butir bahwa skala dan presisi pengukuran masing mengasumsikan setara tidaknya presisi butir pengukuran, kesamaan skala dan oleh skala psikologi memiliki presisi dan skala ukur butir adalah sama akan tetapi varians pengukuran. Keempat model tersebut adalah model pengukuran paralel, ukursesatan yang varians bervariasi perlu diverifikasi sesatannya boleh berbeda. Model kesetaraan lebih kesetaraan lanjut. Teori psikometri terbarunilai telahtau esensial, nilai taudan esensial (essentially tau-equivalent) nilai tau, kesetaraan konjenerik (Lucke, 2005). menyediakan berbagai model yang dapat mengasumsikan bahwa pengukuran oleh Kesamaan presisi atau ketepatan pengukuran ditunjukkan oleh kesamaan rerata skor mengakomodasi kompleksitas teknik item harus dalam skala sama, akan tetapi sedangkandengan kesamaan skala ditunjukkan denganmemiliki kesamaan presisi nilai varians 2001). yang pengukuran menggunakan skala dan (Raykov, varians sesatan psikologi. Tujuannya adalah agar properti berbeda. Modelmengasumsikan konjenerik (congeneric) Model paralel adalah model yang paling ketat dengan bahwa psikometris skala psikologi yang dihasilkan memiliki asumsi yang lebih moderat karena skala dan presisihasil pengukuran olehyang butir serta varians sesatanskala, pengukuran (error benar-benar mewakili pengukuran memperbolehkan presisi pengukuran didapatkan. dan tau varians sesatan mengasumsikan pengukuran boleh measurement) adalah sama. Model kesetaraan nilai (tau-equivalent) berbeda (Graham, 2006). bahwa skala dan presisi pengukuran oleh ukur butir adalah sama akan tetapi varians Model Pengukuran dalam Bidang Dengan demikian untuk memenuhi sesatannya boleh berbeda. Model kesetaraan nilai tau esensial (essentially Psikologi asumsi paralel, skor butir harus taumemiliki Dalam literatur psikologi telah dikenal rerata dan varians skor butir yang equivalent) mengasumsikan bahwa pengukuran oleh item harus dalam skala sama, akansama. empat model pengukuran yang masingAsumsi ini sulit untuk dipenuhi karena tetapi memiliki presisi dan tidaknya varians sesatan yang konjenerik masing mengasumsikan setara rerata danberbeda. variansModel yang sama biasanya presisi butir pengukuran, skala didapatkan darimemperbolehkan butir yang memiliki (congeneric) memiliki kesamaan asumsi yang lebih moderat karena skala,target dan sesatan varians pengukuran. Keempat indikator perilaku yang sama, padahal skala presisi pengukuran dan varians sesatan pengukuran boleh berbeda (Graham, 2006). model tersebut adalah model pengukuran pengukuran mewakili dari domain ukur Dengannilai demikian untuk memenuhi skorperilaku butir harus memiliki paralel, kesetaraan tau, kesetaraan nilai asumsi yang paralel, memiliki yang majemuk. tau esensial, konjenerik (Lucke, 2005).Asumsi Memfokuskan sedikit indikator rerata dandan varians skor butir yang sama. ini sulit untukpada dipenuhi karena rerata saja Kesamaan presisi atau ketepatan pengukuran akan menyebabkan pengukuran menjadi dan varians yang sama biasanya didapatkan dari butir yang memiliki targetsatu indikator ditunjukkan oleh kesamaan rerata skor tidak komprehensif. Salah cara untuk sedangkan ditunjukkan mengatasi hal ini penggunaan perilakukesamaan yang sama,skala padahal skala pengukuran mewakili dariadalah domain ukur yangmodel dengan kesamaan nilai varians (Raykov, yang tidak telalu ketat dalam mengasumsikan memiliki perilaku yang majemuk. Memfokuskan pada sedikit indikator saja akan 2001). skor hasil pengukuran. menyebabkan pengukuran Salah satu cara untuk mengatasi Model paralel adalah menjadi model tidak yangkomprehensif. Model pengukuran banyak dikaji dalam paling ketat dengan mengasumsikan bahwa pemodelan persamaan struktural hal ini adalah penggunaan model yang tidak telalu ketat dalam mengasumsikan skor(SEM)
hasil pengukuran. butir 1
į1
eror 1
Ȝ2
butir 2
į2
eror 2
Ȝ3
butir 3
į3
eror 3
butir 4
į4
eror 4
Ȝ1 Konstrak Ukur
Ȝ4
Gambar Gambar1.1. Model Pengukuran Model Pengukuran
4
89
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 87-96
karena model pengukuran merupakan salah satu bagian dari elemen SEM selain model struktural. Gambar 1 menunjukkan ada empat butir yang mengukur satu faktor konstrak ukur. Di dalam skor tiap butir di dalamnya terkandung dua komponen, yaitu komponen dari konstrak yang diukur yang disimbolkan dengan λi dan komponen sesatan pengukuran, yang disimbolkan dengan δi. Model ini didasari dari teori klasik psikometri yang menyatakan bahwa di dalam varians skor tampak terkandung varians skor murni dan varians sesatan pengukuran (Raykov & Mels, 2009). Model pengukuran dalam pendekatan SEM diformulasikan dalam analisis faktor konfirmatori (CFA) yang berisi bobot tiap butir pada faktor (λ i ) dan varians yang tidak terkait dengan faktor (δ i). Dengan demikian, dari model pengukuran di atas dapat diketahui bahwa model paralel yang mengasumsikan bahwa tiap butir mengukur konstrak sama, memiliki presisi skala, dan sesatan pengukuran sama. Model paralel ditunjukkan dengan persamaan yang menunjukkan kesamaan bobot ukur tiap butir : λ1= λ2= λ3= λ4 dan kesamaan varians eror pengukuran δ1= δ 2= δ 3= δ 4. Model tau setara dan konjenerik juga dapat diformulasikan melalui persamaan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menguji penerapan tiga model pengukuran, yaitu model paralel, kesetaraan nilai tau, dan konjenerik melalui analisis faktor konfirmatori. Dalam pendekatan SEM, ketepatan penerapan model tersebut ditunjukkan melalui indeks ketepatan model (goodness fit indices). Dari paparan teoritik yang menunjukkan bahwa butir-butir dalam skala psikologi cenderung memiliki presisi ukur, skala ukur, dan sesatan yang bervariasi. Maka dari itu, peneliti menghipotesiskan bahwa model pengukuran yang moderat (i.e konjenerik) lebih menggambarkan hasil pengukuran psikologi dibanding dengan model pengukuran yang ketat (i.e paralel). Indeks ketepatan model
90
pada model konjenerik akan lebih tinggi dibanding dengan indeks ketepatan pada model paralel.
Partisipan
Remaja. Data diambil dari penelitian yang dilakukan oleh Retnowati (2003) yang melibatkan remaja sekolah antara usia 15 tahun hingga 19 tahun. Rata-rata usia partisipan adalah 16 tahun dengan jumlah 3.183 orang yang terdiri dari 1.474 (46%) pria dan 1.709 (54%) wanita. Partisipan adalah siswa SLTP, SMU, SMK dan PSBR di Daerah Istimewa Yogyakarta dari empat wilayah antara lain Kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul dan Kodya Yogyakarta. Masing-masing Kabupaten dan Kodya Yogyakarta, diwakili oleh beberapa SMU dan SMK.
Pengukuran
Inventori Depresi Anak diadaptasi dari Children Depression Inventory (CDI) yang merupakan inventori untuk mengungkap simtom depresi pada anak dan remaja atau dengan rentang usia 7 sampai 19 tahun, yang meliputi kesedihan, anhedonia, ide bunuh diri, dan gangguan nafsu makan. CDI terdiri dari 27 butir dapat digunakan untuk anak berusia sekitar 7 sampai dengan 19/20 tahun. Di samping skala dalam bentuk panjang, juga tersedia skala dalam bentuk pendek yang terdiri atas 12 butir (Carlson & Cantwell, dalam Matson, 1989). Uji coba CDI pertama kali dilakukan penulis, dengan menggunakan kriteria eksternal dan kriteria internal. Uji coba dilakuka pada 109 subjek, dengan kriteria eksternal, yaitu dengan cara mengkorelasikan dengan BDI (Beck Depression Inventory) dengan hasil r=0.561 (p<0.01). Uji coba dilakukan lagi pada subjek sebanyak 252 orang, dengan kriteria internal, hasil menunjukkan indeks daya beda yang berkisar antara 0.1721 sampai dengan 0.3795, dengan koefisien reliabilitas konsistensi intenal sebesar 0.7135.
Wahyu Widhiarso -- Pengujian Kesetaraan Presisi dan Skala Ukur Butir-Butir pada Skala Psikologi
Skala Harga Diri. Alat ukur untuk mengungkap harga diri (self esteem) yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh Rosenberg (1965). Rosenberg mengoperasionalisasikan konsepnya dalam bentuk 10 butir. Responden diminta untuk memberi jawaban berdasar kriteria Guttman yaitu, sangat setuju; setuju; tidak setuju dan sangat tidak setuju. Pernyataannya antara lain: “Secara keseluruhan saya puas dengan diri saya”; “Saya pikir saya sama sekali tidak baik”. Hasil analisis butir skala harga diri menunjukkan dari 10 butir yang diujicobakan, korelasi butir total berkisar antara 0,2581 – 0,3917 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,8689.
Analisis Data
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu menguji kesetaraan rerata dan varians butir pada skala yang sama, mengidentifikasi ketepatan tiga model pengukuran pada tiap skala dan menguji perbedaan ketepatan antarketepan model. Pengujian kesetaraan rerata skor butir dilakukan dengan menggunakan uji Hotelling T2 sedangkan pengujian kesetaraan varians skor butir dilakukan dengan menggunakan uji kaikuadrat. Kedua uji ini dilakukan dengan menggunakan program bantu SPSS versi 16 (SPSS Inc, 2007). Identifikasi ketepatan model dilakukan dengan menggunakan analisis faktor konfirmatori. Tiga model pengukuran yaitu model paralel, nilai tau setara dan konjenerik diterapkan pada tiap skala pengukuran. Tiga indeks ketepatan model yang dipakai adalah kai-kuadrat, goodness fit index (GFI), dan Root Means Square Error (RMSEA). Analisis hanya diarahkan pada identifikasi ketepatan model saja karena penelitian ini tidak untuk mengembangkan model pengukuran. Identifikasi model pengukuran dilakukan dengan menggunakan analisis faktor konfirmatori melalui teknik estimasi kebolehjadian maksimal (maximum likelihood) yang dilakukan dengan program analisis
LISREL 8.30. Indeks ketepatan model yang didapatkan akan dibandingkan untuk mendapatkan apakah ada perbedaan ketepatan model yang signifikan antara satu model pengukuran dengan model pengukuran lainnya.
PEMBAHASAN Uji Kesetaraan Rerata dan Varians
Uji kesetaraan rerata dilakukan dengan menggunakan uji Hotelling T2, dengan hipotesis nihil bahwa semua butir dalam satu skala/faktor skala memiliki rerata yang sama. Uji kesetaraan varians dilakukan dengan menggunakan uji kai-kuadrat dengan hipotesis nihil bahwa semua butir dalam skala memiliki varians dan varians sesatan yang setara. Hasil analisis yang dipaparkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dalam satu skala atau faktor dalam skala, cenderung memiliki rerata, varians butir, dan varians sesatan yang berbeda-berbeda. Uji kesetaraan rerata menghasilkan bahwa pada semua butir dalam skala pengukuran memiliki varians dan varians sesatan yang berbeda. Nilai kai-kuadrat (χ2) dan nilai F yang dihasillkan cukup besar sehingga hipotesis nihil yang mengatakan bahwa rerata, varians dan varians sesatan, ditolak. Temuan penelitian ini mendukung asumsi bahwa skala psikologi cenderung memiliki presisi pengukuran, skala Tabel 1. Hasil Pengujian Kesetaraan Rerata, Varians dan Varians Sesatan Butir Skala Pengukuran BDI Faktor 1 BDI Faktor 2 BDI Faktor 3 BDI Faktor 4 BDI Faktor 5 Roosenberg
Uji Kesetaraan Rerata T2 db 1057.355 2909.784 3 47.876 3 412.256 7 1868.608 4 1253.587 9
Uji Kesetaraan Varians χ2 db 675.409 19 1215.921 8 527.742 8 1083.693 34 538.239 13 3070.782 53
Keterangan : Semua uji perbandingan menunjukkan hasil signifikan pada taraf 1% (p<0.01)
91
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 87-96
pengukuran, dan sesatan pengukuran yang berbeda-beda. Namun demikian hasil ini belum menjawab model pengukuran mana yang tepat dalam menggambarkan data hasil pengukuran. Oleh karena itu, penulis melanjutkan analisis pada pengujian ketepatan model pada masing-masing model pengukuran.
Perbandingan Ketepatan Model Pengukuran
Pengukuran Depresi. Pengujian ketepatan model dalam pengukuran depresi dibagi menjadi lima sesuai dengan faktor-faktor depresi. Hasil analisis dipaparkan pada Tabel 2 yang menunjukkan perbandingan model pengukuran pada tiap faktor pengukuran depresi. Pada semua faktor depresi, model pengukuran konjenerik memiliki ketepatan pengukuran yang lebih tinggi dibanding dengan model paralel, dan kesetaraan nilai tau. Perubahan model dari paralel, nilai tau setara hingga konjenerik menunjukkan peningkatan nilai GFI, sebaliknya nilai RMSEA menunjukkan penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan model tersebut meningkatkan ketepatan model dengan data. Dari semua faktor pengukuran depresi pada model pengukuran konjenerik, ada dua faktor yang kesemua indeks ketapatannya
di atas batas penerimaan model (GFI>0.9 & RMSEA<0.08), sebaliknya ada tiga faktor yang masih ada indeks ketepatan model di bawah yang direkomendasikan. Namun demikian hasil ini tidak di bahas dalam penelitian ini karena fokus pembahasan pada perbandingan ketepatan model yang dilakukan pada analisis berikut. Tabel 3 menunjukkan hasil perbandingan ketepatan model dengan menggunakan uji kai kuadrat. Semua hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0.01) pada semua faktor pengukuran depresi. Model nilai tau setara memiliki ketepatan model lebih tinggi dibanding model paralel, dan model konjenerik memiliki ketepatan model lebih tinggi dibanding model paralel dan nilai tau setara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model konjenerik menggambarkan data lebih baik dibanding dengan model paralel dan atau setara. Pada pengukuran harga diri didapatkan hasil yang sama dengan pengukuran depresi. Tabel 4 menunjukkan berubahnya model dari paralel, nilai tau setara hingga konjenerik diikuti dengan meningkatnya ketepatan model. Nilai GFI, AGFI dan CFI meningkat, sebaliknya nilai RMSEA menurun yang menunjukkan model yang dimodifikasi semakin mendekati data.
Tabel 2. Perbandingan Ketepatan Model Pengukuran pada Tiap Faktor CDI Ketepatan Model χ2 db GFI RMSEA Ketepatan Model χ2 db GFI RMSEA
Par 675.93 19 0.93 0.11
Par 675.93 19 0.93 0.11
Faktor 1 Tau 553.60 14 0.94 0.12 Faktor 4 Tau 553.60 14 0.94 0.12
Kon 55.15 9 0.99 0.04
Kon 55.15 9 0.99 0.04
Par 1216.54 8 0.93 0.11
Par 1189.83 8 0.83 0.22
Faktor 2 Tau 493.56 5 0.93 0.11 Faktor 5 Tau 493.56 5 0.93 0.17
Kon 33.07 2 0.93 0.11
Par 528.01 8 0.93 0.14
Kon 33.07 2 0.99 0.07
Keterangan : Par = Model Paralel; Tau = Model Nilai Tau Setara; Kon = Model Konjenerik
92
Faktor 3 Tau 820.86 5 0.89 0.23
Kon 153.10 2 0.97 0.16
Wahyu Widhiarso -- Pengujian Kesetaraan Presisi dan Skala Ukur Butir-Butir pada Skala Psikologi
Tabel 3 (a) Uji Statistik Perbandingan Ketepatan Model Tiap Faktor CDI Perbandingan Par vs Tau Par vs Kon Tau vs Kon
Faktor 1 122.32 (5) 620.78 (10) 498.45 (5)
Faktor 2 722.98 (3) 1183.47 (3) 460.49 (2)
Faktor 3 292.85 (3) 374.91 (6) 667.76 (3)
Faktor 4 122.33 (5) 620.78 (10) 498.45 (5)
Faktor 5 696.27 (3) 1156.76 (6) 460.49 (3)
Keterangan : Par = Model Paralel; Tau = Model Nilai Tau Setara; Kon = Model Konjenerik. Semua uji perbandingan menunjukkan hasil signifikan pada taraf 1% (p<0.01)
Hasil uji statistik perbandingan antar ketepatan model menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar ketiga model pengukuran. Model pengukuran konjenerik memiliki ketepatan model secara signifikan dibanding dengan dengan model paralel dan tau setara. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ketepatan tiga model pengukuran pada skala psikologi. Ketiga model tersebut adalah model paralel, tau setara dan konjenerik. Pengukuran yang dipakai sebagai sampel adalah pengukuran depresi (CDI) dan pengukuran harga diri. Penelitian ini menemukan bahwa model konjenerik memiliki ketepatan model yang lebih tinggi dibanding dengan kedua model lainnya. Dengan demikian model konjenerik lebih tepat dikenakan pada data hasil pengukuran psikologi. Tabel 4. Perbandingan Ketepatan Model Pengukuran pada Pengukuran Harga Diri Ketepatan Model Chi Square (p) GFI db RMSEA
Paralel
Tau Setara
Konjenerik
1144.39 0.76 53 0.17
793.70 0.81 44 0.16
602.14 0.85 35 0.15
Tabel 3 (b) Uji Statistik Perbandingan Ketepatan Model Pengukuran pada Tiap Faktor CDI Perbandingan Paralel vs Kesetaraan Nilai Tau Paralel vs Kojenerik Konjenerik vs Kesetaraan Nilai Tau
Kai-Kuadrat 122.32 (5) 620.78 (10) 498.45 (5)
Keterangan : Semua uji perbandingan menunjukkan hasil signifikan pada taraf 1% (p<0.01)
Model konjenerik memiliki asumsi yang lebih moderat dibanding dengan model paralel dan nilai tau setara. Model konjenerik tidak mensyaratkan rerata, varians dan varians sesatan yang setara antara satu butir dengan butir lainnya. Model konjenerik mampu mengakomodasi karakteristik skala psikologi yang memiliki keunikan antara satu butir dengan butir lainnya. Dalam hal ini keunikan tersebut adalah presisi dan skala ukur butir dalam skala yang cenderung bervariasi. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa pernyataan peneliti yang mengkaji mengenai model konjenerik (Graham, 2006; Raykov, 2001). Verifikasi asumsi kesetaraan rerata dan varians skor butir yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa skala psikologi cenderung memiliki presisi dan skala ukur yang berbeda. Hasil ini diperkuat dengan hasil analisis faktor konfirmatori yang menunjukkan bahwa setiap butir memiliki bobot faktor yang bervariasi antara satu butir dengan butir lainnya. Bobot faktor yang berbeda-beda sekaligus menunjukkan bahwa setiap butir memiliki sumbangan efektif yang berbeda-beda dalam menjelaskan atribut ukur. Penelitian ini membuktikan bahwa butir yang mengukur perilaku yang umum memiliki sumbangan efektif yang besar dibanding butir yang memusat pada perilaku yang khusus. Misalnya pada butir CDI, butir yang mengukur kesedihan secara umum, memiliki bobot faktor yang lebih besar dibanding dengan butir yang mengukur seberapa jauh peristiwa buruk disebabkan oleh kesalahan subjek. Hal ini terjadi karena butir yang pertama memiliki cakupan yang
93
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 87-96
luas sehingga memiliki variasi yang besar dibanding dengan butir kedua.Hasil analisis faktor konfirmatori menunjukkan bahwa model yang mengasumsikan bahwa setiap butir memiliki keunikan dalam hal presisi dan skala ukur memiliki nilai ketepatan model yang lebih tinggi. Setiap butir yang diperkenankan untuk memiliki nilai bobot faktor dan sesatan pengukuran yang berbeda-beda lebih tepat dibanding dengan memaksakan bahwa butir-butir memiliki presisi dan skala ukur yang sama. Program bantu analisis seperti SPSS (2007) telah memfasilitasi upaya peneliti untuk memverifikasi asumsi data hasil pengukuran. Menu model paralel memverifikasi apakah butir memiliki kesetaraan dalam hal varians dan varians sesatan, sedangkan menu model paralel ketat (strict paralel) memverifikasi kedua asumsi dalam model paralel ditambah dengan asumsi kesetaraan nilai rerata. Verifikasi kesetaraan rerata dan varians skor butir tersebut dilaporkan pada bagian ketepatan (goodness fit index) melalui nilai kai-kuadrat. Nilai kai-kuadrat yang signifikan menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antar rerata dan varians skor antarbutir yang dianalisis. Selain itu ada uji Hotelling T2 yang dapat dipakai untuk menguji kesetaraan rerata saja. Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa peneliti perlu memverifikasi data hasil pengukuran sebelum mengindentifikasi properti psikometris berdasarkan formula yang tepat dengan karakteristik data dan tidak bergantung pada koefisien tertentu secara monoton. Pernyataan ini didukung oleh Ferketich (1990) yang mengatakan bahwa seharusnya kajian dan pengujian reliabilitas tidak hanya terpaku pada satu koefisien saja melainkan juga melibatkan koefisien lain yang kemungkinan menggambarkan hasil yang lebih optimal. Socan (2000) mengatakan bahwa banyak di antara para peneliti yang hanya terpaku pada penggunaan koefisien
94
Alpha Cronbach dalam mengestimasi reliabilitas dengan menggunakannya secara monoton tanpa memperhatikan asumsi yang melatarbelakanginya. Pemilihan formula estimasi reliabilitas secara monoton tersebut dapat diakibatkan oleh dua sebab, pertama minimnya pemahaman peneliti mengenai koefisien reliabilitas yang dapat menjadi alternatif, kedua, minimnya keberadaan program komputasi yang dapat mengelaborasi model pengukuran yang mereka susun dengan mudah. Feldt (1987) mengatakan bahwa popularitas koefiesien alpha lahir karena beberapa faktor, antara lain: a) teknik komputasinya relatif mudah karena hanya memerlukan informasi berupa varian butir dan varian skor total, b) distribusi sampling sudah diketahui sehingga penentuan interval kepercayaan pada populasi sangat dimungkinkan. Koefisien alpha juga banyak dipakai pada banyak literatur karena merupakan estimator yang moderat dalam mengestimasi reliabilitas. Pengembangan skala psikologi dengan teori klasik menggunakan pendekatan analisis dengan asumsi yang lebih moderat dan dapat diakomodasi oleh analisis pemodelan persamaan struktural (SEM) (Albright, 2006; Raykov, 2009). Melalui pendekatan ini peneliti memiliki keleluasaan untuk mengembangkan model yang sesuai dengan data yang dimilikinya. Ketika skala semua butir terbukti memiliki presisi dan skala ukur yang sama maka peneliti dapat melakukan pembatasan (constraint) parameter butir di dalam model, demikian juga ketika mendapati butir di dalam skala memiliki presisi dan skala ukur yang berbeda. Meskipun asumsi-asumsi statistik berada dalam tataran teoritik yang bagi sebagian pakar tidak perlu diverifikasi ketika diterapkan pada tataran praktis (e.g. Azwar, 2000), namun verifikasi data akan memberikan hasil estimasi yang tepat sehingga perlu untuk dilakukan.
Wahyu Widhiarso -- Pengujian Kesetaraan Presisi dan Skala Ukur Butir-Butir pada Skala Psikologi
SIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa butir-butir dalam skala psikologi lebih cenderung memiliki presisi ukur yang tidak setara. Secara teknis dalam perspektif pemodelan persamaan struktural, perbedaan presisi ini terlihat dari bobot faktor dan varians eror yang tidak setara. Saran yang dapat diberikan kepada peneliti adalah agar melakukan prosedur estimasi reliabilitas setelah mengidentifikasi model pengukuran terlebih dahulu. Sesuai dengan prosedur baku penyusunan skala (e.g Netemeyer, Bearden, & Sharma, 2003; Spector, 1992), analisis faktor baik eksploratori maupun konfirmatori dilakukan terlebih dahulu sebelum reliabilitas pengukuran diestimasi. Analisis faktor selain bertujuan untuk melihat dimensionalitas pengukuran (unidimensional vs. multidimensinal) juga mengeksplorasi ragam presisi dan skala ukur tiap butir yang terlihat melalui bobot faktor tiap butir.
DAFTAR PUSTAKA
Albright, J, 2006, Confirmatory Factor Analysis using Amos, Lisrel, and MPLUS, The Trustees of Indiana University. Azwar, S, 2000, Asumsi-asumsi dalam inferensi statistika, Manuskrip tidak dipublikasikan, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Bradburn, N. M, 2004, Asking questions : the definitive guide to questionnaire design, San Francisco, CA: John Wiley & Sons, Inc. Brunner, M., & SÜβ, H. M, 2005, Analyzing the reliability of multidimensional measures: An example from intelligence research, Educational and Psychological Measurement, 65(2), hlm.227-240. Colton, D., & Covert., R. W, 2007, Designing and constructing instruments for social research and evaluation, San Francisco, CA: John Wiley & Sons, Inc. DeVellis, R. F, 1991, Scale development: Theory and applications, Newbury Park: SAGE Publications, Inc.
Ferketich, S, 1990, Focus on Psychometrics Internal Consistency Estimates of Reliability, Researching Nursing & Health, 13, hlm.437-440. Graham, J. M, 2006, Congeneric and (Essentially) Tau-Equivalent Estimates of Score Reliability, Educational and Psychological Measurement, 66(6), hlm.930-944. Green, S., & Yang, Y, 2009, Commentary on Coefficient Alpha: A Cautionary Tale. Psychometrika, 74(1), hlm.121-135. Kamata, A., Turhan, A., & Darandari, E, 2003, Estimating reliability for multidimensional composite scale ccores Paper presented at the American Educational Research Association, Chicago, April 2003. Kovacs, M, 1985, The Children’s Depression, Inventory (CDI), Psychopharmacology Bulletin, 21(4), hlm.995-998. Lucke, J. F, 2005, The α and the ω of Congeneric Test Theory: An Extension of Reliability and Internal Consistency to Heterogeneous Tests, Applied Psychological Measurement, 29(1), hlm.65-81. Netemeyer, R. G., Bearden, W. O., & Sharma, S, 2003, Scaling Procedures: Issues and Applications, Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Raykov, T, 2001, Bias of Coefficient afor Fixed Congeneric Measures with Correlated Errors, Applied Psychological Measurement, 25(1), hlm. 69-76. Raykov, T, 2009, Evaluation of Scale Reliability for Unidimensional Measures Using Latent Variable Modeling, By: Raykov, 42, hlm.223-232. Raykov, T., & Mels, G, 2009, Interval Estimation of Interitem and Item-Total Correlations for Multiple Component Measuring Instruments With Ordinal Items, Structural Equation Modeling: A Multidisciplinary Journal, 16, hlm.99-108. Salkind, N. J, 2010, Encyclopedia of Research Design, Thousand Oaks, CA: Sage Publications Inc.
95
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 87-96
Sijtsma, K, 2009, Reliability Beyond Theory and Into Practice, Psychometrika, 74(1), hlm.169-173. Socan, G, 2000, Assessment of Reliability when Test Items are not Essentially t-Equivalent, In A. Ferligoj & A. Mrvar (Eds.), Developments in Survey Methodology Ljubljana: FDV. Spector, P. E, 1992, Summated rating scaling construction: An introduction, Newbury Park: Sage Publication. SPSS Inc, 2007, SPSS Base 16.0 User’s Guide, Chicago, IL: SPSS Inc.
96
Ware, J. E., Snow, K. K., Kolinski, M., & Gandeck, B, 1993, SF-36 Health survey manual and interpretation guide, Boston, MA.: The Health Institute New England Medical Centre. Widhiarso, W. (2009). Koefisien reliabilitas pada pengukuran kepribadian yang bersifat multidimensi. Psikobuana, 1(1), 39 - 48. Widhiarso, W., & Suhapti, R, 2009, Eksplorasi karakteristik item skala psikologis yang rentan terhadap tipuan respon, Jurnal Psikologi, 36(1), hlm.73-91.
Wahyu Widhiarso -- Pengujian Kesetaraan Presisi dan Skala Ukur Butir-Butir pada Skala Psikologi
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 1-104
BOOK REVIEW
ISLAM SEBAGAI RAHMATAN LIL-‘ALAMIN Maufur, M.A.*
: Islam Dinamis Islam Historis: Lokalitas, Pluralisme, Terorisme Penulis : Machasin Penerbit : LKiS Yogyakarta Cetakan I, 2011 Tebal : xiv+342 hlm., termasuk bibliografi, indeks, dan biodata Judul
Maraknya peristiwa terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan Islam tidak pelak menggelitik banyak orang untuk mempertanyakan kembali adagium Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Bagaimana Islam yang seharusnya menjadi penyemai perdamaian bagi umat manusia di muka bumi ternyata ditampilkan dengan wajah keras dan garang, bukan saja bagi non-Muslim tapi juga bagi sesama Muslim, melalui bahasa-bahasa jihad, kafir, bid’ah, sesat, dan lain sebagainya. Jika banyak Muslim bertanya-tanya apa gerangan yang salah dengan agama ini, lebih-lebih lagi Islam menuai citra negatif di kalangan non-Muslim, terutama mereka di dunia Barat yang banyak mengenal Islam dari pemberitaan media. Banyaknya karya yang ditulis mengenai fenomena ini seolaholah berbanding lurus dengan semakin maraknya kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Salah satu penyebabnya barangkali adalah karya-karya tersebut mengedepankan Alumni CRCS, bekerja di Program S3 Inter-Religious Studies (S3 IRS), Sekolah Pascasarjana UGM.
bahasa-bahasa akademis yang sukar dicerna oleh masyarakat awam sehingga jauh dari nuansa perenungan dan penghayatan. Alihalih menyelesaikan persoalan, karya-karya tersebut malah menjadi bagian dari persoalan. Di sinilah menurut saya kekuatan dari buku yang ditulis oleh Machasin ini. Sebagaimana ditekankan oleh penulisnya sendiri, buku ini merupakan hasil perenungan panjang tentang ke-Islam-an dalam bingkai tradisi yang dianut si penulis sendiri (hlm. 2). Menariknya, sekalipun si penulis sendiri merupakan seorang akademisi, tapi bahasa-bahasa yang dipakainya bisa dikatakan “membumi” dan gampang dicerna bahkan oleh mereka yang jauh dari tradisi akademik sekalipun. Buku yang merupakan hasil suntingan terhadap pergulatan pemikiran si penulis selama selama rentang 15 tahun ini, secara garis besar terbagi ke dalam tiga bagian. Perlu dicermati bahwa pembagian ini merupakan pembagian tumpang-tindih dan tidak dimaksudkan sebagai sebuah kategorisasi kaku. Tidak persis seperti tersurat dalam anak judul buku ini, tiga bagian yang dimaksud
97
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 87-96
adalah (1) Menjawab Tantangan Global; (2) Menjawab Persoalan Lokal; (3) Islam Rahmatan Lil-‘alamin. Pembagian longgar seperti ini bisa dimaklumi mengingat buku ini merupakan hasil suntingan dari pemikiran si penulis yang disampaikan dalam diskusi-diskusi, seminar, khutbah, dan juga jurnal ilmiah dalam rentang waktu yang cukup panjang. Ketimbang sebagai sebuah pembagian akademik, kategorisasi dalam buku ini lebih dimaksudkan untuk memetakan pemikiran si penulis dan juga memudahkan pembaca dalam memahaminya. Bisa dikatakan, buku ini mewakili pemikiran Machasin yang namanya sudah dikenal sebagai tokoh intelektual dalam jagad pemikiran ke-Islaman di Indonesia dan juga sosok yang banyak berkecimpung dalam lembaga ke-Islam-an di Indonesia. Sebagai tambahan, saat buku ini disusun, Machasin masih aktif sebagai guru besar UIN Sunan Kalijaga dan juga Dirjen Perguruan Tinggi Islam Departemen Agama RI. Bagian pertama dari buku ini lebih banyak menyoal isu-isu yang lebih bersifat global, seperti persoalan agama, pendekatan dalam tafsir, pendidikan agama, hingga pengalaman si penulis ketika harus memberi khutbah di hadapan komunitas Kristiani di Amerika Serikat. Dalam bagian pertama ini, pembaca akan mengetahui sudut pandang penulis dalam memahami agama (terutama Islam). Sebagai contoh, dia mengusulkan perlunya penyatuan antara Islam sebagai agama-terlembaga dan pengalaman ke-Islam-an yang kerapkali saling bersitegang. Menurutnya, klaim kebenaran, sebagai ikutan dari pelembagaan agama kerapkali berujung pada formalitas kaku yang kurang atau bahkan menutup ruang bagi pengamalan keagamaan individu. Padahal, Islam-terlembaga berisiko disimpangkan oleh pihak-pihak berkuasa dan juga mereduksi nilai-nilai ilahiah yang sejatinya menjadi alasan utama mengapa seseorang beragama. Tapi di sisi lain, pelembagaan agama, asalkan tidak berlebihan, memiliki makna positif
98
karena mempermudah kontrol terhadap penyelewengan terhadap ajaran agama (hlm. 11). Maka dari itu, perlu kelonggaran dan pembatasan spontanitas terhadap pengalaman keagamaan individual (hlm. 12). Hanya dengan cara demikian, rumusan-rumusan baku agamaterlembaga bisa berjalan seirama dengan kebebasan dalam pengamalan keagamaan, terutama ketika merespon tuntutan zaman yang terus berubah. Tentu saja, penyatuan antara Islamterlembaga dan pengalaman keagamaan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan mengingat Islam-terlembaga telah begitu mengakar kuat melalui pelembagaan ajaranajaran kitab suci dalam bentuk tafsir berikut produk turunannya. Sakralisasi pemahaman keagamaan, atau menganggap suci pemahamaan para ahli agama terdahulu terhadap kitab suci (hlm. 14), di satu pihak turut berperan bagi terjadinya proses pemandegan kreativitas dan telaah kritis terhadap ajaran-ajaran agama. Konsekuensinya, Islam-terlembaga malah menjadi beban bagi pengikutnya ketika ia tidak lagi mampu merespon perkembangan dan tuntutan zaman yang tidak lagi sama seperti masa ketika ajaran-ajaran itu dicetuskan. Untuk keluar dari situasi ini, diperlukan Tafsir Transformatif yang harus didahului oleh perubahan cara pandang kita terhadap alQuran. Al-Quran seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang “sudah jadi” dan “siap pakai”, melainkan masih butuh daya kreativitas manusia untuk menyingkap maknanya (hlm. 17). Beberapa rintangan yang harus diatasi dalam upaya tafsir semacam ini meliputi: rasa kurang percaya diri atas kemampuan melakukan pembacaan dan tafsir ulang terhadap al-Quran, ketakutan untuk menjadi berbeda, dan adanya kelompok-kelompok kepentingan yang tidak menghendaki adanya perubahan (hlm. 25). Bagian kedua menyentuh isu-isu terkait Islam dengan nuansa lokal lebih menonjol. Selain persoalan-persoalan global, Islam juga dihadapkan pada persoalan
Wahyu Widhiarso -- Pengujian Kesetaraan Presisi dan Skala Ukur Butir-Butir pada Skala Psikologi
lokal yang tidak kalah seriusnya, mulai dari fundamentalisme Islam, kekerasan terhadap kelompok “sempalan”, desakan penerapan syariah dan sejenisnya. Sejatinya, Islam mengakui perbedaan sebagai sebuah keniscayaan (sunnatullah), tapi dalam praktiknya banyak contoh, terutama di negeri ini, yang malah menunjukkan sebaliknya. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena kita masih menganggap mereka yang berbeda dari kita sebagai musuh. Sikap seperti ini malah akan menjadi bagian dari masalah ketimbang menjadi penyelesaian. Persoalan fundamentalisme Islam, misalnya, sebenarnya merupakan sebuah persoalan wajar yang harus dilihat dari kacamata negatif dan positif. Negatif dalam artian bahwa fenomena semacam itu cenderung menggunakan kekerasan sekalipun tujuannya untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik. Positif dalam artian fenomena semacam itu harus menjadi sarana otokritik dan upaya mengatasi persoalan yang memberikan daya tarik pada gerakan fundamentalisme, seperti kegagalan modernitas dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan, lambannya organisasi Islam mainstream dalam menyelesaikan persoalan kekinian yang dihadapi pengikutnya, dan ketidaktegasan pemerintah dalam menangani berbagai persoalan (hlm. 146-152). Sikap mudah mengkafirkan dan memusuhi mereka yang berbeda dari keyakinan dipicu antara lain oleh kesalahan menganggap keseragaman sebagai esensi dari sebuah ajaran atau tradisi. Padahal, pemahaman dan ekspresi pengalaman terhadap agama— termasuk Islam--dalam sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari corak keberagaman (hlm. 130). Pandangan seperti ini pada akhirnya akan melahirkan apa yang disebut dengan sakralisasi atau pengkudusan pendapatpendapat masa lampau yang kemudian menjadi ajaran agama. Akibatnya, iman tidak lagi bisa diterjemahkan sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam konteks Islam, proses
diversifikasi atau penganekaragaman, paling tidak dalam ranah kajian, diperlukan untuk memberikan lebih banyak pilihan (hlm. 137). Islam sendiri mengakui keberagaman sebagai sebuah keniscayaan dan sangat terbuka pada budaya atau tradisi lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Bahkan, keberhasilan dakwah Islam terletak pada kemampuannya menyatu dengan tradisi lokal karena bagaimanapun juga sesuatu yang sudah dikenal akan lebih mudah diterima (hlm. 193). Pendek kata, Karena budaya pada dasarnya adalah perwujudan dari nilainilai kemanusiaan yang berpangkal pada spiritualitas dan agama tidak bisa dilepaskan dari spiritualitas (hlm. 242), maka keduanya bisa saling mendukung satu sama lain. Bagian ketiga dikhususkan membahas persoalan Islam dalam kaitannya dengan harmoni antar pemeluk agama, terutama dalam konteks Islam sebagai rahmatan lil-alamin. Dalam bagian ini, si penulis banyak menyoroti persoalan seperti terorisme, pluralisme, konflik dan kerjasama lintas agama, dan juga fundamentalisme Islam. Munculnya semua masalah kemanusiaan ini dipicu oleh kegagalan pemeluk agama memahami hakikat dari keberagamaan. Budaya kekerasan terutama lahir karena kekeliruan memahami ajaranajaran agama yang banyak dirumuskan di masa-masa perang, anggapan orang lain sebagai musuh atau pesaing kebenaran, dan kegagalan umat manusia menciptakan tatanan kehidupan yang berkeadilan dan bermartabat (hlm. 219-220). Alih-alih memerangi persoalan bersama seperti kemiskinan, kebodohan, keserakahan, dan sebagainya, sebagian pemeluk agama malah saling menyerang satu sama lain dan bahkan terlibat dalam konflik keagamaan. Pendeknya, mereka tidak lagi berada di “Jalan Tuhan”: tidak lagi menggunakan nalar sebagai pembeda mereka dari hewan, mengedepankan hawa nafsu, mengejar kehidupan badaniah ketimbang spiritualitas, gagal mewujudkan keadilan di muka bumi
99
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 87-96
dan kebahagiaan bagi semua orang (hlm. 226). Di sinilah sebenarnya letak Islam sebagai Rahmatan Lil-‘Alamin, yakni mengantarkan umat manusia ke “Jalan Tuhan” tersebut. Penulis menekankan perlunya penggunaan nalar dalam menentukan pilihan-pilihan dalam menyelesaikan persoalan kehidupan, tak terkecuali ketika manusia harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan mereka. Karena nalar individual memiliki risiko besar untuk keliru, rujukan terhadap nalar orang lain mutlak diperlukan (hlm. 254). Prinsip penggunaan nalar seperti ini dan juga kerjasama antar pihak penting agar manusia condong pada tindakan-tindakan positif dan terjauh dari tindakan-tindakan negatif, apalagi dalam konteks majemuk dan plural seperti Indonesia.
Secara umum, buku ini layak dinikmati oleh kaum akademisi maupun kaum awam sekalipun, mengingat bahasa-bahasa akademik dan teknis disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami. Buku ini juga mengajak pembaca merenung kembali soal keberagamaan mereka. Sayangnya, tampilan buku yang sangat sederhana dan penggunaan kertas buram (barangkali karena alasan ekonomis) mungkin akan mengurangi kenyamanan kita dalam membacanya. Di samping itu, penyunting juga tidak mencantumkan dari mana tulisan itu bersumber atau dalam konteks apa tulisan itu disampaikan sehingga sedikit mengurangi “keilmiahan” buku ini karena beberapa bagian berupa tulisan singkat dan tidak menggunakan catatan kaki.
100
Wahyu Widhiarso -- Pengujian Kesetaraan Presisi dan Skala Ukur Butir-Butir pada Skala Psikologi
KAWISTARA VOLUME 2
No. 1, April 2012
Halaman 1-104
INDEKS KAWISTARA Volume 2, No. 1, April 2012
A absorbed actions 33 active ageing 76 act locally 49 ageing structured population 79 age population structured 83 Akar pemicu konflik 2 amenitas 2 annoyance 11 apathy 11 apropriasi 60, 68 Aum Panen 30 Aum Tandur 30
B badridden 75 baileo 41, 42, 43, 44 Bali Tourism Development Corporation 7 bersiasat secara liat 64 Bersih Desa 30 Biodiversity 50
C cakalele 37 carrying capacity 15, 16 charity 78 Children Depression Inventory 90 constraint 94 core curriculum 51 Corporate Social Responsibilities 7 Cross generation 80 cultural studies 58, 59
D dekonstruksi Derridean 59 dengan prinsip think globally, but act locally 49
destinasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 11, 12, 17, 19 destinasi pariwisata 3, 4, 12 Destination-Management Planning 3 discussion 2 Diskursus 77 drop out 49
E educandum 49 education for sustainable development 48, 51, 56 Education for Sustainable Development 56 Education For Sustainable Development 50 Ekspresi penari 29 error measurement 89 essentially tau-equivalent 89 etika 22, 50, 61, 62, 82 euphoria 11 exact 49 External-Destination Marketing 2
G Gabungan Industri Pariwisata Indonesia 8 Geertz 25, 34, 38, 46 goodness fit index 91, 94 goodness fit indices 90 gupolo gunung 34
H handarbeni 53 handicraft 81 harkat 61 homo educabili 49 homo educandum 49 homo educator 49 human development index 49
101
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 87-96
I
O
industri kreatif 65, 66 Inovasi pembelajaran 51, 53 insecurity 74, 78, 81 insecurity saving 78 instant 49 Interdependence 50 Internal- Destination Development 2 invented tradition 33 Islamic-integrated education 51
Objek Daya Tarik Wisata 18
K
P paguyuban 55, 62 patembayan 55 pemuas hasrat 65 Pengukuran Depresi 92 Personal and social responsibility for action 50 politik identitas 64 proyek liyanisasi 66
ka’a 40, 43, 44 kajian poskolonial 59 karakter 7, 9, 11, 22, 29, 59, 61, 63, 64, 65, 73, 76, 77, 78, 79, 80, 83, 84 keselamatan 40 ketidakstabilan 59 klangenan 59
R
L
self service 51 sirkuit pemuas hasrat 65 slogan pemanis 59 soa 39, 40, 43 social network 80 societal prosperity 6 soreng 26, 32, 34 soreng, topeng ireng, warok bocah, kuda lumping 26 stakeholder 2, 3, 55, 74, 76, 78, 84 Standard Metropolitan Statistical Areal 18 strict paralel 94 supporter 69 Sustainabilit 50
lani 44 lania 44 lembaga swadaya masyarakat 82 life expectancy 74 Local Working Group 11
M ma’ahalalahat 45 Ma’ahala Lahat 40, 41, 43 Ma’ataru Ame 40, 41, 43 ma’atenu 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46 ma’ateruamae 45 management 1, 3, 48 Management of Destination-Organization 2, 4 maningkamu 36, 46 martabat 61, 63 master plan 79, 80 masterplan 67 Masyarakat Film Indonesia 62 Matasiri 42 maximum likelihood 91 Media transmisi 29, 31
N nilai tukar 65 non exact 49 nota-bene 63 Nyadran Kali 30, 31 Nyadran Makam 30 nyantrik 27
102
Remaja 88, 90 ritual 7, 8, 9, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 66, 69 Root Means Square Error 91
S
T tau 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93 tau-equivalent 87, 88, 89 teknologi tanda populer 61 tepo sliro 67 the invisible power 58, 59 The Ministry of Education 50 The World Cultural Heritage 6 think globally 49 topeng ireng 26, 34 tradisi 9, 19, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 60, 66 trained actions 33 Transmisi 25, 27, 28, 29, 32, 33, 34 TWC 2, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12
Wahyu Widhiarso -- Pengujian Kesetaraan Presisi dan Skala Ukur Butir-Butir pada Skala Psikologi
U
V
underestimate 88 upu ana 39 Urato Roho Rhima 42 urban and urban fringe 18 urban built land 17 Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 12
vernacular cosmopolitanism 63
W warok 26, 34 wejangan 63
103
Kawistara, Vol. 2, No. 1, April 2012: 87-96
104