KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-118
DAFTAR ISI
Implementasi Nilai-Nilai Budaya, Sosial, dan Lingkungan dalam Pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta 1-11 Joko Tri Haryanto
Pengembangan 24 Destinasi Wisata Bahari Kabupaten Ende12-23 Josef Alfonsius Gadi Djou
!" # ! $%%& di Kabupaten Kulon Progo) 24-40 Istikomah
Negara, Islam, dan Nasionalisme Sebuah Perspektif 41-57 Al Chaidar dan Herdi Sahrasad
Dialektika Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam:Kajian Semantik terhadap '(*58-67
Konsep Makrifat Menurut Al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi: Solusi Antisipatif Radikalisme Keagamaan Berbasis Epistemologi 68-78 ! "
Dilema Pers Birokratik di Era Demokratisasi !
Komunika Kementerian Komunikasi dan Informatika79-93 #$ %&"' % "!"! (!
+ ! / Analisa Data Sakerti 200794-108 Cecep Sukria Sumantri
Resensi 109-111 )
Indeks 112-115
i
KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-116
EDITORIAL
Demokratisasi yang sedang berjalan di Indonesia telah menuai banyak pujian dari dunia internasional. Peralihan rezim dari yang otoritarian ke demokratis dalam waktu yang cukup singkat dinilai cukup sukses. Saat ini, Indonesia bahkan diasumsikan akan menjadi kekuatan baru dalam kancah internasional. Indonesia yang usianya masih relatif mudah mampu menunjukkan dirinya sebagai negara yang potensial. Kekayaan sumber daya alamnya merupakan modal besar bagi Indonesia untuk menjadi negara besar. Di saat banyak negaranegara Barat mengalami krisis ekonomi, Indonesia adalah salah satu negara di Asia yang justru menunjukkan tren positif dalam pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, penilaian dan espektasi dunia internasional tersebut tidak berarti bahwa Indonesia tidak memiliki masalah-masalah krusial yang harus diatasi. Sebagai negara yang baru dalam proses demokratisasi, Indonesia masih memiliki berbagai masalah. Carut marut sistem perpolitikan, praktik korupsi yang terjadi di hampir semua lembaga, pengangguran dan kemiskinan, ancaman disintegrasi bangsa, dan berbagai masalah sosial lainnya telah menyebabkan meningkatknya ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah sekarang ini. Pemerintah Indonesia tampak “indah” di dunia internasional, tetapi “suram” di mata rakyatnya. Pada pengembangan ekonomi, agen-agen pemerintah sebenarnya sudah melakukan banyak hal karena sistem-sistem yang tampaknya masih belum mapan, hasilnya pun belum maksimal. Gambaran inilah yang ditunjukkan oleh ; */ Josef Alfonsius Gadi Djou, khususnya dalam program pariwisata. Selain menunjukkan permasalahan yang ada, kedua penulis tersebut menawarkan “jalan keluar” untuk pemecahannya. Haryanto mengakui bahwa pengembangan kepariwisataan di Indonesia merupakan salah satu potensi besar yang dapat meningkatkan devisa negara atau pendapatan daerah. Hal ini ditunjukan dari ada banyak program pariwisata yang berhasil memberi kontribusi pada peningkatan ekonomi. Akan tetapi, ternyata program pariwisata juga telah banyak menyumbang pada kerusakan lingkungan, akibatnya juga berdampak pada kehidupan sosial. Kesadaran akan pentingnya fungsi lingkungan, pemerintah sebenarnya telah mengembangkan program pariwisata yang pro-lingkungan, atau popular dikenal dengan istilah ekowisata. Program ekowisata dalam bentuk Desa Wisata yang dikembangkan di Yogyakarta adalah fokus kajian Haryanto. Belajar dari temuannya bahwa program Desa Wisata di Yogyakarta belum maksimal, Haryanto menawarkan konsep yang memanfaatkan nilai-nilai budaya, sosial, dan lingkungan sebagai atraksi utama.
ii
Djou, dengan tema yang sama, juga menemukan bahwa di Kabupaten Ende terdapat 24 destinasi wisata bahari yang memiliki potensi besar. Seperti banyak di tempat lain, potensi-potensi tersebut juga belum dimanfaatkan secara maksimal. Djou dalam tulisannya menawarkan lima langkah yang dapat dilakukan untuk pengembangan wisata bahari di Ende. Pertama, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang memberi kesempatan dan akses yang mudah bagi stakeholders. Kedua, pemerintah seharusnya membuat perencanaan pembangunan terhadap destinasi wisata bahari yang potensial. Ketiga, menyediakan informasi yang memadai tentang destinasi wisata. Keempat, pemerintah dan komunitas bahari harus membangun kapasitas sumber daya manusia, khususnya dalam hal manajerial. Kelima, pemerintah harus melakukan promosi destinasi wisata bahari secara berkelanjutan. Dengan tema yang berbeda dengan sebelumnya, Istikomah juga menunjukkan sebuah program pengembangan ekonomi yang potensial, tetapi belum berhasil secara maksimal. < ! $%%=> / < ? / terhadap peningkatan akses permodalan bagi UMK. Hal ini ditunjukkan dengan tidak /@ ! keputusan PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai agunan. Dalam konteks politik, fenomena yang serupa juga ditunjukkan oleh Herdi Sahrasad. Cita-cita reformasi ternyata masih jauh
" > / F / " runtuhnya Suharto. Fokus kajian Sahrasad adalah peran dua kategori partai politik: Islamis dan nasionalis. Penulis berpandangan bahwa kedua kelompok partai tersebut ternyata samasama belum memfungsikan dirinya sebagaimana diamanahkan oleh gerakan reformasi. Mereka bahkan masih berkolusi dengan penguasa dalam praktik kolusi dan korupsi. Selain masalah ekonomi dan politik, kehidupan sosial, khususnya terkait dengan relasi antara kelompok sosial merupakan masalah krusial di Indonesia. Relasi antaragama bahkan berdasarkan beberapa survey menunjukkan meningkatnya tren intoleransi. Pemerintah sebenarnya telah mempromosikan dan menjalankan berbagai program untuk membangun relasi antaragama yang harmonis. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan baru saja menerima sebuah penghargaan untuk promosi kebebasan beragama (Award for promoting religious freedom) dari sebuah yayasan yang berbasis di New York. Penganugrahan Award tersebut menuai begitu banyak kritik karena faktanya pemerintah SBY tidak mampu mengatasi serangan-serangan terhadap kelompok minoritas atas nama agama. Negara belum ' ?/>X Z hingga hari ini terus mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dua tulisan
@ #+[ \ > ] ^ > ; \ membahas sebab munculnya sikap inklusivisme dan ekslusivisme dalam agama Islam oleh " " '(F < @ ajaran tasawuf oleh al-Ghazali dan Ibnu Arabi sebagai alternatif dalam menangkal faham radikalisme. Dua tulisan terakhir membahas masalah kebebasan pers dan kesehatan anak. Kedua tulisan tersebut, seperti tulisan-tulisan sebelumnya menunjukkan masalah yang rakyat Indonesia > \ X< /
! " _ ` q>
iii
<? > F akses dan kesempatan ekspresi, tetapi di sisi lain, kebebasan wartawan, keterbukaan ruang F > /F mendiskusikan kasus yang terjadi pada Orde Baru, memberi gambaran tentang situasi pers saat ini. Sementara itu, Cecep Sukria Sumantri membahas tentang rumah tangga migran dan tingkat kesehatan anak 0-14 tahun yang ditinggalkan dengan berdasarkan analisis data IFLS $%%=> < ' yang mempengaruhi tingkat kesehatan mereka. Ada beberapa faktor, tapi salah satu yang /
" / tingkat kesehatan. Volume ini secara umum menunjukkan bahwa perjalanan demokratisasi Indonesia, di samping berbagai potensi dan capaian yang ada, ada banyak masalah di setiap segmen yang perlu dikelola secara lebih baik. Lebih dari itu, menawarkan metode atau cara mengatasi masalah yang dihadapi. Dilihat dari keragaman tema yang dibahas, volume ini berkontribusi akan pentingnya kajian multidisiplin. Dengan kajian seperti ini, maka kompleksitas masalah dapat tampak. Kesadaran terhadap kompleksitas masalah akan menuntut cara penyelesaian secara terpadu, dan multidisiplin sebagai pendekatan berpotensi memberi solusi secara komprehensif.
KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-116
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI BUDAYA, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN PENGEMBANGAN DESA WISATA DI PROVINSI YOGYAKARTA Joko Tri Haryanto Unit Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Email: djohar78@gmail.com
ABSTRACT
!
" # " " #
$ " # Keyword: Ecotourism, Sustainable Tourism, Tourism Village, Ecotourism Pillars
ABSTRAK Meskipun memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat di dunia, pembangunan pariwisata juga sering disebut sebagai salah satu sumber kerusakan lingkungan utama, ketika pembangunan pariwisata tersebut membutuhkan penyediaan infrastruktur yang harus merusak alam. Akan tetapi,seiring dengan peningkatan kesadaran akan pentingnya fungsi lingkungan, berkembang gerakan pariwisata berkelanjutan atau diistilahkan ekowisata. Yogyakarta sebagai salah satu daerah tujuan wisata juga mengembangkan ekowisata yang berbasis nilai-nilai budaya, sosial, dan lingkungan berguna untuk dijadikan ragam atraksi utama. Untuk itulah tulisan ini disusun sebagai bagi Desa Wisata dalam mengimplementasikan nilai-nilai budaya, sosial, dan lingkungan dalam mengembangkan Desa Wisata. Kata Kunci: Ecotourism, Sustainable Tourism, Desa Wisata, Ecotourism Pillars
1
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 1-11
PENGANTAR Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa ?
| " kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah”. Sedangkan wisata
| perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara”. Di samping peningkatan jumlah kunjungan tamu asing, faktor lain yang juga sangat berpengaruh terhadap industri pariwisata Indonesia adalah pergerakan wisatawan nusantara (wisnus). Disadari bahwa peranan wisnus merupakan yang terbesar dalam menciptakan dampak ekonomi, maka Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata semakin gencar untuk mengajak penduduk Indonesia melakukan perjalanan atau wisata di dalam negeri. Dengan slogan | % & ' ( )* ' + ' ” diharapkan semakin banyak penduduk Indonesia yang ingin mengetahui lebih banyak tentang negerinya sendiri (NESPARNAS, 2009). Meskipun memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat di dunia, pembangunan pariwisata juga sering disebut sebagai salah satu sumber kerusakan lingkungan utama, ketika pembangunan pariwisata tersebut membutuhkan penyediaan infrastruktur yang harus merusak alam sebagaimana yang disebutkan dalam laporan , " - / tahun 1996. Dalam perkembangannya, seiring dengan tuntutan terciptanya pembangunan yang berkelanjutan serta kegiatan pariwisata yang ramah lingkungan, negara-negara yang memiliki kekayaan alam dan budaya mulai mengembangkan jenis pariwisata ekologis atau yang lebih dikenal sebagai ekowisata.
2
Ekowisata ini lebih dari sekedar kelompok pecinta alam yang berdedikasi, sebagai gabungan berbagai kepentingan yang muncul dari keperdulian terhadap masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan. Bagaimana membuat devisa masuk kembali sehingga konservasi alam dapat membiayai dirinya sendiri merupakan inti dari cabang baru ilmu ekonomi hijau pembangunan berkelanjutan ini (Western, 1999;2-3). Pembangunan pariwisata berkelanjutan, seperti disebutkan dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan (1995) adalah pembangunan yang dapat didukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara etika, dan sosial terhadap masyarakat. Artinya bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan. Sebagai salah satu tujuan wisata utama di Indonesia, Yogyakarta memiliki banyak faktor yang mampu menarik datangnya wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Faktor keanekaragaman atraksi dan daerah tujuan wisata, di mana terdapat lebih dari 50 tempat tujuan wisata, kemudian faktor atribut budaya, sejarah, dan alam yang menjadi ciri khas utama wisata Yogyakarta serta memberikan identitas yang unik terhadap pariwisata Yogyakarta. Berbagai atribut tersebut dapat menggambarkan pariwisata Yogyakarta secara keseluruhan (Rahajeng dalam Haryanto, 2012). Secara keseluruhan potensi pariwisata di Yogyakarta dibagi menjadi potensi wisata alam berupa pegunungan yang masih aktif di bagian utara, barat laut dan tenggara (Merapi, Menoreh dan Sewu). Beberapa pegunungan ini memiliki potensi ekowisata yang sangat menarik serta memiliki keindahan pemandangan beserta Z / ' bentuk yang unik. Potensi wisata alam lainnya berupa kawasan hutan negara yang tidak terlalu luas yang juga memiliki potensi wisata ekologi misalnya hutan hujan tropis di pegunungan
Joko Tri Haryanto -- Implementasi Nilai-Nilai Budaya, Sosial, dan Lingkungan dalam Pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta
lereng Merapi, hutan suksesi primer di dekat puncak Merapi, dan hutan pendidikan dan penelitian di Gunung Kidul. Di luar kawasan hutan terdapat pertanian dan perkebunan yang dapat dikembangkan menjadi wisata agro misalnya wisata agro tanaman Salak Pondoh di Kabupaten Sleman. Pertanian dan perkebunan juga memiliki potensi sistem sosial dengan budaya dan adat istiadat yang menarik bagi wisatawan. Bagi pakar arkeologi, Yogyakarta sangat menarik karena memiliki sekitar 36 candi atau situs bersejarah. Selain itu Yogyakarta juga memiliki persekitaran yang indah dengan bangunan-bangunan arsitektur tradisional yang masih banyak dijumpai. Kehidupan sosial yang selaras dan serasi antara unsur tradisional dan modern membentuk keharmonisan. Upacara-upacara tradisional masih terpelihara dengan baik hingga kini. Suasana malam di Yogyakarta yang romantis dengan lampu-lampu hiasnya membuat Yogyakarta menjadi daerah yang menarik untuk dikunjungi tidak hanya sekali, tetapi juga ngangeni (membuat rindu dan ingin datang kembali). Seni dan budaya tradisional seperti musik gamelan dan tarian tradisional mampu mengingatkan siapapun yang melihatnya akan kehidupan masa lampau. Umumnya obyek wisata ini terletak di sekitar Kraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa yang merujuk pada budaya Kerajaan Mataram (Rahajeng dalam Haryanto, 2012). Sejalan dengan meningkatnya gerakan pengembangan ekowisata, Pemerintah Yogyakarta juga serius memajukan beberapa potensi pariwisata yang dapat diaplikasikan menjadi konsep ekowisata, seperti pengembangan ekowisata Kaliadem dan Merapi 0 yang menawarkan sebuah konsep pariwisata berbasis keindahan alam dan kenyamanan udara Merapi yang dipadukan dengan interaksi masyarakat desa di lereng Merapi berikut kebudayaan yang dimiliki seperti labuhan sesaji untuk Merapi. Konsep ekowisata lainnya yang dikembangkan adalah konsep ekowisata Kali Code Utara di Kota Yogyakarta. Kali
Code Utara sebagai salah satu anak sungai yang langsung terhubung dengan Merapi, menyimpan potensi ekowisata yang berupa wisata pengelolaan sampah mandiri, Ipal komunal serta wisata di sepanjang Kali Code Utara dengan menikmati keindahan arsitektur kali hasil binaan YB. Mangunwijaya (Karomah, 2007;16-18). Implementasi dalam pengembangan ekowisata di Provinsi Yogyakarta diwujudkan dalam bentuk Desa Wisata yang tersebar hampir di beberapa wilayah kabupaten dan kota diantaranya Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunung Kidul. Ada beberapa ekowisata yang sudah relatif maju dan berkembang, tetapi sebagian besar masih membutuhkan dorongan dan perhatian ekstra dari Pemerintah karena memang diharapkan masyarakat menjadi pengelola sekaligus penangungjawab pelaksanaan Desa Wisata tersebut. ! dan dana tentu menjadi permasalahan di beberapa Desa Wisata. Akan tetapi, demikian kendala utama sebetulnya justru terletak dari manajemen pengelolaan Desa Wisata itu sendiri, khususnya implementasi dari aspek budaya, sosial, dan lingkungan dalam pengembangan Desa Wisata. Banyak sekali Desa Wisata yang kesulitan menemukan aspek budaya, sosial, dan lingkungan yang nantinya menjadi keunggulan utama Desa Wisata tersebut dalam menarik wisatawan. Bentuk implementasi nilai-nilai budaya, sosial, dan lingkungan yang mendukung pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta sebagai berikut: (1) Nilai-nilai budaya, sosial, dan kearifan lingkungan yang mendukung pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta. (2) Implementasi nilainilai budaya, sosial dan lingkungan dalam pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta. ?
dapat persis sama di antara para ahli, hal yang memang jamak terjadi dalam dunia akademis, sebagaimana juga dapat ditemui pada berbagai disiplin ilmu lain. Meskipun ada variasi batasan, ada beberapa komponen
3
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 1-11
pokok yang secara umum disepakati di dalam batasan pariwisata yaitu adanya unsur travel, adanya unsur tinggal sementara di tempat yang bukan tempat tinggalnya serta tujuan utamanya bukan untuk mencari penghidupan di tempat yang dituju (Pitana dan Diarta dalam Haryanto, 2012). Sesuai dengan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2010-2014, pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan merupakan bagian dari proses pembangunan nasional dalam rangka mencapai cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan meliputi semua aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Selain itu disebutkan pula pembangunan kepariwisataan memiliki peran penting untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mendorong pemerataan kesempatan berusaha, mendorong pemerataan pembangunan nasional, dan memberikan kontribusi dalam penerimaan devisa negara yang dihasilkan dari jumlah kunjungan wisatawan serta berperan dalam mengentaskan kemiskinan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pariwisata juga berperan dalam upaya meningkatkan jatidiri bangsa dan mendorong kesadaran dan kebanggaan masyarakat terhadap kekayaan alam dan budaya bangsa dan negara dengan memperkenalkan kekayaan alam dan budaya.
Ekowisata ? / diperkenalkan oleh organisasi The 0 1 (1990) sebagai berikut: ekowisata adalah &
& &
Semula ekowisata dilakukan oleh
4
wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga. Akan tetapi, perkembangannya ternyata bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan. Wisatawan ingin berkunjung ke area alami, yang dapat menciptakan kegiatan > ?
sebagai berikut: bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999 dalam ~ F $%%%^> / ekowisata, seperti yang diuraikan oleh 2 "
adalah suatu pembangunan pariwisata yang memiliki empat pilar atau atribut sebagai berikut: 3 , 0 4 mengandung pengertian proteksi, konservasi atau perluasan sumber daya alam dan <
jangka panjang dan keberlanjutan ekosistem, misalnya wisata alam Ujung Kulon yang akan menghasilkan sebuah konsep ekosistem berkelanjutan dari satwa badak bercula; * , 5 4 mendorong tumbuh dan berkembangnya ekonomi lokal, bisnis dan komunitas untuk menjamin kekuatan ekonomi dan keberlanjutan ( ) misalnya dampak dari pembangunan lokasi wisata biasanya akan diikuti oleh maraknya kegiatan ekonomi lokal; * , + 4 mendorong timbulnya penghormatan dan apresiasi terhadap adat istiadat dan keragaman budaya untuk menjamin kelangsungan budaya lokal yang baik misalnya melalui wisata budaya, maka orang akan mengenal budaya daerah atau negara lain dan menimbulkan penghormatan atas kekayaan budaya tersebut; * , 06 4 menciptakan atraksi yang dapat memperkaya dan meningkatkan pengalaman yang lebih memuaskan, melalui partisipasi aktif dalam memahami personal dan keterlibatan dengan alam, manusia, tempat dan/atau budaya (Abdillah, dalam Yoeti, 2006;26).
Joko Tri Haryanto -- Implementasi Nilai-Nilai Budaya, Sosial, dan Lingkungan dalam Pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta
Studi Sebelumnya Terkait Dengan Konsep Budaya, Sosial, Lingkungan, dan Pariwisata Pengaruh budaya terhadap pariwisata sudah dilakukan sejak tahun 1957 oleh Hanna dengan obyek penelitian pariwisata Bali menggunakan pendekatan kualitatif dengan kesimpulan pariwisata memberikan dampak negatif pada perkembangan budaya Bali di mana nantinya masyarakat Bali diasumsikan tidak lagi mampu membedakan tradisi seni Bali yang sesungguhnya dengan tradisi seni Bali yang sifatnya komersial. Secara keseluruhan pengaruh budaya dan pariwisata dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan beberapa aspek yang dianalisis kontak budaya, manifestasi kebudayaan, revitalisasi budaya, konservasi budaya, degradasi budaya, adaptasi budaya, Z /F /> Pengaruh modalitas sosial terhadap pariwisata menjadi bahan kajian yang cukup menarik dewasa ini. Beberapa lembaga menjadikan tema tersebut sebagai bahan utama penelitian mereka seperti + ! 7 8 ( CIFOR) yang melakukan kajian pembangunan pariwisata berbasis masyarakat di Malinau pada tahun 2004.
Tema modalitas sosial dan pariwisata sebagai salah satu isu terkini yang mereka angkat diantaranya Listiana Afri tahun 2005 mencoba melihat pengaruh Candi Borobudur terhadap perilaku sosial pedagang disekitarnya. Secara keseluruhan penelitian pengaruh modalitas sosial dan pariwisata dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dengan beberapa aspek yang dianalisis adalah modalitas sosial, Z F F sistem sosial. Ketika isu perubahan iklim dan pentingnya daya dukung lingkungan menjadi tema aktual, banyak peneliti kemudian menjadikan penelitian mereka sebagai analisis pengaruh pariwisata dan daya dukung lingkungan diantaranya Gita Alfa Arsyadha tahun 2002 yang melakukan kajian di Pulau Karimunjawa. Secara keseluruhan penelitian pengaruh kondisi lingkungan dan pariwisata dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan beberapa aspek yang dianalisis adalah daya tampung, daya dukung dengan tujuan mencapai pembangunan berkelanjutan. Metode analisis, instrumen penelitian dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hubungan Antara Variabel No
Pertanyaan Penelitian
1
Nilai-nilai budaya, sosial dan lingkungan apa yang mendukung pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta?
2
Bagaimana implementasi nilainilai budaya, sosial dan lingkungan dalam mendukung pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta ?
Pendekatan dan Instrumen Penelitian Pendekatan kualitatif dengan instrumen penelitian terhadap beberapa terkait.
Menggunakan metode
dari jawaban informan penelitian
Pendekatan kualitatif dengan instrumen penelitian terhadap beberapa yang terkait.
Menggunakan metode
dari jawaban informan penelitian
Metode Analisis
Metode Pengumpulan Data Wawancara mendalam (FGD)
Wawancara mendalam (FGD)
5
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 1-11
Tempat yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Provinsi DIY dengan responden berbagai pelaku budaya, tokoh masyarakat, wisatawan serta pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan pengembangan pariwisata berkelanjutan, untuk mendapatkan gambaran mengenai nilai-nilai budaya, sosial, dan kearifan lingkungan yang mendukung pengembangan pariwisata berkelanjutan di. Hasil dari wawancara tersebut digunakan sebagai salah satu dasar penilaian untuk mengevaluasi dan mengkaji pelaksanaan wisata berkelanjutan
/ wisatawan melalui instrumen kuesioner terstruktur untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi mereka terkait dengan pelaksanaan ekowisata di Yogyakarta sekaligus kesediaan berpartisipasi di dalam pengembangan ekowisata. Di beberapa Desa Wisata di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul yang dianggap menjadi cikal bakal pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta secara keseluruhan yaitu di Desa Wisata Brayut, Desa Wisata Sambi di Kabupaten Sleman serta Desa Wisata Kebonagung di Kabupaten Bantul.
PEMBAHASAN Nilai-nilai budaya, sosial, dan kearifan lingkungan yang mendukung pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta Untuk dapat menjadi maju dan berkelanjutan, masing-masing Desa Wisata tersebut harus mampu melestarikan nilainilai budaya, kearifan lingkungan dan sosial yang bersumber dari falsafah Jawa. Secara lebih khusus, nilai-nilai apa saja yang dikembangkan, berdasarkan hasil diskusi mendalam dengan informan penelitian yang berkompeten, dapat disimpulkan dalam sebuah semboyan yang disebut Sapta Pesona yang terdiri dari Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah Tamah dan Kenangan. Adapun bentuk implementasi nilai-nilai yang terkandung di dalam Sapta Pesona dengan kekayaan nilai-nilai budaya dan lingkungan adalah sebagai berikut: 6
Nilai-Nilai Budaya Mencerminkan Keagungan Budaya Jawa Baik Secara Fisik maupun Non-Fisik \ ' / ;?F! / ;?
kuno dan bersejarah lainnya seperti Pasar Beringharjo, Benteng Vasternburg, Taman Sari, serta beberapa bentuk bangunan bersejarah lainnya di Yogyakarta. Beberapa bentuk rumah-rumah penduduk yang masih mengadopsi arsitektur kuno juga dapat digolongkan daya tarik budaya di Yogyakarta. Sementara di Desa Wisata yang menjadi sampel penelitian, indentitas budaya utama muncul lewat rumah-rumah asli penduduk yang masih menggambarkan arsitektur kuno masyarakat Jawa seperti bentuk rumah-rumah Joglo di Desa Wisata Brayut dan beberapa di Kebonagung. \ ' / ;? ' F berupa tari-tarian, kesenian karawitan, & , & , , busana khas Jawa serta berbagai jenis makanan dan kuliner khas Jawa seperti , $ &
Kebiasaan bersepeda onthel juga merupakan salah satu nilai kebudayaan Jawa yang cukup menarik untuk dilestarian.
Nilai-Nilai Kearifan Lingkungan Bersumber dari Falsafah Hidup Masyarakat Jawa Falsafah Jawa bahwa manusia itu kedudukannya sederajat dengan alam, saling melengkapi dan saling menghormati. Manusia mengambil makan dari alam sebaliknya alam membutuhkan manusia untuk menjaga dan merawatnya. Secara turun temurun, masyarakat Jawa sudah memiliki nilai-nilai kearifan lingkungan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk laranganlarangan simbolik untuk tidak merusak alam dan lingkungan misalnya karena di lokasi tersebut ada penunggunya. Bentuk lain dari nilai-nilai kearifan lingkungan masyarakat Jawa biasanya diwujudkan dalam bentuk jalinan budaya yang juga sifatnya turun temurun antar generasi misalnya dalam
Joko Tri Haryanto -- Implementasi Nilai-Nilai Budaya, Sosial, dan Lingkungan dalam Pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta
bentuk berbagai upacara-upacara tradisional yang pada intinya menggambarkan bentuk ucapan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan limpahan karunia-Nya sekaligus mengucap syukur kepada alam dan lingkungan sekitar untuk "|>
Nilai-Nilai Kearifan Sosial Bersumber kepada Falsafah Hidup Masyarakat Jawa Hasil wawancara dengan Bapak Joyo Martani sebagai pengajar tembang 9 , pada dasarnya masyarakat Jawa secara turun temurun sudah diatur dan dibekali hidup dengan berbagai bentuk ajaran budi pekerti yang nantinya akan menjadi bekal hidup kelak kemudian hari. Berbagai bentuk pelajaran budi pekerti tersebut dapat dinikmati dari tembang-tembang 9 yang akan selau dinyanyikan sebagai bentuk pengingat. Secara garis besar dari hasil kesimpulan wawancara dengan beberapa tokoh, nilai-nilai dasar masyarakat Jawa adalah selalu mengutamakan kepentingan bersama, jujur, gotong royong, menghargai sesama, , tanpa pamrih, integritas, tanggungjawab, serta dedikasi, loyal, dan perduli dengan sesama serta perduli dengan lingkungan.
Implementasi Nilai-Nilai Budaya, Sosial, dan Lingkungan dalam Mendukung Pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta Secara umum implementasi nilainilai budaya, sosial, dan lingkungan yang mendukung pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta diwujudkan dalam bentuk atraksi yang disajikan kepada pengunjung. Ada beberapa jenis atraksi yang sifatnya sama di beberapa Desa Wisata tersebut sebagai berikut: Homestay atau ' di mana wisatawan akan diajak tinggal dan beraktivitas bersama dengan penduduk di Desa Wisata. Secara umum jenis atraksi ini mencerminkan adanya prinsip pengembangan ekonomi lokal
, pengkayaan jenis atraksi :6 ), serta ; Belajar gamelan atau , serta menarikan tarian & atau selamatan bumi ( ) sebagai manifestasi utama pengharapan mendapatkan panen yang melimpah. Secara umum jenis atraksi ini juga mengajarkan prinsip pengembangan ekonomi lokal ( ), pengkayaan jenis atraksi (6 ), ( ) serta ( ; Di samping jenis atraksi yang sifatnya hampir sama di seluruh Desa Wisata, masing-masing Desa Wisata tentu wajib menyajikan jenis atraksi unggulan yang memang menjadi ciri khas daerah tersebut. Jenis atraksi unggulan ini tentu sangat daerah tersebut. Desa Wisata Kebon Agung / " pertanian, dengan kelimpahan sungai, dan waduk yang sangat menakjubkan sehingga mereka menjadikan berbagai atraksi yang terkait dengan pertanian sebagai atraksi utama misalnya menanam padi di sawah serta belajar membajak sawah. Pemilihan lokasi sawah yang akan digunakan sebagai media atraksi juga dilakukan secara musyawarah masyarakat. Prinsip keadilan betul-betul ditegakkan dengan sistem bagi hasil antara pemilik sawah dengan pengelola yang nantinya dibagikan lagi untuk non-pemilik sawah. Karena memiliki infrastruktur waduk yang sangat indah, Desa Wisata Kebon Agung juga mengandalkan berbagai atraksi terkait pemanfaatan waduk tersebut misalnya atraksi perahu naga dengan mengaitkan upacara adat Desa Wisata tersebut sebagai atraksi unggulan. Atraksi menyulam topi, membuat aneka makanan tradisional, dan membuat janur juga menjadi andalan di Desa Wisata Kebon Agung. Pihak masyarakat yang
7
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 1-11
kebetulan rumahnya tidak dipilih sebagai lokasi homestay menjadi penangungjawab utama acara tersebut sekaligus mewujudkan semangat kerjasama dan kekeluargaan antara seluruh lapisan masyarakat desa. Sebaliknya Desa Wisata Brayut dan Sambi tidak memiliki kekayaan alam dan kondisi !F mereka memiliki kelebihan pada pengelolaan sektor pertanian, peternakan, keindahan alam pegunungan, pengelolaan jamur kuping, dan pengolahan limbah peternakan menjadi biogas sehingga mereka menjadikan atraksi tersebut sebagai atraksi unggulan. Desa Wisata Brayut menjadikan pengolahan limbah ternak menjadi biogas sebagai atraksi unggulan daerah tersebut. Para pengunjung nantinya akan diberikan pelajaran bagaimana mengelola limbah ternak dimanfaatkan sebagai sumber energy biogas dan langsung dimanfaatkan sebagai media penerangan jalan di Desa Wisata Brayut. Pengelolaan jamur kuping juga menjadi atraksi lainnya yang cukup mendapat banyak perhatian dari wisatawan. Konsep ini sebetulnya sangat bermanfaat bukan hanya terkait dengan pengembangan pariwisata itu sendiri, melainkan juga terkait dengan upaya sinergi pengembangan sektor lainnya misalnya sektor pendidikan. Pengelolaan limbah ternak menjadi biogas serta pengolahan jamur kuping dapat dijadikan media pendidikan berbasis aplikasi dalam mendukung upaya menciptakan generasi mendatang yang lebih perduli dan peka dengan kelestarian lingkungan. 06 ini juga dianggap menjadi model pengajaran masa depan yang > Hal-hal seperti inilah yang seharusnya menjadi pedoman utama Desa Wisata lainnya terkait penetapan jenis atraksi utama yang akan disajikan yang seharusnya dikembalikan lagi kepada kondisi alam, F " > Pengembangan ekowisata tidak selalu identik hanya dengan atraksi < 6 dan berbagai atraksi modern lainnya yang membutuhkan investasi relatif besar.
8
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulankan bahwa nilai-nilai yang dapat diterapkan untuk mendukung terciptanya Model Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan meliputi: 3 , Nilai-nilai / / adat dan berbagai struktur bangunan lainnya, ' / ' tari-tarian, kesenian busana khas adat serta berbagai jenis makanan dan kuliner khas adat masing-masing daerah; * , Nilai-nilai kearifan sosial asli masyarakat yang selalu dilestarikan di masing-masing daerah; * , Nilai-nilai kearifan lingkungan masyarakat yang mendukung pengembangan pariwisata berkelanjutan seperti sistem pertanian yang menyesuaikan alam dan lingkungan serta beberapa upacara tradisional di masingmasing daerah Implementasi nilai-nilai budaya, sosial dan lingkungan di Desa Wisata seharusnya
F ciri utama daerah tersebut. Dengan demikian daerah tersebut mampu meramu berbagai jenis atraksi yang menjadi kekayaan utama dan ciri khas dalam upaya mendatangkan wisatawan.
DAFTAR PUSTAKA Alfa Arsyadha, G., 2002, ”* &
3 3 , * * & = 3 * ” Tugas Akhir Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Undip. Arianto, A., 2004, ”> 3 * 3 = > 3
? + :1 * = *
3 * 3 ;”, Skripsi, Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP, UMM. Afri, L., 2005, ”3 - , + ? " 3 1
0 3 * " , + ? * 9 ”, Skripsi, Sarjanan Pendidikan Pacasila dan
Joko Tri Haryanto -- Implementasi Nilai-Nilai Budaya, Sosial, dan Lingkungan dalam Pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta
Kewarganegaraan, Negeri Semarang.
Universitas
Abimanyu, A., 2010, ”3 3 ? ”, Sarasehan Budaya, Yogyakarta Butler, R.W., 1975, ”" 1
+ " 7 ' 8 = ”,Occasional Paper 4, Peterborough, Ontario Department of Geography, Trent University. Bukhari, Z., 2005, ”1 3 ? 9 > * ? ”, Tugas Akhir, Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pasca Sarjana IPB. q ?F +>F $%%&F |3 3 ? 9 - , +
% ? ”, Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, vol. 3 No 4 Desember; Baskoro, dan Cecep R., 2008, ”9 * 3 ? * 4 1 * &
" ” Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, vol. 3 No 1 Maret; Badan Lingkungan Hidup Yogyakarta, 2011, |! 5 1 8 3 3
5 3 =! ”, Rakor Regional PPEJ KLH, Yogyakarta; q [ F >F $%%
F |? & 3 1 ? * 3 3 ?”, Penelitian ~ X Pariwisata UGM. Barika, 2009, ”* &
= 3 1 3 * ? 4 1 * * , 3 3 & " 3 ”, Tesis, Sekolah Pascasarjana, IPB.
Chaerun N, M., 2008,” 3 3 " * & 1 , 3 - , 3! * " ”, Tugas Akhir Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Undip. *>F
=F |> " ! 9 : National Development, Cultural Heritage and the Presentation of a Tourist Product,” dalam Gunawan, Myra P., ed., Pariwisata Indonesia: Berbagai Aspek dan Gagasan Pembangunan. hal. 5-28, Bandung: Pusat Penelitian Kepariwisataan Lembaga Penelitian Institut Teknologi Bandung. Direktorat Jenderal Pariwisata, 1987, 3 " !
, Jakarta: Direktorat Jenderal Pariwisata. Damanik, J., 2006, ”3
0 4 = " ( Kerjasama Pusat Studi Pariwisata UGM & Penerbit Andi, Yogyakarta. Dirawan, G.D., 2006, ”1 3 0 :1 * 1 9 9 5 ;( Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Jakarta. Garis-garis Besar Pedoman Pengembangan Ekowisata Indonesia. Hussein H, M., 2006, ”1 9
*
3 ”, Paper, Seminar Kepariwisataan. Hasanudin, 2006, ”* < *
3 3
” Draft Artikel Ilmiah Penelitian Dosen Muda Fakultas Sastra Jurusan Sastra Daerah, Universitas Andalas. Himooned, T., 2007, ”- + 5 3 0 4 + 1 * ' 3 :*'3; @
” Tesis in Development Studies Norwegian University of Science and Technology. Haryanto, J, T., 2012,”9 3 3 ? & 1 * B
9
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 1-11
= , ”, Naskah Disertasi, Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia. Ismanto, W., 2008, ”! 3 , 1 * 0 * * 2 = ! ”, Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, vol. 3 No 1 Maret; Irawati, E, R., 2009, ”* &
3
3
* , " 3 3 :1 * 3
* 3 3 $3 ? + ;” Penelitian DIPA Universitas Andalas. Keraf, dan Sony, 1992, ”0 5 ” Penerbit Kompas, Jakarta. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, 2004, 8 1 3 *
*
' " CDDE$ CDDFB 8 0 . Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia. Karomah, P, Marwati, dan Kapti A., 2007, (*
9 + > 9 * = 9
5 ! 1 + * ”, Jurnal Penelitian Bappeda Kota Yogyakarta, No 2 Desember 2007. Louviere, J. J.; David A. Hensher dan Joffre D. Swait, 2000. 1 + 9B . Cambridge: Cambridge University Press. Lemlit Universitas Terbuka, 2000, ”3 1 ' ? 5 ? " 3 ! 3 ”, Laporan Kajian DIPA Universitas Terbuka. Lubis, L. A., 2002, ”* ? ”, USU Digital Library.
10
Lubis, A. Y., 2009. 0 7 . Jakarta: Akademia Mc. Kean, P.F., 1973,”+ ! B " ? " 3 9 / ! 3 ”, Brown University Maurer, J.L., 1979, ”" =
1 + 3 B !
+ 1”, Geneve Institute, Universitaire d’Estudes du Development. Malhotra, N., 2004. 9 8 B - , Edisi keempat. Pearson Education International. Mudana, I W., 2005, ”= 3 " 1 3 " = 1 ”,Jurnal Pariwisata, Universitas Udayana. Mualisin, I., 2007, ”9 3 3 ? 9 * ”, Jurnal Penelitian Bappeda Kota Yogyakarta No 2 Desember 2007. Muda, S. M., 2008, ”0 ? 4 5 5 *
!
”, Jurnal Kebudayaan volume 2 Agustus 2008, Kementrian Budaya dan Pariwisata Indonesia. Muriawan Putra, A., 2009, ”1
* 3 ? & = 3
- , 3 2 * " ”, Tugas Akhir Program Studi Pariwisata Universitas Udayana. Nirwandar, S., 2005. 3 3 0 - = Bappenas. Neraca
Satelit Pariwisata Nasional (NESPARNAS) 2009, Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia
Pariwisata Indonesia: Berbagai Aspek dan Gagasan Pembangunan. Bandung: Pusat Penelitian Kepariwisataan Lembaga Penelitian Institut Teknologi Bandung.
Joko Tri Haryanto -- Implementasi Nilai-Nilai Budaya, Sosial, dan Lingkungan dalam Pengembangan Desa Wisata di Provinsi Yogyakarta
Pardosi, J, 2002, ”8 *
? " = 3 3 * " 1 B 1 * 1 3 & " 2 1 ? 1 ”, Tesis, Program Studi Magister Kajian Budaya, Universitas Udayana. F > \>F $%%F |! 3 1 3 3 ” PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Picard, M, 2006,”? 4 3 ? ? 3 ” Kepustakaan Populer Gramedia, Forum JakartaParis, Jakarta. Pitana, I Gde & Putu G. G., 2009. 1 3 Penerbit Andi Yogyakarta. Pitana, I Gde, dan I Ketut, S, D., 2009, |3 ! 3 ”, Penerbit Andi, Yogyakarta. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 88 Tahun 2009 Tentang 3 & 1 * 3
5 ! 3
8 .
+ " F ;>+ ] F
=&F |+ = " " 8 ”, Annals of Tourism Research. Rejeki, Ikeu Sri, 2005, ” 3
9
% 5 " ' 2 2 3 B 3 9 ?
3& 9 # * .” Tesis untuk meraih gelar Magister Sains Ekonomi Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok. Rahajeng, A, 2008,” 7 * , ? 4 1& B 3 , = ”, Jurnal Ekonomi Pembangunan hal 33-49; Samad, N, 1997,”+ 1 = ! 3 ”,Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah, Pusat Penelitian Akademi Pariwisata Trisakti. F>>F$%%%F|+ 3 ” Jakarta.
11
KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-116
PENGEMBANGAN 24 DESTINASI WISATA BAHARI KABUPATEN ENDE Josef Alfonsius Gadi Djou Fakultas Ekonomi Universitas Flores Email: josefdevigadidjou@hotmail.com
ABSTRACT There are 24 marine tourism destinations in Ende District that have not been managed well enough. To improve tourism development, some management strategies should be taken by stakeholders. First, the government should make some policies that give opportunities and easy access to stakeholders. Scond, the government should make a development planning for the potential destinations. Third, they should make plans that would give information about the most potential destination. Fourth, the government and marine communities should prepare human resource in management. At last, the government should promote those marine tourism destinations continuosly. Key words: Strategy, Development, Human resources
ABSTRAK Terdapat 24 destinasi wisata bahari di Kabupaten Ende yang belum dikelola dengan baik belum. Untuk meningkatkan kinerjanya, beberapa strategi manajemen harus diambil oleh para pemangku kepentingan. Kedua, pemerintah harus membuat perencanaan pengembangan destinasi potensial. Ketiga, mengatur rencana akan memberikan informasi tujuan yang paling potensial. Keempat, pemerintah dan kelautan masyarakat harus mempersiapkan sumber daya manusia di tingkat manajerial. Akhirnya, pemerintah harus memproomosikan tujuan tersebut wisata bahari terus menerus. Kata kunci: Strategi, Pembangunan, Sumberdaya manusia
12
Josef Alfonsius Gadi Djou -- Pengembangan 24 Destinasi Wisata Bahari Kabupaten Ende
PENGANTAR Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar yang wilayahnya terbentang dari Sabang hingga Merauke atau dari Talaud hingga Rote. Indonesia diakui sebagai salah satu negeri yang elok dengan berbagai keindahan alamnya, tidak hanya di darat, juga di laut. Di Indonesia bertebar beraneka ragam ekosistem laut dan pesisir. Ada terdapat banyak pantai berpasir indah di negeri ini yang menakjubkan bagi yang melihatnya. Ada juga banyak gua, laguna, estuari, hutan mangrove, padang lamun, rumput laut, dan terumbu karang yang menghiasi negeri ini. Semuanya indah dan perawan ( ). Indonesia juga memiliki enam dari sepuluh ekosistem terumbu karang terindah dan terbaik di dunia. Ada Raja Ampat, Wakatobi, Taka Bone Rate, Bunaken, Karimun Jawa, dan Pulau Weh yang terderet dalam sepuluh ekosistem terumbu karang yang dikeluarkan oleh World Tourism Organization. Indonesia sebagai negara kepulauan berpotensi besar untuk mengembangkan potensi wisata bahari. Keragaman hayati dan kebhinekaan sosial budaya memiliki keunikan dan daya tarik bagi wisatawan nusantara dan mancanegara. Pengembangan potensi wisata bahari memiliki arti strategis dalam pengembangan budaya bahari, usaha multisektor, ekonomi daerah, dan penguatan peran serta masyarakat. Potensi-potensi wisata di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur seperti pulau Komodo di Kabupaten Manggarai Barat dan Danau Tiga Warna Kelimutu di Kabupaten Ende. Selama ini yang dikenal oleh wisatawan mancanegara (wisman) hanya dua objek wisata di Pulau Flores, padahal di kabupaten lain, selain kedua kabupaten itu, masih banyak objek wisata lain. Dari arah barat Pulau Flores, objek wisata itu adalah sebagai berikut: Pulau Komodo di Kabupaten Manggarai Barat, Danau Ranamese dan Pemandangan Indah di Gunung Anak Ranaka Kabupaten Manggarai Timur, Taman Wisata Alam Tujuh Belas Pulau
di Riung Kabupaten Ngada, Danau Tiga Warna Kelimutu di Kabupaten Ende, Taman Wisata Alam Gugus Pulau Teluk Maumere di Kabupaten Sikka, Devosi Prosesi Jumad Agung atau Semana Santa di Kabupaten Flores Timur, dan Atraksi Langka Perburuan Ikan Paus Nelayan Lamalera di Kabupaten Lembata. Kabupaten Ende yang berada di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki berbagai potensi wisata bahari yang dapat lebih dikembangkan menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan asing. Kabupaten Ende dengan luas 2.046,60 km2 dan memiliki garis pantai sepanjang 111 mil atau 205,572 km terbelah dari pesisir utara panjang 60 mil atau 111,120 km dan pesisir selatan sepanjang 51 mil atau 94,452 km ditengah dari Pulau Flores. Data kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Kelimutu di Kabupaten Ende dari tahun 2006 sampai dengan 2010 adalah sebagai berikut. Tabel 1 Pengunjung Taman Nasional Kelimutu Tahun 2006 sampai dengan 2010 No.
Tahun
Wisman
1
2006
3.546
2
2007
3
2008
4 5
Wisnu
Jumlah
6.225
9.771
3.671
7.469
11.140
5.299
11.266
16.495
2009
7.327
16.775
24.102
2010
7.111
17.704
24.815
Total
86.323
Suber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende 2011
Data di atas memperlihatkan bahwa yang menjadi prioritas kunjungan wisatawan ke Kabupaten Ende adalah Taman Nasional Kelimutu. Pengunjung wisata bahari belum ada. Tulisan ini bertujuan untuk mencari strategi bagi pengembangan potensi wisata bahari di Kabupaten Ende; potensi wisata bahari diharapkan dapat menjadi penopang perekonomian masyarakat Kabupaten Ende; pengembangan potensi wisata bahari 13
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 12-23
secara terencana dan bervisi untuk jangka waktu panjang bertujuan bagi kemajuan pariwisata Kabupaten Ende. Menurut Sayid Abdul Karim dalam SumbawaNews.com (15 Januari 2009), dengan memahami berbagai potensi dan hambatan kultural yang ada pada masyarakat setempat, potensi wisata di daerah kurang berkembang dan belum dapat dimaksimalkan. Pengembangan pariwisata bukan hanya merupakan tugas pemerintah. Akan tetapi, juga pelaku bisnis pariwisata diharapkan dapat berperan aktif dalam mengembangkan destinasi dan melaksanakan strategi pemasaran yang tepat, F F objek daya tarik wisata (ODTW) yang potensial untuk dipasarkan. Dengan strategi tersebut, daerah kurang berkembang akan menjadi daerah destinasi pariwisata yang mempesona. Visi dan misi wisata bahari (Hermantoro, $%%
^ | ? 10 tahun menjadi tujuan wisata bahari !? > Misi wisata bahari adalah (1) memberikan pelayanan terbaik bagi wisatawan di alam kebaharian Indonesia; (2) menciptakan iklim kondusif bagi investasi industri wisata bahari; (3) menciptakan keterpaduan pengembangan pariwisata bahari yang berkelanjutan; (4) mengembangkan produk wisata bahari dengan pola kemitraan diantara pelaku wisata bahari. Strategi penjabarannya adalah (1) pengembangan terpadu kawasan wisata bahari; (2) penataan sistem informasi, promosi, dan pemasaran; (3) pengembangan usaha pariwisata; (4) penataan sistem pelayanan dan perizinan; (5) penataan sistem kepelabuhan; (6) konservasi lingkungan; dan (7) pengembangan usaha berbasis masyarakat. M. Faried Moertolo (* , 06 Juni 2011) mengatakan bahwa pemerintah daerah harus bergerak cepat, terutama dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang pariwisata. Akomodasi dan transportasi harus dipikirkan supaya wisatawan merasa nyaman. q / dipakai dalam tulisan ini adalah sebagai
14
berikut. Strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Pengembangan adalah proses, cara membangun secara bertahap dan teratur yang menjurus ke sasaran yang dikehendaki. Potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Konsep dan Sistem Pariwisata Pariwisata adalah sesuatu hal yang selalu dinamis, selalu ada pembaharuan dan adaptasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang memiliki banyak fenomena. Pada prinsipnya pariwisata bertalian dengan fenomena yang muncul berkaitan dengan perjalanan dan menginap dari orang yang melakukan kunjungan dari suatu daerah, terutama bertujuan untuk mengisi waktu luang dan rekreasi (Pearce, 1989:16–20). Dengan demikian pariwisata merupakan aktivitas manusia yang mencakup tingkah laku, penggunaan sumber daya dalam berinteraksi dengan masyarakat, ekonomi dan lingkungan (Bull: 1985 dalam Cempora: 2007). Aspek–aspek dalam pariwisata tersebut saling berhubungan dan hubungan tersebut dijabarkan dalam sistem pariwisata. Sistem pariwisata digambarkan sebagai hubungan antara permintaan dan penawaran (Gunn, 2002). Pasar wisatawan merupakan sisi permintaan (demand) dan aspek penawaran (supply) adalah perjalanan dan destinasi. Dalam Mill dan Morrison (1985: 99) sistem pariwisata terdiri dari empat aspek penting yaitu (pasar wisatawan), (perjalanan), (tujuan wisata) dan (pemasaran). Pasar wisatawan menggunakan pendekatan perilaku konsumen dengan penekanan pada faktor eksternal dan internal. Perjalanan merupakan deskripsi dari arus wisatawan dan moda transportasi yang digunakan.
Josef Alfonsius Gadi Djou -- Pengembangan 24 Destinasi Wisata Bahari Kabupaten Ende
Destinasi wisata tetap mengacu pada prosedur–prosedur yang harus diikuti dalam hal perencanaan, mengatur, mengembangkan dan memberikan pelayanan terhadap aktivitas wisata. Pemaparan terkait dengan pemasaran produk dan jasa daerah tujuan wisata dengan tetap mengacu pada efektivitas. Kegiatan pariwisata merupakan sebuah interaksi sosio–kultural, sebab didalamnya terkandung interaksi antara (tuan rumah) dengan (wisatawan). Interaksi diantara mereka akan terlaksana dalam konteks pencarian dan penyediaan pengalaman/ perbedaan dan lebih nyata lagi dilakukan atas dasar pertukaran ekonomi. Konteks interaksi membawa akibat pada hadirnya tingkahlaku yang khas, baik yang dialami wisatawan atau diterima oleh masyarakat setempat.
Pariwisata Bahari Wisata bahari adalah bentuk wisata yang menggunakan atau memanfaatkan potensi lingkungan pantai dan laut sebagai daya tarik utama. Konsep wisata bahari didasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni dan budaya serta karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimilikinya (Sero, 2010: 19). Menurut Fandeli (1996: 50), wisata bahari adalah wisata yang objek dan daya tariknya bersumber dari bentang laut ( ) maupun bentang darat pantai ( ). Dalam hubungan dengan aktivitas wisata alam pantai dan bahari maka secara umum kegiatan wisata di objek wisata alam
$ # ^ kelompok, yaitu 1) wisata perairan atau wisata bahari; dan 2) wisata daratan. Aktivitas bentang laut, yaitu berenang, memancing, bersampan yang meliputi berdayung, atau berlayar, menyelam yang meliputi dan , berselancar yang meliputi selancar air dan selancar angin serta berperahu parasut ( ). Aktivitas bentang darat, yaitu rekreasi berupa olahraga susur pantai, bersepeda, panjat tebing pada dinding terjal pantai dan menelusuri gua pantai. Selain
itu dapat pula dilakukan aktivitas bermain layang–layang, berkemah, berjemur, berjalan– jalan melihat pemandangan, berkuda atau naik dokar pantai. Menurut Fandeli (1995: 89), wisata perairan atau wisata bahari (didalamnya termasuk wisata pantai) adalah kegiatan wisata seperti berenang, memancing ( ), menyelam ( dan ), berlayar ( ), berselancar ( ), ski laut (
), berjemur, rekreasi pantai, ? F " F lain–lain. Adapun kegiatan menikmati keindahan dan keanekaragaman hayati potensi laut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) pada perairan dangkal dengan menggunakan perahu yang lantainya atau bagian dinding bawah perahu itu terdiri atas gelas kaca tembus pandang; dan (2) menggunakan perlengkapan menyelam khususnya untuk tempat–tempat yang dalam dan tidak mungkin dapat dilihat dengan perahu gelas kaca tembus pandang. Dalam kegiatan wisata pantai, terdapat berbagai kriteria standar yang harus dipenuhi. Kriteria standar ini terdiri atas F F /> Aktivitas kegiatan wisata bawah laut seperti diving dan snorkeling harus ditunjang dengan parameter–parameter dari pariwisata bawah laut, antara lain sebagai berikut (Sero, 2010: 21–22). Kecerahan perairan yaitu perairan yang cerah merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan ini, dimana semakin cerah suatu perairan semakin terlihat keindahan taman laut yang dinikmati oleh para wisatawan. Tutupan terumbu karang, persentase tutupan terumbu karang merupakan syarat utama dalam pariwisata bahari, karena merupakan unsur utama dari nilai estetika taman laut yang akan dinikmati oleh para wisatawan. Jenis terumbu karang, semakin beragam jenis terumbu karang semakin banyak keindahan alam bawah laut yang dapat dinikmati oleh para wisatawan. Jenis ikan karang, daerah yang memiliki lebih dari 50 spesies dikategorikan sebagai daerah dengan jenis ikan karang sangat beragam.
15
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 12-23
Kecepatan arus, kecepatan arus berkaitan dengan keamanan wisatawan dalam melaksanakan aktivitasnya. Dengan demikian kecepatan arus yang relatif lemah merupakan syarat ideal untuk kegiatan penyelaman. Kedalaman perairan, kedalaman perairan ditentukan oleh penetrasi sinar matahari kedalam perairan. Diasumsikan pertumbuhan karang laut umumnya sampai kedalaman 18 meter. Secara umum ragam daya dukung wisata / F F sosial, rekreasi. Penyediaan fasilitas secara umum pada objek wisata alam menurut Fandeli (1996: 50) terdiri atas. Fasilitas, meliputi persyaratan lokal dan kemampuan pencapaian, peruntukkan dan tata guna tanah ( ), jalan umum, terminal dan parkir kendaraan, akomodasi, tempat rekreasi dan lain–lain. Prasarana, meliputi sistem dan jaringan air bersih, drainase air hujan, pembuangan limbah dan air kotor, suplai dan distribusi daya listrik, sistem dan jaringan komunikasi serta fasilitas transportasi jalan, terminal, jembatan, drainase, penerangan, dan sebagainya.
Daya Tarik Wisata (DTW) Daya tarik wisata (DTW) terdiri atas; a) Daya tarik wisata ciptaan Tuhan YME F Z ^ / wisata hasil karya manusia seperti museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan. Daya tarik wisata (DTW) adalah sesuatu bentukan dan/ atau aktivitas dan fasilitas yang berhubungan, yang dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang kesuatu tempat/ daerah tertentu. Daya tarik wisata sangat berkaitan dengan dan , tanpa adanya daya tarik wisata di suatu daerah tertentu, maka kepariwisataan akan sulit untuk dikembangkan. Secara garis besar daya tarik wisata dikategorikan dua jenis, yaitu (1) DTW alam; (2) DTW sosial budaya. Sementara daya tarik
/
16
daya tarik alam, daya tarik budaya, dan daya tarik manusia (Marpaung, 2000: 80117). Produk pariwisata sebagai komponen penting dalam industri pariwisata mencakup tiga aspek yang dikenal dengan istilah A (atraksi, amenitas, dan aksesibilitas). Produk pariwisata dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dijual sebagai komoditas pariwisata. Atraksi/obyek dan daya tarik wisata adalah obyek yang memiliki daya tarik untuk dilihat, ditonton, dinikmati yang layak dijual ke pasar wisata. Seringkali atraksi ditafsirkan dalam dua komponen, yaitu sebagai obyek wisata ( &) dan atraksi wisata (
). Atraksi wisata adalah sesuatu yang dapat dilihat melalui pertunjukan () dan seringkali membutuhkan persiapan bahkan mengeluarkan pengorbanan untuk menikmatinya (membayar). Berbeda dengan obyek wisata ( &) yang dapat disaksikan tanpa perlu persiapan. Obyek wisata dan atraksi wisata keduanya termasuk dalam produk pariwisata. Dengan demikian DTW adalah segala macam obyek bergerak maupun tidak bergerak yang memiliki daya tarik wisata dan layak ditawarkan, dijual kepada pasar wisata, baik wisatawan domestik ataupun mancanegara. Obyek pariwisata beserta segala atraksi yang diperlihatkan merupakan daya tarik utama bagi seseorang untuk berkunjung ke suatu tempat. Untuk itu keaslian dari obyek dan atraksi yang ditawarkan tetap harus dipertahankan dan dilestarikan. Disamping keaslian yang dipertahankan, juga perlu dipikirkan variasi obyek dan atraksi yang hendak dijual, agar tidak terkesan monoton. Disinilah pentingnya pengembangan
@
? > Logikanya, keberhasilan pengembangan produk yang dilakukan akan berakibat meningkatnya kunjungan wisatawan yang berimbas pada lama tinggal dan besarnya pengeluaran wisatawan. Disamping atraksi, yang termasuk dalam produk wisata lainnya adalah amenitas, yakni segala macam fasilitas yang menunjang kegiatan pariwisata. Di antaranya rumah
Josef Alfonsius Gadi Djou -- Pengembangan 24 Destinasi Wisata Bahari Kabupaten Ende
makan, hotel, sarana komunikasi, papan informasi, penukaran uang ( ) dan lainnya. Bahkan seringkali diperlukan jasa asuransi, khususnya bagi tipe wisata yang memiliki resiko kecelakaan tinggi. Keberadaan dan kelengkapan berbagai jenis fasilitas menjadi prasyarat mutlak bagi peningkatan kunjungan wisatawan pada suatu obyek wisata. Dengan kata lain meskipun obyek wisata yang dimiliki dinilai cukup bagus, namun bila tidak memiliki jaminan fasilitas yang memadai lambat laun tentu akan ditinggalkan wisatawan. Aspek ketiga dalam produk wisata adalah aksesibilitas berupa sarana prasarana yang menyebabkan wisatawan dapat berkunjung ke sebuah destinasi (obyek wisata). Dalam konteks ini, sarana dan prasarana dibangun agar wisatawan dapat mencapai obyek dengan aman, nyaman dan layak. Inilah yang membedakan dengan domain ekonomi yang menyediakan sarana dan prasarana agar produk yang dijual dapat didistribusikan dan dapat dijangkau oleh konsumen. Sementara domain pariwisata sarana dan prasarana dibangun agar konsumen dapat mengunjungi obyek wisata sehingga konsumen dapat membeli produk tersebut. Dengan demikian aksesibilitas menyebabkan wisatawan mencapai obyek wisata dengan mudah, aman, dan nyaman/ layak. Dari ketiga aspek produk wisata diatas, model pengembangan produk haruslah mempertahankan keasliannya agar dapat bersaing dengan daerah lainnya. Dengan kata lain, masing–masing obyek harus memiliki tersendiri yang berbeda dengan obyek wisata lainnya. 1 merupakan faktor penting dalam menentukan penjualan. Dalam pariwisata yang dikatakan yang baik adalah (1) daya tarik obyek itu sendiri; (2) memiliki perbedaan dengan obyek lainnya; (3) dukungan kondisi prasarana yang terpelihara dengan baik; (4) ketersediaan fasilitas , , ; dan (5) dilengkapi dengan sarana prasarana lainnya (Fandeli, 2002 dalam Marpaung, 2009: 15-17).
Strategi Pengembangan Perencanaan strategis di Indonesia mulai muncul dan banyak digunakan dalam organisasi publik di berbagai daerah seiring dengan ditetapkannya otonomi daerah. Perencanaan strategis muncul dan diminati berkaitan dengan semakin terbatasnya sumberdaya internal organisasi dan banyaknya tantangan eksternal yang mempengaruhi kinerja dan peran organisasi (Baiquni, 2004: 1). Alasan–alasan diperlukannya perencanaan strategis (Wardiyanto dan Baiquni, 2011: 97-98). Perencanaan strategis dapat menjadi panduan bagi organisasi pemerintahan untuk dapat melakukan tindakan yang bersifat antisipatif terhadap perubahan yang terjadi. Dengan begitu, kebijakan pemerintah tidak hanya sekedar bereaksi atau reaktif terhadap perubahan yang terjadi. Perencanaan strategis dapat menjadi panduan bagi organisasi pemerintahan untuk membangun strateginya sebagai bagian penting organisasi yang berorientasi pada hasil. Kapabilitas dan sumber daya difokuskan secara optimal untuk mencapai hasil yang diinginkan. Perencanaan strategis dapat memberikan komitmen pada aktivitas dan kegiatan di masa mendatang. Perencanaan strategis memerlukan pengumpulan informasi secara menyeluruh untuk kemudian menyiapkan analisis atas berbagai alternatif dan implikasi yang dapat diarahkan pada masa mendatang. Perencanaan strategis bersifat adapatif, Z F <?/ terhadap perkembangan yang muncul serta dapat memanfaatkan peluang yang ada. Perencanaan strategis dapat menggambarkan pelayanan prima pemerintahan, dalam hal ini pemerintah dan aparat dituntut untuk memberikan pelayanan yang prima, yaitu memberikan kepuasan masyarakat yang merupakan faktor penentu keberhasilan bagi setiap organisasi pemerintah. Oleh karena itu pola–pola pelayanan yang perlu diselenggarakan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
17
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 12-23
Perencanaan strategis dapat meningkatkan komunikasi artinya implementasi perencanaan strategis akan dapat memfasilitasi komunikasi dan partisipasi, mengakomodasikan perbedaan kepentingan, dan mendorong proses pengambilan keputusan yang teratur serta keberhasilan pencapaian tujuan. Implementasi perencanaan strategis dapat meningkatkan komunikasi baik vertikal maupun horisontal. Menurut Tribe (1997: 114) ada empat langkah strategi pariwisata yang efektif, yaitu: (1) mengutamakan pelanggan; (2) menjadi pemimpin dalam kualitas; (3) mengembangkan inovasi yang radikal; dan (4) memperkuat posisi strategis. Dahuri dalam http://rokhmindahuri.wordpress. com (02 Februari 2009) mengatakan ada lima strategi pengembangan wisata bahari di Indonesia. 3 , dalam pengelolaan pariwisata bahari tersebut pemerintah harus mengubah pendekatan dari sistem birokrasi yang berbelit menjadi sistem pendekatan entrepreurial. Pemerintah dituntut untuk tanggap dan selalu bekerja keras dalam melihat peluang dan memanfaatkan peluang sebesar–besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan harus menyiapkan sebuah regulasi/kebijakan yang mendukung pengembangan pariwisata bahari. Kebijakan tersebut antara lain, adalah menciptakan kawasan ekonomi khusus di kawasan yang sedang mengembangkan pariwisata bahari, misalnya memberikan kebijakan bebas visa pada wisatawan asing yang akan berkunjung. * , melakukan pemetaan terhadap potensi wisata bahari yang dimiliki, berupa nilai, karakteristiknya, infrastruktur pendukungnya, dan kemampuannya dalam menopang perekonomian. Dengan demikian, dapat ditentukan wisata bahari mana yang harus segera dibangun dan mana yang hanya perlu direvitalisasi. Selain itu, juga perlu dipetakan lingkungan yang terkait dengan pariwisata bahari, baik lingkungan internal maupun eksternal. Lingkungan internal yang perlu dipetakan adalah bagaimana
18
kekuatan dan kelemahan pariwisata bahari tersebut. Lingkungan eksternal yang perlu dipetakan adalah sosial–budaya, politikkebijakan, ekonomi–pasar, dan kemampuan teknologi. Selain itu, juga perlu diketahui sejauh mana negara–negara lain melangkah dalam pengembangan pariwisata bahari, Indonesia bisa belajar dari keberhasilan dan kegagalan mereka dalam mengembangkan pariwisata bahari. * , menyusun rencana investasi dan pembangunan atas berbagai informasi yang telah didapatkan dari pemetaan di atas. Yang perlu diperhatikan dalam penyusunan ini adalah Indonesia tidak hanya akan membangun sebuah pariwisata bahari. Namun, juga perlu diperhatikan faktor pendukungnya, seperti akses transportasi, telekomunikasi, dan lain–lain. Dengan demikian, rencana pengembangan pariwisata bahari dapat terukur dan tepat sasaran. * , menciptakan kualitas SDM yang tangguh di bidang pariwisata bahari, baik keahlihannya, kemampuan dalam inovasi, adaptabilitas dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan eksternal, budaya kerja dan tingkat pendidikan, serta tingkat pemahaman terhadap permasalahan strategis dan konsep yang akan dilaksanakannya. Pada masa mendatang keunggulan SDM dalam berinovasi akan sangat penting setara dengan pentingnya SDA dan permodalan. Hal ini terkait dengan perkembangan teknologi yang pesat, khususnya teknologi informasi. * , melakukan strategi pemasaran yang baik, seperti yang dilakukan Thailand. Thailand memasarkan objek wisatanya di televisi–televisi internasional dan berbagai media massa seperti internet, majalah dan pameran–pameran pariwisata di tingkat internasional. Bahkan, mereka menghabiskan dana sekitar US$ 1 miliar untuk mempromosikan wisata di beberapa jaringan televisi internasional. Bahkan, beberapa negara melakukan segmentasi pasar wisatawan. Hal ini seperti dilakukan oleh Hongkong dan Thailand untuk memudahkan rencana pengembangan pariwisatanya
Josef Alfonsius Gadi Djou -- Pengembangan 24 Destinasi Wisata Bahari Kabupaten Ende
dengan tidak wisatawan.
menyamaratakan
pasar
PEMBAHASAN Potensi wisata bahari Potensi wisata bahari di Indonesia sangat beragam, bahkan nilai keindahannya tiada bandingannya di dunia. Misalnya, Kepulauan Padaido di Papua memiliki taman laut yang indah. Keindahannya bahkan menempati peringkat tertinggi di dunia dengan skor 35. Posisi ini telah mengalahkan taman laut 2 ? 8 dengan skor 28 di Queensland, Australia. Selain jenis wisata alam ( ) seperti Taman Laut Kepulauan Padaido, masih ada banyak jenis wisata bahari lainnya yang tersebar di Nusantara di antaranya adalah wisata bisnis ( ), wisata pantai ( ), wisata budaya ( ), wisata pemancingan ( ), wisata pesiar ( ), wisata olahraga ( ), G Wisata bahari mencakup kegiatan– kegiatan yang terdiri dari (berlayar), (kapal pesiar), (perahu), (penyelaman), (penyelaman laut dalam), :selancar angin;, (selancar), & (olahraga jet ski), (perahu bermotor), (bersampan), (kayak dilaut), (lomba perahu), (menonton ikan paus), dan (lomba pancing ikan). Yang perlu dipersiapkan untuk kegiatan wisata bahari adalah (1) penyiapan sarana prasarana; (2) pelaku pengelola dan pelaksana; c) aksesibilitas ke produk dan destinasi wisata bahari; dan d) pedagang perantara atau tour operator. Wisata Bahari itu memerlukan pelayanan publik berupa: (1) SDM penjaga pantai yang andal; (2) SAR yang siap sedia; (3) peralatan keselamatan
/ kendaraan di darat sampai helikopter; (4) peraturan–peraturan/urusan keselamatan, keamanan yang berstandar internasional; dan e) sejumlah hal teknis lainnya. Pemerintah sebagai pendukung dan fasilitator tetap berada di garis depan dengan memfasilitasi pengembangan sarana dan prasarana, kegiatan pendidikan, dan pemasaran wisata bahari.
Kabupaten Ende Terdapat 15 lokasi wisata budaya dan 69 lokasi wisata alam yang tersebar pada 21 kecamatan di Kabupaten Ende dan yang menjadi lokasi wisata bahari terdapat di 24 lokasi yang tersebar di 11 kecamatan. Jumlah itu siap dikembangkan menjadi daya tarik bagi wisatawan seperti terlihat pada Tabel 2.
Dari Tabel 2 dan Lampiran 3 dan Lampiran 4 dapat dilihat bahwa semua objek wisata bahari belum dikembangkan. Yang disuguhkan sebagai objek wisata masih berupa panorama saja. Issue utama wisata bahari Kabupaten Ende Yang menjadi isu utama dalam pengembangan wisata bahari di Kabupaten Ende adalah (1) ancaman terhadap biota laut berupa pengeboman dan perusakan terumbu karang oleh masyarakat setempat; (2) pencarian ikan dengan cara pemboman yang dilakukan oleh nelayan tradisional agar cepat mendapatkan hasil malah merusak dan menghancurkan biota laut yang ada. Pencegahan yang dilakukan oleh aparat kepolisian setempat pada saat ini terasa terlambat karena telah rusaknya biota laut yang merupakan keindahan dari kekayaan bahari Pulau Flores.
19
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 12-23
Tabel 2 Objek Wisata Bahari di Kabupaten Ende No
Nama Tempat Wisata
Kecamatan
Kelurahan/Desa
Objek
1
Pantai Mbu’u
Ndona
Naganesa
Matahari Terbenam, Pemandian dan rekreasi
2
Pantai Nanganesa
Ndona
Desa Naganesa
Panorama
3
Tanjung Ngalu Tengah
Wolojita
Wolojita
Pantai Berkarang tempat dilaksanakan upacara adat meminta hujan
4
Gua Kelelawar Lia Ngighi
Lio Timur Wewaria
Hobatuwa
Panorama Kelelawar
5
Pantai Ropa
Pualu Ende
Desa Keliwumbu Panorama
6
Pantai Ekoreko/Ngazu Kapu Pualu Ende
Desa Rorurangga Panorama
7
Pantai Pu Utara
Pualu Ende
Desa Puutara
Panorama
8
Pantai Aejeti
Pualu Ende
Desa Aejeti
Panorama
9
Pulau Songo
Pualu Ende
Desa Aejeti
Panorama
10
Pantai Matinumba
Pualu Ende
Desa Ndoriwoy
Panorama
11
Pantai Penggajawa
Nagapanda
Nggorea
Panorama, Matahari Terbenam dan Batu Berwarna
12
Pantai Nangapanda
Nagapanda
Panorama
13
Pantai Nangamboa
Nagapanda
Panorama
14
Pantai Nggemo-Jaga Po
Maukaro
Desa Kobaleba
Panorama
15
Pulau Karang Putih
Maukaro
Nabe
Panorama dan Tempat Pemandian
16
Pantai Mausambi
Maurole
Desa Mausambi
Panorama
17
Pantai Maurole
Maurole
Desa Maurole
Panorama
18
Pantai Enabara
Maurole
Desa Nanganio
Panorama
19
Pantai Loboniki
Kotabaru
Desa Loboniki
Panorama
20
Pantai Tou
Kotabaru
Desa Tou
Panorama
21
Pantai Ngalutora
Kotabaru
22
Tanjung Watumanu
Kotabaru
Kota Baru
Panorama Matahari Terbenam dan Matahari Terbit
23
Pantai Pelabuhan Ende
Ende Utara
Kotaratu dan kotaraja
Panorama dan Matahari Terbenam
24
Pantai Bita
Ende Timur
mautapaga
Panorama dan Matahari Terbenam
Panorama
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, 2011
Abrasi Pantai Pesisir pantai Kabupaten Ende lebih– lebih disisi selatan terjadi abrasi disebabkan penambangan pasir besi dan batu berwarna Penggajawa yang dilakukan tanpa memperhatikan pelestarian lingkungan.
20
Kebijakan yang belum sempurna dan belum berpihak kepentingan wisata Pemerintah Kabupaten Ende dalam perencanaan pembangunan belum mengalokasikan secara cukup anggaran untuk pariwisata. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Josef Alfonsius Gadi Djou -- Pengembangan 24 Destinasi Wisata Bahari Kabupaten Ende
Dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 alokasi belanja pada sektor pariwisata adalah sebagai berikut pada tahun 2007 sebesar 1,54% dari belanja daerah, tahun 2008 sebesar 0,72% dari belanja daerah, tahun 2009 sebesar 0,54% dari belanja daerah, tahun 2010 sebesar 0,49% dari belanja daerah. Jadi, secara rata–rata paling banyak sektor kebudayaan dan pariwisata mendapat persentase terbesar dari belanja daerah adalah pada tahun 2007 yaitu lebih besar dari 1%. Dari alokasi yang ada tidak semua dialokasikan kepada sektor pariwisata karena Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende mempunyai 2 sektor yang menjadi tugasnya yaitu sektor kebudayaan dan sektor pariwisata.
1
Tahun Anggaran
No.
Tabel 3 Belanja Daerah Kabupaten Ende dan Alokasi Belanja Pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende Tahun Anggaran 2007–2010
Alokasi Dana
Belanja Daerah
2007
Rp. 5.260.655.027
Rp. 340.723.001.207
2
2008
Rp. 3.347.504.000
Rp. 462.275.354.571
3
2009
Rp. 2.462.185.943
Rp. 451.121.812.291
4
2010 Rp. 2.474.741.335 Rp. 508.319.170.215 Sumber: Perhitungan APBD 2007–2010, Dinas PPKAD Kabupaten Ende, 2011
Strategi dan Pengembangan Wisata Bahari Ende ke Depan Berangkat dari paparan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa solusi startegi dari persoalan wisata bahari di Ende. 3 , untuk dapat mengelola potensi– potensi wisata bahari yang ada, Pemerintah Kabupaten Ende harus mengeluarkan kebijakan yang memberikan kesempatan dan kemudahan kepada pelaku pariwisata untuk dapat masuk ke dalam kawasan wisata bahari agar memulai usahanya. Kebijakan yang dilakukan adalah dengan mempermudah pengurusan izin usaha
dan izin mengelola kawasan wisata bahari. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan strategi ini adalah kebijakan penataan ruang dengan mengikuti peraturan yang berlaku dan perlindungan terhadap lingkungan. * pemerintah membuat perencanaan untuk mengembangkan kawasan– kawasan wisata bahari sehingga dapat diketahui kawasan mana yang lebih dapat cepat dijual dan kawasan mana yang perlu lebih banyak memerlukan penataan infrastruktur. Strategi kedua ini ditempuh agar tidak terjadi Z antarsektor. Sebagian besar masyarakat pesisir pantai adalah nelayan sekaligus petani. * dengan perencanaan yang dibuat dalam strategi kedua, akan dapat diketahui bukan saja apa yang harus dikembangkan di kawasan wisata bahari, tetapi juga akan diketahui hal apa saja yang diperlukan untuk sarana–sarana pendukung kawasan wisata bahari di Kabupaten Ende. Yang penting diperhatikan di Kabupaten Ende adalah pengembangan sarana pelabuhan laut Dermaga Ende dan Dermaga Ippi sehingga bisa disandari oleh kapal–kapal pesiar yang besar dan penambahan kemampuan Bandar Udara H.H. Aroeboesman Ende untuk bisa didarati pesawat berbadan lebar. Selain itu, juga dukungan infrastruktur jalan yang menghubungkan potensi–potensi wisata bahari di Kabupaten Ende. Dukungan infrastruktur yang baik akan mempermudah masuknya wisatawan ke daerah wisata dalam hal ini daerah wisata bahari. * pemerintah bersama masyarakat kawasan wisata bahari mempersiapkan sumber daya manusia yang akan mengelolanya. Pengembangan sumber daya manusia bisa dilakukan melalui pelatihan–pelatihan pengelolaan wisata bahari. Melalui strategi ini diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengembangan wisata bahari. Masyarakat setempat diharapkan menjadi pengelola objek wisata bahari di daerah mereka sendiri. Sebagian daya tarik wisata di Kabupaten Ende belum ditata dan dikelola dengan baik.
21
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 12-23
Jalan masuk yang belum memadai, belum adanya MCK, belum adanya papan penunjuk lokasi, sampah dibiarkan berserakan, belum terpeliharanya kebersihan lingkungan, serta belum adanya petugas pengelola yang dapat bekerja secara profesional. * pemerintah mempromosikan kawasan–kawasan wisata bahari di Kabupaten Ende secara kontinu dan berkesinambungan melalui berbagai cara dan media. Promosi yang dilakukan dapat melalui media online yaitu melalui web milik Pemda Ende dan mengikuti pameran– pameran yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah lain bahkan negara–negara lain sehingga wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan asing mulai mengenal potensi wisata bahari Ende. * strategi ini diharapkan dapat mengembangkan potensi pariwisata bahari di Kabupaten Ende. Namun, strategi–strategi ini tidak akan berarti jika pemerintah, investor/swasta, perbankan, masyarakat, dan pihak lain yang berkompeten tidak berkoordinasi dalam mengembangkan potensi wisata bahari untuk kemakmuran rakyat Kabupaten Ende.
menjadi kecewa dengan promosi yang ada tidak sesuai kondisi rill dilapangan. Rata– rata prasarana jalan ke objek wisata bahari buruk sehingga kenyamanan wisatawan menjadi tertanggu. Pemerintah perlu mendorong masyarakat agar pengelolaan wisata bahari dapat berkembang dengan cara melakukan pelatihan atau workshop sehingga sumber daya manusia untuk mengelola pariwisata dapat meningkat ke arah yang lebih baik. Pada akhirnya akan berakibat kepada kesejahteraan masyarakat sendiri. Masyarakat di daerah tujuan wisata dapat merasakan manfaat dari pengembangan objek wisata bahari.
SIMPULAN
F F $%%=F | Wisatawan Di Kabupaten Pacitan,” " (Tidak Dipublikasikan), Yogyakarta: Magister Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Objek wisata bahari di Kabupaten Ende belum dikembangkan. Hal ini disebabkan perhatian pemerintah terhadapnya melalui APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kabupaten Ende kurang. Diharapkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait mengembangkan objek wisata bahari dengan mengutamakan partisipasi masyarakat setempat. Anggaran yang ada agar dimanfaatkan untuk pengembangan promosi wisata bahari agar kunjungan wisatawan menjadi satu kesatuan dengan kunjungan ke Danau Tri Warna Kelimutu. Agar pengembangan potensi wisata ini maksimal, infrastruktur dan manajemennya diatur sebelum dipromosikan. Hal ini mencegah terjadinya dampak negatif dari pengembangan sektor pariwisata. Wisatawan
22
DAFTAR PUSTAKA Abdul
Karim, S, 15 Januari 2009, |Strategi Pengembangan Dan Pemasaran Pariwisata Di Daerah Kurang Berkembang,” dalam SumbawaNews.com.
q [ F > $%%F |< F ? & , Yogyakarta: Pusat Studi Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
F +F $ ~ $%%
F |Strategi Pengembangan Pariwisata Bahari” dalam http://rokhmindahuri. wordpress.com. Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende, 2011, = -& = " , * 0 Ende: Dinbudpar.
Fandeli, C, 1995, = $ *
Yogyakarta: Penerbit Liberty. _______, 1996, 3
0 , Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Josef Alfonsius Gadi Djou -- Pengembangan 24 Destinasi Wisata Bahari Kabupaten Ende
Fandeli, C dan Muchlison, 2000, 3
0 Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM. Gadi Djou, J. A., 2011, Strategi Pengembangan Potensi Wisata Bahari di Kabupaten Ende, % * !
. Gunn, C. A., 2002, " 3 B ? + + Fourth Edition. Routledge. New York. Gunawan, M. P., dan Herliana, I, 2000, 2 ? 3
3 3 3 " 5 , Bandung: Pusat Penelitian Kepariwisataan ITB. Hermantoro, H, 2009, Pengelolaan Bidang Pariwisata Bahari dalam Pelaksanaan Strategi Adaptasi Terhadap Dampak Perubahan Iklim. % *
!
. Vol. 4, No. 1. * ; $%F | q q Keindahan Alam Flores,” Jakarta: Kompas.
Marpaung, F, 2009. 1 3 * 1 1 "& , B 1 * 3 1 2 * ? Tesis S-2 tidak dipublikasikan, Yogyakarta: Magister Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM. Marpaung, H, 2002, Pengetahuan *
, Cetakan Kedua, Edisi Revisi, Bandung: Alfabeta. Mill, C. R., dan Morrison M. A., 1985, The " 1, An Introductory Text. New Jersey: Prentice Hall Inc. Pearce, D, 1989, " = , Second Edition, New York: Longman Grup Limited. Tribe, J, 1997, + 1 " Boston: Intenational Thomson Bussiness Press. Wardiyanto dan Baiquni, M., 2011, 3
3 3 Bandung: Lubuk Agung.
23
KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-116
PENGARUH PROGRAM SERTIFIKASI TANAH TERHADAP AKSES PERMODALAN BAGI USAHA MIKRO DAN KECIL STUDI KASUS PROGRAM SERTIFIKASI TAHUN 2008 DI KABUPATEN KULON PROGO
Istikomah Direktorat Pendaftaran Hak Tanah dan Guna Ruang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia _ />">
ABSTRACT " Z" " " " # ^ "" "
" " Z" " " # ^ " `? #*^ "
" Z"" " " ?>
" " Z" " * "#1), use binary logit regression analysis with independent variable including credit application purposes (X1), the suitability of the number of credits earned by the required amount (X2), the preception of " " #3), perceptions of ability to repay the loan (X4), the age of the respondent (X5), sex (X6), the education level of respondents (X7), MSEs participation in MSE land " "#8) and the amount of labor (X9^>? F
" " " " " " " " " institution (Y2) uses multiple linear regression analysis with the independent variables include omzet (X1), the use " " "#2^F " / " #3), the age of respondents (X4), sex (X5), educational level (X6), and participation in the program MSEs land " " #7). Keywords: ! + ) -Capital access,Collateral
ABSTRAK anah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) terhadap
'/ dan kecil (PMK) dalam memanfaatkan * #*^ agunan (Y1)
< < #2^> faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai agunan (Y1) menggunakan analisis regresi binary logit dengan variabel bebas meliputi keinginan pengembangan usaha (X1), kesesuaian jumlah kredit yang diperoleh dengan jumlah yang dibutuhkan (X2), persepsi prosedur peminjaman lembaga keuangan (X3), persepsi kemampuan membayar pinjaman (X4), umur (X5), jenis kelamin (X6), tingkat pendidikan (X7^F! ! UMK (X8) dan jumlah tenaga kerja (X9^>
' / kenaikan pinjaman dari lembaga keuangan (Y2) menggunakan analisis regresi linear berganda dengan variabel bebasnya meliputi / usaha (X1^F agunan (X2), persepsi PMK terhadap analisis yang diterapkan lembaga keuangan (X3), umur (X4), jenis kelamin (X5), tingkat pendidikan (X6^F ! !#7). Kata Kunci: ! # ./akses permodalan, agunan
24
!""#$Kabupaten Kulon Progo)
PENGANTAR Sektor UMKM merupakan komponen terbesar dalam struktur usaha di Indonesia dan keberadaannya menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Pada saat krisis melanda perekonomian Indonesia tahun 1997, UMKM tetap bertahan dan bahkan jumlahnya meningkat dengan pesat. UMKM terbukti tahan terhadap krisis dan mampu sebagai berikut: , tidak memiliki utang luar negeri; , tidak banyak utang ke perbankan karena diangap 4 , menggunakan input lokal; , berorientasi ekspor (Kuncoro, 2009). Data Kementerian Koperasi dan UKM (2010) diketahui bahwa pada tahun 2009 jumlah total UMK di Indonesia mencapai 52,723 juta unit usaha atau sekitar 99,91 persen dari total perusahaan yang ada dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 93,533 juta orang (94,59 persen). Hal ini menunjukkan peranan UMK sangat penting sebagai sentra perekonomian dan penyerap tenaga kerja di Indonesia terutama angkatan kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja. Masalah dasar yang dihadapi UMKM sebagai berikut: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar; * , kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumbersumber permodalan; * kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia; * , keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran); * , iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan; * pembinaan yang dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil (Kuncoro, 2009). Permasalahan UMKM tersebut juga dialami oleh pelaku UMK di Kabupaten Kulon Progo. UMKM di Kabupaten Kulon Progo merupakan sektor industri yang menyerap tenaga kerja terbanyak dan merupakan pendukung perekonomian terbesar di Kabupaten Kulon Progo, terutama UMKM
yang bergerak dalam sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan (Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Kulon Progo tahun 2011 dalam BPS, 2012). Potensi besar UMKM tersebut tidak berarti bebas dari berbagai permasalahan dalam pengembangannya. Salah satu permasalahan utama UMKM di Kabupaten Kulon Progo adalah aksesibilitas UMKM terhadap kredit yang masih sangat rendah. Struktur modal meskipun sudah hampir seimbang, tetapi jumlah kredit yang dibutuhkan masih lebih besar daripada realisasi pinjaman yang disetujui oleh perbankan (Ridwan, 2010). Akses UMK terhadap lembaga keuangan yang masih rendah bermula dari buruknya sistem kepemilikan aset. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang aset yang dimilikinya (Soto, 2006). Persoalan lain yang membuat para pengusaha terperangkap dalam kemiskinan adalah hambatan dalam memanfaatkan aset yang ada. Tanah, rumah, dan tempat kegiatan usaha yang dimiliki tidak dilengkapi dokumen resmi, sehingga aset-aset ini tidak dapat dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit sehingga disebut modal mati (Amir, 2008). Soto (2006) menekankan pentingnya " F asumsi setelah tanah terdata secara resmi dan sah, pemilik dapat menjadikannya sebagai modal hidup, misalnya untuk agunan kredit bank. Hak kepemilikan tanah / / #" ; adalah produk kegiatan pendaftaran tanah ( ;, yaitu kegiatan pemberian jaminan kepastian kepemilikan atas tanah atau . Kegiatan ini dilakukan pemerintah sebagai sarana perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 atau disebut juga kegiatan penetapan aspek legalitas kepemilikan tanah (Amir, 2008). * #*^ merupakan salah satu jaminan yang dapat diterima bank karena dianggap memenuhi persyaratan yuridis maupun ekonomis.
25
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 24-40
Tanah-tanah Pengusaha Mikro dan Kecil #!^ / F sehingga tidak dapat digunakan untuk jaminan kredit pada perbankan (Hulu, 2000). Kalaupun dapat diagunkan, jumlah kredit yang diperoleh kecil karena pihak perbankan memperhitungkan resiko yang tinggi dari agunannya sehingga berdampak pada ketidakmampuan UMK untuk menumbuhkan usahanya (Sidipurwanty, 2008). Upaya peningkatan akses PMK terhadap sumber-sumber permodalan baik perbankan atau lembaga keuangan dan peningkatan kapasitas penyediaan agunan kredit secara mandiri, Badan Pertanahan Nasional Republik lndonesia (BPN Rl) bekerjasama dengan Kementerian Negara Koperasi dan !/ tanah milik PMK. Manfaat langsung bagi penerima program adalah jaminan kepastian hukum hak atas tanah dan perlindungan hukum bagi pemilik tanah, adanya kepastian penguasaan, pemilikan, penggunaan serta pemanfaatan tanah sesuai tujuan yang ingin dicapai dalam penguatan hak, pendaftaran tanah di Indonesia, dan memperoleh serta meningkatkan akses permodalan melalui agunan/ jaminan kredit perbankan/lembaga keuangan. Setiap perusahaan bertujuan untuk mengubah input menjadi ! atau | dalam proses produksi. Proses produksi dilakukan karena adanya permintaan akan yang dihasilkan. Permintaan akan
timbul karena adanya permintaan akan atau disebut permintaan turunan : ). Jumlah input yang diminta tergantung pada jumlah yang direncanakan untuk diproduksi. - yang direncanakan untuk diproduksi tergantung pada perhitungan mengenai tingkat mana yang diharapkan menghasilkan keuntungan maksimal (Boediono, 2008). Sumber permodalan bagi UMK merupakan faktor yang sangat penting dalam mendapatkan input atau faktor
26
produksi dalam proses produksi. Menurut Jhigan (2003) pembentukan modal atau adalah penentu utama pertumbuhan ekonomi dan lingkaran setan kemiskinan umumnya di negara terbelakang dapat digunting melalui pembentukan modal (Amir, 2008). Keinginan pelaku usaha dalam mengembangkan usaha biasanya diperlukan tambahan modal kerja. Dengan modal yang memadai akan memudahkan pengusaha untuk mengembangkan usahanya menjadi lebih besar. Umumnya tujuan permintaan modal kerja bagi usaha kecil adalah: (1) / lebih baik dan pemasok menghendaki pembayaran secara tunai; (2) adanya peningkatan permintaan/penjualan; (3) ingin mendapatkan tingkat bunga yang lebih rendah; (4) kontinuitas pengadaan bahan baku/barang dagangan di pasar tidak stabil (musiman); (5) adanya perubahan peraturan pemerintah, misalnya devaluasi,
Z F F kebijaksanaan ekspor impor bahan baku; (6) adanya kenaikan harga bahan baku dan biaya-biaya operasional; dan (7) untuk / # <F 2003 dan Jumhur, 2006). Tambahan modal kerja yang diperlukan pelaku usaha tersebut dapat diperoleh dari pinjaman atau kredit. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU Nomor 7 tahun 1992, pasal 1 ayat 11, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan tujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kasmir (2003) kredit dapat digolongkan diantaranya berdasarkan. 1. Segi kegunaan kredit. a. Kredit investasi Merupakan kredit yang digunakan untuk keperluan perluasan usaha atau membangun pabrik baru di mana masa pemakaian untuk suatu
!""#$Kabupaten Kulon Progo)
periode yang relatif lebih lama dan biasanya digunakan untuk kegiatan utama suatu perusahaan. b. Kredit modal kerja Kredit modal kerja adalah kredit yang dipergunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja suatu perusahaan yang pada umumnya berjangka waktu pendek, maksimal satu tahun. Modal kerja merupakan sejumlah dana yang dipergunakan untuk membiayai operasional dari suatu perusahaan. Biaya operasional tersebut mulai dari biaya pengadaan bahan baku/ biaya bahan penolong/biaya bahan setengah jadi, membiayai tenaga kerja dan biaya proses produksi barang sampai dengan barang tersebut dijual (Suhardjono, 2003 dan Jumhur, 2006). 2.
Dilihat dari segi tujuan kredit. a. Kredit produktif Merupakan kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa. b. Kredit konsumtif Merupakan kredit yang digunakan untuk konsumsi atau dipakai secara pribadi, tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan. c. Kredit perdagangan Merupakan kredit yang digunakan untuk kegiatan perdagangan.
Persepsi PMK terhadap prosedur peminjaman. Hasil penelitian kerjasama Kementerian KUKM dengan BPS (2003) menginformasikan bahwa salah satu kesulitan usaha yang dialami UKM adalah dalam hal permodalan yaitu mencapai 51,09 persen, di mana dalam mengatasi kesulitan permodalan tersebut sebanyak 17,50 persen UKM menambah modalnya dengan meminjam ke bank, sisanya 82,50 persen tidak melakukan pinjaman ke bank tetapi ke
lembaga non bank seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perorangan, keluarga, dan modal ventura lainnya. Alasan utama yang dikemukakan UKM kenapa mereka tidak meminjam ke bank adalah: (1) prosedur sulit (30,30 persen); (2) tidak berminat (25,34 persen); (3) tidak punya agunan (19,28 persen); (4) tidak tahu prosedur (14,33 persen); (5) suku bunga tinggi (8,82 persen); dan (6) proposal ditolak (1,93 persen) (Sulaeman, 2004). Persepsi kemampuan membayar dari PMK. Keputusan seorang pelaku usaha dalam mengajukan pinjaman didasarkan pada berbagai pertimbangan, baik pertimbangan mikro maupun makro serta tidak tertutup kemungkinan untuk mempertimbangkan keduanya agar mampu memberikan analisis yang jauh lebih kuat. Bagi perusahaan sangat penting untuk menghindari timbulnya risiko dikemudian hari. Perusahaan yang membutuhkan dana untuk membiayai proyek jangka panjang sebaiknya mengambil dana dari sumber jangka panjang dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk: (1) memperlancar angsuran pembayaran agar selalu tepat waktu dan tidak terlambat; (2) mampu terus melaksanakan pengerjaan proyek sehingga tidak mengalami kendala dan berbagai permasalahan; (3) menghindari perbankan karena terlambat membayar atau tidak mampu melunasi (Fahmi dan Hadi, 2010). Aspek kemampuan membayar debitur merupakan pertimbangan utama karena bank mengharapkan kredit yang diberikan dapat berjalan lancar dan tidak berhenti di tengah jalan. Bank menilai kemampuan debitur dengan melihat pola konsumsi debitur melalui mutasi rekening, sehingga bank dapat melihat besaran pendapatan dan pengeluaran debitur. Bank juga akan mengecek histori kredit dan status kredit debitur melalui pusat data Bank Indonesia. Aspek kemampuan membayar ( ; dari UMK ini tidak bisa dilepaskan dari aspek yang lain yaitu aspek karakter, kapasitas dan modal. UMK umumnya merupakan perusahaan keluarga yang
27
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 24-40
cenderung belum memisahkan administrasi keuangan keluarga dengan keuangan perusahaan. Hal ini menyebabkan kesulitan bagi perbankan untuk mengetahui seberapa jauh dan seberapa besar kemampuan membayar dari UMK. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor sumber daya yang dibutuhkan dalam menghasilkan barang dan jasa disamping tanah dan modal termasuk mesin-mesin, peralatan, bahan mentah, tenaga listrik, kemajuan teknologi dan lainlain. SDM memegang peranan utama dalam meningkatkan produktivitas karena alat produksi dan teknologi pada hakekatnya adalah hasil karya manusia. Produktivitas tenaga kerja menjadi pusat perhatian, disamping produktivitas tanah dan modal. Keikutsertaan pada program sertipikasi tanah UMK. Masih rendahnya akses ke sumber-sumber permodalan bagi UMK disebabkan karena faktor pemilikan agunan : ;, kemampuan UMKM untuk memberikan agunan masih rendah, baik dikarenakan terbatasnya pemilikan aset berharga dan atau kurangnya legalitas aset yang dimiliki. Pengembangan akses UMKM terhadap sumber-sumber perkreditan formal terutama perbankan merupakan salah satu alternatif untuk memperkokoh basis pembangunan UMKM agar kemampuan akses UMKM tersebut dapat diwujudkan, maka diperlukan perencanaan yang komprehensif serta kesiapan termasuk strategi yang akan dilakukan dan penyediaan sumber daya. Salah satu strategi untuk meningkatkan akses UMKM terhadap pinjaman kredit dari bank komersial telah dibangun oleh pemerintah melalui beberapa jenis program penguatan antara lain program modal awal dan padanan, program sertipikasi tanah, program resi gudang dan yang terakhir adalah program penjaminan oleh pemerintah melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program-program tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk memperkuat posisi UMKM dalam berhadapan dengan bank-bank komersial, dengan cara mengeliminir kelemahan
28
UMKM dari aspek agunan : ; (Subandi, 2007). Usia mempunyai kaitan dengan tingkat kedewasaan psikologis. Semakin lanjut usia seseorang dan diharapkan semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa, dalam arti semakin bijaksana, semakin mampu berpikir rasional, semakin mampu mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap pandangan dan perilaku yang berbeda dari perilaku sendiri, semakin mampu mengendalikan emosi dan sifat-sifat lain yang menunjukkan kematangan intelektual dan psikologis itu (Siagian, 1995 dan Pasaribu, 2007). Ciri khas perkembangan karier sebagai berikut: (1) usia dewasa awal (18 tahun sampai 40 tahun), sangat terkait dengan tugas perkembangan dalam hal membentuk keluarga dan pekerjaan (Hurlock, 1991). Ketika seseorang masuk dalam masa dewasa awal memiliki tugas pokok untuk memilih bidang pekerjaan yang cocok dalam bakat, minat, dan faktor psikologisnya. Masih banyak orang dewasa muda yang bingung dengan pilihan kariernya, situasi seperti ini juga terjadi dalam wirausaha. Masa dewasa awal itu merupakan masa coba-coba untuk berkarier. Itulah sebabnya usia berpengaruh pada tinggi rendahnya prestasi kerja; (2) usia dewasa madya (usia 40 tahun sampai 60 tahun), bercirikan keberhasilan dalam pekerjaan. Prestasi puncak pada usia ini juga berlaku bagi wirausaha; (3) usia dewasa akhir (usia di atas 60 tahun), orang mulai mengurangi kegiatan karier atau berhenti sama sekali, menikmati jerih payahnya selama bekerja dan mencurahkan perhatian pada kehidupan spiritual, dan sosial (Hutagalung dan Situmorang, 2008). Tingkat pendidikan berpengaruh pada pola pikir seseorang, cara pandang seseorang dalam melihat suatu permasalahan, dan dalam bertindak. Pendidikan merupakan sarana mengembangkan sumber daya manusia guna meningkatkan kemampuan intelektual, meningkatkan ketrampilan, meningkatkan produktivitas kerja, serta meningkatkan pendapatan, dan taraf hidup. Sumber daya manusia merupakan titik sentral yang
!""#$Kabupaten Kulon Progo)
sangat penting untuk maju dan berkembang. Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional. Sumber daya manusia UMK sebagian besar memiliki keterbatasan baik dari segi pendidikan formal maupun dari segi pengetahuan dan ketrampilan (Panggabean, 2002). Keadaan ini menyebabkan motivasi berwirausaha menjadi tidak cukup kuat untuk meningkatkan usaha dan meraih peluang pasar. Dengan keterbatasan pendidikan tersebut, pada umumnya manajemen usaha dikelola dengan cara yang sederhana oleh keluarga, sehingga pengusaha kurang mampu mengadministrasikan usahanya. UMK biasanya bersifat turun temurun dan hanya memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga PMK kurang mempunyai kelembagaan yang kuat dan hanya mampu memperkerjakan tenaga kerja yang berasal dari keluarga (Mesman, 2008). Perkembangan usaha kecil menengah ditentukan oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah tingkat pendidikan pengusaha. Pendidikan merupakan salah satu unsur yang dapat merubah sikap dan perilaku, meningkatkan dan mengembangkan pola pikir, wawasan serta memudahkan pengusaha menyerap informasi yang sifatnya membawa pembaharuan dan kemajuan bagi usahanya. Pendidikan merupakan suatu proses pengembangan pengertian yang meliputi pengembangan mental dan ketrampilan yang digunakan oleh seseorang dalam memecahkan masalah secara efektif. Pendidikan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan proses belajar yang merupakan proses perubahan struktur kognitif. Apabila seorang belajar maka akan bertambah pengetahuannya (Noersasongko, 2005). 3 dan (1998) melakukan penelitian terhadap dampak ekonomi pendaftaran tanah pada petani kecil di Kenya. Dampak pendaftaran tanah dan pemberian hak atas tanah untuk keamanan penguasaan tanah, penggunaan kredit formal, hasil panen, dan konsentrasi tanah dianalisis dari data area dan rumah tangga di 4 lokasi di Kenya. Hasilnya mengindikasikan bahwa program pendaftaran dan pemberian hak atas tanah
memiliki pengaruh yang lemah terhadap kesadaran petani akan hak-hak atas tanahnya, pemanfaatan kredit dan jangka waktu, hasil panen, atau konsentrasi pengusahaan tanah. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa hak atas tanah dibutuhkan untuk meningkatkan keamanan dari hak-hak tersebut daripada meningkatkan produksi pertanian. Keterbatasan modal yang dimiliki pemerintah, sasaran terbaik yang dapat dilakukan dengan menyediakan infrastruktur yang lebih baik, dan menciptakan kesempatan pasar yang seharusnya juga menguasai permintaan yang lebih besar untuk pemberian hak atas tanah. Penelitian yang dilakukan Byamugisha (1999) telah membuktikan hubungan tanah dengan peningkatan akses kredit di pedesaan Thailand. Dengan meningkatnya akses terhadap kredit, para petani Thailand mampu meningkatkan nilai investasinya terhadap tanah dengan peningkatan modal pertanian dari kredit tersebut yang pada gilirannya meningkatkan produksi pertanian dan pendapatan para petani tersebut. Hal yang sama terjadi di Philippines, Indonesia, Honduras, Brazil, Peru, Costa Rica, Brazil, Honduras, Jamaica, Ghana, Costa Rica, Brazil, Ecuador and Paraguay. di Kota Cimahi bertujuan untuk melihat
meningkatnya pinjaman atau penyerapan modal dalam mendukung pengembangan UKM. Sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian tersebut sebagai beriku: (1)
/ < / meminjam; (2) besaran nilai penjaman dan pemanfaatan pinjaman; dan (3)
/ / < yang tidak meminjam serta alasan-alasannya (Abdullatief, 2005 dalam Amir, 2008). ! Cimahi belum memberikan pengaruhnya terhadap peningkatan jumlah pendaftaran hak tanggungan. Dari 2.977 bidang hasil #^
29
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 24-40
dan Prona, hanya 6 (enam) bidang saja yang terdaftar sebagai obyek Hak Tanggungan atau terdaftar sebagai agunan. Hasil survei lapangan memberikan kesimpulan bahwa ! belum memberikan dampak yang berarti bagi peningkatan pinjaman atau penyerapan modal oleh UKM. Terhadap Akses Kredit Perbankan dan Peningkatan Pendapatan Petani di Kabupaten Bekasi. Analisis dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi F' faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam memanfaatkan SHM sebagai peningkatan pendapatan petani. Faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan / F F ? F / F # F$%%&^> Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani memanfaatkan SHM sebagai jaminan kredit adalah luas tanah, keberadaan F < / F prosedur peminjaman kredit perbankan dan sistem pembayaran kredit perbankan. Faktor prosedur peminjaman dan persepsi tentang kredit macet sehingga tanah disita merupakan penghambat yang perlu mendapat perhatian, karena hal ini menyebabkan keputusan masyarakat memanfaatkan SHM sebagai > Tanah Sistematik tidak serta merta dapat meningkatkan pendapatan petani. Program pengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan petani selaku pemilik tanah bila SHM dimanfaatkan sebagai jaminan kredit perbankan (Amir, 2008). Di Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo tepatnya di Koperasi Mulia yang berada di Kelurahan Banjaroya, yang menjadi tempat pelaksanaan program ! $%%& %%
>
30
Penentuan lokasi ditentukan oleh Tim Pokja dari Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Kulon Progo dan umumnya terkelompok dalam kecamatan, untuk memudahkan dalam pendataan subjek dan objek tanah dan pengukuran bidang-bidang tanah. / ' UMK sebagian besar berada di Kelurahan Banjaroya, berdasarkan pertimbangan masih banyak pelaku usaha yang bergerak dalam bidang usaha mikro, rumah tangga, dan > Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh PMK yang tergabung dalam Koperasi Mulia yang terletak di Desa Banjaroya baik yang mengikuti program sertipikasi tanah UMK maupun yang tidak mengikuti program. Sampel diperoleh dari populasi sasaran tersebut. Pengambilan sampel dilakukan dengan random sampling baik untuk PMK / maupun yang tidak mengikuti program > data digunakan meliputi: (1) Wawancara yakni proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka. Teknik wawancara dilakukan dengan bantuan pedoman daftar pertanyaan. (2) Kuesioner yaitu daftar pertanyaan memperoleh informasi dari UMK di Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo. (3) Observasi merupakan teknik pengumpulan data menggunakan pengamatan secara langsung serta mencatat data yang diperlukan secara sistematis. 3 , data primer dikumpulkan dari hasil kuesioner meliputi data keinginan pengembangan usaha, kesesuaian jumlah kredit yang diperoleh, persepsi tentang prosedur peminjaman, persepsi kemampuan membayar pinjaman, umur, jenis kelamin, serta tingkat pendidikan yang diperkirakan berpengaruh terhadap keputusan PMK
> Selain itu data tentang /, penggunaan sertipikat sebagai jaminan, persepsi PMK terhadap analisis kredit yang diterapkan lembaga keuangan, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan keikutsertaan
!""#$Kabupaten Kulon Progo)
dalam program sertipikasi diperkirakan berpengaruh terhadap kenaikan jumlah pinjaman yang diberikan lembaga keuangan. * , Data sekunder merupakan data pelengkap yang diperoleh dari instansi yang terkait dengan penelitian yang dilakukan. Variabel dependen dalam penelitian ini ada dua sebagai berikut: 3 , keputusan PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai agunan/jaminan kredit (Y1) dengan variabel independen meliputi keinginan pengembangan usaha, kesesuaian jumlah pinjaman, persepsi PMK terhadap prosedur peminjaman, persepsi PMK terhadap kemampuan membayar kredit, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, F dan jumlah tenaga kerja. * , Kenaikan jumlah pinjaman yang diberikan lembaga keuangan kepada PMK selaku pemilik tanah (Y2), dengan variabel independen meliputi kenaikan _F F PMK terhadap analisis yang diterapkan lembaga keuangan, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan keikutsertaan dalam program sertifkasi tanah. Alat pendukung analisi menggunakan 8 ? 5 digunakan untuk
' / mempengaruhi keputusan PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai agunan (Y1). Model umum persamaan regresi logitnya sebagai berikut: Ln
Pi = α+β1X1+β2X2+β3X3+β4X4+β5X5+ (1 – Pi) β6D1+β7X6+β8D2+ β9X7+€i
Keterangan: @ 1,2,. X1,2,...; €i 4 < ! SHM sebagai #¢ ^ < !
memanfaatkan SHM % X1,2,... @ '@
F meliputi.
X2
< / diperoleh; X3 ! dalam peminjaman kredit; X4 membayar kredit; X5 D 1 < # ' F %^ X6
D2 # %F
%^ X7 <<> 8 5 ? digunakan
' / mempengaruhi kenaikan jumlah pinjaman yang diberikan lembaga keuangan (Y2). Persamaan regresinya sebagai berikut. Y = α+β1X1+β2D1+β3X2+β4D2+β5X3+β6D3+β7X4+€i Di mana: @ jumlah pinjaman; 1,2 @ . X1,2,...; X1 /4 D 1 # F
%^ X2 ! kredit yang diterapkan bank; D 2 # F
%^ X3 D 3 < # ' F %^ X4
€i / (faktor kesalahan).
PEMBAHASAN Analisis Regresi Binary Logit (Keputusan PMK memanfaatkan SHM sebagai aguanan/Y1)
Hasil analisis data uji z yang < @ secara parsial untuk Keputusa PMK memanfaatkan SHM sebagai agunan (Y1) ditunjukkan pada table berikut.
31
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 24-40
Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Logit Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan PMK dalam Memanfaatkan SHM sebagai Agunan (Y1) No Variabel Prob (p-value) Keterangan 1 Konstanta -39,706 0,0000 2 Keinginan pengembangan usaha (X1) 0,481 0,0022 3 Kesesuaian jumlah kredit (X2) 0,735 0,0341 4 Prosedur peminjaman (X3) -0,337 0,0222 5 Kemampuan membayar (X4) 0,613 0,0001 6 Umur (X5) 0,064 0,1523
7 Jenis kelamin (D1) -1,969 0,2075
8 Tingkat pendidikan (X6) 0,431 0,4670
9 Keikutsertaan progam (D2) 0,148 0,8742
10 Jumlah tenaga kerja (X7) -0,128 0,7366
Sumber: data primer (diolah).
Pengujian tersebut menggunakan berikut. H0 : Variabel bebas secara individual tidak mempengaruhi variabel terikat. Ha : Variabel bebas secara individual mempengaruhi variabel terikat. Ketentuan dalam menolak atau menerima H0 ditentukan menggunakan probabilita z hitung :$ ; masing-masing @ #^> £ persen. Jika $ ¤#%F%£^*0 ditolak dan menerima Ha dan sebaliknya jika $ ¥#%F%£^*0 diterima dan menolak Ha. Persamaan regresi logitnya sebagai berikut: Ln
Pi = -39,706 + 0,481X1 + 0,735X2 (1 – Pi) 0,337X3 + 0,613X4 + 0,064X5 1,969D1 + 0,431X6 + 0,148D2 0,128X7 + €i
Atau : Pi = ez = e (-39,706 + 0,592X1 + 0,735X2 + 0,337X3 + 0,613X4 + 0,064X5 (1 – Pi) 1,969D + 0,431X + 0,148D - 0, 128X ) 1
6
7
= e-39,706 e0,481X1 e 0,735X2 e-0,337X3 e0,613X4 e0,064X5 e-1,969D1 e0,431X6 e0,148D2 e-0,128X7
32
Dalam tabel di atas diketahui bahwa keinginan pengembangan usaha (X1) / ¦ %F%%$$ / #£ ^ regresi bertanda positif sebesar 0,481 sehingga hipotesis diterima. Keinginan PMK berpengaruh positif terhadap keputusan PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai jaminan kredit. \ diintrepretasikan langsung. Untuk mengintrepretasikan maka kita melakukan > \ tersebut merupakan probabilitas < #^ <
sukses (1-p). Hasil perhitungan
@ pengembangan usaha diperoleh nilai 1,618 # # $F=&^0,481). Hal ini dapat diartikan bahwa jika tujuan dalam pengembangan usaha meningkat satu satuan, maka rasio probabilitas memanfaatkan SHM sebagai agunan dengan tidak memanfaatkan SHM sebagai jaminan kredit akan naik dengan faktor 1,618 dengan asumsi variabel bebas yang lain tetap (Winarno, 2010). Keinginan untuk mengembangkan usaha memotivasi PMK untuk mengagunkan SHM sebagai jaminan, di mana pinjaman yang diperoleh digunakan sebagai modal kerja dalam aktivitas usahanya sehingga diharapkan usahanya dapat berkembang yang
!""#$Kabupaten Kulon Progo)
pada akhirnya dapat menunjang peningkatan pendapatan keluarga. Produsen akan mencari
(modal) jika $ tersebut akan menghasilkan dan laba (Arsyad, 1999). Hal ini didukung dengan data tujuan ! mensertipikatkan tanahnya, di mana alasan untuk mengajukan kredit menjadi tujuan kedua setelah tujuan utama memperoleh kepastian hukum atas kepemilikan tanahnya # ^F memperoleh rasa aman guna menghindari sengketa. Responden yang bertujuan memperoleh kemudahan dalam meminjam kredit hanya 30,56 persen, sebanyak 63,89 persen bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum kepemilikan tanah, mendapatkan rasa aman sebesar 5,56 persen dan bertujuan agar mudah dijual 0 persen. Kesesuaian jumlah kredit yang diperoleh dengan jumlah kebutuhan (X2) secara keputusan PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai jaminan kredit. Hal ini menunjukkan bahwa kesesuaian jumlah kredit yang diberikan lembaga keuangan (koperasi) dengan jumlah yang dibutuhkan PMK untuk menutupi kebutuhannya, menjadi salah satu dasar pertimbangan PMK dalam memutuskan untuk memanfaatkan SHM sebagai agunan kredit. Hal ini didasarkan asumsi bahwa jumlah tambahan modal yang diperoleh PMK dari lembaga keuangan (koperasi) cukup dan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan terutama kebutuhan dalam pengembangan usahanya. Prosedur peminjaman pada lembaga keuangan (X3^ " terhadap probabilitas keputusan PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai jaminan kredit dengan arah hubungan negatif. Semakin mudah prosedur peminjaman, menurunkan probabilitas keputusan PMK untuk memanfaatkan SHM sebagai agunan. Pada daerah penelitian, Koperasi Mulia sebagai lembaga keuangan mikro menerapkan prosedur peminjaman yang mudah, tidak berbelit-belit dan tidak mengharuskan
tanah mengingat masih banyak anggota /
/ > Hal ini memungkinkan beberapa PMK yang membutuhkan dana tidak terlalu besar akan mengajukan pinjaman dengan menggunakan / / nilainya sebanding dan sesuai ketentuan untuk menjadi agunan, di antaranya menggunakan BPKB motor, tanaman keras yang sudah berumur dan bernilai tinggi (pohon jati, pohon durian, dan lain-lain), bahkan ada yang menggunakan ternak sapi atau kambing sebagai agunan. Hal inilah yang menyebabkan prosedur peminjaman berkorelasi negatif dengan keputusan PMK memanfaatkan SHM sebagai agunan. Umumnya prosedur peminjaman merupakan salah satu faktor negatif PMK dalam mengajukan pinjaman ke bank/ lembaga keuangan. Hal ini senada dengan hasil penelitian kerjasama Kementerian KUKM dengan BPS (2003) yang menginformasikan alasan utama dikemukakan oleh UKM alasan tidak meminjam ke bank sebagai berikut: (1) prosedur sulit (30,30 persen); (2) tidak berminat (25,34 persen); (3) tidak punya agunan (19,28 persen); (4) tidak tahu prosedur (14,33 persen); (5) suku bunga tinggi (8,82 persen); dan (6) proposal ditolak (1,93 persen) (Sulaeman, 2004). Persepsi kemampuan membayar pinjaman PMK (X4^ " berpengaruh positif terhadap keputusan PMK memanfaatkan SHM sebagai agunan. %F# positif), nilai sebesar 1,846. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi persepsi PMK terhadap kemampuan dalam pembayaran pinjaman ke lembaga keuangan, rasio probabilitas PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai jaminan kredit dengan tidak memanfaatkan SHM sebagai jaminan kredit akan naik dengan faktor 1,846, dengan asumsi variabel bebas yang lain dianggap konstan. Hal ini berpengaruh terhadap psikologis, dengan persepsi kemampuan membayar yang tinggi, mereka yakin dan optimis bahwa dengan tambahan modal dari kredit tersebut usaha mereka akan berjalan
33
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 24-40
dengan lancar dan lebih maju, sehingga ketakutan akan kegagalan dalam usahanya dan tanah yang menjadi agunan kelak akan disita rendah. Persepsi kemampuan membayar PMK yang rendah menyebabkan kecenderungan PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai jaminan kredit akan turun. Persepsi masyarakat bahwa jika tidak dapat membayar kredit atau terjadi kredit macet, maka tanah yang dijaminkan akan disita oleh pihak bank (memberi pengaruh sebesar 99,61 persen) akibatnya masyarakat enggan menjadikan SHM sebagai jaminan kredit ke bank (Amir, 2008). Keikutsertaan PMK pada program
terhadap keputusan PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai agunan. Keikutsertaan dalam ini tidak menjadi dasar keputusan mereka dalam memanfaatkan SHM sebagai agunan, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan lain yaitu keinginan pengembangan usaha, kesesuaian jumlah kredit yang diperoleh dengan besarnya kebutuhan, persepsi prosedur peminjaman, dan persepsi kemampuan dalam membayar kredit. Keikutsertaan PMK dalam program
dalam memanfaatkan SHM sebagai agunan disebabkan tujuan utama PMK memperoleh kepastian hukum kepemilikan tanah (sebesar 63,89 persen), sedangkan tujuan untuk menjadikannya sebagai agunan kredit masih rendah hanya 30,56 persen (tabel 3.5). Alasan mengapa masyarakat tidak / < sebagai berikut: (1) karena tujuan utama mengikuti kegiatan pensertipikatan tanah hanya untuk mendapatkan kepastian hukum kepemilikan tanahnya saja, (2) ketakutan
mengalami kredit macet karena tidak dapat mengembalikan hutang, (3) belum memiliki rencana kegiatan usaha (Abdullatief, 2005 dan Amir, 2008). Tabel 2 (dua) dapat diketahui bahwa / memanfaatkan SHM sebagai agunan sudah cukup tinggi (sebesar 66,67 persen), hanya 33,33 persen yang belum memanfaatkan. Peserta yang tidak mengagunkan tersebut ternyata 33,33 persen tetap mengajukan pinjaman tetapi menggunakan agunan lain, yaitu berupa ternak/kayu sebesar 75 persen dan menggunakan BPKB sebesar 25 persen. Koperasi Mulia sebagai lembaga keuangan mikro memang memberikan kemudahan prosedur peminjaman. Koperasi Mulia tidak mengharuskan tanah untuk jumlah pinjaman yang tidak terlalu besar. Agunan dapat berupa ternak (sapi/kambing) atau agunan berupa pohon jati/kayu jati untuk jumlah pinjaman sekitar 5 juta, bahkan untuk pinjaman maksimal 1 juta tanpa agunan dengan kriteria benarbenar nasabah yang sudah dipercaya pihak koperasi. Umumnya jumlah pinjaman dari PMK di Koperasi Mulia masih tergolong rendah, sekitar 5 jutaan atau 10 jutaan. Kemudahan prosedur yang diberikan pihak Koperasi Mulia ini memang sesuai dengan prinsip dasar koperasi yang memang bertujuan untuk melayani anggotanya agar bisa berkembang dan bisa lebih sejahtera dan bukan dibentuk untuk mengejar keuntungan atau laba bagi perusahaan koperasi itu sendiri. Faktor kemudahan prosedur yang diberikan Koperasi Mulia ini menjadi salah satu penyebab alasan keikutsertaan PMK dalam
keputusan memanfaatkan SHM sebagai agunan. Berikut distribusi penggunaan SHM !>
$> * ! Jumlah Tidak mengagunkan SHM : 1. tidak pinjam 2. pinjam
34
12 8 4
Prosentase (%) 33,33 66,67 33.34
!""#$Kabupaten Kulon Progo)
1. agunan ternak/kayu 2. agunan BPKB Mengagunkan SHM : a. sebelumnya belum pernah pinjam b. pernah pinjam : 1. agunan ternak/kayu 2. BPKB 3. SK Dukuh 4. Tanpa agunan/kepercayaan 5. Letter C total
3 1 24 8 16 5 7 1 1 1 36
75,00 25,00 66.67 33,33 66,67 31,25 43,75 6,25 6,25 6.25 100.00
Sumber: data primer (diolah)
Faktor lain yang mungkin menjadi penyebab adalah faktor psikologis dari pelaku usaha mikro dan kecil tersebut. Faktor psikologis yang dimaksud adalah rasa ketakutan dalam diri PMK kalau usahanya tidak berhasil sehingga tidak akan mampu melunasi pinjaman dan takut tanahnya akan disita, bahkan hal tersebut mempunyai pengaruh sangat besar yaitu 99,61 persen, mengakibatkan masyarakat enggan menjadikan SHM sebagai jaminan kredit ke bank. Rasa ketakutan ini disebabkan oleh kepercayaan diri PMK atas kemampuan mereka dalam menjalankan usaha masih rendah. Hal ini secara tidak langsung dipengaruhi oleh tidak adanya atau belum maksimalnya pembinaanpembinaan terhadap PMK tersebut baik pembinaan mengenai manajemen usaha maupun motivasi dalam pengembangan usaha. Pembinaan yang dilakukan baru terbatas pada saat tahap awal pelaksanaan / penyerahan sertipikat setelah program sertipikasi selesai (Amir, 2008). Faktor umur juga berpengaruh dalam rendahnya keputusan PMK dalam pemanfaatan SHM sebagai agunan. Peserta program sertipikasi pada penelitian ini didominasi kelompok umur 60 tahun keatas dan umur 50 tahun keatas. Pada usia tersebut pada umumnya motivasi dan kemampuan dalam pengembangan usaha sudah jauh menurun. Berdasarkan hasil observasi lapangan dan hasil wawancara, dalam menjalankan usaha mereka cenderung bertujuan untuk mempertahankan hidup atau untuk mengisi waktu luang karena
sebagian besar anak-anak mereka sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu, sehingga tinggal menikmati hari tua serta lebih mendekatkan pada kehidupan sosial dan keagamaan. Hal ini menyebabkan !
mereka dalam memanfaatkan SHM sebagai agunan. Kemungkinan lain penyebab masih / jaminan kredit pada penelitian ini terkait dengan tipologi daerah penelitian di Desa Banjaroya dan sekitarnya. Berdasarkan observasi dilapangan daerah penelitian merupakan daerah perbukitan/punggung gunung, yang kurang subur. Usaha di bidang pertanian yang merupakan mata pencaharian pokok mereka selain sebagai peternak merupakan pertanian dengan air irigasi yang terbatas, cenderung tadah hujan atau merupakan pertanian lahan kering. Keberhasilan usaha dibidang pertanian sangat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah suatu daerah dan faktor alam. Hal ini sedikit banyak berpengaruh terhadap belum maksimalnya keinginan untuk mengembangkan usaha di bidang pertanian tersebut, sehingga menyebabkan
keputusan PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai jaminan kredit. Dampak ekonomi pendaftaran tanah di Kabupaten Sleman, Malang, dan Kabupaten Banyumas berdasarkan empat tipologi wilayah. Hasil penelitian didapatkan bahwa untuk wilayah perkotaan sebagian besar 35
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 24-40
jaminan kredit (sebesar 70 persen), di wilayah semi kota ternyata malah sebaliknya hanya 15 persen saja yang menggunakan untuk jaminan kredit, untuk desa subur sudah 60 / sebagai jaminan kredit dan untuk desa kurang subur hanya 25 persen (sebagian kecil) yang menggunakan untuk jaminan kredit #? F $%%$^> / tanah-tanah UMK yang tidak diagunkan ke bank untuk menambah permodalan, maka diindikasikan tidak berpengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat, walaupun nilai agunan tanahnya meningkat (Sidipurwanty, 2008). Pendaftaran tanah mempunyai dampak yang lemah terhadap kesadaran tentang hak atas tanah bagi petani dalam penggunaan kredit, hasil pertanian, dan konsentrasi hak milik tanah. Pendaftaran tanah lebih berpengaruh terhadap keamanan hak milik tanah daripada menaikkan produktivitas (Place dan Adholla, 1998).
' @
> variabel independen < 0,05, maka variabel
terhadap variabel dependennya pada level 5 persen, dan sebaliknya. Kenaikan / usaha (X1^ " berpengaruh positif terhadap kenaikan jumlah pinjaman dari lembaga keuangan dalam hal ini koperasi. Jika / PMK tersebut mengalami kenaikan berarti volume penjualan atas barang/jasa yang diproduksi dalam kurun waktu tertentu mengalami kenaikan, sehingga pendapatan PMK tersebut juga naik yang pada akhirnya laba atau keuntungan yang diperolehnya juga mengalami kenaikan. Jadi kenaikan / kecenderungannya akan diikuti dengan kenaikan laba/keuntungan. Kenaikan / merupakan indikasi bahwa pertumbuahn ekonomi perusahaan tersebut sangat bagus sehingga pihak lembaga keuangan layak memberikan kenaikan jumlah pinjaman/kredit.
Analisis Regresi Linear Berganda (Kenaikan Jumlah pinjaman yang diberikan lembaga keuangan kepada PMK selaku pemilik tanah/Y2) Tabel 3. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kenaikan Jumlah Pinjaman dari Lembaga Keuangan (Y2) Prob No. Variabel Keterangan (p-value) 1. Konstanta 4,0032 0,3118
2. Kenaikan omzet (X1) 1,1525 0,0000 3. #
^#1) 0,2036 0,8517
4. Persepsi terhadap Analisis Kredit (X2) 0,3656 0,0004 5. Umur (X3) -0,1525 0,0025 6. Jenis Kelamin (D2) 0,2826 0,7837
7. Tingkat pendidikan (X4) -1,0054 0.0511
8. Keikutsertaan progam (D3) 0,7448 0,8742
Persamaan regresi linear berganda sebagai berikut:
F%%$ § F£$$1 § %F$%1 § 0,3656X2 – 0,1525X3 § %F$&$2 – 1,0054X4 §%F=&3 §¨i
#^/ sebesar 5 persen dan dibandingkan dengan 36
agunan (D1) tidak berpengaruh secara < pinjaman dari lembaga keuangan. Hal
agunan dalam penelitian ini tidak menjadi dasar pertimbangan pihak koperasi untuk menaikkan jumlah pinjaman. Hal ini
!""#$Kabupaten Kulon Progo)
disebabkan karena lokasi obyek tanah yang
daerah perbukitan atau punggung gunung dengan pertanian lahan kering yang agak tandus dan tadah hujan. Walaupun / kekuatan hukum yang jelas orang malas dan enggan untuk berinvestasi di daerah tersebut sehingga harga jual tanahnya tidak mengalami kenaikan atau nilai agunannya relatif tetap dan tidak mengalami kenaikan yang mencolok, sebagaimana yang dikatakan
?/ #$%%&^ ' UMK dapat meningkatkan nilai agunan tanah sebesar 100 persen sampai dengan 400 persen. terhadap penyerapan modal dalam menunjang pengembangan UKM di Kota F / di Kota Cimahi belum memberikan dampak berarti bagi peningkatan pinjaman UKM atau penyerapan modal UKM (Abdullatief ,2005 dan Amir, 2008). Persepsi PMK terhadap analisis kredit yang diterapkan lembaga keuangan (X2^ " positif terhadap kenaikan jumlah pinjaman dari lembaga keuangan. Hasil analisis tersebut dapat menggambarkan performan debitur, terutama kondisi dan pertumbuhan usaha debitur sehingga didapatkan debitur yang benar-benar layak untuk diberikan kredit karena mampu dan sanggup membayar dan melunasi pinjaman, sehingga dapat dicegah secara dini kemungkinan terjadinya atau kegagalan nasabah dalam memenuhi kewajibannya untuk melunasi kredit yang diterimanya beserta bunga yang telah disepakati dan sudah diperjanjikan bersama. Umur responden (X3) berpengaruh < pinjaman lembaga keuangan. Umur menjadi salah satu dasar pertimbangan koperasi sebagai lembaga keuangan dalam penelitian ini untuk mengevaluasi kondisi usaha dan perilaku kewirausahaan pelaku UMK, terkait dengan keputusan dalam menaikkan jumlah pinjaman. Usia adalah sebuah faktor penentu dalam orientasi pertumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan distribusi PMK baik
peserta program dan bukan peserta lebih banyak pada usia 50 tahun keatas. Pada peserta program yang berumur 60 tahun keatas yang lebih mendominasi sebesar 38,89 persen, kemudian umur 50-59 tahun dan 40-49 tahun masing-masing sebesar 30,56 persen dan 25 persen. Hal ini terkait dengan pemenuhan persyaratan objek tanah dalam proses pendaftaran tanah. Salah satu kriteria objek tanah adalah bukan merupakan tanah warisan yang belum dibagi karena tanah warisan yang belum dibagi harus mendapatkan persetujuan dari semua ahli waris dan biasanya kendalanya adalah sulitnya mendatangkan dan mendapatkan persetujuan tersebut. Pada umumnya tanah-tanah PMK di daerah penelitian masih merupakan tanah milik orang tua yang belum dipecah atau belum diturunkan kepada anak-anaknya sehingga tidak dapat diikutkan dalam F ? secara persyaratan subyek memenuhi dan punya keinginan besar untuk mengajukan pinjaman. Peserta program umumnya merupakan pemilik tanah dengan usia yang sudah tua yang cenderung mulai menurun produktivitasnya. Pada kisaran umur tersebut kecenderungan motivasi usaha dan semangat mengembangkan usaha sangat turun, apalagi biasanya anak-anak mereka sudah dapat mandiri dan berkeluarga sehingga tanggung jawab berkurang. Tingkat pendidikan (X4^ " tidak berpengaruh terhadap kenaikan jumlah pinjaman dari lembaga keuangan. Dalam usaha mikro dan kecil pada umumnya mempunyai pendidikan formal yang masih rendah, dengan usaha yang masih bersifat turun temurun dan masih menggunakan teknologi sederhana atau masih bersifat tradisional. Pendidikan informal lebih dibutuhkan oleh PMK dan akan lebih berpengaruh dalam mendukung kesuksesan usaha mereka. Kemampuan manajemen yang masih terbatas menjadi salah satu faktor utama kegagalan UMK selama ini. Perbaikan manajemen usaha melalui pendidikan informal seperti kursus-kursus, diklat, atau pelatihan-pelatihan singkat tentang tata kelola
37
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 24-40
usaha, sangat efektif bagi peningkatan usaha. Walaupun pendidikan hanya SD apabila sering mengikuti pelatihan-pelatihan pengelolaan usaha pasti akan lebih berhasil dibandingkan dengan pendidikan yang lebih tinggi dengan kemampuan manajemen usahanya pas-pasan. Pendidikan informal sangat berpengaruh dalam keberhasilan wirausaha. Keikutsertaan responden dalam program !#3) tidak berpengaruh < <> Hal ini secara tidak langsung dikarenakan < kredit masih sangat rendah, belum menjadi motivasi utama dalam keikutsertaan PMK >!
maksimal dalam perkembangan usahanya, karena tidak serta merta mempengaruhi PMK dalam memanfaatkan SHM sebagai agunan. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan
berpengaruh pada kenaikan jumlah pinjaman yang ditawarkan lembaga keuangan.
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis penelitian ! tahun 2008 di Kabupaten Kulon Progo terhadap akses permodalan bagi UMK sebagai berikut: 3 , faktor-faktor yang ! dalam memanfaatkan SHM sebagai jaminan kredit dalam penelitian ini adalah keinginan PMK dalam pengembangan usaha, kesesuaian jumlah kredit yang diperoleh dan yang dibutuhkan, persepsi prosedur peminjaman, dan persepsi kemampuan membayar kredit ! > UMK tahun 2008 yang dilaksanakan di Kabupaten Kulon Progo belum memberikan dampak yang berarti terhadap peningkatan akses permodalan bagi UMK. Hal ini
<
/ pengaruh variabel keikutsertaan PMK
keputusan dalam memanfaatkan SHM hasil jaminan kredit. * F
38
Tanah UMK tahun 2008 yang dilaksanakan di Kabupaten Kulon Progo belum mempunyai / peningkatan akses permodalan bagi PMK ditinjau dari aspek kenaikan jumlah pinjaman yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada PMK selaku pemilik tanah. Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kenaikan jumlah pinjaman dari lembaga keuangan dalam penelitian ini adalah kenaikan omzet, persepsi UMK terhadap analisis yang diterapkan lembaga keuangan, umur, dan tingkat pendidikan PMK. < ! selain pemberian kepastian hukum hak atas tanah bagi UMK, yaitu tujuan peningkatan akses terhadap sumber-sumber permodalan bagi PMK tercapai, dalam pemilihan < / diperhatikan juga aspek kelayakan usaha dan faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam pengembangan usaha bagi PMK baik faktor internal maupun eksternal, antara lain usia, tingkat pendidikan yang terkait dengan kemampuan manajerial, lokasi, dan jenis usaha. Manfaat SHM hasil Program ! legalitas diharapkan dapat meningkat akses permodalan sehingga berdampak pada pengembangan UMK. ! dapat berpengaruh terhadap kenaikan jumlah pinjaman yang ditawarkan lembaga keuangan pada PMK selaku pemilik tanah, dalam pelaksanaannya selain mengutamakan ketepatan dalam pemilihan subyek dan obyek penerima program baik dari aspek persyaratan legalisasi asset maupun kelayakan usaha, perlu dilakukan juga pembinaan terhadap tata kelola usaha sehingga menunjang pengembangan UMK. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan koordinasi yang baik antara instansi-instansi terkait yaitu BPN RI, Kementerian Koperasi dan UKM, Pihak lembaga keuangan/ perbankan/koperasi dan instansi terkait lain, sehingga program benar-benar memberikan dampak yang berarti dalam menunjang kesejahteraan UMK.
!""#$Kabupaten Kulon Progo)
DAFTAR PUSTAKA F F $%%&F | Sertipikasi Tanah Terhadap Akses Kredit Perbankan dan Peningkatan Pendapatan Petani di Kabupaten Bekasi” " 1C Magister Studi Manajemen dan Bisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Arsyad, L, 1999, 3 3
3 0 = Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta. Boediono, 2008, Ekonomi Mikro: 1 1 3 ! 0 No. 1. Edisi 2, BPFE, Yogyakarta. Byamugisha, F.F.K., 1999, Policy Research Working Paper: The Effects of Land Registration on Financial Development and Economic Growth : A Theoretical and conceptual Framework, World Bank Policy Research Working Paper 2240. ?F >F $%%F |!< Dampak Pendaftaran Tanah Terhadap Pengembangan Ekonomi Wilayah” % !3"0* 3 # I ' J % CDDI Darmawan, D.A, dan Santoso, J, 2001, | Tanah”. % !3"0* 3 Fahmi, I, dan Hadi, Y.L., 2009, 3 9 & 3 , Alfa Beta, Bandung. Hutagalung, R.B., dan Situmorang, S. H, 2008, 3 *
USU Press, Medan. ;F $%%F | Kredit Modal Kerja Usaha Kecil Di Kota Semarang (Studi Kasus Permintaan Modal Kerja Usaha Kecil Sektor Perdagangan dari BMT)” " 1C Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
! F $%%F |< > +<X F;> Kuncoro, M, 2009, 0 !
B = 5 ? " * 2 UPP STIM YKPN, Yogyakarta. F F $%%&F | Sertipikat Hak Atas Tanah Terhadap Kinerja Ekonomi Pengusaha Mikro dan Kecil di Kabupaten Konawe Selatan”. " 1C Magister Studi Manajemen dan Bisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. \ F F $%%£F | KarakteristikIndividu,Kewirausahaan dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kemampuan Usaha Serta Keberhasilan Usaha Pada Usaha Kecil Batik di Jawa Tengah”. = Program Pascasarjana Universitas Merdeka Malang. Panggabean, R, 2008, Kerjasama Bank, Koperasi dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Mendukung Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKMK. Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Jakarta. F ~F $%%=F |* ! Pegawai Dengan Produktivitas Kerja” Jurnal Ichsan Gorontalo Volume 2, No. 1, Februari – April 2007. Place, Frank dan Adholla, Migot, S.E, 1998, | " " " Regrsitration on Smallholder Farms in Kenya: Evidence from Nyeri and Kakamega Districts”. % 5 0 , The University of Wisconsin Press. Volume 74, No. 3, pp. 360-373, August 1998. +
?F$%%F| F Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta”. 070*"!7
39
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 24-40
% ? 0 Vol. I, No. 1, Juni 2010, 1-15, Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra.
?/F F $%%&F | ' Tanah Usaha Mikro dan Kecil (Kendala dan Dampaknya)” % ! 3 Vol. VIII Nomor 1, Tahun 2008. Subandi, S. 2007, Potensi Pengembangan Permodalan UMKM Dari Pinjaman Perbankan. Diakses dari: http://www.smecda.com/deputi7/ ª Infokop/VOL1502/5%20
40
slamet-2.pdf, pada tanggal 9 Juli 2012. Suhardjono, 2003, 9 & 3 > * 9 . UPP AMP YKPN, Yogyakarta. Sulaeman, S, 2004, Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Dalam Menghadapi Pasar Regional dan Global, Infokop Nomor 25 Tahun XX. Winarno, W.W., 2007, 0 1 0 , UPP STIM YKPN, Yogyakarta.;
KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-116
NEGARA, ISLAM, DAN NASIONALISME SEBUAH PERSPEKTIF Al Chaidar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) Universitas Malikussaleh Nangro Aceh Darussalam Herdi Sahrasad Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina, Jakarta. Email: sahrasa@yahoo.com
ABSTRACT: What happens with ‘’Reformasi’’ (the Reform Movement/ Era)? After tha fall of Soeharto’s New Order F " " " ? / ""Z " > " >| democracy opens, and both Islamists and nationalists take part in the political game. The results have been, however, transactional politics, bad governance and uncertainty. A question should be raiseed: is it irreconcilable between the nationalists and the islamists? What is happening when the political games are plyed by both parties is basically the " " >/ |people resources and welth of the nation”. Islamists do the same as the nationalists stealing power (corruption). The business world is corrupted. Businessmen are in collusion with politicians, rulers, and bureaucrats. They do not care anymore about the fate of the people and the country. Keywords: State, Islam, Nationalism, new order, reformation, democracy, institution, +0 +
ABSTRAK /< |+ #+ ^«<Orde Baru Soeharto, Indonesia masuk ke dalam situasi yang kacau dengan banyak Z > dan korupsi begitu merajalela. Pintu demokrasi dibuka, baik Islamis dan nasionalis mengambil bagian dalam permainan politik, namun hasilnya adalah politik transaksional, pemerintahan yang buruk, dan ketidakpastian. Apakah itu menjadi tak terdamaikan antara nasionalis dan Islamis? Apa yang sedang terjadi adalah kompetisi korupsi dan mereka mencuri sumber daya manusia dan kekayaan bangsa ketika kesempatan itu dimainkan oleh kedua belah pihak. Kaum Islamis dalam pencurian kekuasaan (korupsi) merupakan kasus yang sama dengan kaum nasionalis. Bahkan dunia bisnis sangat korup dan rajin berkolusi dengan politisi, penguasa dan birokrat. Mereka tidak peduli lagi dengan nasib rakyat dan negara. Kata kunci: negara, Islam, Nasionalisme, Orde Baru, reformasi, demokrasi, institusi, #0 #
41
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 41-57
PENGANTAR Setelah gerakan reformasi Mei 1998 yang menurunkan Presiden Soeharto, perhatian dan komitmen rakyat terhadap sistem dan moral penyelenggaraan negara begitu besar. Namun, mayoritas rakyat kini merasakan bahwa masa depan bangsa kita justru memasuki era carut-marut dan ketidakpastian. Neoliberalisme, demokrasi liberal yang berwatak prosedural/kriminal dan korupsi yang merajalela di seluruh tubuh lembaga-lembaga negara: eksekutif, legislatif dan yudikatif, juga penegakan hukum ( ) yang buruk dan melemahnya masyarakat secara ekonomi dan sosial, makin menjontrongkan negara dan bangsa ke dalam ketidakpastian masa depan. Tulisan ini merupakan esai dengan perspektif yang bersifat mosaik yang mencoba menganalisis negara dan masyarakat era Orde Baru Soeharto sampai Era Susilo Bambang Yudhoyono (Era Orde Reformasi), dengan telaah yang bertumpu pada kondisi obyektif dewasa ini setelah belasan tahun reformasi berlangsung. Lima belas tahun reformasi telah berjalan, yang terasakan adalah adanya keleluasaan sosial, kehidupan demokratis, kebebasan pers, kebebasan berpendapat di tengah-tengah sistem politik reformasi yang belum begitu kokoh menopang kehidupan perekonomian, mengangkat lemahnya kurs Z asing (dollar). Berbagai tuntutan keadilan yang disuarakan oleh berbagai kalangan, menyisakan pertanyaan-pertanyaan sejauh apa kita dapat mengatasi berbagai persoalan rumit secara lebih manusiawi. Makin terasa, lemahnya daya-tawar dari masyarakat madani ( ; dalam upaya untuk menyelesaikan masalah sosial dan berbagai Z / < di berbagai bidang kemanusiaan. Kaum nasionalis mengusung ideologi Nasionalisme dan kaum Muslim mengusung ideologi Islamisme (Tibbi, 2001; Roy, 1994). Negara selama ini menghadirkan dirinya sebagai sosok yang mempunyai jaminan dan kuasa untuk menyelesaikan persoalan,
42
dihadapkan pada kenyataan sosial seorang diri untuk mengatasi berbagai problema tersebut. Jika negara dikuasai oleh kalangan nasionalis, maka kalangan nasionalislah yang sendiri harus menyelesaikannya, kalangan Islam hanya menjadi oposisi loyal. Jika negara dikuasai oleh kalangan Islam, maka kalangan Islam sendiri sajalah yang harus menyelesaikannya. Jika negara dikuasai oleh pemerintahan nasionalis yang berkoalisi, maka terjadi banyaknya ketidaksinkronan antara elit-elit tersebut. Apakah memang sudah tidak bisa dipersatukan antara kaum nasionalis dan kaum Islam? Yang terjadi justru proses persaingan korupsi dan mencuri kekayaan negara ketika kesempatan itu ada yang diperankan oleh keduabelah pihak. Kalangan Islam yang berkuasa mencuri (korupsi), pun demikian halnya dengan kalangan nasionalis. Bahkan dunia usaha pun sangat korup, dan getol berkolusi dengan politisi, penguasa dan elite birokrat Mereka seperti tidak peduli lagi dengan nasib rakyat dan negara ini.
PEMBAHASAN Negara, Islam, dan Reformasi: Era Ketegangan Setelah Orde Baru Soehartu runtuh, bisa dikatakan situasi era kepresidenan Habibie dan Gus Dur berada dalam fase transisional. Situasi ini ditandai dengan semakin ‘’masifnya tegangan’’ di lembagalembaga negara: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif dengan aroma Z / > Kondisi ini ditambah berbagai macam persoalan rumit lainnya, yang kesemuanya adalah persoalan-persoalan yang belum terselesaikan sejak kejatuhan rezim Soeharto dengan Orde Barunya pada 21 Mei 1998. Tuntutan reformasi yang terus digulirkan sejak 1998 di berbagai sektor belum banyak menampakkan hasil, agar Indonesia segera keluar dari kemelut krisis. Berbagai upaya yang dilakukan oleh penguasa di era reformasi ini, belum sedikit pun membawa situasi ke arah yang lebih cerah. Baik pemerintah maupun swasta belum merasakan dalam benak terdalamnya secara
Al Chaidar -- Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif
sadar akan esensi dari krisis yang tengah dihadapi. 1 penguasa seperti tidak ada. Indikasi kurangnya pemahaman dari kalangan pemerintah maupun dunia usaha. Pernyataan menteri dan pejabat tetap mengandung arti pesimisme. Selain makin membingungkan rakyat dan pelaku pasar, kadang juga menciptakan ketidakpercayaan pasar. Sikap penguasa ini bukan memperbaiki keadaan, tetapi justru ikut memperpanjang status quo yang mengidap potensial krisis dengan memperkeruh demokrasi liberal yang dibajak pemodal. Pada era Gus Dur, melejitnya ketidakpercayaan pasar bukan lagi dari institusi perbankan dan birokrasi yang antikritik, tetapi birokrasi yang kontroversial. karena tidak ada tanda yang kuat dalam memperbaiki keadaan, pemerintahan Gus Dur sangat sulit menciptakan kebijaksanaan yang efektif. Visi reformasi ekonomi dan politik, karenanya, coba difokuskan pada penyelamatan darurat di sektor produksi dan ideologi serta perombakan besarbesaran undang-undang dasar. Perombakan UUD 1945 tidak hanya cukup mengganti -nya dengan Piagam Jakarta yang menyiratkan kekerdilan politik Islam itu. Namun satu hal yang juga berbahaya adalah bagaimana pemerintah dan swasta tidak lagi saling percaya. Pembicaraan dan imbauan IMF, selama ini terlalu santun untuk menyinggung reformasi total semacam pergantian ideologi, UUD dan kebijakan institusi. Apa pun saran IMF, yang perlu disadari adalah kenyataan bahwa perekonomian Indonesia tidak akan berkelanjutan tanpa perombakan/ pembaruan ideologi dan struktur institusional untuk menyelesaikan krisis yang terjadi. Masalah menguatnya dollar atas rupiah, yang tak terduga dan tak bisa diprediksi, menjadi berkepanjangan. Masalahnya, bukan hanya mengenai yang bersangkut paut dengan urusan mata uang asing, tetapi krisis moneter itu juga mengena seluruh lapisan masyarakat. Harga-harga bahan pokok yang tak ada kaitan dengan
dollar, terus membumbung tinggi. Indonesia sepertinya harus mengganti mata uangnya dan membersih spekulasi mata-uang sebagai komoditas dalam perdagangan valuta asing. Reaksi-reaksi yang muncul terhadap krisis ini, membuka kemungkinan terjadinya berbagai kemungkinan termasuk yang paling buruk sekalipun. Apa yang bisa diusulkan sebagai jalan keluar atau setidak-tidaknya kiat untuk ? Pernyataan-pernyataan seperti krisis pasti akan berakhir memang ajakan yang simpatik. Walaupun batas harapan dan keputusasaan amatlah tipis, sehingga menghadapi keprihatinan, harapan dan keputusasaan itu sama-sama dengan gampang meletupkan perilaku kekerasan atau mendorong suasana panik. Kondisi psikologis ini semakin memprihatinkan, kalau lantas dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis yang sempit dan kepentingan ekonomis sepihak. Dalam konteks lebih luas, pengorbanan sebagai simbolisasi keprihatinan, mesti tidak terhenti pada ajakan. Krisis kepercayaan yang berkembang bisa sebagai akibat dari pra-kondisi yang terjadi sebelumnya. Mengutip pernyataan Lester C. Thurow (2012) dalam 7 + , keadaan ini ibarat kita dalam kondisi Dalam keadaan demikian segala unsur masyarakat bergerak. Ketidakpastian, kecemasan, ketakutan berkembang luas. Sebaliknya kalau Thurow berpendapat keadaan ini adalah akibat sistem kapitalisme, hal yang kita hadapi belumlah jelas benar. Boleh jadi, Kapitalisme berwajah manusiawi yang lebih sosialistik mestilah segera diperkenalkan. Yang kita sepakati dengan Thurow ialah, keadaan tidak seimbang akhirnya akan menemukan keseimbangan baru; suatu keadaan yang tidak datang dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan sekalian menuntut pengorbanan semua pihak. Konsep menuju baru, untuk menegaskan bahwa keseimbangan baru memerlukan upaya, konsep, langkah kerja yang jelas berikut keberanian untuk berkorban. Persoalan
43
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 41-57
krisis moneter (baca: ) coba diatasi dengan bantuan IMF berikut segala kesepakatannya. Ada kesatuan semangat dan langkah, bahwa demi kepentingan rakyat banyak, krisis harus segera diakhiri. Kalau lantas sampai hari ini krisis belum teratasi, artinya belum ditemukan baru, seperti sudah dilihat banyak ahli halnya tidak sebatas pada persoalan ekonomi. Beberapa jalan keluar ditawarkan, antara lain reformasi ekonomi dan politik dilakukan secara konsisten dan transparan. Usulan dialog nasional mesti ditempatkan pula dalam konteks itu. Artinya, mempertemukan berbagai kesamaan dengan tujuan segera terbentuknya kesamaan derap sikap dan langkah demi masa depan bersama yang lebih baik. Kontrak sosial baru yang segera diwujudkan. Negara-negara di Asia terperangkap dalam masalah kemiskinan, polusi dan kependudukan, tetapi dia merasa optimis dengan masa depan Asia. Optimisme Kenichi Ohmae dalam " (Asiaweek, Desember 1997) justru membesarkan semangat bangsa Indonesia. Dia melihat, memang kemunduran ekonomi yang terjadi setelah terjadi krisis sebagai proses alamiah. Ketidaksamaan yang ada bisa diatasi antara lain dengan relokasi industri. Bagaimana, kapan dan bentuk berakhirnya krisis, niscaya menjadi permasalahan yang perlu didialogkan bersama. Ohmae (1997) itu menunjukkan bahwa krisis yang dialami sekarang bukanlah akhir segala-galanya. Bahwa krisis ini akan berakhir, bahwa badai pasti berlalu. Krisis harus berakhir, tapi bagaimana cara mengatasi krisis mestilah menjadi komitmen bersama. Komitmen memang diawali dengan perasaan keprihatinan bersama. Tetapi ini belum cukup, sejauh belum ditemukan kesamaan persepsi, sikap, dan langkah untuk merealisir upaya mengatasi krisis. Syaratnya, seperti selalu dikemukakan banyak orang, yang diperlukan sekarang adalah kearifan; dan justru di saat-saat sekarang masyarakat sudah mengalami keprihatinan bersama, realisasi
44
| $ ” itu sebagai keharusan mutlak sepanjang masyarakat ingin segera menyaksikan berakhirnya krisis dengan tetap dalam kerangka persatuan-kesatuan bangsa. Di kalangan Muslim, reformasi dalam Islam menemukan padanan katanya sendiri dalam istilah yang sering kita dengar: & (reformer). Nabi Muhammad SAW adalah seorang & yang mengubah Negara Mekkah Jahiliyah menjadi Negara Islam (Negara Madinah) yang penuh dengan gemerlapnya peradaban dan terakuinya hakhak manusia. Apa yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad adalah suatu reformasi total terhadap sistem sosial, ekonomi, ideologi, politik, budaya dan militer. Tentu saja torehan sejarah ini memberikan bekas yang mendalam bagi pergulatan pemikiran politik umat manusia. Sebagai sebuah sistem (politik) yang bersifat partisipatif, yang mengesahkan persamaan hak di antara sesama manusia, maka demokrasi mungkin merupakan | / > tidaklah mengherankan jika pengalaman dan eksperimen demokrasi di zaman Yunani kuno itu menjadi model ideal bagi para pemikir dan teoritikus politik di zaman modern ini. Padahal ada satu konsep lagi yang pantas dibahas idealitasnya bagi Indonesia masa depan, yaitu Negara Madinah. Untuk memulai wacana tentang Negara Madinah ini, yang berbeda hampir 180 derajat dengan Negara Totaliter, maka perlu ada sedikit penjelasan teoritis tentang hal ini. Penulis melihat umat Islam Indonesia, melalui partai-partai politik Islam, ada baiknya perlu menelaah kembali substansi pemikiran Ibnu Khaldun (1332-1406) yang diakui otoritasnya baik sebagai pemikir tentang negara maupun sebagai ahli sejarah dan peletak dasar sosiologi. Bahkan sampai sekarang sarjana Barat mengagumi hasil-hasil pemikiran Ibnu Khaldu. Ia menulis dua buku yaitu: (1) * $L (Kitab Ibarat-Ibarat) dan (2) 9 (Pengantar). Dalam bukunya, 9 , ia merumuskan teorinya tentang negara dan tipologinya (Noer, 1978: 51-52).
Al Chaidar -- Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif
Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolak ukur kekuasaan : ;. Ia membagi negara menjadi dua kelompok yaitu (1) negara dengan ciri kekuasaan alamiah : M ; atau negara tradisional, dan (2) negara dengan ciri kekuasaan politik : ; atau negara modern. Tipe negara alamiah ditandai oleh kekuasaan yang sewenang-wenang dan otoriter (despotisme) dan cenderung kepada | > kekuatan sangat berperan. Hukum hanya dipakai untuk menjerat leher rakyat yang tertindas, sementara elit penguasa bebas melakukan dosa dan maksiat sesukanya dan prinsip keadilan diabaikan. Baik keadilan ekonomi maupun keadilan sosial-politik. Ia menyebut negara alamiah seperti ini sebagai negara yang tidak berperadaban ( / ;. Sementara itu, tipologi negara modern yang berdasarkan kekuasaan politik dibaginya menjadi tiga macam yaitu (1) negara hukum atau nomokrasi Islam ( ), (2) negara hukum sekuler ( L ; (3) |+ Plato ( ) (Kerr, 1966 : 29 ; Rosenthal, 1958 : 86). Negara hukum dalam tipe yang pertama adalah suatu negara yang menjadikan Syari’ah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcolm H. Kerr, sebagimana dikutif oleh Thaher Azhary (Kerr, 1966 : 29) menamakannnya dengan istilah Nomokrasi Islam (! ' ). Karakteristik 1 = atau Negara Hukum berdasarkan Islam menurut Ibnu Khaldun adalah negara yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah, serta akal manusia yang turut juga berperan dan berfungsi dalam kehidupan negara. Akal manusia yang dimaksudkan adalah & M dan . Sehingga Negara Nomokrasi Islam atau Negara Islam adalah Negara Ulama. Waqar Ahmad Husaini mencatat bahwa nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat universal, baik di dunia maupun di akhirat ( $ ). Husaini bahkan menggunakan istilah |\ / ¬ 1 =
atau Nomokrasi Islam (Husaini, 1983 : 217232). Hal ini karena hukum di dalam Islam dikenal secara jurisprudensi sebagai 1 M . Menurut Ibnu Khaldun tipe negara yang paling baik dan ideal di antara 1 1 L dan 1 ialah 1 atau nomokrasi Islam. 1 L hanya mendasarkan pada hukum sebagai hasil ratio manusia tanpa mengindahkan pada hukum yang bersumber dari wahyu, maka negara semacam ini dapat kita lihat pada negara-negara demokrasi Barat di Eropa maupun Amerika pada umumnya. Pada s (Republik ala Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir golongan elite atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai hak pilih (Rosenthal, 1958 : 86). Negara Madinah ini bisa kita lihat pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno (1959-1965). Sedangkan dalam pandangan Muslim skripturalis, Negara Islam terbaik adalah konsep , yang pernah dan diproklamasikan oleh S.M. Kartosoewirjo adalah nomokrasi Islam berdasarkan konsepsi ini. Negara Diniyah inilah yang dicoba pertahankan oleh para pejuang dan syuhada Islam Indonesia di masa lalu, bukan Negara Otokratis yang notabene adalah Negara Sekuler atau dalam sebutan yang lebih emosional oleh kaum Muslim fundamentalis adalah Negara Syaitan. Dari ketiga tipe negara yang termasuk ke dalam bentuk itu, maka secara teoritis Ibnu Khaldun lebih menyukai bentuk nomokrasi Islam atau dalam istilah | ' satunya bentuk tata politik dan kultural yang permanen” (Husaini, 1983 : 233). Negara Islam seperti inilah yang menjadi cita-cita ideal seluruh umat manusia. Berdasarkan kerangka teoritis nomokrasi Islam (
) dari Ibnu Khaldun tentang yang merupakantipe ideal dari , maka penegakan tentang Negara Hukum sudah waktunya untuk diperkuat kembali. Jika partai-partai politik Islam luput dengan perdebatan tentang hal ini, maka / >
45
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 41-57
Dan, lebih dai itu, secara ideologis partaipartai Islam tidak memihak sedikitpun pada Islam jika tidak mengemukakan konsep ala Negara Madinah ini dan implementasinya di Indonesia. Penulis menduga, tidak ada seorang tokoh partai politik Islam pun yang pernah mendengar tentang konsep Negara Diniyah atau Negara Madinah ini secara mendalam dan tuntas sebelumnya. Mengapa ? Karena dari banyak pernyataanpernyataan mereka, mengindikasikan bahwa mereka tidak punya wawasan sedikit pun tentang sistem kenegaraan. Kalau aspirasi dan suara umat diserahkan pada orangorang yang seperti tokoh-tokoh partai politik Islam sekarang ini, maka itu artinya sama dengan menyerahkan jiwa-raga kepada singa dan buaya. Maka, model pemimpin yang bagaimanakah yang bisa dimunculkan oleh tokoh-tokoh partai politik seperti itu? Sehingga, sebagaimana terakui di dunia Barat sekalipun, kekuasaan Islam adalah lambang kemajuan yang sangat cemerlang dalam politik. Dalam Islam pengertian kekuasaan ini menjadi sesuatu yang inheren dalam ajaran-ajarannya yang diperoleh lewat suatu sosialisasi penyadaran dengan menggunakan Al Qur’an dan sejarah Nabi Muhammad SAW yang bermuara pada penaklukan kota Mekkah di bawah manajemen kekuasaan orde Islam. Kekuasaan, bukanlah sebuah kenikmatan yang harus dihirup, melainkan suatu tanggung-jawab maha berat yang harus dipikul dan mempertanggung-jawabkannya di hadapan Allah yang nota bene, secara demokrasi, adalah di hadapan rakyat banyak secara terbuka dan jujur. Berkuasa bukanlah memegang kendali politik sambil menikmati sumber daya dengan cara menindas, melainkan terkandung pertanggungjawaban politik yang berat di dalamnya. Oleh karenanya, politik, sebagai salah satu aspek budaya Islam, berkembang dalam sebuah diskursus antara ketaqwaan (tunduk pada perintah atau kekuasaan suci,
) dan praktek struktur kekuasaan. Menurut A.H. Johns, bagi Islam kekuasaan politik yang stabil ditandai oleh sebuah
46
kepercayaan awal bahwa «masyarakat Muslim harus diperintah oleh Muslim yang terbaik». Persamaan moral seluruh pemeluk Islam dan perlunya mesyarakat diperintah menurut hukum Tuhan menjadi cita-cita bagi semua pemikir Islam, bagaimanapun sulitnya untuk menyesuaikannya dengan realitas politik yang ada (Reid, 1993: 12; Johns dalam Reid and Marr, 1981: 17-34). Bagaimanapun Islam telah melakukan suatu dekonstruksi dalam pengertiannya yang umum terhadap banyak premis pengetahuan yang berkembang selama ini (Cooler, 1983: 82-86). Untuk menghindari salah pengertian dan phobi terhadap Islam, karakteristik negara Islam dipaparkan seorang cendekiawan Muslim sebagai berikut : 3 Negara Islam adalah negara yang berakidah, yang dari sudut pembentukannya dan sebab keberadaannya, ia tegak di atas landasan falsafah yang lengkap. Yaitu atas landasan suatu akidah dan konsepsi wujud, falsafah etika yang memancar darinya yang mencakup sistem akhlak, hukum dan hubungan kemasyarakatan. Bukan sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian orang yang mengacu pada pemikiran Barat, yaitu merupakan negara agama. Dalam arti hubungannya hanya terbatas pada suatu kepercayaan keagamaan yang bersifat gaib dan tata cara ibadah serta ritual-ritual semata (Al-Mubarak, 1995: 149-145). * Janganlah melukiskan negara Islam dalam eksistensinya sebagai negara agama atau sipil dengan pengertian Barat (Eropa). Seseorang tidak bisa -dikarenakan jabatan keagamaannya- menafsirkan teksteks agama atau hukum. Sesungguhnya masalah bersama dimusyawarahkan dan dari kalangan putra-putra umat Islam harus mengkhususkan diri menguasai satu cabang ilmu. Bagi semua orang berhak melakukan dialog (diskusi) terhadap suatu persoalan dengan mengemukakan dalil dan && . * Negara Islam adalah negara yang berakhlak dan berperi-kemanusiaan. Tujuan negara Islam tidaklah semata-mata
Al Chaidar -- Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif
mencari kekuasaan, memupuk kekayaan dan keagungan militer. Tujuannya tak lain hanyalah membebaskan manusia semuanya dari perbudakan, mengikatnya dengan ikatan yang lebih mulia, yaitu ketundukan kepada Allah saja serta menegakkan keadilan di antara umat manusia seluruhnya. Karena itu, tujuan akhlak manusia didahulukan daripada tujuan-tujuan ekonomi, politik dan militer di dalam negara Islam. Dengan begitu, ia berbeda-beda dengan negara-negara yang tujuan utamanya adalah memperbanyak produksi atau memperluas pengaruh (dominasi) dan kekuasaan. Di dalam Negara Islam yang dibayangkan Ibnu Khaldun ini, semua hanya tunduk pada kriteria-kriteria dan nilai-nilai akhlak. * Negara Islam adalah negara berperadaban. Negara Islam tidak hanya membatasi diri dalam tugas-tugasnya menjaga keamanan dan melindungi wilayahnya dari agresi. Namun lebih dari itu, ia berkepentingan pada tujuan-tujuan yang bersifat positif dan pengarahan di lapangan perekonomian, ilmu pengetahuan dan seluruh perlengkapan yang memberi kemanfaatan kepada orang banyak secara umum. Diperluas bidang-bidang kegiatan buat masyarakat dalam batas-batas tujuantujuan kemanusian dan akhlak dalam Islam. * Negara Islam kokoh dasarnya dan berkembang bentuknya. Selain daripada itu, yang berupa rincian-rincian dan aturanaturan, diserahkan kepada ijtihad dan pemikiran manusia serta perubahan bilamana situasi menghendaki hal itu. Dengan begitu, negara Islam menerima bentuk-bentuk negara, sesuai dengan perbedaan kondisi dan perubahan tingkatan masyarakat yang silih berganti. Apa artinya sebuah bangsa jika dari waktu ke waktu hanya jatuh dari tangan zalim yang satu kepada tangan zalim yang lain? Dalam persepsi kalangan politik Islam, bangsa Indonesia, telah keluar dari mulut harimau dan untuk kemudian masuk ke mulut buaya. Kekuatan umat Islam merupakan satu-satunya kekuatan yang mampu menjadi anasir kontrol terhadap lembaga kekuasaan
yang mapan. Perjuangan umat Islam, baik di lini milisia maupun intelektual, juga lini kooperasi maupun non-kooperasi telah demikian mewarnai perjalanan pengalaman politik Indonesia. Jika tidak ada suatu kaum yang menyeru kepada kebaikan, maka tidak mungkin bangsa ini akan berubah nasibnya. Maka, kalangan politik Islam, mengartikan gerakannya sebagai satu-satunya gerakan yang menyeru kepada yang M dan mencegah yang . Dalam persepsi Kalangan politik Islam mereka sudah menjadi umat Islam satu-satunya, dan merupakan dari Al-Qur’an, Ali ‘Imran 104 dan 110. Sementara kaum atau | sama lain selalu tidak melarang mereka dari mengerjakan yang munkar” (Al-Qur’an, Al¬ =£^ | # ^ menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang makruf..” (QS. atTaubah: 67). Perlu kiranya kita memahami konstelasi gerakan kalangan politik Islam dari sudut psikologi umat dalam menatap realitas hidup dengan kacamata keagamaan. Sesungguhnya ada M yang menjadi alasan bagi munculnya reaksi politik secara kekerasan dari umat Islam. Dengan melihat doktrin karakteristik mereka untuk menegakkan sistem otoritas, yaitu melalui kepemimpinan dengan hirarki yang ketat, kita dapat menyimpulkan gerakan ini timbul sebagai reaksi terhadap proses marjinalisasi dan atomisasi kehidupan modern. Secara psikologis mereka merasa kehilangan pegangan dalam menghadapi proses sosial yang baru pasca kemerdekaan. Di samping itu, mereka ini biasanya adalah kelompok-kelompok yang tak terjangkau oleh kepemimpinan organisasi umat yang ada. Keorganisasian Islam hanya bergerak pada jalur-jalur formal dan seremonial saja. Yang kemudian menjadi menarik adalah, kelompok semacam ini muncul baik di daerah pedesaan maupun di daerah urban. Berlainan dengan gerakan-gerakan Islam (Kuntowidjojo, 1991: 204) yang muncul akhir-akhir ini yang tidak memiliki idealisme
47
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 41-57
politik yang hanya kritis pada permukaan realitas sosial tapi tidak bisa menarik akar penyebabnya secara struktural, gerakan Kalangan politik Islam senantiasa bergerak dengan idealime yang sarat dengan muatan politik. Bahkan, jika kita melihat proses dan tahap pemahaman mereka (kalangan politik Islam), hampir semua ajaran Islam adalah ajaran politik: agama adalah politik. Agama sering menjadi obyek kompensasi, pelarian dari tidak pernah pupusnya cobaan hidup. Kontrasnya dengan pengikut Kalangan politik Islam adalah pengikutnya yang ikut bukan karena ingin berlindung dari ujian hidup yang semakin menghunjam, melainkan karena kesadaran kolektif untuk mengadakan kontrol terhadap kekuasaan. Bahkan, kekuasaan yang sedang dipegang oleh penguasa republik, negara boneka Pasundan, maupun kolonial, adalah (Suseno, 1987). Legitimasi kekuasaan hanya sah jika disetujui oleh mayoritas Islam. Makanya, pengikut gerakan Kalangan politik Islam tidak memiliki kebutuhan internal untuk berlindung dari proses sosial di luar mereka. Justru kalangan politik Islam sudah M (berlepas diri) dari kehidupan sosial karena sikap politik & yang benar-benar konsisten. Dan, gerakan kalangan ! bukanlah paguyuban di mana &
-nya atau pengikutnya tidak perlu mencari-cari kembali identitas kolektif mereka yang hilang. Yang menarik pada gerakan politik Islam adalah rasa mereka yang tidak merasa kehilangan diri mereka sendiri, kehilangan kebebasan pribadi karena begitu tergantung pada guru atau pemimpin mereka. Rasa kebersamaan dalam satu -mengutip istilahnya James Siegel- tali ikatan Tuhan untuk meruntuhkan kekuasaan yang zalim telah menyerap kebebasan pribadi mereka. Biasanya juga, mereka menjadi radikal karena kecewa terhadap ulama-ulama atau pemimpin-pemimpin umat yang tidak peka terhadap kenyataan sosial dan politik. Ulama atau kiyai yang cenderung mendukung penguasa, di mata mereka adalah ulama ' / |
48
sebelum menegakkan ajaran-ajaran kitab suci” (QS. Al-Maidah 5: 68). Mereka membina tradisi yang bersifat politik yang cenderung berbau kekerasan dan wajar sekali jika kemudian mereka melihat Indonesia ini dikuasai oleh persona yang ? 7 M . Untuk menghadapi 7 M itu mereka melakukan dengan jalan (jihad bersenjata atau kekerasan) dan / (perang pola pikir). Dua modus yang menggabungkan semua strategi untuk mencapai kemenangan. Kekerasan adalah suatu kecenderungan yang membawa mereka ke arah gerakan anarkhis. Orang-orang yang frustrasi karena alasan-alasan sosial ekonomi, akan menjadi kekiri-kirian, sementara yang frustrasi karena alasan-alasan keagamaan cenderung menjadi ke kanan-kananan. Namun | " ( jauh lebih mulia daripada cap ekstrim kanan |kekerasan religius” yang mereka lakukan. Lihat misalnya, | /
#(> '®[ ¬ &^ | bahagianya golongan kanan itu” (Al-Qur’an, '®[ ¬$=^F|#'/ 'q &^F | karena kamu dari golongan kanan” (QS. AlWaqi’ah: 91). Hubungan krusial antara negara ( ) dengan umat Islam seperti ini, pada bagian lain, sebagaimana umumnya / |_ F terlalu membesar-besarkan Islam sebagai suatu ancaman. Pemberontakan Kalangan politik Islam yang bisa dipatahkan dijadikan preseden negatif yang selalu dibesar-besarkan untuk mendukung legitimasi rezim penguasa dengan cara menggambarkan Islam sebagai ancaman bagi kesatuan nasional. Pemerintahan yang zalim selalu menindas segolongan dari rakyatnya untuk memperkuat basis legitimasi kekuasaannya. Jika penindasan ini kendur, maka legitimasinya juga melemah. Akibatnya pemerintah pun melakukan depolitisasi dan deideologisasi Islam secara nasional. Politik yang berlabel etnis, agama,
Al Chaidar -- Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif
sebagai sumber disintegrasi bangsa.
Konstitusi dan Pemerintahan: Islam dan Nasionalis Mereka-mereka yang duduk dalam pemerintahan mesti bertindak sebagai wakil dari para pendukungnya ( ). Mewakili berarti hadir atas nama orangorang lain yang tidak bisa berhadir. Pemilu, tentunya, bukanlah satu-satunya cara untuk mengamankan keterwakilan atau memastikan keterwakilan suatu pemerintahan. Raja-raja yang memerintah secara turun-temurun di abad Pertengahan, menganggap dirinya sebagai perwakilan masyarakatnya. Hanya Rousseau, teoritikus * 1
, menolak kelayakan perwakilan bagi kegunaankegunaan legislasi. Status orang-orang yang duduk dalam pemerintahan terkadang dianggap tak mempunyai jaminan bahwa | " ? konstituen mereka, hingga mereka berbagi karakteristik vital seperti ras, agama, jenis kelamin, atau umur. Persoalan perwakilan dalam kenyataannya sangat dekat hubungannya dengan demokrasi daripada dengan kriteria pemerintahan konstitusional: suatu rejim yang dianggap tidak representatif oleh standard-standar modern tetap masih diangga konstitusional sepanjang pemerintahan tersebut memberikan stabilitas prosedural dan pertanggungjawaban kepada sebagian besar yang diperintah dan sejauh pemerintah itu representatif bagian sebagian besar masyarakat atau badan politik. Menurut Roger Garaudy (1982), sistem perwakilan (parlementer) merupakan bentuk sistem pemerintahan yang dilahirkan dan kondisi sejarah yang khusus hanya untuk Inggris dan Perancis. Sistem ini diekspor ke negaranegara yang struktur dan kebudayaannya berbeda. Pencangkokan ini akhirnya menyebabkan umat Islam menjadi asing dari dirinya sendiri, dari teman-temannya, dari sejarahnya, dari kebudayaannya dan dari hari esoknya sendiri. Modernitas yang diusulkan selama ini kepada umat Islam
untuk membangun negara dan dirinya berarti untuk melalui kembali tahap-tahap yang dilalui oleh Barat selama empat ratus tahun. Ini berarti bahwa umat Islam harus menganggap masa lalunya orang lain (Barat) sebagai hari esoknya sendiri. Akbar S. Ahmed (1993: 47-48) melihat bahwa periode modern ini telah menggiring kaum Muslim ke arah jalan kebuntuan. Diktator, kudeta, korupsi dan nepotisme dlam politik; standar pendidikan yang rendah; paresis intelektual; penindasan terhadap wanita, dan distribusi kekayaan yang tidak adil, menjadi sebagian karakteristiknya. Perusahaan-perusahaan multinasional dan kegiatan mereka yang nyata-nyata mendukung elite lokal yang korup, migrasi besar-besaran dari wilayah pedesaan ke perkotaan, dan sebagai akibatnya gangguan sosial dalam kehidupan tradisional, dan kegagalan membangun institusi-institusi negara modern yang efektif, adalah sebagian karakteristik lainnya. Persoalan khususnya bagi krisis multidimensional di Indonesia, Tisnaya Kartakusuma menilai, bahwa Naskah UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber kegagalan kronis bagi setiap rezim politik di Indonesia -dari rezim Soekarno, Soeharto, Habibie, dan Wahid/Megawati- dalam melaksanakan tiga (3) paradigma klasik: supremasi hukum, kedaulatan rakyat dan kesejahteraan rakyat (Kartakusuma, 2001). Menurutnya, tidak ada Indonesia baru dengan konstitusi baru, dan tidak ada Indonesia baru tanpa konstitusi baru. Pada saat para perintis kemerdekaan (generasi 1945) dalam merumuskan naskah UUD 1945 dalam kondisi yang tidak sempat < # ^ | |! q oleh 3 N UUD 1945, bukan karena soal kemampuan intelektual, tetapi karena keadaan darurat dan memaksa menjalankan Perang Kemerdekaan melawan penjajah asing yang sedang dihadapi oleh seluruh Bangsa Indonesia dengan fokus perhatian untuk mempertahankan Proklamasi
49
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 41-57
Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 [1945-1949], keselamatan hidup kemerdekaan Bangsa-Negara Indonesia yang baru lahir, dibandingkan dengan persoalan bagaimanakah harus memikirkan atau | UUD 1945. Barulah pada tahun 1950, generasi 1945 perumus naskah UUD 1945 itu berhasil merancang, membangun dan merumuskan |! q F /
F / | [UUDS], walaupun tanpa melalui prosedur
F/ | (Kartakusuma, 2001). Akan tetapi, dinamika praktek sistem politik parlementer UUDS 1950 selama periode 1950-1959, memuncak menjadi suatu krisis politik dan konstitusional. Karena menghadapi keadaan krisis demikian, apalagi dengan serangkaian pemberontakan daerah dan kegagalan Dewan Konstituante " |! qF
| = ; 1959” untuk memberlakukan kembali naskah UUD 1945 di Indonesia. Setelah ini, motivasi elite Generasi 1945 mengalami pergeseran fokus perhatian ketatanegaraan, yaitu adalah lebih menonjol bagaimana kalangan elite Perintis dan Pejuang Generasi 1945
|
£ demi melanggengkan kekuasaan politik dan kenegaraan di Indonesia. Pada masa selanjutnya, gaya ini diadopsi oleh Rezim Orde Baru/Soeharto dalam mengendalikan kekuasaan di Indonesia. Rezim Soeharto melaksanakan |
£ |"
tertutup di dalam konteks masa jangka panjang, yang mengatur secara otoriter semua sendir kehidupan ketatanegaraan, perekonomian dan menguasai budaya, sosial, politik di Indonesia selama lebih kurang 32 tahun secara berkelanjutan [1966-1998]. Hingga masa transisi reformasi yang sedang berjalan, dari masa pemerintahan transisi reformasi Habibie hingga Wahid/Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, persoalan konstitusi belum selesai diamandemenkan
50
demi memperoleh masa depan Indonesia secara baik. Nasionalisme politik di Indonesia diperkenalkan oleh para intelektual dan kaum terpelajar yang pada awal abad 20 membentuk ? - (1908). Gerakan ini berkembang di kalangan terpelajar yang kelak menjadi cikal-bakal terbentuknya elite modern Indonesia, yang oleh Robert van Niel diuraikan sebagai berasal dari kaum priyayi. Kebangkitan nasionalisme yang dipelopori kaum terpelajar itu, antara lain Wahidin Soedirohusodo, Sutomo, HOS Tjokroaminoto dan generasi yang lebih muda seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan lain-lain, semakin mendinamisasikan kaum pergerakan dalam upaya mencapai kemerdekaan. Di bawah cengkeraman kolonialis Hindia-Belanda dan juga Jepang, para tokoh pergerakan itu menyadari benar arti penting semangat nasionalisme. Para penjajah yang menerapkan kapitalisme modern itu telah mengakibatkan bangsa Indonesia sangat menderita dengan kemiskinan, kebodohan dan kesengsaraan. Sebab kapitalisme modern menerapkan dominasi di bidang politik, eksploitasi di bidang ekonomi dan penetrasi di bidang kebudayaan. Maka dari itu nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang anti kapitalisme (van Niel, 1984). Pahlawan pendidikan kita Ki Hajar Dewantara mengemukakan rasa kebangsaan yang berasal dari rasa percaya diri, yang menjadi rasa kekeluargaan dan menjadi rasa hidup bersama. Kemudian mewujudkan untuk mempersatukan kepentingan bangsa dengan berkepentingan sendiri, nasib bangsa dirasakan sebagai nasibnya sendiri, kehormatan bangsa sebagai kehormatan sendiri (Sopingi, 1999: 70). Sedangkan Ir Soekarno (Presiden Pertama RI), menegaskan, bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai hasrat untuk bersatu teguh, mempunyai kesatuan sifat yang umum dan tinggal di atas wilayah geopolitik yang nyata merupakan satu persatuan. Jadi kesatuan sifat atau disebut watak nasional, yaitu
Al Chaidar -- Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif
sejumlah ciri-ciri atau watak nasional yang membedakan rakyat suatu bangsa dengan bangsa lain (Feith and Castles, 1988). Bangsa tidak terbatas pada persamaan keturunan-ras atau persamaan agama. Tetapi mereka mempunyai persamaan hidup dalam satu wilayah tertentu, seperti halnya bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa daerah, agama dan adat istiadat, namun bertekad satu seperti tercermin dalam motto ? " ! . Bersatu dalam satu kesatuan yang kokoh dan kuat, di dalam satu naungan negara kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan sebagai landasan yang kokoh kuat tersebut adalah dasar negara Pancasila. Soekarno menegaskan Pancasila juga merupakan ideologi nasional yang menjiwai semangat persatuan bangsa Indonesia yang majemuk (Feith and Castles, 1988). Namun semangat zaman di era sekarang ini, persoalan-persoalan bangsa sekarang lebih menuntut jawaban negara untuk memberikan alasan-alasan baru untuk bersatu. Mungkin alasan baru yang pernah dikemukakan Anthony Giddens tentang | ?// > Di bawah era Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata gagasan |< / X
menjadi wacana : ; yang memikat kalangan kaum pro demokrasi, kalangan santri dan aktivis > |< adalah representasi dari pembaharuan
> |< F demikian Giddens, diperlukan karena masalah-masalah yang berkaitan dengan perbedaan antara garis kiri dan garis kanan dalam politik sudah begitu besar. Saat ini pandangan (mengenai dunia) dari elite kiri yang lama sudah tidak bisa dipakai lagi. Sementara pandangan kanan yang baru juga tidak memadai karena mengandung banyak kontradiksi. Pandangan politik aliran tengah sendiri juga telah menjadi begitu radikal hingga tidak lagi mampu menampung politik kiri
maupun kanan. Diperlukan sebuah wahana baru untuk menampung kiri moderat (hasil pembaruan kanan) dan kiri tengah (hasil pembaruan kiri) agar politik emansipatoris dan keadilan sosial tetap menjadi pusat perhatian. Menanggapi gagasan brilian Giddens dalam konteks masyarakat Barat itu, Profesor Chibli Mallat, ahli politik Lebanon, mengatakan |< / X
sebagai konsepsi politik yang baru. Namun Giddens dinilai telah mengabaikan negaranegara non-Barat, khususnya negara-negara Muslim. Sejak dasawarsa 1970-an dan 1980an, slogan «jalan ketiga» Giddens itu sudah berkumandang di negara-negara Muslim. Revolusi Iran-lah yang mencanangkannya dengan menegaskan bahwa «jalan ketiga» adalah Islam, yang sistem kemasyarakatan bukan model Barat (kanan) atau model Soviet (kiri), tidak Blok Barat maupun Blok Timur ( ; Profesor Mallat "F < 'F |< ketiga” adalah nama lain dari Nazisme Jerman dan Fasisme Italia, yang mencoba memberi alternatif baru terhadap ideologi komunisme (Uni Soviet) dan kapitalisme (AS). Mallat kemudian mengusulkan agar para penganut |< ' peradaban yang mampu menghilangkan berbagai ketimpangan struktural. Dengan menyimak gagasan Giddens dan tanggapan Mallat itu, ada baiknya para inteligensia Muslim dan nasionalis kini harus " |< / dengan Indonesia, di mana pluralitas (kemajemukan) sangatlah sarat kompleksitas. Tentang Islam dalam hubungannya dengan |< X
F meminjam diskursus Bernard Lewis yang menyatakan bahwa Islam yang lebih awal di era Cordova Spanyol, sangatlah toleran. Di Indonesia Islam yang lebih awal itu datang dengan jalan damai melalui perdagangan. Dan sebagaimana di zaman Islam Cordova Spanyol, di Indonesia pun Islam awal ini ternyata cenderung lebih toleran dibanding Islam yang lebih belakangan. Pada masa Islam awal itu, banyak pergaulan sosial yang berlangsung dengan lancar antara
51
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 41-57
kaum Muslim, Kristen, Hindu, Buddha dan Cina. Meskipun menganut agamaagama yang berbeda, mereka membentuk sebuah masyarakat yang beradab, di mana perkawanan antarpribadi, kemitraan dalam bisnis, hubungan guru-murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bentukbentuk lain kegiatan bersama berlangsung normal dan bahkan sangat umum. Kerja sama kultural ini, seperti dicatat Anthony Reid, tampak dalam banyak cara orang-orang Islam, Hindu-Budha dan Kristen menjalankan kehidupan dan kebudayaan. Bahkan di era pergerakan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan, kaum pluralis ini berjuang dalam spirit 1 3 . Dan sampai era demokrasi parlementer Bung Karno pada 1950-an, kaum Muslim dan non-Muslim itu hidup dalam suasana penuh peradaban, saling hormat, dan saling mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni budaya. Tidak ada sedikit pun diskriminasi, karena pembangunan bangsa dan karakternya : ; berjalan wajar. Karena itu, masalah pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim mengadaptasikan diri mereka dengan dunia modern, yang sampai kurun 1950an itu dijamin oleh konstitusi. Pada kurun waktu itu Islam menghormati pluralitas dan menghargai kultur masyarakat yang ada. Semangat pluralisme dikembangkan dan toleransi ditegakkan dengan kasanah intelektual yang diperkaya. Akan tetapi, di bawah Orde Baru Soeharto,semua itu mengalami keretakan: state building (pembangunan negara) telah melebihi dan menghancurkan nation building (pembangunan bangsa). Negara kian represif dan hegemonik, melibas masyarakat di seluruh etnis, kelas, dan lapisan. Politik belah bambu dan regimentasi Orde Baru Soeharto meluluhlantakkan spirit kebangsaan dan kemanusiaan. Karena itu, para intelektual dan elite Islam harus mencari jalan keluar dari krisis-krisis sosial,ekonomi,politik dan ideologi dewasa ini, agar reformasi tidak mengalami stagnasi, agar bangsa ini tidak mengalami
> X
/ |<
52
| tanpa tanggung jawab”. Di dalam Islam era + F| <? itu teraksentuasikan dalam Piagam Madinah, yang menjamin kebebasan, persamaan dan keadilan. Di era Islam Cordova, Spanyol, | kemudian menjadikan mereka komunitas yang pluralistik, kosmopolit dan universal, sehingga mereka bersedia belajar dan menerima segala yang bernilai dari pengalaman-pengalaman komunitas lain. Dalam konteks Indonesia era reformasi (dari era Habibie,Gus Dur, Megawati sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) ini, selain sumber non-Islam, maka Islam seyogyanya menjadi sumber inspirasi dan nilai untuk membentuk dan supremasi hukum, yang merupakan suatu > ?< apa yang disebut Anthony Giddens sebagai |< F / nilai-nilai peradaban untuk menghapuskan struktur ketimpangan. Tegaknya negara hukum dan terwujudnya akan melandasi tegaknya demokrasi, politik emansipatoris dan keadilan sosial guna menjamin pluralitas (kemajemukan) yang kini dalam kerawanan. Modernisasi Orde Baru sampai era transisi dewasa ini, telah menimbulkan transformasi sosial-budaya, ekonomi dan politik Indonesia, yang secara struktural merubah orientasi politik kalangan Islam Indonesia . Di era orde reformasi dewasa ini, transformasi itu tunggang langgang ( ) di antara developmentalisme (kapitalisme), demokrasi, kebangsaan, keislaman dan keadilan. Perubahan-perubahan orientasi politik masa Islam bukanlah semata-mata didorong oleh reinterpretasi terhadap ajaranajaran itu sendiri, melainkan juga dipercepat oleh perubahan struktural seperti yang diindikasikan dengan lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) dan reaksi keras terhadapnya. Dalam konteks ini, meminjam diskursus William Liddle, Islam kultural justru berkembang di Indonesia tanpa terlibat di dalam politik praktis yang
Al Chaidar -- Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif
sarat korupsi. Karenanya, umat Islam telah
' budaya dan keagamaannya tanpa harus berhadapan dengan hambatan-hambatan serius seperti yang ditemuinya di masa lalu. Pembangunan Orde Baru telah mendorong tingkat mobilisasi sosial-budaya yang lebih tinggi. Ini karena prasarana transportasi publik yang lebih murah, perbaikan prasarana jalan dan rel serta komunikasi terus berkembang. Semua ini meningkatkan akses masyarakat ke kota-kota besar. Isolasi relatif masyarakat desa terkuak dengan tersedianya radio-radio murah dan meningkatnya akses terhadap televisi. Dan, bagi perluasan cakrawala intelektual, perkembangan media cetak di masa Orde Baru telah sangat membantu memberikan dasar-dasar bagi perkembangan lebih lanjut. Semua ini adalah akomodasi non-politik yang kemudian, lambat laun, akan memberi perubahan pada daya tawar-menawar : ) rakyat terhadap penguasa. Maka, pintu gerbang bagi terciptanya akomodasi politik pun terpaksa terkuak karena Soeharto sendiri tidak lagi memiliki cengkeraman pengaruh di kalangan ABRI/ TNI. Akomodasi politik Islam merupakan petunjuk perubahan persepsi diri di kalangan umat Islam. Maka dalam konteks ini, Islam yang tadinya berkembang biak tanpa politik, tiba-tiba mengalami perubahan-perubahan struktural yang sangat besar pengaruhnya terhadap umat Islam Indonesia. Didukung oleh lapisan-lapisan petani, pedagang menengah dan beberapa kalangan yang telah berada dalam posisi & mereka, di awal Orde Baru, gagal menangkap kembali pengaruh terbatas yang bahkan pada 1950-an hanya sekali-kali dinikmatinya. Kehidupan politik dunia usaha di awal Orde Baru telah terkonsolidasikan ke dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin), suatu organisasi bisnis / pemerintah yang, sebagai akibatnya, menjadi saluran komunikasi utama antara masyarakat bisnis dengan pemerintah. Sebagai salah satu ciptaan Orde Baru, Kadin didominasi
oleh kalangan bisnis yang tumbuh dari dan di dalam aparatur Negara -terutama pada awal-awal tahun pembentukannya- daripada kaum menengah Muslim. Kenyataan baru ini menyentak kesadaran umat, terutama ketika mereka semakin menyadari betapa kecilnya peran politik mereka dalam proses restrukturisasi sosial-ekonomi dan politik di dalam percaturan politik di masa Orde Baru. Maka keutuhan dan kesetiaan lama—sebagaimana tercermin pada politik aliran—tidak bisa dipertahankan lagi. Perubahan situasi yang radikal itu, karenanya, haruslah dipahami dengan akidah yang baru. Pergeseran kesadaran ini telah menggoyahkan pendapat yang pernah secara teguh hidup dan berkembang di kalangan umat Islam: bahwa negara Islam bukanlah alat tunggal untuk mewujudkan cita-cita ajaran Islam di muka bumi. Pada gilirannya, pergeseran pemikiran ini pula yang mendorong berbagai kelompok sosial di kalangan umat mereformulasikan keberadaan dan ideologi yang diyakininya. Harus diakui, di kalangan Islam skripturalis, impian akan Negara Madinah (Islam) sajalah satu-satunya alat politik perjuangan untuk menegakkan hukum-hukum Allah. Partai pun diharuskan menuju ke Negara Madinah (Islam), agar mendapat kepercayaan rakyat. Namun, diimbangi dengan kegagalan yang berulang-ulang di dalam kancah politik Orde Baru, yang melahirkan frustrasi di kalangan Islam, sisa-sisa kepemimpinan politik Islam di masa lalu itu semakin melemah di dalam ruang lingkup Orde Transisi BJ Habibie dan Orde Reformasi era Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono dewasa ini. Tahun-tahun terakhir perkembangan Islam Indonesia menyaksikan kemerosotan pengaruh kaum ideologis itu. Pengaruh tokoh-tokoh partai politik Islam di masa lampau, kendati masih tetap dihormati, dengan sempurna telah terkosongkan dari ruang kesadaran politik umat -terutama di kalangan mereka yang telah terurbanisasikan. Di sinilah gagasan negara Islam secara tajam telah merosot. Kemenangan Golkar yang
53
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 41-57
berulang-ulang di dalam setiap pemilu masa Orde Baru dan juga dalam pemilu Orde Reformasi -kendatipun bukan tanpa kecaman- secara mencolok menunjukkan betapa intensifnya perubahan-perubahan ideologis di kalangan umat. Terlebih jika mengingat bahwa kemenangan-kemenangan Golkar itu justru terjadi di daerah-daerah yang sebelumnya menjadi pendukung konvensional partai-partai Islam. Dengan melihat merosotnya gagasan negara Islam itu, ummat kehilangan impian tentang Negara Madinah yang pernah dibayangkan ( ). Namun, pada 1997/98 terjadi krisis ekonomi, politik dan sosial sehingga ada peluang di era reformasi untuk mengajukan model ‘’negara keadilan’’ yang dibayangkan ummat Islam, dengan tafsir baru yang kontekstual. Maka, sudah waktunya para intelektual dan politikus Islam melakukan pencarian untuk membuka wacana Negara Madinah era Rasululah yang dibayangkan. Bagaimanapun, konstitusi dan undang-undang Republik Indonesia yang ada, belum menjamin supremasi hukum, politik emansipatoris dan keadilan sosial sehingga perlu penyempurnaan atau amandemen. Dalam situasi pancaroba dewasa ini, berbagai kalangan Islam masih meyakini bahwa Piagam Madinah dan praktik pemerintahan era Rasululah SAW dan empat khalifah pendahulu, sangat mungkin untuk dimanfaatkan sebagai sumber nilai dan inspirasi bagi hukum dan perundangundangan di Indonesia. Selain akan membuat hubungan para intelektual dan politikus Islam kian mengakar dengan ummat, hal itu juga akan mencegah kemungkinan timbulnya apa yang disebut Gustave le Bon (2000) sebagai revolusi religius atau bahkan, anarkisme religius. Lagipula konstitusi dan undang-undang yang ada akan kian diperkaya, disempurnakan dan didayagunakan. Hal ini juga akan mendorong golongan nasionalis sekuler dan non-Muslim untuk menyumbangkan pemikiran terbaiknya untuk hal yang sama. Agaknya, Islam pasca Habibie sampai era
54
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memiliki masalah dan kesempatan untuk membangun kembali negara bangsa sesuai cita-cita proklamasi 1945 dengan konstitusinya yang juga dijiwai dan diinspirasikan oleh ajaran Islam.
| / dari gejala merebaknya gerakan kaum skripturalis Islam dan Marxis belakangan ini, sebab sejarah kita menunjukkan jejaknya: makin kuat kebangkitan Islamisme, semakin kuat pula kemunculan Marxisme dan Nasionalisme. Akar historis dari
, di mana H.O.S Tjokroaminoto sebagai guru, dengan tiga murid yang memiliki ideologi berbeda yakni S.M. Kartosoewirjo (Islamis), Soekarno (Nasionalis) dan MusoSemaun (Marxis), memperlihatkan karakter, orientasi ideologi dan model pergerakan yang beraneka ragam. Ekspresi
Z / pengaruh Islam, Nasionalisme dan Marxisme di dalam sejarah kaum pergerakan Indonesia. Pengaruh ideologi dan sosialnya di kalangan rakyat masih terasa sampai milenium ketiga ini. Kini, di tengah euphoria reformasi, bangkit sudah Islamisme, Nasionalisme dan Marxisme. Dan yang menyedihkan: krisis ekonomi pada tingkat global dan nasional, menindas gerakan Islamis, Nasionalis dan Marxis tanpa satupun dari mereka sanggup dan untuk mengatasinya secara konseptual maupun praksis. Kita melihat, intelektual dan elite Islam, nasionalis maupun Marxis kini kebingungan, gamang dan | / keluar dari multi krisis yang membelenggu. Kepemimpinan nasional era Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum berhasil secara mendasar dalam memecahkan masalah Ambon-Maluku, Aceh, Papua (Irian jaya) dan lain-lain, serta belum mampu memberdayakan masyarakat bawah yang sangat terpukul oleh badai krisis ekonomi 1997/98. Yang terjadi kemudian para elite nasional kita itu terkesan tidak kompak, tersangkut < , gamang dan
Al Chaidar -- Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif
masih mencari-cari solusi terhadap berbagai krisis dan keterpurukan ekonomi-politik dewasa ini. Akibatnya, di lapisan kaum muda pergerakan, apakah itu sayap Islamis, Nasionalis maupun Marxis, terjadi upaya mencari tafsir, perspektif dan tindakan sendiri-sendiri dalam menghadapi masalah sosial-ekonomi dan politik yang mendesak nurani. Publik belum lupa bahwa pasca jatuhnya Orba Soeharto , munculnya demodemo kaum Islamis dan gerakan aktivis yang berkarakter Marxis, kedua tipologi gerakan yang berbeda ideologi, telah membangkitkan spirit gerakan kaum nasionalis radikal, sehingga persaingan kaum Islam skripturalis, Nasionalis dan Marxis semakin mengental, meskipun tidak semuanya tampak menonjol di permukaan.
SIMPULAN X # FIslam transnasional, terorisme dan ormas Islam garis keras sejenisnya seperti Front Pembela Islam dan Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, dan lain-lain) untuk sebagian disebabkan oleh kekecewaan atas merajalelanya korupsi, oligarkisme, ketidakadilan dan keterpurukan ummat secara politik-ekonomi, serta lemahnya negara dan penegakan hukum/rule of law di Indonesia. Golok dan pedang yang
Z / kepercayaan pada negosiasi, diplomasi dan cara-cara moral-etis pemerintahan pimpinan SBY yang sedang belajar menata diri. Untuk sebagian juga hal itu disebabkan berdirinya organisasi kemasyarakatan dan cendekiawan yang berbasis agama telah menambah kesan bahwa agama identik dengan alat tukar dalam politik. Artinya, agama lebih dikonotasikan sebagai alat tukar dalam politik, seperti barang ‘mati’ yang bisa dijadikan obyek untuk . Dalam konteks ini, perang wacana (
meminjam wacana Mikhail Bakhtin, inteligensia Rusia) di kancah blantika politik Indonesia antara aliran ke-Islaman, Kebangsaan dan ke-Kirian, yang semestinya
dilakukan dengan cara terpelajar atau intelektual, pada gilirannya jatuh ke dalam perang wacana yang vulgar, politik massa ( ; dan bernuansa antagonistisideologis. Ideologi Islamisme, Nasionalisme
² F penggerusan makna, sekedar sebagai gerakan politik yang berorientasi kekuasaan, bukan humanisasi dan pencerahan akal budi di kalangan pengikut ketiga aliran politik itu sendiri. Dalam hal ini, kombinasi yang buruk dari demokratisasi dan keterpurukan ekonomi masyarakat bawah akan membuka peluang bagi apa yang disebut Gustave le Bon dan Karen Armstrong sebagai bangkitnya kekuatan-kekuatan religius dan fundamentalis. Dalam konteks Indonesia, situasi itu juga membuka ruang bagi gerakan nasionalis kiri/Marxis dan separatisme. Inilah pekerjaan tambahan bagi pemerintah dewasa ini, apapun taruhannya. Dengan melihat maraknya gejala separatisme dan kekerasan di Maluku, Aceh, Irian Jaya dan seterusnya, akhirnya, semua terpulang kepada para intelektual, politikus dan angkatan muda Islam yang punya komitmen pada kehidupan berbangsa bernegara. Apakah mereka akan mengambil kesempatan ataukah hanya menunggu datangnya persoalan? Akhirakhir ini di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, radikalisme, sektarianisme, terorisme, separatisme dan arus semacam tipologi gerakan itu pada satu sisi dengan jelas menyiratkan sisi gelap modernisme dan demokrasi, namun di sisi lain bisa makin memperkuat kewaspadaan, koreksi dan instrospeksi serta inovasi agar bangsa kita bebas dari ancaman kekerasan dan ketimpangan, rasa cemas dan ngeri. Pada tahun-tahun terakhir abad 21 ini, di Tanah Air kasus serangan atas jemaah Ahmadiyah di Cikesik, Muslim Syiah di Madura dan aksi terorisme di Solo, Medan, Jakarta, Cirebon, juga aksi kekerasan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, RMS di Maluku dan seterusnya, menunjukkan maraknya radikalisme, sektarianisme, terorisme dan separatisme, yang seakan
55
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 41-57
berhimpitan dan tumpang tindih. Sayangnya, para politisi, pemimpin dan elite penguasa nampak tidak begitu perduli dan tidak cukup memahami bahwa kecemasan dan kengerian rakyat atas carut-marut demokrasi liberal belakangan ini adalah awal dari disorientasi dan disilusi. Karena itu, semestinya negara dan harus cepat berusaha menemukan hakekat reformasi dan demokratisasi itu kembali dalam upaya memperkuat masa kini dan masa depan agar Indonesia tidak luruh di tengah arus globalisasi.
Husaini, S.WA., 1983, 1 3
9 ! Judul Asli: ! 0 1 0 Terjemahan Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka Salman.
DAFTAR PUSTAKA
Garaudy, R, 1982, % & $& & ! Terjemahan H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang.
Ahmed, A.S., 1993, 3 B ? ? ! Bandung: Mizan. Azhary, M. T., 1992, ' B 1 1 3 $ = 1 ! ! 3 ' 9 9 Jakarta: Bulan Bintang. <F*F
F|` Negara Federasi” dalam 8 , Selasa 21 Desember 1999. Feith, H, and Castles, L., (eds.), 3 3 !
IFOE$IFQE terjemahan Hasan Basari, % B 53N01, 1988. `F !F
=F | F
.
; F >*>F
&F | " / +Z" +@ Indonesia” dalam Al-Mubarak, M, 1995, 1 3 3 ! Solo: Pustaka Mantiq. Suseno, F.M., 1987, 0 3 Jakarta: Gramedia.
Kartakusuma, T.I. Yojana, 2001, |! Baru di Abad 21: Rekonstruksi Integral Sistem Politik Baru Demokratis di Indonesia” dalam 9 |+ Lembaga Tinggi/Lembaga Negara dalam Konteks Amandemen UUD 45” Indonesia Democracy Monitor, Jakarta, Rabu 28 Maret 2001. Kerr, M.H., 1996, ! 8B 3 5 " 9
8 8 Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Kuntowijoyo, 1991, 3 ! B ! Bandung: Mizan.
!< F
F |! dan Kekuasaan” dalam Miriam Budiardjo (Ed.), 3 " * = , Jakarta: Sinar Harapan.
! F
F | Federalisme dan Negara Federal,” * , Sabtu 20 November 1999.
Mallarangeng, A. A., dan Rasyid R., (ed.),
F |` ~ dalam 7 !
Jakarta: Kompas.
% 3 9 !
Januari 2000.
Noer, D, 1978, 3 3 ' ? Jakarta: Rajawali. Khaldun, I, 1965, 9 ' Terjemah Osman Raliby, Jakarta: Bulan Bintang. 56
Le Bon, G, 2000, " 3 8 Germany: Guttenberb Project. +
FF# >^F
| " Political Discourse in Southeast Asia,” 9 3 1
, 27 (12). Reid, A, dan Marr, D., 1981, 3 3 1
Singapore: Heinemann (Asia) Ltd.
Al Chaidar -- Negara, Islam dan Nasionalisme Sebuah Perspektif
Rosenthal, E.I.J, 1958, 3 " 9 ! B ! - Cambridge: Cambrigde University Press. Roy, O, 1994. " 7 3 ! Cambridge, Mass.: Harvard University Press. Sastrapratedja, M, 1981, ‘‘Pancasila adalah Etika Politik’’. Harian * , 8 Mei 1981. Sasongko, H, 1999, 3 *
3 9 9 Depok: Pustaka X > Suseno, F.M., 1987, Etika Politik, Jakarta: Gramedia.
Sopingi, 1999, 8 * 3 % Depok: Pustaka X > " ? CDDI ! + 3 New York, NY: Palgrave. ______, 2012. ! and ! . Connecticut: > Press. Thurow, L.C., 2012, " 7 + in http//Amazon.com van Niel, R, 1984, " 0 9 !
0 Holland: Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde, Foris Publications, Holland.
57
KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-116
DIALEKTIKA INKLUSIVISME DAN EKSKLUSIVISME ISLAM KAJIAN SEMANTIK TERHADAP TAFSIR AL-QURAN TENTANG HUBUNGAN ANTARAGAMA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purworejo [ª />">
Syamsul Hadi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Fakultas Sastra Universitas Al-Azhar Indonesia
Suhandano Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT Potentially, both inclusivism and exclusivism can emerge from Islam itself. To an extreme point, inclusive point of view underline the importance to apprecieate religious pluralism and to avoid truth claims. To the other extreme, exlusive point of view suspect and even reject pluralism and upholds truth claims. Islam may be presented by the two extremes, and it is not only because of defferent emphasis in reading the holy texts, but also because of defferent methodologies of interpretation being employed. " "/ of ³Fmillah and /³¬ ?/ > synonymy avoid ¬´ ' # ² ^ " @" > using the relation of hyponymy between din and /³¬ ¬ F ? al- µ # ^F ²" @" > Keywords: Inclusivism, exclusivism, synonymy, and 1
ABSTRAK Secara potensial, inklusivisme, dan eksklusivisme dalam Islam bisa lahir dari Islam itu sendiri. Pada titik ekstrim, pandangan inklusif menggaris bawahi pentingnya mengapresiasi kebinekaan dan menghindari klaim kebenaran. Sebaliknya pandangan eksklusif’ mencurigai bahkan menolak kebinekaan dan melakukan klaim kebenaran. Perbedaan dalam menghadirkan Islam itu selain disebabkan adanya perbedaan penekanan dalam pembacaan teks-teks suci, juga disebabkan oleh perbedaaan dalam metodologi penafsiran. Perbedaan /
³Fmillah dan /³¬>+ sinonimi menghindarkan pembacaan ¬´ ' # dalil) sehingga sampai pada pemahaman yang inklusif. Sementara relasi ³F /³¬ "¬´ ?' µ (membatalkan dan dibatalkan) sehingga hadir pemahaman yang eksklusif. Kata kunci: Inklusivisme, eksklusivisme, sinonimi, dan
1
58
%&' $ Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama
PENGANTAR Pluralitas merupakan realitas yang harus dihadapi oleh Islam. Penerimaan atau penolakan terhadapnya merupakan problem kehidupan beragama. Bila pluralitas atau kebinekaan diterima sebagai suatu keniscayaan bagaimana dengan misi suci keagamaan untuk menghimpun umat ke dalam Islam. Bila ditolak bagaimana dengan visi kerahmatannya? Sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an sendiri bahwa kehadiran Islam tiada lain adalah untuk menebar rahmat (QS. al-Anbiya [21]: 107). Demikian kegelisahan yang lahir dari kesadaran beragama ditengah-tengah pluralitas atau kemajemukan. Kalau dilihat dalam khasanah tafsir al(¬´ menjelaskan pandangan yang Qur’ani, disana nampak ada dua pandangan teologis yang secara ekstrim saling bertolak belakang. Dua pandangan teologis mengenai Islam dalam hubungannya dengan agama-agama lain itu adalah inklusivisme dan eksklusivisme. Kedua pemikiran ini dalam tafsir selalu terbuka untuk diperdebatkan. Model penafsiran secara riwayat yang dianggap sebagai model penafsiran yang utama nampak belum menuntaskan persoalan dan masih menyisakan ketegangan. Tafsir riwayat disebut juga $ $ atau $ M, yaitu rangkaian keterangan / '(¬´F ' atau kata-kata Shahabat sebagai keterangan atau penjelasan terhadap maksud Allah #\/^# '/F
&^> Dari sini perlu perspektif baru atau integrasi berbagai disiplin keilmuan untuk melerai atau setidak-tidaknya mengurangi ketegangan debat inklusivisme dan eksklusivisme Islam tersebut. Dalam tulisan ini penulis bermaksud menghadirkan semantik sebagai cabang ilmu bahasa untuk ikut andil melerai ketegangan tersebut. Perbedaan penafsiran terhadap kata R and RM yang menyebabkan perbedaan pandangan antara inklusivisme dan eksklusivisme Islam akan dikaji dari sisi semantik.
PEMBAHASAN Pengertian Inklusivisme dan Eksklusivisme serta Perkembangan Wacananya dalam Islam. Mengawali kajian tentang dialektika, inklusivisme dan eksklusivisme dalam Islam berikut akan dibahas pengertian kedua istilah tersebut. Dalam bahasa Inggris sebagai kata sifat artinya adalah (Bull, 2011: 224). Adapun 6 yang juga sebagai kata sifat, artinya adalah |#^ 4 (2) : ; 4 (3) 6 ( (Bull, 2011: 153). Setelah masuk ke dalam perbendaharaan kata Indonesia berubah menjadi inklusif dan 6 menjadi eksklusif. Inklusif artinya termasuk dan terhitung (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008: 589). Adapun eksklusif artinya terpisah dan khusus (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008: 379). Dari sini dapat disimpulkan bahwa inklusif secara bahasa adalah terbuka sebaliknya eksklusif adalah tertutup. Selanjutnya setelah dinisbatkan pada " |teologi inklusivis”. Menurut Alwi Shihab teologi ini dikaitkan dengan pandangan Karl Rehner, seorang teolog Katolik, yang intinya menolak asumsi bahwa Tuhan mengutuk mereka yang tidak berkesempatan meyakini Injil. Mereka yang mendapatkan anugerah cahaya Ilahi walaupun tidak melalui Yesus, tetap akan mendapatkan keselamatan (Shihab, 1999: 84). Senada dengan ini, Nurcholis Madjid ia memaknai inklusivisme Islam dalam dua hal. 3 , pandangan terhadap agamaagama lain sebagai bentuk implisit dari agama tertentu. * sikap terbuka dan toleran terhadap penganut agama non-Islam (Madjid, 1992: 234). Adapun teologi eksklusif -masih dari paparan Alwi Shihab- dalam dunia Kristen, eksklusivis berarti kebahagiaan abadi hanya dapat dicapai melalui Yesus, dan 59
( *+/6*'/8*!"869;# <=
hanya mereka yang percaya pada-Nya yang selamat (Shihab, 1999: 84). Senada dengan ini Nurcholish Madjid menyatakan sikap eksklusif dalam melihat agama lain adalah melihat agama-agama lain sebagai jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya (Madjid, 1999: xix). Baik pandangan inklusif ataupun eksklusif dalam Islam memiliki dasar skriptual yang cukup memadai. Pandangan teologi inklusivis dalam Islam menggaris bawahi ayat-ayat al-Qur’an, antara lain: | / ' F orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah [2]: 62).
Pesan ayat ini diulang dalam redaksi yang hampir mirip dalam QS. al-Maidah [5]: 69. | / ' F orang-orang Yahudi, Shabiin dan orangorang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Kedua ayat ini menjanjikan keselamatan penganut agama Kristen, Yahudi, dan Shabiin, yang percaya kepada keesaan Tuhan, pengadilan hari kemudian, dan menghiasi diri dengan amal kebajikan. Adapun pandangan eksklusivis dalam teologi Islam antara lain mendasarkan pada pemahaman ayat, | / #/
^ disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang /'/ F sesungguhnya Allah sangat cepat hisabNya” (QS Ali Imran [3]: 19).
dan juga ayat: |q " Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia
60
di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS Ali Imran [3]: 85).
Seiring dengan perkembangan dunia yang sangat cepat dan globalisasi yang telah menjadikan dunia menjadi satu, menjadi dunia yang polisentris, multi-kultural dan multi-religius, wacana inklusivisme Islam juga semakin menguat. Harapannya adalah agar Islam ikut memberi andil bagi upayaupaya perdamaian dunia global yang multireligius ini. Sebagaimana disadari banyak pihak bahwa peran agama memang sangat penting bagi upaya-upaya perdamaian dunia. Hans Kung menyebutnya bahwa, ‘Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama’. (Kung, 1999: xvii). Diantara para pakar yang menggulirkan wacana inklusivisme Islam ini adalah Ismail Raji al-Faruqi. Dalam paparannya, ia menjelaskan bahwa asal semua agama adalah satu, karena bersumber pada yang satu, Tuhan. Agama yang menjadi asal semua agama ini disebutnya >$8 atau | : $ ; yang bersifat $ | ?< #^ Allah yang telah menciptakan manusia
>
> / F akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum [30]: 20).
Islam mengidentikkan dirinya dengan | > F sejalan dengan tingkat perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi umat yang /F | >$ 8 tersebut berkembang menjadi agama / beraneka (plural) (Faruqi, 1982: 102-105). Nurcholish Madjid dalam bukunya Tiga Agama Satu Tuhan, ia menulis, | F pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirnya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh / / dibicarakan dalam dialog antaragama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis
%&' $ Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama
dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada
| Tuhan Banyak Jalan” (Madjid, 1999: xix). Kemudian Alwi Shihab (1999: 108109) menyebutkan bahwa eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat '(¬´ '(¬´
' bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya. Prinsip ini digariskan oleh dua ayat '(¬´F / < sekali terjadi sebuah ayat al-Qur’an tampil dua kali dan hampir mirip kata per kata, yang menyatakan: | / F Yahudi, Kristen dan Kaum Shabiin; Mereka yang percaya pada Tuhan dan hari akhir dan berbuat kebaikan, akan menerima pahala dari Tuhan mereka. Mereka tidak akan merugi, dan tidak akan berduka cita” (QS. 'q[¶$·$F(>'´
¶£·
^>
Seiring dengan semakin mengemukanya pandangan teologi inklusif yang berkembang kearah pluralisme ini, muncul pula upayaupaya pertahanan terhadap pandangan teologi eksklusif yang dianggap sebagai upaya untuk menjaga kemurnian (teologi) Islam dari pencemaran teologi inklusif maupun pluralis yang menurutnya membawa pada sinkritisme dan relativisme. Sementara yang lain seraya menyadari akan realitas pluralitas yang tak terelakkan, kepentingan untuk mempertahankan kemurnian tersebut juga merupakan suatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Usaha untuk menjebatinya misalnya dengan membagi ajaran Islam kepada ajaran tentang
, dan M (sosial). Eksklusivisme itu harus dipertahankan pada wilayah (teologi) dan (ritual), sementara dalam masalah sosial yang
tidak berkaitan dengan dan , berlaku sikap inklusif sepanjang tidak saling merugikan (Majelis Ulama Indonesia, 2011: 91-92). Dari sini kesadaran akan realitas pluralitas juga melahirkan sikap yang beragam. Menurut Richard J. Mouw dan X / oleh Syamsul Hidayat bahwa sikap terhadap keberagaman itu bisa dibagi menjadi dua. 3 deskriptif yaitu sekadar mengakui keragaman. * normatif-preskriptif yang tidak sekadar mengakui, tetapi juga mau memperjuangkan keragaman. Pada tataran deskriptif, keberagaman (pluralisme) adalah fakta sosial yang tidak terelakkan, baik karena kondisi awal masyarakatnya sudah majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus modernisasi. Selanjutnya pada tataran normatif-preskriptif, terdapat tiga ranah keragaman, yaitu konteks budaya ( 6 ), asosiasi-asosiasi kelembagaan (
), dan sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia ( ). (Hidayat, 2012: 39)
Perbedaan Penafsiran Suatu hal yang mendasari dialektika inklusivisme dan eksklusivisme Islam ini adalah perbedaan penafsiran terhadap teksteks suci. Secara eksklusif, QS Ali Imran [3]: 19 menyatakan: ( $R L $ S) | / ' ³ / islam.”,
dan QS Ali Imran [3]: 85 menyatakan: ( $ S R $S
$S R ^ | " ' ³ selain islam, maka sekali-kali tidaklah akan
# ' ³ ^ /F akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
Ayat ini ditafsirkan bahwa agama yang benar hanyalah Islam yaitu agama yang disyariatkan pada Nabi terakhir Muhammad saw. 61
( *+/6*'/8*!"869;# <=
Berbeda dengan pandangan diatas, pandangan inklusif melihat kata ( $
S) dalam QS Ali Imran [3]: 19 dan 85 tersebut bukanlah islam dalam pengertian | / ( tetapi ( $ S)
/F / | atau berserah diri”. Jadi : $R ) disisi Allah hanyalah tunduk dan beserah diri pada Allah. Selanjutnya Allah sengaja jadikan untuk tiap-tiap umat $ RM dan jalan yang terang, karena Allah hendak menguji mana yang paling baik diantara umatnya, \/ :U & M S M & SV S & M S S R S SS W $ S^ |¸> tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan syari’at dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah < ¸>#('
¶£·&^>
Bahkan umat Muhammad-pun diperintahkan untuk mengikuti Ibrahim sebagaimana diungkapkan al-Quran: ( MW S S S S $ R ) |! q # /
^ > millah Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Ali Imran [3]: 95)
Secara riwayat pandangan eksklusif mendapatkan sandaran pada $ / yang diriwayatkan oleh as-Sady bahwa ayat: | / ' F orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS al-Baqarah [2]: 62).
Ayat ini turun berkaitan dengan sahabatsahabat ´ '~´ /> ´ " \ sahabat-sahabatnya. Ungkapnya,”bahwa 62
mereka itu berpuasa, shalat dan beriman padamu serta mereka menyaksikan bahwa engkau bakal diutus sebagai nabi”. Setelah ´< '< / itu, nabi Muhammad saw berkata padanya, |? ´F > Apa yang disampaikan Nabi ini menjadikan ´ > menurunkan ayat ini. S $ / ini dipahami oleh Ibnu Katsir, bahwa imannya Yahudi adalah bahwa mereka memegangi Taurat dan sunnahnya Musa L $ sampai datang ‘Isa. Ketika telah datang Isa, maka siapa saja yang memegangi Taurat dan mengambil sunnahnya Musa, tidak meninggalkan sunnahnya Musa dan tidak mengikuti Isa maka mereka binasa. Adapun imannya Nashara adalah bahwa mereka memegangi Injil dan sunnahnya Isa, maka mereka itu disebut mukmin dan diterima keimanan mereka sampai datang Muhammad saw. Ketika telah datang Muhammad mereka tidak mengikutinya serta tidak meninggalkan sunnahnya ‘Isa dan Injil, maka mereka akan binasa (Ibnu Katsir, 1999: 1, 284) Kesimpulan ini nampaknya diperoleh Ibnu Katsir setelah memproyeksikan
' ´ / dikatakan nabi sebagai ahli neraka itu adalah sebelum kerasulan Muhammad. Karena bila diproyeksikan mereka masih hidup pada masa kerasulan Muhammad justru bantahan Allah dalam QS. al-Baqarah [2]: 62 terhadap sabda nabi Muhammad tersebut <? ' ´ (yang tidak mengikuti nabi Muhammad) itu bisa masuk surga asalkan beriman pada Allah dan hari akhir serta beramal shalih. Tapi kesimpulan yang diambil oleh Ibnu Katsir adalah hukum jaminan keselamatan pada Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in dalam QS al-Baqarah [2]: 62 itu hanya sebatas kurun waktu sebelum diutusnya nabi Muhammad saw tidak sesudahnya. Adapun dalam pandangan yang inklusif, QS al-Baqarah [2]: 62 tersebut. ditafsirkan bahwa keselamatan di akhirat itu tidak tergantung pada jenis agama seseorang, akan
%&' $ Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama
tetapi tergantung pada keimanannya yang benar dan amalnya yang baik. Keimanan yang benar itu tidak disyaratkan dengan mengimani Nabi Muhammad Saw (Ridha, 1947: 1, 336). q ?/;³ *´ ' /F disisi Allah itu bukan hanya karena anganangan orang Islam atau angan-angan Ahlul Kitab. Di dalam riwayat itu diceritakan bahwa telah bertemu orang-orang Islam, orangorang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Orang-orang Yahudi berkata kepada orangorang F | F agama kami lebih dulu dari agama kamu, kitab kami lebih dulu dari kitab kamu, nabi kami lebih dulu dari nabi kamu. Kami ini pengikut nabi Ibrahim dan tidak akan masuk syurga kecuali ia beragama Yahudi. Kemudian orang-orang Nasrani juga berkata yang sama dengan orang-orang Yahudi. Selanjutnya, orang-orang Islam berkata, kitab kami setelah kitab kamu, nabi kami nabi Muhammad saw setelah nabi kamu, agama kami setelah agamamu. Telah diperintahkan kamu untuk mengikuti kami dan meninggalkan agamamu, kami lebih baik dari kamu, kami ini mengikuti agama Ibrahim, Ismail dan Ishaq. Tidak akan masuk syurga kecuali orang yang berada dalam agama kami. Dari peristiwa ini Allah menurunkan QS. an-Nisa’ [4]: 123: |# ^ angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” (Ridha, 1947: 1, 336)
Dengan demikian pada dasarnya agamaagama ini menyediakan jalan keselamatan, jalan keselamatan bukan monopoli satu agama tertentu, namun dalam perjalanan historisnya, setiap agama memiliki potensi yang sama untuk menyimpang, terutama secara normatif.
Perbedaan Metodologi Penafsiran Apabila dilihat dari sudut pandang linguistik, nampak adanya perspektif yang berbeda dalam membaca teks-teks suci yang membincang hubungan antaragama sehingga menghasilkan penafsiran yang berbeda. Unsur bahasa R , RM dalam teks-teks suci tersebut diinterpretasikan relasi maknanya secara berbeda. 3 RM itu ada di dalam $R Di dalam $ R yang hanya satu itu ada banyak RM . $R yang satu itu adalah islam, dan di dalam $R $ S itu ada banyak RM '(¬´ menggunakan kata RM dalam arti yang lebih sempit dari kata R yang biasa diterjemahkan dengan agama. 1 RM adalah jalan terbentang untuk satu umat tertentu dan nabi tertentu, seperti RM \µF RM !SR RM µ ´F RM ¬¹ ´F dan RM Muhammad saw. Sedangkan R X agama adalah tuntunan Ilahi yang bersifat umum dan mencakup semua umat. Dengan demikian, agama dapat mencakup sekian banyak RM (Shihab, 2009: III, 139) Bila digambar hubungan R dan RM disini adalah sebagai berikut Ad-dīn syarī’at 1
syarī’at 2
syarī’at 3 syarī’at 4 syarī’at 5 syarī’at 6 Diagram 1. Hubungan ketercakupan berbagai RM di dalam $R
Dilihat dari sisi relasi maknanya diagram 1 adalah relasi hiponimi. Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain (Chaer, 2007: 297). Ketika teori hiponimi ini digunakan untuk membaca ayat:
63
( *+/6*'/8*!"869;# <=
:U & M S M & SV S & M S S R S SS W $ S^ |¸> tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan syari’at dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah < ¸>#('
¶£·&^>
dan ayat: ( $R L $ S) | / ' ³ / islam.”, (QS Ali Imran [3]: 19)
maka yang terjadi adalah terjadinya MS (tampak saling bertentangan) antara kedua ayat tersebut. Sesuai dengan teori hiponimi juga maka solusi medologisnya adalah penghapusan. Dalam relasi makna hiponimi pengambilan makna salah satu hiponimnya sudah dapat dibayangkan nama superordinatnya (kelompoknya) dan kalau yang disebut superordinatnya maka sudah termasuk di dalamnya semua hiponimnya, kecuali bila penyebutannya dengan memberikan ciri-cirinya. Superordinat adalah kata yang berada pada tingkat atas dalam sistem hierarki relasi hiponimi sedang hiponim adalah anggota-anggota yang berada pada tingkat bawahnya (Pateda, 2001: 209-210). Dengan demikian bila di dalam $R itu banyak RM , maka penunjukan $ RM tertentu sudah dapat dibayangkan
$R sebagai nama kelompoknya, dan bila disebut $R dengan ciri-ciri tertentu maka maknanya merujuk pada $ RM tertentu. Jadi bila yang disebut adalah $R $! (QS Ali Imran [3]: 19), maka maknanya adalah RM Nabi terakhir, yaitu Muhammad saw. Adapun RM $ RM yang lain adalah
# ^> Penafsiran yang demikian ini menggunakan metode ' adalah mencabut hukum syari’at dengan dalil syari’at ( M $ $ M M ). Dimana beberapa ketentuan hukum syari’at yang oleh $1 M (Allah
64
daan Rasul-Nya) dipandang tidak perlu dipertahankan, dicabut dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas serta berdasarkan kenyataan yang dapat dimengerti untuk kepentingan suatu hikmah yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang berilmu sangat dalam (as-Shalih, 2004: 367). Dalam hal ini adalah &/M yakni pembatalan sebagian hukum M yang umum sebelumnya oleh hukum yang datang #q
F$%=^>; /#¸>li & M S M & ¸F^ | ' F! berikan syari’at dan jalan yang terang”. (QS. al-Maidah [5]: 48) di- ( &/M ) oleh ayat ( $ R L $ S) | / ' ³ / >( (QS Ali Imran [3]: 19). Dimana ketetapan banyaknya syari’at dalam QS. al-Maidah [5]: 48 itu telah dihapus sebagiannya oleh QS Ali Imran [3]: 19. Dari sini penafsirannya adalah syari’atsyari’at sebelum syari’at nabi Muhammad Saw. hukumnya dibatalkan (di ) sejak diturunkannya syari’at terakhir pada nabi Muhammad. (Shihab, 2009, vol 3: 137). Selanjutnya, (...., W $ S) ”berlomba-lombalah menuju khairat( (QS. al-Maidah [5]: 48) sebagai kelanjutan dari ayat ini adalah anjuran untuk bersegera mentaati Allah dan mengikuti syari’at-Nya yang dijadikan sebagai pe terhadap / ¬' / ¬ / # ! ³F 1999: III, 130). Jadi, setelah turun syari’at Muhammad maka ayat ini berfungsi sebagai seruan untuk masuk agama Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Penganut Taurat dan Injil yang semasa dengan Nabi Muhammad saw. diwajibkan mengikuti
'(¬´ tidak lagi mengikuti kedua kitab yang turun sebelumnya (Taurat dan Injil) karena yang berkewajiban mengikuti keduanya adalah umat-umat yang lalu (Shihab, 2009: III, 141). Berdasarkan penggunaan teori $ W (mencabut dan dicabut atau membatalkan dan dibatalkan) ini, maka
%&' $ Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama
meskipun disisi Allah semua agama yang dibawa oleh para Rasul adalah Islam -sejak Adam hingga akhir zaman- dan yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul yang diutus kepada mereka Allah tidak menerimanya, namun kata dalam / |1 $R : ; ! ” (QS Ali Imran [3]: 19) adalah ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw (Shihab, 2009: II, 49). Dengan demikian agama yang diridhai Allah dan memperoleh keselamatan di akhirat kelak (QS Ali Imran [3]: 85) adalah Islam yang menunjuk pada syari’at yang dibawa oleh Muhammad saw. 1 RM terdahulu dihapuskan oleh RM yang datang berikutnya. Sehingga RM nabi Muhammad saw menghapuskan berlakukanya RM $ RM sebelumnya. Maka $R yang benar dan diridhai Allah pada masa kerasulan Muhammad saw adalah
$R yang di dalamnya berisi RM islam yang disyariatkan pada nabi Muhammad saw (Shihab, 2009, vol 2: 48). Dengan diterapkannya metode $ W ini, bisa juga dipahami bahwa jaminan keselamatan pada Yahudi, Nasrani dan Shabi`in dalam QS al-Baqarah [2]: 62 telah di (dihapus) oleh QS Ali Imran [3]: 85. Dasarnya adalah riwayat Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa setelah menurunkan QS al-Baqarah [2]: 62 Allah menurunkan QS Ali Imran [3]: 85 (Ibnu Katsir, 1999: I, 284285). Artinya setelah diturunkan syari’at Muhammad maka jaminan keselamatan terhadap agama mereka dihapus dan wajib bagi mereka mengikuti syari’at nabi Muhammad saw. Namun penggunaan metode $ W dalam penafsiran ayat-ayat tentang hubungan antaragama ini tidak bebas dari kritik. Pasalnya bila QS. al-Baqarah [2]: 62 tersebut di- bagaimana dengan ayat yang semisal yang dengan redaksi yang mirip justru pada surat yang menurut kronologi turunnya lebih akhir dari surat Ali Imran, yaitu pada surat al-Maidah [5]: 69 (Amal, 2001: 87-88). Artinya bertentangan dengan teori $ W yang menjelaskan bahwa
ayat yang terdahulu yang dihapus oleh ayat yang turun kemudian (ayat S S datang kemudian dari WS) (Baidan, 2011: 175). Apalagi ayat ini adalah ayat teologis. Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa persoalan aqidah (teologi) adalah termasuk persoalan yang tidak dapat di (diganti) Karena ia adalah merupakan aturan yang bersifat abadi sebagaimana
|=
M
$ ' ' * *
! 9 ! 4 " & ( (QS as-Syura [42]: 13) (Zahrah, 2005: 187)
* secara umum R bermakna RM Dilihat dari sisi #| <? Tuhan”) secara umum ketiganya bermakna sama. (Ridha, 1947, vol 3: 257). Bila digambar hubungan ketiga unsur bahasa tersebut adalah sebagai berikut, Taklif dīn
syarī’at
millah
Diagram 2. Hubungan semakna antara R dan RM
Dilihat dari sisi relasi maknanya diagram 2 adalah relasi makna sinonimi. Sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007: 297). Dalam relasi makna sinonimi penggambilan makna merujuk pada konteks sinonimitasnya. Ketika $R itu sama dengan $ RM , 65
( *+/6*'/8*!"869;# <=
maka makna dari keduanya merujuk pada makna sinonimitasnya, begitu juga R dengan . Penerapan relasi makna sinonimi
'(¬´
mempertentangkan atau menghadaphadapkan ayat secara diametral dalam penafsiran. Dengan teori sinonimitas, maka ayat-ayat yang mengandung unsur-unsur sinonimi tidak bisa dipertentangkan (di MS $kan), sebab makna ketiga unsur bahasa itu bisa saling disubtitusikan. Dengan demikian model penafsiran ini tidak menghadapi persoalan MS (pertentangan antar ayat) dan persoalan $ W Sinonimitas kata $R dalam ayat QS Ali Imran [3]: 19 dan 85 dengan kata $ RM dalam QS al-Maidah [5]: 48 menuntut pemaknaan kata $ S dalam QS Ali Imran [3]: 19 dan 85 pada arti kata generiknya, yaitu | F
| / ( Hal ini untuk menghindari MS (pertentangan) Jadi $R disisi Allah hanyalah tunduk dan beserah diri pada Allah. Adapun RM $ RM yang diciptakan untuk tiap-tiap umat itu juga disebut $R Allah menciptakan banyak RM dan jalan yang terang karena Allah hendak menguji mana yang paling baik diantara umatnya (QS al-Maidah [5]: 48). Begitu juga sinonimitas R dengan maka perintah untuk mengikuti Ibrahim dalam QS. Ali Imran [3]: 95 adalah perintah untuk menetapi ( Allah, yaitu) tauhid yang murni dan ikhlas kepada Allah swt, dan yang demikian ini juga menjadi makna islam. Jadi kata disini adalah pokok dari agama, bukan mengikuti syari’atsyari’at dan hukum-hukum yang terperinci (Ridha, 1947, vol 6: 417-418) karena syari’at Allah itu bermacam-macam (Ridha, 1947: VI, 417). Syari’at yang bermacam-macam itu berfungsi sebagai pendidikan untuk memudahkan manusia melaksanakan beban nya (Ridha, 1947, vol 3: 258) yaitu tunduk dan patuh pada Allah swt. Jadi prinsip sinonimitas ini menyampaikan pada makna-makna yang dianggap subtansial yang mempertemukan
66
ketiga unsur bahasa ini. =R dalam ayat ‘R disisi Allah adalah islam’ (QS Ali Imran [3]: 19) artinya tunduk dan patuh (terhadap Allah), sehingga orang islam yang sebenarnya adalah orang yang bersih dari berbagai bentuk kemusyrikan pada Allah, ikhlas dalam amalnya bersama iman dari apapun, di zaman kapanpun dan tempat manapun (Ridha, 1947: III, 257). Penafsiran yang demikian memandang Islam secara inklusif. Ia menggaris bawahi bahwa keselamatan itu bukan monopoli satu agama tertentu. Firman Allah dalam QS. al-Baqarah [2]: 62 dipahami bahwa semua penganut agama S (yang diwahyukan Tuhan) yang telah sampai pada mereka dakwah nabi, apabila mereka beriman pada Allah dan hari akhir dengan cara yang benar yang telah dijelaskan oleh nabi mereka dan mereka beramal shalih, maka mereka memperoleh keselamatan dan mendapat balasan dari sisi Allah swt (Ridha, 1947, I: 339) Tidak ada syarat iman pada Nabi Muhammad saw, karena setiap umat yang beriman dibangun atas wahyu secara khusus. Keselamatan dan keberuntungannya di akhirat tidak dikarenakan ia Muslim, Yahudi, Nasrani atau Shabi’in. Keselamatannya tidak tergantung pada jenis agamanya tapi tergantung pada imannya yang benar dan amalnya yang shalih (Ridha, 1947: 1, 336).
SIMPULAN Dilihat dari sisi cara pandang terhadap pluralitas, Islam bisa menghadirkan dua pandangan yang pada titik ekstrimnya saling bertolak belakang, yaitu eksklusif dan inklusif. Eksklusivisme mengarah pada absolutisme sedang inklusivisme mengarah pada relativisme dan sinkretisme. Dalam rentangan sayapnya inklusivisme membelah ke dalam dua tataran pandangan yaitu inklusif deskriptif yakni sekadar mengakui keragaman dan inklusif normatifpreskriptif yaitu tidak sekadar mengakui pluralitas, tetapi juga mau memperjuangkan keragaman. Dalam perspektif linguistik, metodologi interpretasi teks inklusivisme, dan
%&' $ Inklusivisme dan Eksklusivisme Islam: Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama
eksklusivisme ini berpijak pada metode yang berbeda. =R dan RM yang merupakan tiga unsur bahasa kunci yang berbicara tentang hubungan antaragama
'(¬´ " relasi maknanya. Dalam pandangan inklusivisme Islam ketiga unsur bahasa itu memiliki relasi sinonimi. Implikasi metodologi penafsiran teksnya adalah tidak menghadap-hadapkan teks yang mengandung ketiga unsur sinonimitas tersebut secara diametral, kerena ketiga unsur bahasa tersebut maknanya bisa saling disubtitusikan. Dari sini dalam penafsiran teksnya metode yang demikian ini terhindar dari persoalan MS $ Berbeda dengan pandangan diatas, eksklusivisme Islam melihat R dan RM memiliki relasi makna hiponimi. Implikasi pandangan ini dalam penafsiran teks adalah menculnya problem MS Adapun jalan keluarnya yang sesuai dengan relasi kedua unsur bahasa tersebut adalah &/V (penghapusan sebagian). Dimana bila yang disebut R dengan ciri islam sebagai superordinatnya maka yang dimaksud adalah RM tertentu yang sesuai dengan ciri tersebut yaitu syari’at Muhammad ? /> /³¬' /³¬/
panggilan R $ tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Amal, T.A., 2001, 8 1& $ Y Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama (FkBA)
Tantangan ! Diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Penerbit Pustaka Hidayat, S, 2012, " = 9 B 8 3 ? , ! ! > ! ³F F
$% *F " $ YMS $LR '+ /´ / '\ /?'_³> Kung, H, dan Kuschel, K.J., 1999, 0 2 Terjemah Ahmad Murtajib. Yogyakarta: Sisipus bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Madjid, N, 1992. ! = 3 B 1 "
* " 9 * *
* Jakarta: Paramadina. Madjid, N, 1999, " 1 " Bandung: Mizan Majelis Ulama Indonesia, 2011, 7 9>! 1& IFJE Jakarta: Penerbit Erlangga. Pateda, M, 2001, 1 5 Jakarta: PT Rineka Cipta. Ridha, S.M.R., 1947, " $YM $ B " $9 Mesir: Dar al-Manar. Shabuniy, M.‘A., 1981, $" L> YMS Damaskus: Maktabah alGhazali. Shalih, S, 2004, 9 !$ $YM Terjemah Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Baidan, N, 2011, , ? ! " Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Shihab, A, 1999, ! ! B 9 & 1 " ? Bandung: Mizan
Bull, V, (ed.), 2011, -6 5 M 3 = New York: Oxford University Press.
Shihab, M.Q., 2009, " $9 Jakarta: Lentera Hati
Chaer, A, 2007, 5 > Jakarta: Rineka Cipta
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, * ? !
Jakarta: Pusat Bahasa.
Faruqi, I.R. al-, 1982, ! $ Lain, dalam Altaf Gauhar (ed.),
Zahrah, M.A., 1958, >W $7 ! ´ '~ '¼³
67
KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-116
KONSEP MAKRIFAT MENURUT AL-GHAZALI DAN IBNU ‘ARABI: SOLUSI ANTISIPATIF RADIKALISME KEAGAMAAN BERBASIS EPISTEMOLOGI Fakultas Syariah Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran Jakarta Email: azaidah53@yahoo.co.id
Siti Chamamah Soeratno dan Sangidu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT 'X_ #%£&'^ " / " Ibnu Arabi (1165-1240) " >'X_ ¬ ""X #? X ^ ( and Hadith which is similar to its predecessor, al asy’ari. In contrast, Ibnu Arabi’s concept of Gnosis is based on Greek philosophy and the school of Bathiniyah (Syiah). The fundamental difference between the two scholars is that Al-Ghazali is consistent with classical model of epistemological interpretation. He is very cautious in preventing understanding Islam (the sunni view) especially on aqidah (faith) from polytheism ( / ^ /#^>? FIbnu Arabi explores a variety of sources: Greek philosophy, school of shi’i Bathiniyah, and other sources with contempory interpretation paradigms whose characteristics are pluralistic, multicultural and universal, and gives more priority to welfare and justice. Even though the paradigm used by Al-Ghazali differs from the one employed by Ibnu Arabi, they agree in some points. There are similarities in their paradigms and understandings. Al- Ghazali @< / / >+Z" ? " ¬ paradigms bear the main principles of mysticism. Al-Ghazali develops it with tahalli, takhalli, and tajalli, while Ibnu Arabi in addition to the three of Al Ghazali develops it with the teaching of wahdatul wujud. Keywords: Gnosis, solution, antisipative, radicalism, epistemolgy
ABSTRAK Al Ghazali (1058-1111) merupakan representasi tasawuf sunni, sementara Ibnu Arabi (1165-1240) ? > Al-Ghazali dalam konsepnya tentang makrifat (mengenal tuhan) lebih kental berbasis pada teks suci (Al qur’an dan Hadits) -sebagaimana paham pendahulunya, al Asy’ari. Sebaliknya ' < _q /#Syiah). Perbedaan mendasar dari dua tokoh tersebut adalah al Ghazali masih konsisten dengan epistemologi penafsiran model klasik yang amat hati-hati dalam memahami ajaran islam khususnya akidah (keyakinan) sehingga seseorang terhindar dari vonis sebagai orang musyrik atau > Sementara F q /F <
68
A. Zaini Dahlan -- Konsep > Al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi: Solusi Antisipatif Radikalisme Keagamaan Berbasis Epistemologi
agama lainnya, dia membangun paradigma penafsiran kontemporer yang indikatornya bersifat pluralis, multikultural, universal serta lebih mengutamakan kemaslahatan dan keadilan. Meskipun paradigma yang dibangun al ghazali berbeda dengan Ibnu ‘Arabi, tetapi ada titik temu di antara keduanya, bahkan Al Ghazali
< / ¼ > +Z paradigma dua tokoh tersebut melahirkan ”nodes” (prinsip-prinsip utama) dalam tasawuf. Al-Ghazali mencanangkannya dengan tahalli, takhalli dan tajalli. Sementara Ibnu Arabi, disamping tiga serangkai di atas, membangunnya dengan ajaran wahdatul wujud. Kata kunci: # ) solusi, radikalisme, !1 !"
antisipatif,
PENGANTAR Radikalisme dalam praktek keberagamaan umat islam, khususnya dalam bidang tasawuf nampaknya, merupakan catatan sejarah yang tidak mungkin terlupakan. Sebagai contoh, Dzunun al Misri (w.860 M) sebagai pelopor paham makrifat dihukum mati oleh ahli hukum madzhab Maliki Abdullah ibn Abdul Hakam (Azra, 2002: 121) karena ajaran makrifatnya. Nasib yang sama dikenakan kepada Husein ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M) karena paham /> / / ' Qasi dibunuh pada tahun 1151 M, juga Ibn Barrajan dan Ibn al-Arif yang konon diracun oleh gubernur Afrika Utara Ali ibn Yusuf (Azhari, 1995: 20). Memang para peneliti ada yang mengaitkan pembunuhan tersebut dengan alasan politik, sementara yang lainnya memberi alasan karena paham atau ajaran yang dibangunnya (Azra, 2002 : 121). Mengacu kepada alasan kedua, W. Montgomery Watt mengungkapkannya sebagai tradisi klasik yang tetap hidup subur dalam sejarah Islam sampai sekarang. Ia mengistilahkannya sebagai | /" #®F
=$ 1) sebagai pandangan yang menganggap bid’ah (tidak otentik) dan sesat suatu aliran, madzhab, atau kelompok keagamaan lain dalam Islam. Konsekuensi dari pandangan ini adalah hanya aliran, madzhab atau
kelompok keagamaannya sendiri yang benar dan mengikuti jalan yang lurus. Padahal kalau melihat sejarah dibangunnya agama Islam oleh Nabi Muhammad seperti tercantum dalam piagam Madinah, fenomenanya amat jauh dari sikap dan aksi radikalisme di atas. Piagam Madinah yang berisi 47 pasal itu memuat prinsip dasar yang menjadi landasan bagi kehidupan demokrasi untuk segala masa dan tempat, yaitu (1) prinsip kesatuan umat, bangsa, dan komunitas; (2) Kolektivitas dan solidaritas sosial; (3) perlindungan dan pembelaan terhadap yang lemah dan tertindas; (4) keadilan sosial; (5) perdamaian antara sesama dan lingkungan; (6) persamaan di depan hukum; (7) kebebasan berpendapat, berorganisai, berekspresi dan beragama; (8) menjunjung tinggi HAM; (9) nasionalisme; (10) equalitas sosial; dan (11) musyawarah (Wahid, 2005: 104). | yang hidup di kalangan umat Islam khususnya sebagai penyebab yang kemudian melahirkan Z 'Z / < antar sesama umat beragama atau bahkan pembunuhan antar sesama umat Islam. Akar masalahnya berada pada pernyataanpernyataan yang mengatas namakan ajaran agama. Lebih jelasnya, Z 'Z
" masalah hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu pengenalannya dengan Tuhan (makrifat). Dengan demikian masalah yang akan dibahas adalah bagaimana konsep makrifat menurut Al-Ghazali dan konsep makrifat menurut Ibnu ‘Arabi. !|makrifat” berasal dari bahasa arab ‘arafa-ya’rifu-‘irfan-ma’rifah (kata benda) yang berarti pengetahuan atau pengenalan (Ali, tt: 183) yang berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya (Saliba, 1979: 72). Makrifat sebagai suatu ajaran atau paham dalam disiplin tasawuf dikaji dalam dua fersi dengan alirannya masing-masing, yaitu tasawuf sunni/amali
? >
69
( *+/6*'/8*!"869
Membandingkan buku-buku tasawuf karya al-Ghazali ( $! dan $9 /) /
? Sunni/ dan beraliran Ahlus Sunnah dengan buku-buku tasawuf Ibnu Arabi ( $ 7 dan 7^ /
sebagai aliran tasawuf dan beraliran Syi’ah (al-Dzahabi, tt: 659) ini sejatinya bertujuan mengungkapkan tanggapan pembaca yaitu al- Ghazali dan Ibnu ‘Arabi yang membaca teks suci (Al qur’an dan Sunnah) kemudian melahirkan konsep makrifat yang terkandung dalam buku-buku mereka tersebut dalam kaitan perbedaan persepsi tentang makrifat. Karena itu, kajian dalam masalah ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritisnya adalah menganalisis dan mengkritisi konsep makrifat dari kedua tokoh tersebut kemudian menyimpulkannya dengan berpedoman kepada teori dan paradigma ilmu pengetahuan kontemporer yang bernuansa kekinian sehingga menghasilkan sebuah ajaran yang bersifat
F F dengan mengutamakan prinsip kemanfaatan dan kemashlahatan serta tidak melanggar aturan 1 M (agama). Dari hasil analisis itu, kemudian ada satu rumusan pemahaman komprehensif yang dapat dijadikan solusi dan sekaligus sebagai rujukan bagi para peminat kajian tasawuf. Sementara tujuan praktisnya adalah mengungkapkan konsep makrifat yang terdapat dalam kitab masing-masing kedua tokoh tersebut dan mengungkapkan sumber-sumber ajaran makrifat mereka, serta memahaminya dari segi ontologi, epistemologi, dan axiologi. Dengan keberhasilan meneliti sumber ajaran makrifat mereka dari segi ontologi, epistemologi dan axiologi kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan kerangka berpikir munculnya konsep ajaran makrifat tersebut sebagai langkah antisipatif munculnya pro dan kontra di masyarakat, maka dapat diharapkan ada pemahaman baru tentang makrifat sehingga ilmu tasawuf bermanfaat baik bagi masyarakat awam pada umumnya maupun masyarakat terpelajar.
70
Hal ini menunjukan ada peningkatan kesadaran dalam aktivitas keberagamaan di masyarakat dan sekaligus sebagai bukti sejarah bahwa ada perkembangan pemikiran tentang tasawuf di masyarakat Islam. Selain itu, pada langkah selanjutnya, dengan adanya pemahaman baru dalam ilmu tasawuf diharapkan tidak ada lagi polemik antara golongan 1 M # ^ golongan (ahli tasawuf) dan begitu juga dengan golongan 9 (ahli kalam). Di samping itu, -dan ini yang lebih penting- kecaman dan bahkan memvonis | ? tidak akan ada lagi. Munculnya kecaman terhadap aliran-aliran yang dinilai sesatpun akan teredam dengan sendirinya.
PEMBAHASAN Kajian tantang makrifat secara khusus pernah ditulis oleh Muhamad Ghallab
< |Makrifat Menurut Ibnu Arabi” (al Makrifah ‘ind Ibn Arabi) diterbitkan oleh Hayat misriyah ‘Ammah li atta’lif wa annasr, juga buku konsep makrifat menurut [¬ (Nadzhariyat al Makrifat Bain Al qur’an wa al Falsafah) karya Rajih Abd Hamid al Kurdi, dengan penerbit Dar al Furqan li annasr wa al Tauzi’, Yordania. Membicarakan karyakarya yang membahas tentang Ibnu Arabi memang telah banyak ditulis. Azhari (1995) diantaranya menulis ! $ B ,
$,& 3 dan H.S. Nyberg dengan karyanya * 1 ! . Karya ini memberikan penilaian kritis ‘Arabi. M. Asin Palacios yang menulis buku El !
/ yang berisi uraian lengkap dan rinci tentang kehidupan Ibnu ‘Arabi dan meringkas tentang pemikiran mistikoetisnya. Dalam komentar Masataka Takeshita, kedua sarjana tersebut berusaha memahami asal-usul pemikiran Ibnu Arabi dalam berbagai tradisi pra-Islam dan Islam. Anehnya, komentar selanjutnya, kedua sarjana ini sama sekali tidak merujuk kepada karya Ibnu Arabi yang paling matang yaitu
A. Zaini Dahlan -- Konsep > Al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi: Solusi Antisipatif Radikalisme Keagamaan Berbasis Epistemologi
7 . Sementara Nyberg sedikit sekali menggunakan $ $ sebagai karya terbesar Ibnu Arabi. !/ ¬ " 9 3 9 ! sangat berharga untuk mempelajari pemikiran > // F > > memberikan penyajian sistematis pandangan mistik Ibnu Arabi. Komentar M. Takashita tentang karya ini mengungkapkan bahwa studi perbandingan mengenai Ibnu Arabi dan pemikir-pemikir pra-Islam dan Islam yang dilakukannya terlalu sederhana dan dangkal (Azhari, 1995: 9). Rom Landau dalam karyanya The 3 ! L memberi informasi yang berguna untuk mempelajari aspekaspek pemikiran Ibnu Arabi yang berupa kutipan dari karya-karya Ibnu Arabi, namun tidak memberikan analisis yang kritis dan mendalam. Seyyed Hossein Nasr juga menulis tentang Ibnu Arabi dalam bagian ketiga karyanya " 9 1 . Meskipun tulisan itu pendek tapi bermanfaat untuk mempelajari pemikiran Ibnu Arabi. Karya-karya lain yang berupa perbandingan adalah 1 " karya Toshihiko Izutsu. Karya ini membandingkan Ibnu Arabi, Lao-tzu dan Chuang-tzu melalui analisis semantik secara metodologis tentang istilah-istilah kunci ketiga pemikir tersebut. Kelebihan karya ini terletak pada kedalaman interpretasinya tentang istilah-istilah kunci dan kaitannya satu sama lain. Meski karya ini ada kelemahannya yang hanya bertumpu pada satu karya Ibnu Arabi yaitu 7 $ dengan bantuan komentar Al-Qasyani tentang buku tersebut (Azhari, 1995: 9). Studi perbandingan yang kritis antara teori-teori , Jhon the Scott, Meister Eckhart, dan Ibnu ‘Arabi telah dilakukan oleh Michael Anthony Sells
// |" 9 =
0 3 % 1 ! ” Karya ini membicarakan Ibnu Arabi tentang & (penampakan diri Tuhan) atau 7 (emanasi) dan membandingkannya dengan pendapat ketiga tokoh di atas tentang masalah yang sama. Karya lainnya adalah
7 $" M = " M $YM 9 $= ! yang ditulis oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Karya ini menbicarakan Ibnu Arabi yang berkenaan dengan segi-segi ontologis dan epistemologis yang didukung dengan pena’wilan ayat-ayat alQur’an. Karya yang berjudul ! $ , $,& dalam Perdebatan yang ditulis oleh Kautsar Azhari Noer juga membicarakan tentang pemikiran Ibnu Arabi, yaitu membicarakan & Ibnu Arabi. Doktrin itu menolak ajaran pantheisme yang menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari satu yang bersifat materialistik dan berbeda dengan ajaran &. Dari karya-karya ilmiah yang membicarakan tentang Ibnu Arabi tersebut, tidak ada yang secara khusus membahas tentang makrifat, begitupun dari karya-karya tentang alGhazali. Dengan demikian, penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian yang original dan inputnya akan memberi wawasan tentang konsep makrifat yang bernuansa kekinian.
Ajaran Makrifat Ajaran makrifat secara teoritis tekstualis berawal dari penafsiran ayat QS al-Dzariyat: £/ /|
" jin dan manusia melainkan supaya mereka '!> ! | / mereka mengabdi kepada-Ku” menurut Ibnu | '! (Allah), yaitu makrifat. Sementara pada QS. '¬
/ /|
menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya” (Al-Kusairi, 2007: 168). Ada sebagian tafsir yang menuliskan ?/ |
(makrifat) Allah sebagaiman seharusnya Ia dikenal” (Al-Thusi, 2001: 38). Sumber lain ajaran makrifat adalah dua buah hadits Qudsi dari Abi Hurairah yang diriwayatkan al-Bukhari / / |¸>> '! berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya,
71
( *+/6*'/8*!"869
maka Aku menjadi (alat) pendengarannya yang ia mendengar, dengan alat itu menjadi (alat) penglihatannya yang ia melihat dengan alat itu, menjadi tangannya yang dengannya ia memukul, dan kakinya yang dengannya ia berjalan” (Al-Bukhari, ttp: III, 131) dan sebuah /|q ' Ku satu meter maka Aku akan mendekatinya sehasta. Dan barangsiapa mendekati-Ku sehasta maka Aku akan mendekatinya sedepa” (al-Jili, tt: 8), serta hadits lain yang artinya | / / tersimpan dan belum dikenal kemudian Aku rindu ingin dikenal lalu Aku ciptakan makhluk dan Aku berkenalan dengan mereka, akhirnya merekapun mengenalku” (Ibnu ‘Arabi, t.t: II, 399). Sementara ajaran makrifat secara praktis bersumber dari teks Al qur’an dan sunnah seperti -kisah Umar ibn al-Khattab ketika sedang berkhutbah shalat Jumat tiba-tiba ia memerintahkan pasukan perangnya untuk bertahan di tempat pada satu peperangan, kisah sahabat Nabi Sulaiman, Asif, (QS. anNaml: 40) dan kisah tentang Nabi Khidir dan \ #(>'! ='&^> sumber di atas kemudian muncul berbagai penafsiran yang kemudian melahirkan beberapa konsep makrifat yang berbeda dari 'q F ' Hallaj, al-Ghazali dan Ibn Arabi. Munculnya berbagai penafsiran Z pengalaman, pengetahuan dan lingkungan dimana pembaca teks berada yang kemudian melahirkan tanggapan pembaca. Penelitian tentang konsep makrifat ini merupakan penelitian budaya, sebab dalam penelitian ini mengungkap tanggapan pembaca atas pembacaan suatu teks. Jadi realnya adalah meneliti ungkapan atau pendapat satu atau beberapa orang sebagai pembaca umum yang menanggapi atau merespon atas hasil pembacaan suatu teks. Dengan demikian, dalam penelitian ini akan dimanfaatkan teori resepsi. Berikut ini akan dikemukakan dasardasar teori resepsi dan metodenya. Teori resepsi berasal dari kata yang berarti menerima (Echols dan Shadily,
72
1987: 469). Teori ini merupakan suatu disiplin yang memandang penting peran pembaca dalam memberikan makna suatu teks (Jauss dalam Sangidu, 2005: 20). Sebagaimana diketahui bahwa pembaca merupakan faktor penting dalam memberikan interpretasi tentang suatu karya karena peneliti lebih banyak bekerja dengan teks yang diteliti (Jauss, 1985: 27). Berbicara tentang resepsi atau cara seorang pembaca menerima dan memahami suatu teks dapat merujuk teori Iser. Ia mengatakan bahwa sebuah teks dapat
? / atau wilayah ketidakpastian (
) (Iser dan Segers dalam Sangidu, 2005: 21). Wilayah ketidakpastian merupakan | ' |' tempat terbuka” ( , ) / | " mengisinya. Hal ini disebabkan oleh sifat karya yang mempunyai banyak tafsir ($
) (Pradopo, 1995: 235). |' kosong”, pembaca dapat mengacu pada bahan yang diangkat dari é $nya (bekal atau bahan yang berupa pengetahuan dan pengalaman pembaca) sehingga lahirlah realisasi teks (Iser dalam Sangidu, 2005: 21). Realisasi teks berupa resepsi (tanggapan) dan penafsiran yang berbeda-beda dari para pembaca karena mereka telah dibekali oleh pengalaman dan pengetahuan yang berbedabeda pula. Karena itu, ada kemungkinan satu karya memperoleh makna yang bermacammacam dari berbagai kelompok pembaca (Soeratno dalam Sangidu, 2005 : 21). Hal itu justru menunjukkan adanya struktur teks yang dinamis, makna karya akan selalu diperkaya dan dapat lebih terungkap, serta nilai sastranya pun dapat ditentukan lebih baik (Pradopo, 1995 : 234). Faktor pembaca, dalam poros komunikasi mendapat pengertian yang bermacam-macam. Salah satu di antaranya yang akan dimanfaatkan di dalam penelitian yang berkaitan dengan dua kitab monumental karya al-Ghazali yaitu al ! dan $9 / dan dari karya Ibnu Arabi
A. Zaini Dahlan -- Konsep > Al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi: Solusi Antisipatif Radikalisme Keagamaan Berbasis Epistemologi
yaitu kitab $7 dan $ 7 ini adalah pembaca nyata ( ). Pembaca
" F yaitu manusia yang melaksanakan tindakan pembacaan. Pembaca dalam konteks ini meliputi pembaca peneliti dan pembaca umum. Pembaca umum dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan terhadap sebuah teks seperti yang dipahaminya dan ia berdiri di dalam proses pembacaan. Sementara itu, pembaca peneliti dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan terhadap pembaca umum yang telah meresepsi sebuah teks dan ia berdiri di luar proses pembacaan. Dalam penelitian terhadap kitab karya Al-Ghazali dan Ibnu Arabi ini, pembaca yang dimaksudkan adalah pembaca umum yaitu al Ghazali dan Ibnu Arabi. Tanggapan terhadap suatu karya sastra dari seorang pembaca ke pembaca yang lain dan dari satu periode ke periode yang lain selalu berbeda-beda disebabkan oleh horizon harapannya (Jauss dalam Sangidu , 2005 : 20 ). Horizon harapan yang berbeda-beda antara satu pembaca dan pembaca yang lain, dalam satu periode ke periode yang lain ditentukan oleh tiga kriteria (Segers dalam Sangidu, 2005: 21). Tiga kriteria tersebut adalah (1) norma norma yang terpencar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca; (2) pengalaman dan pengetahuan pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya;
#^ kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami teks baru, baik dalam horizon yang sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas yang bersumber pada pengetahuan pembaca tentang kehidupan (Pradopo, 1955: 234). Dari pembicaraan teori resepsi di atas, penelitian terhadap kitab monumental karya al-Ghazali dan dari karya Ibnu Arabi ini dilakukan lewat metode kritik teks dan intertekstual. Untuk mengaplikasikan metode kritik teks dan intertekstual tersebut maka uraiannya sebagai berikut. Ajaran makrifat bersumber dari penafsiran atau resepsi dari pembacaan terhadap teks suci yaitu ayat 56
'_ / | " < dan manusia hanya agar mereka beribadat kepada Ku” yang ditafsiri oleh Ibnu Abbas dan al-Jaelani (al-Jaelani, 2009: 5, 425) dan Ibnu Arabi (t.t: 2, 575) dengan makrifat. Pendapat ini diperkuat dengan hadits Qudsi (Nasution, 1973: 61) yang bermakna | / / tersembunyi , kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk lalu merekapun mengenal-Ku” (al- Kusairi, 2004: 168). Dari dua teks suci tersebut kemudian muncullah berbagai penafsiran tentang arti makrifat seperti dikemukakan oleh al Bustami, al Hallaj, al Ghazali dan Ibnu Arabi. Penafsiran al Ghazali tentang makrifat sebagai |/ ' tersingkapnya aturan-aturan Tuhan yang meliputi segala yang ada” (al-Ghazali, 3: 400) mengindikasikan orientasi perdebatan teologis pada masa itu didominasi oleh perdebatan tentang ketuhanan sehingga berpengaruh kepada pemikiran al Ghazali tentang konsep makrifatnya (Mitsa, 2005: 24). Konsep Ibnu Arabi tentang makrifat yang menyatakan bahwa tuhan adalah realitas dari segala sesuatu yang ada di alam ini (Ibnu Arabi, tt: 604). Ia sangat dipengaruhi oleh pemikiran al Hallaj termasuk bagian dari tasawuf _
'q paradigma yang dibangunnya pun seperti / '*<> F ia lebih mirip seorang Neoplatonis, sementara pada sisi mistis, gayanya sama seperti al Hallaj,
/#F 2009: 291).
Konsep Tentang Kebenaran Dalam agama terkandung normanorma dan etika, seperti baik dan buruk, benar dan salah, dan lain-lain. Mengenai konsep kebenaran orang merasa sulit untuk /> ! berkaitan dengan keyakinan, sedangkan keyakinan sulit untuk bisa dipercayai semua orang. Jadi orang bisa berbeda pendapat dalam /> / bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara konsep dengan realitas, kesesuaian antara
73
( *+/6*'/8*!"869
sesuatu yang diyakini dan kenyataan di lapangan. Hal ini sulit didapati dalam agama karena apa yang diyakini seringkali tidak bisa ditunjukkan dalam realitas di lapangan. Kebenaran memang berasal dari ? / / @ F / bukan berarti tidak mengandung sesuatu yang benar. Misalnya seperti sebuah konsep dalam Al qur’an (QS. at-Thalaq: 2) menyatakan barang siapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan memberi solusi persoalan hidupnya. Konsep ini bisa benar, namun benar di sini pengertiannya bukan benar sebagaimana dalam ilmu matematika. Bisa jadi seseorang sudah bertaqwa, tetapi persoalan yang dihadapinya belum terselesaikan (Mahasin, 2003: 140) Ada kesulitan bagi para tokoh agama dalam melakukan tradisi akademik untuk meletakkan Islam sebagai subyek studi ilmiah. Dalam hal ini, Waardenburg menjelaskan bahwa kesulitan menjadikan agama sebagai lahan kajian ilmiah bersumber dari dua hal, yaitu: 3 , mengkaji berarti melakukan obyektivasi atau merasa ada jarak antara pengkaji dengan obyek kajiannya. Dalam kajian terhadap agama, obyektivasi itu dilakukan bukan kepada pihak lain melainkan juga kepada dirinya sendiri. Hal ini bukan persoalan yang mudah karena setiap manusia akan memiliki keterlibatan dengan aspek keagamaannya. * , secara tradisional, agama dipahami oleh para pemeluknya sebagai sesuatu yang suci, sakral, dan agung. Padahal, menempatkan sesuatu yang memiliki nilai tinggi sebagai obyek netral, akan dianggap mereduksi, melecehkan, bahkan merusak nilai tradisional keagamaan (Waardenburg, 1973: 2). Berdasarkan alasan di atas, dapat dimaklumi kalau tradisi kajian ilmiah terhadap Islam sulit muncul dari kalangan dalam Islam sendiri, tetapi lebih banyak dikaji oleh kalangan di luar Islam yang memang sudah memiliki tradisi ilmiah. Ada perasaan kurang kurang nyaman bagi seorang muslim atas perlakukan semena-mena terhadap agamanya, sementara bagi orang asing
74
di luar Islam, hal itu tidak menjadi beban sedikitpun. Meskipun begitu, layak diungka teori tentang kebenaran tersebut. Al! #=
'&= >^F kelahiran Kufah di Irak mengatakan bahwa kebenaran ialah persesuaian antara apa yang ada di dalam akal dengan apa yang ada di luar akal (Nasution, 1975: 16). Kebenaran yang diberitakan wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang
? ' Al qur’an lebih meyakinkan dari argument F Al qur’an tidak bertentangan. Jadi, menurut al-Kindi kebenaran ditentukan oleh akal, sementara al-Ghazali berpendapat lain. Menurutnya, kebenaran sejati adalah kebenaran yang dihasilkan dari cahaya intuisi ( $* ) (alGhazali, t.t: 133) karena panca indera sudah tidak dapat lagi dipercaya, begitupun akal (Nasution, 1975: 42). Lebih jauh al-Ghazali memberikan indikasi tentang kebenaran melalui kriteria lima tingkatan wujud. Dalam arti bila satu pernyataan dari seseorang atau satu madzhab kemudian dibatalkan –bahkan, | _ F maka pernyataan itu masih dianggapsebagai suatu kebenaran bila masih termasuk dalam criteria lima tingkatan wujud tersebut. Menurut al-Ghazali selanjutnya, pembenaran itu tidak hanya menyentuh pada materi persoalan tetapi juga pada penyampai materi persoalan tersebut. Jadi, siapa pun yang mengakui kebenaran atas apa yang disampaikan Rasulullah melalui lima tingkatan wujud tersebut, maka ia tidak bisa divonis sebagai pembohong agama secara mutlak (al-Ghazali, t.t : 79). Lima tingkatan wujud tersebut adalah sebagai berikut. 3 , & / atau wujud hakiki yaitu wujud yang nyata dalam perasaan dan pikiran seperti wujud bumi, langit, bulan, binatang dan lain-lain. * , & yaitu wujud yang diterima dengan perasaan (indera rasa) dan berada di luar penglihatan mata. Seperti orang tidur dan orang sakit yang menggambarkan mimpinya atau rasa sakitnya, atau gambaran perasaan yang
A. Zaini Dahlan -- Konsep > Al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi: Solusi Antisipatif Radikalisme Keagamaan Berbasis Epistemologi
diterima oleh para nabi dan wali dalam keadaan jaga atau tidur pada sebuah gambar yang indah yang mengekspresikan kasuskasus/materi-materi malaikat yang berakhir dalam bentuk wahyu dan ilham sebagai proses penerimaan masalah-masalah gaib yang juga diterima oleh selain para nabi dan wali dalam tidur mereka berkat kesucian para nabi dan para wali tersebut. Kondisi seperti ini sering dialami Rasulullah tetapi tidak dalam yang asli kecuali pernah dua kali dalam bentuknya yang berbeda juga pernah dialaminya dalam keadaan tidur. * , & yaitu wujud dalam bentuk gambaran sesuatu yang nyata, setelah sesuatu yang nyata itu hilang dari indera mereka. Jika mata dipejamkan, maka seolaholah gambaran itu disaksikan secara jelas dalam otak padahal kenyataannya tidak ada. * , & yaitu wujud yang berawal dari satu pemahaman bahwa pada segala sesuatu terdapat ruh (esensi) realitas (hakikat) dan arti (makna). Kemudian akal menerima arti tunggal wujud tersebut dengan tanpa ada gambarannya secara jelas, baik dalam hayal, pada indera maupun dalam realitas. Contohnya seperti tangan, dia punya bentuk yang bisa diraba dan bisa dihayal oleh otak dan punya makna hakiki yaitu kekuatan untuk menghantam. Kekuatan untuk menghantam inilah yang disebut tangan dalam wujud akli. * , wujud syibhi, yaitu wujud yang selayaknya tidak diwujudkan baik dalam bentuknya, realitas, di luar atau pada indera, dalam hayalan maupun pada akal, tetapi wujud itu berujud dalam bentuk lain yang menyerupai wujud tersebut, baik dalam ciri-cirinya maupun sifat-sifatnya. Contohnya seperti penakwilanpenakwilan (al-Ghazali, 2006: 80). Meskipun al-Ghazali telah memperkuat golongannya -dimana al-Ghazali termasuk '/? kebenaran yang sejati adalah kebenaran yang dihasilkan dari cahaya intuisi yang diperoleh F'X_ ruang klaim kebenaran kepada tiga golongan lain pencari kebenaran, yaitu Mutakallimin, Ta’limiyah dan Filosof dengan mengatakan
? |
diluar keempat kelompok ini. Mereka adalah kelompok orang-orang yang menempuh jalan mencari kebenaran. Jika kebenaran tidak bersama mereka, tidak ada jalan lagi yang tersisa dalam usaha mengetahui kebenaran” (Mc Carthy, 1980: 67).
Teori Hermeneutika: Paradigma Tafsir Kontemporer Dalam aspek tafsir, Fazlur Rahman dalam buku ! ] 9 mengemukakan perlu metode penafsiran Al qur’an yang benar dan baik. Ia mengatakan bahwa Al qur’an turun bukan dalam ruang kosong, tetapi untuk menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang muncul ketika itu. Ungkapan ini untuk menegaskan pentingnya mema hami konteks dalam memahami Al qur’an. Kemudian ia mengungkapkan metode hermeneutiknya yang ditawarkan berkaitan dengan cara memahami pesan Al qur’an agar seseorang yang percaya dengan Al qur’an dan ingin menjadikannya sebagai petunjuk dalam kehidupan individu dan kolektif, dapat melakukannya saling berkaitan dan penuh arti. Metode hermeneutiknya sangat sederhana, yaitu membangun gerakan ganda ( ). Gerakan yang berawal dari memahami situasi sekarang kemudian dibandingkan dengan masa turunnya Al qur’an, lalu kembali lagi ke masa sekarang (Rahman, 1982: 5). Kemudian Rahman menjelaskan lebih jauh teori -nya, dengan melakukan sebagai berikut. Langkah untuk gerakan pertama adalah (1) memahami makna : ; dengan cara memahami konteks Dalam melakukan hal ini terdiri dari dua langkah, yaitu: memahami makna sebagai satu kesatuan dan menggeneralisasi jawaban khusus; (2) membangun pandangan dari pandangan umum kemudian dibawa ke pandangan khusus untuk diformulasi dan direalisasikan. Rahman memulai penelitian dengan menulis kritik terhadap karya klasik dan
75
( *+/6*'/8*!"869
pertengahan. Disebutkan bahwa meskipun berabad-abad ada usaha, ilmuwan muslim belum dapat melahirkan metode tafsir yang memuaskan. Kita membutuhkan metode untuk mengambil prinsip kontemporer dari Al qur’an. Metode Qiyas sering menguniversalkan prinsip khusus di atas prinsip umum. Ia memberi alasan kenapa perlu teori dalam interpretasi terhadap Al qur’an yang dan menyebutnya teori hermeneutik. 3 , tafsir produk klasik dan pertengahan bersifat parsial dan/atau atomistis, meskipun ada kajian induktif tetapi tidak konsisten. Tafsir macam ini tidak dapat menghasilkan arti yang efektif, yang bersatu dan bermakna bagi kehidupan sebagai keseluruhan. * , pokok bahasan dalam ilmuilmu Al qur’an (‘Ulum Al qur’an) juga hanya menekankan pada aspek bahasa, bentuk kata :; langgam suara ( ) Al qur’an, unsur sastra dan makna kiasan Diakuinya bahwa bahasan ini perlu, tetapi terbatas hanya memahami teks. * karakter Al qur’an sebagai wahyu dan bukan buku biasa yang disusun dan dihubungkan menjadi satu kesatuan yang utuh, tetapi lahir sesuai dengan dan untuk menjawab kebutuhan dan tuntutan. Al qur’an sendiri menyebut status ini dalam QS. al-Furqan (25): 32. Berdasarkan kekurangan ini, Rahman menawarkan metode hermeneutik yang bertujuan membantu memahami Al qur’an sebagai satu keseluruhan agar menjadi satu keseluruhan yang saling berkaitan baik unsur teologi maupun etika dan etika-legalnya Berkaitan dengan pentingnya memahami konteks untuk memahami isi Al qur’an, dan Al qur’an harus dipahami dalam konteksnya, maka Al qur’an harus dipahami secara benar. Memahami Al qur’an dan pentingnya pesan Al qur’an adalah satu pesan. Membatasi pesan Al qur’an hanya terhadap konteks itu adalah hal lain. Tidak mungkin menguniversalkan pesan Al qur’an melebihi waktu dan tempat pewahyuan kecuali lewat pemahaman yang benar terhadap artinya.
76
Ada sejumlah prinsip, baik prinsip agama maupun sosial, tetapi banyak yang bukan prinsip, melainkan hanya sekadar jawaban atau solusi terhadap masalah yang dihadapi Nabi dan masyarakat. Rahman mengibaratkan-hubungan konteks dengan teks Al qur’an sebagai ujung dari gunung es, dimana apa yang tampak yaitu teks Al qur’anhanyalah sebagian kecil saja. Demikian juga ditegaskan fungsi $ / sebagai materi dan mampu untuk memahami aturan hukum yang ada dalam Al qur’an. Diakui bahwa dengan memahami latar belakang sejarah dan memahami konteks Al qur’an dapat membantu memahami arti penting pesan Al qur’an.
Solusi Antisipatif Memahami teks dengan pemahaman secara konstekstual seperti yang dibangun oleh teori resepsi memberi peluang banyak pemahaman-dalam hal ini paham makrifat
Al-Bustami, hulul al-Hallaj, $ AlGhazali, dan & Ibnu arabi yang sekaligus memberi pemahaman baru sesuai dengan kondisi kekinian. Dari ajaran yaitu perasaan menyatunya seorang hamba dengan Tuhannya memberi pelajaran bahwa seharusnya manusia dekat dengan Tuhan dengan melakukan hal-hal yang baik, Tuhan Maha Baik maka yang mendekatiNya pun tentunya yang baik pula. Sementara ajaran hulul yaitu perasaan bahwa Tuhan bersemayam pada diri hambaNya karena ada persamaan sifatsifat Tuhan (lahut) pada manusia yang mempunyai sifat-sifat Tuhan ( ) yang memberi pelajaran bahwa sifat-sifat Tuhan sebagai ajaran atau agamaNya yang konsekuensinya agama bersifat plural padahal semua agama-agama itu adalah agama yang satu yaitu agama Tuhan. Ajaran $ yaitu terbukannya rahasia-rahasia ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada memberi pelajaran bahwa Tuhan akan senantiasa memberi petunjuk kepada hambaNya ke jalan yang benar yang tentunya kepada mereka (para hamba)
A. Zaini Dahlan -- Konsep > Al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi: Solusi Antisipatif Radikalisme Keagamaan Berbasis Epistemologi
yang mau mengikuti aturanNya. Dari ajaran
$ yang dibangun oleh al Ghazali yang mengatakan bahwa makrifat berarti terbukanya rahasia-rahasia ketuhanan dan tersingkapnya aturan-aturan tuhan yang meliputi segala yang ada memberi pelajaran bahwa orang arif (orang yang bermakrifat) adalah orang-orang yang mengetahui hal-hal yang gaib dan biasa disebut sebagai orang yang mendapat karamah (orang keramat). X_ ' diduga kuat termasuk orang yang arif sehingga mempunyai karamah- pernah menyatakan bahwa iman yang kokoh ada tiga, yaitu iman kepada Allah, Rasul dan hari akhir. Dan barang siapa beriman kepada ketiga hal tersebut makan haram darahnya, dalam arti ia tidak boleh dibunuh dan dihormati hak-hak sipilnya. (al Ghazali, tt : 89). Pendapat al-Ghazali di atas dapat membangun kesatuan visi bahwa umat beragama -dengan keimanan yang sama, paling tidak dalam tiga unsur iman di atassudah selayaknya membangun toleransi, saling menghargai terlebih lagi menghindari tindakan radikalisme. Dan dari ajaran wahdatul wujud yaitu pandangan bahwa alam semesta ini adalah hakikat diri Tuhan memberi pelajaran bahwa manusia itu adalah satuan makhluk Tuhan -umat manusia itu adalah umat yang satuyaitu umat yang menyembah kepada satu tuhan yaitu Allah. Ide ini identik dengan ajaran ekumenisme (berasal dari bahasa yunani oiukemene) yang berarti tanah yang didiami (Abdallah, 2010 : 7).
SIMPULAN Dengan menggunakan teori resepsi, dari teks dihasilkan beberapa paham atau ajaran dalam tasawuf, yaitu makrifat al kasyf (al Ghazali), ittihad (Abu Yazid al Busthami) hulul (al Hallaj) dan Wahdatul Wujud (Ibnu Arabi). Teori resepsi adalah teori sastra yang dianggap kontemporer. Sebaliknya, bila menggunakan teori penafsiran klasik, maka lebih cenderung akan mempertahankan bahkan memperkuat trdisi heresiograpi yang berakibat dan memicu timbulnya Z >
Pada masing-masing aliran atau komunitas suatu golongan ada persamaanpersamaan paham disamping ada perbedaan diantara mereka. Pada tataran kesamaan | F nilai universal, dijadikan basis untuk membangun kesatuan umat. Sementara | F paradigma teologis dan psikologis yaitu satu kesadaran bahwa kebenaran bersifat / Z ' aliran bersikap saling menghargai dan menghormati terhadap sesamanya. Melalui pendekatan tafsir klasik, ajaran makrifat dipahami sebagai terbukanya rahasi-rahasia ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada. Ajaran ini diungkap oleh > pendekatan tafsir kontemporer, ajaran makrifat dipahami sebagai al Ittihad, al Hulul dan Wahdatul Wujud. Dan paham ini
> penafsiran kontemporer pula dihasilkan tesis: kebenaran bersifat plural nilai-nilai universal merupakan perioritas utama dan kemaslahatan adalah satu niscaya. Dengan demikian menghormati pendapat orang lain, bersikap adil serta membangun kemaslahatan bersama harus dilakukan dalam rangka antisipasi radikalisme.
DAFTAR PUSTAKA Ali, A.t.t., * * L , Yogyakarta: !/X> Al-Ghazali, A, 1980. ! > $= , Jilid I, II, III dan IV Semarang: Toha Putera. ______, 2006, 7 $" Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, ______, 1961, $9 / $= Kairo: Silsilah al-Tsaqafah. Al-Qusyairi, 1966, 8 $Y Kairo: Muhammad Ali Shabih wa Awladih. F>>F$%%
F$7 $1 L ! L Kairo: Dar al-Kutub wa alWatsaiq al-Qaumiyah.
77
( *+/6*'/8*!"869
Azhari, K, 1995, ! $L B , $,& 3 , Jakarta: Paramadina. Azra, A, 2004, % > " " * ' ^#!! ^#!!! Jakarta : Prenada Media. Bakar, O, 1998, ! 9 8 3 ! !, Bandung: Mizan. Bukhari, M.I., Al-1 $? t.t, Dar Al-Mathabi’ Al-Sya’b. Carthy, Mc, 1980, 7 7 B " - 9 / 9 = - 8 $2 / Terjemahan RJ. McCarthy, Boston. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1993, 3 > 0&
? !
= , Bandung: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Echols, J.M., dan Hassan S, 1979, * ! $!
, Cetakan ke-4, Jakarta: Gramedia. Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne-Ibrsch, 1977, " 5 " " + London: C. Hurst & Company. Ibnu Arabi, t.t, $7 $9 Jilid II, Beirut: Dar Shadir. ______, Tafsir Ibn ‘Arabi, 2002, Cetakan 1, Beirut: Dar Shadir. ______, t.t, 7 $ $" M '¬# >^Fq Dar al-Fikr. Iser, W, 1978, " 8 : " 8 London : The John Hopkins Press. Jamil, H.M., 2007, + " B 1& 3 * Jakarta: Gaung Persada Press. Al-Jaelani, A. Q., 2009, Cet.2, " $% Beirut: Syarikat at-Tamam. Jauss, H.R., 1982, " 8 Minneapolis: University of Minnesota Press. 78
Al-Jili, A,t.t, $! $* 9 M $ $ Kairo: Maktabah Zahran. Khaldun, I, 2006. 9 ! * Terjamahan dari 9 * . Jakarta: Gema Insani Press. Mitsa, F, 2005, $2 / $! :
$L 1 ! $ $ , Beirut: Dar al-Saqi. F $%%F |Sesungguhnya ada Shared Truth” dalam 8 B % 8 ! I, No. 2, Yogyakarta: CRCS UGM. Nasution, H, 1973, 7 9 ! Jakarta: Bulan Bintang. ______, 1984, ! = & ? Jakarta: UI-Press. ______, 1986, "B ! $ 1& 3 Jakarta: UIPress. Nasution, Y, 1988, 9
9 $ 2 / Jakarta: Rajawali Pers. Pradopo, R.D., 1990, 3 &
3 Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Saliba, J, 1979, 9M& $7 Jilid III, Beirut: Dar al-Kitab. Sangidu, 2003, , ,&B 3 3 1 / 7 1 $1 ' $8 Yogyakarta: Gama Media. Tim YPPA, 1994, $YM "& % : Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah AlQur’an Departemen Agama. Wahid, M, 2005, ! 3 : $
1
3 = 3
9 dalam ' $' 3 ! dalam Jurnal Lektur Seri XVII, Cirebon: STAIN. Watt, W.M., 1972, " 7 3 ! " Edinburg: Edinburg University Press.
KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-116
DILEMA PERS BIROKRATIK DI ERA DEMOKRATISASI STUDI KASUS TABLOID KOMUNIKA KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Nursodik Gunarjo Direktur Kemitraan Komunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika Email: gunarjo@yahoo.com
&"' % Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
Ageng Setiawan Herianto Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT This study aims to analyze the dilemma in the bureaucratic press Tabloid Komunika (TK) of the Ministry of Communication and Information Technology of the Republic of Indonesia. TK chosen as the study site because it was published by government institution formerly known as Ministry of Information, which very repressive to the press in New Order era. The study uses case study approach reinforced by survey and content analysis methods. From the results of the study found, most graphic indicator of the freedom of journalists, public sphere openess, and the determination of the content, showed a random trend, while the freedom of access and opportunity of expression showed a rising trend. Inconsistencies in the implementation of elements of press democracy showed the dilemma in TK. Factors causing a dilemma in TK are: inconsistent leadership, unclear structure and functions of TK’s organization, and uncertainty management attitude. Bureaucratic power pressure lead TK’s organizers confused to divide partisanship to the community or the government. Dilemma in TK causes ambiguous contents, more actualized public opinion but the tone of articles are neutral toward the government. Keywords: Ambiguity, press democracy, dilemma, !+ +1 !
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan menganalisis dilema di dalam pers birokratik Tabloid * (TK) Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. TK dipilih sebagai lokasi penelitian karena diterbitkan oleh lembaga yang cikal-bakalnya adalah Departemen Penerangan, yang pada masa Orde Baru sangat represif terhadap pers. Penelitian menggunakan pendekatan studi kasus yang diperkuat dengan @ > F kebebasan wartawan, keterbukaan ruang publik, dan penentuan isi, menunjukkan tren acak, sedangkan keleluasaan akses dan kesempatan ekspresi menunjukkan tren meningkat. Inkonsistensi dalam implementasi elemen demokrasi pers menunjukkan adanya dilema di TK. Faktor menyebabkan dilema di TK adalah: inkonsistensi pimpinan, struktur dan fungsi organisasi yang tidak jelas, dan ketidakpastian
79
( *+/6*'/8*!"869=? ?6
sikap pengelola. Tekanan kekuasaan birokrasi menyebabkan pengelola TK bingung membagi keberpihakan kepada masyarakat atau pemerintah. Dilema menyebabkan isi TK ambigu, lebih banyak mengaktualisasikan pendapat masyarakat umum, akan tetapi mayoritas nada artikelnya netral terhadap pemerintah. Kata kunci: Ambigu, demokrasi pers, dilema, pers # #
PENGANTAR Dilema adalah situasi yang membingungkan karena mengharuskan orang melakukan pilihan antara dua kemungkinan yang keduanya tidak menyenangkan. Sedangkan demokratisasi pers birokratik adalah upaya mengubah peran dan fungsi pers birokratik yang semula semata-mata berpihak kepada pemerintah, menjadi berpihak kepada masyarakat. Pemilihan fokus kajian didasari fakta, pers birokratik diterbitkan dengan dana masyarakat akan tetapi kebanyakan isinya tidak berpihak kepada masyarakat (Gunarjo, 2006:12). Tabloid * (TK) yang diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Republik Indonesia. Pemilihan TK sebagai objek analisis didasarkan pada tiga alasan. 3 , TK dikelola oleh satu-satunya kementerian yang tugas pokok dan fungsinya di bidang komunikasi dan informatika. * , Kemkominfo adalah lembaga yang secara resmi menjalankan fungsi kehumasan pemerintah atau X GPR, dengan demikian TK adalah media resmi humas pemerintah. * , keberadaan TK unik karena dikelola oleh lembaga yang cikal-bakalnya adalah Departemen Penerangan (Deppen), lembaga yang pada zaman Orde Baru dikenal represif terhadap pers. Keunikan TK ini memenuhi syarat sebagai objek studi kasus (Yin, 2008:48). Analisis dilakukan untuk menjawab tiga pertanyaan sebagai berikut: (1) Bagaimana dilema di Tabloid * ; (2) Mengapa terjadi dilema di Tabloid * ? (3) Bagaimana akibat dilema terhadap isi Tabloid * ? Adapun 80
tujuannya untuk mendeskripsikan secara lengkap dan mendalam dilema yang terjadi dalam seluruh aktivitas jurnalistik di TK, menemukan dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dilema di TK, serta menguraikan akibat dilema terhadap isi TK Pers birokratik masih menunjukkan kecenderungan keberpihakan sematamata kepada pemerintah. Sebagian besar isi Buletin 1
> terbitan Deppen berpihak kepada kepentingan pemerintah (Suroto, dkk:1992). Swardhana (2000) juga menemukan bukti teras berita yang dimuat di dalam Buletin % ' milik Dinas Informasi dan Komunikasi Provinsi Jawa Timur didominasi oleh pejabat pemerintah. Gunarjo (2006) menemukan bukti bahwa frekuensi subjektivitas isi Buletin ? ! % sangat tinggi karena di antaranya terlalu banyak isi yang memihak kepada pemerintah. Direktorat Publikasi Departemen Penerangan (1983; 1988; 1993; 1998) menemukan bahwa berbagai jenis media massa yang dipergunakan Deppen belum mampu mendorong terjadinya komunikasi timbal-balik secara efektif antara pemerintah dan masyarakat. Departemen Penerangan (1998) menunjukkan bahwa pesan-pesan yang disampaikan Deppen belum memenuhi kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Universitas Padjadjaran Bandung (2000) menemukan bukti bahwa aktivitas penerangan Deppen tidak mendapatkan perhatian memadai dari masyarakat sehingga perlu pendekatan penerangan yang lebih demokratis, $ dan berpusat pada masyarakat. Sementara penelitian Departemen Penerangan dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pers dan Pendapat Umum (1980) menemukan bukti bahwa penerbitan khusus Deppen dinilai terlalu banyak menyediakan ruang bagi pemerintah dan sebaliknya tidak menyediakan ruang memadai bagi ekspresi masyarakat. Fortner (1993:221), sistem pers tidak dapat dipisahkan dari pengaruh internal
Nursodik Gunarjo -- Dilema Pers Birokratik di Era Demokratisasi Studi Kasus Tabloid Komunika Kementerian Komunikasi dan Informatika
maupun eksternalnya. Komponen yang berpengaruh terhadap sistem pers di antaranya komponen teknis, ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pengaruh tersebut menyebabkan sistem pers terus bertransformasi. Dalam proses transformasi, semua sistem melakukan diferensiasi. Ada tiga kemungkinan akibat diferensiasi, sistem tidak terpengaruh, sangat terpengaruh, atau berada pada perebutan pengaruh sistem lain yang ada di lingkungannya (Maturana, 1981:89). Akibat diferensiasi yang terakhir, sistem dapat mengalami situasi dan kondisi dilematis. | / mengharuskan orang melakukan pilihan antara dua kemungkinan yang kedua-duanya tidak menyenangkan; situasi yang sulit dan membingungkan” (BXX X X 6). Salah satu jenis dilema adalah yaitu dilema yang terjadi saat individu atau kelompok menerima dua atau lebih pesan yang saling menegasikan sehingga keberhasilan merespon satu pesan akan menghasilkan kegagalan merespon pesan lainnya (Bateson dkk, 1956:250). Sementara di dalam lingkup jurnalistik dikenal istilah dilema media massa, yaitu kebimbangan pekerja media massa karena di satu sisi ingin mendahulukan kebebasan yang mereka miliki, di sisi lain harus melaksanakan keberpihakan sebagaimana diarahkan oleh organisasi atau pimpinan pers (McQuail, 1987:181). Pers birokratik atau sering disebut dengan istilah pers pemerintah adalah pers yang diterbitkan oleh lembaga pemerintah # F $%%%&^> / untuk menyebut pers birokratik adalah atau $ (Webster, 1992:17). Asumsi selama ini, pers birokratik selalu tunduk kepada birokrasi pemiliknya. Namun di negara liberal dan negara demokrasi, pers birokratik dapat meneguhkan posisinya untuk berseberangan dengan pemerintah (Hallin dan Mancini, 2004:67). Di banyak negara maju yang demokratis, pers birokratik dapat melakukan peliputan sebagaimana pers swasta independen yang bebas dari kontrol negara (McQuail, 1987:237). Akan
tetapi, di negara berkembang, pers birokratik pada umumnya berada di bawah kendali pemerintah karena biasanya digunakan untuk tujuan propaganda dan penyambung lidah untuk mendukung ideologi rezim berkuasa (Karatnycky dkk, 2002: 99). Pers birokratik biasanya melegitimasikan posisi tersebut dengan alasan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa (Hoffmann-Riem, 1996: 259). Perbedaan karakteristik pers birokratik tersebut juga dapat menimbulkan dilema. Berdasarkan , kepemilikan pers oleh negara tidak diperlukan karena berpotensi menimbulkan manipulasi dan distorsi informasi oleh kekuatan politik dan para pemegang kekuasaan (Djankov dkk, 2003:341). Sedangkan
yang mengacu pada teori Pigouvian (Coase, 1950) menyebutkan, kepemilikan pers oleh negara diperlukan atau bahkan diinginkan karena informasi merupakan hak warganegara yang wajib disediakan pemerintah secara cuma-cuma. Demokratisasi pers birokratik berangkat dari asumsi dasar bahwa informasi, budaya, dan ide merupakan yang menjadi properti kolektif milik bersama. Sebagaimana lainnya seperti air dan udara, ketersediaannya bagi masyarakat tidak perlu dibatasi (McQuail, 2000). Oleh karena itu, pers termasuk pers birokratik, seharusnya menyediakan informasi bagi semua orang tanpa pembatasan-pembatasan. Sistem pers demokratis memiliki tiga karakteristik. 3 , terdapat independensi pers dari campurtangan pemerintah, profesional, maupun pasar; * , adanya akuntabilitas pers baik kepada masyarakat umum maupun kepada khalayaknya; * , adanya jaminan keberagaman (Cuilenberg dan McQuail, 1998:67). Adapun prinsipprinsip demokrasi pers sebagai berikut: 3 adalah Kebebasan wartawan. Asumsi dasarnya, kebebasan pers harus diarahkan agar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, bukan sekadar membebaskan dari kekuatan eksternal (McQuail, 2002:208). Kebebasan pers dapat
81
( *+/6*'/8*!"869=? ?6
menjadi sarana karena menghendaki peran serta masyarakat sebagai kekuatan sosial, serta negara dan aparaturnya sebagai kekuatan politik untuk turut membangun dan mendorong demokratisasi pers. (Severin & Tankard, 2005:373). * adalah Keleluasaan akses. Akses terhadap pers dalam masyarakat modern telah menjadi sebuah keharusan untuk mewujudkan kewarganegaraan (Wasburn, 1995:69). Keleluasaan akses ditujukan untuk menjamin ketersediaan informasi di tengah masyarakat secara beragam, sehingga masyarakat dapat memilih informasi sesuai kebutuhannya (Subiakto, 2001:61-80). Keleluasaan akses tergantung pada jumlah dan jenis media, kemampuan menjangkau dan dijangkau khalayak, dan keragaman isi yang disampaikan (McQuail, 2000:241). * adalah Keterbukaan ruang publik. Ruang publik publisitas hendaknya dapat digunakan masyarakat untuk berdiskusi, menyampaikan opini, mengartikulasikan kepentingan dan kebutuhan, serta menyatakan sikap dan argumen terhadap negara dan pemerintah secara bebas dan terbuka (Habermas, 1989:328). Keterbukaan ruang publik publisitas dapat dilihat dari kemampuan pers menyajikan pendapat berbeda dari masyarakat atas isu-isu aktual yang sedang berkembang (McNair, 1999:21-22). 3 , Tidak adanya dominasi dalam penetapan isi. Meskipun tidak mungkin mewujudkan pers bebas yang tanpa tekanan eksternal, namun pers seyogyanya mampu menciptakan dan memelihara independensinya, serta menolak kontrol eksternal yang dipaksakan atau kompromi dengan kelompok tertentu (McQuail, 2000:172). * , Kesempatan ekspresi adalah peluang bagi seluruh anggota masyarakat untuk dapat menyampaikan opini yang beragam melalui pers. Oleh karena itu, narasumber pers seharusnya tidak didominasi oleh orang-orang dari kalangan mayoritas, namun juga membuka peluang bagi kelompok minoritas untuk bersuara (Subiakto, 2000:61-80).
82
Kendala demokratisasi di pers birokratik pada umumnya terjadi karena pers birokratik difungsikan sebagai media humas pemerintah. Padahal di negara berkembang, humas pemerintah biasanya direkayasa secara politis untuk pencitraan lembaga atau pejabat pemerintah (Kusumastuti, 2002:59). Hegemoni kekuasaan politik sering membuat humas pemerintah sengaja melakukan kebohongan, penipuan, pengingkaran, dan rekayasa informasi demi kebutuhan rezim (Olusegun, 2006:77). Jika dua fungsi tersebut secara simultan harus dilaksanakan oleh pers birokratik, maka munculnya dilema menjadi hal yang sulit untuk dihindari. Pendekatan penelitian menggunakan studi kasus ( ; yaitu strategi analisis di mana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu (Creswell, 2010:241). Jenis studi kasus yang dipilih adalah studi kasus tunggal holistik, yang menyelidiki satu kasus pada satu tempat secara menyeluruh dan mendalam (Yin, 2008:47). Data dalam penelitian studi kasus dikumpulkan melalui enam sumber bukti, yaitu dokumen tercetak (diperkuat dengan hasil analisis isi), rekaman arsip, transkrip wawancara (diperkuat dengan hasil survei), hasil pengamatan langsung, hasil pengamatan berperanserta, dan perangkat # F $%%&%'&^> dilakukan dengan teknik analisis data kualitatif sesuai protokol studi kasus.
PEMBAHASAN Keadaan Umum Demokratisasi Pers di TK Demokratisasi di TK mulai diterapkan pada tahun 2005, diawali dengan mengadopsi dan menerapkan sistem keredaksian yang biasa dipakai dalam organisasi pers profesional serta membentuk baru yang lebih representatif untuk tugas-tugas jurnalistik Jika pada zaman Deppen lebih berfungsi sebagai ruang kontestasi pejabat pemerintah, maka yang baru dibentuk diupayakan dapat berfungsi sebagaimana pers profesional yaitu
Nursodik Gunarjo -- Dilema Pers Birokratik di Era Demokratisasi Studi Kasus Tabloid Komunika Kementerian Komunikasi dan Informatika
murni sebagai tempat untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi. Berbagai bentuk demokratisasi yang telah dilaksanakan di TK di antaranya: (1) Redaktur dan reporter diberi kebebasan untuk melaporkan dan mengomentari isu-isu yang sedang menjadi perhatian masyarakat; (2) Perencanaan isi yang semula bersifat secara bertahap diubah menjadi perencanaan dari bawah; (3) Sensor isi oleh pejabat struktural nonredaksi dikurangi dan dalam jangka panjang akan dihapuskan; (4) Terus melakukan upaya agar di masa datang isi dapat mewakili aspirasi masyarakat (Badan Informasi Publik, 2008:8). Akan tetapi, demokratisasi pers belum dapat terlaksana dengan baik di TK hingga tahun 2010 karena adanya fenomena dan hal
| #"( F 1987:277). Ambiguitas terjadi karena di satu sisi Kemkominfo menghendaki agar TK bisa berfungsi sebagai wahana demokratisasi, tetapi di sisi lain juga menekankan agar TK mampu menjadi atau humas pemerintah yang baik (Biro Umum dan Humas, 2007:10). Praktik di TK, fungsi humas pemerintah diterjemahkan sebagai keharusan memuat keberhasilan pemerintah, bahkan lebih jauh lagi, melakukan pencitraan bahwa apa yang dilakukan pemerintah sudah baik dan benar. Fungsi tersebut tidak dapat disatukan dengan fungsi pers sebagai wahana demokratisasi
karena secara teoritis keduanya saling bertolak-belakang. )! "
( (Sullivan, $%%
&^> / Z " itu membuat pers birokratik berada dalam situasi dilematis. Dilema paling mendasar dialami oleh para redaktur, wartawan, reporter, dan koresponden yang sehari-hari melaksanakan pekerjaan inti pers. Dilema terjadi karena adanya kebebasan versus pembatasan atau kendala dalam institusi pers. Para pekerja pers tersebut menilai tinggi orisinalitas dan kebebasan, tetapi latar belakang organisasinya menuntut adanya kontrol dan pembatasan yang ketat (McQuail, 1987:149).
Dilema di TK Temuan terkait dilema di TK dianalisis melalui implementasi empat elemen demokrasi pers, yaitu 3 adalah dilema terkait Kebebasan Wartawan bahwa dilema terkait kebebasan wartawan ditinjau melalui empat indikator meliputi: (1) Kebebasan mengajukan inisiatif liputan; (2) Kebebasan menentukan target liputan; (3) Kebebasan dari sensor; dan (4) kebebasan wartawan dari sanksi terkait kegiatan jurnalistik. Hasil analisis tentang dilema terkait kebebasan wartawan di TK dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Dilema terkait kebebasan wartawan Tabloid * Keberpihakan kepada Pemerintah Masyarakat Pasif mengajukan inisiatif liputan Aktif mengajukan inisiatif liputan V Menerima instruksi liputan dari pejabat Menolak instruksi liputan dari pejabat S Menerima sensor dlm pemuatan hasil liputan Menolak sensor dlm pemuatan hasil liputan Menerima sanksi terhadap wartawan Menolak sanksi terhadap wartawan Sumber: Analisis data primer
Dilema terkait kebebasan wartawan terjadi karena tidak adanya kejelasan kebebasan yang ada akan digunakan secara kompromistis atau kritis (McQuail, 2000). Di TK, kebebasan tampaknya sengaja dibiarkan berada dalam situasi kadang
sangat bebas, kadang sangat tidak bebas. Dampaknya, pengelola TK mengalami kebimbangan harus mengarahkan kebebasan itu kepada pemerintah atau masyarakat. Pada saat kebimbangan terjadi, situasi yang ada dengan mudah dapat dihegemoni oleh 83
( *+/6*'/8*!"869=? ?6
pejabat untuk menekan kebebasan wartawan untuk berpihak kepada pemerintah. Hal itu menunjukkan bukti bahwa TK adalah pers dominatif yang dikuasai oleh segelintir orang kuat (McQuail, 1987:63). Adanya aktor dominan menyebabkan informasi dapat dikuasai secara sepihak oleh perorangan (Fortner, 1993), tidak mentoleransi kebebasan pers mutlak yang dapat menyebabkan pemerintah kebanjiran kritik (Pool, 1973:47).
* adalah dilema terkait Keleluasaan Akses bahwa dilema terkait keleluasaan akses ditinjau dari indikator: jumlah tiras, jumlah pembaca tertarget, jumlah pembaca tertarget yang tidak terlayani, jumlah media lain untuk menyebarkan isi, dan jumlah hit pengunjung TK Ikhtisar dilema terkait keleluasaan akses dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Dilema terkait keleluasaan akses di Tabloid * Keberpihakan kepada Pemerintah Masyarakat Tidak menambah jumlah tiras Menambah jumlah tiras Tidak menambah jml pembaca tertarget Menambah jumlah pembaca tertarget V Tidak mengurangi jumlah pembaca tertarget S Mengurangi julah pembaca tertarget yang yang tidak terlayani tidak dilayani Tidak menambah media lain untuk Menambah media lain untuk menyebarkan menyebarkan isi TK isi TK Tdk menambah hit pengunjung TK online Menambah hit pengunjung TK online Sumber: Analisis data primer
Dilema terkait keleluasaan akses terjadi karena pengelola ingin meningkatkan 6 atau kemampuan menjangkau dan dijangkau khalayak. Akan tetapi, keinginan itu terkendala dana yang hanya dapat dipergunakan untuk menerbitkan TK 15.000 eksemplar. Jumlah tersebut terlalu kecil jika dibandingkan dengan wilayah yang harus disasar. Kendati sejak diterbitkan jumlah tiras terus bertambah, tetapi persebarannya juga tidak merata hingga ke daerah perdesaan terpencil, daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar. Masih adanya wilayah , membuat sebagian warganegara tertutup dari informasi yang bermakna bagi mereka (Subiakto, 2001:6180). Sedikitnya jumlah tiras menyebabkan keinginan meningkatkan jumlah pembaca tertarget tidak terwujud. Banyaknya pembaca tertarget yang tidak menerima TK semakin mempersempit keleluasaan akses
84
terhadap TK. Sementara jumlah media lain untuk menyebarkan isi TK kendati mengalami peningkatan, yaitu melalui internet, hit pengunjung TK online belum optimal. Padahal seiring makin memudarnya pamor media tercetak (Steemers, 2000:228), TK seharusnya secara dini menggandeng media massa noncetak termasuk media baru. Penggunaan berbagai jenis media secara terintegrasi diharapkan dapat memperbesar aksesibilitas masyarakat (Dhakidae, 2007). * adalah dilema terkait Keterbukaan Ruang Publik bahwa dilema terkait keterbukaan ruang publik ditinjau dari indikator-indikator: jumlah rubrik opini, luas rubrik opini, jumlah naskah opini yang masuk ke redaksi, jumlah naskah opini yang dimuat, dan jumlah naskah opini yang tidak dimuat. Hasil penelitian tentang dilema terkait keterbukaan ruang publik dapat dilihat pada tabel berikut:
Nursodik Gunarjo -- Dilema Pers Birokratik di Era Demokratisasi Studi Kasus Tabloid Komunika Kementerian Komunikasi dan Informatika
Tabel 3. Dilema terkait keterbukaan ruang publik di Tabloid Komunika Keberpihakan kepada Pemerintah Masyarakat Tidak menambah jumlah rubrik opini Menambah jumlah rubrik opini Tidak menambah luas rubrik opini Menambah luas rubrik opini V Tdak meningkatkan jumlah naskah opini Meningkatkan jumlah naskah opini yang S yang dikirimkan masyarakat dikirimkan masyarakat Tidak memperbesar kemampuan memuat Memperbesar kemampuan memuat naskah naskah opini masyarakat opini masyarakat Sumber: Analisis data primer
Dilema terkait keterbukaan ruang publik terjadi karena keinginan pengelola TK untuk menambah jumlah dan luas ruang publik di TK serta meningkatkan kemampuan TK memuat naskah opini dari masyarakat tidak mendapatkan sambutan dari pimpinan TK. Para pimpinan menganggap telah menyediakan ruang publik dalam jumlah yang cukup bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, tetapi pengeloloa beranggapan sebaliknya bahwa jumlah dan luas ruang publik yang ada di TK masih kurang. Penolakan para pimpinan untuk menambah jumlah dan luas rubrik opini menunjukkan secara tidak langsung mereka menghendaki keberadaan ruang publik di dalam TK dibatasi. Secara teoritis, semua pers menyatakan akan melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat serta menyebutkan keinginan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat, tetapi kenyataannya tidak menyediakan ruang yang cukup terbuka bagi anggota masyarakat untuk menyampaikan aspirasi (McQuail, 1987:40). Analisis ini juga menemukan, ruang publik di TK belum dapat berfungsi sebagai ruang publik dalam arti sesungguhnya. Pendapat publik yang dimasukkan ke TK sebelumnya
telah dipilih dan ditapis terlebih dahulu oleh para pimpinan TK secara ketat. Oleh karena itu, ruang publik yang ada di TK lebih layak disebut sebagai ruang publik semu, karena / / F direkonstruksi, dan digunakan untuk kepentingan penguasa. Idealnya, ruang publik publisitas di dalam pers mampu menjadi ruang demokratis dan wahana diskursus masyarakat. Melalui ruang tersebut, warganegara dapat menyatakan opini, kepentingan, dan kebutuhan mereka secara diskursif. Selain itu bersifat bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya serta mudah diakses semua orang (Habermas, 1989:328). Keempat adalah dilema terkait Penentuan Isi bahwa dilema terkait penentuan isi ditinjau melalui indikator: jumlah naskah yang dimuat atas keputusan sidang redaksi, jumlah naskah yang tidak dimuat atas keputusan sidang redaksi, jumlah naskah yang dimuat atas keputusan pejabat struktural, dan jumlah naskah yang tidak dimuat atas keputusan pejabat struktural. Hasil penelitian tentang dilema terkait penentuan isi tergambar dalam tabel 4 berikut:
Tabel 4. Dilema terkait penentuan isi Tabloid * Keberpihakan kepada Pemerintah Masyarakat Meningkatkan jml naskah dimuat atas Meningkatkan jml naskah dimuat atas V keputusan pejabat struktural keputusan sidang redaksi S Meningkatkan jml naskah tdk dimuat atas Meningkatkan jml naskah tidak dimuat atas keputusan pejabat struktural keputusan sidang redaksi Sumber: Analisis data primer
85
( *+/6*'/8*!"869=? ?6
86
Keterbukaan Ruang Publik
Penentuan Isi
Keleluasaan Akses
MASYARAKAT
Kebebasan Wartawan
DEMOKRATISASI DI TABLOID KOMUNIKA
keberpihakan kepada pemerintah. Dengan kata lain, pers birokratik TK di era demokratisasi ini masih tetap mempertahankan ciri-ciri pers birokratik orde baru yang kental dengan |? > ! elemen demokrasi pers telah dilaksanakan, tetapi hegemoni aparat birokrasi pemerintah tetap terjadi.
PEMERINTAH
Dilema muncul karena penentuan isi TK kadang didominasi dan kadang tidak didominasi. Situasi tersebut menyebabkan kebimbangan sikap pengelola dalam proses seleksi isi TK, yaitu antara menegakkan independensi sebagaimana diinginkan pengelola atau mengakomodasi hegemoni para pejabat birokrasi. Pengelola mengalami kesulitan antara menegakkan objektivitas sebagai komunikator massa dan menjalankan peran sebagaimana dituntut oleh organisasi pers karena arah kebijakan redaksional dan implementasinya tidak konsisten (McQuail, 2000). Situasi dilematis tersebut sepertinya sengaja dipertahankan para pimpinan agar tetap ada dan digunakan sebagai alat kontrol tanpa bentuk pemaksaan terbuka karena dalam kondisi bingung atau bimbang seseorang akan mengalami kesulitan untuk menolak perintah (Bateson, 1956: 251-254). Akan tetapi, situasi dilematis di TK tidak sepenuhnya mampu mengarahkan keberpihakan TK ke domain pemerintah. Kendati beberapa elemen demokrasi pers implementasinya secara hegemonik dapat dibelokkan agar berpihak kepada pemerintah, tetapi beberapa elemen yang lain justru menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat. Secara keseluruhan, implementasi demokrasi pers di TK dapat disajikan dalam model eksisting dilema pada gambar 1. Dilema yang terjadi di TK telah mengarahkan pengelola TK untuk membagi keberpihakan, sebagian kepada pemerintah dan sebagian kepada masyarakat. Kecenderungan keberpihakan kepada pemerintah terjadi dalam implementasi elemen demokrasi pers kebebasan wartawan, keterbukaan ruang publik dan penentuan isi. Tiga elemen tersebut adalah elemen demokrasi pers yang secara teoritis paling mudah dihege-moni oleh pemegang kekuasaan, karena terkait langsung dengan keterlibatan para pimpinan dalam menentukan isi TK. Sementara keberpihakan kepada masyarakat terjadi pada implementasi elemen demokrasi pers keleluasaan akses dan kesempatan ekpresi. Dari gambar 1 diketahui, dilema di TK pada akhirnya cenderung mengarahkan
Keberpihakan Gambar 1. Model Eksisting dilemma di Tabloid Komunika
Faktor Penyebab Dilema Faktor utama penyebab dilema di TK adalah karena rendahnya komitmen pimpinan untuk menerapkan demokrasi pers secara utuh. Bagaimanapun organisasi pers birokratik tidak dapat lepas dari peranan, kegiatan, dan keterampilan pimpinan organisasi. Pemimpin organisasi pada umumnya dipandang sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk dapat mempengaruhi dan menyetir orang lain agar berpikir dan bertindak sesuai dengan yang diinginkannya (Robbins, 2007:518). Rendahnya komitmen pimpinan karena tidak ada sanksi apapun jika tidak melaksanakan demokrasi pers di TK karena keberhasilan kinerja hanya diukur dari kemampuan memenuhi jumlah edisi dan kemampuan menyerap anggaran. Tidak adanya target yang ditetapkan pimpinan menyebabkan implementasi demokrasi pers berjalan lambat. Selain itu, implementasinya juga tidak dilakukan secara terpola dan terarah sehingga mudah dibelokkan. Tanpa
Nursodik Gunarjo -- Dilema Pers Birokratik di Era Demokratisasi Studi Kasus Tabloid Komunika Kementerian Komunikasi dan Informatika
penyiapan prakondisi yang baik, demokrasi yang diterapkan pada akhirnya tidak mendapatkan legitimasi baik dari dalam maupun luar organisasi (Dahl, 1999:54). Faktor lain yang menyebabkan dilema adalah tidak adanya aturan main yang jelas tentang pola kerja pengelola TK Kejelasan aturan main diperlukan agar pola kerja di TK dapat diarahkan sesuai kaidah demokrasi pers. Secara lebih luas, media memerlukan aturan yang menjamin independensi kebijakan dan profesionalitas awak media (McQuail, 1987:280). Tanpa aturan main yang jelas, pengelola akan diliputi kebingungan saat melaksanakan demokratisasi. Tidak jelasnya struktur organisasi TK juga turut menjadi faktor penyebab dilema. Sebagaimana diketahui, demokratisasi pers memerlukan dukungan kelembagaan yang kuat dan independen. Kuat di sini berarti organisasi pers yang ada memiliki kemampuan untuk beraktivitas secara mandiri tanpa tergantung pihak lain. Sedangkan independen artinya aktivitas organisasi pers terbebas dari campurtangan pihak-pihak di luar organisasi pers. Independensi organisasi pers sangat penting, karena dalam kenyataannya pers selalu menghadapi tekanan di antaranya dari penguasa dan institusi (Gerbner, 1969). Akan tetapi, analisis ini menemukan bukti bahwa struktur organisasi TK sengaja dibiarkan berada di antara unit kerja struktural dan nonstruktural, sehingga independensi TK tidak dapat lepas dari pengaruh birokrasi. Pada struktur organisasi pers yang setengah bebas dan setengah terikat, TK pada akhirnya berada di antara kecenderungan pers sentrifugal dan sentripetal. Kadang TK cenderung sentrifugal yang mengunggulkan gagasan perubahan, kebebasan, keanekaragaman, dan fragmentasi. Kadang juga cenderung sentripetal yang mengunggulkan ketenangan, kontrol, persatuan, dan keterpaduan (McQuail, 1987:59). Kendati secara teoritis pers cenderung menerapkan keduanya secara simultan, tetapi mencampuradukkan dua kecenderungan dalam waktu yang bersamaan akan menimbulkan kebingungan (McCormack, 1961:89).
Faktor lain yang menyebabkan dilema di dalam TK adalah adanya ambiguitas fungsi TK sebagai wahana demokrasi di satu sisi dan humas pemerintah di sisi lain. Ambiguitas fungsi tersebut turut memperbesar kebingungan pengelola dalam melakukan keberpihakan. Pada akhirnya, pengelola TK mengalami kesulitan untuk menentukan sikap yang jelas antara berpihak kepada masyarakat atau kepada pemerintah. Demokrasi pers dan pemerintah pada dasarnya tidak bisa bekerjasama karena memiliki fungsi yang berbeda. Oleh karena itu, jika keduanya dipaksakan berada dalam satu domain, akan menyebabkan fungsi pers tidak bisa berjalan maksimal (Sullivan, 2009:8). Sementara ketidakjelasan sikap pengelola, ada yang terang-terangan mendukung, diam-diam mendukung, abstain, terang-terangan anti dan diamdiam anti demokratisasi, juga menjadi penyebab munculnya dilema di TK. Ketidakmanunggalan sikap pengelola sejatinya merupakan problema bawaan dari demokrasi yang mengizinkan perbedaan pendapat, sehingga pengelola tidak dapat diarahkan agar memiliki sikap sama terhadap demokratisasi. Akan tetapi, justru dari perbedaan pendapat itulah dilema muncul.
Akibat Dilema terhadap Isi TK Dilema yang terjadi di dalam organisasi pers TK berpengaruh terhadap produk jurnalistik yang dihasilkan. Hal tersebut didasarkan pada teori bahwa produk akhir jurnalistik sangat ditentukan oleh aktivitas yang terjadi pada saat proses di ruang berita. Studi yang dilakukan White (1950); Gieber (1956); McQuail (1977) hingga Fishman (1982), semua menunjukkan hasil yang sama bahwa apa yang terjadi di ruang media yang ditampilkan kepada khalayak. Jika proses di ruang berita dilakukan secara demokratis, maka produk jurnalistik yang dihasilkan juga akan menggambarkan sisi demokratis tersebut.
87
( *+/6*'/8*!"869=? ?6
Demikan pula jika proses dilakukan dalam situasi dan kondisi yang dilematis, produk jurnalistik yang dihasilkan juga dapat diduga akan menggambarkan proses dilema yang terjadi. Dengan melihat produk jurnalistik yang dihasilkan, akan tampak bagaimana proses produk tersebut diciptakan. Analisis isi menunjukkan bahwa mayoritas isi TK terdiri dari artikel berjenis laporan mendalam : X ;, diikuti berita langsung : ;, opini dan lainnya. Ditinjau dari sisi peluang ketermuatan pendapat di TK, komposisi tersebut sudah ideal karena kebanyakan pendapat akan termuat di dalam artikel opini, laporan mendalam dan berita langsung. TK lebih banyak memuat pendapat masyarakat umum daripada pendapat pejabat. Kendati prosentase perbedaannya tidak terlalu mencolok karena terjadi di dalam pers birokratik, hal tersebut dapat dikatakan luar biasa. Sebagaimana diketahui, panduan keredaksian TK cenderung mengarahkan wartawan untuk memilih narasumber tokoh, yang logikanya kebanyakan terdiri dari para pejabat pemerintah. Selain itu, unsur kebernilaian berita : ; salah satunya didasarkan pada ketokohan narasumber (Sullivan, 2009:17). Akan tetapi, bukti menunjukkan bahwa separuh lebih kutipan pendapat yang dimuat di TK adalah pendapat masyarakat umum dan sisanya merupakan kutipan pendapat pejabat. Kendati demikian, analisis ini juga menemukan bukti bahwa mayoritas pendapat yang dimuat di dalam artikel TK bukan pendapat langsung, melainkan pendapat tidak langsung. Hal itu menunjukkan bahwa TK lebih mengutamakan pendapat yang telah direkonstruksi ulang oleh wartawan. Rekonstruksi berarti melaporkan pendapat masyarakat dengan kata-kata wartawan sendiri. Berbeda dengan pendapat langsung ditulis apa adanya sesuai pernyataan narasumber, pendapat tidak langsung sudah mengalami oleh wartawan. Isi pendapat tidak langsung biasanya sama dengan pendapat langsung karena
88
ditulis dengan kata-kata yang berbeda oleh wartawan, kemungkinan untuk diperhalus dan dibiaskan cukup besar. Banyaknya kutipan pendapat tidak langsung yang dimuat tidak lepas dari instruksi pimred yang meminta seluruh wartawan TK menulis laporan dengan bahasa yang baik, santun, dan menghindari kritik yang kasar. Eufemisme atau penghalusan kata justru disarankan oleh pimred untuk menghindari kemungkinan isi TK dianggap terlalu mengkritik pemerintah. Akan tetapi, kutipan tidak langsung memungkinkan wartawan TK secara leluasa memasukkan pribadinya ke dalam pendapat narasumber tanpa khawatir mendapatkan komplain. Hal menarik lain yang ditemukan dari analisis isi TK adalah adanya fakta bahwa sebanyak 85% nada artikel yang dimuat di TK tahun 2006 - 2010 adalah bernada netral atau tidak positif dan tidak negatif, 12% positif atau propemerintah dan hanya 3% yang nadanya negatif atau antipemerintah. Hasil tersebut menunjukkan, pemberian porsi yang besar terhadap ketermuatan pendapat masyarakat tidak serta-merta menyebabkan masyarakat dapat menyampaikan aspirasi secara bebas dan terbuka melalui TK. Dalam kenyataannya, pendapat masyarakat yang dimuat adalah pendapat yang sudah melalui penapisan ketat dari pengelola TK dan pimpinan birokrasi sehingga isinya dipastikan netral dan tidak menunjukkan suara nyata masyarakat di lapangan. Di samping itu, terdapat kemungkinan anggota masyarakat yang dijadikan narasumber TK adalah mereka yang sudah dipilih terlebih dahulu, yang suaranya netral, atau bahkan telah diatur sebelumnya agar berbicara sesuai arah yang dikehendaki oleh wartawan TK. Jurnalisme pesanan atau & tampak nyata terjadi di TK. Pada praktik, banyak fakta dan data yang sudah dikonstruksi terlebih dahulu oleh reporter, baru kemudian dimintakan dari anggota masyarakat. Dengan kata lain, pendapat masyarakat hanya sekadar
Nursodik Gunarjo -- Dilema Pers Birokratik di Era Demokratisasi Studi Kasus Tabloid Komunika Kementerian Komunikasi dan Informatika
dijadikan pelengkap agar hasil liputan wartawan TK memenuhi kaidah Sepintas, anggota masyarakat dapat dengan mudah mengekspresikan pendapat langsung atau tidak langsung melalui TK. Apabila dicermati lebih dalam, mayoritas ekspresi masyarakat tersebut F / sudah ditata agar sesuai dengan perspektif kepentingan penguasa atau kelompok dominan (Gurevitch dkk, 1982). Seluruh hasil analisis dilema terkait implementasi elemen-elemen demokrasi pers di TK di dalamnya menunjukkan adanya kontestasi di ruang berita (Ishadi, 2002). Kontestasi terjadi antara kelompok antidemokrasi yang menginginkan keberpihakan kepada pemerintah dan kelompok prodemokrasi yang menginginkan keberpihakan kepada masyarakat. Kontestasi yang terjadi secara terus-menerus dalam rentang tahun 2006 – 2010 menimbulkan situasi dan kondisi dilematis yang sulit disikapi oleh pengelola TK. Pada akhirnya, dilema yang terjadi tidak menghasilkan resultan yang jelas sehingga sulit ditentukan apakah TK telah mengarah ke pers birokratik demokratis ataukah sebaliknya mengarah ke pers birokratik nondemokratis. Keberhasilan sekaligus kegagalan TK dalam melakukan diferensiasi saat mencoba menangkap perubahan lingkungan eksternalnya membuat TK tidak mampu tampil sepenuhnya sebagai entitas pers birokratik demokratis, tidak pula sepenuhnya menjadi pers birokratik nondemokratis (Maturana, 1981:90). TK berada di pendulum yang mengayun di antara kedua sistem tersebut, kadang sangat demokratis, kadang biasa saja, tetapi kadang juga sangat tidak demokratis. Karakteristik nondemokratis masih tampak menonjol di TK. Kondisi tersebut mirip dengan sistem pers swasta di era orde baru yang sulit dikategorikan ke dalam sistem pers normatif yang ada, kendati ciri khas pers otoritarian lebih dominan (Gunarjo, 2006:24).
Situasi dan kondisi dilematis muncul karena dalam waktu yang bersamaan pengelola TK harus membagi keberpihakan kepada dua domain yang secara politis berbeda kutub, yakni kepada pemerintah dan masyarakat. Keduanya memang dapat dipilih, dapat juga memilih berpihak ke salah satu, tetapi apapun pilihan yang diambil pengelola TK, hasilnya tetap tidak ada yang memuaskan. Situasi yang tidak pasti tersebut menyebabkan pengelola TK mengalami (Bateson, 1956:251) Pengelola TK mengalami kebingungan karena menerima dua pesan yang saling menegasikan satu sama lain, tetapi keduanya harus dilaksanakan secara bersamaan. Hal itu menyebabkan situasi di mana keberhasilan merespon satu pesan akan menghasilkan kegagalan merespon pesan lainnya, demikian pula sebaliknya. Dalam praktik, jika hanya berpihak kepada masyarakat, pengelola TK akan dipersalahkan karena sebagai humas pemerintah TK memiliki tugas untuk meningkatkan citra positif pemerintah yang berarti harus berpihak kepada pemerintah. Sebaliknya, jika hanya berpihak kepada pemerintah, pengelola juga akan dipersalahkan karena TK memiliki tugas sebagai wahana demokratisasi yang berarti harus berpihak kepada masyarakat. Dilema yang sulit dihindari dalam praktik kerja jurnalistik di TK tersebut pada akhirnya memunculkan sikap ambigu, yaitu sikap mendua atau menjadi dua (Wojowasito dan Purwadarminta, 1996). Sikap ambigu terpaksa dilakukan pengelola TK agar dapat menjalankan dua peran sekaligus sebagaimana dikemukakan Cohen (1963) yaitu peran netral sebagai pemberi berita, penafsir dan alat pemerintah di satu sisi, peran pemeranserta sebagai wakil publik, pengkritik pemerintah, lawan pendukung kebijakan, dan penentang pembuat kebijakan di sisi lain. Pada posisi yang ambigu inilah, pengelola TK berupaya menjalankan kedua peran tersebut secara aman (McQuail, 1987:275).
89
PERS BIROKRATIK
PEMERINTAH
Kebebasan Wartawan
Keleluasaan Akses
Keterbukaan Ruang Publik
Penentuan Isi
Kesempatan Ekspresi
MASYARAKAT
( *+/6*'/8*!"869=? ?6
Keberpihakan Supporting Umpan Balik
pengembangan dari Model Eksisting Dilema di TK, dengan mengubah keberpihakan sesuai dengan tugas dan fungsi yang diinginkan. Dalam Model Pers Birokratik Demokratis keberpihakan pengelola TK saat menerapkan elemen demokrasi pers seluruhnya diarahkan ke masyarakat. Pers birokratik demokratis dapat diwujudkan apabila implementasi elemenelemen demokrasi pers seluruhnya diarahkan untuk berpihak kepada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat diberi keleluasaan untuk menyampaikan umpan balik baik melalui pers birokratik maupun langsung kepada pemerintah. Pemerintah dalam hal ini hanya berfungsi sebagai lembaga pendukung : ; pers birokratik dalam melayani masyarakat dan pers birokratik mendukung pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
90
Keleluasaan Akses
Keterbukaan Ruang Publik
Penentuan Isi
Kesempatan Ekspresi
PEMERINTAH
Kebebasan Wartawan
PERS BIROKRATIK
Cara paling mudah yang dapat ditempuh adalah dengan mereduksi intensitas masingmasing peran sehingga berada dalam zona yang dapat diterima oleh pemerintah maupun masyarakat. Untuk dapat berfungsi sebagai wahana demokratisasi yang efektif, atau sebaliknya sebagai humas pemerintah yang baik, TK seharusnya menghilangkan dilema yang ada di dalamnya. Keberpihakan TK perlu diperjelas agar mengarah ke salah satu domain kepada pemerintah saja atau sebaliknya kepada masyarakat saja. Jika pilih-annya adalah menjadi wahana demokratisasi yang efektif, maka TK seharusnya menerapkan Model Pers Birokratik Demokratis seperti pada gambar 2. Sebaliknya, jika menginginkan TK menjadi media untuk mengoptimalkan tugas dan fungsi Kemkominfo sebagai pelaksana kehumasan pemerintah, maka TK seyogyanya menerapkan Model Pers Birokratik Nondemokratis seperti pada gambar 3 karena tujuannya adalah untuk menghilangkan dilema, maka pilihan model pers yang akan digunakan bukan opsional, tetapi merupakan pilihan tunggal. Hal ini, dapat dipilih satu dari dua model yang ada. Kedua model merupakan
MASYARAKAT
Gambar 2. Model Pers Birokratik Demokratis
Keberpihakan Diseminasi Informasi Perintah Umpan Balik Gambar 3. Model Pers Pemerintah Nondemokratis
Sedangkan dalam Model Pers Pemerintah Nondemokratis, keberpi-hakan pengelola saat menerapkan elemen de-mokrasi pers seluruhnya diarahkan ke pemerintah. Pers birokratik nondemo-kratis dapat diwujudkan
Nursodik Gunarjo -- Dilema Pers Birokratik di Era Demokratisasi Studi Kasus Tabloid Komunika Kementerian Komunikasi dan Informatika
apabila implementasi elemen-elemen demokrasi pers diarahkan sepenuh-nya untuk berpihak kepada pemerintah. Pemerintah bukan sekadar se-bagai lembaga , tetapi juga meng-arahkan aktivitas pers birokratik sebagai alat untuk mendiseminasikan program dan kebijakan pemerintah secara searah kepada masyarakat. Selain itu pers birokratik secara aktif dapat digunakan sebagai media pencitraan mengenai keberhasilan kinerja pemerintah dan aparat pemerintah, serta sarana untuk membina hubungan baik antara pemerintah dan masyarakat. 7 atau umpan balik dari masyarakat dapat disampaikan melalui rubrik opini yang ada di dalam pers birokratik.
SIMPULAN Dilema di TK terjadi karena implementasi demokratisasi pers di TK berlangsung tidak konsisten, kadang menguat kadang melemah. Ketidakkonsistenan terjadi adanya tarik-menarik kepentingan antara kelompok prodemokrasi dan antidemokrasi pers di dalam TK. Kelompok prodemokrasi berupaya menerapkan elemen-elemen demokrasi pers di TK, sementara kelompok antidemokrasi berusaha mempertahankan kemapanan pers birokratik Orde Baru yang masih eksis di TK. Hegemoni kelompok antidemokratisasi menyebabkan implementasi demokrasi pers di TK berulang-kali mengalami ke kondisi yang tidak demokratis. Tarik-menarik kepentingan antara kelompok pro dan antidemokrasi terjadi secara terus-menerus di TK, menimbulkan situasi dan kondisi yang tidak pasti. Ketidakpastian menimbulkan dilema, yang menyebabkan pengelola TK mengalami kebimbangan untuk memilih berpihak kepada masyarakat atau pemerintah. Pengelola TK akhirnya memilih berpihak kepada keduanya, karena intensitas pengaruh birokrasi pemerintah terhadap TK lebih besar, titik berat keberpihakan pada akhirnya lebih condong kepada pemerintah. Faktor-faktor yang menyebabkan dilema di TK adalah rendahnya komitmen pimpinan untuk menerapkan demokrasi pers, tidak
jelasnya struktur organisasi TK, ambiguitas fungsi TK, dan ketidakjelasan sikap pengelola TK. Rendahnya komitmen pimpinan menyebabkan kebimbangan pengelola saat menerapkan demokrasi pers karena tidak ada dukungan kebijakan dan kontrol implementasinya di lapangan. Struktur organisasi TK yang berada di antara unit kerja nonstruktural dan struktural menyebabkan kesulitan pengelola dalam menegakkan independensi sebagai awak pers atau melaksanakan tugas dan fungsi sebagai aparat birokrasi. Ambiguitas fungsi TK sebagai wahana demokratisasi dan media humas pemerintah yang saling bertentangan satu sama lain menimbulkan dilema antara berpihak kepada masyarakat atau pemerintah. Sikap pengelola yang terpecah antara pro dan antidemokrasi pers, menyebabkan kebingungan karena adanya kemenduaan sikap antara mendukung dan menentang demokratisasi. Dilema di dalam organisasi TK berpengaruh terhadap produk jurnalistik yang dihasilkan. Akibat adanya dilema, artikel TK lebih banyak memuat kutipan pendapat masyarakat umum daripada kutipan pendapat pejabat pemerintah. Akan tetapi, nada artikel yang dimuat di TK mayoritas adalah netral atau tidak pro ataupun menentang pemerintah. Pemuatan pendapat masyarakat umum dalam jumlah lebih banyak menggambarkan upaya pengelola TK untuk berpihak kepada masyarakat, tetapi isi yang netral menggambarkan bahwa pengelola TK berupaya berpihak kepada pemerintah. Pengelola TK melakukan rekayasa agar aspirasi masyarakat yang dimuat di TK tidak mengkritisi pemerintah. Dilema di dalam pers birokratik dapat dihindari dengan menerapkan Model Pers Birokratik Demokratis atau Model Pers Birokratik Nondemokratis. Dengan menerapkan salah satu model, pers birokratik dapat memposisikan diri secara tegas sebagai wahana demokratisasi yang berpihak kepada masyarakat atau sebagai media humas pemerintah yang berpihak kepada pemerintah.
91
( *+/6*'/8*!"869=? ?6
Badan Informasi Publik, 2008, 8 ? ! 3 CDDE$CDDF, Jakarta.
X F®F
£F|" / of 16 Telegraph Editors” % Y 33: 423-33.
Bateson, G., Jackson, D. D., Haley, J. & ® F ;F
£F|? Theory of Schizophrenia,” ? 1 Vol 1, 251-264.
Gunarjo, N, 2006, 1& 3 Tesis Master Manajemen Pemerintahan dan Politik Lokal Universitas Airlangga.
Cohen, B, 1963, " 3 7 3 Princeton: Princeton University Press.
Gurevitch, M., Bennet, T., Curran, J., Wollacott, J. (eds.), 1982, + 1 " 9
London: Methuen.
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, W, John, 2010, 8 = 3 * * 9 6 Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cuilenberg, J.J., van, McQuail, D, 1998, | "/ F Search of a New Communication Policy Paradigm,” in Picard, G. (ed.) 0 9
9 0 0 3 + Turku, Finland: Economic Research Foundation for Mass Communication. Dahl, R. A, 1999, - = , New Haven: Yale University Press.
F F $%%=F | Penyebaran Informasi Publik”, makalah dalam Temu Pakar Pengelolaan Informasi Publik, Jakarta. ~ F F
&$F |\? \'@ Making the Visible Invisible” in Ettema, J. S., Whitney, D. C., ! 9 9
- / pp. 219-40, Baverly Hills and London: Sage Publications. Fortner,
R. S, 1993, ! + B + <
+ 2 9 Belmont, California: Wadsworth Pub. Co.
XFXF
F| Mass Communication”, in Halmos, P. " 1 9 9
+ Keele: University of Keele.
92
Habermas, J, 1989, 8 3 1 * &
* 9 ?& Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hallin, D. C. & Mancini, P, 2004, + 9
1 Cambridge University Press. Ishadi, S.K, 2002, * 8 ? " B * 3 = 9 & % 1 Disertasi Doktor Universitas Indonesia. * 7 CDDO = $ % B 2
!
F *> +F
&F | F Zeleny, M., (ed.), B " 5 - / New York: North Holland. ""FF
F|" / Mass Media”, +
% 0 3 1 4: 47989. McQuail,D., 1977, ' + Royal Comission on The Press Research Series 4, HMSO. McQuail, D, 1987, " * 9 1 3 Edisi Kedua, Jakarta: Penerbit Erlangga. McQuail, D, 2000, 9 + " Fourth Edition, London: Sage Publications. Olusegun, O. W, 2006, 3 3 3 8 Lagos, Abuja: National Open University of Nigeria.
Nursodik Gunarjo -- Dilema Pers Birokratik di Era Demokratisasi Studi Kasus Tabloid Komunika Kementerian Komunikasi dan Informatika
Pool, I. de S, 1983, " 7 Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press. Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Universitas Padjadjaran Bandung, 2000, 3 3 9 Laporan Hasil Penelitian. Robbins, S.P., 2007, 3 - , Jakarta: PT. Indeks. Sphichal, S., Wasco, J. (eds.), 1993, + = Norwood, New Jersey: Ablex Publishing Corporation. F;F$%%%F|q " F Live Digital Choice” in Mackay, H., and O’Sulivan, T., (eds.), " 9
8 B + " London: Sage. F *F $%%F | Media yang demokratis untuk
Indonesia Baru”, % ! 1 & * !
6 (11). 9 – 29, Bandung: ISKI – PT Remaja Rosdakarya. Severin, W. & Tankard Jr, JW, 2005, + " 7 0 Jakarta: Kencana. Sullivan, M, 2009, 8 3 - ! M 2 Terarsip dalam http//:www.usinfo.state.gov. Webster, D, 1992, ? 7 ! 9
New York: Routledge. ® F>F
£%F|X Study in the Selection of News”, % Y 27: 383-90. Wojowasito, P.W.J.S., 1996, * ? ? !
Jakarta: Gramedia. Yin, R. K, 2008, 1 * B " 9 Jakarta: Rajawali Press.
93
KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-116
RUMAH TANGGA MIGRAN DAN KESEHATAN ANAK YANG DITINGGALKAN ANALISA DATA SAKERTI 2007 Cecep Sukria Sumantri Survey METER (1 9 " 8 ) Yogyakarta Email: cecep_sumantri@yahoo.co.id
ABSTRACT This paper discuss about migrant household and the health outcome of the children’s age 0-14 years old. Using data IFLS at 2007, this paper has a purpose knowing the condition of child health at the migrant household where father’s migrant, mother’s migrant, parental migrant, and non migrant household. Using on the data of IFLS at 2007, founded 13.402 respondents at age 0-14 years old. Those are involves 505 children (3,8%) live at migrant father household; 285 children (2,1%) live at migrant mother household; 105 children (0,8%) live at father-mother migrant household and 12.507 children (93,3%) live at non migrant household. The result of this analysis such as: (1) the health status of children left hebind lower than children who’s living with their parent; (2) non migrant household is more educated, because the year of schoolingof household’s head and the caregiver of the children 0-14 years old are higher than migrant household; (3) the absenteeism of mother on child health status (based on the result of the nurse observation, BMI and Hb level) at migrant mother household is lower than the child health at the others migrant household; (4) household in the urban area gives a positive impact on the health status based on the result of the nurse observation and BMI, but gives negative impact (decrease) on the " ¬ *@#£^ " " ² @ " "? " of health child status based on the observation of nurse and BMI, but gives the decrease impact on Hb level and BMI after has been interacted by migrant household status. Keywords: " Child left behind, Child health, IFLS
ABSTRAK Tulisan ini membahas tentang rumah tangga migran dengan kesehatan anak usia 0-14 tahun. Dengan menggunakan data IFLS tahun 2007, tulisan ini bermaksud untuk mengetahui keadaan kesehatan anak di rumah tangga ayah migran, di rumah tangga ibu migran, di rumah tangga ayah-ibu migran, dan rumah tangga non-migran. Berdasarkan data IFLS 2007 diperoleh sebanyak 13.402 anak berumur 0-14 tahun, di mana 505 anak (3,8%) tinggal di rumah tangga ayah migran; sebanyak 285 anak (2,1%) tinggal di rumah tangga ibu migran; sebanyak 105 anak (0,8%) tinggal di rumah tangga ayah-ibu migran, dan sebanyak 12.507 anak (93,3%) tinggal di rumah tangga non-migran. Temuan dari hasil analisa ini antara lain: (1) status kesehatan anak di rumah tangga migran lebih rendah dari anak yang tinggal di rumah tangga non-migran; (2) rumah tangga non-migran merupakan rumah tangga yang lebih terdidik, karena jumlah tahun sekolah kepala rumah tangga dan pengasuh anak usia 0-14 tahun di rumah tangga non-migran lebih tinggi; (3) ketidakadaan ibu sebagai pengasuh dan perawat anak menyebabkan status kesehatan anak (hasil pengamatan perawat, IMT, dan kadar Hb) di rumah tangga ibu migran lebih rendah dibandingkan dengan kesehatan anak di rumah tangga migran lainnya; (4) status tempat tinggal di perkotaan memberikan pengaruh yang positif terhadap status kesehatan hasil pengamatan
94
@ % F $ Analisa Data Sakerti 2007
perawat dan IMT, tetapi memberikan pengaruh negatif (penurunan) terhadap kadar Hb anak; (5) peningkatan per- 6 memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan status kesehatan anak hasil pengamatan perawat dan IMT, tetapi memberikan pengaruh penurunan kadar Hb dan IMT setelah diinteraksikan dengan status rumah tangga migran. Kata kunci: " Anak yang ditinggalkan, Kesehatan anak, IFLS
PENGANTAR Pengambilan keputusan untuk melakukan migrasi pada umumnya selalu ada keinginan seseorang untuk memperbaiki beberapa atau salah satu dari aspek kehidupan. Seseorang melakukan migrasi dapat disebabkan karena satu atau berbagai alasan, seperti untuk melanjutkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, penghasilan yang lebih tinggi, mengikuti orang tua, mengikuti suami/isteri, famili atau orang lain, menikmati lingkungan yang lebih nyaman, atau menghindarkan diri dari beberapa hal yang tidak menyenangkan di daerah asal. Migrasi yang dilakukan oleh individu pada dasarnya merupakan migrasi yang dilakukan secara sukarela, di mana individu yang melakukan migrasi tersebut telah memperhitungkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi sebagai akibat dari perpindahan yang dilakukan. Hal ini termasuk memperhitungkan kerugian dan keuntungan yang akan diperoleh sebelum individu yang bersangkutan memutuskan untuk berpindah atau tetap menetap di tempat asal. Harapan dari migrasi orang tua adalah adanya remitan yang akan diterima oleh rumah tangga asal. Dengan remitan diharapkan dapat meningkatkan akses anak terhadap pendidikan, konsumsi makanan bergizi, dan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan. Akan tetapi, sepertinya hal ini masih banyak diperdebatkan karena kenyataannya tidak selalu demikian. Remitan yang diterima oleh rumah tangga asal dapat berdampak positif dan dapat pula berdampak negatif.
Dampak positif dari remitan adalah apabila remitan tersebut antara lain semuanya atau sebagian besar digunakan untuk keperluan anak dan atau anggota rumah tangga lain yang ditinggalkan, seperti untuk biaya kesehatan, pendidikan anak, dan konsumsi makanan anak yang bergizi. Sebaliknya dampak negatif dari remitan yang diterima rumah tangga adalah jika remitan tersebut semuanya atau sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rumah tangga yang sifatnya konsumtif, seperti perbaikan rumah, pembelian aset, dan lain-lain. Di Indonesia pada umumnya dalam suatu rumah tangga tradisional bahwa tugas ayah antara lain mencari nafkah dan tugas ibu adalah mengasuh dan merawat anak. Akibatnya jika salah satu pergi meninggalkan rumah, maka dampak yang paling terasa bahwa akan terjadinya perubahan pola pengasuhan dan perawatan terhadap anak. Jika ayah pergi, pada umumnya ibu yang tinggal di rumah akan melakukan peran ganda sebagai kepala rumah tangga juga sebagai ibu rumah tangga. Sebaliknya jika ibu pergi, maka pada umumnya jarang ayah melakukan peran ganda sebagai kepala rumah tangga juga sebagai ibu rumah tangga karena biasanya pengasuhan anak di serahkan pada pembantu, saudara (kakak) atau mungkin juga serahkan pada nenek atau kakeknya. Jika ayah dan ibu pergi, maka sebagian besar rumah tangga menyerahkan pengasuhan anak mereka pada nenek-kakek dari anak yang ditinggalkan. Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini antara lain bertujuan untuk mengetahui hubungan antara rumah tangga migran dengan status kesehatan anak umur 0-14 tahun. Secara khusus tulisan ini ingin mengetahui status kesehatan anak yang bersifat subjektif dari hasil pengamatan, wawancara, dan status kesehatan obyektif dari pengukuran kesehatan secara objektif serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelaahan secara rinci tentang status kesehatan anak di rumah tangga migran yang ditinggalkan orang tuanya perlu dilakukan karena hal ini sekurang-
95
( *+/6*'/8*!"869?M 8"#
kurangnya dapat mengetahui apakah mobilitas penduduk merupakan salah satu faktor yang menyebabkan adanya perubahan status kesehatan anak yang ditinggalkan. Tulisan ini penting untuk disajikan karena diharapkan dapat memberikan sumbangan pada pengembangan kajian kependudukan dan kesehatan masyarakat dan pemahaman | / rumah tangga yang ditinggalkan.
@
di bawah umur 18 tahun (dokumen CRC: section II, artikel 1 : 43). Akan tetapi, di dalam tulisan ini anak dikelompokkan ke dalam umur 0-14 tahun. Hal ini karena dalam dalam Survey Ketenagakerjaan Nasional, batas bawah usia seseorang memasuki pasar kerja dihitung mulai umur 15 tahun. Selain itu pula, dalam studi-studi atau survey yang berkaitan dengan fertilitas, batas bawah usianya adalah 15 tahun. Demikian halnya dalam Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (IFLS), di mana anak dikelompokkan pada usia 0-14 tahun, dan usia dewasa berada pada kelompok umur 15 tahun atau lebih.
Migrasi dan Kesehatan Anak Migrasi sebagai salah satu bentuk dari (
; dari satu unit / / menyangkut suatu perubahan tempat tinggal secara permanen dari tempat asal atau tempat keberangkatan ke tempat tujuan atau tempat yang di datangi (Alatas, 1993). buku pedoman migrasi PBB memberikan batasan bahwa migran adalah seseorang yang berpindah tempat kediaman dari suatu unit daerah administratif atau politis tertentu ke unit daerah administratif atau daerah politis yang lain (United Nations, 1970:2). Alasan ekonomi merupakan dorongan yang utama seseorang untuk melakukan migrasi (Hugo, 1978:459), Mantra (1978: 220), Todaro (1969:28), dan Lee (1970:289). Bahkan sampai dengan saat ini, terutama di negara-negara
96
sedang berkembang motif ekonomi masih mendominasi alasan migrasi Migrasi individu baik satu atau beberapa orang anggota rumah tangga akan memberikan dampak positif dan negatif terhadap rumah tangga yang ditinggalkannya, baik ekonomi, sosial maupun masyarakat yang berada di lingkungannya tinggal sebelumnya. Demikian halnya dengan migrasi individu orang tua (baik migrasi yang dilakukan oleh ayah saja, migrasi oleh ibu saja atau migrasi keduanya secara bersamaan) dapat secara langsung mempengaruhi terhadap keluarga dan terutama adalah anak yang ditinggalkan. Kepergian orang tua menjadi migran tidak saja berpengaruh terhadap kehidupan anak sehari-hari, tetapi juga berpengaruh terhadap hubungan dengan orang tua pengganti di rumah. Hal tersebut merupakan fenomena yang banyak terjadi dan menjadi masalah jika ibu pergi meninggalkan rumah untuk menjadi migran. Sementara ayah di rumah mencari teman baru dan meninggalkan anak-anaknya dengan pengasuh (Salah, 2008:13). Studi dampak Immigrasi terhadap kesehatan anak dengan menggunakan data Survey Selandia Baru. Hasilnya menunjukkan bahwa migrasi memberikan dampak yang komplek terhadap kesehatan anak, yaitu meningkatkan tinggi badan bayi dan balita. Tetapi juga meningkatkan BMI dan obesitas pada usia pra-remaja (Stillman, dkk: 2007). Pada umumnya peran ibu dalam rumah tangga berkaitan dengan pekerjaan domestik, seperti mengurus rumah, memasak, mencuci, mengantar anak ke fasilitas kesehatan, membantu mengerjakan perkerjaan rumah anak, dan mengawasi anak selama waktu senggang. Peran ayah mencari uang, tetapi banyak pula pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan bersamasama dengan pasangannya di rumah. Studi yang dilakukan oleh yang mengkaji dampak migrasi terhadap anak di Moldova, ditemukan bahwa jika salah satu atau kedua orang tua pergi untuk menjadi migran, maka
@ % F $ Analisa Data Sakerti 2007
akan terjadi pembentukan kembali peran gender (ibu) dan distribusi tanggungjawab di rumah yang ditinggalkan (Salah, 2008). Perubahan tersebut tergantung dari siapa yang pergi menjadi migran, jika ayah yang menjadi mingran, maka 64 % pasangan (ibu-istri) yang ditinggalkan melanjutkan perannya menjadi pengasuh secara langsung. Sedangkan jika ibu yang pergi menjadi migran, hanya 46% pasangan (ayah-suami) yang melakukan peran sebagai pengasuh dan mengerjakan perkerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh istrinya. Ketika ibu pergi menjadi migran, maka semua pengasuhan/ perawatan dan pelayanan yang diberikan kepada anaknya adalah yang paling banyak berubah (salah, 2000:10). Akibat dari migrasi orang tua, maka akan terjadi perubahan struktur di rumah tangga dan perawatan terhadap anak yang ditinggalkan. Secara normal, perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti jenis kelamin orang tua yang menjadi migran, hubungan keluarga dengan pengasuh anak yang ditinggalkan, keberadaan anak lain di rumah tersebut, dan sikap baik langsung maupun tidak langsung dari pengasuh. Perubahan yang lain adalah menurunnya sistem pengawasan dan perlindungan terhadap anak yang biasa diberikan oleh orang tuanya untuk meminimkan gangguan pada anak sebelum mereka pergi menjadi migran. Ketika kedua orangtuanya menjadi migran, anak-anak yang lebih dewasa sering terlewat dari perawatan kakek atau neneknya. Beberapa kasus, anak-anak mereka ditinggalkan, dan anak yang lebih dewasa berperan sebagai pengasuh. Beberapa responden anak yang diwawancara menyatakan bahwa kakek dan neneknya adalah bukan pengasuh yang terbaik, terutama jika anak yang beranjak dewasa. Anak-anak sering stress dan hilang/ kurang percaya diridan menjadi korban kekerasan (Salah, 2000:11). Ketidakadaan orang tua dapat anak. Sebanyak 87% keluarga yang di survey oleh UNICEF-UNDP tahun 2007 menyatakan
bahwa anak-anak yang tinggal dengan orang tuanya lebih sehat dibandingkan dengan 69% anak di keluarga yang orang tuanya menjadi migran (Salah, 2008:18). Salah satu penyebabnya adalah status gizi setelah ditinggal oleh orang tuanya, di mana anak tidak makan secara teratur sehingga memberikan dampak negatif terhadap kesehatannya. Menurut studi CRIC tahun 2006, alasan lain tentang kesehatan anak yang orang tuanya menjadi migran adalah menjadi tertutup terhadap masalah kesehatan dan menunda kunjungan ke dokter dengan berbagai alasan. Studi tentang dampak migrasi terhadap kesehatan anak yang ditinggalkan telah dilakukan oleh Escalante pada tahun 2008 di Cagayan de Oro City Mindanao Piliphina. Rumah tangga tanpa migran diperlakukan sebagai rumah tangga kontrol dan rumah tangga dengan migran sebagai rumah tangga treatment. Rumah tangga yang menjadi sampel pada studi ini sebanyak 60 rumah tangga, di mana 30 rumah tangga sebagai kontrol, dan 30 rumah tangga sebagai . Pada studi tersebut Escalante menggunakan beberapa variabel penelitian yang antara lain adalah jumlah anak yang ditinggalkan, lama migran meninggalkan rumah, remitan (frekuensi dan jumlahnya), penggunaan remitan, umur anak ketika orang tua meninggalkan rumah, umur anak saat survey, vaksinasi anak, tanda dan gejala penyait yang diderita anak, pengobatan anak selama sakit, siapa yang mengobati anak pada saat sakit, kunjungan ke petugas kesehatan untuk memeriksa kesehatan, petugas kesehatan yang melayani pemeriksaan kesehatan, dan minum vitamin. Studi Escalante ini menunjukkan dampak positif dan negatif dari migrasi terhadap kesehatan anak. Hasil studi menunjukkan bahwa anak di rumah tangga dengan migran telah lengkap mendapat vaksinasi dan konsumsi vitamin. Akan tetapi, ditemukan bahwa di keluarga migran lebih tinggi tendensi tidak membawa anak ke dokter untuk memeriksa kesehatan rutin.
97
( *+/6*'/8*!"869?M 8"#
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, maka kerangka pemikiran dari tulisan ini adalah status kesehatan anak dipengaruhi oleh status rumah tangga migran dan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berhubungan, seperti karakteristik rumah tangga yang ditinggalkan, karakteristik kepala rumah tangga, karakteristik pengasuh, dan karakteristik anak yang bersangkutan.
Rumah tangga sampel dan unit analisis Rumah tangga sample pada tulisan ini adalah rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga berumur 0-14 tahun. Unit analisisnya adalah individu usia 0-14 tahun. Berdasarkan data IFLS 2007 diperoleh data sebanyak 13.402 anak berusia 0-14 tahun.
Batasan operasional dan pengukuran variabel Variabel independen yang ingin diketahui pengaruhnya terhadap kesehatan anak adalah status rumah tangga yang dibedakan menjadi 3, yaitu (1) 8
(__ ), yaitu rumah tangga hanya ayah yang menjadi migran, dengan @ / F % /> #$^ 8
(__ ), yaitu rumah tangga hanya ibu yang menjadi migran, dengan @ F % /> #^ 8 $
(__), yaitu rumah tangga ayah dan ibu menjadi migran, dengan skala @ / F% /> Berdasarkan status rumah tangga tersebut di atas, data IFLS 2007 ditemukan 505 anak (3,8%) tinggal di rumah tangga hanya ayah saja migran; 285 anak (2,1%) tinggal di rumah tangga hanya ibu saja migran; 105 anak (0,8%) tinggal di rumah tangga di mana ayah dan ibu migran; dan 12.507 anak (93,3%) anak tinggal di rumah tangga non-migran. Variabel dependen pada tulisan ini adalah status kesehatan anak usia 0-14 tahun, yaitu , Kesehatan anak 0-14 tahun, 98
berdasarkan penilaian perawat kesehatan dengan cara membandingkan keadaan kesehatan anak (subjek) dengan anak lain yang berjenis kelamin dan umur yang sama. Skala penilaian oleh perawat 1 sampai 9, di mana skala 1 menggambarkan keadaan kesehatan anak yang sangat buruk dan skala 9 menggambarkan keadaan kesehatan anak yang sangat baik. Selanjutnya dilakukan < > % ¤ > * , * , yang diperoleh dari hasil pengukuran secara objektif dengan menggunakan Fotometer Hemocue. * , 3 ! 9 Tubuh (Body Mass Index - BMI) dihitung berdasarkan data tinggi badan dan berat anak dengan rumus: BMI= BB(Kg)2 . TB(m) Variabel yang digunakan sebagai kontrol meliputi: 3 , * , meliputi status kota-desa ( ), 6 () yang dihitung berdasarkan pengeluaran rumah tangga pangan dan non- pangan perkapita, jumlah anggota rumah tangga ( /), hubungan dengan kepala rumah tangga sebagai anak (_ ), hubungan dengan kepala rumah tangga sebagai cucu (_ ). * , * tangga, meliuti jenis kelamin :6_ ), umur ( _ ), pendidikan (_ ) dihitung berdasarkan tahun sukses sekolah. * , * , meliputi usia ( _), Pendidikan (_) yang dihitung berdasarkan tahun sukses sekolah, dan jenis kelamin (6_). * , *
, meliputi usia ( _ ) dan jenis kelamin (6_ ).
Metode Analisis Pembuatan data set dan analisis | versi 11.1”. Untuk memperoleh gambaran tentang keadaan karakteristik rumah tangga, karakteristik pengasuh, dan karakteristik anak di setiap status rumah tangga, maka dilakukan analisis deskriptif di setiap status rumah tangga. Untuk mengetahui kontribusi atau pengaruh rumah tangga migran terhadap
@ % F $ Analisa Data Sakerti 2007
status kesehatan anak, maka dilakukan analisa multivariat. Analisa dilakukan untuk mengetahui kontribusi variabel independen dan variabel kontrol terhadap status kesehatan anak. Untuk variabel dependen dengan skala 1:0, maka dilakukan analisis dengan regresi logistik, sedangkan untuk variabel dependen dengan skala kontinu (rasio) dilakukan dengan model regresi linier dengan model sebagai berikut: Model 1 : HS = β1λ hh_mg + β2λ hh_ch+ β3λ child_ch+ β4λ hhhead_ch+ β4λ ct_ch * (Pengamatan perawat/morbiditas), `I^ nilai odd ratio, mulai dari variabel vektor pertama dan seterusnya, c @rumah tangga migran, c _ vektor karakteristik rumah tangga (urban, hhsize, pce,rel_child, rel_granchild), c _ vektor karakteristik anak (jenis kelamin dan umur), c _ vektor karakteristik kepala rumah tangga (jenis kelamin, umur, dan pendidikan) Model 2 : HS = β0 + β1λ hh_mg + β2λ hh_ch+ β3λ child_ch+ β4λ hhhead_ch+β4λ ct_ch * (hemoglobin/IMT), `D F `I6 @ variabel kontrol, penjelasan c sampai dengan c _ < atas.
PEMBAHASAN Analisa Deskriptif Secara keseluruhan, status kesehatan anak berdasarkan penilaian oleh perawat kesehatan di atas rata anak lain yang berjenis kelamin dan umur yang sama yaitu lebih besar dari 5 (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa terdapat perbedaan status / / tinggal di rumah tangga migran dan rumah tangga non-migran dengan nilai prob > F sebesar 0.003. Rata-rata skala penilain
tertinggi pada anak yang tinggal di rumah tangga non-migran, yaitu sebesar 5.86. Di antara anak yang tinggal di rumah tangga migran, skala penilaian kesehatan anak tertinggi pada anak di rumah tangga ayah migran, yaitu dengan nilai skala 5.86 dan rata-rata nilai skala yang terendah pada anak di rumah tangga ibu migran, yaitu sebesar 5,68. Kadar hemoglobin (Hb) anak yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa / Hb anak yang tinggal di rumah tangga migran dan rumah tangga non-migran dengan nilai prob > F 0.000. Meskipun terdapat perbedaan kadar hemoglobin, tetapi semua anak dengan kadar Hb normal ( > 12). Kadar Hb tertinggi pada anak yang tinggal di rumah tangga ayah-ibu migran (12.68) dan yang terendah pada anak yang tinggal di rumah tangga non-migran (12.18). Indeks masa tubuh anak yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tidak ada / > ? IMT teringgi pada anak yang tinggal di rumah tangga non-migran (19.35) dan yang terendah pada anak yang tinggal di rumah tangga ibu (16.20). Dua dari tiga indikator kesehatan anak yang disajikan pada Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa status kesehatan anak yang tinggal di rumah tangga ibu migran ternyata lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah tangga lainnya, yaitu status kesehatan menurut penilaian oleh perawat, kadar Hb, dan indeks masa tubuh. Karakteristik rumah tangga migrant dan rumah tangga non-migran yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan / " tempat tinggal kota-desa (prob > F 0.000), jumlah anggota rumah tangga (prob > F 0.002) dan pengeluaran per kapita (prob > F 0.013). Secara keseluruhan rumah tangga nonmigran lebih banyak tinggal di perkotaan, dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang lebih banyak dari rumah tangga migran, dan rata-rata pengeluaran perkapita yang lebih besar dari rumah tangga migran.
99
( *+/6*'/8*!"869?M 8"#
Tabel 1. Deskriptif Karakteristik Independen Variabel Tipe data Ayah Ibu ayah-ibu NonMigran Migran migran Migran
Statistic Uji
Dependen Variabel : (health_nurse) Hb level (hb) IMT level (bmi)
Mean Mean Mean
5.83 12,50 16,96
5.68 12,31 16,20
5.81 12,68 17,04
5.86 12,18 19,35
Prob > F 0.003 Prob > F 0.000 Prob > F 0.636
Variabel Kontrol : (urban_rural) hhsize (pce/1000)
% 1.Urban Mean Mean
49.11 4,80 4,48
40.35 4,67 3,73
32.38 4,87 4,37
51.78 5,00 4,54
¾$>%>%%% Prob > F 0.002 Prob > F 0.013
% 1.Male Mean % child % grandchild
53.27 8,033 62,57
45.96 8,052 41,40
55.24 9,942 0
51.48 6,380 83,17
¾$>%>
Prob > F 0.000 ¾$>%>%%%
29,50
52,98
80,95
13,35
¾$>%>%%%
(age_hhhead) (sex_hhhead) (educ_hhhead)
Mean % 1.Male Mean
44,11 31.29 6,99
51,21 83.51 5,63
56,90 67.62 5,26
41,16 91.17 8,38
Prob > F 0.000 ¾$>%>%%% Prob > F 0.000
(age_ct) (sex_ct) (educ_ct) N Persen
Mean % 1.Male Mean
37,830 3.37 7,33 505 3,77
46,884 38.95 5,74 285 2,13
50,457 9.52 4,95 105 0,78
34,539 5.37 8,38 12,507 93,32
Prob > F 0.000 ¾$>%>%%% Prob > F 0.000
(sex_child) Age of child rel_hhhead rel_hhhead
Karakteristik kepala rumah tangga menunjukkan adanya perbedaan usia, jenis F
/ kepala rumah tangga di rumah tangga migrant, dan rumah tangga non-migran dengan nilai prob > F sebesar 0.000. Rumah tangga migran antara lain ditandai dengan rata-rata usia kepala rumah tangga yang lebih tua, lebih banyak dengan kepala rumah tangga berjenis kelamin laki-laki dan dengan tingkat pendidikan (tahun sukses) kepala rumah tangga yang lebih rendah. Sedangkan karaktersitik kepala rumah tangga di rumah tangga non-migran sebaliknya. Karakteristik pengasuh anak juga menunjukkan adanya perbedaan yang ¥ ~ %>%%% antara karakteristik pengasuh yang ada
100
di rumah tangga migran dan pengasuh di rumah tangga non-migran yaitu pada aspek usia, jenis kelamin, dan pendidikan. Secara keseluruhan di rumah tangga migran dengan ditandai dengan rata-rata usia pengasuh yang lebih tua dari pengasuh yang ada di rumah tangga non-migran; lebih banyak pengasuh berjenis kelamin laki-laki dan dengan tingkat pendidikan pengasuh yang lebih tinggi. Berdasarkan uraian temuan di atas, maka secara umum status kesehatan anak di rumah tangga non-migran lebih baik dibandingkan dengan status kesehatan anak di rumah tangga migran dan lebih banyak tinggal di desa. Sebaliknya rumah tangga non-migran lebih banyak tinggal di perkotaan dan termasuk rumah tangga yang produktif dan berpendidikan lebih tinggi.
@ % F $ Analisa Data Sakerti 2007
Analisa Multivariat Analisa multivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara rumah tangga migran terhadap kesehatan anak. Hasil analisis multivariat ini juga menyajikan nilai
" F < _ setiap variabel independen, juga dengan level kepercayaan 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Pada analisis multivariat ini ketiga rumah tangga migran disertakan secara bersamaan, sehingga dapat diketahui pengaruhnya secara bersama-sama pada satu variable dependen. Variabel kontrol seperti karakteristik rumah tangga, karakteristik anak, karakteristik kepala rumah tangga, dan karakteristik pengasuh juga disertakan bersama-sama pada saat dilakukana analisis multivariat. Analisa logistik regresi dilakukan pada variable dependen status kesehatan berdasarkan penilaian perawat, sedangkan regresi linier dilakukan pada variabel dependen kadar hemoglobin dan indeks masa tubuh. Status kesehatan yang akan diamati dengan analisa multivariat ini adalah status kesehatan berdasarkan hasil pengamatan perawat kesehatan, kadar hemoglobin (Hb), dan Indeks Masa Tubuh (IMT).
Status kesehatan anak Status kesehatan anak menurut penilaian perawat yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada rumah tangga ayah migran dan rumah tangga ibu migrant / terhadap status kesehatan anak pada taraf 5 persen dengan nilai odd ratio sebesar 0,787 dan 0,718. Sedangkan di rumah tangga di mana ayah-ibu migran tidak memberikan pengaruh / > Akan tetapi, dari ketiga status rumah tangga tersebut, ternyata rumah tangga hanya ibu migran dengan nilai odd ratio yang terkecil (0.718). Status kesehatan anak bersifat subjektif karena status kesehatan ini berdasarkan pengamatan perawat kesehatan dengan cara membandingkan subjek dengan anak lain yang berjenis kelamin dan usia yang sama.
Variabel kontrol lain yang dianalisa
/ terhadap status kesehatan anak dengan nilai odd rasio > 1 antara lain status tempat tinggal kota-desa, jumlah anggota rumah tangga, pengeluaran perkapita, umur anak, usia kepala rumah tangga, dan pendidikan pengasuh anak. Artinya variabel kontrol tersebut memberikan kontibusi pada kesehatan anak sebesar nilai odds rasionya. Demikian sebaliknya jika nilai odds rasio < 1, maka akan memberikan kontribusoi berkurang terhadap status kesehatan anak sebesar nilai odds rasionya. Pada rumah tangga ayah migran 96,63 persen yang mengasuh anak adalah perempuan, di rumah tangga ibu migran 61,05 persen anak diasuh oleh perempuan, dan di rumah tangga ayah-ibu migran 94,63 persen anak akan diurus oleh perempuan (lihat Tabel 1). Secara umum, perhatian, perawatan, kepedulian, dan kasih sayang ibu terhadap anak akan lebih besar dibandingkan dengan pengasuh yang lainnya, meskipun dengan ayah kandungnya atau saudara-saudara kandung dan saudara bukan kandung lainnya. Hal inilah yang diduga menyebabkan status kesehatan anak di rumah tangga ayah migran lebih baik dibandingkan dengan rumah tangga migran lainnya. Akan tetapi, harus juga diketahui faktor atau variabel lain yang memberikan / kesehatan anak. Tabel 2 . Analisis Status Kesehatan Anak oleh Pengamatan Perawat odds VARIABLES Std Err p>z ratio hh_mg_fa 0.787** (0.0847) 0.026 hh_mg_mo 0.718** (0.0942) 0.012 hh_mg_fm 0.746 (0.162) 0.179 urban_rural 1.073* (0.0439) 0.083 hhsize 1.087*** (0.0135) 0.000 pce_n 1.053*** (0.00700) 0.000 rel_child 1.040 (0.105) 0.695 rel_grdchild 1.126 (0.140) 0.340 sex_child 0.980 (0.0374) 0.604
101
( *+/6*'/8*!"869?M 8"#
age_child sex_hhhead age_hhhead educ_hhhead age_ct sex_ct educ_ct
1.013** 0.729*** 1.004* 1.008 1.000 0.790*** 1.029***
(0.00519) (0.0511) (0.00259) (0.00611) (0.00106) (0.0626) (0.00660)
0.012 0.000 0.097 0.203 0.723 0.003 0.000
Observations 13,286 seEform in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Pengeluaran rumah tangga perkapita memberikan pengaruh yang nyata pada kesehatan anak. Pengeluaran rumah tangga ini dapat menggambarkan tingkat konsumsi rumah tangga yang juga dapat digunakan sebagai proksi terhadap pendapatan rumah tangga. Pada rumah tangga migran, pendapatan rumah tangga sebagian besar atau semuanya diterima dari migran. Hal ini seperti yang diungkapkan dari laporan Bank Dunia Moldova tahun 2005, bahwa 80 persen migran Moldova mengirim dana dan lebih dari 70 persennya mengirim lebih dari setengah pendapatannya pada rumah tangga asal. Sebagian besar penggunaan uang untuk pengeluaran dasar seperti konsumsi rumah tangga, untuk konsumsi bahan tahan lama, perbaikan rumah, pembayaran hutang, dan yang digunakan untuk investasi usaha kurang dari 7 persen (Salah, 2008:5). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengeluaran terbesar dari reremitan yang diterima adalah untuk konsumsi makanan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan. Pada dasarnya income dan pendidikan saling timbal-balik berdampak terhadap kesehatan. Income atau pendapatan dapat berinteraksi dengan pendidikan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang kesehatan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi perilaku hidup sehat. Selanjutnya dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Akan tetapi, secara empiris sering ditemukan efek pendidikan terhadap kesehatan seperti juga dampak dari income. Secara statistic ada hubungan antara income dan status kesehatan yang 102
dikontrol oleh variable usia, jenis kelamin, wilayah metropolitan/perkotaan), dan pendidikan (Lopez, 2004 dalam Feinstein, 2006:293). Temuan Mellor and Milyo (2002) dalam Feinstein (2006:293) tentang adanya hubungan antara income dengan berbagai outcome status kesehatan. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pendidikan memberikan nilai odd rasio >1 dan positif, artinya pendidikan memberikan pengaruh yang baik pada kesehatan. Akan tetapi, seperti halnya income, pendidikan juga dapat memberikan pengaruhnya pada kesehatan dengan adanya faktor antara. Individu dengan
/ tinggi lebih banyak mengunjungi ke fasilitas kesehatan dibandingkan dengan
/ (Feinstein, 2006:266). Di Amerika serikat, Deb and Trivedi (2002) dalam Feinstein (2006:266) menemukan bahwa tahun sukses sekolah berkorelasi positif terhadap jumlah kunjungan rawat jalann lainnya. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa status kesehatan anak di rumah tangga ibu migran lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga lainnya setelah di control oleh jenis kelamin pengasuh dan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, income, dan pendidikan.
Kadar Hemoglobin Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada rumah tangga di mana hanya ayah migran yang memberikan
"/ 5% terhadap kadar hemoglobin anak dengan %F> mana ibu migrant dan rumah tangga ayahibu migrant tidak memberikan pengaruh / > / < pada Tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa yang terbesar pada anak yang tinggal di rumah tangga di mana hanya ayah yang migran, sedangkan yang terendah pada anak yang tinggal di rumah tangga di mana hanya ibu yang migran.
@ % F $ Analisa Data Sakerti 2007
/ pada rumah tangga ayah migran ini diduga karena masih adanya ibu yang mengurus anak di rumah, sehingga anak masih memperoleh pengasuhan, perhatian, dan pengawasan di rumah. Temuan ini sesuai dengan temuan survey yang dilakukan oleh UNICEF, di mana peran pengasuhan anak di rumah tangga migran tergantung dari jenis kelamin orang tua yang menjadi migran. Ditemukan sebanyak 14 persen keluarga dengan ibu sebagai migran, di mana anakanaknya menyatakan bahwa mereka tidak pernah ada yang mengurus. Hasil survey juga menemukan bahwa sebanyak 23 persen keluarga migran tidak pernah membawa anaknya ke dokter dan sebanyak 10 persen keluarga tidak pernah mengurus tentang pendidikan anaknya (Salah, 2008). Variabel kontrol lain yang dianalisis secara bersamaan dengan variabel rumah tangga migran yang memberikan pengaruh / hemoglobin anak adalah pengeluaran perkapita, usia dan jenis kelamin anak, usia dan pendidikan kepala rumah tangga, dan
VARIABLES hh_mg_fa hh_mg_mo hh_mg_fm urban_rural hhsize pce_n rel_child rel_grdchild sex_child age_child sex_hhhead age_hhhead educ_hhhead age_ct sex_ct educ_ct Constant Observations
pendidikan pengasuh anak. Sedangkan variabel yang memberikan pengaruh negatif / kota-desa dan jumlah anggota rumah tangga. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting yang dapat memberikan pengaruh pada kesehatan anak karena pendidikan dapat memberikan dampak langsung pada setiap perubahan perilaku individu di masa depan. Sebagai contoh, dampak terhadap income, seperti yang dikemukakan oleh Fenstein bahwa income keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan keluarga yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat income keluarga, kemudian income tersebut dapat memengaruhi kesehatan anak (Fenstei, 2006:201). Hal ini income sebagai mediator pengaruh pendidikan terhadap kesehatan anak. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa dampak pendidikan terhadap kesehatan karena pendidikan dapat meningkatkan income sehingga dapat meningkatkan kemampuan daya beli keluarga terhadap sumber daya yang produktif untuk dapat meningkatkan kesehatan.
Table 3 : Analisis Kadar Hb dan Indeks Masa Tubuh Kadar Hb IMT Coef. Std. Err P>t Coef. Std. Err 0.160** (0.0632) 0.011 -0.449** 0.00140 (0.0723) 0.985 -0.336 0.0856 (0.120) 0.475 0.308 -0.0706*** (0.0238) 0.003 0.326*** -0.0149** (0.00675) 0.027 -0.0296 0.00950*** (0.00310) 0.002 0.0276*** -0.00376 (0.0570) 0.947 0.288* -0.0810 (0.0726) 0.265 0.232 0.0701*** (0.0218) 0.001 -0.201*** 0.165*** (0.00322) 0.000 0.0488*** 0.0223 (0.0393) 0.570 -0.123 0.00333** (0.00148) 0.025 0.00903* 0.0105*** (0.00345) 0.002 0.0271** -0.000251 (0.000420) 0.550 0.00380*** 0.0664 (0.0456) 0.145 0.364* 0.00969*** (0.00369) 0.009 0.0206* 17.68*** (0.211) 0.000 17.10*** 5,196 5,196
P>t (0.187) (0.226) (0.504) (0.0819) (0.0224) (0.0104) (0.153) (0.214) (0.0763) (0.00873) (0.123) (0.00494) (0.0121) (0.00147) (0.192) (0.0123) (0.282)
0.017 0.138 0.542 0.000 0.187 0.008 0.059 0.278 0.009 0.000 0.317 0.067 0.025 0.010 0.057 0.093 0.000
103
( *+/6*'/8*!"869?M 8"#
Kadar Hb IMT Coef. Std. Err R-squared 0.027 Robust standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1 VARIABLES
Di Indonesia, pada umumnya jika ayahibu migran, maka sebagian besar anak yang ditinggalkan diasuh oleh saudara dari ibu atau saudara dari ayahnya. Akan tetapi, tidak jarang pula anak mereka yang ditinggalkan diasuh oleh nenek-kakeknya. Hal seperti yang telah dikemukakan pada Tabel 1 bahwa rata-rata 42 persen hubungan anak dengan kepala rumah tangga sebagai cucu. Nenekkakek pada umumnya akan memberikan perhatian dan perawatan yang sangat besar terhadap cucu-cucunya terutama ketika ayahibunya menjadi migran. Hal pengasuhan dan perawatan anak, sebenarnya tidak diragukan lagi bahwa seorang ibu akan memberikan perhatian yang lebih besar terhadap anak dibandingkan dengan ayah atau sudarasaudaranya. Misalnya saja dalam hal pemberian makanan dan ibu akan selalu memberikan sesuatu yang terbaik untuk anaknya sehingga ketidakadaan ibu akan sangat berpengaruh sekali terhadap anak. Ketika ayah dan ibu migran, maka anak diasuh oleh orang lain seperti pembantu, nenek-kakek, paman-bibi, saudara atau famili lainnya. Dengan demikian rumah tangga ini akan menerima kiriman remitan dari ayahibu yang menjadi migran tersebut untuk anak yang ditinggalkan, dan tidak menutup kemungkinan remitan yang dikirim oleh ayah-ibu ini lebih besar jika dibandingkan hanya ayah saja atau ibu saja yang migran. Dengan adanya kiriman remitan, maka pendapatan rumah tangga migran tersebut bertambah sehingga dapat memenui kebutuhan konsumsi rumah tangga. Temuan Salah bahwa remitan sebagian besar digunakan oleh keluarga untuk pembelian makanan, pakaian dan kebutuhan dasar lainnya. Dengan demikian, diduga bahwa rendahnya kadar Hb anak di rumah tangga ayah migran di perkotaan maupun rumah tangga ayah-ibu migran disebabkan karena
104
P>t
Coef.
Std. Err 0.033
P>t
faktor konsumsi makanan dan juga pola hidup bersih dan sehat. faktor makanan diduga disebabkan oleh kurang dan tidak bergizinya makanan yang dikonsumsi, terutama sekali makanan yang tidak atau kurang mengandung zat besi. Dimana pada akhir-akhir ini produsen makanan telah sedemikian rupa memproduksi makanan instant siap saji yang memang memberikan kecepatan dan kemudahan bagi konsumen, akan tetapi jika dilihat dari segi gizi memang masih ada yang kurang memenuhi standar kecukupan gizi. Faktor kebersihan ini antara lain meliputi kebersihan pakaian, lingkungan rumah, lingkungan tempat bermain, dan juga makanan (Salah, 2008:5). Uraian di atas memberikan gambaran bahwa keberadaan orang tua sangat berpengaruh terhadap kadar Hb anak. Keberadaan ibu di rumah tangga sebagai faktor antara yang dapat memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan kadar Hb anak, sebaliknya ketidakadaan ibu menyebabkan penurunan kadar Hb anak. Alokasi pemanfaat remitan belum sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan anggota rumah tangga yang ditinggalkan, dan diduga bahwa pemanfaatan utama remitan sebagian besar masih untuk memenuhi keperluan rumah tangga.
Indeks Masa Tubuh Hasil analisa yang disajikan pada Tabel 3 ditunjukan bahwa rumah tangga ayah migran memberikan pengaruh yang "/ £ persen terhadap IMT anak dengan nilai ' %>
> / rumah tangga ibu migran, di mana meskipun
/ F / terhadap IMT anak. CHAMPSEA (2012:52)
@ % F $ Analisa Data Sakerti 2007
dari hasil analisis multivariate menunjukkan pengaruh yang hampir sama yaitu tidak ada perbedaan yang nyata antara migrasi orang tua dengan kelebihan berat badan anak. Pada bagian yang lain juga dikemukakan bahwa kondisi kurusnya anak yang ditinggal tidak burhubungan dengan migran orang tua. Beberapa variabel kontrol lain yang juga bersamaan di analisis dan memberikan / anak adalah status tempat tinggal kota-desa; pengeluaran perkapita; hubungan dengan kepala rumah tangga sebagai anak; jenis kelamin anak; dan umur anak; umur kepala rumah tangga; pendidikan kepala rumah tangga; umur pengasuh; jenis kelamin pengasuh; dan pendidikan pengasuh. Estimasi pengaruh pendidikan terhadap tinggi anak di Barazil tahun 1986, di mana secara umum menunjukkan bahwa pendidikan ibu perlawanan dengan pendidikan ayah dalam menyediakan makanan bergizi untuk anak. Temuannya adalah adanya pengaruh yang besar dari pendidikan, misalnya tinggi anak yang dikontrol oleh usia dan jenis kelamin meningkat sekitar 0.5 persen setiap penambahan satu tahun sukses sekolah pendidikan ibu. Ditemukan bukti pula bahwa di daerah perkotaan, dampak pendidikan ibu sangat besar, di mana hampir setengahnya meningkatkan tinggi 0.28 point (Thomas, Strauss and Henriques, 1991 dalam Feinstein, 2006:247). Astuti juga menemukan bukti bahwa biasanya anak-anak yang ditinggal ibunya diasuh oleh nenek atau hanya tinggal dengan /> " F yang di tinggal ibunya mengalami lambat pertumbuhan dan rawan penyakit. Asupan gizi yang seharusnya di perolehdari ASI tidak dapat dipenuhi dan pola makan anak juga sangat bervariasi tergantung yang mengasuh (nenek), yang biasanya memberi makan menurut waktu senggang si nenek. Keadaan ini menyebabkan kondisi kesehatan anak yang rendah dan juga sangat rendah bahkan tidak terpikirkan bagi pengasuh (nenek) untuk membawa ke posyandu untuk
mengikuti program-program pemeriksaan kesehatan atau imunisasi (Astuti, 2009). Tingkat pendidikan dapat mencerminkan kemampuan untuk memahami berbagai aspek pengetahuan sesorang, termasuk pengetahuan tentang gizi. Pengetahuan tentang gizi telah diberikan baik melalui pendidikan formal maupun informal. Pendidikan non-formal yang dimaksud antara lain pendidikan yang berikan pada kegiatan kelompok sosial seperti PKK, Posyandu atau Organisasi Dharma Wanita. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin besar akses pada media informasi, sehingga akan lebih mudah untuk memperoleh informasi tentang makanan dan kandungan gizi. Analisa tentang hubungan antara tingkat pendidikan (laki-laki dan perempuan) dan pola konsumsi makanan di 3543 rumah tangga di China oleh Bhandari (2000), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan laki-laki dan perempuan kepala rumah tangga memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pola konsumsi makanan. Pendidikan perempuan memberikan pengaruh terhadap pola konsumsi secara independen tanpa ada pengaruh kontribusi pendapatan. Sebaliknya pendidikan laki-laki memberikan pengaruh pada pola konsumsi setelah diinteraksikan dengan pendapatan. Beberapa hasil penelitian dinegara berkembang menunjukkan bahwa adanya / pendidikan ibu dengan asupan gizi di tingkat rumah tangga. Hasil analisa multivariat di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia tingkat pendidikan ibu dipandang sebagai determinan penting dari asupan gizi atau pengelolaan gizi di tingkat rumah tangga. Dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, para ibu dari rumah tangga berpendapatan rendah pun dapat lebih mampu untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya di rumah tangganya secara / berpendidikan rendah. Dengan kata lain, dengan pendidikan lebih baik ibu dapat memilih dan mengkombinasikan beragam
105
( *+/6*'/8*!"869?M 8"#
jenis pangan dengan harga yang tidak mahal (Behran dan Walfe, 1987; Behram dkk,1988 dalam Hardiyansyah, 2007:55-74). Pendidikan merupakan salah satu elemen yang digunakan untuk mengetahui indeks mutu sumber daya manusia sehingga dengan meningkatnya tingkat pendidikan, maka akan memberikan dampak terhadap meningkatnya pengetahuan dan wawasan kepala rumah tangga. Dalam hal ini kepala rumah tangga dapat memberikan dan mengarahkan pada anggota rumah tangga untuk mengonsumsi makanan yang bergizi yang baik untuk pertumbuhan dan kesehatan. Uraian di atas memberikan gambaran bahwa IMT anak di pengaruhi oleh status rumah tangga migran, di mana ketidakadaan ayah-ibu memberikan dampak yang terbesar terhadap penurunan IMT anak. Peningkatan pengeluaran rumah tangga tidak memberikan pengaruh yang positif terhadap IMT anak di rumah tangga migran karena hal ini dipengaruhi pula oleh pendidikan kepala rumah tangga. Pendidikan kepala rumah tangga memberikan pengaruh positif terhadap IMT anak. Hal ini karena tingginya tingkat pendidikan kepala rumah tangga berkaitan dengan kemampuan kepala rumah tangga untuk mengelola makanan yang akan dikonsumsi oleh anggota rumah tangga. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi tingkat kemampuan kepala rumah tangga untuk mengelola dalam < / dan bergizi dengan sumber daya yang ada.
SIMPULAN Rumah tangga ayah migran dan rumah tangga ibu migran memberikan pengaruh / anak berdasarkan penilaian dari pengamatan perawat kesehatan, sedangkan rumah tangga ayah-ibu migran tidak memberikan / > + ayah migran memberikan pengaruh yang Hb dan IMT, sebaliknya rumah tangga ibu
106
migran dan rumah tangga ayah-ibu migran tidak memberikan pengaruh yang nyata. Status kesehatan anak usia 0-14 tahun berdasarkan penilaian perawat kesehatan pada rumah tangga ibu migran lebih rendah ditunjukkan dengan odds ratio 0.718 dibandingkan dengan keadaan kesehatan anak di rumah tangga ayah migran maupun rumah tangga ayah-ibu migran. Demikian halnya dengan hasil analisa pengukuran kadar Hb, di mana ibu migran lebih rendah dibandingkan dengan level kadar Hb anak di rumah tangga ayah migran, yaitu 0.0014. Ketidakadaan ibu di rumah memberikan dampak terhadap penurunan kadar Hb dan penilaian status kesehatan anak berdasarkan penilaian perawat kesehatan. Beberapa variabel kontrol yang selalu turut memberikan pengaruh positif yang berdasarkan penilaian oleh perawat, kadar Hb, dan IMT adalah pengeluaran perkapita, usia anak, dan pendidikan pengasuh antara lain status tempat tinggal kota-desa, pengeluaran perkapita, umur anak, dan pendidikan pengasuh anak. Akan tetapi, untuk mengetahui lebih pasti lagi, maka perlu dilakukan analisa dengan menginteraksikan variabel tersebut dengan variabel status rumah tangga migran. Variabel status tempat tinggal kota-desa memberikan pengaruh / menurut penilaian perawat dan IMT, tetapi memberikan pengaruh negative yang Hb anak. Tulisan ini mencoba mengungkap hubungan antara rumah tangga migran dengan status kesehatan anak dengan menggunakan data IFLS. Akan tetapi, dalam hal ini masih ada beberapa keterbatasan berkaitan dengan ketersediaan data yang dapat mengungkap tentang jumlah remitan yang diterima, alokasi remitan, dan frekuensi remitan di terima oleh rumah tangga. Informasi tentang remitan sangat penting karena berhubungan dengan pendapatan rumah tangga dan alokasi pemanfaatan remitan oleh rumah tangga.
@ % F $ Analisa Data Sakerti 2007
DAFTAR PUSTAKA F F
F |q dari Migrasi Penduduk”, 5 = 70>! 3 1 , No,12, September. Astuti,
T.M.P., 2009, Sosialisasi Anak dan Melemahnya Tradisi dalam Migrasi Internasional (Kasus TKW dari Gondongan Grobogan Jawa Tengah), Jurnal Humaniora,Vol.21, No.2 Juni 2009, 125-137.
Bhandari, R, 2000, Education and Food Consumption Patterns in China: Household Analysis and Policy Implications,Journal of Nutrition Education, Volume 32, Issue 4, Pages 214-224, July 2000. http:// www.journals.elsevierhealth.com/ periodicals/jned/article/S00223182%2800%2970559-0/abstract. Child Health and Migration Parents in Southeast Asia (CHAMPSEA)Thailand Report / Aree Jampaklay ... [et. al.]. -- 1st ed. -- Nakhon Pathom : Institute for Population and Social Research, Mahidol University, 2012. (Publication / Institute for Population and Social Research, Mahidol University ; no. 399). http://www.google. co.id/# "Á " /' Á[ §*§ §Migr § § § §
§Â$&* Â$
'§Thaila §+§Â$~§§; /Á[ §*§ §Migr § § § §
§Â$&* Â$
'§Thailan
§+§Â$~§§;/ Á ª>>>>£
$>£
$>%>
>>> 0.0.0.0.441.441.4-1.1.0...0.0...1c.1.12. / ' > ? [ Á ² Á @ > $ F > ª [>Á@@>£
%%&=F >Á £
£%$% =
Á ?$&%Á $ F + " F artikel 1. (http://wcd.nic.in/crcpdf/ CRC-2.PDF)-12-10-2011
Escalante, N.G., et al, 2008, Effect of Labor Migration on The Health of Children Left Behind, Capitol University + " ² `"F Institute of Development Studies, Cagayan de Oro City, Philippines, in Governance in a Tryptych : Environment, Migration, Peace and Order, 23-25 October 2008, Manila, Philippines. Feinstein, L, et.al, 2006, What are the Effect Education on Health. In Measuring The Effect of Education on Health and Civic Management : Proceeding of the Copenhagen Symposiun, OECD. http://www.google. ">
à " /'Á[®§ §§ "§ " §§* >§§ §§ " §§ " §§*§ § @ "§§§"
§§§§/
Â$§` Á[®§§ § "§ " §§*> §§ §§ "§§
" §§*§ § @ "§ §§" §§ §§/ Â$ §` Á ª>>>>$££>$&= 1.1.217960.1.1.0.0.0.0.0.0..0.0...0.1.. >">>$> /'> Ä"Á² Á @ > $ F > ª [>Á@@>£
%%&=F >Á £
£ % $ % =
Á ? $&%Á $ Hardiyansyah, 2007, Review on Determinant Factors of Dietary Diversity, Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2007 2(2) : 5574 . http://fema.ipb.ac.id/en/wpcontent/uploads/2010/03/Reviewdeterminan-konsumsi.pdf. Hugo, G, 1978,3 , % , Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. F >>F
=%F | / Migration”, 3 2 B 8 . Ed. George J, Demko, Harrold M, Rose and George A Schnell, New York
107
( *+/6*'/8*!"869?M 8"#
: Mc. Graw-Hill Book Company, p 288-298. Mantra, I.B., 1978, 3 9 ,$8 + : A Case Study of Two Dukuh in Yogyakarta Special Region, Honolulu: Department of Geography, University of Hawaii, Ph.D. Thesis, University of Hawaii. Stillman, S, et al, 2007, The Impact of Immigration on Child Health: Experimental Evidence from a Migration Lottery Program. http://wms-soros.mngt. waikato.ac.nz/NR/rdonlyres/ emxgj6dhbqubygma6x6m7 uxcjsvhefz4xsrsmb7xafqrblp4 pconudp4hzcappcbbau f6ktourosuf/ PIChildHealthdrafttoJHR2.pdf. Salah, M.A., 2008, " ! 9 + 9 Policy,
108
Advocacy and Knowledge Management (PAKM), Division of Policy an Practice, UNICEF. New York. http://www.unicef. org/The_Impacts_of_Migration_ on_Children_in_Moldova%281%29. pdf F >>F
F | " " Migration in Developing Countries : A Review of Models”, Michael P, Todaro Ed,9 = + , Geneva : ILO, pp. 21-46. United Nations, 1970, 9 9 0 3 9 #! B 9 9 ! 9 9 #!, Departement of Economic and Social Affairs, Population Studies N0.47, New York.
KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-116
Resensi MENYAMBUT ERA KEBANGKITAN AGAMA
Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun Tebal Halaman
: God’s Century: Resurgent Religion and Global Politics : Monica Duffy Toft, Daniel Philpott, dan Timothy Samuel Shah : W.W. Norton & Company, Inc., 2009. : 2009 :
Mohammad Iqbal Ahnaf
Peran agama dalam kehidupan politik, baik di tingkat nasional atau internasional nampaknya semakin tak terbantahkan. Buku ini menyajikan argumen dan fakta yang menunjukkan transformasi ini. Klaim ini sebenarnya bukanlah hal baru. Sebelumnya tidak sedikit karya ilmiah yang menunjukkan apa yang disebut dengan gejala era kebangkitan agama ( ). Revisi terhadap teori sekalerisasi yang datang dari salah satu pendukung utama teori, yaitu Peter L. Berger. Pada tahun 1998 ia mengeluarkan buku berjudul " = / ,B 2 - (1999) yang dimaksudkan untuk merevisi teori dia sebelumnya bahwa seiring modernisasi agama akan semakin kehilangan relevansi. Keyakinan terhadap Tuhan akan digeser olah rasio yang dapat menjelaskan banyak hal yang selama ini dipahami melalui narasi keagamaan. Berger dalam buku ini menegaskan era kebangkitan agama justru didorong oleh dua faktor yang sama yang sebelumnya menjadi dasar teori sekulerisasi, yaitu demokratisasi
atau kebebasan politik dan kemajuan teknologi informasi. Di banyak tempat demokrasi bukannya meminggirkan politik agama, tetapi justru sebaliknya membuka ruang bagi munculnya partai dan gerakan politik berbasis agama seperti kebangkitan nasionalisme Hindu di India, kemenangan politik Islam di Turki, dan menguatnya kekuatan Kristen sayap kanan (+
8 8 ) di Amerika Serikat (halaman 7). Patut dicatat tumbangnya beberapa rezim di negara-negara Arab yang dapat dikenal dengan istilah 1 (musim semi di Arab) tidaklah lepas dari kekuatan beragam gerakaan sosial dan politik berbasis keagamaan. Yang patut digarisbawahi dari buku 2M + ini adalah argumen bahwa kebangkitan peran agama tidak hanya terbatas pada kehidupan individual, tetapi juga kehidupan publik. Argumen ini memperkuat beberapa karya akademik sebelumnya seperti publikasi dari hasil survei Jonathan L. Fox berjudul , 1 8 State (Cambridge
109
( *+/6*'/8*!"8698"? 888
University Press, 2007). Hasil survei Fox menunjukkan lebih dari 50 persen negaranegara di dunia memiliki regulasi yang membatasi peran agama dalam kehidupan politik. Meskipun desakan peran agama dalam kehidupan politik, baik secara negatif dan positif, nampaknya sulit dibendung. Desakan peran agama dalam kehidupan publik ini digambarkan dengan sangat baik oleh para penulis dalam kalimat berikut: |- - - - L M
level” (halaman 184).
Apa yang mendorong era kebangkitan politik agama atau M , dalam istilah para penulis? Menjawa pertanyaan ini, para penulis menawarkan dua penjelasan. Yang pertama adalah mengauatnya teologi politik, yakni keyakinan bahwa komunitas keagamaan bertanggungjawab terhadap otoritas politik untuk menegakkan keadilan. Keyakinan demikian membeirkan dorongan yang kuat untuk menghadirkan nilai, moral dan bahkan hukum agama dalam kehidupan politik ketatanegaraan. Kecenderungan ini tidak hanya muncul dalam agama-agama yang selama ini terkait erat dengan kehidupan politik seperti Islam. Agama Buddha yang selama ini lebih menonjolkan spritualitas individual berkait erat dengan kehidupan politik seperti di Sri Lanka dan Thailand. Faktor yang kedua adalah adanya hubungan saling membutuhkan antara otoritas politik dan otoritas keagamaan. Dari sisi aktor politik hubungan baik dengan aktor-aktor keagamaan diperlukan untuk memperkuat basis dukungan politik secara elektoral. Fakta bahwa sebagian besar penduduk di negara-negara demokrasi seperti Indonesia adalah pemeluk agama yang taat mejadikan sentimen keagamaan sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam mobilisasi politik. Dari sisi aktor keagamaan, para penulis buku ini menekankan pada menguatnya teologi politik yang mendorong 110
aktor keagamaan mendekati otoritas politik. Kedekatan atau kamampuan untuk mempengaruhi aktor politik dimaksudkan untuk memperkuat peran agama dalam kehidupan publik. Poin ini meskipun tidak salah patut dikritik karena tidak menjelaskan realitas hubungan saling membutuhkan antara otoritas politik dan otoritas keagamaan. Upaya aktor-aktor keagaman untuk menjalin hubungan dengan aktor-aktor politik tidak selalu didorong oleh teologi politik. Di Indonesia sejumlah organisasi keagaman yang secara teologis cenderung a-politis seperti ; F F Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) dikenal mempunyai kedekatan dengan birokrasi pemerintahan. Kedekatan mereka dengan aktor-aktor politik lebih dapat dijelaskan sebagai manifestasi kepentingan keamanan atau mobilisasi pengaruh sosial-teologis daripada usaha untuk memformalkan nilai keagaman dalam kehidupan ketatanegaraan. Bagi para penulis kebangkitan peran agama dalam kehidupan politik tidak perlu dilihat sebagai ancaman. Hal ini karena dalam banyak kasus menguatnya peran agama dalam kehidupan politik juga diiringi oleh kecenderungan moderasi di kalangan gerakan politik agama. Dalam konteks gerakan Islam kecendeurngan ini digambarkan dengan baik dalam istilah post-Islamisme yang dipopolerkan oleh Asef Bayat dalam bukunya 9 ! = B 1
9 3$ ! " (Stanford University Press, 2007). Meski kekuatan-kekuatan totalitarian masih mewarnai politik negara-negara Muslim yang demokratis, gerakan-gerakan politik Islam masa kini pada umumnya cenderung lebih terbuka dan menerima sistem politik demokrasi. Buku ini ditutup dengan sepuluh langkah yang ditawarkan penulis untuk menghadapi era kebangkitan agama. Di antaranya para penulis menyarankan agar peran agama dalam kehidupn politik tidak diremehkan sekaligus tidak dilebihlebihkan. Tidak diremahkan dalam pengertian mengesampingan kekuatan
Resensi
aktor keagamana dalam program-program pembangunan; dan tidak melebih-lebihkan dalam pengertian tidak mensakralkan peran agama sehingga sepenuhnya membawa agama dalam kancah politik atau sebaliknya berusaha menekan atau meminggirkan peran agama dalam kehidupan publik yang
berpotensi menciptakan kemarahan aktoraktor keagamaan; hal ini pada ujungnya dapat menghasilkan situasi yang mendukung ekstrimisme. Era kebangkitan agama yang terus bergulir, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan, termasuk politisi, pembuat hukum, pemerintahan, gerakan sosial, pelaku pembangunan, dan bahkan pebisnis.
111
KAWISTARA VOLUME 3
No. 1, 21 April 2013
Halaman 1-116
INDEKS KAWISTARA Volume 1, No. 21, April 2013
A Adholla 29, 36, 39 agunan 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38 ajaran hulul 76 akidah 46, 53, 61, 68 akses permodalan 24, 26, 38 al-Futuhat 70, 73 Al-Ghazali 68, 69, 73, 76, 77, 78 al Hallaj 73, 77 al Ihya 72 al-Kasyf 74 al-masalih al kaffah 45 al-Munqidz 70, 72 Al qur’an 68, 70, 72, 74, 75, 76 Ambigu 80 Ambiguitas 83, 87, 91 Ambiguity 79 Anak yang ditinggalkan 95 Analisa logistik regresi 101 antisipatif 17, 69, 70 apem 6 aqidah 48, 61, 65, 68 Arsyad 33, 39 ´'_$ /' /³¬$FF£F at-tafsir bil ma’tsur 59 at-tafsir bin-naql 59 Award for promoting religious freedom iii
B Badan Pertanahan Nasional Republik lndonesia 26 Baiquni 9, 17, 22, 23 bakpia 6 Bandar Udara H.H. Aroeboesman Ende 21
112
Berger 109 Bhandari 105, 107 biodiversity 2 Bunaken 13 bureaucratic press 79 Byamugisha 29, 39
C capacity of repayment 27 Capital access 24 capital formation 26 case study 79, 82 cemplon 6 Center for International Forestry Research 5 " $ Child health 94 Child left behind 94 China 105, 107 civil society 42, 56 coastal landscape 15 cokekan 6 Collateral 24 "Z "F£ cover bothside 89 Cultural sensitivity 4
D Danau Tri Warna Kelimutu 22 default 37 democracy 41, 79, 83 demokrasi 41, 42, 43, 44, 45, 46, 49, 51, 52, 55, 56, 69, 79, 80, 81, 83, 86, 87, 89, 90, 91, 109, 110 demokrasi liberal 42, 43, 56 demokrasi pers 79, 80, 81, 83, 86, 87, 89, 90, 91 Demokratisasi i, ii
Indeks
Desa Wisata 1, 3, 5, 6, 7, 8, 10 Desa Wisata Brayut 6, 8 Desa Wisata Kebon Agung 7 destination 14 Development 9, 10, 12, 23, 39, 107 Diarta 4, 11 dilema 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91 Dilema 80, 81, 83, 84, 85, 86, 87, 89, 90, 91 dilemma 79, 86, 89 dinaskh 64, 65
³F £&F£
FF£ disequilibrium 43, 44 divine imperatives 46 diving 15, 19 dunia internasional ii
E Eco Adventure 3 Ecotourism 1, 4, 9 Ecotourism Pillars 1 eksklusivisme 58, 59, 61, 67 ekstralegal 25 El Islam cristianizado 70 embeded journalism 88 Ende 12, 13, 14, 19, 20, 21, 22, 23 epistemologi 68, 69, 70 equilibrium 43, 44 Era Orde Reformasi 42 exclusivism 58 Experiental education 8
F Faktor-faktor yang menyebabkan dilema 91 Faktor umur 35 Fandeli 4, 15, 16, 17, 22, 23 Fenstei 103 £F
Z/ ²& framing 88
G gatekeeping 87, 88 gejog lesung 6, 7 geographic 96 gethuk 6 _? & God’ Century 109 Great Barrier Reef 19 Green Tourism Association 4 guests 15 Gus Dur 42, 43, 52
H Hadits 68
Hb anak 95, 99, 104, 106 Hermantoro 14, 23 hiponimi 58, 63, 64, 67 host 15 hukum agama 110 Human resources 12 Hutagalung 28, 39 hyponymy 58
I ibadah 46, 61 Ibn Al-Arabi Wahdat al-Wujud 71 Ibnu Arabi 68, 69, 70, 71, 72, 73, 77, 78 Ibnu Katsir 62, 65 Ibnu Khaldun 44, 45, 47 IFLS 94, 95, 96, 98, 106 Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia 52 Inclusivism 58 income 102, 103 Infokom Jatim 80 information 12 Inklusivisme 58, 59 input-input 33 institusi 41, 43, 49, 83, 87 institution 24, 41, 79 Islam 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 74, 75, 78, 109, 110 Islamic Nomocracy 45 Ismail Raji al-Faruqi 60
J jadah 6 jathilan 6 Jatim Newsroom 80 Jemaah Tabligh 110 Joko Tri Haryanto i, ii Josef Alfonsius Gadi Djou i, ii
K Kabupaten Bantul 3, 6, 23 Kabupaten Gunung Kidul 3 Kabupaten Kulon Progo 3, 25, 30, 38, 39 Kabupaten Sleman 3, 6, 35 %F&F=%F= Karakteristik rumah tangga 98, 99 Karimun Jawa 13 kegiatan wisata bahari 19 kekerasan religius 48 kenduri 6 Kepulauan Padaido 19 Kesehatan anak 95, 98 % Komunika 79, 80, 83, 84, 85, 86 Z £F$FF$F
F==
113
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 112-115
Konsep disequilibrium 43 Koperasi Simpan Pinjam 27 Kraton Yogyakarta 3
L laba 33, 34, 36 land register 25 land use 16 Lester C. Thurow 43 Local economic vitality 4
M Macapat 7 Majelsi Tafsir Al-Qur’an 110 makrifat 68, 69, 70, 71, 72, 73, 76, 77 Makrifat 69, 70, 71 µ£&FF£F market 14 marketing 14 ma’ruf 47 McNair 82 mendoan 6 Migrasi 95, 96, 107 Migration 94, 107, 108 millah 58, 59, 62, 63, 65, 66, 67 money changer 17 mujaddid 44 mulk siyasah 45 munkar 47 musyrik 62, 68
N Nasionalisme 41, 42, 50, 54, 55 naskh 64, 65, 66, 67 Nasrani 60, 62, 63, 65, 66 Nationalism 41 negara 2, 4, 13, 18, 22, 26, 41, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 81, 82, 96, 105, 109, 110 Negara Otokratis 45 new order 41 Nurcholish Madjid 60
O objek daya tarik wisata 14 odds ratio 32, 33, 101, 106 Ohmae 44, 56 omzet 24, 30, 31, 36, 38 onde-onde 6 Orde Baru 41, 42, 50, 52, 53, 54, 79, 80, 91 organized religion 62, 66 output 26, 33, 107
114
P pandangan eksklusivis 60 Panggabean 29, 39 parasailing 15 Pearce 14, 23 Pembangunan 2, 4, 9, 10, 11, 12, 39, 53 penaskh 64 $
people resources and welth of the nation 41 pers birokratik 79, 80, 81, 82, 83, 86, 88, 89, 90, 91 Pers birokratik 80, 81, 90, 92 Pitana 4, 11 Place 29, 36, 39 press democracy 79 pristine 13 property right 25 public empowerment 82 public interest theory 81 Pulau Weh 13
R radikalisme 55, 69, 77 rafting 8 Raja Ampat 13 ’Reformasi 41 reformation 41 Regresi Binary Logit 31 Regresi Linier 31 Rencana Strategis 4, 10 rezim Soeharto 42 Rote 13 rumah tangga migran 94, 95, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 106
S sailing 15, 19 ´'~´ /$ X seascape 15 sempalan 47 Sense of crisis 43 !$ * $F$£ Shabi’in 62, 66 Shihab 59, 60, 61, 63, 64, 65, 67 Sidipurwanty 26, 36, 37, 40 sinonimi 58, 65, 66, 67 Situmorang 28, 39 siyasah diniyah 45 skiing 15 snorkeling 15, 19 Soeharto 41, 42, 49, 50, 52, 53, 55, 92 solusi 21, 55, 64, 69, 70, 74, 76 spatial mobility 96
Indeks
Sri Lanka 110 stakeholders iii State 41, 109 status quo 43, 91 Strategi 9, 12, 14, 17, 21, 22, 23 Strategy 12, 23 = Sumberdaya manusia 12 £F
survive 25 Susilo Bambang Yudhoyono 42, 50, 51, 52, 53, 54, 55 suram ii Sustainable Tourism 1 /³¬£&F£
FF£F= Syiah 55, 68 synonymy 58
T ¬´ ' £&F= Taka Bone Rate 13 taklif 65, 66 Talaud 13 tauhid 48, 66 teologi inklusivis 59, 60 Thailand 18, 29, 107, 110 The Ecotourism Society 4 the ressurgence of religon 109 Three Muslim Sages 71 Tibbi 42, 57 tourism development 1, 12 Tourism Village 1
travel 14 travel fashion 16 travel motivation 16 Tribe 18, 23 Tuhan 7, 16, 46, 48, 59, 60, 61, 62, 65, 66, 67, 69, 71, 73, 76, 77, 109
U unbankable 25 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 2 UNICEF 97, 103, 108 unspoiled 13 Usaha Mikro dan Kecil 24, 40
V Variabel 5, 31, 32, 36, 98, 100, 101, 103, 106 Variabel kontrol 101, 103 vektor karakteristik 99
W Waardenburg 74 Wahdat al-Wujud 70, 71, 78 Wakatobi 13 Wardiyanto 17, 23 Western 2 Winarno 32, 40 World Tourism Organization 2, 13 wujud hissi 74 wujud khayali 75
Y Yahudi 60, 61, 62, 63, 65, 66
115
Kawistara, Vol. 3, No. 1, April 2013: 112-115
116