5
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan hewan karang yang berupa batuan kapur (CaCO 3 ), yan g hidup di dasar perairan serta mempunyai kemampuan menahan gaya gelombang laut (Supriharyono 2007). Dalam bentuk sederhana, karang terdiri dari satu polip yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung, dengan mulut terletak di bagian atas dan dikelilingi tentakel. Satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993). Menurut Supriharyono (2007), karang dibedakan menjadi dua tipe, yaitu karang yang membentuk terumbu (hermatypic corals) dan tidak membentuk terumbu (ahermatypic corals). Hermatypic corals merupakan hewan yang bersimbiosis dengan sejenis alga (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesis. Hasil dari aktifitas fotosintesis tersebut berupa endapan kalsium karbonat, yang struktur dan bentuknya sangat khas. Ciri ini digunakan untuk menentukan jenis atau spesies hewan karang. English et al. (1994) mengkategorikan bentuk pertumbuhan karang batu menjadi dua jenis, yaitu karang Acropora dan non-Acropora. Perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit. Kategori pertama, bentuk pertumbuhan karang Acropora, terdiri atas: (1) Acropora bercabang (Branching Acropora), bentuk bercabang seperti ranting pohon;
(2) Acropora meja (Tabulate Acropora), bentuk bercabang dengan arah
mendatar dan rata seperti meja; (3) Acropora merayap (Encursting Acropora), biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna; (4) Acropora Submasif (Submasive Acropora), percabangan bentuk lempeng dan kokoh; (5) Acropora berjari (Digitate Acropora), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jarijari tangan. Kategori kedua, bentuk pertumbuhan karang non-Acropora, terdiri atas: (1) bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameternya;
6
(2) padat (massive), berbentuk seperti bongkahan batu dengan ukuran yang bervariasi; (3) kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras, serta berlubang-lubang kecil; (4) lembaran (foliose), berbentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil, dan membentuk lipatan atau melingkar; (5) jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut; (6) submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil; (7) karang api (Millepora), dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh; (8) karang biru (Heliopora), dicirikan dengan adanya warna biru pada rangkanya. Sementara itu, karang lunak (soft coral) lebih dikenal Alcyonaria, yang merupakan salah satu jenis Coelenterata (hewan berongga). Alcyonaria mempunyai peranan penting dalam pembentukan fisik karang dengan tubuh lunak. Tubuh Alcyonaria, lembek tetapi disokong oleh sejumlah duri-duri yang kokoh, berukuran kecil, dan tersusun sedemikian rupa sehingga lentur dan tidak mudah putus. Duri-duri yang kokoh tersebut mengandung kalsim karbonat yang dikenal dengan spikula (Manuputy 1986). Berdasarkan tipe strukturnya, terumbu karang dibedakan menjadi tiga yaitu karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef), dan karang cincin (atoll). Karang tepi dan penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus yang kuat (Bengen 2001). Bagi biota laut, terumbu karang memiliki peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) (Suharsono 2009). Sementara itu, Apriliani (2009)
menyatakan
terumbu
karang
merupakan
potensi
utama
dalam
pengembangan wisata bahari. Nilai estetika laut banyak ditentukan oleh kehadiran terumbu karang, termasuk di dalamnya keragaman jenis, tutupan karang, dan keanekaragaman biota. Kelompok-kelompok ikan yang dapat ditemui di perairan sekitar terumbu karang antara lain kerapu, kakatua, hiu, pari, dan tigawaja (drums). Sedangkan
7
kelompok invertebrata antara lain kima, kerang hijau, lobster, kepiting, udang, teripang, dan penyu (Burbridge dan Maragos 1983 in Supriharyono 2007). 2.2. Konsep Ekowisata Bahari Konsep ekowisata mulai dipopulerkan oleh Hector Ceballos-Lascurian pada awal tahun 1980-an. Ekowisata merupakan wisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan yang relatif belum terganggu (alami), dengan tujuan khusus untuk pendidikan, mengagumi, menikmati pemandangan alam dan isinya (tumbuhan dan hewan), serta sebagai perwujudan (manifestasi) budaya di kawasan yang dituju (Tisdell 1998). Hetzer (1965) dan Ziffer (1989) in Bjork (2000) mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata yang mengutamakan nilai sumberdaya alam (flora, fauna, dan proses geologi), serta budaya (lokasi suatu fosil dan arkeologi), di mana praktek pemanfaatannya bersifat konservasi, dapat menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan ekonomi masyarakat lokal. The
International
Ecotourism
Society
(1990)
in
Dodds
(2009)
mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke daerahdaerah yang masih alami dengan tujuan mengkonservasi, melestarikan lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Cakupan destinasi ekowisata direfleksikan dari definisi ekowisata yang bervariasi. Fennel (2001) mengidentifikasi 85 definisi ekowisata dengan 5 tema dominan, antara lain kelestarian sumberdaya alam, konservasi, budaya, manfaat bagi masyarakat lokal, dan pendidikan. Blamey (1997) mengatakan destinasi ekowisata harus memenuhi tiga kriteria utama yakni (1) lebih menonjolkan lingkungan alami sebagai sentral atraksi, (2) menawarkan prospek pembelajaran dan pendidikan, (3) setidaknya berniat melestarikan lingkungan, budaya, dan ekonomi (Krider et al. 2010). Ekowisata menurut Wood (2002) menganut beberapa prinsip yaitu: 1.
Meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya.
2.
Mengutamakan
pendidikan
bagi
pengunjungnya
guna
kepentingan
konservasi. 3.
Menekankan pada kepentingan bisnis bertanggung jawab, melalui kerjasama dengan masyarakat lokal yang membutuhkan/menerima manfaat konservasi.
8
4.
Penerimaan langsung dari pengelolaan dan konservasi lingkungan serta kawasan yang dilindungi.
5.
Menekankan kebutuhan untuk penzonaan wisata lingkup regional dan untuk perencanaan pengelolaan kawasan alami.
6.
Menekankan pada penggunaan kajian dasar lingkungan dan sosial, guna kepentingan program monitoring.
7.
Peningkatan maksimum manfaat ekonomi dan usaha masyarakat lokal.
8.
Pembangunan pariwisata tidak melebihi daya dukung lingkungan sosial.
9.
Pembangunan infrastruktur yang harmonis dengan alam, meminimalisir penggunaan bahan bakar dari fosil (BBM), melindungi satwa dan tumbuhan lokal, serta menselaraskan lingkungan dan budaya. Kegiatan wisata yang mengandalkan daya tarik alami lingkungan pesisir dan
lautan, baik secara langsung maupun tidak, dinamakan wisata bahari. Kegiatan pariwisata yang langsung di antaranya berperahu, berenang, snorkeling, menyelam, dan memancing. Sedangkan secara tidak langsung meliputi kegiatan olahraga pantai dan piknik menikmati rekreasi atmosfer (META 2002). Konsep ekowisata bahari didasarkan pada menikmati keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya, dan karakteristik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut (Hutabarat et al. 2009). Kegiatan ekowisata bahari bukan semata-mata untuk memperoleh hiburan dari berbagai suguhan alami dan atraksi lingkungan pesisir dan lautan. Akan tetapi, wisatawan diharapkan berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi lingkungan, sekaligus pemahaman yang mendalam tentang seluk-beluk ekosistem
pesisir,
sehingga
membentuk
kesadaran
untuk
melestarikan
sumberdaya pesisir saat ini dan masa yang akan datang (META 2002). Pengelolaan ekowisata yang memenuhi kaidah konservasi memerlukan penjelasan rinci tentang sistem produksi ekowisata secara keseluruhan. Suatu objek tujuan wisata memiliki karakteristik sistem produksi yang berbeda dengan tujuan wisata lainnya. Ekowisata wilayah pesisir dan lautan memilki karakteristik
9
lahan basah yang berbeda dengan ekowisata pegunungan dengan karakteristik lahan kering, (META 2002). Beberapa hal yang mendasari pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan dari wisata bahari (Setiawati 2000), yaitu: 1.
Ekowisata sangat bergantung pada kualitas sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya. Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata, sehingga kualitas, keberlanjutan, dan pelestarian sumberdaya alam, serta peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk ekowisata.
2.
Pelibatan masyarakat menjadi mutlak dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan. Pada dasarnya pengetahuan tentang alam, budaya dan daya tarik wisata telah dimiliki oleh masyarakat setempat.
3.
Ekowisata meningkatkan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman.
4.
Pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional. Kenyataan
memperlihatkan
kecenderungan
meningkatnya
permintaan
terhadap produk ekowisata baik di tingkat internasional dan nasional. 5.
Ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah, dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat non ekstraktif dan non konsumtif sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat. Pengelolaan ekowisata yang berkelanjutan menurut Hadiyati (2003) in
Solarbesain (2009), memiliki kesamaan dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan sehingga harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: 1.
Secara ekologis berkelanjutan; pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Konservasi pada daerah wisata harus diupayakan secara maksimal untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata.
2.
Secara sosial dan budaya dapat diterima; mengacu pada kemampuan penduduk lokal menyerap usaha pariwisata tanpa menimbulkan konflik sosial
10
dan masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya turis yang berbeda sehingga tidak merubah budaya masyarakat lokal. 3.
Secara ekonomi menguntungkan; keuntungan yang diperoleh dari kegiatan wisata yang ada dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat setempat.
2.3. Kesesuaian Perairan Untuk Ekowisata Kesesuaian pemanfaatan ekowisata bahari berbeda untuk setiap kategori wisata. Kegiatan wisata dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan atas wisata bahari dan wisata pantai. Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya laut dan dinamika air laut. Sedangkan wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan potensi sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai (Hutabarat et al. 2009). Potensi utama untuk menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang, pantai berpasir putih atau bersih, dan lokasilokasi perairan pantai yang baik untuk berselancar. Keragaman spesies pada terumbu karang dan ikan hias merupakan objek utama yang menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar biasa bagi penyelam dan para wisatawan yang melakukan snorkeling (Dahuri 2003). Secara umum, jenis dan nilai setiap parameter kesesuaian untuk kegiatan wisata bahari kategori selam dan snorkeling hampir sama. Parameter yang dipertimbangkan dalam menilai tingkat kesesuaian pemanfaatan kedua kategor wisata bahari tersebut adalah: 1.
Kondisi kawasan penyelaman yang menyangkut keadaan permukaan air (gelombang) dan arus. Gelombang besar dan arus yang kuat dapat membawa para penyelam ke luar kawasan wisata. Kekuatan arus yang aman bagi wisatawan maksimum 1 knot (0.51 m/dtk) (Davis and Tisdell 1995).
2.
Kualitas daerah penyelaman yakni menyangkut jarak pandang yang layak di bawah permukaan air, dalam hal ini tergantung life form, (Davis and Tisdell 1995; Davis and Tisdell 1996). Jarak pandang yang layak untuk wisata bahari adalah lebih dari 10-20 m. Hal ini terkait dengan penetrasi matahari terhadap
11
biota dasar permukaan air maksimum 25 m. Marine National Park Division (2001) menyatakan bahwa kedalaman 2-5 m sangat sesuai untuk melakukan kegiatan snorkeling, sementara wisata selam biasanya dilakukan pada kedalaman 5-10 m. Objek wisata bahari lain yang cukup berpotensi untuk dikembangkan adalah wilayah pantai yang menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat permandian yang bersih, serta tempat melakukan kegiatan berselancar air (Dahuri 2003). Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata kategori rekreasi pantai meliputi: 1.
Kondisi geologi pantai, menyangkut tipe (substrat pasir), lebar pantai, kemiringan pantai (idealnya < 250) dan material dasar perairan (idealnya berpasir) (Wong 1991).
2.
Kondisi fisik terkait kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km).
3.
Kondisi biota menyangkut penutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan
biota
berbahaya
(terkait
kenyamaman
dan
keselamatan
wisatawan). Sementara itu, Yulianda (2007) menjabarkan kesesuaian ekowisata bahari merupakan kriteria sumberdaya dan lingkungan yang disyaratkan atau dibutuhkan bagi pengembangan ekowisata.
Keterangan: IKW
= Indeks kesesuaian wisata
Ni
= Nilai parameter ke-i (bobot x skor)
Nmax = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata
2.4. Daya Dukung Ekowisata Bahari Analisis daya dukung diciptakan pada tahun 1960-an sebagai suatu metode untuk menentukan batas-batas pembangunan dengan menggunakan angka,
12
komputerisasi, kalkulasi, dan secara objektif. Hal ini belum cukup sukses dalam mempengaruhi
kebijakan
pemerintah
karena
kompleksitas
parameter-
parameternya dan arena politisi, pengelola, dan administrator enggan untuk mengawali keputusannya dengan komputer. Namun demikian, konsep yang tidak ditentukan yang lebih kualitatif dan partisipatif mengenai daya dukung telah sangat berguna dalam mempengaruhi kontrol pengembangan, terutama pariwisata (Clark 1991 in Hutabarat et al. 2009). Konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal yakni (1) Kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia, dan (2) Keaslian sumberdaya alam. Kedua hal tersebut ditentukan oleh besarnya gangguan yang kemungkinan akan muncul dari kegiatan wisata. Suasana alami lingkungan juga menjadi persyaratan dalam menentukan kemampuan tolerir gangguan dan jumlah pengunjung dalam unit area tertentu. Tingkat kemampuan alam untuk mentolerir dan menciptakan lingkungan yang alami dihitung dengan pendekatan potensi ekologis pengunjung. Potensi ekologis pengunjung adalah kemampuan alam untuk menampung pengunjung berdasarkan jenis kegiatan wisata pada area tertentu. Luas suatu area yang dapat digunakan pengunjung dalam melakukan
aktifitas wisatanya, dipertimbangkan dalam menghitung
kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga dan berkelanjutan (Hutabarat et al. 2009). Bengen dan Retraubun (2006) mendefinisikan daya dukung sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik (makhluk hidup) yang terkandung di dalamnya dan memperhitungkan faktor lingkungan serta faktor lainnya yang berperan di alam. Daya dukung yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan ekowisata antara lain daya dukung ekologis, daya dukung fisik, daya dukung sosial, daya dukung, dan daya dukung ekonomi.
13
2.5. Zonasi Kawasan Ekowisata Zonasi kawasan ekowisata dilakukan untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya dan mempermudah pengelolaan ekowisata. Zonasi atau pola keruangan merupakan pembagian kawasan berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Pola keruangan ekowisata atau zonasi bertujuan untuk melindungi suatu kawasan wisata dari pengunjung wisata. Hal ini untuk melindungi sumberdaya maupun memberikan keragaman pengalaman bagi pengunjung, dan memudahkan sistem pengelolaan ekowisata. Prinsip penetapan zonasi terdiri atas 2; pertama, sumberdaya alam maupun budaya memiliki karakteristik dan toleransi tertentu untuk dapat diintervensi; kedua, pengelola harus dapat melakukan sesuatu untuk memelihara dan mempertahankan karakteristik dan kemampuan tersebut untuk menjamin tercapainya tujuan pengelolaan dari penggunaan saat ini maupun yang akan datang (Basuni 1987 in Solarbesain 2009) Menurut beberapa ahli, zonasi merupakan alat yang paling umum bagi pengelolaan kawasan yang dilindungi untuk memisahkan kawasan yang pemanfaatannya bertentangan, serta untuk pengelolaan kawasan dengan manfaat ganda. Sedangkan Bengen (2002) mengatakan bahwa penetapan zonasi kawasan adalah pengelompokkan areal suatu kawasan ke dalam zona-zona sesuai dengan kondisi fisik dan fungsinya. Zonasi bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi ekologis dan ekonomi ekosistem suatu kawasan sehingga dapat dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan secara berkelanjutan. Beberapa analisis spasial yang dapat digunakan untuk melakukan zonasi kawasan ekowisata antara lain sistem informasi geograsi (SIG) dan Marxan (Marine Reserve Design using Spatially Explicit Annealing). 2.5.1. Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu teknologi baru yang dijadikan alat bantu (tools) esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan
14
data atribut dan data spasial (Prahasta 2004). SIG merupakan tools berbasis komputer yang membantu menampilkan dan menganalisis data secara geografis berdasarkan informasi ruang (Clarke 2001). Menurut Bartlett (1999), SIG merupakan tools ideal untuk perencanaan laut. Dalam beberapa hal dapat menangani data yang begitu banyak, data dapat dibagi dengan mudah, serta menawarkan kemampuan mensimulasi, memodelkan, dan membandingkan strategi sebelum diimplementasikan. SIG sangat potensial untuk memberikan solusi, transparansi kepada pemangku kepentingan (Lewis et al. 2003; Wright et al. 1998). Lyon (2003) menyatakan bahwa penerapan SIG mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis, sehingga teknologi tersebut sering dipakai dalam proses perencanaan landscape. Selain itu pemanfaatan SIG dapat digunakan
untuk
mengevaluasi
kualitas
dan
karakteristik
lahan,
serta
mensimulasikan model-model keruangan. SIG bukanlah suatu sistem yang semata-mata berfungsi untuk membuat peta tetapi merupakan alat analitik yang mampu memecahkan masalah spasial secara otomatis, cepat dan teliti. Hampir semua bidang ilmu yang bekerja dengan informasi keruangan memerlukan SIG di antaranya bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pariwisata, lingkungan, perkotaan, dan transportasi (Jaya 2002 in Solarbesain 2009). SIG telah diaplikasikan pada berbagai disiplin ilmu dan dipandang sebagai tools kunci untuk mendukung pengambilan keputusan spasial dalam lingkungan pesisir dan laut (Canessa dan Keller 2003). SIG digunakan untuk pengembangan kawasan konservasi laut di seluruh dunia (Airame et al. 2003; Lieberknecht et al. 2004; Scholz et al. 2004; Villa et al. 2002; Villa et al. 2002). Analisis SIG juga telah banyak dimanfaatkan untuk zonasi kawasan teresterial (Gole 2003; Hepcan 2000; Trisurat et al. 1990). Sehubungan dengan pemanfaatan SIG dalam bidang pariwisata, Aronnof (1993) in Sigabariang (2008) menyatakan bahwa pemetaan zona kegiatan wisata pesisir dengan SIG, sangat membantu pemerintah daerah dalam menyusun rencana pengembangan wisata pesisir di wilayahnya. Penerapan teknologi SIG bisa menjadi salah satu alternatif untuk pengembangan potensi daerah yang terkait dengan wilayah pesisir yakni ekowisata pesisir.
15
2.5.2. Marxan Marxan (Marine Reserve Design using Spatially Explicit Annealing) atau model rancangan konservasi bahari yang menggunakan pemijaran spasial secara ekplisit; merupakan produk disertasi Phd Ian Ball (2000) dengan supervisi Profesor Hugh Possingham, The Ecology Centre, University of Queensland. Ide yang mendasari pengembangan Marxan adalah adanya masalah dalam menentukan daerah konservasi di daerah yang perencanaan potensialnya yang cukup luas sehingga banyak alternatif lokasi yang dapat dipilih sebagai daerah konservasi. Dengan menggunakan Marxan, diharapkan ada sistem untuk memilih daerah konservasi yang memenuhi kriteria ekologis dan sosial-ekonomi. Marxan dalam hal ini dapat memberikan bantuan dalam menentukan daerah konservasi berdasarkan data dan skenario perencanaan yang telah disiapkan. A. Simulated Annealing Model dan perangkat lunak Marxan bekerja menggunakan algoritma yang disebut dengan simulated annealing, yang terbagi menjadi 3 bagian yaitu iterative improvement,
random
backward
dan
repetition.
Algoritma
ini
dapat
memungkinkan mencari dan menentukan kawasan konservasi dengan total biaya terendah. Total biaya merupakan kombinasi sederhana dari biaya satuan perencanaan terpilih dan nilai penalti (fitur yang tidak memenuhi target), seperti disajikan pada hubungan berikut (modifikasi dari Ball dan Possingham 2000):
Keterangan C
ci
= =
a
=
bi si
= =
pi
=
biaya total kawasan ekowisata terpilih berdasarkan algoritma Marxan biaya yang terpilih di satuan perencanaan (planning unit) ke-i yang dapat diukur, i = 1,2,…,n; n adalah banyaknya satuan perencanaan. boundary length modifier (BLM) atau kontrol penting dari batas biaya relatif terpilih di planning unit. boundary atau batas dari area terpilih/perimeter ke-i species penalty factor (SPF), yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i, apabila target tiap spesies tidak terpenuhi. penalty atau nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektif untuk setiap target tidak terpenuhi pada satuan perencanaan ke-i.
16
Penerapan Algoritma simulated annealing dalam pencarian dan pemilihan kawasan konservasi maka dapat diilustrasikan sebagai berikut: suatu kawasan A memiliki cakupan wilayah yang sangat luas, serta kaya sumberdaya hayati pesisir, diantaranya ekosistem terumbu karang, lamun, mangrove, dugong, penyu, dan ikan hiu. Sumberdaya tersebut tidak terpusat pada satu lokasi tetapi tersebar di hampir seluruh kawasan A. Agar keanekaragaman hayati di kawasan A dapat lestari demi pemanfaatan yang berkelanjutan maka perlu upaya konservasi. Tujuan perancangan kawasan konservasi tersebut adalah untuk memaksimalkan dan mengoptimalkan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di kawasan A dengan biaya pengelolaan terkecil. Untuk mencapai tujuan tersebut maka digunakan Marxan. Dalam menggunakan Marxan, terdapat beberapa tahapan awal yang harus dilakukan antara lain menentukan daerah kajian, sumberdaya hayati yang harus dilindungi (fitur konservasi), biaya pengelolaan (fitur biaya), dan membuat satuan perencanaan. Agar analisis dengan Marxan dapat dijalankan maka fitur konservasi dan fitur biaya dibuat dalam peta tematik, kemudian dimasukkan ke dalam satuan perencanaan. Setiap fitur yang dimasukkan dalam satuan perencanaan akan diberi nilai. Jika semua tahapan telah dilewati maka dilakukan tahap simulasi (iterasi) dengan pengaturan BLM, nilai target, dan nilai SPF tertentu. Misalnya dengan iterasi pertama yang menggunakan BLM, target, dan SPF yang kecil, diperoleh ikan dugong dan ikan hiu tidak terpilih atau terpenuhi dalam solusi perancangan kawasan konservasi. Dalam hal ini, dengan satu kali iterasi masih memiliki kelemahan yaitu lokasi yang terpilih belum tentu merupakan kawasan konservasi yang optimal dengan biaya terendah. Ilustrasi tersebut merupakan penjelasan singkat langkah iterative improvement. Dengan demikian perlu dilakukan iterasi kedua dan seterusnya. Iterasi kedua dilakukan dengan mengatur kembali nilai BLM, target, dan SPF. Biasanya nilai-nilai tersebut lebih besar dari iterasi pertama. Setelah dilakukan analisis, hasil iterasi kedua didapatkan semua sumberdaya telah terpenuhi dalam solusi perancangan kawasan konservasi, total biaya yang dihasilkan pun lebih kecil daripada iterasi pertama. Langkah tersebut merupakan ilustrasi random backward. Untuk lebih memastikan atau meningkatkan
17
kepercayaan bahwa lokasi yang terpilih merupakan solusi dengan total biaya terendah, maka dilakukan pengulangan langkah pertama dan kedua. Langkah ini disebut dengan repetition. B. Summed Solution Marxan memberikan dua keluaran dari setiap analisis; run solusi ‘best’ (satu dengan nilai total biaya paling rendah), dan summed solution yang menunjukan jumlah waktu setiap satuan perencanaan yang termasuk dalam run solution (Loos 2006). Sebagai contoh, jumlah iterasi diatur sampai 100, penjumlahan solusi akan menghasilkan kisaran nilai dari 0 (tidak termasuk dalam run solution) sampai 100 (termasuk dalam seluruh run solution 100). Summed solution dapat terbagi dalam tiga kategori: tinggi, sedang, dan rendah. Satuan perencanaan yang penting memiliki nilai penjumlahan paling tinggi, olehnya itu sangat penting untuk mendapatkan target. Area ini dapat dianggap sebagai hotspot. Karena satuan perencanaan tidak termasuk dalam solusi ‘best’, bukan berarti tidak memiliki nilai. Penting untuk dicatat bahwa unit nilai yang tinggi mungkin menjadi bagian solusi terbaik. Summed solution dianggap berguna karena menyediakan petunjuk kepentingan relatif setiap satuan perencanaan dari pemberian setiap nilai. Penggunaan summed solution menambah fleksibilitas untuk proses seleksi. Ini memberi kesempatan kepada perancang konservasi, termasuk pemangku kepentingan untuk melihat satuan perencanaan yang bernilai tinggi dan satuan perencanaan yang bernilai rendah atau sedang. Ini memberi kesempatan untuk negosiasi dan akhirnya mencapai konsensus selama konsultasi antara pemangku kepentingan. C. Satuan Perencanaan Satuan perencanaan atau planning units adalah blok-blok bangunan dari sistem konservasi, yang dalam evaluasi Marxan dipilih sebagai solusi (Loos 2006). Satuan perencanaan dapat berdasarkan batas alamiah, administrasi, atau fitur yang disepakati (Pressey dan Logan 1998), serta memiliki beberapa bentuk dan ukuran. Satuan perencanaan perlu dibuat untuk membatasi area yang akan dianalisis atau dibuat perencanaan, karena tidak semua area yang ada pada setiap
18
peta-peta parameter konservasi tersebut dipergunakan. Sebagai contoh, area yang akan direncanakan adalah wilayah laut, oleh sebab itu planning units hanya dibuat untuk wilayah tersebut, sementara wilayah daratan (pulau besar atau pulau-pulau kecil) sebaiknya tidak diikutsertakan dalam proses analisis. Ukuran satuan perencanaan juga perlu ditentukan dengan pertimbangan matang. Area yang memiliki keanekaragaman sumberdaya alam yang lebih kompleks membutuhkan ukuran satuan perencanaan yang lebih kecil agar analisisnya lebih detail. Kemudian skala data spasial yang dimiliki perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan ukuran satuan perencanaan (Darmawan dan Andy D 2007). Selain hal itu, ukuran satuan perencanaan juga berhubungan dengan hardware yang digunakan untuk menjalankan program Marxan. Permasalahan skala berkaitan dengan akurasi pemetaaan yang dihasilkan. Sebagai contoh sederhana, misalnya akan dilakukan perencanaan konservasi secara detil untuk area yang sempit, sedangkan data spasial yang digunakan adalah data global, maka keluaran analisis tersebut tidak akan baik karena penentuan ukuran satuan perencanaan yang tidak tepat. Informasi yang ada dari data spasial yang digunakan itu kurang memadai karena informasi yang telah tergeneralisasi. Loos (2006) menyatakan bentuk yang dapat digunakan dalam membentuk planning units dapat berupa segitiga, persegi empat dan heksagon (Gambar 2). Bentuk yang paling banyak digunakan untuk analisis Marxan adalah heksagon. Bentuk dan ukuran satuan perencanaan Marxan disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan aplikasi Marxan umumnya memilih heksagon karena memiliki bentuk yang lebih natural, mendekati bentuk lingkaran dan memiliki rasio tepi yang rendah (Gaselbarcht et al. 2005). Selain itu satuan perencanaan yang menggunakan heksagon memiliki keluaran yang lebih halus dibandingkan dengan bentuk satuan perencanaan lainnya (Miller et al. 2003). Heksagon juga memiliki perimeter yang lebih rendah terhadap luasan dibandingkan dengan persegi empat dengan area yang sama (Warman 2001). Beberapa bentuk satuan perencanaan yang dapat digunakan dalam aplikasi Marxan dapat dilihat pada Gambar 2.
19
Tabel 1 Bentuk dan ukuran satuan perencanaan dari aplikasi Marxan sebelumnya No 1
Area studi Belize (Marine)
2
Channel Island USA (Marine) 3 Irish Sea (Marine) 4 British Columbia Central Coast (Marine) 5 Florida Coast (Marine) 6 Southern Rockies (Terrestrial) 7 Southern Australia (Marine) 8 Florida Coast (Marine) 9 Florida Keys (Marine) 10 South Okanagan, Canada (Terrestrial)
Luas area studi (km2) 59 570
Ukuran unit (km2) 10
Bentuk unit
Referensi
Heksagon
Meerman (2005)
4 294
3.4 (1x1)
Persegi
57 000
24.6
Airamé et al. (2003) Lieberknecht et al. (2004)
22 303
4.9
Heksagon
CIT (2003)
280 356
14.8
Heksagon
165 589
9.8
Heksagon
77 975
25
Persegi
136 014
2.17
Heksagon
9500
1
Persegi
1,568
0.155, 2, dan 10
Heksagon
Geselbracht dan Torres (2005) Miller et al. (2003) Stewart et al. (2003) Oetting and Knight (2005) Leslie et al. (2003) Warman (2001)
Persegi
Sumber : Loos (2006)
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2 Bentuk satuan perencanaan dalam Marxan. (a) segitiga, (b) persegi, (c) heksagon, (d) oktagons. (Sumber: Loos 2006)
20
D. Identifikasi Daerah Prioritas (Target) dan Skenario Identifikasi daerah prioritas (target) dilakukan sebelum analisis, sebagai dasar dalam skenario perencanaan yang hendak dilakukan. Lebih jauh lagi, pada tahap ini target dari masing-masing fitur konservasi ditentukan luasannya. Sebagai gambaran, jika terumbu karang dijadikan target utama dalam perencanaan maka skenario perencanaan fitur ini didefinisikan dengan persentase (%) target yang tinggi, dan nilai SPF yang lebih besar dibandingkan fitur konservasi yang lain. E. Biaya Besarnya biaya yang digunakan dalam analisis dapat ditentukan berdasarkan area satuan perencanaan, biaya sosial-ekonomi atau kombinasi dari keduannya. Miller et al. (2003) in Loos (2006) memberikan nilai biaya berdasarkan tingkatan kewajaran dan pengaruh manusia dalam satuan perencanaan. Dalam penelitian lain, biaya dibuat seragam untuk setiap satuan perencanaan yaitu nilai 1. Dari beragam penelitian di mana biaya ditentukan berdasarkan landasan yang berbedabeda. Hal terpenting adalah biaya yang diberikan untuk setiap satuan perencanaan tersebut harus proporsional. F. Pengubah Panjang Batas Pengubah panjang batas atau boundary length modifier (BLM) merupakan pengaturan dalam Marxan untuk membuat batasan perimeter. Efek pengaturan BLM dapat dilihat dari fitur yang muncul dalam solusi setelah menjalankan Marxan. Loos (2006) menguraikan tinggi rendahnya BLM akan berpengaruh terhadap perimeter dan area yang muncul dalam solusi. Contoh pengaturan BLM disajikan pada Gambar 3. Penggunaan BLM rendah, akan menghasilkan perimeter yang lebih besar (Gambar 3a). Sementara pada penggunaan BLM yang tinggi, areal terpilih akan lebih luas dan terfokus, serta memiliki perimeter yang lebih kecil (Gambar 3c). Dengan BLM yang kecil, algoritma Marxan yang digunakan akan terkonsentrasi meminimalkan biaya satuan perencanaan terpilih sedangkan BLM yang besar akan memberikan tekanan pada penurunan panjang batas (Steward dan Possingham 2005).
21
a)
b)
c) Gambar 3 Pengaturan BLM. a) BLM rendah, b) BLM medium, c) BLM tinggi (Sumber: Loos 2006) Penentuan nilai BLM akan bervariasi dari satu daerah dengan daerah lain. Ardron JA et al. (2002) melakukan ekperimen dengan beberpa nilai BLM yakni 0.111, 0.333, 1.00, dan 3.00. Possingham (2000) menyatakan nilai BLM dipilih bergantung pada keseluruhan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari analisis yang dilakukan. Dengan kata lain, pengaturan BLM dapat dilakukan dengan memperhatikan geometri daerah kajian dan memililih BLM yang dapat menghasilkan fitur solusi yang lebih mengumpul. Pengaturan BLM yang fleksibel ini dapat memberikan keleluasaan para perencana kawasan konservasi dalam menentukan hasil terbaik untuk kegiatan pengambilan keputusan. G. Penalti Ball dan Possingham (2001) menjelaskan penalti yang dibutuhkan sebanding
dengan
panjang
batas
dan
biaya
yang
diperlukan
untuk
mempresentasikan target yang hilang. Faktor yang mengatur besarnya nilai penalti ini dikenal dengan sebutan Species Penalty Faktor (SPF) yang juga dikenal sebagai conservation features penalty faktor (CFPF). SPF adalah faktor
22
yang berkelipatan, didasarkan pada tingkat pentingnya spesies atau fitur konservasi tersebut. Pengaturan SPF dengan nilai yang tinggi akan meningkatkan kemiripan, sehingga fitur konservasi yang menjadi target akan lebih banyak terpenuhi, terutama jika tujuannya untuk menurunkan nilai biaya dalam fungsi objektif (Smith 2005 in Loos 2006). Ball dan Possingham (2001) menjelaskan sejauh ini tidak ada teori yang bisa digunakan sebagai dasar patokan dalam menentukan nilai SPF secara spesifik. Mereka juga menyarankan nilai SPF ini lebih dari 1. Bahkan Smith (2005) menyarankan nilai SPF sebesar 100 untuk lebih memastikan target dapat tercapai. Nilai SPF berkaitan dengan target fitur konservasi di dalam unit perencanaan Marxan. Apabila target untuk suatu fitur konservasi tidak terpenuhi maka nilai SPF perlu ditambah. Jadi nilai penalti hanya dimasukkan ke dalam total biaya apabila target dari suatu fitur konservasi tidak terpenuhi. 2.6. Metode Valuasi Sumberdaya Alam Sumberdaya alam merupakan sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi (Fauzi 2010). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumberdaya alam adalah komponen ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Nilai ekonomi sumberdaya dapat diukur dengan mengestimasi kurva permintaan sumberdaya tersebut (Garrod dan Wills 1999). Pendekatan kurva permintaan ini dibedakan atas dua metode yaitu revealed reference methods dan expressed/states preference methods. Kategori pertama (revealed reference methods) mengeksplorasi data pasar yang ada dan dikaitkan dengan komoditas lingkungan. Teknik valuasi yang masuk ke dalam kategori ini adalah travel cost methods (TCM), hedonic price (HP), averting behavior (AB), dan production fuction (PF). Sementara itu, kategori kedua (expressed/states preference methods) merupakan metode penilaian ekonomi yang pendekatannya lebih memfokuskan pada teknik experimental constructed market melalui teknik penilaian langsung dengan bantuan kuesioner. Salah satu teknik yang dikenal luas dalam kategori ini adalah teknik kontingensi atau Contigent Valuation Methods (CVM).
23
Letson (2002) in Adrianto (2006) menguraikan pendekatan revealed reference lebih sensitif terhadap model ekonometrik yang digunakan, tetapi tidak begitu sensitif pada pengumpulan data. Sebaliknya, expressed/states preference lebih sensitif terhadap pengumpulan data, tetapi tidak terlalu sensitif terhadap pemodelan ekonometrik. Metode penilaian kontingensi dimanfaatkan untuk mengestimasi kesediaan membayar (WTP), ditentukan dengan menggunakan survei wisatawan. CVM adalah suatu cara valuasi barang dan jasa lingkungan di mana salah satu pasar tidak ada atau pasar subtitusi tidak ditemukan. Oleh karena itu, CVM digunakan secara luas untuk mengukur nilai keberadaan/existence values, nilai pilihan/option value, nilai tidak langsung/indirect use values dan non-use value. Metode penilaian kontingensi telah popular dan banyak diterapkan di berbagai negara untuk melihat manfaat dari barang non-market atau proyek yang diberikan kepada masyarakat (Carson dan Hanemann 2005). CVM dilakukan melalui survei dengan wawancara langsung kepada masyarakat terkait berapa besar mereka bersedia membayar untuk barang non-market atau jasa, seperti pelestarian lingkungan atau dampak dari kontaminasi. Seseorang ditanya berapa besar jumlah kompensasi yang mereka inginkan untuk menyerahkan barang dan jasa tersebut. Hal ini disebut penilaian kontigensi karena orang diminta untuk menyatakan kesediaan mereka untuk membayar pada skenario hipotesis tertentu dan deskripsi situasi atau ‘pasar’ di mana barang dan jasa tersedia. CVM tidak hanya digunakan sebagai metode penilaian manfaat lingkungan, benda budaya, pelayanan perawatan kesehatan, serta barang dan jasa publik lainnya, tetapi juga diterima secara luas sebagai suatu teknik penilaian ekonomi (Jun et al. 2010). Adrianto (2006) menguraikan teknik CVM memiliki kelebihan dibanding penggunaan analisis berbasis revealed preference. Alasan pertama, teknik CVM mampu merefleksikan nilai yang secara teoritis diharapkan oleh pendekatan Hicksian Welfrare Measure. Kedua, teknik CVM ini mampu mengestimasi nilai ekonomi dari jasa-jasa lingkungan yang tidak memiliki perilaku pasar. Pengabaian nilai-nilai ini akan mengurangi nilai ekonomi ekosistem secara keseluruhan. Ketiga, CVM merupakan salah satu teknik valuasi yang bersifat partisipatif karena memungkinkan terjadinya diskusi publik. Namun demikian, CVM memiliki
24
kelemahan utama yaitu asumsi bahwa individu atau kelompok individu yang menjadi responden CVM akan berpikir secara rasional dalam menentukan nilai ekonomi sebuah fungsi ekosistem. Padahal dalam kenyataannya tidak semua individu berpikir rasional. Bioshop dan Heberlein (1990) in Rahayu (2010) menjelaskan terdapat enam hal yang perlu diperhatikan agar CVM ini dapat mencapai hasil maksimal, yaitu (1) penentuan populasi yang akan memberikan penilaian, (2) bagaimana suatu komoditas yang dinilai tersebut didefinisikan, (3) bentuk pembayaran (penilaian) apa yang paling sesuai untuk digunakan, (4) bagaimana bentuk penyampaian pertanyaan kepada responden, (5) apa data pelengkap (penunjang) yang dikumpulkan, dan (6) bagaimana data tersebut dianalisis.