ABSTRAK
Nama NIM Fak/Jur Judul
: Abdul Goni Jamal : 106011000044 : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan / Pendidikan Agama Islam : Nilai-nilai Pendidikan Ibadah yang Terkandung dalam Surat alHajj ayat 41
Skripsi ini mengkaji tentang nilai-nilai pendidikan ibadah. Pembahasan skripsi ini dimaksudkan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41. Pendidikan ibadah merupakan proses membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan sifat-sifat yang berguna bagi kehidupan manusia dalam menyempurnakan hakikat kemanusiaannya, semua ini bersumber dari penghambaan diri, penundukan diri, dan penghinaan diri dihadapan sang pencipta.
Untuk memperoleh data yang representatif dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan riset kepustakaan dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca, dan menganalisa buku-buku, ada relevansinya dengan masalah penelitian. Kemudian diolah sesuai dengan kemampuan penulis. Adapun jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah kualitatif. Adapun metode pembahasan tafsir dalam skripsi ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, hadits-hadits dan pendapat para mufassir. Kemudian menganalisa pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan. Nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41 meliputi: Nilai pendidikan ibadah salat dapat meningkatnya kualitas hubungan dengan Allah swt, menjadikan jiwa seorang muslim sebagai jiwa yang kokoh, dan sebagai sarana pengendalian diri bagi seorang muslim. Nilai pendidikan ibadah zakat dapat berkembangnya sifat-sifat terpuji dalam diri muzakki (pemberi zakat) yang berguna bagi lingkungan, menjadi media silaturrahmi dan sarana pembersihan jiwa dan harta, serta penghancur jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Nilai pendidikan ibadah amr ma’ruf dan nahi munkar dapat Bukti identitas Islam dalam suatu lingkungan, filter bagi lingkungan dari setiap hal yang membahayakan lingungan, dan sarana pembeda antara yang haq dan bathil dalam kehidupan.
i
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, sehingga atas segala limpahan karunia dan nikmatnya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan meskipun masih belum sempurna. Shawalat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kedamaian dan rahmat untuk semesta alam. Atas jerih payah beliau kita berada di bawah bendera Islam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini, terselesaikan atas dukungan dari dosen, orang tua, rekan dan lainnya. Banyakanya pihak yang turut mendukung penyelesaiannya, membuat penulis tidak mungkin menyebutkannya satu-persatu, namun di bawah ini akan kami sebutkan mereka yang memiliki andil besar atas terselesaikannya skripsi ini: 1. Kedua Orang Tua penulis (H. Balyah dan Hj. Rohmanah) yang telah merawat dan mendidik dengan penuh kasih sayang secara tulus, mendo’akan dan mencukupi moril dan materil kepada penulis sejak kecil sampai sekarang dan seterusnya (kasih sayang mereka tidak pernah terputus sepanjang hayat), kakak tercinta Hijazi, Kholisah, Bahjah, Cherman, Maimunah serta adikku Qori Amaliah yang selalu mendorong penulis agar skripsi ini dapat segera diselesaikan. 2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M. A, beserta seluruh staffnya. 3. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
bapak Bahrissalim, M.Ag dan
seketaris Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Drs. Sapiuddin Shidiq, MA beserta seluruh staffnya. 4. Bapak Dr. Anshori, M.A, LAL yang telah sabar dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
ii
5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga bapak dan ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat dikemudian hari. 6. Bapak pimpinan beserta para staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakulatas Tarbiyah dan Keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian skripsi ini. 7. Teman-temanku Mahasiswa UIN Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2006 khususnya kelas “B” (Arief selaku editor skripsi penulis, Ansori, Deden, Naseh, Roni, Yudi, Azis), sahabat-sahabat PPMPK serta Ibnu dan Fadhil yang selalu memberikan support dan semangat kepada penulis. Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala dari rahmat Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbal alamin.
Jakarta, 19 Oktober 2010
Abdul Goni Jamal
iii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAKSI
...................................................................................
i
KATA PENGANTAR
...................................................................................
ii
DAFTAR ISI
...................................................................................
iv
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................
1
B. Identifikasi Masalah.........................................
4
C. Pembatasan Masalah...............................................
5
D. Perumusan Masalah.........................................
5
E. Tujuan Penelitian.............................................. 5 F. Manfaat Penelitian ...........................................
6
G. Metode Penelitian.............................................. 6 BAB II
KAJIAN TEORI A. Nilai-nilai Pendidikan
B.
1.
Pengertian Nilai......................................
7
2.
Pengertian Pendidikan...........................
8
3.
Pengertian Pendidikan Islam......................
10
4.
Tujuan Pendidikan Islam............................
11
5.
Dasar Pendidikan Islam...............................
15
Ibadah 1.
Pengertian Ibadah........................................
2.
Dasar hukum Ibadah.............................. 21
3.
Macam-macam Ibadah..........................
24
4.
Ruang Lingkup Ibadah..........................
26
5.
Tujuan Ibadah........................................
27
iv
18
6. BAB III
Hikmah Pelaksanaan Ibadah................
29
TAFSIR AL-QUR’AN SURAT AL-HAJJ AYAT 41 A. Teks Ayat dan Terjemahnya............................ 30 B. Tafsir Ayat.........................................................
BAB IV
30
NILAI-NILAI PENDIDIKAN IBADAH YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-HAJJ AYAT 41 1.
Pendidikan Shalat............................................
37
2.
Pendidikan Zakat.............................................
53
3.
Pendidikan
Amr
Ma’ruf
dan
Nahi 66
Munkar..................................................... BAB V
DAFTAR PUSTAKA
PENUTUP A. Kesimpulan........................................................
77
B. Saran..................................................................
78
...................................................................................
79
v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’anul Karim adalah “mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah swt. kepada Rasulullah, Muhammad saw. untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.”1 Al-Qur’an memuat begitu banyak aspek kehidupan manusia. Tak ada rujukan yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan al-Qur’an yang hikmahnya meliputi seluruh alam dan isinya, baik yang tersurat maupun yang tersirat, serta tak akan pernah habis untuk digali dan dipelajari. Ketentuanketentuan hukum yang dinyatakan dalam al-Qur’an dapat diberlakukan dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun, selama tidak ada larangan atau hambatan bagi umat Islam untuk melaksanakannya. Al-Qur’an sebagai ajaran suci umat Islam, di dalamnya berisi petunjuk menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, tinggal bagaimana manusia memanfaatkannya. Menanggalkan nilai-nilai yang ada di dalamnya berarti 1
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, penerjemah. Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), Cet. IX, h. 1.
1
2
menanti datangnya masa kehancuran. Sebaliknya, kembali kepada al-Qur’an berarti mendambakan ketenangan lahir dan batin, karena ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an berisi kedamaian. Al-Qur’an mengandung tiga hal: 1.
Yang berkaitan dengan iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasulrasul dan hari akhir. Pembahasan ini terdapat dalam ilmu kalam (tauhid) atau disebut juga ilmu ushûl al-dîn.
2.
Yang berkaitan dengan gerak-gerik hati dan sifat yang mengandung anjuran untuk memperindah akhlak. Pembahasan ini terdapat dalam ilmu akhlak.
3.
Yang berkaitan dengan anggota badan, di antaranya yang berbentuk perintah-perintah untuk dilaksanakan, larangan-larangan untuk dijauhi dan yang berbentuk pilihan. Masalah ini merupakan pembahasan para fuqahâ.2 Dari penjelasan tentang kandungan al-Qur’an yang telah dijelaskan oleh
Syaikh
Muhammad
Hudory,
penulis
berasumsi
bahwa
al-Qur’an
mengkhususkan pada tiga aspek: 1) Berkaitan dengan masalah ketauhidan. Seperti pengenalan tentang sifatsifat ketuhanan, meyakini adanya malaikat, mempercayai para rasul, mempercayai kepada kitab-kitab Allah, mempercayai adanya hari akhir, serta mempercayai kepada qada dan qadar. 2) Berkaitan dengan masalah akhlak. Antara lain menjunjung kehormatan kaum Muslimin, taubat, husn al-zhan (positive thinking) kepada orang lain, serta amr ma’ruf nahi munkar. 3) Berkaitan dengan masalah ibadah. Seperti salat, zakat, puasa, serta haji. Sebagai salah satu contoh tentang nilai-nilai al-Qur’an tersebut diatas dapat ditemukan dalam surat al-Hajj/22 ayat 41.
2
Syaikh Muhammad Hudory, Tarikh Tasyri Islami, (Bairut: Darl Fiqr, 1981), Cet. 7, h. 16.
3
“Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al-Hajj/22: 41) Di dalam ayat ini terdapat nilai-nilai ibadah yang bisa dijadikan sandaran bagi umat Islam dalam melangsungkan kehidupan ibadahnya. Nilai-nilai tersebut berupa salat, zakat, dan amr ma’ruf dan nahi munkar. Tentunya dalam memahami ayat ini agar dapat dipergunakan dalam kehidupan seharihari diperlukan adanya proses memahami atau yang biasa disebut dengan proses pembelajaran. Proses pembelajaran itu sendiri tidak mungkin dilakukan tanpa adanya komponen-komponen pendukung seperti orang yang berusaha memahami, orang yang memberikan pemahaman, dan sesuatu yang akan dipahami. Semua proses pembelajaran ini jika dilakukan dengan tanpa adanya paksaan maka dapat disebut pendidikan. Memang dalam ayat ini tidak tertuang kalimat “pendidikan” secara tersurat. Akan tetapi secara tersirat, ayat ini memberikan indikasi adanya pendidikan. Pendidikan yang dimaksud adalah “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”3 Dengan definisi pendidikan yang telah disebutkan, maka jelaslah bahwa dalam pelaksanaan suatu ibadah memerlukan pendidikan. Karena tidak mungkin seseorang langsung dapat melaksanakan suatu ibadah tanpa adanya pendidikan atau dalam hal ini usaha secara sadar untuk mengetahui hal-hal yang dibutuhkan dalam terlaksananya ibadah tersebut. Setelah terjadinya proses pendidikan ibadah yang kemudian diiringi dengan pengamalan, otomatis akan muncul nilai-nilai dari pelaksanaan ibadah tersebut.
3
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 3.
4
Namun nampaknya melihat fenomena yang terjadi di dalam kehidupan umat manusia pada zaman sekarang ini sudah jauh dari nilai-nilai al-Qur’an yang telah disebutkan dalam surat al-Hajj ayat 41. Akibatnya bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai tersebut banyak terjadi di setiap lapisan masyarakat muslim. Hal ini dapat terlihat dari berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat, seperti menganggap remeh ibadah, kurangnya rasa saling menghormati orang lain, dan pelanggaran hukum-hukum syariat lainnya. Hal ini terjadi disebabkan karena minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya arti ibadah tersebut. Sebagaimana pengertian ibadah dalam Kamus Istilah Fiqih, “ibadah yaitu memperhambakan diri kepada Allah dengan taat melaksanakan segala perintah dan anjuran-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya karena Allah semata; baik dalam bentuk kepercayaan, perkataan maupun perbuatan. Orang beribadah berusaha melengkapi dirinya dengan perasaan cinta, tunduk dan patuh kepada Allah swt.”4 Untuk itu, diperlukan upaya strategis untuk memulihkan kondisi tersebut dengan cara menumbuhkembangkan kembali rasa cinta terhadap nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam al-Qur’an. Karena dengan adanya rasa cinta terhadap hal tersebut, maka akan tumbuh kesadaran untuk menerapkan nilai-nilai pendidikan ibadah dalam setiap aspek kehidupan. Dari latar belakang diatas, penulis berpendapat bahwa kurangnya penerapan nilai-nilai pendidikan ibadah menjadi salah satu faktor penyebab merosotnya moral masyarakat muslim. Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, maka penulis mengangkat permasalahan tersebut dan dituangkan ke dalam skripsi dengan judul: “Nilai-nilai Pendidikan Ibadah yang Terkandung dalam Surat Al-Hajj ayat 41.”
4
109.
M. Abdul Majieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), Cet. 2, h.
5
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
di
atas,
maka
penulis
mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu: 1.
Nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41.
2.
Penerapan nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat alHajj ayat 41.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini yaitu: nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41. Nilai-nilai pendidikan tersebut meliputi: 1.
Nilai pendidikan ibadah salat yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41.
2.
Nilai pendidikan ibadah zakat yang terkandung dalam surat a-Hajj ayat 41.
3.
Nilai pendidikan ibadah amr ma’ruf nahi munkar yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41.
D. Perumusan Masalah Untuk memudahkan dalam perumusan masalah penulisan skripsi ini, penulis bertitik tolak dari pembatasan masalah di atas. Maka penulis dapat merumuskan masalah yaitu: “nilai-nilai pendidikan ibadah apa saja yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41?” E. Tujuan Penelitian Dari perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah: 1.
Penulis ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan ibadah salat yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41
2.
Penulis ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan ibadah zakat yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41
6
3.
Penulis ingin menjelaskan nilai-nilai pendidikan ibadah amr ma’ruf nahi munkar yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41
F. Manfaat Penelitian Dalam penelitian skripsi ini, penulis memberikan beberapa manfaat dalam penelitian ini yaitu: 1.
Hasil penelitian ini sedikit banyaknya dapat menambah kontribusi dalam ilmu pengetahuan khususnya di bidang tafsir.
2.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi para pembaca.
3.
Hasil penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindak lanjuti oleh penulis berikutnya.
G. Metode Penelitian 1.
Teknik Pengumpulan Data Dalam skripsi ini, penulis menggunakan riset kepustakaan, yaitu dengan menggunakan al-Qur’an dan tafsirannya sebagai sumber utama dalam penulisan dalil-dalil yang berkaitan dengan pembahasan skripsi seperti: Tafsir al-Misbah, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Azhar dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, serta buku-buku ilmiah yang relevan sebagai sumber penulisan skripsi.
2.
Metode Penelitian Adapun metode pembahasan tafsir dalam skripsi ini adalah metode deskriptif analisis yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayat-ayat alQur’an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, hadits-hadits dan pendapat para mufassir. Kemudian menganalisa pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.
3.
Teknik Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang disusun oleh Aziz Fachrurrozi, dkk.
BAB II KAJIAN TEORI A. Nilai-nilai Pendidikan 1.
Pengertian Nilai Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.”1 Selanjutnya, di dalam buku Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Mohammad Noor Syam menyatakan bahwa: “nilai ialah suatu penetapan atau suatu kualitas sesuatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.”2 Lebih lanjut dikatakan bahwa: “nilai itu sungguh-sungguh ada dalam arti bahwa ia praktis dan efektif di dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara objektif di dalam masyarakat. Nilai-nilai itu sungguh suatu realita dalam arti bahwa ia valid sebagai suatu cita-cita yang benar yang berlawanan dengan cita-cita yang palsu atau bersifat khayali.”
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. II, h. 783. 2 Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), h. 133.
7
8
Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika dan moral bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah Nabi saw. yang kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan situasional.3 Dari definisi-definisi di atas, penulis menyimpulkan nilai ialah sifat-sifat yang berguna bagi kehidupan manusia dalam menyempurnakan hakikat kemanusiaannya yang hal tersebut merupakan sebuah ketetapan yang didapat dari sebuah objek dalam segala jenis minat atau apresiasi. 2.
Pengertian Pendidikan Pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan “me-” sehingga menjadi mendidik, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.4 Sedangkan arti pendidikan menurut istilah yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan beraneka ragam. Di antaranya sebagai berikut: Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang atau usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, dan perbuatan mendidik.”5 Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1, dinyatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
3
Said Agil Husin Al-Munawwar, Aktualisasi Nila-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, ( Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), Cet. II, h. 3. 4 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Pustaka, 1997), h. 10. 5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 263.
9
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”6 Sementara
Ahmad
Tafsir
mendefinisikan
pendidikan
adalah
“pengembangan pribadi dalam semua aspeknya.” Dengan penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati. Jelasnya pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal.7 Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.8 M. Ngalim Purwanto mendefinisikan pendidikan adalah “segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.” Atau lebih jelas lagi, pendidikan ialah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat.9 M. Alisuf Sabri dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Pendidikan mengemukakan berbagai pengertian pendidikan dari para ahli didik, yaitu: 1. Lengeveld: Mendidik ialah mempengaruhi anak dalam upaya membimbingnya agar menjadi dewasa. Usaha membimbing haruslah usaha yang disadari dan dilaksanakan dengan sengaja. Oleh karena itu pendidikan hanya terdapat dalam pergaulan yang disengaja antara orang dewasa dengan anak yang diarahkan kepada tujuan pendidikan. 6
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 3. 7 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. II, h. 26-27. 8 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1989), Cet. VIII, h. 19. 9 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. XVII, h. 10.
10
2. Hoogveld: Mendidik ialah membantu anak supaya ia cukup cakap menyelenggarakan tugas hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri. 3. SA. Branata, dkk: Pendidikan ialah usaha yang disengaja diadakan, baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung, untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan. 4. Ki Hajar Dewantara: Mendidik ialah menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.10 Berdasarkan keseluruhan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh si pendidik untuk perkembangan jasmani dan rohani peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan menuju terbentuknya kepribadian yang bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya yang akan datang. Dengan demikian di dalam pendidikan terdapat beberapa unsur, di antaranya: 1. Usaha; usaha itu bersifat bimbingan dan dilakukan secara sadar, 2. Ada pendidik, 3. Ada yang dididik, 4. Bimbingan mempunyai dasar dan tujuan, dan 5. Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan. Dari definisi di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, nilainilai pendidikan atau nilai-nilai dalam pendidikan adalah sifat-sifat atau halhal yang penting atau berguna bagi manusia untuk perkembangan jasmani dan rohani melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang dapat mengarahkan potensi personal manusia tersebut menuju terbentuknya kepribadian yang bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya yang akan datang. 3.
Pengertian Pendidikan Islam Definisi pendidikan secara umum di atas telah mendapatkan atribut Islam sehingga menjadi pendidikan Islam. Pendidikan yang sebagaimana telah disebutkan definisinya dengan pendidikan Islam mempunyai perbedaan. 10
M Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 6.
11
Perbedaan tersebut antara lain pada tujuan pendidikan secara khusus, yaitu pendidikan pada umumnya bertujuan kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan Islam adalah “suatu bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam, menuju kepada terbentuknya kepribadian utama. Kepribadian utama menurut Islam tersebut adalah peribadi yang memiliki nilai-nilai agama Islam, bertanggung jawab dan sejalan dengan pedoman alQur‟an serta hadits.” Demikian Ahmad D. Marimba mendefinisikan pendidikan Islam. Dan tampaknya dalam proses pendidikan Islam ini ia menekankan pada aspek pembentukan akhlak. Zuhairini dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah “usaha yang diarahkan pada pembentukan kepribadian seseorang yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam dapat berfikir, membuat suatu keputusan dan bertindak berdasarkan nilai-nilai Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan nilainilai Islam pula.”11 M. Arifin berpendapat, pendidikan Islam adalah “sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseoranguntuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.”12 Sedangkan bagi Ahmad Tafsir, pendidikan Islam ialah “bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.”13 Atau dengan kata lain bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin. 4.
Tujuan Pendidikan Islam Tujuan pendidikan agama Islam secara umum adalah ”meningkatkan keimanan, pemahaman, pengetahuan, pengalaman peserta didik tentang agama Islam. Sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertakwa
11
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), h. 290. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta :Bumi Aksara, 2000), h. 10. 13 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspekti Islam..., h. 32. 12
12
kepada Allah swt serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama dan negara.14 Secara khusus pendidikan Islam sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup yang telah digariskan oleh al-qur‟an, paling tidak mempunyai dua tujuan: 1. Tujuan keagamaan, maksudnya ialah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah SWT yang diwajibkannya. 2. Tujuan ilmiah, maksudnya ialah apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.15 Menurut al-Syaibani, beliau menjabarkan tujuan pendidikan Islam menjadi tiga tujuan, yaitu: 1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani, dan kemampuankemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat. 2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan dalam kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat. 3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.16 Zuhairini mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan agama islam adalah membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman teguh, beramal saleh serta berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat, agama dan negara.17 Tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan yang sesuai dengan syari‟at Islam, serta mengisi tugas
14
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), Cet III,
h. 79. 15
Departemen Agama RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), h. 3. 16 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam..., h. 49. 17 Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 45.
13
kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan utama pendidikannya. Secara praktis Muhammad Athiyah al-Abrasyi, menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam terdiri atas 5 sasaran, yaitu : 1. Membentuk akhlak mulia 2. Mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat 3. Persiapan untuk mencari rizki dan memelihara segi kemanfaatannya 4. Menumbuhkan semangat ilmiah dikalangan peserta didik 5. Mempersiapkan tenaga profesional yang terampil.18 Imam al-Ghazali, sebagaiman dikutip Zainuddin dalam buku seluk-beluk pendidikan dari al-ghazali, memandang dan membagi tujuan-tujuan pendidikan menjadi tiga aspek, yaitu 1. Aspek keilmuan, yang bertujuan agar manusia senang berfikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga menjadi manusia yang cerdas dan terampil. 2. Aspek kerohanian, yang menghantarkan manusia agar berakhlak mulia dan kepribadian yang kuat. 3. Aspek ke-Tuhanan, yang mengantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Abdullah al-Misri secara secara lebih spesifik memberikan poin-poin sebagai tujuan pendidikan Islam : 1. Memperkenalkan kepada generasi muda tentang aqidah Islam, dasar ibadah dan pelaksanaannya dengan benar sehingga mereka dapat menghormati agamanya sendiri. 2. Menumbuhkan kesadaran agama yang benar kepada diri seseorang mengenai agama termasuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar akhlak yang mulia. 3. Menanamkan keimanan kepada Allah, malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab dan hari akhir berdasarkan pada kesadaran yang benar. 4. Menumbuhkan minat generasi muda untuk menambah pengetahuan dalam adab dan pengetahuan keagamaan dan untuk mengikuti hukum-hukum agama dengan kecintaan dan kerelaan.
18
Muhammad Athiyah al-Abrasi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, penerjemah. Bustami A. gain dan Djohal Bahry, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 1-4.
14
5. Menanamkan rasa cinta dan penghargaan pada al-qur‟an dengan membacanya secara baik, memahaminya, dan mengamalkan ajaranajarannya. 6. Menumbuhkan rasa bangga pada sejarah dan kebudayaan islam dan syuhada serta mengikuti jejak mereka. 7. Menumbuhkan rasa senang, optimis, kepercayaan diri, tanggung jawab, menghargai kewajiban, tolong menolong atas kebaikan dan takwa, kasih sayang, cinta kebaikan, sabar, berjuang untuk kebaikan, memgang teguh prinsip, berkorban untuk islam dan tanah air, serta siap untuk membelanya. 8. Mendidika naluri, motivasi, dan keinginan generasi muda serta menguatkannya dan nilai-nilai, membiasakan mereka menahan emosi dan menyuburkan motivasinya, serta mengajarkan adab sopan santun. 9. Menanamkan iman yang kokoh kepada Allah, semangat keagamaan dan akhlak pada diri mereka. Serta menanamkan rasa cinta, zikir, takwa dan takut kepada Allah 10. Membersihkan hati mereka dari rasa dengki, benci kekerasan, tipuan, khianat, nifak, ragu, perpecahan dan perselisihan.19 Dalam hal ini Abuddin Nata mencoba memberikan cirri-ciri tujuan pendidikan Islam. Antara lain adalah : 1. Mengarahkan manusia agar mejadi khalifah Tuhan di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi sesuai dengan kehendaknya. 2. Mengarahkan manusia agar setiap pelaksanaan tugas kekhalifahannya dilaksakan dalam rangka beribadah kepada Allah sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan. 3. Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga fungsi kekhalifahannya tidak disalah gunakan. 4. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani manusia agar memiliki keterampilan, ilmu, serta akhlak sebagai pendukung tugas kekhalifahannya. 5. Mengarahkannya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.20 Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah: 1. Membimbing dan membentuk manusia menjadi hamba Allah yang saleh, teguh imannya, taat beribadah dan berakhlak mulia.
19
Abdullah al-Misri, Lamhah Fi Wasail At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Gayatuha, (Beirut : Daar al-fikri), h. 245. 20 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 53.
15
2. Membina dan mengarahkan manusia supaya bertakwa serta dapat menunaikan hak-hak Allah, sebagai wujud pengabdiannya dalam tugasnya sebagi khalifah di bumi. 3. Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang dapat digunakan guna menunjang kehidupan dan tugas kekhalifahannya. 4. Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat 5.
Dasar Pendidikan Islam Dasar secara bahasa, berarti asas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu (pendapat, ajaran, aturan).21 lebih lanjut dikatakan bahwa, dasar adalah landasan berdirinya sesuatu. Fungsi adalah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu.22 Pendidikan Islam sebagai aktivitas yang
bergerak dalam bidang
pendidikan dan pembinaan kepribadian tertentu memerlukan dasar atau landasan kerja untuk memberi arah bagi programnya. Dasar ilmu pendidikan Islam adalah Islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada alQur‟an dan as-Sunnah Rasulullah saw dan ijtihad (hasil pikir manusia). Dasar inilah yang membuat ilmu pendidikan ini disebut sebagai ilmu pedidikan Islam. Tanpa dasar ini, maka tidak akan ada ilmu pendidikan Islam. 1. Al-Qur’an Al-Qur‟an ialah firman Allah berupa wahwu yang disampaikan oleh malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut akidah, dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari‟ah.23
21
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, kamus..., h. 121. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), Cet. I, h. 12. 23 Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Cet. III, h. 21. 22
16
Nabi Muhammad sebagai pendidik pertama, (pada masa awal pertumbuhan Islam) telah menjadikan al-Qur‟an sebagai sumber pokok serta dasar pendidikan Islam. Kedudukan al-Qur‟an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat al-Qur‟an itu yang berbunyi : surat Al-Alaq 1-5
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Al-Qur‟an diperuntukkan bagi manusia untuk dijadikan sebagai pedoman hidupnya. Sebab pada dasarnya al-Qur‟an banyak membahas tentang berbagai aspek kehidupan manusia, dan pendidikan merupakan tema terpenting yang dibahasnya. Setiap ayatnya merupakan bahan baku bangunan pendidikan yang dibutuhkan manusia. Hal ini tidak aneh mengingat al-Qur‟an merupakan kitab hidayah, dan seseorang bisa memperoleh hidayah tiada lain atas kehendak Allah, karena pendidikan yang benar serta ketaatannya. Menurut M. Quraish Shihab, al-Qur‟an secara garis besar mempunyai tiga tujuan pokok, diantaranya : 1. Petunjuk aqidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan, dan kepastian akan adanya hari pembalasan. 2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif. 3. Petunjuk mengenai syari‟ah dan hukun dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat
17
“Al-Qur‟an adalah petunjuk bagi seluruh manusia kejalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat” 24 2. Al-Sunnah Dasar yang kedua setelah al-Qur‟an ialah al-Sunnah Rasulullah saw, amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah dalam proses perubahan sikap hidup sehari-hari tersebut menjadi dasar utama pendidikan Islam setelah al-Qur‟an, karena Allah telah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi umatnya, sebagaimana firmannya dalam surah al-Ahzab ayat 21 berikut ini:
”Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Al-sunnah menurut bahasa artinya jalan; baik terpuji maupun tercela. Sedang kan menurut istilah ahli hadis, ”sunnah ialah segala yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, taqrir, pengajaran, sifat, keadaan, maupun perjalanan hidup beliau: baik yang berupa yang demikian itu terjadi sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul”.25 3. Ijtihad Ijtihad yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syariat Islam untuk menetapkan atau menentukan suatu syariat Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh alQur‟an dan as-Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada al-Qur‟an dan as-Sunnah.26 Ijtihad dalam bidang pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur‟an dab as-sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan 24
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1997), Cet. XXVI, h. 40. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1994), Cet. II, h. 12. 26 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumu Aksara, 1996), Cet. III, h. 21. 25
18
Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhiubungan langsung dengan kebutuhan hidup manusia, pada kondisi dan situasi tertentu. Teoriteori pendidikan baru dari hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup. Dengan demikian, untuk melengkapi dan merealisasikan ajaran Islam itu memang sangat dibutuhkan ijtihad. Sebab globalnya al-Qur‟an dan sunnah belum menjamin tujuan pendidikan Islam tercapai. Dalam hal ini, pemikiran para ahli pendidikan muslim adalah salah satu bentuk ijtihad dibidang pendidikan yang bisa dijadikan salah satu rujukan bagi kaum muslimin dalam bidang pendidikan Islam. B. Ibadah 1.
Pengertian Ibadah Ibadah mengandung banyak pengertian berdasarkan sudut pandang para ahli dan maksud yang dikehendaki oleh masing-masing ahli. Dalam hal ini penulis melihat pengertian ibadah yang dikemukakan oleh berbagai ahli. Secara etimologi "kata „ibadah‟ diambil dari bahasa Arab yang berarti beribadah atau menyembah".27 Pengertian ibadah yang lebih mencakup segala esensinya dirumuskan oleh para ulama secara terminologi adalah:
"Ibadah adalah suatu nama (konsep) yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan maupun berbentuk perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi (dalam batin)".28 Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana yang beliau kutip dari Abu al-A‟la alMaududi, berpendapat bahwa ibadah ialah “rasa tunduk seseorang kepada
27
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 886. 28 Baihaqi, Fiqih Ibadah, (Bandung: M2S Bandung, 1996), Cet. I, h. 11.
19
orang lain karena kebesaran dan kegagahannya, kemudian ia membatasi kemerdekaan dan kebebasan dirinya, serta patuh secara mutlak kepadanya.”29 Di dalam Kamus Istilah Fiqih, “ibadah yaitu memperhambakan diri kepada Allah dengan taat melaksanakan segala perintah dan anjuran-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya karena Allah semata; baik dalam bentuk kepercayaan, perkataan maupun perbuatan. Orang beribadah berusaha melengkapi dirinya dengan perasaan cinta, tunduk dan patuh kepada Allah swt.”30 Menurut Abu Ahmadi dan Noor Salim dalam bukunya Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, pengertian ibadah terbagi kepada dua yaitu: 1. Ibadah secara umum berarti ibadah yang mencakup perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah swt yang dilakukan dengan ikhlas untuk mendapat rida Allah swt. 2. Ibadah secara khusus ibadah adalah perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah swt dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. atau disebut ritual, seperti: salat, zakat, puasa, dan lain-lain.31 Secara menyeluruh kita dapat memahami bahwa ibadah itu ialah penghambaan diri, penundukan diri, dan penghinaan diri dihadapan sang pencipta baik secara ucapan, perbuatan, dan gerak-gerik hati pada saat sendiri maupun di keramaian, yang diiringi dengan rasa ikhlas, rida, dan cinta dengan apa yang Ia perintahkan untuk dilaksanakan dan menjauhi apa pun yang Ia larang. Kata ibadah diartikan berbeda menurut pandangan para ahli dalam bidangnya masing-masing : a. Pengertian ibadah menurut ahli bahasa Ahli bahasa mengartikan dengan: taat, menurut, mengikut, tunduk. Dan mereka mengartikan juga dengan: tunduk yang setinggi-tingginya, dan dengan doa. b. Pengertian ibadah menurut ulama Tauhid 29
Yusuf al-Qardhawi, Ibadah dalam Islam, penerjemah. Umar Fanani, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1998), h. 37. 30 M. Abdul Majieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih..., h. 109. 31 Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), Cet. IV, h. 240.
20
Ulama tauhid mengartikan ibadah dengan:
"Meng-Esakan Allah, menta'zhimkan (mengagungkan)-Nya dengan sepenuh hati ta'zhim serta menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kita kepada-Nya (menyembah Allah sendiri-Nya)".32 Dalam pengertian ini, ibadah ialah mengesakan yang disembah, diyakini dengan keyakinan bahwa Dialah Yang Mahaesa, baik secara zat, sifat, dan perbuatan. c. Pengertian ibadah menurut ulama Akhlak Ulama akhlak mengartikan ibadah dengan :
"Mengerjakan segala taat badaniah dan menyelenggarakan segala syari'at (hukum)". Dalam pengertian ini, masuk akhlak (budi pekerti) dan masuk pula segala tugas hidup (kewajiban-kewajiban yang diwajibkan atas seorang pribadi), baik mengenai diri sendiri maupun mengenai keluarga dan masyarakat bersama. d. Pengertian ibadah menurut ulama Tasawuf Adapun ulama tasawuf mengartikan ibadah dengan:
"Seorang mukallaf mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan nafsunya untuk membesarkan Tuhannya". Dalam pengertian ini, ibadah ialah kemampuan seorang muslim yang sudah menjadi mukallaf untuk meninggalkan apa yang diinginkan oleh hawa nafsunya karena mengagungkan Allah swt. Pengertian ibadah menurut pengertian ahli tasawwuf terbagi tiga: 1. Beribadah kepada Allah karena mengharap benar akan memperoleh pahala-Nya atau karena takut akan siksa-Nya.
32
Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau dari segi Hukum dan Hikmah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), h. 1-2.
21
2. Beribadah kepada Allah karena memandang bahwa ibadah itu mulia, dilakukan oleh yang mulia jiwanya. 3. Beribadah kepada Allah karena memandang bahwa Allah berhak disembah, dengan tidak mempedulikan apa yang akan diterima, atau diperoleh dari pada-Nya. e. Pengertian ibadah menurut ulama Fuqaha : Dalam pengertian fuqaha, ibadah itu adalah :
"Segala taat yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat". Dalam pengertian ini, ibadah ialah segala jenis ketaatan yang dilaksanakan dengan tujuan mendapatkan rida Allah Taala serta mengharap pahala yang Allah berikan di akhirat nanti.33 Dari
kelima
pengertian
ibadah
menurut
para
ahli,
penulis
menyimpulkan ibadah ialah mengikuti, menurut, serta tunduk dengan seluruh jiwa dan raga dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya serta meyakini dengan sepenuh hati terhadap keesaan Allah swt dalam segala hal, di antaranya yang berkaitan dengan akhlak dan kewajiban sebagai seorang pribadi dan seorang yang bermasyarakat, walaupun semua perintah dan larangan itu bertentangan dengan keinginan hawa nafsu. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan keridaan Allah swt dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat kelak. Secara
menyeluruh
penulis
memahami
bahwasanya
nilai-nilai
pendidikan ibadah itu ialah proses membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan sifat-sifat yang berguna bagi kehidupan manusia dalam menyempurnakan hakikat kemanusiaannya. Semua ini bersumber dari penghambaan diri, penundukan diri, dan penghinaan diri di hadapan Sang Pencipta. 2.
Dasar Hukum Ibadah
33
Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah..., h. 2-5.
22
Ibadah sangat memperhatikan penataan individual dan sosial yang membawa penganutnya pada pemelukan dan pengaplikasian Islam secara komprehensif. Agar penganutnya mampu memikul amanat yang dikehendaki Allah, ibadah harus kita maknai secara rinci. Karena itu, keberadaan dasar hukum ibadah harus merupakan sumber utama Islam itu sendiri, yaitu alQur‟an dan al-Sunnah. a. Al-Qur‟an Menurut bahasa al-Qur‟an adalah yang dibaca. Hal ini karena al-Qur‟an sebagai sumber utama ajaran Islam hanya dapat diketahui hukum-hukum dan ajaran yang terkandung di dalamnya dengan jelas dibaca. Sedangkan menurut istilah, al-Qur‟an ialah “kalam Allah, yang mengandung mukjizat dan diturunkan kepada Rasulullah dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasinya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nâs.”34 Di dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menyatakan perintah kepada hamba Allah untuk melaksanakan ibadah. Ibadah dalam Islam sebenarnya bukan bertujuan supaya Tuhan disembah dalam arti penyembahan yang terdapat dalam agama-agama primitif, melainkan sebagai perwujudan rasa syukur atas nikmat yang telah dikaruniakan Allah atas hamba-hamba-Nya. Adapun ayat-ayat yang menyatakan perintah untuk melaksanakan ibadah tersebut di antaranya dalam al-Qur‟an surat alBaqarah/2 ayat 21 yang berbunyi:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah/2: 21)
34
. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh , (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. II, h. 20.
23
Di dalam al-Qur‟an terdapat penjelasan bahwa penciptaan manusia oleh Allah tidak mengandung maksud lain kecuali supaya mereka menyembah Allah atau beribadah kepada-Nya. Hal ini disebutkan dalam al-Qur‟an surat Al-Dzâriyât/51 ayat 56 yang berbunyi:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat/51: 56) Dari dua ayat tersebut jelas tergambar program yang sudah Allah swt. tetapkan untuk manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya adalah beribadah, atau dengan kata lain menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan Allah dalam keadaan suka maupun duka. b. Al-Sunnah Setelah al-Qur‟an, Islam menjadikan al-Sunnah sebagai dasar hukum ibadah. Secara harfiah, al-Sunnah berarti jalan, metode, dan program. Sedangkan secara istilah, al-Sunnah adalah “sejumlah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih, baik itu berupa perkataan, perbuatan, peninggalan, sifat, pengakuan, larangan, hal yang disukai dan dibenci, peperangan, tindak-tanduk, dan seluruh kehidupan Nabi saw.”35 Dalam dunia pendidikan, al-Sunnah memiliki dua manfaat pokok. 1. Al-Sunnah mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan Islam sesuai dengan konsep al-Qur‟an, serta lebih merinci penjelasan al-Qur‟an. 2. Al-Sunnah dapat menjadi contoh yang tepat dalam penentuan metode pendidikan. Misalnya, kita dapat menjadikan kehidupan Rasulullah saw. dengan para sahabat atau pun anak-anak sebagai sarana penanaman keimanan. Adapun hadits yang menyatakan perintah untuk melaksanakan ibadah, di antaranya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
35
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, penerjemah. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. I, h. 31.
24
“Dari Muaz bin Jabal berkata: aku pada suatu hari, menemani Nabi saw diatas keledainya. Kemudian, ia berkata: “Hai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba dan apa hak hamba atas Allah?” Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi saw berkata: “Hak Allah atas hamba adalah bahwa mereka menyembah-Nya (beribadah kepada-Nya) sendirinya dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya. Dan hak hamba atas Allah, bahwa Dia tidak mengazab orang yang tidak musyrik terhadap-Nya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).36 3.
Macam-macam Ibadah Pembagian ibadah menurut Hasby Ash Shiedieqy berdasarkan bentuk dan sifat ibadah terbagi kepada enam macam : 1. Ibadah-ibadah yang berupa perkataan dan ucapan lidah, seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir, taslim, doa, membaca hamdalah oleh orang yang bersin, memberi salam, menjawab salam, membaca basmalah ketika makan, minum dan menyembelih binatang, membaca al-Qur‟an dan lainlain. 2. Ibadah-ibadah yang berupa perbuatan yang tidak disifatkan dengan sesuatu sifat, seperti berjihad di jalan Allah, membela diri dari gangguan, menyelenggarakan urusan jenazah. 3. Ibadah-ibadah yang berupa menahan diri dari mengerjakan sesuatu pekerjaan, seperti puasa, yakni menahan diri dari makan, minum dan dari segala yang merusakan puasa. 4. Ibadah-ibadah yang melengkapi perbuatan dan menahan diri dari sesutu pekerjaan, seperti i’tikaf (duduk di dalam sesuatu rumah dari rumah-rumah Allah), serta menahan diri dari jima‟ dan mubasyarah, haji, tawaf, wukuf di Arafah, ihram, menggunting rambut, mengerat kuku, berburu, menutup muka oleh para wanita dan menutup kepala oleh orang laki-laki. 5. Ibadah-ibadah yang bersifat menggugurkan hak, seperti membebaskan orang-orang yang berhutang, memaafkan kesalahan orang, memerdekakan budak untuk kaffarat. 6. Ibadah-ibadah yang melengkapi perkataan, pekerjaan, khusyuk menahan diri dari berbicara dan dari berpaling lahir dan batin untuk menghadapiNya.37
36 37
Baihaqi, Fiqih Ibadah..., h. 12. Hasby Ash-Shiedieqy, Kuliah Ibadah..., h. 19.
25
Di dalam buku Fiqih Ibadah karangan Baihaqi, beliau membagi Ibadah ke dalam empat macam berdasarkan:1. Khusus-umum, 2. Pelaksanaan, 3. Kepentingan pribadi dan masyarakat, 4. Bentuk dan sifatnya. Dari segi umum dan khususnya, ibadah terbagi kepada: 1. Ibadah khusus, yaitu ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash al-Qur‟an atau hadits, seperti salat, puasa, haji. Ibadah yang terkategori ibadah khusus tidak menerima penambahan atau pengurangan. 2. Ibadah umum, yaitu semua perbuatan baik atau terpuji yang dilakukan oleh manusia muslim-mukmin dengan niat ibadah dan diamalkan sematamata karena Allah. Ibadah umum, dengan demikian amatlah banyak. Di antara contohnya adalah makan dan minum dengan niat agar badan menjadi sehat sehingga kuat beribadat. Demikian juga mendidik anak dengan niat agar ia menjadi anak yang saleh; membeli kain sarung, mukena, sajadah dengan niat agar nyaman beribadah; berusaha memperoleh uang banyak dengan niat agar dapat melaksanakan ibadah haji; bergaul dengan isteri dengan niat agar terhindar dari perbuatan zina. Demikian pula amr ma‟ruf dan nahi munkar. Singkat kata, semua perbuatan mukmin (tentu saja yang baik dan halal; yang tidak baik dan tidak halal bukan perbuatan manusia mukmin) yang dilakukan dengan niat ibadah terhitung ibadah umum. Dari segi pelaksanaannya, ibadah terbagi kepada: 1. Ibadah jasmaniyah dan ruhaniyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan menggunakan jasmani dan ruhani, seperti salat dan puasa. 2. Ibadah ruhaniyah dan maliyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan menggunakan ruhani dan harta, seperti zakat. 3. Ibadah jasmaniyah, ruhaniyah, dan maliyah, yaitu ibadah yang dilaksanakan dengan menggunakan jasmani, ruhani, dan harta sekaligus, seperti haji, dan amr ma‟ruf dan nahi munkar. Dari segi pribadi dan masyarakatnya, ibadah terbagi kepada: 1. Ibadah fardi, yaitu ibadah yang dapat dilaksanakan secara perseorangan, seperti salat dan puasa.
26
2. Ibadah ijtima’i, yaitu ibadah yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan sosial kebutuhan sosial kemasyarakatan, seperti zakat dan haji. Dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah terbagi kepada: 1. Ibadah yang terdiri atas perkataan atau ucapan lidah seperti berzikir, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bershalawat dan sebagainya. 2. Ibadah yang sudah terinci perkataan dan perbuatannya, seperti salat, zakat, puasa, dan haji. 3. Ibadah yang tidak ditentukan teknik pelaksanaannya, seperti menolong orang lain, berjihad, membela diri, mendirikan madrasah, masjid, rumah sakit, dan sebagainya. 4. Ibadah yang pelaksanaannya dalam bentuk menahan diri seperti puasa, ihram, dan i’tikaf. 5. Ibadah yang sifatnya menggugurkan hal, seperti membebaskan seorang dari kewajiban membayar hutangnya kepada kita, memaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain kepada kita dan sebagainya.38 4.
Ruang Lingkup Ibadah Menurut Ibn Taimiyah, ibadah mencakup semua bentuk cinta dan kerelaan kepada Allah swt, baik dalam perkataan maupun perbuatan, lahir dan batin. Maka termasuk kedalam hal ini adalah salat, zakat, puasa, haji, benar dalam pembicaraan, menjalankan amanah, berbuat baik kepada orang tua, menghubungkan silaturahmi, memenuhi janji, amr ma‟ruf nahi munkar, jihad terhadap orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim fakir miskin dan ibn sabil, berdoa, berzikir, membaca al-Qur‟an, ikhlas, sabar, syukur, rela menerima ketentuan Allah swt, tawakkal, raja‟ (berharap atas rahmat), khauf (takut terhadap azab), dan lain-lain sebagainya. Ruang lingkup ibadah yang dikemukakan Ibn Taimiyah di atas cakupannya sangat luas, bahkan menurut beliau semua ajaran agama itu
38
Baihaqi, Fiqih Ibadah..., h. 14-15.
27
termasuk ibadah. Bilamana diklasifikasikan kesemuanya dapat menjadi beberapa kelompok saja, yaitu: a. Kewajiban-kewajiban atau rukun-rukun syariat seperti salat, puasa, zakat, dan haji. b. Yang berhubungan dengan kewajiban-kewajiban diatas dalam bentuk ibadah-ibadah sunnah, seperti zikir, membaca al-Qur‟an, doa dan istigfar. c. Semua bentuk hubungan sosial yang baik serta pemenuhan hak-hak manusia, seperti berbuat baik kepada orang tua, menghubungkan silaturahmi, berbuat baik kepada anak yatim, fakir miskin dan ibn sabil. d. Akhlak insaniyah (bersifat kemanusiaan), seperti benar dalam berbicara, menjalankan amanah dan menepati janji. e. Akhlak rabbaniyah (bersifat ketuhanan), seperti mencintai Allah swt dan rasul-rasul-Nya, takut kepada Allah swt, ikhlas dan sabar terhadap hukumNya.39 5.
Tujuan Ibadah Allah swt. menciptakan manusia bukannya tanpa tujuan. Mahasuci Allah dari berbuat tanpa tujuan, bertindak serampangan, atau bersenda gurau. Allah swt. berfirman mengenai hal itu dalam al-Qur‟an surat al-Mu‟minun/23 ayat 115:
“Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (Q.S. al-Mu‟minun/23: 115) Allah swt. menciptakan manusia sesungguhnya dengan tujuan tertentu. Dia telah menjelaskan tujuan penciptaan manusia yaitu untuk menyembah-Nya atau beribadah kepada-Nya.
39
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), Cet. I, h. 6-7.
28
Tujuan ibadah lainnya dapat dilihat dari segi kejiwaan manusia. Sepanjang sejarahnya terlihat bahwa manusia selalu terdorong oleh dirinya dan alam lingkungannya untuk mencari Tuhan guna dipuja dan disembahnya. Jika ia tidak menemukan Tuhan yang sebenarnya, ia akan menyembah (beribadah) kepada tuhan apa saja, baik yang ada di dalam alam, seperti matahari, bulan, bintang, batu atau kayu besar dan sebagainya maupun yang dibuatnya sendiri seperti patung (berhala) atau yang lainnya.40 Ibadah mempunyai tujuan pokok dan tujuan tambahan. a. Tujuan pokoknya adalah menghadapkan diri kepada Allah yang Maha Esa dan mengkonsentrasikan niat kepada-Nya dalam setiap keadaan. Dengan adanya tujuan itu seseorang akan mencapai derajat yang tinggi di akhirat. b. Tujuan tambahan adalah agar terciptanya kemaslahatan diri manusia dan terwujudnya usaha yang baik. Salat
umpamanya,
disyariatkan
pada
dasarnya
bertujuan
untuk
menundukkan diri kepada Allah swt. dengan ikhlas, mengingatkan diri dengan berzikir. Sedangkan tujuan tambahannya antara lain adalah untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan munkar, sebagaimana dipahami dari firman Allah swt:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatanperbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Ankabut/29: 45) Selain itu menghindarkan diri dari kemungkaran dan kekejian. Masih banyak tujuan lain yang dapat diwujudkan melalui ibadah salat, seperti
40
Baihaqi, Fiqih Ibadah..., h. 12-13.
29
beristirahat dari kesibukan dunia, membantu dalam memenuhi kebutuhan, membawa seseorang masuk surga dan menjauhkannya dari neraka.41
6.
Hikmah Pelaksanaan Ibadah Pada dasarnya ibadah membawa seseorang untuk mematuhi perintah Allah swt, bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya dan melaksanakan hak sesama manusia. Oleh karena itu tidak mesti ibadah itu memberikan hasil dan manfaat kepada kehidupan manusia yang bersifat material, tidak pula merupakan hal yang mudah mengetahui hikmah ibadah melalui kemampuan akal yang terbatas. Ibadah merupakan pengujian terhadap manusia dalam menyembah Allah swt. Ini berarti ia tidak harus mengetahui rahasianya secara terperinci. Seandainya ibadah itu harus sesuai dengan kemampuan akal dan harus mengetahui hikmah atau rahasianya secara terperinci, tentu orang yang lemah kemampuan akalnya untuk mengetahui hikmah tersebut tidak akan melaksanakan atau bahkan menjauhi ibadah. Mereka akan menyembah akal dan nafsunya, tidak akan menyembah Tuhan. Mengenai hikmah melaksanakan ibadah ini, al-Ghazali mengungkapkan bahwa ibadah bertujuan untuk menyembuhkan hati manusia, sebagaimana obat untuk menyembuhkan badan yang sakit. Sebagai contoh ibadah dapat menyembuhkan hati manusia, misalnya seseorang yang sedang resah dan gelisah, keresahan dan kegelisahannya dapat disembuhkan dengan salat. Begitu juga orang yang mempunyai penyakit tamak atau rakus dalam hal makan dan minum, penyakit tersebut dapat dikurangi bahkan dapat disembuhkan bila orang tersebut rajin berpuasa. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, ibadah wajib diikuti sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para Nabi, karena mereka dapat mengetahui rahasianya berdasarkan inspirasi kenabian, bukan dengan kemampuan akal.42
41 42
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah..., h. 9. A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah..., h. 8.
BAB III TAFSIR AL-QUR’AN SURAT Al-HAJJ AYAT 41 Surah al-Hajj adalah surah yang ke-105 jika ditinjau dari bilangan turunnya surah-surah al-Qur‟an. Dia turun sesudah surah an-Nur dan sebelum surah alMunafiqun. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 77 ayat, menurut perhitungan pakarpakar qira‟at Mekkah dan Madinah. Nama al-Hajj adalah satu-satunya nama yang dikenal untuk surah ini. Penamaan tersebut agaknya disebabkan karena dalam surah ini diuraikan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim as agar mengumandangkan panggilan berkunjung ke Baitullah serta beberapa uraian tentang ibadah haji dan manfaatnya. Surat ini dimulai dengan mengajak seluruh manusia agar bertakwa dan mempersiapkan diri menghadapi kedahsyatan kiamat. Ajakan kepada seluruh manusia mengesankan bahwa surat ini Makkiyah, karena salah satu ciri ayat-ayat Makkiyah adalah ajakannya yang berbunyi (
). Di dalam surah ini juga
ditemukan ajakan kepada kaum musyrikin untuk mempercayai prinsip-prinsip pokok ajaran Islam sambil mengancam mereka dengan siksa yang pedih. Ini juga adalah ciri-ciri ayat-ayat Makkiyah. Tetapi adanya ayat-ayat yang memerintahkan salat serta uraian tentang haji dan izin berperang, mengesankan bahwa ayat-ayat ini turun setelah Nabi saw berhijrah ke Madinah, karena persoalan syariat banyak
29
30
dibicarakan oleh ayat-ayat yang turun di Madinah, apalagi dalam surah ini ada uraian tentang izin berperang yang tentu saja baru dapat terlaksana setelah terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kemampuan berperang. Dari sini, maka para ulama berbeda pendapat menyangkut masa turun surah ini, apakah sebelum Nabi berhijrah atau sesudahnya.1 Secara garis besar surat al-Hajj ayat 41 berkaitan dengan dua ayat sebelumnya dan tiga ayat setelahnya, yang berisikan tentang diizinkan membela diri dari serangan orang yang memeranginya, keterusiran kaum muslim dari tempat tinggal mereka, peritah menjalankan ibadah setelah diberikan kekuasaan, dan perintah untuk bersabar. Kemudian disaat penulis menjalani proses perkuliahan dalam mata kuliah tafsir tarbawi, terpampanglah surat al-Hajj ayat 41 sebagai salah satu ayat pendidikan diantara banyak ayat lain yang menjelaskan tentang pendidikan. Dengan dasar inilah, maka penulis mengangkat skripsi yang berjudul sebagaimana tertuang di Bab I.
A. Teks Ayat dan Terjemahnya “Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Q.S. Al-Hajj/22: 41)
B. Tafsir Ayat Menurut Abu al-Aliyah, orang yang disebutkan dalam ayat ini ialah para sahabat Muhammad saw. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Utsman bin Affan, dia berkata, “Mengenai kamilah ayat, “orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” ini diturunkan. Kami diusir dari kampung halaman kami sendiri tanpa alasan yang benar, kecuali karena kami 1
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah “Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an”, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. VIII, Vol. IX, h. 3-4.
31
mengatakan bahwa Tuhan kami adalah Allah. Kemudian kami teguhkan di bumi, lalu kami mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma‟ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar. Kepunyaan Allahlah kesudahan segala perkara. Jadi, ayat ini diturunkan berkenaan dengan aku dan para sahabatku.” Ash-Shabah bin Suwadah al-Kindi berkata, “Aku mendengar Umar bin Abdul Aziz berkhutbah. Dia membaca ayat, „Orang-orang yang Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi.‟ Kemudian berkata, „Ketahuilah, ayat ini bukan hanya ditunjukkan kepada pemimpin semata, namun ditunjukkan kepada pemimpin dan rakyatnya. Ketahuilah, aku akan memberitahukan kepadamu kewajiban pemimpin kepada rakyatnya dan kewajiban rakyat kepada pemimpinnya. Sesungguhnya yang menjadi hak kamu dan kewajiban pemimpin ialah memperlakukan kamu dengan ketentuan Allah yang telah diwajibkan atasmu, memperlakukan sebagian kamu karena sebagian yang lain dengan ketentuan Allah, dan menunjukkan kamu kepada jalan yang lurus sesuai dengan kemampuan pemimpin. Adapun kewajiban kamu ialah menaati pemimpin tanpa terpaksa dan tidak bertentangan antara ketaatan perkataan dan perbuatan dengan ketaatan hati.” Zaid bin Aslam berkata, “Dan kepada Allahlah kembali segala urusan” berarti pada sisi Allahlah pahala atas apa yang telah mereka lakukan.2 Orang-orang yang jika Kami anugerahkan kepada kemenangan dan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yakni Kami berikan mereka kekuasaan mengelola satu wilayah dalam keadaan mereka merdeka dan berdaulat niscaya mereka yakni masyarakat itu mendirikan sembahyang secara sempurna rukun, syarat dan sunah-sunahnya dan mereka juga menunaikan zakat sesuai kadar waktu, sasaran dan cara penyaluran yang ditetapkan Allah, serta mereka menyuruh anggota-anggota masyarakatnya agar berbuat yang ma‟ruf, yakni nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik dalam masyarakat itu, lagi tidak bertentangan dengan nilai-nilai 2
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Kemudahan Dari Allah “Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir”, penerjemah. Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1999), Jilid. III, h. 379.
32
Ilahiah dan mereka mencegah dari yang mungkar; yakni yang dinilai buruk lagi diingkari oleh akal sehat masyarakat, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. Dialah yang memenangkan siapa yang berhak dimenangkanNya dan Dia pula yang menjatuhkan kekalahan bagi siapa yang dikehendakiNya, dan Dia juga yang menentukan masa kemenangan dan kekalahan itu. Ayat di atas mencerminkan sekelumit dari ciri-ciri masyarakat yang diidamkan Islam, kapan dan di mana pun, dan yang telah terbukti dalam sejarah melalui masyarakat Nabi Muhammad saw. dan para sahabat beliau. Masyarakat itu adalah yang pemimpin-pemimpin dan anggotaanggotanya secara kolektif dinilai bertakwa, sehingga hubungan mereka dengan Allah swt. baik, jauh dari kekejian dan kemungkaran, sebagaimana dicerminkan oleh sikap mereka yang selalu melaksanakan salat dan harmonis pula hubungan anggota masyarakat, termasuk antar kaum berpunya dan kaum lemah yang dicerminkan oleh ayat di atas dengan menunaikan zakat. Di samping itu mereka juga menegakkan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya, yaitu nilai-nilai ma‟ruf dan mencegah perbuatan yang mungkar. Pelaksanaan kedua hal tersebut menjadikan masyarakat melaksanakan kontrol sosial, sehingga mereka saling ingat mengingatkan dalam hal kebajikan, dan saling mencegah terjadinya pelanggaran. Adapun al-ma‟ruf, yang merupakan kesepakatan umum masyarakat, ini sewajarnya diperintahkan, demikian juga al-munkar seharusnya dicegah. Baik yang memerintahkan dan mencegahnya adalah penguasa maupun bukan. Siapapun diantara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya (menjadikannya ma‟ruf) dengan tangan / kekuasaannya, kalau dia tidak mampu (tidak memiliki kekuasaan) maka dengan lidah / ucapannya, kalau (yang inipun) dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman. (HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah melalui Abû Sa‟îd al-Khudri).3 Jadi, janji Allah yang ditegaskan dan dikuatkan dengan realisasi yang tidak akan meleset adalah bahwa Dia pasti menolong orang-orang yang 3
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah..., h. 73-75.
33
menolong-Nya. Maka, siapapun yang menolong Allah pasti berhak akan pertolongan dari Allah Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa, dimana orangorang yang ditolong-Nya tidak mungkin terkalahkan. Jadi siapa mereka? Mereka adalah:4 “Mereka mendirikan sembahyang dan memberikan zakat.” Dengan susunan ayat seperti ini bukanlah berarti mereka baru mendirikan sembahyang dan kokoh di muka bumi, atau setelah mereka menang menghadapi musuh-musuhnya, bahkan sejak semula perjuangan keyakinan dan keimanan kepada Tuhan itulah pegangan teguh mereka. Dalam pengalaman kita dimasa perjuangan melawan penjajahan Belanda, pada umumnya orang shalih dan taat sembahyang lima waktu mereka kerjakan dengan tekun. Zakat mereka berikan, tetapi setelah kedudukan kokoh di muka bumi orang mulai melalaikan zakat. Mereka menunaikan kewajiban harta yang dibebankan kepada mereka. Mereka dapat menguasai sifat bakhil mereka. Mereka menyucikan diri dari sifat tamak. Mereka berhasil menghalau godaan dan bisikan setan. Mereka menambal kelemahan-kelemahan jamaah, dan mereka menjamin kehidupan para dluafa dan orang-orang yang membutuhkan. Sesungguhnya mereka benar-benar mewujudkan tubuh jamaah yang hidup, sebagaimana sabda Rasulullah:
“Berkata Amir: Aku mendengar Nu‟man bin Basyir berkata: Bersabda Nabi saw: Kamu melihat orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan kelembutan mereka adalah laksana sebuah tubuh yang bila salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuhnya tidak dapat tidur dan merasakan demam.” (H.R Bukhari)
4
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an “Di Bawah Naungan Al-Qur‟an”, penerjemah. As‟ad, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. I, Jilid. VIII, h. 127.
34
“Dan mereka menyuruh berbuat yang ma‟ruf.” Maka timbullah berbagai anjuran agar sama-sama berbuat yang ma‟ruf. Artinya yang ma‟ruf ialah anjuran-anjuran atau perbuatan yang diterima baik dan disambut dengan segala senang hati oleh masyarakat ramai. Bertambah banyak anjuran kepada yang ma‟ruf bertambah majulah masyarakat. “Dan mereka mencegah dari berbuat yang mungkar.” Artinya yang mungkar ialah segala anjuran atau perbuatan yang masyarakat bersama tidak senang melihat atau menerimanya, karena tidak sesuai dengan garis-garis kebenaran. Maka dengan terbiasanya masyarakat dapat anjuran yang ma‟ruf, perasaannya akan lebih halus dalam menolak yang mungkar. Lantaran itu maka amr ma‟ruf nahi mungkar hendaklah seimbang, atau dengan sendirinya timbul keseimbangan di antara keduanya. Karena keduanya jadi hidup subur sebab dipupuk oleh iman kepada Allah. Ini dijelaskan di dalam ayat yang lain, yaitu surat al-Imran/3 :110 sebagai berikut:
: / (ال عمران... “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...” (Q.S. al-Imran/3 : 110) Sebab itu maka yang menjadi dasar yang mengokohkan kedudukan umat itu ialah iman kepada Allah. Kalau iman tidak ada lagi, kendurlah amr ma‟ruf nahi munkar, bahkan bisa terbalik menjadi “nahi „anil ma‟ruf amr bil munkar.” “Dan kepada Allah jualah akibat dari segala urusan.” Artinya walau bagaimanapun keadaan yang dihadapi, baik ketika lemah yang menghendaki kesabaran, atau menghadapi perjuangan yang amat sengit dengan musuh karena mempertahankan ajaran Allah atau seketika kemenangan telah
35
tercapai, sekali-kali jangan lupa, bahwa keputusan terakhir adalah pada Allah jua.5
5
. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1992), Juz. XVII, h. 177-179.
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN IBADAH YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-HAJJ AYAT 41 Ibadah dalam Islam secara garis besar terbagi kepada ibadah umum dan khusus. Ibadah yang dikategorikan umum adalah segala jenis amal kebajikan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan niat yang tulus karena Allah swt, seperti memberi nasihat, melarang orang lain berbuat jahat, serta amr ma‟ruf nahi munkar. Sedangkan ibadah yang dikategorikan khusus adalah segala jenis amal yang disebutkan oleh nash-nash al-Qur‟an yang disertakan dengan ketentuanketentuan tertentu tanpa adanya penambahan atau pengurangan, seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ditinjau dari segi pelaksanaannya, ibadah terbagi kepada tiga bagian, yaitu: 1.
Ibadah jasmaniyah dan ruhaniyah, seperti salat.
2.
Ibadah ruhaniyah dan maliyah, seperti zakat.
3.
Ibadah jasmaniyah, ruhaniyah, dan maliyah, seperti haji dan amr ma‟ruf dan nahi munkar.
Oleh karena itu ibadah sangat memperhatikan penataan individual dan sosial yang membawa penganutnya pada pengamalan ibadah secara komprehensif.
36
37
Dengan luasnya cakupan ibadah, maka penulis berusaha untuk lebih menspesifikasikannya lagi sesuai dengan intisari yang tertera dalam surat al-Hajj ayat 41, yaitu: salat, zakat, dan amr ma‟ruf nahi munkar. Tiga jenis ibadah ini tidak hanya berkaitan dengan si pelakunya saja, akan tetapi juga berkaitan dengan masyarakat di sekitarnya. Agar tiga jenis ibadah ini dapat terlaksana dengan baik dan benar, maka si pelaku harus dapat memahami tiga jenis ibadah tersebut dan mengetahui keberadaan referensi tiga jenis ibadah tersebut. Yang dimaksud dengan referensi tersebut adalah al-Qur‟an dan alSunnah. Berdasarkan isi kandungan surat al-Hajj ayat 41, penulis berusaha mengangkat nilai-nilai pendidikan ibadah yang terkandung dalam surat al-Hajj ayat 41, karena ayat tersebut memiliki makna yang luas dan mendalam dalam pembahasan nilai pendidikan salat, nilai pendidikan zakat, dan nilai pendidikan amr ma‟ruf nahi munkar. Penulis sangat berharap kiranya dari nilai-nilai pendidikan yang akan menjadi pembahasan skripsi ini dapat bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu terutama dalam kaitannya dengan pembinaan pendidikan, serta dapat dijadikan pedoman bagi pelakunya untuk senantiasa istiqomah (konsisten) pada tiga jenis ibadah tersebut. Adapun penjabaran nilai pendidikan salat, nilai pendidikan zakat, dan nilai pendidikan amr ma‟ruf dan nahi munkar akan penulis sampaikan berikut ini:
1.
Nilai Pendidikan Salat Di antara alasan mengapa Allah ciptakan manusia adalah untuk beribadah. Ibadah yang ditetapkan bermacam-macam, akan tetapi yang menjadi sentral dari itu semua adalah salat. Hal ini didukung oleh banyak hadits yang menyatakan bahwa salat adalah sentral dari segala jenis ibadah. Jikalau salat seseorang rusak baik secara tinjauan fiqh (dzahir) maupun tasawuf (bathin), maka ibadah-ibadah lain yang dilakukan orang tersebut kemungkinan besar tidak akan benar apalagi bermanfaat. Oleh karena itu, salat merupakan sebuah komponen penting dalam diri seorang muslim. Penggunaan kalimat “komponen penting” oleh penulis di
38
sini lebih dikarenakan karena banyaknya orang yang berpandangan bahwa salat hanyalah sebuah kewajiban. Dengan kalimat tersebut penulis menuangkan pendapat bahwa salat bukanlah hanya sebagai sebuah kewajiban saja melainkan sebuah kebutuhan dasar yang mau tidak mau harus terpenuhi. Jika
diilustrasikan
dalam
kehidupan
nyata,
maka
penulis
ingin
mengilustrasikan dengan “makan”. Bagaimana pentingnya arti “makan” bagi seseorang. Makan bukanlah hanya sebuah kewajiban saja bagi kelangsungan hidup seseorang, akan tetapi sudah menjadi kebutuhan yang mau tidak mau harus terpenuhi. Jika arti sebuah makanan saja dirasa sangat penting bagi bagian tubuh yang dzahir, apalagi salat yang menjadi pondasi dari segala amal perbuatan seorang muslim.
a.
Pengertian Salat Pengertian salat sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Arab artinya doa.1 Demikianlah makna salat dalam pengertian bahasa Arab. Sedangkan salat secara terminologi banyak dikemukakan oleh para ahli, di antaranya: a) Imran Abu Umar Salat menurut pengertian syara sebagaimana kata imam al-Rafi‟i ialah “ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam disertai beberapa syarat yang sudah ditentukan.”2 Pengertian salat menurut Imam al-Rafi‟i ini adalah definisi yang umum digunakan
oleh para
ulama
dari mazhab
Syafi‟i
untuk
mendefinisikan tentang salat. Dari definisi ini dapat dimengerti bahwa salat adalah merupakan sebuah ibadah yang awal ibadahnya dimulai dengan takbir (kalimat “Allahu Akbar”) kemudian diisi dengan rukun-rukun yang telah ditentukan, baik rukun-rukun tersebut berbentuk qouliy, maupun fi‟liy serta diakhiri dengan mengucapkan salam (kalimat “Assalaamu‟alaikum”) dan tidak melupakan syarat-syarat yang menentukan kesahan ibadah ini.
b) Sayyid Sabiq 1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia..., h. 792. Muhammad bin Qasim al-Ghazy, Fathul Qarib, (Bandung: Al-Ma‟arif, t.t), h. 72.
2
39
Salat ialah “ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan membaca takbir bagi Allah dan disudahi dengan mengucapkan salam.”3
Pendapat dari Sayyid Sabiq ini lebih kurang sama dengan apa yang didefinisikan oleh Imam al-Rafi‟i yang menyatakan ibadah yang terangkai dari ucapan dan perbuatan serta dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan perbedaan bahwa Imam alRafi‟i lebih memperhatikan juga faktor-faktor (syarat-syarat) yang berkaitan dengan salat dalam definisinya. c) Muhammad Abdul Malik Az-Zaghabi Salat adalah “tali hubungan yang kuat antara seorang hamba dengan Tuhan-nya. Hubungan yang mencerminkan kehinaan hamba dan keagungan Tuhan ini bersifat langsung tanpa perantara segala dari siapa pun.”4 Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa salat adalah sebuah ibadah langsung yang tanpa memerlukan perantara siapapun dari orang yang melaksanakan salat kepada Allah. Karena di dalam salat terkandung dialog langsung antara seorang hamba dengan Allah.
d) Ibnu Amir Yasin dan Abu Yasmin Salat adalah “beribadah hanya untuk Allah saw, baik dengan perkataan maupun perbuatan yang telah ditentukan, diawali dengan takbir dan ditutup dengan salam, disertai niat, dan syarat-syarat tertentu.”5 Pada definisi ini tertera bahwa yang dinamai dengan salat adalah penyembahan kepada Allah dengan ucapan dan perbuatan yang diiringi dengan niat, dimulai dengan takbir, diakhiri dengan salam, dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. e) Ensiklopedi Islam
3
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, t.t), Jilid I, h. 125. Muhammad Abdul Malik Az-Zaghabi, Malang Nian Orang yang Tidak Shalat, penerjemah. Abdul Rosyid Shiddiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h.17. 5 Ibnu Amin Yasin dan Abu Yasmin, Fikih Shalat Lengkap, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), h. 1. 4
40
Salat adalah “suatu ibadah yang terdiri dari atas ucapan-ucapan dan
perbuatan-perbuatan
tertentu
yang
dimulai
dengan
takbiratulihram dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.”6 Definisi ini tidak berbeda jauh dengan definisi-definisi yang telah disebutkan di atas, yaitu ibadah yang tersusun dengan ucapan dan perbuatan, serta dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Dari semua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa salat merupakan ibadah atau penyembahan langsung kepada Allah saw yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu, waktu yang ditentukan, serta ucapan dan perbuatan tertentu. Yang esensi dari ibadah ini adalah zikir, munajat kepada Allah guna menanamkan sifat taat, patuh dan tuduk pada apapun yang diperintah dan dilarang oleh Allah, baik disukai oleh akal ataupun tidak.
b. Tujuan Salat Allah swt memerintahkan supaya mendirikan salat lima waktu untuk menegakkan sebutan-Nya; supaya kita dapat mempergunakan hati, lidah dan anggota sekaligus di dalam kita memperhambakan diri kepada-Nya. Hati, anggota dan lidah itu mendapat bagian dalam memperhambakan diri kepada yang menjadikannya melalui salat. Itulah tujuan manusia dijadikan, yaitu mereka beribadah kepada Allah swt.7 Tujuan diperintahkannya salat lima waktu adalah untuk i‟lau (meninggikan) kalimat Allah. Untuk pelaksanaannya pun diperlukan peran dari semua anggota tubuh, baik yang terlihat maupun tidak. Yang dimaksud dengan anggota yang tidak terlihat adalah hati. Hal ini 6
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Cet. IV, h. 207. 7 Abu Muhammad Izzudin, Salat Tiang Agama, (Johor Baru: Perniagaan Jahabersa, 1996), h. 51.
41
dikarenakan hati mempunyai peranan yang besar dalam arti sebuah salat, yaitu menyelaraskan apa yang diucapkan oleh lidah dan diperbuat oleh anggota badan. Sedangkan yang dimaksud dengan anggota yang terlihat adalah seluruh badan mulai dari ujung rambut sampai ujung kepala termasuk juga lidah. Peranan anggota yang terlihat ini pun tidak kalah dengan anggota yang tidak terlihat (hati), peranan mereka dalam salat adalah untuk melaksanakan segala rukun-rukun salat yang qouliy dan fi‟liy, karena tanpa terpenuhinya rukun-rukun tersebut sudah dapat dipastikan bahwa salat itu tidak sah apalagi diterima. Salat juga merupakan ungkapan terima kasih (rasa syukur) kepada Allah, yang dengan nikmat-Nya kita dapat beraktifitas dengan leluasa dan mudah. Namun tidak sedikit orang yang mengingkari dan tidak peduli, padahal waktu yang dibutuhkan untuk salat hanya sesaat dan energi yang dikeluarkan juga sedikit.8 Diantara rasa syukur terhadap segala nikmat yang Allah berikan adalah dengan melaksanakan salat. Karena salat merupakan bentuk pengakuan
terhadap
segala
kekurangan,
kelemahan,
dan
ketidakmampuan kita sebagai makhluknya untuk mendapatkan semua nikmat itu. Akan tetapi pada kenyataannya banyak orang yang menganggap remeh, atau bahkan tidak peduli sama sekali dengan salat. Padahal jika dihitung dengan waktu, salat kemungkinan lebih cepat dibandingkan dengan waktu makan kita. Rasa kurang menganggap penting arti salat inilah yang mungkin memicu banyak terjadinya bencana yang menimpa diri kita. Di dalam buku Ibadah Salat Menurut Sunnah Rasulullah karangan Nasarudin Razak, disebutkan dalam menjalankan suatu ibadah sudah pasti ada tujuan yang dicapai. Adapun tujuan melaksanakan ibadah salat ialah mensucikan jiwa manusia agar dapat berkomunikasi dengan Allah
8
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam..., h. 208.
42
swt dan untuk membentuk akhlak yang mulia, agar manusia mencapai kesejahteraan hidup lahir dan batin.9 Dari tujuan salat yang disebutkan Nasarudin Razak adalah benar adanya, karena tunduk, syukur, i‟lâu (meninggikan) kalimat Allah, pembeda dengan orang kafir, pembersih jiwa, dan pemupuk sifat-sifat terpuji semuanya terkandung dalam salat. Dari semua tujuan yang telah disebutkan di atas dapat dinyatakan bahwa tujuan dari salat adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi si pelaku, Islam, dan masyarakat pada umumnya.
c.
Kedudukan Salat Salat mempunyai kedudukan yang amat penting dalam Islam dan merupakan fondasi yang kokoh bagi tegaknya agama Islam, agama tidak akan berdiri dengan tegak dan kokoh kecuali dengan tiang itu. 1.
Salat adalah penegas dari berbagai kewajiban. Salat mempunyai kedudukan yang sangat istimewa. Salat dilakukan oleh seorang muslim setelah mengucapkan dua kalimat persaksian. Salat juga sebagai salah satu rukun Islam, seperti disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda:
Dari ibnu Umar berkata: bersabda Rasulullah saw: “Islam dibangun atas lima hal; bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, haji, dan puasa pada bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari)
9
. Nasarudin Razak, Ibadah Shalat Menurut Sunnah Rasulullah, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1993), h. 15.
43
Tidak salah rasanya jika salat merupakan penegas terhadap Ibadah-ibadah yang lain, hal ini dikarenakan salat merupakan ibadah yang pertama kali diperintahkan, di angkat ke hadapan Allah, dihisab oleh Allah, dan menjadi pertimbangan terhadap ibadah-ibadah yang lain. Sebagaimana yang disebutkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dari Ibnu „Umar R.A:
2.
Dari Ibnu Umar berkata: bersabda Rasulullah saw: “hal pertama yang Allah fardhukan kepada umatku yaitu salat lima waktu dan hal pertama juga yang akan diangkat dari amal umatku yaitu salat lima waktu” (H.R. Hakim) Syariat Islam dengan tegas memperingatkan kepada orang yang meninggalkan salat. Rasulullah menyamakan orang yang meninggalkan salat dengan orang kafir. Beliau bersabda:
Dari Jabir berkata: bersabda Rasulullah saw: “perbedaan antara seorang muslim dengan kufur adalah meninggalkan salat.” (H.R. Abu Daud)
Dalam suatu riwayat imam at-Tirmidzi bahwasanya sahabat (Abdullah bin Syaqiq) berkata, “Para sahabat Nabi tidak mendapatkan suatu amal pun yang apabila ditinggalkan akan berakibat pada kekufuran, kecuali salat.”10 Pernyataan syari‟at Islam yang memperingatkan bahwa salat adalah sebuah ibadah yang tidak dapat ditoleransi dalam kondisi apapun adalah satu hal yang tidak terbantahkan lagi. Hal ini senada 10
Ibnu Amin Yasin dan Abu Yasmin, Fikih Shalat Lengkap..., h. 2-3.
44
dengan hadits Nabi yang menyatakan bahwa orang yang dengan senang hati meninggalkan salat berarti orang itu telah menganggap harta dan nyawanya halal bagi Islam (diambil secara paksa). 3.
Salat adalah tiang agama, tidak akan tegak kecuali dengannya, seperti sabda Rasulullah saw:
“Dari Muaz bin Jabal berkata: Dulu aku pernah bersama Nabi disebuah perjalanan:... Kemudian Nabi bertanya: apakah kamu mau aku beri tahukan tentang pokok perkara, tiang sebuah perkara, dan puncak tertingginya. Kemudian aku menjawab: iya ya Rasylullah, dan Nabi bersabda: pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah salat, dan puncak tertingginya adalah jihad di jalan Allah.” (H.R. Tirmidzi) Salat sebagai tiang agama adalah satu pernyataan yang harus diyakini kebenarannya, karena jika salat diibaratkan dengan sebuah bangunan maka tiang utamanya adalah salat. Jika tiang utama tersebut rusak, maka dapat dipastikan bangunan tersebut tidak akan dapat berdiri dengan semestinya. 4.
Salat adalah ibadah pertama seorang hamba yang akan dihisab (dihitung). Rasulullah saw bersabda:
“Berkata Abu Hurairah: aku pernah dengar Rasulullah bersabda: Sesungguhnya hal pertama yang akan dihisab atas seorang hamba
45
pada Hari Kiamat adalah salat, jika ia baik maka ia beruntung dan selamat, namun jika rusak maka ia akan sengsara dan merugi.” (H.R Tirmidzi)
Amal ibadah seorang hamba yang pertama kali dihisab sebelum ibadah-ibadah lain adalah salat. Urgensi salat sebagai hal pertama yang dihisab memberikan pemahaman bahwa salat merupakan penentu
bagi
ibadah-ibadah
lain,
karena
efek
salat
akan
mempengaruhi kepada ibadah lain. Jika salat telah dilaksanakan dengan benar niscaya ibadah-ibadah lain pun akan menjadi baik. 5.
Salat adalah kegembiraan Nabi saw dalam hidupnya Kegemaran Nabi adalah salat merupakan hal yang tidak terbantahkan, karena Nabi di dalam salatnya menemukan ketenangan dan kebahagiaan. Sebagai perumpamaan, seandainya kita sedang bertemu, berbincang, dan bertukar pikiran dengan orang yang kita senangi dan sayangi niscaya akan terasa hilang semua beban yang sedang kita hadapi. Hal seperti ini yang mungkin dirasakan Nabi di saat
melaksanakan
salat,
beliau
berjumpa,
berbincang
dan
menyerahkan segala urusannya kepada yang paling beliau cintai, yaitu Allah. Jika Nabi saja menjadikan salat sebagi kecintaannya, maka sudah sepantasnyalah kita sebagai umatnya meniru beliau. Kecintaan Nabi terhadap salat bukanlah sesuatu hal yang bohong, melainkan fakta yang terjadi sebagaimana sabda beliau:
“Dari Anas berkata: bersabda Rasulullah saw: ditumbuhkan rasa cinta kepadaku dari sebagian dunia yaitu wanita dan minyak wangi dan dijadikan kegembiraanku dijadikan dalam salat.” (H.R. Nasa‟i)
6.
Salat adalah isi pesan terakhir Nabi kepada umatnya ketika berpisah dengan dunia. Beliau saw bersabda:
46
“Dari Ali bin Abi Thalib berkata: ucapan terakhir Nabi adalah: jagalah salat dan berlaku baiklah kepada budak-budak yang kalian miliki.” (H.R. Ibnu Majah) Adalah hal yang wajar Nabi berwasiat seperti demikian, karena ibadah salat merupakan ibadah yang terpenting dalam kehidupan seorang muslim. Karena Allah pun berpesan demikian sebagaimana yang tertera di dalam surat al-Baqarah/2 ayat 238 dan Maryam/19 ayat 31.
“Peliharalah semua salat(mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyu'.” (Q.S. alBaqarah/2 : 238)
“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;” (Q.S. Maryam/19 : 31) Jadi sudah sepantasnyalah salat tidak dianggap remeh, karena Nabi memberikan ancaman kepada orang-orang yang tidak mementingkan salat dalam hidupnya bahwa nanti mereka akan digabungkan dengan Fir‟aun, Qarun, Haman, dan Ubai bin Kholaf. Sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban:
47
Dari Abdullah bin Umar, dari Rasulullah saw:... “orang-orang yang tidak memelihara salat, tidak ada cahaya, bukti, dan tidak diselamatkan. Dan mereka diakhirat bersama Qarun, Fir‟aun, Haman, dan Ubai bin Kholaf” (H.R. Ibnu Hibban) 7.
Salat adalah ibadah yang tidak bisa terlepas dari seorang mukallaf, ada keharusan untuk terus melaksanakannya sepanjang hidup, dan tidak gugur dalam keadaan bagaimanapun.11 Salat sebagai ibadah yang tidak mendapatkan toleransi dalam kondisi apapun merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi, bahkan Nabi mencontohkan di saat yang secara logika seharusnya diperkenankan untuk tidak melaksanakan, tetapi Nabi tetap melaksanakannya karena salat merupakan ibadah yang tidak ada keringanan padanya. Sebagaimana yang telah Allah abadikan dalam surat al-Nisa/4 ayat 101 dan 102.
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan 11
Ibnu Amin Yasin dan Abu Yasmin, Fikih Shalat Lengkap..., h. 3-4.
48
menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat). Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orangorang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (Q.S. al-Nisa/4 : 101-102) 8.
Salat mempunyai keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah-ibadah lain, di antaranya: 1) Ia adalah kewajiban yang paling banyak disebut dalam alQur‟an. 2) Ia adalah ibadah pertama dari ibadah-ibadah lainnya yang diwajibkan oleh Allah atas hamba-Nya. 3) Ia adalah ibadah yang wajib dilaksanakan lima kali sehari semalam, yang tentunya berbeda dengan ibadah-ibadah dan rukun-rukun lainnya.12
d. Hikmah Salat Allah mewajibkan setiap ibadah sudah pasti ada hikmah dan manfaat dari amalan ibadah tersebut. Diantara hikmah dan manfaat ibadah salat yang banyak terkandung dalam al-Qur‟an, al-Sunnah dan penelitian ilmiah diantaranya: a.
Mengingatkan kita kepada Allah, menghidupkan rasa takut kepadaNya,
menghidupkan
khudlu‟
dan
tunduk
kepada-Nya
dan
menumbuhkan di dalam jiwa, rasa kebesaran dan rasa ketinggian Allah swt, serta mengesakan kebesaran dan kekuasaan-Nya.
12
Ibnu Amin Yasin dan Abu Yasmin, Fikih Shalat Lengkap..., h. 4-5.
49
Sebagai manusia yang bertakwa, kita harus selalu mengingat serta mengesakan Allah sebagai Sang Pencipta. Dengan mengingat dan mengesakan-Nya, kita akan memiliki rasa takut dan tunduk terhadap kebesaran dan kekuasaan-Nya. b.
Mendidik dan melatih kita menjadi orang yang tenang, orang yang dapat menghadapi segala kesusahan dengan hati yang tetap dan tenang. Hidup manusia tidak terbebas dari ujian dan cobaan, kesulitan dan kesempitan dan dalam semua itu manusia memerlukan pegangan dan pijakan kokoh. Jika tidak maka dia akan terseret dan tidak mampu mengatasinya untuk bisa keluar darinya dengan selamat seperti yang diharapkan, pijakan dan pegangan kokoh terbaik adalah salat, dengannya seseorang menjadi kuat ibarat batu karang yang tidak bergeming di hantam ombak bertubu-tubi.
c.
Menjadi
penghalang
untuk
mengerjakan
kemungkaran
dan
keburukan.13 Manusia memiliki dorongan nafsu kepada kebaikan dan keburukan, yang pertama ditumbuhkan dan yang kedua direm dan dikendalikan, dan sarana pengendali terbaik adalah ibadah salat. Kenyataan membuktikan bahwa orang yang menegakkan salat adalah orang yang paling minim melakukan tindak kemaksiatan dan kriminal, sebaliknya semakin jauh seseorang dari salat, semakin terbuka peluang kemaksiatan dan kriminalnya. Dari hikmah-hikmah salat yang telah disebutkan, penulis beranggapan bahwa didalam hikmah salat terdapat nilai-nilai yang berguna bagi sifat kemanusiaan seorang muslim, seperti:
13
1.
Meningkatnya kualitas hubungan dengan Allah swt.
2.
Menjadikan jiwa seorang muslim sebagai jiwa yang kokoh.
3.
Sebagai sarana pengendalian diri bagi seorang muslim.
. Hasbi As-Shidiqiey, Pedoman Shalat, (Jakarta: N.V.Bulan Bintang, 1983), hal. 558-559.
50
Untuk menjadikan salat sebagai kebutuhan primer dalam kehidupan kita, baik pribadi maupun keluarga sepantasnya dilakukan pendekatan-pendekatan yang bersifat pendidikan. Agar dapat lebih memahami arti pentingnya ibadah salat. Untuk pendekatan pendidikan tentang salat, Rasulullah telah mengajarkan untuk menggunakan pendekatan tarhib (ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah dosa, kesalahan, atau perbuatan yang telah dilarang Allah). Sebagaimana yang tertera dalam hadits shahih “perintahkanlah golongan anak-anak untuk melaksanakan salat apabila mereka telah menginjak usia 7 (tujuh) tahun, dan jika telah menginjak usia 10 (sepuluh) tahun mereka masih tidak mau untuk melaksanakan salat maka pukullah”. Dari hadits ini terpampang jelas bahwa pendidikan salat adalah hal yang sangat penting. Seandainya salat bukanlah hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seorang Muslim tentunya Rasulullah tidak akan menyebutkan spesifikasi umur (anak-anak) dan bentuk hukuman yang diberikan. Diperkenalkan pendekatan tarhib ini bukan berarti Islam tidak menghargai hak anak-anak pada kategori yang telah disebutkan, akan tetapi ini dilakukan agar mereka terbiasa untuk melaksanakan ibadah. Jika untuk anak-anak saja sudah diperkenalkan pendekatan tarhib sudah tentu bagi orang yang telah mencapai derajat mukallaf pun ada ancaman serupa, akan tetapi lebih dispesifikasikan lagi sesuai dengan alasan mengapa orang tersebut tidak melaksanakan salat. Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa orang yang mengingkari kewajiban salat berarti telah menyatakan kekafirannya serta menghalalkan darahnya untuk ditumpahkan, sedangkan bagi orang yang tidak mengingkari kewajiban salat dan hanya faktor malas yang menyebabkan dia tidak melaksanakan shalat cukup diperintahkan untuk bertaubat dan segera melaksanakan salat, jika orang tersebut masih tidak juga untuk melaksanakan salat maka diperbolehkan untuk memukul orang tersebut hingga dia melaksanakan salat. Islam tidak hanya mengandalkan pendekatan tarhib dalam hal ibadah shalat, akan tetapi dipersiapkan pula pendekatan targhib (janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan
51
kenikmatan). Yang jelas, pendekatan targhib ini bertujuan untuk mencari keridaan Allah dan itu merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya. Sebagai contoh targhib dalam ibadah shalat adalah sabda Nabi “salat 5 (lima) waktu adalah sebagai kafarat (penghapus dosa) diantara shalat-shalat tersebut selama tidak berhimpun dosa-dosa besar”. Selain kedua pendekatan yang telah disebutkan masih ada lagi pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengaplikasikan pendidikan salat, yaitu dengan meggunakan pendekatan kisah, yaitu dengan menceritakan bagaimana kisah orang-orang terdahulu yang mengerjakan dan meniggalkan salat. Diceritakan di dalam kitab Irsyadul Ibad bahwa ada seorang ulama salaf mempunyai adik perempuan. Kemudian adik perempuannya itu meninggal. Di saat menguburkan adiknya tersebut dompet miliknya terjatuh didalam kubur adiknya itu, akan tetapi dia tidak mengetahui terjatuhnya dompet miliknya hingga dia pergi dari kubur adiknya itu. Setelah itu, dia menyadari hilang dompet miliknya. Dia kembali ke kubur adiknya dan menggali kubur adiknya setelah orang-orang kembali ke rumah masingmasing, dengan tujuan untuk mengambil dompet miliknya itu. Setelah dia menggali kuburan tersebut, dia dapati kubur adiknya terisi dengan api. Setelah melihat kejadian tersebut langsung dia menutup kembali kuburannya itu dengan tanah. Dan dia langsung pulang dalam keadaan menangis dan sedih. Orang tersebut langsung menuju ibunya, seraya bertanya: “wahai ibuku! Beritahukanlah padaku apa yang pernah di kerjakan oleh adikku.” Si ibu menjawab: “ada gerangan apa kamu bertanya tentang dia.” Si ulama ini menjawab: “wahai ibuku! Aku melihat di kuburnya itu di penuhi oleh api.” Kemudia si ibu menangis dan berkata: “wahai anakku! Adikmu itu selalu menganggap remeh salat dan melaksanakan salat bukan pada waktunya.”14 Dari cerita ini dapat dipahami bagaimana kondisi orang yang melalaikan salat (melaksanakan salat bukan pada waktunya). Lalu bagaimana keadaan orang yang tidak melaksanakan salat? 14
As-Syeikh Zainuddin Ibn „Abdul „Aziz Al-Malaibary, Irsyaadul „Ibad, (T.tp: Daar Ihya Al-Kutub, t.t), h. 14.
52
Pendekatan ini biasanya lebih menyentuh kepada jiwa si pendengar, karena pada umumnya seorang Muslim tak akan ingin mendapatkan sesuatu yang dibenci diakibatkan karena meninggalkan sesuatu yang diperintah, serta berusaha mendapatkan sesuatu yang sama dengan orang yang telah mendapatkannya berupa kebahagiaan dan kesenangan sebagaimana yang telah didapatkan orang yang melaksanakan sesuatu yang diperintah, yang dimaksud dalam hal ini adalah salat. Berdasarkan uraian di atas maka pendekatan pendidikan salat terhadap kaum Muslimin dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitu: pendekatan kisah, pendekatan targhib dan pendekatan tarhib.
2.
Nilai Pendidikan Zakat Zakat merupakan ibadah maliyah, yakni ibadah yang berkaitan dengan harta benda. Zakat adalah salah satu dari lima rukun Islam, Hadits Nabi saw menjelaskan bahwa Islam dibangun di atas lima pilar, yakni: syahadat, salat, zakat, puasa dan ibadah haji. Zakat merupakan ibadah yang selain memiliki dimensi vertikal, juga memiliki dimensi horizontal, yakni ibadah yang langsung berhubungan dengan manusia. Dalam dimensi vertikal, pelaksanaan zakat merupakan salah satu bentuk ketaatan seseorang kepada Allah, sedangkan dalam dimensi horizontal, ia merupakan salah satu bentuk kepedulian dan tanggung jawab seorang muslim kepada masyarakat lainnya. Kata “zakat” dalam al-Qur‟an disebutkan secara ma‟rifat sebanyak 30 kali. Delapan kali di antaranya terdapat dalam surat Makkiyyah, dan selainnya terdapat dalam surat-surat Madaniyah. Zakat dalam al-Qur‟an selalu disandingkan dengan pelaksanaan ibadah salat. Hal ini menandakan bahwa pelaksanaan zakat sama kedudukannya dengan pelaksanaan salat. Ada kurang lebih 27 ayat yang menyandingkan perintah salat dengan perintah zakat. a.
Pengertian Zakat
53
Ditinjau dari etimologinya, kata zakat berarti tumbuh dan bertambah. Jika diucapkan zaka al-zar adalah tanaman itu tumbuh dan bertambah. Jika diucapkan zakat al-nafaqah, artinya nafkah tumbuh dan berkembang jika diberkati.15 Abul Hasan Al-Wahidi mengatakan zakat “mensucikan harta dan memperbaikinya, serta menyuburkannya.” Menurut pendapat yang lebih nyata, zakat itu bermakna kesuburan dan penambahan serta perbaikan, asal maknanya, penambahan kebajikan.16 Dari segi etimologi saja kalimat “zakat” sudah dapat diartikan dengan banyak arti. Hal ini mengindikasikan bahwa zakat mempunyai efek positif bagi yang mengeluarkan, menerima, maupun harta yang dikeluarkan. Di samping itu pula ada beberapa definisi zakat yang dikemukakan oleh beberapa mazhab fiqh. Mazhab Maliki mendefinisikan zakat dengan “mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nisab (batas kualitas yang mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq)-nya.” Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian. Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan “menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus yang ditentukan oleh syariat karena Allah swt.” Kata “menjadikan sebagian harta sebagai milik” (tamlik) dalam definisi di atas dimaksudkan sebagai penghindaran dari kata ibahah (pembolehan). Menurut Mazhab Syafi‟i mendefinisikan zakat adalah “sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh, sesuai dengan cara khusus.”
15
Wahbah al-Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab, penerjemah. Agus Effendi dan Bahruddin Fananny, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), cet. 6, hal. 82. 16 Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1987), cet. keI, hal. 1.
54
Sementara Mazhab Hambali memberikan pengertian zakat ialah “hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk dikelompokan ke yang khusus pula.” Yang dimaksud dengan kelompok khusus adalah delapan kelompok yang diisyaratkan oleh Allah swt.17 Dari pendapat para imam yang telah disebutkan dapat diambil kesimpulan bahwa zakat adalah kewajiban mengeluarkan harta yang dimiliki secara penuh (milkun tâm) dengan tata cara yang khusus serta diberikan kepada kelompok yang dikhususkan pula sesuai dengan yang telah ditentukan oleh Allah didalam al-Qur‟an. Untuk mengetahui kelompok-kelompok yang telah ditentukan dalam penerimaan zakat dapat dilihat didalam al-Qur‟an surat at-Taubah/9 ayat: 60:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. at-Taubah/9 : 60) Dari ayat tersebut disimpulkan bahwa kelompok-kelompok yang berhak menerima zakat terdiri dari 8 kelompok (ashnaf), Yaitu: a. Orang-orang fakir. Fakir di sini adalah orang-orang yang tidak mempunyai harta dan usaha yang bisa menutup keperluan hidupnya. b. Orang-orang miskin. Miskin yang dimaksud adalah orang yang pada dasarnya mempunyai harta dan usaha yang bisa digunakan untuk keperluan sebagian hidupnya, akan tetapi tidak mencukupi untuk keseluruhannya.
17
Wahbah al-Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab..., h. 83-84.
55
c. „Amil (pengurus zakat) adalah orang yang dipekerjakan oleh imam (pemerintah) untuk mengambil zakat serta memberikan kepada mustahiqnya. d. Muallaf (baru memeluk Islam) yag masih lemah kadar keimanannya. Kelompok ini diberikan jika masih ada kemungkinan kembali kepada kekufuran, tetapi jika kadar keimanannya telah kuat tidak perlu untuk diberikan zakat. e. Riqob (budak). Budak dalam kategori ini adalah budak mukatab (budak yang diberikan kewenangan memerdekakan dirinya dengan cara menebus dirinya dengan harga yang telah ditentukan tuannya). f. Ghorim (orang yang berhutang). Yang dimaksud dengan Ghorim di sini adalah orang yang berhutang untuk meredam ketegangan yang terjadi di antara dua kelompok yang berseteru dalam masalah pembunuhan yang pembunuhnya tidak diketahui. g. Sabiilillah. Yang dimaksud di sini adalah para tentara perang yang berjuang di jalan Allah karena mendermakan dirinya di jalan Allah, akan tetapi nama mereka tidak terdaftar sebagai tentara di catatan murtaziqoh (bagian pemberi kesejahteraan kepada tentara). h. Ibn Sabil (dalam perjalanan). Adalah orang yang melakukan perjalanan dari tempat pembagian zakat atau melewati tempat pembagian zakat ke tempat yang akan dituju. Pemberian bagian ini pun disyaratkan dengan hanya sekedar keperluan sampai ke tempat yang akan dituju dan bukan untuk tujuan maksiat.18
b. Tujuan zakat Yang dimaksud dengan tujuan zakat dalam hal ini adalah sasaran praktisnya. Tujuan zakat antara lain sebagai berikut: 1.
Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup serta penderitaan.
18
As-Seikh Ibrohim Al-Baijury, Haasyiyah Al-Baijury, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2007), Jilid I, h. 542-546.
56
Di antara tujuan diwajibkannya zakat oleh Allah swt kepada kaum muslimin adalah agar derajat kaum fakir-miskin terangkat serta membantunya keluar dari kesulitan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa Islam menyukai persamaan derajat sosial dalam aspek ekonomi. 2.
Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para gharimin (orang yang memiliki hutang), ibnussabil (orang yang sedang dalam perjalanan), dan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) lainnya. Selain tujuan zakat yang tertuang pada point 1 ada pula tujuan lain dari zakat, salah satunya sebagai jalan keluar bagi masalah yang sedang dihadapi oleh para gharimin (orang yang memiliki hutang) sebagai alat pembayaran atau bahkan pelunasan bagi hutangnya, ibn ssabil (orang yang sedang dalam perjalanan) sebagai biaya untuk sampai ke tempat yang akan dituju atau kembali ke kampung halamannya, dan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) lainnya sesuai dengan kesulitan yang sedang mereka hadapi.
3.
Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya. Kemudian tujuan lain dari zakat adalah sebagai sarana memperkuat tali persaudaraan kepada sesama muslim yang telah terjalin dan membina hubungan yang baik kepada sesama manusia. Dari poin ini, kita dapat memahami bahwa Islam sangat mementingkan persatuan dan kesatuan yang antara sesama muslim khususnya dan manusia pada umumnya yang salah satunya melalui media zakat.
4.
Menghilangkan sifat kikir pemilik harta. Setelah terbinanya hubungan baik melalui zakat, tujuan zakat lainnya adalah menghilangkan penyakit jiwa yang tertanam di dalam hati orang yang memliliki harta yaitu kikir, karena jika orang yang memiliki harta sering mengeluarkan zakat niscaya akan terkikis
57
sedikit demi sedikit sifat kikir dan tumbuh sifat dermawan yang menumbuhkan pemahaman dalam dirinya bahwa harta yang dimiliki hanyalah sebuah titipan yang harus diberikan kepada yang berhak. 5.
Membersihkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin. Jika mengeluarkan zakat mampu untuk menghilangkan sifat kikir dari hati orang yang memiliki harta, maka zakat pun mampu menghilangkan rasa dengki dari hati orang miskin. Hal ini mengisyaratkan bahwa hukum kausalitas dalam zakat pun berlaku antara yang mengeluarkan zakat dan yang menerimanya.
6.
Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam suatu masyarakat. Adanya perbedaan strata sosial dalam kehidupan masyarakat adalah hal yang wajar. Akan tetapi, jika strata tersebut menjadi jurang
pemisah
maka
akan
menjadi
sesuatu
yang
sangat
disayangkan. Untuk itu tujuan diwajibkannya zakat adalah sebagai sarana yang menjembatani antara si kaya dan si miskin serta tidak terlalu menonjolkan perbedaan strata sosial yang berkembang didalam kehidupan bermasyarakat. 7.
Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama pada mereka yang mempunyai harta. Pada point ini, tujuan zakat lebih ditekankan pada rasa kemanusiaan seseorang dalam hidup bemasyarakat yaitu rasa tanggung jawab sosial terutama pada orang-orang yang memiliki harta. Hal ini dimaksudkan agar mereka dapat memahami serta merasakan fenomena kehidupan yang terjadi didalam masyarakat. Dengan zakat semua itu dapat tercapai, karena tujuan zakat disamping sebagai sarana ibadah, zakat pun dapat ditujukan untuk mengembangkan rasa tanggung jawab sosial terhadap sesama manusia.
58
8.
Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya. Tujuan lain dari zakat adalah sarana pembelajaran bagi seorang manusia untuk selalu disiplin dalam menunaikan kewajibannya yaitu zakat. Selain dapat mendidik manusia untuk disiplin menunaikan kewajibannya, zakat pun dapat mendidik manusia untuk disiplin pula dalam hal menyerahkan hak orang lain yang ada pada dirinya, baik itu berupa zakat ataupun yang lainnya. Dari hal ini saja kita dapat memahami bahwa zakat mampu memberikan dampak positif dalam kehidupan yang dapat berguna bagi kehidupan manusia.
9.
Sarana pemerataan pendapatan (rezeki) untuk mencapai keadilan sosial.19 Selain tujuan-tujuan yang telah disebutkan masih ada lagi tujuan dari diwajibkannya zakat, yaitu sebagai sarana pemerataan pendapatan (rezeki) untuk mencapai keadilan sosial. Dengan dijadikannya hal ini sebagai tujuan zakat, maka kita dapat memahami bahwa Islam bukan agama yang diskriminatif malainkan agama yang mencintai keadilan dalam setiap sendi kehidupan.
c.
Hikmah Zakat Zakat sebagai lembaga Islam mengandung hikmah (makna yang dalam atau manfaat) yang bersifat rohani dan filosofis. Adapun hikmah zakat itu adalah sebagai berikut: 1.
Zakat menjaga dan memelihara harta dari incaran mata dan tangan para pendosa dan pencuri. Hikmah zakat yang pertama yaitu menjaga dan memelihara harta dari para pendosa dan pencuri, sehingga kehidupan di lingkungan masyarakat menjadi tentram tanpa ada rasa ketakutan dan kekhawatiran menjaga harta mereka.
19
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press, 1988), Cet. I, h. 40.
59
2.
Zakat merupakan pertolongan bagi orang-orang fakir dan orangorang yang sangat memerlukan bantuan. Dari hikmah zakat pada point kedua di antaranya menolong, membantu dan membina kaum dhu‟afa (orang yang lemah secara ekonomi) maupun mustahiq lainnya ke arah kehidupannya yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah swt, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus memberantas sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul ketika mereka (orangorang fakir miskin) melihat orang kaya yang berkecukupan hidupnya tidak memedulikan mereka.
3.
Zakat menyucikan jiwa dari penyakit kikir dan bakhil. Ia juga melatih seorang mukmin untuk bersifat pemberi dan dermawan. Diantara hikmah zakat selanjutnya menghilangkan sifat kikir dan
rakus,
menumbuhkan
ketenangan
hidup
sekaligus
mengembangkan hartanya dan investasi amal kita di akhirat. 4.
Zakat diwajibkan sebagai ungkapan syukur atas nikmat harta yang telah dititipkan kepada seseorang.20 Hikmah zakat selanjutnya pada point keempat ialah perwujudan iman kepada Allah swt, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi. Bahkan di balik itu tersimpan hikmah atau dampak yang sangat
besar bagi si pemberi (muzakki) maupun bagi si penerima (mustahiq). Di antara hikmah dan dampaknya adalah sebagai berikut: Pertama, sebagai perwujudan keimanan kepada Allah swt, ungkapan rasa syukur atas nikmat-Nya, alat menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, alat menghilangkan sifat-sifat kikir, rakus, materialistis, untuk menenangkan hidup dan cara membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki. Kedua, karena zakat merupakan hak mustahiq, maka zakat berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka terutama fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka 20
Wahbah al-Zuhayly, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab..., hal. 86-88.
60
dapat memenuhi kebutuhan kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah swt. Ketiga, sebagai pilar amal bersama antara orang-orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujtahid yang seluruh waktunya digunakan untuk berjihad di jalan Allah, yang karena kesibukannya tersebut, ia tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya. Keempat, sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam. Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari harta kita yang kita usahakan dengan baik dan benar. Keenam, dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. 21 hikmah-hikmah zakat yang telah disebutkan di atas sesuai dengan sabda Nabi yang menyatakan bahwa “Allah tidak menerima keimanan kecuali dengan menunaikan zakat (bagi yang diwajibkan), dan tidak sempurna keimanan orang yang tidak mau mengeluarkan zakat dari sebagian hartanya.”22 Hikmah zakat sebagai pembersih harta pun sudah Allah abadikan di dalam Al-Qur‟an surat at-Taubah ayat 9. Oleh karena itu, pembudayaan zakat merupakan hal yang sangat penting karena sangat memberikan dampak positif dalam kehidupan, baik bagi si muzakki, mustahiq, dan lingkungan. Berdasarkan
seluruh
hikmah-hikmah
zakat
tersebut
penulis
berpendapat bahwa terdapat nilai-nilai yang berguna bagi umat muslim, diantaranya: 1. Berkembangnya sifat-sifat terpuji dalam diri muzakki (pemberi zakat) yang berguna bagi lingkungan. 2. Menjadi media silaturrahmi dan sarana pembersihan jiwa dan harta. 3. Penghancur jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
21
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h.
10-14. 22
27.
As-Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantaniy, Tanqiihul Qoul, (Jeddah: Haromain, t.t) h.
61
Untuk menjadikan zakat sebagai alat komunikasi dalam kehidupan antar umat muslim, sepantasnya dilakukan pendekatan-pendekatan yang bersifat pendidikan. Agar dapat lebih memahami arti pentingnya ibadah zakat. Akan tetap masih banyak orang yang menganggap remeh masalah zakat ini. Oleh karena itu, untuk pembudayaan zakat ini diperlukan pendekatan-pendekatan agar zakat dapat membudaya dikalangan masyarakat. Salah satu pendekatannya adalah pendekatan tarhib (ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah dosa, kesalahan, atau perbuatan yang telah dilarang Allah). Pendekatan tarhib ini dapat digunakan secara umum maupun khusus. Yang dimaksud secara umum adalah setiap lapisan masyarakat dalam mengeluarkan zakat. Hal ini dimaksudkan agar mereka lebih menyadari arti penting ibadah zakat. Sedangkan yang dimaksud secara khusus adalah dibatasi kepada orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat. Hal ini ditujukan agar mereka menjadi takut terhadap hukum Allah dan siksaan yang Allah siapkan bagi orang yang tidak mau mengeluarkan hartanya untuk berzakat. Salah satu ayat yang dapat digunakan untuk memuluskan pendekatan tarhib ini adalah dalam surat Attaubah/9 ayat 34-35:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” “Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu
62
sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (Q.S. At-Taubah/9 : 34-35) Dalam pembudayaan zakat, dapat dipergunakan pendekatan targhib agar dapat merangsang rasa keinginan untuk berzakat. Pendekatan ini biasanya cukup berguna dalam pembudayaan zakat. Hal ini dikarenakan sifat manusia yang selalu menginginkan imbalan dalam setiap perbuatan baiknya, baik imbalan itu sesuatu yang berbentuk nyata (materiil) ataupun tidak nyata (inmateriil). Termasuk diantaranya adalah dengan menyampaikan manfaatmanfaat zakat melalui ayat-ayat al-Qur‟an dan hadits Nabi. Di antara contoh ayat al-Qur‟an yang mengandung pendekatan targhib adalah surat alBaqarah/2: 114:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah/2: 161) Sebagaimana sabda Nabi:
“Dari Abdullah berkata: bersabda Rasulullah saw: “Obatilah penyakit mu dengan shadaqah (zakat) dan jagalah hartamu dengan zakat.” (H.R. Baihaqy)
Selain kedua pendekatan tersebut, dapat pula dipergunakan pendekatan instruksional (yaitu dengan cara yang bersifat mengajarkan tentang pentingnya zakat) dengan pendekatan seperti ini diharapkan timbul
63
pemahaman akan pentingnya zakat. Sebagai dasarnya dapat diambil dari hadits Nabi :
“Dari Ibnu „Umar RA, dia berkata: saya pernah mendengar Nabi saw bersabda: “tidak diperkenankan hasud kecuali pada dua kelompok manusia, 1) orang diberikan ni‟mat berupa harta oleh Allah, kemudian Allah berikan kekuasaan pada orang tersebut untuk dihabiskan harta tersebut pada jalan yang benar (yang Allah rida‟i), dan 2) orang yang allah berikan hikmah (pemahaman tentang al-Qur‟an dan hadits) kemudian dia memutuskan setiap perkara dengan hikmah tersebut dan mengajarkannya. (HR. Bukhori).
Dengan landasan hadits ini dapat dipahami bahwa Nabi saw telah menggunkan pendekatan instruksional dalam hal zakat. Mungkin Nabi menyadari bahwa salah satu sifat yang dimiliki oleh seorang manusia adalah sifat cemburu terhadap kelebihan yang dimiliki oleh orang lain. Agar sifat ini tidak berkembang dalam diri manusia yang pada akhirnya dapat menghancurkan manusia itu sendiri. Akan tetapi Nabi pun menyadari pentingnya kemajuan Islam sebagaimana yang tertuang dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 148, agar kemajuan Islam terus berkembang dan tidak melanggar aturan syari‟at maka Nabi menganjurkan cara tesebut melalui haditsnya. Berdasarkan uraian di atas maka pembudayaan pendidikan zakat terhadap kaum Muslimin dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitu: pendekatan targhib, pendekatan tarhib dan pendekatan Instruksional.
3.
Nilai Pendidikan Amr Ma’ruf dan Nahi Munkar Amr ma‟ruf dan nahi munkar. Kalimat ini sepertinya sudah menjadi kalimat yang sering terdengar dan terpakai di kalangan umat Islam dalam menjalankan syari‟at Islam. Akan tetapi pada faktanya amr ma‟ruf dan nahi
64
munkar hanya menjadi ucapan saja di kalangan umat Islam sendiri, atau di saat yang lain amr ma‟ruf dan nahi munkar diselewengkan secara pemahaman sehingga terdengar dan terlihat bahwa amr ma‟ruf dan nahi munkar adalah hal yang sangat mengerikan. Amr ma‟ruf dan nahi munkar adalah sebuah perintah yang ditetapkan oleh Allah dan menjadi sebuah alasan kenapa Islam bisa dikenal di dunia ini khusunya di bumi Indonesia yang kita cintai ini. Seharusnya amr ma‟ruf dan nahi munkar bukan hanya menjadi sebuah definisi yang dijadikan hiasan dan penambah ilmu pengetahuan saja, akan tetapi diperlukan juga action oleh kita yang mengaku beragama Islam. Penulis menuangkan prolog amr ma‟ruf dan nahi munkar bukan untuk mendiskriditkan Islam, melainkan karena rasa cinta terhadap Islam. Di antara alasan penulis menuangkan ini pula adalah karena penulis jenuh dengan fakta yang terjadi yang justru menjadikan amr ma‟ruf dan nahi munkar dianggap suatu hal yang salah di hadapan khalayak umum. Marilah kita perbaiki citra Islam ini dengan melaksanakan amr ma‟ruf dan nahi munkar sesuai pada tempatnya.
a.
Pengertian Amr Ma’ruf Dan Nahi Munkar Sebelum masuk pada pengertian amr ma‟ruf dan nahi munkar, sebaiknya kita pahami dahulu apa itu amr dan nahi. Menurut Ensiklopedi al-Qur‟an, amr ma‟ruf nahi munkar merupakan istilah yang terdiri dari empat kata: amr, ma‟ruf, nahi, dan munkar.23 Istilah amr ma‟ruf nahi munkar cukup populer di Indonesia. Sebenarnya istilah itu terdiri dari dua pengertian penting, yakni ma‟ruf dan munkar. Tetapi sebagai kata yang berdiri sendiri, dua kata itu kurang dikenal.24 Makanya dalam penggunaan sehari-hari, ia lebih populer dengan ungkapan yang menyatu, yaitu amr ma‟ruf nahi munkar.
23
Munawir Sjadzali dan Chamamah Soeratno (eds.), Ensiklopedi al-Qur‟an; Dunia Islam Modern, (Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002), h. 157. 24 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), Cet. I, h. 618.
65
Kata amr berakar pada kata kerja amara- ya‟muru- amran yang artinya menyuruh, memerintah, dan mengajak. Kata ma‟ruf berasal dari kata „arafa- ya‟rifu yang artinya mengetahui. Ma‟ruf berarti yang dikenal, yang diketahui, yang dapat dimengerti dan dapat dipahami serta dapat diterima oleh masyarakat dan yang diketahui manfaat dan kebaikannya.25 Di dalam al-Qur‟an, kata ma‟ruf cukup banyak disebut. Misalnya saja, dalam surat al-Baqarah disebut 15 kali.26 Contoh ayat yang hanya mencantumkan amr ma‟ruf:
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (Q.S. alA‟raf/7: 199). Sedangkan kata nahi berasal dari kata naha- yanha- nahyan, artinya melarang dan mencegah. Kata munkar berasal dari kata ankara- yunkiru, yang artinya mengingkari dan menolak. Munkar berarti sesuatu yang tidak disenangi, yang ditolak oleh masyarakat, karena tidak patuh, tidak pantas dan tidak selayaknya dilakukan oleh manusia berakal.27 Sedangkan perkataan munkar disebut sebanyak 37 kali di dalam alQur‟an, antara lain disebut dalam surat al-Maidah/5: 78-79.28 Ayat yang khusus memuat nahi munkar adalah sebagai berikut:
25
Ensiklopedi al-Qur‟an; Dunia Islam Modern..., h. 157. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an..., h. 626. 27 Ensiklopedi al-Qur‟an; Dunia Islam Modern..., h. 157 28 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur‟an..., h. 634. 26
66
“Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Q.S. al-Maidah/5: 78-79) Secara umum definisi amr dan nahi adalah sebagaimana yang dituliskan oleh al-Imam Jalaluddin al-Mahally dalam kitabnya alWaraqât sebagai berikut: 29
“ Tuntutan yang sifatnya wajib untuk melaksanakan sebuah perbuatan dari yang posisinya lebih tinggi kepada yang posisinya lebih rendah”. 30
“ Tuntutan yang sifatnya wajib untuk meninggalkan sebuah perbuatan dari yang posisinya lebih tinggi kepada yang posisinya lebih rendah”.
Dari kedua definisi di atas mungkin terlintas di dalam pikiran kita bahwa kalimat “posisi” menggambarkan dalam Islam tertanam doktrin penindasan terhadap yang lebih rendah derajatnya. Padahal jika kita pahami lebih mendalam, kita dapat memahami apa arti dari kalimat “posisi” tersebut. Sebenarnya kalimat tersebut lebih menunjukkan tentang perbuatan yang diperintah atau dilarang tersebut bukan dari mana perintah itu dan ke mana perintah itu diberikan. Al-„alim al-Allâmah „Alâ‟uddin „Ali bin Muhammad bin Ibrohim Al-Baghdady atau yang terkenal dengan al-Khozin mendefinisikan ma‟ruf
adalah “sebutan atau nama untuk setiap perbuatan yang
dimengerti oleh akal dan syari‟at pun menganggap perbuatan itu baik, sedangkan munkar apa saja yang dimengerti akal dan dianggap jelek oleh syari‟at.”31 29
Al-Imam Jalâluddin Al-mahally, Al-Waraqât,(T.tp: Dâr Ihya Al-kutub Al-‟Arobiyyah, t.t),
h. 9. 30
Al-Imam Jalâluddin Al-mahally, Al-Waraqât..., h. 10. Al-„alim Al-allâmah „Alâ‟uddin „Ali bin Muhammad bin Ibrohim Al-Baghdady, Tafsir Khozin, (Beirut: Darul Fikri, 1979), Jilid I, h. 399. 31
67
Dari definisi al-Baghdady, bahwa amr ma‟ruf dan nahi munkar adalah perintah atau larangan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang sudah dimengerti oleh akal, baik perbuatan itu benar ataupun salah. Dan yang menganggap benar atau salah tersebut itupun bukan hak akal saja melainkan melalui penentuan dari syari‟at. Sedangkan
Wahbah
Azzuhaily
dalam
Tafsir
Munirnya
mendefinisikan ma‟ruf “dengan apa saja yang disepakati baiknya oleh akal yang sehat dan jiwa yang bersih, dan hal itu pun harus sesuai dengan yang diperintahkan menurut syara‟.” Sedangkan munkar “apa saja yang diingkari olah jiwa dan syari‟at karena bertentangan dengan fitrah dan kemaslahatan manusia.”32 Jika Al-Baghdady menggunakan kalimat “akal” saja tanpa ada qoyyid lagi, berbeda halnya dengan Wahbah Azzuhaily yang lebih menspesifikasikannya lagi dengan akal yang sehat dan jiwa yang bersih. Sehingga dapat diartikan bahwa amr ma‟ruf dan nahi munkar perintah atau larangan terhadap apa pun yang memerlukan pertimbangan akal sehat dan jiwa yang bersih serta melalui penetapan hukum dari syara‟. Menurut
al-Imam
al-Fakhrurrâzy
dalam
tafsirnya,
beliau
mendefinisikan bahwa yang disebut dengan ma‟ruf adalah “tentang mengenal Allah serta meyakini adanya Allah (tanpa sekutu), sedangkan munkar adalah meyakini bahwa Allah mempunyai sekutu.”33 Berbeda dari kedua ulama yang telah disebutkan sebelum al-Imam al-Fakhrurroozy di atas. Al-Imam al-Fakhrurrâzy mempunyai pendapat tersendiri dalam menafsirkan ma‟ruf dan munkar, sehingga membuat pembaca kitabnya lebih leluasa untuk menelaah penafsirannya. Dari definisi tentang ma‟ruf dan munkar yang beliau kemukakan dapat dipahami bahwa amr ma‟ruf dan nahi munkar adalah perintah untuk meyakini kewujudan dan keesaan Allah swt dan larangan untuk
32 33
148.
Wahbah al-Zuhayly, TafsirMunir, (Damaskus: Darul Fikri, t.t) , Juz IX, h. 117. Al-imam Al-Fakhrurrâzy, Tafsir Ar-roozy, (Beirut: Darul Ihya Atturoots, t.t), Juz XXV, h.
68
menyekutukan Allah dengan apapun. Jadi, definisi dari al-Imam alFakhrurroozy lebih cenderung pada ketauhidan. b. Kedudukan Amr Ma’ruf dan Nahi Munkar Kedudukan amr ma‟ruf nahi dan munkar dalam Islam sangatlah penting. Karena amr ma‟ruf dan nahi munkar merupakan pusat mengalirnya perintah-perintah agama. Dikarenakan itu pula Allah menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus rasul-rasul-Nya. Sedangkan kewajiban amr ma‟ruf dan nahi munkar sudah disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Menurut perspektif Islam melaksanakan amr ma‟ruf dan nahi munkar pada dasarnya diharuskan kepada setiap orang muslimin atau dengan kata lain fardhu ain. Akan tetapi bila telah dilaksanakan oleh sebagian orang gugurlah kewajiban tersebut untuk sebagian yang lain. Sedangkan pahala amr ma‟ruf dan nahi munkar hanya dikhususkan kepada yang melaksanakannya saja. Dalam amr ma‟ruf dan nahi munkar pun terdapat hukum kausalitas yang menyatakan jika tidak ada seorang pun yang melaksanakan amr ma‟ruf dan nahi munkar, maka dosanya pun ditanggung oleh seluruh alam dan orang-orang yang mampu melaksanakan amr ma‟ruf dan nahi munkar. Islam pun tidak mempersulit kewajiban amr ma‟ruf dan nahi munkar kepada pemeluknya. Amr ma‟ruf dan nahi munkar yang masuk dalam kategori wajib adalah hal-hal yang bersinggungan dengan perkaraperkara yang wajib dilaksanakan dan perkara yang haram dilaksanakan. Sedangkan disunnahkan
untuk
perintah
melaksanakan
perkara-perkara
yang
dan
larangan
melaksanakan
perkara-perkara
yang
dimakruhkan adalah sunnah.
c.
34
34
Hukum Amr Ma’ruf dan Nahi Munkar
Syeikh Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad, Risalahul Muawanah, (T.tp: Dar Ihya Al-kutub Al-‟Arobiyyah, t.t), h. 26.
69
Amr ma‟fur dan nahi munkar merupakan perintah Allah kepada orang-orang yang beriman dalam upaya menegakkan keadilan di kalangan penguasa dan rakyat jelata serta dalam meratakan stabilitas dan berlakunya sistem dan ikatan kewajiban-kewajiban keagamaan yang konstitusional serta pemeliharaan martabat dan kehormatan diri, disamping kewajiban dalam bidang sosial, ekonomi, kebudayaan, agama, dan militer.35 Di dalam surat Al-Imran/3 ayat 104, Allah berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. alImran/3: 104) Dalam surat Al-Imran/3 ayat 110, Allah juga berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”(Q.S. al-Imran/3 : 110) Ibnu Taimiyah menetapkan bahwa amr ma‟ruf dan nahi munkar sebagai kelengkapan rukun iman. Ia menyatakan bahwa, amr ma‟ruf dan nahi munkar tidak dapat dipisahkan dari persoalan akhlak manusia, karena manusia mempunyai dua kutub yang saling tarik-menarik, yaitu dorongan untuk melakukan kejahatan atau kemunkaran. Ia berpendapat 35
Ensiklopedi al-Qur‟an; Dunia Islam Modern…, h. 159.
70
bahwa, umat Islam ditugaskan menjalankan amr ma‟ruf dan nahi munkar, karena Allah telah menjadikan umat Islam sebaik-baik umat yang dikaruniai nikmat yang lengkap, yakni agama yang sempurna dan ridaNya. Umat Islam di hadapan Allah melebihi keadaan manusia umumnya dan berkesanggupan menjalankan amr ma‟ruf dan nahi munkar.36 Kaum Syi‟ah menetapkan amr ma‟ruf dan nahi munkar sebagai kelengkapan jihad fi sabilillah. Tidak sempurna Iman dan Islam seseorang jika tidak melakukan amr ma‟ruf dan nahi munkar. Muktazilah pimpin Washil bin Atta‟ juga berpendapat serupa.37 Akan tetapi, ada perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai hukum amr ma‟ruf dan nahi munkar. Ada yang mengatakan fardhu „ain, misalnya Ibnu Hazm berdasarkan hadits Nabi:
“Dari Abi Sa‟id al-Khudri berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda: barang siapa diantara kalian yang melihat suatu kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu, (ubahlah) dengan lisannya, dan jika tidak mampu (ubahlah) dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman” (H.R. Muslim) Sementara Iman Ghazali berpendapat bahwa amr ma‟ruf dan nahi munkar adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah),38 yaitu jika ada segolongan orang yang melakukan amr ma‟ruf dan nahi munkar, maka gugurlah bagi yang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari 36
Ensiklopedi al-Qur‟an; Dunia Islam Modern..., h. 159. Ensiklopedi al-Qur‟an; Dunia Islam Modern…, h. 159. 38 Ensiklopedi al-Qur‟an; Dunia Islam Modern..., h. 159. 37
71
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. alImran/3: 104) Akan tetapi, dalam beberapa keadaan amr ma‟ruf dan nahi munkar bisa menjadi fardhu „ain: 1.
Apabila kemunkaran hanya diketahui oleh orang tertentu, maka ia wajib melakukan amr ma‟ruf dan nahi munkar. Sebab fardhu kifayah tidak akan tegak kecuali oleh dia.
2.
Apabila kemunkaran tidak bisa diubah kecuali oleh orang tertentu, maka orang tersebut wajib melakukannya.
3.
Amr ma‟ruf dan nahi munkar wajib bagi orang yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengurus kaum muslimin. Berawal dari penguasa (sulthan) yang Allah kuasakan kepadanya. Sesungguhnya Islam mensyaratkan pemerintah untuk merealisasikan amr ma‟ruf dan nahi munkar. Setiap maslahat yang dibutuhkan umat, berarti kema‟rufan dan setiap yang mafsadat bagi umat adalah kemunkaran baik dalam perkara agama maupun keduniawiaan.39 Nahi munkar dengan hati hukumnya fardhu „ain bagi setiap kaum
muslimin dalam seluruh keadaan, karena tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi hati orang lain untuk membenci kemunkaran. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Dari Abi Sa‟id al-Khudri berkata: aku mendengar Rasulullah saw bersabda:…Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya, dan yang demikian itu (mengubah dengan hati) adalah selemah-lemahnya iman.” (H.R. Muslim)
Dan di dalam hadits lain dikatakan:
39
Salman al-Audah dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar,”, penerjemah. Rahmat dan Abdul Rosyid Shidiq, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1993), h. 50.
72
“Dari Abdullah bin Mas‟ud berkata: bersabda Rasulullah saw: dan barang siapa yang membenci dengan hatinya, ia pun mukmin. Selain dibalik itu tidak ada iman sebesar biji sawi pun.” (H.R. Baihaqy)
Maksud hadits ini bahwa orang yang melihat kemunkaran kemudian hatinya tidak bergerak untuk membenci kemunkaran tersebut, maka orang yang demikian itu tidak ada iman di dalam hatinya.40 Dari uraian di atas menunjukkan bahwa amr ma‟ruf dan nahi munkar begitu urgen posisinya. Di antaranya adalah: 1.
Amr ma‟ruf dan nahi munkar merupakan penyebab umat ini dan termasuk karakteristiknya yang Allah karuniakan di antaranya seluruh umat. Allah berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. alImran/3: 110) 2.
Amr ma‟ruf dan nahi munkar merupakan bagian dari rasa solidaritas yang Allah tegakkan di antara orang-orang mukmin, yaitu saling menjamin, dan saling melengkapi di antara mereka.
3.
Amr ma‟ruf dan nahi munkar merupakan jaminan bagi suatu lingkungan dari bahaya polusi akhlak dan pemikiran yang
40
Salman al-Audah dan Fadil Ilahi, “Amar Ma‟ruf Nahi Munkar,”…, h. 54.
73
menyesatkan. Karena polusi ini lebih berbahaya daripada polusi fisik. Dari berbagai hal yang telah disebutkan, penulis berasumsi bahwa dalam amr ma‟ruf dan nahi munkar terdapat nilai-nilai penting, diantaranya: 1.
Bukti identitas Islam dalam suatu lingkungan.
2.
Filter bagi lingkungan dari setiap hal yang membahayakan lingungan.
3.
Sarana pembeda antara yang haq dan bathil dalam kehidupan.
Untuk menjadikan amr ma‟ruf dan nahi munkar sebagai identitas dalam kehidupan umat muslim, sepantasnya dilakukan pendekatan-pendekatan yang bersifat pendidikan. Agar dapat lebih memahami arti pentingnya ibadah amr ma‟ruf dan nahi munkar. Di antara pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan instruksional (yaitu dengan cara yang bersifat mengajarkan tentang pentingnya amr ma‟ruf dan nahi munkar). Sebagai contoh adalah yang tertuang dalam surat Al-Imran/3 : 104:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. al-Imran/3 : 104) Dari ayat ini saja kita sudah dapat memahami sangat pentingnya amr ma‟ruf dan nahi munkar. Dalam ayat ini Allah memerintahkan umat Islam menjadi 3 golongan: 1.
Kelompok yang pertama adalah golongan yang senantiasa mengajak kepada jalan kebaikan.
2.
Kelompok kedua adalah golongan yang memerintahkan untuk berbuat yang ma‟ruf (perbuatan yang Allah rida‟i).
3.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang mencegah perbuatan munkar.
74
Bukan tanpa alasan penulis memahami ayat tersebut dengan memisahmisahkannya menjadi kelompok yang terpisah. Hal ini dikarenakan realita yang terjadi di zaman sekarang. Kelompok yang pertama adalah golongan yang senantiasa mengajak kepada jalan kebaikan, kelompok untuk hal seperti ini sudah banyak kita temui bahkan dikalangan anak-anak pun mudah kita temui. Untuk kelompok kedua adalah golongan yang memerintahkan untuk berbuat yang ma‟ruf (perbuatan yang Allah rida‟i) pun mudah kita temui seperti ceramah-ceramah agama yang sering kita dengar melalui berbagai media. Akan tetapi untuk kelompok ketiga adalah kelompok yang mencegah perbuatan munkar inilah yang sangat sulit kita temui, karena banyak orang yang berdalih bahwa nahi munkar melanggar HAM (Hak Azasi Manusia). Alasan seperti ini bisa disebut alasan yang tidak masuk akal atau dengan kata lain rida dengan kemunkaran tersebut. Jika memang nahi munkar melanggar HAM (Hak Azasi Manusia), mustahil Allah memerintahkan hal tersebut kepada hambanya. Pendekatan yang dapat digunakan dalam amr ma‟ruf dan nahi munkar adalah pendekatan tarhib (ancaman atau intimidasi melalui hukuman yang disebabkan oleh terlaksananya sebuah dosa, kesalahan, atau perbuatan yang telah dilarang Allah). Pendekatan ini biasanya berguna bagi orang yang memiliki
kemampuan
untuk
menghilangkan
kemunkaran
dengan
kekuatannya (tidak terbatas kepada yang mempunyai kekuasaan saja) sekalipun nyawa taruhannya. Di antara contoh pendekatan tarhib adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq41: “Wahai orang-orang, sesungguhnya kamu sering membaca ayat ini, (surat AlMaidah/5 ayat 105)
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat 41
Abu Zakariya Yahya Ibn Syarof An-Nawawiy, Al-Adzkar An-Nawawiyyah, (Jakarta: Daar Al-kutub al-Islamiyyah, 2004), Cet. I, h. 455.
75
petunjuk. hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. al-Maidah/5: 105) sesungguhanya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “ sesungguhnya orang-orang yang apabila mereka melihat kemunkaran, kemudian mereka tidak menghilangkan kemunkaran itu dengan tangannya (kekuatan) hampir saja Allah ratakan azab karena hal tersebut”. Selain pendekatan tarhib dapat pula digunakan pendekatan nasihat, yaitu dengan cara memberikan pengarahan-pengarahan tentang keuntungankeuntungan yang didapat dari menjalankan amr ma‟ruf dan nahi munkar. Pendekatan ini biasa dilakukan oleh golongan para muballigh. Dengan disampaikannya pengetahuan tentang amr ma‟ruf dan nahi munkar oleh para muballigh diharapkan tumbuh keinginan yang kuat di dalam masyarakat untuk melaksanakan amr ma‟ruf dan nahi munkar. Dengan keterbatasan pemahaman penulis dalam masalah amr ma‟ruf dan nahi munkar, maka penulis hanya mampu menyebutkan tiga pendekatan ini saja yaitu pendekatan instruksional, pendekatan tarhib, dan pendekatan nasihat. Hal ini bukan tanpa alasan, karena pembudayaan amr ma‟ruf dan nahi munkar di zaman yang sudah rusak seperti ini sebaiknya lebih ditekankan pada perbuatan dibanding dengan nasihat-nasihat saja ataupun dalam bentuk dialog. Kesimpulan seperti ini pun bukan tanpa dasar, akan tetapi lebih karena pemahaman penulis tentang hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Sa‟iid Al-Khudry sebagai berikut:42
Dari Abi Said al-Khudri berkata: bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa diantara kalian yang melihat suatu kemunkaran, maka ubahlah dengan 42
Abu Zakariya Yahya Ibn Syarof An-Nawawiy, Al-Adzkar An-Nawawiyyah..., h. 455.
76
tangannya, jika tidak mampu, (ubahlah) dengan lisannya, dan jika tidak mampu (ubahlah) dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemahlemahnya iman” (H.R. Muslim)
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Ibadah merupakan percerminan dari rasa syukur terhadap nikmatnikmat yang telah diberikan oleh Allah swt. Percerminan rasa syukur dalam bentuk ibadah sangatlah luas sebagaimana yang tertuang di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sumber pokok dalam berperilaku dan menjadi acuan kehidupan, karena di dalamnya memuat berbagai aturan kehidupan dimulai dari hal yang urgent sampai kepada hal yang sederhana sekalipun. Jika alQur’an telah melekat dalam kehidupan setiap insan, maka ketenangan dan ketentraman batin akan mudah ditemukan dalam realita kehidupan. Dari berbagai uraian yang penulis paparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perintah-perintah yang Allah swt telah tetapkan dalam kandungan surat al-Hajj ayat 41 berisikan tentang nilai-nilai pendidikan ibadah yang penulis kelompokkan menjadi tiga bagian yaitu:
77
78
1.
Nilai pendidikan ibadah salat dapat meningkatnya kualitas hubungan dengan Allah swt, menjadikan jiwa seorang muslim sebagai jiwa yang kokoh, dan sebagai sarana pengendalian diri bagi seorang muslim.
2.
Nilai pendidikan ibadah zakat dapat berkembangnya sifat-sifat terpuji dalam diri muzakki (pemberi zakat) yang berguna bagi lingkungan, menjadi media silaturrahmi dan sarana pembersihan jiwa dan harta, serta penghancur jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
3.
Nilai pendidikan ibadah amr ma’ruf dan nahi munkar dapat Bukti identitas Islam dalam suatu lingkungan, filter bagi lingkungan dari setiap hal yang membahayakan lingungan, dan sarana pembeda antara yang haq dan bathil dalam kehidupan. Dengan demikian surat al-Hajj ayat 41 ini memberikan landasan bagi
pelaksanaan pendidikan Islam yang berorientasi kepada terwujudnya manusia yang shaleh baik secara intelektual, emosional dan spiritual.
B. Saran 1. Al-Qur’an selain merupakan pedoman bagi umat Islam, juga merupakan sumber ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dunia pendidikan khususnya pendidikan ibadah dalam setiap pembahasan dan kajiannya hendaknya tidak terlepas dari al-Qur’an. 2. Hendaknya pendidikan ibadah dapat dijadikan sebagai alat untuk membentuk kepribadian muslim yang bersikap dan bertingkah laku yang sesuai dengan tuntutan al-Qur’an. 3. Hendaknya pendidikan ibadah salat, zakat, dan amr ma’ruf dan nahi munkar tidak hanya dijadikan sebuah wacana, akan tetapi perlu diaplikasikan secara riil agar terwujud masyarakat yang madani.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu dan Salimi, Noor, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Al-Abrasi, Muhammad Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, penerjemah. Bustami A. gain dan Djohal Bahry, Jakarta : Bulan Bintang, 1984. Al-Audah, Salman dan Ilahi, Fadil, “Amar Ma’ruf Nahi Munkar,”, penerjemah. Rahmat dan Abdul Rosyid Shidiq, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1993. Al-Baghdady, Al-‘alim Al-allâmah ‘Alâ’uddin ‘Ali bin Muhammad bin Ibrohim, Tafsir Khozin, Beirut: Darul Fikri, 1979. Al-Baijury, As-Seikh Ibrohim, Haasyiyah Al-Baijury, Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2007. Al-Bantaniy, As-Syeikh Muhammad Nawawi, Tanqiihul Qoul, Jeddah: Haromain, t.t. Al-Fakhrurrâzy, Al-imam, Tafsir Ar-roozy, Beirut: Darul Ihya Atturoots, t.t. Al-Ghazy, Muhammad bin Qasim, Fathul Qarib, Bandung: Al-Ma’arif, t.t. Al-Haddad, Syeikh Abdullah bin Alawi bin Muhammad, Risalahul Muawanah, T.tp: Dar Ihya Al-kutub Al-’Arobiyyah, t.t. Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press, 1988. Al-Mahally, Al-Imam Jalâluddin, Al-Waraqât, T.tp: Dâr Ihya Al-kutub Al-’Arobiyyah, t.t. Al-Misri, Abdullah, Lamhah Fi Wasail At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa Gayatuha, Beirut: Daar alfikri. Al-Munawwar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nila-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005. Al-Qardhawi, Yusuf, Ibadah dalam Islam, penerjemah. Umar Fanani, Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1998. Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, penerjemah. Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2006. Al-Zuhayly, Wahbah, Zakat: Kajian Berbagai Mazhab, penerjemah. Agus Effendi dan Bahruddin Fananny, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005. Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan Dari Allah “Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir”, penerjemah. Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani, 1999.
71
72 Ash Shiddieqy, Hasbi, Kuliah Ibadah: Ibadah Ditinjau dari segi Hukum dan Hikmah, Jakarta: Bulan Bintang, 1954. _____, Pedoman Shalat, Jakarta: N.V.Bulan Bintang, 1983. _____, Pedoman Zakat, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1987. Az-Zaghabi, Muhammad Abdul Malik, Malang Nian Orang yang Tidak Shalat, penerjemah. Abdul Rosyid Shiddiq, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001. Baihaqi, Fiqih Ibadah, Bandung: M2S Bandung, 1996. Darajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Departemen Agama RI, Kendali Mutu Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1992. Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Hudory, Syaikh Muhammad, Tarikh Tasyri Islami, Bairut: Darl Fiqr, 1981. Ismail, M. Syuhudi, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1994. Izzudin, Abu Muhammad, Shalat Tiang Agama, Johor Baru: Perniagaan Jahabersa, 1996. Majieb, M. Abdul, dkk, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995. Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004. Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1988. Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
73 Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an “Di Bawah Naungan Al-Qur’an”, penerjemah. As’ad, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 1994. Razak, Nasarudin, Ibadah Shalat Menurut Sunnah Rasulullah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1993. Ritonga, A. Rahman dan Zainuddin, Fiqih Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.t. Sabri, M Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah “Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”, Jakarta: Lentera Hati, 2002. ________, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997. Sjadzali, Munawir dan Soeratno, Chamamah (eds.), Ensiklopedi al-Qur’an; Dunia Islam Modern, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002. Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan, Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosda Pustaka, 1997. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994. Yasin, Ibnu Amin dan Yasmin, Abu, Fikih Shalat Lengkap, Jakarta: Pustaka Azzam, 2010. Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. ________, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Surabaya: Usaha Nasional, 1981.