KATA PENGANTAR KETUA PANITIA SEMINAR Assalamu’alaikum Wr.Wb Yang terhormat; Rektor Universitas Malikussaleh, Pembantu Rektor, Dekan Dekan Fakultas Teknik, Pembantu Dekan Fakultas Teknik, Kajur di lingkungan Fakultas Teknik,, Pemateri Utama Bapak Ir. Musthofa, Ibu Prof. Ir. Husni Husin, MT, Bapak Dr. Bahruddin, MT, Rekan Dosen di Lingkungan Jurusan Teknik Kimia serta para undangan dan mahasiswa/mahasiswi yang berbahagia. Bersama ma ini kita panjatkan puji puji dan syukur kehadirat Allah SWT., dimana dengan rahmat dan hidayah-Nya Nya kita dapat hadir dan menyelenggarakan Seminar Nasional N Teknik Kimia Universitas Malikussaleh (Unimal) tahun 2016 . Seminar Nasional Teknik Kimia Unimal pada tahun 2016 2016 ini merupakan seminar pertama yang dilakukan oleh Jurusan Teknik Kimia Unimal dengan den tema “Peng Penguatan Link and Match antara institusi pendidikan dan dunia industri dalam dala rangka meningkatkan kompetensi petensi lulusan menuju pasar bebas Masyarakat Masy Ekonomi nomi ASEAN”. ASEAN Seminar nasional yang direncanakan pelaksanaannya dua tahun sekali ini untuk memberi wadah terjalinnya kerjasama sivitas akademisi dengan dunia duni indusri dalam menghasilkan lulusan yang mampu menghadapai pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah berlangsung. Panitia seminar bersyukur dengan terlaksananya seminar seminar nasional ini. Dukungan dari berbagai pihak terutama dari Pertamina Hulu Energi (PHE) telah memberikan bantuan yang sangat berarti. Panitia juga berterimakasih kepada Bapak Rektor Unimal, Bapak Dekan Fakultas Teknik, rekan-rekan rekan dosen dan mahasiswa serta pihak PT. Pupuk Iskandar Muda yang telah memberikan berikan dukungan yang besar untuk terlaksananya seminar ini. Terimakasih juga kami ucapkan kepada para pemakalah baik dari dalam dalam maupun dari luar Aceh yang telah hadir dan menyumbangkan makalahnya pada seminar seminar nasional ini. Akhirnya kami panitia memohon maaf apabila dalam pelaksanaan seminar semi ini masih terdapat kekurangan dan kesilapan selama berlangsungnya acara.
Lhokseumawe, 17 Oktober 2016
Dr. Lukman Hakim, ST. M.Eng
SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA UNIVERSITAS MALIKUSSALEH 2016
08.00-08.30
: Registrasi
08.30-10.10
: Pembukaan - Pembacaan Al-Quran - Tari Persembahan & Paduan Suara - Kata Sambutan: Ketua Panitia Seminar, Ketua Jurusan Teknik Kimia, Dekan Fakultas Teknik, Rektor Universitas Malikussaleh
10.10-11.35
-
Doa
-
Coffe Break
: Pemateri Utama - Ir. H. Musthofa (Komisaris Utama PT. Pupuk Iskandar Muda) - Prof. Ir. Husni Husin (Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala) - Dr. Bahruddin, MT. (Teknik Kimia Universitas Riau)
11.35-11.45
: Sesi Photo Bersama
11.45-14.00
: Isoma
14.00-17.30
:Seminar Paralel
17.30-18.00
: Penutup
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
DAFTAR ISI Halaman Kata Sambutan Ketua Jurusan Teknik Kimia Universitas Malikussaleh .................. ii Kata Pengantar Ketua Panitia ..................................................................................... iii Susunan Acara ............................................................................................................ iv Daftar Isi ..................................................................................................................... v
No
Judul Artikel / Pengarang Energi Terbarukan
ET-01
Desain dan Uji Kehandalan Konverter Kit Untuk Mesin Diesel
1
Berbahan Bakar Ganda Biogas Metana dan Biosolar (Imron Rosyadi, Yuhelsa Putra, Dewi Murni ) ET-02
Optimasi Proses Pembuatan Biodiesel dari Minyak Biji Jarak
11
Kepyar (Ricinus communis L.) dengan Metode Ekstraksi Reaktif (Wawan Setiawan, Azhari, Novi Slyvia) ET-03
Pemanfaatan Limbah Kaleng Minuman Aluminium Untuk Produksi
22
Gas Hidrogen Menggunakan Katalis Kalium Hidroksida (KOH) (Lentina Sitohang, Lukman Hakim, Fikri Hasfita) ET-04
Pemanfaatan Limbah Aluminium Foil Untuk Produksi Gas Hidrogen
36
Menggunakan Katalisnatrium Hidroksida (NaOH) (Lukman Hakim, Intan Marsalin) ET-05
Optimasi Proses Pembuatan Biodiesel Biji Jarak Pagar (Jatropha
51
Curcas L.) Melalui Proses Ekstraksi Reaktif (Retno Atika Putri, Azhari Muhammad, Ishak) ET-06
Pemanfaatan Limbah Kaleng Minuman Aluminium sebagai Penghasil
67
Gas Hidrogen Menggunakan Katalis Natrium Hidroksida (NaOH) (Sri Wahyuni, Lukman Hakim, Fikri Hasfita) ET-07
Pengaruh Penggunaan Elpiji Sebagai Bahan Bakar Terhadap Unjuk Kerja Motor Bahan Bakar Bensin (Asnawi, Adi Setiawan)
79
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Material dan Komposit MK-01
Karakterisasi Material Campuran Sio2 Dan Getah Flamboyan
88
(Delonix Regia) Sebagai materialcoating Pencegah Korosi Pada Baja (Agus Rochmat, Bima Purama Putra, Ela Nuryani, Marta Pramudita) MK-02
Pengaruh Komposisi Campuran dan Waktu Tahan Reduksi Bijih
99
Besi Kabupaten Merangin Menggunakan Reduktor Batubara (Soesaptri Oediyani, Susi Maya Sari) MK-03
Pengaruh Suhu dan Waktu Reaksi Pada Pembuatan Kitosan Dari
118
Tulang Sotong (Sepia officinalis)
MK-04
(Etty Centaury Siregar, Suryati, Lukman Hakim ) Pembuatan Plazore Dari Plastik Bekas Dengan Media Minyak Jelantah Dan Aplikasi Sebagai Perendam Bunyi
127
(Milawarni, Saifuddin) MK-05
Uji Mekanik Komposit Berpenguat Serat Pandan Duri dan Resin Polyester Dengan Variasi Komposisi Metoda Fraksi Berat (Muhammad, Reza Putra )
140
MK-06
Pembuatan Lembar Hidrogel Dari Kitosan, Madu, gelatin, dan
150
kappa karagenan sebagai material pembalut luka (Dhena Ria Barleany, Ifo Triyuni, M. Aryo bimantoro) MK-07
Pengaruh perbedaan kepolaran pelarut pada Ekstraksi Resin dari
162
Buah Jernang (Dragon Blood) metode masearasi untuk penentuan kualitas resin jernang sesuai SNI 1671:2010 (Saifuddin, Nahar dan Selvie Diana) MK-08
Pengaruh Suhu Dan Konsentrasi Naoh Pada Pembuatan Kitosan
179
Dari Tulang Sotong (Sephia Officinalis) (Hayati Putri Melati Ginting , Suryati, Meriatna)
MK-09
Analisa Pengujian Mekanis Komposit Serat Rami (Edy Yusuf,Zulmiardi)
192
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
MK-10
Efektifitas Proses Aop Berbasis H2O2 Dalam Menghilangkan
203
Warna Air Gambut Berdasarkan Parameter Konsentrasi Zat Organik (Elfiana, Anwar Fuadi) MK-11
Penguatan Sifat Mekanis Dan Biodegradability Pati Sagu Termoplastik 220 Termodifikasi (Modified Thermoplastic Starch) Dengan Penambahan Kitosan Dan Pemlastis Gliserol (Rozanna Dewi, Nasrun, Eddy Kurniawan, Maulita Rizki and Fatimah)
MK-12
Efektivitas Suhu Dan Waktu Distilasi Terhadap Komposisi Kimia
236
Asap Cair Dari Tempurung Kemiri (Sulhatun, Nasrun, Cut Putri) MK-13
Pemanfaatan Limbah Serat Ampas Tebu (Saccharum Officinarum)
251
Sebagai Bahan Baku Genteng Elastis (Mis Ariska AJ Rambe, Fiqhi Fauzi,SitiKhanifa) Optimasi Proses dan Simulasi OPS-01
Analisa Profil Aliran Fluida Ammonia Cair Dalam Tubular
266
Reaktor Dengan Menggunakan Metode Computational Fluid Dinamics (Cfd) (Amiruddin, Azhari, Wusnah) OPS-02
Optimasi Kondisi Operasi Pada Sistem Adsorpsi Besi (Fe2+)
282
Menggunakan Kolom Fix Bed Secara Kontinyu (Novi Sylvia, Fikri Hasfita, Meriatna , Fitriani, dan Malasari Nasution ) OPS-03
Kendali Proses Grate Cooler Plant 8 Grate1, Pt. Indocement
293
Tunggal Prakarsa Tbk (Heri Haryanto,Ahmad Taslim) OPS-04
Analisa Distribusi Temperatur Alat Penukar Kalor Jenis Shell And Tube Dengan Menggunakan Metode Computational Fluid Dynamic (CFD) (Lilis Hasibuan, Nasrul ZA, Wusnah)
321
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
OPS-05
Sintesis Membran Silika/Alumina Untuk Memisahkan Oksigen
331
Dari Udara Dengan Metode Sol-Gel (Ratna Sari , Ratni Dewi , Muhammad Yunus , Zulfayani ) OPS-06
Kaji Eksperimental Film Evaporative Dan Humidifikasi
338
pada kolektor pelat datar
(Zulfikar, Muhammad, Teuku Hafli, Zulkarnein) OPS-07
Analisa Pengaruh Jarak Antar Baffle Terhadap Perpindahan Panas
347
Pada Alat Penukar Kalor Jenis Shell And Tube Dengan Menggunakan Metode Simulasi Computational Fluid Dynamic (Cfd) (Muhammad Jayanta Bangun, Nasrul ZA, Azhari) Pengolahan Produk Pangan dan Pengolahan Limbah PP-01
Pengaruh Temperatur Lingkungan Terhadap Produksi biogas di
364
tpsa bagendung kota cilegon (Caturwati, Agung Sudrajat, Heri Haryanto, Mekro Permana, Aminullah M) PP-02
Biosorpsi Logam Berat Kromium Heksavalen Menggunakan
372
Biomassa Tongkol Jagung Yang Teraktifasi Naoh Pada Limbah Artifisial (Cut Nur Fitriani, Meriatna, Fikri Hasfita)
PP-03
Penyisihan Zat Warna Methyl Violet Menggunakan
387
Kulit Kacang Tanah (Fikri Hasfita, Lenni Maulinda, Riska Sabila) PP-04
Efektifitas Elektroda Aluminium Untuk Penjernihan
398
Air Sumur Dengan Metode Elektrokoagulasi Sistem Kontinyu
(Suryati, Radhiah, Rachmawati) PP-05
Kinetika Adsorpsi Pb(Ii) Dalam Air Sumur Tercemar Menggunakan Sistem Kolom dengan Bioadsorben kulit kacang tanah (Halim Zaini, Muhammad Sami)
411
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
PP-06
Klasifikasi Kematangan Buah Pepaya Menggunakan Ekstraksi warna
427
Dengan metode K-Means Clustering (Eliyani,M.Basyir, Siti Amra ) PP-07
Kinerja Membran Nanofiltrasi Dari Selulosa Asetat Dalam Menurunkan Kadar Garam Pada Air Bersalinitas Menengah: Tinjauan Terhadap Proses Pembuatan Membran (Sofyana, Cut Meurah Rosnelly, Hisbullah)
441
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
DESAIN DAN UJI KEHANDALAN KONVERTER KIT UNTUK MESIN DIESEL BERBAHAN BAKAR GANDA BIOGAS METANA DAN BIOSOLAR Imron Rosyadi(1), Yuhelsa Putra(1), Dewi Murni (1) Jurusan teknik mesin Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Jend. Sudirman km3 Cilegon, Indonesia.42435 E-mail:
[email protected] Abstrak Dalam upaya mengurangi penggunaan bahan bakar biosolar. Penulis melakukan penelitian, untuk menguji performa mesin diesel dengan bahan bakar dual fuel. Pada system dual fuel ini menggunakan Gas Heater kit converter. Gas metana merupakan produk biogas dihasilkan dari fermentasi eceng gondok. Tujuan dari penelitian ini adalah Menguji kemampuan Gas Heater kit Konverter untuk mensuplai bahan bakar biosolar dan gas metana kemesin diesel dari sisi performa mesin dan nilai ekonomisnya. Pada pengujian mesin diesel dual fuel dilakukan pada varian kecepatan 700,1000 dan 1300 rpm dengan tanpa pembebanan. Pada pengujian bahan bakar ganda metana dan biosolar, supplai biogas metana ke dalam ruang bakar mesin diesel didapat pada katalis konverter tipe 3. Pada tipe ini metana dapat menggantikan biosolar sampai 80,23%. Secara ekonomis, penggunaan bahan bakar biogas metana jauh lebih murah jika dibandingkan dengan biosolar murni pada putaran yang sama. Misalkan pada putaran 1300 rpm, penggunaan solar murni jika beroperasi dalam 1 hari sebesar Rp.31.795,00. Sedangkan pada bahan bakar ganda biosolar gas metana Rp. 8.406 ,00. Kata kunci: Gas Heater koanverter, diesel dual fuel, Biogas, biosolar
1. Pendahuluan Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan salah satu polutan biologis yang dapat mencemari ekosistem perairan.
Berbagai upaya bisa
dilakukan untuk mengatasi pencemaran badan perairan oleh eceng gondok. Diantaranya
melalui
pemanfaatan
eceng
gondok
sebagai
bahan baku
pembuatan biogas. Biogas yang dihasilkan dari fermentasi eceng gondok sekaligus bisa menjadi solusi alternatif untuk permasalahan keterbatasan energi dari fosil yang keberadaannya semakin berkurang dan tidak dapat diperbaharui.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Biogas yang dihasilkan dari eceng gondok juga ramah lingkungan dan bersifat berkelanjutan. Patil et al., (2011) menyatakan bahwa penggunaan eceng gondok sebagai substrat pembuatan biogas merupakan strategi pengendalian yang sangat menguntungkan karena
bersifat produktif.
Eceng gondok selalu tersedia dan
terbarukan sehingga bisa dipanen setiap saat sesuai masa produksinya. Mesin diesel berbahan bakar ganda (dual fuel) yaitu mesin diesel yang ditambahkan bahan bakar lain pada proses pembakarannya. Prinsip dari mesin diesel dual fuel yaitu bahan bakar gas ditambahkan melalui saluran hisap mesin dengan menggunakan ruang pencampur (mixing chamber). Sedangkan bahan bakar solar disemprotkan dengan pilot fuel . Pembatasan subsidi pada bahan bakar minyak akhir-akhir ini banyak menimbulkan permasalahan terutama masyarakat kalangan menegah kebawah yang keseharian usahanya menggunakan motor diesel. Masyarakat banyak menggunakan mesin diesel sebagai alat bantu, seperti mesin pompa air pertanian, traktor tangan pertanian, penggilingan padi, generator listrik, dan mesin perahu nelayan. Oleh sebab itu perneliti ingin mengembangkan system diesel berbahan bakar ganda (dual fuel). yang menggunakan instrument katalis kit konverter yang sederhana. Dengan meningkatkan kemampuan katalis kit konverter, diharapkan dapat meningkatkan suplai penggunaan bahan bakar gas. Dengan demikian penggunaan bahan bakar solar dapat ditekan setinggi mungkin. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menguji
kemampuan Gas Heater kit
Konverter untuk mensuplai bahan bakar biosolar dan gas metana kemesin diesel, hingga aliran maksimum tanpa terjadi detonasi. (2) Membandingkan konsunsi massa biogas – Biosolar, (3) Membandingkan karakteristik performa mesin diesel dual fuel dengan menggunakan Gas Heater converter standar dengan modifikasi. (4) Mengetahui dari segi nilai ekonomis. 2. METODOLOGI 2.1. Diagram alir Penelitian Mesin diesel yang akan digunakan dalam percobaan ini yaitu mesin diesel satu silinder dengan kapasitas mesin 7 Hp berbahan bakar solar (diesel oil).
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 1. Diagram alir Penelitian Unit Gas Heater yaitu bagian utama dari konverter yang digunakan untuk meningkatkan temperatur gas sebelum masuk keruang bakar, sehingga diharapkan pembakaran dapan terjadi dengan sempurna untuk menghidari terjadinya detonasi mesin. Gas
Heater
dibuat
menggunakan
pipa-pipa
tembaga
dengan
pertimbangan nilai konduktivis termal tembaga cukup bagus serta mudah ditemukan dipasaran. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu unit motor diesel dong feng 7 hp 2600 rpm. unit instrument rem block tunggal untuk pembenbanan. Unit load cell beserta displainya, untuk indicator beban pengereman. Tachometer digital, flow meter gas, dan thermometer beserta gelas ukur. Untuk unit konverter dibuat dari selang gas, regulator dan klem klem penghubung. 2.2 Prosedur penelitian Tahap awal penelitian dimulai dari pembuatan Gas Heater ,dilanjutkan dengan memodifikasi saluran hisap mesin. Untuk membuat ruang campur udara dan gas. Semua instrument diinstalasi menjadi satu, seperti sekema dibawah ini;
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Keterangan Gambar: 1. Mesin Diesel, 2. Saluran hisap, 3. Poros output, 4. Preasure gauge, 5. Thermometer, 6. Flowmeter gas, 7. Gas Heater kit, 8. Saluran buang, 9. Injector fuel nozzle, 10. Ruang campur udara/Lpg, 11. Injector pump, 12. Gelas ukur, 13. Tabug gas, 14. High preasure regulator gas.
Gambar 2. Skema instalasi alat Pengujian dimulai dengan menyalakan mesin dengan pemanasan selama 15 menit. pada putaran stasioner 700 rpm, 1000 rpm dan 1300 rpm. Penambahan gas metana dilakukan secara perlahan dengan tekanan 6 Psi pada putaran tersebut tanpa terjadi detonasi. Kemudian dilakukan peningkatan laju aliran gas metana dan diamati pada flow meter. Pengujian daya pengereman dilakukan dengan pembebanan yang dilakukan dengan pengamatan melalui load cell display hingga mesin berhenti beroperasi. 3. DATA HASIL UJI 3.1 Hubungan Putaran Awal Mesin Terhadap Kemampuan Penambahan Metana dan Kenaikan Rpm Dari total pengunaan bahan bakar (kg/h), maka solar murni secara umum lebih besar jika dibandingkan dengan bahan bakar ganda (dual fuel). Seiring dengan peningkatan putaran mesin, maka konsumsi bahan bakar solar juga meningkat, akan tetapi penggunaan gas metana juga terjadi peningkatan.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Grafik 1. Putaran mesin dan konsumsi bahan bakar Besarnya konsumsi bahan bakar gas metana type ini disebabkan karena desain konver kit yang dimodifikasi ( Type 3) memungkinkan gas metana dapat menyerap kalor dengan baik pada pipa gas buang , sehingga temperatur gas akan meningkat . Hal ini mengakibatkan tekanan pada saat masuk ke katup hisap juga meningkat. 3.2 Besarnya Torsi Tercapai
Grafik 2. Putaran mesin (rpm) terhadap Nilai torsi yang tercapai Besarnya torsi yang dicapai oleh mesin dihitung berdasarkan parameter gaya pembebanan pada sistem rem blok tunggal. Jika dibandingkan dengan biosolar murni, maka pada putaran yang sama torsi yang dihasilkan pada bahan bakar ganda ini lebih besar. Semakin besar supplai gas metana yang masuk ke dalam ruang bakar, maka kualitas pembakaran akan lebih sempurna. Supplay bahan bakar gas yang menggantikan pemakaian biosalar cukup besar. Hal ini disebabkan nilai oktana dari gas ini cukup tinggi, sehingga
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
memungkinkan gas metana yang dipasok ke dalam ruang bakar lebih maksimal tanpa terjadinya detonasi. 3.3 Daya Mesin Besarnya daya yang dicapai oleh mesin dihitung berdasarkan parameter besarnya torsi yang tercapai.
Besarnya torsi yang dihasilkan berbanding lurus
dengan daya mesin. Semakin besar putaran mesin, maka besarnya torsi juga meningkat dan diikuti oleh peningkatan daya yang dihasilkan.
Grafik 3. Putaran mesin (rpm) terhadap Pencapaian daya mesin 3.4. Hubungan Penambahan Metana Terhadap Sfc Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa semakin tinggi putaran mesin, maka penggunaan bahan bakar spesifik / Specific fuel consumption (Sfc) cenderung mengalami penurunan. Terjadinya hal tersebut karena pada sistem pembakaran mesin diesel, Lpg menyumbang panas setelah pembakaran, sehingga
sangat
membantu kerja mesin diesel. Kualitas pembakaran yang lebih sempurna dikarenakan bahan bakar dan udara yang telah bercampur dengan baik sebelum terjadi pembakaran. Hal ini sangat menguntungkan dimana pembakaran akan lebih sempura. Fenomena ini terjadi
seperti pada mesin otto yang memiliki
efesiensi thermal yang lebih besar dibandingkan dengan mesin diesel dikarenakan kualitas pembakaran yang lebih sempurna.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Grafik 4. Putaran Mesin terhadap Sfc Secara umum, Katalis konverter kit Type 3 memiliki kemampuan performa mesin yang paling baik, jika dibandingkan dengan type standar. Begitu juga dari Konsumsi bahan bakar spesifik/ Sfc (kg/kWh), type ini, besarnya sfc lebih rendah pada putaran 700 rpm, dan 1000 rpm. Akan tetapi pada putaran tinggi 1300 rpm, nilai Sfc dari type standar lebih baik.
3.5. Pandangan dari segi ekonomis Untuk mengetahui efek ekonomis yang akan dicapai mesin saat menggunakan dual fuel. Maka dilakukan kalkulasi dari konsumsi bahan bakar dengan factor harga dari bahan bakar itu sendiri. Data dikalkulasikan dengan asumsi mesin beroperasi selama 24 jam. Data hasil kalkulasi dapat dilihat pada grafik 6. Jika harga biosolar Rp. 6900/liter [region III SERANG-Banten per-April 2015, sumber : http://pertamina.com/news-room dan harga Biogas metana adalah Rp.0 dikarenakan dapat diperoleh secara gratis dengan memanfaatkan biomassa eceng gondok. Maka besarnya biaya operasi yang dibutuhkan dalam 1 hari adalah
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Grafik 5. Pencapaian biaya operasi dalam waktu 1 jam Jika dilihat dari nilai persentase perbandingan campuran biosolar dan biogas metana dimana sangat sedikit sekali biosolar yang terpakai, bila diperhitungkan dengan faktor ekonomis dimana tabung yang digunakan adalah tabung gas Lpg 12kg yang bila dimasukkan biogas metana dengan tekanan 30bar didapatkan 1kg gas metana dalam tabung. Pada gambar 25 menunjukkan bahwa penambahan biogas metana menurunkan biaya operasional mesin, pada katalis modifikasi tipe 3 diperoleh biaya operasional yang lebih rendah di bandingkan dengan katalis standart. Namun itu berimbang pada penurunan daya mesin. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi putaran mesin, maka konsumsi bahan bakar gas metana juga lebih besar. Hal ini sangat menguntungkan
dari dilihat dari nilai
ekonomisnya. Akan tetapi berbanding terbalik dengan besarnya daya / BHP yang dihasilkan, semakin besar supplay gas metana ke dalam mesin, maka performa semakin menurun , akibat nilai kalor pembakaran yang dihasilkan juga menurun.
4. Kesimpulan Setelah mengamati data- data hasil pengujian alat penukar panas (gas heater) pada unit konverter kit mesin diesel dual fuel ini. Dapat di tarik beberapa kesimpulan : 1. Penggunaan bahan bakar biogas metana dapat digunakan pada mesin diesel berbahan bakar ganda ( solar + gas).
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
2. Pada pengujian bahan bakar ganda metana dan biosolar, supplai biogas metana ke dalam ruang bakar mesin diesel tertinggi didapat pada katalis konverter tipe 3. Pada tipe ini metana dapat menggantikan biosolar sampai 80,23%. 3. Jika bahan bakar biogas metana diasumsikan didapat secara gratis, maka biaya operasi penggunaan bahan bakar solar akan lebih murah pada putaran yang sama. 4. Secara ekonomis, penggunaan bahan bakar biogas metana jauh lebih murah jika dibandingkan dengan biosolar murni pada putaran yang sama. Misalkan pada putaran 1300 rpm, penggunaan solar murni jika beroperasi dalam 1 hari sebesar Rp.31.795,00. Sedangkan pada bahan bakar biosolar gas metana Rp. 8.406 ,00. 5. Besarnya daya / BHP yang dihasilkan semakin menurun dengan semakin besarnya supplay gas metana ke dalam mesin. 5. Saran Perlu dilakukan sistem kontrol AFR agar dihasilkan komposisi udara dan bahan bakar yang baik untuk pembakaran.
6. Daftar Pustaka Sitompul, Cristian I. 2011. Pengujian Perbandingan Performa mesin Diesel Berbahan Bakar Solar Dengan Mesin Diesel Berbahan Bakar campuran (Solar-Kerosene). Fakultas Teknik Universitas Sumatra Utara, Medan Rachmanto , Tri, ST., MSc. 2008. Konsumsi bahan bakar spesifik (SFCE) dan efesiensi thermal mesin diesel idi bahan bakar ganda multi silinder solar-LPG dengan variasi beban rendah bertingkat. Fakultas Teknik Universitas Mataram Nurjaman, Jajang. 2014. Study Performa Motor Diesel Dengan Menggunakan Bahan Bakar Biodiesel Minyak Goreng Bekas. Teknik Mesin UNTIRTA, Cilegon-Banten Pujo mulyanto, Imam. 2013. Kajian Mekanis Dan EkonomisPenggunaan Dual Fuel System (LPG-Solar) Pada Mesin Diesel Kapal Nelayan Tradisional. Teknik Perkapalan Universitas Diponogoro. Semarang
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Ponia , M.P. 2011. Exsperimental Investigation On Diesel Engine Performance And Exhaust Emissions In An Lpg Diesel Dual Fuel. International Journal Of Enviromental Science And Development Tiwari, Deo Raj and Gompal p, Sinha. 2014. Performance And Emissions Study of Diesel Dual Fuel Engine. International Journal of Enginering and Advanced Technology (IJEAT) Ehsan, Md and Buhyan, Shafiquzzaman. 2009. Dual Fuel Performance of a Small Diesel Engine for Applications With Less Frequent Load Variations. Interbational Journal of Mechanical & Mechatronic Enginering (IJMMEIJENS) Lampiran Drijen Migas
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
OPTIMASI PROSES PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI JARAK KEPYAR (Ricinus communis L.) DENGAN METODE EKSTRAKSI REAKTIF Wawan Setiawan1, Azhari1, Novi Slyvia1 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Kampus Bukit Indah Kec. Muara Satu, Aceh Utara - Fax (0645) 44450 Korespondensi: HP: 082361424626, e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Biodiesel merupakan suatu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Dalam penelitian ini bahan baku yang digunakan dalam pembuatan biodiesel adalah minyak Jarak kepyar (Ricinus communis L). Proses pembuatan biodiesel yang digunakan adalah reaksi eksraksi reaktif, yaitu salah satu proses pembuatan biodiesel dari minyak jarak kepyar dengan menggunakan pelarut etanol. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari kondisi optimum proses pembuatan biodiesel dari minyak jarak kepyar dengan menggunakan software design expert 6.0.8 dengan metode response surface methogology (RSM) model central composite design (CCD). Minyak jarak kepyar di esterifikasi terlebih dulu. Adapun perbandingan mol yang digunakan (minyak : alkohol = 1:5,1:5.5,1:6), persen katalis = 0,95% dengan suhu reaksi 60 , 65 dan 70 . Suhu optimum pada percobaan ini yaitu 65 dengan waktu reaksi 150 menit mendapatkan yield sebesar 28.55%. Biodiesel yang dihasilkan dianalisa sifat fisika dan kimia seperti densitas, flashpoint, dan yield. Kata kunci : Biodiesel, minyak jarak kepyar, esterefikasi, optimum response surface methodology 1. Pendahuluan Biodiesel adalah bahan bakar minyak (BBM) yang dibuat dari bahan nabati berupa lemak atau minyak untuk digunakan pada mesin diesel. Biodiesel termasuk bahan energi yang dapat dipulihkan, karena dapat ditanam pada areal kehutanan, pertanian, lahan rakyat dan lain-lain (Pakpahan, 2001). Penggunaan biodiesel sebagai sumber energi alternatif memiliki banyak keunggulan
komparatif
antara
lain
:
ketersediaan
sumber
daya,
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
ketersediaan teknologi, keunggulan kualitas produk, memberikan dampak positif
terhadap ekonomi makro (devisa negara) dan ekonomi mikro seperti
penciptaan lapangan kerja baru dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar lokasi bahan baku. Beberapa keunggulan kualitas biodiesel dibanding petrodiesel (solar) adalah : resiko terbakar lebih rendah, kualitas pembakaran seimbang, emisi gas toksid lebih rendah sampai nol, lebih mudah terurai scara biologis, pengadaannya banyak melibatkan masyarakat dari kelompok kurang mampu serta memberikan dampak positif pada konservasi tanah dan air (Sudradjat dkk., 2003). Tanaman jarak kepyar merupakan tanaman tahunan yang tahan kekeringan. Tanaman ini juga mampu tumbuh dengan cepat dan kuat di lahan yang beriklim panas, tandus, dan berbatu. Wilayah yang cocok sebagai tumbuhnya adalah di dataran rendah hingga ketinggian 3000 mdpl. Tanaman ini dapat memberikan nilai ekonomis karena
bijinya
menghasilkan
minyak
sebagai
bahan baku pembuatan biodiesel (Heyne, 1987). Penelitian tentang bahan bakar alternatif biodiesel telah banyak dilakukan dengan memakai berbagai macam minyak nabati. Misal Amerika Serikat, menggunakan minyak kedelai sebagai bahan baku, di Eropa menggunakan rapeseed oil, dan di negara- negara tropis menggunakan minyak kelapa dan minyak sawit (Knothe et al., 1997). Jarak kepyar (R. communis) banyak digunakan pada industri kimia seperti pabrik cat, vernis, pelumas, tinta cetak, pabrik kosmetik, parfum, farmasi, bubur kertas, serta sebagai bahan baku industri nilon dan plastik (Osava, 2001). Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dengan metode microwave dimana kondisi optimum pada rasio 1:6 dan menghasilkan yield sebesar 92,67% dengan waktu 10 menit. Densitas biodiesel yang dihasilkan sebesar 0,94 g/ml (Dewi, 2015).
2. Tinjauan Pustaka Minyak jarak kepyar (ricinus communis) berwarna kuning pucat, tetapi setelah dilakukan proses refining dan bleaching warna tersebut hilang sehingga
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
menjadi hampir tidak berwarna. Minyak jarak kepyar (ricinus communis) ini tidak mudah tengik. Minyak jarak kepyar (ricinus communis)
larut dalam
alkohol, eter, klorofom, dan asam asetat glasial. Minyak jarak kepyar (ricinus communis) tidak larut dalam minyak mineral. Minyak jarak kepyar (ricinus communis) hampir keseluruhan berada dalam bentuk trigliserida, terutama resinolenin dengan asam risinoleat sebagai komponen asam lemaknya (Weiss, 1983). Biji jarak kepyar terdiri dari 75 % kernel ( daging biji ) dan 25 % kulit dengan komposisi sebagai berikut: adapun komposisi biji jarak kepyar dapat dilihat pada Tabel 2.1 Tabel 2.1. Komposisi Biji Jarak Kepyar Komponen Jumlah (%) Minyak
54
Karbohidrat
13
Serat
12.5
Abu
2.5
Protein
18
(Sumber : Ketaren, 1986). Adapun kandungan dari jarak kepyar dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tabel 2.2. Kandungan Asam Lemak pada Minyak Jarak Kepyar Komponen Asam risiloneat Asam oleat Asam linoleat Asam stearat Asam dihidroksi stearat
Jumlah (%) 85 8.5 3.5 0.5-2.0 1-2
Reaksi transesterifikasi disebut juga dengan reaksi alkoholisis. Alkohol yang biasa digunakan dalam rekasi tranesterifikasi adalah metanol. Proses transestrifikasi dengan menggunakan katalis basa mampu mencapai 98 % konversi dengan waktu reaksi minimum. Berikut ini adalah tahap-tahap reaksi transesterifikasi yang dapat dilihat pada Gambar 2.5 dan 2.6.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Trigliserida
+ ROH
Katalis
Digliserida
+
Etil Ester
Digliserida
+ ROH
Katalis
Monogliserida
+
Etil Ester
Monogliserida + ROH
Katalis
Gliserin
+
Etil Ester
Gambar 2.5 Tahapan-tahapan Reaksi Transesterifikasi (Syam, 2012)
CH2OCOR”’ CHOCOR’’
CH2OH + 3C2H5OH
CH2OCOR’ Trigliserida
etanol
CHOH
R’’’COOC2H5 +
R’’COOC2H5
CH2OH
R’COOC2H5
gliserol
etil ester
Gambar 2.6 Reaksi Pembentukan Etil Ester
Ekstraksi reaktif adalah proses yang melibatkan reaksi dan pemisahan dilakukan secara bersamaan. Pemisahan fase dapat dilakukan secara alami dalam sestem reaktif dengan menambahkan pelarut. Di dalam ekstraksi reaktif, alkohol bertindak sebagai pelarut diproses ekstraksi dan sebagai reagent direaksi transesterifikasi selama ekstraksi reaktif berlangsung. Oleh sebab itu alkohol diperlukan dalam jumlah yang sangat banyak (Jairurob, 2013).
3.
Metode Penelitian
3.1 Bahan dan Peralatan Adapaun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jarak kepyar, KOH, etanol, hexane dan aquadest. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah erlenmeyer, beaker glass, destilasi, labu leher tiga, magnetic stirrer, corong pemisah, kondenser dan hot plate.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
3.2 Prosedur Kerja Penelitian dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap persiapan bahan, tahap kedua adalah analisis hasil. Diambil biji buah jarak kepyar sudah tua kemudian dibersihkan dan dikeringkan selanjutnya dihancurkan dengan ukuran 1 mm. Kemudian biji dengan berat 200 gram yang telah dihasluskan dan dikeringkkan tadi, dimasukan ke dalam labu leher tiga. Selanjutnya dimasukan 300 ml pelarut n-hexane dan sejumlah etanol yang telah dilarutkan dengan KOH dengan kadar katalis 0,95% ke dalam labu leher tiga. Kemudian campuran dipanasan dengan suhu 60, 65 dan 70 selama waktu 100, 150 dan 200 menit dengan kecepatan pengaduk 400 rpm.
4.
Hasil dan Diskusi Menurut Montgomery (Hidayat, 2012) Response Surface Methodology
(RSM) merupakan suatu metode gabungan antara teknik matematika dan teknik statistika, digunakan untuk membuat model dan menganalisa suatu respon y yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas (factor x) guna mengoptimalkan respon tersebut. Hubungan antara respon y dan variabel bebas x adalah sebagai berikut: y = f (x1, x2, ...., xk) + !
(4.1)
Dimana : y
= variabel respon
x1, x2,......xk
= variabel bebas/faktor
!
= error Dikarenakan bentuk fungsi respon f yang sebenarnya tidak diketahui, maka
harus ada pendekatannya. Perkiraan model didasarkan pada observasi dari proses atau sistem sehingga dapat membentuk model empirisnya. Jika respon yang diharapkan diasumsikan sebagai E(y) = f (x1, x2,...., xk) = ", maka permukaannya dilukiskan oleh " = f(x1, x2, ...., xk) yang disebut permukaan respon. Umumnya response surface ditampilkan secara grafik dan untuk membantu visualisasi dari bentuk permukaan plot sering digunakan countur dari permukaan respon. Garis countur yang terbentuk mempresentasi ketinggian
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
permukaan yang terbentuk. Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari bentuk hubungan antara respon dengan perlakuannya. Bentuk hubungan linier merupakan bentuk hubungan yang pertama kali dicobakan untuk menggambarkan hubungan tersebut. Jika ternyata bentuk hubungan antara respon dengan perlakuan adalah linier maka pendekatan fungsinya disebut first-order model (mode pertama), seperti yang ditunjukkan dalam persamaan 1: Y = !o +
(4.2)
Jika bentuk hubangannya merupakan kuadrat maka pendekatan fungsinya disebut second-order model Y= !°
+
2
+ " !ij XiXj + #
(4.3)
Keterangan : Y !
o
= Respon Pengamatan = Intersep
!i
= Koefisien linier
!ii
= Koefisien kuadratik
!ij
= Koefisien interaksi perlakuan
Xi
= Kode perlakuan untuk faktor ke-i
Xj
= Kode perlakuan untuk faktor ke-j
K
= Jumlah faktor yang diujikan Kemudian dari model orde kedua ditentukan titik stasioner, karakteristik
permukaan respon dan model optimasinya. RSM pada prinsipnya adalah teknik yang meliputi analisis regresi dan desain eksperimen untuk menyelesaikan masalah optimasi (Hidayat, 2012). Menurut Sudjana (Hidayat, 2012) didalam RSM, dibutuhkan pencarian titik optimum yang berulang-ulang pada desain yang digunakan untuk perpindahan dari eksperimen orde pertama menuju eksperimen orde kedua. Pencarian tersebut dilakukan jika pada eksperimen orde pertama terdapat efek lengkungan, selanjutnya eksperimen orde pertama digantikan oleh eksperimen orde kedua. Desain faktorial 2k dan desain fraksional faktorial 2k-p
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
adalah desain yang sesuai untuk mengestimasi model orde pertama. Uji kelengkungan eksperimen orde pertama dilakukan dengan metode penambahan titik pusat dengan ukuran nf dan nc dimana “f” menandakan desain faktorial dan “c” menandakan titik pusat. Pada desain faktorial diberi kode ‘-‘ untuk level rendah dan ‘+’ untuk level tinggi, sedangkan titik pusat diberi kode ‘0’. Misalkan yf adalah rata-rata sampel faktorial dan yc adalah rata-rata sampel pada titik pusat. Selisih dari yf – yc dapat digunakan untuk menguji adanya lengkungan kuadrat. Apabila nilai yf – yc kecil, maka titik pusat berada atau dekat pada bidang yang dilewati titik faktorial, dan pada bagian tersebut tidak terdapat lengkungan kuadrat. Sebaliknya jika yf – yc besar, maka disana terdapat lengkungan kuadrat.
Tabel 4.1 Data hasil penelitian menggunakan Response Surface Methodology. Variabel Bebas Run 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Suhu
Waktu
°C 65.00 65.00 65.00 65.00 65.00 60.00 65.00 65.00 67.97 62.03 62.03 67.97 67.97 65.00 65.00 65.00 62.03
Menit 150.00 150.00 200.00 150.00 100.00 150.00 150.00 150.00 179.73 120.27 120.27 179.73 120.27 150.00 150.00 150.00 179.73
Perbandingan mol minyak: etanol 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.70 6.30 5.70 6.30 6.30 6.00 6.50 5.50 6.00
Variabel Terikat Yield % 28.51 28.51 17.24 28.51 19.25 19.12 28.51 28.51 17.25 19.35 16.55 20.18 23.57 28.51 28.51 18.35 19.53
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
18 19 20
70.00 62.03 67.97
150.00 179.73 120.27
6.00 5.70 5.70
26.55 17.35 17.58
4.1 Interaksi antara suhu dan waktu waktu Grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi antara suhu dan w dapat dilihat pada Gambar 4.1
Gambar 4.1 Interaksi Antara Suhu dan Waktu
Gambar 4.1 menunjukkan interaksi antara suhu dan waktu, dimana titi titik maksimum yang diperoleh yaitu 65 dan lamanya berlangsung reaksi selama 150 menit dengan jumlah konversi yield sebanyak 28.51%, sedangkan titik minimum terletak pada suhu 62 dan lamanya reaksi 120 menit dengan konversi 16.55% Suhu reaksi mempengaruhi kecepatan reaksi transesterifikasi dala dalam pembentukan biodiesel. Pada umumnya reaksi transesterifikasi dilakukan di pada suhu 60 – 65 pada tekanan atmosfer. Kecepatan reaksi akan meningkat sejal sejalan dengan kenaikan temperatur, yang berarti berarti semakin banyak energi yang dapat
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
digunakan reaksi untuk mencapai energi aktivasi, sehingga akan menyebabkan meny semakin banyak tumbukan terjadi antara molekul-molekul molekul molekul reaktan.
4.2 Interakssi antara perbandingan mol dan suhu Berikut adalah grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi aantara perbandingan mol dengan suhu.
Gambar 4.2 Interaksi Antara Perbandingan Mol dan Suhu Gambar 4.2 menunjukkan interaksi antara perbandingan mol dan suhu, dimana titik maksimum yang diperoleh berada pada perbandingan mol m reaktan 1:6 dan suhu 65 dengan jumlah konversi yield sebanyak 28.51%, sedangkan
titik minimum terletak pada kondisi perbandingan perbandingan mol 1:5.7 pada suhu 62 dengan konversi yield sebanyak 16.55%. Dengan demikian, suhu yang paling
berpengaruh pada ekstraksi reaktif dengan menggunakan katalis KOH yaitu pada tepat dapat suhu 65 . Pada reaksi transesetrifikasi, penggunaan suhu yang tidak tepa te mengakibatkan reaksi tidak sempurna dan menyebabkan berkurangnya kkonversi bergeser ke yield biodiesel. Penggunaan suhu yang tepat mengakibatkan reaksi berges menignkatnya arah kanan (produk), peningkatan laju reaksi ini disebabkan oleh menig aksi yang merupakan fungsi dari temperatur. Rea Reaksi konstanta tanta laju reaksi Re transesterefikasi merupakan reaksi reversible, maka pada kondisi kondi suhu yang tinggi kesetimbangan bergeser ke arah kiri (dekomposisi produk).
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4.3 Interaksi antara waktu dan perbandingan mol Grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi antara waktu dan perbandingan mol dapat dilihat Gambar 4.5
Gambar 4.3 Interaksi Antara Waktu dan Perbandingan Mol
Gambar 4.3 menunjukkan interaksi antara perbandingan mol dan suhu, dimana titik maksimum yang diperoleh berada pada perbandingan mol reaktan 1:6 berlagsung selama 150 menit, dengan jumlah konversi yield sebanyak 28.51%. sedangkan titik minimum terletak pada pada kondisi perbandingan mol 1:5.7 dengan lama waktu reaksi yaitu 120 menit, yield yang diperoleh sebanyak 16.55%. 5.
Simpulan (variabel Dari perhitungan berdasarkan berdas rkan model yang diperoleh, hasil respon (va terikat) yield biodiesel 28.55%. Kondisi minimum didapat pada kondisi perbandingan mol 1:5.7 suhu 62 dengan konversi yield 16.55%.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
6. Daftar Pustaka Desy. C .D. 2015. Produksi Biodiesel Dari Minyak Jarak (Ricinus Communis) Dengan Microwave. Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Negeri Semarang. Heyne.M. 1987. Biodiesel the Comprehensive Handbook. Australia Hidayat, J. (2012). Optimasi Pelilinan Dan Suhu Penyimpanan Buah ManggisMenggunakan Response Surface Methodology (RSM). Bogor. IPB. Jairurob, Ponsak, Chantaraporn Phalakornkule, Anamai Na-udom, Anurak Petiraksakul, “Reactive Extraction of After-Stripping Sterilized Palm Fruit to Biodiesel”, Fuel 107, Hal: 282 - 289, 2013. Knothe, G., Dunn, R. O., and Bagby, M. O., 1997, Biodiesel: The Use of Vegetable Oils and Their Derivatives as Alternative Diesel Fuels, Fuels and Chemicals from Biomass, ACS Symposium Series, V, 666. Osava, M., 2001, The Castor-Oil Plant: Ricinus Communis Is The BestSource For Creating Biodiesel, Energyin Castor Bean, Tierramerica. Pakpahan. 2001. Mengenal Biodiesel. Jakarta : UI Press. Sudrajat,M. 2003. Biodiesel Alternatif Substitusi Solar Yang Menjanjikan Bagi Indonesia. Lembaran Publikasi Lemigas No 1/95.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
PEMANFAATAN LIMBAH KALENG MINUMAN ALUMINIUM UNTUK PRODUKSI GAS HIDROGEN MENGGUNAKAN KATALIS KALIUM HIDROKSIDA (KOH) Lentina Sitohang1, Lukman Hakim1, Fikri Hasfita1 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353 e-mail :
[email protected] 1
Abstrak Permintaan gas H2 sebagai sel bahan bakar (fuel cell) semakin besar, bahkan diperkirakan bahwa gas H2 ini akan dijadikan sumber energi terbarukan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk memproduksi gas hidrogen dari limbah kaleng minuman aluminium dengan katalis kalium hidroksida (KOH). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah reaksi kimiawi antara aluminium sebanyak 0.5 g, 1 g, 1.5 g, dan 2 g dengan larutan KOH pada konsentrasi yang berbeda-beda (2 N, 3 N, 4 N, 5 N, dan 6 N) masing-maing sebanyak 25 mL selama 60 menit. Dari hasil penelitian diperoleh volume dan yield gas hidrogen tertinggi yaitu pada 2 gram aluminium, KOH 6 N sebesar 2,025.10-3 m3 dan 7,23 %. Konversi aluminium menjadi produk tertinggi diperoleh pada 0,5 gram aluminium, KOH 6 N sebesar 86,97 %. Kata Kunci: Limbah kaleng minuman, Aluminium, KOH, Hidrogen, Yield, Konversi.
1. Pendahuluan Kaleng yang terbuat dari aluminium biasanya digunakan oleh industri minuman ringan (soft drink) sebagai kemasan dari minuman tersebut. Contohnya, PT. Coca-cola Amatil Indonesia yang memproduksi minuman coca-cola dengan kapasitas 30.000 botol/jam pada tahun 2014 dan bahkan saat ini perusahaan tersebut sedang mengincar produksi 450.000.000 Liter dari sebelumnya (Galih, 2015). Salah satu cara teknologi yang dapat dikembangkan untuk mengolah limbah kemasan kaleng minuman bekas (soft drink) tersebut adalah dengan cara daur ulang. Karena daur ulang merupakan salah satu cara pengelolahan limbah
22
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
yang sangat efisien dalam menghasilkan suatu produk yang mempunyai nilai ekonomis serta ramah lingkungan. Kaleng minuman aluminium pada umumnya di bagian dalamnya mempunyai lapisan plastik yang tipis, bagian luarnya biasanya dilapisi oleh cat tipis. Pelapisan ini harus dihilangkan sebelum reaksi-reaksi kimia dengan logam dapat terjadi. Berikut reaksi pembentukan gas hidrogen pada pembuatan alum dari aluminium: 2Al (s) + 2
(aq)
+ 6H2O (liq) 2Al (aq) + 3H2 (g) .................... (1)
Pembentukan gas hidrogen diperoleh dalam pembuatan alum (tawas) dari aluminium, secara teoritis didasarkan pada sifat amfoter dari hidroksida aluminium. Jika logam aluminium direaksikan dengan larutan KOH dengan konsentrasi tertentu, maka tahap pertama akan terjadi endapan hidrolisa aluminium (Louis, 1963). Siregar (2010) menarik kesimpulan bahwa gas hidrogen dapat diproduksi dari limbah aluminium foil atau limbah kaleng minuman menggunakan katalis basa dengan hasil produksi hidrogen optimum yang diperoleh adalah sebesar 0,006 gram dari 0,05 gram limbah aluminium (aluminium foil). Penelitian tentang produksi H2 dari kaleng bekas dilanjutkan oleh
Agus dan Jajang (2014) dengan mereaksikan kaleng bekas dengan air
menggunakan soda api dan hidrogen berhasil dimanfaatkan sebagai suplement bahan bakar mesin diesel pada sistim dual fuel menghasilkan pengurangan konsumsi solar paling tinggi mencapai 52%. Seiring dengan perkembangan teknologi, permintaan gas H2 semakin besar terutama untuk bahan bakar tidak berpolusi, sel bahan bakar (fuel cell), bahkan diperkirakan bahwa H2 ini akan dijadikan sumber energi terbarukan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk memproduksi gas hidrogen dari limbah kaleng minuman aluminium dengan katalis kalium hidroksida (KOH). 2. Tinjauan Pustaka Hidrogen (bahasa Latin: hydrogenium, dari bahasa Yunani: hydro: air, genes: membentuk) adalah unsur kimia pada tabel periodik yang memiliki simbol H dan
23
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
nomor atom 1. Pada suhu dan tekanan standar, hidrogen tidak berwarna, tidak berbau, bersifat non-logam, bervalensi tunggal, dan merupakan gas diatomik yang sangat
mudah
terbakar.
Dengan
massa
atom
1,00794
dan
densitas 0,08988 g / L pada 0°C (Henry, 1766). Adapun sifat kimia dari gas hidrogen adalah gas hidrogen sangat mudah terbakar dan akan terbakar pada konsentrasi serendah 4% di udara bebas. Hidrogen terbakar menurut persamaan kimia: 2H2(g) + O2(g) 2H2O(l) + 572 kJ (286 kJ/mol) .............................. (3) Perapuhan hidrogen dapat terjadi pada kebanyakan logam dan hidrogen sangat larut dalam berbagai senyawa yang terdiri dari logam tanah nadir, logam transisi, dan dapat dilarutkan dalam logam kristal maupun logam amorf (Khairunnisa, 2013). Hidrogen adalah unsur yang ditemukan oleh Hendry Cavendish (17311810) dan merupakan unsur yang atomnya paling kecil dan ringan serta paling banyak terdapat di alam semesta. Hidrogen bergabung dengan unsur-unsur dari keluarga karbon (IVA), nitrogen (VA), oksigen (VIA), dan halogen (VIIA), sebaik dengan Be, Mg, B, Al dan Ga membentuk hibrida kovalen. H2
(c)
mempunyai rapatan yang lebih tinggi daripada H2 (g) sehingga lebih efisien untuk disimpan. Walaupun cairan, sudah tentu harus dipertahankan pada suhu rendah. Salah satu sistem penyimpanan yang lebih menguntungkan ialah dengan melarutkan H2
(g)
dalam logam. Gas kemudian dapat dibebaskan dengan
pemanasan perlahan-lahan dari hibrida logamnya (Petrucci, 1985). Logam-logam dalam golongan IA dan bagian bawah golongan IIA bersifat begitu reaktif sehingga bahkan dengan air dapat bereaksi dan menghasilkan hidrogen. Reaksi seperti ini hanya dihasilkan dengan aluminium, dengan adanya senyawa alkali yang kuat, seperti NaOH atau KOH. Karena logam ini memiliki lapisan pasif yang sangat tipis Al2O3 pada permukaannya yang mencegah serangan langsung dari molekul air (Porciuncula, 2012). Reaksi antara aluminium dengan KOH dengan konsentrasi tertentu
menghasilkan gas hidrogen, dimana
tahap pertama akan terjadi endapan hidrolisa aluminium yang akan segera larut
24
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
sebagai komplek aluminat. Larutan aluminat ini juga menghasilkan produk samping yaitu KAlO2 (tawas). 2Al (s) + 2KOH (aq) + 2H2O (l)
2KAlO2 (aq) + 3H2 (g) ........... (4)
Pemutusan Al (s) dalam KOH encer adalah contoh dari reaksi oksidasi-reduksi atau reaksi redoks. Logam Al dioksidasi menjadi aluminium dengan bilangan oksidasi +3 dan hidrogen dalam KOH atau dalam air. Hidrogen dapat dibuat atau diperoleh dengan mereaksikan logam-logam dengan asam kuat dan dengan logam aluminium yang direaksikan dengan basa kuat. Pada praktikum kali ini, pembuatan gas hidrogen dilakukan dengan menggunakan KOH dan limbah kaleng minuman, dimana KOH bertindak sebagai katalis yang mempercepat reaksi. Aluminium merupakan logam yang berwarna putih abu-abu (silver) yang melebur pada 659 oC, dan bila terkena udara akan teroksidasi pada permukaannya. Pembentukan hidrogen ini terjadi menurut persamaan: Alkaline solution
2Al + 6H2O
2Al (OH)3 + 3H2 .......................... (5)
Ada beberapa keuntungan menggunakan aluminium sebagai sumber utama energi. Pertama, dengan produk Al(OH)3 dapat digunakan untuk memproduksi garam aluminium lain untuk beberapa aplikasi, mulai dari pengolahan air (seperti Al2(SO4)3 untuk penggunaan hidroksida dalam obat-obatan. Kedua, pemulihan aluminium dari Al(OH)3 dapat dilakukan dengan elektrolisis atau proses lain yang nyaman. Ketiga, aluminium dapat diperoleh dari bahan daur ulang, seperti minuman atau bir ringan kaleng (Martínez dkk, 2005). Keempat, derajat yang berbeda kemurnian logam dapat digunakan, sehingga paduan komersial bukan paduan tinggi kemurnian murni atau dapat digunakan. Kelima, hidrogen yang dihasilkan oleh reaksi (1) adalah murni; Oleh karena itu, dapat digunakan di perangkat yang membutuhkan kemurnian tinggi, termasuk beberapa jenis sel bahan bakar untuk perangkat elektronik portabel atau bahkan untuk aplikasi mobile. Intinya alkali tersebut tidak dikonsumsi dalam reaksi dan bertindak sebagai katalis, itu dapat dipulihkan sepenuhnya (Porciuncula, 2012).
25
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Adapun tahapan reaksi antara aluminium, KOH, dan air dalam U.S Department of Energy (2008) adalah sebagai berikut: 2Al + 2KOH + 2H2O ! K2Al2O4 + 3H2 .................................... (6) 2Al + 6KOH + xH2O ! K6Al2O6 + xH2O + 3H2 ....................... (7) 2Al + 2 KOH + 6H2O ! 2KAl(OH)4 + 3H2 .............................. (8) 2KAl(OH)4 ! 2KOH + 2Al(OH)3 ............................................ (9) Hidrogen merupakan salah satu energi alternatif terbarukan yang mendapatkan perhatian untuk dikembangkan sebagai energi pengganti bahan bakar fosil. Energi bahan bakar hidrogen mempunyai keuntungan yaitu lebih ramah lingkungan dan lebih efisien. Suplai energi yang dihasilkan sangat bersih, karena hanya menghasilkan uap air sebagai emisi selama berlangsungnya proses (Gupta, 2009). 3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui 2 tahap yaitu tahapan persiapan bahan baku dan tahap penelitian. Kaleng minuman coca-cola bekas dibersihkan/ dihilangkan terlebih dahulu catnya menggunakan amplas. Kemudian dipotong dengan ukuran 0,1 cm x 0,1 cm dan ditimbang dengan berat sampel divariasikan 0,5 gram, 1 gram, 1,5 gram dan 2 gram. KOH disiapkan dan diencerkan di dalam labu ukur 100 mL masing-masing dengan konsentrasi yang berbeda-beda yaitu 2 N, 3 N, 4 N, 5 N dan 6 N. Potongan aluminium dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Masingmasing larutan KOH 2 N sebanyak 25 mL direaksikan dengan potongan aluminium seberat 0,5 gram. Dipasangkan balon pada gelas erlenmeyer untuk menangkap gas hidrogen yang terbentuk dalam waktu 60 menit menggunakan stopwatch. Diamati suhu konstan pada 30°C dan pengadukan pada 100 rpm. Setelah mencapai waktu 60 menit, ikatkan balon menggunakan karet gelang. Proses di atas diulangi kembali untuk berat aluminium 1 gram, 1,5 gram dan 2
26
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
gram. Semua proses di atas diulangi kembali pada konsentrasi 3 N, 4 N, 5 N, dan 6 N. Sampel yang telah direaksikan dengan KOH tadi di dalam erlenmeyer, ditutup dengan balon agar H2 masuk ke dalam balon. Sehingga dapat dihitung volume H2 di dalam balon dengan mengukur terlebih dahulu keliling balon dari berbagai sisi karena bentuk balon yang tidak simetris dan diperoleh keliling rata-rata balon dan juga jari-jari rata-rata balon, tersebut menggunakan persamaan berikut: K = 2. ......................................................... (10) V = .......................................................... (11) dimana : K R V
= Keliling balon rata-rata (cm) = jari-jari balon rata-rata (cm) = 22/7 atau 3,14 = Volume H2 (cm)
Kemudian konversi dan yield gas hidrogen yang diperoleh dihitung dengan menggunakan persamaan yang digunakan oleh Chirag and Pant (2011). Adapun persamaan tersebut adalah: a. Konversi (X) adalah perbandingan mol reaktan yang bereaksi dengan mol reaktan yang masuk dan dihitung dengan persamaan berikut:
(12)
b. Besarnya yield (Y) hidrogen (%) dari tiap-tiap variabel dapat ditentukan dengan membandingkan berat (massa) atau mol produk akhir (gas hidrogen) terhadap berat (massa) atau mol reaktan awal (aluminium). Y (%) =
....................................................... (13)
Uji gas hidrogen dilakukan dengan penyulutan api terhadap gas H2 yang dikumpulkan dalam balon. Uji ini untuk membuktikan bahwa gas yang dihasilkan adalah gas H2 yang mempunyai titik nyala yang tinggi dan sangat mudah terbakar (flameable). Pengujian juga dilakukan dengan cara menyulut/ membakar
27
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
langsung dari hasil reaksi antara aluminium dan api dengan bantuan KOH. 4. Hasil dan Diskusi Pada umumnya, hidrogen dapat dihasilkan dari beberapa metode melalui proses biologi, elektrolisis atau dengan reaksi kimiawi. Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah reaksi kimiawi antara potongan limbah kaleng minuman coca-cola dengan larutan KOH pada konsentrasi yang berbeda-beda. 4.1 Pengaruh Konsentrasi KOH dan Berat Bahan Baku terhadap Volume H2 Untuk hasil volume gas hidrogen yang diperoleh telah dirangkum dalam Tabel 4.1 berdasarkan konsentrasi katalis dan berat bahan baku. Tabel 4.1 Hasil Volume Gas H2 Konsentrasi KOH (N)
Berat Bahan Baku Volume H2 Volume H2 (cm3) (m3) (gram) 0,5 483,4 4,843.10-4 2 1 756,3 7,563.10-4 1,5 877,2 8,772.10-4 2 1173,6 1,174.10-3 0,5 503,6 5,036.10-4 3 1 863,2 8,632.10-4 1,235.10-3 1,5 1234,6 2 1410,7 1,411.10-3 0,5 559,1 5,591.10-4 4 1 905,8 9,058.10-4 1,5 1334,6 1,335.10-3 2 1743,8 1,744.10-3 0,5 569,6 5,696.10-4 5 1 964,7 9,647.10-4 1,411.10-3 1,5 1410,7 2 1869,4 1,869.10-3 0,5 602,0 6,020.10-4 6 1 987,4 9,874.10-4 1,480.10-3 1,5 1479,6 2 2025,5 2,025.10-3 Pada konsentrasi 2 N dengan berat bahan baku 0,5 gram diperoleh volume gas
hidrogen sebesar 4,843.10-4 m3, pada 1 gram diperoleh sebesar 7,563.10-4 m3, pada 1,5 gram gas hidrogen yang diperoleh sebesar 8,772.10-4 m3 dan pada 2 gram diperoleh gas hidrogen sebesar 1,174.10-3 m3. Gambar 4.1 di bawah ini dapat
28
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
dilihat bahwa semakin besar konsentrasi KOH maka semakin besar pula volume gas hidrogen yang diperoleh, dan sesuai dengan hasil penelitian Porciuncula dkk (2012). Efek perpindahan massa ini adalah hasil dari interaksi kompleks antara pengendapan Al(OH)3 pada logam dan pergerakan gelembung hidrogen melalui lapisan pasivasi dan KOH. Selain itu, hal ini juga dikarenakan larutan KOH membantu Al mengikat
dari H2O dan membentuk KAl(OH)4, dan
melepaskan H2, seperti yang telah disimpulkan oleh Kumar dan Surenda, (2013). Volume Hidrogen (m3)
2.000.E-03
0.5 gram Al
1.500.E-03
1 gram Al 1.000.E-03
1.5 gram Al 2 gram Al
5.000.E-04
0.000.E+00 0
1
2
3
4
5
6
7
Konsentrasi KOH (N)
Gambar 4.1 Hubungan Konsentrasi KOH (N) dan Volume Hidrogen (m3) Jumlah bahan baku juga dapat mempengaruhi volume gas hidrogen yang diperoleh seperti yang terlihat pada Gambar 4.1 di atas bahwa semakin besar jumlah bahan baku maka semakin besar pula gas hidrogen yang diperoleh. Kemungkinan hal ini terjadi karena perubahan bilangan oksidasi aluminium dan hidrogen. Al membentuk ion
berarti bilangan oksidasinya berubah dari
nol menjadi +3. Sedangkan bilangan oksidasi H dari +1 menjadi nol. Berarti baik dalam asam maupun basa, reaksi redoks yang terjadi sebagai akibat dari sifat keamfoteran Al, ternyata perubahan bilangan oksidasinya sama. 4.2 Pengaruh Konsentrasi KOH dan Berat Bahan Baku terhadap Yield H2 Yield perlu dihitung untuk mengukur derajat sampai dimana reaksi yang diinginkan berjalan relatif terhadap reaksi pesaing alternatif (reaksi yang tidak diinginkan).
29
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 4.2 Hasil Analisa Yield H2 Konsentrasi Katalis (N)
Berat Bahan Baku Yield H2 (%) (gram) 0,5 1,54 2 1 2,40 1,5 2,78 2 3,72 0,5 1,64 3 1 2,82 1,5 4,03 2 4,60 0,5 1,88 4 1 3,04 1,5 4,48 2 5,86 0,5 1,97 5 1 3,34 1,5 4,88 2 6,47 0,5 2,15 6 1 3,52 1,5 5,28 2 7,23 Hubungan antara konsentrasi KOH dengan yield hidrogen yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 4.2 berikut. 8.00
Yield H2 (%)
7.00 6.00
0.5 gram Al
5.00 4.00
1 gram Al
3.00
1.5 gram Al
2.00
2 gram Al
1.00 0.00 0
1
2
3
4
5
6
7
Konsentrasi KOH (N)
Gambar 4.2 Hubungan Konsentrasi KOH (N) dan Yield H2 (%) Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa 0,5 gram potongan limbah kaleng minuman dengan KOH 2 N dihasilkan gas hidrogen sebesar 1,54 %, pada KOH 3 N dengan jumlah berat bahan baku yang sama diperoleh gas hidrogen 1,64 %, pada KOH 4 N diperoleh gas hidrogen sebesar 1,88 %, pada KOH 5 N diperoleh gas hidrogen 30
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
sebesar 1,97 %, dan pada KOH 6 N diperoleh gas hidrogen sebesar 2,15 %. Semakin besar konsentrasi KOH maka yield hidrogen yang diperoleh semakin tinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 4.4. Hal ini terjadi dikarenakan semakin cepat reaksi KOH mengikat aluminium dan oksigen dari air sehingga semakin banyak gas hidrogen yang terlepas dari air tersebut. Pada konsentrasi KOH yang sama, semakin besar jumlah bahan baku maka semakin besar juga yield yang dihasilkan dan secara stoikiometri hal ini adalah benar. Pada konsentrasi 2 N dengan berat bahan baku 0,5 gram diperoleh gas hidrogen sebesar 1,54 %, pada 1 gram diperoleh sebesar 2,40 %, pada 1,5 gram gas hidrogen yang diperoleh sebesar 2,78 % dan pada 2 gram diperoleh gas hidrogen sebesar 3,72 %. Peningkatan yield tersebut dapat terjadi dikarenakan
dari senyawa air banyak diikat oleh aluminium dan melepaskan gas
hidrogen.
4.3 Pengaruh Konsentrasi KOH dan Bahan Baku terhadap Konversi Al Untuk hasil konversi aluminium yang diperoleh telah dirangkum dalam Tabel 4.3 berdasarkan konsentrasi katalis dan berat bahan baku. Tabel 4.3 Hasil Analisa Konversi Al Konsentrasi Katalis (N) 2
3
4
5
Berat Bahan Baku (gram) 0,5 1 1,5 2 0,5 1 1,5 2 0,5 1 1,5 2 0,5 1 1,5 2
Konversi Al (%) 50,60 39,07 26,49 18,99 63,78 50,42 40,55 33,94 72,80 60,80 51,06 42,34 77,31 71,29 65,02 57,14
31
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
0,5 1 1,5 2 Pada konsentrasi KOH 2 N dengan berat bahan baku 6
86,97 82,11 72,66 65,01 0,5 gram
potongan aluminium yang terkonversi sebesar 50,60 %, pada KOH 3 N sebesar 63,78 %, dengan berat bahan baku yang sama pada KOH 4 N konversi sebesar 72,80 %, pada KOH 5 N sebesar 77,31 %, dan pada KOH 6 N konversi sebesar 86,97 %. Untuk hubungan konsentrasi KOH dan jumlah bahan baku yang divariasikan dengan konversi aluminium menjadi produk dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut. 100 90
Konversi Al (%)
80 70 60 50
0,5 gram Al
40
1 gram Al
30
1,5 gram Al
20
2 gram Al
10 0 0
1
2
3
4
5
6
7
Konsentrasi KOH (N)
Gambar 4.3 Hubungan Konsentrasi KOH (N) dan Konversi (%) Semakin besar konsentrasi KOH yang digunakan dalam penelitian ini, maka semakin besar konversi aluminium yang diperoleh seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.5 di atas. Hal tersebut dikarenakan KOH merupakan katalis reaktif yang dapat merusak lapisan oksida (Al2O3) pelindung pada permukaan aluminium serta membantu Al mengikat
dari H2O dan membentuk KAl(OH)4 serta
melepaskan H2. Katalis cair yang digunakan adalah ion yang mendorong terjadinya reaksi sehingga semakin besar katalis yang digunakan maka semakin banyak ion yang mendorong terjadinya reaksi sehingga konversi semakin besar (Okvitarini dkk, 2013).
32
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 4.3 juga menunjukkan bahwa semakin besar jumlah bahan baku yang dicampurkan dalam reaksi maka konversi yang dihasilkan semakin renda rendah. re Pada konsentrasi entrasi KOH yang sama yaitu pada 2 N dengan berat bahan baku 0,5 gr gram potongan an aluminium diperoleh konversi sebesar 50,60 %, pada 1 gram diper diperoleh dip konversi ersi sebesar 39,07 %, pada 1,5 gram diperoleh konversi sebesar sebes 26,49 %, dan pada 2 gram potongan aluminium dengan konsentrasi konsentrasi KOH yang sama dip diperoleh konversi ersi sebesar 18,99 %. Gas hidrogen yang diperoleh dapat juga dibuktikan dengan pembakar pembakaran (disulut dengan api), karena hidrogen bersifat sangat mudah terbakar dan akan terbakar pada konsentrasi serendah 4% di udara bebas (Khairunnisa, 2013). Sifat gas hidrogen yang mudah terbakar itu juga dibuktikan dalam penelitian peneli ini ddan dapat dilihat pada Gambar 4.4 berikut. Api
Reaksi
Potongan Kaleng
Gambar 4.4 Pembakaran Gas Hidrogen dalam Botol Gambar 4.4 di atas telah cukup membuktikan bahwa gas hidrogen bersifat mudah terbakar dan dalam penelitian ini gas hidrogen hidrogen tersebut telah terbentuk. Karena berdasarkan persamaan teoritis dalam reaksi, reaksi, hanya gas hidrogen n lah yang bersifat sangat mudah terbakar.
33
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
5. Simpulan 1. Gas hidrogen dapat diproduksi dari campuran aluminium, air dengan bantuan KOH sebagai katalis. 2. Volume gas hidrogen paling besar diperoleh pada konsentrasi 6 N dengan berat bahan baku 2 gram yaitu sebesar 2,025.10-3 m3. 3. Yield gas hidrogen tertinggi diperoleh pada konsentrasi 6 N dengan berat bahan baku 2 gram yaitu sebesar 7,23 %. 4. Konversi Al menjadi produk baik produk utama maupun produk samping, diperoleh konversi tertinggi pada konsentrasi 6 N dengan berat bahan baku 0,5 gram yaitu sebesar 86,97 %. 6. Daftar Pustaka Agus, W. dan Jajang, J. 2014. Pemanfaatan Hidrogen Hasil Reaksi Water Replacement Berbahan Baku Kaleng Bekas Untuk Bahan Bakar Mesin Diesel Sistim Dual Fuel. Pekanbaru: Politeknik Caltex Riau Chirag, D. D., and Pant, K. K. 2011. Renewable Hydrogen Generation by Steam Reforming of Glycerol Over Zirconia Promoted Ceria Supported Catalyst. Journal Renewable Energy xxx (1-8). Galih, G. 2015. Coca-cola Incar Produksi 450 Juta Liter Minuman di Indonesia. http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150331174226-9243310/coca-cola-incar-produksi-450-juta-liter-minuman-di-indonesia/ diakses 19 Desember 2015. Gupta, R. B. 2009. Hydrogen Fuel Production, Transport, and Storage. CRC press, USA, 17-29 Henry, C. 1766. Papers Containing Experiments on Factitious Air. Philosophical Transactions (The University Press) 56: 141–184. Khairunnisa. 2013. Hidrogen dan Golongan IV A. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Kumar, S., Surendra, K. S. 2013. Role of Sodium Hydroxide for Hydrogen Gas Production and Storage. USA: Florida International University Louis, M, Ed. 1963. Handbook of Analytical Chemistry. New York: McGrawHill, New York.
34
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Martinez, S. S., Benitesa, W.L., Gallegosa, A., Sebastian, P. J. 2005. Recycling of Aluminium to Produce Green Energy. Solar Energy Mater Solar Cell 88:237-243 Okvitarini, N., Makrufah, H. I., Hantoro, S., dan Widayat. 2013. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Goreng Menggunakan Katalis KOH dengan Penambahan Ekstrak Jagung. Semarang: Universitas Diponegoro. Petrucci, R. H. 1985. General Chemistry. Principles and Modern Application Fourth Edition. San Bernadino: Collier Macmilan,Inc. Porciuncula, C. B., Marcilio, N. R., Tessaro, I. C., and Gerchmann, M. 2012. Production of Hydrogen in the Reaction between Aluminium and Waterin the Presence of NaOH and KOH. Federal University of Rio Grande do Sul. Braz. J. Chem. Eng. Vol.29 No.2. Siregar, Y. D. I. 2010. Produksi Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium. Jurnal Valensi. Volume 2, No. 1, 362-36 U.S Department of Energy. 2008. Reaction of Aluminium with Water to Produce Hydrogen Version 1.0. United State of America.
35
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
PEMANFAATAN LIMBAH ALUMINIUM FOIL UNTUK PRODUKSI GAS HIDROGEN MENGGUNAKAN KATALIS NATRIUM HIDROKSIDA (NaOH) Lukman Hakim1, Intan Marsalin1 1 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24535 e-mail :
[email protected]
Abstrak
Salah satu energi yang digunakan masyarakat adalah energi bahan bakar dari fosil. Sebagaimana kita ketahui, bahan bakar fosil termasuk salah satu jenis energi yang tidak dapat diperbaharui dan menghasilkan banyak emisi. Gas hidrogen termasuk jenis enegi yang dapat diperbaharui dan tidak menimbulkan emisi. Penelitian unsur hidrogen merupakan unsur terbanyak sehingga dapat menjadi solusi sebagai bahan bakar utama pengganti bahan bakar fosil. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan teknik daur ulang limbah aluminium foil untuk menghasilkan gas hidrogen sebagai energi yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Penelitian ini dilakukan dengan mereaksikan aluminium foil dan air dengan katalis NaOH pada suhu 35. Dimana berat aluminium 1 gr, serta konsentrasi NaOH yang divariasikan 2N, 3N, 4N, 5N dan 6N, dan waktu reaksi 2 menit, 3 menit, 4 menit, dan 5 menit. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa volume hidrogen terbesar pada konsentrasi NaOH 6N dan waktu reaksi 5 menit yaitu 1,938 liter. Untuk konversi aluminium tertinggi pada konsentrasi NaOH 6N dan waktu reaksi 5 menit yaitu 51,346%, sedangkan yield hidrogen tertinggi pada konsentrasi NaOH 6N dan waktu reaksi 5 menit yaitu 6,229%. Kata Kunci : Aluminium foil, Air, Energi Terbarukan, Hidrogen, Katalis, Natrium Hidroksida (NaOH)
1.
Pendahuluan Krisis bahan bakar yang terjadi saat ini telah mengantarkan kita berfikir
kreatif untuk menciptakan energi alternatif terbarukan yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Salah satu sumber energi alternatif yang ramah lingkungan adalah gas hidrogen. Pembakaran gas hidrogen dapat menghasilkan energi yang lebih tinggi yaitu sekitar 142 kj/g atau 3 kali lebih baik jika dibandingkan hidrokarbon atau minyak bumi (Hafez et al., 2009). Gas hidrogen memiliki
36
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
berbagai keuntungan dibanding bahan bakar yang lain, yaitu hidrogen adalah bahan bakar bersih (rendah polusi) yang memiliki kandungan energi tinggi dan tidak berkontribusi dalam polusi atau emisi gas rumah kaca ke atmosfer pada saat pembakaran. Selain itu, tidak menimbulkan penipisan lapisan ozon atau hujan asam karena pembakarannya hanya menyisakan uap air dan energi panas di udara (Kirtay, 2011). Salah satu cara untuk menghasilkan hidrogen adalah dengan memanfaatkan aluminium, produksi hidrogen dengan menggunakan aluminium beralkalin untuk dijadikan fuel cell aluminium alkalin-udara yang ramah lingkungan. Aluminium yang digunakan dapat berasal dari limbah aluminium foil atau limbah minuman kaleng. Dalam jurnal Valensi Vol. 2 No. 1, Nop 2010 (362-367), telah dilakukan penelitian oleh Yusraini Dian Inayati Siregar tentang produksi gas hidrogen dari limbah aluminium menggunakan katalis basa dengan hasil produksi hidrogen optimum yang diperoleh adalah sebesar 0,006 gram dari 0,05 gram limbah aluminium (aluminium foil). Selain memanfaatkan limbah aluminium foil (pembungkus makanan) untuk produksi hidrogen, proses ini juga ramah lingkungan. Untuk itulah perlu dilakukan penelitian produksi gas hidrogen dari limbah aluminium foil dengan menggunakan katalis NaOH, untuk meningkatkan produksi gas hidrogen terutama untuk bahan bakar tidak berpolusi, sel bahan bakar (fuel cell), bahkan diperkirakan bahwa H2 ini akan dijadikan sumber energi terbarukan pada masa yang akan datang. Isu lingkungan global yang menuntut tingkat kualitas lingkungan yang lebih baik, mendorong berbagai pakar energi untuk mengembangkan energi yang lebih ramah lingkungan dan mendukung keamanan pasokan berkesinambungan. Gas hidrogen (H2) mempunyai gravimetrik densitas energi yang tertinggi diantara beberapa bahan bakar dan cocok untuk konversi energi tanpa menghasilkan emisi karbon yang telah memberikan konstribusi pada polusi lingkungan dan perubahan iklim. Gas hidrogen banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan untuk sel bahan bakar, bahan pembuat amoniak, dan sebagainya. Hal ini lah yang menyebabkan permintaan konsumsi terhadap gas hidrogen meningkat. Menurut 37
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
teoritis bahwa gas hidrogen juga dapat terbentuk dari aluminium. Sehingga dilakukan penelitian produksi gas hidrogen dari limbah aluminium foil dengan memperhatikan variabel operasinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memanfaatkan limbah aluminium foil menjadi gas hidrogen dengan mereaksikan aluminium foil dengan basa, dan mempelajari variabel-variabel yang mempengaruhi produksi gas hidrogen dari aluminium foil bekas, diantaranya waktu reaksi, dan konsentrasi katalis. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah memahami produksi gas hidrogen dari aluminium foil yang dapat dijadikan sumber energi yang dapat diperbaharui, memberikan pengetahuan mengenai teknologi dalam menghasilkan energi terbarukan, dan sebagai bahan informasi kepada masyarakat akan pemanfaatan limbah aluminium foil untuk produksi gas hidrogen.
2.
Tinjauan Pustaka Kemasan fleksibel adalah suatu bentuk kemasan yang bersifat lentur yang
dibentuk dari aluminium foil, film plastik, selopan, film plastik berlapis logam aluminium (metalized film) dan kertas dibuat satu lapis atau lebih dengan atau tanpa bahan thermoplastic maupun bahan perekat lainnya sebagai pengikat ataupun pelapis konstruksi kemasan dapat berbentuk lembaran, kantong, sachet maupun bentuk lainnya. Pemasaran kemasan ini akhir-akhir ini menjadi popular untuk mengemas berbagai produk baik padat maupun cair. Dipakai sebagai pengganti kemasan rigid maupun kemas kaleng atas pertimbangan ekonomis kemudahan dalam handling. Bentuk alumunium foil dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini (Departemen perindustrian, 2007).
Gambar 2.1 Aluminium Foil 38
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Limbah padat aluminium dibagi menjadi dua macam, yaitu limbah padat aluminium primer seperti kaleng minuman ringan (soft drink) dan minuman bir serta limbah padat aluminium sekunder seperti bingkai jendela dan pintu aluminium. Limbah padat aluminium sekunder berbeda dengan kualitasnya dengan limbah padat aluminium primer sehingga diperlukan perlakuan dan pemeriksaan limbah padat aluminium sekunder sebelum didaur ulang. Daur ulang aluminium adalah memproses kembali limbah aluminium (Suharto, 2011).
Karakteristik Aluminium Aluminium merupakan unsur yang sangat reaktif sehingga mudah teroksidasi. Karena sifat kereaktifannya maka Aluminium tidak ditemukan di alam dalam bentuk unsur melainkan dalam bentuk senyawa baik dalam bentuk oksida alumina maupun silikon. Sumber Aluminium yang sangat ekonomis adalah bauksit. Bauksit adalah biji yang banyak mengandung Alumina (Al2O3) yakni 30 – 60 % serta 12 – 30 % adalah air. Makin banyak oksida besi yang mengotori maka akan semakin gelap warnanya. Bauksit dapat berwarna putih, krem, kuning, merah atau coklat dapat sekeras batu. Namun ada pula yang selembek tanah lempung (Al2O3.4SiO2.2H2O). Paduan Aluminium mengandung 99% Aluminium dan 1% mengandung mangan, besi, silikon, tembaga, magnesium, seng, krom, dan titanium. Aluminium juga memiliki sifat yang lebih unggul dibandingkan dengan sifat logam lain. Sifat-sifat Aluminium yang lebih unggul bila dibandingkan dengan logam lain adalah sebagai berikut: a.
Ringan dengan massa jenis Aluminium pada suhu kamar (29oC) sekitar 2,7 gr/cm3.
b.
Aluminium memiliki daya renggang 8 kg/mm3, tetapi daya ini dapat berubah menjadi lebih kuat dua kali lipat apabila Aluminium tersebut dikenakan proses pencairan atau roling. Aluminium juga menjadi lebih kuat dengan ditambahkan unsur-unsur lain seperti Mg, Zn, Mn, Si.
c.
Aluminium mengalami korosi dengan membentuk lapisan oksida yang tipis dimana sangat keras dan pada lapisan ini dapat mencegah karat pada Aluminium yang berada di bawahnya. Dengan demikian logam Aluminium 39
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
adalah logam yang mempunyai daya tahan korosi yang lebih baik dibandingkan dengan besi dan baja lainnya. d.
Aluminium adalah logam yang paling ekonomis sebagai penghantar listrik karena massa jenisnya dari massa jenis tembaga, dimana kapasitas arus dari Aluminium kira-kira dua kali lipat dari kapasitas arus pada tembaga.
e.
Aluminium adalah logam yang anti magnetis.
f.
Aluminium adalah logam yang tidak beracun dan tidak berbau.
g.
Aluminium mempunyai sifat yang baik untuk proses mekanik dari kemampuan perpanjangannya, hal ini dapat dilihat dari proses penuangan, pemotongan, pembengkokan, ekstrusi dan penempaan Aluminium
h.
Aluminium mempunyai titik lebur yang rendah, oleh karena itu kita dapat memperoleh kembali logam Aluminium dari scrap.
3.
Metodologi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei-Juni 2016 dan tempat penelitian
dilaksanakan
di
Laboratorium
Teknik
Kimia,
Universitas
Malikussaleh
(UNIMAL). Dalam pelaksanaan penelitian pembuatan gas hidrogen, beberapa variabel operasi yang digunakan yaitu: a.
Berat aluminium foil
b.
Konsentrasi NaOH
c.
Waktu reaksi
Prosedurnya adalah sebagai berikut: Limbah aluminium foil dibersihkan terlebih dahulu, kemudian dikecilkan ukurannya sampai 0,1 cm x 0,1 cm dan ditimbang dengan berat sampel 1 gram. NaOH disiapkan dan diencerkan masingmasing 25 ml dengan konsentrasi yang berbeda-beda yaitu 2 N, 3 N, 4 N, 5 N dan 6 N. Potongan aluminium foil dimasukkan ke dalam labu leher tiga. Masingmasing larutan NaOH direaksikan dengan potongan aluminium foil 1 gram. Direaksi pada waktu 2 menit. Serta diamati suhu konstan pada 35°C. Untuk kandungan gas H2 yang dihasilkan dianalisis dengan metode penyulutan api. 40
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Proses diulangi untuk waktu reaksi 3 menit, 4 menit, dan 5 menit. Sampel yang telah direaksikan dengan NaOH di dalam labu leher tiga ditutup dengan balon agar H2 masuk ke dalam balon. Sehingga dapat dihitung volume H2 di dalam balon, konversi Aluminium, yield hidrogen, dan pengujian gas hidrogen dengan cara pembakaran.
4.
Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka data hasil pengamatan
didapat volume hidrogen yang diukur dengan metode balon dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Volume Hidrogen dari Limbah Aluminium Foil Berat Run Aluminium (gr) 1 2 3 1 4 5 6 7 8 1 9 10 11 12 13 1 14 15 16 17 18 1 19 20
Waktu (menit)
2
3
4
5
Konsentrasi NaOH (N)
Volume Hidrogen (L)
2 3 4 5 6 2 3 4 5 6 2 3 4 5 6 2 3 4 5 6
0,580 0,694 0,927 1,439 1,489 1,372 1.499 1,592 1,655 1,754 1,571 1,743 1,754 1,845 1,937 1,777 1,892 1,904 1,928 1,938
Dari Tabel 4.1 menunjukkan volume hidrogen yang tertinggi adalah pada Waktu 5 menit dan konsentrasi NaOH 6N yaitu 1,938 liter. Untuk volume hidrogen yang terendah pada waktu 2 menit dan konsentrasi NaOH 2N yaitu 41
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
0,580 liter. Hasil penelitian gas Hidrogen dari limbah aluminium foil untuk konversi aluminium dan yield hidrogen dapat dilihat pada Tabel 4.2 dengan variasi NaOH (2N, 3N, 4N, 5N dan 6N) dan waktu reaksi (2 menit, 3 menit, 4 menit, dan 5 menit). Tabel 4.2 Hasil Penelitian Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium Foil
Run 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Variabel bebas Konsentrasi Waktu NaOH (N) (menit) 2 3 4 2 5 6 2 3 4 3 5 6 2 3 4 4 5 6 2 3 4 5 6
5
Variabel terikat Konversi Yield Hidrogen Alminium (%) (%) 34,090 1,719 36,121 2,097 37,459 2,859 39,546 4,529 40,750 4,786 4,065 35,693 38,074 4,531 39,442 4,909 40,937 5,209 42,632 5,640 4,656 40,643 41,740 5,270 42,216 5,411 42,917 5,807 6,228 51,239 5,267 42,543 5,720 44,202 44,496 5,873 50,168 6,066 6,229 51,346
Dari Tabel 4.2 menunjukkan bahwa konversi aluminium tertinggi pada waktu 5 menit dan konsentrasi NaOH 6N yaitu 51,346%, sedangkan konversi aluminium terendah pada waktu 2 menit dan konsentrasi NaOH 2N yaitu 34,090%. Untuk yield hidrogen tertinggi pada w a k t u 5 m e n i t d a n konsentrasi NaOH 6N yaitu 6,229%, serta yield hidrogen terendah pada waktu 2 menit dan konsentrasi NaOH 2N yaitu 1,719%.
42
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Penelitian ini dilakukan dengan mereaksikan limbah aluminium foil dengan katalis basa untuk menghasilkan gas hidrogen, katalis yang digunakan adalah Natrium Hidroksida (NaOH). Natrium hidroksida (NaOH) adalah bahan kimia berbentuk kristal putih padat yang apabila memasuki lingkungan akan mudah bereaksi memecah dengan
bahan
kimia
lain. Penggunaan natrium
hidroksida (NaOH) adalah sebagai katalisator yang berperan mempercepat reaksi dengan aluminium. Katalis dapat menurunkan energi aktivasi sehingga mampu
meningkatkan
laju
reaksi
agar
reaksi
kimia
dapat
mencapai
kesetimbangan, tanpa terlibat didalam reaksi secara permanen. Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan sehingga partikel dapat bertumbukkan dan menghasilkan reaksi. Reaksi antara aluminium dan air dengan Natrium Hidroksida (NaOH) untuk produksi hidrogen dapat ditunjukkan pada reaksi dibawah ini: 2Al + 6H2O + 2NaOH2NaAl(OH)4 + 3H2 ................................................ (4.1) NaAl(OH)4 NaOH + Al(OH)3 ................................................................ (4.2) Natrium hidroksida (NaOH) dikonsumsi untuk produksi hidrogen dengan reaksi eksoterm (4.1) dan akan diproduksi ulang melalui reaksi dekomposisi NaAl(OH)4. Reaksi (4.2) akan menghasilkan endapan kristal aluminium hidroksida (Al(OH)3). Kombinasi dari dua reaksi diatas menunjukkan bahwa hanya air yang dikonsumsi untuk produksi hidrogen jika dilihat dari reaksi tersebut (Kumar dan Surendra, 2013). Penggunaan natrium hidroksida (NaOH) adalah sebagai katalisator yang berperan mempercepat reaksi dengan aluminium. Katalis dapat menurunkan energi aktivasi sehingga mampu meningkatkan laju reaksi agar reaksi kimia dapat mencapai kesetimbangan, tanpa terlibat didalam reaksi secara permanen. Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan sehingga partikel dapat bertumbukkan dan menghasilkan reaksi. Dari reaksi (4.1) aluminium bereaksi dengan natrium hidroksida dan air
membentuk
natrium
aluminat
(NaAl(OH)4) atau senyawa komplek
43
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
(NaAl(OH)4) kemudian bereaksi kembali pada reaksi dekomposisi (4.2) menghasilkan aluminium hidroksida (Al(OH)3). Pada saat potongan kecil limbah aluminium foil di masukkan kedalam labu leher tiga yang berisi larutan natrium hidroksida terjadi gelembung-gelembung pada potongan aluminium foil tersebut, selanjutnya gas yang dihasilkan ditampung menggunakan balon. Untuk mengidentifikasi dan memastikan telah dihasilkan hidrogen dalam reaksi yaitu dengan melakukan pengujian pembakaran gas hidrogen seperti terlihat pada Lampiran C. Gas hidrogen sangat mudah terbakar dan akan terbakar pada konsentrasi serendah 4% di udara bebas. Karakteristik lainnya dari api hidrogen adalah nyala api cenderung menghilang dengan cepat di udara, sehingga kerusakan akibat ledakan hidrogen lebih ringan dari ledakan hidrokarbon (College Of Desert,2001).
4.1
Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Waktu Reaksi Terhadap Volume Gas Hidrogen Konsentrasi sangat berpengaruh terhadap reaksi antara limbah aluminium
foil dengan larutan natrium hidroksida (NaOH), analisa kimia kuantitatif digunakan untuk mendapatkan data mengenai produksi gas hidrogen dari limbah aluminium foil dengan larutan natrium hidroksida (NaOH) tersebut dengan konsentrasi (2N, 3N, 4N, 5N, dan 6N), jumlah aluminium 1 gr, dan waktu (2 menit, 3 menit, 4 menit, dan 5 menit). Pengukuran dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi natrium hidroksida terhadap volume gas hidrogen yang dihasilkan. Konsentrasi atau kepekatan adalah perbandingan jumlah zat terlarut terhadap jumlah larutan. Pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi adalah semakin besar konsentrasi pereaksi atau semakin pekat pereaksinya maka semakin cepat reaksi berlangsung. Dalam larutan yang konsentrasinya tinggi atau larutan pekat maka makin banyak jumlah molekulnya. Banyaknya jumlah molekul menyebabkan letak molekul yang lebih rapat dan berdekatan sehingga molekul-molekulnya lebih mudah dan sering untuk bertumbukan. Itulah sebabnya, makin besar konsentrasi suatu larutan, makin besar pula laju reaksinya.
44
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Berikut ini pengaruh konsentrasi terhadap volume gas hidrogen dengan variasi konsentrasi ( 2 N , 3 N , 4 N , 5 N , d a n 6 N ) yang ditunjukkan pada Gambar 4.1.
Volume (L)
t=2 menit
t=3 menit t=4 menit
t=5 menit
Konsentrasi (N) Gambar 4.1 Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Volume Gas Hidrogen
Pada penelitian ini jumlah aluminium foil ditetapkan sebanyak 1 gram sedangkan konsentrasi NaOH di variasikan. Berdasarkan gambar 4.1 dapat dilihat bahwa volume hidrogen semakin bertambah dengan kenaikan konsentrasi NaOH, pada konsentrasi tertinggi yaitu 6N volume hidrogen yang dihasilkan lebih besar dari konsentrasi 2N, 3N, 4N, dan 5N. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini semakin tinggi konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) volume hidrogen
makin
bertambah.
Ini
dikarenakan
larutan
NaOH
berfungsi
membantu aluminium mengikat OH- dari air membentuk NaAl(OH)4, sehingga melepaskan hidrogen, seperti yang ditunjukkan pada reaksi (4.1) dan (4.2) (Kumar dan Surenda, 2013). Dalam penelitian ini volume hidrogen terbesar pada konsentrasi 6N yaitu 1,938 liter. Berdasarkan penelitian Porciuncula dkk (2012) mengatakan produksi hidrogen dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi alkali, dan bentuk logam. Siregar (2012) mengatakan bahwa semakin
45
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
tinggi jumlah aluminium, maka gas hidrogen yang dihasilkan semakin besar, sedangkan laju reaksi tertinggi pada konsentrasi NaOH tertinggi. Pada penelitian juga dilakukan variasi waktu reaksi yaitu 2 menit, 3 menit, 4 menit, dan 5 menit, volume gas hidrogen akan bertambah dengan semakin lamanya waktu reaksi. Dalam reaksi ini terbentuk gas H2 yang ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas. Setelah semua aluminium bereaksi gelembung-gelembung gas akan menghilang dan larutannya berubah menjadi warna abu-abu, besar konsentrasi dari katalis yang dalam hal ini adalah NaOH maka waktu yang diperlukan untuk alumunium foil habis bereaksi adalah semakin cepat. Sehingga untuk mendapatkan hasil maksimal gas hidrogen dengan memperbanyak alumunium foil dan memperbesar konsentrasi katalisnya. Dalam penelitian ini volume hidrogen terbesar pada waktu 5 menit dan konsentrasi 6N yaitu 1,938 liter. Hal ini membuktikan bahwa semakin lama waktu reaksi, maka volume gas hidrogen yang dihasilkan akan semakin banyak. Apabila
natrium
hidroksida
(NaOH)
dimasukkan
dalam
air
akan
memisahkan kation natrium (sodium atom bermuatan positif) dan anion hidroksida (oksigen dan hidrogen atom bermuatan negatif). Ion OH- pada larutan alkali tersebut dapat merusak lapisan oksida pelindung pada permukaan aluminium serta menjadi promotor pada reaksi aluminium dengan air. Karena kecenderungan aluminium mudah dioksidasi, reaksi aluminium dengan larutan alkali tersebut menghasilkan senyawa komplek NaAl(OH)4 dan Hidrogen. 4.2
Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Waktu Reaksi Terhadap Konversi aluminium Ketika reaksi antara aluminium dan air dibantu oleh NaOH, ion OH- pada
larutan alkali akan menjadi promotor dalam reaksi tersebut yang dapat merusak lapisan oksida pelindung pada permukaan aluminium sehingga melepaskan hidrogen, dan NaOH bertindak sebagai katalis yang akan meningkatkan laju reaksi agar reaksi tersebut mencapai kesetimbangan (Kumar dan surendra, 2013). Pengaruh konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium terhadap konversi aluminium dapat dilihat pada Gambar 4.2. 46
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Konversi (%)
Konsentrasi (N) Gambar 4.2 Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Konversi Aluminium Foil
Berdasarkan Gambar 4.2 pengaruh konsentrasi NaOH terhadap konversi aluminium, semakin tinggi konsentrasi NaOH (2N, 3N, 4N, 5N, dan 6N) maka konversi aluminium semakin tinggi. Konversi aluminium tertinggi pada konsentrasi NaOH 6N dibandingkan dari konsentrasi NaOH 5N, 4N, 3N, dan 2N. Hal ini dikarenakan pada konsentrasi NaOH yang lebih tinggi menunjukkan jumlah NaOH lebih banyak. NaOH adalah sebagai katalis reaktif yang dapat merusak lapisan oksida (Al2O3) pelindung pada permukaan aluminium serta membantu
aluminium
mengikat
OH- dari
air
membentuk
NaAl(OH)4
sehingga melepas hidrogen. Dari penelitian diperoleh konversi tertinggi yaitu 51,346% pada konsentrasi 6N. Sedangkan untuk waktu reaksi diperoleh konversi tertinggi pada waktu 5 menit dan konsentrasi 6N yaitu 51,346%, hal ini dikarenakan semakin lama waktu reaksi, maka aluminium foil yang terkonversi akan semakin banyak. Dan konversi terendah pada konsentrasi 2N dan waktu 2 menit yaitu 34,090%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan bertambahnya konsentrasi NaOH dan waktu reaksi sangat mempengaruhi konversi aluminium.
47
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4.3
Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Waktu Reaksi Terhadap Yield Hidrogen Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pengaruh konsentrasi
natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium terhadap yield hidrogen dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Konsentrasi (N) Gambar 4.3 Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Yield Hidrogen
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan berat aluminium foil 1 gram dapat dilihat pada Gambar 4.3 bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH (2N, 3N, 4N, 5N, dan 6N) maka yield hidrogen yang dihasilkan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin rendah konsentrasi NaOH maka yield hidrogen yang dihasilkan semakin rendah. Yield tertinggi pada konsentrasi 6N yaitu 6,229%, begitu juga dengan variasi waktu reaksi, pada waktu terlama diperoleh yield hidrogen tertinggi yaitu pada waktu 5 menit. Hal ini dapat disimpulkan dengan bertambahnya konsentrasi dan waktu reaksi maka yield hidrogen akan semakin bertambah. Pengaruh konsentrasi dapat diamati dalam persamaan laju reaksi, dimana jika konsentrasi pereaksinya masing-masing dinaikkan maka laju reaksinya pun semakin cepat dari laju awal. Hal tersebut analog dengan peristiwa tumbukan antara larutan dengan konsentrasi yang tinggi dengan larutan konsentrasi rendah. Pada konsentrasi 48
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
tinggi jumlah partikel terlarut yang banyak menyebabkan jarak antar partikel menjadi lebih rapat dan kemungkinan untuk terjadinya tumbukan lebih besar dibandingkan dengan larutan konsentrasi rendah. Sehingga yield yang dihasilkan semakin besar karena dalam larutan yang konsentrasinya tinggi atau larutan pekat maka
makin
banyak
jumlah
molekulnya.
Banyaknya
jumlah
molekul
menyebabkan letak molekul yang lebih rapat dan berdekatan sehingga molekulmolekulnya lebih mudah dan sering untuk bertumbukan. Itulah sebabnya, makin besar konsentrasi suatu larutan, makin besar pula laju reaksinya. Besarnya laju reaksi dapat meningkatkan yield hidrogen yang diperoleh.
5.
Simpulan Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
pengolahan
data
maka
dapat
diambil kesimpulan yaitu sebagai berikut: 1.
Natrium hidroksida (NaOH) berfungsi sebagai katalis dalam reaksi aluminium dengan air, serta membantu aluminium mengikat OH- dari senyawa air membentuk NaAl(OH)4 sehingga melepaskan hidrogen.
2.
Volume hidrogen tertinggi diperoleh pada waktu reaksi 5 menit dan konsentrasi NaOH 6N yaitu 1,938 liter.
3.
Konversi aluminium tertinggi terdapat pada berat aluminium 1 gr dengan konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) 6N d a n waktu reaksi 5 menit yaitu 51,346%.
4.
Yield hidrogen yang tertinggi terdapat pada berat aluminium foil 1 gr dengan konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) 6N da n waktu reaksi 5 menit yaitu 6,229%.
6.
Daftar Pustaka
Agus, W. dan Jajang, J. 2014. Pemanfaatan Hidrogen Hasil Reaksi Water Replacement Berbahan Baku Kaleng Bekas Untuk Bahan Bakar Mesin Diesel Sistim Dual Fuel. Pekanbaru: Politeknik Caltex Riau. College Of The Desert. 2001. Modul 1 Hydrogen Properties. Hydrogen Fuel Cell Engines and Related Technologies.http://www1.eere.energy.gov/ 49
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
hydrogenand fuel cells/tech_validation/pdfs/fcm01r0.pdf (diakses pada 19 Februari 2016 pukul 22.30 WIB). Douglas M. C. P. E. 1983. Scientific Encyclopedia. Australia: Van Mostran Reinold Company. Siregar, Y. D. I. 2010. Produksi Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium. Jurnal Valensi. Volume 2, No. 1, 362-36 Siregar, Y. D. I. 2012. Produksi Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium dan Uji Daya Listrik dengan Fuel Cell. Portal Garuda. Volume 2, No 5:573-580 Suharto. 2011. Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air. Yogyakarta: Andi Offset. Hal. 313-317, 321. Takehito, H., Masato, T., Masaki, H., dan Tomohiro, A. 2005. Hydrogen Production from Waste Aluminum at Different Temperatures with LCA. Journal of Materials Transactions, Vol. 46, No. 5 pp 1052-1057.
50
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Optimasi Proses Pembuatan Biodiesel Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Melalui Proses Ekstraksi Reaktif Retno Atika Putri1, Azhari Muhammad1, Ishak1 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Lhokseumawe 24353, Indonesia email:
[email protected]
ABSTRAK Biodiesel merupakan suatu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Dalam penelitian ini bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan biodiesel biji jarak pagar. Proses pembuatan biodiesel yang digunakan adalah ekstraksi reaktif, yaitu proses ekstraksi dan reaksi transesterifikasi, berjalan secara simultan, dimana metanol memliki fungsi ganda, yaitu sebagai pelarut dan sebagai reaktan. Pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah nheksana. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari kondisi optimum proses pembuatan biodiesel dari Jatropha curcas L. seed (biji jarak pagar) dengan menggunakan Software Design Expert V.6.0.8 metode Response Surface Methodology (RSM) Box Behnken Design (BBD). Biji jarak pagar sebanyak 200 gr, menggunakan pelarut CH3OH dan katalis KOH sebesar 0,8% w/w dengan perbandingan mol (minyak:alkohol) adalah 1:4, 1:5, 1:6, suhu reaksi 55, 60 dan 65 dengan waktu reaksi adalah 60 menit, 120 menit dan 180 menit. Berdasarkan hasil eksperimen diperoleh yield tertinggi sebesar 12,80% pada kondisi 120 menit pada suhu 60 dan perbandingan mol 1:5, sedangkan Design Expert memberikan prediksi untuk memperoleh titik optimal yaitu, pada kondisi suhu 60 perbandingan mol 1:5,03 dan lama reaksi berlangsung adalah selama 131,92 menit dengan yield biodiesel sebesar 12,88%. Kata kunci: Biodiesel, ekstraksi reaktif, minyak jarak pagar, Response Surface Methodology, transesterifikasi.
1.
Pendahuluan Saat ini, bahan bakar fosil merupakan sumber energi secara global.
Namun, persediaan energi fosil seperti minyak, gas dan batubara di Indonesia yang selama ini digunakan semakin menipis, dan akan diperkirakan habis pada tahun 2025. Indonesia sedang mengalami krisis energi dan terpaksa harus impor BBM dari negara asing, padahal Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi di dunia. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan ini 51
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
diperlukan usaha-usaha untuk mencari bahan energi terbarukan (renewable energy). Salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan berasal dari sumber daya yang dapat diperbaharui adalah biodiesel. Menurut American Society for Testing Materials (ASTM Internasional), biodiesel didefinisikan sebagai mono-alkil ester rantai panjang asam lemak yang berasal dari sumber yang terbarukan, yang digunakan untuk mesin diesel. Biodiesel merupakan bahan bakar terbarukan, biodegradable, tidak beracun, dan ramah lingkungan. Biodiesel menghasilkan emisi yang lebih rendah, memiliki titik flash tinggi, daya pelumas yang lebih baik, dan cetane number tinggi. Penggunaan biodiesel memiliki potensi untuk mengurangi tingkat polusi dan kemungkinan karsinogen [Novalina, 2015]. Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai bahan bakar alami terbarukan. Tanaman ini sangat cepat tumbuh dan struktur akarnya mampu menahan erosi, terutama apabila ditanam dengan jarak yang sangat rapat. Biji jarak merupakan bagian dari tanaman jarak pagar yang mengandung minyak cukup tinggi. Tanaman sejak lama dikenal sebagai tanaman konservasi karena sifatnya yang sangat toleran terhadap jenis tanah dan iklim. Metode konvensional untuk memproduksi biodiesel dari minyak jarak dan tipe lainnya terdiri dari beberapa tahap, yaitu ekstraksi minyak, purifikasi dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi, proses ini merupakan proses yang panjang. Metode pengolahan ini menghabiskan 70% dari total biaya produksi jika refined oil digunakan sebagai bahan baku. Pengembangan ekstraksi reaktif memiliki potensi untuk mengurangi biaya pengolahan dengan segala jenis bahan baku. Hybrid atau proses simultan yang meng-kombinasikan reaksi dan proses pemisahan adalah satu hal yang telah menerima banyak perhatian akhir-akhir ini dikarenakan untuk menghemat biaya investasi dan energi dan beberapa hal lain. Ekstraksi reaktif adalah proses yang melibatkan reaksi dan pemisahan dilakukan secara bersamaan. Pemisahan fase dapat dilakukan secara alami dalam sistem reaktif dengan menambahkan pelarut. Alkohol bertindak sebagai pelarut di proses
52
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
ekstraksi dan sebagai reagent pada reaksi transesterifikasi selama ekstraksi reaktif berlangsung [Supardan, 2013]. Berdasarkan pemikiran yang telah dipaparkan, maka penulis melakukan penelitian pembuatan biodiesel minyak jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan menggunakan ekstraksi reaktif, sehingga metode ini nantinya dapat dikembangkan untuk skala industri dan mampu meminimalkan dampak lingkungan.
2.
Tinjauan Pustaka Tanaman jarak dapat tumbuh di tanah yang kering, mudah tumbuh dengan
cepat dan tanaman ini dapat menghasilkan biji selama 40 tahun. Tanaman jarak ini mnghasilkan biji dengan kandungan minyak hingga 37%, hampir dua kalilipat dibandingkan kedelai dan hampir sama dengan kandungan minyak pada camelina. Minyak dari tanaman ini dapat diekstrak dari bijinya setelah 2 hingga 5 tahun penanaman, tergantung kualitas tanah dan curah hujan [Honary, L.A.T, 2011]. Bunga tanaman jarak berwarna kuning kehijauan, berupa bunga majemuk berbentuk malai, bermah satu. Buah berupa buah kotak berbentuk bulat telur, diameter 2-4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning ketika telah masak. Buah jarak terbagi 3 ruang yang masing-masing ruang diisi 3 biji. Biji berbentuk bulat lonjong, warna coklat kehitaman. Biji inilah yang banyak mengandung minyak dengan rendemen sekitar 30-40%. Minyak jarak pagar diperoleh dari biji dengan metode pengempaan panas atau dengan ekstraksi pelarut. Minyak jarak pagar tidak dapat dikonsumsi manusia karena mengandung racun yang disebabkan adanya senyawa ester forbol [Syah, 2006]. Biodiesel digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti, sangat baik bagi lingkungan, diproduksi dalam negeri dengan sumber daya alam untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar impor dan dapat memberikan kontribusi untuk perekonomian negara [biodiesel.org, 2016]. Menurut American Society of Testing Material bahwa biodiesel adalah bahan bakar alternatif yang menjanjikan yang dapat diperoleh dari minyak tumbuhan, lemak binatang atau minyak bekas melalui esterifikasi dengan alkohol. Sumber alkohol yang digunakan
53
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
dapat bermacam-macam. Apabila direkasikan dengan metanol, maka akan didapati metil ester, apabila direaksikan dengan etanol akan diperoleh etil ester. Metanol lebih banyak digunakan sebagai sumber alkohol karena rantainya lebih pendek, lebih polar dan harganya lebih murah dari alkohol lainnya (Ma dkk., 2001). Pembuatan Biodiesel Pembuatan biodiesel dapat dilakukan dengan cara 2 langkah, yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Proses esterifikasi bertujuan untuk menurunkan kadar FFA minyak/lemak yang akan digunakan. Bahan baku minyak jarak dan minyak jelantah harus mengandung asam lemak bebas dalam minyak serendah mungkin (<1%). Adanya sedikit kandungan asam lemak bebas dalam reaktan akan menyebabkan terbentuknya sabun dan akan menurunkan yield ester serta mempersulit pemisahan pemisahan ester dan gliserol. Kehadiran asam lemak bebas dalam minyak juga akan mengkonsumsi katalis sehingga menurunkan efisiensi katalis. Transesterifikasi berkatalis basa akan efisien jika bahan baku minyak berkemurnian tinggi (Rahmania, 2004). Reaksi transesterifikasi disebut juga dengan reaksi alkoholisis. Alkohol yang biasa digunakan dalam rekasi tranesterifikasi adalah metanol. Proses transestrifikasi dengan
menggunakan katalis basa mampu mencapai 98 %
konversi dengan waktu reaksi minimum. Berikut ini adalah reaksi pembentukan metil ester dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan tahap-tahap reaksi transesterifikasi yang ditampilkan dalam Gambar 2. RCOOCH2
RCOOCH
CH2OH
+
3 CH3OH
3 RCOOCH3 +
CH2OH
RCOOCH2 Trigliserida
CHOH
metanol
gliserol
metil etser
Gambar 1 Reaksi Pembentukan Metil Ester
54
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Trigliserida
+ ROH
Katalis
Digliserida
+
Metil Ester
Digliserida
+ ROH
Katalis
Monogliserida
+
Metil Ester
Monogliserida + ROH
Katalis
Gliserin
+
Metil Ester
Gambar 2 Tahapan-tahapan Reaksi Transesterifikasi (Syam, 2012) Reaksi di atas terjadi secara bertahap. Pada reaksi pertama adalah konversi dari trigliserida menjadi digliserida, diikuti dengan digliserida menjadi monogliserida, dan terakhir adalah monogliserida menjadi gliserol, menghasilkan satu molekul metil ester dari setiap gliserida pada setiap tahap. Reaksi transesterifikasi dilakukan menggunakan katalis basa kuat, yaitu KOH. Menurut Encinar dkk. (1999), melaporkan bahwa dibandingkan dengan NaOH, kinerja KOH sebagai katalis lebih unggul dimana produk metil ester yang dihasilkan lebih banyak serta pemisahan produk metil ester dari gliserol lebih mudah. Kombinasi antara katalis KOH dengan pelarut metanol dalam reaksi transesterifikasi diharapkan dapat menghasilkan produk biodiesel yang maksimal. Tujuan reaksi transesterifikasi adalah untuk menghilangkan secara utuh kandungan trigliserida, titik didih, titik nyala, viskositas dari minyak yang direaksikan, agar metil ester yang dihasilkan dapat digunakan pada mesin diesel tanpa merusak atau merubah mesin diesel.
Ekstraksi Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan kelarutan terhadap dua cairan yang tidak saling larut. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan minyak atsiri dalam bahan dengan pelarut organik yang mudah menguap. Metode konvensional untuk memproduksi biodiesel dari minyak jarak dan tipe lainnya terdiri dari beberapa tahap, yaitu ekstraksi minyak, purifikasi dan reaksi esterifikasi atau transesterifikasi. Ini merupakan proses yang panjang Metode pengolahan ini menghabiskan 70% dari total biaya produksi jika refined oil digunakan sebagai bahan baku. Pengembangan ekstraksi reaktif memiliki 55
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
potensi untuk menrurangi biaya pengolahan sengan segala jenis bahan baku. Hybrid atau proses simultan yang meng-kombinasikan reaksi dan proses pemisahan adalah satu hal yang telah menerima banyak perhatian akhir-akhir ini dikarenakan untuk menghemat biaya investasi dan energi dan beberapa hal lain. Ekstraksi reaktif adalah proses yang melibatkan reaksi dan pemisahan dilakukan secara bersamaan. Pemisahan fase dapat dilakukan secara alami dalam sestem reaktif dengan menambahkan pelarut. Alkohol bertindak sebagai pelarut di proses ekstraksi dan sebagai reagent di reaksi transesterifikasi selama ekstraksi reaktif berlangsung. Oleh sebab itu alkohol diperlukan dalam jumlah yang sangat banyak (Supardan, 2013).
3.
Metode Penelitian Adapun tahapan dalam melakukan penelitian ini meliputi persiapan bahan
baku, tahapan penelitian, dan tahap analisa. Biji buah jarak yang sudah tua dibersihkan terlebih dahulu. Setelah itu dihancurkan, kemudian dikeringkan hingga suhu 76 . Biji yang telah dihaluskan dan dikeringkan, ditimbang sebanyak 200 gram dan dimasukkan ke dalam lab leher tiga (reaktor). Selanjutnya 600 ml pelarut n-heksana dan KOH yang telah dilarutkan dengan metanol dimasukkan ke reaktor. Perbandingan mol 1:4 (minyak:metanol), metanol sebanyak 40 ml dimasukkan ke dalam reaktor. Campuran dipanaskan pada suhu 55 . Campuran di-homogenkan dengan kecepatan pengadukan 400 rpm selama 1 jam. Setelah ekstraksi reaktif selesai, peralatan pemanas dimatikan dan campuran reaksi dikeluarkan dari reaktor. Campuran dipisahkan dengan proses penyaringan menggunakan kertas saring, sedangkan residu yang tersisa dibuang. Filtrat yang diperoleh di-destilasi hingga suhu 70 untuk menghilangkan pelarut (n-heksana dan metanol) dari minyak. Minyak yang telah dipisahkan dari pelarut dimasukkan ke dalam corong pemisah selama beberapa jam sehingga terlihat 2 lapisan, yaitu lapisan atas adalah metil ester dan lapisan bawah adalah gliserol. Metil ester atau biodiesel yang telah diperoleh, dicuci dengan air hangat (suhu 50
56
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
) untuk menghilangkan residu katalis dan sabun. Gliserol merupakan produk samping dari proses ini, maka gliserol dipisahkan dari biodiesel. Selanjutnya, biodiesel dikeringkan untuk mengurangi kadar air, kemudian dilakukan analisa hasil. Untuk variabel lain akan dilakukan dengan langkah-langkah yang sama tetapi dengan mengubah variabel suhu, waktu reaksi dan perbandingan mol sesuai dengan yang diinginkan. Biodiesel yang diperoleh diambil untuk dianalisa yield, viskositas, densitas, moisture content, cloud point (F) dan pour point (F) dan analisa komposisi kimia biodiesel. Metode yang digunakan untuk merancang percobaan ini adalah RSM (Metode Response Surface Methodology). RSM merupakan penggabungan teknik matematika dan statistik yang berguna untuk permodelan dan analisis problem yang mana respon yang diamati dipengaruhi oleh beberapa variabel dan bertujuan untuk mengoptimalkan hasil penelitian ini. Adapun diagram optimasi proses pembuatan biodiesel minyak jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan menggunakan ekstraksi reaktif dapat dilihat pada Gambar 3.
57
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4.
Hasil dan Diskusi Penelitian ini
di-desain dengan menggunakan
Response
Surface
Methodology (RSM) dengan software Design Expert V.6.0.8 Hasil penelitian berupa yield biodiesel diperoleh dari hasil perhitungan data penelitian yang dilakukan di Laboratorium Teknik Kimia Universitas Malikussaleh dan Laboratorium Politeknik Negeri Lhokseumawe. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka data pengamatan proses pembuatan biodiesel biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) melalui proses ekstraksi reaktif dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Data hasil Penelitian Menggunakan Box Behnken Method
58
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Model kuadratik dipilih sebagai model permukaan respon aktivitas terhadap mol rasio, suhu dan waktu berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan. Adapun model yang dihasilkan adalah bentuk persamaan matematis yang disusun sebagai berikut: Y1= 280,541 + 6,500 A – 0,067 B + 40,278 C – 0,0570 A2 – 0,001 B2 – 4,446 C2 + 0,0025 AB + 0,016 AC + 0,026 BC Dimana:
A = suhu B = waktu C = perbandingan mol Variabel Bebas
Variabel Terikat
Run 1
Suhu C 55,00
Waktu Menit 60,00
Perbandingan mol minyak: metanol Mol 5,00
Yield % 7,715
2
65,00
60,00
5,00
7,467
3
55,00
180,00
5,00
7,834
4
65,00
180,00
5,00
10,586
5
55,00
120,00
4,00
8,127
6
65,00
120,00
4,00
7,576
7
55,00
120,00
6,00
6,119
8
65,00
120,00
6,00
5,892
9
60,00
60,00
4,00
5,145
10
60,00
180,00
4,00
3,885
11
60,00
60,00
6,00
3,683
12
60,00
180,00
6,00
8,800
13
60,00
120,00
5,00
12,800
14
60,00
120,00
5,00
12,800
15
60.00
120,00
5,00
12,800
16
60,00
120,00
5,00
12,800
17
60,00
120,00
5,00
12,800
Y1 = yield biodiesel
59
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Keakuratan model tersebut dapat diketahui dari harga R-squared yaitu R2 = 0,9537. Berdasarkan nilai tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa nilai yield biodiesel yang diperkirakan dengan model mendekati nilai yang diperoleh dari hasil penelitian. Nilai R2 > 0,85 artinya model dapat diterima.
4.1 Interaksi Antara Suhu dan Waktu Grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi antara suhu dan waktu dapat dilihat pada Gambar 4. DESIGN-EXPERT Plot Yield X = A: Suhu Y = B: Waktu Actual Factor C: Perbandingan Mol = 5.00 12.8807 11.4054 9.93004 Yield
8.45471 6.97938
180.00 65.00 150.00 62.50 120.00
B: Waktu
60.00
90.00 60.00
57.50
A: Suhu
55.00
Gambar 4 Interaksi Antara Suhu dan Waktu Gambar 4 menunjukkan interaksi antara suhu dan waktu. Pada umumnya reaksi transesterifikasi dilakukan pada suhu 60–65 pada tekanan atmosfer. Kecepatan reaksi akan meningkat sejalan dengan kenaikan temperatur, yang berarti semakin banyak energi yang dapat digunakan reaksi untuk mencapai energi aktivasi, sehingga akan menyebabkan semakin banyak tumbukan terjadi antara molekul-molekul reaktan.
60
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Semakin lama waktu reaksi, maka semakin banyak ester yang dihasilkan. Hal ini dapat terjadi karena situasi ini akan memberikan kesempatan molekulmolekul reaktan untuk semakin lama bertumbukan. Grafik hubungan suhu dan waktu disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Grafik Hubungan Suhu dan Waktu Reaksi terhadap Yield Suhu reaksi yang digunakan pada proses transesterifikasi sebaiknya tepat, karena suhu yang berlebihan dapat menyebabkan reaksi menjadi tidak sempurna. Pada penelitian ini digunakan suhu bervariasi, yaitu 55,60 dan 65 . Gambar 5 di atas, menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu reaksi yang dioperasikan, maka yield metil ester semakin besar. Hal ini terjadi karena dengan naiknya suhu reaksi, maka tumbukan partikel akan semakin besar, sehingga reaksi berjalan semakin cepat dan konstanta reaksi akan semakin besar. Ketika reaksi berlangsung selama 180 menit, pada suhu 55 dan 60 mengalami penurunan, karena pelarut (nheksana) dan metanol kemungkinan mengalami penguapan ketika reaksi berlangsung. Pada Reaksi ini merupakan reaksi endotermis, sehingga apabila suhu dinaikkan, maka kesetimbangan akan bergeser ke produk. (Dogra, 1990).
61
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4.2 Interaksi Antara Suhu dan Perbandingan Mol Berikut adalah grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi antara perbandingan mol dengan suhu. DESIGN-EXPERT Plot Yield X = A: Suhu Y = C: Perbandingan Mol Actual Factor B: Waktu = 120.00
12.8073 11.256 9.7046 Yield
8.15324 6.60188
6.00 65.00 5.50 62.50 5.00
60.00
C: Perbandingan Mol 4.50
57.50 4.00
A: Suhu
55.00
Gambar 6 Interaksi Antara Perbandingan Mol dan Suhu
Gambar 7 Grafik Interaksi Antara Perbandingan Mol terhadap Yield Gambar di atas menunjukkan interaksi antara perbandingan mol dan suhu. Pada reaksi transesetrifikasi, penggunaan suhu yang tidak tepat dapat mengakibatkan reaksi tidak sempurna dan menyebabkan berkurangnya yield biodiesel. Penggunaan suhu yang tepat mengakibatkan reaksi bergeser ke arah 62
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
kanan (produk), peningkatan laju reaksi ini disebabkan oleh meningkatnya konstanta laju reaksi yang merupakan fungsi dari temperatur. Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi reversible, maka pada kondisi suhu yang tinggi kesetimbangan bergeser ke arah kiri (dekomposisi produk). Perbandingan reaktan yang semakin tinggi, maka semakin besar pula yield yang diperoleh. Hal ini dapat terjadi karena perbandingan mol reaktan yang berlebih, yang diharapkan reaksi akan bergeser ke kanan. Perbandingan mol 1:6 mengalami penurunan. Hal ini mungkin disebabkan oleh trigliserida yang telah habis bereaksi. Metanol yang digunakan adalah methanol teknis, dimana metanol tersebut masih mengandung air. Keberadaan air akan menyebabkan reaksi bergeser kea rah kiri. Reaksi transesterifikasi merupakan reaksi reversible yang menghasilkan produk samping berupa air. 4.3 Interaksi Antara Waktu dan Perbandingan Mol Grafik tiga dimensi yang menunjukkan interaksi antara waktu dan perbandingan mol dapat dilihat pada Gambar 8 dan grafik Perbandingan mol
DESIGN-EXPERT Plot Yield X = B: Waktu Y = C: Perbandingan Mol Actual Factor A: Suhu = 60.00
12.8589 10.361 7.86309 Yield
5.36517 2.86725
6.00 180.00 5.50 150.00 5.00
120.00
C: Perbandingan Mol 4.50
90.00 4.00
B: Waktu
60.00
terhadap waktu reaksi disajikan pada Gambar 9 di bawah ini Gambar 8 Interaksi Antara Waktu dan Perbandingan Mol
63
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 9 Grafik Hubungan Antara Perbandingan Mol dan Waktu Reaksi terhadap Yield Jumlah mol reaktan dalam pembuatan biodiesel juga mempengaruhi yield biodiesel. Secara umum ditunjukkan bahwa semakin banyak alkohol yang digunakan maka semakin banyak yield yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan pemakaian reaktan yang berlebih akan memperbesar kemungkinan tumbukan antara zat molekul yang bereaksi sehingga kecepatan reaksinya bertambah besar. Penggunaan mol reaktan secara berlebihan juga dapat menyebabkan yield kecil. Kondisi ini dapat terjadi karena dengan penggunaan mol reaktan secara berlebihan, katalis tidak berperan secara signifikan dalam memperkecil energi aktivasi. Oleh karena itu, dengan waktu yang diberikan terbatas, kesempatan molekul untuk bertumbukan semakin kecil, inilah yang menyebabkan yield yang diperoleh kecil. 4.4 Analisa Karakteristik Biodiesel Hasil analisa yang diperoleh dari uji kualitas biodiesel ditampilkan pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Hasil Analisa Karakteristik Biodiesel Karakteristik
Satuan
Biodiesel
SNI Biodiesel
Massa jenis
Kg/m3
867,6
850-890
Viskositas pada 40
cst
3,529
2,3 - 6,0
Angka Asam Total
MgKOH/kg
2,644
0,6 maks
Cloud Point
(°C)
-6
18 °C maks
64
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti tertera pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa densitas, viskositas dan cloud point dari biodiesel yang diperoleh melalui penelitian ini sudah memenuhi karakteristik sebagaimana yang dikeluarkan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI). Angka asam yang diperoleh melebihi standar SNI biodiesel , yaitu 0,6 maks. Angka asam yang tinggi dapat menyebabkan endapan dalam sistem bahan bakar dan juga merupakan indikator penurunan kualitas bahan bakar. Semakin tinggi angka asam terhadap biodiesel, maka semakin rendah pula kualitasnya. Angka asam yang tinggi dapat menyebabkan korosi dan memperpendek umur pompa maupun filter. Selanjutnya Chromatography
minyak (GC)
di
untuk
analisa
dengan
mengetahui
menggunaka
komposisi
alat
Gas
minyak.
Gas
Chromatography yang digunakan adalah GC Shimadzu Seri GC-2010 menggunakan kolom BD 5 AT dengan panjang diameter kolom 15 meter dan internal diameternya adalah 0,250 mm. Suhu Injector kolom adalah 360 . Suhu kolom awal adalah 60 kemudian ditahan selama 5 menit, dilanjutkan kembali dengan menaikkan selama 15 menit hingga suhu 350 , ditahan kembali selama 5 menit.carier gas pada GC ini adalah nitrogen dengan split rasio 1:50. Hasil menunjukkan bahwa penelitian ini mengandung senyawa biodiesel (ester). Senyawa terbanyak ester diperoleh dengan persentase area sebesar 25,227% pada waktu yang ke 12 menit. Berdasarkan teoritis, kandungan hidrokarbon pada minyak jarak pagar yang terbanyak adalah metil oleat.
5.
Simpulan 1. Hasil eksperimen diperoleh yield tertinggi sebesar 12,80% pada kondisi 120 menit pada suhu 60 dan perbandingan mol 1:5. 2. Hasil optimasi model Design Expert diperoleh yield biodiesel 12,887 % pada suhu: 60, 60 131,92 menit serta perbandingan mol 1:5,03.
65
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
3. Berdasarkan analisa menggunakan Gas Chromatography, biodiesel yang diperoleh memiliki persentasi area sebesar 25,227% pada waktu ke 12 menit, dengan komponen utamanya adalah metil oleat. 6.
Daftar Pustaka
Dogra, S.K. dan S. Dogra. (1990). Indonesia. Jakarta
Kimia Fisik Dan Soal-soal. Universitas
Ma, F., dan Hannah, M.A. (1999). Biodiesel Production: A Review. Bioresource Technology 70, 1-15. Novalina S., P. (2015). Pembuatan Biodiesel dari Mesokarp Sawit dengan Teknologi Reactive Extraction. Skripsi Program Sarjana Departemen Teknik Kimia USU. Universitas Sumatera Utara. Medan Rahmania, O. (2004). Transesterifikasi Minyak Dedak Padi Menjadi Biodiesel dengan Katalis Asam. Surabaya: Thesis Program Pasca Sarjana, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya. Supardan, M. D., Satriana, F., Ryan M. (2013). Reactive Extraction of Jatropha Seed for Biodiesel Production Effect of Moisture Content of Jatropha Seed and Co-solvent Concentration. International Journal on Advanced Science Engineering Information Technology 3, 28-31. Syah, A. N. A. (2006). Biodiesel Jarak Pagar: Bahan Bakar Alternatif yang Ramah Lingkungan. Jakarta. Agro Media Pustaka. Syam, A.M., Robiah Y., Suraya A, R. (2012). Synthesis of Biodiesel from Refined Bleached Deodorized Palm Oil. LAP Lambert Academic Publishing GmbH & Co. KG. Jerman. www.biodiesel.org. Biodiesel [online]. Diakses pada 01 Januari 2016.
66
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
PEMANFAATAN LIMBAH KALENG MINUMAN ALUMINIUM SEBAGAI PENGHASIL GAS HIDROGEN MENGGUNAKAN KATALIS NATRIUM HIDROKSIDA (NaOH) Sri Wahyuni1, Lukman Hakim2, Fikri Hasfita3 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Kampus Bukit Indah Kec. Muara Satu, Aceh Utara - Fax (0645) 44450 Korespondensi: HP: 082360997815, e-mail:
[email protected]
Abstrak
Gas hidrogen tidak dapat ditambang melainkan diproduksi, salah satunya produksi hidrogen dari limbah kaleng minuman aluminium mereaksikannya dengan air dan penambahan natrium hidroksida (NaOH) sebagai katalis. Reaksi tersebut menghasilkan gas hidrogen dan NaAl(OH)4. Dalam konteks ini, hidrogen dapat dikonversikan menjadi energi terbarukan, dimana energi tersebut ramah lingkungan dan emisi yang dihasilkan berupa uap air. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan teknik daur ulang limbah kaleng minuman aluminium seperti Pocari Sweat untuk menghasilkan gas hidrogen sebagai energi yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Penelitian ini dilakukan dengan mereaksikan aluminium dan air dengan katalis NaOH selama 43 menit pada suhu 300C. Dimana berat aluminium divariasikan (0.5 gr, 1 gr, 1.5 gr dan 2 gr), serta konsentrasi NaOH yang divariasikan (2N, 3N, 4N, 5N dan 6N) . Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa volume hidrogen terbesar pada berat aluminium 2 gram dengan konsentrasi NaOH 6N yaitu 1,081 liter. Untuk konversi aluminium tertinggi pada berat aluminium 0,5 gram dengan konsentrasi NaOH 6N yaitu 68,950 %, sedangkan yield hidrogen tertinggi pada berat aluminium yaitu 2 gram dengan konsentrasi NaOH 6N yaitu 3,539 %.
Kata Kunci : Aluminium, Air, Energi Terbarukan, Hidrogen, Katalis, Limbah Kaleng, Natrium Hidroksida (NaOH)
1.
Pendahuluan Dalam konteks ini, isu utama yang paling menonjol adalah konversi energi dari
sebelumnya energi berbasis bahan bakar fosil kini beralih ke energi yang dapat diperbaharui. Di sisi lain, isu lingkungan global yang menuntut tingkat kualitas lingkungan yang lebih baik, mendorong berbagai pakar energi untuk mengembangkan energi yang lebih ramah lingkungan dan mendukung jaminan pasokan berkesinambungan. Hasil 67
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
penelitian diharapkan mampu mengatasi beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan minyak bumi. Salah satu bentuk energi terbarukan yang dewasa ini menjadi perhatian besar pada banyak negara, terutama di negara maju adalah hidrogen. Hidrogen diproyeksikan oleh banyak negara akan menjadi bahan bakar masa depan yang lebih ramah lingkungan dan lebih efisien. Dimana suplai energi yang dihasilkan sangat bersih karena hanya menghasilkan uap air sebagai emisi selama berlangsungnya proses. Gas hidrogen tidak dapat ditambang melainkan harus diproduksi. Alternatif tersebut dapat dilakukan dengan melakukan proses elektrolisis menggunakan air dengan reaksi fotokatalisis oksinitrida (Domen dan Maeda, 2006) atau proses elektrolisis dengan menggunakan katalis oksida padat (Zang dkk, 2010). Metode produksi hidrogen dari biomasa meliputi metode biologi (Claassen dkk, 2010) dan secara kimia (K!rtay, 2011). Produksi hidrogen juga dapat dilakukan dengan steam reforming dari hidrokarbon (Pencova dkk, 2011). Selain itu, hidrogen dapat dihasilkan dari reaksi logam dan air dengan bantuan katalis. Salah satunya yaitu hidrogen yang dihasilkan dari logam aluminium yang direaksikan dengan air menggunakan katalis NaOH (Kumar dan Surendra, 2013). Saat ini, penggunaan aluminium semakin meningkat. Salah satu penggunaan aluminium pada industri minuman ringan (soft drink) dimana aluminium tersebut digunakan sebagai kemasan dari minuman ringan (soft drink). Aluminium biasa dicampur untuk menambah sifat mekanis dan kekuatan, seperti aluminium foil dan kaleng minuman mengandung sekitar 92-99% aluminium selebihnya yaitu tembaga, seng, magnesiun, mangan, silika, dan logam lainnya dengan tingkat persen yang sedikit (Zamani, 2014). Berikut ini kandungan aluminium dari kaleng minuman yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Aluminium dari Kaleng Minuman Parameter
Satuan
Aluminium Magnesium Mangan Besi Silikon tembaga
% % % % % %
Pocari Sweat 96,38 1,14 0,75 0,51 0,19 0,19
Jenis Kaleng Cap Kaki Tiga Greensands 89,74 90,87 3,28 2,25 1,93 1,21 1,79 1,52 0,88 1,33 2,36 1,92
Coca-Cola 93,28 1,17 1,04 1,72 0,68 1,26
Sumber: (Saputra, 2012) 68
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Pemanfaatan limbah kaleng minuman untuk bahan menghasilkan suatu energi belum banyak dilakukan. Padahal limbah kaleng minuman aluminium yang cukup banyak bisa diproses menjadi gas hidrogen. Dalam penelitian ini, penulis mengambil penelitian limbah kaleng minuman yang banyak ditemui serta memiliki kandungan aluminium yang banyak terdapat pada kaleng pocari sweat. Menurut Siregar (2010) dalam penelitiannya menunjukkan baik katalis asam dan netral tidak dapat memproduksi gas hidrogen. Sebaliknya dengan menggunakan katalis basa kuat, baik itu NaOH dan KOH memberikan hasil hidrogen yang lebih tinggi, tetapi pada penggunaan katalis NaOH waktu reaksi antara aluminium dan air lebih cepat daripada katalis KOH. 2.
Metode Penelitian
2.1
Alat dan bahan yang digunakan Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah erlenmeyer, tutup
sumbat erlenmeyer, balon, magnetic stirred, hotplate stirred, gunting, timbangan analitik, termometer, labu ukur, benang, spatula, kaca arloji. Bahan yang digunakan dalam penelitian in adalah limbah kaleng minuman Pocari Sweat, NaOH, dan aquadest. 2.2
Prosedur Kerja Proses Pembuatan Gas Hidrogen Limbah kaleng minuman dengan merek Pocari Sweat yang dibersihkan catnya
dengan menggunakan amplas. Setelah penghilangan cat, kaleng minuman tersebut dipotong dengan ukuran 0,1 x 0,1 cm dan ditimbang dengan berat sampel 0,5 gr, 1 gr, 1,5 gr dan 2 gr. Kemudian larutan NaOH dibuat dengan konsentrasi masing-masing 2N, 3N, 4N, 5N, 6N. Tahap ini masing- masing potongan kaleng tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi larutan NaOH dengan konsentrasi masing-masing 2N, 3N, 4N, 5N,dan 6N. Kemudian ditutup mulut erlenmeyer dengan menggunakan penutup karet. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer. Suhu dijaga pada suhu 30oC. Untuk menjaga suhu reaksi digunakan water bath sebagai media pendingin. Waktu reaksi dijaga selama 43 menit dengan pengadukkan 100 rpm. Pengumpulan gas hidrogen digunakan balon yang letakkan pada permukaan erlenmeyer. Sebelum volume gas hidrogen dapat dihitung, terlebih dalulu keliling balon diukur. Persamaan yang digunakan yaitu sebagai berikut: 69
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Penentuan Konversi, Yield dan Pengujian Gas Hidrogen Dengan Cara Pembakaran Konversi dan yield ditentukan dengan menggunakan persamaan dibawah ini (Dave dan Pant, 2010):
% Konversi Aluminium =
% Yield H2 =
Untuk mengidentifikasi dan memastikan telah dihasilkan hidrogen dalam reaksi yaitu dengan melakukan pengujian pembakaran gas hidrogen dengan menggunakan botol dan balon. Gas hidrogen sangat mudah terbakar dan akan terbakar pada konsentrasi serendah 4% di udara bebas. Karakteristik lainnya dari api hidrogen adalah nyala api cenderung menghilang dengan cepat di udara, sehingga kerusakan akibat ledakan hidrogen lebih ringan dari ledakan hidrokarbon (College Of Desert,2001). 3.
Hasil dan Diskusi Dalam suhu kamar, reaksi aluminium dengan air untuk membentuk aluminium
hidroksida dan hidrogen adalah sebagai berikut : 2Al(s) + 6H2O(l)
2Al(OH)3(s) + 3H2 (g)................................................ (1)
Reaksi ini secara termodinamika terjadi dari suhu kamar yang bersifat eksoterm. Reaksi ini juga harus terjadi spontan. Namun, dalam prakteknya sepotong aluminium jatuh ke air tidak akan bereaksi dalam kondisi suhu kamar, atau bahkan dengan air mendidih. Hal ini karena aluminium bereaksi lambat dengan air karena mudah bereaksi dengan oksigen membentuk lapisan aluminium oksida (Al2O3) di permukaan dan lapisan alumina ini mencegah reaksi (Departement Of Energy, 2008). Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil yang optimal aluminium harus diampelas dulu sebelum direaksikan untuk menghilangkan
lapisan
oksida
yang
menutupi
permukaan
aluminium.
Karena
3+
kecenderungannya yang kuat dioksidasi menjadi Al , diharapkan Al(s) dapat menggantikan H2(g) dari air (Petrucci, 1993).
70
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Dalam penelitian ini, pembuatan gas hidrogen dari limbah kaleng minuman aluminiun menggunakan Natrium Hidroksida (NaOH) yang bertindak sebagai katalis dalam reaksi untuk mempercepat reaksi. Natrium hidroksida (NaOH) adalah bahan kimia berbentuk kristal putih padat yang apabila memasuki lingkungan akan mudah bereaksi memecah dengan bahan kimia lain. Seperti halnya natrium hidroksida dimasukkan dalam air akan memisahkan kation natrium (sodium atom bermuatan positif) dan anion hidroksida (oksigen dan hidrogen atom bermuatan negatif). Natrium hidroksida mudah larut dalam air dan akan menghasilkan panas (eksoterm). Ion OH- pada larutan alkali tersebut akan menjadi promotor pada reaksi aluminium dengan air. Ketika reaksi antara Al dan air dibantu oleh alkali, ion OH- dapat merusak lapisan oksida pelindung pada permukaan aluminium (Kumar dan Surendra, 2013). Reaksi antara aluminium dan air dengan Natrium Hidroksida (NaOH) untuk produksi hidrogen dapat ditunjukkan pada reaksi dibawah ini: 2Al + 6H2O + 2NaOH NaAl(OH)4
2NaAl(OH)4 + 3H2....................................... (2)
NaOH + Al(OH)3 .......................................................... (3)
Natrium hidroksida (NaOH) dikonsumsi untuk produksi hidrogen dengan reaksi eksoterm (3) dan akan diproduksi ulang melalui reaksi dekomposisi NaAl(OH) 4. Reaksi (4.4) akan menghasilkan endapan kristal aluminium hidroksida (Al(OH)3). Kombinasi dari dua reaksi diatas menunjukkan bahwa hanya air yang dikonsumsi untuk produksi hidrogen jika dilihat dari reaksi tersebut (Kumar dan Surendra, 2013). Pada saat potongan kaleng aluminium dimasukan kedalam erlenmeyer yang berisi larutan natrium hidroksida terjadi gelembung-gelembung pada potongan kaleng tersebut, selanjutnya gas yang dihasilkan ditampung menggunakan dengan balon yang dapat di lihat pada Gambar (a). Untuk mengidentifikasi dan memastikan telah dihasilkan hidrogen dalam reaksi yaitu dengan melakukan pengujian pembakaran gas hidrogen seperti terlihat pada Gambar 1 (b) dan (c).
71
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Pembuatan dan Pengujian Gas hidrogen. (a) Penampungan Penampungan gas hidrogen dengan balon. (b) Pembakaran gas hidrogen dengan botol. (c) Pembakaran gas hidrogen dengan menggunakan balon.
3.1
Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Jumlah A Aluminium terhadap Volume Gas Hidrogen Analisa kimia kuantitatif digunakan untuk mendapatkan data mengenai pr produksi gas
hidrogen yang dihasilkan dari reaksi antara limbah kaleng minuman aluminium al dengan larutan natrium hidroksida (NaOH) dari konsentrasi (2N, 3N, 4N, 5N,dan 6N) dengan jumlah aluminium (0,5 gr, 1 gr, 1,5 gr dan 2 gr). Pengukuran dilakukan untuk mengetahui pengaruh berat kaleng minuman aluminium terhadap volume gas hidrog hidrogen yang dihasilkan. Berikut ini pengaruh berat aluminium terhadap volume volume gas hidrog hidrogen dengan variasi konsentrasi yang ditunjukkan pada Gambar 2. 2
72
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 2. Hubungan pengaruh konsentrasi NaOH dan jumlah aluminium terhadap volume gas hidrogen Dalam penelitian ini waktu reaksi ditetapkan pada 43 menit, mengikuti penelitian yang dilakukan Siregar (2012) pada jumlah aluminium 0,1 gr dengan konsentrasi NaOH tertinggi yaitu 15% waktu reaksi aluminium dan air dengan natrium hidroksida (NaOH) dibutuhkan sekitar 1826,7 detik atau 30 menit 26 detik telah menghasilkan hidrogen. Pada Gambar 2 menunjukkan volume hidrogen bertambah dengan kenaikan konsentrasi (2N, 3N, 4N, 5N, dan 6N). Pada konsentrasi tertinggi yaitu 6N volume hidrogen yang dihasilkan lebih besar dibandingkan konsentrasi 5N, 4N, 3N, dan 2N. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini semakin tinggi konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) volume hidrogen makin bertambah. Ini dikarenakan larutan NaOH berfungsi membantu aluminium mengikat OH- dari air membentuk NaAl(OH)4, sehingga melepaskan hidrogen, seperti yang ditunjukkan pada reaksi (2) dan (3) (Kumar dan Surenda, 2013) Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat jumlah aluminium terhadap volume gas hidrogen adalah semakin besar jumlah limbah aluminium yang diberikan semakin besar pula volume hidrogen yang dihasilkan. Terlihat bahwa semakin tinggi jumlah aluminium (0,5 gr, 1 gr, 1,5 gr, dan 2 gr) volume hidrogen yang dihasilkan semakin bertambah. Dalam penelitian ini volume hidrogen terbesar pada berat aluminium 2 gr dengan konsentrasi 6N yaitu 1,081 liter. Berdasarkan penelitian Porciuncula dkk (2012) mengatakan produksi hidrogen dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi alkali, dan bentuk logam. Siregar (2012) mengatakan bahwa semakin tinggi jumlah aluminium, maka gas hidrogen yang dihasilkan semakin besar, sedangkan laju reaksi tertinggi pada konsentrasi NaOH tertinggi.
3.2
Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Jumlah Aluminium Terhadap Konversi aluminium Reaksi aluminium dan air dengan natrium hidroksida (NaOH) membentuk
NaAl(OH)4 dan hidrogen. Dalam reaksi tersebut aluminium akan mengalami oksidasi sehingga menghasilkan Al3+, sedangkan H+ dari air akan mengalami reduksi menjadi H2. Seperti yang ditunjukkan pada persamaan reaksi (2) dan (3) pada dasarnya, hanya air yang dihabiskan selama seluruh proses untuk menghasilkan hidrogen. Dalam reaksi tersebut 73
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
aluminium mengikat OH- dari senyawa air membentuk NaAl(OH)4 sehingga melepaskan hidrogen. Pengaruh konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium
terhadap konversi aluminium dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengaruh konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium terhadap konversi aluminium
Berdasarkan waktu reaksi selama 43 menit dapat dilihat pada Gambar 3 bahwa pengaruh konsentrasi NaOH terhadap konversi aluminium, semakin tinggi konsentrasi NaOH (2N, 3N, 4N, 5N, dan 6N) maka konversi aluminium semakin tinggi. Hal ini dikarenakan pada konsentrasi NaOH yang lebih tinggi menunjukkan jumlah NaOH lebih banyak. NaOH adalah sebagai katalis reaktif yang dapat merusak lapisan oksida (Al2O3) pelindung pada permukaan aluminium serta membantu aluminium mengikat OH - dari air membentuk NaAl(OH)4 sehingga melepaskan hidrogen. Jumlah aluminium berdasarkan Gambar 3 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah aluminium (0,5 gr, 1 gr, 1,5 gr, dan 2 gr) maka konversi aluminium terhadap produk hidrogen semakin rendah. Dari Gambar 3 konversi aluminium tertinggi pada berat aluminium 0,5 gr konsentrasi 6N sekitar 68,950%. Konversi aluminium sangat berpengaruh terhadap jumlah aluminium dan konsentrasi NaOH. Hal ini disebabkan karena natrium hidroksida (NaOH) bertindak sebagai katalis yang dapat menurunkan energi aktivasi sehingga mampu meningkatkan laju reaksi agar reaksi dapat mencapai kesetimbangan, tanpa terlibat didalam reaksi secara permanen. Energi aktivasi adalah 74
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
energi minimum yang dibutuhkan sehingga partikel dapat bertumbukan dan menghasilkan reaksi. Dalam penggunaan katalis tersebut, energi aktivasi harus cukup agar reaksi tersebut mencapai kesetimbangan. Apabila energi aktivasi dalam reaksi tersebut tinggi maka reaksi tersebut akan berjalan lambat (Widhyahrini, 2013).
3.3
Pengaruh Konsentrasi Natrium Hidroksida (NaOH) dan Jumlah Aluminium Terhadap Yield Hidrogen
Berdasarkan dari reaksi (2) dan (3) menunjukkan bahwa hidrogen yang dihasilkan berasal dari senyawa air. Sedangkan konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) yang bertindak sebagai katalis akan mempengaruhi laju reaksi dan membantu aluminium mengikat OH dari air membentuk NaAl(OH)4 dan hidrogen. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pengaruh konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium terhadap yield hidrogen dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan jumlah aluminium terhadap yield hidrogen Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan waktu reaksi selama 43 menit, dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH (2N, 3N, 4N, 5N, dan 6N) maka yield hidrogen yang dihasilkan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin rendah konsentrasi NaOH maka yield hidrogen yang dihasilkan semakin rendah. Hal ini dikarenakan NaOH adalah sebagai katalis reaktif yang dapat merusak lapisan oksida (Al2O3) pelindung pada permukaan aluminium (Departement of Energy, 2008) serta 75
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
membantu aluminium mengikat OH- dari air membentuk NaAl(OH)4 sehingga melepaskan hidrogen, seperti yang ditunjukkan pada reaksi (2) dan (3) (Kumar dan Surenda, 2013). Jumlah aluminium berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat pada berat aluminium (0,5 gr, 1 gr, 1,5 gr, dan 2 gr), semakin tinggi jumlah aluminium maka gas hidrogen yang dihasilkan semakin besar. Dalam penelitian Siregar (2012) menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah aluminium hidrogen yang dihasilkan semakin besar. Dari Gambar 4 terlihat bahwa yield hidrogen tertinggi pada berat aluminium 2 gr dengan konsentrasi 6N sekitar 3,539 %. Berdasarkan reaksi (2) dan (3) sama-sama menghasilkan reaksi (1) bahwa hanya air yang dikonsumsi untuk menghasilkan hidrogen. Dari reaksi (1) aluminium mengikat OH- dari senyawa air membentuk Al(OH)3 sehingga melepaskan hidrogen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah aluminium maka hidrogen yang dihasilkan semakin besar, sebab banyak aluminium mengikat OH- dari air mengakibatkan hidrogen lepas dari senyawa air tersebut.
4.
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa volume hidrogen
tertinggi pada berat aluminium 2 gr dengan konsentrasi NaOH 6N yaitu 1,0818 liter. Konversi aluminium produk hidrogen yang tertinggi terdapat pada berat aluminium 0,5 gr dengan konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) 6N yaitu 68,950 %, sedangkan yield hidrogen yang tertinggi terdapat pada berat aluminium 2 gr dengan konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) 6N yaitu 3,539 %. Natrium hidroksida (NaOH) berfungsi sebagai katalis dalam reaksi aluminium dan air, serta membantu aluminium mengikat OH - dari senyawa air membentuk NaAl(OH)4 sehingga melepaskan hidrogen. Adapun saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah waktu reaksi untuk menghasilkan hidrogen dari reaksi aluminium dan air dengan katalis NaOH divariasikan lebih lama dari 43 menit untuk mengkonversikan reaktan lebih tinggi dan pemanfaatan limbah aluminium perlu dilakukan terutama yang banyak mengandung aluminium sebagai sumber penghasil hydrogen.
6. Daftar Pustaka 76
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Claassen,P.A.M., Truus de, V., Emmanuel, K., Ed van, N., Inci, E., Michael, M., Anton, F., Walter, W., Werner, A (2010), “Non-thermal production of pure hydrogen from biomass: HYVOLUTION”, Journal of Cleaner Production, 18,5458. College Of The Desert (2001), “Modul 1 Hydrogen Properties”, Hydrogen Fuel Cell Engines and Related Technologies, http://www1.eere.energy.gov/hydrogenandfuelcells/tech_validation/pdfs/fcm01r0.pd f diakses pada 7 Desember 2015 Domen, K., dan Maeda K., (2006), “ Hydrogen Producrion from Water on Oxinitride Photocatalysts”, The International Society for Optical Engineering, 1-3 Dave, C. D., dan Pant, K. K., (2011), “Renewable Hydrogen Generation by Steam Reforming of Glycerol Over Zirconia Promoted Ceria Support Catalyst”, Renewable Energy An International Journal, 1-8. Departement Of Energy, (2008), “Reaction Of Aluminium with Water to Produce Hydrogen”, United States Of America, https://www1.eere.energy.gov/hydrogenandfuelcells/pdfs/aluminium_water_hydroge n.pdf diakses pada 5 Februari 2016 K!rtay, E., (2011), " Recent advances in production of hydrogen from biomass”, Journal of Energi Conversion and Management, 52, 1778–1789. Kumar, S. dan Surendra K. S., (2013), “Role Of Sodium Hydroxide For Hydrogen Gas Production And Storage”, College of Engineering and Computing, Florida International University, Miami, Florida 33199, USA Penkova A., Bobadillaa, L., Ivanova, S., Dominguez, M.I., Romero-Sarriaa, F., Roger, A.C., Centeno, M.A., Odriozola, J.A., (2011), “Hydrogen production by methanol steam reforming on NiSn/MgO–Al2O3catalysts: The role of MgO addition”, Journal of Applied Catalysis A, General 392, 184–191. Petrucci, R. H., (1996), Kimia Dasar. Jakarta: Erlangga Porciuncula, C.B., Marcillo, N. R., Tessaro, I. C., Gerchmann, M., (2010), “ Production of Hydrogen in the Reaction Between Aluminum and Water in the Presence of NaOH and KOH”, Brazilian Journal of Chemical Engineering, Vol. 29 No. 2, ISSN 01046632 Saputra, A. D., (2012)., Sintesis Tawas Kalium Aluminium Sulfat (Kal(SO4)2.12H2O) Dari Kaleng Bekas Minuman Sebagai Zat Penjernih Air. Skripsi. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Universitas Pakuan Bogor Siregar, Y. D. I., (2010), “ Produksi Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium”. Jurnal Valensi, Volume 2, No. 1: 362-36 77
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Siregar, Y. D. I., (2012), “ Produksi Gas Hidrogen dari Limbah Aluminium dan Uji Daya Listrik dengan Fuel Cell”, Portal Garuda, Volume 2, No.5: 573-580 Widhyahrini,K., (2013), “Katalis”. http://duniakimianana.wordpress.com/2013. 04/21/katalis/ diakses pada 11 November 2015 Zamani,H. A., Mina, R., Mohammad, R. A., Soraia, M., (2014), “ Al3+-Selective PVC Membrane Sensor Based on Newly Synthesized 1,4-bis[o-(pyridine-2carboxamidophenyl)]-1,4-dithiobutane as Neutral Carrier”, International Journal Of Electrochemical Science, 9, 6495 - 6504 Zhang, H., Guoxing, L., Jincan, C., (2010), “ Evaluation and calculation on the efficiency of a water electrolysis system for hydrogen production”, International Journal of Hydrogen Energi, 35, 10851- 10858
78
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Pengaruh Penggunaan Elpiji Sebagai Bahan Bakar Terhadap Unjuk Kerja Motor Bakar Bensin Asnawi1 dan Adi Setiawan1 1
Jurusan Teknik Mesin, Universitas Malikussaleh e-mail:
[email protected] Abstrak
Elpiji merupakan salah satu bahan bakar alternatif untuk motor bakar yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bensin. Hal ini telah menjadikannya sebagai bahan bakar alternatif untuk mengurangi emisi disektor transportasi. Perubahan jenis bahan bakar digunakan dari bahan bakar bensin menjadi bahan bakar elpiji akan mempengaruhi unjuk kerja yang dihasilkan oleh motor bakar, yang diakibatkan oleh perubahan karaktristik bahan bakar. Dengan demikian, tujuan dari makalah ini adalah membandingkan unjuk kerja yang dihasilkan oleh motor bakar dengan menggunakan bahan bakar elpiji pada kondisi operasi wide open throttle pada berbagai putaran poros motor bakar. Pengujian juga dilakukan dengan menggunakan bahan bakar bensin, yang digunakan sebagai data acuan untuk perbandingan unjuk kerja. Hasil pengujian diperoleh, penggunaan elpiji sebagai bahan bakar dapat meningkatkan meningkatkan efisiensi motor bakar rata-rata sebesar 6,6%. Hal ini sangat memungkinkan elpiji digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk motor bakar konvensional. Keywords: elpiji, torsi, daya dan efisiensi
1 Pendahuluan Penggunaan elpiji sebagai bahan bakar alternatif telah mulai meningkat di sektor transportasi khususnya di Indonesia. Umumnya bahan bakar elpiji digunakan pada motor bakar bensin. Perubahan jenis bahan bakar dari bahan bakar cair menjadi bahan bakar gas menjadi permasalahan utama dalam penggunaannya. Perubahan karakteristik bahan bakar juga menjadi permasalahan yang mendasar terhadap unjuk kerja motor bakar. Motor bakar merupakan salah satu media untuk merubah energi kimia menjadi energi termal yang kemudian diubah menjadi energi mekanik (Ferguson and Kirkpatrick, 2001). Ditinjau dari 79
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
segi emisi yang dihasilkan, pemanfaatan elpiji sebagai bahan bakar alternatif untuk motor bakar menjadi sangat efiktif serta lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar bensin. Bensin merupakan campuran i-octane (C8H18) dan n-heptane (C7H16), pada tekanan lingkungan bensin berada dalam fasa cair. Sedangkan elpiji berada dalam fasa gas pada temperatur dan tekanan lingkungan. Komponen utama elpiji adalah merupakan campuran propane (C3H8) dan butane (C4H10), serta mengandung sedikit hidrokarbon ringan lain seperti ethane (C2H6) dan pentane (C5H12) (Borman and Ragland, 1998). Keduanya memiliki karakteristik sangat berbeda, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1. Salah satu kelebihan yang dapat diandalkan penggunaan elpiji sebagai bahan bakar alternatif untuk motor bakar adalah bilangan oktan yang lebih tinggi dibandingkan bensin. Bilangan oktan merupakan parameter dari kualitas bahan bakar bensin, yang menunjukkan daya tahan bahan bakar terhadap autoignition (Borman and Ragland, 1998; Ganesan, 2004; Heywood, 1988). Temperatur autoignition untuk bahan bakar bensin jauh lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar propane dan butane. Hal ini menunjukkan tingginya nilai oktan yang dimiliki oleh bahan bakar, maka motor bakar dapat dioperasikan pada rasio kompresi yang lebih tinggi, sehingga dapat meningkatkan efisiensi motor bakar. Jika autoignition terjadi pada motor bakar SI akan menyebabkan fenomena abnormal selama pembakaran atau disebut dengan ketukan (knocking), yang berdampak pada penurunan efisiensi motor bakar dan dapat terjadi kerusakan komponen utama motor bakar. Tabel 1. Perbandingan karakteristik bahan bakar (Gumus, 2011) Karakteristik Specific gravity (kg/m³) Lower heating value (MJ/kg) Boiling point (°C) Ignition point (°C) Combustion rate (m/s) Air–fuel ratio Flammability limits (Vol.%) Research octane number
Bensin 765 44,04 30-225 257 0,35 14,7 1,3-7,6 95
Propane 509 46,34 -42 510 0,4 15,8 2,1-9,5 111
Butane 585 45,56 -0,5 490 0,4 15,6 1,5-8,5 103 80
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Selain itu, kandungan energi persatuan massa yang dimiliki elpiji serta combustion rate/burning speed lebih tinggi dibandingkan dengan bensin. Tingginya combustion rate/burning speed dapat menurunkan durasi pembakaran, sehingga dapat menghasilkan tekanan puncak yang lebih tinggi serta motor bakar dapat dioperasikan pada perbandingan campuran yang lebih kurus. Sehingga dapat meningkatkan efisiensi termal dan menurunkan emisi serta konsumsi bahan bakar. Penurunan emisi gas buang disebabkan oleh tingginya perbandingan H/C yang dimiliki oleh elpiji (M. A. Ceviz and Yüksel, 2006). Ini merupakan karakteristik yang sangat baik dijadikan sebagai bahan bakar untuk motor bakar. Flammability limits bahan bakar elpiji lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar bensin, yang menunjukkan jumlah/keberadaan bahan bakar didalam udara sehingga campuran tersebut mampu terbakar/bereaksi. Hal ini juga menunjukkan penggunaan elpiji sebagai bahan bakar pada motor bakar lebih aman dibandingkan dengan bensin. 2 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai elpiji sebagai bahan bakar kendaraan sudah banyak dilakukan diantaranya, Saleh (2008) melakukan pengujian dengan menggunakan motor diesel dengan menggunakan elpiji dari berbagai Negara dengan komposisi yang berbeda. Variasi komposisi mempengaruhi emisi yang dihasilkan, tingginya kandungan butan dapat menurunkan nitric oxides (NOx) dan tingginya propane dapat menurunkan carbon monoxide (CO), serta terjadinya perubahan temperatur gas buang dan efisiensi pembakaran. Komposisi elpiji sangat bervariasi, tergantung dari sumbernya dan proses pemisahan yang dilakukan. Hal ini sangat menentukan karakteristik bahan bakar, dimana komposisi bahan bakar yang digunakan sangat menentukan kecepatan reaksi selama proses pembakaran, yang berdampak pada unjuk kerja motor bakar (Ferguson and Kirkpatrick, 2001; Heywood, 1988). Variabel lain yang 81
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
mempengaruhi kecepatan reaksi pembakaran adalah geometri silinder dan posisi busi dan mungkin berbeda untuk setiap motor bakar (Kodah et al., 2000). Dimana geometri silinder sangat menentukan tingkat turbulensi campuran udara dengan bahan bakar masuk kedalam silinder, sedangkan posisi busi dapat mempengaruhi jumlah massa gas yang masuk ke flame front area dan terjadinya reaksi. Pengaruh komposisi bahan bakar elpiji dengan campuran propane 100%, 90%, 70%, 50% dan 30% didalam butane telah dilakukan pengujian oleh (Saleh, 2008). Motor bakar dioperasikan dengan sistem dual fuel, dengan penambahan propane murni dan campuran keduanya kedalam bahan bakar diesel masing-masing sebesar 40%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa fuel conversion efficiency meningkat dengan meningkatnya fraksi propane didalam campuran bahan bakar. Tingginya fraksi propane dapat menurunkan emisi CO dan sebaliknya terjadi peningkatan CO dengan meningkatnya fraksi butane didalam campuran, hasil yang sama juga diperoleh oleh Lee et al. (2011). Sedangkan NOx terendah diperoleh pada fraksi butane tertinggi, dan NOx meningkat dengan meningkatnya fraksi propane. Tetapi emisi NO dapat diturunkan dengan mengontrol temperatur elpiji sebelum diinjeksikan kedalam intake manifold (Mehmet Akif Ceviz et al., 2015). Pengujian dua jenis bahan bakar juga dilakukan oleh Gumus (2011), dengan menambahkan elpiji kedalam bensin yaitu sebesar 0% (gasoline 100%), 25%, 50%, 75% serta 100% elpiji. Hasil pengujian menunjukkan terjadinya penurunan efisiensi volumetrik proporsional terhadap penambahan elpiji, penurunan terjadi sebesar 17,8%, 21%, 23,4% dan 26,5%. Penurunan efisiensi volumetrik juga terjadi pada pengujian yang dilakukan oleh Erku! et al. (2013) dan Masi dan Gobbato (2012). Daya dan torsi merupakan salah satu parameter unjuk kerja motor bakar, dimana pengukurannya dapat dilakukan dengan menggunakan dynamometer. Torsi dan daya dari motor bakar diperoleh dari hasil pengkonversian energi termal (panas) hasil pembakaran menjadi energi mekanik. Torsi didefinisikan sebagai besarnya momen putar yang terjadi pada poros output mesin akibat adanya 82
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
pembebanan, sedangkan daya didefinisikan sebagai besarnya tenaga yang dihasilkan motor tiap satu satuan waktu. Pengukuran torsi motor bakar dengan menggunakan dynamometer yang dihubungkan langsung ke poros engkol (Heywood, 1988). Prinsip kerja dari dynamometer mekanis adalah dengan melakukan
pembebanan
dengan
cara
melakukan
pengereman
sehingga
menurunkan kecepatan putaran mesin, serta menghasilkan besarnya daya poros pada putaran tertentu. Prony brake merupakan salah satu konsep sederhana yang dapat diterapkan sebagai dasar pengukuran torsi motor bakar, seperti yang ditunjukkan pada pada Gambar 1.
Gambar 1. Prony brake dynamometer Pengukuran torsi dan daya yang dihasilkan oleh sebuah motor bakar diberikan oleh Ganesan (2004). T = WL= RF
(1)
dimana; T = torsi R = jari-jari poros F = Gaya Kerja per satu putaran
= 2!RF
(2)
(3)
dimana; N = putaran per menit (rpm) maka brake power,
(4)
83
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Konsumsi bahan bakar spesifik merupakan sebuah parameter unjuk kerja motor bakar, yang berbanding terbalik dengan efisiensi termal.
(5)
maka, Brake thermal efficiency diberikan oleh;
(6)
3 Metodelogi Penelitian Motor bakar yang digunakan adalah motor bakar jenis 4 langkah yang didesain untuk bahan bakar petrol/bensin, spesifikasi ditunjukkan dalam tabel 2. Untuk melakukan penelitian ini diperlukan modifikasi pada pada sistem pemasukan bahan bakar dengan menggunakan vacuum regulator untuk mengontrol perbandingan campuran bahan bakar dan udara. Persiapan awal yang dilakukan meliputi pemasangan sensor-sensor seperti, thermocouple untuk mengukur temperatur udara masuk serta gas buang. Anemometer untuk mengukur kecepatan aliran udara masuk. Load cell untuk mengukur besarnya gaya pengereman. Serta timbangan digital untuk mengukur konsumsi bahan bakar. Tabel 2. Spesifikasi Motor bakar yang digunakan Engine Type Honda GX160 – 4 Stroke, OHV, Single Cylinder Displacement 163 cc Bore x Stroke 68 x 45 mm Compression Ratio 9.0 : 1 Net Power Output* 4.8 HP (3.6 kW) @ 3,600 rpm Net Torque 7.6 lb-ft (10.3 Nm) @ 2,500 rpm Ignition System Transistorized magneto Oil Capacity 0.58 liters Fuel Tank Capacity 3.1 liters Fuel Petrol Sebelum melakukan pengujian terhadap bahan bakar elpiji, pengujian terlebih dahulu dilakukan dengan menggunakan bahan bakar standar yaitu premium yang 84
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
akan digunakan sebagai data acuan untuk perbandingan, dimana sudut percikan api standar untuk bahan bakar premium adalah 10° sebelum TMA. Kemudian pengujian dilanjutkan dengan menggunakan elpiji sebagai bahan bakar, yang dioperasikan pada berbagai variasi putaran dari 3000 rpm hingga 4500 rpm. Semua pengujian dilakukan pada kondisi beban penuh (full load) dengan pembukaan katup throttle 100% atau sering disebut dengan wide open throttle (WOT). Pengambilan data dilakukan dengan cara pembebanan/pengereman secara bertahap untuk memvariasikan putaran hingga mencapai putaran poros yang diinginkan. Data yang diperoleh dari pengukuran dianalisis untuk mendapatkan unjuk kerja motor bakar. Alur pengujian ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 2. Diagram alir penelitian 4 Hasil dan Pembahasan Hasil pengujian unjuk kerja motor bakar dengan menggunakan bahan bakar elpiji ditunjukkan pada Gambar 3-6. Dimana penggunaan elpiji sebagai bahan bakar pada motor bakar spark ignition (SI) konvensional dapat menurunkan torsi dihasilkan rata-rata sebesar 16,4%, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Daya yang dihasilkan juga terjadi penurunan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4, 85
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
rata-rata rata sebesar 16,6%. Hal ini disebabkan oleh terjadinya penurunan pe ef efisiensi volumetrik, yang disebabkan oleh berkurangnya massa massa udara yang masuk kedalam silinder dengan keberadan volume elpiji yang lebih besar besa dibandingkan dengan bahan bakar bensin.
Gambar 3. Torsi vs putaran
Gambar 4. Daya vs Putaran
Gambar 5. Konsumsi bahan bakar spesifik
Gambar 6. Efisiensi vs putaran mesin
Gambar 5 menunjukkan hasil yang sangat positif untuk menggunakan baha bahan bakar elpiji sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bahan bakar bensin, dimana konsumsi umsi bahan bakar menurun rata-rata rata rata sebesar 23,4%. Menurunya konsums konsumsi bahan
bakar
spesifik sifik
disebabkan
oleh
meningkatnya
efisiensi
de dengan
menggunakan bahan bakar elpiji, elpiji, ditunjukkan pada gambar 6, peningkatan ratarata sebesar 6,6%. 5 Kesimpulan Penggunaan elpiji sebagai bahan bakar alternatif berdampak baik b terhadap oleh unjuk kerja motor bakar. Penurunan daya dan torsi yang terjadi diakibatkan diakibatka ol rendahnya energi input yang masuk kedalam silinder. Tetapi konsumsi bahan bakar persatuan daya menurun, yang merupakan dampak yang diharapkan untuk 86
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
meningkatkan efisiensi konversi energi yang terjadi pada motor bakar. Kelemahan yang terjadi akibat dari menurunnya efisiensi volumetrik ini akan dapat dihindari dengan mengunakan motor bakar injeksi untuk system pemasukan bahan bakar. 6 Daftar Pustaka Borman, G. L., and Ragland, K. W. (1998). Combustion Engineering. United States of America: McGraw-Hill. Ceviz, M. A., Kaleli, A., and Güner, E. (2015). Controlling LPG temperature for SI engine applications. Applied Thermal Engineering, 82(0), 298-305. Ceviz, M. A., and Yüksel, F. (2006). Cyclic variations on LPG and gasolinefuelled lean burn SI engine. Renewable Energy, 31(12), 1950-1960. Erku!, B., Sürmen, A., and Karamangil, M. ". (2013). A comparative study of carburation and injection fuel supply methods in an LPG-fuelled SI engine. Fuel, 107(0), 511-517. Ferguson, C. R., and Kirkpatrick, A. T. (2001). Internal Combustion Engines, Applied Thermosciences (2nd ed.): Wiley. Ganesan, V. (2004). Internal Combustion Engines (2nd ed.). Asia: McGraw-Hill Education. Gumus, M. (2011). Effects of volumetric efficiency on the performance and emissions characteristics of a dual fueled (gasoline and LPG) spark ignition engine. Fuel Processing Technology, 92(10), 1862-1867. Heywood, J. B. (1988). Internal Combustion Engine Fundamentals. New York: McGraw-Hill Book Company. Kodah, Z. H., Soliman, H. S., Abu Qudais, M., and Jahmany, Z. A. (2000). Combustion in a spark-ignition engine. Applied Energy, 66(3), 237-250. Lee, S., Oh, S., Choi, Y., and Kang, K. (2011). Effect of n-Butane and propane on performance and emission characteristics of an SI engine operated with DME-blended LPG fuel. Fuel, 90(4), 1674-1680. Masi, M., and Gobbato, P. (2012). Measure of the volumetric efficiency and evaporator device performance for a liquefied petroleum gas spark ignition engine. Energy Conversion and Management, 60(0), 18-27. Saleh, H. E. (2008). Effect of variation in LPG composition on emissions and performance in a dual fuel diesel engine. Fuel, 87(13–14), 3031-3039. 87
KARAKTERISASI MATERIAL CAMPURAN SiO2 DAN GETAH FLAMBOYAN (DELONIX REGIA) SEBAGAIMATERIALCOATING PENCEGAH KOROSI PADA BAJA Agus Rochmat, Bima Purama Putra, Ela Nuryani, Marta Pramudita Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
[email protected] Abstrak Korosi merupakan penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungannya.Salah satu cara untuk mencegah korosi yaitu dengan cara coating.Coating (pelapisan)merupakan cara melapisi logam dengan suatu bahan, agar logam tersebut terhindar dari korosi. Saat ini banyak penelitian dilakukan menggunakan paduan silika dengan polimer alam, salah satunya penggunaan getah flamboyan.Flamboyan ini memiliki sifat fleksibel dan stabil. Sementara itu material silika terus dikembangkan sebagai materialcoating karena bersifat ramah lingkungan serta bernilai ekonomis. Pembuatan materal coating tersebut dengan cara memadukan silika yang berasal dari waterglass dan getah flamboyan kemudian dilakukan pencelupan baja dengan metode dip coating. Komposisi silika dengan getah flamboyan yang digunakan yaitu 60 :40, dengan konsentrasi waterglass yaitu 30%. Hasil yang diperoleh melalui penelitian ini, bahwa pengaruh asam, basa, dan garam menyebabkan laju korosi meningkat. Semakin kecil pH larutan Laju korosi terbesar terjadi pada larutan asamsulfat dengan nilai 0.00348 g/cm2.jam. Sementara pada uji lingkungan diperoleh laju korosi 1,6E-05 gr/cm2 jam atau 0.179 mm/tahun dimana dalam standar ketahanan korosi material coating ini termasuk dalam range good.
Kata kunci : Korosi, Coating, Silika, pH 1.
Pendahuluan Permasalahan umum yang di hadapi industri maju saat ini adalah korosi
logam. Korosi bisa terjadi dimana saja, dapat menimbulkan kerusakan yang mengakibatkan kerugian baik secara ekonomi
ataupun keamanan. Kerugian
korosi mengakibatkan biaya pemeliharaan meningkat, kapasitas produksi menurun, produksi berhenti total (shutdown), menimbulkan kontaminasi pada produk, pencemaran lingkungan, gangguan kesehatan dan keselamatan kerja, serta kerugian non wujud lainnya. Pada umumnya, korosi yang paling sering terjadi disebabkan oleh udara dan air (Fontana, 1987).
Untuk meminimalkan akibat degradasi material, salah satu metode proteksi yang sering digunakan pada industri adalah penggunaan coating (pelapisan), terutama pada bagian permukaan dari sistem perpipaan dan peralatan baik yang kontak dengan udara bebas dan permukaan tanah akibat adanya zat asam udara dan tanah. Coating merupakan salah satu cara untuk memperlambat laju korosi. Coating ini berfungsi melindungi material logam dari reaksi elektrokimia dengan lingkungannya terutama untuk daerah lembab yang banyak mengandung uap air seperti di Indonesia. Silika yang terdapat di Indonesia berpotensi menjadi material coating sebab memiliki daya adhesi yang baik, properti pelindung yang baik sehingga memungkinkan untuk menahn difusi uap air, ion-ion maupun oksigen ke permukaan logam sehingga dapat melindungi logam dari korosi. Pemanfaatan silika sebagai bahan pelapis telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Ambarwati dan Vicky Samsiadi dengan judul ‘Pelapisan Hidrofobik Kaca dengan Metode Sol-Gel berbasis waterglass’ menyimpulkan bahwa dengan teknik dip coating tingkat keberhasilan hidrofobik pada kaca mencapai lebih dari 90° bahkan mencapai 142,5° mendekati superhidrofobik. Namun dibalik semua kelebihannya silika memiiki kekurangan, yakni rapuh dan tidak stabil. Polimer alam merupakan material alam yang banyak digunakan sebagai material coating. Getah merupakan polimer alam yang memiliki sifat fleksibel dan stabil. Pemanfaatan getah sebagai material coating telah dibuktikan dengan adanya penelitian oleh Edriana, dkk., yakni pemanfaatan getah pohon dammar sebagai pelapis vernis pada kayu, dimana getah dammar dapat melindungi kayu dari adanya pelapukan (korosi). Penelitian lainnya telah dilakukan oleh Umar Syarifudin dan Wahyu Dianing Tiyas, yang memadukan silika dengan polimer alam getah flamboyant sebagai material coating. Coating ini merupakan perpaduan antara getah flamboyant yang fleksibel dan stabil dengan sifat silika yang memiliki daya adhesi kuat dalam menahan difusi air, ion-ion, maupun oksigen ke permukaan logam, serta memiliki ketahanan terhadap suhu dan zat-zat kimia yang cukup stabil sehingga dapat melindungi logam dari korsi.
Sementara itu penelitian lanjutan telah dilakukan Fia Fathiayasa dan Arie Buchari dalam mencari paduan optimum penambahan silika pada pembuatan material coating silika dan getah flamboyant. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kondisi optimum pada konsentrasi silika 30% dengan campuran getah flamboyant : silica = 40:60. Dari kedua penelitian tersebut perlu dilakukan analisa lebih lanjut untuk karakterisasi coating getah flamboyant dan silika. Sehingga di akhir penelitian ini diharapkan ditemukan karakterisasi dari coating tersebut dalam melindungi baja dari pengaruh lingkungan. 2.
Metodologi Alat yang digunakanBatang pengaduk, Gelas ukur, Gelas kimia, Heater,
Oven, Thermometer, Kaca Arloji, Spatula, Blender, tali penggantung, ampelas grid # 60, 120, 360, 1000. Bahan – bahan yang digunakan: Water Glass 58%, Getah Pohon Flamboyan, Alkohol 96%, Aquades, H2SO4 1 M, NaOH 1 M, NaCl 1 M.Pembuatan Larutan Getah,getah pohon flamboyan ditimbang sebanyak 60 gram dandilarutkan menggunakan blender dengan aquades viskositas mencapai ± 108 centiPoise. Pengenceran Waterglass 30% Pengenceran dilakukan dengan memanaskan aquades dalam gelas kimia dan dijaga pada temperature 60°C. Kemudian Waterglass konsentrasi 58% dimasukkan kedalam gelas kimia disertai dengan pengadukan menggunakan magnetit stirrer. Setelah itu aquades yang telah dipanaskan dicampurkan kedalamnya hingga membentuk larutan waterglass yang homogen dengan konsentrasi tertentu. Larutan tersebut didinginkan hingga mencapai suhu ruangan. Pembuatan Material Coating Menyiapkan larutan waterglass dan larutan getah.Masukkan waterglass ke dalam gelas kimia.Lalu mencampurkan larutan getah dengan komposisi atau perbandingan volume yang telah ditentukan dan mengaduk hingga homogen. Persiapan logam Pada tahap ini logam dibersihkan sebelum dilapisi.Sebelumnya, logam dipotong dengan ketebalan 6 mm dengan dimensi 2 x 3 cm dengan gergaji mesin.
Kemudian membuat lubang diujung sampel dengan mesin bor logam yang berfungsi untuk uk menggantung sampel dengan tali pada saat proses dip coating. Melakukan pengamplasan, kemudian dicuci dicuci dengan alkohol 96% selama 15 menit.Sebelum m digunakan logam dikeringkan terlebih dahulu dan dilakukan penimbangan awal. Pelapisan logam Menyiapkan material coating pada gelas kimia kemudian menyelupkan logam kedalamnya. Mengangkat spesimen yang telah dilapisi dan melakukan m peluruhan produk korosi dari spesimen. Lalu melakukan pengeringan dan penimbangan berat akhir dari spesimen. spe imen. Kemudian melakukan uji fisik (uji kondisi si lingkungan, uji thermal) thermal dan uji SEM/EDX. 3.
Hasil Dan Pembahasan Tingkat keasaman atau pH lingkungan merupakan salah satu faktor ya yang
menyebabkan terjadinya korosi (Prasetya, 2011).Penggunaan coating merupakan salah satu upaya untuk mencegah kontak antara material baja dengan deng lingkungan sehingga bisa memperlambat korosi.Penggunaan korosi.Penggunaan silika dengan daya adhesif untuk melindungi dicampurkan polimer alam getah flamboyan dengan sifat sifa fleksibel dan
#$,"-&
melekat mampu menperlambat terjadinya korosi.
#,-#*#$,"-&
(./#,#*")*
Gambar 1.. Grafik persen degradasi pada tiap variasi
Pada variasi larutan uji terlihat persen degradasi terbesar yaitu pada larutan asam sulfat. Massa yang terdegradasi bukan saja massa coating tetapi sudah mengoksidasi baja sehingga ada massa baja yang hilang, yaitu 882,58%. Asam sulfat merupakan asam kuat yang pada penelitian ini memiliki pH 1,01. Nilai pH yang rendah meningkatkan laju korosi karena adanya reaksi reduksi tambahan yang berlangsung pada katoda.Adanya reaksi reduksi tambahan pada katoda menyebabkan atom logam yang teroksidasi lebih banyak esehingga meningkatkan laju korosi.Persen degradasi ini berbanding lurus dengan laju korosi pada gambar 2, dimana asam sulfat menyebabkan laju korosi terbesar
'/+,+-&$,!) ')
0.00349g/cm2.jam.
'/+,+-& NaOH 1 M NaCl 1 M
Garam
(./#,#*")*
Gambar 2. Laju Korosi pada Uji Asam, Basa, dan Garam Pada kondisi asam, ion H+ memicu terjadinya reaksi reduksi lainnya yang juga berlangsung, yakni evolusi atau pembentukan hidrogen menurut persamaan reaksi : (Rizky,2014) Adanya dua reaksi di katoda pada kondisi asam menyebabkan lebih banyaknya baja yang teroksidasi.Hal ini menjelaskan mengapa laju korosi dan persen degradasi pada kondisi asam lebih besar dari pada kondisi basa dan garam.
Gambar 3. Degradasi coating dalam larutan asam sulfat Pada kondisi basa, persen degradasi lebih kecil, hal ini karena dalam larutan basa, material akan sulit terkorosi karena tidak adanya reaksi reduksi tambahan yang berlangsung pada katoda. Pada larutan basa hanya material coating yang terdegradasi karena larut dalam NaOH, sementara sampel baja tetap bersih tidak teroksidasi sehingga laju korosi rendah dan material baja terlindungi. Sampel yang telah diuji dengan NaOH ditunjukan pada gambar 13 sampel 4,5, dan 6. Sementara pada larutan garam, baja mengalami kontak langsung dengan larutan elektrolit yang memicu terjadinya reaksi elektrokimia.Ion klorida yang terkandung dalam larutan garam memiliki tingkat korosifitas seperti halnya ion sulfat. Ion-ion yang terdapat pada garam berperan sebagai transportasi elektron sehingga konsentrasi garam yang semakin pekat akan meningkatkan laju korosi. Sementara itu, kondisi pH sample pada larutan garam bersifat netral, sehingga sedikit coating yang terdegradasi tetapi sudah ada bagian baja yang mengalami korosi pada bagian yang tidak terlindungi coating. Dari gambar 1 dan 2 terlihat bahwa persen degradasi dan laju korosi pada larutan garam memiliki nilai yang paling kecil. Dalam kondisi netral, ion Fe2+ dan OH- membentuk endapan Fe(OH)2 seperti terlihat pada gambar 4. Hal ini menjelaskan mengapa dalam larutan garam terbentuk banyak endapan pada permukaan baja.
Gambar 4. Endapan dalam sampel baja setelah direndam dalamlarutan NaCl
*%& &-&
#,-#**%& &-&
H2SO4 1 M
NaOH 1 MNaCl 1M
H2SO4 1 M
(./#,#*")*
Gambar 5. Persen Inhibisi Korosi terhadap waktu peredaman Inhibisiadalahkemempuanuntukmenahanterjadinyasuatureaksi.Dalamhalin iinhibisimenghambatterjadinyareaksikorosi yang diakibatkanpadalarutanuji.Pada gambar 5, menunjukkanperseninhibisipada larutan asam sulfat lebih sedikit dari NaOH dan NaCl, hal ini menjelaskan mengapa pada larutan asam memiliki laju korosi sangat besar sementara pada larutan basa dan garam laju korosi tidak begitu besar.
Data Hasil Analisa SEM-EDX (Scanning Elektron Microscope with Energy Dispersive x-ray) Dari hasil uji asam, basa, dan garam yang didapat, dilakukan analisa SEMEDX pada sampel 1, sampel 4, dan sampel 7. Dimana sampel 7 memiliki laju korosi paling kecil dan sampel 1 memiliki laju korosi paling besar.
a
B
C
Gambar 6. Kondisi baja hasil analisa SEM-EDX a)H2SO4 b) NaOH c) NaCl Dari perbesaran 1000x pada gambar 12 pada bagian a yang merupakan hasil uji asam sulfat terlihat celah pada permukaan baja karena teroksidasi. Pada bagian b yang merupakan hasil uji basa terlihat sisa-sisa coating yang menempel dan permukaannya tidak terdapat korosi.Sementara pada bagian C terdapat banyak endapan akibat reaksi Fe dengan larutan elektrolit garam.
Tabel 1. Hasil analisa kandungan unsur dengan EDX padasampel mild steel No
Sampel
1
Kandungan (%) C
O
Si
Fe
1
6,89
29,34
3,08
60,68
2
4
3,45
24,37
0,50
71,69
3
7
4,07
19,19
0,41
76,33
Dari hasil analisa SEM-EDX diperoleh kandungan pada permukaan baja.Unsur C dari ketiga sampel yang terbesar yaitu pada sampel 1, unsur C ini berasal dari baja dan juga getah flamboyan. Pada bagian unsur O, terlihat pada sampel 1 memiliki persen O paling besar dibandingkan sampel 4 dan 7.Hal ini menunjukan bahwa reaksi oksidasi terbesar terjadi pada sampel1 (larutan asam) disusul oleh larutan basa dan garam. Sementara itu unsur Fe pada sampel 1 adalah yang paling sedikit yaitu 60,68% dibandingkan dengan sampel 4 71,68% dan sampel 7 76,33%. Hal ini menunjukan bahwa Fe pada sampel 1 banyak yang teroksidasi oleh unsur O, sehingga memiliki laju korosi paling tinggi.
Data Hasil Analisa GC-MS Getah Flamboyan Dari hasil analisa GC-MS getah flamboyan diperoleh senyawa dominan yaitu 1,2- Benzenedycarboxylic Acid sebesar 86,78 % dengan tingkat kemiripan 91 %. Dibawah ini merupakan hasil data pengujian GC-MS getah flamboyan.
Gambar 17. Struktur 1,2-Benzendycarboxylic Acid Dari gambar 15 dan gambar 16 terlihat bahwa gambar 15 memiliki kemiripan puncak yang hampir sama dengan puncak yang berada di gambar 16. Gambar 17 merupakan bentuk struktur dari 1,2-Benzendycarboxylic acid. Senyawa 1,2-Benzendycarboxylic acid berfungsi sebagai inhibitor korosi. Menurut penelitian
T
Brindha, 2015 inhibitor baja mild steel dengan gum
aucaria columnaris dapat menghambat korosi karena gum aucaria columnaris mengandung senyawa polisakaridayang terdiri dariasam1,2-benzenedicarboxylic acid,
bis(2-ethylhexyl)
ester,
diisooctyl-phthalate,
asam
ftalat,
isobutildanester14isopropil yang berperan sebagai proteksi terhadap korosi baja.
4. KESIMPULAN
1. Degradasi coating dan laju korosi dipengaruhi oleh pH lingkungan. 2. Material coatingmengalami degradasi yang paling besar pada kondisi asam. 3. Pada kondisi basa material coating mengalami degradasi cukup besar tetapi baja tidak teroksidasi. 4. Pada uji dengan larutan garam, coating mengalami persen degradasi paling kecil. 5. Hasil uji GC- MS diperoleh kandungan getah flamboyan sebagian besar yaitu 1,2-Benzenedicarboxylic acid.
5. Daftar Pustaka Afandi, Yudha Kurniawan, dkk.2015.Analisa Laju Korosi pada Pelat baja Karbon dengan Variasi Ketebalan Coating. Surabaya : Institut Sepuluh November (ITS). Ambarwati dan Vicky Samsadi. Pelapisan hidrofobik kaca dengan metode Sol-Gel Berbasis Waterglass. Surabaya : Institut Sepuluh November (ITS). Dahlan, Dahyunir dan S. Pravita, Anggi. 2013. Analisis Sifat Hidrofobik dan Sifat Optik Lapisan Tipis TiO2. Padang : FMIPA Universitas Andalas. Dewi, Ika Marcelina Sari, dkk. Studi Perbandingan Laju Korosi dengan Varian cacat Coating pada Pipa ALI 5L Grade X65 dengan Media korosi NaCl. Surabaya : Institut Seputuh November (ITS). Fontana, Mars Guy.1986. Corrosion Engineering. Singapore : Mc-Graw-Hill Book Co. Ichwani, M. Rizky. 2014. Pengaruh Kekasaran Permukaan Terhadap Laju Korosi Baja 5L dalam Larutan Asam,Basa, dan Garam. Malang :Universitas Brawijaya. Prasetya, Hendra, dkk. 2011. Optimasi Proses sand blasting Terhadap Laju Korosi Baja Aisi 430. Universitas Brawijaya. Syarifudin, Umar dan Tiyas, Wahyu Dianing. 2014. Pembuatan SiO2-Getah Flamboyan (Delonix Regia) sebagai MaterialCoating Pencegah Korosi. Cilegon : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Trethewey, K. R. dan Chamberlain, J. 1991. Korosi untuk Mahasiswa dan Rekayasawan. Jakarta : PT. Gramedia.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
PENGARUH KOMPOSISI CAMPURAN DAN WAKTU TAHAN REDUKSI BIJIH BESI KABUPATEN MERANGIN MENGGUNAKAN REDUKTOR BATUBARA 1,2
Soesaptri Oediyani1, Susi Maya Sari2 Jurusan Teknik Metalurgi, Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Cilegon 42435, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Bijih besi merupakan salah satu bahan baku utama pembuatan baja dan Kabupaten Merangin Provinsi jambi merupakan salah satu daerah berpotensi sumber daya bijih besi di Indonesia.Nilai tambah industri tambang ini akan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Salah satu upaya meningkatkan nilai tambah bijih besi yang ada di Indonesia adalah dengan menggunakan bijih besi di Kabupaten Merangin Provinsi Jambi sebagai bahan baku alternatif reduksi bijih besi untuk menghasilkan besi spons, masalah utama proses reduksi bijih besi antara lain adalah komposisi bijih besi dan batubara juga lamanya waktu reduksi, sehingga dalam penelitian ini digunakan variasi komposisi campuran dengan perbandingan 30, 25 dan 20% reduktor batubara dan variasi waktu tahan reduksi 60, 75, 90, 105 dan 120 menit. Proses reduksi untuk menghasilkan besi spons dilakukan dengan cara mencampurkan bijih besi, batubara dan batu kapur kemudian dipanaskan menggunakan muffle furnace pada temperatur 950 0C, lalu dilakukan pengujian terhadap besi spons yang dihasilkan untuk megetahui persen metalisasi dengan menggunakan analisa basah, karbon sisa dan analisa mikrostruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persen metalisasi paling tinggi didapatkan pada komposisi campuran 30% dengan waktu tahan 120 menit yaitu 90,80%. Kata kunci: lump ores Kabupaten Merangin, persen metalisasi, waktu tahan reduksi, komposisi campuran 1.
PENDAHULUAN Bijih besi merupakan salah satu bahan baku utama pembuatan baja. Baja
merupakan sumber daya sebagai modal utama dalam pelaksanaan pembangunan dan secara umum bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat, selain itu produksi dan konsumsi baja merupakan salah satu indikator berkembangnya suatu negara. Salah satu cara adalah dengan pemanfaatan bijih besi dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, kelestarian
99
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
lingkungan, dan nilai potensi demi tercapainya pembangunan berkelanjutan. [ESDM Merangin, 2008]. Seiring meningkatnya produksi baja nasional maka penggunaan bijih besi sebagai bahan baku pembuatan baja juga meningkat. Untuk menjamin kelancaran produksi industri besi baja nasional saat ini dan rencana pengembangan kapasitas produksi di masa mendatang, maka perlu dukungan penyediaan bahan baku bijih besi dalam jumlah cukup dengan harga yang kompetitif. Sampai saat ini kebutuhan bijih besi nasional pada umumnya masih diimpor dari luar negeri, sedangkan sumber daya bijih besi lokal sangat banyak tersebar di beberapa tempat di Indonesia dan belum digunakan sebagai bahan baku pembuatan baja nasional karena bijih besi lokal memiliki kandungan Fe total relatif berkisar antara 4060%. [ESDM, 2008]. Kabupaten Merangin merupakan salah satu daerah berpotensi sumber daya bijih besi di Indonesia sehingga dapat diolah untuk menunjang keperluan produksi industri besi baja nasional yang terus meningkat di masa mendatang. Kabupaten Merangin berada di Provinsi Jambi yang memiliki jarak tempuh sekitar 255 km dari pusat kota Jambi. Kandungan Fe total bijih besi di Kabupaten Merangin ratarata 65% sehingga digolongkan sebagai bijih besi high grade dan dapat memenuhi kriteria untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pembuatan baja [ESDM Merangin, 2008]. Berdasarkan data dinas pertambangan Kabupaten Merangin Jambi terdapat 5 lokasi berpotensi sumber daya bijih besi yang dapat diolah. 5 lokasi berpotensi tersebut terletak di Desa Nalo Gedang, Desa Pulau Layang, Desa Petukan, Desa Telentan, dan Desa Kotorayo. Berdasarkan data tersebut, telah dilakukan eksploitasi bijih besi yang berpusat di Desa Nalo Gedang seluas 60 Ha kurang lebih 1 juta ton, dan Desa Pulau Layang seluas 50 Ha kurang lebih 1,5 juta ton, sedangkan sumber daya bijih besi yang terdapat di Desa Telentam, Desa Kotorayo, dan Desa Petukan belum dapat diperkirakan karena masih dalam tahap eksplorasi [ESDM Merangin, 2008]. Dengan adanya Undang-undang Mineral Batubara (MINERBA) no 4 tahun 2009, pemerintah daerah diwajibkan untuk mengolah produk hasil tambang
100
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
di dalam negeri menjadi produk yang memiliki nilai tambah dan tidak langsung menjual produk hasil tambang keluar negeri dalam keadaan mentah ataupun belum diolah. Peningkatan nilai tambah industri tambang ini akan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri baja domestik, memberikan dampak positif bagi perekonomian bangsa, dan menghasilkan efek berantai yang signifikan pada kondisi sosial ekonomi. Salah satu upaya meningkatkan nilai tambah bijih besi yang ada di Indonesia adalah dengan mengunakan bijih besi yang ada di Kabupaten Merangin jambi sebagai bahan baku alternatif reduksi bijih besi untuk menghasilkan besi spons. Istilah reduksi langsung menjadi lebih umum digunakan sebagai suatu teknologi pembuatan besi spons. Besi spons digunakan sebagai bahan baku industri baja yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas baja yang dihasilkan [Ross., 1980]. Bijih besi yang masih dalam bentuk oksida harus melewati tahapan pelepasan oksigen yang terikat pada bijih besi sehingga pada akhirnya yang tersisa pada bijih besi hanya Fe dalam bentuk logamnya. Melepaskan oksigen yang terikat pada bijih besi dibutuhkan suatu reduktor. Reduktor yang digunakan berupa C, CO atau H2 [Ross,1980]. Karbon merupakan salah satu reduktor yang banyak digunakan untuk mereduksi bijih besi. Sumber karbon yang digunakan untuk mereduksi bijih besi hendaknya mempertimbangkan efisiensi dan faktor ekonomis untuk mengurangi biaya produksi namun tidak mengurangi kualitas produk dan menghambat proses reduksi [Yayat Imam Supriyatna, 2012]. Batubara merupakan salah satu sumber reduktor yang bisa digunakan untuk mereduksi bijih besi. Dalam penelitian ini reduktor yang digunakan adalah 100% batubara subbituminus berasal dari Kalimantan. Di dalam proses reduksi kandungan utama yang perlu diperhatikan dalam batubara adalah jumlah karbon, karena gas CO tersebut akan berdifusi mereduksi bijih besi. Untuk memberikan kesempatan gas CO berdifusi sampai ke bagian inti bijih besi maka diperlukan penahanan waktu sehingga proses reduksi berjalan dengan sempurna. Pada penelitian ini juga memvariasikan komposisi campuran bijih besi dan batubara yang digunakan, Perbedaan komposisi pencampuran antara bijih besi
101
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
dengan reduktor batubara akan memberikan pengaruh terhadap nilai perolehan Femetal selama proses reduksi. Hal ini bergantung pada jumlah fixed carbon batubara yang digunakan, jumlah fixed carbon terlalu sedikit mengakibatkan tidak terpenuhinya gas CO yang dihasilkan dari gasifikasi karbon. Jumlah fixed carbon berlebihan akan membuat perolehan Femetal spons menjadi tidak optimal karena terjadi pembentukan CO berlebih. Oleh karena itu perlu optimalisasi pencampuran antara bijih besi dan batubara.
2.
Kajian Pustaka Reduksi bijih besi merupakan proses untuk mendapatkan besi metal dari
bijih besi yang masih dalam bentuk oksida. Pada proses reduksi dibutuhkan bahan lain sebagai reduktor yang akan mengubah oksida besi dengan muatan tinggi menjadi oksida besi dengan muatan yang lebih rendah atau bahkan menjadi logam. Reduktor yang dapat digunakan dapat berupa C, CO atau H2 reaksi-reaksi reduksinya adalah sebagai berikut: [Ross, 1980] 3Fe2O3 + C
2Fe3O4 + CO
!G01273 = -73 Kkal........(2.1)
3Fe2O3 + CO
2Fe3O4 + CO2
!G01273 = -24,19 Kkal...(2.2)
3Fe2O3 + H2
2Fe3O4 + H2O
!G01273 = -25,72 Kkal ...(2.3)
Proses reduksi langsung didefinisikan sebagai suatu proses menghasilkan besi metal dengan mereduksi bijih besi ataupun bentuk senyawa oksida lainnya dibawah temperatur lebur setiap material yang terlibat di dalamnya. [Feinman, 1999]. Hasil proses reduksi langsung disebut dengan DRI (Direct Reduction Iron), karena hasilnya masih dalam bentuk padatan dan secara fisik pada permukaannya terlihat rongga-rongga atau porositas maka disebut juga dengan besi spons. 2.5
Reduksi Langsung Bijih Besi Oleh Batubara Karbon merupakan salah satu reduktor yang banyak digunakan utuk
mereduksi bijih besi, dan salah satu sumber karbon adalah batubara. Reduksi bijih besi oleh batubara atau karbon padat dapat digambarkan pada saat gas CO hasil gasifikasi batubara secara langsung berdifusi secepat gas CO terbentuk [Ross, 1980]. Difusi gas CO akan terganggu ketika terbentuknya besi metal pada bagian permukaan bijih besi seperti terlihat pada Gambar 2.1 yang mengilustrasikan
102
PROSIDING ROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
potongan secara parsial besi oksida belum tereduksi sempurna. Terlihat bahwa pada bagian luar terdapat suatu lapisan logam besi, hal ini mengindikasikan bahwa bagian permukaan telah tereduksi sempurna menjadi besi. besi. Oleh karena itu yang terjadi selanjutnya adalah difusi gas CO melalui lapisan logam besi menuju permukaan besi oksida.
Gambar 2.1 Ilustrasi reduksi parsial besi oksida [Sun, [Su 1997]
2.6
Diagram Elingham
Gambar 2.2 Diagram Elingham untuk reduksi bijih besi [Ross, 1980] 19 Pada Gambar 2.2 terdapat tiga bentuk senyawa besi oksida, oksida, jika ditarik garis tegak lurus terhadap temperatur 1000 0C pada temperatur dan tekanan konstan dapat dilihat senyawa yang pertama kali direduksi adalah hematit (Fe2O3), dilanjutkan terak adalah wustit (FeO). Jadi, ada tiga ta dengan magnetit (Fe3O4) dan terakhir tahapan reduksi bijih besi oksida oleh gas CO [Rosenvqist, 1983] yaitu persamaan reaksi (2.2), (2.4) dan (2.5). Fe3O4 + CO
3FeO + CO2
!G01273 = -4,46 4,46 Kkal.......... Kkal..........(2.4)
103
PROSIDING ROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
FeO + CO
Fe + CO2
!G01273 = +2,01 Kkal ........ ........(2.5)
Pada persamaan (2.5)) reaksi FeO menjadi Fe oleh reduktor red CO menghasilkan nilai !G0 pada Temperatur 1273 K adalah positif atau secara temodinamika tidak dapat berlangsung. Kondisi ini mengindikasikan reduksi FeO FeO menjadi Fe merupakan tahapan yang sulit terjadi, namun demikian reduksi FeO menjadi Fe dapat berlangsung jika kondisi proses reduksi dapat menghasilkan menghasilkan komposisi gas CO melebihi kesetimbangan kestabilan FeO dan adanya sisa sis karbon pada proses reduksi bijih besi (Glasner-Boudourd diagram). (Glasner2.7
Kesetimbangan Boudouard Pada temperatur tinggi, reaksi antara karbon dan oksigen oksigen akan membentuk
gas CO. Menurut reaksi kesetimbangan Boudouard dijelaskan bagaimana kestabilan gas CO pada saat proses reduksi. Keberadaan Keberadaan karbon pada proses akan reduksi menyebabkan CO2 menjadi tidak stabil pada temperatur tinggi dan aka menjadi CO [Biswas, 1981]. Reaksi Boudouard bersifat endotermis (!H ( 01273 = + 63,45 Kkal), reaksi ini kestabilan CO memerlukan membutuhkan energi atau untuk mendapatkan kestabilan Glasner Bouduard membuat sebuah diagram kesetimbangan temperatur tinggi. Glasner-Bouduard antara, besi hematit, magnetit, wustit, karbon padat, karbon monoksida, m dan karbon dioksida (Gambar 2.3) 2.3) merupakan dasar untuk reduksi langsung deng dengan karbon. [Ross, 1980]
Gambar 2.3 Diagram Glasner-Boudouard Boudouard
104
PROSIDING ROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Pada diagram kesetimbangan Glasner-Boudouard Glasner Boudouard reduksi magnetit (Fe3O4) menjadi wustit (FeO) pada temperatur 650 0C, reduksi wustit (FeO) menjadi Fe pada temperatur 700 0C. Dengan kata lain secara termodinamika wustit (FeO) tidak bisa direduksi dibawah temperatur temperatur 700 0C dan magnetit (Fe3O4) juga tidak bisa direduksi dibawah temperatur 650 0C, karena gas CO terdekomposisi isi kembali membentuk gas CO2 dan C [Ross, 1980]. Menurut diagram Boudouard reaksi besi oksida dengan CO/CO2 (1 atm) terjadi pada temperatur 710 0C. Pada temperatur 900-1000 0C, akan diperoleh 100% CO. [Ross, 1980] dikendalikan oleh laju gasifikasi karbon. Laju Laju reaksi secara keseluruhan dikendalikan gasifikasi karbon ditentukan oleh beberapa faktor yaitu yaitu reaktivitas karbon, temperatur dan juga ketersediaan panas yang digunakan digunakan untuk mempertahankan reaksi hingga mencapai temperatur operasi. 2.8
Tahapan Kinetika Reduksi Bijih Besi Suatu proses reduksi besi oksida untuk menjadi logam besi akan melal melalui
tahapan-tahapan tahapan tertentu. Gas reduktor akan berdifusi menuju lapisan la antarmuka besi oksida melalui suatu lapisan film. Kondisi ketika gas reduktor r melewati lapisan film secaraa sistematis akan melalui beberapa tahap seperti pada Gambar 2.4 kecepatan suatu reaksi dikendalikan oleh tahapan yang paling lambat. [Sun, 1997]
Gambar 2.4 Skema kinetika difusi gas reduktor menuju lapisan permukaan besi oksida 105
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Menurut Gambar 2.4 kemungkinan tahapan-tahapan secara berurutan adalah sebagai berikut: 1.
Perpindahan gas reduktor dari bulk gas phase menuju permukaan butiran melalui suatu lapisan film (gas boundary film).
2.
Difusi gas reduktor melalui lapisan produk ke reaksi antar muka (interface reaction) dan adsorbsi gas reduktor di lapisan antar muka.
3.
Reaksi antar muka terjadi perpindahan massa besi dan ion oksigen serta terjadi transformasi fasa padatan yaitu pembentukan dan pertumbuhan dari reaksi produk yaitu magnetik, wustit dan besi.
4.
Difusi gas produk melalui lapisan produk menuju permukaan butiran.
5.
Perpindahan gas produk dari permukaan butiran melalui suatu lapisan batas (boudary gas film) menuju bulk gas phase.
Dari tahapan tersebut terdapat dua faktor pengontrol laju reaksi, yaitu Chemical controlled (tahapan 3) dan Difussion controlled (tahapan 1, 2, 4 dan 5). [Biswas, 1981] 3.
METODE PENELITIAN Bijih besi, batubara dan batu kapur dipreparasi hingga mencapai ukuran lolos
dari ayakan -10 +18 # yang bertujuan membuat partikel bijih besi menjadi homogen, sehingga akan lebih mudah pada proses pencampuran. Alat preparasi yang digunakan adalah hand crushing, rod mill dan vibrating screen. Kemudian dilakukan analisa komposisi kimia untuk bijih besi dan batu kapur yang digunakan sedangkan terhadap batubara dilakukan analisa proksimat. Data pengujiannya dapat dilihat pada Tabel 3.1-3.3. Gambar 3.1a-c masing-masing menunjukkan bentuk fisik dari bijih besi, batu bara dan batu kapur yang digunakan dalam penelitian ini.
106
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
(a) Bijih Besi
(b) Batubara
(c) Batu Kapur
Gambar 3.1 Bentuk fisik Bahan Baku Penelitian Tabel 3.1 Komposisi Kimia Bijih Besi SiO2
Al2O Fe Total
FeO
Fe2O3
CaO
MgO
TiO2
P2O5
S total
3
4,62
7,38
58,20
2,16
80,90
0,28
0,12
0,14
0,18
0,078
%
%
%
%
%
%
%
%
%
%
Tabel 3.2 Hasil Analisis Proksimat Fixed carbon
35,98 %
Moisture
7,70 %
Volatile matter
43,95 %
Ash
12,37 %
Tabel 3.3 Komposisi Kimia Batu Kapur CaO
MgO
SiO2
LOI (Lost Of Ignitation)
53,20%
0,28%
0,70%
41,80%
Setelah dilakukan tahap preparasi, maka bijih besi, batu bara dan batu kapur dicampur dengan komposisi 70% : 30% : <1%, 75% : 25% : <1% dan 80% : 20%
107
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
: <1%. Masing-masing campuran bahan baku ini dimasukkan ke dalam cawan yang tertutup dan dilakukan tahap reduksi dengan menggunakan muffle furnace. Temperatur reduksinya sekitar 950 0C Dengan variasi waktu reduksi (menit) : 60, 75, 90, 105 dan 120. Hasilnya disebut sebagai besi spons yang kemudian dianalisa untuk mengetahui komposisi Fe total, Femetal dengan menggunakan standar pengujian ASTM-E 1028-84 dan juga dilakukan analisa karbon sisa dan mikrostruktur dari besi spons tersebut.
4. 4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Waktu Tahan dan komposisi Campuran Terhadap Persen Metalisasi Besi Spons Persen metalisasi merupakan perbandingan banyaknya persen Femetal
terhadap persen Fe total dalam besi spons, dan dapat dituliskan seperti persamaan (4.1) berikut: % Metalisasi =
x 100%...........................................................(4.1)
Persen metalisasi digunakan untuk melihat kualitas besi spons yang dihasilkan untuk bahan baku proses lanjutan yaitu steel making. Besi spons yang memiliki persentase metalisasi tinggi akan mengurangi konsumsi energi pada proses steel making karena konsumsi energi untuk menghilangkan oksigen lebih sedikit [Kumar,S.Arun, 2009]. 4.1.1 Pengaruh Waktu Tahan Terhadap Persen Metalisasi Besi Spons Pada proses reduksi yang perlu diperhatikan adalah tahapan difusi gas CO, karena gas CO akan berdifusi mereduksi bijih besi. Untuk memberikan kesempatan gas CO berdifusi sampai kebagian inti bijih besi maka diperlukan penahanan
waktu
sehingga
proses
reduksi
berjalan
dengan
sempurna.
Bertambahnya waktu tahan reduksi hingga waktu tahan tertentu cenderung meningkatkan persen metalisasi kemudian persen metalisasi cenderung konstan [Habashi, 1969]. Pada penelitian ini dilakukan proses reduksi dengan variasi waktu tahan berbeda sehingga didapatkan grafik seperti pada Gambar 4.1.
108
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Gambar 4.1 Pengaruh waktu tahan terhadap persen metalisasi Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa bertambahnya waktu tahan akan meningkatkan persen metalisasi (30% reduktor). Hal ini dikarenakan dengan penambahan waktu tahan memberikan kesempatan gas CO berdifusi hingga bagian inti, tetapi kenaikan persen metalisasi tidak selamanya berbanding lurus terhadap peningkatan waktu tahan reduksi, seperti pada grafik (25% reduktor) terjadi penurunan persen metalisasi, hal ini diduga terjadinya pengintian ion Fe2+ pada saat proses reduksi berlangsung. Pada saat ion Fe2+ berdifusi menuju lapisan wustit untuk mencari tempat pengintian yang sesuai maka pengendapan logam mulai terjadi di permukaan bijih besi [Ross, 1980]. Pengendapan logam di permukaan bijih besi dapat menganggu difusi gas CO sehingga secara langsung, proses reduksi akan terhambat.
109
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Terganggunya tahapan difusi gas CO oleh lapisan padat logam besi pada permukaan mengakibatkan konsentrasi kesetimbangan gas CO-CO2 akan berada di daerah kestabilan wustit. Pada saat konsentrasi gas CO-CO2 berada pada daerah wustit maka seluruh reaksi reduksi akan membentuk wustit dan reaksi reduksi pembentukan Femetal akan berjalan menuju reaktan membentuk wustit seperti yang ditunjukkan pada persamaan reaksi [Ross,1980]. Fe + CO2
FeO + CO
!G01273 = -2,01 Kkal.....................(4.2)
Berdasarkan hasil penelitian Kamijo (Gambar 4.2) dijelaskan bahwa konsentrasi CO2 terhadap persen metalisasi yang terbentuk akan berlebih dan akan mereoksidasi kembali logam Fe menjadi oksida logam, sehingga dengan bertambahnya konsentrasi CO2 pada atmosfer mengakibatkan persen metalisasi turun signifikan didukung dengan hasil analisa karbon sisa seperti pada Tabel 4.1.
Gambar 4.2 Pengaruh CO2 pada atmosfer terhadap persen metalisasi [Kamijo, 2001] Tabel 4.1 Data Analisa Karbon Sisa Komposisi reduktor (%) Waktu (menit) Karbon sisa (%) 60 11,43 75 13,41 90 10,23 30 105 15,15 10,32 120
110
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4.1.2 Pengaruh Komposisi Campuran Terhadap Persen Metalisasi Besi Spons Dalam penelitian tentang reduksi bijih besi Merangin ini juga dilakukan variasi campuran untuk mengetahui pengaruhnya terhadap persen metalisasi besi spons. Variasi campuran yang digunakan yaitu penggunaan 30%, 25% dan 20% reduktor batubara, sehingga didapatkan grafik seperti pada Gambar 4.3. Dari Gambar 4.3 terlihat bahwa grafik hasil percobaan pada variasi penggunaan reduktor yang berbeda terhadap persen metalisasi besi spons. Persen metalisasi cenderung tinggi, hal ini megindikasikan penggunaan reduktor yang lebih besar (30% reduktor) memiliki persen metalisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan reduktor yang lebih kecil. persen metalisasi berhubungan langsung dengan penggunaan reduktor, dengan semakin banyaknya reduktor yang digunakan maka semakin banyak pula ketersediaan bahan reduktor sehingga oksida besi yang dapat direduksi akan semakin banyak.
Gambar 4.3 Pengaruh komposisi campuran terhadap persen metalisasi Jumlah ketersediaan bahan reduktor akan memberikan pengaruh langsung terhadap ketersediaan gas reduktor. Gas reduktor CO yang bertindak sebagai reduktor dihasilkan dari gasifikasi batubara, sehingga dengan semakin sedikitnya bahan reduktor maka akan mengurangi jumlah gas CO yang terbentuk.
111
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4.2
Pengaruh Waktu Tahan dan Komposisi Campuran Terhadap Persen FeMetal Besi Spons Selain untuk mengetahui pengaruh variasi waktu tahan dan komposisi
campuran terhadap persen metalisasi juga dilakukan analisa pengaruh terhadap persen Femetal yang terbentuk, karena berdasarkan Permen ESDM No. 07 tahun 2012 bahwa komoditas bijih ditetapkan batasan produk minimum besi spons untuk dijual ke luar negeri memiliki kadar Femetal lebih dari 80% [Permen ESDM, 2012]. Hasil penelitian mengenai reduksi bijih besi merangin dengan variasi waktu tahan dan komposisi campuran terhadap persen Femetal yang terbentuk. 4.2.1 Pengaruh Waktu Tahan Terhadap Persen Femetal Besi Spons Berdasarkan persamaan (4.1) dapat diketahui bahwa persen metalisasi berbanding lurus dengan persen Femetal dengan kata lain kenaikan persen metalisasi bergantung pada nilai Femetal yang terbentuk, sama halnya dengan kenaikan persen metalisasi terhadap waktu tahan, persen Femetal juga bergantung pada kestabilan gas CO berdifusi hingga bagian inti bijih besi. Pada saat kestabilan gas CO telah tercapai, dibutuhkan waktu tahan agar CO dapat berdifusi hingga menuju bagian inti bijih besi yang belum tereduksi, sehingga terbentuknya Femetal tidak hanya dibagian permukaan saja. Pengaruh waktu tahan terhadap persen Femetal besi spons pada variasi waktu tahan (Gambar 4.4). Terlihat bahwa grafik hasil percobaan waktu tahan mempengaruhi kenaikan persen Fe metal.
% Fe metal
waktu (menit)
112
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
% Fe metal
17 OKTOBER 2016
waktu (menit)
% Fe metal
waktu (menit)
Gambar 4.4 Pengaruh waktu tahan terhadap persen Femetal Pada Gambar 4.4 juga terlihat bahwa waktu tahan tidak selalu signifikan mempengaruhi kenaikan persen Femetal (25% reduktor) mengalami penurunan Femetal dengan bertambahnya waktu tahan. Hal ini mengindikasikan bahwa terhambatnya difusi gas CO oleh lapisan padat besi, maka konsentrasi gas CO terhambat CO2 pada daerah permukaan bijih besi, seperti yang telah diilustrasikan sebelumnya pada Gambar 2.1. Hasil analisa mikrostruktur dengan menggunakan mikroskop optik, untuk mengindikasikan terbentuknya logam besi dapat dilihat pada Gambar 4.5. Dari Gambar 4.5, dapat dilihat bahwa lebih dominan terbentuknya logam besi pada waktu tahan 90 menit dibandingkan dengan 60 menit. Berdasarkan hasil analisa
113
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
perhitungan menggunakan software diketahui bahwa persentase logam besi yang terbentuk sebesar 23,65 (60 menit) dan 64,68% (90 menit). Hal ini mengindikasikan seperti pernyataan sebelumnya bahwa dengan penambahan waktu tahan cenderung meningkatkan persen metalisasi dan persen Fe metal. Selain itu, dari Gambar 4.5 juga dapat dilihat setelah dilakukan proses reduksi terdapat porous (hitam) dan oksida (abu-abu) dengan persentase 12,66%.
abu-abu (oksida), putih (logam), hitam (porous). (a) Waktu tahan 60 menit
(b) waktu tahan 90
menit Gambar 4.5 Mikrostruktur besi spons Dari Gambar 4.5, dapat dilihat bahwa lebih dominan terbentuknya logam besi pada waktu tahan 90 menit dibandingkan dengan 60 menit. Berdasarkan hasil analisa perhitungan menggunakan software Image-J diperoleh bahwa persentase logam besi yang terbentuk sebesar 23,65 (60 menit) dan 64,68% (90 menit). Hal ini mengindikasikan seperti pernyataan sebelumnya bahwa dengan penambahan waktu tahan cenderung meningkatkan persen metalisasi dan persen Femetal. Selain itu, dari Gambar 4.5 juga dapat dilihat setelah dilakukan proses reduksi terdapat porous (hitam) dan oksida (abu-abu) dengan persentase 12,66%.
4.2.2 Pengaruh Komposisi Campuran Terhadap Persen Femetal Besi Spons Perbedaan komposisi campuran antara bijih besi dan reduktor batubara akan memberikan pengaruh terhadap perolehan nilai Femetal selama proses reduksi. Pengaruh komposisi campuran terhadap persen Femetal besi spons pada
114
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
variasi waktu tahan dapat dilihat pada Gambar 4.6. Pada Gambar 4.6 terlihat bahwa pada variasi waktu tahan reduksi, penggunaan reduktor yang lebih besar (30% reduktor) memiliki persen Femetal yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan reduktor yang lebih kecil. Pada komposisi 30% reduktor terlihat bahwa kecenderungan Femetal yang terbentuk lebih optimum dibandingkan komposisi reduktor lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan Jumlah fixed carbon pada reduktor akan membuat perolehan Femetal pada besi spons optimal karena secara tidak langsung konsentrasi dari produk reduksi yang dihasilkan seperti CO dan CO2 akan banyak pula, yang berdampak pada difusi. 90
% Fe metal
80 70 60 50 40 30 60 30% Reduktor
75
90 105 120 waktu (menit) 25% Reduktor 20% Reduktor
Gambar 4.6 Pengaruh komposisi campuran terhadap persen Femetal Hasil analisa mikrostruktur dengan menggunakan mikroskop optik, untuk mengindikasikan terbentuknya logam besi dapat dilihat pada Gambar 4.7 yang menunjukkan fasa-fasa yang terbentuk setelah dilakukan proses reduksi pada waktu tahan 90 menit dan variasi komposisi reduktor. Dari Gambar 4.7 dapat dilihat bahwa logam besi yang lebih dominan terbentuk adalah pada Gambar 4.7.a (30% reduktor). Dengan persentase Femetal yang terbentuk untuk Gambar a (30% reduktor), b (25% reduktor), dan c (20% reduktor) adalah 64,679%, 32,85% dan 20,91%. Persentase oksida yang belum tereduksi sebesar 15,56% (Gambar 4.8.a), 18,58% (Gambar 4.7b) dan 21,62% (Gambar 4.7.c) Hal ini mengindikasikan seperti pernyataan sebelumnya bahwa penggunaan reduktor dengan kandungan fixed carbon yang mencukupi (30% reduktor), secara tidak langsung
115
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
mempengaruhi konsentrasi dari produk reduksi yang dihasilkan seperti CO dan CO2 akan banyak pula.
30% reduktor
25% reduktor
20% reduktor
Keterangan: abu-abu(Oksida), Putih(Logam), Hitam(Porous) Gambar 4.8 Mikrostruktur besi spons
5.
KESIMPULAN 1.
Persen metalisasi besi spons untuk bijih besi Merangin Provinsi Jambi paling tinggi dicapai pada komposisi 30% reduktor yaitu 90,80% dan persen metalisasi akan meningkat dengan penambahan waktu tahan. Persen metalisasi besi spons untuk bijih besi Merangin Provinsi Jambi paling tinggi dicapai pada waktu tahan 120 menit dengan persen metalisasi 90,80%.
2.
Persen Femetal pada besi spons Merangin Provinsi Jambi tertinggi sebesar 78,65% dicapai pada komposisi 30% reduktor dan waktu tahan 120 menit. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa besi spons yang dihasilkan
116
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
memenuhi persyaratan minimum Permen ESDM No.1 tahun 2014 yaitu persen Femetal pada besi spons ! 75%. 3.
Persen Fetotal pada besi spons Merangin Provinsi Jambi tertinggi sebesar 87,94% dicapai pada komposisi 30% reduktor dan waktu tahan 75 menit.
6.
Daftar Pustaka
Biswas,A.K.1981. Principles Of Blast Furnace Ironmaking. Gootha Publishing House. Brisbane, Australia. Buku Peluang Investasi Kabupaten Merangin. 2008. Departemen ESDM Kabupaten Merangin Fathi Habashi. 1969. Principles Of Extractive Metallurgy. Volume 1: Chapter 6. Energetics. Gordon and Breach. New York. Feinman, J.1999. Direct Reduction and Smelting Processes: Chapter 11. The AISE Steel Foundation. Pittsburgh. Kamijo, Chikashi, Masahiko Hoshi, Takazo Kawaguchi, Hideyuki Yamaoko, dan Yasuo Kamei. 2001.Production Of Direct Reduced Iron By A Sheet Material Inserting Metallization Methode.ISIJ. Jepang. Kumar,S.Arun. 2009.Preparation And Characterization Of Sponge Iron, Thapar University, India. Permen Energi Dan Sumber Daya Mineral No.7. 2012. Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral. ESDM. Indonesia. Rosenqvist, Terkel. 1983. Principles of Extractive Metallurgy, 2nd ed. Tokyo : McGraw Hill Kogakusha Ltd. Ross, H.U. 1980. Physical Chemistry: Chapter 3. Direct Reduced Iron Technology and Economics Of Productions and Use. The Iron and Steel Society of AIME. Warrendale. Sun,S.S. 1997. A Study Of Kinetics And Mechanisms Of Iron Ore Reduction In Ore/Coal Composites. McMaster University.Canada. Yayat Iman Supriyatna, et al. 2012. Study Penggunaan Reduktor Pada roses Reduksi Pellet Bijih Besi Lampung Menggunakan Rotary Kiln. Lampung Selatan: LIPI.
117
PENGARUH SUHU DAN WAKTU REAKSI PADA PEMBUATAN KITOSAN DARI TULANG SOTONG (Sepia officinalis) Etty Centaury Siregar1, Suryati1, Lukman Hakim 1 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh, Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 02, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353 e-mail:
[email protected]
Abstrak Dilakukan penelitian pembuatan kitosan dengan menggunakan bahan baku tulang sotong. Kitosan dibuat dengan tiga tahapan, yaitu deproteinasi dengan mereaksikan bahan baku dengan NaOH 4 %, demineralisasi dengan menambahkan HCl 1 M, dan deasetilasi dengan mereaksikan hasil demineralisasi dengan NaOH 50% dengan variasi suhu dan waktu deasetilasi. Produk kitosan yang dihasilkan kemudian diuji kadar air, kadar abu, viskositas dan dikarakterisasi gugus fungsinya menggunakan spektrofotometer FT-IR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu berpengaruh pada kadar air, kadar abu dan viskositas kitosan. Waktu berpengaruh pada kadar abu kitosan. Derajat deasetilasi yang didapat pada penelitian ini sebesar 81,0231 %. Berdasarkan hasil FT-IR, kitosan yang dihasilkan dari tulang sotong pada penelitian ini memiliki gugus hidroksil, gugus amida, dan gugus amina yang merupakan ciri terbentuknya kitosan. Kata kunci: Kitosan, Tulang sotong, suhu, waktu dan Deasetilasi
1.
PENDAHULUAN Kitin merupakan bahan organik utama terdapat pada kelompok hewan
crustacea, insekta, fungi, mollusca dan arthropoda. Cangkang kepiting, udang dan lobster telah lama diketahui sebagai sumber bahan dasar produksi kitin, karena kandungan kitinnya cukup tinggi. Cangkang kering arthropoda rata-rata mengandung 20-50% kitin (Suhardi, 1993). Kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya melalui proses deasetilasi disebut kitosan. Kitosan (2-asetamida-deoksi- -D-glukosa) memiliki gugus amina bebas yang membuat polimer ini bersifat polikationik, sehingga polimer ini potensial untuk diaplikasikan dalam pengolahan limbah, obat-obatan, pengolahan makanan dan bioteknologi (Savant dkk., 2000).
Kitosan merupakan padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal kitin murni, memiliki sifat biologi dan mekanik yang tinggi diantaranya adalah biorenewable, biodegradable, dan biofungsional. Kitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai kitin (Suhardi, 1993). Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang berorientasi ekspor adalah sotong. Pada umumnya sotong dimanfaatkan tanpa kepala atau tanpa kepala dan tulang bagian dalam. Hal itu menyebabkan limbah yang berasal dari sotong juga bervariasi berkisar antara 65- 85 % dari berat sotong, tergantung dari jenisnya. Limbah sotong padat biasanya dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak dan sebagian lagi belum dimanfaatkan (Wiles, 2000). Limbah padat molusca ini merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik pengolahan. Selama ini limbah tersebut dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai pakan dan pupuk dengan nilai ekonomi yang rendah. Seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan kini limbah sotong dapat dijadikan bahan untuk membuat kitin dan kitosan (Muzarelli, 1977).
2.
Tinjauan Pustaka Kitosan dengan rumus molekul (C6H11NO4)n adalah hasil hidrolisis
kimiawi maupun enzimatik dari senyawa kitin. Kitosan merupakan kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya melalui proses deasetilasi. Jadi kitosan adalah suatu senyawa polimer dari glukosamin pada ikatan 11-1-4 atau 2-amino-2deoksi-D-glukosa (Alistair, 1995). Suatu molekul dikatakan kitin bila mempunyai derajat deasetilasi (DD) sampai 10% dan kandungan nirogennya kurang dari 7%. Dan dikatakan kitosan bila nitrogen yang terkandung pada molekulnya lebih besar
dari
7%
berat
dan derajad deasetilasi
(DD) lebih dari 70%
(Muzzarelli,1985). Proses utama dalam pembuatan kitosan, meliputi penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses deproteinasi dan demineralisasi, yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya,
kitosan diperoleh melalui
proses
deasetilasi
dengan
cara
memanaskan dalam larutan basa (Tolaimatea et al., 2003).
Laju reaksi pada proses deasetilasi dipengaruhi oleh konsentrasi basa, temperatur, waktu reaksi, perbandingan antara kitin dengan larutan alkali, ukuran partikel. Pada konsentrasi NaOH tinggi. semakin banyak gugus asetil yang terlepas dari kitin sehingga meningkatkan derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan, Pada temperatur rendah reaksi akan berjalan lambat, sedangkan jika temperatur terlalu tinggi dapat merusak struktur bahan dasar (Suhardi, 1993).
3.
Metode Penelitian Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Tulang rawan
sotong, Natrium hidroksida (NaOH), Asam klorida (HCl), Asam asetat, dan Aquades. Prosedur kerja Tulang sotong dikeringkan kemudian dihaluskan. Selanjutnya dilakukan proses deproteinasi dengan menggunakan NaOH 4 % pada suhu 80°C sambil dilakukan pengadukan, proses demineralisasi dengan menambahkan HCl 1 M dengan perbandingan 1:15 (b/v) selama 120 menit pada suhu kamar. Proses deasetilasi dilakukan dengan mereaksikan hasil demineralisasi dengan NaOH 50% dengan perbandingan 1:10 (b/v) dengan variasi suhu 70, 80, 90, 100°C selama 40, 50, 60, 70 menit, Hasil deasetilasi kemudian dicuci hingga pH netral dan dikeringkan. Kitosan yang diperoleh ditimbang dan dikarakterisasi kadar air, kadar abu viscositas dan gugus fungsinya.
4.
Hasil dan Diskusi Pembuatan kitosan Proses pembuatan kitosan diawali dengan deproteinasi menggunakan
NaOH 4%. Proses deproteinasi, bertujuan untuk memutuskan ikatan antara protein dengan kitin. Deproteinasi dilakukan selama 60 menit dengan suhu 80°C dan perbandingan 1:10 b/v. Rendemen hasil deproteinasi yang didapatkan sebesar 92,1875%.
Proses demineralisasi untuk menghilangkan mineral-mineral yang terdapat dalam bahan baku. Proses demineralisasi dilakukan dengan mereaksikan bahan baku dengan HCl 1 M selama 120 menit pada suhu kamar. Rendemen hasil proses demineralisasi sebesar 87.85% berupa kitin. Proses deasetilasi merupakan penghilangan gugus asetil kitin menjadi gugus amida kitosan. Proses deasetilasi kitin pada penelitian ini dilakukan dengan penambahan NaOH 50 % dengan perbandingan 1:10 b/v dengan variasi konsentrasi dan suhu. Rata-rata rendemen pada proses deasetilasi adalah 75,775%.
4.1 Pengaruh Suhu dan Waktu Deasetilasi Terhadap Kadar Air Kitosan
Kadar Air (%)
Suhu (C)
Gambar 4.1 Grafik hubungan antara suhu dan waktu deasetilasi terhadap kadar air kitosan Pada grafik diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu deasetilasi kitosan maka semakin tinggi pula kadar air yang didapat. Waktu deasetilasi juga mempengaruhi nilai dari kadar air kitosan. Sampel kitosan yang dihasilkan dari limbah tulang sotong mempunyai kandungan air yang bervariasi antara 1,039,98%. Nilai ini masih termasuk dalam standard kitosan. Waktu deasetilasi tidak mempengaruhi kadar air kitosan, dapat dilihat dengan tidak beraturannya grafik yang didapat.
4.2 Pengaruh Suhu dan Waktu Deasetilasi Terhadap Kadar Abu Kitosan
Kadar Abu (%)
Suhu (C)
Gambar 4.2 Grafik hubungan antara suhu dan waktu deasetilasi menit terhadap kadar abu kitosan Kadar abu merupakan parameter untuk mengetahui mineral yang terkandung
dalam
suatu
bahan
yang
mencirikan
keberhasilan
proses
deemineralisasi yang dilakukan. Semakin rendah nilai kadar abu, maka tingkat kemurnian kitosan semakin tinggi, dan sebaliknya. Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu maka kadar abu kitosan semakin berkurang. Hal tersebut dikarenakan oleh suhu dapat membuat mineral yang terkandung dalam bahan larut dalam pelarut. Waktu deasetilasi juga mempengaruhi kadar abu kitosan. Dimana semakin lama waktu deasetilasi maka kadar abu kitosan yang didapat semakin menurun. Kadar abu yang menurun dikarenakan oleh semakin lama proses deasetilasi maka semakin banyak mineral dalam kitosan yang larut dalam larutan NaOH. Dan semakin tinggi kadar kitosan yang digunakan maka semakin lama pula pencucian yang dilakukan untuk menetralkan pH kitosan. Pada saat pencucian mineral-mineral yang tidak terlarut pada proses demineralisasi ikut terbawa oleh air pencucian. Hasil analisis kadar abu dari kitosan yang dihasilkan dapat berkisar antara 0,340,99%. Hal ini menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu kadar abu kitosan yang telah diharapkan oleh Muzarelli (1985), dengan standard kadar abu <1 %. Semakin lama waktu deasetilasi yang dilakukan
menyebabkan kadar abu kitosan semakin kecil. Hal tersebut dikarenakan oleh semakin lamanya reaksi maka semakin banyak pula mineral yang terlarut pada pelaru saat proses deasetilasi.
4.3 Pengaruh Suhu dan Waktu Deasetilasi Terhadap Viskositas Kitosan
Viskositas (Csp)
Suhu (C)
Gambar 4.3 Grafik hubungan antara suhu dan waktu deasetilasi terhadap viskositas kitosan Kitosan hasil preparasi dalam penelitian ini memiliki viskositas sebesar 109.11-161.78 Csp. Viskositas tertinggi pada suhu 100°C dengan waktu 60 menit yaitu 161,78 Csp. Nilai viskositas kitosan tersebut termasuk kategori rendah. Menurut Fernandez (1991), viskositas yang terlalu tinggi akan mempengaruhi kekentalan larutan, yang tidak diinginkan untuk penanganan industri. Viskositas merupakan salah satu sifat karakteristik dari polimer. Larutan kitosan merupakan senyawa kimia berupa rantai-rantai polimer yang mempunyai viskositas tinggi. Informasi mengenai viskositas kitosan berhubungan dengan aplikasinya. Dalam bidang farmasi
diperlukan
kitosan
dengan
viskositas
rendah, sedangkan untuk keperluan pengental atau pengeras bahan makanan diperlukan kitosan dengan viskositas tinggi (Dewi dan Fawzya, 2006). Viskositas kitosan mengalami pengurangan seiring dengan bertambahnya waktu proses demineralisasi. Viskositas kitosan dapat diukur dengan cara melarutkan 1% kitosan ke dalam larutan asam asetat 1% kemudian diukur viskositasnya dengan alat viscometer.
4.4 Penentuan Gugus Fungsi Kitosan dengan Spektrofotometer FT-IR, pada Konsentrasi 50% dan Waktu Deasetilasi 1 Jam Pemeriksaan FT-IR untuk sampel kitosan bertujuan untuk mengetahui gugus-gugus fungsi karakteristiknya dan menghitung derajat deasetilasinya.
Gambar 4.4 Spektrum IR kitosan pada suhu 100°C dan waktu 60 menit Berdasarkan Gambar 4.5 terlihat bahwa pada spektra IR kitosan, muncul puncak serapan pada bilangan gelombang 3435,22 cm-1 menunjukkan serapan vibrasi ulur (–OH). Menurut Fessenden (1982), suatu ikatan O-H menyerap energi pada panjang gelombang 3000-3700 cm -1 . Kemunculan serapan pada bilangan gelombang 1610,56 cm -1 yang merupakan serapan vibrasi amida I (ulur C=O) juga menandakan keberadaan gugus asetil. Bilangan gelombang 1558,48 cm-1 merupakan serapan dari amida II (tekuk –NH). menunjukkan telah terjadinya proses deasetilasi yang merupakan pita serapan gugus amina pada kitosan. Berdasarkan analisis gugus fungsi di atas, ternyata pada spektra IR kitosan menunjukkan munculnya serapan-serapan karakteristik dari kitosan. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa produk hasil preparasi pada penelitian ini adalah kitosan. Derajat deasetilasi (DD) kitosan dari tulang sotong dalam penelitian ini mempunyai derajat deasetilasi sebesar 81,0231%. Menurut Kusumaningsih (2004), secara umum kualitas kitosan yang digunakan mempunyai DD sebesar 60%, untuk kualitas teknis sekitar 85% untuk kualitas makanan derajat deasetilasi sekitar 90% sedangkan untuk kualitas parmasetis derajat deasetilasi sebesar 95%. Hasil kitosan pada penelitian ini dapat digolongkan pada kualitas teknis.
5.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kitosan dapat
dibuat dari bahan baku tulang sotong dengan proses deproteinasi, demineralisasi dan deasetilasi. Suhu dan waktu deasetilasi berpengaruh pada hasil kitosan yang didapatkan. Derajat deasetilasi kitosan dari tulang sotong pada suhu 100°C dengan waktu 60 menit adalah 81,0231%. Semakin tinggi suhu dan waktu deasetilasi maka viskositas kitosan semakin tinggi.
6.
Daftar Pustaka
Alistair, M.S. 1995. Food Polysacharides and their application. Department of Chemistry, University of Capetown: Rodenbosch Dewi, A.S dan Fawzya, Y.N. 2006. Studi Pendahuluan: Penggunaan Berulang Larutan Natrium Hidroksida dalam Pembuatan Kitosan. Proseding Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia. IPB : Bogor Fessenden, Ralph J dan joan S Fessenden. 1982. Kimia Organik jilid 1.Erlangga: Jakarta Kusumaningsih. T, 2004. Karakterisasi khitosan hasil deasetilasi kitin dari cangkang kerang hijau. Jur. Kimia FMIPA UNS Muzzarelli, R.A.A., 1977. Chitin. Perngam o n Press, Oxford, New York. Muzzarelli, R.A.A., 1985. Chitin in the Polysaccharides, vol. 3, pp. 147, Aspinall (ed) Academic press Inc., Orlando, San Diego. No.3, Madrid, Spain. Savant, D. Vivek, and J.A. Torres. 2000. Chitosan based coagulating agents for treatment of cheddar chees whey. Biotechnology Progress 16: 1091-1097. Suhardi. 1993. Khitin dan Khitosan, Pusat Antar Universitas Pangan&Gizi. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta. Sun,Ok; Fernandez,Kim. 2004. Physicochemical and functional roperties of crawfish chitosan as affected by different processing protocols Tolaimatea, A.; Desbrieresb, J.; Rhazia, M., dan Alaguic, A., 2003, Contribution to the preparation of chitins and chitosans with controlled physicochemical properties, Polym. J. , 44, 7939–7952.
Wiles, JL., Caner C, Vergano PJ., 2000. Chitosan Film Mechanical and Permeation Properties as Affected by Acid, plastizer, and Storage. Journal Food Science 63 (6):1049-1053
PEMBUATAN PLAZORE DARI PLASTIK BEKAS DENGAN MEDIA MINYAK JELANTAH DAN APLIKASI SEBAGAI PERENDAM BUNYI MILAWARNI 1 , SAIFUDDIN 2 1 Jurusan Teknik Elektro(Fisika Material), Politeknik Negeri Lhokseumawe 2 Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Lhokseumawe Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Medan-Banda Aceh Km 280,3 Buket rata Lhokseumawe
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan penelitian untuk memperoleh nilai koefisien absorbsi bunyi pada plazore. Plazore dibuat dengan berat 100 g. Koefisien absorbsi bunyi diukur dengan menggunakan sound level meter, intensitas bunyi yang diukur antara lain intensitas bunyi yang datang, intensitas yang dipantulkan (reflection) dan intensitas yang ditransmisikan. Intensitas absorbsi didapat dengan mengurangkan intensitas awal (I0) dengan intensitas transmisi (IT) dan intensitas refleksi (IR). Data yang diperoleh dibuat grafik dan dianalisis. Diperoleh hasil bahwa plazore yang terbuat dari kantong plastic (poliolefin) dengan cara digoreng menggunakan minyak jelantah yang telah dimurnikan dengan komposisi 1:1 (sampel 3) adalah plazore terbaik sebagai bahan absorbsi bunyi pada penelitian ini . plazore mempunyai sifat fisis: koefisien absorbsi 0,08 cm-1, intensitas refleksi 0,30 dB, intensitas absorbsi 10,42 dB dan efisiensi absorbsi 12,27 %. Kata kunci: Koefisien absorbs suara, Intensitas awal (I0), Intensitas Transnisi (IT), Intensitas Refleksi (IR).
1
PENDAHULUAN Permasalahan lingkungan seperti halnya polusi suara /kebisingan yang
terjadi di gedung sekolah, perkantoran atau perumahan yang berlokasi di pinggir jalan besar dengan arus kendaraan lumayan ramai sehingga menyebabkan proses altivitas manusia terganggu. Selain itu, kebisingan sangat erat hubunganya dengan
kesehatan seseorang, yaitu dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti tekanan darah tinggi. Peraturan menteri Kesehatan No. 718 Tahun 1987 tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan menyatakan pembagian wilayah dengan empat zona. Untuk zona C yang antara lain perkantoran, perdagangan dan pasar dengan kebisingan sekitar 50 – 60 dB. Pada zona ini khususnya banyak disebabkan oleh bunyi knalpot kendaraan bermotor.
Karena itu perlu adanya upaya untuk
mengurangi dampak negatif tersebut. Pengurangan kebisingan dengan biaya murah dan teknologi yang sederhana, memerlukan perencanaan yang matang. (Nurdiana & Isranuri, 2011) Salah satu upaya untuk mengurangi polusi suara/tingkat kebisingan didalam gedung baik sekolah atau perkantoran dapat dilakukan dengan menggunakan bahan penyerap suara atau material akustik yaitu material yang bersifat menyerap atau meredam bunyi sehingga kebisingan dapat berkurang. Bahan penyerap suara atau bahan akustik adalah bahan khusus yang dibuat untuk fungsi menyerap bunyi pada frekuensi tertentu. Material yang bersifat
lembut, berpori dan berserat
diyakini mampu menyerap energi suara yang mengenainya. Dari ketiga bahan tersebut, dewasa ini sedang dikembangkan bahan penyerap suara yang berasal dari limbah plastik. 2.
Tinjauan Pustaka Plazore adalah teknik penggorengan plastik yang dapat menghasilkan karya-
karya baru dari limbah plastik yang banyak dibuang oleh masyarakat. Ada tiga metode pengolahan limbah plastik, yakni proses, cetak, mozaik. Sistem press dan cetak digunakan untuk plastik jenis LDPE yang lebih tipis, sedangkan metode mozaik diterapkan untuk plastik HDPE yang lebih tebal.(Halliwell,2004) Secara umum plastik dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu, pertama polimer termoplastik yaitu adalah polimer yang mempunyai sifat tidak tahan terhadap
panas. Jika polimer jenis ini dipanaskan, maka akan menjadi lunak dan didinginkan akan mengeras. Proses tersebut dapat terjadi berulang kali, sehingga dapat dibentuk ulang dalam berbagai bentuk. Contoh plastik termoplastik sebagai berikut: Polyethylene (PE), Polivinilklorida (PVC), Polipropena (PP),. Jenis yang kedua yaitu polimer termosetting, yaitu adalah polimer yang mempunyai sifat tahan terhadap panas. Jika polimer ini dipanaskan, maka tidak dapat meleleh. Sehingga tidak dapat dibentuk ulang kembali. Susunan polimer ini bersifat permanen pada bentuk cetak pertama kali (pembuatan). Bila polimer ini rusak/pecah, maka tidak dapat disambung dan diperbaiki lagi. (Bilmeyer,F.W,1994) Minyak Jelantah dan Penjernihannya Minyak goreng bekas (Minyak jelantah) adalah minyak makan nabati yang telah digunakan untuk menggoreng dan biasanya dibuang setelah warna minyak berubah menjadi coklat tua. Proses pemanasan selama minyak digunakan merubah sifat fisikakimia
minyak.
Pemanasan
dapat
mempercepat
hidrolisis
trigliserida
dan
meningkatkan kandungan asam lemak bebas(FFA) di dalam minyak. Kandungan FFA dan air di dalam minyak bekas berdampak negatif terhadap reaksi transesterifikasi, karena metil ester dan gliserol menjadi susah untuk dipisahkan. Minyak goreng bekas lebih kental dibandingkan dengan minyak segar disebabkan oleh pembentukan dimer dan polimer asam dan gliserid di dalam minyak goreng bekas karena pemanasan sewaktu digunakan. Berat molekul dan angka iodin menurun sementara berat jenis dan angka penyabunan semakin tinggi. (Fuadi Ramdja, 2010). Minyak goreng bekas agar dapat dimanfaatkan kembali, perlu dimurnikan sehingga kualitasnya akan naik. Salah satu cara peningkatan minyak goreng bekas adalah dengan cara adsobsi. Absorben akan menyerap zat warna pada minyak, suspense koloid, serta hasil degradasi minyak. Berbagai macam absorben dapat digunakan untuk proses adsorpsi ini, antara lain fuller earth, activated clay, bentonit dan karbon aktif. Menurut Hari suprianto (2012), karbon aktif adalah bahan padat berpori yang merupakan hasil pembakaran bahan yang mengandung karbon dimana
merupakan suatu bentuk arang yang telah melalui hasil pembakaran gas CO2, uap air, atau bahan-bahan kimia sehingga pori-pori arang tersebut terbuka. Dengan demikian, daya adsorpsinya menjadi lebih tinggi. Sedangkan bentonit merupakan salah satu jenis lembung yang banyak mengandung mineral montmorillonit ( lebih dari 85%) dimana mempunyai sifat mengadsobsi, karena ukuran partikel koloidnya sangat kecil dan memiliki kapasitas permukaan yang tinggi.
Redam bunyi Akustika adalah ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan bunyi, berkenaan dengan indera pendengaran serta keadaan ruangan yang mempengaruhi bunyi, (Gabriel, 2001). Kata bunyi mempunyai dua definisi, yaitu: ·
Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastik seperti udara.
·
Secara
fisiologi,
bunyi
adalah
sensasi
pendengaran
yang
disebabkan
penyimpangan fisis yang digambarkan di atas (Doelle, 1993). Ketika bunyi menumbuk suatu batas dari medium yang dilewatinya, maka energi dalam gelombang bunyi dapat diteruskan, diserap atau dipantulkan oleh batas tersebut. Pada umunnya ketiganya terjadi pada derajat tingkat yang berbeda, tergantung pada jenis batas yang dilewatinya.(Fathurrahman,dkk, 2011). Manusia mendengar bunyi saat gelombang bunyi sampai ke gendang telinga manusia. Batas frekuensi yang dapat didengar oleh telinga manusia dari 20 Hz sampai 20 kHz. Suara diatas 20 kHz disebut ultrasonik dan dibawah 20 Hz disebut infrasonik. Material akustik dapat dibagi kedalam tiga kategori dasar, yaitu:
·
Material penyerap bunyi (absorbing material)
·
Material penghalang bunyi (barrier material)
·
Material peredam bunyi (damping material) Pada umumnya material penyerap bunyi secara alami bersifat resitif, berserat
(firous), berpori (porous) atau dalam khasus khusus bersifat resonator aktif. Ketika gelombang bunyi menumpuk material penyerap, maka energi bunyi sebagian akan diserap dan diubah menjadi panas. Bunyi akan masuk kedalam material melalui poripori. Bunyi akan menumpuk partikel-partikel didalam material tersebut, kemudian oleh partikel dipantulkan ke partikel lain, begitu seterusnya sehingga bunyi berkurang dalam material. Kejadian ini disebut proses penyerapan. Besarnya penyerapan bunyi
pada material penyerap dinyatakan dengan koefisien serapan ( ). Koefisien serapan dinyatakan dalam bilangan antara 0 dan 1. Nilai koefisien serapan 0 menyatakan tidak ada energi bunyi yang diserap dan nilai koefisien serapan 1 menyatakan serapan sempurna.(Gabriel,2001) Besaran yang menunjukan kemampuan bahan untuk mengabsorbsi bunyi adalah koefisien absorbsi. Kualitas dari bahan peredam suara ditunjukkan dengan nilai koefisien absorbs. Serat dan matriks merupakan parameter penting dalam menentukan kemampuan bahan menyerap bunyi.
3. Metode Penelitian Prosedur kerja penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu sebagai berikut: Prosedur Penjernihan Minyak Jelantah Pada tahap awal minyak jelantah diukur 1000 ml dengan menggunakan gelas ukur dan dimasukkan ke dalam gelas kaca. Kemudian diaduk dengan batang pengaduk. Tutup gelas yang sudah berisi campuran
minyak jelantah dan karbon aktif
menggunakan alumunium foil, diamkan selama 24 jam kemudian saring campuran minyak dan karbon aktif menggunakan kertas saring. Pembuatan Plazore Kantong plastic dibersihkan dan dijemur sampai kering kemudaian ditimbang sesuai dengan
keperluan.
Plastik
dipotong
untuk
memudahkan
pada
saat
penggorengan.Kemudian minyak jelantah yang sudah dimurnikan dipanaskan sampai suhu 150 oC dan goreng plastik. Hasilnya dikempa menggunakan hot press. Maka terbentuklah sampel berupa plazore plazore dengan ukuran 15 x 15 cm lakukan uji penyerapan bunyi. Aplikasi Plazore Sebagai Penyerap Suara ·
Pemotongan bahan uji sesuai kkebutuhan.
·
Merangkai alat resonator space seperti pada gambar 3.1.
Gambar 3.1 Alat uji penyerap bunyi (resonator space)
·
Mengatur frekuensi pada AFG sebesar 600 Hz.
·
Mengukur intensitas bunyi pada jarak 35 cm dari speker.
·
Memberi penyekat ruangan pada resonator space dengan plazore.
·
Mengukur intensitas bunyi pada jarak dari 35 cm dari speaker.
·
Mengulangi langkah pembuatan plazore dengan mengganti penyekat ruangan pada resonator space dengan ketebalan plastik yang berbeda.
4.
Hasil dan Diskusi Hasil penelitian ini untuk mendapatkan data penelitian yaitu: koefisien
absorpsi bunyi bahan terhadap intensitas awal (I0), intensitas awal (I0) terhadap intensitas Refleksi (IR), intensitas absorbsi setiap sampel, dan presentase efisiensi absorbsi setiap sampel plazore. Hasil analisa diantaranya berupa absorbsi suara bahan. Data hasil analisa dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 4.1 Hasil Analisa Uji Serap Suara Plazore
4.1.
Koefisien Absorbsi Bunyi () Bunyi dari sumber bunyi yang dikenakan pada sebuah penghalang (Plazore)
akan mengalami proses: refleksi, absorbsi, dan transmisi. Setelah dilakukan perhitungan pada hasil pengukuran intensitas diperoleh grafik koefisien absorbsi.
%)"#$+$"(+)*+$ '
(,"(+$,+-& !
Gambar 4.1 Grafik koefisien absorbsi bunyi bahan terhadap intensitas awal (I0) Gambar 4.1 menyatakan grafik koefisien absorbsi bunyi terhadap intensitas awal (I0) pada setiap sampel berbeda-beda. Pada intensitas 85 dB – 85,4 dB semua sampel mempunyai yang meningkat. Terdapat dua sampel yang mempunyai yang cukup tinggi yaitu sampel 3 dan 2. Naik dan turunya koefisien absorbsi bunyi terhadap perubahan absorbsi bunyi terhadap perubahan Intensitas awal (I0) diduga disebabkan oleh frekuensi gelombang bunyi yang datang berlawanan dengan frekuensi dari papan plazore. Jika frekuensi gelombang bunyi yang datang sama dengan frekuensi dari plazore maka akan terjadi interferensi saling menguatkan sehingga terjadi absorbsi bunyi yang rendah. Sebaliknya jika frekuensi gelombang bunyi yang datang tidak sama dengan frekuensi dari plazore maka akan terjadi pelemahan terhadap gelombang bunyi yang akan datang, hal ini yang menyebabkan koefisien absorbsi bunyi menjadi tinggi. Hasil uji statistik terhadap semua sampel memperlihatkan bahwa sampel 3 mempunyai nilai koefisien absorbsi rata-rata yang tertinggi (0,08 cm-1).
4.2
Intensitas Refleksi (IR) Intensitas bunyi yang terukur di ruangan di depan sampel adalah intensitas
gabungan antara intensitas yang direfleksikan (IR) dengan intensitas awal (I0). Intensitas refleksi bunyi diperoleh dengan mengurangi intensitas bunyi yang terukur di depan sampel (IR’) dengan intensitas awal (I0). Perilaku intensitas refleksi (IR) pada setiap sampel terhadap perubahan intensitas awal (I0) dapat dilihat pada gambar 4.2.
$(,"(+$,+*"#&"%+$ !
$(,"(+$,+-&!
Gambar 4.2 Grafik intensitas awal (I0) terhadap intensitas refleksi (IR). Grafik pada gambar 4.2 ternyata tidak memberikan kecendrungan yang sama terhadap intensitas yang direfleksikan dari tiap sampel. Sampel 1 memiliki intensitas refleksi yang paling rendah . semakin besar nilai intensitas yang direfleksikan suatu bahan, maka bahan tersebut semakin bersifat memantulkan dan semakin tidak baik sebagai bahan penyerap suara, sebaliknya semakin kecil intensitas bunyi yang direfleksikan, maka semakin baik sebagai bahan penyerap suara. Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa sampel 3 mempunyai intensitas refleksi yang paling kecil yaitu (IR=0,30 dB).
4.3
Intensitas Absorbsi Bunyi Intensitas absorbsi bunyi merupakan intensitas yang diabsorbsi oleh bahan.
Intensitas ini merupakan hasil perhitungan, intensitas absorbsi didapat dengan mengurangkan intensitas awal (I0) dengan intensitas transmisi (IT) dan intensitas Refleksi (IR), Intensitas absorbsi berguna untuk mengetahui seberapa besar intensitas bunyi yang mampu diabsorbsi oleh bahan sehingga bahan berkualitas. Bahan yang berkualitas baik adalah bahan yang mempunyai intensitas absorbsi yang besar. Setelah dilakukan perhitungan pada hasil pengukuran intensitas diperoleh grafik intensitas absorbsi (Gambar 4.3).
$(,"(+$,++)*+$ !
$(,"(+$,+-& !
Gambar 4.3 Grafik intensitas absorbsi setiap sampel Hasil uji statistik menunjukkan sampel 3 mempunyai intensitas absorbsi paling besar yaitu 10,42 dB, sehingga dapat dikatakan bahwa sampel 3 adalah sampel yang berkualitas absorbsi terbaik diantara ketiga sampel.
4.4.
Efisiensi Absorbsi Bunyi ( ) Efiseinsi!absorbsi!digunakan!untuk!mengetahui!beberapa!persentase!intensitas
bunyi! yang! diabsorbsi! oleh! bahan.! Hasil! perhitungan! efisiensi! absorbsi )! dapat dilihat!pada!gambar!4.4.
"#$+$"(+$+)*+$
$(,"(+$,+-&!
Gambar!4.4!Grafik!presentase!efisiensi!absorbsi!setiap!sampel Hasil uji! statistik! menunjukkan! bahwa! sampel! 3! memiliki! efisiensi! absorbsi! terbaik dengan!nilai!12,27!%. 4.5.
Analisis Absorbsi Bahan Analisa! koefisien! absorbsi! bunyi! menyatakan! bahwa! sampel! 3! yang
mempunyai!ketebalan!6!mm!dan!berat!100!gr!memiliki!kofisien!paling!baik!dengan (0,08! cm-1).! Kualitas! absorbsi! terbaik! ini! meliputi:! intensitas! refleksi,! intensitas absorbsi,!dan!efisiensi!absorbsi!bunyi.!Intensitas!refleksi!sampel!3!cukup!rendah!yaitu (IR=0,30! dB),! intensitas! absorbsi! yang! cukup! besar! yaitu! (Iabsorbsi=10,42! dB),! dan efisiensi!absorbsi!bunyi!cukup!efisien!yaitu =12,27 %).
5. Simpulan Setelah melakukan percobaan uji serap suara pada plazore dapat disimpulkan bahwa: 1. Ketebalan ukuran sampel dapat mempengaruhi hasil uji serap suara plazore. 2. Koefisien serap rata-rata masing sampel yaitu sebesar 0,02 cm-1 (sampel 1), 0,05 cm-1 (sampel 2), 0,08 cm-1 (sampel 3) sehingga tingkat serap suara terbaik dari ketiga bahan tersebut adalah sampel 3. 3. Karakteristik plazore yang baik sebagai bahan penyerap suara adalah plazore yang memiliki intensitas refleksi kecil, intensitas absorbsi besar, dan efisiensi absorbsi yang cukup besar. Karakteristik ini dimiliki oleh plazore pada sampel 3 dengan nilai-nilai: (0,08 cm-1), (IR=0,30 dB), (Iabsorbsi=10,42 dB), dan =12,27 %). 6. Daftar Pustaka Bilmeyer,F.W.Jr. 1994. Text Book of polimer science. John willey and sons Inc., new york. Doello,L.L.(1993). Akustika Lingkungan.(Diterjemahkan oleh Prasetia). Jakarta: Erlangga. Fathurrahman dan supriyadi. 2011. Tingkat redam bunyi suatu bahan (Triplek, Gypsum, styrofoam). Semarang. Kampus Bendan Ngisor. Fuadi Ramdja, dkk.2010. pemurnian minyak jelantah menggunakan ampas tebu sebagai adsorben. Jurnal Chemistry. Universitas Sriwijaya. Gabriel, Kinsler, L.E & A.R. Frey.(2001). Fundamental of acoustics. New york: John Wiley & Sonc Inc. Halliwell, J, Lambert, B. (2004). Revise for product Design: Graphics with materials technology. UK: Heineman Educational publishers. Hari Suprianto (2012), Karbon aktif sebagai bahan pemurnian minyak,Jurnal Teknologi Vol.9, Hal 23-26,Universitas Brawijaya,Malang.
Nurdiana dan Isranuri Ikhwansyah. 2011. Studi karakteristik penyerapan suara pada komposit polymer dengan serat rookwool. Jurnal Dinamis,Vol. 8 Hal 30-33,Universitas Pertanian Bogor.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Uji Mekanik Komposit Berpenguat Serat Pandan Duri dan Resin Polyester Dengan Variasi Komposisi Metoda Fraksi Berat Muhammad 1*, Reza Putra2 Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Indonesia. 2 Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Indonesia. *
[email protected], +62 812 2794 4233 1
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh nilai kekuatan tarik optimal dari komposit berpenguat serat pandan duri dan resin polyester melalui perbandingan variasi komposisi metoda fraksi berat. Proses pembuatan spesimen uji dengan bahan serat pandan duri dan resin polyester sesuai dengan standar uji tarik ASTM D3039. Variasi perbadingan fraksi berat untuk resin dan serat adalah 30% : 70% ; 40% : 60% dan 50% : 50%. Hasil penelitian menunjukkan nilai kekuatan tarik maksimal adalah pada perbadingan komposisi komposit 40% berat resin polyester dan 60 % berat serat pandan duri, yaitu 0.45 Kg.f/mm2 dengan nilai beban maksimum rata yang mampu ditahan sebesar 43.87 Kg.f. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan komposit berpenguat serat pandan duri dengan resin polyester telah memenuhi nilai standar minimum untuk sebuah material baru fibreboard berdasarkan ISO 17064:2010. Kata Kunci : Uji Tarik, Serat pandan duri, Resin polyester, fibreboard, ASTM D3039
1.
Pendahuluan Serat alami sekarang banyak digunakan karena jumlahnya banyak dan
sangat murah jadi sering dimanfaatkan sebagai material penguat seperti serat pandan duri. Ketergantungan terhadap material logam dan plastik juga dialih fungsikan seperti halnya material komposit. Komposit adalah suatu bahan padat yang dihasilkan dari gabungan dua atau lebih bahan yang berbeda untuk memperoleh sifat-sifat yang lebih baik. Tanaman pandan duri termasuk dalam suku Pandanaceae. Tanaman ini tersebar luas sebagai tanaman liar yang dapat tumbuh pada daerah berpasir hingga daerah pengunungan. Salah satu jenis pandan yang hidup tersebar luas di daerah-daerah terbuka didataran rendah adalah pandan duri. Pandan inilah yang utama digunakan sebagai bahan baku anyaman karena mempunyai serat yang kuat dan daun yang panjang yang mencapai hingga 1-3 m dengan lebar 2-16 cm. Umumnya jenis ini tumbuh disepanjang pantai yang landai dan membentuk kelompok-kelompok yang padat. Di Jawa, jenis ini dikenal ada 4 macam yaitu jenis Samak, Litoralis, Laevis, dan Variegatus. Jenis pandan yang termasuk jenis Samak adalah pandan betok, pandan
140
jaksi, pandan jaraim, pandan duri, pandan kapur, pandan tikar, pandan cucuk, pandan semak, dan pandan ijo yang terdapat masing-masing di P. Bawean, Tasikmalaya, dan Tangerang. Jenis ini umum ditanam untuk dimanfaatkan daunnya karena mempunyai daun yang tipis. Sofyan efendi, menyelidiki pengaruh perlakuan campuran serat pandan duri dengan polyester terhadap sifat tarik dan kekuatan lentur komposit berpenguat serat pandan duri (susunan vertical, horizontal dan acak) dengan matrik polyester. Dari hasil penelitian uji tarik untuk susunan serat yang disusun vertikal untuk hasil tegangan tarik maksimum yang terkecil dengan serat Vf 5%= 46,55 Mpa, sedangkan tegangan tarik maksimum yang terbesar Vf 25%= 50,06 Mpa, untuk hasil uji tarik serat yang disusun horizontal tegangan tarik tarik maksimum terkecil dengan serat Vf 5%= 59,43 Mpa, sedangkan tegangan tarik serat maksimum terbesar Vf 25%= 63,45 Mpa. Untuk hasil uji tarik susunan acak didapat hasil terkecil Vf 5%= 71,167 Mpa, sedangkan tegangan tarik yang terbesar serat Vf 25%= 75,1 Mpa. Arif Bintoro Johan (2011), mengkaji kelayakan serat daun pandan berbanding fiber glass sebagai penguat material komposit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : Kekuatan tarik serat pandan 1,5 kali dari kekuatan tarik fiber glass. Kekuatan tarik serat pandan 39,036 kg/mm2 sedangkan kekuatan tarik fiber glass 21,65 kg/mm2. Kekuatan tarik komposit alami lebih rendah dari komposit sintetis. Kekuatan tarik komposit alami 3,03 kg/mm2 sedangkan kekuatan tarik komposit sintetis 3,77 kg/mm2. Berat jenis serat pandan lebih rendah dari berat jenis fiber glass. Berat jenis serat pandan 0,9574 gram/cm3 sedangkan berat jenis fiber glass 2,19 gram/cm3.. Serat dari daun pandan layak digunakan sebagai material komposit, tetapi belum ditemukan matrik yang cocok dan perlakuan yang sesuai. Mariatti dkk (2008) mempelajari sifat ke tidak jenuhan polyester dengan pengisi serat pisang dan serat pandan, dan ternyata serat pisang sebagai pengisi mempunyai kekuatan mekanik (kekuatan tarik dan kekuatan lentur) lebih besar dibandingkan dengan serat pandan, akan tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Raghavendra dkk (2012) dengan meningkatnya kekuatan mekanik serat
141
pisang, regangan (tensile strain) serat menurun. Hal ini terjadi karena interaksi adhesif-interfasial antara serat dan matrik mempengaruhi sifat mekanik komposit. Paryanto Dwi Setyawan (2012), telah meneliti
komposit manufaktur
dengan metode hand lay-up dengan fraksi volume serat 10%, 20%, 30%, dan 40% dengan orientasi serat pendek searah dan acak daun nanas. pengujian spesimen dilakukan dengan ASTM D3039 kekuatan tarik standar. Sebagai hasil diketahui bahwa kekuatan tarik komposit meningkat dengan meningkatnya fraksi volume serat untuk orientasi serat searah, hal ini berbanding terbalik untuk orientasi acak serat pendek. Dari beberapa data diatas perlu adanya penelitian tentang uji mekanik komposit berpenguat serat pandan duri dan resin polyester Dengan Variasi Komposisi Metoda Fraksi Berat, karena serat alam sangat berpotensi untuk menggantikan serat sintetis yang tidak ramah lingkungan. 2.
Metodologi Penelitian Proses jalannya penelitian dapat dilihat pada diagram alir dibawah ini:
142
Matrik dalam komposit berfungsi sebagai bahan mengikat serat menjadi sebuah unit struktur, melindungi dari perusakan eksternal, meneruskan atau memindahkan beban eksternal pada bidang geser antara serat dan matrik, sehingga matrik dan serat saling berhubungan. Pembuatan komposit serat membutuhkan ikatan permukaan yang kuat antara serat dan matrik. Selain itu matrik juga harus mempunyai kecocokan secara kimia agar reaksi yang tidak diinginkan tidak terjadi pada permukaan kontak antara keduanya. Untuk memilih matrik harus diperhatikan sifat-sifatnya, antara lain seperti tahan terhadap panas, tahan cuaca yang buruk dan tahan terhadap goncangan yang biasanya menjadi pertimbangan dalam pemilihan material matrik. Dalam pembuatan sebuah material komposit, suatu pengkombinasian optimum dari sifat-sifat bahan penyusunnya untuk mendapatkan sifat-sifat tunggal sangat diharapkan. Beberapa material komposit polymer diperkuat serbuk yang memiliki kombinasi sifat-sifat yang ringan, kaku, kuat dan mempunyai nilai kekerasan yang cukup tinggi. Disamping itu juga sifat dari material komposit dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu material yang digunakan sebagai bentuk komponen dalam komposit, bentuk geometri dari unsur-unsur pokok dan akibat struktur dari sistem komposit, cara dimana bentuk satu mempengaruhi bentuk lainnya Menurut Agarwal dan Broutman, yaitu menyatakan bahwa bahan komposit mmpunyai ciri-ciri yang berbeda dan komposisi untuk menghasilkan suatu bahan yang mempunyai sifat dan ciri tertentu yang berbeda dari sifat dan ciri konstituen asalnya. Disamping itu konstituen asal masih kekal dan dihubungkan melalui suatu antara muka. Kemajuan kini telah mendorong peningkatan dalam permintaan terhadap bahan komposit. Perkembangan bidang sciences menyulitkan
dan teknologi mulai
bahan konvensional seperti logam untuk memenuhi keperluan
aplikasi baru. Bidang angkasa lepas, perkapalan, automobile dan industri pengangkutan merupakan contoh aplikasi yang memerlukan bahan-bahan yang berdensity rendah, tahan karat, kuat, kokoh dan tegar. Dalam kebanyakan bahan
143
konvensional, walaupun kuat ia mempunyai density yang tinggi dan rapuh. Sifat maupun karakteristik dari komposit ditentukan oleh : a) Material yang menjadi penyusun komposit Karakteristik
komposit
ditentukan
berdasarkan
karakteristik
material
penyusun menurut rule of mixture sehingga akan berbanding secara proporsional. b) Bentuk dan penyusunan struktural dari penyusun Bentuk dan cara penyusunan komposit akan mempengaruhi karakteristik komposit. c) Interaksi antar penyusun Bila terjadi interaksi antar penyusun akan meningkatkan sifat dari komposit. Salah satu jenis pandan yang hidup tersebar luas di daerah-daerah terbuka didataran rendah adalah pandan duri. Pandan inilah yang utama digunakan sebagai bahan baku anyaman karena mempunyai serat yang kuat dan daun yang panjang yang mencapai hingga 1-3 m dengan lebar 2-16 cm. Umumnya jenis ini tumbuh disepanjang pantai yang landai dan membentuk kelompok-kelompok yang padat. Di Jawa, jenis ini dikenal ada 4 macam yaitu jenis Samak, Litoralis, Laevis, dan Variegatus. Jenis pandan yang termasuk jenis Samak adalah pandan betok, pandan jaksi, pandan jaraim, pandan duri, pandan kapur, pandan tikar, pandan cucuk, pandan semak, dan pandan ijo yang terdapat masing-masing di P. Bawean, Tasikmalaya, dan Tangerang. Jenis ini umum ditanam untuk dimanfaatkan daunnya karena mempunyai daun yang tipis, orang banyak memanfaatkan pandan ini untuk bahan baku anyaman yang diperlukan dalam kebutuhannya sehari-hari misalnya tikar dan topi, pandan duri dapat dilihat pada Gambar 1.
144
Gambar 1. Pandan Duri (Pandanus Tectorius) Unsaturated Polyester Resin (UPR) Yukalac BQTN 157 merupakan jenis resin termoset atau lebih populernya sering disebut polyester saja. UPR berupa resin cair dengan viskositas yang cukup rendah, mengeras pada suhu kamar dengan penggunaan katalis tanpa menghasilkan gas sewaktu pengesetan pengeseta seperti banyak resin termoset lainnya. Poliester juga digunakan untuk membua membuat botol, film, tarpaulin, kano, tampilan kristal cair, hologram, penyaring, penyar saput (film) di elektrik untuk kondensator, penyekat saput buat kabel dan pita penyekat. p Poliester kristalin cair merupakan salah satu polimer kristalin cair yang yang digunakan industri yang pertama dan digunakan karena sifat mekanis dan ketahanan terhadap te panas. Pengujian tarik adalah salah satu uji Stress strain mekanik yang bertujuan untuk mengetahui kekuatan material terhadap gaya tarik. Dalam pengujiannya, material uji ditarik sampai putus. Uji tarik adalah cara pengujian pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujian tarik sangat sederhana, tidak mahal maha dan sudah mengalami standarisasi diseluruh dunia. Dengan menarik suatu material mate kita akan mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tarikan tarika dan sejauh mana material itu bertambah panjang. Pengujiann kekuatan tarik dengan mengikuki ASTM yang ada yaitu ASTM D 3039, ASTM D 3039M, ASTM D638, ASTM D 638-99, 638 99, ASTM 638M 638M-84, bertujuan untuk mengetahui tegangan, regangan modulus elastisitas pada p bahan material komposit dengan cara menarik spesimen sampai putus. put Pengujian tarik
145
dilakukan dengan mesin uji tarik atau dengan universal testing machine. Berdasarkan posisi pengambilan spesimen, dengan menarik suatu bahan kita akan mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tegangan tarikan dan mengetahui sejauh mana material bisa bertahan pada titik putus. Hukum Hooke (Hooke’s law) hampir semua logam pada tahap awal di uji tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang benda tersebut. Ini disebut daerah liniear atau liniear zone. Didaerah ini kurva bertambah panjang dan beban mengikuti aturan hooke yaitu rasio tegangan (stres) dan regangan (strain) a Spesimen ditempatkan di genggaman (grip) mesin uji tarik universal machine pada jarak pegangan tertentu dan menarik sampai pada kegagalan (regangan). Untuk ASTM D 3039 kecepatan uji dapat ditentukan oleh spesifikasi material dengan waktu kegagalan 0 – 10 menit. Sebuah extensometer vs alat ukur regangan digunakan untuk menentukan perpanjangan dan modulus tarik. Tergantung pada penguatan dan jenis, pengujian di lebih dari satu orientasi mungkin diperlukan. Standar (ASTM D 3039) Untuk mendapatkan nilai kekuatan tarik dapat dicari dengan rumus : Keterangan : = Kekuatan tarik ultimate ( N/
)
= Beban tarik maksimum (F) = Luas penampang (
)
adalah konstan.
Proses manufaktur bahan komposit dengan metrode hand lay up merupakan metode yang paling sederhana diantara metode-metode manufaktur bahan komposit yang lain. Dikatakan sederhana karena tekniknya sangat mudah di aplikasikan yaitu cairan resin dioleskan diatas sebuah cetakan dan kemudian serat layer pertama diletakkan diatasnya, kemudian dengan menggunakan roller atau kuas resin kembali diratakan. Langkah ini dilakukan terus menerus hingga didapatkan ketebalan spesimen yang diinginkan.
146
2. Hasil dan Pembahasan berbahan Setelah proses pembentukan spesimen material komposit yang be serat pandan duri dengan resin polyester dengan menggunakan acuan dari ASTM D 3039 siap diproses, t terhadap 15 roses, selanjutnya proses pelaksanaan pengujian tarik spesimen dari variasi berat yang berbeda dengan masing-masing masing masing pengujian akan dirangkum dalam tabel hasil. Dengan dimensi Pengujian tarik disesuaikan dise dengan standar uji ASTM D 3039 dengan dimensi dim hitung luas yaitu panjang 15 mm dan lebar 6 mm, sehingga luas penampang (Ao) diperoleh 90 mm2. Variabel yang akan diterangkan adalah hasil tegangan tarik dengan perbandingan perbedaan perbe berat serat pada masing-masing material komposit.
$&!+&!+ !.'((&%**
Gambar 2. Grafik Perbandingan Tegangan Tarik pada Variasi Komposisi Pada Gambar 2. terlihat hasil rata- rata perbandingan pengujian tarik yang telah dilakukan terhadap 5 spesimen uji dengan variasi komposisi posisi serat dan resin. Rerata tegangan tarik tertinggi adalah sebesar 0.45 Kg.f/mm2 pada komposisi 40:60 % berat. Pada komposisi perbadingan 50:50 %, nilai Tegangan tari ta ratatarik rata yang mampu dicapai adalah 0.35 Kg.f/mm2, nilai ini tidak jauh dari perbandingan komposisi 30:70 sebesar 0.33 Kg.f/mm2. Untuk beban maksi maksimal yang mampu ditahan oleh material komposit berpenguat serat pandan panda duri ini, maka dapat dilihat pada Gambar 3.
147
$"!+&%
$"!+*!(/'*!)1/,*-,/'/'
-$."!+#'+&!+(,*-,/'/'.$/'+#!+/$.!0
Gambar 3. Grafik Perbandingan Beban Maksimal dengan Komposisi Pada Gambar 3. terlihat hasil ratarata rata perbandingan beban maksimal yang mampu ditahan sebelum material komposit putus terhadap 5 spesimen uji dengan variasi komposisi serat dan resin. Rerata beban tertinggi adalah sebesar 43..87 Kg.f pada komposisi 40:60 % berat. Pada komposisi perbadingan 50:50 %, nilai beban rata-rata yang mampu ditahan di adalah 35.16 Kg.f,, nilai ini tidak jauh ja dari perbandingan ngan komposisi 30:70 sebesar 33.08 Kg.f. Setelah melakukan analisa dari ketiga fraksi berat didapat perbedaan dari ketiga fraksi berat yang telah dirangkum dalam grafik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komposisi komposit 40% serat dan 60% resin menghasil menghasilkan nilai kekuatan tarik terbaik dengan tegangan maksimal 0.45 kgf/ dengan beban rata-rata rata mencapai 43.87 Kg.f. Sedangkan pencampuran komposisi komposi resin 50% serat dan 50% resin menghasilkan nilai tegangan tarik yang lebih rendah yaitu 0.35 Kgf/mm gf/mm2 dengan beban rata rata mencapai 35.16 kgf. Nilai terendah engan tegangan tarik didapat pada fraksi berat 30% serat dan 70% resin, dengan dengan beban rata-rata . maksimal 0.33 Kgf/ rata 33.08 kgf/ 3.
Kesimpulan esimpulan Setelah melalui penelitian penelitia terhadap pencampuran resin polyester dan serat
pandan duri,, maka dapat disimpulkan disimpul sebagai berikut.
148
1. Dari hasil yang diperoleh dari 3 variasi komposisi fraksi berat dan susunan serat acak didapat hasil dari pengujian terbaik pada variasi berat 40% serat : 60% resin dengan beban maksimal 43.87 Kg.f dan kekuatan tegangan tarik sebesar 0.45 Kgf/mm2. 2. Untuk hasil yang terendah terdapat pada komposisi serat 30% : 70% resin dengan beban 33.08 Kgf dan kekuatan kekuatan tarik 0,33 Kgf/mm2.
4. Daftar Pustaka Gibson RF. 1994, “Principles Processing and Composite Material”. Mc-Granhill Book Company, New York. Jones RM. 1975, “Mechanics of Composite Materials”. Scripta Book, Company Washington DC. Schwartz MM. 1984. “Composite Material, Handbook”. McGraw Hill, Inc., New York, USA. ASTM, 2006, Standards and Literature References for Composite Materials, “American Society for Testing and Materials”, Philadelphia, PA. Paryanto Dwi Setyawan (2012), “manufacturing komposit dengan metoda hand lay-up dengan variasi fraksi serat” Citra M T, Astuti (2014), “Sentesis dan karakterisasi sidat mekanik serta struktur mikro komposit resin diperkuat daun pandan alas (pandanus dubius)” Unand, Vol. 3 No. 1. Sofyan Efendi (2010), “Analisa pengaruh sifat mekanikal terhadap campuran serat pandan duri dengan matrik polyester” Universitas Islam Riau. Arif bintoro J (2011), “kaji eksperimental kelayakan serat daun pandan sebagai penguat material komposit” Mariati, dkk (2008), “Sifat Ketidakjenuhan Polyester dengan Pengisi Serat Psang dan serat pandan ”.
149
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
PEMBUATAN LEMBAR HIDROGEL DARI KITOSAN, MADU, GELATIN, DAN KAPPA KARAGENAN SEBAGAI MATERIAL PEMBALUT LUKA DHENA RIA BARLEANY1, IFO TRIYUNI2, M. ARYO BIMANTORO3 Jurusan Teknik Kimia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa email:
[email protected] ABSTRAK Kitosan, gelatin, dan madu merupakan bahan yang umum digunakan dalam pembuatan hidrogel. Penambahan kappa karegenan diharapkan mampu meningkatkan kapasitas penyerapan terhadap air serta sifat antibakteri gel sehingga dapat diaplikasikan sebagai material dalam perawatan luka. Tujuan penelitian ini adalah mensintesis lembaran hidrogel dari kitosan, gelatin, dan madu dengan penambahan kappa karagenan serta mendapatkan komposisi terbaik berdasarkan kapasitas penyerapan, kandungan gel, sifat antibakteri, dan analisa matriks permukaan. Sintesis hidrogel dilakukan dengan pencampuran larutan kitosan, gelatin, kappa karagenan, dan madu dengan disertai pengadukan kontinyu pada 400C. Variasi percobaan adalah penambahan air dan konsentrasi kappa karagenan di dalam campuran reaktan total (0; 0,5; 1; 1,5%) (b/v). Larutan gel yang terbentuk kemudian didinginkan pada temperatur kamar selama 2x24 jam, kemudian dilakukan pengujian berupa kapasitas penyerapan, kandungan gel, aktivitas antibakteri terhadap Escherechia coli, dan struktur permukaan menggunakan SEM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaran hidrogel dapat terbentuk dengan tekstur yang kenyal dan hasil uji SEM yang baik pada sintesis tanpa penambahan air dan konsentrasi kappa karagenan 1,5% (b/v), dengan nilai kandungan gel 46,23% dan nilai kapasitas penyerapan air 496 (berat air/berat hidrogel kering). Hasil uji aktivitas antibakteri juga menunjukkan bahwa lembar hidrogel dengan penambahan kappa karagenan dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherechia coli lebih baik dibandingkan dengan hidrogel tanpa kappa karagenan. Kata kunci: hidrogel, kappa karagenan, kitosan, luka, madu ABSTRACT
Chitosan, gelatin, and honey have been popular for hydrogel synthesis. The addition of kappa carageenan was aimed to increase water absorption capasity of gel and the antibacterial performance as well for wound dressing application. This study was purposed to synthesize hydrogel from chitosan, gelatin, and honey, with the addition of kappa carageenan, also to find the best composition based on water absorbency (swelling), gel content, antibacterial activity, and micrograph analysis. The hydrogel was synthesized through the mixing and stirring process at 400C. The addition of water and the concentrations of kappa carageenan in the reactant mixture were varied (0; 0,5; 1; 1,5%)(w/v). The reactant solution was then cooled at room temperature for 2x24 h to form
150
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
gel. Swelling behavior, gel content, antibacterial activity, and SEM evaluation were performed in this report. The result shows that hydrogel sheet with the best texture and good matrix was resulted when it was synthesized without water addition and the concentration of kappa carageenan was 1,5%. The gel content of 46,23% and swelling capacity of 496 (weight of water absorbed/weight of dry hydrogel) was reached. The antibacterial study also proof that the addition of kappa carageenan in the hydrogel composition can inhibit Escherechia coli better than hydrogel without kappa carageenan. Keywords: chitosan, honey, hydrogel, kappa carageenan, wound
1.
Pendahuluan Hidrogel adalah struktur jaringan tiga dimensi yang mampu menyimpan air dalam
jumlah yang sangat banyak (Peppas dkk, 2012). Kitosan banyak dimanfaatkan sebagai bahan penyusun hidrogel untuk berbagai aplikasi termasuk dalam bidang biomedis yaitu sebagai pembalut luka (wound dressing). Kitosan bersifat biokompatibel, biodegradabel, tidak beracun, serta memiliki kemampuan anti-mikroba yang sangat baik (Smart dkk., 2006). Selain digunakan
secara tunggal sebagai pembalut luka, saat ini para peneliti mempelajari kombinasi kitosan dengan bahan lain baik berupa polimer sintetis maupun material alami seperti madu, alginat, gelatin serta hidrokoloid alami seperti kappa karagenan. Pada percobaan ini
diteliti pengaruh konsentrasi kappa karagenan terhadap nilai
swelling, fraksi gel dan uji antibakteri pada hidrogel kitosan, madu, gelatin dan kappa karagenan. Penelitian ini bertujuan untuk mensintesis lembaran gel dari kitosan, madu dan gelatin serta mendapatkan komposisi kappa karagenan terbaik berdasarkan nilai swelling, fraksi gel, uji
antibakteri dan hasil uji Scanning Electro Microscope (SEM) yang
dihasilkan. 2.
Tinjauan Pustaka Luka dapat diklasifikasikan sebagai luka akut atau luka kronis. Luka akut dibagi
menjadi 2 (dua) kriteria, yaitu traumatis dan luka operasi. Perawatan luka dilakukan tergantung pada jenis luka dan kemungkinan infeksi yang terjadi. Infeksi pada luka dapat disebabkan oleh keseimbangan koloni bakteri yang biasa terdapat pada kulit.
151
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang biasa menginfeksi pada kasus luka saat operasi, sedangkan pada luka kronis, infeksi sering berasal dari bakteri patogen yang bersifat aerobik atau fakultatif (Saleh dan Sönnergren, 2016). Dalam studi yang dilakukan oleh Wang dkk (2012), aktivitas antimikroba melawan S. aureus dan E. coli diuji pada produk untuk perawatan luka bakar. Produk perawatan luka yang ideal harus mampu menyerap cairan luka yang berlebihan serta racun, menjaga kelembaban antara area luka dengan pembalut, melindungi luka dari infeksi, mencegah kelebihan panas pada luka, mempunyai permeabilitas yang baik terhadap gas, steril, dan mudah dilepaskan tanpa menimbulkan trauma lebih lanjut terhadap luka (Deng dkk, 2007). Hidrogel dan produk-produk hidrokoloid merupakan bentuk pembalut yang didesain mampu menjaga kelembaban luka (Caló dan Khutoryanskiy, 2015). Salah satu bahan pembalut bioaktif yang terbukti mampu menstimulasi dan mempercepat proses penyembuhan luka adalah kitosan. Aplikasi kitosan dalam dunia biomedis banyak dimanfaatkan sebagai zat antiinflamasi, antikoagulan, flokulan, antibakteri, antijamur, memiliki aktivitas anthelmintic yang akan mencegah dari tekanan mikroba dan kitosan juga memiliki efek penyembuh luka. Permeabilitas kitosan terhadap oksigen sangat baik, sifat ini sangat penting untuk mencegah kekurangan oksigen pada jaringan yang cedera. Jayakumar dkk (2011) dalam suatu ulasan menyimpulkan bahwa hidrogel berbasis kitin dan kitosan merupakan teknologi yang layak dipertimbangkan untuk pengembangan pembalut sekaligus penyembuh luka. Permeabilitas hidrogel yang tinggi terhadap kelembaban dapat mencegah akumulasi cairan yang terjadi pada luka berat dengan pendarahan cukup besar. Hidrogel berbasis kitosan untuk aplikasi dalam produk perawatan luka telah banyak dikembangkan dan dimodifikasi dengan bahan lain (Ong dkk, 2008; Murakami dkk, 2010; Wang dkk, 2012). Salah satu modifikasi hidrogel berbasis kitosan adalah dengan mengkombinasikannya dengan gelatin. Sponge kitosan-gelatin telah berhasil dibuat oleh Deng dkk (2007) dan terbukti reliabel untuk aplikasi pembalut luka. Hidrogel tersebut memiliki sifat antibakteri yang sangat baik terhadap Escherechia coli, bahkan lebih baik dibandingkan dengan pinisilin. Sifat antibakteri gel kitosan-gelatin juga lebih baik dibandingkan dengan cefradine saat melawan Streptococcus. Gelatin merupakan material alami yang non toxic
152
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
dan biokompatibel, sesuai untuk lapisan penutup dan pelindung area yang rusak pada aplikasi perawatan luka bakar, trauma, dan diabetes. Pembalut luka dari bahan gelatin terbukti biokompatibel dan tidak menimbulkan reaksi negatif apapun terhadap tubuh (Ulubayram dkk, 2011). Bahan alami lain yang banyak diteliti dan memiliki banyak kelebihan dalam pemanfaatannya untuk perawatan luka adalah madu (Yusof dkk, 2007; Nho dkk, 2014; Stewart dkk, 2014). Kandungan
zat antibiotik dan asam amino bebas dalam madu yang
berguna untuk mengalahkan bakteri mematikan, kuman patogen, dan membantu penyembuhan penyebab penyakit
infeksi. Rasa asam pada madu tidak cocok untuk
pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri karena madu menghasilkan hidrogen peroksida yang merupakan antiseptik. Sifat antibakteri madu diteliti memiliki efektivitas tinggi pada luka bakar, tetapi agak lemah untuk jenis luka lain. Bagaimanapun, kombinasi madu dengan bahan lain memberikan performa yang lebih baik untuk sifat antibakterinya (Vandamme dkk, 2013). Pada penelitian ini, lembaran hidrogel untuk aplikasi pembalut luka dibuat dari bahan kitosan, gelatin, madu, dan kappa karagenan. Dalam beberapa penelitian, karagenan dimanfaatkan sebagai pembawa obat (drug delivery) dalam sistem hidrogel untuk perawatan luka yang dikompositkan dengan material lain (Boateng dkk, 2013; Padhi dkk, 2016). Volod’ko (2016) meneliti pembentukan material kompleks yang terbentuk dari karagenan dan kitosan kemudian menyatakan bahwa keduanya menunjukkan interaksi yang baik serta jenis karagenan yang digunakan sangat mempengaruhi afinitas ikatannya dengan kitosan. 2. 2.1.
Metode Penelitian Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kitosan grade farmasi
dengan derajat deasetilasi 85%, madu Nusantara, gelatin dari sisik ikan yang dibeli dari BATAN, kappa karagenan, asam asetat glasial (Merck), dan aquades.
153
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
2.2.
Pembuatan Larutan Madu 20 g madu dilarutkan dalam 20 mL aquades
sambil dilakukan pengadukan
kontinyu pada suhu 600C. Larutan yang sudah homogen lalu didiamkan hingga suhunya mencapai 400C.
2.3.
Pembuatan Larutan Gelatin Larutan gelatin dibuat dengan cara yang sama dengan proses pembuatan larutan
madu, dimana 20 g gelatin dilarutkan ke dalam 20 mL aquades dan dipanaskan pada 60 0C sambil dilakukan pengadukan. Setelah homogen, larutan gelatin lalu didiamkan hingga mencapai suhu 400C.
2.4.
Pembuatan Larutan Kappa Karagenan Kappa karagenan dengan variasi berat 0; 0,1; dan 1,5 g dilarutkan dalam 100 mL
aquades disertai dengan pengadukan pada suhu ruang hingga homogen 2.5.
Pembuatan Lembaran Hidrogel 0,5 g kitosan dicampur dengan 0,5 mL larutan asam asetat 2% lalu ditambahkan
aquades sebanyak 19 mL (volume akhir larutan kitosan sekitar 20 mL). Masing-masing 20 mL larutan kitosan, madu, gelatin, dan kappa karagenan dicampur sambil dipanaskan pada 400C. Pada penelitian ini, pengaruh adanya penambahan aquades dievaluasi terhadap karakteristik gel yang dihasilkan. Penambahan aquades dilakukan hingga volume campuran reaktan mencapai 100 mL. Setelah homogen, larutan disaring dan dicetak lalu didiamkan pada suhu ruang selama 2x24 jam hingga terbentuk lembaran gel. Lembaran gel yang terbentuk kemudian dilakukan serangkaian pengujian berupa kapasitas penyerapan (swelling), kandungan gel (gel content), aktivitas antibakteri, dan analisa permukaan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope). 2.6.
Uji Kandungan Gel (Gel Content) Hidrogel yang terbentuk dipotong dengan berat 1 gr, dikeringkan dalam oven pada
suhu 600C dan ditimbang sampai bobot konstan (W0). Hidrogel kering kemudian dikemas dalam kertas teh. Selanjutnya, kertas teh yang mengandung hidrogel direndam dalam air suling dan diaduk selama
24 jam untuk menghilangkan zat-zat yang tidak bereaksi.
154
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Akhirnya, hidrogel dikeluarkan dari alat pengaduk, dikeringkan kembali dalam oven pada suhu 600C dan ditimbang kembali sampai bobot konstan (W1). Fraksi gel dihitung dengan persamaan (1):
2.7.
…………………………...........……(1)
Uji Kapasitas Penyerapan (Swelling) Hidrogel yang terbentuk dipotong dengan berat 1 gr, dikeringkan dalam oven pada
suhu 600C dan ditimbang sampai bobot konstan (W0). Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kadar air yang terkandung dalam hidrogel. Hidrogel kemudian direndam dalam aquades selama 3 jam, lalu dikeluarkan dari bejana perendaman. Air di permukaan hidrogel basah dikeringkan dengan tisu,
kemudian hidrogel ditimbang (W 1). Rasio
banyaknya air terserap hidrogel pada masing-masing waktu perendaman dihitung dengan menggunakan persamaan (2) berikut:
2.8.
................................................(2)
Uji Aktivitas Antibakteri PBS (Strain E. Coli) disiapkan dalam tabung reaksi sebanyak 9 mL. Cawan petri
disiapkan sebanyak sampel yang diuji ditambah satu untuk control. Cawan petri PCA (Plate Count Agar) dipanaskan terlebih dahulu dengan suhu 380C, volume 15-20 mL. Sampel hidrogel dengan variasi berbeda dimasukkan ke masing-masing cawan petri dan diberi label. Larutan PBS dimasukkan ke cawan control dan cawan sampel kemudian ditutup, diputar 3x, dan didinginkan. Cawan petri ditumpuk dan dibungkus dengan kertas coklat, dimasukkan ke incubator dengan suhu 380C selama 2 hari.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1
Hasil Uji Gel Content Kandungan gel (gel content) merupakan salah satu karakterisasi yang umum
dilakukan dalam sintesis hidrogel, merupakan jumlah bahan awal baik monomer atau polimer yang terkonversi menjadi gel. Dengan kata lain, kandungan gel menunjukkan besarnya gel yang terkandung di dalam hidrogel.
155
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016
17 OKTOBER 2016
Gambar 1. Pengaruh penambahan aquades dan konsentrasi larutan kappa karagenan terhadap kandungan gel (gel content) yang dihasilkan
Pengaruh konsentrasi kappa karagenan dan penambahan aquades terhadap fraksi gel hidrogel kitosan, madu, gelatin dan kappa karagenan dengan variasi kappa karagenan 0; 0,5; 1 dan 1,5% disajikan pada Gambar 1. Terlihat bahwa dengan adanya penambahan aquades, kandungan gel meningkat dengan bertambahnya konsentrasi larutan kappa karagenan, dimana nilainya berturut-turut adalah 41,93%; 43,67%; 45,11%; dan 47,31%. Hal ini menunjukkan bahwa hidrogel dari campuran (blend) kitosan, madu, gelatin dan kappa karagenan dengan penambahan aquades dapat membentuk hidrogel relatif lebih baik dibandingkan hidrogel tanpa penambahan aquades. Kemampuan pembentukan gel pada kappa karagenan terjadi pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin karena mengandung gugus 3,6- anhidrogalaktosa. Pada hidrogel kitosan, madu, gelatin dan kappa karagenan tanpa penambahan air terlihat penurunan kandungan gel saat konsentrasi kappa karagenan ditingkatkan. Menurut Wang dkk (2012), viskositas kitosan dan madu yang terlalu tinggi dapat memberikan efek merugikan terhadap produk gel yang diperoleh. Di dalam aplikasi ini, kitosan dan madu lebih berfungsi sebagai material fungsional, dimana perannya lebih dominan dalam penyembuhan luka, sedangkan gelatin dan kappa karagenan berperan dalam pembentukan matriks gelnya.
156
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
3.1.Hasil Uji Kapasitas Swelling Swelling merupakan parameter utama dari hidrogel, terutama dalam perannya sebagai material untuk perawatan luka. Pengaruh konsentrasi kappa karagenan dan variasi air
terhadap swelling hidrogel kitosan, madu, gelatin dan kappa karagenan pada Gambar 2.
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi larutan kappa karagenan terhadap kapasitas penyerapan hidrogel
Berdasarkan pengamatan dan hasil perendaman pada uji swelling dengan variasi penambahan air terlihat pada Gambar 2 bahwa dengan meningkatnya konsentrasi kappa karagenan dari 0 hingga 1,5%, swelling meningkat berturut-turut yaitu 354%, 377%, 426%, dan 463%; sedangkan tanpa penambahan air menghasilkan swelling sebesar 389%, 385%, 456% dan 496%. Peningkatan nilai swelling dengan bertambahnya konsentrasi kappa karagenan disebabkan karena kappa karagenan berperan dalam mengimobilisasi cairan. Semakin meningkatnya konsentrasi kappa karagenan di dalam gel mengakibatkan semakin banyak pula jumlah cairan yang dapat masuk ke dalam matriks hidrogel. Dengan penambahan air dapat menghasilkan hidrogel dengan kandungan gel yang lebih besar tetapi menurunkan kapasitas penyerapannya. Besarnya jumlah cairan yang ada dalam reaktan dapat menghambat penyerapan cairan dari luar karena terbatasnya ruang kosong di dalam matriks,
3.2.Uji Aktivitas Antibakteri Lembaran hidrogel kitosan, gelatin, madu dan kappa karagenan diuji aktivitas antibakterinya terhadap pertumbuhan bakteri E.coli. Aktivitas antibakteri dari
suatu
157
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
hidrogel diperlihatkan dengan munculnya daerah bening disekitar dis hidrogel dengan menghitung pertumbuhan bakteri pada cawan yang berukuran 4 cm2. Baha Bahan utama yang digunakan sebagai zat antibakteri adalah kitosan dan madu.
(a)
(b)
(c) hidrogel tanpa Gambar 3.. Pengujian aktivitas antibakteri (a). tanpa hidrogel, (b). dengan d kappa karagenan, (c). Dengan hidrogel dngan kappa karagenan
nalisa antibakteri yang telah dilakukan dapat terlihat pada gambar 3. Pengujian Hasil analisa terli koloni bakteri pada cawan tanpa hidrogel (Gambar 3a) menunjukkan sejum se sejumlah 7920 koloni.. Gambar 3b terlihat jarak antara bakteri dengan hidrogel, pad p pada variasai tanpa ebih dekat, dan lembar hidrogel ini mempunyai daerah hambat bakt karagenan lebih bakteri yang kecil dengan pertumbuhan bakteri 4032 koloni. Pada variasi penambahan kappa karagenan 1,5% jarak antara bakteri dengan hidrogel lebih jauh dengan pertumbuhan pertumbuh bakteri sejumlah 3600 koloni.. Struktur lembar hidrogel dengan penambahan kappa karagenan 1,5% lebih baik dibandingkan tanpa menggunakan kappa karagenan yang menyebabka menyebabkan bakteri sulit masuk kedalam lembaran hidrogel, kappa karagenan tidak mempengaruhi pertumbuhan mempenga bakteri karena kappa karagenan tidak memiliki sifat sebagai seba zat antibakteri.
158
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
3.3.Hasil Hasil Evaluasi SEM Pada lembaran hidrogel kitosan, gelatin, madu dan kappa karagenan karagena dilakukan analisa morfologinya dengan uji SEM (Scanning ( Electron Microscope)) untuk mengatahui struktur pori-porinya, inya, dengan variasi penambahan air (Gambar 4a) dan da tanpa penambahan air (Gambar 4b).
(a)
(b)
Gambar 4.. Hasil Uji SEM hidrogel (a) dengan penambahan aquades, (b) ttanpa aquades.
Dari hasil analisa yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4aa dengan variasi penambahan aquades tidak terlihat pori-porinya pori inya dengan 250 kali pembesaran, sedangkan pada gambar 4b dengan variasi tanpa penambahan aquades terlihat pori- porinya dengan te diameter 26,96 µm pada pembesaran yang sama yaitu 250 kali. Hal Ha ini dapat menguatkan hasil yang didapatkan pada nilai swelling,, dimana pada gambar 4b nilai swelling lebih besar dibandingkan dengan gambar 4a. Semakin besar dan banyak pori pori-pori maka akan semakin banyak pula air yang terjerap didalam hidrogel blend dari kitosan, gelatin, madu dan kappa karagenan. Kelemahannya, struktur hidrogel cenderung rapuh ka karena jumlah inya yang lebih besar dan banyak dibandingkan dengan Gamba Gambar 4a, sehingga pori- porinya membuat hidrogel mudah rusak. Dari struktur permukaannya, Gamba Gambar 4a lebih halus dibandingkan dengan Gambar 4b, karena pori-porinya inya lebih rapat seh sehingga membuat pori hidrogel lebih kuat dan tidak mudah rusak.
159
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lembaran hidrogel dapat terbentuk baik pada variasi tanpa penambahan air dan konsentrasi penambahan kappa karagenan sebesar 1,5%; ditunjukan dengan peningkatan pada nilai swelling, kualitas hasil uji SEM dan uji antibakteri. Berdasarkan karakteristiknya hidrogel
yang dihasilkan dari penelitian ini
bersifat kenyal dengan nilai kandungan gel 46,3% dan nilai swelling 496 (g air /g hidrogel kering). Hasil analisa antibakteri menunjukan lembar hidrogel dengan penambahan kappa karagenan dapat menghambat tumbuhnya bakteri E. coli lebih baik dibandingkan tanpa menggunakan kappa karagenan.
5.
Daftar Pustaka
Boateng, J.S.; Pawar, H.V.; Tetteh, J., Polyox and carrageenan based composite film dressing containing anti-microbial and anti-inflammatory drugs for effective wound healing, International Journal of Pharmaceutics, 2013, 44, 181-91. Calo, E. dan Khutoryanskiy, V.V., Biomedical Applications of Hydrogels: A review of Patents and Commercial Products, European Polymer Journal, 2015, 65, 262-267. Deng, C.M.; He, L.Z.; Zhao, M.; Yang, D.; Liu, Y., Biological properties of the chitosangelatin sponge wound dressing, Carbohydrate Polymers, 2007, 69, 583-589. Jayakumar, R.; Prabaharan, M.; Kumar, P.T.S.; Nair, S.V.; Tamura, H.’ Biomaterials based on chitin and chitosan in wound dressing applications, Biotechnology Advances, 2011, 29, 322-337. Murakami, K.; Aoki, H.; Nakamura, S.; Nakamura, S.I.; Takikawa, M.; Hanzawa, M.; Kishimoto, S.; Hattori, H.; Tanaka, Y.; Kiyosawa, T.; Sato, Y.; Ishihara, M., Hydrogel blends of chitin/chitosan, fucoidan and alginate as healing-impared wound dressings, Biomaterials, 2010, 31, 83-90. Nho, Y.C.; Park, J.S.; Lim, Y.M., Preparation of Hydrogel by Radiation for the Healing of Diabetic Ulcer, adiation Physics and Chemistry, 2014, 94, 176-180. Ong, S.Y.; Wu, J.; Moochhala, S.M.; Tan, M.H.; Lu, J., Development of a chitosan-based wound dressing with improved hemostatic and antimicrobial properties, Biomaterials, 2008, 29, 4323-4332.
160
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Padhi, J.R.; Nayak, D.; Nanda, A.; Rauta, P.R.; Ashe, S.; Nayak, B., Development of highly biocompatible Gelatin & i-Carrageenan based composite hydrogels: In depth phisiochemical analysis for biomedical applications, Carbohydrate Polymers, Accepted Manuscript, 2016, http://dx.doi.org/10.1016/j.carbpol.2016.07.098. Peppas, N.A.; Slaughter, B.V.; Kanzelberger, M.A., Hydrogels, Polymer Science: A Comprehensive Reference, 2012, Vol. 9, 385-395 Saleh, K. dan Sönnergren, H.H., Control and treatment of infected wounds, Wound Healing Biomaterials, 2016, 2, 107-115. Smart, G.; Miraftab, M.; Kennedy, J.F.; Groocock, M.R., Chitosan: Crawling from crab shells to wound dressings, Medical Textiles and Biomaterials for Healthcare, 2006, 6772. Stewart, J.A.; Mc Grane, O.L.; Wedmore, I.S., Wound care in the wilderness: Is there evidence for honey?, Wilderness and Environmental Medicine, 2014, 25, 103-110. Ulubayram, K.; Cakar, A.N.; Korkusuz, P.; Ertan, C.; Hasirci, N., EGF containing gelatinbased wound dressings, 2001, 22 (11), 1345-1356. Vandamme, L; Heyneman, A.; Hoeksema, H.; Verbelen, J.; Monstrey, S., Honey in modern wound care: A systematic review, Burns: Article in Press, 2013, xxx-xxx Volod’ko, A.V.; Davydova, V.N.; Glazunov, V.P.; Likhatskaya, G.N.; Yermak, I.M., Influence of structural features of carrageenan on the formation of polyelectrolyte complexes with chitosan, International Journal of Biological Macromolecules, 2016, 84, 434-441. Wang, T.; Zhu, X.K.; Xue, X.T.; Wu, D.Y., Hydrogel sheets of chitosan, honey and gelatin as bun wound dressings, Carbohydrate Polymers, 2012, 88, 75-83. Yusof, N.; Hafiza, A.H.A.; Zohdi, R.M.; Bakar, Md.Z.A., Development of honey hydrogel dressing for enhanced wound healing, Radiation Physics and Chemistry, 2007, 76, 1767-1770
161
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Pengaruh perbedaan kepolaran pelarut pada Ekstraksi Resin dari Buah Jernang (Dragon Blood) metode masearasi untuk penentuan kualitas resin jernang sesuai SNI 1671:2010 Saifuddin1, Nahar1 dan Selvie Diana1 Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe(PNL) Jln.Medan-Banda Aceh, Km 280,3. Buket rata Lhokseumawe E-mail:
[email protected]
1
ABSTRAK
Resin jernang (dragon blood) merupakan getah termahal di dunia. Resin tersebut diperoleh dari buah jernang yang tumbuh hanya di pulau Sumatra dan kalimatan. Resin jernang sangat diminati oleh Negara Cina, Hongkong, dan Singapura, karena mengandung senyawa dracohordin yang berpotensi sebagai bahan obat secara biologis dan aktivitas farmakologis seperti antimikroba, antivirus, antitumor, dan aktivitas sitotoksik. Proses ekstraksi resin jernang dari buah jernang secara konvensional secara basah dengan metode maserasi merupakan salah satu cara pengolahan buah jernang yang dilakukan oleh masyarakat pengolah jernang di Kabupaten Bireuen Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Namun masih ada kendala yang cukup signifikan yaitu.mutu rendemen yang diperoleh masih rendah. Penelitian Pengaruh kepolaran pelarut untuk ekstraksi jernang terhadap mutu resin jernang ini bertujuan untuk membandingkan Resin yang diperoleh dari hasil ekstraksi buah jernang untuk transfer teknologi kepada masyarakat. Penelitian ini menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda yaitu pelarut polar (Air), Semipolar (Etil Asetat), dan Nonpolar (Heksana). Pemisahan getah (resin) dari buah jernang dilakukan dengan proses ekstraksi maserasi. proses ekstraksi maserasi adalah proses dengan cara perendaman buah jernang masing-masing didalam pelarut yang berbeda selama 72 jam dengan perbandingan jernang dan pelarut 1:1, 1:2, dan 1:3 untuk setiap pelarut yang digunakan. Hasil pengujian resin jernang disesuaikan dengan SNI (SNI.1671 : 2010), meliputi kadar resin, kadar air, Kadar abu, dan kadar pengotor. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kepolaran pelarut yang digunakan sangat menentukan kadar resin yang dihasilkan. Kadar resin paling tinggi didapat dari pelarut Semipolar (31.5%), dan yang paling rendah didapat dari pelarut nonpolar (2.5%). Berdasarkan pengujian dari resin jernang yang diperoleh ditentukan berdasarkan (SNI.1671: 2010). Maka standar mutu resin yang diperoleh adalah standar mutu B. Kata kunci : Ekstraksi, Jernang, Kepolaran, Maeserasi, (SNI.1671: 2010) 1.
Pendahuluan Resin jernang (dragon blood) merupakan getah termahal di dunia dan sangat
dicari oleh dunia farmasi. ini dikarenakan dalam getah jernang (resin) terdapat
162
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
kandungan senyawa Dracohordin yang sangat dibutuhkan oleh dunia farmasi. Dracorhodin merupakan konstituen utama yang ditemukan dalam buah jernang (Dragon Blood). Dracorhodin termasuk Senyawa antosianin alami dan digunakan sebagai zat farmasi ampuh karena aktivitas biologis dan farmakologisnya seperti antimikroba, antivirus, antitumor, dan aktivitas sitotoksik.. (Gupta et all, 2008). Resin jernang merupakan resin
hasil sekresi buah rotan jernang. Resin
tersebut menempel dan menutupi bagian luar buah rotan, dimana untuk mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi buah. Jernang secara tradisional dimanfaatkan sebagai bahan obat. Di samping itu, jernang dimanfaatkan sebagai bahan pewarna untuk mengecat barang-barang pernis, dahulu dan sekarang. Komponen kimia utama pada resin jernang adalah resin ester dan dracoresino tannol (57- 82%). Selain itu, resin berwarna merah dan juga mengandung senyawa-senyawa seperti dracoresene (14%), dracoalban (hingga 2,5%), resin tak larut (0,3%), residu (18,4%), asam benzoat, asam benzoilasetat, dracohodin dan beberapa pigmen terutama nordracorhodin dan nordracorubin ( Chu, 2006 dalam Risna, 2006). Penelitian ini terkait efisiensi proses ekstraksi dalam mengekstrak resin turunan antosianin dari bahan baku buah jernang dengan metode masearasi.
Kandungan senyawa resin dalam buah jernang berbeda-beda, tergantung jenis jernang dan tempat tumbuhnya, disamping kandungan resin jernang terdiri dari beberapa senyawa polar, semipolar dan nonpolar. Salah satu cara untuk memisahkan resin dari buah jernang adalah dengan cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Pelarut yang sesuai akan menghasilkan ekstrak resin yang banyak. Penggunaan pelarut yang tepat akan meningkatkan jumlah rendemen resin. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar, senyawa semi polar akan larut dalam pelarut semi polar begitu juga senyawa non polar akan larut dalam Pelarut non polarPenggunaan kepolaran pelarut sangat menentukan . Penggunaan pelarut dalam pengolahan secara tradisonal oleh kelompok pengolah jernang di kabupaten Bireuen, dalam mengekstraksi resin jernang harus memakai pelarut polar (air). Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai transfer teknologi separasi resin jernang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pengolah jernang Mendapatkan resin mutu jernang yang sesuai dengan SNI (SNI.1671 : 2010) dengan
163
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
analisa hasil akhir adalah kadar resin, kadar air, kadar abu dan titik leleh pada resin yang diperoleh setelah ekstraksi. Dan selanjutnya disesuaikan dengan SNI. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
Jernang (dragon blood) merupakan komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang mempunyai manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan cukup tinggi (Permenhut, 2007). Jernang adalah resin yang menempel dan menutupi bagian luar buah rotan jernang (Daemonorops sp.). Resin jernang menempel pada buah yang masih muda dan terus menipis dengan semakin tuanya buah tersebut. Selama ini jernang diperoleh dari hasil berburu di hutan alam. Para pemburu membuat kelompok untuk memasuki hutan mencari jernang. Setelah mereka memperolehnya, jernang dijual kepada tengkulak untuk dikirim ke pengumpul. Pemanenan rotan jernang di hutan alam menimbulkan masalah yaitu menyebabkan kelangkaan karena sistem pemanenan yang tidak lestari. Selain itu potensi jernang terus menurun akibat kebakaran hutan dan perubahan fungsi lahan. Selama ini jernang di ekspor untuk Industri- industri obat di Negara China, Singapura, dan Hongkong. China membutuhkan 400 ton tiap tahun dan Indonesia baru mampu memasok sekitar 27 ton pertahun (Pasaribu,2005) Resin jernang adalah resin hasil sekresi buah rotan jernang (Daemonorops draco) yang hanya tumbuh di asia tenggara. Resin tersebut menempel dan menutupi bagian luar buah dan sedikit pada daging buah, dan untuk mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi (Toriq,2013). Jenis rotan Daemonorops draco merupakan yang terbaik karena kandungan resinnya paling banyak dibandingkan dengan spesies jernang yang lain (Rustiami et al.2004; Soemarna 2009). Jernang dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama dragon’s blood (Darah Naga).
164
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 2.1 Pohon dan buah jernang Komponen kimia utama pada resin jernang adalah kelompok ester dan drakoresinotanol (57–82%). Selain itu, resin tersebut mengandung berbagai senyawa seperti drakoresena (14%), drakoalban (hingga 2.5%), resin tak larut (0.3%), residu (18.4%), asam abietat, drakorhodin, drakorubin, dan beberapa pigmen terutama nordrakorodin dan nordrakorubin (Purwanto et al. 2005). Ada 59 komponen kimia yang ditemukan dalam jernang (Toriq 2013).
Gambar 2.2 Buah jernang Resin jernang memiliki ciri berwarna merah, berbentuk amorf, dengan bobot jenis 1.18 – 1.20. Bilangan asamnya rendah, bilangan ester sekitar 140, titik cair sekitar 120 °C, serta larut dalam alkohol, eter, minyak lemak, dan
165
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
minyak atsiri, larut sebagian dalam kloroform, etil asetat, metanol, karbon disulfida, dan air (Coppen 1995).
Gambar 2.3 Resin jernang yang siap dipasarkan.
Menurut Toriq (2013), dracohordin merupakan komponen utama dan juga sebagai penciri jernang. Drakorodin merupakan senyawa flavonoid turunan antosianin, pemberi warna alami pada jernang. Berbagai manfaat senyawa ini dalam bidang kesehatan, meliputi potensi sebagai bahan obat secara biologis dan aktivitas farmakologis seperti antimikroba, antivirus, antitumor, dan aktivitas sitotoksik (Shi et al. 2009; Rondao 2012), bahan obat seriawan, sakit perut, maupun untuk mengatasi gangguan pencernaan (Rustiami et al. 2004; Soemarna 2009). Manfaat lainnya ialah sebagai bahan pewarna alami (Winarni et al. 2005; Soemarna 2009), bahan campuran kosmetik, bahan astringen, dan serbuk pasta gigi (Soemarna 2009). Buah ini tidak memiliki kandungan senyawa beracun (Shi et al. 2009). Di samping itu, juga digunakan sebagai bahan pewarna vernis, keramik, alat dari batu, kayu, rotan, bambu, kertas, dan cat. Resin jernang juga digunakan sebagai obat asma, sifilis, dan berkhasiat afrodisiak (Grieve 2006). Di dunia perdagangan, Jernang di kelompokkan berdasarkan tingkat kebersihannya. Badan Standarisasi Nasional (BSN) membedakan dan
166
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
mengelompokkan jernang dalam tiga jenis mutu, yaitu Mutu Super, Mutu A, dan Mutu B (Tabel 1). Parameter mutu suatu jernang didasarkan pada Kadar Air,Kadar Abu, Kadar Resin, Kadar Pengotor,dan Warna. Tidak jarang jernang yang diperdagangkan dicampur dengan resin lain bahkan batu bata merah untuk meningkatkan bobotnya. Pada dasarnya, parameter yang digunakan berdasarkan sifat fisis dan tidak kuantitatif, sehingga cenderung banyak penyimpangan dalam penetapan mutu. Parameter lainya didasarkan pada pengamatan visual dan kekasaran resin sehingga mutu ditetapkan secara subjektif. Rao et al. (1982) melaporkan melaporkan bahwa drakohorodin dan turunan nya adalah senyawa aktif dari jernang dan merupakan komponen utama seperti terlihat pada table 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang (SNI 1671:2010) (Anonim.2010) Persyaratan Jenis Uji Mutu Super
Mutu A
Mutu B
Kadar resin (%)
Min. 80
Min. 60
Min. 25
Kadar air (%)
Maks. 6
Maks. 8
Maks. 10
Kadar pengotor (%)
Maks. 14
Maks. 39
Maks. 50
Kadar abu (%)
Maks. 4
Maks. 8
Maks. 20
Titik leleh (oC)
Min. 80
Min. 80
-
Warna
Merah tua
Merah muda
Merah pudar
(Sumber : [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2010. Jernang. Standar Nasional Indonesia 1671-2010. Jakarta)
2.1
Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses penarikan senyawa dari tumbuh-
tumbuhan, hewan dan lain-lain dengan menggunakan pelarut tertentu. Dalam proses ekstraksi bahan dengan menggunakan pelarut organik akan dihasilkan
167
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
senyawa yang mempunyai tingkat kepolaran yang sama dengan pelarutnya (Harborne, 1987; Achmadi,1992). Ekstraksi bisa dilakukan dengan berbagai metode yang sesuai dengan sifat dan tujuan ekstraksi. Pada proses ekstraksi dapat digunakan sampel dalam keadaan segar atau yang telah dikeringkan, tergantung pada sifat tumbuhan dan senyawa yang akan diisolasi. Penggunaan sampel segar lebih disukai karena penetrasi pelarut yang digunakan selama penyaringan kedalam membran sel tumbuhan secara difusi akan berlangsung lebih cepat, selain itu juga mengurangi kemungkinan terbentuknya polimer berupa resin atau artefak lain yang dapat terbentuk selama proses pengeringan. Penggunaan sampel kering dapat mengurangi kadar air didalam sampel sehingga mencegah kemungkinan rusaknya senyawa akibat aktivitas anti mikroba. Tujuan dari ekstraksi ialah memisahkan suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan pelarut.
2.1.1 Macam Metode Ekstraksi Berdasarkan Prinsip Kerja 1. Maserasi Maserasi merupakan proses penyarian yang sederhana yaitu dengan cara merendam sampel dalam pelarut yang sesuai selama 3 - 5 hari. Prinsip kerja dari Maserasi, Pelarut akan menembus ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, sehingga akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka senyawa kimia yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan dari metode maserasi ialah Teknik pengerjaan dan alat yang digunakan sederhana serta dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa yang bersifat termolabil (dipengaruhi oleh suhu). 2. Sokletasi Sokletasi merupakan metode penyarian secara berulang- ulang senyawa bahan alam dengan menggunakan alat soklet. Sokletasi merupakan teknik
168
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
penyarian dengan pelarut organik menggunakan alat soklet. Pada cara ini pelarut dan sampel ditempatkan secara terpisah. Prinsip kerja dari Sokletasi, penyarian yang dilakukan berulang-ulang sehingga penyarian lebih sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Bila penyarian telah selesai maka pelarutnya dapat diuapkan kembali dan sisanya berupa ekstrak yang mengandung komponen kimia tertentu. Penyarian dihentikan bila pelarut yang turun melewati pipa kapiler tidak berwarna dan dapat diperiksa dengan pereaksi yang cocok. Keuntungan dari metode sokletasi ialah Sampel terekstraksi secar sempurna karena dilakukan berulang kali dan kontinu, Pelarut yang digunakan tidak akan habis karena selalu didinginkan dengan kondenser dan dapat digunakan lagi setelah hasil isolasi dipisahkan, Proses ekstraksi lebih cepat (waktu nya singkat), dan Pelarut yang digunakan lebih sedikit. 3. Fraksinasi Fraksinasi
merupakan
teknik
pemisahan
atau
pengelompokan
kandungan kimia ekstrak berdasarkan kepolaran. Pada proses fraksinasi digunakan dua pelarut yang tidak bercampur dan memiliki tingkat kepolaran yang berbeda. Tujuan fraksinasi adalah memisahkan senyawa-senyawa kimia yang ada di dalam ekstrak berdasarkan tingkat kepolarannya. Senyawa-senyawa yang bersifat non polar akan tertarik oleh pelarut non polar seperti heksan & pertolium eter. Senyawa yg semipolar seperti golongan terpenoid dan alkaloid akan tertarik oleh pelarut semi polar seperti etil asetat & DCM. Senyawasenyawa yang bersifat polar seperti golongan flavonoid dan glikosida akan tertarik oleh pelarut polar seperti butanol dan etanol. 2.2
Hubungan Kepolaran Pelarut Dengan Ekstraksi Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang
perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki kepolaran yang sama akan lebih mudah tertarik / terlarut dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang sama (like dissolve like) . Berkaitan dengan polaritas dari pelarut, terdapat tiga golongan pelarut yaitu:
169
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
2.2.1 Pelarut Polar Pelarut Polar, Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak Senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar cenderung universal digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap dapat menyaring Senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Salah satu contoh pelarut polar adalah : Air, Metanol, Etanol. 2.2.2 Pelarut Semipolar Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan Senyawa-senyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah : Aseton, Etil Asetat, Kloroform. 3.
METODE PENELITIAN
Tahap yang dilakukan untuk proses ini berupa persiapan awal yang ingin dilakukan dengan memilih buah jernang yang telah dibersihkan kemudian dilakukan proses pemblenderan sebanyak 100 gram setiap sampel hingga buah jernang menjadi bubur kasar yang masih mengandung resin. .
Gambar 3.1. Buah jernang.
3.1.
Ekstraksi (maserasi) menggunakan pelarut Air. Ekstraksi jernang metode maserasi merupakan salah satu ekstraksi cara basah
dengan mengunakan pelarut untuk mendapatkan filtrat yang mengandung resin jernang, ekstrasi basah dengan menggunakan pelarut pada penellitian ini dilakukan dengan menambahkan bubur jernang ditambahkan masing masing dengan pelarut polar (aquadest), Pelarut semi polar (Etil Asetat) dan pelarut non polar (n-Heksana) sebagai pelarut resin untuk di ekstraksi dalam beaker glass 1000 ml., dengan masing
170
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
masing sessuai perbandingan jernang : pelarut yaitu 1:1, 1:2 dan 1: 3, Larutan tersebut diaduk aduk sampai cairan bewarna merah pekat . Proses ekstraksi dilakukan dengan masearasi selama 72 jam pada suhu kamar. 3.2 Analisa Resin sesuaia SNI 1671:2010. . Hasil pemisahan cairan dengan bubur kasar, cairan tersebut disaring dengan saringan kasar untuk memisahakan buah jernang dengan cairan dan di destilasi sehingga diperoleh produk kering dan dianalisa.
3.2.1.Penentuan rendemen resin jernang Dalam penentuan kadar resin,contoh yang diuji harus cukup kering dan biasanya digunakan contoh dari bekas penentuan kadar air. Jika contoh masih basah maka selain memperlambat proses ekstraksi,air dapat turun kedalam labu suling sehingga akan mempersulit penentuan berat tetap dari labu suling.
Rendemen resin (%) =
3.2.2. Penentuan Kadar air Kadar air adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan. Setiap bahan bila diletakkan dalam udara terbuka kadar airnya akan mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara disekitarnya. Kadar air ini disebut dengan kadar air seimbang. Setiap kelembaban relatif tertentu dapat menghasilkan kadar air seimbang tertentu pula. Dengan demikian dapat dibuat hubungan antara kadar air seimbang dengan kelembaban relative. Prinsipnya menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Kadar air =
h
3.2.3.Penentuan kadar abu Penetapan kadar abu Abu adalah sisa pembakaran sempurna bahan organik (residu yang tidak menguap bila suatu bahan dibakar dengan cara tertentu). Secara kimia abu dapat didefinisikan sebagai oksida logam dan bahan-bahan lain yang tidak dapat dibakar., abu merupakan indicator tingkat derajat kebersihan dimana semakin besar tingak abunya maka tingkat pengotornya juga tinggi. Secara alami didalam resin jernang terdapat logam. Logam-logam ini merupakan komponen hara tumbuhan yang
171
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
merupakan komponen molekul penting dalam reaksi biokimiawi tumbuhan. Logamlogam tersebut merupakan abu fisiologis. Pada saat penyiapan, buah jernang dapat terkotaminasi oleh tanah, pasir, dan sebagainya. Pasir merupakan senyawa silikat yang tidak terbakar. Senyawa silikat ini tidak larut asam, sehingga merupakan komponen penyusun abu tidak larut asam. Oleh karena itu, kadar abu dalam limbah jernang harus ditentukan untuk melihat kadar senyawa pengotor yang terkandung di dalamnya. Bila kadar abu pada limbah jernang melebihi persyaratan yang ditentu maka hasil resinnya tersebut tidak boleh digunakan dimanfaatkan resinya. Kadar abu =
3.2.4.
Penentuan Titik Leleh Titik leleh adalah suhu yang teramati ketika zat padat (jernang) mulai
meleleh sampai semua partikel berubah menjadi cair, dimana temperatur zat padat (jernang) berubah ujud menjadi zat cair pada tekanan suatu atmosfer. Untuk penentuan titik leleh diperlukan sampel jernang seberat 1 gram dan dimasukknan kedalam suatu tabung kaca kapiler. Tabung yang berisi sampel jernang dipasang pada alat penentu titik leleh. Setelah alat dijalankan, suhu pada saat sampel mengalami perubahan bentuk dari fase padat lunak ke fase cair dicatat sebagai titik leleh jernang. 4.
HASIL DAN DISKUSI
Dari data hasil pengamatan pengolahan jernang dapat dilihat dalam Tabel 4.1. Pengukuran dan pengamatan penelitian ini didasarkan kadar resin (%), kadar air (%),kadar pengotor (%). Dan kadar abu (%). Metode analisis menggunakan tiga jenis pelarut Air (Polar), Etil Asetat (Semipolar), dan Heksana (Nonpolar). Dengan perbandingan sampel dan pelarut 1:1, 1:2, dan 1:3.
172
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Jenis Pelarut
Analisa Sifat Fisiko-Kimia
Jernang : Pelarut (mL)
Waktu Maserasi (Jam)
Kadar Resin (%)
Kadar air (%)
Kadar Pengotor (%)
Kadar abu (%)
8.5
4.55
2.7
5.8
10.5
6.75
6.5
8.5
1:3
12.5
9.8
9.4
10.6
1:1
31.5
1.9
1.9
3.5
34.5
2.55
3.5
4.9
1:3
37.5
4.15
3.6
5.8
1:1
2.5
1.85
1.5
2.25
3.5
3.25
2.75
3.45
5.5
6.65
4.5
7.55
1:1 Air (Polar)
Etil Asetat (Semi Polar)
Heksana (Nonpolar)
72
1:2
72
1:2
72
1:2 1:3
Kadar Resin (%)
4.1. Kadar Resin(%).
!# !# !# "## "## "## !! !! !! ! ! !# ! " "## " "
Volume Pelarut (mL)
Gambar 4.1 Perbandingan kadar resin dari pelarut polar (Air), Semipolar (Etil asetat) dan Nonpolar (Heksana) terhadap volume pelarut
kadar resin paling banyak diperoleh dari jernang yang dilarutkan dengan pelarut semipolar (37.5%). Dan kadar resin paling sedikit diperoleh dari jernang yang dilarutkan dengan pelarut nonpolar (2.5%). Dengan demikian senyawa yang terkandung pada resin jernang banyak mengandung senyawa semipolar dan sedikit senyawa non polar. Dalam proses ekstraksi bahan dengan menggunakan pelarut organik akan dihasilkan senyawa yang mempunyai tingkat
kepolaran
yang
sama
dengan
pelarutnya
(Harborne,
1987; 173
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Achmadi,1992). Berdasarkan perbandingan jernang dengan pelarut , diperoleh resin yang lebih banyak pada perbandingan 1:3 hal ini di sebabkan semakin banyak volume pelarut yang digunakan maka pelarut akan dengan mudah menembus membran sel buah jernang untuk terjadinya difusi, sehingga lebih banyak ekstrak yang keluar dari membran sel jernang tersebut 4.2.Kadar Air(%
Kadar Air (%)
!! !! ! " !! ! ! !# ! " ! "## " ! #"## #"## #"## (mL) Volume Pelarut
Gambar 4.2. perbandingan kadar Air dari pelarut polar (Air), Semipolar (Etil
asetat) dan Nonpolar (Heksana) terhadap volume pelarut. kadar air paling banyak diperoleh dari resin jernang yang dilarutkan dengan pelarut Polar (9.8%). dan kadar air paling sedikit diperoleh dari resin jernang yang dilarutkan dengan pelarut Semipolar (1.9%). Tingginya kadar air disebabakan karena memang menggunakan pelarut polar yaitu air sebagai pelarut sehingga banyak kadar air terikat yang terkandung dalam resin jernang.
Kadar Pengotor(%)
4.3. Kadar Pengotor (%) !!
!! ! ! ! " !! ! ! #"## ! #"## #"## #"## !" " (mL) Volume Pelarut
Gambar 4.3. perbandingan kadar Pengotor dari pelarut polar (Air), Semipolar (Etil asetat) dan Nonpolar (Heksana) terhadap volume pelarut.
174
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
kadar pengotor paling banyak diperoleh dari resin jernang yang dilarutkan dengan pelarut Polar (9.4%) dan kadar pengotor paling sedikit diperoleh dari resin jernang yang dilarutkan dengan pelarut Semipolar (1.9%). Banyaknya kadar pengotor dalam resin jernang disebabkan karena adanya senyawa lain yang bukan senyawa penciri jernang ikut terekstraksi..
4.4.Kadar Abu(%)
Kadar Abu (%)
!! !! ! " !! ! ! #"## #"## ! ! !# ! #"## " "## "
Volume Pelarut (mL)
Gambar 4.4. perbandingan kadar Abu dari pelarut polar (Air), Semipolar (Etil asetat) dan Nonpolar (Heksana) terhadap volume pelarut.
Kadar abu paling banyak diperoleh dari resin jernang yang dilarutkan dengan pelarut Polar (10.6%) dan kadar abu paling sedikit diperoleh dari resin jernang yang dilarutkan dengan pelarut nonpolar (2.25%). Kadar abu berkorelasi positif dengan kadar pengotor, di mana semakin tinggi kadar pengotor maka semakin tinggi pula kadar abunya ini mungkin diakibatkan adanya kulit dan sisik dari buah jernang yang ikut saat pengecilan ukuran buah jernang.(Waluyo, dkk. 2004).
4.5.
Perbandingan
mutu
resin
jernang
yang
diperoleh
dengan
SNI:1671:2010. Tabel 4.2 Kecocokan kualitas resin jernang hasil penelitian dengan kelas mutu SNI (SNI. 1671:2010)
175
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016 Pelarut yang digunakan No
Jenis Uji
Polar (Air)
1 2 3 4
Kadar Resin (%) Kadar Air (%) Kadar Pengotor (%) Kadar Abu (%)
Semipolar (Etil Asetat)
8.5
31.5
4.55
1.9
2.7
1.9
5.8
3.5
Persyaratan Mutu jernang
Nonpolar
Mutu
(Heksana)
Super
Mutu A
Mutu B
2.5
Min. 80
Min. 60
Min. 25
1.85
Maks. 6
Maks.8
Maks. 10
1.5
Maks. 14
Maks. 39
Maks. 50
2.25
Maks. 4
Maks. 8
Maks. 20
Tabel diatas menunjukkan data hasil ekstraksi dengan metode maserasi pada pengolahan jernang untuk menghasilkan resin jernang. Dari tabel tersebut hanya jernang yang dilarutkan dalam pelarut semipolar (31.5%) yang sesuai dengan persyaratan mutu resin jernang (Mutu B). Dengan demikian senyawa yang terkandung pada resin jernang banyak mengandung senyawa semipolar dan sedikit senyawa non polar. Dalam proses ekstraksi bahan dengan menggunakan pelarut organik akan dihasilkan senyawa yang mempunyai tingkat
kepolaran
yang
sama
dengan
pelarutnya
(Harborne,
1987;
Achmadi,1992). 5.KESIMPULAN ·
Metode maserasi: Semakin banyak pelarut yang digunakan semakin banyak % kadar resin yang diperoleh dengan kualitas yang lebih bagus.
·
Hanya jernang yang menggunakan dalam pelarut semipolar ( resin 37.5%) yang sesuai dengan persyaratan mutu resin jernang (Mutu B) sesuai dengan SNI:1671:2010.
6.Daftar Pustaka Anonim. 2010. Getah jernang. SNI 1671:2010. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta Bambang W, 2010. Dragon’s blood extraction at various seed maturity levels and their physico-chemical properties (RPI–5), Funded under the Rattan Research
176
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Grant Program of the ITTO-Philippines-ASEAN Rattan Project (PD 334/05 Rev. 2 (I) Coppen, J.J.W. 1995. Gum, resins, and latexes of plant origin. Non Wood Forest Products. No.6. FAO,Roma. Gupta, D.; B. Bleakley and R. K. Gupta. 2008. Dragon's blood : Botany, chemestry and t h e r a p e u t i c u s e s. Jou r n a l o f Ethnopharmacology, 115(3) : 361380. Grieve M. 2006. Dragon’s Blood [Internet]. [diunduh 2014 Jan 21]. Tersedia pada: http//www.botanical.com/botanical/mgmh/d/dragon20.html. Rao,G.S.R.; M.A. Gehart; R.T. Lee; L.A. Mitscher and S. Drake. 1982. Antimicrobial agents from higher plants: Dragon's blood resin. Journal of Natural Products 45:646-648 Risna, R. A. 2006. Dragon's blood tumbuhan obat yang menjanjikan dari Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Warta Kebun Raya, Pusat Konservasi 6.No. 1 : 45 – 49 Shi, J.; R. Hu; Y. Lu; C. Sun and T. Wu. 2009. Rondao RJBL. 2012. Dragon’s blood [disertasi]. Coimbra (PT): University of Coimbra. Rustiami H, Setyowati FM, Kartawinata K. 2004. Taxonomy and uses of Daemonorops draco (Willd.). J Trop Ethnobiol. 1(2):65-75. Soemarna Y. 2009. Ekologi dan teknik perkecambahan dan pembibitan rotan jernang pulut (Daemonorops draco (Willd.) Blume). JPHH.6(1):3-39. Sumadiwangsa, 1973; Sumadiwangsa 2000 dan Coppen 1995 dalam Waluyo, 2008). (Anonim, 2006;Grieve, 2006). Sumarna,y.,2005
China
Butuh
400
ton
jerenang
rotan
dari
Indonesia.www.kapanlagi.com. Diakses pada tanggal 6 Desember 2014
Shi, J.; R. Hu; Y. Lu; C. Sun and T. Wu. 2009. Single-step purification of dracorhodin from dragon's blood resin of using high-speed counter-current chromatography combined with pH modulation. J.Sep.Sci. 32:4040-4047.
Purwanto Y, Polosakan Y, Susiarti S, Walujo EB. 2005. Ekstraktivisme jernang (Daemonorops spp.) dan kemungkinan pengembangannya: studi kasus di Jambi, Sumatra, Indonesia. Laporan Teknik Bidang Botani Puslitbang LIPI. Bogor (ID): LIPI.
177
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Toriq, U. 2013. Senyawa Kimia Penciri Jernang untuk Pembaruan Parameter Standar Nasional Indonesia. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. (Skripsi).
Winarni I, Waluyo TK, Hastoeti P. 2005. Sekilas tentang jernang sebagai komoditi yang layak dikembangkan. Di dalam: Penguatan Industri Kehutanan Melalui Peningkatan Efisiensi, Mutu, dan Diversifikasi Produk Hasil Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor, 14 Desember 2004. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. hlm 173-177.
178
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
PENGARUH SUHU DAN KONSENTRASI NaOH PADA PEMBUATAN KITOSAN DARI TULANG SOTONG (SEPHIA OFFICINALIS) Hayati Putri Melati Ginting 1, Suryati1, Meriatna1 1
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh Laboratorium Teknik Kimia Jl.Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353 *)Penulis korespondensi:
[email protected] Abstrak Sotong merupakan komoditas andalan sektor perikanan yang menghasilkan limbah yang cukup banyak. Limbah tersebut berpotensi menjadi pencemar lingkungan. Namun disisi lain, limbah berupa tulang sotong yang banyak mengandung kitin tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kitosan. Salah satu pemanfaatan kitosan adalah sebagai antibakteri. Muatan positif kitosan diperkirakan dapat berinteraksi dengan permukaan sel bakteri yang bermuatan negatif, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan bakteri. Pembuatan kitosan dari tulang sotong (Sephia Officinalis)dilakukan melalui tahapan proses deproteinasi menggunakan larutan NaOH 1N, proses demineralisasi menggunakan larutan HCl 1N, dan pada proses deasetilasi dalam penelitian ini dilakukan variasi suhu yaitu 75ºC, 85ºC, 95ºC dan konsentrasi NaOH 10N,11N,12N dengan waktu proses masing-masing selama 1 jam. Produk yang didapat akan melewati beberapa analisis berupa uji gugus menggunakan FT-IR, viskositas, kadar air, kadar abu, rendemen,serta kelarutan dalam asam asetat. Dari hasil peragaman penelitian diperoleh produk yang memenuhi karakteristik kitosan dari standar yang telah ditentukan yaitu pada proses pembuatan dengan suhu 95ºC dengan konsentrasi NaOH 12N, nilai derajat deasetilasi yang diperoleh sebesar 79,98% melalui analisis FT-IR, viskositas sebesar 308,08Csp, kadar air 2%, kadar abu 2,15%, rendemen sebesar 5,08%, dan persentase kelarutan dalam asam asetat1,9%. Kata Kunci: Kitosan, sotong, suhu, konsentrasi 1. PENDAHULUAN Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang berorientasi ekspor adalah sotong. Pada umumnya sotong dimanfaatkan tanpa kepala dan tulang bagian dalam. Hal itu menyebabkan limbah yang berasal dari sotong juga bervariasi berkisar antara 65-85% dari berat sotong, tergantung dari jenisnya. Limbah sotong
179
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
padat biasanya dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak dan sebagian lagi belum dimanfaatkan (Willey dkk., 2000). Sotong atau ikan nus adalah binatang yang hidup di perairan, khususnya sungai maupun laut atau danau. Sotong merupakan molusca yang termasuk kelas cephalopoda (kaki hewan terdapat di kepala) yang terdiri dari tulang internal yang terletak didalam mantel, berwarna putih, berbentuk oval dan tebal, serta terbuat dari kapur. tubuh relatif pendek menyerupai kantung. Limbah padat ini merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik pengolahan. Selama ini limbah tersebut dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai pakan dan pupuk dengan nilai ekonomi yang rendah. Seiring dengan semakin majunya ilmu pengetahuan kini limbah sotong dapat dijadikan bahan untuk membuat kitin dan kitosan (Muzarelli, 1977). Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa pengaruh variabel bebas suhu dan konsentrasi pelarut NaOH pada pembuatan kitosan dari tulang sotong dan diharapkan dapat menghasilkan produk kitosan terbaik yang sesuai dengan karakteristiknya. 2. Tinjauan Pustaka Kitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa yang mempunyai rumus kimia poli (2-asetamida-2-dioksi-!-D-Glukosa) dengan ikatan !-glikosidik (1,4) yang menghubungkan antar unit ulangnya. Struktur kimia kitin mirip dengan selulosa yang hanya dibedakan oleh gugus fungsi yang terikat pada atom C2. Jika pada selulosa gugus yang terikat pada atom C2 adalah OH, maka pada kitin yang terikat adalah gugus asetamida. Kitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya melalui proses deasetilasi disebut kitosan. Kitosan tidak larut dalam pelarut alkali karena adanya gugus amina (Kim et al., 2000). Kitosan adalah poly-D-glukosamine (tersusun lebih dari 5000 unit glukosamin dan asetilglukosamin) dengan berat molekul lebih dari satu juta dalton, merupakan dietary fiber (serat yang bisa dimakan) kedua setelah selulosa. (Simunek et al., 2006). Proses utama dalam pembuatan kitosan, meliputi penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses kimiawi yang disebut 180
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
deproteinasi
dan
demineralisasi
yang
masing-masing
dilakukan
dengan
menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, kitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa. Karakteristik fisik-kimia kitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut kitosan yang baik adalah asam asetat. Saat ini terdapat lebih dari 200 aplikasi dari kitin dan kitosan serta turunannya di industri makanan, sistem proses makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, dan lingkungan (Balley et al, 1977). Kitosan (2-asetamida-deoksi-D-glukosa) memiliki gugus amina bebas yang membuat polimer ini bersifat polikationik, sehingga polimer ini potensial untuk diaplikasikan dalam pengolahan limbah, obat-obatan, pengolahan makanan dan bioteknologi (Savant et al., 2000). Kitosan merupakan salah satu resin alami yang dapat dibuat dari tulang sotong. Kitosan merupakan polimer alami yang bersifat non toksis, lebih ramah lingkungan dan mudah terdegradasi secara alami. Kitosan juga digunakan pada produk industri pangan, kosmetik, dan pertanian. Sedangkan dalam bidang pengelolaan lingkungan kitosan dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang dihasilkan oleh limbah industri diantaranya limbah dari industri percetakan (Willey dkk., 2000).
3. METODOLOGI PENELITIAN Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah tulang sotong yang didapatkan dari pedagang di pasar ikan Pusong, Lhokseumawe, Natrium Hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 1N, 10N, 11N, 12N, asam Klorida (HCl) 1M, asam Asetat (CH3COOH) 1% digunakan sebagai reagen standar pro analisa. Penelitian ini meliputi dua tahapan yaitu pembuatan kitosan dari limbah tulang sotong dan pengujian karakteristik kitosan menggunakan Spektrofotometer FT-IR. Secara garis besar pembuatan kitosan meliputi : Tulang sotong dicuci dan dikeringkan, lalu dihaluskan dan diayak dengan lolos ayakan 50 mesh, dilanjutkan pada proses Deproteinasi (tahap penghilangan protein) hasil endapan dicuci dengan air lalu dikeringkan, dilanjutkan kembali 181
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
pada proses Demineralisasi (penghilangan mineral) hasil endapan kembali dicucian dengan air lalu dikeringkan, pada tahap akhir proses Deasetilasi (penghilangan gugus asetil), hasil endapan dicuci dengan air lalu dikeringkan, dan terbentuk produk kitosan. Rangkaian alat percobaan digunakan dalam deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Rangkaian alat ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Rangkaian alat pembuatan kitosan. 3.1 Pembuatan Kitin Deproteinasi Proses ini dilakukan pada suhu 80°C dengan menggunakan larutan NaOH 1N dengan perbandingan serbuk tulang sotong dengan pelarut NaOH 1:10 (w/v) sambil diaduk selama 60 menit. Pencucian Dicuci, sampai pH netral dilakukan penyaringan, dikeringkan endapan menggunakan oven. Demineralisasi Penghilangan mineral dilakukan pada suhu 30°C dengan menggunakan larutan HCl 1M dengan perbandingan sampel dengan pelarut HCl 1:15 (w/v) sambil diaduk selama 120 menit. Kemudian disaring untuk diambil endapannya.
182
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
3.2 Deasetilasi Kitin menjadi Kitosan Kitin yang telah dihasilkan pada proses diatas sebanyak 20 gr dimasukkan dalam larutan NaOH dengan konsentrasi 10N, 11N, 12N dengan perbandingan 1:10 (w/v). Campuran direaksikan pada suhu 75ºC, 85ºC, 95ºC, sambil diaduk dengan kecepatan konstan selama 60menit. Hasilnya berupa slurry disaring, endapan dicuci dengan air lalu. Selanjutnya kitosan yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode FT-IR untuk mengetahui Derajat Deasetilasi (DD). Derajat deasetilasi kitosan ditentukan dengan metode baseline berdasarkan spectrum FT-IR, dengan rumus: %DD = 1- [(A1655/A3450)] x 1/1,33] 100% Keterangan: DD
= derajat deasetilasi (%)
A1655 amide
= log 10 (DF2/DE)
A3450 hydroxyl = log 10(AC/AB)
(Sumber :Artikel-hargono-tkundip)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan yaitu Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH pada Pembuatan Kitosan dari Tulang Dalam Sotong (Sephia Officinalis) selama beberapa bulan di Laboratorium Teknik Kimia Universitas Malikussaleh dan dan perlakuan tahap pengujian di Laboratorium Universitas Syiah Kuala. Perolehan hasil data dari beberapa pengujian kitosan yang dilakukan berupa penentuan derajat deasetilasi menggunakan Spektrofotometri FT-IR perhitungan viskositas, persentase kadar air, kadar abu, perhitungan rendemen, analisa kelarutan dalam CH3COOH 1% (w/v) maka didapatkan hasil sebagai berikut: .
183
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 4.1. Hasil perhitungan uji kitosan Suhu (ºC) 75
85
95
Konsentrasi Uji NaOH viskositas (N) (Csp) 10 86,98 11 102,97 12 113,76 10 118,08 11 123,22 12 138,06 10 11 12
183,47 204,67 308,08
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
Rendemen (%)
20 10 1 3 2 3
3,48 3,36 3,30 3,34 3,24 3,17
8.27 5,54 3,53 5,90 3,99 6,59
Uji Kelarutan (%) 5,3 4,2 2,2 3,4 6,6 3,3
2 2 2
3,00 2,28 2,15
5,20 7,22 5,08
2,3 2,2 1,9
4.1 FT-IR Kitosan pada Suhu Operasi 95ºC dengan Konsentrasi NaOH 12N.
Gambar 4.1. Grafik Hasil Uji FT-IR Kitosan %DD = 1- [(A1636,52/A3504,42)]x 1/1,33]x100% = 79,98% Dari pembacaan grafik pada Gambar 4.1 dan melakukan perhitungan derajat deasetilasi menggunakan data tabel pita serapan gugus hasil analisa. Spektrum FT-IR untuk kitosan maka diperoleh derajat deasetilasi sebesar 79,98% pada suhu proses 95ºC dengan konsentrasi NaOH 12N
184
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
FTIR (Fourier Transform Infra Red) adalah salah satu metode baku untuk mendeteksi molekul senyawa melalui identifikasi gugus fungsi penyusun senyawa. Untuk membuktikan bahwa hasil penelitian ini adalah kitosan, maka dilakukan karakterisasi serapan gugus fungsi khas kitosan dengan FTIR. Setiap gugus fungsi yang berbeda, seperti O-H, C-H, atau C=C, menyerap dalam range atau frekuensi yang sempit, sehingga gugus fungsi dalam molekul dapat diidentifikasi melalui adanya pita serapan dalam range tertentu pada spektrum inframerah. 4.2 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Viskositas Kitosan Nilai viskositas terbaik kitosan adalah 309Csp (Muzarelli,1985). Grafik hasil uji viskositas kitosan pada seluruh peragaman penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Viskositas (Csp)
350 300 250
Konsentrasi Pelarut NaOH
200 150
10N 11N 12N
100 50 0 70
75
80
85
Suhu (ºC)
90
95
100
Gambar 4.2 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Viskositas Kitosan Berdasarkan Gambar 4.2 terlihat bahwa viskositas kitosan yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 86,98–308,08 Csp. Ragam uji coba dilakukan untuk mengamati hubungan antara suhu dan konsentrasi NaOH sebagai pelarut terhadap viskositas kitosan. Rigiditas/kekakuan rantai kitosan dalam larutan menurun dengan meningkatnya suhu pemanasan serta konsentrasi pelarut (NaOH) dalam proses deasetilasi. Hal ini disebabkan adanya ikatan hidrogen intramolekuler yang terbatasi oleh rotasi gugus asetamida dan gugus hidroksil dari cincin glukopiranosa dalam rantai kitosan yang kemudian gugus asetamida
185
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
berubah menjadi gugus amina. Peningkatan viskositas kitosan berhu berhubungan dengan peningkatan densitas dan berbanding lurus dengan nilai viskositas kkitosan. Besar jumlahh viskositas yang diperoleh juga dipengaruhi dengan degr degradasi polimer imer (depolimerisasi) dalam proses pendegradasi kitin yang telah mengisolasi kitin menjadi kitosan (Wang et al,1991). Hasil analisis keragaman menunjukkan n pada suhu proses 75ºC 75 dengan konsentrasi rasi NaOH 10N memiliki nilai viskositas yang rendah yaitu sebesar sebes 86,98Cps ps sedangkan untuk suhu proses 95ºC dengan konsentrasi NaOH 12N didapatkan viskositas sebesar 308,08Cps dan hasil pada run ini mendekati standar mutu viskositas kitosan menurut Muzarelli li (1985) dalam Hargono (2008) (2008 yaitu sebesar 309 Cps. 4.3 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kadar Air Kitosan Menurut enurut Muzarelli dalam Hargono (2008), kadar air standar bagi kitosan komersil ersil adalah maksimal 22-10%. Analisa lisa yang dilakukan terhadap kadar air bertujuan untuk mengetahui ngetahui kandungan kadar
air dalam kitosan. Umumnya
kandungan air dalam diperbolehkan dalam kitosan adalah sebesar 2%, sebab terdapatnya kandungan air dalam kitosan adalah bentuk kristal dari kitosan yang menangkap molekul air air.. Kitosan merupakan biopolimer higrokopis sehingga se terjadi penyerapan air ketika kitosan dibiarkan dalam keadaan terbuka. Grafik hasil uji kadar air kitosan pada seluruh peragaman penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.3
Kadar air (%)
25 20 15 10
10N 11N 12N
5 0 70
75
80
85 Suhu (ºC) 90
95
100
Gambar 4.3 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kadar Air Kitosan
186
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Berdasarkan Gambar 4. 4.3 terlihat bahwa kadar air dalam kitosan yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 1–20%. Hasil analisis keragaman menunjukkan pada suhu proses 75 75ºC dengan konsentrasi trasi NaOH 10N memiliki nilai kadar air sangat tinggi sebesar 20%, sedangkan untuk suhu prose proses 95ºC dengan konsentrasi NaOH 12N didapatkan kadar air sebesar 2%. Menurut Muzzarelli uzzarelli (1985) dalam Puspawati dan. Simpen, (2010) 0) standar kadar air dalam kitosan 2-10% 10% dan kitin memiliki kadar air <10%. Jika kadar air yang terkandung dalam produk melebihi 10% 10%, makaa dapat dikatakan produk masih merupakan kitin yang belum terdeasetilasi secara sempurna. 4.4 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kadar Abu Kitosan. Kadar adar abu diketahui dari sampel yang tak terabukan terabukan. Kadar abu juga dapat digunakan sebagai parameter dari kemurnian produk. Kadar abu terbentuk dari hasil residu pembakaran anorganik atau kandungan mineral dari produk. komponen-komponen komponen tersebut terdiri erdiri dari kalsium, natrium, besi, magnesium dan mangan. Abu yang terbentuk berwarna putih abu-abu, abu, berpartikel halus hal dan mudah dilarutkan. Grafik hasil uji kadar abu kitosan pada seluruh peragaman
Kadar Abu (%)
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.4.
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
10N 11N 12N 70
75
80
85
90
95
100
Suhu (ºC) Gambar 4.4 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kadar Abu Kitosan. Berdasarkan Gambar 4.4 kadar abu yang diperoleh dari penelitian berkisar be dari 3,48-2,15%. ,15%. Kadar adar abu yang paling rendah terdapat pada suhu proses 95ºC
187
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
dengan konsentrasi NaOH 12N yaitu sebesar 2,15%. Sedangkan kadar abu yang paling tinggi terdapat pada suhu proses 75ºC dengan konsentrasi NaOH 10N 10 yaitu sebesar 3,48%. Kadar abu yang diperoleh peroleh dari hasil peragaman analisis penelitian ini melebihi Standar Nasional Indonesia (SNI), 200 2008 8 dan Muzarelli(1985), Muzarelli( yang mana maksimum kadar abu yang dibolehkan adalah 1-2%. 2%. Perbedaan hasil yang diperoleh disebabkan oleh proses demineralisasi tidak berjalan dengan baik. 4.5 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kelarutan Kitosan Kitosan merupakan senyawa yang larut dalam CH3COOH, HNO3, dan H3PO4 dan tidak larut dalamair (H2O) dan pelarut-pelarut pelarut organik, alkali dan asam-asam asam mineral pada pH di atas 6,5. Kelarutan kitosan dapat terjadi terja dengan perlakuan berbeda pada setiap zat, menurut Muzarelli dalam Kyoon No et al (2000). untuk asam formiat dan asam asetat dalam 1% akan menyisakan endapan,sedangkan untuk melarutkan asam sitrat membutuhkan konsentrasi 20% diperlukan tambahan perlakuan seperti distirer irer dan dipanaskan dan dapat melarutkan kitosan pada sebagia sebagian terbent n kecil setelah beberapa waktu akan terbentuk endapan an putih yang menyerupai jelly (Kyoon No et al,, 2000 ). Grafik hasil uji kelarutan kitosan dalam asam asetat ((CH3COOH) pada seluruh
peragaman
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.5 7
Kelarutan (%)
6 5 4 3 10N 11N 12N
2 1 0 70
75
80
85
90
95
100
Suhu (ºC) Gambar 4.5 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi NaOH terhadap Kelarutan Kitosan. Berdasarkan Gambar 4.5 dapat dilihat dari hasil penelitian menunjukkan kelarutan kitosan dari tulang sotong relatif lebih tinggi yaitu berkisar dari 5,3188
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
1,9% dibandingkan dengan standar kelarutan dalam larutan asam (Muzarelli, 1985) 5) yaitu sebesar <1%. Kelarutan dengan nilai terkecil terdap terdapa terdapat pada suhu proses 95ºC C dengan konsentrasi NaOH 12N yaitu sebesar 1,9%. 1,9% Sedangkan kelarutan dengan nilai tinggi terdapat pada suhu proses 75ºC dengan konsentrasi NaOH 10N yaitu sebesar 5,3%. Kelarutan juga berhubungan hubungan erat dengan derajat deasetilasi yang diperoleh. Proses deasetilasi akan memotong motong gugus asetil pada pa kitin dan menyisakan gugus amina. Adanya ion H+ dan gugus karboksil pada amina memudahkan interaksi dengan asam encer seperti asam asetat ase melalui ikatan hidrogen. Namun kitosan tidak dapat larut dalam air, kecuali dengan substitusi. Sehingga dapat dipastikan dengan nilai hampir mendekati standar kelarutan kitosan maka derajat deasetilasi yang diperoleh aka akan tinggi dan hal ini berbanding lurus dengan sample yang memiliki struktur kitosan. 4.6 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi terhadap Rendemen Kitosan Rendeman merupakan persentase berat kitosan yang didapat dari tahapan tahap proses deproteinasi, demineralisasi hingga deasetilasi kitin. Dari seluruh hasil produk kitosan pada penelitian, maka diperoleh rendemen berupa graf grafik yang
Rendemen (%)
dapat dilihat pada Gambar 4.6 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
10N 11N 12N 70
75
80
85
90
95
100
Suhu (ºC) Gambar 4.6 Pengaruh Suhu dan Konsentrasi terhadap Rendemen Kitosan pa Pada Gambar 4.6 terlihat bahwa rendemen kitosan yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 5,08–8,27%. %. Pengujian terhadap suhu serta konsentrasi entrasi NaOH sebagai pelarut dalam proses deasetilasi berpengaruh sangat 189
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
besar terhadap rendemen kitosan yang dihasilkan. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa proses deasetilasi pada suhu 95ºC dengan konsentrasi NaOH 12N menghasilkan rendemen paling kecil yaitu 5,08%. Hubungan antara suhu proses serta konsentrasi NaOH dengan jumlah kitosan yang dihasilkan berpengaruh pada tingkat kemurnian kitosan yang dihasilkan. Jumlah rendemen yang semakin kecil disebabkan pencucian hingga tahap netral serta protein dan mineral yang terkandung dalam kitin diharapkan telah terdegradasi secara baik pada proses deproteinasi dan demineralisasi serta pross deasetilasi. Dapat dilihat pada Suhu 75ºC dengan konsentrasi NaOH 10N jumlah rendemen dari kitosan yang dihasilkan sebesar 8,27% dan ini merupakan hasil rendemen terbesar. Dalam peragaman analisis, hal ini disebabkan masih banyak terkandung mineral-mineral dalam kitin seperti CaCO3 yang diketahui massa jenis lebih besar dibandingkan kitosan dan produk masih berupa kitin yang belum tersintetis secara sempurna. 5. Simpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa hasil kitosan terbaik yang diperoleh ditemukan pada pada suhu proses 95ºC dengan konsentrasi NaOH 12N. dengan kadar air sebesar 2%,kadar abu 2,15% dan derajat deasetilasi sebesar 79,98%. 6. Daftar Pustaka Balley, J.E., and Ollis, D.F., 1977. Biochemical Engineering Fundamental, Mc. Graw Hill Kogakusha, ltd., Tokyo. Hargono, 2008. Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. Availabelfrom.tumoto.net/ 70207134/hargono.pdf. Kim, S.Y., S.M. Cho, Y.M. Lee, and S.J. Kim. 2000. Thermo and pH responsive behaviours of graft copolimer and blend based on chitosan and Nisopropylacrylamide. Journal of Applied Polymers Science 78: 1381-1391. Kyoon No, Meyers SP, 1997. Preparation of Chiti an Chitosan. dalam: Muzzarelli RAA, Peter MG (eds.). Chitin Handbook. European Chitin Society. Italy. Muzzarelli, R.A.A., 1977. Chitin. Perngam o n Press, Oxford, New York.
190
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Muzzarelli, R.A.A., 1985. Chitin in the Polysaccharides, vol. 3, pp. 147, Aspinall (ed) Academic press Inc., Orlando, San Diego.No.3, Madrid, Spain.
Puspawati, N.M., dan I.N. Simpen, 2010. Optimasi Deasetilasi Khitin Dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH, Jurusan Kimia, FMIPA, Univ. Udayana, Jurnal Kimia 2010 PP. 79090, ISSN 1907-9850. Savant, D. Vivek, and J.A. Torres. 2000. Chitosan based coagulating agents for treatment of cheddar chees whey. Biotechnology Progress 16: 10911097. Simunek, J; G. Tishchenko; B. Hodrova. 2006. Effect of Chitosan of Human Colonic Bacteria. Jounal Folia Microbiology. Vol. 51 (4), 306-308 (2006). http://www.biomed.cas.cz/mbu/folia/. Diakses 10 april 2015. Standar Nasional Indonesia (SNI):0936 Cara uji viskositas, 2008 Wang Y, et al, 1991. Sar1, a gene from Schizosaccharomyces pombe encoding a protein that regulars ras1. Cell regul 2(6):453-65. Willey, JL., Caner C, Vergano PJ., 2000. Chitosan Film Mechanical and Permeation Properties as Affected by Acid, plastizer, and Storage. Journal Food Science 63 (6):1049-1053
191
ANALISA PENGUJIAN MEKANIS KOMPOSIT SERAT RAMI Edy Yusuf1 Zulmiardi2 1.2
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Jl. Batam Bukit Indah Kec. Muara Satu – Lhokseumawe 24353, Indonesia
ABSTRAK
Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan serat rami untuk pembuatan komposit. Penelitian komposit serat rami kontinyu bermatrik polyester dikonsentrasikan pada sifat-sifat fisis dan mekanisnya. Orientasi arah serat, fraksi volume, ukuran, dan bentuk serta material serat adalah faktor-faktor yang mempengaruhi properti mekanik dari laminat. Dengan memvariasikan orientasi arah serat dan fraksi volume dari rami, diharapkan agar mendapat hasil properti mekanik komposit yang maksimal, untuk dapat mendukung pemanfaatan komposit alternatif. Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki pengaruh fraksi volume dan orientasi serat terhadap kekuatan tarik dan impak komposit berpenguat serat rami kontinyu bermatrik polyester. Serat rami direndam di dalam larutan alkali (5% NaOH) selama 2 jam. Selanjutnya, serat rami tersebut dicuci menggunakan air bersih dan dikeringkan secara alami. Matrik yang digunakan adalah Unsaturated Polyester Resin 157 BQTN dengan hardener MEKPO 1% (v/v). Komposit dibuat dengan metode hand lay-up pada ! 37,9%, Semua spesimen dilakukan post cure pada suhu 62°C selama 4 jam. Pengujian tarik dilakukan dengan mesin uji tarik, Spesimen uji tarik mengacu pada standar ASTM D 63899. Hasil pengujian didapatkan kekuatan tarik komposit pada ! 37,9% dengan nilai 95,74 MPa dan regangan tarik sebesar 3,81%, merupakan hasil penguatan yang tinggi. Pengaruh orientasi serat terhadap kekuatan tarik dan impak adalah pada penguatan maksimum pada orientasi serat 0/0/0/0. Penampang patahan yang terjadi adalah fiber pull out di orientasi serat 0/90/0/90, 90/0/0/90. Pada orientasi serat 0/0/0/0 penampang patah yang terjadi adalah fiber splitting in multiple area. Kata kunci: Rami, unsaturated polyester, fraksi volume, orientasi arah serat, kekuatan tarik
1. PENDAHULUAN Serat sebagai elemen penguat sangat menentukan sifat mekanik dari komposit karena meneruskan beban yang didistribusikan oleh matrik. Orientasi arah serat,
fraksi volume, ukuran, dan bentuk serta material serat adalah faktor-faktor yang mempengaruhi properti mekanik dari laminat. Serat rami kontinyu yang dikombinasikan dengan resin polyester sebagai matrik akan dapat menghasilkan komposit alternatif untuk aplikasi teknik. Dengan memvariasikan orientasi arah serat dan fraksi volume dari rami kontinyu diharapkan akan didapatkan hasil properti mekanik komposit yang maksimal untuk dapat mendukung pemanfaatan komposit alternatif [6]. Keunggulan komposit serat rami dibandingkan dengan fiber glass adalah komposit serat rami lebih ramah lingkungan karena mampu terbiodegrasi secara alami dan harganya pun lebih murah dibandingkan fiber glass. Sedangkan fiber glass sukar terbiodegrasi secara alami. Selain itu fiber glass juga menghasilkan gas CO dan debu yang berbahaya bagi kesehatan jika fiber glass didaur ulang, sehingga perlu adanya bahan alternatif pengganti fiber glass tersebut [5]. Rami merupakan tanaman yang memiliki kandungan serat yang tinggi, namun saat ini pemanfaatan serat rami di Indonesia hanya sebatas sebagai bahan dasar pembuatan pakaian dan kertas.Tentunya akan mempunyai nilai lebih jika serat tersebut dapat digunakan untuk menggantikan serat non alam (fibre glass) yang selama ini masih diimpor dari luar negeri sebagai penguat material komposit. Mengapa serat alam Rami, karena Rami mempunyai karakteristik kuat, ringan, tahan panas, tahan air dan bisa menahan tumbukan. Disamping itu Pohon Rami mudah ditanam oleh petani, karena cocok didaerah tropis. Perkembangan teknologi komposit saat ini sudah mulai mengalami pergeseran dari bahan komposit berpenguat serat sintetis menjadi bahan komposit berpenguat serat alam. Telah dilakukan penelitian awal, menunjukkan bahwa diameter serat rami (jenis rami Cina super) dari Garut adalah sekitar 0.20-0.42 mm [7]. Massa jenis serat rami adalah 1.5-1.6 gr/cm3 dan kekuatan tarik serat rami berkisar 4001050MPa. Modulus elastisitas dan regangannya adalah sekitar 61.5GPa dan 3.6%. Umumnya, serat rami memiliki diameter sekitar 0.04–0.08 mm [2]. Sedangkan hasil penelitian [3], kekuatan tarik komposit serat rami-polyester lebih rendah dibandingkan dengan kekuatan minimal hasil analisis teoritis (ROM). Kekuatan
tarik komposit hasil eksperimen tertinggi adalah 205.36MPa pada vf = 54.10%. Modulus elastisitas komposit serat rami-polyester memiliki harga tertinggi (47.88GPa) pada vf = 54.10%. Penampang patahan diklasifikasikan sebagai jenis patah banyak (splitting in multiple area) yang disertai oleh adanya fiber pull out. Kekuatan tarik, modulus elastisitas, dan regangan tarik komposit yang diperkuat serat kenaf acak bermatrik polyester pada fraksi volume serat (vf) 32.39 adalah 59.03MPa, 8.75GPa, dan 0.728%. Sifat tarik tersebut masing-masing meningkat 107.8%, 51.91%, dan 37.36% dibandingkan dengan komposit pada vf = 13.18% [3]. Berdasarkan uraian tersebut diatas, pengaruh fraksi volume dan orientasi serat terhadap kekuatan tarik bahan komposit serat rami kontinyu bermatrik polyester merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Kajian yang dilakukan mengacu pada jenis beban yang diterima, seperti pengujian tarik. Penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai referensi dalam menentukan orientasi serat dan fraksi volume yang dipakai untuk memperoleh kekuatan dan keuletan yang diinginkan dari komposit
laminat serat rami kontinyu, dan
diharapkan bisa memberikan kontribusi terhadap perkembangan material alternatif yang lebih murah, berkualitas dan mudah dalam proses produksinya. Bahan komposit merupakan suatu sistem bahan yang digabungkan dari campuran atau kombinasi dua atau lebih bahan penyusun yang pada skala makro berbeda dalam bentuk atau komposisi bahan yang masing-masing tidak larut satu sama lain [8]. Pelat berlapis merupakan pelat yang terdiri dari dua atau lebih lapisan yang digabung bersama membentuk struktur yang integral. Pelat berlapis dibuat agar elemen struktur tersebut mampu menahan beban multiaksial, sesuatu yang tidak dapat dicapai dengan lapisan tunggal [5]. Lapisan tunggal hanya kuat dalam arah seratnya, tetapi sangat lemah dalam arah tegak lurus seratnya. Serat tunggal hanya cocok untuk beban uniaksial, sedangkan untuk menahan beban multiaksial lapisan tersebut harus digabung dengan lapisan lain yang berbeda arah dengan lapisan yang pertama.
Orientasi serat menetukan kekuatan mekanis komposit. Pada orientasi serat ada tiga macam penguatan [8] yaitu satu dimensi, dua dimensi dan tiga dimensi. Penguatan satu dimensi memiliki kekuatan yang berbeda pada tiap arah orientasi serat. Penguatan dua dimensi memiliki kekuatan yang berbeda pada tiap arah orientasi serat. Pengutan tiga dimensi adalah isotropic tetapi nilai penguatannya sangat kecil (1/3 dari nilai penguatan satu dimensi). Sifat mekanis pada serat tergantung pada jumlah serat terorientasi pada serat tersebut. Orientasi kode serat untuk komposit mengacu pada standar ASTM D 6507[1]. Pada bahan komposit dengan volume matrik sama kuat tariknya juga ditentukan oleh volume serat yang terkandung, bahwa semakin banyak serat yang terkandung dalam komposit tersebut kekuatan makanis semakin besar [8]. Mesin yang digunakan untuk pengujian ini adalah servopulser SHIMADZU tipe EHF-EB20. Spesimen uji tarik ini dibuat berdasarkan standar ASTM D 63899[1].
=
.....................................................................(1)
=
= ............................................................(2)
2. METODE Serat rami kontinyu diperoleh dari Koppotren Agrobisnis Darussalam di Kabupaten Garut Jawa Barat. Serat direndam dalam larutan alkali (5% NaOH) dengan waktu perendaman 2 jam. Selanjutnya serat dinetralkan dari efek NaOH dengan perendaman menggunakan air bersih. Setelah PH rendaman netral (PH = 7), serat ditiriskan hingga kering tanpa sinar matahari. Bahan matrik yang
digunakan adalah unsaturated polyester
157 BQTN. Hardener yang dipakai
adalah MEKPO (metil etil keton peroksida) dengan kadar 1% (v/v). Komposit dibuat dengan metode hand lay-up untuk fraksi volume (vf) = 37,9%,Spesimen uji tarik dibuat dari komposit laminat hasil cetakan, yang dipotong dengan menggunakan gerinda tangan. Efek pemotongan dieliminasi dengan dihaluskan menggunakan kertas amplas. Spesimen tersebut dibuat sesuai dengan standar ASTM D638-99 [1]. Bagian spesimen yang akan dicekam mesin uji tarik diberi tab dari kertas amplas. Semua sepesimen dilakukan post cure pada suhu 62°C selama 4 jam. Pengujian tarik dilakukan menggunakan mesin uji tarik Servopulser. Hasil akhir penelitian ini akan ditampilkan dalam bentuk hubungan antara sifat tarik (kekuatan tarik, dan regangan) versus vf dan orientasi serat. Penampang patahan dilakukan foto makro untuk menyelidiki perilaku mekanisme perpatahannya.
3. Hasil Dan Pembahasan Pengujian kekuatan tarik pada komposit dilakukan untuk mengetahui sifat tarikan dari bahan penyusun komposit dengan variasi orientasi serat dan fraksi volume. Ini berkaitan dengan pengaruh beban tarikan uniaksial pada perubahan panjang dari spesimen standar. Sehingga dari data yang dihasikan dapat diketahui orientasi serat dan fraksi volume yang optimal. Dari hasil perhitungan kekuatan dan regangan tarik, didapatkan kurva hubungan tegangan-regangan yang terjadi selama pengujian berlangsung sehingga mencapai tegangan maksimumnya (benda uji rusak). Dengan membaca langsung dari hasil pengujian tarik akan kita peroleh tegangan maksimal (kekuatan) dan regangan yang terjadi pada saat mencapai tegangan maksimum. Pengujian tarik disini dikerjakan menggunakan standar pengujian dari ASTM handbook for plastics, dengan benda uji ditarik dengan menggunakan mesin servopulser. Dengan pengujian ini diharapkan dapat dipelajari beberapa hal antara lain: ·
Pola kurva tegangan-regangan yang dihasilkan.
·
Perbandingan kemampuan spesimen dalam mengatasi beban tarikan antara komposit dengan variasi orientasi serat dan fraksi volume yang berbeda.
Tabel 1. Sifat Tarik Komposit Serat Rami Kontinyu-Polyester Orientasi Serat
Fraksi
Teg.Tarik, Reg.
Volume
MPa
%
37.9%
34,22
2,98
0/0/0/0 (B)
37.9%
95,74
3,81
0/90/0/90 (C)
37.9%
62,46
2,18
37.9%
56,92
4,87
37.9%
62,88
2,14
90/90/90/90 (A)
90/0/0/90 (D) 0/90/90/0 (E)
Berdasarkan Tabel 1 dapat diambil kesimpulan bahwa serat rami kontinyupolyester memberikan hasil penguatan yang maksimum adalah pada orientasi arah serat 0/0/0/0 pada orientasi ini komposit mempunyai harga kekuatan tarik terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi serat 0/0/0/0, tersebut merupakan perlakuan yang paling efektif untuk meningkatkan kekuatan komposit berpenguat serat rami kontinyu -polyester.
Tegangan Serat
Tegangan Tarik Versus Orientasi Serat
90/90/90/90 0/0/0/0 (B) 0/90/0/90 (C)90/0/0/90 (D)0/90/90/0 (E) (A)
Orientasi Serat
Gambar 1. Grafik Tegangan Tarik dengan Orientasi Serat Kontinyu RamiPolyester Berdasarkan Gambar 1, Grafik garis hubungan tegangan tarik dengan orientasi serat rami kontinyu -polyester dapat kita simpulkan bahwa kekuatan tarik maksimum bahan komposit serat rami kontinyu-polyester bervariasi terhadap orientasi serat, bahwa serat akan memberikan penguatan maksimum berada pada arah orientasi serat 0/0/0/0. Pada saat itu komposit mempunyai kekuatan tarik yang terbesar. Hampir semua beban ditanggung oleh serat penguat.
Regangan Tarik Versus Orientasi Serat
Regangan Tarik %
4.64
3.72
2.35
2.31
90/90/90/90 (A)
0/0/0/0 (B)
2.14
0/90/0/90 (C) 90/0/0/90 (D) 0/90/90/0 (E)
Orientasi Serat
Gambar 2. Grafik hubungan Regangan dengan Orientasi Serat Kontinyu RamiPolyester
Pada Gambar ambar 2, Grafik garis hubungan an regangan dengan orientasi serat ra rami kontinyu-polyester yester diatas dapat disimpulkan bahwa regangan maksimum bahan komposit it serat rami kontinyu-polyester kontinyu bervariasi terhadap orientasi serat seratnya, dari perbandingan serat dengan matrik. Dalam penelitian ini, untuk megetahui jenis-jenis jenis jenis patahan, mengacu pada standar ASTM D-3039 [1], dimana jenis-jenis jenis jenis patahan yang terjadi pada pengujian tarik serat rami kontinyu-polyester adalah seperti Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Patahan Komposit yang diperkuat dengan Serat Rami Ko Kontinyuyester. polyester. (fiber pull out)
ambar 3, dapat disimpulkan bahwa patahan yang terjadi adala adalah fiber Pada Gambar a pull out,, dengan orientasi serat 0/90/0/90, 90/0/0/90 dan 0/90/90/0. Hal ini diakibatkan karena daerah yang memiliki banyak serat akan terjadi bonding yang ter ang sempurna. Kondisi ini menyebabkan ikatan interfacial tidak sempurna kurang sehingga pada waktu komposit dikenai beban tarik antara serat dan d matrik mudah terlepas, karena itu peristiwa terlepasnya serat dari matriksnya disebut juga fiber pull out.
Gambar 4. Patahan Komposit yang diperkuat dengan Serat Rami Kontinyu Kontinyupolyester (fiber Splitting in Multiple area).
Pada Gambar ambar 4, menunjukkan patahan yang terjadi adalah fiber Splitting in Multiple area,, dengan orientasi serat 0/0/0/0. Hal ini diakibatkan karena kegagalan yang luas dipermukaan spesimen. Umumnya komposit yang memiliki m patahan jenis ini memiliki kekuatan tarik paling tinggi.
Gambar 5. Patahan Komposit yang diperkuat dengan Serat Rami Kontinyu Kontinyupolyester (Brittle failure).
Pada Gambar 5, dapat disimpulkan bahwa patahan yang terjadi adalah patah tunggal, pada arah orientasi serat pada 90/90/90/90. Hal ini terjadi diakibatkan karena ikatan interfacial serat matrik yang baik, hal ini ditunjukkan dengan kuatnya matrik dalam menahan gaya geser dan mendukung beban yang diterimannya, sehingga matrik mampu menahan gaya geser dan meneruskan beban keserat yang lain. Akibatnya jumlah serat yang putus akan semakin banyak dan komposit akan mengalami patah tunggal yang disebut brittle failure.
4. Kesimpulan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dari hasil pengujian didapatkan bahwa besarnya tegangan tarik komposit untuk orientasi arah serat 90/90/90/90 adalah dengan nilai 34,22MPa dan regangan tarik sebesar 2,98%, untuk arah serat 0/0/0/0 dengan nilai 95,74MPa dan regangan tarik sebesar 3,81%, untuk arah serat 0/90/0/90 dengan nilai 62,46MPa dan regangan tarik sebesar 2,18%, untuk arah serat 90/0/0/90 dengan nilai 56,92MPa dan regangan tarik sebesar 4,87% dan untuk arah serat 0/90/90/0 dengan nilai 62,88MPa dan regangan tarik sebesar 2,14%. 2. Komposit yang diperkuat serat rami kontinyu-polyester pada orientasi arah serat 0/0/0/0,
adalah komposit yang
mempunyai
harga kekuatan tarik
terbesar, yaitu ! = 95,74MPa. 3. Komposit yang diperkuat serat rami kontinyu-polyester pada orientasi arah serat 90/0/0/90,
adalah komposit yang mempunyai
harga
regangan
terbesar, yaitu " = 4,87%. 4. Penampang patahan komposit yang diperkuat serat
rami kontinyu-polyester
pada orientasi serat 0/90/0/90, 90/0/0/90 dan 0/90/90/0 didominasi perilaku kegagalan fiber pull out. Namun pada komposit dengan orientasi serat 0/0/0/0, menunjukkan patahan yang terjadi adalah fiber Splitting in Multiple area. Sedangkan pada komposit arah serat dengan fraksi volume 40%, pada arah orientasi serat 90/90/90/90 bahwa patahan yang terjadi adalah patah tunggal (Brittle filure).
5. Daftar Pustaka · Artikel dalam jurnal, Seminar, Proseding dan Diktat Kuliah: [1] ASTM, 2003, Annual Book of ASTM Standard, West Conshohocken. [2] Diharjo K. dan Nuri S.H., 2006, Studi Sifat Tarik Bahan Komposit Berpenguat Serat Rami Dengan Matrik Unsaturated Polyester, Proseding Seminar Nasional, Teknik Mesin FT Univ.Petra-Surabaya. [3] Diharjo K., Jamasri, Soekrisno, Rochardjo H. S. B., 2005, Tensile Properties of Unidirectional Continuous Kenaf Fiber Reinforced Polyester Composite, International Seminar Proceeding, Kentingan Physics Forum, UNS, Surakarta, Indonesia. [4] Farid, M, 2004, Analisa Perilaku Elastik Material Komposit FRP Laminat Berpenguat Serat Natural Orientasi Acak, SNTM, ITS, Surabaya. [5] Hadi, B.K, 2000, Mekanika Struktur Komposit, Catatan Kuliah, Teknik Penerbangan ITB. [6] Hwang, C. Y., 2004, Evaluation of Bulk Interfacial Adhesion Between Wood and five Thermoplastics. Journar For Science, Vol.19 no. 1.Taiwan. [7] Marsyahyo M, Soekrisno, Jamasri, Rochardjo H.S.B., 2005, Penelitian Awal Pengaruh Perlakuan Alkali Terhadap Kekuatan Tarik dan Model Perpatahan Serat tunggal Rami, Proseding Seminar Nasional, SNTTM-IV, UNUD, Bali, Indonesia. · Buku, Buku Terjemahan: [8] Schwartz, Mel M., 1984, Composite Materials Handbook”, McGraw-Hill Book Company, United Stated of America.
!
EFEKTIFITAS PROSES AOP BERBASIS H2O2 DALAM MENGHILANGKAN WARNA AIR GAMBUT BERDASARKAN PARAMETER KONSENTRASI ZAT ORGANIK Elfiana1, Anwar Fuadi1 Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan km. 280 Buketrata – Lhokseumawe
e-mail:
[email protected] Abstrak Air gambut merupakan air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa dan daratan rendah, memiliki intensitas warna yang tinggi, pH rendah (pH 3-5) dan kandungan senyawa organik yang tinggi. Berdasarkan ciri-ciri tesebut penggunaan air gambut tanpa pengolahan berpengaruh sangat nyata terhadap resiko kesehatan. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu pengolahan yang murah, mudah dan handal. AOP (Advanced Oxidation Processes) berbasis H2O2 disebut juga proses oksidasi kimia lanjut dapat ditawarkan untuk mengolah air gambut dengan menghandalkan sifat reaktif radikal hidroksil (HO*) berasal dari eksitensi H2O2 dengan pancaran sinar UV selanjutnyaa disebut proses UV-Peroksidasi. Penelitian dilakukan untuk melihat efektifitas unjuk kerja proses UV-Peroksidasi dalam kemampuannya menurunkan konsentrasi zat organik air gambut salah satu penyebab air gambut berwarna dengan memvariasikan konsentrasi H2O2 0,0 – 0,11% pada panjang gelombang lampu UV 360 – 240 nm selama 0-240 menit. Hasil penelitian menunjukkan semakin besar konsentrasi H2O2 dan semakin lama waktu penyinaran semakin besar effisiensi penyisihan zat organik (%Rzat organik) yang diperoleh. Dari hasil percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dosis optimum H2O2 diperoleh pada konsentrasi 0,07% mampu menurunkan 98,56% konsentrasi organik pada waktu 240 menit dengan capaian warna air menjadi jernih sampai 5 TCU. Kata Kunci:
Air gambut, AOP, H2O2, konsentrasi zat organik, UV-peroksidasi
1. Pendahuluan Air gambut merupakan air permukaan yang terdapat di lahan gambut. Secara visual air gambut berwarna coklat kemerahan, berasa asam dan berbau. Kajian Pusat Sumber Daya Geologi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral melaporkan bahwa sampai tahun 2006 sumber daya lahan gambut di
!
Indonesia mencakup luas 26 juta hektare (ha) yang tersebar di Pulau Kalimantan (± 50%), Sumatera (± 40%) sedangkan sisanya tersebar di Papua dan pulau-pulau lainnya. Dan untuk lahan gambut ini Indonesia menempati posisi ke-4 terluas di dunia setelah Canada, Rusia dan Amerika Serikat. (Tjahjono, 2007). Berdasarkan data tersebut, air gambut di negara kita berpotensial dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya air manusia sehari-hari jika sudah dikelola dengan baik dan benar. Secara teoritis warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya kandungan zat organik (bahan humus) terlarut terutama dalam bentuk asam dan turunannya, sehingga memiliki kisaran pH 2-5, kandungan zat organik dan logam yang tinggi, kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah.
Asam humus tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik
seperti daun, pohon atau kayu. Oleh sebab itu teknologi pengolahan air gambut menjadi air bersih dapat terukur dengan perubahan kandungan organik dan logamnya yang memenuhi baku mutu standar air bersih. Beberapa metode pengolahan air gambut telah dilakukan dalam skala laboratorium maupun lapangan, tetapi hasilnya belum maksimal.
Metode
koagulasi konvensional skala laboratorium menggunakan koagulan kulit kerang dan batu karang dalam mengolah air gambut daerah Geuredong Pase hanya mampu menyisihkan konsentrasi besi 5-58% dan tidak memberikan perubahan warna air yang signifikan baik sehingga air gambut hasil olahan masih tampak berwarna kuning kecoklatan (Ismiyati, 2011). Fitria Dewi (2007) melaporkan bahwa metode Two Stage Coagulation mampu menurunkan senyawa organik air gambut daerah Bangkinang di Riau sampai 88% menggunakan koagulan Alum pada dosis 280-300 mg/L tetapi tidak signifikan baik terhadap penurunan konsentrasi besinya yang stabil terhadap organik. Menurut Watt (1998) senyawa organik akan sangat mudah dioksidasi menggunakan radikal hidroksil (HO·), sehingga dapat termineralisasi menjadi karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Metode Advanced Oxidation Processes (AOP) adalah proses oksidasi kimia lanjut mampu menghasilkan radikal hidroksil (HO!) sebagai oksidator handal untuk mengoksidasi semua bahan terdapat dalam air.
Metode AOP berbasis H2O2 dijabarkan dengan makna penerapan AOP
!
menggunakan H2O2 sebagai reagen sumber terbentuknya radikal hidroksil memiliki potensial oksidasi (E0=2,80 V) lebih besar dibanding potensial oksidasi hidrogen peroksida (H2O2, E0=1,80 V) itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, UV-Peroksidasi skala laboratorium telah berhasil menurunkan 77% konsentrasi organik (TOC) dan 96% zat besi air gambut selama 60 menit pada panjang gelombang 360nm dan konsentrasi tetap H2O2 0,05% (Elfiana dan Zulfikar, 2012); (Aisyah, 2012). Proses UV-Peroksidasi terbukti dapat menurunkan konsentrasi besi dalam air tanah sampai 92,10% (Elfiana, 2009). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diatas, diharapkan penggunaan metode UV/H2O2 juga dapat memberikan solusi yang baik terhadap teknologi alternatif untuk pengolahan air gambut dengan memberikan effisiensi yang tinggi terhadap penurunan konsentrasi organik dan warna air gambut. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dosis H2O2 optimum yang dapat digunakan sebagai sumber HO! setelah dipancarkan sinar UV pada panjang gelombang 250-400 nm.
2. Tinjauan Pustaka Berdasarkan pengetahuan terhadap penyebab dan kandungan warna pada air dan sifat-sifatnya, maka proses dan metode pengolahan yang dapat diterapkan untuk mengolah air berwarna alami yaitu melalui proses oksidasi, proses adsorpsi, proses koagulasi – flokulasi, dan proses pemisahan dengan filtrasi membran. `Zat organik yang terdapat di alam dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan, serat-serat minyak, lemak hewan, pati, gula, selulosa dan lain sebagainya. Adanya bahan-bahan organik dalam air erat hubungannya dengan terjadinya perubahan sifat fisik dari air, terutama dengan timbulnya warna, bau, rasa dan kekeruhan yang tidak di inginkan. Rodriquez (2003) menyatakan bahwa AOP sangat cocok digunakan untuk proses penghilangan kontaminan dalam air untuk mengurangi campuran zat organik ,anorganik, COD dan BOD, yang tidak dioksidasi. Jika prosesnya sempurna maka hasil oksidasi zat organiknya adalah karbondioksida dan air, meskipun sangat sulit mendapatkan hasil reaksi yang sempurna. Proses AOP menurut Metcalf & Eddy (2003) mempunyai prinsip menghasilkan radikal
!
hidroksil (HO·) secara maksimal, bersifat sangat reaktif, dan merupakan oksidator kuat yang dapat merusak kontaminan organik dan anorganik yang bereaksi dengannya. Dalam perkembangannya, kombinasi dari beberapa proses seperti ozone, hydrogen peroxide, ultrviolet light, titaniun oxide, photo catalyst, sonolysis, electron beam atau dikenal dengan metode AOP (Advanced Oxidation Processes) yang merupakan proses untuk menghasilkan hidroksil radikal (Hutagalung dkk, 2013). Menurut M. Rodriquez (2003) suatu senyawa kimia yang sulit dipecahkan melalui oksida kimia biasa dapat dioksidasi menggunakan radikal hidroksil (HO*). Radikal hidroksil merupakan substansi reaktif terbentuk dari hasil reaksi intermediate. Radikal hidroksil memiliki potensial oksidasi (Eo = 2,8 V) lebih besar dibanding oksidator lainnya. Melalui oksidator kimia lanjut (AOP), radikal hidroksil terbentuk akibat simulasi pancaran sinar UV dan hidrogen peroksida (Elfiana, 2012). Mekanisme bagaimana radikal hidroksil terbentuk menggunakan hydrogen peroksida (H2O2) sebagai reagen pembatas, dikenal tiga proses yaitu Fe[II]/H2O2), UV/H2O2 dan O3/H2O2, seperti diperlihatkan pada Gambar 1.
(%& !"
(%& ·
"
·
·
Gambar 1 Produksi radikal hidroksil pada metode AOP berbasis H2O2 melalui reagen fenton (Fe[II]/H2O2), UV/H2O2, dan O3/H2O2 (Jones, 1999) Radikal hidroksil bereaksi dengan semua konstituen yang terlarut, biasanya secara seri sampai konstituen sempurna termineralisasi. Radikal hidroksil tidak selektif dalam menyerang konstituen, tanpa ada batasan kelas
!
spesifik atau kelompok senyawa, berbeda dengan oksidan lainnya, dan reaksinya dapat dioperasikan pada temperatur dan tekanan normal (Metcalf & Eddy, 2003)
2.1
Fotokimia Sinar UV (Photochemical Process) Sinar ultraviolet (UV) dilaporkan oleh Petersen et.al. (1988) adalah suatu
sinar yang dapat digunakan untuk mengoksidasi polutan organik, dikenal dengan istilah fotooksidasi.
Penambahan energi kedalam sistem yang mengandung
senyawa kimia merupakan prinsip proses fotooksidasi. Reaksi oksidasi senyawa organik dengan sinar UV terjadi karena sinar UV menyebabkan terjadi fotokimia dalam air dengan menghasilkan radikal hidroksil menurut reaksi sebagai berikut (Cervera and Esplugas, 1983 dalam Jones, 1999): H2O
hv ¾¾® H· + HO·
…(1)
2.2 Sumber Cahaya Cahaya merupakan salah satu bentuk gelombang elektromagnetik. Jenis cahaya yang memancarkan sinar dapat dikelompokkan berdasarkan panjang gelombangnya, contohnya adalah: - Ultraviolet vacuum
l = 100 nm – 200 nm
- Ultraviolet
l = 200 nm – 400 nm
- Tampak
l = 400 nm – 800 nm
- Infra merah
l = 800 nm – 106 nm
Berdasarkan asal sumber cahaya UV, maka UV dapat dikelompokkan atas: 1. UV alamiah, yakni UV yang berasal dari matahari, terdiri dari panjang “UVA” (400-320 nm) dan UV yang lebih energetik yaitu gelombang pendek “UVB” (320-290nm). Radiasi gelombang pendek lebih kuat diserap oleh banyak jenis pencemar dan biomolekul. Walaupun demikian mekanisme dasar proses fotokimianya adalah sama dan perbedaan hanya terjadi pada gugus kromofor dari molekul penerima.
!
2. UV buatan, yakni panjang gelombang lebih kecil dari 290 nm dan dikenal dengan “UV-C”.
Contoh adalah UV yang dihasikan dari lampu batang
merkuri. Intensitas yang dihasilkan biasanya lebih tinggi dan tentu juga lebih energetik disbanding UV dari matahari (Metcalf&Eddy, 2003) Berdasarkan fungsi sinar UV untuk fotolisis, maka efektifitas sinar UV dibedakan berdasarkan jenis lampu penghasil sumber cahayanya, yaitu lampu polychromatic dan monochromatic.
Karakteristik utama dari lampu ini
berdasarkan pada emisi panjang gelombang yang ada di daerah sinar UV. Semakin pendek panjang gelombang energi radiasi semakin besar.
Lampu
polychromatic memancarkan sinarnya pada daerah panjang gelombang 180-400 nm, sedangkan lampu monochromatic berada pada daerah panjang gelombang 254 nm. Menurut Froelich (1992) dalam Rodriguez (2003) menyebutkan bahwa hasil fotolisis yang baik berada pada daerah panjang gelombang lampu polychromatic, tetapi hasil fotolisis untuk menghilangkan senyawa organik akan lebih efektif pada lampu monochromatic.
2.3 UV-Peroksidasi (H2O2/UV) UV-peroksidasi adalah proses oksidasi kimia yang menggunakan hidrogen peroksida sebagai reagen untuk tereksitasi menjadi radikal hidroksil (HO!) dengan adanya radiasi sinar UV.
Jones (1999) melaporkan bahwa UV-
peroksidasi telah diaplikasikan untuk remidiasi air sumur dari beberapa kontaminan di daerah Amerika Utara dan Eropa. Salah satu industri makanan di USA menggunakan UV-peroksidasi untuk air sumur yang terkontaminasi trichloroethylene (TCE) agar air sumur tersebut dapat digunakan kembali. Hasil yang ditunjukkan, nilai TCE menurun dari 4000 "g/l menjadi 0,83 "g/l pada debit 14 m3/jam, dengan H2O2 50 mg/l dan lampu UV 30 kW. UV-peroksidasi terbukti menghasilkan radikal hidroksil (HO·) dan mampu mengoksidasi kontaminan air menurut mekanisme reaksi sebagai berikut: Tahap inisiasi:
H2O2
hv ¾¾® 2 HO· + HO·
......... 1)
!
Tahap propagansi : H2O2/H2O· + HO·
Tahap terminasi :
hv ¾¾® H2O/OH- + HO2·
hv H2O2/H2O·/O2 ¾¾® HO· + H2O/OH- + O
......... 2)
HO· + HO·
........ 3)
hv ¾¾® H2O2
HO· + H2O·/O2
hv ¾¾® H2O/ HO· + O2
H2O· + H2O·/O2
hv ¾¾® H2O2 /HO2- + O2
........ 4) ........ 5)
Dikarenakan radikal hidroksil bereaksi dengan hidrogen peroksida, maka keberadaan hidrogen peroksida mempengaruhi radikal hidroksil dalam proses penguraian.
Oleh sebab itu penambahan hidrogen peroksida sebaiknya pada
konsentrasi optimal untuk mendapatkan penguraian yang optimum.
3. Metode Penelitian 3.1 Karakteristik Air Gambut Sampel air gambut berasal dari Desa Ek Tren Kecamatan Samudera Aceh Utara untuk diuji sifat fisikokimianya berdasarkan parameter pH, TDS, kekeruhan, ion besi dan zat organik (KMnO4). Hasil karakteristik air gambut yang digunakan disimpulkan dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Karakteristik air gambut Desa Ek Tren Kecamatan Samudera Aceh Utara mengacu pada PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990 Parameter
Satuan
Kadar
Syarat batas
pH
-
5,7
6,8-8,5
TDS
mg/L
250
1.500
Kekeruhan
NTU
4,55
25
Ion besi
mg/L
16,18
1
395
10
Zat organik (KMnO4) mg/L Sumber: Hasil analisa di Laboratorium, 2016
!
3.2 Reagen Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah Air gambut Simpang Ek Tren Kecamatan Samudera Aceh Utara; hydrogen peroxide teknis (H2O2 35%; density 1,11 kg/l; BM 34 g/gmol; BE 17); aquades; H2SO4; NH2OH.HCl; HCl; NH4.C2H3O2; H2C2O4.2H2O dan KMnO4. 3.3 Prototipe reaktor AOP Prototipe instalasi reaktor UV-Peroksidasi mengacu pada prinsip pengolahan air dengan AOP secara umum, yaitu seperti ditunjukkan pada aliran proses Gambar 2, sehingga prototipe peralatan reaktor UV-Peroksidasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
'55'3(1
#
*,31'3*/.
,('15'3(1
Gambar 2 Prinsip pengolahan air dengan AOP
Reaktor UV-Peroksidasi sistim batch skala laboratorium ditunjukkan seperti Gambar 3. Reaktor UV-Peroksidasi terbuat dari bahan pyrex-glass kapasitas 2 L dilengkapi dengan stirrer, pengukuran pH, suhu dan disertai dengan penyaringan.
!
/:/8,50,5
,47;() ,:,507/50,.;2 %/,2:68 &;4-/8,8;9319:812 6:687/50,.;2 ,:81.0/7/=,8150 ? ,2786.;2
(a)
Gambar 3 Reaktor UV-Peroksidasi sistim batch skala laboratorium dengan jenis lampu UV 10 W merk Elite SK F 10 W T8 BLB (!=360 nm) (a). Gambar aliran proses UV-Peroksidasi secara umum (b). Tampak dalam reaktor UV-Peroksidasi sistim batch dengan 4 lampu UV (c). Tampak
luar
reaktor
UV-Peroksidasi
yang
tertutup
untuk
menghindari radiasi
Pada Gambar 4 rangkaian peralatan proses UV-Peroksidasi terdiri dari tangki umpan 25L, pompa resirkulasi, reaktor Peroksidasi (Aspirator kapasitas 5L,
!
dengan volume kerja 3,8L) , tangki reagen H2O2 pada bagian atas, Quartz Sleeve UV Lamp 10 Watt merk SNXIN, sistim perpipaan (pipa distribusi, pipa sirkulasi dan pipa bypas masing-masing berdiameter 3/8”) menghubungkan reaktor UVPeroksidasi dengan cartridge 03! dan 01! sebagai proses finishing tahap filtrasi untuk mendapatkan produk air gambut yang bersih tidak berwarna memiliki konsentrasi organaik dan ion besi rendah setelah proses pengolahan.
Gambar 4 Reaktor UV-Peroksidasi sistim batch skala laboratorium dengan jenis lampu UV 10 W merk SNXIN ("=240 nm)
3.4 Analisa Pengukuran pH air gambut menggunakan alat pH meter merk HANA HI 8424. Analisa zat organik menggnakan metode Permangonometri dengan cara titrasi. Sedangkan analisa warna air gambut olahan dilakukan dengan metode PtCo Spektrofotometri. Kinerja setiap proses dapat dilihat dari persentase removal (%R) konsentrasi parameter yang diperoleh menggunakan persamaan sebagi berikut: %R =
Konsentras i
( mula - mula )
- Konsentras i
Konsentras i
( pada waktu t )
x 100 %
( mula - mula )
!
4. Hasil dan Pembahasan Jika Merujuk kepada PERMENKES RI No. 416/MENKES/PER/IX/1990 maka karakteristik air gambut yang diperoleh tidak memenuhi persyaratan sebagai air konsumtif karena melebihi kadar yang diizinkan, konsentrasi ion besi 16,18 mg/L (>1 mg/L) dan konsentrasi zat organik 395 mg/L KMnO4 (>10 mg/L KMnO4). Dapat disimpulkan bahwa nilai dari ketiga parameter tersebut berada diatas syarat batas yang ditetapkan sehingga air gambut tersebut perlu dilakukan proses pengolahan untuk memperbaiki kualitas air gambut tersebut sebelum digunakan.
4.1 Pengaruh Konsentrasi H2O2 dalam Proses UV-Peroksidasi terhadap persentase penurunan konsentrasi zat organik Dalam proses UV-Peroksidasi, H2O2 digunakan sebagai reagen dasar pembentukan radikal hidroksil yang terbentuk selama reaksi UV-Peroksidasi berlangsung dengan adanya energi sinar UV. Oleh sebab itu bagaimana pengaruh konsentrasi H2O2 dalam proses pengolahan air gambut perlu diamati, karena reaktifitas oksidator akan berbeda di setiap jenis air berwarna yang akan diolah. Pada penelitian ini, pengaruh H2O2 diamati dengan melihat perubahan nilai konsentrasi zat organik yang terkandung dalam air gambut dengan proses air gambut tanpa dan dengan penambahan H2O2 berkonsentrasi 0,05% disertai penyinaran pada panjang gelombang 360 nm dan 240 nm. Hasil yang diperoleh dari perlakuan ini diperlihatkan secara grafik pada Gambar 5.
!
$'3/1)'.*+
,47;()31:/& *' 54
#'+340(.6*.'1'.3-(.*3 &15,8() "
$;,8:>&3//
$'3/1)'.*+
&15,8() "
#'+340(.6*.'1'.3-(.*3 &15,8() "
&15,8() "
Gambar 5 Profil %Rzat organik setiap waktu dari proses tanpa dan dengan adanya H2O2 disertai penyinaran dengan UV 360 dan 240 nm. Dari grafik pada Gambar 5 tersebut dapat dilihat bahwa %Rzat organik yang diperoleh pada proses dengan penambahan H2O2 0,05% sudah memberi perbedaan nilai capaian persentase penyisihan zat organik yang diperoleh. Perlakuan menggunakan H2O2 0,05% memberikan hasil persentase penyisihan zat organik lebih baik dibandingkan tanpa menggunakan H2O2. Hal ini menunjukkan bahwa dalam mekanisme reaksi yang terjadi radikal hidroksil (HO•) sudah terbentuk.
!
4.2 Pengaruh
Panjang
Gelombang
Sinar
UV
Terhadap
Persentase
Penurunan Konsentrasi Zat Organik Pada penelitian ini, pengaruh panjang gelombang sinar UV diamati dengan melihat perubahan nilai konsentrasi zat organik yang terkandung dalam air gambut dengan membandingkan dua proses UV-Peroksidasi menggunakan sinar UV 360 nm dan 240 nm. proses air gambut tanpa dan dengan penambahan H2O2 berkonsentrasi pada berbagai konsentrasi H2O2 (0,0; 0,03; 0,05; 0,07; 0,09; dan 0,11%). Hasil yang diperoleh dari perlakuan ini diperlihatkan secara grafik pada Gambar 6.
7'3/1)'.*+
$'3/1)'.*+
/.2(.31'2* () 54 () 54
/.2(.31'2*
() 54
() 54
Gambar 6 Profil %Rzat organik setiap waktu dari perbagai konsentrasi H2O2 dengan penyinaran sinar UV 360 dan 240 nm.
Dari grafik pada Gambar 6 tersebut dapat dilihat bahwa %Rzat
organik
yang
diperoleh pada proses UV-Peroksidasi dengan adanya penyinaran sinar UV pada panjang gelombang 360 nm dan 240 nm pada variasi konsentrasi H2O2 memberi perbedaan nilai capaian persentase penyisihan zat organik yang diperoleh. Perlakuan menggunakan sinar UV 240 nm memberi hasil persentase penyisihan zat organik lebih baik dibandingkan sinar UV 360 nm. Hal ini disebabkan energi foton sinar UV 240 nm yang dihasilkan lebih besar dibanding sinar UV 360 nm sehingga reaktifitas proses menjadi lebih besar.
Semakin pendek panjang
!
gelombang sinar UV yang dipancarkan dalam air maka semakin besar energi foton yang dihasilkan karena energi foton (E) berbanding terbalik dengan panjang gelombang (!) pada kecepatan cahaya (c).
4.3 Performansi Proses UV-Peroksidasi berdasarkan Persentase Penyisihan Zat Organik (%Rzat organik) Dari perlakuan sebelumnya telah diketahui bahwa konsentrasi H2O2 dan sinar UV berpengaruh terhadap %Rzat
organik
yang dihasilkan maka performansi
proses UV peroksidasi dapat diketahui berdasarkan nilai %Rzat organik terbesar yang dihasilkan dengan melakukan variasi dosis H2O2 pada berbagai konsentrasi dan variasi panjang gelombang sinar UV. Hasil yang ditunjukkan dari perlakuan ini ditampilkan secara grafik dalam Gambar 7.
!
1)'.*+
#'+34(.6*.'1'.-(.*3
" "
" "
1)'.*+
"
"
#'+34(.6*.'1'.-(.*3
" "
"
"
" "
, &15,8() 54
-&15,8() 54
Gambar 7 Performansi proses UV-Peroksidasi berdasarkan persentase penyisihan zat organik (%Rzat organik)
Dari grafik pada Gambar 7, dapat diketahui kondisi optimum untuk proses UV-Peroksidasi yang memberikan performance terbaik berdasarkan effisiensi penyisihan konsentrasi zat organik. Dari grafik dapat diketahui bahwa persentase penurunan konsentrasi zat organik terbaik diperoleh pada konsentrasi H2O2 0,07%, jenis lampu UV dengan organik mula-mula 395 mg/L
KmnO4
dapat diturunkan
hingga 98% menjadi 5,6 mg/L pada waktu penyinaran 60-120 menit. Beberapa contoh sample air sekitar waduk diperlihatkan pada Gambar 8.
!
Gambar 8. Sampel air gambut dan air gambut hasil olahan
5. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil bagian penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: a) Hasil karakteristik air gambut Desa Ek Tren Kecamatan Samudera Kabupaten Aceh Utara mengandung zat organik 395 mg/L, Fetotal 16,18 mg/L, Fe2+ 9,85 mg/L. b) Dosis H2O2 optimum diperoleh berdasarkan persentase penurunan konsentrasi zat organik (%Rzat
organik)
terbesar dari variasi konsentrasi
H2O2 (0,0% – 0,11%), yaitu 0,07% dengan %Rzat organik = 98%
6. Daftar Pustaka Elfiana, 2009, Kinetika Minimalisasi Kandungan Besi dalam Air secara Oksidasi Kimia (Aerasi, Fotokimia Sinar UV, dan UV-Peroksidasi), Laporan Penelitian, Politeknik Negeri Lhokseumawe
!
Elfiana dan Zulfikar. 2012. Penurunan Konsentrasi Organik Air Gambut Secara AOP (Advanced Oxidation Processes) dengan Fotokimia Sinar UV Dan UV-Peroksidasi. Posiding SNYuBe. Politeknik Negeri Lhokseumawe. Feng, HE., Le-Cheng LEI (2003), Degradation Kinetics and Mechanism of Phenol in Photo-Fenton Process, Journal of Zhejiang University SCIENCE, JZUS, 5, 198-205 Hutagulung, S.S., Sugiarto, A.T., dan Luvita, V., 2010, Metode Advanced Oxidation Processes (AOP) untuk Mengolah Limbah Resin Cair, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah VIII, Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi-RISTEK, 57-64 Hutagalung, S.S. 2010. Aplikasi Metode Advanced Oxidation Process (AOP) Untuk Mengolah Limbah Resin Cair. Banten : RISTEK. Hutagalung , S.S. 2013. Pengolahan Air gambut Menjadi Air Bersih dengan Metode AOP Kabupaten Kampar Propvinsi Riau. Prosiding Seminar Nasional Kimia UGM. Jones, C.W. (1999), Aplication of Hydrogen Peroxide and Derivatives, Published by The Royal Society of Chemistry, Thomas Graham House, Science Park, Milton Road Combridge CB4 0WF, UK, 207-216 Metcalf and Eddy. (2003), Wastewater Engineering Treatment and Reuse, McGraw Hill, 95-99, 257-269, 517-523, 1196-1202 Peraturan Menteri Kesehatan Repubik Indonesia, 1990, Jakarta, Nomor 416 / MENKES / PER / IX / 1990, Tentang Persyaratan Kualitas Air Bersih Rodriquez, M. (2003). Fenton and UV-Vis Based Advanced Oxidation Processes in Wastewater Treatment: Degradation, Mineralization, and Biodegradability Enhancement, Thesis Program Magister, Universitas Bercelona, Departemen Teknik Kimia dan Metalurgi, Bercelona, 22-91. Suherman, D dan Sumawijaya, N. 2013. Menghilangkan Warna dan Zat Organik air Gambut dengan Metode Koagulasi-Flokulasi Suasana Basa. Riset Geologi dan Pertambangan Vol.23. No, 2 : 125-137. Watts, J.R. (1998), Hazardous Waste: Sources, Pathways, Recycles, John Willey & Sons Inc, New York, 352-362, 568-570, 615-620
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
PENGUATAN SIFAT MEKANIS DAN BIODEGRADABILITY PATI SAGU TERMOPLASTIK TERMODIFIKASI (MODIFIED THERMOPLASTIC STARCH) DENGAN PENAMBAHAN KITOSAN DAN PEMLASTIS GLISEROL Rozanna Dewi1, Nasrun1, Eddy Kurniawan1, Maulita Rizki1 and Fatimah1 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Kimia, Universitas Malikussaleh Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353 e-email:
[email protected] Abstrak Sagu tersedia dalam jumlah yang cukup banyak di Indonesia dan perlu dimanfaatkan lebih optimal untuk meningkatkan nilai tambahnya (added value). Sintesa pati sagu Termoplastik (Modified Themoplastic Starch/TPS) pada keadaan in-situ dengan mereaksikan pati sagu terplastisisasi dengan Difenilmetana Diisosianat (MDI) dan minyak jarak secara bersamaan untuk menghasilkan terbentuknya fase poliuretan prepolimer (PUP) yang lebih homogen telah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Gliserol sebagai plasticizer juga ditambahkan untuk memberikan efek plastisasi dan fleksibilitas plastik. Mekanisme in-situ yang berhasil dilakukan adalah metode baru dalam mensintesa TPS termodifikasi dengan sifat mekanis yang lebih baik dibandingkan dengan metode sebelumnya. Namun demikian, sifat mekanis TPS termodifikasi tersebut masih belum dapat dibandingkan dengan plastik komersial sehingga aplikasinya masih terbatas. Untuk itu, dilakukan penguatan TPS termodifikasi dengan penambahan kitosan sebagai campuran (blend). Selain itu dilakukan uji derajat biodegradabilitasnya untuk melihat keteruraian TPS-kitosan secara alami. Hasil penelitian menunjukkan kondisi optimal penambahan kitosan kedalam TPS adalah 1 gram. Kitosan telah meningkatkan karakteristik mekanis (kuat tarik dan elongasi) dari film TPS dimana kuat tarik maksimum yang diperoleh adalah 194,17 Mpa dan 25,36 %. Dari sisi biodegradabilitas, TPSkitosan dapat diuraikan oleh alam dalam waktu 19 hari, lebih cepat jika dibandingkan dengan TPS yaitu 2-4 bulan. Kata kunci : Film pati sagu termoplastik termodifikasi (TPS), Kitosan, Sorbitol, Kuat Tarik, Elongasi, Biodegradibility.
1.
Pendahuluan Dengan
bahan
dasar
yang digunakan saat ini yaitu polipropilen dan
polietilen, jenis plastik ini sangat membebani terutama karena limbahnya yang sangat tinggi sehingga berpengaruh terhadap biaya produksi termasuk proses daur
220
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
ulang limbahnya. Masalah plastik daur ulang masih menyisakan banyak kontroversi dan diskusi para ilmuwan dan publik pemakainya terkait dengan tingkat keamanan dan kesehatan bagi pemakainya, terutama sejak diterbitkannya Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI No. HK 00.05.55.6497 tentang Bahan Kemasan Pangan tanggal 20 Agustus 2007, yang mulai diberlakukan pada bulan Agustus 2008 yang melarang penggunaan plastik daur ulang untuk kemasan makanan. (Wiwik dkk, 2012)
Pati adalah polisakarida utama yang terdapat dibumi. Umumnya plastik yang disintesa dari pati (starch) yang mengandung kandungan air dalam jumlah yang sedikit adalah sering rapuh. Untuk mengurangi kerapuhan ini, pati diplastikkan dengan plastik hidrofilik seperti gliserol dan dilelehkan untuk membuat pati termoplastik (Thermoplastic Starch/TPS). Bagaimanapun juga, setelah beberapa bulan berada pada kondisi ambient, plastik glicerol TPS menunjukkan perilaku rapuh yang disebabkan migrasi gliserol dari matrik pati. Salah satu cara efektif untuk mencegah terjadinya migrasi plastisizer adalah dengan mencabangkan atau menghubungkan modifier yang mempunyai efek fleksibel kepada pati dengan ikatan kovalen yang akan menghasilkan pati termodifikasi yang mempunyai sifat elastis (Wu et al, 2008). Diantara modifier yang saat ini tersedia, gugus isosianat mempunyai aktifitas yang tinggi untuk bereaksi dengan gugus hidroksil pati. Sehingga, prepolimer poliueratan (PUP) yang mengandung gugus isosianat sering digunakan untuk memperkuat pati. Segmen fleksibel lembut pada poliuretan (PU) dihubungkan pada pati melalui rantai uretan yang berfungsi sebagai pemberi dampak modifier. Variasi dan produksi plastik yang terus menerus meningkat telah menyebabkan kesulitan dalam menangani sampah plastik yang dibuang ke alam dan tidak dapat terurai secara alami oleh alam dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, diperlukan bahan pembuat plastik yang dapat diuraikan secara alami. Salah satu bahan yang telah menjadi tumpuan perhatian adalah pati yang berasal dari beberapa tanaman seperti beras, ubi, jagung dan sagu. Sagu merupakan salah satu pilihan yang sangat ekonomis karena harganya yang murah dan dapat tumbuh
221
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
dengan mudah. Selain itu di Indonesia saat ini, penggunaan sagu sebagai bahan makanan pokok sudah mulai tergeser. Kekurangan yang ditimbulkan oleh plastik dari bahan tumbuhan adalah sifat mekanis yang belum dapat dibandingkan dengan plastik komersial, daya elongasi yang rendah sehingga plastik menjadi kaku, mudah patah dan rapuh, serta menyerap air dan kelembaban dari lingkungan sehingga membatasi aplikasinya terutama sebagai bahan pengemas. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut diatas, maka plastik dari bahan tumbuhan harus dimodifikasi dengan bahan lainya. Penelitian sebelumnya telah menghasilkan metode sintesa modifikasi pati sagu dengan minyak jarak dan MDI secara in-situ. Namun, belum diperoleh hasil yang optimal dari sisi karakteristik mekanis dan daya serap air TPS termodifikasi yang dihasilkan. (Rozanna et al, 2014) Temuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah optimalisasi karakteristik mekanis TPS termodifikasi dengan menambahkan kitosan dan plastic yang dapat diuraikan secara alami oleh alam. Kitosan telah dikenal sebagai bahan campuran yang dapat meningkatkan kekuatan mekanis serta dapat mengurangi sifat penyerapan air plastik biodegradable. Target tersebut diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antara kekuatan mekanis antara plastik biodegradable dengan plastik komersial yang tidak dapat diuraikan oleh alam sehingga berkontribusi kepada pencemaran lingkungan dan juga dapat membahayakan kesehatan manusia karena bersifat karsinogenik. Selain itu, juga sebagai bagian dari pemanfaatan bahan-bahan nabati yang tersedia dan dapat diperbaharui.
2.
Tinjauan Pustaka Salah satu hasil perkebunan yang banyak terdapat di Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) adalah Sagu. Batang sagu merupakan gudang penyimpanan pati atau karbohidrat, yang lingkup pemanfaatannya dalam industri sangat luas, seperti industri pangan, pakan, alkohol, dan bermacam-macam industri kimia lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992). Pati sagu mengandung sekitar 27% 222
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
amilosa dan 73% amilopektin (Haryanto dan Pangloli, 1992). Untuk lebih meningkatkan nilai ekonomi dari batang sagu, pati sagu dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan plastik biodegradable. Kemungkinan mengkombinasikan pati secara kimia atau produk turunan pati dengan resin komersial dimana pati akan bertindak sebagai filler dan agen cross linking mungkin memberikan pendekatan yang layak untuk menggabungkan pati kedalam plastik. Dikarenakan
isosianat sangatlah reaktif dengan gugus
hidroksil, isosianat dapat digunakan untuk mempersiapkan sejumlah resin reaktif yang akan ber cross link dengan pati. (R Chandra and R. Rustgi, 1998) Polimer hasil pertanian mempunyai sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak menjadi film kemasan. Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan film dapat dijelaskan melalui fenomena fase transisi gelas. Pada fase tertentu diantara fase cair dengan padat, masa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan yang tertentu. Fase transisi gelas biasanya terjadi pada bahan berupa polimer. Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut sebagai titik fase gelas (glassy point). Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dapat dikehendaki seperti film kemasan (Latief, 2001). Plasticizer adalah bahan yang mempunyai titik didih yang tinggi dan biasa digunakan sebagai bahan di dalam pembuatan pernis dan plastik tertentu. Plasticizer bersifat tidak menguap akan tetapi hanya menjaga fleksibilitas dan daya rekat dari selulosa film dari pernis atau fleksibilitas lembar plastik dan film (David, 1982). Plasticizer adalah cairan (kadang-kadang padatan) yang mempunyai titik didih yang ketika dicampur dengan suatu polimer memberikan material suatu sifat yang lebih lembut dan lebih fleksible (Kumar dan Gupta, 1998). Plasticizer berfungsi pada polimer polar untuk mengurangi ikatan hidrogen. Dalam seluruh polimer, plasticizer memaksa rantai untuk berpisah, memberikan kemampuan berpindah yang lebih besar terhadap polimer dan 223
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
juga untuk mengurangi kekuatan van der walls rantai-rantai. Plastisasi dapat mengurangi interaksi antar polimer, dengan demikian mengurangi kekuatan dari struktur dimensi polimer dan mengalami perubahan bentuk tanpa pemutusan (Ritchie, dkk, 1972). Keberhasilan
suatu
proses
pembuatan
film
kemasan
plastik
biodegradable dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan. Karakteristik
film
yang
dapat
diuji
adalah
karakteristik
mekanik,
permeabilitas dan daya adsorbsi. Karakteristik mekanik suatu film terdiri dari : kuat tarik (tensile strength), kuat tusuk (puncture strength), persen pemanjangan (elongasion to break) dan elastisitas (elastic/young modulus). Parameter-parameter tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berkaitan dengan stuktur kimianya (Latief, 2001). Gliserol merupakan polialkohol yang diperoleh sebagai hasil samping pembuatan sabun. Gliserol merupakan cairan kental tidak berwarna, bersifat higroskopis, berasa manis dan larut dalam air dalam segala perbandingan. Menurut Yilmaz, dkk (1998), gliserol adalah plasticizer yang paling biasa digunakan untuk pembuatan pati termoplastik. Hart (1990), juga menyebutkan bahwa gliserol
mempunyai titik didih
290ºC. Plastik biodegradabel adalah pastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Karena sifatnya yang dapat kembali ke alam, maka plastik biodegradable merupakan bahan plastik yang ramah terhadap lingkungan (Theresia, 2003). Budiman (2003), menjelaskan bahwa biodegradabel berarti proses pengomposan (composting). Polimer biodegradabel adalah molekul-molekul besar (macromolecules) yang dapat dihancurkan atau diuraikan oleh mikroorganisme, khususnya bakteri dan jamur. Polimer-polimer yang mampu dikomposkan (compostable) harus memenuhi beberapa kriteria, 224
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
yaitu mengandu-ng salah satu dari jenis ikatan asetal, amida atau ester, memiliki berat molekul dan kristalinitas rendah, serta memiliki hidrofilitas tinggi. Senyawa utama yang dimanfaatkan untuk mendapatkan plastik biodegradabel adalah karbohidrat (selulosa dan pati) dan protein. Saat ini keberadaan beras dan ubi kayu di Indonesia termasuk di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam masih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, maka penggunaan pati sagu diharapkan dapat menjadi alternatif potensial untuk menjadi sumber bahan baku plastik biodegradabel di Indonesia. Sebenarnya pohon sagu lebih produktif dibandingkan padi, dimana dapat menghasilkan pati 4 kali lebih banyak (Tony dan Whitten,1996). Plastik biodegradabel berbahan dasar tepung dapat didegradasi oleh bakteri pseudomonas dan bacillus dengan memutus rantai polimer menjadi monomer-monomernya. Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Plastik berbahan dasar tepung aman bagi lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik tradisional membutuhkan waktu sekitar 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plastik biodegradabel dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat (Frinault, 1997). Hasil degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai pakan ternak atau sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradabel yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradabel, karena hasil penguraian mikroorganisme dapat meningkatkan unsur hara dalam tanah. Sampai saat ini masih diteliti berapa cepat atau berapa banyak polimer biodegradabel ini dapat diuraikan alam. Namun, ini menjadi potensi yang besar di Indonesia karena terdapat berbagai tanaman penghasil tepung seperti singkong, beras, kentang dan tanaman lainnya, apalagi harga umbi-
225
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
umbian di Indonesia relatif rendah. Dengan memanfaatkan sebagai bahan plastik biodegradabel, akan memberi nilai tambah ekonomi yang tinggi. Upaya pengembangan teknologi kemasan plastik biodegrdable dewasa ini berkembang sangat pesat. Berbagai riset telah dilakukan di negara maju (Jerman, Prancis, Jepang, Korea, Amerika Serikat, Inggris dan Swiss) ditujukan untuk menggali berbagai potensi bahan baku biopolimer. Aktivitas penelitian lain yang dilakukan adalah bagaimana mendapatkan kemasan thermoplastik degradable yang mempunyai masa pakai yang relatif lebih lama dengan harga yang lebih murah serta perbaikan sifat-sifat fisik dan penggunaan bahan pemlastis. Kemasan plastik biodegradable ini penggunaannya masih terbatas pada produk farmasi, kosmetik dan container. Masalah yang seringkali muncul pada plastik jenis ini terutama untuk kemasan makanan adalah biaya produksi yang mahal dan sifat mekanik/fisik serta sifat barrier yang lebih rendah dibandingkan dengan polimer sintetik. Oleh sebab itu sampai saat ini masih dipakai polimer sintetis (PP, PE, PS dan PVS). (Wiwik dkk, 2012) Kitosan adalah turunan kitin yang pertama kali ditemukan pada tahun1894 oleh Hoppe Seyler. Proses deasetilasi dilakukan dengan merefluks kitin dalam kalium hidroksida (Lisbeth Tampubolon, 2008). Kitin dapat diperoleh dari limbah pengolahan hasil laut. Kandungan kitin pada limbah udang mencapai 42-57%, pada limbah kepiting mencapai 50-60%, cumi-cumi 40% dan kerang 14-35%. Karena bahan baku udang lebih mudah diperoleh, maka sintesis kitin dan kitosan lebih banyak memanfaatkan limbah udang (Yurnaliza, 2002). Kitosan telah mulai diteliti menjadi bahan tambahan sebagai penguat plastik biodegradable sehingga dapat berkompetisi dengan plastic konvensional.
3.
Metode Penelitian
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Pati sagu, Aquades, Minyak jarak, Asam asetat 2%, Dimetilmetana disosianat (MDI), Kitosan, Gliserol, Casting kaca. 226
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Metodologi Kerja Sintesa Campuran TPS Termodifikasi dengan Kitosan 1.
Ditimbang kitosan sesuai dengan variasi berat kitosan yang telah ditetapkan, kemudian dilarutkan kedalam 100 ml asam asetat 2 % didalam gelas beaker ukuran 500 ml dengan cara pengadukan.
2.
Ditimbang 15,5 gram sagu, dan dicampurkan dengan kitosan yang telah tercampur homogen dengan asam aseat 2%.
3.
Campuran sagu dan kitosan tersebut kemudian dipanaskan dan diaduk sampai masak sehingga menjadi gel pada suhu gelatinisasi 67dan waktu sekitar 30 menit.
4.
Selanjutnya ditambahkan minyak jarak dan Dimetilmetana Disosianat (MDI) dengan perbandingan sesuai pada Tabel 1, kemudian campuran diaduk kuat selama beberapa menit sehingga homogen .
5.
Lalu ditambahkan
sorbitol 7 gram sebagai plasticizer. Campuran yang
homogen di cetak pada casting kaca dan dikeringkan pada suhu kamar selama 24 jam.
Tabel 1. Perbandingan berat masing-masing komponen Sampel Nama
Pati Sagu
Asam Asetat 2%
Kitosan
MDI
Minyak Jarak Sorbitol
(gr)
(ml)
(gr)
(ml)
(gr)
(gr)
TPS-kitosan 1
15,5
100
0,5
1
2
7
TPS-kitosan 2
15,5
100
1
2
3
7
TPS-kitosan 3
15,5
100
1,5
3
4
7
TPS-kitosan 4
15,5
100
2
4
5
7
TPS-kitosan 5
15,5
100
2,5
5
6
7
Sampel Pembanding Pati Sagu (PS) :
227
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
1.
Ditimbang 15,5 gram sagu, dan dimasukkan kedalam gelas beaker 500 ml lalu ditambahkan air 77,5 gram.
2.
Sagu dipanaskan dan diaduk sampai masak sehingga menjadi gel pada suhu gelatinisasi 67 sekitar 30 menit.
3.
Ditambahkan sorbitol 7 gram sebagai plasticizer. Campuran yang homogen di cetak pada casting kaca dan dikeringkan pada suhu kamar selama 24 jam.
Sampel Pembanding Prepolimer Poliuretan (PUP) 1.
Ditimbang minyak jarak 7,5 gram kemudian dicampurkan dengan MDI 6,5 ml, dan ditambahkan kitosan 1 gram yang telah dilarutkan dalam asam asetat 2%.
2.
Campuran minyak jarak, MDI dan juga kitosan diaduk kuat selama beberapa menit hingga homogen
3.
Campuran yang homogen di cetak pada casting kaca dan dikeringkan pada suhu kamar selama 24 jam.
Analisa Uji Mekanis TPS Termodifikasi dengan Campuran Kitosan Pengujian Mekanis yang dilakukan adalah tensile test dan elongation at break. Tensile testing adalah peralatan mengukur kekuatan bahan dimana sampel diberikan regangan yang tidak aksial sampai mengalami patahan. Uji kuat tarik dilakukan Electronic System Universal Testing Machines (ASTM D882-81)
Uji Biodegradibility Uji Biodegradability dilakukan untuk mengetahui tingkat penguraian plastik TPS-kitosan. Film plastik yang telah dikeringkan dikuburkan ke dalam tanah yang telah diidentifikasikan sebagai lokasi penguburan. Dihitung waktu penguraiannya dengan melakukan monitoring secara berkala.
228
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4.
Hasil Dan Diskusi
4.1
Uji mekanik TPS dengan penambahan kitosan Sifat mekanik suatu TPS-kitosan diketahui dari respon uji tarik. Uji tarik
yang telah dilakukan akan memberikan informasi kuat tarik dan elongasi dari bioplastik tersebut. Hasil uji kuat tarik dan elongasi dari TPS-kitosan dengan penambahan kitosan dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini: Tabel 2. Hasil uji mekanik variasi TPS-kitosan 0
#.1&*01-#34*,3#(5 02$*40"*403#/ ! *403#/ ! *403#/ ! *403#/ ! *403#/ ! *403#/
5#4 !#2*, (' ..
5#4!#2*, #
&.#/+#/(#/
Kuat tarik (tensile strength) merupakan tarikan maksimum terakhir sebelum putus. Pengujian kuat tarik ini bertujuan untuk melihat kekuatan mekanik plastik. Pengujian kuat tarik dilakukan dengan menggunakan Electronic System Universal Testing Machines berdasarkan standar ASTM D638.
229
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
5#4!#2*,! *403#/
! *403#/ ! *403#/ ! *403#/ ! *403#/ ! *403#/
Gambar 1. Kuat Tarik TPS-kitosan Dari Grafik 1 dapat dilihat bahwa pada penambahan kitosan sebesar 0,5 gr dan 1 gr, nilai kuat tarik TPS mengalami kenaikan, sedangkan pada penambahan kitosan sebesar 1,5 gr, 2 gr dan 2,5 gram, nilai kuat tarik TPS mengalami penurunan. Semakin besar jumlah kitosan yang ditambahkan, maka nilai kuat tariknya akan semakin menurun. Hal ini dikarenakan semakin besar konsentrasi kitosan maka semakin banyak ikatan hidrogen yang terdapat dalam TPS sehingga ikatan kimianya akan semakin kuat dan sulit untuk diputus karena memerlukan energi yang besar untuk memutuskan ikatan tersebut. Hal ini menyebabkan TPS menjadi rapuh dan mudah untuk putus (Utari dkk, 2008). Selain itu, penambahan kitosan sebesar 1,5 gram telah membuat TPS menjadi lebih tebal dan lebih kaku pada saat dicetak. Kondisi terbaik untuk pencetakan TPS terjadi pada penambahan kitosan 0,5 gram dan 1 gram. Plastik TPS- kitosan memiliki sifat mekanik yang melebihi golongan Moderate Properties untuk nilai kuat tarik yaitu 1-10 MPa (Ani, 2010). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rozanna et all tahun 2014 menunjukkan kuat Tarik TPS saja tanpa adanya penambahan kitosan adalah (TPS 1 - TPS 5) sebesar 0,40 kgf/cm2 - 0,47 kgf/cm2, sedangkan kuat tarik PUP murni diperoleh nilai
230
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
sebesar 1, 72 kgf/cm2 (Rozanna et all, 2014). Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa kuat tarik TPS meningkat jauh dengan adanya penambahan kitosan. Uji tarik yang dilakukan pada TPS-kitosan menyebabkan perubahan pertambahan panjang pada sampel yang disebut dengan elongasi. Elongasi merupakan perubahan panjang maksimal film bioplastik sebelum terputus jika diberikan tarikan (Latief, 2001). Hasil persen pemanjangan (% elongasi) dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini:
-0/(#3*! *403#/
! *403#/ ! *403#/ ! *403#/ ! *403#/ ! *403#/
Gambar 2. Elongasi (pemanjangan) TPS-kitosan
Gambar 2 menunjukkan persen pemanjangan (elongasi) dari TPS dengan penambahan kitosan. Penambahan kitosan pada TPS menyebabkan penurunan persen pemanjangan. Persentase elongasi berbanding terbalik terhadap konsentrasi kitosan. Dimana semakin besar konsentrasi kitosan, maka persentase elongasi semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh semakin menurunnya jarak ikatan intermolekuler nya (Salleh dalam Aris Rachman, 2009). TPS dengan kitosan telah memenuhi sifat mekanik untuk golongan Moderate Properties untuk nilai elongasi yaitu 10-20% (Ani, 2010). Dalam Penelitian ini nilai elongasi TPS telah memenuhi golongan tersebut. Dalam standar plastik internasional (ASTM 5336) besarnya persentase pemanjangan 231
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
(elongasi) untuk plastik PLA dari Jepang adalah 9% dan plastik PCL dari Inggris mencapai lebih dari 500 % (Arief, 2013).
4.2
Uji Biodegradability Bioplastik adalah film plastik yang dapat dihancurkan dengan proses
penguraian alami, uji biodegradable ini dilakukan dengan cara mengubur film plastik ke dalam tanah yang telah di tetapkan. Hasil uji biodegradable TPSkitosan dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini: Tabel 3. Hasil Uji Biodegradability TPS-kitosan No 1 2 3 4 5
Nama TPS-Kitosan 1 TPS-Kitosan 2 TPS-Kitosan 3 TPS-Kitosan 4 TPS-Kitosan 5
3 hari 34 26 18 15 12
Kehilangan Berat (%) 7 hari 11 hari 15 hari 19 hari 63 85 100 100 46 70 95 100 33 56 84 100 26 40 72 90 21 31 63 83
Proses terjadinya biodegradasi plastik ini, dimulai dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul menghasilkan polimer dengan berat molekul yang rendah. Proses selanjutnya adalah serangan mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan aktivitas enzim (intracellular, extracellular). Contoh mikroorganisme
diantaranya
bakteri
phototrop
(Rhodospirillium,
Rhodopseudomonas, Chromatium, Thiocystis), pembentuk endospora (Bacillus, Clostridium), dan gram negatif aerob (Pseudomonas, Zoogloa, Azotobacter, Rhizobium), Actynomycetes, Alcaligenes (Griffin, 1994).
232
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
#+5*0%&(2#%*$*-*46! *403#/
&)*-#/(#/&2#4
! *403#/
! *403#/
5.-#)#2* ! *403#/
! *403#/
! *403#/
Gambar 3. Laju Biodegradability TPS-kitosan
Berdasarkan Grafik 3 diatas terlihat bahwa laju kehilangan berat (%) film bioplastik pada berbagai komposisi relatif sama, namun kehilangan berat film dipengaruhi oleh komposisi poliuretan (MDI) dan kitosan. Semakin banyak kandungan poliuretan dalam campuran TPS maka semakin rendah kehilangan beratnya. Pati merupakan biopolimer alam yang dapat terbiodegradasi secara total di alam, sedangkan kitosan mempunyai laju biodegradasi yang relatif lambat dibandingkan dengan pati. Tingkat biodegradasi bahan polimer dipengaruhi oleh struktur polimer yang bersangkutan. Polimer dengan struktur amorf lebih mudah di biodegradasi dibanding polimer dengan struktur kristalin. Oleh karena derajat kristalinitas biopolimer kitosan lebih tinggi dibanding pati, maka semakin tinggi kandungan senyawa ini dalam campuran TPS maka semakin rendah laju biodegradasinya. Pada Gambar 3 diatas, didapat hasil kehilangan berat hampir 100% terjadi pada hari ke-19 disebabkan oleh cuaca yang sedang dalam musim hujan sehingga menyebabkan kelembapan tanah meningkat. Pada hari ke 21 TPS-kitosan tidak dapat ditimbang lagi berat akhirnya karena sudah bercampur merata dengan pasirpasir dan tanah. 233
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
5
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan kondisi optimal penambahan kitosan kedalam TPS adalah 1 gram. Kitosan telah meningkatkan karakteristik mekanis (kuat tarik dan elongasi) dari film TPS dimana kuat tarik maksimum yang diperoleh adalah 194,17 Mpa dan 25,36 %. Dari sisi biodegradabilitas, TPS-kitosan dapat diuraikan oleh alam dalam waktu 19 hari, lebih cepat jika dibandingkan dengan TPS tanpa kitosan yaitu 2-4 bulan. 6
DAFTAR PUSTAKA
Carme Coll Ferrer M, Bab David, Ryan Anthony J, 2008, Characterisation of polyurethanenetworks based on vegetable derived polyol, Journal Polymer 49, Elsivier, 3279 – 3287. Dayanti, R. 2009. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Plasticizer serta Nisbah Pati dengan Air Terhadap Sifat Fisik Edible Film Pati Sagu (Metroxylon sp). USK. Banda Aceh. Frinault, A.D.J. 1997. Preparation of Casein Film by a Modified Wet Spinning Process. lhttp://www.google.com/ biodegradable/zein Haryanto, B. dan Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta. Hong Juan Wang, Min Zhi Rong, Ming Qiu Zhang, Jing Hu, Hui Wen Chen and Tibor Czigany. 2008. Biodegradable Foam Plastics based on Castor Oil, 9, 615 – 623 Isobe, S. 1999. Properties of Plasticized-Zein Film as Affected by Plasticier Treatments. In Formula dan rekayasa proses pembuatan biodegradable film dari zein jagung; Paramawati, R.:PPS – IPB, Bogor. Lu Yoshang, TighzertLan, Berzin Francoise, Sebastian Rondot, 2005. Innovative plasticized starch films modified waterborne polyurethane from renewable resources, CarbohydratePolymer, 61, 174 – 182. Liu Dagang, TianHuafeng, Zhang Lina, Chang Peter R, 2008, Structure and properties of blendfilms prepared from castor oli-based polyurethane/soy protein derivative, Journal Materials andInterfaces, Industrial Engineering and Chemical Research, 9330 -9336. Marie Matet, Marie-Claude Heuzey, Eric Pollet, Abdellah Ajji and Luc Averous, 2013, Innovative Thermoplastic Chitosan Obtained by ThermoMechanical, Carbohydrate Polymer, 95, 241-251 Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI No. HK 00.05.55.6497 tentang Bahan Kemasan Pangan , 20 Agustus 2007. Qiu Wu lin, Zhang Farao, Endo T and Hirotsu T, 2005, Isocyanate as a compatabilizing agent on the properties of highly crystalline
234
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
cellulose/polypropylene composites, Journal of Material science, 40, 3607 -3614. Randal, D., dan Lee. 2002. “The Polyurethanes Book” Jhon Willey & Son. Ltd. Everberg R. Chandra and R. Rustgi. 1998. Biodegradable Polymer. Prog. Polymer. Sci. 23. 1273–1335. Robertson, L.G., 1992 “Food Packging Principles and Practice” Marcell Dekker. Inc. New. York. Rozanna Dewi, harry Agusnar, Basuki Wirjosentono, Halimahtuddahliana, and Medyan Riza, Synthesis of Modified Thermoplastic Starch (TPS) Using In-situ Technique, Advancesin Environmental Engineering, 8(18) special 2014, pages 26-33. Sinawayan, P., Ooi, T.Y., Norin, Z.K.S., Ahmad, S., Ang, P.F., Yap, K.S., Wiese, D. and Chua,M.F. 2001. Industrial Application of Malaysian palm oil based polyurethane products.Proceeding of PIPOC. Wiwik Pudjiastuti, Arie Lystiarini dan Sudirman, 2012, Polimer Nanokomposit sebagai Master Batch Polimer Biodegradable untuk Kemasan Makanan, Jurnal Riset Industri Vol. VI No. 1, 2012, Hal. 51-60 Wu Qiangxian, Zhengshun Wu, Huafeng Tian, Yu Zhang, and Shuilian Cai. 2008.Structure and Properties of Tough Thermoplastic Strach Modified with polyurethane microparticles. IndustrialEngineering and Chemical Research, 47, 9896 – 9902.
235
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
EFEKTIVITAS SUHU DAN WAKTU DISTILASI TERHADAP KOMPOSISI KIMIA ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KEMIRI Sulhatun1, Nasrun1,Cut Putri1 1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353 e-mail:
[email protected]
Abstrak Distilasi asap cair merupakan salah satu usaha pemanfaatan asap cair hasil pirolisis menjadi produk yang mempunyai nilai guna tinggi, dilakukan dengan melakukan pemisahan komponen-komponen senyawa kimia dengan berdasarkan perbedaan titik didih. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu distilasi terhadap komposisi kimia asap cair dari tempurung kemiri. Asap cair hasil distilasi dengan variasi suhu 125; 150; 175; dan 200oC dilakukan analisa GC-MS untuk mengetahui kandungan tar dan benzopirien didalam asap cair. Pada suhu 125-150oC diperoleh nilai pH rendah,175-200oC diperoleh nilai pH tinggi, dan pada suhu 125oC diperoleh distilat rendah 83,81% sedangkan pada suhu 200oC diperoleh distilat tinggi 90,93%. Semakin tinggi suhu distilasi maka semakin besar persen distilat yang diperoleh dan kandungan PAH (Policyclyc Aromatic Hydrokarbon) dalam asap cair hasil distilasi sudah menghilang sehingga asap cair sudah terbebas dari kandungan karsinogenik. Asap cair hasil distilasi menghasilkan grade 2 pada suhu 2000C dengan waktu maksimum 2 jam diperoleh kandungan fenol sebesar 60,77%. Kata Kunci : Distilasi, Asap Cair, Tempurung kemiri 1. Pendahuluan Sejak akhir tahun 2005, formalin merupakan bahan kimia yang paling banyak dibicarakan di tengah masyarakat di seluruh tanah air, baik dikalangan ilmuan maupun dikalangan masyarakat umum. Hal ini disebabkan karena kekhawatiran masyarakat akan dampak penggunaan formalin dalam makanan terhadap kesehatan. Formalin dapat menyebabkan berbagai macam penyakit antara lain tenggorokan, perut perih rasa terbakar, dan penyebab kanker. 236
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Banyak hasil alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami. Atas dasar itu, peneliti tertarik melakukan penelitian membuat asap cair dari cangkang kemiri sebagai pengawet, dikarenakan karena cangkang kemiri merupakan hasil samping dari buah kemiri. Sebagian besar cangkang kemiri belum dimanfaatkan secara maksimal oleh industri dan masyarakat sebagai penghasil asap cair. Dominannya selama ini asap cair yang dihasilkan oleh industri sebagian besar berasal dari cangkang kelapa. Kemiri merupakan salah satu komuditi yang paling banyak ditanam di Indonesia, selain menghasilkan produksi minyak yang cukup tinggi, produk samping atau limbah juga tinggi. Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu dikembangkan untuk mengolah hasil sampingan seperti cangkang kemiri agar dapat diolah menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, seperti asap cair. Asap cair dapat diproduksi dengan cara pirolisis yaitu pembakaran dengan sedikit udara atau tanpa udara terhadap bahan baku. Maka akan diperoleh rendemen berupa asap cair yang dapat digunakan sebagai biopreservatif baru pengganti preservatif kimia. Limbah pertanian mempunyai potensi yang cukup besar untuk digunakan sebagai bahan utama pembuatan asap cair seperti cangkang kemiri. Pemanfaatan limbah pertanian ini menjadi suatu produk yang dapat memberikan nilai tambah dari sektor pertanian. Sehingga dapat dimanfaatkan dan tidak terbuang dengan sia-sia. Pemanfaatan asap cair sebagai pengawet makanan telah banyak diteliti dan dilakukan oleh manusia, pemanfaatan asap cair ini sangat bergantung pada kondisi asap cair itu sendiri karena selain terdapat kandungan fenol dan asam- asam organik, juga terdapat beberapa komponen yang berbahaya pada asap cair itu yaitu tar dan senyawa-senyawa polisiklik hidrokarbon aromatis yang sebagian bersifat karsinogenik serta menyebabkan kerusakan asam amino esensial dari protein dan vitamin, juga sifat keasaman asap cair yang sebagian besar dihasilkan dari senyawa-senyawa asam organik yang terdekomposisi pada proses pirolisis, kualitas asap cair itu sendiri dan kandungan senyawanya sebagian besar
237
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
juga dipengaruhi oleh suhu pirolisis mengingat senyawa kimia didalamnya dapat terdekomposisi pada suhu yang berbeda-beda. Hal ini membuat peneliti ingin memanfaatkan asap cair hasil pirolisis cangkang kemiri, mejadi suatu hasil produk yang terhindar dari sifat-sifat karsinogenik, sehingga dapat meningkatkan mutu atau kualitas dari asap cair cangkang kemiri. Peneliti juga mengharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan masyarakat desa. Serta memberikan informasi yang bermanfaat tentang senyawa-senyawa yang terkandung dalam asap cair tersebut untuk mengetahui pemanfaatannya dan memperkaya wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Tinjauan Pustaka Distilasi adalah teknik untuk memisahkan larutan ke dalam masing-masing komponennya. Prinsip destilasi adalah didasarkan atas perbedaan titik didih komponen zatnya. Destilasi dapat digunakan untuk memurnikan senyawasenyawa yang mempunyai titik didih berbeda sehingga dapat dihasilkan senyawa yang memiliki kemurnian yang tinggi. Ketika uap diproduksi dari campuran, uap tersebut lebih banyak berisi komponen-komponen yang bersifat lebih volatil, sehingga proses pemisahan komponen-komponen dari campuran dapat terjadi. Komponen-komponen dominan yang mendukung sifat fungsional dari asap cair adalah senyawa fenolat, karbonil dan asam. Senyawa-senyawa penyusun asap cair yang mempunyai persen massa tinggi ada yang dapat digunakan pada produk makanan, akan tetapi ada juga senyawa yang berbahaya bagi kesehatan. Senyawa furfural , 2-methyl-2cyclopentenone, guaiacol , 2,3-butanedione aman digunakan pada makanan. Senyawa furfural dan 2-methyl-2-cyclopentenone merupakan senyawa penting untuk citarasa pada produk makanan. Asap cair memiliki banyak manfaat dan telah digunakan
pada berbagai industri, antara lain dalam Industri pangan,
Industri perkebunan, dan Industri Kayu.
238
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
3. Metode Penelitian Pada penelitian ini digunakan empat tahap proses penelitian yaitu penyiapan,pembuatan, pemurnian, analisa. Tahap penyiapan meliputi pada pemilihan bahan baku (sampel), pembuatan alat, serta tempat penelitian. Tahap pembuatan adalah proses produksi asap yaitu pirolisis serta kondensasi. Tahap pemurnian adalah proses pendistilasian asap cair agar menghasilkan peningkatan mutu asap cair. Tahap terakhir adalah tahap analisa produk dengan mengukur kualitas yang dihasilkan dari sampel tersebut. Tahap distilasi dilakukan pada suhu 125, 150 , 175 dan 200 oC selama 0,5; 1; 1,5; dan 2 jam. Untuk membuat asap cair yang terbebas dari kandungan karsinogenik.
Gambar 1. Rangkaian Alat Distilasi
4. Hasil dan Diskusi Komponen yang memiliki titik didih rendah akan terlebih dahulu menguap dibandingkan dengan titik didih tinggi. Senyawa aktif yang terdapat didalam asap cair adalah fenol, asam, dan karbonil. Masing- masing senyawa tersebut memiliki titik didih yang berbeda. Fenol mempunyai titik didih 162–200 oC, asam mempunyai titik didih 118-176 oC, dan karbonil mempunyai ttik didih 21-97 oC. Distilasi asap cair cangkang kemiri sebanyak 250 ml menggunakan variasi suhu yaitu 125, 150, 175, dan 200 0C.
239
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Hasil produk distilasi yang diperoleh dapat dilihat dalam tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil Distilasi Asap Cair Cangkang Kemiri Waktu
Suhu
Distilat
% Rata-Rata
Residu
% Rata-Rata
Distilasi
(C)
(%)
(Distilat)
(%)
(Residu)
(jam) 0,5
125
22,2153
1
125
22,7547
1,5 0,5 2
125 150 125
19,5294 23,4423 19,3148
1
150
23,573
1,5 0,5 2
150 175 150
20,6553 20,3524 18,2868
1
175
24,7683
1,5 0,5 2
175 200 175
22,0288 22,0201 20,3497
1
200
25,9318
4,29 83,81
4,3942
16,18
3,7713 3,8296 3,7299 85,95
3,851
14,04
3,3743 2,9076 2,9874 87,49
3,5385
12,5
3,1471 2,1943 2,9072 90,93
2,5841
9,06
1,5 200 23,572 2,349 Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa distilasi 2 2004.1 diatas 19,4138 1,9346yang dilakukan dengan tingkat suhu yang berbeda maka diperoleh hasil distilat yang berbeda pula. Pada suhu 200oC diperoleh hasil distilat yang tinggi 90,93%, sedangkan pada suhu 125oC hasil distilat hanya 83,81%. Adanya perbedaan hasil distilat yang diperoleh disebabkan karena pada suhu 200oC komposisi senyawa kimia yang terdapat didalam asap cair distilasi sudah terkondensasi secara sempurna. Grafik yang memperlihatkan hubungan temperatur distilasi dengan rendemen asap cair dapat dilihat dalam grafik 4.1.
240
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Pada da gambar 4.1 tterlihat kenaikan pada hasil distilat, ilat, kenaikan hasil distilat ini menunjukkan perba perbandingan, semakin tingggi suhu yang dilakukan dila maka semakin tinggi nggi pula ha hasil produk yang diperoleh. Pada ada suhu distilasi dis 200oC menghasilkan an hasil (dis (distilat) asap cair tertinggi. Sebaliknya liknya pada suhu 125oC diperoleh hasil asil residu yyang rendah. semakin tinggi suhu yang dilakukan dila maka ndah hasil ris risidu yang diperoleh. semakin rendah 4.2
il Analisa D Derajat Keasaman (pH) Hasil an asap cair maka perlu Untuk mengetahui kadar asam/ derajat keasaman
saman suatu asap cair diukur pH asap cair hasil distilasi. Tingkat keasaman ruhi kualitas yang terdapat didalam asap cair. Berdasarkan Berda hasil mempengaruhi sap cair diata diatas, asap cair tertinggi diperoleh pada ada suhu 200oC, dan asap rendemen asap cair dengan rendemen terendah dihasilkan pada suhu 150oC. Hasil analisa pH dapat dilihatt dalam tabel 4.2.
241
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 4.2 Analisa Derajat Keasaman (pH)
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa nilai pH asap cair distilasi pada suhu 125, 150, 175, dan 200oC berturut- turut adalah 5,29; 5,14; 5,48; 5,86. Pada suhu 125- 150oC pH mengalami penurunan, dikarenakan pada suhu tersebut terjadi pemisahan kandungan air, dan asam organik. Pada suhu 175- 200oC menunjukkan nilai pH tinggi karena terjadi pemisahan kandungan fenol. 4.3
Hasil Analisa Densitas Densitas dari suatu zat adalah massa dari sejumlah volum suatu zat pada
temperatur dan tekanan tertentu. Untuk asap cair yang berasal dari cangkang 242
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
kemiri diuji ji kadar den densitasnya dengan cara menimbang picnometer picnom terlebih dahulu dan menimbang picnom picnometer yang berisi sampel, lalu hasil sampel sa tersebut dikurangkann selanjutnya dibagi dengan volume picnometer. Adapun hasil dari analisa densitas nsitas asap cair dapat dilihat dari tabel 4.3. Tabel 4.3 Analisa Dens Densitas (!)
Dari hasil tabel diatas maka dapat dibuat sebuah grafik. Grafik perbandingan perba nilai densitas terhadap hadap suhu ddistilasi dapat dilihat dalam grafik rafik 4.3
243
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Grafik diat diatas pemperlihatkan pengaruh variasi
waktu wa terhadap
densitas asap ap cair cangk cangkang kemiri hasil distilasi. Dari grafik diatas dapat dilihat nilai dari densitas ensitas asap cair cangkang kemiri yang tidah idah jauh berbeda, b yaitu pada run pertama densi densitasnya 0,98578; run kedua dua 0,98316; run ketiga 0,97955; dan an keempat 0,97917. Berdasarkan hasil analisa lisa yang diperoleh dip dapat diambil kesimpulan, simpulan, semakin tinggi suhu asap cair makaa semakin rendah re densitas yangg dihasilkan. 4.4
Analisa lisa GC-MS Untuk mengetahui hhasil komponen senyawa apa yan terkandung pa saja yang
didalam asap ap cair, ma maka perlu dilakukan analisa GC-MS. -MS. An Analisa GS-MS dilakukan pada sebelum dan sesudah distilasi, tujuanya uanya untuk mengetahui perbandingan an jumlah ko komponen asap cair yang diperoleh. leh. 4.4.1
Hasil il Analisa G GC-MS Sebelum Distilasi Komposisi kimia asap cair dari cangkang kemiri ri hasil pirolisis di analisa
dengan GC-MS, S, untuk m mengetahui kualitas dan kuantitas seny tas dari senyawa-senyawa yang terdapat at dalam asa asap cair. Hasil Analisa GC-MS yang ang terdapat ddidalam asap cair sebelum distilasi dap dapat dilihat dalam tabel 4.4.
244
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Dari ri hasil anali analisa pirolisis diperoleh 7 komponen, ponen, yang terdiri t dari 1 komponen golongan asa asam, 2 komponen senyawa keton dan aldehid, 3 komponen senyawa fenol, nol, dan satu komponen dalam senyawa benzenol. enzenol. Dalam asap cair hasil pirolisis diperoleh kkandungan fenol tinggi yaitu 5-Metil Guaiakol, Gu 6-Etil Guaiakol, 4-Etil -Etil Guaiak Guaiakol, secara berturut- turut (73,44%), 4%), (13,05%), (13,05% (2,58%). Kandungan asam didala didalam pirolisis hanya sebesar (3,19%). 9%). Hasil analisa ana asap cair pirolisis didapatkan ka kandungan benzenol yaitu Oxybenzene enzene sebesar sebe (2,36%). Kandungann benzenol me merupakan komponen yang bersifat rsifat karsiogenik, karsioge sehingga berbahaya bila terdapat didalam asap acair, dan oleh karena itu maka perlu dipisahkan dengan me melakukan proses distilasi agarr terbebas dari da komponen karsiogenik. nik. 4.4.2
Hasil il Analisa G GC-MS Sesudah Distilasi Berdasarkan dasarkan hasil rendemen yang diperoleh maka ka asap cair yang diambil
ntuk di analisa alisa GC-M GC-MS yaitu pada suhu 200oC, karena rena pada suhu tersebut tertinggi. dihasilkan % rendemen te
245
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 4.5 Hasil Analisa GC-MS Sesudah Distilasi No.
Komponen
Area (%) Hasil analisa
Senyawa Asam 1.
2.
Asam Asetat Senyawa Furan dan Piran
7,09
Furfural
8,31
Senyawa Fenol dan Turunannya 3.
2- Metoksi Fenol (Guaiakol)
60,77
4.
4- Etil Guaiakol
4,19
5.
Hidrokuinon
2,33
Senyawa Alkohol 6.
p-Anisil Alkohol Metanol
Total
100,00 Proses Distilasi didahului dengan penguapan senyawa cair dengan
17,31
pemanasan dilanjutkan dengan pengembunan uap yang terbentuk dan ditampung dalam wadah yang terpisah untuk mendapatkan distilat. Distilasi asap cair dilakukan untuk memisahkan zat aktif
pada asap cair yaitu fenol, asam-asam
organik dan juga karbonil sehingga didapatkan asap cair yang memiliki sifat pengawetan yang tinggi dan terhindar dari senyawa karsinogenik seperti PAH dan tar. Proses distilasi juga dilakukan untuk menentukan kualitas asap cair grade 1, 2 dan 3 berdasarkan komposisi kimia yang terkandung. Hasil analisa GC-MS diperoleh enam senyawa, L-Asam Askorbat (7,09%), Furfural (8,31%), 2Metoksi Fenol Guaiakol (60,77%), 4-Etil Guaiakol (4,19%), Hidrokuinon (2,33%), p-Anisil Alkohol Metanol (17,31%). Dalam hasil distilasi sudah tidak ditemukan lagi kandungan benzenol, kandungan benzenol sudah terpisahkan didalam asap cair hasil residu, karena benzenol tidak menguap pada suhu 200oC. Benzenol akan menguap pada suhu 300- 400oC. Pada penelitian ini, komponen yang paling dominan dalam asap cair hasil distilasi dari cangkang kemiri adalah Fenol sebesar (60,77%) dan L-Asam Askorbat (7,09%) sedangkan pada penelitian Widiya; dkk (2013) komponen yang 246
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
paling banyak terdapat dalam asap cair kulit durian pada suhu pirolisis 200oC adalah asam asetat sebesar (70,55%), dan fenol (2,11%).
Adanya
perbedaan
komposisi kimia dalam asap cair disebabkan karena adanya perbedaan bahan baku yang digunakan. Perbedaan bahan baku yang digunakan
menunjukkan
perbedaan komposisi kimia yang terkandung didalamnya. Fenol diperoleh dari dekomposisi lignin, asam asetat diperoleh dari dekomposisi selulosa, hemiselulosa dan pati. Didalam cangkang kemiri komponen yang paling banyak adalah lignin sekitar 44,4 % (Paimin. 1997). Sedangkan komponen yang paling banyak dalam kulit durian adalah selulosa, pati dan hemiselulosa sekitar 30 % (Dewati; dkk. 2011). Senyawa yang mendukung sifat antibakteri dalam asap cair adalah adanya senyawa asam dan fenol. Senyawa asam lebih
kuat
menghambat
pertumbuhan bakteri dari pada senyawa fenol, tetapi kombinasi keduanya akan meningkatkan kualitas asap cair (Darmadji, 2009). Fenol merupakan senyawa yang paling bertanggung jawab pada pembentukan aroma spesifik yang diinginkan pada produk asapan, terutama fenol dengan titik didih medium seperti guaiakol (2-metoksi fenol), eugenol dan siringol (Guillen.1996). Sedangkan senyawa furfural dan asetofenon memunculkan aroma sugary dan flowery yang menyenangkan dan membantu mengurangi flavor dari senyawa fenol. Senyawa karbonil yang memiliki bau caramel seperti senyawa- senyawa keton, aldehid, ester dan lain-lain juga memegang peranan penting dalam asap cair (Kim; dkk. 1972). Senyawa karbonil, lakton dan furan memberikan flavor agar karakteristik asap muncul (Darmadji, 2009). Senyawa-senyawa penyusun asap cair yang mempunyai persen massa tinggi dapat digunakan pada produk makanan. Senyawa furfural , 2Metoksi Fenol (Guaiakol), 4- Etil Guaiakol, hidrokuinon aman digunakan pada makanan. Senyawa furfural dan 2- Metoksi Fenol (Guaiakol) merupakan senyawa penting untuk citarasa pada produk makanan, guaiacol merupakan salah satu komponen Fenol yang penting sebagai antioksidan pada produk makanan sehingga memperpanjangmasa simpan produk. 247
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Dari ri data penga pengamatan yang telah dilakukan, dapat apat dibuat sebuah s grafik perbandingan an persentase hasil analisa GC-MS asap cair pirolisis ddengan hasil analisa GC-MSS asap ca cair distilasi. Perbandingan tersebut ebut dapat dilihat di dalam gambarr 4.4.
Gambar 4.4 Grafik Peb Pebandingan Jumlah Kandungan gan Senyawa A Asap Cair Dari ri grafik perb perbandingan diatas dapat dilihat kandungan andungan Fenol F didalam asap cair baik aik sebelum dan sesudah distilasi menghasilkan asilkan persentase perse tinggi, dibandingkan an dengan se senyawa- senyawa lainnya . Hal ini dikarenakan dikarenaka kandungan lignin didalam cangkang kemiri lebih tinggi (Paimin. 1997). Kualitas Kual asap cair dibagi menjadi 3 grade yaitu grade 1, grade 2 dan grade 3 Grade pe pertama adalah asap cair yang ang digunak digunakan untuk pengawet makanan seperti eperti bakso, tempe, mie, tahu dan lain-lain. Gr Grade kedua adalah asap cair yang digunakan diguna sebagai pengganti formalin sepe seperti ikan dan daging. Grade ketiga iga adalah asap as cair yang digunakann untuk penga pengawet kayu dan karet. Menurut rut Food and A Agriculture Organization of the Un United nations (FAO) komposisi asap cair da dalam makanan meliputi total tal asam, karb karbonil, dan fenol. Berdasarkan hasil sil analisa yang ya diperoleh maka asap cair cangk cangkang kemiri hasil distilasi dengan ngan suhu 200 oC dapat digolongkann dalam pene penentuan grade kedua.
248
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
5.1
Kesimpulan Dari hasil penelitian pemurnian asap cair cangkang kemiri dapat di ambil
kesimpulan sebagai berikut : 1.
Persentase rendemen destilat tertinggi dihasilkan pada suhu distilasi 200oC sebesar 25,9318%.
2.
Hasil analisa GC-MS diperoleh kandungan Fenol tinggi. Kandungan fenol sebelum distilasi (73,44%), dan sesudah distilasi diperoleh (60,77%), hal ini dikarenakan didalam komposisi kimia cangkang kemiri terdapat komposisi kandungan lignin yang tinggi, sehingga menghasilkan fenol tinggi.
3.
Asap cair distilasi tempurung kemiri menghasilkan kandungan fenol tinggi sedangkan asap cair distilasi kulit durian (Widiya; dkk 2013) menghasilkan kandungan asam tinggi, perbedaan keduanya disebabkan karena adanya perbedaan jenis bahan baku yang digunakan.
4.
Pada suhu 125-150oC diperoleh nilai pH rendah, dan suhu 175200oC diperoleh nilai pH tinggi.
5.
Dalam asap cair hasil distilasi, kandungan PAH sudah menghilang sehingga asap cair sudah terbebas dari kandungan karsiogenik. Penentuan grade asap cair hasil distilasi cangkang kemiri dapat digolongkan dalam garde 2.
6. Daftar Pustaka. Anonimus, 2010. Asap Cair. Google. http://google.co.id /google/Asap_cair (Liquid smoke). [25 Desember]. Bernasconi, G., H. Gerster, H. Hauser, H. stauble dan E. Scheiter, 1995.Teknologi Kimia 2. Penerjemah Lienda Handojo, Pradnya Paramita, Jakarta. Buckingham, 2010. Asap Cair dan Etanol. Google. http://google.co.id /google/Asap_cair_dan Etanol. [20 April].
249
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Carmila, O., 2004, Pembuatan Pulp Dari Tandan Kosong Sawit, TGA D-III Teknik Kimia Politeknik Kimia. Darmadji, P. 1996. Aktivitas Anti bakteri Asap Cair yang Diproduksi dari Bermacam-macam Limbah Pertanian. Yogyakarta : Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada. Darmadji, P. 1999. Sifat Antioksidatif Asap Cair Hasil Redistilasi Selama Penyimpanan. Prosiding Seminar Nasional Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta.
250
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
PEMANFAATAN LIMBAH SERAT AMPAS TEBU (SACCHARUM OFFICINARUM) SEBAGAI BAHAN BAKU GENTENG ELASTIS Mis Ariska AJ Rambe1, Fiqhi Fauzi1,SitiKhanifa1 1 Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Sumatera Utara, Jln. Bioteknologi e-mail:
[email protected] Abstrak Genteng polimer merupakan suatu material yang ringan dimana campurannya terdiri dari agregat pasir sebagai pengisi, aspal sebagai perekat dan serat ampas tebu sebagai penguat yang banyak mengandung parenkim serta mengandung air 48%-52%, gula 2,5%-6% dan serat 44%-48%. Sehingga genteng polimer cocok dikembangkan untuk menggantikan genteng beton yang sangat berat dan mudah retak, seng (Zn) yang mudah mengalami korosi. Dalam penelitian ini genteng elastis dibuat dengan mencampurkan bahan polimer (aspal) dan serat ampas tebu dengan metode sederhana cetak dan tekan.Kelayakan serat ampas tebu yang digunakan karena seratnya memiliki kekuatan yang baik dimana panjang seratnya 1,7-2 mm sedangkan aspal memiliki daya rekat yang sangat tinggi. Genteng elastis dibuat dengan memvariasi komposisi 80:0 gr, 78:2 gr, 76:4 gr,74:6 gr, 72:8 gr, 70:10 gr dicampur selama 15 menit pada suhu 100 oC, kemudian dicor dan ditekan selama 1/2 jam pada suhu 120oC dan tekanan 38 atm (38,5 x 105Pa) dengan Hot Compressor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran yang bagus sesuai dengan percobaan adalah berupa campuran agregat pasir halus dan serat ampas tebu dengan perbandingan 70:10:20 gr memiliki sifat fisis uji daya serap air 2,72% , porositas 4,5%. Kemudian memiliki sifat mekanik kuat impak 129,8J/m2, kuat lentur 11840 N/m2 dan kuat tarik 3500 N/m2. Sehingga genteng elastis dapat digunakan untuk atap rumah. Kata Kunci : Aspal, Genteng Elastis dan Serat Ampas Tebu 1. Pendahuluan Perkembangan akhir-akhir ini akan atap rumah sudah mempunyai berbagai macam tipe dan bahan penyusunnya. Seperti bahan Zn (seng) dan bahan Al (alumunium) yang sudah banyak dipasarkan. Namun dari segi harga bisa jadi kurang ekonomis. Sehingga dibuatlah suatu genteng dimana memiliki ketahanan akan air, kelembaban (korosi).Yakni dengan melakukanpencampuran bahan khusus yang elastis, memiliki daya tahan terhadap panas, air,kelembaban dan bermassa yang cukup ringan dengan mencampurkan serat dari bahan organik yang sudah tidak digunakan lagi. Dengan itu kita telah melakukan dua tujuan yakni,
251
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
mencegah global warming, memanfaatkan suatu bahan yang tidak bernilai guna (limbah) menjadi jauh lebih berguna (Biocerra.co.id, 2014). Milawarni (2013) mengadakan penelitian pembentukan material genteng polimer dari bahan baku serat sabut kelapa dengan perekat polipropilen bekas melalui metode pencampuran mekanik. Hasil yang didapat dari penelitian tersebut adalah fraksi massa aspal : polipropilen : pasir : serat sabut kelapa (10:10:77:3) memiliki nilai kekuatan tarik sebesar 53,26 kgf/cm2, kekuatan lentur 91,37kgf/cm2 dan kekuatan impak sebesar 2 J/cm2.Genteng elastis merupakan suatu material yang ringan dimana campurannya terdiri dari agregat pasir sebagai pengisi, aspal sebagai perekat dan serat ampas tebu sebagai penguat yang banyak mengandung parenkim serta mengandung air 48%-52%, gula 2,5%6% dan serat 44%-48%. Sehingga genteng elastis cocok dikembangkan untuk menggantikan genteng beton atau genteng tanah liat yang sangat berat dan mudah retak sedangkan genteng dari seng (Zn) atau aluminium (Al) yang mudah mengalami korosi. Genteng polimer diharapkan memberikan 2 sifat yang unggul dan dapat memberikansebuah kontribusi penting bagi masyarakat serta bidang industri (Surdia, 1995).Dalam penelitian ini dibuatlah suatu genteng elastis sebagai material atap rumah mencampurkan bahan polimer (aspal), agregat kasar (kerikil), agregat halus (pasir) dan serat ampas tebu dengan teknik konvensional cetak dan tekan. Kelayakan aspal sebagai material perekat dikarenakan aspal memiliki sifat viskoelastis, tahan terhadap air dan memiliki ikatan kohesivitas (adhesi dan kohesi) yang membentuk suatu ikatan silang untuk mengikat agregat ataupun serat lebih kuat sedangkan serat ampas tebu sebagai bahan penguat karena serat tebu memiliki kekuatan yang sangat baik dimana panjang seratnya sekitar 1,7-2 mm. Sehingga campuran tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu genteng elastis yang memiliki sifat fisis dan mekanik yang baik. Uji karakterisasi untuk genteng elastis sifat fisis (daya serap air dan porositas) dan sifat mekanik (kuat impak, kuat tarik dan kuat lentur). Hasil akhir penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan sebagai material atap rumah pengganti genteng tanah liat, genteng beton, genteng seng (Zn) dan genteng aluminium (Al).
252
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
2.TinjauanPustaka Agregat merupakan butiran mineral alami atau buatan yang berfungsi sebagai bahan pengisi dalam campuran genteng. Agregat ini menempati kirakira 70 % sampai 80% dari volume genteng yang akan dibuat nantinya. Meskipun sebagai bahan pengisi, agregat sangat berpengaruh pada sifat-sifat genteng ini. Dilihat dari ukurannya, agregat dapat diklasifikasikan menjadi : (Asiyanto, 2008) 2.2 Aspal Aspal ialah bahan hidrokarbon yang bersifat melekat (adhesive), berwarna hitam kecoklatan, tahan terhadap air, dan visoelastis. Aspal sering juga disebut bitumen merupakan bahan pengikat pada campuran beraspal yang dimanfaatkan sebagai lapis permukaan lapis perkerasan lentur. Aspal berasal dari aspal alam (aspal buton} atau aspal minyak (aspal yang berasal dari minyak bumi). Berdasarkan konsistensinya, aspal dapat diklasifikasikan menjadi aspal padat, dan aspal cair.Aspal atau bitumen adalah suatu cairan kental yang merupakan senyawa hidrokarbon dengan sedikit mengandung sulfur, oksigen, dan klor. Aspal sebagai bahan pengikat dalam perkerasan lentur mempunyai sifat viskoelastis. Aspal akan bersifat padat pada suhu ruang dan bersifat cair bila dipanaskan. Kandungan utama aspal adalah senyawa karbon jenuh dan tak jenuh, alifatik dan aromatic yang mempunyai atom karbon sampai 150 per molekul. Atom-atom selain 5 hidrogen dan karbon yang juga menyusun aspal adalah nitrogen, oksigen,belerang, dan beberapa atom lain. Secara kuantitatif, biasanya 80% massa aspal adalah karbon, 10% hydrogen, 6% belerang, dan sisanya oksigen dan nitrogen,serta sejumlah renik besi, nikel, dan vanadium. Senyawa-senyawa ini sering dikelaskan atas aspalten (yang massa molekulnya kecil) dan malten (yang massa molekulnya besar). Biasanya aspal mengandung 5 sampai 25% aspalten. Sebagian besar senyawa di aspal adalah senyawa polar. Aspal memiliki fungsi antara lainnya sebagai berikut : (Asnawi, 2011) 1. Untuk mengikat batuan agar tidak lepas dari permukaan jalan akibat lalu linta (water proofing, protect terhadap erosi).
253
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
2. Sebagai bahan pelapis dan perekat agregat. 3. Lapis resap pengikat (prime coat) adalah lapisan tipis aspal cair yang diletakan di atas lapis pondasi sebelum lapis berikutnya. 4. Lapis pengikat (tack coat) adalah lapis aspal cair yang diletakan di atas jalan yang telah beraspal sebelum lapis berikutnya dihampar, berfungsi pengikat di antara keduanya 5. Sebagai pengisi ruang yang kosong antara agregat kasar, agregat halus, dan filler.Dengan memiliki fungsi tersebut maka kebanyakan aspal dapat digunakan di dalambermacam produk - produk, termasuk: Atap bangunan (roof), minyak bakar, tambalan lubang di jalanan, jalan aspal, jalan dan penutup tanah, Dasar pondasi dan subdasar, tambalan dingin untuk lubang di jalanan, trotoar kaki lima,jalan untuk mobil, lerenglereng, jembatan-jembatan, dan bidang parkir. 2.2.1 Sifat-Sifat Aspal Pada proses pencampuran dan proses pemadatan sifat aspal dapat ditunjukkan dari nilai viscositasnya, sedangkan pada sebagian besar kondisi saat masa pelayanan, aspal mempunyai sifat viscositas yang diwujudkan dalam suatu nilai modulus kekakuan : Sifat aspal adalah coloidal antara asphaltens dengan maltene. 1. Sifat adhesi dan kohesi 2. Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal. 3. Kohesi adalah kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap pada tempatnya setelah terjadi pengikatan. 4. Daya tahan (durabilitas) dimana daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan. (Ediputra, 2012) 2.3 Serat Serat adalah (Inggris: fiber) adalah suatu jenis bahan berupa potongan potongan komponen yang membentuk jaringan memanjang yang utuh. Serat
254
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
memiliki dua jenis yaitu serat organik dan serat sintetis. Serat organik merupakan serat yang terjadi secara alamiah meliputi serat yang diproduksi oleh tumbuhtumbuhan dan hewan. Serat dengan jenis ini bersifat dapat mengalami pelapukan.Serat alami dapat digolongkan kedalam beberapa pengelompkan, yaitu: 1. Serat tumbuhan Serat tumbuhan biasanya tersusun atas selulosa, hemiselulosa, dan terkadang juga mengandung lignin. Contoh dari serat jenis ini yaitu katun dan kain ramie,sabut kelapa, serat pinang, ampas tebu, ijuk, batang pisang dan lainnya. Serat tumbuhan digunakan sebagai bahan pembuat kertas dan tekstil. 2. Serat kayu Serat kayu berasal dari tumbuhan berkayu. Seterti kayu dari pohon kelapa,pinang dan lain sebagainya. 3. Serat hewan Serat hewan umumnya tersusun atas protein tertentu. Contoh dari serat hewan yang dimanfaatkan oleh manusia adalah serat laba-laba (sutra) dan bulu domba (wol). 4. Serat mineral Serat mineral umumnya terbuat dari asbeston dimana saat ini asbeston merupakan satu- satunya mineral yang secara alami terdapat dalam bentuk serat panjang. 5. Serat sintetis Serat sintesis atau serat buatan manusia umumnya berasal dari bahan petrokimia. Namun demikian, ada pula serat sintetis yang dibuat dari selulosa alami seperti rayon. Serat sintetis terbagi menjadi dua jenis yaitu serat mineral dan serat polimer. Serat mineral contohnya yaitu : serat kaca (fiberglass) yang dibuat dari kuarsa, serat logam dapat dibuat dari logam yang duktil seperti tembaga,emas, atau perak dan serat karbon (I Putu, 2009) Selain itu, serat polimer merupakan bagian dari serat sintetis.
255
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Serat jenis ini dibuat melalui proses kimia. Bahan yang digunakan dalam membuat serat polimer adalah sebagai berikut : polyamida nilon, PET atau PBT poliester digunakan untuk membuat botol plastik, fenolformaldehid (PF), serat polivinyl alkohol(PVOH), serat polivinyl khlorida (PVC), poliolefin (PP dan PE) polyethylene(PE), Elastomer digunakan untuk membuat spandex serta poliuretan. 2.4 Serat Ampas Tebu Tebu (Saccharum officinarum) merupakan salah satu komoditi pertanian yang mengandung lignoselulosa sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan genteng elastis. Walker (1993) mengemukakan bahwa ampas tebu merupakan sumber alternatif utama dalam pembuatan genteng elastis. Menurut Rowell (1998) bedasarkan inventarisasi beberapa sumber bio-based composite keberadaan bagase mencapai 75 juta ton berdasarkan berat keringnya. Tebu (Saccharum officinarum) memiliki kandungan zat ektraktif terutama gula atau pati sehingga dapat menghambat proses perekatan dan akan menurunkan sifat genteng elastis yang dihasilkan. Menurut Maloney (1993) zat ekstraktif sangat berpengaruh terhadap konsumsi perekat, laju pengerasan perekat dan daya tahan genteng elastis yang dihasilkannya. Selain itu bahan ekstraktif yang dapat menguap dapat menyebabkan terjadinya blowing atau deliminasi terhadap proses pengempaan. Perendaman partikel merupakan perlakuan yang cukup efektif untuk mengurangi zat ekstraktif yang mana semakin lama partikel tebu direndam dalam air dingin semakin rendah pengembangan tebal genteng elastis yang dihasilkan.Hal ini berhubungan dengan kadar ekstraktif yaitu dengan adanya perlakuan perendaman partikel tebu didalam air dingin akan melarutkan sebagian zat ekstraktif yang mengakibatkan daya rekatnya lebih kuat (Kliwon,2002).Serat ampas tebu atau bagase merupakan bahan sisa serat dari batang tebu yang telah mengalami ekstraksi niranya dan banyak mengandung parenkim. Serat ampas tebu atau bagase mengandung air 48%-52%, gula 2,5%6% dan serat 44%-48% (Saragih, 2011).
256
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
3. Metode Penelitian Genteng elastis merupakan suatu material konstruksi yang bersifat ringan karena tersusun dari bahan yang elastis (aspal) dan kecil (agregat pasir dan serat ampas tebu).Genteng elastis yang dalam penelitian ini dibuat yaitu menggunakan teknik konvensional cetak dan tekan dengan bahan baku : aspal, agregat kasar, agregat halus dan serbuk serat ampas tebu yang dicampur dengan pencampuran kering (dry mixing). Variasi komposisi agregat halus, agregat kasar dan serat ampas tebu 80:0 gr, 78:2 gr, 76:4 gr, 74:6 gr, 72:8 gr, 70:10 gr dengan perekat aspal dipertahanan konstan sebesar 20% dari massa total campuran kemudian dicampur selama 15 menit pada suhu 100oC, kemudian dicor dan ditekan selama 1/2 jam pada suhu 120oC dan tekanan 38 atm (38,5 x 105 Pa) dengan Hot Compressor dengan waktu tahan 3 jam. Karakterisasi material dilakukan pada genteng elastis untuk melihat bagaimana interaksi antar bahan dalam membentuk genteng elastis yaitu aspal, agregat dan serat ampas tebu terhadap sifat fisis : porositas dan daya serap air, sifat mekanik: kuat impak, kuat lentur dan kuat tekan. Dalam hal ini, dilihat parameter yang mempengaruhi sifat-sifat dari material tersebut meliputi pengaruh komposisi untuk memberikan gambaran interaksi untuk membentuk suatu ikatan antar campuran bahan yang satu dengan bahan yang lain. Juga dilihat kemungkinan- kemungkinan hasil sampingan dari produk yang ada dalam genteng elastis tersebut.
257
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4. Hasil dan Diskusi 4.2 Daya Serap Air Daya serap air merupakan kemampuan penyerapan air oleh atom-atom yang menyusun pada material tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan persamaan 4.1 sesuai dengan ASTM C-20-00-2005.
Pada Gambar 4.1 menggambarkan
hubungan antara pengaruh variasi
komposisi dengan nilai daya serap air bahwa nilai daya serap air yang optimum terjadi pada kode sampel VI dengan komposisi agregat:serat ampas tebu : aspal yaitu 70% : 10% :20% dengan nilai daya serap air berkisar 2,72%. Sedangkan nilai daya serap air yang kurang optimum terjadi pada kode sampel I dengan komposisi agregat: serat ampas tebu :aspal yaitu 80% : 0% : 20% dengan nilai daya serap air Berkisar
11,04%.Nilai
daya
serap
air
sangat
dipengaruhi denganpenambahan komposisi penguat seratampas tebu disebabkan sifat serat tersebut . Ini terjadi karena adanya ikatan kohesivitas (adesi-kohesi) antara lain: ikatan antar muka (interface) partikel penguat serat ampas tebu dengan agregat kasar dan halus serta pengaruh dari perekat aspal, gaya elektrostatik dan gaya VanDerWalls .Ikatan antar muka dari serat ampas tebu, agregat dan aspal berhubungan
dengan kekasaran permukaan partikel, dimana
semakin tinggi kekasaran partikel maka semakin luas kontak antar permukaan. Sedangkan ikatan elektrostatik terjadi karena adanya gaya gesek antar permukaan partikelyang diakibatkan oleh proses kompaksi (tekanan). Gaya VanDer Walls dipengaruhi oleh besar beban penekananyangdiberikan.
258
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4.2.2 Porositas Porositas merupakan jumlah pori-pori yang terdapat pada material, dimana pori-pori tersebut terbentuk karena adanya pengosongan atomatom atau cacat kristal. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan persamaan4.2 Sesuai dengan ASTMC-373-88.
Dengan perhitungan persamaan 4.2 dapat dibuat tabel pengukuran nilai porositas material genteng sebagai berikut:
Tabel4.2 Data Hasil Pengukuran Porositas Genteng Kode Sampel
Massa Kering (Mk)
Massa Jenuh (Mj)
Volume
Porositas
I
Komposisi100g Agregat: Aspal Serat Ampas Tebu 80%: 0%
13,49gr
14,98gr
18,09cm3
8,23%
II
78%: 2%
15,43gr
17,01gr
20,02cm3
7,89%
III
76%: 4%
8,43gr
8,77gr
7,859cm3
4,33%
IV
74%: 6%
17,48gr
18,92gr
19,09cm3
7,54%
V
72%: 8%
17,42gr
18,41gr
14,48cm3
6,84%
VI
70%: 10%
14,72gr
15,12gr
8,885cm3
4,5%
20%
Dari tabel 4.2 maka dapat dibuat grafik hubungan antara nilai porositas Terhadap perubahan komposisi agregat dan serat ampas tebu.
259
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Dari Gambar 4.2 menunjukkan bahwa nilai porositas berbanding lurus dengan pertambahan komposisi penguat serat ampas tebu.Semakin besar serat yang diberikan maka semakin kecil porositas yang dihasilkan. Ini menunjukkan bahwa pada saat diberikan suhu dan penekanan atom-atom penyusun material tersebut mengalami difusi sehingga terjadi penyusutan pori-pori. Hasil grafik ditunjukkan bahwa komposisi dengan nilai porositas bahwa nilai porositas yang optimum terjadi pada kode sampelVI dengan komposisi agregat:serat ampa stebu:aspal yaitu 70% : 10% : 20% dengan nilai porositas berkisar 4,5%. Sedangkan nilai daya serap air yang kurang optimum terjadi pada kode sampel I dengan komposisi agregat :serat ampas tebu :aspal yaitu 80% : 0% :20% dengan nilai daya serap air berkisar 8,23%.
4.3 Karakterisasi Sifat Mekanik Genteng 4.3.1 Kuat Impak Kuat impak merupakan kemampuan suatu material menahan suatu benturan. Dari hasil penelitian yang dilakukan denganmenggunakan persamaan 4.3 sesuai Dengan ASTMC773
Dengan perhitungan persamaan 4.3 dapat dibuat table pengukuran nilai kuat impak material genteng sebagai berikut: 260
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 4.3Data Hasil Pengukuran Kuat Impak Genteng elastis Agregat: Aspal Luas SeratAmpas Tebu 1 80: 0 20,05cm2 2 78: 2 18,12cm2 20% 3 76: 4 16,8cm2 4 74: 6 18,83cm2 5 72: 8 14,73cm2 6 70: 10 13,13cm2 Dari tabel4.3 maka dapat dibuat grafik hubungan
Es
Kode Sampel
Is
0,26J 129,8J/m2 0,20J 110,4J/m2 0,22J 130,9J/m2 0,22J 116,8J/m2 0,18J 122J/m2 0,16J 121,7J/m2 antara nilai kuat impak
Terhadap perubahan komposisi agregat dan serat ampas tebu.
Dalam Gambar4.4 diatas menunjukkan bahwa kondisi optimum diperoleh nilai kuat impak
yang tinggi
pada kode sampel
IVdengan komposisia
gregat: serat ampas tebu: aspal yaitu 74% : 6% : 20% dengan nilai kuat tarik berkisar130,9 J/m2. Sedangkan kondisi kurang optimum terjadi pada kode sampel V dengan Komposisi
agregat:
serat
ampas
tebu:
aspal
yaitu
72% : 8% : 20 % 4.3.2 Kuat Lentur Kuat lentur merupakan kemampuan suatu material dapat kembali ke bentuk semula setelah beban yang diberikan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan persamaan 4.5 sesuai dengan ASTMD-790.
261
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
lentur material genteng sebagai berikut: Tabel 4.4 Data Hasil Pengukuran Kuat Lentur Genteng Elastis Kode Sampe l I II
Agregat: kulit pinang 80: 0 78: 2
Aspal
III
76: 4
20%
IV V VI
Beban (P)
UFS (N/m2)
Load
Stroke
!
3PL (Nm)
0,00 0,00
17,20 18,80
* *
* *
* *
0,02
28,39
87
0,047
265,7
74: 6 72: 8
0,03 0,16
25,20 39,22
191 930
0,071 0,376
489,2 970,8
70: 10
0,58
62,53
3400
1,364
11840
Ket:*sampel hancur (jarak 8cm, beban max 100 kgf dan kecepatan 50mm/menit) Dari tabe l4.4 maka dapat dibuat grafik hubungan antara nilai kuat lentur Terhadap perubahan komposisi agregat dan serat amaps tebu.
Dalam
Gambar
4.4
diatas
menunjukkan
bahwa
kondisi
optimum
diperoleh nilai kuat lentur yang tinggi pada kode sampel VI dengan komposisi agregat: serat ampas tebu:aspal yaitu 70% : 10% :20% dengan nilai kuat tarik berkisar 11840N/m2. Sedangkan kondisi kurang optimum terjadi pada kode sampel III dengan komposisi agregat: serat ampas tebu: aspal yaitu 76% :4%
:
20%
dengan
nilai
kuat
tarik
berkisar
265,7N/m2
262
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4.3.3 Kuat Tarik Kuat tarik merupakan kemampuan suatu material menahan suatu beban dan mengalami deformasi. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan persamaan 4.5 sesuai dengan ASTMC773.
Dengan perhitungan persamaan 4.5 dapatdibuat table pengukuran nilai kuat tarik material genteng sebagai berikut: Tabel 4.5 Data Hasil Pengukuran Kuat Tarik Genteng Kode Sampel
Agregat : kulit pinang
I II III IV V VI
80: 0 78: 2 76: 4 74: 6 72: 8 70: 10
Aspal
20%
Panjang (cm)
Lebar (cm)
Luas (cm2)
Load
Stroke
!f (N/m2)
7,30 9,27 10,87 10,30 10,35 10,51
1,425 1,32 1,72 1,49 1,75 1,575
10,41 12,24 18,70 15,35 18,12 16,56
* * 0,63 0,43 1,02 0,59
* * 0,34 15,51 15,84 20,55
* * 3300 2700 5500 3500
Ket:*sampel hancur ( jarak 8cm, beban max 100kgf dan kecepatan 50mm/menit) Dari table 4.5 maka dapat dibuat grafik hubungan antara nilai kuat tarik terhadap perubahan komposisi agregat dan serat kulit pinang.
263
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Dalam
Gambar4.5
diatasme
nunjukkan
bahwa
kondisi
optimumdiperoleh nilai kuat tarik yang tinggipada kode sampel V dengan komposisi agregat : ampas tebu:aspal yaitu 72% : 8% : 20% dengan nilai kuat tarik berkisar 5500N/m2. Sedangkan kondisi kurang optimum terjadi pada kode sampel IV dengan komposisi agregat : serat ampas tebu: aspal yaitu 74% : 6% : 20% dengan nilai kuat tarik berkisar 2700N/m2. Nilai kuat tarik ini tidak hanya dipengaruhi oleh struktur mikromaterial, yang meliputi rongga dan retakan yang terbentuk pada saat penekanan dan suhu yang diberikan, tetapi juga dipengaruhi oleh sifat serat penyusun material tersebut.
5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Telahdilakukan pembuatan genteng berbahan baku agregat kasar dan agregat halus yang diperkuat serat ampas tebu dengan perekat aspal menggunakan teknik konvensional cetak dan tekan. 2. Dalam penelitian diperoleh komposisi yang optimum pada variasi komposisi agregat:seratampas tebu: aspal yaitu70:10:20gr memiliki sifat fisis uji daya serap air2,72%,porositas 4,5%.Kemudian memiliki sifat mekanik
kuat
impak129,8J/m2,kuat
lentur11840N/m2dan
kuattarik3500N/m2 3. Pada penelitian diperoleh genteng yang memiliki sifat mekanik yang baik yaitu yang optimum yaitu agregat: serat ampas yaitu70:10:20gr
dengan
nilai
kuat
impak129,8
tebu: aspal
J/m2,kuat
lentur
11840N/m2dan kuat tarik 3500 N/m2dapat diaplikasikan sebagai untuk konsep
baru
material
konstruksi bagian atap rumah yang ramah
lingkungan pengganti genteng konvensional.
264
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
6. Daftar Pustaka Ariyadi,Yulli.2010.Pengujian Karakteristik Mekanik Genteng. ProgramStudi TeknikMesin.FakultasTeknik.UniversitasMuhammadiyahSurakarta.http://et d.eprt.ums.ac.id/10073/2/D200020067.pdfdiakses tanggal21 Desember2014. Asiyanto.2008.Metode Konstruksi Proyek Jalan.Jakarta:UniversitasIndonesia Press. Asnawi.2011. Pembuatan Genteng dari Pemanfaatan LDPE (Low Density Polyethilen)
Bekas,
Aspal
Iran,
dan
Agregat
Pasir
Halus
http://resipotery.usu.ac.id.Diaksestanggal20Desember2014. Damayanthi,R.2007.Proses Pembuatan Bahan Bakar Cairdengan Memanfaatkan Limbah Ban Bekas Menggunakan Katalis ZeolitY dan ZSM-5.Semarang: Universitas Diponegoro. Ediputra,K.2004.Studi Campuran Aspal Dengan Ban
Bekas(Tire
Rubber)
Sebagai Bahan Baku Genteng Polymer Menggunakan Bahan Perekat Isosianat: Universitas Sumatera Utara. Latif,Syafruddin.2009. Perencanaan dan Pencetakan Genteng Polimer.Diakses tanggal 21 Desember 2014. Saragih,DeliNatalia.2007.Pembuatan dan Karakterisasi Genteng Betonyang Dibuat dari Pulp SeratDaun Nenas-SemenPortland Pozolan. Program StudiFisika.fakulats
MIPA.
Universitas
SumateraUtara.Medan.
http://repository.usu.ac.id/xmlui/handle/123456789/14210Diaksestanggal 21Desember2016.
265
ANALISA PROFIL ALIRAN FLUIDA AMMONIA CAIR DALAM TUBULAR REAKTOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE COMPUTATIONAL FLUID DINAMICS (CFD) Amiruddin1, Azhari1, Wusnah1 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353 e-mail:
[email protected] 1
Abstrak Tubular reaktor merupakan suatu jenis reaktor yang banyak digunakan dalam industri. Profil aliran fluida ammonia cair dalam tubular reaktor sangat penting untuk diketahui guna melihat turbulensi suatu fluida dalam tubular reaktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil aliran fluida ammonia cair diantaranya viscositas, suhu, NRe yang mempengaruhi profil aliran didalam tubular reaktor dengan bantuan aplikasi computational fluid dynamics (CFD). Software yang digunakan dalam penelitian ini adalah autodesk inventor dan autodesk simulation CFD. Hasil simulasi yang dilakukan pada tubular reaktor dengan memvariasikan laju alir massa dan temperature dimana semakin kecil laju alir massa maka semakin besar bilangan Reynold dan bilangan Reynold terbesar adalah 157.547,077 terjadi pada laju alir massa 46.000 kg/jam dengan suhu 93°C dan bilangan Reynold terendah adalah 79.584 terjadi pada laju alir massa 66.000 kg/jam dengan suhu 83°C. Temperature 73°C nilai viscositas ammonia cair adalah 0,0001 Pa.s dan temperature 83°C nilai viscositasnya 0,00007 Pa.s. Besarnya nilai viscositas didalam tubular reaktor berbanding terbalik dengan perubahan temperature ammonia cair. Kata kunci :tubular reaktor, laju alir massa, turbulensi, bilangan Reynold, Computational Fluid Dynamics(CFD)
1.
Pendahuluan Tersedianya sumber daya migas yang potensial sebagai bahan baku
merupakan faktor penting untuk tumbuh dan berkembangnya industri petrokimia yang produknya selain memenuhi kebutuhan domestik juga dapat diekspor. Industri pupuk urea dari bahan baku gas alam merupakan salah satu industri strategis nasional yang berperan penting dalam menyediakan kebutuhan pupuk sebagai komoditas yang memiliki peran sangat strategis di sektor pertanian dalam
rangka menunjang program ketahanan pangan nasional. Data tahun 2005 menunjukkan total konsumsi urea untuk kebutuhan pertanian, perkebunan dan industri adalah sebesar 5.422,606 ton/tahun, sementara sebanyak 732,909 ton dapat terjual untuk ekspor. Urea adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea juga dikenal dengan nama carbamide yang terutama digunakan di kawasan Eropa. Nama lain yang juga sering dipakai adalah carbamide resin, isourea, carbonyl diamide dan carbonyldiamine. Senyawa ini adalah senyawa organik sintesis pertama yang berhasil dibuat dari senyawa anorganik. Tubular Reactor (Plug Flow Reactor) sering digunakan sebagai alat sinstesis urea. Penggunaan PFR sering dijumpai sebagai alat sintesis bahan-bahan kimia. PFR juga dijumpai pada industri-industri kimia dengan temperatur dan tekanan tinggi untuk kondisi operasinya. Kinerja sebuah PFR urea biasanya ditinjau dari aspek konversi sintesis ureanya. Parameter proses yang mempengaruhi konversi sintesis urea adalah suhu, perbandingan mol H2O/CO2 dan perbandingan mol NH3/CO2. Namun perlu diketahui selain faktor suhu, perbandingan mol H2O/CO2 dan perbandingan mol NH3/CO2 seperti uraian diatas, ada faktor-faktor lain baik dari teknik proses maupun ekonomi yang menjadi pertimbangan terhadap kondisi operasi yang dipilih. 2.
Tinjauan Pustaka Fluida adalah zat yang tidak dapat menahan perubahan bentuk (distorsi)
secara permanen. Bila kita mencoba mengubah bentuk suatu massa fluida, maka di dalam fluida tersebut akan terbentuk lapisan-lapisan di mana lapisan yang satu akan mengalir di atas lapisan yang lain, sehingga tercapai bentuk baru. Selama perubahan bentuk tersebut, terdapat tegangan geser (shear stress), yang besarnya bergantung pada viskositas fluida dan laju alir fluida relatif terhadap arah tertentu. Bila fluida telah mendapatkan bentuk akhirnya, semua tegangan geser tersebut akan hilang sehingga fluida berada dalam keadaan kesetimbangan. Pada
temperatur dan tekanan tertentu, setiap fluida mempunyai densitas tertentu. Jika densitas hanya sedikit terpengaruh oleh perubahan yang suhu dan tekanan yang relatif besar, fluida tersebut bersifat incompressible. Tetapi jika densitasnya peka terhadap perubahan variabel temperatur dan tekanan, fluida tersebut digolongkan compressible. Zat cair biasanya dianggap zat yang incompresible, sedangkan gas umumnya dikenal sebagai zat yang compresible. Perilaku zat cair yang mengalir sangat bergantung pada kenyataan apakah fluida itu berada di bawah pengaruh bidang batas padat atau tidak. Di daerah yang pengaruh gesekan dinding kecil, tegangan geser dapat diabaikan dan perilakunya mendekati fluida-ideal, yaitu incompresible dan mempunyai viskositas 0.Aliran fluida ideal yang demikian disebut aliran potensial. Pada aliran potensial berlaku prinsip-prinsip mekanika Newton dan hukum kekekalan massa. Aliran potensial mempunyai 2 ciri pokok: 1. Tidak terdapat sirkulasi ataupun pusaran sehingga aliran potensial itu disebut aliran irotasional. 2. Tidak terjadi gesekan sehingga tidak ada disipasi (pelepasan) dari energy mekanik menjadi kalor. Bilangan Reynold Bilangan Reynold aliran digunakan untuk menunjukkan sifat utama aliran, yaitu apakah aliran adalah laminar, turbulen, atau transisi serta letaknya pada skala yang menunjukkan pentingnya secara relatif kecenderungan turbulen berbanding dengan laminar (Raswari, 1987) ditunjukkan dalam persamaan 2.1 berikut ini: Nre =
(2.1)
Dimana : v = kecepatan aliran fluida (m/s) D = diameter dalam pipa (m)
• = massa jenis fluida (kg/m3) • = viskositas dinamik fluida (kg/m.s) Pada fluida cair, suatu aliran diklasifikasikan laminar apabila aliran tersebut mempunyai bilangan Reynold (Re) kurang dari 2300. Untuk aliran transisi berada pada bilangan 2300 < Re < 4000, disebut juga sebagai bilangan Reynold kritis. Sedangkan untuk aliran turbulen mempunyai bilangan Reynolds lebih dari 4000. Rapat Jenis (Density) Rapat jenis atau density (!) adalah ukuran konsentrasi suatu zat dan dinyatakan dalam satuan massa per satuan volume. Sifat ini ditentukan dengan cara menghitung ratio massa zat yang terkandung dalam suatu bagian tertentu terhadap volume bagian tersebut. Hubungannya dapat dinyatakan dalam persamaan 2.2 berikut : !=
(2.2)
Dimana : ! = massa density (kg/m3 m = massa fluida (kg) V = volume fluida (m3) Viskositas Viskositas fluida adalah ukuran ketahanan suatu fluida terhadap deformasi atau perubahan bentuk. Viskositas dipengaruhi oleh temperatur, tekanan, kohesi dan laju perpindahan momentum molekularnya. Viskositas zat cair cenderung menurun dengan seiring bertambahnya kenaikan temperatur hal ini disebabkan gaya–gaya kohesi pada zat cair bila dipanaskan akan mengalami penurunan dengan semakin bertambahnya temperatur pada zat cair yang menyebabkan berturunnya viskositas dari zat cair tersebut. Viskositas dibedakan atas dua macam yaitu : 1. Viskositas kinematik, adalah perbandingan antara viskositas mutlak terhadap rapat jenis / density seperti yang ditunjukkan dalam persamaan 2.3 berikut:
v=
(2.3)
Dimana : µ = nilai dari viskositas mutlak atau viskositas dinamik (kg./m.s) ! = nilai kerapatan massa fluida (kg/m3) 2. Viskositas dinamik atau viskositas mutlak mempunyai nilai sama dengan hukum viskositas Newton seperti yang ditunjukkan dalam persamaan 2.4 berikut: µ=
(2.4)
Dimana : " = tegangan geser pada fluida (N/m2) du/dy = gradient kecepatan ((m/s)/m) Aliran Laminar Aliran laminar didefinisikan sebagai aliran dengan fluida yang bergerak dalam lapisan-lapisan, atau lamina-lamina dengan satu lapisan meluncur secara merata. Dalan aliran laminar ini viskositas berfungsi untuk meredam kecenderungan-kecenderungan terjadinya gerakan relative antara lapisan. Sehingga aliran laminar memenuhi pasti hukum viskositas Newton. Aliran dalam pipa terhadap sumbu z tidak simetris sehingga diperlukan kontrol volume diferensial yang berbeda dibandingkan dengan kontrol volume pada aliran di antara plat datar. Bentuk kontrol volumenya adalah bentuk cincin dan dengan dua sumbu yaitu sumbu x dan sumbu r seperti gambar 2.1
Gambar 2.1 Kontrol volume cincin untuk analisa aliran dalam pipa
Aliran Turbulen Aliran turbulen didefinisikan sebagai aliran yang dimana pergerakan partikel-partikel fluida sangat tidak menentu karena mengalami pencampuran serta putaran partikel antar lapisan, yang mengakibatkan saling tukar momentum dari satu bagian fluida kebagian fluida yang lain dalam skala yang besar. Dalam keadaan aliran turbulen maka turbulensi yang terjadi mengakibatkan tegangan geser yang merata diseluruh fluida sehingga menghasilkan kerugian- kerugian aliran. Jenis fluida berdasarkan kemampuan menahan terhadap tekanan terbagi menjadi 2 jenis yaitu : 1.
Fluida incompressible (tidak termampatkan) Fluida incompressible yaitu fluida yang tidak dapat dikompressi
atauvolumenya tidak dapat ditekan menjadi lebih kecil sehingga massa jenisnya konstan.Contoh: Air. 2.
Fluida compressible (termampatkan) Fluida
compressible
yaitu
fluida
yang
dapat
dikompressi
atau
volumenyadapat ditekan menjadi lebih kecil sehingga massa jenisnya tidak konstan.Contoh: Gas nitrogen dan gas oksigen Tabel 2.1 Sifat Air (Viskositas Kinematik) Pada Tekanan Atmosfer Suhu °C
Viskositas Kinematik (v) m2/det
Suhu °C
Viskositas Kinematik (v) m2/det
0
1.795 × 10-6
50
0.556 × 10-6
5
1.519 × 10-6
60
0.477 × 10-6
10
1.308 × 10-6
70
0.415 × 10-6
20
1.007 × 10-6
80
0.367 × 10-6
30
0.804 × 10-6
90
0.328 × 10-6
40
0.661 × 10-6
100
0.296 × 10-6 Sumber : Triatmojo 1996
Aliran viskos dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam. Apabila pengaruh kekentalan (viskositas) adalah cukup dominan sehingga partikel-partikel zat cair bergerak secara teratur menurut lintasan lurus maka aliran disebut laminar. Aliran laminar terjadi apabila kekentalan besar dan kecepatan aliran kecil. Dengan berkurangnya pengaruh kekentalan atau bertambahnya kecepatan maka aliran akan berubah dari laminar menjadi turbulen. Pada aliran turbulen partikel-partikel zat cair bergerak secara tidak teratur. Plug Flow Reactor (PFR) Plug flow reactor adalah suatu alat yang digunakan untuk mereaksikan suatu reaktan dalam hal ini fluida dan mengubahnya menjadi produk dengan cara mengalirkan fluida tersebut secara berkelanjutan (continuous). Biasanya reaktor ini dipakai untuk mempelajari berbagai proses kimia yang penting seperti perubahan senyawa kimia, reaksi termal dan lain-lain. Plug flow reactor biasanya digunakan untuk mempelajari beberapa proses penting seperti reaksi termal dan reaksi kimia plasma dalam aliran gas yang cepat serta daerah katalis. Dalam beberapa kasus, hasil yang didapat tidak hanya membantu kita dalam memahami karakteristik proses-proses kimia, tetapi juga dapat memberikan kita pengertian praktis dari proses-proses kimia yang penting. Bagian-bagian PFR ditunjukkan pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Bagian-bagian Bagian bagian PFR (Nirmalayahdi, 2013) Prinsip Kerja Plug Flow Reactor (PFR) Prinsip kerja dari PFR adalah terdapatnya cairan dan gas yang bereaksi dan mengalir dengan cara melewati tube (tabung) dengan kecepatan tinggi, tanpa terjadi pembentukan arus putar pada aliran cepat. cepat Reaktan diinjeksikan ke dalam lintasan tengah, sementara itu gas inert disalurkan melalui dinding pipa. Kita berasumsi bahwa hanya pada dasar pipa terdapat endapan, akibat aki kondisi pipa yang panas.
Gambar 2.3 Prinsip Kerja PFR (Nirmalayahdi, 2013)
Autodesk Inventor Autodesk Inventor merupakan program yang dirancang khusus untuk keperluan bidang teknik seperti desain produk, desain mesin, desain mold, desain konstruksi, atau keperluan teknik lainnya. Autodesk Inventor adalah program pemodelan solid berbasis fitur parametrik, artinya semua objek dan hubungan antargeometri dapat dimodifikasi kembali meski geometrinya sudah jadi, tanpa perlu mengulang lagi dari awal. Hal ini sangat memudahkan kita ketika sedang dalam proses desain suatu produk atau rancangan. Untuk membuat suatu model 3D yang solid ataupun surface, kita harus membuat sketch-nya terlebih dahulu atau mengimpor gambar 2D dari Autodesk Autocad. Setelah gambar atau model 3D tersebut jadi, kita dapat membuat gambar kerjanya menggunakan fasilitas drawing. Autodesk Inventor juga mampu memberikan simulasi pergerakan dari produk yang kita desain serta mempunyai alat untuk menganalisis kekuatan. Alat ini cukup mudah digunakan dan dapat membantu kita untuk mengurangi kesalahan dalam membuat desain. Dengan demikian, selain biaya yang harus kita keluarkan akan berkurang, time to market dari benda yang kita desain pun dapat dipercepat karena kita sudah mensimulasikan terlebih dahulu benda yang kita desain di komputer sebelum masuk ke proses produksi. Autodesk Simulation CFD Autodesk Simulation CFD merupakan program simulasi aliran fluida dan termal untuk membantu menganalisa aliran fluida dan pergantian panas di dalam maupun di luar bangunan. Adapun faktor-faktor seperti tampilan estetis, kenyamanan termal, kualitas udara dalam ruang, dan kebutuhan keamanan menjadi pertimbangan. Autodesk Simulation CFD juga menyajikan simulasi yang nyata untuk membantu dalam menciptakan desain yang hemat energi dan berkelanjutan. Autodesk Simulation CFD ini telah digunakan untuk beberapa penelitian. ElDabosy (2013) menggunakan program ini untuk mengevaluasi desain fasad dan
bangunan untuk menciptakan ventilasi alami yang dapat meningkatkan kualitas ruang pada bangunan, sehingga tercipta kenyamanan termal. Kemudian, Zhang (2013) juga menggunakan program ini untuk menyimulasikan kondisi angin dan temperatur di taman Chanba. Adapun dari hasil simulasi tersebut, diperoleh solusi perencanaan kota dan desain layout, orientasi bangunan, desain hemat energi, dan pemanfaatan energi. 3.
Metode Penelitian Secara keseluruhan proses simulasi untuk penelitian ini ada 6 langkah yang
sebelumnya dimulai dari pembentukan geometri, dapat dilihat pada diagram alir prosedur simulasi pada Gambar 3.1 berikut ini :
Gambar 3.1 Langkah Pembuatan Geometri Dan Proses Simulasi
Penggambaran Geometri Tubular Reactor Hal yang perlu dilakukan pertama kali sebelum melakukan proses simulasi adalah dengan membuat model geometri tubular reaktor. Asumsi penyederhanaan model yang dilakukan adalah dengan mengganggap ketebalan tubular reaktor diabaikan. Dalam pembuatan model menggunakan software Autodesk Inventor. Tahap Desain Permodelan Pada Autodesk Inventor Autodesk Inventor merupakan salah satu perangkat lunak analisis komputasi untuk membantu membuat gambar atau model untuk disimulasikan ke software Autodesk Simulation CFD. Pada Autodesk Inventor ini untuk mendasain gambar (2D dan 3D) yang akan disimulasikan, sedangkan yang akan kita simulasikan akan berbentuk 3D. Setelah model gambar 3D selesai, selanjutnya diinput ke Autodesk Simulation CFD. Pembuatan Kondisi Fisik Model Sebelum masuk pembuatan fisik model geometri yang telah dibuat dalam Autodesk Inventor di ekstrak ke software Autodesk Simulation CFD. Setelah itu klik pada bagian geometri lalu pilih void fill. Pada void fill pilih edge lalu arahkan menuju diameter reaktor lalu pilih build surface dan fill void. Ini dilakukan untuk pembuatan volume dalam reaktor. Lalu pada bagian material disini adalah untuk pemilihan jenis reaktor yang digunakan dan juga pemilihan jenis bahan yang masuk pada reaktor. 3.1.1 Pembuatan Kondisi Batasan (Boundary Condition) Boundary condition merupakan definisi dari zona-zona yang telah terdifinisi sebelumnya pada software Autodesk Inventor. Selanjutnya, kita menentukan daerah-daerah batas untuk benda tersebut. Karena tiap-tiap permukaan mempunyai kondisi batas yang berbeda sesuai dengan proses yang terjadi pada saat fluida mengalir. Dalam Autodesk Simulation CFD nilai-nilai dan karakteristik dari masing-masing disini dimasukkan .
Pembuatan Meshing Meshing adalah proses dimana geometri secara keseluruhan dibagi-bagi dalam elemen-elemen kecil. Elemen-elemen kecil ini nantinya berperan sebagai control surface atau volume dalam proses perhitungan yang kemudian tiap-tiap elemen ini akan menjadi inputan untuk elemen sebelahnya. Hal ini akan terjadi berulang-ulang hingga domain terpenuhi. Proses Iterasi Langkah terakhir adalah proses Iterasi pada gambar yang telah ditetapkan. Klik solve pada bagian kiri, pilih adaptation lalu pada bagian enable adaption pilih kolom cycles to run isi angka yang diinginkan untuk berapa kali pengulangan iterasi. Setelah itu klik solve agar simulasi berjalan. 4.
Hasil dan Diskusi
Tubular Reaktor Gambar 4.1 menggambarkan bentuk tubular reaktor dengan diameter 2,16 m dan tinggi 29,7 m. penggambaran model dilakukan menggunakan software autodesk inventor.
Gambar 4.1 Tubular Reaktor dengan diameter 2,16 meter dan tinggi 29,7 meter. Profil Aliran Fluida Dengan Menggunakan CFD
Gambar 4.2 Profil Viscositas Pada T=73°C
Gambar 4.3 Profil Viscositas Pada T=83°C
Pada gambar 4.2 dan 4.3 menunjukkan bahwa besarnya nilai viscositas suatu fluida cair yaitu ammonia dipengaruhi oleh besar kecilnya suatu temperature yang digunakan, pada gambar 4.2 suhu yang digunakan adalah 73°C dengan nilai viscositasnya sebesar 0,0001 Pa.s dan pada gambar 4.3 suhu yang digunakan adalah 83°C nilai viscositasnya sebesar 0,00007 Pa.s, dimana untuk mass flow yang diinput kedalam tubular reaktor masing-masing sebesar 46.000 kg/jam. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar suhu yang digunakan pada suatu kondisi operasi
ammonia
cair
tersebut
maka
nilai
viscositas
akan
semakin
menurun.(Bird,1993)
Gambar 4.4 Profil Viscositas Terhadap P, T=73°C
Gambar 4.5 Profil Viscositas Terhadap P, T=83°C
Pada gambar 4.4 dan 4.5 menampilkan bahwa besarnya nilai viscositas suatu fluida cair yaitu ammonia juga dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur yang digunakan, pada gambar 4.4 suhu yang digunakan adalah 73°C dan tekanannya 3x105 Pa, nilai viscositasnya sebesar 0,00008 Pa.s dan pada gambar 4.5 suhu yang digunakan 83°C dan tekanannya 4,4x105 Pa, nilai viscositasnya sebesar 0,00013 Pa.s, dimana untuk mass flow yang diinput kedalam tubular reaktor masingmasing sebesar 56.000 kg/jam. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar
tekanan yang digunakan pada suatu kondisi operasi yaitu ammonia maka nilai juga viscositasnya juga semakin meningkat.(Rohana,2009) Tabel 4.1 Data Hasil Simulasi Profil Aliran Fluida Ammonia Cair Dalam Tubular Reaktor Dengan Mengggunakan Metode CFD Suhu Suhu Tekanan Mass flow Viskositas Reynold Sebelum Sesudah Pada No ammonia (Pa.s) number Simulasi Simulasi Reaktor (Kg/jam) (°C) (°C) (Pa) 1
46.000
73
73
3,8x105
0,0001
111.974,4
2
56.000
73
73
3x105
0,00008
139.968
3
66.000
73
73
2,8x105
0,000075
149.299,2
4
46.000
83
83
2,9x105
0,00007
153.483,428
5
56.000
83
83
4,4x105
0,00013
82.644,923
6
66.000
83
83
4,5x105
0,000135
79.584
7
46.000
93
93
2,75x105
0,000065
157.547,077
8
56.000
0,00012
85.338
66.000
93 93
4x105
9
93 93
3x105
0,00008
128.007
Dari tabel 4.1 menunjukkan profil aliran fluida ammonia cair, pada laju alir massa 46.000 kg/jam dengan temperatur 73°C menunjukkan pola aliran didalam tubular reaktor adalah turbulen dengan nilai bilangan reynold 111.974,4. Secara keseluruhan jenis aliran didalam tubular reaktor adalah turbulen yang ditinjau dari nilai bilangan reynold untuk setiap variasi laju alir massanya. Berdasarkan hasil simulasi menggunakan metode CFD profil nilai viskositas didalam tubular reaktor untuk keseluruhan mengalami perubahan seiring dengan berubahnya temperature dan tekanan. Pada temperature 73°C dengan mass flow ammonia cair 46.000 kg/jam, nilai viscositasnya sebesar 0,0001 Pa.s dan pada temperature 83°C dengan mass flow 46.000 kg/jam, nilai viscositasnya sebesar 0,00007 Pa.s. Kondisi ini menunjukkan bahwa seiring meningkatnya suhu operasi didalam tubular reaktor maka semakin menurun nilai viscositas ammonia cair didalam reaktor tersebut(Bird,1993). Pada tekanan 3x105 Pa dan suhu 73°C
dengan mass flow 56.000 kg/jam nilai viscositas ammonia cair didalam tubular reaktor 0,00008 Pa.s dan pada tekanan 4,4x105 Pa dan suhu 83°C dengan mass flow 56.000 kg/jam nilai viscositas ammonia cair didalam tubular reaktor 0,00013 Pa.s. Kondisi ini menunjukkan semakin besar tekanan operasi didalam tubular reaktor maka nilai viskositas pada ammonia cair tersebut akan semakin meningkat(Rohana,2009). 5.
Simpulan 1. Hasil Penelitian dengan simulasi yang dilakukan pada tubular reaktor dengan variasi laju alir massa dan temperature dimana semakin kecil laju alir massa maka semakin tinggi nilai bilangan Reynold. 2. Bilangan Reynold tertinggi terjadi pada laju alir massa 46.000 kg/jam, nilai bilangan reynoldnya 157.547,077 dengan temperature 93°C, sedangkan yang terendah terjadi pada laju alir massa 66.000 kg/jam, dengan bilangan reynoldnya 79.584 dengan temperature 83°C. 3. Viscositas dari hasil simulasi menunjukkan semakin besar tekanan operasi didalam tubular reaktor maka viscositas ammonia cair juga akan semakin meningkat dan semakin besar suhu yang digunakan didalam tubular reaktor maka nilai viscositas ammonia cair akan menurun. 4. Aliran didalam tubular reaktor adalah turbulen, yang ditandai dengan besarnya nilai bilangan Reynold
6.
Daftar Pustaka
Abdul, K. 2005. “Laju Reaksi dan Mekanisme Reaksi Kimia”. Universitas Mulawarman. Samarinda. Anwar Ilmar R, Ery D. 2014. “Studi Analitik Pola Aliran Dan Distribusi Suhu Dinding Elemen Bakar Silinder di Teras Reaktor Nuklir Small Modular Reactor (SMR)”. Siposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT)2.ISSN : 2339-028X. Autodesk, Inc. 2011. “Autodesk Simulation CFD 2012”. USA. ElDabosy. 2013. “Mengevaluasi Desain Fasad dan Bangunan Untuk Menciptakan Ventilasi Alami Pada Ruangan”. Spanyol.
Levenspiel, O. 1996. “Chemical Reaction Engineering Third Edition”. Departement of Chemical Engineering Oregon State University. USA. Mc Cabe, W. L. 1993. “Unit Operations of Chemical Engineering International Editions”. Singapore. Noviansyah, C. 2014. “Simulasi Perancangan Ruang Pengering”. Jurusan Teknik Mesin Universitas Lampung. Lampung. Piotrowski. 1998. “Konversi Kesetimbangan”.Inggris. Sukarsono, dkk. 2012. “Variasi Kecepatan Alir Gas Pada Proses Pelapisan Kernel UO2 Dengan CFD”. Jurnal Iptek Nuklir Ganedra Vol.15 No. 1: 7-20.. Widodo, S.W. 2007, “Formulasi Sistematika Knowledge-Based Engineering Untuk Penanganan Permasalahan Proses Dengan Studi Kasus Reaktor Urea Pabrik Kaltim-1”. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Zhang. 2013. “Simulasi Kondisi Angin dan Temperatur di Taman Chanba dengan Autodesk Simulation CFD”. Korea Utara.
OPTIMASI KONDISI OPERASI PADA SISTEM ADSORPSI BESI (Fe2+) MENGGUNAKAN KOLOM FIX BED SECARA KONTINYU Novi Sylvia1*, Fikri Hasfita1, Meriatna1 , Fitriani1, dan Malasari Nasution1 1
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Malikussaleh * Korespondensi: e-mail:
[email protected]
Abstrak Air tanah sebagai salah satu sumber air baku biasanya memiliki kandungan logam besi (Fe) yang relatif tinggi sehingga perlu diolah. Salah satu alternatif pengolahan yang dapat dilakukan adalah adsorpsi. Salah satu material yang dapat digunakan sebagai adsorben adalah karbon aktif. Sehubungan dengan itu perlu dilakukannya penelitian optimasi penyisihan Fe air tanah menggunakan karbon aktif sebagai adsorben dengan menggunakan Response Surface Methodology berdasarkan desain. Response Surface Methodology merupakan Pemodelan yang menetapkan hubungan secara matematis antara variabel proses yang berinteraksi dan optimasi proses dalam menentukan nilai faktor respon persen penjerapan (removal efficiency) maksimal. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis optimasi kondisi operasi kolom adsorpsi dalam menyerap logam Fe (besi) air tanah. Penelitian dilakukan secara kontinyu dengan variasi tinggi unggun adsorben 7,5; 10 dan 12,5 cm, waktu kontak 20; 40; dan 60 menit, dan laju alir fluida 6, 10 dan 14 L/menit. Konsentrasi Fe diukur dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Hasil penelitian menunjukkan, kondisi optimum penyisihan Fe pada larutan pada air tanah adalah pada tinggi unggun 11,36 cm, waktu kontak 55,67 menit dan laju alir 6 L/mnt dengan perolehan persentase penjerapannya 95,598%. Kata kunci:
Adsorpsi, optimasi, air tanah, logam besi (Fe2+) dan karbon aktif
1. Pendahuluan Air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat berguna bagi kehidupan. Kebutuhan air terutama air bersih makin meningkat sejalan dengan perkembangan masyarakat dan teknologi. Perkembangan penduduk yang pesat membutuhkan berbagai fasilitas antara lain air bersih. Sedangkan dengan bertambahnya industri yang didirikan, bukan timbul pencemaran antara lain berupa buangan limbah industri. Limbah merupakan buangan yang kehadirannya 282
pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. (Suhendrayatna, 2001). Air tanah biasanya memiliki kandungan besi yang relatif tinggi. Kadar Fe dalam jumlah sedikit diperlukan untuk pembentukan sel darah merah, tetapi jika kadarnya terlalu besar dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Oleh karena itu pada beberapa sumber air tanah harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu sebelum digunakan. Salah satu pengolahan yang dapat digunakan untuk menyisihkan logam Fe dalam air tanah adalah Adsorpsi (Nunik, 2013). Adsorpsi dilakukan dengan penambahan adsorben, karbon aktif atau sejenisnya. Sistem pada adsorpsi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu sistem batch dan sistem kontinyu (kolom) (Ivana et.al 2012). Messaoudi et. al (2016) melakukan penelitian tentang biosorpsi Kongo merah dalam fixed-bed kolom dari larutan menggunakan shell jujube. Variabel proses bed depth (2, 4 dan 6 cm), flow rate (2,8, 4,5 dan 6,4 L / min), konsentrasi influen CR (100, 200 dan 300 mg / L) dan ukuran partikel (50-100, 100-315, 315500 dan 500-1000 m). Kapasitas biosorpsi tertinggi (80,49 mg/ g) dari 100 mg / L larutan CR dicapai pada laju alir 2,8 mL / menit, bed depth 4 cm dan JS ukuran partikel 50-100 pM. Data yang diperoleh sesuai dengan model Thomas. Namun demikian, tidak ada penelitian yang telah ditemukan dalam literatur untuk optimasi adsorpsi zat besi dalam sistem kontinyu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengoptimalkan kondisi adsorpsi besi dengan karbon aktif granular dalam kolom fixed-bed menggunakan Response Surface Methodology (RSM). Pengaruh variabel termasuk bed depth, waktu kontak dan flow rate terhadap hasil adsorpsi diselidiki oleh tiga variabel-tiga-tingkat Box-Behnken Desain (BBD). Model empiris yang berhubungan dengan variabel tanggap persen penjerapan (removal efficiency) terhadap tiga variabel proses kemudian dikembangkan. 2. Bahan dan Metode Sampel air sumur yang digunakan berasal dari sumur laboratorium teknik kimia dengan kandungan logam Fe 0.169 mg/l, dengan pH 7.09. Sampel dianalisis untuk mengetahui karakteristik awal sampel. Penelitian ini dilakukan dalam skala
283
laboratorium di Laboratorium Jurusan Teknik Kimia UNIMAL. Optimasi adsorpsi menggunakan adsorben karbon aktif commercial dilakukan dengan cara mengalirkan air sumur bor ke dalam kolom adsorpsi yang telah diisi adsorben karbon aktif dengan menvariasikan tinggi unggun (bed depth) masing-masing 7,5 cm, 10 cm, 12,5 cm, waktu kontak 20 menit, 40 menit dan 60 menit serta laju alir 6, 10 dan 14 l/menit secara kontinyu Kemudian
dipelajari
berbagai
seperti ditunjukkan pada gambar 1.
pengaruh
yang
terjadi
terhadap
persen
penjerapannya (removal Efficiency).
Gambar 1. Alat Adsorpsi yang digunakan Variabel independen yang diteliti adalah Tinggi Unggun (X1; 7,5 cm, 10 cm, 12,5 cm), waktu adsorpsi (X2; 20 menit, 40 menit dan 60 menit) dan flow rate (X3 mengalir; 6, 10 dan 14 l / min). Tujuan penelitian ini adalah untuk memisahkan logam ion Fe dalam air tanah digunakan granular karbon aktif dengan kolom fixed- bed sistem kontinyu. konsentrasi awal Fe (II) (C0) adalah 0,169 mg/L. Variabel dependen dianalisis adalah Persen Penjerapan Fe (Y1). Level dan code yang diselidiki dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1, kemudian data eksperimen dianalisis dengan RSM dengan bantuan software Desain expert (Version 7.5, State-Ease Inc, Minneapolis, USA)
284
Tabel 1. Faktor dan level yang digunakan pada rancangan Box-Behnken. Level Faktor -1 0 +1 - Laju
Alir
Fluida
6
10
14
- Tinggi Unggun (cm)
7,5
10
12,5
- Waktu Kontak (min)
20
40
60
(cm3/min)
3. Hasil dan Diskusi Korelasi Variabel Tanggap Terhadap Variabel Independen Sejumlah 17 run secara acak dilakukan untuk mengoptimalkan variabel proses, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 bersama-sama dengan hasil eksperimen dan hasil simulasi dari variabel dependen. Data eksperimen dianalisis dengan RSM dengan bantuan software Desain expert (Version 7.5, State-Ease Inc, Minneapolis, USA) agar sesuai dengan orde kedua persamaan polinomial persamaan 1: Yk β o β i X i β ii X i2 i j β ij X i X j ε j 3
3
i 1
i 1
(1)
di mana Y adalah prediksi respon dan X1, X2, dan X3 dikodekan variabel independen yang sesuai dengan tinggi bed depth, waktu adsorpsi dan flow ratepada kolom adsorpsi yang digunakan Secara di mana sampel dialirkan pada kolom adsorpsi yang mengandung karbon aktif. Konstanta !o, !i, !ii, dan !ij adalah jangka linear, jangka kuadrat dan koefisien lintas jangka produk, masingmasing. nilai-nilai kode yang terkait dengan nilai-nilai riil melalui Persamaan 2 disajikan di bawah ini. o Z X X
X
(2)
Hasil kalkulasi Design-Expert (Design-Expert, 2000) memberikan estimasi koefisien regresi untuk masing-masing variabel tanggap. Pada tabel tersebut ditunjukkan juga hasil perhitungan koefisien korelasi untuk setiap
285
hubungan variabel tanggap dengan variabel independen. Dengan menginspeksi nilai-nilai koefisien korelasi, secara umum dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel independen adsorpsi dengan variabel tanggap cukup kuat, dimana R2 rata-rata > 0,8. Dari tabel korelasi, model empiris yang diperoleh untuk persen penjerapan Fe (Y1) dengan persamaan
3 yang disusun berdasarkan korelasi
variabel tanggap terhadap variabel independen adsorpsi.
Y2 = – 6,97115 + 16,89349X1 + 0,52145X2 – 2,49630X3– 0,014793X1X2 + 0,32544X1X3 – 0,00739645X2X3 – 0,79290X1² - 0,00277367X2² – 0,078587X3² ........(3) Dimana : X1 = tinggi unggun, X2= waktu kontak, X3 =laju alir, Y1= persentase penjerapan Fe Pada persamaan 3, tanda positif menandakan pengaruh secara sinergis sedangkan tanda negatif menandakan pengaruh secara antagonis. Nilai koefisien determinasi (R2) persamaan 3 sebesar 0,9657. Hal ini menandakan bahwa model orde dua sangat signifikan dan cukup layak untuk mewakili hubungan
antara
variabel
respon
dengan
variabel
independen.
Untuk
membuktikan kelayakan model orde satu dan orde dua ini perlu dilakukan analisa lebih lanjut melalui analisa varian dan uji kelayakan model, yang ditunjukkan tabel 2. Gambar 2 juga menujukkan distribusi ekperimen dan prediksi.
Tabel 2. Validasi hasil prediksi model terhadap data eksperimen menggunakan adsorben karbon aktif untuk persentase ppenjeenjerapan Fe Tinggi Waktu No Unggun Kontak
Laju Alir
% Penjerapan % Fe Penyimpangan
(cm)
(Menit) (L/mnt) Exp
Pred
1
10
60
6
91,72 94,156 -2,661
2
12,5
20
10
92,31 92,307 0,001
286
3
12,5
40
14
89,35 91,789 -2,731
4
10
40
10
89,94 89,940 0,000
5
10
20
14
84,62 82,174 2,885
6
12,5
40
6
95,86 94,156 1,775
7
10
40
10
89,94 89,940 0,000
8
10
40
10
89,94 89,940 0,000
9
10
60
14
85,80 84,097 1,983
10
10
40
10
89,94 89,940 0,000
11
12,5
60
10
94,67 93,934 0,782
12
10
40
10
89,94 89,940 0,000
13
7,5
60
10
76,92 76,923 0,000
14
7,5
40
6
84,62 82,174 2,885
15
7,5
20
10
71,60 72,337 -1,033
16
10
20
6
88,17 89,867 -1,929
17
7,5
40
14
65,09 66,790 -2,613
Keterangan : X1= Tinggi unggun, X2= Waktu kontak, dan X3 = Laju alir Tabel 3. menunjukkan hasil analisa varian model kuadratik persentase penjerapan Fe. ANOVA untuk model kuadratik pada Tabel 3 terlihat variabel X1 dan X3 memiliki nilai probabiliti (Prob > F) lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa model kuadratik, variabel X1 = tinggi unggun, X3= laju alir dan variabel kuadratik X12 berpengaruh secara nyata terhadap persentase penjerapan Fe. Sebaliknya variabel X2 = waktu kontak, dan variabel interaksi X1X2, X1X3 dan X2X3 serta variabel kuadratik X22 dan X32 terlihat tidak 287
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik variabel-variabel ini hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap persentase penjerapan Fe. Namun variabel-variabel ini tetap disertakan di dalam model mengingat kemungkinan variabel-variabel tersebut memberikan pengaruh yang berarti terhadap adsorpsi. Norm al Plot of Res iduals
Design-Expert® Software Persentase penjerapan Fe Color points by value of Persentase penjerapan Fe: 95.858
99
95
Normal % Probability
65.089
90 80 70 50 30 20 10 5
1
-2.14
-1.07
0.00
1.07
2.14
I nternally St udentized R es iduals
Gambar 2. Eksperimen – prediksi plot untuk respon Y1
Tabel 3. Analisis Of Varian (ANOVA) untuk persentase penjerapan Fe df
Mean square
Value
P Value Prob Keterangan (p)> F
1028,75
9
114,31
21,92
0,0003
Signifikan
X1
683,84
1
683,84
131,15
<0,0001
Signifikan
X2
19,30
1
19,30
3,70
0,0958
Tidak signifikan
X3
157,56
1
157,56
30,22
0,0009
Signifikan
X1X2
2,19
1
2,19
0,42
0,5378
Tidak signifikan
X1X3
42,37
1
42,37
8,12
0,0247
Tidak signifikan
X2X3
1,40
1
1,40
0,27
0,6203
Tidak signifikan
X12
103,40
1
103,40
19,83
0,0030
Signifikan
X22
5,18
1
5,18
0,99
0,3520
Tidak signifikan
Faktor
Sum square
Model
288
X32
6,66
1
6,66
Residual
36,50
7
5,21
Lackof Fit Pure Error
36,50
3
12,17
0,000
4
0,000
1065,25
16
Cor Total
1,28
0,2957
Tidak signifikan
R2=0,9657; adj R2 = 0,9217; pred. R2=0,4518; C.V = 2,64%; Adeq Precision=15,626
Persentase penjerapan Fe
Design-Expert® Software 14.00
X1 = A: Tinggi unggun
72.1345 76.8272 12.00
B: Waktu kontak = 55.67
C: Laju alir
X1 = A: Tinggi unggun
B: Waktu kontak = 55.67 81.5199 86.2127
90.9054
10.00
8.00
96
Persentase penjerapan Fe
Persentase penjerapan Fe
88.75
81.5
74.25
67
6.00
12.50
8.00
11.25
6.00 7.50
8.75
10.00
11.25
10.00
10.00
A: Tinggi unggun
12.00
8.75 7.50
14.00
12.50
A: Tinggi unggun
Gambar 3. Contour plot kiri dan Grafik tanggap permukaan kanan untuk Persentase penjerapan Fe (Y1) terhadap tinggi unggun dan waktu kontak Pada Gambar 3 terlihat grafik kontur dan grafik tanggap permukaan tiga dimensi yang menggambarkan persentase penjerapan Fe dengan variasi tinggi unggun dan laju alir. Kedua gambar tersebut menunjukkan bahwa grafik tanggap permukaan dan contour plot mempunyai bentuk maksimum. Dari Gambar
289
C: Laju alir
tersebut dapat diketahui optimasi respon penjerapan Fe 95,598 yang berada pada tinggi unggun 11,36 cm, waktu kontak 55,67 menit dan laju alir 6 L/mnt. Berdasarkan teori semakin tinggi unggun maka semakin tingggi persentase penjerapan Fe. Hal ini disebabkan karena tinggi unggun akan meperluas permukaa kontak karbon aktif menjadi semakin besar sehingga penjerapan Fe menjadi lebih baik. Laju alir berbanding terbalik dengan tinggi unggun, semakin tinggi laju alir maka waktu kontak antara logam Fe semakin sedikit terjadi sehingga persentase penjerapan Fe juga akan semakin rendah. Pada awal proses, air baru dapat bergerak pada permukaan, akan tetapi dengan bertambahnya waktu kontak seluruh pori akan terbasahi oleh air. Keadaan ini akan mengakibatkan pembengkakan pori sehingga luas permukaan kontak akan tersedia lebih baik Haryati dkk, 2011. Tabel 4. Analisa optimasi dengan batasan pada adsorpsi menggunakan adsorben karbon aktif (Design Expert 7.1.5)
X1
X2
X3
mg/L
% penjerapan DF Fe (%)
1
11,36
55,67
6,00
0,0074390
95,5982
0,996
2
11,37
55,53
6.00
0,0074392
95,5981
0,996
Kadar Fe Alternatif
Dari hasil analisis seleksi pada Tabel 4, alternatif 1 memiliki nilai DF sebesar 0,996. Dari hasil optimasi ini diperoleh tinggi unggun = 11,36 cm, waktu kontak = 55,67 menit dan laju alir = 6 L/menit.
4.
Simpulan
Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan: 1. Semakin tinggi unggun dan waktu kontak yang digunakan maka logam Besi (Fe) yang teradsobsi oleh karbon aktif akan semakin
290
besar. Demikian sebaliknya semakin besar laju alir limbah maka semakin kecil logam besi (Fe) yang terserap. 2. Kondisi optimum adsorpsi menggunakan karbon aktif pada kombinasi variabel bebas yaitu tinggi unggun 11,36 cm, waktu kontak 55,67 menit dan laju alir 6 L/mnt.
5.
Daftar Pustaka
Ali Qasim, Mohd. Zamri Abdullah, Lau Kok Keong, dan Suzana Yusup. (2014). Computational Fluid Dynamics Simulation of CO2 Adsorption On Nanoporous Activated Carbon: Effect of Feed Velocity. Journal of Applied Science and Agriculture, 9(18): 163-169. Design-Expert, Stat Ease, (2000), Version 7.0 Minneapolis, MN.
Derringer, G. dan Suich, R., (1980) Simultaneous optimization of several response variables. J. Qual. Technol, 12: 214-219. Erika Mulyana Gultom, M. Turmuzi Lubis. (2014). Aplikasi Karbon Aktif Dari Cangkang Kelapa Sawit Dengan Aktivator H3PO4 Untuk Penjerapan Logam Berat Cd Dan Pb. Jurnal Teknik Kimia USU, 3:1. FLUENT, (2005), User Guide. Version 6.2.16, Fluent Incoparated.
Husin, H. dan Cut Meurah R., 2007, “Studi Kinetika Adsorpsi Larutan Logam Timbal (Pb) Menggunakan Karbon Aktif Dari Batang Pisang”. Universitas Syiah Kuala. Juli Elmariza, Titin Anita Zaharah, Savante Arrneuz (2015). Optimasi Ukuran Partikel, Massa, dan Waktu Kontak Karbon Aktif Berdasarkan Efektifitas Adsorpsi !-Karoten Pada CPO. JKK, 4 (2): 21-25 Maya Sari, Ida Zahrina, Zultiniar (2012). Optimasi Kondisi proses (kecepatan Pengadukan Dan Temperatur), Adsorpsi Logam Fe Dengan Zeolit. Laporan Penelitian, Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau, Pekanbaru.
291
Nunik, Prabarini dan DG Okayadnya, (2013) Penyisihan Logam Besi (Fe) Pada Air Sumur Dengan Karbon aktif Tempurung Kemiri. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 5 (2) : 33-41. Sri Haryati, Endang Supraptiah dan Muhammad D.Bustan. (2011), “Pengujian Performance Adsorben Serat Buah Mahkota Dewa (Phaleria marcocarpa (Scheff)) dan Clay Terhadap Larutan Yang Mengandung Logam Kromium, Journal of Applied and Engineering Chemistry, Sriwijaya University, 1:18-23. Suhendrayatna. (2001), “Bioremoval Logam Berat Dengan Menggunakan Microorganisme : Suatu Kajian Kepustakaan”, Seminar Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21, Sinergy Forum-PPI Tokyo Institute of Technology. Turkyilmaz, H., Kartal, T., dan Yildiz, S, Y. (2014), Optimization of lead adsorption of mordenite by response surface methodology: characterization and modification. Journal of Environmental Health Science & Engineering, 12:5 Vasanth kumar K, Ramamurthi V, Sivanesan S, (2005). Modeling the mechanism involved during the sorption of methylene blue onto fly ash. J Colloid Interface Sci. 284:14–21. Widaningrum, Miskiyah dan Suismono. (2007). Bahaya Kontaminasi Logam Berat Dalam Sayuran Dan Alternatif Pencegahan Cemarannya, Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian 3: 16-27. Yuniawan Hidayat, dan Sentot Budi Raharjo, (Juli 2010), Optimasi Kapasitas Adsorpsi Gliserol Pada !-Al2O3 DAN Efek Tegangan Permukaannya Terhadap Daya Serap Adsorpsinya Sebagai Kajian Awal Pemisahan Gliserol Pada Limbah Biodiesel. Jurnal EKOSAINS. 2(2):66-73. Zahangir, Md, A., Muyibi S, A, Toramae, J. (2007). Statistical optimization of adsorption processes for removal of 2,4- dichlorophenol by activated carbon derived from oil palm empty fruit bunches. Journal of Environmental Sciences. 19 :674–6. Ivana M. Savic, Stanisa T. Stojiljkovic, Ivan M. Savic, Sreten B. Stojanovic, Karl Moder. (2012). Modeling and Optimization of Fe(III) Adsorption from Water using Bentonite Clay:Comparison of Central Composite Design and Artificial Neural Network, Chem. Eng. Technol. 35, No. 11. N.El. Messaoudi, M. El. Khomri, A. Dbik, S. Bentahar, A. Lacheraia, B. Bakiz, (2016). "Biosorption of Congo red in a fixed-bed column from aqueous solution using jujube shell: Experimental and mathematical modeling", Journal of Environmental Chemical Engineering, 4 (4):3848–3855.
292
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
KENDALI PROSES GRATE COOLER PLANT 8 GRATE 1, PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA Tbk
Heri Haryanto1 Ahmad Taslim1, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Jenderal Sudirman Km. 3 Cilegon-Banten 42435
[email protected]
1
Abstrak Kebutuhan bahan bangunan terutama semen di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat ditambah dengan banyaknya perusahaan semen di Indonesia membuat perusahan semen harus bersaing untuk memenuhi kebutuhan pasar yang cukup banyak tiap tahunnya (kuantitas) dan kepuasan konsumen (kualitas) di Indonesia. Dalam proses produksi semen terdapat tahap yang cukup menentukan kualitas dan kuantitas produk semen yaitu tahap pendinginan clinker dengan grate cooler. Pada tahap ini clinker hasil pembakaran kiln diturunkan suhunya dari awalnya sekitar 1400 °C menjadi 100-200 °C. Pada grate cooler, clinker didinginkan dengan cara meniupkan udara dengan kipas pendingin dari bawah grate plate. Grate Cooler IKN terdiri dari 2 ruang, yaitu grate 1 dan grate 2. Clinker yang baru keluar dari kiln akan masuk kedalam grate 1 untuk didinginkan dan dihancurkan menjadi ukuran yang lebih kecil setelahnya clinker akan didinginkan kembali pada grate 2 sebelum dipindahkan ke proses selanjutnya. Proses kendali grate 1 pada grate cooler dilakukan dari beberapa tempat seperti CCP (Central Control Panel), MCC (Module Central Control) LCB (Local Control Board) dan HCB (Hydraulic Control Board). Ketika sinyal kendali dikeluarkan oleh CCP untuk menentukan jumlah SPM (Stroke per Minute) maka sinyal kendali tersebut mengalami beberapa pengkondisian sinyal hingga grate plate bergerak sesuai dengan setpoint SPM yang diinginkan oleh operator di CCP. Berdasarkan hasil pengamatan di dapatkan bahwa perlu adanya pengambilan data arus pada output card modul I/O di MCC
sehingga didapat persamaan yang valid dari konversi setpoint spm ke arus Kata kunci : Produksi Semen, Grate Cooler, Grate 1, Stroke per Minute.
1. Pendahuluan Perkembangan industri produksi semen di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin ketat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya produk semen yang ada di pasar Indonesia. Selain itu, dengan banyaknya pesaing membuat perusahaan semen harus meningkatkan kualitas dan kuantitas produknya sehingga dapat bersaing. Salah satu caranya adalah dengan memiliki sistem yang baik dari
293
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
sisi kinerja dan efektif agar jumlah produksi yang diinginkan tercapai dan dapat menekan biaya produksi yang tidak dibutuhkan. Secara garis besar proses produksi semen terdiri dari 5 tahap. Dalam tahapan tersebut terdapat tahapan yang cukup menentukan kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan yaitu tahap pendinginan clinker dengan grate cooler. Proses pendinginan dengan grate cooler adalah proses pendinginan hasil pembakaran kiln yaitu clinker secara mendadak yang suhu awalnya sekitar 1400 °C menjadi 100-200 °C. Proses pendinginan dilakukan dengan meniupkan angin menggunakan kipas ke clinker dari bagian bawah grate plate. Grate plate digerakkan dengan hidrolik silinder untuk memindahkan clinker menuju crusher. Proses pendinginan clinker adalah proses yang cukup menentukan sehingga dibutuhkan pembahasan lebih lanjut mengenai kendali pada grate cooler. 2. Tinjauan Pustaka
Proses Produksi Semen Plant 8 adalah salah satu plant dari 14 plant yang dimiliki PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Teknologi pembuatan semen yang digunakan adalah teknologi proses kering karena mempunyai keuntungan yaitu biaya operasi yang rendah dan kapasitas produksi yang besar sehingga sangat menguntungkan pabrik. Proses pertama pada proses kering adalah bahan baku dipecah dan digiling sampai kadar air 1%. Proses kedua adalah bahan baku yang telah digiling pada proses sebelumnya dicampur kedalam blending silo untuk mendapatkan campuran yang homogen atau disebut meal dengan menggunakan udara tekan. Proses ketiga adalah meal diumpankan ke kiln dan didinginkan dengan grate cooler menghasilkan clinker. Proses keempat adalah clinker digiling hingga berukuran 30 µm, kemudian dicampur dengan gypsum dan bahan tambahan dalam perbandingan 96:4. Proses kelima adalah pengepakan semen dalam kantung semen.
294
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Secara umum proses pembuatan semen dengan proses kering dibagi atas lima bagian yaitu : 1. Penyediaan enyediaan Bahan Baku 2. Pengolahan Bahan 3. Pembakaran embakaran dan Pendinginan 4. Penggilingan enggilingan Semen 5. Pengisian engisian dan Pengantongan Semen
Kelima tahap tersebut direpresentasikan menjadi 5 unit operasi utama yaitu : Tahap I
: Unit Crusher
Tahap II
: Unit Raw Mill
Tahap III
: Unit Kiln and Coal Mill
Tahap IV
: Unit Finishing Mill
Tahap V
: Unit Packer
Gambar 1 Proses Produksi Semen
Unit Kiln and Coal Mill Unit Kiln and Coal Mill adalah unit yang bertugas untuk membakar meal material (bentuk material sudah menjadi tepung) hingga menjadi clinker clinker. Proses tersebut melibatkan beberapa alat yang terdiri dari coal mill mill, suspension 295
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
preheater, kiln dan grate cooler. Meal material yang masuk ke unit ini akan dipanaskan terlebih dahulu dengan batu bara yang telah dihaluskan oleh coal mill.
Gambar 2 Coal mill plant 8 (kiri) dan Suspension pension preheater plant 8 (kanan)
Proses pemanasan awal dilakukan di suspension preheater hingga suhu 750°C. Meal material yang sudah dipanaskan kemudian dibakar didalam kiln. Proses pembakaran pada kiln pun meal material dicampur dengan batu bara yang telah dihaluskan. Tujuan pencampuran batu bara yang telah dihaluskan ppada proses pemanasan awal di suspension preheater dan pembakaran di kiln adalah untuk membantu embantu peningkatan suhu pada meal material. Meal material dibakar pada kiln hingga suhu mencapai 1400°C hingga meal material mencair. Pada kiln terdapat 4 zona yaitu zona kalsinasi, zona transisi, zona klinkerisasi dan zona pendinginan. Zona kalisinasi, zona transisi ddan zona klinkerisasi adalah zona pembentukan berdasarkan reaksi kimia sedangkan sedan zona pendinginan adalah zona dimana meal material sudah berubah menjadi clinker. Clinker yang telah terbentuk kemudian dimasukan kedalam alat yang bernama grate cooler..
296
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 3 Kiln plant 8 Grate Cooler Grate cooler adalah sebuah alat pendingin yang ditempatkan setelah kiln. Fungsinya untuk mendinginkan clinker keluaran dari kiln secara cepat dari suhu effect. Grate 1400°C C menjadi 200°C atau juga disebut metode air quenching effect ngan cara paling modern yaitu cooler adalah jenis pendinginan clinker dengan meniupkan angin dari bawah plate yang menggerakan clinker.
Gambar 4 Grate cooler IKN
Grate cooler yang digunakan adalah pabrikan IKN yang memiliki 2 ruang yang disebut grate 1 dan grate 2. Posisi grate 1 adalah tepat setelah kiln, sedangkan grate 2 posisinya dibawah crusher yang menghubungkan grate 1 dan 2. Clinker yang keluar dari kiln kemudian masuk ke grate 1, digerakkan oleh grate plate menuju crusher crusher. Selama grate plate menggerakan clinker clinker, proses
297
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
pendinginan dilakukan oleh cooling fan dengan meniupkan angin dari bawah grate plate sehingga suhu clinker menjadi turun.
Gambar 5 Jenis grate plate
Clinker yang telah melalui crusher akan terjatuh ke grate 2. Clinker pada grate 2 suhunya tidak setinggi ketika di grate 1 sehingga jumlah cooling fan lebih sedikit dibanding jumlah cooling fan pada grate 1. Proses pada grate 2 pun sama dengan proses pada grate 1 hanya diakhir grate 2 tidak ada crusher melainkan conveyor menuju proses selanjutnya.
Gambar 6 Crusher pada grate cooler IKN
Grate 1 memiliki peran yang cukup penting pada grate cooler yaitu menggerakan clinker dengan kecepatan yang sesuai dengan jumlah feeding clinker.. Jika clinker terlalu cepat dikeluarkan dari grate cooler maka kualitas clinker kurang ang bagus dan jika clinker terlalu lama dikeluarkan dari grate cooler
298
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
maka bisa terjadi penimbunan clinker pada grate 1. Kecepatan gerak grate plate pada grate 1 dkendalikan oleh operator di ruang kendali atau lapangan. Grate plate digerakan oleh sebuah proportional valve yang dibantu 6 pendulum.
Gambar 7 Grate plate dengan pendulum
Parameter yang dikendalikan Parameter yang dikendalikan adalah jumlah stroke per minute (spm) dari grate plate pada grate 1. Grate plate digerakan oleh sebuah silinder yang dikendalikan oleh proportional valve valve. Kendali pada proportional valve sesuai dengan nilai tegangan hasil konver konversi p si dari nilai spm yang diberi padanya oleh operator
Gambar 8 Proportional valve
Pengkondisian Sinyal Pengkondisian sinyal berkaitan dengan operasi yang dikenakan pada sin sinyal untuk mengkonversi sinyal tersebut ke bentuk yang sesuai dengan ya yang 299
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
diperlukan oleh suatu device. Efek pengkondisian sinyal pada sinyal masukan sering dinyatakan dalam bentuk fungsi alih. Pengkondisian sinyal dapat dikelompokan dalam beberapa jenis, salah satu yang digunakan pada kegiatan kerja praktek kali ini adalah linierisasi. a. Linierisasi Hubungan antara keluaran dengan masukan sering kali tidak linier sehingga dibutuhkan linierisasi. Rumus dasar yang digunakan pada linierisasi adalah sebagai berikut.
..................(1)
Dimana: y
= nilai output
yhigh = batas atas skala y ylow = batas bawah skala y x
= nilai input
xhigh = batas atas skala x xlow = batas bawah skala x Penurunan rumus 2.1 menghasilkan rumus umum linierisasi. Berikut proses penurunannya.
300
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
…………………………(2)
Dimana: y
= nilai output
x
= nilai input – batas bawah skala x
m
= rentang skala y / rentang skala x
b
= batas bawah skala y
3. Metode Penelitian
Pada Penelitian ini
akan dilakukan beberapa tahap yaitu mengamati sistem
kendali grate 1 dari grate cooler pabrikan IKN Plant 8, mengamati pengolahan sinyal kendali di grate 1 dari grate cooler pabrikan IKN, Plant 8.dari data tersebut akan dilakukan perhitungan dengan berbagai variasi setpoint agar didapakan nilai arus yang sesuai. 4. Pembahasan Pendinginan cepat yang terjadi di grate cooler menjadi salah satu faktor kualitas semen. Alasan itulah yang mengharuskan grate cooler dikendali sebaik mungkin. Kendali yang dapat dilakukan pada grate cooler contohnya adalah jumlah stroke per minute (spm), panjang stroke yang dilakukan, titik kerja stroke dan lainnya. Fokus kendali yang akan dibahas adalah spm. Pembahasan lebih dalamnya adalah sistem kendali grate 1 saat diberi setpoint jumlah spm, proses data setpoint hingga grate cooler melakukan spm sesuai dengan setpoint
4.1. Sistem Kendali Grate 1 dari Grate Cooler IKN Kendali grate 1 dapat dilakukan dari beberapa tempat, seperti CCP (Central Control Panel), MCC (Module Central Control), HCB (Hydraulic Control Board)
301
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
dan LCB (Local Control Board Board). Sistem kendali grate 1 dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 9. Blok Diagram Sistem Kendali Grate Cooler
CCP adalah ruang kendali dan monitor pusat untuk m memerintah seluruh aalat yang berada dilapangan termasuk grate cooler.. Kendali dilakukan dari ruang ini menggunakan oleh operator melalui komputer yang terhubung dengan server men kabel ethernet.. Setpoint yang dimasukkan oleh operator pada grate cooler adalah berupa stroke per minute (SPM). Sinyal analog yang digunakan 44-20 mA, 20 mA maka operator tidak alasannya adalah jika menggunakan sinyal analog 00-20 o dapat membedakan ketika terjadi kerusakan pada kabel (terputus) aatau setpoint yang dimasukkan memang 0 mA. Data setpoint akan dikirim oleh server ke modul optik adalah I/O di MCC menggunakan kabel optik. Alasan penggunaan kabel opt kecepatan dan kapasitas data yang mampu ditampung oleh kabel opt optik cukup besar sehingga mampu mengirim dan menerima data dari seluruh MCC dilapangan. lapangan. MCC adalah ruang kendali modul alat yang berada dilapangan. Ke Kegunaan dari MCC adalah sebagai transitnya sinyal sinyal data se sebelum ditransfer ke atau dari CCP. Data setpoint yang telah dikirim ke modul I/O, akan diubah oleh card pada modul I/O di MCC menjadi arus dengan rentang 44-20 20 mA.
302
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 10. Modul I/O Cooler Data yang telah dirubah menjadi arus akan dikirim ke I/O CP CPU IKN menggunakan kabel har hardwire biasa. Arus kemudian dimasukkan ke CPU IKN melalui input analog dengan alamat PIW 256. Arus yang dimasukan me melalui PIW 256 tidak akan terbaca sebagai arus melainkan menjadi suatu nilai de denga dengan rentang tertentu yang dimengerti oleh CPU IKN. Hal ini dikarena dikarenakan tidak semua output alat dapat langsung dijadikan input alat lain sehingga perlu diu diubah menjadi nilai yang dimengerti oleh alat tersebut.
Gambar 11. CPU IKN
Nilai pada PIW 256 didapat dengan menggunakan konsep linieritas, rrentang arus dilinierkan dengan ngan rentang nilai di PIW 256. Input yang dimenge dimengerti oleh CPU IKN akan diskala hingga menjadi spm pada output dengan alamat
303
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
DB11.DBW 24. CPU IKN membaca nilai spm yang diatur oleh operator di CCP untuk grate cooler. Nilai spm tersebut kemudian diubah kemba kembali menjadi nilai seperti di PIW 256. Hasilnya yang berupa data kemudian dikirim menuju LC LCB. Data tersebut juga dikirim ke HCB, yang digunakan untuk menggerakkan motor silinder hidrolik. LCB adalah kendali alat yang berada dil dilapangan. Pada LCB terdapat HNC 100 100, Human Machine Interface (HMI) dan I/O. Data yang dikirim ke LCB akan masuk ke alat tersebut. Data spm yang ma masuk ke HNC 100 akan diubah menjadi tegangan dengan rentang -10 V sampai +10 V. Tegangan Tega tersebut digunakan untuk mengatur proportional valve silinder ilinder hidrolik penggerak grate 1 agar mencapai spm yang diatur oleh operator di CCP, sedangkan data yang dikirim ke HMI digunakan untuk pemantauan langsung status grate cooler dilapangan dan I/O untuk gerbang input dan output di grate cooler.
Gambar 12. Tampilan HMI di LCB
Ketika silinder hidrolik bergerak, displacement tranducer akan membaca panjang tiap stroke yang dilakukan. Nilai yang terbaca akan dikirim ke CPU IKN se sebagai feedback.. Panjang stroke yang dibaca oleh displacement tranducer akan dihi dihitung menjadi spm actual yang selanjutnya akan dibandingkan dengan setpoint oleh CPU IKN. Sistem kendali pada grate cooler di plant 8 merupakan sistem dengan loop tertutup.
304
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 13. Diagram Close Loop dari Sistem Kendali Grate Cooler
4.2. Pengolahan sinyal di dalam grate cooler IKN Berdasarkan penjelasan mengenai sistem kendali grate 1 dari grate cooler IKN diatas, setpoint yang diberikan oleh operator melalui CCP beberapa kali diubah sesuai dengan kebutuhan alat sehingga diperlukan pembahasan mengenai pengolahan sinyal yang terjadi. a. Komputer operator ke modul I/O di MCC Operator CCP mengatur jumlah spm dari grate cooler. Rentang spm dari grate cooler adalah dari 0-25 spm, sedangkan rentang arus yang digunakan 4-20 mA. Hubungan antara keduanya adalah linier, sehingga ketika spm diatur 0 spm, maka arus yang dikirim ke grate cooler adalah 4 mA. Menggunakan rumus 2.2, maka didapat rumus liner arus terhadap spm sebagai berikut.
…………………………………………………… (3)
Nilai spm dimasukan ke persamaan 3 , maka hasilnya seperti didalam tabel berikut.
305
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 1 Nilai SPM dan Arus Setpoint
Arus
(spm)
(mA)
1
0
4
2
1
4,64
3
2
5,28
4
3
5,92
5
4
6,56
6
5
7,2
7
6
7,84
8
7
8,48
9
8
9,12
10
9
9,76
11
10
10,4
12
11
11,04
13
12
11,68
14
13
12,32
No.
15
14
12,96
16
15
13,6
17
16
14,24
18
17
14,88
19
18
15,52
20
19
16,16
21
20
16,8
22
21
17,44
23
22
18,08
24
23
18,72
25
24
19,36
306
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
26
25
20
Berdasarkan tabel 1 jika operator mengatur setpoint dari grate cooler adalah 2 spm maka nilai arus yang dikirim oleh modul I/O adalah 5,28 mA sedangkan jika operator mengatur setpoint sebesar 24 spm maka arusnya adalah 19,36 mA. Nilai diatas adalah berdasarkan hubungan linier antara setpoint dengan arus namun kenyataannya operator tidak bisa mengatur setpoint kurang dari 3 spm dan lebih dari 23 spm, hal ini dikarenakan jika grate cooler digerakan dibawah 3 spm dan diatas 23 spm akan menyebabkan masalah pada grate cooler sehingga pada program kendali grate cooler rentang spm yang bisa diatur oleh operator hanya dari 3-23 spm.
b. Modul I/O di MCC ke input analog CPU IKN (PIW 256) Nilai yang dikirim modul I/O adalah arus. Arus tersebut masuk kedalam input analog CPU IKN (PIW 256) namun arus tidak terbaca oleh CPU IKN melainkan dibaca menjadi nilai hasil konversi dengan sebuah rumus. Nilai hasil konversi
tersebut
didapat
dengan
percobaan
dilapangan
yaitu
dengan
memasukkan arus langsung ke PIW 256. Data yang didapatkan dapat dilihat pada tabel 2
307
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 2 Data Percobaan Input Arus Langsung ke PIW 256 No
Arus (mA)
PIW 256
1
4
0
2
5
1728
3
6
3456
4
7
5192
5
8
6920
6
9
8648
7
10
10392
8
11
12120
9
12
13848
10
13
15576
11
14
17312
12
15
19040
13
16
20776
14
17
22512
15
18
24240
16
19
25968
17
20
27696
Data diatas kemudian dicari rumus linieritasnya dengan menggunakan grafik X Y (scatter). Grafik akan menggambarkan bentuk linier kedua data tersebut. Tampilkan formula grafik untuk melihat rumus linier nya.
308
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
%!"!$!%''$ $%'&$
%'&
%'&#
Gambar 14 Grafik Linier Hubungan Arus dan PIW 256 Rumus linier berdasarkan data diatas adalah
................................................ (4)
Persamaan (4) digunakan untuk data dari tabel 1 maka didapat nilai PIW 256 yang terbaca pada CPU IKN.
Tabel 4 Nilai Setpoint, Arus dan PIW 256 Setpoint
Arus
(spm)
(mA)
1
0
4
-3,4
2
1
4,64
1104,76
3
2
5,28
2212,92
4
3
5,92
3321,08
5
4
6,56
4429,24
6
5
7,2
5537,4
7
6
7,84
6645,56
8
7
8,48
7753,72
9
8
9,12
8861,88
10
9
9,76
9970,04
No
PIW 256
309
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
11
10
10,4
11078,2
12
11
11,04
12186,36
13
12
11,68
13294,52
14
13
12,32
14402,68
15
14
12,96
15510,84
16
15
13,6
16619
17
16
14,24
17727,16
18
17
14,88
18835,32
19
18
15,52
19943,48
20
19
16,16
21051,64
21
20
16,8
22159,8
22
21
17,44
23267,96
23
22
18,08
24376,12
24
23
18,72
25484,28
25
24
19,36
26592,44
26
25
20
27700,6
c. Input analog PIW 256 ke DB11.DBW 24 Input yang terbaca CPU IKN adalah nilai di PIW 256. Input analog diubah menjadi satuan spm menggunakan rumus 3.2 dengan nilai : y = #EngReal (tipe data real) x = #PV_in (tipe data word) b = #dnScl (tipe data real) m = (upScl-dnScl)/27648
Percobaan yang dilakukan di lapangan dengan memasukan arus langsung ke PIW 256, juga menghasilkan analog input. Datanya dapat dilihat pada tabel 5
Tabel 5 Data SPM Actual dari Memasukkan Arus Langsung ke PIW 256
310
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
No
Arus (mA)
PIW 256
DB11.DBW 24 (spm)
1
4
0
30
2
5
1728
30
3
6
3456
31
4
7
5192
47
5
8
6920
63
6
9
8648
78
7
10
10392
94
8
11
12120
110
9
12
13848
125
10
13
15576
141
11
14
17312
157
12
15
19040
172
13
16
20776
188
14
17
22512
204
15
18
24240
219
16
19
25968
230
17
20
27696
230
Nilai DB11.DBW 24 tipe datanya adalah integer sehingga hanya menampilkan bilangan bulat. Alasan tersebut yang menyebabkan nilai DB11.DBW 24 lebih besar 10 kali lipatnya dengan pembulatan dari nilai EngReal agar nilai real dapat terbaca. Perbandingan datanya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 6 Data Perbandingan SPM Actual dan SPM Rumus No 1
DB11.DBW 24
EngReal
(spm)
(spm)
3,0
0
311
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
2
3,0
1,5625
3
3,1
3,125
4
4,7
4,694734
5
6,3
6,257234
6
7,8
7,819734
7
9,4
9,396701
8
11,0
10,9592
9
12,5
12,5217
10
14,1
14,0842
11
15,7
15,65394
12
17,2
17,21644
13
18,8
18,78617
14
20,4
20,3559
15
21,9
21,9184
16
23,0
23,4809
17
23,0
25,0434
Data diatas membuktikan bahwa rumus scaling analog input benar dan berlaku pada proses ini sehingga nilai DB11.DBW 24 dari data tabel 7 adalah sebagai berikut.
Tabel 7 Nilai Setpoint, Arus, PIW 256 dan DB11.DBW 24 Setpoint
Arus
(spm)
(mA)
1
0
4
-3,4
-0,00307
2
1
4,64
1104,76
0,998951
3
2
5,28
2212,92
2,000977
4
3
5,92
3321,08
3,003002
5
4
6,56
4429,24
4,005027
No
PIW 256
DB11.DBW 24 (spm)
312
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
6
5
7,2
5537,4
5,007053
7
6
7,84
6645,56
6,009078
8
7
8,48
7753,72
7,011104
9
8
9,12
8861,88
8,013129
10
9
9,76
9970,04
9,015155
11
10
10,4
11078,2
10,01718
12
11
11,04 12186,36
11,01921
13
12
11,68 13294,52
12,02123
313
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Lanjutan Tabel 7 Nilai Setpoint, Arus, PIW 256 dan DB11.DBW 24 14
13
12,32 14402,68
13,02326
15
14
12,96 15510,84
14,02528
16
15
13,6
15,02731
17
16
14,24 17727,16
16,02933
18
17
14,88 18835,32
17,03136
19
18
15,52 19943,48
18,03338
20
19
16,16 21051,64
19,03541
21
20
16,8
22159,8
20,03743
22
21
17,44 23267,96
21,03946
23
22
18,08 24376,12
22,04149
24
23
18,72 25484,28
23,04351
25
24
19,36 26592,44
24,04554
26
25
20
16619
27700,6
25,04756
d. DB11.DBW 24 ke profibus Nilai DB11.DBW 24 pada tabel 3.6 kemudian diskala menggunakan rumus 2.2 dengan nilai : y = #PV_out (tipe data word) x = EngInt (tipe data integer) b = #dnScl (tipe data real) m = 27648/(upScl-dnScl)
Nilai pada profibus dengan rumus scaling analog output dapat dilihat sebagai berikut. Tabel 8 Nilai Setpoint, Arus, PIW 256, DB11.DBW 24 dan Profibus Setpoint
Arus
PIW
DB11.DBW
(spm)
(mA)
256
24 (spm)
1
0
4
-3,4
-0,0031
-3,39517
2
1
4,64
1104,76
0,99895
1104,76
No
Profibus
314
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
3
2
5,28
2212,92
2,00098
2212,92
4
3
5,92
3321,08
3,003
3321,08
5
4
6,56
4429,24
4,00503
4429,239
6
5
7,2
5537,4
5,00705
5537,4
7
6
7,84
6645,56
6,00908
6645,56
8
7
8,48
7753,72
7,0111
7753,72
9
8
9,12
8861,88
8,01313
8861,88
10
9
9,76
9970,04
9,01516
9970,04
11
10
10,4
11078,2
10,0172
11078,2
12
11
11,04 12186,4
11,0192
12186,36
13
12
11,68 13294,5
12,0212
13294,52
14
13
12,32 14402,7
13,0233
14402,68
15
14
12,96 15510,8
14,0253
15510,84
16
15
13,6
15,0273
16619
17
16
14,24 17727,2
16,0293
17727,16
18
17
14,88 18835,3
17,0314
18835,32
19
18
15,52 19943,5
18,0334
19943,48
20
19
16,16 21051,6
19,0354
21051,64
21
20
16,8
22159,8
20,0374
22159,79
22
21
17,44
23268
21,0395
23267,96
23
22
18,08 24376,1
22,0415
24376,12
24
23
18,72 25484,3
23,0435
25484,28
25
24
19,36 26592,4
24,0455
26592,44
26
25
25,0476
27700,6
20
16619
27700,6
Nilai pada profibus sama dengan nilai PIW 256, hal ini menunjukan proses scaling analog output benar. Nilai tersebut akan dikirim menuju LCB. Pada LCB terdapat HMI, I/O dan HNC 100. Pada HMI, nilai profibus akan dikonversi menjadi spm dengan persamaan (2) untuk pengawasan di lapangan. Nilai Profibus pada HNC 100 akan diubah menjadi tegangan untuk mengatur proportional valve. 315
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
e. Profibus ke HNC 100 Data yang dikirim oleh CPU IKN kemudian diolah oleh HNC 100 dengan program yang ada didalamnya menjadi sebuah tegangan. Berikut datasheet dari HNC 100.
Tabel 9 Datasheet HNC 100 Tegangan
Panjang Stroke
0 …. +10 V
0 … - 60 mm
0 …. -10 V
0 … + 60 mm
Tabel 10 Data HNC 100
Tanggal
Mode
15/09/2015 Manual
Setpoint
Tegangan (V) Silinder
Silinder
Maju
Mundur
5
-6,5
8,5
8
-6,1
7,2
(spm)
Berdasarkan datasheet HNC 100, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan tegangan output HNC 100 dengan panjang stroke adalah linier sehingga data diatas dapat diolah menjadi nilai panjang stroke yang terjadi. Datanya dapat dilihat dibawah ini. Tabel 11 Data Tegangan HNC 100 dan Panjang Stroke Silinder Maju Setpoint (spm)
Tegangan (V)
Panjang Stroke (mm)
Silinder Mundur Tegangan (V)
Panjang Stroke (mm)
5
-6,5
39
8,5
51
8
-6,1
36,6
7,2
43,2
316
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
f. HNC 100 ke Proportional Valve Proportional valve unt untuk uk bekerja membutuhkan input berupa arus dengan rentang -20 20 mA hingga +20 mA sehingga dibutuhkan converter dari tegangan menjadi arus. Nilai tegangan diubah menjadi arus menggunakan pri prinsip linieritas. Jika tegangan dari HNC 100 sebesar -10 V maka arus yang sampai pada proportional valve sebesar -20 mA. A. Skemanya bisa dilihat pada gambar 4.7
Gambar 13 Skema dari HNC 100 menuju proportional valve
Nilai arus yang dikirim ke proportional valve menentukan proses yang dilakukan oleh silinder hidrolik. Berikut datasheet dari proportional valve valve.
Tabel 12. Datasheet Proportional Valve Arus 0 … +20 mA 0 .… -20 mA
Aliran valve – piston
Silinder
utama
Hidrolik
P-B dan A-T
P-A dan B-T
Bergerak Mundur Bergerak Maju
317
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 14. Skema HNC 100, Proportional Valve dan Displacement Tranducer
Data pada 15 September 2015 jika dihubungkan secara linier dengan dat datasheet proportional valve diatas maka didapatkan data sebagai berikut.
Tabel 13.Data Tegangan dan Arus ketika Silinder Maju Maju-Mundur Setpoint
Silinder Maju
Silinder Mundur
Tegangan
Arus
Tegangan
Arus
(V)
(mA)
(V)
(mA)
5
-6,5
-13
8,5
17
8
-6,1
-12,2
7,2
14,4
(spm)
Arus yang diterima oleh proportional valve ketika setpoint 5 spm adalah -13 mA hingga + 17 mA sedangkan ketika setpoint 8 spm adalah -12,2 mA hingga +14,4 mA. g. Displacement Tranducer Displacement tranducer digunakan untuk mengukur panjang stroke yang terjadi pada silinder. Pengukuran panjang stroke penting dilaku dilakukan sebagai feedback ke CPU IKN untuk dilakukan perbandingan nilai spm actual dengan setpoint sehingga jika ada perbedaan, CPU IKN akan melakukan evaluasi sinyal
318
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
yang dikirm ke HNC 100. Berikut data pembacaan displacement tranducer yang berhasil diambil dari lapangan. Tabel 14 Data Displacement Tranducer Setpoint Pengambilan Waktu/stroke (spm) 10
7
Data
(s)
1
5,02
2
4,97
1
7,55
2
7,48
Data diatas kemudian diolah menjadi data sebagai berikut. Tabel 15 Data Setpoint dan SPM Actual Berdasarkan Displacement Tranducer
Setpoin t (spm)
10
7
SPM Actual
Penga
Waktu
mbilan
/stroke
Data
(s)
1
5,02
11,95 spm
2
4,97
12,07 spm
1
7,55
7,95 spm
2
7,48
8,02 spm
(60 detik/[Waktu/st roke])
SPM actual terlihat tidak sesuai dengan setpoint, data pembacaan ini yang akan diperbaiki oleh CPU IKN sehingga sinyal yang dikirm ke HNC 100 memperbaiki spm actual menjadi sesuai setpoint. 5. Simpulan Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilaksanakan di PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk dapat diambil kesimpulan sebagai berikut 1. Kendali pada grate cooler di plant 8 merupakan close loop karena terdapat feedback berupa nilai actual stroke. 2. Setpoint akan dikonversi sesuai dengan kebutuhan device. Perubahan sinyal yang terjadi pada grate 1 dari grate cooler IKN adalah sebagai berikut.
319
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
a. Komputer operator ke modul I/O : Perubahan dari spm ke arus, menggunakan persamaan linieritas. b. Modul I/O ke input analog CPU IKN: Perubahan dari arus ke bilangan heksadesimal, menggunakan persamaan linieritas. c. Input analog CPU IKN ke CPU IKN : Perubahan dari bilangan heksadesimal ke spm, menggunakan persamaan scaling analog input. d. CPU IKN ke Kabel Profibus : Perubahan dari spm ke bilangan heksadesimal, menggunakan persamaan scaling analog output e. Kabel Profibus ke HNC 100 : Perubahan dari bilangan heksadesimal ke tegangan, menggunakan program yang ada dalam HNC 100 f. HNC 100 ke proportional valve : Perubahan dari tegangan ke arus, menggunakan persamaan linieritas. 3. Perlu diambil data arus pada output card modul I/O di MCC sehingga didapat persamaan yang valid dari konversi setpoint spm ke arus. 4.Perlu pengamatan lebih lanjut pada konversi panjang silinder menjadi nilai actual grate 6. Daftar Pustaka 1. Ahmad, Arina Hasbana “Laporan Praktek Kerja PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Pabrik Citeureup – Bogor, Plant 7” Universitas Diponegoro, Semarang: 2015 2. Gojali, Fikri “Inspeksi Grate Cooler AQC Plant 1-2 dan Pergantian Grate Plate, Plant 2” Sekolah Tinggi Teknologi Indocement, Citeureup: 2015 3. Operating and maintenance manual cooler refurbishment IKN Book,2007 4. Anonim, Sistem Hidrolik dan Pompa Hidrolik http://fortek-pembangunan.blogspot.co.id/2013/05/sistem-hidrolilk-danpompa-hidrolik.html (URL diakses pada tanggal 18 Februari 2016) 5. Anonim, rumus konversi 4-20 mA http://instrumentationtools.com/4-to-20-ma-conversion-formula/ (URL diakses pada tanggal 17 Mei 2016)
320
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
ANALISA DISTRIBUSI TEMPERATUR ALAT PENUKAR KALOR JENIS SHELL AND TUBE DENGAN MENGGUNAKAN METODE COMPUTATIONAL FLUID DYNAMIC (CFD) Lilis Hasibuan, Nasrul ZA Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24535 e-mail :
[email protected]
Abstrak Tipe alat penukar kalor yang paling banyak digunakan didunia industri adalah tipe shell and tube karena dari konstruksinya yang sederhana. Alat ini terdiri dari sebuah shell silindris dibagian luar dan sejumlah tube di bagian dalam. Heat Exchanger atau alat penukar kalor adalah alat yang berfungsi untuk memindahkan kalor dari dua fluida atau lebih, melalui permukaan sentuh atau memulai fluida, pada temperatur yang berbeda. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis distribusi temperatur pada alat penukar kalor jenis shell and tube dengan melihat beda temperatur atau LMTD dan pola aliran yang terbentuk didalamnya. Penelitian dilakukan dengan metode CFD (Computation Fluid Dynamic) menggunakan aplikasi Autodesk Simulation CFD dan menggunakan Autodesk Inventor Proffesional untuk membuta model geometri. Variabel yang divariasikan adalah temperatur masuk shell dan laju alir masuk shell. Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan nilai LMTD pada temperatur 100!C dan laju alir masuk shell 200 kg/h; 250kg/h; 300kg/h; 350kg/h adalah 84,11; 85; 85; 0. Nilai LMTD pada temperatur 120!C dengan laju alir masuk shell yang sama didapatkan nilai LMTD nya adalah 64; 66; 65; 63. Sedangkan pada temperatur masuk shell 140!C didapatkan nilai LMTD nya adalah 50; 51; 50; 48. Dari data hasil penelitian nilai yang didapatkan semakin kecil apabila semakin besar jumlah laju alir. Dan pola aliran yang terbentuk pada sisi shell dalah turbulen. Kata Kunci : Computational Fluid Dynamics, Heat Exchanger, Shell And Tube, LMTD, Turbulen 1.
Pendahuluan Dalam suatu industri kimia, heat exchanger memiliki peranan yang sangat
penting terhadap keberhasilan keseluruhan rangkaian proses pada suatu unit, kerena operasi heat exchanger yang gagal dapat menyebabkan berhentinya operasi unit. Heat Exchanger adalah peralatan yang digunakan untuk melakukan proses pertukaran kalor antara dua fluida, baik cair (panas atau dingin) maupun
321
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
gas, dimana fluida tersebut mempunyai suhu yang berbeda. Tipe alat penukar kalor yang paling banyak digunakan pada industri adalah tipe shell and tube karena konstruksinya yang sederhana. Alat ini terdiri dari sebuah shell silindris dibagian luar dan sejumlah tube di bagian dalam. Alat penukar kalor jenis shell and tube ini juga memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya, yaitu jumlah pipa, bentuk susunan pipa, panjang pipa, dan sebagainya. Hal ini behubungan dengan luas penampang atau permukaan untuk terjadinya perpindahan panas yang pada akhirnya akan menentukan besarnya nilai koefisien perpindahan panas dari alat penukar kalor tersebut. Efektifitas perpindahan panas dari suatu alat penukar kalor ditentukan nilai koefisien panas menyeluruh, luas permukaan perpindahan panas, dan juga beda suhu fluida masuk dan keluar dari alat penukar kalor. Pada alat yang akan diteliti ini, koefisien perpindahan panas dari alat ini juga ditentukan dari profil aliran dan kecepatan serta distribusi suhu yang terjadi. Jenis-jenis aliran fluida dalam alat penukar kalor diantaranya aliran sejajar (parallel flow), aliran melintang (cross flow), aliran berlawanan (counter flow). Selain dipengaruhi oleh material konstruksi yang digunakan, kemampuan memindahkan panas alat penukar kalor juga tergantung pada konstruksi pipa. Pada penelitian ini, pemilihan alat penukar kalor tipe shell and tube adalah didasarkan pada permasalahan yang sering terjadi pada alat penukar kalor jenis ini karena distribusi suhu yang tidak merata yaitu adanya stagnasi fluida dibeberapa bagian dalam alat penukar kalor yang dapat menyebabkan korosi. Korosi yang tejadi dapat menurunkan kinerja alat penukar kalor itu sendiri. Untuk bisa mengamati bagaimana mengamati distribusi suhu dan aliran fluida dalam alat tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan simulasi dengan menggunakan program komputer untuk menganalisa aliran dan suhu pada alat penukar kalor yaitu CFD (Computational Fluid Dynamic). Di harapkan penelitian ini dapat digunakan untuk memahami kinerja alat penukar kalor yang banyak digunakan pada berbagai industri kimia.
322
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
2.
Tinjauan Pustaka Fungsi penukar kalor yang dipergunakan di industri lebih diutamakan
untuk menukarkan energi dua fluida (boleh sama zatnya) yang berbeda temperaturnya. Pertukaran energi dapat berlangsung melalui bidang atau permukaan perpindahan kalor yang memisahkan kedua fluida atau secara kontak langsung (fluidanya bercampur). Energi yang dipertukarkan akan menyebabkan perubahan temperatur fluida (kalor sensibel) atau kadang dipergunakan untuk berubah fasa (kalor laten). Laju perpindahan energi dalam penukar kalor dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kecepatan aliran fluida, sifat-sifat fisik (viskositas, konduktivitas termal, kapasitas kalor spesifik, dan lain-lain), beda temperatur antara kedua fluida, dan sifat permukaan bidang perpindahan kalor yang memisahkan kedua fluida. Walaupun fungsi penukar kalor adalah untuk menukarkan energi dua fluida atau dua zat, namun jenisnya banyak sekali. Hal ini terjadi karena biasanya desain penukar kalor harus menunjang fungsi utama proses yang akan terjadi di dalamnya. Perpindahan panas dapat didefenisikan sebagai suatu proses berpindahnya suatu energi (kalor) dari satu daerah ke daerah lain akibat adanya perbedaan suhu pada daerah tersebut. Beberapa macam proses perpindahan kalor, yaitu : 1. Perpindahan kalor secara konduksi adalah proses perpindahan kalor dimana kalor mengalir dari daerah bersuhu tinggi ke daerah yang bersuhu rendah dalam suatu medium (padat, cair, atau gas) atau antara medium-medium yang berlainan yang bersinggungan secara langsung. Secara umum laju aliran kalor secara konduksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : qk = -kA
…………………………………………..……….(2.1)
Dimana : q
= Laju aliran kalor
k
= konduktivitas termal bahan (W/m2. ! C)
A
= Luas penampang (m2 )
dT/dx = gradient suhu terhadap penampang tersebut, yaitu laju perubahan suhu T terhadap jarak dalam arah aliran panas x.
323
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
2. Perpindahan kalor secara konveksi adalah proses perpindahan energi dengan kerja gabungan dari konduksi kalor, penyimpanan energi dan gerakan mencampur. Konveksi sangat penting sebagai mekanisme perpindahan energi antara permukaan benda padat dan cair atau gas. Perpindahan kalor secara konveksi dari suatu permukaan yang suhunya diatas suhu fluida disekitarnya berlangsung dalam beberapa tahap. Pertama kalor akan mengalir dengan cara konduksi dari permukaan ke partikel-partikel fluida yang berbatasan. Energi yang berpindah dengan cara demikian akan menaikkan suhu dan energi dalam partikel-partikel fluida tersebut. Kedua, partikel-partikel tersebut akan bergerak kedaerah suhu yang lebih rendah dimana partikel tersebut akan bercampur dengan partikel fluida lainnya. Perpindahan kalor secara konveksi dapat dikelompokkan menurut gerakan alirannya, yaitu konveksi bebas (free convection) dan konveksi paksa (forced convection). Apabila gerakan fluida tersebut terjadi sebagai akibat dari perbedaan densitas (kerapatan) yang disebabkan oleh gradient suhu maka disebut konveksi bebas atau konveksi alamiah (natural convection). Bila gerakan fluida tersebut disebabkan oleh penggunaan alat dari luar, seperti pompa atau kipas, maka prosesnya disebut konveksi paksa. Laju perpindahan kalor antara suatu permukaan plat dan suatu fluida dapat dihitung dengan hubungan : qc = c.A. ………………………………………………..….(2.2) Dimana : qc
= Laju perpindahan kalor secara konveksi (W)
c
= Koefisien perpindahan kalor konveksi (W/m2.K)
A
= Luas perpindahan kalor (m²)
!T
= Beda antara suhu permukaan Tw dan suhu fluida T~
3. Perpindahan kalor secara radiasi adalah proses dimana panas mengalir dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu rendah bila benda-benda itu terpisah didalam ruang, bahkan jika terdapat ruang hampa diantara bendabenda tersebut. Energi radiasi yang dikeluarkan oleh benda karena temperatur yang
dipindahkan
melalui
ruang
antara
dalam
bentuk
gelombang
elektromagnetik. Bila energi radiasi menimpa suatu bahan, maka sebagian
324
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
radiasi dipantulkan, sebagai diserap dan sebagian diteruskan. diteruskan Besarnya perpindahan energi secara radiasi dengan persamaan berikut : Qpancaran =
……………………………………………..…(2.3) T4 ……………………………………………..…(2.3
Dimana :
3.
Qpancaran
Laj perpindahan panas (W) = Laju
ó
= Konstanta boltzman (5,669.10-8 W/m2K4)
A
= Luas permukaan benda (m2)
T
= Suhu absolute benda ( ! C )
Metodologi Penelitian Penelitian ini menganalisa distribusi temperatur pada alat penukar kalor p
jenis shell and tube secara komputasi komputasi dan dengan menggunakan aplikasi Autodesk simulation CFD.. A. Pembuatan model geometri alat penukar kalor pada Autodesk inventor Model geometri digambar dengan menggunakan aplikasi Autodesk Inventor diinput professional.. Model geometri yang digambar berbentuk 3D. Selanjutnya dii ke Autodesk Simulation CFD. Autodesk Invertor merupakan salah satu perangkat lunak analisis komputasi untuk membantu membuat gambar atau model untuk disimulasikan ke software Autodesk Simulation CFD Gambar alat penukar kalor utodesk invetor proffesional 2014 dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut. pada autodesk
Gambar 3.1 Heat Exchanger pada software autodesk inventor
325
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
(a)
(b)
Gambar 3.2 (a) Penampang Geometri Heat Exchanger bagian dalam (b) Penampang Geometri Heat Exchanger tampak sebelah kanan
Tabel 1. Spesifikasi Alat Penukar Kalor No.
Parameter
Keterangan
1
Panjang Shell
710 mm
2
Jenis Tube
U tube
3
Jumlah Tube
4 buah U tube
4
Panjang Tube
680 mm
5
Diameter Tube
25,4 mm
6
Diameter Shell
200 mm
7
Susunan Tube
Square Pitch
Data masukan (input) : ·
Jenis Fluida yang digunakan : - shell - Tube
: a-MDEA Solution : Ammonia Gas
·
Laju alir inlet shell
: 350 kg/h
·
Laju alir inlet tube
: 200 kg/h
·
Suhu inlet shell
: 120 ! C
·
Suhu inlet tube
: 210 ! C
·
Material shell and tube
: Stainless steel 304
326
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
B. Pembuatan kondisi fisik model Pembuatan kondisi fisik pada model dilakukan setelah model geometri diinput ke Autodesk simulation CFD. Yang dimaksud dengan pembuatan kondisi fisik model disini adalah menentukan material heat exchanger dan fluida yang masuk didalamnya. Sebelum masuk pembuatan kondisi model terlebih dahu dila dilakukan void fill yang bertujuan untuk membuat volume pada model sehingga simulasi dapat dilakukan.
model Gambar 3.3 Pembuatan Material model dan fluida dalam mod C. Pembuatan kondisi batasan (Boundary ( Condition) Boundary condition adalah zona-zona zona zona yang digunakan untuk menentukan batas untuk daerah tersebut. Karena tiap-tiap tiap tiap permukaan mempunyai kondisi batas yang berbeda sesuai dengan proses yang terjadi pada saat fluida f luida mengalir. Nilai yang dimasukkan adalah dari variabel bebas yang ditentukan sebelumnya. sebelumnya.
327
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 3.4 Pembuatan Kondisi Batasan D. Pembuatan Meshing Meshing adalah proses dimana geometri secara keseluruhan dibagi-bagi dibagi dalam elemen-elemen elemen kecil. Elemen-elemen Elemen elemen kecil ini nantinya berperan sebagai control surface atau volume dalam proses perhitungan yang kemudian tiap-tiap tiap elemen ini akan menjadi inputan untuk elemen el sebelahnya.
Gambar 3.5 3 Tampilan setelah meshing E. Proses Iterasi Langkah terakhir adalah proses iterasi pada gambar yang telah ditetapkan.
328
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4. A.
Hasil dan Diskusi Visualisasi Distribusi Temperatur Distribusi temperatur pada alat penukar kalor merupakan salah sal satu
parameter yang ditinjau dari suatu alat penukar kalor. Setelah Setela proses iterasi selesai, maka akan didapatkan hasil sebagai berikut.
Gambar 4.1 Visualisasi Distribusi Temperatur pada Alat Penukar Kalor Gambar diatas merupakan hasil simulasi bila dilihat pada sisi koordinat z. Distribusi temperatur dapat dengan sangat jelas dilihat pada pada gambar diatas. Dilihat dari gambar 4.1 diatas, temperatur inlet yaitu gas ammonia (berwarna merah) sangat tinggi. Pada saat fluida mengalir didalam tube, pada bagian inlet ini terdapat tube sheet yaitu bagian tempat menempelnya tube-tube tube sering terjadi stagnasi fluida panas yang dapat menyebabkan korosi osi pada daerah tube sheet tersebut yang mengakibatkan terjadinya kerusakan yang cepat pada bagian tube ang berupa kebocoran karena mengalami pemanasan yang telalu lama oleh gas yang la mengakibatkan ammonia yang masuk.. Kerusakan yang terjadi berupa korosi yang mengakiba me kebocoran pada tube didaerah panas tersebut. tersebut Dilihat dari gambar 4.1 visualisasi distribusi temperatur, tejadi masuk tube dari jadi perubahan temperatur pada umpan um 210 ! C menjadi 190 ! C. B.
Visualisasi Pola Aliran Pola aliran pada bagian shell alat penukar kalor umumnya adalah turbulen.
Pola aliran yang turbulen pada suatu alat penukar kalor dipengaruhi oleh adanya dipengar
329
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
baffle.. Pada hasil simulasi ini di dapatkan pola aliran yang bergolak ber pada bagian shellnya nya dan ditampilkan sebagai berikut.
Gambar 4.2 Visualisasi Pola aliran pada bagian Shell Semakin turbulen aliran suatu fluida pada alat penukar kalor, maka akan semakin lama waktu tinggal fluida didalam shell sehingga proses perpindahan panas dalam alat penukar kalor semakin efektif. Pola aliran didalam did shell yang mpak yang baik pada terjadinya proses perpindahan turbulen memberikan dampak perpind panas alat penukar kalor tersebut. Dimana semakin besar perpindahan panas yang terjadi, semakin efektif kinerja alat penukar kalor tersebut. 5. Daftar Pustaka xchanger Shell And Tube Ahmad Wafi B. At All,. 2011. Rancang Bangun Heat Exchanger .Tugas Akhir Program Sarjana Universitas Diponegoro. Single Phase.Tugas Semarang. Candra Damis W. 2012. Pengembangan Prosedur Design dan Redesign dengan Tube.Master menggunakan CFD Untuk Alat Penukar Kalorjenis Shell & Tube. Thesis PadaFakultasTeknik PadaFakultasTeknik Program StudiTeknikMesin UI Depok. Gaddis D. Editor. 2007. Standard Of The Tubular Exchanger Manufacturers Manufacturers. Ninth Edition. Inacio D. At All., 2011. Simulasi Karakteristik Aliran Dan Perpindahan Panas Cross Flow Susunan Tube Di Kondensortipe Aligned Dan Staggared Untuk Sistem ORC. Tesis Program Pascasarjana ITS .Surabaya. Surabaya. Incropera P. Frank, Dewitt P. David, Bergman L. Theodore and Lav Lavine S. Adrienne. 2007. Introduction to Heat Transfer. Transfer. John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd. Suroso, M. Darwis Isnaeni. 2010. Penggunaan Fluent untuk Simulasi Distribusi Suhu dan Kecepatan pada Alat Penukar Kalor. Kalor. Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir. BATAN
330
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
SINTESIS MEMBRAN SILIKA/ALUMINA UNTUK MEMISAHKAN OKSIGEN DARI UDARA DENGAN METODE SOL-GEL Ratna Sari 1, Ratni Dewi 1, Muhammad Yunus 1, Zulfayani 1 Jurusan Teknik kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan Km 275 Buketrata, Lhokseumawe e-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tekanan dan suhu operasi terhadap pemisahan oksigen dari udara dengan menggunakan membran silika/ alumina. Pelapisan membran silika/alumina dilakukan dengan menggunakan metode sol-gel. Alumina disk dicelupkan ke dalam silika sehingga menghasilkan membran silika/alumina. Komposisi gas dianalisa dengan menggunakan gas chromatography (GC). Proses pemisahan oksigen dari udara dilakukan pada tekanan 1,2; 1,4; 1,6; dan 1,8 bar dan suhu 20, 40, 60, 80 . Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar tekanan dan temperatur maka semakin besar persen oksigen yang keluar dari permeat. Persen oksigen yang keluar dari permeat yang paling baik pada tekanan 1,8 bar dengan komposisi 20.9576%. Selektivitas membran silika / alumina terbaik pada tekanan 1,8 sebesar 26,514%. Kata kunci : Membran silika/alumina, oksigen, sol-gel 1. Pendahuluan Pemisahan adalah salah satu cara yang digunakan untuk memisahkan atau memurnikan suatu senyawa atau kelompok senyawa yang mempunyai susunan kimia yang berkaitan dari suatu bahan, baik dalam skala laboratorium maupun dalam skala industri. Pemisahan oksigen dari udara dapat dilakukan dengan menggunakan membran (Burdyny dan Struchtrup, 2010). Proses pemisahan oksigen menggunakan membran merupakan salah satu teknologi yang mengalami pertumbuhan yang cepat selama dua dekade terakhir. Membran banyak digunakan pada berbagai aplikasi. Alasan menggunakan teknologi membran pada industri kimia dibandingkan dengan teknologi lainnya karena membran memiliki ketahanan kimia yang baik yang bisa bekerja pada kondisi proses yang sulit, kondisi pH yang ekstrim dan larutan yang 331
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
peka terhadap suhu atau pada proses-proses yang menggunakan pelarut organik. Membran juga menawarkan harga yang murah dan ekonomis karena dapat dipakai berulang-ulang, konsumsi energi yang sedikit dan sistem pengoperasian yang mudah. Selain itu penggunaan membran tidak berdampak negatif pada lingkungan karena proses pemisahan dengan membran bersifat fisik sehingga tidak diperlukan senyawa kimia tambahan. Teknologi membran banyak digunakan untuk pemisahan gas di industri, proses desalinasi air, proses pengolahan makanan, dan bahkan aplikasi di bidang medis. McCool dkk. (2003) menggunakan metode hydrothermal dan metode sol-gel untuk pemisahan gas oksigen dari udara. Bahan baku yang digunakan adalah alumina bubuk, Tetra Ethyl Ortho Silicate (TEOS), NaOH dan Cetyltrimethyl Ammonium Bromide (CATB). Membran dibuat dalam bentuk disk, dan disimpan pada suhu ruang selama 96 jam, dikalsinasikan selama 3 jam pada suhu 500 C. Diperoleh pori-pori
membran 0,1 µm. Temperatur operasi yang digunakan 22 C, 100 C, dan 150 C, dan tekanan yang dgunakan adalah 1,4 atm, 1,5 atm dan 1,6 atm. Fluks oksigen murni yang didapat pada tekanan tetap 1 atm dan variasi suhu diatas menggunakan metode hydrothermal adalah 0,012-0,013 mol m-2 s-1. Sedangkan fluks oksigen murni yang
diperoleh menggunakan metode sol-gel dengan operasi yang sama diperoleh 0,020,25 m-2 s-1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka penulis mencoba kondisi operasi yang lebih rendah, baik suhu maupun tekanan yaitu pada suhu 20-60 C dan tekanan 1,21,8 bar. 1. Tinjauan Pustaka Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi dan komponen campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara juga merupakan atmosfer yang berada di sekeliling bumi yang fungsinya sangat penting bagi kehidupan manusia di dunia ini. Unsur terpenting dari udara untuk kehidupan adalah oksigen. Oksigen, merupakan komponen esensial bagi kehidupan, baik
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
manusia maupun makhluk hidup lainnya. Oksigen terkandung di dalam udara sebesar 20%, dengan unsur gas lainnya nitrogen 78 %, argon 0,93% , karbon dioksida 0,03% dan sisanya terdiri dari neon, helium, metan dan hidrogen (Burdyny dan Struchtrup, 2010). Alumina merupakan bahan keramik paling umum di gunakan untuk menyongkong film membran. Hal ini disebabkan alumina tahan terhadap bahan kimia dan suhu tinggi dan juga mempunyai struktur simetri dan asimetri dengan ukuran pori mikron hingga nanometer. Alumina mempunyai permukaan yang licin sehingga hambatan perpindahan gas rendah dan dapat dioperasikan hingga suhu 800 alami perubahan struktur pori (Hsieh, 1996). Secara umum, membran didefinisikan sebagai lapisan tipis yang selektif di antara dua fasa, yaitu fasa yang akan dipisahkan (fasa umpan) dan fasa hasil pemisahan (fasa permeat). Membran dapat berbentuk lapisan tebal atau tipis, yang memiliki struktur homogen atau heterogen dan dapat berperan sebagai penyaring aktif maupun pasif. Proses pemisahan dengan membran terjadi karena adanya perbedaan sifat fisika dan kimia antara komponen dalam fasa yang dipisahkan dengan membran serta
(Bissett dkk., 2008) 2. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui lima tahap yaitu tahap persiapan membran, tahap kedua adalah pelapisan membran alumina dengan larutan sol alumina, tahap ketiga adalah pelapisan membran alumina dengan larutan sol silika, tahap keempat adalah karakterisasi membran dan tahap kelima adalah proses pemisahan oksigen dari udara. Pemisahan oksigen dari udara dapat dilakukan pada suhu 20, 40, 60, dan 80 C dan tekanan yang digunakan adalah 1,2; 1,4; 1,6; dan 1,8 bar, Komposisi gas dianalisa dengan menggunakan Gas Cromatography (GC). 3. Hasil dan Diskusi
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Hasil sintesis membran silika alumina dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Membran silika/alumina Membran berwarna putih berdiameter 2,5 cm dengan permukaan masih terlihat kasar. Untuk mengidentifikasi gugus fungsi membran dilakukan dengan alat Fourier Transform Infra-Red (FTIR) (Gambar 2).
Gambar 2. Hasil analisa gugus fungsi alumina
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada spektrum infra merah diperoleh pita serapan pada 4000 cm-1 dengan persen transmitan 18629, 96 % menunjukkan adanya serapan vibrasi gugus -OH, pita serapan 3448,72 dengan persen transmitan 19873,74% menunjukkan adanya vibrasi ulur OH. Hasil ini menunjukkan gugus fungsi yang terkandung dalam membran merupakan gugus fungsi gamma alumina. Pemisahan oksigen dari udara menggunakan membran silika/alumina dilakukan pada suhu 20, 40, 60, 80 1,2; 1,4; 1,6 dan 1,8 bar dengan menggunakan alat yang terbuat dari bahan stainless steel (Gambar 3).
Nitrogen keluar (retentate)
Okseigen keluar (permeat)
Udara masuk
Gambar 3. Alat pemisahan oksigen dari udara
Pengaruh suhu dan tekanan terhadap persen oksigen yang keluar dari permeat dapat dilihat pada Gambar 4. Semakin besar tekanan dan temperatur yang digunakan maka semakin besar gas oksigen yang dapat melewati membran. Hal ini dikarenakan gaya dorong yang semakin besar menyebabkan gas melewati membran semakin banyak. Kenaikan tekanan akan menyebabkan tahanan permukaan akan menjadi kurang dibandingkan dengan difusi oksigen di dalam lapisan membran. Oleh sebab itu permeasi oksigen meningkat berbanding lurus dengan bertambahnya tekanan. Gas
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
oksigen dan nitrogen pada suhu yang sama mempunyai energi yang setara dan karena energi ini sebagian besarnya adalah energi kinetik, maka molekul-molekul gas yang lebih berat (nitrogen) akan mempunyai kecepatan yang lebih rendah (Oyama et al.
2011).
Gambar 4 Pengaruh suhu dan tekanan terhadap persen oksigen yang keluar (permeat) Adapun slektivitas membran silika/alumina dapat dilihat dalam Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Selektivitas membran silika/alumina Tekanan (bar) 1,2
1,4
1,6
1,8
Temperatur ( C) 20 40 60 80 20 40 60 80 20 40 60 80 20 40 60 80
Selektivitas membran silika/alumina(%) 25,904 26,064 26,083 26,107 26,125 26,187 26,191 26,282 26,418 26,448 26,463 26,470 26,498 26,505 26,505 26,514
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin besar tekanan dan temperatur maka semakin besar selektivitas membran silika/alumina. Hal ini dikarenakan adanya gaya dorong dari udara dan juga tekanan pada retentat lebih besar sehingga gas oksigen yang dapat melewati membran semakin besar. 4
Kesimpulan 1. Semakin besar temperatur dan tekanan maka semakin besar persen oksigen yang keluar dari bagian permeat. Tekanan operasi untuk penelitian ini yang paling baik adalah 1,8 bar dengan temperatur 80 oksigen sebesar 20,95755%. 2.
Semakin besar temperatur dan tekanan maka semakin besar selektivitas membran silika/alumina. Tekanan operasi 1,8 bar dengan temperatur 80 C menghasilkan selektivitas membran silika/alumina sebesar 26,514%.
5
Daftar Pustaka
Burdyny, T. dan Struchtrup, H., 2010, Hybrid Membrane/Cryogenic Separation of Oxygen from Air for Use in The Oxy-Fuel Process, Energy, 35: p.1884-1897 McCool, B.A., 2003, Synthesis and characterization of mesoporous silica membranes via dip-coating and hydrothermal deposition techniques, Journal of Membrae Science, 218 (1-2): p. 55-67. Hsieh, H. P., 1996, Inorganic membranes for separation and reaction, AE Amsterdam, The Netherlands, Elsevier Science. Bissett, H., Zah, J. & Krieg, H.M., 2008, Manufacture and optimization of tubular ceramic membrane supports, Powder Technology, 181: 57-66 Oyama, S.T., Yamada, M., Sugawara, T., Takagaki, A. & Kikuchi, R., 2011, Review on mechanisms of gas permeation through inorganic membranes, Journal of the Japan Petroleum Institute, 54: 298-309.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
KAJI EKSPERIMENTAL FILM EVAPORATIVE DAN HUMIDIFIKASI PADA KOLEKTOR PELAT DATAR
Zulfikar1, Muhammad2, Teuku Hafli1, Zulkarnein1 Jurusan Teknik Mesin, Universitas Malikussaleh, Reuleut, Indonesia 2 Jurusan Teknik Kimia, Universitas Malikussaleh, Reuleut, Indonesia Email :
[email protected] 1
Abstrak Produktivitas dan kuantitas garam produksi masih sangat rendah. Produksi garam secara tradisi di provinsi Aceh dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : tahap produksi ie kuloh atau ie iku (larutan garam) dan tahap perebusan sehingga terbentuk kristal garam. Produktivitas produksi larutan kosentrat garam masih sangat rendah, karena proses evaporasi yang terjadi lamban. Pengembangan dan penerapan teknologi kolektor diharapkan dapat meningkatkan proses evaporasi. Pada penelitian tahap pertama akan dikembangkan kolektor pelat datar sebagai alat penerima panas surya dan juga berfungsi sebagai evaporator. Kolektor jenis pelat datar telah dibangun dengan menggunakan pelat absorber stainless-steel yang dicat hitam dengan permukaan bertekstur. Pelat absorber membagi ruang menjadi dua fungsi, yaitu ruang atas sebagai evaporator dan ruang bawah sebagai kondensor. Air diumpankan melalui pipa yang berada di ruang kondensor dan diharapkan air tersebut akan menerima panas dari proses kondensasi uap. Selanjutnya, air tersebut dialirkan diatas permukaan pelat absorber membentuk lapisan tipis (film) sedangkan udara diumpankan dari bawah dan berlawanan dengan arah aliran air sehingga diharapkan efek evaporasi lebih baik. Pengujian telah dilakukan di pekarangan laboratorium teknik mesin dan difokuskan pada proses evaporasi. Hasil pengujian menunjukkan proses evaporasi meningkat terhadap peningkatan intensitas matahari dengan sebaran produksi uap antara 1300 hingga 2100 gram untuk sebaran intensitas matahari antara 461 hingga 622 W/m2. Keywords: kolektor, evaporator, produksi uap. 1
Pendahuluan Garam kerap kali dikesampingkan dan dianggap tidak memiliki nilai ekonomis
yang mampu berkontribusi terhadap pembangunan dan peningkatan kesejahteraan pelaku usaha garam. Sangat ironis sebagai negara maritim dengan garis pantai terpanjang di dunia, setiap tahun Indonesia harus bergantung pada garam impor
338
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
dan menghabiskan devisa cukup besar untuk pemenuhan kebutuhan garam dalam negeri. Produktivitas dan kualitas garam produksi dalam negeri masih sangat rendah karena pelaku garam masih memproduksi secara trandional tanpa adanya sentuhan sains dan teknologi. Di provinsi Aceh, secara tradisi garam diproduksi dengan dua tahapan, yaitu : tahap produksi ie kuloh atau ie iku (konsentrat garam) dan tahap perebusan sehingga terbentuk kristal garam. Produktivitas produksi kosentrat garam masih sangat rendah, karena proses dilakukan secara terbuka sehingga pemanfaatan energi panas matahari belum maksimal dan membutuhkan lahan yang luas serta sangat tergantung pada cuaca dan tidak dapat berproduksi pada musim hujan. Kualitas kosentrat yang dihasilkan juga masih sangat rendah, keruh atau terkontaminasi dengan tanah. Kegiatan produksi konsentrat juga sangat membutuhkan kerja ekstra terutama selama proses penyiapan pasir filter yaitu penyiraman dan penggarukan pasir yang dilakukan secara berulang-ulang. Masalah
yang
diangkat
dalam
penelitian
ini
adalah
“
Bagaimana
mengembangkan kolektor surya pelat datar sebagai evaporator air laut untuk produksi kosentrat garam.
2
Dasar Teori Distilasi merupakan proses pemisahan secara diffuse berdasarkan volatilitas dari
komponen-komponen akibat perbedaan titik didih masing-masing komponen. Proses distilasi air laut melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa air laut, produk air bersalinitas rendah, dan produk kosentrat garam. Sistem distilasi dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sistem distilasi surya langsung dan tidak langsung. Distilator surya konvensional (atau single-slope solar still) merupakan penyuling surya langsung dan paling sederhana (Gambar 1). Air dalam basin dipanaskan oleh sinar matahari sehingga terjadi evaporasi dan menhdasilkan uap. Ketika uap mencapai permukaan kaca penutup bagian dalam yang memiliki temperatur lebih rendah daripada temperatur titik embun (dew point) campuran udara-uap dalam ruang (cavity) maka uap akan terkondesasi pada permukaan kaca
339
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
bagian dalam. Kemiringan kaca penutup menyebabkan air distilat mengalir dan terkumpul pada saluran yang telah disediakan [1]. Produkstivitas sistem distilasi langsung dapat ditingkat dengan penggunaan basin bertingkat [2,3,4], penerapan pendinginan kaca penutup [5,6], penggunaan wick [7].
Gambar 1 Distilator surya konvensional Penyuling basin ganda aktif yang diintegrasikan dengan kolektor plat datar dan penyuling basin ganda pasif tanpa kolektor pelat datar. Pengujian dilakukan dengan ketinggian air dalam basin 0,03m. Hasil menujukkan penerapan kolektor pada penyuling aktif mampu meningkatkan kinerja penyuling hingga 51% dibandingkan tanpa kolektor. Penyuling aktif menghasilkan 2,791 kg/m2 sedangkan penyuling pasif menghasilkan 1,838 kg/m2 [8]. Penerapan humidifier-dehumidifier pada distilator surya mampu meningkatkan laju produktivitas. Distilator terdiri dari berupa kotak persegi bertingkat pada bagian tengah membagi menjadi ruang atas dan bawah. Ruang atas merupakan ruang evaporasi tempat terjadi evaporasi karena pemanasan sinar matahari dan ruang bawah merupakan kondensor. Sirkulasi alami aliran udara memberi efek humidifikasi pada ruang evaporator dan dehumidifikasi pada ruang kondensor sehingga produktivitas mencapai 5,3 kg/m2.p. [9]. Sirkulasi aliran udara secdan humidifikasi karena aliran yang terbentuk secara alami. Ruang bawah merupakan ruang kondensor dan dehumidifikasi akibat sirkulasi udara yang terjadi. Produkstivitas distilator ini mencapai 5,3 kg/m2.d. Pemisahan kondensor dari evaporator dengan membuatkan pipa tembaga sebagai pipa kondensasi. ra evaporator dan kondensor. Kipas menghembuskan udara kedalam distilator sehingga uap air terdesak masuk kedalam pipa tembaga sebagai kondensor. Pipa
340
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
tembaga dengan menambahkan pipa kondensor pada sebuah distilator konvensional. Telah mengembangkan metoda desalinasi dengan humidifikasi yang terdiri beberapa perlatan utama. Kolektor surya digunakan untuk memanskan udara dan peralatan humidifikasi digunakan untuk meningkatkan kandungan [10].
Tabel 1 Hasil pengujian sistem-sistem desalinasi surya [1] Intensitas Temp. Lingk. Sistem
Produktivitas
Matahari
Rata-rata
(MJ/m2.d)
(°C)
Bahrain
18.15
39
3.91
Bahrain
18.15
39
2.84
11.98
25
2.99
Lokasi
(kg/m2.d)
Distilator langsung Penyuling surya basin ganda dengan insulasi dinding Penyuling surya basin tunggal dengan insulasi dinding Penyuling surya miring dengan
North
black-fleece wick
Cyprus
Penyuling surya vertikal
Algeria
17.31
40
0.5–2.3
Italy
27
30
1.8
Jordan
21.56
27
5.75
Jordan
21.56
27
5.2
DIFICAP with single stage
Algeria
N/A
40
2.76
DIFICAP with two stages
Algeria
N/A
40
5.19
!)"&
,)#.
!"&
Penyuling surya basin tunggal plastik Penyuling surya basin tunggal dengan KMnO4 Penyuling surya basin tunggal dengan 50% arang
Distilator tidak langsung &.,$"& *,).& & #'&&**"(#* '$) *+"$$',($+'&',+*" '&&*) "*+%*,).& & (%&+&,$& (&*!+ )'-).
341
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016 "*+%*,).& &#'$#+')
!"&
"*+%*,).,)+)+,+,(
')&
*"&+.(%,$+"($+
(&
/
/# ()
(%&*")
",*"'&',($*'$)*+"$$
,&"+)'+! $**'-)
2
Metodologi Penelitian Ada beberapa aspek teknis yang menjadi pertimbangan dalam penelitian ini,
yaitu: Memaksimalkan laju evaporasi kandungan air dari air laut sehingga diperoleh air laut kadar garam tinggi atau kosentrat garam. Hal ini dapat dicapai dengan cara : a.
Mengalirkan aliran air laut ke atas permukaan pelat absorber sehingga memungkinkan pencapaian temperatur air lebih tinggi (sama dengan temperatur pelat) dengan waktu yang lebih singkat karena volume air yang dipanaskan sangat sedikit.
b.
Mengalirkan aliran udara berlawanan arah dengan aliran air laut yang dipanaskan sehingga memungkinkan terjadinya film evaporation.
Meminimalkan kehilangan energi panas sehingga tidak ada kehilangan panas ke lingkungan. Hal ini dapat dicapai dengan cara : a.
Mengisolasi termal seluruh sisi/permukaan yang berinteraksi dengan lingkungan yang memiliki temperatur lebih rendah.
b.
Pemanfaatan kembali panas yang dimiliki uap hasil evaporasi dengan proses kondensasi. Panas hasil kondensasi ini digunakan untuk pemanasan awal air laut sebelum dipanaskan pada pelat absorber.
Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Teknik Mesin Universitas Malikussaleh di dalam ruangan untuk pengujian evaporator dan diluar ruangan untuk kolektor.
342
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Kolektor surya (flat plate collector) Kolektor jenis pelat datar ini telah dibuat dengan menggunakan pelat absorber stainless-steel dan dicat hitam dengan permukaan bertekstur membagi ruang menjadi dua fungsi, yaitu ruang atas sebagai evaporator dan ruang bawah sebagai kondensor. Air mengalir melalui pipa yang berada di ruang kondensor menerima pemanasan uap yang terkondensasi dan mengalir diatas permukaan pelat absorber sehingga temperatur air meningkat dan terjadi evaporasi. Aliran udara yang berlawanan arah diharapkan dapat meningkatkan laju evaporasi kandungan air.
udara
kosentrat
air laut
Gambar 3 Set-up peralatan pengujian 3 Hasil dan Pembahasan Pengujian telah dilakukan selama lima jam pengambilan data dengan pengulangan pengujian sebanyak lima kali dengan interval pengambilan data 1 jam. Hasil berupa distribusi temperatur dan produksi uap terhadap intensitas matahari seperti diperlihatkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.
343
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Temperatur[C]
T. Air Umpan T. Air Keluar
450
T. Kaca T. Udara 500
T. Ruang T. Lingk
T. Plat
550 Intensitas Matahari [W/M2]
600
650
Gambar 3 Distribusi temperatur terhadap intensitas matahari Gambar 3 memperlihatkan peningkatan nilai intensitas matahari yang diter diterima kolektor ektor menyebabkan terjadinya peningkatan nilai temperatur plat, plat ruang dan air keluar. Semakin in besar nilai intensitas maka semakin besar energi ene matahari yang diterima oleh plat sehingga semakin besar energi tersimpan tersimpan pada plat yang dapat dilihat dari peningkatan nilai temperatur plat. Nilai temperatur temperatur plat yang tinggi akan memperbesar laju perpindahan perpi han panas ke lapisan air yang mengalir dipermukaan plat yang ditunjukkan dengan peningkatan temperatur air keluar sehingga laju penguapan menjadi lebih besar dan nilai temperatur ruang menjadi lebih tinggi.
$"'%#$
* ) +
!&!%&%&$(
344
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 4 Produksi Uap terhadap intensitas matahari [W/m2]
Nilai temperatur plat dan ruang semakin meningkat dengan semakin besar peningkatan intensitas matahari. Produktivitas uap dapat dilihat dari produksi uap yang dihasilkan terhadap intesitas matahari sebagai faktor yang berpengaruh terhadap energi masuk ke sistem, seperti diperlihatkan pada Gambar 4. Produksi uap menunjukkan peningkatan terhadap peningkatan intensitas matahari dengan Sebaran produksi uap antara 1300 hingga 2100 gram untuk sebaran intensitas matahari antara 461 hingga 622 W/m2. 4 Kesimpulan Kaji eksperimental film evaporatif dan humidifikasi pada kolektor pelat datar telah berhasil dilakukan dengan kesimpulan sebagai berikut : 1) Mekanisme film evaporatif dan humidifikasi dapat diterapkan pada kolektor pelat datar untuk sistem distilator surya tidak langsung. 2) Semakin tinggi nilai intensitas matahari, maka semakin tinggi nilai temperatur plat sehingga semakin besar penguapan yang terjadi.
Ucapan Terimakasih Terima kasih disampaikan kepada Kementerian Ristek Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini. 5. Daftar Pustaka [1] H.S Aybar dan H. Assefi, A review and comparison of solar distillation : direct and indirect type systems, Desalination and Water Treatment, 10 (2009) 321–331. [2] A.A. Al-Karaghouli and W.E. Alnaser, Performances of single and double basin solar stills. Appl. Energy, 78 (2004) 347–354 [3] A.A. El-Sebaii, Thermal performance of a triple-basin solar still. Desalination, 174 (2005) 23–37.
345
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
[4] H. Al-Hinai, M.S. Al-Nassri and B.A. Jubran, Parametric investigation of a double-effect solar still in comparison with a single-effect solar still. Desalination, 150 (2002) 75–83. [5] M. Abu-Arabi, Y. Zurigat, H. Al-Hinai and S. Al-Hiddabi, Modeling and performance analysis of a solar desalination unit with double glass cover cooling. Desalination, 143 (2002) 173–182 [6] M. Dula dan L. Aba, Studi Karakteristik Kondensor pada Solar Still tipe Basin dan Aplikasinya sebagai Alat Destilasi Air Laut Menjadi Air Tawar. Jurnal Aplikasi Fisika, Vol. 5 No.1 Februari 2009,40-45. [7] H.S. Aybar, F. Egelioglu and U. Atikol, An experimental study on an inclined tilted-wick type solar still with the effect of water flowing over the glass cover. Desalination, 180 (2005) 285–289. [8] V.K. Dwivedi dan G.N. Tiwari, Experimental validation of thermal model of a double slope active solar still under natural circulation mode, Desalination, 250 (2010) 49-55. [9] H.E.S. Fath, S.M. El-Sherbiny and A. Ghazy, Transient analysis of a new humidification-dehumidification solar still. Desalination, 155 (2003) 187– 203. E. Chafik, A New type of seawater desalination plants using solar energy, Desalination, 156 (2003), 333-348.
346
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
ANALISA PENGARUH JARAK ANTAR BAFFLE TERHADAP PERPINDAHAN PANAS PADA ALAT PENUKAR KALOR JENIS SHELL AND TUBE DENGAN MENGGUNAKAN METODE SIMULASI COMPUTATIONAL FLUID DYNAMIC (CFD) Muhammad Jayanta Bangun1, Nasrul ZA1, Azhari1 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353 e-mail:
[email protected] 1
Abstrak Penukar kalor (heat exchanger) adalah sebuah alat yang digunakan untuk memindahkan panas antara dua jenis fluida atau lebih yang memiliki perbedaan temperatur. Efektivitas suatu alat penukar kalor perlu diperhatikan agar proses perpindahan panas berlangsung dengan baik, salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas adalah pemasang baffle pada alat penukar kalor. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh jarak antar baffle dan laju aliran massa fluida pendingin terhadap efektifitas dalam alat penukar kalor. Metode penelitian yang dilakukan menggunakan simulasi komputer melalui software Autodesk Computational Fluid Dynamics (CFD) Simulation. Penelitian ini menggunakan alat penukar kalor tipe shell and tube dengan variasi jarak baffle (500 mm,550 mm dan 600 mm), dan variasi laju alir massa fluida pendingin (25 Kg/jam, 35 Kg/jam dan 50 Kg/jam). Fluida panas berupa ammonia (103oC, pada sisi tube) dan Fluida pendingin berupa air (31,5oC, pada sisi shell) dialirkan secara berlawanan arah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan semakin dekat jarak baffle dan laju alir massa pendingin yang besar meningkatkan efektivitas alat penukar kalor . Pada jarak baffle 500 mm dan laju alir massa air 25, 35 dan 50 Kg/jam diperoleh nilai efektivitas 0,42 ; 0,66 dan 0,98. Sedangkan pada jarak baffle 550 mm = 0,23 ; 0,44 dan 0,70. Dan pada jarak baffle 600 mm = 0,35 ; 0,59 dan 0,91. Nilai efektifitas maksimum yang diperoleh adalah 0.98 yang terjadi pada jarak antar baffle 500 mm dan laju alir massa air 50 Kg/jam. Kata Kunci :
1.
perpindahan panas, heat exchanger, shell and tube, simulasi, CFD, baffle, fluida, efektivitas
Pendahuluan Proses perpindahan panas merupakan peristiwa yang dijumpai hampir
dalam setiap operasi dalam kegiatan teknik kimia. Pada saat sekarang beberapa peningkatan perpindahan panas pada penukar kalor telah banyak dikembangkan seiring dengan perkembangan industri, perkembangan alat penukar kalor juga semakin meningkat. Perkembangan-perkembangan tersebut mengarah pada 347
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
efektivitas alat penukar kalor yang semakin tinggi nilainya. Efektivitas dari penukar kalor dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah jenis aliran yang berada dalam alat penukar kalor. Aliran yang turbulen diketahui memiliki nilai perpindahan kalor yang lebih baik dibanding dengan jenis aliran laminar. Dengan pemasangan baffles, maka aliran menjadi lebih turbulen, sehingga koefisien perpindahan kalor konveksi yang terjadi lebih besar bila dibandingkan dengan tanpa baffles (Kern,1950). Menurut Incropera dan Dewitt (1990), beberapa teknik untuk memacu perpindahan kalor secara konveksi pada aliran fluida dalam pipa (internal flow), yaitu dengan cara meningkatkan turbulensi aliran fluida dan memperluas permukaan konveksi. Teknik untuk meningkatkan turbulensi fluida dapat dilakukan dengan cara pemberian piranti tertentu yang disisipkan pada aliran fluida didalam pipa seperti, baffles, kawat spiral, pita spiral, pal dipilin, anulus bergalur, dan ring spiral. Pada penelitian ini satu cara untuk meningkatkan turbulensi aliran fluida dalam penukar kalor adalah dengan menggunakan baffles, yaitu sekat yang dapat membuat aliran di dalam pipa penukar kalor menjadi lebih turbulen. Pentingnya jarak baffles pada penukar kalor dijelaskan oleh Dogan Eryener (1998). Penukar kalor dengan baffles memiliki banyak keuntungan seperti pemisahan sempurna antara panas dan fluida dingin, ringan efektifitas pemulih panas tinggi, tidak ada bagian yang bergerak, dan tidak ada daya eksternal. .
Menurut penelitian Danny (2015), menunjukkan koefisien perpindahan
panas maksimal terdapat pada kemiringan baffles 30o dengan variasi bilangan Reynolds terbesar yaitu 6000 dengan nilai 229.80 W. Efektivitas maksimal diperoleh pada kemiringan baffles 0° dengan variasi bilangan Reynolds 6000 sebesar 0.0391. Simulasi penelitian ini mampu memberikan desain pembuatan untuk penukar kalor. Computational Fluid Dinamic (CFD)
adalah salah satu metode yang
diaplikasikan dalam bentuk persamaan pada perangkat lunak, saat ini banyak jenis Software CFD seperti : Autodesk CFD, SolidWork, Fluent, CFDSoft, Ansys, dan
348
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
lainnya. CFD merupakan software alat bantu yang dipengaruhi oleh parameter kondisi batas yang diberikan sehingga diperlukan kondisi batas yang tepat untuk mendapatkan hasil yang akurat serta sesuai dengan teori dasar. Penelitian yang akan dilakukan akan membuat sebuah simulasi
pemodelan menggunakan
Autodesk CFD 2015, Autodesk CFD dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan kompleks dari geometri sehingga dapat memberikan hasil persamaan yang dianalisa dengan memberikan hasil pendekatan dari nilai yang tidak diketahui pada titik tertentu dalam sistem yang kontinyu (iterasi). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh jarak antar baffle pada alat penukar kalor jenis shell and tube yang menghasilkan perpindahan panas yang paling baik. 2.
Tinjauan Pustaka Alat penukar panas (heat exchanger) adalah suatu alat yang digunakan
untuk memindahkan panas antara dua buah fluida atau lebih yang memiliki perbedaan temperatur yaitu fluida yang bertemperatur tinggi kefluida yang bertemperatur rendah. Alat penukar kalor berfungsi untuk mengontrol kenaikan temperatur sistem dengan menambahkan atau menghilangkan energi termal dari suatu fluida ke fluida lainnya. walaupun ada banyak perbedaan jenis alat penukar kalor, semua alat penukar kalor menggunakan elemen-elemen konduksi termal yang pada umumnya berupa tabung tube atau plat untuk memisahkan dua fluida tersebut. salah satu dari elemen tersebut, memindahkan energi kalor ke elemen lainnya. Faktor perhitungan pada alat penukar kalor adalah masalah perpindahan panasnya. Apabila panas yang dilepaskan besarnya sama dengan Q persatuan waktu, maka panas itu diterima fluida yang dingin sebesar Q tersebut dengan persamaaan :
........................................................(2.1) di mana : Q = Kalor yang dilepaskan/diterima ( W ) U = Koefisien perpindahan panas menyeluruh ( W/m2 .oC ) A = Luas perpindahan panas ( m2 ) 349
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
!Tm!=!Selisih!temperatur!rata-rata!(oC) Sebelum!menentukan!luas!permukaan!kalor!(A),!maka!terlebih!dahulu!ditentukan nilai!dari!LMTD.!Hal!ini!berdasarkan!selisih!temperature!dari!fluida!yang!masuk dan!keluar!dari!kalor.
........................................(2.2)
Untuk!aliran!fluida!paralel,! Tmax!=!(T1 – t1)!dan! Tmin!=!(T2 – t2) Untuk!aliran!fluida!silang,! Tmax!=!(T1 – t2)!dan! Tmin!=!(T2 – t1) di!mana!: LMTD =!Selisih!temperatur!rata – rata!logaritma!(oC) T1
=!Temperatur!fluida!masuk!ke!dalam!shell!(oC)
T2
=!Temperatur!fluida!keluar!shell!(oC)
t1
=!Temperatur!fluida!masuk!ke!dalam!tube!(oC)
t2
=!Temperatur fluida!ke!luar!tube!(oC)
Efektifitas!suatu!alat!penukar!kalor!didapat!dengan!membandingkan!antara laju! perpindahan! kalor! aktual! dengan! laju! perpindahan! kalor! maksimum! yang mungkin!terjadi. Pendekatan! LMTD! dengan! penukar! kalor! berguna! bila! suhu! masuk! dan suhu!kelua!dapat!ditentukan!dengan!mudah,!sehingga!LMTD!dapat!dengan!mudah dihitung.! Selanjutnya! aliran! kalor,! luas! permukaan,! dan! koefisien! perpindahan kalor!menyeluruh!dapat!ditentukan.!Bila!kita!menentukan!temperatur!masuk!atau temperatur! keluar,! analisis! akan! melibatkan! prosedur! iterasi! karena! LMTD! itu sesuai!dengan!fungsi!logaritma.!Analisis!akan!lebih!mudah!dilaksanakan!dengan dengan! menggunakan! metode! yang! berdasarkan! atas! efektifitas! penukar! kalor dalam!rnemindahkon!kalor!tertentu. Untuk! mendefenisikan! efektifitas! suatu! penukar! kalor,! laju! perpindahan kalor! maksimum! yang! mungkin! terjadi,! qmax untuk! penukar! kalor! itu! harus ditentukan!terlebih!dahulu.
350
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Untuk menentukan laju perpindahan kalor maksimum pada suatu penukar kalor, pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu bahwa nilai maksimum akan didapat bila salah satu fluida mengalami perubahan temperatur sebesar beda temperatur maksimum yang terdapat dalam penukar kalor itu, yaitu selisih antara temperature masuk fluida panas Th,i dan fluida dingin Tc,i. Fluida yang mengalami beda temperatur maksimum adalah fluida yang kapasitas kalornya minimum, karena kesetimbangan energi menyaratkan bahwa energi yang diterima oleh fluida satu harus sama dengan energi yang dilepaskan oleh fluida yang satu lagi. Jika fluida yang mempunyai nilai kapasitas yang lebih besar mengalami beda beda temperature maksimum, maka fluida yang satu lagi akan mengalami perubahan temperatur yang lebih besar dari maksimum, dan ini tentu saja tidak mungkin. Jadi laju perpindahan kalor maksimum dinyatakan sebagai berikut:
...............................(2.3)
dimana Cmin adalah harga yang paling kecil diantara besaran Ch atau Cc. jika Cc < Ch maka q maks = Cc (Th,i – Tc,i) jika Cc > Ch, maka q maks = Ch (T h,i – Tc,i) dimana C = m cp. Efektifitas suatu penukar kalor didifinisikan sebagai rasio antara laju perpindahan kalor sebenarnya untuk suatu penukar kalor terhadap laju perpindahan kalor maksimum yang mungkin. Secara umum efektifitas dapat dinyatakan sebagai berikut
..........................................................(2.4)
Sedangkan NTU (Number Of Transfer Units) merupakan parameter yang tidak berdimensi yang secara luas digunakan dalam analisis suatu penukar kalor. Bilangan ini didefinisikan sebagai berikut :
....................................................(2.5)
351
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
ecara umum CFD terdiri dari dua kata yaitu, Computational yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan matematika dan metode numerik atau komputasi dan Fluid Dynamic yang artinya dinamika dari segala sesuatu yang mengalir. Ditinjau dari istilah di atas, CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi yang memungkinkan untuk mempelajari dinamika dari benda-benda atau zat yang mengalir. Maka secara definisi, CFD adalah ilmu yang mempelajari cara memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika atau model matematika (Tuakia,2008).
3.
Metodologi Penelitian Penelitian ini menganalisa pengaruh jarak antar baffle terhadap efektivitas
perpindahan panas pada alat penukar kalor secara numerik dengan menggunakan software Autoodesk CFD simulation. A. Pembuatan Desain Geometri Alat Penukar Kalor Dalam pembuatan model menggunakan software Autodesk Invertor 2014. Gambar model dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.1. Desain geometri alat penukar kalor pada Autodesk inventor
352
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 3.1. Dimensi geometri alat penukar kalor jenis shell and tube Panjang Shell
1199,8 mm
Panjang Tube
1040 mm
Diameter Shell (ID)
175 mm
Diameter Tube (OD)
25,4 mm
Jumlah Baffle
3
Jumlah Tube
6
Jarak Antar Baffle
500,550,600 mm
Jarak antar tube (pitch)
30 mm
B. Input Desain Geometri ke Autodesk CFD Desain gambar yang telah dibuat di input kedalam CFD untuk memulai simulasi. Geometry Tools ini berfungsi untuk menentukan dimana letak inlet atau outlet alat penukar kalor dan jenis bahan yang digunakan dalam alat penukar kalor. Adapun tata cara menggunakan geometri ini yakni setelah di input desain ke CFD akan muncul kotak geometri tools Setelah itu klik pada bagian geometry lalu pilih void fill. Pada void fill pilih edge lalu arahkan menuju inlet tube dan inlet shell pada desain kemudian pilih build surface dan fill void. Ini dilakukan untuk pembuatan volume dalam alat penukar kalor. Lalu pada bagian material disini adalah untuk pemilihan jenis material alat yang digunakan dan juga pemilihan jenis bahan yang masuk pada inlet tube dan inlet shell.
C. Kondisi Batas Boundary condition merupakan definisi dari zona-zona yang telah diketahui sebelumnya pada aplikasi Autodesk inventor. Selanjutnya, kita menentukan daerah-daerah batas untuk benda tersebut. Karena kondisi batas pada tiap-tiap 353
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
permukaan alat berbeda-beda sesuai dengan proses yang terjadi pada saat fluida mengalir. Dalam Autodesk inventor CFD ini kita dapat memasukkan kondisi batas serta yang ingin di lihat hasil analisanya. Disini dimasukkan angka laju alir masuk umpan dan temperatur. Penentuan tahap ini dapat dilihat pada gambar 3.2.
Gambar 3.2. Penentuan Kondisi Batas D. Meshing Meshing adalah proses dimana geometri secara keseluruhan dibagi-bagi dalam elemen-elemen kecil. Elemen-elemen kecil ini nantinya berperan sebagai control surface atau volume dalam proses perhitungan yang kemudian tiap-tiap elemen ini akan menjadi inputan untuk elemen disebelahnya. Hal ini akan terjadi berulangulang hingga domain terpenuh. Jenis mesh berbeda-beda untuk tiap jenis volume, bergantung pada kerumitan bentuk geometri volume yang bersangkutan. Proses Meshing dapat dilihat pada gambar 3.3.
354
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 3.3. Pembuatan Meshing
E. Iterasi Setelah melaui proses meshing maka tahap selanjutnya adalah iterasi. Iterasi merupakan langkah terakhir dalam pemodelan simulasi CFD. Tahapan iterasi dapat dilihat pada gambar 3.4. Iterasi akan terhenti ketika simulasi konvergen.
Gambar 3.4. Tahapan Iterasi 4.
Hasil dan Diskusi
355
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
A. Analisa Distribusi Temperatur Hasil simulasi distribusi temperatur alat penukar kalor dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Simulasi distribusi temperatur pada alat penukar kalor dengan CFD Berdasarkan hasil simulasi diatas menunjukkan temperatur ammonia disepanjang Tube menurun. Distribusi temperatur terjadi akibat adanya baffle dan laju alir fluida pendingin. Temperatur outlet ammonia yang diperoleh dari hasil simulasi adalah 75oC sedangkan temperatur air adalah 45oC.
B. Analisa pengaruh Baffle dan Laju Alir Massa Fluida Pendingin Terhadap Penurunan Temperatur Simulasi alat penukar kalor jenis shell and tube menggunakan CFD dengan kondisi fluida masuk tube adalah ammonia pada temperatur 103oC, fluida masuk pada Shell adalah air pada temperatur 31,5 oC laju alir massa fluida melalui tube tetap yaitu 20 kg/jam sedangkan laju alir massa air divariasikan, maka diperoleh hasil yang dapat dilihat pada Tabel 4.1
Tabel 4.1 Data hasil dari running dengan software CFD Variasi Jarak Baffle
Laju Alir Air (Kg/Jam)
Tin Tube o
( C)
TOut Tube o
( C)
Tin Shell o
( C)
TOut Shell
LMTD
o
( C)
356
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
500 mm
550 mm
600 mm
25
103
79
31.5
40
57.138
35
103
76
31.5
42
53.66
50
103
75
31.5
45
50.40
25
103
90
31.5
42
59.12
35
103
85
31.5
40
58.12
50
103
83
31.5
42
56.12
25
103
83
31.5
40
57.06
35
103
79
31.5
43
53.51
50
103
77
31.5
45
51.50
Berdasarkan Tabel tersebut dapat dilihat bahwa laju alir air mempengaruhi penurunan temperatur pada hasil keluaran tube. Semakin besar laju alir air maka penurunan temperatur pada tube semakin besar. Hal ini disebabkan karena semakin banyak terjadinya transfer panas antara fluida panas dan fluida dingin maka perpindahan panas juga akan semakin besar. Dengan adanya baffle yang divariasikan jaraknya maka perpindahan panas akan semakin lama dalam alat penukar kalor sehingga perpindahan panasnya juga akan semakin maksimal. Pada Gambar 4.2. dapat dilihat pengaruh jarak antar baffle mempengaruhi penurunan temperatur
(a)
357
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
(b)
(c) Gambar 4.2. Kontur temperatur dengan laju aliran massa 20 kg/jam pada baffle space : a) 500 mm b) 550 mm c) 600 mm Berdasarkan kontur temperatur pada Gambar 4.1 dapat kita lihat terdapat sejumlah gradasi sepanjang shell dan tube alat penukar kalor khususnya pada bagian outlet alat penukar kalor. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat penurunan temperatur pada sepanjang aliran secara bertahap. Semakin kecil jarak antar baffle kontur warnanya semakin mendekati warna kuning pada outlet tube nya, ini menyatakan bahwa semakin kecil jarak antar baffle samakin banyak penurunan temperatur atau kalor yang dapat dipindahkan ke fluida dingin. Hal ini disebabkan karena penurunan hambatan aliran akibat pengurangan intensitas vortex yang terjadi pada dekat dinding baffle pada setiap jarak baffle sehingga alliran yang
Temperatur (oC)
terjadi mempengaruhi nilai dari temperatur outlet pada tube.
100 95 90 85 80 75 70 65 60
Baffle Space 500 mm Baffle Space 550 mm
358
Baffle Space 600 mm
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 4.3. Grafik pengaruh laju alir air terhadap outlet pada tube.
Berdasarkan Gambar 4.2. dapat dilihat bahwa laju alir air 50 kg/jam, penurunan temperatur terjadi secara signifikan pada jarak antar baffle 550 mm ke baffle 500 mm sebesar 19oC, sedangkan pada perubahan jarak antar baffle 600 mm ke 500 terjadi penurunan temperatur sebesar 13oC dengan demikan dapat dilihat bahwa penurunan temperatur dipengaruhi oleh laju alir air dan jarak antar baffle. 1.1.
Log Mean Temperature Different (LMTD) LMTD merupakan rata-rata logaritmik dari perbedaan suhu antara panas
dan dingin disetiap aliran alat penukar kalor. Semakin besar LMTD maka semakin banyak panas yang ditransfer (Kern,1950). 70 65
LMTD
60 55 50
Baffle Space 500 mm Baffle Space 550 mm Baffle Space 600 mm
45 40 15
25
35 45 Laju Alir Air (Kg/Jam)
55
Gambar 4.4 Grafik LMTD Terhadap Laju Alir Air Gambar 4.4. Menunjukkan grafik LMTD terhadap laju alir fluida pendigin. Berdasarkan Gambar tersebut LMTD pada baffle space 500 mm lebih rendah dibandingkan dengan jarak baffle lainnya. Baffle dengan jarak 550 mm
359
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
memiliki nilai LMTD paling tinggi, dengan demikian panas yang paling banyak ditransfer terjadi pada baffle dengan jarak 550 mm. 1.2.
Pengaruh Laju Alir Terhadap Efektivitas Alat Penukar Kalor Efektivitas merupakan perbandingan antara laju perpindahan panas
qaktual alat penukar kalor dengan laju perpindahan panas maksimum qmaks yang dimungkinkan. Efektivitas merupakan bilangan tanpa dimensi yang berada dalam batasan . Hasil perhitungaan efektivitas yang dipengaruhi oleh laju alir media pendingin pada alat penukar kalor dapat dilihat pada Gambar 4.5.
1 0.9 0.8
Efektivitas
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3
Baffle Space 500 mm
0.2
Baffle Space 550 mm
0.1
Baffle Space 600 mm
0 25
30
35
40
45
50
Laju Alir (Kg/Jam)
Gambar 4.5. Grafik Pengaruh Laju Alir Terhadap Efektivitas.
Dari Gambar 4.5. terlihat bahwa efektifitas pemanasan meningkat seiring dengan peningkatan laju aliran massa. Hal ini dapat dimengerti karena dengan
360
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
naiknya laju aliran massa berarti kecepatan aliran meningkat. Kecepatan aliran yang meningkat semakin banyak terjadinya kontak dengan baffle dan membuat bilangan Reynold aliran membesar (lebih turbulen), dimana hal ini membawa dampak yang menguntungkan yaitu kenaikan koefisien perpindahan panas konveksi yang pada akhirnya meningkatkan koefisien perpindahan panas total dalam heat exchanger. Aliran turbulen mempengaruhi perpindahan panas karena aliran turbulen merupakan aliran fluida yang partikelnya bergerak secara acak dan tidak stabil sehingga semakin banyak terjadinya kontak dengan dinding tube sehingga semakin besar panas yang ditransfer. Namun, kenaikan laju aliran massa juga membuat waktu kontak/singgung antara kedua fluida (ammonia dan air) menjadi lebih singkat. Jadi, dengan meningkatnya laju aliran massa perpindahan panas dalam heat exchanger lebih baik namun waktu kontak lebih singkat. Fenomena ini memungkinkan adanya nilai optimum dari efektifitas pada laju aliran massa tertentu. Semakin kecil jarak antar baffle yang dipasang membuat efektifitas meningkat. Hal ini menunjukkan adanya nilai optimum pula untuk jarak baffle yang dipasang dalam suatu heat exchanger. Penggunaan atau penambahan baffle membuat kecepatan udara dingin dalam shell meningkat karena luas penampang yang tegak lurus dengan aliran udara semakin kecil. Dengan bertambahnya kecepatan aliran, koefisien perpindahan panas akan meningkat. Oleh karena itu dengan bertambahnya jumlah baffle yang dipasang, atau semakin kecil jarak antar baffle, efektifitas meningkat. Namun, dengan bertambahnya jumlah baffle membuat fraksi aliran melintang (cross flow) menurun. Menurut Hewitt, dkk. (1994), perpindahan panas yang paling efektif dalam heat exchanger adalah pada aliran jenis melintang (cross flow). Dengan berkurangnya fraksi aliran melintang berarti perpindahan panas dari udara panas ke udara dingin menjadi berkurang. Jadi, jarak antar baffle yang lebih kecil menaikkan koefisien perpindahan panas namun mengurangi fraksi aliran melintang. Fenomena ini membuat adanya harga optimum dari efektifitas pada jarak antar baffle tertentu.
361
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Dalam eksperimen yang dilakukan, didapat efektifitas maksimum yaitu 0.98 pada saat air masuk dengan laju 50 Kg/jam dan jarak antar baffle 500 mm.
5.
Simpulan Berdasarkan analisa pengaruh jarak antar baffle pada alat penukar kalor jenis
shell and tube terhadap aliran fluida dan perpindahan panas dimana variasi jarak antar baffle sebesar 500 mm ; 550 mm dan 600 mm dengan laju alir air sebesar 25 kg/jam ; 35 kg/jam dan 50 kg/jam, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Semakin kecil/dekat jarak antar baffle dapat meningkatkan perpindahan panas sehingga temperatur keluaran tube semakin kecil. 2. Pada alat penukar kalor jenis shell and tube dengan baffle space 500 mm perpindahan panas nya lebih baik dari baffle space 550 mm dan 600 mm. 3. Semakin besar laju alir air pada aliran shell semakin besar juga perpindahan panas yang terjadi atau penurunan temperaturnya lebih tinggi. 4. Efektivitas alat penukar kalor dipengaruhi oleh laju alir dan jarak antara baffle 5. Efektivitas pemanasan maksimum pada jarak baffle 500 mm dan laju alir 50 Kg/jam dengan nila efektivitas 0,98 6.
Daftar Pustaka
Danny Harnanto.2015. “Simulasi pengaruh kemiringan baffles terhadap koefisien perpindahan panas dan efektivitas pada alat penukar kalor tipe shell and tube menggunakan solidworks”.Teknik Mesin. Universitas Sebelas Maret. Surakarta Dogan Eryener. 2008. “Thermoeconomic optimazation of baffle spacing for shell and tube heatexchanger”. Hewitt, G.F., Shires, G.L., Bott, T.R. 1994., “Process Heat Transfer”. Begell House. Incropera, Frank P. And Dewitt, David P. 1990. “Fundamentals Of Heat and Mass Transfer 2nd edition”. Singapore : John Wiley & Sons, Inc.
362
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Kern, D.Q., 1950, “Process Heat Transfer”. International Student edition. Mc Graw-Hill International Book Co., Tokyo Tuakia, Firman.2008. “Dasar-dasar CFD menggunakan FLUENT”. Teknik Mesin. Universitas Indonesia. Jakarta.
363
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
PENGARUH TEMPERATUR LINGKUNGAN TERHADAP PRODUKSI BIOGAS DI TPSA BAGENDUNG KOTA CILEGON Caturwati1, Agung Sudrajat1, Heri Haryanto1, Mekro Permana1, Aminullah M1. 1 Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa email:
[email protected] ,
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Pemanfaatan sampah menjadi sumber energi alternatif perlu dilakukan secara intensif mengingat langkah ini dapat menjadi solusi dalam menangani pencemaran lingkungan sekaligus memperoleh sumber energi baru terbarukan. Penanganan sampah dengan metode landfill sangat tepat dilakukan untuk tujuan tersebut, karena dapat menghasilkan sumber energi baru seperti biogas. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur kandungan gas metana (CH4) yang terkandung dalam biogas yang dihasilkan dari Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA) Bagendung-Cilegon berdasarkan variasi temperatur lingkungan. Hasil pengukuran menunjukkan kandungan gas metana dalam biogas stabil pada temperatur diatas 30!C. Kandungan gas metana cenderung meningkat dengan peningkatan temperatur lingkungan hingga mencapai 13,89 % pada temperatur tertinggi pengukuran 35 – 36 !C. Peningkatan kandungan methana dalam biogas meningkat sebesar 0.19 % per derajat C peningkatan temperatur lingkungan. Kata Kunci : energi, sampah, biogas, temperatur lingkungan
1.
PENDAHULUAN Penanganan sampah dewasa ini semakin lama semakin rumit, teruitama di kota-
kota besar. Mulai dari masalah lahan yang kian sempit serta pencemaran lingkungan baik berupa bau yang sangat menyengat maupun pencemaran lingkungan lainnya seperti pencemaran terhadap air disekitar tempat penampungan sampah Akhir. Penimbunan sampah dengan metode landfill adalah cara menimbun sampah dengan memberi lapisan tanah diatas sampah secara bergantian. Cara ini dapat mengurangi pencemaran bau menyengat serta penyebaran penyakit-penyakit lain akibat pembusukan yang terjadi pada sampah. Penimbunan sampah dengan tanah dapat mengakibatkan terjadinya proses degradasi sampah secara anaerob sehingga dapat menghasilkan biogas yang mengandung metana (CH4) dan karbon (CO2) (Damanhuri, 2008). Hasil berbagai penelitian menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi sampah dalam menghasilkan biogas diantaranya adalah : kelembaban,
364
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
temperatur, tingkat keasaman, kontur tanah, konsentrasi gas metana, oksigen, nutrisi dan lainya. (charlotte and peter, 2004). TPSA Bagendung merupakan tempat penampungan sampah yang ada di Kota Cilegon. Penampungan sampah dengan metode landfill sudah dilakukan di TPSA ini yang dilengkapi dengan pemasangan instalasi produksi biogas oleh salah satu LSM asing ERC (Emission Reduction Center) pada tahun 2001. Pengujian saat itu menunjukkan biogas yang dihasilkan cukup baik dan memenuhi syarat sebagai sumber energi. Namun sangat disayangkan project tersebut tidak berlanjut sehingga peralatan yang telah terpasang terbengkalai hingga saat ini. Gambar 1 memperlihatkan denah lokasi pengambilan data.
Gambar 1. Denah lokasi pengambilan data di TPSA Bagendung - Cilegon
Sedangkan skema pipa berpori yang terpasang di TPSA Bagendung-Cilegon diperlihatkan pada Gambar 2.
365
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 2. Skema pipa berpori yang tertanam di TPSA Bagendung.
Kondisi Indonesia yang mempunyai temperatur udara cukup tinggi dengan kelembaban udara yang tinggi pula diharapkan dapat menghasilkan produksi biogas yang lebih baik dibandingkan pada daerah yang beriklim dingin. Paper ini menampilkan hasil penelitian produksi biogas dari instalasi yang sudah ada di TPSA Bagendung Cilegon untuk mengetahui kualitas dan kuantitas biogas yang dihasilkan berdasarkan variasi temperatur lingkungan saat biogas diuji. Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat berpartisipasi dalam upaya pengembangan renewable energy serta penanganan sampah ramah lingkungan .
2.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data biogas yang dihasilkan dan temperatur lingkungan TPSA setiap satu jam dari jam 08.00 hingga jam 16.00 selama 7 hari. Adapun penelitian ini terbagi beberapa tahap, yaitu sebagai berikut : 1. Observasi yaitu survei lapangan di TPSA Bagendung - Kota Cilegon. 2. Studi literatur dengan mengumpulkan sumber referensi yang relevan dengan kasus yang akan diteliti. 3. Memasang instalasi perancangan pemipaan dan pemasangan pompa hisap merk Chuan Fan type RB 750S, thermometer dengan themocouple type K merk APPA 55II dan biogas analyzer portable biotech 2000, serta instalasi alat lainnya yang dibutuhkan seperti terlihat pada Gambar 3 yang terpasang di terminal gas.
366
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 3. Instalasi pengambilan data biogas
4. Penghisapan gas metana yang berada di dalam tumpukan sampah dengan pompa hisap (Vacum) melalui pipa yang telah tertanam yang dilengkapi dengan pemisahan cairan dari biogas yang dihasilkan melalui jebakan pipa U yang dilengkapi kerikil/pasir sehingga cairan dapat ditampung di kolam penampungan air lindi. 5. Pengambilan
data dengan cara perekaman data manual 367emperature
lingkungan , komposisi gas metana dalam biogas yang dihasilkan. 6. Pengolahan data dan analisa.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengumpulan data kualitas biogas serta temperatur lingkungan saat data
diambil pada hari I diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1.Data Pengujian komposisi gas dan temperatur lingkungan pada hari I .
Tm (C)
CH4
CO2
O2
Bal
11,53
11,03
6,73
70,7
31,9
13,9
7,7
9,4
69
34,4
14,4
7,13
10,43
68,03
33,3
14,53
6,7
10,73
68,03
32,7
14,43
6,5
11
68,07
32,8
14,4
6,37
10,87
68,37
33,2
14,27
6,87
10,63
68,23
33,6
14,5
6,27
11,1
68,13
32,4
14,5
5,57
11,87
68,07
31,8
367
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Sedangkan pada Tabel 2 dan Gambar 4 memperlihatkan nilai rata-rata temparatur lingkungan Tam(!C), konsentrasi CH4 (%) dan kandungan balanced (%) per hari dari hasil pengujian yang dilakukan selama 7 hari.
Tabel 2. Nilai rata-rata temperatur lingkungan dan komposisi metana per hari
Gambar 4. Nilai rata-rata metana dan temperatur lingkungan per hari. Dari Gambar 4 nilai temperatur berfluktuasi dengan temperatur terendah yaitu 27,98oC di hari ke- 4 dan tertinggi pada 33,66 oC di hari ke- 6 adapun kandungan CH4 (%) dalam biogas hasil landfill terendah diperoleh pada hari ke-4 juga yaitu 12,37% dan tertinggi sebesar 14,06% pada hari ke-1. Selama periode pengukuran pengaruh temperatur sesuai dengan keadaan cuaca di daerah sekitar TPSA, dimana cuaca hujan terjadi saat hari ke- 2 sampai ke- 4 sejalan dengan penurunan nilai temperatur, lalu mulai meningkat kembali
368
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
hingga periode berakhir. Kandungan gas metana CH4
mengikuti pergerakan nilai
temperatur dimana meningkat perlahan hingga periode berakhir. Selain analisa data dilakukan per hari, dilakukan pula klasifikasi data berdasarkan temperatur udara lingkungan terukur Ta, yang dikumpulkan dari 7 hari pengamatan yang diambil tiap jam seperti pada tabel 1. Hasil klasifikasi data pengamatan berdasarkan temperatur lingkungan diperlihatkan pada Tabel 3. Dengan Tam merupakan nilai tengah temperatur.
Tabel 3. Klasifikasi data berdasarkan temperatur lingkungan Ta (oC)
Tam(C)
CH4 m (%)
26-27
26,5
12,74
27-28
27,5
12,21
28-29
28,5
12,77
29-30
29,5
12,05
30-31
30,5
13,06
31-32
31,5
12,93
32-33
32,5
13,71
33-34
33,5
13,77
34-35
34,5
13,87
35-36
35,5
13,89
Gambar 5. Kandungan CH4 (%) biogas terhadap temperatur lingkungan
Berdasarkan tingkatan temperatur didapatkan nilai rata-rata konsentrasi gas metan (CH4) pada Tabel. 3 memiliki kadar gas metan (CH4) berangsur meningkat sejalan
369
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
dengan peningkatan temperatur. Nilai volume gas metana dalam kandungan biogas terhadap temperatur lingkungan terukur stabil berkisar pada suhu 31-36 °C dengan volume 12,93 – 13,89%, maka dengan selisih 0,96% pada suhu 5°C didapatkan nilai kenaikan volume gas metan rata-rata tiap derajat temperatur sebesar Hasil ini sesuai dengan pernyataan bahwa temperatur yang baik untuk proses dekomposisi adalah 30-55 0C, karena pada suhu tersebut mikroorganisme dapat bekerja secara optimal dalam merombak bahan-bahan organik (Ginting, 2007).
4.
KESIMPULAN Dari hasil pengujian komposisi gas
dari biogas hasil landfill pada TPSA
Bagendung Cilegon terhadap temperatur lingkungan, diperoleh beberapa kesimpulan antara lain : -
Produktivitas biogas di TPSA Bagendung masih sangat rendah yang
kemungkinan diakibatkan oleh banyaknya kebocoran pipa dalam instalasi yang ada. -
Kadar gas metana (CH4) dalam biogas yang dihasilkan meningkat seiring dengan
peningkatan temperatur lingkungan. -
Variasi temperatur yang terukur berpengaruh pada komposisi gas hasil sampah
di TPSA Bagendung ditunjukkan dengan gas metana (CH4) rata-rata berkisar 14% pada temperatur 35-36 oC. -
Temperatur lingkungan yang baik berkisar diatas 30oC ketika terjadi kondisi
kandungan gas metan yang cukup stabil. Kadar gas metan (CH4) yang berangsur meningkat sejalan dengan peningkatan temperatur hingga mencapai 13,89% pada temperatur 35-36 oC dengan peningkatan perderajat temperaturnya sebesar 0,19%.
5.
Daftar pustaka
Buku Panduan Energi Terbarukan, PNPM 2015. Departemen Pekerjaan Umum. (2003). Profil Kota Cilegon. Dipetik pada November 3, 2011 dari : http:// ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/barat/ banten/cilegon Deublein, Dieter., Angelika, Steinhauser.2008. -Biogas from Waste and Renewable Resources.WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim. DKP. 2014. Pengelolaan Persampahan Kota Cilegon. Kota Cilegon. Darmanto, Ardyanto., dkk. 2012. Pengaruh Kondisi Temperatur Mesophilic (35ºC) Dan Thermophilic (55ºC) Anaerob Digester Kotoran Kuda Terhadap Produksi Biogas. Malang : Fakultas Teknik Universitas Brawijaya.
370
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Enri Damanhuri. 2008. Diktat Landfilling Limbah. FTSL ITB. Electronic publication.1999.Biogas Digest Vol 3. GTZ project Information and Advisory Service
on
Appropriate
Technology
(ISAT).
(Available
from:
http://www.gtz.de.dokumente/en_biogas_volume _pdf) Ginting, N. 2007. Penuntun Praktikum : Teknologi Pengolahan Limbah Peternakan. Departemen Peternakan Fakultas Pertanian : Universitas Sumatera Utara. Indarto, Ari Martyono. 2007. Pengaruh Kematangan Sampah Terhadap Produksi Gas Metana (CH4) di TPA Putri Cempo Mojosongo. Tesis. Surakarta: Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Scheutz, Charlotte and Peter Kjeldsen. 2004. Environmental Factors Influencing Attenuation of Methane and Hydrochlorofluorocarbons in Landfill Cover Soils. Published in J. Environ. Qual. USA. Wahyudi, Muhammad Amin., dkk. 2012. Pengaruh Kondisi Temperatur Meshophilic dan Thermophilic Anaerob Disgester te Terhadap Parameter Karakteristik Biogas. Malang : Universitas Brawijaya
371
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
BIOSORPSI LOGAM BERAT KROMIUM HEKSAVALEN MENGGUNAKAN BIOMASSA TONGKOL JAGUNG YANG TERAKTIFASI NaOH PADA LIMBAH ARTIFISIAL Cut Nur Fitriani1, Meriatna1, Fikri Hasfita1, 1
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353
ABSTRAK Limbah logam yang berat merupakan limbah yang umumnya dihasilakan oleh hampir semua industri kimia, saat ini perkembangan teknologi penanggulangan limbah logam berat secara ekonomi merupakan tantangan dalam dunia bioteknologi. Biosorpsi merupakan teknologi yang berkembang dan memiliki potensi sebagai teknologi penyerapan alternative sehingga menjadi solusi bagi tantangan tersebut. Aktifasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori-pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui potensi pengunaan limbah tongkol jagung yang di aktifasi dengan NaOH 5% sebagai biosorben untuk menyisihkan logam berat Cr(VI) yang terdapat pada larutan. Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pembuatan biosorben, uji kinerja biosorben dengan variasi kosentrasi biosorben, waktu kontak dan kosentrasi logam Cr(VI) yang bertujuan untuk melihat kadar dan kapasitas penyerapan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar penyisihan logam maksimum di peroleh 88.57% dan kapasitas adsorpsi maksimum 1.265 mg/g dengan berat adsorben 7 gram, kosentrasi 100 ppm pada waktu 180 menit. Kata Kunci : Biosorpsi, Aktifasi, Kromium Heksavalen 1. Pendahuluan Akibat proses industrialisasi yang begitu pesat dihasilkan buangan limbah industry
berupa limbah cair,
padat maupun gas yang dapat mengakibatkan
terjadinya pencemaran lingkungan. Limbah cair pada industri ini memberikan kontribusi terhadap pelepasan logam berat beracun di dalam aliran air. Hal ini akan berdampak negatif pada makhluk hidup di lingkungan sekitarnya. Beberapa metode untuk menghilangkan logam berat dari air limbah telah dilakukan dengan proses secara fisika dan kimia yang meliputi presipitasi,
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
koagulasi dan pertukaran ion. Tetapi metode-motede tersebut diatas masih mahal terutama bagi negara-neraga yang sedang berkembang. Proses adsorpsi merupakan teknik pemurnian dan pemisahan yang efektif di pakai dalam industry karena dianggap lebih ekonomis dalam pengolahan air dan limbah (Al-Asheh el at, 2000) dan merupakan teknik yang sering digunakan untuk mengurangi ion logam berat air limbah (Selvi es at, 2001). Penggunaan biomaterial dari limbah pertanian atau industry dapat digunakan sebagai alternatif adsorben dengan biaya rendah diantaranya adalah tongkol Jagung, gabah padi, ampas, tebu, biji kapas, jerami padi, dan kulit kacang tanah. (Marshall dan Michell, 1996). Salah satu industri yang menghasilkan limbah logam berat adalah industri peleburan tembaga. Jenis logam berbahaya yang kerap ditemukan pada industri ini adalah Cr(VI) (Kromium Heksavalen). Banyak metode yang telah digunakan untuk menyerap Cr(VI) yang telah diteliti, namun beberapa masih membutuhkan banyak biaya kemudian mempunyai permasalahan menyangkut ketersediaan bahan baku yang sulit dan mahal. Oleh karena itu pemanfaatan tongkol jagung diharapkan mampu mencari alternatiaf terbaru serta rahma lingkungan terhadap solusi dalam penyerapan limbah logam Cr(VI). Aktivasi terhadap adsorben mengarah pada aktivasi gugus hidroksil pada selulosa, sehingga kemampuannya menjerap zat warna maupun ion logam meningkat (Igwe et al, 2005). Menurut Fahrizal (2008), modifikasi selulosa pada tongkol jagung mampu menjerap biru metilena dari limbah tekstil dengan kapasitas adsorpsi 518.07 !g/g adsorben. Sary Sulistiawati (2008) meneliti tentang pemafaatan tanaman jagung sebagai adsorben untu penyerapan logam berat Pb(II) dengan hasil 90%. Fatimah, dkk (2013) menggunakan tongkol jagung untuk menyerap klorin pada air olahan dengan hasil yang diperoleh 96,80%. Setelah itu Mahbul Watan (2014) meneliti dengan menfaatkan limbah tongkol jagung sebagai adsorben untuk menyerap limbah Cr(VI) dengan hasil 64,94%. Beranjak dari penelitian-penelitian di atas maka peneliti melakukan langkah selanjutnya dengang melakukan aktifasi tongkol jangung dengan larutan NaOH 5 % untuk menyisihkan logam Cr(VI) pada limbah artifisial, diharapkan dapat melihat seberapa besar penyerapan tongkol jagung sebagai adsorben untuk penyisihan logam logam Cr(VI). Menguji pengaruh waktu
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
kontak dan konsentrasi limbah terhadap presentase penyerapan serta menguji mekanisme penyerapan melalui pendekatan isotermis adsorpsi Langmuir dan isotermis adsorpsi Freundlich. 2. Tinjauan Pustaka Tanaman Jagung Jagung memiliki nama latin Zea mays. Kandungan gizi utama jagung adalah pati (72-73%), dengan nisbah amilosa dan amilopektin 25-30% : 70-75%, Kadar gula sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3%. Kandungan senyawa berkarbon, yaitu selulosa (41%) dan hemiselulosa (36%) yang cukup tinggi mengindikasikan bahwa tongkol jagung berpotensi sebagai bahan pembuat arang aktif. Persentase komposisi diperlihatkan pada tabel 2.1. Tabel 1 Komposisi Tongkol Jagung
Selulosa dan Hemiselulosa Selulosa terdiri atas rantai panjang unit-unit glukosa yang terikat dengan ikatan 1-4!-glukosida seperti Gambar 1.
Gambar 1.Selulosa Hemiselulosa adalah polimer polisakarida heterogen tersusun dari unit Dglukosa, D-manosa, L-arabiosa dan D-xilosa. Hemiselulosa pada kayu berkisar antara 20-30%. Dilihat dari strukturnya, selulosa dan hemiselulosa mempunyai
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai penjerap karena gugus OH yang terikat dapat berinteraksi dengan komponen adsorbat. Adanya gugus OH, pada selulosa dan hemiselulosa menyebabkan terjadinya sifat polar pada adsorben tersebut. Dengan demikian selulosa dan hemiselulosa lebih kuat menjerap zat yang bersifat polar dari pada zat yang kurang polar. Mekanisme serapan yang terjadi antara gugus -OH yang terikat pada permukaan dengan ion logam yang bermuatan positif (kation) merupakan mekanisme pertukaran ion sebagai berikut (Yantri dalam Wattimury,2012).
M+ dan M2+ adalah ion logam, -OH adalah gugus hidroksil dan Y adalah matriks tempat gugus -OH terikat. Interaksi antara gugus -OH dengan ion logam juga memungkinkan melalui mekanisme pembentukan kompleks koordinasi karena atom oksigen (O) pada gugus -OH mempunyai pasangan elektron bebas, sedangkan ion logam mempunyai orbital d kosong. Pasangan elektron bebas tersebut akan menempati orbital kosong yang dimiliki oleh ion logam, sehingga terbentuk suatu senyawa atau ion kompleks. Menurut Terada dkk. (1983) ikatan kimia yang terjadi antara gugus aktif pada zat organik dengan molekul dapat dijelaskan sebagai perilaku interaksi asam-ba Lewi yang menghasilkan kompleks pada permukaan padatan. Pada sistem adsorpsi larutan ion logam, interaksi tersebut dalam bentuk umum ditulis:
dengan GH adalah gugus fungsional yang terdapat pada zat organik, dan M adalah ion bervalensi z.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Kromium (Cr) Kromium memiliki simbol Cr, merupakan unsur pertama dalam grup 6 dengan bilangan atom 24, tidak berbau dan tidak berasa. Kromium memilki kemungkinan bentuk teroksidasi yang luas. Bentuk yang paling banyak ditemui adalah +2, +3,dan +6, bentuk +3 adalah yang paling stabil sedangkan bentuk +1, +4 dan +5 jarang ditemukan. Kromium dikenal dengan ketahanannya yang tinggi terhadap korosi dan kesadahan. Sifat ini yang menjadikan kromium banyak digunakan bersama nikel untuk pelapisan baja agar baja tahan terhadap korosi dan perubahan warna dalam pembuatan stainless steel. Kromium di lingkungan banyak ditemukan dalam dua bentuk, kromium trivalen [Cr(III)] dan kromium hexavalen [Cr(VI)]. Cr(III) bermanfaat sebagai traceelement bagi manusia untuk metabolisme gula dan lipid. Sedangkan Cr(VI)bersifat racun dan karsinogenik. Cr(VI) merupakan oksidator yang sangat kuat dan memiliki oksigen ligan seperti anion khromat (CrO42-) dan khromil klorida (CrO2Cl2). Namun Cr(VI) lebih sering ditemukan dalam bentuk kromat dan dikromat (Cr2O7-2). Adapun syarat sebagai adsorben memiliki surface area yang luas, volume internal yang besar, yang ditunjukkan dengan porositas. Kekuatan mekanis yang baik serta ketahanan terhadap abrasi merupakan sifat yang penting, mengingat adsorben akan mengalami proses regenerasi berulang-ulang pada saat digunakan. Agar dapat memisahkan bahan dengan baik, maka adsorben harus memiliki kemampuan transfer massa yang baik (Yang dalam Ramadhan, 2010).
Adsorpsi Adsorpsi adalah peristiwa penyerapan cairan pada permukaan zat penyerap (adsorben). Zat yang diserap disebut adsorbat. Adsorpsi dapat didefinisikan juga sebagai suatu proses pemisahan komponen tertentu dari suatu fluida sehingga berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap (Mc. Cabe, 1999). Ada beberapa hal yang dapat membedakan jenis-jenis adsorpsi. Perbedaan yang sangat penting adalah didasarkan pada sifat ikatan fisika dan kimia yang menyebabkan adsorbat ditarik ke permukaan adsorben. Para ahli mengklasifikasikan adsorpsi
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
atau dua tipe berdasarkan fenomena terjadinya adsorpsi, yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika atau adsorpsi Van Der Walls adalah fenomena yang mudah berbalik (reversibel) yang terjadi akibat adanya gaya tarik menarik (interaksi elektrolisis antar dipol) antara permukaan adsorben dengan molekul-molekul adsorbat yang disebabkan oleh ikatan Van Der Walls. Adsorpsi kimia atau adsorpsi aktifasi interaksi kimia antara zat padat dan zat terlarut. Terdapatnya rantai kimia yang kuat dan jenis senyawa kimia yang dimiliki, mempunyai suatu gaya untuk mengikat zat lain yang lebih kuat dibandingkan dengan adsorpsi fisika. Proses yang terjadi merupakan proses irreversibel dan proses adsorbsi yang terjadi akan memberikan jumlah senyawa yang lebih rendah dari senyawa sebelum proses adsorpsi. Salah satu adsorben yang telah dibuat diantaranya ialah adsorben dari tongkol jagung dengan karakteristik yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik Absorben dari Tongkol Jagung Karakteristik Kadar Air Kadar Abu Berat Jenis Daya Serap Terhadap Larutan Sumber : Retnoningrum, 2000
Komposisi 2.7278 % 2.4957 % 0.2430 % 223.5573 %
Biosorpsi Biosorpsi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan biomassa dalam mengikat dan mengakumulasi ion atau senyawa tertentu dari larutan (Volesky, 2007). Biosorpsi mulai banyak dikembangkan pada awal tahun 1990. Saat itu sebuah perkembangan baru dicapai dengan diketahuinya kemampuan biomassa dapat menyerap logam berat yang berbahaya bahkan pada konsentrasi yang sangat kecil (<10 mg/L). Berdasarkan ketergantungan proses adsorpsi dengan metabolisme sel, mekanisme biosorpsi dapat dibagi berdasarkan dua kriteria, yaitu: Tergantung terhadap proses metabolism dan tidak tergantung terhadap proses metabolisme
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Biosorpsi logam terjadi karena kompleksitas ion logam yang bermuatan positif dengan pusat aktif yang bermuatan negatif pada permukaan dinding sel atau dalam polimer-polimer ekstraseluler, seperti protein dan polisakarida sebagai sumber gugus fungsi yang berperan penting dalam mengikat ion logam. Proses penyerapan ini berlangsung cepat dan terjadi pada sel hidup maupun sel yang telah mati (Volesky, 2007) yang bertindak sebagai biosorben.
3.
Metode Penelitian Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu pembuatan biosorben, uji
kinerja biosorben, serta penentuan mekanisme sorpsi melalui pedekatan persamaan isotherm Langmuir dan isotherm freundlich. Limbah Tongkol Jagung yang akan digunakan dicuci sampai bersih, didiamkan pada suhu kamar selama 24 jam, kemudian diovenkan pada suhu 110 selama 60 menit, dihancurkan dan ayak dengan ayakan 100 mesh. Serbuk adsorben selanjutnya direndam dengan larutan NaOH 5% selama 6 jam, disaring dan dicuci sampai air cucian terakhir. Kemudian adsorben diovenkan pada suhu 60 selama 30 menit.
Uji Kinerja Penentuan uji kinerja biosorben dilakukan pada waktu kontak, dan konsentasi Logam Cr Artifiasial. Sebanyak 7 gr biosorben dimasukkan kedalam gelas piala yang telah diisi dengan beberapa variasi konsentrasi 40, 60, 80 dan 100 ppm. Larutan di-shanker selama beberapa variasi waktu kontak, yaitu, 90, 120, 150
dan 180 menit dengan kecepatan pengandukan 150 ppm. Konsentrasi
biosorben yang tersisa didalam filtrate dianalisa dengan menggunakan AAS (Atomic Absorpsi Spectroscopy)
4.
Hasil dan Diskusi Adsorpsi Logam Berat Kromium Heksavalen dengan menggunakan
biomassa tongkol jagung yang teraktifasi NaOH pada limbah artifisial dapat di lihat pada Tabel 3.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 3 Hasil kadar penyerapan, kapasitas penyerapan dan konsentrasi Kromiun Heksavalen dengan berat adsorben 7 gram Ce (ppm)
Kapsitas Penyerapan (mg/gr)
% penyera pan
0.4210
11.9585
0.4005
70.103
0.8781
0.4525
12.8533
0.6735
78.577
80
0.9093
0.4960
14.0889
0.9415
82.388
4 5 6 7 8 9 10
100 40 60 80 100 40 60
0.9285 0.7632 0.8781 0.9093 0.9285 0.7632 0.8781
0.5980 0.3850 0.4060 0.4632 0.5283 0.3421 0.3917
16.9862 10.9359 11.5324 13.1572 15.0064 9.7174 11.1263
1.1859 0.415 0.6923 0.9548 1.2141 0.4326 0.6981
83.013 72.660 80.779 83.553 84.993 75.706 81.456
11
80
0.9093
0.4318
12.2653
0.9676
84.668
12
100
0.9285
0.4834
13.731
1.2499
87.493
13 14 15 16 17 18 19 20
40 60 80 100 40 60 80 100
0.7632 0.8781 0.9093 0.9285 0.7632 0.8781 0.9093 0.9285
0.3027 0.3522 0.4011 0.4403 0.2953 0.3181 0.3679 0.4023
8.5982 10.0042 11.3933 12.5067 8.38804 9.03568 10.4502 11.4273
0.4485 0.7142 0.9800 1.2499 0.4515 0.7280 0.9935 1.2653
78.504 83.325 85.758 87.493 79.029 84.940 86.937 88.572
No
Co (ppm)
1
40
2
60
3
Waktu (Menit)
60
90
120
150
180
Absorpsi Sebelum
Absorpsi Sesudah
0.7632
(Sumber: Hasil Penelitian, 2016) Keterangan : Co = Konsentrasi Awal (ppm) Ce = Konsentrasi Akhir (ppm)
4.1
Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Persen Penyerapan Waktu kontak merupakan suatu hal yang sangat menentukan dalam proses
adsorpsi. Waktu kontak yang lebih lama memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul adsorbat berlangsung lebih baik. Waktu kontak untuk mencapai keadaan setimbang pada proses serapan logam oleh adsorben berkisar antara beberapa menit hingga beberapa jam (Bernasconi, 1995). Hasil yang
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
didapat dari kadar penyerapan dengan variasi waktu kontak dapat dilihat pada
% penyerapan (mg/L)
Gambar 2 berikut.
Waktu kontak (menit Gambar 2. Grafik Hubungan Persen Penyerapan Terhadap Waktu Kontak pada konsentrasi 100 ppm Gambar 2 menunjukan bahwa semakin lama waktu yang digunakan untuk proses adsorpsi maka semakin tinggi persen peyerapanya. Pada waktu 60 menit persen penyerapan yang didapat sebesar 83.01%, sedangkan pada waktu 90 menit hasil penyerapan didapat sebesar 84.99%. Persen penyerapan terus meningkat pada waktu 180 menit didapatkan persen penyerapan terbaik yaitu sebesar 79.02 %, sedangkan pada waktu 120 menit dan 150 menit masing-masing
persen
penyerapan didapat sebesar 87.49% dan 87.49%. Gambar 2 dapat simpulkan bahwa persen penyerapan terbaik terjadi pada waktu 180 menit dengan persen penyerapan sebesar 88.57%. Peningkatan persen penyerapan pada variasi waktu menunjukan masih terdapat permukaan sel yang menjadi aktif. Atkins (1999) mengemukakan bahwa waktu kontak yang lebih lama memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul adsorbat berlangsung lebih baik, namun pada kondisi tertentu akan stabil karena sudah jenuh sehingga terjadi proses kesetimbangan. Aktifasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaanya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi (Sembiring, 2003). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan toeri yang dikemukan oleh Atkins dan Sembiring dimana semakin lama waktu yang digunakan dan dengan
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
adanya penambahan aktifasi NaOH, persen penyerapan semakin tinggi dimana persen penyerapan maksimum terjadi pada waktu 180 menit dengan persen penyerapan sebesar 88.57%.
Hasil ini perlihatkan juga pada penelitian
sebelumnya oleh Mahbul (2014) dengan mengunakan limbah artifisial dan adsorben yang sama tetapi tanpa aktifasi, memperoleh hasil kadar maksimum sebesar 64.94% selama waktu kontak 120 menit. Jika dibandingkan dengan penelitian tersebut, penggunaan aktifasi NaOH pada biomassa Tongkol Jagung lebih efisien menyerap logam berat Cr(VI), karena mempunyai kadar penyerapan yang lebih besar yaitu 88.57% pada waktu pengadukan 180 menit.
4.2.
Pengaruh Kosentrasi Logam Cr(VI) Terhadap Persen Penyerapan Pengujian pengaruh kosentrasi limbah Cr(VI) terhadap persen penyerapan
dilakukan dengan kisaran kosentrasi 40-100 ppm dengan massa biosorben Tongkol Jagung 7 gram kemudian diaduk dengan lama 180 menit. Hasil kadar
% penyerapan (mg/L)
penyerapan dengan variasi kosentrasi ini, ditunjukkan pada Gambar 3.
Konsentrasi Cr (ppm Gambar 3
Grafik Hubungan Kosentrasi Limbah Cr(VI) Terhadap Kadar Penyerapan dengan Waktu Pengadukan 180 Menit.
Gambar 3 menunjukkan bahwa semakin besar kosentrasi awal limbah Cr maka semakin besar persen penyerapan yang mampu dilakukan per-7 gr massa biosorben Tongkol Jagung. Pada saat kosentrasi limbah Cr(VI) 40 ppm kadar penyerapan diperoleh 79.02%, kemudian diikuti dengan kosentrasi limbah Cr(VI) 60 ppm sebesar 84.94%, kondisi kosentrasi limbah Cr(VI) 80 ppm kadar
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
penyerapannya 86.93% dan terakhir dengan limbah Cr(VI) 100 ppm kadar penyerapannya 88.57%. dari gambar dapat dijelaskan bahwa persen penyerapan terbaik pada kosentrasi 100 ppm yaitu sebesar 88.57%. Kemampuan penyerapan logam Cr(VI) oleh biomassa Tongkol Jagung terus meningkat ini disebabkan karena permukaan biosorben yang masih aktif dan belum mengalami kesetimbagan. 4.3
Pengaruh waktu Kontak Terhadap Kapasitas Penyerapan Lamanya waktu kontak antara adsorbat
dengan adsorben akan
mempengaruhi kapasitas penyerapan. Semakin lama waktu kontak maka ion logam yang terserap akan semakin meningkat sampai terjadinya kesetimbangan. Pengujian kapasitas penyerapan terhadap waktu dilakukan pada kosentrasi 40-100 ppm dengan massa adsorben 7 gram. Hasil penelitian ini dapat ditujukkan pada
Kapasitas penyerapan (mg/g)
gambar.4.
Waktu kontak (menit) Gambar 4 Grafik Hubungan Waktu Kontak Dengan Kapasitas Penyerapan pada konsentrasi 100 ppm Kapasitas penyerapan merupakan banyaknya Cr(VI) yang
diserap
persatuan gram adsorben yang diberikan. Namun pada bagian ini, kapasitas penyerapan ditinjau dari pengaruh waktu pengadukan yang diberikan kepada adsorben dalam larutan limbah. Berdasarkan hasil penelitian ini nilai kapasitas penyerapan pada waktu pengadukan 60 menit didapatkan hasil 1.18591 mg/gr, 90 menit sebesar 1.214194 mg/gr, kemudian pada waktu 120 menit, 150 menit dan 180 menit didapat kapasitas penyerapan sebesar 1.249903 mg/gr , 1.249903 mg/gr dan 1.265323 mg/gr.
Berdasarkan hasil yang didapat kapasitas penyerapan
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
terbaik terdapat pada waktu 180 menit dengan kosentrasi 100 ppm yaitu 1.265323 mg/gr. Sama halnya dengan kadar penyerapan sebelumnya, peningkatan kapasitas penyerapan menunjukkan bahwa terdapat permukaan sel yang masih aktif dan membetuk ikatan dengan larutan logam, kemudian kemampuan penyerapan turun saat biomassa mencapai kondisi jenuh (Frraz, 2005). Penelitian oleh Mahbul (2014) memperoleh kapasitas penyerapan sebesar 0.91 mg/gr pada kondisi konstan 120 menit, sedangkan pada penelitian kapasitas terbaik pada waktu 180 menit hasil yang diperoleh sebesar 1.265323 mg/gr, maka kondisi konstan biomassa Tongkol Jagung tanpa aktifasi lebih cepat dari pada aktifasi. Kapasitas penyerapan jugak di pengaruhi oleh kecepatan pengadukan apabila pengadukan yang terlalu cepat akan mengakibatkan rusaknya struktur adsorbat. Dimana akan membuat ikatan antar partikel adsorben dan adsorbat terlepas.
4.4
Pengaruh Konsentrasi Terhadap Kapasitas Penyerapan Pengujian pengaruh kosentrasi limbah Cr(VI) terhadap kapasitas
penyerapan ini dilakukan dengan kisaran kosentrasi 40-100 ppm dengan massa biosorben Tongkol Jagung 7 gr. Perlakuan ini bertujun untuk melihat bagaimana pengaruh kapasitas penyerapan terhadap kosentrasi limbah Cr(VI). Hasil
penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 5
konsentrasi logam Cr (ppm) Gambar 6 Grafik Hubungan Konsentrasi Dengan Kapasitas Penyerapan pada waktu 180 menit Dapat dilihat
pada Gambar 6 Kapasitas penyerapan juga mengalami
kenaikan dengan semakin besarnya kosentrasi limbah Cr(VI) yang akan diserap.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Pada 40 ppm kapasitas penyerapan yang di peroleh adalah 0.451599 mg/gr, pada 60 ppm limbah Cr(VI) sebesar 0.728062 mg/gr, 80 ppm limbah Cr(VI) diperoleh 0.993568 mg/gr dan pada 100 ppm limbah Cr(VI) kapasitas penyerapanya 1.265323 mg/gr. Kondisi kenaikan ini juga didukung pada penelitian sebelumnya oleh Mahbul (2014) yang mengalami kenaikan setiap perubahan kosentrasi limbah Cr(VI) yang akan diserap menggunakan biosorben yang sama yaitu Tongkol Jagung tanpa aktifasi. Mahbul medapatkan nilai terbaik kosentrasi 100 ppm yaitu sebesar 0.89 mg/gr pada waktu pengadukan 120 menit dengan massa absorben yang sama yaitu 7 gram. Hasil yang berbanding lurus antara kosentrasi Cr(VI) dan Kapasitas penyerapan yang terjadi, selalu terjadi pada proses biosorpsi bahkan membentuk rasio yang proposional(Vasudevan, 2003). Hal ini dikarenakan pada kosentrasi logam redah, ketersedian permukaan sel pada biosorben tidak cepat menuju jenuh karena sedikitnya jumlah ion logam yang dapat terikat.
5.
Kesimpulan Berdasarkan data hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan yaitu :
1. Kadar penyerapan maksimum pada biosorpsi tongkol jagung dengan adanya penambahan aktifator NaOH terhadap logam Cr(VI) diperoleh 88,57% dengan berat biosorben 7 gram, waktu kontak 180 menit dan konsentrasi 100 ppm. 2. Kapasitas Penyerapan Maksimum diperoleh sebesar 1,265 mg/gr pada waktu 180 menit dengan kosentrasi 100 ppm.
6. Daftar Pustaka 1.
Al-Asheh, S., F. Bamat., R. Al Omri and Z. Duvnjak, 200. Prediction of Binary Sorption for the sorption Of Heavy Metal by Pine Bark Using Single Isoterm Data. Ehemosphone. Vol 41 : 659-665.
2.
Fatimah, R. 2013. Pemanfaatan Limbah Batang Jagung Sebagai Adsorben Alternatif Pada Pengurangan Kadar Klorin dalam Air Olahan (Treated Water). Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik USU. Medan
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
3.
Hasfita, F.,2012, Study Pembuatan Biosorben dari Limbah Daun Akasia Mangium ( Acacia Mangium Wild) Untuk Aplikasi Penyisihan Logam. Thesis, ITB.
4.
Mc Cabe, Warren L. Julian C.Smith dan Peter Hariot. 1999. Unit Operation Of Chemical Engineering, Fifth Edition. McGraw-Hill,Inc. New York
5.
Murni,R. dan Akmal, S BL. Ginting. 2008. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah Pakan Laboratorium Makanan Ternak. Fakultas Perternakan Universitas Jambi. Jambi
6.
Ramachandra, TV., Ahalya N dan Kanamadi RD. 2006. Biosorption : Technique and Mechanism. CES Technical Repost 110.
7.
Rahmah, 2011, Adsorpsi Tanah Diatomeae (Diatomaceous earth) terhadap ion kromium (VI). Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia. USU.
8.
Ramadhan, Bayu ,2010, Biosorpsi Logam Cr (VI) dengan Menggunakan Biomassa Saccharomyces cerevisiae . Program Studi Teknik Lingkungan , ITB, Bandung
9.
Retnoningrum,A. 2000. Pembuatan, Karakterisasi, dan Uji Aktivitas Karbon Aktif dari Tongkol Jagung Sebagai Adsorben Zat Warna Tekstil. Universitas Negeri Malang. Malang
10. Saefudin, N dan Raziah, A.Z.. 2007. Removal of Heavy Metals from Industrial Effluent Using Saccharomyces cerevisiae (Baker’s Yeast) Immobilised in Chitosan/Lignosulphonate Matrix. Journal of Applied Science Research. 3(12) : 2091 -2099. 11. Safrianti, Iin. Dkk. 2012. Adsorpsi Timbal (II) Oleh Selulosa Limbah Jerami Padi Teraktivasi Asam Nitrat: Pengaruh Ph Dan Waktu Kontak . Program Studi Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura. Langkat 12. Tewari,N ., Vasudevan, P. dan Guha,B.K. 2005. Study on Biosorption of Cr(VI) by Mucor hiemalis. Biochemical Engineering Journal. 23 : 185 -192. Vasudevan, Padma., V.Padmavathy dan S.C Dhingra. 2002. Biosorption of Monovalent and Divalent ions on bakers’s yeast. Bioresource Technology. 82 : 285 – 289.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
13. Wang, Jianlong dan Can Chen. 2006. Biosorption of Heavy Metal bt Saccharomyces cerevisiae : A review. Biotechnology Advances. 24 : 427 – 451. Wattimury, J. Hendrik. 2012. Studi Adsorpsi Ion Logam Crom (III) Menggunakan Kulit Pisang Kepok (Musa normalis L.). Program Studi Kimia, Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas. 14. Watan, Mahbul. 2014 Biosorpsi Logam Berat Kromium Heksavalen Mengunakan Biomassa Tongkol Jagung
Pada Limbah Artifisial. Tugas
Akhir. Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Malikussaleh. Reulet. Aceh Utara.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
PENYISIHAN ZAT WARNA METHYL VIOLET MENGGUNAKAN KULIT KACANG TANAH 1 Fikri Hasfita , Lenni Maulinda1, Riska Sabila1 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Kampus Utama Cot Teungku Nie Reuleut, Muara Batu, Aceh Utara – 24355 Korespondensi: HP:082117069373, e-mail:
[email protected]
Abstrak pengembangan teknologi pengolahan limbah yang mengandung zat warna secara ekonomis dan ramah lingkungan menjadi tantangan peneliti dalam mengatasi pencemaran lingkungan. Teknologi pengolahan limbah menggunakan biomassa hasil limbah pertanian merupakan salah satu solusi yang dapat mengatasi tantangan tersebut. penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi kulit kacang tanah sebagai media penyerap (biosorben) dalam menyisihkan zat warna methyl violet. Hasil yang diharapkan limbah kacang tanah memiliki karakteristik yang menyamai adsorben komersial. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu pembuatan biosorben kacang tanah dan uji kemampuan sorbsi limbah kacang tanah pada limbah artifial yang mengandung zat warna methyl violet.. Kemampuan sorbsi biosorben dijalankan menggunakan reaktor batch pada variasi waktu kontak, dan konsentrasi methyl violet. Penyisihan tertinggi mencapai 84% pada pH netral dengan konsentrasi 110 mg/L, jumlah adsorben 5 gram waktu pengadukan 145 menit. Kata kunci : kulit kacang tanah, biosorben, methyl violet, limbah zat warna,biomassa
1. Pendahuluan Pencemaran lingkungan akibat zat warna semakin meningkat seiring dengan bertambahnya industri yang menggunakan warna sebagai komponen utama dalam proses produksi. Salah satu industri yang menggunakan warna sebagai bahan baku utama adalah industri tekstil. Pesatnya pertumbuhan industri tekstil di Indonesia sebagai bentuk dari pengembangan pengetahuan dan kebutuhan masyarakat
yang semakin meningkat. Disisi lain dampak buruk
terhadap lingkungan tidak dapat dihindari. Terlebih jika teknologi yang rumit dan biaya pengolahan yang mahal akan sangat sulit untuk menghindari pencemaran
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
lingkungan dari limbah zat warna. Polutan ini terbukti meracuni perairan, berdampak buruk bagi kesehatan makhluk hidup, dan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian khusus dalam hal penanganan dan pengolahan limbah yang dihasilkan. Zat warna adalah salah satu jenis polutan yang mengandung zat beracun yang dapat mencemari air. Limbah cair industri tekstil di Indonesia umumnya mengandung zat tersuspensi dengan konsentrasi 750 ppm dan BOD sebesar 500 ppm. (Badan Lingkungan Hidup Indonesia, 2000). Salah satu limbah yang dihasilkan oleh industri tekstil yaitu zat warna methyl violet. Zat warna methyl violet tergolong dalam zat warna karbon -nitrogen yang terdapat pada gugus benzena. Gugus benzena sangat sulit didegradasi, kalaupun dapat didegradasi membutuhkan waktu yang lama. Zat warna ini termasuk dalam kelas azo (Manurung, 2004). Zat warna azo merupakan zat warna yang mempunyai sifat karsinogenik, membahayakan hewan air, tidak mudah terurai secara biologi dan mencemari lingkungan melalui buangan limbah cairnya. Oleh karena itu diperlukan upaya penanganan limbah secara tepat baik secara fisika ataupun kimia. Saat ini Penggunaan biomaterial dalam mengatasi pencemaran zat warna terbukti lebih efektif. Metode ini dinyakini sangat menjanjikan terutama harganya murah, memiliki kemampuan adsorpsi yang baik, mudah diregenerasi, serta lebih aman bagi lingkungan (Volesky, 2007). Pada penelitian ini digunakan kulit kacang tanah sebagai biosorben untuk menyisihkan zat warna methyl violet. Kulit kacang tanah mengandung selulosa yang mampu menjerap zat warna karena gugus OH yang terikat dapat berinteraksi dengan adsorbat. Selulosa merupakan senyawa yang memiliki karakter hidrofilik karena adanya gugus hidroksil pada tiap unit polimernya. Permukaaan gugus fungsi selulosa alam ataupun turunannya dapat berinteraksi secara fisik atau kimia. Selulosa memiliki gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, Herwanto, 2006). Marshall dan Mitchell (1996) melaporkan beberapa produk samping pertanian yang berpotensi sebagai adsorben, yaitu tongkol jagung, gabah padi,
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
gabah kedelai, biji kapas, jerami, ampas tebu, serta daun akasia. Hasil penelitian Aprilia Susanti (2009) menggunakan kacang tanah sebagai absorben zat warna cibacron red dengan modifikasi asam dan tanpa modifikasi asam diperoleh efektivitas penjerapan berturut-turut 87,14% dan 4,69%. Hasil penelitian Mutia Fonna (2015) menggunakan tongkol jagung sebagai adsorben untuk zat warna methyl violet, diperoleh kapasitas penyerapan maksimum sebesar 1,71 mg/g pada waktu 260 menit dengan konsentrasi 60 ppm. Hasil penelitian Rizky Indah Sari (2015) menggunakan kulit buah kakao sebagai adsorben untuk zat warna methyl violet, diperoleh kapasitas penyerapan maksimum 1,81 mg/g pada konsentrasi 50 ppm dengan waktu 140 menit. Hasil penelitian Zahrul Ulfa (2015) menggunakan daun akasia sebagai adsorben untuk zat warna methyl violet, diperoleh kapasitas penyerapan maksimum sebesar 1,62 mg/g
pada waktu 145 menit dengan
konsentrasi 110 ppm. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa limbah pertanian yang mengandung selulosa dapat diolah lebih lanjut sebagai adsorben dan diharapkan mampu meningkatkan nilai tambahnya Komponen kulit kacang tanah terdiri dari selulosa, air, abu, protein, lignin dan lemak. Komposisi kimia dan gambar kulit kacang tanah diperlihatkan pada Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1 Komposisi Kimia Kulit Kacang Tanah Komposisi Kimia Kulit Kacang Tanah
%
Air Abu Protein Selulosa Lignin Lemak
9.5 3.6 8.4 63.5 13.2 1.8
Sumber: Deptan (2008).
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar .1 Kulit Kacang Tanah
ahan dan Metode 2. Bahan lain Bahan dan peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini antara la P Cawan Ayakan 100 mesh,Neraca Digital, Erlemeyer, Labu Ukur, Gelas Piala, Spektrofotometer UV-Vis Poerselin,Shaker, Kertas Saring, Blender, pH Meter, Spektrofotomet penyaring buchner dan blender yang digunakan untuk menghancurkan limbah it kacang sedangkan bahan yang digunakan adalah limbah kulit kacang tanah, kulit larutan limbah artifisial yang mengandung zat warna Larutan Basic Methyl Violet serta aquades biosorben serta Uji Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu, pembuatan biosorben, kinerja biosorben kulit kacang tanah dalam menyisihkan zat warna Basic Methyl Violet. Proses penyerapandilakukan secara batch dengan menganalisa pengaruh penyerapan dan waktu kontak dan konsentrasi awal limbah terhadap kapasitas peny persentase penyisihan. Analisa zat warna Basic Methyl Violet dilakukan UV-Vis. Untuk menentukan konsentrasi akhir menggunakan Spektrofotometer UV dari suatu larutan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Fkalibrasi =
(1)
Dimana : C : Konsentrasi awal (ppm) A : Absorbansi Awal
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Konsentrasi Akhir (Ce) = Fkalibrasi rata-rata x Absorbansi Akhir Penentuan kandungan zat warna didalam larutan ditentukan dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Penentuan persentase zat warna yang tersisihkan dihitung dengan persamaan: % Penyisihan = [(Co – Ce) / Co] x 100% Dimana :
(2)
Co : Konsentrasi awal larutan (mg/L) Ce : Konsentrasi setelah kesetimbangan (mg/L)
Adapun tahap pengujian kapasitas adsorpsi zat warna dapat di tentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: qe = Dimana :
qe
: Kapasitas adsorpsi zat warna (mg/g)
V
: Volume larutan yang diadsorbsi (ml)
Co
: Konsentrasi awal larutan (mg/L)
Ce
: Konsentrasi setelah kesetimbangan (mg/L)
S
(3)
: Berat sampel (g)
3. Hasil dan Diskusi Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas kulit kacang tanah dalam menyerap zat warna jenis methyl violet. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan biomassa kulit kacang tanah, pengaruh waktu kontak dan pengaruh konsentrasi awal pada penyisihan zat warna methyl violet dapat dilihat dengan menganalisa persen penyerapan dan kapasitas penyerapan. Pada penelitian ini proses adsorpsi methyl violet dengan menggunakan adsorben kulit kacang tanah dilakukan pada suhu ruangan dengan beberapa variasi waktu dan konsentrasi dengan kecepatan pengadukan 150 rpm. Jumlah adsorben yang digunakan
5 gram dengan jumlah limbah 100 ml. lebih lanjut akandibahan
hubungan waktu dan konsentrasi terhadap kapasitas dan persentase penyerapan.
3.1 Pengaruh Waktu Kontak Terhadap Kapasitas Penyerapan Penelitian ini dilakukan variasi waktu 110 menit, 120 menit,, 130 menit, 140 menit, dan 150 menit. Kapasitas penyerapan akan meningkat seiring
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
kapasitas penyerapam (mg/g)
meningkatnya waktu kontak antara adsorben dengan zat warna seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
waktu (menit) Gambar 2 Grafik hubungan waktu kontak dengan Kapasitas Penyerapan Pada Gambar 2
menunjukkan bahwa kapasitas
adsorbsi zat warna
meningkat dengan meningkatnya waktu kontak. Hal ini disebabkan semakin lama waktu tumbukan antara kulit kacang tanah dengan limbah, maka semakin banyak kemungkinan zat warna yang teradsorbsi oleh kulit kacang tanah karena semakin banyak gugus aktif pada kulit kacang tanah yang dapat berikatan dengan zat warna (Rina, 2009). Dari
Gambar 2
diatas diperoleh kapasitas penyerapan
tertinggi pada 145 menit dengan besarnya zat teradsorbsi yaitu 2,379 mg/g. Menurut Amir (2003), semakin lama waktu penyerapan maka akan didapatkan pula hasil penyerapan yang baik dan ini akan berpengaruh pula terhadap besarnya daya serap suatu adsorben.
3.2 Pengaruh Waktu Kontak terhadap persentase Penyerapan Waktu kontak dan tumbukan merupakan faktor penting dalam adsorbsi.. Menurut teori tumbukan, kecepatan reaksi bergantung pada jumlah tumbukan persatuan waktu. Makin banyak tumbukan yang terjadi maka reaksi semakin cepat berlangsung sampai mencapai kesetimbangan. Waktu tercapainya keadaan setimbang pada proses adsorbsi berbeda-beda. Hal itu dipengaruhi oleh jenis
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
interaksi yang terjadi anatara adsorben dan adsorbat (Rina, 2009). Semakin lama waktu kontak, tumbukan yang terjadi semakin banyak hingga mencapai kesetimbangan sehingga kadar penyerapan semakin tinggi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 :
Gambar 3 Grafik hubungan waktu kontak terhadap persentase penyerapan Pada Gambar 3 terlihat persentase penyerapan semakin tinggi dengan meningkatnya waktu penyerapan. Hal ini disebabkan semakin lama waktu maka semakin banyak tumbukan antara biosorben dan limbah zat warna sehingga persentase penyisihan akan semakin meningkat sampai mencapai titik jenuh. Dari penelitian diperoleh kadar penyerapan tertinggi pada waktu
145 menit yaitu
sebesar 84,044 % dan kadar terendah pada waktu 125 menit 61.542%.
3.3 Pengaruh konsentrasi limbah terhadap kapasitas penyerapan Kapasitas penyerapan merupakan banyaknya zat warna methyl violet yang diserap persatuan gram adsorben yang diberikan. Pada bagian ini, Kapasitas penyerapan ditinjau dari pengaruh konsentrasi yang diberikan pada adsorben dalam larutan methyl violet seperti yang diperlihatkan pada Gambar 4.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Gambar 4 Grafik hubungan
konsentrasi limbah terhadap kapasitas
penyerapan Berdasarkan Gambar 4 diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi maka semakin meningkat kapasitas penyerapannya. Peningkatan kapasitas disebabkan oleh permukaan sel menjadi aktiv dan membentuk ikatan dengan larutan zat warna. Dimana kapasitas penyerapan tertinggi terjadi pada konsentrasi 150 ppm dengan besar kapasitas penyerapan yaitu 2.379 mg/g dan kapasitas penyerapan terendah terjadi pada konsentrasi 110 ppm dengan kapasitas penyerapan hanya sebesar 1.456 mg/g. Kapasitas penyerapan yang terjadi berbanding terbalik dengan persen penyerapan. Kapasitas adsorbsi dan efesiensi penjerapan meningkat seiring kenaikan konsentrasi awal zat warna hingga mencapai titik jenuh. Kapasitas penyerapan yang semakin meningkat seiring meningkatnya waktu dan tidak mengalami penurunan kapasitas adsorbsi membuktikan penelitian ini belum mencapai titik jenuh..
3.4 pengaruh konsentrasi limbah terhadap persentase penyerapan Kadar penyerapan merupakan banyaknya zat warna methyl violet yang diserap oleh adsorben kulit kacang tanah. Salah satu variabel yang mempengaruhi kadar penyerapan yaitu konsentrasi adsorbat.
Konsentrasi adsorbat
sangat
berpengaruh terhadap banyaknya limbah yang akan diserap oleh adsorben. Proses
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
adsorpsi akan konstan jika terjadi kesetimbangan antara konsentrasi adsorbat yang terserap dengan konsentrasi yang tersisa dalam larutan.
Pengujian kadar
penyerapan methyl violet oleh kulit kacang tanah dlakukan dengan memvariasikan konsentrasi larutan yang akan diserap yaitu 110 ppm, 120 ppm, 130 ppm, 140 ppm dan 150 ppm untuk melihat seberapa besar kulit kacang tanah mampu menyerap limbah zat warna methyl violet. Dari variasi tersebut dapat dilihat persentase penyerapan yang terjadi dari Gambar 5.
Gambar 5 Grafik hubungan konsentrasi limbah terhadap kadar penyerapan Pada Gambar 5 terlihat persentase penyerapan menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi limbah. kondisi ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi
kemampuan biosorben akan lebih cepat mengalami kejenuhan
sehingga meski waktu ditambah persentase penyerapan tidak lagi mengalami peningkatan. Pada Gambar 5 terlihat kapasitsa tertinggi diperoleh pada waktu 145, konsentrasi 110 ppm sebesar 84%.
4. Simpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan 1. Penyerapan maksimum pada penyisihan zat warna methyl violet oleh kulit kacang tanah diperoleh sebesar 84,099% pada waktu 145 dengan konsentrasi 110 ppm , berat adsorben 5 gram dan kecepatan pengadukan 150 rpm.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
2. Kapasitas penyerapan maksimum diperoleh sebesar 2.379mg/gr pada waktu 145 menit dengan berat adsorben 5 gram. 3. Persentase penyerapan menurun dengan bertambahnya konsentrasi sedangkan kapasitas penyerapan meningkat. 4. Semakin lama waktu kontak maka persentase penyerapan dan kapasitas penyerapan meningkat sampai mencapai titik jenuh
4.2 Saran Penelitian ini masih bias dilanjutkan dengan menggunakan aktifator asam atau basa
5.
Daftar Pustaka
Adamson, A.W., 1990. Physical Chemistry Of Surface, 5 Ed., John Wiley And Sons Inc., Toronto. Ahalya, Ramachandra And Kanadamadi. 2003. Biosorption Of Heavy Metals. Http://144.16.932.3/Energy/Water/Paper/Biosorption/Biosorptio.Html. Anonim,2008, Prototype Alat Pembuatan Arang Aktif Dan Asap Cair Tempurung,Badan Penelitian Dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian Anto. 2008. Pemanfaatan Tongkol Jagung Sebagai Biosorben Zat Warna Biru Metilena [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Aprilia Susanti. 2009. Potensi Kacang Tanah sebagai Absorben Zat Warna (azo) Reaktif Cibacron Red. Bogor: Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Badan Lingkungan Hidup. (2000), Keputusan Kepala Badan PengendalianDampak Lingkungan Nomor 113 Tentang Pedoman Umum Dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan. Badan PengendalianDampak Lingkungan, Serpong, Tangerang. Blackburn, R. S. And S. M. Burkinshaw. 2002. A Greener To Cotton Dyeing With Excellent Wash Fastness, Green Chem, 4: 47-52 BPS. 2015. Statistik Pertanian Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Deptan. 2008. Pemanfaatan Limbah Sebagai Bahan Pakan Ternak. [Terhubung Berkala]. Http://Jajo 66.Files.Wordpress.Com [16 Feb 2016]. Dogan Dan Alkan. (2003). Adsorpstion Kinetics Of Methyl Violet Onto Perlite.Chemosphere 50.P. 517-528. Fengel, D., and Gerd, W., 1995, Kayu, Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Fessenden RJ Dan Fessenden JS. 1986. Kimia Organik Jilid 1. Edisi Ke-3. Penerjemah; Pudjaatmaka AH. Jakarta: Erlangga. Terjemahan Dari: Organic Chemistry. Fonna, Mutia. 2011. Bioadsorbsi Zat Warna Basic Metyl Violet dengan Biomassa Tongkol Jagung. Lhokseumawe: Universitas Malikussaleh. Gufta, G.S; Prassad, G; Panday, K.K And Singh, V.N; 1998, Removalof Chrome
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
EFEKTIFITAS ELEKTRODA ALUMINIUM UNTUK PENJERNIHAN AIR SUMUR DENGAN METODE ELEKTROKOAGULASI SISTEM KONTINYU Suryati, Radhiah, Rachmawati Dosen Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Lhokseumawe, Aceh E-mail :
[email protected],
Abstrak Dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari masyarakat Aceh khususnya masyarakat pedesaan masih menggunakan air yang bersumber dari Air tanah (air sumur). Kendala yang paling sering ditemui masyarakat dalam menggunakan air sumur adalah banyaknya kandungan zat pencemar didalamnya, kondisi air umumnya berwarna kuning dan berbau. Air yang mengandung zat besi (Fe) dan Mangan (Mn) dalam jumlah yang cukup besar dapat mengakibatkan terjadinya gangguan teknis, gangguan kesehatan dan gangguan fisik. Metode penjernihan air yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode elektrokoagulasi, sebagai elektroda digunakan material aluminium. Penelitian dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pendahuluan (sistem batch) dan tahap lanjutan (sistem kontinyu). Parameter yang dianalisis adalah pengaruh kuat arus, waktu kontak dan debit air terhadap karakteristik sampel. Hasil penelitian menunjukkan Kuat arus dan waktu kontak memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas air olahan, kuat arus terbaik diperoleh 2 ampere dan waktu kontak 60 menit, Pada sistem batch Efesiensi kekeruhan terbesar adalah 99,45% dan efisiensi penurunan kekeruhan terbesar 98,71%.Efisiensi penurunan kekeruhan dan kandungan fe terbesar pada sistem kontinyu terjadi pada debit air 0,5 liter/menit yaitu 99,55%. Proses elektrokoagulasi dengan elektroda aluminium sangat efektif digunakan untuk menurunkan tingkat kekeruhan dan kandungan fe pada air sumur Kata kunci: elektrokoagulasi, penjernihan air, Elektroda Aluminium, Sistem Kontinyu, Air Sumur
I.
PENDAHULUAN Ketersediaan air bersih atau air layak pakai di suatu daerah merupakan hal
yang penting untuk menunjang keberlangsungan aktifitas manusia sehari–hari, masyarakat Aceh yang tinggal di pedesaan umumnya menggunakan air tanah (air sumur galian) sebagai air baku. Kualitas air sumur galian yang ada di daerah Aceh
umumnya sangat rendah, air berwarna kuning, berbau dan berasa
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
(mengandung fe dan Mn) sehingga air tersebut tidak bisa dimanfaatkan secara langsung. Kandungan zat besi (fe) dan Mangan yang tinggi dalam air dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti gangguan kesehatan, gangguan fisik dan gengguan teknis. Sebagai contoh kandungan fe yang tinggi dalam air dapat menimbulkan
korosi dan
menyebabkan
kerusakan
infrastruktur,
meninggalkan bercak kuning pada bak dan kain cucian dan lain sebagainya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.907/Menkes/SK/VII/2002 disebutkan bahwa kandungan mineral maksimum yang diijinkan dalam air minum masing-masing adalah: 0,2 mg/l untuk aluminium (Al), 0,3 mg/l untuk besi (Fe) dan 0,1 mg/l untuk mangan (Mn). Air tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Beberapa metode yang pernah dilakukan untuk mengolah air sumur galian yang mengandung banyak Fe dan Mn antara lain dengan proses filtrasi, aerasi, dan koagulasi. Metode elektrokoagulasi adalah salah satu metode alternatif yang dapat digunakan untuk menjernihkan air atau limbah cair dengan memanfaatkan elektroda yang dilewati oleh arus listrik. Elektrokoagulasi merupakan metode yang mampu menyisihkan berbagai jenis polutan dalam air, yaitu partikel tersuspensi, logam-logam berat, produk minyak bumi, warna pada zat pewarna, larutan humus, dan deflouridasi air. Metode ini mempunyai kelebihan yaitu nilai efisiensinya cukup tinggi dan tidak diperlukan penambahan bahan kimia. Hal ini telah dibuktikan oleh Susilawati (2009) Model pengolahan air gambut dibuat dalam skala pilot dengan menggunakan 4 buah elektroda aluminium pada jarak 6 cm Hasil penelitian menunjukkan penurunan warna, turbidity, COD, BOD, total organik dan kandungan logam Al, Fe, Mn, Zn, Cd dan Cu yang cukup signifikan. Danang dkk dalam penelitiannya yang berjudul Model Alat Penawar Air Tanah Terintrusi Air Laut dengan proses elektrokoagulasi mendapatkan bahwa penggunaan arus 3 Ampere mampu menurunkan kadar magnesium dari 100000 mg/l menjadi 81 mg/l dan kadar natrium dari 9600 mg/l menjadi 185 mg/l. Slamet dkk ( 2009) juga membuktikan bahwa metode elektrokoagulasi cukup efektif untuk menurunkan kekeruhan, COD dan Cl-. Hasil
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan elektroda Fe dengan waktu kontak 5 jam mampu menurunkan kekeruhan mencapai 71,41 %, COD 86,67%. Dalam penelitian ini dirancang suatu model untuk pengolahan air sumur galian dalam skala pilot dengan metode elektrokoagulasi dengan sistem kontinyu. Air sumur digunakan sebagai sampel mengingat air sumur merupakan sumber air baku yang sangat potensial terutama di sebagian besar daerah Aceh. Elektroda yang digunakan adalah Aluminium-aluminium. Elektrokoagulasi Elektrokoagulasi merupakan proses koagulasi atau penggumpalan dengan tenaga listrik melalui proses elektrolisa untuk mengurangi atau menurunkan ionion logam dan partikel-partikel di dalam air. Prinsip dasar dari elektrokoagulasi ini merupakan reaksi reduksi dan oksidasi (redoks). Dalam suatu sel elektrokoagulasi,
peristiwa oksidasi terjadi di elektroda (+) yaitu anoda dan
sekaligus berfungsi sebagai koagulan, sedangkan reduksi dan pengendapan terjadi di elektroda (-) yaitu katoda. Yang terlibat reaksi dalam elektrokoagulasi selain elektroda adalah air yang diolah yang berfungsi sebagai larutan elektrolit. Untuk
proses
elektrokoagulasi
digunakan
elektroda
yang dibuat dari
aluminium (Al), karena logam ini mempunyai sifat sebagai koagulan yang baik. Proses elektrokoagulasi disusun meliputi proses equalisasi, elektrokimia, sedimentasi
dan
proses
filtrasi.
Proses
equalisasi
dimaksudkan
untuk
menyeragamkan air yang akan diolah terutama kondisi pH, pada tahap ini tidak terjadi reaksi kimia. Pada proses elektrokimia akan terjadi pelepasan Al 3+ dari plat elektroda ( anoda ) sehingga membentuk flok Al(OH)3 yang mampu mengikat kontaminan dan partikel-partikel dalam limbah. Proses elektrokoagulasi dilakukan pada bejana elektrolisis yang didalamnya terdapat dua penghantar arus listrik searah yang disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan limbah sebagai elektrolit seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Apabila dalam suatu elektrolit ditempatkan dua elektroda dan dialiri arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu gejala dekomposisi elektrolit, yaitu ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima elektron yang direduksi dan ion negatif
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
(anion) bergerak ke anoda dan menyerahkan elektron yang dioksidasi. (Sunardi, 2007).
Gambar 1 Iilustrasi proses elektrokoagulasi
Waktu tinggal Waktu tinggal merupakan waktu yang diperlukan sampel untuk kontak langsung dengan elektroda yang dialiri arus listrik. Waktu tinggal berkaitan dengan jumlah koagulan (Al3+) yang dilepaskan ke air. Untuk proses
elektrokoagulasi yang
dilakukan secara kontinyu, maka persamaan waktu tinggal air dalam bejana adalah:
(1)
dengan: t = waktu tinggal air limbah dalam bejana (det) A = luas penampang bejana (cm2) Q = debit air limbah ( cm3/det) s = tinggi bejana (cm) (Chen dkk,2000)
persamaan untuk waktu proses elektrolisis menurut hukum Faraday pertama adalah:
(2)
Jika Persamaan.1 dimasukkan ke persamaan.2, maka didapat persamaan:
(3)
Hukum Faraday membuat hubungan antara kuat arus (I) yang mengalir dengan
jumlah massa
yang
terlepas
ke
larutan,
hal
ini
merupakan
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
pendekatan secara teoritis untuk menghitung jumlah aluminium yang terlepas ke larutan. Adapun rumus dari hukum Faraday adalah sebagai berikut :
(4)
w = berat aluminium yang larut (gram) I = kuat arus yang digunakan (Ampere) t = waktu kontak (detik) ar = berat molekul aluminium, yaitu 27 gram.Mol n = valensi aluminium, yaitu 3 F = konstanta Faraday, 96500 Coulomb/mol 2.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan Air sumur, Plat Aluminium (tebal plat 1 mm), Pasir, Kassa Plastik, Pipa PVC, Keran air, Bak Sampel (Bak kaca ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm), Bak Elektrokoagulasi (Bak kaca ukuran 25 cm x 30 cm x 40 cm), Bak Filtrasi, Bak Air Bersih, Pompa, Power Supply DC (6 – 30 Volt), pH meter, Stopwatch, Amperemeter (Multimeter) Rangkaian Alat Penelitian Alat proses terdiri atas sumber DC, Avometer, bak pengumpan (bak sampel), bak proses adsorpsi, bak proses elektrokoagulasi, bak pengendap kotoran dan bak penampung air olahan, rangkaian alat penelitian dapat dilihat pada gambar 2. Sumber DC dengan besar tegangan antara 0 sampai 30 volt dan arus listrik antara 0 sampai 2 amper. Avometer digunakan untuk mengukur arus listrik dan tegangan. Bak pengumpan berukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm dan tinggi 40 cm. Bak proses elektrokoagulasi berbentuk persegi yang dilengkapi anoda dan katoda dari bahan aluminium masing-masing berukuran lebar 7 cm dan panjang 10 cm. Jarak antara anoda dan katoda 5 cm
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Prosedur Penelitian 1.
Pemeriksaan parameter-parameter sampel, yaitu : pH, Turbidity dan, Fe.
2.
Pengaturan alat sesuai dengan rancangan percobaan.
3.
Pengaturan
jumlah
dan
jarak
elektroda
(plat
Aluminium)
yang
diletakkan dalam bak elektrokoagulasi. 4.
air sumur dimasukkan ke dalam bak elektrokoagulasil.
5.
Plat elektroda dihubungkan pada sumber arus searah dengan kuat arus 0,5 A.
6.
Diatur waktu kontak selama 60 menit.
7.
Dari bak elektrokoagulasi, selanjutnya air
dialirkan ke dalam bak filtrasi,
yang telah diisi dengan pasir sebagai penahan flok yang telah terbentuk pada proses elektrokoagulasi. 8.
Selanjutnya air jernih dialirkan ke dalam bak kontrol untuk mengetahui apakah masih terjadi pengendapan, disini air didiamkan selama 15 menit. Dari bak kontrol air jernih dialirkan ke dalam bak air bersih.
9.
Proses selesai, kemudian dilakukan pemeriksaan parameter-parameter air Olahan, yaitu : pH, Turbidity dan Fe
10. Percobaan diulangai untuk variasi arus 1 A dan 2 A 11. Setelah didapatkan kuat arus optimum percobaan diulangi untuk variasi waktu kontak 30 menitdan 45 menit 12. Setelah didapatkan parameter optimum, percobaan diulangi untuk sistem kontinyu dengan memvariasikan debit air
Gambar 2 Sket rangkaian Alat percobaan
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
3.
HASIL DAN DISKUSI Pada penelitian ini dilakukan analisa terhadap kemampuan elektroda
dari
plat
Aluminium (Al) sebagai anoda dan katoda dalam menurunkan
kekeruhan dan warna dengan menggunakan metode elektrokoagulasi. Ada dua tahapan dalam analisa ini yaitu Percobaan Pendahuluan (sistem Batch) dan Percobaan Lanjutan (Sistem Kontinyu). untuk mengetahui besarnya pengaruh waktu kontak dan kuat arus terhadap efisiensi penurunan kekeruhan dan kandungan zat besi (fe) dalam percobaan pendahuluan dilakukan variasi waktu kontak dan kuat arus. Kuat arus yang dipakai adalah 2 A; 1A; dan 0,5 A serta waktu yang dipakai adalah 60, 45 dan 30 menit. Percobaan Lanjutan (Sistem Kontinyu)
dilakukan
dengan cara
air dari bak pengumpan menuju bak
elktrokoagulasi dialirkan secara kontinyu dengan debit air yang divariasikan. Dalam percobaan ini waktu kontak yang digunakan adalah waktu kontak terbaik dari percobaan pendahuluan sehingga didapatkan debit dan kuat arus yag terbaik dalam analisa ini. Sebelum dilakukan penjernihan air dengan metode elektrokoagulasi, air baku yang akan dijadikan sebagai sampel di uji terlebih dahulu, sehingga dapat diketahui karakteristik awalnya, dan diperoleh data seperti yang disajikan dalam tabel 1 berikut ini. Tabel 1 Karakteristik sampel air sebelum dilakukan proses elektrokoagulasi No 1 2 3 4 5
Parameter pH Suhu Kekeruhan Fe DHL
Satuan o C NTU mg/l µS.cm-1
Nilai 7 26 270 13,2
Standar Air Bersih 6,5 -8,5 Suhu udara± 3oC 5 0,3 30 – 200
Sistem Batch Pada tahap pertama dilakukan percobaan dengan menggunakan dua variabel, yaitu kuat arus dan waktu kontak. Percobaan ini dilakukan untuk melihat pengaruh kuat arus dan waktu kontak terhadap efisiensi penurunan kekeruhan dan kandungan zat besi dalam air. Percobaan elektrokoagulasi dilakukan dengan variasi kuat arus 0,5 A, 1 A dan 2 A. masing-masing percobaan
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
dilakukan dengan waktu kontak selama 30 menit.
Sampel yang sudah
diperlakukan selanjutnya dianalisis parameter ph, kandungan fe, kekeruhan dan DHL. Adapun data hasil percobaan dapat dilihat dalam Tabel 2 Tabel 2 Pengaruh kuat arus terhadap kejernihan air sumur dengan proses elektrokoagulasi NO 1 2 3
Arus (A) 0,5 1 2
Waktu (menit) 30 30 30
Kekeruhan (NTU) 3,6 2,42 1,55
Fe (mg/l) 0,325 0,284 0,202
Data pada tabel 2 di atas menunjukkan bahwa perubahan arus pada proses elektrokoagulasi memberikan dampak perubahan yang sangat besar terhadap karakteristik air sampel. Karakteristik air yang paling optimal diperoleh dari proses elektrokoagulasi yang menggunakan kuat arus 2 A. Arus adalah elektron yang mengalir, sehingga jika arus diperbesar maka jumlah elektron yang mengalir dalam sel elektrolit (dari anoda ke katoda) semakin meningkat. Peningkatan jumlah elektron meningkatkan jumlah OH- dan gelembung gas H2. Penurunan kekeruhan dapat terjadi karena adanya reaksi selama proses elektrokoagulasi, yaitu: Pada katoda terjadi reaksi 2H+ + 2e H2 Setelah gas terbentuk gas hidrogen maka 2H2O+ 2e 2OH- + H2 dan pada anoda terjadi reaksi Al3+ + 3H2O Al(OH)3 + 3H- + 3e OH- akan bergabung dengan Al3+ dari anoda membentuk senyawa kompleks yang dapat mengikat polutan dan kemudian membentuk flok. Semakin banyak jumlah OH- yang terbentuk maka flok yang terbentuk semakin banyak. Semakin banyaknya gelembung
gas
H2
yang
terbentuk
menyebabkan
semakin
mudahnya proses pengangkatan flok yang dihasilkan ke permukaan. Pembentukan ion Al3+sebagai koagulan dapat terjadi karena adanya reaksi yang terjadi pada anoda dan katoda sebagai pasangan elektroda selama proses
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
elektrokoagulasi. Pelepasan ion Al3+ yang berasal dari elektroda sangatlah dipengaruhi oleh besarnya arus yang mengalir pada elektroda. Semakin besar arus yang mengalir pada elektroda maka akan semakin banyak pula ion Al3+ yang dilepaskan dari anoda sebagai agen koagulan. Sehingga pengikatan polutan pengotor di dalam air menjadi semakin banyak. Dari Tabel 5.2 dapat terlihat jelas bahwasannya penurunan kekeruhan semakin meningkat dengan meningkatnya kuat arus yang digunakan. Karakteristik air terbaik diperoleh pada percobaan yang dilewati arus 2 A dan diperoleh efesiensi penurunan kekeruhan sebesar 99,42% dan penurunan fe sebesar 98,47%, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk proses elektrokoagulasi pada percobaan ini diperoleh kuat arus optimum pada I = 2A Setelah didapatkan arus optimul yaitu 2 A, percobaan selanjutnya dilakukan untuk melihat pengaruh waktu waktu kontak terhadap efisiensi penurunan kekeruhan dan kandungan fe dalam air. Waktu kontak divariasikan 30 menit, 45 menit dan 60 menit. Dan diperoleh data seperti yang ditunjukkan pada tabel 3. Tabel 3
Pengaruh kuat arus terhadap kejernihan air sumur dengan proses
elektrokoagulasi No 1 2 3
Arus (A) 2 2 2
Waktu (menit) 30 45 60
Kekeruhan (NTU) 1,55 1,52 1,49
Fe (mg/l) 0,202 0,188 0,169
Data hasil percobaan menunjukkan waktu kontak memberikan pengaruh terhadap parameter air sampel, terutama pada nilai kekeruhan dan kandungan fe dalam air. semakin lama waktu yang digunakan pada saat proses elektrokoagulasi maka akan memberikan kesempatan kepada anoda untuk semakin banyak melepaskan ion Al3+ yang akan mengikat polutan air sehingga semakin banyak flok yang terbentuk dan akhirnya terjadi pengendapan, hal ini menyebabkan persentase penurunan kekeruhan dan kandungan fe dalam air semakin meningkat. Dari data yang ditunjukkan pada Tabel 3 penurunan kekeruhan dan kandungan fe terbesar terjadi pada waktu kontak 60 menit yaitu sebesar 99,45% untuk nilai kekeruhan dan 98,72% untuk kandungan fe. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa, kuat arus dan waktu kontak berbanding lurus dengan efesiensi penurunan kandungan fe dalam air dan nilai
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
kekeruhan air hasil penjernihan dengan proses elektrokoagulasi. Atau dengan kata lain, semakin besar kuat arus yang digunakan semakin tinggi efisiensi penurunan kekeruhan air, begitu pula dengan waktu kontak. Semakin lama waktu kontak yang digunakan pada proses elektrokoagulasi maka akan semakin tinggi pula penurunan kekeruhan air hasil penjernihan dengan proses elektrokoagulasi. karena semakin besar waktu dan kuat arus yang digunakan pada saat proses elektrokoagulasi, maka akan semakin banyak ion Alumunium (Al3+) yang dilepaskan. Ion–ion alumunium inilah yang berperan aktif sebagai koagulan untuk mengikat partikel–partikel koloid yang terdapat dalam air. Setelah ion alumunium berikatan dengan partikel – partikel kontaminan tersebut, maka akan membentuk suatu flok. Ada dua jenis flok yang terbentuk yaitu flok yang mengendap pada dasar wadah dan flok yang berada pada permukaan air hasil penjernihan. Adapun flok yang mengendap pada dasar wadah merupakan flok – flok yang berukuran besar sehingga pada saat air didiamkan maka flok tersebut akan bersedimentasi pada dasar wadah. Sedangkan flok yang terdapat pada permukaan air disebabkan karena adanya gas hydrogen yang dilepaskan dari katoda yang mengangkat flok yang masih melayang pada air menuju permukaan air. Adapun peristiwa ini dikenal dengan flotasi. Flotasi adalah peristiwa terangkatnya flok – flok yang terbentuk pada proses elektrokoagulasi oleh gas hydrogen yang dihasilkan katoda menuju permukaan air. Secara keseluruhan, hasil pengolahan air secara eketrokoagulasi pada sistem batch menggunakan kuat arus 2 A dengan waktu kontak 45 menit dan waktu kontak 60 menit telah memenuhi baku mutu air bersih sesuai dengan Permenkes No. 492/MENKES/PER/IV/2010. Ini artinya penggunaan aluminium sebagai elektroda dalam menjernihkan air sumur secara elektrokoagulasi sangat efektif dalam menurunkan kekeruhan dan kandungan fe dalam air. Sistem Kontinyu Percobaan Lanjutan dilakukan pada reaktor kontinyu yaitu menggunakan air sampel dari bak pengumpan yang dialiri kedalam bak elektrokoagulasi dengan kuat arus dan waktu terbaik yang didapatkan dari percobaan pendahuluan, dari
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
percobaan pendahuluan dengan sistem batch diperoleh kuat arus terbaik yaitu 2 A dan waktu kontak terbaik yaitu 60 menit untuk menjernihkan air 20 liter, sehingga diperoleh estimasi debit air yang efektif dalam percobaan kontinyu adalah 0,333liter/menit. Data hasil percobaan pendahuluan menunjukkan air hasil penjernihan dengan kuat arus 2 A dan waktu kontak 45 menit pun telah memenuhi baku mutu yang ditetapkan, atas dasar pertimbangan tersebut dan juga keterbatasan alat maka dalam percobaan lanjutan dengan sistem kontinyu laju aliran air divariasikan 0,5 liter/menit dan 1 liter/menit. Seperti halnya pada percobaan pendahhuluan, Percobaan lanjutan juga menganalisa perubahan yang terjadi pada Kekeruhan, pH, kandungan fe dan Daya Hantar Listrik pada air sampel dan diperoleh parameter air hasil penjernihan seperti ditunjukkan tabel 5.4 berikut: Tabel 4 Pengaruh debit air terhadap kekeruhan dan kandungan fe No 1 2
Arus (I) 2A 2A
Debit (L/menit) 0,5 l/menit 1 liter /menit
Fe (mg/l) 0,195 0,258
Kekeruhan (NTU) 1,98 2,01
Data dalam tabel 4 di atas dapat menunjukkan bahwa semakin kecil debit yang dipakai maka semakin besar penurunan kekeruhan yang terjadi, hal ini dikarenakan semakin kecil debit maka waktu kontak antara elektroda yang dialiri arus listrik dengan air semakin lama sehingga banyak terjadi pengikatan antara Al3+ terhadap partikel kontaminan sehingga terbentuk flok yang semakin banyak. Jadi efisiensi penurunan kekeruhan terbesar pada percobaan kali ini berada pada debit kontak sebesar 0,5 liter/menit yaitu sebesar 99,26% dan efisiensi penurunan fe sebesar 98,52% yaitu dari 13,2 mg/l menjadi 0,195 mg/l. Hasil percobaan sistem kontinyu menunjukkan bahwa, air hasil penjernihan dengan proses elektrokoagulasi menggunakan elektroda aluminium yang dilewati arus 2 A, baik dengan debit kontak 0,5 l/menit ataupun 1 l/menit keduanya adalah jernih, secara fisik air tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau, dengan kandungan fe dibawah 0,3 mg/l dan tingkat kekeruhan dibawah 5 NTU. Dari beberapa parameter yang dianalisa, air dapat dinyatakan
telah
memenuhi baku mutu air minum sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
permenkes No. 492/MENKES/PER/IV/2010. Ini artinya metode elektrokoagulasi dengan elektroda aluminium sangat efektif untuk menjernihkan air sumur yang kuning kecokelatan, berbau dan berasa tidak enak (air sumur dengan konsentrasi fe yang tinggi).
4. Kesimpulan 1.
Kuat arus dan waktu kontak memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas air olahan, semakin besar arus dan waktu kontak yang diberikan maka semakin besar pula penurunan kekeruhan dan kandungan fe dalam air baku, dan pada penelitian ini kuat arus yang maksimal diperoleh 2 ampere dan waktu kontak 60 menit
2.
Pada sistem batch Efesiensi kekeruhan terbesar adalah 99,45% dan efisiensi penurunan kekeruhan terbesar 98,71% yaitu pada proses elektrokuagulasi yang dilewati arus 2 ampere dan waktu kontak 60 menit.
3.
Efisiensi penurunan kekeruhan dan kandungan fe terbesar pada sistem kontinyu terjadi pada debit air 0,5 liter/menit yaitu 99,55% dan 98,65%
4.
Proses elektrokoagulasi dengan elektroda aluminium sangat efektif digunakan untuk menurunkan tingkat kekeruhan dan kandungan fe pada air sumur
5.
Daftar Pustaka
BPS. (2011). Aceh Utara Dalam Angka. BPS Aceh Utara. Kodoatie, R. J. (2008). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Yogyakarta: Andi Offset. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Jakarta: KEMENKES. P, B. H. (2010). Pengolahan Limabai Cair Textil menggunakan Metode Elektrokoagulasi dengan Sel Al-Al. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia "Kejuangan". Yogyakarta. Simanjuntak.Wasinton (2007), Pengaruh Variabel Dasar Elektrokimia Terhadap Elektrokoagulasi Limbah Cair Industri Tahu, Jurnal Sains MIPA, Agustus 2007, Vol. 13, No. 2, Hal.: 89 - 94 ISSN 1978-1873
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Sunardi, (2007), Pengaruh Tegangan Listrik dan Kecepatan Alir Terhadap Hasil Pengolahan Limbah Cair Mengandung Logam Pb, Cd dan TSS Menggunakan Alat Elektrokoagulasi, SDM Teknologi Nuklir – BATAN, Yogyakarta, hal. 441-446 Susilawati, dkk, (2009), Model Peat Water Treatment for People Compsumption With Electrocoagulation Method, International Seminar on Chemistry And Polymer 2009, Medan – Indonesia Wijayanto. Danang, Susanto, Model Alat Penawar Air Tanah Terintrusi Air Laut (Air Payau) Dengan Proses Elektrokoagulasi, Politeknik Negeri Jakarta,
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
KINETIKA ADSORPSI Pb(II) DALAM AIR SUMUR TERCEMAR MENGGUNAKAN SISTEM KOLOM DENGAN BIOADSORBEN KULIT KACANG TANAH 1,2
Halim Zaini1), Muhammad Sami2) Teknik Kimia, Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl.Banda Aceh-Medan Km 280 email:
[email protected]
Abstrak
Logam berat dalam air menimbulkan permasalahan yang serius bagi lingkungan. Usaha penanganannya telah banyak dilakukan dengan berbagai metoda. Metode yang relatif efektif, efisien, aman, ramah lingkungan adalah metode adsorpsi. Penelitian ini bertujuan tentang kinetika adsorpsi logam Pb(II) dalam air limbah menggunakan bioadsorben kulit kacang tanah dengan sistem kolom. Pada rancangan percobaan, variabel tetap terdiri dari berat bioadsorben 50 g, ukuran partikel 40 mesh dan volume adsorbat digunakan 10 liter, laju alir 4 liter/menit. Variabel bebas waktu kontak dan jenis bioadsorben. Variasi waktu kontak 0;5;10; 15;20; 30; 60; 90; 120; 150; 180; 210; 240 menit dan jenis bioadsorben: tanpa aktivasi, aktivasi fisik dan aktivasi kimia (H2SO4 1N dan NaOH 1N). Hasil penelitian menunjukan bahwa adsorpsi logam Pb(II) dipengaruhi oleh waktu dan jenis bioadsorben. Dasar perhitungan kinetika adsorpsi kapasitas adsorpsi kesetimbangan (qe) didasarkan pada waktu kontak 240 menit. Berdasarkan pembahasan dan pertimbangan koefisien korelasi R2, konstanta laju adsorpsi k1 dan k2 serta perbanding qe hitung dan qe ektrapolasi dapat disimpulkan bahwa kinetik adsorpsi Pb(II) adalah kinetika adsorpsi pseudo orde dua.Besarnya koefisien korelasi R2secara berurutan adalah bioadsorben tanpa aktivasi: 0,9882, aktivasi fisik: 0,9926, aktivasi NaOH 1N: 0,9885, aktivasi H2SO4 1N:0,9957.Hasil qe kinetika adsorpsi untuk bioadsorban tanpa aktivasi: 0,0065 mg/g, aktivasi fisika: 0,0074 mg/g, aktivasi NaOH 1N: 0,0087 mg/g dan aktivasi H2SO4 1N: 0,0101 mg/g. Keywords: logam berat, metode adsorpsi, kinetika adsorpsi, kapasitas adsorpsi 1. Pendahuluan Pencemaran logam berat merupakan suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Keberadaan logam berat dalam lingkungan berasal dari dua sumber. Pertama dari proses alamiah seperti pelapukan kimiawi, kegiatan geokimiawi, tumbuhan dan hewan yang membusuk. Sumber lain berasal dari hasil aktivitas industri seperti industri kimia.
411
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Sudah menjadi permasalahan umum tidak sedikit industri kimia menghasilkan logam berat berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan antara lain industri pelapisan logam (electroplating), revarasi dan pengisian ulang arus listrik (accu), industri penyamakan kulit , industri cat, kosmetik dan industri tekstil. Pada industri tersebut selama proses berlangsung banyak mempergunakan logam-logam berat seperti Cu, Zn, Cr, Cd, Ni, Pb yang sangat berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup. Limbah yang dihasilkan jika tidak ditangani dengan tepat, maka dapat mengancam kehidupan makhluk disekitarnya. Bahan kimia yang masuk ke dalam air dapat berupa, zat padat terlarut, tersuspensi, terendapkan, gas mapun berupa zat cair. Sifat bahan pencemar antar lain mudah terbakar, mudah meledak , penyebab kanker (carsinogenic) dan bersifat racun (toxic). Zaini dan Sami (2015), industri yang memiliki kepedulian lingkungan, limbah yang dihasilkan disimpan pada bak penampungan sementara, kemudian mengirimkan limbahnya ke perusahaan khusus pengolah limbah B3 seperti kepada PT. PPLI (Prasadha Pemusnah Limbah Industri) di Cileungsi Bogor. Namun hal ini dirasakan cukup berat bagi sebagian besar industri karena kegiatan ini dapat memakan biaya yang relatif besar. Dalam penelitian ini, adsorbat yang digunakan berasal dari limbah laboratorium kimia yang mengandung logam berat Fe, Cu dan Pb. Pada sisi lain sebagai adsorben yang digunakan berasal dari limbah hasil pertanian seperti kulit kacang tanah. Hidayati (2012), penanganan limbah logam berat dalam air dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti adsorpsi ( adsorption ) , pertukaran ion ( ion exchange ), dengan menggunakan selaput tipis ( membran ), proses pengendapan ( sidementation ), penguapan
(presivitasi), penggumpalan (koagulasi),
elektrokimia, elektroforesa. Proses adsorpsi lebih banyak digunakan karena memiliki banyak keuntungan diantaranya tidak menimbulkan efek samping yang beracun, sangat efektif untuk menyerap logam berat dan serta lebih ekonomis. Menurut Mantel (1951), sorpsi adalah proses penyerapan ion oleh partikel penyerap (sorban). Proses sorpsi dibedakan menjadi dua yaitu adsorpsi dan
412
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
absorpsi. Proses adsorpsi jika ion tersebut tertahan dipermukaan partikel penyerap (adsorban), sedangkan absorpsi jika proses pengikatan ini berlangsung sampai di dalam partikel penyerap (absorben).Salah satu solusi tentang penanganan limbah logam Pb dengan biaya yang relatif jauh lebih murah adalah dengan memanfaatkan kulit kacang tanah sebagai adsorban. Pada penelitian ini logam Pb(II) sebagai adsorbat berasal dari air sumur tercemar Blang Pulo yang ada dalam wilayah Kota Lhokseumawe. Adsorpsi umumnya terjadi berdasarkan interaksi antara logam dengan gugus fungsional yang ada pada permukaan adsorben melalui interaksi pertukaran ion atau pembentukan kompleks, biasanya terjadi pada permukaan padatan yang mengandung gugus fungsional seperti –OH, -NH, -SH dan COOH. Menurut Ahalya, dkk (2003) komponen yang berperan dalam proses adsorpsi antara logam berat dengan adsorben dari limbah pertanian adalah keberadaan gugus aktif hidroksil (–OH), karbonil (C=O), karboksil ( -COOH), amina (-NH2), amida
(-CONH2) dan tiol (-SH). Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi proses adsorpsi Pb2+ diantaranya waktu kontak, temperatur (Hidayati, 2012), dimana waktu kontak dari 0 menit, 15 menit, 30 menit, 45 menit, 60 menit, 75 menit dan 90 menit dan variasi suhu 30oC, 40oC dan 50oC. Beberapa penelitian terdahulu Irmawati (2013), adsorpsi kromium dengan metode kolom menggunakan adsorben kulit kacang tanah yang diaktivasi dengan HNO3 0,1 M dipengaruhi oleh faktor laju alir adsorbat , tinggi kolom adsorben dan konsentrasi adsorbat. Rusmaya (2008), sorpsi limbah nikel dengan kulit kacang tanah dipengaruhi oleh variasi pH, dosis adsorban dan waktu, konsentrasi adsorbat. Draman, dkk (2015), kulit kacang tanah mempunyai kemampuan mengadsorpsi logam berat seperti Pb(II) 87,89% - 89,6% tergantung ukuran partikel. Zhuang dan Xu (2014), adsorpsi logam Cd dengan adsorben kulit kacang tanah berlangsung pada waktu 5 s/d 120 menit. Pada penelitian terdahulu telah dilakukan pengujian daya serap adsorben terhadap limbah artifisial Fe (II), Cu(II), Pb(II) dan Cr (VI), dimana bioadsorben mempunyai kemampuan penyerapan terhadap logam berat tersebut. (Zaini dan Sami, 2015).
413
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Penelitian ini bertujuan mempelajari penurunan kadar logam berat Pb(II) dari air sumur tercemar logam berat dan mempelajari fenomena kinetika adsorpsi menggunakan model kinetika adsorpsi pseudo orde pertama dan orde dua.
2. Tinjauan Pustaka Pada proses adsorpsi terdapat faktor yang berpengaruh kesetimbangan adsorpsi yaitu adsorben, adsorbat dan kondisi proses adsorpsi baik hingga mencapai adsorpsi dalam keadaan kesetimbangan (qe). Menurut Darmansyah, dkk (2016) karakteristik adsorben yang dibutuhkan untuk adsorpsi antara lain: 1. Luas permukaan adsorben yang besar 2. Memiliki kapasitas terhadap adsorbat 3. Memiliki daya tahan guncang yang baik. 4. Tidak ada perubahan volume yang berarti selama proses adsorpsi dan desorpsi. Danarto (2007), proses adsorpsi terjadi pada permukaan pori-pori dalam adsorben, sehingga untuk bisa terjadi adsorpsi, logam dalam cairan mengalami perpindahan secara berturut sebagai berikut: a. Perpindahan massa adsorbat ker permukaan adsorben b. Difusi adsorbat dari permukaan adsorban ke dalam adsorben melalui pori-pori c. Perpindahan massa adsorbat dalam pori ke dinding pori adsorben d. Adsorpsi logam (adsorbat) pada dinding pori adsorben Adsorpsi ion logam berat dapat dipelajari melalui berbagai teori adsorpsi seperti isoterm adsorpsi Freunlich, isoterm adsorpsi Langmuir, kinetika adsorpsi pseudo orde satu Lagergren (1898), kinetika adsorpsi pseudo orde oleh Ho dan McKay (1998), yang disebut juga chemisorpsi yang mempelajari fenomena laju kecepatan adsorpsi. Analisa kinetika adsorpsi yang menggunakan sistem kolom dengan laju alir tertentu biasanya didasarkan pada kinetika adsorpsi pseudo orde pertama dan pseudo orde dua. Fenomena adsorpsi didasarkan pada kapasitas adsorpsi pada kesetimbangan (qe), koefisien korelasi R2, tetapan laju adsorpsi k1 dan k2. Persamaan ini digunakan untuk menguji data percobaan dari konsentrasi awal Co,
414
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
konsentrasi pada waktu t Ct , konsentrasi pada kesetimbangan Ce hingga diperoleh kapasitas adsorpsi mg/g.
2.1. Kapasitas Adsorpsi Kapasitas adsorpsi pada waktu tertentu dihitung berdasarkan sebagai berikut:
(1)
Co adalah konsentrasi awal adsorbat (mg/L), Ct adalah konsentrasi adsorbat (mg/L) pada waktu t (menit), m masa adsorban (g), V volume adsorbat (L), qt kapasitas adsorpsi (mg/g) pada waktu t (menit).Kapasitas adsorpsi pada kesetimbangan (qe) ditentukan dari ploting qt versus t atau dengan persamaan berikut:
(2)
Ce adalah konsentrasi adsorbat (mg/L) yang terserap pada waktu kesetimbangan, m masa adsorban (g), V volume adsorbat (L), qe kapasitas adsorpsi (mg/g) kestimbangan yang nilainya sudah tetap tidak tergantung lagi pada waktu t (menit). Pada kinetika qe dapat diperoleh dari grafik dan persamaan.pseudo orde satu dan pseudo orde dua.
2.2. Kinetika Adsorpsi Perilaku adsorpsi dapat dipelajari dari persamaan fundamental chemosorpsi berikut: 2.2.1. Model kinetika pseudo orde satu Lagergren (1898) persamaan kinetika orde-pertama dinyatakan seperti pada persamaan
(3)
Integrasi pada kondisi qt = 0 s/d qt = qt dan t = 0 s/d t = t dari persamaan diatas diperoleh bentuk persamaan linier orde satu berikut:
(4)
Parameter qe (mg/g) dan k1 (.min-1) dapat dihitung dari plot ln (qe –qt) versus t.
415
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
2.2.2. Model kinetika pseudo orde dua Menurut Ho dan McKay (1999), persamaan pseudo orde dua sbb:
(5)
Integrasi kondisi qt=0 s/d qt=qt dan t=0 s/d t=t diperoleh bentuk persamaan linier sbb:
( 6)
Parameter qe (mg/g) dan k2 (g/mg.min) dapat dihitung dari plot t/qt versus t.
3. Metode Penelitian 3.1. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari alat untuk pengecilan ukuran menggunakan Crusher, alat pengeringan di laboratorium dengan oven, penimbangan menggunakan neraca, alat melakukan aktivasi kimia menggunakan gelas kimia 1000 ml, alat aktifasi fisik menggunakan kukusan dan alat utama berupa Unit Adsorpsi hasil rancangan. Bahan terdiri dari adsorbat yang berasal dari limbah cair laboratorium kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe antara lain mengandung logam Fe, Cu dan Pb. Bahan kimia HCl 1 N, H2SO4 1 N, NaOH 1 N.
Gambar 1. Unit Adsorpsi Multi Kolom 3.2. Pembuatan dan Aktivasi Adsorben Adsorban dibuat dari kulit kacang berupa limbah kulit kacang tanah yang selanjutnya dibersihkan, dikeringkan dan pengecilan ukuran menggunakan 416
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Crusher dan mengambil hasil ayakan -30 mesh/(+40 mesh), lolos pada ayakan 30 mesh dan tertahan diayakan 40 mesh. Adsorben dikeringkan dengan oven pada suhu 60oC s/d 105oC hingga beratnya konstan dan diaktifasi secara fisika dan secara kimia. Aktivasi secara fisika menggunakan kukusan selama 2 jam dan aktivasi kimia menggunakan NaOH 1 N dan H2SO4 1 N masing-masing selama 24 jam. Adsorban yang digunakan masing-masing sebanyak 50 gr untuk tanpa aktivasi (TA), aktivasi fisik (AF), aktivasi kimia H2SO4 1N dan aktivasi kimia NaOH 1 N.
3.3. Proses Adsorpsi Proses adsorpsi dalam kolom tunggal dengan diameter kolom 6,35 cm dan tinggi kolom kondisi kosong 38 cm. Masing-masing adsorben dimasukkan ke dalam kolom adsorpsi sebanyak 50 gr adsorben tanpa aktifasi (TA) dimasukkan ke dalam kolom selanjutnya dilakukan pengambilan dan pengumpulan data. Dengan cara yang sama dilakukan juga untuk 50 gr adsorban aktifasi fisik (AF), 50 gr adsorban aktifasi dengan H2SO4 dan 50 gr adsorban aktifasi dengan NaOH 1 N.Penelitian dilaksanakan di laboratorium Operasi Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe dengan variabel tetap ukuran partikel (-30 mesh, + 40 mesh), laju alir 4 liter/menit, volume adsorbat 10 liter, suhu operasi 30 oC. Variabel bebas waktu kontak (adsorpsi) 0; 10; 20; 30; 60; 90; 120; 150; 180; 210 dan 240 menit. Variabel terikat konsentrasi logam Pb(II) adsorbat yang tersisa (ppm), , kapasitas adsorpsi (mg/g), persen (% ) penyisihan. 3.4. Analisa Logam Pb (II) Analisis sampel hasil pengumpulan data dianalisa menggunakan metode instrumentasi dengan alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) berdasarkan lampu katoda Pb dengan panjang tertentu dan data hasil analisa dilakukan pengolahan data dan pembahasan 4. Hasil dan Diskusi Salah satu metode penyisihan logam berat yang efektif dan efisien adalah metode adsorpsi menggunakan sistem pengadukan secara batch dalam tanki
417
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
berpengaduk dan menggunakan sistem kolom yang beroperasi secara kontinu menggunakan kolom tunggal, dua kolom, multi kolom. Aji dan Kurniawan (2016), jika dibandingkan sistem bejana (batch) dengan sistem kolom, maka sistem kolom dipandang lebih aplikatif. Perbedaannya yang mendasar terletak pada ukuran partikel adsorben yang digunakan.
4.1. Konsentrasi (Ct) Pb tersisa pada waktu t (menit) Tabel 1. Hasil Analisa Pb (ppm) vs waktu t Aktivasi Aktivasi fisik NaOH (AF) 1N 0 0,084 0,084 0,084 5 0,080 0,081 0,080 10 0,078 0,077 0,076 15 0,074 0,073 0,072 20 0,073 0,070 0,068 30 0,070 0,065 0,065 60 0,067 0,060 0,060 90 0,065 0,058 0,058 120 0,061 0,056 0,056 150 0,058 0,055 0,051 180 0,058 0,054 0,049 210 0,057 0,053 0,048 240 0,056 0,051 0,046 Sumber: Hasil Analisa dengan SSA (2016) t men
Tanpa Aktivasi (TA)
Aktivasi H2SO4 1N 0,084 0,079 0,074 0,070 0,065 0,060 0,056 0,051 0,048 0,044 0,043 0,042 0,040
Perubahan konsentrasi logam (tabel 1 dan gambar 2) terhadap waktu kontak memperlihatkan adanya perbedaan. Perbedaan ini disebabkan bioadsorben yang tidak diaktivasi permukaan pori-porinya masih tertutup oleh bahan-bahan impuritis seperti bahan organik sehingga logam Pb(II) yang terdapat dalam adsorbat sulit untuk masuk atau berdifusi ke dalam pori-pori bioadsorben, sehingga kemampuan untuk menyerap rendah dibandingkan bioadsorben yang mengalami aktivasi. Bioadsorben yang mengalami aktivasi (aktivasi fisik dan kimia) juga ada perbedaan satu dengan lainnya dimana bioadsorban yang diaktivasi dengan larutan H2SO4 1 N daya serapnya lebih baik dibandingkan dengan yang diaktivasi
418
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
secara fisik dan dengan NaOH 1N. Hal ini disebabkan aktivasi dengan H2SO4 memberikan efek lebih besar karena H2SO4 bersifat lebih higroskopis daripada NaOH, sehingga pori-pori bioadsorben menjadi terbuka dan tidak tertutup lagi oleh bahan bahan yang menutupi pori-pori dengan demikian kemampuan daya serapnya menjadi lebih baik dari semula. Pb (ppm) tersisa vs Waktu 0,090 0,080
Pb (ppm) tersisa
TA 0,070 AF 0,060 Akv NaOH 0,050 Akv H2SO4 0,040 0,030 0
30 60 90 120 150 180 210 240 270
Waktu Kontak (menit)
Gambar 2. Grafik Konsentrasi Pb Tersisa vs Waktu t (menit) Pada aktivasi fisik adsorpsi hanya terhadap bahan-bahan penutup pori-pori yang mempunyai ikatan fisik seperti bahan yang terikat berdasaran ikatan van der Waals, sedangkan yang terikat secara kimia dengan cara ini tidak dapat diaktivasi. Bahan-bahan ini adalah bahan-bahan yang dapat mengalami penguapan karena pemanasan. Permenkes (1990) standar mutu air minum kadar Pb(II) maksimal 0,05 ppm. Berdasarkan nilai harga ambang batas dapat dikatakan hal ini sudah terpenuhi bagi bioadsorben yang diaktivasi secara kimia dimana kadar Pb(II) yang diperoleh dibawah nilai ambang batas tersebut. Namun berdasarkan Permenkes (2010), kadar Pb(II) pada waktu kontak hingga waktu 240 menit belum memenuhi standar mutu air minum yang nilai harga ambang batas maksimum 0,01 ppm. Standar ini dapat dipenuhi bila dilakukan perubahan kondisi penelitian seperti laju alir, perubahan waktu kontak.
419
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
4.2. Konsentrasi (Ct) Pb(II) terserap pada waktu t Tabel 2. Pb (ppm) terserap dalam adsorben t men
Tanpa Aktivasi Aktivasi (TA) fisik (AF)
0 0,000 0,000 5 0,003 0,003 10 0,006 0,007 15 0,009 0,010 20 0,011 0,014 30 0,014 0,019 60 0,016 0,023 90 0,019 0,026 120 0,022 0,028 150 0,025 0,028 180 0,026 0,030 210 0,027 0,031 240 0,027 0,033 Sumber: Hasil Pengolahan Data (2016)
Aktivasi Aktivasi NaOH H2SO4 1N 1N 0,000 0,000 0,004 0,005 0,008 0,009 0,012 0,014 0,015 0,019 0,019 0,023 0,023 0,028 0,026 0,033 0,028 0,036 0,033 0,040 0,035 0,041 0,036 0,042 0,037 0,043
Pb (ppm) terserap vs Waktu 0,050
Pb (ppm) terserap
0,045 0,040
TA
0,035 0,030
AF
0,025 Akv NaOH
0,020 0,015
Akv H2SO4
0,010 0,005 0,000 0
30
60
90 120 150 180 210 240 270
Waktu Kontak (ppm)
Gambar 3. Grafik Konsentrasi Pb Terserap vs Waktu t (menit) Data tabel 2 dan gambar 3 memberikan informasi bahwa jumlah logam yang terserap ke dalam bioadsorben menunjukkan bahwa semakin lama waktu
420
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
kontak, maka jumlah konsentrasi Pb(II) dalam adsorbat yang teradsorpsi semakin meningkat hingga waktu tertentu. Demikian juga berdasarkan grafik perbedaan daya serap terjadi akibat adanya beda jenis perlakuan terhadap bioadsorben. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan karakteristik adsorban akibat perlakuan aktivasi fisik dan aktivasi kimia.
4.3. Kapasitas Adsorpsi (mg/g) pada waktu t Tabel 3. Kapasitas adsorpsi Pb (mg/g)
t men 0
Tanpa Aktivasi (TA)
Aktivasi fisik (AF)
0,0000 0,0000 0,0006 0,0006 10 0,0011 0,0014 0,0019 0,0020 20 0,0021 0,0028 30 0,0028 0,0037 60 0,0032 0,0046 90 0,0037 0,0052 120 0,0045 0,0056 150 0,0050 0,0057 180 0,0052 0,0059 210 0,0053 0,0061 240 0,0055 0,0065 Sumber: Hasil Pengolahan Data (2016)
Aktivasi Aktivasi NaOH H2SO4 1N 1N 0,0000 0,0000 0,0007 0,0009 0,0016 0,0019 0,0023 0,0028 0,0031 0,0037 0,0037 0,0046 0,0046 0,0056 0,0052 0,0065 0,0056 0,0071 0,0065 0,0079 0,0070 0,0082 0,0071 0,0084 0,0074 0,0086
Berdasarkan data tabel 3 dan gambar 4 bahwa jumlah logam yang terserap ke dalam adsorben menunjukkan bahwa semakin lama waktu adsorpsi (kontak), maka kapasitas adsorpsi logam meningkat hingga waktu tertentu. Kapasitas adsorpsi kesetimbangan (qe) berdasarkan data percobaan dan data perhitungan memperlihatkan bahwa waktu kontak untuk menghasilkan qe yang sesungguhnya belum tercapai.
421
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016 Kapasitas Adsorpsi Pb (mg/g) vs Waktu 0,0100 0,0090
Kapasitas Ads Pb ( (mg/g)
0,0080
TA
0,0070 0,0060
AF
0,0050
Akf NaOH
0,0040 0,0030
AkfH2SO4
0,0020 0,0010 0,0000 0
30 60 90 120 150 180 210 240 270
Waktu Kontak (menit
Gambar 4. Grafik Kapasitas adsorpsi (mg/g) vs Waktu t (menit) 4.4. Kinetika Adsorpsi Kinetika Pseudo Orde Satu: ln(qe-qt) versus t -4,000 0
30
60
90
120
150
180
210
240
270
-4,500
AF
-5,000
Akv NaOH
-5,500
ln (qe - qt)
TA
AkvH2SO4
-6,000 -6,500
-7,000
-7,500
-8,000 -8,500 -9,000
Waktu Kontak (menit)
Gambar 4. Grafik Kinetika Sorpsi Pseudo Orde Satu Tabel 4. Nilai Parameter model kinetika adsorpsi Pb(II) Pseudo Orde Satu t men R2 k1 (men-1) qe hitung qe ekstrapolasi
Tanpa Aktivasi (TA) 0,9819 0,015 0,0055 0,0051
Aktivasi Aktivasi Aktivasi fisika (AF) NaOH 1N H2SO4 1N 0,9667 0,9700 0,9841 0,0124 0,042 0,0164 0,0065 0,0074 0,0086 0,0049
0,0067
0,0078
422
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Beda nilai qe 0,0004 0,0016 Beda qe(%) 7,27 24,62 Sumber: Hasil Pengolahan Data (2016
0,0007 9,46
0,0008 9,30
t/qt
Kinetika Sorpsi Pseudo Orde Dua TA
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
y = 0,1537x + 7,4324 R² = 0,9882 TA
AF
Akv NaOH AkvH2SO4
0
30
60 90 120 150 180 210 240 270 Waktu Kontak (menit
Gambar 5. Grafik Kinetika Pseudo Orde 2 Tabel 5. Nilai Parameter model kinetika adsorpsi Pb(II) pseudo orde 2 t men
Tanpa Aktivasi Aktivasi Aktvsi Aktivasi fisik (AF) NaOH H2SO4 (TA) 1N 1N 2 R 0,9882 0,9926 0,9885 0,9957 k2 (g/mg.min) 153,846 135,135 114,943 99,010 qe hitung 0,0055 0,0065 0,0074 0,0086 qe ekstrapolasi 0,0065 0,0074 0,0087 0,0101 Beda nilai qe 0,0010 0,0009 0,0013 0,0015 Beda qe (%) 18,18 13,85 17,57 17,44 Sumber: Hasil Pengolahan Data (2016) Pada tabel 4 dan tabel 5 nilai koefisien korelasi (R2) dari permodelan kinetika adsorpsi pseudo orde pertama dan pseudo orde dua nilainya diatas 0,9 hampir mendekati angka 1. Namun jika dibandingkan kedua permodelan kinetika adsorpsi, maka yang memberikan nilai R2 terbesar yang paling mendekati nilai koefisien 1 adalah permodelan kinetika adsorpsi pseudo orde dua untuk jenis bioadsorben tanpa aktivasi 0,9881 , aktivasi fisik 0,9926 , aktivasi dengan NaOH 0,9885 dan aktivasi dengan H2SO4 0,9957. 423
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Estimasi nilai qe perhitungan digunakan berdasarkan nilai qe pada waktu 240 menit.Pada kondisi waktu ini nilai qe yang sebenarnya atau yang sesungguhnya pada penelitian ini belum tercapai. Tentunya nilai qe ektrapolasi memberikan nilai yang lebih besar dan bukan sebaliknya. Nilai qe yang lebih besar ada pada nilai qe hasil ekstrapolasi permodelan kinetika pseudo orde dua yang masing-masingnya untuk bioadsorben tanpa aktivasi 0,0065 mg/g, aktivasi fisik 0,0074 mg/g, aktivasi dengan NaOH 0,0087 mg/g dan aktivasi dengan H2SO4 0,0101 mg/g . Nilai qe hasil ekstrapolasi kinetika orde satu nilai qe yang dihasilkan dibawah nilai hasil perhitungan dengan hal ini tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Ditinjau dari konstanta laju adsorpsi nilai k1 kecil dari nilai k2, maka pengaruh k2 terhadap laju adsorpsi lebih besar dari pada pengaruh k1. Untuk kinetika adsorpsi pseudo orde dua nilai k2 secara berurut untuk bioadsorben tanpa aktivasi 153,846 g/mg.men, aktivasi fisik 135,135 g/mg.men, aktivasi dengan NaOH 114,943 g/mg.men dan aktivasi dengan H2SO4 99,010 g/mg.men. Hasil penelitian menunjukan bahwa adsorpsi logam Pb(II) dipengaruhi oleh waktu dan bioadsorben. Kinetika adsorpsi berdasarkan kapasitas adsorpsi kesetimbangan (qe) hitung pada waktu kontak 240 menit. Berdasarkan pertimbangan koefisien korelasi R2, konstanta laju adsorpsi k1 dan k2 serta perbanding qe hitung dan qe ektrapolasi dapat disimpulkan kinetik adsorpsi yang paling sesuai adalah kinetika adsorpsi pseudo orde dua. Menurut Estiaty (2013) faktor mempengaruhi proses adsorpsi terdiri dari beberapa faktor, antara lain luas permukaan, ukuran adsorben, sifat adsorben, kelarutan adsorbat, bentuk dan ukuran adsorbat, temperatur dan derajat keasaman. Pada penelitian adsorpsi logam berat Pb(II) dengan bioadsorben dapat dipelajari lebih lanjut variasi jumlah bioadsorben dan laju alir.Setiaka , dkk (2011) pada sistem kolom, semakin cepat laju alir influen maka kapasitas adsorpsi yang didapat semakin besar.
5. Kesimpulan Berdasarkan data hasil penelitian, hasil pengolahan data dan hasil pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
424
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
1. Adsorpsi logam Pb(II) dalam air limbah laboratorium kimia menggunakan adsorben kulit kacang tanah dipengaruhi oleh aktivator dan waktu kontak antara adsorbat dan adsorben. 2. Kapasitas adsorpsi semakin meningkat dengan meningkatnya waktu adsorpsi hingga waktu kesetimbangan. Kapasitas adsorpsi kesetimbangan (qe) bioadsorban tanpa aktivasi: 0,0065 mg/g, aktivasi fisik: 0,0074 mg/g, aktivasi NaOH 1N: 0,0087 mg/g dan ativasi H2SO4.: 0,0101 mg/g 3. Proses adsorpsi air sumur tercemar logam berat yang mengandung logam Pb(II) berlangsung mengikuti permodelan kinetika adsorpsi pseudo orde dua untuk bioadsorben tanpa aktivasi, aktivasi fisik, aktivasi NaOH, aktivasi H2SO4. 6.
Daftar Pustaka
Aji, B.,K.,Kurniawan,F.2012.Pemanfaatan Serbuk Biji Salak (Salacca zalacca) Sebagai Adsorben Cr(IV) dengan metode bath dan Kolom. Kimia MIPA ITS Jurnal Sains Pomits.Vol.1, No.1 (2012) 1-6 Ahalya, N., Ramachandra, T.V., Kanamadi, R.D.2003.Biosorption of Heavy Metals. Reseach Journal of Chemical and Environment.7(4),71-79. Danarto, YC. 2007. Kinetika Adsorpsi Logam Berat Cr (VI) Dengan Adsorben Pasir Yang Dilapisi Besi Oksida. Jurnal Ekuilibrium Vol 6 No. 2, Juli 2007, halaman: 65-70. Darmansyah, Simparmin, G., Ardiana, L., Saputra, H. 2016. Mesopori MCM-41 Sebagai Adsorben: Kajian Kinetika dan Isoterm Adsorpsi Limbah Cair Tapioka. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. Vol.11,No.1,Hlm 10-16, Juni 2016 ISSN 1412-5064. Draman, S.,F.,S., Mohammad, N., Wahab, N.,H.,I, Zulkifli, N.,S.,I., Zulkifli ,N.,S., Bakar,A.,A.2015. Adsorption of Lead (II) ions in Aqueus Solution Using Selected Agro-Waste Estiaty, L.,M.2013. Kesetimbangan dan Kinetika Adsorpsi Ion Cu2+ pada ZeolitH.Jurnal Riset Geologi-Tambang.Vol.22,No.2,Juni 2013 (127-141).
425
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Hidayati,B., Sunarno, Yenti, S., R. 2012. Studi Kinetika Adsorpsi Logam Cu2+ Menggunakan Zeolit Alam Teraktifasi. Jurusan Teknik Kimia Universitas Riau. Ho, Y., S., McKay, G. 1998. Acomparison Of Chemosrption Kninetic Models Applied To Pollutan Removal On Various Sorbent. Institution of Chemical Engineer Journal. Vol 76, Part B, Nopember 1998. Ho, Y., S., McKay, G. 1999. Pseudo- second Order model for sorption processes. Departement of Chemical Engineering, The Hong Kong University of Science and Technology. Elsevier. Process Biochemistry 34(1999) 451-465. Irmawati, A., Ulfin, I. 2013. Pemanfaatan Biomasa Kulit Kacang Tanah Untuk Adsorpsi Kromium Dalam Larutan Berair Dengan Metode Kolom. Jurusan Kimia FMIPA ITS. Surabaya Lagergren, S. 1898. Zur theorie der sogenannten adsorption geloster stoffe. Kungliga Svenska Vetens kapsaka demiens. Handlingar 1898; 24(4):1-39 Mattel, C., L. 1951. Adsorption. Edisi 2, McGraw-Hill, Company Inc., New York Setiaka,J.,Ulfin,I.,Widiastuti,N.2011. Adsorpsi Logam Cu(II) dalam Larutan Pada Abu Dasar Batubara Menggunakan Metode Kolom. Prisiding Skripsi Kimia MIPA ITS Zaini,H., Sami, M. 2015. Adsorpsi Logam Berat Cu (II) dalam Air Limbah dengan Sistem Kolom Menggunakan Bioadsorben Kulit Kacang Tanah. Prosiding”Inovasi Teknologi Proses dan Produk Berbasis Sumber Daya Alam Indonesia”. Seminar Nasional Teknik Kimia UNPAR. Bandung 19 Nopember 2015 hal 16-22. Zhuang, Z., Xu, L. 2014. Removal of Cadmium ion form aqueous solution using chemically modified peanut shell. Journal of Chemical and Pharmaceautical Research. USA 6(6): 649-653.
426
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Klasifikasi Kematangan Buah Pepaya Menggunakan Ekstraksi warna Dengan metode K-Means Clustering
1)
Eliyani 1) M.Basyir 2) Siti Amra 3) Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Lhokseumawe email :
[email protected] email :
[email protected] email :
[email protected] Abstrak
Tahap tahapan identifikasi buah-buahan secara tradisional mengalami kendala akibat sifat manusia yang mempunyai kelemahan yang menyebabkan hasil yang diinginkan tidak efektif. Kemajuan teknologi komputer telah menyentuh dunia pertanian dari segi sebelum panen maupun pasca panen. Di sini timbul permasalahan bagaimana mengenali buah sehingga sesuai dengan kondisi nyata. Kondisi buah pepaya ditentukan oleh tingkat kematangan yang dilihat dari sisi warna pepaya. Klasifikasi yang lakukan oleh petani biasanya mengelompokkan pepaya dalam katagori muda, mengkal, dan masak penuh. Metode pengolahan citra mempunyai kemampuan untuk menganalisa kondisi kematangan pepaya dengan menggunakan nilai Red, Green, Blue (RGB) sebagai acuan. Penentuan klasifikasi dengan metode K-means clustering yang menggunakan selisih jarak eucludian sebagai acuannya. Untuk hasil pada kelompok pepaya muda 60% berhasil dikenali sebagai pepaya muda, kelompok pepaya mengkal 90% berhasil dikenali sebagai masak mengkal sedangkan pada kelompok pepaya penuh 100 % dikenali sebagai masak penuh. Sehingga dapat disimpulkan metode K-means Clustering hampir sama dengan proses klasifikasi oleh petani yang sudah berpengalaman bertahun tahun.
Kata kunci : Ekstraksi warna, K-mean clustering, Pepaya
1.
Pendahuluan Banyak permasalahan yang muncul ketika proses identifikasi buah-buahan
dilakukan secara tradisional. Hal ini diakibatkan oleh sifat manusia itu sendiri yang mempunyai kelemahan antara lain: lelah dan tidak akurat akibat keterbatasan fisik. Pada akhirnya meyebabkan proses identifikasi tidak efektif dan efisien. Pada saat ini kemajuan teknologi komputer atau interaksi antara manusia dengan komputer telah menyentuh dunia pertanian baik sebelum panen maupun
427
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
pasca panen. Sebagai contoh sebelum panen biasanya digunakan teknologi komputer untuk menganalisa jenis penyakit atau kromosom perkawinan silang. Sedangkan pasca panen biasanya untuk mengetahui mutu dan berat dari buah atau sayuran. Namun disini timbul permasalahan bagaimana mengenali buah dan sayuran tersebut sehingga sesuai dengan kondisi real yang sesungguhnya. Begitu juga halnya dengan tanaman papaya yang memiliki buah [1]. Kondisi buah pepaya ditentukan oleh beberapa parameter, diantaranya adalah parameter tingkat kematangan (ketuaan) yang dilihat dari warna pepaya. Mata sebagai salah satu alat pengenal (sensor) adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sifat manusia. Prinsip sensorik yang dimiliki manusia banyak memiliki kelemahan yang ditimbulkan oleh sifat alami manusia itu sendiri. Dalam menjalankan kegiatan sebagai pengenal dalam menentukan sesuatu itu berakhir subjektif dimana hasil akhir dihasilkan dari tingkat kepentingan dan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia terhadap tingkat kematangan (ketuaan) pepaya. Pepaya adalah salah satu komoditas hortikultura yang memiliki prospek cerah untuk dikembangkan secara komersial dan sudah dikenal mendunia. Ini terlihatnya banyaknya permintaan konsumen terhadap buah pepaya tersebut untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, supermarket, pabrik, hotel dan restoran. permintaanya ini berlaku untuk didalam maupun diluar negeri, sehingga membuktikan bahwa produk pertanian yang satu ini sudah menjadi kebutuhan global. Namun kenyataannya andil Indonesia masih sangat kecil dalam memenuhi permintaan pasar luar negeri. Rendahnya kualitas buah yang diekspor salah satunya disebabkan oleh penanganan pascapanen yang dilakukan belum baik, misalnya pada pemilihan dan pemutuan yang masih dilakukan secara manual. Akibatnya menghasilkan keragaman yang kurang baik dan memerlukan waktu yang relatif lama, selain itu jarak letak lokasi dan waktu sangat mempengaruhi kondisi buah yang akan di jual atau dipetik. Hal ini disebabkan belum adanya suatu alat yang mampu membantu untuk memilah dan memilih kondisi buah yang akan dijual berdasarkan jarak kirim
428
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
untuk lokal, provinsi atau antar negara, salah satu sebab belum adanya peralatan tersebut disebabkan belum banyaknya penelitian untuk menemukan metode yang tepat yang bisa diterapkan pada peralatan yang mampu dan mempunyai keahlian memilih dan memilah. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu metode untuk mengelompokkan buah-buahan tersebut secara otomatis dengan akurasi yang tinggi dan waktu yang relatif singkat. Telah banyak dilakukan penelitian dengan beragam metode yang ada, salah satunya K-Means Clustering. Dengan K-Means Clustering kita mampu mengelompokan langsung suatu data berdasarkan nilainilai ciri yang ada. Penggunaan K-Means Clustering digunakan dengan dasar memilah-milah data yang dianalisa ke dalam sebuah kelompok semisal kelompok dari warna yang sama Penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh bebrapa peneliti diantaranya M, Soltani tahun 2011 melihat besar buah, luas buah dan diameter buah menggunakan pixel untuk rata-rata, minimum dan maxsimum dengan hasil 89%, dan Slamet Riayadi tahun 2007 melakukan segmentasi dan akurasi ukuran buah menggunakan metode Thresholding dan marfologi dengan hasil 90,2% dan Ng, H.P tahun 2006 melakukan partisi gambar menggunakan Kmeans mendapatkan hasil hingga 92% dan Usman Ahmad tahun 2010 mengenali mutu jeruk menggunakan warna buah dengan pixel mendapatkan hasil 95,9% dari 850 sampel buah jeruk.[3][4][5][6]. Berdasarkan latar belakang masalah maka tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu menganalisa citra buah papaya dengan mengekstraksi fitur warna
berdasarkan RGB menggunakan K-means
Clustering.
2.
Tinjauan Pustaka Pada bagian ini akan dijelaskan pepaya, citra RGB, Ekstraksi Warna
Ekstraksi Nilai Piksel Red, Green dan Blue (RGB), Klastering dengan K-Means.
2.1
Pepaya Pepaya merupakan tanaman buah berupa herba dari famili Caricaceae
yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan kawasan sekitar
429
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Mexsiko dan Coasta Rica. Tanaman pepaya banyak ditanam orang, baik di daerah tropis maupun sub tropis. di daerah-daerah basah dan kering atau di daerah-daerah dataran dan pegunungan (sampai 1000 m dpl). Buah pepaya merupakan buah meja bermutu dan bergizi yang tinggi. 2.2
Citra RGB Suatu citra biasanya mengacu ke citra RGB. Sebenarnya bagaimana citra
disimpan dan dimanipulasi dalam komputer diturunkan dari teknologi televisi, yang pertama kali mengaplikasikannya untuk tampilan grafis komputer. Jika dilihat dengan kaca pembesar, tampilan monitor komputer akan terdiri dari sejumlah triplet titik warna merah (RED), hijau (GREEN) dan biru (BLUE). Tergantung pada pabrik monitornya untuk menentukan apa titik tersebut merupakan titik bulat atau kotak kecil, tetapi akan selalu terdiri dari 3 triplet red, green dan blue. Citra dalam komputer tidak lebih dari sekumpulan sejumlah triplet dimana setiap triplet terdiri atas variasi tingkat keterangan (brightness) dari elemen red, green dan blue. Representasinya dalam citra, triplet akan terdiri dari 3 angka yang mengatur intensitas dari Red (R), Green (G) dan Blue (B) dari suatu triplet. Setiap triplet akan merepresentasikan 1 pixel (picture element). Suatu triplet dengan nilai 67, 228 dan 180 berarti akan mengeset nilai R ke nilai 67, G ke nilai 228 dan B ke nilai 180. Angka-angka RGB ini yang seringkali disebut dengan color values. Pada format .bmp citra setiap pixel pada citra direpresentasikan dengan dengan 24 bit, 8 bit untuk R, 8 bit untuk G dan 8 bit untuk B
2.3
Ekstraksi Warna Ekstraksi Nilai Piksel Red, Green dan Blue (RGB) Hampir setiap pengolahan citra yang berbasis warna perlu dilakukan
pemisahan band-band yang ada pada citra khususnya citra RGB, MATLAB menyediakan fasilitas yang cukup baik dalam memisahkan ketiga warna RGB. Pada kanal warna RGB, kadang-kadang disebut sebagai gambar True Color, disimpan sebagai baris m dan kolom n dengan 3 array data yang mendefinisikan komponen warna merah, hijau, dan biru untuk setiap piksel individu. Gambar
430
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
RGB tidak menggunakan palet. Warna dari setiap pixel ditentukan oleh kombinasi merah, hijau, dan biru intensitas disimpan di setiap kanal warna di lokasi pixel. Format file grafis citra RGB sebagai citra 24-bit, di mana komponen merah, hijau, dan biru adalah 8 bit masing-masing. Ini menghasilkan potensi 16 juta warna. Presisi dengan Gambar kehidupan nyata dapat direplikasi telah menyebabkan julukan "citra True Color." Sebuah array RGB MATLAB dapat dari kelas uint8 atau uint16. Dalam array RGB, masing-masing komponen warna adalah nilai antara 0 dan 1
2.4
Klastering dengan K-Means Clustering adalah sebuah proses pengelompokan data ke dalam beberapa
kelas berdasarkan kemiripan data. Tujuannya adalah untuk menemukan klaster yang berkualitas dalam waktu yang layak. Clustering merupakan suatu alat untuk analisa data, yang memecahkan permasalahan penggolongan. Clustering dalam data mining berguna untuk menemukan pola distribusi di dalam sebuah data set yang berguna untuk proses analisa data [8].Kesamaan objek biasanya diperoleh dari kedekatan nilai-nilai atribut yang menjelaskan objek-objek data, sedangkan objek-objek data biasanya direpresentasikan sebagai sebuah titik dalam ruang multidimensi
3.
Metode Penelitian Secara umum metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
yang dimulai dari bagian pertama adalah pengambilan dan pengolahan data yang digunakan sebagai nilai acuan. Pada proses pengambilan data untuk acuan dilakukan nantinya sebanyak 45 buah citra dengan 15 untuk pembelajaran lalu dicari rata-rata tiap tingkat kematangan buah yang nantinya menjadi nilai acuan matrik untuk proses pengenalan (dijadikan vektor matriks). Selanjutnya pada proses pengujian 30 citra buah pepaya, pada setiap citra setelah didapatkan nilainya RGB lalu dijadikan vektor matriks lalu di lihat jarak
431
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
kedekatan data dengan metode euclodiean distance semakin kecil jarak kedekatan data maka semakin mirip lalu di klasifikasi dengan klaster. Proses Klaster adalah berasal dari setiap nilai rata-rata dari RGB, langkah pertama algoritma adalah menetapkan suatu vektor klaster awal dari nilai RGB yang diuji. Langkah kedua adalah mengklasifikasikan setiap hasil pengukuran ke klaster terdekat. Pada langkah ketiga, rata-rata vektor klaster baru yang diperoleh dari nilai mean RGB tiap citra buah dihitung berdasarkan semua hasil pengukuran dalam satu klaster lalu dikelompokan berdasarkan nilai rata-rata yang nantinya menjadi acuan untuk pengklasteran pada proses pengujian nantinya. Langkah kedua dan ketiga terus dilakukan sampai didapatkan perubahan dari nilai rata-rata klaster dan iterasi yang kecil.
Sasaran algoritma klaster ini adalah untuk
memperkecil variabilitas di dalam klaster. Kelakuan algoritma
K-means
clustering dipengaruhi oleh penetapan jumlah pusat klaster, pemilihan inisial pusat klaster, dan cara pengambilan urutan sampel data.
3.2
K-means Clustering Algoritma K-means clustering ini akan memberikan hasil akurat jika data
memperlihatkan suatu karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, lalu diperoleh hasil jenis kematangan buah yang dicoba dari verifikasi pengelompokan berdasarkan nilai acuan yang diperoleh dari proses pembelajaran atau nilai yang didapat untuk digunakan sebagai pembanding. Selanjutnya menerapkan data untuk diklaster dengan k-means clustering. Dari hasil klaster akan ditampilkan dengan tampilan 3 dimensi dan hasil grafik k-means ditunjukkan juga dengan metode sillhoutte.
3.3
Metode sillhoutte Metode sillhoutte itu sendiri adalah metode untuk mencari nilai kedekatan
dari klaster yang dibuat dan hasilnya untuk mengukur performa klaster. Ini akan memberikan keluaran berupa jarak tiap titik terhadap titik klaster yang sama dibanding terhadap titik yang lain. Metode silhouette ini akan memberikan output
432
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
berupa jarak tiap titik terhadap titik di klaster yang sama dibanding terhadap titik di klaster yang lain. Nilai ini berkisar dari -1 sampai +1. Untuk nilai +1 berarti titik yang bersangkutan berjarak sangat jauh dari klaster yang lain, nilai 0 mengindikasikan bahwa titik yang bersangkutan sama saja berada diklaster yang sekarang maupun diklaster yang lain. Sedangkan nilai -1 mengindikasikan bahwa titik yang bersangkutan berada pada klaster yang salah. Untuk mengukur performansi hasil klaster kita gunakan
perintah silhouette. Perintah ini akan
memberikan output berupa jarak tiap titik terhadap titik di klaster yang sama dibanding terhadap titik di klaster yang lain. Untuk contoh dapat kita lihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Contoh hasil sillhouette
3.3
Metode Analysis of variance (ANOVA) Proses selanjutnya proses data menggunakan analysis of variance
(ANOVA). ANOVA yang dilakukan menggunakan metode yang menguraikan keragaman total data hingga menjadi komponen-komponen dan ANOVA sendiri digunakan untuk menguji rata rata lebih dari dua sample berbeda secara signifikan.
4.
Hasil Dan Pembahasan Pembahasan hasil penelitian tesis ini secara garis besar akan dijelaskan
dalam lima bagian : bagian pertama adalah pengambilan dan hasil pengolahan data yang digunakan sebagai nilai acuan. Bagian kedua menerapkan data untuk diklaster dengan K-mean. Bagian ketiga adalah verifikasi dengan acuan nilai data
433
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
terhadap klaster yang dibuat. Bagian keempat merupakan analisa data dengan menggunakan analysis of variance (ANOVA). Bagian kelima merupakan pembahasan atas hasil pengujian secara keseluruhan.
Pengambilan dan Hasil Pengolahan Data Pada proses pengambilan dan Hasil Pengolahan data dapat dilakukan dengan beberapa cara untuk menghasilkan nilai rata-rata dari setiap citra buah. Dalam mendapatkan nilai komponen warna red/merah (R), green/hijau (G), blue/biru (B) untuk semua buah dengan katagori (masak mentah (10 buah), masak mengkal (10 buah), masak penuh (10 buah). Selanjutnya menerapkan data untuk diklaster dengan K-means. Proses pengklasteran dilakukan pertama dengan cara menentukan banyak klastering yang diinginkan. Pada penelitian ini k-means clustering yang diinginkan adalah 3, (k=3). Pertama tentukan kelompok atau kelas pada data, untuk menunjukan kelompok atau kelas untuk data pada baris tertentu.
Jumlah klaster yang dikehendaki, untuk mengukur jarak digunakan
metode Euclidean distance. Untuk melihat lebih jelasnya, akan ditampilkan dalam bentuk dimensi. Hasil klaster dengan tampilan 3 dimensi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Hasil klaster dengan tampilan 3 dimensi. Pada gambar terlihat jelas bahwa setiap pengklasteran yang diperoleh sesuai dengan kondisi buah yang dijadikan data acuan dimana untuk kode 1 termasuk masak muda dan kode 2 masak mengkal dan untuk kode 3 masak penuh. Dari hasil klaster dengan tampilan 3 dimensi dapat dilihat terdapat klaster yang
434
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
tertimpa. Hal ini disebabkan karena adanya ciri data yang berdekatan. Hasilnya untuk mengukur performa klaster. Ini akan memberikan keluaran berupa jarak tiap titik terhadap titik klaster yang sama dibanding terhadap titik yang lain. Dengan menggunakan metode silhaoutte pada klaster 1 dan 2 tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan karena ada data yang nilai
berdekatan sehingga
sulit dibedakan sedangkan pada klaster 3 diperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Nilai sillhouette
12345678910 11
klaster
123456456 789
12345678910
Gambar.3 Grafik Kmeans ditunjukan dengan metode silhoutte selanjutnya
verifikasi
dengan
acuan
nilai
data terhadap
klaster
yang
dibuat.Verifikasi ini dilakukan untuk memastikan hasil klaster yang dilakukan sejauh mana akurasi yang diperoleh. Berdasarkan nilai minimun dan nilai maximum yang didapatkan. maka diperoleh logika untuk menetapkan nilai untuk 3 kondisi buah. Sehingga proses normalisasi diperlukan untuk menyeragamkan ukuran. Selanjutnya melakukan proses pengelompokan data ke dalam beberapa kelas berdasarkan kemiripan data dalam menentukan klaster yang berkualitas digunakan K-means clustering yang merupakan suatu alat untuk menganalisa data dan prosesnya berguna dalam menentukan titik tengah. Lebih jelas hasilnya dapat kita lihat di rekapitulasi hasil eksperimen pada Tabel 1.
435
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Eksperimen File
Keterangan Sistem
KeteranganPetani
01 Pepaya 06
Masak Mengkal
Masak muda
01 Pepaya 07
Masak muda
Masak muda
01 Pepaya 08
Masak Mengkal
Masak muda
01 Pepaya 09
Masak muda
Masak muda
01 Pepaya 10
Masak muda
Masak muda
01 Pepaya 11
Masak muda
Masak muda
01 Pepaya 12
Masak muda
Masak muda
01 Pepaya 13
Masak Mengkal
Masak muda
01 Pepaya 14
Masak muda
Masak muda
01 Pepaya 15
Masak Mengkal
Masak muda
02 Pepaya 06
Masak Mengkal
Masak Mengkal
02 Pepaya 07
Masak Mengkal
Masak Mengkal
02 Pepaya 08
Masak Mengkal
Masak Mengkal
02 Pepaya 09
Masak Mengkal
Masak Mengkal
02 Pepaya 10
Masak Penuh
Masak Mengkal
02 Pepaya 11
Masak Mengkal
Masak Mengkal
02 pepaya 12
Masak mengkal
Masak mengkal
436
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
02 Pepaya 13
Masak Mengkal
Masak Mengkal
02 Pepaya 14
Masak Mengkal
Masak Mengkal
02 Pepaya 15
Masak Mengkal
Masak Mengkal
03 Pepaya 06
Masak penuh
Masak penuh
03 Pepaya 07
Masak Penuh
Masak Penuh
03 Pepaya 08
Masak Penuh
Masak Penuh
03 Pepaya 09
Masak Penuh
Masak Penuh
03 Pepaya 10
Masak penuh
Masak penuh
03 Pepaya 11
Masak Penuh
Masak Penuh
03 Pepaya 12
Masak Penuh
Masak Penuh
03 Pepaya 13
Masak Penuh
Masak Penuh
03 Pepaya 14
Masak penuh
Masak penuh
03 Pepaya 15
Masak Penuh
Masak Penuh
Analisa Data Menggunakan Anova Dari data yang ada akan dianalisis dengan menggunakan analysis of variance (ANOVA). ANOVA itu sendiri adalah suatu metode untuk menguraikan keragaman total data menjadi komponen-komponen yang mengukur beberapa sumber keragaman. ANOVA digunakan untuk menguji rata-rata lebih dari dua sample berbeda secara signifikan atau tidak. Sehingga analisisnya untuk setiap kelompok yaitu untuk mentah R, mengkal R juga masak R juga untuk mentah G, mengkal G, masak G, dan mentah B, mengkal B dan masak B dan secara keseluruhan setelah dianalisis dengan menggunakan ANOVA hasil akhirnya dapat
437
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
kita kelompokkan masing masing untuk mentah R, mengkal R juga masak R juga untuk kelompok G dan kelompok B. Secara deskriptif dari nilai data warna yang diperoleh bahwa rata rata nilai R dan B berbeda tiap kelompok berbeda ini dikarenakan nilai dari F kritis dengan F penghitungan berbeda sehingga secara analisis of variance signifikan. Sedangkan untuk G hasil menunjukkan bahwa F perhitungan lebih kecil dari F kritis dapat kita simpulkan tidak signifikan. Analisa Keseluruhan Dari hasil pengujian yang di peroleh baik menggunakan sistem k-means clustering sudah mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan walaupun ada beberapa citra yang tidak
masuk kedalam jenis pengelompokannya
hal ini
disebabkan faktor buah . Rekapitulasi hasil eksperimen menghasilkan kelompok pepaya masak muda 60% dikenali sebagai masak muda disini disebabkan faktor buah sehingga yang dikenali. Pada data kelompok pepaya masak mengkal 90% dikenali sebagai masak mengkal sedangkan pada kelompok pepaya masak penuh 100 % dikenali masak penuh. Dari penjabaran klasifikasi dengan menggunakan Kmean dibandingkan dengan metode verifikasi diperoleh suatu perbandingan bahwa metode verifikasi hampir akurat seratus persen sesuai dengan penglihatan manusia.
5.
Kesimpulan Sesuai dengan penelitian yang dilakukan dan hasil yang diperoleh, maka
diperoleh beberapa kesimpulan berikut: 1. Dalam mengekstraksi fitur warna berdasarkan RGB menggunakan K-means Clustering untuk mendapatkan nilai piksel dalam menganalisa citra buah pepaya didapatkan hasil hampir sesuai dengan kenyataan (kondisi nyata buah pepaya). 2. Dengan menggunakan analisis ragam atau analisis of variance (ANOVA) bahwa secara deskriptif dari nilai data warna ketiga kelompok sampel pepaya yang terdiri dari pepaya muda, pepaya masak mengkal maupun pepaya masak
438
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
penuh/tua menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan terhadap perubahan warna pepaya . 3. Dengan hasil rekapitulasi berdasarkan nilai RGB diketahui data yang diuji menghasilkan kelompok masak muda 60% dikenali sebagai masak muda hal ini disebabkan oleh faktor pengukuran jarak antara data dan dan titik tengah yang dihitung menggunakan euclidean distance. Pada data kelompok pepaya masak mengkal 90% dikenali sebagai masak mengkal ini juga disebabkan oleh faktor pengukuran jarak antara data dan titik tengah dihitung menggunakan euclidean 4. distance. sedangkan pada kelompok masak penuh semua buah atau 100 % dikenali masak penuh.
6.
Daftar Pustaka
Lam,P.F,1987, Ciri-ciri Fizikal, Fisiologi dan Biokimia Buah Betik.
Angkitjaroen mongkol, R.; Kaittisin, S.; Ongwattanakul, S.; Inbound logistics cassava starch planning: With application of GIS and K-means clustering methods in Thailand, Journal IEEE ISBN: 978-1-4577-0686-8 23 June 2011
M, Soltani, R, Alimardani, M, Omid, 2011, Some Physical Properties of FullRipe Banana Fruit (Cavendish variety) International Journal of Agricultural Science, Research and Technology.
Slamet Riyadi, Mohd. Marzuki Mustafa, Aini Hussain, Azman Hamzah, 2007, Papaya fruit grading based on size using image analys Proceedings of the International Conference onElectrical Engineering and Informatics Institut Teknologi Bandung, Indonesia June 17-19
439
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Ng, H.P.; Ong, S.H.; Foong, K.W.C.; Goh, P.S.; Nowinski, 2006, Medical Image Segmentation Using K-Means Clustering and Improved Watershed Algorithm, Journal IEEE ISBN: 1-4244-0069-4 2006
Ahmad Usman dkk, 2009, Pemutuan Buah Jeruk Pontianak Berdasarkan Ukuran dan Warna Menggunakan Pengolahan Citra, prosiding seminar nasional himpunan informatika pertanian Indonesia, Bogor
Marvin CH. Wijaya, Agus Prijono 2007, Pengolahan Citra Digital Menggunakan Matlab, Penerbit Informatika, Bandung Tzortzis, G.; Likas, A.2008 The global kernel k-means clustering algorithm , Journal IEEE ISSN: 1098-7576 ISBN: 978-1-4244-1820-6 26 September 2008
Budi Santosa
2007 , Data Mining Terapan dengan Matlab, Graha Ilmu,
Yogyakarta
440
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
KINERJA MEMBRAN NANOFILTRASI DARI SELULOSA ASETAT DALAM MENURUNKAN KADAR GARAM PADA AIR BERSALINITAS MENENGAH: TINJAUAN TERHADAP PROSES PEMBUATAN MEMBRAN
Sofyana1), Cut Meurah Rosnelly1), Hisbullah1) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Email:
[email protected]
1)
Abstrak Pemanfaatan sumber-sumber air baku yang memiliki salinitas diatas air tawar merupakan suatu alternatif pilihan yang dapat menyelesaikan masalah kurangnya sumber air bersih untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat. Membran nanofiltrasi merupakan membran yang tepat digunakan untuk menurunkan kadar garam dari air baku. Penelitian yang telah dilakukan bertujuan untuk mempelajari pengaruh pelarut, komposisi bak koagulasi dan tekanan transmembran terhadap kinerja membran selulosa asetat dalam menurunkan kadar garam pada air bersalinitas menengah. Membran dibuat dari polimer selulosa asetat dengan konsentrasi selulosa asetat 25%, dibuat empat buah membran yaitu membran Selulosa Asetat dengan pelarut aseton dengan komposisi bak koagulasi (rasio pelarut : non pelarut yaitu 0:10 dan 2:8) dan membran selulosa asetat dengan pelarut Dimetil Formamid (DMF). dengan komposisi bak koagulasi (rasio pelarut : non pelarut yaitu 0:10 dan 2:8). Pembuatan membran mengikuti metode Inversi Fasa secara Presipitasi immersi, dalam penelitian ini dilakukan modifikasi dalam proses pembuatan membran yaitu pada tahap immersi. Membran yang telah dicasting diimersikan ke dalam bak koagulasi yang berisi non pelarut (aquades). Membran yang telah dipreparasi di karakteristik meliputi pengujian permeabilitas, molecular weight cutt off (MWCO) dan analisa scanning electron microscopy. Membran yang telah dikarakteristik diuji kinerjanya menggunakan umpan larutan NaCl 2000 ppm, larutan NaCl dengan konsentrasi 2000 ppm dianggap mewakili kondisi air bersalinitas menengah. Hasil karakteristik membran menunjukkan bahwa membran dengan pelarut aseton dan DMF memiliki nilai Lp dan MWCO yang berbeda. Penambahan pelarut dalam bak koagulasi memberikan pengaruh terhadap struktur membran dan mempengaruhi kinerja membran dalam menurunkan kadar garam. Keyword: membran, selulosa asetat, salinitas, inversi fasa
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
1. Pendahuluan Kebutuhan air dengan kualitas yang baik terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan sektor-sektor kehidupan yang membutuhkan air bersih. Pada saat yang sama ketersediaan air juga semakin menipis akibat semakin bertambahnya jumlah penduduk dan pola hidup masyarakat yang menuju pada pola hidup modern.Peningkatan kebutuhan air bersih ini tidak diimbangi dengan peningkatan
sumber-sumber
penyedia
air
bersih.
Akibatnya
terjadi
ketidakseimbangan antara sumber air bersih dan kebutuhan air bersih sehingga krisis air bersih menjadi salah satu masalah kependudukan yang rumit dewasa ini. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki pantai terpanjang di dunia, maka salah satu sumber air yang banyak terdapat di Indonesia adalah air asin atau air payau. Sebagian besar Negara dan wilayah didunia ini belum memanfaatkan air payau sebangai sumber air yang dapat digunakan (J. Khouri , 2003). Metode-metode untuk desalinasi digunakan secara luas termasuk metode thermal dan proses desalinasi. Reverse Osmosis (RO) merupakan salah satu teknik dari proses membran, dan lebih populer dibandingkan dengan teknik konvensional pemanasan thermal seperti Multi Stage Flashing (MSF) dan Multi Effect Disstillation (MED). Salah satu keuntungan besar dari teknik RO adalah konsumsi energy yang sangat rendah dibandingkan dengan seluruh sistem desalinasi yang lainnya (Fritzmann, et al, 2007; Li, 2011, Voros, et al, 1998). Desalinasi menggunakan membran Reverse Osmosis (RO) dan Nanofiltrasi (NF) saat ini menjadi pilihan yang tepat untuk pengolahan air laut dan air payau. Oleh karena itu pengembangan material untuk memperoleh membran yang memiliki fluks yang tinggi dan rejeksi yang tinggi terhadap garam dan penggunaannya pada tekanan rendah menjadikan membran ini sangat menarik. (R. Haddad, et.al,2004). Proses membran saat ini dianggap sebagai salah satu teknologi terbaik yang layak digunakan di berbagai negara untuk proses pemisahan. Nanofiltrasi (NF) telah menjadi suatu bidang yang berkembang pesat dan menjadi inovasi yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir khususnya untuk pengolahan
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
limbah dalam beberapa industri (M. Gagliardi, 2014). Keuntungan yang menarik diantaranya: fluks permeat yang tinggi dan memiliki kemampuan merejeksi ion bivalen, tekanan operasi dan investasi yang rendah, maka membran Nanofiltrasi semakin meningkat penggunaannya dalam bidang pengolahan air seperti proses pelunakan air payau dan air laut, dan pengolahan limbah (Song, et al, 2011). Teknologi Nanofiltrasi juga berpotensi besar untuk menggantikan skala membran Reverse Osmosis dan mengurangi biaya unit plant Brackish Water Reverse Osmosis (BWRO) karena kemampuannya yang sangat baik dalam menghilangkan ion yang terbentuk dalam air.(Al-Amoudi, et al, 2007) Struktur membran dibuat dengan proses inversi fasa dari selulosa asetat (CA) seperti yang telah diuraikan oleh Loeb dan Sourirajan pada tahun 1985. Material ini merupakan polimer yang menarik karena memiliki harga yang murah dan memiliki daya tahan terhadap klorin. Selain itu CA merupakan produk alam dimana diperoleh dari sumber yang terbaharukan. Teknik pembuatan membran secara inversi fasa dengan presipitasi immerse merupakan salah satu teknik pembuatan membran yang akan menghasilkan membran asimetrik. Membran asimetrik tidak hanya digunakan secara luas dalam proses ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi untuk pemisahan, tetapi juga digunakan untuk memfabrikasi membran komposit digunakan pada proses membran reverse osmosis,membran nanofiltrasi dan membran gas separation (N.Widjojo,etc, 2011:214-223; K.L.Tung,etc, 2010:143-152; M.M Pandergast & E.M.V. Hoek, 2011:1946-1971; P.B Kosaraju & K.K Sirkar, 2008;155-161: A.K Glosh & E.M.V. Hoek, 2009:140-148; S.J Yuan, etc, 2011: 425-437).
2.
METODE PENELITIAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah selulosa asetat
(Sigma Aldrich), Dimetil Formamid (Merck), Aseton (Merck), Aqua bidest. Peralatan utama yang digunakan yaitu modul membran dan rangkaiannya, gas nitrogen sebagai gas penekan, applicator membran, Magnetik Stirrer (Spinbar), Erlenmeyer 50 ml (Pyrex), Hot Plate (Yamato, tipe Mag-mixer MH800),
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Timbangan digital 10-1000 gram (Metler-Toledo), bak koagulasi, water bath, konduktometer. Penelitian yang dilakukan meliputi tiga tahap, yaitu proses pembuatan membran, karakteristik membran, pengujian kinerja membran. Tahap pembuatan membran Membran dipreparasi dengan teknik inversi fasa secara presipitasi immerse, yang terdiri dari beberapa tahap yaitu: - pembuatan larutan dope (pencampuran polimer selulosa asetat 25% dan pelarut aseton atau DMF 75%), -casting, - evaporasi pelarut selama 2 menit, immerse dalam bak koagulasi yang diisi pelarut atau campuran pelarut dan non pelarut, - annealing pada suhu 750C . Pada pembuatan membran ini divariasikan jenis pelarut dan komposisi bak koagulasi, sehingga dihasilkan empat buah membran, yaitu: -
Membran dari selulosa asetat dengan pelarut aseton dengan rasio pelarut dan non pelarut dalam bak koagulasi : (0:10) disebut sebagai sebagai membran SA1-A, pada rasio (2:8) disebut sebagai membran SA2-A
-
Membran dari selulosa asetat dengan pelarut DMF dengan rasio pelarut dan non pelarut dalam bak koagulasi : (0:10) disebut sebagai sebagai membran SA1-DMF, pada rasio (2:8) disebut sebagai membran SA2-DMF
Karakteristik Membran Membran SA1-A, SA2-A, SA1-DMF dan SA2-DMF dikarakteristik terlebih dahulu sebelum diuji kinerja membran. Karakteristik membran meliputi penentuan permeabilitas (Lp) dan penentuan Molecular Weight Cutt Off (MWCO).Penentuan permeabilitas dilakukan dengan menngunakan umpan aqua distilled deionized pada tekanan trans membran 1, 2, 3, 4 dan 5 bar. Penentuan MWCO dilakukan menggunakan larutan dekstran BM 12.000, 19.500 dan 39.000.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Pengujian Kinerja Membran Kinerja membran diuji dalam menurunkan salinitas menggunakan larutan NaCl konsentrasi 2000 ppm, yang dianggap mewakili kondisi air bersalinitas menengah. Tekanan yang digunakan merupakan tekanan trans membran 1, 2, 3, 4 dan 5 bar. Kinerja membran diukur dari nilai fluks dan rejeksi. Fluks didefinisikan sebagai jumlah volume permeat yang melewati membran per satuan luas permukaan per satuan waktu. J=
V A.t
…………………………………………………………….. (1)
Dimana: J = fluks ( l/m2jam), V = volume permeat (liter), A = luas permukaan membran (m2), t = waktu penyaringan (jam) Koefisien rejeksi atau efisiensi penyisihan dapat diukur dengan menentukan konsentrasi phosphat dalam permeat dan dalam umpan yang dianalisa menggunakan UV Visible Specktrofotometer.. Rejeksi phosphat didefinisikan sebagai (R) dimana R (%) = ( 1 -
Cp ) x 100 % ......................................................................... (2) Cf
dimana nilai rejeksi diperoleh dari nilai konsentrasi phosphat yang diperoleh dari hasil analisa menggunakan spechtrophotometer UV Visible dalam umpan (Cf) dan air yang dihasilkan atau permeat (Cp). (Mulder, 1996).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Membran yang dihasilkan dibuat dengan metode inversi fasa dengan
tujuan untuk memperoleh membran asimetrik, dimana lapisan atas berfungsi sebagai lapisan aktif yang berkontak dengan sampel sedangkan lapisan bawah merupakan lapisan support (penyangga). Beberapa faktor dalam proses pembuatan membran akan mempengaruhi struktur membran yang terbentuk seperti: pemilihan pelarut–non pelarut dengan kecenderungan satu sama lain memiliki pencampuran yang rendah (Frommer dan Lancet, 1972:85; Frommer dan Messalam, 1973:328), penambahan pelarut ke dalam bak koagulasi (Stathmann, etc, 1975:179; Grobe dan Mann, 1968: 49). Pada penelitian ini dibuat
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
dua buah membran dengan pelarut yang berbeda serta dilakukan pena penambahan pelarut ke dalam bak koagulasi pada proses immerse uuntuk menge mengetahui pengaruhnya terhadap kinerja membran.
Permeabilitas Membran Pengujian keempat membran menunjukkan bahwa keempat membran memiliki nilai koefisien permeabilitas (Lp) yang berbeda, seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar ar 1. Permeabilitas pada berbagai variasi membran Membran yang dihasilkan dengan pelarut yang berbeda menunjukkan nilai permeabilitas yang berbeda, hal ini dikarenakan setiap memb membran memiliki struktur yang berbeda. Jenis pelarut yang digunakan maupun penambahan pel pelarut kedalam bak
koagulasi
mempengaruhi
pproses roses
pembentukan
struktur
membran.
Penambahan dimetil formamida (DMF) sebagai solvent kedalam bak koagulasi mempengaruhi proses difusi antara solvent dan non solvent di dalam peristiwa demixing pada bak koagulasi. Membran SA1 yang dibuat tanpa penambahan solvent dalam bak koagulasi memiliki nilai Lp yang lebih tinggi dari membran me dengan penambahan pelarut dalam bak koagulasi (membran SA2) baik dengan pelarut aseton maupun DMF.
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Tabel 5.1 Nilai permeabilitas semua membran Membran SA1-D SA2-D
Nilai Lp (L/m2h) 36,45 13,15
Jenis proses membran*) Ultrafiltrasi Nanofiltrasi
SA1-A
30,35
Ultrafiltrasi
SA2-A
12,19
Nanofiltrasi
*)
Berdasarkan referensi Mulder, 1996
Molecular Weight Cutt Off (MWCO) MWCO dapat didefinisikan sebagai bobot molekul suatu zat pelarut yang menggunakan 80-90% dapat direjeksi oleh membran. MWCO dapat diuji dengan me mengguna suatu larutan standar yang telah diketahui berat molekulnya (Mulder, 1996). Pengujian MWCO pada penelitian ini menggunakan larutan dekstran dengan berbagai berat molekul
Gambar 3. Rejeksi membran terhadap larutan dekstran Membran SA2-A dan SA2 SA2-D D memiliki selektivitas yang lebi lebih tinggi dibandingkan dengan membran SA1 A karena memiliki struktur yang SA1-Adan SA2-A y lebih rapat. Hal ini membuktikan bahwa penambahan kompo komposisi didala didalam bak koagulasi gulasi maka akan menghasilkan ukuran pori membran yang lebih kecil kecil, karena variasi pelarut didalam komponen bak koagulasi akan mempengaruhi nila nilai koefisien fisien rejeksi pada membran (Dwi Indarti, 2012). Membran dengan pelarut p
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
aseton memiliki rejeksi lebih tinggi disbanding dengan pelarut DMF, hal ini dikarenakan pada pelarut aseton interaksi antara pelarut dan non pelarut lebih kecil, sehingga menghasilkan pola pembentukan membran delayed demixing pada tahap immerse, menyebabkan membran memiliki struktur lebih rapat (Mulder, 1996). Pada Tabel 2 dibawah jelas terlihat bahwa membran SA2-A maupun SA2D dapat menahan 90 % larutan dekstran pada berat molekul 40.000 Da. Tabel 2. Rejeksi larutan dekstran pada membran SA2 Membran BM Dekstran (dalton) 12000 19500 SA2-D 39000 19500 39000 12000 SA2-A 19500 39000
Rejeksi (%) 74,2 87,12 90,9 70 82 67,44 88,9 92
Kinerja Membran dalam Menurunkan Kadar Garam Kinerja membran dapat diukur dari nilai fluks dan rejeksi membran terhadap garam. Berdasarkan dari hasil penelitian ini, diperoleh bahwa nilai fluks semakin meningkat seiring bertambahnya tekanan operasi pada berbagai membran selulosa asetat.
!
Gambar 4. Fluks keempat membran pada berbagai tekanan transmembran
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
Peningkatan fluks ini dapat dijelaskan karena semakin besar gaya dorong yang diberikan maka akan semakin banyak permeat yang lolos melewati membran. Dari hasil penelitian jelas terlihat bahwa nilai fluks keem keempat membran berbeda, hal ini menunjukkan kinerja ke empat membran berbeda seperti ditun ditunjukka ditunjukkan pada gambar 4 dibawah ini. semakin banyak penambahan pelarut dalam bbak koagulasi maka nilai fluks semakin rendah, karena semakin rapatnya struktur m membran maka semakin banyak variasi bak koagulasi gulasi juga mempengaruhi koefisien koe nilai fluks. Kinerja membran dalam menurunkan salinitas dapat dilihat dari nila nilai rejeksi membran terhadap larutan NaCl 2000 ppm. Rejeksi dihitung bbe berdasarkan persamaan (2), dimana permeat membran diukur konduktivit konduktivitasnya mengguna menggunakan peralatan konduktometer.
Gambar 5. Rejeksi bebagai membran terhadap larutan NaCl
Perbedan pelarut menunjukkan kinerja yang berbeda dalam mereje merejeksi larutan NACl, dimana membran dengan pelarut aseton memiliki rejeksi yang lebih tinggi dibandingkan membran dengan pelarut DMF, hal ini sesuai dengan af affinitas antara aquades sebagai non pela pelarut rut dengan pelarut, dimana affinitas antara DMF dan air lebih besar disbanding dengan aseton dan air, membran sel selulosa asetat dengan pelarut DMF mengikuti pola instansteneous demixing sedangkan membran selulosa asetat dengan pelarut aseton mengikuti pola delayed
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
demixing(Mulder, 1996). Oleh karena itu variasi penambahan pelarut dalam bak koagulasi dapat diperlukan untuk mengatur laju difusi antara pelarut dan non pelarut pada proses immerse dalam pembuatan membran. Membran dengan penambahan pelarut kedalam bak koagulasi (membran SA2-A dan SA2-D) menunjukkan nilai rejeksi yang lebih tinggi dibandingkan membran tanpa penambahan pelarut (membran SA1-A dan SA2-A), hal ini dikarenakan penambahan pelarut kedalam bak koagulasi menyebabkan terjadinya peristiwa delayed demixing, sehingga struktur membran yang terbentuk menjadi lebih rapat.Sesuai dengan referensi (Lin, K,Y, etc, 2002; Ren, J.Z. etc, 2004) penambahan solvent kedalam bak koagulasi dapat mengurangi rasio perpindahan massa solvent dan nonsolvent kemudian akan menghilangkan macrovoids. Didalam referensi pencetakan lapisan films dilakukan diatas pelat kaca atau pelat dense lainnya. Intrusi nonsolvent melalui permukaan bagian bawah casting film terbukti mempengaruhi pembentukan macrovoid dalam proses inversi fasa secara presipitasi immerse (Xinxia Tian, 2014:8-19). Maka penambahan nonsolvent yang semakin banyak akan dapat memperkecil pembentukan macrovoid sehingga dapat meningkatkan rejeksi dari membran
4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pegujian permeabilitas menunjukkan membran dengan pelarut aseton memiliki nilai permeabilitas yang lebih rendah dibandingkan membran dengan pelarut Dimetil Formamid (DMF). Hasil karakteristik membran menunjukkan bahwa membran SA1-A dan membran SA1-D tergolong kedalam membran ultrafiltrasi dengan nilai Lp masing-masing 30,35 L/m2.H dan 36,45 L/m2.H. Membran SA2-A dan SA2-D dapat disimpulkan mendekati membran nanofiltrasi dengan nilai Lp masing-masing 12,19 L/m2.H dan 13,15 L/m2.H. Penambahan pelarut kedalam bak koagulasi yang berisi non pelarut pada pembuatan
membran
secara
inversi
fasi
dengan
presipitasi
immersi
mempengaruhi kinerja membran dalam menurunkan salinitas. Membran SA2 memiliki rejeksi lebih tinggi dibandingkan membran SA1 baik untuk pelarut
PROSIDING SNTK UNIMAL 2016 17 OKTOBER 2016
aseton maupun DMF. Rejeksi tertinggi pada membran SA2-A yaitu 85,23% pada tekanan 3 bar, sedangkan membran SA2-D memiliki rejeksi tertinggi pada tekanan 4 bar sebesar 85,7%.
5. DAFTAR PUSTAKA A. Al-Amoudi, R.W. Lovitt, 2011, Fouling strategies and the cleaning system of NF membranesand factors affecting cleaning efficiency, J. Membr. Sci. 303: 4-28. C. Fritzmann, J. L€owenberg, T. Wintgens, T. Melin, State-of-the-art of reverse osmosis desalination, Desalination 216 (2007) 1e76. K.L. Tung, Y.L.Li, S. Wang, D. Nanda, C.C.Hu, C.L.Li.J.Y. Lai, J.Huamg, 2010, Performance and effect of polymeric membranes on the dead- end microfiltration protein solution during filtration cycle, Journal Membrane Science, 352: 143-152 M.M. Pendergast, E. M.V. Hoek, 2011, A review of water treatment membrane nanotechnologies, Energy Environt, Science, 4:1946-1971 M. Gagliardi, Global market sand technologies for nanofiltration, BCC Research,2014 Mulder,M.,( 1996), Basic Principles of Membranes Tecnology, Kluwer academic Publisher,Netherland, M. Li, 2011,Reducing specific energy consumption in Reverse Osmosis (RO) water desalination: An analysis from first principles, Desalination 276 N. Widjojo, T.S. Chung, M. Weber, C. Maletzkoc, V. Warzelhan, 2011, The role of sulphonated polymer and macrovoid-free structure in the support layer of thin film composite (TFC) forward osmosis (FO) membranes, Journal Membrane Science, 383: 214-223 N. Voros, C. Kiranoudis, Z. Maroulis, 1998,Solar energy exploitation for reverse osmosis desalination plants, Desalination 115 P.B. Kosaraju, K.K. Sirkar, 2008, Interfacially polymerized thin film composite membranes on microporous polypropylene supports for solvent-resistant nanofiltration, Journal Membrane Science,321:155-161 R. Haddad, E. Ferjani, S. Roudesli and A. Deratani, 2004, Properties of Cellulose Asetat Nanofiltration Membranes, Application to brackish water desalination, . J. Membr. Sci., 167, 403 -409. Y. Song, J. Xu, Y. Xu, X. Gao, C. Gao, 2011,Performance of UF–NF integrated membrane process for seawater softening, Desalination 276:109–116.