124 _______Analisis Prinsip-prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan Pelayanan Prima,
Andi Kasmawati
ANALISIS PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN PRIMA ANDI KASMAWATI Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Abstrak: Konsep kepemerintahan yang baik seperti partisipasi, supermasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsensus, kesetaraan, efektif dan efesien, bertanggung jawab dan visi yang strategis kesembilan karakteristik tersebut saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, adalah suatu konsep yang secara filosofi mengandung makna yang sangant prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan, oleh karena itu pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan senantiasa berpedoman pada prinsip prinsip kepemrintahan yang baik sebagaimana diuraikan dalam pembahasan makalah ini, sehingga pemerintah dalam hal ini aparat pemerintahan dapat melakukan pelayanan secara baik (Pelayanan Prima) kepada masyarakat. Kata Kunci: Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Prima
PENDAHULUAN Idealnya suatu pemerintahan yang baik, adalah pemerintahan tersebut menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal yaitu melaksanakan prinsipprinsip kepemerintahan yang baik (good governance) Lahirnya prinsip kepemerintahan yang baik (good governance) di landasi oleh makin besarnya beban pemerintahan, sehingga pemerintahan secara sadar telah melakukan serangkaian kebijakan untuk mengalihkan beban tersebut kepada swasta dan masyarakat. Bahkan oleh berbagai personal mikro, terdapat kecendrungan pemerintahan tidak lagi menangani berbagai permasalahan dan memilih masyarakat sendiri yang menanggulanginya. Menghadapi hal tersebut paling tidak berbagai tantangan yang harus dihadapi dalam hubungan antara pemerintah dengan masyarakat yaitu : bagaimana melakukan perubahan dalam
pengelola jalanya pemerintahan, pembangunan, dan pelaanan public (The way of governance) dan bagaimana upaya untuk menangani apa yang harus diatur, dibangun, atau dilayani (The wattens of goverbility) Adanya perubahan pola hubungan antara pemerintahan dan masyarakat tersebut. Inilah yang menimbulkan pola baru dalam penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan pemerintahan, swasta, dan masyarakat yang dikenal dengan pergeseran pradigma dari pemerintah (government) menjadi kepemerintahan (governence) sebagai wujud intimidasi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan yang demikian kompleks, dinamis, dan beraneka ragam, Kooiman, 1993 (LAN Membngunan Kepemerintahan yang Baik, modul PENLAT Kepemimpinan tingkat III 2008: 3) Berdasarkan uraian tersebut tergambar bahwa kepemerintahan
125 (governance) mengandung makna filosofi terhadap pola pemerintahan yang merujuk pada prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, oleh karena itu pada pemaparan makalah ini diuraikan bagaimanakah kandungan filosofis dari setiap prinsip kepemerintahan yang baik sebagaimana digariskan dalam sebuah pemerintahan. PEMBAHASAN A. Konsepsi Baik
Kepemerintahan
yang
Secara mendasar karakristik kepemerintahan yang baik berdasarkan uraian paling tidak memenuhi tiga komponen utama yaitu transparansi (transperancy), supremasi/penegakan hukum (Rule of low) dan akuntabilitas (acuntability). Secara konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung dua pemahaman: Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efesien dalam pelaksanaaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian ini kepemerintahan yang baik berorientasi pada dua hal yaitu : Pertama Orientasi ideal Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, dan kedua, Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efesien
melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Oreantasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituten atau pemilihnya seperti: legitimacy atau legitimasi, apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya; accountability atau akuntabilitas, yaitu seberapa jauh perlindungan hak-hak asasi manusia terjamin, adanya otonomi dan devolusi kekuasaan kepada daerah, serta adanya jaminan berjalanya mekanisme kontrol oleh masyarakat. Sedangkan orientasi kedua, tergantung pada sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik serta adminisitrasi berfungsi secara efektif dan efesien. Dokumen yang diterbitkan oleh United Nation Development Program (UNDP) dan pemerintah Vietnam memberikan definisi good governance sebagai proses yang meningkatkan interaksi konstruktif diantara domaindomainnya dengan tujuan untuk menciptakan dan memelihara kebebasan, keamanan, dan kesempatan bagi adanya aktivitas swasta yang produktif. Oleh karena itu good governance juga adalah mengutamakan partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan efektifitas serta memperlakukan semua sama. Adapun UNDP sendiri memberikan definisi good governance sebagai “hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara Negara, sektor swasta dan masyarakat (society)”. Berdasarkan definisi itu, kemudian UNDP mengajukan karakteristik good governance, seperti: partisipasi, supermasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsensus, kesetaraan, efektif dan
Humanis, Volume XII Nomor 2, Juli 2011___________________________________________
126
_______Analisis Prinsip-prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan Pelayanan Prima, Andi Kasmawati
efesien, bertanggung jawab dan visi yang strategis kesembilan karakteristik tersebut saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri. Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance, tampaknya domain Negara atau pemerintah (state/ governance) menjadi domain yang paling memegang peranan penting dalam mewujudkan good governance, karena fungsi pengaturan yang memfasilitasi domain sektor swasta dan masyarakat (society), serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintah melekat pada domain ini. B. Prinsip-Prinsip yang Baik
Kepemerintahan
Karakteristik kepemerintahan yang baik sebagai suatu prinsip dikemukakan dalam Rencana Strategis LAN 2000-2004, di mana disebutkan perlunya pendekatan baru dalam penyelenggaraan Negara dan pembangunan yang terarah pada terwujudnya kepemerintahan yang baik (good governance) yakni: “…proses hukum dan HAM, desentralistik, parsitipatif, transparan, berkeadilan, bersih, dan akuntabel: selain berdayaguna ber-hasil guna dan berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa”. Gambir Bhatta (1996: 7) mengungkapkan bahwa “unsur-unsur utama governance” (bukan prinsip), Yaitu: akuntabilitas, (accountability), transparansi (transparency), keterbukaan (openness), dan aturan hukum (rule of low) ditambah dengan kompetensi manajemen/management competence) dan hak-hak asasi manusia (human right). Selanjutnya dikemukakan adanya empat unsure utama yang dapat
memberikan gambaran suatu administrasi publik yang bercirikan kepemerintahan yang baik sebagai berikut: 1. Akuntabilitas, mengandung arti adanya kewajiban bagi aparatur pemerintah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkanya. Unsur ini merupakan inti dari kepemerintahan yang baik (good governance) 2. Transparansi, kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadapo rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Rakyat secara pribadi dapat mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang ditutup-tutupi dalam proses perumusan kebijakan publik dan tindakan pelaksanaanya (implementasinya). Dengan kata lain, segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum. 3. Keterbukaan, prinsip ini menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kretik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan. Kepemerintahan yang baik, yang bersifat transparan dan terbuka akan memberikan informasi/data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melkaukan penilaian atas jalannya pemerintahan. Dalam praktek, dewasa ini masih terlihat kenyataan misalnya dalam prosedur tender kompetetif suatu proyek pembangunan hingga penetapan keputusan pemenangnya, masih sering bersifat tertutup. Rakyat atau
127 bahkan para pelaku tender dengan pemerintah sering tidak memperoleh kejelasan informasi tentang hasil atau kreteria penetapan pemenang tender proyek yang bersangkutan. 4. Aturan Hukum (Rule of Low), prinsip ini mengandung arti bahwa kepemerintahan yang baik mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan yang ditempuh. Oleh karena itu, setiap kebijakan dan peraturan perundang0undangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang sudah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta memiliki kesempatan untuk mengevaluasinya. Masyarakat membutuhkan dan harus dapat diyakinkan tentang tersedianya suatu proses pemecahan masalah perbedaan pendapat (conflict resolution), dan terdap prosedur umum untuk membatalkan sesuatu peraturan atau peraturan perundangan tertentu. Hal ini penting untuk dikemukakan, mengigat bahwa kenyataanya sektor swasta dewasa ini terlibat dalamperekonomian nasional maupun internasional dan banyak terdapat kebutuhan untuk memiliki kejelasan tentang kerangka hukum yang mampu melindungi hak-hak kepemilikan seseorang (property rights) dan yang mampu menghormati nilai-nilai perjanjian dalam suatu kontrak bisnis. UNDP (1997) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip-prinsip yamg harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik, adalah meliputi: 1. Partisipasi (Participation), setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masingmasing. Partisipasi yang luas ini perlu dibangun dalam suatu tatanan kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisiapsi secara konstruktif. 2. Aturan Hukum (Rule of Low): kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh (impartially), terutama aturan hukum tentang Hak-hak asasi manusia. 3. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan aliran informasi. Berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara bebas oleh mereka yang membutuhkannya, dari informasinya harus dapat disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluaisi. 4. Daya tanggap (Responsiveness): setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (Stakeholders); 5. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation): pemerintahan yang baik (good governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau
Humanis, Volume XII Nomor 2, Juli 2011___________________________________________
128 _______Analisis Prinsip-prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan Pelayanan Prima,
6.
7.
8.
9.
kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah; Berkeadilan (Equity): pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya; Efektivitas dan Efesiensi (Effectiveness and Efficiency): setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumbersumber yang tersedia; Akuntabilitas (Accountabilty): para pengambil keputusan (decision makers) dalam organisasi sector public (pemerintah), swasta, Dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders). Pertanggungjawaban tersebut berbedabeda, tergantung apakah jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal; Bervisi Strategis (Strategic Vision): para pemimpin dan masyarakat memiliki persepktif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) dan pembangunan manusia (human development). Bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga memahami aspek-aspek histori,
Andi Kasmawati
cultural, dan kompleksitas yang mendasari perspektif mereka; 10.Saling Keterkaitan (Interrelated): bahwa keseluruhan cirri good governance tersebut diatas adalah saling memperkuat dan saling terkait (mutually reinforcing) dan tidak bisa berdiri sendiri. Misalnya, informasi semakin mudah diakses berbakti transparansi semakin baik, tingkat partisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin efektif. Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi kepada dua hal, yaitu terhadap pertukaran informasi informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan, dan untuk memperkuat keabsahan atau legitimasi atau berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong efektivitas pelaksanaanya, dan sekaligus mendorong peningkatan partisipasi dalam pelaksanaanya, dan kelembagaan yang responsive haruslah transparan dan berfungsi sesuai dengan aturan hukum ydan perundang-undangan yang berlaku agar keberfungsiaannya itu dapat dinilai berkeadilan. Mustopadidjaja (1999: 10-11) mengungkapakan bahwa “…untuk mengaktualisasikan potensi masyarakat dan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi bangsa, perlu dijamin berkembangnya kreativitas dan oto aktivitas masyarakat bangsa yang terarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat serta ketahanan dan daya saing perekonomian bangsa.” Meskipun tidak secara tegas menyatakannya sebagai prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, namun
129 Mustopadidjaja (1999: 11-14) merekomendasikan agar “format bernegara Masyarakat Madani” sebagai system penyelenggaran Negara baik di pusat maupun di daerah-daerah, perlu memperhatikan antara lain prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Prinsip Demokrasi dan Pemberdayaan Penyelenggaraan Negara yang demokratis adalah adanya pengakuan dan penghormatan Negara atas hak dan kewajiban warga Negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggungjawabnya dala penyelenggaraan Negara dan pembangunan bangsa. Dalam hubungan itu para penyelenggara Negara dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya tidak harus selalu melakukan sendiri (Rowing), tetapi sebaiknya berfungsi mengarahkan (Steering), atau memilih kombinasi yang optimal diantara keduanya. Dalam rangka upaya pemberdayaan masyarakat, peranan pemerintah dapat ditingkatkan antara lain melalui; (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat; (b) perluasan akses pelayanan untuk menjunjung berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat; dan (c) pengembangan program untuk lebih meningkatakn kemampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna meningkatkan kesejahtraan masyarakat. 2. Prinsip Pelayanan. Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani masyarakat (a spirit of public service),
dan menjadi mitra masyarakat (partener of society), atau melakukan kerjasama dengan masyarakat (co-production). Agar hal ini bisa terwujud diperlukan perubahan perilaku melalui pembudayaan kode etik (code of conduct) yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling strategy) yang diterjemahkan kedalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah-daerah. Dalam hubungan itu para aparatur perlu menghayati benar makana administrasi public sebagai wahana penyelenggaraan pemerintah Negara yang esensinya adalah “ melayani publik”. 3. Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas. Aparatur dan sistem manejemen pemerintahan harus mengembangkan keterbukaan dan system akuntabilitas, harus bersikap terbuka untuk mendorong para pemimpin dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melambangkan kode etik. Serta dapat menjadikan diri mereka sebagai panutan masyarakat dalam rangka pelaksanaan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan Negara. Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha melalui peningkatan partisipasi dan kemitraan dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan: (a) Mengembangkan keterbukaan birokrasi pemerintah; (b) Deregulasi dan debirokratisasi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan oto aktivitas masyarakat; serta (c) Membuka akses proses penyusunan peraturan, kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Sehingga programprogram pembangunan akan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masyarakat, dilakukan secara riil dan adil
Humanis, Volume XII Nomor 2, Juli 2011___________________________________________
130
_______Analisis Prinsip-prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan Pelayanan Prima, Andi Kasmawati
sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat. 4. Prinsip Partisipasi. Dalam hubungan ini, masyarakat harus mendapatkan kesempatan yang luas dalam berperan serta menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa publik (publik goods and services) melalui proses kemitraan dan kebersamaan prinsip ini sejalan dengan salah satu prinsip Reinventing Government (Osborne dan Gaebler. 1992) yaitu “empowering rather than serving”. Dengan pola desentralisasi fungsifungsipelayanan publik kepada masyarakat, diharapkan peningkatan efesiensi dan efektivitas pelaksanaan pembangunan akan dapat tercapai, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat peningkatan peran serta mereka dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan Negara, pembangunan, dan pelayanan public. Semua itu merupakan bagian dari proses peningkatan kapasitas masyarakat bangsa (capacity building) baik secara individu maupun kelembangaan. 5. Prinsip Kemitraan. Dalam lingkungan masyarakat modern, bahkan post modern dewasa ini, peranan dunia usaha sangat startegis bagi kemajuan pembangunan nasional untuk mewujudkan peningkatan kesejahtraan masyarakat yang semakin baik. Oleh karena itu, perlu diciptakan iklim yang kondusif untuk terwujudnya kemitraan dunia usaha dengan pemerintah, serta keserasian dan kesimbangan kemitraan antara dunia usaha skala besar, menengah dan kecil dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan lkainnya; termasuk upaya pengintergrasian usaha kecil ke dalam
sektor modern dalam ekonomi nasional, serta mendorong pertumbuhannya. 6. Prinsip Desentralisasi. Pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah, karena itu berbagai kewenangan yang selama ini ditangani oleh pemerintah sebagian besarnya perlu diserahkan kepada daerah. Berbarengan dengan itu pula dunia usaha, khususnya perusahan besar yang berkantor pusat di Jakarta sebaikanya mendesentralisasikan usahanya ke daerah-daerah, karena dengan desentralisasi yang dilakukan pemerintah banyak keputusan dan kebijakan ekonomi mikro dan perjanjian usaha yang telah dapat diselesaikan di daerah-daerah. Perbedaan perkembangan antara daerah membawa implikasi yang berbeda pada macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan dunia usaha memerlukan: (a) desentralisasi dalam pemberian perijinan, dan efesiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha di bidang sosial ekonomi; (b) penyusuaian kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan tertinggal, dan sistem pertimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan kontribusi dan potensi pembangunan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendaptkan informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan wilayah lainnya kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah. 7. Konsistensi Kebijakan dan Kepastian Hukum. Peningkatan pembangunan dan efesiensi nasional membutuhkan penyusuain kebijakan dan perangkat perundang-undangan, namun tidak berarti
131 harus mengabaikan kepastian hukum. Tegaknya hukum yang berkeadilan merupakan jasa pemerintahan yang terasa teramat sulit diwujudkan, namun mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Adanya kepastian hukum merupakan indikator prefesionalisme dan syarat bagi kredibilitas pemerintahan., sebab bersifat vital dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta dalam pengembangan hubungan internasional. Tegaknya kepastian hukum juga mensyaratkan kecermatan dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan, sebab berbagai kebijakan publik tersebut pada akhirnya harus dituangkan dalam system perundangundangan untuk memiliki kekuatan hukum, dan harus mengandung kepastian hukum. Dengan terpenuhinya prinsipprinsip tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara dan pembangunan nasional Indonesia dalam dekade-dekade awal abad ke-21 ini, diharapkan upaya penataan kehidupan sosial, ekonomi dan politik akan terwujud secara mantap sejalan perkembangan peradapan masyarakat madani (Civil Society). Masyarakat madani manurut Mustopadidjaja (1999: 7) adalah suatu tatanan masyarakat yang memiliki nilainilai sdasar ketuhanan, kemerdekaan, hak asasi dan martabat manusia, kebangsaan, demokrasi, kemajemukan, keadilan, supermasi hukum, keterbukaan, partisipai, kemitraan rasional, etis, perbedaan pendapat, dan pertanggungjawaban (akuntabilitas) yang seluruhnya harus melekat pada setiap individu dan institusi yang memiliki komitmen untuk mewujudkannya.
Nilai-nilai masyarakat madani tersebut harus mampu diwujudkan sebagai upaya reformasi nasional penyelenggaraan Negara dan pembangunan., dalam rangka menyeimbangkan posisi dan peran pemerintah dan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam rangka itu, menurut Mustopadidjaja (1999: 8-9): “…sosok pemerintahan diharapkan tampil dengan susunan organisasi yang sederhana tetapi professional dan efektif, demokratis dan konsisten dalam menerapkan prinsip dan sendi-sendi kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan Negara, menghormati opesisi dan perbedaan pendapat, mengektifkan pengawasan dan system pertanggungjawaban, serta menjunjung tinggi HAM dan hak-hak warga Negara seluruh lapisan masyarakat sdalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” C. Prinsip Pelayanan Prima Bentuk-bentuk pelayanan oleh pemerintah kepada masyarakat berjumlah ribuan dan secara teknis berbeda satu sama lainnya. Dari sekian ribu ini yang sudah dapat dinilai sebagai pelayanan prima masih belum banyak. Sebuah pelayanan dinilai sebagai pelayanan prima jika desain dan prosedurnya memetuhi beberapa prinsip, yaitu mengutamakan pelanggan, merupakan system yang efektif, melayani dengan hati nurani, melakukan perbaikan yang berkelanjutan, dan memberdayakan pelanggan. 1. Mengutamakan Pelanggan Pelanggan pada dasarnya adalah pemilik dari pelayanan kita. Tanpa pelayanan tidak akan pernah ada
Humanis, Volume XII Nomor 2, Juli 2011___________________________________________
132 _______Analisis Prinsip-prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan Pelayanan Prima, pelayanan. Mereka memiliki kekuatan untuk menghentikan atau terus menghidupkan pelayanan kita. Mengutamakan pelanggan secara praktis diartikan sebagai berikut: a. Prosedur pelayan harus disusun demi kemudahan dan kenyamanan pelanggan, bukan untuk memperlancar pekerjaan kita sendiri. Mengapa orang harus melawati beberapa loket untuk mendapatkan SIM? Mengapa harus ada loket yang terpisahpisah untuk pendaftaran pasien, kasir, laboratorium, apotek, dan kamar periksa dokter? Hal-hal semacam ini terjadi mungkin karena kita memang masih belum cakap dalam menggalang koordinasi dan integrasi dengan teman-teman sekerja, dan pelanggan yang ternyata harus menanggung akibatnya. b. Jika pelayanan kita memiliki pelanggan eksternal dan pelanggan internal, maka harus ada prosedur yang berbeda, dan terpisah untuk keduanya. Pelayanan bagi pelanggan eksternal harus lebih diutamakan dari pada untuk pelanggan internal. c. Jika pelayanan kita juga memiliki pelanggan tak langsung, selain pelanggan langsung, maka harus dipersiapkan jenis-jenis layanan yang sesuai untuk keduanya. Pelayanan bagi pelanggan tak langsung perlu lebih diutamakan dari pada untuk pelanggan langsung. 2. Sistem Yang Efektif Sebuah proses pelayanan perlu dilihat sebagai sebuah sistem yang nyata
Andi Kasmawati
(“hard system”), yaitu tatanan yang memadukan hasil-hasil kerja dari berbagai unit dalam organisasi kita. Perpaduan ini harus terlihat sebagai proses pelayanan yang berlangsung dengan tertib dan lancar di mata para pelanggan. Jika perpaduan ini sungguh baik, pelanggan bahkan tidak pernah mersakan bahwa mereka sebenarnya telah berhadapan dengan beberapa unit yang berbeda. Dari segi desain pengembangannya, setiapa pelayanan selayaknya memiliki prosedur yang memungkinkan perpaduan hasil kerja ini dapat mencapai batas maksimun. Pelayanan juga harus dilihat sebagai sebuah sistem yang “halus” (soft system) yaitu sebuah tatanan yang mempertemukan manusia satu dengan yang lain. Pertemuan semacam ini tentu melibatkan sentuhansentuhan emosi, perasaan, harapan, harga diri, penilaian, sikap, dan perilaku. Agar kita berhasil merebut hati pelanggan, maka proses pelayanan sebagai “soft system” ini harus berjalan efektif, artinya mengungkit munculnya kebanggan pada diri petugas dan membentuk citra positif dimata pelanggan. Sebagai “soft system”, desain pelayanan memiliki kekuatan sistemik untuk “membentuk” pola perilaku baik pada petugas pelayanan, maupun pada pelanggan. Jika ternyata muncul perilaku-perilaku yang kurang menguntungkan selama berlangsung proses pelayanan, baik itu pihak petugas perbaikan desain sistemnya terlebih dahulu. Jangan terburu-buru menyalahkan manusia, kemungkinan besar yang salah adalah justru tatanannya. Orang cendrung menunjjukan pola perilaku yang sama
133 jika berada pada satu tatanan yang sama. 3. Melayani Dengan Hati Nurani Sebaik apapun desain dan prosedur sebuah pelayanan, akhrinya tetap para petugas pelayanan yang harus berhadapan maka secara langsungdengan para pelanggan. Saatsaat terjadinya transaksi antar manusia seperti ini sangat berharga. Penilaian pelanggan terhadap mutu sebuah layanan sebagian besar terjadi ketika mereka bertemu muka langsung dengan petugas pelayan. Meskipun sarana dan prasarana pelayanan sering dijadikan tolak ukuran mutu oleh para pelanggan, namun ukuran utama penilaian tetap sikap dan perilaku pelayanan yang ditampilkan oleh para petugas. Sikap dan perilaku yang baik sering dapat menutupi kekurangan dalam hal sarana dan prasarana. Dalam transakasi tatap muka dengan pelanggan, yang utama adalah keaslian sikap dan perilaku sesuai dengan hati nurani kita. Perilaku yang dibuat-buat, atau berlebihan sangat mudah dikenali oleh palanggan dan justru dapat memperburuk penilaian mereka. Keaslian perilaku hanya bisa muncul pada pribadi yang sudah matang, pribadi yang sudah menghayati bahwa kebahagiaan hidup hanya dapat diperoleh melalui pengabdian dan pelayanan. Sebagai “soft system” jika dirancang dengan baik proses pelayanan dapat menjadi wahana belajar yang sangat efektif untuk mempercepat kematangan pribadi. 4. Perbaikan Berkelanjutan Pelanggan pada dasarnya juga belajar mengenali kebutuhan dirinya dari proses pelayanan kita. Semakin baik
mutu pelayanan akan menghasilkan pelanggan yang semakin sulit untuk dipuaskan, karena tuntutann ya juga semakin tinggi dan kebutuhannya semakin meluas serta beragam. Kita lihat dunia perbankan. Dahulu kita cukup dilayani oleh karyawati sebagai teller. Kemudian bank memperkenalkan ATM. Segera tuntutan kita meningkat, mengapa hanya bisa untuk menarik uang kontan? Mengapa tidak dapat digunakan untuk setor? Bukankah lebih praktis lagi jika dapat digunakan sebagai kartu debet langsung ketika belanja, dari pada harus menarik uang kontan dahulu? Bukankah akan lebih bermanfaat jika dapat juga digunakan untuk membayar tagihan listrik? Fenomena aksi-reaksi antara mutu layanan dan tuntutan pelanggan semcam ini akan terus bergulir, semakin lama semakin cepat. Fenomena ini telah memacu kita untuk mampu terus menerus meningkatkan mutu pelayanan. Jika ada pejabat Negara yang sudah tidak mau lagi memperbaharuhi desain pelayanannya bererti sudah tidak mengenal lagi pertumbuhan masyarakat yang dilayaninya. 5. Memberdayakan Pelanggan Memberdayakan pelanggan berarti menawarkan jenis-jenis layanan yang dapat digunakan sebagai sumber daya atau perangkat tambahan oleh pelanggan untuk menyelesaikan persoalan hidupnya sehari-hari. Sebagai contoh, kredit usaha tani menolong petani untuk dapat terus memperoleh penghidupan dari kegiatan bertani, pembangunan jalan untuk membuka isolasi daerah terpencil, dll.
Humanis, Volume XII Nomor 2, Juli 2011___________________________________________
134 _______Analisis Prinsip-prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan Pelayanan Prima, Disisi lain, cukup banyak layanan pemerintah yang sulit untuk dipahami apakah memang untuk memperdayakan masyarakat hanya untuk member pekerjaan kepada para karyawan, atau untuk hal-hal lain yang justru mengorbankan kepentingan orang banyak. Sebagai contoh Kartu Keluarga, Hansip, SDSB, Ijin Mendirikan Bangunan, monopoli perniagaan, dll. D. Konsep Pelayanan Prima Sebagai salah satu bidang kajian dalam administrasi publik pelayanan prima tidak tumbuh dengan sendirian, tetapi mengalami pengayaan silang dari berbagai kajian lainnya. Berikut ini disajikan berbagai konsep yang telah mewarnai perkembangan dan ikut serta membentuk sosok pelayanan prima seperti yang kita lihat saat ini. 1. Falsafah Pelayanan Pengembangan teknik-teknik pengenalan terhadap pelanggan berangkat dari kenyataan bahwa sering kali para pelanggan sendiri mengalami kesulitan untuk menyatakan kebutuhankebutuhannya. Ketika ditawari dengan sebuah pelayanan baru, biasanya mereka mulai dengan mencoba-coba dahulu, jika kemudian terbukti adanya nilai tambah bagi harkat hidupnya sebagai manusia mereka bilang itulah pelayanan yang selama ini mereka harapkan, dan terciptalah suatu kebutuhan. Oleh karena itu, pengembangan sistem pelayanan perlu dimulai dengan inisiatif, kreativitas dan tanggung jawab untuk menciptakan dinamika kehidupan yang lebih baik lagi bagi para pelanggan. Pelayanan prima harus mencerminkan falsafah prokreasi ini.
Andi Kasmawati
2. Karakteristik Pelayanan Prima Keputusan MENPAN No. 63 tahun 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, memuat pedoman dasar bagi tata laksan pelayanan publik oleh lembaga pemerintah kepada masyarakat. Semua pelayanan public dapat dipengaruhi aspek-aspek sebagai berikut: a. Kesederhanaan: pelayanan publik harus mudah, cepat, tidak berbelitbelit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan. b. Kejelasan: dalam hal presedur pelayanan, persyaratan pelayanan, persyaratan pelayanan, unit dan pejabat yang bertanggung jawab, hak dan kewajiban petugas maupun pelanggan, dan pejabat yang menangani kelurahan. c. Kepastian waktu: yaitu bahwa pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. d. Akurasi: bahwa produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah. e. Keamanan: bahwa proses dan produk pelayanan public memberikan rasa aman dan kepastian hukum. f. Tanggung jawab: bahwa pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk dapat dan harus bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan publik. g. Kelengkapan sarana dan prasaran: yaitu ketersediaan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai, termasuk pula penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan iformatika. h. Kedisiplinan: kesopanan dan keramahan dimana pemberi pelayanan
135 harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas. i. Kenyamanan: lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, rapi, bersih, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan lainnya seperti toilet, tempat parker, tempat ibadah, dan lain-lain. Pelayanan yang kita kembangkan secara berkala harus diaudit agar kandungan sepuluh unsur ini dapat terukur. Hasil audit kemudian disampaikan secara terbuka kepada masyarakat sebagai salah satu buktu akuntabilitas dari pelayanan kita. 3. Wawasan Kesisteman Pada tahun 1990 dunia manajemen mendapat suntikan darah baru berupa munculnya perangkat piker yang dikenal dengan Wawasan Keistimewaan (System Thinking). Perangkat ini sangat bermanfaat untuk memecahkan persoalan-persoalan manajemen yang sangat rumit. Persoalan yang seolah-olah tampak seperti lingkaran setan tanpa ujung pangkal, persoalan-persoalan yang saling terkait, namun memiliki hubungan sebab-akibat yang terpisah jauh oleh ruang dan waktu. Wawasan kesisteman telah memacu munculnya pemikiran tentang bentuk organisasi yang sekiranya cocok untuk menghadapi tantangan masa depan, yaitu organisasi yang cakap belajar (learning organization). Organisasi semacam ini diyakini mampu terus tumbuh dan berkembang ditengah-tengah suasana yang cepat berubah, dan penuh ketidakpastian. Dibidang pelayanan publik, wawasan kesisteman ini sangat
bermanfaat, khususnya untuk memahami dampak pelayanan terhadap kesejahtraan rakyat. Banyak layanan publik jika dilihat sekilas tampak tidak langsung berhubungan dengan kesejahtraan rakyat. Namun ternyata jika dikaji dengan kawasan kesisteman akan terlihat konstribusinya yang sangat besar. Sebaliknya, lebih banyak lagi pelayanan publik yang sudah menghabiskan investasi besar-besaran, tetapi sebenarnya kurang dapat mengungkit kemakmuran umum jika disimak dengan wawasan kesisteman. Manfaat lain adalah memudahkan kita untuk menemukan pemecahan masalah pelayanan dengan pendekatan yang tidak konvensional, melainkan dengan lebih inovatif, kreatif dan lebih mendasar.
PENUTUP Karakristik kepemerintahan yang baik paling tidak memenuhi tiga komponen utama yaitu transparansi (transperancy), supremasi/penegakan hukum (Rule of low) dan akuntabilitas (acuntability). Karakteristik dasar ini diuaikan oleh berbagai kalanagan termasuk oleh United Nation Development Program (UNDP). Lahirnya berbagai konsep kepemerintahan yang baik menjadi prinsip penyelenggaraan pemerintahan dimana prinsip tersebut menjadi pedoman dalam melaksanakan pelanyaan kepada masyarakat secara baiak (Pelayanan Prima).
DAFTAR PUSTAKA Budi Setiyono. Pemerintahan Dan Manajemen Sektor Publik, Prinsip Manajemen
Humanis, Volume XII Nomor 2, Juli 2011___________________________________________
136 _______Analisis Prinsip-prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan Pelayanan Prima, Pengelolaan Terkini. Semarang: Kalam Nusantara, 2007. Bhatta, Ghambbir, 1996 Capacity Building at the Local Level for Effective Governance, Empowerment Without Capacity is Meaningless. Kooiman, 1993 (Lembaga Administrasi Negara 2008 Membangun Kepemerintahan yang Baik), modul PENLAT Kepemimpinan tingkat III.2008 Mustopadidjaja, 1999 (Lembaga Administrasi Negara, Membangun Kepemerintahan yang Baik, modul PENLAT Kepemimpinan tingkat III. Lembaga Administrasi Negara, Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima 2008, modul PENLAT Kepemimpinan tingkat III. Keputusan MENPAN No. 63 tahun 2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, memuat pedoman dasar bagi tata laksan pelayanan publik oleh lembaga pemerintah kepada masyarakat.
e-mail:
[email protected]
Andi Kasmawati