MENIMBANG PERAN DAN POSISI MEDIA MASSA DALAM PEMILUKADA Kadri1 & Khairy Juanda2 Abstrak Perbincangan tentang peran dan fungsi media massa selalu terkait dengan perdebatan tentang independensi. Namun independensi media massa sampai hari ini masih debatable. Media ethics menuntut lembaga media untuk bisa bersikap netral terhadap individu atau kelompok yang diliputnya. Media diharapkan dapat menjadi penetral dari segala konflik kepentingan yang ada dalam lingkungan dunia politik (PEMILUKADA). Menjadi pengontrol dan pengawas yang konstruktif bagi publik. Media mempunyai peran yang signifikan dalam PEMILUKADA, oleh karenanya media diharapkan mampu menjadi kontrol yang efektif (tidak malah menjadi pemain ketiga) dalam konflik-konflik yang terjadi terkait dengan kepentingan politik. Media massa memiliki posisi strategis dalam membangun dan mengawal kehidupan demokrasi. Tidak heran bila sejak kehadirannya, media massa telah menjadi pusat perhatian berbagai politisi dan pemimpin dunia hingga pemimpin lokal. Ekspektasi yang tinggi terhadap media massa tidak semestinya membuatnya melupakan peran pokok yang harus dilakoninya, terutama dalam mengawal demokrasi lewat informasi yang mendidik dan kontrol sosial (social surveillance). Dalam hubungannya dengan PEMILUKADA, ada beberapa peran yang bisa dimainkan untuk memaksimalkan kualitas PEMILUKADA. Pertama, media sebagai guru politik, media harus menyampaikan informasi yang utuh tentang realitas PEMILUKADA. Kedua, media sebagai pengontrol kritis-konstruktif. Ketiga, media sebagai perekat sosial.
Kata Kunci : media massa, pemilukada, independensi
1
Doktor Komunikasi dan Dosen Tetap pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram Magister Administrasi public dan Dosen Tetap pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram 2
17
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014: 17-25
A. Pendahuluan Keberadaan media massa dalam konteks pesta demokrasi seperti pemilihan umum kepala daerah (PEMILUKADA) makin hari kian urgen dirasakan oleh setiap orang. Pesta demokrasi di alam keterbukaan seperti saat ini memungkinkan setiap orang untuk secara leluasa mengekspresikan pendapatnya lewat media massa. Budaya membaca, mendengar, dan menonton masyarakat yang menunjukkan grafik peningkatan, menjadi alasan kuat bagi setiap pemangku kepentingan untuk memanfaatkan media massa sebagai sarana sosialisasi dan pencitraan diri (untuk tidak mengatakan kampanye). Namun di tengah meningkatnya pemanfaatan tersebut, banyak hal yang perlu didiskusikan menyangkut eksistensi media massa dalam konteks PEMILUKADA. Perbincangan seputar peran dan posisi pilar demokrasi keempat tersebut dalam PEMILUKADA
semakin
hangat
ketika
dua
arus
ekspektasi
yang
berlawanan
diperhadapkan. Seringkali ekspektasi publik yang menghendaki media massa berperan sebagai wahana netral tempat publik me-refer berbagai informasi terkait PEMILUKADA harus berhadapan dengan arus keinginan lainnya yang “memaksa” media untuk menjadi corong “kampanye” bagi kandidat dalam rangka memenangkan pertarungan di arena PEMILUKADA. Menilai ketepatan/kelayakan peran dan posisi media dalam konteks PEMILUKADA tentu harus berdasarkan standar tertentu. Salah satu standar yang dapat digunakan adalah peran media massa itu sendiri. Sebagaimana jamak dipahami, peran normatif media massa adalah sebagai pemberi informasi, pendidik, penghibur, dan pengontrol sosial. Tetapi belakangan, ada kalangan yang memasukan “fungsi bisnis” sebagai pelengkap empat fungsi media sebelumnya. Namun karena standar yang digunakan bukan standar matematis, tentu saja selalu ada ruang berdebat bagi setiap orang untuk secara subjektif menafsirkan, memaknai, dan mengelaborasi ukuran tersebut. Bagi yang tidak memiliki hubungan emosional dan politik (dalam bentuk apapun) dengan salah satu kandidat, sangat mungkin menginginkan media massa berperan sebagai pemberi informasi yang utuh dan maksimal seputar PEMILUKADA karena mereka juga ingin media menjadi tempat belajar politik (media sebagai pendidik) tanpa harus dinodai dengan informasi yang kontra produktif dengan semangat pendidikan politik. Sedangkan bagi kompetitor PEMILUKADA (termasuk tim sukses-nya), media tidak sekadar sebagai pemberi informasi dan pendidik, tetapi juga sebagai sarana bisnis untuk memasarkan sang kandidat di ruang publik.
18
Menimbang Peran dan Posisi Media Massa dalam Pemilukada (Kadri & Khairy Juanda)
Di tengah dua arus keinginan inilah dibutuhkan kearifan media massa untuk secara berimbang memainkan perannya. Peran sebagai “lembaga bisnis” memang dianjurkan karena media massa juga butuh energi untuk bertahan hidup. Tetapi jangan sampai ‘nafsu bisnis” media massa mereduksi peran-peran lain seperti pendidikan dan kontrol sosial. Kecenderungan terakhir ini lebih sering ditemukan di media massa kita, baik nasional maupun media massa lokal. Tradisi “perselingkuhan” media dengan pemilik modal telah menjadi fenomena klasik dalam dunia pers yang hingga saat ini masih langgeng. Di Negara-negara demokratis sekalipun fenomena ini tidak pernah luput. Dr. John C. Merrill3 dalam bukunya The Imperative of Freedom, A Philosophy of Journalism Autonomy, telah jauh hari mengatakan bahwa kebebasan dan independensi pers dalam melaksanakan tugasnya ditekan oleh kepentingan ekonomi yang menguasai pers itu sendiri. Kovach dan Rosenstiel4 juga mengutip pengalaman Tom Johnson (mantan penerbit Los Angles Times dan presiden Cable News Network) yang melihat bagaimana para pemilik media, dan pemilik modal mengintervensi dan merumuskan berita yang harus diturunkan. B. Mempersoalkan Independensi Media dalam PEMILUKADA Perbincangan tentang peran dan fungsi media massa selalu terkait dengan perdebatan tentang independensi. Namun independensi media massa sampai hari ini masih debatable. Banyak pertanyaan yang menyertai polemik tersebut, seperti, apakah yang harus independen hanya media elektronik (televisi dan radio) saja karena mereka menggunakan frekwensi publik, atau juga termasuk media cetak seperti surat kabar. Atau apakah ketika media massa memuat berita salah seorang kandidat secara berlebihan itu juga diklaim dependensi terhadap yang bersangkutan, padahal kebetulan saja sang calon memiliki nilai berita. Banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan untuk mengukur independensi media massa tersebut. Kalau menggunakan standar independensi yang sangat ketat, sesungguhnya tidak ada satu media massa pun yang independen, karena bisa saja mereka independen terhadap partai politik atau kandidat tertentu, tetapi mereka dependen terhadap modal tertentu. Sangat susah ditemui (untuk tidak mengatakan tidak ada) media massa yang menjelekkan produk tertentu lewat beritanya tetapi pada saat yang bersamaan ada iklan produk tersebut 3 Jakob Utama, Kemandirian pers di masa lalu, kini dan masa datang.” Dalam tajuk-tajuk dalam terik matahari : 40 tahun Surabaya Post. Surabaya, 1993. Yayasan Keluarga Bakti. 4 Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Element of Journalism, New York. Three Rivers Pr. 2003
19
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014: 17-25
di medianya. Dalam konteks PEMILUKADA misalnya, jarang terlihat media massa yang sedang memuat advertorial kandidat tertentu tetapi dibagian lain dari pemberitaannya mendiskreditkan figur yang sama. Apabila menggunakan perspektif/model “hierarchy of influence” dari Shoemaker dan Reese5, sangat susah untuk mendapatkan media massa yang independen, karena di dalam lingkaran aktivitas media menurut Shoemaker dan Reese terdapat lima kepentingan dan kekuatan yang mempengaruhi kecenderungan pemberitaannya, yakni; individu pekerja media, rutinitas media, organisasional, faktor eksternal organisasi media, dan faktor ideologi. Setumpuk kepentingan inilah yang membuat media massa tidak bisa terlepas dari jeratan dependensi kepentingan tertentu. Para pegiat analisis wacana kritis (critical discourse analisys) bahkan menggunakan kriteria yang ketat untuk mengukur keberpihakan media pada salah satu kandidat tertentu. Misalnya, mereka menghitung frekwensi tampilan, penempatan berita (halaman), dan pilihan bahasa yang digunakan, sebelum mereka mendalami relasi ideologis dan politik, serta ekonomi antara kandidat dengan media massa. Kalau menggunakan standar analisis kelompok ini (kelompok kritis), sangat susah ditemukan media yang independen. Independensi media massa menurut saya harus ditunjukkan pada konteks pemberitaan. Meskipun media memberi ruang “kampanye” bagi setiap kandidat di rubrik advertorial berdasarkan hukum pasar dan ketentuan lainnya yang terkait, tetapi jangan sampai media massa “mengotori” rubrik pemberitaannya dengan “kampanye” berkedok “news”. Ketika hal ini secara dikotomis terbagi dengan jelas, publik akan dapat membedakan mana berita dan mana iklan. Pada saat yang bersamaan, masyarakat dapat mendeteksi tingkat independensi media massa terhadap proses dan agenda politik yang sedang berlangsung. C. Berharap Banyak pada Media Massa Media massa memiliki posisi strategis dalam membangun dan mengawal kehidupan demokrasi. Tidak heran bila sejak kehadirannya, media massa telah menjadi pusat perhatian berbagai politisi dan pemimpin dunia hingga pemimpin lokal. Ekspektasi yang tinggi terhadap media massa tidak semestinya membuat mereka (media) melupakan peran pokok yang harus mereka lakoni, terutama dalam mengawal demokrasi lewat informasi yang mendidik dan kontrol sosial atau pengawas social (social surveillance). Dalam hubungannya 5
20
Shoemaker, Pamela dan Stephen D. Reese, Mediating the Massage, New York, Long Man, 1991
Menimbang Peran dan Posisi Media Massa dalam Pemilukada (Kadri & Khairy Juanda)
dengan PEMILUKADA, ada beberapa peran yang bisa dimainkan media massa untuk memaksimalkan kualitas PEMILUKADA. Pertama, media sebagai guru politik. Sebagai seorang guru, media harus menyampaikan
informasi
yang
utuh
tentang
realitas
PEMILUKADA,
untuk
menghilangkan dahaga publik yang haus dengan informasi PEMILUKADA, dan untuk mensuplai informasi yang bisa memenuhi hasrat keingintahuan masyarakat tentang PEMILUKADA. Guru yang baik adalah yang memperlakukan siswanya secara adil atau tidak diskriminatif. Perhatian yang lebih terhadap salah seorang siswa membuat siswa yang lain berontak dan bangkit memprotes. Media massa harus menyisihkan ruang bagi publik untuk mengekspresikan hasrat dan suara politiknya, sebagai bentuk partisipasi mereka atas proses politik yang sedang berlangsung Kedua,
media sebagai pengontrol kritis-konstruktif. Hiruk pikuk kehidupan
politik sebagai akibat eforia publik atas kebebasan, seringkali memunculkan praktek kehidupan politik yang bertentangan dengan anjuran demokrasi. Media massa sebagai pengawas sosial, harus dapat mengungkap praktek-praktek politik yang curang, dengan bahasa jurnalistik yang damai (tanpa provokatif). Hanya media yang memiliki komitmen terhadap tegaknya demokrasi yang mampu menjalankan tugas ini. Seringkali sikap kritis dan kontrol sosial media lebih bersifat reaktif terhadap suara lantang publik. Ketiga, media sebagai perekat sosial. Tingginya semangat setiap kandidat untuk memenangkan suatu pertarungan di PEMILUKADA terkadang membuat mereka lupa akan kekalahan. Ditambah lagi dengan munculnya masa-masa fanatik yang hanya ingin menang, membuat kemungkinan akan terjadinya sikap anarkis selalu menjadi ancaman bagi tatanan kehidupan sosial yang aman dan damai. Media massa dapat berperan untuk mengantisipasi kemungkinan terjelek dari PEMILUKADA seperti ini. Lewat pemberitaan yang sejuk dan ulasan yang mendidik, media massa dapat menyentuh hati dan perasaan konsumennya. Kita tidak ingin ada media massa yang menjadi “provokator”, karena hal tersebut tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga akan berakibat bagi hilangnya reputasi media itu sendiri. D. Peran Media Massa Dalam PEMILUKADA Secara umum terdapat tiga (3) fungsi media massa yang melekat dalam mereka, yakni6 :
6
Henry Subiakto dan Rachmah Ida, Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi, Jakarta, Kencana. 2012
21
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014: 17-25
1. Memberikan informasi : melalui informasi, media dapat membantu masyarakat untuk mengetahui berbagai persoalan, wacana dan fenomena yang terjadi. 2. Memberikan pendidikan : dengan menggunakan/ bantuan media, masyarakat dapat meningkatkan keterampilan, pengetahuan dan belajar tentang berbagai perkembangan penting dalam berbagai aspek kehidupan. 3. Memberikan hiburan : media dapat memberikan hiburan kepada masyarakat melalui tayangan-tayangan/ berita yang menarik dan menghibur. Idealnya, media harus menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat agar mereka dapat membentuk pendapat dan membuat keputusan sendiri tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk persoalan politik. Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (PEMILUKADA) beberapa tahun terakhir ini, media massa di Indonesia memiliki peran cukup besar terhadap political empowerment terhadap warga negara diberbagai daerah. Pers diharapkan bukan hanya menyukseskan dengan menyebarkan electorate information tentang bagaimana cara memberikan suara dalam PEMILUKADA, tetapi juga harus bisa memberikan/melakukan vote education (pendidikan pemilih). Mendidik masyarakat tentang relevansi PEMILUKADA terhadap kepentingan masyarakat, serta mendiskusikan apa dan bagaimana pentingnya PEMILUKADA bagi masyarakat. Sehingga dengan media massa juga mengajak publik untuk bersama-sama melakukan watching to the political process dalam PEMILUKADA. Dalam melakukan watching to the political process ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dan dilakukakan oleh media massa dalam PEMILUKADA7 : 1. Idealnya wartawan mempelajari seluruh aturan dan ketentuan PEMILUKADA, agar media bisa ikut melakukan pendidikan politik dan pengawasan. Ironinya, masih banyak wartawan dan media yang tidak paham tentang ketentuan dan aturan PEMILUKADA atau bahkan tidak menghiraukan aturan-aturan tersebut. 2. Idealnya media mempelajari cara-cara (modus) penyimpangan yang mungkin terjadi dalam setiap tahapan PEMILUKADA, mulai dari kampanye, saat pencoblosan maupun pada saat penghitungan suara. 3. Idealnya media massa senantiasa menjaga kredibilitas liputannya, dengan berpedoman pada independensi, akurasi dan fairness. Harus berpikir bahwa khalayak memiliki daya ingat yang panjang sejauh menyangkut kesalahan fakta informasi dan pemihakan. Ironinya, prinsip ini di lapangan banyak yang diabaikan, karena diantara para pelaku
7
22
Ibid.,……..hlm.174
Menimbang Peran dan Posisi Media Massa dalam Pemilukada (Kadri & Khairy Juanda)
media ternyata banyak yang hanya mengejar “berkah” PEMILUKADA, tanpa memperhitungkan yang namanya kredibilitas, objektifitas serta sikap netral. 4. Media hendaknya membuat aturan internal untuk menjaga kredibilitas pribadi wartawan. Misalnya dengan mengharuskan wartawan untuk non partisan. Apalagi menjadi tim sukses harus benar-benar dihindari. 5. Media idealnya harus menyusun standar atau pedoman dalam melakukan liputan politik untuk semua tahapan dalam PEMILUKADA. Misalnya, membuat pedoman ketika ada beberapa aktifitas calon kepala daerah yang kampanye secara bersamaan, bagaimana meliputnya, bagaimana mendeskripsikan jumlah peserta kampanye massal yang sedang melakukan reli politik, bagaimana membagi space untuk berita-berita yang berbarengan tadi, termasuk untuk opini dan analisis. Intinya prinsip memberikan kesempatan yang sama terhadap semua peserta PEMILUKADA, baik dalam iklan maupun dalam berita dapat dioperasionalkan melalui pembuatan standar jauh-jauh hari sebelumnya. 6. Media massa idealnya berperan menjadi megaphone untuk publik, yakni memfasilitasi suara masyarakat agar lebih terdengar, terutam kelompok yang termarginalisasi. Baik yang berkaitan dengan aspirasi yang ingin disampaikan maupun pertanyaan yang ada pada mereka. 7. Media idealnya selalu memberikan kesempatan yang sama pada semua peserta PEMILUKADA atau calon kepala daerah, baik yang berasal dari partai besar maupun partai kecil, baik incumbent (petahana) maupun yang belum dikenal. Keadilan harus menjadi prinsip utama bagi wartawan yang baik (etis). 8. Media
harus
concern
atau
perhatian
terhadap
pendidikan
politik.
Misalnya
mendeskripsikan bagaimana proses pemberian suara secara benar, memberikan contoh surat suara, menunjukkan contoh cara perhitungan suara hingga mekanisme penetapan pemenang PEMILUKADA. Selain itu media hendaknya memberi banyak informasi tentang pentingnya keikutsertaan masyarakat dalam PEMILUKADA, menulis isu-isu utama yang dijanjikan oleh para kandidat kepala daerah dalam kampanyenya. Hal ini dilakukan secara berulang, agar masyarakat (publik) dapat menilai secara gambling masing-masing calon/ kandidat. 9. Media sebaiknya berusaha memperdalam materi kampanye dan
janji calon kepala
daerah dengan interview mendalam agar bisa digali bagaimana solusi (visi dan misi) yang ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Bisa juga ditanyakan fokus
23
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014: 17-25
prioritas program yang ditawarkan, janji-janji yang disampaikan untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat melalui media. 10. Media hendaknya tetap konsisten mempertahankan sikap objektif dan netral pasca PEMILUKADA. Agar menjadi sumber informasi yang dapat dipercaya oleh semua kelompok masyarakat. Dalam setiap pemberitaan agar satu berita dari banyak sumber bukan sebaliknya satu sumber untuk banyak berita. 11. Untuk menjaga akurasi berita, kecepatan bukan ukuran utama. Tidak ada gunanya memperoleh berita dengan cepat tapi tidak benar. Walaupun media harus bersaing dengan media yang lain, hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar lebih penting dari pada sekadar mengejar kecepatan berita. Dalam hal ini wartawan harus mengecek fakta yang akan diberitakan, harus mendasarkan informasi dari orang yang kompeten. 12. Jika dalam PEMILUKADA ada konflik antara dua kekuatan politik, maka wartawan harus balajar dan memahami konflik yang akan diliput. Khalayak/ masyarakat akan bingung dalam memahami laporan wartawan, jika yang meliput sendiri tidak paham atau tidak menguasai konflik yang sedang terjadi. Dalam meliput konflik, media harus tetap seimbang dari kedua sudut yang berkonflik. Wartawan dan media bukanlah penengah konflik, tetapi laporan yang seimbang dan tidak memihak dapat menjembatani pihak-pihak yang terlibat konflik. Ironinya, sering kali media berada pada posisi (menjadi bagian dari konflik itu sendiri) atau mengambil keuntungan dari konflik yang muncul/ konflik yang terjadi. E. Penutup Media ethics menuntut lembaga media untuk bisa bersikap netral (tidak berpihak pada individu atau kelompoknya yang diliputnya. Media diharapkan dapat menjadi penetral dari segala konflik kepentingan yang ada dalam lingkungan dunia politik (PEMILUKADA). Mengontrol dan menjadi pengawas yang konstruktif bagi masyarakat (publik). Media mempunyai peran yang signifikan dalam PEMILUKADA, oleh karenanya media diharapkan mampu menjadi kontrol yang efektif (tidak malah menjadi menjadi pemain ketiga) dalam konflik-konflik yang terjadi terkait dengan kepentingan politik.
24
Menimbang Peran dan Posisi Media Massa dalam Pemilukada (Kadri & Khairy Juanda)
DAFTAR PUSTAKA Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. “Element of Journalism”. New York: Three Rivers Pr. 2003. Henry Subiakto dan Rachmah Ida. “Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi”. Jakarta: Kencana, 2012. Shoemaker, Pamela dan Stephen D. Reese. “Mediating the Massage”. New York: Long Man, 1991. Utama, Jakob. “Kemandirian Pers di Masa Lalu, Kini dan Masa Datang.” Dalam tajuk-tajuk dalam terik matahari: 40 tahun Surabaya Post. Surabaya:, Yayasan Keluarga Bakti, 1995.
25