Gagasan Tentara, Kata-kata Media Nasional, ‘Kenyataan’ Massa Rakyat Indonesia Budi Susanto SJ (Lembaga Studi Realino)
Abstract Regarding Indonesian recent extensive and intensive regional and communal violence, TNI, the Indonesian National Army—as one of the most responsible (and capable) state apparats to deal with it—in fact, almost has not done something substantial. Or, violent actions in contemporary Indonesian (multicultural) societies, perhaps, has never been a legitimate monopoly of supposedly a modern state. Based on critical analysis of news and images disseminated by contemporary mass media in modern Indonesia, this paper tries to deconstruct a myth. It is a (anthropological) myth of presuming that thoughts (and identity), words (and language) and reality (and imagination) were different things; and that those three things were related one to another hierarchically. After the ‘fall’ of the New Order military regime in 1998, and even in its most chaotic period, since early year of 2000, TNI innocently and ironically has manipulated the myth in order to maintain its hegemonic (dual function) power in dealing with the Indonesian common people’s expressions of looking for human rights and justice. Although, this paper likely does not believe any longer in the usual existing idea and practice of democracy that remains focus on making accountable the exercise of (military) government power. History of political economy has brought with it a fundamental change in the form of expanding business and financial power—modern audio-visual mass-media included. Cornering certain ironic contemporary typical Indonesian politico-economic and cultural representations, hopefully, this article would remind the readers on the allures and threats of a modernization which parades and sells out words, thoughts, and reality so recklessly.
Pendahuluan Para peneliti dan wartawan pemerhati hal dan masalah (ilmu-ilmu) sosial mudah menganggap dan menulis bahwa Jaques Derrida, seorang dekonstruksionis, adalah pengarang yang selalu meragukan hal yang selama ini dipercayai dan bahkan diyakini sebagai ‘kenyataan’. Dalam kebiasaan masyarakat dan kebudayaan Indonesia, apa yang disebut ‘kenyataan’ sesungguhnya adalah
54
suatu ‘pernyataan’—yang memanfaatkan katakata dan gagasan dari si pengujar atau penutur termaksud tentang sesuatu hal, masalah dan peristiwa tertentu. Bagi seorang dekonstruksionis seperti Derrida, peristiwa dan pengalaman adalah suatu hal yang memang tak dapat dihindarkan dari kehidupan sehari-hari; dan ia tak akan membiarkan suatu ‘pernyataan’ atau ‘kenyataan’ tentang suatu peristiwa yang dialami berlangsung begitu saja tanpa pernah
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
dipertanyakannya. Derrida akan lebih menghargai dan memperhatikan bentuk ‘salinan’ (tersurat) daripada sekedar ‘bunyi’ (Derrida 2000:7), ketika perlu mengkaji ulang penampilan kembali pengalaman termaksud. Tulisan ini memperbincangkan perlu tidaknya suatu (‘tahyul’) hirarki dari peran dan keberadaan antara tiga hal yang biasa diistilahkan sebagai: kata, gagasan, dan kenyataan. Perbincangan berikut ini adalah tentang perbahasaan Indonesia modern— berdasarkan kajian postkolonial—berkaitan dengan salah satu peristiwa mendesak dan penting yang berulang-ulang ditulis dalam beberapa surat kabar Indonesia. Perbincangan dekonstruktif berikut ini bukanlah sekedar upaya ‘relativisme’, tetapi sekaligus juga bukan suatu ‘indeterminacy ’ berkaitan dengan menyurat dan memberitakan peristiwa-peristiwa penting di Indonesian (post)modern termaksud. Bukan rahasia lagi bahwa akhir-akhir ini kasus-kasus kekerasan, kekejian dan kekejaman terhadap kemanusiaan—paling tidak dibandingkan dengan keadaan di kawasan Asia Tenggara lainnya—tercatat paling sering dan paling lama terjadi di Indonesia. Belum ada satu pihak pun dari kalangan pejabat atau aparat yang dianggap paling berwenang dan bertanggung-jawab, yang berani menjamin munculnya tindakan untuk meredakan kekerasan itu akan sungguh terjadi. Atau, jika memungkinkan, keluarnya suatu pernyataan tentang kepastian kekerasan akan berakhir. Dahulu, seorang peneliti kesusasteraan Jawa kuna, Zoetmulder, menduga bahwa sampai sebelum abad ke-15, dibanding dengan yang ada di Asia Tenggara daratan, peran kesusasteraan di Indonesia, di Jawa khususnya, sempat menjadi salah satu penyelamat untuk mengurangi kekacauan, konflik dan intrik yang memang mudah terjadi ketika suksesi dinasti bergulir di kerajaan-kerajaan di Jawa (Zoetmulder 1983:20). Kini, meskipun Reformasi
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
terjadi tahun 1998—dengan segala harapan demokratisasi dalam berbagai hal seperti kebebasan pers, kebebasan berpendapat kaum cendekiawan/wati, dan lain-lain—hal itu belum juga memberi titik terang tentang kemungkinan kekejaman itu berhenti. Beberapa orang asing yang pernah bekerja, meneliti, atau berkunjung ke Indonesia merasa ‘bingung’ dengan ‘kenyataan’bahwa meskipun pihak yang satu mengakui bahwa pihak yang lain adalah tetap sesama orang ‘Indonesia’, kedua pihak itu dapat saling bunuh—bahkan secara massal atau komunal. Meskipun orang Dayak maupun Madura di Kalimantan, atau orang Kristiani maupun Islam di Maluku, saling bunuh, tetap saja kedua belah pihak tersebut mengaku sebagai WNI. Adakah dendam dari masa lalu sebagai penyebab? Betulkah ada prasangka tertentu berdasarkan ikatan primordial kesukuan? Cerdas dan jeli mengamati media komunikasi modern, Siegel mengungkapkan bahwa kekejaman itu dapat terjadi di Indonesia modern, selain karena adanya penjahat gaya (orde) baru, juga karena peran khusus media massa modern (khas Jakarta) yang menyertainya (Siegel 2000a), yang memungkinkan berlarut-larutnya pelanggaran hak asasi manusia dan peristiwaperistiwa ketidak-adilan di Indonesia. Kalaupun tulisan ini memilih salah satu saja dari sekian banyak pihak yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap kesinambungan kekejaman tersebut, semata-mata adalah dengan harapan agar orang Indonesia dapat lebih jeli mengkaji ulang alasan-alasan pihak yang terlibat dapat sedemikian tega untuk melakukan kekerasan dan kekejian seperti itu. Kajian ulang berikut ini akan mempertanyakan: apakah antara gagasan, kata dan kenyataan dalam masyarakat dan kebudayaan kontemporer di Indonesia memang mempunyai keterkaitan hirarkis satu dengan yang lainnya, mempunyai pengaruh terhadap timbul-tenggelamnya
55
masalah kekerasan dan kekejaman di Indonesia.
Gagasan tentara Sekelompok pengamat militer Indonesia dari Ithaca, New York, mencatat bahwa dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir ini, sejak Januari 1999 keadaan tentara Indonesia, secara internal, sedang berada dalam masa paling ‘kacau’ (Indonesia 71, 2001). Memang tidak dipungkiri bahwa telah terjadi proses konsolidasi internal TNI. Pemerintah juga akan mengeluarkan UU yang mengatur perlunya pembagian tugas: TNI akan mengurus masalah pertahanan, sedang POLRI mengurus bidang keamanan dan ketertiban masyarakat. Akan tetapi, sulit untuk mengatakan bahwa ‘masalah internal’ tersebut pada pertengahan tahun 2002 (baca: satu tahun sesudah Gus Dur digusur Megawati melalui ‘kudeta’ tidak berdarah) sudah diatasi, antara lain, dengan kembalinya jabatan pimpinan tertinggi militer di Indonesia ke tangan seorang jenderal angkatan darat. Belum lama ini, ketika masih menjabat sebagai KASAD, dan sebelum dilantik sebagai Panglima TNI, Jenderal Endriartono mengatakan di depan warga Kostrad yang sedang berulang tahun sebagai berikut: TNI telah lama diperlakukan tidak adil. Kita dicerca, dihujat secara membabi buta sebagai faktor utama penyebab setiap masalah di Tanah Air. Dituduh terlibat dalam setiap tindakan kekerasan dan menjadi institusi yang kebal hukum yang tidak mampu ditembus siapa pun.
Lanjutnya, Jangan mau diperalat dan dipecah belah. Karena, itu semua merupakan sasaran mereka yang menginginkan terpecahnya negara Kesatuan RI. Saya yakin, tidak seorangpun rela bangsa yang diproklamasikan dengan cucuran darah dan korban nyawa, suatu saat tinggal kenangan (Kompas 2002b)
Ketika manusia menjadi jelas bahwa diri mereka tidak berdaya berhadapan dengan berlalunya peristiwa dan masa lampau—apalagi
56
kalau penuh hujatan—salah satu kemungkinan ‘jalan keluar’nya, yaitu kembali membayangkan, menggagas tentang sesuatu yang berasal dari masa lalu, masa keemasan yang adiluhung! Sadar atau tidak, Jenderal Endriartono yang sesungguhnya lahir di Purworejo, sedang membayangkan masa keemasan tentara dari ‘Angkatan 45’. Perlu diingat bahwa Purworejo adalah juga daerah kelahiran salah satu jenderal generasi Angkatan 45 dan pahlawan revolusi, almarhum Jenderal Ahmad Yani. Purworejo sejak zaman kolonial terkenal sebagai kota tangsi. Pada masa awal berdirinya rejim orde baru (sekitar tahun 1965), pemuda bernama Endriartoro ini nampaknya sedang menghabiskan waktunya di bangku SMA; dan selanjutnya di asrama tentara taruna Akabri di Magelang. Menurut catatan, ia, kelahiran 29 April 1947, lulus Akabri pada tahun 1971. Sesudah tertunda beberapa saat, kalaupun pada pertengahan tahun 2002 terjadi pergeseran pimpinan militer secara berurutan— antara lain jabatan Kasau, Kasal, Pangkostrad, Kasad, dan Panglima TNI—di Indonesia, menarik untuk dipertanyakan tentang kemungkinan kalangan elit militer tersebut memang mencari jalan keluar baru, atau, sebenarnya sekedar menunda masalah berkaitan dengan cercaan terhadap mereka. Pergeseran elit pimpinan tentara di Indonesia tersebut sesungguhnya juga disertai dengan beberapa perubahan kebijakan internal TNI yang tetap menimbulkan tanda tanya. Misalnya, dalam rangka restrukturasi TNI, Departemen Hankam mulai mempunyai dinas intelejen sendiri. Sementara Polri mengambil alih BIN (dulu BAKIN). Sekelompok pengamat militer(isme) di Indonesia, yang sudah disebut di atas, memprihatinkan dampak adanya berbagai dinas intelijen dalam kenyataan hidup sehari-hari rakyat Republik Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir ini saja, sejarah militer Indonesia mencatat persaingan dan konflik antara ABRI
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
dan POLRI baik di Jawa maupun di daerahdaerah luar Jawa yang sudah memakan korban begitu besar. Dapat dibayangkan, apa yang akan dialami oleh rakyat Indonesia di masa depan, yang mungkin masih akan menerima getah akibat terjadinya ‘persaingan aktivitas intelejen’ antara kedua kesatuan bersenjata tersebut? Menarik bahwa pergeseran elit tentara akhirakhir ini terjadi ketika peringatan setahun digusurnya Gus Dur (Juli 2001) semakin mendekat, dan situasi politik nasional mulai memanas kembali menjelang sidang tahunan MPR/DPR pada bulan Agustus 2002. Ketika merasa, mungkin, bahwa jabatannya sebagai panglima Kostrad akan segera berakhir dan akan dipromosikan ke jabatan Kasad, Letjen Ryamizard Ryacudu menyelenggarakan pesta hari ulang tahun Kostrad ke-41 secara istimewa. Jenderal asal Palembang, kelahiran 21 Juni 1950, dan lulusan Akabri 1974 ini terkenal senang menggelar parade militer di kawasan publik sipil. Letjen Ryacudu yang lahir dari seorang bapak yang pada tahun 1950-an pernah menjadi salah satu penguasa tertinggi tentara di Palembang ini, tidak lain adalah menantu salah satu bekas wakil presiden RI, jenderal pensiunan Try Sutrisno. Ketika berlangsung peristiwa gladi bersih peringatan hari ulang tahun Kostrad ke-41 di Monas, Kompas menulis: Saat itu, di hadapan Ryamizard sedang berlangsung adegan pemberontakan Rangkuti. Menurut kitab Pararaton, Rangkuti adalah pemimpin pemberontak yang antara lain beranggotakan Semi, Pangsa, Tuju, Banyak, dan Ratanca. Mereka mengadakan pemberontakan untuk membunuh Raja Majapahit, Jayanegara. Pemberontakan berhasil ditumpas Gadjah Mada tahun 1319. Ketika ditanya wartawan, bagaimana mengatasi persoalan tersebut, Ryamizard menjawab, ‘Sikat saja. Tidak usah ragu-ragu.’ Dia kemudian memberi contoh wilayah yang rawan separatisme dan disintegrasi, antara lain Papua dan Aceh (Kompas 2002a).
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
Peringatan hari ulang tahun Kostrad yang ke-41 itu dirayakan di lapangan silang Monas, tidak seperti biasanya dilaksanakan di markas Kostrad sendiri, di jalan Merdeka Utara. Ryacudu menyatakan bahwa HUT kali itu harus berbeda, yaitu tidak seperti sekedar sebuah upacara bendera (The Jakarta Post 2002c). Bernas, koran terbitan Yogyakarta yang masih satu ‘grup’ dengan Kompas, mencermati bahwa ada yang istimewa dalam penampilan Pangkostrad pada gladi bersih sehari menjelang HUT kesatuannya. Pada hari gladi bersih itu Ryamizard kelihatan menenteng sebuah kamera dan mengambil gambar di sana-sini, sambil menyatakan bahwa kelak kalau pensiun, dirinya akan menjadi fotografer saja. Koran Bernas bahkan menulis, ‘menurut jenderal berbintang tiga menantu mantan Wapres Try Sutrisno tersebut, sebaiknya orang mempunyai hobi yang tidak menyusahkan orang lain. “Hobi itu fotografi atau mancing. Jangan punya hobi bikin susah orang lain. Hobi kok bayarin orang untuk demo” seloroh mantan Pangdam Brawijaya dan Pangdam Jaya itu, tanpa menyebut siapa yang dimaksud’ (Bernas 2002a). Koran Yogya yang lain, Kedaulatan Rakyat, menurunkan berita persiapan HUT itu dengan gayanya sendiri. Sesudah mengutip pernyataan Pangkostrad tentang makna yang dimanfaatkan dari tarian kolosal sumpah Amukti Palapa oleh mahapatih Majapahit waktu itu, wartawannya mengakhiri laporannya dengan paragraf berikut, Namun semangat Gadjah Mada yang dilontarkan ini bukan berarti Kostrad terpengaruh oleh novel Tom Clancy terbitan tahun 2001, yang laris di Amerika Serikat yang meramalkan Indonesia tahun 2005. Kehancuran RI pada 2005 itu tertuang eksplisit dalam bab Operation Merdeka, dalam novel berjudul Special Forces. Novel ini seri ke tujuh atau terakhir dari karyanya, Guided Final, terbitan Berkeley Books, New York, 2001. Di novel ini pula Clancy menyebut-nyebut presiden Gadjah Mada (Kedaulatan Rakyat 2002a).
57
Tanpa mengandaikan tahu maksud sesungguhnya, nampaknya wartawan tersebut ingin mengungkapkan bahwa semangat seorang patih kerajaan Jawa dari abad ke-14 yang ada dalam gagasan TNI pada masa kini tidak lebih benar daripada isi kata-kata novel Special Forces itu. Dengan judul ‘Kostrad Ingatkan Bangsa akan Sumpah Palapa’, koran Bernas juga berusaha mencocokkan antara yang dari masa lalu dengan masa kini. Tulisnya, ‘Munculnya Patih Gadjah Mada menjadi insprirasi dari TNIAD khususnya Kostrad untuk bersikap sama dalam menumpas pemberontakan-pemberontakan yang muncul saat ini dan mengancam keutuhan bangsa dan negara.’ Pangkostrad mengatakan bahwa, ‘Apa yang dilakukan Gadjah Mada begitu pula apa yang akan dilakukan Kostrad. Dan semoga tekad Gadjah Mada memayungi kita semua.’ Sehari sesudah berlangsungnya pagelaran sendratari kolosal tersebut, dalam halaman kolom ‘Seni dan Hiburan’, Bernas secara khusus memuat sebuah foto dengan ukuran cukup besar. Foto itu diberi teks, ‘HUT Kostrad—Beberapa penari tradisional Indonesia (Jawa) menampilkan tariannya di dekat sederetan tank dalam acara peringatan hari ulang tahun (HUT) Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang digelar di Jakarta, Rabu (6/3) kemarin’ (Bernas 2002b). Menarik bahwa dalam teks foto tersebut, kata ‘Jawa’ diletakkan di dalam dua tanda kurung, dan dimaksudkan untuk menunda lebih dahulu kepenuhan arti kata sifat ‘Indonesia’. Nampaknya bukan sebuah kebetulan bahwa sendratari kolosal tentang Majapahit tersebut ‘dipanggil’ dari masa lalunya. Seni drama tari kolosal itu dijadikan sebuah simbol/ teks ritual yang efektif dan operatif, seperti kebiasaan orang Jawa ketika menyelenggarakan upacara kenduri, slametan. Dalam tradisi Jawa, undangan untuk menghadiri slametan adalah berdasarkan pada sebuah tradisi untuk
58
meminta—dan menegakkan—‘toleransi’ di antara hadirin. Hal yang sesungguhnya terjadi dalam selamatan adalah hanya permintaan sebatas menjadi saksi (nyekseni, Jawa) dari pihak hadirin, dan bukan meminta kepercayaan atau keyakinan mereka terhadap makna dari peristiwa yang sedang berlangsung di depan mereka.1 Toleransi dalam slametan tersebut memang seperti sebuah perdamaian, atau lebih tepatnya penyangkalan diri setiap yang hadir terhadap konflik yang potensial terjadi dalam perbedaan-perbedaan praktik hidup bersama. Pada peringatan hari ulang tahun Kostrad ke-41 itu, Kasad Endriartono juga berpesan agar ‘Kostrad harus seperti cakra (senjata maha dahsyat Prabu Kresna dalam kisah pewayangan) sekali dilepas bisa menyelesaikan seluruh tugas’ (Kompas 2002b). Mengingat bahwa simbol pewayangan Jawa sudah menjadi tradisi yang selama ini dimanfaatkan oleh tentara Indonesia untuk menamai berbagai divisi dan batalyon tentara, senjata ‘cakra’ justru diletakkan sebagai sebuah mitos yang memaknai mangkirnya senjata-senjata tempur militer modern. Kehadiran—dan ‘kesaksian’ yang mereka berikan—dari lima jenderal dari berbagai generasi (pensiunan maupun yang masih aktif) yang difoto duduk berjajar, yaitu: Wiranto, Try Sutrisno, Endriartono Sutarto, Ryacudu dan Wismoyo Arismunandar, hanyalah semakin menegaskan sifat slametan (Jawa) dalam perayaan HUT angkatan bersenjata yang sedang mengalami konflik internal maupun eksternal. Pada foto tersebut terlihat kelima jenderal mengenakan baret hijau seragam Kostrad, sementara tiga orang yang sudah tidak dinas aktif memakai pakaian sipil berdasi dan jas (Kompas 2002b dan The Jakarta Post 2002b). Hanya dua hari dari semua pemberitaan tentang HUT Kostrad tersebut, Kapolda Metro 1
Toleransi seperti itu, adalah yang diamati lewat kacamata seorang peneliti asing. Lihat, Siegel (2000c).
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
Jaya Irjen Makbul Padmanagara juga menggagas dan memaknai masa lalu yang sejaman dengan maha patih Gadjah Mada. Di harian Kompas tertulis, ‘Bahkan, Makbul mengatakan, walaupun bertanggungjawab terhadap keamanan Ibu Kota, masih kurangnya sarana pendukung menyebabkan penampilan polisi masih seperti polisi (zaman) Majapahit. Jika warga memanggil polisi karena ada masalah, terus terang saja, lebih banyak enggak datangnya daripada yang datang’ (Kompas 2002b).
Gagasan untuk mengingat(kan) masa lalu kerajaan Majapahit lewat mediasi semacam upacara slametan, sesungguhnya bukan sekedar memanfaatkan sebuah simbol/teks (sumpah Amukti Palapa) yang begitu kuat untuk memperoleh makna kebudayaan. Akan tetapi, teks yang sama tersebut, biasanya sekaligus juga dimanfaatkan untuk menghadirkan berbagai sejarah kekerasan yang dipakai untuk menumpas konflik yang terjadi pada waktu itu; dan membenarkan kekerasan yang dipakai untuk menghabisi, misalnya gerakan-gerakan perlawanan di Aceh, Maluku dan Papua. Pada HUT Kostrad ke-41, dan ketika masih menjabat sebagai Pangkostrad, Ryamizard menjelaskan dan menegaskan, Pagelaran (sendratari kolosal) ini khusus ditampilkan mengingat kondisinya tidak berbeda jauh antara situasi kerajaan Majapahit yang sedang kisruh berbagai pemberontakan. Munculnya Patih Gadjah Mada menjadi inspirasi dari TNI-AD khususnya Kostrad untuk bersikap sama guna menumpas pemberontakan-pemberontakan yang muncul saat ini dan mengancam keutuhan bangsa dan negara. (Kedaulatan Rakyat 2002a; 2002b)
Tipisnya batas antara ‘patih Gadjah Mada’ dengan ‘Kostrad’ dalam sebuah kata yang disebut ‘inspirasi’ dalam kutipan di atas, nampaknya adalah sama dengan tipisnya batas antara perang yang nyata dengan (latihan) perang-perangan yang digagas dan dipamerkan oleh Kostrad di depan Presiden Megawati
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
dan beberapa elit (lainnya) yang sedang berkuasa. Sekitar dua minggu setelah acara HUT Kostrad di Monas, Pangkostrad menghadiri latihan tempur terpadu Kostrad di Ciwaru Sukabumi, yang memamerkan peralatan tempur canggih milik Kostrad seperti, helikopter dan tank. Acara latihan juga dihadiri oleh Megawati, Panglima TNI dan tamu lainnya. Menarik bahwa tuan rumah acara—termasuk Jenderal Ryacudu— yang duduk di samping Megawati, terlihat mengenakan pewarna kosmetik untuk mencoreng moreng wajahnya. Seakan-akan, para tentara Kostrad itu sedang berada dalam peperangan yang sesungguhnya (Suara Merdeka 2002b; Bernas 2002c). Harap diketahui pula bahwa koreografi dari pagelaran sendratari kolosal (Amukti Palapa) itu dirancang sendiri oleh Panglima Divisi II Kostrad, Mayjen Djoko Santosa, dan didukung oleh para penari yang berasal dari keluarga besar tangsi Kostrad di dekat Malang, Jawa Timur (Bernas 2002a). Dengan demikian, foto-foto dan berbagai teks—sesuai ingatan, gagasan dan hasrat Ryamizard—bukan lagi sekedar untuk membayangkan sebuah pandangan, tetapi sebuah pemandangan tentang ke-Majapahit-an yang memberi semacam kenikmatan teatrikal, dan menghindar dari sifat-sifat retorikal belaka.2 Meskipun betul juga bahwa dengan keMajapahit-an yang sama, tetapi dalam media dan penulis yang berlainan,3 simbol dan mitos yang diambil dari dinasti sebuah kerajaan di Jawa Timur dari sekitar abad ke-14 itu dapat memberi pesan yang berlainan. Tambahan lagi, penjelasan dan penegasan tentang adanya keterkaitan antara peranan Kostrad masa kini dengan ke-Majapahit-an dari 2
Lihat Barthes (1976). Terjemahan bahasa Inggris oleh Richard Miller, paperback reprint edition, January 1997. 3
Misalnya, karikaturis Dwi Koen dengan kolom mingguan ‘Panji Koming’ di Kompas, dan novelis sejarah Pramoedya Ananta Toer, Arok Dedes (1999).
59
masa lalu itu, dibenarkan dan disahkan dengan hal-hal primordial tertentu. Menjelang pelantikan dirinya sebagai Kasad, media massa cetak di Indonesia menyebarluaskan berita bahwa Letjen Ryamizard yang lulus Akabri 1974 dan seangkatan dengan Prabowo Soebiyanto (menantu bekas presiden Suharto), sesungguhnya dikenal sebagai jenderal yang tidak suka berpolitik.4 Ryamizard pernah memberi keterangan kepada wartawan bahwa dirinya tidak menyukai buku-buku politik. Hanya Alqur’an dan hadist tempat ia menyadarkan diri (Bernas 2002d). Bahkan, selesai dilantik sebagai Kasad, Letjen Ryacudu sempat mengancam akan menumpas habis para pemecah belah bangsa. Kali ini ia mengaku akan menumpas para pemecah belah bangsa ini dengan menggunakan ilmu Tuhan.5 Sebuah media massa cetak terbitan Yogja menulis tentang pengguna ‘ilmu’ Kasad yang baru saja dilantik 6 itu dalam melihat kenyataan masyarakat di Indonesia masa kini. Ryamizard mengatakan: Tuhan itu ilmunya dua. Kalau orang jahat itu ada di neraka, orang baik masuk surga. Kalau masuk neraka disiksa, apa itu bisa dikatakan Tuhan keras, kejam atau melanggar HAM? 4
Sesungguhnya, Letjen Ryacudu terpilih sebagai Kasad sesudah alot bersaing dengan koleganya yang lebih senior. Pihak Mabes TNI Cilangkap menjagokan Djamari Chaniago, sedangkan yang terpilih adalah yang dijagokan oleh presiden Megawati (Bernas 2002d). 5
Surat-kabar ibu kota seperti Kompas, The Jakarta Post dan Republika yang terbit pada hari yang sama, misalnya, meski melaporkan upacara sertijab Kasad, tetapi tidak memuat kisah tentang ‘ilmu Tuhan’ tersebut. 6
Upacara sertijab Kasad tersebut memang diluar kebiasaan, yaitu dilakukan di Lapangan Parkir Timur, kompleks Gelora Bung Karno, Senayan. Letjen Ryacudu menolak anggapan bahwa upacara itu dilakukan besar-besaran atau hura-hura. Menurut dia, upacara ABRI memang mesti tampak megah dan gagah. Pada kesempatan itu juga dipamerkan peralatan tempur seperti helikopter, meriam, tank, panser dan peluru kendali (Kompas 2002c).
60
Tuhan itu maha adil, penuh kasih dan penyayang. Kan begitu. Pakai ilmu Tuhan. Masuk neraka bakar aja. Masak orang dibakar hidup-hidup, sadis? Bukan begitu, itu Tuhan. Jadi kita harus tegas dan bijaksana. Yang salah, itu salah, yang benar itu benar jangan dibolakbalik yang salah jadi benar dan yang benar disalahkan (Kedaulatan Rakyat 2002c dan Bernas 2002e).
Menurut seorang mantan Kapuspen TNI, Mayjen Syamsul Ma’arif, Letjen Ryacudu memang sejak lama telah dikenal sebagai tentara saleh. Katanya, ‘Ryamizard itu kyainya tentara. Orangnya jujur, tidak suka neka-neka, dan sangat taat menjalankan ibadah’ (Suara Merdeka 2002c).
Kata-kata media nasional Menarik bahwa dalam masa yang paling ‘kacau’ sejak Januari 1999, media massa Indonesia justru dimanfaatkan untuk mengekspresikan ABRI melalui gambaran yang paling tradisional dan tanpa dosa. Contohnya iklan dengan foto anak-anak Republik Indonesia selama dua bulan (April–Mei) pada tahun 2001. Beberapa surat kabar lokal di Jawa Tengah memuat seri iklan mengenai perlunya kesatuan nasional yang disponsori oleh militer, khususnya Kodam Diponegoro. Iklan tersebut memuat gambar anak-anak dari berbagai wilayah negara RI, terlihat dari penampilan fisik maupun alat musik tradisional yang dipegang oleh mereka.7 Memang tidak mudah mengatakan bahwa iklan tersebut disebar-luaskan untuk melawan tuduhan dan kecurigaan publik bahwa TNI— yang merupakan salah satu pihak yang mempunyai keterampilan dan kemampuan— yang secara langsung maupun tidak langsung menyulut atau memprovokasi berbagai konflik dalam wujud pemboman, teror, dan lain-lain. Kata-kata dalam salah satu iklan tersebut 7
Misal, Suara Merdeka 2001a, 2002b, 2001c.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
berbunyi, ‘MAU dibawa kemana KAMI? Selamatkan Masa Depan Kami.’ Iklan yang lain berbunyi, ‘JANGAN PISAHKAN KAMI. Podo SEDULUR Sing Akur.’ Iklan seperti itu dapat dikatakan merupakan cara baru TNI untuk mengatakan sesuatu kepentingan. Cara lama yang seringkali mengingat-ingat tentang ‘semangat 45’ nampaknya kurang diperhatikan lagi. Bersamaan dengan pemasangan iklan di koran, di beberapa kota Jawa Tengah juga dipasang beberapa spanduk di tepat-tempat publik dengan pesan khusus dari Kodam Diponegoro. Misalnya sekitar bulan Mei 2001, di halaman stasiun kereta api Tugu di Yogya, terpampang spanduk dengan kata-kata, ‘Kami mendukung perdamaian yang dilakukan Kodam IV Diponegoro. TUNGGAL SEDULUR KUDU SING AKUR.’ Spanduk itu berasal dari ‘Organisasi Transportasi Umum Stasiun Yogyakarta.’ Di lokasi yang sama, spanduk yang lain berbunyi, ‘RUKUN AGAWE MAKMUR.’ Sampai dengan bulan Juni 2001, di beberapa jalan Yogya masih terpampang spanduk-spanduk: ‘Guyub Rukun, Saiyeg Saeko Proyo’ (di perempatan jl. Solo–jl. Gejayan). Dua spanduk lain berbunyi, ‘Pada Sedulur, Sing Welas Asih, Kanggo Jogo Merah Putih’ dan ‘Tunggal Sedulur, Ojo Podo Tawur. Guyub Rukun, Saeyeg Saeko Proyo’ (jl. Bintaran Kidul). Pada hari-hari di sekitar hari ulang tahun TNI (5 Oktober 2001), di depan Makodam Diponegoro di Watugong, Semarang, masih juga terpampang sebuah spanduk yang berbunyi: ‘Sing Podo Akur, Ojo pada Tawur.’ Tentu saja sulit untuk mengatakan bahwa iklan dan spanduk tersebut hanya mengusung kata-kata kosong, atau ‘asbun’ (asal bunyi). Hal yang tertulis pada spanduk dan iklan itu nampaknya dimaksudkan bahwa di masa depan pesan-pesan tersebut akan direalisasikan oleh ABRI. Dengan kata lain, iklan dan spanduk tersebut dijadikan sarana untuk mengingatkan
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
mangkirnya suatu identitas tertentu. Sebuah identitas yang tentu saja bukan dikenakan pada, dan menjadi tanggung jawab kalangan anak-anak, atau mereka yang dianggap belum dewasa. Masih di seputar hari ulang tahun TNI tahun 2001, dan berkaitan dengan masalah-masalah yang tidak rukun, tidak akur dalam masyarakat, misalnya, di depan markas Kodim Yogya, terpasang sebuah spanduk berbunyi, ‘Dari Yogyakarta: Kita Ciptakan Persatuan dan Perdamaian.’ Kalau dicermati, spanduk tersebut sesungguhnya mempunyai slogan yang agak berbeda dengan yang biasanya ada yaitu ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang asal-usulnya dapat ditelusuri ke masa lalu.8 Memang terdapat perubahan. Spanduk yang dibuat dalam rangka HUT tentara Indonesia pada tahun 2001 tersebut sebenarnya lebih menekankan adanya keinginan akan terciptanya suatu keadaan di masa mendatang: persatuan dan perdamaian. Akan tetapi, (si)apa yang menjamin bahwa antara kata-kata, gagasan dan kenyataan ada suatu hirarki tertentu yang menjamin bahwa yang satu lebih ‘benar’ atau ‘tulus’ daripada yang lain. Sementara kata-kata dan gagasan yang dipunyai tentara tersebut selalu dikaitkan dengan keadaan rukun, akur, damai, aman dan harmonis. Masih pada tahun yang sama terjadilah konflik antarpribadi tentara atau polisi yang juga membawa-bawa anggota kesatuan masing-masing. Pada bulan Agustus 2001 terjadi perkelahian yang memakan korban jiwa antara Brimob dengan batalyon 611 TNI-AD yang berkedudukan di Serui, Yapen-Waropen, Papua. Tak lebih dari sebulan kemudian, terjadi perkelahian antara sesama anggota tentara di Madiun, Jawa Timur. Perkelahian di Madiun yang membawa korban itu terjadi Minggu pagi, 15 September 2001. Sekelompok anggota 8
Spanduk itu masih terpampang di depan markas Kodim 0724, Yogja, hingga 18 November 2001.
61
infanteri Kostrad dari batalyon 501 Madiun menyerbu beberapa pos polisi setempat, dan bahkan rumah sakit polisi Madiun juga dirusak. Serbuan terjadi akibat perselisihan antara tiga orang CPM dari batalyon Kostrad setempat dengan tiga perwira dari kesatuan AL, AD dan Polri yang kebetulan sedang tidak berseragam. Sebenarnya, perselisihan itu terjadi hanya akibat perkara sepele, yaitu rebutan antri untuk membeli bensin. Menurut laporan komandan polisi militer Brawijaya, Soejono, ada beberapa pelajar SMU dan pemuda lainnya—yang ikut berpihak pada tentara Kostrad—sesudah meminum minuman keras, berombongan naik sepeda motor dengan suara yang meraungraung, melintas di muka markas utama polisi di Madiun (Kedaulatan Rakyat 2001b dan The Jakarta Post September 2001a). Kemudian terjadilah perusakan, pembakaran dan penembakan di sana—yang melibatkan kalangan ‘anak-anak’. Seakan-akan mereka ingat akan iklan anakanak buatan Kodam Diponegoro, berikut adalah beberapa komentar perwira TNI terhadap peristiwa Madiun tersebut. Kapuspen TNI, Graito Usodo, menjelaskan bahwa anak-anak seringkali masih emosional. Komandan Korem 081 Madiun, Djamhur Suhana, mengatakan, ‘Itu semua hanyalah kejadian spontanitas oleh anggota Batalyon infanteri Linud 501/Kostrad, dan mereka terpancing isu’ (Bernas 2001a, 2002b). Panglima TNI, Adm. Widodo A.S., mengakui bahwa TNI ternyata telah gagal untuk membangun disiplin di antara para serdadunya. Sebulan kemudian, Kasad Endriartono mengungkap bahwa perkelahian tersebut kemungkinan besar diprovokasi oleh pihak tertentu yang melakukan operasi rahasia untuk mengadu domba pihak-pihak yang bertikai. Menurut Kasad, bukan rahasia lagi bahwa tentara-tentara itu menjadi beking bisnis hitam seperti perjudian dan narkotika di daerah tersebut, selain bahwa akhir-akhir ini sebagian dari anggota
62
pasukan tersebut berperilaku buruk. Selain terlalu membanggakan diri sendiri, dan merasa yang lebih baik di antara sesama tentara dan polisi tersebut, Kapolri Bimantoro mengatakan bahwa ada masalah-masalah psikologis yang menjadi penyebab perkelahian. Bimantoro mengatakan, misalnya, banyak dari anggota polisi yang selama ini dipindah-pindahkan dari satu daerah konflik ke daerah yang lain di seluruh wilayah kepulauan Republik Indonesia; tanpa memberi waktu yang cukup untuk beristirahat dengan anggota keluarga masing-masing (The Jakarta Post 2001b, 2001c, 2001d; Kedaulatan Rakyat 2001a). Layaknya mendamaikan perkelahian antara anak-anak yang bertetangga, hanya tiga hari sesudah serbuan Kostrad terhadap polisi, dan sesudah turba langsung di Madiun, Pangkostrad Ryacudu mengatakan, ‘Perkelahian sudah diselesaikan. Saya tegaskan bahwa tidak ada lagi masalah. Kita akan bekerja sama lagi’ (Kompas 2001a). Letjen Ryacudu ini nampaknya sadar benar betapa rapuhnya solidaritas antarsesama anggota TNI-Polri di Indonesia. Pada bulan Juli 2001, hanya beberapa jam menjelang digusurnya Gus Dur dari istana Merdeka, Ryacudu sempat mengatakan bahwa warga TNI jangan lagi membiarkan perselisihan terjadi di antara mereka sebagaimana terjadi pada tahun 1998, mendahului terjungkalnya sang diktator, presiden Suharto. Fakta menunjukkan hal lain, ketika pada hari Senin pagi tanggal 23 Juli 2001 Gus Dur memaklumatkan pembekuan MPRDPR, sejarah RI mencatat bahwa TNI memilih untuk tidak berpihak kepada presidennya. Sebelum maklumat tersebut, pangkostrad sesungguhnya sudah mengorganisir ribuan tentara TNI dari berbagai angkatan dan kesatuan yang mengenakan peralatan perang secara lengkap. Mereka berkumpul di lapangan Monas yang berhadapan langsung dengan istana kepresidenan.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
Kalau menyimak baik sejarah ‘anak-anak Indonesia’, boleh dikatakan bahwa komentar, tanggapan dan penilaian reaktif para elit militer di atas menilai anak-anak (buah) mereka sekedar bertindak reaksioner; dan sama sekali tidak revolusioner (Shiraishi 1997). Kembali ke keberadaan iklan anak-anak yang dimuat oleh beberapa koran daerah di Jawa tengah tersebut, nampaknya TNI hendak mengatakan bahwa anak-anak adalah suatu tahap ‘jabatan dan peran’ yang mendahului tahap kedewasaan; dan seorang warga TNI diharapkan tidak jatuh kembali ke tahap itu. Sebagaimana dikatakan Siegel, dalam kebudayaan dan masyarakat Jawa atau Aceh, maupun dalam Islam, anak-anak adalah bukan sebagaimana dibayangkan dalam tradisi kekristenan (Siegel 2000b:364). Siegel mengatakan bahwa anak-anak tidaklah dipahami sebagai yang bersifat inosen. Mereka itu dianggap sebagai kalangan yang tidak mempunyai kapasitas bersosialitas dengan yang lain, dan dalam arti itu, mereka itu juga dianggap tidak beradab (Siegel 2000b:365). Berkaitan dengan itu, kalau memahami gagasan-gagasan (elit) tentara Indonesia sebagaimana yang dicatat di atas, secara umum, mereka sesungguhnya mengejar tujuan untuk menjadi tentara yang disiplin dan dewasa. Oleh karena itu, patut dipertanyakan kembali: janganjangan apakah iklan anak-anak, berbagai spanduk, dan sendratari kolosal tersebut sebenarnya lebih ditujukan untuk dilihat dan dibaca sendiri oleh tentara? Seorang tentara sejati, seharusnya meninggalkan asal-mulanya, mencari jalan ke luar untuk menemukan sebuah identitas baru yang bebas dari kebiadaban (tawuran, perkelahian, kekerasan, kekejian, dan lain-lain). Muara dari proses tersebut ada di TNI itu sendiri. TNI adalah sebuah proses pemenuhan identitas, dan bukan sesuatu yang untuk ditemukan di masa lalu. Oleh karena itu, tidak perlu heran bila pada masa kini, adalah TNI, dan bukan Indonesia, yang dianggap sebagai
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
puncak segala-galanya (Siegel 2000b:366). Sebuah identitas (TNI) yang memang ironis. Sebagaimana dikatakan Hartman (1981:146) halhal ironis seperti itu—yang punya batas sangat tipis dengan sebuah kebenaran—dapat begitu membisukan (sese)orang, hingga bahkan sebuah kemungkinan penebusan yang riang pun akan diragukan. Dalam politik ekonomi media komunikasi massa(l) modern, hal-hal ironis seperti itu justru mudah menjadi ‘berita heboh’ yang biasanya bersifat fantastis, sukar dipercaya, sensasional tapi tak layak dikenang, dan memikat tanpa harus menjadi penting. Selalu ada di tepian memori, memudahkan jalan ke kesadaran, merangsang rasa tertarik, tetapi entah bagaimana tidak punya signifikansi, bahkan menumpulkan rasa percaya (Siegel 2000a:12).
‘Kenyataan’ massa rakyat Indonesia Di tengah transisi sejarah dunia yang sering membingungkan, menekan dan menjanjikan, dilengkapi dengan persaingan identitas, sempalan kebudayaan dan cara menghayati ruang dan waktu yang berbeda-beda, salah satu perbincangan terpenting dalam globalisasi ekonomi dan kebudayaan berkisar pada perubahan tentang cara kita percaya, daripada tentang apa yang kita percayai. Tulisan ini berusaha memberi contoh-contoh suara dekonstruktif dari kalangan bukan elit (tentara) yang selama ini dibisukan dalam praktik hidup sehari-hari di Indonesia. Seorang bijak pernah mengatakan bahwa kebisuan massa rakyat yang bukan elitis, dan bukan sekedar kejahatan atau kekejaman pihak lain, yang sesungguhnya membuat ketidakadilan dan pelanggaran HAM menjadi begitu mudah terjadi di Indonesia modern. Hal-hal ironis sebagaimana dipaparkan di depan tadi, begitu jeli dijejalkan oleh tentara kepada konsumen media massa(l) komunikasi (bukan informasi!) modern, khususnya kepada kalangan yang lain dari kelas penguasa. Di satu pihak, supaya mereka lupa akan peristiwa dan
63
hal-hal yang baru berlalu. Di lain pihak, kebudayaan politik mengingat tentang yang seakan-akan adiluhung, dan menggusur hibriditas (identitas) masa lalu. Sebuah jajak pendapat oleh Center for the Study of Development and Democracy (CESDA), seminggu sebelum HUT TNI, tanggal 5 Oktober 2001, pernah dilakukan untuk mengetahui tentang kemungkinan massa rakyat benar-benar tidak meragukan gagasan dan katakata bahwa tentara Indonesia tidak akan berpolitik dapat dipercaya.9 Jajak pendapat itu sesungguhnya dilakukan pihak yang berkepentingan untuk segera mengetahui pendapat massa rakyat umum (yang punya telepon) ketika tahun lalu Gus Dur berhasil digusur oleh Megawati Soekarno Putri atas jasa dan peran penting dari TNI, khususnya Letjen Ryamizard yang saat itu menjabat sebagai panglima balatentara Kostrad.10 9
Hasilnya sebagai berikut: sebagian besar responden (75 %) tidak lagi takut terhadap tentara. Sebagian kecil (14 %) masih merasa bangga dengan TNI. Sejumlah 7 % tetap merasa takut terhadap TNI, 3 % merasa muak, dan yang ‘tidak punya komentar’ (0 %). Jajak pendapat dilakukan melalui telepon, dengan pertanyaan ‘Bagaimana perasaan anda ketika berjumpa dengan sekelompok tentara?’ Ada sejumlah 1250 responden dengan berbagai macam latar belakang, dan berasal dari kotakota: Medan, Palembang, Denpasar, Banjarmasin, Makassar, Mataram, Jayapura, Jakarta, Bandung and Surabaya. Berkaitan dengan niat baik TNI untuk meninggalkan peran politik, hanya 27 % responden yang percaya bahwa tentara akan tulus memegang katakatanya. Sejumlah 60 % menyangsikan, sementara 13 % menolak berkomentar. 10
Menarik bahwa, daripada melakukan investigasi yang memadai tentang aksi campur tangan urusan sipil (kudeta tidak berdarah?) Pangkostrad dan TNI waktu itu, kebanyakan media Indonesia lebih memilih memberitakan tentang harta kekayaan para perwira tinggi militer. Misalnya, koran berbahasa Inggeris terbitan Jakarta pernah mengutip sebagai berikut: A report of the Public Servants’ Wealth Audit Commission disclosed that Lt.Gen. R. Ryacudu, chief of the Army’s Strategic Reserved Command (KOSTRAD), has one house worth 626 million rupiah, four cars and one Harley Davidson motorbike. He also bought
64
Informasi tentang kenyataan (sejumlah) pendapat publik massa rakyat sebagaimana dimuat oleh media massa seperti itulah, mungkin, yang membuat Jakob Oetama, pendiri koran nasional terkemuka Kompas, untuk menyambut HUTnya yang ke-70, tanpa takuttakut lagi mengatakan (lihat iklan buku Humanisme dan Kebebasan Pers 2001): Dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, pers memainkan peranan sangat penting. Dengan kemampuannya menyebarkan informasi secara serentak dan massal, pers dapat mempengaruhi kebijakan publik. Bukan tanpa dasar ketika para teoritisi memberi gelar pers sebagai ‘kekuatan keempat’ setelah kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.11
Tentu saja dapat dipertanyakan lebih lanjut apakah ‘gelar’ bagi pers Indonesia tersebut, memang masih cocok dengan beragam sensor dan kontrol yang diberlakukan (sendiri) oleh dan bagi pers Indonesia sebagaimana terungkap dalam gaya pemberitaan tentang konflik maupun ritual-ritual ketentaraan di atas, yang sesungguhnya hanya membutuhkan para hadirin sebatas sebagai saksi. Siapa dapat memastikan apa yang akan terjadi dalam kenyataan hidup sehari-hari, kalau kemampuan tradisional kita—lima indera— untuk memahaminya tidak lagi dibatasi pada tubuh seseorang belaka. Apa yang kita amati dan paparkan melalui sebuah dekonstruksi, nampaknya, bukanlah untuk melahirkan suatu jenis ilmu pengetahuan (baru), tetapi adalah sebuah proses, praktik dan aksi artikulasi yang mampu menghadirkan sesuatu yang mangkir; a VW Caravelle this year and a Toyota Land Cruiser last year. He owns ten jackets which he bought in 1995. Lihat, The Jakarta Post 2001a. 11
Bersama buku ini, terbit juga lima buku lain yang ditulis oleh Jakob Oetama yaitu: Masyarakat Warga Dan Pergulatan Demokrasi, Suara Nurani, Pers Indonesia, Dunia Usaha dan Etik Bisnis, & Berpikir Tentang Keindonesiaan. Lihat, Kompas 2001b.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
dan apa yang akan terjadi selanjutnya memang bukanlah hal yang mudah digagas atau didugaduga begitu saja (Weber 1996). Perhatikan saja bagaimana—bukan (si)apa—kontroversi penunjukan Mayjen Syafrie Sjamsoedin sebagai Kapuspen (kepala pusat penerangan, atau juru-bicara) TNI digagas. Masalahnya bukan sekedar bahwa pejabat sebelumnya, Marsda Graito Usodo, mesti berbohong dengan beralasan bahwa upacara sertijab Kapuspen adalah hal internal dalam ABRI, sehingga tertutup untuk publik dan wartawan. Menarik bahwa meskipun tidak satu media pun yang menghadiri sertijab Syafrie sebagai Kapuspen, tetapi hari berikutnya hampir setiap media memuat besar-besaran, lengkap dengan foto-foto Syafrie, mulai dari ukuran pas foto sampai hampir seukuran seperempat halaman koran. Perlu diingat, Mayjen Syafrie yang adalah salah satu elit kunci pada peristiwa penjarahan, pembunuhan dan pemerkosaan Mei 1998 yang begitu tidak beradab itu, menjabat sebagai Pangdam Jaya (Kompas 2002a; Suara Merdeka 2002a). Jangan heran kalau hanya kurang dari empat tahun sejak kasus 1998 itu, koran ibukota berbahasa Inggeris menulis tentang Syafrie sebagai: lulusan terbaik AKABRI 1974 (seangkatan dengan Prabowo dan Ryamizard), bekas warga Kopassus, pernah bertugas sebagai Ajudan Presiden semasa Suharto, ikut operasi militer dan intelijen di Aceh, dan bekas Pangdam Jakarta Raya, adalah seorang tentara yang paling, ‘populer di antara perempuan karena wajah tampannya’ (The Jakarta Post 2002a). Sadar atau tidak, penunjukan Mayjen Syafrie tersebut mengambil resiko untuk membalik urutan hirarkis pengenaan indera manusiawi yang biasa yaitu dari pendengaran, sentuhan, dan pandangan; menjadi: pandangan, sentuhan, dan baru pendengaran! Dengan demikian, lagi-lagi seperti tontonan sendratari kolosal dari masa Majapahit, teks
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
(kata, gagasan dan kenyataan) di tangan Syafrie sebagai Kapuspen tentara di Indonesia—setiap kali yang bersangkutan berdiri di depan mikropon dan kamera—bukan sekedar untuk membayangkan sebuah pandangan, tetapi sebuah pemandangan yang memberi (sekedar) kenikmatan teatrikal dan menghindar dari sifat-sifat retorikal (Barthes 1997)—apapun maksud baik atau buruknya. Naskah ini memang memperbincangkan secara kritis beberapa ‘penampilan’ atau ‘penampakan’, ‘pernyataan’, atau apapun istilahnya—yang biasa disebut oleh seorang antropolog sebagai ‘analisa interpretatif’. Hanya, mengikuti Sontag, dengan memanfaatkan sebesar-besarnya indera manusiawi, interpretasi itu mesti beraksi kritis, yaitu dapat menunjuk ‘mengapa sampai terjadi begitu yang penampilannya adalah seperti itu, dan bahkan, memang seperti (beg)itulah keber-ada-annya. Beraksi kritis bukanlah sekedar menunjukkan bahwa “halnya bermakna (beg)itu”.’ Mengutip surat temannya, Oscar Wilde, Sontag (1966:14) menulis, ‘hanyalah seorang yang dangkal yang tidak menilai berdasar penampilan. Misteri dari dunia ini adalah justru hal yang nampak, bukannya yang tidak nampak.’
Kata-kata akhir Mengenai ketulusan dari kata-kata publik dan gagasan tentara di Indonesia, mungkin baik untuk sedikit memperbandingkan dengan kenyataan yang terjadi pada masa pemerintahan presiden Sukarno. Pada waktu itu, Bung Karno dikenal sebagai ‘penyambung lidah rakyat’. Kalau percaya pada apa yang diamati oleh pemilik koran terbesar di Indonesia, Jakob Oetama, akan menjadi sulit pada masa kini untuk masih menemukan seorang penyambung lidah rakyat seperti itu. Menurut Jakob, ‘Masyarakat Indonesia, tempat di mana pers Indonesia berkembang, adalah “masyarakat tidak tulus”.’ Tidak tulus berarti tidak
65
memaksudkan serta tidak mengatakan apa yang sebenarnya, apa yang hidup di dalam pikiran dan hatinya.12 Pada masa ayah Megawati masih bekerja sebagai presiden, dulu kalau dia berpidato sebagai si ‘penyambung lidah rakyat’, katakatanya yang dimedia(si)kan secara nasional memang didengarkan oleh orang-orang yang merasa, sesudah pidato itu berlangsung, bahwa ia (Bung Karno) memang berbicara untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Artinya Bung Karno meng-kata-kata-kan apa yang memang dipikirkan atau digagas oleh rakyat (Siegel 2000a:26). Dewasa ini orang-orang yang bersedia ‘mengemban amanat rakyat’ tetap tidak berkurang. Akan tetapi, pada masa kini, sungguh tidak mudah lagi, atau menjadi langka, untuk menemukan orang-orang (baca: massa rakyat jelata) yang merasa kepentingan dan kenyataan hidup sehari-hari mereka disuarakan. Pada masa rejim Orde Baru, ketika kalangan elit tertentu menjadi tidak akrab lagi dengan kenyataan hidup jelata sehari-hari, yang tinggal hanyalah gagasan kerakyatan yang romantik, misalnya dalam bunyi bising kata-kata dari perbincangan seremonial yang disebut ‘sambung rasa’.13 Identitas tentang orang-orang yang langka seperti itulah yang dibuang dan dihindari oleh gagasan milik kalangan elit (orde) baru yang begitu mudah mengobral kata-kata, gagasan dan kenyataan—‘atas jasa’ apa yang disebut media komunikasi massa(l) modern. Hanya, tidak perlu menjadi heran kalau
kemudian kalangan elit termaksud menjadi sadar14 bahwa mangkirnya (jaminan) kenyamanan dan keselamatan publik ternyata tidak lagi menjadi monopoli pengalaman bagi kalangan massa rakyat jelata.
12
Lihat iklan tentang buku Pers Indonesia yang ditulis oleh Jakob Oetama, Kompas 2001c. Menarik bahwa pada tanggal 24 Desember 2001, ketika penulis mau membeli buku tersebut di toko buku Gramedia (jl. Jend. Sudirman, Yogya), dikatakan oleh penjaga bahwa semua seri buku-buku Jakob Oetama ‘sedang ditarik ke Jakarta’. Tidak diketahui, entah sampai kapan bukubuku itu akan diedarkan kembali? 13
Misalnya, seperti dibeku-bakukan pada tampilan lembar uang RI seharga Rp.50,000 (bergambar Suharto sedang tersenyum), yang sudah ditarik dari peredaran.
66
14
Lihat, Anderson (peny.) (2001:18).
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
Referensi Anderson, B. (peny.) 2001 Violence and the State in Suharto=s Indonesia. Ithaca, New York: SEAP Cornell University. Barthes, R. 1997 Sade, Fourier, Loyola. Baltimore: The Johns Hopkins University Press. Terjemahan bahasa Inggris oleh Richard Miller, paperback reprint edition, January 1997. Bernas 2001a 2001b 2002a 2002b 2002c 2002d 2002e
16 September. 17 September. 5 Meret. 7 Maret. 22 Maret. 4 Juni. 7 Juni.
Derrida, J. 2000 Limited Inc. Evanston, IL: Northwestern University Press. Hartman, G.H. 1981 Saving The Text. Literature/Derrida/Philosophy. Baltimore and London: The John Hopkins University Press. Kedaulatan Rakyat 2001a 19 September. 2001b 4 Oktober. 2002a 5 Maret. 2002b 7 Maret. 2002c 7 Juni. Kompas 2001a 2001b 2001c 2002a 2002b 2002c
19 September. 13 Desember. 22 Desember. 5 Maret. 7 Maret 7 Juni.
Shiraishi, S.S. 1997 Young Heroes. The Indonesian Family in Politics. Ithaca, New York: Cornell Southeast Asian Program. Siegel, J.T. 2000a Penjahat Gaya (Orde) Baru. Eksplorasi Politik dan Kriminalitas. Yogyakarta: LKIS. 2000b The Rope of God. Ann Arbor: The University of Michigan Press. 2000c ‘Varieties of Javanese Violence’, Indonesia 69.
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004
67
Sontag, S. 1966 Against Interpretation and Other Essays. New York: Delta Books. Suara Merdeka 2001a 22 April. 2001b 29 April. 2001c 1 Mei. 2002a 5 Maret. 2002b 22 Maret. 2002c 5 Juni. The Editors 2001 ‘Current Data on the Indonesian Military Elite, January 1, 1999–January 31, 2001’, Indonesia 71:135–174. The Jakarta Post 2001a 1 Agustus. 2001b 1 September. 2001c 19 September. 2001d 20 September. 2002a 5 Maret. 2002b 7 Maret. 2002c 7 Juni. Toer, P.A. 1999 Arok Dedes. Jakarta : Hasta Mitra. Weber, S. 1996 Mass Mediauras. Form, Technics, Media. Penyunting: A. Cholodenko. Stanford California: Stanford University Press. Zoetmulder, P.J. 1983 Kalangwan: Sastra Jawa Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. Seri ILDEP, diIndonesiakan oleh Dick Hartoko.
68
ANTROPOLOGI INDONESIA 75, 2004