DAFTAR SINGKATAN
ABRI
: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Babar
: Bangka Barat
Babel
: Bangka Belitung
Barnas
: Partai Barisan Nasional
Basel
: Bangka Selatan
Bateng
: Bangka Tengah
Beltim
: Belitung Timur
BPP
: Bilangan Pembagi Pemilih
BPS
: Badan Pusat Statistik
Dapil
: Daerah Pemilihan
DPC
: Dewan Pimpinan Cabang
DPD
: Dewan Perwakilan Daerah
DPR
: Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPT
: Daftar Pemilih Tetap
Gerindera
: Partai Gerakan Indonesia Raya
Golkar
: Partai Golongan Karya
Hanura
: Partai Hati Nurani Rakyat
INES
: Indonesia Network Election Survei
KPU
: Komisi Pemilihan Umum
LSI
: Lingkaran Survei Indonesia
Orba
: Orde Baru
PAN
: Partai Amanat Nasional
PBR
: Partai Bintang Reformasi
PD
: Partai Demokrat
PDI
: Partai Demokrasi Indonesia
PDIP
: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
PDK
: Partai Demokrasi Kebangsaan
xi
PDP
: Partai Demokrasi Pembaruan
PDS
: Partai Damai Sejahtera
Pemda
: Pemerintah Daerah
Pileg
: Pemilu Legislatif
Pilgub
: Pemilihan Gubernur
Pilkada
: Pemilihan Kepala Daerah
PIS
: Partai Indonesia Sejahtera
PKB
: Partai Kebangkitan Bangsa
PKDI
: Partai Kasih Demokrasi Indonesia
PKNU
: Partai Kebangkitan Ulama Indonesia
PKP
: Partai Karya Perjuangan
PKPB
: Partai Karya Peduli Bangsa
PKPI
: Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
PKS
: Partai Keadilan Sejahtera
PMB
: Partai Matahari Bangsa
PNBK
: Partai Nasional Banteng Kedaulatan
PNI Marhaenisme
: Partai Nasional IndonesiaMarhaenisme
PNS
: Pegawai Negeri Sipil
PNUI
: Partai Nasional Ulama Indonesia
POLRI
: Kepolisian Republik Indonesia
PPD
: Partai Persatuan Daerah
PPDI
: Partai Penegak Demokrasi Indonesia
PPDI
: Partai Penegak Demokrasi Indonesia
PPI
: Partai Pemuda Indonesia
PPIB
: Partai Perhimpunan Indonesia Baru
PPP
: Partai Persatuan Pembangunan
PPPI
: Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia
PPRN
: Partai Peduli Rakyat Nasional
PSI
: Partai Serikat Indonesia
PT
: Parliementery Threshold
Republikan
: Partai Republik Nusantara
xii
RI
: Republik Indonesia
TNI
: Tentara Nasional Indonesia
TPS
: Tempat Pemungutan Suara
xiii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1
Sebaran Perolehan Suara Politisi untuk DPR di Babel pada Pileg 2009....................................................... 2
Tabel 1.2
Sebaran Perolehan Suara Politisi untuk DPR Di Babel pada Pileg 2004...................................................... 3
Tabel 1.3
Komposisi Etnis Penduduk Babel..........................................5
Tabel 1.4
Sebaran Responden................................................................ 48
Tabel 1.5
Penentuan Jumlah Segmen TPS.............................................50
Tabel 1.6
Kerangka Analisis Perilaku Memilih..................................... 78
Tabel 2.1
Perolehan Suara Partai Politik dan Politisi untuk DPR Hasil Pileg 2009 di Bangka....................................................103
Tabel 3.1
Rekapitulasi Penanganan Pelanggaran Pidana Pemilu Provinsi Kepulauan Babel di Kabupaten Bangka.................. 153
Tabel 3.2
Koefisiensi Koentingensi Pertimbangan Agama dan Mewakili Agama............................................................. 165
Tabel 3.3
Koefisiensi Koentingensi Pertimbangan Etnis dan Mewakili Etnis................................................................ 169
Tabel 3.4
Koefisiensi Koentingensi Pertimbangan Kedaerahan dan Mewakili Kedaerahan..................................................... 173
Tabel 4.1
Jumlah Perolehan Suara Partai Politik Hasil Pileg 2009 Untuk DPR RI di Babel......................................................... 185
Tabel 4.2
Jumlah Perolehan Suara Partai Politik yang Mendapatkan Kursi di DPR dan Perolehan Suara Caleg DPR RI Dapil Babel hasil Pileg 2009..................................................190
Tabel 4.3
Jumlah Perolehan Suara Caleg DPD RI Dapil Babel Hasil Pileg 2009................................................. 192
xiv
DAFTAR GRAFIK Halaman Grafik 1.1
Jumlah Responden di Kecamatan.......................................... 54
Grafik 1.2
Karakteristik Tempat Tinggal Responden............................. 55
Grafik 1.3
Kelompok Usia Responden....................................................56
Grafik 1.4
Komposisi Jenis Kelamin Responden................................... 58
Grafik 1.5
Latarbelakang Pendidikan Responden................................... 59
Grafik 1.6
Jenis Pekerjaan Responden.................................................... 60
Grafik 1.7
Latarbelakang Agama Responden......................................... 61
Grafik 1.8
Karakteristik Pendapatan Responden.................................... 62
Grafik 2.1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama/Kepercayaan Menurut Kecamatan di Kabupaten Bangka Tahun 2009....... 83
Grafik 2.2
Pengakuan Responden sebagai Bagian dari Masyarakat Tionghoa......................................... 94
Grafik 2.3
Tingkat Perasaan sebagai Bagian dari Masyarakat Tionghoa................................................................................ 95
Grafik 2.4
Intensitas Masyarakat Tionghoa dalam Menjalankan Tradisi Leluhur di Bangka..................................................... 96
Grafik 2.5
Intensitas Penggunaan Dialek Tionghoa................................ 99
Grafik 2.6
Modal Kepercayaan Etnis Tionghoa kepada Etnis Lainnya.. 102
Grafik 2.7
Sebaran Perolehan Suara Terbanyak 10 Partai Politik di 8 Kecamatan untuk DPR pada Pileg 2009 di Kabupaten Bangka........................................................... 106
Grafik 2.8
Sebaran Perolehan Suara Terbanyak Politisi di Kabupaten Bangka untuk DPR RI..................................... 111
Grafik 3.1
Alasan Memilih di Pileg 2009............................................... 123
Grafik 3.2
Pemilih Tionghoa yang Mengenal Politisi.............................126
Grafik 3.3
Mengetahui Agama Politisi....................................................129
Grafik 3.4
Mengetahui Etnis Politisi....................................................... 132
Grafik 3.5
Mengetahui Daerah Politisi....................................................133
Grafik 3.6
Partai Politik Pilihan Pemilih Tionghoa di Bangka............... 137 xv
Grafik 3.7
Alasan Memilih Partai Politik................................................140
Grafik 3.8
Konsistensi Dukungan terhadap Partai Politik...................... 141
Grafik 3.9
Dukungan Pemilih terhadap Politisi...................................... 143
Grafik 3.10
Alasan Memilih Politisi......................................................... 144
Grafik 3.11
Pengaruh Partai Politik terhadap Pilihan Politik....................147
Grafik 3.12
Identifikasi Diri terhadap Partai Politik................................. 148
Grafik 3.13
Loyalitas terhadap Partai Politik........................................... 150
Grafik 3.14
Bantuan Tim Sukses Peserta Pemilu......................................155
Grafik 3.15
Bantuan Timses Bukan Jaminan............................................ 158
Grafik 3.16
Pengaruh Bantuan Sosial terhadap Pilihan Politik.................159
Grafik 3.17
Latarbelakang Agama sebagai Pertimbangan Pilihan Politik ................................... 162
Grafik 3.18
Peran Penting Agama dalam Menentukan Pilihan Politik..... 163
Grafik 3.19
Latarbelakang Etnis sebagai Pertimbangan Pilihan Politik... 167
Grafik 3.20
Peran Etnis sebagai Pertimbangan Pilihan Politik................. 168
Grafik 3.21
Latarbelakang Daerah sebagai Pertimbangan pilihan Politik.....................................171
Grafik 3.22
Peran Kedaerahan sebagai Pertimbangan Pilihan Politik...... 172
Grafik 4.1
Afiliasi Agama dan Partai Politik Pilihan Pemilih Tionghoa................................................................................ 196
Grafik 4.2
Afiliasi Agama dan Politisi Pilihan........................................197
Grafik 4.3
Sebaran Usia dalam Mempertimbangkan Etnis..................... 200
Grafik 4.4
Identitas dalam Sentimen Etnis..............................................205
xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 memberi kesempatan terbaik untuk menelusuri lebih mendalam keterkaitan antara agama, etnis, dan kedaerahan dengan pilihan politik bagi pemilih di Daerah Pemilihan (Dapil) Bangka Belitung (Babel). Hal ini dikarenakan Pileg 2009, sistem penentuan perolehan kursi seorang politisi berdasarkan suara terbanyak. Terpilihnya beberapa politisi yang berasal dari kalangan etnis Tionghoa untuk menduduki jabatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara mengejutkan pada Pileg 2009 di Babel memberikan catatan khusus bagi perjalanan politik kaum minoritas di Indonesia. Meningkatnya keterlibatan partisipasi politik secara langsung dari kalangan etnis Tionghoa sekaligus dapat dipahami sebagai ‘matinya’ diskriminasi bagi kelompok minoritas di berbagai arena politik. Boleh jadi, fenomena ini merupakan keberhasilan dari proyek perubahan sistem politik di Indonesia yang menjamin peluang bagi seluruh anak bangsa untuk berpartisipasi langsung di bidang politik. Jika dilihat dari pemilu ke pemilu, nampak terjadi pergeseran dukungan politik bagi partai politik dan politisi yang bekompetisi di Dapil Babel. Tabel 1.1 memperlihatkan komposisi perolehan suara dan kursi hasil Pileg 2009.
1
Tabel 1.1 Sebaran Perolehan Suara Politisi untuk DPR di Babel pada Pileg 2009 No Nama Partai Perolehan Perolehan Suara Perolehan Suara Partai Kandidat Kursi 88.141 1 PDI P * Tjen (53.129) 1 71.995 2 GOLKAR * Ahok (35.416 ) 1 47.381 3 PD Paiman (12.731) 1 42.320 4 PKS 37.967 5 PPP 33.060 6 PBB 26.579 7 PAN 21.707 8 GERINDERA 21.661 9 HANURA 10 Partai Lainnya 68.416 Jumlah Jumlah: 3 459.227 Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemilu 2009 Dalam Angka Keterangan: * Politisi yang berasal dari Kalangan Etnis Tionghoa Tabel 1.1 menunjukkan total jumlah perolahan suara sah sejumlah 459.227 suara. Ke tiga partai peserta Pileg 2009 yang berhasil meraup perolehan suara tertinggi diraih oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrat (PD). Perolehan suara ketiga partai tadi jika digabungkan berjumlah 251.710 atau lebih dari 50 persen dari total jumlah suara sah. Artinya, sejumlah 50 persen pemilih di Dapil Babel mempercayakan aspirasi politiknya kepada ke tiga partai ini. Dari tiga kouta kursi yang diperebutkan di Dapil Babel untuk DPR misalnya, dua kursi diperoleh oleh politisi asal etnis Tionghoa, yakni Rudianto Tjen (Tjen) politisi PDIP yang berdomisili di Pulau Bangka dan Basuki Tjahya Purnama (Ahok) politisi Golkar yang berdomisili di Pulau Belitung. Sementara sisa satu kursi lainnya diperoleh oleh politisi asal Partai Demokrat, yakni Paiman, yang 2
merupakan satu-satunya politisi dari kalangan etnis Melayu yang berdomisili di Pulau Bangka. Di Pileg 2009, sebaran perolehan suara peserta pemilu di Babel boleh dikatakan dominan dikuasai oleh politisi dari kalangan Tionghoa. Mencermati hasil Pileg 2004 yang lalu, perolehan suara politisi Tionghoa tidak begitu signifikan. Namun, hasil Pileg 2009 menunjukkan perubahan dukungan yang luar biasa drastis di kalangan pemilih di Babel jika dibandingkan dengan perolehan suara politisi Tionghoa di Pileg 2004. Tabel 1.2 Sebaran Perolehan Suara Partai Politik Pada Pileg 2004 untuk DPR RI No Nama Partai Perolehan Perolehan Suara Perolehan Suara Partai Kandidat Kursi 88.302 1 PDI P * Tjen (18.604) 1 76.162 2 GOLKAR Azhar Romli (24.284) 1 64.631 3 PBB Yusron Ihza (63.137) 1 29.314 4 PPP 23.495 5 PKS 19.835 6 PAN 18.868 7 PD 14.246 8 PKB 11.257 9 PBR 10 Partai Lainnya 48.550 Jumlah Jumlah: 3 394.660 Sumber: pemilu.plasa.com yang dikutip dalam Sungai Kecil Buayanya Banyak: Memetakan Problema Politik Ekonomi Propinsi Baru (Propinsi Kepulauan Bangka Belitung) dari Laporan Penelitian Integratif S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM. Keterangan: * Politisi dari kalangan etnis Tionghoa Hasil akhir perolehan suara di Pileg 2004 mengantarkan politisi dari kalangan etnis Melayu untuk memperoleh dua kursi, yakni Azhar Ramli (Azhar) 3
dari Golkar, dan Yusron Ihza Mahendera (Yusron) dari Partai Bulan Bintang (PBB). Sementara satu kursi sisanya diperoleh oleh politisi asal etnis Tionghoa, yakni Tjen. Jika dilihat komposisi perolehan suara masing-masing politisi, suara terbanyak pertama diperoleh oleh Yusron sejumlah 63.137 suara. Kemudian disusul oleh Azhar sebanyak 24.284 suara. Dan, di urutan ke tiga, diperoleh oleh Tjen sebanyak 18.604 suara. Hasil Pileg 2004 menegaskan masih kuatnya dominasi politisi Melayu dalam percaturan politik di Babel. Namun, lain dulu lain sekarang. Pileg 2009 agaknya menjadi arena politik yang kurang menguntungkan bagi politisi Melayu. Jika dicermati, hasil Pileg 2009 di Babel mengindikasikan bahwa pesona politisi Melayu yang selama ini mendominasi perpolitikan mulai memudar. Menurunnya perolehan suara yang didapatkan Yusron di Pileg 2009—sehingga membuatnya kehilangan jabatan politik1—menunjukkan gejala kehilangan dukungan pemilih bagi politisi Melayu. Di Pileg 2009, Yusron hanya bisa mendulang suara sejumlah 34.277 suara. Tak hanya itu, tidak bertambahnya secara signifikan perolehan suara Azhar dalam persaingannya dengan Ahok di Pileg 2009 semakin menegaskan
1
Untuk menjelaskan kegagalan Yusron dalam mempertahankan jabatan politiknya di DPR tidak cukup dilihat perolehan suaranya yang menurun. Seperti yang kita ketahui, dalam UU No. 10/2008 yang mengatur tentang pemilu ada pemberlakuan Parliementary Thresold (PT) sebesar 2,5 persen. Undangundang ini menyebutkan bahwa bagi partai politik peserta pemilu yang perolehan suaranya tidak mencapati angka 2,5 secara nasional maka partai tersebut tidak mendapatkan kursi di DPR. Di Pileg 2009, partai PBB yang menjadi kendaraan politik Yusron secara nasional perolehan suaranya tidak mencapai ambang batas PT. Meskipun demikian, dengan melihat perolehan suara Yusron yang didapatkannya di Pileg 2009 cukup menunjukkan dukungan pemilih terhadap politisi Melayu merosot tajam.
4
kenyataan bahwa politisi Melayu mulai kehilang kendali untuk mendominasi perpolitikan di Babel. Padahal, kedua politisi ini berstatus incumbent. Bandingkan dengan perolehan Tjen yang juga selaku incumbent di Pileg 2009. Tjen, di Pileg 2009 mampu mendongkrak perolehan suaranya hingga 53.129 suara. Seperti yang diketahui, di Pileg 2004 Tjen hanya mendapatkan dukungan sebanyak 18.604 suara. Tabel 1.3 Komposisi Etnis Penduduk Babel Etnis
Jumlah
Persen (%)
Melayu 646.194 71.89 Tionghoa 103.736 11.54 Jawa 52.134 5.82 Lainnya 49.628 5.52 Bugis 24.162 2.69 Madura 9.985 1.11 Sunda 8.316 0.93 Minangkabau 3.047 0.34 Betawi 1.043 0.12 Banten 279 0.03 Banjar 185 0.02 Total 898.889 100.00 Sumber: Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, Singapore, ISEAS, 2003, yang dikutip dari Buletin Bulanan Lingkaran Survei Indonesia Edisi 9 Januari 2008. Lihat juga dalam bukunya Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta, LP3ES, 2002, hal. 285. Kemenangan politisi Tionghoa merupakan fenomena yang cukup menarik mengingat pemilih di Babel mayoritas dari kalangan etnis Melayu yang berjumlah 71,89%. Tabel 1.3 menunjukkan komposisi etnis Tionghoa hanya berjumlah 11,54 persen dari jumlah total penduduk. Dengan mengandalkan pemilih dari kalangan Tionghoa—tanpa mendapatkan dukungan dari kalangan 5
etnis Melayu—tentu sulit bagi politisi Tionghoa untuk memenangkan kompetisi politik di Babel. Lantas, benarkah pemilih Melayu memberikan dukungannya kepada politisi Tionghoa? Penelitian yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) di bulan Januari-Februari 2007 menjelang Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) Gubernur Babel 2007 dapat dijadikan acuan awal untuk melihat dinamika politik yang berbasis etnisitas di Babel. Meski arena politik yang diamati berbeda, hasil penelitian LSI menyimpulkan bahwa faktor etnisitas tidak begitu terlalu berpengaruh bagi orientasi politik pemilih di Babel (LSI, Edisi 06, Januari 2008). Temuan LSI menunjukkan besarnya pemilih di kalangan etnis Melayu yang bersedia untuk memilih politisi yang berlatar belakang etnis Tionghoa pada Pilkada Babel 2007. Temuan ini linier dengan hasil akhir Pilkada tersebut yang menempatkan Ahok dan pasangannya pada urutan kedua setelah pasangan Eko Maulana Ali. Perolehan suara Ahok dan pasangannya jauh melampaui perolehan suara yang didapatkan oleh pasangan Hudarni Rani selaku calon incumbent. Tidak terkonsentrasinya suara etnis Melayu untuk mendukung politisi Melayu menjadi potret positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Dengan mengabaikan, dan tidak mempersoalkan latar belakang etnisitas di kelompok pemilih Melayu, tentu saja menjadi pentunjuk awal ‘matinya’ politik etnis di Babel.
6
Benarkah politik berbasis sentimen etnis di Babel telah usai? Bagaimana dengan dukungan di kalangan pemilih Tionghoa, apakah pemilih Tionghoa hanya akan mendukung politisi dari kalangan Tionghoa saja? Atau, seperti halnya pemilih Melayu, pemilih Tionghoa juga tidak mempertimbangkan latarbelakang etnisitas yang melekat pada politisi ketika menentukan pilihan politiknya? Menggeneralisasikan kecenderungan semua pemilih Tionghoa untuk memilih politisi dari kalangan Tionghoa secara sembarangan tentu hal yang sulit mengingat struktur sosial di kalangan pemilih Tionghoa begitu beragam. Sebagaimana diketahui, secara umum, etnis Tionghoa di Indonesia terbagi ke dalam dua kelompok masyarakat, yakni totok dan peranakan (Suryadinata, 1992; Darwis, 2010). Sebutan totok biasanya melekat pada Tionghoa yang secara adat istiadat, bahasa, budaya, beroretansi langsung dengan Tiongkok yang merupakan tanah kelahirannya (Darwis, 2010). Sementara untuk sebutan peranakan melekat pada masyarakat Tionghoa yang secara adat istiadat, bahasa, budaya, sudah melebur dengan masyarakat lokal di tempat dimana mereka dilahirkan (Darwis, 2010). Sebagai konsekuensi dari munculnya kedua kelompok sosial dalam masyarakat
etnis
Tionghoa
tadi,
tentu
saja
dalam
tubuh
etnis
Tionghoa terdapat heterogenitas yang kuat pula (Dawis, 2010). Meskipun sulit mengelompokkannya secara khusus, menurut Darwis heterogenitas di kalangan 7
Tionghoa dapat ditelurusi dari berbagai faktor sosial dan budaya, seperti pengaruh keluarga, agama dan daerah asal (Darwis, 2010). Adanya heterogenits dalam tubuh pemilih Tionghoa mengandaikan pemilih Tionghoa yang relatif memiliki berbagai macam alasan politis untuk menentukan pilihan politiknya. Selain itu, adanya persaingan politik yang terjadi diantara sesama politisi Tionghoa juga menyediakan banyak pilihan bagi pemilih Tionghoa ketika menentukan politisi yang akan dipilih. Di arena politik di level DPR saja, politisi Tionghoa seperti Tjen, Ahok, Anton Gozelle (Anton) dan Pricillia harus bersaing ketat untuk mendapatkan dukungan dari pemilih Tionghoa. Hal yang tidak kalah menarik adalah menelusuri motif perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa dalam kaitannya dengan kepentingan pemilih itu sendiri. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam tubuh etnis Tionghoa sendiri terdapat heterogenitas. Artinya, pluralitas orientasi perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa boleh jadi menjadi hal yang tidak terhindarkan. Oleh karenanya, dalam kajian ini, peneliti akan berusaha untuk mengetahui secara spesifik melalui pengamatan empiris tentang tarik menarik kepentingan politik di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009. Penelitian ini juga sekaligus bermaksud untuk mempelajari bagaimana pola perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa.
8
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut: “Sejauhmana basis sosiologis yaitu agama, etnisitas, dan kedaerahan memiliki pengaruh terhadap perilaku memilih masyarakat Tionghoa di Kabupaten Bangka pada Pileg 2009?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Selama ini perkembangan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa hanya diukur secara kualitatif, yakni berdasarkan perkiraan yang subyektif tanpa tolak ukur yang jelas. Sudah saatnya pembacaan dinamika perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa diukur secara kuantitatif untuk menghasilkan gambaran yang akurat. Apa yang dihasilkan dari penelitian ini mempunyai berbagai manfaat. Pertama, secara akademis dapat memberikan sumbangsih data penting bagi studi perilaku memilih, khusunya di kalangan pemilih Tionghoa berdasarkan atas datadata yang jelas, dengan tolak ukur yang jelas pula. Data-data yang diperoleh dari penelitian ini dapat membantu pihak-pihak yang memiliki ketertarikan untuk mempelajari dinamika perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa seperti para mahasiswa, peneliti, aktivis sosial, partai politik, dan wartawan.
9
Manfaat ke dua bagi perencanaan pembangunan politik di Babel secara umum. Data-data yang dihasilkan dalam penelitian ini mampu menunjukkan aspek dan indikator mana saja yang kurang mendukung bagi perkembangan demokratisasi di Babel, sehingga bisa diketahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan
oleh
semua
elemen
bangsa
dalam
meningkatkan
kualitas
perkembangan demokrasi di arena lokal. Manfaat ke tiga adalah bagi pemangku kepentingan seperti partai politik, politisi, dan elit-elit politik lokal di Babel. Melalui hasil penelitian ini diperoleh data-data yang berguna bagi pemangku kepentingan untuk mengevaluasi diri ketika melaksanakan demokrasi, dan melakukan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Babel. Dari ke tiga manfaat yang disebutkan, hasil penelitian ini secara umum untuk membantu semua pihak memonitor perkembangan demokrasi di Babel.
D. Review Literatur Pembahasan studi perilaku memilih di Indonesia belakangan ini telah banyak dikembangkan dan dilakukan oleh peneliti. Hingga sekarang, paling tidak terdapat enam studi penting tentang perilaku memilih di Indonesia. Pertama, studi perilaku memilih yang dilakukan oleh Gaffar (1992). Studi Gaffar (1992) ini berupaya untuk menjelaskan perilaku memilih di kalangan pemilih Jawa yang objek penelitiannya di tiga desa dalam satu kabupaten pada Pemilu Orde Baru 10
(Orba). Dengan metode survei, studi yang dilakukan oleh Gaffar (1992) menunjukkan pola hubungan yang kuat antara orientasi agama pemilih dengan partai yang dipilih. Pemilih dengan berlatar belakang santri mempunyai kecenderungan untuk memilih partai politik berasaskan islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara pemilih dengan latar belakang abangan cenderung pula memilih partai sekuler, yakni PDI. Dan pemilih yang termasuk kelompok priyayi dipastikan akan memilih partai pemerintah, dalam hal ini Golkar. Studi tersebut juga menemukan pola patron-client dimasyarakat dalam menentukan pilihan politiknya. Keputusan seseorang untuk medukung partai politik sangat dipengaruhi oleh interaksi individu dengan pemimpin yang dihormati oleh seseorang. Temuan lainnya, ketika pemimpin informal memiliki pengaruh yang kuat dan mampu menghadapi pemimpin formal yang mendukung partai pemerintah, maka bisa dipastikan partai oposisi akan menjadi pemenang pada pemilu tersebut. Begitu juga sebaliknya, semakin lemah pengaruh tokoh informal terhadap tokoh formal maka sudah bisa dipastikan pula kemenangan untuk partai pemerintah (Gaffar, 2007). Selanjutnya, studi yang dilakukan oleh Mallarangeng (1997) berupaya untuk mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan politik seseorang terhadap partai politik di masa Pemilu Orde Baru (Orba) pada tahun 1977, 1982, 1987, dan 1992. Studi ini menjelaskan hubungan yang kuat antara latar belakang 11
agama dengan pilihan politik masyarakat ketika itu. Pemilih yang beragama Islam cenderung memilih partai Islam. Begitu juga dengan orientasi agama, yang mana pemilih santri cenderung memilih partai Islam, sementara pemilih yang beragama non-Islam cenderung memilih partai nasionalis (Mallarangeng, 1997). Temuan lainnya dalam studi tersebut berhasil menangkap adanya hubungan antara aktivitas dan program kerja pemerintah dengan dukungan terhadap partai pemerintah. Semakin banyak agenda dan program kerja pemerintah di daerah tertentu maka semakin besar kesempatan partai pemerintah untuk memenangkan pemilu di daerah tersebut (Mallarangeng, 1997). Ke dua studi tadi menggunakan metode yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Mallarangeng menggunakan data agregat yang hanya mengandalkan keakuratan dan ketersediaan data yang ada. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Gaffar menggunakan data survei yang terbatas. Meskipun demikian, periode ke dua studi tadi sama-sama dilakukan pada era Orba. Paska kejatuhan rezim Orba, peminat studi perilaku memilih di Indonesia semakin berkembang. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Liddle & Mujani (2000), King (2003), Ananta (et.al, 2004), dan Liddle & Mujani (2007) semakin memperkaya khasana kajian perilaku memilih. Studi ekstentif mengenai perilaku memilih yang dilakukan oleh Liddle & Mujani (2002, 2007) dengan menggunakan metode survei melalui serangkaian pertanyaan yang diturunkan dari variabel-variabel penelitian untuk menanyakan langsung kepada pemilih 12
alasan memilih partai. Studi ini kemudian menguji semua variabel yang bisa menjelaskan perilaku memilih seseorang.
Temuan studi ini menunjukkan
memang ada keterkaitan antara orientasi agama seseorang dengan partai yang dipilih. Namun pengaruh orientasi agama tidaklah kuat, tidak sebesar yang dinyatakan dalam tesis Gaffar. Temuan lainnya menunjukkan adanya hubungan kuat antara identifikasi partai dengan partai pilihan. Seseorang pemilih yang mengidentifikasikan dirinya terhadap partai tertentu cenderung akan memilih partai tersebut. Studi ini juga menunjukkan faktor kepemimpinan merupakan variabel yang penting untuk menjelaskan pilihan partai pemilih. Tak hanya itu, studi ini sekaligus menguji varibel evaluasi ekonomi yang hasilnya sampai pada kesimpulan bahwa aspek evaluasi terhadap kondisi ekonomi belum menjadi variabel penting dalam menentukan pilihan politik seseorang terhadap pilihan partai politik. Studi berikutnya, dilakukan oleh King (2003) dengan menggunakan data agregat seperti studi yang dilakukan Mallarangeng. Dengan menggunakan variabel orientasi agama, King menemukan hubungan yang kuat antara latar belakang agama seseorang terhadap pilihan partai politik yang juga berlandaskan agama yang sama dengan pemilih. Bahkan, King menyimpulkan bahwa pengaruh politik aliran yang ada di Indonesia masih relatif berlaku untuk menjelaskan perilaku memilih di masyarakat indonesia kekinian.
13
Variabel lain yang digunakan oleh King adalah varibel aktivitas atau kehadiran pemerintah untuk melihat variabel penentu bagi seseorang pemilih dalam menentukan pilihan partai politik. Hasil studi King menyimpulkan bahwa ada keterkaitan antara kehadiran pemerintah dalam menentukan pilihan politik masyarakat walaupun tidak begitu kuat pengaruhnya. Studi perilaku memilih lainnya dilakukan oleh Ananta (et, al, 2004) yang juga menggunakan data agregat. Temuan studi ini menunjukkan adanya pengaruh yang kuat antar latar belakang agama terhadap perilaku memilih seseorang untuk memilih partai politik. Studi Ananta juga melihat variabel etnisitas (kesukuan) untuk menjelaskan perilaku memilih masyarakat Indonesia, yang menunjukkan hubungan positif yang kuat pada etnis Jawa yang memiliki kecenderungan untuk memilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan PDIP. Sedangkan di kalangan pemilih etnis Jawa memperlihatkan hubungan yang negatif atas pilihan politiknya kepada PPP dan Golkar. Selain ke enam studi yang telah diuraikan, masih banyak penelitian terkait dengan bahasan perilaku memilih yang tersebar dalam bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi. Pada kesempatan ini, peneliti sengaja tidak menampilkan hasil penelitian lainnya mengingat bagi peneliti ke enam studi yang disampaikan tadi cukup mewakili untuk menjelaskan perilaku memilih di Indonesia. Namun demikian, hasil penelitian lainnya yang memiliki hubungan langsung dengan obyek penelitian ini memungkinkan ditampilkan. Ini dilakukan untuk 14
menjelaskan posisi penelitian ini sebagai pembeda atau studi lanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait langsung dengan objek penelitian yang sama. Kajian yang sejauh ini terkait langsung dengan perilaku politik etnis Tionghoa di Babel bermula dari penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim. Penelitian dalam bentuk disertasi yang dilakukan oleh Ibrahim terfokus pada keterkaitan bisnis, kekuasaan dan identitas yang bersinergi membentuk pola perilaku politik etnis Tionghoa di Babel paska Orba (Ibrahim, 2013). Menurut Ibrahim (2013), pola perilaku politik etnis Tionghoa di Babel membentuk bangunan piramida: bisnis-kekuasaan-identitas yang saling menopang. Hasil penelitian Ibrahim (2013) memberikan beberapa petunjuk terkait dengan perilaku politik etnis Tionghoa di Babel berikut ini: pertama, elit politik Tionghoa menggunakan dua jalur utama untuk kepentingan bisnis dengan memanfaatkan modal identitas dan finansial, yakni jalur formal—sebagai anggota partai politik dan ikut berkompetisi langsung di berbagai arena politik— dan jalur informal—menanamkan pengaruh di berbagai akses kekuasan. Ke dua, terjalinnya kerjasama antara bisnis, kekuasaan dan identitas yang membentuk pola piramida, yang mana masing-masing saling menopang dengan berbagai variannya. Ke tiga, sebagai konsekuensi dari semuanya, identitas tidak saja dikonstruksi tetapi juga diinstrumentasi untuk mencapai tujuan kekuasaan.
15
Dengan
memanfaatkan
peluang-peluang
politik
elektoral
yang
dimungkinkan oleh sistem politik di Indonesia, politisi etnis Tionghoa secara sadar memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berpartisipasi politik secara langsung (Ibrahim, 2013). Keterlibatan langsung politisi Tionghoa di dunia politik praktis tidak bisa dilepaskan sebagai alat untuk melindungi kepentingan bisnisnya (Ibrahim, 2013). Selain itu, keterlibatan secara langsung politisi Tionghoa di dunia politik praktis sejalan dengan mengandalkan identitas sebagai lumbung suara bagi politisi Tionghoa (Ibrahim, 2013). Meski penelitian Ibrahim berhasil menemukan pola perilaku politisi Tionghoa di Babel paska Orba seperti yang disebutkan, Ibrahim belum menyinggung bentuk respon masyarakat Tionghoa terhadap kehadiran politisi dari kalangan Tionghoa. Ibrahim telah berupaya untuk menampilkan sejumlah data agregat yang memiliki keterkaitan antara basis pemilih Tionghoa dengan perolehan suara politisi Tionghoa di Babel. Akan tetapi, data yang telah disajikan belum mampu menjelaskan seberapa besar pengaruhnya antara etnisitas dengan dukungan politik yang berbasis etnis. Memang ada upaya pemanfaatan isu-isu identitas yang dilakukan oleh elit politik Tionghoa di Babel. Jika isu identitas dimainkan, pertanyaannya, seberapa penting isu identitas memberikan kontribusi kepada pemilih Tionghoa dalam menentukan pilihan politiknya? Jangan-jangan pemilih Tionghoa memberikan dukungan politik kepada politisi asal Tionghoa hanya karena kebetulan politisi tersebut memiliki banyak uang, bukan karena 16
faktor identitas. Atau, barangkali saja politisi yang didukung oleh pemilih Tionghoa memang dicalonkan oleh partai politik yang selama ini telah didukung. Berikutnya, kajian yang masih terkait dengan keberadaan etnis Tionghoa sebagai suatu entitas, dilakukan oleh Idi mengenai proses asimiliasi TionghoaMelayu Bangka. Idi menyimpulkan bahwa proses asimilisasi di bidang sosial dan budaya antara etnis Tionghoa-Melayu dapat dikatakan berhasil dengan sangat baik (Idi, 2009). Meskipun tidak memiliki hubungan dengan fenomena perilaku memilih, penelitian yang dilakukan Idi juga menyinggung keterlibatan partisipasi politik etnis Tionghoa secara terbatas dalam struktur partai politik di Bangka (Idi, 2009). Lebih jauh, studi Idi (2009) menunjukkan kuatnya pengaruh struktural dan kultural masyarakat lokal (Melayu) di Bangka sebagai salah satu faktor pendorong terhadap proses asimilasi yang berjalan lancar. Melalui tiga ciri utama seperti; berlangsung secara natural atau tanpa rekayasa, berlangsung relatif sempurna, terjadi pada beberapa tingkatan (kultural, struktural, perkawinan, identifikasi/rasa kebangsaan) serta pada tingkatan asimilasi nir-prasangka dan nir-diskriminasi dalam proses asimilasi orang Tionghoa dan orang Melayu menegaskan dukungan insklusivitas masyarakat Melayu sebagai kelompok masyarakat dominan di Bangka (Idi, 2009). Berikutnya, meskipun tidak memiliki hubungan langsung dengan perilaku memilih di kalangan etnis Tionghoa, salah satu penelitian tentang perilaku 17
memilih di Babel dilakukan oleh Bangsawan di Kabupaten Belitung Timur (Beltim). Penelitian ini mengkaji fenomena terpilihnya Ahok sebagai bupati Beltim di Pilkada 2005. Penelitian ini menyimpulkan bahwa identitas keetnisan dan identitas kepartaian bagi pemilih di Beltim sudah tidak menemukan relevansinya lagi (Bangsawan, 2007). Dengan kesimpulan tersebut, Bangsawan tidak menjelaskan secara spesifik bahwa identitas keetnisan dan identitas kepartaian bagi pemilih di Beltim yang tidak menemukan relevansinya tadi apakah terjadi di pemilih Melayu atau pemilih Tionghoa. Namun, melihat data yang ada, Bangsawan hendak mengatakan bahwa identitas etnisitas dan identitas kepartaian tidak memiliki hubungan yang kuat bagi perilaku memilih di kalangan pemilih Melayu sebagai pemilih dominan di Beltim ketika mendukung Ahok. Inilah yang hendak dijelaskan oleh Bangsawan dalam melihat fenomena terpilihnya Ahok sebagai bupati pertama dari kalangan etnis Tionghoa di Indonesia. Hasil penelitian lainnya yang juga perlu disampaikan adalah temuan LSI (2007) yang melihat sentimen etnisitas menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Di tahun 2007. Temuan hasil survei yang dilakukan oleh LSI menyimpulkan bahwa sentimen etnisitas di level pemilih sangatlah kecil, terutama dari kalangan pemilih Melayu. Menurut hasil penelitian ini, Ahok mendapat dukungan kuat dari pemilih yang berlatar belakang etnis Tionghoa. Tak hanya itu, Ahok dan pasangannya juga mendapatkan dukungan cukup besar dari etnis Melayu. 18
Catatan penting dari temuan LSI (2007) ini adalah pemilih di Babel yang mayoritas Melayu bisa menerima kehadiran politisi dari etnis Tionghoa. Apakah hal sama juga terjadi di kalangan pemilih etnis Tionghoa yang juga bisa menerima kehadiran politisi dari etnis Melayu tidak dijelaskan secara rinci. Berdasarkan kajian pustaka, penelitian ini hadir untuk mengisi kekosongan studi perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa. Tak hanya itu, jika hasil penelitian ini nantinya menemukan indikator etnisitas, agama dan daerah menjadi faktor penting dalam menjelaskan fenomena perilaku memilih pemilih di kalangan Tionghoa, maka penelitian ini juga diharapkan sebagai acuan awal sebuah refleksi pergulatan identitas politik yang sebenarnya masih belum tuntas di Bumi Serumpun Sebalai.
E. Kerangka Teoritik: Tiga Model Pendekatan Perilaku Memilih Secara umum ada tiga model pendekatan yang dibayangkan dan didukung oleh pengkaji studi perilaku memilih seseorang, yakni model pendekatan sosiologis, psikologis, dan pilihan rasional. Dengan mengandalkan ke tiga model pendekatan kerangka teoritis, saya membayangkan bahasan dalam penelitian ini bisa menjelaskan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa di Bangka pada Pileg 2009 secara tuntas.
19
E.1. Model 1: Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis awalnya berkembang di Eropa. David Denver menyebut model ini sebagai social determinism approach (Asfar, 2006). Meskipun pada awalnya berasal dari Eropa, pendekatan sosiologis juga dikembangkan oleh para ilmuwan sosial yang memiliki latar belakang pendidikan Eropa. Oleh karenanya, Flanagan menyebutnya sebagai model sosiologi politik Eropa (Asfar, 2006). Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakter sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang (Asfar, 2006). Dalam konteks ini, perilaku memilih seseorang dalam menentukan pilihan politiknya dapat dijelaskan berdasarkan faktor-faktor berbasis kedekatan sosiologis, seperti kesamaan identitas agama, etnis, suku, status sosial, pekerjaan, jenis kelamin, dan kedaerahan atau geografis. Menurut Dan Nimo, pemberian suara yang dipengaruhi oleh karakteristik dan pengelompokan sosial merupakan sebuah respon dari unsur kognitif, afektif, dan konatif dari pengalaman kelompok tertentu (Nursal, 2004). Terkait dengan pengelompokan sosial dalam perilaku memilih seperti yang disebutkan, Gerald Pomper merincinya ke dalam dua variabel, yakni variabel predisposisi sosial-ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosial-ekonomi pemilih (Asfar, 2006). Menurut Pomper, preferensi20
preferensi politik keluarga seperti preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anaknya. Kedua variabel ini, menurut Pomper mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan perilaku memilih seseorang, baik karena berupa persamaan agama yang dianut, persamaan wilayah tempat tinggal, persamaan kelas sosial, serta persamaan karakteristik demografis lainnya (Asfar, 2006). Dari pemaparan yang telah diuraikan, penelitian ini memberi perhatian khusus pada tiga aspek sosiologis, yakni agama, etnisitas, dan kedaerahan. Ketiga aspek ini dipercaya sebagai faktor penting dalam mempengaruhi keputusan memilih seseorang terhadap partai politik atau politisi di kalangan pemilih Tionghoa. a. Agama Perilaku memilih seseorang dalam menentukan pilihan politiknya terhadap partai politik atau politisi sangat dipengaruhi oleh latar belakang agama. Seseorang akan menentukan pilihan politiknya karena berdasarkan agama merupakan pertimbangan tersendiri bagi pemilih. Terkait hubungan antara agama dengan perilaku memilih, penelitian yamg dilakukan oleh Lipset (1981) di Amerika Serikat menemukan bahwa penganut agama Khatolik dan Yahudi, kulit hitam dan Hispanik merupakan pendukung setia Partai Demokrat. 21
Sementara kaum Protestan Anglo Saxon memberikan dukungan pada partai Republik (Lipset, 1981). Bahkan di Pemilu presiden tahun 1984, Lipset menunjukkan bahwa 68 persen orang Yahudi di Amerika Serikat memilih Partai Demokrat dibanding dengan 39 persen suara dari pemilih Protestan (Lipset, 1981). Untuk konteks Indonesia, studi yang dilakukan oleh Gaffar (1992) menemukan pola hubungan yang kuat antara orientasi agama pemilih dengan partai yang dipilih. Pemilih dengan latar belakang santri cenderung untuk memilih partai politik berasaskan islam, seperti PPP. Sementara pemilih dengan latar belakang abangan cenderung pula memilih partai sekuler, yakni PDI. Dan pemilih yang termasuk kelompok priyayi dipastikan akan memilih partai pemerintah, dalam hal ini Golkar. Selaras dengan Gaffar, penelitian yang dilakukan oleh Mallarangeng (1997) juga menemukan hubungan yang kuat antara latar belakang agama dengan pilihan politik masyarakat. Pemilih yang beragama islam cenderung memilih partai islam. Begitu juga dengan orientasi agama yang mana pemilih santri cenderung memilih partai islam. Sementara pemilih yang beragama non-islam cenderung memilih partai nasionalis.
22
b. Etnis Latar belakang asal usul etnisitas yang melekat pada pemilih juga akan sangat mempengaruhi perilaku memilih seseorang terhadap partai politik atau politisi. Studi Ananta (et, al, 2004) menemukan faktor etnisitas (kesukuan) sebagai penjelas dalam melihat fenomena perilaku memilih masyarakat Indonesia yang menunjukkan hubungan positif yang kuat pada etnis Jawa cenderung memilih partai PKB dan PDIP. Sementara PPP dan Golkar menujukkan hubungan negatif dengan suku Jawa. Oleh karenanya, latar belakang suku masih menjadi faktor yang menentukan pilihan politiknya bagi seseorang tidak bisa diabaikan. Bahkan, studi yang dilakukan oleh Cohen menyimpulkan bahwa politik etnis merupakan sebuah upaya untuk mencapai tujuan
dari
etnis
tertentu
dengan
mengandalkan
ikatan
primordial—seperti persamaan agama, budaya, asal-usul, yang memiliki jalinan emosional yang dijadikan sebagai orintasi perilaku politiknya (Sarumpaet, 2009). c. Kedaerahan Seperti halnya aspek agama dan etnisistas, faktor geografis juga memiliki hubungan yang erat dengan perilaku memilih seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Petterson dan Rose di 23
Norwegia membuktikan bahwa ikatan kedaerahan, kota-desa, merupakan faktor yang cukup signifikan dalam menjelaskan aktivitas dan pilihan politik seseorang (Asfar, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Potoski juga menunjukkan fenomena para kandidat atau politisi pada umumnya lebih diterima dan dipilih oleh pemilih yang berasal dari daerah yang sama (Asfar, 2006):. Terkait dengan model pemilih ini, sebuah studi klasik yang diterbitkan pada tahun 1949 dalam Southern Politics, Key menyebutnya perilaku semacam ini sebagai localism, atau perilaku memilih friends and neighbors (Asfar, 2006). Untuk konteks di Babel, memberikan catatan yang menarik. Pada Pileg 1999, perolehan suara PBB cukup signifikan dengan meraup sebesar 30,3 persen di Kabupaten Belitung. Padahal, di Kabupaten/Kota lainnya perolehan suara PBB tidak begitu besar. Begitu juga denga Partai PILAR—partai yang tidak pernah populer di tingkat nasional—mendapatkan perolehan suara sejumlah 5 persen di Babel. Terkait dengan dua fenomena ini, penelitian integratif yang dilakukan oleh tim S2 Politik Lokal dan Otonomi Derah (PLOD) UGM di tahun 2004 menyimpulkan bahwa perolehan suara yang cukup signifikan oleh partai PBB dan PILAR di Babel tidak bisa 24
dilepaskan dari eksistensi salah satu tokoh lokal yang menjadi pengurus pusat di kedua partai tersebut (Laporan Penelitian Integratif PLOD, 2004). Apa yang disampaikan, secara sederahana dapat disimpulkan bahwa faktor sosiologis—yang berdasarkan pada latarbelakang agama, etnis, daerah—singkatnya diyakini akan menentukan pilihan politik seseorang. Oleh karenanya, pendekatan sosiologis ini dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan kecenderungan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009 di Bangka. Meski demikian, pendekatan sosiologis memiliki kelemahan utama karena terlalu menyederhanakan faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam pilihan politiknya berdasarkan pengelompokan sosial yang ada di masyarakat. Selain itu, kelemahan lainnya menurut Niemi dan Weisberg (1984) adalah sulitnya mengukur secara tepat indikator sosiologis secara metodologis (Asfar, 2006). Ketidakmampuan pendekatan
ini
menjelaskan alasan-alasan kelompok tertentu untuk mendukung atau tidak mendukung partai politik juga menambah deretan panjang kelemahan pendekatan sosiologis dalam menjelaskan perilaku memilih seseorang (Asfar, 2006). Namun, terlepas dari kelemahan-kelemahan, sebagai studi awal terkait perilaku memilih masyarakat etnis Tionghoa di Bangka, pendekatan 25
sosiologis ini cukup bisa diandalkan untuk digunakan dalam menjelaskan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009 di Bangka. Pemilih Tionghoa yang memiliki corak diaspora dengan keseragaman pada faktor sejarah dan asal usul leluhur mengandaikan bekerjanya politik primordial. Bekerjanya politik primordial di kalangan pemilih Tionghoa boleh jadi lebih dominan dalam menentukan orientasi pilihan politiknya. E.2. Model 2: Pendekatan Psikologis Pendekatan yang dipelopori oleh Agust Campbell ini menekankan pada tiga aspek psikologis sebagai fokus kajian utama, yakni ikatan emosional terhadap partai atau politisi, orientasi terhadap isu dan orientasi terhadap kandidat (Asfar, 2006). Salah satu variabel penting dari model psikologis
ini
adalah
indentifikasi
seseorang
terhadap
partai
(partisanship/Party ID). Identifikasi partai adalah perasaan keterlibatan dan memiliki yang ada dalam diri seseorang terhadap sebuat partai (Asfar, 2006). Kedekatan ini umumnya terbangun melalui proses yang panjang. Sosialisasi politik di lingkungan keluarga, di tempat kerja, dan di lingkungan masyarakat akan membantu proses pembentukan identitas kepartaian. Mengikuti cara berpikir pendekatan ini, perhatian langsung tertuju pada dua aspek, yakni aspek identifikasi partai dan aspek orientasi kandidat. Kedua aspek yang digunakan ini dianggap penting untuk menjadi 26
acuan mengingat identifikasi kepartaian di pemilih Tionghoa masih menjadi pertanyaan. Kondisi ini boleh jadi disebabkan karena trauma politik yang dialami oleh masyarakat Tionghoa yang diasingkan sejauh mungkin dari kehidupan aktifitas politik oleh negara di era Soekarno dan era Soeharto. Adanya pengasingan politik yang dilakukan negara demikian tentunya secara tidak langsung selain menjauhkan aktifitas politik di kalangan pemilih Tionghoa juga menyebabkan pemilih Tionghoa takut mengidentifikasi dirinya dengan partai politik tertentu. Tak mengherankan jika trauma masa lalu masih melekat dalam ingatan masyarakat Tionghoa hingga sekarang. Tentu saja, konsekuensinya mengakibatkan masyarakat Tionghoa berupaya semaksimal mungkin untuk tidak teridentifikasi dengan partai politik yang ada. Bahkan, tidak menutup kemungkinan pula masyarakat Tionghoa cenderung kurang tertarik untuk membicarakan persoalan politik. Berpijak dari asumsi ini, mengandaikan terbangunnya proses yang panjang dalam aktifitas sosialisasi politik di lingkungan keluarga, di tempat kerja, dan di lingkungan masyarakat Tionghoa—yang menjadi syarat utama dalam membantu proses pembentukan identitas kepartaian di kalangan pemilih Tionghoa—bisa dipastikan tidak maksimal. Bahkan, menurut Sofyan Wanandi meskipun sejak reformasi ada kebebasan politik bagi etnis Tionghoa yang begitu luas, sesungguhnya belum dimanfaatkan 27
secara maksimal oleh kalangan etnis Tionghoa, karena pengalaman tekanan yang dialami oleh etnis Tionghoa dalam jangka waktu yang cukup lama menjadikan sebagian masyarakat Tionghoa takut-takut untuk terjun dalam dunia politik (Kompas, 31 Januari 2011). Hal lainnya muncul kecenderungan fenomena loncat partai yang dilakukan oleh kalangan politisi di Indonesia semakin mengaburkan hubungan segitiga yang erat antara partai politik-kadernya-pemilih. Untuk konteks di Babel, pencalonan Ahok melalui partai golkar misalnya merupakan indikasi dari fenomena loncat partai. Pada Pileg 2004, Ahok bukan kader partai Golkar. Ketika itu, Ahok masih menjadi ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) di Beltim sejak tahun 2003. Bahkan, pencalonannya sebagai Bupati pada Pilkada di Beltim tahun 2005 juga bukan melalui partai Golkar tapi diusung oleh gabungan PPIB dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), yang pada Pileg 2004 hanya memperoleh sejumlah 9,1 persen suara sah. Tidak adanya loyalitas antara pemilih dan partai semakin sulit mendeteksi identifikasi seseorang terhadap partai politik. Boleh jadi pemilih Tionghoa di Pileg 2009 memilih politisi karena memang berorientasi pada kandidat yang diusung oleh partai politik. Artinya, aspek figuritas politisi memang memiliki peran penting. 28
E.3. Model 3: Pendekatan Pilihan Rasional Pendekatan lainnya adalah pilihan rasional. Secara teoritis pendekatan ini mengandaikan seseorang ketika menentukan pilihan politiknya mempunyai kemampuan untuk menilai isu-isu politik yang dijanjikan oleh partai atau politisi terkait dengan keuntungan atau kerugian yang akan didapat secara langsung maupun tidak langsung. Tak hanya itu, pemilih juga
diyakini
mampu
menilai
partai
politik
atau
politisi
atas
kemampuannya untuk memberikan keuntungan atau meminimalisir kerugian bagi pemilih. Penilaian rasional terhadap isu politik atau politisi bisa berdasarkan jabatan, informasi, populeritas, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pendekatan rasional berupaya untuk menjelaskan perilaku memilih seseorang berdasarkan pertimbangan rasional dengan pertimbangan keuntungan dan mengurangi resiko paling kecil dari pilihan politik yang ditentukan oleh pemilih terhadap partai atau politisi (Asfar, 2006). Jika dicermati, pendekatan model ini memang sangat mengandalkan keputusan pribadi seseorang tanpa ada pengaruh apapun terhadap lingkungan disekitarnya. Munculnya fenomena pemilih karakter seperti ini menurut Downs dapat dikelompokkan sebagai pemilih yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri untuk mendapatkan kesejahteraan materinya (Roth, 2008). Pemilih rasional cenderung mengabaikan aspek 29
politis dan ideologis ketika memberikan dukungan kepada partai politik atau politisi. Pertimbangan utamanya adalah keuntungan apa yang didapatkan oleh pemilih jika mendukung partai politik atau politisi dalam setiap momen pemilu. Namun, persoalan utama terkait dengan keberadaan pemilih rasional adalah mengasumsikan individu sebagai entitas atomistik dan independen yang mengabaikan kenyataan bahwa individu adalah makhluk sosial
yang
berkomunikasi
dan
berinteraksi
dengan
lingkungan
eksternalnya. Studi-studi mengenai neighborhood effect dan network analysis misalnya menemukan bahwa preferensi individual sangat mungkin dipengaruhi oleh lingkungan eksternal (Kompas, 15 April 2009). Selain itu, munculnya perilaku memilih seseorang apa yang disebut oleh Melweit dkk, sebagai model “costumer model” of party choice (Asfar, 2006). Menurut Melweit dkk, model ini menegaskan bahwa perilaku memilih merupakan pengambilan keputusan yang bersifat instan yang disesuaikan dengan situasi politik tertentu yang tentunya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh karakteristik sosiologis dan identifikasi kepartaian dalam diri seseorang menjadi kelemahan lainnya melalui pendekatan pilihan rasional (Asfar, 2006). Ketertarikan pemilih pada isu-isu tertentu dan figur kandidat yang ditawarkan oleh partai politik bersifat situsional dan tidak selalu permanen 30
dan bisa berubah-ubah, dan tidak terlepas dari peristiwa sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung menjelang pemilu (Asfar, 2006). Selain itu, semua peserta pemilu, baik di tingkat partai politik maupun politisi, menawarkan isu-isu politik strategis yang sama. Tidak ada yang membedakan ideologi secara tegas dan nyata antara partai yang satu dengan partai yang lainnya. Begitu juga dengan politisi. Dengan memperhatikan argumen dari ke tiga pendekatan secara teoritis, model sosiologis lebih difokuskan untuk memahami dan menjelaskan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009 di Bangka. Pemilih Tionghoa diasumsikan dan diyakini lebih mempertimbangkan latar belakang agama,
etnis, dan kedaerahan
dibandingkan dengan pengaruh partai politik maupun memberian bantuan oleh peserta pemilu dalam menentukan pilihan politiknya.
F. Defini Konseptual Berdasarkan kerangka teori diatas,
untuk menghindari kesalahan
persepsi terkait dengan tema penelitian ini, maka perlu dikemukakan beberapa definisi konseptual berikut: 1. Perilaku memilih adalah sikap atau tindakan pemilih dalam memilih politisi/partai politik sebagai ekspresi dukungan politik pemilih terhadap politisi/partai politik di DPR RI pada Pileg 2009.
31
2. Pemilu adalah sebuah proses untuk menyeleksi masyarakat (politisi) dalam menduduki jabatan-jabatan politik melalui mekanisme yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. 3. Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyatsebagaimana disebutkan UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008. 4. Seorang keturunan Tionghoa disebut Tionghoa jika ia bertindak sebagai anggota dari, dan mengidentifikasikan dirinya dengan masyarakat Tionghoa (Tan, 1981) dalam menjalankan tradisi leluhurnya seperti Imlek, Cap Go Meh, Ceng Beng, dan Pek Chun.
G. Definisi Operasional Untuk menghindari perbedaan dan multi tafsir persepsi serta perspektif, secara operasional varabel-variabel dalam penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Variabel tergantung (dependent variable) Variabel tergantung dalam studi ini adalah perilaku memilih atau voting dalam memilih partai politik atau politisi di Pileg 2009
32
untuk DPR RI. Agar lebih sederhana, aktifitas perilaku memilih yang dimaksud terdiri dari beberapa hal: 1.1.
Alasan pemilih mendukung partai politik
1.2.
Alasan pemilih mendukung politisi pilihannya
2. Variabel bebas (independent variable) Variabel bebas dalam studi ini terdiri dari tiga aspek yang merupakan turunan dari unsur sosiologis. Agar lebih sederhana, berikut ini diuraikan masing-masing komponen yang terdapat dalam dimensi-dimensi sosiologis sebagai berikut: 2.1. Aspek Agama: 2.1.1. Mempertimbangkan agama dalam menentukan pilihan politik 2.1.2. Pengaruh agama dalam menentukan pilihan politik 2.2. Aspek Etnisitas 2.2.1. Mempertimbangkan etnisitas dalam menentukan pilihan politik 2.2.2. Pengaruh etnisitas dalam menentukan pilihan politik
33
2.3. Aspek Kedaerahan 2.3.1. Mempertimbangkan
kedaerahan
dalam
menentukan pilihan politik 2.3.2. Pengaruh
kedaerahan
dalam
menentukan
pilihan politik 3. Lain-lainnya: Sementara untuk informasi lainnya yang dibutuhkan, tetapi tidak berhubungan langsung dengan variabel dependen dan variabel independen yang di uji, namun penting untuk diketahui terkait dinamika perilaku memilih pemilih Tionghoa yakni dimensi psikologis dan dimensi pilihan rasional. Tak hanya itu, mengetahui karakteristik responden, baik secara demografis,
“kesalehan”
responden
sebagai
masyarakat
Tionghoa dan partisipasi politik di partai maupun ikut berpartisipasi dalam Pileg 2009 dengan mendatangai TPS, berikut ini: 3.1. Dimensi Psikologis: 3.1.1. Identitas partai di kalangan pemilih terhadap partai politik peserta Pileg 2009 3.1.2. Kedekatan pemilih dengan partai politik peserta Pileg 2009 34
3.2.1. Memilih partai politik yang sama di Pileg 2004 dengan Pileg 2009 3.2.2. Memilih anggota DPR RI karena didukung partai politik yang memang dipilih oleh pemilih 3.2.3. Tetap memilih politisi yang dipilih di Pileg 2009 meskipun tidak didukung oleh partai politik yang memang didukung 3.2.4. Pengaruh partai politik dalam menentukan pilihan politik di kalangan pemilih 3.2. Dimensi Pilihan Rasional: 3.2.1. Bantuan yang diberikan oleh partai politik atau politisi secara langsung kepada calon pemilih di Pileg 2009 3.2.2. Pengaruh bantuan ekonomis dalam menentukan pilihan politik dikalangan pemilih. 3.3. Informasi Demografi Responden: 3.3.1. Alamat Tempat tinggal responden 3.3.2. Usia responden 3.3.3. Jenis kelamin responden 3.3.4. Pendidikan responden 3.3.5. Pekerjaan responden 3.3.6. Agama responden 3.3.7. Pendapatan responden 35
3.4. Informasi identitas ke-Tionghoaan Responden: 3.4.1. Merasakan bagian dari masyarakat Tionghoa 3.4.2. Perasaan
sebagai
bagian
dari
masyarakat
Tionghoa 3.4.3. Latar belakang asal-usul suku 3.4.4. Intensitas menjalankan atau merayakan Imlek 3.4.5. Intensitas menjalankan atau merayakan Cap Go Meh 3.4.6. Intensitas menjalankan atau merayakan Cieng Beng 3.4.7. Intensitas menjalankan atau merayakan Pek Cun 3.4.8. Intensitas menggunakan dialek atau bahasa Tionghoa dalam keseharian ketika berada di dalam rumah maupun di luar rumah 3.5. Informasi terkait dengan modal sosial di masyarakat Tionghoa: 3.5.1. Orang lain dapat dipercaya 3.5.2. Perbedaan agama tidak saling merugikan 3.5.3. Perbedaan etnis tidak saling merugikan 3.6. Informasi terkait partisipasi politik: 3.6.1. Sebagai anggota partai politik 36
3.6.2. Ikut memilih di Pileg 2009 dengan mendatangi TPS 3.6.3. Alasan
pemilih
untuk
ikut
memilih
dan
mendatangi TPS pada Pileg 2009 3.6.4. Memberikan dukungan dengan mencoblos atau mencontreng partai politik 3.6.5. Memberikan dukungan dengan mencoblos atau mencontreng politisi
H. Metode Penelitian 1.1. Jenis Penelitian Karena penelitian ini studi perilaku memilih, maka metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Menurut Haririson (2007)
riset
politik kuantitatif digunakan dalam pengukuran analisis perilaku dan sikap. Menggunakan metode kuantitatif dengan survei yang memiliki pertanyaan tersetruktur, sistematis, dan semi terbuka yang sama kepada seluruh responden. Untuk setiap jawaban responden dicatat, diolah, dan dianalisis. 1.2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini pada prinsipnya berdasarkan data primer. Namun, disamping penggunaan data primer, untuk semakin mempertajam analisis penelitian maka sumber data 37
lainnya yang sifatnya berupa data sekunder juga digunakan selama tema dan subtansinya
memiliki
relevansi
dalam
kajian
penelitian.
Untuk
mempermudah, akan diuraikan masing-masing teknik pengumpulan data yang disebutkan tadi. 1.2.1. Data primer Data primer merupakan data-data lapangan yang didapatkan dari responden melalui lembar koesioner. Peneliti menanyakan sejumlah pertanyaan kepada responden terkait dengan informasiinformasi yang diperlukan. Pengisian kusioner yang berisi pertanyaan tentang hal-hal yang mendasari perilaku memilih pemilih Tionghoa yang diisi oleh peneliti berdasarkan jawaban responden (terlampir). Jawaban responden yang tertera dalam koesioner inilah yang menjadi basis data untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan oleh peneliti. 1.2.2. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini dikumpulkan dari berbagai macam informasi yang bersifat kajian pustaka (library research). Adapun kajian pustaka yang digunakan berkaitan dengan tema penelitian yang hendak diteliti, baik berupa buku, koran, serta datadata dari dokumen-dokumen resmi seperti data statistik yang dipublikasikan
oleh
pemerintah
daerah,
baik
di
tingkat 38
Propinsi/Kabupaten/Kota. Sementara data dari dokumen-dokumen resmi lainnya adalah data rekapitualisasi hasil Pileg 2009 yang dipublikasikan oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota. Selain itu, pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh lokal maupun nasional di media-media lokal dan nasional—baik dalam bentuk koran harian yang berbentuk cetak
atau elektronik (koran online dan
sejenisnya) yang berkaitan langsung dengan tema penelitian–tetap dipertimbangkan untuk digunakan sebagai data penunjang. 1.3.
Penentuan Lokasi Penelitian Seperti yang telah disitir dibagian sebelumnya, fokus kajian penelitian ini adalah perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009 di Bangka. Oleh karenanya, yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah pemilih Tionghoa yang berdomisli di Bangka. 1.3.1. Argumen Pemilihan Lokasi Penelitian Untuk menghindari kesalahan metode dalam memilih dan menentukan responden sebagai sampel, maka penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Menurut Eriyanto (2007), metode purposive sampling bisa digunakan dalam keadaan dimana populasi sangat menyebar dan peneliti tidak mempunyai informasi awal tentang populasi, dan juga 39
ketika teknik penarikan sampel acak (random sampling) tidak bisa digunakan. Jika dikaitkan dengan konteks penelitian ini juga menunjukkan gejala yang sama. Berdasarkan pengamatan di lapangan sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti mencatat sebaran masyarakat Tionghoa yang tidak seragam di beberapa kecamatan-kecamatan
di
Kabupaten
Bangka.
Dengan
perpaduan hasil pengamatan peneliti di lapangan dan juga informasi dari Pemerintah Daerah (Pemda) melaui Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bangka maka peneliti mulai mendapatkan gambaran terkait dengan sebaran masyarakat Tionghoa di Bangka. Setelah
mendapatkan
informasi,
dan
berbagai
pertimbangan akademik, peneliti memutuskan untuk memilih Kabupaten Bangka sebagai lokasi penelitian. Di pilihnya Kabupaten
Bangka
sebagai
lokasi
penelitian
karena
mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, Kabupaten Bangka merupakan kabupaten yang paling banyak memiliki sebaran pemilih Tionghoanya jika dibandingkan dengan 6 Kabupaten/Kota lainnya yang ada di Babel. Tak hanya itu, Kabupaten Bangka juga menyumbang 40
jumlah pemilih yang paling besar dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya di Babel. Ke dua, seperti yang telah diuraikan di bagian awal, dan, akan diuraikan lebih mendalam di bagian-bagian berikutnya nanti, pemilih di Kabupaten Bangka—terutama di daerah-daerah distribusi pemilih Tionghoanya dominan— menunjukkan
fenomena
perolehan
suara
Tjen
begitu
signifikan. Seperti yang telah diketahui, Tjen merupakan politisi dari kalangan Tionghoa yang mencoba peruntungan karirnya di bidang politik di Pileg 2009 untuk menduduki jabatan politik. Ke tiga, interaksi keseharian antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Melayu di Kabupaten Bangka cukup membaur dengan baik. Meskipun di beberapa Kabupaten/Kota lainnya juga menunjukkan fenomena yang sama, masyarakat Tionghoa di Kabupaten Bangka “lebih akomodatif” dalam bekerja sama terkait dengan pelaksanaan proyek penelitian ini. Ini dapat dibuktikan dengan berhasilnya penelitian-penelitian sebelumnya
terkait
dengan
kajian
tentang
masyarakat
Tionghoa yang dilakukan oleh Idi di tahun 2009. Adanya pengalaman best practice ini tentu juga menjadi pertimbangan 41
peneliti untuk memilih Kabupaten Bangka sebagai lokasi penelitian. Terakhir, dipilihnya Kabupaten Bangka sebagai lokasi penelitian karena peneliti begitu mengenal daerah ini. Oleh karenanya, meski dua alasan yang disebutkan paling akhir tadi tidak berhubungan langsung dengan subtansi apa yang hendak dicapai dari penelitian akan tetapi cukup membantu dan sangat menentukan bagi keberhasilan proyek penelitian ini. 1.3.2. Memilih Kecamatan sebagai Lokasi Penelitian Dengan mempertimbangkan berbagai alasan tadi, selanjutnya peneliti secara spesifik mulai memilih lokasi-lokasi penelitian di tingkatan kecamatan. Masing-masing wilayah kecamatan dipilih, yang mana sebaran pemilih dari kalangan etnis Tionghoa cukup signifikan. Setelah dilakukan pemilihan kecamatan dengan metode purposive sampling, dari 8 kecamatan yang ada di Kabupaten Bangka maka dipilih sebanyak
5
kecamatan,
yakni
Kecamatan
Sungailiat,
Kecamatan Pemali, Kecamatan Merawang, Kecamatan Riau Silip dan Kecamatan Belinyu.
42
1.3.3. Memilih Desa/Kelurahan sebagai Lokasi Penelitian Setelah kecamatan dipilih dan ditentukan, maka tahapan selanjutnya adalah menentukan desa/kelurahan yang dijadikan lokasi penelitian. Seperti yang telah disinggung di bagian sebelumnya, sebaran pemilih Tionghoa menyebar tidak merata ditiap-tiap desa/kelurahan di masing-masing kecamatan yang telah dipilih. Jika sebuah desa/kelurahan di kecamatan tertentu
komposisi
jumlah
penduduk
Tionghoa
cukup
siginifikan maka desa/kelurahan tadi berpeluang untuk dipilih sebagai lokasi penelitian. Oleh karenanya, ketika menentukan desa/kelurahan yang dijadikan sebagai lokasi penelitian terdiri dari beberapa langkah. Pertama, peneliti menentukan dulu desa/kelurahan yang memiliki sebaran pemilih Tionghoanya cukup dominan.
Ke dua,
setelah desa/kelurahan telah
ditentukan, peneliti melakukan tahapan yang lebih spesifik, yakni memilah-milah RW/Dusun yang akan dijadikan tempat penelitian. Selanjutnya, peneliti menentukan RW/Dusun yang dipilih untuk dijadikan tempat penelitian. Dengan berpadukan pendekatan purposive sampling, maka dipilih beberapa desa/kelurahan yang sebaran masyarakat
43
Tionghoanya begitu dominan untuk dijadikan lokasi penelitian. Adapun desa/kelurahan yang dipilih tersebut sebagai berikut: a. Di Kecamatan Sungailiat, desa/kelurahan yang dipilih terdiri dari Kelurahan Kuday, Desa Rebo, Kelurahan Sungailiat, Kelurahan Sinar Baru dan Desa Kenanga b. Di Kecamatan Pemali, desa/kelurahan yang dipilih adalah Desa Air Duren, Kelurahan Air Ruai, Desa Karya Makmur dan Desa Pemali c. Di Kecamatan Merawang, desa/kelurahan yang dipilih adalah Desa Merawang, Desa Batu Rusa, Desa Dwi Makmur, Desa Jurung dan Desa Riding Panjang d. Di Kecamatan Riau Silip, desa/kelurahan yang dipilih yakni Desa Cit, Desa Deniang, Desa Mapur dan Desa Riau e. Di Kecamatan Belinyu, desa/kelurahan yang dipilih adalah Desa Bintet, Desa Gunung Muda, Desa Gunung Pelawan, Kelurahan Kuto Panji, dan Desa Lumut.
44
1.4.
Populasi dan Unit Sampel Sasaran Karena penelitian ini didesain untuk menjelaskan perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009 di Bangka maka populasi sasarannya adalah semua pemilih Tionghoa yang berada di wilayah Kabupaten Bangka yang sudah memilih dan terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Oleh karenanya, unit sampel pada penelitian ini adalah pemilih dari kalangan Tionghoa yang telah memilih dan terdaftar dalam DPT, yang dikeluarkan secara resmi oleh KPU Bangka pada Pileg 2009.
1.5.
Kerangka Sampel Setelah menentukan populasi sasaran, selanjutnya peneliti membuat kerangka sampel yang lebih operasional. Penyusunan kerangka sampel ini mengandalkan informasi dan data melalui DPT yang dikeluarkan secara resmi oleh KPU Kabupaten Bangka. Karena data dari KPU Kabupaten Bangka tidak memisahkan pemilih Tionghoa dan pemilih Melayu, serta pemilih dari kalangan etnis lainnya, maka peneliti melakukan penyusunan ulang daftar DPT tadi untuk dipilah sesuai kebutuhan penelitian. Dalam tahapan ini peneliti melakukan beberapa hal. Pertama, peneliti memilih namanama pemilih Tionghoa. Dalam DPT di tiap-tiap TPS tidak semuanya adalah pemilih Tionghoa. Oleh karenanya, agar pemilihan responden 45
tepat sasaran maka nama-nama pemilih yang bukan Tionghoa langsung dihapus. Untuk beberapa TPS misalnya, pemilih dalam proses memilih nama-nama tersebut tidak mengalami kesulitan karena memang didominasi oleh pemilih Tionghoa. Meskipun ada namanama pemilih bukan Tionghoa di beberapa TPS tadi jumlahnya tidak terlalu banyak dan bisa ditemukan dengan mudah. Kedua, peneliti melakukan pemisahan antara pemilih laki-laki dan pemilih perempuan. Ini dilakukan agar pemilih laki-laki dan pemilih perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan responden sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. 1.6.
Jumlah Sampel Menurut Eriyanto (2007), jika penarikan sampel dilakukan secara acak (random) dan tidak bias dalam penentuan sampel, jumlah populasi tidak berpengaruh. Jumlah populasi dan sampel juga tidaklah berbanding lurus (Eriyanto, 2007). Bahkan menurut Eriyanto, besaran jumlah sampel tergantung pada tiga hal, yakni keragaman (variasi) dari populasi, batas kesalahan sampel yang dikehendaki (sampling eror), dan interval kepercayaan (Eriyanto, 2007). Terkait dengan jumlah pemilih dari kalangan etnis Tionghoa di Babel secara khusus belum tersedia, maka peneliti lebih dahulu memastikan berapa jumlah TPS di masing-masing desa/kelurahan 46
yang sebaran pemilih Tionghoanya dominan. Setelah mengetahui jumlahnya, maka selanjutnya peneliti menentukan jumlah responden yang akan diwawancarai di masing-masing TPS yang telah dipilih. Ketika akan menentukan jumlah sampel yang dipilih untuk diwawancarai, peneliti mempertimbangkan ukuran tipikal dalam survei-survei ilmiah disatu pihak, serta keterbatasan dana dan waktu dipihak lain. Oleh karenanya, peneliti menggunakan sistem kouta untuk tiap-tiap TPS yang telah dipilih. Masing-masing dari TPS ditentukan sebanyak 4 pemilih (sampel) dengan komposisi 2 pemilih laki-laki dan 2 pemilih perempuan. Selaras dengan berbagai langkah dan pertimbangan tadi, maka dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel secara keseluruhan sebanyak 136 responden laki-laki dan perempuan yang tersebar di 5 kecamatan. Jumlah sampel di masing-masing kecamatan disesuaikan dengan jumlah sebaran pemilih Tionghoa di daerah tersebut. Untuk melihat jumlah sebaran responden dapat dilihat pada tabel 1.4 di bawah.
47
Tabel 1.4 Sebaran Responden No
Kecamatan
Sebaran Pemilih Tionghoa berdasarkan Desa/Kelurahan
1
Sungailiat
Kelurahan Kuday
2
3
4
5
Pemali
Merawang
Riau Silip
Belinyu
Jumlah Keseluruhan TPS
Jumlah TPS dominan Pemilih Tionghoa
TPS terpilih
Jumlah Responden
11
7
3
12
Desa Rebo
9
6
3
12
Kelurahan Sungailiat
43
4
2
8
Kelurahan Sinar Baru
18
5
2
8
Desa Kenanga
10
5
2
8
Desa Air Duren
7
3
1
4
Air Ruai
10
1
1
4
Karya Makmur
11
1
1
4
Pemali
8
1
1
4
Desa Merawang
4
3
1
4
Desa Batu Rusa
9
1
1
4
Desa Dwi Makmur
2
2
1
4
Desa Jurung
3
1
1
4
Desa Riding Panjang
6
1
1
4
Desa Cit
9
1
1
4
Desa Deniang
5
4
2
8
Desa Mapur
4
1
1
4
Riau
7
1
1
4
Desa Bintet
6
4
2
8
Desa Gunung Muda
11
3
1
4
Desa Gunung Pelawan
5
1
1
4
Desa Kuto Panji
28
8
3
12
Desa Lumut Jumlah Total
6
4
2
8
232
68
36
136
Untuk mengetahui secara lebih rinci bagaimana jumlah responden diatas ditentukan dapat dilihat di bagian selanjutnya. 1.7. Teknik Pengambilan Sampel Setelah lokasi penelitian dipilih dan ditentukan, mulai dari level kecamatan hingga desa/kelurahan yang dilakukan secara purposive sampling, serta jumlah sampel juga sudah ditentukan maka selanjutnya peneliti memilih responden sebagai sampel untuk diwawancarai. Untuk menentukan responden 48
yang diwawancarai, peneliti terlebih dahulu memilih TPS-TPS, baru kemudian memilih responden yang terdaftar di TPS-TPS terpilih tadi. Adapun secara rinci teknik penentuan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.7.1. Memilih TPS Secara Acak Setelah desa/kelurahan ditentukan maka tahapan selanjutnya adalah menentukan TPS yang dijadikan segmen pengambilan sampel. Dalam tahapan penentuan TPS, peneliti menggunakan lembar angkaangka acak sistematis yang telah disusun. Namun, sebelum melakukan proses pengacakan tadi, peneliti melakukan pemilihan TPS yang menjadi kandidat untuk dipilih dengan teknik purposive sampling. Setelah peneliti membuat daftar TPS yang akan dipilih, baru kemudian peneliti melakukan penyusunan ulang daftar urut TPS sebelum memasuki tahap pengacakan. Tahap pengacakan TPS dilakukan karena dari semua TPS yang peneliti susun daftarnya tidak semuanya dijadikan objek pengambilan sampel responden. Proses ini dilakukan disetiap semua desa/kelurahan hingga peneliti mendapatkan jumlah TPS dan responden yang diinginkan.
49
Tabel 1.5 Penentuan Jumlah Segmen TPS Jumlah TPS Pemilih Tionghoa Dominan di Desa/Kelurahan 1-3 4-6 7-9 10-12
Jumlah Segmen TPS untuk Sampel Di Desa/Kelurahan 1 2 3 4
Yang perlu perlu diperhatikan, ukuran segmen TPS yang diambil berdasarkan format yang telah peneliti susun seperti telihat dalam tabel 1.5. Meski tidak ada aturan baku terkait dengan penentuan segmen TPS, dalam penelitian ini, peneliti merumuskan sendiri aturan dalam menentukan jumlah segmen TPS yang dipilih. Untuk desa/kelurahan yang memiliki jumlah TPS dominan pemilih Tionghoanya terdiri dari 1-3 TPS maka yang diambil sebagai sampel sejumlah 1 TPS. Berikutnya, desa/kelurahan yang TPS dominan pemilih Tionghoanya sebanyak 4-6 TPS maka yang diambil sebagai sampel sebanyak 2 TPS. Selanjutnya, untuk desa/kelurahan yang TPS dominan pemilih Tionghoanya terdiri dari 7-9 TPS maka diambil sebanyak 3 TPS sebagai sampel. Dan, bagi desa/kelurahan yang TPS dominan pemilih Tionghoa sebanyak 10-12 maka yang diambil sebagai sampel sebanyak 4 TPS.
50
Setelah melakukan semua tahapan dan proses tadi, peneliti menentukan jumlah TPS yang dijadikan basis pengambilan sampel seperti yang nampak dalam tabel 1.5. 1.7.2. Memilih Responden Secara Acak Setelah TPS-TPS terpilih ditentukan, tahapan berikutnya adalah memilih responden yang terdaftar dalam DPT untuk diwawancarai. Pemilihan individu sebagai responden dilakukan secara acak kepada seluruh pemilih Tionghoa yang terdaftar didokumen resmi KPU, yakni terdaftar di DPT pada Pileg 2009. Proses pemilihan responden dalam penelitian ini menggunakan lembar angka acak yang sudah disiapkan oleh peneliti. Sebelum memulai proses pengacakan responden, peneliti terlebih dahulu memisahkan pemilih perempuan dan pemilih laki-laki yang terdaftar dalam DPT dimasing-masing TPSTPS. Selanjutnya, penentuan responden terpilih menggunakan lembar angka acak sistematis (terlampir) yang disusun berdasarkan kaidah penelitian. Lembar angka acak adalah suatu daftar angka-angka acak yang pada umumnya terdapat di buku-buku statistik, website statistik dan sofware komputer, seperti aplikasi program Microsoft Exel. Yang perlu diperhatikan adalah deretan angka-angka acak yang harus diambil. Jika populasi di TPS tertentu berjumlah 400, berarti 51
harus ada deretan angka-angka acak sampai 400. Ini dilakukan agar semua anggota populasi tadi mendapatkan kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Berikutnya, terkait dengan prosedur penggunaan angka-angka acak adalah sebagai berikut. Pertama, peneliti akan menentukan lebih dahulu jumlah sampel yang diinginkan di tiap-tiap TPS. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel sebanyak 4 responden di masing-masing TPS. Nama-nama pemilih yang terdaftar di TPS-TPS sudah peneliti susun kembali dengan pengelompokan pemilih berjenis kelamin laki-laki dan pemilih berjenis kelamin perempuan dibedakan. Meski demikian, masing-masing pemilih laki-laki dan pemilih perempuan mempunyai peluang yang sama, yakni sebanyak 2 pemilih laki-laki dan 2 pemilih perempuan untuk dijadikan sampel di tiap-tiap TPS yang terpilih. Ke dua, cara membaca daftar angka-angka acak dimulai dari baris di kolom paling kiri dilanjutkan ke kanan terus hingga angka di pojok paling kanan. Jika pada kolom pertama ini angka-angka acak yang keluar sesuai dengan angka batas 400 (menyesuaikan angka diatas) maka 2 angka pertama yang keluar tadi akan dijadikan sampel. Ini juga berlaku untuk lembar angka acak pemilih laki-laki dan pemilih perempuan. Akan tetapi, jika pada kolom baris pertama angka yang 52
keluar melebihi angka 400 maka pencarian angka dilanjutkan pada kolom berikutnya sesuai prosedur yang sama dengan kolom baris pertama tadi. Begitu seterusnya, hingga didapat 2 nama terpilih untuk pemilih laki-laki dan 2 nama terpilih untuk pemilih perempuan. Kemudian, setelah responden terpilih didapatkan, peneliti mendatangi responden untuk proses wawancara langsung tatap muka dengan dibantu lembar koesioner. Jika responden yang terpilih tadi tidak bisa diwawancarai dengan berbagai alasan teknis, maka peneliti mengganti responden tersebut dengan responden lainnya setelah melewati prosedur yang ketat dan sama, sampai peneliti mendapatkan jumlah responden yang diinginkan. 1.8. Diskripsi Responden Sebelum menganalisis perilaku memilih etnis Tionghoa secara spesifik, ada baiknya disampaikan diskripsi karakteristik responden yang berhasil diwawancarai. Secara tidak langsung, karakterisitik responden juga memiliki kontribusi dalam membentuk opininya. Agar analisis penelitian ini tidak kehilangan arah. 1.8.1. Sebaran Kecamatan Jumlah responden yang disebarkan untuk wilayah di masingmasing kecamatan sangat seperti yang terlihat dalam grafik 1.1. Di Kecamatan Sungailiat berjumlah 44 responden atau 32 persen dari 53
total 138 responden. Berikutnya, di Kecamatan Pemali berjumlah 16 responden atau 12 persen. Sementara di Kecamatan Merawang sebanyak 20 responden atau 15 persen. Sedangkan di Kecamatan Riau Silip berjumlah 20 responden atau 15 persen. Dan, di Kecamatan Belinyu berjumlah 36 responden atau 26 persen. Grafik 1.1. Jumlah Responden di Kecamatan
Sumber: Dioleh dari data primer N=136 Perbedaan jumlah responden dikarenakan sebaran masyarakat Tionghoa yang cukup bervariasi. Hasil pengamatan berdasarkan data statistik yang tersedia—dengan melihat sebaran pemilih Tionghoa berdasarkan jumlah TPS—pemilih Tionghoa memang paling banyak tersebar di Kecamatan Sungailiat. Kemudian, diikuti oleh sebaran pemilih Tionghoa terbanyak kedua di Kecamatan Belinyu. Sementara di Kecamatan Merawang dan Kecamatan Riau Silip proporsi sebaran 54
Pemilih Tionghoa nyaris seimbang. Dan, sebaran Pemilih Tionghoa paling sedikit berada di Kecamatan Pemali. 1.8.2. Desa dan Kota Jika
dilihat
berdasarkan
karakteristik
domisili
pemilih
Tionghoa yang dikategorikan dalam kelompok Desa atau Kelurahan, maka responden yang tersebar mayoritas di desa, yakni sebanyak 88 responden atau 64,7 persen dari total responden. Dan, pemilih Tionghoa yang berdomisili di kategori Kelurahan sebanyak 48 responden atau 35,3 responden. Grafik 1.2 Karaktersitik Tempat Tinggal Responden
Sumber: Dioleh dari data primer N=136 1.8.3
Usia Responden yang terpilih dalam penelitian ini terdiri dari berbagai pengelompokkan usia. Bila dilihat dari sisi usia, responden dikelompokkan dalam beberapa kategori usia, yakni a) 17 tahun/sudah 55
memilih-19 tahun; b) 20 tahun-29 tahun; c) 30 tahun-39 tahun; d) 40 tahun-49 tahun; e) 50 tahun-59 tahun; dan f) 60 tahun-keatas. Untuk mempermudah melihat pengelompokkan usia responden dapat dilihat dalam grafik 1.3. Grafik 1.3. Kelompok Usia Responden
Sumber: Dioleh dari data primer N=136 Seperti yang terlihat digrafik 1.3 diatas, sebaran responden paling besar terdistribusi dalam kelompok usia 30 tahun-39 tahun sebanyak 33.1 persen. Selanjutnya, diurutan ke dua kelompok usia 20 tahun-29 tahun berjumlah 27,2 responden. Di urutan ke tiga terbanyak pada kelompok usia 50 tahun-59 tahun sejumlah 18 persen responden. Di urutan berikutnya disusul oleh kelompok usia 40 tahun-49 tahun sebanyak 18 persen responden. Selanjutnya bagi kelompok usia 6o 56
tahun keatas jumlah responden terdiri dari 5,9 persen. 2 Dan, diurutan paling akhir berada untuk kelompok usia 17 tahun/sudah memilih yang hanya berjumlah 1,5 persen dari total responden yang diwawancari. 3 1.8.4. Jenis Kelamin Jika dilihat dari jenis kelamin, responden dalam penelitian ini terdiri dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan dengan persentase yang seimbang, yaitu laki-laki berjumlah 50 persen dan perempuan atau 50 persen.
2
Terkait dengan kelompok usia 60 tahun keatas, ketika peneliti hendak melakukan wawancara dengan responden terpilih berdasarkan angka dan nomer urut yang sudah disusun mengalami kesulitan. Selain karena pertimbangan faktor usia, peneliti juga merasakan ada semacam kekhawatiran bagi anakanaknya yang mana orang tua mereka terpilih sebagai responden untuk diwawancarai. Jadi, dengan berbagai pertimbangan dan alasan peneliti tidak berhasil mewawancari responden yang sudah cukup renta ini (tidak mampu berkomunikasi dengan baik dan mendapatkan respon negatif dari pihak keluarga) peneliti harus menggantikan dengan responden lainnya. Melalui proses yang sama, peneliti melanjutkan angka dan nomer urut terpilih yang sudah disusun berikutnya sebagai pengganti responden yang tidak berhasil diwawancarai dengan tempat dan jenis kelamin yang sama. Adapun jumlah 8 responden tersebut yang berhasil diwawancarai merupakan sebuah keberuntungan dan usaha keras bagi peneliti untuk meyakinkan keluarga responden ketika mengalami berbagai macam hambatan dalam menggali informasi yang diinginkan dikelompok usia ini. 3 Untuk kelompok usia 17 tahun/sudah memilih-19 tahun yang hanya berjumlah 2 responden dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, jarak antara Pileg 2009 dengan penelitian ini dilakukan berkisar 2 tahun. Artinya, ketika responden terpilih di tahun 2009 berusia 17 tahun atau sudah memilih tentu saat penelitian ini dilakukan responden tadi sudah bertambah dua tahun usianya. Kalau responden yang terpilih untuk diwawacarai ketika tahun 2009 berusia 17 tahun tentu tidak akan masalah karena penelitian ini dilakukan usia responden tadi baru berusia 19 tahun, yang dalam penelitian ini masih dalam satu kelompok yang sama. Tetapi menjadi berbeda jika pada Pileg 2009 responden yang terpilih ketika itu berusia 18 tahun-19 tahun. Ketika penelitian ini dilakukan, responden terpilih yang berusia 18 tahun -19 tahun tadi tentu usianya sudah bertambah dua tahun, yakni menjadi 20 tahun -21 tahun. Pertambahan usia ini berpegaruh terhadap persentase kelompok usia pemilih pemula (ketika itu) yang peneliti kategorikan dalam kelompok 17 tahun/sudah memilih. Tentu akibatnya adalah lonjakan bagi kelompok usia 20 tahun-29 tahun.
57
Grafik 1.4 Komposisi Jenis Kelamin Responden
Sumber: Dioleh dari data primer N=136 1.8.5. Pendidikan Selanjutnya, latar belakang pendidikan terakhir responden dalam penelitian ini sebagian besar adalah SLTA/Sederajat sejumlah 51,4 persen. Berikutnya terbanyak kedua disusul oleh lulusan SLTP/Sederajat sebanyak 21,3 persen, SD/Sederajat berjumlah 15,4 persen, Tidak tamat SD sejumlah 6,6 persen. Sementara untuk lulusan D3/Sederajat sejumlah 0,7 persen, dan S1/Sederajat juga sebanyak 0,7 persen. 4
Dan,
yang
mengaku
berlatar
belakang
pendidikan
S2/Sederajat dan S3/Sedejat tidak seorangpun.
4
Sedikitnya jumlah responden yang lulus dari perguruan tinggi baik untuk D3/Sederajat maupun S1/Sederajat di kalangan masyarakat Tionghoa dalam penelitian ini memberikan beberapa catatan. Pertama, responden yang terpilih dari kalangan lulusan perguruan tinggi bukan dikarenakan kesadaran pendidikan masyarakat Tionghoa rendah. Menurut beberapa responden ketika diwawancarai diluar item-item pertanyaan dalam kusioner memberikan informasi bahwa anak-anak/saudara mereka yang lulus dari perguruan tinggi lebih memilih hidup di daerah lain. Beberapa informasi yang tertangkap, menurut pengakuan beberapa responden menyebutkan bahwa anak/saudara mereka mengembangkan bisnis atau bekerja di Jakarta, Kalimantan, Surabaya, Medan, dan daerah lainnya. Sementara yang berpendidikan paling tinggi SLTA/Sederajat lebih memilih untuk berkarir di Pulau Bangka. Kedua, selain memilih karir di Indonesia, beberapa responden juga memberikan informasi bahwa ada sejumlah
58
Grafik 1.5 Latarbelakang Pendidikan Responden
Sumber: Dioleh dari data primer N=136 1.8.6. Pekerjaan Jika dilihat dari sebaran latar belakang pekerjaan, responden yang mangaku sebagai pengusaha/wiraswasta menempati komposisi paling banyak, yakni berjumlah 30,9 persen. Diurutan ke dua, responden yang mengaku bekerja didalam
rumah tangga biasa
berjumlah 28,7 persen. Berikutnya diikuti oleh responden yang mengaku sebagai petani/penambang/buruh harian sebanyak atau 26,5 persen. Selanjutnya, disusul oleh responden yang mengaku bekerja sebagai pegawai swasta berjumlah 8,8 persen. Sementara yang mengaku tidak bekerja sebanyak 4,4 persen. Berikutnya, responden yang mengaku sebagai pelajar/mahasiswa hanya 0,7 persen. Terakhir, kenalan, saudara, anak dan famili responden yang memilih berkarir di luar negeri, seperti di Taiwan, Singapura, bahkan ada juga yang di Amerika.
59
yang mengaku sebagai pensiunan tidak seorangpun dari 136 total responden yang diwawancarai. Grafik 1.6 Jenis Pekerjaan Responden
Sumber: Dioleh dari data primer N=136 1.8.7
Agama Apa bila dilihat dari komposisi agama yang dianut, responden yang mengaku menganut agama Budha paling banyak jumlahnya, yakni 50,3 persen. Di urutan terbanyak ke dua penganut agama Konghucu dengan jumlah 41,4 persen. Selanjutnya, ditempati oleh penganut agama Protestan berjumlah 3,5 persen. Terakhir, sebanyak 4,8 persen menganut agama Katolik. Untuk penganut agama Islam dan
60
Aliran
Kepercayaan
tidak
ada
seorang
respondenpun
yang
mengakuinya. 5 Grafik 1.7 Latarbelakang Agama Responden
Sumber: Dioleh dari data primer N=136
5
Terkait dengan tidak adanya responden yang mengaku sebagai agama Islam bukan berarti tidak ada masyarakat etnis Tionghoa di Bangka yang menganut agama Islam. Beberapa responden menyebutkan bahwa anaknya ada yang menikah dengan masyarakat dari etnis Melayu, kemudian masuk Islam. Selain melalui ikatan pernikahan, ada juga yang masuk islam karena “panggilan jiwa”. Beberapa responden memberikan informasi menyebutkan bahwa anaknya yang menikah dengan etnis Melayu yang menganut agama Islam tidak lagi tinggal satu rumah dengan mereka. Bahkan terpisah oleh kampung atau desa/kelurahan yang penduduknya mayoritas etnis Melayu. Karena penelitian ini dilakukan di desa/kelurahan/dusun yang penduduknya masyarakat Tionghoa dominan atau yang dikenal dengan “Kampung Pacinan” tentu peluang untuk menemukan masyarakat etnis Tionghoa yang beragama Islam sudah bisa dipastikan nyaris tidak ada. Ini terbukti ketika peneliti melakukan penelitian, ada beberapa responden yang terpilih memang menganut agama Islam tetapi ketika hendak diwawancarai responden terpilih tersebut sudah berpindah ke Kabupaten lainnya. Mendapatkan kenyataan seperti ini, peneliti langsung menggantikan responden terpilih tadi dengan responden lainnya yang memang sudah disiapkan oleh peneliti berdasarkan angka dan nomer urut acak dengan prosedur yang ketat.
61
1.8.8.
Pendapatan Sebagian besar pendapatan reponden yang mengaku rata-rata setiap bulan bulan kurang dari Rp 500.000 sebanyak 0,7 persen. Selanjutnya, responden yang mengaku pendapatannya rata-rata per bulan Rp 510.000-Rp 1.000.000 berjumlah 7,4 persen. Sementara yang mengaku pendapatan rata-rata perbulan Rp 1.100.000-Rp 2.000.000 sebanyak 38,2 persen. Dan yang mengaku pendapatan ratarata perbulan dikisaran Rp 2.100-000-Rp 3.000.000 berjumlah 37,5 persen. Dan, yang mengaku pendapatan rata-rata perbulan Rp 3.100Rp 5.000.000 sebanyak 10,3 persen. Terakhir, yang mengaku pendapatan rata-rata pe bulan Rp. 5.100.000 s.d ke atas sejumlah 1,5 persen. Grafik 1.8 Karakteristik Pendapatan Responden
Sumber: Dioleh dari data primer N=136 62
1.9. Jenis dan Pengukuran Data Jenis dan pengukuran data dalam penelitian ini dikategorikan dalam dua, yakni data nominal dan data ordinal. 1.9.1. Data Nominal Data nominal adalah data yang didapat dari hasil kategorisasi dan menunjukkan kesejajaran (Roth, 2008); (Santoso, 2012); (Priyatno, 2009). Dalam penelitian ini, jenis data nominal digunakan terkait dengan beberapa item pertanyaan yang tertera dalam lembar kusioner sebagai berikut: Pertama,
untuk
kategorisasi
informasi
demografi
dan
karakteristik sosial ekonomi responden dapat dilihat pada item pertanyaan nomer 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Ke dua, untuk informasi terkait identitas ketionghoaan responden dapat dilihat pada pertanyaan nomer 7, 9a, 9b, 9c, 9d, 9d, 9e, 9f, 9g, dan 9h. Terkait dengan informasi umum seputar Pileg 2009 dapat dilihat pada pertanyaan nomer 13, 14, dan 15. Ke tiga, terkait dengan partai politik pilihan responden dapat dilihat pada pertanyaan nomer 16. Dan, untuk mengetahui alasan responden memilih partai politik dapat dilihat pada pertanyaan nomer 17a, 17b, 17c, 17d, 17e, 17f, dan 17g.
63
Ke empat, untuk informasi pengetahuan responden terhadap figur politisi yang mencalonkan diri di Pileg 2009 untuk DPR dapat dilihat pada pertanyaan nomer 18a, 18b, 18c, 18d, 18e, 18f; sementara untuk pengetahuan responden terhadap latar belakang agama politisi dapat dilihat pada pertanyaan nomer 19a, 19b, 19c, 19d, 19e, 19f. Untuk pengetahuan responden terhadap latarbelakang etnisitas politisi dapat dilihat pada pertanyaan nomer 20a, 20b, 20c, 20d, 20e, 20f; dan untuk informasi pengetahuan responden terhadap latarbelakang asal daerah politisi berdomisili dapat dilihat pada pertanyaan nomer 21a, 21b, 21c, 21d, 21e, dan 21f. Ke lima, terkait dengan politisi pilihan responden di Pileg 2009 dapat dilihat pada pertanyaan nomer 22. Dan, untuk melihat alasan responden memilih politisi di Pileg 2009 dapat dilihat pada pertanyaan nomer 23a, 23b, 23c, 23d, 23e, 23f, 23g, 23h, 23i, dan 23j. Ke enam, terkait dengan pilihan politik responden. Untuk mengetahui pertimbangan agama, etnis dan daerah bagi responden dalam menentukan pilihan politiknya dapat dilihat pada pertanyaam nomer 24. Selanjutnya, untuk melihat apakah responden memiliki kedekatan dengan partai politik peserta Pileg 2009 dapat dilihat pada pertanyaan nomer 26. Dan, untuk melihat loyalitas responden dalam memilih partai politik dapat dilihat pada pertanyaan nomer 28, 29 dan 64
30. Berikutnya, untuk melihat apakah responden pernah menerima bantuan dari partai politik atau politisi menjelang Pileg 2009 dilaksanakan dapat dilihat pada pertanyaan nomer 32. Nomer-nomer pertanyaan yang disebutkan diatas semuanya menggunakan skala ukuran data nominal. Penjelasan ini penting untuk diuraikan secara rinci agar tidak terjadi kesalahan fatal dalam melihat dan mengukur data yang digunakan dalam penelitian. Kesalahan dalam menilai bentuk pengukuran data berimplikasi pada perbedaan dalam melihat analisis statistik yang digunakan. Oleh karenanya, penyamaan persepsi
mutlak
dilakukan.
Selanjutnya,
untuk
melihat
lebih
lengkapnya bentuk pertanyaan tadi dapat dilihat pada lembar koesioner di bagian lampiran. 1.9.2. Data Ordinal Selain menggunakan skala pengukuran data nominal yang telah diuraikan, penelitian ini juga menggunakan skala data ordinal. Skala data ordinal adalah jenis data hasil dari kategorisasi yang sama, namun selain dapat dikategorisasikan, juga dapat diurutkan atau diranking (Roth, 2008; Santoso, 2012; Priyatno, 2009). Dalam penelitian ini, jenis data ordinal digunakan terkait dengan beberapa item pertanyaan yang
tertera
dilembar
kusioner.
Adapun
pertanyaan
yang
65
menggunakan skala ordinal dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, terkait dengan identitas ketionghoaan responden. Pertanyaan nomer 8 memberikan informasi bagaimana perasaan responden menjadi bagian dari masyarakat Tionghoa. Berikutnya, terkait dengan intensitas responden dalam menjalankan ibadah atau tradisi leluhurnya dapat dilihat pada pertanyaan nomer 10a, 10b, 10c, 10d, dan
10e. Selanjutnya, terkait dengan informasi intensitas
responden
dalam
menggunakan
bahasa
dialek
Tionghoa
di
lingkungannya dapat dilihat pada pertanyaan nomer 11a dan 11b. Ke dua, terkait dengan sikap responden dalam menilai keberadaan etnis lain di lingkungannya. Pertanyaan nomer 12a memberikan
informasi
bagaimana
responden
menilai
bahwa
keberadaan orang bisa dipercaya selain dirinya sendiri. Selanjutnya, nomer 12b memberikan informasi penilaian responden bahwa eksistensi orang lain tidak merugikan dirinya. Dan, untuk pertanyaan nomer 12c memberikan informasi tentang penilaian responden terhadap adanya perbedaan etnis atau suku yang tidak saling merugikan. Ke tiga, terkait langsung dengan perilaku memilih responden. Pertanyaan nomer 25a untuk melihat apakah agama menjadi 66
pertimbangan dalam menentukan pilihan politik responden. Dan, untuk pertanyaan nomer 25b dapat memberkan informasi terkait dengan pengaruh etnisitas dalam menentukan pilihan politik responden di Pileg 2009. Selanjutnya, untuk melihat apakah faktor kedaerahan latarbelakang politisi memiliki pengaruh dalam menentukan pilihan politis responden dapat dilihat pada pertanyaan nomer 25c. Berikutnya, untuk menjelaskan kedekatan responden dengan partai politik peserta Pileg 2009 dapat dilihat pada pertanyaan 27. Sementara untuk melihat apakah ada peran partai politik dalam mempengaruhi pilihan politik responden di Pileg 2009 ketika menentukan pilihan politiknya dapat dilihat pada pertanyaan nomer 31. Terakhir, untuk melihat apakah ada pengaruhnya sumbangan dan bantuan fisik dari partai politik atau politisi peserta Pileg 2009 secara langsung kepada responden dalam menentukan pilihan politiknya dapat dilihat pada pertanyaan nomer 34. Apa yang telah diuraikan menunjukkan penggunaan jenis data ordinal dalam item-item pertanyaan dilembar koesioner. Untuk melihat lebih rinci bentuk pertanyaan yang nomernya disebutkan tadi dapat dilihat pada lembar koesiner yang terlampir.
67
1.10.
Pengolahan Data Proses pengolahan data dalam penelitian ini melalui beberapa tahap,
yakni: 1.10.1. Editing atau mengedit data Mengedit data merupakan tahap awal yang dilakukan dalam rangka mengevaluasi kelengkapan, konsistensi, keterbacaan dan kesesuaian data yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian. Pada tahapan ini, peneliti melakukan pengecekan data yang berhasil dikumpulkan selama proses penelitian lapangan dilakukan. Proses ini dilakukan
untuk
menghindari
bias
penafsiran
ketika
peneliti
melakukan tahap analisa data. Berdasarkan langkah tadi, data pada seluruh koesioner yang disebar kepada responden semua terisi dengan lengkap. Dengan terkumpulnya data secara lengkap, diharapkan dapat digunakan untuk menjawab masalah yang sudah dirumuskan dalam penelitian ini. 1.10.2. Coding atau mengkode data Pemberian kode pada data yang tertera dalam koesioner merupakan proses mengkonversikan data kedalam kode-kode dalam bentuk angka. Dengan adanya data-data yang telah dikode dalam bentuk angka-angka akan mempermudah peneliti untuk mentransfer
68
data lapangan kedalam komputer melalui program SPSS 15 untuk melakukan analisis data. Pemberian kode pada setiap jawaban responden dalam lembar koesioner sangat penting jika pengolahan data dilakukan dengan komputer. Pemberian kode dapat dilakukan dengan melihat jenis pertanyaan dan jawaban dari pertanyaannya. 1.10.3. Entry Data atau Input Data Entry data merupakan proses memasukkan data yang sudah dikode kedalam komputer melalui aplikasi program SPSS 15. 1.10.4. Tabulating Data (tabulasi data) Tabulasi data merupakan proses mengklasifikasikan data menurut kriteria tertentu. Proses tabulasi data ini bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam proses uji hipotesis. Tabulasi data juga dapat digunakan untuk menunjukkan statistik deskriptif dari variabel-variabel yang diteliti atau variabelvariabel yang ditabulasi silang. 1.11. Teknik Analisis Data Analisis data hasil penelitian ini sangat bergantung dengan jenis dan pengukuran data yang digunakan. Seperti yang telah diuraikan
dibagian
sebelumnya,
penelitian
ini
menggunakan
pengukuran skala nominal dan ordinal. Untuk data bertipe nominal 69
dan ordinal, mau tidak mau, statistik nonparametrik sangat dianjurkan untuk digunakan (Santoso, 2012). Oleh karenanya, analisis data yang digunakan mengacu pada metode
statistik Nonparametrik dalam
standar kajian-kajian empiris. Karena analisis statistik yang bisa dilakukan menggunakan metode nonparametrik, maka pembahasan terkait dengan analisis data meliputi uji statistik deskriptif dan statistik inferensi, yang terdiri dari pengukuran asosiasi (hubungan) variabel dan uji signifikansi atau lebih dikenal dengan korelasi nonparametrik. Adapun proses fase-fase analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa langkah berikut: 1.11.1. Edge Counting (Perhitungan Pinggiran) Menurut Roth, informasi pertama mengenai hasil sebuah studi empiris bisa dilihat dari hasil perhitungan pinggiran (Roth, 2008). Perhitungan pinggiran ini merupakan hasil perhitungan distribusi frekuensi dari setiap variabel dalam data. Hasilnya dapat ditampilkan dalam bentuk angka absolut ataupun dalam persentase. 1.11.2. Crosstabulation (Tabel Silang) Dalam penyilangan dua variabel, frekuensi kemunculan atau ukuran-ukuran deskriptif lainnya saling dikaitkan satu 70
sama lain. Menurut Roth (2008) biasanya variabel terikat atau dependen akan ditempatkan dipinggir (dalam baris), sementara variabel bebas/independent akan ditempatkan di atas (kolom). 1.11.3. Korelasi Statistik Nonparametrik Seperti halnya statistik parametrik, analisis korelasi pada statistik nonparametrik juga mempelajari uji asosiasi antar variabel-variabel yang akan diteliti. Hanya saja, pada statistik nonparametrik, data atau variabel yang akan diuji dan diukur korelasinya adalah data nominal dan ordinal (Santoso, 2012). Oleh karenanya, terkait dengan analisis korelasi nonparametrik yang digunakan, maka perlu disampaikan hal yang cukup penting dalam prosedur analisis data. Untuk jenis data nominal atau kategorikal, maka korelasi yang digunakan dengan metode koefisiensi kontingensi. Sementara untuk jenis data ordinal maka metode analisanya menggunakan korelasi Kendall’s Tau dan korelasi Spearman (Priyatno, 2009). Untuk lebih mempermudah penjelasannya, berikut ini diuraikan secara spesifik dari masing-masing metode korelasi yang digunakan, untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Adapun masingmasing metode analisis korelasi tersebut sebagai berikut: 71
1.11.3.1.
Korelasi Koefisiensi Kontingensi Metode ini digunakan untuk menguji dua variabel yang setara atau sama-sama menggunakan ukuran
data
nominal.
Analisis
korelasi
ini
dimaksudkan untuk mengetahui keeratan hubungan dan arah hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Untuk menguji masing-masing variabel dalam merumuskan
hipotesis
nonparametrik,
korelasi
berdasarkan koefisiensi
statistik kontingensi
menggunakan rumus sebagai berikut:
C=
χ2 N + χ2
Keterangan: N = jumlah responden χ2 = Chi-Square hitung (Santoso, 2012). `Berdasarkan didapatkan
nilai
karenanya,
setelah
rumus koefisiensi
diatas,
maka
akan
kontingensi.
Oleh
mendapatkan
nilai
tersebut,
selanjutnya untuk mengetahui keeratan hubungan dan arah hubungan masing-masing variabel yang diuji, maka dapat dilihat pada besarnya koefisien korelasi dengan pedoman berikut ini: jika koefisien semakin 72
mendekati 1 atau -1 maka hubungan erat atau kuat, sedangkan jika koefisien semakin mendekati 0 maka hubungan lemah (Priyatno, 2009). Untuk mengetahui arah hubungan maka dapat dilihat pada nilai koefisien yaitu positif atau negatif, jika positif berarti ada hubungan yang positif (Priyatno, 2009). Sedangkan untuk melihat apakah hubungan berarti
atau
tidak
maka
dilakukan
pengujian
signifikansi dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menentukan
hipotesis
nol
dan
hipotesis alternatif. Hₒ : Artinya tidak ada hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. Hₐ : Artinya ada hubungan antara variabel dependen dan variabel independen b. Menentukan output
dapat
signifikansi.
Dari
diketahui
nilai
signifikansi (Approx Sig). c. Pengambilan keputusan: 73
Jika nilai signifikansi >0,05 maka Hₒ ditolak.
Sedangkan,
signifikansi
≤
0,05
jika
nilai
maka
Hₒ
diterima. d. Kesimpulan Dapat
diketahui
bahwa
signifikansinya lebih dari 0,05 maka hipotesis 0 diterima, kesimpulannya yaitu tidak ada hubungan antara masing-masing variabel yang diuji. 1.11.3.2.
Korelasi Kendall’s Tau-b Metode ini digunakan untuk menguji dua variabel yang ukuran datanya masuk dalam kategori ordinal.
Analisis korelasi ini dimaksudkan untuk
mengetahui keeratan hubungan, arah hubungan dan apakah hubungan tersebut berarti atau tidak antara variabel-variabel yang diuji melalui rumus sebagai berikut:
τ =
2S n(n − 1)
Keterangan: n = adalah jumlah data (reponden)
74
S = adalah nilai selisih antara nilai variabel X dari terkecil dengan terbesar (Santoso, 2012). Untuk mengetahui keeratan hubungan dan arah hubungan masing-masing variabel yang diuji maka dapat dilihat pada besarnya koefisien korelasi dengan pedoman yakni: jika koefisien semakin mendekati 1 atau -1 maka hubungan erat atau kuat, sedangkan jika koefisien semakin mendekati 0 maka hubungan lemah (Priyatno, 2009). Selanjutnya, cara mengetahui arah hubungan maka dapat dilihat pada nilai koefisien yaitu positif atau negatif, jika positif berarti ada hubungan yang positif (Priyatno, 2009). Sedangkan untuk melihat apakah hubungan berarti
atau
tidak
maka
dilakukan
pengujian
signifikansi dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menentukan
hipotesis
nol
dan
hipotesis alternatif. Hₒ : Artinya tidak ada hubungan antara variabel dependen dan variabel independen.
75
Hₐ : Artinya ada hubungan antara variabel dependen dan variabel independen b. Menentukan output
dapat
signifikansi.
Dari
diketahui
nilai
signifikansi (Approx Sig). c. Pengambilan keputusan: Jika nilai signifikansi >0,05 maka Hₒ ditolak.
Sedangkan,
signifikansi
≤
0,05
jika
nilai
maka
Hₒ
diterima. d. Kesimpulan Dapat
diketahui
bahwa
signifikansinya lebih dari 0,05 maka hipotesis 0 diterima, kesimpulannya yaitu tidak ada hubungan antara masing-masing variabel yang diuji. 1.12.
Etika Penelitian Etika penelitian meliputi:
76
1.12.1. Informed Consent Informed Consent merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada calon responden. Apabila calon responden bersedia untuk diwawancarai maka proses wawancara bisa dimulai. Namun, apabila calon responden tidak mau diwawancarai maka peneliti tidak melakukan pemaksaan terhadap calon responden tersebut. Bahkan, meski calon responden bersedia untuk diwawacarai, tetapi ada pihak keluarga
seperti
suami/istri/orang
tua/anak
yang
berhubungan
langsung dengan responden berkebaratan terhadap responden tersebut untuk diwawancarai, maka peneliti dengan terpaksa membatalkan wawancara dengan responden tadi. Keputusan ini dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman antara semua pihak. 1.12.2. Confidentiality atau Kerahasiaan Peneliti menjamin kerahasiaan informasi yang menyangkut privasi responden. Hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil penelitian. Setelah penelitian selesai, dan input data selesai dilakukan, data yang dikumpulkan melalui koesioner kemudian dibakar.
77
I. Kerangka Alur Pikir Analisis Perilaku Memilih Untuk mempermudah cara membaca analisis yang diinginkan oleh peneliti, berikut ini digambarkan tabel alur pikir analisis perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa sebagai berikut: Tabel 1.6 Kerangka analisis perilaku memilih Variabel Independen
Sosiologis:
Agama Etnis Daerah
Variabel Dependen Memilih partai politik atau memilih calon DPR RI ? ? ?
J. Sistematika Penulisan Penulisan naskah penelitian ini dirancang ke dalam beberapa bagian. Pertama, bagian pendahuluan. Bagian ini membicarakan latarbelakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, riview literatur, kerangka teoritik, defisini konseptual, definisi operasional, metode penelitian, etika penelitian, alur pikir penelitian, karakteristik responden dan sistematik penulisan. Di bagian ke dua (bab II) diuraikan secara lebih rinci mengenai kondisi Kabupaten Bangka untuk memberikan analisis secara komprehensif. Bagian ini memaparkan letak goeografis, admisnitratif kewilayahan, keadaan sosial politik yang meliputi komposisi pemeluk agama dan kekuatan politik hasil pemilu legislatif 2009 di Kabupaten Bangka. 78
Bagian ini juga mengidentifikasi identitas ke-Tionghoa-an. Secara khusus bagian ini mendiskusikan ciri-ciri yang melekat pada karakterisitik masyarakat Tionghoa di Bangka secara umum melalui berbagai macam tradisi dan kepercayaan seperti Imlek, Cap Go Meh, Cieng Beng, dan Pek Cun. Selain itu, intensitas dalam menjalankan tradisi yang berbasis karakteristik tadi juga akan diulas secara memadai. Pengakuan langsung sebagai bagian dari masyarakat Tionghoa serta dinamika hubungan sosial keseharian di kalangan masyarakat Tionghoa dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai masyarakat Tionghoa juga tidak luput dari pengamatan. Di bagian akhir, bab ini juga membahas serta mengalisis dan memaknai konfigurasi kekuatan politik di Bangka yang merupakan bagian dari objek penelitian. Selanjutnya, di bagian ke tiga (bab III) membahas secara mendalam terkait tingkat akseptabilitas politisi berdasarkan pendapat atau opini pemilih Tionghoa terkait dengan tema pemilu legislatif 2009. Mengetahui pendapat atau opini melalui pengakuan langsung masyarakat Tionghoa merupakan upaya untuk menelusuri motifikasi pemilih Tionghoa dalam memberikan dukungan, atau malah tidak memberikan dukungannya sama sekali terhadap partai politik atau politisi tertentu. Tak hanya itu, bagian ini sekaligus menelusuri perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa pada Pileg 2009 di Babel. Secara khusus bagian ini
untuk
menjawab
pertanyaan-pertanyaan
terkait
dengan
berbagai 79
pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan pilihan politik dikalangan pemilih Tionghoa. Bagian ini juga sekaligus menjelaskan latarbelakang pemilih Tionghoa dalam memberikan dukungan politiknya terhadap partai politik atau politisi yang ikut berkompetisi pada Pileg 2009 di Babel. Selain itu, bagian ini juga mendiskusikan hal-hal yang dapat ditafsirkan terkait dengan pola perilaku memilih di kalangan pemilih Tionghoa dalam memberikan dukungan politiknya terhadap partai politik ataupun politisi. Apakah Pileg 2009 berkontribusi terhadap menguatnya politik etnisitas di kalangan pemilih Tionghoa di Babel menjadi fokus pembahasan dalam bagian ini. Kemudian, dibagian ke empat (bab IV) bab ini akan mengungkapkan kekuatan-kekuatan sosial dan politik di Babel hasil Pileg 2009 untuk DPR RI dan DPD RI. Pileg 2009 dijadikan basis data untuk mengulas persaingan politik di Babel. Dengan fenomena munculnya politisi Tionghoa sebagai pesaing utama bagi politisi dari kalangan etnis Melayu juga merupakan bagian yang dibahas secara sederhana. Selain itu, bagian ini juga mendiskusikan konsekuensi langsung atas keikutsertaan politisi di kalangan Tionghoa yang berimplikasi terhadap pergeseran pemegang kekuasaan di Babel. Terakhir, di bagian ke lima (Bab Kesimpulan) merangkum semua apa yang telah dikaji dan didiskusikan secara panjang lebar dari setiap rangkaian penelitian ini. 80