ANALISIS TEMUAN TULANG TIKUS SEBAGAI STRATEGI SUBSISTENSI MANUSIA PURBA LIANG BUA, FLORES BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR ABSTRAK Situs Liang Bua merupakan situs gua hunian yang penting bagi perkembangan sejarah dunia karena menyimpan bukti-bukti evolusi manusia berupa temuan hominin dari spesies yang berbeda, yaitu Homo floresiensis. Hominin ini hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fauna-fauna endemik hasil ekskavasi Situs Liang Bua dan membahas pemanfaatan tikus besar sebagai sumber kalori bagi Homo floresiensis pada Masa Pleistosen Akhir di Situs Liang Bua. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi kepustakaan, pengamatan hasil ekskavasi, dan wawancara. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif dan analisis zooarkeologi. Teori ekologi dan teori subsistensi digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar pemikiran mengenai pemanfaatan sumber daya lingkungan untuk sumber makanan manusia di masa lalu. Temuan fauna di Situs Liang Bua dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok fauna endemik berupa temuan pada Lapisan Pleistosen di deposit Situs Liang Bua dan kelompok fauna modern yang berada pada Lapisan Holosen Situs Liang Bua. Kelompok fauna endemik Situs Liang Bua terdiri atas beberapa spesies yaitu komodo (Varanus komodoensis), bangau raksasa (Leptoptilos robustus), pygmy stegodon (Stegodon florensis insularis), dan 8 spesies tikus yaitu Papagomys armandvilley berukuran raksasa (1000g-1200g), Papagomys theodorverhoeveni berukuran besar (700g-1000g), Spelaeomys florensis berukuran besar (600g-900g), Hooijeromys nusatenggara berukuran besar (450g1000g), Paulamys naso berukuran sedang (200g-300g), Komodomys rintjanus berukuran sedang (140g), Rattus hainaldi dan Rattus exulans yang berukuran kecil (50g). Fauna-fauna endemik ini ditemukan pada lapisan yang sama dengan temuan Homo floresiensis dan berasosiasi dengan artefak-artefak litik sehingga diasumsikan bahwa Homo floresiensis melakukan perburuan terhadap fauna-fauna ini dalam rangka mempertahankan hidupnya. Jenis fauna yang paling mungkin dijadikan hewan buruan untuk dikonsumsi adalah tikus besar (dalam bahasa setempat disebut betu) karena ukurannya yang lebih kecil dari Homo floresiensis namun cukup besar untuk memenuhi kebutuhan kalori hominin tersebut. Kata kunci: Liang Bua, Homo floresiensis, subsistensi, Papagomys
ix
ANALYSIS OF RAT REMAINS AS A SUBSISTENCE STRATEGY OF HOMININS IN LIANG BUA, FLORES BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR ABSTRACT Liang Bua Site Cave is an important residential cave for the development of world history due to the existence in reserved evidences of human evolution in form of a discovery of different species hominins called Homo floresiensis. This particular hominin lived by hunting and gathering food. This present study aims at describing excavated endemic faunas in Liang Bua Site Cave and discussing the utilization of rats as the source of calories for Homo floresiensis in the end of Pleistocene era in Liang Bua. The data in this study are gathered through literature review, observation result from excavation, and interview. The data are analysed by employing qualitative analysis method and zooarchelogy analysis. Echological theory and subsistence theory are used as the rationale for reviewing how the utilization of environmental resources was done by human in the past. The findings of faunas in Liang Bua Cave Site are divided into two groups, namely endemic fauna’s group which is found in pleistocene layer, and modern faunas which is found in holocene layer. The endemic fauna’s group of Liang Bua consists of various species such as komodo (Varanus komodoensis), giant stork (Leptoptilos robustus), pygmy stegodon (Stegodon florensis insularis), and 8 rat species such as the giant Papagomys armandvilley (1000g-1200g), the huge Papagomys theodorverhoeveni (700g-1000g) and Spelaeomys florensis (600g-900g), the large Hooijeromys nusatenggara (450g-1000g), the medium Paulamys naso (200g-300g) and Komodomys rintjanus (140g), the small Rattus hainaldi and Rattus exulans (50g). These endemic faunas are discovered on the same layer as Homo floresiensis and associated with lithic artifacts. Therefore, it is assumed that Homo floresiensis hunted these faunas to sustain its life. A big rat (or called betu in vernacular) is the most possible consumed species due to its size which is smaller than Homo floresiensis, yet considerably big to fulfil the needs of calories of the hominin. Keywords: Liang Bua, Homo floresiensis, subsistence, Papagomys
x
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DEPAN
i
PRASYARAT GELAR
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
iii
PENETAPAN PANITIA UJIAN
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
v
ABSTRAK
ix
ABSTRACT
x
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR TABEL
xix
DAFTAR LAMPIRAN
xx
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Rumusan Masalah
6
1.3 Tujuan Penelitian
6
1.3.1 Tujuan Umum
7
1.3.2 Tujuan Khusus
7
1.4 Manfaat Penelitian
7
1.4.1 Manfaat Teoretis
7
1.4.2 Manfaat Praktis
8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
9
2.1 Tinjauan Pustaka
9
2.2 Konsep
13
2.2.1 Strategi Subsistensi
13
2.2.2 Manusia Purba Liang Bua
14
xi
2.2.3 Potensi Sumber Daya Alam
15
2.3 Landasan Teori
16
2.3.1 Teori Ekologi
16
2.3.2 Teori Subsistensi
17
2.4 Model Penelitian
18
BAB III METODE PENELITIAN
22
3.1 Rancangan Penelitian
22
3.2 Lokasi Penelitian
23
3.3 Jenis dan Sumber Data
24
3.3.1 Jenis Data
24
3.3.2 Sumber Data
24
3.4 Instrumen Penelitian
25
3.5 Teknik Pengumpulan Data
26
3.5.1 Studi Kepustakaan
26
3.5.2 Pengamatan Hasil Ekskavasi
27
3.5.3 Wawancara
27
3.6 Teknik Analisis Data
28
3.6.1 Analisis Kualitatif
28
3.6.2 Analisis Kuantitatif
28
3.6.3 Analisis Arkeozoologi
30
3.7 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
31
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
33
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
33
4.1.1 Kondisi Geografis
33
4.1.2 Kondisi Geologi
33
4.1.4 Kondisi Hidrologi
34
4.1.4 Kondisi Vegetasi
36
4.2 Riwayat Penelitian Situs Liang Bua
xii
38
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
42
5.1 Fauna Endemik pada Lapisan Pleistosen di Liang Bua
42
5.1.1 Hominin Homo floresiensis
42
5.1.2 Komodo (Varanus komodoensis)
48
5.1.3 Bangau raksasa (Leptoptilos robustus)
51
5.1.4 Stegodon (Stegodon florensis insularis)
52
5.1.5 Tikus Besar
54
5.2 Temuan Tikus di Liang Bua
56
5.2.1 Jenis Temuan Tikus di Liang Bua
56
5.2.2 Katalog Tulang Tikus Besar di Liang Bua
65
5.3 Pemanfaatan Tikus Besar sebagai Bahan Makanan
98
5.3.1 Daging Tikus Sebagai Sumber Protein Homo
5.3.2
floresiensis
99
Cara Pengolahan Tikus Besar
102
BAB VI PENUTUP
107
6.1 Simpulan
107
6.2 Saran
110
DAFTAR PUSTAKA
112
GLOSARIUM
115
LAMPIRAN
117
xiii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Judul
Halaman
Gambar 2.1
Bagan Alur Penelitian
19
Gambar 4.1
Aliran Sungai Wae Racang yang mengalir di sebelah timur Situs Liang Bua
34
Gambar 4.2
Kondisi lingkungan di sekitar Situs Liang Bua
38
Gambar 5.1
Temuan tulang LB1 (gambar kiri) dan ilustrasi perbandingan tinggi tubuh Homo sapiens dan Homo floresiensis (gambar kanan)
44
Varanus komodoensis, temuan pada lapisan Pleistosen di Liang Bua. A. Sacral vertebrae komodo modern. B. Fosil sacral vertebrae (LB558a). C. Dorsal vertebrae yang terartikulasi (LB19/20-9-04). D. cervical vertebrae. E. 4 buah gigi. F-H. Diafisis ulna (LB-497a/16-8-04). I. Diafisis Radius (LB/28-7-03)
49
Skema ilustrasi taksonomi, kronologi dan penyebaran komodo dari daratan Australia ke wilayah Timor, Flores, dan Jawa pada Masa Pliosen hingga Pleistosen
50
Bagian distal tibiotarsus kiri bangau raksasa. A. Tampak depan spesimen tibiotarsus. B. Tampak depan bagian distal. C. Tampak belakang bagian distal
52
Ilustrasi perbandingan ukuran antara Leptoptilos robustus sp. dengan Homo floresiensis oleh I. Van Nortwijk
52
Gambar 5.6
Mandibula Stegodon florensis insularis
53
Gambar 5.7
Ilustrasi perbandingan ukuran antara Stegodon florensis insularis (pygmy stegodon) dengan gajah modern, Elephas sp.
54
Gambar 5.8
Mandibula tikus besar hasil ekskavasi Liang Bua
57
Gambar 5.9
Spesimen Papagomys armandvilley dari Liang Bua
58
Gambar 5.10 Mandibula dan barisan gigi molar Papagomys armandvilley
58
Gambar 5.11 Barisan gigi theodorverhoeveni
59
Gambar 5.2
Gambar 5.3
Gambar 5.4
Gambar 5.5
molar
xiv
Papagomys
Gambar 5.12 Barisan gigi molar maxila dan mandibula Spelaeomys florensis
60
Gambar 5.13 Sampel mandibula Spelaeomys florensis
60
dengan
barisan
molar
Gambar 5.14 Barisan gigi molar Hooijeromys nusatenggara
61
Gambar 5.15 Spesimen Komodomys rintjanus modern dari Pulau Rinca
62
Gambar 5.16 Barisan gigi molar Komodomys rintjanus
62
Gambar 5.17 Spesimen Paulamys naso modern
63
Gambar 5.18 Ilustrasi barisan gigi molar pada maxila dan mandibula Paulamys naso
63
Gambar 5.19 Barisan gigi molar pada mandibula Rattus hainaldi
64
Gambar 5.20 Spesimen humerus kanan (gambar kiri) dan humerus kiri (gambar kanan) tikus besar modern dari Liang Bua (anterior)
65
Gambar 5.21 Sampel humerus kanan tikus besar dari kiri ke kanan nomor 1a(1), 1a(2), 1a(3), 1a(4) dan sampel humerus kiri 2a(1) dan 2a(2)
66
Gambar 5.22 Sampel humerus kanan bikus besar dari kiri ke kanan nomor 1d(1), 1d(2), 1d(3), 1d(4), 1e(1), 1e(2) dan 1e(3)
67
Gambar 5.23 Sampel humerus kiri tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 2d(1), 2d(2), dan 2d(3)
68
Gambar 5.24 Sampel humerus kiri tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 2e(1), 2e(2), 2e(3), 2e(4), 2e(5), 2e(6), dan 2e(7)
68
Gambar 5.25 Spesimen radius kanan (gambar kiri) dan radius kiri yang masih menempel dengan ulna kiri (gambar kanan) tikus besar modern dari Liang Bua (anterior)
70
Gambar 5.26 Sampel radius kanan tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 3d(1), 3d(2), 3d(3), 3d(4), 3d(5), 3d(6), 3e(9), 3e(10), 3e(11), dan 3e(12)
71
Gambar 5.27 Sampel radius kiri tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 5d(1), 5d(2), 5d(3), 5e(7), 5e(8), an 5e(9)
72
Gambar 5.28 Spesimen ulna kanan (gambar kiri) dan ulna kiri yang masih menempel dengan radius kiri (gambar
xv
kanan) tikus besar modern dari Liang Bua (anterior)
74
Gambar 5.29 Sampel ulna kanan tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor sampel 4d(1), 4d(2), 4(3), 4d(4), 4d(5), 4e(4), 4e(5), 4e(6), dan 4e(7)
75
Gambar 5.30 Sampel ulna kiri tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 6d(1), 6d(2), 6d(3), 6e(1), 6e(2), 6e(3), 6e(4), 6e(5), dan 6e(6)
76
Gambar 5.31 Spesimen scapula kanan (gambar kiri) dan scapula kiri yang masih menempel dengan clavicle kiri (gambar kanan) tikus besar modern dari Liang Bua (posterior)
78
Gambar 5.32 Sampel scapula kanan tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 8d(1), 8d(2), 8d(3), dan 8d(4)
79
Gambar 5.33 Sampel scapula kanan tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 8e(1), 8e(2), 8e(3), 8e(4), 8e(5), dan 8e(6)
80
Gambar 5.34 Sampel scapula kiri tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 10e(1), 10e(2), 10e(3), 10e(4), 10e(5), 10e(6), 10e(7), 10e(8), 10e(9), 10e(10), dan 10e(11)
80
Gambar 5.35 Spesimen tulang pelvic kiri dan kanan tikus besar modern dari Liang Bua
82
Gambar 5.36 Sampel tulang pelvic kanan tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 11d(1), 11d(2), 11d(3), 11d(4), dan 11d(5)
84
Gambar 5.37 Sampel tulang pelvic kanan tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 11e(1), 11e(2), 11e(3), 11e(4), 11e(5), dan 11e(6)
84
Gambar 5.38 Sampel tulang pelvic kiri tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 12d(1), 12d(2), 12d(3), 12e(1), 12e(2), 12e(3), 13e(4), 13e(5), 12e(6), dan 12e(7)
85
Gambar 5.39 Spesimen femur kanan tikus besar modern dari Liang Bua
87
Gambar 5.40 Sampel femur kanan tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 13b(1), 13b(2), 13b(3), dan 13b(4)
89
xvi
Gambar 5.41 Sampel femur kanan tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 13d(1), 13d(2), 13d(3), 13d(4), 13d(5), 13d(6), dan 13d(7)
89
Gambar 5.42 Sampel femur kiri tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 13’b(1), 13’b(2), 13’d(1), 13’d(2), dan 13’d(3)
90
Gambar 5.43 Spesimen tibia dan fibula kanan tikus besar modern dari Liang Bua (medial)
92
Gambar 5.44 Sampel tibia kanan tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 15a(1), 15a(2), 15a(3), 15c(1), dan 15c(2)
94
Gambar 5.45 Sampel tibia kanan tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 15d(1), 15d(2), 15d(3), 15d(4), 15d(5), 15d(6), dan 15d(7)
94
Gambar 5.46 Sampel tibia kanan tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 15e(1), 15e(2), dan 15e(3)
95
Gambar 5.47 Sampel tibia kiri tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 15’a(1), 15’d(1), 15’d(2), dan 15’d(3)
96
Gambar 5.48 Sampel tibia kiri tikus besar dari kiri ke kanan dengan nomor 15’e(1), 15’e(2), 15’e(3), 15’e(4), 15’e(5), 15’e(6), 15’e(7), dan 15’e(8)
96
Gambar 5.49 Tulang tikus dengan label keterangan bekas terbakar
105
Gambar 5.50 Rahang bawah tikus besar dengan bekar terbakar
106
Gambar 5.51 Ulna tikus besar dengan bekas terbakar
106
xvii
DAFTAR TABEL
Nomor
Nama
Halaman
Tabel 5.1
Tabel Taksonomi Homo floresiensis
43
Tabel 5.2
Tabel Taksonomi Komodo
48
Tabel 5.3
Tabel Taksonomi Bangau Raksasa
52
Tabel 5.4
Tabel Taksonomi Stegodon
55
Tabel 5.5
Tabel Taksonomi Tikus Besar di Liang Bua
56
Tabel 5.6
Tabel Ukuran Tikus Liang Bua
57
Tabel 5.7
Tabel Ukuran Sampel Humerus Kanan Tikus Besar
69
Tabel 5.8
Tabel Ukuran Sampel Humerus Kiri Tikus Besar
69
Tabel 5.9
Tabel Ukuran Sampel Radius Kanan Tikus Besar
74
Tabel 5.10
Tabel Ukuran Sampel Radius Kiri Tikus Besar
74
Tabel 5.11
Tabel Ukuran Sampel Ulna Kanan Tikus Besar
77
Tabel 5.12
Tabel Ukuran Sampel Ulna Kiri Tikus Besar
77
Tabel 5.13
Tabel Ukuran Sampel Scapula Kanan Tikus Besar
81
Tabel 5.14
Tabel Ukuran Sampel Scapula Kiri Tikus Besar
81
Tabel 5.15
Tabel Ukuran Sampel Pelvic Kanan Tikus Besar
86
Tabel 5.16
Tabel Ukuran Sampel Pelvic Kiri Tikus Besar
86
Tabel 5.17
Tabel Ukuran Sampel Femur Kanan Tikus Besar
91
Tabel 5.18
Tabel Ukuran Sampel Femur Kiri Tikus Besar
91
Tabel 5.19
Tabel Ukuran Sampel Tibia Kanan Tikus Besar
97
Tabel 5.20
Tabel Ukuran Sampel Tibia Kiri Tikus Besar
97
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Nama
Halaman
Lampiran 1.
Peta Pulau Flores
117
Lampiran 2.
Peta Lokasi Situs Liang Bua
118
Lampiran 3.
Denah Situs Liang Bua
119
Lampiran 4.
Daftar Informan
122
Lampiran 5.
Tabel Ukuran Spesimen Tikus Besar Liang Bua
124
xix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Flores termasuk pulau yang memiliki sejarah penelitian yang panjang. Penelitian di Flores yang dimulai sejak tahun 1930-an oleh berbagai pihak telah mencapai banyak kemajuan hingga memberikan pemahaman tentang prasejarah pulau ini (Jatmiko et. al., 2014 : 5). Potensi prasejarah yang dimiliki Flores telah menarik para peneliti dan pemerhati untuk melakukan penelitian. Rangkaian penelitian panjang telah berhasil merekonstruksi kerangka pokok prasejarah Flores. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian tersebut, terdapat empat peristiwa besar yang membawa pengaruh besar dalam konstelasi prasejarah di Flores (Jatmiko, et. al., 2014 : 9-12). Peristiwa pertama dan tertua adalah kehadiran manusia purba pertama di pulau ini yang terindikasikan dari sisa budaya dan lingkungan yang ditemukan di beberapa lokalitas dalam Cekungan Soa. Temuan sisa budaya dan lingkungan tersebut berupa himpunan artefak batu yang berasosiasi dengan fosil-fosil fauna seperti stegodon, buaya, komodo, kurakura darat, dan sejenis tikus besar (Jatmiko, 2014: 182). Berdasarkan temuan tersebut disimpulkan bahwa manusia purba Homo erectus telah mengokupasi wilayah Flores. Peristiwa kedua menyangkut kehadiran manusia pada Kala Akhir Pleistosen yang ditemukan dalam ekskavasi di Liang Bua, Manggarai pada tahun 2003. Para penemunya mengumumkan sebagai sisa manusia kerdil yang
1
2
mempunyai tinggi sekitar 106 cm dan volume otak sekitar 380 cc (Brown et. al.. 2004, 1055-1061; Jatmiko et. al., 2014 : 10), ditemukan bersama sisa fauna dan artefak batu dengan pertanggalan sekitar 100.000 – 60.000 tahun yang lalu (Sutikna et al., 2016: 1). Tim peneliti Indonesia-Australia mengumumkannya sebagai temuan spektakuler yang mencirikan spesies baru dalam evolusi manusia, yaitu Homo floresiensis. Peristiwa besar selanjutnya menyangkut kehidupan pada Kala Awal Holosen. Keberadaan gua-gua dan ceruk pada satuan-satuan batu gamping di beberapa bagian pulau, khususnya di bagian tengah dan barat, telah mengisi lembaran sejarah tersendiri bagi Pulau Flores. Kenaikan muka air laut yang sangat signifikan pada akhir Zaman Es atau Awal Holosen merupakan peristiwa besar yang membawa perubahan di berbagai bidang kehidupan dalam lingkup global. Tenggelamnya wilayah pesisir dan dataran rendah oleh kenaikan air laut di satu sisi telah menenggelamkan lahan-lahan hunian dengan segala sisa kehidupan yang berlangsung di dalamnya. Peristiwa ini juga telah mendorong keinginan manusia (dan fauna) untuk menempati wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak berpenghuni. Berbagai gua dan ceruk yang terdapat di tempat-tempat ketinggian di bagian tengah Pulau Flores menjadi lokasi hunian baru. Kondisi sumber daya lingkungan mendukung manusia purba di Flores untuk bertahan hidup dengan mencari berbagai jenis tanaman yang dapat dimakan dan berburu fauna yang berada di jangkauan tempat tinggalnya. Manusia purba di Flores kemudian membuat berbagai peralatan untuk menunjang kegiatan-kegiatan dalam rangka
3
bertahan hidup. Peralatan yang dimaksud khususnya alat-alat serpih dari batuan yang tersedia. Manusia penghuni wilayah ini termasuk Ras Australomelanesid, yaitu ras yang umumnya telah mendiami Kepulauan Nusantara pada periode tersebut dengan mengandalkan kegiatan perburuan dan membuat peralatan dari batu (Jatmiko et. al., 2014: 11). Selanjutnya, peristiwa kedatangan dan perkembangan budaya penutur Austronesia yang menimbulkan perubahan besar di Kepulauan Nusantara pada 4000 – 2000 tahun yang lalu tidak terlalu berpengaruh terhadap perkembangan budaya di pulau ini. Penemuan dan tinggalan situs Neolitik tergolong jarang, kecuali beberapa laporan tentang keberadaan beliung dan tembikar. Berbeda dengan budaya Megalitik yang umumnya berkembang sesudah Neolitik, perkembangannya
yang
sangat
menonjol
sejak
periode
Paleometalik
(protosejarah) merupakan peristiwa keempat yang membawa perubahan besar dalam konstelasi perubahan budaya di Flores (Jatmiko et. al., 2014 : 9-12). Manusia dalam mempertahankan hidupnya bergantung pada alam di sekitarnya. Begitu pula yang terjadi pada masa prasejarah. Seiring dengan tingkat kecerdasan
dan
teknologi
yang
dimiliki,
manusia
prasejarah
mampu
mempertahankan hidup dan mengeksploitasi alam. Hal ini diwujudkan dengan pola hidup bertempat tinggal dengan memanfaatkan gua alam (cave) maupun ceruk (rock shelter) sebagai tempat tinggalnya (Hidayah, 2006 : 3). Penghunian manusia prasejarah di dalam gua-gua maupun ceruk telah dimulai sejak Kala Pleistosen Akhir. Pemilihan gua-gua alam oleh manusia sebagai tempat hunian merupakan suatu langkah proses adaptasi manusia terhadap
4
lingkungan. Menurut Simanjuntak (1992 dalam Oktrivia, 2007: 4), pemilihan guagua alam ini merupakan suatu tahap yang telah dicapai manusia sebelum hidup menetap atau disebut juga sebagai kegiatan bertempat tinggal yang bersifat “semisedentire”. Manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana dan tingkat lanjut memanfaatkan gua alam serta ceruk sebagai tempat tinggal, antara lain untuk melindungi diri dari serangan binatang maupun pengaruh iklim seperti hujan, angin, dan panas. Beberapa temuan arkeologis, baik yang berupa artefak, ekofak, maupun fitur merupakan bukti bahwa manusia pada masa itu telah menempati gua-gua alam. Misalnya di Leang Burung di Sulawesi Selatan, Gua Harimau di Sumatera, Song Keplek di Jawa Timur, Goa Gede di Nusa Penida, dan Liang Bua di Flores (Suastika, 2002 dalam Hidayah, 2006 : 8). Manusia yang tinggal di gua mencari sumber makanan di sekitar lingkungan gua tersebut. Pencarian kerang, siput, dan binatang air menjadi kegiatan mereka selain berburu dan mengumpulkan makanan. Pemilihan gua sebagai tempat tinggal tentunya dengan mempertimbangkan beberapa variabel, antara lain dekat dengan sumber daya alam yang mendukung kelangsungan hidup manusia, seperti sumber air, sumber makanan, baik flora maupun fauna dan juga dekat dengan sumber bahan baku pembuatan alat (Asikin, 2001: 15). Flores memiliki banyak temuan situs-situs gua hunian masa prasejarah yang mengandung temuan rangka manusia dan temuan artefak batu, salah satunya yaitu Situs Liang Bua. Bowdler (1993) serta Lahr dan Foley (1998) menyatakan
5
bahwa Situs Liang Bua kemungkinan terletak pada jalur persebaran manusia dari Daratan Asia hingga ke Australia (Oceania) (Jatmiko et. al., 2014 : 14). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sejak tahun 1965, 19781989, 2001-2004, 2007-2012 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, diketahui tentang gambaran fase-fase penghunian di Situs Liang Bua, yaitu mulai dari masa paleolitik hingga paleometalik. Bahkan penelitian 2001-2004 telah menemukan lapisan budaya yang lebih tua dengan berbagai temuan fauna endemik, antara lain tulang stegodon, komodo, dan tikus raksasa (betu) yang berasosiasi dengan artefak batu serta fragmen tulang-tulang manusia (Jatmiko et. al., 2014 : 15). Temuan tulang-tulang tikus merupakan temuan dengan jumlah yang paling banyak dibandingkan temuan tulang-tulang lainnya. Selain itu kondisi temuan tulang tikus juga terpreservasi dengan lebih baik dibandingkan temuan tulang lainnya, sehingga masih banyak ditemukan tulang dalam kondisi yang utuh dan mudah diidentifikasi. Tikus besar di Liang Bua nampaknya masih bertahan sejak zaman purba hingga masa kini. Keberadaan tikus besar di Liang Bua dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa Liang Bua pada masa kini sebagai bahan makanan. Pada musim-musim tertentu masyarakat berburu tikus besar di dalam hutan dan mengolahnya untuk dikonsumsi. Renfrew and Bahn (2000 : 283) menyatakan bahwa temuan tulangtulang fauna yang berasosiasi dengan alat-alat batu dapat dijadikan bukti bahwa keberadaan sisa-sisa fauna tersebut merupakan hasil aktivitas manusia, dalam artian
manusia
mengeksploitasi
fauna-fauna
tersebut
untuk
menunjang
kehidupannya. Temuan tulang-tulang fauna yang terakumulasi dalam konsentrasi
6
yang tinggi juga merupakan indikasi aktivitas perburuan manusia. Karakteristik dari temuan dalam konteks ini meliputi adanya artefak atau peralatan, fragmen tulang-tulang fauna, dan sisa-sisa penggunaan api (Butzer, 1982 : 194). Berdasarkan pendapat Renfrew, Bahn, dan Butzer di atas, maka temuan sisa-sisa fauna yang berasosiasi dengan artefak batu dan tulang-tulang manusia di Situs Liang Bua dapat menjadi indikasi bahwa manusia Liang Bua telah memanfaatkan
sumberdaya
lingkungannya
sebagai
penunjang kehidupan
(subsistensi). Penelitian yang dilakukan di Situs Liang Bua sebelumnya mencakup analisis terhadap temuan-temuan hasil ekskavasi berupa tulang-tulang fauna, sisa hominid, dan peralatan baik dari batu, kerang, maupun tulang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan tikus sebagai bahan makanan oleh hominin pada masa itu. Selain itu output dari penelitian ini juga berupa katalog tulang-tulang tikus besar yang menjadi fauna endemik dengan kuantitas temuan terbanyak di Situs Liang Bua. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini berusaha untuk menjawab beberapa permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu sebagai berikut. 1. Apa saja temuan jenis tikus di Situs Liang Bua ? 2. Bagaimanakah pemanfaatan tikus sebagai sumber kalori bagi manusia penghuni Situs Liang Bua ?
7
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk pengetahuan mengenai keberadaan manusia purba dan bentuk-bentuk kebudayaannya di Liang Bua, Flores. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu menjawab semua pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah secara terperinci. Pertama, untuk mengetahui jenis temuan sisa fauna hasil ekskavasi Situs Liang Bua. Kedua, untuk mengetahui pemanfaatan tikus sebagai sumber kalori bagi manusia penghuni Situs Liang Bua. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari sebuah penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi sesuai dengan disiplin ilmu yang digunakan baik secara teoretis maupun dari segi praktis. Oleh karena itu, manfaat penelitian ini terdiri atas 2 bagian, yaitu sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat teoretis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Arkeologi terutama yang menyangkut tentang aspek lingkungan yang menunjang kehidupan manusia yang diwujudkan dalam pola-pola pemenuhan subsistensi dalam rangka mempertahankan kehidupannya. Selain itu, penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu bahan acuan bagi penelitian lebih lanjut dalam perkembangan ilmu Arkeologi
8
di Indonesia. Secara khusus penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber acuan bagi identifikasi mengenai tinggalan fauna terutama dari family Muridae. 1.4.2 Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk masyarakat luas mengenai keberadaan Situs Liang Bua sebagai salah satu gua hunian pada masa prasejarah dan sebagai satu-satunya (berdasarkan penelitian sampai saat ini) gua prasejarah dengan tinggalan berupa kerangka Homo floresiensis yang berasosiasi dengan artefak batu dan tulang-tulang Stegodon (Jatmiko, 2014 : 15). Selain itu, masyarakat dapat berperan serta dalam menjaga keberadaan Situs Liang Bua sebagai salah satu situs arkeologi yang penting di daerah Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Situs Liang Bua, sebuah gua yang berada pada salah satu dinding Perbukitan Gamping Golo Lando di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai (Flores), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian terhadap Situs Liang Bua difokuskan pada tinggalan sisa fauna di Situs Liang Bua yang berasosiasi pada keberadaan hominin.