PENGARUH
INVESTASI
LANGSUNG
ASING
PADA
INDUSTRI
MANUFAKTUR INDONESIA DAN DAMPAKNYA PADA KEDAULATAN SERTA BARGAINING POSITION NEGARA INDONESIA (Studi Kasus Mobil Nasional yang diproduksi PT.
Timor Putra Nusantara
dengan merek dagang Timor ) Rizky Apriyanti Rizal1 NIM : 205000198 Abstrak Perdagangan internasional semakin tidak dapat dielekan seiring dengan perkembangan aktivitas perdagangan internasional. Berbagai permasalahan yang membumbui hubungan dagang internasional tersebut. Salah satu sengketa perdagangan internasional yang pernah dialami Indonesia adalah terkait dengan Program Mobil Nasional. Program ini didukung oleh pemerintah dengan pengesahan berbagai kebijakan yang dinyatakan berlaku guna meraih peluang bisnis industri di bidang automotive. Pengadaan program mobil nasional ini, membawa efek yakni negara mitra dagang terbesar dalam pasar automotive di Indonesia seperti Jepang, Amerika Serikat dan Eropa merasa kebijakan ini menimbulkan kerugian pada mereka sehingga membawa kasus sengketa ini menuju gugatan Indonesia ke WTO. Dalam tulisan ini, peneliti berusaha untuk mengunggapkan dampak penerapan keputusan WTO terhadap kedaulatan serta Bargaining Position Indonesia di mata dunia lnternasional karena sesuai dengan prinsip dari perjanjan internasional bahwa segala bentuk perjanjian internasional yang telah disetujui dan ditandatangi oleh Pemerintah negara bersangkutan harus diratifikasi dan dikonfirmasi ke negara yang bersangkutan. Kata Kunci : Kebijakan Program Mobil Nasional, World Trade Organization, Kedaulatan Negara, Barganing Posisition. Pendahuluan. Pertentangan pandangan yang berdasarkan pertentangan kepentingan antara penanam modal asing dengan negara yang mengizinkan penaman modal ini sesudah Perang Dunia ke-II berlanjut dalam bentuk perbedaan pendapat antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang perihal tindakan-tindakan di bidang penamanan modal yang berkaitan dengan perdagangan (Trade Related Investment Measures, selanjutnya disingkat TRIMS). Negara-negara berkembang menerapkan TRIMS dalam rangka melakukan kontral terhadap praktek bisnis curang yang dilakukan oleh
Transnational Corporations (TNCs). Demikian juga TRIMS
dipergunakan sebagai stategi untuk melakukan transfer teknologi, mempercepat 1 Penulisan merupakan Mahasiswa Universitas Paramadina Jurusan Hubungan Internasional.
industrialisasi dan perkembangan ekonomi. Sebaliknya negara-negara maju mengaggap bahwa TRIMS mengakibatkan penyimpangan (a distortive effect) dalam perdaganganan internasional Walau banyak mendatangkan manfaat ekonomi, politik dan hubungan internasional, perdagangan internasional dalam iklim globalisasi bukanya tanpa masalah. Ada berbagai persolaan yang kerap membumbui hubungan perdagangan internasional antar negara. Salah satu penyebab diantaranya adalah perbedaan posisi tawar antar negara satu dengan yang lain berbeda apalagi dewasa ini negara-negara yang memiliki keunggulan di bidang perdagangan semakin dapat mengembangkan pangsa pasarnya dengan luas bahkan tidak jarang mendominasi pangsa pasar di negara lain. Indonesia sendiri telah bergabung dengan WTO pada masa orde baru sejak 1 Januari 1995. Keikutsertaan Indonesia dalam WTO kemudian dikuti dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Ratification of The Agreeement Establishing World Trade Organization. Partisipasi Indonesia dalam perjanjian WTO, pada prinsipnya tidak hanya membuka peluang yang lebih luas di pasar internasional, tetapi juga untuk memberikan perlindungan multilateral yang lebih baik demi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional, khususnya ketika berurusan dengan mitra dagang.2 Keterlibatan Indonesia dengan WTO pada awalnya terkait dengan posisi Indoenesia dalam proses perundingan Doha Development Agenda (DDA) yang didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding, Indoensia bergabung dalam koalisi negara berkembang seperti G-33. G-20, NAMA-11 yang kuirang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif di kelompok-kelompok itu dalam merumuskan posisi yang sama. Dengan meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO, maka dalam hal ini Indonesia diwajibkan untuk menyesuaikan peraturan nasional dengan ketentuanketentuan yang ada dalam persetujuan-persetujuan WTO. Konsekwensinya dari penyesuaian peraturan nasional dengan ketentuan WTO dari sudut pandang tataran Hukum Tata Negara adalah melemahkan kedaulatan hukum Indonesia karena memasukan unsur asing secara langsung kepada tatananan hukum Indonesia. Pun, 2 Erman Rajagukguk., Modul Hukum Investasi Di Indonesia., Universitas Indonesia., 2006., halaman: 1
selain itu seperti yang dibahas di awal tulisan ini, Barganing Posisition Negara mempunyai kedudukan yang berbeda antara satu dengan lain, walaupun dalam hal ini WTO mengatur sistem One Country One Vote. Pada penelitian ini, peneliti mengambil studi kasus sengketa mobil nasional Indonesia yang pernah dituntut Jepang, Amerika dan Komisi Uni Eropa. Perkara ini merupakan kasus yang telah selesai, namun putusanya mencakup penerapan prinsip perdagangan internasional yang mendasar. Perkara ini diawali oleh Pengaduan Jepang ke WTO yang bermula dari keluarnya Inpres No. 2/1996 tentang Program Mobil Nasional (Mobnas) yang menunjuk PT. Timor Putra Nusantra (TPN) sebagai pionir dari proses produksi mobnas. Karena keterbatasan teknologi yang mengakibatkan Mobnas belum dapat diproduksi di dalam Negeri, maka keluarkan Kepres No. 42/1996 yang memperbolehkan PT. TPN mengimpor Mobnas dalam bentuk jadi atau completely build up (CBI) dari Korea Selatan, yang kemudian diberi merek “Timor”. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan bagi PT. TPN untuk diberikan hak istimewa yang berupa pembebeasan pajak barang mewah dan bea masuk barang impor. Hak istimewa, pembebasan pajak dan bea msuk tersebut diberikan kepada PT. TPN dengan syarat menggunakan kandungan lokal (local containt) hingga 60 persen dalam tiga tahun secara bertahap yakni 20 persen pada tahun pertama dan 60 persen pada tahun ketiga tidak terpenuhi, maka PT. TPN harus menanggung beban pajak barang mewah dan bea masuk barang impor. Hak istimewa ini telah beberapa kali dikeluhkan oleh negara-negara produsen mobil yang menguasai pasar Indonesia seperti Jepang, Amerika dan Eropa. Dalam beberapa kali pertemuan tingkat menteri, kerap diupayakan pembentukan kesepakatan antarnegara, namun kesepakatan tersebut belum berhasil dicapai karena bertolak belakang dengan keinginan dan cita-cita masing-masing negara. Negara-negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara-negara anggota tersebut akan menggunakan sistem penyelesaian multilateral daripada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebut harus memenuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil. Sengketa dapat muncul ketika suatu negara menetapkan suatu kebijakan perdagangan tertentu yang bertentangan dengan komitmennya di WTO atau mengambil kebijakan kemudian merugikan negara lain. Selain negara yang paling dirugikan oleh kebijakan tersebut, negara dunia ketiga yang
tertarik pada kasus tersebut dapat mengumakakan keingannya untuk menjadi pihak ketiga. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dalam penelitian ini membatasi permasalahan seperti dibawah ini: 1. Apakah Investasi Asing yang dimiliki Industri Manufaktur dalam hal ini PT. Timor Putra Nusantara di Indonesia berkenanan dengan perkara Mobil Nasional Memberikan Intervensi Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia ? 2. Apakah Dampak Keberadaan Investasi Asing yang dimiliki Industri Manufaktur hal ini PT. Timor Putra Nusantara di Indonesia berkenanan dengan perkara Mobil Nasiona Terhadap Bargaining Position Politik Luar Negeri Indonesia? TUJUAN PENELITIAN Dengan menelaah latar belakang dan perumuan masalah diatas, dapat dikemukakan
beberapa
tujuan
dari
pelaksanaan
penelitian
yang
berjudul
PENGARUH INVESTASI INDUSTRI MANUFAKTUR YANG BERDAMPAK PADA BARGAINING POSITION NEGARA INDONESIA yaitu sebagai berikut: 1. Untuk Mengetahui dan Mengkaji Investasi Asing
yang dimiliki Industri
Manufaktur dalam hal ini PT. Timor Putra Nusantara di Indonesia berkenanan dengan perkara Mobil Nasional Memberikan Intervensi Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia. 2. Untuk Mengetahui dan Mengkaji Dampak Keberadaan Investasi Asing yang dimiliki Industri Manufaktur hal ini PT. Timor Putra Nusantara di Indonesia berkenanan dengan perkara Mobil Nasiona Terhadap Bargaining Position Politik Luar Negeri Indonesia. TINJAUAN SENGKETA PROGRAM MOBIL NASIONAL INDONESIA Gugatan yang disampaikan oleh pihak Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa pada dasarnya dilatar belakangi oleh inisiatif pemerintah Indonesia untuk mewujudkan Mobil Nasional melalui beberapa paket kebijakan yang secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 periode yaitu berdasarkan (i) Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 114/M/SK/6/1993 tentang Penetapan Tingkat Kandungan Lokal Kendaraan Bermotor Atau Komponen Buatan Dalam Negeri yang dikeluarkan pada
tanggal 9 Juni 1993 (Program Otomotif tahun 1993) yang berturut-turut kemudian diikuti dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1993 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Bagi Penanaman Modal pada tanggal 10 Juni 1993, Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 647/KMK.04/1993 tentang Jenis dan Tipe Kendaraan Bermotor yang dikenakan Pajak Penjuan Barang Mewah pada 10 Juni 1993, dan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 645/KMK.01/1993 tentang Pemberian Keringanan Pajak terhadap Suku Cadang dan Komponen Tertentu untuk Tujuan Perakitan dan/atau Pembuatannya sebagaimana diperbaiki menjadi Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 223/KMK.01/1995 lalu diperbaiki kembali menjadi Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 82/KMK.01/1996 pada tanggal 19 Februari 1996, dan terakhir diamandemen dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 36/KMK.01/1997 pada tanggal 21 Januari 1997; kemudian (ii) melalui Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional yang dikeluarkan pada tanggal 19 Februari 1996 (Program Mobil Nasional Februari 1996) yang berturut-turut diikuti dengan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1996 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah pada tanggal 19 Februari 1996, Surat Keputusan Menteri Penanaman Modal / Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No. 01/SK/1996 tentang Aturan Investasi dalam Kerangka Perealisasian Pembentukan Industri Mobil Nasional pada tanggal 27 Februari 1996, dan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 002/SK/DJ-ILMK/II/1996 pada tanggal 27 Februari 1996; serta terakhir melalui (iii) Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1996 tentang pembuatan mobil nasional yang dikeluarkan pada tanggal 4 Juni 1996 (Program Mobil Nasional Juni 1996) dan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 141/MPP/6/1996 pada tanggal 30 Juni 1996. Pembentukan Program Mobil Nasional Juni 1996 dilaksanakan dengan langkahlangkah sebagai berikut: pertama, pemerintah menunjuk TPN (PT. Timor Putra Nasional) sebagai perusahan pioner untuk mewujudkan Mobil Nasional seperti yang dicita-citakan oleh Indonesia. Kedua, Mobil Nasional yang dikerjakan oleh teknisi TPN dari Indonesia namun dibuat dan dirakit di luar negeri (bekerja sama dengan produsen otomotif asing dari Korea Selatan / KIA) yang memenuhi persyaratan penggunaan kandungan lokal akan diperlakukan sama dengan Mobil Nasional yang sepenuhnya dibuat dan dirakit di dalam negeri. Artinya, Mobil Nasional yang sepenuhnya dirakit dan dibuat di luar negeri tersebut alias diimpor dalam bentuk CBU
/ Completely Built-up Unit, sepanjang memenuhi persyaratan seperti yang tersebut diatas diberikan pengecualian dan berhak menerima segala bentuk pembebasan atas bea masuk dan pajak penjualan atas barang mewah yang sama pula. TPN, berdasarkan ketentuan yang telah diatur oleh Menteri Perdagangan dan Perindustrian No. 141/MPP/6/1996, berhak melakukan impor atas 45.000 unit Mobil Nasional ‘Timor’ dalam bentuk CBU dari Korea Selatan dan mendapatkan fasilitas bea masuk serta pajak penjualan atas barang mewah terkait. Bahkan TPN, sesuai arahan pemerintah Indonesia pada 11 Agustus 1997 mendapatkan pinjaman untuk masa 10 tahun sebesar US$ 690 juta dari konsorsium 4 bank milik pemerintah guna mendukung Program Mobil Nasional Juni 1996 ini. Pihak Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menentang Indonesia atas serangkaian kebijakan melalui programprogram terkait, dan membawanya hingga pada meja WTO (World Trade Organization) sampai pada tingkat DSB (Dispute Settlement Body / Badan Penyelesaian Sengketa) WTO. a. Tindakan Uni Eropa Komisi Uni Eropa juga melakukan serangkaian negosiasi dan konsultasi. Pada bulan Oktober 1996 Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Uni Eropa, Sir Leon Brittan mengecam keras kebijakan Mobil Nasional Indonesia dengan menyatakan : “It is something of a paradox that with import tariffs as high as 125 percent, the Indonesian government still feels that it needs discriminatory measures to protect its industry.” 3 Namun ada perbedaan pernyataan dari beberapa negara Uni Eropa tentang hal ini. Salah satunya Menteri Ekonomi dan Keuangan Perancis, Jean Arthuis, menyatakan di Jakarta pada bulan Juli 1996 bahwa keinginan Indonesia untuk memiliki kebijakan Mobil Nasional adalah cukup beralasan karena negara Indonesia sedang dalam masa transisi dan menambahkan bahwa pemerintah Perancis bersedia berpartisipasi di dalam pengembangan industri mobil Indonesia. Industri otomotif Eropa, seperti halnya dengan Jepang dan Amerika Serikat, juga berusaha untuk mencari penyelesaian melalui negosiasi-negosiasi bilateral.
3
Dow Jones Newswires, October 3, 1996.
b. Tindakan Amerika Serikat Pada awal Juni 1996, pihak Amerika Serikat melalui USTR (United States Trade Representative) memprotes bahwa program tersebut melanggar ketentuan National Treatment dalam aturan WTO dan menuntut diadakannya pembahasan dan konsultasi lebih lanjut. Selanjutnya pembahasan diadakan lewat pertemuan di Manila pada tanggal 3 Juni 1996, dan berdasarkan pernyataan pemerintah Indonesia, pertemuan tersebut sebenarnya hanya membahas dan mengklarifikasi posisi duduk perkara sehubungan dengan Program Mobil Nasional. 4 Pertemuan selanjutnya kembali digelar pada awal Juli 1996. Dan disusul dengan serangkaian pembicaraan bilateral sepanjang pertengahan hingga akhir tahun 1996 antara pihak Amerika Serikat melalui perwakilan USTR dengan pihak Indonesia melalui Direktur Jenderal Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam upaya mencapai sebuah kesepakatan yang bisa diterima oleh kalangan industri otomotif di Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Oktober 1996, dalam laporan tahunan Super 3015 yang dirilis oleh USTR dibawah kepemimpinan Presiden Clinton, menyatakan bahwa pihak USTR akan memulai melakukan investigasi berdasarkan Section 301 (Section 301 of The Trade Act of 1974)6 terhadap kebijakan Mobil Nasional Indonesia. Laporan Super 301 menyebutkan bahwa : “The
Clinton
Administration
has
adopted
a
strategic
enforcement strategy — aimed not only at challenging existing barriers but also at preventing the future adoption of similar barriers around the world. Successful challenges to such measures will establish beneficial precedents not only for the United States, but for all WTO members” Application of the Administration’s strategic enforcement strategy is particularly appropriate in the automotive sector, where trade-related investment measures affect U.S. exports in many countries. Manufacturing of autos and auto parts is a key 4
time, June 10, 1996 page 40.
5
Penjelasan mengenai Super 301 : http://en.wikipedia.org/wiki/Special_301_Report.
6
Penjelasan mengenai Section 301 of the Trade http://en.wikipedia.org/wiki/Section_301_of_the_Trade_Act_of_1974
Act
if
1974
:
industry for the United States and access to foreign markets is important for its future growth. The U.S. auto industry enormous strides in competitiveness and productivity. As a result of USTR’s monitoring of compliance with WTO agreements, the USTR has identified practices that are inhibiting U.S. exports of autos and auto parts and the creation of the jobs associated with those exports. In many cases such practices appear to be inconsistent with WTO rules, including those under the WTO Agreement on Trade-Related Investment Measures (TRIMs).7
c. Strategi Indonesia Selama negosiasi dan masa konsultasi WTO antara Indonesia - AS, Jepang dan Uni Eropa berlangsung, Tungky Ariwibowo dan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono tetap menyatakan kepada masyarakat bahwa, sekalipun Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat akan melangkah ke WTO, mereka tidak khawatir karena proses penyelesaian dan keputusan atas perselisihan di WTO tersebut kemungkinan baru akan selesai pada tahun 1999, dan pada tahun tersebut Program Mobil Nasional seharusnya telah sukses diluncurkan dan diharapkan sudah memenuhi seluruh prasyarat formal yang telah ditentukan.8 Bahasa gampangnya, hajar saja dulu, toh kalaupun ada mekanisme dan keputusan dari WTO akan makan waktu lama juga, kendala dan kekurangan teknis yang ada nanti akan diselesaikan dalam tempo yang sesingkat singkatnya. Tungky juga meyakinkan kepada masyarakat bahwa pemerintah selaku fasilitator atas program tersebut akan memberikan bantuan semaksimal mungkin yang diperlukan oleh TPN, baik dalam hal konstruksi, perijinan dan aspekaspek industri lainnya. Pada saat dilangsungkannya konsultasi WTO pada bulan Oktober 1996, Tungky kembali meyakinkan kepada publik bahwa proses konsultasi WTO sehubungan dengan perselisihan di sektor perdagangan itu adalah hal yang lumrah, “Jadi tidak perlu ada yang dikhawatirkan.” 9 7
See report “Identification of Trade Expansion Priorities (Super 301) Pursuant to Executive order 12901” released October 1, 1996.
8
9
Jakarta Post, 4/23/97
ANTARA, 10/07/1996 “Three Envoys to Represent Indonesia for Consultation on National Car Policy at WTO.”
Pada awal Juni 1997, pihak Indonesia sebenarnya sudah hampir mencapai kesepakatan win-win solution dengan pihak Jepang, Uni Eropa dan AS. Beberapa pelaku bisnis Indonesia pun ikut turun tangan dalam upaya untuk mendapatkan dukungan guna mencapai kesepakatan bersama dengan mengirim sebuah tim ke Jepang pada awal bulan Juni tersebut untuk melobi Japanese Keidanren (asosiasi bisnis Jepang) yang berpengaruh agar permasalahan ini tidak diteruskan melalui mekanisme penyelesaian sengketa oleh panel WTO.10Indonesia menjanjikan akan menghapus pajak impor atas suku cadang kendaraan dan pajak barang mewah untuk mobil-mobil dengan kapasitas mesin lebih dari 3000cc termasuk juga untuk mobilmobil yang dirakit di Indonesia.11 Tungky melaporkan bahwa tim negosiasi dari Indonesia tersebut diatas sedang dalam proses negosiasi dengan pihak Jepang, Uni Eropa dan Amerika Serikat guna membahas 7 poin permintaan yang diajukan oleh AS. 12 Namun jalannya negosiasi menjadi rumit karena setiap keputusan harus mendapat persetujuan langsung dari Presiden Soeharto. Akhir cerita, para pihak yang terlibat dalam negosiasi yang bersangkutan tidak menemukan titik kesepakatan apapun, mengingat Presiden Soeharto masih tidak bersedia untuk mengubah kebijakan yang telah dibuat sehubungan dengan Pogram Mobil Nasional. Tabel berikut adalah rangkuman atas time table sejak awal negosiasi dan konsultasi sampai dibentuknya panel penyelesaian sengketa WTO : Time Table Periode Negosiasi dan Konsultasi Tanggal
Peserta
Jun-Sep 1996
Jepang, AS
Negosiasi bilateral dan konsultasi informal de
3 Okt 1996
Uni Eropa
Pengajuan permohonan konsultasi kepada
Action
inkonsistensi antara kebijakan- kebijakan tert 10
“Indonesian Chamber to Lobby Japan’s Keidanren on Car Policy” Asia Pulse, 06/09/1997.
11
“Indonesia Offers Tax Relief on 3000cc Car Imports” Asia Pulse 5/20/97.
12
“Jakarta to Negotiate Seven U.S. demands on Car Policy” Asian Pulse 6/10/97.
WTO. Pengajuan permohonan konsultasi kepada 4 Okt 1996
Jepang
inkonsistensi antara kebijakan- kebijakan tert WTO.
4&5 Nov 1996
Jepang
Konsultasi putaran pertama diadakan di Jenewa. Pengajuan
permohonan
konsultasi kepada WTO sesuai dengan mekanisme DSU 8 Okt 1996
AS
atas
adanya
inkonsistensi
antara
kebijakan-
kebijakan
tertentu dari pemerintah Indonesia terhadap aturanaturan WTO.
4 Nov 1996
29 Nov 1996
Uni Eropa
Jepang
Konsultasi putaran pertama diadakan di Jenewa.
Pengajuan
permohonan
konsultasi
tambahan
kepada
WTO
sesuai
dengan mekanisme DSU atas kasus Program Mobil Nasional Indonesia. Konsultasi putaran kedua.
3 Des 1996
Jepang
Tidak tercapai kesepakatan atas solusi masalah terkait.
5 Des 1996
Uni Eropa
Konsultasi putaran kedua diadakan di Jenewa. Permohonan pembentukan Panel
untuk
melakukan
investigasi
atas
inkonsistensi dari Program Mobil Nasional Indonesia 17 Apr 1997
Jepang
terhadap
GATT
1994
Article I:1, III:2, III:4, X:1, X:3(a), TRIMs Agreement Article 2 dan Article 5.4, serta
SCM
Agreement
Article 3.1(b) dan Article 28.2. 13 Permohonan pembentukan Panel
untuk
melakukan
investigasi 12 Mei 1997
Uni Eropa
atas
inkonsistensi dari Program Mobil Nasional Indonesia terhadap
GATT
1994
Article I, I:1, III, III:2,
III:4,
SCM
Agreement
Article 1, 2, 3.1(b), 6, dan TRIMs Agreement Article 2.14
13
Indonesia — Certain Measures Affecting the Automobile Industry (Complainant: Japan): http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds55_e.htm 14
Indonesia — Certain Measures Affecting the Automobile Industry (Complainant: European Communities): http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds54_e.htm
Permohonan pembentukan Panel
untuk
melakukan
investigasi
atas
inkonsistensi dari Program Mobil Nasional Indonesia terhadap 12 Jun 1997
AS
GATT
1994
Article I:1, III:2, III:4, III:5,
III:7,
SCM
Agreement Article 1, 2, 3, 6,
27,
28.2,
TRIMs
Agreement Article 2, dan TRIPS Agreement Article 3, 20, 65, 65.5.15 Berdasarkan
ketentuan 16
DSU Article 9 mengenai multiple
complainants
(pihak pemohon lebih dari 12 Jun – Jul 1997
Jepang, Uni Eropa
satu
untuk
sama), menyetujui
kasus
maka
yang DSB untuk
membentuk sebuah Panel yang berlaku untuk semua pihak. DSB
menyetujui
pembentukan Panel terkait
15
Indonesia — Certain Measures Affecting the Automobile Industry (Complainant: United States): http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds59_e.htm 16
DSU Article 9 : “... Where more than one Member requests the establishment of a panel related to the same matter, a single panel may be established to examine these complaints taking into account the rights of all Members concerned....”
30 Jul 1997
AS
AKIBAT DARI KEPEMILIKAN SAHAM ASING YANG DIMILIKI PT. TIMUR PUTRA NUSANTARA DI INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MOBIL NASIONAL Beberapa alasan yang mendorong suatu perusahaan untuk melakukan ekspansi produk ke luar ngeri atau melakuan investasi langsung diluar negeri antara lain: (1) Mengejar keuntungan global, hal ini didasarkan karena perusahaan MNC menerupakan perusahaan kapitalis yang selalu bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya; (2) Mencari dan memperoleh sumber bahan baku. Dalam hal ini perusahaan MNC akan berupaya mendekatkan sumber bahan baku produksi dengan pabrik produksi; (3) Melayani pasar secara langsung, bila suatu perusahaan sudah melayani pasar luar negeri memalui ekspor mungkin diperlukan hunungan yang lebih dekat dengan konsumen pasar untuk mengetahui kebutuhan dan selera konsume; (4) Meminumkan biaya, hal ini dilakukan agar perusahaan MNC tetap kompetitif baik di negara asal maupun di luar negeri. (5) Melalui pendekatan evolusioner dalam melakukan ekspansi ke luar negeri untuk meninimunkan resiko dalam lingkungan asing yang diliputi ketidakpastian. Sedangkan keuntungan dari adanya aliran modal langsung (FDI) untuk negara tuan rumah, antara lain: (1)
Perusahaan asing membawa teknologi superior;
(2)
Investasi asing menaikan persaingan perekonomian di negara tuan rumah;
(3)
Investasi asing pada khususnya dapat menaikan invesatasi domestik;
(4)
Investasi asing membawa keuntungan pada sisi menaikan askes pasar ekspor dibandingkan skala ekonomi dari perusahaan asing dalam pemasaran atau dari kemampuan mereka untuk mendapatkan keuntungan ari akses pasar luar negeri;
(5)
investasi asing dapat menjadi tujuan untuk menjembatani kesenjangan negara tuan tumah alam pertukaran dengan luar negeri.
Industri Manufaktur Indonesia Industri pengolahan/manufaktrur adalah semua kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang bukan tergolong produk primer. Yang
dimaksudkan adalah dengan produk primer adalah produk-produk yang tergolong bahan mentah, yang dihasilkan oleh kegiatan eksploitasi sumber daya alam hasil pertanian, kehutanan, kelautan dan pertambangan, dengan kemungkinan mencakup produk pengolahan awal sampai dengan bentuk dan spesifikasi teknis dan standar dan lazim diperdagangan sebagai produk primer. Jenis-jenis industri manufaktur indonesia adalah: 1
Basis Industri Manufaktur
(a) Industri Material Dasar •
Industri Besi dan Baja17
•
Industri Semen18
•
Industri Petrokimia19
•
Industri Keramik20
(b) Industri Permesinan •
Industri Mesin Listrik dan Peralatan Listrik21
•
Industri Mesin dan Peralatan Umum22
(c) Industri Padat Tenaga Kerja •
Industri Teksil dan Produk Tekstil23
17 Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor : 103/M-‐IND/PER/10/2009 Tanggal : 14 Oktober 2009
18 Peraturan
Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 104/M-‐ IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Semen 19 Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia nomor 105/M-‐IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduang (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Petrokima 20 Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia nomor 106/M-‐IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduang (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Keramik 21 Peraturan Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 107/M-‐ IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Mesin Listrik dan Peralatan Listrik 22 Peraturan Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 108/M-‐ IND/PER/10/2009 Tentang PETA PANDUANG (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INUDSTRI MESIN PERALATAN UMUM 23 Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 109/M-‐IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Tekstil dan Produk Tekstil
•
Industri Benang
•
Industri Kain
•
Industri Pakaian Jadi (Garmen)
•
Industri Tekstil dan Produk Tekstil lainya
•
Industri Alas kaki24
2
Industri Berbasis Argo
(a) Industri Pengolahan Kelapa Sawit25 (b) Industri Pengolahan Karet dan Barang Karet26 (c) Industri Pengolahan dan Coklat27 (d) Industri Pengolahan Kelapa28 (e) Industri Pengolahan Kopi29 (f) Industri Pengolahan gula30 (g) Industri Pengolahan Tembakau31 (h) Industri Pengolahan buah-buahan32 24 Peraturan Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 110/M-‐IND/PER/10/2009 Tentang PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI ALAS KAKI 25 Peraturan Mentri Perindustrian Repbulik Indonesia Nomor: 111/M-‐IN/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Indsutri Pengelohan Kelapa Sawit.
26 Peraturan
Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 112/M-‐IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaseter Industri Karet dan Barang Karet
27 Peraturan
Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 113/M-‐IND/PER/10/2009 tentang Peta Panudan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Kakao
28 Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 114/M-‐IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map)Pengembangan Klaster Industri Pengelohan Kelapa
29 Peraturan Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 115/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Kopi
30 Peraturan
Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 116/M-‐IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Gula
31 Peraturan Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor :
117/M-‐ IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Hasil Tembakau.
Peraturan Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 118/M-‐IND/PER/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Pengelahan Buah 32
(i) Industri Pengolahan kayu dan barang kayu33 (j) Industri Pengolahan Ikan34 (k) Industri Pulp dan Kertas35 3
Industri Alat angkut
(a) Industri Kendaran Bermontor36 (b) Industri Perkapalan37 4
Industri Telematika, Elektronika dan Elektronika Profesi
(a) Industri Elektronika 38 (b) Industri Komputer dan Peralatanya39 Kedaulatan Negara Indonesia Ekonomi pasar yang dicantamkan Adam Smith yakni ekonomi akan berkembang dengan bebas jika negara tidak menghalanginya dengan memberi batasan-batasan. Namun, dalam perkembangan ekonomi kemudian, ekonomi yang bebas itu akhirnya harus mematuhi hukum-hukum ekonomi juga, yang dilahirkan sendiri semisal hukum persaingan yang mengatur harga. Sejarah sistem ekonomi Pancasila sebenarnya adalah sejarah republik Indonesia. Pasal 33 bab kesejahteraan 33 Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor : 119/M-‐IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Furniture
34 Peraturan
Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 120/ M-‐IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Ikan
35 Peraturan
Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 121/M-‐IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembagan Klaster Indsutri Kertas.
36 Peraturan
Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 123/M-‐IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Kendaraan Bermontor.
37 Peraturan Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 124/M-‐IND/PER/10/2009
Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Perkapalan.
38 Peraturan
Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 127/M-‐IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Indsutri Elektronika
39 Peraturan
Mentri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 128/M-‐IND/PER/10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Telekomunikasi
sosial lebih jauh dinyatakan bahwa, demokrasi ekonomi adalah produksi yang dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggotaanggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Kebijakan Industri Otomotif Indonesia sebagai latar belakang terjadinya sengketa Perkembangan industri otomotif di Indonesia baru dimulai pada tahun 1960’an melalui suatu proses dimana terdapat suatu usaha transformasi perdagangan ke struktur industri secara bertahap, melalui pendekatan dari produk akhir (kendaraan utuh) berangsur-angsur menuju sektor hulu. Industri kendaraan bermotor (mobil) di Indoensia telah dikembangkan sejak tahun 1964. Pola pengembangannya pda dasarnya sama seperti halnya diambil oleh negara lain, yaitu diarahkan untuk menghasilkan barang subsitusi impor, melalui kerja sama dengan pihal luar negeri Pengembangan dimulai dari perakitan bagian-bagian yang dimpor dalam keadaan semi terurai (semi knocked down/SKD) terdiri dari engine, chassis dan body. PT. Timor Putra Nasional merupakan perusahaan yang berkedudukan sebagai perusahaan induk, yang berafisilasi dengan PT. KIA Timor Motors (Perusahaan patungan berstatus Penanaman Modal Asing antara PT. Timor Putra Nasional dan KIA Motors Cooperatioan) dan anak perusahaan yaitu PT. Timor Distributir Nasional, PT Timor Industri Kompinen, PT. Timor Rekayasa Rancang Bangun, PT. Prima Putra Finance, PT Timor Putra Bangsa. Disamping itu di jajaan Grup Timor juga terdapat perusahaan khusus yang menangani research dan development yang berkedudukan di Jenewa, Itali yang berafisilsi dengan Lamborgini SpA. Namun, kesemuanya ini telah digabung secara profesional ke dalam induk perusahaan yakni PT. Timor Putra Bangsa PT. KIA Timor Motors sebagai perusahaan patungan kini tetap berfungsi sebagai general assembler. Sebagai mitra usaha yang bergerak di bidang pemasaran mobil, agen penjualan Timor yang dimiliki masyarakat juga berperan aktig di berbagai daerah unutk melakukan sale promoting. PT. Timor Putra Nasional didirikan dengan beberapa aspek pertimbagan sebagai berikut:
1
Untuk menghadapi AFTA dan APEC dimana Indonesia haru memiliki dasar yang kuat dibidang industri mobil;
2
Sasarannya adalah untuk membangun industri otomotif yang mandiri, sehingga Indonesia tidak akan terus menerus menjadi importir kendaranan bermontor dan komponenennya;
Tabel 1 : Usaha Pengembangan Industri Otomotif oleh PT. Timor Tahun
Upaya PT. Timor
1990
Untuk menyehatkan kembali gairah perindustrian otomotif di Indonesia PT. Timor merancang konsep pembangunan otomotif terbadu dan survey kelayakan perusahaan sejenis dengan mitra usaha di mancanegara.
1993
Joint Venture Agrement antara PT. Timor Putra Nasional dan KIA Motors Corporation serta PT. Indauda Putra Nasional (menjadi PT. KIA Timor Motors). Nama Timor diadakan dengan maksud sebagai kepanjangan dari Teknologi Mobil Rakyat. Nama Timor, telah didaftarkan di lembaga formal, baik dalam maupun luar negeri dan dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa lafal dan ejaan Timor dapat diucapkan oleh semua bangsa di dunia dengan ejaan yang sama yakni Timor. Alasan PT Timor Putra Nasional memilih perusahaan KIA adalah: (1) Bahwa PT Timor bisa memakai nama sendiri (2) Bahwa PT Timor bebas menjual ke pasar, baik di dalam maupun di luar negeri (3) Bahwa PT Timor memperoleh kebebasan mengubah produk dan dapat memperoduksi mobil sendiri (4) Prinsip kerjasamanya antrara principal. KIA memproduksi mobil jenis Sephia dan Sportage keluaran terbaru dan dipasarkan ke seluruh dunia (sekitar 106 negara)
1995
Memorandum of Agreement antara ketiga perusahaan tersebut ditandatangi. Komposisi pemegang saham PT. KIA Timor Motor ketika itu adalah 35% PT Timor Putra Nasional, 35 % PT Indauda Putra Nasional dan 30% KIA Motors Coperation. Namun, saat ini
(tahun 2001) telah berubah masing-masing menjadi 59%, 1% dan 40% 1996
Pada bulan Febuari sedan Timor S515 pertama kali diperkenankan di Indoensia. Pada tanggal 11 Maret Pt Timor Distibutor Nasional didirikan. Senin 8 Juli 1996 mobil merk Timor diluncurkan. Sedan 1500 cc produk pertama PT. Putra Timor Nusantara yang diresmikan di pelataran parkir pusat perbelanjaan Sarinah, Jl. MH Tamrin, Jakarta Pusat sebagai mobil nasional. Pada tanggal 3 Sepeterm 1996, di pelabuhan Tanjung Priok 2.084 unit mobil Timor tiba dari Korea Selatan. Selanjutnya 9 Septemenr 1996, sekitar 2000 unit mobil kembali didatankangkan. Pada bulan Oktober penyerahan perdana sedan Timor S515 kepada konsumen.
1998
Setelah
diserang
habis-habisan
oleh
WTO
soal
fasilitas
berlebihan yang diberikan kepada TPN melakukan pendekatan terhadap birokrasi pemerintah. Mulai dari pejabat pemerintah provinsi yang diwajibkan memakai mobol Timor sebagai mobil dinas, hingga anggota DPR di Senayan yang dilobo untuk menjadikan monil Timor sebagai mobil invetaris mereka. Jumlah yang ditawarkan ke gedung DPR mencapai sekitar 500 unit. 1999
Hingga akhir tahun 1999 tersisa stok yang siap dijual sebanyak 12.355 unit meliputi dua tipe yaitu Sedan Timor S. 515 (SOHC) sebanyak 3.410 unit dan Sedan Timor S.%15i (DOHC) sebanyak 8.945 unit. Total unit yang telah dijual melaui agen penjualan Timor di seluruh Indonesia adalah sebanyak 27.360 unit di bulan Oktober 1996 hingga bulan Agustus 1999.
INVESTASI ASING UNTUK INDUSTRI MANUFAKTUR TERHADAP BARGANING POSISION POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA Perdagangan Internasional dan Pertumbuhan Ekonomi Investasi
merupakan
faktor
yang
krusial
bagi
kelangsungan
proses
pembangunan ekonomi atau pertumbuhan jangka panjang. Investasi sering juga disebut penamanan modal. Berdasarkan sumbernya, investasi dapat dibedakan
menjadi investasi dalam negeri (domestic investment) dan investasi luar negeri (foreign direct investment). Keterbatasan kemampuan dala negeri dalam menggerakan perekonomian menyebabkan sebuah negara berkembang bergantung kepada penamanam modal luar negeri (foreign investment). Ada dua hal yang mempengaruhi kegiatan FDI di suatu negara (host country), dalam kaitanya dengan mengapa suatu negara begitu aktif dalam menarik minat investor untuk menamankan modalnya di suatu negara, yaitu pertama, lingkungan atau kerangka kebijakan (policy framework) dan kedua faktor ekonomi (economic determinats). Pertimbangan ekonomi tersebut antara lain menyangkut akses pasar, sumber daya dan faktor efisiensi. Pendekatan Kebijakan Ekspor dengan statei industriliasiasi Dalam globalisasi ekonomi, kesempatan untuk tumbuh melaui expor di pasar bebas menjadi lebih besar, namun disisi lain justru yang terjadi adalah sebaliknya. Sebagai contoh, dengan tidak adanya barier untuk masuk ke dalam pasar suatu negara, maka negara dengan pendapatan yang kecil dan negara-negara berkembang akan mengalami kesulitan dalam persaingan. Terlebih dengan adanya negara Cina sebagai “work shop of the world” akan membuat negara-negara kecil dan berkembang semakin sulit bersaing. Namun kini dengan mulai meningkatnya upah tenaga kerja di cina, bisa menjadi kesempatan baru bagi negara-negara kecil dan berkembang. Perlu juga ditekankan bahwa pendekatan ini akan lebih efektif apabila pemerintah dan swasta telah berkerjasama dengan baik dan konsisten dalam pembangunan yang luas dan juga menguntungkan bagi para investor. Perdagangan Selatan-Selatan dan Integrasi Ekonomi •
Free Trade Area (FTA), terjadi apabila sekoelompok negara setuju untuk menghapus tarif diantara mereka namun tetap mempertahankan tarif mereka masing masing terhadap impor dari negara-negara diluar FTA. Sebagai salah satu contoh FTA yang efektif adalah North American Free Trade Agreement (NAFTA);
•
Custom Union (CU), terbentuk ketika sekelompok negara setuju untuk menghapuskan tarif impor diantara mereka dan sekaligus memberlakukan satu rejim tarif bersama bagi impor dari negara-negara non anggota.
•
Common Market (CM), membentuk perdagangan bebas seperti CU, namun juga memperbolehkan pergerakan bebas tenaga kerja dan kapital antar negara-negara anggota.
Kerjasama Blok Ekonomi Regional dan Globalisasi Perdagangan Saat ini muncul banyak berbagai bentuk kerjasama perdagangan yang didasarkan pada kedekatan dalam hal geografis, sebut saja seperti NAFTA, MERCOSUR, dan Uni Eropa. Bahkan negara-negara berkembang lainnya pun juga mendirikan kerjasama-kerjasama semacam ini seperti ASEAN. Munculnya banyak blok ini menimbulkan pertanyaan, apakah dengan adanya blok-blok ini, globalisasi ekonomi akan segera terwujud atau justru akan semakin menjauhkan negara-negara dunia dari globalisasi ekonomi. Kebijakan Perdagangan dari Negara Maju Perjanjian umum mengenai tarif dan negosiasi perdagangan di Uruguay pada tahun 1995 yang menjadi konsep berdirinya WTO untuk menggantikan GATT pada hakekatnya mengurangi hambatan tarif dan non tarif di banyak sektor. Tiga ketentuan utama dari pandangan negara-negara berkembang adalah sebagai berikut: 1. Negara-negara maju menurunkan tarif pada manufaktur rata-rata 40% namun negara-negara berkembang masih menghadapi tarif yang 10% lebih tinggi dari rata-rata global, sementara negara negaramaju menghadapi tarif yang 30% lebih tinggi 2. Perdagangan produk pertanian dibawah otoritas WTO dan harus semakin di liberalisasi 3. Tarif atas impor tekstil berkurang hanya menjadi rata-rata 12% tiga kali tingkat rata-rata tarif impor lainnya. Setelah delapan putaran perdagangan liberalisasi hambatan perdagangan tetap ada dalam industri tekstil dan pertanian, barang yang paling mempengaruhi dunia berkembang. WTO mulai mempertimbangkan putaran baru perundingan untuk mengurangi hambatan perdagangan. Negosiasi yang sekarang di gelar di Doha. Pada
Konferensi Tingkat Menteri Keempat di Doha, Qatar, pada tahun 2001 pemerintah anggota WTO sepakat untuk memulai negosiasi baru. Mereka juga sepakat untuk bekerja pada isu-isu lain, khususnya pelaksanaan perjanjian ini. Seluruh paket disebut Doha Development Agenda (DDA).
Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi, Perdagangan Internasional dan FDI Jika suatu negara mengalami pertumbuhan, maka pertumbuhan tersebut akan berdampak pada pola produksi dan pola konsumsi yang ada di negara tersebut. Dari teori yang dikemukakan, dapat dilihat bahwa pertumbuhan dapat memberikan dampat yang dapat memperbesar ukuran perdagngan atau memperkecil ukuran perdagangan antar negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertumbuhan dapat memberikan pengaruh terhadap perdagangan internasional. Penanaman Modal di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksudkna dengan Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha diwilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penaman mdoal asing, baik menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri Masuknya perusahaan asing dalam kegiatan investasi di Indonesia dimaksudkan sebagai pelengkap untuk mengisi sektor-sektor usaha dan indsutri yang belum dapat dilaksanakn sepenuhnya oleh pihak swasta nasional, baik karena alasan teknologi, manajemen, maupun alasan permodalan. Modal asing juga diharapkan secara langsung maupun tidak langsung dapat lebih merangsang dan menggairkan iklim atau kehidupan dunia usaha, serta dapat dimanfaatkan sebagai upaya menembus jaringan pemasaran intenasional melalui jaringan yang mereka miliki. Selanjutnya modal asing diharapkan secara langsung dapat memproses proses pembangunan ekonomi Indonesia. 40
40
Dirdjosisworo Soedjono, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia (Jakarta: CV. Mandar Maju, 1999),
Penanaman Modal di Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksudkna dengan Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha diwilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penaman mdoal asing, baik menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.41 Dari beberapa pandangan di atas terlihat bahwa investasi langsung adalah keterlibatan langsung pihak investor terhadap investasi yang dilkukakanny, baik dalam permodalan, pengokohan dan pengawasan. Menurut Sidik Jatmika, kebaikan dari investasi langsung adalah tidak mendatangkan beban yang harus dibayarkan dalam bentuk bunga, deviden dan/atau pembayan kembali, dapat mengkombinasikan keahlikan, teknologi dan modal dapat mengatasi masalah transfer uang, adanya penanaman kembali dari keuntungan investasi yang belum ada dan dapat menciptakan alih teknologi dan ketrampilan.42 Kesimpulan Akhir dari Penyelesaian Kasus Mobnas di WTO §
Panel secara resmi telah mengeluarkan laporan terkait perihal kasus Program Mobil Nasional Indonesia pada tanggal 23 Juli 1998
§
para pihak yang bersengketa tidak ada yang mengajukan keberatan atas faktafakta yang disampaikan oleh Panel dalam laporan tersebut, maka Badan Penyelesaian Sengketa (DSB / Dispute Settlement Body) WTO melakukan finalisasi dan penetapan atas laporan terkait terhitung pada tanggal 23 Juli 1998
§
Isu Prosedural: Ø Pemerintah
Indonesia
berhak
untuk
menentukan
anggota-angggota
delegasinya pada saat menghadiri pertemuan-pertemuan Panel, dan kami tidak menemukan adanya ketentuan dalam Perjanjian WTO atau DSU, termasuk aturan-aturan prosedur standar yang melarang anggota WTO untuk menentukan komposisi atas delegasinya pada saat menghadiri sidang-sidang Panel WTO 41
Pasal 1 Undang-‐Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
42
Jatmika, Sidik, Otonomi Daerah, Perspektif Hubungan Internasional (Yogyakarta: Biagraf Liberty, 2001), hal. 22.
Ø Panel juga menolak permohonan klaim yang diajukan oleh Amerika Serikat atas pengajuan investigasi terhadap pinjaman kepada TPN sebesar US$690 juta pada 11 Agustus 1997 Ø 4 bank milik pemerintah Indonesia tersebut merupakan pelanggaran terhadap GATT Article III dan TRIMs Agreement, serta dianggap sebagai sebuah serious prejudice (dugaan kuat atas itikad tidak baik, dan menimbulkan ancaman serius) sesuai yang dimaksud dalam SCM Agreement. §
Isu Substantif: Ø GATT Article III dan SCM Agreement memiliki ruang lingkup yang berbeda dan otomatis menimbulkan kewajiban- kewajiban yang berdiri sendiri atas pemenuhan masing-masing klausa. Ø perjanjian WTO pada umumnya bersifat cumulative dan kewajiban-kewajiban yang timbul karenanya harus dilaksanakan secara tanggung-renteng alias bersama-sama Ø pertimbangan yang digunakan untuk melakukan penilaian atas suatu kebijakan pemerintah tertentu berasal lebih dari satu ketentuan atas perjanjian- perjanjian WTO yang ada.
§
TRIMS Agreement Ø Panel menemukan bahwa hal yang melatar belakangi pemerintah Indonesia melakukan inisiatif atas Program Mobil Nasional adalah dengan tujuan untuk memajukan perkembangan industri otomotif domestik di Indonesia Ø kebijakan terhadap persyaratan atas penggunaan kandungan lokal adalah kebijakan yang berhubungan dengan tindak perdagangan Ø kebijakan terhadap persyaratan kandungan lokal telah diatur pada butir 1(a) Illustrative List TRIMs, dan tercantum dalam Lampiran (Annex) TRIMs Agreement. Paragraph 1 pada Lampiran TRIMs melarang adanya kebijakan yang menimbulkan pihak tertentu mendapat manfaat dan keuntungan yang tidak sesuai dengan ketentuan National Treatment pada GATT Article III:4. Ø serangkaian keputusan dan regulasi sehubungan dengan Program Mobil Nasional Indonesia diterapkan dengan cara-cara yang pada prinsipnya sama
§
GATT Article III:2 National Treatment dan Internal Tax Ø kebijakan atas pengenaan pajak yang lebih tinggi terhadap produk-produk yang diimpor dibandingkan dengan produk-produk domestik merupakan pelanggaran terhadap GATT Article III:2 paragraph 2.
Ø tahun 1993 mensyaratkan bahwa mobil nasional yang dirakit dalam negeri dengan kapasitas mesin <1600 cc dan memiliki kandungan lokal > 60% akan diberikan insentif berupa fasilitas perpajakan, sedangkan untuk kategori mobil- mobil sedan, baik yang diimpor maupun yang dirakit dalam negeri, namun memiliki kandungan lokal <= 60%, akan dikenai pajak penjualan sebesar 35%. Ø Kebijakan atas Program Mobil Nasional pada tahun 1996 malah memberikan pembebasan mutlak atas pajak terkait kepada Mobil Nasional Ø Panel menyimpulkan bahwa kebijakan Mobil Nasional Indonesia yang dikeluarkan tahun 1993 dan 1996 atas pemberian fasilitas tarif bea masuk dan pajak impor adalah melanggar kalimat pertama dari Article III:2 §
GATT Article I.I- MFN Treatment Ø Indonesia telah terbukti melanggar ketentuan Most Favored Nation yang dimaksud pada GATT Article I:1 dengan bukti bahwa kebijakan atas pemberian fasilitas tarif bea masuk dan pajak impor atas impor mobil dari Korea Selatan sebagai bagian dari Program Mobil Nasional Indonesia dinilai oleh Panel memberikan ‘manfaat dan keuntungan’ tertentu dan dianggap memberikan perlakuan yang berbeda atas produk-produk sejenis dari negaranegara anggota WTO lainnya. Ø Panel menyimpulkan bahwa fasilitas atas tarif bea masuk dan pajak impor yang ditawarkan melalui Program Mobil Nasional lewat kebijakan yang dikeluarkan pada bulan Juni 1996 tersebut telah memberikan manfaat dan keuntungan kepada TPN (PT. Timor Putra Nasional), yang sebelumnya telah membuat kesepakatan kerjasama dengan salah satu perusahaan eksportir asing untuk memproduksi Mobil Nasional. Sedangkan kebijakan yang dikeluarkan pada bulan Februari 1996 dinilai memberikan manfaat dan keuntungan kepada suku cadang dan komponen yang digunakan oleh Mobil Nasional maupun mobil-mobil yang diproduksi dan menggunakan kandungan lokal dengan prosentase tertentu.
§
SCM Agreement Ø Uni Eropa dan Amerika Serikat mengklaim bahwa fasilitas tarif bea masuk dan pajak atas penjualan barang mewah yang diberikan melalui Program Mobil Nasional telah menimbulkan serious prejudice (dugaan kuat atas itikad tidak baik, dan menimbulkan ancaman serius) terhadap kepentingan kedua
negara sesuai konteks yang dimaksud pada SCM Agreement Article 5 Ø Panel memutuskan bahwa subsidi terkait Pogram Mobil Nasional tersebut diatas terbukti telah melanggar ketentuan pada SCM Agreement Article 5. Namun demikian, Jepang dalam hal ini tidak mengajukan klaim kepada Indonesia terkait SCM Agreement. Pelaksanaan atas rekomendasi Panel Report: Setelah ditetapkannya Panel Report per tanggal 23 Juli 1998, sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam DSU Article 21, para pihak yang bersengketa memasuki tahap negosiasi untuk menentukan jangka waktu pelaksaanan atas rekomendasi DSB oleh pihak yang telah diputus melakukan pelanggaran. Kebijakan atas Program Mobil Nasional pada tahun 1996, Indonesia, Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa sepakat bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1998 yang memutuskan untuk menghentikan dan mencabut kebijakan terkait Program Mobil Nasional tahun 1996, para pihak menyatakan bahwa langkah ini merupakan suatu bentuk pelaksanaan yang cukup diterima berdasarkan rekomendasi DSB. Kebijakan pemerintah Indonesia atas program tahun 1993, maka berdasarkan rekomendasi DSB, Indonesia diwajibkan untuk melaksanakan dan melakukan koreksi atas kebijakan yang tidak konsisten dengan aturan-aturan WTO terkait dalam tempo waktu tertentu (reasonable period of time / RPT) sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam keputusan Panel Report. Indonesia mengajukan agar diberikan jangka waktu 15 (lima belas) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya Panel Report, yaitu 6 (enam) bulan untuk melakukan koreksi terhadap aturan-aturan dalam negeri terkait dan 9 (sembilan) bulan untuk masa transisi serta pelaksaan teknis yang bersangkutan. Uni Eropa mengajukan tuntutan agar rekomendasi terkait dapat dilaksanakan dalam tempo paling lambat 6 (enam) bulan setelah tanggal dikeluarkannya Panel Report. Mengacu pada keputusan akhir dari arbitrator yang ditunjuk (Christopher Beepy), penentuan waktu pelaksanaan (reasonable period of time / RPT) atas kasus ini serta mengacu pada mekanisme yang telah diatur dalam DSU Article 21.3(c) Memutuskan untuk memberi waktu tambahan selama 6 bulan dari periode waktu 6 bulan seperti tersebut diatas untuk menyelesaikan perubahan- perubahan atas peraturan dalam negerinya, dan tambahan waktu tersebut. 15 Juli 1999, pihak
Indonesia secara resmi menutup kasus ini dengan mengeluarkan sebuah Status Repot : Bahwa pada tanggal 24 Juni 1999 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan sebuah paket kebijakan baru di bidang industri otomotif (kebijakan otomotif tahun 1999) yang terdiri dari Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 1999, Keputusan Menteri Perdagangan dan Industri No. 275 tahun 1999 dan No. 276/ tahun 1999, serta Peraturan Menteri Keuangan No. 344 tahun 1999. Berdasarkan atas rekomendasi DSB yang telah ditetapkan pada tanggal 23 Juli 1998, kebijakan baru tersebut telah menghapus semua elemen-elemen yang tidak konsisten dengan aturan- aturan WTO sehubungan dengan Program tahun 1993, diantaranya : (a) Mencabut kebijakan yang berhubungan dengan : penetapan tingkat kandungan lokal pada kendaraan bermotor atau komponen yang dibuat dari dalam negeri seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 114/M/SK/6/1993 yang dibuat pada tanggal 09 Juni 1993; (b)
aspek-aspek sehubungan dengan pajak penjualan yang dinilai diskriminatif untuk mendukung kendaraan bermotor buatan dalam negeri dengan memasukkan nilai tertentu (pembebasan atas tarif bea masuk) melalui program terkait;
(c) persyaratan penggunaan kandungan lokal yang berkaitan dengan (i) fasilitas pajak penjualan pada kendaraan bermotor yang menggunakan kandungan lokal dengan prosentase tertentu dan (ii) fasilitas tarif bea masuk atas impor suku cadang dan komponen yang digunakan pada kendaraan bermotor yang menggunakan kandungan lokal dengan prosentase tertentu. Kebijakan otomotif tahun 1999 yang didasarkan pada ketentuan nondiskriminatif dan telah konsisten dengan aturan-aturan WTO ini akan berlaku efektif sebelum berakhirnya jangka waktu pelaksanaan (reasonable period of time / RPT) rekomendasi yang telah ditetapkan. Indonesia menyatakan bahwa saat ini telah sepenuhnya melaksanakan rekomendasi dan keputusan dari DSB sesuai dengan Panel Report yang telah ditetapkan oleh DSB pada tanggal 23 Juli 1998 Barganing Posisition Politik Luar Negeri Indonesia Kehidupan ekonomi yang diharapkan adalah kehidupan ekonomi berbangsa dan bernegara yang raknyatnya memiliki kesejahtraan dalam keadilan sosial, sebagaimana
yang cita-citakan Pancasila dan Indonesia sebaai negara berdaulat sekaligus sebagai negara berkembang mempunyai pola tertentu terhadap konsep hukum dalam kegiatan ekonomi, meliputi konsep pencapaian masyrakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, Konsep ekonomi kekeluargaan yang Pancasila, konsep ekonomi kerayaktaan yang membela kepentingan rakyat. Berkenaan dengan inilah, posisi tawar Indonesia sering kali mengalami kegagalan titik temu. Hal yang menjadi bahan berdebatan adalah mengenai pengambilan kebijakasaan yang menyangkut untung rugi (trade off) antara pertumbuhan dan pemerataan, yang amat erat berkaitan dengan sila kedua, ketiga dan kelima. Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 2 September 1948. Sebenarnya pandangann politik luar negeri bebasaktif telah diterapkan oleh Indonesia sejak pertama kali Indonesia meraih kemerdekaan. Pandangan politik luar negeri ini sendiri sebenarnya sangat dipengaruhi oleh keadaan politik dunia pada masa itu di mana dua kutub dunia yaitu Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat sedang berseteru dengan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Kedua blok ini dilanda ketegangan yang sewaktu-waktu dapat pecah menjadi perang terbuka. Kedua blok juga menggunakan cara masingmasing dalam usaha mereka menarik sebanyak mungkin negara lain untuk menjadi anggota mereka. Lebih jauh, jika melihat konteks kontemporer di mana struktur internasional mulai berubah yang ditandai dengan adanya changing global architecture,
43
diperlukan penyesuaian terhadap nilai-nilai politik luar negeri bebas-aktif yang selama ini dijalankan. Arah politik luar negeri Indonesia yang mengedepankan paradigmathousands friends zero enemy juga mempengaruhi pengambilan keputusan dalam setiap perubahan struktur internasional di mana Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi aktor penting di dalamnya. Konsep politik luar negeri bebas aktif hendaknya dipandang sebagai suatu teks yang tidak selalu dimaknai secara kaku, namun disesuaikan dengan konteks changing global architecture yang tentunya membutuhkan beberapa adaptasi. 43 Bloude Tomer, Bush March L and Porges Amelia., The Politic of Internasional Economic Law., Cambridge., 2011, page 105
Kesimpulan 1. Inisiatif kebijakan Mobil Nasional yang ditujukan untuk menyediakan mobil murah bagi rakyat tersebut, meskipun patut dipuji namun dinilai tidak transparan dan diskriminatif karena proteksi yang diberikan tidak sesuai dengan semangat yang sudah terlebih dahulu dikeluarkan melalui paket-paket deregulasi, dan juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perdaganga bebas berdasarkan ketentuan perjanjian World Trade Organization, dimana Indonesia yang telah meratifikasi WTO melalui UU No.7 tahun 1994. Dalam hal ini, secara sadar Indonesia telah memasukan unsur asing kedalam sistem hukum negara Indonesia. Perjanjian internasional tunduk pada dua rezim pengaturan yang terletak pada dimensi yang berseberangan, namun tidak disertai ketentuan yang menegaskan hubungan antar dua dimensi tersebut. Dari perspektif sumber hukum nasional (formil), dapat dikatakan bahwa perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang bermuka dua, dimana di satu sisi berstatus sebagai peraturan perundang-undangan, namun di sisi lain juga berstatus sebagai perjanjian internasional,
padahal
peraturan
perundang-undangan
dan
perjanjian
internasional merupakan sumber hukum formil yang masing-masing berbeda dan terpisah satu permasalahan dari perspektif peraturan perundang- undangan yang sampai saat ini belum memiliki jawabannya. Jawaban atas berbagai permasalahan perjanjian internasional dalam perspektif peraturan peraturan perundangundangan pada dasarnya sangat ditentukan oleh arti pengesahan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional. 2. Kekuatan memaksa dari kaidah Hukum Internasional dapat lahir dari kepentingan politik yang mendasarinya, dan memang sejalan dengan pernyataan bahwa sebuah Hubungan Internasional memang lahir dari sebuah International Community, yang ujung-ujungnya merupakan perwujudan atas kesamaan kepentingan antara sesama anggota-anggota yang ada. Sehingga, dapat dibilang juga kadar kekuatan memaksanya pun bisa berbeda-beda, tergantung pada seberapa besar faktor-faktor yang melatar belakanginya (kepentingan politik, bargaining position, dan sebagainya). Unsur filosofis daripada aturan ini adalah bahwa dunia merupakan sebuah Community dan setiap entitas tidak dapat berdiri tanpa yang lain. Artinya bahwa, dalam masyarakat internasional, negara berdaulat menetapkan hukum negaranya, tetapi kedaulatannya dibatasi oleh hukum internasional. Yang cukup menarik dari kasus ini adalah konsep Opposabilitas, yang menyatakan bahwa
Hukum Nasional hanya dapat dibawa ke depan persidangan internasional apabila tidak bertentangan dengan Hukum Internasional. Apabila hipotesa ini dibalik, konsep ini dapat berarti pula bahwa Hukum Nasional dari suatu negara yang telah sesuai / konsisten terhadap Hukum Internasional, secara sah dapat digunakan untuk melakukan gugatan dan/atau menolak dengan dasar inkonsistensi suatu Hukum Nasional di negara lain atau aturan Hukum Internasional yang lain melalui persidangan internasional. Saran (1)
Sebagai saran, penulis menekankan perlunya memberikan kepastian hukum atas peraturan-peraturan pada tingkat pusat dan daerah serta menghasilkan proudk hukum yang berkaitan dengan kegiatan penanaman modal sehingga tidak memberatkan beban tambahan pada biaya produksi usaha. Serta memberikan kemudahan yang paling mendasar atas pelayanan yang ditujukan pada para investor, meliputi perjanjian investasi, imigrasi, kepabeanan, perpajakan dan pertahananan wilayah.
(2)
Peran FDI masih terbatas dalam pengembangan keterkaitan antar industri di Indonesia yang disebabkan oleh struktur industri yang timpang. Bukan hanya FDI yang kurang memiliki keterkatian dengan pemasok domestik tetapi juga perusahan besar di dalam negeri. Ketimpangan struktural ini perlu segera diatasi karena perusahan menegah berperan stategis dalam membangun mata rantai berkaitan dan pengembangan kemampuan teknologi. Pemerintah harus merumuskan stategi dan kebijakan untuk mengembangkan usaha menegah khususnya bagi yang produknya memiliki kandungan teknologi menengah dan tinggi.
Daftar Pustaka Aminudin Ilmar.,SH.,M.Hum., Hukum Penanaman Modal Asing., Kencana., 2007 Anghie Antony., Imperialsm, Sovereignty and The Making of International Law., Cambridge., 2004 Bloude Tomer, Bush March L and Porges Amelia., The Politic of Internasional Economic Law., Cambridge., 2011 Chayes Abram., Chayes Antonia Handler Chayes., The New Sovereignity Compliance With International Regulatory Agreements., 1995 Denza Eileen., Diplomatic Law Commentary the Vieena Convention on Diplamtic Relations, Second Edition., Oxford University., 2002 Erman Rajagukguk., Modul Hukum Investasi Di Indonesia., Universitas Indonesia., 2006 Hualla Adolf.,S.H.,Perjanjian Penanamam Modal Dalam Hukum Perdagangal Internasional (WTO).,Keni Media:Bandung.,2010 -------------------.,
Aspek-Aspek
Negara
Dalam
Hukum
Internasional.,Rajawali.,Jakarta.,2002 I. G. Ray Wijaya, Penanaman Modal, Pradnya Paramita, Jakarta, 2000, Pfeiffer & Company, Johannsesburg., Managing Globalization in the Age of Interdepence”., , 1995 Panduan Karya Ilmiah Mahasiswa., Universitas Paramadina., 2012 Mochmar Kusumaatmadja.,”Pengantar Hukum Internasional edisi revisi” Buku I Bagian Umum,Binacipta.,Bandung., 2000 Rajagukguk
Erman.,Pokok-pokok
Permasalahan
Hukum
Investasi
di
Indonesia.,2006 Salim.,S.H.,M.S dan Budi Sutrisno.,S.H.,M.Hum., Hukum Investasi di Indonesia., PT. RajaGrafindo Persada., Jakarta.,2008.,
Voss Ole Jan., The Impact of Investment Treaties on Contract Between Host Country and Foreign Investor., Leiden Boston., 2011 Jurnal Eko Prasetyo., Kapitalisme dan Neolisme Sebuah Tinjauan Singkat., Ekonomi Politik Journal Al-‐Manar Edisi I/2004 World Economic Forum., Foreign Direct Investment as a Key Driven for Trade Growth and Prosperity: The Case for a Mulitaleral Agreement on Investment., 2013