Hidayat et al. : Perbandingan Luaran dan Komplikasi Operasi Histerektomi Radikal Perlaparoskopi dengan Perlaparotomi
Perbandingan Luaran dan Komplikasi Operasi Histerektomi Radikal Perlaparoskopi dengan Histerektomi Radikal Perlaparotomi pada Karsinoma Serviks Uteri Stadium Awal Yudi Mulyana Hidayat, Sofie Rifayani Krisnadi, Supriadi Gandamihardja Departemen Obstetri dan Ginekologi Universitas Padjadjaran, RSUD Dr. Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia ABSTRAK Karsinoma serviks uteri merupakan kanker kedua terbanyak pada perempuan di seluruh dunia. Di Indonesia, karsinoma serviks uteri merupakan keganasan ginekologi tersering dengan insidensi 25–40/100.000 pertahun. Perempuan muda penderita karsinoma serviks uteri stadium awal IA2–IIA terkadang harus kehilangan fungsi reproduksi mereka, sedangkan perempuan yang sudah cukup mempunyai anak dapat memilih radikal histerektomi. Penelitian ini dilakukan untuk membandingan luaran dan komplikasi histerektomi radikal per laparoskopi dan histerektomi radikal perlaparotomi. Metode yang digunakan adalah kontrol kasus, melalui uji banding 23 kasus karsinoma serviks uteri dengan tindakan operasi radikal histerektomi perlaparoskopi dan 46 kasus karsinoma serviks uteri dengan tindakan histerektomi radikal perlaparotomi, selama periode 2012–2013 dari total 108 kasus. Data intra- dan pascaoperasi melingkupi empat variabel yang bermakna (p=0,00) yakni; panjang insisi, jumlah perdarahan, mobilisasi dini, dan lama perawatan dirumah sakit. Data komplikasi selama dan pascaoperasi menunjukkan adanya perbedaan variabel morbiditas infeksi (terjadi infeksi sekunder “wound dehiscence”) pada bekas luka operasi. Data pemakaian obat dan alat habis pakai menunjukkan empat variabel bermakna (p=0,00) yaitu; pemakaian antibiotika, analgetika, penggunaan kasa steril, dan benang bedah, dengan nilai yang lebih rendah pada pasien laparoskopi dibandingkan dengan pasien laparotomi. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prosedur bedah histerektomi radikal perlaparoskopi memberikan luaran yang lebih baik serta komplikasi, penggunaan obat, transfusi darah, dan alat habis pakai yang lebih rendah daripada prosedur bedah histerektomi radikal perlaparotomi. Sementara itu, analisis perbandingan total biaya prosedur bedah histerektomi radikal perlaparoskopi dan histerektomi radikal perlaparotomi perlu diteliti lebih lanjut. (MOG 2014;22:101-106) Kata kunci: histerektomi radikal perlaparoskopi, histerektomi radikal perlaparotomi, karsinoma serviks uteri
ABSTRACT Uterine cervical carcinoma is the second most common cancer in women worldwide. In Indonesia uterine cervical carcinoma is the most common gynecologic malignancy with an incidence of 25-40/100,000 per year. Young women with early-stage uterine cervical carcinoma IA2 - IIA sometimes have to lose their reproductive functions, whereas adult women who already have children may choose radical hysterectomy. This study was aimed to compare the outcomes and complications of radical laparoscopic hysterectomy and radical laparotomic hysterectomy. Case control study method was conducted i.e. comparative tests towards 23 cases of uterine cervical carcinoma with radical laparoscopic hysterectomy, and 46 cases of uterine cervical carcinoma with radical laparotomic hysterectomy, which performed during 2012-2013 of 108 cases. The intra- and postsurgery data showed four significant variables (p = 0.00) i.e. incision length, amount of bleeding, early mobilization, and duration of hospitalization. Data of complication during and after surgery showed the difference of infection morbidity variables (secondary infection or wound dehiscence occured) on the surgical scar. Data of the use of drugs and consumables showed that the four significant variables (p = 0.00) i.e. antibiotics and sterile gauze utilities, analgesics, and suture had lower value in patients using laparoscopic method compared with laparotomy method. It can be concluded that radical laparoscopic hysterectomy has better outcomes and lower complications as well as drugs, consumables utilities, and blood transfusion than radical laparotomic hysterectomy procedure. Meanwhile, comparative analysis of the total cost of radical laparoscopic and laparotomic hysterectomy surgical procedures need further investigations.(MOG 2014;22:101-106) Keywords: radical laparoscopic hysterectomy, radical laparotomic hysterectomy, uterine cervical carcinoma Correspondence: Yudi Mulyana Hidayat, Divisi Onkologi Ginekologi, Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, RSUD Dr. Hasan Sadikin, Bandung 40161, phone: 62-22-2032530 ext. 104, email:
[email protected]
PENDAHULUAN
total 466.000 kasus baru per tahun dan 231.000 kematian. Pada tahun 2009 di Amerika Serikat ditemukan kasus baru karsinoma serviks uteri sebanyak 11.270 kasus dengan 4.070 di antaranya menyebabkan
Karsinoma serviks uteri merupakan kanker kedua terbanyak pada perempuan di seluruh dunia, dengan 101
Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 22 No. 3 September - Desember 2014 : 101-106
kematian. Insidensi kematian akibat kanker serviks di negara maju kurang lebih 10/100.000 perempuan, sedangkan di negara berkembang 40/100.000 perempuan.1 Di Indonesia karsinoma serviks uteri merupakan keganasan ginekologi tersering dengan insidensi 25–40/100.000 per tahun, yang 70% ditemukan pada stadium lanjut. Karsinoma serviks uteri memberikan kontribusi angka kejadian sebesar 11% dari angka total kanker ginekologi di Indonesia, dengan angka kesintasan hidup sangat rendah dalam 5 tahun karena sebagian besar berada pada stadium lanjut. 2,3 Data laporan tahunan Poli Onkologi Ginekologi RSUD Dr. Hasan Sadikin tahun 2012–2013 menunjukkan bahwa 32% dari total penderita kanker serviks uteri datang berkonsultasi berada pada stadium awal (stadium IA–IIA), sedangkan 68% di antaranya telah berada pada stadium lanjut (stadium IIB–IVB).
laparotomi. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan bagi para klinisi dan rumah sakit di Indonesia dalam memberikan pilihan operasi bagi perempuan penderita karsinoma serviks uteri stadium awal, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas luaran prosedur operasi laparoskopi dalam kasus onkologi ginekologi di Indonesia. BAHAN DAN METODE Metode penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol dan uji banding terhadap 23 kasus karsinoma serviks uteri dengan operasi radikal histerektomi perlaparoskopi dan 46 kasus karsinoma serviks uteri dengan histerektomi radikal perlaparotomi selama periode 2012–2013 di RSUD Dr. Hasan Sadikin dan RS Jejaring Pendidikan FK Unpad (RS Santosa, RSB Emma Poeradiredja, dan RS Sariningsih Bandung).
Beberapa faktor risiko karsinoma serviks uteri antara lain usia koitus pertama kali, jumlah pasangan hidup/berganti pasangan, perilaku seksual, paritas, lama penggunaan kontrasepsi oral, dan riwayat merokok. Faktor prognostik meliputi stadium klinis, pembesaran kelenjar getah bening, ukuran tumor, dan kedalaman invasi. Diagnosis karsinoma serviks uteri berdasarkan pemeriksaan histopatologi dan penatalaksanaan terapi tergantung dari stadium penyakit. Sampai saat ini terapi pilihan utama karsinoma serviks uteri adalah operasi, radiasi, dan kemoterapi. Kemoterapi diberikan sebagai terapi tambahan (adjuvant), neoadjuvant, atau concomitant.Terapi operasi yang dapat dilakukan pada karsinoma serviks uteri stadium awal antara lain: Konisasi (stadium IA1), Radikal Histerektomi (stadium IA2), Radikal Histerektomi (stadium IB-IIA).1,2,3
Jumlah total kasus karsinoma serviks uteri yang dioperasi oleh peneliti selama periode 2012–2013 adalah 108 kasus, yang terdiri dari 42 kasus radikal histerektomi perlaparoskopi dan 66 kasus radikal histerektomi perlaparotomi. Sampel penelitian diambil dari penderita karsinoma serviks uteri stadium IA2– IB1–IIA1, yang pada saat operasi tidak ditemukan penyebaran ke parametrium dan pembesaran KGB pelvik, dengan data variabel penelitian tercatat di dalam catatan medis pasien. Peneliti telah melakukan operasi histeterektomi radikal perlaparotomi sejak tahun 2007 dan histerektomi radikal perlaparoskopi sejak tahun 2009. Sampel penelitian diambil tahun 2012, setelah peneliti mempunyai pengalaman selama tiga tahun dalam melakukan teknik operasi laparoskopi radikal histerektomi.
Perempuan muda dengan karsinoma serviks uteri stadium awal IA2–IIA terkadang harus kehilangan fungsi reproduksi mereka, namun pada stadium IA1–2 dan IB1masih dapat dilakukan konservasi fungsi reproduksi sehingga perempuan muda tersebut masih dapat mempunyai anak. Operasi terbaik untuk kondisi tersebut adalah radikal trachelectomy. Apabila diagnosis karsinoma serviks uteri stadium IA2–IIA telah ditegakkan pada perempuan yang sudah cukup mempunyai anak, perempuan tersebut dapat memilih tindakan radikal histerektomi.
Data variabel meliputi luaran (Intra- & Pascaoperasi): jumlah perdarahan selama operasi, waktu operasi yang dibutuhkan, radikalitas operasi, dan lama tinggal di rumah sakit. Luaran komplikasi: kejadiaan infeksi, gangguan berkemih/ trauma traktus urinarius, gangguan saluran cerna/trauma GI Tract, fistula genital sampai dengan tiga bulan pascaoperasi. Luaran penggunaan obat-obatan dan alat habis pakai selama operasi dan selama perawatan di rumah sakit.
Histerektomi radikal perlaparoskopi belum begitu populer di kalangan spesialis bedah onkologi ginekologi di Indonesia, begitu pula sebagian besar rumah sakit Indonesia belum optimal dalam memfasilitasi tindakan operasi histerektomi radikal perlaparoskopi dibandingkan dengan negara–negara lain di Asia Tenggara. Penelitian ini bertujuan membandingkan luaran dan komplikasi yang terjadi antara histerektomi radikal perlaparoskopi dengan histerektomi radikal per-
Data variabel luaran, pemakaian obat, dan alat habis pakai di kamar operasi diambil dari catatan medis rawat inap. Data komplikasi sebagian diambil dari catatan medis rawat jalan pasen di RSUD Dr. Hasan Sadikin dan RS Jejaring. Analisis statistik menggunakan program SPSS dengan uji statistik chisquare untuk mencari hasil uji beda yang ditentukan dengan nilai kemaknaan p<0,05. 102
Hidayat et al. : Perbandingan Luaran dan Komplikasi Operasi Histerektomi Radikal Perlaparoskopi dengan Perlaparotomi
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 3. Komplikasi selama dan pascaoperasi radikal HT
Tabel 1. Data kasus baru Poli Onkologi Ginekologi RSUD Dr. Hasan Sadikin Bandung
Variabel
Stadium Kanker Serviks
Tahun 2012
Tahun 2013
Total (%)
IA IB IIA IIB III A + III B IV A + IV B Total kasus baru
5 51 52 69 114 3 294
3 57 48 127 154 15 404
8 ( 1,1%) 108 ( 15,4%) 100 (14,3%) 196 ( 28,2%) 268 (38,8%) 18 (2,2%) 698 (100%)
Morbiditas infeksi (Wound dehiscence) Trauma Traktus Urinarius (Bladder atoni) Trauma Traktus Digestivus Fistula genital Problem Anestesi
Pada Tabel 1 diatas tampak bahwa dalam 482 kasus (68,2%) penderita karsinoma serviks uteri datang pada stadium lanjut sehingga modalitas operasi tidak bisa dilakukan. Operasi hanya dapat dilakukan pada 216 kasus (30,8%).
Panjang insisi Jumlah perdarahan Lama operasi Radikalitas Mobilisasi dini Lama perawatan
Tipe operasi Laparotomi Laparoskopi Laparotomi Laparoskopi Laparotomi Laparoskopi Laparotomi Laparoskopi Laparotomi Laparoskopi Laparotomi Laparoskopi
N
Rerata
46 23 46 23 46 23 46 23 46 23 46 23
18,13 2,5 635 350 187 193 ya ya 3,69 1,65 5,65 3,34
Laparoskopi RHT n=23
Uji Statistik (nilai p)
6
0
0,00
2
2
p> 0,05
0
0
No diff
2 0
2 0
p> 0,05 No diff
Tabel 4. Data penggunaan obat, transfusi darah dan alat habis pakai
Tabel 2. Data Intra- dan Pascaoperasi
Variabel
Abdominal RHT n=46
Variabel Antibiotika
Uji statistik ( nilai p)
Analgetika
0,00
Transfusi darah
0,00
Kasa steril
0,28
Benang bedah
No diff
Tipe operasi
Laparotomi Laparoskopi Laparotomi Laparoskopi Laparotomi Laparoskopi Laparotomi Laparoskopi Laparotomi Laparoskopi
n
Rerata
46 23 46 23 21 8 46 23 46 23
6,86 3,65 6,86 350 187 193 68 10 9,65 2,13
Uji statistik ( nilai p) 0,00 0,00 0,28 0,00 0,00
0,00
Stadium klinis 0,00
Kriteria FIGO untuk stadium kanker serviks uteri didasarkan pada temuan klinis. Klasifikasi FIGO pada kanker serviks uteri tediri atas stadium I, stadium II, stadium III, stadium IVA dan stadium IVB. Stadium I: karsinoma serviks terbatas pada rahim terdiri atas tahap IA1, tahap IA2, tahap IB1 dan tahap IB2. Tahap IA1: karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop. Invasi stroma dengan kedalaman ≤3 mm dan ≤ 7 mm dalam dimensi horisontal. Tahap IA2: invasi kedalaman mikroskopis > 3 mm dan <5 mm. Penyebaran horisontal ≤7 mm. Tahap IB1: lesi terlihat jelas dengan diameter <4 cm. Lesi mikroskopis memiliki kedalaman invasi >5 mm atau secara horizontal tersebar >7 mm.Tahap IB2: lesi terlihat jelas dengan diameter > 4 cm.
Tabel 2 menunjukkan empat variabel yang bermakna secara statistik maupun klinis (p=0,00) yakni; panjang insisi, jumlah perdarahan, mobilisasi dini, dan lama perawatan di rumah sakit, sedangkan lama operasi dan radikalitas operasi tidak berbeda secara bermakna. Tabel 3 menunjukkan adanya perbedaan kejadian variabel morbiditas infeksi (terjadi infeksi sekunder “wound dehiscence”) pada bekas luka operasi, namun komplikasi lain tidak berbeda secara bermakna. Pada Tabel 4 dan Gambar 1 terlihat adanya empat variabel bermakna (p=0,00) yaitu pemakaian antibiotika, analgetika, serta penggunaan kasa steril dan benang bedah pada pasien yang menjalani laparoskopi, dengan nilai yang lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan laparotomi.
Pada stadium II: karsinoma serviks menyebar ke luar rahim tetapi tidak ke dinding pelvis atau sepertiga bagian bawah vagina terdiri atas stadium IIA dan tahap IIB. Stadium IIA: karsinoma serviks menyebar ke 103
Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 22 No. 3 September - Desember 2014 : 101-106
bawah vagina namun tidak melebihi dua pertiga dari panjang vagina. Tahap IIB: karsinoma serviks meluas ke parametrium tetapi tidak sampai ke dinding pelvik.
Gambar 1.
insisi mediana yang diperluas 2–3 cm di atas umbilikus). Teknik ini memicu beberapa komplikasi sehingga penderita seringkali keberatan dalam menyetujui tindakan operasi histerektomi radikal perlaparotomi. 5 Dengan demikian dibutuhkan alternatif lain yang lebih baik untuk mengurangi kelemahan dan komplikasi yang terjadi pada operasi histerektomi radikal perlaparotomi. Salah satunya adalah dengan melakukan tindakan histerektomi radikal perlaparoskopi. Di sisi lain, operasi laparoskopi mempunyai keterbatasan seperti; fasilitas alat laparoskopi yang cukup mahal, keterampilan spesialis bedah dan tim operasi yang baik, dan seleksi pasien yang lebih ketat.6,7 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan luaran operasi histerektomi radikal per laparoskopi dengan histerektomi radikal perlaparotomi. Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan yang cukup bermakna secara statistik maupun klinis antara operasi histerektomi radikal perlaparoskopi dan operasi histerektomi radikal perlaparotomi. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain panjang insisi (akses intraabdominal), nyeri pascaoperasi dan lama perawatan, jumlah perdarahan, waktu operasi yang dibutuhkan, radikalitas operasi, komplikasi operasi morbiditas infeksi, komplikasi operasi morbiditas trauma organ intraabdominal dan problema anestesi, obat dan bahan habis pakai.
Perbandingan penggunaan obat, transfusi darah dan alat habis pakai selama operasi dan perawatan
Pada stadium III: karsinoma serviks meluas ke dinding pelvik dan/atau melibatkan sepertiga distal vagina, atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal terdiri atas tahap IIIA dan stadium IIIB. Tahap IIIA: karsinoma serviks melibatkan sepertiga bagian bawah vagina tanpa ekstensi ke dinding pelvic. Stadium IIIB: karsinoma serviks meluas ke dinding samping panggul atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal. Pada stadium IVA: tumor menginvasi kandung kemih atau mukosa rektal dan/ atau melampaui pelvik sejati. Pada stadium IVB: metastasis jauh.4
Panjang insisi (akses intraabdominal) Operasi histerektomi radikal perlaparotomi membutuhkan insisi yang cukup panjang (rata-rata 18,13 cm) (insisi mediana, modifikasi Pfanenstiel atau Mylard) untuk mendapatkan ekspose intraabdomen yang adekuat. Rata-rata panjang insisi yang dibutuhkan dalam histerektomi radikal perlaparoskopi hanya 2,5 cm (untuk pemasangan trokaratau trocart port incission), dengan visualisasi intraabdominal sangat adekuat dan dilengkapi pembesaran objek dari kamera (thelescope magnification). Tindakan prosedur operasi intraabdominal tidak berbeda antara operasi per-abdominal dengan perlaparoskopi, artinya prosedur histerektomi radikal perlaparoskopi sama dengan prosedur histerektomi radikal perlaparotomi intra-abdominal, sehingga akan lebih tepat apabila operasi laparoskopi disebut dengan minimal access surgery bukan minimal invasive surgery.5,6-12
Modalitas operasi histerektomi radikal adalah suatu tindakan operasi untuk mengangkat tumor primer di serviks dan tempat penyebarannya, yakni sesuai standar yang telah dikembangkan oleh Ernest Weirtheim (1911) dan dimodifikasi oleh Okabayashi (1921). Standar radikal histerektomi kemudian disempurnakan oleh Querleu, yakni mencakup; histerektomi radikal tipe III/histerektomi tipe Piper IIOI atau Querleu type C2 (mengangkat uterus, serviks, 1/3–1/2 vagina, limfadenektomi pelvik bilateral, kadang-kadang dilakukan salfingoovarektomi bilateral).5
Nyeri pascaoperasi dan lama perawatan Nyeri pascaoperasi perabdominal lebih besar dibandingkan dengan operasi perlaparoskopi. Nyeri ini terutama disebabkan oleh trauma pada dinding abdominal, mulai dari insisi pada cutis, fascia, dan otot. Hal ini dapat pula disebabkan oleh panjang insisi yang lebih luas dan efek
Tindakan operasi histerektomi radikal perlaparotomi membutuhkan akses ke dalam rongga abdomen (intraperitoneal) dengan melakukan sayatan yang cukup lebar pada dinding abdomen (Insisi Mylard, Cherney, atau 104
Hidayat et al. : Perbandingan Luaran dan Komplikasi Operasi Histerektomi Radikal Perlaparoskopi dengan Perlaparotomi
tarikan hak abdomen untuk ekspose intraabdominal yang adekuat. Hal ini terbukti melalui penggunaan analgetika yang lebih banyak (6,8 ampul vs 3,6 ampul) dengan perhitungan statistik yang bermakna (p=0,00). Variabel keluhan nyeri pascaoperasi dalam penelitian ini tidak didapatkan berdasarkan derajat atau kualitas nyeri, melainkan berdasarkan penggunaan analgetika pascaoperasi.6,7-12Mobilisasi dini dan lama perawatan pascaoperasi perlaparoskopi lebih singkat daripada operasi histerektomi perlaparotomi, yaitu berturut-turut; 1,6 vs 3,6 dan 3,3 vs 5,6, sesuai dengan penelitian Frumovit dkk. (2 vs 5), Abu Rustum dkk. (4,5 vs 9,7), Zakashanky K. dkk. (3,8 vs 5,6), dan Steed H. dkk. (1 vs 5) tentang lama perawatan.6,7-16
1,5 kali dibandingkan dengan prosedur laparotomi (rata–rata 318 menit vs 248 menit).6,7-16
Jumlah perdarahan
Komplikasi pada kedua prosedur operasi histerektomi untuk kejadian morbiditas infeksi pada bekas luka operasi diketahui berbeda secara bermakna, ditinjau dari sudut pandang statistik maupun klinis. Insisi pada prosedur laparoskopi sangat minimal (2,5 cm), trauma jaringan dan pembuluh darah sangat rendah sehingga pada akhirnya penyembuhan dan perawatan luka jauh lebih mudah daripada histerektomi radikal perlaparotomi.6,7-16
Radikalitas operasi Radikalitas operasi pada kedua prosedur tidak berbeda secara bermakna setelah dilakukan evaluasi hasil pemeriksaan histopatologi (jumlah jaringan parametrium, vaginal cuf, dan batas-batas sayatan negatif) yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Frumovit dkk., Abu Rustum dkk., Zakashanky dkk., dan Steed H. dkk.. 6,7-16 Komplikasi operasi morbiditas infeksi
Perdarahan pada prosedur operasi perabdominal berasal dari terpotongnya beberapa pembuluh darah (arteri/ vena) di daerah dinding abdominal saat insisi dilakukan (mediana, modifikasi Pfanenstiel, Mylard). Hal ini diperparah oleh perdarahan intraabdominal akibat prosedur histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvik bilateral. Pada operasi perlaparoskopi, insisi abdomen dilakukan untuk memasang trokar pada pencarian daerah avaskuler (peri/infra umbilikal dan lateral/ paramedian), dengan teknik transiluminasi. Oleh karena itu, perdarahan intraabdominal pada laparoskopi dapat segera diatasi dengan energi bipolar/monopolar untuk menghentikan perdarahan yang dapat mengganggu visualisasi saat operasi berlangsung. Dengan demikian jumlah perdarahan pada prosedur histerektomi radikal perlaparoskopi lebih sedikit daripada prosedur perlaparotomi, yakni 350,0 vs 635,8 (p=0,00). Bukti bahwa perdarahan prosedur operasi perlaparoskopi lebih sedikit juga dapat dilihat dari pemberian transfusi darah pascaoperasi yang berbeda secara bermakna jika dibandingkan dengan prosedur perabdominal (p<0,05). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Frumovit dkk. (319 vs 548), Abu Rustum dkk. (301 vs 693), Zakashanky dkk. (200 vs 520), dan Steed H. dkk. (300 vs 500).6,7-16
Komplikasi operasi morbiditas trauma organ intraabdominal dan problema anestesi Morbiditas komplikasi trauma pada organ intraabdominal seperti saluran kemih, saluran cerna, fistula genital, serta problema anestesi pada kedua prosedur operasi tidak berbeda secara bermakna, walaupun terdapat morbiditas trauma pada traktus urinarius yang menimbulkan fistula vesiko–vagina pada kedua prosedur operasi.6,7-16 Obat dan bahan habis pakai Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1, penggunaan obat, transfusi darah, dan bahan habis pakai pada kedua prosedur operasi berbeda secara bermakna (p=0,00). Analisis total biaya perlu diteliti lebih lanjut dengan berbagai variabel pada prosedur histerektomi radikal perlaparoskopi dan perlaparotomi, sehingga hasilnya dapat menjadi referensi bagi manajemen rumah sakit di Indonesia. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi penyediaan fasilitas dan peralatan endoskopi ginekologi yang lebih baik, sehingga dapat meningkatkan kualitas tindakan prosedur laparoskopi ginekologi di Indonesia.17
Waktu operasi yang dibutuhkan mencakup waktu dimulainya insisi kulit, prosedur operasi, hingga penutupan luka operasi. Waktu yang dibutuhkan untuk membuka dan menutup dinding abdomen pada operasi perabdominal lebih lama daripada perlaparoskopi. Prosedur intraabdominal radikal histerektomi bergantung pada tingkat pengalaman setiap spesialis pembedah dan kelengkapan fasilitas laparoskopi rumah sakit. Dalam penelitian ini tidak diperoleh perbedaan waktu yang bermakna secara statistik, yakni 193,5 vs 187,8 (p>0,279). Hasil ini berbeda dengan hasil yang diperoleh pada penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa waktu prosedur laparoskopi lebih lama 1,2–
SIMPULAN Prosedur bedah histerektomi radikal perlaparoskopi adalah alternatif metode operasi dengan luaran yang lebih baik dan komplikasi yang lebih rendah dibanding105
Majalah Obstetri & Ginekologi, Vol. 22 No. 3 September - Desember 2014 : 101-106
kan dengan prosedur bedah histerektomi radikal perlaparotomi. Penggunaan obat, transfusi darah, dan bahan habis pakai juga diketahui lebih rendah pada prosedur bedah histerektomi radikal perlaparoskopi dibandingkan dengan prosedur bedah histerektomi radikal perlaparotomi. Analisis dan perbandingan total biaya prosedur bedah histerektomi radikal perlaparoskopi dan histerektomi radikal perlaparotomi perlu diteliti lebih lanjut.
11.
12. DAFTAR PUSTAKA 1.
Arvas M. Early Stage Cervical Cancers.Textbook of Gynecological Oncology. Ankara Turkey: Gunes Publishing; 2012. p. 353-9. 2. Aziz MF. Gynecological Cancer in Indonesia. Gynecological Oncology. 2009;20:8-10. 3. ISGO (Indonesian Society of Gynecology Oncologist) Guide Lines. 2nd Eds. Indonesia: Jakarta; 2005. 4. Benedet JL, Hacker NF, Eifel P, van der Velden J, Kieback D, et.al. Cancer of the Cervix Uteri in. Benedet JL, Pecorelli S, Hacker NF, Ngan HYS. Staging Classifications and Clinical Practice guide lines of Gynecologic Cancer. 2005:35-56. 5. Martinez A, Ferron G, Querleu D, Ramirez PT. Technique for Abdominal Radical Hysterectomy. Texbook of Gynecological Oncology. Ankara Turkey: Gunes Publishing; 2012. p. 602-5. 6. Mishra RK. Essentials of Laparoscopy. 1st Ed. Laparoscopy Hospital. New Delhi India: Tilak Nagar; 2007. 7. Levy B. Complicatios of Laparoscopy. Practical Manual of Laparoscopy. 1st Ed. New York: The Parthenon Publishing Group; 2002. p. 329-41. 8. Gien LT, Covens A. Principles of Laparoscopic Surgery. Textbook of Gynecological Oncology. Ankara Turkey: Gunes Publishing; 2012. p. 576-9. 9. Liang ZQ, Xu HC, Xiong GW, Li YY, Chen Y, Wang L, Chang Q, Shi CX. Clinical evaluation of laparoscopic radical hysterectomy with pelvic and para-aortic lymphadenectomy in patients with cervical cancer. Zhonghua Fu Chan Ke Za Zhi. 2003;38(7):409-11. 10. Frumovitz M, dos Reis R, Sun CC, Milam MR, Bevers MW, Brown J, Slomovitz BM, Ramirez PT. Comparison of total laparoscopic and
13.
14.
15.
16.
17.
106
abdominal radical hysterectomy for patients with early-stage cervical cancer. Obstet Gynecol. 2007;110(5):1174-5. Spirtos NM, Eisenkop SM, Schlaerth JB, Ballon SC. Laparoscopic radical Hysterectomy (type III) with Aortic and Pelvic Lymphadenectomy in patients with stage I cervical cancer: Surgical Morbidity and Intermediate Follow-up. Am J Obstet Gynecol. 2002;78(3):273-6. Abu-Rustum NR, Gemignani ML, Moore K, Sonoda Y, Venkatraman E, Brown C, et al. Total laparoscopic radical hysterectomy with pelvic lymphadenectomy using the argon-beam coagulator: pilot data and comparison to laparotomy. Gynecology Oncology. 2003;91:4029. Uccella S, Laterza R, Ciravolo G, Volpi E, Franchi M, Zefiro F, Donadello N, Ghezzi F. A comparison of urinary complications following total laparoscopic radical hysterectomy and laparoscopic pelvic lymphadenectomy to open abdominal surgery. Gynecologic Oncology. 2007:107:147-9. Zakashanky K, Chuang L, Gretz H, Nagarsheth NP, Agarsheth J, Rahaman J, Nezhat FR. A casecontrolled study of total laparoscopic radical hysterectomy with pelvic lymphadenectomy versus radical abdominal hysterectomy in a fellowship training program. International Journal of Gynecological Cancer. 2007;17(5):1075-82. Steed H, Rosen B, Murphy J, Laframboise S, De Petrillo D, Covens A. A comparison of laparascopic-assisted radical vaginal hysterectomy and radical abdominal hysterectomy in the treatment of cervical cancer. Gynecologic Oncology. 2004;93:588-93. Xu H, Chen Y, Li Y, Zhang Q, Wang D, Liang Z. Complications of laparoscopic radical hysterectomy and lymphadenectomy for invasive cervical cancer: experience based on 317 procedures. Spingger. New York: Surgical Endoscopy; 2007. p. 960-4. Ghezzi F, Cromi A, Uccella, Mariani A. Minimally Invasive Surgery in Gynecology Oncology. Texbook of Gynecological Oncology. Ankara Turkey: Gunes Publishing; 2012. p. 55365.