PERBANDINGAN KEPEKAAN PEMERIKSAAN KUMAN BTA DARI DAHAK SPONTAN DENGAN DAHAK INDUKSI SALIN 0,9% PADA AKHIR TERAPI FASE INTENSIF DOTS Farida A. Soetedjo Bag/SMF Ilmu Penyakit Paru FK Unair – RSU Dr. Soetomo Surabaya Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Abstrak Latar Belakang: Cara terbaik untuk mengevaluasi respon terapi pasien dengan TB paru adalah pemberantasan basil TB dari dahak pasien. Biasanya, pasien TB paru yang sudah mendapat satu bulan terapi OAT gejala batuk akan berkurang atau hilang. Jadi, pada akhir fase intensif akan ada masalah untuk mendapatkan spesimen dahak yang baik untuk memeriksa AFB, pasien tidak dapat menghasilkan dahak secara spontan karena tidak ada gejala batuk lagi. Seringkali spesimen hanya air liur, yang membuat sulit untuk mengevaluasi konversi BTA, apakah ada benar-benar sudah terjadi? induksi dahak adalah salah satu cara yang mudah, murah, dan non-invasif untuk mendapatkan spesimen dahak. Metode: Menjadi dilakukan pap AFB dahak pada akhir fase intensif dari spesimen dahak spontan (pasien yang diajarkan cara membuat batuk efektif dan fisioterapi dada), dan normal saline spesimen induksi dahak terhadap 35 pasien TB paru dengan BTA dahak BTA positif sebelum terapi, yang berada di bawah kendali terapi OAT di TB - DOTS klinik pasien rawat jalan RSU. Dr Soetomo Surabaya, mulai dari 31 Mei sampai 31 Agustus 2005. Hasil: hapusan BTA dari dahak spontan mendapatkan hasil yang negatif pada 34 sampel (97,1%), sedangkan induksi dahak normal saline mendapatkan pada 31 sampel (88,6%). Dengan menggunakan Mc. uji Nemar, tidak ada perbedaan yang signifikan (p> 0.05) antara dahak BTA spontan dan normal saline hasil induksi BTA. Empat BTA positif BTA dari spesimen dahak induksi saline normal dapat disebabkan oleh basil tuberkulosis mati, karena kita membuat budaya M. tuberculosis dari semua spesimen dahak induksi, dan hasilnya tidak ada pertumbuhan mikobakteri. Kesimpulan: Tidak ada peningkatan kepekaan signifikan antara pemeriksaan BTA dari dahak induksi saline normal dengan dahak spontan diajarkan oleh batuk efektif dan fisioterapi dada spesimen. Penggunaan 4 macam OAT (RHZE) selama dua bulan intensif membuktikan cukup potensial untuk membunuh M. tuberculosis yang dapat membuat konversi BTA dari positif ke negatif. Kata kunci: BTA dahak, dahak spontan, induksi dahak
COMPARATION OF AFB SMEAR EXAMINATION SENSITIVITY FROM SPONTANEOUS SPUTUM AND NORMAL SALINE SPUTUM INDUCTION AT THE END OF DOTS INTENSIVE PHASE Farida A. Soetedjo Bag / SMF Airlangga University Faculty of Medicine Pulmonary Pathology - Dr. Soetomo Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract Background: The best way to evaluate the therapeutic response of patient with pulmonary TB is the eradication of tuberculosis bacillus from patient’s sputum. Usually, pulmonary TB patient who has got one month OAT therapy the cough symptom will relieved or disappeared. So, at the end of intensive phase there will be a problem to get a good sputum specimen to examine the AFB, the patient can’t produce the sputum spontaneously because of no cough symptom anymore. Often the specimen is only saliva, that makes difficult to evaluate the conversion of AFB, is there really already happened ? Sputum induction is one of the easy, cheap, and non-invasive ways to get sputum specimen. Method: Being done the AFB sputum smear at the end of intensive phase from spontaneous sputum specimen (the patient being teached how to make effective cough and chest physiotherapy), and normal saline sputum induction specimen toward 35 pulmonary TB patients with positive AFB sputum smear before therapy, who are under control of OAT therapy in TB – DOTS outpatients clinic of RSU. Dr. Soetomo Surabaya, starting from 31st May until 31st August 2005. Result: AFB smear from spontaneous sputum get a negative result on 34 samples (97.1%), while normal saline sputum induction get on 31 samples (88.6%). By using Mc. Nemar test, there is no significance difference (p>0.05) between AFB spontaneous sputum and normal saline sputum induction smear results.
Four positive AFB sputum smear from normal saline sputum induction specimens can cause by dead tuberculosis bacillus, because we made M. tuberculosis culture from all of the sputum induction specimens, and the result is no growth of mycobacteria. Conclusion: There is no increasing of significance sensitivity between AFB smear examination from normal saline sputum induction with spontaneous sputum teached by effective cough and chest physiotherapy specimens. The use of 4 kinds OAT (RHZE) for two months intensively prove potential enough to kill the M. tuberculosis that can make AFB conversion from positive into negative. Key word: AFB sputum smear, spontaneous sputum, sputum induction
PENDAHULUAN Penyakit tuberkulosis (TB) sampai saat ini tetap menjadi masalah di seluruh dunia. Setiap tahun, 8,74 juta orang menderita TB aktif dan sekitar 2 juta orang meninggal karenanya. Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB karena pada sebagian besar negara di dunia penyakit TB tidak terkendali, ini ditunjukkan dengan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan terutama penderita dengan BTA positif yang potensial menular. Lebih dari 90% kasus TB dan kematian akibat TB terjadi di negara berkembang, 75% penderita berada pada usia produktif (15 – 50 tahun) (Dep Kes RI, 2002; Kumaresan, 2002; Blanc, 2003). Indonesia merupakan penyumbang penderita TB terbesar ketiga di dunia setelah India dan Cina, dan menurut data Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995 TB merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi lainnya (Dep Kes RI, 2002). Untuk menanggulangi masalah tersebut, sejak tahun 1995 WHO merekomendasikan penggunaan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse) dalam program Pemberantasan Penyakit TB. Dalam strategi DOTS, pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya kuman TB dalam dahak dengan cara pemeriksaan hapusan langsung (direct smear) merupakan sarana utama untuk menegakkan diagnosa dan menilai kemajuan terapi penyakit TB paru. Untuk menilai kemajuan terapi cukup dilakukan 2 pemeriksaan (Sewaktu dan Pagi) dan bila salah satu spesimen positif maka hasil pemeriksaan follow-up dahak tersebut dinyatakan positif (Dep Kes RI, 2002; Blanc, 2003). Beberapa keadaan klinis dapat digunakan untuk memantau kemajuan terapi seperti demam, batuk, dan peningkatan berat
badan. Tetapi penilaian terbaik respons terapi penderita TB paru adalah eradikasi basil tuberkulosis dari dahak penderita. Beberapa peneliti mendapatkan penurunan yang cepat dari jumlah kuman BTA yang sensitif setelah mendapat terapi OAT selama lebih kurang 2 minggu. Faktor-faktor yang mempengaruhi saat terjadinya konversi dahak pada penderita TB paru BTA positif adalah status imun penderita, tingkat infeksi, kepatuhan minum obat, bioavilabiliti dan suseptibiliti obat (Soedarsono, 2003; Garay, 2004). Oleh karena itu pemeriksaan follow-up dahak pada akhir terapi fase intensif sangat penting dilakukan karena akan menentukan kebijakan penanganan selanjutnya. Pada umumnya penderita TB paru yang telah mendapat terapi lebih dari satu bulan gejala batuk dan produksi dahak akan berkurang sehingga penderita akan sulit untuk mengeluarkan dahaknya secara spontan. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya false-negative, dimana sebenarnya dahak penderita masih mengandung kuman BTA tetapi karena penderita tidak dapat mengekspektorasikan dahaknya maka hanya akan didapatkan spesimen saliva yang memberikan hasil BTA negatif. Hasil hapusan dahak BTA yang false-negative ini membuat klinisi berpikir bahwa terapi yang diberikan telah adekuat dan tidak ada kemungkinan adanya MDR-TB. Bila keadaan ini berlanjut terus dikuatirkan akan semakin meningkatkan angka resistensi kuman TB terhadap OAT. Induksi dahak merupakan salah satu cara alternatif yang sederhana, aman, tidak invasif, dan lebih dapat diterima oleh penderita anak guna memperoleh spesimen dahak yang layak untuk pemeriksaan bakteriologis pada penderita-penderita yang sulit mengeluarkan dahak secara spontan (Menzies, 2003; Fireman, 2003; Garay, 2004). Induksi dahak dapat dilakukan dengan
cara nebulisasi aerosol air suling yang dihangatkan atau larutan salin isotonik (0,9%) atau hipertonik. Beberapa penelitian mendapatkan hasil positif yang tinggi dari pemeriksaan dahak induksi yaitu berkisar antara 70 – 90%, dan sebanding dengan hasil pemeriksaan yang menggunakan bronkoskopi (Garay, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa induksi dahak dengan nebulisasi larutan salin 0,9% dapat meningkatkan kepekaan pemeriksaan kuman BTA dari dahak penderita TB paru (kasus baru) dengan BTA positif sebelum terapi pada akhir terapi fase intensif DOTS. BAHAN DAN CARA Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan desain penelitian berupa time series, before and after. Penelitian eksperimental murni disini merupakan penelitian eksperimental fungsional dimana variabel bebas dapat dimanipulasi dengan sempurna. Sebagai variabel bebas adalah induksi dahak dengan nebulisasi salin 0,9% sebanyak 4 ml dan edukasi cara batuk efektif, sedang BTA dahak merupakan variabel tergantung. Hipotesis Dahak induksi dengan nebulisasi larutan salin 0,9% dapat meningkatkan kepekaan pemeriksaan kuman BTA dibandingkan dengan dahak spontan dari penderita TB paru (kasus baru) dengan BTA positif sebelum terapi pada akhir terapi fase intensif DOTS. Batasan operasional Larutan salin 0,9% adalah larutan elektrolit yang mengandung Natrium Klorida (NaCl) steril yang kadarnya 0,9%. Nebulisasi salin 0,9% adalah upaya mengubah larutan salin 0,9% menjadi bentuk aerosol yang partikel-partikelnya berukuran mikron dengan perantaraan alat nebuliser. Pada penelitian ini digunakan alat nebuliser jet. Dahak adalah sekret saluran napas yang meningkat yang menunjukkan adanya kelainan patologis. Dahak spontan adalah dahak yang diperoleh tanpa induksi salin, sedangkan dahak induksi adalah dahak yang didapatkan setelah dilakukan induksi dengan nebulisasi salin 0,9%. BTA (Batang Tahan Asam) adalah kuman M. tuberculosis yang merupakan
penyebab tuberkulosis paru, didapatkan pada dahak penderita TB paru, denga pengecatan kuman menurut metode Ziehl-Neelsen tampak kuman berbentuk batang berwarna kemerahan dibawah pemeriksaan mikroskop cahaya. Penderita TB paru (kasus baru) BTA positif adalah penderita TB paru dengan hapusan BTA dahak spontan positif dan belum pernah atau pernah mendapat terapi OAT tetapi kurang dari satu bulan. Pembacaan sediaan dahak menggunakan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis Lung Disease) sebagai berikut: Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif Ditemukan 1–9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan. Bila ditemukan 1–3 BTA dalam 100 lapang pandang, pemeriksaan harus diulang dengan spesimen dahak yang baru. Bila hasilnya tetap 1–3 BTA, hasilnya dilaporkan negatif. Bila ditemukan 4–9 BTA, dilaporkan positif. Ditemukan 10–99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + atau (1+). Ditemukan 1–10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+). Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ atau (3+). Penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Jalan Poli TB DOTS Bag/SMF Ilmu Penyakit Paru RSU Dr. Soetomo Surabaya. Subyek penelitian adalah semua penderita TB paru (kasus baru) dengan dahak BTA positif sebelum terapi yang menjalani pengobatan di Poli TB – DOTS Bag/SMF Ilmu Penyakit Paru RSU Dr. Soetomo Surabaya, dan pada akhir terapi fase intensif pada pemeriksaan dahak spontan tanpa diajarkan cara batuk efektif didapatkan hasil BTA negatif, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel diambil secara total sampling selama 3 bulan mulai 31 Mei 2005 sampai dengan 31 Agustus 2005, dan setiap penderita menjadi kontrol untuk dirinya sendiri.
Sebagai kriteria inklusi, penderita TB paru (kasus baru) laki-laki atau wanita dengan dahak spontan BTA positif sebelum mendapat terapi dan pada akhir terapi fase intensif didapatkan hasil BTA dahak spontan tanpa diajarkan batuk efektif negatif, berumur antara 13-65 tahun, mendapat OAT sesuai program DOTS, tidak pernah mengalami drug-induced hepatitis selama mendapat OAT dalam terapi fase intensif, tidak menderita penyakit lain seperti asma bronkiale atau PPOK, tidak sedang hamil, kooperatif, dan menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi meliputi penderita yang sudah mendapat terapi mukolitik atau ekspektoransia, datang dalam keadaan darurat atau keadaan umum yang jelek, dan hemoptisis. Semua penderita yang memenuhi syarat penelitian diajarkan cara batuk efektif untuk memudahkan keluarnya dahak. Penderita diminta untuk membatukkan dahaknya ke dalam pot steril yang telah disediakan untuk pemeriksaan BTA dahak spontan. Dilakukan pengukuran PEFR (Peak Expiratory Flow Rate) sebagai baseline faal paru. Induksi dahak dilakukan dengan nebulisasi larutan salin 0,9% sebanyak 4 ml yang menggunakan nebuliser jet, kemudian penderita diminta membatukkan dahaknya ke dalam pot steril yang telah disediakan untuk pemeriksaan BTA dahak induksi salin 0,9%. Dari sampel dahak induksi selain dilakukan pemeriksaan hapusan
dahak BTA juga dilakukan kultur M. tuberculosis. Bila pada saat dilakukan nebulisasi penderita mengeluh sesak nebulisasi dihentikan dan dilakukan pengukuran PEFR. Bila terjadi penurunan PEFR 20% induksi dihentikan, pada penderita diberikan bronkodilator short acting 2 agonis MDI (Ventolin MDI) dan O2 nasal 2-4 l/m, dan penderita drop out. Tetapi bila PEFR tetap atau menurun < 20% penderita diistirahatkan sebentar dan bila keluhan sesak menghilang serta PEFR kembali ke baseline induksi dilanjutkan sampai didapatkan sampel dahak induksi. Bila pada saat dilakukan nebulisasi terjadi komplikasi batuk darah induksi juga dihentikan dan penderita drop out. Pemeriksaan hapusan dahak BTA menggunakan metode pengecatan Ziehl- Neelsen dan kultur M. tuberculosis (sampel dahak induksi) dengan media telur metode Ogawa dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Daerah Surabaya. Untuk membandingkan hasil kuman BTA pada dahak spontan dan induksi dilakukan analisa statistik dengan uji Mc. Nemar. HASIL PENELITIAN Karakteristik penderita Selama 3 bulan masa penelitian terdapat 35 orang penderita yang memenuhi syarat penelitian, terdiri dari 24 orang laki-laki dan 11 orang perempuan berumur antara 15-65 tahun dengan umur rata-rata 37,3 14,2 tahun.
Tabel 1. Karakteristik umur dan jenis kelamin Jenis Kelamin Kelompok
Laki-laki
Umur
n
15-24
3
25-34
Total
Perempuan
%
n
%
(n)
8,6
6
17,1
9
6
17,1
1
2,9
7
35-44
5
14,3
3
8,6
8
22,9
45-54
5
14,3
1
2,9
6
17,1
55-64
3
8,6
0
0
3
8,6
>=65
2
5,7
0
0
2
5,7
Total (n)
%
24
68,6
11
31,4
25,7 20,0
35
100,0
Penyakit penyerta Beberapa subyek penelitian mempunyai penyakit penyerta, dan penyakit penyerta terbanyak adalah DM. Tabel 2. Penyakit penyerta pada subyek penelitian Penyakit Penyerta
n
%
Tidak ada
28
80,0
DM
6
17,1
Jantung
0
0
Alergi
1
2,9
Total
35
100,0
Tingkat kepositifan dahak BTA sebelum terapi Tingkat kepositifan kuman BTA pada dahak spontan penderita sebelum mendapat terapi OAT terdapat pada tabel 3. Semua subyek penelitian mempunyai dahak BTA positif yang tersebar diantara 1+ sampai 3+. Tabel 3. Tingkat kepositifan dahak BTA sebelum terapi Tingkat Kepositifan 1+ 2+ 3+ Total
n 13 13 9 35
% 37,1 37,1 25,7
100,0
Hasil pemeriksaan dahak BTA pada akhir terapi fase intensif Sampel dahak spontan berhasil didapatkan pada semua subyek penelitian (100%) setelah diajarkan cara batuk efektif. Sampel dahak induksi juga berhasil didapatkan pada semua subyek penelitian (100%) setelah dilakukan nebulisasi dengan larutan salin 0,9% sebanyak 4 ml. Hasil pemeriksaan dahak BTA secara keseluruhan terdapat pada tabel 4 dan 5.
Tabel 4. Hasil pemeriksaan BTA dahak spontan dan induksi BTA Dahak Spontan Induksi
+ Total + Total
n 1 34 35 4 31 35
% 2,9 97,1 100,0 11,4 88,6 100,0
Hasil pemeriksaan BTA dahak spontan didapatkan BTA positif 1 orang (2,9%), sedangkan dengan induksi didapatkan BTA positif lebih banyak yaitu 4 orang (11,4%). Tabel 5. Cross tabulation BTA dahak spontan dan BTA dahak induksi
BTA spontan + -
BTA Induksi + 1 0 3 31
Total 4 Uji Mc. Nemar; p = 0,250
Ada 3 orang yang dinyatakan BTA positif dengan induksi namun dengan dahak spontan dinyatakan BTA negatif. Hasil uji Mc. Nemar menunjukkan p > 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara hasil pemeriksaan dahak BTA melalui induksi maupun spontan. Hasil kultur mikobakteria dari sampel dahak induksi Dari 35 sampel dahak induksi selain dilakukan pemeriksaan hapusan BTA juga dilakukan kultur mikobakteria dengan media telur metode Ogawa. Semua sampel (100%) memberikan hasil negatif atau tidak ada pertumbuhan kuman. Komplikasi Pada semua subyek penelitian tidak terjadi komplikasi bronkospasme ataupun batuk darah selama dan pasca induksi. DISKUSI Dari 35 subyek penelitian, penderita terbanyak terdapat pada kelompok umur 15-24 tahun mencapai 9 orang (25,71%), diikuti kelompok umur 35-44 tahun sebanyak 8 orang (22,86%) dan
31
Total 1 34 35
25-34 tahun sebanyak 7 orang (20%). Hasil ini sesuai dengan laporan WHO bahwa 75% penderita TB di negara berkembang mengenai usia produktif yaitu 15-50 tahun (Dep.Kes. RI, 2002; Blanc, 2003). Penyakit penyerta yang terbanyak adalah DM yang terdapat pada 6 subyek penelitian (17,1%). Dari 6 subyek penelitian dengan penyakit penyerta DM, hanya 1 penderita yang memberikan hasil BTA dahak spontan negatif tetapi BTA dahak induksi positif. Kelima penderita lainnya benar-benar telah mengalami konversi BTA dari positif sebelum terapi menjadi negatif pada akhir terapi fase intensif. Penderita TB paru dengan DM sering mengalami kelambatan konversi BTA, terutama bila kadar gula darah tidak teregulasi dengan baik. Sampel dahak spontan berhasil didapatkan pada semua subyek penelitian (100%) setelah terlebih dahulu diajarkan cara batuk efektif. Pada pemeriksaan hapusan BTA dahak spontan didapatkan 1 sampel (2,9%) yang memberikan hasil positif (1+) dan 34 sampel (97,1%) lainnya memberikan hasil negatif.
Sampel dahak induksi berhasil didapatkan pada semua subyek penelitian (100%) setelah dilakukan nebulisasi dengan larutan salin 0,9% sebanyak 4 ml. Pada pemeriksaan hapusan BTA dahak induksi didapatkan 4 sampel (11,4%) yang memberikan hasil positif (1+) dan 31 sampel (88,6%) memberikan hasil negatif. Hanya ada 1 sampel yang memberikan hasil hapusan BTA positif (1+) pada spesimen dahak spontan maupun induksi. Pada analisa statistik dengan uji Mc. Nemar menunjukkan p = 0,250 (p > 0,05) yang berarti tidak ada perbedaan bermakna antara pemeriksaan hapusan BTA dahak spontan yang diajarkan cara batuk efektif dan fisioterapi dada dengan dahak induksi salin 0,9%. Tingginya hasil negatif dari pemeriksaan hapusan BTA baik dari sampel dahak spontan maupun induksi kemungkinan dapat disebabkan karena masih sensitifnya kuman M. tuberculosis terhadap OAT yang diberikan sehingga sebagian besar kuman mati atau sampel dahak yang didapat baik secara spontan atau induksi masih banyak tercampur saliva. Sulit untuk mendapatkan sampel dahak yang benar-benar berasal dari sekret di saluran napas besar dan kecil. Hapusan BTA positif pada 4 sampel dahak induksi kemungkinan dapat disebabkan oleh kuman M. tuberculosis yang telah mati, karena pada semua sampel dahak induksi dilakukan kultur M.tuberculosis dan semuanya memberikan hasil negatif atau tidak ada pertumbuhan kuman. Hasil kultur yang negatif dari spesimen yang mengandung kuman M. tuberculosis dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pada penderita yang mendapat terapi OAT, kuman M. tuberculosis dapat kehilangan kemampuan untuk tumbuh pada media kultur atau kuman telah mati. Beberapa penelitian melaporkan bahwa penderita yang telah mendapat terapi OAT dengan regimen yang mengandung rifampicin, seringkali hasil kultur menjadi negatif setelah pengobatan 3 minggu tetapi pemeriksaan hapusan dahak masih positif, ini berarti basil tuberkulosis telah mati (Toman, 2004). Hasil kultur yang negatif juga dapat disebabkan oleh kurang tepatnya penanganan sampel dahak dan atau prosedur pembuatan
kultur. Penanganan sampel dahak kurang tepat bila sampel dahak terpapar dengan sinar matahari atau temperatur yang tinggi, disimpan terlalu lama, mengering, atau terkontaminasi. Prosedur dekontaminasi yang berlebihan sebelum dilakukan inokulasi, pemanasan yang berlebihan selama sentrifugasi, media kultur yang tidak adekuat, dan kurangnya masa inkubasi merupakan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan hasil kultur negatif (Toman, 2004). Untuk keamanan penderita, dilakukan pemeriksaan faal paru dengan PEFR sebelum dilakukan tindakan induksi dahak dengan nebulisasi larutan salin 0,9%, tetapi ternyata selama dan sesudah tindakan induksi tidak ada subyek penelitian yang mengeluh sesak. Induksi dahak harus dihentikan bila ada keluhan sesak dan terjadi penurunan PEFR 20% (Paggiaro, 2002; Pizzichini, 2002). Obstruksi saluran napas akibat induksi dahak dapat terjadi terutama pada penderita-penderita asma bronkiale dan emfisema paru serta pemakaian salin konsentrasi tinggi. Karena itu konsentrasi salin untuk induksi dahak dibatasi hingga 3% untuk penderita-penderita tersebut (Pizzichini, 2002). Jika dengan salin 0,9% induksi dahak berhasil, tidak perlu menggunakan konsentrasi salin yang lebih tinggi untuk mendapatkan dahak, disamping itu induksi dahak dengan salin 0,9% lebih dapat ditoleransi penderita, khususnya bagi mereka dengan penyakit obstruksi saluran napas. Larutan salin 0,9% lebih mudah didapat dan lebih murah dibandingkan salin 3%, karena itu larutan ini merupakan pilihan untuk induksi dahak (Paggiaro, 2002; Pizzichini, 2002; Fireman, 2003). Dalam penelitian ini semua subyek penelitian mempunyai Pengawas Minum Obat (PMO), tetapi seberapa jauh peran PMO tidak diteliti dan semua subyek penelitian dianggap telah minum OAT secara teratur selama masa terapi fase intensif 2 bulan. Dalam penelitian ini, semua penderita mengalami batuk spontan selama dan sesudah induksi, tidak ada yang mengalami komplikasi bronkospasme ataupun batuk darah. KESIMPULAN Tidak terdapat peningkatan kepekaan yang bermakna antara pemeriksaan hapusan
BTA dahak induksi salin 0,9% dengan dahak spontan yang diajarkan cara batuk efektif pada penderita TB paru (kasus baru) dengan BTA positif sebelum terapi pada akhir terapi fase intensif DOTS. Dengan memberikan edukasi cara batuk efektif, dapat diperoleh spesimen dahak spontan yang laik periksa. Induksi dahak dengan larutan salin 0,9% tidak menyebabkan terjadinya komplikasi bronkospasme. Prosedur induksi dahak perlu dipahami dengan benar dan dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan sehingga tidak memberikan efek samping yang berarti. Induksi dahak perlu dilakukan pada penderita TB paru yang sulit mengekspektorasikan dahak. Hasil positif pada hapusan dahak BTA pada akhir fase intensif kemungkinan dapat disebabkan oleh kuman M. tuberculosis yang telah mati. Dari besarnya sampel yang memberikan hasil hapusan BTA negatif baik dari spesimen dahak spontan maupun dahak induksi salin 0,9%, secara tidak langsung dapat diasumsikan bahwa pemberian OAT kategori I yang terdiri dari rifampicin, isoniazid, pyrazinamide, dan ethambutol secara intensif selama 2 bulan pada penderita TB paru (kasus baru) BTA positif terbukti cukup poten dalam membunuh kuman M. tuberculosis sehingga terjadi konversi kuman BTA dari positif menjadi negatif. Keadaan ini akan menurunkan tingkat infeksiusiti dan mortaliti penderita. DAFTAR PUSTAKA 1. Blanc L, Chaulet P, Espinal M, et al (2003). Treatment of tuberculosis. Guidelines for national programmes 3rd ed. World Health Organization, Geneva. 2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis, cetakan VI, Jakarta. 3. Fireman E (2003). Induced sputum as a diagnostic tactic in pulmonary diseases. IMAJ;5:524-7. 4. Garay SM (2004). Pulmonary tuberculosis. In: Rom WN, Garay SM eds. Tuberculosis, 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia:345-94.
5. Kumaresan J (2002). Epidemiology. In: Narain JP ed. Tuberculosis. Epidemiology and control, 1st ed. World Health Organization, India:15-33. 6. Menzies D (2003). Sputum induction: Simpler, cheaper, and safer – but is it better? Am J Respir Crit Care Med; 167:676-7. 7. Paggiaro PL, Chanez P, Holz O, et al (2002). Sputum induction. Eur Respir J; 20:3S-8S. 8. Pizzichini E, Pizzichini MM, Leigh R, et al (2002). Safety of sputum induction. Eur Respir J; 20:9S-18S. 9. Soedarsono (2003). Evaluasi terapi tuberkulosis: klinis dan program. Dalam: TB Update – II Simposium Nasional, Lab-SMF Ilmu Penyakit Paru FK Unair / RSUD dr. Soetomo, Surabaya:49-68. 10. Toman K (2004). What is the probability of obtaining a negative culture from a sputum specimen found positive by smear microscopy?. In: Frieden T (editor). Toman’s Tuberculosis Case detection, treatment, and monitoring – questions and answers, 2nd ed. World Health Organization, Geneva:44-45.