Arsitektur Pengabdian bagi Pembangunan Masyarakat
Laporan Tahap Akhir Pengabdian Pengembangan Desa-Desa pada Kawasan Konservasi Percandian Sebagai Desa Wisata yang berbasis pada Eco-historical culture (Identifikasi) Kasus Studi : Desa Tumpang sebagai desa yang mengandung bangunan candi peninggalan Kerajaan Singosari-Majapahit
Penyusun : Dr. Rahadhian PH Dr. Yuswadi Saliya Indri Astrina, ST, MT Roni Sugiarto ST. MT
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung, 40141 April, 2016
Pengembangan Desa-Desa pada Kawasan Konservasi Percandian Sebagai Desa Wisata yang berbasis pada Eco-historical culture (Identifikasi) Kasus Studi : Desa Tumpang sebagai Desa yang mengandung bangunan candi peninggalan Kerajaan Singosari-Majapahit
ABSTRAK Indonesia memiliki peninggalan bangunan cagar budaya berupa candi yang tidak sedikit jumlahnya. Candi-candi tersebut pada saat kii enjadi area wisata budaya dan sejarah. Tidak seperti candi-candi utama yang telah masuk ke dalam world heritage seperti Prambanan dan Borobudur, candi-candi yang terletak di area pedesaan meskipun telah diinventarisasi dan dirawat oleh Dinas Purbakala, namun banyak pula yang terbengkalai, tidak terawat sehingga mengakibatkan hilangnya elemen-elemen pentingnya. Masyarakat pedesaan sudah berupaya untuk merawat percandian tersebut dan terkadang menjadikan candi sebagai pepundenan di desa itu namun ada pula yang membiarkan peninggalan tersebut sehingga rusak dan hilang. Material candi terkadang juga digunakan untuk material bangunan rumah atau digunakan untuk lainnya, karena kesengajaan, keterbatasan wawasan atau ketidaktahuan akan nilai penting dari situs tersebut. Banyaknya situs peninggalan purbakala ini pada dasarnya sangat potensial untuk dapat dikembangkan lebih lanjut khususnya berkaitan dengan pembangunan perdesaan. Desa-desa yang memiliki situs purbakala dapat memanfaatkannya bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat yang tinggal di sana. Peningkatan kualitas ini dapat berkaitan dengan edukasi sampai yang bersifat ekonomi. Dalam sudut kebudayaan pembangunan desa-desa yang memiliki situs purbakala ini dapat membangun kesadaran penghargaan masyarakat terhadap pentingnya sejarah, budaya, kearifan lokal, khususnya dalam menghadirkan identitas atau karakter tempat. Desa-desa tersebut dapat dikembangkan menjadi desa-desa wisata yang berbasis pada eko-historical culture. Dalam Pengabdian ini akan diambil dua contoh kasus yakni desa Tumpang dan Kidal di kawasan kota Malang. Kedua desa ini merupakan desa kuno yang sudah ada sejak masa Singosari-Majapahit, dan di dalamnya terdapat bangunan candi. Kedua desa ini terkesan tidak mampu memanfaatkan potensi purbakala yang dimilikinya, bahkan cenderung mengesampingkannya. Di sisi lain benda-benda purbakala yangterkandung di dalamnya juga tidak dapat terkelola dengan baik khususnya berkaitan dengan upaya Konservasi. Pengabdian ini bertujuan untuk menggali potensi-potensi yang ada pada dua desa ini khususnya berkaitan dengan bangunan cagar budaya dan mengembangkan potensi ini menjadi bermanfaat bagi desa tersebut.
1
Daftar isi : Abstrak Analisis Situasi Permasalahan Pendekatan Simulasi Perancangan Pustaka
01 03 06 09 31 33
2
Bab 1 Analisis Situasi Indonesia memiliki peninggalan bangunan cagar budaya berupa candi yang tidak sedikit jumlahnya. Candi-cadi tersebut sebagian besar banyak ditemukan di pulau Jawa dan Bali, mengingat Jawa pernah menjadi pusat kerajaan yang bercorak Hindu dan Buda di masa lalu. Candi-candi tersebut, seperti yang ditemukan di pulau Jawa umumnya terletak di kawasan perdesaan, demikian pula yang di luar Jawa seperi di Sumatra, Bali, dan Kalimantan. Candi-candi tersebut menjadi area wisata budaya dan sejarah. Tidak seperti candi-candi utama yang telah masuk ke dalam world heritage seperti Prambanan dan Borobudur, candi-candi yang terletak di pedesaan meskipun telah diinventarisasi dan dirawat oleh Dinas Purbakala, namun banyak pula yang terbengkalai, tidak terawat sehingga mengakibatkan hilangnya elemen-elemen pentingnya. Masyarakat pedesaan merawat percandian tersebut dan terkadang menjadikan candi sebagai pepundenan di desa itu namun ada pula yang membiarkan peninggalan tersebut sehingga rusak dan hilang. Material candi terkadang juga digunakan untuk material bangunan rumah atau digunakan untuk lainnya, karena kesengajaan, keterbatasan wawasan atau ketidaktahuan akan nilai penting dari situs tersebut. Banyaknya situs peninggalan purbakala ini pada dasarnya sangat potensial untuk dapat dikembangkan lebih lanjut khususnya
berkaitan dengan pembangunan
perdesaan khususnya di pulau Jawa. Desa-desa yang memiliki situs purbakala dapat memanfaatkannya bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat yang tinggal di sana. Peningkatan kualitas ini dapat berkaitan dengan edukasi sampai yang bersifat ekonomi. Dalam sudut kebudayaan pembangunan desa-desa yang memiliki situs purbakala ini dapat membangun kesadaran penghargaan masyarakat terhadap pentingnya sejarah, budaya, kearifan lokal, khususnya dalam menghadirkan identitas atau karakter atau pembentukan suatu ‘place’. Penguatan ini sangat diperlukan mengingat kuatnya arus globalisasi yang merembes sampai ke tingkat perdesaan, khususnya melalui teknologi seperti informasi. Pembangunan yang berbasis pada kearifan lokal sangat diperlukan dalam membangun dialog dengan globalisasi. Selain menguatkan aspek budaya, pembangunan ini juga sekaligus dapat dimanfaatkan bagi aspek ekonomi. Hal ini dapat diwujudkan misalnya yang didukung oleh bidang kepariwisataan. Melalui kepariwisataan yang berbasis pada budaya tersebut 3
diharapkan akan meningkatkan perekonomian masyarakat, misalnya melalui pengembangan seni kriya sampai seni pertunjukan. Dewasa ini potensi yang terpendam dalam perdesaan yang ber’candi’ tersebut kurang dikembangkan secara optimal baik secara mandiri atau dukungan pemerintah. Berdasarkan pertimbangan hal-hal tersebut di atas maka desa-desa yang ber’candi’ tersebut dapat dikembangkan melalui gagasan ‘re-think’ berupa penataan kembali dengan memanfaatkan potensi situs cagar budaya untuk peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Aspek ini akan disinergiskan dengan potensi lainnya yang dimiliki oleh
desa
tersebut,
misalnya
dari
pertanian,
perkebunan,
dsb,
sehingga
pengembangannya dapat berjalan saling melengkapi. Pembangunan ekonomi tidak hanya berbasis budaya namun bagaimana potensi budaya ini dapat bersinergis atau bersimbiosis dengan potensi-potensi lainnya sehingga dapat saling menunjang dan memperkuat, khususnya dalam perwujudan penataan ruang kawasannya. Melalui konsep ini diharapkan didapatkan model gagasan pengembangan perdesaan lestari yang berbasis pada pengembangan potensi lokal, khususnya yang memiliki bangunan cagar budaya purbakala yakni candi. Pada masa Majapahit hubungan perdesaan dengan percandian menurut Negarakrtagama dapat dilihat dari Dharma Haj dan Dharma Lepas. Menurut analisis kesejarahan dharma haj dan lepas ini berkaitan dengan pengelolaan bangunan candi tersebut. Dharma Haj pengelolaannya dilakukan oleh kerajaan termasuk dengan segala konsekuensinya seperti pembiayaan, perawatan, dsb, Sementara Dharma Lepas diserahkan kepada perdesaan yang bersangkutan. Dharma Haj menyangkut candicandi pemuliaan untuk raja atau bangsawan, seperti Raden Wijaya, Ken Arok, Kertanegara, dsb. Majapahit menurut negarakretagama memiliki 27 Dharma Haj seperti candi Jago, Kidal, dsb dan kurang lebih 200 Dharma Lepas. Pada umumnya perdesaan yang memiliki candi tersebut kemungkinan dibebaskan dari perpajakan dan area ini dapat dikategorikan masuk ke dalam area Sima. Jika suatu area atau pedesaan ditetapkan sebagai Sima maka dibebaskan dari beban pajak. Sima tidak hanya berkaitan dengan percandian namun kepentingan lain juga. Dharma lepas juga dapat dihubungkan dengan peninggalan-peninggalan sebelum masa Singosari dan Majapahit. Dari masa Majapahit diduga terdapat beratus desa-desa yang memiliki bangunan-bangunan peribadatan, apalagi sebelum masa ini, mengingat Hindu-Buda berkembang kuat kurang lebih sebelas abad lamanya. Konsekuensinya maka peninggalannya juga semestinya berjumlah sangat banyak. Hal ini sangat sesuai 4
dengan temuan di lapangan saat kini yakni banyaknya situs-situs purbakala peninggalan masa ini dan sebagian besar terletak dalam suatu perdesaan.
gb 01 Candi Jago atau Jajaghu yang dibangun pada masa Singosari-Majapahit
Gb 02 Candi KIdal yang dibangun pada masa Singosari-
5
Bab 2 Permasalahan Candi-candi di perdesaan banyak pula yang terletak atau ditemukan di tengahtengah kawasan permukiman warga yang padat sehingga dapat mengganggu pengembangannya sebagai benda cagar budaya lebih lanjut. Oleh karena itu secara tata ruang diperlukan penataan lebih lanjut namun diharapkan tidak saling merugikan kepentingan candi sebagai cagar budaya yang perlu dilindungi maupun masyarakat yang tinggal disekitarnya. Simbiosis antara Candi dan perdesaan termasuk masyarakat diperlukan dalam penataan ruangnya. Sementara ini yang paling sering ditemukan bahwa pagar-pagar candi pembatasnya berupa kawat berduri, dan candinya hanya sekadar menjadi ‘dead monument’ yang semestinya dapat dikembangkan untuk mendukung peningkatan kualitas masyarakat perdesaan tersebut. Objek yang dipilih adalah desa yang memiliki candi yang bukan mendapat perhatian khusus, seperti Trowulan atau Batujaya. Candinya mungkin dikenal secara luas namun tidak seintensif seperti situs trowulan atau yang disusulkan menjadi kawasan bersejarah nasional. Desa yang dipilih adalah desa Tumpang dan Kidal di Kabupaten Malang yang mengandung Situs Candi Jago dan Candi Kidal. Permasalahan Kawasan yang terjadi adalah : 1.
Lingkungan Kepadatan Tinggi dan Kurangnya RTH Secara tidak sadar seiring dengan perkembangan kawasan, bangunan candi pada saat kini terletak di tengah-tengah permukiman yang padat. Hal ini menyebabkan penampilan candi sebagai benda cagar budaya menjadi tidak jelas karena berbaur dengan atap-atap bangunan.. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang yang lebih baik, meskipun untuk perlindungan di sekitar situs telah diberi pagar berupa kawat berduri. Selain itu di sekitar candi ini selain permukiman padat juga terdapat fungsi –fungsi publik lainnya seperti sekolah dan pasar.
2.
Keterbatasan Lokasi Pengembangan Candi dalam konteks kawasan ini hanya sebatas tempat pariwisata yang kurang reperesentatif, hal ini disebabkan
karena pengembangannya menjadi sangat
terbatas karena terkurung oleh permukiman yang padat. Menurut kententuan yang merujuk pada perlindungan benda cagar budaya semestinya lahan di sekitar candi dapat dibebaskan untuk perlindungan situs, seperti untuk observasi dan
6
penelitian, dsb. Namun pada kenyataannya situs ini terletak berimpit di tengah permukiman warga yang padat. 3.
Candi sebagai tempat wisata saja Potensi candi sebagai salah satu generator pusat budaya dan mendukung pengembangan ilmu pengetahuan menjadi kurang optimal dan cenderung mati, karena candi ini hanya sekedar dikunjungi untuk keperlukan wisata. Wisata pun terbatas hanya kalangan tertentu. Kawasan ini semestinya dapat dikembangkan menjadi salah satu pusat sosial budaya untuk pengembangan ilmu pengetahuan, selain untuk pariwisata
4.
Ketidakseninergisan dengan Pengembangan Potensi ekonomi Candi semestinya dapat menjadi salah satu ikon dan pendorong untuk peningkatan ekonomi masyakarat. Candi tidak sekadar benda mati namun memiliki kemanfaatan positip untuk meningkatkan ekonomi, misalnya dengan industry kreatif, dsb
Gb 03 Lokasi Candi Jago di kawasan padat pedesaan Kecamatan Tumpang.
7
Bab 3 PENDEKATAN PERDESAAN BERCAGARBUDAYA ’CANDI’ DI DESA TUMPANG Istilah tumpang merujuk pada istilah atap tumpang atau atap bersusun yang merupakan gambaran candi ini di masa lalu. Candi Jago adalah candi yang menggunakan atap meru atau atap kayu bersusun- tumpang seperti halnya bangunan pura di pulau Bali. Candi Jago merupakan tempat pendharmaan raja Wisnuwardhana, Raja keempat Kerajaan Singosari, sedang Candi Kidal merupakan tempat pendharmaan Raja Anusapati, Raja Kedua dari Singosari. Candi Jago pada masa Majapahit digolongkan ke dalam Dharma Haj dan pernah dipugar dan diperluas oleh Adityawarman. Tumpang telah berkembang menjadi kecamatan dengan pusatnya berupa desa tumpang. Kawasan Kecamatan Tumpang ini memiliki berbagai potensi lainnya yang dapat dikembangkan berupa pertanian, peternakan, perkebunan, kerajinan, dsb. Daerah Kecamatan Tumpang adalah daerah agraris yang berbasis pada Persawahan, sayuran dan pertanian lahan kering serta buah – buahan (Apel, jeruk, klengkeng, Durian, Nangka, Langsep, Alpokat) sedangkan Topografi Kecamatan Tumpang dibagi menjadi 3 bagian yaitu : • Tumpang Bagian Timur
terdiri dari Desa Benjor, Duwet dan Duwetkrajan
merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian diatas 700 dpl, dimana daerah ini cocok untuk pengembangan tanaman buah – buahan (Apel, durian, alpokat dan pisang) serta tanaman sayuran (Kentang, kobis, wortel dll) • Tumpang bagian Tengah terdiri dari Desa Tumpang, Malangsuko, Jeru, Tulusbesar, yang merupakan daerah permukiman. • Tumpang bagian barat terdiri dari Desa Wringinsongo, Bokor, Slamet, Kidal, Kambingan, Ngingit, Pandanajeng dan Pulungdowo daerah ini merupakan daerah pertanian sawah serta potensial untuk pengembangan peternakan ayam ras, sapi perah serta tanaman jahe. Sesuai dengan potensi daerahnya penduduk di Kecamatan Tumpang sebagian besar bermata pencaharian pertanian, dan perkebunan sedangkan sektor lainnya adalah sektor industri, perdagangan, jasa angkutan, pertambangan pasir dll. Dari sudut arsitektur candi Jago cukup unik dan menarik karena menggunakan atap meru dan bersifat dua agama yakni Siwa dan Buda. Di dindingnya diukirkan cerita relief yang bersifat agama Hindu dan Buda. Hal ini menunjukkan adanya 8
sinkritisme Siwa Buda dan sekaligus menggambarkan adanya toleransi antara agama Hindu dan Buda di masanya . Dengan demikian selain menghadirkan arsitektur yang unik juga memberikan gambaran adanya budaya toleransi yang kuat dan telah berkembang sejak masa lalu. Berdasarkan keterangan juru kunci diduga di dasar candi ini ditemukan terowongan bawah tanah yang terhubung dengan jalur-jalur ke candi lainnya Kawasan Tumpang dengan intinya berupa area candi Jago dan Kidal merupakan kawasan yang potensial untuk dikembangkan menjadi area pariwisata yang bernilai sustainable (sosial-ekonomi-lingkungan). Tujuan Pembangunan Pariwisata berkelanjutan akan merujuk pada 5 (lima) sasaran yakni (Fennel, 1999): 1. Untuk membangun pemahaman dan kesadaran yang semakin tinggi bahwa pariwisata dapat berkontribusi secara signifikan bagi pelestarian lingkungan dan pembangunan ekonomi. 2. Untuk meningkatkan keseimbangan dalam pembangunan 3. Untuk meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat setempat 4. Untuk meningkatkan kualitas pengalaman bagi pengunjung dan wisatawan 5. Untuk meningkatkan dan menjaga kelestarian dan kualitas lingkungan bagi generasi yang akan datang Pengembangan kepariwisataan harus memenuhi beberapa kriteria antara lain layak secara ekonomi (economically feasible) melalui fungsi-fungsi yang dihadirkan, berwawasan lingkungan (enviromentaly viable) yakni tanggap terhadap aspek nature and culture, diterima secara sosial (socially acceptable) melalui keterlibatan aktif masyarakat melalui seni dan industri kreatif, dan dapat diterapkan secara teknologis (tecnologically appropriate) melalui penggunaan teknologi yang
sesuai-logis -
buildable – dan tidak merusak warisan bersejarah. Desa-desa tersebut dapat dikembangkan menjadi desa-desa wisata yang berbasis pada eko-historical culture. Eco-historical culture adalah konsep yang menggabungkan antara aspek ekologi, sejarah, dan budaya. Gagasan ini merupakan jawaban terhadap semangat jaman yang mulai mengedepankan aspek ekologi, sejarah, dan budaya dalam pengembangan kehidupan masyarakatnya. Dasar pengembangan kawasan ini didekati dengan pengembangan desain arsitekturnya,
khususnya
berkaitan
dengan
aspek
konservasi
arsitektur
sejarah/bangunan bersejarah berikut konservasi kawasannya. Arsitektur merupakan keilmuan yang berkaitan dengan pembangunan Lingkungan Binaan. Melalui 9
Arsitektur diharapkan dapat membantu untuk mendukung revitalisasi kawasan ini baik berkaitan dengan bangunan, ruang, dan lansekapnya. Pada hakekatnya pengolahan dan pengembangan kawasan yang berkaitan dengan tata ruang akan melibatkan arsitektur sebagai pendorongnya. Wujud Arsitektur adalah penciptaan ruang yang dapat mewadai aktivitas manusia. Arsitektur merupakan produk budaya visual. Bentuk (form) menjadi alat yang paling cepat dan real untuk pengenalan awal suatu desain arsitektur, karena dapat dicerap secara langsung melalui indra visual. Representasi visual (fisik) khususnya dalam wujud ’bentuk’ merupakan unsur yang selalu dimunculkan dalam desain yang bersifat arsitektural. Bentuk (form) merupakan bahasa rupa visual yang sangat penting dalam desain arsitektur. Arsitektur sangat mengandalkan aspek visual dalam perwujudannya. Aspek venusitas (beauty), utilitas (function), dan firminitas (structure) dalam desain seperti trilogi Vitruvius dapat dikenali perwujudannya melalui wahana visual berupa bentuk (form). Selain teori Vitruvius beberapa teori arsitektur lain yang juga dapat dikaitkan dengan aspek bentuk antara lain Alberti dengan firmness (kekuatan), conveniency (kenyamanan), beauty (keindahan); Schinkel-Weinbrenner dengan freedom, form, function, construction, meaning, poetry, atau Capon dengan form, function, meaning, construction, context, spirit; dsb (Capon, 1999). Melalui pendekatan desain diharapkan revitalisasi ini dapat terjadi khususnya yang berkaitan dengan bangunan, perkotaan, dan lansekap. Dengan demikian diharapkan kawasan ini menjadi tempat pariwisata yang menarik-indah, fungsional, dan mendukung ekologi lingkungan.Selain dapat berfungsi sebagai tempat rekreasi, Tahura juga dapat menjadi tempat edukasi yang potensial bagi pengembangan keilmuan yang merujuk pada green, sustainable, dsb. Baik yang berkaitan dengan bangunan maupun aspek perkotaan. Oleh karena itu pembangunan kota berkelanjutan saat kini mensyaratkan adanya keseimbangan (harmoni) antara pilar ekonomi, ekologi, dan sosial-manusia. Kota yang kompak, menurut Roychansyah (2006), didesain dengan tata guna lahan yang heterogen dan menyatu. Idealnya, setiap bagian kota menyediakan aneka fasilitas seperti sarana pendidikan, kesehatan, serta pusat ekonomi yang mudah diakses oleh penduduknya. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi lebih efektif, penggunaan energi fosil untuk mobilitas warga berkurang, dan kerekatan sosial dapat terbangun. Langkah lain menuju kota berkelanjutan dimulai dengan dengan melibatkan masyarakat sebagai subjek dan objeknya. Setiap
10
kelompok masyarakat di tingkat terkecil, misalnya mulai diperkenalkan kesadaran ekologi seperti konsep reduce, reuse, dan recycle sampah, dsb Dengan demikian berdasarkan kajian di atas konsep kota yang humanis adalah antara container and contents merupakan kesatuan yang dialogis dalam menghargai keberagaman sosial yang pluralistas, menghargai hak-hak individu - human need, memberikan sentuhan spiritual dan seni melalui pengembangan kreativitas, serta menciptakan keharmonisan dan kontekstual dengan lingkungannya seperti aspek ekologi, alam, sosio-budaya khususnya antara desa dan kota. Konsep dialogis dapat dikembangkan melalui penggalian terhadap nilai-nilai masa lalu, karakter lokal, (kota kosmik-agraris) namun visioner dan terbuka terhadap kemajuan jamannya dalam konteks IPTEKS Semangat penggalian ini merupakan usaha pelestarian yang dapat difahami dalam arti luas, tidak hanya fisik artefaknya tetapi juga value yang terkandung di dalamnya. Di masa kini pelestarian dapat mengandung aspek perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Menurut Foucault (1972), sejarah tidak selalu merujuk pada masa lalu melainkan dapat bermanfaat untuk masa kini (history of the present). Dalam pembahasannya tentang present, Foucault menyebutkan bahwa studi sejarah harus selalu memiliki keterkaitan dengan masa kini. Sejarah tidak difahami berhenti pada masa lalu tetapi berlaku dinamis khususnya berkaitan dengan impacnya untuk masa kini. Melalui kegiatan ini diharapkan gagasan revitalisasi – konservasi menjadi salah satu solusi dalam mengembangkan kawasan ini. Untuk revitalisasi-konservasi khususnya yang berkaitan dengan ekologi dan budaya diperlukan penggalian terhadap potensi kesejarahan dan sekaligus lingkungan ekologisnya - alam, sehingga dapat mendukung pengembangan aspek perkotaan di Bandung menjadi lebih humanis dan liveable. Desain arsitektur merupakan salash satu sarana bagi pengembangan potensi pariwisata di Kawasan ini.
11
A. KONSEP PERENCANAAN I. Latar belakang Indonesia memiliki peninggalan bangunan cagar budaya berupa candi yang tidak sedikit jumlahnya. Candi-cadi tersebut sebagian besar banyak ditemukan di pulau Jawa dan Bali, mengingat Jawa pernah menjadi pusat kerajaan yang bercorak Hindu dan Buda di masa lalu. Candi-candi tersebut, seperti yang ditemukan di pulau Jawa umumnya terletak di kawasan perdesaan, demikian pula yang di luar Jawa seperi di Sumatra, Bali, dan Kalimantan. Candi-candi tersebut menjadi area wisata budaya dan sejarah. Tidak seperti candi-candi utama yang telah masuk ke dalam world heritage seperti Prambanan dan Borobudur, candi-candi yang terletak di pedesaan meskipun telah diinventarisasi dan dirawat oleh Dinas Purbakala, namun banyak pula yang terbengkalai, tidak terawat sehingga mengakibatkan hilangnya elemenelemen pentingnya. Masyarakat pedesaan merawat percandian tersebut dan terkadang menjadikan candi sebagai pepundenan di desa itu namun ada pula yang membiarkan peninggalan tersebut sehingga rusak dan hilang. Material candi terkadang juga digunakan untuk material bangunan rumah atau digunakan untuk lainnya, karena kesengajaan, keterbatasan wawasan atau ketidaktahuan akan nilai penting dari situs tersebut. Pada masa Majapahit hubungan perdesaan dengan percandian menurut Negarakrtagama dapat dilihat dari Dharma Haj dan Dharma Lepas. Menurut analisis kesejarahan dharma haj dan lepas ini berkaitan dengan pengelolaan bangunan candi tersebut. Dharma Haj pengelolaannya dilakukan oleh kerajaan termasuk
segala
konsekuensinya seperti pembiayaan, perawatan, dsb, Sementara Dharma Lepas diserahkan kepada perdesaan yang bersangkutan. Dharma Haj menyangkut candicandi pemuliaan untuk raja atau bangsawan, seperti Raden Wijaya, Ken Arok, Kertanegara, dsb. Majapahit menurut negarakretagama memiliki 27 Dharma Haj seperti candi Jago, Kidal, dsb dan kurang lebih 200 Dharma Lepas. Pada umumnya perdesaan yang memiliki candi tersebut kemungkinan dibebaskan dari perpajakan dan area ini dapat dikategorikan masuk ke dalam area Sima. Jika suatu area atau pedesaan ditetapkan sebagai Sima maka dibebaskan dari beban pajak. Sima tidak hanya berkaitan dengan percandian namun kepentingan lain juga. Dharma lepas juga dapat dihubungkan dengan peninggalan-peninggalan sebelum masa Singosari dan Majapahit. Dari masa Majapahit diduga terdapat beratus desa-desa yang memiliki bangunan-bangunan peribadatan, apalagi sebelum masa ini, mengingat Hindu-Buda berkembang kuat kurang lebih sebelas abad lamanya. Konsekuensinya maka peninggalannya juga semestinya berjumlah sangat banyak. Hal ini sangat 12
sesuai dengan temuan di lapangan saat kini yakni banyaknya situs-situs purbakala peninggalan masa ini dan sebagian besar terletak dalam suatu perdesaan. Banyaknya situs peninggalan purbakala ini pada dasarnya sangat potensial untuk dapat dikembangkan lebih lanjut khususnya perdesaan
berkaitan dengan pembangunan
khususnya di pulau Jawa. Desa-desa yang memiliki situs purbakala
dapat memanfaatkannya bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat yang tinggal di sana. Peningkatan kualitas ini dapat berkaitan dengan edukasi sampai yang bersifat ekonomi. Dalam sudut kebudayaan pembangunan desa-desa yang memiliki situs purbakala ini dapat membangun kesadaran penghargaan masyarakat terhadap
pentingnya
sejarah,
budaya,
kearifan
lokal,
khususnya
dalam
menghadirkan identitas atau karakter atau pembentukan suatu ‘place’ (place adalah space plus meaning). Penguatan ini sangat diperlukan mengingat kuatnya arus globalisasi yang merembes sampai ke tingkat perdesaan, khususnya melalui teknologi seperti informasi. Pembangunan yang berbasis pada kearifan lokal sangat diperlukan dalam membangun dialog dengan globalisasi. Selain menguatkan aspek budaya, pembangunan ini juga sekaligus dapat dimanfaatkan bagi aspek ekonomi. Hal ini dapat diwujudkan misalnya yang didukung oleh bidang kepariwisataan. Melalui kepariwisataan yang berbasis pada budaya tersebut diharapkan akan meningkatkan perekonomian masyarakat, misalnya melalui pengembangan seni kriya sampai seni pertunjukan. Dewasa ini potensi yang terpendam dalam perdesaan yang ber’candi’ tersebut kurang dikembangkan secara optimal baik secara mandiri atau dukungan pemerintah.
II.
Arahan Visi dan RTRW Kabupaten Malang
Visi Kabupaten Malang Madep Mantep Pada visi tersebut terdapat 8 kata kunci yaitu mandiri, agamis, demokratis, produktif, maju, aman, tertib dan berdaya saing artinya dalam rangka mencapai tujuan umum pembangunan Kabupaten Malang yaitu masyarakat sejahtera maka dalam 5 tahun yang akan datang ini diperlukan upaya mewujudkan: 1. Mandiri, yang dimaknai dengan pertama : kemandirian pengelolaan daerah berupa kebijakan Pemerintah Daerah yang mengutamakan kemampuan daerah dalam rangka mengelola potensi sumber daya alam dan buatan yang didukung oleh kemampuan sumber daya manusia, energi, infrastruktur dan pelayanan publik. Kedua: Kemandirian Masyarakat berupa sikap dan kondisi masyarakat yang memiliki semangat entrepreneurship untuk semakin mampu memenuhi kebutuhan dengan mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri. Inti dari pengertian kemandirian adalah semakin berkembangnya jiwa leadership 13
dikalangan
pemerintahan
dan
semangat
entrepreneurship
di
kalangan
masyarakat luas. 2. Agamis, yang dimaknai dengan kondisi masyarakat yang senantiasa menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari dan senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia yang berdampak terhadap keamanan, ketertiban dan produktivitas tinggi. 3. Demokratis, yang dimaknai dengan kondisi penyelenggaraan pemerintahan yang senantiasa melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berlandaskan hukum dan keadilan; sedangkan dari sisi masyarakat terwujudnya suatu kondisi masyarakat yang modern dan majemuk, menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan falsafah Negara Pancasila, ditandai dengan perilaku bijaksana, dan melaksanakan prinsip-prinsip musyawarah untuk mufakat. 4. Produktif, yang dimaknai dengan semakin meningkatnya kualitas kinerja masyarakat sebagai pilar utama peningkatan perekonomian daerah. 5. Maju, yang dimaknai dengan semakin meningkatnya kualitas sumber daya manusia dan hasil-hasil pembangunan yang ditandai dengan semakin meningkatnya indeks pembangunan manusia. 6. Aman, yang dimaknai dengan semakin meningkatnya keamanan masyarakat dan terlaksananya penegakan hukum yang berkeadilan tanpa memandang kedudukan, pangkat, jabatan seseorang serta terciptanya penghormatan pada hak-hak asasi manusia. 7. Tertib, yang dimaknai dengan semakin meningkatnya kepatuhan masyarakat terhadap berbagai peraturan hukum yang berlaku. 8. Berdaya Saing, yang dimaknai dengan semakin meningkatnya kualitas produk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi untuk bersaing di pasar lokal maupun nasional serta semakin meningkatnya daya saing daerah dalam rangka menarik minat investor. Hal ini sejalan dengan pesan filosofi pembangunan dalam sesanti lambang Kabupaten Malang yaitu: Satata Gama Karta Raharja atau terwujudkan Kabupaten Malang yang adil dan makmur materiil dan spirituil disertai kerukunan beragama atas dasar kesucian yang langgeng (abadi). Dengan kata lain kemakmuran
atau kesejahteraan
yang
ingin
diwujudkan
bukan
hanya
kesejahteraan meteriil atau lahiriyah semata namun juga sejahtera secara spiritual atau batiniyah. Kesejahteraan yang utuh itu diyakini dapat dicapai
14
dengan mewujudkan kemajuan secara komprehensif dari 8 kunci tersebut di atas.
Dalam RTRW dikemukakan Pasal 8 a. Pengembangan kawasan perdesaan sesuai potensi masing-masing kawasan yang dihubungkan dengan pusat kegiatan pada setiap kawasan perdesaan, dengan strategi sebagai berikut: 1. Pengembangan kawasan perdesaan berbasis hasil perkebunan pada wilayah Malang Selatan; 2. Peningkatan pertanian berbasis hortikultura pada wilayah Malang Barat dan Timur; 3. Pengembangan pusat pengolahan dan hasil pertanian termasuk lumbung modern pada pusat produksi di kawasan perdesaan. b. Pengembangan kawasan agropolitan untuk mendorong pertumbuhan kawasan perdesaan di Wilayah Malang Timur dan Malang Barat, dengan strategi sebagai berikut: 1. Peningkatan produksi, pengolahan dan pemasaran produk pertanian unggulan sebagai satu kesatuan sistem; 2. Pengembangan infrastruktur penunjang agropolitan; serta 3. Pengembangan kelembagaan penunjang agropolitan. c. Pengembangan pusat desa mulai dari tingkat dusun sampai pusat desa secara berhirarki, dengan strategi sebagai berikut: 1. Pembentukan pusat pelayanan permukiman perdesaan pada tingkat dusun terutama pada permukiman perdesaan yang berbentuk cluster; 2. Pengembangan pusat kawasan perdesaan secara mandiri; 3. Pengembangan kawasan perdesaan potensial secara ekonomi melalui Pusat Pelayanan Lingkungan; serta 4. Meningkatkan interaksi antara pusat kegiatan perdesaan dan perkotaan secara berjenjang. Pasal 10 a. Penetapan kawasan perdesaan, yang meliputi: 1. Pengembangan produk unggulan perdesaan, dengan strategi sebagai berikut: a) Pada kawasan perdesaan yang berpotensi sebagai pusat sentra produksi dilengkapi dengan lumbung desa modern;
15
b) Pengembangan fungsi kawasan perdesaan sesuai potensi wilayah, yakni perdesaan terletak di kawasan pegunungan untuk hutan lindung, hutan produksi, perkebunan dan hortikultura, perdesaan di dataran rendah untuk pertanian pangan, dan perdesaan pesisir pengembangan perikanan; c) Peningkatan nilai tambah produk pertanian dengan pengolahan hasil; d) Mendorong ekspor hasil pertanian unggulan daerah; e) Pengembangan fasilitas sentra produksi-pemasaran pada pusat kegiatan ekonomi di Mantung - Pujon. 2. Penetapan kawasan lahan pertanian pangan, dengan strategi sebagai berikut: a) Peningkatan sarana dan prasarana pertanian untuk meningkatkan nilai produktivitas pertanian; b) Pemberian insentif pada lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan pangan berkelanjutan; c) Pengendalian secara ketat kawasan yang telah ditetapkan sebagai lahan pangan berkelanjutan. Pasal 13 Kebijakan dan strategi pelestarian kawasan lindung: a. Pemantapan fungsi lindung pada kawasan yang memberi perlindungan kawasan bawahannya, dengan strategi sebagai berikut: 1. Pengembalian fungsi pada kawasan yang mengalami kerusakan, melalui penanganan secara teknis dan vegetatif; 2. Pada kawasan yang memberi perlindungan kawasan bawahnya tetapi terjadi alih fungsi untuk budidaya maka perkembangan dibatasi dan dikembangkan tanaman yang memiliki fungsi lindung; 3.
Kawasan
yang
telah
ditetapkan
sebagai
kawasan
resapan
air
harus
dipertahankan; 4. Peningkatan peran serta dari masyarakat sekitar kawasan; 5. Kawasan yang termasuk hulu DAS harus dilestarikan dengan pengembangan hutan atau perkebunan tanaman keras tegakan tinggi; serta 6. Peningkatan kesadaran akan lingkungan melalui pendidikan, pariwisata, penelitian dan kerjasama pengelolaan kawasan. ……. c. Pemantapan kawasan suaka alam dan pelestarian alam, dengan strategi sebagai berikut: 1. Kawasan ini hanya diperuntukkan bagi kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian kawasan; 2. Memelihara habitat dan ekosistem khusus yang ada dan sifatnya setempat; 16
3. Meningkatkan nilai dan fungsi kawasan dengan menjadikan kawasan sebagai tempat wisata, obyek penelitian, kegiatan pecinta alam; 4. Pada kawasan hutan yang mengalami alih fungsi dilakukan pembatasan dan pengembalian fungsi lindung; 5. Pengamanan kawasan dan/atau benda cagar budaya dan sejarah dengan melindungi tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai sejarah, situs purbakala; 6. Pada bangunan bersejarah yang digunakan untuk berbagai kegiatan fungsional dilakukan pemeliharaan dan larangan perubahan tampilan bangunan; serta 7. Pelaksanaan kerjasama pengelolaan kawasan. Kebijakan dan Strategi Penetapan Kawasan Strategis Pasal 16 d. Memantapkan fungsi lindung pada kawasan sosio-kultural, dengan strategi sebagai berikut: 1. Pengendalian perkembangan kawasan sekitar candi yang ada yakni sekitar Candi Singosari, Stupa Sumberawan, Candi Jago dan Candi Kidal; 2. Pemanfaatan candi sebagai aset wisata; serta 3. Peningkatan pemanfaatan candi untuk penelitian dan pendidikan Wilayah Pengembangan Tumpang Wilayah Pengembangan Tumpang meliputi Kecamatan Tumpang, Kecamatan Poncokusumo, Kecamatan Wajak dan Kecamatan Jabung, dengan pusat pelayanan di Perkotaan Tumpang Pada Wilayah Pengembangan Tumpang, dengan fungsi pengembangan sebagai pusat pelayanan yaitu fasilitas pusat industri/pemasaran hasil pertanian, pusat agropolitan, dan minapolitan; Rencana pengembangan terminal penumpang: a. memperbaiki dan meningkatkan pelayanan terminal di Gondanglegi, Karangploso, Dampit, Singosari, dan Tumpang Pasal 38 (5) Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi: a. Candi Kidal di Kecamatan Tumpang; b. Candi Jago di Kecamatan Tumpang; c. Candi Singosari di Kecamatan Singosari; d. Stupa Sumberawan di Kecamatan Singosari; e. Candi Badut di Kecamatan Dau; f. Petilasan dan Pesarean Gunung Kawi di Kecamatan Wonosari; serta 17
g. Pelestarian bangunan pabrik gula. h. Perlindungan terhadap Cagar Budaya dilakukan untuk pengembangan kawasan dengan fungsi pendidikan dan ilmu pengetahuan. i. Penetapan kawasan yang dilestarikan baik di perkotaan maupun perdesaan di sekitar benda cagar budaya, juga menjadikan benda cagar budaya sebagai orientasi bagi pedoman pembangunan pada kawasan sekitarnya. j. Upaya penanganan/pengelolaan kawasan Cagar Budaya Raya adalah mengingat fungsinya sebagai kawasan lindung, maka keberadaannya dilindungi. 1. Pada kawasan sekitar candi harus dikonservasi untuk kelestarian dan keserasian
benda
cagar
budaya,
berupa
pembatasan
pembangunan,
pembatasan ketinggian, dan menjadikan candi tetap terlihat dari berbagai sudut pandang; 2. Candi juga memiliki nilai wisata dan penelitian/pendidikan, sehingga diperlukan pengembangan jalur wisata yang menjadikan candi sebagai salah satu daya tarik wisata yang menarik dan menjadi salah satu tujuan atau obyek penelitian benda purbakala dan tujuan pendidikan dasar-menengah; 3. Benda cagar budaya berupa bangunan yang fungsional, seperti pabrik gula, perumahan dan berbagai bangunan peninggalan Belanda harus dikonservasi dan direhabilitasi bagi bangunan yang sudah mulai rusak; serta 4. Penerapan sistem insentif bagi bangunan yang dilestarikan dan pemberlakuan sistem disinsentif bagi bangunan yang mengalami perubahan fungsi Pasal 45 Kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf c meliputi: a. Kawasan pertanian sawah; b. Kawasan tegalan (tanah ladang); c. Kawasan pengelolaan lahan kering; d. Kawasan perkebunan; e. Kawasan hortikultura; f. Kawasan peternakan; dan g. Kawasan perikanan. (2) Kawasan pertanian sawah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu: a. Lahan sawah irigasi terletak di Kecamatan Dampit, Gondanglegi, Karangploso, Kepanjen,
Kromengan,
Ngajum,
Ngantang,
Pagelaran,
Pakis,
Pakisaji,
Poncokusumo, Singosari, Sumberpucung, Tajinan, Tumpang, Turen, Wajak, dan Wonosari. Upaya penanganan/pengelolaan kawasan hortikultura, meliputi: 1. Kawasan hortikultura sebagai penunjang komoditas unggulan di Daerah dilakukan dengan memperhatikan besaran supply dan permintaan pasar untuk menstabilkan harga produk; 18
2. Lebih mengutamakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan memiliki kemampuan pemasaran yang luas terutama ekspor; 3. Kawasan ini sebaiknya tidak diadakan alih fungsi lahan kecuali untuk kegiatan pertanian dengan catatan memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dan memiliki kemampuan penyerapan tenaga kerja yang lebih luas; 4. Beberapa bagian kawasan hortikultura, khususnya sayuran, terletak pada ketinggian di atas 1.000 m dpl, dan memiliki kelerengan > 40%. Kawasan ini harus dilakukan peningkatan konservasi lahan dengan mengolah secara teknis dan vegetatif; serta 5. Kawasan hortikultura buah-buahan harus dikembangkan dengan memperhatikan nilai ekonomi yang tinggi dengan mengembalikan berbagai jenis komoditas yang menunjukkan ciri khas daerah (seperti duku Singosari, klengkeng Tumpang, apel Poncokusumo, dan sebagainya). Pasal 48 Kawasan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. Candi Badut di Kecamatan Dau; b. Candi Kidal di Kecamatan Tumpang; c. Candi Jago di Kecamatan Tumpang; d. Candi Singasari di Kecamatan Singosari; e. Stupa Sumberawan di Kecamatan Singosari; serta f. Gunung Kawi di Kecamatan Wonosari. Pasal 53 (1) Kawasan andalan sebagaimana dimaksud Pasal 42 huruf k merupakan kawasan yang memiliki kemampuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan dan wilayah di sekitarnya serta mendorong pemerataan perkembangan wilayah. (2) Kawasan andalan terdiri atas kawasan andalan darat dan kawasan andalan laut. (3) Kawasan andalan darat di Kabupaten Malang merupakan kawasan andalan prospektif berkembang yang tersebar di beberapa Wilayah Pengembangan, meliputi: ………….. c. Wilayah Pengembangan Tumpang (Kawasan Andalan Malang Timur) dengan potensi unggulan pariwisata;
Penetapan Kawasan Strategis Wilayah Pasal 55 (1) Beberapa kawasan yang merupakan kawasan strategis di wilayah Kabupaten Malang adalah sebagai berikut: a. Kawasan strategis hankam; 19
b. Kawasan strategis ekonomi; c. Kawasan strategis sosio-kultural; serta d. Kawasan strategis penyelamatan lingkungan hidup. Kawasan strategis sosio-kultural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi: a. Kawasan Candi Singosari, Candi Jago, dan Candi Kidal; b. Upaya penanganan/pengelolaan kawasan strategis sosio-kultural, meliputi: 1. Zonasi kawasan pengembangan di sekitar candi; serta 2. Pengamanan terhadap kawasan atau melindungi tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai sejarah, situs purbakala dan kawasan dengan bentukan geologi tertentu dengan membuat ketentuan-ketentuan yang perlu perhatian Arahan Pengedalian Pemanfatan Ruang Pasal 63 Indikasi arahan peraturan zonasi sistem perdesaan, meliputi: a. Kawasan terbangun perdesaan dapat dilakukan penambahan fungsi yang masih saling bersesuaian, tetapi dengan memperhatikan besaran dan/atau luasan ruangnya di setiap zona serta fungsi utama zona tersebut; b. Kawasan tidak terbangun atau ruang terbuka untuk pertanian yang produktif harus dilakukan pengamanan khususnya untuk tidak dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian; c. Kawasan perdesaan harus mengefisienkan ruang untuk pertanian dan perubahan fungsi ruang bagi kawasan terbangun hanya dilakukan secara infiltratif pada permukiman yang ada dan harus menggunakan lahan yang kurang produktif; serta d. Pengembangan permukiman perdesaan harus menyediakan sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang memadai sesuai kebutuhan masingmasing. Berdasarkan pertimbangan hal-hal tersebut di atas maka desa-desa yang ber’candi’ tersebut dapat dikembangkan melalui gagasan ‘re-think’ berupa penataan kembali dengan memanfaatkan potensi situs cagar budaya untuk peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Aspek ini akan disinergiskan dengan potensi lainnya yang dimiliki oleh
desa
tersebut,
misalnya
dari
pertanian,
perkebunan,
dsb,
sehingga
pengembangannya dapat berjalan saling melengkapi. Pembangunan ekonomi tidak hanya berbasis budaya namun bagaimana potensi budaya ini dapat bersinergis atau bersimbiosis dengan potensi-potensi lainnya sehingga dapat saling menunjang dan 20
memperkuat, khususnya dalam perwujudan penataan ruang kawasannya. Melalui konsep ini diharapkan didapatkan model gagasan pengembangan perdesaan lestari yang berbasis pada pengembangan potensi lokal, khususnya yang memiliki bangunan cagar budaya purbakala yakni candi. Candi-candi di perdesaan banyak pula yang terletak atau ditemukan di tengahtengah kawasan permukiman warga yang padat sehingga dapat mengganggu pengembangannya sebagai benda cagar budaya lebih lanjut. Oleh karena itu secara tata ruang diperlukan penataan lebih lanjut namun diharapkan tidak saling merugikan kepentingan candi sebagai cagar budaya yang perlu dilindungi maupun masyarakat yang tinggal disekitarnya. Simbiosis antara Candi dan perdesaan termasuk masyarakat diperlukan dalam penataan ruangnya. Sementara ini yang paling sering ditemukan bahwa pagar-pagar candi pembatasnya berupa kawat berduri, dan candinya hanya sekadar menjadi ‘dead monument’ yang semestinya dapat dikembangkan untuk mendukung peningkatan kualitas masyarakat perdesaan tersebut. III. Identifikasi Kawasan Objek yang dipilih adalah desa yang memiliki candi yang bukan mendapat perhatian khusus, seperti Trowulan atau Batujaya. Candinya mungkin dikenal secara luas namun tidak seintensif seperti situs trowulan atau yang disusulkan menjadi kawasan bersejarah nasional. Desa yang dipilih adalah desa Tumpang di Kabupaten Malang yang mengandung Situs Candi Jago. Istilah tumpang merujuk pada isitilah atap tumpang atau atap bersusun yang merupakan gambaran candi ini di masa lalu. Candi Jago adalah candi yang menggunakan atap meru atau atap kayu bersusuntumpang seperti halnya bangunan pura di pulau Bali. Candi ini merupakan tempat pendharmaan raja Wisnuwardhana, Raja keempat Kerajaan Singosari. Candi ini pada masa Majapahit digolongkan ke dalam Dharma Haj dan pernah dipugar dan diperluas oleh Adityawarman. Dari sudut arsitektur candi ini cukup unik dan menarik karena menggunakan atap meru dan bersifat dua agama yakni Siwa dan Buda. Di dindingnya diukirkan cerita relief yang bersifat agama Hindu dan Buda. Hal ini menunjukkan adanya sinkritisme Siwa Buda dan sekaligus menggambarkan adanya toleransi antara agama Hindu dan Buda di masanya . Dengan demikian selain menghadirkan arsitektur yang unik juga memberikan gambaran adanya budaya toleransi yang kuat dan telah berkembang sejak masa lalu. Berdasarkan keterangan juru kunci diduga di dasar candi ini ditemukan terowongan bawah tanah yang terhubung dengan jalur-jalur ke candi lainnya
21
Tumpang sendiri telah berkembang menjadi kecamatan dengan pusatnya berupa desa tumpang. Kawasan Kecamatan Tumpang ini memiliki berbagai potensi lainnya yang dapat dikembangkan berupa pertanian, peternakan, perkebunan, kerajinan, dsb.
Daerah Kecamatan Tumpang adalah daerah agraris yang berbasis
pada Persawahan, sayuran dan pertanian lahan kering serta buah – buahan (Apel, jeruk, klengkeng, Durian, Nangka, Langsep, Alpokat) sedangkan Topografi Kecamatan Tumpang dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
Tumpang
Bagian
Timur
terdiri
dari
Desa
Benjor,
Duwet
dan
Duwetkrajan merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian diatas 700 dpl, dimana daerah ini cocok untuk pengembangan tanaman buah – buahan (Apel, durian, alpokat dan pisang) serta tanaman sayuran (Kentang, kobis, wortel dll)
Tumpang bagian Tengah terdiri dari Desa Tumpang, Malangsuko, Jeru, Tulusbesar, yang merupakan daerah permukiman.
Tumpang bagian barat terdiri dari Desa Wringinsongo, Bokor, Slamet, Kidal, Kambingan, Ngingit, Pandanajeng dan Pulungdowo daerah ini merupakan daerah pertanian sawah serta potensial untuk pengembangan peternakan ayam ras, sapi perah serta tanaman jahe.
Sesuai dengan potensi daerahnya penduduk di Kecamatan Tumpang sebagian besar bermata pencaharian pertanian, dan perkebunan sedangkan sektor lainnya adalah sektor industri, perdagangan, jasa angkutan, pertambangan pasir dll. Adapun visi kecamatan ini adalah merujuk pada visi kabupaten yakni terwujudnya masyarakat Kabupaten Malang yang mandiri, agamis, Demokratis, Produktif, Maju, Aman, Tertib dan berdaya saing (MADEP MANTEB). Berpedoman pada visi tersebut, maka Kecamatan Tumpang telah menetapkan visi untuk 5 (lima) tahun mendatang adalah : “TERWUJUDNYA MASYARAKAT YANG BERIMAN DAN BERTAQWA, BERSATU, DAMAI, AMAN, TENTRAM, TERTIB, DAN SEJAHTERA SERTA MANDIRI DALAM KAWASAN
AGRARIS
BERKUALITAS, PEMBANGUNAN
YANG
SERTA DAN
BERBUDAYA
MELALUI
MENYELENGGARAKAN
PEMBINAAN
KEHIDUPAN
PELAYANAN
YANG
PEMERINTAHAN,
MASYARAKAT
SECARA
PROFESIONAL, EFEKTIF, EFISIEN DAN EKONOMIS”
Candi Jago sendiri terletak di desa tumpang yang menjadi salah satu cikal bakal perdesaan di wilayah Tumpang ini. Di desa lain di kecamatan Tumpang yakni di Desa Rejokidal juga ditemukan situs purbakala percandian yang lebih tua yakni Candi Kidal.
Candi Kidal merupakan candi pendarmaan ayah dari Raja 22
Wisnuwardhana yakni Raja Kedua Singosari yang bernama Anusapati. Dua candi ini memiliki profil bentuk arsitektur yang berbeda satu dengan lainnya. Candi Kidal tidak menggunakan atap tumpang atau bentuk meru dari kayu melainkan dari batu. Pada masa lalu jalur ini merupakan kawasan yang pernah dikunjungi oleh Raja Hayamwuruk dalam rangka perjalanan ziarah untuk mengunjungi candi-candi leluhur. Pada masa Majapahit diperkirakan dua desa ini merupakan desa yang memiliki kedudukan penting dan saling berhubungan satu dengan lain dalam kaitannya dengan Dharma Haj atau desa-desa tempat pendharmaan Raja atau bangsawan. IV.
Permasalahan Kawasan :
1. Lingkungan Kepadatan Tinggi dan Kurangnya RTH Secara tidak sadar seiring dengan perkembangan kawasan, bangunan candi pada saat kini terletak di tengah-tengah permukiman yang padat. Hal ini menyebabkan penampilan candi sebagai benda cagar budaya menjadi tidak jelas karena berbaur dengan atap-atap bangunan.. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang yang lebih baik, meskipun untuk perlindungan di sekitar situs telah diberi pagar berupa kawat berduri. Selain itu di sekitar candi ini selain permukiman padat juga terdapat fungsi –fungsi publik lainnya seperti sekolah dan pasar. 2. Keterbatasan Lokasi Pengembangan Candi dalam konteks kawasan ini hanya sebatas tempat pariwisata yang kurang reperesentatif, hal ini disebabkan karena pengembangannya menjadi sangat terbatas karena terkurung oleh permukiman yang padat. Menurut kententuan yang merujuk pada prlindungan benda cagar budaya semestinya lahan di sekitar candi dapat dibebaskan untuk perlindungan situs, seperti untuk observasi dan penelitian, dsb. Namun pada kenyataannya situs ini terletak berimpit di tengah permukiman warga yang padat. 3. Candi sebagai tempat wisata saja Potensi candi sebagai salah satu generator pusat budaya dan mendukung pengembangan ilmu pengetahuan menjadi kurang optimal dan cenderung mati, karena candi ini hanya sekedar dikunjungi untuk keperlukan wisata. Wisata pun terbatas hanya kalangan tertentu. Kawasan ini semestinya dapat dikembangkan menjadi
salah
satu
pusat
sosial
budaya
untuk
pengembangan
ilmu
pengetahuan, selain untuk pariwisata
23
4. Ketidakseninergisan dengan Pengembangan Potensi ekonomi Candi semestinya dapat menjadi salah satu ikon dan pendorong untuk peningkatan ekonomi masyakarat. Candi tidak sekadar benda mati namun memiliki kemanfaatan positip untuk meningkatkan ekonomi, misalnya dengan industry kreatif, dsb
V. Rumusan Konsep Perencanaan Gagasan Simbiosis Symbiosis means: (1) ‘the living together in more or less intimate association or close union of two dissimilar organisms” (2) a cooperative relationship. Simbiosis merupakan interaksi antara dua organisme yang hidup berdampingan. konsep Simbiosis dalam desain arsitektural atau tata ruang bisa diartikan sebagai hubungan antara dua fungsi atau lebih, yang dapat berdiri sendiri namun juga dapat berinteraksi antara keduanya dan dapat bersifat saling menguntungkan. Simbiosis dalam hal ini dapat merupakan upaya untuk mensinergiskan antara aspek yang berbeda dan dapat pula saling berlawanan. Upaya ini dapat dicapai melalui gagasan ruang dan bentuk ‘in between’ berupa intercultural-budaya, penciptaan ruang atau sosok transisi, yang bersifat sebagai menengahi ataupun permeable agar di dalamnya tercipta kesinambungan, kesinergisan, berupa nilainilai positif. Dalam konteks Candi Jago maka Simbosis dapat ditunjukan melalui aspek Budaya dan Ekonomi. Sesuai dengan RTRW maka kawasan ini mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan strategis sosiocultural, kawasan andalan prospektif untuk unggulan pariwisata, pemanfaatan untuk
penelitian
dan pendidikan,
pusat
pelayanan
yaitu fasilitas
pusat
industri/pemasaran hasil pertanian, pusat agropolitan, dan minapolitan. Gagasan Livable dan Humanum Liveable menggambarkan sebuah lingkungan dan suasana yang nyaman sebagai tempat untuk beraktivitas yang dilihat dari berbagai aspek baik aspek fisik dan non-fisik (hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dsb).
Livable mengandung
gagasan tersedianya berbagai kebutuhan dasar galeri yang layak yang didukung berbagai fasilitas sosial antara lain seperti ruang publik untuk bersosialisasi dan berinteraksi yang baik, keamanan yang memadai, sanitasi lingkungan yang baik dan tampilan lingkungan fisik yang Indah. Hal ini akan dapat mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya pada lingkungan/kawasan ini. Dengan demikian citra yang humanis akan tercermin ketika budaya masyarakatnya dapat berkembang dan berlangsung dengan memadai, kreativitas 24
terbangun tanpa diskriminatif serta menjunjung nilai-nilai pluralitas, toleran dan penghargaan demokrasi yang bertanggung jawab (madani). Tata ruang Arsitektural pada dasarnya tidak hanya menyentuh aspek esetika keindahan, konstruksi namun juga menyentuh aspek manusia dan lingkungannya (ekologi) yakni menyangkut permasalahan ruang dan isinya. Creating the ‘Place Making‘ Learning and playing through Experiencing, Creative Kompleks ini dapat menjadi sarana penciptaan place making bagi kawasan perdesaan secara terpadu yang memanfaatkan potensi bangunan peninggalan bersejarah. "Placemaking is the way in which all human beings transform the places they find themselves into the places where they live." Place making berkaitan dengan gagasan penciptaan ruang yang mendukung
aktivitas yang berkaitan dengan
Community-driven, Visionary, Function before form, Adaptable, Inclusive, Focused on creating destinations, Flexible, Culturally aware, Ever changing, Multi-disciplinary,
Transformative,
Context-sensitive,
Inspiring,
Collaborative, Sociable. Place dapat tercipta jika adanya kemudahan accessible; mendorong ‘people are engaged in activities there’; penciptaan ‘ the space is comfortable and has a good image’ ; dan dapat menjadi ‘ sociable place’ dimana dapat menjadi ‘one where people meet each other and take people when they come to visit’ Oleh karena itu untuk menunjang keperluan masyarakat khususnya keluarga dan anak maka kompleks ini didesain dengan mempertimbangkan kemudahan interaksi dan sekaligus edukasi. Kompleks ini dilengkapi dengan taman-taman, ruang-ruang terbuka yang dapat digunakan anak dan keluarga untuk sarana interaksi, komunikasi, dan bermain sekaligus belajar budaya.
Living Culture Dalam pencapaian perdesaan ber-candi yang lestari maka aspek nature dan culture menjadi salah satu aspek yang penting.Pengembangan kawasan ini dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Bangunan candi dapat mendorong terciptanya living culture dengan melibatkan masyakarat sebagai subjek dan bukan sekadar objek. Diharapkan kawasan candi tidak sekadar menjadi dead monument namun dapat memberi kontribusi yang dapat menghidupkan kawasan melalui pengembangan budaya masyarakat yang tinggal di sekitarnya. 25
Sustainable Archaeologies, Architecture, Culture and Tourism Kawasan Tumpang dengan intinya berupa area candi Jago merupakan kawasan yang potensial untuk dikembangkan menjadi area pariwisata yang bernilai sustainable
(sosial-ekonomi-lingkungan).
Tujuan
Pembangunan
Pariwisata
berkelanjutan akan merujuk pada 5 (lima) sasaran yakni (Fennel, 1999): 1. Untuk membangun pemahaman dan kesadaran yang semakin tinggi bahwa pariwisata dapat berkontribusi secara signifikan bagi pelestarian lingkungan dan pembangunan ekonomi. 2. Untuk meningkatkan keseimbangan dalam pembangunan 3. Untuk meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat setempat 4. Untuk meningkatkan kualita spengalaman bagi pengunjung dan wisatawan 5.
Untuk meningkatkan dan menjaga kelestarian dan kualitas lingkungan bagi generasi yang akan datang
Pengembangan kepariwisataan harus memenuhi beberapa kriteria antara lain layak secara ekonomi (economically feasible) melalui fungsi-fungsi yang dihadirkan, berwawasan lingkungan (enviromentaly viable) yakni tanggap terhadap aspek nature and culture, diterima secara sosial (socially acceptable) melalui keterlibatan aktif masyarakat melalui seni dan industri kreatif, dan dapat diterapkan secara teknologis (tecnologically appropriate) melalui penggunaan teknologi yang sesuailogis - buildable – dan tidak merusak warisan bersejarah.
Dengan demikian mendukung gagasan tersebut di atas dapat dilakukan: Pembentukan Lembaga-Lembaga Pengelola Lembaga
resmi
pemerintah
dibentuk
dan
bertugas
mengkoordinasi,
mengarahkan, mempunyai otoritas bagi pengembangan kawasan ini ke depan. Lembaga ini dapat menjadi bagian dari lembaga yang lebih besar untuk pengembangan pembangunan . Tujuan dari pengembangan adalah menciptakan kawasan yang liveable dan berkelanjutan serta bermanfaat bagi masyarakat sendiri.
Memberdayakan Partisipasi Aktif Masyarakat Diperlukan
partisipasi
aktif
masyarakat
melalui
pembentukan
lembaga
musyawarah yang anggotanya terdiri dari berbagai elemen dan mendukung lembaga resmi pemerintah untuk mengelola pengembangan kawasan ini. Masyarakat dilibatkan agar dapat ikut berpartisipasi aktif memelihara kawasan ini. 26
Masyarakat diberikan ruang untuk dapat ikut berpartisipasi aktif mendukung pengelolaan ataupun penciptaan event-event yang dapat menghidupkan kawasan ini, misalnya melalui fesvital budaya, dsb. Masyarakat dapat dilibatkan melalui partisipasi aktif dalam menghidupkan kawasan ini sehingga dapat mendukung sustainabilitas. Partisipasi aktif dapat ditingkatkan menjadi gagasan kreatif sampai industri kreatif seperti kerajinan, kuliner, pertunjukan, dsb. Penciptaan kegitan kegiatan yang mendukung kepariwisataan seperti festival budaya dapat ditingkatkan dan dilakukan secara berkala, sehingga kawasan ini menjadi hidup di siang dan malam hari. Wisata Kuliner, Budaya, Arsitektur, Sejarah, dsb tersebut dapat dikembangkan melalui partisipasi aktif masyarakat yang dikelola oleh komunitas-komunitas budaya yang sudah ada. Masyarakat dapat menyewakan rumahnya untuk para peneliti yang akan melakukan studi terhadap candi Jago atau peninggalan Singosari lainnya. Dengan demikian para peneliti atau turisme dapat ikut merasakan kehidupan di perdesaan ini. Penginapan besar sebaiknya tidak didirikan di kawasan ini atau didirikan di luar zona inti. Pengembangan Industri kreatif dan koperasi Di dekat area ini dapat dikuatkan dengan pembangunan
pasar seni yang
menampung seni kriya kawasan tumpang. Selain itu dapat juga dkombinasikan dengan pasar yang menjual hasil dari buah khas Tumpang yang bertumpu dari swadaya masyarakat. Pasar dan industri dalam skala kecil dapat ditangani oleh koperasi-koperasi yang tumbuh dari masyarakat desa, sehingga dapat membantuk peningkatan ekonomi. Pengembangan Program Heritage Trail dan Cultural Trail – education and recreation – Information Centre Kawasan ini dapat menjadi pusat informasi untuk kawasan sejarah Singosari yang mengandung kekayaan arkeologis yakni candi Jago dan candi Kidal. Oleh kerena itu kompleks ini perlu didirikan museum dan pusat studi sehingga dapat memperkaya informasi yang berkaitan dengan peninggalan Kerajaan Singosari. Program Heritage Trail misalnya berupa Jelajah bangunan kuno dapat ditawarkan yang disinergiskan malalui fasilitas kompleks ini. Dimulai dari Kidal, Candi Jago, Candi Singosari, Candi Sumberawan atau dapat menembus sampai candi Jawi di Pandaan. Trail ini dapat dianalogikan dengan perjalanan Raja Hayamwuruk seperti yang diceritakan dalam Negarakretagama. 27
Program Culture Trail dapat dilakukan melalui Jelajah Kesenian Tumpang, Malang, ataupun Singosari, antara lain berupa Seni Tari, Seni Musik, Seni Suara Seni Pertunjukan, Seni Kuliner, Seni Kriya, Seni Lukis, Seni Patung, dsb. Pada tempat ini dapat dibangun fasilitas berupa area tempat studi arkeologi untuk kawasan peninggalan kerajaan Singosari di Tumpang, sehingga dapat mendukung penelitian dan pengembangan wawasan lebih lanjut. Pengaturan Ketinggian dan Zonasi Bangunan Zona Inti merupakan zona yang mempertahankan eksisting andi yang telah ada, dan bebas dari bangunan. Zona kedua merupakan zona yang juga merupakan zona yang dimungkinkan untuk dikembangkan namun tetap dengan memperhatikan zona inti. Zona ketiga merupakan zona yang dimungkinkan untuk membangun bangunan yang lebih tinggi mengingat perkembangan penduduk dan kebutuhan masyarakat. antara Zona dua dan tiga terdapat zona transisi yang permebale Dengan demikian diharapkan zona heritage tetap eksis dan zona modern saat ini juga eksis, keduanya dapat saling bersimbisosis melalui pengaturan zonasi-fungsi di aera dasar dan pengaturan ketinggian bangunan. Orientasi dan penempatan bangunan modern diarahkan memperkuat zonasi heritage ini Penerapan Revolusi Hijau Gagasan RTH, agriculture, Permaculture Kawasan ini diperlukan peneduhan dan penghijauan untuk mengurangi pancaran panas matahari. Penghijauan dapat dilakukan dengan menanami pohon-pohon peneduh baik di tanah maupun pot-pot. Suasana tropis dapat dicapai dengan menempatkan pepohonan teduh di tepi zona inti atau zona-zona pendukung. Batas antara zona arkeologi dan zona pengembangan pada kawasan ini dapat digunakan penghijauan berupa ruang terbuka-taman-taman, termasuk pepohonan yang membentuk hutan. Lahan penghijauan ini dapat dikombinasikan dengan tanaman pangan seperti yang dikembangkan dalam Permaculture. Konsep Permaculture dapat digunakan untuk memperkaya jenis hayati yang dapat dikonsumsi. Pengembangan ke depan lahan-lahan lebih dioptimalkan untuk agriculture, dsb untuk mendukung kebutuhan ekologi kawasan. Vegetasi yang dikembangkan dan dibudayakan antara lain Klengkeng sebagai tanaman khas di tumpang.
28
Revolusi Hijau diterapkan melalui pengoptimal ruang terbuka hijau pada kawasan Area dasar bangunan dan kompleks dapat digunakan untuk lahan penghijauan yang ditanami tanaman yang mendukung ekologi kawasan, selain itu dengan adanya ruang terbuka hijau ini akan dapat lebih mengoptimalkan resapan air. Ruang terbuka hijau dapat digunakan sebagai sarana interaksi warga. Gagasan ‘New Village’ New Village adalah menghadirkan suasana village - pedesaan namun disesuaikan dengan kebutuhan masa depan. Bangunan-bangunan huniannya lebih diarahkan pada pembangunan unit-unit berlantai lebih dari satu. Hal ini dilakukan agar dapat pengoptimalan ruang-ruang terbuka hijau di tapak, mengurangi kepadatan bangunan meskipun dihuni dengan tingkat kepadatan tertentu. Tidak hanya hunian saja maka bangunan-bangunan fungsi lainnya juga diarahkan pada konsep ini. Gagasan ini juga dapat digunakan untuk memperbaiki kepadatan. Area bawahnya dapat digunakan untuk produktifitas penghuni. Gagasan New Village dapat diterapkan tingkat hunian keluarga sampai kelurahan. Suasana yang dibangun adalah kebersamaan seperti halnya konsep gotong royong dalam budaya Nusantara. Dari unit yang terkecil yakni RT-RW melakukan pengelolaan secara mandiri, dari pangan sampai limbah-sampah. Pengelolaan secara mandiri dapat dilakukan oleh masyarakat dengan pemenuhan kebutuhan sendiri. Infrasturktur, fasos dan fasum disediakan pada setiap kelurahan yang mengedepankan gagasan ekologis, seperti menghadirkan transportasi yang sehat, aman, nyaman, tidak polutif, dsb. Gagasan Bangunan Hijau Konsep green building terintegrasi dengan konsep sustainable building yaitu dengan meningkatkan efisiensi dari penggunaan semua sumberdaya energi melalui beberapa cara (Probo Hindarto : 2007), diantaranya antara lain : Efisiensi penggunaan energi seperti
pemanfaatan pencahayaan dan
ventilasi alami, sumber energi alam yang renewable seperti matahari, angin, air hujan, dsb. Hal ini didukung oleh teknologi yang memadai dan tepat guna sesuai dengan gagasan efisiensi tersebut. Efisiensi penggunaan lahan, seperti penggunaan lahan secara efisien, kompak dan terpadu sehingga meminimalisasi building coverage
29
Inovasi pemaksimalan potensi hijau tanaman, seperti menghargai kehadiran tanaman existing; tidak mudah menebang pohon, sehingga tanaman tersebut dapat menjadi bagian dari bangunan, penggunaan taman atap, taman gantung maupun pagar tanaman, maupun greenery wall Efisiensi penggunaan material seperti penggunaan material yang masih berlimpah dan menghindari penggunaan material yang langka/jarang ditemui, penggunaan material dari sumberdaya lokal untuk mengurangi mobilitas angkut material dari dan menuju tapak, dan memanfaatkan material sisa/recycle. Hal ini juga didukung oleh teknologi yang tepat guna. Manajemen limbah , membuat sistem pengolahan limbah domestik seperti air kotor sehinga tidak membebani sistem aliran air umum, membuat sistem dekomposisi limbah organik agar terurai secara alami dalam lahan.
Secara terpadu diperlukan gagasan yang dapat mengendalikan sampah, tingkat radiasi, hemat energi, seperti konsep reduce, reuse, dan recycle. Melalui dukungan kemandirian-partisipasi masyarakat dan teknologi ramah lingkungan maka konsep zero Waste, Zero Emission, Zero Energy dapat dikendalikan dan dioptimalkan. Hal ini dapat dikaitkan dengan permasalahan bangunan, transportasi, pengaturan ruang-ruang terbuka hijau, dsb. Penerapan Revolusi Biru Gagasan Revolusi Biru dapat diterapkan pada pengalikasian Minapolitan Pada setiap New Village pada tingkat kelurahan dapat dilengkapi dengan kolamkolam/empang-empang, selain untuk peningkatan produktifitas pangan dapat jug dimanfaatkan untuk mendukung rekreasi perdesaan dan tempat interaksi seperti kolam pemancingan, restoran, dsb. Area-area yang dekat dengan sungai dapat memanfatkan sungai sebagai area hijau yang mendukung kehidupan dan produktif. Learning by Playing, Ramah Anak dan Keluarga Untuk menunjang keperluan keluarga dan anak maka kmpleks ini didesain dengan mempertimbangkan kemudahan
interaksi dan sekaligus edukasi.
Kompleks ini dilengkapi dengan taman-taman, ruang-ruang terbuka yang dapat digunakan anak dan keluarga untuk sarana interaksi, komunikasi, dan bermain sekaligus belajar budaya. Anak-anak dapat diajarkan permainan-permainan tradisional, diajarkan pengetahuan dalam membangun kesadaran budaya tradisional, konservasi, arkeologis, dsb di ruang-ruang terbuka, museum. 30
Contoh Simulasi Perancangan Kawasan
31
32
Rekonstruksi I
Rekonstruksi II 33
DAFTAR PUSTAKA Abel, Chris (1997) Architecture and Identity, Toward a Global Eco-Culture, Architectural Press, Butterworth, Heinemann . Abidin, Zaenal (2000), Filsafat Manusia, memahami manusia melalui Filsafat, Remaja R, Bandung Abramson, H. (1980). “Assimilation and Pluralism”, In S. Thernstrom (Ed.), Harvard encyclopedia of American ethnic groups Cambridge, MA: Harvard University Press. Acharya, Prasanna K, (1979), Hindu Architecture in India and A broad. New Delhi : Oriental Books Reprint Corporation. Adishakti, Laretna, T. (1997) A Study on the Conservation Planning of Yogyakarta Historic-City based on Urban Space Heritage Conception, Unpublished Ph.D. dissertation, Kyoto University. Alan Black, (1995), Urban Mass Tansportation Planning, McGraw-Hill, Inc., hal.383 – 384 Alexander Kolontay (2012), Moscow Agglomeration Development 2012, International Urban Competition, ISOCARP Review 2012 Alexander Kolontay (2012), Moscow Agglomeration Development 2012, International Urban Competition, ISOCARP Review 2012 Atmadi, Parmono (1979), Some Architectural Design Principles of Temples in Java, Doctoral Dissertation, Gadjah Mada University. David Owen (2009), Green Metropolis: Why Living Smaller, Living Closer, dan Driving Less Are the Keys to Sustainablitiy, Penguin Blog Designing the Future of the Paris Agglomeration, International Consultation on the Future of Metropolitan (2009) Djonoputro Bernadus dkk editor,(1999) Indonesian Most Livable City Index 2009, IAP Doxiadis, Constantions A (1968). Ekistic : A Introduction to Human Settlement London ,Hutchinson and co Fennell, David A.(1999), Ecotourism: An Introduction, Routledge, Jason W. Eligh. Ikhwanuddin (2005), Menggali Pemikiran Posmodernise dalam Arsitektur, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press Kostof, Spiro (1991), The City Shape, Urban Patterns and Meaning through History, London, Thames and Hudson, Ltd Moughtin Cliff ( 1999), Urban Design Method and Technique, Architectural Press Norberg-Schulz, Christian (1980), Genius Loci Towards A Phenomenology Of Architecture, New York, Rizzoli International Publications, Inc Soetomo, Sugiono (2009), Urbanisasi & Morfologi, Yogyakarta, Graha Ilmu. Probo Hindarto (2007) dalam http://archdesign10.blogspot.com/ 2012_02_01 _archive.html Schultz, Duane. (1991) Carl Rogers dalam Psikologi Pertumbuhan: Model – Model Kepribadian Sehat. Jogjakarta: Kanisius Soetomo, Sugiono (2002), Strategi ruang Sub-Urban dalam Menopang Pembangunan yang berkelanjutan, Pidato Pengukuhan untuk Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. Soetomo, Sugiono (2008), Urbanisasi dan Morfologi, Proses Perkembangan Peradaban dan Wadah Ruang fisiknya : Manuju Ruang Kehidupan yang Manusiawi, Yogyakarta, Graha Ilmu 34
Sumalyo, Yulianto (1997), Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press Susantono, Bambang (2009) Transportasi humanis, http://karbonjournal.org/id/ archives/detail.php?ID_focus=8 Taman Wisata Candi Prambanan (2012) Studi Kelayakan Pengembangan Kawasan Prambanan Tim Pokja, Puslitbang SDM Balitbang Dephan (2008), Konsepsi Penanggulangan pengaruh Negatif Globalisasi pada nilai-nilai Budaya Bangsa Indonesia. Trancik, Roger (1986), Finding Lost Space, Van Nostrand Reinhold, New York, USA Zahnd, Markus (1999), Perancangan Kota Secara Terpadu, Yogyakarta, Penerbit Kanisius. http://citra-wayan.blogspot.com/2012/03/penerapan-konsep-tod-transit-oriented.html http://infoindonesia.wordpress.com/2007/11/08/sumber-kemacetan-di-jakarta/www. bisnis.com http://www.tempo.co/ http://en.wikipedia.org/wiki/Placemaking http://www.pps.org/reference/what_is_placemaking/ http://citra-wayan.blogspot.com/2012/03/penerapan-konsep-tod-transit-oriented.html http://infoindonesia.wordpress.com/2007/11/08/sumber-kemacetan-di-jakarta/www. bisnis.com http://www.tempo.co/
35