Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
KASUS KERACUNAN PADA HEWAN DI INDONESIA DARI TAHUN 1992 – 2005 (Poisoning Cases in Animal in Indonesia from 1992 to 2005) YUNINGSIH Balai Besar Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114
ABSTRACT Many toxicant which can cause poisoning to animal exist in feeds (plant). For example: cyanide may be present in some grasses, many plants may accumulate nitrate and annusual commodities that are consumed. For diagnostic approach poisoning cases in Indonesia from 1992 to 2005 have been anlysed by animal in Diagnostic-Lab., Balitvet, Bogor. This diagnose was done according to chemical result, case story, clinical signs and post mortem findings.The result showed that many type of poisoning cases were cyanide: 14 cases (50%), ammonia: 4 cases (14.29%), pesticide: 3 cases (10.71%), nitrate: 3 cases (10.71%), nitrite: 2 cases (7.14%), chloride (NaCl): 1 case (3.57%), chlorine: 1 case (3.57%) and sulfate: 1 case (3.57%). Key Words: Poisoning Cases, Animal, Toxicant ABSTRAK Banyak senyawa racun dalam pakan ternak (hijauan) yang dapat menyebabkan keracunan bagi ternak. Sebagai contoh, racun sianida yang mungkin terdapat dalam beberapa jenis rumput, kemudian tanaman yang mengakumulasi nitrat dan kemungkinan tanaman lain mengandung racun dan tidak biasa dikonsumsi oleh hewan. Telah diterima sebanyak 28 kasus di Lab. Diagnostik, Balitvet, Bogor, asal beberapa daerah di Indonesia dari tahun 1992 sampai 2005, untuk diagnosa keracunan. Diagnosa berdasarkan hasil analisis kimia, sejarah kasus, gejala klinis dan post mortem findings. Hasil diagnosa menunjukkan beberapa macam keracunan: sianida:14 kasus (50%), amonia: 4 kasus (14,29%), pestisida: 3 kasus (10,71%), nitrat: 3 kasus (10,71%), nitrit: 2 kasus (7,14%), klorida (garam NaCl): 1 kasus (3,57%), klorin: 1 kasus (3,57%) dan sulfat: 1 kasus (3,57%). Kata Kunci: Kasus Keracunan, Hewan, Jenis Racun
PENDAHULUAN Banyak senyawa racun yang ditemukan dalam pakan ternak, terutama dalam hijauan (tanaman) yang menyebabkan keracunan pada hewan. Seperti contohnya tanaman singkong (Manihot esculenta), pohon picung (Pangium edule) yang keduanya mengandung racun sianida. Sementara sianida mempunyai sifat yang paling toksik dan cepat reaksinya kedalam tubuh dibandingkan dengan jenis racun lainnya dan dalam dosis kecil (level toksik 2,3 – 2,5 mg/kg) dapat mematikan untuk hampir semua spesies (CLARKE dan CLARKE, 1976). Maka racun sianida banyak digunakan untuk tujuan tertentu (kriminal), terutama jenis racun sianida sintetik yang dikenal di
848
masyarakat dengan nama potas, yaitu berupa kristal putih (bentuk kubus kecil). Seperti contohnya penggunaan potas ini oleh para nelayan untuk melemahkan ikan, sehingga memudahkan dalam penangkapan. Senyawa racun lain yang banyak diketemukan dalam tanaman (hijauan) dan dapat menyebabkan keracunan pada hewan, yaitu racun nitrat-nitrit. Sering racun ini ditemukan dalam hijauan yang sudah umum diberikan pada ternak. Sebagai contoh rumput gajah yang mengandung nitrat tinggi yang disebabkan rumput gajah tersebut mengalami perlakuan pemupukan (terutama pupuk nitrogen, pupuk kandang) yang tidak beraturan baik dalam pemberian/dosis maupun interval waktu pemotongan rumput, maka terjadi
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
akumulasi nitrat yang dapat mencapai level maksimum (tinggi) dan menyebabkan keracunan pada ternak (DEIDENUM et al., 1980). Pestisida sebagai salah satu senyawa racun yang sering ditemukan dalam pakan ternak, terutama dalam pakan konsentrat. Sementara bahan baku pakan yang terdiri dari jagung dan jenis biji- bijian yang selama pertumbuhannya, mulai dari masa tanam sampai masa panen tidak lepas dari penggunaan macam pestisida untuk membasmi hama pengganggu dalam mencapai target yang diinginkan. Tetapi di sisi lain dengan perlakuan pestisida yang tidak beraturan dosisnya akan menyebabkan residu dalam produk pertaniannya yang dapat mengakibatkan keracunan bagi ternak. Disamping itu banyak jenis pestisida yang sudah dilarang peredarannya, seperti DDT, dieldrin dan pestisida lainnya karena cukup berbahaya bagi kesehatan ternak maupun manusia. Untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan, maka peredaran, penyimpanan dan penggunaannya diatur sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1973 (DEPARTEMEN PERTANIAN, 1995). Senyawa toksik yang sering ditemukan dalam air minum, diantaranya adalah nitratnitrit, sulfat, amonia dan senyawa klor dan perlu mengetahui level amannya dari senyawa toksik tersebut sehingga tidak menyebabkan keracunan pada ternaknya (YUNINGSIH, 2005). Kebanyakan peternak tidak mengetahui jenis racun yang menjadi penyebab keracunan atau kematian ternaknya, maka untuk memudahkan pemeriksaan ke arah keracunan, sebaiknya mereka memberikan informasi mengenai asal terjadinya kematian, diantaranya mengenai: - gejala- gejalanya sampai terjadi keracunan atau kematian, kemudian diikuti dengan pengamatan patologi anatominya atau post mortem findings. - keadaan lingkungan lokasi peternakan: berdekatan dengan lokasi industri (kontaminan bahan kimia), kemudian berdekatan dengan lokasi pertanian adanya kontaminan pestisida atau pupuk. - nama jenis rumput (hijauan) yang diberikan pada ternak. Banyak jenis tanaman yang mengandung racun dan biasanya terpaksa diberikan pada ternak karena kesulitan dalam memperoleh hijauan terutama pada musim kemarau. Kemudian peternak
memanfaatkan hijauan yang tumbuh disekitarnya yang tidak biasa diberikan pada ternaknya. Penelitian ini mendiagnosa keracunan dengan cara analisis kimia pada sampel dari 28 kasus keracunan asal beberapa daerah di Indonesia yang diterima di Lab. Diagnostik dari tahun 1992 – 2005. MATERI DAN METODE Sebagai bahan pemeriksaan adalah berupa: isi tembolok, kristal putih yang terbungkus dengan daun singkong, kristal putih dalam buah cempedak, air minum ayam, isi lambung, hijauan, powder berwarna abu-abu, organ hati gajah, daun kelapa sawit, air kolam untuk tambak udang dan cairan asal dari isi tembolok ayam. Kemudian dilakukan pemeriksaan sampel terhadap jenis racun tertentu atau jenis racun yang sesuai dengan permintaan pengirim sampel. Jenis pemeriksaan yang dilakukan terhadap sampel adalah: 1. sianida dengan metoda picrate paper test (OSWEILER et al., 1976). 2. rodentisida zinc phosphide dengan metoda Shreerer’s test menurut BARTIK dan PISKAC (1981). 3. pemeriksaan nitrat- nitrit dengan metoda Kit-Nitrat. 4. pestisida DDT dan diazinon dengan cara kromatografi lapis tipis (AOAC, 1985). 5. amonia dengan metoda menurut STAIR dan MAX WHALEY (1990). 6. rodentisida warfarin dengan cara kromatografi lapis tipis (HYDE et al., 1977). 7. sulfat dengan cara spektrofotometri (AOAC, 1985). 8. klorida dan klorin dengan metoda memurut BARTIK dan PISKAC (1981) HASIL DAN PEMBAHASAN Pada diagnosa keracunan tidak hanya analisis kimia yang diperlukan, tetapi membutuhkan informasi lain yang dapat mendukung dalam pengarahan analisis kimia, misalnya informasi sejarah kasus, gejala klinis dan penemuan post mortem. Sementara sebagian besar sipengirim sampel tidak dapat menentukan jenis
849
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
pemeriksaannya atau tidak mengetahui jenis racun yang menjadi penyebab kematian ternaknya, maka perlu penjajakan pemeriksaan (analisis kimia) yang dihubungkan dengan informasi diatas tersebut. Hasil diagnosa keracunan yang berdasarkan hasil pemeriksaan (analisis kima) dari
keseluruhan sampel, seperti tertera pada Tabel 1. Sebagian besar pengirim sampel untuk permintaan pemeriksaan hanya kearah keracunan dan hanya 3 dari 28 sipengirim sampel yang menentukan jenis pemeriksaan (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil analisis kimia (diagnosa keracunan) dari sampel asal beberapa daerah di Indonesia No.
Jenis sampel
Pemeriksaan yang diminta
Jenis racun yang diketemukan
Asal sampel
1.
Isi tembolok ayam
Keracunan
Sianida
DKI Jakarta
2.
Isi tembolok ayam
”
”
Rangkasbitung
3.
Isi tembolok ayam
”
”
Jakarta
4.
Sisa pakan ayam dan Sisa makanan nasi
”
”
Pontianak
5.
Air minum ayam
”
”
Bogor
6.
Daun ketela + kristal putih
Sianida
”
Bogor
7.
Serbuk putih + daun pisang
Sianida
”
Lampung
8.
Daun Anggrung
Keracunan
”
Kaltim
9.
Pakan ayam dan isi tembolok
”
”
Jakarta
10.
Muntahan makanan gajah
”
”
Lampung
11.
Pakan ayam dan isi tembolok
”
”
Jakarta
12.
Cempedak + kristal putih (muntahan hewan gajah)
”
”
Lampung
13.
Isi lambung hewan gajah
”
”
Lampung
14.
Daun singkong + kristal putih
”
”
Bogor
15.
Isi rumen sapi
”
DDT (insektisida organoklorin)
Sumbawa
16.
Isi lambung gajah, powder berwarna abu-abu dan daun kelapa sawit
”
Zinc phosphide (rodentisida)
Bukittinggi
17.
Isi lambung anjing
Rodentisida
Warfarin
Bogor
18.
Air minum dan isi lambung rusa
Keracunan
Klorin
Bogor
19.
Cairan isi tembolok ayam
Keracunan
Klorida
Jakarta
20.
Air minum ayam buras
Keracunan
Nitrat
Jakarta
21.
Rumput gajah
”
Nitrat
Bogor
22.
Air kolam (tambak udang)
”
Nitrit
Sukabumi
23.
Air kolam ikan
”
Nitrit
Jakarta
24.
Supplement sapi potong
”
Amonia
Jakarta
25.
Rumput
”
Amonia
Palangkaraya (Kalteng)
26.
Air limbah dan tanah
”
Amonia dan nitrat
Karawang
27.
Pakan sapi
”
Amonia
Bogor
28.
Air minum ayam petelur
”
Sulfat
Grobogan
850
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Maka perlu dilakukan penjajakan pemeriksaan sampel terutama untuk isi rumen yaitu pertama kali dilakukan uji p.H dengan kertas indikator pH. Apabila pH tidak normal (pH normal = 6 – 7), maka ada pengaruh senyawa lain (racun) yang masuk kedalam rumen (dikonsumsi oleh ternak). Kemudian dilakukan juga pemeriksaan sampel isi rumen tersebut terhadap amonia dan tingginya level amonia (> 50 ppm) yang ditunjukkan dengan reaksi warna orange setelah penambahan pereaksi Nessler. Sementara level amonia dalam isi rumen normal sekitar 6 – 68 ppm (BARTIK dan PISKAC, 1981). Maka dengan level amonia tinggi (di atas level normal) tersebut membuktikan bahwa ternak tersebut menderita keracunan atau terjadi kelainan metabolisme dalam tubuh hewan (DONALD et al., 1987). Dengan positif tinggi amonia tersebut, maka dilanjutkan analisis kimia yang sesuai dengan informasinya (asal keracunan/ kematian hewan seperti telah disebutkan di atas), sehingga dapat mempercepat pemeriksaan untuk memperoleh diagnosa yang tepat. Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel dari 33 kasus tersebut, maka kasus dapat dikelompokan menjadi: Keracunan sianida (sampel No. 1 – 14) Umumnya peternak atau sipengirim sampel memberikan informasi terjadinya kematian akut pada ternaknya dalam waktu singkat setelah mengkonsumsi makanan yang diduga mengandung racun. Sementara kematian akut merupakan salah satu ciri spesifik dari gejala keracunan sianida, maka sampel diarahkan untuk pemeriksaan sianida. Keseluruhan sampel (No. 1 – 14) mengandung sianida tinggi (> 800ppm) yang berdasarkan hasil pemeriksaan sampel dengan cara picrate paper test, yaitu menghasilkan perubahan warna kertas pikrat dari kuning menjadi warna merah bata sebagai petunjuk tingginya kandungan sianida dan levelnya dibandingkan dengan deret warna dari larutan standar sianida yang diketahui konsentrasinya. Sementara level toksik sianida cukup rendah (2,3 – 2,5 mg/kg) seperti telah disebutkan diatas. Maka sampel tersebut mengandung sianida yang sudah jauh diatas level toksiknya. Untuk konfirmasi hasil pemeriksaan dari sampel yang positif sianida dapat dilakukan
juga dengan cara lain, yaitu dengan penambahan larutan silver nitrate 5% terhadap sampel, maka akan menghasilkan endapan putih perak sianida (silver cyanide). Pada kasus keracunan sianida ini, hampir semua sampel mengandung sianida dalam level tinggi (> 800 ppm), maka kemungkinan besar bahwa kematian ternak tersebut disebabkan ada unsur kesengajaan (kriminal). Seperti sampel No. 6, 7, 12 dan 14, disamping menunjukkan positif sianida tinggi, juga berdasarkan hasil pengamatan secara visual dari keempat sampel tersebut yaitu adanya kristal putih berbentuk kubus, yang diduga kemungkinan besar kristal tersebut adalah potas yaitu bahan kimia sintetik yang mengandung sianida tinggi. Sementara sampel No. 8, racun sianida berasal dari tanaman angrung (Trema orientalis) yang menyebabkan kematian 26 ekor kambing secara bertahap dalam tiga hari dengan gejala perut kembung dan kondisi tubuh lemah. Kemudian pada kasus ini peternak tidak mengetahui bahwa daun angrung tersebut mengandung racun sianida tinggi dan mereka hanya memanfaatkan hijauan yang tumbuh disekitarnya. Ciri lain yang lebih spesifik dari diagnosa keracunan sianida yaitu terjadinya perubahan warna darah dari warna merah normal menjadi merah terang dan bau khas bitter almond dari isi rumennya (OSWEILER et al., 1976). Keracunan pestisida Hasil pemeriksaan pestisida terhadap keempat sampel (No. 15, 16 dan 17) tersebut menunjukkan beberapa macam jenis pestisida, yaitu masing-masing adalah: DDT Sampel isi rumen asal Sumbawa (No. 15), menunjukkan 20 ppm DDT (insektisida organoklorin). Sementara batas maksimum residu (BMR) DDT dalam hijauan/ sayuran yang diperbolehkan adalah 1 ppm (Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian, 1996). Maka level DDT dalam makanan yang dikonsumsi ternak tersebut jauh lebih tinggi dari 20 ppm yang dapat mengakibatkan keracunan. Kemudian ada juga keracunan dari insektisida
851
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
organofosfat, seperti terjadi kasus kematian 40 ekor dari 400 ekor ayam pedaging di salah satu peternakan ayam di Bogor. Ternyata setelah dilakukan pemeriksaan terhadap sisa pakannya (6 sampel) menunjukkan positif pestisida organofosfat diazinon dengan level antara 0,105 – 1,547 ppm (DAMAYANTI dan YUNINGSIH, 1994) yang sudah melewati ambang batas maksimum residu (BMR) yang diperbolehkan, yaitu 0,1 ppm diazinon menurut WHO/FAO (1976). Zinc phosphide (Zn3P2) Sampel isi lambung, powder warna abu-abu dan daun kelapa sawit (diduga dicampur dengan powder abu-abu tersebut) (No. 16) menunjukkan positif Zn3P2 dengan metoda Shreerer’s test menunjukkan hasil reaksi warna pada kertas AgNO3 menjadi hitam, kertas HgCl2 menjadi kuning dan kertas Pb acetate tidak berubah (tetap warna putih) sebagai indikator terbentuknya gas phospin dalam sampel. Akibat kasus keracunan Zn3P2 ini menyebabkan kematian 11 ekor hewan gajah di daerah Riau (Sumatera). Dengan tingginya level phospin dalam sampel powder warna abu-abu tersebut dan warna abu- abu merupakan warna spesifik dari Zn3P2, maka sampel powder tersebut adalah rodentisida Zn3P2, (untuk membunuh hama tikus). Level phospin yang cukup tinggi dalam sampel daun kelapa sawit karena adanya powder abu-abu tersebut. Sesuai dengan hasil pengamtan secara visual pada tahap ekstraksi (uji pestisida) menunjukkan adanya powder warna abu-abu yang tidak larut dalam pelarut organik yang sesuai dengan sifat dari Zn3P2. Zn3P2 ini mempunyai level toksik yang cukup rendah, seperti contohnya pada anjing dengan level 40 mg/kg berat badan dapat menyebabkan kematian akut (CASTEEL dan BAILEY,1986). Kemudian reaksi kematiannya cepat, karena dengan kondisi asam lambung (lembab) mempercepat pembentukan gas phospine yang mematikan. Maka banyak penggunaannya untuk tujuan kriminal, disamping untuk membunuh hama tikus.
852
Warfarin Sampel isi lambung anjing (No. 17) dengan informasinya bahwa kematian anjing diduga keracunan warfarin (racun tikus) dan ternyata setelah dilakukan pemeriksaan menunjukkan positif warfarin. Sementara menurut CLARKE dan CLARKE (1978) bahwa kasus keracunan warfarin sering terjadi pada anjing dan kucing akibat keracunan sekunder, yaitu mengkonsumsi tikus mati yang keracunan warfarin. Begitu juga menurut OSWEILER et al. (1976) bahwa keracunan warfarin merupakan keracunan sekunder. Keracunan senyawa klor Klorin Dua jenis sampel (No. 18): isi lambung rusa dan air kolam menunjukkan positif klorin, setelah dilakukan pemeriksaan terhadap kedua sampel tersebut dengan cara penambahan pereaksi perak nitrat 5% dan asam nitrat encer yang menghasilkan endapan putih AgCl dan tidak larut dalam amonia encer (Ag(NH3)Cl). (BARTIK dan PISKAC, 1981). Terjadinya kasus keracunan klorin ini disebabkan oleh kecerobohan peternak, karena menurut informasinya bahwa kemungkinan rusa mengkonsumsi air dari kolam disekitarnya yang belum lama perlakuan pemakaian desinfektan (klorin). Klorida Sampel cairan isi tembolok (500 ml) (No. 19) menunjukkan positif klorida (NaCl) sesuai dengan hasil pemeriksaan dengan cara penambahan pereaksi perak nitrat menghasilkan endapan putih AgCl yang tidak larut dalam asam nitrat encer.(kualitatif). Sementara batas aman NaCl dalam air minum ternak: 0,25%. Maka perlu dilakukan pemeriksaan NaCl secara quantitif dan hasilnya menunjukkan 5,995% NaCl yang jauh melewati batas level aman yang diperbolehkan. Pada level 0,54% NaCl dalam air minum dapat menyebabkan kematian fatal pada anak ayam (CLARKE dan CLARKE, 1978).
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Kemudian hasil pengamatan patologi anatomi dari ayam tersebut menunjukkan adanya odema yang menunjukkan ciri spesifik dari gejala keracunan klorida. Keracunan nitrat-nitrit Nitrat Sampel air minum (No. 20): 100 ppm. Sementara ambang batas nitrat dalam air minum ayam yang diperbolehkan adalah 45 ppm (ARKHIPOV, 1989), maka sampel air minum tersebut mengandung nitrat yang sudah jauh melewati ambang batas yang diperbolehkan. Adanya nitrat dalam air minum disebabkan sumber air terkontaminasi oleh resapan dari buangan feses (limbah kotoran ternak) karena lokasinya berdekatan dengan aliran buangan kotoran kandang (feses). Kemudian dengan adanya feses ini terjadi proses nitrifikasi yaitu pembentukan nitrat-nitrit dari amonia (feses) dengan bantuan bakteri tanah seperti telah disebutkan diatas. Terjadi kematian beberapa jenis hewan ruminansia di salah satu peternakan di Kabupaten Bogor dan berdasarkan hasil pengamatan darahnya terjadi perubahan dari warna merah normal menjadi warna merah gelap (coklat), sebagai ciri spesifik dari gejala keracunan nitrat. Ternyata setelah dilakukan pemeriksaan 4 kantong sampel yang berisi rumput gajah (No. 21) sebagai sisa makanannya menunjukkan masing- masing mengandung 6250, 4000, 3750 dan 2500 ppm nitrat yang jauh melewati ambang batas nitrat dalam hijauan yang diperbolehkan untuk ternak Sementara ambang batasnya adalah adalah 2000 ppm nitrat dalam hijauan dalam bentk segar (HOUSTON et al., 1973). Kemudian informasi lain dari kasus kematian bahwa rumput gajah tersebut belum lama mengalami perlakuan pemupukan. Sementara saat pengambilan rumput tersebut pada musim kemarau yang dapat menyebabkan kenaikan akumulasi nitrat dalam rumput (OSWEILER et al., 1976). Kemudian terjadinya akumulasi nitrat disebabkan oleh interval waktu pemotongan rumput yang tepat yaitu
mulai pemupukan sampai pemotongan. Seperti dilaporkan oleh DEINUM et al. (1980) yang menyatakan bahwa dengan interval 5 – 10 minggu pascapemupukan akan menghasilkan produksi N tertinggi dan penimbunan nitrat terendah. Informasi lainnya bahwa sebagian rumput gajah tersebut tumbuh di lokasi yang kurang sinar matahari (di bawah pohon) yang dapat mengurangi keaktifan reduktase nitrat enzim yang diperlukan untuk mencegah akumulasi nitrat (OSWEILER et al., 1976). Kemudian terjadi juga kematian 6 ekor dan 7 ekor sapi dipotong paksa dari total 44 ekor, di salah satu peternakan sapi potong di Bandung akibat tingginya akumulasi nitrat dalam rumput gajah sampai mencapai 8000 ppm (jauh melewati ambang batas) (YUNINGSIH, 1996). Begitu juga di Jakarta terjadi kematian kuda pacuan yang disebabkan nitrat tinggi (5000 ppm) dan hasil pengamatan patologi anatominya menunjukkan perdarahan bercak-bercak pada usus halus dan usus besar, kemudian paru-paru dan hati merah kehitaman dan lambung penuh cairan (YUNINGSIH, 1998). Nitrit Begitu juga sampel No. 22 dan No. 23 masing-masing berupa air kolam tambak udang dan air kolam ikan yang mengandung 7,5 ppm dan 10 ppm nitrit. Sementara ambang batas nitrit dalam air untuk peternakan atau perikanan adalah 0,06 ppm nitrit (HIMPUNAN PERATURAN DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP, 1991). Kemudian kasus keracunan nitrit yang menyebabkan kematian itik sampai 50% (152 dari 300 ekor) secara tiba-tiba dengan gejala klinis keluar lendir dari mulut dan anus di Kupang (NTT) (YUNINGSIH, 1998). Sifat nitrit ini mempunyai sifat 10x lebih toksik dari nitrat dan pembentukannya dalam air minum (kolam) sama reaksinya seperti dalam tanah, yaitu hasil proses nitrifikasi (dengan bantuan bakteri tanah) dari amonia asal feses atau dari sisa makanan dalam air kolam tersebut. Maka untuk mencegah terjadinya proses nitrifikasi ini, sebaiknya ada pergantian air yang dapat mengurangi kotoran (feses) dan sisa makanan.
853
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Keracunan amonia Amonia Sampel No. 24, yaitu berupa supplement yang diberikan pada sapi potong dan informasinya yaitu menyebabkan kematian sapi potong dengan gejala feses keras. Ternyata setelah dilakukan pemeriksaan sampel supplement tersebut menunjukkan amonia tinggi (> 50 ppm). Sementara feses keras dapat menyebabkan konstipasi sebagai ciri spesifik dari keracunan amonia. Kemungkinan amonia berasal dari hasil fermentasi dari bahan supplement tersebut akibat pengaruh perlakuan penyimpanan tidak memenuhi syarat (DONALD et al., 1987). Sampel rumput (No. 25) menunjukkan amonia tinggi (> 50 ppm) asal dari salah satu peternakan di Palangkaraya (Kalimantan Tengah). Kemungkinan rumput ini telah mengalami perlakuan proses silase, terbukti bentuk rumput dalam keadaan dipotongpotong (diiris). Dengan proses silase ini dalam waktu tertentu akan menghasilkan amonia dan CO2 (DONALD et al., 1987), maka pemberian rumput yang mengalami proses silase harus mengetahui waktu yang tepat pemberiannya. Kemudian sampel lain yang berupa air limbah dan tanah (No. 26) yang berdasarkan informasinya yaitu kematian beberapa ekor rusa dengan gejala usus kering. Sementara usus kering ini menunjukkan adanya gejala konstipasi sebagai gejala spesifik dari keracunan amonia dan ternyata sampel air limbah mengandung amonia. Kemudian sampel tanah mengandung nitrat yang cukup tinggi (1500 ppm). Dengan tingginya amonia dalam air dan nitrat dalam tanah, maka kemungkinan besar sampel tersebut asal limbah dari pabrik fertiliser (pupuk nitrogen), karena nitrat asal dari proses nitrifikasi amonia (fertiliser) tersebut yang menghasilkan nitrat (seperti telah disebutkan di atas). Sampel pakan sapi (No. 27) mengandung amonia tinggi yang kemungkinan besar amonia berasal dari hasil fermentasi dari sampel pakan yang mengalami perlakuan penyimpanan (sama dengan kasus keracunan amonia No. 24). Kemudian amonia juga berasal dari urea (sebagai nitrogen non protein) tinggi yang dicampur dalam makanan (tidak homogen) dan menyebabkan kematian 10 ekor sapi perah
854
dengan gejala timpani akut, tremor, kemudian lemah dan mati. Ternyata sampel pakan mengandung urea dengan kisaran antara 0,157 – 2,655% (5 sampel pakan) dan 2 sampel isi rumen mengandung 0,187 dan 0,186% urea (YUNINGSIH, 1998). Sementara terjadinya keracunan amonia (urea) apabila kandungan amonia dalam isi rumen mencapai 0,08%. Keracunan sulfat Sampel air minum ayam petelur asal Grobogan (Jawa Tengah) (No.28) mengandung 2850 ppm sulfat setelah dilakukan pemeriksaan dengan cara spektrofometri. Kandungan sulfat dalam sampel air tersebut sudah jauh melewati ambang batas yang diperbolehkan, yaitu 250 ppm (WEETH et al., 1983). Kebanyakan sulfat diketemukan dalam sampel air, karena sulfat merupakan hasil pembusukan protein (oksidasi gugus sulfur dari metionin dan sistin) dalam pakan atau sisa-sisa pakan yang terbuang dan terserap ke dalam air. Kemudian kandungan sulfat pada level 2700 ppm produksi telur akan menurun. (VEENHUIZEN dan SHURSON, 1992). Hal ini sesuai menurut informasi dari peternak ayam petelur tersebut yaitu terjadi penurunan produksi telur dan setelah air minumnya diganti dengan sumber lain, maka produksi telur dari ayam tersebut normal kembali. KESIMPULAN Berdasarkan pengamatan dari hasil pemeriksaan keseluruhan sampel pada kasus keracunan ini maka dapat diambil kesimpulan, bahwa 1. Kasus keracunan sianida merupakan kasus yang terbanyak dibandingkan dengan kasus keracunan lainnya, dan kemungkinan ada insur kesengajaan. 2. Kasus keracunan yang banyak terjadi dari kontaminasi air minum adalah nitrat- nitrit yang mungkin disebabkan oleh kontaminasi dari feses. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1985. Official Method of Analysis. Association of Official Analysis Chemist. Ed. 14. AOAC. Washington D.C.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
ARKHIPOV, A. 1989. Nitrates and Nitrites in feed. Ptitserostuo, Moscowkil Veterinary Institute Moscow- USSR. 7: 31 – 33.
OSWEILER, G.D., T.L. CARSON, W.B. BUCK dan G.A. VAN GELDER. 1976. Nitratres, Nitrites and Related Problems. Clinical and Diagnostic Veterinary Toxicology. Kendall/Hubt. Pub. Co. pp. 460 – 467.
BARTIK, M. dan A. PISKAC. 1981. Preliminary Chemical and Toxicological Examination of Biological Material. Veterinary Toxicology. Elsevier Sci. Pub. Co. New York. p. 300.
PESTISIDA HIGIENE LINGKUNGAN. 1993. Komisi Pestisida. Departemen Pertanian. Jakarta.
CLARKE, E.G.C. dan M.L. CLARKE. 1976. Chlorides and Sulphates. Veterinary Toxicology. 1st Ed. Collier Macmillan Publisher. New York. pp. 50-54.
STAIR, E.L. dan MAX WHALEY. 1990. Rapid screening and spot tests for the presence of common poisons. Vet. Hum. Toxicol. 32(6): 564 – 566.
CASTEEL, S.W. dan E.M. BALLEY. 1986. A review of zinc phosphide poisoning. Vet. Hum. Toxicol. 28(2): 151 – 154.
VEENHUIZEN, M.F. dan G.C. SHURSON. 1992. Effect of sulfate in drinking water for livestock. JAVMA 201(1): 487 – 492.
DAMAYANTI, R. dan YUNINGSIH. 1994. Gambaran Patologi Keracunan Insektisida OrganofosfatDiazinon pada Ayam. Penyakit Hewan. 26(47): 53 – 56.
WEETH, H.J. dan D.L. CAPPS. 1972. Toleranca of growing cattle for sulfate- water. J. Anim .Sci. 34: 256 – 260.
DEINUM, B. and L. SIBMA. 1980. Nitrate Content of of Herbage in Relation to Nitrogen Fertilization and management. Proc. Int. Symp. Eur. Grassland Fed on The Role of Nitrogen Intensive Grassland Production. Wageningen. HOUSTON, W.R., L.D. SABATKA and D.N. HYDER. 1973. Nitrate- nitrogen Accumulationin range plants after massive N fertilization on Short Grass Plains. J. Range, Manag. 26(1): 54 – 57.
YUNINGSIH. 1998. Kasus keracunan urea pada sapi. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. YUNINGSIH. 1998. Keracunan nitrit akut pada itik dan keracunan nitrat pada domba dan kuda. Pros. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Veteriner. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. YUNINGSIH. 1996. Kasus keracunan Nitrat- nitrit pada sapi perah di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pros. Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
JONES, T.O. 1988. Nitrat/nitrit Poisoning in Cattle. In Practice. pp. 199 – 203. MENTERI KESEHATAN DAN MENTERI PERTANIAN. 1997. Peraturan Pemerintah RI tentang Perlindungan Tanaman dan Batas Maksimum Residu Pestisida pada Hasil Pertanian. Direktorat Bina perlindungan Tanaman.
DISKUSI Pertanyaan: Bagaimana cara pengambilan sampel? Jawaban: Berdasarkan spesimen dari peternak.
855