Kaset 1 Side A (Rizal Panggabean) Fokusnya yaitu masalah-masalah kebebasan beragama yang ada di Indonesia selama ini berhubungan dengan protective religious. Lalu titik temu yang kedua adalah polisi yang bermitra dengan masyarakat. Jadi bukan kompetensi-kompetensi polisi yang spesifik yang akan kita urusi, tapi kemitraan mereka dengan masyarakat, terutama masyarakat sipil dalam rangka melindungi kebebasan beragama. Jadi masalah kebebasan beragama, peran polisi, peran masyarakat. Tiga hal itu yang akan kita bicarakan ketika kita workshop nanti. Tetapi sebelum itu, karena ini adalah kata-kata kunci, maka pada hari ini salah satu tujuan selain tadi yang telah disebutkan Ihsan adalah, mengenai keterampilan atau pengetahuan apa yang harus kita bicarakan dalam workshop itu. Hal itu berdasarkan pengalaman teman-teman di lapangan. Dan dilihat dari kepentingan teman-teman COP. Itulah yang sekarang akan kita bicarakan. Jadi fokusnya ke situ. Dari situ akan muncul semuanya. Tapi kalau kita fokus pada tiga hal itu; Pertama yaitu masalah kebebasan beragama yang ditemui teman-teman di lapangan. Lalu yang kedua peran polisi di situ, masalah-masalahnya, tantangan-tantangannya dsb.. Lalu yang ketiga peran masyarakat. Nah ini semua akan mengarah ke apa yang tadi saya katakan. Kita mau membicarakan keterampilan, pengetahuan atau topik apa pada saat kita bertemu dalam workshop yang kita adakan di Yogyakarta. Besar harapan saya, Ihsan dan Budi, kita bisa membicarakan tiga aspek besar itu. Alasannya karena selain terkait dengan workshop tadi, kegiatan ini sifatnya sedikit jangka panjang. Akan ada yang berhubungan dengan polisi sendiri. Nanti akan ada kegiatan-kegiatan selanjutnya, khusus untuk membicarakan masalah ini dengan polisi, terutama lembaga-lembaga penyidikan dan organisasinya, POLRI, dan masyarakat sipil. Terakhir adalah aspek-aspek yang menyangkut tata kelola atau ketidakselarasan antar berbagai regulasi, undang-undang, konstitusi dsb. Mengenai tata kelola di bidang agama di negara kita yang harus kita pikirkan dalam jangka panjang. Itu mungkin sebagai pengantar. Kita mulai dengan aspek pertama, yaitu masalah-masalah kebebasan beragama yang dihadapi di masyarakat tempat anda tinggal, bekerja dsb. Setelah itu baru nanti kita berbicara tentang aspek polisi dan masyarakat. Apakah proses seperti itu bisa dipahami atau disetujui? Nah kalau ya, mari kita mulai dari aspek pertama, masalah-masalah kebebasan beragama di lingkungan yang sering kita temui atau pernah kita temui dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat. (Ihsan) Saya kira bisa diduga kalau nanti dikaitkan dengan peran polisi atau pemimpin agama atau masyarakat tentu saja terkait dengan tema kedua dan tema ketiga kan. Saya kira itu. Mulai dari percik nih. (Hery Percik) Membicarakan kebebasan beragama tidak bisa dilepaskan dengan politik zaman kolonial dan orde baru. Kita distressing di zaman orde baru di mana depolitisasi oleh orde baru itu sangat kuat sehingga hal ini sampai ke masyarakat bawah. Ketika masyarakat diajak bicara mengenai kebebasan beragama dan pluralisme, dia akan merujuk pada satu aturan normatif; hukum positif di Indonesia. Jika kebebasan beragama itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan, it’s ok, tidak menjadi soal oleh masyarakat. Tapi kalau kebebasan
beragama itu sampai keluar dari aturan perundang-undangan atau hukum positif, masyarakat akan mempunyai perlawanan. Kita lihat misalnya seperti agama-agama kong hu cu, lalu sekarang ini seperti Ahmadiyah lah. Itu kalau kita kategorikan sebagai agama Islam. Tapi dengan adanya kampanye-kampanye dari Islam garis keras itu saya kira berpengaruh di masyarakat tingkat bawah. Nah kecenderungan itu juga saya temukan di beberapa provinsi misalnya di provinsi Riau, Jawa Tengah dan sebagian sumatra dan kalimantan. Kalau diskusi mengenai kebebasan beragama sering dikait-kaitkan dengan peraturan, misalnya ada lima agama yang diakui pemerintah. Jadi depolitisasi atau deideologisasi oleh pemerintah orde baru itu sangat mengakar. Nah titik dasarnya di sana kalau kita berbicara mengenai kebebasan beragama. Itu dulu dari saya. (Ihsan) Ya saya kira itu termasuk salah satu aspek yang sudah disinggung sebagai aspek governance, aspek bagaimana pengelolaan hubungan antar agama atau inter-agama. Ada yang lain? (Imron Pusham UII) Dalam program COP yang selama ini telah dilaksanakan hampir 8 tahun, mungkin hampir tidak ada keluhan tentang proses beragama ya. Kalau kita lihat dalam COP sendiri itu orangnya sangat pluralis, ada yang kristen, Islam dsb. Pernah memang juga ada satu pertemuan di COP wilayah Depok Barat, ada seorang ketua POKJA di Depok Barat. Curhatnya itu adalah waktu itu di tempat tinggal dia itu ada masyarakat Papua yang menempati satu asrama itu. Dia berpisah karena mereka suka minum, main perempuan, membuat onar lah. Tapi itu sesungguhnya tidak menjadi gejala umum yang dibahas di Depok Barat. Lontaran itu kemudian kita serahkan penanganannya ke kepolisian. Saya tidak tahu apakah sekarang itu sudah dilaksanakan atau belum. Kedua pernah ada juga konflik antara orang pendatang, mahasiswa. Waktu itu adalah Ambon dengan Sulawesi Selatan dan anak Nusa Tenggara Timur dengan penduduk. Nah itu yang diselesaikan oleh kalangan POKJA, polisinya waktu itu tidak mampu menyelesaikan. Lalu itu dimediasi oleh POKJA dalam konteks konflik. POKJA COP dan tentang agama. Selama kegiatan itu praktis tidak ada keluhan tentang kebebasan beragama. (Rizal) Kenapa POKJA bisa menyelesaikan perselisihan itu sementara polisi nggak bisa? (Imron Pusham UII) Karena tokoh. Ketua POKJA yang menyelesaikan masalah keitka itu adalah tokoh dan memang dulu mantan preman sini. Dia juga kenal dengan orang pendatang dan penduduk asli. Karena itu sesungguhnya laten telah terpendam sejak lama. Kemudian karena Ketua Kapolseknya kenal dengan ketua POKJA maka Polseknya mengundang salah satu anak ketua POKJA untuk bisa menyelesaikan konflik ini. Akhirnya diselesaikan secara damai dan teman-teman pendatang itu dikeluarkan dari tahanan. (Rizal) Pernah nggak dari teman-teman dari POKJA-POKJA mendengar kasus pembakaran rumah ibadah di Jogja? Rumah kebaktian, dsb. Ada yang bisa komentar?
(Imron Pusham UII) Tahun 2002 ketika training polisi itu ada teman-teman dari Bantul. Tapi kita kan nggak masuk wilayah Jogjanya. Di situ ada keluhan masyarakat tentang pendirian tumah ibadah kristen, gereja. Di situ memang mayoritas katanya muslim. Sempat terjadi ketegangan tapi akhirnya itu diserahkan ke Departemen Agama. Kayaknya sih nggak jadi dibangun akhirnya itu. (Eko Pusham UII) Di Depok Barat ada masjid yang dismapingnya itu ada kos-kosan yang terdapat non-muslim Papua dan itu coba dibeli dengan harga tingi. Di Bringharjo ada Apotik yang digunakan untuk kebaktian, sekitar terminal lama. Dan itu sering diprotes oleh masyarakat. Alasanya Apotek ya untuk Apotek. Begitu lah. (Rizal) Itu kan menarik, ada kaitannya dengan rumah ibadah walaupun kosan. Tinggal itu kan eksistensi seseorang. Kalau di Malioboro atau dimana? (Imron) Ya kalau di malioboro PKL. (Agus Pusham Unair) Menjawab itu tadi. Kenapa kok memilih dimediasi oleh POKJA bukan polisi. Ada yang menarik ketika kami memprofilkan salah seorang ketua FKBF di majalah edisi bulan kemarin. Saya wawancara, kenapa sih ketika ada kasus warga kecenderungannya tidak diselesaikan ke polisi tapi ke Bapak? Ada beberapa alasan, yang pertama yang memediasi ini lebih dekat orangnya, mudah diakses dan dia nggak ada kecurigaan akan dirugikan oleh pihak yang memediasi. Jadi itu kira-kira alasan mereka lebih memilih POKJA untuk memediasi daripada polisi yang digunakan untuk problem solving. Di Surabaya ada juga konflik agama, tapi bukan antar agama melainkan sesama pemeluk agama. Antara pemeluk agama yang taat dengan yang kurang taat. Jadi ada satu masjid yang corong speaker-nya itu terlalu pendek jadi suaranya itu keras sekali terdengar ke rumah tetangga dari mesjid kecil itu. Nah si orang ini yang merasa kurang beriman, jarang ke masjid dan juga bising itu protes sama masjid tersebut. Akhirnya beberapa kali protes munculah potensi-potensi konflik antara keluarga itu dengan remaja masjid. Nah ini sudah mau bakar-bakaran lah. Akhirnya sama POKJA COP itu dimediasi, sampai melibatkan polisi dan bisa selesai, TOA-nya dinaikkan sedikit oleh remaja masjid tapi nggak sempat bunuh-buinuhan. (Ihsan) Ada beberapa pertanyaan menarik untuk dilanjutkan ya. Kalau dari keteranganketerangan tadi itu kan ada semacam ketidakpercayaan pada polisi. Atau kalau harus memilih antara polisi (pemimpin formal) atau POKJA (pemimpin non-formal) ya kita lebih memilih pemimpin non-formal. Kalau begitu kira-kira jika seandainya kita mau memuat satu pertemuan dengan tujuan akhir mengakrabkan polisi dan pemimpin informal kira-kira pandangan pemimpin informal seperti apa dari pendangan teman-teman? Kemarin di Paramadina sempat ada pertemuan. Ada Bu Musdah Mulia, yang mengritik keras sekali gubernur PTIK. Gubernur PTIK ini rupanya jago ngaman dan dia lebih liberal
daripada Bu Musdah. Jadi dia senang bahwa dia dipertemukan dengan Bu Musdah. Ada contohcontoh kasus kayak gitu nggak dari teman-teman? Mestinya yang harus diperkuat adalah kemitraan antara orang seperti bu Musdah dengan gubernur PTIK tadi. Artinya sebenarnya kita mengantisipasi banyak kesalahpahaman, tapi ternyata Musdah dengan gubernur itu banyak sepakatnya. (Agus Pusham Unair) Kalau itu mungkin kita punya contoh ya. Yang pertama di Banyuwangi, khususnya di Muncar. Di Muncar itu mungkin saya sudah bilang kemarin. Kapolesk itu kesulitan untuk mengakses mesyarakat di sekitar Polsek Buncar karena mereka lebih patuh kepada tokoh-tokoh agama. Jadi ketika dia mau menyampaikan pesan apapun, dia relatif selalu janjian dengan tokoh berpengaruh disana. Seperti waktu menyelesaikan diskusidiskusi kita disana yang berkaitan dengan masalah limbah pabrik minyak ikan. Lalu yang kedua, masih di banyuwangi juga, Pak Abdul Wahab itu salah satu tokoh LKPM dan juga seorang da’i. Jadi ketika sekarang dia berinteraksi dengan polisi, dia menyampaikan pesan-pesan KAMTIBMS. Dan inti dari program ormas itu adalah pengajian-pengajian. Setiap subuh dia punya slot bicara semcam kultum gitu di sebuah radio. Radio fajar kalau nggak salah di Banyuwangi. Nah dia memasukkan visi misi keamanan di situ. Menurut saya menarik ketka terjadi fusi antara kiyai dengan polisi dalam praktek atau kepentingan yang sama. (Ihsan) Itu artinya kira-kira, sebelum ke hal yang lain-lain, bagus juga ya Bud kalau kita berpikir sekali-kali nanti itu di radio At-Thahitiyah atau apa. Radio At-Thahitiyah itu luar biasa lho frekuensinya di Indonesia. Jam enam atau jam lima itu ada polisi sama pemimpin informal ngobrol mengenai topik sehari-hari. (Singgih Percik) Pengalaman saya. Pernah di awal-awal dulu tahun 2004 kita awal bikin ini. Di suatu kawasan perkotaan, karena disana sudah ada potensi laten konflik internal di masyarakat setempat, kemudian ada perpecahan di organisasi ta’mir masjid karena sebagian dari mereka ikut POJKA COP tapi sebagian lain tidak. Kemudian ada pertanyan tentang komitmen loyalitas apakan akan ke COP atau ke masjid. Teman-teman yang terlibat di COP kemudian memutuskan untuk keluar dan akhirnya semakin rumit masalah-masalah yang ada di situ. (Rizal) kenapa harus memilih antara COP dengan masjid? (Singgih Percik) Sejauh yang kami tahu memang insya Allah karena sejak awal-awal kan posisi kita… Kita harus bicara soal tiga konteks. Yang pertama: Kristen-Islam kan cukup kuat. Benteng Kristen Islam di Jawa seperti itu. Yang terakhir aja ada kasus “salib putih” dan itu melibatkan semua ormas Islam di Salatiga. Jadi “salib putih” itu itu kan satu kawasan perkebunan di wilayah yang sekarang Salatiga. Dan itu sudah ada sejak sekitar tahun 1910 ketika Gunung Kelud meletus. Itu kemudian ada satu orang Belanda yang membuat kawasan pelabuhan untuk korban Gunung Kelud itu. Nah di sana ada komplek yang jadi panti Salib Putih. Luasnya itu sekarang sekitar seratus jutaan yard lah hampir seratus hektar lebih. Ketika merdeka itu kemudian diserahkan ke sinodi kristen jawa DKJ.
Kemudian dulu kan ada undang-undang UPA tahun 60-an. UPA itu tidak boleh ada kepemilikan di atas 25 hektar dan ada semcam perjanjian informal. Secara formal tanah sudah diserahkan ke permintah tapi kepengurusan di serahkan ke DKJ selama 100an tahun. 2007 kemarin HGU sudah mau habis dan sebagian kelompok Islam seperti NU dan Muhammadiyah, sebetulnya awalnya personal, hanya saja mereka aktif di beberapa organisasi itu,- ada yang mempelopori untuk menjadikan sebagian dari wilayah itu - kalo nggak salah dari 50 hektardijadikan Islamic Center. Dari situ kemudian diorganisir. Saat itu Walikota Salatiga itu kristen asal manado dengan perilaku yang maaf, itu seperti kartu as yang gampang dimainkan. Mereka selalu mempersoalkan itu yang dianggap memiliki kekuasaan untuk itu. Awalnya dia adalah Wakil, tetapi semenjak Walikota meninggal dunia dalam jarak 1 tahun jabatannya, dia menjadi Walikota.. Walikota yang lama itu telah memberikan janji lisan untuk memberikan semacam otoritas kepada kelompok Islam untuk bisa mengelola ini. Tapi kemudian secara formal dimenangkan lagi oleh sinodi DKJ. Karena tahun 2007 itu kalah secara hokum, mereka kemudian main secara politik. Mereka mengorganisir demonstrasi ribuan orang. Dan itu menarik dalam arti strateginya karena itu dilakukan di hari mingu jam 7 pagi bertepatan dengan pengajian di masjid Kauman dan kebaktian di gereja-gereja sepanjang Salatiga. Sebelum itu di masjid-masjid kampung juga diberi pemberitahuan untuk berkumpul di sana untuk melakukan demonstrasi. Mereka bilang kita akan pengajian ke masjid Kauman Salatiga tapi disana dikasih ceramah-ceramah yang provokatif. Kemudian jalanlah orang-orang itu ke Walikota dan memberikan beberapa tuntutan. Sebenarnya ada 11 tuntutan dan isu itu jadi otoritas Walikota Salatiga. Kasus itu memunculkan ketegangan karena isunya itu hanya kristen DKJ, dominasi kristen di Salatiga. Dan ormas juga seolah-olah merepresentasikan umat Islam secara keleluruhan. Itu menimbulkan ketegangan antara dua kutub agama, Islam dan Kristen. Tapi juga di masingmasing Islam dan di masing-masing Kristen. Posisi polisi sendiri juga gamang, dia hanya mengawal bersama Kodim, Korem dll., jadi semacam pengamanan. Cuma dulu sempat ada dugaan bahwa komandan polisi ini akan ikut dalam proses-proses ke arah sana tapi kemudian kita tahu mereka lebih fokus ke keamanan. Itu yang sampai sekarang, meski sudah relatif cooling down, tapi sewaktu-waktu bisa muncul konflik di situ. Misalnya ketika kita audiensi dengan Kapolwil Semarang. Di situ juga ditanyakan apakah mereka ingin cerita lebih dalam tentang konflik salib putih itu seperti apa. (Rizal) Jadi sekarang seperti apa? Kristen DKJ punya satu perusahaan… (Singgih Percik) Ya…perusahaan namanya RMS. Itu yang kadang-kadang…pertengahan 2007 itu yang mulai ramai. Dan itu agak rumit karena memang melibatkan jejaring antar kita juga. Siapa yang terlibat itu justru sebetulnya sudah punya hubungan jauh lebih lama. Kadangkadang kalau sudah seperti itu jadi lebih sulit untuk menyelesaikan itu (Ihsan) Konteksnya tadi kan kenapa orang harus memilih antara COP atau masjid kan?
(Singgih PErcik) Jadi maksud saya saya hanya menceritakan konteks Salatiga secara keseluruhan tapi itu ketika awal kita memulai program COP begitu kan. Percik sendiri kita tak punya kaitan dengan gereja atau Kristen tapi toh kemudian ada aspek kesejarahan yang membuat orang bisa mencitrakan demikian. Masyarakat memunculkan isu-isu demikian dan di komunitas yang kita pada mulanya. Apalagi dulu awal-awal kan dari USAID kan puluhan. Kadang-kadang simbol-simbol seperti itu di masyarakat masih sentimen. Kan jelas banget “from American people”. Kalau dari USAID tok kan… tapi ini jelas banget jadi agak susah kita untuk menjelaskan. Paling bilang ya Amerika macem-macem lah, ini dari jamaat masjid di Amerika gitu. Jadi pada awal kita memulai program itu di wilayah perkotaan satu di wilayah pedesaan. Dalam arti itu wilayah pemekaran jadi sudah masuk wilayah Kotamadya. Jadi di wilayah perkotaan kita temukan tidak ada posisi aktor yang dominan. Di wilayah pedesaan termasuk agak enak karena ada aktor yang dominant, temasuk tokoh agama di situ. Wakapolres dulu pernah juga di wilayah pedesaan itu kita minta untuk berkhutbah di situ dan diterima dengan baik. Ada pendekatan-pendekatan keagamaan yang kita lakukan, satu di wilayah lburejo itu. Di wilayah perkotaan yang sebenarnya tidak jauh dari Percik sendiri justru relatif sedikit tegang. Ada masalah dalam segi identitas keagamaan dll. disitu. Dan polisi memang selalu kalau sudah masuk wilayah keagamaan ini gamang ya. Dan mereka sempat memunculkan semacam pernyataan tantangan ya. Ada orang, itu ketua ta’mir meminta bahwa program COP supaya diberhentikan saja begitu. Dan kita juga membuat komentar ke Polisi ya yang bikin statement itu kan hanya beberapa orang saja, seolah-olah membangunkan masalah baru di situ dan akhirnya diam saja. Waktu kita audiensi dengan Kapolres Semarang juga isu-isu muncul. Di daerah Semarang juga ada semacam isu-isu soal Gereja dll. Itu ya rata-rata pembangunan, tidak pengalihfungsian gedung. Maksud saya sebenarnya tergantung konteksnya. Kalau untuk wilayah pedesaan ada tokoh agama yang posisinya relatif dominan dan masyarakat itu gampang, tapi kalau di wilayah perkotaan ya pengalaman kami yang relasi antar warganya sejajar, ya relatif agak rumit kadangkadang. (Rizal) Itu kan seringkali tidak di kepemimpinan di masyarakat, baik yang di FKMU atau POKJA. Sisi positif pokja: Satu sebagai penghubung antara masyarakat di situ, lalu dua sebagai jembatan yang mungkin citranya belum bagus. Tapi jika kepemimpinan di masyarakat itu yang negatif dilihat dari sudut kebebasan beragama, apakah ada? (Eko Pusham UII) Kita melihat begini. Kan memang menurut pengalaman kita ketika COP itu merintis pendiriannya dengan POKJA- POKJA di kalangan masyarakat, yang saya tarik itu ada 3 kelompok keagamaan. Biasanya mereka akan merasa memiliki pengaruh bahwa program ini sesuai dengan kebutuhan praktis mereka untuk isu-isu seperti narkoba, kemaksiatan dll. Itu kan hal-hal yang relevan bagi mereka karena mereka selama ini tidak punya perangkat untuk mendirikan ordo semacam itu. Polisi menjadi salah satu mitra yang relatif tepat untuk dipilih. Itu yang kemudian menyebabkan di pengalaman kami barangkali persoalan COP itu pertama dari segi tempat. Mereka gunakan masjid. Kami merasa itu strategis karena massa cukup
banyak dan program disosialisasikan dengan baik. Ini akan memudahkan. Tapi ketika mereka terlibat, kampanye kemaksiatan itu lebih militant ketika “o iya polisi dituntut”. Seringkali ketika polisi itu didorong untuk melakukan tindakan-tindakan keras untuk menindak. “Kapan polisi bertindak ayo dong.” Di Depok Barat kemudian polisi yang tidak berani bertindak ya sudah masyarakat yang lakukan lah. Kata Polisi, kita back up lah Cuma kita nggak turun tangan. Tapi kata masyarakat, kita kasih borgol dong. Oke kita kasih borgol, pentungan dll. Kapolsek itu kemudian diangggap oleh masyarakat mendukung program ini. (Rizal) Program main hakim sendiri…? (Eko Pusham UII) Program main hakim sendiri. Rame-rame. oh berarti bagus nih karena Pak Kapolsek itu sudah dukung kita. Kita tidak dituntut dsb. Itu kapolsek 2004-2005. Dan kecenderungan itu di banyak tempat terjadi. Misalnya Perda MIRAS ada tukang-tukang masyarakat untuk mengatasi persoalan taman itu dengan polisi melegitimasi status mereka. Oke. Layanan polisi yang cepat tepat ini kemudian dianggap sebagai bagian dari layanan dan kemudian mereka dengan antusias … (Rizal) Kenapa bisa ngasih borgol segala? (Eko) Sebenarnya mau dikasih senjata tapi atasannya marah (Ihsan) Ada Kapolsek sebodoh itu? (Eko) Fundamentalis orangnya (Imron) Kapolseknya itu mantan intel (Eko) Itu yang membuat kita memfasilitasi beberapa pertemuan. Itu berujung pada keputusan eksekutor. Nah situasi ini yang aneh. (Ihsan) Tapi sebelum menilai. Ini masalah polisi yang ingin melepaskan tanggung jawab dan meletakkan tanggung jawab itu kepada masyarakat sipil (Rizal) Ini kan menyangkut perubahan-perubahan di kepolisian pada umumnya ya. Dan katakanlah semacam ada lampu hijau untuk kemitraan. Polisinya nggak tahu kemitraannya kayak apa. Memberi borgol dan membiarkan orang melakukan sweeping dsb. Itu dia jadi ekses
sebenarnya. Cuma makanya tadi saya menanyakan kalau ekses itu masih terjadi lagi atau ada insiden lain itu menjadi jauh lebih serius karena itu sudah termasuk tingkatan golongan perdet ya (Imron) Dihubungkan dengan isu yang tadi itu saya masih… kita coba menyambungkan beberapa hal aja ya. Ketika kita mencoba menyambungkan POKJA-POKJA tadi berarti agama itu masih berguna sebagai: satu ya fasilitas gedung dasarnya di masjid. Di tengah-tengah wilayah yang plural, secara agama dia menjadi lebih hati-hati. (Rizal) Kalau di masjid yang boleh masuk dan tidak kan terbatas. (Ihsan) Atau polisi semuanya. Kristen boleh ke masjid. (Hery Percik) Saya ingin menambahkan yang diucapkan Singgih, ada kaitan dengan politik. Sebenarnya orang yang menjadi Wakil Walikota ini kan tidak punya waktu. Walikotanya meninggal dan kemudian dia jadi Walikota. Harapannya kalau ini digoyang dan kemudian jatuh akan ada kekosongan, lalu pemilihan ulang. Harapannya dia bisa terpilih jadi Walikota. Bisa saja seperti itu karena … (Ihsan) Yang menggoyangnya siapa atau partai apa? (Hery Percik) Terakhir Golkar sama PPP. Nah yang mnarik itu seperti ini: Sebetulnya bahwa orang yang menggerakkan itu sudah diketahui oleh polisi. Dari tingkat Babin sampai Kapolda, saya sudah komunikasi dengan Kapolda sekitar satu bulan yang lalu. Dia sudah tahu bahwa politisi inilah yang menggerakkan itu. Tapi nggak digubris karena orang ini punya status yang kuat di Salatiga seperti modal, bangunan. Dia sesudah demo Walikota bisa saja komunitasnya dengan Walikota untuk obrolan tentang percik. Karena dia kontraktor dan Walikota ini temannya dia. Itu kesimpulannya di situ. (Rizal) Tapi kan ada beberapa aspek di situ yang menyebabkan hubungan antara sesama agama sebagai kartu untuk merepresi berbagai… (Hery Percik) Dan mereka anu… beberapa kelompok Islam memang sengaja memanfaatkan itu untuk kepentingan itu. Islam untuk kepentingan Islam lah., (Ihsan) Tapi tokoh pengusaha ini kuat, memang dikenal sebagai tokoh Islam? (Hery Percik) Di Salatiga, dia itu memang yang sekarang ini relatif pengusaha nasional yang cukup kuat dan dalam arti hampir semua organisasi Islam kalau butuh sesuatu ya minta dan
akhirnya dikasih juga. Ada semacam utang budi yang ditumpuk. Dia di HMI, ketua KAHMInya juga ya tapi dulu sempat di PDI. Tapi itu waktu pertama, karena gagal, dia nyalon di partai golkar. Dia dua kali pilkada dua kali gagal (Ihsan) Dia menampilkan diri sebagai sosok Islam? (Singgih Percik) Sebetulnya dia itu sekuler. Menurut keterangan teman-teman, karena dia anak juragan pernah kuliah di… (Hery Percik) Tapi di Salatiga ya.. Kampanye antara tahun 1999 dengan 2006 itu berbeda. Tahun 1999 dia kampanye dengan ideologi pluralis karena dia diusung oleh PDIP. Ketika tahun 2000 bagaimana dia bisa memenangkan itu sementara wakilnya ini dari PPP, identitas Islam dimunculkan disana (Ihsan) Yang tadi menjadi isu itu adalah polisi membiarkan isu itu berlarut-larut. Gitu kira-kira ya. (Hery PErcik) Polisi gamang …
Kaset 1 side B (Hery Percik) …Sangat terbebani. Maju kena mundur kena. (Ihsan) Sebelum ke Eko. Tapi saya ingat dia punya poin nomor 2 nanti kita tanya. Pengalaman Percik di Salatiga waktu approach soal pemuda terus hubungannya dengan pluralisme agama bagaimana? (Singgih Percik) Waktu itu kita belum bicara lugas soal pluralisme. Jadi sebenarnya misalnya mereka mengenal teman-teman Percik yang ikut terlibat dalam program COP, saya kira 80 atau 90 persen non-Islam. Pada mulanya juga teman-teman komunikasinya a la Islam. Pakai asalamualaikum dan semacamnya. Tapi lama kelamaan disesuaikan dan warga di pedesaan situ bisa diterima dan tidak jadi soal. Karena di desa itu hampir semua Islam. Kita juga memfasilitasi polisi-polisi untuk... Pernah beberapa kali kegiatan di masjid dan halaman masjid, masak bersama polisi, warga dan khotbah, juga ada anak-anak macam-macam disitu dan berjalan dengan baik. Hanya di samping ini, di wilayah ini ya memang kita sadar kita salah masuk juga. Kurang mantap menyisir jalan.
(Ihsan) Ya itu jelas dan memang tidak harus menggunakan nama pluralisme. Seperti orang dari berbagai latar belakang bersatu melalui suatu kegiatan sosial. Tapi setiap kali ada acara seperti itu tidak ada masalah ya? (Singgih) Tidak ada masalah. (Ihsan) Kenapa saya menanyakan ada masalah atau tidak karena tadi kita kan mau workshop dan kita mau membicarakan jenis keterampilan apa dan ilmu apa yang perlu kita sharing bersama supaya nanti kerjaan kami semua, maksudnya kita bisa lebih enak. Kira-kira persoalan apa yang dihadapi teman-teman dalam menghadapi kegiatan yang melibatkan orangorang tadi. (Hery Percik) Jadi selepas ada persoalan di lingkungan masyarakat, kami cenderung untuk mendorong itu. Terserah masyarakat apa mau terus atau nggak. Kalau mengadakan pertemuan di masjid, sebagian masyarakat pengurus masih mengindahkan, sebagian lagi tidak datang. Jadi waktu itu bingung. Kebetulan pemicunya Pilkada dan calon itu juga. Ada pertarungan pertai disana, PDI, Golkar dan PKB juga. Kaitan dengan keterampilan, kami tidak terlalu berani masuk ke wilayah pendampingan karena mereka ingin menyelesaikan sendiri. Dan akhirnya, dikaitkan dengan yang saya sebut dengan keterampilan: Apakah dengan situasi seperti itu ketermapilan apa yang diperlukan? Membangun dan memfasilitasi masyarakat, masjid, COP dan masyarakat umumnya. Itu saja. (Ihsan) Ya itu ada kebutuhan mendesak. Di situ ada kepentingan politik yang sangat sangat sesaat, yaitu memenangkan Pilkada. Dan pekerjaan yang normal itu bisa di rusak-rusak. Ada yang lain sebelum ke Eko? (Agus Pusham Unair) Jadi untuk membicarakan peran polisi dan masyarakat dalam melindungi kebebasan beragama menurut saya kata kunci bukan hanya pada keterampilan tapi keberanian. Saya kasih contoh dalam kejadian yang terjadi di Surabaya, di awali dengan pembakaran buku-buku toko resist yang dicurigai sebagai kebangkitan komunisme baru. Yang penting keberanian. Lalu yang kedua itu di kegiatan Festival Seni Surabaya itu ada sebuah seni instalasi dimana ada seorang seniman menggambarkan lokasi timur tengah. Lalu disana ada tanda tanda minyak dan isinya kayak ada tanda-tanda jarum. Itu seni instalasinya interaktif. Jadi ada gambar-gambar tokoh agama, seperti Saddam Hussein dll. Lalu penonton dipersilakan untuk mencoblos di sana, di salah satu titik. Maksud dari seni itu adalah bagaimana pelukis menggambarkan bahwa konflik yang ada di Timur Tengah itu adalah konflik kepentingan, khususnya minyak. Tapi itu dipandang lain oleh kelompok-kelompok fundamentalis di sana dan akhirnya Festival Seni itu diserbu oleh FPI, MUI Hizbut Tahrir, MMI dsb. Sampai ini dibubarkan. Nyaris bentrok, tapi senimannya ngga bentrok lah, kecil-kecil dan
sudah banyak yang tua. Itu tahun 2006. Festival itu akhirnya bubar. Di situ polisi nggak ngapangapain. Saya nggak ngerti alasan apa yang diambil. Kita berusaha memediasi, mengumpulkan seniman-seniman, tokoh-tokoh LSM disana termasuk dari pihak-pihak yang menyerbu itu. Ya memang nggak ketemu karena perspektifnya beda. Tapi mereka masih bersedia dialog di forum kajian. Oke kita dialog di sini nggak apa-apa tapi kita juga bisa dialog nanti di lapangan, begitu ancam tokoh-tokoh fundamentalis itu. Di lapangan ketika kita kira sudah islah maka kita ajak dialog dalam bentuk-bentuk yang tidak hormat, yaitu kekerasan. Satu lagi di tahun 2006 itu ada beberapa rangkaian. Itu diakhiri oleh peringatan hari HAM yang salah satunya diindikasi oleh PUSHAM. Beberapa kali rapat di sekretariat, kita kumpulkan beberapa elemen untuk bikin beberapa rangkaian acara semacam lomba-lomba. Temanya kayak penculikan, traficking dll. Lalu di satu siang itu ada pemutaran film shadow play. Ini sebenarnya nggak ada kaitannya sama konflik beragama. Tapi ketika film itu diputar, kelompok-kelompok fundamentalis, dari MUI, dsb. menyerbu dan membubarkan acara itu. Waktu itu polisinya ada sekitar 30an tapi ketika diserbu hanya tinggal sekitar tiga orang. Staf yang hanya beberapa orang itu dikerubuti oleh puluhan orang berjenggot dan berjubah. Saya diancam dibunuh, dikafir-kafirkan, dikomunis-komuniskan. Ada satu kompi polisi, Dalmas, satu truk penuh (satu kompi / satu pleton) itu hanya berjaga-jaga di depan tapi tidak melakukan apa-apa. Kapolsek juga ada di samping saya tapi tidak melakukan apa-apa. Saya didorong-dorong, diintimidasi, mau disakiti tapi mereka tidak ada tindakan apa-apa. Pada waktu itu negosiasinya saya tawarkan dialog dengan sepuluh orang. Dan itu sepakat. Negosiasinya bersama polisi dengan perwakilan dari pendemo. Jadi demonya ada sekitar 300an orang. Saya minta 10 orang ketemu sama saya untuk ngomong di dalam. Tapi satu gedung itu penuh, ada sekitar 50-an orang dan mereka mengintimidasi saya yang hanya 3 orang. Ada videonya. (Rizal) Kenapa mereka marah? Shadow play itu kan? (Agus Pusham Unair) Shadow play itu kasus 65. menurut mereka umat Islam ini yang banyak dibantai kenapa kok PKI yang dibela? Sebenarnya itu. Lalau kalau mau membicarakan peran masyarakat sipilnya, sebenarnya dari situ akhirnya dukungan terhadap kita mulai mengalir, seperti dari kelompok-kelompok keagamaan. Tapi sebelumnya memang kontak dengan itu juga baik. Akhirnya pasca itu kita bikin forum lagi untuk introspeksi akhir tahun dan ini tutornya lebih solid lagi ya. Jadi kelompok-kelompok tiong hoa, NU, Muhammadiyah itu semuanya satu banser dan polisi itu semuanya mendukung. Jadi kita bikin acara tandingan lagi, kita setelah diserbu itu nggak kapok. Awal tahun 2007 kita bikin lagi itu. Itu namanya Aliansi Anti Kekerasan. Di situ hampir semua elemen mengecam semua tindakan kekerasan seperti itu. Dan di situ yang datang ketua MUI Jawa Timur, jadi orator, Ketua Muhammadiyah Jawa Timur juga jadi orator, Kapolda juga datang jadi orator, ketua Banser Jawa Timur juga datang ke Jogjakarta untuk mengecam acara itu. Jadi sebenarnya ketika keberagaman atau perbedaan pendapat itu dibatasi maka respon dari tokoh-tokoh agama yang selama ini di Jawa Timur itu saya rasa cukup baik. Tapi tetap, peran dari polisi itu sebenarnya mereka nggak ngapa-ngapain. Mereka hanya membiarkan. Ketika saya menuntut itu dan datang ke kantor, jawabannya acara ini belum ada
izin. Lho saya bilang begini, “saya ini bayar pajak, apa karena acara ini izinnya belum sampai ke Kapolda apakah lantas saya dibiarkan dibunuh di depan polisi? Dimana hak saya dipertahanakan?” (Ihsan) Kita kembali dulu aja sebelum ke yang lain. Ada yang mau menambahkan nggak poin yang di Surabaya? (Lutfi Pusham Unair)Selain keberanian juga menurut saya polisi harus bisa mengambil keputusan dalam posisi sulit. Karena ternyata fakta di lapangan ketakutan polisi terhadap pelanggar HAM itu menjadi momok yang besar sekali. Ketika mereka berhadapan dengan MUI, HTI itu jawel aja nggak berani gitu lho. Aneh sekali. Ketika mereka bersenjata lengkap seperti pentungan dll. Tapi tidak ngapa-ngapain. Ketakutan mereka adalah pada klaim pelanggaran HAM. Itu terbukti ketika kita terakhir membuat pelatihan dan salah satu pembicaranya dari kepolisian. Ketika itu bicara tentang demonstrasi. Pesertanya adalah polisi kemudian yang memberi materi juga adalah polisi. Ada satu kata yang mengganggu saya ketika pemateri bilang kalau kita berhadapan dengan pendemo, ada dua kelompok yang harus kita jauhi menggunakan kekerasan: yaitu mahasiswa dan partai politik atau hal-hal yang berbau politik. Saya berfikir kalau di luar itu, seperti tawuran antar pelajar berarti sah-sah saja melakukan kekerasan jika mereka berhadapan. Dan itu yang ngomong juga langsung dari polisi. Artinya jika itu diartikan sebagai sebuah instruksi. Kalau atasan ngomong A berarti, oh ya kalau ada demo mahasiswa atau partai politik berarti nggak boleh ngapa-ngapain. Ini kepemimpinan juga mempengaruhi. (Agus Pusham Unair) Sebenarnya di polisi itu ada tiga hal yang sangat diperlukan. Legalitas, nesesitas dan proporsionalitas. Itu menurut saya skill yang memang harus diperkuat dari polisi. Legalitas; apa yang bisa membuat dia melakukan sesuatu. Lalu nesesitas, yaitu seberapa perlu. Proporsionalitas; seberapa proporsional mereka melakukan itu. Menurut saya itu yang harus diperkuat kalau misalnya kawan-kawan paramadina dan UGM memperkuat status POLRI. (Ihsan) Poin kedua. Yang lain. Nanti langsung kembali ke kamu. Kembali dulu (Alwan Manikaya Kauci) Ya kalau melihat keberagaman seperti ini memang masyarakat sendiri cenderung datar ya dalam melihat keberagaman. Jadi yang pernah kita alami juga pada tahun 2005, itu pun juga bukan dalam hal keberagaman agama tapi memang ada sektarian seperti LDII waktu itu. Itu di Jembrana dan salah satu mitra kerja kita juga ada di sana di desa Bulukan. Nah LDII juga kemudian sudah berproses, berapa tahun saya lupa. Ternyata dipermasalahkan oleh masyarakat muslim di Bulukan. Bulukan geografisnya nelayan dan pegunungan. Di bagian nelayan ini yang mayoritas muslim. Yang di pegunungan mayoritasnya Hindu. Di masyarakat muslim ada LDII yang berproses kemudian. Yang dipersoalkan oleh masyarakat muslim di luar LDII adalah persoalan-
persoalan yang membuat mereka tersinggung soal etika-etika sosial yang tidak sesuai dengan yang umum dan wajar oleh masyarakat setempat. Karena kebetulan memang program COP ada di sana, ya kembali lagi seperti itu. Akhirnya KPM atau POKJA Jawa Bali memfasilitasi adanya persoalan di tingkatan masyarakat dengan melihat, ini juga belum tahu, persoalannya polisi semuanya beragama Hindu. Nah entah keterampilan dan keberanian apa yang diperlukan ini juga jadi pertanyaan. Mereka Hindu dan keberanian serta pengetahuan juga belum memadai. (Ihsan) Populasi Non-Hindu di Bali ada berapa persen ya? (Alwan) Saya kurang tahu. Nah kemudian setelah itu memang dibiarkan untuk POKJA dan masyarakat yang berproses tapi didampingi oleh Kamtibmas di daerah itu. BABINKAMTIBMASnya juga Hindu-Budha. Proses-proses penyelesaian dan mediasinya juga dilaksanakan di mushola dan rencana-rencana seperti apa yang akan didiskusikan dengan warga LDII. Sampai akhirnya setelah itu deadlock dan terjadi pengusiran oleh masyarakat muslim terhadap LDII. Nah ini masyarakat Hindu memang tidak ada persoalan apa-apa selain menonton dan kalau tidak mengganggu saya ya... (Rizal)Diusirnya bagaimana? (Alwan) Jadi ada demo besar-besaran dari masyarakat muslim di Bulukan yang mengorganisir beberapa desa lain di daerah Jembrana karena memang di sana sekitar 40% wargannya muslim. Mereka menghubungi desa yang lain untuk ikut bergabung. Kemudian karena komunitas LDII lebih banyak di Bulukan dan akar masalahnya disana, akhirnya mereka demo dan seperti itu lah, terjadi pengusiran di Bulukan. Prosesnya seperti itu. Kalau untuk kebebasan beragama ya peran polisi sebatas itu, pendampingan dan tidak terjadi anarkisme. Kalau sampai terjadi kerusakan dll. memang belum ada. Jadi intimidasi saja yang dilakukan oleh masyarakat muslim. Perusakan tidak terjadi. (Rizal) Pengusiran itu sudah merupakan lebih dari intimidasi? (Alwan) Ya tapi memang peran polisi cuma melihat kemudian mendampingi. Terus juga mungkin ukuran atau indikasi yang dipakai polisi ketika mereka berhadapan dengan kasus-kasus tersebut. Ketika kita ngomong intimidasi itu bagi polisi sudah masalah. Dan diukur ketika itu gerakan-gerakan represif mulai berani bertindak gitu. Jadi ukurannya kalau ada bentrokan baru dia maju, tapi ketika ada intimidasi, ancaman-ancaman itu tidak di-anu oleh mereka. Dan sebetulnya itu juga kekerasan. (Alwan) LDII itu pusat terbesarnya kan di Makassar kan? (Ihsan) Kediri. Nama lainnya Islam Jamaah. Di belakang Paramadina juga ada.
Silakan. (Yunus Fahmina) Di Cirebon kalau membicarakan polisi dalam konteks kebebasan beragama ini sudah ada lama jauh mungkin sebelum kita ada program COP yang sekarang karena memang... Intensitas soal tindakan-tindakan kekerasan, baik yang sifatnya psikis maupun yang sifatnya perusakan atas nama agama di Cirebon itu sedikit intensitasnya paling tinggi menurut pandangan kami. Dalam minggu ini saja sudah ada beberapa kejadian. Yang up-date ya sekarang sudah datang ketua MUI dari Jakarta ke Cirebon. Di sana MUI cenderung arahnya ke pedoman. Kemudian Abu Bakar Baasyir saja pernah berkali-kali datang ke sana, ya kalau kita lihat semacam konsolidasi atau apa lah. Kemudian minggu ini juga ada ribuan keluarga Pancasila, itu suatu daerah yang memang secara Islami agak kurang tapi di situ suasana pesantrennya sangat kuat pesantren salaf. Tapi kemudian dimasuki oleh sekelompok orang yang kemudian mendemo sebuah stasiun televisi yang diduga dimiliki oleh orang kristen dan siarannya itu dianggap sebagai pola penyebaran kristenisasi. Itu belum siaran, belum terbukti. Baru mau bangun. Nah ini pemerintah sendiri karena selama ini kita selalu menyuarakan kebebasan beragama dimana kami juga sebenarnya punya program tersendiri untuk kerukunan beragama, tapi secara umum kami banyak sekali menemukan tantangan di kota Cirebon karena kami juga sempat di… oleh berbagai macam aliran. Di Cirebon itu ada aliran syahadatain di Ciledug. Kelompok Syiah juga sering datang dan diskusi dengan kami. Semua aliran-aliran yang dianggap sesat itu datang dan hadir ketika kami mengadakan refleksi 7 tahun kami di sebuah tempat dan mereka menemukan sebuah kesimpulan bahwa ternyata mereka tidak sendiri. Kami mencoba memberikan ruangan bagi mereka. Kekuatan Ramina adalah selama ini kita mencoba menjalin hubungan dengan pesantren pusat. Karena kebetulan ketuanya juga berasal dari pesantren. Nah dengan latar belakang inilah, dan ini sebenarnya kaki kuatnya disana kita punya dukungan. Kita mencoba melihat kecenderungan terakhir bahwa arah dari Islam yang sekarang khususnya beredar di kota. Di daerah-daerah juga sudah mulai masuk bahwa orang-orang yang menguasai masjid-masjid atau mushala sepertinya teman-teman dari kalangan umum, atau apa yang terletak pada Islam damai, humanis. Itu lebih digalakan dan ini kemudian... kita mulai… ada teman kita yang kemudian masuk di konsep dan dia jadi salah satu ketuanya. Ini menurut kami sebagai suatu hal yang taktis ya! . Nah dalam posisi seperti itu, juga pernah seorang Kapolres didemo oleh orang MUI dll. karena dia Kristen dan itu minta perlindungan ke Pamina. Harusnya polisi yang melindungi Pamina kan. Kebalik. (Rizal) Mestiinya kan orang MUI itu nggak demo ke orang itu kan. Dia itu cuma ikut aja, kan ditunjuknya di situ. Tapi MUI sendiri kalau ditanya soal itu kira-kira jawabannya apa? (Yunus Fahmina) Itu sebenarnya ujung-ujungnya tidak terjawab. Tapi tampaknya nggak lama pindah juga akhirnya kan. Dan itu mungkin dibandingkan dengan Kapolres yang lain mungkin lebih cepat. Nah soal keberpihakan kepolisian ini juga tergantung dari intensitas dari kelompok keagamaan mana yang mendekati mereka. Ini yang mungkin jadi tantangan bagi kita
bahwa di Cirebon itu kelompok yang tinggi intensitasnya itu, bahkan datang dan mendatangi setiap masjid Polres itu kan kalau kita sebut ya provokatif semua. Itu dikuasai oleh orang-orang yang provokatif. Nah itu sudah masuk disana. Polisi celakanya kan sebagian besar itu berkiblat ke sana. Dan kita sebenarnya sudah melakukan upaya. (Rizal) Kecenderungannya seperti apa? (Yunus) Kecenderungannya itu mimbar-mimbar jumat itu cenderung diisi oleh temanteman yang arahnya itu lebih kepada ekstrim, fundamentalis. Ya kalau kita melihat disini… (Rizal) Fahmina nggak keluar? (Yunus) Ya kita nggak punya banyak orang kan. Kita lebih banyak di Pesantren aja kan. (Rizal) Pesantren kenapa nggak suruh ngirim banyak ustadznya itu untuk ceramah di masjid polisi? (Yunus) Ya beberapa teman juga sudah melakukan itu. Tapi tentu saja polisi lebih dekat dengan institusi, MUI umpamanya kan. Dan MUI yang sepertinya punya otoritas untuk nyebarnyebarin ulama-ulamanya. Secara pribadi maupun keluarga polisi cenderung lebih kepada Islam yang radikal. Secara signifikan itu tidak terlihat. Tetapi ketika kecenderungan pola hubungan dengan tokoh-tokoh kegamaan itu lebih cenderung ke arah sana. MUI umpamanya, tokoh-tokoh itu banyak yang duduk di MUI. Ini yang kami lihat.karena memang arah dari hubungan keagamaan itu seperti yang saya katakan tadi. Bahwa polisi merasa oke-oke saja ketika ada penggerebegan dsb. oleh kelompok-kelompok seperti itu. Arahnya kemudian ya seperti itu, seperti pembiaran itu. Nah ini tantangan bagi kita sebenarnya. Nah bagaimana kita mengurangi hal-hal demikian, ini bisa kita bicarakan bersama. Itu gambaran singkat aja.. (Eko Pusham UII) Aku ingin ngomong singkat. Jadi mungkin karena itu, pengalaman kami dalam setiap pertemuan-pertemuan di masyarakat, problem-problem sosial tertentu itu memang tidak mampu dijawab oleh orang selevel Kapolsek. Potensi-potensi ancaman misalnya, kalau di Sidoarjo itu orang sebenarnya sudah mengeluh terhadap fasilitas-fasilitas Sudedi di Umbulhardjo. Misalnya mereka sering ada latihan perang-perangan, lari-lari, nyuruh orang shalat, itu sebenarnya mereka sudah resah. Ketika itu dikomunikasikan terhadap Kapolsek, dia tidak bisa menjawab, gimana mereka latihannya. Aktivitas-aktivitas semi militer ini yang kemudian hidup dan hadir itu kalau diadukan ke polisi oleh masyarakat, polisi selalu memberikan jawaban yang tidak meyakinkan. Misalnya jawaban Kapolsek, “ya nanti kita aklan coba kordinasikan dengan komandan setempat untuk memberitahu mereka” seperti itu lah. Artinya kemampuan seorang Kapolsek sekalipun, dalam melihat potensi-potensi ancaman sosial itu tidak mampu gitu… Apa memang tidak memiliki
khazanah pengetahuan yang memadai untuk melihat bahwa ini adalah potensi ancaman keamanan. Itu yang mengakibatkan mereka memberikan wewenang yang luas kepada POKJAPOKJA untuk mengatasi situasi-situasi seperti itu secara sendiri. Seperti yang tadi saya katakan… (Ihsan) Sebentar… Kalau sekiranya tadi mereka menyerahkan urusan ke POKJA, itu artinya dia ingin lepas tangan? (Eko) Karena mereka tidak mengakui resiko kemudian menjadi berat atau… Ya lalu alasannya karena tidak ada peraturan yang melarang mereka begitu. Undang-undangnya nggak ada, kira-kira begitulah kalau ditannya. Sebenarnya kita ketika program-program COP itu ramairamai isu terorisme, polisi dengan antusias mengatakan tolong ya diawasi yang baru, berjenggot dsb. Sering kita teman-teman COP mengatakan terorisme itu dalam artian orang yang tidak mau bergaul, sering di dalam aja, beribadah dengan cara berbeda. Definisi terorisme polisi seperti itu yang disosialisasikan dan diminta partisipasi masyarakat… (Rizal) Kalau polisi juga minta tolong kepada masyarakat agar juga waspada, itu itikad siapa yang bisa dia katakan selain dia duduk-duduk gitu. Kan tidak semua orang yang berjenggot terus pakaiannya seperti itu begitu (Eko) Ya makanya yang jadi masalah adalah mengkomunikasikan kewaspadaan itu yang membingungkan masyarakat. Apa sih? Bagi masyarakat kan polisi benar mengajak partisipasi mereka, tapi cara mengkomunikasikan itu yang jadi kontraproduktif di masyarakat. Curiga dsb. (Rizal) Pernah ada efek yang buruk nggak dari itu? (Eko) Ya kemudian ada kecurigaan lah bahwa teman-teman yang berjenggot itu … wah polisi ini sudah bisa jadi kaki tangan lah… Saya ingat sekali ketika polisi diberi bantuan kendaraan mitsubishi Kuda, katanya dari Mabes. Nah itu semua seragam di semua Polsek Tapi kemudian banyak kecurigaan itu dari mana. Komunikasi-komunikasi itu memang kerap kali tidak bisa diwadahi oleh seorang Kapolsek yang lebih doyan bersih. Apalagi kalau Kapolsek ini ketika pertama kali memimpin sebuah wilayah tidak menjalin komunikasi yang intensif dengan berbagai kelompok. Kawasan yang kita amati misalnya Guharjo, Depok Barat, Magasang yang kelompok-kelompok garis kerasnya banyak, kita selalu mengalami masalah dengan tipologi Kapolsek yang lebih banyak pasif dan kerap kali mendelegasikan wewenangnya. (Rizal) Jadi mungkin lain kali mainnya ke Polres? (Eko) Tapi kan kejadiannya ada di wilayah Polsek.
(Rizal) Tapi kan seharusnya tidak berhenti di situ ketika kondisi Polsek seperti itu. Ada cara lain ke atasan langsungnya yaitu ke Polres. (Eko) Nah itu kalau kita nggak punya koneksi bagus dalam program ini akhirnya nembus Kasat di Polres pun jadi sangat susah. Ya yang ingin saya katakan kan potensi gangguan keamanan menurut polisi selama ini hanya pencurian dsb. Yang penting kalau ada pelatihan untuk polisi, pelatihan untuk menganalisa sosial untuk para Kapolsek. Jadi ketika memimpin sebuah wilayah, yang dilihat tidak hanya peta, angka pencurian dsb. Visi misinya juga jangan hanya menurunkan angka curanmor saja misalnya. Tidak pernah mereka melihat ada kelompokkelompok radikal besar yang ada di sana, eksklusifnya kos-kosan, dan bahkan penghakiman massa tidak pernah tertangkap, padahal ini termasuk paling tinggi. (Imron) Mungkin forum-forum seperti Forum komunikasi politik masyarakat itu yang bisa menjadi wadah masyarakat dan polisi untuk sama-sama menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh polisi. Kebijakan-kebijakan polisi tentang curanmor di Depok Barat. Dan kita harus menerima memang itu fakta bahwa angka pencurian bermotor itu paling tinggi di Depok Barat. Ya FKPM lah yang sebenarnya mwnjadi wadah untuk problemsolvingnya itu. (Rizal) Ya saya rasa penting FKPM dan lebih penting lagi Polsek itu di bekali problem solving, analisa sosial dsb. (Lutfi) Saya kira kalau polisi memperhatikan masalah agama, Kapolres pun saya kira perlu. Jadi kan mereka tidak mempunyai pegangan atau aturan untuk membuktikan itu. Nantinya jadi konyol gitu di lapangan. Mereka tidak bisa bertindak atau mengambil keputusan. Jangankan di tingkat Polres, di tingkat Polwil pun nggak berani. Ini mungkin ada kebutuhan untuk memberikan…, tapi repot juga ya kalau pemimpinnya saja nggak berani. Kalau ada pelatihan khusus tentang negosiasi dalam hal agama ini percuma saja kalau mereka nggak berani seperti kata Ambon. Kemampuan negosiasi dalam hal agama, memediasi agama ini juga penting bagi mereka. (Agus Pusham Unair) Ini ada kaitannya dengan ungkapan saya tentang kenapa polisi nggak berani. Jadi saya nggak yakin juga bahwa terhadap latihan perang-perangan itu polisi nggak khawatir. Tapi polisi bisa jadi nggak berani gitu. Hal-hal yang secara yuridis melakukan kekerasan itu mereka diam saja. Ini yang menarik ketika kita membaca tesisnya (…Natalistroy) yang dibukukan tentang FPI. Jadi ada struktur lingkaran-lingkaran di mana habib-habib itu dari lingkaran pertama itu ada koornya ya. Lalu dia punya koneksi terhadap jendral-jendral hijau gitu, tentara. Jadi yang menggerakkan bisnis mereka, terutama pendanaan terhadap jendral-jendral itu juga salah satunya melaui aktivitas-aktivitas mereka menyerbu KPKB. Jadi KPKB diserbu. Ada negosiasi. 5 juta itu dianggap menghina. Kalau 20-30 itu baru mereka pergi. 5 juta diserbu gitu.
Saya sangat yakin kalau ada konspirasi kenapa polisi sampai nggak berani gitu lho menegakkan hukum terhadap mereka. Dia punya data dari 1999 sampai 2001. Jadi menurut saya ini akan sangat terkait ketika kita berusaha mendorong polisi dengan peningkatan kemampuan dan kapasitas tapi kita tidak bisa membongka itu. Percuma karena menurut saya kondisi yang paling dominan dari situasi semacam ini adalah ketidakberanian polisi karena mereka punya beking yang cukup kuat di belakang itu. (Ihsan) Ngomong-ngomong kita mau berbicara tentang itu atau tentang sumber daya? (Rizal) Ya sumber daya memang penting tapi ada beberapa level persoalan berarti kan. Seperti tadi ada informasi di Jogja yang melatih perang-perangan kan tentara. Polisi juga nggak ngapa-ngapain kan… (Ihsan) Yang kemarin di Monas kan juga ada yang bilang pengalihan isu BBM karena ada yang bilang demo BBM itu sebelum dinaikkan saja. Ketika sudah naik sudah berhenti deh. Capek kan. Tapi nggak kan… Sekarang sebulan setelah itu masih terus. Kejadian Monas kan pasca kenaikan BBM. Bisa jadi itu juga pengalihan isu yang ada konspirasi juga di belakangnya. Mau tidak mau energi kita selaku kelompok civil society terbagi juga ke situ. (Imron) Saya nambahin yang mas Eko tadi. Jadi keterbukaan di tingkat masyarakat itu tidak diikuti oleh keterbukaan di tingkat kepolisian. Dua kali kita pernah nyoba. Pertama pertemuan di Umbulharjo itu ada seorang pengusaha bilang. “Udah lah polisi sering patroli di tempat saya, nanti soal bensin dll. itu akan saya bayar.” Polisinya bilang, karena dia ngomong operasional kurang ini itu, terus akhirnya doiomongin oleh pengusahanya begitu. Tapi itu tidak bisa dilakukan oleh lembaga kepolisian. Jadi keinginan masyarakat untuk menanggung beban keamanan itu tidak diikuti oleh transparansi yang ada di kepolisian. Di Depok Barat misalnya. Itu ada satu bulan kami mencoba agar masyarakat dengan polisi itu patroli bareng dan masyarakatnya mau mengeluarkan bensin. Di Depok Barat ini dipatrolikan seminggu sekali setiap hari sabtu. Jadi di dalam mobil itu ada polisi, masyarakat, dan POKJA gitu. Tapi keterbukaan itu nggak bisa terus karena ada yang ditutup-tutupi. Padahal setiap pertemuan polisi selalu mengatakan kami kurang ini lah itu lah. Ketika masyarakat berkata ya sudah ditanggung oleh masyarakat, polisinya nggak mau gitu. Ya kalau menurut informasinya, kami dari atasnya cukup tapi sampai bawahnya tidak cukup. (Rizal) Depok Barat itu yang dipecat itu kapolseknya ya? (Imron) Bukan itu Melati sama Sleman itu. Itu yang selingkuh itu. Itu kan selingkuh di sini ditangkap oleh POKJA. (ribut-ribut)
(Ihsan) Oke silakan (Farid LKIS) Pengen tau aja hubungan antara Islam yang garis keras itu dengan polisi bagaimana? Karena kalau melihat kasus seperti di Cirebon tadi, itu juga terjadi di Jogja. Kapolda dan di Walikota itu dikuasai oleh kelompok ini. (Imron) Kalau yang di Polda itu kan Islam Salaf.
Kaset 2 (Eko Pusham UII) Memotong sweeping terhadap konspirasi itu. Sebetulnya memang ada strategi semacam itu. Rata-rata memang kecenderungan itu selalu muncul di … bukannya di Polda di masjid-masjid besar ya … Pasti akan berkhotbah jangan masuk ke sekolah yang non-muslim … ...Nah ini kita lihat memang pertama ada konsolidasi intensif antara kelompok-kelompok mahasiswa aktivis di jakarta ini yang selalu kurang aktif gitu dalam persoalan-persoalan dan mereka sellau melibatkan kepolisian karena bagi mereka kepolisian menjadi peran strategis untuk membicarakan potensi gangguan keamanan di DIY Kami punya pengalaman ketika kami minta alokasi budget untuk Malioboro. Kami lebih mudah menggunakan tangan-tangan UI begitu. Waktu itu adalah Wakil Walikota Pak Sukri. Dengan tangan Pak Sukri tu jauh lebih mudah untuk kami alokasikan dana untuk Malioboro. Melalui Pak Sukri kemudian DPRD-nya itu jalan. … Dalam konteks legislasi-legislasi itu kami selalu menegaskan kasus-kasus seperti itu. Yang kedua adalah ada program-program yang hampir serupa antara misalnya sweeping menjelang bulan suci Ramadhan. Nah polisi seharusnya sudah tahu bahwa sebelum Ramadhan itu (Agustus) pasti ada sweeping berkali-kali tapi ya dibiarkan saja. Mobilisasi-mbilisasi massa itu seringkali terjadi dan laporan selalu muncul bahwa polisi membiarkan gerakan. Yang terakhir itu kami di lapori tentang perpindahan kantornya PJD di depan SGM ke kotagede. Yang waktu itu bermasalah lapangannya, polisi waktu itu membiarkan saja padahal ada banyak keberatan. Keluhan-keluhan itu juga selalu tidak dilakoni polisi. Saya rasa bukti itu yang selama ini menjadi benih komplikasi yang selama ini intens… (Farid) Yang saya khawatirkan sebenarnya begini; polisi itu sampai pada tingkat melihat undang-undang atau hukum itu problem sendiri gitu. Misalnya karena dia setiap minggu dikhotbahi kayak gitu jadi ini ada yang salah dengan hukum kita. Misalnya kita biarkan atas nama agama karena dalam kasus misalnya Musaddeq ketika dijegal dan Musadeq meminta
perlindungan itu malah disuruh bertobat. Jadi di kepalanya dia melihat ada yang salah dengan undang-undang kebebasan beragama itu. (Eko) Jadi gini lho persoalan polisi kita kalau menyangkut persoalan seperti Ahmadiyah. Karena polisinya sendiri secara pribadi memang nggak suka sama Ahmadiyah. Sebetulnya kita lihat paham Islam di kalangan polisi itu siapa yang memberikan mereka paham umum? Sehingga ketika melaksanakan tugas itu mereka tidak merasa sebagai seorang muslimm yang tidak suka tehadap nabi selain nabi Muhammad. Jadi gampang sekali mereka seperti membiarkan terjadinya kekerasan. Waktu saya dulu pernah ngomong dengan orang di Polda ini, saya mengatakan, “Mas jangan lupa juga kalau di dalam polisi ada bermacam-macam aliran dan itu juga terbukti dalam kaitannya dengan Ahmadiyah kan?” seperti di Mabes sendiri kan ada yang begini ada yang begitu… Berdasarkan pengalaman kami, ya dosen-dosen pengajiannya itu … kalau nggak Islam ya Islam sangat puritan ya… kami itu gagal karena di pengajian itu tidak diperkenankan masuk. Ya dianggap dalam bahasa mereka tidak kompatibel. (Rizal) Saya seminggu di Polda Gorontalo dan seminggu kemudian di Polda Manado. Itu acaranya workshop ya. Pada pembukaan itu ditutup dengan doa, Allah ada bahasa arabnya kemudian … sudah itu penutupan workshop doa lagi, tilawah dsb. Ada religiusitas yang harus kita perhatikan bahwa polisi itu adalah aparat kenegaraan yang dianggap imun terhadap fermentasi-fermentasi keagamaan di masyarakat itu tadi. Efeknya pada kinerja kan. Nah sebelum ke Polda Manado dan Gorontalo itu kita ke Polda Kalimantan Timur yang ketuanya itu pak Anton Badrul HAdi. Pak Anton dan kaki tangannya ini shalat jamaah. Jadi kalau workshop sudah adzan, pesertanya ke masjid semua, shalat berjamaah. Shalat jumat juga. Jadi semua polisi itu terteror karena dia harus melakukan shalat berjamaah dan imamnya Kapolda. Aneh polisi kita ini. Jadi mereka juga kalau ada pergeseran nilai-nilai agama dan kebebasan beragama di masyarakat pasti akan berdampak ke polisi juga gitu (Ihsan) Ini menarik dan berguna sekali buat saya sama Rizal khususnya dan pasti juga buat teman-teman yang lain. Sudah jam 3 setengah ini, jadi kita akan istirahat dulu sebentar. Kita lihat sudah ada kopi di luar. Sepuluh menit lagi kita masuk kembali ke sini (Break) (Rizal) Satu pertanyaan tadi yang saya angkat lagi adalah, karena ini menyangkut kekhawatiran polisi yang harus kita … ini menyangkut polisi yang takut melanggar HAM dan alasan yang sering disebutkan oleh Bapak Kapolsek ke Kapolrinya. Nah sebenarnya ini kepercayaan saya. Sebenarnya kan polisi tahu ada orang melakukan perusakan kemudian ditangkap. Sebenarnya kalau mereka melakukan tindakan kan tidak akan melanggar hak asasi
manusia toh. Dan mereka mestinya kan tahu itu harus pakai UU apa. Di KUHP aja kalau anda merusak rumah orang pasti ditangkap gitu. Nah pertanyaannya menurut teman-teman yang berinteraksi dengan polisi, ada apa dibalik statement takut melanggar HAM? Jangan-jangan itu hanya istilah saja yang didalamnya mungkin ada persoalan-persoalan yang lebih besar yang menyebabkan mereka tidak berani? Ini juga mungkin terkait ya. Mengapa mereka tidak berani? Observasi kita kan seringkali mereka tidak berani. Dan keberanian bagi polisi perlu. Pertanyaannya kenapa mereka tidak berani? Kenapa mereka takut dituduh melanggar HAM? Dan karena itu mereka membiarkan pelanggaran HAM terjadi. (Eko) Saya melihat bahwa itu tergantung kasusnya. Jadi kalau kasusnya itu kasus kekerasan yang dilakukan oleh kalangan garis keras, mereka cenderung seperti tu. Tapi kalau kasusnya dilakukan oleh kalangan masyarakat yang katakanlah tidak punya kekuatan yang punya massa yang solid, mereka berani. Alasan HAM itu juga tak muncul ya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa ini soal intensitas … (Rizal) Ada contoh kasus nggak di… (Yunus) Ada. Itu ketika ada penggerebegan sebuah rumah perjudian. Itu ada perusakan sampai ada pemukulan terhadap karyawannya. Kemudian memang dilakukan semacam proses hukum. Yang merusak itu adalah kelomok Islam garis keras. Proses hukumnya sejumlah orang dari kalangan mereka itu dibawa. Tengah malam saya dengan teman saya datang ke sana dan menyaksikan proses hukumnya. Ya ngobrol-ngobrol biasa saja. Ketika datang ketua MUI Salemba itu, disana tidak ada penahanan apapun sampai besok paginya. Dan tidak ada upaya hukum lanjutan bahwa mereka itu diperiksa secara lanjutan sampai ke jaksa dsb. Tidak ada. Ini salah satu ya dan saya menyaksikan sendiri ketika ada penggerebegan di Manislor kan. Di situ semua polisi sudah ada. Di situ dilakukan penyegelan rumah ibadah dan tidak ada tindakan apa pun dari kepolisian bahwa itu adalah kebebasan beragama. Kayaknya masih menjadi persoalan besar di kalangan kepolisian. Ini sebenarnya adalah soal intensitas pendekatan kita kepada pimpinan ya. Dan itu tidak bisa dilakukan dalam satu atau dua kali kegiatan tetapi lebih kepada persaoalan bagaimana kita bisa membangun relasi dengan mereka dan kemudian mencoba memberikan pemahaman bahwa kita juga masuk dalam memberikan pemahaman soal HAM ini. Bahwa HAM itu tidak melulu produk barat tapi juga produk Islam. Kalau di kalangan kami di Pamina itu, kepada para kiyai kita sudah bisa menjelaskan hal itu. Ini harus diterapkan dalam kepolisian. Mungkin sebagian dari mereka itu mengatakan kepada polisi bahwa ini barat dan polisi mengambil jalan aman ketika memberikan sikap terhadap kasus-kasus kekerasan. (Rizal) Itu poin yang sangat menarik bahwa tidak dalam semua kasus istilah takut melanggar HAM itu digunakan oleh polisi. Mereka menggunakan itu ketika mereka takut menghadapi kekuatan yang sedang naik daun. Jadi takut melanggar HAM. Kalau misalnya kasus biasa mereka tidak takut melanggar HAM.
(Alwan) Ya karena kalau di kepolisian sendiri kan pendidikan HAM itu hampir di setiap level. Hampir bosan mereka dengar tentang HAM. Dan itu mereka sampaikan ketika kita mengatakan “Pak ini ada training soal HAM dan Demokrasi” Jawab mereka “aduh kita sudah bosan sekali”, hampir di setiap jenjang karir dan pangkat ini pasti HAM itu mutlak untuk mereka. Cuma akhirnya karena mereka sangat tahu HAM dan kasusnya mereka nilai saat menghadapi kasus yang membutuhkan banyak personel, biaya dan aktivitas dan yang terpenting membutuhkan banyak pemahaman dan kemampuan intelektual. Dan kemudian ya akhirnya membuat mereka mundur teratur. Ya pelan-pelan akhirnya mencoba untuk berstrategi dengan wadah organisasi yang memang pro-kontra. “wah ini lebih bagus nih kita tinggal datang pada saat terjadi pelanggaran pidana seperti pemukulan atau akhirnya indikatornya perusakan, pemukulan.” Ya sudah itu saja yang tertangkap. Nah pada saat pencegahan persoalan-persoalan kasus sosial itu memang sengaja dibiarkan kondisinya seperti itu. Di Bali sendiri pada saat setelah terjadinya Bom Bali yang pertama tahun 2002, kondisi sosial di Bali kan akhirnya menjadi terasa tidak enak. Dalam artian, memang akhirnya malah muncul kekuatan lokal yang coba untuk dibangun kembali dan kemudian ini yang membuat keresahan-keresahan dan kenyamanan pendatang menjadi sangat terusik sebenarnya. (Rizal) Kekuaan Lokal itu di masyarakat Hindu-Bali ya? (Alwan) Ya… Kemudian mereka punya slogan dan menjadi jargon sampai sekarang: “Ajeg Bali” yang dalam bahasa Indonesia terjemahnya adalah untuk mempersatukan, untuk menguatkan Bali ini. Konsep ini ditelorkan oleh elit atas ya untuk bisa membangun kembali kekuatan lokal ini di bawah. Persoalannya konsep ini ternyata nggak sampai dipahami oleh yang di bawah dengan utuh. Akhirnya yang terjadi di bawah kemudian persoalan sweeping KTP yang dilakukan oleh orang-orang Bali terhadap pendatang dengan petugas keamanannya ini. Kemudian Bali sendiri kan dari dulu melihat pendatang itu orang jawa, dan orang jawa itu orang Islam. Jadi kalau ada yang dari Sumatra atau dari Irian kemudian datang ke Bali, orang Bali sendiri yang di desa melihat bahwa mereka pendatang orang Jawa. Jadi istilahnya kalau ada orang Irian yang notabene cirinya seperti itu ya, hitam dsb. dia tetap mengatakan ini orang jawa dan orang Islam. Kalaupun dari sumatra “o ya ini dari jawa, jawa sumatra, jawa papua…” diidentifikasikan seperti itu. Nah sweeping KTP kemudian ada pemulangan-pemulangan pendatang akhirnya kondisi diskriminasi intimidasi itu terjadi pada waktu itu. Hal ini dibiarkan terjadi. Persoalannya kembali lagi ini kemudian tanggung jawab siapa? (Ihsan) Sweeping itu dilakukan oleh siapa?
(Alwan) Pejalan. Pejalan itu satuan tugas pengamanan dari desa adat Bali. Mereka akhirnya sampai mulai berproses untuk upaya-upaya mengambil usaha dagang informal yang dilakukan oleh pendatang. (Rizal) Peran polisi dan tokoh pemerintah? (Alwan) Nah ini yang memang disadari kekuatan yang sangat besar di Bali. Itu kemudian yang membuat kondisi itu jadinya tetap dibiarkan. Sebenarnya juga yang harus diteliti dari masyarakat Hindu Bali menurut saya adalah munculnya fundamentalisme Hindu… mungkin karena demo-demo fundamentalisme di dalam Islam atau apa yang menular… tapi itu salah satu persoalan di sana yang menyangkut ke-Bali-an. Kemudian anti pendatang dan Bom Bali I dan II. Manifestasinya mungkin Perda mengenai kalau pas Nyepi semua harus berhenti. Kalau dulu misalnya 10 tahun lalu kalau Nyepi yang lain harus Nyepi, bandara, jalan, pelabuhan, semua orang kalau sudah Nyepi semua Nyepi. Bandara tutup, pelabuhan tutup, itu sudah ada Perda-nya gitu. Ya dan akhirnya sweeping KTP itu pun awalnya dilakukan secara frontal dan tidak berdasarkan aturan apapun oleh pemerintah daerah. Tapi ya kemudian banyak tekanan ya diPerda-kan. Tapi tetap saja dalam prakteknya memang terjadi banyak pelanggaran-pelanggaran seperti harusnya Perda mengatakan kalau ngurus KTP atau KIPEM itu kemudian untuk sementara bayarnya Rp. 50.000. Tapi mereka bisa narik sampai Rp. 100-300 ribu. Khusus pendatang gitu kan. Nah untuk Bali sendiri yang dari kabupaten lain akhirnya dengan Perda itu pun juga diterapkan. Awalnya memang lolos dengan “saya orang Bali,” “o ya udah nggak perlu ada KTP.” (Ihsan) Sorry, yang tadi di-sweeping itu ada kaitannya dengan keagamaan nggak? Bahwa tadi yang dari Jawa kalau agamanya ini disweeping, tapi kalau agamanya sama itu tidak misalnya… (Alwan) Mereka melihat orang pendatang itu Jawa dan Islam. Jadi mereka hampir tidak menanyakan agamanya apa gitu. Kamu orang Jawa ya sudah kamu pendatang dan itu identitasnya sudah mereka pastikan bukan Hindu. Dan kalau saya orang Bali ya pasti Hindu. (Ihsan) Walaupun Islam? (Alwan) Ya walaupun Islam. Ada yang namanya Made Muhammad siapa gitu. (Rizal) Yang lain?
(Eko) Kalau kembali ke masalah tadi sebenarnya benar pada sisi tertentu polisi takut. Tapi pengalaman kami selama setahun itu kenapa polisi agak sulit menegakkan HAM karena kalau itu diterapkan, dia akan merusak budaya yang telah tertanam lama di kepolisian… Kemudian kepolisian itu kan sangat diskriminatif dan otoriter. Pernah dalam suatu pelatihan itu kalau disuruh ngasih contoh apa pelanggaran HAM yang dilakukan di lingkungan kepolisian? Jawabannya dari mulai hal-hal yang sepele, soal gaji, atasan diantar, kalau bawahan ya ngantri aja. Itu salah satu contoh yang menegaskan nggak mungkin HAM itu ditegakkan. Jabatan itu kan, siapa yang mengatakan atasan / posisinya tinggi itu akan dilayani. Jadi institusinya sendiri sebenarnya sudah tidak menghargai HAM, tidak menghargai manusia gitu. Jadi buat mereka … (Rizal) Jadi korupsi-korupsi dalam polisi, dalam internal organisasi mereka anggap sebagai pelanggaran HAM kan… (Eko) Ya banyak lah, belum lagi soal angpau. Jadi begitu buruknya lho institusi itu jadi agak tak mungkin HAM itu ditegakkan… (Rizal) Artinya karena sistem komando tadi atau bagaimana? (Eko) Ya budayanya semuanya… (Ihsan) Ya perubahan pastinya harus gradual ya. Tidak mungkin ada perubahan kalau polisinya sendiri begitu. Gitu ya kira-kira. Ada aspek-aspek pribadi HAM yang pasti tidak mungkin untuk ditembus cepat tapi ada segi-segi lain yang bisa… (Yunus) Saya pikir perubahan itu menjadi semacam keniscayaan bagi Polri karena peradaban atau dunia memang arahnya ke sana. Dan tentu kalau polisi mau dapat tempat dalam perubahan itu ya mau tak mau ia ikut di dalamnya (Rizal) Berarti kita usulkan ditransfer aja isinya gitu… udah berkali-kali kayak gitu. (Imron) Kepolisian kalau berbicara mengenai HAM pasti mengatakan logistiknya bagibagi dong... Pelatihan HAM kami selama setahun, evaluasi paling banyak kalau mereka ditanya itu apa coba? Konsumsinya kurang… kurang banyak. Bukan materinya. (Eko) Dan ketika pembicaraan mengenai HAM menjadi alasan untuk melihat korupsikorupsi di dalam lingkungan organisasi polisi itu menyebabkan isu HAM yang mestinya itu pelanggaran HAM aparat Negara di masyarakat kan? itu maksud kita kan; penyiksaan kemudian pelanggaran-pelanggaran yang bersumber dari penyalahgunaan kekuasaan, wewenang dsb. Itu luput ya karena sibuknya polisi itu dengan diri mereka dulu, dengan urusan internal mereka dulu.
Padahal kita kan menginginkan mereka ya nangkap orang ya nangkap, jangan diinjak-injak segala, pake surat penangkapan, pengacara gitu misalnya. Orang yang memberikan pelatihan kepada polisi kan disabet sama polisi untuk membicarakan persoalan-persoalan di dalam mereka, korupsi internal mereka sendiri yang memang sampai sekarang masih gawat sekali. (Yunus) Tapi kan tidak bisa seluruhnya. Itu pun cerminan patut dari ini kan bahwa mereka menerima ajaran HAM terus melihat ke dalamnya sendiri. (Rizal) Ya dan itu bagus juga. Kita bisa tahu bagaimana mereka di dalam. Tapi kalau HAM itu konteksnya kasus polisi, itu sesungguhnya kenapa dia menolak karena dia tidak mau di confront. Karena HAM itu kan kalau konteksnya kasus ya itu kan menyangkut pimpinan mereka, bukan pelaku-pelaku di lapangan saja gitu. Tapi di Ambon ada perubahan yang cukup signifikan yaitu saudara tidak ada kekerasan lagi. Jadi mulai dulu itu, mulai jam 3 mereka sudah harus bangun pagi, olahraga sampai jam 6 lalu mereka sarapan dan jam 7 mereka sudah berangkat kuliah. Nah sekarang itu mulai jam 5 shalat subuh dulu berjamaah. Mereka shalat subuh jam 5 habis itu mereka senam, olahraga sedikit, bukan kekerasan maksudnya bukan lari keliling 10 kali 20 kali. Jadi sekarang itu sudah tidak ada yang seperti itu. (IMron) Membangunkannya tidak ditendang gitu ya (Imron) Ya sekarang membangunkannya tidak begitu lagi. Tapi yang tingkat tiga itu sekarang sudah mulai dikasih asrama sendiri-sendiri, bukan kelompok. Kalau dulu kan kayak ikan pepes itu bareng-bareng gitu. Nah sekarang itu yang tingkat tiga sudah mulai berkelompok dan ada penanggungjawabnya. Satu kamar 4 orang. Tapi yang ingin saya katakana begini. Yang berat dalam konteks perubahan sosial itu menjadi unik ketika kita itu penelitian dengan AKPOL. Ini punya bingkai ilmiah gitu, dikemudikan oleh anak-anak AKPOL dosen UNDIP. Sampai datang disana penelitian, yang terjadi serabutnya luar biasa peneliti itu. Dan penelitian itu kan ada menemukan kongkalingkong kasus, hampir semua memiliki pengalaman karaoke semuanya … Dan itu yang membuat temanteman AKPOL mengangkat budaya di kepolisian yang membuat ide-ide HAM dan ANASOS itu menjadi tidak berjalan karena mereka ditugaskan di bawah pengaruh senior yang sangat militer begitu… (Rizal) Bahkan ansosnya diartikan memang sebagai ancaman sosial (Imron) Ya ansosnya mereka itu ancaman sosial. Jadi perubahan itu tidak selalu sinkron, (Rizal) Kita melihat peluang-peluang kecil. Kembali lagi dari pengalaman Polda Gorontalo dan Manado itu kan. Itu sudah terjadi dan itu masih terjadi sekarang. 10 tahun lalu pas
saya riset juga ya masih seperti itu. Jadi dalam banyak hal korupsi di dalam mereka masih sangat sangat … Tapi bukan berarti tidak ada usaha untuk memperbaikinya. Sistem sentral di Indonesia tidak selalu buruk menurut kami ya, kadang-kadang itu juga mendukung ya. Polisi juga kadang pendekatannya memang sangat formal ya. Pernah waktu sangat awal kita bikin seminar dengan MABES, isu-isu korupsi jatah uang lapangan itu dimunculkan oleh para peserta yang dari bawah. Akibatnya Kapolres harus kemudian menjelaskan. Itu soal-soal yang sebetulnya keberanian polisi kalangan bawah itu akan muncul ketika ada dukungan politik atau sistem yang kuat dari atasan. Ya itulah kelebihan dari persoalan kita di masyarakat itu kan. Katanya kan organisasi polisi kita yang komplit. Polisi itu kan ujung tombak. Budgetnya kan zero diluar dari gaji anggotaanggota polisi. Anggota-anggota polisi kalau anda cek di beberapa Polres itu seperti, ya mungkin kalau di Jawa sedikit lebih ini… itu misalnya kalau kita keluar jauh misalny satu polsek satu polres di Sulawesi Utara atau di Gorontalo itu 90% perwira anggota polisi itu menyekolahkan SK-nya untuk minta pinjam di BRI, fotocopyannya untuk pinjam disana, ini ngutang 90% anggota polisi dan yang mereka pikirkan setiap hari bukan kompetensi mereka, tapi mau ngapain lagi besok saya. Dan itu membuat pimpinan polisi itu tidak bisa apa-apa karena mereka dililit utang. Ya utangnya kan kalau di BRI 20juta bisa. Sekarang memang tawarannya dibuat lebih tinggi (Imron) Dan seringkali bersekongkol dengan Pemda karena mereka ingin meningkatkan perputaran uang di kabupaten dan di kotanya. Dan itu caranya adalah dengan memberikan pinjaman sebanyak mungkin dan tergodalah polisinya. Ada yang memang benar-benar menggunakannya untuk usaha tapi juga kadang-kadang untuk konsumsi. Nah malah begitu tunjangan keluar, kerjaannya minum, main judi, abis ya (Rizal) Ya tadi kan memang apakah benar bahwa anggaran kepolisian di luar dari Jawa itu akhirnya memang sangat-sangat terbatas? Dan apakah proses utang itu memang karena budaya polisi di dirinya sendiri seperti apa? karena memang kalau mereka mendapatkan tamu dari luar, biaya entertainnya memang sangat-sangat banyak dan munculnya tanda tanngan yang kuitansi tok kuitansi tok itu kan akhirnya memang untuk institusi Polda sendiri yang di lingkungan Polda atau Kapolda dan Wakapolda. Kembali ke kolusi internal lagi (EKo) Ya seperti itu karena kalau budaya di Komandan-komandan polisi itu seperti itu, ya tetap saja diberikan anggaran sebanyak apapun juga akan jadi persoalan. (Hery) Ya ini jeruk makan jeruk.
(Eko) Ya karena itu kemudian memang di internal polisi terjadi korupsi yang luar biasa. Selain itu, di sisi lembaga memang tidak ada penghargaan lembaga kepada seseorang yang memiliki prestasi yang baik. Kami punya kesulitan akan selalu menyaksikan pada program reformasi itu ketika ada rotasi kepemimpinan. Posisi-posisi pimpinan dengan pimpinan itu selalu bermasalah sehingga orang agak enggan dukung reformasi kepolisian karena buat apa kira-kira. Ya artinya kriteria kinerja, kemampuan itu tidak masuk dalam klasifikasi bagaimana kenaikan pangkat seseorang. Saya lihat itu faktor yang membuat kami dan masyarakat agak kecewa dengan reformasi kepolisian itu. Pernah di Depok Barat itu ada Wakapolsek yang sangat bagus, antusias dan dia sangat paham dengan keragaman dsb. Dia dipindah entah pelanggarannya apa, masyarakat itu sudah terang-terangan merasa keberatan dengan itu… keterangannya itu alih tugas dsb… (Rizal) Dulu waktu kita di forum UGM itu ya ketemu dengan … kita menawarkan bagaimana supaya keberhasilan atau prestasi anggota kepolisian di bidang perpolisian masyarakat termasuk ke tingkat Polri itu bisa menjadi suatu pertimbangan bagi karier mereka. Sebenarnya sebagai ide itu cocok, tapi lagi-lagi kapan perubahan itu menjadi nyata… Kalau sekarang itu menyangkut jenjang karier mereka, kalau kamu tahu ada maling di Polsek mana, sebelum diberikan hukuman itu dibesarkan dulu sampai nanti kedengaran ke Polres dan Polda baru ditangkap. Baru dapat kenaikan pangkat kan. Jadi perkembangan karier internal di dalam polisi sendiri juga kan akan jadi feedback kita nanti pada akhirnya dalam tahun-tahun yang akan datang selain soal kolusi itu tadi karena terkadang … (Agus) Ya sama ketika ada daerah-daerah konflik kayak Poso, Ambon dsb. Itu jadi sarana jembatan bagi perwira-perwira untuk naik pangkat ketika dipindah kesana. Itu salah satu alasan kenapa konflik di daerah sana itu nggak selesai-selesai karena…
(Berisik2 ngobrol &ketawa) (Agus) Kayak Kapolres Ngnjuk gitu. Ditelpon Kapolri nggak sopan. Dia nggak percaya Nggak digubris teleponnya. Langsung besoknya keluar surat CR dia di pindah. Tata Cara komunikasi ke Polda jatim itu CR khusus dari Kapolri tentang tata cara menerima telepon yang baik. Itu di ekspose itu di koran. Bocor itu CR nya: Berkaitan dengan telepon Kapolri ke Polres Nganjuk dan direspon dengan tidak sopan. (Imron) Tapi yang perlu dikritisi, kita perlu mengkritisi Densus 88 dalam konteks keagamaan itu. Selalu saja Densus 88 itu menangkap orang tanpa surat perintah tanpa surat penangkapan. Masuknya pasti dia akan menggerebek dan selalu kalah di pengadilan. Itu aneh menurt saya. Aneh. Karena praperadilan itu kan melihat sah atau tidaknya penangkapan dan
selalu kalah, selalu dimenangkan Densus 88. Dalam kasus itu yang kasihan adalah korbannya, yang tentu saja umat Islam. Terakhir penangkapan misalnya di Banyumas. Itu kan didobrak, lalu istrinya dibangunkan. Padahal polisi itu kalau mau menangkap harus menunjukkan suratnya. Nah itu menurut saya meresahkan kita. (Eko) Di AKPOL itu punya proteksi sendiri. Kalau tidak ada izin tidak boleh masuk. Saya kira itu menimbulkan kecemburuan yang luar biasa. (Rizal) Argumen mereka bahwa operasi mereka rahasia bagaimana? (Imron) Saya kira nggak bisa dibenarkan itu karena antiterorisnya Polri kan bukan Undang-undang. Kalau KUHAP kan undang-undang. Penangkapan itu kan harus berdasarkan undang-undang sehingga dia tidak melanggar HAM. Ketika misalnya tidak ada surat dsb. (Rizal) Nggak, misalnya bagaimana kalau Undang-undang antiterorisme membolehkan mereka melakukan tindakan itu (Imron) Tapi di undang-undang antiterorisme itu tidak ada syarat bagaimana menangkap semua itu. Pasalnya tidak ada di situ. (Rizal) Itu improvisasi mereka? (Imron) Ya itu improvisasi mereka. (Agus) Mungkin itu bisa pakai pasal 18 tahun 2002. Polri memiliki kewenangan untuk bertindak sesuai dengan penilaiannya sendiri. (Imron) Oh itu 1X24 jam boleh menangkap tapi kalau sudah mau jadi tersangka tetap di sidik. Dia harus ada saksinya. Jika setelah 1X24jam tidak ada persoalan maka harus dibebaskan. Itu kaitanya. (Imron) Ya seingatku itu yang harus dikritisi juga Mas. Pasal 18 tahun 2002 itu ada pasal … Ya Nomor 2 Tahun 2002. Polisi punya kewenangan untuk bertindak sesuai dengan penilaiannya sendiri demi kepentingan umum.
(Rizal) Tapi kalau di KUHAP itu kan tidak boleh kalau dia itu sudah meresahkan, kemudian ada saksi, ada orang yang melaporkan. Kalau misalnya di konteksnya itu tidak, maka dia tidak boleh melakukan itu. Kan itu sudah menganggap orang itu bersalah. Kalau kita ngomong tentang pendekatan hukum ya, (IMron) Kita lihat dengan cara kerja Densus 88 itu, sikap antipati umat Islam terhadap polisi sangat tinggi. Karena yang ditangkap kebanyakan orang Islam (EKo) Bukan Cara penangkapannya. Misalnya di Sleman, itu hanya berjarak segini kan orang lagi beli sesuatu datang Densus 88 ditembak. Ya lari kocar kacir lah empat orang ini. Nah muncullah penangkapan Abu Dujana dsb. Itu lah kaitanya kesana. (Agus) Bertindak dengan penilaian sendiri sebenarnya diskresi kan. Diskresi juga kan harus ada alasan objektifnya. Itu yang menurut saya harus juga dikritisi. (Imron) Dalam konteks pasal 18 itu tadi undang-undang kepolisian nomor 2. Densus 88 itu kelas tersendiri. Itu kuliahnya Asia Pasifiknya Polri. Jadi yang ngajar itu dari luar. Tidak ada yang ngajar dari dalam. Siswanya juga campuran. (Agus) Mungkin di dunia ini sekolah teroris yang paling elit ini itu ada di sini. Di Ambon. Punya pesawat sendiri, teknologinya, tenaga pendidiknya, akreditasinya tinggi. Dan mereka tidak bebas di situ mas. Jadi tidak boleh mendekati tempat itu. Handphone mati semua. (Ribut-tibut tidak jelas) (Rizal) Ini ada cerita menarik. Waktu bangun gedung itu, retak sedikit saja itu disuruh dibongkar itu. Itu sampai sebegitunya. Dukungan terhadap penangkapan itu di kalangan umat Islam memang kurang ya?
Kaset 3 Side A …dan penangkapannya kan tidak dramatis. Kalau di Batu kan pengnkapannya dramatis. Dr. azhari itu… (ribut-ribut). Karena itu kan dananya tidak terbatas. Dan senjatanya kan khusus. (Eko) Ya saya kira Densus masuk salah satu dalam hubungan antara Islam dengan Negara, khususnya polisi.
(Rizal) Sebenarnya tidak hanya menyangkut umat Islam tapi juga menyangkut program ini. (Agus) Kekhawatiran Islam radikal itu jauh lebih tinggi dengan itu. (Rizal) Misalnya? (Agus) Ketika sudah masuk kawasan pesantren misalnya. Karena masa-masa awal operasi terorisme itu kan tidak melihat. Semua pesantren, bukan hanya pesantren-pesantren tertentu. Ya kadang-kadang ini menyulitkan kita untuk memberi penjelasan ke wilayah ini, yaitu ke masyarakat yang akan menjadi wilayah kepentingan. Ini menjadi ya… kadang-kadang kita memberikan rasionalisasi yang tidak terlalu lugas untuk itu. (EKo) Tapi mas, yang menarik itu ketika ada program kompensasi BBM. BOS. Itu setiap sekolah diwajibkan membuat RAPBSnya jadi nantinya BOS itu dipakai apa saja. Dan pesantrenpesantren itu bisa mendapatkan BOS dengan syarat memasukkan 3 mata pelajaran. Kalau nggak salah pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika sama PPKN. Yang menarik, pesantren akhirnya kan berlomba-lomba untuk itu karena dapat duit, satu siswa Rp. 17.000 kalau madrasah ibtidaiyah, dan Rp. 24000 sekian kalau SMP dst. Pesantren berlomba-lomba untuk menyediakan tuntutan itu. Tapi anehnya tuntutan untuk membuat RAPBS itu juga disertai dengan kontrol oleh negara. Yang ngontrol ini lucu, Diknas itu ada lalu Bawasda juga ada, itu wajar katanya. Tapi anehnya lagi salah satunya adalah BIN. Di pedoman buku itu, diatur bahwa BIN juga punya wewenang untuk ikut memeriksa laporan keuangan RAPBS, khususnya di pesantren-pesantren. Nah itu menurut saya lucu. Ada agenda tersembunyi kenapa kok dulu mereka memancing mereka dengan duit lalu berusaha membuka akses aparat negara untuk mengobok-obok pesantren. Salah satunya mungkin juga ada kaitanya dengan Densus 88 tadi. Aneh kan. Buat apa diperiksa laporan belanja itu ada BIN-nya segala macem. (Imron) Itu karena dulu ada kecurigaan terhadap pesantren Ngruki yang notabene susah untuk ditembus mengenai keuangan. Menurut saya itu, sehingga memang di salah satu tempat ada kasus dimana lembaga kepolisian itu seolah menyamakan semua lembaga pesantren itu harus seperti… ya ada peraturan yang mengharuskan bahwa BIN ikut terlibat di situ, khawatir uang itu digunakan untuk yang tidak-tidak. (Rizal) Sebenarnya itu untuk mengcounter dari sisi kurikulum yang lebih ekstrem lagi. (Eko) Sebenarnya kan kalau ada pelanggaran. Misalnya ada Bawasda atau Diknas, ada pelanggaran lalu polisi ikut turun tangan untuk menyelesaikan proses hukum. Tapi nggak. Ini
dalam posisi kontrol, memeriksa laporan keuangan itu ada Bawasda dan BPK dsb. Ini polisi dan BIN ini kan lucu. (Agus) Yang lucu menurut saya juga adalah kalau BIN mau meriksa ya periksa saja. Nggak usah di situ dicaantumkan harus diperiksa. (ribut-ribut) (Rizal) Tapi apakah di semua pesantren? Di semua tempat harus ada semacam undangundang harus diperiksa oleh BIN? Mungkin hanya salah satu tempat di daerah itu. (Yunus) Ya itu salah satu pintu masuk di mana mereka punya legalitas untuk mengakses pesantren-pesantren yang mereka curigai. Intelijen itu memang aneh-aneh kerjaannya. Bikin ribut. (Ihsan) Kita perlu break ga ya? Bikin teh atau ngopi dulu. (Hery) Tergantung fasilitator kayaknya. (Ihsan) Kalau kita ketemu nanti, yang ingin kita bicarakan sebenarnya kita mengidentifikasi beberapa tema atau topik yang akan menjadi agenda atau materi dari workshop yang akan datang. Saya akan menyampaikan beberapa materi itu. Kita bertemu lagi jam setengah 8 paling sekitar setengah atau satu jam. (Ihsan) Kalau diselesaikan sekarang aja gimana? Anda masih punya stamina? Saya kira gini model teknisnya, saya usul ini break ½ atau ¼ jam untuk kita persilakan mereka untuk merumuskan dengan tepat. (Singgih) Sekarang aja karena nanti di break out dan menambah gitu lho. (Ihsan) Kalau anda mau sekarang ya sekarang. Kalau nanti malam ya nanti malam. (Hery) Sekarang aja (Ihsan) Oke. Satu. Tema yang paling sering dimunculkan. Perlunya materi mengenai kebebasan beragama / aktivis demokrasi bagi anggota polisi dan kita, COP2 dan POKJA-
POKJA. Bukan hanya polisi. Jadi ada dua target di situ. Karena teman-teman ini nanti akan bertemu dengan polisi. Polisi juga akan bertemu dengan polisi dan POKJA-POKJA nya. Jadi itu salah satu yang akan saya bicarakan nanti detailnya karena kita sendiri juga perlu memperkaya masyarakat sipil, POKJA-POKJA mengenai apa sih kebebasan beragama? Walaupun nanti istilah kebebasan beragama… waktu break tadi ada salah satu pembicara di kita, ini istilah yang sama apa, apakah kebebasan beragama ataukah pluralisme yang sudah diharamkan oleh MUI? atau saya menawarkan tadi antidiskriminasi dalam beragama? tapi intinya itu. Sasarannya dua. Polisinya sendiri terus yang kedua… (Rizal) Tapi materi ini nanti ada beberapa per itemnya. Tapi saya kira poin yang satu ini memiliki beberapa pengertian. Bahwa satu, harus ada sensitivity planning, semacam mainstreaming religious freedom kalau bahasa jargonnya. Tapi satu untuk polisi dan satu lagi untuk POKJA yang mewakili masyarakat. Itu artinya nanti nomor dua, kalau ini penjabaran materi, nanti yang ke dua trainingnya. Jadi pada saat training nanti dengan teman-teman yang ada di lingkungan TAF, kita akan membicarakan ini. Untuk kita sendiri dan juga untuk bekal kita ketika berhadapan dengan konstituen atau audiens atau masing-masing. Jadi formatnya seperti TOT nanti karena anda juga harus melakukan restraining dan itu di lingkungan masing-masing kan. Jadi PAMINA misalnya di Cirebon juga akan melakukan itu dengan polisi yang mereka ajak ke kegiatan POKJA. Sensitivity training itu tekniknya tapi materinya mainstreaming religious freedom. Nah trainingnya itu sudah ada dana dalam schedule kita dengan TAF itu bahwa akan ada training di antara sesama kita sendiri di situ. Saya tidak tahu bulan apa itu. Itu kalau untuk uang… Topik yang sering muncul tadi itu kalau kita angkat adalah yang menyangkut masalahmasalah di masyarakat. Sebagian sebenarnya crime tapi sebagian adalah masalah yang bukan kejahatan, melainkan masalah-masalah law and order atau yang berhubungan dengan agama. Yang harus kita identifikasi dan kita kaji bersama sebagai bagian dari pembicaraan mengenai masalah yang harus dihadapi dalam otorita POKJA-POKJA COP. Jadi sebagian sudah masuk kategori crime ya, dan masalah law and order yang terkait dengan kebebasan beragama. Contohnya tadi Polisi membiarkan sebagian crime terjadi kan? Tapi ada kamtibmas yang bersumber dari masalah, dan masalah itu dari persoalan pemimpin agama. Nah ini topik kedua yang nanti akan menjadi pembicaraan kita supaya kita, polisi, POKJA dan masyarakat itu semua memiliki semacam kesepahaman bahwa ini nggak boleh. Ini nggak boleh karena ini crime, walaupun sumbernya agama. Ini nggak boleh karena ini akan mengganggu kamtibmas. Dan kalau kamtibmas terganggu, kita masyarakat merasa perlu membicarakan itu. Yang ketiga, isu yang juga muncul dalam pembicaraan kita tadi dalam tangkapan saya adalah keterampilan manajemen konflik, khusus manajemen konflik agama. Tadi yang penting itu mediasi, dan kita juga masih perlu menggali metode-metode manajemen konflik lain diluar mediasi seperti yang dilakukan di Surabaya, Jogja, Percik. Yang muncul sering tadi adalah mediasi. Ada banyak cara menyelesaikan konflik di luar mediasi yang ini juga bisa kita bicarakan atau sampaikan ke polisi dan POKJA-POKJA di masyarakat. Jadi ada tiga tema yang sering muncul yang ingin saya ringkas dan sekarang saya lemparkan ini untuk di break down, ditambah atau dikurang.
(Ihsan) Tunggu dulu. Masalah yang kedua itu buat masalah crime dan law and order. Crime itu lebih keras ya (ada tindak pidananya ya) law and order menyangkut… (Rizal) Jadi ini lemparan kalau mau ditambahkan dibreakdown dirinci silakan (Hery) Workshop ini workshop yang mana ya? (Ihsan) Workshop yang akan kita lakukan pertama setelah FGD ini. UGM dan Paramadina… (Budhy) Rencana yang sudah kita sepakati di Jogja tahun lalu adalah Paramadina dan UGM bersama-sama dengan 5 lembaga mengirim atau mendatangkan masing-masing 6 untuk datang ke workshop itu dan membicarakan topik ini. Masing-masing 6 orang / utusan jadi 30. (Ihsan) Ya itu salah satu alternatifnya yang sampai sekarang sebetulnya masih dalam perdebatan, apakah yang 6 orang itu yang memang pengurus atau mencakup wakil dari POKJA. Kemungkinannya dulu itu untuk workshop yang pertama khusus untuk kawan-kawan dari COPCOP ini, lalu yang kedua ini baru untuk POKJA dari masyarakat. Tetapi tadi saya sebenarnya membicarakan kalau ini TOT, saya lebih suka yang gelombang pertama dari teman-teman dan gelombang yang ke dua juga dari teman-teman. Tapi teman-teman melakukan training kepada lingkungan masing2. Ada beberapa kemungkinan, tetapi yang sudah kita bicarakan dulu adalah sebenarnya ada 2 kali training dengan sesama kita kan. Cuma sesama kita ini apakah pengurusnya saja atau… (Budhy) Waktu kita membicarakn ini di Jogja sebenarnya belum dijelaskan ya. Belum jelas terutama buat kita COP itu apa sih programnya sebenarnya? kemudian waktu itu juga dalam proses membuat jembatan, taaruf dua pilar ini. Sekarang sudah sangat jelas. Terus dalam beberapa pembicaraan, itu memang mungkin sebenarnya sangat bagus kalau kita mengawali ini karena ini kan programnya juga cukup panjang ya. Ini berarti bukan hanya dalam program ini saja. Tapi juga ada dalam program RNI yang sampai 4 tahun malah. Itu bagus kalau seandainya mungkin awalnya adalah kita ingin kita bicarakan bersama sebetulnya. Untuk bisa melihat perkembangan isu baru soal ini. Isu ini pasti sudah berkembang sangat pesat di luar kemampuan pengetahuan kita menganai masalah religious freedom yang biasa (Hery) Kalau saya sendiri untuk yang pertama mendingan kita saja. Apakah lima atau delapan yang penting kita ajak.
(Ihsan) Itu aspek teknis ya terserah tapi kalau misalnya 30 sedikit lebih sulit mengelolanya karena sharingnya lebih efektif. Tapi kalau misalnya satu organisasi itu empat jadi dua puluh kan itu gampang. Bisa dikelola dengan melingkar seperti ini. Itu saja sebenarnya. (Budhy) Ya dimungkinkan nggak setiap lembaga mengirimkan empat? (Ihsan) Tergantung budgetnya juga. Tempatnya juga. (Budhy) Sebenarnya dulu seingat saya hasil workshop di Jogja masing-masing mengirim 2 tapi lembaganya 8 atau 10 ya. Termasuk COP ini pokoknya yang ada dalam persekongkolan TAF. Dan itu akan lebih cair, lebih bebas berekspresi dsb. (Ihsan) Tempatnya dulu deh (Rizal) Kalo di Aceh itu nggak semua bekerja dalam soal pendampingan. Ada temanteman yang bekerja di bidang gender. Gender yang lebih spesifik masalah agama. Kalau LkiS memang bekerja di bidang gender tapi tetap relevan. LkiS pluralismenya kuat sekali, PPIM juga sangat kuat.
(ribut2) (Ihsan) Mungkin kita putuskan aja sekarang. Jadi yang pertemuan pertama ini masingmasing ya seperti sekarang ini, berarti 22 kan ya. (Rizal) Rencana kita berapa hari? (Taufik) 3 hari. Jadi gini mas Budi, awalnya itu sebenarnya bukan buat temen-temen ini. Yang kita garis besarkan tapi memang untuk COP-COP. (Ihsan) Nggak. Awalnya kita menginginkan capacity building untuk teman-teman, ya kita semua berkaitan dengan isu religious freedom. Apalagi kalau melihat apa yang dibuat Jajat dengan PETA-nya, dsb. (Budhy) Oke. Tapi workshop yang kedua kita putuskan di sana. Apakah akan melibatkan hal seperti ini untuk POKJA.
(Singgih) Ya diundang ke Jogja oleh Paramadina adalah sesuatu yang sangat berharga buat mereka. Kita cek di POKJA juga misalnya di Jateng, rencana-rencana ini sudah didengar mereka. Kemudian soal-soal seperti ini yang sepertinya lebih terkena kepada polisi kelas-kelas bawah yang dekat ke masyarakat. (Agus) Polisi itu kalau nggak dapat izin atasannya kan repot. Ikut training itu harus minta izin ke Polres nanti Polres minta izin ke Polda. Atau ke Polda aja kalau mau. (Hery) Ya mungkin beda-beda kasusnya. Di Salatiga ya mungkin ada yang seperti itu tapi rileks aja. (Rizal) Silakan dicermati kembali rumusan lain atau tambahan lain dari apa yang sudah saya lemparkan. (Ihsan) Untuk manajemen konflik misalnya dirinci apa yang sudah kita sebut tadi; mediasi, pencegahan konflik, dsb. Ini di bawah topik nomor tiga. Keterampilan manajemen konflik itu termasuk mendeteksi ini ya, kepekaan untuk melihat sesuatu ya (Rizal) Ya jadi misalnya indikator-indikator apa yang harus kita perhatikan dalam kaitannya dengan konflik agama. Kita kan harus tahu konflik-konflik agama itu indikatornya apa saja supaya orang bisa memikirkan gejala atau gelagat dininya apa. Itu kan pasti ada dan itu perlu diinventarisir. Jadi jangan indikator konflik pertambangan, konflik industri dsb. Itu termasuk yang nanti akan kita sharing. Jadi kita, polisi dan masyarakat akan lebih peka bahwa ini gelagat atau gejala dini yang kalau dibiarkan tidak ditangani akan berbahaya. Kalau dalam ilmu kejahatan atau kriminologi itu kan ada faktor-faktor kriminogen. Tapi di dalam masalah multi agama atau diskrimnasi kita kan belum tahu. Makanya saya bilang crimes apa? Tapi juga gangguan2 kamtibmas apa? Indikator2 apa yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan kerukunan antar agama. Belum ada. Ini baru kan? Kalau di Amerika lebih jelas. Spanduk-spanduk yang di Jakarta itu pasti ditangkap polisi, kan kayak “bunuh ahmadiyah” dll.. Di sini kebalikannya. Jadi bupati Lombok mengatakan “Ahmadiyah harus bubar dari kabupaten ini, saya tidak bisa memberikan keamanan untuk mereka dan saya tidak punya uang untuk mengamankan mereka. Mendingan mereka keluar saja.” Bupati Lombok itu begitu di televisi. Tapi di Indonesia sampai sekarang kita belum tahu apa sebenarnya yang harus dilarang dalam kaitannya dengan membela kebebasan beragama. Kita sudah ngeri. Di masyarakat lain seperti razia ya, di Irlandia kemudian di Kanada, lalu di Amerika itu sudah crimes yang disebut dengan kejahatan yang bersumber dari agama karena menyakiti orang lain.
(Ihsan) Di Cilandak itu ada spanduk: “Jangan percaya pada kelembutan yang menyakitkan hati umat Islam.” Itu dari PPP. Jangan percaya gerakan anti kekerasan tapi dibaliknya ada konspirasi yang pro Ahmadiyah. Itu mungkin maksudnya. Umat Islam kasihan betul ya. Dengan sesuatu yang lembut pun sakit hati. Tapi maksud saya. Hal-hal contoh-contoh seperti itu yang ada di masyarakat itu kita kumpulkan. Seperti khutbahnya siapa itu…Bisa dimasukkan ke sana nggak itu? (Rizal) Ya masuk ke crimesnya. Jadi tidak hanya yang sudah ada masuk kedalam KUHP tapi kita juga harus merumuskan hal yang baru. Karena di tempat lain begitu dan itu sebenarnya kalau di negara-negara lain adalah terjemahan-terjemahan dari konvensi-konvensi beserta kovenan-kovenan yang sebenarnya sudah ditandatangani kan. Cuma di kita kan belum dibreakdown apakah itu sebetulnya yang disebut dengan diskriminasi. Kalu kita kan masih umum diskriminasi itu. Padahal sama kan. Kembali ke tadi, polisi kan perlu pedoman. Nah itu nanti akhirnya yang akan kita bicarakan termasuk advokasi ke masyarakt sipil dan polisi. (Ihsan) Bisa nggak Islam yang ada di dalam itu diwakili satu tema. Dan tema itu adalah kebebasan beragama… (Rizal) Maksudnya apa? kenapa harus diwakili? (Ihsan) Ujung tombak dari semua tema itu pada ujungnya adalah civil liberties, civil rights, karena kalau dari polisinya kan itu artinya polisi membela itu kan. Nah itunya itu apa gitu? (Rizal) Pengalaman teman-teman, bahkan dalam kasus ketika sudah ada kejahatan pun tidak ada progress, tidak ada keputusan yang dilakukan oleh polisi kan. Apalagi hukum yang hanya pencitraan-pencitraan kan. (Ihsan) Ok coba kita lebih detail ya. Tadi tema yang lain. Apa perlu ada landasan filosofis? apa itu kebebasan beragama? terus sejarahnya di Indonesia? terus masalah masalah mutakhir dalam isu kebebasan beragama? Basis konstitusionalnya dalam… ... kemudian masalah crime dan law and order itu… (Singgih) Kenapa nggak disisipi ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi seperti itu (ribut)
(Ihsan) Ya kita bisa bikin booklet atau semacam buku kecil lah untuk kepentingan kita pada waktu itu, semacam modul lah. (Budhy) Kalau saya mencoba gini aja, melindungi kebebasan beragama, mengaharapkan peran polisi dan masyarakat sipil, tentu kan bagaimana kita menciptakan atau mengarahkan ke arah polisi dan masyarakat yang moderat. Arus besarnya seperti itu kan. Dan itu harus didukung dengan ahli-ahli teks keagamaan yang bisa menjelaskan HAM itu dari sisi teks keagamaan. (Ihsan) Itu masih perlu ya menggunakan hadits, ayat, dsb. (ribut2) (Rizal) Itu bulan September ya? Catat aja planning-nya. September bulan puasa, nggak mungkin. Agustus atau November. (Eko) Kembali ke dua itu. Masalah law and order itu mungkin penting untuk dilihat adalah model-model gangguan keamanannya yang berbasis keagamaan, misalnya penggunaan tempat ibadah, dsb. ini model-model yang kemudian dibentuk. Dan wilayah mana yang padat pada diskusi ini. Tumbuhnya blok-blok kekerasan keagamaan di kawasan-kawasan seperti Malioboro, Depok Barat dsb, (Rizal) Klasifikasi2 komunitas itu ya. Mengenai soal alasan dan wilayah. Karena tiap wilayah itu punya problem keamanan yang berbeda. Dan rata-rata polisi lebih concern ke soal wilayah dan kawasan. Kawasan Malioboro dengan desa Malioboro itu beda. Atau mungkin kelompok-kelommpok yang menjadi aktor konflik ya. (Ihsan) Kalau mau dicari tema yang agak lebih menarik itu sebenarnya ini; premaniasi apa ya, salah satu ekses komunisi politik adalah munculnya milisi-milisi paramiliter. (Ihsan) Break sementara kalau tidak ada masukan lain. Tadi saya katakan ini juga polanya bukan seperti: UGM dan Paramadina itu punya semua pengetahuannya terus anda tinggal menerimanya. Kita ketahui tadi ini kan belum ada jadi kita adakan bersama. (Rizal) Ya inilah tiga arus besar ini ya untuk awal. Terserah boleh fleksibel kan. Bisa juga yang terlibat itu kita.
Kaset 3 side B (Budhy) …kaitannya dengan TOT atau capacity building internal di lembaga masingmasing dan dengan audiens masing-masing. (IMron) Pikiran panjangnya program ini didasarkan bahwa kita sudah matang dalam hal ini yang bisa dipakai untuk POKJA-POKJA dan polisi. Kalau akan kita terapkan pada POKJA, kita masukkan ya satu workshop untuk polisi. Kita punya 6 training lah dari program ini yang dibiayai oleh RNI yang nanti dari pertemuan-pertemuan ini kemudian kita akan pikirkan bersama mengenai peserta dsb. (Ihsan) Berjenjang lah. Kumulatif. Jadi akan ada modul tapi modul itu modul yang akan kita try out diantara kita semua supaya lebih bagus. Karena nanti yang akan menggunakannya juga adalah kita-kita juga. Ya kan. Saya kira itu ya. (Eko) Saya mau menambahkan sedikit mengenai tema nomor dua tadi ya. Kalau misalnya ini untuk polisi, modulnya juga untuk polisi, adalah polisi itu selalu memahami persoalan itu dalam konteks hukum pidana. Sementara kebebasan beragama alas an kenapa mereka tidak bergerak adalah karena tidak ada hukumnya. Itu asumsi yang saya lihat ya. Kenapa kemudian ini disinggung karena yang ada di dalam mereka ya kalau dalam pandangan filsafat ya positivis itu. Kalau tidak ada dasar hukumnya maka mereka tidak akan melakukan apa-apa. Kalau ada aturan hukumnya maka mereka akan melakukan ini. Artinya bisa dibongkar lah paradigma mereka. (Rizal) Tapi bisa dengan NKK. Ya NKK itu kan cara pandangnya itu kan. Ya pencegahannya kan. Sebenarnya kalau mereka mau bertindak, dengan modal KUHP saja sebetulnya sudah cukup kan. Apa kalau orang merusak properti dengn argumen agama, apakah itu tidak menjadi tindakan perdata? (Ihsan) Nah kembali ke ini aja. Makanya melalui workshop kita ini, kaitanya bagi polisi sebetulnya dimana letak persoalannya? (Rizal) Tapi ada kaitanya crime… ada Kapol yang mau ditinjau padahal setiap Kapolri yang mau ditinjau itu ada beberapa turunan yang 737 itu (Agus) Ya 737 turunanya 433. Mengapa aturan itu, tindak pidana sih tindak pidana, diproses secara hukum, ada pertentangan… (Budhy) Tapi menarik yang dikatakan tadi bahwa kenapa mereka tidak bergerak padahal sebenarnya ada hukumnya karena khawatir bisa. Tapi di sisi lain, ketika ada undang-undang
yang spesifik mengatur kasus-kasus KDRT misalnya, perdagangan orang, kasus anak dsb. Itu mereka pakai KUHP. Jadi ada kecenderungan mereka pakai yang lebih ringan. Saya nggak tahu kenapa, nggak mau repot mungkin. Tapi bisa jadi nggak menguasai itu atau tidak tertransformasi dengan baik undang-undang itu karena sanksinya memang biasanya lebih berat. Karena undangundangnya spesifik. Perdagangan orang misalnya. Mereka memakai undang-undang penipuan, padahal dengan undang-undang yang baru itu dia bisa kena hukuman lebih berat. (Rizal) Itu salah satu persoalan polisi karena untuk menjadi polisi sekarang harus membaca undang-undang.
(Ihsan) Oke ya. Jadi di Bali. (Ihsan) Saya ucapkan terima kash atas sumbangannya yang luar biasa berharga bagi kita. Dan mudah-mudahan kita bisa bertemu di lain kesempatan di lain tempat. Tepuk tangan untuk kita semua.