BAPTISAN SELAM DAN BAPTISAN PERCIK (Tinjauan Kritis-Dogmatis terhadap Pemahaman Warga GKI Pajajaran Magelang dan GPdI Magelang tentang Sakramen Baptisan Kudus)
Oleh: Mudji Kenanga Pawestri 712012033
TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol)
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016
1
2
3
4
Kata Pengantar Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena kasih karuniaNya yang senantiasa melimpah dalam kehidupan penulis. Secara khusus, penulis mengucapkan syukur karena penyertaanNya yang tak pernah berhenti mengalir bagi penulis selama penulis menjalani empat tahun masa pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Tugas Akhir ini ditulis untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol). Namun demikian, Tugas Akhir ini ditulis bukan karena tugas semata. Penulis menyusun Tugas Akhir ini dengan harapan karya tulis ini dapat membantu semua denominasi Gereja dan warga Gereja di Indonesia untuk memahami adanya perbedaan dalam doktrin Sakramen Baptisan Kudus. Penulis juga berharap Tugas Akhir ini dapat berguna di kemudian hari guna referensi atau sekedar menambah pengetahuan mengenai Sakramen Baptisan Kudus. Besar pula harapan penulis, semoga Tugas Akhir ini dapat menjadi berkat bagi para pembaca.
Penulis
5
Daftar Isi Halaman Judul
i
Lembar Pengesahan
ii
Lembar Pernyataan Keaslian
iii
Lembar Pernyataan Bebas Royalti dan Publikasi
iv
Kata Pengantar
v
Daftar Isi
vi
Ucapan Terima Kasih
viii
Motto
x
Abstrak
1
1. Pendahuluan
2
1.1.Latar Belakang 1.2.Rumusan Masalah, Tujuan, dan Manfaat 1.3.Metode Penelitian 1.4.Sistematika Penulisan 2. Sakramen Baptis dalam Tradisi Kekristenan
6
2.1.Hakekat dari Sakramen Baptis 2.1.1. Hakekat Sakramen secara Umum 2.1.2. Hakekat Sakramen dalam Kekristenan 2.1.3. Baptisan sebagai Sakramen 2.1.4. Hakekat Sakramen Baptis dalam Kekristenan 2.2.Ekspresi dari Sakramen Baptis 2.3.Air dalam Sakramen Baptis 2.4.Baptisan Percik dan Selam dalam Alkitab 2.5.Baptisan Percik dan Selam dalam Sejarah Perkembangan Gereja 3. Pemahaman tentang Sakramen Baptis 3.1.GPdI Magelang 3.1.1. Pemahaman Warga GPdI Magelang tentang Sakramen Baptis
6
16
3.1.2. Hubungan antara Baptisan dengan Perjamuan Kudus dan Iman bagi Warga GPdI Magelang 3.1.3. Pemahaman Warga GPdI Magelang tentang Baptis Percik 3.2.GKI Pajajaran Magelang 3.2.1. Pemahaman Warga GKI Pajajaran Magelang tentang Sakramen Baptis 3.2.2. Hubungan antara Baptisan dengan Perjamuan Kudus dan Iman bagi Warga GKI Pajajaran Magelang 3.2.3. Pemahaman Warga GKI Pajajaran Magelang tentang Baptis Selam 4. Tinjauan Kritis-Dogmatis terhadap Pemahaman Warga GKI Pajajaran Magelang dan GPdI Magelang tentang Sakramen Baptisan Kudus
21
4.1.Tinjauan Berdasarkan Hakekat (Esensi) dari Sakramen Baptisan Kudus 4.2.Tinjauan Berdasarkan Makna Kata Sacramentum dalam Agama Kristen 4.3.Tinjauan Berdasarkan Tafsiran Alkitab 4.4.Kesimpulan 5. Penutup
26
5.1.Kesimpulan 5.2.Saran Daftar Pustaka
27
7
UCAPAN TERIMA KASIH Saya mengucapkan terima kasih kepada... 1. Tuhan Yesus Kristus atas penyertaanNya dalam seluruh kehidupan saya, terkhusus pendidikan saya. Serta atas segala pertolonganNya yang selalu tepat waktu. 2. Kedua orang tua saya atas dukungan dan doa yang tak lelah mereka panjatkan untuk pendidikan dan kehidupan saya. Serta kedua kakak saya dan adik saya yang juga tak luput memberikan dukungan dan semangat tanpa henti. 3. Pdt. Yusak B. Setyawan dan Pdt. Ebenhaizer I. Nuban Timo, kedua dosen yang telah bersedia membimbing saya dalam penulisan tugas akhir ini. Terima kasih atas kesabaran dan bimbingannya. 4. Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Magelang dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pajajaran Magelang, yang telah bersedia menjadi tempat penelitian saya dalam penulisan tugas akhir ini. Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada Om Victor dan Pdt. Leri yang telah bersedia menjadi narasumber saya selama penelitian yang saya lakukan, kiranya Tuhan memberkati. 5. Pdt. Retnowati, seorang wali studi yang telah menjadi ibu saya selama empat tahun masa studi saya. 6. Semua dosen Fakultas Teologi yang telah menjadi orang tua saya di Fakultas Teologi, serta yang telah bersedia membagikan ilmu yang dimiliki. 7. Bu Budi selaku TU Fakultas Teologi, terima kasih telah bersedia melayani mahasiswa dengan ramah dan menyenangkan. 8. Gereja Kristen Indonesia (GKI) Soka Salatiga, yang telah menerima saya selama 4 semester untuk dapat melaksanakan PPL I-IV. Terkhusus Pdt. Sony yang telah berbesar hati membimbing saya dalam pelaksanaan PPL saya. 9. SMP Kristen 2 Salatiga, yang telah dengan senang hati menerima saya untuk melaksanakan PPL V. Terkhusus bagi Bu Iren, yang telah dengan sabar dan penuh kasih membimbing saya selama PPL saya.
8
10. Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Sabda Bayu, Singaraja, Bali yang telah menerima saya dengan senang hati untuk menjalani masa PPL VI. Pdt. Finsen, Bu Gladis, Bapak dan Ibu Ely, Pak Rudolf, Bu Silvester, Pak Murdana, Bu Tin, Bu Rena, serta segenap jemaat GKPB Sabda Bayu yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu; saya sungguh berterimakasih atas dukungan dan bimbingan yang telah diberikan bagi saya dalam saya menjalani masa PPL VI di GKPB Sabda Bayu, Singaraja, Bali. Kiranya Tuhan selalu menyertai pelayanan dan persekutuan GKPB Sabda Bayu. 11. Bapak Yafet, mantan PR III, yang telah membantu saya pada awal perkuliahan saya sehingga saya dapat menyelesaikan masa studi saya ini, kiranya Tuhan yang membalas kebaikan bapak. 12. Bu Tien dan Bu Lis dari Bikem, yang telah membantu saya mendapatkan beasiswa selama empat tahun pendidikan saya. 13. Pak Ratno dari bagian dispensasi, yang selalu saya repotkan setiap semester, terima kasih atas kesabarannya. 14. Mas Bayu dan Mas Yudhi, para pria dari Boy Photocopy, terima kasih selalu bersedia direpotkan dengan berbagai permintaan fotokopi dan print tugas serta materi kuliah. Terima kasih sudah menjadi tempat fotokopi ternyaman di Salatiga dengan petugas ter-ramah yang pernah saya temui. 15. Keluarga besar Fakultas Teologi, terima kasih telah menjadi kakak-kakak dan adik-adik saya selama ini, kalian tak akan pernah kulupakan. 16. Keluarga besar angkatan 2012, i love you guys. Terima kasih telah menjadi keluargaku dalam suka maupun duka selama empat tahun ini. Terima kasih pada Tuhan yang telah menempatkan kalian dalam hidupku. 17. Keluarga besar paduan suara Voice of Theology (VoT), yang telah menjadi tempat bagi saya menyalurkan hobi saya dalam bidang tarik suara. Serta bagi setiap pelatih yang pernah singgah di VoT, terima kasih atas segala ilmunya dalam paduan suara yang dapat mengasah kemampuan saya. Kiranya Tuhan memberkati pelayanan VoT untuk selanjutnya.
9
MOTTO “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” Matius 7:12a
“kita dapat menunda sesuatu, tapi waktu akan terus berjalan”
10
1. Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Agama Kristen merupakan salah satu agama yang dianut oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Agama ini merupakan agama yang dibawa oleh bangsabangsa Barat melalui kegiatan zending (Pekabaran Injil) pada sekitar abad ke-16 dan 17. 1 Agama Kristen berakar pada Agama Katolik, yang pada awalnya merupakan satu kesatuan. Agama yang berada di bagian barat Kekaisaran Romawi disebut Gereja Barat dan agama yang berada di bagian timur Kekaisaran Romawi disebut Gereja Timur. Gereja Timur meliputi Gereja-gereja Ortodoks Timur, antara lain Gereja Nestorian, Koptik, Yakobit, Maronit, Armenia. Di sisi lain, Gereja Barat meliputi Gereja Katolik Roma yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi akar dari munculnya Gereja-gereja Protestan. Kedua aliran tersebut memiliki corak berbeda yang mengakibatkan perpecahan di antara kedua bagian Agama Katolik tersebut. Dalam Agama Kristen, ajaran-ajaran dibungkus dalam “dogma” dan “doktrin”. Dogma menunjuk pada sebuah penegasan akan kebenaran iman yang dimiliki Gereja, 2 dan merupakan ajaran dalam Agama Kristen yang bertujuan untuk merumuskan identitas Gereja atau Agama Kristen secara umum. Sedangkan doktrin lebih menunjuk pada penjelasan yang lebih rinci, dan sistematis dari dogma yang berlaku dalam sebuah komunitas,
3
merupakan dogma yang
merumuskan identitas denominasi Kristen tertentu. Salah satu dogma dalam Agama Kristen ialah keselamatan, yang dirumuskan dalam doktrin “Sakramen Baptisan Kudus”. Sakramen berasal dari bahasa Latin „sacrament‟, yang berarti janji setia di hadapan umum. Dalam keyakinan Gereja Protestan, sakramen merupakan tanda kelihatan yang diadakan oleh Kristus yang menyatakan dan
1
Th. van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 22. 2 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Aku Memahami yang Aku Imani: Memahami Allah Tritunggal, Roh Kudus, dan Karunia-karunia Roh secara Bertanggung Jawab (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 4. 3 Nuban Timo, Aku Memahami, 4.
11
menyampaikan rahmat, 4 serta menggambarkan misteri keselamatan Allah yang tidak kelihatan.5 Sakramen Baptisan Kudus merupakan sakramen yang dilakukan untuk warga jemaat yang bersedia meninggalkan hidup lamanya untuk menjalani hidup baru bersama dan di dalam Yesus Kristus. Sakramen Baptisan Kudus merupakan sakramen dasar untuk dapat membuat seseorang menjadi warga Gereja secara resmi, serta menjadikan seorang warga Gereja dapat menerima sakramensakramen lain. Di tengah keberagaman denominasi Gereja di Indonesia, penulis menemukan adanya perbedaan doktrin mengenai Sakramen Baptisan Kudus, khususnya perbedaan yang berhubungan dengan cara pembaptisan. Pembaptisan dengan cara penyelaman, yang disebut sebagai Baptisan Selam, dilakukan oleh Gereja-gereja beraliran Pentakosta dan Kharismatik. Di sisi lain, pembaptisan dengan cara pemercikan, yang disebut sebagai Baptisan Percik, dilakukan oleh Gereja-gereja beraliran Lutheran, Calvinis, dan Anabaptis. Masing-masing denominasi memiliki sejarah dan alasan tersendiri dalam menerapkan doktrin mereka, khususnya doktrin mengenai Sakramen Baptisan Kudus. Sakramen Baptisan Kudus sendiri merupakan salah satu sakramen penting dalam agama Kristen. Namun demikian, terdapat perbedaan pemahaman dan praktek pembaptisan antar-Gereja dengan denominasi yang berbeda. Dengan demikian, terdapat perdebatan dalam agama Kristen tentang cara pembaptisan, yakni tentang cara pembaptisan yang dianggap lebih benar. Masing-masing denominasi Gereja menganggap dan merasa bahwa cara pembaptisan yang mereka lakukan adalah cara yang paling benar di hadapan Allah. Masing-masing denominasi pun menganggap bahwa doktrin denominasi lain „salah‟, bahkan „sesat‟. Perdebatan inilah yang telah diteliti oleh penulis, yakni perbedaan pemahaman tentang cara pembaptisan. Penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat membantu semua
4 5
Gerald O‟Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 283. Nuban Timo, Aku Memahami, 122.
12
denominasi Gereja dan warga Gereja di Indonesia untuk memahami adanya perbedaan dalam doktrin Sakramen Baptisan Kudus. 1.2.Rumusan Masalah, Tujuan, dan Manfaat Dalam penelitian yang dilakukan, penulis mengambil Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) sebagai objek penelitian. GKI merupakan salah satu Gereja yang menerapkan doktrin Baptisan Percik, dengan latar belakang aliran Calvinis. Di sisi lain, GPdI merupakan salah satu Gereja yang menerapkan doktrin Baptisan Selam, dengan latar belakang aliran Pentakosta. Masalah pokok dalam penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
Bagaimana pemahaman warga GKI Pajajaran Magelang dan GPdI Magelang mengenai Baptisan Selam dan Baptisan Percik?
Apa tinjauan kritis-dogmatis terhadap pemahaman warga GKI Pajajaran Magelang dan GPdI Magelang tentang Sakramen Baptisan Kudus? Penelitian yang telah dilakukan diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran bagi Gereja tentang pemahaman mengenai Sakramen Baptisan Kudus. Berdasarkan masalah pokok yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Mendeskripsikan pemahaman warga GKI Pajajaran Magelang dan GPdI Magelang mengenai Baptisan Selam dan Baptisan Percik.
Melakukan tinjauan kritis-dogmatis terhadap pemahaman warga GKI Pajajaran Magelang dan GPdI Magelang tentang Sakramen Baptisan Kudus. Penelitian yang telah dilakukan akan penulis sajikan dalam bentuk karya
ilmiah yang diharapkan dapat menjadi sumber pustaka yang bermanfaat bagi kalangan intelektual dan warga Gereja. Manfaat dari tulisan ini adalah: 1. Membantu warga Gereja memahami makna Sakramen Baptisan Kudus. 2. Membantu warga Gereja memahami mengenai cara Baptisan Selam dan Baptisan Percik.
13
3. Membantu warga Gereja untuk memperluas pemahaman mereka tentang pelaksanaan Sakramen Baptisan Kudus yang tidak tunggal. 1.3.Metode Penelitian Dalam penelitian yang dilakukan, metode yang telah digunakan adalah metode kualitatif. Metode ini digunakan karena dapat memberikan hasil yang lebih mendetail dan mendalam. Selain itu, dengan metode kualitatif penulis dapat mengerti, mengetahui, dan memahami apa yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian ini diperlukan informasi yang sangat mendalam dan mendetail mengenai pemahaman warga GKI dan GPdI mengenai Baptisan Selam dan Baptisan Percik, serta makna dogma Kristen tentang Sakramen Baptisan Kudus, sehingga metode kualitatif sangat diperlukan. Penelitian telah dilakukan di Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Magelang dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pajajaran Magelang. Dalam pengambilan data, cara yang telah digunakan adalah wawancara yang mendalam (deep interview) karena dengan wawancara yang mendalam dapat diperoleh informasi yang detail mengenai segala hal yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Selain wawancara, penulis juga melakukan studi pustaka (studi dokumen) untuk memperoleh data tentang Sakramen Baptisan Kudus menurut masing-masing Gereja. Informan dalam penelitian yang telah dilakukan adalah pendeta jemaat, pengurus Gereja, serta anggota jemaat dari GPdI Magelang dan GKI Pajajaran Magelang. Penelitian telah dilakukan dengan lokasi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Magelang dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pajajaran Magelang. Kedua lokasi ini dipilih karena mudah dijangkau dan GPdI menerapkan ajaran Baptisan Selam, sedangkan GKI menerapkan ajaran Baptisan Percik. Penelitian telah dilakukan dengan cara wawancara yang mendalam dengan pendeta jemaat, pengurus Gereja, serta anggota jemaat dari dua Gereja yang masing-masing menerapkan Baptisan Percik dan Baptisan Selam, yakni GPdI Magelang dan GKI Pajajaran Magelang. Sumber data utama adalah informasi verbal yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pendeta jemaat, pengurus Gereja, serta anggota jemaat dari GPdI Magelang dan GKI Pajajaran
14
Magelang. Sumber ini dilengkapi dengan data fisik berupa data yang didokumentasikan. Data sekunder seperti dokumen-dokumen telah diperoleh melalui dokumen-dokumen Gereja, buku katekisasi dari masing-masing Gereja, serta tulisan-tulisan tentang topik yang diteliti. 1.4.Sistematika Penulisan Penulis akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian. Bagian pertama berisi pendahuluan, yang di dalamnya termuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian kedua adalah landasan teori, yang akan menjelaskan tentang pengertian dari sakramen, Baptisan, hakikat dan ekspresi dari Sakramen Baptisan, penggunaan air dalam Sakramen Baptisan, Baptisan Percik dan Baptisan Selam dalam Alkitab serta dalam sejarah perkembangan Gereja. Bagian ketiga akan memaparkan hasil penelitian dengan rincian data hasil penelitian yang ditemukan selama penelitian di lapangan. Bagian keempat merupakan analisis terhadap hasil penelitian dengan menggunakan teori yang ada dalam bagian dua. Hingga yang terakhir, bagian kelima, yakni penutup berupa kesimpulan akhir dari pengolahan data hasil penelitian. 2. Sakramen Baptis dalam Tradisi Kekristenan Dalam tulisan ini, fokus pembahasan adalah tentang Baptisan Selam dan Baptisan Percik. Sebelum sampai pada uraian tersebut, pada bagian ini penulis akan mengemukakan latar belakang dari sakramen secara umum, serta latar belakang dari Sakramen Baptis. Setelah itu, penulis akan menyampaikan hakikat (esensi) dan ekspresi (seremoni) dari Sakramen Baptis. Hal ini dirasa perlu dilakukan dengan maksud untuk memberikan gambaran tentang hakikat dan ekspresi dari Sakramen Baptis dalam Kekristenan, sebelum penulis sampai pada pembahasan mengenai kedua ekspresi dari Sakramen Baptis, yakni cara selam dan percik. Setelah itu akan dibahas mengenai penggunaan air dalam Sakramen Baptis, serta Baptisan Percik dan Baptisan Selam dalam Alkitab serta dalam sejarah perkembangan Gereja.
15
2.1.Hakikat dari Sakramen Baptis Ajaran tentang sakramen sudah ada sejak Abad-abad Pertengahan dan dipengaruhi oleh Agustinus, yang berpendapat bahwa sakramen merupakan wujud dari firman yang telah diberi tambahan unsur, sehingga sakramen merupakan firman yang kelihatan. 6 Maksudnya ialah, sakramen menjadi wujud nyata yang kelihatan dari firman yang tidak kelihatan. Sakramen, dalam masa reformasi Luther, merupakan janji Allah yang terkandung dalam firmanNya. Manusia hanya dapat menerima kasih karunia dalam sakramen hanya jika mereka memiliki iman.7 Berbeda dengan Luther, Ulrich Zwingli menolak istilah sakramen, dan ia menyatakan bahwa sakramen merupakan tindakan simbolis yang dipakai oleh orang
percaya
dalam
rangka
memperingati
perbuatan
Kristus
untuk
menyelamatkan manusia serta untuk menyatakan iman yang mereka miliki. 8 Kemudian hari, Calvin memutuskan untuk berada di jalan tengah antara Luther dan Zwingli. Menurutnya, sakramen bukan hanya tindakan manusia untuk mengakui iman dalam Kristus, namun juga merupakan pemberian Allah.9 Dalam hal ini, Allah berinisiatif memberikan keselamatan bagi manusia yang telah terjebak dalam dosa. Atas keselamatan yang telah diberikan Allah tersebut, maka manusia dengan iman kepercayaannya menyatakan janji setianya pada Allah. 2.1.1. Hakikat Sakramen secara Umum Istilah „sakramen‟ berasal dari bahasa Latin „sacramentum‟ yang berakar pada kata sacr atau sacer yang memiliki arti kudus, suci, atau lingkungan orang kudus.
Kata
Latin
sacrare
berarti
menyucikan,
menguduskan,
atau
mengkhususkan sesuatu atau seseorang bagi bidang yang suci atau kudus. Dalam tradisi Romawi kuno, sacramentum digunakan dalam dua pengertian. Pertama, kata ini menunjuk pada sumpah prajurit untuk menyatakan kesediaannya mengabdi bagi dewa atau negara. Kedua, kata ini menunjuk pada uang denda dari
6
Benhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989), 174. Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme?(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 190-191. 8 de Jonge, Apa itu Calvinisme?, 192. 9 de Jonge, Apa itu Calvinisme?, 193. 7
16
pihak-pihak yang berperkara dalam pengadilan yang diletakkan dalam suatu kuil dewa, karena keputusan hakim dipandang sebagai keputusan dewa.10 2.1.2. Hakikat Sakramen dalam Kekristenan Istilah sacramentum baru digunakan oleh orang Kristen pada abad dua untuk menerjemahkan kata mysterion (Yunani). Kata mysterion ini berakar pada kata yang memiliki arti menutup mata atau mulut sebagai reaksi terhadap pengalaman yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, yakni pengalaman akan Yang Illahi. Kata mysterion dapat juga diartikan sebagai realitas tersembunyi.11 Dalam agama, terdapat dua macam simbol religius, yakni simbol ekspresif yang merupakan ungkapan dari pengalaman batiniah seseorang terhadap yang transenden. Simbol yang kedua adalah simbol representatif, yaitu sebuah lambang yang menghadirkan suatu realitas yang hanya dapat dimengerti melalui simbol tersebut. Sakramen termasuk di dalam simbol representatif, di mana sakramen merupakan sebuah perbuatan religius yang menunjuk pada yang transenden. 12 Agama Kristen memahami kata sacramentum sebagai perbuatan Allah yang bersedia menyelamatkan manusia dan juga sebagai wujud janji setia manusia pada perbuatan Allah tersebut. Dalam hal ini, orang Kristen meyakini adanya kesediaan dari Allah untuk menyelamatkan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Manusia mengikrarkan janji setianya pada Allah karena ia telah diselamatkan, sebagai ungkapan syukur pada Allah. 2.1.3. Baptisan sebagai Sakramen Kata baptis berasal dari kata „baptismus‟ atau „baptisma‟, yang merupakan bahasa Latin. Istilah „baptis‟ berasal dari kata Yunani „baptizo‟, yang memiliki makna membasuh, mencuci, atau mencelupkan. 13 Kata baptizo merupakan kata 10
O‟Collins dan Farrugia, Kamus Teologi, 284. O‟Collins dan Farrugia, Kamus Teologi, 284. 12 C. Groenen, Sakramentologi: Ciri Sakramental Karya Penyelamatan Allah, Sejarah, Wujud, Struktur (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 5. 13 O‟Collins dan Farrugia, Kamus Teologi, 283-284. 11
17
kerja yang berasal dari kata dasar bapto yang memiliki arti harafiah pencelupan sesuatu ke dalam cairan, kemudian dikeluarkan kembali. Sehingga kata baptizo memiliki arti mencelupkan sesuatu dan mengeluarkannya kembali. Namun demikian, kata baptizo juga dapat diartikan dengan membersihkan atau menyucikan. Sakramen Baptis memiliki makna kesediaan seorang Kristen untuk dibasuh di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. 14 Sakramen Baptis merupakan sakramen yang dilakukan untuk warga jemaat yang bersedia meninggalkan hidup lamanya untuk menjalani hidup baru bersama dan di dalam Yesus Kristus. Baptisan bukanlah satu-satunya sakramen dalam Agama Kristen. Terdapat dua belas sakramen dalam Agama Katolik, yakni: Baptisan, konfirmasi, pengurapan orang sakit, penahbisan imam, pengurapan raja, penahbisan Gereja, pengakuan iman, penahbisan kanosis, penahbisan biarawan dan biarawati, serta pernikahan. 15 Pada Abad-abad Pertengahan, ada sistematisasi dan penetapan jumlah sakramen, yaitu tujuh, yang terdiri dari Baptisan, penguatan, ekaristi, perkawinan, tahbisan, pengurapan orang sakit, dan pertobatan.
16
Ketujuh
sakramen inilah yang hingga saat ini menjadi jumlah sakramen yang diakui dalam ajaran Katolik. Dalam sejarah perkembangan Gereja, telah dikenal istilah “sakramen utama” dan “sakramen kurang penting”, atau lebih sering disebut sebagai sacrament majora dan sacrament minora. Dari ketujuh sakramen yang ditetapkan dalam Konsili Trente, terdapat sakramen yang seakan-akan menjadi pusat dari semua sakramen, dan ada sakramen yang hanya menjadi pelengkap bagi sakramen yang utama tersebut.17 Dua sakramen yang dianggap sebagai sacrament majora adalah ekaristi (Perjamuan Kudus) dan Baptisan. Perjamuan Kudus mewujudkan pemersatuan manusia dengan Allah melalui penyelamatan Yesus Kristus, melalui roti dan anggur yang menjadi simbol tubuh dan darah Yesus. Baptisan dianggap sebagai sakramen utama karena melalui sakramen ini setiap orang percaya dapat 14
O‟Collins dan Farrugia, Kamus Teologi, 283-284. Lohse, Pengantar Sejarah, 191. 16 de Jonge, Apa itu Calvinisme?, 190. 17 Groenen, Sakramentologi, 205. 15
18
masuk ke dalam persekutuan bersama dengan Kristus dan bersama dengan semua orang percaya. Dengan demikian, sakramen-sakramen lainnya, yang termasuk dalam sacrament minora, menjadi pelengkap bagi kedua sakramen tersebut. 18 Dengan alasan inilah, dalam Agama Kristen hanya terdapat dua sakramen, yakni Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. 2.1.4. Hakikat Sakramen Baptis dalam Kekristenan Hakikat (esensi) dari Sakramen Baptis ialah menyatukan diri dengan Kristus dalam kematianNya, di mana jemaat menyalibkan dan menguburkan kehidupan lamanya, sehingga ia dapat bangkit bersama Kristus dalam kehidupan baru.19 Hal ini merupakan pemikiran teologi Paulus dan para penerusnya, yang dapat dilihat dalam Roma 6:3-4 dan Kolose 2:12. Baptisan dapat dilihat sebagai materai yang menunjukkan bahwa seseorang telah melekat dengan Kristus, 20 seperti yang tertulis dalam Galatia 3:27. Sakramen Baptis membuat jemaat secara khusus menjadi bagian dari “tubuh Kristus”, yang ditegaskan dalam 1 Korintus 12:13 dan hal ini yang membedakan orang Kristen dengan orang lain. Kematian Kristus di atas salib merupakan rahmat yang ditujukan bagi semua manusia, namun orang Kristen dipanggil secara khusus untuk menjadi milik Kristus melalui Sakramen Baptis.21 Sesungguhnya Sakramen Baptis merupakan perwujudan iman orang percaya pada Kristus dengan cara memberikan janji setianya melalui proses meninggalkan kehidupan lamanya untuk menjalani kehidupan baru di dalam Kristus. Bagi Kristen Protestan, hakikat dari Sakramen Baptis adalah diterimanya seseorang di dalam persekutuan jemaat sebagai bagian dari tubuh Kristus. Namun bagi Pentakosta, hakikat dari Sakramen Baptis merupakan peristiwa yang dialami
18
Groenen, Sakramentologi, 207. G.C. van Niftrikdan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 443. 20 Lohse, Pengantar Sejarah, 178. 21 van Niftrik dan Boland, Dogmatika Masa Kini, 444. 19
19
oleh seseorang untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan menjalani kehidupan baru di dalam Kristus.22 Bersamaan dengan masa reformasi Gereja yang dilakukan oleh Luther di Jerman dan Calvin di Jenewa, terjadi pula reformasi yang dilakukan oleh Zwingli di Swiss. Reformasi oleh Zwingli ini menjadi akar dari aliran Anabaptis. Ajaran yang membedakan aliran Anabaptis dengan ajaran Lutheran dan Calvinis, ialah mengenai Baptisan terhadap anak-anak. Bagi Anabaptis, Baptisan tidak dapat dilakukan terhadap anak-anak karena mereka belum dapat menyatakan respons terhadap pengampunan dosa serta menyatakan kesediaan mereka untuk bertobat dan beriman pada Yesus. 23 Namun dalam aliran Lutheran, Injili, dan Calvinis, diakui adanya Baptisan bagi anak-anak, karena penting bagi anak-anak untuk masuk ke dalam persekutuan Gereja sedini mungkin. Bagi aliran Lutheran, Injili, dan Calvinis, untuk menerima Baptisan, seseorang tidak perlu untuk memiliki iman yang matang; karena bagi mereka, yang membuat Baptisan menjadi efektif ialah janji Allah dan bukan iman. 24 Hal ini bertujuan agar iman anak tersebut dapat dibina sejak awal. Walaupun berbeda pendapat dengan Lutheran dan Calvinis mengenai Baptisan anak, namun Anabaptis tetap melakukan Baptisan dengan cara memercikkan air ke atas kepala terbaptis. Selanjutnya, muncullah aliran Baptis, yang kemudian hari diikuti dengan munculnya aliran Pentakosta dan Kharismatik. Ketiga aliran ini sependapat dengan aliran Anabaptis mengenai Baptisan yang tidak dapat dilakukan terhadap anak-anak. Namun mereka lebih menekankan lagi bahwa Baptisan yang sesuai dengan Alkitab adalah Baptisan dengan cara menyelamkan seluruh tubuh terbaptis ke dalam air.25 Bagi aliran Lutheran, Injili, dan Calvinis, Sakramen Baptis haruslah dilakukan pada ibadah di Gereja oleh seorang pendeta yang telah ditahbiskan dan
22
Aritonang, Berbagai Aliran, 189. Aritonang, Berbagai Aliran, 107. 24 de Jonge, Apa itu Calvinisme?, 191. 25 Aritonang, Berbagai Aliran, 141, 189. 23
20
disaksikan oleh jemaat.26 Namun demikian, dalam aliran Baptis, Pentakosta, dan Kharismatik, Sakramen Baptis hanya dapat diterima oleh orang dewasa, yang dianggap telah dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri serta iman yang ia miliki. Orang dewasa merupakan orang yang telah dapat mengambil keputusan sendiri dan dapat bertanggung jawab atas segala yang ia lakukan. Selain itu, Baptisan dalam aliran Baptis, Pentakosta, dan Kharismatik dilakukan di sebuah kolam khusus atau di sungai. Baptisan dilakukan di luar ibadah Gereja, sehingga yang ada dalam proses pembaptisan hanyalah jemaat yang dibaptis dan pendeta yang membaptis.27 2.2.Ekspresi dari Sakramen Baptis Ekspresi atau seremoni merupakan cara untuk dapat mewujudkan hakikat atau esensi dari sesuatu, dalam hal ini Sakramen Baptis. Hakikat dari Sakramen Baptis diwujudkan dengan berbagai macam ekspresi. Salah satu ekspresi yang dilakukan oleh Gereja-gereja dalam mewujudkan hakikat Sakramen Baptis, ialah cara mereka melakukan pembaptisan. Gereja Khatolik melakukan Baptisan dengan cara memercikkan air sebanyak tiga kali ke atas kepala jemaat yang dibaptis. Jumlah percikan ini bukan merupakan kewajiban, di mana jumlah tiga kali ini disesuaikan dengan tiga nama yang dipakai dalam formula Baptisan, yakni Bapa, Putra dan Roh Kudus. Namun demikian, jumlah ini dianggap tidak melambangkan bahwa hanya ada satu Baptisan, sehingga Gereja-gereja reformasi (Lutheran, Injili, dan Calvinis) hanya melakukan percikan sebanyak satu kali.28 Di sisi lain, Gereja Baptis, Pentakosta, dan Kharismatik melakukan Baptisan dengan cara menyelamkan jemaat yang dibaptis ke dalam air.29 Namun, ada aliran Gereja yang tidak memakai air dalam melakukan pembaptisan, seperti Bala Keselamatan yang melakukan Baptisan dengan menggunakan bendera, dan masih banyak lagi cara pembaptisan yang dilakukan Gereja-gereja dalam mewujudkan hakikat dari Sakramen Baptis. Baptisan bendera yang dilakukan oleh Bala Keselamatan 26
de Jonge, Apa itu Calvinisme?, 200. Aritonang, Berbagai Aliran, 141, 189-190, 222. 28 de Jonge, Apa itu Calvinisme?, 201. 29 Aritonang, Berbagai Aliran, 141, 189. 27
21
didasarkan pada Lukas 3:16, di mana mereka menganggap Baptisan air hanya merupakan tanda lahiriah. Dengan demikian, Bala Keselamatan berpendapat bahwa Baptisan tidak harus dilakukan dengan air. Baptisan bendera tersebut dilakukan dengan cara mengibarkan bendera di sekitar tubuh orang yang akan dibaptis, dan hal tersebut dilakukan dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.30 2.3.Air dalam Sakramen Baptis Air merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari Sakramen Baptis bagi sebagian besar Gereja. Dalam upacara Baptisan, air merupakan unsur yang paling sering dipakai, karena air merupakan unsur alami yang mudah didapatkan dan Baptisan Yesus dilakukan di dalam air Sungai Yordan.31 Air yang memiliki fungsi untuk membersihkan sesuatu dari noda, digunakan dalam Sakramen Baptisan untuk melambangkan bahwa orang yang dibaptis telah dibersihkan dari dosa oleh darah Kristus. Selain itu, air dapat memberi kehidupan bagi semua makhluk hidup, hal ini menjadikan air sebagai lambang dari darah Kristus yang memberi kehidupan bagi manusia yang seharusnya mati karena dosa. 32 Bagi aliran Lutheran, Injili, dan Calvinis, air hanyalah sebuah sarana yang digunakan untuk melakukan Sakramen Baptisan. Namun bagi aliran Baptis, Pentakosta, dan Kharismatik, air merupakan syarat utama dalam pelaksanaan Sakramen Baptis. Mereka meyakini bahwa orang yang dibaptis menguburkan hidupnya yang lama kemudian bangkit dalam hidup yang baru, dan hal ini terjadi ketika seluruh tubuh orang yang dibaptis diselamkan ke dalam air. Banyak atau sedikitnya air yang digunakan dalam Sakramen Baptis merupakan pengaruh dari pemahaman masing-masing Gereja tentang Sakramen Baptis. Mereka yang memahami bahwa air sangatlah penting dalam pelaksanaan Baptisan, maka mereka akan memakai air dalam jumlah yang banyak. Di sisi lain, mereka yang menganggap bahwa air hanyalah sekedar sarana dalam Baptisan, maka mereka akan memakai air dalam jumlah yang sedikit. Demikian juga 30
Hasil wawancara dengan salah seorang anggota jemaat Bala Keselamatan di Magelang. Nuban Timo, Aku Memahami, 131. 32 R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 187. 31
22
dengan mereka yang menganggap bahwa air bukanlah syarat utama dalam Sakramen Baptis, maka mereka tidak menggunakan air sama sekali dalam melakukan Baptisan. 2.4.Baptisan Percik dan Selam dalam Alkitab Penggunaan air untuk pembaptisan dalam Alkitab memiliki berbagai macam bentuk. Dalam Matius 3:13-17 dan Markus 1:9-11, terdapat kisah pembaptisan Yesus yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis dengan cara diselamkan ke dalam Sungai Yordan. Kisah Para Rasul 10:44-48 menunjukkan peristiwa pembaptisan Kornelius dan semua orang yang ada di rumahnya, yang dilakukan oleh Petrus. Baptisan Kornelius dan semua orang yang ada di rumahnya ini dilakukan dengan menggunakan air, namun tidak ada indikasi tentang cara yang digunakan dalam pelaksanaan Baptisan tersebut. Alkitab juga mencatat adanya Baptisan yang dilakukan secara massal terhadap tiga ribu orang, yakni di dalam Kisah Para Rasul 2:37-41, pada hari Pentakosta. Kisah mengenai Baptisan masih dapat ditemukan dalam Kisah Para Rasul 8:26-40, di mana seorang sidasida dari Etiopia meminta Filipus untuk membaptisnya secara selam di suatu tempat yang ada airnya. Namun demikian, dalam Kisah Para Rasul 16:13-15 dan pada ayat 30-34, dapat ditemukan kisah pembaptisan yang diterima oleh Lidia dan seisi rumahnya, serta oleh kepala penjara dan keluarganya. Kisah ini mengindikasikan bahwa Baptisan juga dapat dilakukan di rumah, tidak harus dilakukan di kolam atau sungai. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa Baptisan yang dilakukan ialah dengan cara percik. 2.5.Baptisan Percik dan Selam dalam Sejarah Perkembangan Gereja Sejak terbentuknya Gereja mula-mula, Baptisan sesungguhnya telah menjadi bagian dari Gereja. Pada masa itu, Baptisan merupakan khotbah yang nampak tentang Allah yang memberikan pengampunan melalui Yesus Kristus. Namun dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada sekitar tahun 100, jemaat mulai meyakini bahwa perlu digunakan air dalam pelaksanaan Baptisan. Air diyakini memiliki manfaat untuk menyucikan dan membersihkan tubuh seorang
23
anggota jemaat yang menerima Baptisan, bukan hanya dari kekotoran jasmani, namun juga secara khusus menyucikan dan membersihkan jiwanya dari segala kuasa setan. 33 Selain itu, jemaat juga meyakini bahwa melalui Baptisan, maka segala dosa di dalam diri seseorang akan dihapuskan. 34 Baptisan dalam Gereja Katolik Roma, dilakukan dengan cara memercikkan air ke atas kepala penerima Sakramen Baptis. Oleh karena itu, anak-anak pun diwajibkan untuk turut menerima Sakramen Baptis. Pelaksanaan Baptisan Percik tersebut berlangsung cukup lama dan tetap dipertahankan, walaupun terjadi Reformasi Gereja serta beberapa protes terhadap Gereja Katolik Roma, yang di antaranya dilakukan oleh Luther, Calvin, dan para reformator lainnya. Hingga hadirnya aliran Anabaptis yang tetap mempertahankan Baptisan Percik, namun mereka menolak Baptisan bagi anak-anak. Alasan yang mereka berikan ialah “Amanat Agung” dalam Matius 28:19-20, yang menunjukkan bahwa orang Kristen yang telah dibaptis memiliki tugas untuk menjalani kehidupan mereka sesuai dengan perintah Kristus. Bagi aliran Anabaptis, Baptisan yang seperti ini tidak dapat dilakukan terhadap anak-anak yang belum dapat memahami dan meyakini pengajaran akan keselamatan.35 Jauh setelah itu, hadir aliran Baptis yang menentang pelaksanaan Sakramen Baptisan bagi anak-anak, sependapat dengan aliran Anabaptis. Namun, mereka mengajukan sebuah cara baru bagi pelaksanaan Baptisan, yakni dengan cara diselamkan. Cara inilah yang menjadi landasan bagi aliran Baptis untuk tidak melakukan Baptisan bagi anak-anak. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa orang dewasa telah memiliki kemampuan untuk memahami apa yang ia imani dan ia dapat mengambil keputusan untuk menyatakan imannya, serta ia bersedia untuk mempertanggungjawabkan pilihannya.
36
Setelah aliran Baptis ini, maka
muncullah berbagai macam aliran Gereja yang sependapat dengan Baptisan dengan cara selam. 33
H. Berkhof dan I.H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 31. Berkhof dan Enklaar, Sejarah Gereja, 112. 35 C. Arnold Snyder, Dari Benih Anabaptis: Intisari Kesejarahan Jati Diri Anabaptis (Semarang: Pustaka Muria, 2007), 26. 36 Aritonang, Berbagai Aliran, 141. 34
24
Dalam sejarah perkembangan Gereja, setiap aliran baru yang muncul dianggap sebagai aliran sesat oleh aliran-aliran Gereja yang telah terlebih dahulu hadir. Sehingga, setiap pendapat baru mengenai cara membaptis yang diajukan oleh setiap aliran Gereja yang baru muncul, tentunya menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Namun, hingga saat ini Sakramen Baptisan dilakukan oleh masing-masing Gereja dengan berbagai macam cara, menurut refleksi mereka masing-masing. 3. Pemahaman tentang Sakramen Baptis 3.1.GPdI Magelang Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) merupakan Gereja yang termasuk dalam aliran Pentakosta. GPdI Magelang terletak di Jl. Tentara Pelajar 64, Magelang dengan gembala sidang Pdt. Victor Andrew Malino. Gereja tersebut memiliki sekitar 1200 orang jemaat. Gereja ini berdiri pada tanggal 4 Maret 1956 dengan Gembala Sidang pertama Pdt. Joshua Suryaputra. 3.1.1. Pemahaman Warga GPdI Magelang tentang Sakramen Baptis Baptisan bagi warga GPdI Magelang merupakan peristiwa di mana mereka melepas kehidupan lama mereka sebagai hamba dosa, dan menjalani kehidupan baru sebagai hamba kebenaran. 37 Setelah dibaptis, mereka menyadari bahwa mereka masih hidup sebagai manusia yang belum berada dalam kondisi sempurna. Namun mereka menyadari pula bahwa mereka harus berusaha untuk tidak terikat lagi dengan kehidupan lama mereka.38 Bagi Gereja beraliran Pentakosta, bentuk Baptisan yang sah adalah dengan cara “selam”. Hal ini dikarenakan mereka menjadikan peristiwa pembaptisan Yesus di Sungai Yordan sebagai dasar (Matius 3:13-17). Selain itu, mereka melihat dari asal kata baptis yang memiliki arti
37
Wawancara dengan Heri, salah seorang aktivis pemuda GPdI Magelang, pada tanggal 10 Oktober 2015 pukul 09.00 WIB. 38 Wawancara dengan Stefanus Onni, salah seorang anggota remaja GPdI Magelang, pada tanggal 10 Oktober 2015 pukul 13.00 WIB.
25
“mencelupkan” yang disamaartikan dengan “menyelamkan”.
39
Bagi Gereja
beraliran Pentakosta, Baptisan yang dilakukan dengan cara selam juga memiliki makna teologis. Saat seseorang dibaptis dengan cara diselam, berarti ia telah menenggelamkan kehidupan lamanya dan keluar dari air dengan kehidupan yang baru di dalam Kristus.40 Menurut pendeta GPdI Magelang, Baptisan yang dikehendaki Tuhan dalam Alkitab adalah Baptisan yang dilakukan dengan cara “seluruh tubuh diselamkan ke dalam air dan kemudian dikeluarkan kembali”. GPdI Magelang juga memaknai Baptisan ini sebagai peristiwa penguburan kehidupan lama dan kemudian bangkit lagi di dalam Kristus dengan mengenakan kehidupan baru.41 3.1.2. Hubungan antara Baptisan dengan Perjamuan Kudus dan Iman bagi Warga GPdI Magelang Bagi GPdI, Baptisan tidak berlaku bagi anak-anak. Bagi mereka, hanya seseorang yang dapat menyatakan imannya pada Yesus yang dapat menerima Baptisan. Bagi anak-anak, terkhusus dalam usia di bawah satu bulan, mereka hanya diserahkan kepada Gereja, di mana orang tua mereka mempercayakan anaknya untuk dibimbing dan dibina dalam ajaran GPdI. 42 Dalam GPdI Magelang dan Gereja Pantekosta secara keseluruhan, Baptisan merupakan kewajiban bagi seluruh jemaat GPdI yang sudah dewasa dan percaya, serta bagi jemaat dari Gereja lain yang akan menikah dengan jemaat GPdI. 43 Sebagai contoh, ketika seorang warga GKI ingin menikah dengan salah seorang warga GPdI, maka warga GKI tersebut harus bersedia menerima Baptisan Selam jika keduanya ingin melangsungkan pernikahan di GPdI. 39
Wawancara dengan Bapak Titus Hernawan, salah seorang majelis GPdI Magelang, pada tanggal 11 Oktober 2015 pukul 08.00 WIB. 40 Wawancara dengan Ibu Trifena, salah seorang anggota kaum wanita GPdI Magelang, pada tanggal 11 Oktober 2015 pukul 09.30 WIB. 41 Wawancara dengan Heri, salah seorang aktivis pemuda GPdI Magelang, pada tanggal 10 Oktober 2015 pukul 09.00 WIB. 42 Wawancara dengan Pdt. Victor A. Malino, pendeta jemaat GPdI Magelang, pada tanggal 11 Oktober 2015 pukul 13.00 WIB. 43 Wawancara dengan Pdm. Jerry Maarende, seorang pendeta muda di GPdI Magelang, pada tanggal 10 Oktober 2015 pukul 18.00 WIB.
26
Namun demikian, GPdI memperbolehkan anak-anak untuk menerima Perjamuan Kudus. Bagi mereka, Perjamuan Kudus merupakan peristiwa yang mengajak jemaat untuk mengenang penderitaan dan kematian yang dialami Yesus demi menebus dosa manusia. Peristiwa pengenangan ini dapat dinikmati oleh semua orang percaya, termasuk anak-anak. 44 Berdasarkan pendapat ini, sebuah pertanyaan timbul di benak penulis, yakni apakah anak-anak memahami makna pengenangan atas penderitaan dan kematian Yesus? Jika mereka tidak diperbolehkan menerima Baptisan dengan alasan mereka belum dapat menyatakan iman mereka, lalu mengapa mereka diperbolehkan menerima Perjamuan Kudus? 3.1.3. Pemahaman Warga GPdI Magelang tentang Baptis Percik Baptis Percik, menurut GPdI, bukanlah cara membaptis yang sesuai dengan Alkitab, atau dalam bahasa mereka, “tidak Alkitabiah”. Asal mula Baptis Percik yang dikemukakan oleh GPdI Magelang adalah adanya kendala di Eropa yang sedang mengalami musim dingin, kemudian hal ini mempengaruhi Gerejagereja di Indonesia. Menurut mereka, Baptis Percik tidak perlu dilakukan di Indonesia yang hanya memiliki dua musim. Mereka juga berpendapat bahwa alasan-alasan atas pelaksanaan Baptis Percik sesungguhnya dapat diatasi, misalnya dengan cara melakukan Baptisan pada saat musim panas, bukan pada musim dingin.45 Berdasarkan pendapat ini, pertanyaan yang timbul di benak penulis adalah, bagaimana dengan daerah-daerah kering di Indonesia? Sebagai contoh, daerahdaerah di Indonesia bagian Timur yang mengalami kekurangan air, apakah mereka harus membuang-buang air, yang telah mereka peroleh dengan bersusah payah, hanya demi dapat membaptis anggota jemaat?
44
Wawancara dengan Pdm. Jerry Maarende, seorang pendeta muda di GPdI Magelang, pada tanggal 10 Oktober 2015 pukul 18.00 WIB. 45 Wawancara dengan Pdt. Victor A. Malino, pendeta jemaat GPdI Magelang, pada tanggal 11 Oktober 2015 pukul 13.00 WIB.
27
GPdI Magelang mengemukakan bahwa Baptis Percik sesungguhnya sahsah saja, karena merupakan kesepakatan organisasi. Namun, tetap saja Baptis Percik tidaklah Alkitabiah, sehingga perlu untuk diluruskan. Berbicara tentang Baptisan adalah berbicara tentang makna, di mana makna ini didapat dari asal kata baptizo yang memiliki arti „celup‟. Selain itu, makna ini juga didapat dari cara membaptis dalam Perjanjian Baru, yakni diselamkan.46 3.2.GKI Pajajaran Magelang Gereja Kristen Indonesia (GKI) merupakan Gereja yang termasuk dalam aliran Calvinis. GKI Pajajaran Magelang terletak di Jl. Pajajaran 27 Magelang, dengan Pendeta Jemaat Pdt. Leri Tobing. Gereja ini berdiri pada 22 Desember 1932 dengan nama Hoa Kiauw Kie Tok Kauw Hwee dan pernah memakai nama GKI Magelang. Kemudian pada tanggal 20 Februari 2002 hadir GKI Diponegoro, serta pada 10 Agustuts 1986 hadir GKI Pahlawan, maka GKI Magelang berubah nama menjadi GKI Pajajaran Magelang. GKI Pajajaran Magelang kini memiliki anggota jemaat sekitar 1300 orang. 3.2.1. Pemahaman Warga GKI Pajajaran Magelang tentang Sakramen Baptis Warga GKI Pajajaran Magelang memahami Sakramen Baptis sebagai wujud kepercayaan dan kemantapan hati mereka untuk mengikut Yesus. Bagi mereka, Baptisan dilakukan dengan cara “percik”. GKI Pajajaran Magelang mengemukakan bahwa Baptisan dilakukan sebagai tanda keselamatan. Dalam Baptisan tersebut terdapat dua dimensi, yakni kedekatan jemaat yang dibaptis dengan Allah dan persekutuannya dengan jemaat lain sebagai tubuh Kristus. 47 Menurut GKI Pajajaran Magelang, Sakramen Baptisan merupakan perwujudan sikap iman jemaat terhadap Tuhan, di mana Baptisan diawali dengan adanya
46
Wawancara dengan Pdm. Jerry Maarende, seorang pendeta muda di GPdI Magelang, pada tanggal 10 Oktober 2015 pukul 18.00 WIB. 47 Wawancara dengan Bapak Jungshin, salah seorang anggota jemaat GKI Pajajaran Magelang, pada tanggal 17 Oktober 2015 pukul 19.00 WIB.
28
pertobatan sebagai respon akan panggilan Tuhan. Sakramen Baptis dalam GKI Pajajaran (Calvinis) merupakan tanda bahwa seseorang diterima di dalam persekutuan Gereja. Selain itu, Sakramen Baptisan haruslah dilakukan pada kebaktian Gereja oleh seorang pendeta, dengan cara memercikkan air ke atas kepala jemaat yang dibaptis.48 3.2.2. Hubungan antara Baptisan dengan Perjamuan Kudus dan Iman bagi Warga GKI Pajajaran Magelang Baptisan dipahami sebagai sikap iman jemaat dalam rangka merespon panggilan Tuhan. Baptisan tidaklah menyelamatkan jemaat, namun cara menuju keselamatan, Baptisan sejalan dengan iman dan tidak dapat terpisahkan. 49 GKI memperbolehkan Baptisan bagi anak-anak, karena Baptisan anak merupakan wujud masuknya anak-anak ke dalam persekutuan. Anak-anak memang belum mengerti makna Baptisan yang mereka terima, namun orang tua dari anak tersebut memahaminya dan memiliki tanggung jawab atas iman anak tersebut. Tanggung jawab orang tua atas iman anaknya berlaku hingga anak tersebut telah siap untuk menyatakan imannya dan mempertanggungjawabkan imannya sendiri.50 Namun demikian, GKI tidak memperbolehkan anak-anak untuk menerima Perjamuan Kudus. Bagi mereka, Perjamuan Kudus dapat diterima hanya oleh jemaat yang telah menerima Baptisan dan Peneguhan Sidi. Peneguhan Sidi adalah pengakuam iman yang dilakukan oleh anggota jemaat yang telah menerima Baptisan. Peneguhan Sidi ini menjadi pintu masuk bagi seorang anggota jemaat untuk dapat turut serta dalam Perjamuan Kudus. Inilah yang menjadi alasan
48
Wawancara dengan Pdt. Leri Tobing, pendeta jemaat GKI Pajajaran Magelang, pada tanggal 19 Oktober 2015 pukul 09.00 WIB. 49 Wawancara dengan Ibu Linawati, salah seorang anggota jemaat GKI Pajajaran Magelang, pada tanggal 17 Oktober 2015 pukul 16.00 WIB. 50 Wawancara dengan Jheldy, salah seorang anggota remaja GKI Pajajaran Magelang, pada tanggal 17 Oktober 2015 pukul 14.00 WIB.
29
mengapa anak-anak tidak diperbolehkan untuk turut serta menerima Perjamuan Kudus.51 3.2.3. Pemahaman Warga GKI Pajajaran Magelang tentang Baptis Selam Warga GKI Pajajaran Magelang berpendapat bahwa kata baptizo dapat diterjemahkan sebagai menyucikan atau membersihkan, selain mencelupkan atau menenggelamkan. Mereka menjadikan Amanat Agung dalam Matius 28:19-20 sebagai dasar, di mana yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah “Baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. Jika kata Baptisan diartikan dengan “menyelamkan dalam”, maka kalimat tersebut menjadi “selamkanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. Jadi, dari penjelasan tersebut, warga GKI Pajajaran Magelang menyimpulkan bahwa syarat mutlak bagi Baptisan bukanlah penyelaman dalam air, melainkan penyelaman dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.52 Baptisan selam bagi GKI Pajajaran Magelang, merupakan cara membaptis pada konteks penulisan Alkitab. Namun Baptisan tidak dapat diukur hanya dengan “menenggelamkan”, karena Baptisan dapat juga dipahami sebagai membersihkan manusia dari dosa. Bagi mereka, yang terpenting adalah makna dari Baptisan itu sendiri, sama seperti iman yang merupakan sebuah pemahaman dan bukan metode. 4. Tinjauan Kritis-Dogmatis terhadap Pemahaman Warga GKI Pajajaran Magelang dan GPdI Magelang tentang Sakramen Baptisan Kudus Setelah data yang dikumpulkan oleh penulis telah lengkap, maka selanjutnya penulis melakukan analisis kualitatif. Untuk dapat menganalisis pemahaman tentang Sakramen Baptisan Kudus yang dimiliki oleh warga GKI Pajajaran Magelang dan GPdI Magelang, maka data yang telah diperoleh
51
Wawancara dengan Yunita, salah seorang anggota pemuda GKI Pajajaran Magelang, pada tanggal 17 Oktober 2015 pukul 17.30 WIB. 52 Wawancara dengan Pdt. Leri Tobing, pendeta jemaat GKI Pajajaran Magelang, pada tanggal 19 Oktober 2015 pukul 09.00 WIB.
30
dianalisis dengan menggunakan tinjauan kritis-dogmatis. Dari hasil penelitian yang telah diperoleh, maka penulis menemukan tiga pokok bahasan yang akan dianalisis pada bagian ini. 4.1.Tinjauan Berdasarkan Hakikat (Esensi) dari Sakramen Baptisan Kudus Berdasarkan hakikat (esensi) dari Sakramen Baptis yang ialah menyatukan diri dengan Kristus dalam kematianNya, pemahaman yang dimiliki oleh warga GPdI Magelang dan GKI Pajajaran Magelang merupakan pemahaman yang tidak menyimpang dari hakikat tersebut. Kedua cara membaptis yang dilakukan oleh kedua Gereja tersebut, selam dan percik, memiliki tujuan untuk membuat jemaat dapat menyatukan diri dengan Kristus. Hanya saja, kedua aliran Gereja tersebut mengimplementasikan esensi Sakramen Baptis dengan cara yang berbeda. Selain itu, kedua Gereja tersebut memiliki penafsiran masing-masing terhadap kata baptizo. GPdI menafsirkannya secara harafiah, yakni “mencelupkan, menyelamkan”; sedangkan GKI menafsirkannya dari segi makna, yakni “membersihkan, menyucikan”. Kedua pemahaman ini merupakan pemahaman yang berasal dari satu kata yang sama, dan sesungguhnya bukan merupakan pemahaman yang dapat disalahkan. Dengan demikian, seharusnya kedua pemahaman ini tidak membuat kedua Gereja tersebut mengalami pertentangan, karena suatu pemahaman bukanlah hal yang dapat dipaksakan. Sama seperti perbedaan dalam pemahaman akan iman bagi setiap manusia yang membuat mereka dapat memilih agama apa yang ingin mereka peluk, demikian juga perbedaan dalam pemahaman akan Baptisan bagi masing-masing Gereja dapat membuat masing-masing Gereja menentukan ekspresi mereka dalam mewujudkan esensi dari Sakramen Baptis. 4.2.Tinjauan Berdasarkan Makna Kata Sacramentum dalam Agama Kristen Agama Kristen memahami kata sacramentum sebagai perbuatan Allah yang bersedia menyelamatkan manusia dan juga sebagai wujud janji setia manusia pada perbuatan Allah tersebut. Manusia yang telah diciptakan oleh Allah, segambar dan serupa denganNya, tidak berjalan sesuai dengan kehendak dan
31
keinginanNya ketika penciptaan terjadi. Manusia dengan mudahnya terjatuh dalam keinginan untuk menjadi sama dengan Allah, sehingga akhirnya mereka diusir keluar dari Taman Eden (Kejadian 3). Kejadian tersebut membuat hubungan manusia dengan Allah menjadi retak, bahkan terputus. Melihat keadaan ini, Allah berinisiatif untuk memperbaiki hubunganNya dengan manusia yang telah dirusak oleh manusia sendiri. Ia dengan penuh kerelaan hati mengutus AnakNya untuk turun ke dunia sebagai seorang manusia dan menyelamatkan manusia dari segala dosa yang mengikat mereka. Akibat dari kerelaan Anak Allah, yaitu Yesus Kristus, mati di kayu salib demi menanggung hukuman manusia atas segala dosa yang mereka perbuat, manusia telah memperoleh keselamatan. Tak hanya itu, hubungan manusia dan Allah pun dapat terjalin kembali seperti semula. Setelah menerima keselamatan, tentu manusia tidak seharusnya hanya berdiam diri, sama seperti ketika seseorang menerima sebuah hadiah dari kerabatnya, maka ia tentu akan berterima kasih. Demikian juga dengan manusia yang telah menerima keselamatan secara cumacuma, maka sudah sepatutnya manusia menunjukkan rasa terima kasihnya. Demi menunjukkan rasa terima kasih tersebut, maka manusia mengikrarkan janji setianya pada Allah melalui sakramen yang ia terima sebagai anggota dari tubuh Kristus. 4.3.Tinjauan Berdasarkan Tafsiran Alkitab Baik GKI maupun GPdI, keduanya mendasarkan penafsiran mereka tentang Sakramen Baptis pada kisah pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis, dalam Matius 3:13-17. Secara khusus, GPdI menjadikan kisah ini sebagai dasar bagi dilakukannya Baptisan Selam. Demikian pula dengan GKI, walaupun mereka menggunakan cara percik dalam membaptis, namun mereka pun menjadikan kisah pembaptisan Yesus sebagai dasar penafsiran mereka. Dengan demikian, kisah pembaptisan Yesus dijadikan dasar penafsiran bagi kedua Gereja tersebut dalam hal Sakramen Baptisan, di mana Baptisan menjadi sarana bagi jemaat untuk meninggalkan kehidupan lama dan menjalani kehidupan baru di dalam Kristus.
32
Baptisan Yohanes sendiri merupakan tanda untuk melakukan pertobatan. Pertobatan berasal dari bahasa Yunani metanoia yang sesungguhnya memiliki makna menyesal atau mengubah pikiran.53 Jika dilihat kembali, sesungguhnya, di balik kisah pembaptisan Yesus di sungai Yordan terdapat sebuah misi Mesianis. Yesus dibaptis untuk memperoleh meterai atas dimulainya tugas kemesiasan yang telah ia terima dari Bapa sejak Ia turun ke dunia sebagai seorang manusia. Baptisan yang Ia terima menjadi tanda bahwa tugas kemesiasan tersebut telah dimulai. Yesus sendiri menegaskan bahwa diriNya adalah penggenapan dari nubuat Mesianis yang tertulis dalam Yesaya 35:5-6.54 Ia berada di dunia ini untuk menjalankan misi Mesianis tersebut. Baptisan yang diterima oleh Yesus bukanlah Baptisan yang bertujuan untuk „bertobat‟ dari segala dosa. Baptisan yang telah diterima oleh Yesus lebih menunjuk kepada keinginan untuk memasuki kehidupan suatu umat Allah yang taat dan kudus.55 Setelah Yesus menerima Baptisan dari Yohanes Pembaptis, Roh Kudus turun ke atasNya dalam bentuk burung merpati dan terdengar suara dari surga yang berbunyi “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” (Matius 3:17b). Kisah ini menunjuk pada panggilan terhadap Yesus sebagai Mesias, serta sebagai hamba Tuhan yang menderita, dengan penyertaan dan pimpinan dari Roh Kudus yang turun atasNya.56 Sebuah pertanyaan bagi orang Kristen pun muncul, apakah orang Kristen juga bersedia melakukan tugas Mesianis dan menjadi hamba Tuhan yang menderita, sama seperti Yesus? Ketika orang Kristen menerima Baptisan, maka sesungguhnya ia tidak hanya menyatakan pertobatan dari segala dosa yang ia miliki, namun ia juga harus siap menerima dan melaksanakan tugas Mesianis serta menjadi hamba Tuhan yang menderita. Jika Sakramen Baptisan didasarkan pada kisah pembaptisan Yesus di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis, maka sudah seharusnya penafsiran ini pun menjadi dasar. Dengan demikian, setiap anggota 53
George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2010), 46. Ladd, Teologi Perjanjian Baru, 51. 55 J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab: Injil Matius Pasal 1-22 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 45. 56 de Heer, Tafsiran Alkitab, 47. 54
33
jemaat yang menerima Sakramen Baptisan juga memahami bahwa tugas mereka setelah menerima Sakramen Baptisan bukan hanya menjalani kehidupan baru di dalam Yesus Kristus, namun juga menjalankan tugas Mesianis dan menyediakan diri mereka untuk menjadi hamba Tuhan yang menderita di dunia ini. Artinya, setiap anggota jemaat yang telah menerima Sakramen Baptisan harus dapat memberikan dampak positif bagi setiap orang yang berada di sekitar mereka, di manapun mereka berada. 4.4.Kesimpulan Perdebatan mengenai jumlah air yang digunakan dalam pembaptisan, sesungguhnya merupakan hasil penafsiran terhadap kisah-kisah pembaptisan dalam Alkitab. GPdI menggunakan kisah pembaptisan Yesus sebagai dasar dari pelaksanaan Baptis Selam, demikian juga GKI Pajajaran menggunakan Amanat Agung yang diberikan oleh Yesus kepada murid-muridNya sebagai dasar dari pelaksanaan Baptis Percik. Sakramen merupakan salah satu dogma dalam Agama Kristen, di mana dogma tentang Sakramen ini dimaksudkan sebagai tanda dan meterai untuk menjelaskan janji yang diberikan Tuhan bagi umatNya. 57 Dengan demikian, sesungguhnya Baptis Percik dan Baptis Selam merupakan cara yang dilakukan untuk menunjuk kepada tanda dan meterai tersebut. Kedua cara ini sesungguhnya memiliki tujuan yang sama, yakni mempersiapkan anggota jemaat untuk dapat menjalani hidup baru di dalam Yesus Kristus serta menjalankan tugas Mesianis sebagai hamba Tuhan yang menderita di tengah dunia ini. 5. Penutup 5.1.Kesimpulan Berdasarkan analisa terhadap hasil penelitian yang telah diperoleh penulis, maka dapat diambil kesimpulan bahwa GKI Pajajaran Magelang dan GPdI Magelang memiliki ekspresi masing-masing dalam mewujudkan hakikat dari
57
Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, 184.
34
Sakramen Baptis. Kedua ekspresi yang berbeda tersebut merupakan wujud dari janji setia yang diberikan oleh orang percaya kepada Kristus yang telah memberikan keselamatan bagi mereka. Baik Baptis Selam maupun Baptis Percik, keduanya dapat ditemukan di dalam Alkitab. Dengan demikian, tidak ada cara yang paling benar dalam membaptis, karena Kristus sendirilah yang dapat menentukan kebenaran yang mutlak. Selama tujuan dari Baptisan yang dilakukan adalah sebagai wujud janji setia orang percaya pada Kristus dan bertujuan untuk membangun persekutuan dengan jemaat di dalam Kristus, maka apapun cara yang dilakukan untuk membaptis tidaklah menjadi persoalan. 5.2.Saran Agar perdebatan antara Baptis Selam dan Baptis Percik tidak lagi berlanjut, maka saran yang dapat penulis berikan ialah sebagai berikut: 1. Warga Gereja perlu untuk memahami makna Sakramen Baptisan Kudus, serta memahami mengenai Baptisan Selam dan Baptisan Percik. 2. Pendeta Jemaat perlu membantu warga Gereja untuk memperluas pemahaman mereka tentang pelaksanaan Sakramen Baptisan Kudus yang tidak tunggal.
35
Daftar Pustaka Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. Berkhof, H. dan I.H. Enklaar. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009. Burgess, S.M. Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movement. Grand Rapids: Regency Reference Library, 1988. Calvin, Yohanes. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000. Creswell, John W. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. Jakarta: KIK Press, 2002. Dahlenburg, G.D. Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991. de Heer, J.J. Tafsiran Alkitab: Injil Matius Pasal 1-22. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. de Jonge, Christiaan. Apa itu Calvinisme? Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. Djaja, Karunia. Sejarah Gereja Pantekosta di Indonesia. Semarang: Gereja Pantekosta di Indonesia, 1993. Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Groenen, C. Sakramentologi: Ciri Sakramental Karya Penyelamatan Allah, Sejarah, Wujud, Struktur. Yogyakarta: Kanisius, 1990. Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997. Ladd, George Eldon. Teologi Perjanjian Baru. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2010. Lohse, Bernhard. Pengantar Sejarah Dogma Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989. Martasudjita, E. Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Meeter, H. Henry. Pandangan-pandangan Dasar Calvinisme. Surabaya: Momentum, 2009. O‟Collins, Gerald, dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
36
Palmer, Edwin H. Lima Pokok Calvinisme. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1996. Santana, Septiawan. Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Snyder C. Arnold. Dari Benih Anabaptis: Intisari Kesejarahan Jati Diri Anabaptis. Semarang: Pustaka Muria, 2007. Soedarmo, R. Ikhtisar Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Talumewo, Steven H. Sejarah Gerakan Pentakosta. Yogyakarta: Andi, 2008. Timo, Ebenhaizer I. Nuban. Aku Memahami yang Aku Imani: Memahami Allah Tritunggal, Roh Kudus, dan Karunia-karunia Roh secara Bertanggung Jawab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. Ukur F. dan F.L. Cooley. Jerih dan Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1979. van den End, Th. Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500-1860. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985. van den End, Th. dan J. Weitjens. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an – sekarang. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. van Kooij, Rijnardus A. dan Yam‟ah Tsalatsa A. Bermain dengan Api: Relasi antara Gereja-gereja Mainstream dan Kalangan Kharismatik Pentakosta. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007. van Niftrik, G.C. dan B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984.
37