Karena Perbedaan Adalah Rahmat Sebagai seorang muslim, hal yang paling saya rindukan saat berada di luar negeri yang tidak bermayoritas muslim adalah suara azan dan shalat berjamaah. Itu juga yang dirasakan oleh salah satu teman saya dari Indonesia, Anis, yang sama-sama mengikuti program Homestay Program Youth Leadership Camp (YLC) 2012 yang diadakan oleh Forum Bangun Aceh (FBA). Anis ingin sekali melaksanakan shalat jum’at berjamaah selama berada di Coolum, Australia. Karenanya, kami mencoba mencari tau adakah tempat shalat jum’at berjamah di sekitar Gympie, tempat saya tinggal ataupun di Coolom, tempat Anis tinggal.
Alhamdulillah kesempatan itu datang. Suatu hari, Tess Parker dan Bruce McNab, Host Family tempat saya tinggal selama di Gympie, mengatakan kalau saya mendapat undangan untuk menghadiri acara pertemuan tahunan lembaga Multicultural Information Network Inc (MiNS) dari seorang wanita bernama Syifa, yang ternyata adalah seorang muslim. Ketika ia tau kalau pemudi Indonesia yang tinggal bersama Tess Parker selama 3 minggu adalah muslim, dia sangat antusias, hingga mengundang saya ke acara Afternoon Tea bersama komunitas muslim yang ada di Gympie. Acara ini berlangsung setelah mereka melaksanakan shalat jum’at. Saya begitu bersyukur dan senang, akhirnya saya mengajak serta Anis untuk ikut bersama, karena dia sudah sejak dari beberapa minggu kemarin rindu ingin melaksanakan shalat jum’at. Saat kami tiba di tempat tujuan, saya shock, karena di halaman depan bangunan terduduk patung Budha yang sudah agak berlumut. Begitu juga ketika memasuki pintu depan, gambargambar patung yang biasa saya lihat sebagai patung Tuhannya orang Hindu di Film-Film India terpampang di dinding dengan jelas, juga patung-patung kecil di atas meja depan pintu masuk. Sempat saya dan Anis bertatap kebingungan, apakah kami salah alamat? Tapi Mumma Tess (panggilan Tess parker) tampak begitu yakin kalau inilah tempatnya. Tiba-tiba seorang wanita keluar dengan senyuman merekah, jilbab ungu besar dan baju gamisnya menandakan kalau kami tidak berada pada tempat yang salah. Dia menyapa kami dengan
salam, memberikan pelukan selamat datang, dan menatap kami penuh keramahan. Kejadian ini membuat air mata saya mengalir, karena telah terlampau rindu akan suasana seperti ini, Anis juga sudah hampir berkaca-kaca. Kemudian kami di bimbing ke dalam, ke sebuah ruangan besar mirip aula, dengan tikar-tikar memanjang, laksana di menasah kampung saya sudah tergelar rapi membentuk jajaran shaf shalat yang rapi juga. Hanya saja tidak banyak, cuma tiga shaf. Satu shaf untuk imam, satu shaf makmum laki-laki, satu shaf untuk makmum perempuan. Di dalam telah menunggu seorang laki-laki memakai baju kemeja putih, celana hitam, usianya kira-kira sekitar 60an lebih, yang kemudian dipekernalkan bernama Lie, seorang Libanis, suami Ibu Syifa. Di bagian belakang sudah ada 9 orang wanita, satu memakai mukena dan duduk di atas kursi, dan lainnya memakai gamis dan jilbab, serta bersila di atas karpet. Kami diperkenalkan satu persatu oleh Ibu Syifa. Ternyata wanita yang bermukena tersebut orang jawa yang sudah lama tinggal di singapura, dan sekarang sedang berlibur mengunjungi anaknya yang sudah lama tinggal di Australia, Yeti yang sempat menyapa kami dengan bahasa Indonesia patahpatah. Senang sekali rasanya. Saat para jamaah laki-laki mulai berdatangan, Azan dikumandangkan oleh pak Lie, tanpa bisa saya bendung, air mata langsung mengalir dengan sendirinya, meski sudah begitu kuat saya tahan agar tidak dilihat oleh Mumma Tess yang sedari tadi telah di persilahkan duduk di kursi, di dekat pintu masuk. Saya malu kalau sempat dilihat, dikira “kenapa pula nangisnangis tanpa sebab”. Setelah yakin tidak ada lagi air mata, saya memberanikan diri duduk di samping Mumma Tess. Saya takut dan merasa tidak enak kalau ia merasa canggung berada di tengah orangorang muslim. Itu yang terbenak dalam hati saya begitu tersadar kalau ia hanya mengenakan baju hitam tanpa lengan dan rok mini, ditambah lagi dengan rambut blonde keren dia, yang pendek dan panjang sebelah, sungguh kontras dengan keadaan shalat jum’at secara berjamaah saat ini. Karenanya ia duduk dengan merapatkan kedua kakinya dengan sopan. Saat saya mendekat, ia menyambut saya dengan senyum bahagia karena melihat saya begitu senang berada di tempat ini. Ia tidak tampak canggung sama sekali, ia begitu nyaman dengan penampilan dia, dan juga malahan menatap kagum saat Pak Lie membacakan khotbah Jum’at dalam bahasa Arab dan English berlogat Lebanon. Saya kebingungan sekaligus terpesona tentang sikap dia dan cara dia merespon keinginan kami di komunitas muslim ini.
Lantas saya memalingkan wajah kembali ke arah para muslimah berhubung sedang menstruasi, saya tidak bisa ikut shalat berjamaah, hanya bisa mengamatinya dengan lebih teliti, sambil menikmati kesyahduan yang telah lama saya rindukan. Mereka juga tidak nampak canggung dengan kehadiran Mumma Tess di tengah-tengah mereka, yang merupakan non-muslim. Cara ibu Syifa menyambut kami datang, termasuk saat menyambut Mumma Tess yang mengenakan baju serba seksi, sungguh luar biasa, membuatku terkagumkagum. Karena ia tidak sama sekali menunjukkan adanya rasa perbedaan sedikit pun, seolaholah kita semua, termasuk Mumma Tess, adalah anggota komunitas yang sama.
Saat shalat Jum’at dilaksanakan, para wanita juga ikut melakasanakannya. Membuat saya agak kebingungan di awalnya, karena setau saya, di Aceh wanita tidak melaksanakan shalat Jum’at. Juga saya sempat kebingungan beberapa kali saat melihat tata cara shalat mereka, ada yang mengenakan selendang saja, hingga rambut poninya tampak.Ada yang melipat kaki, dan ada juga yang menyilangkannya saat sedang duduk. Ada yang memutar-mutarkan telunjuknya di saat duduk Tahyatul, namun ada yang mengangkat telunjuk saja lantas diam, bahkan ada juga yang tidak mengangkat telunjuk sama sekali. Yang jelas sekali tampak membingungkan saya adalah saat mereka I’tidal dan duduk di antara dua sujud, sungguh cepat durasinya, seolah tidak membaca doa apa-apa di sana, hingga Anis kewalahan mengikutinya. Jujur, saat melihat mereka shalat, selayaknya orang yang selalu melihat hal yang sama selama ini, saya sempat merasa “apa-apaan ini? Shalatnya kenapa begini?” seolaholah apa yang telah saya pelajari tentang Islam adalah yang paling benar. Tapi saya hanya diam saja, menyimpan semua pertanyaan untuk acara Afternoon Tea. Namun, saat shalat Jum’at selesai, para makmum laki-laki langsung bergegas keluar, kembali bekerja. Sedangkan para makmum wanita bersiap menuju ruang sebelah, yang ternyata adalah tempat jamuan afternoon tea khusus untuk saya. Di atas meja sudah tersedia berbagai jenis makanan yang satu pun tidak saya kenali. Banyak sekali. Saya dan Mumma Tess dipersilahkan duduk di posisi paling depan agar semuanya dapat melihat kami dengan jelas. Saya diminta menjelaskan tentang asal saya dan kenapa saya di Australia dan berbagai pertanyaan kecil lainnya. Dari diskusi itulah saya baru tau kalau mereka semua ternyata berasal dari berbagai Negara dan latar belakang yang berbeda. Ada dari Pakistan, Srilangka, Lebanon, Turki, Singapura, saya dari Indonesia, dan hanya ibu Syifa dan Mumma Tess yang dari Australia.
Dari Maira, wanita Pakistan, saya tau kenapa wanita juga melaksanakan shalat jum’at di tempat mereka, karena selain jumlah laki-laki yang sangat sedikit, sekitar tujuh orang, juga karena demi semangat saling memotivasi diri dengan bersilaturrahmi dan saling belajar memperdalam keislaman. Bagi dia khususnya, lebih untuk memotivasi suaminya yang baru masuk Islam untuk melaksanakan shalat jum’at dan belajar tentang Islam. Sedangkan Syamila dari Turki dan Yeti dari Singapura mengaku hal yang sama seperti yang saya alami di Indonesia, wanita tidak shalat Jum’at di tempat mereka, akan tetapi disini mereka melaksanakannya bersama-sama karena alasan tersebut. Karena itulah, makanan yang disediakan juga beranekaragam, sesuai ciri khas daerah masing-masing. Dari Ibu syifa saya mendapatkan penjelasan kalau tempat shalat mereka ini adalah sebuah bangunan milik kawannya, orang Budha, yang dihibahkan untuk komunitas semua agama dan budaya.“Karena tidak ada yang memakai ruangan ini di hari jum’at, lagi pula ruangannya juga cukup besar untuk shalat Jamaah, maka kami menggunakannnya untuk shalat jum’at di sini.”Begitu papar ibu Syifa panjang lebar sambil memuji wanita Budha yang telah berbaik hati kepada mereka, dan juga selalu berbaik hati menolong siapapun yang memerlukan.
Mereka terpaksa shalat di tempat tersebut karena di Gympie tidak ada masjid. Masjid baru ada beberapa di daerah kota Brisbane, yang jaraknya kurang lebih sekitar 200 Km, makanya akan lebih mudah bagi mereka melaksanakan shalat jum’at di Gympie bersama-sama meski harus meminjam gedung orang. Komunitas muslim itu saja baru dibangun sejak dua tahun yang lalu, dirintis oleh Syifa yang dulunya merupakan Kristiani dan suaminya, dirintis sejak jumlah muslim lumayan bertambah di Gympie. Namun, terlepas dari semua perbedaan latar belakang perbedaan yang sempat membuat saya kebingungan dan bertanya-tanya,berada di tengah komunitas muslim di tempat orang Budha dan dengan orang non-muslim juga ikut bergabung di dalamnya, terlebih lagi, semuanya saling mengerti arti perbedaan, dan cara menghargainya, baik dalam hal tatacara shalat selaku sesama muslim, maupun tentang bagaimana menghargai umat yang saling berbeda agama. Hal ini sungguh membuat saya belajar akan arti perbedaan dan perdamaian yang sesungguhnya. Betul-betul memotivasi saya untuk terus belajar dan belajar, baik tentang Islam dan budaya sendiri, maupun tentang budaya orang lain. Jika semuanya bisa betul-betul saling menghargai laksana yang telah komunitas muslim Gympie perlihatkan, sungguh tidak akan ada lagi perpecahan karena perbedaan. Perbedaan adalah rahmat. Inilah yang kini saya
pahami. Bukankah kita diajarkan begitu oleh Nabi Muhammad tercinta? Semoga semua kita dapat terus belajar demi kebaikan. Husnul Khatimah Adanan Peserta Youth Leadership Camp (YLC) 2012