BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keluhan Kesehatan Akibat Penggunaan Air 2.1.1
Kulit Gatal-Gatal, Merah dan Panas Proses toksikan diserap melalui kulit, zat kimia tersebut harus menembus sel-sel
epidermis, sel-sel kelenjar keringat, atau kelenjar-kelenjar, atau masuk melalui follikelfollikel rambut. Meskipun jalan follikel bisa membolehkan masuknya sejumlah kecil toksikan dengan segera, kebanyakan zat kimia menembus sel-sel epidermis, yang menyusun daerah permukaan yang besar dari kulit. Kelenjar-kelenjar keringat dan folikel-folikel rambut tersebar diseluruh kulit dalam jumlah yang beragam tetapi secara perbandingan berupa jarang luas penampang lintang total mereka adalah mungkin diantara 0,1 dan 1,0 % dari luas kulit (Mansur, 2002).
Kulit gatal, panas dan merah merupakan gejala dermatitis dan merupakan respons kulit terhadap agens-agens yang beraneka ragam. Respons tersebut biasanya berhubungan dengan alergi (Djuanda, 1990). Dermatitis kontak adalah dermatitis (peradangan kulit) yang disertai dengan adanya edema interseluler pada epiderrmis karena kulit berinteraksi dengan bahan-bahan kimia yang berkontak atau terpajan kulit. Bahan-bahan tersebut dapat bersifat toksik ataupun alergik (Harahap, 2000). 2.1.2 Mata Merah, Gatal dan Panas Penyakit mata akan memberikan keluhan berupa mata merah, mata terasa gatal, mata kotor atau belek, mata terasa sakit dan banyak air mata. Bila terdapat salah satu gejala tersebut maka diperlukan pemeriksaan mata dan perawatan khusus. Mata
terlihat merah akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva yang terjadi pada peradangan mata akut
misalnya konjungtivitis. Bila terjadi pelebaran pembuluh
darah arteri konjungtiva posterior dan arteri siliar anterior maka akan terjadi mata merah. Melebarnya pembuluh darah konungtiva atau injeksi konjungtival dapat terjadi akibat pengaruh mekanis, alergi, mata kering (dry eyes), kurang tidur, iritasi akbat klorida, asap dan benda asing, ataupun injeksi pada jaringan konjungtiva. Gejala umum pada konjungtivitis adalah mata merah, sekret atau mata kotor, dan pedas seperti kelilipan. Konjungtivitis akan mengenai kedua mata akibat mengenai mata yang sebelahnya. Bila hanya terdapat pada satu mata maka ini biasanya hanya disebabkan alergi atau moloskum kontagiosum. Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap non infeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi lambat sesudah beberapa hari kontak seperti reaksi terhadap obat, reaksi, dan toksik. Reaksi alergik dari hipersensitif pada konjungtiva akan memberikan keluhan berupa mata gatal, panas, berair dan mata merah. Umumnya konjungtivitis alergi disebabkan oleh bahan kimia. Pengobatan diutamakan dengan cara menghindarkan penyebab dengan pencetus penyakit dan memberikan astringen kemudian disusul dengan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya (Ilyas, 2008)
2.2. Kualitas Air dengan Gangguan Kesehatan Masyarakat Air yang tercemar oleh organisme patogen seperti bakteri atau virus dapat secara langsung mempengaruhi kesehatan tubuh manusia. Tipe pencemaran yang disebabkan zat racun yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia dapat diamati melalui, (Sunu, 2001) : (1) Pengaruh zat racun pada benda hidup , seharusnya diuji dari dua aspek: a.
Kemungkinan hidup organisme tertentu dalam air yang mengandung zat racun tertentu dan batas konsentrasinya
b.
Proses konsentrasi zat racun oleh berbagai organisme bagian dari ekosistem umum melalui rantai makanan
(2) Pengaruh zat racun pada kesehatan manusia a.
Pengaruh keracunan akibat meminum air yang tercemar secara langsung
b.
Pengaruh keracunan akibat makan ikan atau produksi laut yang lain dimana zat racun sudah diakumulasi.
c.
Pengaruh akibat makan produksi pertanian yang zat racunnya telah diakumulasi dengan cara air irigasi atau tanah tercemar. Kualitas air baik fisik, kimia dan biologis berdampak terhadap kesehatan masyarakat.
Penggunaan air yang tidak memenuhi syarat kesehatan berimplikasi terhadap keluhan penyakit bagi penggunanya. Berikut ini dapat dijelaskan beberapa dampak kualitas air terhadap keluhan kesehatan, yaitu sebagai berikut:
1. Kualitas Fisik Air dengan Gangguan Kesehatan Masyarakat Kualitas fisik air dapat dilihat dari indikator bau, rasa, kekeruhan, suhu, warna dan jumlah zat padat terlarut. Jumlah zat padat terlarut biasanya terdiri atas zat organik, garam anorganik, dan gas terlarut. Bila jumlah zat padat terlarut bertambah, maka kesadahan air akan naik, dan akhirnya berdampak terhadap kesehatan. Kekeruhan air disebabkan oleh zat padat yang tersuspensi, baik yang bersifat organik, maupun anorganik. Zat anorganik biasanya berasal dari lapukan tanaman atau hewan, dan buangan industri juga berdampak terhadap kekeruhan air, sedangkan zat organik dapat menjadi makanan bakteri, sehingga mendukung pembiakannya, dan dapat tersuspensi dan menambah kekeruhan air. Air yang keruh sulit didisinfeksi,karena mikroba terlindung oleh zat tersuspensi tersebut, sehingga berdampak terhadap kesehatan, bila mikroba terlindung menjadi patogen (Soemirat, 2001). Berdasarkan aspek suhu air, diketahui bahwa suhu air yang tidak sejuk atau berlebihan dari suhu air yang normal akan mempermudah reaksi zat kimia, sehingga secara tidak langsung berimplikasi terhadap keadaan kesehatan pengguna air (Slamet, 2001). Warna dapat disebabkan adanya tanin dan asam humat atau zat organik, sehingga bila terbentuk bersama klor dapat membentuk senyawa kloroform yang beracun, sehingga berdampak terhadap kesehatan pengguna air (Slamet, 2001). 2. Kualitas Kimia Air dengan Gangguan Kesehatan Masyarakat Kualitas kimia air dapat bersifat kimia organik dan anorganik. Kedua jenis kimia ini dapat berdampak terhadap kesehatan pengguna air. Berikut ini beberapa jenis kimia organik
yang lazim terdapat dalam air dan berhubungan dengan terjadinya penyakit pada pengguna air, yaitu: (1) Hg (Air Raksa) Air raksa atau mercury adalah unsur logam yang termasuk logam berat yang bersifat racun terhadap tubuh manusia. Biasanya secara alami ada dalam air dengan konsentrasi yang sangat kecil. Pencemaran air atau sumber air oleh merkuri umumnya akibat limbah yang berasal dari industri (Soemirat, 2001). Adsorpsi metil merkuri ditubuh mencapai 95%, kontaminasi Hg pada manusia bisa terjadi melalui makanan, minuman, dan pernafasan, serta kontak kulit. Paparan jalur kulit biasanya berupa senyawa HgCl2 atau K2HgI4. Toksisitas HgCl2 atau garam merkuri yang larut bisa menyebabkan kerusakan membran alat pencernaan, eksantema pada kulit, dekomposisi eritrosit dan menurunkan tekanan darah. (Widowati, 2008) (2) Aluminium (Al) Aluminium (Al) adalah metal yang dapat dibentuk, dan karenanya banyak digunakan, sehingga terdapat banyak di lingkungan. Sumber alamiah Al adalah bauxit dan cryolit. Industri pengguna Al antara lain industri kilang minyak, peleburan metal, serta lain-lain. Al juga dapat meyebabkan iritasi kulit, selaput lendir, dan saluran pernapasan (Soemirat, 2001) (3) Arsen (As) Arsen (As) adalah logam yang mudah patah, berwarna keperakan dan sangat toxik. As elemental didapat di alam dalam jumlah tinggi sangat terbatas; terdapat bersama-sama Cu, sehingga didapatkan produk sampingan pabrik peleburan Cu. Secara kronis keracunan arsen
dapat menimbulkan anorexia, kolk, mual, diare atau konstipasi, pendarahan pada ginjal, dan kanker kulit. Arsen (As) dapat menimbulkan iritasi, alergi, dan cacat bawaan. Dimasa lampau, Arsen (As) dalam dosis kecil digunakan sebagai campuran tonikum, tetapi kemudian ternyata bahwa Arsen (As) ini dapat menimbulkan kanker kulit pada peminumnya (Soemirat, 2001). Paparan As an organik melalui kulit dapat menyebabkan kulit membengkak dan kemerahan. Senyawa arsenik yang mengenai kulit akan diekskresikan melalui deskuamasi kulit dan melalui keringat. As dikulit akan mengakibatkan terjadinya Mee’s line (perubahan pita putih melintang pada kuku jari) yang akan muncul setelah kurang lebih 6 minggu terpapar As (Widowati, 2008). (4) Berilium (Be) Berilium (Be) adalah logam berwarna abu-abu, berbentuk padat pada suhu kamar, kuat, ringan dan mudah pecah. Be. Banyak digunakan dari berbagai jenis industri karena memiliki sifat titik lebur tinggi, sangat kuat, dan bisa menjadi konduktor listrik yang baik. Berbagai jenis industri menggunakan Be, diantaranya sebagai pelapis panas (thermal cating), brake system, tabung x-ray, dental plate, stamping and cutting (alat stempel dan pemotong), dan handling/assembly, industri peralatan olahraga, industri keramik (Widowati,2008). Pencemaran Be berasal dari industri logam non ferrous, industri logam aluminium, pemrosesan Be, penyulingan petroleum, dan akhirnya mencemari tanah, air dan udara. Absorpsi Be lewat kulit dipengaruhi oleh bentuk dan senyawa Be (Widowati, 2008). Paparan Be larut air melalui kulit akan mengakibatkan reaksi alergi pada kulit atau lesi papulovesikuler pada kulit. Membran kelopak mata bisa mengalami peradangan bila kulit
wajah mengalami dermatitis karena paparan Be. Jika mata terpercik larutan Be, mata bisa terbakar atau menunjukkan tanda kemerahan di sekitar mata. Be dapat menyebabkan iritasi, edema, dan peradangan pada jaringan tempat kontak Be (Widowati, 2008). (5) Kesadahan Kandungan ion Mg dan Ca dalam air akan menyebabkan air bersifat sadah. Kesadahan air yang tinggi dapat merugikan karena dapat merusak peralatan yang terbuat dari besi melalui proses pengkaratan (korosi), juga dapat menimbulkan endapan atau kerak pada peralatan. Kesadahan yang tinggi di sebabkan sebagian besar oleh Calcium, Magnesium, Strontium, dan Ferrum. Masalah yang timbul adalah sulitnya sabun membusa, sehingga masyarakat tidak suka memanfaatkan penyediaan air bersih tersebut. (6) Klorida Klorida adalah senyawa hologen Klor (Cl). Toksisitasnya tergantung pada gugus senyawanya. Misalnya NaCL sangat tidak beracun, tetapi karboksil klorida sangat beracun. Di Indonesia, Klor digunakan sebagai desinfektan dalam penyediaan air minum. Dalam jumlah banyak, klorida akan menimbulkan rasa asin, korosif pada pipa sistem penyediaan air panas. Clorida sebagai desinfektan, sisa klor didalam penyediaan air sengaja dipertahankan dengan konsentrasi sekitar 0,1 mg/l untuk mencegah terjadinya rekontaminasi oleh mikroorganisme patogen, tetapi klor ini dapat terikat senyawa organik berbentuk hologenhidrokarbon (Cl-HC) banyak diantaranya dikenal sebagai senyawa karsinogenik. Oleh karena itu, di berbagai negara maju sekarang ini, klorinisasi sebagai proses desinfektan tidak lagi digunakan. Cl dapat mengakibatkan reaksi terhadap mata menjadi merah bila terjadi kontak dengan air yang mengadung Cl.
(7) Mangan (Mn) Mangan (Mn) adalah metal abu-abu-kemerahan. Keracunan seringkali bersifat kronis sebagai akibat inhalasi debu dan uap logam. Didalam penyediaan air, seperti halnya Fe (besi), Mn (mangan) juga menimbulkan masalah warna, hanya warnanya ungu/hitam. Paparan Mn dalam kulit bisa mengakibatkan tremor, kegagalan koordinasi, dan dapat mengakibatkan munculnya tumor. (8) Selenium (Se) Selenium adalah logam berat yang berbau bawang putih. Selenium juga didapat antara lain pada industri gelas, kimia, plastik, dan semikonduktor. Selenium dalam air dengan konsentrasi yang agak tinggi biasanya terdapat di daerah seleniferous. Absorpsi Se organik melebihi 50% karena lebih mudah di absorpsi oleh alat pecernaan, sedangkan absorpsi lewat kulit sangat rendah dan terbatas. Parparan lewat kulit bisa menyebabkan kulit terbakar, bercak merah, serta pembengkakan. (Widowati, 2008) (9) Nikel (Ni) Nikel adalah logam berwarna putih perak. Ni merupakan logam yang resisten terhadap korosi dan oksidasi pada temperatur tnggi sehingga bisa dipergunakan untuk memproduksi stainless steel. Berbagai macam industri menggunakan bahan baku Ni atau garam nikel antara lain industri kimia, industri elektronik, serta industri logam. Paparan Ni lewat kulit secara kronis bisa menimbulkan gejala antara lain dermatitis nikel berupa eksema (kulit kemerahan, gatal) pada jari-jari tanga, pergelangan tangan, lengan
dan alergi kulit. Sebesar 4-9% orang yang terpapar Ni akan menunjukkan dermatitis alergi (Widowati, 2008). (10) Cobalt (Co) Cobalt adalah logam yang berwarna abu-abu perak dan terdapat dialam melalui sumber alam dan aktivitas manusia. Logam ini juga dipergunakan pada industri plastik serta iradiasi pada industri pangan untuk membunuh mikroorganisme dan mengawetkan pangan sebagai desinfektan berbagai macam buah dan biji-bijian, untuk menunda pemasakan buah, mempertahankan kesegaran produk pertanian, serta menunda pertunasan pada kentang dan bawang. Paparan Co bisa tejadi melalui inhalasi, kontak kulit, mata ataupun per oral. Paparan lewat kulit berupa kulit kering, bengkak dan dermatitis. Paparan lewat mata bisa menyebaban mata kemerahan. Kontak dengan Co bisa menimbulkan alergi pada penderita gagal rotesis sehingga mengakibatkan dislokasi, lepas dan tulang fraktur. Hal tersebut terjadi karena iritasi dan dermatitis yang meluas(Widowati, 2008). (11) Kromium (Cr) Dalam bidang industri kimia Cr digunakan sebagai bahan dasar pembuatan pigmen cat/warna karena Cr mengandung komponen merah, kuning, orange dan hijau. Kontak dengan kulit melalui debu, kotoran, dan air yang mengandung Cr. Kulit yang alergi terhadap Cr akan cepat bereaksi dengan adanya paparan Cr meskipun dalam dosis rendah. Cr bisa menyebabkan kulit gatal dan luka yang tidak lekas sembuh. Senyawa Cr bisa menyebabkan iritasi mata, luka pada mata, iritasi kulit dan membran mukosa (Widowati, 2008).
3. Hubungan Kualitas Biologis Air dengan Gangguan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan aspek parameter biologis, diketahui parameter yang mempunyai dampak langsung terhadap kesehatan adalah adanya kandungan bakteri dan mikroba. Kelompok protozoa dalam air seperti cacing dan tungau merupakan jenis kuman parasitik yang berdampak
terhadap kesehatan seperti kecacingan, skabies, sedangkan air yang
terkontaminasi dengan bakteri dan virus juga dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi penggunanya. Bakteri penyebab bawaan air terbanyak adalah salmonella thypi/parathypi, Shigella, dan vebrio cholera, sedangkan penyakit bersumber virus seperti Rotavirus, virus Hepatitis A, poliomyelitis, dan virus trachoma. Eschericia coli adalah salah satu bakteri patogen yang tergolong Coliform dan hidup secara normal di dalam kotoran manusia maupun hewan sehingga Eschericia coli digunakan sebagai bakteri indikator pencemaran air yang berasal dari kotoran hewan berdarah panas (Fardiaz,1992). Menurut Achmadi (2008) perilaku pemajanan (behavioural exposure) adalah hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduknya berikut perilakunya. Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent penyakit). Berdasarkan pendapat Achmadi tersebut, penggunaan air sungai yang tercemar bahan kimia berpotensi menyebabkan keluhan kesehatan. Semakin sering frekuensi kontak serta semakin lama durasi (waktu) setiap kali kontak dengan potensi bahaya penyakit (air sungai yang tercemar) menyebabkan peluang terjadinya gangguan kesehatan semakin besar.
2.2.1 Lama Tinggal di Daerah Aliran Sungai Kelompok risiko tinggi (high risk group) terkena suatu penyakit adalah sub kelompok dari suatu kelompok yang mempunyai risiko lebih besar serta dampaknya lebih besar atau lebih berat apabila terpajan (exposed) zat penyebab penyakit yang lebih besar (Achmadi, 2010). Penelitian Karim (2010) tentang Pengaruh Penataan Bantaran Sungai Bau-Bau terhadap Pola Hunian Masyarakat di Kelurahan Tomba dan Bataraguru Kota Bau-Bau, menemukan bahwa di sepanjang Daerah Aliran Sungai Bau-Bau telah lama tumbuh permukiman masyarakat, dimana 55,4% penduduk telah bermukim lebih dari 10 tahun. Adanya peristiwa bencana banjir besar pada tahun 1980-an yang disebabkan oleh meluapnya air Sungai Bau-Bau sehingga menggenangi kawasan sekitarnya, membuat pemerintah Kabupaten Buton pada waktu itu melakukan upaya pencegahan dengan cara meninggikan bantaran sungai agar kejadian banjir besar tidak terulang lagi. Upaya tersebut membuat pembangunan perumahan pada kawasan tersebut tumbuh kembali. Pertumbuhan perumahan pada kawasan bantaran sungai berkembang dengan pesat. Perkembangan perumahan di kawasan bantaran Sungai Bau-Bau tidak dibarengi dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai. Akibatnya pola hunian masyarakat pada kawasan bantaran Sungai Bau-Bau tumbuh secara tidak teratur. Pola arah hadap bangunan terhadap sungai belum jelas. Sebagian ada yang menghadap sungai namun sebagian lagi ada yang membelakangi sungai. Jarak antar rumah sangat dekat, bahkan atap rumahnya ada yang saling berhimpit. Banyaknya masyarakat yang menjadikan sungai
sebagai tempat pembuangan sampah membuat lingkungan bantaran sungai menjadi tidak nyaman (Karim, 2010). Penelitian Haldun (2008) tentang
Implikasi Normalisasi Sei Badera terhadap
Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, menemukan bahwa disepanjang aliran Sungai Sei Badera, telah sejak lama hidup dan bertempat tinggal masyarakat yang mempunyai beragam jenis mata pencaharian. Dalam kegiatan kehidupan sehari-harinya masyarakat yang ada disekitar atau disepanjang aliran Sei Bedera tentunya sangat tergantung terhadap sungai Sei Badera. Karena air Sei Badera sudah tercemar oleh berbagai jenis limbah menyebabkan masyarakat sangat merasakan dampak dari itu, yaitu timbulnya masalah kesehatan yang dialami oleh warga seperti muntaber, gatal-gatal pada kulit. Penelitian Suryanto (2007) tentang Daya Dukung Lingkungan Daerah Aliran Sungai untuk Pengembangan Kawasan Permukiman (studi kasus DAS Beringin Kota Semarang), menemukan bahwa akibat sejak dahulu telah ditemukan pemukiman menyebabkan tingkat kepadatan penduduk di sebagian wilayah DAS Beringin telah melampaui ambang batas yang ditetapkan, maka Pemerintah Kota Semarang agar lebih meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang di DAS Beringin sehingga pemanfaatan DAS Beringin dapat optimal sesuai dengan tingkat daya dukung lingkungannya. Sekitar 43,38 % DAS Beringin tidak direkomendasikan untuk pengembangan kawasan permukiman. 2.2.2 Frekuensi Kontak dengan Air Sungai Menurut Achmadi (2009), sistem komunitas dengan kejadian penyakit terdapat aspek yang disebut faktor risiko kependudukan terhadap penyakit yaitu ada atribut manusia yang
menentukan risiko penyakit. Atribut tersebut merupakan hal-hal yang menyertai kehidupan seseorang atau kelompok. Budaya atau kebiasaan masyarakat mempengaruhi dosis pemajanan terhadap potensi bahaya penyakit (Achmadi, 2009), misalnya perilaku penggunaan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari untuk mandi dan cuci. Semakin sering masyarakat menggunakan air sungai maka semakin tinggi pula dosis pemajanan zat-zat kimia yang mencemari air sungai terhadap kulit. Proses hubungan interaktif antara komunitas dengan kuman penyebab penyakit (mikroorganisme, misalnya virus atau bakteri) menggambarkan bahwa sistem kekebalan tubuh manusia diantaranya adalah kekebalan tubuh tidak spesifik, yakni ditujukan untuk menangkal masuknya segala macam zat dari luar yang asing bagi tubuh dan dapat menimbulkan penyakit, seperti zat-zat berbahaya bagi tubuh. Sistem kekebalan yang tidak spesifik berupa pertahanan fisik, kimiawi, mekanik dan fagositosis. Pertahanan fisik berupa kulit dan selaput lendir sedangkan kimiawi berupa enzim dan keasaman lambung. Pertahan mekanik adalah gerakan usus, rambut getar dan selaput lendir. Pertahanan fagositosis adalah penelanan kuman atau zat asing oleh sel darah putih dan zat komplemen yang berfungsi pada berbagai proses pemusnahan kuman atau zat asing. Kerusakan pada sistem pertahanan ini akan memudahkan masuknya kuman atau zat asing ke dalam tubuh. Misalnya, kulit luka, gangguan keasaman lambung, gangguan gerakan usus atau proses penelanan kuman atau zat asing oleh sel darah putih (sel leukosit). Salah satu contoh kekebalan alami adalah mekanisme memusnahkan bakteri atau mikroorganisme lain yang mungkin terbawa masuk saat kita makan atau minum, contohnya pada kasus penyakit Diare, yakni makanan dan minuman yang mengandung bakteri coli. HCl yang ada pada lambung akan mengganggu kerja enzim - enzim penting dalam mikroorganisme. Lisozim merupakan enzim yang
sanggup mencerna dinding sel bakteri sehingga bakteri akan kehilangan kemampuannya menimbulkan penyakit dalam tubuh kita. Hilangnya dinding sel ini menyebabkan sel bakteri akan mati. Selain itu juga terdapat senyawa kimia yang dinamakan interferon yang dihasilkan oleh sel sebagai respon adanya serangan virus yang masuk tubuh. Interferon bekerja menghancurkan virus dengan menghambat perbanyakan virus dalam sel tubuh. 2.2.3 Lama Waktu Kontak dengan Air Sungai Paradigma kesehatan lingkungan menggambarkan model yang mempelajari hubungan antara komponen lingkungan yang berperan dalam timbulnya gangguan kesehatan (penyakit) terhadap masyarakat dalam suatu wilayah. Tujuan dari paradigma tersebut adalah melakukan pencegahan atau meminimalisasi risiko terjadinya penyakit (misalnya dalam manajemen penyakit berbasis lingkungan).
Dalam paradigma ini disebutkan bahwa
komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan akan terkait dengan komunitas manusia (khususnya perilaku dalam lingkungan). Atribut komunitas masyarakat yang berperilaku tidak baik terhadap lingkungan akan meningkatkan
risiko terjadinya
penyakit (Achmadi, 2010). Pencemaran dalam perspektif ekosistem menurut Achmadi (2010), merupakan gambaran tentang hubungan atau saling ketergantungan antara benda hidup maupun benda tidak hidup. Salah satu benda hidup yang dapat menjadi bahan pencemar ekosistem adalah zat kimia yang bersifat toksik maupun tidak toksik. Kesemuanya adalah bagian dari sebuah tatanan kehidupan pada sebuah wilayah dalam suatu ekosistem dimana manusia bertempat tinggal (Achmadi, 2010).
Perubahan tatatan ekosistem akan memberi dampak terhadap perubahan kehidupan (gangguan kesehatan) pada manusia. Seperti pada badan air atau aliran sungai, dosis zat pencemar menunjukkan tingkat toksisitas artinya peningkatan jumlah zat kimia pencemar akan meningkatkan risiko penyakit akibat penggunaan air sungai. Budaya atau kebiasaan yang dimanifestasikan dalam perilaku komunitas tertentu, sangat berperan dalam kejadian suatu penyakit, misalnya masyarakat yang tinggal di daerah alisan sungai memiliki kebiasaan menggunakan air sungai untuk mandi dan cuci. Pada saat air sungai sudah tercemar zat kimia seperti Arsen.
Karena sifat arsenik kering adalah
mengkristal sangat berbahaya dan yang rawan adalah saat arsenik dalam bentuk solution berbahaya untuk kulit dan mata. Hal itu akan menyebabkan penyakit hyperkeratosis simetris pada tangan, telapak kaki, melanosis, depigmentasi, bowen disease, karsinoma, pada sel basal, karsinoma pada sel mukosa atau dapat juga terjadi penyakit kanker paru - paru (Achmadi, 2010). 2.3 Sungai Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar antar 0,1–1,0 m/detik, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola drainase. Pada perairan sungai, biasanya terjadi pencampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi kolom air seperti pada perairan lentik. Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena yang biasa terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna sangat dipengaruhi oleh ketiga variabel tersebut. Klasifikasi perairan sungai sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan perbedaan suhu air, sedangkan klasifikasi perairan
lotik justru dipengaruhi oleh kecepatan arus atau pergerakan air, jenis sedimen dasar, erosi dan sedimentasi (Haslam, 1995). 2.3.1 Klasifikasi Sungai Berikut beberapa klasifikasi/defenisi yang membedakan sungai besar, menengah, kecil (Maryono, 2005) : a. Klasifikasi menurut Leopold et al (1964) Leopold et al mengklasifikasikan sungai kecil dan sungai sedang dan sungai besar berdasarkan lebar sungai, tinggi sungai, kecepatan aliran sungai dan debit sungai. Jika lebar sungai cukup besar tetapi debit air kecil maka sungai tersebut termasuk sungai kecil. Sedangkan sebaliknya jika lebar sungai tidak terlalu besar namun debit air besar maka bisa disebut sebagai sungai besar karena kedalaman maupun kecepatan aliran sungai tersebut besar. b. Klasifikasi menurut Kern (1994) Klasifikasi sungai
Nama
Lebar sungai
Kali kecil dari suatu mata air
<1m
Kali kecil
1-10 m
Sungai kecil
10-20 m
Sungai menengah
20-40 m
Sungai
40-80 m
Sungai besar
80-220 m
Bengawan
>220 m
Sungai kecil
Sungai Menengah
Sungai Besar
c. Klasifikasi menurut Heinrich & Hergt (1999) Nama
Luas DAS
Lebar Sungai
Kali kecil dari suatu mata air
0-2 km2
0-1 m
Kali Kecil
2-50 km2
1-3 m
Sungai kecil
50-300 km2
3-10 m
Sungai besar
>300km2
>10 m
Menurut Suripin (2002), komponen sungai dalam realitasnya berpengaruh terhadap segala sistem, mekanisme, dan proses yang berjalan di sungai yang bersangkutan. Komponen–komponen tersebut dalam perkembangan sungai saling berpengaruh dan saling terikat satu dengan yang lain membentuk sungai yang bersangkutan. Komponen–komponen yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap sungai adalah diantaranya komponen hidrolik, komponen sedimen dan morfologi, komponen ekologi dan komponen sosial sungai. Komponen hidrolik sungai meliputi berbagai hal yang berhubungan dengan aliran air dan sedimen. Komponen hidrolik sungai yang dominan misalnya debit aliran, kecepatan aliran, tinggi muka air, tekanan air, turbulensi aliran makro memanjang sungai maupun melintang sungai, distribusi kecepatan mikro pada lokasi–lokasi tertentu, gelombang sungai, dan lain–lain. Komponen hidrolik ini tidak hanya aliran air yang mengalir pada badan atau palung sungai dan bantaran banjir, namun juga aliran yang mengalir di lapisan bawah dasar sungai.
Komponen sedimen yang dimaksud adalah sedimen dasar (bed load) dan sedimen tersuspensi (suspended load), namun dalam eko–hidrolik yang dimaksud dengan sedimen tidak hanya sedimen anorganik, namun juga sedimen organik, karena sebenarnya semua yang terlarut dan mengalir dalam aliran air sungai terkait langsung dengan penyediaan substrat makanan untuk ekologi sungai. Sedimen anorganik misalnya lumpur, pasir, kerikil, dan batu. Sedimen organik adalah serasah daun yang sedang dan telah membusuk, kayu–kayuan yang ikut terbawa hanyut, humus yang terlarut, serta mikroorganisme, benthos, dan plankton yang terbawa aliran air. 2.4 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi (Suripin, 2002). Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, wilayah sungai merupakan gabungan dari beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS). Areal DAS meliputi seluruh alur sungai ditambah areal dimana setiap hujan yang akan jatuh di areal tersebut mengalir ke sungai yang bersangkutan. Suatu DAS terdiri atas dua bagian utama, yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu atau daerah kepala sungai, dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah tengah dan daerah hilir. Daerah tadahan merupakan
daerah sumber air bagi DAS yang bersangkutan, sedang daerah penyaluran air berfungsi untuk menyalurkan air turah (excess water) dari sumber air ke daerah penampungan air, yang berada di sebelah bawah DAS. Daerah penampungan air dapat berupa danau atau laut. 2.5 Pemukiman Penduduk pada Daerah Aliran Sungai Permukiman berdasarkan UU Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Dengan demikian perumahan merupakan wadah fisik, sedangkan permukiman merupakan paduan antara wadah dengan isinya yaitu manusia yang hidup bermasyarakat dengan unsur budaya dan lingkungannya. Menurut Hadi (2001) permukiman berwawasan lingkungan merupakan permukiman yang mampu mengakomodasikan dan mampu mendorong proses perkembangan kehidupan di dalamnya secara wajar dan seimbang dengan mamadukan kepentingan ekonomi, ekologi, dan sosial. Menurut kajian Southeast Asia Urban Environmental Management Applications Project Urban Environmental Management Field of Study (SEA-UEMA) tahun 2010, tingginya laju urbanisasi di perkotaan di negara-negara berkembang belum dapat sepenuhnya diantisipasi. Akibatnya, hal ini memicu meningkatnya kebutuhan akan lahan di perkotaan, pelayanan dasar serta fasilitas infrastruktur yang memadai. Hal tersebut sejalan dengan kian
meningkatnya laju urbanisasi yang berpotensi menyebabkan terabaikannya lingkungan di perkotaan terutama di daerah pinggiran dimana masyarakat miskin umumnya bermukim. Kawasan bantaran sungai adalah contoh tipe lahan dengan karakteristik tersebut di atas, dimana mayoritas penduduknya miskin hidup dan bermukim di sana. Fasilitas fisik utama dan pelayanan dasar di kawasan tersebut sangatlah tidak memadai. Pelayanan pemerintah terhadap penanganan sampah, penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan belum dapat dikatakan baik karena sejumlah alasan. Pertama, hunian tersebut umumnya ilegal, sehingga penyediaan fasilitas pelayanan umum tidak memungkinkan. Kedua, penghuni biasanya berstatus miskin, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk membayar biaya pelayanan, dan dari sudut pandang penyedia layanan, hal ini tidak memberikan keuntungan. Ketiga, adanya peringatan secara terus menerus dari pemerintah mengenai ketidakpastian status hukum dari pemukim, mengakibatkan enggannya penyedia layanan untuk mengembangkan kualitas pelayanan di kawasan tersebut (SEA-UEMA, 2010). Meskipun ditinjau dari lokasinya yang masih berada di perkotaan atau tepatnya di pinggiran perkotaan, fasilitas pelayanan dasar dan infrastruktur masih kurang memadai. Pada akhirnya, masyarakat menjadi terbiasa dengan pola hidup yang kurang higienis. Pembuangan sampah ke sungai bahkan buang hajat di sungai sudah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat sekitar. Padahal, masyarakat sekitar juga menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari. Perilaku seperti ini mengakibatkan terjangkitnya masyarakat oleh berbagai macam penyakit yang menular melalui media air (SEA-UEMA, 2010).
2.6 Sistem Pengolahan Air Bersih Kesulitan dalam penyediaan infrastruktur penyediaan air bersih sudah mulai berlangsung sejak lama. Persoalan-persoalan yang ada antara lain meliputi: keterbatasan dana dari pemerintah, peningkatan jumlah penduduk yang terus berlangsung terutama di kota-kota besar, euforia otonomi daerah yang cenderung kebablasan dari kabupaten/kota menjadi beberapa penyebab perkembangan infrastruktur kalah cepat dibandingkan dengan dinamika pertumbuhan penduduk yang ada. Pelayanan air bersih belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan air bersih baik di kota maupun di desa (Kodoatie, 2003). Sifat dan jenis pengolahan tergantung kualitas air baku yang akan diolah dan air yang akan diinginkan. Proses yang umumnya digunakan adalah seperti berikut: 1. Mata air, karena kualitas airnya cukup baik, biasanya tidak diperlukan perlakuan khusus dalam pengolahannya, hanya diberikan desinfektan (Chlor). 2. Sumur dangkal, perlakuan dalam pengolahannya kurang lebih sama dengan mata air. 3. Sumur dalam, pada umumnya kualitas air baku baik, maka hanya dibubuhkan desinfektan saja, namun banyak juga sumur dengan kandungan Fe dan Mn tinggi, sehingga diperlukan perlakuan khusus dalam pengolahannya dengan memerlukan unit pengolahan Fe dan Mn removal dan aerator dan lain-lain. 4. Air permukaan, merupakan sumber air baku yang paling tidak baik karena kondisinya yang kurang bersih (kotor) dan merupakan alternatif terakhir dalam penggunaannya sebagai air baku, jika mau dipergunakan sebagai air baku maka perlu adanya perlakuan khusus dalam
pengolahannya yang memerlukan biaya yang tidak sedikit dalam pembangunan instalasi pengolahannya maupun dalam operasional dan pemeliharaannya. 2.7 Sistem Penyediaan Air Bersih Individual dan Komunitas Air bersih merupakan salah satu kebutuhan paling esensial bagi kehidupan manusia, sehingga untuk memenuhinya perlu dalam kuantitas dan kualitas yang memadai. Selain untuk dikonsumsi air bersih juga dapat dijadikan sebagai salah satu sarana dalam meningkatkan kesejahteraan hidup melalui upaya peningkatan derajat kesehatan (Sutrisno, 1991). Tujuan utama sistem penyediaan air adalah untuk menyediakan air yang cukup berlebihan, yakni untuk menyediakan air bersih ke tempat-tempat yang dikehendaki dengan tekanan yang cukup. Tetapi pada masa kini ada pembatasan dalam jumlah air yang dapat diperoleh karena pertimbangan penghematan dan adanya keterbatasan sumber air (Noerbambang, 1993). Dilihat dari sudut bentuk dan tekniknya, sistem penyediaan air bersih dapat dibedakan atas 2 macam sistem yaitu (Chatib dalam I’tishom, 2010): 1. Sistem penyediaan air bersih individual Sistem penyediaan air bersih individual merupakan sistem penyediaan air bersih untuk penggunaan individual dan untuk pelayanan terbatas. Sumber air yang digunakan dalam sistem ini umumnya berasal dari air tanah. Hal ini disebabkan karena air tanah memiliki kualitas air yang relatif lebih baik daripada sumber air baku yang lain. Sistem penyediaan ini biasanya tidak mempunyai komponen transmisi dan distribusi, kecuali sistem penyediaan air bersih yang dibangun oleh pengembang untuk melayani suatu lingkungan perumahan yang
dibangun oleh pengembang. Berdasarkan uraian tersebut yang termasuk kedalam sistem ini adalah sumur gali, sumur pompa tangan dan sumur bor (untuk pelayanan suatu lingkungan perumahan tertentu). 2. Sistem penyediaan air bersih komunitas/perkotaan Sistem penyediaan air bersih komunitas/perkotaan merupakan sistem penyediaan air bersih untuk masyarakat umum atau skala kota, dan untuk pelayanan yang menyeluruh, termasuk untuk keperluan rumah tangga (domestik), sosial maupun untuk industri. Pada umumnya sistem yang dikembang secara komunal merupakan suatu sistem yang lengkap dari segi sarana dan prasarananya, baik ditinjau dari aspek tekniknya maupun dari aspek pelayanan yang diberikan. Adapun sumber air baku yang dipergunakan umumnya adalah air sungai, air danau yang memiliki kuantitas yang cukup memadai. Sistem ini juga dapat mempergunakan beberapa macam sumber sekaligus dalam operasionalnya sesuai kebutuhannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan air bersih perkotaan adalah sebagai berikut (Linsley et.al dalam Raharjo, 2002): 1. Iklim, kebutuhan air untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci, memasak. Menyiram tanaman semakin tinggi pada saat musim kemarau tiba. 2. Ciri-ciri penduduk, taraf hidup dan kondisi sosial ekonomi penduduk mempunyai korelasi posistif dengan konsumsi jumlah kebutuhan air bersih. Artinya pada penduduk dengan kondisi sosial ekonomi yang lebih baik dan taraf hidup yang tinggi akan membutuhkan air bersih lebih banyak daripada penduduk dengan kondisi sosial ekonomi yang kurang
mencukupi dan taraf hidupnya yang lebih rendah. Meningkatnya kualitas hidup kehidupan penduduk menyebabkan terjadinya peningkatan aktivitas hidup yang diikuti pula dengan meningkatnya kebutuhan akan air bersih. 3. Harga air dan meteran, bila harga air mahal orang akan lebih menahan diri untuk mempergunakan air bersih. Selain itu langganan yang di jatah air dengan sistem meteran cenderung jarang mempergunakan air bersih. 4. Ukuran kota, ukuran kota diindikasikan dengan jumlah sarana dan prasarana yang dimiliki suatu kota seperti industri, perdagangan, taman dan sebagainya, maka kebutuhan akan air bersih juga meningkat. Menurut Suripin (2004), penyediaan air bersih pada dasarnya memerlukan air yang langsung dapat diminum (portable water). Kualitas air menyatakan tingkat kesesuaian air terhadap penggunaan tertentu dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, mulai dari air untuk memenuhi kebutuhan langsung yaitu air minum, mandi dan cuci, air irigasi pertanian, peternakan, perikanan, rekreasi, transportasi. Kualitas air mencakup tiga karakteristik yaitu fisik, kimia, dan biologi. Karakteristik fisik yang terpenting tidak terpengaruhnya air oleh bahan padat secara keseluruhan baik yang terapung maupun yang terlarut, kekeruhan, warna, bau, dan rasa, serta temperatur atau suhu air. Sedangkan karakteristik kimiawi air berupa kandungan bahan-bahan kimia yang ada di dalam air yang berpengaruh terhadap kesesuaian air meliputi pH, alkalinitas, kation dan anion terlarut, serta kesadahan. Pada karakteristik biologi air, jenis-jenis organisme hidup yang mungkin terdapat dalam air bersih meliputi makroskopik, mikroskopik, dan bakteri. Sedangkan bakteri merupakan organisme hidup yang sangat kecil ukurannya dimana
spesiesnya tidak dapat diidentifikasi sekalipun dengan alat bantu mikroskop. Bakteri yang dapat menimbulkan penyakit disebut bakteri pathogen, sedangkan yang tidak membahayakan bagi kesehatan disebut nonpathogen.
Didalam air juga terdapat virus yaitu organisme
penyebab infeksi yang lebih kecil dari bakteri umum (Suripin, 2004). Besarnya tingkat konsumsi dan kebutuhan air bersih bagi setiap orang sangat dipengaruhi tingkat aktivitas, pola hidup dan kondisi sosial ekonomi. Kebutuhan akan air bersih tidak saja menyangkut kuantitas akan tetapi juga menyangkut kualitas sesuai dengan peruntukannya, dimana setiap peruntukan akan memiliki baku mutu tersendiri, dan baku mutu air minum tentunya akan lebih ketat jika dibandingkan dengan baku mutu air untuk kebutuhan lain seperti cuci mobil ataupun air untuk keperluan industri (Soemarwoto, 2001). Peranan air bersih dalam kehidupan masyarakat begitu penting, karena selain menjadi bahan konsumsi yang dibutuhkan untuk minum dan memasak, air juga dapat menjadi media dalam menimbulkan berbagai gangguan kesehatan, karena air mempunyai kemampuan yang tinggi dalam melarutkan bahan-bahan padat berbahaya, mengabsorbsi gas-gas, dan bahan cair lainnya, sehingga kandungan bahan atau zat-zat tersebut dalam air pada konsentrasi tertentu dapat menimbulkan efek gangguan kesehatan bagi pemakainya (Sutrisno, 1991). Distribusi air merupakan jaringan penyaluran air dari sumber hingga dapat dimanfaatkan masyarakat. Fungsi jaringan distribusi ini adalah untuk mendekatkan air kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat lebih mudah memanfaatkan air. Semakin jauh jarak yang ditempuh untuk mendapatkan air berarti merupakan pemborosan waktu dan energi, dan terdapat kecenderungan semakin sulit untuk mendapatkan, maka masyarakat akan mengurangi konsumsi air hingga di bawah kebutuhan untuk hidup layak (Carter, dkk, 1999).
Pengelolaan penyediaan air bersih yang dilakukan oleh masyarakat pada dasarnya merupakan pembentukan rasa memiliki masyarakat pada air bersih, mulai dari eksplorasi sumber air, eksploitasi, dan pengelolaan air, yang memiliki prinsip berkelanjutan. Hal ini membentuk tanggung jawab komunitas yang mengikat secara emosional setiap elemen dalam masyarakat (Piyasena, 2000).
Parameter air yang ada di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air disebutkan bahwa klasifikasi mutu air kelas 1 (satu), yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air seperti pada tabel berikut : Tabel 2.1. Kriteria Mutu Air Kelas 1 No
Parameter
A. Fisika 1 Suhu 2 Residu Terlarut 3 Residu Tersuspensi B. Kimia 1 Arsen 2 Klorida 3 Mangan 4 Kromium valensi 6 5 Selenium
Satuan o
C
mg/L mg/L
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Kadar Maksimum yang Diperbolehkan
Keterangan
Deviasi 3 1000 50
Tidak berbau -
0,05 600 0,1
-
0,05 0,01
-
Sumber : PP Nomor 82 Tahun 2001 2.8 Pencemaran Air Pencemaran yaitu masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain kedalam air oleh kegiatn manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak lagi sesuai lagi dengan peruntukannya. Adanya benda-benda asing mengakibatkan air tidak dapat digunakan secara normal disebut dengan polusi/pencemaran. Kebutuhan makhluk hidup akan air sangat bervariasi, maka batasanbatasan pencemaran untuk berbagai jenis air juga berbeda (Sunu, 2001). 2.8.1 Indikator Pencemaran Air Pencemaran air sungai cenderung meningkat, khususnya sungai-sungai yang melintasi perkotaan dan pemukiman yang padat. Sebagian besar limbah rumahtangga, pasar, rumah sakit dan sebagainya yang dibuang langsung kesungai, akan menyebabkan kualitas air sungai akan menurun. Meningkatnya kegiatan manusia, apabila tidak diimbangi dengan kesadaran semua pihak, akan berpotensi memberikan kontribusi pada pencemaran air sungai (Sunu, 2001). Pengujian diperlukan untuk menentukan sifat-sifat air sehingga dapat diketahui apakah suatu air terpolusi atau tidak, antara lain (Sunu, 2001): a.
Nilai pH, keasaman, dan alkalinitas
b.
Suhu
c.
Warna, bau, dan rasa
d.
Jumlah padatan
e.
Nilai BOD/COD
f.
Pencemaran mikroorganisme patogen
g.
Kandungan minyak
h.
Kandungan logam berat
i.
Kandungan bahan radioaktif
Berdasarkan cara pengamatannya, pengamatan indikator dan komponen pencemaran air lingkungan dapat digolongkan menjadi, (Wardhana, 1995) : 1.
Pengamatan secara fisis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu air,perubahan rasa dan warna air.
2.
Pegamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan air berdasarkan zat kimia yang terlarut, perubahan pH.
3.
Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada didalam air, terutama ada tidaknya bakteri patogen. Ketiga pengamatan tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Masing-masing saling mengisi agar diperoleh hasil pengamatan yang lengkap dan cermat. air yang telah tercemar dapat mengakibatkan kerugian yang besar bagi manusia. Kerugian yang disebabkan oleh pencemaran air dapat berupa : 1.
Air menjadi tidak bermanfaat lagi Air yang tidak bermanfaat lagi akan dimanfaatkan lagi akibat pencemaran air
merupakan kerugian yang terasa langsung oleh manusia. Kerugian langsung ini pada umumnya disebabkan oleh terjadinya pencemaran air oleh berbagai macam komponen pencemar air. Bentuk kerugian langsung ini antara lain berupa : a.
Air tidak dapat digunakan lagi untuk keperluan rumah tangga Air yang telah tercemar dan kemudian tidak dapat digunakan lagi sebagai
penunjang kehidupan manusia, terutama untuk keperlua rumahtangga, akan menimbulkan dampak sosial yang sangat luas dan akan memakan waktu lama untuk
memulihkannya.padahal air yang dibutuhkan untuk keperluan rumah tangga sangat banyak, mulai untuk minum, memasak, mandi, dan mencuci dan lain sebagainya. Gambaran berapa banyak air bersih yang diperlukan orang Indonesia yang tinggal dikota untuk setiap orang perhari dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 2.2. Kebutuhan air per orang per hari Keperluan Minum Memasak, kebersihan dapur Mandi, kakus Cuci Pakaian Air Wudhu Air untuk kebersihan rumah Airuntuk meyiram tanam-tanaman Air untuk mencuci kenderaaan Air untuk keperluan lain-lain Jumlah
Air yang dipakai (liter) 2 14,5 20 13 15 32 11 22,5 20 150
Sumber : Whardana, 1995
b.
Air tidak dapat lagi digunakan untuk keperluan industri
c.
Air tidak dapat lagi digunakan untuk keperluan pertanian
2.
Air menjadi penyebab timbulnya penyakit. Sebagian besar penyakit dikaitkan dengan adanya hubungan interaktif antara
kehidupan manusia dengan bahan, kekuatan, atau zat yang tidak dikehendaki yang datang dari luar tubuhnya atau lingkungannya. Kekuatan, zat, atau bahan yang masuk ke dalam tubuh tersebut bisa merupakan benda hidup atau benda mati. Sehingga dapat menganggu fungsi ataupun bentuk suatu organ (Achmadi, 2008).
2.9 Landasan Teori Landasan teori yang digunakan untuk menganalisis hubungan kualitas air sungai Belumai sebagai air mandi dan cuci dengan keluhan kesehatan pengguna air adalah Teori Simpul Kejadian Penyakit (Achmadi, 2008), dapat dilihat pada gambar berikut Manajemen Penyakit Menular
Sumber Penyakit - Alamiah d
Transmisi
Penduduk
Dampak
(Populasi
Sakit
- Air - Udara - Makanan - dll
Iklim dan Topografi
(Sumber : Achmadi, 2008) Gambar 2.1. Teori Simpul Kejadian Penyakit Simpul 1 : Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan agent penyakit. Agent penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui kontak secara langsung atau melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan). Umumnya melalui produk bahan beracun yang dihasilkannya ketika berada dalam tubuh, atau secara langsung dapat mencederai sebagian atau seluruh bagian tubuh manusia sehingga menimbulkan gangguan fungsi maupun morfologi (bentuk organ tubuh).
Simpul 2 : Media Transmisi Penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat memindahkan agent penyakit pada hakikatnya hanya ada 5 komponen lingkungan sebagai media transmisi penyakit yaitu udara, air, tanah, binatang/serangga, dan manusia. Media transmisi tidak akan memiliki potensi mengeluarkan atau mengemisikan agent penyakit. Simpul 3 : Perilaku Pemajanan (Behavioural Exposure) adalah hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduknya berikut perilakunya. Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent penyakit). Simpul 4 : Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Variabel suprasistem, berupa variabel iklim, topografi, temporal dan suprasistem lainnya yaitu keputusan politik berupa kebijakan mikro yang bisa mempengaruh semua simpul. Landasan teori dalam penelitian mengacu pada konsep teori simpul bahwa terjadinya penyakit berbasis penularan air pada pengguna air di Kecamatan Tanjung Morawa disebabkan oleh empat simpul yang mencakup: (1) Simpul pertama, yaitu sumber penyakit yaitu komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan melalui kontak langsung dengan kandungan bahan kimiawi yang tidak ditoleransi (dalam penelitian ini unsur/zat kimia pada air Sungai Belumai). (2) Simpul kedua, yaitu media transmisi penyakit, dalam hal ini adalah air (dalam penelitian ini air sungai Belumai yang digunakan untuk mandi dan cuci)
(3) Simpul ketiga, yaitu perilaku pemajanan, yaitu kebiasaan atau tindakan nyata yang dilakukan oleh pengguna air yang berpotensi terhadap terjadi keluhan penyakit (dalam penelitian ini: kelompok resiko pemajanan, frekuensi pemajanan dan durasi pemajanan dengan air Sungai Belumai). (4) Simpul ke empat, yaitu kejadian penyakit, adalah bukti nyata atau outcome dari keadaan kualitas air, dan perilaku pengguna yang dapat diidentifikasi melalui diagnosis secara laboratorium maupun anamnase, atau pengukuran-pengukuran lainnya tergantung penyakit yang dialami (dalam penelitian ini adalah keluhan penyakit pengguna air Sungai Belumai di Kecamatan Tanjung Morawa yaitu keluhan gangguan kulit dan mata). Untuk menggambarkan fenomena terjadinya keluhan kesehatan pada masyarakat disepanjang Daerah Aliran Sungai Belumai, perlu diketahui kandungan kimia air Sungai Belumai tersebut penggunaan air sungai sebagai air mandi dan cuci.
2.10. Kerangka Konsep Kualitas Air Sungai (Kualitas Kimia) a. Arsen b. Klorida
Penggunaan Air Sungai sebagai Air Mandi dan Cuci
Keluhan Kesehatan - Kulit gatal, merah dan panas - Mata merah, gatal dan panas
- Lama Tinggal - Frekuensi Kontak
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan gambar 2.2 dapat dijelaskan bahwa variabel independen dalam penelitian ini mencakup kualitas kimia air sungai dan penggunaan air untuk mandi dan cuci . Variabel dependen dalam penelitian ini adalah keluhan kesehatan berupa kulit gatal, merah dan panas serta mata merah, gatal dan panas.