5 STANDARISASI KEBUTUHAN ENERGI (DE) DAN NUTRIEN KUDA PACU INDONESIA BERDASARKAN KONSUMSI, BOBOT METABOLIK DAN BEBAN KERJA ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan pakan, energi dan nutrien pakan melalui konsumsi energi dan nutrien tercerna serta beban kerja dan bobot metabolik. Dengan demikian dapat diperoleh standardisasi kebutuhan pakan kuda pacu persilangan thoroughbred dengan kuda pacu Indonesia untuk dijadikan landasan formulasi ransum kuda pacu Indonesia berdasarkan tingkat kinerja dari kuda pacu tersebut. Pada penelitian ini diawali dengan pengukuran DE (Digestible Energi) dan zat-zat makanan yang dilakukan pada 24 ekor kuda pacu dengan bobot 217 sampai 383 kg berumur 2 sampai 7 tahun, selama 2 bulan. Dari ke 24 ekor kuda pacu tersebut ditimbang jumlah konsumsi pakan serta jumlah feses per ekor per hari, kemudian diambil sebanyak 24 sampel dari pakan maupun feses dan dianalisis komposisi proksimatnya untuk mengetahui kandungan energi dan zatzat makanan. Hasil pengukuran kecernaan energi dan zat-zat makanan selanjutnya digunakan untuk menduga kebutuhan DE dan zat-zat makanan kuda pacu yang sedang mengikuti pacuan dengan jarak tempuh yang berbeda, sesuai dengan kelasnya. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, kebutuhan bahan kering, energi tercerna (DE), serta nutrien pakan kuda pacu dapat diduga dari konsumsi, kecernaan, beban kerja dan bobot metabolik, sehingga hasil ini dapat digunakan sebagai landasan untuk formulasi ransum kuda pacu persilangan thoroughbred dengan kuda poni Indonesia. Kata kunci : kuda pacu, konsumsi, energi tercerna, bobot metabolik, beban kerja PENDAHULUAN Sulawesi Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan ternak kuda, sebab alat transportasi yang kelihatan masih digunakan sampai saat ini yakni bendi (andong) cukup banyak terdapat di daerah ini. Demikian juga untuk ternak kuda pacu, khususnya Minahasa yang merupakan lokasi pemeliharan kuda pacu di SULUT, populasinya masih cukup besar. Data yang diperoleh pada tahun 2007, populasi kuda pacu di Sulut sekitar 780 ekor dan ini menunjukkan adanya penurunan populasi kuda pacu di Sulut dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 1993 sampai tahun 1998 daerah ini merupakan produsen kuda pacu terbesar di Indonesia, hal ini disebabkan karena prestasi kuda pacu Sulut menonjol saat itu
karena beberapa kali menggondol lambang supremasi tertinggi pacuan kuda tingkat nasional. Beberapa tahun terakhir ini terjadi penurunan populasi kuda pacu di Sulut. Hal ini disebabkan karena harga pakan yang terlalu mahal, sehingga minat masyarakat petani peternak kuda pacu menurun, dan yang bertahan untuk memelihara kuda pacu tinggal orang-orang yang mempunyai banyak modal, bahkan di daerah ini petani peternak yang dahulunya memiliki kuda hanya menjadi pemelihara kuda. Kuda pacu sebagai ternak untuk perlombaan mempunyai keunikan dalam hal mengkonsumsi pakan, sebab tujuan pemberian pakan adalah untuk memperoleh prestasi yang baik pada saat pacuan, oleh sebab itu perlu diperhatikan kebutuhan pakan maupun zat-zat makanan yang terkandung dalam pakan terlebih kandungan energi yang mempunyai peran utama saat dipacu. Apabila dilihat dari sistem pencernaan, kuda tergolong ternak herbivora nonruminansia sehingga konsumsi pakan utama adalah hijauan, akan tetapi pada kenyataanya kuda pacu mengkonsumsi pakan konsentrat lebih tinggi daripada hijauan. Hal ini disebabkan karena kuda pacu membutuhkan energi yang baik untuk latihan maupun dipacu saat perlombaan, sehingga kebutuhan energi utama berasal dari biji-bijian sebagai penyusun konsentrat yang memiliki nilai energi yang siap dipakai untuk proses kerja dari kuda pacu. Pemeliharaan kuda pacu di Indonesia sebagian besar masih mengacu pada pemberian pakan yang dilakukan oleh negara maju di luar negeri. Hal ini disebabkan karena standardisasi kebutuhan pakan kuda pacu di Indonesia belum ada, sehingga masyarakat peternak kuda pacu memelihara kuda tersebut masih mengandalkan bahan pakan impor yang digunakan untuk persiapan perlombaan. Indonesia merupakan negara agraris sehingga bahan baku pakan yang ada kemungkinan bisa digunakan sebagai sumber pakan kuda, akan tetapi karena belum ada pengujian kebutuhan dan karakteristik nutrisi serta formulasi yang tepat, maka belum dimanfaatkan secara umum. Bahan baku pakan lokal menurut hasil-hasil analisis kandungan zat-zat makanan tidak kalah dibandingkan dengan komposisi zat-zat makanan dari negara luar. Hanya saja formulasinya belum ada sehingga dilakukan penelitian ini. Salah satu metode pendekatan untuk
memperoleh standar kebutuhan DE dan nutrien ialah melalui konsumsi, bobot metabolik, dan beban kerja. Ini dijadikan patokan untuk melihat kebutuhan energi dan nutrien pakan dalam rangka formulasi pakan lokal. Selain itu perbedaan kuda pacu yang ada di Indonesia yang diizinkan oleh PORDASI untuk diperlombakan adalah persilangan dari kuda lokal dengan thoroughbred, maka tentunya mempunyai perbedaan postur tubuh, serta bobot yang berdampak pada perbedaan konsumsi dan kebutuhan pakan, serta zat-zat makanan. Melihat tujuan pemeliharaan kuda untuk kemampuan kerja baik untuk dipacu maupun menarik beban serta bentuk/postur tubuh yang ideal waktu diperlombakan maka tentunya faktor yang sangat mendukung adalah pakan, lebih khusus kandungan zat makanan, yakni energi, protein, mineral dan vitamin. Oleh sebab itu maka penelitian ini dilakukan untuk memperoleh standardisasi kebutuhan pakan kuda pacu Indonesia. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tompaso dan Kawangkoan Kabupaten Minahasa Induk, Provinsi Sulawesi Utara sebagai sentra pemeliharaan kuda pacu di Sulut, sejak April 2007 sampai dengan Oktober 2007. Bahan: Bahan yang digunakan adalah bahan baku pakan sebagai penyusun konsentrat yakni jagung kuning, dedak halus, bungkil kelapa, kacang kedelai, kacang hjau, serta gabah. Hijauan pakan yang digunakan adalah rumput lapang (Pannicum muticum), Brachiaria mutica, serta tebon jagung. Semua jenis pakan ini diperoleh dari sekitar lokasi penelitian. Ternak : 24 ekor kuda pacu dengan bobot 217 sampai 383 kg berumur 2 sampai 7 tahun, selama 2 bulan. Cara Pengukuran : - Kecernaan BK, energi dan nutrien : Konsumsi (kg)-Feses(kg) Dari ke 24 ekor kuda pacu tersebut ditimbang jumlah konsumsi pakan serta jumlah feses per ekor per hari, kemudian diambil sebanyak 24 sampel dari pakan maupun feses dan dianalisis komposisi proksimatnya untuk mengetahui
kandungan energi dan zat-zat makanan. Pengukuran kecernaan ini dilakukan untuk mengetahui kandungan energi tercerna (DE) dan nutrien pakan yang dipakai sebagai landasan untuk menyusun suatu formulasi ransum, karena penentuan kebutuhan didasarkan pada pengetahuan tentang kandungan energi dan nutrien pakan tersebut. Hasil pengukuran kecernaan energi dan zat-zat makanan selanjutnya digunakan untuk menduga kebutuhan DE dan zat-zat makanan kuda pacu yang sedang mengikuti pacuan dengan jarak tempuh yang berbeda, sesuai dengan kelasnya. - Penimbangan bobot kuda pacu - Penimbangan bobot joki - Pengamatan jarak tempuh, waktu tempuh Untuk pengukuran bobot kuda, bobot joki, waktu tempuh menggunakan timbangan Digital Agricultural Scale HG 500, kapasitas 1500 kg untuk menimbang kuda pacu, serta timbangan kapasitas 25 kg untuk menimbang pakan, stopwatch dan kamera digital untuk waktu tempuh. Peubah : - Konsumsi BK, energi, protein, serat kasar, Ca dan P - Kecernaan energi, dan nutrien pakan - bobot kuda pacu - bobot joki - jarak tempuh - waktu tempuh Analisis Data: Analisis output-input : Model : K= a W 0.75 + bP - K= Konsumsi - W 0.75 = bobot metabolik - P = estimasi kebutuhan untuk produksi (beban kerja) Penelitian ini diawali dengan pengukuran DE (Digestible Energi) dan zatzat makanan yang dilakukan pada 24 ekor kuda pacu dengan bobot 217 sampai 383 kg berumur 2 sampai 7 tahun, selama 2 bulan. Dari ke 24 ekor kuda pacu tersebut ditimbang jumlah konsumsi pakan serta jumlah feses per ekor per hari,
kemudian diambil sebanyak 24 sampel dari pakan maupun feses dan dianalisis komposisi proksimatnya untuk mengetahui kandungan energi dan zat-zat makanan. Pengukuran kecernaan ini dilakukan untuk mengetahui kandungan energi tercerna (DE) dan nutrien pakan yang dipakai sebagai landasan untuk menyusun suatu formulasi ransum, karena penentuan kebutuhan didasarkan pada pengetahuan tentang kandungan energi dan nutrien pakan tersebut. Hasil pengukuran kecernaan energi dan zat-zat makanan selanjutnya digunakan untuk menduga kebutuhan DE dan zat-zat makanan kuda pacu yang sedang mengikuti pacuan dengan jarak tempuh yang berbeda, sesuai dengan kelasnya. Model yang digunakan untuk mengestimasi kebutuhan pakan dan zat-zat makanan adalah model regresi sederhana, yakni Y = a + bx, yang dijabarkan dengan model persamaan statistik oleh McDonald (2002), yakni Konsumsi (K)= a W 0.75 + bP atau K/ W 0.75 = a + b(P/ W 0.75), dimana Y= K/ W 0.75 = konsumsi pakan/kg. W
0.75
;W
0.75
= bobot metabolik dan P = estimasi kebutuhan untuk
produksi. Dalam penelitian ini P adalah estimasi kebutuhan melalui beban kerja yakni bobot joki x Jarak tempuh x kecepatan (kg.km.km/mnt) (Tulung, 1998). Data yang diperoleh dianalisis dengan análisis regresi menurut Steel dan Torrie (1990). HASIL Hasil
pengamatan
konsumsi
pakan
terdapat
keragaman
nisbah
hijauan:konsentrat maupun jumlah pemberiannya dengan perbandingan hijauan dan konsentrat 30:70. Pengukuran kecernaan energi dan zat-zat makanan ditampilkan pada Tabel 7 berikut ini. Tabel 7. Rataan Konsumsi Hijauan, Konsentrat, Energi, Bahan Kering dan Nutrien (kg ekor -1. hari -1) selama penelitian Hijauan Konsentrat
3,12
7,77
Bahan
Energi
Protein
Serat
Kering
(Mkal)
Kasar
Kasar
10,89
26,76
1,48
1,39
Lemak
Ca
P
0,39
0,11
0,06
Pada Tabel 7 terlihat bahwa konsumsi energi tercerna (DE) dan nutrien pakan masing-masing ternak bervariasi menurut bobot dan beban kerja kuda pacu tersebut. Pendugaan masing-masing kebutuhan pakan dan zat-zat makanan ditampilkan pada sajian berikut ini. Pada Gambar 20 ini ditampilkan korelasi antara konsumsi bahan kering
Konsumsi Bahan Kering (kg)
dengan beban kerja dan bobot metabolik. 16.00
15.00
y = 4.953x + 7.989
14.00 13.00 12.00 11.00 10.00 9.00 8.00 0.25
0.50
0.75 Beban
Y
1.00
1.25
1.50
Kerja/Wt0.75
Predicted Y
Linear (Predicted Y)
Gambar 20 Hubungan antara Konsumsi BK dan Beban Kerja/BM Hasil yang diperoleh dengan model persamaan di atas, ternyata hubungan antara kosumsi bahan kering dan beban kerja serta bobot metabolik (Lamp. 18) memiliki nilai korelasi positif yakni 86,83% dengan R2= 75,40% yang berarti bahwa setiap penambahan beban kerja akan meningkatkan konsumsi bahan kering. Pada Gambar 20 ini, jelas terlihat bahwa peningkatan beban kerja per bobot metabolik akan meningkatkan jumlah konsumsi bahan kering kuda pacu. Berdasarkan konsumsi kuda percobaan, ternyata rataan konsumsi bahan kering BK (kg.hari-1) adalah y = 4,953x + 7,989. Hubungan antara konsumsi bahan kering dengan bobot dan beban kerja sangat berbeda nyata (p<0,01). Pada Gambar 21 berikut ditampilkan análisis korelasi antara konsumsi energi tercerna (DE) dengan beban kerja dan bobot metabolik.
Konsumsi DE (mkal)
35.00
y = 10.88x + 17.91
30.00 25.00 20.00 15.00 10.00
5.00 0.20
0.60
1.00
1.40
1.80
Beban Kerja/ BM (kg.km.mnt) Y
Predicted Y
Linear (Predicted Y)
Gambar 21 Hubungan Konsumsi DE dan Beban Kerja/BM Pendugaan kebutuhan energi dan protein kasar serta nutrien lainnya menggunakan model yang berbeda-beda. Pada percobaan ini pendugaan kebutuhan melalui bobot dan beban kerja, hasil yang diperoleh untuk kebutuhan DE (mkal hari -1) = 10,88x + 17,91 dengan keeratan hubungan R = 0,96 dan R2 = 0,93. Hubungan DE dengan beban kerja tersebut berbeda sangat nyata (p<0,01). Gambar 22 menampilkan hasil analisis korelasi antara konsumsi protein tercerna dengan beban kerja dan bobot metabolik.
Konsumsi Protein (kg)
3.00
y = 0.971x + 1.581
2.75
2.50 2.25 2.00 1.75 0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
Beban Kerja/W 0,75 (kg.km.mnt)
Y
Predicted Y
Linear (Predicted Y)
Gambar 22 Hubungan antara konsumsi Protein dan Beban Kerja/BM Ternyata pendugaan ini menunjukkan adanya korelasi positif antara konsumsi protein tercerna dengan nilai R =0,95 dan R2 = 0,91 serta tingkat signifikan p<0,01) dengan persamaan y = 0,971x + 1,58.
Pada Gambar 23 berikut adalah analisis korelasi antara konsumsi serat kasar ter cerna dengan beban kerja per bobot metabolik.
Konsumsi Serat Kasar(kg)
1.80
y = 0.607x + 0.951
1.60 1.40 1.20 1.00 0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
Beban Kerja/W 0,75 (kg.km.mnt)
Y
Predicted Y
Linear (Predicted Y)
Gambar 23 Hubungan antara konsumsi Serat Kasar dan Beban Kerja/BM Nilai korelasi yang diperoleh adalah R= 0,95 dan R2 = 0,91 serta tingkat signifikan (p<0,01) dengan persamaan y = 0,607x + 0,95. Pada Gambar 24 disajikan hubungan antara konsumsi lemak dengan beban kerja per bobot metabolik.
Konsumsi Lemak (kg)
0.60 y = 0.176x + 0.287 0.50
0.40
0.30 0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
Beban Kerja/W 0,75 (kg.km.mnt)
Y
Predicted Y
Linear (Predicted Y)
Gambar 24 Hubungan antara konsumsi Lemak dan Beban Kerja/BM Pendugaan kebutuhan lemak pada percobaan ini melalui bobot dan beban kerja, diperoleh hasil untuk kebutuhan lemak (kg.hari-1) = 0,176x + 0,287, dengan keeratan hubungan R = 0,95 dan R2 = 0,91. Hubungan konsumsi lemak dengan bobot metabolik dan beban kerja tersebut berbeda sangat nyata (p<0,01).
Pada pendugaan kebutuhan kalsium melalui bobot dan beban kerja (Gambar 25), hasil yang diperoleh untuk kebutuhan kalsium (kg.hari-1) = 0,049x + 0,080, dengan keeratan hubungan R= 0,95 dan R2 = 0,91. Hubungan kalsium dengan beban kerja tersebut berbeda sangat nyata (p<0,01).
Konsumsi kalsium (kg)
y = 0.049x + 0.080 0.14
0.12
0.10
0.08 0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
Beban Kerja/W 0,75 (kg.km.mnt)
Y
Predicted Y
Linear (Predicted Y)
Gambar 25 Hubungan antara konsumsi Kalsium dan Beban Kerja/BM Hasil analisis korelasi antara konsumsi fosfor dengan beban kerja ditampilkan pada Gambar 26 berikut ini.
Konsumsi Fosfor (kg)
0.08
y = 0.027x + 0.043
0.07
0.06
0.05 0.25
0.50
0.75
Beban
Y
Kerja/W 0,75
Predicted Y
1.00
1.25
1.50
(kg.km.mnt)
Linear (Predicted Y)
Gambar 26 Hubungan antara konsumsi Fosfor dan Beban Kerja/BM Persamaan yang diperoleh untuk kebutuhan fosfor adalah y (kg.hari-1) = 0,027x + 0,043, dengan keeratan hubungan R = 0,95 dan R2 = 0,91. Hubungan fosfor dengan beban kerja tersebut berbeda sangat nyata (p<0,01). Analisis korelasi antara konsumsi BETN dengan beban kerja dan bobot metabolik. Hasil analisis tersebut ditampilkan pada Gambar 27 berikut ini.
y = 3.118x + 5.040
Konsumsi BETN (kg)
9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 0.25
0.50
0.75 Beban
Y
1.00
Kerja/W 0,75
Predicted Y
1.25
1.50
(kg.km.mnt)
Linear (Predicted Y)
Gambar 27 Hubungan antara konsumsi BETN dan Beban Kerja/BM Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya korelasi positif antara konsumsi BETN dengan beban kerja/bobot metabolik, hal ini dapat dilihat dari nilai korelasi sebesar R=0,95 dan R2 = 0,91, dengan tingkat signifikan (p<0,01), dengan persamaan y = 3,118x + 5,040. PEMBAHASAN 1. Konsumsi bahan kering Pada Tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa konsumsi bahan kering dari ternak kuda berbeda-beda bergantung dari bobot dan beban kerja yakni 9,11 sampai 12,32 kg ekor -1hari -1, dengan rataan konsumsi bahan kering 10,24 kg ekor-1hari-1 dengan perbandingan hijauan : konsentrat 3,12:7,17 dan persentase 30: 70 persen. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Pilliner (1992) yang menyatakan, kuda yang memiliki tinggi 152-162 cm dan bobot 500 kg dengan tingkat kerja cepat atau pacuan, rasio hijauan:konsentrat yang diberikan adalah 30:70 atau dalam satuan kilogram sekitar 3,5 kg hijauan dan 8,5 kg konsentrat. Perbedaan yang terlihat adalah pada bobot kuda karena rekomendasi yang diberikan oleh Pilliner adalah kuda thoroughbred dengan bobot yang jauh lebih tinggi dengan kuda pacu Indonesia. Pada persamaan pendugaan di atas ternyata bahwa kebutuhan pakan dan zat-zat makanan dapat diduga dari konsumsi pakan. Berdasarkan hasil análisis regresi dan korelasi, ternyata kebutuhan bahan kering dapat diduga dari konsumsi dan beban kerja, dan bobot metaboli. Hal ini dapat dilihat dari hubungan yang sangat signifikan (p<0,01). Ini berarti bahwa
setiap penambahan 1 unit beban kerja per bobot metabolik akan menaikkan konsumsi bahan kering pakan. Frape (2004), menyatakan pemberian pakan pada kuda untuk pacuan memerlukan waktu 8 sampai 12 minggu untuk pemberian pakan khusus, dimulai dengan pemberian pakan konsentrat 5 kg setiap hari dan selesai pemberian pada 2 bulan berikutnya 8 sampai 8,5 kg. dimana 1/3 (sepertiga) diberikan pada pagi hari dan 2/3 (dua pertiga) diberikan pada malam hari dan dikurangi 3,5 sampai 4 kg per hari menjelang pacuan dan untuk pakan hay 5 sampai 5,5 kg per hari. 2. Kebutuhan Energi Tercerna (DE) Dari hasil analisis tersebut tampak bahwa semakin meningkatnya beban kerja dan bobot metabolik, maka kebutuhan DE semakin meningkat pula. Peterson et al. (1985) melakukan percobaan secara alami di arena pacuan dan lintas alam, mereka memperoleh dugaan kebutuhan DE = 168 + 29,9 kcal/Wt0.75, sedangkan dugaan kebutuhan pada percobaan ini DE= 271 + 0,968 kcal/Wt0.75. Hasil dugaan percobaan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pendugaan yang dilakukan Peterson et al. (1985). Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan definisi beban kerja. Pada percobaan yang mereka lakukan, definisi beban kerja hanya mengacu pada kerja moderat seperti yang direkomendasikan oleh NRC (1989) dengan kebutuhan DE dinyatakan sebagai persamaan aljabar yakni kebutuhan hidup pokok + pertumbuhan yang merupakan fungsi umur. Perbedaan yang paling mendasar dalam percobaan ini dari NRC(1989); Anderson et al.(1983) dan Peterson et al. (1985) ialah dalam hal definisi beban kerja. Pada penelitian ini definisi beban kerja lebih tegas tidak memakai nilai relatif yang sukar diukur. Selain itu tingginya kebutuhan energi pada kuda percobaan ini disebabkan karena perbedaan iklim. Pada daerah tropis, ternak membutuhkan energi ekstra untuk proses termoregulasi sehingga kebutuhan energi per satuan bobot metabolik lebih tinggi dari pada ternak di negara beriklim sejuk.
3. Kebutuhan Protein Kasar Tercerna Hubungan konsumsi protein kasar tercerna dengan bobot metabolik dan beban kerja pada pengamatan ini berbeda sangat nyata (p<0,01). Dari hasil
analisis ini ternyata nilai R =0,95 dan R2 = 0,91 yang berarti bahwa 91% konsumsi protein dipengaruhi oleh beban kerja dan bobot metabolik. Akan tetapi bila dibandingkan dengan NRC (1989) ternyata konsumsi protein ini jauh lebih tinggi. NRC (1989) menunjukkan bahwa kebutuhan protein tercerna untuk kuda tidak dinyatakan secara mandiri tetapi terkait erat dengan kebutuhan DE, yakni tiap kebutuhan Mkal DE/hari membutuhkan 40 g protein kasar. Ternyata hasil penelitian untuk kebutuhan protein kasar hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Glade (1983), yakni kuda yang berumur 3 sampai 4 tahun yang dipacu pada jarak 1.207-1.710 m memerlukan protein sebesar 1.000 g. Selanjutnya Frape (2004) mengemukakan bahwa untuk kuda yang dipacu dan berburu membutuhkan protein 1.000-1.400 g/hari. Hinkle et al. (1981); Freeman et al. (1988), mengemukakan pemberian pakan yang tinggi kandungan protein untuk kuda kerja tidak menguntungkan karena akan berakibat pada peningkatan bobot yang berdampak pada penurunan prestasi saat dipacu. Selain dari itu Lewis, (1995) mengemukakan bahwa kebutuhan protein pada kuda dewasa relatif rendah, karena protein bukan sumber energi yang baik untuk kuda. Penggunaan protein sebagai sumber energi bagi kuda, membutuhkan enam kali lebih banyak panas yang dihasilkan dari protein yang digunakan untuk energi, ini akan berpengaruh tidak baik terhadap ketahanan kuda saat dipacu.
4. Kebutuhan Serat Kasar Pada percobaan ini ternyata kandungan serat kasar pakan adalah sekitar 20,19% dari bahan kering pakan, namun untuk ternak kuda, serat kasar yang tinggi dalam pakan bukan merupakan masalah karena kuda memiliki sistem pencernaan serat pada sekum dan kolon. NRC(1989) justru belum memberikan rekomendasi tentang kebutuhan serat kasar pada kuda. Kohnke (1992) mengemukakan, kuda membutuhkan serat yang cukup tinggi dalam pakan karena kuda memiliki sistem pencernaan fermentatif dalam sekum dan kolon. Oleh sebab itu, asupan serat dari penggembalaan atau jerami adalah penting untuk mempertahankan fungsi yang efisien pada pencernaan yang sehat. Akan tetapi, konsumsi serat kasar pada kuda berbeda dari ternak ruminansia karena kapasitas alat pencernaan yang hanya 1/3 dari rumen sapi. Hal ini didukung pula oleh
Meyer (2002) yang menyatakan bahwa kuda memiliki kemampuan cukup besar untuk mencerna serat akan tetapi dibatasi oleh volume lambung yang relatif kecil bila dibandingkan dengan ternak ruminansia, sehingga kapasitasnya lebih sedikit. Untuk itu Pilliner (1993) mengemukakan bahwa pemberian pakan serat seperti hijauan sebaiknya dilakukan sedikit-sedikit dengan frekuensi 3-4 kali sehari, sehingga tidak terjadi gangguan metabolisme pada sistem pencernaan kuda.
5. Kebutuhan Lemak Pendugaan kebutuhan lemak pada percobaan ini melalui bobot metabolik dan beban kerja, diperoleh hasil untuk kebutuhan lemak (kg.hari-1) = 0,287 + 0,177x. Penentuan kebutuhan lemak sama dengan serat kasar dan belum ada yang baku untuk kuda. Dengan demikian perolehan pada pendugaan ini merupakan suatu terobosan yang baru dimana untuk memformulasikan pakan untuk kuda pacu sudah diperoleh. Informasi yang diperoleh saat ini, ternyata kebutuhan lemak untuk kuda pacu merupakan tren yang baru di area perkudaan tingkat internasional yang ternyata bahwa lemak mempunyai peran yang sangat baik sebagai sumber energi pada saat kuda dipacu. Duberstein dan Johnson (2009) mengemukakan bahwa saat ini diet lemak tinggi merupakan tren yang relatif baru di industri kuda. Hal ini telah menunjukkan bahwa kuda dapat mentolerir level lemak yang cukup tinggi dalam diet mereka, karena lemak merupakan sumber energ yang sangat baik dan merupakan energi yang mudah dicerna oleh kuda. Lebih lanjut dikemukakan bahwa produk pakan komersial saat ini menerapkan untuk penambahan lemak sekitar 6 sampai 12 persen dalam ransum kuda, karena dengan menambahkan lemak dalam pakan dapat meningkatkan kepadatan energi pada kuda. Akan tetapi, kebutuhan nutrien lain harus benar-benar tersedia, karena dengan penambahan lemak akan mengakibatkan konsumsi pakan kuda menurun. Oleh sebab itu, penting untuk memastikan bahwa semua nutrisi lainnya (yaitu, protein, vitamin, mineral) juga cukup baik serta dalam keadaan seimbang untuk memenuhi kebutuhan kuda. 6. Kebutuhan Kalsium dan Fosfor Rataan konsumsi kalsium dan fosfor pada pengamatan ini adalah 0,08:0,04 kg yang berarti mempunyai rasio perbandingan 2:1. Apabila dibandingkan dengan
kebutuhan mineral kalsium dan fosfor yang direkomendasikan oleh NRC (1989) ternyata pada pengamatan ini jauh lebih rendah. Hal ini mungkin disebabkan karena pakan yang diberikan atau digunakan mengandung dedak dan gabah yang cukup tinggi sehingga menghambat pencernaan mineral tersebut karena gabah dan dedak padi mengandung fitat yang tinggi sehingga mengikat kedua unsur mineral ini. Kebutuhan mineral kalsium dan fosfor ini harus diperhatikan karena defisiensi mineral ini akan berpengaruh pada kesehatan ternak. Selain itu, kandungan Ca dan P pada ransum harus benar-benar seimbang, karena ketidak-seimbangan kedua mineral ini akan berdampak pada proses pencernaan mineral itu sendiri. Kandungan fosfor yang lebih tinggi dari kalsium dalam pakan akan menyebabkan defisiensi kedua mineral ini. Richards et al (2006) mengemukakan bahwa kandungan mineral kalsium dan fosfor dalam pakan harus benar-benar seimbang, yakni 2:1, karena berdasarkan penelitian mereka ternyata kelebihan fosfor dalam pakan menyebabkan kandungan fosfor dalam urine kuda tinggi. Selanjutnya Firth (2004) mengemukakan, kuda membutuhkan pakan tambahan berupa vitamin dan mineral dalam pakan, karena vitamin dan mineral merupakan feed supplemen maupun feed aditive untuk melengkapi kekurangan nurisi dalam ransum kuda. Williamson et al (2007) mengemukakan, selain mineral maka vitamin merupakan senyawa organik yang sangat penting, sehingga harus tersedia dalam tubuh untuk mengaktifkan reaksi penting untuk proses hidup dari ternak. Dalam kebanyakan kasus, program pemberian pakan hijauan yang dikombinasikan dengan konsentrat dengan formula yang baik akan memberikan mineral dan vitamin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kuda. Patterson (2007), mengemukakan bahwa kebutuhan kalsium dan fosfor untuk kuda adalah 6,3 persen dari bobot dengan rasio 2:1, yang berarti lebih kurang 180 g/ekor/hari untuk kalsium dan apabila dibandingkan dengan rataan konsumsi mineral kalsium pada penelitian ini hanya lebih kurang 80 g/ekor/hari, maka konsumsi kuda pacu persilangan throughbred dengan kuda poni Indonesia hanya setengah dari rekomendasi ini. Penyebab rendahnya konsumsi kalsium dan fosfor dalam penelitian ini kemungkinan disebabkan juga oleh perbedaan postur kuda pacu.
7. Kebutuhan BETN Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) adalah bagian dari bahan makanan
yang mengandung karbohidrat, gula, dan pati. Pada penelitian ini konsumsi BETN cukup tinggi pada kuda pacu. Hal ini disebabkan karena pakan yang diberikan mempunyai kandungan konsentrat yang tinggi sehingga kebutuhan BETN ini akan terpenuhi. Selain itu, karena pengukuran ini dilakukan pada kuda yang dipacu, maka kebutuhan karbohidrat harus benar-benar memiliki nilai biologis yang tinggi karena kuda yang dipacu membutuhkan energi ekstra dan siap digunakan untuk dipacu. Akan tetapi Frape (2004) mengemukakan bahwa pemberian pati yang tinggi pada kuda harus diimbangi dengan kerja kuda tersebut. Bila tidak diimbangi dengan kerja maka akan mengakibatkan gangguan pada pencernaan kuda sehingga timbul penyakit seperti ketosis dan kolik. Oleh sebab itu, penggunaan jagung yang tinggi karbohidrat dibatasi pada kuda pacu karena berpeluang untuk terjadinya gangguan penyakit tersebut. Tabel 8. Hasil Estimasi Kebutuhan Energi Tercerna (DE) serta Nutrien Pakan Penelitian dan NRC (1989) N Bobot Beban Kerja Kebutuhan DE(Mcal), PK, Ca, P (kg ekor-1 hari-1) (kg) (BJ.JT.K) Hasil Penelitian NRC (1989) (kg.km.mnt) (2 x Maintenance DE) Energi Protein Energi Protein (DE) Kasar Ca P (DE) Kasar Ca
P
1
200-224
22,28
21,97
1,28
0,10
0,06
14,80
0,61
0,02
0,01
2
225-249
38,53
22,58
1,45
0,11
0,06
16,30
0,67
0,02
0,01
3
250-274
38,02
24,75
1,44
0,11
0,06
17,80
0,73
0,03
0,01
4
275-299
51,27
25,18
1,51
0,10
0,06
19,30
0,79
0,03
0,01
5
300-349
54,75
26,32
1,51
0,10
0,06
20,80
0,86
0,03
0,01
6
350-374
63,82
29,53
1,53
0,12
0,06
23,80
0,98
0,04
0,02
7
375-384
105,75
29,97
1,82
0,12
0,06
25,30
1,04
0,04
0,02
Keterangan: BJ= Bobot Joki (kg), JT= Jarak Tempuh (km), K= Kecepatan(km/menit)
Pada Tabel 8 diatas ditampilkan hasil analisis korelasi antara konsumsi dengan beban kerja maka diperoleh dugaan kebutuhan energi dan nutrien pakan untuk kuda pacu Indonesia dengan bobot 200 kg sampai 375 kg dengan beban kerja yakni 22,28 sampai 105,75 (kg.km.mnt). Tampak jelas terlihat bahwa
perbedaan bobot dan beban kerja mengakibatkan perbedaan kebutuhan energi tercerna dan nutrien pakan. Hasil pendugaan penelitian ini dibandingkan dengan metode estimasi kebutuhan dari NRC (1989), dan diperoleh hasil kebutuhan energi tercerna dan nutrien pakan kuda pacu penelitian jauh lebih tinggi dari dugaan kebutuhan yang direkomendasikan NRC (1989). Dalam penelitian ini beban kerja didefinisikan dari bobot joki, jarak tempuh, dan kecepatan. Pendugaan kebutuhan energi tercerna yang direkomendasikan oleh NRC (1989), beban kerja dinyatakan sebagai faktor kelipatan dari kebutuhan hidup pokok, bagi kerja ringan, moderat dan intensif. Faktor kelipatan tersebut adalah 1,25; 1,5, dan 2,0. Peterson et al. (1985) melakukan percobaan secara alami di arena pacuan dan lintas alam, mereka memperoleh dugaan kebutuhan DE = 168 + 29,9 kcal/Wt0.75, sedangkan dugaan kebutuhan pada percobaan ini DE= 276 + 27,6 kcal/Wt0.75. Hasil dugaan percobaan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pendugaan yang dilakukan Peterson et al. (1985). Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena definisi beban kerja. NRC (1989) menunjukkan bahwa kebutuhan protein tercerna untuk kuda tidak dinyatakan secara mandiri, tetapi terkait erat dengan kebutuhan DE, yakni tiap kebutuhan Mkal DE/hari membutuhkan 40 g protein kasar dan hasil penelitian ini jauh lebih tinggi dari rekomendasi tersebut. Ternyata hasil penelitian untuk kebutuhan protein kasar hampir sama dengan yang dilaporkan oleh Glade (1983), kuda yang berumur 3 sampai 4 tahun yang dipacu pada jarak 1.207-1.710 m memerlukan protein sebesar 1.000 g. Selanjutnya Frape (2004) mengemukakan bahwa untuk kuda yang dipacu dan berburu membutuhkan protein 1.000-1.400 g/hari. Tingginya kebutuhan penelitian ini dibandingkan dengan beberapa penelitian tersebut, kemungkinan besar disebabkan karena nilai biologis pakan lokal yang digunakan rendah. Jadi walaupun kelihatan tinggi, sedikit yang bisa digunakan oleh kuda pacu. Hinkle et al. (1981); Freeman et al. (1988), mengemukakan pemberian pakan yang tinggi kandungan protein untuk kuda kerja tidak menguntungkan, karena akan berakibat pada peningkatan bobot yang berdampak pada prestasi saat dipacu. Selain itu Lewis and Bayley (1995)
mengemukakan bahwa kebutuhan protein pada kuda dewasa relatif rendah, karena protein bukan sumber energi yang baik untuk kuda. Tenyata kebutuhan mineral kalsium dan fosfor yang direkomendasikan oleh NRC (1989) jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian ini. Hal ini mungkin disebabkan karena pakan yang digunakan mengandung dedak dan gabah yang cukup tinggi sehingga menghambat pencernaan mineral tersebut karena gabah dan dedak padi mengandung fitat yang tinggi sehingga mengikat kedua unsur mineral ini, yang berdampak pada tingginya kebutuhan mineral pada penelitian ini. Selain itu, tingginya kebutuhan mineral pada kuda pacu yang dipacu, disebabkan karena dalam proses metabolisme energi tersebut, sangat membutuhkan mineral kalsium dan fosfor. Kebutuhan mineral kalsium dan fosfor ini harus diperhatikan karena, defisiensi mineral ini akan berpengaruh pada kesehatan ternak. Selain itu, kandungan Ca dan P dalam ransum harus benar-benar seimbang, karena ketidak seimbangan kedua mineral ini akan berdampak pada proses pencernaan mineral itu sendiri. Apabila kandungan fosfor lebih tinggi dari kalsium dalam pakan akan menyebabkan defisiensi kedua mineral ini. Richards et al. (2006) mengemukakan bahwa kandungan mineral kalsium dan fosfor dalam pakan harus benar-benar seimbang yakni 2:1, karena berdasarkan penelitian mereka ternyata kelebihan fosfor dalam pakan menyebabkan kandungan fosfor dalam urine kuda tinggi, sehingga mineral ini banyak yang keluar melalui urine. Selanjutnya Firth (2004) mengemukakan, kuda membutuhkan pakan tambahan berupa vitamin dan mineral dalam pakan, karena vitamin dan mineral merupakan feed supplemen maupun feed additive untuk melengkapi kekurangan nutrisi dalam ransum kuda. Williams (2007) mengemukakan, selain mineral, maka vitamin merupakan senyawa organik yang sangat penting, sehingga harus tersedia dalam tubuh untuk mengaktifkan reaksi penting untuk proses hidup ternak. Dalam kebanyakan kasus, program pemberian pakan hijauan yang dikombinasikan dengan konsentrat dengan formula yang baik akan memberikan mineral dan vitamin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kuda. Patterson (2007), mengemukakan bahwa kebutuhan kalsium dan fosfor untuk kuda adalah 6,3 persen dari bobot.
SIMPULAN
Selama ini dalam praktek sehari-hari kebutuhan nutrisi kuda hanya didasarkan kepada kebutuhan maintanence saja. Menurut hasil penelitian ini kebutuhan tersebut dapat dipilah menjadi kebutuhan maintanence dan produksi (kinerja). Kebutuhan maintanence terkait erat dengan bobot badan metabolik kuda, sedangkan kebutuhan produksi dapat dinyatakan sebagai fungsi dari bobot joki, jarak tempuh dan waktu tempuh. Pendugaan kebutuhan kuda akan energi KE=17,91W0.75 + 10.88P/ W0.75 dimana KE = kebutuhan energi(DE Mkal/hr) dan W adalah bobot badan kuda dan P adalah beban kerja yang merupakan perkalian dari bobot joki (kg) x jarak tempuh (km) x kecepatan(km/menit). Demikian juga dengan pendugaan kebutuhan bahan kering (KBK) = 7,989 W0.75 + 4,95P/ W0.75, protein (KP)= 1,581W0.75 + 0,971P/ W0.75, kalsium (KCa)= 0,080 W0.75 + 0,049 P/W0.75 dan fosfor (KF )= 0,043 W0.75 + 0,027 P/ W0.75 (kg ekor-1 hari-1).
DAFTAR PUSTAKA Anderson CE, GD, JL Kreider, CC Courtney.1983. Digestible energy requirements for horses. J. Anim. Sci. 56 : 91-95. Duberstein JK, Johnson ED. 2009. How to Feed a Horse: Understanding Basic Principles of Horse Nutrition. The University of Georgia and Ft. Valley State University, the U.S. Department of Agriculture and counties of the state cooperating. Firth EC. 2006. The response of bone, articular cartilage and tendon to exercise in the horse. Institute of Veterinary, Animal and Biological Sciences, Massey University, Palmerston North, New Zealand. Frape D. 2004 Equine Nutrition and Feeding. Churcill Livington Inc. New York. Freeman DW, Potter GD, Scheling GT, Kreider JL. 1988. Nitrogen metabolism in mature horses at varying of work. J. Anim. Sci. 66 : 407. Glade MJ. 1983. Nutrition and Performance of Racing Thoroughbred. Eq. Vet. J. 17 : 381-385. Hinkle DK, Potter GD, Kreider JL, Scheling DT, Anderson JG. 1981. Nitrogen balance in exercising mature horses fed varying levels of protein. P.91. in Proc. 7th. Eq. Nutr.Physiol. Soc. Simp. Warrenton, Va. exercised muscle of normal subjects by creatine supplementation. Clinical Sci. 83.
Kohnke JR, Kelleher F, Trevor-Jones P. 1999. Feeding Horses in Australia: A Guide for Horse Owners and Managers. RIRDC Publication No. 99/49, RIRDC Project No. UWS-13A. Lewis L, Febiger L. 1982. Basic Horse Nutrition. Equine Section, Department of Animal Sciences. Agriculture home Economics. 4th Development University of Kentucky . College of Agriculture. Asc-114. Lewis AJ, Bayley HS. 1995. Amino acid bioavailability. In: Bioavailability of Nutrients for Animals: Amino Acids, Minerals, and Vitamins. Ammerman, C. B., D. H. Baker, and A. J. Lewis, eds. San Diego, CA: Academic Press. Pp. 35-65. Meyer H, Coenen M. 2002. Feeding horses. Blackwell Science Publishing. Berlin-Wien, 4th Edition, p. 59. Nutrition Requirement of Horses. 1989. 5th Revised ed. National Academy Press. Washington DC. Nutrition Requirement of Horses. 2007. 6th Revised ed. National Academy Press. Washington DC. Petterson PH, Coon CN, Hughes IM. 1985. Protein requirements of mature working horses. J. Anim. Sci. 61 : 187-196. Petterson-Kane JC. 2007. Gap junction protein expression and cellularity: comparison of immature and adult equine digital tendons. Journal of Anatomy 211, 325–334. Pilliner S. 1992. Horse Nutrition and Feeding. Blackwell Science Ltd, London. Pilliner S. 1993. Getting Horses Fit. Second Edition. Blackwell Science Ltd, London. Richards, N. Hinch, G.N & Rowe, J.B. 2006. The effect of current grain feeding practices on hindgut starch fermentation and acidosis in the Australian racing Thoroughbred. Australian Veterinary Journal 84, 402-407. Williams C. 2007. Feeding Management of the Three-Day Event Horse. an associate equine specialist at Rutgers, the State University of New Jersey. Williamson, A., C.W. Rogers, and E.C. Firth. 2007. A survey of feeding, management and faecal pH of Thoroughbred racehorses in the North Island of New Zealand. N. Z. Vet. J. 55:337-341.