KARAKTERISTIK PENYAKIT ISPA DAN DBD PADA BALITA TERKAIT KONDISI TOPOGRAFI DAN IKLIM (Kasus: Kabupaten Bogor)
MUHJIDIN HERTANTO
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Muhjidin Hertanto NIM G24100038
ABSTRAK MUHJIDIN HERTANTO. Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh RINI HIDAYATI. Balita merupakan kelompok umur yang rentan terhadap penyakit terkait kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan yang berperan sebagai faktor pemicu munculnya kejadian penyakit pada balita diantaranya kondisi topografi dan kondisi iklim. Penelitian mengenai karakteristik kejadian penyakit DBD dan ISPA pada balita terkait kondisi topografi dan kondisi iklim penting untuk dilakukan sebagai pengetahuan dan langkah antisipasi dini terhadap mewabahnya kejadian penyakit tersebut. Penelitian ini dilakukan pada wilayah kajian beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor, meliputi penentuan kondisi topografi, pengkategorian kondisi iklim dan penyakit, serta analisis peluang untuk melihat karakteristik kejadian penyakit. Secara umum karakteristik kejadian penyakit ISPA cenderung tinggi pada kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi (pegunungan), sedangkan kejadian penyakit DBD cenderung rendah pada kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi. Karakteristik penyakit ISPA pada kondisi curah hujan (CH) bulanan tinggi (CHn >300 mm) dan sifat CH bulanan yang meningkat (CHn-CHn-1 > 60 mm) merupakan kondisi yang menyebabkan sering muncul kejadian ISPA pada balita. Kategori DBD berat (IR>2,525) memiliki peluang tertinggi terjadi pada dua variasi kondisi CH yaitu pada CH bulanan tinggi (CHn >300 mm) dan sifat CH bulanan yang meningkat (CHn-CHn-1 > 60 mm), atau pada kondisi CH bulanan sedang (162-300 mm) dan sifat CH bulanan yang menurun (CHn-CHn-1 < 60 mm). Kata kunci: Balita, curah hujan, DBD, ISPA, penyakit, topografi
ABSTRACT MUHJIDIN HERTANTO. Characteristics of Respiratory Infection and Dengue Fever in Children Under-Five Related to the Topography and Climate Conditions (Case: Bogor District). Supervised by RINI HIDAYATI. Children under the age of five are a group of children who are susceptible to diseases related to the environmental conditions. The cause of diseases arise from the environmental conditions, including the topography and climate conditions. Research on the characteristics of respiratory infection and dengue fever in children under-five related to the topography and climate conditions is important as an early warning to prevent disease outbreaks. The research was conducted in the study area of several sub districts in Bogor. The analysis includes of determining the topography, climatic conditions and disease categorization, and analysis of the probability. All of which were done to observe the characteristics of the disease occurrence. In general, the characteristic of respiratory infection tends to be higher in sub districts with high topography (mountains), while the characteristic of dengue fever tends to be lower. The characteristic of respiratory infection on rainfall conditions (CH), particularly on high monthly rainfall (CHn> 300 mm), also the increasing of monthly rainfall (CHn-CHn-1 > 60 mm), led to the frequent emergence of respiratory infection in children under-five. Categories of severe dengue fever (IR> 2.525) has the highest chance to occur in two conditions, i.e. the high monthly rainfall (CHn> 300 mm) and the increasing of monthly rainfall (CHn-CHn-1 > 60 mm), or on medium monthly rainfall conditions (162-300 mm) and the decreasing of monthly rainfall (CHn-CHn-1 <60 mm).
Keywords: Children under-five, dengue fever, disease, rainfall, respiratory infection, topography
KARAKTERISTIK PENYAKIT ISPA DAN DBD PADA BALITA TERKAIT KONDISI TOPOGRAFI DAN IKLIM (Kasus: Kabupaten Bogor)
MUHJIDIN HERTANTO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Judul Skripsi : Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor) Nama : Muhjidin Hertanto NIM : G24100038
Disetujui oleh
Dr Ir Rini Hidayati, MS Pembimbing I
Diketahui oleh
Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillah Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah penyakit manusia, dengan judul Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor). Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Rini Hidayati, MS selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para dosen beserta staf Departemen Geofisika dan Meteorologi atas ilmu dan bantuannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis mohon maaf untuk kekurangan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Muhjidin Hertanto
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
METODE
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur Analisis Data
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Kondisi Topografi Wilayah Kajian
4
Karakteristik Kejadian Penyakit Berdasarkan Topografi
7
Karakteristik Kejadian Penyakit Berdasarkan Kondisi Iklim
9
SIMPULAN DAN SARAN
13
Simpulan
13
Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
14
LAMPIRAN
16
RIWAYAT HIDUP
25
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Tingkatan pengkategorian IR penyakit Tingkatan pengkategorian curah hujan bulanan Tingkatan pengkategorian sifat pembeda curah hujan bulanan Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR ISPA bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan Kategori IR Penyakit ISPA dan DBD Kategori curah hujan bulanan Peluang kejadian kategori IR ISPA pada balita berdasarkan kondisi CH Peluang kejadian kategori IR DBD pada balita berdasarkan kondisi CH
3 3 3 10 10 10 11 13
DAFTAR GAMBAR 1 Peta ketinggian tempat (mdpl) kecamatan kajian wilayah Bogor 2 Rata-rata ketinggian tempat (mdpl) dari nilai terkecil ke nilai terbersar kecamatan kajian Kabupaten Bogor 3 Peta kemiringan lereng (%) kecamatan kajian Kabupaten Bogor 4 Rata-rata kemiringan lereng (%) dari nilai terkecil ke nilai terbesar kecamatan kajian Kabupaten Bogor 5 Rataan IR ISPA balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan elevasi (b) kecamatan kajian di Kabupaten Bogor 6 Rataan IR DBD balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan elevasi (b) kecamatan kajian di Kabupaten Bogor 7 Hubungan antara rataan IR DBD per kepadatan balita dengan elevasi kecamatan kajian di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 8 Pola sebaran data IR ISPA (a), IR DBD (b), CHn (d) diplotkan bersama dengan nilai peluang pengkategorian menurut sebaran teoritis pada tingkat kepercayaan 95 %
ix 5 6 6 7 8 9
10
DAFTAR LAMPIRAN 1 Diagram alir penelitian 2 Data Citra SRTM DEM 90 wilayah Bogor dan sekitarnya 3 Peta tutupan lahan citra landsat Google Earth 2013-2014 wilayah Bogor dan sekitarnya 4 Rata-rata elevasi (mdpl) wilayah yang mungkin ditempati di kecamatan kajian Kabupaten Bogor 5 Rata-rata slope (%) wilayah yang mungkin ditempati di kecamatan kajian Kabupaten Bogor 6 Nilai Koefisien Korelasi (r) dan tingkat uji nyata (p) antara rataan IR ISPA dengan kondisi topografi 7 Nilai Koefisien Korelasi (r) dan tingkat uji nyata (p) antara rataan IR DBD dengan kondisi topografi 8 Data perhitungan luas wilayah, jumlah balita, dan kepadatan balita kecamatan kajian tahun 2013
16 17 17 18 19 20 20 20
9 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR ISPA bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan 10 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR DBD bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan 11 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data curah hujan bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan 12 Rata-rata bulanan IR ISPA tahun 2004-2013 seluruh kecamatan kajian Kabupaten Bogor (Sumber: Dinkes Kabupaten Bogor) 13 Rata-rata bulanan IR DBD tahun 2004-2013 seluruh kecamatan kajian Kabupaten Bogor (Sumber: Dinkes Kabupaten Bogor) 14 Rata-rata curah hujan bulanan tahun 2004-2013 seluruh kecamatan kajian Kabupaten Bogor (Sumber: BMKG dan BPSDA) 15 Data rata-rata bulanan curah hujan, IR ISPA, IR DBD pada tiap kecamatan kajian Kabupaten Bogor tahun 2004-2013
20 21 21 22 22 23 23
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak lepas dari permasalahan kesehatan. Permasalahan kesehatan ini terutama terjadi pada balita (usia 0-4 tahun) karena sistem imunitasnya belum sekuat orang dewasa sehingga balita merupakan kelompok umur yang paling rentan terhadap penyakit (Strickman et al. 2000). Beberapa penyakit tersebut antara lain seperti ISPA dan DBD. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan penyebab kematian terbesar pada balita di Indonesia yaitu berdasarkan hasil survei mortalitas subdit ISPA pada tahun 2007 sebesar 23.8% dari seluruh kematian balita disebabkan ISPA (Kemenkes 2012). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia yang menyerang seluruh kelompok umur termasuk pada balita dengan angka kejadian yang terus meningkat setiap tahun (Kemenkes 2010). Kejadian penyakit pada balita selain disebabkan imunitas tubuhnya yang masih rentan juga didukung oleh faktor lain yang memicu penyebaran atau pertumbuhan patogen dan vektor penyakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit yaitu kondisi iklim dan topografi suatu daerah. Kondisi iklim (curah hujan) memiliki pengaruh terhadap peningkatan kejadian penyakit DBD (Chen et al. 2012; Hidayati et al. 2012) dan penyakit ISPA (Nuraeni et al. 2012; Gardinasi et al. 2012). Menurut Hasyim (2009) kondisi topografi memiliki hubungan yang bermakna pada kejadian DBD dengan korelasi negatif. Sementara kejadian ISPA memiliki korelasi positif terhadap topografi (Afandi 2012). Penelitian mengenai karakteristik kejadian penyakit DBD dan ISPA pada balita terkait kondisi topografi dan kondisi iklim penting untuk dilakukan sebagai pengetahuan dan langkah antisipasi dini mewabahnya kejadian penyakit, sehingga penelitian ini dilakukan dengan fokus kajian pada balita di Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor memiliki karaktersistik topografi yang beragam antar kecamatan dan kondisi iklim dengan curah hujan yang cenderung tinggi sepanjang tahun. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, Kabupaten Bogor termasuk iklim dengan tipe A (sangat basah) di bagian selatan dan iklim dengan tipe B (basah) di bagian utara (Pemkab Bogor 2014). Selain itu, berdasarkan data Dinkes Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 tercatat 1,502 dari 13,421 kejadian DBD terjadi pada balita atau sekitar 11%. Sementara berdasarkan data Dinkes Kota Bogor tahun 2013 tercatat 6,653 dari 6,952 kejadian ISPA terjadi pada balita atau sekitar 96%.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakteristik hubungan kejadian penyakit (ISPA dan DBD) pada balita berdasarkan kondisi topografi (ketinggian dan kelerengan) dan mengetahui karakteristik hubungan kejadian penyakit pada balita berdasarkan kondisi iklim (curah hujan).
2
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2014 sampai dengan Juni 2014 dengan wilayah kajian Kecamatan Jasinga, Cigudeg, Leuwiliang, Ciampea, Cijeruk, Cisarua, Jonggol, Cibinong, dan Cileungsi, Kabupaten Bogor. Kegiatan penelitian ini mencakup pengumpulan data, studi literatur, pengolahan data, penyusunan laporan, dan diskusi dengan dosen pembimbing. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data angka kejadian penyakit (ISPA dan DBD) bulanan pada balita (usia 0-5 tahun) Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 (Sumber: Dinkes Kabupaten Bogor). 2. Data curah hujan bulanan kecamatan kajian, di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 (Sumber: BMKG, BPSDA). 3. Data jumlah penduduk per kecamatan Kabupaten Bogor (Sumber: BPS). 4. Data citra Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) DEM 90. Data tersebut dapat diunduh secara gratis di alamat : http://www.cgiar-csi.org/data/srtm-90m-digital-elevation-database-v4-1 5. Peta tutupan lahan citra Landsat Google Earth 2013 – 2014. 6. Peta Administrasi Wilayah Provinsi Jawa Barat. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer atau laptop dengan perangkat pengolah sistem informasi geografis seperti ArcGIS 10, dan perangkat pengolah data seperti Microsoft Office 2010, MINITAB 14 dan Notepad ++. Prosedur Analisis Data Mengkategorikan Incidence Rate (IR) penyakit Tahap Pertama, menghitung nilai IR penyakit (DBD dan ISPA) berdasarkan data jumlah balita (diperoleh dengan asumsi 10% dari jumlah penduduk) dan angka kejadian penyakit pada balita di tiap kecamatan kajian yang diperoleh, kemudian dilakukan perhitungan IR bulanan yaitu dengan rumus:
Keterangan : k =100,000 balita (DBD); 1000 balita (ISPA).
3 Nilai IR ini digunakan untuk menganalisis kejadian penyakit di tiap kecamatan kajian dengan melihat angka kejadian penyakit setiap 100,000 balita untuk penyakit DBD dan angka kejadian penyakit setiap 1000 balita untuk penyakit ISPA. Tahap kedua, mengkategorikan tingkatan penyakit (ISPA dan DBD) ke dalam empat kategori berdasarkan sebaran yang paling sesuai dari nilai IR penyakit keseluruhan berdasarkan tingkat peluangnya. Pengkategorian dilakukan seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Tingkatan pengkategorian IR penyakit Kategori IR Tidak ada
Kisaran nilai IR penyakit 0
Ringan
0 < IR ≤ 0.33
Sedang Berat
0.33 < IR ≤ 0.66 IR > 0.66
Mengkategorikan data iklim (curah hujan) Tahap pertama, mengkategorikan curah hujan bulanan (CHn) ke dalam tiga kategori berdasarkan sebaran teoritis yang paling sesuai dari data curah hujan bulanan untuk seluruh kecamatan kajian. Pengkategorian dilakukan berdasarkan tingkat peluang seperti Tabel 2. Tabel 2 Tingkatan pengkategorian curah hujan bulanan Kategori CHn Rendah
Kisaran nilai CH bulanan CH ≤ 0.33
Sedang
0.33 < CH ≤ 0.66
Tinggi
CH > 0.66
Tahap kedua, mengkategorikan sifat curah hujan bulanan dikurangi curah hujan bulan sebelumnnya (CHn-CHn-1). Hasil dari pengurangan tersebut dikategorikan seperti tabel 3 berikut : Tabel 3 Tingkatan pengkategorian sifat pembeda curah hujan bulanan
Kategori CHn-CHn-1 Menurun ( -) Mirip ( 0 ) Meningkat ( + )
Nilai CHn-CHn-1 (mm) CHn-CHn-1 < -60 -60 ≤ CHn-CHn-1 ≤ 60 CHn-CHn-1 > 60
4
nilai CH 60 mm merupakan batas CH tertinggi kategori bulan kering berdasarkan klasifikasi iklim menurut Koppen yang digunakan sebagai asumsi dasar penentuan batas pengkategorian CHn-CHn-1 ini. Analisis Pengaruh Kondisi Geografi Kondisi topografi wilayah kajian diperoleh dengan metode penginderaan jauh yang menggunakan data citra satelit. Data yang digunakan untuk menduga topografi adalah data citra SRTM DEM 90. Tahap pertama, data SRTM DEM 90 tersebut diturunkan sehingga diperoleh informasi topografi (ketinggian dan kemiringan lereng) berdasarkan pengklasifikasian yang ditentukan sebelumnya sehingga diperoleh peta topografi wilayah kajian. Tahap kedua, peta topografi wilayah kajian ini di overlay dengan peta tutupan lahan citra Landsat Google Earth 2013 – 2014 untuk menentukan rata-rata topografi tiap kecamatan kajian berdasarkan pendugaan daerah yang masih mungkin ditempati penduduk. Tahap ketiga, data rata-rata keseluruhan masing-masing penyakit diplotkan dengan data rata-rata topografi (ketinggian dan kemiringan lereng) tiap kecamatan kajian kemudian dilihat hubungan dan karakteristiknya. Analisis Karakteristik Kondisi Iklim dengan IR Penyakit Analisis dilakukan dengan menentukan peluang kejadian kategori penyakit tingkat ringan, sedang, dan berat pada kategori curah hujan bulanan atau kategori CHn (rendah, sedang, tinggi) dan pada kategori pembeda sifat curah hujan bulan sebelumnya atau kategori CHn-CHn-1 (menurun, mirip, meningkat). Karakteristik kejadian penyakit dilihat dari peluang kejadian tertinggi pada kondisi curah hujan bulanan saja dan juga dengan kombinasi yang melihat sifat pembeda curah hujan bulan sebelumnya (kategori CHn-CHn-1).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Topografi Wilayah Kajian Ketinggian (Elevasi) Kecamatan Kajian Ketinggian (elevasi) kecamatan kajian ditentukan berdasarkan interval yang dibagi ke dalam 6 kelas sesuai yang dilakukan oleh Pemkab Bogor (2014) yaitu 15-100 mdpl, 100-500 mdpl, 500-1000 mdpl, 1000-2000 mdpl, 2000-2500 mdpl, dan >2500 mdpl seperti ditunjukan pada Gambar 1. Berdasarkan hasil pemetaan elevasi terlihat bahwa Kecamatan Cisarua memilliki ketinggian tempat tertinggi dibandingkan kecamatan lain. Setelah dilakukan perhitungan rata-rata ketinggian tiap kecamatan berdasarkan pendugaan daerah yang masih mungkin ditempati penduduk, Kecamatan Cisarua tetap menunjukan ketinggian tempat yang tertinggi dengan rata-rata 1126 mdpl, sedangkan Kecamatan Cileungsi memiliki ketinggian tempat terendah dengan rata-rata 150 mdpl seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
5
Gambar 1 Peta ketinggian tempat (mdpl) kecamatan kajian wilayah Bogor
Gambar 2 Rata-rata ketinggian tempat (mdpl) dari nilai terkecil ke nilai terbersar kecamatan kajian Kabupaten Bogor Kemiringan Lereng (Slope) Kecamatan Kajian Kemiringan lereng (slope) kecamatan kajian ditentukan berdasarkan interval yang dibagi ke dalam 5 kelas sesui ketentuan Kemenhut yaitu 0-8%, 815%, 15-25%, 25-40%, dan >40% seperti ditunjukan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil pemetaan slope terlihat bahwa Kecamatan Cisarua memiliki kemiringan lereng yang paling curam, sedangkan yang paling landai adalah Kecamatan Ciampea dan Cibinong. Namun setelah dilakukan perhitungan rata-rata slope tiap kecamatan kajian berdasarkan pendugaan daerah yang masih mungkin ditempati
6
penduduk, Kecamatan Cijeruk memiliki rata-rata kemiringan lereng yang paling curam yaitu sebesar 9.7 % lebih dari Cisarua (9.3%) (Gambar 4). Kecamatan Cisarua berada pada lereng Gunung Gede Pangrango yang memiliki slope tercuram (Gambar 3), tapi sebagian besar wilayah yang masih mungkin ditempati penduduk tidak berada pada wilayah dengan slope curam tersebut sehingga ratarata slope-nya tidak lebih curam dari pada Kecamatan Cijeruk (Gambar 4).
Gambar 3 Peta kemiringan lereng (%) kecamatan kajian Kabupaten Bogor
Gambar 4 Rata-rata kemiringan lereng (%) dari nilai terkecil ke nilai terbesar kecamatan kajian Kabupaten Bogor
7 Karakteristik Kejadian Penyakit Berdasarkan Topografi Penyakit ISPA dan Kondisi Topografi Kejadian ISPA pada balita menurut topografi memperlihatkan kencenderungan hubungan positif walaupun tidak semua kecamatan menunjukan sifat yang sama (Gambar 5). Secara umum karakteristik penyakit ISPA cenderung tinggi pada kecematan kajian dengan kondisi topografi tinggi atau daerah pegunungan berbukit. Tempat yang tinggi dan kemiringan lereng yang curam merupakan daerah yang sinar matahari langsung cenderung lebih singkat waktunya untuk masuk ke dalam rumah dibandingkan pada daerah dengan topografi rendah atau lebih datar. Menurut Afandi (2012) salah satu kebiasaan penduduk di daerah pegunungan yaitu jarang membuka jendela rumah pada pagi hari sehingga sinar matahari pagi sangat terbatas untuk bisa langsung masuk ke dalam rumah. Penyinaran matahari secara langsung memiliki aktivitas bakterisida dan memiliki peranan penting sebagai desinfektan terutama dari sinar ultravioletnya (panjang gelombang optimum untuk bakterisida sekitar 260 nm) sehingga dapat mematikan patogen penyakit (Kusnadi et al. 2003). Kondisi rumah yang jarang terkena sinar matahari langsung ini beresiko menyebabkan kejadian ISPA pada balita karena patogen penyebab ISPA berkembang dengan baik pada kondisi lembab tersebut (Hasan 2012). Selain itu kebanyakan balita mudah menderita alergi dingin yang kemudian menyebabkan imunitas tubuhnya berkurang sehingga pada keadaan dingin tersebut balita mudah terkena infeksi saluran pernafasan. Menurut Gardinasi et al. (2012) suhu udara yang semakin menurun (dingin) menyebabkan infeksi virus penyebab ISPA meningkat. Faktor selain topografi yang berpengaruh terhadap penyakit ISPA sehingga menyebabkan pengaruh topografi pada angka kejadian penyakit ISPA pada penelitian ini tidak konsisten di antanya yaitu kondisi iklim (Ayres et al. 2009), lingkungan fisik rumah (Afandi 2012), status gizi balita (Ramdani 2011), polusi udara (Sanchez et al. 2006; Ayres et al. 2009), pengetahuan dalam pengasuhan balita atau tingkat pendidikan keluarga (Endah et al. 2009), dan keberadaan keluarga perokok (Rachmawati 2013). 6.00
4.00
3.24 3.08
2.80
3.00
2.63
2.22 1.43 1.53 0.69
1.00
Rataan IR ISPA
Rataan IR ISPA
5.00
2.00
6.00
5.36
5.36
5.00 4.00
2.00 1.00
3.24
2.80
3.00
2.22 1.53
3.08
2.63
1.43 0.69
0.00
0.00
Kecamata Kajian dalam Kemiringan (%)
(a)
Kecamata Kajian dalam Ketinggian (mdpl)
(b)
Gambar 5 Rataan IR ISPA balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan elevasi (b) kecamatan kajian di Kabupaten Bogor
8
Penyakit DBD dan Kondisi Topografi Hasil analisis plot data kejadian DBD pada balita terhadap topografi memperlihatkan adanya kencenderungan hubungan negatif walaupun tidak semua kecamatan menunjukan sifat yang sama (Gambar 6). Berdasarkan uji statistik seperti ditunjukkan pada Lampiran 7 diperoleh hasil bahwa IR DBD berkorelasi linear negatif dengan kondisi topografi tetapi tidak ada pengaruh nyata (p-value > 0.05), namun secara umum karakteristik penyakit DBD cenderung rendah pada kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi atau daerah pegunungan berbukit. Nilai IR DBD pada balita terendah yaitu 0.09 kejadian per 100,000 balita terjadi di Kecamatan Cisarua yang merupakan daerah tertinggi dibanding kecamatan kajian lainya dengan ketinggian rata-rata 1126 mdpl pada selang ketinggian 500-2000 mdpl. Semakin tinggi tempat maka suhu semakin rendah, kondisi ini menyebabkan perkembangan nyamuk Aedes aegypti semakin lambat sehingga penularan virus Dengue semakin kecil. Menurut Hidayati et al. (2012) pada tempat dengan elevasi lebih dari 1150 mdpl peluang nyamuk menularkan virus sangat kecil dan pada tempat dengan elevasi lebih dari 1400 mdpl nyamuk tidak berkembang biak. 14.00
14.00
12.10 Rataan IR DBD
Rataan IR DBD
12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00
5.48 2.33
2.16 0.61 0.83 0.50
0.09
1.05
12.10
12.00 10.00 8.00 6.00
5.48
4.00 2.00
2.33
2.16 0.61 0.83
0.50
1.05
0.09
0.00
0.00
Kecamata Kajian dalam Kemiringan (%)
(a)
Kecamata Kajian dalam Ketinggian (mdpl)
(b)
Gambar 6 Rataan IR DBD balita tahun 2004-2013 berdasarkan slope (a) dan elevasi (b) kecamatan kajian di Kabupaten Bogor Nilai IR DBD pada balita di Kecamatan Cibinong menunjukkan nilai pencilan tertinggi (12.10 kejadian per 100,000 balita) dibandingkan kecamatan kajian lainya walaupun tidak berada pada daerah bertopografi (elevasi) paling rendah. Hal ini disebabkan karena Kecamatan Cibinong merupakan kecamatan yang memiliki kepadatan balita tertinggi dibandingkan kecamatan kajian lain yaitu 777 balita per Km2 (Lampiran 8). Penduduk yang padat menjadikan jarak antar orang termasuk balita lebih dekat sehingga kemampuan nyamuk untuk menularkan virus DBD lebih besar pada lebih banyak orang (Hidayati et al. 2008; Devriany 2012). Berdasarkan uji statistik IR DBD berkorelasi linear positif (r=0.892) dengan kepadatan balita dan berpengaruh nyata (p-value=0.001). Selain itu faktor lain yang menyebabkan pengaruh topografi pada penyakit DBD tidak konsisten diantanya yaitu kondisi curah hujan dan suhu (Hidayati et.al. 2012), jenis kelamin (Dardjito et al. 2008), kondisi lingkungan perumahan (Mahadev et al. 2003), dan tingkat kekebalan (Barbazan et al. 2002).
9 Berdasarkan hasil penelitian ini kepadatan penduduk masih dominan pengaruhnya tehadap kejadian DBD dari pada ketinggian tempat sehingga untuk memperkecil dominansi kepadatan penduduk, angka kejadian penyakit dirumuskan kembali menjadi IR dibagi dengan kepadatan penduduk. Setelah itu dianalisis kembali hubungan antara IR per kepadatan penduduk dengan ketinggian tempat sehingga diperoleh tren seperti pada Gambar 7 yang menunjukkan bahwa pengaruh ketinggian tempat lebih nyata (R-square = 0.53) terhadap kejadian penyakit atau dapat juga dikatakan bahwa keragaman nilai IR DBD per kepadatan balita dapat dijelaskan sebesar 53 persen dari ketinggian tempat wilayah kajian.
IR DBD/kepadatan balita
0.0300 0.0250 0.0200 0.0150 0.0100
y = 0.023e-0.003x R² = 0.5289
0.0050 0.0000 0
200
400
600
800
1000
1200
Ketinggian (mdpl)
Gambar 7 Hubungan antara rataan IR DBD per kepadatan balita dengan elevasi kecamatan kajian di Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 Karakteristik Kejadian Penyakit Berdasarkan Kondisi Iklim Kategori IR Penyakit dan CH Bulanan Kategori IR penyakit ditentukan berdasarkan bentuk sebaran teoritis yang paling sesuai dan nilai peluang pengkategorian karena belum ada kategori tingkatan IR penyakit (ISPA dan DBD) pada balita yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan atau lembaga lain. Penentuan kategori curah hujan bulanan (CHn) juga demikian karena apabila dikategorikan berdasarkan kategori CH bulanan yang sudah ada sebagai contoh klasifikasi iklim Oldeman dan Mohr, karakteristik curah hujan di Bogor hanya cenderung pada kategori bulan basah saja sepanjang tahun, atau sangat sedikit kategori bulan keringnya. Bentuk sebaran teoritis yang paling sesuai untuk kategori IR penyakit (ISPA dan DBD) dan kategori CH bulanan ditunjukan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil analisis peluang teoritis, bentuk sebaran yang dipilih dilakukan berdasarkan nilai AD terkecil dan keberimpitan plot pada tingkat peluang antara kurang dari 5% hingga lebih dari 99%. Penentuan nilai selang kategori ditentukan dari tingkat peluang 33% dan 66% (Gambar 6). Hasil kategori IR penyakit (DBD dan ISPA) ditunjukkan pada Tabel 5, dan kategori CHn ditunjukkan Tabel 6.
10
Tabel 4 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR ISPA bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan Kategori
Sebaran
CHn
N
3-Parameter Weibull - 95% CI
IR ISPA
1076
3-Parameter Lognormal - 95% CI
IR DBD
1013
3-Parameter Lognormal - 95% CI
(a)
204
Parameter Shape 1,607 Scale 286,4 Thresh -3.373 Loc 0,5105 Scale 1,008 Thresh -0.056 Loc 1,883 Scale 0,9940 Thresh 2,070
(b)
AD
P-Value
1,373
<0,005
0,762
*
1,113
*
(c)
Gambar 8 Pola sebaran data IR ISPA (a), IR DBD (b), CHn (d) diplotkan bersama dengan nilai peluang pengkategorian menurut sebaran teoritis pada tingkat kepercayaan 95 %
Tabel 5 Kategori IR Penyakit ISPA dan DBD Kategori Penyakit Tidak ada Ringan Sedang Berat
IR ISPA 0 0 – 1.07 1.07 – 2.53 > 2.53
IR DBD 0 0 – 4.25 4.25 – 9.91 > 9.91
Tabel 6 Kategori curah hujan bulanan Kategori CHn Rendah Sedang Tinggi
Nilai CHn (mm) ≤ 162 162 - 300 > 300
11 Peluang Kejadian ISPA Berdasarkan Kondisi CH Karakteristik hubungan antara kejadian penyakit ISPA dengan kondisi CH dianalisis dengan cara menghitung frekuensi kejadian kategori IR ISPA pada balita berdasarkan kombinasi kondisi variasi CH kategori curah hujan bulanan (CHn) dan sifat curah hujan bulan sebelumnya (CHn-CHn-1) seperti ditunjukkan pada Tabel 7 dengan nilai peluang yang digaris bawahi. Karaketristik kejadian ISPA memiliki sifat yang hampir sama pada kategori ringan (IR = 0-1.07), sedang (IR=1.07-2.53), dan berat (IR>2.53) yaitu memilki peluang kejadian tertinggi pada kondisi CH bulanan tinggi (CHn > 300 mm) dan sifat CH bulanan yang meningkat dari CH bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 > 60 mm). Kondisi CH tersebut mengindikasikan bahwa terjadi pada bulan puncak musim hujan sehingga suhu udaranya cenderung dingin dan kelembabannya tinggi. Kondisi suhu udara yang dingin dan lembab mengandung kadar uap air dan tekanan udara yang tinggi sehingga kinerja membran pernapasan termasuk membran mokusa lebih berat dalam menyaring udara dan lama-kelamaan kinerjanya akan melemah (Guyton dan Hall 2007). Kinerja membran mukosa yang melemah ini dapat mempermudah terjadinya infeksi pada saluran pernapasan karena peran membran mukosa yaitu mensekresikan lapisan mukus yang berfungsi menahan dan melindungi saluran pernapasan dari agen infeksi seperti virus, bakteri, dan jamur (Muluk 2009). Pada kategori tidak ada kejadian ISPA (IR=0) peluang kejadian tertinggi pada kondisi CH bulanan rendah (CHn ≤ 162) dan CH bulanannya menurun dari CH bulan sebelumnya (CHn-CHn-1<60mm). Kondisi CH tersebut mengindikasikan bahwa terjadi pada bulan-bulan musim kemarau dengan suhu udara lebih tinggi dan udaranya tidak terlalu lembab. Karakteristik kejadian ISPA apabila hanya melihat kondisi CH bulanan saja tanpa memperhatikan pengaruh sifat curah hujan bulan sebelumnya ditunjukan pada Tabel 7 dengan nilai peluang yang ditulis tebal (Bold). Peluang kejadian tertinggi pada kategori IR ISPA berat dan sedang terjadi pada kondisi CH yang sama yaitu pada kondisi curah hujan bulanan tinggi (CHn > 300 mm), sedangkan peluang kejadian tertinggi pada kategori IR ISPA ringan dan tidak ada juga sama, yaitu pada kondisi curah hujan bulanan rendah (CHn ≤ 162). Hasil penelitian Gardinasi et al. (2012) di Brazil menunjukkan bahwa ketika suhu udara mulai menurun (musim hujan), infeksi virus penyebab penyakit ISPA cenderung meningkat dan kondisi sebaliknya di musim panas. Pada kondisi CH bulanan tinggi atau musim hujan, sinar matahari lebih sering tertutupi awan sehingga patogen penyebab ISPA akan lebih banyak berkembang pada kondisi jarang terkena sinar matahari langsung tersebut. Berdasarkan hasil plot rataan IR bulanan pada seluruh kecamatan kajian menunjukkan bahwa kejadian IR ISPA tertinggi terjadi pada bulan maret yang merupakan bulan pada musim hujan (Lampiran 13). Tabel 7 Peluang kejadian kategori IR ISPA pada balita berdasarkan kondisi CH Kategori IR ISPA Berat (IR>2.53)
CHn Rendah Sedang Tinggi Total
*
16 13 8 37
CHn-CH(n-1) 0* 14 10 9 31
+* 2 8 22 32
Total 32 30 38 100
12
Sedang (IR=1.07-2.53)
Ringan (IR = 0-1.07)
Tidak ada (IR = 0)
Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total
16 9 6 30 16 10 5 31 23 17 7 47
14 12 10 36 17 9 6 32 12 13 7 31
2 10 22 34 4 12 21 37 5 7 10 22
33 30 37 100 37 31 33 100 40 37 23 100
*
Kondisi CH bulanan yang menurun (-); CH bulanan yang mirip (0); CH bulanan yang meningkat (+) dari CH bulan sebelumnya.
Peluang Kejadian DBD Berdasarkan Kondisi CH Karakteristik kejadian penyakit DBD terhadap kondisi curah hujan dianalisis dengan cara menghitung frekuensi kejadian kategori IR DBD berdasarkan kondisi variasi CH bulanan (CHn) dan dikombinasikan dengan sifat CH bulan sebelumnya (CHn-CHn-1) seperti ditunjukkan pada Tabel 8 dengan nilai peluang yang digaris bawahi. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa kombinasi kondisi CH berpengaruh terhadap penyakit DBD, selain kondisi CH bulanan, CH bulan sebelumnya juga berpotensi menyediakan tempat perindukan dan mempengaruhi perkembangan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit DBD. Berdasarkan hasil terlihat bahwa kategori IR DBD berat (IR> 9.91) memiliki peluang tertinggi terjadi pada kondisi CH bulanan tinggi (>300mm) dan sifat CH bulanan yang meningkat dari bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 > 60 mm). Kondisi CH bulanan yang tinggi membuat aktifitas balita menurun dan daya tahan tubuh berkurang, sehingga mudah tertular penyakit DBD. Peluang tertinggi pada kategori IR DBD berat juga terjadi pada kondisi CH bulanan sedang (162-300 mm) dan sifat CH bulanan yang menurun atau CH bulan sebelumnya lebih tinggi (CHn-CHn-1 < 60 mm). Menurut Chen et al.(2012) kejadian penyakit menular termasuk DBD meningkat drastis 28-70 hari setelah peristiwa curah hujan ekstrim. Hidayati et al (2012) dalam penelitiannya di Kota Bogor, Indramayu, Padang, dan Jakarta, mendapatkan bahwa IR DBD akan mencapai angka tertinggi jika CH mingguan ke 6 dan 5 rendah sedangkan minggu ke 7, 4, 3, dan 2 sebelum kejadian tinggi. Jadi kejadian IR DBD kategori berat dapat terjadi dapat terjadi pada dua kombinasi kondisi yaitu pada CH bulanan tinggi dengan CH bulan sebelumnya lebih rendah dan pada CH bulanan sedang dengan CH sebelumnya lebih tinggi. Hasil analisis kategori kejadian DBD apabila hanya dilihat berdasarkan kondisi CH bulanan saja tanpa memperhatikan pengaruh sifat CH bulan sebelumnya ditunjukan pada Tabel 8 dengan nilai peluang yang ditulis tebal (Bold). Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi CH tinggi (> 300 mm) dapat menyebabkan kategori IR DBD berat dan kategori tidak ada kejadian. Hal ini disebabkan karena pada CH tinggi banyak terdapat genangan yang mungkin menjadi tepat berkembang biak terbaik vektor DBD, namun pada CH yang terlalu tinggi juga dapat merusak tempat perindukan nyamuk, sehingga
13 perlu diketahui batas atas CH tinggi yang berpengaruh positif pada kejadian DBD. Menurut Chen et al.(2012) kejadian peristiwa hujan deras (201-350 mm) merupakan penyebab dari lonjakan kasus penyakit menular termasuk DBD, sedangkan pada curah hujan >350 mm kemungkinan dapat menghancurkan habitat vektor DBD. Tabel 8 Peluang kejadian kategori IR DBD pada balita berdasarkan kondisi CH Kategori IR DBD Berat (IR> 9.91)
Sedang (IR= 4.25-9.91)
Ringan (IR= 0 – 4.25)
Tidak ada (IR= 0)
CHn Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total
*
11 21 11 43 18 14 4 36 15 15 3 33 17 9 6 32
CHn-CH(n-1) 0* 7 15 11 33 14 10 13 37 21 6 3 30 15 10 7 33
+* 0 3 21 24 2 10 14 27 6 12 18 36 3 11 22 35
Total 18 40 43 100 35 34 31 100 42 33 24 100 35 30 35 100
*
Kondisi CH bulanan yang menurun (-); CH bulanan yang mirip (0); CH bulanan yang meningkat (+) dari CH bulan sebelumnya.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakteristik kejadian penyakit ISPA dan DBD pada balita terhadap kondisi topografi menunjukkan sifat yang berkebalikan. Secara umum karakteristik kejadian penyakit ISPA cenderung tinggi pada kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi, sedangkan kejadian penyakit DBD cenderung rendah pada kecamatan kajian dengan kondisi topografi tinggi. Kejadian penyakit ISPA pada balita sering muncul pada semua tingkatan terjadi pada kombinasi kondisi curah hujan (CH) bulanan tinggi (CHn >300 mm) dan sifat CH bulanan yang meningkat dari bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 > 60 mm), namun untuk kategori IR ISPA berat (IR>2.53) apabila dilihat dari kondisi CH bulanan saja paling sering muncul pada kondisi CH bulanan tinggi. Kejadian penyakit DBD kategori berat (IR> 9.91), jika dilihat dari kondisi CH bulanan saja paling sering muncul juga pada kondisi CH bulanan tinggi, dan
14
apabila dilihat dari kombinasi kondisi CH, peluang tertinggi terjadi pada dua kombinasi yaitu pada CH bulanan tinggi dan sifat CH bulanan yang meningkat dari bulan sebelumnya, atau pada kondisi CH bulanan sedang (162-300 mm) dan sifat CH bulanan yang menurun dari bulan sebelumnya (CHn-CHn-1 < 60 mm). Saran Perlu penelitian lanjutan untuk mengetahui batas atas atau ambang batas curah hujan kategori tinggi (CHn >300 mm) yang berpengaruh positif pada kejadian DBD, karena dalam penelitian ini kejadian DBD kategori berat dan tidak ada kejadian sama-sama didapatkan pada kondisi curah hujan bulanan kategori tinggi. Selain itu analisis kejadian penyakit terkait kondisi iklim sebaiknya menggunakan data periode mingguan atau lebih pendek dari bulanan.
DAFTAR PUSTAKA Afandi AI. 2012. Hubungan lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA pada anak balita di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Ayres JG, Forsberg B, Maesano IA, Dey R, Ebi KL, Helms PJ, Ramo´n MM, Wind M, Forastiere F. 2009. Climate change and respiratory disease: European Respiratory Society position statement. Eur Respir J. 34: 295–302. doi: 10.1183/09031936.00003409. Barbazan P,Yoksan S, Gozalez JP. 2002. Dengue hemorrhagic fever epidemiology in Thailand: description and forecasting of epidemics. ELSEVIER. 4: 699-705. Chen MJ, Lin CY, Wu YT, Wu PC, Lung SC. 2012. Effects of extreme precipitation to the distribution of infectious diseases in Taiwan, 1994–2008. PLoS ONE 7(6): e34651. doi:10.1371/journal.pone.0034651. Dardjito E, Yuniarno S, Wibowo C, Sapresetya A, Dwiyanti H. 2008. Beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap ke jadian penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Banyumas. Media Litbang Kesehatan. 18(3) : 126-136. Devriany A. 2012. Analisis eko-epidemiologi status endemisitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011. J Masyarakat Epidemiologi. 1(1): 1-22. Endah N, Daroham, Mutiatikum. 2009. Penyakit ISPA hasil RISKESDAS di Indonesia. Bul Penelit Kes Supplement. 1 :50-55. Gardinassi LG, Simas PVM, Salomão JB, Durigon EL, Maria D, Trevisan Z, Cordeiro JA, Lacerda MN, Rahal P, de Souza FP. 2012. Seasonality of viral respiratory infections in southeast of brazil: the influence of temperature and air humidity. Braz J Microbiol. :98-108. Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran. Irawati, penerjemah; Rachman LY, editor. Jakarta (ID): Penerbit EGC. Terjemahan dari: Textbook of medical physiology. Ed ke-11.
15 Hasan NA. 2012. Kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja UPTD kesehatan luwuk timur, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012 [skripsi]. Depok(ID): Universitas Indonesia. Hasyim H. 2009. Analisis spasial Demam Berdarah Dengue di Provinsi Sumatera Selatan. J Pembangunan Manusia. 9(3): 1-11. Hidayati R, Boer R, Koesmaryono Y, Kesumawati U, Manuwoto S. 2008. Sebaran daerah rentan penyakit DBD menurut keadaan iklim maupun non iklim (distribution of vulnerable region of dengue fever disease based on climate and non-climate condition). JAgromet. XXII (1) : 61-9. Hidayati R, Boer R, Koesmaryono Y, Kesumawati U, Manuwoto S. 2012. Dengue early warning model using development stages of mosquito and climate information. BIOTROPIA. 19(1):30-41. [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Demam berdarah dengue. Buletin Jendela Epidemiologi. 2 : 45-56. [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta (ID): Kemenkes RI Pr. Kusnadi, Peristiwati, Syulasmi A, Purwianingsih W, Rochintaniawati D. 2003. Microbologi. Bandung (ID): UPI Pr. Mahadev PVM, Fulmali PV, Mishra AC. 2003. A preliminary study of multilevel geographic distribution & prevalence of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in the state of Goa, India. J Med Res. 120 : 173-182. Muluk A. 2009. Pertahanan saluran nafas. Majalah Kedokteran Ind. 42(1) : 55-58. Nirwana T, Raksanagara A, Afriandi I. 2012. Pengaruh curah hujan, temperatur, dan kelembaban terhadap kejadia penyakit DBD, ISPA, dan diare: Suatu kajian literatur. Bandung (ID): Unpad Pr. Nuraeni S, Utomo DS, Putro US. 2012. Model berbasis agen bagi penyebaran penyakit ISPA pada musim hujan di Bandung Selatan. J Manajemen Teknologi. 11(1): 96-115. [Pemkab Bogor] Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor Tahun 2013-2018. Bogor (ID) : Pemkab Bogor Pr. Rachmawati DA. 2013. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita umur 12 - 48 bulan di wilayah kerja Puskesmas Mijen Kota Semarang. JKM. 2(1):1-10. Ramdani FB. 2011. Asupan energi, zat gizi dan status gizi pada balita ISPA dan tidak ISPA di Kecamatan Cipatat Kab. Bandung Barat [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Sanchez R, Pena M, Guadalupe G, Concepcion G, Gutierrez A, Gudinz U. 2006. The influence of air pollutants on the acute respiratory diseases in children in the urban area of Guadalajara. Meksiko (MX): UG Pr. Strickman D, Ratan S, Kittayapong P, Innis BL. 2000. Distribution of dengue and Japanese encephalitis among children in rural and suburban Thai Villages. J Trop Med Hyg. 63(1, 2): 27–35.
16
LAMPIRAN Lampiran 1 Diagram alir penelitian
Mulai
Pencarian data
Data iklim
Data kejadian penyakit
Data jumlah penduduk
Kategori CH bulanan (CHn)
Data SRTM DEM 90
Kemiringan
Ketinggian Citra Google Earth
Incidence Rate (IR)
Kategori CHn-CH(n-1)
Rataan ketinggian
Rataan kemiringan
Kategori IR Analisis hubungan Analisis peluang
Karakteristik IR berdasarkan kondisi iklim
Karakteristik IR berdasarkan kondisi topografi
Selesai
17 Lampiran 2 Data Citra SRTM DEM 90 wilayah Bogor dan sekitarnya
Lampiran 3 Peta tutupan lahan citra landsat Google Earth 2013-2014 wilayah Bogor dan sekitarnya
18
Lampiran 4
Rata-rata elevasi (mdpl) wilayah yang mungkin ditempati di kecamatan kajian Kabupaten Bogor
No Kecamatan
Rentang elvasi (mdpl)
Rataan rentang elevasi(mdpl)
15-100 100-500
1 Cileungsi
Luas (Ha)
57.5 300
4875 3104 7979 6092 6042 12133 4686 8439 246 13371 13 4559 4571 3240 3240 1912 12255 2826 16993 7736 4457 13892 2482 5575 21949 2161 2178 26288
Total 15-100 100-500
2 Cileungsi
57.5 300 Total
15-100 100-500 500-1000
3 Jonggol
57.5 300 750 Total
15-100 100-500
4 Cibinong
57.5 300 Total
100-300
5 Ciampea
300 Total
15-100 100-500 500-1000
6 Cigudeg
57.5 300 750 Total
7 Leuwiliang
100-500 500-1000
300 750 Total
100-500 500-1000
8 Cijeruk
300 750 Total
500-1000 1000-2000
9 Cisarua
Rataan elevasi (mdpl)
750 1500 Total
150
177
222
299
300
347
464
611
1126
Contoh perhitungan rataaan elevasi (mdpl) Kecamatan Cigudeg: (
(
))
(
(
))
(
(
))
19 Lampiran 5 Rata-rata slope (%) wilayah yang mungkin ditempati di kecamatan kajian Kabupaten Bogor No
Kecamatan
1
Cileungsi
2
Cibinong
3
Ciampea
4
5
6
Rentang slope (%) 0-8% 0-8% 0-8%
Jasinga
0-8% 8-15%
Jonggol
0-8% 8-15% 0-8% 8-15% 15-25% 25-40%
Cigudeg
7
0-8% 8-15% 15-25%
Leuwiliang
8
0-8% 8-15% 15-25%
Cisarua
9
0-8% 8-15% 15-25% 25-40%
Cijeruk
Rataan rentang slope (%) 4 Total 4 Total 4 Total 4 11.5 Total 4 11.5 Total 4 11.5 20 32.5 Total 4 11.5 20 Total 4 11.5 20 Total 4 11.5 20 32.5 Total
Luas (Ha) 7979 7979 4572 4572 3312 3312 11540 190 11730 11750 1622 13372 11320 3941 1387 341 16989 6341 4379 2012 12732 2609 2169 841 5619 4771 2484 852 594 8701
Rataan slope (%) 4 4 4 4.1
4.9
7.6
9.1
9.3
9.7
Contoh perhitungan rataaan slope (%) Kecamatan Cijeruk: (
(
))
(
(
))
(
(
))
(
(
))
20
Lampiran 6 Nilai Koefisien Korelasi (r) dan tingkat uji nyata (p) antara rataan IR ISPA dengan kondisi topografi r 0.751 0.515
Kondisi Topografi Kemiringan Ketinggian
p 0.020 0.156
Lampiran 7 Nilai Koefisien Korelasi (r) dan tingkat uji nyata (p) antara rataan IR DBD dengan kondisi topografi r -0.468 -0.315
Kondisi Topografi Kemiringan Ketinggian
p 0.204 0.410
Lampiran 8 Data perhitungan luas wilayah, jumlah balita, dan kepadatan balita kecamatan kajian tahun 2013 Kecamatan Ciampea Cibinong Cisarua Cileungsi Cijeruk Jasinga Leuwiliang Jonggol Cigudeg
Luas (Km2) 33.1 45.9 69.4 79.9 95.6 121.6 128.1 133.8 169.9
Jumlah balita 15269 35645 11737 27467 8220 9527 11724 13003 12119
Kepadatan Balita 461 777 169 344 86 78 92 97 71
Lampiran 9 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR ISPA bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan Sebaran
N
Lognormal - 95% CI
1013
Normal - 95% CI
1013
3-Parameter Lognormal - 95% CI 1013
3-Parameter Weibull - 95% CI
1013
3-Parameter Gamma - 95% CI
1013
Parameter Loc 0,4497 Scale 1,074 Mean 2,674 StDev 3,434 Loc 0,5105 Scale 1,008 Thresh -0.05588 Shape 0,9272 Scale 2,505 Thresh 0,0693 Shape 0,9412 Scale 2,768 Thresh 0,0698
AD
P-Value
1,866
<0,005
89,877
<0,005
0,762
*
4,470
<0,005
4,544
*
21
Lampiran 10 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR DBD bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan Sebaran
N
Lognormal - 95% CI
204
Normal - 95% CI
204
3-Parameter Lognormal - 95% CI
204
3-Parameter Weibull - 95% CI
204
3-Parameter Gamma - 95% CI
204
Parameter Loc 2,245 Scale 0,7253 Mean 12,74 StDev 12,74 Loc 1,883 Scale 0,9940 Thresh 2,070 Shape 0,8714 Scale 9,278 Thresh 2,777 Shape 0,8158 Scale 12,22 Thresh 2,777
AD
P-Value
1,718
<0,005
20,101
<0,005
1,113
*
2,622
<0,005
2,700
*
Lampiran 11 Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data curah hujan bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan Sebaran
N
Lognormal - 95% CI
1073
Normal - 95% CI
1074
3-Parameter Lognormal - 95% CI
1075
3-Parameter Weibull - 95% CI
1076
3-Parameter Gamma - 95% CI
1077
Parameter Loc 5,260 Scale 0,8745 Mean 254,1 StDev 161,2 Loc 5,961 Scale 0,3883 Thresh -163 Shape 1,607 Scale 286,4 Thresh -3.373 Shape 2,598 Scale 106,3 Thresh -22.02
AD
P-Value
23,202
<0,005
9,175
<0,005
2,915
*
1,373
<0,005
3,024
*
22
Lampiran 12 Rata-rata bulanan IR ISPA tahun 2004-2013 seluruh kecamatan kajian Kabupaten Bogor (Sumber: Dinkes Kabupaten Bogor) 3.50
Rataan IR ISPA
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
Jan Feb Mar Apr Mai Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Rataan IR 2.48 3.06 3.27 2.86 3.09 2.42 2.55 2.68 2.38 2.32 1.97 2.07
Lampiran 13 Rata-rata bulanan IR DBD tahun 2004-2013 seluruh kecamatan kajian Kabupaten Bogor (Sumber: Dinkes Kabupaten Bogor) 8.00
Rataan IR DBD
7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
Jan Feb Mar Apr Mai Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Rataan IR 6.31 5.82 7.21 2.32 2.08 2.54 2.38 0.85 0.21 1.08 1.82 2.91
23 Lampiran 14 Rata-rata curah hujan bulanan tahun 2004-2013 seluruh kecamatan kajian Kabupaten Bogor (Sumber: BMKG dan BPSDA)
Rataan CH bulanan (mm)
400.00 350.00 300.00 250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00
Jan Feb Mar Apr Mai Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Rataan CH 357.8 358.7 287.5 277.4 227.3 161.5 133.0 125.9 186.6 260.4 327.3 324.6
Lampiran 15 Data rata-rata bulanan curah hujan, IR ISPA, IR DBD pada tiap kecamatan kajian Kabupaten Bogor tahun 2004-2013 Bulan Kecamatan
CHn
Cigudeg Jasinga Ciampea Cijeruk Leuwiliang Cisarua Cibinong Cileungsi Jonggol
280.2 355.3 336.4 321.6 314.9 584.1 308.9 433.0 286.6
Bulan Kecamatan
CHn
Cigudeg Jasinga Ciampea Cijeruk Leuwiliang Cisarua Cibinong
244.5 255.3 301.7 330.8 294.0 288.9 314.5
Januari IR ISPA 2.0 2.6 2.6 6.8 1.7 3.2 1.7 1.3 0.4
IR DBD 0.8 1.0 3.9 0.0 1.9 0.0 33.2 14.1 1.7
April IR ISPA 3.4 2.7 2.7 5.9 3.4 3.3 1.5
IR DBD 0.8 0.0 0.0 0.0 2.7 0.0 10.6
CHn 236.9 270.2 369.4 364.4 315.9 579.3 365.0 434.4 293.3
CHn 176.7 174.7 317.0 238.6 296.1 286.5 273.5
Februari IR IR ISPA DBD 2.3 0.9 3.0 0.0 3.0 4.4 7.9 3.2 3.1 7.2 3.7 1.1 1.9 25.4 1.9 9.2 0.9 1.1 Mei IR ISPA 2.2 2.5 2.5 5.4 8.2 3.1 1.6
IR DBD 0.0 1.1 0.0 1.3 4.9 0.0 7.3
CHn 197.2 224.9 280.5 336.2 247.0 430.2 375.5 298.3 198.4
CHn 156.7 182.9 212.9 136.2 187.4 147.3 184.4
Maret IR ISPA 3.6 3.5 3.5 7.7 3.2 3.1 2.1 1.8 1.0
IR DBD 0.9 2.1 7.7 8.1 4.0 0.0 23.8 17.2 1.1
Juni IR ISPA 2.4 2.7 2.7 5.4 2.1 3.2 1.4
IR DBD 0.0 0.0 4.1 0.0 1.8 0.0 13.1
24
Cileungsi Jonggol
274.8 189.1
Bulan Kecamatan
CHn
Cigudeg Jasinga Ciampea Cijeruk Leuwiliang Cisarua Cibinong Cileungsi Jonggol
115.0 142.6 203.6 138.8 178.6 108.2 144.3 93.2 71.5
Bulan
*
Kecamatan
CHn
Cigudeg Jasinga Ciampea Cijeruk Leuwiliang Cisarua Cibinong Cileungsi Jonggol
234.3 231.2 315.4 268.1 342.2 245.3 276.6 255.1 175.4
2.1 0.8 Juli IR ISPA 3.0 2.6 2.6 4.9 4.1 2.3 1.2 1.5 0.8
6.8 187.5 0.0 95.9
IR DBD 1.7 0.0 0.7 0.0 3.6 0.0 11.7 2.0 1.7
Oktober IR IR ISPA DBD 2.4 0.8 3.0 1.0 3.0 3.0 4.1 0.0 2.9 0.0 2.3 0.0 1.1 2.2 1.5 2.6 0.5 0.0
CHn 113.5 126.1 188.3 94.2 202.2 117.5 134.4 74.9 76.9
CHn 238.0 236.4 442.5 354.8 449.4 343.2 345.4 293.4 243.4
1.7 0.6
3.4 126.0 0.8 119.7
Agustus IR IR ISPA DBD 2.6 0.0 3.4 1.0 3.4 0.7 5.0 0.0 3.3 0.9 2.9 0.0 1.3 3.7 1.3 1.4 0.8 0.0 November IR IR ISPA DBD 2.6 0.0 2.3 0.0 2.3 0.7 2.9 0.0 2.1 0.0 2.8 0.0 0.8 5.1 1.5 1.5 0.6 0.0
CHn 176.1 155.4 293.6 163.5 232.8 177.1 188.5 158.3 134.9
CHn 218.9 235.5 362.4 384.9 340.2 420.4 352.3 383.9 223.6
1.1 0.7
3.0 0.8
September IR IR ISPA DBD 3.0 0.0 2.6 0.0 2.6 0.0 4.7 0.0 2.4 0.0 2.4 0.0 1.5 1.1 1.5 0.9 0.7 0.0 Desember IR IR ISPA DBD 2.0 0.0 2.6 1.0 2.6 0.7 3.6 0.0 2.4 1.1 2.4 0.0 1.1 8.0 1.3 3.7 0.5 2.7
Sumber: Data curah hujan (BMKG dan BPSDA); Data angka kejadian penyakit ISPA dan DBD (Dinkes Kabupaten Bogor).
25
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada 20 Juli 1991 di Ponorogo provinsi Jawa Timur dari pasangan Manan dan Sunarni. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 3 Paringan tahun 2004 dan menengah pertama di SMPN 1 Ponorogo tahun 2007. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMAN 1 Ponorogo dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dengan mendapatkan beasiswa bidik misi untuk program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di kegiatan organisasi, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan beberapa kepanitiaan yaitu Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Ponorogo, UKM Tenis Meja, dan BCS 5-6 Turnamen Tenis Meja Nasional. Pada tahun 2013 penulis melakukan kegiatan IPB Goes to Field (IGTF) di Kabupaten Nganjuk dengan tema pemetaan irigasi dan kesuburan tanah, pada tahun 2014 penulis menjadi anggota tim expedisi pemetaan potensi lahan kritis di DAS Ciliwung. Penulis telah melaksanakan penelitian yang berjudul : Karakteristik Penyakit ISPA dan DBD pada Balita Terkait Kondisi Topografi dan Iklim (Kasus: Kabupaten Bogor). Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains di program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.