KARAKTERISTIK NANOEMULSI TEMULAWAK
MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Nanoemulsi Temulawak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Muhammad Fachrizal NIM F34100130
ABSTRAK MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO. Karakteristik Nanoemulsi Temulawak. Dibimbing oleh ERLIZA NOOR. Kurkumin merupakan senyawa aktif yang memiliki banyak khasiat bagi kesehatan sehingga berpotensi untuk dikembangkan dalam bidang farmasi. Namun, potensi pengembangan tersebut dibatasi oleh karakteristik alami kurkumin. Kurkumin diketahui memiliki kelarutan yang rendah pada saluran pencernaan sehingga relatif sulit masuk ke plasma darah. Selain itu, kurkumin juga mudah terdegradasi oleh agen radikal bebas sehingga diperlukan penambahan antioksidan lain. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pembuatan partikel nanokurkumin dalam bentuk emulsi (nanoemulsi). Nanoemulsi temulawak dibuat dengan metode homogenisasi berkecepatan tinggi pada 24 000 rpm selama 40 menit, sehingga diperoleh diameter butiran 32.62 ± 1.84 nm dengan PDI 0.255 ± 0.013. Nanoemulsi memiliki karakteristik meliputi bioavailabilitas, kelarutan, dan stabilitas ukuran butiran. Uji bioavailabilitas nanoemulsi dilakukan dengan metode difusi Franz. Pelarut yang digunakan untuk uji kelarutan yaitu heksan, air, etanol, metanol, dan aseton. Stabilitas ukuran butiran nanoemulsi diuji dengan metode penyimpanan pada suhu 40C, suhu ruang dan suhu 500C dengan periode penyimpanan selama 90 hari. Kurkumin dalam sediaan nanoemulsi menunjukkan kenaikkan penyerapan (bioavailabilitas) sebesar 45.97 % dibanding emulsi temulawak. Pada uji kelarutan terjadi perubahan kelarutan antara sediaan nanoemulsi dibanding sediaan emulsi pada berbagai pelarut. Nanoemulsi memiliki kelarutan terbaik pada pelarut etanol dengan persen terlarut sebesar 96.74 %. Nanoemulsi diinvestigasi memiliki stabilitas yang lebih baik daripada sediaan emulsi pada berbagai suhu penyimpanan. Nanoemulsi temulawak memiliki stabilitas ukuran yang lebih baik pada penyimpanan suhu 40C dengan lama penyimpanan 60 hari. Penambahan asam sitrat sebagai antioksidan pada nanoemulsi dapat menghambat penurunan kadar kurkumin. Kata kunci: Temulawak, kurkumin, nanoemulsi, bioavailabilitas, stabilitas.
ABSTRACT MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO. Characteristic Nanoemulsion of Temulawak . Supervised by ERLIZA NOOR. Curcumin is the active compound that has many benefits for health, so the potential for development in the pharmaceutical. However, the development potential is limited by the natural characteristics of curcumin. Curcumin is known to have a low solubility in the gastrointestinal tract so it is relatively difficult to get into the blood plasma. In addition, curcumin also degraded easily by free radicals agent necessitating the addition of other antioxidants. One effort to overcome these problems is the manufacture nanokurkumin particles in the form of an emulsion (nanoemulsion). Nanoemulsion is made with high-speed homogenization method at 24 000 rpm for 40 minutes, in order to obtain a grain diameter of 32.62 ± 1.84 nm with a polydispersity index of 0255 ± 0013. Curcumin in preparation nanoemulsi have characteristics include bioavailability, solubility, and stability of droplet size. Nanoemulsion bioavailability test conducted by Franz diffusion method. Solvents used for the solubility test is hexane, water, ethanol, methanol, and acetone. Nanoemulsi droplet size stability tested by storage at 40C, room temperature and a temperature of 500C with a 90th day storage period. Curcumin in preparation nanoemulsi showed an increase absorption (bioavailability) of 45.97 % compared to the emulsion. In the solubility test changes the solubility of the preparations nanoemulsi than emulsion preparations in various solvents, suggesting a change in solubility characteristics. Nanoemulsi has the best solubility in ethanol with the percent dissolved at 96.74%. Nanoemulsi investigated have better stability than the emulsion preparation at various storage temperatures. Nanoemulsi ginger has better dimensional stability at 40C temperature storage with storage time of 60 days. The addition of citric acid (antioxidant) on nanoemulsi can inhibit decreased levels of curcumin. Keywords: Temulawak, curcumin, nanoemulsion, bioavailability, stability.
KARAKTERISTIK NANOEMULSI TEMULAWAK
MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Karakteristik Nanoemulsi Temulawak Nama : Muhammad Fachrizal Pria Budi Utomo NIM : F34100130
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Erliza Noor Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi dengan judul Karakteristik Nanoemulsi Temulawak berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2014 sampai November 2014 di Laboratorium Teknologi Industri Pertanian. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas doa dan dukungannya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor selaku pembimbing yang selalu memberi arahan, masukan, dan bimbingannya kepada penulis selama menyelesaikan skripsi. 2. Bapak dan Mama, serta kakak dan adik tercinta atas doa, kasih sayang, dan dukungannya. 3. Egnawati Sari, Sri Mulyasih, Gunawan, Dyah Purnamasari, dan Dicky Zazuli selaku laboran yang banyak membantu selama penelitian. 4. Teman-teman sebimbingan Fleni Ayu, dan Nina Jusnita atas bantuan dan dukungannya selama penelitian. 5. Keluarga besar Mitrasiswa terima kasih atas kekeluargaan dan kebahagiaan yang diberikan selama ini. 6. Keluarga besar TIN 47 dan Mitrasiswa terima kasih atas bantuan dan kebersamaan yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi acuan para pembaca untuk melakukan pengembangan penelitian selanjutnya.
Bogor, Maret 2015
Muhammad Fachrizal
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Perumusahn Masalah
2
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
METODE
3
Waktu dan Tempat Penelitian
3
Bahan
4
Alat
4
Prosedur Penelitian
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Ekstrak Temulawak
7
Nanoemulsi Temulawak
8
SIMPULAN DAN SARAN
17
Simpulan
14
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
17
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6
Formulasi bahan nanoemulsi temulawak Karakteristik serbuk temulawak Kadar proksimat serbuk temulawak Karakteristik ekstrak temulawak Karakteristik nanoemulsi temulawak Kelarutan kurkumin nanoemulsi dan emulsi pada berbagai pelarut
6 7 8 8 9 15
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Struktur kimia kurkumin dan demetoksikurkumin Gambar 2 Diagram alir pembuatan nanoemulsi temulawak dengan penambahan antioksidan Gambar 3 Ukuran butiran emulsi pada suhu 40C , suhu ruang, dan suhu 500C Gambar 4 Ukuran nanoemulsi temulawak suhu 40C Gambar 5 Ukuran nanoemulsi temulawak suhu ruang Gambar 6 Ukuran nanoemulsi temulawak suhu 500C Gambar 7 Penurunan kadar kurkumin nanoemulsi dengan penambahan asam sitrat dan tanpa penambahan asam sitrat selama penyimpanan Gambar 8 Jumlah kurkumin yang terpenetrasi tiap waktu
1 5 11 12 12 13 13 15
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Karakterisasi sifat ekstrak temulawak dan nanoemulsi temulawak serta pengujiannya Lampiran 2 Kurva standar kurkumin Lampiran 3 Proses pembuatan nanoemulsi temulawak dengan High Speed Homogenizer merk Virtis Lampiran 4 Metode pembuatan larutan buffer fosfat pH 7 Lampiran 5 Distribusi ukuran nanoemulsi temulawak Lampiran 6 Alat difusi Franz Lampiran 7 Perubahan diameter butiran nanoemulsi temulawak Lampiran 8 Hasil uji bioavailabilitas nanoemulsi dan emulsi temulawak Lampiran 9 Data analisis penurunan kadar kurkumin nanoemulsi temulawak Lampiran 10 Kerusakan-kerusakan pada nanoemulsi temulawak Lampiran 11 Kelarutan Nanoemulsi pada berbagai pelarut heksan, aseton, etanol, metanol, dan air
19 22 22 23 23 24 24 25 26 27 28
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi obat berbahan dasar herbal telah berkembang secara luas di negaranegara maju dan berkembang. Perkembangan teknologi pembuatan sediaan obat herbal juga menunjukkan perkembangan yang pesat sehingga menarik perhatian para peneliti untuk menyelaraskan teknologi dan bahan herbal dalam pengolahan bahanbahan pertanian yang lebih baik. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan salah satu bahan herbal yang memiliki banyak khasiat dan berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Produksi temulawak Indonesia tahun 2014 mencapai lebih dari 36 000 ton (BPS 2014) dan semakin berkembang penggunaan dalam industri pangan, obat-obatan, dan komestik. Pemanfaatan tersebut terdapat pada ekstrak temulawak. Ekstrak temulawak mengandung komponen kimia utama yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid pada temulawak terdiri atas dua kandungan senyawa yaitu kurkumin dan demetoksikurkumin (Sidik et al. 2005). Struktur kimia kurkuminoid disajikan pada Gambar 1.
a
b Gambar 1 Struktur kimia kurkumin (a) dan demetoksikurkumin (b) Kurkumin memiliki banyak khasiat bagi kesehatan yaitu dapat mengatasi gangguan aliran getah empedu, gangguan saluran pencernaan, sembelit, radang rahim, kencing nanah, kurang nafsu makan, kelebihan berat badan, radang lambung, cacar air, eksema, jerawat, reumatik arthritis dan antikanker. Namun, potensi tersebut dibatasi oleh sifat bioavailabilitas kurkumin yang buruk (Anand et al. 2008). Hal ini disebabkan karena kurkumin memiliki kelarutan rendah dalam saluran pencernaan sehingga sulit masuk ke plasma darah. Selain itu, jumlah relatif kurkumin yang mencapai sirkulasi tubuh (sistem peredaran darah) rendah (Rachmawati et al. 2014). Kurkumin juga mudah terdegradasi oleh agen radikal bebas sehingga diperlukan penambahan antioksidan lain (Sidik et al. 2005). Nanoteknologi sebagai penghantar obat mulai muncul sebagai solusi untuk mengatasi bioavailabilitas kurkumin yang buruk. Dalam ukuran nano (1-100 nm), partikel bahan aktif dapat lebih mudah diserap sehingga dapat meningkatkan
2
bioavailabilitas (Prasetyorini 2011). Salah satu aplikasi nanoteknologi pada kurkumin adalah pembuatan nanoemulsi. Menurut Faunn (2010); Bhatt & S. Madhav (2011); Donsi, Wang, dan Huang (2011) dalam Arifianti (2012) nanoemulsi memiliki kelebihan diantaranya : 1. mengakibatkan penurunan gaya gravitasi dan gerak brown sehingga dapat mencegah sendimentasi dan creaming; 2. mencegah terjadinya flokulasi selama penyimpanan; 3. memiliki luas permukaan yang besar dari sistem emulsi memungkinkan penetrasi yang cepat dari bahan aktif; 4. tidak merusak sel normal dari manusia dan hewan sehingga baik untuk tujuan terapeutik pada manusia dan hewan; 5. merupakan cara yang paling efektif untuk meningkatkan bioavailabilitas dan kelarutan dari nutrasetika. Penelitian terhadap karakterisitik nanoemulsi temulawak dilakukan untuk mengetahui perubahan karakteristik nanoemulsi. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan nanoemulsi temulawak dengan metode homogenisasi kecepatan 24 000 rpm selama 40 menit. Nanoemulsi yang terbentuk diukur stabilitas ukuran butiran terhadap penyimpanan. Selain itu diamati kadar kurkumin terhadap penambahan antioksidan selama penyimpanan. Nanoemulsi dengan ukuran <100 nm juga diharapkan mampu meningkatkan bioavailabilitas maupun sifat kelarutan pada berbagai macam pelarut. . Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari karakteristik nanoemulsi temulawak yang meliputi : stabilitas ukuran nanoemulsi selama penyimpanan; pengaruh penambahan antioksidan terhadap kadar kurkumin; bioavailabilitas nanoemulsi temulawak pada saluran pencernaan buatan; dan kelarutan nanoemulsi temulawak pada berbagai pelarut.
Perumusan Masalah Kurkumin diberikan secara oral dilaporkan memiliki kadar rendah di serum dan jaringan metabolisme, dan tereleminasi dengan cepat yang disebabkan oleh kelarutan kurkumin yang rendah dalam usus (Anand et al. 2008). Selain itu kurkumin juga dapat larut dalam jenis pelarut yang terbatas. Kelarutan yang rendah dapat diatasi dengan nanopartikel dalam sediaan emulsi (nanoemulsi). Kajian kelarutan nanoemulsi temulawak penting dilakukan untuk menentukan dosis penggunaan dalam aplikasi pembuatan produk turunan dari temulawak. Karakteristik nanoemulsi diduga dapat berubah seperti emulsi selama penyimpanan. Perubahan tersebut disebabkan oleh agregasi butiran nanoemulsi (Harimurti et al. 2012; Solanki 2012). Namun ukuran butiran nanoemulsi yang lebih
3
kecil dapat stabil dalam waktu yang lebih lama dan mampu terpenetrasi lebih banyak daripada emulsi. Kadar kurkumin pada nanoemulsi juga diduga dapat berkurang yang disebabkan proses degradasi oleh radikal bebas sehingga penambahan antioksidan diharapkan mampu mengurangi degradasi kurkumin. Karakteristik nanoemulsi tersebut menjadi sumber informasi yang berguna dalam penentuan dosis serta pengembangan produk dari nanoemulsi temulawak. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana perubahan ukuran nanoemulsi temulawak selama penyimpanan terhadap suhu penyimpanan 2. Bagaimana pengaruh penambahan antioksidan terhadap kadar kurkumin selama penyimpanan 3. Bagaimana pengaruh ukuran nanoemulsi terhadap biovailabilitas 4. Bagaimana kelarutan nanoemulsi dalam berbagai pelarut
Manfaat Penelitian Pengetahuan dan informasi tentang karakteristik nanoemulsi temulawak dalam bermanfaat dalam pembuatan dan pengembangan produk herbal dari temulawak. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini meliputi pembuatan ekstrak temulawak dengan metode maserasi, membuat nanoemulsi temulawak, serta menguji dan mengukur karakteristik nanoemulsi temulawak yang meliputi: stabilitas ukuran nanoemulsi, pengaruh penambahan antioksidan terhadap kadar kurkumin; bioavailabilitas; dan kelarutan nanoemulsi temulawak pada berbagai pelarut.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Nopember di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan, Laboratorium Teknik Kimia, Laboratorium Pengawasan Mutu, dan Laboratorium Instrumen di Departemen Teknologi Industri Pertanian, laboratorium Uji Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Laboratorium Fisika IPB serta di Laboratorium Farmasetika non-steril Farmasi UI. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) usia 9-12 bulan, etanol, heksan, metanol, aquades,
4
asam asetat glasial, asam borat, asam oksalat, kertas saring, standar kurkumin, Tween 80, maltodekstrin, asam sitrat, dan larutan buffer fosfat pH 7. Alat Peralatan yang digunakan adalah berbagai alat gelas, pisau, spatula, disc mill (FFC 15), magnetic stirrer, neraca analitik, rotary evaporator (Yamato), spektrofotometer (Hach DR 2500), High Speed Homogenizer (Virtis 23), oven, inkubator, rotary viscometer (Brookfield 200), Particle Size Analyzer (VASCO), refraktometer, inkubator, oven, ampul dan alat difusi Franz.
Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu pembuatan serbuk temulawak, ekstraksi temulawak, pembuatan nanoemulsi temulawak, serta uji karakteristik nanoemulsi temulawak. Pembuatan Serbuk Temulawak Perlakuan pendahuluan meliputi pencucian, pengirisan, pengeringan, dan pengecilan ukuran rimpang temulawak. Rimpang temulawak dicuci bersih, diiris dengan ketebalan 3-5 mm, dikeringkan selama 3 hari, dan dihaluskan dengan disc mill hingga didapatkan serbuk temulawak dengan ukuran 40 mesh (Bagem et al. 2006). Rendemen temulawak kering dihitung berdasarkan presentase antara bobot serbuk temulawak yang didapat dengan bobot rimpang temulawak awal yang digunakan. Kemudian serbuk temulawak kering dianalisis proksimat. Ekstraksi Tahap ekstraksi mengacu pada penelitian Aini (2013). Serbuk temulawak sebanyak 100 gram diekstrak secara maserasi menggunakan pelarut etanol 95%. Nisbah bahan pelarut sebesar 1:7 dengan waktu ekstraksi 7 jam. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu ruang dengan menggunakan magnetic stirrer berkecepatan 220 rpm. Hasil ekstraksi dipisahkan dari pelarut dengan rotary evaporator pada 820C. Ekstrak ditimbang untuk perhitungan rendemen terekstrak. Analisis kadar kurkumin ekstrak temulawak menggunakan metode spektrofotometer. Analisis dimulai dengan pembuatan kurva standar kurkumin. Standar kurkumin dibuat dengan cara melarutkan standar kurkumin ke dalam asam asetat dengan konsentrasi 100 ppm dan kemudian dilakukan pengenceran sampai didapatkan konsentrasi 0, 1, 2, 3, dan 4 ppm. Setelah itu dilakukan pengukuran menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm. Analisis kurkumin dilakukan dengan cara memasukkan sampel 5 gram ke dalam labu takar 50 ml. Setelah itu sampel ditambahkan asam asetat sepertiga volume labu takar kemudian dipanaskan selama 60 menit dan didinginkan. Selanjutnya sampel ditambahkan 1 gram asam oksalat serbuk dan dipanaskan selama 30 menit. Kemudian sampel
5
ditambahkan 1 gram asam borat, diencerkan menjadi 50 kalinya dan diukur serapan pada panjang gelombang 530 nm (AOAC 2005). Pembuatan Nanoemulsi Temulawak Pembuatan nanoemulsi temulawak mengacu pada Jusnita (2014). Formula nanoemulsi terdiri dari ekstrak temulawak, maltodekstrin, Tween 80, dan asam sitrat pada berbagai konsentrasi. Komposisi masing-masing nanoemulsi dapat dilihat pada Tabel 1. Homogenisasi dilakukan dengan kecepatan pengadukan 24 000 rpm selama 40 menit. Diagram alir proses pembuatan nanoemulsi disajikan pada Gambar 2. Emulsi temulawak sebagai pembanding dibuat dengan formulasi yang sama dengan kecepatan 6 000 rpm selama 40 menit. Analisis karakteritik nanoemulsi meliputi analisis kimia dengan menganalisis kandungan kurkumin (AOAC 2005), viskositas, pH, indeks bias. Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.
Fase Minyak : 100 ml ekstrak temulawak kasar dalam 1000 ml etanol
Fase Air : Larutan Buffer Fosfat pH 7
67 ml fase air 30 ml fase minyak Pencampuran dengan Tween 80 10% (v/v) dan maltodektrin 1:1 (b/v fase minyak)
Penambahan asam sitrat 3 % Homogenisasi fase minyak dan fase air kecepatan 24.000 rpm selama 40 menit
Nanoemulsi Temulawak
Gambar 2 Diagram alir pembuatan nanoemulsi temulawak dengan penambahan asam sitrat
6
Tabel 1 Formulasi bahan nanoemulsi temulawak Bahan Jumlah Ekstrak Temulawak 30 ml Asam sitrat 0.9 g Maltodekstrin 30 g Tween 80 3 ml Buffer Fosfat 67 ml
Uji Kelarutan Kelarutan nanoemulsi temulawak dilakukan dengan mencampur nanoemulsi dengan pelarut (1:1) dari berbagai tingkat polaritas yaitu heksan, etil asetat, aseton, etanol, metanol dan air dengan nilai polaritas berbeda dalam gelas ukur 10 ml. Masing-masing campuran diaduk dengan magnetic stirrer selama 10 menit kemudian diamati kelarutannnya setelah 6 jam. Analisis kadar kurkumin pada fasa pelarut dilakukan dengan spektrofotometer. Uji Stabilitas Ukuran Stabilitas ukuran nanoemulsi diamati pada tiga kondisi suhu penyimpanan, yaitu suhu 40C, suhu kamar, dan 500C. Kemudian dilakukan pengamatan ukuran dan dispersi ukuran dengan menggunakan PSA dengan waktu pengamatan yaitu hari ke0, 1, 2, 5, 10, 30, 60, dan 90. Analisis dispersi dan ukuran butiran nanoemulsi dilakukan dengan Particulate Sisteme – Particle Size Analyzer yang dapat mengukur distribusi ukuran dengan kisaran 2 nm sampai 7 000 nm. Uji Bioavailabilitas Bioavailabilitas nanoemulsi temulawak diukur dengan metode difusi Franz. Tahap awal yang dilakukan yaitu mempersiapkan usus duabelas jari kambing sebagai membran difusi. Usus kambing disayat dengan ketebalan 0.10 ± 0.05 mm. Kemudian usus bagian dalam direndam pada larutan buffer fosfat pH 7 selama 30 menit. Usus kemudian disisipkan pada sebuah cincin diantara kompartemen reseptor dan kompartemen donor dari alat difusi Franz. Sambungan dirapatkan dan dilapisi dengan parafilm untuk mencegah kebocoran. Setelah dipastikan tidak ada kebocoran, larutan buffer fosfat pH 7 dimasukkan ke dalam kompartemen reseptor dan dipastikan tidak ada gelembung gas dan larutan buffer menyentuh lapisan usus. Cairan reseptor diaduk dengan kecepatan 200 rpm. Sampel sebanyak 4 ml diaplikasikan pada kompartemen donor. Kurkumin yang terpenetrasi diamati dengan menggambil 1 ml larutan buffer dari kompartemen reseptor. Volume cairan reseptor dibuat tetap dengan mengganti 1 ml larutan buffer setiap pengamatan. Pengujian dilakukan pada menit ke-60, 120, 180, 240, 300, 360, 420, dan 480. Jumlah kurkumin yang terpenetrasi per luas area membran (µg cm-2) dihitung dengan menggunakan rumus :
7
Keterangan : Q = Kurkumin yang terpenetrasi per luas area membran (µg cm-2) Cn = Konsentrasi kurkumin (µg/ml) pada sampling menit ke-n V = Volume difusi Franz (100 ml) = Jumlah konsentrasi kurkumin (µg ml-1) pada jam ke-0 sampai jam ke-8 S = Volume sampling (1 ml) A = Luas area membran (3.730 cm2) Grafik fluksi kurkumin yang terpenetrasi dibuat dengan memplotkan kumulatif kurkumin yang terpenetrasi (µg) perluas area difusi (cm-2) terhadap waktu (jam).
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstrak Temulawak Rendemen serbuk temulawak yang dihasilkan sebesar 17.5 %. Dari hasil karakterisasi pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa serbuk temulawak telah memenuhi standar mutu yang ditetapkan oleh Materia Medika Indonesia atau MMI (1979). Tabel 2 Karakteristik serbuk temulawak Karakteristik Hasil Warna Jingga
Standar Mutua Kuning-jingga
Rasa
Agak pahit
Agak pahit
Aroma
Khas, aromatis
Khas, aromatis
Kadar kurkumin Kadar minyak atsiri
1.832 ± 0.141 % 6.231 ± 0.321 %
0.02-2 % >5%
a
Sumber: MMI (1979).
Kadar air merupakan salah satu parameter yang ditetapkan Materia Medika Indonesia. Penentuan kadar air ini penting untuk mengetahui masa simpan serbuk kering sampel dan sebagai salah satu syarat bahan baku herbal. Kadar air kurang dari 12 % memungkinkan serbuk temulawak dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Kadar yang sedikit memungkinkan serbuk temulawak untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena pada kadar air tersebut sampel dapat terhindar dari pertumbuhan kapang yang cepat (Harjadi 1986). Kadar air serbuk temulawak disajikan pada Tabel 3.
8
Tabel 3 Kadar proksimat serbuk temulawak Karakteristik Hasil Standar Mutua Kadar air 10.503 ± 0.155 % < 12 % Kadar abu 3.820 ± 0.036 % 3-7 % Kadar protein 4.244 ± 0.092 % Kadar lemak 11.682 ± 0.702 % b Kadar karbohidrat 69.751 ± 0.536 % a
Sumber: MMI (1979); bby difference.
Ekstraksi serbuk temulawak dilakukan menggunakan pelarut etanol. Menurut Aan (2004), saat proses ekstraksi temulawak terjadi difusi zat aktif dari dalam rimpang temulawak ke fase pelarut sehingga tercapai keadaan keseimbangan. Pada keadaan ini ekstrak temulawak tidak dapat berpindah lagi ke pelarut. Etanol termasuk ke dalam pelarut yang baik untuk mengekstrak kurkumin (Aini 2013). Rendemen ekstrak temulawak yang didapat sebesar 20.4-23.9 % dari serbuk temulawak. Menurut Bagem et al. (2006), proses ekstraksi serbuk temulawak selama 4 jam menghasilkan ekstrak dengan rendemen sebesar 16.65 % dengan kadar kurkumin 2.88 %. Perbedaan rendemen dapat terjadi karena konsentrasi pelarut etanol yang digunakan adalah etanol 95 % sehingga senyawa yang larut dalam pelarut lebih besar. Selain itu kadar kurkumin juga dapat berbeda karena perbedaan rimpang temulawak. Umur rimpang yang mengandung senyawa kurkumin terbesar adalah 12 bulan sehingga rendemen dan kadar kurkumin dapat berbeda. Karakteristik ekstrak temulawak disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik ekstrak temulawak Karakteristik Hasil Warna Coklat Tua Bentuk Cairan Kental Aroma Khas Temulawak Berat jenis 0.979 ± 0.029 g ml-1 Index bias 1.603 ± 0.033 Rendemen 18.833 ± 1.861 % Viskositas 13.337 ± 0.119 cP Kadar kurkumin 5301 ppm (2.5 %) pH 5.21
9
Nanoemulsi Temulawak Pembuatan nanoemulsi temulawak dengan kecepatan 24 000 rpm selama 40 menit diinvestigasi memiliki diameter butiran nanoemulsi temulawak sebesar 32.62 ± 1.84 nm dengan indeks polidispersitas 0.255 ± 0.013 (Tabel 5). Pengecilan ukuran ini akibat adanya gaya pengguntingan (shear force) terhadap fasa terdispersi. Ukuran nano diperoleh juga akibat adanya tumbukan antarmolekul. Semakin cepat dan lama putaran akan memperbesar intensitas bersentuhan antar molekul, sehingga menghasilkan ukuran nanoemulsi yang kecil. Menurut Harimurti et al. (2012), nanoemulsi kurkumin menggunakan homogenisasi tekanan tinggi menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran butiran 74.7 nm dengan indeks polidispersitas 0.272. Sedangkan Solanki (2012) memperoleh nanoemulsi kurkumin dengan homogenisasi menghasilkan ukuran diameter butiran 20.8 ± 5.3 nm dengan indeks polidispersitas 0.224 ± 0.012. Indeks polidispersitas antara 0.2-0.6 akan memberikan nanoemulsi yang lebih stabil dari agregasi partikel serta pemisahan gravitasi yang rendah (Ahmed et al. 2012). Tabel 5 Karakteristik nanoemulsi temulawak Karakteristik Hasil Warna Cokelat-kuning Bentuk Cairan Aroma Khas Temulawak Bobot jenis 1.013 ± 0.021 g ml-1 pH 7.13 Viskositas 3.9 ± 0.1 cP Kadar kurkumin 139.8 ± 12.1 ppm Diameter butiran 32.62 ± 1.84 nm Indeks polidispersitas 0.255 ± 0.013 Nilai pH nanoemulsi mengalami kenaikan dari pH awal ekstrak temulawak yaitu dari 5.21 menjadi 7.13, sehingga nanoemulsi temulawak aman digunakan dalam produk produk krim dan lotion. Berdasarkan syarat SNI 16-4954-1998, pH krim yang aman untuk kulit berada pada rentang 3.5-8. Nilai pH yang tidak sesuai akan merusakan lapisan mantel kulit sehingga terjadi iritasi. Nilai pH nanoemulsi temulawak yang dihasilkan aman digunakan sebagai bahan dasar obat karena sesuai dengan pH usus halus (7-7.4), dimana usus halus merupakan organ utama penyerapan obat (Utami 2010). Selain itu, buffer fosfat dengan pH 7 sebagai fase air dapat menjaga pH nanoemulsi yang dihasilkan (Jusnita 2014). Stabilitas Nanoemulsi Temulawak Stabilitas nanoemulsi yang baik disebabkan oleh pembentukan ukuran butiran yang kecil. Ukuran kecil akan memperbesar luas permukaan butiran-butiran
10
nanoemulsi sehingga memperbesar tegangan antarmuka antara fase internal dan fase eksternal. Hal ini diklarifikasi dengan pengamatan stabilitas nanoemulsi secara visual. Pada suhu ruang, nanoemulsi temulawak mampu stabil selama 30 hari sedangkan emulsi temulawak hanya mampu stabil selama 9 hari penyimpanan. Ketidakstabilan nanoemulsi maupun emulsi temulawak ditandai dengan terjadi pemisahan fase. Menurut Solanki (2012), nanoemulsi mampu stabil pada suhu ruang lebih dari 5 hari penyimpanan. Stabilitas nanoemulsi temulawak juga dapat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Pengamatan stabilitas nanoemulsi dilakukan pada suhu berbeda untuk menentukan waktu terjadinya kerusakan pada nanoemulsi. Selama proses penyimpanan dengan suhu berbeda, terjadi perubahan fisik pada nanoemulsi temulawak. Pada suhu 40C, nanoemulsi mengalami kerusakan pada hari ke-60. Kerusakan tersebut ditandai dengan pembentukkan flokulan-flokulan pada nanoemulsi. Pembentukkan flokulan akan menyebabkan nanoemulsi terlihat lebih keruh (Lampiran 10 A). Ukuran nanoemulsi pada hari ke-60 mengalami perubahan karakteristik nano yang disebabkan oleh kenaikkan ukuran sebesar 125.03 nm dan terus meningkat sampai hari ke-90. Kenaikkan ukuran nanoemulsi temulawak disebabkan oleh agregasi butiran karena sifat alami minyak yang cenderung membentuk butiran berukuran besar di dalam fase air (Fingas 2008). Agregasi tersebut menyebabkan deformasi bentuk dari nanoemulsi menjadi emulsi dengan ukuran >100 nm. Kenaikkan suhu penyimpanan dapat mempercepat kerusakan pada nanoemulsi temulawak. Gambar 3 mengkonfirmasi adanya pengaruh kenaikkan suhu simpan terhadap perubahan ukuran nanoemulsi. Pada suhu ruang, nanoemulsi mengalami ketidakstabilan pada hari ke-30. Ketidakstabilan nanoemulsi temulawak dapat dilihat dengan terbentuknya koalesen (Lampiran 10 B). Pembentukkan koaelsen dapat dilihat dengan terjadinya agregasi pada bagian permukaan sediaan. Ukuran nanoemulsi pada saat terbentuk koalesen diinvestigasi mencapai 212.3 nm. Pembentukkan koalesen mengkonfirmasi berpengaruh terhadap kenaikkan ukuran butiran hingga melebihi 100 nm pada hari ke-10 dengan ukuran 105.67 nm sehingga terjadi kehilangan karakteristik nanoemulsi. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap stabillitas nanoemulsi juga diamati pada suhu 500C. Pada suhu tersebut, nanoemulsi mengalami kerusakkan nanoemulsi yang lebih cepat. Kerusakkan nanoemulsi ditandai dengan proses kriming yang terjadi pada hari ke-15 (Lampiran 10 C). Kenaikkan ukuran cepat karena suhu disebabkan oleh penurunan kemampuan Tween 80 dalam menjaga kestabilan tegangan antarmuka emulsi. Tween 80 dilaporkan memiliki daya pengemulsi yang baik pada suhu <250C (Chou et al. 2005). Secara umum, suhu pengemulsi lebih efektif jika berada pada kondisi di sekitar suhu optimumnya karena mempunyai aktivitas permukaan (surface active) yang lebih besar.
11
Gambar 3 Ukuran butiran nanoemulsi pada suhu 40C ( dan suhu 500C ( )
), suhu ruang (
),
Kenaikkan ukuran butiran nanoemulsi dipengaruhi oleh perbedaan suhu penyimpanan. Suhu penyimpanan yang tinggi berkaitan erat perpindahan energi dari lingkungan ke fase ekternal yang menyebabkan molekul-molekul fase eksternal memperoleh energi. Energi ini akan diterima oleh molekul-molekul fase eksternal sehingga bergerak dan tegangan antarmuka emulsi naik (Shinoda dan Saito 1969). Tegangan antarmuka fase internal dan eksternal yang naik dapat menurunkan viskositas dari nanoemulsi sehingga menyebabkan nanoemulsi cenderung tidak stabil (Hadiwiyoto 2011). Hal ini senada dengan McClements (2011) bahwa pada kondisi suhu lingkungan yang berbeda menyebabkan interaksi yang kuat antara butiran fase terdispersi dengan fase pendispersi menurun sehingga menyebabkan ketidakstabilan emulsi. Penambahan antioksidan pada nanoemulsi tidak mempengaruhi stabilitas nanoemulsi temulawak. Hal ini dikonfirmasi dengan perbandingan stabilitas ukuran nanoemulsi dengan penambahan asam sitrat dan tanpa penambahan antioksidan (Gambar 4, Gambar 5, dan Gambar 6). Gambar 4 mengkonfirmasi bahwa penambahan asam sitrat sebagai antioksidan tidak mempengaruhi stabilitas nanoemulsi temulawak. Perbedaan ukuran yang signifikan antara kedua sediaan nanoemulsi pada hari ke-90 disebabkan karena terbentuknya flokulan-flokulan pada nanoemulsi sehingga hasil pembacaan ukuran pada PSA tidak akurat.
12
Gambar 4 Ukuran nanoemulsi temulawak pada suhu 40 C Pada Gambar 5 terlihat bahwa penambahan asam sitrat juga tidak berpengaruh terhadap stabilitas nanoemulsi. Pada hari ke-0 sampai hari ke-60 terjadi pola kenaikkan ukuran nanoemulsi yang sama pada nanoemulsi dengan penambahan antioksidan maupun tanpa penambahan antioksidan. Ukuran nanoemulsi mengalami kenaikkan ukuran pada hari ke-0 sampai hari ke-60. Kemudian ukuran nanoemulsi cenderung stabil pada hari ke-90. Hal ini disebabkan karena pembentukan partikel yang lebih besar dapat mempengaruhi kemampuan agregasi butiran nanoemulsi.
Gambar 5 Ukuran nanoemulsi temulawak suhu ruang Gambar 6 mengkonfirmasi bahwa pada suhu 500C, penambahan asam sitrat sebagai antioksidan tidak berpengaruh terhadap stabilitas ukuran nanoemulsi temulawak. Pada jam ke-0 sampai jam ke-10 ukuran nanoemulsi temulawak mengalami kenaikkan ukuran mencapai >200 nm. Kemudian ukuran nanoemulsi pada jam selanjutnya mengalami fluktuasi. Hal ini disebabkan oleh sampel nanoemulsi sudah mengalami proses kriming sehingga sampel diaplikasikan pada PSA tidak mewakili dispersitas butiran secara keseluruhan.
13
Gambar 6 Ukuran nanoemulsi temulawak pada suhu 500C Pengaruh Penambahan Asam Sitrat Penambahan asam sitrat 3% pada fase minyak hanya dapat menghambat penurunan kadar kurkumin. Asam sitrat merupakan merupakan antioksidan sekunder yang sifatnya menurunkan inisiasi melalui mekanisme penangkapan oksigen menjadi produk-produk non radikal, bersifat asidulan, tidak berwarna, dan tidak berbau (Youssef 2012; Winarno 1997; Frazier 1979). Kemampuan asam sitrat dalam mengurangi degradasi kurkumin telah dibuktikan oleh Kusumawardhani (2006). Untuk mengklarifikasi hal tersebut dilakukan analisis perubahan kadar kurkumin nanoemulsi temulawak selama penyimpanan. Gambar 7 menunjukan penurunan kadar kurkumin selama penyimpanan nanoemulsi temulawak.
Gambar 7 Penurunan kadar kurkumin nanoemulsi dengan penambahan asam sitrat ( ) dan tanpa penambahan asam sitrat ( ) selama penyimpanan
14
Kadar kurkumin nanoemulsi mengalami penurunan yang lebih besar pada periode awal penyimpanan. Hal ini dapat disebabkan karena kadar kurkumin lebih tinggi akan memperbesar interaksi antara kurkumin dengan agen radikal bebas. Penurunan kadar kurkumin pada hari ke-10 sampai hari ke-90 lebih lambat daripada periode penyimpanan awal. Hal ini dikarenakan penurunan kadar kurkumin. Penurunan kadar kurkumin akan memperkecil intensitas terjadinya reaksi dengan agen radikal bebas. Biovailabilitas Nanoemulsi Temulawak Uji bioavailabilitas dilakukan untuk mengukur kecepatan dan jumlah komponen senyawa aktif yang melewati membran. Larutan buffer digunakan untuk menyamai pH cairan di usus halus manusia yaitu sekitar 7-7.4 (Kuntarti 2010). Sebelum digunakan, pH larutan buffer tersebut harus dipastikan terlebih dahulu agar tidak mempengaruhi pembacaan kadar kurkumin. Pengadukan pada kompartemen reseptor dilakukan dengan magnetic stirrer dengan kecepatan 200 rpm. Pembentukan gelembung udara harus dihindari karena di permukaan membran yang tersentuh cairan reseptor. Gelembung udara yang terbentuk dapat mengakibatkan pembentukan celah antara membran dengan cairan reseptor sehingga dapat menghalangi penetrasi. Pada Gambar 8 terlihat bahwa nanoemulsi temulawak memiliki kemampuan bioavailabilitas yang lebih besar daripada emulsi temulawak. Pada jam ke-8 hasil analisis cairan reseptor pada sediaan nanoemulsi mampu terpenetrasi 30.189 µg cm-2, sedangkan pada sediaan emulsi hanya mampu terpenetrasi 20.430 µg cm-2. Persentase kurkumin terpenetrasi pada jam ke-8 pada sediaan nanoemulsi dan emulsi berturutturut sebesar 20.13 % dan 13.79 % (Lampiran 8). Dari hasil investigasi tersebut terlihat bahwa nanoemulsi terpenetrasi 45.97 % lebih banyak daripada emulsi temulawak. Perbedaan kemampuan terpenetrasi berkaitan oleh ukuran diameter butiran. Ukuran butiran nanoemulsi yang kecil membuat kecepatan penetrasi lebih besar daripada emulsi dengan ukuran 444.1 nm. Ukuran kecil ini menyebakan luas permukaan yang bersinggungan dengan cairan reseptor semakin besar, sehingga kecepatan melarut senyawa aktif makin besar (Syukri 2002). Teori ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lanimarta (2012) yang membandingkan bioavailabilitas sediaan nanogel dan gel. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan penetrasi nanogel lebih besar karena memiliki ukuran butiran lebih kecil dibandingkan dengan gel. Kemampuan penetrasi nanoemulsi yang baik akan menghemat penggunaan ekstrak temulawak. Selain ukuran yang kecil, viskositas sediaan juga berpengaruh terhadap pelepasan bahan aktif dari nanoemulsi menuju permukaan membran. Viskositas nanoemulsi yang lebih rendah akan menaikan kecepatan penetrasi, sehingga meningkatkan mobilitas bahan aktif menuju permukaan membran. Berdasarkan hasil pengukuran viskositas, emulsi memiliki viskositas lebih besar (7.1 ± 0.2 cP) dibandingkan nanoemulsi (3.9 ± 0.1 cP), sehingga kurkumin akan lebih sulit berdifusi ke dalam membran. Hal ini senada dengan Sukmawati et al. (2010) yang menyatakan bahwa viskositas yang tinggi dapat menghambat aliran zat untuk berdifusi .
15
Gambar 8 Jumlah kumulatif kurkumin terpenetrasi selama 8 jam Kelarutan Nanoemulsi Temulawak Aplikasi kelarutan dalam bidang farmasi antara lain digunakan untuk membantu dalam menentukan pelarut yang tepat untuk sediaan obat. Nanoemulsi temulawak dapat larut dalam pelarut non polar yaitu heksan dan aseton. Nanoemulsi ekstrak temulawak juga larut dalam pelarut semi polar yaitu etanol dan metanol. Air juga dapat melarutkan nanoemulsi temulawak (Lampiran 11). Meningkatnya luas permukaan memungkinkan interaksi antara solut dan pelarut lebih besar. Ukuran partikel kurang dari 100 nm membuat nanoemulsi lebih mudah dilarutkan. Menurut Shargel et al. (1999) ukuran partikel dapat mempengaruhi sifat kelarutan. Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat, sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat. Nanoemulsi memiliki kelarutan yang tinggi pada pelarut etanol sebesar 96.74 % (Tabel 6). Kelarutan nanoemulsi temulawak yang tinggi pada etanol disebabkan karena sifat kurkumin yang larut sempurna dalam etanol. Viskositas zat terlarut dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat. Viskositas yang rendah menyebabkan zat terlarut mengalir lebih cepat ke pelarut. Nanoemulsi mempunyai viskositas lebih rendah dibandingkan dengan emulsi sehingga nanoemulsi lebih mudah terlarut. Pada uji kelarutan ini dapat disimpulkan bahwa nanoemulsi dapat mengubah sifat kelarutan kurkumin. Kemampuan air melarutkan nanoemulsi temulawak membuat nanoemulsi aman digunakan sebagai bahan obat karena dapat larut dalam air yang aman bagi tubuh.
16
Tabel 6 Kelarutan kurkumin nanoemulsi dan emulsi pada berbagai pelarut Jenis Pelarut Kelarutan Nanoemulsi (%) Kelarutan Emulsi (%) Air 90.00 0 Heksan 90.17 0 Etanol 96.74 96.34 Aseton 95.70 90.96 Metanol 91.40 0
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suhu penyimpanan nanoemulsi dapat mempengaruhi stabilitas ukuran dari nanoemulsi. Semakin tinggi suhu penyimpanan, maka nanoemulsi semakin tidak stabil dan cepat rusak. Kondisi penyimpanan terbaik dilakukan pada suhu penyimpanan 40C dengan lama waktu penyimpanan 60 hari. Penambahan asam sitrat pada nanoemulsi temulawak berpengaruh dalam mengurangi degradasi kurkumin. Pembuatan anoemulsi dapat mengubah karakteristik kelarutan kurkumin. Nanoemulsi temulawak memiliki kelarutan terbaik pada etanol dengan kelarutan sebesar 96.74 %. Nanoemulsi temulawak mampu terpenetrasi sebanyak 20.80 % atau 45.97 % lebih banyak daripada emulsi temulawak. Saran Perlu dilakukan penelitian dengan konsentrasi dan jenis antioksidan lain agar dapat menentukan antioksidan yang lebih baik dalam mencegah proses degradasi kurkumin pada nanoemulsi temuawak.
DAFTAR PUSTAKA Aan. 2004. Pengaruh waktu, suhu, dan nisbah bahan baku-pelarut pada ekstraksi kurkumin dari temulawak dengan pelarut aseton [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
17
Ahmed K, Li Y, McClement DJ, Xiao H. 2012. Nanoemulsion and Emulsion based Delivery Systems for Curcumin: Encapsulation and Release Properties. Food Chemistry 132(2): 799-807. Aini S. 2013. Ekstraksi Senyawa Kurkumin dari Rimpang Temulawak dengan Metode Maserasi [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Anand P, Sundaram C. 2008. Curcumin and Cancer: An “old-age” disease with an “age-old” solution." Cancer Letters 267(1): 133-164. AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. Virginia (USA): AOAC. Arifianti AE. 2012. Stabilitas Fisik dan Aktivitas Antioksidan Nanoemulsi Minyak Jinten Hitam (Nigella sativa Linn. Seed oil) sebagai Sediaan Nutrasetika [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. [BPS] Badan Pusat Statistik (ID). 2014., 1997-2013. Produksi Temulawak Indonesia. [Internet] Produksi Tanaman Obat-Obatan di Indonesia. [diunduh 2014 Des 14]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel =1&daftar=&id_subyek=55¬ab=25.. Bagem S, Ma’mun, Imanuel E. 2006. Pengaruh Kehalusan dan Lama Ekstraksi terhadap Mutu Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.). Balitro, Vol XVII No.2. p 53-58. Chou DK, Krishnamurthy R, Randolph TW, Carpenter JF, Manning MC. 2005. Effects of Tween 20 and Tween 80 on the stability of Albutropin during agitation. J Pharm Sci 94 (6): 1368–81. Fingas M. 2008. Oil spil dispersion stability and oil re-surfacing [Internet]. [diunduh 2015 Jan 15]. Tersedia pada: http://www.iosc.org/papers/2008% 20111.pdf. Hadiwiyoto S. 2011. Produk Meat Emulsion [Internet]. diunduh 2015 Jan 13. Tersedia pada: httpfoodreview.co.idindex1.phpview2&id=56552#.VKx VEMmfabc Jusnita N. 2014. Produksi Nanoemulsi Ekstrak Temulawak dengan Metode Homogenisasi [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Kikuzaki H, Hisamoto M, Hirose K, Akiyama K, Taniguchi H. 2002. Antioxidants properties of Ferulic Acid and Its Related Compounds. J Agricult and Food Chem. 50: 2161-2168. Kuntarti. 2013. Kesetimbangan Cairan, Elektrolit, Asam, dan Basa. [Internet]. [diunduh 2014 Agu 20]. Tersedia pada: http://staff.ui.ac.id/system/files/users /kuntarti/publication/fluidbalance.pdf. Kusumawardhani AN. 2006. Kajian Penambahan Antioksidan terhadap Mutu Simplisia Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
18
Lanimarta Y. 2012. Pembuatan dan Uji Penetrasi Nanopartikel Kurkumin-Dendrimer Poliamidoamin (Pamam) Generasi 4 dalam Sediaan Gel dengna Menggunakan Sel Difusi Franz [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Materia Medika Indonesia. 1979. Jilid V. Jakarta (ID): Depkes Republik Indonesia. Harimurti N, Iceu A, Hoerudin. 2012. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak dan Surfaktan (Tween 20 dan Tween 80) terhadap Karaketristik Nanoemulsi Ekstrak Temulawak dalam Pendispersi Minyak Sawit Merah. Seminar Bulanan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian RI. Rachmawati H, Budiputra DK, Mauludin R. 2014. Curcumin Nanoemulsion for Transdermal Application: Formulation and Evaluation. Department of Pharmacy, Bandung Institute of Technology. Shargel L, Yu ABC. 1999. Applied Biopharmaceutics. Edisi ke-4. Stanford. hlm 325352. Shinoda K, Saito H. 1969. The Stability of O/W Type Emulsions as Functions of Temperature and the HLB of Emulsifiers: The Emulsification by PITmethod. J Colloid and Interf Sci, Vol. 30, N° 2, June 1969, 258-263. Department of Chemistry, Yokohama National University, Japan. Sidik, Moelyono MW, Ahmad M. 1995. Temulawak (Curcuma xanthoriza). Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica. Simanjuntak MT. 2010. Ketergantungan Temperatur dan pH terhadap Transpor Sefaleksin ke dalam Eritrosit Manusia secara In vitro. Jurnal Sains Kimia Vol 7, No.2, 2003: 44-50. Solanki KH. 2012. Incorporation Of Curcumin In Lipid Based Delivery Systems And Assessment Of Its Bioaccessibility [tesis]. New Jersey (US) : The State University of New Jersey. Sukmawati A, Suprapto. 2010. Efek Berbagai Peningkat Penetrasi terhadap Penetrasi Perkutan Gel Natrium Diklofenak Secara In Vitro. J Penelitian Sains Teknol, Vol. 11, No. 2, 2010: 117 – 125. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Syukri Y. (2002). Biofarmasetika. Yogyakarta: UII-Pr. hlm 12-15. Utami SS. 2012. Formulasi dan Uji Penetrasi In Vitro Nanoemulsi, Nanoemulsi Gel dan Gel Kurkumin [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia. Wijayakusuma H. 2007. Penyembuhan dengan Temulawak I. Jakarta (ID) : Sarana Pustaka Prima. Youssef S. 2012. Evaluation of Antioxidants Stability by Thermal Analysis and Its Protective Effect in Heated Edible Vegetable Oil. Ciência e Tecnologia de Alimentos ISSN 0101-2061.
19
Lampiran 1 Karakterisasi sifat ekstrak temulawak dan nanoemulsi temulawak serta pengujiannya a. Kadar KurkuminTemulawak (AOAC 2005) Analisis kuantitatif kurkumin menggunakan spektrofotometer. Analisis ini dilakukan dengan terlebih dahulu dengan pembuatan kurva standar kurkumin ke dalam asam asetat dengan konsentrasi 100 ppm kemudian dilakukan pengenceran sampai didapatkan konsentrasi 0, 1, 2, 3, dan 4 ppm. Analisis kurkumin dilakukan dengan memasukkan sampel sebanyak 5-10 gram ke dalam labu takar 50 ml. Setelah itu ditambahkan asam asetat sepertiga volume labu takar dan dipanaskan selama 60 menit. Setelah didinginkan, sampel ditambahkan asam oksalat serbuk dan dipanaskan selama 30 menit dan didinginkan. Kemudian ditambahkan asam borat dan diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 530 nm. b. Perhitungan rendemen Rendemen ekstrak temulawak dihitung berdasarkan perbandingan ekstrak temulawak dan nanoemulsi yang diperoleh dengan bobot kering bahan dikalikan 100%. Rendemen
Berat ekstrak (g) x100 % Berat bahan (g)
c. Kadar Air (SNI 01-3181-1992 yang dimodifikasi) Labu didih dan tabung Bidwell-Sterling dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C sebelum digunakan dan didinginkan dalam desikator. Bubuk temulawak ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam labu didih yang telah dikeringkan dan ditambakan 60-80 ml toluena. Setelah alat dirangkai, refluks pada suhu rendah selama 45 menit kemudian suhunya dinaikkan dan dipanaskan selama 60-90 menit. Volume yang terdestilasi dibaca. Penetapan faktor destilasi diperoleh dengan mengganti sampel ekstrak temulawak dengan air (4 gram). Kadar air bahan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan:
Ws = massa contoh (g) Vs = volume air yang didestilasi dari contoh (ml) FD = faktor destilasi (g/ml) Faktor destilasi dihitung dengan rumus sebagai berikut: FD= W/V Keterangan:
W = massa air yang akan didestilasi (g) V = volume air yang terdestilasi (ml)
20
d. Kadar Abu (SNI 01-3187-1992 yang dimodifikasi) Cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C sebelum digunakan dan didinginkan dalam desikator. Bubuk temulawak ditimbang sebanyak 1.5 gram. Sebanyak 2 ml etanol dituang ke dalam cawan dan dibakar sampai etanol habis terbakar. Cawan dipanaskan menggunakan nyala api kecil lalu dipijarkan dalam tanur pada suhu 600°C selama 2 jam. Abu didinginkan dan dibasahi dengan beberapa tetes air, dikisatkan dan dipanaskan kembali dalam tanur selama satu jam pada suhu 600°C. Bila pada pembasahan ternyata abu telah bebas karbon, cawan dipindahkan ke dalam desikator dan dibiarkan dingin dan ditimbang. Bila pada pembasahan masih terlihat adanya karbon, pembasahan dan pemanasan diulangi sampai tidak terlihat lagi bintik-bintik karbon, lalu cawan dipijarkan kembali dalam tanur selama satu jam.Bila masih terlihat adanya karbon, abu diaduk dengan air panas, disaring dengan kertas saring. Kertas saring dicuci dengan sempurna lalu kertas saring serta isinya dipindahkan ke dalam cawan untuk pengabuan. Cawan dikeringkan dan dipijarkan pada tanur dengan suhu 600°C selama satu jam sampai abu menjadi putih. Cawan didinginkan, ditambah filtrat, dikisatkan sampai kering pada penangas air. Cawan dipanaskan lagi selama satu jam dalam tanur dengan suhu 600°C, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu contoh dihitung dengan rumus sebagai berikut
Keterangan: M0 = massa cawan kosong (g) M1 = massa cawan dan contoh (g) M2 = massa cawan dan abu (g) H = kadar air contoh (%) e.
Kadar Protein (AOAC 2005) Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode mikro-kjeldahl. Sampel dihomogenkan, kemudian sampel seberat 0.1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml lalu ditambahkan katalis (CuSO4 dan Na2SO4) dan 2.5 ml H2SO4 pekat 98%. Selanjutnya sampel didekstruksi selama 30-40 menit sampai berwarna hijau bening. Setelah didinginkan, sampel ditambahkan dengan air suling hingga tanda tera. Sebanyak 5 ml larutan hasil pengenceran ditambahkan dengan 10 ml NaOH 40%, disuling selama 5 menit. Hasil penyulingan ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat (2%) dan 0.1 ml campuran indikator hijau bromkresol 0.1% dengan merah metal 0.1% (5:1), kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.1 N sampai berwarna merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut
21
Keterangan: A = selisih volume HCl yang digunakan untuk menitrasi blanko dan contoh (ml) N = normalitas larutan HCl Ws = berat contoh (mg) f. Kadar Lemak (AOAC 2005) Sebanyak 2 gram contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik heksana dalam alat soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan dalam over bersuhu 105°C. Contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.
g. Kadar Karbohidrat (by difference) Pada analisis bahan baku, kadar karbohidrat dihitung dengan cara by different, yaitu pengurangan jumlah komponen bahan total dengan jumlah kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar serat. Kadar karbohidrat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
h. Bobot Jenis Piknometer kosong dikeringkan di dalam oven kemudian ditimbang bobotnya. Piknometer diisi dengan aquades atau sampel nanoemulsi pada suhu 200C kemudian simpan di dalam Water Bath pada suhu 250C selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan, dan ditimbang. Piknometer yang berisi sampel atau aquades ditimbang bobotnya i. Indeks Bias (SNI 01-4472-1998) Index bias diukur dengan Refractometer. Kaca penutup refraktometer dibuka terlebih dahulu dan permukaan prisma kaca penutup dibersihkan dengan tissue sampai kering. Sampel nanoemulsi/ekstrak temulawak diteteskan dua-tiga tetes diatas permukaan prisma. Kaca penutup ditutup secara perlahan agar sampel tersebar secara merata pada permukaan prisma. Nilai brix yang terukur dilihat. Pengatur halus/kasar diputar bila pembacaan kabur atau tidak fokus. Setelah selesai, kaca prisma dibuka dan dibersihkan. j. Viskositas Sampel diukur dengan rotary viscosimeter pada suhu ruang (27 ± 0.20C)
22
Lampiran 2 Kurva standar kurkumin
Lampiran 3 Proses pembuatan nanoemulsi temulawak dengan High Speed Homogenizer merk Virtis
Proses pembuatan nanoemulsi temulawak dengan kecepatan 24 000 rpm
Nanoemulsi temulawak
Emulsi temulawak
23
Lampiran 4 Metode pembuatan larutan buffer fosfat pH 7 0.4 gram NaOH
1.361 gram KH2PO4
Diencerkan dengan aquades dalam labu takar 100 ml
Diencerkan dengan aquades dalam labu takar 100 ml
100 ml KH2PO4 0.1 M
100 ml NaOH 0.1 M
Diambil 10 ml KH2PO4 0.1 M
Diambil 29.1 ml NaOH 0.1 M
Dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml
Diencerkan sampai tanda batas (100 ml)
100 ml larutan buffer fosfat pH 7
Sumber : (Koethoff et al. (1989) dalam Simanjuntak (2010).
24
Lampiran 5 Distribusi ukuran nanoemulsi temulawak Pengukuran I
Pengukuran II
Pengukuran III
Parameter Ukuran (nm) PDI
Pengukuran I 31.23 0.241
Pengukuran II 37.91 0.272
Pengukuran III 34.71 0.251
Rataan 32.62 0.255
Standar Deviasi 1.84 0.013
25
Lampiran 6 Alat difusi Franz
Lampiran 7 Perubahan diameter butiran nanoemulsi temulawak Nanoemulsi Temulawak dengan Penambahan Antioksidan Hari Penyimpanan 40C Penyimpanan Suhu Penyimpanan 500C ruang Ukuran PDI Ukuran PDI Ukuran PDI (nm) (nm) (nm) 30.24 30.24 0.241 30.24 0.241 0 0.241 30.64 56.44 0.299 70.04 0.294 1 0.291 32.64 77.22 0.310 81.74 0.284 2 0.259 39.33 88.20 0.052 193.65 0.149 5 0.258 44.35 97.66 0.182 227.61 0.627 10 0.265 49.48 175.46 0.329 210.52 0.166 30 0.319 125.03 561.13 0.103 576.87 0.132 60 0.223 170.74 570.21 0.433 468.62 0.356 90 0.365
Hari
0 1 2 5 10 30 60 90
Nanoemulsi Temulawak Tanpa Penambahan Antioksidan Penyimpanan 40C Penyimpanan Suhu Penyimpanan 500C Ruang Ukuran PDI Ukuran PDI Ukuran PDI (nm) (nm) (nm) 30.35 0.263 30.35 0.263 30.35 0.263 39.29 0.253 72.91 0.274 76.67 0.268 38.74 0.267 92.84 0.238 95.86 0.158 48.57 0.295 93.89 0.318 245.34 0.283 61.99 0.365 105.67 0.316 274.82 0.804 59.81 0.330 212.3 0.396 215.13 0.265 152.84 0.139 562.01 0.818 427.00 0.173 384.70 0.343 571.61 0.122 602.23 0.156
26
Lampiran 8 Hasil uji bioavailabilitas nanoemulsi dan emulsi temulawak Kadar kurkumin rata-rata yang terpenetrasi tiap jam pada cairan reseptor Waktu Nanoemulsi Emulsi (jam) Kurkumin terpenetrasi (µg ml-1) Kurkumin terpenetrasi (µg ml-1) 0 0.000 0.000 1 0.000 0.000 2 0.068 0.057 3 0.319 0.288 4 0.534 0.421 5 0.701 0.478 6 0.875 0.519 7 1.084 0.663 8 1.126 0.738
Jumlah kumulatif kurkumin terpenetrasi tiap waktu (Q) t (hari) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Nanoemulsi (µg cm-2) 0.000 0.000 1.823 8.734 14.420 19.040 24.020 27.297 30.189
Emulsi (µg cm-2) 0.000 0.000 1.528 7.736 11.370 13.020 14.240 18.240 20.430
Perhitungan persentase jumlah kumulatif kurkumin yang terpenetrasi pada sediaan nanoemulsi dan emulsi temulawak pada jam ke-8 : Jumlah nanoemulsi yang diaplikasikan = 4 ml x 139.8 µg ml-1 = 559.2 µg Jumlah emulsi yang diaplikasikan = 4 ml x 138.1 µg ml-1 = 552.4 µg Sediaan Nanoemulsi : Q8
=
% terpenetrasi =
1.126 µg ml-1x100 ml + 3.736 µg ml-1x1 ml = 30.189 µg cm-2 3.730 cm-2
30.189 µg cm-2 x 3.730 cm-2 x 100 % = 20.13 % 559.2 µg
27
Sediaan Emulsi : Q8
=
% terpenetrasi =
0.738 µg ml-1x100 ml + 2.425 µg ml-1x1 ml = 20.435 µg cm-2 3.730 cm-2 20.435 µg cm-2 x 3.730 cm-2 x 100 % = 13.79 % 552.4 µg
Lampiran 9 Data analisis penurunan kadar kurkumin nanoemulsi temulawak Nanoemulsi temulawak dengan penambahan asam sitrat
Hari
Kadar kurkumin (ppm) Pengulangan Pengulangan Pengulangan I II III
Rata-rata
Standar Deviasi
10
138.3
131.1
148.8
139.4
7.3
90
101.2
98.5
94.4
98.1
3.4
Rata-rata
Standar Deviasi
Nanoemulsi temulawak tanpa penambahan asam sitrat
Hari
Kadar kurkumin (ppm) Pengulangan Pengulangan Pengulangan I II III
10
107.2
99.4
98.1
101.6
4.9
90
40.4
50.1
69.4
53.3
12.1
28
Lampiran 10 Kerusakan-kerusakan pada Nanoemulsi Temulawak Gambar A
B
Keterangan Sampel Nanoemulsi pada Suhu 40C dengan Umur Penyimpanan 60 hari
Sampel Nanoemulsi pada Suhu Ruang dengan Umur Penyimpanan 30 hari
C Sampel Nanoemulsi pada Suhu 500C dengan Umur Penyimpanan 15 hari
29
Lampiran 11 Kelarutan nanoemulsi temulawak pada berbagai pelarut pelarut heksan, aseton, etanol, metanol, dan air Heksan
Aseton
Etanol
Metanol
Air
30
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1992 dari ayah Masfar Hunawa dan ibu Yaya Rabiana. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai organisasi. Pada tahun 2010–2011 penulis menjabat sebagai anggota Greda-c CIA (Club Ilmiah Asrama). Kemudian di tingkat dua (2011–2012) menjadi pengurus Himalogin (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) IPB dan ditahun berikutnya aktif di Badan Pengawas (BP) Himalogin. Semasa mengikuti perkuliahan, penulis pernah memperoleh berbagai prestasi, di antaranya PKM Penelitian 2011 berhasil didanai DIKTI (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) dengan judul Isolasi Senyawa Dioscorin dari Umbi Gadung sebagai Bahan Aktif Bubuk Abate. Penulis juga pernah mengikuti praktik lapang di PT Indesso Aroma, Cileungsi dengan judul Produksi Produk Aromatik di PT Indesso Aroma, Cileungsi. Selama menyelesaikan studinya, penulis juga pernah mendapatkan beasiswa dari PT Jamsostek dan Bank Bukopin.