KARAKTERISTIK MIKROKAPSUL Lactobacillus plantarum DAN STABILITAS DALAM SELAI SALAK SELAMA PENYIMPANAN
NURWULAN PURNASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Karakteristik Mikrokapsul Lactobacillus plantarum dan Stabilitas dalam Selai Salak Selama Penyimpanan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2015
Nurwulan Purnasari NIM F251120171
RINGKASAN NURWULAN PURNASARI. Karakteristik Mikrokapsul Lactobacillus plantarum dan Stabilitas dalam Selai Salak Selama Penyimpanan. Dibimbing oleh Sri Laksmi Suryaatmadja dan Lilis Nuraida Salah satu pangan fungsional yang mengalami peningkatan di pasar global adalah probiotik. Pemanfaatan probiotik pada pangan berbasis non susu dengan memanfaatkan sumber daya lokal belum banyak berkembang. Sumberdaya lokal seperti buah tropis salah satunya adalah salak yang dapat dikembangkan sebagai pangan fungsional probiotik berbasis buah. Beberapa strain probiotik unggul yang sudah diperoleh antara lain adalah Lactobacillus plantarum BSL, Lactobacillus plantarum 2C12 yang merupakan hasil isolasi dari sumber daya lokal (fermentasi kubis dan daging sapi). Masalah yang dihadapi dalam pengembangan pangan probiotik adalah bahwa proses pengolahan produk pangan dan kondisi penyimpanan akan menurunkan ketahanan probiotik. Teknik mikroenkapsulasi diketahui mampu menyediakan perlindungan fisik bagi probiotik terhadap kondisi lingkungan. Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah teknik emulsi. Penelitian ini bertujuan : (1) mengetahui pengaruh mikroenkapsulasi probiotik dengan teknik emulsi terhadap sintasan dan karakteristik probiotik, (2) mengetahui suhu optimum penambahan probiotik pada selai salak, (3) mengetahui pengaruh enkapsulasi terhadap viabilitas Lb. plantarum selama penyimpanan selai salak. Tahap pertama penelitian ini adalah aplikasi teknik mikroenkapsulasi pada isolat probiotik. Strain probiotik yang digunakan adalah Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12. Teknik mikroenkapsulasi yang diterapkan adalah teknik emulsi dengan menggunakan alginat 3%. Evaluasi meliputi uji sintasan, uji ketahanan panas, uji ketahanan terhadap garam empedu dan pH rendah serta uji aktivitas antimikroba terhadap E. coli ATCC 25922, Salmonella typhii ATCC 14028, S. aureus ATCC 25923, S. cereviseae ATCC 9763, serta Aspergillus niger. Tahap kedua adalah aplikasi probiotik pada selai salak pada beberapa suhu yaitu 50, 60, 70 0C. Jenis salak yang digunakan adalah salak pondoh (Salacca edulis) yang diperoleh dari pasar sekitar Dramaga. Pada saat akhir proses pembuatan, mikrokapsul probiotik ditambahkan pada produk. Evaluasi meliputi uji sintasan serta sifat fisik (aw, pH) dari selai yang dihasilkan. Tahap ketiga meliputi pengaruh penyimpanan suhu ruang selama 4 minggu terhadap sintasan probiotik. Evaluasi meliputi uji viabilitas probiotik dan kapang serta khamir serta aw dan pH produk. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa mikroenkapsulasi dengan menggunakan teknik emulsi tidak menurunkan sintasan sel secara nyata (p<0.05). Jumlah sel kedua strain Lb. plantarum setelah enkapsulasi sama tingginya dengan sel bebas (11 log cfu g1). Ketahanan panas pada suhu 50o C pada probiotik terenkapsulasi lebih baik dibandingkan dengan sel bebas, namun semakin tinggi suhu paparan panas semakin turun ketahanan panas dari masing-masing probiotik. Sel bebas baik Lb. plantarum BSL maupun Lb. plantarum 2C12 mengalami cedera pada semua suhu pemanasan (50-70oC). Semakin tinggi suhu pemaparan maka jumlah sel cedera juga semakin banyak. Oleh karena itu penambahan
probiotik pada selai salak dilakukan pada suhu pemaparan terendah yaitu 500C. Teknik mikroenkapsulasi juga meningkatkan secara nyata (P<0.05) ketahanan probiotik terhadap garam empedu 0.5% serta pH rendah (pH 2) dibandingkan dengan probiotik bebas. Kedua strain Lb. plantarum terenkapsulasi terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli, Salmonella typhii dan S. aureus, namun tidak mampu menghambat pertumbuhan S. cereviseae dan Aspergillus niger. Bakteri probiotik terenkapsulasi pada selai salak memperlihatkan viabilitas yang lebih baik dibanding sel bebas selama penyimpanan suhu kamar 4 minggu, dimana keseluruhan sel bebas sudah tidak terdeteksi pada penyimpanan 2 minggu. Pada akhir penyimpanan 4 minggu total kapang khamir yang terdeteksi pada semua selai dengan berbagai perlakuan masih dibawah 2 log cfu g-1. Perubahan aw dan pH selai salak kontrol tanpa penambahan probiotik hampir sama dengan selai salak dengan penambahan kedua strain Lb. plantarum bebas maupun terenkapsulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroenkapsulasi probiotik dengan metode emulsi dapat diaplikasikan sebagai teknik perlindungan bagi sel probiotik dari kondisi lingkungan dan kondisi penyimpanan di dalam produk pangan berbasis buah selama 4 minggu. Kata kunci: probiotik, mikroenkapsulasi, Lb. plantarum, selai salak
SUMMARY NURWULAN PURNASARI. Microcapsule Characteristics of Lactobacillus plantarum and Its Stability in Snake Fruit Jam During Storage. Under direction of Sri Laksmi Suryaatmadja and Lilis Nuraida Modern consumers expect their food to be healthy and to prevent illness. Therefore the demand of functional food including probiotic products growing significantly. Functional foods containing probiotic bacteria generally are dominated by milk-based foods. Recently, the incorporation of probiotic bacteria in various food products especially fruit-based products have been studied. Probiotic strains in this research had been isolated from saurkraut (Lb. plantarum BSL) and beef (Lb.plantarum 2C12). Many reports indicated that there were poor survival of probiotic bacteria in food products containing free probiotic cells. Providing probiotic living cells with a physical barrier such as microencapsulation to resist adversed effect of environmental conditions is therefore an approach currently receiving considerable interest. The objectives of the study were 1) to evaluate the effect of Lb. plantarum microencapsulation by emulsion technique toward the resistancy to heat, injured cell, low pH (2.0) and bile salt (0.5%) and its antimicrobial activity. 2) to determine the most suitable temperature for incorporation probiotic into snake fruit jam. 3) to study the viability of free and encapsulated Lb. plantarum in snake fruit jam, total yeast mold, pH changes and water activity during room storage. The first stage of this study was microencapsulation of probiotics by emulsion method with sodium alginate as encapsulanting material. Characterization of the encapsulated probiotic were conducted including resistance to heat, injured cell, low pH and bile salt resistance, antimicrobial activity againts E. coli ATCC 25922, Salmonella typhii ATCC 14038, S. aureus ATCC 25923, S. cereviseae ATCC 9763 and Aspergillus niger. The second stage was incorporating the encapsulated probiotic into snake fruit jam. The most suitable temperature for incorporate based on the result of heat resistance.The last stage was evaluation of the probiotic viability in snake fruit jam during storage in room temperature for 4 weeks. The results showed that high survival number (11 log cfu g-1) of both Lb. plantarum strains were achieved after encapsulation. Heat resistance of the encapsulated strains at 50oC was better than their free cells, but the higher the temperature applied the lower the number of survivors would be. Heating at 70oC was more detrimental to all encapsulated probiotics with a decrease of more than 5 log cell numbers. Heating at 50o-70oC caused injury to all probiotics cells. Encapsulation probiotics also showed significantly higher survival (P<0.05) in bile salt (0.5%) and low pH (pH 2) treatments compared to their free cells. All encapsulated Lactobacillus strains could inhibit the growth of E. coli, Salmonella typhii and S. aureus as well as their free cells, but none of them could inhibit S. cereviseae and Aspergillus niger. Encapsulated probiotic bacteria in snake fruit jam showed good viability throughout the four weeks of storage, whereas the free probiotic lost their viability within two weeks. No changes of pH and water activity of the products were observed between free and encapsulated probiotic. The overall results suggested
that microencapsulated probiotic prepared by emulsion method is suitable to be incorporated in snake fruit jam and provided good stability during 4 weeks of storage at room temperature. Key words: probiotics, microencapsulation, Lb. plantarum, snake fruit jam
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KARAKTERISTIK MIKROKAPSUL Lactobacillus plantarum DAN STABILITAS DALAM SELAI SALAK SELAMA PENYIMPANAN
NURWULAN PURNASARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Nur Wulandari, STP, M.Si
Judul Penelitian Nama NIM
: Karakteristik Mikrokapsul Lactobacillus plantarum dan : Stabilitas dalam Selai Salak Selama Penyimpanan : Nurwulan Purnasari : F251120171
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr.Ir Sri Laksmi Suryaatmadja, MS Ketua
Prof. Dr. Lilis Nuraida M.Sc Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Prof. Dr.Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Tanggal Ujian: 18 Mei 2015
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karuniaNya sehingga penulis bisa menyelesaikan karya ini. Tema yang diambil dalam penelitian ini adalah Karakteristik Mikrokapsul Lactobacillus plantarum dan Stabilitas Dalam Produk Selai Salak Selama Penyimpanan. Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Sri Laksmi Suryaatmadja, MS dan Prof. Dr. Lilis Nuraida, M.Sc selaku pembimbing atas arahan, ilmu dan motivasi selama awal hingga akhir proses penelitian ini. 2. DIKTI yang telah membiayai penelitian ini melalui program Hibah Kompetensi dengan judul ‘Pengembangan Pangan Probiotik Berbasis Buah Tropis Menggunakan Bakteri Asam Laktat Lokal Terenkapsulasi’ yang diterima oleh Prof. Dr. Ir. Sri Laksmi Suryaatmadja MS, Prof. Dr. Lilis Nuraida M.Sc, Dr. Dra Suliantari, MS serta membiayai studi penulis
melalui program Beasiswa Unggulan. 3. Dr. Nur Wulandari, S.TP, M.Si atas kesediaannya menguji penulis dan memberikan masukan demi sempurnanya tesis ini. 4. Suami Iman Sabarisman dan putra Muhammad Rayhan atas dukungan dan perhatian selama penulis menjalani studi dan penelitian. 5. Orangtua dan mertua karena atas doa dan ridha mereka penulis mampu menyelesaikan studi dan penelitian ini. 6. Patner penelitian, Anis Usfah dan Rina Ningtyas yang setia menjadi teman dalam suka duka selama penelitian. Selain itu tak lupa penulis sampaikan terimakasih kepada para sahabat, Laboran, teman-teman IPN 2012 serta pihak pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas dukungannya selama ini. Akhir kata semoga penelitian ini bermanfaat demi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Juni 2015 Nurwulan Purnasari
DAFTAR ISI RINGKASAN ................................................................................................................... ii PRAKATA .............................................................................................................. x DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 Rumusan Masalah ............................................................................................... 2 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 3 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 3 Hipotesis .............................................................................................................. 3 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4 Salak ................................................................................................................... 4 Selai ..................................................................................................................... 5 Probiotik .............................................................................................................. 6 Mikroenkapsulasi ................................................................................................ 9 METODE PENELITIAN ...................................................................................... 12 Tahapan Penelitian ........................................................................................... 12 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 13 Bahan dan Alat .................................................................................................. 13 Preparasi Kultur Mikroorganisme (Harmayani et al. 2001) .......................... 13 Mikroenkapsulasi (Mandal et al. 2005) ......................................................... 13 Aplikasi Probiotik pada Pengolahan Buah Salak menjadi Selai Salak.......... 14 Penyimpanan Produk Selai Salak .................................................................. 15 Prosedur Analisis ............................................................................................... 15 Uji sintasan probiotik bebas dan terenkapsulasi (Gebara et al. 2013) ........... 15 Sel Cedera (Injured cell) Setelah Pemanasan (Golowczyc et al. 2010) ........ 15 Ketahanan Terhadap Panas (Mandal et al. 2005) ......................................... 15 Ketahanan Terhadap Garam Empedu (0.5%) dan pH rendah (pH 2) (Nuraida et al. 2012) ..................................................................................................... 16
Uji Sifat Antimikroba dari Probiotik Bebas dan Probiotik Terenkapsulasi (Sahputra 2012) .............................................................................................. 16 Uji Ukuran dan Bentuk Mikrokapsul ............................................................ 17 Uji kapang dan khamir (Fardiaz 1992) .......................................................... 17 Metode Analisis ................................................................................................. 17 Analisis Rendemen Enkapsulasi .................................................................... 17 Perhitungan Koloni (BAM 2001) ................................................................... 17 Pengukuran aw dan pH selai salak probiotik (BSN 1992) ............................ 18 Analisis Data .................................................................................................. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 20 Karakteristik Fisik Mikrokapsul ....................................................................... 20 Jumlah Sel Bakteri Probiotik Setelah Proses Mikroenkapsulasi ....................... 22 Pengaruh Mikroenkapsulasi Terhadap Sifat Probiotik ...................................... 23 Ketahanan Lb. plantarum Terhadap Panas ................................................... 23 Sel Cedera (Injured cell) Setelah Pemanasan ................................................ 25 Ketahanan Strain Lb. plantarum Terhadap Garam Empedu (0.5%) ............. 27 Ketahanan Strain Lb. plantarum Terhadap pH Rendah (pH 2)..................... 28 Stabilitas Bakteri Probiotik Dalam Produk Selai Salak Selama Penyimpanan Suhu Kamar ....................................................................................................... 32 Survival bakteri probiotik dalam selai salak .................................................. 32 Total Kapang Khamir Selai Salak Selama Penyimpanan .............................. 33 Perubahan pH dan aw Selai Salak Selama Penyimpanan ............................... 35 SIMPULAN DAN SARAN................................................................................... 38 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 52
DAFTAR TABEL Tabel 1. Kandungan Nilai Gizi dalam 100g Buah Salak ......................................... 4 Tabel 2. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan ............ 6 Tabel 3. Ketahanan Lb. plantarum Terhadap Pemanasan ..................................... 24 Tabel 4. Jumlah dan Penghambatan E. coli ATCC 25922 pada Uji Kompetisi dengan Strain Lb. plantarum ................................................................................. 31 Tabel 5. Perubahan pH Selai Salak Selama Penyimpanan Suhu Kamar ............... 35 Tabel 6. Perubahan aw Selai Salak Selama Penyimpanan Suhu Kamar ................ 36
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Skema Kegiatan Penelitian ............................................................................. 12 Gambar 2. Skema Pembuatan Selai Salak ........................................................................ 14 Gambar 3. Bentuk Mikroskopis Mikrokapsul strain Lb. plantarum (perbesaran 20x) ..... 20 Gambar 4. Sebaran Ukuran Mikrokapsul strain Lb.plantarum ......................................... 21 Gambar 5. Jumlah sel Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 Setelah Proses Mikroenkapsulasi ............................................................................................ 22 Gambar 6. Efek mikroenkapsulasi terhadap penurunan jumlah sel Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12.. ...................................................................................... 23 Gambar 7. Pengaruh Suhu pemanasan dan Mikroenkapsulasi Terhadap Jumlah Sel Cedera Lb. plantarum ..................................................................................... 26 Gambar 8. Penurunan Jumlah Sel Strain Lb. plantarum Bebas dan Terenkapsulasi Terhadap Garam Empedu (0.5%) ................................................................... 28 Gambar 9. Penurunan Jumlah Sel Strain Lb. plantarum Bebas dan Terenkapsulasi Terhadap pH Rendah (pH 2) ........................................................................... 29 Gambar 10. Aktivitas Antimikroba Sel Lb. plantarum BSL Dan Lb. plantarum 2C12 Bebas dan Terenkapsulasi Terhadap Beberapa Jenis Mikroorganisme .......... 30 Gambar 11. Pengaruh Enkapsulasi Terhadap Jumlah Sel Lb. Plantarum Pada Selai Salak Selama Penyimpanan Suhu Kamar ................................................................. 32 Gambar 12. Total Kapang Khamir Selai Salak Selama Penyimpanan Suhu Kamar ........ 34
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Bentuk mikrokapsul dengan teknik emulsi .................................................. 45 Lampiran 2 Bentuk mikrokapsul dibawah mikroskop cahaya (a) dan mikroskop okuler (b) ...................................................................................................................................... 45 Lampiran 3 Hasil pengukuran kadar air ........................................................................... 45 Lampiran 4 Hasil pengukuran kadar gula ........................................................................ 46 Lampiran 5 Rendemen enkapsulasi (RE) dengan teknik emulsi...................................... 46 Lampiran 6 Ketahanan probiotik terhadap pemanasan suhu 50 oC .................................. 46 Lampiran 7 Ketahanan probiotik terhadap pemanasan suhu 60 oC ................................. 47 Lampiran 8 Ketahanan probiotik terhadap pemanasan suhu 70 oC ................................. 47 Lampiran 9 Sel cedera setelah pemanasan ....................................................................... 47 Lampiran 10 Hasil analisis statistik pengujian ketahanan probiotik terhadap pH rendah 47 Lampiran 11 Hasil analisis statistik pengujian ketahanan probiotik terhadap garam empedu .............................................................................................................................. 48 Lampiran 12 Hasil analisis statistik aktivitas antimikroba terhadap beberapa jenis mikroba ............................................................................................................................. 48 Lampiran 13 Hasil analisis statistik perubahan pH dan aw selai salak selama penyimpanan ..................................................................................................................... 49 Lampiran 14 Selai salak probiotik ................................................................................... 51
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi produk pangan fungsional di masyarakat meningkat seiring kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan. Salah satu komponen pangan fungsional yang mengalami peningkatan adalah produk pangan probiotik. Pasar global untuk probiotik secara keseluruhan mencapai US $ 14.9 milyar pada tahun 2007 dan mencapai US $ 16 milyar pada tahun 2008, dan dengan pertumbuhan sebesar 4.3%, diperkirakan target penjualan pada tahun 2013 mencapai US $ 19.6 milyar (Rahayu 2011). Namun hingga saat ini, produk probiotik masih didominasi oleh produk berbasis susu seperti yakult, yoghurt, susu formula, es krim dan keju. Probiotik didefinisikan sebagai mikroba hidup yang dikonsumsi oleh manusia atau hewan dalam jumlah yang cukup, mampu hidup dan melewati kondisi lambung dan saluran pencernaan serta bermanfaat bagi sel inangnya dengan cara meningkatkan kesehatan bagi inangnya (FAO/WHO 2002). Mikroba probiotik umumnya berasal dari bakteri asam laktat (BAL). Probiotik memiliki berbagai fungsi kesehatan antara lain sebagai pencegah diare, mengurangi kejadian lactose intolerance, serta meningkatkan sistem imun tubuh. Persyaratan dasar yang perlu dimiliki oleh probiotik adalah tahan terhadap kondisi asam lambung dan garam empedu, dapat bertahan hidup saat melalui saluran pencernaan, memiliki kemampuan menempel pada permukaan usus, serta memiliki aktivitas antimikroba untuk melawan bakteri patogen (Ouwehand et al. (2001). Bakteri probiotik harus termasuk kelompok GRAS (Generally Recognized as Safe). Di masa mendatang, pasar pangan probiotik berbasis non-susu diperkirakan akan berkembang. Perkembangan ini semakin terbuka lebar karena beberapa alasan, salah satunya adalah lactose intolerance. Hal ini tentunya mendorong para peneliti maupun industri untuk melakukan terobosan guna menemukan wahana (vehicle) probiotik baru berbasis non-susu, seperti buahbuahan maupun sayuran. Wilayah Asia Tenggara menduduki peringkat tertinggi jumlah penderita lactose intolerance yang mencapai 98%, sangat jauh berbeda dengan daerah Eropa Utara yang hanya sebesar 5% (Rahayu 2011). Hal ini menunjukkan bahwa produk probiotik non susu dibutuhkan dan cocok untuk dikembangkan pada pasar dengan tingkat prevalensi lactose intolerance tinggi seperti di Indonesia. Indonesia kaya akan sumberdaya lokal seperti buah tropis yang potensial untuk dikembangkan sebagai basis pangan fungsional probiotik sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produk. Di samping itu Indonesia juga dikenal kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk diantaranya adalah berbagai jenis bakteri yang menguntungkan dalam bidang pangan dan kesehatan seperti bakteri asam laktat (BAL) yang berpotensi probiotik. Oleh karena itu pangan probiotik berbasis buah tropis mempunyai potensi untuk dikembangkan. Keberadaannya sepanjang tahun membuat komoditi ini memungkinkan untuk diolah menjadi pangan yang mempunyai nilai tambah, salah satunya dengan memanfaatkannya menjadi pangan probiotik.
2
Produk IMF (intermediate moisture food) atau pangan semi basah diperkirakan berpotensi untuk dikembangkan sebagai pangan probiotik baru berbasis buah lokal. Penelitian Nualkaekul et al. (2013) menunjukkan jus buah terbukti dapat menjadi pembawa (carrier) probiotik terenkapsulasi. Ding dan Shah (2008) juga menyebutkan bahwa serbuk buah mampu menjadi pembawa probiotik terenkapsulasi selama penyimpanan dingin 6 minggu. Selai merupakan salah satu produk pangan tradisional yang termasuk produk IMF. Keunggulan dari produk IMF adalah memiliki aw yang rendah (0.7-0.8), sehingga mampu memperpanjang masa simpan produk pada suhu kamar (Labuza et al. 2007) Viabilitas probiotik umumnya mengalami penurunan selama berada dalam sistem pangan dan kondisi penyimpanan pangan serta saat dikonsumsi melalui alat pencernaan (Sultana et al. 2000). Salah satu upaya untuk mempertahankan viabilitas probiotik adalah dengan mengaplikasikan teknik mikroenkapsulasi. Probiotik terenkapsulasi dalam gel alginat lebih tahan panas (60oC), asam (pH 1.5) dan garam empedu 2% dibandingkan probiotik tanpa enkapsulasi (Mandal et al. 2006), serta memiliki sintasan lebih baik selama penyimpanan dingin (Jayalalitha et al. 2011). Pengembangan pangan probiotik non-susu, prosesnya diawali dengan produksi biomassa probiotik yang kemudian diintroduksi pada makanan. Penambahan probiotik dilakukan selama pembuatan produk perlu dipelajari terlebih dahulu, agar tidak terjadi penurunan jumlah probiotik yang signifikan selama proses. Untuk dapat memberikan manfaat terhadap kesehatan viabilitas probiotik dalam produk umumnya sekitar 108 cfu g-1 (Hatting dan Viljoen 2001), sedangkan US FDA merekomendasikan jumlah minimum probiotik saat konsumsi sebesar 106 cfu mL-1. Rumusan Masalah Dewasa ini mulai dikembangkan pangan probiotik berbasis non susu. Indonesia kaya akan buah tropis sebagai sumberdaya lokal yang berpotensi dikembangkan sebagai basis pangan fungsional probiotik non susu. Kandidat probiotik dari isolat lokal juga banyak tersedia di Indonesia. Mikroenkapsulasi dengan metode emulsi mampu mempertahankan sintasan probiotik selama proses pengolahan pangan maupun ketika melewati saluran pencernaan. Penambahan probiotik terenkapsulasi pada matriks pangan berbasis buah belum banyak dikembangkan. Banyak penelitian mengenai mikroenkapsulasi namun belum banyak laporan terkait evaluasi penambahan probiotik terenkapsulasi pada produk pangan berbasis buah khususnya selai salak. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi terkait pengaruh mikroenkapsulasi terhadap sifat fisikokimiawi dari probiotik serta sintasan setelah dienkapsulasi maupun setelah penambahan pada matriks pangan berbasis buah. Belum adanya pengetahuan mengenai suhu optimum penambahan probiotik selama pembuatan selai juga menjadi salah satu hal yang perlu diteliti. Selain itu stabilitas probiotik terenkapsulasi serta perubahan aw dan pH dari dalam selai salak juga perlu dievaluasi.
3
Tujuan Penelitian 1) Mengetahui karakteristik probiotik terenkapsulasi meliputi sintasan setelah enkapsulasi, ketahanan panas, sel cedera, ketahanan terhadap garam empedu dan pH rendah, serta aktivitas antimikroba. 2) Mengetahui suhu optimum proses penambahan probiotik pada selai salak 3) Mengetahui pengaruh penyimpanan terhadap viabilitas Lb. plantarum serta aw, pH serta cemaran kapang khamir pada selai salak. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang pangan fungsional khususnya pangan probiotik berbasis non-susu. Penelitian akan menghasilkan teknologi proses pembuatan probiotik terenkapsulasi dan aplikasinya pada selai salak. Hipotesis 1) Mikroenkapsulasi Lb. plantarum dengan teknik emulsi akan meningkatkan sintasan, ketahanan terhadap panas, garam empedu dan pH rendah serta tidak mempengaruhi aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen. 2) Jumlah sel probiotik terenkapsulasi lebih tinggi daripada sel bebas pada suhu aplikasi selai salak. 3) Viabilitas probiotik terenkapsulasi dalam selai salak lebih tinggi daripada sel bebas selama penyimpanan pada suhu kamar.
4
TINJAUAN PUSTAKA Salak Salak merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia dengan berbagai varietas. Masing-masing varietas mempunyai keunggulan tersendiri. Salah satu varietas yang dikenal adalah salak pondoh, salak varietas ini banyak dibudidayakan di daerah Yogyakarta terutama kabupaten Sleman. Buah salak pondoh adalah jenis salak yang paling unggul dibanding jenis lainnya. Keunggulan utama salak pondoh adalah memiliki rasa yang manis dan gurih tanpa rasa sepat walaupun salak masih muda (Nusmawarhaeni et al. 1989). Sleman merupakan sentra penghasil, penelitian buah dan bibit salak pondoh dengan produksi 500300 Kw/tahun. Adanya keunggulan salak pondoh tersebut menyebabkan nilai ekonomis salak pondoh lebih tinggi dibanding jenis salak lainnya (Djuwanto 1989). Salak pondoh (Salacca edulis Reinw.) termasuk famili Palmaceae. ordo Spadiceflorae dan genus Salacca. Salak pondoh memiliki ukuran yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan salak jenis lainnya, memiliki tekstur yang keras, kulit yang lebih hitam dan daging buah yang relatif lebih putih (Hastuti dan Ari 1988). Bobot salak pondoh antara 30-100 gram dan memiliki biji yang kecil (Sabari 1983). Ketebalan daging salak pondoh umumnya adalah antara 0.8 sampai 1.5 cm (Rukmana 1999). Tanaman salak pondoh berbeda dengan jenis buah tropis lainnya yang rata-rata mengalami masa panen sekali dalam setahun dengan waktu yang bersamaan. Musim salak pondoh dapat dipilah menjadi 4 periode, yaitu : 1) panen raya : November – Januari, 2) panen kecil : Februari-April, 3) panen sedang : Mei-Juli dan 4) panen susulan: Agustus-Oktober (Harsoyo 1999). Buah salak dapat dimakan segar, maupun sebagai produk olahan atau awetan. Buah salak produk awetan selain manisan bisa juga dibuat wajik dan selai. Hal ini dilakukan untuk menghindari pembusukan buah. Dengan total produksi yang besar di sepanjang tahun memungkinkan untuk menjadikan salak pondoh sebagai salah satu basis pengembangan produk lanjut berupa pangan probiotik guna memberikan nilai tambah pada buah ini. Tabel 1 Kandungan nilai gizi dalam 100g buah salak Jenis Gizi Nilai Kandungan Kalori Protein Lemak Air Karbohidrat Kalsium Fosfor Zat Besi Berat bahan yang dapat dimakan Sumber : Depkes RI 2000
77 kal 0.4 g 0g 78 g 20.9 g 28 mg 18 mg 4.2 mg 50%
5
Salak pondoh mempunyai kelebihan tersendiri dibanding salak yang lain (Widiharta, 1988) yaitu: 1) Kualitas rasa daging buahnya lebih manis, tanpa ada rasa sepat meskipun masih muda, sedangkan jenis buah salak lainnya umumnya terasa sepat sewaktu muda. 2) Sifat buah relatif lebih lama dibanding dengan jenis salak lainnya. Salak pondoh akan tetap segar walaupun disimpan lebih dari 20 hari. 3) Apabila banyak makan salak pondoh tidak akan menimbulkan sakit perut. Selai Selai merupakan salah satu jenis produk IMF (Intermediate Moisture Food). IMF merupakan produk pangan yang berbasis pengawetan, dimana produk pangan tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki nilai aktivitas air (aw) yang lebih rendah. Hal tersebut bertujuan agar hampir seluruh mikroba khususnya mikroba perusak makanan tidak dapat tumbuh di dalamnya (Sych 2003). Vermeulen et al. (2012) menambahkan, IMF atau pangan semi basah seperti selai, produ-produk bakery dan cokelat pasta, umumnya mengandung antara kadar air 20-50% (w/w). IMF merupakan produk pangan yang memiliki nilai aw berkisar antara 0.65-0.90 dengan RH 15-40%. IMF secara tradisional dibuat dengan prinsip penarikan air baik secara adsorpsi maupun desorpsi dan atau dengan penambahan humektan seperti gliserol dan sorbitol yang berfungsi untuk mengatur aw. Selain itu, kombinasi dari beberapa humektan dengan konsentrasi yang rendah dapat menurunkan masalah off-flavor pada produk IMF (Sych 2003). Food and Drug Administration/ FDA (2002) mendefinisikan selai sebagai produk olahan buah-buahan, baik buah segar, buah beku, buah kaleng maupun campuran ketiganya. Selai merupakan produk awetan yang dibuat dengan memasak hancuran buah yang dicampur gula atau campuran gula dengan dekstrosa atau glukosa, dengan atau tanpa penambahan air dan memiliki tekstur yang lunak dan plastis (Suryani et al. 2004). Menurut Suryani et al. (2004), selai yang bermutu baik mempunyai tanda spesifik yaitu: konsistensi kokoh; distribusi buah merata; warna cemerlang; flavor buah alami; tekstur lembut; tidak mengalami sineresis dan kristalisasi selama penyimpanan. Pembuatan selai meliputi tahap pemilihan bahan, pencucian, pengupasan, penghancuran buah, pemasakan, pengemasan dalam wadah botol, pasteurisasi dan pendinginan. Pemilihan tingkat kematangan buah yang digunakan akan mempengaruhi hasil akhir selai yang dihasilkan. Buah yang digunakan haruslah berkualitas baik terutama jika memanfaatkan buah segar, kemudian dilakukan pengupasan pada buah yang berkulit serta penghilangan biji pada buah-buahan yang berbiji (Suryani et al. 2004). Buah yang akan dijadikan selai dipilih yang bermutu baik dengan campuran buah setengah matang dan buah matang penuh buah setengah matang akan menyediakan pektin dan asam yang cukup, sedangkan buah matang sepenuhnya akan memberikan aroma yang baik (Facruddin 2008) Nilai aw pada selai berkisar antara 0.7-0.8 (Labuza et al. 2007). Selai mudah mengalami kerusakan mikrobiologis terutama pada masa penyimpanan. Untuk menghindari kerusakan oleh mikroba biasanya produsen selai
6
menambahkan pengawet kimia guna memperpanjang masa simpan. Torok dan King (1991) dan Shearer et al. (2002) menyebutkan bahwa lebih dari 239 khamir telah diidentifikasi sebagai perusak pada produk olahan buah-buahan seperti konsentrat dan sayuran di USA di antaranya termasuk Candida dan Saccaromyces. Jumlah mikroba pada selai dipengaruhi oleh beberapa faktor (Buckle et al. 1987) yaitu kandungan gula tinggi 65-73%, keasaman tinggi dengan pH 3,1-3,5, dan nilai aw sekitar 0.73-0.83. Menurut Teti dan Ahmadi (2009), penambahan gula dengan kadar yang tinggi (minimum 40%) menyebabkan air dalam bahan pangan menjadi terikat sehingga menurunkan nilai aktivitas air (aw) dan dapat memperpanjang masa simpan karena air terikat tidak dapat digunakan oleh mikroba. Gula pasir selain menjadi pemberi cita rasa juga berpengaruh terhadap kekentalan gel, karena gula dapat menyerap air. Akibatnya pengembangan pati menjadi lebih lambat sehingga suhu gelatinisasi lebih tinggi. Penambahan gula lebih dari 75% akan memberikan daya oles yang kurang baik (Hambali 2004). Kapang dapat menyebabkan kerusakan pada selai karena biasanya tumbuh di permukaan selai. Kapang-kapang tersebut berasal dari bahan baku yaitu buah pada waktu proses, dimana menurut Ray (2000) kapang-kapang yang terdapat pada buah-buahan yang menyebabkan kebusukan adalah Rhizopus, Aspergillus dan Penicillium. Tabel 2 Batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan Cemaran Jumlah maksimum o ALT (30 C, 72 jam) 1x104 koloni/g APM Koliform <3/g Staphylococcus aureus 1 x 102 koloni/g Clostridium sp <1x101 koloni/g Kapang dan khamir 1x102 koloni/g Sumber : Peraturan BPOM Nomor HK.00.06.1.52.4011 Probiotik Probiotik didefinisikan sebagai mikroba hidup yang dikonsumsi oleh manusia atau hewan dalam jumlah yang cukup, mampu hidup dan melewati kondisi lambung dan saluran pencernaan serta bermanfaat bagi sel inangnya dengan jalan meningkatkan kesehatan bagi inangnya (FAO/WHO 2002). Mikroba probiotik umumnya berasal dari bakteri asam laktat (BAL). Probiotik mempunyai berbagai fungsi kesehatan antara lain sebagai pencegah diare, mengurangi kejadian lactose intolerance, meningkatkan sistem imun tubuh. Probiotik sangat penting bagi tubuh karena menunjukkan peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan. Keseimbangan ini ditunjukkan dengan adanya interaksi yang kompleks yang bekerja secara sinergis dan antagonistis tergantung dari strain yang terlibat, jumlah serta aktivitas metaboliknya. Probiotik harus memiliki beberapa karakteristik seperti tahan terhadap kondisi asam dan garam empedu, dapat bertahan hidup selama melalui saluran perncernaan, memiliki kemampuan menempel (adhesi) pada permukaan usus, serta memiliki aktivitas antimikroba untuk melawan bakteri patogen (Ouwehand
7
et al. 2001). Probiotik juga berfungsi untuk menyempurnakan proses pencernaan manusia dengan cara melindungi saluran pencernaan dari serangan bakteri patogen (Arief et al. 2011). Bakteri probiotik juga harus termasuk kelompok aman atau GRAS (Generally Recognized as Safe). Di samping itu, beberapa peneliti lain telah mengemukakan jaminan kriteria untuk bakteri probiotik. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut : a. Probiotik harus mampu bertahan melewati lambung dan usus halus, sehingga probiotik harus toleran terhadap suasana asam dan adanya asam empedu (Sunny- Roberts dan Knoor 2008). b. Probiotik harus mempunyai kemampuan untuk melakukan penempelan ke usus (Nitisinprasert et al. 2006), karena sangat berkaitan dengan beberapa efek kesehatan antara lain efek imunologik dan eksklusi kompetitif dengan mikroba patogen (Bourlioux et al. 2003). c. Probiotik harus mampu bertahan selama proses pengolahan dan penyimpanan (FAO/WHO 2002; Sunny-Roberts dan Knoor 2008), sehingga saat dikonsumsi masih mempunyai viabilitas yang cukup untuk mengatasi berbagai masalah di saluran pencernaan antara lain dengan meningkatkan pencernaan laktosa, mengontrol infeksi di usus, serta menjaga keseimbangan barier mukosa usus (Agostoni et al. 2004). Bakteri probiotik dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang tidak dikehendaki dan bakteri penghasil racun pada makanan. Efek dari probiotik adalah dengan memproduksi asam, bakteriosin, berkompetisi dengan patogen, dan meningkatkan sistem imun. Bakteri probiotik memproduksi β-galaktosidase yang bermanfaat bagi penderita lactose intolerance. Probiotik juga dapat berfungsi sebagai antikarsinogenik dan antimutagenik (Aysun 2002). Selain itu, probiotik memiliki sifat fungsional seperti aktivitas hipokolesterol dengan menurunkan kadar kolesterol dalam darah (Kusumawati, 2003). Karakteristik probiotik dan sifat fungsionalnya tersebut dipengaruhi oleh strain BAL dan semua strain probiotik tersebut unik dan berbeda sehingga perlu dilakukan pemilihan strain yang memiliki karakteristik sebagai probiotik. Banyak strain dan spesies yang berbeda dari Lactobacilli yang digunakan sebagai probiotik. Salah satu strain yang secara komersial digunakan adalah Lactobacillus acidophilus NCFM dan Lactobacillus casei strain Shirota. Bakteri probiotik harus melakukan metabolisme dengan stabil dan aktif di dalam produk, dapat bertahan di lingkungan pencernaan dalam jumlah yang banyak, dan dapat memberikan keuntungan bagi usus sebagai tempat hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa bakteri probiotik pada yogurt dan pada susu fermentasi tidak dapat bertahan pada fermented frozen dairy desserts sehingga jumlahnya mengalami penurunan sebanyak 5-6 siklus log yang disimpan pada suhu 18oC selama 8-12 minggu. Menurut Salminen dan Lee (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi viabilitas probiotik pada produk pangan, di antaranya; 1) Suhu Suhu optimum pertumbuhan mikroba penting diketahui terutama dalam aplikasi pada produk pangan. Suhu optimum untuk pertumbuhan bagi sebagian besar probiotik berkisar antara 37oC–43oC. Suhu juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi viabilitas probiotik selama pengolahan dan penyimpanan. Semakin rendah suhu yang digunakan maka semakin stabil viabilitas probiotik
8
dalam produk pangan tersebut. Selama proses pengolahan, suhu di atas 45oC50oC akan mengganggu viabilitas probiotik. Semakin tinggi suhu, semakin pendek jangka waktu paparan untuk dapat mengurangi bakteri yang hidup. Lamanya paparan berkisar antara hitungan menit sampai jam untuk suhu 45-55o C, dan hitungan detik untuk suhu yang lebih tinggi. Hal ini jelas membuktikan bahwa probiotik seharusnya ditambahkan pada saat penurunan suhu di akhir proses pemasakan produk pangan. 2) aw Probiotik dapat bertahan hidup pada produk kering lebih dari 12 bulan pada suhu ruang, dengan syarat aw produk dipertahankan pada kisaran 0.2-0.3. Secara umum, semakin rendah aw maka ketahanan bakteri probiotik selama penyimpanan semakin baik. Mempertahankan viabilitas probiotik pada produk IMF selama penyimpanan merupakan tantangan utama dan salah satu solusinya adalah dengan melakukan mikroenkapsulasi. 3) pH BAL memproduksi asam organik sebagai produk akhir dari metabolisme karbohidrat, oleh sebab itu bakteri ini toleran terhadap pH rendah dibanding bakteri lain. Cotter dan Hill (2003) memaparkan mekanisme homeostatik instrinsik yang menyebabkan BAL mampu bertahan pada kondisi pH rendah atau keasaman yang tinggi. Mekanisme yang terjadi pada BAL antara lain sistem Glutamatdekarboksilase (GAD), sistem arginin deiminasi (ADI) dan pompa proton H+-ATP-ase. Sistem glutamat dekarboksilase merupakan suatu mekanisme pertahanan sel sebagian BAL terhadap kondisi pH yang rendah. Beberapa spesies Lactobacillus sp dilaporkan memiliki mekanisme sistem GAD. Keberadaan glutamat sebagai zat yang dapat mempertahankan kondisi homeostatis pH internal sel BAL menjadi faktor yang penting untuk perlindungan BAL terhadap kondisi pH rendah. Glutamat dapat diperoleh dari berbagai sumber terutama dari makanan pembawa BAL misalnya makanan kaya protein (susu dan daging), beberapa buah-buahan, ataupun bahan kriogenik yang sengaja ditambahkan untuk pengawetan BAL selama pengolahan. Lactobacillus plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, kelas Bacilli, ordo Lactobacillales, famili Lactobacillaceae dan genus Lactobacillus. Lactobacillus plantarum merupakan salah satu jenis BAL homofermentatif dengan pertumbuhan yang optimal pada suhu 30-37 oC serta pada pH 5-7 (Emanuel et al. 2005). Lactobacillus plantarum mempunyai kemampuan untuk menghambat mikroba patogen pada bahan pangan dengan daerah penghambatan terbesar dibandingkan dengan bakteri asam laktat lainnya (Jenie dan Rini 1995). Lactobacillus plantarum termasuk spesies bakteri yang tergolong dalam probiotik (Salminen dan Wright 2004). Strain yang digunakan pada penelitian ini adalah Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus plantarum BSL. Disamping memiliki sifat fungsional antibakteri, Lb. plantarum BSL (dahulu Lb. plantarum sa28k) yang diisolasi dari fermentasi kubis juga memiliki sifat-sifat dasar probiotik seperti ketahanan pada pH rendah dan garam empedu, serta hasil studi in vivo mengungkapkan bahwa isolat tersebut juga memperlihatkan sifat fungsional lain yaitu mampu menurunkan kadar kolesterol darah tikus (Kusumawati et al. 2003). Strain probiotik Lb. plantarum 2C12 yang diisolasi dari daging sapi telah terbukti efektif mencegah diare yang disebabkan oleh EPEC dengan cara meningkatkan total
9
BAL di mukosa dan isi sekum, serta menurunkan total E. coli pada mukosa dan isi sekum (Arief et al. 2010). Bakteri asam laktat dianggap sebagai bakteri yang membutuhkan berbagai asam amino esensial dan vitamin untuk tumbuh, namun beberapa strain probiotik diketahui mampu tumbuh pada matriks pangan yang berasal dari buah-buahan (Ding dan Shah 2008, Nualkaekul et al. 2013). Penelitian menunjukkan bahwa viabilitas sel tergantung pada strain yang digunakan, karakteristik substrat, kandungan oksigen dan keasaman dari produk pangan (Shah 2001). Spesies yang berbeda akan memberikan sensitivitas yang berbeda terhadap pH substrat dan keasaman akhir pada produk fermentasi, suhu maupun kondisi pencernaan. Probiotik tumbuh optimum pada suhu 35-40o C dan pH 4.5-6.4 dan terhenti ketika pH mencapai 4.0-3.6 (Shah 2007). Hal ini dapat disiasati dengan memberikan pelindung fisik terhadap kondisi yang tidak menguntungkan, seperti penyalutan dengan alginat, chitosan, gel kalsium pektat maupun poliakrilamida. Mikroenkapsulasi Enkapsulasi merupakan teknologi pengemasan zat padat, cair atau gas dalam kapsul berukuran kecil yang dapat melepaskan isinya dalam lingkungan tertentu. Mikrokapsul ini dapat berukuran dari submikron hingga beberapa milimeter dan memiliki berbagai bentuk tergantung pada bahan dan teknik yang digunakan untuk membuatnya. Secara umum, mikrokapsul memiliki kemampuan untuk memodifikasi dan meningkatkan bentuk dan sifat substansi. Bahkan lebih spesifik, mikrokapsul memiliki kemampuan untuk mengawetkan substansi dan melepaskannya ketika diperlukan (Mosilhey 2003). Enkapsulasi dapat dilakukan pada bakteri, yang bertujuan untuk mengawetkan kultur serta memberikan kondisi yang mampu mempertahankannya dari kondisi yang tidak menguntungkan seperti panas dan bahan kimia. Keuntungan dari proses enkapsulasi antara lain menurunkan reaktivitas bahan inti dengan lingkungan luar (misalnya: cahaya, oksigen, dan air), menurunkan laju evaporasi atau transfer bahan inti ke lingkungan luar, mempermudah penanganan bahan inti, mengendalikan pelepasan bahan inti untuk mencapai penundaan yang tepat, menyembunyikan rasa bahan inti, dan melarutkan bahan inti jika digunakan dalam jumlah yang sangat kecil, namun tetap mencapai penyebaran yang merata dalam bahan pembawanya. Teknik mikroenkapsulasi merupakan teknik yang menjanjikan untuk menghasilkan bakteri probiotik hidup dalam produk karena matrik penyalut dapat menjadi barier bagi kondisi lingkungan yang tidak mendukung seperti pembekuan maupun kondisi saluran pencernaan (Boh 2007; Capela et al. 2006; Champagne dan Kailasapathy 2008; Kailasapathy 2002; Shah 2000). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa enkapsulasi meningkatkan viabilitas probiotik ketika melewati saluran pencernaan (dengan adanya garam empedu dan ph rendah). Lee dan Heo (2000) melaporkan bahwa ketahanan B. longum yang dienkapsulasi dengan kalsium alginat pada pH rendah (1.5) cenderung meningkat. Penyalutan kalsium klorida pada gel sodium alginat yang mengandung Lb. acidophilus lebih tahan terhadap pH rendah (pH 2) dan garam empedu 1 % (Chandramouli et al. 2004) Mikroenkapsulasi probiotik mampu meningkatkan viabilitasnya pada jus buah dengan keasaman tinggi hingga jangka waktu 2 minggu (Lee dan Heo, 2000;
10
Picot dan Lacroix, 2004; Chandramouli et al. 2004; Saarela et al. 2006). Mikroenkapsulasi dapat menyediakan lingkungan anaerobik yang menguntungkan bagi bakteri probiotik, dengan berperan sebagi pelindung fisik dari kondisi asam pada jus buah. Burgain et al. (2011) menyatakan bahwa emulsifikasi merupakan teknik kimia yang digunakan untuk mengenkapsulasi sel probiotik hidup dengan menggunakan hidrokoloid seperti alginat, karagenan dan pektin sebagai enkapsulan. Teknik emulsifikasi dilakukan dengan membuat larutan yang berisi matriks polimer dan sel probiotik dalam volume kecil kemudian larutan tersebut ditambahkan ke dalam minyak sayur dengan volume besar. Campuran tersebut kemudian dihomogenisasi menjadi bentuk emulsi air dalam minyak. Ketika emulsi air dalam minyak telah terbentuk, polimer larut air harus dibuat tidak larut untuk membentuk partikel-partikel gel kecil dalam fase minyak. Gel yang terbentuk dipisahkan dengan penyaringan maupun dengan menggunakan sentrifus Enkapsulasi dengan teknik emulsi diperlukan suatu emulsifier dan juga surfaktan serta bahan pengeras yaitu kalsium klorida (CaCl2). Teknik emulsi ini sangat mudah dilakukan dan dapat memberikan rata-rata sel mikroba hidup dalam jumlah tinggi. Kekurangan dari teknik ini adalah ukuran dan bentuk mikrokapsul yang dihasilkan cenderung lebih bervariasi dari mikrokapsul yang dihasilkan dengan teknik lainnya. Hal ini disebabkan karena variasi dari ukuran yang dihasilkan tersebut dapat dipengaruhi oleh kecepatan agitasi dan perbandingan air dan minyak yang digunakan (Kailasapathy 2009). Diameter dari mikrokapsul yang dihasilkan berpengaruh penting terhadap viabilitas sel probiotik, kecepatan metabolismenya serta karakteristik sensori dari produk yang dihasilkan. Selain itu, ukuran dari diameter mikrokapsul juga dapat mempengaruhi distribusi serta kualitas dispersi dari mikrokapsul di dalam produk (Picot dan Lacroix 2003). Jenis enkapsulan, diameter enkapsulan merupakan faktor yang menentukan untuk meningkatkan viabilitas probiotik. Pada beberapa penelitian, emulsifier juga dipergunakan untuk membentuk emulsi yang lebih baik, karena emulsifier mampu menurunkan tegangan permukaan dan menghasilkan gel yang lebih kecil. Emulsifier yang sering digunakan adalah Tween 80 0.2% (Sheu dan Marshall 1993). Teknik emulsi ini bisa diterapkan untuk enkapsulasi bakteri probiotik pada fermentasi batch maupun fermentasi continuous (Lacroix dan Paquin 1992). Perlindungan probiotik dengan teknik mikroenkapsulasi dapat dilakukan dengan berbagai jenis enkapsulan, salah satunya adalah dengan alginat. Alginat merupakan bahan yang paling baik digunakan untuk mikroenkapsulasi karena dapat memperbaiki viabilitas probiotik di dalam produk pangan fungsional. Alginat merupakan polysakarida yang diekstrak dari berbagai jenis alga. Kalsium alginat umumnya digunakan untuk enkapsulasi bakteri asam laktat maupun bakteri probiotik dengan konsentrasi berkisar antara 0.5-4% (Sultana et al. 2000; Krasaekoopt et al. 2004). Sultana et al. (2000) peningkatan konsentrasi alginat (>2%, bahkan lebih dari 4%) tidak memberikan efek lebih baik dalam melindungi probiotik terhadap kondisi lingkungan. Mikroenkapsul alginat bisa dibentuk dengan menggunakan teknik ekstruksi maupun emulsi. Selain itu, alginat sering digunakan sebagai bahan enkapsulasi karena kelebihannya yakni memiliki sifat non toksik, mudah dalam penyiapan dan penanganannya, selain itu mikrokapsul alginat dapat hancur di dalam pencernaan dan melepaskan sel yang diperangkap. Mikroenkapsulasi
11
dengan alginat juga dapat mencegah tekanan yang mengakibatkan kerusakan pada sel bakteri, dan dapat diaplikasikan dalam jumlah atau volume yang cukup besar (Ding dan Shah 2008). Mikrokapsul alginat diketahui mampu meningkatkan viabilitas probiotik 80-95% (Krasaekoopt et al. 2003; Sheu et al. 1993). Enkapsulasi Lactobacillus rhamnosus menggunakan alginat diketahui mampu meningkatkan kemampuan bertahan pada pH 2,0 hingga 48 jam, dimana pada kondisi tersebut sel bebas seluruhnya mati (Goderska et al. 2003). Enkapsulasi Lactobacillus spp. dengan menggunakan kalsium-alginat diketahui juga meningkatkan kemampuan bertahan terhadap panas (Selmer-Olsen et al. 1999). Ketahanan Lactobacillus diketahui meningkat setelah dienkapsulasi dengan menggunakan alginat pada suhu 55, 60 dan 65oC serta semakin meningkat seiring bertambahnya konsentrasi alginat sebagai penyalut (Mandal et al. 2005). Mikrokapsul yang terbentuk dari alginat juga mempunyai beberapa kelemahan. Salah satunya adalah rentan terhadap lingkungan asam, adanya kerusakan dan hilangnya keseimbangan mekanis pada lingkungan yang mengandung asam laktat telah dipelajari. Selain itu, mikrokapsul alginat terbentuk dari adanya ion kalsium, yang akan dipengaruhi oleh keberadaan ion monovalen maupun chelating agent yang mampu menyerap ion kalsium seperti fosfat, laktat dan sitrat (Ellenton 1998). Mikroenkapsulasi strain Lb.plantarum dilakukan dengan menggunakan teknik emulsi. Teknik emulsi merupakan salah satu teknik mikroenkapsulasi yang mampu mempertahankan viabilitas bakteri probiotik (Chen dan chen 2007) dan terbukti berhasil diaplikasikan untuk mikroenkapsulasi bakteri asam laktat (Lacroix et al.1990). Teknik emulsi yang dilakukan menggunakan minyak kedelai sebagai media pembentuk emulsi. Emulsifier yang digunakan adalah Tween 80 dengan konsentrasi 2% dari jumlah minyak kedelai yang digunakan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sheu dan Marshall (1993) yang merekomendasikan penggunakaan Tween 80 dengan konsentrasi 2% agar dapat menghasilkan ikatan emulsi yang lebih baik. Penggunaan emulsifier akan menghasilkan mikroenkapsul dengan diameter yang kecil, karena komponen emulsifier akan menurunkan tegangan permukaan antara minyak dengan air (Adamson 1982).
12
METODE PENELITIAN Tahapan Penelitian Pada Gambar 1 dilakukan meliputi 3 probiotik, tahap kedua menjadi selai salak dan ruang.
Prosedur
Kegiatan Tahap Pertama
Tahap Kedua
Tahap Ketiga
Mikroenkapsulasi isolat probiotik Lb. plantarum 2C12 dan Lb. plantarum BSL
dijelaskan mengenai tahapan penelitian yang telah tahap, tahap pertama adalah mikroenkapsulasi isolat adalah aplikasi probiotik pada pengolahan buah salah tahap terakhir adalah penyimpanan selai salak pada suhu
- Pembuatan Biomassa (Harmayani 2001) - Mikroenkapsulasi Kultur Bakteri Probiotik dengan teknik emulsi (Mandal 2005)
Analisis - Uji Sintasan Probiotik - Uji ketahanan panas - Uji Sel Cedera - Uji Aktivitas Antimikroba - Uji ketahanan garam empedu dan pH rendah - Ukuran dan bentuk mikrokapsul
Aplikasi probiotik pada pengolahan buah salak menjadi selai salak
-
Pembuatan selai salak - Penambahan probiotik terenkapsulasi pada suhu terbaik
- Uji Viabilitas Probiotik - Uji Kapang Khamir - Uji pH dan aw - Uji Kadar Gula dan Kadar Air
Penyimpanan selai salak
Penyimpanan produk selai salak pada suhu ruang selama 30 hari
- Uji Viabilitas Probiotik - Uji Kapang Khamir - Uji pH dan aw
Gambar 1. Skema Kegiatan Penelitian
Luaran Isolat probiotik terenkapsulasi dengan karakteristik yang sudah diketahui
Suhu optimum penambahan probiotik pada produk selai salak
Stabilitas strain probiotik pada selai salak selama penyimpanan suhu ruang
13
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB); Pilot Plant SEAFAST (Southeast Asian Food and Agriculture Science and Technology) Center, IPB. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari hingga Oktober 2014. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Na-alginat (SigmaAldrich,UK), minyak kedelai, sodium sitrat (Merck, Jerman), kalsium klorida (Merck, Jerman), Tween 80 (Merck, Jerman). Medium yang digunakan adalah MRSA (Oxoid, Inggris), MRSB (Oxoid, Inggris), PDA (Oxoid, Inggris), garam empedu (Merck, Jerman), HCl (Merck, Jerman) dan NaCl (Oxoid, Inggris). Varietas salak yang digunakan adalah salak pondoh yang diperoleh dari pasar di daerah Dramaga. Salak yang dipilih adalah buah yang segar yang sudah matang dan dikupas atau dibuang bagian yang tidak dapat dimakan. Alat-alat yang digunakan adalah sentrifus suhu rendah (refrigerated), refrigerator, autoklaf, waterbath, laminar air flow, inkubator, neraca digital, pHmeter, pengaduk magnetik, vortex, mikropipet, alat gelas, ose, bunsen, wajan, kompor dan blender. Preparasi Kultur Mikroorganisme (Harmayani et al. 2001) Kultur bakteri asam laktat yaitu Lactobacillus plantarum BSL diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB sedangkan Lactobacillus plantarum 2C12 diperoleh dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan IPB. Pembuatan biomassa bakteri asam laktat mengacu pada Harmayani et al. (2001), kultur bakteri ditumbuhkan pada agar miring MRSA (De Man, Rogosa, Sharpe agar), kemudian diambil sebanyak satu ose untuk ditumbuhkan pada media MRSB, dan diinkubasi selama 24 jam (37oC). Selanjutnya diambil sebanyak 1 mL dan ditumbuhkan kembali pada MRSB 1000 mL. Biomassa yang dihasilkan kemudian dipanen dengan cara mensentrifugasi pada 5000g selama 10 menit dan dicuci dua kali dengan PBS (Phospat Buffer Saline) 0.1 M. Mikroenkapsulasi (Mandal et al. 2005) Larutan natrium alginat 3% disterilkan dengan autoklaf (suhu 121oC selama 15 menit) kemudian didinginkan hingga suhu mencapai 38-40oC. Sebanyak 20 mL larutan dan 4 mL suspensi sel masing-masing Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 dimasukkan ke dalam tabung sentrifus (40mL) untuk kemudian divortex (Vortex Genie 2) hingga homogen. Minyak kedelai (100 mL) ditambah Tween 80 0.2% steril dimasukkan ke dalam gelas piala 500 mL. Campuran alginat dan sel ditambahkan dengan cara diteteskan menggunakan mikropipet 1 mL ke dalam larutan minyak yang diputar konstan dengan pengaduk magnet (200 rpm). Setelah 5 menit, 100 mL kalsium klorida 1M ditambahkan secara cepat untuk mengeraskan mikrokapsul dan memecah emulsi. Mikrokapsul dipanen dengan
14
cara sentrifugasi (350 rpm, 10 menit) pada suhu 4oC kemudian dicuci dua kali dengan menggunakan akuades steril. Mikrokapsul dipisahkan dengan menggunakan kertas Whatman filter (no. 1), kemudian dipindahkan ke dalam cawan steril dan disimpan dalam lemari pendingin (7±1oC). Ukuran mikrokapsul diukur dengan menggunakan mikrometer. Analisis dilakukan terhadap jumlah sel, ketahanan panas, kerusakan sel setelah pemanasan serta ketahanan terhadap garam empedu dan pH dan dibandingkan antara sel bebas dengan sel terenkapsulasi. Ketahanan sel dilihat dari penurunan jumlah sel yang diperoleh dari jumlah sel awal sebelum perlakuan dikurangi jumlah sel akhir setelah perlakuan (log cfu mL-1). Aplikasi Probiotik pada Pengolahan Buah Salak menjadi Selai Salak Pembuatan Produk Selai Salak (Noerhartati et al. 2001) Pembuatan selai salak dilakukan dengan menggunakan metode Noerhartati (2001) dengan perbandingan gula dan buah salak adalah 3:4. Kultur probiotik yang sudah dimikroenkapsulasi ditambahkan pada saat pemasakan dengan suhu untuk penambahan probiotik adalah 50o C (berdasarkan uji ketahanan panas). Skema pembuatan selai salak dijelaskan pada Gambar 2. Penambahan kultur probiotik dilakukan pada saat selai salak sudah sempurna matang, ditandai dengan warna yang kecoklatan dan tekstur yang kental. Jumlah bakteri probiotik yang ada di dalam produk minimal 7 log cfu g-1, sehingga penambahan kultur didasarkan pada berat selai salak. Pada penelitian ini masing-masing 10 mL bakteri probiotik bebas dan 10 g bakteri probiotik terenkapsulasi (11 log cfu mL-1) ditambahkan ke dalam 100 g selai salak (10 log cfu g selai salak-1). Proses pengadukan harus dilakukan secara sempurna agar probiotik bisa menyebar rata di semua bagian selai. Buah Salak Biji, Kulit
Sortasi, Pengupasan dan Pemisahan Daging Buah Pemasakan awal selama 25 menit Gula
Penghancuran Pemasakan akhir selama 25 menit
Kultur probiotik
Botol Gelas
Selai Salak Pengemasan
Pencucian dan sterilisasi kering (170-180oC)
Gambar 2. Skema Pembuatan Selai Salak
15
Proses pembuatan selai salak diawali dengan sortasi dan pengupasan serta pemisahan daging buah salak dari biji serta kulit. Proses pemasakan awal dilakukan selama 25 menit dimana suhu pemasakan berkisar pada suhu 85oC. Proses penghancuran dilakukan dengan menggunakan blender dan pada proses ini dilakukan penambahan gula dengan perbandingan gula dan buah salak 3:4. Pemasakan selai dilakukan selama 25 menit, parameter berakhirnya proses ditandai dengan nilai aw berkisar antara 0.7-0.8. Penyimpanan Produk Selai Salak Selai salak yang sudah ditambah probiotik terenkapsulasi disimpan pada suhu ruang selama 30 hari. Pengemasan selai salak menggunakan botol selai yang sudah disterilkan terlebih dahulu dengan sterilisasi kering. Selai salak yang disimpan adalah selai salak dengan mutu terbaik dilihat dari sintasan probiotiknya. Hal ini didasarkan pada suhu penambahan probiotik pada saat pembuatan selai salak. Selain itu disimpan juga selai salak kontrol tanpa pernambahan probiotik, serta salak dengan penambahan probiotik bebas sebagai pembanding. Prosedur Analisis Uji sintasan probiotik bebas dan terenkapsulasi (Gebara et al. 2013) Sintasan probiotik ditentukan dengan menghitung sel yang hidup di dalam media tumbuh dan juga di dalam mikrokapsul. Mikrokapsul probiotik didisintegrasikan yakni dengan menambahkan sebanyak 1g ke dalam 9 mL (b/v) larutan sodium sitrat 2 % steril (pH 7.0) kemudian dihomogenisasi selama 5 menit (Krasaekoopt et al. 2004). Setelah didisintegrasi, mikroba dalam hal ini adalah probiotik, akan keluar dari enkapsulan lalu dihitung. Perhitungan dilakukan dengan membuat serial larutan dari natrium chloride (0.85 % b/v) kemudian dilakukan pour plate pada MRSA menggunakan cawan petri lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 72 jam. Sel Cedera (Injured cell) Setelah Pemanasan (Golowczyc et al. 2010) Lb. plantarum yang telah mengalami pemanasan (50-70oC) selama 20 menit diambil 1 mL dan ditumbuhkan pada media MRSA yang ditambah NaCl (5% b/v, Merck) dan MRSA sebagai kontrol. Inkubasi dilakukan selama 48 jam dengan suhu inkubasi 37oC. Sel sehat dihitung berdasarkan jumlah koloni yang tumbuh pada media MRSA yang ditambah NaCl 5% (log cfu mL-1) sedangkan sel cedera tidak mampu tumbuh. Jumlah sel cedera dihitung berdasarkan selisih antara koloni pada cawan MRSA kontrol (log cfu mL-1) dengan koloni pada cawan MRSA yang ditambahkan dengan NaCl 5% (log cfu mL-1). Ketahanan Terhadap Panas (Mandal et al. 2005) Sebanyak 1 g mikrokapsul atau 1 mL suspensi sel bebas dimasukkan ke dalam 10 mL akuades dan dipanaskan pada suhu 50, 60 dan 70oC selama 20 menit. Selanjutnya campuran didinginkan pada suhu ruang dan sel hidup dihitung setelah ditumbuhkan pada MRSA selama 48 jam pada suhu 37oC.
16
Ketahanan Terhadap Garam Empedu (0.5%) dan pH rendah (pH 2) (Nuraida et al. 2012) Pengujian ketahanan terhadap garam empedu dilakukan dengan mengambil kultur bakteri probiotik sebanyak 1 mL berumur 24 jam dan 1 g mikrokapsul dimasukkan masing-masing ke dalam 10 mL MRSB kontrol dan MRSB dengan penambahan 0.5% garam empedu. Campuran selanjutnya dihomogenisasi dengan vortex dan diinkubasipada suhu 37oC selama 5 jam. Ketahanan bakteri dinyatakan dari perbedaan koloni (log cfu mL-1) antara media kontrol dengan media yang mengandung garam empedu. Pengujian ketahanan terhadap pH rendah dilakukan dengan memasukkan 1 mL kultur bakteri probiotik berumur 24 jam dan 1 g mikrokapsul masing-masing ke dalam 10 mL MRSB kontrol dan MRSB dengan penambahan HCl hingga pH 2. Campuran kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan vortex dan kemudian diinkubasi selama 5 jam (37oC). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan media MRSA dan metode tuang. Probiotik yang toleran terhadap asam dihitung dengan melihat perbedaan koloni (log cfu mL-1) antara media kontrol dengan media asam. Uji Sifat Antimikroba dari Probiotik Bebas dan Probiotik Terenkapsulasi (Sahputra 2012) Isolat probiotik yang telah ditumbuhkan pada MRS B 10 mL selama 18 jam pada suhu 37o C kemudian disentrifus dengan kecepatan 10000 rpm selama 10 menit sehingga diperoleh sel basah. Kemudian diencerkan dengan pengencer NaCl 0.85% sehingga diperoleh jumlah probiotik sekitar 1010 cfu/mL. Mikrokapsul probiotik didisintegrasikan yakni dengan menambahkan sebanyak 1 g ke dalam 9 mL (b/v) larutan sodium sitrat 2 % steril dengan pH 7.0 kemudian dihomogenisasi selama 5 menit (Krasaekoopt et al. 2004). Jumlah sel probiotik setelah disintegrasi ini sekitar 1010 cfu mL-1. Selanjutnya terhadap bakteri probiotik dilakukan kembali pengenceran dengan media pengencer NaCl sehingga diperoleh jumlah bakteri sekitar 109 log cfu mL. Hal yang sama dilakukan pada E. coli, bakteri ini ditumbuhkan pada media TSB 10 mL, selanjutnya diinkubasi sampai akhir fase log yaitu selama 18 jam pada suhu 37o C. Pengenceran dengan media pengencer NaCl 0.85% 9 mL dilakukan sehingga diperoleh hasil perhitungan E. coli setelah 18 jam inkubasi. Selanjutnya terhadap bakteri E. coli dilakukan kembali pengenceran dengan media pengencer NaCl sehingga diperoleh jumlah bakteri sekitar 105 cfu mL-1 (agar jumlah E. coli pada susu sebesar 103 cfu mL-1). Sebanyak 2 mL suspensi probiotik dan 2 mL suspensi E. coli diinokulasikan ke dalam 20 mL susu (2.88 gram sampel susu skim). Jumlah masing-masing bakteri pada susu skim diperkirakan 108 cfu mL-1 BAL dan 103 cfu mL-1 untuk E. coli. Selanjutnya susu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Kemudian dilakukan perhitungan pertumbuhan relatif yang dinyatakan sebagai Nt/N0 dimana Nt adalah log dari jumlah koloni setelah kontak 24 jam dan N0 adalah log dari jumlah koloni pada waktu kontak 0 jam. Setelah itu dilakukan perhitungan jumlah koloni sesuai dengan perhitungan SPC (Standard Plate Count). Metode sumur mengacu pada Nuraida (2012). Kultur masing-masing bakteri patogen diinokulasi sebanyak 0.2 mL diinokulasi kedalam Natrium Agar (NA)
17
100 mL. 20 mL NA yang sudah ditambah patogen kemudian dituang ke dalam cawan petri steril dan didiamkan hingga mengeras. Lubang sumur dibuat dengan diameter 6mm. 30µL kultur bakteri probiotik berumur 24 jam dituang ke dalam sumur dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 hari. Zona penghambatan ditunjukkan dengan adanya area bening di sekeliling sumur. Uji Ukuran dan Bentuk Mikrokapsul Bentuk dan ukuran mikrokapsul dihitung dengan menggunakan mikrometer okuler. Preparat berisi mikrokapsul tunggal diamati dibawah mikrometer okuler dengan perbesaran 20x. Skala 100 unit = 1 cm maka tiap unit setara dengan 0.01 cm atau 100 μm. Jumlah sampel yang diukur adalah 30 mikrokapsul dengan 3x pengamatan untuk masing-masing sampel. Uji kapang dan khamir (Fardiaz 1992) Analisis kontaminasi kapang khamir dilakukan pada media PDA dengan penambahan asam tartarat 14%. Sebanyak 10 g selai salak dimasukkan ke dalam 90 mL NaCl 0.85% steril dan divortek, selanjutnya dibuat pengenceran berseri. Jumlah kontaminan dihitung dengan metode hitungan cawan dengan beberapa seri pengeceran setelah diinkubasi (37oC, 48 jam). Kemudian dihitung total kapang dan khamir berdasarkan standard plate count. Metode Analisis Analisis Rendemen Enkapsulasi Rendemen enkapsulasi (encapsulation yield/EY) dapat dihitung berdasarkan Annan et al. (2008). Rendemen enkapsulasi merupakan pengukuran terhadap efektivitas proses enkapsulasi dan sintasan sel selama proses mikroenkapsulasi, yang dihitung dengan rumus berikut: EY = (N/N0) x 100 % Keterangan : EY : encapsulation yield atau rendemen enkapsulasi N : jumlah sel yang terperangkap dalam mikropartikel atau mikrokapsul (log cfu g-1) N0 : jumlah sel bebas atau jumlah sel probiotik yang ditambahkan ke dalam emulsi selama proses mikroenkapsulasi Perhitungan Koloni (BAM 2001) Koloni bakteri dapat dihitung dengan rumus Standar Plate Count (SPC). Jumlah koloni bakteri probiotik dan bakteri uji dihitung setelah diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Adapun rumus SPC adalah sebagai berikut N= ΣC{[(1*n1)+(0.1*n2)+...]*(d)} Keterangan N : Jumlah koloni bakteri mL-1 atau g-1 produk ΣC : Jumlah semua koloni yang dihitung dari 2 cawan n1 : jumlah cawan pada pengenceran pertama
18
n2 d
: jumlah cawan pada pengenceran kedua : pengenceran pada cawan pertama Deteksi koloni metode SPC berkisar antara 25-250. Apabila di dalam cawan terdapat koloni kurang dari 25 maka dalam pelaporannya dinyatakan bahwa jumlahnya < 2.5x101cfu mL-1, dan apabila tidak ditemukan koloni di dalam cawan hingga pengenceran terendah maka pelaporannya sebanyak 1.0x101 cfu mL-1. Koloni yang jumlahnya melebihi 250 maka dianggap TBUD (Terlalu Banyak Untuk Dihitung). Pengukuran aw dan pH selai salak probiotik (BSN 1992) Pengukuran aw dilakukan dengan menggunakan aw meter. Sebelum digunakan, alat aw-meter harus dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan NaCl jenuh pada kertas saring dan diletakkan pada cawan, kemudian nilai aw diset sampai dengan 0,750. Sampel ditimbang seberat 5 g dan diletakkan dalam cawan pengukur. Setelah ditutup dan dikunci nilai aw dapat dibaca jika aw-meter sudah menunjukkan tanda completed. Untuk pengukuran pH selai salak dilakukan dengan menggunakan alat pHmeter. Sebelum digunakan, alat pH meter dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan larutan buffer pH 4 dan pH 7. Sekitar 5 g sampel selai salak dimasukkan ke dalam gelas piala kecil. Elektroda pH-meter ditancapkan ke dalam sampel, kemudian dilakukan pembacaan pH sampel hingga mencapai nilai yang tetap. Analisis Kadar Gula dengan metode Anthrone (Apriyantono, 1988) Pembuatan kurva standar Larutan gula standar (104.1 µg/mL) dimasukan ke dalam tabung reaksi sebanyak 0.0 (blanko); 0.2; 0.4; 0.6; 0.8 dan 1 mL. Aquades ditambahkan pada masing-masing tabung hingga volume masing-masing tabung reaksi 1 mL. Pereaksi athrone sebanyak 5 mL ditambahkan secara cepat ke dalam masingmasing tabung reaksi, kemudian divortex hingga homogen. Selanjutnya tabung reaksi berisi larutan dipanaskan dalam waterbath 100oC selama 12 menit. Pendinginan dilakukan dengan cepat dengan menggunakan air mengalir. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam kuvet dan ditera dengan absorbansi pada 630 nm dan selanjutnya dibuat kurva hubungan antara nilai absorbansi dengan konsentrasi gula. Penetapan sampel Sampel sebanyak 1 mL (dari persiapan sampel) ke dalam tabung reaksi, selanjutnya dimasukan secara cepat peraksi anthrone sebanyak 5 mL. Tahapan selanjutnya mengikuti tahap pembuatan kurva standar. Analisis Kadar Air (AOAC 1995) Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven, adapun prinsipnya adalah menguapkan molekul air (H2O) bebas yang ada di dalam sampel. Sampel ditimbang hingga didapat bobot konstan yang diasumsikan bahwa semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan. Banyaknya air yang diuapkan diketahui dari selisih bobot sebelum dan sesudah pengeringan. Prosedur analisis kadar air sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dioven terlebih
19
dahulu pada suhu 100-105oC selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air kemudian ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan kemudian di oven pada suhu 100-105oC selama 6 jam untuk selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus: % kadar air (bb) =
x 100%
Keterangan : A : berat sampel awal dinyatakan dalam gram B : berat cawan + sampel kering dinyatakan dalam gram C : berat cawan kosong dinyatakan dalam gram Analisis Data Data rata-rata diperoleh dari 2 ulangan. Analisis varian menggunakan ANOVA (faktor tunggal) dengan uji lanjut menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT).
20
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Mikrokapsul Mikrokapsul yang dihasilkan melalui metode emulsi berbentuk bulat (Gambar 3). Hal serupa juga dilaporkan oleh Fahimdanesh et al. (2012) yang melaporkan bahwa ciri fisik mikrokapsul adalah bulat. Sultana et al (2000) juga melaporkan bahwa mikroenkapsulasi dengan metode emulsi dengan enkapsulan alginat menghasilkan mikrokapsul dengan bentuk bulat sempurna dan bulat lonjong. Bentuk mikrokapsul yang homogen berbentuk bulat diperoleh karena adanya ion Na+ seperti yang dilaporkan oleh Thu et al. (1996) bahwa keberadaan ion Na+ dan Ca2+ akan menyebabkan terbentuknya gel yang homogen, selain itu konsentrasi alginat yang digunakan juga berpengaruh. Chandramouli et al. (2004) melaporkan bahwa konsentrasi alginat lebih dari 2% akan menyebabkan meningkatnya viskositas larutan alginat dan menurunkan penyebaran sel di dalam alginat sehingga tidak didapatkan mikrokapsul dengan bentuk bulat dan seragam.
Gambar 3 Bentuk mikroskopis mikrokapsul strain Lb. plantarum (perbesaran 20x) Ukuran mikrokapsul kedua strain Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 dengan menggunakan metode emulsi memiliki variasi berkisar antara 0.10.5mm (Gambar 4). Variasi ukuran yang dihasilkan dipengaruhi oleh kecepatan agitasi yang digunakan pada saat pembentukan mikrokapsul. Semakin besarnya diameter menurut Truelstrup-Hansen et al. (2002) tidak memberikan efek beda nyata terhadap sintasan probiotik. Selain itu dilaporkan pula bahwa mikrokapsul dengan ukuran >1 mm akan memberikan tekstur yang kasar pada produk. Menurut Talwakar dan Kailasapathy (2003), ukuran diameter manik-manik yang kecil akan menghasilkan distribusi sel di dalam bead yang lebih merata. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Burgain et al. (2010) enkapsulasi dengan menggunakan teknik emulsi akan menghasilkan ukuran mikrokapsul yang bervariasi, antara 0.1-5000 µm. Menurut Buchholz et al. (1980) jumlah maksimal sel yang terperangkap di dalam mikrokapsul adalah 25% dari volume mikrokapsul. Akan tetapi peningkatan diameter mikrokapsul hingga batas maksimal (tergantung konsentrasi alginat yang digunakan dan produk) akan memberikan mouth-feel dan flavor yang
21
tidak diinginkan. Mikrokapsul alginat dengan diameter 0.5-1.0 mm terbukti mampu meningkatkan sintasan bifidobakteri pada yogurt dengan pH normal selama penyimpanan dingin, namun tidak mampu melindungi pada kondisi pH rendah (pH lambung) (Sultana et al. 2000). Ukuran mikrokapsul selain menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi sintasan probiotik, juga mempengaruhi kecepatan metabolisme dan penerimaan sensori pada produk akhir dan juga mempengaruhi distribusi dan kualitas dispersi mikrokapsul pada produk (Picot dan Lancroix 2003). Krasaekoopkt et al. (2003) juga melaporkan bahwa mikrokapsul dengan ukuran 0.5-1.0 mm akan menghasilkan pelepasan sel dan tingkat produksi asam dengan kecepatan yang lebih tinggi.
jumlah mikrokapsul (n)
a
7 6 5 4 3 2 1 0 0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
0,40
0,45
0,50
0,40
0,45
0,50
ukuran mikrokapsul (mm)
jumlah mikrokapsul (n)
b
7 6 5 4 3 2 1 0 0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
ukuran mikrokapsul (µm)
Gambar 4 Sebaran ukuran mikrokapsul strain Lb. plantarum a) Lb. plantarum BSL b) Lb. plantarum 2C12
22
Jumlah Sel Bakteri Probiotik Setelah Proses Mikroenkapsulasi Proses mikroenkapsulasi tidak menyebabkan perubahan jumlah sel yang berbeda nyata pada kedua strain Lb. plantarum. Sel awal probiotik sebelum dienkapsulasi berkisar antara 11.1-11.8 log cfu mL-1 dan setelah dienkapsulasi jumlah sel yang diperangkap oleh matriks alginat masih tetap tinggi, yaitu 99% (11.0-11.7 log cfu g-1) (Gambar 5). Lb. plantarum BSL tidak mengalami perubahan jumlah sel secara beda nyata setelah mikroenkapsulasi dari 11.8 log cfu mL-1 menjadi 11.7 log cfu g-1, demikian pula pada Lb.plantarum 2C12 juga tidak mengalami perubahan jumlah sel secara beda nyata dari 11.1 log cfu mL-1 menjadi 11.0 log cfu g-1. Rendemen mikroenkapsulasi (Encapsulation yield) untuk kedua strain ini adalah 99.9%. Proses mikroenkapsulasi dengan teknik emulsi merupakan salah satu teknik yang tidak menggunakan proses pemanasan sehingga sel tidak mengalami heat shock. Prinsip mikroenkapsulasi dengan teknik emulsi didasarkan pada hubungan antara fase kontinyu dan tidak kontinyu dan membutuhkan emulsifier serta surfaktan, serta diakhir proses dibutuhkan agen pemadat (kalsium klorida) (Chen dan Chen 2007). Pada teknik ini campuran polimer dan sel berperan sebagai fase tidak kontinyu dan ditambahkan dengan cara diteteskan ke dalam minyak kedelai sebagai fase kontinyu, campuran ini kemudian dihomogenkan menjadi emulsi air dalam minyak (water in oil). Ketika emulsi air dalam minyak terbentuk, polimer yang larut air menjadi tidak larut yang selanjutnya terbentuk menjadi mikrokapsul di dalam minyak. Hal inilah yang membuat sintasan probiotik setelah mikroenkapsulasi masih tetap tinggi.
Jumlah sel [ log cfu g-1 atau mL-1]
12,0
a
a
b
b
10,0 8,0 sel bebas 6,0 sel terenkapsulasi
4,0 2,0 0,0
BSL
2C12 Strains Lb.plantarum
Gambar 5 Jumlah sel Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 setelah proses mikroenkapsulasi. Rataan dengan huruf yang berbeda (a-b) menunjukkan hasil beda nyata (P<0.05). Kehilangan sel selama proses mikroenkapsulasi dengan metode emulsi sangat rendah dibandingkan dengan teknik mikroenkapsulasi yang lain. Kedua strain Lb. plantarum menunjukkan sel yang tidak terperangkap di dalam mikrokapsul hanya berkisar 1% dari jumlah awal sel. Hasil ini menunjukkan
23
bahwa enkapsulasi dengan menggunakan teknik emulsi tidak mengurangi jumlah sel secara beda nyata (p<0.05) dilihat dari jumlah sel setelah enkapsulasi setara dengan sel bebas. Hal serupa juga dilaporkan oleh Mokarram et al. (2009) yang menyatakan bahwa mikroenkapsulasi dengan alginat menggunakan teknik emulsi mampu menghasilkan mikrokapsul Lb. acidophilus PTCC1643 dengan sintasan tinggi (99.8%) dari jumlah sel awal berkisar antara 9.04-10.2 log cfu mL-1 dan setelah dienkapsulasi jumlah sel menjadi 9.02-10.1 log cfu mL-1 . Pengaruh Mikroenkapsulasi Terhadap Sifat Probiotik Ketahanan Lb. plantarum Terhadap Panas Jumlah sel kedua strain Lb. plantarum yang tidak dienkapsulasi setelah pemanasan mengalami penurunan yang berbeda nyata dan lebih banyak dibandingkan sel terenkapsulasi. Semakin tinggi suhu pemanasan semakin banyak penurunan jumlah sel, namun sel probiotik yang terenkapsulasi terbukti mampu memperkecil penurunan jumlah sel secara beda nyata dibandingkan dengan sel bebas (Gambar 2). 11 10
as
cs
Penurunan jumlah sel [log cfu gr-1 atau ml-1]
9 8 7
ar
bs
6
cr
ds
br
5
60 C
4 3
50 C
dr aq
2
cq
70 C
bq
1
dq
0 BSL bebas
BSL mikrokapsul
2C12 bebas
2C12 mikrokapsul
Strain Lb.plantarum
Gambar 6. Efek mikroenkapsulasi terhadap penurunan jumlah sel Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 setelah pemanasan pada suhu yang berbeda. Rataan dengan huruf yang berbeda (a-d) pada suhu yang sama dengan strain yang berbeda menunjukkan hasil beda nyata (P<0.05). Rataan dengan huruf yang berbeda (q-s) pada strain yang sama dengan suhu yang berbeda menunjukkan hasil beda nyata (P<0.05).
Penurunan jumlah sel Lb. plantarum BSL bebas lebih banyak dibandingkan dengan Lb. plantarum 2C12. Lb. plantarum BSL terenkapsulasi mengalami penurunan jumlah sel sebesar 1.1 log cfu g-1 pada saat dipanaskan pada suhu
24
50oC. Sedangkan pada pemanasan suhu 60 dan 70oC Lb. plantarum BSL mengalami penurunan masing-masing sebesar 4.7 dan 6.0 log cfu g-1 dari jumlah awal 10.67 log cfu g-1. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh Lb. plantarum 2C12 terenkapsulasi yang mengalami penurunan jumlah sel lebih kecil dibanding sel bebas setelah pemanasan. Lb. plantarum 2C12 terenkapsulasi mengalami penurunan jumlah sel masing-masing sebesar 1.0; 3.2; 5.2 log cfu g-1 setelah dipanaskan pada suhu 50; 60 dan 70oC dari jumlah awal 10.02 log cfu g-1. Ketahanan panas Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 terbukti meningkat setelah dienkapsulasi dibandingkan dengan sel yang tidak dienkapsulasi (Tabel 3). Ketahanan panas kedua strain semakin menurun seiring kenaikan suhu, hal ini terlihat dari semakin turunnya sintasan Lb. plantarum pada suhu pemanasan yang lebih tinggi. Suhu pemanasan yang dapat ditoleransi dengan cukup baik oleh probiotik baik Lb. plantarum BSL maupun Lb. plantarum 2C12 adalah pada suhu 50oC. Tabel 3 Ketahanan Lb. plantarum bebas dan terenkapsulasi terhadap pemanasan Jumlah sel setelah pemanasan (log cfu g-1 atau mL-1) Suhu Lb. plantarum BSL Lb. plantarum 2C12 Bebas Terenkapsulasi Bebas Terenkapsulasi 50o C 8.13aq 9.56bq 8.26cq 9.86dq o ar br cr 60 C 4.46 5.98 4.79 6.80dr 70o C 1.54as 4.63bs 1.74cs 4.81ds Ket.: Rataan dengan huruf yang berbeda (a-d) pada baris yang sama menunjukkan hasil beda nyata (P<0.05). Rataan dengan huruf yang berbeda (q-s) pada kolom yang sama menunjukkan hasil beda nyata (P<0.05).
Evaluasi ketahanan panas pada penelitian ini adalah untuk memperkirakan suhu aplikasi pada pembuatan selai salak. Ketahanan panas Lb. plantarum BSL bebas tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan Lb. plantarum 2C12 bebas. Hasil serupa juga ditunjukkan pada sel yang sudah dienkapsulasi, kedua strain tidak menunjukkan hasil beda nyata setelah mengalami perlakuan panas. Ketahanan probiotik terhadap pemanasan juga bergantung pada waktu paparan, jika waktu paparan pemanasan yang dilakukan singkat maka bakteri hanya akan mengalami penurunan diameter dinding sel, sedangkan jika waktu paparannya lama maka bakteri probiotik akan mengalami retak (microcracks) dan kosong (mikrovoids) (Mottar et al. 1989). Jumlah sel probiotik menurun karena proses panas karena faktor panas merusak struktur sel, termasuk kerusakan membran sel, ribosom, DNA, RNA dan enzim (Desmon 2005). Selain itu kondisi fisiologis dan suhu pertumbuhan optimum dari bakteri juga berpengaruh terhadap ketahanan terhadap pemanasan. Mandal et al. (2005) yang melaporkan bahwa ketahanan laktobasili meningkat setelah dienkapsulasi dengan alginat Hasil ini memperlihatkan bahwa mikroenkapsulasi menggunakan alginat dapat meningkatkan ketahanan panas dari probiotik. Kim et al. (2007) melaporkan hasil yang sama dimana ketahanan Lb. acidophilus ATCC 43121 yang dienkapsulasi menggunakan alginat turun 2 log cfu mL-1 ketika dipanaskan pada suhu 65oC selama 30 menit, hasil ini lebih baik dibandingkan sel bebas yang mengalami penurunan 3 log cfu mL-1.
25
Sel Cedera (Injured cell) Setelah Pemanasan Proses pemanasan merupakan salah satu kondisi yang dapat membuat sel kehilangan aktivitasnya bahkan menyebabkan kematian sel. Sensitivitas sel terhadap NaCl 5% dapat digunakan sebagai salah satu indikator terjadinya kerusakan membran akibat pemanasan. Gambar 7 memperlihatkan bahwa sel bebas baik Lb. plantarum BSL maupun Lb. plantarum 2C12 mengalami cedera pada semua suhu pemanasan (50-70oC). Suhu pemanasan yang semakin tinggi menyebabkan sel yang cedera justru menurun, hal ini dikarenakan semakin tinggi suhu pemanasan sel cedera akan mengalami kematian sehingga hanya sel sehat yang mampu bertahan. Sel cedera pada Lb. plantarum BSL bebas dengan pemanasan 50oC 2 kali lebih banyak dibanding dengan sel cedera pada Lb. plantarum BSL terenkapsulasi (Gambar 7a). Demikian pula pada strain Lb. plantarum 2C12, dimana sel cedera pada probiotik yang tidak terenkapsulasi juga lebih banyak dibandingkan sel probiotik terenkapsulasi. b
Jumlah sel [log cfu g-1 atau mL-1]
10,0 8,0
a
b a
6,0 sel cedera
4,0
sel sehat
2,0 0,0 BSL B
BSL M suhu
2C12 B
2C12 M
500C
Gambar 7a Pengaruh suhu pemanasan dan mikroenkapsulasi terhadap jumlah sel cedera Lb. plantarum pada suhu 500C. Rataan dengan huruf yang berbeda (a-d) pada suhu yang sama dengan strain yang berbeda menunjukkan jumlah sel cedera yang beda nyata (P<0.05). Ket.:
BSL B: Lb. plantarum BSL Bebas; BSL M: Lb. plantarum BSL Mikrokapsul 2C12 B: Lb. plantarum 2C12 Bebas; 2C12 M: Lb. plantarum 2C12 Mikrokapsul
Pada suhu 60o dan 70o C sel cedera Lb. plantarum BSL masing-masing sebesar 1.9; 0.5 log cfu mL-1. Hal ini berbeda nyata dengan Lb. plantarum BSL terenkapsulasi dimana sel cedera setelah proses pemanasan adalah 0.8; 0.7 log cfu g-1 (Gambar 7b). Berdasarkan penurunan jumlah sel terlihat bahwa mikroenkapsulasi mampu melindungi probiotik dari cedera akibat pemanasan. Suhu pemanasan yang masih bisa ditoleransi oleh kedua strain Lb. plantarum ditandai dengan paling sedikitnya sel luka di antara suhu yang lain adalah suhu 50oC. Sel dapat mengalami cedera dari berbagai paparan di antaranya panas, lingkungan osmotik dan perlakuan oksidasi yang menyebabkan sel kehilanggan aktivitas dan sintasannya (Golowczyc et al. 2010). Sensitivitas sel terhadap NaCl 5% menjadi salah satu indikator terjadinya kerusakan membran. Sel cedera setelah
26
mengalami pemanasan akan lebih sensitif terhadap NaCl 5% dibandingkan dengan sel sehat. Bevilacqua et al.(2010) melaporkan bahwa Lb.plantarum yang dienkapsulasi dengan menggunakan gel alginat terbukti mampu meningkatkan resistensi terhadap NaCl 5% dibandingkan dengan sel bebas. Probiotik terenkapsulasi memperlihatkan sel sehat yang lebih tinggi dibandingkan probiotik yang tidak terenkapsulasi pada semua suhu pemanasan. Hal ini menunjukkan bahwa mikroenkapsulasi dengan menggunakan teknik emulsi dapat melindungi sel dari kerusakan membran akibat pemanasan. Sel yang masih sehat akan mampu tumbuh pada media dengan penambahan NaCl 5%. Sel sehat pada kedua strain tidak berbeda nyata pada suhu 50o dan 70oC, sedangkan pada suhu 60oC Lb. plantarum BSL secara nyata terlihat lebih banyak sel sehat dibanding Lb. plantarum 2C12.
Jumlah sel [log cfu g-1 atau mL-1]
10,0 8,0
d b
6,0
c
a
sel cedera
4,0
sel sehat 2,0 0,0 BSL B
BSL M
2C12 B
2C12 M
suhu 600C
Jumlah sel [log cfu g-1 atau mL-1]
10,0 8,0 6,0
c
b
sel cedera
4,0
sel sehat 2,0
b
a
0,0 BSL B
BSL M
2C12 B
2C12 M
suhu 700C
Gambar 8b Pengaruh suhu pemanasan dan mikroenkapsulasi terhadap jumlah sel cedera Lb. plantarum pada suhu 60 dan 700C. Rataan dengan huruf yang berbeda (a-d) pada suhu yang sama dengan strain yang berbeda menunjukkan jumlah sel cedera yang beda nyata (P<0.05). Ket.:
BSL B: Lb. plantarum BSL Bebas; BSL M: Lb. plantarum BSL Mikrokapsul 2C12 B: Lb. plantarum 2C12 Bebas; 2C12 M: Lb. plantarum 2C12 Mikrokapsul
27
Ketahanan Strain Lb. plantarum Terhadap Garam Empedu (0.5%) Penurunan jumlah sel bakteri probiotik tanpa enkapsulasi diinkubasi dengan MRSB yang mengandung garam empedu 0.5% secara nyata lebih banyak dibandingkan dengan probiotik terenkapsulasi. Penurunan jumlah sel antara kedua strain Lb. plantarum bebas tidak berbeda nyata, namun hasil berbeda nyata diperlihatkan pada sel yang sudah dienkapsulasi. Lb. plantarum BSL terenkapsulasi memiliki ketahanan terhadap garam empedu lebih baik secara nyata jika dibandingkan dengan Lb. plantarum 2C12, dilihat dari lebih kecilnya penurunan jumlah sel. Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 bebas masingmasing mengalami penurunan sebesar 2.9 log cfu mL-1 dan 2.8 log cfu mL-1 dari jumlah awal masing-masing 10.8 dan 10.7 log cfu mL-1 setelah diinkubasi dengan garam empedu 0.5% selama 5 jam. Hasil berbeda nyata ditunjukkan pada probiotik terenkapsulasi, Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 terenkapsulasi masing-masing hanya mengalami penurunan sebesar 1.4 log cfu g1 dan 1.2 log cfu g-1 (Gambar 8) dari jumlah awal masing-masing 10.07 dan 10.06 log cfu g-1. Penurunan jumlah sel memperlihatkan bahwa enkapsulasi mampu melindungi sel probiotik dari kondisi garam empedu. Kemampuan bakteri probiotik untuk bertahan pada kondisi saluran pencernaan diperlukan untuk dapat memberikan efek kesehatan. Ketahanan bakteri probiotik terhadap garam empedu merupakan salah satu sifat penting yang harus dimiliki agar mampu tumbuh dan bertahan hidup selama berada pada bagian usus kecil. Garam empedu di dalam tubuh berfungsi sebagai detergen yang mampu mengemulsi dan melarutkan lipid, selain itu garam empedu juga mampu berfungsi sebagai antimikroba dengan merusak membran sel bakteri (Begley et al. 2005). Hal inilah yang dapat menyebabkan isolat probiotik mengalami penurunan jumlah sel setelah dipapar pada kondisi 0.5% garam empedu. Kerusakan dinding sel pada Lb. plantarum semakin besar seiring dengan meningkatnya persentase garam empedu, seperti yang dilaporkan oleh Bron et al. (2004) yang menggambarkan kerusakan morfologis Lb. plantarum pada kondisi dipapar garam empedu 0.05-0.15% selama 4 jam setelah diamati dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Ada beberapa hipotesis terkait ketahanan bakteri asam laktat (BAL) dalam kondisi garam empedu dimungkinkan, di antaranya beberapa spesies BAL mampu mendekonjugasi garam empedu dengan menggunakan asam amino taurin sebagai aseptor elektron, sedangkan hipotesis lain menyebutkan bahwa BAL mampu bertahan dalam kondisi garam empedu karena adanya enzim Bile Salt Hydrolase (BSH) yang diatur oleh gen BSH (Moser dan Savage 2001). Strain Lb. plantarum dilaporkan mempunyai aktivitas enzim BSH yang dibuktikan pada media MRS yang disuplementasi dengan garam empedu dan diinokulasi dengan Lb. plantarum terjadi presipitasi asam empedu tidak terkonjugasi. Asam empedu terkonjugasi akan terurai menjadi asam empedu tidak terkonjugasi dan melepaskan asam amino glisin dan taurin dengan adanya enzim BSH ini (Begley et al. 2006). Sel yang dienkapsulasi akan mempunyai pelindung fisik dari kondisi garam empedu, sehingga dapat meningkatkan sintasan selama berada dalam kondisi saluran pencernaan.
28
Penurunan Jumlah Sel [log cfu g-1 atau mL-1]
3,5 3,0
a
a
2,5 2,0 1,5
b
sel bebas c
sel terenkapsulasi
1,0 0,5 0,0 Lb.plantarum BSL
Lb.plantarum 2C12
Gambar 9 Penurunan jumlah sel strain Lb. plantarum bebas dan terenkapsulasi terhadap garam empedu (0.5%). Rataan dengan huruf yang berbeda (a-b) menunjukkan hasil beda nyata (P<0.05). Sintasan Lb. acidophilus CSCC2400 yang dienkapsulasi dengan alginat dilaporkan meningkat setelah diinkubasi dengan garam empedu 1%, dan meningkatkan konsentrasi alginat dari 0.75% menjadi 1.8% memberikan efek perlindungan yang lebih baik pada Lb. acidophillus terhadap kondisi saluran pencernaan (Chandramouli et al. 2004). Mandal et al. (2005) melaporkan sintasan Lb. casei NCDC-298 menurun seiring lamanya inkubasi dengan garam empedu 12%, dan ketahanan sel terlihat lebih tinggi pada sel yang dienkapsulasi dengan menggunakan alginat. Ketahanan Strain Lb. plantarum Terhadap pH Rendah (pH 2) Penurunan jumlah bakteri probiotik bebas yang diinkubasi dengan pH 2 berbeda nyata dengan probiotik terenkapsulasi. Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 masing-masing mengalami penurunan setelah diinkubasi dengan pH 2 selama 5 jam yaitu sebesar 2.6 log cfu mL-1 dan 2.5 log cfu mL-1 dari jumlah awal masing-masing 10.19 dan 10.14 log cfu mL-1. Hasil berbeda nyata ditunjukkan pada Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 terenkapsulasi masing-masing hanya mengalami penurunan sebesar 1,3 log cfu g-1 dan 1,2 log cfu g-1 (Gambar 9) dari jumlah awal masing-masing 10.8 dan 10.7 log cfu g-1. Antara kedua strain Lb. plantarum bebas mengalami penurunan jumlah sel secara nyata setelah diinkubasi dalam pH 2 selama 5 jam. Sel Lb. plantarum BSL yang sudah terenkapsulasi berbeda nyata lebih baik ketahanannya terhadap pH rendah (pH 2) dibandingkan dengan Lb. plantarum 2C12. Ketahanan sel terenkapsulasi terbukti secara keseluruhan berbeda nyata lebih baik (p<0.05) dibandingkan dengan sel bebas. Hasil ini memperlihatkan bahwa mikroenkapsulasi dengan alginat terbukti mampu menjaga probiotik dari paparan pH rendah dengan memberikan perlindungan fisik. Salah satu syarat bakteri termasuk dalam probiotik adalah mampu bertahan hidup pada kondisi saluran pencernaan yang meliputi keasaman tinggi dan sekresi garam empedu. Pada percobaan ini, ketahanan sel probiotik terhadap pH rendah dilakukan dengan inkubasi pada kondisi pH rendah (pH 2) selama 5 jam, sesuai dengan lamanya makanan berada di dalam lambung (2-6 jam). Ketahanan sel
29
probiotik bebas terhadap pH rendah didasarkan pada beberapa mekanisme, di antaranya adalah sistem glutamadekarboksilase (GAD), sistem arginin deiminasi (ADI) dan pompra ptoyon H+-ATP ase. Beberapa spesies Lactobacillus dilaporkan memiliki mekanisme sistem GAD yang akan meningkatkan pH intraseluler (Coller dan Hill 2003). Favaro-Trindale dan Grosso (2002) melaporkan bahwa tidak ada Lb. acidophillus yang mampu bertahan pada kondisi pH 1.0 selama 1 jam inkubasi, namun Lb. acidophilus terenkapsulasi mampu bertahan dan hanya mengalami penurunan sebesar 1 log pada pH 1.0 setelah 2 jam inkubasi. Chandramouli et al. (2004) melaporkan kenaikan sintasan Lb. acidophilus secara signifikan pada pH 2 setelah dienkapsulasi dengan alginat. Kim et al. (2007) melaporkan bahwa sintasan Lb. acidophilus ATCC 43121 yang dienkapsulasi dengan alginat pada kondisi pH rendah (pH 1.2 dan 1.5) berbeda nyata lebih baik dibandingkan dengan sel bebas. Pada pH 1.2 Lb. acidophilus ATCC 43121 bebas seluruhnya mengalami kematian setelah inkubasi selama 1 jam, sedangkan Lb. acidophilus ATCC 43121 terenkapsulasi mengalami penurunan dari 6 log cfu g-1 menjadi 3 log cfu g-1.
Penurunan Jumlah Sel [log cfu g-1 atau mL-1]
3,0
a
a
2,5 2,0 1,5
b
b
1,0 0,5 0,0 Lb.plantarum BSL
sel bebas
Lb.plantarum 2C12
sel terenkapsulasi
Gambar 10 Penurunan jumlah sel strain Lb. plantarum bebas dan terenkapsulasi terhadap pH rendah (pH 2). Rataan dengan huruf yang berbeda (a-b) menunjukkan hasil beda nyata (P<0.05).
Aktivitas Antimikroba Probiotik Terenkapsulasi Aktivitas antimikroba dari masing-masing strain Lb. plantarum dievaluasi dengan menggunakan 5 bakteri uji, yaitu E. coli ATCC 25922, Salmonella typhii ATCC 14028, S.aureus ATCC 25923, S.cereviseae ATCC 9763, serta Aspergillus niger. Kedua strain Lb. plantarum bebas mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen, namun tidak mampu menghambat pertumbuhan kapang dan khamir. Kemampuan penghambatan kedua strain ini terlihat dari terbentuknya zona bening pada media uji. Kedua strain Lb. plantarum masng-masing mempunyai daya hambat yang paling tinggi terhadap bakteri Salmonella typhii ATCC 14028 dilihat dari zona bening yang terbentuk paling besar dibandingkan dengan zona bening pada bakteri uji S.aureus ATCC 25923 dan E. coli ATCC 25922 . Pada kapang dan khamir tidak terbentuk zona bening sama sekali
30
sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua strain Lb. plantarum tidak mempunyai daya hambat terhadap kapang dan khamir. Aktivitas antimikroba sel probiotik terenkapsulasi terhadap kelima bakteri uji tidak berbeda nyata dengan sel bebas. Hal ini terlihat dari masih terbentuknya zona bening dengan diameter tidak berbeda nyata dibandingkan sel bebas pada media uji. Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 terenkapsulasi masingmasing diketahui masih mempunyai daya hambat yang paling tinggi terhadap bakteri Salmonella typhii ATCC 14028 dibanding dengan bakteri uji S.aureus ATCC 25923 dan E. coli ATCC 25922. Gambar 10 menunjukkan bahwa teknik mikroenkapsulasi dengan alginat tidak mempengaruhi aktivitas antimikroba dari sel probiotik terhadap bakteri patogen. Kemampuan bakteri probiotik dalam menghambat bakteri patogen diduga karena terbentuknya metabolit setelah diinkubasi selama 24 jam yang mempunyai aktivitas antimikroba, di antaranya adalah diasetil, hidrogen peroksida dan asam organik serta bakteriosin (Jenie dan Rini 1995; Surono 2004; Helander et al. 1997; Naidu dan Clemens 2000). 2,5 c
cd
zona bening [mm]
2,0 1,5
d a
cd
a a a e e
e
e
1,0 0,5 0,0 E.coli ATCC 25922
Salmonella typhii ATCC 14028
S.aereus ATCC 25923
S.cereviseae ATCC 9763
Aspergillus niger
jenis mikroorganisme Lb plantarum BSL bebas
Lb plantarum BSL terenkapsulasi
Lb plantarum 2C12 bebas
Lb plantarum 2C12 terenkapsulasi
Gambar 11 Aktivitas antimikroba sel Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 bebas dan terenkapsulasi terhadap beberapa jenis mikroorganisme. Rataan dengan huruf yang berbeda (a-e) menunjukkan hasil beda nyata (P<0.05) Pengujian aktivitas antimikroba terhadap E. coli ATCC 25922 lebih lanjut dengan menggunakan metode kontak. Hasil uji kompetisi kedua strain Lb. plantarum terhadap E. coli ATCC 25922 menunjukkan bahwa mikroenkapsulasi tidak merubah sifat aktivitas antimikroba dari sel probiotik (Tabel 4). Penghambatan bakteri E. coli ATCC 25922 oleh Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 berturut-turut adalah sebesar 3.10 dan 2.72 log cfu g-1. Hasil yang serupa juga ditunjukkan oleh kedua strain Lb. plantarum terenkapsulasi dimana Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 terenkapsulasi masing-
31
masing mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli ATCC 25922 sebesar 2.90 dan 2.69 log cfu g-1. Penghambatan bakteri E. coli ATCC 25922 oleh kedua strain Lb. plantarum diduga karena terbentuknya kompleks bakteriosin setelah inkubasi 24 jam. Menurut Pelczar dan Chan (1986), senyawa antimikroba dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme perusakan dinding sel dengan cara menghambat proses pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk serta perubahan permeabilitas membra sitoplasma sehingga terjadi kebocoran nutrisi dari dalam sel.selain itu menurut Heller et al. (2001) penghambatan pertumbuhan bakteri patogen oleh BAL diduga juga disebabkan karena adanya kompetisi nutrisi serta akumulasi D-asam amino dan menurunnya potensi redoks. Selama beberapa tahun, sebagian besar bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat telah diidentifikasi dan dikarakterisasi. Walaupun hanya sedikit penelitian yang menjelaskan aktivitas bakteriosin terhadap bakteri gram negatif, kapang dan khamir (Altuntas et al. 2010; Gere et al. 2009; Hassan dan Bullerman, 2008; Smaoui et al. 2010; Todorov et al. 2007). Tabel 4 Jumlah dan penghambatan E. coli ATCC 25922 pada uji kompetisi dengan strain Lb. plantarum Perlakuan Σ E. coli Σ E. coli Pertumbuhan Penghambatan (0 jam) (No) (24 jam) (No) Log Log -1 -1 (cfu mL ) (cfu mL ) (Nt-No) (log cfu mL-1) BSL B vs EC 2.6 x 10-3 4.6 x 10-4 1.15 3.10a BSL M vs EC 3.4 x 10-3 7.6 x 10-4 1.35 2.90a 2C12 B vs EC 2.9 x 10-3 9.5 x 10-4 1.52 2.72b 2C12 M vs EC 3.0 x 10-3 1.1 x 10-5 1.55 2.69b Kontrol EC 4.5 x 10-3 7.9 x 10-7 4.24 Ket: Rataan dengan huruf yang berbeda (a-b) menunjukkan hasil beda nyata (P<0.05) Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan menyebabkan kematian sel secara cepat walaupun pada konsentrasi yang rendah (Ray, 2004). Lb. plantarum dilaporkan memproduksi bakteriosin yaitu plantarisin (Hata et al. 2010). Lb. plantarum 2C12 memproduksi bakteriosin plantarisin yang dapat didegradasi oleh enzim protease pada media MRS broth ditambah 0.3% ekstrak khamir (Arief et al. 2010). Nowroozi et al. (2004) melaporkan bahwa Lb. plantarum mempunyai aktivitas antimikroba lebih besar terhadap E. coli dan S. aureus dibandingkan dengan isolat BAL lain, seperti Lb. delbruekii dan Lb. acidophillus. Lb.plantarum AX5L yang diisolasi dari sosis diketahui mampu mengambat pertumbuhan E. coli, B. subtilis dan S. aureus karena menghasilkan H2O2 dan asam laktat sebesar 0.88% serta bakteriosin plantarisin (Toksoy et al.1999).
32
Stabilitas Bakteri Probiotik Dalam Produk Selai Salak Selama Penyimpanan Suhu Kamar Survival bakteri probiotik dalam selai salak Karakteristik awal selai salak yang dihasilkan adalah kadar gula (%bb) antara 54-58% (Lampiran 4), kadar air 29-32% (Lampiran 3), pH 4.6 dan aw 0.74. Suhu penambahan probiotik adalah 50oC, hal ini didasarkan pada hasil uji ketahanan panas yang diketahui bahwa pada suhu 50oC kedua strain Lb. plantarum mengalami penurunan jumlah sel yang paling rendah dibanding suhu lainnya. Selai salak merupakan salah satu produk IMF yang dipilih sebagai model pangan bakteri probiotik. Penyimpanan dilakukan pada suhu kamar untuk mengetahui survival bakteri probiotik terenkapsulasi dibandingkan sel bebas. Viabilitas bakteri probiotik bebas dan terenkapsulasi dapat dilihat pada Gambar 11. US FDA merekomendasikan jumlah minimum probiotik saat konsumsi sebesar 6 log cfu g-1 (Capela et al. 2006). Sel bebas baik Lb. plantarum BSL maupun Lb. plantarum 2C12 masing-masing menurun secara drastis setelah penyimpanan 3 minggu dan pada penyimpanan 4 minggu keseluruhan sel bebas sudah tidak terdeteksi lagi dari jumlah awal masing-masing 10.8 dan 10.7 log cfu g-1. Kedua strain Lb. plantarum rata-rata mengalami penurunan viabilitas sebesar 3 log setiap minggunya ketika disimpan pada suhu kamar. Setelah penyimpanan 1 minggu viabilitas Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 masih diatas 6 log cfu g-1 yaitu masing-masing adalah 7.7 dan 6.7 log cfu g-1. 12,0
Jumlah sel (log cfu/gr)
10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (minggu) Lb plantarum BSL bebas
Lb plantarum BSL mikrokapsul
Lb plantarum 2C12 bebas
Lb plantarum 2C12 mikrokapsul
(- - -): batas minimum jumlah probiotik yang disarankan untuk dikonsumsi menurut FAO/WHO 2002 (6 log cfu g-1) Gambar 12 Pengaruh enkapsulasi terhadap jumlah sel Lb. plantarum pada selai salak selama penyimpanan suhu kamar
33
Jumlah sel bebas kedua strain Lb plantarum masih memenuhi syarat minimum probiotik yang ditetapkan oleh US FDA setelah penyimpanan 1 minggu. Namun pada penyimpanan 2 minggu penurunan viabilitas kedua strain Lb. plantarum menjadi lebih rendah, yaitu hanya berkisar 3.6 dan 2.4 log cfu g-1 untuk masing-masing Lb. plantarum BSL dan Lb.plantarum 2C12. Pada penyimpanan 3 minggu kedua strain Lb.plantarum masing-masing sudah tidak terdeteksi lagi (Gambar 11). Penurunan jumlah sel probiotik terjadi karena akumulasi dari asam laktat, seperti yang dilaporkan oleh Vinderolla et al. (2002) yang menyatakan bahwa hasil metabolisme yang terakumulasi akan bersifat toksik bagi sel probiotik. BAL mampu mengubah 95% glukosa substrat menjadi asam laktat (Nighwonger, 1996), dan metabolit seperti asam laktat merupakan senyawa yang dapat memberi efek negatif terhadap viabilitas probiotik dengan cara masuk ke dalam sel dalam bentuk tidak terdisosiasi dan kemudian terdisosiasi dalam sel (Fuller 1992). Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 terenkapsulasi memperlihatkan viabilitas yang jauh lebih baik dibandingkan sel bebas. Rata-rata penurunan viabilitas kedua strain Lb. plantarum terenkapsulasi setiap minggunya selama penyimpanan suhu ruang adalah 1 log. Pada penyimpanan 1 minggu walaupun terjadi penurunan 1 log, viabilitas kedua strain Lb. plantarum terenkapsulasi masih tetap tinggi yaitu sekitar 9.5 log cfu g-1. Mikroenkapsulasi terbukti mampu meningkatkan viabilitas kedua strain Lb. plantarum selama penyimpanan suhu kamar. Pada akhir penyimpanan 4 minggu Lb. plantarum BSL dan Lb. plantarum 2C12 terenkapsulasi jumlah sel di dalam selai salak masing-masing masih di atas 7 log cfu g-1. Survival bakteri probiotik terenkapsulasi selama penyimpanan 4 minggu masih di atas kisaran jumlah minimum probiotik saat dikonsumsi yang ditetapkan US FDA. Berdasarkan hasil ini diketahui bahwa mikroenkapsulasi terbukti mampu melindungi probiotik ketika berada di dalam matrik pangan selama penyimpanan. Mikroenkapsulasi memberikan perlindungan fisik terhadap sel dari metabolit yang bersifat toksik. Mikroenkapsulasi probiotik telah dilaporkan oleh beberapa penelitian mampu meningkatkan viabilitas pada jus buah dengan keasaman tinggi pada penyimpanan suhu dingin selama 2 minggu, hal ini disebabkan mikroenkapsulasi dapat menyediakan lingkungan anaerobik yang menguntungkan bagi bakteri probiotik, dengan berperan sebagai pelindung fisik dari kondisi asam pada jus buah (Picot dan Lacroix, 2004; Chandramouli et al. 2004; Saarela et al. 2006). Ding dan shah (2008) melaporkan bahwa Lb. acidophilus terenkapsulasi masih memiliki sintasan tinggi pada jus apel setelah disimpan selama 6 minggu pada suhu 4oC dimana sel bebas keseluruhan mengalami kematian pada penyimpanan minggu ke 5. Total Kapang Khamir Selai Salak Selama Penyimpanan Pertumbuhan kapang khamir pada selai salak probiotik dapat dilihat pada Gambar 12. Pada awal penyimpanan total kapang khamir yang terdeteksi pada semua selai dengan berbagai perlakuan masih dibawah 1 log cfu-1. Penyimpanan 1 minggu semua selai dengan berbagai perlakuan pertumbuhan kapang khamir juga masih di bawah 1 log cfu g-1. Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa pada akhir penyimpanan 4 minggu total kapang khamir pada selai dengan berbagai perlakuan masih dibawah 2 log cfu g-1(Gambar 12 ).
34
Pertumbuhan kapang khamir pada selai salak kontrol tanpa penambahan probiotik sudah sedikit meningkat pada penyimpanan 3 minggu, dimana jumlah kapang khamirnya menjadi 1.5 log cfu g-1. Pada penyimpanan 4 minggu total kapang khamir selai salak kontrol tanpa penambahan probiotik adalah 1.7 log cfu g-1. Pertumbuhan kapang khamir pada selai salak probiotik dengan penambahan Lb. plantarum BSL bebas mulai meningkat pada saat penyimpanan 3 minggu, dimana total kapang khamir naik menjadi 1.6 log cfu g-1 dan pada saat akhir penyimpanan 4 minggu total kapang khamirnya menjadi 1.8 log cfu g-1. Begitu pula pada selai salak probiotik dengan penambahan Lb. plantarum 2C12 bebas, dimana pertumbuhan kapang khamir mulai meningkat pada saat penyimpanan 2 minggu menjadi 1.4 log cfu g-1. Pada penyimpanan 3 dan 4 minggu berturut-turut naik menjadi 1.8 dan 2.0 log cfu g-1. 2,5
Jumlah sel (log cfu/gr)
2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (minggu) Lb plantarum 2C12 mikrokapsul
Lb plantarum BSL mikrokapsul
Lb plantarum BSL bebas
Lb plantarum 2C12 bebas
Tanpa Probiotik
Gambar 13 Total kapang khamir selai salak selama penyimpanan suhu kamar (- - -): batas maksimum cemaran kapang khamir pada produk selai menurut HK BPOM 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan (2 log cfu g-1) Pertumbuhan kapang khamir pada selai salak probiotik dengan penambahan Lb. plantarum BSL terenkapsulasi mulai meningkat pada saat penyimpanan minggu ke 3, menjadi 1.7 log cfu g-1 dan diakhir penyimpanan 4 minggu total kapang khamir menjadi 1.9 log cfu g-1. Pada selai salak probiotik dengan penambahan Lb. plantarum 2C12 terenkapsulasi masing-masing juga mulai meningkat pada saat penyimpanan 2 minggu, menjadi 1.5 log cfu g-1 dan pada penyimpanan 3 dan 4 minggu naik menjadi 1.7 dan 2.0 log cfu g-1. Standar maksimal jumlah kapang khamir produk selai berdasarkan HK BPOM 2009 adalah 2 log cfu g-1. Produk selai salak dengan berbagai perlakuan dengan
35
penyimpanan 4 minggu pada suhu ruang masih aman untuk dikonsumsi. Tidak terlihat perbedaan pertumbuhan kapang khamir pada selai dengan penambahan sel bebas dan selai dengan penambahan sel terenkapsulasi. Pertumbuhan kapang khamir di dalam selai kemungkinan dihambat oleh tingginya kadar gula dalam selai (55%) dan aw yang rendah (0.77). Kandungan gula yang tinggi pada selai salak secara alami berperan sebagai pengawet karena air bebas yang ada di dalam selai tidak dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Noerhartati et al.(2001) melaporkan bahwa selai salak tanpa penambahan bahan pengawet (natrium benzoat) masih layak dikonsumsi setelah penyimpanan 30 hari karena total kapang khamir masih dibawah 2 log cfu g-1. Perubahan pH dan aw Selai Salak Selama Penyimpanan Perubahan pH selai salak selama penyimpanan suhu kamar ditunjukkan pada Tabel 5. Penurunan pH selai salak kontrol tanpa penambahan probiotik hampir sama dengan penurunan pH pada selai salak dengan penambahan kedua strain Lb. plantarum bebas. pH akhir pada kedua strain Lb. plantarum terenkapsulasi lebih tinggi dibandingkan dengan sel bebas. Hasil statistik menunjukkan bahwa semua selai mengalami perubahan pH yang berbeda nyata setelah peyimpanan 3 minggu (Tabel 5). Selai salak tanpa probiotik pada akhir penyimpanan mempunyai nilai pH yang berbeda nyata dibandingkan dengan selai salak dengan penambahan Lb. plantarum bebas dan Lb. plantarum terenkapsulasi. Akan tetapi penambahan probiotik bebas maupun terenkapsulasi di dalam selai salak tidak mempengaruhi pola penurunan pH. Kondisi pH rendah pada produk selai akan berpengaruh terhadap viabilitas probiotik. Tabel 5 Perubahan pH selai salak selama penyimpanan suhu kamar Tanpa Lb. plantarum BSL Lb. plantarum 2C12 Probiotik Lama bebas terenkapsulasi bebas terenkapsulasi Penyimpanan Awal 4.67Aa 4.67Ba 4.67Ca 4.67Ba 4.67Ca Aa Ba Ca Ba Minggu 1 4.65 4.61 4.66 4.62 4.66Ca Minggu 2 4.63Aab 4.61Bab 4.66Cab 4.62Bab 4.65Cab Minggu 3 4.63Ab 4.60Bb 4.65Cb 4.61Bb 4.65Cb Minggu 4 4.62Ab 4.60Bb 4.64Cb 4.61Bb 4.64Cb Ket. : Rataan dengan huruf yang berbeda (A-C) pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Rataan dengan huruf yang berbeda (a-d) pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05).
Penurunan pH pada sel bebas disebabkan karena sel bebas mampu menggunakan karbohidrat dan memproduksi komponen asam organik yang akan menurunkan pH produk selai salak selama penyimpanan. Seluruh sel bebas sudah mengalami kematian pada minggu terakhir penyimpanan, namun sel bebas yang sudah mati masih mampu melepaskan enzim untuk menghidrolisis gula pada selai
36
salak yang menyebabkan pH semakin rendah. Nilai pH produk dengan penambahan sel probiotik terenkapsulasi lebih stabil dibandingkan dengan sel bebas kemungkinan disebabkan oleh lambatnya pelepasan nutrien dan metabolit karena harus melewati lapisan alginat pada mikrokapsul (Sultana et al, 2000; Fahimdanesh et al, 2012). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa mikroenkapsulasi probiotik membuat pH pangan fungsional menjadi lebih stabil (Kailasapathy 2005, Saarela et al, 2005). Hal ini memperlihatkan bahwa mikroenkpasulasi probiotik akan membuat produk lebih stabil selama penyimpanan, terlihat dari penurunan pH pada sel terenkapsulasi lebih sedikit dibanding sel bebas. Ding dan Shah (2008) melaporkan bahwa penurunan pH pada jus jeruk lebih besar pada Lb. acidophillus bebas dibandingkan dengan Lb. acidophillus terenkapsulasi. Mohammadi et al. (2013) melaporkan bahwa penurunan pH mayonnaise dengan penambahan Lb. acidophilus terenkapsulasi lebih kecil dibandingankan dengan Lb. acidophilus bebas dan kontrol. Perubahan aw selai salak dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Selai salak kontrol tanpa penambahan probiotik mempunyai nilai a w awal yang paling rendah dibanding dengan selai salak lainnya. Pada selai salak dengan penambahan Lb. platarum bebas mempunyai nilai aw yang lebih besar dibandingkan dengan selai salak dengan penambahan Lb. plantarum terenkapsulasi. Setelah penyimpanan selama 1 minggu nilai aw pada semua selai meningkat secara nyata. Penambahan probiotik bebas maupun terenkapsulasi tidak mempengaruhi pola peningkatan aw. Perubahan aw pada semua selai dengan berbagai perlakuan mempunyai pola yang sama, yaitu semakin meningkat seiring bertambahnya waktu penyimpanan. Kenaikan nilai aw bisa disebabkan adanya pelepasan air oleh gula dalam selai salak. Nilai aw pada awal penyimpanan secara nyata terlihat lebih kecil dibandingkan dengan nilai aw pada akhir penyimpanan. Tabel 6 Perubahan aw selai salak selama penyimpanan suhu kamar Tanpa Lb. plantarum BSL Lb. plantarum 2C12 Probiotik Lama bebas terenkapsulasi bebas terenkapsulasi Penyimpanan Awal 0.736Aa 0.739Aa 0.751Aa 0.762Ba 0.753Aa Minggu 1 0.757Ab 0.746Ab 0.754Ab 0.778Bb 0.766Ab Ab Ab Ab Bb Minggu 2 0.771 0.764 0.763 0.794 0.768Ab Minggu 3 0.783Ac 0.777Ac 0.766Ac 0.797Bc 0.768Ac Minggu 4 0.804Ad 0.781Ad 0.770Ad 0.804Bd 0.775Ad Ket. : Rataan dengan huruf yang berbeda (A-B) pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Rataan dengan huruf yang berbeda (a-d) pada kolom yang sama berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Nilai aw selai salak tergolong rendah yaitu berkisar antara 0.7-0.8, kisaran aw ini hanya bisa dimanfaatkan oleh kapang dan khamir. Nilai aw yang rendah juga akan berpengaruh terhadap viabilitas probiotik bebas. Total kapang khamir pada produk selai salak juga akan berpengaruh terhadap nilai aw karena aktivitas
37
kapang khamir bisa meningkatkan nilai aw seiring pertumbuhan kapang khamir di dalam produk selai. Mikroenkapsulasi pada sel probiotik memberikan barier dengan adanya dinding alginat yang akan menurunkan pelepasan nutrien dan hasil metabolit serta mengurangi aktivitas sel probiotik (Muhammadi et al. 2013). Selain itu mikroenkapsulasi juga memberikan perlindungan fisik bagi probiotik dari lingkungan yang tidak menguntungkan salah satunya terhadap kondisi a w rendah. Mikroenkapsulasi selain melindungi sel probiotik juga menjaga agar perubahan aw produk selai lebih stabil dibanding sel bebas dan kontrol yang berdampak pada semakin lamanya masa simpan produk selai.
38
SIMPULAN DAN SARAN Mikroenkapsulasi dengan menggunakan teknik emulsi tidak mengurangi sintasan sel secara beda nyata (p<0.05) diliat dari jumlah sel kedua strain Lb. plantarum setelah enkapsulasi sama tingginya dengan sel bebas (11 log cfu g1). Ketahanan panas pada suhu 50o C pada probiotik terenkapsulasi lebih baik dibandingkan dengan sel bebas, namun semakin tinggi suhu paparan panas semakin turun ketahanan panas dari masing-masing probiotik. Sel bebas baik Lb. plantarum BSL maupun Lb. plantarum 2C12 mengalami cedera pada semua suhu pemanasan (50-70oC). Ketahanan bakteri probiotik terenkapsulasi terhadap garam empedu 0.5% serta pH rendah (pH 2) berbeda nyata lebih baik dibandingkan dengan probiotik terenkapsulasi. Kedua strain Lb. plantarum bebas terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli, Salmonella typhii dan S. aureus, namun tidak mampu menghambat pertumbuhan S. cereviseae dan Aspergillus niger dan proses mikroenkapsulasi dengan metode emulsi tidak mempengaruhi aktivitas antimikroba Lb. plantarum. Bakteri probiotik terenkapsulasi pada selai salak memperlihatkan viabilitas yang lebih baik dibanding sel bebas selama penyimpanan suhu kamar 4 minggu, dimana keseluruhan sel bebas sudah tidak terdeteksi pada minggu ke 2. Pada akhir penyimpanan total kapang khamir yang terdeteksi pada semua selai dengan berbagai perlakuan masih dibawah 2 log cfu g-1. Perubahan aw dan pH selai salak kontrol tanpa penambahan probiotik hampir sama dengan selai salak dengan penambahan kedua strain Lb. plantarum bebas maupun terenkapsulasi. Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian terkait sifat sensori selai salak probiotik serta penelitian terkait inovasi kemasan selai salak dalam bentuk sachet (sekali konsumsi) untuk meminimalisir penurunan viabilitas probiotik dalam selai salak.
39
DAFTAR PUSTAKA Adamson AW (1982). Physical chemistry of surfaces, New York: Wiley Inc. Agostoni CI. 2004. Probiotic bacteria in dietetic products for infants : a commentary by the ESPHGHAN Committee on Nutrition. J Pediatric Gastroenterol Nutr 28 : 365-374. Anal AK, Singh, Harjinder. 2007. Recent advances in microencapsulation of probiotics for industrial applications and targeted delivery. Trends in Food Science and Technology, 18:240–251. DOI:10.1016/j.tifs.2007.01.004 [AOAC]. Association of official analytical chemistry. 1995. Method of Analysis. Washington DC. Apriyantono A, Dedi F, Sedarnawati, Slamet B. 1988. Analisis pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Arief II, Jenie BSL, Astawan M, Witarto AB. 2010. Efektivitas probiotik Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus acidophilus 2B4 sebagai pencegah diare pada tikus percobaan. Media Petern. 33: 137-143. DOI: 10.5398/medpet.2010.33.3.137. Arief II, S Jenie. 2011. Karakterisasi sifat fungsional bakteri asam laktat indigenous sebagai probiotik, identifikasinya secara biokimia dan molekuler serta aplikasinya dalam pangan probiotik. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Aysun C, Candan G. 2002. Properties of potential probiotic Lactobacillus plantarum strains. Food Microbiology, 20: 511–518. [BAM]. Bacteriological analytical manual. 2001. http://cfsan.fda.gov/. [25/10/2013]. Begley M, Gahan CGM, Hill C. 2005. The interaction between bacteria and bile. FEMS Microbiol Rev 29 : 625-651. Begley M, Hill C, Grahan CGM. 2006. Bile salt hydrolase activity in probiotics. Appl Environ Microbiol 72: 1729-1738. Bevilacqua A, Milena S, Maria RC. 2010. An acid/alkaline stress and the addition of amino acids induce a prolonged viability of lactobacillus plantarum loaded into alginate gel. International Journal of Food Microbiology 142: 242–246. DOI:10.1016/j.ijfoodmicro.2010.05.030. Boh B. 2007. Developements et applications industrielles des microcapsules. In: Vandamme, Thierry F. (Ed.), Microencapsulation: Des Sciences Aux Technologies. Lavoisier Paris, pp. 9–22. Bron PA. 2004. Genetic characterization of the bile salt response in Lactobacillus plantarum and analysis of responsive promoters in vitro and in situ in the gastrointestinal tract. J Bacteriol 186 : 7829-7835. Bourlioux P, Koletzko B, Guarner F, Braesco V. 2003. The intestine and its microflora are partners for the protection of the host : report on the Danone symposium ‘ The Intelligent Intestine’. Am J Clin Nutr, 78: 675-683. [BPOM]. Badan Pengawas Obat dan Makanan.2009. Penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan. Nomor HK.00.06.1.52.4011. Buckle, Edwards Ra, Fleet Gh, Wooton M. 1987. Ilmu pangan. Hari Purnomo And Adiono, Penerjemah. Hal 34: 169-172. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
40
Burgain J, C Gaiani, M Linder, J Scher. 2011. Encapsulation of probiotic living cells: From laboratory scale to industrial Applications. Journal of Food Engineering 104: 467–483. DOI:10.1016/j.jfoodeng.2010.12.03. [BSN]. Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara Uji Gula (SNI 01-2892-1992). Jakarta (ID). Badan Standarisasi Nasional. Capela P, Hay TKC, Shah NP. 2005. Effect of cryoprotectants, prebiotics and microencapsulation on survival of probiotic organisms in yoghurt and freeze-dried yoghurt. Food Res. Int. 39: 203–211. DOI:10.1016/j.foodres.2005.07.007. Champagne CP, Girard F, Rodrigue N. 1993. Production of concentrated suspensions of thermophilic lactic acid bacteria in calcium-alginate beads. International Dairy Journal, 3: 257-75. Champagne CP, Kailasapathy K, 2008. In: Garti, N. (Ed.), Controlled Release Technologies for Targeted Nutrition. pp. 344–369. Woodhead Publishing, CRC Press, Cambridge, UK. Chandramouli V, Kailaspathy K, Peiris P, Jones M, 2004. An improved method ofmicroencapsulation and its evaluation to protect Lactobacillus spp. in simulated gastric conditions. Journal of Microbiological Methods 56: 27-35. DOI:10.1016/j.mimet.2003.09.002. Chen MJ, Chen KN, 2007. Applications of probiotic encapsulation in dairy products. In: Lakkis, Jamileh M. (Ed.), Encapsulation and Controlled Release Technologies in Food Systems. Wiley-Blackwell, USA, pp. 83– 107. Cotter PD, Hill C. 2003. Surviving the acid test : responses of Gram-positive bacteria to low pH. Microbiol Molecul Biol Rev 67: 429-453. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Ding WK, NP Shah. 2008. Viability of free and microencapsulated probiotic bacteria in orange and apple juices. International Food Research Journal 15(2): 219-232. Djuwanto, 1989. Perbedaan pengelolaan usaha pekarangan petani salak pondoh dengan petani salak warisan. Thesis. Progam Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Ellenton JC, 1998. Encapsulation bifidobacteria. Master Thesis, University of Guelph. Emanuel V, Adrian V, Ovidiu P, Gheorghe C. 2005. Isolation of Lactobacillus plantarum strain used for obtaining a product for the preservation of fodders. Afr J Biotechnol 4 : 403-408. Fachruddin L. 2008. Membuat aneka selai. Hal 13-35.Yogyakarta: Kanisius. Fahimdanesh M, Mohammadi N, Ahari H, Zajani MAK, Hargalani FZ. 2012. Effect of microencapsulation plus resistan starch on survival of Lactobacillus casei and Bifidobacterium bifidum in mayonnaise sauce. Afr.J.Microbiol.Res6: 6853-6858. DOI: 10.5897/AJMR12.1240. [FAO/WHO]. Food and Agriculture Organization/ World Health Organization. 2002. Guidelines for the evaluation of probiotics in food. Report of Joint FAO/WHO Working Group on drafting Guidelines for the evaluation of probiotics in food. London Ontario, Canada. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi pangan I. PT Gramedia, Jakarta.
41
Fuller R.1992. Probiotics: the scientific basis. London: Chapman dan Hall. Gebara C, Chaves KS, Ribeiro MCE, Souza FN, Grosso CRF, Gigante ML. 2013. Viability of Lactobacillus acidophilus La5 in pectin–whey protein microparticles during exposure to simulated gastrointestinal conditions. Food Research International. 51: 872-878. DOI:10.1016/j.foodres.2013. 02.008. Goderska K, Zybals M, Czarnecki Z. 2003. Characterization of microencapsulated Lactobacillus rhamnosus lr7 strain. Polish Journal of Food and Nutrition Science, 12/53, 21–24. Golowczyc M, Silva J, Abraham A, Deantoni G, Teixeira P. 2010.Cellular injuries of spray dryied lactobacillus spp. isolated from kefir and their impact on probiotic properties. International Journal of Food Microbiology 144: 556-560. DOI:10.1016/j.ijfoodmicro.2010.11.005. Hambali E, Suryani A, Wadli. 2004. Membuat aneka olahan rumput laut. Kanisius. Yogyakarta. Harmayani E, Ngatirah, Rahayu ES, Utami T. 2001. Ketahanan dan viabilitas probiotik bakteri asam laktat selama proses pembuatan kultur kering dengan metode freeze dan spray drying. J Tek dan Ind Pangan 12:126-132. Harsoyo Y. 1999. Analisis efisiensi produksi dan pemasaran komoditi salak pondoh di provinsi DIY. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Hastuti P, Ari M. 1988. Perubahan sifat kimia dan kesenangan konsumen terhadap salak pondoh selama penyimpanan pada suhu dingin. Dalam E.S. Heruwati et al. Prosiding Seminar. Hatting AL, BC Viljoen. 2001. Review yogurt as probiotic carrier food. International Dairy Journal, 11: 1–17. Helander IM, Von Wright A, Mattila-Sandholm TM. 1997. Potential of lactic acid bacteria and novel antimicrobials against Gram-negative bacteria (review). Trends in Food Sci Technol 8: 146-150. Jaana M, Alakomi, Hanna L, Vaari, Anu, Virkajärvi, Ilkka, Saarela, Maria. 2005. Influence of processing conditions on bifidobacterium animalis subsp. lactis functionality with a special focus on acid tolerance and factors affecting it. International Dairy Journal, 16: 1029–1037. DOI: 10.1016/j.idairyj.2005.10.014. Jayalalitha V, DR Palani, B Dhanalaxmi, A Elango, KC Naresh. 2011. yoghurt with encapsulated probiotics. Wayamba Journal of Animal Science 65-68. Jenie BSL, SE Rini. 1995. Aktivitas antimikroba dari beberapa spesies Lactobacillus terhadap mikroba patogen dan perusak makanan. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 7(2): 46-51. Jenie BSL, Suliantari, N Richana. 2011. Pengembangan produk yogurt sinbiotik dengan substitusi tepung pisang uli modifikasi kaya pati resisten. Laporan Penelitian KKP3T. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB bekerjasama dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kailasapathy K. 2009. Encapsulation technologies for functional foods and nutraceutical product development. CAB Reviews: Perspectives in Agriculture, Veterinary Science, Nutrition and Natural Resources 4 (6). Kailasapathy K. 2002. Microencapsulation of probiotic bacteria: technology and potential applications. Current Issues In Intestinal Microbiology, 3: 39–48.
42
Kim SJ, Seung YC, Sae HK, Ok-Ja S, Shik S, Dong SC, Hyun JP. 2007. Effect of microencapsulation on viability and other characteristics in Lactobacillus acidophilus ATCC 43121. LWT 41: 493–500. DOI:10.1016/j.lwt.2007.03.025. Klien J, Stock J, Vorlop KD. 1983. Pore size and properties of spherical calcium alginat biocatalysts. Eur J Appl Microbial Biotechnol, 18 : 86-91. Krasaekoopt W, Bhandari B, Deeth H. 2004. The influence of coating material on some properties of alginate beads and survivability of microencapsulated probiotic bacteria. International Dairy Journal, 14 : 737-734. Krasaekoopt W, Bhandari B, Deeth H. 2003. Evaluation of encapsulation techniques of probiotics for yoghurt. International Dairy Journal, 13: 3–13. Kusumawati N, S Jenie, S Setyahadi, RD Hariyadi. 2003. Seleksi bakteri asam laktat indigenus sebagai galur probiotik dengan kemampuan menurunkan kolesterol. J. Mikrobiologi Indonesia, 8(2) : 39-43. Labuza T, Shely J, Athony J, Gustavo S. 2007. Water acivity in food fundamental and application. 273-290. USA: IFT Press. Lacroix C, Paquin C, Arnaud JP. 1992. Effect agitation rate on cell release rate ad metabolism during continous fermentation with entrapped growing Lactobacillus casei subsp. casei. Biotechnol Techniq, 6:265-270. Lee KY, Heo TR. 2000. Survival of bifidobacterium longum immobilized in calcium alginate beads in simulated gastric juices and bile salt solution. Applied Environmental Microbiology, 66: 869-873. Mandal D, ME Bolander, Mukhopadhyay, G Sarkar, P Mukherjee. 2006. The use of microorganisms for the formation of metal nanoparticles and their application. J Appl Microbiol Biotechnol, 69: 485-492. Mandal S, Puniya, Singh. 2005. Effect of alginat concentration on survival of microencapsulated Lactobacillus casei NCDC 298. International Dairy Journal 16:1190-1195. DOI:10.1016/j.idairyj.2005.10.005. Mokarram RR, SA Mortazavi, MB Habibi, F Shahidi. 2009. The influence of multi stage alginate coating on survivability of potential probiotic bacteria in simulated gastric and intestinal juice. Food Research International 42: 1040–1045. DOI:10.1016/j.foodres.2009.04.023. Mosilhey SH. 2003. Influence of different capsule material on the physiological properties of microencapsulated Lactobacillus acidophilus. Institute of Food Technology: Faculty of Agricultural University of Bonn. 153p. Moser SA, Savage DC. 2001. Bile salt hydrolase activity and resistance to toxicity of conjugated bile salts are unrelated properties in Lactobacilli. Appl Environ Microbiol 67: 3476-3480. Mohammadi N, Ahari H, Fahimdanesh M, Zanjani MAK, Anvar AA, Shokri E. 2013. Survival of alginate-prebiotic microencapsulated Lactobacillus acidophilus in mayonnaise sauce. Iranian Journal of Veterinary Medicine, 6(4): 259-264. Naidu AS, Clemens RA. 2000. Probiotics. Dalam Natural Food Antimicrobial Systems. A.S. Naidu (editor). Florida : CRC Press. Nitisinprasert S, Pungsungworn N, Wanchaitanawong P, Loiseau G, Montet D. 2006. In vitro adhesion assay of lactic acid bacteria, Escherichia coli and Salmonella sp. by microbiological and PCR methods. Songklanakarin J Sci Technol 28 (suppl.1) : 99-106.
43
Noerhartati E, T Rahayuningsih, NV Feriyani.2001. Pembuatan selai salak (Salaca edulis reinw); kajian dari penambahan natrium benzoat dan gula yang tepat terhadap mutu selai salak selama penyimpanan. Jurnal Teknologi Pangan 3: 37-48. Nowroozi J, Mirzaii M, Norouzi M. 2004. Studi of Lactobacillus as Probiotic Bacteria. Iranian J Publ Health 33 : 1-7. Nualkaekul S, Michael TC, Vitaly V, Dimitris C. 2013. Influence of encapsulation and coating materials on the survival of lactobacillus plantarum and bifidobacterium longum in fruit juices. Food Research International 53:304311. DOI:10.1016/j.foodres.2012.06.003. Nuraida L, Susanti, AW Hartanti. 2007. Lactic acid bacteria and bifidobacteria profile of breast milk and their potency as probiotics. 10th ASEAN Food Conference. Kuala Lumpur- Malaysia. Nuraida L, Susanti, Palupi NS, Hana, Bastomi RP, Pricillia D, Nurjanah S. 2012. Evaluation of probiotics properties of lactic acid bacteria isolated from breast milk and their potency as starter culture for yogurt fermentation. International Journal of Food Nutrition and Public Health 5: 33-60. Nuswamarhaeni S, D Prihatin, EP Pohan. 1989. Mengenal buah unggul Indonesia. Penebar Swadaya, Jakarta. Ouwehand A, S Tolkko, S Salminem. The Effect of digestive enzyme on the adhes of probiotic bacteria in vitro. J. Food Sci. 66: 856-859. Rahayu, ES. 2011. Tantangan dan peluang mengembangkan probiotik pada produk non-Susu. Foodreview : Edisi April 2011. Ray, B. 2000. Fundamental food microbiology. Second Edition. London: CRC Press. Rizqiati H, S Jenie, Novik Nurhidayat, Caecilia Nurwitri. 2008. Ketahanan dan viabilitas Lactobacillus plantarum yang dienkapsulasi dengan susu skim dan gum arab setelah pengeringan dan penyimpanan. Jurnal Animal Production, Vol. 10. No. 3. Hal 179-187. Rokka S, Rantamaki P. 2010. Protecting probiotics bacteria by microencapsulation: challenges or industrial application. Eur. Food Res.Technol. 231: 1-12. DOI: 10.1007/s00217-010-1246.2. Saarela M, Virkajarvi I, Alakomi HL, Sigvart MP, Matto J. 2005. Stability and functionality of freeze-dried probiotic bifidobacterium cells during storage in juice and milk. International Dairy Journal 16: 1477-82.DOI: 10.1016/j.idairyj.2005.12.007. Sabari SD. 1983. Masalah pemanenan buah salak. Sub Balai Penelitian Tanaman Pangan, Pasar Minggu. Jakarta. Salminen S, AV Wright. 2004. Lactic acid bacteria. Microbiology and Functional Aspects. 2nd Edition, Revised and Expanded. Marcell Dekker, Inc., New York. Salminen S, Yuan KL. 2009. Handbook of probiotics and prebiotics. Second Edition. John Wiley dan Sons, Inc. New Jersey. Sahputra D. 2012. Sintas bakteri asam laktat kandidat probiotik kering beku asal air susu ibu selama rekonstitusi dan kemampuannya untuk berkompetensi dengan Cronobacter sakazakii [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Selmer-Olsen E, S-rhaug T, Birkeland SE, Pehrson R. 1999. Survival of Lactobacillus helveticus entrapped in Ca-alginate in relation to water
44
content, storage and rehydration. Journal of Industrial Microbiology Biotechnology, 23: 79–85. Shah NP. 2000. Probiotic bacteria: selective enumeration and survival in dairy foods. J. Dairy Sci. 83: 894–907. Shah NP. 2001. Functional foods from probiotics and prebiotics. Food Technology, 55: 46–53. Shearer AE, AS Mazzota, R Chuyate, DE Gombas. 2002. Heat resistance of juice spoilage microorganism. J.Food Protection, 65:1271-1275. Sheu Y, Marshall RT. 1993. Microencapsulation of Lactobacilli in calcium alginate gels. Journal Of Food Science, 58, 557–561. Sultana K, Godward G, Reynolds N, Arumugaswamy R, Peiris P, Kailasapathy K. 2000. Encapsulation of probiotic bacteria with alginate-starch and evaluation of survival in simulated gastrointestinal conditions and in yogurt. Int J Food Microbiol, 62:47-55. Sunny-Roberts EO, Knoor D. 2008. Evaluation of the response of Lactobacillus rhamnosus VTT E-97800 to sucrose-induced osmotic stress. Food Microbiol 25 : 183-189. Surono IS. 2004. Probiotik, Susu fermentasi dan kesehatan. YAPPMI. Jakarta. Suryani A, Erliza H, Mira Rivai. 2004. Membuat aneka selai. Penebar Swadaya. Jakarta. Sych J. 2003. Intermediate-moisture foods. Encyclopedia of Food Sciences and Nutrition 2nd Edition. Canada. Academic Press, 3337-3342. Teti E, Kgs Ahmadi. 2009. Teknologi pengolahan pangan. Bumi Aksara. Jakarta Thu B, Bruheim P, Espevik T, Smidsrød O, Soon-Shiong P,Skja k-Bræk G. 1996. Alginate polycation microcapsules. I. Interaction between alginate and polycation. Biomaterials, 17: 1031–1040. Toksoy A, Beyatli Y, Aslim B. 1999. Study on metabolic and antimicrobial activities of some Lb. plantarum galurs isolated from sausages. Tr J Vet An Sci 533-540. Torok T, AD King. 1991. Comparative study on the identification of foodborne yeast. Appl. Environ. Micro. 57:1207-1212. Truelstrup-Hansen L, Allan-Wojotas PM, Jin YL, Paulson AT, 2002. Survival of ca-alginate microencapsulated bifidobacterium spp. In milk and simulated gastrointestinal conditions. Food Microbiology 19 (1): 35–45. Vermeulen, D Jeff, VS Jana, D Frank. 2012. Screening of different stress factors and development of growth/no growth models for Zygosaccharomyces rouxii in modified Sabouraud medium, mimicking intermediate moisture foods (IMF). UGent. Food Microbiology, 32(2):389-396.
45
LAMPIRAN Lampiran 1 Bentuk mikrokapsul dengan teknik emulsi
Lampiran 2 Bentuk mikrokapsul dibawah mikroskop cahaya (a) dan mikroskop okuler (b)
a perbesaran 400 x
b perbesaran 20 x
Lampiran 3 Hasil pengukuran kadar air
Ulangan 1 2 3
Sampel
Berat sampel awal (g)
Berat cawan (g)
Berat cawan + sampel kering (g)
Kadar air (%)
selai
2,02 2,01 2,13
27,63 26,53 18,64
29,06 27,93 20,08
29,49 30,07 32,54
46
Lampiran 4 Hasil pengukuran kadar gula Vol 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1
Konst 0 20,82 41,64 62,46 81,12 104,1
Abs 0 0,061 0,146 0,235 0,33 0,412
Glukosa standar 104.1 ug/ml
0,5 y = 0,0041x - 0,014 R² = 0,9952
0,4 nilai absorbansi
No 1 2 3 4 5 6
0,3 0,2 0,1 0 -0,1
Persamaan garis: y = 0.004x - 0.014 x = konsentrasi gula = nilai absorbansi y nilai a = 0.004 nilai b = - 0.014
0
20
40
60
80
100
120
konsentrasi gula
Rumus perhitungan kadar gula: = Konsentrasi gula x Volume total x fp x Volume akhir) berat sampel ulangan sampel sampel (g) 1 2 3
selai
0,71 0,70 0,70
vol total 100 100 100
fp
abs
20 20 20
0,191 0,180 0,177
gula (ppm) 579096,04 553890,08 544858,08
gula (mg/g) 579,09 553,89 544,86
gula (%) 57,91 55,39 54,49
Lampiran 5 Rendemen enkapsulasi (RE) dengan teknik emulsi Strain probiotik Lb.plantarum BSL Lb.plantarum 2C12
Jumlah sel bebas (log cfu mL-1) 11.8 11.1
Jumlah sel hasil emulsi (log cfu g-1) 11.7 11.0
RE (%) 99.9 99.9
Lampiran 6 Ketahanan probiotik terhadap pemanasan suhu 50 oC Perlakuan Lb.plantarum BSL Bebas Lb.plantarum BSL Mikrokapsul Lb.plantarum 2C12 Bebas Lb.plantarum 2C12 Mikrokapsul
Sintasan (log cfu mL-1 atau g-1) 8.1 9.6 8.3 9.9
Penurunan Jumlah sel (log cfu mL-1 atau g-1)
47
Lampiran 7 Ketahanan probiotik terhadap pemanasan suhu 60 oC Perlakuan Lb.plantarum BSL Bebas Lb.plantarum BSL Mikrokapsul Lb.plantarum 2C12 Bebas Lb.plantarum 2C12 Mikrokapsul
Sintasan (log cfu mL-1 atau g-1) 4.5 6.0 4.8 6.8
Penurunan Jumlah sel (log cfu mL-1 atau g-1)
Lampiran 8 Ketahanan probiotik terhadap pemanasan suhu 70 oC Perlakuan Lb.plantarum BSL Bebas Lb.plantarum BSL Mikrokapsul Lb.plantarum 2C12 Bebas Lb.plantarum 2C12 Mikrokapsul
Sintasan (log cfu mL-1 atau g-1) 1.5 4.6 1.7 4.8
Penurunan Jumlah sel (log cfu mL-1 atau g-1)
Lampiran 9 Sel cedera setelah pemanasan Strain
Log cfu mL-1 8.1 4.4 3.7
Lb.plantarum BSL Mikrokapsul Log cfu g-1 9.6 8.2 1.4
4.5 2.6 1.9
6.0 5.2 0.8
4.8 2.3 2.5
6.8 5.4 1.4
1.5 1.0 0.5
4.6 3.9 0.7
1.7 1.0 0.7
4.8 3.7 1.1
Lb.plantarum BSL Bebas
Suhu 50 oC Sel total (µ1) Sel sehat (µ 2) Sel cedera (µ1- µ2) Suhu 60 oC Sel total (µ1) Sel sehat (µ2) Sel cedera (µ1- µ2) Suhu 70 oC Sel total (µ1) Sel sehat (µ2) Sel cedera (µ1- µ2)
Lb.plantarum 2C12 Bebas Log cfu mL-1 8.3 4.6 3.7
Lb.plantarum 2C12 Mikrokapsul Log cfu g-1 9.9 7.9 1.9
Lampiran 10 Hasil analisis statistik pengujian ketahanan probiotik terhadap pH rendah ANOVA ph_rendah Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
3,254
3
1,085
121,017
,000
,036 3,290
4 7
,009
48
Duncan Strain
N 1 2 2 2 2
2C12 M BSL M 2C12 B BSL B Sig.
Subset for alpha = .05 2 1 1,2100 1,3450 2,4700 2,6200 ,227 ,188
Lampiran 11 Hasil analisis statistik pengujian ketahanan probiotik terhadap garam empedu ANOVA Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
4,653
3
1,551
123,823
,000
,050 4,703
4 7
,013
Between Groups Within Groups Total Duncan Strain 2C12 M BSL M 2C12 B BSL B Sig.
N 1 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 2 1 1,1700 1,3850 2,6800 2,8950 ,127 ,127
Lampiran 12 Hasil analisis statistik aktivitas antimikroba terhadap beberapa jenis mikroba ANOVA Sum of Squares e_coli
salmonel a
s_aureus
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups
df
Mean Square
,005
3
,002
,010 ,015
4 7
,003
,044
3
,015
,015 ,059
4 7
,004
,005
3
,002
,010
4
,003
F
Sig.
,667
,615
3,889
,111
,667
,615
49
Total E coli ATCC 25922 Duncan Strain BSL B 2C12 B BSL M 2C12 M Sig.
,015
N
Subset for alpha = .05
1 2 2 2 2
1 1,4500 1,4500 1,5000 1,5000 ,377
7
Salmonella typhii ATCC 14028 Duncan Strain N Subset for alpha = .05 1 2 1 2C12 B 2 1,8500 2C12 M 2 1,9000 1,9000 BSL M 2 1,9500 1,9500 BSL B 2 2,0500 Sig. ,184 ,074 S. aureus ATCC 25923 Duncan Strain BSL M 2C12 B BSL B 2C12 M Sig.
N
Subset for alpha = .05
1 2 2 2 2
1 1,2500 1,2500 1,3000 1,3000 ,377
Lampiran 13 Hasil analisis statistik perubahan pH dan aw selai salak selama penyimpanan Perubahan pH Duncan strain BSL B 2C12 B kontrol 2C12 M BSL M Sig.
N 1 10 10 10 10 10
2 4,6200 4,6250
Subset 3
1
4,6350
,250
1,000
4,6470 4,6480 ,816
50
Duncan minggu
N 1 10 10 10 10 10
minggu ke 3 minggu ke 4 minggu ke 2 minggu ke 1 awal penyimpanan Sig. Perubahan aw Duncan strain BSL B BSL M 2C12 M kontrol 2C12 B Sig. Duncan minggu awal penyimpanan minggu ke 1 minggu ke 2 minggu ke 3 minggu ke 4 Sig.
2 4,6220 4,6220 4,6290
,131
N 1 10 10 10 10 10
Subset 3
1
4,6290 4,6370 ,071
4,6650 1,000
Subset 2 ,7619 ,7626 ,7639 ,7698 ,090
N 1
1
,7825 1,000
Subset 10 10 10 10 10
2 ,7480
3
4
1
,7620 ,7655 ,7761 1,000
,404
1,000
,7891 1,000
51
Lampiran 14 Selai salak probiotik
52
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai putri kedua dari pasangan Bapak Asiyo dan Ibu Karjinah. Penulis mengawali pendidikannya di SD N Turi 3 Sleman pada tahun 1995 dan menyelesaikan studi pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMP N 3 Sleman dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA N 4 Yogyakarta dan pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan Sarjana pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada dan menyelesaikannya pada tahun 2011. Selesai menyelesaikan studi pada program sarjana, penulis bekerja pada PT. Garuda Food Putra Putri Jaya dari tahun 20112012. Pada tahun 2012 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Magister Sains pada program studi Ilmu Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani program pascasarjana penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan pelatihan dan kegiatan seminar nasional maupun internasional diantaranya yang diadakan oleh Indonesian Society of Lactic Acid Bacteria (ISLAB) dan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI). Sebagian hasil penelitian sudah disajikan dalam seminar internasional Food for A Quality Life yang diadakan oleh PATPI pada bulan Oktober 2014 dengan judul Survival, Heat Resistance and Antimicrobial Activity of Lactobacillus strains Microencapsulated by Emulsion Method dan sedang dalam proses review untuk dipublikasikan pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan dengan judul Karakteristik Mikrokapsul Lb. plantarum dan Stabilitasnya dalam Produk Selai Salak. Penulis melakukan penelitian dan menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, dengan judul ‘Karakteristik Mikrokapsul Lactobacillus plantarum dan Stabilitas dalam Selai Salak Selama Penyimpanan’, dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Sri Laksmi S. MS dan Prof. Dr. Lilis Nuraida, M.Sc.