KARAKTERISTIK MUTU BAKSO SAPI DENGAN PENGGUNAAN SUPERNATAN YANG MENGANDUNG ANTIMIKROBA DARI Lactobacillus plantarum 1A5 PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN
SKRIPSI RUBEN PAULUS
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN. RUBEN PAULUS. D14050843. 2009. Karakteristik Mutu Bakso Sapi dengan Penggunaan Supernatan yang Mengandung Antimikroba dari Lactobacillus plantarum 1A5 pada Penyimpanan Suhu Dingin. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Pembimbing Anggota : Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si. Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang bernilai gizi tinggi dan sangat mudah dijumpai di masyarakat. Bakso memiliki sifat mudah rusak, oleh karena itu diperlukan bahan pengawet untuk meningkatkan masa simpannya. Pengawet yang digunakan untuk bakso selama ini masih berasal dari bahan kimia yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia. Pengawet alami mulai banyak digunakan karena aman untuk dikonsumsi. Salah satu bahan pengawet alami berasal dari bakteri asam laktat yang mampu menghasilkan antimikroba, bakteriosin, hidrogen peroksida dan hasil metabolisme lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektifitas supernatan antimikroba yang dihasilkan dari Lactobacillus plantarum 1A5 sebagai pengawet alami melalui pengamatan karakteristik mikrobiologi, fisik, kimia, dan organoleptik pada penyimpanan suhu dingin. Penelitian ini berlangsung sejak bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2009 di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, dan Laboratorium Analisis Kimia, SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor. Peubah yang diamati untuk uji mikrobiologi, fisik, dan kimia yaitu total plate count (TPC), nilai pH, TAT, kadar air, aw, daya serap air, dan kekenyalan, sedangkan peubah yang diamati untuk uji organoleptik yaitu warna, aroma, tekstur, keberadaan lendir dan rasa bakso. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 2x3 dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah penggunaan supernatan antimikroba dan kontrol (tanpa pemberian supernatan) dan faktor kedua adalah lama penyimpanan 0, 5 dan 10 hari. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam bagi data yang memenuhi asumsi dan uji non parametrik Kruskal-Wallis bagi data yang tidak memenuhi asumsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakso dengan supernatan antimikroba dari Lactobacillus plantarum 1A5 pada lama penyimpanan 0, 5, dan 10 hari berpengaruh nyata (P<0,05) dengan meningkatkan nilai TAT, aw, dan total mikroba dapat dihambat dengan pengaruh perlakuan tetapi memiliki nilai TPC yang melebihi batas normal 1x105 (DSN, 2000) sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Penambahan supernatan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar air, nilai pH, dan kekenyalan. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa bakso supernatan antimikroba dengan lama penyimpanan yang berbeda-beda mempengaruhi aroma, kekenyalan, lendir, warna, tetapi tidak mempengaruhi rasa bakso. Kata-kata kunci: bakso, antimikroba, Lactobacillus plantarum 1A5, penyimpanan suhu dingin.
ABSTRACT Characteristic of Beef Meatball with Usage Supernatant that Contain Antimicrobial from Lactobacillus plantarum 1A5 on Cold Storage. Paulus, R., T. Suryati and I.I. Arief Meatball is one of the meat product with good nutrient and most of the people like this product. Meatball is perishable, therefore it needs to add some preservative to make the meatball has a longer shelf-life. Most of the meatball still using preservative that made of chemical. But recently, people prefer to natural preservative than chemical, because its more safety to consume. This natural preservative is coming from lactic acid bacteria and its capable to obtaining an antimicrobial substance, bacteriosin, hidrogen peroxside, and other metabolism that effect the consumer. The aim of this research is to test an effect of free cell supernatant from antimicrobial Lactobacillus plantarum 1A5 as natural preservative to microbiology, physical, chemical, and organoleptic characteristic at refrigerator temperature storage. This research was divided into two phase, the first research and second research. The first research made mixed culture and second research made beef meatball then analysed in physic, chemical, organoleptic and microbiology test in cold storage in 0, 5, and 10 days.The experiment design used random complete design with factorial pattern 2x3 on three repeat. First factor was antimicrobial supernatan usage and control, and second factor was cold storage in 0, 5, and 10 days. The observed parameters physical and chemical were pH, TAT, texture, water content and water activity. Organoleptic test on color of beef meatball, flavor, texture, mucus and taste. Microbiology test on Total Plate Count (TPC). Physical, chemical, and microbiology data was analysed by Analysis of Variance (ANOVA) with matched assumption, if wasn’t matched it used Kruskal-Wallis method and so also the organoleptic test.he result showed that the different storage of beef meatball influence significant on TAT, water activity, and TPC, but did not influence significant on pH value, water content, and texture. Keywords: meatball, antimicrobial, Lactobacillus plantarum 1A5, and cold storage.
KARAKTERISTIK MUTU BAKSO SAPI DENGAN PENGGUNAAN SUPERNATAN YANG MENGANDUNG ANTIMIKROBA DARI Lactobacillus plantarum 1A5 PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN
RUBEN PAULUS D14050843
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
KARAKTERISTIK MUTU BAKSO SAPI DENGAN PENGGUNAAN SUPERNATAN YANG MENGANDUNG ANTIMIKROBA DARI Lactobacillus plantarum 1A5 PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN
Oleh RUBEN PAULUS D14050843
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 24 Agustus 2009
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Tuti Suryati, S.Pt., M.Si.
Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si.
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr.
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Mei 1987 di Jakarta. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Tambos Johannes Pasaribu dan Ibu Warsini. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Strada pada tahun 1993, pendidikan dasar di SD Katolik Charitas Jakarta pada tahun 1999. Pendidikan menengah pertama diselesaikan penulis di SLTP Charitas Jakarta Selatan pada tahun 2002 dan pendidikan menengah atas di SMA Charitas Lebak Bulus, Jakarta Selatan pada tahun 2005. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah bergabung sebagai anggota Panitia Retreat Komisi Pelayanan Anak dan Paskah Besar Anak (2005), angggota Unit Kegiatan Mahasiswa PMK bidang Komisi Pelayanan Anak (KPA) pada tahun 2006-2009, Koordinator Acara Fapet Cup (D’Farm Festival) pada tahun 2008 dan aktif dalam keanggotaan Badan Eksekutif Mahasiswa D(Bem-D) sebagai anggota divisi olahraga periode kepengurusan 2007-2008.
KATA PENGANTAR Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus oleh karena atas kasihnya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul ”Karakteristik Mutu Bakso Sapi dengan Penggunaan Supernatan yang Mengandung Antimikroba dari Lactobacillus plantarum 1A5 pada Penyimpanan Suhu Dingin”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Substansi skripsi ini terkait dengan pemanfaatan supernatan antimikroba yang dihasilkan dari Lactobacillus plantarum 1A5 sebagai pengawet alami pada bakso. Penambahan supernatan antimikroba diharapkan dapat menghasilkan masa simpan yang lebih lama pada bakso yang disimpan pada suhu dingin dan tidak menimbulkan karsinogenik. Skripsi ini menjelaskan cara-cara pengolahan daging menjadi bakso dan proses produksi supernatan bebas sel dari antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 kemudian diuji mikrobiologi, fisik, kimia dan daya terima panelis dengan masa simpan 0,5 dan 10 hari pada suhu dingin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis maupun umum.
Bogor, Agustus 2009 Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ................................................................................................ i ABSTRACT ...................................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................
v
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
x
PENDAHULUAN...........................................................................................
1
Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan .................................................................................................... TINJAUAN PUSTAKA Daging .................................................................................................... Bakso ..................................................................................................... Mikrobiologi Daging ............................................................................ Pembuatan Bakso ................................................................................. Emulsi Daging ...................................................................................... Komposisi Bakso .................................................................................. Bahan Pengisi .............................................................................. Sodium Tripolifosfat (STPP)......................................................... Garam Dapur ............................................................................... Es atau Air Es ............................................................................... Bumbu ......................................................................................... Bakteri Asam Laktat .............................................................................. Lactobacillus plantarum ........................................................................ Lactobacillus plantarum 1A5 ........................................................ Antimikroba .......................................................................................... Bakteriosin ................................................................................... Asam Organik .............................................................................. Hidrogen Peroksida ...................................................................... Sifat Fisik .............................................................................................. Daya Mengikat Air ....................................................................... Nilai pH ....................................................................................... Sifat Organoleptik Bakso ....................................................................... Warna .......................................................................................... Aroma .......................................................................................... Rasa ............................................................................................. Tekstur .........................................................................................
1 2 3 3 4 5 6 6 6 7 7 7 8 8 9 10 10 11 12 13 13 13 14 14 14 15 15 16
Kekenyalan .................................................................................. Penampakan Umum ..................................................................... METODE ....................................................................................................... Lokasi dan Waktu .................................................................................... Materi ...................................................................................................... Rancangan Percobaan .............................................................................. Analisis Data ................................................................................ Uji Organoleptik ........................................................................... Perlakuan ...................................................................................... Peubah yang Diamati ............................................................................... Analisis Kualitas Daging .............................................................. Daya Mengikat Air ................................................................ Analisis Kualitas Bakso ............................................................... Nilai Kekenyalan Objektif ..................................................... Nilai pH ................................................................................. Total Asam Tertitrasi ............................................................. Daya Serap Air ...................................................................... Analisis Aktivitas Air ............................................................ Kadar Air ............................................................................... Pengujian Mikrobiologis .............................................................. Analisis Kualitas Organoleptik .................................................... Prosedur 22 Penelitian Tahap I ........................................................................ Pembiakan Kultur 1A5 .......................................................... Ekstraksi Supernatan Antimikroba ......................................... Penelitian Tahap II ....................................................................... Pembuatan Bakso .................................................................. Pengawetan Bakso dengan Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 ................................................. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... Kualitas Daging ....................................................................................... Kualitas Bakso ......................................................................................... Nilai Total Plate Count (TPC) ...................................................... Nilai pH ....................................................................................... Nilai Total Asam Tertitrasi............................................................ Nilai Daya Serap Air ..................................................................... Nilai Kadar Air ............................................................................. Nilai Aktivitas Air (aw).................................................................. Nilai Kekenyalan........................................................................... Mutu Organoleptik .................................................................................. Hasil Pengujian Secara Hedonik ................................................... Hasil Pengujian Mutu Hedonik ..................................................... Aroma ................................................................................... Kekenyalan ............................................................................. Lendir ..................................................................................... Rasa ........................................................................................ Warna .....................................................................................
16 16 17 17 17 17 18 18 19 19 19 19 20 20 20 20 21 21 21 21 22 22 23 23 24 24 24 26 26 28 28 30 32 33 34 35 36 37 38 39 39 40 40 40 41
KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 42 UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... 43 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44 LAMPIRAN ................................................................................................... 50
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Syarat Mutu Bakso Daging dari Segi Nutrisi Berdasarkan SNI 013818-1995.......................................................................................... 4 2 Penilaian Kualitas pada Daging Segar ...............................................
27
3 Nilai pH dan Total Asam Tertitrasi Supernatan Antimikroba .............
28
4 Rataan Total Plate Count (TPC) (log cfu/g) Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda .......................................................................
31
5 Rataan Total Asam Tertitrasi Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda ............................................................................................
32
6 Rataan Daya Serap Air Bakso (ml) dengan Lama Penyimpanan Berbeda .............................................................................................
33
7 Rataan Kadar Air (%) Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda ...
34
8 Rataan aw Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda ......................
35
9 Rataan Kekenyalan Bakso dengan Lama Penyimpanan berbeda ..........
36
10 Uji Hedonik Bakso Kontrol dan Bakso dengan Perendaman Supernatan Antimikroba terhadap Lama Penyimpanan .....................
37
11 Uji Mutu Hedonik Bakso Kontrol dan Bakso dengan Perendaman Supernatan Antimikroba ...................................................................
39
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Diagram Alir Ekstraksi Supernatan Antimikroba................................ 23 2 Diagram Alir Proses Pembuatan Bakso ..............................................
24
3 Diagram Alir Proses Pengawetan Bakso dengan Perendaman Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5......................
25
4 Grafik Nilai pH pada Kontrol dan Perlakuan ......................................
31
5 Penampakan Bakso Kontrol dan Bakso dengan Perendaman Antimikroba dengan Lama Penyimpanan yang Berbeda ....................
38
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan terhadap Total Plate Count Bakso Sapi .............................................. 50 2 Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan terhadap Nilai aw (Aktivitas Air) Bakso Sapi ......................................
50
3 Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan terhadap Nilai Kadar Air Bakso Sapi ..................................................
50
4 Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan terhadap Nilai Bilangan Asam Bakso Sapi .........................................
51
5 Hasil Uji Kruskal-Wallis Nilai Daya Serap Air Bakso ........................
51
6 Hasil Uji Kruskal-Wallis Nilai Kekenyalan Bakso .............................
51
7 Hasil Uji Kruskal-Wallis Nilai pH Bakso ...........................................
52
8 Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Aroma) ........................................
52
9 Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Rasa) ...........................................
52
10 Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Warna) ........................................
53
11 Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Penampilan Umum) ....................
53
12 Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Tekstur) ......................................
53
13 Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Aroma) ..............................
54
14 Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Lendir) ..............................
54
15 Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Warna) ..............................
54
16 Hasil Uji Kruskal Wallis Mutu Hedonik (Kekenyalan) .......................
55
17 Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Rasa) .................................
55
18 Gambar Perendaman Bakso dengan Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 .............................................................
56
19 Gambar Penyaringan Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 ................................................................................................... 56 20 Gambar Bakso (Siap Uji Organoleptik) ..............................................
56
21 Format Uji Organoleptik.....................................................................
57
PENDAHULUAN Latar Belakang Bakso sapi merupakan salah satu jenis bakso yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Bahan baku bakso terdiri atas daging, bumbu dan bahan tambahan makanan lainnya. Bakso memiliki sifat mudah rusak, oleh karena itu diperlukan bahan pengawet untuk meningkatkan masa simpannya. Pengawetan tersebut dapat dilakukan secara alami, yaitu dengan menggunakan senyawa yang dihasilkan bakteri yang memiliki kemampuan untuk memperpanjang daya simpan makanan, dikenal dengan istilah biopreservatif. Bahan pengawet alami yang dimaksudkan adalah supernatan bebas sel dari antimikroba. Antimikroba yang digunakan berasal dari bakteri asam laktat (BAL). BAL biasa digunakan untuk produk pangan fermentasi yang mampu menghasilkan asam laktat, hidrogen peroksida dan senyawa metabolit lainnya. Antimikroba merupakan senyawa berupa bakteriosin, asam organik dan hidrogen peroksida. Senyawa bakteriosin mudah didegradasi oleh enzim proteolitik dan mampu menghambat pertumbuhan mikroba spesies lain yang biasanya berkerabat dekat dengan spesies penghasil. Antimikroba ini mampu menghambat bakteri psikrofilik yang pada suhu rendah tidak mati melainkan membentuk spora. Berdasarkan penelitian sebelumnya, bakso yang tidak diberi penambahan bahan pengawet tidak akan mampu bertahan lebih dari tiga hari pada suhu refrigerator (4ºC). Hal ini disebabkan adanya bakteri psikrofilik yang mampu bertahan pada suhu refrigerator. Bakteri psikrofilik masih dapat hidup pada suhu rendah antara 0ºC-10ºC. Bakteri ini berpotensi untuk menimbulkan lendir pada bakso. Munculnya mikroba pendegradasi protein juga menyebabkan penurunan kualitas pada bakso. Antimikroba yang digunakan pada penelitian ini berasal dari bakteri Lactobacillus plantarum 1A5 yang diisolasi dari daging sapi. Penggunaan supernatan bebas sel dari antimikroba dilakukan dengan cara perendaman. Hal ini dimaksudkan agar asam organik dari supernatan antimikroba tersebut dapat berdifusi ke dalam bakso, terionisasi dan akhirnya memecahkan inti sel dari bakteri psikrofilik. Penggunaan supernatan antimikroba selain dapat memperpanjang masa simpan
1
diharapkan juga dapat memperbaiki kualitas mikrobiologi, fisik, kimia, dan organoleptik bakso. Tujuan Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh supernatan bebas sel dari antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 1A5 terhadap karakteristik sifat mikrobiologi, fisik, kimia, dan organoleptik bakso sapi dengan masa simpan 0, 5 dan 10 hari pada suhu rendah.
2
TINJAUAN PUSTAKA Daging Daging menurut SNI-01-3947-1995 adalah urat daging yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat dipotong (Dewan Standarisasi Nasional, 1995). Daging didefinisikan sebagai daging mentah atau flesh dari hewan yang digunakan sebagai makanan. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak oleh mikroorganisme karena ketersediaan gizi di dalamnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama mikroba perusak. Menurut Elveira (1988), daging sapi yang biasa digunakan untuk membuat bakso adalah daging penutup (top side), gandik (silver side), dan lemusir (cube roll). Penggunaan daging gandik menyebabkan bakso mempunyai kadar protein, daya iris (shear WB), kecerahan dan kemerahan tertinggi, serta kadar lemak terendah (Indarmono, 1987). Bakso Bakso daging menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50 persen) dan pati atau serealia dengan atau tanpa BTP (bahan tambahan pangan) yang diizinkan. Pembuatan bakso biasanya menggunakan daging yang segar. Daging segar (pre-rigor) adalah daging yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses pendinginan terlebih dahulu. Fase prerigor berlangsung selama 5 sampai 8 jam setelah postmortem. Bakso dapat dikelompokkan menurut jenis daging yang digunakan dan berdasarkan perbandingan jumlah tepung pati yang digunakan. Berdasarkan jenis daging sebagai bahan baku untuk membuat bakso, maka dikenal bakso sapi, bakso ayam, bakso ikan, bakso kerbau, dan bakso kelinci (Gaffar, 1998). Menurut Dewan Standardisasi Nasional Indonesia (SNI)-01-3818-1995 yang tertera pada Tabel 1, bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan yang diperoleh dari campuran daging dengan jumlah daging yang digunakan tidak kurang dari 50%.
3
Tabel 1. Syarat Mutu Bakso Daging dari Segi Mikrobiologi Berdasarkan SNI 013818-1995 Jenis cemaran mikroba Batas maksimum cemaran mikroba Angka lempeng total 1x105kol/g Escherichia coli 1x103 Staphylococcus aureus 1x102 Salmonella negatif Sumber : SNI 01-3818-1995 Empat faktor yang mendasari pilihan konsumen terhadap produk bakso sapi secara berurutan, yaitu mutu dan kualitas, tempat pembelian, harga, dan kemudahan mendapatkan bakso sapi tersebut. Urutan parameter mutu bakso sapi yang menentukan pilihan konsumen adalah rasa, aroma, tekstur, dan ukuran. Karakteristik bakso sapi yang disukai adalah rasanya yang gurih (sedang), agak asin, mempunyai rasa daging yang kuat, beraroma daging rebus, teksturnya empuk dan agak kenyal, berwarna abu-abu pucat, berbentuk bulat dan berukuran sedang dengan diameter 3-5 cm (Judge et al., 1989) Mikrobiologi Daging Bakteri merupakan sekelompok organisme yang sangat tergantung kepada kebutuhan nutrisinya, yaitu aw, kesediaan oksigen, pH dan temperatur yang sesuai untuk tumbuh. Menurut Frazier et al. (1988), beberapa genus bakteri yang umumnya dapat ditemukan pada daging adalah Pseudomonas, Achromobacter, Streptococcus, Sarcina,
Leuconostoc,
Lactobacillus,
Flavobacterium,
Proteus,
Bacillus,
Clostridium, Escherichia, dan Salmonella. Menurut SNI-01-6366-200 batas cemaran Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB) untuk daging segar adalah 1x104. Menurut Lawrie (1995), mikroorganisme pada daging yang berasal dari kontaminasi pekerja diantaranya adalah Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus proteus, Staphylococcus albus, dan Staphylococcus aureus. Kapang dan khamir juga terdapat dalam daging. Berbeda dengan bakteri, kapang dan khamir hanya terdapat pada permukaan daging karena sifatnya aerobik. Mikroorganisme yang merusak produk olahan daging dapat tumbuh pada temperatur rendah meskipun suhu optimumnya pada temperatur ruang. Pseudomonas dapat tumbuh pada permukaan daging yang telah mengalami pendinginan (chilling). Kelompok bakteri ini dapat tumbuh baik pada suhu 0ºC padahal suhu minimum untuk pertumbuhannya ditentukan oleh reduksi aw dan jumlah air yang terdapat
4
dalam daging. Bakteri yang dapat hidup pada suhu rendah dinamakan bakteri psikofilik (Buckle et al., 1987). Pembuatan Bakso Menurut Pandisurya (1983), pada prinsipnya ada empat tahap pembuatan bakso, yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan bakso, dan pemasakan bakso. Wilson et al. (1981) menyatakan bahwa penghancuran daging dapat dilakukan dengan cara mencincang, mencacah atau menggiling daging sampai lumat. Tujuan penghancuran daging ini adalah memecahkan dinding sel serabut otot sehingga protein larut garam seperti aktin dan myosin mudah diekstrak dengan menggunakan larutan garam. Pembuatan bakso dapat dilakukan dengan cara mencampur seluruh bahan kemudian menghancurkannya atau menghancurkan daging terlebih dahulu lalu mencampurkannya dengan bahan lainnya (Wilson et al., 1981). Adonan bakso dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap direbus dengan air panas. Pembentukan adonan menjadi bola-bola bakso dapat dilakukan dengan menggunakan tangan atau mesin pencetak bola bakso (Wibowo, 1999). Pencetakan bakso pada umumnya dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan. Adonan bakso dibentuk menjadi bulatan-bulatan sebesar kelereng atau lebih besar dari kelereng. Bola bakso yang sudah terbentuk direbus dalam air mendidih hingga matang. Jika bakso sudah mengapung pada permukaan air berarti bakso sudah matang dan perebusan dapat dihentikan. Biasanya perebusan ini dapat dilakukan sekitar 15 menit (Pandisurya, 1983). Menurut Pearson dan Tauber (1984), perlu diperhatikan kenaikan suhu akibat panas yang dihasilkan selama proses penggilingan daging. Stabilitas emulsi perlu dijaga dengan cara mempertahankan suhu di bawah 20ºC, karena suhu di atas 20ºC pada saat penggilingan daging akan menyebabkan denaturasi protein sehingga sebagian emulsi akan pecah. Indarmono (1987) menyatakan bahwa perlu dilakukan penyimpanan adonan sebelum dicetak menjadi bakso, yang bertujuan meningkatkan jumlah protein larut garam dalam adonan bakso, sehingga dapat memperbaiki sifat fisik bakso yang dihasilkan.
5
Emulsi Daging Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi dua cairan atau senyawa yang tidak tercampur, yang satu terdispersi dengan yang lain. Cairan yang berbentuk globula-globula kecil yang disebut fase dispersi atau fase diskontinu. Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau menyelimuti suatu permukaan partikel yang terdispersi (Soeparno, 2005). Hasil emulsi yang baik dapat diperoleh dengan cara mencacah atau melumatkan daging pre-rigor bersama-sama dengan es, garam dan bahan curing. Campuran kemudian disimpan beberapa jam untuk memberi kesempatan ekstraksi protein yang lebih efisien. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, jumlah dan tipe protein yang larut, serta viskositas emulsi. Suhu dan waktu pengolahan yang berlebihan dapat merugikan dengan terjadinya denaturasi protein terlarut, penurunan viskositas emulsi dan melelehnya partikel lemak (Soeparno, 2005). Bakso dan sosis merupakan contoh suatu sistem emulsi minyak dalam air. Emulsi ini membantu terjadinya dispersi (Winarno, 1997). Komposisi Bakso Bakso ditemukan pertama kali di daerah Cina pada 3000 SM. Bahan-bahan bakso terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama dari produk bakso ini adalah daging, sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah bahan pengisi, garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada serta bahan penyedap (Sunarlim, 1992). Bahan pengisi Bahan pengisi dan bahan pengikat diperlukan dalam pembuatan bakso. Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada fraksi utama dan kemampuannya mengemulsikan lemak. Bahan pengisi mempunyai kandungan karbohidrat yang lebih tinggi, sedangkan bahan pengikat mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi. Bahan pengikat memiliki kemampuan untuk mengikat air dan mengemulsikan lemak (Kramlich, 1971). Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung dari pati, seperti tepung tapioka dan tepung sagu. Tepung dari pati dapat
6
meningkatkan daya mengikat air karena memiliki kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan (Tarwotjo et al., 1971). Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bahan pengisi dimaksudkan untuk mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan cita rasa, memperbaiki sifat irisan dan mengurangi biaya produksi. SNI 01-3818-1995 menetapkan penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan bakso maksimum 50% dari berat daging yang digunakan. Sodium Tripolifosfat (STPP) Menurut Ockermann (1983), STPP memiliki fungsi untuk meningkatkan pH daging, kestabilan emulsi dan kemampuan emulsi. Jika nilai pH semakin mendekati titik isoelektrik protein, maka daya mengikat air akan semakin rendah. Penambahan STPP dapat meningkatkan pH sehingga diperoleh daya mengikat air yang semakin tinggi. Penambahan STPP dapat mencegah terjadinya rekahan serta terbentuknya permukaan kasar pada daging layu, dapat meningkatkan rendemen, kekerasan, kekenyalan dan kekompakan bakso (Elveira, 1988). Garam Dapur (NaCl) Sunarlim (1992) menyatakan bahwa hasil olahan daging biasanya mengandung 2-3% garam. Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein miofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki peranan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambah atau meningkatkan rasa dan memperpanjang umur simpan produk. Es atau Air Es Peningkatan suhu selama proses pelumatan daging akan mencairkan es, sehingga suhu daging atau adonan dapat dipertahankan. Selain itu, penambahan es atau air juga penting untuk menjaga kelembaban produk akhir agar tidak kering, meningkatkan sari minyak (juiceness) dan keempukan daging (Forrest et al., 1975). Jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan akan mempengaruhi kadar air, daya mengikat air, kekenyalan dan kekompakan bakso (Indarmono, 1987). Oleh sebab itu, penggunaan es atau air es harus dibatasi. Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk emulsi daging adalah menurunkan panas produk yang dihasilkan akibat gesekan selama penggilingan,
7
melarutkan dan mendistribusikan garam ke seluruh bagian massa daging secara merata, mempermudah ekstraksi protein otot, membantu proses pembentukan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika panas ini berlebih maka emulsi akan pecah, karena panas yang terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya denaturasi protein. Akibatnya produk tidak akan bersatu selama pemasakan (Aberle et al., 2001). Bumbu Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bumbu dalam pembuatan produk daging dimaksudkan untuk mengembangkan rasa dan aroma serta memperpanjang umur simpan produk. Merica dan bawang putih sering digunakan dalam beberapa resep produk daging olahan seperti sosis, bakso dan lain sebagainya. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan dan sebagai bahan pengawet alami (Schmidt, 1988). Selain itu, bumbu juga mempunyai pengaruh pengawetan terhadap produk daging olahan karena pada umumnya bumbu mengandung zat yang bersifat bakteristatik dan antioksidan (Soeparno, 1998). Merica adalah buah dari tanaman Piper nigrum L. dan memiliki rasa yang sangat pedas (Pungent) dan berbau harum (aromatik). Rasa pedas dihasilkan oleh zat piperin dan aroma sedap dihasilkan oleh terpen. Merica mengandung minyak essensial 1%-2,7%. Bawang putih adalah umbi dari tanaman allium Sativum L. dan memiliki rasa pedas (Pungent). Bawang putih mengandung sekitar 0,1%-0,25% zat volatil, yaitu alil sulfida yang terbentuk secara enzimatik ketika butiran umbi bawang putih dihancurkan atau dipecah. Di dalam bawang putih juga terdapat S-(2-propenil)L-cistein sulfoksida yang merupakan prekursor utama dalam pembentukan alil thiosulfat (allicin) (Reinenccius, 1994). Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat (BAL) merupakan sekelompok bakteri Gram positif yang memiliki kemiripan karakteristik morfologi, metabolisme, dan fisiologi. Ciri general dari BAL adalah tidak membentuk spora, anaerob, berbentuk bulat (cocci) atau batang (rods) dan menghasilkan asam laktat sebagai produk akhir terbanyak dari fermentasi karbohidrat (Wright dan Ouwehand, 2004). Bakteri asam laktat biasanya dapat ditemui pada tanaman, saluran pencernaan hewan maupun manusia dan berbagai produk pangan hasil fermentasi seperti yogurt, kefir, keju dan acar (pickle).
8
Bakteri asam laktat memiliki kemampuan untuk memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan asam laktat yang dapat menurunkan pH substrat sehingga pertumbuhan bakteri lain dapat terhambat. Selain menghasilkan asam laktat, BAL juga mampu menghasilkan metabolit lain seperti bakteriosin, hidrogen peroksida, diasetil, dan asam organik yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba lain (bakteristatik) maupun sebagai pembunuh mikroba lain (bakterisidal). Bakteri
asam
laktat
terutama
genera
Lactococcus,
Lactobacillus,
Leuconostoc, Pediococcus dan Streptococcus secara tradisional banyak digunakan sebagai kultur starter dalam fermentasi berbagai makanan dan minuman. BAL banyak digunakan saat proses fermentasi pada makanan, karena terjadi proses pembentukan cita rasa dan aroma selama proses fermentasi serta adanya efek pengawetan terhadap makanan atau minuman. Efek pengawetan bahan makanan yang difermentasi menggunakan BAL menyebabkan terjadinya penurunan pH selama fermentasi berlangsung dan terbentuk zat-zat seperti bakteriosin, asam peroksida dan asam-asam organik yang bersifat antimikroba (De Vuyst dan Vandamme, 1994). Lactobacillus plantarum Bakteri Lactobacillus plantarum merupakan bakteri asam laktat dari famili Lactobacilliceae dan genus Lactobacillus (Robinson dan Tamime, 1981). Bakteri ini bersifat Gram positif, non motil, dan berukuran 0,6-0,8 µm x 1,2-6,0 µm. Organisme ini bersifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella, dan gram negatif lainnya (Gililland, 1986). Lactobacillus plantarum bersifat toleran pada garam, memproduksi asam dengan cepat dan memiliki pH ultimat 5,3 hingga 5,6 (Buchanan dan Gibbons, 1974). Bakteri Lactobacillus plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi susu, sayuran, dan daging (sosis). Fermentasi dari L. Plantarum bersifat homofermentatif sehingga tidak menghasilkan gas (Buckle et al., 1987). Bakteri Lactobacillus plantarum terutama berguna untuk pembentukan asam laktat, penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa protein yang
9
bersifat bakterisidal (James et al., 1992). Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah. Bakteriosin yang berasal dari L. plantarum dapat menghambat Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif (Branen, 1993). Lactobacillus plantarum 1A5 Isolat bakteri Lactobacillus plantarum 1A5 merupakan bakteri asam laktat yang diisolasi dari daging sapi. Bakteri ini tergolong Gram positif yang mempunyai bentuk batang dengan susunan tunggal atau rantai dan memiliki uji katalase negatif. Substrat antimikroba isolat Lactobacillus plantarum 1A5 ini memiliki daya hambat terhadap E. Coli dengan rataan diameter zona hambat 7,87 mm, daya hambat terhadap S. aureus dengan rataan diameter zona hambat sebesar 8,99 mm, dan terhadap Salmonella typhimurium dengan rataan diameter zona hambat sebesar 11,76 mm (Permanasari 2008). Lactobacillus plantarum merupakan bakteri yang dapat bertahan hidup dengan baik pada pH lambung (pH 2), pH usus (pH 7,2) dan garam empedu 0,3% (Wijayanto 2009, unpublished). Antimikroba Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan akivitas mikroba. Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh senyawa antimikroba antara lain, (1) perusakan dinding sel sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang
tumbuh,
(2)
mengubah
permeabilitas
membran
sitoplasma
yang
menyebabkan kebocoran nutrien di dalam sel, (3) denaturasi protein, dan (4) perusakan sistem metabolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler (Pelczar et al., 1979). Menurut Fardiaz (1992), makanan mengandung komponen yang dapat menghambat pertumbuhan jasad renik. Komponen antimikroba tersebut terdapat di dalam makanan melalui berbagai cara, yaitu (1) terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan, (2) ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, (3) terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi makanan. Zat-zat yang digunakan sebagai antimikroba harus mempunyai beberapa kriteria ideal antara lain tidak bersifat racun bagi bahan pangan, ekonomis, tidak
10
menyebabkan timbulnya galur resisten dan sebaiknya membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff, 1988). Zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat germinisasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain (1) konsentrasi zat pengawet, (2) waktu penyimpanan, (3) suhu lingkungan, (4) sifat-sifat mikroba (jenis, konsentrasi, umur dan keadaan mikroba), dan (5) sifat-sifat fisik dan kimia makanan termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah senyawa di dalamnya (Fardiaz, 1992). Ditambahkan pula oleh Davidson (1993) bahwa antimikrobial harus bersifat lipofilik dan larut dalam fase cair sehingga dapat menempel dan menembus melewati membran sel. Bakteriosin Bakteriosin sering dihubungkan dengan senyawa antimikroba berupa protein yang mudah didegradasi oleh enzim proteolitik dan mampu menghambat pertumbuhan mikroba spesies lain yang biasanya berkerabat dekat dengan spesies penghasil (Jack et al., 1995). Substansi ini diproduksi oleh beberapa strain bakteri, termasuk dalam hal ini bakteri asam laktat (BAL) (Gorris dan Bennik, 1994). Hampir semua substansi yang diproduksi oleh BAL mampu menghambat pertumbuhan BAL lainnya, dan beberapa diantaranya memiliki sifat bakterisidal terhadap bakteri lain yaitu bakteri pembusuk dan patogenik asal makanan seperti Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum (Gorris dan Bennik, 1994). Bakteriosin bersifat irreversible, mudah dicerna, berpengaruh positif terhadap kesehatan, aktif pada konsentrasi rendah, dan pada bakteri asam laktat biasanya digunakan sebagai pengawet makanan (Vuyst dan Vandamme, 1994). Bakteriosin mengandung protein antimikroba yang dapat menghambat strain yang sensitif dan diproduksi oleh bakteri Gram positif dan Gram negatif (Tagg et al., 1976). Bakteriosin juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet pada makanan fermentasi. Bakteriosin yang diproduksi oleh Gram positif seperti L. bulgaricus memiliki ukuran peptida kecil sekitar 3-6 kDa. Senyawa yang diproduksi oleh BAL ini selalu terjadi dalam fase pertumbuhan dan meningkat sampai fase eksponensial.
11
Bakteriosin tumbuh pada media yang mengandung karbohidrat. Pertumbuhan bakteriosin sendiri dipengaruhi oleh karbon, nitrogen, dan sumber fosfat. Menurut Nurliana (1997), penggunaan bakteriosin sebagai pengawet memiliki beberapa keuntungan, yaitu (1) tidak toksik dan mudah mengalami biodegradasi karena merupakan senyawa protein, (2) tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim-enzim dalam saluran pencernaan, (3) aman bagi lingkungan dan dapat mengurangi penggunaan bahan kimia sebagai bahan pengawet, dan (4) dapat digunakan dalam kultur bakteri unggul yang mampu menghasilkan senyawa antimikroba terhadap bakteri patogen atau dapat digunakan dalam bentuk senyawa antimikrobial yang telah dimurnikan. Asam Organik Asam organik seperti asetat, laktat, malat, sitrat, merupakan kompenen alami yang terdapat dalam makanan dan digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Terbentuknya asam laktat dan asam organik oleh bakteri asam laktat dapat menyebabkan penurunan pH, akibatnya mikroba yang tidak tahan terhadap kondisi pH yang relatif rendah akan terhambat (Fardiaz, 1982). Jenie (1996) menambahkan bahwa akumulasi produk akhir asam yang rendah pHnya menghasilkan penghambatan yang luas terhadap Gram positif maupun Gram negatif. Efek penghambatan dari asam organik terutama berhubungan dengan jumlah asam yang tidak terdisosiasi dan dapat berdifusi secara pasif ke dalam membran sel. Asam di dalam sel tersebut membelah menjadi proton dan anion sehingga mempengaruhi pH di dalamnya (Rini, 1995). Menurut Roller (2003), asam organik yang memiliki nilai pH 4 dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan jika berada dikisaran pH 5 dapat menghambat kapang dan khamir. Stratford (2000) menyatakan, bahwa asam lemah dapat menurunkan pH sitoplasma, mempengaruhi struktur membran dan fluiditasnya, serta mengkelat ionion dinding sel bakteri. Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzim-enzim, asam nukleat dan fosfolipid membran (Davidson dan Branen, 1993). Molekul asam lemah yang tidak bermuatan (HA) dapat masuk melalui membran plasma. Anion (A-) dan proton (H+) akan terbentuk di dalam sel, selanjutnya proton yang berlebih dalam sitoplasma akan dikeluarkan oleh enzim ATP-ase yang terdapat pada membran (Garbutt, 1997).
12
Hidrogen Peroksida Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan salah satu substrat antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri. Hidrogen peroksida murni tidak berwarna, berbentuk cairan seperti sirup dan memiliki bau menusuk (Branen et al., 1990). Hidrogen peroksida secara umum memiliki spektrum pengahambatan luas, meliputi bakteri, kapang, khamir, virus dan mikroorganisme penghasil spora. Hidrogen peroksida lebih efektif dalam menghambat bakteri anaerobik karena kekurangan enzim katalase, yang mampu menusuk peroksida (Davidson dan Branen, 1993). Reaksi pembentukan H2O2 akan mengikat oksigen sehingga membentuk suasana anaerob yang akan membuat tidak nyaman bakteri aerob (Surono, 2004). Kemampuan bakterisidal dari H2O2 beragam tergantung dari pH, konsentrasi, suhu, waktu serta jumlah mikroorganisme. Bakteri yang paling sensitif terhadap H2O2 adalah bakteri Gram negatif, terutama koliform. Selain itu, senyawa ini juga dapat terdekomposisi menjadi air dan oksigen. Perubahan kondisi lingkungan seperti pH dan suhu juga mempengaruhi kecepatan dekomposisi H2O2. Peningkatan suhu dapat meningkatkan
keefisienan
dalam
menghancurkan
bakteri
dan
kecepatan
terdekomposisinya juga semakin cepat (Branen dan Davidson, 1993). Sifat Fisik Daya Mengikat Air Daya mengikat air (DMA) adalah kemampuan protein daging untuk mengikat komponen air yang terdapat di dalamnya serta air yang ditambahkan selama proses pemanasan, penggilingan dan tekanan. Nilai DMA ini dipengaruhi oleh nilai pH dan jumlah ATP. Apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging, maka nilai DMA dipengaruhi juga oleh gugus reaktif protein. Apabila terdapat banyak asam laktat menyebabkan nilai pH turun, maka gugus reaktif protein berkurang karena banyaknya air daging yang keluar (Forrest et al., 1975). Garam mempunyai peranan untuk meningkatkan mutu, menekan susut berat dan daya mengikat air terutama pada penggunaan daging segar. Semakin tinggi konsentrasi garam akan terjadi peningkatan daya mengikat air (Sunarlim, 1992). Daya mengikat air akan diperbaiki dengan menggunakan bahan kimia, misalnya dengan STPP. Hal ini sesuai dengan Elveira (1988), bahwa penambahan STPP pada
13
bakso daging layu dan bakso daging segar dapat meningkatkan daya mengikat air dibandingkan bakso daging layu dan bakso daging segar tanpa STPP. Nilai pH Menurut Soeparno (2005), terjadi penurunan nilai pH pada daging setelah postmortem, yaitu antara 5,4-5,8. Hal ini disebabkan laju glikolisis postmortem, cadangan glikogen otot dan pH daging meningkat. Penurunan pH mencapai 5,2-5,4 mengakibatkan sangat rendahnya kemampuan mengikat air. Menurut Sunarlim (1992), penambahan NaCl pada adonan bakso sampai 5% tidak menyebabkan perubahan pH yang mencolok, yaitu kisaran 6,24 dan 6,38. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen habis, yaitu saat pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolitik anaerobik. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai pH adalah stress sebelum pemotongan, pemberian obat-obatan tertentu, spesies, jenis otot, dan aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis (Soeparno, 2005). Sifat Organoleptik Bakso Produk pangan selain mempunyai sifat mutu objektif juga mempunyai sifat mutu subjektif yang menonjol. Sifat mutu subjektif pangan lebih umum disebut sifat organoleptik atau sifat indrawi karena penelitiannya menggunakan organ indera manusia. Kadang-kadang disebut juga sifat sensorik karena penilaiannya didasarkan pada rangsangan sensorik pada organ indera (Soekarto, 1990). Warna, tekstur, rasa dan aroma memegang peranan penting dalam menentukan daya terima suatu produk pangan. Warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia yang terjadi pada produk pangan. Tekstur produk pangan berhubungan dengan sifat aliran dan deformasi produk serta cara berbagai unsur struktur dan unsur komponen ditata dan digabung menjadi mikro dan makro struktur. Rasa merupakan respon yang dihasilkan oleh sesuatu yang dimasukkan ke dalam mulut, sedangkan aroma adalah perasaan yang dihasilkan oleh indra bau atau pencium (deMan, 1997). Warna Warna makanan memiliki peranan utama dalam penampilan makanan, meskipun makanan tersebut lezat. Bila penampilan tidak menarik, maka saat
14
disajikan akan mengakibatkan selera orang yang ingin mengkonsumsinya akan hilang (Soeparno, 2005). Warna dapat mengalami perubahan saat pemasakan. Hal ini disebabkan oleh hilangnya sebagian pigmen yang diakibatkan pelepasan cairan sel saat pemasakan atau pengolahan, sehingga intensitas warna akan semakin menurun (Fellows, 1992). Aroma Pembauan disebut juga pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium bau atau aroma makanan tersebut dari jarak jauh (Soekarto, 1995). Aroma merupakan hasil dari komponen volatil seperti H2S, merkaptan, sulfida, disulfida, aldehida, keton, alkohol, aminvolatil ditambah dengan komponen-komponen volatil yang terbentuk akibat pemecahan lemak seperti aldehida, keton, alkohol, asam dan hidrokarbon. Aroma pada produk pangan sebagian besar berasal dari bumbu-bumbu yang ditambahkan pada adonan. Semakin banyak bumbu-bumbu yang ditambahkan maka aroma yang dihasilkan semakin kuat. Penggunaan tepung karbohidrat yang terlalu banyak akan mengurangi aroma daging pada bakso. Bakso seperti ini kurang disukai oleh konsumen (Purnomo, 1990). Rasa Rasa sangat menentukan penerimaan konsumen terhadap produk pangan. Menurut Winarno (1997), indera pencicip dapat membedakan empat macam rasa utama, yaitu asin, asam, manis, dan pahit. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, konsentrasi, dan interaksinya dengan komponen yang lain. Umumnya, ada tiga macam rasa yang sangat menentukan penerimaan konsumen terhadap bakso, yaitu tingkat keasinan, rasa daging, tingkat kegurihan yang ditentukan oleh kadar garam dan kadar daging. Konsumen lebih menyukai rasa daging pada bakso dan tidak menyukai rasa pati (Sunarlim, 1992). Tekstur Menurut Fellows (1992), tekstur makanan ditentukan oleh kandungan air, lemak, protein, dan karbohidrat. Perubahan tekstur dapat disebabkan oleh hilangnya air atau lemak, pembentukan emulsi, hidrolisis karbohidrat dan koagulasi protein. Tekstur daging masak mempengaruhi penampakan dan memberikan kesan sensori
15
yang dihubungkan dengan kelekatannya, kesan pada saat dimakan atau pemotongannya (Forrest et al., 1975). Konsumen lebih menyukai bakso yang kompak dengan tekstur yang halus (Andayani, 1999). Kekenyalan Kekenyalan disebut juga daya elastis suatu produk. Semakin tinggi kekenyalan suatu produk maka produk tersebut semakin elastis. Menurut Pandisurya (1983), kekenyalan bakso dipengaruhi oleh jumlah tepung yang ditambahkan ke dalam adonan bakso. Penambahan es atau air es mempengaruhi kekenyalan bakso. Semakin banyak penambahan es maka kekenyalan bakso semakin berkurang. Hal tersebut terjadi karena peningkatan kadar air menyebabkan bakso menjadi lembek (Indarmono, 1987). Konsumen lebih menyukai bakso yang kenyal (Andayani, 1999). Penampakan Umum Penerimaan atau penolakan suatu bahan pangan oleh konsumen pada awalnya didasarkan pada penampakan (appearance). Penampakan umum yang meliputi warna, tekstur permukaan dan bentuk produk merupakan sifat indrawi produk pangan yang diketahui lebih awal oleh konsumen sebelum menyentuh, mencium, dan merasakan produk. Oleh karena itu, penampakan merupakan atribut yang sangat penting dalam produk pangan dan sangat mempengaruhi tingkat kesukaan konsumen (Campbell et al., 1979).
16
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, dan di Laboratorium Analisis Kimia SEAFAST Center, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan Maret sampai Mei 2009. Materi Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah daging silverside (gandik) 2 kg yang diperoleh dari pasar Anyar, Kota Bogor, tepung tapioka, STPP, garam, es batu, bawang putih, penyedap dan merica. Media yang digunakan untuk penyegaran kultur starter yaitu isolat Lactobacillus plantarum 1A5, de Man Ragosa Sharp Broth (MRS-B) dan yeast extract 3%. Media yang digunakan untuk penghitungan cawan yaitu buffer peptone water (BPW) dan plate count agar (PCA). Bahan lain yang digunakan untuk analisis fisik adalah akuades, indikator phenoftalein, dan NaOH 0,1N. Peralatan yang digunakan untuk membuat kultur kerja adalah tabung reaksi, cawan petri, ose, dan inkubator. Alat yang digunakan untuk membuat bakso adalah food proccessor serta peralatan dapur. Alat yang digunakan untuk ekstraksi substrat antimikroba adalah sentrifuge, autoclave, tabung reaksi, milipore 0,22 m, spoit dan alat gelas lain. Alat yang digunakan untuk analisis fisik-kimia adalah pH meter, labu takar, gelas piala, buret, labu penyuling, labu erlenmeyer, oven, desikator, kertas saring, plastik stomacher, aw meter Shibaura WA-360 dan texture analyzer TA-XT2i. Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan pola 2x3 dengan dua faktor dan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah pemberian supernatan antimikroba dan kontrol (tanpa pemberian supernatan). Faktor kedua adalah lama penyimpanan 0, 5, dan 10 hari pada suhu refrigerator (dingin). Model matematis analisis yang digunakan berdasarkan Steel and Torrie (1997)
17
Yijk = + Ci + Pj + (CP)ij + ijk i = 1, 2 j = 1, 2, 3 k = 1, 2, 3 Keterangan : Yijk
= variabel respon akibat pengaruh supernatan antimikroba ke-i dan lama penyimpanan ke-j pada ulangan ke-k
= nilai tengah umum
Ci
= pengaruh supernatan antimikroba ke-i terhadap kualitas bakso
Pj
= pengaruh lama penyimpanan ke-j terhadap kualitas bakso
(CP)ij
= pengaruh interaksi antara supernatan antimikroba ke-i dengan lama penyimpanan ke-j
ijk
= pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi kombinasi perlakuan ke-ij
i
= Kontrol dan supernatan
k
= Ulangan (1, 2 dan 3)
Analisis Data Data yang didapatkan dianalisis dengan MINITAB 14 dan data diuji pemenuhan asumsi untuk ANOVA terlebih dahulu yang terdiri atas uji kenormalan, uji keaditifan, uji kehomogenan dan uji kebebasan galat. Apabila telah memenuhi semua asumsi tersebut maka data dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA). Jika hasil analisis sidik ragam pengaruh perlakuan nyata, dilanjutkan dengan uji Tukey. Apabila data tidak memenuhi untuk dianalisis ragam maka dilakukan uji non parametrik (Kruskall-Wallis). Uji organoleptik. Pengujian dilakukan dengan menggunakan 30 orang panelis. Metode yang dilakukan yaitu uji mutu hedonik dan uji hedonik. Data penilaian organoleptik dianalisis dengan uji non parametrik Kruskal-Wallis menggunakan program Statistix 8, jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji banding rataan Rank atau Multiple Comparison of Means Ranks (Gibbon 1975), dengan rumus sebagai berikut :
18
Ri - Rj ≤ Z [ k (N + 1) / 6 ]0,5
Jika Ri - Rj lebih besar dari Z [ k (N + 1) / 6 ]0,5, maka perbedaan Ri dan Rj adalah nyata pada taraf α. Perlakuan Perlakuan pada penelitian ini adalah perendaman supernatan antimikroba yang dibandingkan dengan kontrol (tanpa perendaman supernatan). Bakso daging sapi mendapat perlakuan masa simpan selama 10 hari dengan melakukan pengamatan pada hari ke 0, 5 dan 10 hari. Peubah yang Diamati Penelitian ini mengamati kualitas daging awal dan kualitas bakso. Peubah yang diamati yaitu nilai DMA daging sapi, total asam tertitrasi (TAT), kekenyalan, kadar air, pH dan Total Plate Count (TPC). Pengujian organoleptik juga dilakukan setelah bakso selesai diberi perlakuan. Uji organoleptik yang akan digunakan yaitu uji mutu hedonik dan uji hedonik. Analisis Kualitas Daging Kualitas daging dianalisis melalui pengukuran pH daging dan daya mengikat air (DMA). Analisis ini dilakukan pada daging yang masih segar yang baru mengalami 4 jam postmortem. Daya Mengikat Air (Hamm dalam Soeparno, 1998). Analisis daya mengikat air berdasarkan penghitungan banyaknya air yang dikeluarkan (mg H2O). Semakin tinggi mg H2O maka DMA semakin rendah. Sampel bakso sebanyak 0,3 gram diletakkan di antara dua kertas saring whatman 41 kemudian dipres dengan beban seberat 35 kg selama lima menit. Hasil pengepresan bakso adalah gambar yang menunjukkan area basah. Area basah didapat dengan cara mengurangi luas lingkaran luar dengan luas lingkaran dalam. Banyaknya air yang terikat dalam daging diestimasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
mgH 2O
area basah (cm2) 8,0 0,0948
% mgH 2O
mg H 2O x 100% 300
19
Analisis Kualitas Bakso Kualitas produk bakso diuji menggunakan nilai kekenyalan objektif, (Wirakartakusuma, 1988), nilai pH, nilai TAT, daya serap air, dan aw. Analisis ini dilakukan pada bakso kontrol dan bakso yang telah direndam supernatan antimikroba yang telah mengalami lama penyimpanan 0, 5 dan 10 hari. Kualitas kimia produk bakso diuji menggunakan nilai kadar air. Nilai Kekenyalan Objektif (Wirakartakusuma, 1988).
Uji kekenyalan bakso
secara obyektif dilakukan dengan instron UTM-1140. Kekenyalan bakso menunjukkan sampai sejauh mana sampel menahan gaya penekanan. Sampel ditekan dengan beban sebanyak 50 kg. Penekanan dilakukan sebanyak dua kali. Penekanan pertama hanya sampai penahan anvil masuk ke dalam bakso, kemudian sensor pada alat akan bekerja dan akan menarik penahan anvil tersebut. Penekanan yang kedua dilakukan sampai penahan anvil tersebut masuk ke dalam bakso. Perbandingan nilai puncak grafik kedua dan nilai puncak grafik pertama menunjukkan nilai kekenyalan.
Elastisita s ( kg / kg )
nilai puncak grafik ke 1 pada sumbu vertikal nilai puncak grafik ke 2 pada sumbu vertikal
Nilai pH (AOAC, 1995). Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter Corning. Sebelum dilakukan pengukuran pH sampel, pH meter dikalibrasi dengan larutan standar (ber-pH 4 dan 7), kemudian pada sampel bakso sebanyak 5 g dihancurkan dengan blender dan dilarutkan ke dalam 45 ml akuades. Elektroda pH meter dimasukkan ke dalam larutan daging dan dilihat nilai pHnya. Metode ini juga dilakukan dalam pengukuran nilai pH daging. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989). Pengukuran total asam tertitrasi pada bakso diukur dengan metode titrasi yang dinyatakan sebagai persentase asam laktat. Sampel bakso sebanyak 5g dihaluskan dan dilarutkan di dalam akuades volume 45 ml ke dalam labu Erlenmeyer, kemudian ditambahkan dua sampai tiga tetes indikator fenolftalein dan dititrasi dengan NaOH 0,1N sampai terbentuk warna merah muda yang tetap. Total asam tertitrasi dihitung sebagai persen asam laktat dengan rumus : Total Asam Tertitrasi (%) =
ax b x eq.wt
x 100%
1000 x c
20
Keterangan : a
: volume NaOH 0,1 N untuk titrasi (ml)
b
: Normalitas NaOH (N)
c
: volume sampel (ml)
eq.wt : konstanta asam laktat (90,08) Daya Serap Air (Fardiaz, 1992). Pengukuran dilakukan dengan cara mengambil sampel atau contoh sebanyak 1g dalam bentuk halus, kemudian sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Selanjutnya ditambahkan 10 ml air dan diaduk menggunakan vortex. Sampel didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit lalu disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Jumlah supernatan yang terbentuk diukur menggunakan gelas ukur. Daya Serap Air (g/g) = Jumlah air yang ditambahkan (10 ml) - Jumlah supernatan yang terbentuk (ml) Keterangan: dengan asumsi berat jenis air adalah 1 g/ml Analisis Aktivitas Air (aw) (AOAC, 1995). Analisis nilai aw dilakukan dengan menggunakan alat aw meter Shibaura WA-360. Alat aw meter terlebih dahulu dikalibrasi dengan menggunakan larutan garam NaCl jenuh (suhu 30oC dan nilai aw 0,7509) sebelum digunakan untuk pengukuran. Sampel dipotong tipis dengan ketebalan kira-kira 0,2 cm dan diletakan dalam cawan pengukuran aw. Alat aw meter dijalankan, setelah cawan ditutup dan dikunci sampai menunjukkan tanda completed sehingga nilai aw dapat dibaca. Kadar Air (AOAC, 1984). Sampel bakso sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya. Selanjutnya sampel dikeringkan dalam oven dengan suhu 105oC selama 10 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot yang konstan.
Kadar air(%)
bobot awal bobot akhir 100% bobot awal
Pengujian Mikrobiologis Kualitas produk bakso diuji mikrobiologis dengan metode analisis kuantatif Total Plate Count (TPC). Analisis ini dilakukan pada bakso kontrol dan bakso yang
21
telah diberi perendaman supernatan antimikroba yang telah mengalami lama penyimpanan 0, 5 dan 10 hari. Bakso sebanyak 10g dimasukkan bersama 90 ml larutan pengencer (BPW), kemudian dihancurkan sampai menjadi homogen. Tahap ini menjadi pengenceran pertama. Sebanyak 1 ml dari larutan pengencer pertama yang sudah homogen dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan pengencer sehingga terbentuk pengenceran 10-2. Larutan tersebut kemudian dikocok sampai homogen. Pengenceran ini dilakukan sampai pengenceran 10-7. Setelah pengenceran, dilakukan pemupukan dengan cara diambil sebanyak 1 ml pengencer dari masing-masing tabung pengenceran (berdasarkan 3 pengenceran terakhir yaitu 10-5, 10-6, dan 10-7) dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo. Media agar plate count agar (PCA) ditambahkan ke dalam cawan petri tersebut. Pemupukan dilakukan dengan metode tuang sebanyak ±20 ml dan dihomogenkan membentuk angka 8. Cawan petri (agar yang sudah membeku) diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 37ºC selama 24 jam. Analisis Kualitas Organoleptik (Soekarto, 1990) Uji organoleptik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji mutu hedonik dan hedonik yang meliputi penilaian terhadap aroma, rasa, warna, tekstur, lendir dan penampakan umum. Uji organoleptik dilakukan oleh 30 panelis mahasiswa tidak terlatih dengan memberikan penilaian pada skor yang telah ditetapkan dan pengajuan sampel secara acak. Hasil yang didapatkan selanjutnya ditranformasikan ke dalam nilai numerik. Prosedur Penelitian ini dilakukan melalui dua tahap yaitu penelitian tahap I dan penelitian tahap II. Penelitian tahap I meliputi produksi ekstrak supernatan antimikroba. Penelitian tahap II adalah pembuatan bakso dengan perendaman supernatan antimikroba yang kemudian dilakukan pengamatan karakteristik mutu selama penyimpanan 0, 5, dan 10 hari. Penelitian Tahap I Penelitian pendahuluan meliputi persiapan pembiakan kultur Lactobacillus plantarum 1A5 dan ekstraksi supernatan antimikroba. Diagram alir ekstraksi supernatan antimikroba dapat dilihat pada Gambar 1.
22
de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB) ditambahkan yeast extract 3% MRSB dan YE 3% ditambahkan Isolat BAL Lactobacillus plantarum 1A5 Inkubasi 20 jam, 37ºC Antimikroba
Sentrifus 6000 rpm, 4ºC, 20 menit
Disaring dengan millipore 0,22µm Supernatan Antimikroba Gambar 1. Diagram Alir Ekstraksi Supernatan Antimikroba Pembiakan Kultur 1A5. Bakteri asam laktat yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat Lactobacillus plantarum 1A5 dari daging. Kultur bakteri asam laktat (BAL) yang tersedia dibiakan dalam de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB). Kultur kerja yang disiapkan tersebut ditumbuhkan selama 20 jam pada suhu 37oC. Ekstraksi Supernatan Antimikroba.
Media pertumbuhan bakteri asam laktat
berupa MRSB sebanyak 1000 ml yang masing-masing ditambahkan dengan yeast extract sebanyak 3%. Kultur Lactobacillus plantarum 1A5 masing-masing ditumbuhkan pada kedua media yang berbeda tersebut selama 20 jam pada suhu 37oC (Ogunbawo et al., 2003). Setelah itu, antimikroba dari setiap media diekstraksi. Ekstraksi antimikroba yang dihasilkan berupa cairan bebas sel dengan cara disentrifugasi dengan kecepatan 6000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Seluruh cairan disaring steril dengan penyaring Milipore 0,22 m hingga didapatkan supernatan antimikroba (Ogunbawo et al., 2003). Supernatan tersebut dapat digunakan untuk merendam produk. Penelitian Tahap II Penelitian tahap II meliputi pembuatan bakso dan pengawetan bakso dengan supernatan antimikroba.
23
Pembuatan Bakso.
Daging segar dipotong-potong. Daging kemudian digiling
dalam food proccessor bersama garam, STTP, dan ½ bagian es batu. Bumbu-bumbu seperti merica, bawang putih, tepung tapioka, penyedap dan sisa ½ bagian es ditambahkan ke dalam adonan. Adonan kembali digiling sampai tercampur rata dan menjadi legit. Adonan tersebut lalu dibentuk bulat-bulat dan dimasukkan ke dalam air hangat. Bakso direbus sampai matang (kurang lebih 10-15 menit) pada suhu 80ºC hingga mengambang kemudian direbus kembali pada suhu 100ºC (kurang lebih 1015 menit). Sebagian bakso diambil sebagai kontrol dan sebagian diberi perlakuan pengawetan dengan perendaman supernatan antimikroba. Diagram alir proses pembuatan bakso dapat dilihat pada Gambar 2. Daging Garam, STPP, ½ es batu
Penggilingan dengan food processor
Merica, bawang putih, tepung tapioka, dan sisa ½ bagian es
Adonan
Pembentukan bakso
Bakso
Perebusan (10-15 menit),80°C Perebusan (10-15 menit),80°C Bakso matang
Gambar 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Bakso Pengawetan Bakso dengan Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5. Bakso yang akan diberi perlakuan pengawetan dimasukkan ke dalam plastik tahan panas yang telah disterilkan sebelumnya. Supernatan antimikroba yang telah didapat dari hasil ekstraksi dengan perbandingan 1:1 ditambahkan ke dalamnya. Plastik ditutup dan dibiarkan selama 30 menit, kemudian bakso dipisahkan sesuai
24
lama penyimpanan yaitu 0, 5, dan 10 hari dengan 3 ulangan untuk pengujian kualitas mikrobiologi, fisik dan kimia. Sampel uji organoleptik dibuat pada waktu yang berbeda dengan membuat terlebih dahulu sampel untuk penyimpanan 10 hari dan sampel berikutnya 5 hari kemudian. Diagram alir proses pengawetan bakso dengan perendaman supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dapat dilihat pada Gambar 3. Bakso matang
Bakso kontrol
Bakso dengan perendaman supernatan antimikroba
Penyimpanan pada suhu rendah 0, 5 dan 10 hari
Analisis kualitas mikrobiologi, fisik, kimia dan organoleptik
Gambar 3. Diagram Alir Proses Pengawetan Bakso dengan Perendaman Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Daging Penilaian kualitas daging segar meliputi pH, daya mengikat air, dan total mikroba daging segar. Daging yang digunakan untuk penelitian ini adalah daging silverside (gandik). Penggunaan daging gandik dimaksudkan untuk menghasilkan produk bakso yang lebih kenyal dan berwarna putih. Kualitas fisik dan mikrobiologis daging segar yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Penilaian kualitas pada daging segar Peubah
Nilai
pH daging
6,04
Persentase Air Bebas (%)*
35,46
Total Mikroba (cfu/g)
2,54x108
Keterangan: *air yang tidak terikat protein
Hasil pengukuran pH daging adalah 6,04. Nilai pH daging normal menurut SNI-01-3947-1995 yaitu antara 5,3-5,8 dan mg H2O yang keluar adalah 35,46% yang menandakan bahwa daya mengikat air dari daging yang digunakan cukup tinggi (Dewan Standardisasi Nasional, 1995). Daging dengan daya mengikat air tinggi akan menyebabkan rendemen tinggi dan tekstur bakso menjadi baik, sedangkan daging dengan daya mengikat air rendah menyebabkan rendemen rendah dan teksturnya menjadi kurang baik (Prasetyo, 2002). Pengukuran daya mengikat air dilakukan dengan pengukuran area basah yang dihasilkan ketika daging ditekan dengan beban tertentu. Area basah terbentuk karena adanya pelepasan H2O dari daging. Nilai DMA dipengaruhi oleh nilai pH dan jumlah ATP. Apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoeletrik daging, maka nilai DMA akan meningkat (Soeparno, 2005). Nilai pH yang didapatkan berbeda dengan nilai pH dari SNI, karena pH paska mati akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis anaerob dan nilai pH daging tersebut Hal ini dapat terjadi jika hewan mengalami stress, kelelahan dan lapar sebelum pemotongan dan belum mencapai pH ultimat. Nilai pH juga berhubungan dengan pertumbuhan bakteri. Hampir semua bakteri dapat tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh pada pH di bawah 4 dan di atas 9. Nilai pH dapat menentukan suatu produk daging
26
bersifat asam, basa, dan netral. Bakteri yang sering dijumpai pada daging yaitu dari strain Pseudomonas, Moraxella, Acenibacter, Lactobacillus, dan beberapa famili dari Enterobactericeae. Keberadaan bakteri asam laktat alami dalam daging mampu melakukan aktivitas fermentasi yang mengubah gula atau glikogen dan menghasilkan asam laktat, sehingga akan menurunkan nilai pH. Hal ini sesuai dengan pernyataan Varnam dan Sutherland (1995) yang menyebutkan, bahwa faktor utama yang menentukan nilai pH daging adalah jumlah asam laktat yang diproduksi dalam daging pada kapasitas buffer yang merupakan kemampuan dari daging untuk menyerap asam laktat dari protein daging dan adanya senyawa-senyawa basa yang dihasilkan oleh mikroba-mikroba yang besifat proteolitik. Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui pula populasi total mikroba sudah melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada daging, jika disesuaikan dengan standar SNI tentang daging segar. Menurut SNI No. 01-0366-2000, dinyatakan bahwa total mikroba adalah 1x105 cfu/g. Kerusakan daging dapat disebabkan oleh perubahan dalam daging itu sendiri (faktor internal) maupun oleh lingkungan (faktor eksternal). Banyaknya cemaran mikroba pada hasil penelitian in disebabkan tempat pemotongan yang kurang higienis, kontaminasi dari air, lantai, pekerja, udara, isi saluran pencernaan, dan alat-alat yang digunakan. Tempat pembelian daging juga menjadi salah satu faktor banyaknya cemaran mikroba. Daging yang dibeli berasal dari pasar tradisional dengan kondisi kebersihan dan sanitasi pasar yang kurang baik. Daging juga diletakkan di lantai tanpa memperhatikan kondisi lantai yang kotor. Nilai daya mengikat air dihitung berdasarkan persentase H2O yang keluar dari daging, semakin kecil persentase H2O maka daging memiliki daya mengikat air yang besar. Nilai daya mengikat air pada daging merupakan satu dari sekian banyak faktor yang paling penting dalam menentukan kualitas suatu daging. Protein-protein pada otot mampu menahan molekul-molekul air di permukaannya. Saat jaringanjaringan otot meningkatkan keasaman (menurunkan nilai pH), daya mengikat air juga menurun. Tingginya daya mengikat air dari daging yang digunakan akan menghasilkan bakso dengan tingkat kekenyalan yang tinggi. Faktor yang mempengaruhi daya mengikat air antara lain, temperatur, jenis kelamin, perlakuan sebelum pemotongan, dan lemak intramuskular (Soeparno, 2005).
27
Hasil pengujian kualitas fisik supernatan antimikroba dapat dilihat pada Tabel 3. Pengukuran total asam tertitrasi menurut Frobisher et al. (1974) adalah jumlah hidrogen total (dalam bentuk terdisosiasi dan tidak terdisosiasi). Tabel 3. Nilai pH dan Total Asam Tertitrasi Supernatan Antimikroba Peubah
Nilai
pH
4,00
Total Asam Tertitrasi(%)
2,54
Nilai pH supernatan antimikroba yaitu 4. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Permanasari (2008) yang mendapatkan nilai pH 4,3. Lactobacilllus plantarum merupakan bakteri asam laktat homofermentatif yang memiliki kemampuan untuk memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan asam laktat yang dapat menurunkan pH supernatan antimikroba. Menurut Varnam dan Sutherland (1995), pembentukan asam laktat tergantung dari tingkat aktivitas mikroba. Bakteri asam laktat memiliki kemampuan untuk mengubah glikogen menjadi asam laktat. Selain itu, jumlah asam laktat yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh karbohidrat yang tersedia, semakin tinggi jumlah karbohidrat yang tersedia maka semakin banyak asam laktat yang terbentuk. Nilai pH dan TAT yang terbentuk merupakan hasil metabolisme starter terhadap glikogen daging yang menghasilkan asam organik dan asam laktat. Kualitas Bakso Kualitas bakso yang diuji terhadap bakso dalam penelitian ini meliputi nilai Total Plate Count (TPC), nilai pH, total asam tertitrasi (TAT), daya serap air, kekenyalan, kadar air, dan aktivitas air. Nilai Total Plate Count (TPC) Total mikroba perlu diketahui untuk memastikan suatu bahan pangan layak untuk dikonsumsi. Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat hubungannya dengan jumlah kandungan air. Kebutuhan mikroba akan air biasanya dinyatakan dalam aktivitas air (aw). Produk bakso memiliki aw yang tinggi sehingga cocok sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Secara fisik, bakso sudah berlendir, muncul bau menyengat dan terjadi perubahan warna. Sesuai dengan hal tersebut, bakso terkontaminasi dengan jamur. Menurut SNI 01-0366-2000 juga dinyatakan
28
bahwa mikroba yang melebihi batasan normal dapat disebabkan oleh daging yang digunakan memiliki jumlah mikroba diambang batasan normal dan terjadi kontaminasi dari alat-alat yang digunakan. Menurut Russel (2001), bau busuk dan berlendir timbul karena jumlah mikroba melebihi 1x108 cfu/g. Bau busuk pada bakso kontrol maupun bakso supernatan antimikroba muncul pada penyimpanan hari ke-5, karena bakteri yang tumbuh adalah bakteri pembusuk. Lendir pada bakso kontrol dan supernatan antimikroba muncul pada penyimpanan hari ke-10, karena mikroorganisme yang tumbuh pada bakso adalah khamir dan kapang. Lendir juga disebabkan oleh bakteri berkapsul, diantaranya Pseudomonas dan Alcaligenes (Frazier dan Westhoff, 1988). Pseudomonas dan Alcaligenes merupakan bakteri yang tidak tahan pada pengeringan dan pemanasan yang tinggi, namun suhu internal bakso pada proses perebusannya tidak mencapai suhu 100ºC. Hal ini menyebabkan bakteri tersebut masih dapat bertahan hidup pada bakso. Analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara pemberian supernatan antimikroba dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap Total Plate Count (TPC). Rataan total mikroba (log cfu/g) bakso berkisar antara 5,7±0,1 sampai dengan 8,6±0,4. Menurut Fardiaz (1992), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba, antara lain ketersediaan nutrisi, pH, aktivitas air, ketersediaan oksigen, dan potensi oksidasi reduksi. Pengaruh pemberian supernatan antimikroba pada masa simpan yang berbeda terhadap TPC dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Total Plate Count (TPC) (log cfu/g) Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda Perlakuan
0 hari
5 hari
10 hari
Kontrol
7,8±0,9ab
5,7±0,1bc
8,6±0,4 a
7,4±1,6 abc
6,6±0,3 abc
7,3±0,8 c
(+) Supernatan Antimikroba
Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai TPC pada bakso kontrol lebih tinggi dari bakso yang diberi penambahan supernatan antimikroba. Nilai TPC pada hari ke-0 menunjukkan jumlah populasi awal total mikroba. Mikroba pada bakso yang diberi
29
penambahan supernatan antimikroba pada penyimpanan hari ke-0 memasuki fase adaptasi. Nilai TPC bakso tersebut pada penyimpanan hari ke-5 mengalami penurunan, hal ini dikarenakan munculnya bakteri pembusuk, sedangkan pada hari ke-10 jumlah populasi total mikroba mengalami peningkatan. Hal ini mungkin dikarenakan daya hambat supernatan antimikroba pada hari ke-10 mulai melemah, namun pertumbuhan mikroorganisme masih terus berlangsung. Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan pertumbuhan bakteri pada hari ke-10 antara lain, terjadinya kontaminasi dari alat, pekerja dan daging yang digunakan telah mengalami tingkat cemaran yang lebih tinggi. Perendaman bakso dengan supernatan antimikroba juga dapat menyebabkan asam laktat yang terkandung berdifusi ke dalam bakso. Difusi asam laktat ini akan terionisasi dan akan mematikan intisel dari bakteri. Efek penghambatan dari asam organik terutama berhubungan dengan jumlah asam yang tidak terdisosiasi. Asam yang tidak terdisosiasi dapat berdifusi secara pasif ke dalam membran sel. Asam di dalam sel tersebut membelah menjadi proton dan anion sehingga mempengaruhi pH di dalamnya (Rini, 1995). Pertumbuhan mikroorganisme juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu di bawah 5ºC dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak atau pembusuk dan mencegah hampir semua mikroorganisme patogen. Suhu 5ºC ini dianggap sebagai suhu kritis selama penyimpanan dan penanganan daging. Selama penyimpanan Pseudomonas,
di
refrigerator,
bakteri
Achromobacter,
psikrofilik
Micrococcus,
yang
ditemukan
Lactobacillus,
adalah
Streptococcus,
Leuconostoc, Pediococcus, dan Proteus. Pada kondisi dingin dalam kondisi aerob, flora pembusuk daging didominasi oleh bakteri Lactobacillus. Bakteri tersebut pada awalnya menyerang glukosa dan semakin lama menyerang asam amino yang dimiliki oleh daging (Soeparno, 2005). Nilai pH Nilai pH bakso merupakan salah satu sifat fisik. Sifat fisik terkait dengan karakteristik fisik dan dapat dinilai secara organoleptik, misalnya warna, kekerasan, rasa dan kebasahan. Pengukuran pH bertujuan mengetahui tingkat keasaman yang disebabkan oleh adanya ion hidrogen tersebut. Pengukuran pH ini sangat penting, karena
dapat
menentukan
kerusakan
makanan
yang
disebabkan
oleh
mikroorganisme. Makanan yang mempunyai pH rendah relatif lebih tahan selama
30
penyimpanan dibandingkan dengan makanan yang mempunyai pH netral atau mendekati netral (Fardiaz, 1992). Derajat keasaman yang tinggi dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba, namun dalam industri pengolahan daging derajat keasaman yang tinggi lebih disukai karena dapat memperbaiki daya mengikat air. Nilai pH sangat berpengaruh terhadap daya simpan produk olahan daging. Hasil pengukuran nilai pH dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis, karena nilai pH tersebut tidak memenuhi asumsi untuk uji analisis ragam. Hasil uji non parametrik
dengan
menggunakan
uji
Kruskal-Wallis
menunjukkan
bahwa
penggunaan supernatan antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5 dengan masa simpan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai pH bakso (P<0,05). Nilai pH pada bakso kontrol berkisar antara 6,48-6,69. Nilai pH tersebut mendekati netral yang mungkin dipengaruhi oleh pemakaian STPP. Penambahan STPP dapat meningkatkan pH, sehingga akan diperoleh daya mengikat air yang semakin tinggi. Selain itu penambahan garam juga akan meningkatkan pH karena ion Cl- yang berasal dari NaCl akan menurunkan kohesi antar molekul atau filamen yang berdekatan dan melemahkan ikatan hidrogen (Hamm, 1975).
Gambar 4. Grafik Nilai pH pada Kontrol dan Supernatan Antimikroba Gambar 4 menunjukkan bakso yang tidak diberi supernatan antimikroba (kontrol) memiliki pH yang lebih tinggi dibandingkan bakso yang diberi supernatan antimikroba. Hal ini disebabkan supernatan antimikroba memiliki pH asam, sehingga ketika menyerap ke dalam bakso menyebabkan terjadinya penurunan pH. Semakin
31
rendah pH bakso maka daya simpan akan meningkat, sebab pH yang rendah akan menghambat beberapa mikroba. Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum, yaitu pH saat pertumbuhannya maksimum, sekitar pH 6,5-7,5. Sebaliknya, khamir menyukai pH 4-5 dan dapat tumbuh pada kisaran pH 2,5-8,5. Nilai pH yang rendah tidak dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan karena asam organik tidak mengubah kandungan supernatan antimikroba pada bakso daging. Supernatan antimikroba mengandung asam organik seperti asam laktat. Asam laktat yang terkandung dapat mengakibatkan nilai pH turun dan bentuk tidak terdisosiasi dari molekul asam organik. Surono (2004) menyatakan bahwa nilai pH eksternal yang rendah dapat mengakibatkan asidifikasi sel sitoplasma, sementara itu asam yang terdisosiasi menjadi lipofilik, yang dapat berdifusi ke dalam membran. Nilai Total Asam Tertitrasi (TAT) Total asam tertitrasi adalah hasil pengukuran asam terdisosiasi maupun tidak terdisosiasi melalui proses metabolisme karbohidrat oleh bakteri asam laktat. Kualitas TAT dapat memprediksikan pengaruh asam dari flavour lebih baik daripada pH (Nielsen, 2003). Pengukuran nilai total asam tertitrasi dilakukan bertujuan mengetahui kandungan asam laktat pada bakso. Rataan nilai total asam tertitrasi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Total Asam Tertitrasi Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda Perlakuan 0 hari 5 hari 10 hari Kontrol (+) Supernatan Antimikroba
1,51±0,08c
1,27±0,09c
1,18±0,05 c
3,02±0,11a
2,24±0,23b
3,07±0,07a
Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Hasil pengujian menunjukkan bahwa interaksi antara pemberian supernatan antimikroba dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap total asam tertitrasi. Keasaman produk bakso kontrol sebesar 1,18-1,51%, sedangkan bakso yang direndam supernatan antimikroba sebesar 2,24-3,07%. Kenaikan ini lebih disebabkan oleh bakteri asam laktat atau mikroorganisme lain seperti khamir yang menghasilkan asam organik selama penyimpanan. Bakso yang direndam supernatan antimikroba mengandung media selektif untuk pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) yang kaya akan nutrisi, karena bakso tersebut memiliki pH antara 5-5,6
32
sehingga BAL akan berkembang lebih baik. Hal ini disebabkan bakteri asam laktat tumbuh optimum pada pH 5,0-6,0 (Adams dan Moss, 1995). Semakin rendah nilai pH pada suatu produk makanan, proporsi asam dalam bentuk tidak terdisosiasinya semakin tinggi, yang berarti semakin baik pula aktivitas supernatan antimikroba tersebut. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa khamir dapat memfermentasi gula dan memproduksi asetaldehida, asam laktat, dan asam asetat dalam jumlah yang tidak terdisosiasi, sedangkan pH hanya dapat mengukur komponen asam yang terdisosiasi. Nilai Daya Serap Air Hasil pengukuran nilai daya serap air dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis, karena nilai daya serap air tersebut tidak memenuhi asumsi untuk uji analisis ragam. Hasil uji non parametrik dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa pemberian supernatan antimikroba dari bakteri Lactobacillus plantarum pada lama penyimpanan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap nilai daya serap air. Pengaruh pemberian supernatan antimikroba dan lama penyimpanan terhadap daya serap air dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai rata-rata daya mengikat air berkisar antara 0,68-1,44 g/g. Tabel 6. Rataan Daya Serap Air Bakso (ml) dengan Lama Penyimpanan Berbeda Perlakuan Kontrol (+)Supernatan Antimikroba Rataan
0 hari
5 hari
10 hari
Rataan
1,35±0,091
0,72±0,38
1,08±0,57
1,05±0,347
1,53±0,125
0,64±0,09
0,96±0,14
1,04±0,118
1,44±0,108
0,68.±0,23
1,02±0,71
Daya serap air dipengaruhi oleh pH yang menurut Ockerman (1983) bahwa meningkatnya pH akan meningkatkan daya mengikat air. Penggunaan daging prerigor pada penelitian ini dapat membantu peningkatan daya serap air, karena daging memiliki kemampuan dalam mengikat air yang tinggi. Nilai pH yang jauh di atas titik isoelektrik dari aktin dan miosin menyebabkan protein akan mengikat air lebih banyak dan permukaan daging akan terlihat kering (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Daging memiliki titik isoeletrik pada pH 5,0-5,1. Daya serap air bakso yang direndam supernatan antimikroba tidak berbeda dengan bakso yang tidak direndam supernatan antimikroba. Hal ini disebabkan pH bakso yang direndam dan tidak direndam supernatan antimikroba berada di dekat 33
titik isoelektrik. Bakso yang direndam supernatan antimikroba memiliki nilai pH yang lebih rendah dari titik isoelektrik dan bakso yang tidak direndam supernatan mikroba memiliki nilai pH yang lebih tinggi dari titik isoelektrik, yang menurut Soeparno (2005) daya mengikat air akan meningkat pada nilai pH yang lebih tinggi dan lebih rendah dari titik isoelektrik. Lama penyimpanan 0, 5 dan 10 hari juga tidak berpengaruh terhadap daya mengikat air karena daya mengikat air dipengaruhi oleh pH, pelayuan dan pemasakan atau pemanasan (Soeparno, 2005). Nilai Kadar Air Kadar air merupakan persentase kandungan air dari suatu bahan. Peranan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi aktivitas metabolism, seperti aktivitas kimiawi dan aktivitas mikroba yang dapat mempengaruhi kualitas nilai gizi dan organoleptik produk tersebut. Rataan kadar air (%) bakso dengan lama penyimpanan berbeda dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Kadar Air (%) Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda Perlakuan
0 hari
5 hari
10 hari
Rataan
Kontrol
74,23±0,531
75,27±0,927
75,75±1,095
74,74±0,849
(+) Supernatan Antimikroba
75,23±0,811
75,23±0,963
75,04±1,268
75,16±1,014
Rataan
74,73±0,671
75,25±0,945
74,98±1,181
Air merupakan komponen penyusun terbesar dalam daging, begitu pula dalam bakso. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan produk lebih mudah mengalami kerusakan, karena adanya mikroorganisme perusak yang memanfaatkan banyaknya air yang terkandung dalam produk untuk pertumbuhannya. Rataan nilai kadar air yang dihasilkan bakso kontrol sebesar 74,74±0,849, sedangkan bakso supernatan antimikroba sebesar 75,16±1,014. Tingginya nilai kadar air bakso ini juga dipengaruhi oleh tingginya total koloni yang didapatkan. Hal ini didukung oleh pernyataan Fardiaz (1992) bahwa semakin sedikit bakteri yang tumbuh, maka jumlah air yang dihasilkan juga semakin rendah. Hasil penelitian menunjukkan interaksi pemberian supernatan antimikroba dengan lama penyimpanan berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air bakso. Hal ini dikarenakan penyerapan air pada bakso tidak dipengaruhi oleh perendaman supernatan antimikroba, sehingga kadar air pada bakso supernatan antimikroba tidak berbeda jauh dengan bakso kontrol.
34
Kadar air di dalam bakso yang diberi antimikroba didapat dari penyerapan supernatan ke dalam bakso saat perendaman supernatan antimikroba. Selain itu kadar air dalam bakso supernatan antimikroba dan kontrol lebih tinggi jika dibandingkan dengan SNI (1995) yang menyatakan bahwa kadar air maksimal adalah 70%. Kadar air bakso berasal dari penggunaan daging sebesar 80% dibandingkan dengan jumlah tepung tapioka yang ditambahkan. Hal tersebut menyebabkan kadar air dalam bakso lebih tinggi dari yang ditetapkan di dalam SNI. Selain itu juga pemberian air es sebanyak 40% dari berat daging ikut mempengaruhi kenaikan kadar air pada bakso. Nilai Aktivitas Air (aw) Aktivitas air (aw) menunjukkan jumlah air bebas di dalam media pertumbuhan dan bahan pangan. Nilia aw merupakan salah satu sifat kimia pada bakso. Sifat kimia terkait dengan komposisi kimia di dalam bahan, misalnya kandungan protein, lemak, karbohidrat, serta komposisi bahan volatil yang menyebabkan perbedaan rasa pada masing-masing bahan. Pengaruh pemberian supernatan antimikroba dan lama penyimpanan terhadap kadar air dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan aw Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda Perlakuan
0 hari
5 hari
10 hari
Kontrol
0,99±0,010
0,96±0,007
0,98±0,001
(+) Supernatan Antimikroba
0,97±0,006
0,96±0,002
0,97±0,002
Rataan
0,98±0,008a
0,96±0,045c
0,97±0,015b
Keterangan : Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Besar aw pada penelitian ini berkisar antara 0,96-0,99. Pengaruh aw sangat luas dalam bidang kimia dan mikrobiologi pangan, yaitu pengaruhnya terhadap pertumbuhan mikroba, reaksi-reaksi enzimatik maupun reaksi non enzimatik. Interaksi antara pemberian supernatan antimikroba dan lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap aw bakso. Hal ini menunjukkan bahwa bakso yang dihasilkan berpotensi sebagai media pertumbuhan bakteri, sebab menurut Fardiaz (1992), bakteri umumnya membutuhkan aw minimal 0,91, khamir 0,88, kapang 0,80, bakteri halofilik 0,75, fungi xerofilik 0,65 dan khamir osmofilik 0,60.
35
Nilai Kekenyalan Kekenyalan merupakan sifat fisik produk bakso. Sifat ini berhubungan dengan daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan atau seberapa besar kemampuan bakso untuk elastis (deformasi). Sifat kekenyalan berhubungan dengan daya mengikat protein daging yang menyebabkan bakso mempunyai kekuatan untuk menahan tekanan dari luar dan kembali ke bentuk semula yang disebut dengan sifat kenyal. Rataan kekenyalan bakso kontrol dan pemberian supernatan antimikroba pada lama penyimpanan berbeda dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Kekenyalan Bakso dengan Lama Penyimpanan Berbeda Perlakuan 0 hari 5 hari 10 hari Rataan Kontrol
40,43±11,05
34,57±4,76
52,05±7,53
42,35±7,78
(+) Supernatan Antimikroba
37,83±5,74
39,28±3,67
36,27±1,49
37,61±3,63
Rataan
39,13±8,395
36,92±4,21
44,16±4,51
Rataan nilai kekenyalan bakso berkisar antara 34,57±4,76 sampai dengan 52,05±7,53. Hasil pengujian menunjukkan interaksi antara pemberian supernatan antimikroba dengan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kekenyalan bakso. Tingginya nilai kekenyalan bakso juga disebabkan bagian daging yang digunakan adalah bagian gandik yang mengandung banyak jaringan ikat. Banyaknya jaringan ikat tersebut yang menyebabkan daging bagian gandik bersifat sangat kenyal. Kekenyalan juga dipengaruhi oleh daging yang digunakan. Penelitian ini menggunakan daging gandik prerigor, sehingga dapat mepertahankan daya ikat air yang akan mempengaruhi kekenyalan produk olahan daging. Lukman (1995) menyatakan bahwa kekenyalan yang ada di dalam bakso dipengaruhi oleh adanya sejumlah air pada bakso tersebut. Hal ini disebabkan adanya air, lemak, dan tersedianya hasil ekstraksi protein akan menyebabkan terjadinya emulsi. Emulsi ini menyebabkan bakso menjadi lebih kompak dan kenyal. Kekenyalan bakso berhubungan dengan kekuatan gel yang terbentuk akibat pemanasan. Kekenyalan juga dipengaruhi oleh gelatinisasi pati. Proses gelatinisasi melibatkan pengenyalan air oleh jaringan yang dibentuk rantai molekul pati atau protein. Pemberian
36
supernatan antimikroba tidak mempengaruhi kekenyalan. Hal ini dikarenakan supernatan antimikroba tidak mempengaruhi kadar air bakso, yang merupakan komponen yang mempengaruhi kekenyalan suatu produk. Penambahan garam dan STPP juga dapat berpengaruh dalam meningkatkan kekenyalan. Mutu Organoleptik Pengujian organoleptik bertujuan mengetahui penerimaan konsumen dari produk bakso sapi yang diberi perlakuan supernatan antimikroba berdasarkan skor dari panelis. Kriteria yang diuji meliputi aroma, rasa, warna, tekstur, dan lendir. Uji organoleptik ini menggunakan skala hedonik dan mutu hedonik. Rataan nilai menunjukkan kesukaan bakso sapi dengan perendaman supernatan antimikroba dan kontrol. Skala hedonik yang digunakan adalah 1-5, yaitu (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) agak suka, (4) suka, dan (5) sangat suka. Panelis mengisi skor pada form yang dilampirkan sesuai dengan tingkat kesukaan panelis itu sendiri. Hasil uji hedonik pada bakso kontrol maupun bakso dengan supernatan antimikroba dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Uji Hedonik Bakso Kontrol dan Bakso dengan Perendaman Supernatan Antimikroba terhadap Lama Penyimpanan Kontrol (hari)
Peubah 0
5
Supernatan Antimikroba (Hari) 10
0
5
10
Aroma
3,43±0,90a
2,93±0,87ab 2,13±0,90bc
2,73±1,25abc
1,90±0,80c
2,07±0,868c
Penampilan Umum
3,57±0,77a
3,16±0,79ab 2,70±0,99bc
2,70±0,88bc
2,40±0,62c
2,53±0,78bc
Rasa
3,65±0,97a
TD
TD
2,53±1,17b
TD
TD
Tekstur
3,6±0,68 a
3,07±0,94 a
2,67±0,89 b
3,06±0,91 ab
2,77±0,68 b
2,70±0,84 b
Warna
3,33±0,96 a
3,37±0,96 a
3,1±0,85 ab
2,4±0,89 ab
2,53±0,86 b
2,67±0,96 b
Keterangan : Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 1= sangat tidak suka; 2= tidak suka; 3= agak suka; 4= suka; dan 5= sangat suka TD = tidak diuji
37
Hasil Pengujian Secara Hedonik Uji hedonik dilakukan terhadap produk bakso sapi secara keseluruhan. Penilaian hedonik merupakan penilaian tingkat kesukaan terhadap produk bakso sapi kontrol dan perlakuan supernatan antimikroba secara keseluruhan. Menurut Winarno (1997), faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan suatu produk adalah selera dan latar belakang individu yang memberikan penilaian. Penampakan bakso kontrol dan supernatan antimikroba dapat dilihat pada Gambar 5. Nilai yang diperoleh menunjukkan bahwa bakso kontrol hari ke-0 memiliki aroma agak disukai panelis, sedangkan bakso yang diberi perlakuan supernatan antimikroba tidak disukai panelis. Bakso kontrol dan bakso supernatan antimikroba dengan masa simpan 5 dan 10 hari tidak disukai panelis. Nilai yang diperoleh untuk penampilan umum bakso menunjukkan bahwa panelis agak suka dengan penampilan bakso kontrol, sedangkan bakso yang diberi perlakuan perendaman supernatan antimikroba tidak disukai penampilan umumnya.
A
D Keterangan:
B
E
C
F
A. Bakso Perendaman Supernatan Antimikroba Hari ke-0 B. Bakso Perendaman Supernatan Antimikroba Hari Ke-5 C. Bakso Perendaman Supernatan Antimikroba Hari ke-10 D. Bakso Kontrol Hari ke-0 E. Bakso Kontrol Hari ke-5 F. Bakso Kontrol Hari ke-10
Gambar 5. Penampakan Bakso Kontrol dan Bakso dengan Perendaman Supernatan Antimikroba dengan Lama Penyimpanan yang Berbeda
38
Hasil Pengujian Mutu Hedonik Pengujian mutu hedonik meliputi lima parameter. Parameter yang diujikan adalah warna, aroma, rasa, kekenyalan, dan lendir. Hasil uji mutu hedonik secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai rasa bakso kontrol dan kurang menyukai rasa bakso yang diberi perlakuan supernatan. Tekstur bakso kontrol hari ke-0 dan ke-5 dinilai panelis disukai sedangkan hari ke-10 agak suka. Penilaian panelis terhadap tekstur bakso yang diberi perlakuan perendaman supernatan antimikroba adalah agak suka. Panelis memberikan penilaian terhadap warna bakso kontrol disukai, sedangkan bakso yang diberi perlakuan perendaman supernatan antimikroba tidak disukai. Tabel 11. Uji Mutu Hedonik Bakso Kontrol dan Bakso dengan Perendaman Supernatan Antimikroba terhadap Lama Penyimpanan Peubah
Kontrol (hari)
Supernatan Antimikroba (Hari)
0
5
10
0
5
10
Aroma
3,61±0,62a
3,58±0,51a
2,55±1,15b
3,19±1,08ab
2,71±1,04b
2,77±0,88b
Kekenyalan
3,73±0,64 a
3,73±0,58 a
3,17±1,05 a
3,63±0,96 a
3,27±0,87 a
3,57±0,82 a
Lendir
4,43±0,86 a
4,03±0,93 abc
3,56±1,40 bc
4,03±1,16 ab
3,53±1,07 bc
3,21±1,15 c
Rasa
3,67±0,80 a
TD
TD
2,93±1,08 b
TD
TD
Warna
4,63±0,49 a
4,1±0,48 a
3,1±0,66 b
2,77±0,86 b
2,83±0,70 b
2,43±0,77 b
Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Keterangan Mutu Hedonik Warna Aroma
:1=sangat gelap, 2= gelap, 3=agak gelap, 4=cerah, dan 5=sangat cerah :1=sangat aroma busuk, 2=aroma khas busuk, 3=tidak beraroma daging, 4=aroma khas daging dan 5=sangat aroma khas daging Rasa :1=sangat rasa khas asam, 2=rasa asam, 3= tidak beraroma khas daging, 4=rasa daging, dan 5=sangat rasa bakso Kekenyalan :1=sangat tidak kenyal, 2= tidak kenyal, 3=agak kenyal, 4= kenyal, dan 5=sangat kenyal Lendir :1=tidak berlendir, 2=agak berlendir, 3=sedikit berlendir, 4=berlendir dan 5=sangat tidak berlendir. TD = Tidak Diuji
Aroma. Aroma merupakan salah satu sifat organoleptik pada bakso yang dapat mempengaruhi penilaian terhadap bakso. Aroma produk dipengaruhi oleh bahan
39
baku. Penilaian aroma dilakukan berdasarkan indera pembauan panelis. Skala penilaian berkisar aroma bau busuk sampai dengan bau khas daging (1-5). Rataan penilaian panelis terhadap aroma produk berkisar dari 2,55 sampai dengan 3,61. Nilai rataan dari hasil pengujian mutu hedonik terhadap aroma bakso kontrol hari ke0 yaitu 3,61 (aroma khas daging); bakso kontrol hari ke-5 yaitu 3,58 (aroma khas daging);
bakso kontrol hari ke-10 yaitu 2,55 (aroma khas busuk); bakso yang
direndam supernatan antimikroba hari ke-0 yaitu 3,19 (tidak beraroma daging); bakso yang direndam supernatan antimikroba hari ke-5 yaitu 2,71 (tidak beraroma daging); dan bakso yang direndam supernatan antimikroba hari ke-10 yaitu 2,77 (tidak beraroma daging). Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa bakso kontrol hari ke-0 berbeda dengan bakso yang direndam supernatan hari ke 5 dan 10. Hal ini disebabkan karena bakso yang diberi perlakuan perendaman supernatan memiliki aroma MRSB (de Man Ragosa Sharp Broth) sedangkan bakso kontrol memiliki aroma khas daging. Kekenyalan. Kekenyalan bakso merupakan salah satu sifat fisik bakso yang disukai oleh konsumen. Kekenyalan dapat mempengaruhi palatabilitas suatu produk. Kekenyalan bakso dapat diperoleh dari penggunaan daging segar, garam, jumlah bahan pengisi dan STPP yang ditambahkan pada saat pembuatan bakso. Nilai mutu hedonik terhadap kekenyalan (Tabel 12) berkisar antara 3,17 sampai dengan 3,73. Selanjutnya dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan kekenyalan produk bakso kontrol dengan bakso yang diberi supernatan. Kekenyalan dari bakso didasarkan dari tekstur bakso saat dipegang. Apabila bakso dipegang dan merenggang kembali, maka bakso dinilai kenyal. Kekenyalan melibatkan kemudahan awal saat penetrasi gigi ke dalam bakso dan kemudahan menguyah bakso menjadi potongan bakso. Lendir.
Nilai uji mutu hedonik terhadap lendir (Tabel 12) dari produk bakso
berkisar antara 3,21 sampai dengan 4,23. Penilaian lendir berdasarkan penampilan luar bakso yang berair dan ketika dipegang terasa lengket. Uji Kruskall-Wallis menunjukkan bahwa bakso kontrol hari ke-0 berbeda dengan bakso kontrol hari ke-5 dan bakso yang direndam supernatan hari ke-5 dan 10. Hal ini disebabkan bakso hari
40
ke-5 dan 10 telah berlendir yang diakibatkan adanya kontaminasi dari mikroorganisme Leuconostoc atau Enterobacter. Kedua bakteri tersebut merupakan bakteri psikrofilik, yaitu bakteri yang masih dapat hidup pada suhu 0º-5ºC dengan suhu maksimum untuk tumbuh yaitu 15º-20ºC. Menurut Fardiaz (1992), beberapa spesies Lactobacillus mempunyai galur yang dapat membentuk lendir. Rasa. Rasa merupakan sifat organoleptik bakso yang memiliki peranan penting dalam penilaian konsumen. Rasa makanan dapat dikenali dan dibedakan oleh kuncup-kuncup pengecap yang terletak pada papila yaitu noda merah jingga pada lidah. Rasa bakso dapat ditentukan oleh komposisi persentase bumbu yang ditambahkan. Nilai mutu uji hedonik terhadap rasa (Tabel 12) dari produk bakso berkisar 2,93 sampai dengan 3,67. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa bakso kontrol hari ke-0 berbeda dengan bakso hari ke-0 yang direndam supernatan. Hal ini disebabkan bakso kontrol memiliki rasa daging sedangkan bakso yang direndam supernatan
berasa
asam,
karena
supernatan
antimikroba
yang
digunakan
mengandung asam laktat (Branen, 1993). Warna. Warna bakso merupakan salah satu sifat fisik bakso yang pertama kali dinilai oleh konsumen. Nilai mutu uji hedonik terhadap warna (Tabel 12) dari produk bakso berkisar antara 2,43 sampai dengan 4,63. Uji Kruskall-Wallis menunjukkan bahwa bakso kontrol hari ke-0 dan ke-5 berbeda dengan bakso yang direndam supernatan antimikroba hari ke 0, 5 dan 10. Hal ini disebabkan bakso kontrol berwarna abu kecerah-kecerahan seperti bakso pada umumnya, sedangkan bakso yang direndam supernatan antimikroba mengalami perendaman supernatan, sehingga warna bakso berubah menjadi kecoklatan. Media yang dipakai adalah MRSB (de Man Ragosa Sharp Broth), media tersebut berwarna coklat.
41
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan antimikroba dalam bentuk supernatan yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum 1A5 dapat mempengaruhi nilai TAT, aktivitas air (aw), dan total koloni bakteri pada bakso dengan lama penyimpanan bakso 0, 5, dan 10 hari. Penggunaan supernatan antimikroba tidak mempengaruhi nilai pH, kadar air, dan kekenyalan bakso daging sapi. Penggunaan supernatan antimikroba tersebut tidak dapat memperpanjang masa simpan hingga 5 hari. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa bakso supernatan antimikroba dengan lama penyimpanan yang berbeda-beda mempengaruhi aroma, kekenyalan, lendir, warna, tetapi tidak mempengaruhi rasa bakso. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa, aroma, warna, kekenyalan, dan penampilan umum bakso dengan lama penyimpanan 0, 5 dan 10 hari berada pada kisaran agak suka. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, bakso yang dilakukan perendaman supernatan antimikroba memiliki rasa yang asam dan warna yang kecoklatan, sehingga mempengaruhi tingkat penerimaan panelis. Selain itu, penggunaan supernatan antimikroba pada penelitian ini tidak efektif meningkatkan umur simpan bakso dikarenakan nilai TPC daging yang digunakan terlalu tinggi, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan daging dengan nilai TPC yang lebih rendah dan supernatan antimikroba yang lebih terkonsentrasi
42
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia dan rahmat yang telah diberikanNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir program sarjana. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua penulis papa Tambos Johannes Pasaribu dan mama Warsini, kakak dan adik Indra Pasaribu dan Joshua Pasaribu serta Om dan Tante Sindhu Mardi dan Biduan Dina Pasaribu atas segala doa, nasehat, dukungan dan kebersamaan, semoga mendapat balasan yang terbaik dari Tuhan Yang Maha Kuasa Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada dosen pembimbing skripsi Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. dan Irma Isnafia Arief, S.Pt., M.Si. atas segala bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS. sebagai pembimbing akademik juga kepada dosen penguji dalam ujian sidang terima kasih atas masukan dan saran dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada teman-teman satu penelitian (Theo, Lena, Ajeng, Fitri N., Asti, Annisa, Tantri dan Wulan), semua pihak di Laruba Fapet IPB (Umar, Tito, Dudi, Pa’Edit, Pa’Eko dan Pa’Cucu), teman-teman IPTP dan INTP 42, 43, dan 44, KPAnis 42, 43 dan 44, teman-teman kost perwira 99, Ibnu Faris, Anjar Prihandoko, Angga, Herry Kurniadi dan Bianca N. Leasa yang selalu memberikan keceriaan dan memberikan semangat serta dukungannya kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tidak ada karya manusia yang sempurna, begitu juga skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2009 Penulis
43
DAFTAR PUSTAKA Aberle, H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2001. Principle of Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing, Iowa. Adams, M. R. dan M. O. Moss. 1995. Food Microbiology. Reed CoodBook, Wilthshire. Andayani, R. 1999. Standardisasi mutu bakso sapi berdasarkan kesukaan konsumen. (Studi kasus bakso di Wilayah DKI Jakarta). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarwati dan S. Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Axxelsson, L. 1993. Lactic acid bacteria: classification and physiology. Dalam: Salminen, S. dan von Wright, A. (Editor). Lactic Acid Bacteria: Microbiology and Functional Aspects. 2nd Edition, Revised and Expanded. Marcell Dekker, New York. Association of Official Analytical Chemist (AOAC). 1984. Official Methods of Analysis, Association of Official Analytical Chemist, Washington. Association of Official Analytical Chemist (AOAC). 1995. Official Methods of Analysis, Association of Official Analytical Chemist, Virginia. Branen, A. L., P. M. Davidson dan Salminen. 1990. Food Additive. Marcel Dekker, New York. Branen, A. L. dan P. M. Davidson. 1993. Antimicrobial in Food. 2nd Edition. Marcell Dekker, New York. Buchanan, R. E. dan N. E. Gibbons. 1974. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. The Williams and Wilkins Company, Baltimore. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Campbell, Penfield dan R. M. Griswold. 1979. The Experimental Study of Food 2nd Edit. Houghton Mifflin, Belmont. Davidson, P. M. dan A. L. Branen. 1993. Antimicrobial in Food. 2nd Edition. Revised and Expanded. Marcel Dekker, New York. deMan. J. M. 1997. Kimia Makanan. Terjemahan: K. Panduwinata. ITB Press, Bandung. Dewan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3818, Bakso Daging. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Elveira, G. 1988. Pengaruh pelayuan daging sapi terhadap mutu bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
44
Fardiaz, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Mikrobiologi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fellows, P. J. 1992. Food Processing Technology. Ellis Horwood, New York. Forrest, J. G., E. D. Alberle., H. B. Hendrick., M.D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman, San Fransisco. Frazier, W. C. dan O. C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. Tata Mc Graw Hill, New York. Gaffar, R. 1998. Sifat fisik dan palatabilitas bakso daging ayam dengan bahan pengisi tepung sagu dan tepung tapioka. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gilliland, S. E. 1986. Bacterial Starter Cultures for Food. CRC Press, Boca Raton. Gorris, L.G. M. dan M.H. J. Bennik. 1994. Bacteriocins for Food Preservation. Internationale Zeitschriff fur-lebenmittel-technik-Marketing-Verpackungund-Analytik Helander, I. M., A. von Wright dan T. M. Mattila-Sandholm. 1997. Potential of lactic acid bacteria and novel antimicrobial against Gram negative bacteria. J. of Trends in Food Sci and Tech. 8 (2): 800-807. Indarmono, T. P. 1987. Pengaruh lama pelayuan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan fisikokimia bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jack, R.W., Tagg J. R. dan Ray, B. 1995. Bacteriocins of Gram-positive bacteria Microbial. Rev., 59:171-200. James, R., C. Lazdunski dan F. Pattus. 1992. Bacteriocins, Microcins, and Lantibiotics. Springer-Verlag, Heidelberg. Jennie, B. S. L. 1996. Peranan bakteri asam laktat sebagai pengawet hayati makanan. J. Ilmu dan Teknologi Pangan. 1(2):60-73. Judge, M. D., Aberle, J. C. Forrest, H. B. Hedrick dan R. A. Merkel. 1989. Principles of Meat Science. 2nd Editon. Kendal/Hunt Publishing, Iowa. Kramlich, W. E., A. M. Pearson dan F. W. Tauber. 1973. Processed Meat. The AVI Publishing, Connecticut. Lawrie, R. A. 1995. Meat Science. 5th Edit. Pergamon Press, Oxford. Lukman, H. 1995. Perbedaan karakteristik daging, karkas dan sifat olahannya antara itik afkir dan ayam petelur afkir. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nielsen, S.S. 2003. Food Analysis Laboratory Manual. Plenum Publisher, New York.
45
Nurliana. 1997. Pengaruh penambahan bakteriosin dan gabungan bakteriosin produksi asam laktat terhadap jumlah bakteri dalam susu pasteurisasi. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th Edition. Department of Animal Science. The Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and Development Center, Ohio. Ogunbawo, S. T., A. I. Sanni dan A. A. Onilude. 2003. Influence of cultural condition on the production of bacteriocins by Lactobacillus breus. African Journal of Biotechnology. 2(7): 179-184. Pandisurya, C. 1983. Pengaruh jenis daging dan penambahan tepung terhadap mutu bakso. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pearson, A. M. dan F. W. Tauber. 1984. Processed Meats. The AVI Publishing, Connecticut. Pelczar, M. J., R. D. Reid dan E. C. S. Chan. 1979. Microbiology. Mc. Graw Hill Book, New York. Permanasari, R. 2008. Karakteristik substrat antimikroba bakteri asam laktat hasil isolasi dari daging sapi dan aktivitas antagonistiknya terhadap bakteri patogen. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prasetyo, D. 2002. Sifat fisik dan palatabilitas bakso daging sapi dan daging kerbau pada lama postmortem yang berbeda. Skripsi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Purnomo, H. 1990. Kajian mutu bakso daging, bakso urat dan bakso aci di Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Reinnenccus, G. 1994. Source Book of Flavours. 2nd Edition. Chapman and Hall, New York. Robinson, R. K. dan A. Y. Tamime. 1981. Microbiology of fermented milk. Dalam: R. K. Robinson (Editor). Dairy Microbiology. 2nd Edition. The Microbiology of Milk Products. Applied Science, London. Roller, S. 2003. Natural antimicrobials for the minimal processing of foods. Woodhead Publishing, Cambridge. Rini, E. S. 1995. Aktivitas antimikroba dari Lactobacillus terhadap bakteri patogen dan perusak ikan Rucah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Schmidt, G. R. 1988. Processing. Dalam: Cross, H. R. and A. J. Overby. (Eds). Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publishers, New York. Schweigert, B. S. dan Payne. 1971. The nutritional content and value of meat and meat product. Dalam: Price, J. F and B. S. Schweigert. (Eds). The Science of Meat and Meat Product. W. H. Freeman, San Fransisco.
46
Soekarto, S. T. 1995. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bharata Karya Aksara, Jakarta. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Stanier, R. Y., M. Doudorrof dan E. A. Adelberg. 1963. The Microbial World. Prantice-Hall, New York. Steel. R. G. D., J. H. Torrie dan D. A. Dickey. 1997. Principles and Procedures of Statistic a Biomedical Appproach, 3rd Edition. McGraw-Hill, Singapore. Stratford, M. 2000. Traditional preservatif-organic acids. Dalam: R. K. Robinson, C. A. Batt and P. D. Patel (Editors). Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. Academic Press, London. Surono, I. 2004. Probiotik, Susu Fermentasi dan Kesehatan. Tri Cipta Karya, Jakarta Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tagg, J. R., A. S. Dajani dan L. W. Wannamaker. 1976. Bacteriocins of gram positive bacteria. Bacteriology Reviews 40: 722-756. Tarwotjo, I. S., Hartini, S., Soekirman dan Sumartono. 1971. Komposisi Tiga Jenis Bakso di Jakarta. Akademi Gizi, Jakarta. Vusyt, L. D dan E. J. Vandamme. 1994. Lactic acid bacteria and bacteriocins: their practical importance. Dalam: Bacteriocins of Lactic Acid Bacteria, Microbiology, Genetics and Application. Blakie Academic and Professional, London. Wibowo, S. 1990. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Penebar Swadaya, Jakarta. Wilson, N. R. P., E. J. Dyett., R. B. Hughes dan C. R. V. Jones. 1981. Meat and Meat Product. Applied Science Publishers, London. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wirakartakusuma, M. A. 1988. Aplikasi Instron UTM-1140. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
47
LAMPIRAN
48
Lampiran 1. Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan terhadap Total Plate Count Bakso Sapi Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F hitung
P
Lama Penyimpanan
2
6,5327
3,2664
4,74
0,030
Supernatan
1
3,5259
3,5259
5,12
0,043
Lama Penyimpanan*supernatan
2
12,5070
6,2535
9,08
0,004
Error
12
8,2619
0,6885
17
30,8275
Sumber
Total
Lampiran 2. Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan terhadap Nilai aw (Aktivitas Air) Bakso Sapi Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F hitung
P
Lama Penyimpanan
2
0,0013
0,00062
19,38
0,000
Substrat
1
0,00013
0,00013
3,97
0,070
Lama Penyimpanan*supernatan
2
0,00065
0,00032
9,54
0,003
Error
12
0,0004
0,000035
17
0,0025
Sumber
Total
Lampiran 3. Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan terhadap Nilai Kadar Air Bakso Sapi Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F hitung
P
Lama Penyimpanan
2
0,574
0,287
0,31
0,738
Substrat
1
0,396
0,396
0,43
0,525
Lama Penyimpanan*supernatan
2
0,173
0,086
0,09
0,911
Error
12
11,071
0,9226
17
12,215
Sumber
Total
49
Lampiran 4. Hasil Sidik Ragam Supernatan Antimikroba dan Lama Penyimpanan terhadap Nilai Bilangan Asam Bakso Sapi Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F hitung
P
Lama Penyimpanan
2
0,0139
0,013
23,9
0,00
Substrat Lama Penyimpanan*supernatan Error
1
0,196
0,196
674,83
0,00
2
0,01
0,01
17,61
0,00
12
0,003
0,0034
17
0,2239
Sumber
Total
Lampiran 5. Hasil Uji Kruskal-Wallis Nilai Daya Serap Air Bakso Rata-rata Perlakuan N Median Rangking
Z
1
3
8,625
8,7
-0,30
2
3
8,40
3,0
-2,31
3
3
8,650
8,3
-0,41
4
3
8,50
6,7
-1,01
5
3
8,90
14,7
1,84
6
3
8,95
15,7
2,19
Overall
18
90,5
H = 12,32 Derajat bebas = 5 P = 0,031 H = 12,39 Derajat bebas = 5 P = 0,030 Lampiran 6. Hasil Uji Kruskal-Wallis Nilai Kekenyalan Bakso Rata-rata Perlakuan N Median Ranking
Z
1
3
36,18
8,0
-0,53
2
3
37,87
9,3
-0,06
3
3
36,96
6,0
-1,24
4
3
37,70
10,0
0,18
5
3
53,49
16,7
2,55
6
3
36,98
7,0
-0,89
Overall
18
90,5
H = 7,62 DF = 5 P = 0,178
50
Lampiran 7. Hasil Uji Kruskal-Wallis Nilai pH Bakso Perlakuan
N
Median
Rata-rata Ranking
Z
1
3
6,52
12,7
1,13
2
3
5,77
7,7
-0,65
3
3
6,58
14,3
1,72
4
3
5,14
5,3
-1,48
5
3
6,63
15,0
1,95
6
3
5,00
2,0
-2,67
Overall
18
90,5
H = 14,80 Derajat bebas = 5 P = 0,011 Lampiran 8. Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Aroma) Perlakuan
N
Median
Rata-rata Ranking
Z
209
30
4,000
131,6
4,74
357
30
2,000
72,7
-2,05
565
30
2,500
97,6
0,82
647
30
2,000
68,4
-2,55
667
30
2,000
60,9
-3,40
729
30
3,000
111,8
2,45
Overall
180
90,5
H = 42,83 Derajat Bebas = 5 P = 0,000 Lampiran 9. Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Rasa) Perlakuan
N
Median
Rata-rata Ranking
Z
209
30
4,000
37,3
2,99
565
30
2,000
23,8
-2,9
Overall
60
30,5
H = 8,96 Derajat Bebas = 1 P = 0,003
51
Lampiran 10. Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Warna) Perlakuan N Median Rata-rata Ranking
Z
209
30
4,000
112,1
2,48
357
30
3,000
100,8
1,18
565
30
2,000
64,9
-2,95
647
30
3,000
80,6
-1,14
667
30
2,000
69,9
-2,37
729
30
4,000
114,8
2,80
Overall
180
90,5
H = 25,84 Derajat Bebas= 5 P = 0,000 Lampiran 11. Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Penampilan Umum) Rata-rata Perlakuan N Median Z Ranking 209
30
4,000
129,9
4,54
357
30
2,500
82,2
-0,96
565
30
2,000
83,1
-0,85
647
30
3,000
74,0
-1,90
667
30
2,000
65,2
-2,91
729
30
3,000
108,6
2,09
Overall
180
90,5
H = 32,24 Derajat Bebas = 5 P = 0,000 Lampiran 12. Hasil Uji Kruskal-Wallis Hedonik (Tekstur) Rata-rata Perlakuan N Median Ranking
Z
209
30
4,000
125,1
3,98
357
30
3,000
73,7
-1,93
565
30
3,500
94,4
0,45
647
30
3,000
75,7
-1,71
667
30
3,000
77,6
-1,48
729
30
3,000
96,5
0,69
Overall
180
90,5
H = 21,17 Derajat Bebas = 5 P = 0,001
52
Lampiran 13. Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Aroma) Perlakuan N Median Rata-rata Ranking
Z
209
30
4,000
122,9
3,33
357
30
3,000
69,2
-2,75
565
30
3,000
99,5
0,68
647
30
3,000
74,1
-2,19
667
30
3,000
74,1
-2,19
729
30
4,000
121,1
3,13
Overall
180
93,5
H = 32,10 Derajat Bebas = 5 P = 0,000 Lampiran 14. Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Lendir) Rata-rata Perlakuan N Median Ranking
Z
209
30
5,000
161,3
3,62
357
30
4,000
115,0
-0,52
565
30
4,000
138,6
1,68
647
30
3,500
89,9
3,72
667
30
4,000
106,2
1,10
729
30
4,000
134,2
1,30
Overall
180
119,0
H = 27,06 Derajat Bebas = 5 P = 0,000 Lampiran 15. Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Warna) Rata-rata Perlakuan N Median Ranking
Z
209
30
5,000
153,7
7,28
357
30
3,000
79,8
-1,24
565
30
3,000
63,3
-3,13
647
30
2,000
48,5
-4,84
667
30
3,000
66,0
-2,82
729
30
4,000
131,8
4,75
Overall
180
90,5
H = 98,56 Derajat Bebas = 5 P = 0,000
53
Lampiran 16. Hasil Uji Kruskal Wallis Mutu Hedonik (Kekenyalan) Rata-rata Perlakuan N Median Ranking
Z
209
30
4,000
101,6
1,28
357
30
3,000
73,4
-1,97
565
30
4,000
100,8
1,18
647
30
4,000
91,4
0,10
667
30
3,000
73,6
-1,95
729
30
4,000
102,3
1,35
Overall
180
90,5
H = 10,47 Derajat Bebas = 5 P = 0,063 Lampiran 17. Hasil Uji Kruskal-Wallis Mutu Hedonik (Rasa) Rata-rata Perlakuan N Median Ranking
Z
209
30
4,000
36,4
2,53
565
30
3,000
24,6
2,63
Overall
60
30,5
H = 6,93 Derajat Bebas = 1 P = 0,008
54
Lampiran 18. Gambar Perendaman Bakso dengan Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5
Lampiran 19. Gambar Penyaringan Supernatan Antimikroba Lactobacillus plantarum 1A5
Lampiran 20. Gambar Bakso (Siap Uji Organoleptik)
55
Lampiran 21. Format Uji Organoleptik Nama Panelis : Tanggal Pengujian
:
Jenis Produk
: Bakso
Uji Mutu Hedonik Instruksi
: Nyatakan penilaian anda dan berikan tanda (√) pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan anda.
Aroma
Nomor Sampel 729 647 565
209
357
667
Nomor Sampel 729 647 565
209
357
667
Nomor Sampel 729 647 565
209
357
667
Sangat aroma khas daging Aroma khas daging Tidak beraroma khas daging Agak bau busuk Bau busuk Rasa Sangat rasa khas bakso Rasa khas bakso Tidak rasa khas bakso Rasa asam Sangat rasa asam Warna Sangat cerah Cerah Agak gelap Gelap Sangat gelap
56
Kekenyalan
Nomor Sampel 729 647 565
209
357
667
Nomor Sampel 729 647 565
209
357
667
Sangat kenyal Kenyal Agak kenyal Tidak kenyal Sangat tidak kenyal Lendir Sangat berlendir Tidak berlendir Sedikit berlendir Berlendir Sangat berlendir Uji Hedonik Instruksi : Berilah angka 1 sampai dengan 5 pada kolom yang sesuai dengan penilaian anda Keterangan
Nomor Sampel 729
647
565
209
357
667
Aroma Rasa Warna Tekstur Penampilan umum Keterangan: 1. Sangat tidak Suka 2. Tidak suka 3. Agak suka
4. Suka 5. Sangat Suka
57
58