Bab II
KARAKTERISTIK GAMMA-RAY BURST
Gamma-Ray Burst (GRB) merupakan fenomena semburan sinar-gamma yang berlangsung secara singkat dan intensif. Energi yang terlibat dalam semburan ini mencapai 1054 erg atau setara dengan energi diam Matahari. Pengamatan GRB dilakukan dengan membawa detektor ke ketinggian tertentu dari permukaan Bumi. Pendeteksian ini menggunakan prinsip interaksi foton sinargamma dengan material sekitarnya. Dalam bab ini akan dibahas sejarah penemuan GRB dan karakteristik yang didapatkan dari pengamatan. Selajutnya juga dibahas permasalahan yang menghinggapi GRB beserta solusi atas permasalahan tersebut. Efek relativistik penting juga dibahas mengingat mekanisme ini diperlukan untuk mengungkap proses-proses yang terjadi selama peristiwa GRB.
II.1
Sejarah Gamma-Ray Burst
Penemuan Gamma-Ray Burst terjadi pada saat dunia mengalami perang dingin. Ketika itu Uni Soviet dan Amerika Serikat membuat kesepakatan mengenai pembatasan aktivitas percobaan senjata nuklir. Masing-masing pihak mengembangkan kemampuan intelijen, salah satu caranya adalah mengorbitkan satelit mata-mata. Beberapa dari banyak satelit mata-mata itu adalah satelit Vela yang dibuat milik Amerika. Vela memiliki detektor yang peka pada rentang energi 0.3−1.5 MeV. Satelit Vela mengumpulkan data secara otomatis jika terdapat pemicu berupa sumber sinar-gamma yang mendadak mengalami peningkatan kecerlangan dibandingkan langit latar. Klebesadel et al. (1973) melaporkan terdapat enam belas semburan yang terdeteksi oleh Vela semenjak Juli 1969 hingga Juli 1972.
4
II.2
Karakteristik Gamma-Ray Burst
Sebuah semburan digolongkan sebagai GRB jika memiliki energi puncak lebih besar dari 30 keV. Beberapa semburan memiliki energi puncak lebih kecil dari 30 keV yang digolongkan sebagai X-Ray Flash (XRF). Untuk memahami GRB maka terlebih dahulu kita mengetahui karakteristik-karakteristiknya.
Gambar II.1: Profil beberapa Gamma-Ray Burst yang terdeteksi oleh instrumen BATSE pada CGRO, dapat terlihat keberagaman pola semburan. (http://imagine.gsfc.nasa.gov/)
5
II.2.1
Struktur Temporal
Kurva cahaya GRB memiliki bentuk yang bervariasi (lihat gambar II.1) dengan durasi yang merentang dari orde milidetik hingga ribuan detik. Pengukuran yang biasa dilakukan untuk durasi semburan adalah T90 yaitu waktu yang dibutuhkan oleh detektor untuk mengumpulkan 90% dari energi total sinargamma. Pengelompokan semburan akan didasarkan pada T90 . Kurva cahaya berfluktuasi dalam selang δt. Fluktuasi kurva cahaya untuk beberapa long GRB memiliki orde milidetik.
II.2.2
Spektrum Energi
GRB memiliki spektrum nontermal (lihat gambar II.2). Fluks energinya berpuncak pada beberapa keV dan banyak semburan memiliki komponen energi sangat tinggi yang merentang hingga GeV. Untuk mendekati spektrum GRB digunakan fungsi Band (lihat persamaan II.1) yang memiliki kecocokan sangat baik terhadap hasil pengamatan.
N(ν) = N0
(hν)α exp − Ehν0 untuk hν < H
[(α − β) E ](α−β) (hν)β exp(β − α) untuk hν > H 0
(II.1)
dimana H ≡ (α − β)E0 . Hingga saat ini tidak ada model yang memprediksi bentuk spektrum seperti yang didekati oleh fungsi Band.
II.2.3
Lokasi
Selama masa operasinya, instrumen BATSE yang terpasang pada CGRO berhasil mengumpulkan data posisi 2704 GRB. Dari data ini didapatkan sebaran GRB yang isotropik di langit yang menandakan GRB haruslah berasal dari jarak kosmik (lihat gambar II.3). Jika GRB berasal dari jarak Galaksi maka seharusnya BATSE mendapatkan GRB terdistribusi secara rapat di sekitar piringan Galaksi. Sementara jika GRB berasal dari jarak halo maka kita 6
Gambar II.2: Contoh spektrum GRB. (http://imagine.gsfc.nasa.gov/)
7
Gambar II.3: Distribusi isotropik 2704 GRB yang diamati oleh CGRO menggunakan instrumen BATSE. Warna memberikan ilustrasi fluence semburan. (http://imagine.gsfc.nasa.gov/)
berharap bisa melihat GRB juga terkumpul di galaksi dekat seperti galaksi Andromeda atau M33. Pada perkembangannya dilakukan pula pengukuran pergeseran merah galaksi induk dan afterglow GRB dan didapatkan bahwa median jarak GRB hingga saat ini adalah z ∼ 1.
II.2.4
Populasi
GRB memiliki pengelompokan yang sangat jelas jika ditinjau dari segi durasi T90 yaitu waktu yang dibutuhkan detektor untuk mengumpulkan 95% energi sinar-gamma yang dipancarkan GRB. Semburan dengan T90 ≥ 2 detik disebut sebagai long GRB, sementara semburan dengan durasi < 2 detik disebut sebagai short GRB (lihat gambar II.4). Perhitungan hardness ratio (perbandingan energi untuk dua macam detektor yang memiliki perbedaan pita energi) menunjukkan bahwa long GRB memiliki energi yang lebih rendah dibandingkan short GRB yang berimplikasi bahwa terdapat dua populasi GRB yaitu longsoft GRB dan short-hard GRB (lihat gambar II.5). 8
Gambar II.4: Pengelompokan GRB berdasarkan durasi terlihat dari data semburan yang dideteksi oleh BATSE. Kurva bimodal yang memiliki batas pada T90 = 2 detik menandai short GRB dan long GRB. (Weekes 2003)
Gambar II.5: Hardness ratio GRB untuk data yang diperoleh BATSE. Terlihat terjadi pengelompokan GRB, kelompok sebelah kiri atas merupakan shorthard GRB, kelompok sebelah kanan bawah merupakan long-soft GRB. (http://imagine.gsfc.nasa.gov/)
9
Gambar II.6: Kiri: peluruhan afterglow sinar tampak dari GRB021211, setelah beberapa hari terlihat adanya peningkatan kecerlangan yang disebut bump. Garis tegas berwarna merah menunjukkan kurva cahaya, garis titik-titik berwarna merah merupakan pendekatan terhadap peluruhan afterglow, garis titik-garis berwarna merah merupakan kurva cahaya sintetis langit galaksi induk, garis putus-putus berwarna hijau merupakan kurva cahaya supernova. Kanan: Spektrum bump memperlihatkan pola spektrum supernova tipe Ic. (Della Valle et al. 2003)
II.2.5
Afterglow
Afterglow adalah radiasi dalam panjang gelombang selain sinar-gamma yang menyertai GRB. Pengamatan menunjukkan afterglow dapat diamati pada daerah sinar-X, ultra violet, sinar tampak, infra merah, dan radio yang meluruh secara eksponensial. Afterglow sinar tampak untuk beberapa GRB memperlihatkan keberadaan bump yang memiliki kemiripan spektrum dan kurva cahaya dengan supernova (lihat gambar II.6). Afterglow diperkirakan radiasi yang dihasilkan oleh gelombang kejut peristiwa tumbukan material yang bergerak secara relativistik dengan medium antar bintang.
II.3
Energi Gamma-Ray Burst
Pengamatan Gamma-Ray Burst menghasilkan fluence F yaitu jumlah energi sinar-gamma per satuan luas detektor. Jika sumber berasal dari jarak D,
10
dan sumber memancarkan sinar-gamma secara seragam ke seluruh arah, maka energi sinar-gamma keseluruhan yang terlibat adalah: Eiso = 4πD 2 (1 + z)F.
(II.2)
Faktor (1 + z) dimasukkan ke dalam persamaan mengingat energi untuk setiap foton akan direduksi oleh faktor ini karena adanya ekspansi alam semesta. Hal ini berarti energi saat dipancarkan, hν ≡ ǫ, berhubungan dengan energi yang teramati, hνobs ≡ ǫobs , sebagai ǫ≡
ǫ . 1+z
(II.3)
Dengan memasukkan harga rata-rata untuk jarak dan fluence yang teramati oleh GRB maka akan didapatkan: Eiso ∼ 10
50
D 1Gpc
2
F −6 10 erg/cm2
erg.
(II.4)
Perlu diingat bahwa persamaan di atas berlaku untuk energi yang dipancarkan dalam sinar-gamma saja. Jika kita melibatkan energi yang diukur dalam seluruh panjang gelombang maka energi akan meningkat dalam faktor 10 − 1000 kali dari energi yang dipancarkan dalam sinar-gamma. Dengan pertimbangan tersebut maka kita dapat menyebutkan energi keseluruhan yang terlibat dalam GRB adalah: Eiso ∼ 1051 − 1053 erg.
II.4
(II.5)
Compactness Problem
Fakta bahwa GRB berasal dari jarak kosmik berimplikasi pada jumlah energi dalam jumlah besar yang harus dihasilkan oleh daerah yang sangat kecil sehingga menyulitkan radiasi keluar dari daerah pembangkit. Permasalahan energi GRB dikenal sebagai compactness problem. Permasalahan ini telah 11
dibahas oleh Ruderman dan Schmidt yang kemudian dijadikan alasan untuk menolak pandangan GRB berada pada jarak kosmik (Piran 2005). Jika energi yang terlibat dalam radiasi dalam selang waktu ∆ts , maka luminositas sumber adalah L∼
Eiso . ∆ts
(II.6)
Di sini ∆ts adalah waktu semburan pada sumber, yang tentu saja tidak bergantung pada durasi GRB yang teramati di Bumi. Fluks energi F didefinisikan sebagai energi yang di pancarkan setiap detik per satuan luas. Sebuah permukaan bola dengan radius d memiliki luas 4πd2, sehingga fluks pada sumber secara umum adalah F ∼
Eiso L ∼ . 2 4πd ∆ts 4πd2
(II.7)
Jika fluks radiasi ini dihantarkan oleh foton dengan kerapatan nγ dan energi rata-rata ǫ, bergerak secara radial dengan kecepatan cahaya, maka F ∼ cnγ ǫ.
(II.8)
Sehingga nγ ∼
F L = . cǫ 4πd2 cǫ
(II.9)
Didefinisikan kedalaman optis τγγ untuk produksi pasangan sebagai perbandingan antara radius sumber d dan jalur bebas rata-rata λγγ : τγγ =
d = nγ σT d. λγγ
(II.10)
Substitusikan (II.9) ke persamaan (II.10) sehingga τγγ =
σT L . 4πdcǫ
(II.11)
12
Jumlah energi foton yang diterima setiap detik oleh detektor dengan luas A pada jarak D dari sumber adalah LA E˙ γ = (1 + z)−2 × . 4πD 2
(II.12)
Faktor (1 + z) merupakan efek dari reduksi energi foton akibat pergeseran merah. Faktor kedua muncul karena terjadinya dilatasi waktu akibat sumber bergerak dengan kecepatan relativistik memiliki durasi semburan yang awalnya bernilai ∆ts , akan diterima oleh pengamat dengan durasi ∆tb , dengan ∆tb = (1 + z) × ∆ts . Fluence merupakan rasio dari energi keseluruhan dibagi dengan satuan luas, F =
E˙ γ ∆tb L∆tb Eγ ∼ = . A A 4πDL2
(II.13)
DL adalah jarak luminositas, dengan hubungan dengan jarak fisik D pada saat foton diterima, didefinisikan sebagai DL ≈ (1 + z)D.
(II.14)
Persamaan (II.13) dapat ditulis ulang sebagai F =
Eiso Eiso = (1 + z) . 4πD 2(1 + z) 4πDL 2
(II.15)
Dengan membalik persamaan (II.13) menjadi L=
4πDL2 F , ∆tb
(II.16)
dan mengingat energi pada sumber sama dengan ǫ = (1 + z)ǫobs , maka kedalaman optik dapat diturunkan sebagai τγγ
σT DL2 F = . ǫobs c2 ∆tb 2
(II.17)
Di sini d = c∆ts = c∆tb /(1 + z). Dengan mengambil harga rata-rata z = 1, 13
yang berhubungan dengan DL = 2D ∼ 5 Gpc, (ωm , ωΛ ) = (0.3, 0.7), H0 = 72 km/s per Mpc, didapatkan: τγγ ≥ 2 × 10
11
F −6 10 erg/cm2
∆tb 1s
−2
ǫ −1 . 1MeV
(II.18)
Penulisan ≥ memberi penekanan bahwa harga energi keseluruhan akan jauh lebih besar dibandingkan energi yang diukur oleh detektor, mengingat detektor mendeteksi foton dalam rentang energi terbatas yaitu sinar-gamma dan sinar-X. Persamaan (II.17) memperlihatkan bagaimana ketebalan optik τγγ sangat tinggi di sumber GRB. Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa spektrum GRB teramati sebagai radiasi non-termal yang seharusnya berasal dari daerah dengan ketebalan optik rendah. Pengamatan terhadap spektrum GRB menunjukkan kedalaman optik untuk fenomena ini seharusnya adalah τγγ ≪ 1 sementara hasil perhitungan atas kuantitas yang teramati menunjukkan τγγ ≫ 1. Untuk menyelesaikan permasalahan ini Rees (1992) mengajukan sebuah model yang dikenal sebagai model relativistic fireball. Model ini mengasumsikan material emisi yang terlibat dalam GRB bergerak mendekati pengamat dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Radiasi yang kita alami telah mengalami beaming efek Doppler relativistik dan kompresi waktu relativistik.
II.5
Efek Relativistik
Efek relativistik pada fireball akan memberikan efek peningkatan intensitas foton dan terjadinya pergeseran biru jika fireball diamati pada arah sumbu pergerakan (lihat gambar II.7).
14
Gambar II.7: Lima pengamat di kerangka diam melihat radiasi yang bergerak secara relativistik (Γ = 10). Sumber memancarkan radiasi secara isotropik, kerucut cahaya yang terbentuk memiliki setengah sudut bukaan ∼ 1/Γ. Kerucut terluar memiliki setengah sudut bukaan sebesar 25◦ merupakan batas dimana tidak terjadi pergeseran Doppler. Pengamat O3 , O4 , dan O5 akan melihat sumber memancarkan radiasi yang bergeser ke arah merah dengan memiliki intensitas lebih lemah dari intensitas intrinsiknya. Pengamat O1 akan melihat radiasi yang diperkuat intensitasnya dengan frekuensi yang bergeser sangat besar ke arah biru. Pengamat O2 melihat hal yang serupa dengan pengamat O1 namun dengan intensitas dan pergeseran yang lebih kecil. (Bradt H. 2008)
II.5.1
Efek Beaming
Radiasi yang berasal dari sumber yang bergerak secara relativistik akan mengalami beaming yang searah dengan vektor kecepatan sumber menurut pengamat diam. Efek beaming menyebabkan intensitas sumber tampak lebih tinggi jika diamati oleh pengamat diam yang berada dalam kerucut cahaya. Mengetahui efek beaming sangat penting bagi pengamat yang ingin mengetahui intensitas intrinsik radiasi yang bergerak pada kecepatan relativistik. Sumber radiasi berada diam terhadap kerangka S′ yang bergerak dengan kecepatan v ≈ c relatif terhadap kerangka S. Kita definisikan perbandingan kecepatan sumber dengan kecepatan cahaya sebagai v β≈ . c
(II.19)
Pada kerangka S ′ sumber akan memancarkan radiasi ke segala arah secara seragam, namun pada kerangka S sumber akan memancarkan radiasi yang 15
Gambar II.8: Pola radiasi dari sumber radiasi untuk kerangka S ′ dan S. Radiasi akan dipancarkan secara isotropik pada kerangka S ′ sementara pada kerangka S sebagian besar radiasi akan dikerucutkan pada sudut beaming θb = 1/Γ. (Bradt H. 2008)
terkonsentrasi searah dengan vektor kecepatan. Pengamat yang berada di kerangka S melihat radiasi keluar dari kerucut yang sempit (lihat gambar II.8). Radiasi yang berada di belahan belakang akan terlemahkan. Mengingat faktor Lorentz Γ = (1 − β 2 )1/2 , maka kita dapatkan hubungan 1/2 1 cos θb = β = 1 − 2 . Γ
(II.20)
Dengan mengekspansikan cos θb untuk sudut yang sangat kecil dan akar kuadrat untuk Γ yang besar menggunakan 1−
1 θb2 =1− 2 2 2Γ
(II.21)
akan didapatkan θb ≈
1 . Γ
(II.22)
Sehingga setengah sudut bukaan kerucut radiasi menurut pengamat di kerangka
16
S adalah kebalikan dari faktor Lorentz.
II.5.2
Efek Doppler Relativistik
Sumber radiasi dengan frekuensi awal ν0 berada pada kerangka S ′ yang bergerak relatif dengan kecepatan v terhadap kerangka S. Pengamat diam di kerangka S mengamati radiasi telah mengalami perubahan frekuensi menjadi ν. Perubahan frekuensi akibat gerak relatif sumber radiasi disebut dengan efek Doppler dimana perubahan frekuensi akan bergantung pada kecepatan relatif v. Pergeseran Doppler untuk sumber radiasi yang bergerak secara relativistik, dengan parameter kecepatan β dan faktor Lorentz Γ, terhadap pengamat yang berada pada sudut θ terhadap lintasan gerak adalah ν=
(1 − β 2 )1/2 ν0 . 1 − β cos θ
(II.23)
17