KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH
ROBANI JUHAR
PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Karakteristik Fe, Nitrogen, Fosfor, Dan Fitoplankton Pada Beberapa Tipe Perairan Kolong Bekas Galian Timah” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2008
Robani Juhar C151050121
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakteristik Fe, Nitrogen, Fosfor, dan Fitoplankton pada Beberapa Tipe Perairan Kolong Bekas Galian Timah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2008
Robani Juhar C151050121
ABSTRACT ROBANI JUHAR. Characteristics of Fe, Nitrogen, Phosphorous, and Phytoplankton on Ex-Tin Mining of the Ponds. Under the supervision of D. DJOKOSETIYANTO and HEFNI EFFENDI. The aim of this study is to measure the concentration of Fe, nitrogen, and phosphorous and analyze the relation of the nutrient, elements with abundance of phytoplankton and primary productivity at some type ponds of ex-tin mining. The study was executed in September-October 2007. Concentration of total Fe in three ponds were 0.121 – 0.902 mg l-1, 0.024 – 0.487 mg l-1 and 0.146 – 0.390 mg l-1. Concentration of dissolved inorganic nitrogen (DIN) in three ponds were 0,068 – 643 mg l-1 0.021 – 0.291 mg l-1 and 0.027 – 0,452 mg l-1. Value of PO4-P in three measured were 0.044 – 350 mg l-1, 0.074 – 0.326 mg l-1 and 0.023 – 0.841 mg l-1. DIN and PO4-P at station I (84.2%; p<5%) and station III (98.4%; p<5%) showed strong correlation and significant, but not significant at station II (-79.7%; p>5%). Fe, DIN and PO4-P showed strong correlation with the abundance of phytoplankton at station I (R2 = 83.4%), station II (R2 = 97.6%) and station III (R2 = 57.3%). Fe, DIN and PO4-P has not significant on the abundance of phytoplankton at station I and III (p>0.05), but significantly effects at station II (p<0.05). Fe, DIN and PO4-P showed strong correlation with net primary productivity at station II (R2 = 79.6%) and station III (R2 = 57.3%), but less at station II (R2 = 22.2%). Fe, DIN and PO4-P has not significant on net primary productivity at station I and II (p>0.05), but significantly effects at station III (p<0.05). Key Words: Fe, nutrient, phytoplankton abundance, primary productivity
RINGKASAN
ROBANI JUHAR. Karakteristik Fe, Nitrogen, Fosfor dan, Fitoplankton pada Beberapa Tipe Perairan Kolong Bekas Galian Timah. Dibimbing oleh D. DJOKOSETIYANTO dan HEFNI EFFENDI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur nilai unsur hara Fe, nitrogen, dan fosfor serta untuk menganalisis hubungan antar unsur hara, unsur hara dengan kelimpahan fitoplankton dan produktivitas primer pada beberapa tipe kolong bekas galian timah. Penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2007. Nilai kisaran konsentrasi total Fe pada stasiun I sebesar 0,121 – 0,902 mg/l, stasiun II sebesar 0,024 – 0,487 mg/l, dan stasiun III sebesar 0,146 – 0,390 mg/l. Nilai kisaran dissolved inorganic nitrogen (DIN) pada stasiun I sebesar 0,068 – 643 mg/l, stasiun II sebesar 0,021 – 0,291 mg/l dan stasiun III sebesar 0,027 – 0,452 mg/l. Nilai kisaran PO4-P pada stasiun I sebesar 0,044 – 0,350 mg/l, stasiun II sebesar 0,074 – 0,326 mg/l, dan stasiun III sebesar 0,023 – 0,841 mg/l. DIN dan PO4-P stasiun I (84,2%; p<5%) dan stasiun III (98,4%;p<5%) memiliki korelasi yang cukup erat dan signifikan, sedangkan pada stasiun II (-79,7%;p>5%) korelasinya cukup erat tapi tidak signifikan. Fe, DIN, dan PO4-P menunjukkan adanya hubungan linier yang kuat dengan kelimpahan fitoplankton pada stasiun I (R2 = 83,4%), stasiun II (R2 = 97,6%) dan stasiun III (R2 = 57,3%). Selanjutnya pengaruh unsur hara Fe, DIN, dan PO4-P terhadap kelimpahan fitoplankton pada stasiun I dan III terlihat kurang nyata (p>0,05), sedangkan pada stasiun II adalah sangat nyata (p<0,05). Fe, DIN, dan PO4P menunjukkan adanya hubungan linier yang kuat dengan NPP pada stasiun II (R2 = 79,6%) dan stasiun III (R2 = 57,3%) serta lemah pada stasiun I (R2 = 22,2%). Selanjutnya pada stasiun I dan II tampak bahwa pengaruh unsur hara Fe, DIN, dan PO4-P terhadap kelimpahan fitoplankton kurang nyata (p>0,05), sedangkan pada stasiun III sangat nyata (p<0,05). Kata Kunci: Fe, unsur hara, kelimpahan fitoplankton, produktivitas primer
ABSTRACT Robani Juhar. Characteristics of Fe, Nitrogen, Phosphorous and Phytoplankton at Some Types Ponds of The Ex-Tin Mining. Under the direction of D DJOKO SETIYANTO and HEFNI EFFENDI. This study are aimed to measure the value of nutrient Fe, nitrogen and phosphorous and analyzed the relationship between element of nutrients, elements with abundance of phytoplankton and primer productivity at some type ponds of extin mining. Study was executed in September-October 2007. Value of total Fe in three measured is 0.121 – 0.902 mg l-1, 0.024 – 0.487 mg l-1 and 0.146 – 0.390 mg l-1. Value of dissolved inorganic nitrogen (DIN) in three measured are 0,068 – 643 mg l-1 0.021 – 0.291 mg l-1 and 0.027 – 0,452 mg l-1. Value of PO4-P in three measured are 0.044 – 350 mg l-1, 0.074 – 0.326 mg l-1 and 0.023 – 0.841 mg l-1 in station I, II and III. DIN and PO4-P station I (84.2%; p<5%) and station III (98.4%; p<5%) has correlation that is tightly enough and significant, while less significant at station II (79.7%; p>5%). Fe, DIN and PO4-P showed strong correlation with the abundance of phytoplankton at station I (R2 = 83.4%), station II (R2 = 97.6%) and station III (R2 = 57.3%). Fe, DIN and PO4-P has less effects on the abundance of phytoplankton at station I and III (p>0.05), but significantly effects at station II (p<0.05). Fe, DIN and PO4-P showed strong correlation with net primer productivity at station II (R2 = 79.6%), station III (R2 = 57.3%) but less at station II (R2 = 22.2%). Fe, DIN and PO4P has less effects on net primary productivity at station I and II (p>0.05), but significantly effects at station III (p<0.05).
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH
ROBANI JUHAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Karakteristik Fe, Nitrogen, Fosfor dan Fitoplankton Pada Beberapa Tipe Perairan Kolong Bekas Galian Timah Robani Juhar C151050121
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil Anggota
Dr. Ir. D. Djokosetiyanto,DEA Ketua Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Enang Harris, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 4 Juni 2008
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan hasil penelitian dengan judul “Karakteristik Fe, Nitorgen, Fosfor, dan Fitoplankton pada Beberapa Tipe Perairan Kolong Bekas Galian Timah”. Pada kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. H. Justiar Noer, S.T. MM. dan Ibu Ir. Ekawati, Dipl.Eng. yang selalu memberi doa restu, semangat, dorongan belajar serta kasih sayang kepada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. D. Djokosetiayanto, DEA dan Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya tesis ini. 3. Bapak Prof. Dr. Enang Harris, MS selaku ketua program studi Ilmu Perairan yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis hingga selesainya tesis ini. 4. Staf pengajar PS AIR atas bantuan dan dorongan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana FPIK IPB Bogor. 5. Rekan-rekan mahasiswa S2 dan S3 PS AIR atas segala kerjasama dan dukungan serta kebersamaan selama ini. 6. Sekretariat PS AIR atas segala bantuan selama penulis mengikuti pendidikan. 7. Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang telah memberikan rekomendasi untuk mengikuti pendidikan di FPIK IPB Bogor. 8. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan sumbangsih pemikiran dalam penyelesaian tesis ini.
Bogor,
Juni 2008
Robani Juhar
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bangka, pada tanggal 18 Nopember 1968 dari bapak Syamsudin Seman dan ibu Rotemah. Penulis merupakan anak pertama. Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri Sungailiat dan pada tahun 1988 lulus seleksi masuk UNDIP melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan dan lulus tahun 1994.
Tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan pada program studi Ilmu
Perairan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tahun 1994 sampai 1997 penulis bekerja pada PT. Suri Tani Pemuka, Sidoarjo sebagai Sales Executive pakan udang/ikan.
Sejak tahun 1998, penulis
bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil Daerah pada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................................................. Permasalahan dan Pendekatan Masalah ............................................. Tujuan dan Manfaat ........................................................................... Rumusan Hipotesa .............................................................................
1 2 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Penambangan Timah dan Kolong ...................................................... Besi ..............................................................................................................
Fosfor ................................................................................................. Nitrogen ............................................................................................. Fitoplankton ....................................................................................... Produktivitas Primer .........................................................................
6 7 8 9 9 10
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ Penentuan Stasiun Penelitian ............................................................. Contoh Air ......................................................................................... Analisis Data ......................................................................................
12 14 14 21
HASIL DAN PEMBAHASAN Unsur Hara ......................................................................................... Total Fe .............................................................................................. DIN (Dissolved Inorganic Nitrogen) ................................................. Nitrogen Nitrit (NO2-N) ..................................................................... Nitrogen Nitrat (NO3-N) .................................................................... Nitrogen Ammonia (NH3-N) ............................................................. Ortofosfat (PO4-P) ............................................................................. Rasio N dan P .................................................................................... Hubungan Total Fe dengan DIN dan PO4-P ...................................... Struktur Komunitas Fitoplankton ...................................................... Komposisi Jenis fitoplankton ............................................................. Kelimpahan Fitoplankton ................................................................... Indeks Biologi Fitoplankton ............................................................... Biomass (Klorofil-a) .......................................................................... Produktivitas Primer Fitoplankton .....................................................
23 23 25 25 26 26 27 29 30 31 31 33 36 38 39
Hubungan Unsur Hara dengan Kelimpahan Fitoplankton ................. Hubungan Unsur Hara dengan Produktivitas Primer Fitoplankton Bersih (NPP) ...................................................................................... Evaluasi Kualitas Air pada Tiga Kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka ............................................................................. Pemanfaatan Kolong ..........................................................................
41 42 42 44
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ............................................................................................ Saran ..................................................................................................
45 46
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
47
LAMPIRAN .............................................................................................
51
DAFTAR TABEL Halaman
1 Parameter-parameter, metode, dan alat yang digunakan dalam analisis kualitas air selama penelitian ..............................………………………….
16
2 Kandungan total Fe, nitrogen, dan fosfor per periode di tiga kolong Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka ……………………………………..
24
3 Rasio massa nitrogen dan fosfor per periode di tiga kolong Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka ………………………………………………….
29
4 Jumlah genera fitoplankton per periode di tiga kolong Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka .........................................................................................
32
5 Nilai rata-rata kelimpahan (Ind/l) per periode kelas fitoplankton di tiga kolong Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka ..............................................
34
6 Indeks biologi fitoplankton pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka ………………………………………………………….
37
7 Nilai konsentrasi klorofil-a fitoplankton per periode pada tiga kolong pengamatan di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka …………………….
39
8 Nilai produktivitas primer per periode pada tiga kolong pengamatan di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka...........................................................
40
x
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Diagram alir perumusan masalah ………………………………………..
5
2 Kolong Wasere Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka ………………..
12
3 Kolong Open Pit Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka ......................
13
4 Kolong Dam Keramat Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka …………
14
5 Peta Lokasi Penelitian di Kabupaten Bangka ................................................
15
6 Komposisi Fe, nitrogen, dan fosfor pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka .........................................................................................
28
7 Kelimpahan Genera Fitoplankton pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka .........................................................................................
35
8 Tingkat kualitas air menurut baku mutu air kelas II pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka ..........................................................
43
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Peta lokasi penelitian …………………………………………………….
51
2
Data cuaca bulan September dan Oktober 2007 wilayah Bangka ……...
52
3
Konsentrasi parameter-parameter fisika yang diukur pada tiga kolong Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka ……………………………………..
54
Konsentrasi parameter-parameter kimia yang diukur pada tiga kolong Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka ……………………………………..
55
Kelimpahan fitoplankton (individu/liter) pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka …………………………………………………
56
Hasil korelasi dan regresi linier berganda NO2-N, NO3-N, NH3-N dan PO4P dengan total Fe ....................………………………………………………
58
Hasil korelasi dan regresi linier berganda total Fe, DIN dan PO4-P dengan kelimpahan fitoplankton ................................................................................
60
Hasil korelasi dan regresi linier berganda total Fe, DIN dan PO4-P dengan produktivitas primer fitoplankton (NPP) .......................................................
62
Kualitas air kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka pada bulan September dan Oktober 2007 dibandingkan dengan mutu air kelas II (metode STORET) .........................................................................................
64
10 Kualitas rataan air pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka berdasarkan katagori I (kecil), II (sedang), dan III (besar).............................................................................................................
66
4
5
6
7
8
9
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pertambangan timah di Indonesia dimulai pada abad ke-18. Sejak tahun 1815 penambangan timah di pulau Bangka dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda dan berlanjut sampai PT. Timah, Tbk. dalam pemerintahan Republik Indonesia. Kolong adalah sebutan khas dari masyarakat Bangka Belitung untuk danaudanau yang terbentuk dari bekas penambangan timah. Kolong terbentuk akibat aktifitas penambangan timah yang dilakukan dengan sistem terbuka.
Sistem
penambangan tersebut menyebabkan terbentuknya kolong dalam berbagai ukuran dan hamparan tailing. Dampaknya adalah saat pirit (FeS) sebagai bentuk umum mineral sulfida terekspos ke lingkungan bereaksi dengan oksigen dan air membentuk asam sulfida dan hidroksida besi yang bersifat asam.
Menurut
Sukandarrumidi (2007) air yang mengandung asam sulfat didapatkan di daerah yang banyak mengandung mineral pirit. Lebih lanjut dijelaskan apabila endapan bahan galian terutama yang mengandung mineral sulfida tersingkap, maka segera mengalami proses oksidasi dan dilanjutkan dengan proses pelarutan oleh air hujan. Perairan kolong sebagian berhubungan langsung dengan sungai atau laut, sehingga terjadi fluktuasi konsentrasi Fe di perairan kolong. Adanya aliran masuk yang berasal dari sungai atau laut juga mempengaruhi kandungan unsur hara di perairan kolong. Pemanfaatan kolong di Bangka Belitung untuk perikanan belum optimal. Berdasarkan data Statistik Perikanan Budidaya Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, produksi perikanan kolong tahun 2006 adalah 27,69 ton (produktivitas 3,08 ton/ha) dengan luas areal 8,98 ha dari total luas 1.712,65 ha. Produksi ikan pada perairan bekas tambang umumnya rendah (Bennet 1970). Hal ini diduga disebabkan perairan kolong memiliki ketersediaan makanan alami kurang, sehingga tidak mendukung pertumbuhan ikan. Pakan alami di perairan kolong tidak dapat tumbuh secara optimal karena kandungan unsur hara rendah dan konsentrasi mineral Fe yang tinggi. Untuk itu diperlukan manipulasi lingkungan agar kondisi perairan kolong dapat mendukung pertumbuhan pakan alami.
2
Pakan alami dalam hal ini fitoplankton dapat tumbuh secara optimal jika di perairan kolong terdapat unsur hara dalam jumlah mencukupi dan dapat dimanfaatkan
oleh
fitoplankton.
Fitoplankton
dalam
pertumbuhannya
membutuhkan unsur nitrogen dan fosfor. Di perairan alami, nitrogen dan fosfor berada dalam berbagai senyawaan.
Fosfor di perairan alami berada dalam
berbagai senyawaan terutama dengan Fe, Al, dan Ca, sedangkan kekuatan ikatannya tergantung pada nilai pH air. Amonia sebagai sumber nitrogen, selain dalam bentuk gas, juga membentuk senyawa dengan beberapa ion logam. Persentase amonia bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH. Berdasarkan hal tersebut di atas dan mengingat belum adanya informasi ekologis mengenai keadaan perairan kolong, maka perlu dilakukan kajian tentang hubungan antara kelimpahan fitoplankton dengan kualitas air yang diperlukan sebagai dasar bagi dilakukannya manipulasi lingkungan perairan kolong.
Permasalah dan Pendekatan Masalah Peranan Fe pada proses fisiologi seperti fotosintesis, respirasi, dan asimilasi nitrogen membuatnya menjadi salah satu faktor nutrien terpenting bagi pertumbuhan fitoplankton (MacKay et al. 2005) dan dalam jumlah kecil sangat dibutuhkan sebagai penyusun sitokrom dan klorofil, tetapi dalam jumlah yang berlebihan, Fe dapat menghambat fiksasi unsur lainnya (Effendi 2003). Sumber Fe di alam diantaranya adalah pirit (FeS) dan hematit (Fe2O3). Pada perairan alami, Fe berikatan dengan anion membentuk senyawa FeCl2, Fe(HCO3)2, dan Fe(SO4) (Sukandarrumidi 2007). Daerah penambangan timah banyak mengandung mineral pirit dan sufida lainnya yang teroksidasi membentuk asam sulfida sehingga perairan kolong bekas galian timah memiliki pH rendah (Abel 1989; Connell dan Miller 1995). Derajat keasaman merupakan faktor lingkungan yang mengendalikan fitoplankton dan proses pengambilan hara, keseimbangan nutrien (karbondioksida, fosfat, dan nitrogen) serta keseimbangan logam beracun. Proses oksidasi dan reduksi besi tidak melibatkan oksigen dan hidrogen, tapi biasanya melibatkan bakteri kemosintesis sebagai mediator. Bakteri ini dapat mentransfer elektron dari ion Fe2+ kepada oksigen.
Transfer elektron ini
3
menghasilkan ion Fe3+, air, dan energi bebas yang digunakan untuk sintesis bahan organik dan CO2. Pada pH 7,5–7,7, ion Fe3+ mengalami oksidasi dan berikatan dengan hidroksida membentuk Fe(OH)3 yang bersifat tidak larut dan mengendap di dasar perairan (Effendi 2003).
Dalam bentuk Fe2+, besi dapat hilang bila
terjadi pencucian air, namun bila tidak terjadi pencucian, Fe2+ akan bereaksi dengan sulfur membentuk sulfida dan senyawa-senyawa lainnya (Hardjowigeno 2003). Sulfida adalah produk sampingan reduksi sulfat dengan Fe seperti ferri sulfida dan pirit yang mengendap di sedimen (Glass 1997). Proses oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ dalam bentuk Fe(OH)3 dapat membantu menaikkan pH perairan. Pada perairan alami dengan pH sekitar 7 dan kadar oksigen terlarut yang cukup, ion Fe2+ yang bersifat terlarut dioksidasi menjadi Fe3+ yang bersifat tidak terlarut dan mengendap (Effendi 2003). Proses oksidasi besi pada perairan kolong sangat tergantung kepada sirkulasi dan waktu. Pada umumnya pH air kolong berkisar antara 4,5–7,0 dan kandungan logam beratnya sangat berkaitan dengan usia kolong dan berhubungan dengan sungai atau laut (UNSRI 1999). Kelimpahan fitoplankton berfluktuasi secara periodik, dan kelimpahannya tergantung pada unsur hara yang tersedia. Struktur komunitas fitoplankton pada perairan kolong mengalami fluktuasi tergantung pada parameter fisika kimia air. Dengan meningkatnya pH, maka fiksasi unsur hara, terutama nitrogen dan fosfor sebagai makanan fitoplankton akan meningkat sehingga produktivitas primer juga meningkat. Pada kolong terbuka atau yang mendapat aliran air masuk dan keluar terjadi fluktuasi unsur hara dan oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ sehingga dapat dijadikan sebagai indikator kandungan unsur hara sebagai pakan alami dan struktur komunitas fitoplankton. Oleh sebab itu, apabila sebaran dan kandungan Fe di perairan kolong diketahui, maka kelimpahan dan struktur komunitas fitoplankton serta kandungan unsur hara diduga dapat diketahui.
Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian adalah: 1. Mengetahui konsentrasi Fe, nitrogen, dan fosfor pada beberapa tipe kolong bekas galian timah.
4
2. Korelasi unsur nitrogen dan fosfor dengan Fe pada beberapa tipe kolong bekas galian timah. 3. Korelasi kelimpahan fitoplankton dengan unsur Fe, nitrogen, dan fosfor pada beberapa tipe kolong bekas galian timah. 4. Korelasi produktivitas primer fitoplankton dengan unsur Fe, nitrogen, dan fosfor pada beberapa tipe kolong bekas galian timah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi lingkungan di perairan kolong sebagai dasar bagi dilakukannya manipulasi lingkungan untuk kegiatan perikanan budidaya.
Selanjutnya hal tersebut
diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan pengambil kebijakan sebagai dasar perencanaan dan pemanfaatan perairan kolong.
Rumusan Hipotesa Jika konsentrasi Fe pada perairan kolong tinggi maka unsur hara yang tersedia tidak dapat digunakan secara optimal untuk pertumbuhan fitoplankton sehingga produktivitas primer fitoplankton menjadi rendah.
Algae Struktur Komunitas Fitoplankton
Manag KA
N&P ?
Fe??
KA - Unsur Hara
+
Prod Biomass Algae +
Sist. Drainage Flushing/tidak
Produktivitas Primer Fitoplankton
Resorbsi Releasing
Input
Proses
Output
Gambar 1 Diagram alir perumusan masalah
5
TINJAUAN PUSTAKA
Penambangan Timah dan Kolong Pertambangan timah di Indonesia dimulai pada abad ke-18. Sejak tahun 1815 penambangan timah di pulau Bangka dilaksanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tahun 1958 semua kegiatan penambangan timah dibawah Biro Urusan Perusahaan Tambang Timah Negara (BUPTAN) dan dibentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Tambang Timah Negara pada tahun 1961. Selanjutnya tahun 1968 direorganisasi menjadi Perusahaan Negara Tambang Timah. Timah putih berasal dari mineral Kasiterit (SnO), Stannit (Cu2FeSnS4) dan Teallit (PbSnS2). Endapan timah primer terdapat pada batuan granit, sedangkan timah sekunder berasal dari timah primer yang telah mengalami pelapukan. Apabila endapan tersingkap, maka endapan terutama yang mengandung mineral sulfida akan mengalami proses pelapukan oleh oksigen dan dilanjutkan proses pelarutan oleh air hujan (Sukandarrumidi 2007). Penambangan timah di Bangka hampir secara keseluruhan meninggalkan lahan-lahan berupa kolong darat (hamparan tailing dan over burden) serta kolong air (bekas penggalian biji timah) berukuran 10–100 hektar, dengan kedalaman lima sampai 25 meter. Permasalahannya adalah kualitas hamparan tailing serta air kolong memiliki derajat keasaman yang tinggi (pH rendah), kandungan mikroba dan unsur hara yang rendah, serta adanya mineral-mineral berat terlarut (Geotek LIPI 2003). Sistem penambangan timah dapat dikelompokkan menjadi empat cara, yaitu : (1) tambang dengan tenaga manusia (manual mining), (2) tambang semprot (hydraulic mining), (3) kapal keruk darat (dredging mining), dan (4) tambang terbuka (open pit mining).
Dampak dari sistem penambangan tersebut
menyebabkan terjadinya kolong dengan berbagai ukuran dan dimensi, baik yang berhubungan langsung dengan sungai dan laut ataupun tidak berhubungan langsung (UNSRI 1999). Bennet (1970) menjelaskan beberapa ”lubang” bekas galian gravel, batu kapur, batubara, atau deposit mineral permukaan lainnya yang dibuat oleh manusia kadang dipenuhi oleh air tanah dan diisi dengan ikan.
7
Pemanfaatan kolong sendiri tergantung dari kondisi masing-masing kolong. Ada dalam kolong dapat merupakan campuran dari air hujan dan air tanah, air sungai, atau air laut.
Usia kolong sangat berpengaruh terhadap
ketersediaan nutrien, karena biasanya berkaitan dengan seberapa kaya kehidupan biota dan mikroorganisme di kolong tersebut. Menurut survei tahun 1998/1999 yang dilakukan tim dari Universitas Sriwijaya atas permintaan PT Timah, terdapat sebanyak 887 kolong dengan luas keseluruhan 1.712,65 ha dan rata-rata kedalaman 9,5 meter di Bangka Belitung, yaitu 544 kolong di Bangka (luas 1.035,51 ha) dan 343 kolong lainnya di Belitung (677,14 ha). Pada musim kemarau, 90 persen dari total kolong atau 789 buah dimanfaatkan masyarakat untuk mandi dan mencuci, terutama kebutuhan air minum. Pada keadaan normal, 21,31 persen atau 189 kolong dimanfaatkan untuk mandi, mencuci, sumber air minum, rekreasi, perikanan, dan industri.
Besi
Dibandingkan dengan makronutrien (C, N, dan P), mikronutrien (Fe, Zn, Mn, Cu, Ni, dan Co) dibutuhkan dalam jumlah kecil untuk mendukung proses metabolisme sel (McKay et al. 2004). Besi termasuk salah satu unsur esensial dan berperan sebagai penyusun sitokrom dan klorofil bagi tumbuhan akuatik. McKay et al. (2005) menjelaskan besi berperan pada proses fisiologi seperti fotosintesis, respirasi, dan asimilasi nitrogen sehingga menjadi salah satu faktor nutrisi terpenting bagi pertumbuhan fitoplankton. Pada alga, besi berperan dalam sistem enzim dan transfer elektron pada proses sintesis, namun dalam kadar berlebihan dapat menghambat fiksasi unsur lainnya. Pada perairan alami, besi berikatan dengan anion membentuk senyawa FeCl2, Fe(HCO)3 dan Fe(SO4). Pada perairan tawar, besi oksida dibentuk oleh reaksi kimia besi dengan oksigen terlarut dalam air.
Selanjutnya besi oksida akan
menyerap fosfor dan menjebaknya dalam sedimen. Hal ini menyebabkan terbatasnya ketersediaan fosfor di air (Glass 1997).
Blomqvist (2004)
menjelaskan bahwa pada danau anoksik, fosfat umumnya diendapkan oleh Fe sebelum mencapai lapisan oksik di atasnya. Fe juga mempengaruhi kemampuan organisme untuk mengasimilasi nitrat, baik sebagai co-faktor yang berkaitan dengan enzim atau reduktan (Robert et al. 2004).
8
Pirit (FeS) adalah bentuk umum mineral sulfida, sebagai mineral ikutan, timah termasuk mineral gangue (bagian dari asosiasi mineral yang membentuk batuan dan bukan mineral bijih didalam suatu jebakan). Mineral gangue bijih timah terdapat dalam bentuk kaolin dan pasir kuarsa (Sukandarrumidi 2007). Berdasarkan proses geologinya, mineral gangue diendapkan terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh mineral oksida dan yang paling akhir mengkristal adalah mineral sulfida. Pirit yang terekspos ke lingkungan akan bereaksi dengan oksigen dan air membentuk asam sulfida dan hidroksi besi menghasilkan acid main drainage. Kondisi asam dimulai saat mineral besi sulfida diekspos dan bereaksi dengan oksigen dan air. Faktor lain yang mempengaruhi oksidasi mineral sulfida adalah suhu, pH, keseimbangan besi ferri dan ferro, dan aktivitas mikrobiologi, khususnya Thiobacillus ferrooxidan. Aliran asam ditandai oleh pH rendah dan tingginya konsentrasi logam berat terlarut (sulfur mudah melarutkan logam Fe, Cu dan Al).
Fosfor Fosfor merupakan unsur essensial bagi pertumbuhan sehingga menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan.
Fosfor dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
produktivitas seluruh ekosistem. Fosfor pada umumnya sering menjadi nutrien pembatas pada air tawar (Glass 1997). Fosfor ditemukan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat di perairan. Ortofosfat merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat yang paling sederhana dan dapat dimanfaatkan secara langsung oleh alga (Boyd 1988). Alga tidak dapat memanfaatkan fosfor yang berikatan dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob karena bersifat mengendap (Jeffries dan Mills 1996). Tinggi rendahnya kandungan fosfat dalam perairan merupakan pendorong terjadinya dominasi fitoplankton tertentu, yaitu perairan dengan kandungan fosfat rendah (0,00–0,02 ppm) akan didominasi oleh Diatom; pada kadar sedang (0,02–
9
0,05 ppm) didominasi oleh Chlorophyta dan pada kadar tinggi (lebih dari 0,10 ppm) didominasi oleh jenis Cyanophyta (Liaw 1969).
Nitrogen Gas nitrogen, nitrat, nitrit, amonium, amonia, dan bentuk nitrogen organik adalah bentuk nitrogen dalam air (Boyd 1992).
Nitrogen tidak dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik dan harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi amonia (NH3), amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Namun beberapa jenis Cyanophyta dapat memanfaatkan gas N2 secara langsung dari udara (Effendi 2003). Nutrien anorganik utama yang paling dibutuhkan fitoplankton bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan adalah nitrogen dalam bentuk nitrat (Nybakken 1988). Namun untuk memanfaatkan nitrat, dibutuhkan penambahan energi dengan adanya enzim nitrat reduktase (Goldman dan Horne 1983). Senyawa-senyawa nitrogen dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut, nitrogen berubah menjadi ammonia saat oksigen terlarut rendah, sebaliknya berubah menjadi nitrat saat oksigen terlarut tinggi.
Fitoplankton Fitoplankton merupakan golongan plankton tumbuhan yang melayang dalam air dan tidak mampu menahan arus (Barnes 1980). Lebih lanjut dijelaskan bahwa fitoplankton mampu hidup di perairan atau mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan perairan sebagai media fitoplankton berada, terutama pada perairan yang tenang seperti kolam, danau, dan waduk. Menurut Welch dan Lindell (1980), fitoplankton yang hidup di air tawar terdiri dari lima kelompok besar yaitu fillum Cyanophyta, Chlorophyta, Chrysophyta, Pyrrophyta, dan Euglenophyta.
Setiap jenis fitoplankton yang
berada dalam lima kelompok besar tersebut mempunyai respon yang berbedabeda terhadap kondisi perairan, khususnya unsur hara makronutrien dan mikronutrien, sehingga komposisi jenis fitoplankton bervariasi dari satu tempat ke tempat lain.
10
Sebagaimana
organisme
lainnya,
pertumbuhan
dan
perkembangan
fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungannya. Faktor fisika-kimia air dan tipe komunitas perairan merupakan faktor yang sangat menentukan. Cahaya matahari dan suhu merupakan kebutuhan fisiologis untuk pertumbuhan, sedangkan sejumlah unsur hara tertentu berperan terhadap kelimpahan fitoplankton (Goldman dan Horne 1983). Dominasi beberapa jenis fitoplankton pada perairan tergantung kepekaan fitoplankton tersebut terhadap faktor-faktor lingkungan.
Produktivitas Primer Fitoplankton merupakan produsen primer terpenting dalam ekosistem perairan.
Salah satu peran fitoplankton di perairan adalah mengubah zat-zat
anorganik menjadi organik dengan bantuan cahaya matahari melalui proses fotosintesis yang hasilnya disebut produksi primer.
Produktivitas primer
merupakan sumber pokok energi bagi proses metabolik yang terjadi dalam biosfer. Di ekosistem akuatik, sebagian besar produktivitas primer dilakukan oleh fitoplankton (Wetzel 2001). Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai produktivitas primer adalah cahaya matahari, suhu, ketersediaan unsur hara, dan gas-gas terlarut (Odum 1993). Reaksi fotosintesis secara sederhana (Wetzel 2001) dapat diringkas dalam persamaan umum sebagai berikut: cahaya 6C02 + 12 H20
C6 H12 06 + 6 H20 + 6 02 pigmen receptor
Dalam proses ini energi cahaya diserap oleh pigmen fotosintetik terutama klorofil dan dengan adanya CO2, air dan zat hara akan dihasilkan senyawa organik yang mempunyai potensi kimiawi yang tinggi dan disimpan dalam sel. Potensi energi ini kelak dapat digunakan oleh tumbuhan untuk respirasi, pertumbuhan, dan berbagai proses fisiologi lainnya (Nybakken 1988). Dalam pengukuran produktivitas primer di perairan ada beberapa metode yang dapat digunakan, salah satu diantaranya metode oksigen botol gelap-botol
11
terang. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan kandungan oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi contoh air setelah diinkubasi dalam jangka waktu tertentu pada perairan yang mendapat sinar matahari. Pada botol terang terjadi proses fotosintesis dan respirasi, sedangkan dalam botol gelap terjadi respirasi. Dengan asumsi bahwa respirasi dalam ke dua botol itu sama, maka perbedaan kandungan oksigen pada botol terang dan botol gelap pada akhir percobaan menujukkan produktivitas primer kotor. Perbedaan antara kandungan oksigen pada botol terang dan botol awal yang tidak diinkubasi, menunjukkan produktivitas bersih. Satuan produktivitasnya masih dalam oksigen per satuan waktu.
Produktivitas dalam satuan karbon kemudian dijabarkan dengan
menggunakan faktor koreksi (Boyd 1981). Berdasarkan tingkat kesuburannya, perairan tergenang (Effendi 2003), termasuk kolong dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Oligotrofik, yaitu perairan dengan produktivitas primer dan biomass rendah. Unsur hara nitrogen dan fosfor rendah serta jenuh dengan oksigen. b.
Mesotrofik, yaitu perairan dengan produktivitas primer dan biomass sedang. Perairan ini merupakan peralihan antara oligotrofik dan eutrofik.
c. Eutrofik, perairan dengan unsur hara dan produktivitas primer tinggi. d. Hiper-eutrofik, perairan dengan unsur hara dan produktivitas primer sangat tinggi. Pada perairan ini, terjadi kondisi anoksik pada lapisan hipolimnion. e. Distrofik, yaitu jenis perairan yang banyak mengandung bahan organik. Pengelompokan status tingkat kesuburan (trofik) suatu perairan tergantung dari beberapa parameter, diantaranya adalah kandungan klorofil, kecerahan air, laju penurunan oksigen, kandungan hara, densitas alga, dan spesies indikator (Seller dan Markland 1987). Berdasarkan ketentuan Welch dan Lindell (1980), perbandingan antara P dan N dapat menentukan tingkat kesuburan suatu perairan. Perairan eutrofik dicirikan oleh rasio N/P lebih kecil dari 16/1, sedangkan perairan oligotrofik rasio N/P lebih besar atau sama dengan 16/1. Selain itu Reynolds (1984) mengemukakan pula bahwa, jika rasio N/P lebih besar dari 15/1, maka perairan dibatasi oleh unsur P, sedangkan rasio N/P lebih kecil dari 15/1 maka perairan dibatasi unsur N.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di desa Pemali Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tanggal 7 September 2007 sampai tanggal 30 Oktober 2007.
Pengamatan dilakukan setiap minggu sekali
selama 6 minggu terhadap tiga stasiun pengambilan contoh air. Stasiun pengamatan I (kolong Wasere) terletak pada 01053118211 LS dan 106003123711 BT berumur sekitar 15 tahun (usia lebih dari 10 tahun dan bersifat tertutup) dengan luas sekitar 1,6 ha (Gambar 2). Secara umum kondisi perairan ini banyak ditumbuhi vegetasi baik di dalam air atau sempadan, berada di pinggir jalan serta dekat dengan pemukiman.
Kolong Wasere sudah dimanfaatkan
sebagai sumber air unit Pusat Pengolahan Bijih Timah Wasprod Sungailiat dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan milik PT. Timah Tbk. Selain itu, kolong ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk air minum, mandi, dan mencuci, terutama saat musim kemarau.
Gambar 2 Kolong Wasere Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Stasiun II (kolong Open Pit) terletak pada 01053118111 LS dan 106002182811 BT adalah bekas areal pertambangan terbuka yang cukup dalam (open pit) hingga 60 meter dan mulai digenangi air sejak tahun 1999 (kolong muda, usia kurang dari
13
10 tahun dan bersifat terbuka) dengan luas sekitar 10,25 ha (Gambar 3). Kondisi umum stasiun II adalah berair jernih, vegetasi pada badan air dan sempadan belum banyak, malah pada kawasan sempadan dan sekitarnya dipakai lagi untuk aktivitas pertambangan rakyat dengan limbah pencucian yang langsung dibuang pada kolong tersebut.
Gambar 3 Kolong Open Pit Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Stasiun III (kolong Dam Keramat) terletak pada 01051174211 LS dan 106004117011 BT berumur lebih dari 10 tahun dan bersifat terbuka dengan luas sekitar 20,4 ha (Gambar 4). Secara umum kondisi kolong ini banyak ditumbuhi vegetasi baik di dalam air atau sempadan kolong dan dekat dengan pemukiman dan lahan pertanian. Kolong ini sudah dimanfaatkan sebagai sumber air minum oleh Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Bangka dan Balai Benih Ikan Sentral Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Selain itu, kolong ini juga
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk air minum, mandi dan cuci terutama saat musim kemarau. Penelitian ini menggunakan metode survei, yaitu pengamatan, pengambilan sampel di lapangan (perairan kolong), sedangkan analisa dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (ProLing) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
14
Gambar 4 Kolong Dam Keramat Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Penentuan Stasiun Penelitian Unsur hara kolong sangat tergantung pada usia dan tipe kolong (Unsri 1999). Penentuan stasiun pengamatan didasarkan pada usia dan tipe kolong. Stasiun I mewakili kolong tua tertutup, stasiun II mewakili kolong muda terbuka dan stasiun III mewakili kolong tua terbuka. Secara operasional penempatan titik pengambilan contoh sampel air dan fitoplankton dilakukan pada bagian kolong yang tidak mengalami surut atau kering saat musim kemarau.
Adapun
pengambilan sampel air dilakukan dengan cara spasial, yaitu mencampur sampel air permukaan dan sampel air dasar untuk dianalisa. Contoh Air Pengambilan Contoh Air Penelitian direncanakan dilakukan pada waktu proses fotosintesis fitoplankton aktif berlangsung. Pengambilan contoh dilakukan satu minggu sekali selama 6 (enam) minggu. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah contoh air dan spesimen fitoplankton yang diambil dari tiap stasiun atau kolom air yang telah ditentukan. Alat untuk mengambil contoh air adalah pompa celup ”Showflow” dengan maksimum flow 0.2 m3/menit.
Contoh air tersebut dibagi menjadi beberapa
15
bagian untuk analisis fitoplankton dan produktivitas primer, serta analisis fisikakimia air seperti pada Tabel 1. Perlakuan Terhadap Contoh Air Untuk menghindari terjadinya perubahan pada contoh air, maka contoh air yang akan dianalisis di laboratorium disimpan pada cool box yang berisi es. Contoh air untuk analisis fisika-kimia dibagi dalam 3 (tiga) botol sampel masingmasing berukuran 300 ml dengan distribusi sebagai berikut: (1) 300 ml contoh air diberi pengawet asam sulfat 90% untuk analisa total Fe, nitrat, amoniak, dan COD; (2) 300 ml diberi pengawet HgCl untuk analisa ortofosfat dan nitrit; (3) 300 ml tanpa diberi pengawet untuk analisa TDS, alkalinitas, DHL, dan kesadahan. Untuk fitoplankton, contoh air yang diambil sebanyak 50 liter disaring menggunakan jaring plankton 35 µm.
Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Unsri (1999), perairan kolong dinyatakan termasuk tipe oligotropik, sehingga sampel air yang diambil sebanyak 50 liter.
Contoh
fitoplankton disimpan dalam botol berkapasitas 10 ml dan diawetkan dengan larutan Lugol (1,0%) sampai berwarna seperti larutan teh tua (± 6 tetes), kemudian disimpan dalam kantong berwarna hitam dan selanjutnya dihitung dan diidentifikasi menggunakan mikroskop di laboratorium.
Stasiun III
LETAK STASIUN PENELITIAN PADA TIGA KOLONG DI KECAMATAN PEMALI KABUPATEN BANGKA
Stasiun II
Stasiun I
Oleh: Robani Juhar/C 151050121
Sumber: Diolah Google Map
Gambar 5 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bangka (diolah dari Google map)
16
Analisis Contoh Air (Parameter Fisika-Kimia) Parameter yang diukur, metode, dan peralatan yang digunakan disajikan pada Tabel 1. Teknik analisis pengukuran contoh air mengikuti petunjuk APHA (1998). Parameter seperti suhu, kecerahan, pH, oksigen terlarut diukur secara insitu, sedangkan parameter kualitas air lainnya dianalisis di laboratorium. Analisis Contoh Fitoplankton Identifikasi dan klasifikasi contoh fitoplankton mengikuti petunjuk Davis (1955).
Untuk mendapatkan gambaran karakteristik struktur komunitas
fitoplankton pada perairan kolong dilakukan pendekatan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif.
Pendekatan kuantitatif adalah pendekatan analisis dengan
mengamati komposisi jenis tertentu yang dominan dan kelimpahan sel. Pendekatan secara kualitatif (indeks biologi) yaitu dengan melakukan kalkulasi terhadap komponen tertentu dari struktur komunitas fitoplankton yang diamati. Tabel 1 Parameter-parameter, metode dan alat yang digunakan dalam analisis kualitas air selama penelitian di perairan kolong Parameter FISIKA Suhu Daya Hantar Listrik Kecerahan TDS KIMIA pH Total Fe
Satuan 0
C μmhos/cm cm mg/I mg/l
Metode
Alat
Pembacaan Skala Potensial elektron Penetrasi Cahaya Gravimetrik
Termometer Conductivitymeter Secchi disk Peralatan gravimetrik
In situ Laboratorium In situ Laboratorium
pH meter
In situ
Spektrofotometer
Laboratorium
Potensiometrik elektroda hidrogen Phenanthroline
Lokasi
Alkalinitas
mg/l CaCO3
Titrimetrik
Peralatan titrasi
In situ
Kesadahan Nitrat-N Nitrit-N Amoniak-N Ortofosfat-P DO COD BIOLOGI Kelimpahan Fitoplankton Biomass (Chl-a) Produktivitas Primer
mg/l CaCO3 mg/I mg/I mg/l mg/I mg/l mg/l
Titrimetrik Brusin Sulfat Sulfanilik Phenate Ascorbic Molybdat Titrimetrik COD Reaktor
Peralatan titrasi Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Peralatan titrasi Spektrofotometer
Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium In situ Laboratorium
sel/l
Identifikasi dan Pencacahan Klorofil-a Botol Gelap Botol Terang
Mikroskop
Laboratorium
Spektrofotometer Buret
Laboratorium In situ
mg/l mgC/m2/jam
17
Kelimpahan Sel Fitoplankton Kelimpahan plankton dinyatakan dalam jumlah sel per liter. Penentuan kelimpahan
sel
dilakukan
dengan
menggunakan
metode
Lackey
drop
microtransect counting (modifikasi APHA 1998) dengan persamaan sebagai berikut: N = n x A/B x C/D x 1/E Keterangan : N = jumlah total fitoplankton (sel/l) n = jumlah rataan total individu per lapang pandang A = luas gelas penutup (1.000 mm2) B = luas satu lapang pandang (20 mm2) C = volume air terkonsentrasi (30 ml) D = volume air satu tetes (1 ml) dibawah gelas penutup E = volume air yang disaring (50 ml) Indeks Keanekaragaman Untuk menganalisis keragaman (diversitas) fitoplankton digunakan indeks keragaman Shannon-Weaver. Indeks keragaman Shannon-Weaver adalah suatu perhitungan matematik yang menggambarkan analisis mengenai jumlah individu dalam setiap spesies, jumlah macam spesies serta total individu yang ada dalam suatu komunitas. Keragaman adalah keheterogenan yang terdapat pada genera dari individu yang diambil secara acak dari suatu populasi. Semakin banyak terdapat jenis, maka semakin besar pula keheterogenannya.
Besar indeks
keragaman (H’) dirumuskan sebagai berikut (Wilhm dan Dorris 1968 diacu dalam Mason 1980): H’ =
n - Σ pi log pi i=l
Keterangan : H’ Pi Ni N
= Indeks Keragaman Shannon-Weaver = ni/N = jumlah individu jenis ke-i = Jumlah total individu
Nilai H’ dengan kriteria: H’ ≤ 2,3062
: keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas rendah
2,3062 ≤ H’ ≥ 6,9078 : keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas sedang H’ ≥ 6,9078
: keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas tinggi
18
Indeks Keseragaman (Ekuitabilitas) Indeks ini memberikan gambaran keseragaman sebaran individu dari jenis fitoplankton dalam suatu komunitas. Perhitungan indeks keseragaman (Odum 1971) adalah sebagai berikut: E
=
H’ H’ maks
Keterangan:
E H’ H’ maks S
= indeks keseragaman = indeks keragaman Shannon-Weaver = ln S = jumlah spesies
Nilai keseragaman suatu populasi (E) berkisar antara 0,0 sampai 1,0. Semakin kecil nilai E (mendekati 0,0), akan semakin kecil keseragaman suatu populasi.
Berarti penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama, ada
kecenderungan terjadi dominansi oleh jenis-jenis tertentu. Semakin besar nilai E (mendekati 1,0), menunjukkan keseragaman populasi yang tinggi, jumlah individu setiap jenis dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda. Indeks Dominasi Indeks dominasi dihitung berdasarkan Indeks Simpson diacu dalam Legendre dan Legendre (1983), yang diaplikasikan untuk menganalisis komunitas fitoplankton di perairan kolong, yaitu dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut: C = Σ [ni / N] 2 Keterangan:
C ni N
= indeks dominasi Simpson = jumlah individu jenis ke-i = jumlah total individu
Indeks dominasi (C) berkisar antara 0 - 1 dengan kriteria sebagai berikut: Jika nilai C mendekati 0,0 maka tidak ada spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya dalam komunitas fitoplankton yang diamati. Hal ini menunjukkan struktur komunitas dalam keadaan stabil.
Tetapi bila nilai C
mendekati nilai 1,0 maka ada spesies yang mendominasi spesies lainnya dalam
19
struktur komunitas fitoplankton.
Hal ini menunjukkan struktur komunitas
fitoplankton dalam keaadan labil (Odum 1971). Hubungan indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominasi (C) adalah apabila nilai H’ tinggi berarti nilai E rendah dan tidak ada spesies yang mendominasi spesies lainnya (C rendah), demikian juga sebaliknya. Biomassa fitoplankton Biomassa diartikan sebagai banyaknya kloroplas per satuan luas atau volume pada saat tertentu (Wetzel 2001).
Selain itu akumulasi fitoplankton
merupakan produk akhir pertumbuhan fitoplankton yang ditentukan dengan laju produksi biomassa. Pengukuran biomassa dinyatakan dalam jumlah miligram klorofil-a per detik.
Untuk analisis biomassa fitoplankton menggunakan
formulasi dari Vollenweider (1974) sebagai berikut: V 1000 Klorofil-a (μg/l) = 11,9 (A665 – A 750) x -- x ------L S Keterangan: A665 A750 V L S
= Absorban pada panjang gelombang 665 nm = Absorban pada panjang gelombang 750 nm = Ekstraksi aseton (ml) = Panjang lintasan cahaya pada kuvet (cm) = Volume contoh air yang disaring (l)
Produktivitas Primer Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan menggunakan metode botol gelap-botol terang. Berhubung kecerahan pada ketiga kolong sampai dasar perairan, maka botol terang dan gelap yang digunakan pada penelitian ditempatkan sekitar 20 cm di atas dasar perairan. Dalam metode ini yang diukur adalah perubahan kandungan oksigen dengan menggunakan dua buah botol yang identik. Sebuah botol sepenuhnya tembus cahaya (bening), sedangkan botol yang lain tidak tembus cahaya (gelap). Perhitungan produktivitas primer dilakukan menurut persamaan sebagai berikut (Umaly dan Cuvin 1988):
20
[ (O2 BT) – (O2 BG)] (1000) x 0,375 Fotosintesis kotor = ------------------------------------------(mg C/m3/jam) (PQ)(t) [ (O2 BT) – (O2 BA)] (1000) x 0,375 Fotosintesis bersih = ------------------------------------------(mg C/m3/jam) (PQ)(t) Keterangan : O2 = oksigen terlarut (mg/1) BT = botol terang BG = botol gelap BA = botol awal (initial) PQ = Hasil bagi fotosintesis (1,2) T = lama inkubasi (jam) x 1000 = konversi liter menjadi m3 0,375 = koefosien konversi oksigen menjadi karbon (12/32) PQ adalah perbandingan oksigen terlarut yang dihasilkan dengan CO2 yang digunakan melalui proses fotosintesis. Menurut Ryter (1965) dalam Parson et al. (1984) PQ adalah 1,1 – 1,3 untuk organisme yang memiliki klorofil. Nilai 1,2 diperoleh dengan asumsi bahwa dalam proses fotosintesis didominasi oleh fitoplankton. molekul O2 yang dibebaskan selama fotosintesis PQ adalah quotient fotosintetik = --------------------------------------------------------molekul CO2 yang diasimilasikan RQ adalah quotient respirasi
molekul CO2 yang dilepas selama respirasi = --------------------------------------------------molekul O2 yang dikonsumsi
Nilai PQ dan RQ untuk masing-masing jenis fitoplankton berbeda-beda. Rata-rata nilai PQ dan RQ untuk semua jenis fitoplankton adalah PQ = 1,2 dan RQ = 1,0 dengan asumsi bahwa aktivitas metabolisme sebagian besar disebabkan oleh komunitas fitoplankton. Produktivitas sebagai laju produksi, secara umum dilaporkan dalam satuan gram C per meter persegi per hari. Produksi kotor atau bersih dihitung untuk setiap kedalaman. = mg C/m2 = mg O2/liter x 12 x 1000 32
21
Produktivitas satu meter persegi kolom air ditentukan oleh potongan dari setiap pencahayaan kedalaman dan secara grafik dengan.mengintegrasikan area menurut kurva produktivitasnya. Analisis Data Analisis Deskriptif Gambaran mengenai struktur komunitas dan kelimpahan fitoplankton dan populasi fitoplankton disajikan dalam bentuk tabel.
Demikian pula dengan
konsentrasi nitrogen, fosfor serta beberapa parameter fisika-kimia air lainnya. Rataan dan hasil pengukurannya disajikan dalam satu tabel dan grafik. Analisis Statistik Untuk mengetahui hubungan fungsional atau keterkaitan antara unsur hara dengan kelimpahan fitoplankton dan produktivitas primer antar stasiun pengamatan, dilakukan analisis korelasi dan regresi linier berganda (Steele dan Torrie 1980). Analisis data dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan program MINITAB versi 14 dan Microsoft office excel 2003. Sebagai peubah bebas, kualitas kimia air (Xi) dan sebagai peubah terikat, kelimpahan dan produktivitas primer fitoplankton (Yi). Persamaan fungsi regresinya adalah sebagai berikut: Yi = ß0 + ß 1 X1 + ß 2 X2i + …..+ ß n Xn + €i Sebagai penduganya Y = b0 + b1 X1 + b2 X2 + …… + bn Xn Keterangan : Y X1, X2, X3 b0 b1, b2, b3
= Kelimpahan/produktivitas primer fitoplankton. = Peubah-peubah bebas (Fe, N (NO2-N, NO3-N, NH3-N) dan PO4-P) = Interseps = Koefisien regresi
Selanjutnya dilakukan telaah dengan sidik ragam regresi, kemudian untuk mengetahui faktor-faktor yang memberikan pengaruh, maka dilakukan uji terhadap nilai koefisien regresi (ß) dari masing-masing peubah yang mempengaruhi dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut :
22
H0 : ß1 = ß2 = 0
tidak ada pengaruh linier antara Fe, nitrogen (nitrat, nitrit, ammonium)
dan
ortofosfat
dengan
kelimpahan
dan
produktivitas primer fitoplankton H0 : ß1 ≠ ß2 ≠ 0
ada pengaruh linier antara Fe, nitrogen (nitrat, nitrit, ammonium)
dan
ortofosfat
dengan
kelimpahan
dan
produktivitas primer fitoplankton Jika F-hitung lebih besar dari t-tabel berarti tolak H0 dan terima H1, sebaliknya jika F-hitung lebih kecil dari t-tabel berarti terima H0 dan tolak H1. Nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui besarnya peranan dari peubah X terhadap Y, nilai R2 berkisar antara 0,0 – 1,0. Jika nilainya lebih besar dari 0,5 atau mendekati 1,0, maka dapat diartikan bahwa X memiliki peranan yang besar terhadap Y.
HASIL DAN PEMBAHASAN Unsur Hara Fitoplankton membutuhkan unsur hara makro dan mikro untuk mendukung pertumbuhannya. Besi (Fe) sebagai salah satu unsur hara mikro dalam jumlah kecil berperan dalam sistem enzim dan transfer elektron pada proses sintesis pada alga, namun dalam jumlah berlebihan dapat menghambat fiksasi unsur lainnya.
Besi
oksida akan menyerap fosfor dan menjebaknya dalam sedimen sehingga menyebabkan terbatasnya ketersediaan fosfor di air (Glass 1997).
Besi juga
mempengaruhi kemampuan organisme untuk mengasimilasi nitrat, baik sebagai cofaktor yang berkaitan dengan enzim atau reduktan (Robert et al. 2004). Sebaliknya, nitrogen dan fosfor merupakan unsur hara makro utama yang paling dibutuhkan sehingga sering menjadi faktor pembatas. Unsur hara nitrogen yang dibutuhkan fitoplankton adalah NO2-N, NO3-N, dan NH3-N, sedangkan fosfor dalam bentuk ortofosfat (PO4-P). Unsur hara yang diperoleh selama pengamatan pada tiga stasiun dapat dilihat pada Tabel 2.
Total Fe Konsentrasi Fe tertinggi (dalam bentuk total Fe) yang diperoleh dari tiga stasiun pengamatan terdapat pada stasiun I periode 6 yaitu 0,902 mg/l, sedangkan terendah terdapat pada stasiun II periode 3 yaitu sebesar 0,024 mg/l. Hasil rataan pengukuran total Fe antara ketiga stasiun pengamatan tertinggi pada stasiun I yaitu 0,413 mg/l dan terendah pada stasiun II yaitu 0,268 mg/l (Tabel 2). Kisaran nilai ini hampir sama bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badri (2004) di Dabo Singkep dengan nilai total Fe berkisar 0,12 – 0,50 mg/l. Jika dicermati pola Fe pada tiga stasiun pengamatan menunjukkan karakter yang relatif berbeda. Konsentrasi total Fe pada kolong tertutup (stasiun I) cenderung lebih besar dibandingkan dengan kolong terbuka (stasiun II dan III). Hal ini diduga erat kaitannya dengan tingginya konsentrasi Fe terlarut (Fe2+).
Konsentrasi Fe
terlarut tinggi adalah akibat rendahnya alkalinitas pada stasiun I (4,078 mg/l) bila
24
dibandingkan dengan stasiun II (18,320 mg/l) dan stasiun III (10,745 mg/l) (Lampiran 4).
Pada daerah yang selalu tergenang, senyawa Fe biasanya dalam
bentuk terlarut (Fe2+) (Hardjowigeno 2003). Lebih lanjut dijelaskan Wetzel (2001) bahwa air dengan konsentrasi bicarbonat sangat rendah (soft water) umumnya mengandung konsentrasi Fe2+ lebih tinggi. Fe2+ memberi kontribusi besar terhadap Fe terlarut pada danau dimana oksidasi ulang Fe2+ terjadi saat Cl- dan SO4- lebih sedikit dan kontribusi hidroksi terhadap oksidasi Fe2+ proporsional dengan [OH-]2 (MacKay et al. 2004). Tabel 2 Kandungan total Fe, nitrogen, dan fosfor per periode di tiga kolong Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Periode (ulangan ke-) 1 2 3 I 4 5 6 Rataan 1 2 3 II 4 5 6 Rataan 1 2 3 III 4 5 6 Rataan
Stasiun
Fe (mg/l) 0,121 0,244 0,341 0,456 0,411 0,902 0,413 0,141 0,248 0,024 0,439 0,487 0,268 0,268 0,146 0,251 0,390 0,317 0,215 0,381 0,283
Nitrogen (mg/l) NO2-N 0,010 0,195 0,022 0,010 0,000 0,027 0,044 0,002 0,049 0,009 0,005 0,024 0,086 0,029 0,010 0,195 0,018 0,008 0,032 0,081 0,057
NO3-N 0,043 0,016 0,135 0,089 0,631 0,342 0,209 0,013 0,046 0,099 0,082 0,237 0,196 0,112 0,013 0,013 0,105 0,053 0,152 0,359 0,116
NH3-N 0,015 0,037 0,027 0,014 0,012 0,004 0,018 0,006 0,053 0,028 0,000 0,014 0,009 0,018 0,004 0,053 0,039 0,021 0,031 0,012 0,027
DIN 0,068 0,249 0,184 0,113 0,643 0,373 0,272 0,021 0,148 0,136 0,087 0,274 0,291 0,160 0,027 0,261 0,162 0,081 0,214 0,452 0,200
PO4-P (mg/l) 0,044 0,263 0,170 0,125 0,350 0,153 0,184 0,204 0,131 0,220 0,326 0,041 0,074 0,166 0,023 0,841 0,520 0,213 0,815 0,217 0,438
25
DIN (Dissolved Inorganic Nitrogen) Nitrogen inorganik terlarut di perairan terdiri dari nitrit-nitrogen (NO2-N), nitrat-nitrogen (NO3-N), dan amomonia-nitrogen (NH3-N). Konsentrasi DIN yang diperoleh dari ketiga stasiun pengamatan tertinggi terdapat pada stasiun I periode 5 yaitu 0,643 mg/l, sedangkan terendah terjadi pada stasiun II periode yaitu 0,021 mg/l. Hasil rataan pengukuran DIN antara ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 0,160 – 0,272 mg/l. Tertinggi pada stasiun I yaitu sekitar 0,272 mg/l dan terendah pada stasiun II yaitu 0,160 mg/l (Tabel 2). Tingginya nilai DIN ini diduga karena adanya sumbangan yang besar dari nitrat (NO3-N) sebagai salah satu penyusun DIN. Kelarutan NO3-N merupakan penyumbang utama masuknya nitrogen pada badan air tawar (Mason 1980). Lebih lanjut dijelaskan bahwa ada korelasi antara penggunaan pupuk N dengan konsentrasi rataan tahunan N pada sungai. Konsentrasi rataan DIN yang bervariasi selama pengamatan di ketiga stasiun (I, II dan III) diduga terjadi karena ketiga kolong memiliki karakter yang berbeda. Stasiun I merupakan kolong berusia lebih dari 10 tahun dan tertutup (tidak memiliki inlet dan outlet) sehingga bahan organik dan inorganik banyak yang tertahan; stasiun II merupakan kolong berusia kurang dari 10 tahun dan terbuka (memiliki inlet dan outlet) serta stasiun III adalah kolong berusia lebih dari 10 tahun dan terbuka. Kondisi ini diduga menyebabkan unsur hara yang terdapat pada stasiun II dan III ikut keluar seiring dengan keluarnya air kolong. Hal ini terlihat dari nilai DIN yang jumlah konsentrasinya lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi total DIN pada stasiun I. Nitrogen Nitrit (NO2-N) Konsentrasi nitrogen nitrit (NO2-N) yang diperoleh dari ketiga stasiun pengamatan tertinggi terjadi pada stasiun I periode 2 dan stasiun III periode 2 yaitu 0,195 mg/l, sedangkan terendah terjadi pada stasiun I periode 5 sebesar 0,000 mg/l. Sedangkan hasil rataan pengukuran NO2-N antara ketiga stasiun pengamatan berkisar 0,029 – 0,057 mg/l. Tertinggi pada stasiun III yaitu sekitar 0,057 mg/l dan terendah pada stasiun II yaitu 0,029 mg/l (Tabel 2).
26
Jika dicermati pola NO2-N pada tiga stasiun pengamatan menunjukkan karakter yang relatif berbeda.
Konsentrasi NO2-N pada kolong tua (stasiun I dan III)
cenderung lebih besar dibandingkan dengan kolong muda (stasiun II). Nitrogen Nitrat (NO3-N) Konsentrasi nitrogen nitrat (NO3-N) yang diperoleh dari ketiga stasiun pengamatan tertinggi terjadi pada stasiun I periode 5 yaitu 0,631 mg/l, sedangkan terendah terjadi pada stasiun II periode 1 dan III periode 1 dan periode 2 yaitu sebesar 0,013 mg/l. Sedangkan hasil rataan pengukuran NH3-N antara ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 0,112 – 0,209 mg/l. Tertinggi pada stasiun I yaitu sekitar 0,209 mg/l dan terendah pada stasiun II yaitu 0,112 mg/l (Tabel 2). Jika dicermati pola NO3-N pada tiga stasiun pengamatan menunjukkan karakter yang relatif berbeda. Konsentrasi NO3-N pada kolong tertutup (stasiun I) cenderung lebih besar dibandingkan dengan kolong terbuka (stasiun II dan III). Hal ini diduga perairan kolong tersebut juga mendapatkan input nitrat dari dari tanah pertanian, air tanah, dan limbah (Reynold 1984). Nitrogen Ammonia (NH3-N) Konsentrasi NH3-N yang diperoleh dari ketiga stasiun pengamatan tertinggi terjadi pada stasiun II periode 2 dan stasiun III periode 2 yaitu 0,053 mg/l, sedangkan terendah terjadi pada stasiun II periode 4 yaitu 0,000 mg/l. Hasil rataan pengukuran NH3-N antara ketiga stasiun pengamatan berkisar 0,018 – 0,027 mg/l. Tertinggi pada stasiun III yaitu sekitar 0,027 mg/l dan terendah pada stasiun I dan II yaitu 0,018 mg/l (Tabel 2). Jika dicermati pola NH3-N pada tiga stasiun pengamatan menunjukkan karakter yang relatif berbeda. Konsentrasi NH3-N pada kolong tua dan terbuka (stasiun III) cenderung lebih besar dibandingkan dengan kolong muda yang terbuka (stasiun II) atau dengan kolong tua tertutup (stasiun I).
27
Ortofosfat (PO4-P) Konsentrasi PO4-P yang diperoleh dari ketiga stasiun pengamatan tertinggi terjadi pada stasiun III periode 2 yaitu 0,841 mg/l, sedangkan terendah terjadi pada stasiun III sebesar 0,023 mg/l. Sedangkan hasil rataan pengukuran PO4-P antara ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 0,166 – 0,438 mg/l. Tertinggi pada stasiun III yaitu 0,438 mg/l dan terendah pada stasiun II yaitu 0,166 mg/l (Tabel 2). Jika dicermati pola PO4-P pada tiga stasiun pengamatan menunjukkan karakter yang relatif berbeda. Konsentrasi PO4-P pada kolong tua dan terbuka (stasiun III) cenderung lebih besar dibandingkan dengan kolong muda terbuka (stasiun II) atau atau dengan kolong tua tertutup (stasiun I). Secara umum, konsentrasi rataan ortofosfat yang ditemukan di tiga stasiun menunjukkan karakteristik yang kontradiksi dengan konsentrasi rataan NO3-N, karena saat konsentrasi ortofosfat tinggi, konsentrasi NO3-N rendah. Hal ini diduga karena total Fe yang cukup tinggi berpengaruh terhadap konsentrasi ortofosfat pada stasiun I. Holtz et al. (1996) membuktikan pada percobaan di laboratorium bahwa penambahan Fe sulfat efektif menurunkan total fosfat 42 sampai 61%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Fe akan menjebak fosfat dalam bentuk floc dan mengendap pada sedimen perairan.
Fe(OH)3 terlarut pada kolom air akan menyerap P dan
menjebaknya pada sedimen (Glass 1997). Rasio Fe : P diharapkan dapat menjelaskan hubungan Fe dengan P. Rasio rataan Fe : P yang didapat selama pengamatan adalah stasiun I > 2 (2,24), stasiun II < 2 (1,62) dan stasiun III < 2 (0,65). Pada oksidasi hidrolisis Fe dan presipitasi fosfat, minimum dibutuhkan 2 atom Fe untuk mengikat 1 molekul fosfat (Fe : P = 2). Sebagian besar danau memiliki rasio Fe : P > 2, bila Fe : P > 2 maka fosfat terlarut akan terikat dalam bentuk partikel (Blomqvist et al. 2004).
Mencermati hasil yang diperoleh dari rataan DIN (NO2-N, NO3-N, dan NH3-N) dan ortofosfat, konsentrasi tertinggi rataan DIN terjadi di stasiun I, sedangkan ortofosfat terjadi di stasiun III (Gambar 6).
Sebenarnya pada stasiun I yang
merupakan kolong tua dan tidak berhubungan, diharapkan unsur DIN dan ortofosfat akan lebih tinggi dibanding stasiun II dan III, karena padatan tersuspensi yang masuk
28
ke perairan kolong tersebut cukup tinggi akibat masukan bahan organik dan inorganik dari daratan dan tertahan. Namun, kenyataannya terjadi kontradiksi karena pada stasiun ini diperoleh konsentrasi ortofosfat relatif kecil. Hal ini diduga karena adanya pengaruh konsentrasi total Fe yang cukup tinggi.
Keadaan ini sejalan dengan
kelimpahan sel dan keragaman fitoplankton yang ditemukan, dimana tertinggi terjadi pada stasiun I. Meningkatnya DIN pada stasiun I diduga adanya pengaruh dari beberapa faktor lingkungan seperti pH dan kandungan bahan organik relatif lebih tinggi dari stasiun lainnya (Lampiran 3). Goldman dan Horne (1983) mengemukakan ketersediaan ortofosfat di perairan ditentukan oleh beberapa faktor lingkungan antara lain alkalinitas, pH dan kandungan bahan organik. 100% 90%
21.20 27.99
80%
2.07 3.04
70%
61.27
p e rs e n ta s e
24.08 60% 50%
18.89 5.07
4.89
40%
2.17 9.30
30% 47.58
4.57
45.19
20%
22.69
10% 0% St.1
St.2
St.3
stasiun Fe
NO2-N
NO3-N
NH3-N
PO4-P
Gambar 6 Komposisi Fe, nitrogen dan fosfor pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Konsentrasi unsur hara N-P yang ditemukan di lokasi penelitian secara umum cukup tinggi. Dikemukakan Seller dan Markland (1987), konsentrasi nitrogen dan fosfor yang melebihi kandungan 0,01 ppm untuk fosfor dan 0,3 ppm untuk nitrogen akan menyebabkan terjadinya blooming fitoplankton. Unsur hara NO3-N yang ditemukan umumnya lebih tinggi dari NO2-N dan NH3-N, hal ini karena NO3-N lebih banyak dijumpai baik dalam kondisi aerob dan diserap fitoplankton dari pada NO2-N dan NH3-N. Nitrat merupakan nitrogen utama di perairan dan merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan fitoplankton dan alga lainnya. Kandungan fosfor di perairan
29
sering menjadi faktor pendorong terjadinya dominasi fitoplankton. Dalam penelitian ini kandungan fosfor cukup tinggi, dan terjadi dominasi fitoplankton terutama dari kelas Chlorophyceae.
Rasio N dan P Rasio nitrogen dan fosfor juga merupakan salah satu faktor yang menentukan dominansi fitoplankton di suatu perairan selain konsentrasi unsur hara tersebut. Rasio massa nitrogen meliputi: NO2-N, NO3-N, dan NH3-N serta PO4-P. NO2-N merupakan bentuk peralihan dari NH3-N dan NO3-N, sedangkan NO3-N merupakan nitrogen utama di perairan dan merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan fitoplankton dan alga lainnya.
NH4-N adalah hasil akhir dari proses nitrifikasi
(denitrifikasi). Sedangkan fosfat dalam bentuk ortofosfat di perairan digunakan untuk pertumbuhan fitoplankton, karena sering menjadi faktor pembatas di perairan. Rasio N : P yang diperoleh pada tiga stasiun terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Rasio massa nitrogen dan fosfor perperiode di tiga kolong Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Periode 1 2 3 4 5 6 Rataan
I 1,5 : 1 0,9 : 1 1,1 : 1 0,9 : 1 1,8 : 1 2,4 : 1 1,7 : 1
Stasiun II 0,1 : 1 1,1 : 1 0,6 : 1 0,3 : 1 6,7 : 1 3,9 : 1 1,0 : 1
III 1,2 : 1 0,3 : 1 0,3 : 1 0,4 : 1 0,3 : 1 2,1 : 1 0,5 : 1
Rasio N : P pada ketiga stasiun pengamatan dengan enam kali ulangan umumnya relatif sama (Tabel 3), kecuali pada stasiun II periode 5 yaitu dengan rasio 6,7 N : 1 P. Berdasarkan hasil pengamatan rataan rasio N : P tertinggi pada stasiun I yaitu 1,7 N : 1 P dan terendah terjadi pada stasiun III yaitu 0,5 N : 1 P. Jika dicermati rasio N : P yang ditemukan selama penelitian sangat kecil (< 16). Hal ini disebabkan adanya penambahan unsur hara nitrogen dan fosfor yang
30
berlebihan dan tidak seimbang di perairan, terutama kandungan ortofosfat yang diperoleh sangat tinggi. Selain itu juga mungkin adanya pemanfaatan nitrogen yang besar oleh fitoplankton. Grahame (1987) mengemukakan, rasio antara nitrogen dan fosfor yang diperlukan berkisar antara 10 : 1 sampai 20 : 1 dan penambahan nitrogen dapat meningkatkan alga. Selanjutnya dijelaskan Person et al. (1977) dan Mason (1980) bahwa bila N : P lebih rendah atau lebih tinggi dari 16 : 1 menyebabkan perubahan tipe produsen. Rasio N : P yang ditemukan di perairan kolong selama penelitian semuanya lebih kecil dari 16 (<16), tetapi nilai konsentrasi nitrogen yang ditemukan selama penelitian cukup tinggi, sehingga memungkinkan rasio N : P di perairan ini tidak terlalu
berpengaruh
terhadap
kelimpahan
fitoplankton.
Keadaan
ini
juga
menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton yang ditemukan selama penelitian cukup tinggi tetapi tidak sampai melimpah (blooming).
Akan tetapi ada jenis
fitoplankton tertentu yang banyak dijumpai dan mendominasi selama penelitian yaitu dari jenis Clorophyceae. Berdasarkan nilai rasio yang didapat, nitrogen merupakan faktor pembatas perairan kolong, sedangkan ortofosfat bukan merupakan faktor pembatas karena rata-rata nilai yang diperoleh tinggi. Hubungan Total Fe dengan DIN dan PO4-P Untuk melihat seberapa jauh tingkat keeratan hubungan linier yang terjadi antara DIN dan PO4-P dengan total Fe, maka dilakukan analisis koefisien korelasi Pearson. Berdasarkan hasil uji korelasi tersebut, terdapat korelasi yang cukup erat dan signifikan antara DIN dan PO4-P pada stasiun I (84,2%; p<5%) dan stasiun III (98,4%;p<5%), sedangkan pada stasiun II (-79,7%;p>5%) korelasinya cukup erat tapi kurang signifikan (Lampiran 6). Korelasi yang cukup erat antara DIN dan PO4-P pada ketiga stasiun diduga karena nitrogen dan fosfor merupakan unsur utama untuk pertumbuhan fitoplankton. Fitoplankton dalam pertumbuhannya membutuhkan unsur hara makro (C, H, O, N, S, P, Mg, Ca, Na dan Cl) dan unsur hara mikro (Fe, Mn, Cu, Zn, Si, Mo, V dan Co
31
(Reynolds 1984). Diantara unsur hara tersebut, unsur hara N dan P biasanya sering menjadi faktor pembatas pertumbuhan fitoplankton di perairan alami. Dari fungsi regresi regresi linier berganda didapat nilai R2 pada stasiun I, II dan III (38,6%; 19,7%; 26,7%) cukup kecil artinya kemampuan peubah DIN dan PO4-P untuk menduga konsentrasi Fe cukup kecil. N dan P memiliki sifat yang berbeda, dimana anion nitrat akan tercuci bila tidak terpakai oleh tanaman, sedangkan P akan diendapkan oleh Fe3+, Ca dan Al yang kemudian dilepas secara perlahan (Mason 1980).
Hasil analisis sidik ragam stasiun I, II dan III menunjukkan bahwa
konsentrasi DIN dan PO4-P tersebut tidak secara nyata mempengaruhi konsentrasi total Fe (P>0,05). Hal ini diduga ada pengaruh rendahnya alkalinitas yang didapat selama pengamatan (<40 mg/l). Air dengan konsentrasi bicarbonat sangat rendah (soft water) umumnya mengandung konsentrasi Fe2+ lebih tinggi (Wetzel 2001) dan sering terjadi perubahan pH (Effendi 2003). Struktur Komunitas Fitoplankton Komposisi Jenis Fitoplankton Berdasarkan hasil pengamatan, fitoplankton yang ditemukan di tiga perairan kolong adalah sebanyak 25 genera yang mewakili 6 kelas, yaitu Cyanophyceae 3 genera (12%), Euglenophyceae 2 genera (8%), Crysophyceae 1 genera (4%), Chlorophyceae 16 genera (64%), Bacillariophyceae 2 genera (8%), dan Dinophyceae 1 genera (4%). Komposisi fitoplankton ini tersebar di tiga stasiun pengamatan, yaitu: sebanyak 13 genera dari 6 kelas pada stasiun I, 10 genera dari 6 kelas pada stasiun II dan 15 genera dari 6 kelas pada stasiun III.
(Tabel 4; Lampiran 3).
Tetapi
berdasarkan jumlah kelimpahan individu per genera terbanyak adalah dari kelas Chlorophyceae. Reynolds (1984) menyatakan bahwa saat konsentrasi P menurun, Diatom, Dinophyceae, dan Chlorophyceae akan terbantu, sedangkan Cynophyceae akan menurun. Welch dan Lindell (1980) menyatakan komposisi jenis fitoplankton yang umum dijumpai pada perairan tawar terdiri dari lima kelompok besar yaitu fillum Cyanophyta, Chlorophyta, Chrysophyta, Pyrrophyta, dan Euglenophyta.
Kelas
32
Chlorophyceae dan Cyanophyceae merupakan jenis yang paling dominan di perairan tawar tergenang. Komunitas fitoplankton perairan tergenang (khususnya perairan tawar seperti danau, waduk dan kolam) cenderung didominasi oleh genera-genera fitoplankton dari kelas Chlorophyceae dan Cyanophyceae (Seller dan Markland 1987). Tabel 4 Jumlah genera fitoplankton per periode di tiga kolong Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Stasiun
Periode
I
1 2 3 4 5 6 Subtotal 1 2 3 4 5 6
II
Subtotal 1 2 3 4 5 6
III
Subtotal Total
Cyano phyceae 3 2 2 1 1 2 11 1 1 0 1 1 0 4 3 2 0 1 1 1 8 23
Eugleno phyceae 1 1 1 1 1 1 6 0 0 1 1 0 0 2 2 1 1 1 1 1 7 15
Kelas Fitoplanton Cryso Chloro phyceae phyceae 1 6 0 4 0 4 0 7 1 5 0 4 2 30 6 1 4 1 1 2 1 5 1 4 1 2 6 23 7 1 6 0 6 0 4 0 7 1 6 1 3 36 11 89
Bacillario phyceae 1 1 0 0 0 0 2 1 0 0 1 0 0 3 1 2 1 1 1 2 8 13
Dino phyceae 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 1 6 18
Tabel 4 memperlihatkan perbedaan komunitas fitoplankton antar stasiun, dan spesies yang teridentifikasi tertinggi selama enam periode terjadi pada stasiun III. Hal ini diduga karena stasiun III merupakan kolong tua dan bersifat terbuka menerima masukan air dari anak sungai dan rawa yang diduga ikut juga membawa jenis fitoplankton tertentu sehingga memungkinkan di stasiun ini komposisi spesiesnya relatif tinggi.
Selain itu,
konsentrasi rataan PO4-P tertinggi yang
33
diperoleh dari ketiga stasiun pengamatan terjadi pada stasiun III (0,438 mg/l). Fosfor sering dikenal sebagai faktor pembatas pada perairan tawar (Schindler 1978). Lebih lanjut dijelaskan Sterner (2004) bahwa hasil optimal pertumbuhan alga akan diperoleh dari kombinasi P dan Fe. Kelimpahan Fitoplankton Kelimpahan fitoplankton yang ditemukan di ketiga stasiun berbeda dimana secara keseluruhan total kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 63.643 individu/l dan terendah pada stasiun II yaitu sebesar 779,4 individu/l (Lampiran 3).
Tingginya kelimpahan fitoplankton di stasiun I dan stasiun III
disebabkan karena tingginya konsentrasi unsur hara yang terdapat pada daerah tersebut dibandingkan dengan stasiun II (Lampiran 2). Stasiun I dan III termasuk kolong tua karena berusia lebih dari 10 tahun. Unsur hara perairan kolong sangat tergantung pada usia dan tipe kolong (Unsri 1999). Nybakken (1988) menyatakan bahwa ketersediaan unsur hara yang cukup dapat digunakan oleh fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang. Kelimpahan total fitoplankton pada stasiun I sebesar 63.643 individu/l terbanyak diwakili oleh kelas Chlorophyceae dan Cyanophyceae. Diikuti stasiun III, kelimpahan total fitoplankton sebesar 53.276 individu/l diwakili oleh kelas Chlorophyceae dan Cyanophyceae.
Di stasiun II kelimpahan total fitoplankton
sebesar 779,4 individu/l paling banyak diwakili oleh kelas Chlorophyceae dan Dinophyceae (Tabel 5). Komposisi fitoplankton pada kolom air yang selalu berubah-ubah dipengaruhi oleh kemampuan fitoplankton dalam memanfaatkan unsur hara. Perubahan dominasi dan kelimpahan fitoplankton dalam suatu perairan disebabkan karena adanya perubahan kondisi fisik kimia perairan (Goldman dan Horne 1983). Struktur komunitas fitoplankton mengalami perubahan dari tempat dan waktu ke waktu. Perubahan
tersebut
akan
mencerminkan
perkembangan
komunitas
secara
keseluruhan, baik keragaman maupun produktivitas. Variasi maupun perubahan komunitas tersebut tidak lain karena adanya pengaruh faktor-faktor lingkungan.
34
Tabel 5 Nilai rata-rata kelimpahan (Ind/l) per periode kelas fitoplankton di perairan kolong Stasiun
Periode
I
1 2 3 4 5 6 Subtotal 1 2 3 4 5 6
II
Subtotal 1 2 3 4 5 6
III
Subtotal
Cyano phyceae 3.612,0 180,0 2.466,0 90,0 5.742,0 3.666,0 15.756,0 8,4 9,0 0,0 45,0 0,0 0,0 67,8 2.418,0 1.074,0 0,0 8.616,0 354,0 90,0 12.552,0
Eugleno phyceae 1.020,0 342,0 606,0 8.222,0 1.056,0 1.596,0 5.442,0 0,0 0,0 0,6 1,2 0,0 0,0 1,8 2.646,0 1.164,0 1.326,0 1.242,0 624,0 204,0 7.224,0
Kelas Fitoplanton Chryso Chloro phyceae phyceae 72,0 7.152,0 0,0 3.852,0 0,0 6.816,0 0,0 4.224,0 42,0 7.668,0 0,0 4.459,0 114,0 34.171,0 42,6 52,8 58,2 4,2 7,2 7,2 259,2 3,6 84,0 1,2 6,0 6,6 75,6 457,2 5.832,0 324,0 0,0 3.866,0 0,0 3.618,0 0,0 9.660,0 6,0 4.242,0 6,0 2.394,0 336,0 29.612,0
Bacillario phyceae 30,0 12,0 0,0 0,0 0,0 0,0 42,0 1,8 0,0 0,0 0,6 0,0 0,0 2,4 6,0 24,0 6,0 18,0 36,0 24,0 114,0
Dino phyceae 3.918,0 222,0 2.580,0 354,0 840,0 204,0 8.118,0 55,8 11,4 56,4 3,0 6,0 42,0 174,6 516,0 222,0 726,0 1.602,0 312,0 60,0 3.438,0
Secara umum, hasil dari enam kali pengamatan pada tiga stasiun menunjukkan kelimpahan fitoplankton tertinggi terjadi pada stasiun I. Hal ini diduga karena stasiun I merupakan kolong tua dan bersifat tertutup sehingga masukan unsur banyak yang terperangkap dan menumpuk dalam kolom air.
Rataan kandungan unsur hara
terutama nitrat pada stasiun I relatif lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun II dan III,
yaitu: 0,209 mg/l NO3-N.
Nutrien anorganik utama yang dibutuhkan
fitoplankton bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan adalah nitrogen dalam bentuk nitrat (Nybakken 1988). Demikian juga pH yang berkisar antara 6,83-7,64, dan rataan konsentrasi oksigen terlarut 6,683 mg/l, sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton lebih baik pada stasiun ini. Kelimpahan fitoplankton terendah terjadi pada stasiun II. Hal ini terjadi karena stasiun II merupakan kolong muda dan bersifat terbuka sehingga kandungan unsur hara nitrogen dan fosfor relatif lebih rendah dibandingkan dengan kolong tua (stasiun
35
I dan III). Rataan kandungan unsur hara nitrogen dan fosfor pada stasiun II yaitu: 0,029 mg/l NO2-N; 0,112 mg/l NO3-N; 0,018 mg/l NH3-N; 0,160 mg/l DIN dan 0,166 mg/l PO4-P. Demikian juga pH yang berkisar antara 6,11-6,96 dan rataan konsentrasi oksigen
terlarut
6,420
mg/l,
sehingga
memungkinkan
pertumbuhan
dan
perkembangan fitoplankton lebih rendah pada stasiun ini.
100%
6.45 0.21
12.76 22.40
0.07 80%
0.31
persentase
55.58 60%
53.69
58.66 40%
0.63 0.18 8.55
13.56
20% 9.70 0.23 8.70
24.76
23.56
0% St.1
St. 2
St. 3
stasiun Cyano
Eugleno
Chryso
Chloro
Bacillario
Dino
Gambar 7 Kelimpahan Genera Fitoplankton pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Terjadinya perbedaan kelimpahan fitoplankton antar stasiun selama pengamatan karena dimungkinkan adanya perbedaan dari beberapa faktor fisika-kimia air, seperti kekeruhan, oksigen terlarut, karbon dioksida, dan unsur hara (Lampiran 1 dan 2). Bila diperhatikan pada Tabel 5 terlihat sangat jelas dominasi Chlorophyceae pada semua stasiun dan tiap periode pengamatan. Jenis yang dominan dan sering muncul sepanjang waktu pengamatan adalah Staurastrum sp. dan Ankistrodesmus sp. (Lampiran 3). Dominasi kuat genera Chlorophyceae terjadi karena diketahui jenisjenis ini menyebar pada perairan yang masih mendapat cukup cahaya dan unsur hara. Chlorococcales mendominasi saat suplai nitrat dan ammonium masih tinggi (Reynold 1984).
36
Indeks Biologi fitoplankton Indeks biologi adalah untuk mengevaluasi suatu komunitas fitoplankton yang ditemukan di suatu perairan. Indeks biologi yang dianalisis dalam penelitian meliputi Indeks
Keanekaragaman
(H’)
yang
menunjukkan
kekayaan
jenis,
Indeks
Keseragaman (E) yang menunjukkan keseragaman sebaran individu dalam suatu komunitas dan Indeks Dominansi (C) yang menunjukkan jumlah individu suatu jenis yang paling banyak ditemukan dalam komunitas dan kelimpahan. Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai rataan Indeks Keanekaragaman (H’) antara ketiga stasiun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Nilai rataan Indeks
Keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun III sebesar 1,66, sedangkan terendah terdapat pada stasiun II yaitu 1,23. Berdasarkan Indeks Keanekaragaman ShannonWeaver, keanekaragaman dan kestabilan komunitas ketiga perairan kolong (<2,3062) termasuk dalam katagori rendah dengan jumlah jenis rendah dan pemerataan penyebaran jumlah individu tiap jenis rendah. Nilai rataan Indeks Keseragaman (E) antara ketiga stasiun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Nilai rataan keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 0,71 dan terendah terdapat pada stasiun II yaitu 0,63. Berdasarkan Indeks Keseragaman Odum (1971), penyebaran jumlah individu setiap spesies pada ketiga perairan kolong (mendekati 1,0) dapat dikatakan sama atau tidak jauh berbeda. Berdasarkan nilai rata-rata Indeks Dominasi (C), antara ketiga stasiun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Nilai rata-rata dominasi tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 0,42 dan terendah terdapat pada stasiun III yaitu 0,28. Berdasarkan Indeks Dominasi Simpson, tidak ada spesies tertentu yang mendominasi spesies lainnya dan struktur komunitas fitoplankton pada ketiga perairan kolong (mendekati 0,0) dalam keaadan stabil (Odum 1971). Berdasarkan nilai rata-rata Indeks Dominasi (C), antara ketiga stasiun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Nilai rata-rata dominasi tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 0,42 dan terendah terdapat pada stasiun III yaitu 0,28. Berdasarkan Indeks Dominasi Simpson, tidak ada spesies tertentu yang mendominasi spesies
37
lainnya dan struktur komunitas fitoplankton pada ketiga perairan kolong (mendekati 0,0) dalam keaadan stabil (Odum 1971). Tabel 6 Indeks biologi fitoplankton pada tiga kolong pengamatan di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka. Stasiun
Periode
I
1 2 3 4 5 6 Rata-rata 1 2 3 4 5 6
II
Rata-rata
III
Rata-rata
1 2 3 4 5 6
H’ 1,69 1,09 1,47 2,13 1,47 1,53 1,58 1,68 1,54 0,75 1,35 1,27 0,77 1,23 2,06 1,97 1,65 1,47 1,55 1,28 1,66
Indeks Biologi E 0,66 0,52 0,71 0,93 0,67 0,74 0,71 0,73 0,79 0,47 0,59 0,65 0,55 0,63 0,76 0,79 0,75 0,71 0,63 0,52 0,69
C 0,23 0,53 0,28 0,23 0,27 0,25 0,30 0,25 0,30 0,64 0,32 0,37 0,61 0,42 0,16 0,17 0,25 0,28 0,35 0,46 0,28
Berdasarkan nilai rata-rata Indeks Dominasi (C), antara ketiga stasiun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Nilai rata-rata dominasi tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 0,42 dan terendah terdapat pada stasiun III yaitu 0,28. Berdasarkan Indeks Dominasi Simpson, tidak ada spesies tertentu yang mendominasi spesies lainnya dan struktur komunitas fitoplankton pada ketiga perairan kolong (mendekati 0,0) dalam keaadan stabil (Odum 1971). Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3), genera Staurastrum sp. (34%) dari kelas Cholorophyceae, Oscillatoria sp. (21%) dari kelas Cyanophyceae, Ankistrodesmus sp. (11%) dari kelas Cholorophyceae, Trachelomonas sp. (11%) dari
38
kelas Euglenophyceae, dan Peridinium sp. dari kelas Dinophyceae merupakan penyusun utama komunitas fitoplankton di seluruh lokasi penelitian baik di stasiun I, II dan III. Kombinasi nutrien terlarut dengan kelimpahan fitoplankton yang rendah akan membuat pertumbuhan alga lambat, sehingga komunitas didominasi oleh spesies yang rendah angka pertumbuhan maksimalnya (Robert et al. 2004).
Biomass (klorofil-a) Klorofil-a adalah katalisator fotosintesis yang penting dan terdapat di alam sebagai pigmen hijau dalam semua jaringan tubuh tumbuhan berfotosintesis. Keadaan ini membuat klorofil-a berfungsi sebagai pigmen utama penyerap cahaya dalam proses fotosintesis. Unsur hara memegang peranan penting dalam peningkatan pertumbuhan dan produksi fitoplankton yang nantinya akan berimbas pada peningkatan klorofil-a di perairan. Disamping unsur hara makro yang dibutuhkan sebagai kontrol produksi, juga sangat diperlukan unsur hara mikro sebagai salah satu faktor penting untuk mendukung pertumbuhan fitoplankton. Konsentrasi chlorofil-a cenderung meningkat dengan penambahan nutrien (Hansson 2004). Berdasarkan hasil pengamatan pada tiga stasiun, konsentrasi klorofil-a untuk setiap periodenya relatif sama (Tabel 7). Nilai klorofil tertinggi diperoleh pada stasiun II periode 5 sebesar 0,3 mg/l dan terendah pada stasiun III periode 1 yaitu 0,1 mg/l. Sedangkan rataan biomass tertinggi terjadi pada stasiun II yaitu 0,023 mg/l dan terendah terjadi pada stasiun III yaitu 0,019 mg /l. Berdasarkan kandungan klorofil-a (0 – 4 mg/l) yang didapat, maka perairan kolong dikatagorikan sebagai perairan tipe oligotrofik. Welch (1980) menyatakan selain untuk menduga biomass alga, klorofil juga dapat digunakan untuk menentukan kesuburan perairan. Kisaran jumlah klorofil-a 0 – 4 mg/l merupakan ciri perairan oligotrofik; 5 – 10 mg/l merupakan perairan mesotrofik; dan 10 – 100 mg/l merupakan perairan tipe eutrofik. Berdasarkan hal tersebut di atas, diduga ada keterkaitan biomass dengan kelimpahan fitoplankton dari kelas Chlorophyceae seperti Staurastrum sp. dan
39
Ankistrodesmus sp. yang mendominasi kelimpahan fitoplankton pada semua stasiun pengamatan maupun per periode.
Tabel 7 Nilai konsentrasi klorofil-a fitoplankton per periode pada tiga kolong pengamatan di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Stasiun
Periode
I
1 2 3 4 5 6
Rataan
II
1 2 3 4 5 6
Rataan
III
1 2 3 4 5 6
Rataan
Klorofil-a (mg/l) 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,020 0,02 0,02 0,02 0,02 0,03 0,02 0,023 0,01 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,019
Produktivitas Primer Fitoplankton Hasil perhitungan produktivitas primer dari setiap periode menunjukkan bahwa nilai produktivitas primer kotor dan nilai produktivitas primer bersih cukup rendah. Hal ini diduga ada pengaruh dari perifiton yang banyak dijumpai pada dasar perairan kolong yang dangkal. Vadeboncoeur et al. (2003) dalam Sigee (2005) menyatakan bahwa pada danau oligotrofik Grennland yang dangkal, perifiton (alga bentik) menyumbang 80-90% produktivitas primer. Produktivitas primer fitoplankton pada
40
tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 8. Produktivitas primer pada stasiun I selama penelitian berkisar antara -5,00 mgC/m3/jam (periode 4 dan 5) sampai 9,37 mgC/m3/jam (periode 3), stasiun II berkisar antara -18,75 mgC/m3/jam (periode 4 dan 5) sampai 4,37 mg/Cm3/jam (periode 3), dan stasiun III berkisar antara -21,25 mgC/m3/jam (periode 1) sampai 41,88 mg/Cm3/jam (periode 2). Rataan nilai produktivitas primer pada stasiun I adalah 0,31 mg/Cm3/jam, stasiun II adalah -8,13 mg/Cm3/jam dan stasiun III adalah 5,00 mg/Cm3/jam. Tabel 8 Nilai produktivitas primer per periode pada tiga kolong pengamatan di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Stasiun
Periode
I
1 2 3 4 5 6 Rataan 1 2 3 4 5 6
II
Rataan 1 2 3 4 5 6
III
Rataan
Produktivitas Primer Kotor (mgC/m3/ jam) 3,75 23,13 -13,75 13,75 13,75 0,00 6,77 48,13 0,00 75,00 -13,75 -13,75 0,00 15, 94 -0,63 0,00 -80,00 -30,63 -1,25 -1,25 -18,96
Produktivitas Primer Bersih (mgC/m3/ jam) -1,87 23,13 -23,13 18,75 18,75 3,12 6,46 48,13 13,75 70,63 5,00 5,00 1,88 24,06 20,63 -41,68 -70,63 -50,63 -2,50 1,25 -23,96
41
Jika diperhatikan, rataan produktivitas primer kotor (FK) stasiun I dan III relatif lebih besar dari rataan produktivitas primer kotor (FK) stasiun II, sedangkan pada stasiun II rataan nilai produktivitas primer bersih (FB) relatif lebih besar daripada stasiun I dan III. Hal ini juga erat kaitannya dengan karakteristik kolong dimana stasiun II merupakan kolong baru dan bersifat terbuka sehingga kandungan unsur hara (Lampiran 2) dan kelimpahan fitoplankton relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan dengan stasiun I dan III. Tingginya unsur hara yang diperoleh menunjukkan bahwa ada peran unsur hara terhadap peningkatan produktivitas primer perairan, terutama fosfor. Beberapa periode pengamatan memperoleh nilai produktivitas primer negatif karena hasil fotosintesis tidak seimbang dengan respirasi. Seringkali daerah-daerah yang memiliki kelimpahan fitoplankton yang tinggi selalu diikuti dengan produktivitas primer yang tinggi. Namun pada penelitian ini, kelimpahan fitoplankton tertinggi terjadi pada stasiun I (Lampiran 3). Ternyata produktivitas primer tertinggi terjadi pada stasiun III (Tabel 8).
Hal terjadi karena adanya kontribusi dari
fitoplankton-fitoplankton yang berukuran kecil seperti Ultraplankton (<2 µm) dan Nanoplankton (2 – 20 µm). Menurut Kaswadji et al. (1993) penyumbang terbesar produktivitas primer di perairan adalah dari fitoplankton berukuran Ultraplankton yang menyumbang sebesar 56,06%.
Dikatakan juga hal ini terjadi akibat dari
beberapa hal seperti dari ukuran nanoplankton dan ultraplankton yang sangat kecil sehingga tidak tertangkap oleh jaring plankton yang digunakan pada saat pengamatan. Hubungan Unsur Hara dengan Kelimpahan Fitoplankton Hubungan antara kelimpahan fitoplankton terhadap masing-masing unsur hara dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Dari hasil analisis menunjukkan adanya hubungan linier yang kuat antara Fe, DIN dan PO4-P dengan kelimpahan fitoplankton pada stasiun I (R2 = 83,4%), stasiun II (R2 = 97,6%) dan stasiun III (R2 = 57,3%). Selanjutnya pengaruh unsur hara Fe, DIN dan PO4-P terhadap kelimpahan fitoplankton pada stasiun I dan III menunjukkan bahwa
42
adalah kurang nyata (p>0,05), sedangkan pada stasiun II adalah sangat nyata (p<0,05) (Lampiran 7). Hubungan Unsur Hara dengan Produktivitas Primer Bersih (NPP) Hubungan antara produktivitas primer bersih terhadap masing-masing unsur hara dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Analisis regresi berganda menunjukkan adanya hubungan linier yang kuat antara Fe, DIN dan PO4-P dengan NPP pada stasiun II (R2 = 79,6%) dan stasiun III (R2 = 57,3%) serta lemah pada stasiun I (R2 = 22,2%).
Selanjutnya stasiun I dan II
menunjukkan bahwa pengaruh unsur hara Fe, DIN dan PO4-P terhadap kelimpahan fitoplankton adalah kurang nyata (p>0,05), sedangkan pada stasiun III adalah sangat nyata (p<0,05) (Lampiran 8). Nilai-nilai yang diperoleh menunjukkan bahwa regresi linier (Lampiran 7 dan 8) dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara unsur hara Fe, DIN (nitrat, nitrit dan ammonia) dan PO4-P dengan kelimpahan dan produktivitas primer fitoplankton. Parson et al. (1984) menyatakan ketersediaan unsur hara pada suatu perairan bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang dapat meningkatkan produksi dan produktivitas primer fitoplankton. Namun, secara statistik ternyata ada korelasi yang erat antara DIN dan PO4-P (stasiun I = 84,2%; p-value<0,05; stasiun II = 79,7%; p-value>0,05; dan stasiun III = 98,4%; p-value<0,05) dengan kelimpahan fitoplankton.
Evaluasi Kualitas Air pada Tiga Kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka Evaluasi kualitas air kolong yang didapat selama pengamatan dapat dilakukan dengan metode STORET atau sistem kriteria tertinggi, sedang, dan terendah tanpa menggunakan baku mutu air yang telah ditetapkan. Metoda STORET merupakan salah satu metoda untuk menentukan status mutu air yang umum dengan menggunakan sistem nilai dari “US-EPA (Environmental Protection Agency)”. Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas
43
air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya yang tetapkan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Gambar 8
Tingkat kualitas air menurut baku mutu air kelas II pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka
Hasil analisis metode STORET, kualitas air pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka masuk dalam katagori tercemar sedang (Gambar 8). Total Fe dan NH3-N memberikan kontribusi yang besar terhadap kualitas perairan ketiga kolong tersebut (Lampiran 9).
Sedangkan berdasarkan kriteria, tertinggi
terjadi pada stasiun I (37), dan terendah pada stasiun II (32) (Lampiran 10). Bila dilihat dari pola analisis metode STORET dan kriteria, diketahui bahwa usia dan tipe kolong sangat berpengaruh terhadap kualitas perairan kolong, dimana kolong tua dan tertutup konsentrasi bahan-bahan organik dan anorganik cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kolong tua terbuka atau kolong muda terbuka. Bennet (1970) menyatakan bahwa saat bekas galian tambang digenangi air, mineral sulfur, besi dan mineral lainnya akan terlarut dan menjadikan perairan tersebut sangat asam sehingga tidak cocok untuk pertumbuhan organisme akuatik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dengan bertambahnya usia perairan tersebut, tingkat keasamannya semakin berkurang dimana asam sulfid akan disangga oleh deposit batuan kapur atau
44
sumber karbonat lainnya atau run off dari daratan sekelilingnya yang akan menghanyutkan mineral tersebut.
Pemanfaatan Kolong Pemanfaatan kolong di Bangka Belitung untuk perikanan belum optimal. Berdasarkan data Statistik Perikanan Budidaya Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, produksi perikanan kolong tahun 2006 adalah 27,69 ton (produktivitas 3,08 ton/ha) dengan luas areal 8,98 ha dari total luas 1.712,65 ha atau baru dimanfaatkan sekitar 0,0052%. Dalam memanfaatkan kolong tersebut, perlu dilihat apakah kolong tersebut layak atau tidak untuk kegiatan perikanan budidaya. Berdasarkan hasil penelitian ini, kolong yang layak untuk kegiatan perikanan budidaya adalah kolong tua dan bersifat terbuka. Kolong tertutup dikuatirkan kandungan logam terlarut masih cukup tinggi. Pada kolong tua terbuka, kandungan unsur hara nitrogen dan fosfor yang dibutuhkan oleh fitoplankton sebagai salah satu sumber pakan alami ikan lebih baik daripada kolong tertutup, baik yang berusia muda atau pun tua. Kandungan logam Fe pada kolong terbuka cenderung lebih rendah daripada kolong tertutup.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Konsentrasi Fe dan nitrogen pada kolong tua dan tertutup lebih besar daripada kolong muda atau kolong tua tapi terbuka. Sedangkan konsentrasi fosfor pada kolong tertutup lebih rendah daripada kolong terbuka. Nilai kisaran konsentrasi total Fe pada stasiun I sebesar 0,121 – 0,902 mg/l, stasiun II sebesar 0,024 – 0,487 mg/l dan stasiun III sebesar 0,146 – 0,390 mg/l. Nilai kisaran dissolved inorganik nitrogen (DIN) pada stasiun I sebesar 0,068 – 643 mg/l, stasiun II sebesar 0,021 – 0,291 mg/l dan stasiun III sebesar 0,027 – 0,452 mg/l. Nilai kisaran PO4-P pada stasiun I sebesar 0,044 – 350 mg/l, stasiun II sebesar 0,074 – 0,326 mg/l dan stasiun III sebesar 0,023 – 0,841 mg/l. 2. DIN dan PO4-P stasiun I (84,2%; p<5%) dan stasiun III
(98,4%;p<5%)
memiliki korelasi yang cukup erat dan signifikan dengan Fe, sedangkan pada stasiun II (-79,7%;p>5%) korelasinya cukup erat tapi kurang signifikan. 3. Fe, DIN dan PO4-P menunjukkan adanya hubungan linier yang kuat dengan kelimpahan fitoplankton pada stasiun I (R2 = 83,4%), stasiun II (R2 = 97,6%) dan stasiun III (R2 = 57,3%). Selanjutnya pengaruh unsur hara Fe, DIN dan PO4-P terhadap kelimpahan fitoplankton pada stasiun I dan III menunjukkan bahwa adalah kurang nyata (p>0,05), sedangkan pada stasiun II adalah sangat nyata (p<0,05). 4. Fe, DIN dan PO4-P menunjukkan adanya hubungan linier yang kuat dengan NPP pada stasiun II (R2 = 79,6%) dan stasiun III (R2 = 57,3%) serta lemah pada stasiun I (R2 = 22,2%). Selanjutnya stasiun I dan II menunjukkan bahwa pengaruh unsur hara Fe, DIN dan PO4-P terhadap kelimpahan fitoplankton adalah kurang nyata (p>0,05), sedangkan pada stasiun III adalah sangat nyata (p<0,05).
46
Saran Untuk mendapatkan hasil yang optimal perlu dilakukan pengukuran NH3-N dan total Fe secara in situ.
Selain itu perlu juga diteliti keberadaan bakteri
Thiobacillus ferrooxidan dalam proses oksidasi Fe.
DAFTAR PUSTAKA
Abel PD. 1989. Water Pollution Biology. Ellis Harwood Ltd. England. American Public Health Association [APHA]. 1998. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. Ed ke-20. United Book Press, Inc. Baltimore. Maryland. Badri LN. 2004. Karakteristik Tanah, Vegetasi dan Air Kolong Pasca Tambang Timah dan Teknik Rehabilitasi Lahan Untuk Keperluan Revegetasi (Studi Lahan Pasca Tambang Timah Dabo Singkep) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Barnes RSK. 1980. The Unity and Diversity of Aquatic System. Di dalam: Barness RSK, KH Mann, editor. Fundamental of Aquatic Ecosystems. Blackwell Scientific Publications. London. Bennet GW. 1970. Management of Lakes and Ponds. Ed. ke-2. Van Nostrand Reinhold Company. Holland. Blomqvist S, A Gunnars, R Elmgren. 2004. Why the Limiting Nutrient Differs between Temperate Coastal Seas and Freshwater Lakes: A Matter of Salt. Limnol. Oceanogr. 49;6:2236-2241. Boyd CE. 1981. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Department of Fisheries and Allied Aquacultures. Agricultural Experiment Station Auburn. Alabama. Clark JR. 1977. Coastal Ecosystem Management. John Wiley & Sons, Inc. New York. Connell DW, GJ Miller. 1985. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Koestoer Y, penerjemah; UI Press. Jakarta. Terjemahan dari: Chemistry and Ecotoxicology of Pollution. Davis CC. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State University Press. USA. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisus. Yogyakarta. Fogg GE. 1980. Phytoplankton Primary Production. Di dalam: Barnes RSK dan KH Mann, editor. Fundamental of Aquatic Ecosystems. Blackwell Scientific Publications. Oxford. Glass J. 1997. The Effects of Iron Addition on Phosphorous Release from Salt and Freshwater Sediments. http://www.course.mbl.edu/SES/data/project/1997/ glass.pdf. [16 Apr 2007].
48
Goldman CR, AJ Horne. 1983. Limnology. McGraw-Hill Book Company. New York. Grahame J. 1987. Plankton and Fisheries. Edward Arnold. London. Hansson LA, M Gyllstrom, A Stahl-Delbanco and M Svensson. 2004. Responses to Fish Predation and Nutrients by Plankton at Different Levels of Taxonomic Resolution. Freshwater Biology 49:1538-1550. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Edisi Baru. Akademika Pressindo. Jakarta. Holtz JC, KD Hoagland. 1996. Experimental Microcosm Study of the Effects of Phosphorus Reduction on Plankton Community Structure. Canadian Fisheries Aquatic Science 53: 1754-1764. Jeffries M, D Mills. 1996. Freshwater Ecology. Principles and Applications. John Wiley&Sons. Chichester. UK. 285 p. Liaw WK. 1969. Chemical and Biological Studies of Fish Ponds and Reservoirs in Taiwan. Reprinted from Chinese-American Joint Commission on Rural Reconstruction Fish. Series 7. Mackentum KM. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United State Department of the Interior. Federal Water Pollution Control. Administration Division of Technical Support. Mann KH. 1969. The Dynamics of Aquatic Ecosystems. Di dalam: Cragg JB, editor. Ecological Research. Academic Press. London. Mason CF. 1980. Biology of Freshwater Pollution. Longman Scientific and Technical. Longman Singapore Publisher Pte. Ltd. Singapore. Mckay RML, GS Bullerjahn, D Porta, ET Brown, RM Sherrell, TM Smutka, RW Sterner, MR Twiss, and SW William. 2004. Consideration of the Bioavailability of Iron in North American Great Lakes: Development of Novel Approaches Toward Understanding Iron Biogeochemistry. Aquatic Ecosystem Health & Management 7;4: 474-490. Mckay RML, D Porta, GS Bullerjahn, MMD Alrshaidat, JA Klimowicz, RW Sterner, TM Smutka, ET Brown and RM Sherrell. 2005. Bioavailable Iron in Oligotrophic Lake Superior Assessed Using Biological Reporters. Plankton Research 27;10:1033-1044. Morgan NC. 1980. Secondary Production. Di dalam: The Functioning of Freshwater Ecosystem. Le Cren ED, RHL McConnel, editor. Cambridge University Press, Cambridge.
49
Mulligan HF. 1969. Management of Aquatic Vascular Plants and Algae. Di dalam: Eutrophication: Causes, Consequences, Correctives. Proceeding of a Symposium. National Academy of Sciences. Washington DC. Nielsen LK. 1979. The Influence of Sediments on Changed Phosphorus Loading to Hypertrophic. Di dalam: Barica J, L Glumso, LR Mur, editor. Hypertrophic Ecosystems. Dr. W. Junk by Publishers The Hague-BostonLondon. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman M, Koesoebiono, DG Bengen, M Hutomo, S Sukardjo, penerjemah. PT. Gramedia. Jakarta. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology. Odum EDP. 1971. Fundamental of Ecology. Philadelphia.
Ed. ke-3. WB Saunders.
Odum EDP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Vol ke-3. Samingan, penerjemah. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology. Parsons TR, M Takahashi, B Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Processes. Ed. ke-3. Pergamon Press. Oxford. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Prowse GA. 1962. Diatom of Malayan Freshwater phytoplankton. Cambridge University Press. Cambridge. Ray D, NGS Rao. 1964. Density of Freshwater Diatoms in Reaction to Some Physico Chemical Condition of Water. Indian. J. Fish II (L). Reynolds CS. 1984. The Ecology of Freshwater Phytoplankton. Cambridge University Press. Cambridge. Robert WS, TM Smutka, RLM McKay, Q Xiaoming, ET Brown, RM Sherrell. Phosphorous and Trace Metal Limitation of Algae and Bacteria in Lake Superior. 2004. Limnol. Oceanogr. 49;2:495-507. Sandgren CD. 1988. Growth and Reproductive of Fresh Water Phytoplankton. Cambridge University Press. Cambridge. 422 p. Schindler DW. 1978. Factors Regulating Phytoplankton Production and Standing Crop in The World’s Freshwaters. Limnol. Oceanogr. 23:478-486 Schwoerbel J. 1987. Handbook of Limnology. Ellis Horwood. John Wiley & Sons. Chichester. New York.
50
Seller BH, HR Markland. 1987. Decaying Lakes. John Wiley & Sons. Chichester. New York. Sigee DC. 2005. Freshwater Microbiology. John Wiley&Sons, Ltd. England. Steele RGD, JH Torrie. 1980. Principle and Procedures of Statistics, A Biometrical Approach. Ed ke-2. Mc Graw-Hill Int. Book .Co. Tokyo. Sterner RW, TM Smutka, RML McKay, Q Xiaoming, ET Brown, RM Sherrell. 2004. Phosphorous and Trace Metal Limitation of Algae and Bacteria in Lake Superior. Limnol. Oceanogr. 49;2:495-507. Sukandarrumidi. 2007. Geologi Mineral Logam. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Umaly RC, LA Cuvin. 1988. Limnology. Laboratory and Field Guide Physicochemical Factors, Biological Factors. National Book Store Publ. Metro Manila. Philippines. Universitas Sriwijaya [UNSRI]. 1999. Identifikasi Kolong Pasca Pembangunan Timah di Wilayah Bangka Belitung. Kerjasama PT. Timah, Tbk. dan Universitas Sriwijaya. Vollenwieder RA. 1974. A Manual on Method for Measuring Primary Production in Aquatic Environments. Ed. ke-2. IBP Handbook No.12. Blackwell Scientific Publ. Oxford. 358 p. Wardoyo STH. 1977. Pengelolaan Kualitas Air (Water Quality Management). Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Welch EB, T Lindell. 1980. Ecological Effects of Waste Water. Cambridge Univ. Press. Cambridge. London. Wetzel RG. 2001. Limnology. Saunders College Publ. Philadelphia. http://www.Geotek.lipi.go.id/georefs/sari2003/LapPen2003_PSM.htm [28-08-2006]
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
Peta Indeks U
Stasiun III Kolong Dam Keramat (20.390 m2)
Stasiun II Kolong Open Pit (10.250 m2)
Stasiun I Kolong Wasere (1.690 m2)
LETAK STASIUN PENELITIAN PADA TIGA KOLONG DI KECAMATAN PEMALI KABUPATEN BANGKA Oleh: Robani Juhar/C 151050121 Sumber: Diolah Google Map
53
Lampiran 2 Data cuaca Bulan September dan Oktober 2007 wilayah Bangka
Tanggal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
September September September September September September September September September September September September September September September September September September September September September September September September September September September September September September
2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007
Suhu Udara Rata-rata (0C)
Penyinaran Matahari (08.00-16.00) (dalam %)
Hujan (mm)
26,6 27,2 27,0 24,2 26,8 27,6 27,4 26,7 27,4 26,1 26,1 25,6 27,3 27,0 27,3 27,7 27,3 27,8 27,8 27,6 27,4 27,1 28,2 26,5 27,5 27,9 27,7 28,3 28,0 27,8
9,6 15,0 26,3 0,0 35,0 59,6 46,3 35,4 47,9 35,4 40,4 5,0 60,4 27,9 37,9 42,9 30,0 66,3 47,5 62,5 66,7 59,2 66,7 45,0 52,9 47,9 60,0 66,7 66,7 55,4
2,8 1,4 29,2 7,2 0,2 4,2 0,0 0,2 0,2 0,2 8,2 0,0 0,0 1,0 0,0 8,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 21,1 0,5 0,0 0,2 0,0 0,0 0,0
Sumber : Stasiun Meteorologi Pangkalpinang, 2007 Kolom yang ditebalkan merupakan tanggal periode pengamatan
Keterangan
Periode I
Periode II
53
Lanjutan
Tanggal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober Oktober
2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007 2007
Suhu Udara Rata-rata (0C)
Penyinaran Matahari (08.00-16.00) (dalam %)
Hujan (mm)
27,0 27,0 26,9 27,1 27,7 27,7 28,1 27,9 27,4 28,0 28,0 26,8 27,8 27,6 27,6 27,7 27,7 27,8 27,5 24,9 26,3 26,6 24,7 25,3 27,0 26,7 27,3 27,9 27,8 27,7 26,8
83,1 75,0 96,5 100,0 95,0 100,0 88,8 70,0 45,0 84,4 58,8 7,5 95,0 87,5 87,5 98,1 100,0 93,1 46,9 6,3 25,0 56,3 5,0 11,3 90,6 52,5 68,1 70,6 95,0 100,0 80,6
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 TTU 2,8 3,8 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 TTU 20,7 0,6 0,0 3,0 25,4 0,4 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 58,3
Sumber : Stasiun Meteorologi Pangkalpinang, 2007 Kolom yang ditebalkan merupakan tanggal periode pengamatan
Keterangan
Periode III
Periode IV
Periode V
Periode VI
54
Lampiran 3 Konsentrasi parameter-parameter fisika yang diukur pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kab Bangka
Stasiun
Periode Suhu (0C)
K1
1 2 3 4 5 6
K2
1 2 3 4 5 6
K3
1 2 3 4 5 6
29,70 30,61 30,63 31,27 29,82 29,99 30,34 29,71 30,06 30,02 30,32 30,02 30,04 30,03 29,96 30,58 30,01 30,69 29,73 29,81 30,13
DHL (µs/cm)
Kecerahan (cm)
TDS (mg/l)
16,0 14,0 13,0 11,0 19,0 15,0 14,67 27,0 27,0 28,0 21,0 27,0 28,0 26,33 10,0 10,0 10,0 14,0 12,0 12,0 11,33
150,0 150,0 115,0 122,0 122,0 115,0 129,0 213,0 213,0 185,0 193,0 193,0 188,0 197,5 193,0 192,5 171,0 247,5 247,5 151,0 200,4
8 7 7 6 9 7 7,33 14 14 13 11 14 14 13,33 5 13 5 4 6 6 6,50
Lampiran 4 Konsentrasi parameter-parameter kimia yang diukur pada tiga kolong Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka
Stasiun
K1
K2
K3
Periode
pH
Fe (mg/l)
Alkalinitas Kesadahan (mg/l) (mg/l)
Unsur Hara (mg/l) NO2-N
NO3-N
NH3-N
DIN
PO4-P
DO (mg/l)
COD (mg/l)
1 2 3 4
7,64 7,08 6,84 6,86
0,121 0,244 0,341 0,456
1,94 4,66 5,44 3,69
12,01 9,01 13,51 12,01
0,010 0,195 0,022 0,010
0,043 0,016 0,135 0,089
0,015 0,037 0,027 0,014
0,068 0,249 0,184 0,113
0,044 0,263 0,170 0,125
7,14 6,77 7,14 6,69
9,84 11,81 15,74 9,45
5 6
6,83 6,89
1
6,11
0,411 0,902 0,413 0,141
3,69 5,05 4.078 28,35
15,02 10,51 12.011 13,51
0,000 0,274 0,044 0,002
0,631 0,342 0,209 0,013
0,012 0,004 0,018 0,006
0,643 0,373 0,272 0,021
0,350 0,153 0,184 0,204
6,69 5,67 6.683 6,77
5,51 5,12 9.578 8,66
2 3 4 5
6,96 6,77 6,89 6,92
0,248 0,024 0,439 0,487
27,58 12,04 5,44 5,44
10,51 15,01 13,51 13,51
0,049 0,009 0,005 0,024
0,046 0,099 0,082 0,273
0,053 0,028 0,000 0,014
0,148 0,136 0,087 0,274
0,131 0,220 0,326 0,041
6,92 6,39 6,39 6,39
13,78 15,74 5,90 9,05
6
6,89
1 2 3 4 5 6
6,53 6,77 6,69 6,83 6,90 6,86
0,268 0,268 0,146 0,251 0,390 0,317 0,215 0,381 02,83
31,07 18.320 3,88 5,44 34,95 5,05 5,05 10,10 10.745
12,01 13.011 12,01 9,01 12,01 12,01 15,02 12,01 12.011
0,086 0,029 0,010 0,195 0,018 0,008 0,032 0,081 0,057
0,196 0,112 0,013 0,013 0,105 0,053 0,152 0,359 0,116
0,009 0,018 0,004 0,053 0,039 0,021 0,031 0,012 0,027
0,291 0,160 0,027 0,261 0,162 0,081 0,214 0,542 0,200
0,074 0,166 0,023 0,841 0,520 0,213 0,815 0,217 0,764
5,66 6.420 5,27 7,44 6,39 6,47 5,69 5,67 6.155
15,35 11.413 7,87 14,17 16,53 6,30 11,02 5,90 10.298
Lampiran 5 Kelimpahan fitoplankton (Ind/l) pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka
No
Genus
1 2 3
CYANOPHYCEAE Anabaena sp. Microcystis sp. Oscillatoria sp.
1 2
EUGLENOPHYCEAE Trachelomonas sp. Euglena sp.
1
CHRYSOPHYCEAE Dinobryon sp.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
CHLOROPHYCEAE Mougeotia sp. Gloeocystis sp. Ankistrodesmus sp. Cosmarium sp. Euastrun sp. Staurastrum sp. Gonatozyga sp. Desmiduim sp. Kirchneriella sp. Dimorphococcus sp. Closterium sp. Ulotrix sp.
1 2
BACILLARIOPHYCEAE Navicula sp. Nitzschia sp.
1
DINOPHYCEAE Peridium sp.
K1.1 180,00 300,00 3.132,00 3.612,00 1.020,00 1.020,00
K2.1 8,40 8,40 -
K3.1
K1.2
Stasiun Pengamatan K2.2 K3.2
180,00 1.800,00 438,00 2.148,00
90,00 90,00 180,00
2.640,00 6,00 2.646,00
342,00 342,00
72,00 72,00
52,80 52,80
324,00 324,00
6,00 384,00 1.320,00 30,00 6,00 5.406,00 7.152,00
6,60 4,80 0,60 19,20 7,80 3,60 42,60
30,00 1.776,00 228,00 198,00 2.640,00 900,00 60,00 5.832,00
240,00 288,00 12,00 3.312,00 3.852,00
30,00 30,00
1,80 1,80
6,00 6,00
12,00 12,00
55,80 55,80 10 161,40 1,68 0,73 0,25
516,00 516,00 15 11.742,00 2,06 0,76 0,16
222,0 222,00 8 4.608,00 1,09 0,52 0,53
3.918,00 3.918,00 Jumlah Taksa 13 Kelimpahan (Ind/l) 15.804,00 Indeks Keragaman 1,69 Indeks Keseragaman 0,66 Indeks Dominansi 0,23 Perhitungan plankton menggunakan Lon (Nats)
-
9,00 9,00 4,20 4,20 42,00 5,40 4,80 6,00 58,20 11,40 11,40 7 82,80 1,54 0,79 0,30
K1.3
K2.3
K3.3
-
-
900,00 174,00 1.074,00
108,00 2.358,00 2.466,00
1.164,00 1.164,00
606,00 606,00
0,60 0,60
-
7,20 7,20
768,00 60,00 138,00 1.788,00 812,00 300,00 3.866,00 12,00 12,00 24,00 222,00 222,00 12 6.350,00 1,97 0,79 0,17
144,00 1.182,00 6,00 5.484,00 6.816,00 2.580,00 2.580,00 8 12.468,00 1,47 0,71 0,28
2,40 4,80 7,20 56,40 56,40 5 71,40 0,75 0,47 0,64
1.326,00 1.326,00 528,00 204,00 192,00 2.262,00 48,00 384,00 3.618,00 6,00 6,00 726,00 726,00 9 5.676,00 1,65 0,75 0,25
Lanjutan
No
Genus
1 2 3
CYANOPHYCEAE Anabaena sp. Microcystis sp. Oscillatoria sp.
1 2
EUGLENOPHYCEAE Trachelomonas sp. Euglena sp.
1
CHRYSOPHYCEAE Dinobryon sp.
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
CHLOROPHYCEAE Mougeotia sp. Gloeocystis sp. Ankistrodesmus sp. Cosmarium sp. Euastrun sp. Staurastrum sp. Gonatozyga sp. Desmiduim sp. Kirchneriella sp. Dimorphococcus sp. Closterium sp. Ulotrix sp.
1 2
BACILLARIOPHYCEAE Navicula sp. Nitzschia sp.
1
DINOPHYCEAE Peridium sp.
K1.4
K2.4
K3.4
K1.5
Stasiun Pengamatan K2.5 K3.5
90,00 90,00
45,00 45,00
8.616,00 8.616,00
5.724,00 5.724,00
822,00 822,00
1,20 1,20
1.242,00 1.242,00
1.056,00 1.056,00
-
3,60 3,60
864,00 330,00 108,00 2.262,00 78,00 342,00 240,00 4.224,00 -
354,00 354,00 Jumlah Taksa 10 Kelimpahan (Ind/l) 5.490 Indeks Keragaman 2,13 Indeks Keseragaman 0,93 Indeks Dominansi 0,23 Perhitungan plankton menggunakan Lon (Nats)
-
119,40 0,60 7,20 9,60 122,40 259,20
360,00 3.630,00 24,00 5.646,00 9.660,00
0,60 0,60
18,00 18,00
3,00 3,00 10 312,60 1,35 0,59 0,32
1.602,00 1.602,00 8 21.138,00 1,47 0,71 0,28
5,40 5,40 -
-
90,00 90,00
642,00 642,00
1.596,00 1.596,00
-
204,00 204,00
6,00 6,00
216,00 2.886,00 18,00 4.542,00 6,00 7.668,00
52,80 0,60 6,00 24,60 84,00
288,00 360,00 48,00 3.138,00 312,00 90,00 6,00 4.242,00
840,00 840,00 9 15.348,00 1,47 0,67 0,27
6,00 6,00 7 96,60 1,27 0,65 0,37
K3.6
96,00 3.570,00 3.666,00
1,20 1,20
-
K2.6
354,00 354,00
42,00 42,00
-
K1.6
36,00 36,00 312,00 312,00 12 5.592,00 1,55 0,63 0,35
144,00 2.274,00 42,00 1.999,00 4.459,00 204,00 204,00 8 9.925,00 1,53 0,74 0,25
6,60 6,60
6,00 6,00
1,80 4,20 6,00
240,00 180,00 48,00 1.848,00 72,00 6,00 2.394,00
42,00 42,00 4 54,60 0,77 0,55 0,61
18,00 6,00 24,00 60,00 60,00 12 2.778,00 1,28 0,52 0,46
58
Lampiran 6 Hasil korelasi dan regresi linier berganda DIN, dan PO4-P dengan total Fe Stasiun I Correlations: Fe, DIN, PO4-P DIN
PO4-P
Fe 0.394 0.440
DIN
0.073 0.891
0.842 0.035
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Regression Analysis: Fe versus DIN, PO4-P The regression equation is Fe = 0.426 + 1.45 DIN - 2.22 PO4-P
Predictor Constant DIN PO4-P
Coef 0.4262 1.454 -2.219
S = 0.271457
SE Coef 0.2378 1.066 2.090
R-Sq = 38.6%
T 1.79 1.36 -1.06
P 0.171 0.266 0.366
VIF 3.4 3.4
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 2 3 5
SS 0.13891 0.22107 0.35998
MS 0.06946 0.07369
Stasiun II Correlations: Fe, DIN, PO4-P DIN
PO4-P
Fe 0.393 0.441
DIN
-0.188 0.721
-0.797 0.058
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
F 0.94
P 0.481
59
Regression Analysis: Fe versus DIN, PO4-P The regression equation is Fe = - 0.003 + 1.10 DIN + 0.57 PO4-P
Predictor Constant DIN PO4-P
Coef -0.0028 1.105 0.569
S = 0.202559
SE Coef 0.4471 1.422 1.426
R-Sq = 19.7%
T -0.01 0.78 0.40
P 0.995 0.494 0.717
VIF 2.7 2.7
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 2 3 5
SS 0.03018 0.12309 0.15327
MS 0.01509 0.04103
F 0.37
P 0.720
Stasiun III Correlations: Fe, DIN, PO4-P DIN
PO4-P
Fe 0.515 0.296
DIN
0.513 0.298
0.984 0.000
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Regression Analysis: Fe versus DIN, PO4-P The regression equation is Fe = 0.223 + 0.21 DIN + 0.025 PO4-P
Predictor Constant DIN PO4-P
Coef 0.2230 0.208 0.0246
S = 0.106765
SE Coef 0.1111 1.760 0.3469
R-Sq = 26.7%
T 2.01 0.12 0.07
P 0.138 0.913 0.948
VIF 30.7 30.7
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 2 3 5
SS 0.01243 0.03420 0.04663
MS 0.00621 0.01140
F 0.55
P 0.628
60
Lampiran 7 Hasil korelasi dan regresi linier berganda total Fe, DIN, dan PO4-P dengan kelimpahan fitoplankton Stasiun I Correlations: Plankton, Fe, DIN, PO4-P Fe
Plankton -0.186 0.724
Fe
0.279 0.592
0.394 0.440
-0.045 0.932
0.073 0.891
DIN
PO4-P
DIN
0.842 0.035
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Regression Analysis: Plankton versus Fe, DIN, PO4-P The regression equation is Plankton = 18576 - 15933 Fe + 48020 DIN - 78417 PO4-P Predictor Constant Fe DIN PO4-P
Coef 18576 -15933 48020 -78417
S = 3095.53
SE Coef 3902 6584 15473 27953
T 4.76 -2.42 3.10 -2.81
R-Sq = 83.4%
P 0.041 0.137 0.090 0.107
VIF 1.6 5.6 4.7
R-Sq(adj) = 58.5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 2 5
SS 96421384 19164641 115586025
MS 32140461 9582321
Stasiun II Correlations: Plankton, Fe, DIN, PO4-P Fe
DIN
PO4-P
Plankton 0.415 0.413
Fe
-0.577 0.231
0.393 0.441
0.787 0.063
-0.188 0.721
DIN
-0.797 0.058
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
F 3.35
P 0.238
61
Regression Analysis: Plankton versus Fe, DIN, PO4-P The regression equation is Plankton = - 25.8 + 365 Fe - 278 DIN + 616 PO4-P Predictor Constant Fe DIN PO4-P
Coef -25.84 364.69 -277.5 616.5
S = 23.8993
SE Coef 52.75 68.12 183.9 172.6
T -0.49 5.35 -1.51 3.57
R-Sq = 97.6%
P 0.673 0.033 0.270 0.070
VIF 1.2 3.3 2.9
R-Sq(adj) = 93.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 2 5
SS 45649 1142 46791
MS 15216 571
F 26.64
P 0.036
Stasiun III Correlations: Plankton, Fe, DIN, PO4-P Plankton -0.190 0.719
Fe
DIN
-0.711 0.113
0.515 0.296
PO4-P
-0.670 0.146
0.513 0.298
Fe
DIN
0.984 0.000
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Regression Analysis: Plankton versus Fe, DIN, PO4-P The regression equation is Plankton = 13439 + 16122 Fe - 74876 DIN + 7604 PO4-P
Predictor Constant Fe DIN PO4-P S = 6905.41
Coef 13439 16122 -74876 7604
SE Coef 10999 37342 114074 22456
R-Sq = 57.3%
T 1.22 0.43 -0.66 0.34
P 0.346 0.708 0.579 0.767
VIF 1.4 30.8 30.7
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 2 5
SS 127792154 95369316 223161469
MS 42597385 47684658
F 0.89
P 0.567
62
Lampiran 8 Hasil korelasi dan regresi linier berganda total Fe, DIN, dan PO4-P dengan produktivitas primer fitoplankton (NPP) Stasiun I Correlations: NPP, Fe, DIN, PO4-P NPP 0.026 0.961
Fe
DIN
0.334 0.517
0.394 0.440
PO4-P
0.457 0.362
0.073 0.891
Fe
DIN
0.842 0.035
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Regression Analysis: NPP versus Fe, DIN, PO4-P The regression equation is NPP = - 10.0 + 5.4 Fe - 22 DIN + 110 PO4-P Predictor Constant Fe DIN PO4-P
Coef -10.01 5.42 -22.3 110.3
S = 24.4446
SE Coef 30.81 51.99 122.2 220.7
R-Sq = 22.2%
T -0.32 0.10 -0.18 0.50
P 0.776 0.927 0.872 0.667
VIF 1.6 5.6 4.7
R-Sq(adj) = 0.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 2 5
SS 341.0 1195.1 1536.1
MS 113.7 597.5
Stasiun II Correlations: NPP, Fe, DIN, PO4-P Fe
DIN
PO4-P
NPP -0.866 0.026
Fe
-0.534 0.275
0.393 0.441
0.344 0.504
-0.188 0.721
DIN
-0.797 0.058
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
F 0.19
P 0.895
63
Regression Analysis: NPP versus Fe, DIN, PO4-P The regression equation is NPP = 64.4 - 128 Fe - 51 DIN + 12 PO4-P Predictor Constant Fe DIN PO4-P
Coef 64.41 -127.69 -51.4 12.4
S = 20.4004
SE Coef 45.03 58.15 157.0 147.4
R-Sq = 79.6%
T 1.43 -2.20 -0.33 0.08
P 0.289 0.159 0.774 0.941
VIF 1.2 3.3 2.9
R-Sq(adj) = 48.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 2 5
SS 3240.6 832.4 4072.9
MS 1080.2 416.2
F 2.60
P 0.290
Stasiun III Correlations: NPP, Fe, DIN, PO4-P NPP -0.608 0.200
Fe
DIN
0.105 0.843
0.515 0.296
PO4-P
0.209 0.691
0.513 0.298
Fe
DIN
0.984 0.000
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Regression Analysis: NPP versus Fe, DIN, PO4-P The regression equation is NPP = 82.4 - 342 Fe - 659 DIN + 160 PO4-P Predictor Constant Fe DIN PO4-P S = 5.00571
Coef 82.407 -342.19 -659.38 159.83
SE Coef 7.973 27.07 82.69 16.28
R-Sq = 99.2%
T 10.34 -12.64 -7.97 9.82
P 0.009 0.006 0.015 0.010
VIF 1.4 30.8 30.7
R-Sq(adj) = 98.0%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 2 5
SS 6244.7 50.1 6294.8
MS 2081.6 25.1
F 83.07
P 0.012
64 Lampiran 9
Kualitas air kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka pada bulan September dan Oktober 2007 dibandingkan dengan mutu air kelas II (metode Storet)
stasiun I Stasiun Parameter
PP 82 2001 (II)
skor
maks
min
Rataan
31,27
29,70
30,34
19,00
11,00
14,67
150,0 9,00
115,0 6,00
129,0 7,33
7,64
6.63
6,83 – 7,64
6-9
0
Total Fe (mg/l)
0,902
0,121
0,413
(-)
-10
Alkalinitas (mg/l)
5,440
1,940
4,078
Kesadahan (mg/l) Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonia (mg/l) Ortofosfat (mg/l) DO (mg/l) COD (mg/l) Jumlah
15,020 0,631 0,195 0,037 0,350 7,14 15,74
9,010 0,016 0,000 0,004 0,044 5,67 5,12
12,011 0,209 0,044 0,018 0,184 6,683 9,578
10 0,06 (-) 0,2 ≥4 25
0 -8 -10 -2 0 0 -30
PP 82 2001 (II)
skor
FISIKA 0
Suhu ( C) Daya Hantar Listrik (µmhos/cm) Kecerahan (cm) TDS (mg/l) KIMIA pH
Stasiun II Stasiun Parameter
maks
min
Ratarata
30,32
29,71
30,03
28,00
21,00
26,33
213,0 14,00
185,0 11,00
197,5 13,33
6,96
6,11
6,11 – 6,96
6-9
0
0,487
0,024
0,268
(-)
-10
10 0,06 (-) 0,2 ≥4 25
0 -2 -8 -2 0 0 -22
FISIKA Suhu (0C) Daya Hantar Listrik (µmhos/cm) Kecerahan (cm) TDS (mg/l) KIMIA pH Total Fe (mg/l) Alkalinitas (mg/l)
31,07
5,44
13,320
Kesadahan (mg/l) Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonia (mg/l) Ortofosfat (mg/l) DO (mg/l) COD (mg/l) Jumlah
15,010 0,237 0,086 0,053 0,326 6,92 15,74
10,510 0,013 0,002 0,000 0,041 6,39 5,90
13,011 0,112 0,029 0,018 0,166 6,420 11,413
65 Lanjutan Stasiun III Stasiun Parameter
PP 82 2001 (II)
skor
maks
min
Ratarata
30,69
29,96
30,13
14,00
10,00
11,33
247,0 13,00
151,0 4,00
200,4 6,50
6,90
6,53
6,53 – 6,90
6-9
0
Total Fe (mg/l)
0,390
0,146
0,283
(-)
-10
Alkalinitas (mg/l)
34,95
5,05
10,745
Kesadahan (mg/l) Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonia (mg/l) Ortofosfat (mg/l) DO (mg/l) COD (mg/l) Jumlah
15,020 0,359 0,195 0,053 0,841 7,44 16,53
9,010 0,013 0,008 0,000 0,023 5,27 5,90
12,011 0,116 0,057 0,018 0,764 6,155 10,298
10 0,06 (-) 0,2 ≥4 25
0 -2 -8 -8 0 0 -28
FISIKA 0
Suhu ( C) Daya Hantar Listrik (µmhos/cm) Kecerahan (cm) TDS (mg/l) KIMIA pH
66 Lampiran 10 Kualitas rataan air pada tiga kolong di Kecamatan Pemali Kabupaten Bangka berdasarkan katagori I (kecil), II (sedang), dan III (besar)
Stasiun Parameter
Katagori
I
II
III
I
II
III
30,34
30,03
30,13
3
1
2
14,67
26,33
11,33
2
3
1
129,00 7,33
197,50 13,33
200,40 6,50
1 2
2 3
3 1
6,83 –7,64
6,11 – 6,96
6,53 – 6,90
3
1
2
0,413
0,268
0,283
3
1
2
FISIKA 0
Suhu ( C) Daya Hantar Listrik (µmhos/cm) Kecerahan (cm) TDS (mg/l) KIMIA pH Total Fe (mg/l) Alkalinitas (mg/l)
4,078
18,320
10,745
1
3
2
Kesadahan (mg/l) Nitrat (mg/l) Nitrit (mg/l) Amonia (mg/l) Ortofosfat (mg/l) DO (mg/l) COD (mg/l) BIOLOGI Kelimpahan Fitoplankton (Ind/l) Biomass (Chl-a) (mg/l) Produktivitas Primer (mgC/m2/jam) Jumlah
12,011 0,044 0,209 0,018 0,184 6,68 9.58
13,011 0,029 0,112 0,018 0,166 6,42 11,41
12,011 0,057 0,116 0,027 0,764 6,16 10,30
2 2 3 2 2 3 1
3 1 1 2 1 2 3
2 3 2 3 3 1 2
10.607,17
129,90
8.879,33
3
1
2
0,020
0,023
0,019
2
3
1
0,31
-8,13
5,00
2
1
3
37
32
35
Keterangan: 1 = kecil 2 = sedang 3 = besar
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a.
b. c.
d.
bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan; bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup clan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air clan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperlihatkan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, clan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; Mengingat :
a. b. c. d.
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945; Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945; Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan Lembaran Negara Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, tambahan Lembaran Negara Nomor 3046); Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
e.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR. BAB 1 KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah kecuali air laut dan air fosil; 2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, Sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara; 3. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjadi agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya; 4. Pengendalian rnncemaran air adalah upaya pencegahan dan penangulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air; 5. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu; 7. Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air; 8. Rencana pendayagunaan air adalah rencana yang memuat potensi pemanfatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan atau fungsi ekologis;
9. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air; 10. Status mutu air adalah tingkat . kondisi mutu air yang menunjukkanl kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan; 11. Pencemaran air adalah memasuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan mannusia, sehinga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya; 12. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung didalam air atau ,air limbah; 13. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air,untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar; 14. Air Iimbah adalah sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair; 15. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaanya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan atau kegiatan; 16. Pemerintah adalah Presiden beserta para menteri dan Ketua/ Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen; 17. Orang adalah orang perseorangan,dan atau kelompok orang dan atau badan hukum ; 18. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Pasal 2 (1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemmaran air diselengarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem. (2) Keterpaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Pasal 3 Penyelengaraan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang undangan.
Pasal 4 (1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang dinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya. (2) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air melalui upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air. (3) Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada : a. b. c.
sumber yang terdapat di dalam hutan lindung; mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan akuifer air tanah dalam
(4) Upaya pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud didalam ayat (3). (5) Ketentuan mengenai pencemaran kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan perundang - undangan . BAB II PENGELOLAAN KUALITAS AIR Bagian Pertama Wewenang Pasal 5 (1) Pemerintah dilakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi dan atau lintas bataas negara. (2) Pemerintah Propinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas air lintas Kabupaten / Kota. (3) Pemerintah Kabupaten / Kota melakukan pengelolaan kualitas air di Kabupaten / Kota. Pasal 6 Pemerintah dalam melakukan pengelolaan kualitas air sebagamana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota yang bersangkutan.
Bagian Kedua Pendayagunaan Air Pasal 7 (1) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota menyusun rencana pendayagunaan air. (2) Dalam merencanakan pendayagunaan air sebagaimana,dimaksud dalam ayat (1) wajib memperhatikan fungsi ekonomis dan fungsi ekologis, nilai-nilai agama serta adat istiadat yang hidup dalam masyarakat setempat (3) Rencana pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi potensi pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuailtitas dan atau fungsi ekolosis. Bagian Ketiga Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air Pasal 8 (1) Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas : a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air bakti air minum, dan atau peruntukan lain yang imempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan ,air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk imengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut; d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi,pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. (2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 9 (1) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada; a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Propinsi dan atau merupakan lintas batas wilayah negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden. b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten / Kota dapat diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi. c. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten / Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota . (2) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan berdasarkan pada hasil pengkajian yang dilakukan oleh Pemerintah ,Pemerintah Propinsi, dan atau Peinerintah Kabupaten / Kota berdasarkan wewenangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang bersangkutan untuk melakukan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a. (4) Pedoman pengkajian untuk menetapkan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Keempat Baku Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air,dan Status Mutu Air Pasal 10 Baku mutu air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air dan kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9. Pasal 11 (1) Pemerintah dapat menetapkan baku mutu air yang lebih ketat dan atau penambahan parameter pada air yang lintas Propinsi dan atau lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaannya di bawah kewenangan Pemerintah. (2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari instansi terkait.
Pasal 12 (1) Pemerintah propinsi dapat menetapkan; a.
baku mutu air lebih ketat dari kriteria mutu air untuk kelas yang ditetapkan sebagamiana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dan atau b. Tambahan parameter dari yang ada dalam kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalamPasal 8 ayat (2). (2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi. (3) Pedoman penetapan baku mutu air dan penambahan parameter baku mutu air sebagaimana dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 13 (1) Pemantauan kualitas air pada a. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten / Kota dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten / Kota; b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah Kabupaten / Kota dalam satu propinsi dikoordinasikan oleh Pemerintah Propinsi dan dilaksanakan oleh masing-masing Pemerintah Kabupaten / Kota; (2) Pemerintah dapat menugaskan Propinsi Propinsi yang bersangkutan untuk melakukan pemantauan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c. (3) Pemantauan kualitas air sebagamana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 6 (enam )bulan sekali. (4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b, disampaikan kepada Menteri. (5) Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 14 (1) Status mutu air ditetapkan untuk menyatakan; a. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air ; b. kondisi baik , apabila mutu air memenuhi baku mutu air. (2) Ketentuan mengenai tingkatan cemar dan tingkatan baik status mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pedoman penentuan status mutu air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15 (1) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar; maka Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air dengan menetapkan mutu air sasaran. (2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas air. Pasal 16 (1) Gubernur menunjuk laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi untuk melakukan analisis mutu air dan mutu air limbah dalam rangka pengendalian pencemaran air. (2) Dalam hal Gubernur belum menunjuk laboratorium sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka analisis mutu air dan mutu air limbah dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk Menteri. Pasal 17 Dalam hal terjadi perbedaan hasil analisis mutu air atau mutu air Iimbah dari dua atau lebih laboratoriummaka dilakukan verifikasi ilmiah terhadap analisis yang dilakukan. Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan menggunakan laboratorium rujukan nasional.
BAB III PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR Bagian Pertama Wewenang Pasal 18 (1) Pemerintah melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas Propinsi dan atau lintas batas negara. (2) Pemerintah Propinsi melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yailg lintas Kabupaten / Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang berada pada Kabupaten/ Kota. Pasal 19 Pemerintah dalam melakukanpengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah propinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota yang bersangkutan. Pasal 20 Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber air berwenang: a. menetapkan daya tampung beban pencemaran; b. melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar; c. menetapkan persyaratan air Iimbah untuk aplikasi pada tanah; d. menetapkan persyaratan pembuangan air Iimbah ke air atau sumber air; e. memantau kwalitas air pada sumber air; dan f. memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air. Pasal 21 (1) Baku mutu air Iimbah nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari instansi terkait. (2) Baku mutu air Iimbah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari baku mutu air Iimbah nasional sebagaiimana dimaksud dalam ayat (1). (3) Hasil inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota disampaikan kepada Menteri secara berkala sekurangkurangnya 1 (satu) tahun sekali. 1 (4) Pedoman inventarisasi ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 22 Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), Menteri menetapkan kebijakan nasional pengendalian pencemaran air.
Pasal 23 (1) Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air ditetapkan daya tampung beban pencemmaran air pada sumber air. (2) Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara berkala sekurangkurangnya 5 (Iima) tahun sekali. (3) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan untuk a. pemberian izin lokasi; b. pengelolaan air dan sumber air ; c. penetapan rencana tata ruang ; d. pemberian izin pembuangan air limbah; e. penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air. (4) Pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Bagian Kedua Retribusi Pembuangan Air Limbah Pasal 24 (1) Setiap orang yang membuang air Iimbah ke prasarana dan atau sarana pengelolaan air Iimbah yang disediakan oleh Pemerintah Kabupatenl / Kota dikenakan retribusi. (2) Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota. Bagian Ketiga Penangulangan Darurat Pasal 25 Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga lainnya. Pasal 26 Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, maka penangung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan penangulangan dan pemulihan.
BAB IV PELAPORAN Pasal 27 (1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya pencemaran ,air, wajib melaporkan kepada Pejabat yang berwenang. (2) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat a. b. c. d. e.
tanggal pelaporan; waktu dan tempat; peristiwa yang terjadi; sumber penyebab; perkiraan dampak.
(3) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam iangka waktu selambatlambatnya 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib meneruskanya kepada Bupati / Walikota / Menteri. (4) Bupati / Walikota / Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wa,iib negeri melakukan verifikasi untuk mengetahui tentang kebenaran terjadinya pelanggaran terhadap pengelolaan kualitas air dan atau terjadinya pencemaran air (5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan telah terjadinya pelanggaran, maka Bupati / Walikota / Menteri wajib memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menanggulangi pelanggaran dan atau pencemaran airr serta dampaknya. Pasal 28 Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (5) Bupati / walikota / Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 29 Setiap penanggung,jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan penanggulangan pencemaran air dan pemulihan kualitas air, wajib menyaimpaikan laporannya kepada Bupati / Walikota / Menteri. BAB V HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Pertama Hak Pasal 30 (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang baik. (2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran air. (3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan , kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai peraturan perundang - undangan yang berlaku. Bagian Kedua Kewajiban Pasal 31 Setiap orang wajib : melestarikan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) mengendalikaan pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud didalam Pasal 4 ayat (4). Pasal 32 Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pelaksanaan kewajiban pengelolan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pasal 33
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota wajib memberikan lnformasi kepadamasyarakat mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pasal 34 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan tentang penataan persyaratan izin aplikasi air limbah pada tanah (2) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegitan wajib menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan izin pembuangan air Iimbah ke air atau sumber air. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada Bupati /Walikota dengan tembusan disampaikan kepada Menteri. (4) Ketentuan mengenai pedoman pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. BAB VI PERSYARATAN PEMANFAATAN DAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH Bagian Pertama Pemanfaatan Air Limbah Pasal 35 (1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan memanfaatkan air Iimbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah wajib mendapat izin tertulis dari Bupat / Walikota. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan . (3) Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan oleh Bupati / Walikota dengan memperhatian pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 36 (1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pemanfaatan air limbah ke tanah Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang -kurangnya :aplikasi pada tanah.
(2) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati / Walikota. a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman ; b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat. (3) Bupati / Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang diajukan oleh pemkarssa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) (4) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan bahwa pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah layak lingkungan, maka Bupati/ Walikota menerbitkan izin pemanfaatan air limbah (5) Penerbitan pemanfaatan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu selambatselambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan izin (6) Pedoman pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Bagian kedua Pembuangan Air Limbah Pasal 37 Setiap penanggung usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mencegah dan menangulangi terjadinya pencemaran air Pasal 38
(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mentaati persyaratan yang ditetapkan dalam izin (2) Dalam persyaratan izin Pembuangan air Iimbah sebagaimana dimaksud didalam ayat (1) waiib dicantumkan a. kewajiban untukmengoloa Iimbah; b. persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang ke media lingkungan ; c. persyaratan cara pembuangan air limbah ;
d. persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur penanggulamgan keadaan darurat ; e. persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air limbah ; f. persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan analisis mengenai dampak lingkungan yang erat kaitannya dengan pengendalian pencemaran air bagi usaha dan atau kegiatan yang wajib melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan ; g. larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu atau pelepasan dadakan ;saat h. larangan untuk melakukan pengenceran air limbah dalam upaya penataan batas kadar yang diperyaratkan; i. kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau. (3) Dalam penetapan peryaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi air limbah yang mengandung radioaktif, Bupati/ Walikota wajib mendapat rekomendasi tertulis dari lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di bidang tenaga atom. Pasal 39 (1) Bupati / Walikota dalam menentukan baku mutu air limbah yang diinginkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (2) didasarkan pada daya tampung beban pencemaran pada sumber air ; (2) Dalam hal daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum dapat ditentukan, maka batas mutu air limbah yang diizinkan ditetapkan berdasarkan bku mutu air limbah nasional sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) Pasal 40 (1) Setiap usaha dan kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mendapatkan izin tertulis dari Bupati / Walikota. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan. Pasal 41 (1) Pemrakarsa melakukan kajian limbah ke air atau sumber air.
mengenai
pembuangan
air
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi sekurang-kurangnya : a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat. (3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati / Walikota . (4) Bupati / Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). (5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana diamksud dalam ayat (4) menunjukakan bahwa pembuangan air limbah ke air atau sumber air layak lingkungan, maka Bupati / Walikota menerbitkan izin pembungan air limbah. (6) Penerbitan izin pembungan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu selambatlambatnya 90 (sembilan puluh ) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan izin. (7) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembungan air limbah ditetapkan oleh Bupati /Walikota dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan Menteri (8) Pedoman kajian pembungan air limbah sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 42 Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke dalam air dan sumber air. BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Pertama Pembinaan Pasal 43 (1) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota melakukan pembinaan untuk meningkatkan ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dalam pengelolaan kualitas air dan pengendaliaan pencemaran air.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksudkan dalam yat (1) meliputi: a. pemberian penyuluhan mengenai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelola lingkungan hidup; b. penerapan kebijakan insentif dan atau disinsentif (3) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota melakukan upaya pengelolaan dan atau pembinaan pengelolaan air limbah rumah tangga. (4) Upaya pengelolaan air limbah rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilakukan oleh pemerintah Propinsi, pemerintah Kabupaten / Kota dengan membangun sarana dan prasarana pengelolaan limbah rumah tangga terpadu. (5) Pembangunan saran dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang -undangan yang berlaku. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 44 (1) Bupati / Walikota wajib melakukan pengawasan terhadap penataan persyaratan yang tercantum dalam izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (2) (2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pejabat pengawas lingkungan daerah. Pasal 45 Dalam hal tertentu pejabat pengawas lingkungan melakukan pengawasan terhadap penataan persyaratan yang tercantum dalam izin melakukan usaha dan atau kegiatan. Pasal 46 (1) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasa 44 ayat (2) dan pasal 45 berwenang : a. melakukan pemantauan yang meliputi pengamatan, pemotretan, perekaman audio visual, dan pengukuran; b. meminta keterangan kepada masyarakat yang berkepentingan, karyawan yang bersangkutan, konsultan, kontraktor, dan perangkat pemerintahan setempat;
c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan, antara lain dokumen perizinan, dokumen AMDAL, UKI, UPL, data hasil swapantau, dokumen surat keputusan organisasi perusahaan; d. memasuki tempat tertentu; e. mengambil contoh dari air limbah yang dihasilkan, air limbah yang dibuang, bahan baku, dan bahan penolog; f. memeriksa peralatan yang digunakan dalam proses produksi, utilitas, dan instansi pengolahan limbah; g. memeriksa instansi, dan atau alat transportasi; (2) Kewenangan membuat catatan sebagaimana dimaksud (3) dalam ayat (1) huruf c meliputi pembuatan denah, sketsa, gambar, peta, dan atau dekripsi yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pengawasan. Pasal 47 Pejabat pengawas dalam melaksanakan tugasnya memperlihatkan surat tugas dan atau tanda pengenal.
wajib
BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Sanksi Administrasi Pasal 48 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatn yang melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40,dan Pasal 42, Bupati / Walikota berwenang menjatuhkan sanksi administrasi. Pasal 49 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 25, Bupati / Walikota / Mentri berwenang menerapkan paksaan pemerintahan atau uang paksa.
Bagian Kedua Ganti Kerugian Pasal 50 (1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan aatau melakukan tindakan tertentu. (2) Selain pembeban untuk melakukan tindakkan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakkan tertentu tersebut. Bagian Ketiga Sanksi Pidana Pasal 51 Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 26, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 42, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran air, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 44, pasal 45, pasal 46, pasal 47 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 52 Baku mutu air limbah untuk jenis usah dan atau kegiatan tertentu yang telah ditetapkan oleh daerah, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PeraturanPemerintah ini. Pasal 53 (1) Bagi usaha dan atau kegiatan yang menggunakan air limbah untuk aplikasi pada tanah, maka dalam jangka waktu satu tahun setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib memiliki izin pemanfaatan air limbah pada tanah dari Bupati / Walikota. (2) Bagi usaha dan atau kegiatan yang sudah beroperasi belum memiliki izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air, maka dalam waktu satu tahun sejak diundangkannya Peraturan
Pemerintah ini wajib memperoleh izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air Bupati / Walikota. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 54 Penetapan daya tampung beben pencemaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (3) wajib ditetapkan selambatlambatnya 3 (tiga ) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini Pasal 55 Dalam hal baku mutu air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 dan pasal 12 ayat (1) belum atau tidak ditetapkan, berlaku kreteria mutu air untuk kelas II sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini sebagai baku mutu air. Pasal 56 (1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, baku mutu air yang telah ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini (2) Dalam hal baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat dddari baku mutu air dalam peraturan pemerintah ini, maka baku mutu air sebelimnya tetap berlaku. Pasal 57 (1) Dalam hal jenis usaha dan atau kegiatan belum ditentukan baku mutu air limbahnya, maka baku mutu air limbah yang berlaku di daerah tersebut dapat ditetepkan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. (2) Ketentuan mengenai baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetepkan dengan Peraturan Daerah Propinsi. Pasal 58 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang telah ada, tetap brlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan berdasarkan peraturan pemerintah ini.
dan
belum
diganti
Pasal 59 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Penendalian Pencemaran Air ( Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 60 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 2001 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO
LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 82 TAHUN 2001 TANGGAL 14 DESEMBER 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas PARAMETER
SATUAN
KELAS I
II
III
KETERANGAN IV
FISIKA Tempelatur Residu Terlarut
Residu Tersuspensi
o
C
mg/ L
mg/L
deviasi 3
deviasi 3
deviasi 3
deviasi 5
1000
1000
1000
2000
50
50
400
Deviasi temperatur dari keadaan almiahnya
400
Bagi pengolahan air minum secara konvesional, residu tersuspensi ≤ 5000 mg/ L Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah
KIMIA ANORGANIK
pH
6-9
6-9
6-9
5-9
mg/L
2
3
6
12
COD
mg/L
10
25
50
100
DO
mg/L
6
4
3
0
Total Fosfat sbg P
mg/L
0,2
0,2
1
5
NO 3 sebagai N
mg/L
10
10
20
20
BOD
NH3-N
mg/L
0,5
(-)
(-)
(-)
Arsen
mg/L
0,05
1
1
1
Kobalt
mg/L
0,2
0,2
0,2
0,2
Barium
mg/L
1
(-)
(-)
(-)
Boron
mg/L
1
1
1
1
Selenium
mg/L
0,01
0,05
0,05
0,05
Kadmium
mg/L
0,01
0,01
0,01
0,01
Khrom (VI)
mg/L
0,05
0,05
0,05
0,01
Tembaga
mg/L
0,02
0,02
0,02
0,2
Angka batas minimum
Bagi perikanan, kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka ≤ 0,02 mg/L sebagai NH3
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Cu ≤ 1 mg/L
Besi
mg/L
0,3
(-)
(-)
(-)
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Fe ≤ 5 mg/L Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Pb ≤ 0,1 mg/L
Timbal
mg/L
0,03
0,03
0,03
1
Mangan
mg/L
0,1
(-)
(-)
(-)
Air Raksa
mg/L
0,001
0,002
0,002
0,005 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Zn ≤ 5 mg/L
Seng
mg/L
0,05
0,05
0,05
2
Khlorida
mg/l
600
(-)
(-)
(-)
Sianida
mg/L
0,02
0,02
0,02
(-)
Fluorida
mg/L
0,5
1,5
1,5
(-)
Nitrit sebagai N
mg/L
0,06
0,06
0,06
(-)
Sulfat
mg/L
400
(-)
(-)
(-)
Khlorin bebas
mg/L
0,03
0,03
0,03
(-)
Bagi ABAM tidak dipersyaratkan Bagi pengolahan air minum secara konvensional, S sebagai H2S <0,1 mg/L
Belereng sebagai H2S
mg/L
0,002
0,002
0,002
(-)
Fecal coliform
jml/100 ml
100
1000
2000
2000
-Total coliform
jml/100 ml
1000
5000
10000
10000
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, NO2_N ≤ 1 mg/L
MIKROBIOLOGI
-RADIOAKTIVITAS - Gross-A
Bq /L
0,1
0,1
0,1
0,1
- Gross-B
Bq /L
1
1
1
1
Minyak dan Lemak
ug /L
1000
1000
1000
(-)
Detergen sebagai MBAS
ug /L
200
200
200
(-)
Senyawa Fenol
ug /L
1
1
1
(-)
BHC
ug /L
210
210
210
(-)
Aldrin / Dieldrin
ug /L
17
(-)
(-)
(-)
Chlordane
ug /L
3
(-)
(-)
(-)
DDT
ug /L
2
2
2
2
Heptachlor dan
ug /L
18
(-)
(-)
(-)
Lindane
ug /L
56
(-)
(-)
(-)
Methoxyclor
ug /L
35
(-)
(-)
(-)
Endrin
ug /L
1
4
4
(-)
Toxaphan
ug /L
5
(-)
(-)
(-)
KIMIA ORGANIK
sebagai Fenol
heptachlor epoxide
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, fecal coliform ≤ 2000 jml / 100 ml dan total coliform ≤ 10000 jml/100 ml
Keterangan : mg= miligram ug = mikrogram ml = militer L = liter Bq= Bequerel MBAS = Methylene Blue Active Substance ABAM = Air Baku untuk Air Minum Logam berat merupakan logam terlarut Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk pH dan DO. Bagi pH merupakan nilai rentang yang tidak boleh kurang atau lebih dari nilai yang tercantum. Nilai DO merupakan batas minimum. Arti (-) di atas menyatakan bahwa untuk kelas termasuk, parameter tersebut tidak dipersyaratkan Tanda ≤ adalah lebih kecil atau sama dengan Tanda < adalah lebih kecil
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. MEGAWATI SOEKARNO PUTRI
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR UMUM. Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Untuk menjaga atau mencapai kualitas air sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan sesuai dengan tingkat mutu air yang diinginkan, maka perlu upaya pelestarian dan atau pengendalian. Pelestarian kualitas air merupakan upaya untuk memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada kondisi alamiahnya. Pelestarian kualitas air dilakukan pada sumber air yang terdapat di hutan lindung. Sedangkan pengelolaan kualitas air pada sumber air di luar hutan lindung dilakukan dengan upaya pengendalian pencemaran air, yaitu upaya memelihara fungsi air sehingga kualitas air memenuhi baku mutu air. Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Air yang kualitasnya buruk akan mengakibatkan kondisi lingkungan hidup menjadi buruk sehingga akan mempengaruhi kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta kehidupan makhluk hidup lainnya. Penurunan kualitas air akan menurunkan dayaguna, hasil guna, produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural resources depletion). Air sebagai komponen sumber daya alam yang sangat penting maka harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini berarti bahwa penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu air perlu dikelola agar tersedia dalam jumlah yang aman, baik kuantitas maupun kualitasnya, dan bermanfaat bagi kehidupan dan perikehidupan manusia serta
makhluk hidup lainnya agar tetap berfungsi secara ekologis, guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Di satu pihak, usaha dan atau kegiatan manusia memerlukan air yang berdaya guna, tetapi di lain pihak berpotensi menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa pencemaran yang dapat mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung, dan produktivitasnya. Agar air dapat bermanfaat secara lestari dan pembangunan dapat berkelanjutan, maka dalam pelaksanaan pembangunan perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Dampak negatif pencemaran air mempunyai nilai (biaya) ekonomik, di samping nilai ekologik, dan sosial budaya. Upaya pemulihan kondisi air yang cemar, bagaimanapun akan memerlukan biaya yang mungkin lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kemanfaatan finansial dari kegiatan yang menyebabkan pencemarannya. Demikian pula bila kondisi air yang cemar dibiarkan (tanpa upaya pemulihan) juga mengandung ongkos, mengingat air yang cemar akan menimbulkan biaya untuk menanggulangi akibat dan atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh air yang cemar. Berdasarkan definisinya, Pencemaran air yang diindikasikan dengan turunnya kualitas air sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Yang dimaksud dengan tingkat tertentu tersebut di atas adalah baku mutu air yang ditetapkan dan berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan telah terjadinya pencemaran air, juga merupakan arahan tentang tingkat kualitas air yang akan dicapai atau dipertahankan oleh setiap program kerja pengendalian pencemaran air. Penetapan baku mutu air selain didasarkan pada peruntukan (designated beneficial water uses), juga didasarkan pada kondisi nyata kualitas air yang mungkin berada antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, penetapan baku mutu air dengan pendekatan golongan peruntukkan perlu disesuaikan dengan menerapkan pendekatan klasifikasi kualitas air (kelas air). Penetapan baku mutu air yang didasarkan pada peruntukan semata akan menghadapi kesulitan serta tidak realistis dan sulit dicapai pada air yang kondisi nyata kualitasnya tidak layak untuk semua golongan peruntukan. Dengan ditetapkannya baku mutu air pada sumber air dan memperhatikan kondisi airnya, akan dapat dihitung berapa beban zat pencemar yang dapat ditenggang adanya oleh air penerima sehingga air dapat tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Beban pencemaran ini pencemaran bagi air peruntukannya.
merupakan daya tampung beban penerima yang telah ditetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air dianggap tidak memadai lagi, karena secara substansial tidak sesuai dengan prinsip otonomi daerah sebagaimana dikandung dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Mengingat sifat air yang dinamis dan pada umumnya berada dan atau mengalir melintasi batas wilayah administrasi pemerintahan, maka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air tidak hanya dapat dilakukan sendiri-sendiri (partial) oleh satu pemerintah daerah. Dengan demikian harus dilakukan secara terpadu antar wilayah administrasi dan didasarkan pada karakter ekosistemnya sehingga dapat tercapai pengelolaan yang efisien dan efektif. Keterpaduan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air ini dilakukan melalui upaya koordinasi antar pemerintah daerah yang berada dalam satu kesatuan ekosistem air dan atau satu kesatuan pengelolaan sumber daya air antara lain daerah aliran sungai (DAS) dan daerah pengaliran sungai (DPS). Kerja sama antar daerah dapat dilakukan melalui badan kerja sama antar daerah. Dalam koordinasi dan kerja sama tersebut termasuk dengan instansi terkait, baik menyangkut rencana
pemanfaatan air, pemantauan kualitas air, penetapan baku mutu air, penetapan daya tampung, penetapan mekanisme perizinan pembuangan air limbah, pembinaan dan pengawasan penaatan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk memelihara kualitas air untuk tujuan melestarikan fungsi air, dengan melestarikan (conservation) atau mengendalikan (control). Pelestarian kualitas air dimaksudkan untuk memelihara kondisi kualitas air sebagaimana kondisi alamiahnya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Kondisi alamiah air pada sumber air dalam hutan lindung, mata air dan akuifer air tanah dalam secara umum kualitasnya sangat baik. Air pada sumber-sumber air tersebut juga akan sulit dipulihkan kualitasnya apabila tercemar, dan perlu waktu bertahun-tahun untuk pemulihannya. Oleh karena itu harus dipelihara kualitasnya sebagaimana kondisi alamiahnya. Mata air kualitas airnya perlu dilestarikan sebagaimana kondisi alamiahnya, baik mata air di dalam maupun di luar hutan lindung. Air di bawah permukaan tanah berada di wadah atau tempat yang disebut akuifer. Air tanah dalam adalah air pada akuifer yang berada di antara dua lapisan batuan
geologis tertentu, yang menerima resapan air dari bagian hulunya. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Ayat (4) Upaya pengendalian pencemaran air antara lain dilakukan dengan membatasi beban pencemaran yang ditenggang masuknya ke dalam air sebatas tidak akan menyebabkan air menjadi cemar (sebatas masih memenuhi baku mutu air). Ayat (5) Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas
Pasal 7 Ayat (1) Rencana pendayagunaan air meliputi penggunaan untuk pemanfaatan sekarang dan masa yang akan datang. Rencana pendayagunaan air diperlukan dalam rangka menetapkan baku mutu air dan mutu air sasaran, sehingga dapat diketahui arah program pengelolaan kualitas air. Ayat (2) Air pada lingkungan masyarakat setempat dapat mempunyai fungsi dan nilai yang
tinggi dari aspek sosial budaya. Misalnya air untuk keperluan ritual dan kultural. Ayat (3) Pendayagunaan air adalah pemanfaatan air yang digunakan sekarang ini (existing uses) dan potensi air sebagai cadangan untuk pemanfaatan di masa mendatang (future uses). Pasal 8 Ayat (1) Pembagian kelas ini didasarkan pada peringkat (gradasi) tingkatan baiknya mutu air, dan kemungkinan kegunaannya. Tingkatan mutu air Kelas Satu merupakan tingkatan yang terbaik. Secara relatif, tingkatan mutu air Kelas Satu lebih baik dari Kelas Dua, dan selanjutnya. Tingkatan mutu air dari setiap kelas disusun berdasarkan kemungkinan kegunaannya bagi suatu peruntukan air (designated beneficial water uses). Air baku air minum adalah air yang dapat diolah menjadi air yang layak sebagai air minum dengan mengolah secara sederhana dengan cara difiltrasi, disinfeksi, dan dididihkan. Klasifikasi mutu air merupakan pendekatan untuk menetapkan kriteria mutu air dari tiap kelas, yang akan menjadi dasar untuk penetapan baku mutu air. Setiap kelas air mempersyaratkan mutu air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. Peruntukan lain yang dimaksud misalnya kegunaan air untuk proses industri, kegiatan penambangan dan pembangkit tenaga listrik, asalkan kegunaan tersebut dapat menggunakan air dengan mutu air
sebagaimana kriteria mutu air dari kelas air dimaksud. Ayat (2) Cukup Jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengkajian yang dimaksud adalah kegiatan untuk mengetahui informasi mengenai keadaan mutu air saat ini (existing quality), rencana pendayagunaan air sesuai dengan kriteria kelas yang diinginkan, dan tingkat mutu air yang akan dicapai (objective quality). Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Pedoman pengkajian yang dimaksud meliputi pedoman untuk menentukan keadaan mutu air, penyusunan rencana penggunaan air, dan penentuan tingkat mutu air yang ingin dicapai. Pedoman pengkajian mencakup antara lain ketatalaksanaan pada sumber air yang bersifat lintas daerah (Kabupaten/Kota dan Propinsi). Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Pengetatan dan atau penambahan parameter tersebut didasarkan pada kondisi spesifik, antara lain atas pertimbangan karena di daerah tersebut terdapat biota dan atau spesies sensitif yang perlu dilindungi.
Yang dimaksud dengan yang lebih ketat adalah yang tingkat kualitas airnya lebih baik. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air meliputi, antara lain , rencana pemantauan, pengharmonisasian operasi pemantauan kualitas air, pelaporan dan pengelolaan data hasil pemantauan. Pasal 14 Ayat (1) Status mutu air merupakan informasi mengenai tingkatan mutu air pada sumber air dalam waktu tertentu. Dalam rangka pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian pencemaran air, perlu diketahui status mutu air (the state of the water quality). Untuk itu maka dilakukan pemantauan kualitas air guna mengetahui mutu air, dengan membandingkan mutu air. Tidak memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil pemantauan kualitas air
tingkat kualitas airnya lebih buruk dari baku mutu air. Memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil pemantauan kualitas air tingkat kualitas airnya sama atau lebih baik dari baku mutu air. Dalam hal metoda baku penilaian status mutu air belum ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dapat digunakan kaidah ilmiah. Contoh parameter yang belum tercantum dalam kriteria mutu air sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini antara lain, parameterparameter bio-indikator dan toksisitas. Ayat (2) Kondisi cemar dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, seperti tingkatan cemar berat, cemar sedang, dan cemar ringan. Demikian pula kondisi baik dapat dibagi menjadi sangat baik dan cukup baik. Tingkatan tersebut dapat dinyatakan antara lain dengan menggunakan suatu indeks. Pasal 15 Ayat (1) Penanggulangan pencemaran air dan pemulihan kualitas air yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintahh Kabupaten/Kota, meliputi pula program kerja pengendalian pencemaran air dan pemulihan kualitas air secara berkesinambungan. Mutu air sasaran (water quality objective) adalah mutu air yang direncanakan untuk dapat diwujudkan dalam jangka waktu tertentu melalui penyelenggaraan program kerja dalam rangka pengendalian pencemaran air dan pemulihan kualitas air.
Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Akreditasi dilakukan oleh lembaga yang berwenang melaksanakan akreditasi laboratorium di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Ayat (2) Cukup jelas
Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penunjukan laboratorium oleh Menteri sebagai laboratorium rujukan dimaksudkan antara lain untuk menguji kebenaran teknik, prosedur, metode pengambilan dan metode analisis sampel. Kesimpulan yang ditetapkan tersebut menjadi alat bukti tentang mutu air dan mutu air limbah. Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Huruf a Cukup jelas
Huruf b Inventarisasi adalah pengumpulan data dan informasi yang diperlukan untuk mengetahui sebab dan faktor yang menyebabkan penurunanan kualitas air. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Faktor lain yang dimaksud antara lain faktor fluktuasi debit. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Hasil inventarisasi sumber pencemaran air diperlukan antara lain untuk penetapan program kerja pengendalian pencemaran air. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)
Daya tampung beban pencemaan pada suatu sumber air dapat berubah dari waktu ke waktu mengingat antara lain karena fluktuasi debit atau kuantitas air dan perubahan kualitas air. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Pengenaan retribusi tersebut sebagai konsekuensi dari penyediaan sarana pengolahan (pengelolaan) air limbah yang disediakan oleh Kabupaten/Kota. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 25 Pencemaran air akibat keadaan darurat dapat disebabkan antara lain kebocoran atau tumpahan bahan kimia dari tangki penyimpanannya akibat kegagalan desain, ketidak-tepatan operasi, kecelakaan dan atau bencana alam. Upaya pengendalian pencemaran air dalam ayat ini antara lain dapat berupa prasarana dan sarana pengelolaan air limbah terpadu (sewerage treatment plant). Upaya termaksud dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak ketiga sesuai peraturan perundangundangan. Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1)
Pejabat yang berwenang yang dimaksud, antara lain, adalah Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Polisi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 28 Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara lain laboratorium kegiatan penelitian dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit, pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah (land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Informasi mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang dimaksud dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian pencemaran air yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil
pemantauan air, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas air, dan rencana tata ruang. Ayat (3) Peran serta sebagaimana dimaksud meliputi proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Peran serta tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian dan atau perumusan kebijaksanaan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, dan melakukan pengamatan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan memungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pasal 31 Huruf a Cukup jelas Huruf b Air pada sumber air dan air yang terdapat di luar hutan lindung dilakukan pengendalian terhadap sumber yang dapat menimbulkan pencemaran. Hal ini karena terdapat berbagai kegiatan yang akan mengakibatkan penurunan kualitas air. Namun, penurunan kualitas air tersebut masih dapat ditenggang selama tidak melampaui baku mutu air. Pasal 32 Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara lain laboratorium kegiatan penelitian
dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit, pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah (land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Informasi yang benar tersebut dimaksudkan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 33 Pemberian informasi dilakukan melalui media cetak, media elektronik atau papan pengumuman yang meliputi antara lain: status mutu air; bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem; sumber pencemaran dan atau penyebab lainnya; dampaknya terhadap kehidupan masyarakat; dan atau langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan upaya pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian pencemaran air. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Laporan dimaksud dibuat sesuai dengan format terminal data (data base) pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 35
Ayat (1) Air limbah dari suatu usaha dan atau kegiatan tertentu dapat dimanfaatkan untuk mengairi areal pertanaman tertentu dengan cara aplikasi air limbah pada tanah (land aplication), namun dapat berisiko terjadinya pencemaran terhadap tanah, air tanah, dan atau air. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 36 Ayat (1) Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Aplikasi pada tanah perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu secara spesifik berkenaan dengan kandungan dan debit air limbah, sifat dan luasan tanah areal pertanaman yang akan diaplikasi, dan jenis tanamannya, untuk mengetahui cara aplikasi yang tepat sehingga dapat mencegah pencemaran tanah, air tanah, dan air serta penurunan produktivitas pertanaman. Ayat (2) Persyaratan penelitian dimaksud merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi. Oleh karena itu maka persyaratan lain berdasarkan penelitian yang dianggap perlu dimungkinkan untuk ditambahkan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Pedoman pengkajian meliputi, antara lain, petunjuk mengenai rencana penelitian, metode, operasi, dan pemeliharaan. Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Pembuangan air limbah adalah pemasukan air limbah secara pelepasan (discharge) bukan secara dumping dan atau pelepasan dadakan (shock discharge). Pembuangan air limbah yang berupa sisa dari usaha dan atau kegiatan penambangan, seperti misalnya “air terproduksi” (produced water), yang akan dikembalikan ke dalam formasi asalnya juga wajib menaati baku mutu air limbah yang ditetapkan secara spesifik untuk jenis air limbah tersebut. Air yang keluar dari turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bukan merupakan sisa kegiatan PLTA, sehingga tidak termasuk dalam ketentuan Pasal ini. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 39
Ayat (1) Masuknya air limbah ke dalam air dapat menurunkan kualitas air tergantung beban pencemaran air limbah dan kemampuan air menerima beban tersebut. Air yang kondisi kualitasnya lebih baik dari baku mutu air berarti masih memiliki kemampuan untuk menerima beban pencemaran. Apabila beban pencemaran yang masuk melebihi kemampuan air menerima beban tersebut maka akan menyebabkan pencemaran air, yaitu kondisi kualitas air tidak memenuhi baku mutu air. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Pengertian limbah padat termasuk limbah yang berwujud lumpur dan atau slurry. Contoh dari pembuangan limbah padat misalnya pembuangan atau penempatan material sisa usaha dan atau kegiatan penambangan berupa tailing, ke dalam air dan atau sumber air. Contoh dari pembuangan gas misalnya memasukkan pipa pembuangan gas yang mengandung unsur pencemar seperti Ammonium dan atau uap panas ke dalam air dan atau pada sumber air. Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Contoh kebijakan insentif antara lain dapat berupa pengenaan biaya pembuangan air limbah yang lebih murah dari tarif baku, mengurangi frekuensi swapantau, dan pemberian penghargaan. Contoh kebijakan disinsentif antara lain dapat berupa pengenaan biaya pembuangan air limbah yang lebih mahal dari tarif baku, menambah frekuensi swapantau, dan mengumumkan kepada masyarakat riwayat kinerja penaatannya.
Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Hal tertentu yang dimaksud antara lain daerah belum mampu melakukan pengawasan sendiri, belum ada pejabat pengawas lingkungan daerah, belum tersedianya sarana dan prasarana atau daerah tidak melakukan pengawasan. Pasal 46 Ayat (1) Huruf a Pemotretan/rekaman visual sepanjang tidak membahayakan keamanan usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan, seperti kilang minyak dan petro kimia. Huruf b Cukup jelas
Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Sanksi administrasi meliputi teguran tertulis, penghentian sementara, dan pencabutan izin melakukan usaha dan atau kegiatan. Pasal 49 Paksaan pemerintahan adalah tindakan untuk mengakhiri terjadinya pelanggaran, menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan. Atau tindakan tersebut di atas dapat diganti dengan uang paksa (dwangsom).
Pasal 50 Ayat (1) Pengaturan ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti kerugian, pencemar dan atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk : a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan; b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup. Ayat (2) Tindakan tertentu yang dimaksud antara lain melakukan penyelamatan dan atau tindakan penanggulangan dan atau pemulihan lingkungan hidup. Tindakan pemulihan mencakup kegiatan untuk mencegah timbulnya kejadian yang sama dikemudian hari. Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas
Pasal 56 Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Cukup jelas Pasal 59 Cukup jelas Pasal 60 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4161