KARAKTERISTIK DAN KECEPATAN TERBANG MERPATI LOKAL TIPE TINGGIAN
SKRIPSI RICKY FIRMANSYAH
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN Ricky Firmansyah. D14080319. 2012. Karakteristik dan Kecepatan Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Sri Darwati, M.Si. Pembimbing Anggota : Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc.Agr. Merpati merupakan salah satu jenis unggas yang telah lama dikenal di Indonesia. Merpati dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu merpati pedaging, merpati hias dan merpati balap. Merpati memiliki keistimewaan yaitu naluri untuk pulang kandang (homing). Keistimewaan ini yang dimanfaatkan peternak untuk membuat serangkaian perlombaan dengan mengadu kecepatan terbang merpati. Adapun kecepatan terbang diduga ada kaitannya dengan karakteristik dan ukuran tubuh merpati, oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengamati karakteristik, ukuran tubuh dan kecepatan terbang. Tujuan penelitian ini yaitu mempelajari karakteristik sifat kualitatif dan kuantitatif serta ukuran tubuh yang berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian. Penelitian dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat pada bulan April hingga Juni 2012. Materi penelitian berupa 30 pasang atau 60 ekor merpati berumur 9-12 bulan. Sepasang merpati ditempatkan dalam kandang berukuran panjang 50 cm, lebar 40 cm dan tinggi 30 cm dengan sistem pemeliharaan semi intensif. Pakan diberikan sebanyak 70 g/pasang/hari, sedangkan air minum diberikan ad libitum. Sepasang merpati dipelihara selama 14 hari. Merpati jantan dilatih terbang selama 9 hari untuk memperoleh rataan kecepatan terbang pada jarak 100, 150 dan 200 m. Selama 14 hari merpati diamati sifat kualitatif dan kuantitatif serta rataan kecepatan terbang. Hasil yang didapat untuk sifat kualitatif disajikan deskriptif, sedangkan untuk sifat kuantitatif diuji t untuk membandingkan sifat kuantitatif merpati jantan dan betina serta membandingkan ukuran tubuh merpati jantan sebelum dan setelah dilatih terbang. Selain itu menduga korelasi antara ukuran tubuh merpati jantan dan rataan kecepatan terbang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat kualitatif merpati lokal tipe tinggian baik jantan maupun betina masih beragam. Bobot badan dan ukuran tubuh seperti lebar dada luar, lebar dada dalam, lingkar dada, panjang dada, lebar pangkal ekor dan panjang ekor pada merpati jantan dan betina sangat berbeda nyata (P<0,01), sedangkan dalam dada dan panjang punggung berbeda nyata (P<0,05). Bobot badan dan lingkar dada merpati jantan sebelum dan setelah dilatih terbang sangat berbeda nyata (P<0,01), sedangkan dalam dada dan rentang sayap berbeda nyata (P<0,05). Kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian pada jarak 100 m yaitu 10,64 m/detik, 150 m yaitu 10,52 m/detik dan 200 m yaitu 10,01 m/detik. Pola terbang lurus langsung memiliki rataan kecepatan terbang 10,48 m/detik, pola terbang berputar lalu lurus 9,30 m/detik dan pola terbang lurus lalu berputar 10,26 m/detik. Bobot badan dan ukuran tubuh merpati jantan lebih besar dibandingkan merpati betina. Latihan terbang mempengaruhi bobot badan dan ukuran tubuh. Bobot badan menurun setelah dilatih terbang, sedangkan ukuran tubuh pada pangkal sayap akan menebal. Ukuran tubuh tidak berkorelasi nyata dengan kecepatan terbang, artinya
i
ukuran tubuh belum bisa dijadikan faktor penentu seleksi untuk mendapatkan kecepatan terbang terbaik. Pola terbang merpati ada tiga yaitu terbang lurus langsung, berputar lalu lurus dan lurus baru berputar. Pola terbang lurus memiliki rataan kecepatan terbang tertinggi, karena pada pola lurus waktu yang dihasilkan untuk dapat kembali ke rumah lebih cepat. Kata-kata Kunci : merpati, sistem kerangka, sistem otot, kecepatan terbang
ii
ABSTRACT Characteristics and Flying Speed of Local Tinggian Type Pigeon Firmansyah, R., S. Darwati, and R. Afnan. Local tinggian type pigeons perform good flying quality. Their body characteristics and size are predicted to have influence on flying speed. This research aimed to explore the qualitative and quantitative traits of this local pigeon of tinggian type as well as body measurements which has influence on flying speed. A total of 60 heads of local tinggian type pigeon or equal to 30 pairs aged of 9-12 months were used in this experiment to study the qualitative and quantitative traits. The male pigeons were subjected to flying course to gather the data of flying speed within the distance of 100, 150 and 200 meters. The result showed high variety in quantitative traits of these pigeons. Males had higher bodyweight and size compared to females. The bodyweight, the width of outer chest, the depth of the chest and the wing spread of the males were altered after having flying course. The flying speed at the distance of 100, 150 and 200 meters was 10.64 m/s; 10.52 m/s and 10.01 m/s, respectively. The body size revealed no correlation with flying speed. It was observed that there were 3 flying patterns namely direct straight flying, circular and straight flying, and straight and circular flying. The direct straight flying pattern showed the highest speed in average of 10.48 m/s. Keywords : local pigeon, tinggian type, body size, flying speed
KARAKTERISTIK DAN KECEPATAN TERBANG MERPATI LOKAL TIPE TINGGIAN
RICKY FIRMANSYAH D14080319
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul
: Karakteristik dan Kecepatan Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian
Nama
: Ricky Firmansyah
NIM
: D14080319
Menyetujui, Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
Dr. Ir. Sri Darwati, M.Si. NIP. 19631003 198903 2 001
Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc.Agr. NIP. 19680625 200801 1 010
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 13 September 2012
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Agustus 1989 di Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Rosid Rahman dan Ibu Eni Kurnaeni. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri Marga Jaya 1 Bogor dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Pembangunan 1 Bogor. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Bogor pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2009. Penulis aktif dalam organisasi kepanitiaan Fakultas Peternakan seperti Dekan Cup, Fapet Show Time (FST) dan Malam Keakraban 46. Penulis juga merupakan anggota dari Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (ISMAPETI). Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) Sapi Perah, Baturraden, Purwokerto, pada tahun 2010. Penulis juga dipercaya oleh Lembaga Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) IPB sebagai mahasiswa pendamping kegiatan penggemukan domba di Desa Cihideung Udik pada tahun 2011-2012.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Karakteristik dan Kecepatan Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai karakteristik sifat kualitatif dan kuantitatif merpati lokal tipe tinggian. Selain itu mempelajari korelasi antara ukuran tubuh dengan kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bulan April hingga Juli 2012. Skripsi ini membahas tentang sifat kualitatif dan kuantitatif merpati lokal tipe tinggian baik merpati jantan maupun merpati betina. Selain itu membahas tentang kecepatan terbang dan pola terbang merpati lokal tipe tinggian serta korelasinya terhadap ukuran tubuh seperti lebar dada dalam, lebar dada luar, lingkar dada, dalam dada, panjang punggung, panjang dada, serta bagian sayap, ekor dan bobot badan. Informasi mengenai karakteristik dan kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian masih sedikit. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca khususnya penghobi dan menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2012
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ……………………………………………………………..
i
ABSTRACT ……………………………………………………………….
iii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………….
iv
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………….
v
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………….
vi
KATA PENGANTAR …………………………………………………….
vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………
viii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………
x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………...
xi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
xii
PENDAHULUAN ………………………………………………………...
1
Latar Belakang ……………………………………………………. Tujuan Penelitian ………………………………………………….
1 2
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………..
3
Merpati ……………………………………………………………. Karakteristik Merpati ……………………………………………... Sistem Kerangka ………………………………………………….. Kecepatan Terbang ……………………………………………….. Pola Terbang ……………………………………………………… Manajemen Pemeliharaan ………………………………………… Kandang …………………………………………………... Pakan ……………………………………………………... Air Minum ………………………………………………...
3 3 5 5 6 6 6 6 7
MATERI DAN METODE ……………………………………………….. Lokasi dan Waktu ………………………………………………… Materi …………………………………………………………….. Ternak …………………………………………………….. Kandang …………………………………………………... Pakan dan Air Minum …………………………………….. Prosedur …………………………………………………………... Proses Penjodohan ………………………………............... Sistem Pemeliharaan ……………………………………… Cara Melatih ……………………………………………… Pengambilan Data ………………………………………… Rancangan dan Analisis Data ………………...…………………... Peubah ……………..……………………………………...
8 8 8 8 8 9 9 9 10 11 12 12 12
viii
Rancangan ………………….…………………..………… Glosarium …………………………………………………
19 21
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………...
22
Suhu dan Kelembaban Lokasi Penelitian ………………………… Konsumsi Pakan ………………………………………….. Sifat-sifat Kualitatif………………………………………………. Warna Bulu ………………………………………………. Warna Iris Mata ………………………………………….. Bentuk Kepala ……………………………………………. Bentuk Tubuh …………………………………………….. Bentuk Ujung Bulu Sayap ………………………………... Tipe Bulu Sayap ………………………………………….. Tipe Shank ………………………………………………... Sifat-sifat Kuantitatif …………………………………………….. Sifat Kuantitatif Merpati Jantan dan Betina ……………………… Bobot Badan ……………………………………………… Ukuran Tubuh ……………………………………………. Sayap ……………………………………………………... Ekor ………………………………………………………. Sifat Kuantitatif Merpati Jantan Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang …………………………………………………………… Bobot Badan ……………………………………………… Ukuran Tubuh ……………………………………………. Sayap ……………………………………………………... Ekor ………………………………………………………. Kecepatan Terbang ……………………………………………….. Pola Terbang ……………………………………………………… Korelasi Ukuran Tubuh dengan Kecepatan Terbang ……………..
22 23 24 24 26 28 29 31 32 33 34 34 34 35 36 37
KESIMPULAN DAN SARAN ……...……………………………………
46
Kesimpulan ……………………………………………………….. Saran ………………………………………………………………
46 46
UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………...
47
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..
48
LAMPIRAN ……………………………………………………………….
50
37 37 38 39 40 41 42 44
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Rataan Suhu dan Kelembaban pada Lokasi Penelitian …………
22
2.
Persentase Warna Bulu Merpati Lokal Tipe Tinggian …………
24
3.
Persentase Warna Iris Mata Merpati Lokal Tipe Tinggian …….
27
4.
Persentase Bentuk Kepala Merpati Lokal Tipe Tinggian ………
28
5.
Persentase Bentuk Tubuh Merpati Lokal Tipe Tinggian ……….
30
6.
Persentase Bentuk Ujung Bulu Sayap Merpati Lokal Tipe Tinggian ………………………………………………………...
31
7.
Persentase Tipe Bulu Sayap Merpati Lokal Tipe Tinggian …….
32
8.
Persentase Tipe Shank Merpati Lokal Tipe Tinggian …………..
34
9.
Ukuran Tubuh Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan dan Betina
35
10.
Sayap Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan dan Betina ………..
36
11.
Bulu Ekor Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan dan Betina ……
37
12.
Ukuran Tubuh Merpati Lokal Jantan Tipe Tinggian Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang ……………………………………
38
Sayap Merpati Lokal Jantan Tipe Tinggian Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang ………………………………………...
39
Ekor Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang …………………………………………………
40
Kecepatan Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian pada Jarak yang Berbeda …………………………………………………...
42
16.
Persentase Pola Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian ………..
43
17.
Korelasi Bobot Badan, Ukuran Tubuh, Sayap dan Ekor Merpati dengan Kecepatan Terbang …………………………………….
44
13. 14. 15.
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Kandang Merpati Blok A (a), Blok B (b) dan Blok C (c) ……...
8
2.
Kandang Penjodohan (a), Kandang Betina (b) dan Kandang Lepas (c) ………………………………………………………..
9
3.
Timbangan Digital (a) dan Penimbangan Bobot Badan (b) ……
13
4.
Jangka Sorong (a) dan Pita Ukur (b) ….………………………..
14
5.
Pengukuran Lebar Dada Luar (a) dan Lebar Dada Dalam (b) …
14
6.
Pengukuran Panjang Dada …………….………………………..
15
7.
Pengukuran Lingkar Dada ………….…………………………..
15
8.
Pengukuran Dalam Dada ……………………………………….
15
9.
Pengukuran Panjang Punggung ………………………………...
16
10.
Pengukuran Panjang sayap ……………………………………..
16
11.
Pengukuran Rentang Sayap ………………………………….....
16
12.
Perhitungan Jumlah Bulu Sayap Primer …….………………….
17
13.
Perhitungan Jumlah Bulu Ekor …………….…………………...
17
14.
Pengukuran Panjang Bulu Ekor ……….………………………..
17
15.
Pengukuran Lebar Bulu Ekor ……………….………………….
18
16.
Pengukuran Lebar Pangkal Ekor ……………………………….
18
17.
Warna Bulu Putih (a), Hitam (b), Coklat (c), Blantong (d), Tritis (e), Megan (f), Kelabu (g), Brolok (h), Batik (i) dan Gambir (j) …………...………………………………………….
25
Warna Iris Mata Coklat (Asem) (a), Putih (Pillow) (b) dan Kuning (c) ………………………………………………………
28
19.
Bentuk Kepala Jenong (a), Curut (b) dan Perkutut (c) …………
29
20.
Bentuk Tubuh Jantung Pisang (a) dan Kapal (b) ……………….
30
21.
Bentuk Ujung Bulu Sayap Tumpul (a) dan Lancip (b) …………
32
22.
Tipe Bulu Sayap Rapat (a) dan Renggang (b) ………………….
33
23.
Tipe Shank Kering (a) dan Basah (b) …………………………..
34
18.
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2.
3. 4.
Halaman Contoh Perhitungan Hasil Uji t Peubah Sifat Kualitatif Merpati Jantan dan Betina Menggunakan Minitab 14 ………………….. Contoh Perhitungan Hasil Uji t Peubah Sifat Kuantitatif Merpati Jantan Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang Menggunakan Minitab 14 ………………………………………
51
51
Contoh Perhitungan Korelasi Peubah Sifat Kuantitatif dengan Kecepatan Terbang Menggunakan Minitab 14 …………………
51
Contoh Perhitungan Hasil Uji t Kecepatan Terbang Merpati Pada Jarak yang Berbeda Menggunakan Minitab 14 …………...
51
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang Merpati merupakan salah satu jenis unggas yang telah lama dikenal di Indonesia. Peternak atau penghobi memelihara merpati sebagai hewan peliharaan. Dahulu merpati banyak dimanfaatkan sebagai ternak pengantar surat, namun saat ini fungsi merpati lebih beragam. Merpati dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu merpati sebagai penghasil daging yang diternakkan untuk keperluan pangan, merpati sebagai ternak hias dan merpati sebagai ternak hobi yang dipelihara untuk kesenangan dan perlombaan karena dapat dilatih terbang seperti lomba balap merpati. Merpati balap tipe tinggian dulu diperlombakan hanya pada satu lokasi tertentu dan merpati yang sampai paling awal ke kandangnya dinyatakan sebagai pemenang. Namun animo masyarakat saat ini sudah mulai bergesar. Seperti halnya merpati balap tipe datar, merpati balap tipe tinggian juga harus mampu terbang dengan cepat dan dapat dilatih terbang pada tempat lomba yang berbeda. Selain itu, merpati balap tipe tinggian juga harus memiliki kualitas mendarat (menukik) yang baik, hal ini disesuaikan dengan ring lomba yang menuntut merpati tipe tinggian untuk mendarat dengan baik. Naluri untuk pulang kandang (homing) merupakan salah satu keistimewaan merpati. Keistimewaan ini dimanfaatkan para peternak untuk membuat serangkaian perlombaan dengan mengadu kecepatan terbang merpati seperti merpati pos, merpati balap tipe datar dan merpati balap tipe tinggian. Merpati balap pada dasarnya adalah merpati lokal, namun merpati balap sudah mengalami beberapa latihan terbang sehingga mempunyai kualitas terbang yang lebih baik dibandingkan merpati lokal. Karakteristik dan ukuran tubuh merpati balap pun berbeda dengan merpati tipe lain. Bentuk tubuh merpati balap tampak lebih atletis dan berotot dibandingkan merpati tipe lain karena proses latihan terbang. Karakteristik dan ukuran tubuh merpati diduga berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati, namun pengetahuan akan karakteristik dan ukuran tubuh yang berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati masih belum dipahami oleh sebagian besar peternak atau penghobi. Oleh karena itu, penelitian untuk mengetahui karakteristik dan ukuran tubuh yang berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati
1
sangat diperlukan untuk kepentingan seleksi, agar para peternak dapat memperoleh merpati yang berkualitas baik khususnya merpati lokal tipe tinggian. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik sifat kualitatif dan kuantitatif merpati lokal tipe tinggian. Selain itu, mempelajari ukuran tubuh yang berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian.
2
TINJAUAN PUSTAKA Merpati Menurut Yonathan (2003), penyebaran merpati hampir merata di seluruh bagian bumi kecuali di daerah kutub. Merpati lokal di Indonesia merupakan burung merpati yang asal penyebarannya dari daerah Eropa (Antawidjaya, 1988). Menurut Levi (1945), kedudukan merpati lokal dalam taksonomi adalah sebagai berikut : Kelas
: Aves
Sub Kelas
: Neornithes
Super Ordo
: Neognathae
Ordo
: Columbiformes
Sub Ordo
: Columbiae
Famili
: Columbidae
Genus
: Columba
Spesies
: Columba livia
Merpati termasuk ke dalam golongan hewan bertulang belakang (vertebrata) dan berdarah panas dengan suhu tubuh sekitar 41 oC. Bentuk tubuhnya kompak dan kuat tetapi beragam sehingga dapat beradaptasi dengan kehidupan di darat maupun di udara. Sayap merpati memudahkan saat terbang, kakinya memudahkan saat bertengger dan berjalan. Kepala merpati termasuk besar sehingga mempunyai kapasitas otak yang besar. Lehernya panjang dan fleksibel sehingga dapat berputar ke segala arah (Levi, 1945). Karakteristik Merpati Naluri untuk pulang kandang (homing) merupakan salah satu keistimewaan merpati. Merpati dapat terbang hingga ribuan kilometer untuk pulang kembali ke kandangnya. Merpati juga mempunyai sifat sense of location dalam jarak jauh dengan waktu yang lama (Levi, 1945). Melatih terbang merpati dilakukan dengan melepaskannya pada satu arah, misalkan dari arah timur ke barat. Selain itu, latihan terbang dilakukan dengan jarak yang bertahap mulai dari yang paling dekat dan semakin jauh (Yonathan, 2003).
3
Merpati mempunyai sifat alamiah yaitu monogami. Merpati selalu mencari pasangan tetap yang bakal berlangsung sampai mati (Yonathan, 2003). Blakely dan Bade (1998) menambahkan bila salah satu pasangan merpati mati atau dipisahkan oleh manusia, maka dapat dicarikan pasangan lain. Namun bila pasangan yang dipisahkan itu dipertemukan kembali dengan pasangan lamanya, maka pasangan lama akan kembali terwujud. Merpati betina biasanya lebih kecil dan tidak terlalu ribut dibandingkan dengan merpati jantan pada saat kawin. Ukuran merpati jantan lebih besar dengan tekstur bulu lebih besar dan bulu leher lebih tebal dibandingkan merpati betina. Merpati jantan pada saat bercumbu membuat gerakan melingkari betina, memekarkan bulu ekor dan menjatuhkan atau merebahkan sayapnya. Pada proses cooing dan billing, betina selalu menempatkan paruhnya ke dalam paruh jantan. Seekor merpati jantan dan seekor merpati betina telah menjadi pasangan jika keduanya tampak saling meloloh dan merpati betina mau dikawini oleh merpati jantan (Blakely dan Bade, 1998). Dewasa kelamin pada merpati dicapai pada umur empat bulan untuk merpati jantan dan enam bulan untuk merpati betina. Menurut Yonathan (2003), merpati dianggap dewasa saat menginjak usia 4-6 bulan. Merpati betina mencapai dewasa jika telah bertelur yaitu pada saat umur 5-6 bulan, sedangkan merpati jantan dianggap dewasa setelah timbul sifat giring (birahi). Sifat giring ini dapat diamati saat merpati jantan mematuk-matuk merpati betina. Merpati bertelur sebanyak 1-2 butir telur pada setiap periode bertelur dengan kerabang telur berwarna putih. Produksi telur merpati rata-rata yaitu dua butir setiap periode dengan berat telur sekitar 15 g per butir. Masa pengeraman telur berlangsung selama 17-18 hari. Pengeraman dilakukan secara bergantian oleh induk betina dan induk jantan. Pengeraman yang dilakukan oleh merpati betina lebih lama dibandingkan merpati jantan, merpati jantan hanya mengerami telur dalam waktu yang singkat, yaitu pada pagi sampai siang. Telur merpati tidak menetas dalam waktu yang sama. Setelah telur pertama menetas, telur kedua menetas 48 jam berikutnya (Blakely dan Bade, 1998). Sifat fisik yang dapat dilihat untuk membedakan jantan dan betina adalah dengan melihat bentuk kepala. Merpati jantan memiliki bentuk kepala agak datar,
4
permukaannya lebih kasar dan terlihat lebih bersifat maskulin, sedangkan merpati betina memiliki bentuk kepala agak bulat dan terlihat halus, serta bulu lehernya halus (Levi, 1945 dan Nowland, 2001). Sistem Kerangka Seekor burung penerbang memiliki kerangka khusus yang tersusun oleh tulang berongga pada tulang humerus, memiliki tulang dada, sternum, coracoids, clavicles dan pygostyle yang kuat. Dada merpati tersusun dari tulang sternum yang berfungsi untuk melindungi organ penting pernapasan yaitu paru-paru (Tyne dan Berger, 1976). Kerangka tulang burung memiliki struktur yang berongga dan dapat terisi udara sehingga meringankan berat kerangka pada saat terbang. Pygostile terdiri dari caudal vertebra. Burung dapat bermanuver dengan ekor sebagai kemudi, sehingga dapat memperlambat dan mengubah arah terbang (Henderson State University, 2012). The Cornell Lab of Ornithology (2012) menyatakan bahwa kombinasi tulang yang ringan, bentuk yang sedemikian rupa dan presisi yang terkontrol memberikan kemampuan burung untuk terbang lama. Menurut Levi (1945), merpati yang ideal adalah merpati yang mempunyai tubuh tidak terlalu panjang atau terlalu pendek. Tubuh merpati harus tegap, kepala, leher, sayap, tubuh, serta ekor harus proporsional atau seimbang. Kecepatan Terbang Pennycuick (1968b) menyatakan bahwa merpati dapat terbang horizontal tanpa kekurangan asupan oksigen dalam tubuh dengan kecepatan 3-16 m/detik, kecepatan terbang minimum merpati adalah 8-9 m/detik. Tyne dan Berger (1976) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan terbang merpati adalah kecepatan angin, temperatur dan motivasi terbang. Menurut Yonathan (2003), kecepatan terbang merpati dipengaruhi oleh sifat birahi (giring). Kondisi fisiologis juga berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati. Naluri untuk kembali pulang lebih besar pada saat merpati jantan dilatih dan merpati betina sedang bertelur.
5
Pola Terbang Seekor burung meluncur menggunakan berat (massa) untuk mengatasi hambatan angin, oleh karena itu burung memerlukan massa tertentu dan sebagai akibatnya hanya burung tipe besar yang mampu meluncur teratur (Ritchison, 2008). Pennycuick (1968a) menyatakan bahwa ketika kecepatan terbang meningkat, merpati akan terbang meluncur dan secara drastis mengurangi rentang sayap. Biewener (2012) menyatakan bahwa otot terbang burung dengan ukuran tubuh yang lebih kecil harus mampu melakukan pekerjaan besar untuk menghasilkan tenaga aerodinamis yang dibutuhkan untuk mendukung berat badan di udara dan untuk mengatasi hambatan angin. Manajemen Pemeliharaan Kandang Levi (1945) menyatakan bahwa tipe kandang merpati ada dua macam, yaitu loft dan flypen. Loft merupakan kandang selama berproduksi dengan sangkar di dalamnya, sedangkan flypen merupakan kandang jodoh untuk merpati muda yang belum memperoleh pasangan. Menurut Knox (2000), peralatan yang harus tersedia dalam kandang yaitu tempat pakan dan tempat minum yang didisain agar tidak mudah tumpah, sarang untuk mengerami telur, mangkuk untuk mandi dan tenggeran. Tempat sarang merpati seperti mangkok harus berbentuk cekung supaya mampu menyediakan tempat yang cocok bagi merpati untuk mengerami dan mencegah anak-anak yang masih kecil jatuh. Tempat bertengger perlu disediakan di luar sangkar. Tenggeran berukuran lebar 10-15 cm dan tinggi 1 m (Blakely dan Bade, 1998). Pakan Menurut Blakely dan Bade (1998), anak merpati mendapatkan makanan dari induknya berupa susu merpati (pigeon milk). Zat yang menyerupai susu ini merupakan sekresi yang berasal dari dinding tembolok yang hanya terdapat pada merpati. Sistem pencernaan anak merpati mulai berkembang seiring berkurangnya produksi pigeon milk, selanjutnya anak merpati mulai mengkonsumsi biji-bijian sedikit demi sedikit. Selain pakan utama, merpati juga membutuhkan grit untuk
6
membantu menggiling dan mencerna biji-bijian yang dimakan serta membentuk kerabang telur karena grit juga mengandung mineral. Pakan merpati umumnya berupa biji-bijian, seperti jagung. Jagung kuning mengandung protein 8,5%, serat kasar 2,2%, kalsium 0,02%, fosfor 0,28% dan energi metabolis 3,470 kkal/kg (National Research Council, 1994). Menurut Nowland (2001), pakan yang baik untuk merpati terdiri atas protein kasar 13,5%, karbohidrat 65%, serat 3,5% dan lemak 3%. Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa merpati mengkonsumsi biji-bijian sekitar 100-150 g/hari/pasang. Pakan yang dikonsumsi tergantung dari bangsa merpati, cuaca, nafsu makan, besar badan, serta jumlah dan besar anak. Air Minum Air sangat penting dan wajib diberikan kepada merpati. Air yang diberikan harus bersih agar terhindar dari penyakit. Marshall (2004) menyatakan bahwa merpati banyak mengkonsumsi air, dalam satu hari konsumsi air mencapai 10% dari bobot badannya. Levi (1945) menambahkan tiga hal pokok yang sangat penting dalam keberhasilan pemeliharaan merpati yaitu air yang bersih, tidak terkontaminasi dan penggunaan pakan yang tepat serta grit. Burung merpati rentan terhadap penyakit baik secara internal maupun eksternal. Cacing dapat menyerang melalui air, selain itu merpati dapat terserang kutu. Penyediaan air bersih dapat menurunkan parasit eksternal dan hal ini harus dikombinasikan dengan kebersihan kandang dan tenggeran sehingga penyakit tidak mudah berjangkit (Knox, 2000).
7
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan April 2012 hingga Juni 2012. Materi Ternak Merpati yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 30 pasang atau 60 ekor berumur 9-12 bulan dengan kisaran bobot badan 200-405 g dan rataan bobot badan 322,93 g. Merpati diperoleh dari peternak dan pedagang merpati di sekitar lokasi penelitian. Kriteria merpati dalam penelitian ini yaitu merpati dalam kondisi sehat, memiliki jumlah bulu sayap primer dan bulu ekor yang lengkap, tidak memiliki cacat fisik dan mampu untuk dilatih terbang. Kandang Setiap pasang merpati ditempatkan dalam kandang utama berukuran panjang 50 cm, lebar 40 cm dan tinggi 30 cm. Kandang berjumlah 17 unit dan terbagi dalam tiga blok yaitu blok A terdiri dari 4 unit kandang, blok B terdiri dari 5 unit kandang dan blok C terdiri dari 8 unit kandang. Setiap unit kandang dilengkapi tempat pakan dan tempat minum. Kandang yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Gambar 1.
(a)
(b)
(c)
Gambar 1. Kandang Merpati pada Blok A (a), Blok B (b) dan Blok C (c). Kandang lain yang digunakan dalam penelitian ini selain kandang utama yaitu kandang tempat penjodohan adalah kandang untuk betina saat di luar kandang
8
utama dan kandang untuk melepas merpati jantan. Kandang tempat penjodohan, kandang untuk betina dan kandang untuk melepas merpati jantan disajikan pada Gambar 2.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2. Kandang Penjodohan (a), Kandang Betina (b) dan Kandang Lepas (c). Pakan dan Air Minum Pakan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jagung kuning yang berukuran kecil (jagung super) dengan diameter 0,5 cm. Pakan diberikan setiap pagi dan hanya satu kali. Setiap pasang merpati diberikan pakan sebanyak 70 g, sedangkan air minum diberikan ad libitum. Prosedur Proses Penjodohan Proses penjodohan merpati dimulai dengan masa perkenalan. Merpati jantan dipertemukan dengan merpati betina namun masih dalam kandang yang berbeda. Kandang tersebut dibuat sekat untuk memisahkan merpati jantan dan merpati betina agar tidak terjadi keributan dalam kandang, namun sepasang merpati tersebut masih bisa saling melihat. Merpati jantan akan mengeluarkan suara bekur pada saat melihat merpati betina, hal tersebut merupakan salah satu ciri untuk membedakan merpati jantan dan merpati betina. Saat merpati jantan bekur yaitu menggelembungkan bagian lehernya, yang diikuti dengan gerakan-gerakan yang khas untuk menggoda merpati betina. Merpati betina juga bisa mengeluarkan suara bekur namun tidak sekeras suara bekur merpati jantan dan bekur merpati betina tidak diikuti dengan gerakan-gerakan seperti merpati jantan. Ciri merpati yang sudah berjodoh yaitu saat merpati jantan dan betina disatukan, merpati jantan akan mengeluarkan suara bekur dan menggelembungkan
9
bagian lehernya serta menggoyang-goyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan kemudian ke atas dan ke bawah yang diikuti dengan gerakan seperti tarian. Posisi sayap dan ekor merpati jantan pada saat bekur akan lebih rendah bahkan hingga terseret di tanah. Merpati betina mengangguk-anggukan kepalanya pada saat merpati jantan mengeluarkan suara bekur. Proses perkawinan diawali dengan percumbuan, merpati jantan maupun merpati betina melakukan aktifitas telisik. Telisik merupakan salah satu tingkah laku unggas untuk membersihkan bulu menggunakan paruh. Merpati betina memasukan paruhnya ke dalam paruh merpati jantan. Saat paruh merpati betina berada dalam paruh merpati jantan keduanya menggetarkan kepalanya seperti sedang meloloh, setelah melakukan pelolohan maka betina akan merebahkan badannya agar dinaiki merpati jantan. Jika pada saat merpati betina merebahkan badannya namun merpati jantan tidak mau menaiki maka merpati betina akan meminta diloloh lagi sampai merpati jantan mau menaikinya. Jika merpati jantan sudah menaiki merpati betina dan merpati jantan pasangannya menggoyang-goyangkan ekor serta mengepakkepakan sayapnya maka proses perkawinan telah berhasil dilakukan. Setelah proses perkawinan biasanya merpati jantan langsung terbang, namun ada juga beberapa pasangan yang melakukan proses perkawinan secara bergantian. Pada saat merpati jantan telah berhasil melakukan perkawinan maka giliran merpati betina yang menaiki merpati jantan dengan gerakan yang sama. Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sistem pemeliharaan semi intensif. Sepasang merpati dikandangkan dalam kandang utama dari sore hingga pagi hari. Selanjutnya setiap pagi merpati jantan dikeluarkan dari kandang dan dibiarkan bebas, sedangkan merpati betina ditempatkan dalam kandang khusus untuk betina. Merpati betina tidak dibiarkan bebas agar mempermudah dalam penanganan. Merpati betina lebih cenderung senang di luar kandang, sedangkan merpati jantan lebih sering masuk keluar kandang karena ingin menjaga kandangnya atau daerah teritorialnya, sehingga merpati jantan lebih sering terlihat berkelahi dibandingkan merpati betina. Perkelahian pada merpati bukan hanya masalah kandang, ada juga perkelahian yang disebabkan karena memperebutkan pasangan, merpati jantan yang mempunyai pasangan yang berwarna sama biasanya akan
10
berkelahi ketika merpati betina yang berwarna sama tersebut dibiarkan bebas. Kedua merpati jantan tersebut akan sama-sama mengejar merpati betina yang berwarna sama dengan pasangannya sehingga terjadi perkelahian. Pada saat merpati dikeluarkan dari kandang, tempat pakan dan tempat minum dikeluarkan dan dibersihkan atau dicuci dan dilakukan setiap hari. Tempat pakan dan tempat minum yang sudah dicuci kemudian dijemur. Saat menunggu tempat pakan dan minum kering, kandang dibersihkan dengan menggunakan peralatan seperti kape, koas dan serokan. Merpati jantan dan merpati betina dijemur 1-2 jam setiap pagi agar memperoleh cahaya sinar matahari. Merpati yang terlihat kotor (terdapat kotoran/feses pada bagian bulunya) dimandikan dan dijemur. Merpati dimandikan dua hari sekali, merpati yang sudah dijemur kemudian dimasukan kembali dalam kandang. Merpati dikeluarkan kembali pada sore hari, merpati jantan dan merpati betina dibiarkan bebas. Hal ini bertujuan agar merpati tersebut dapat mencari grit berupa batu-batu kecil atau kerikil, arang serta abu yang ada di sekitar kandang. Grit ini merupakan pakan tambahan yang bertujuan untuk membantu proses pencernaan dalam tembolok. Selain untuk mendapatkan grit, tujuan lain merpati jantan dan betina dibiarkan bebas pada sore hari yaitu agar sepasang merpati tersebut dapat melakukan perkawinan. Cara Melatih Merpati yang baru datang dikurung terlebih dahulu selama satu hari penuh dengan tujuan agar sepasang merpati tersebut dapat beradaptasi dengan kandang atau tempat tinggal barunya. Merpati mulai dikeluarkan dari kandang pada hari ke-dua, namun merpati betina tetap berada di dalam kandang khusus betina (dongdang dalam bahasa sunda) yang berada di dekat kandang utama. Jika sepasang merpati sudah dapat beradaptasi, maka mulai dilepas bebas hanya pada sore hari sekitar pukul 17.00 atau ketika sudah mulai gelap agar merpati tidak terbang jauh. Merpati jantan mulai dilatih terbang pada hari ke-tiga pemeliharaan. Latihan terbang untuk merpati jantan dilakukan pada jarak tertentu dan bertahap. Selain itu latihan terbang untuk merpati lokal tipe tinggian dilakukan pada satu arah, misalkan barat ke timur. Jika merpati telah mengenal medan latihan, maka jarak latih terbang ditambah. Pada setiap latihan terbang, merpati yang masih baru dibantu oleh merpati yang telah mengenal medan (guide).
11
Latihan terbang dilakukan secara bertahap, yaitu mulai dari jarak 100 m, 150 m dan 200 m. Latihan terbang dilakukan pagi hari karena kecepatan angin pada pagi hari masih konstan, sehingga kondisi angin saat latihan maupun pengambilan data kecepatan terbang seragam. Merpati diterbangkan pada jarak yang sama sebanyak tiga kali atau sampai merpati tersebut dapat terbang tanpa salah arah. Jika merpati sudah mengenal medan yaitu langsung pulang ke kandang ketika terbang berdua dengan seekor guide, selanjutnya merpati dibiasakan terbang sendiri. Pencatatan kecepatan terbang merpati dilakukan saat merpati terbang sendiri dan tidak dipandu oleh guide. Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan secara bertahap karena kapasitas kandang terbatas. Pengambilan data dilakukan secara bergilir. Merpati yang dipelihara sudah didapatkan seluruh datanya, maka merpati tersebut ditukar ke pasar atau ke peternak. Setiap pasang merpati dipelihara selama 14 hari. Pemeliharaan di kandang selama 3 hari dan latihan terbang untuk persiapan pengambilan data kecepatan terbang dilakukan selama 9 hari, selanjutnya hari ke-13 dan ke-14 dilakukan pengambilan data kecepatan terbang. Pengamatan dilakukan setiap hari secara langsung meliputi manajemen pemeliharaan, pengambilan data sifat kualitatif dan sifat kuantitatif, serta data rataan kecepatan terbang. Pengambilan data sifat kualitatif dilakukan pada saat merpati datang, sedangkan pengambilan data kuantitatif berlangsung selama 14 hari untuk setiap pasang merpati. Rancangan dan Analisis Data Peubah Peubah sifat kualitatif yang diamati antara lain warna bulu, warna iris mata, tipe shank, tipe bulu sayap, tipe ujung bulu sayap, bentuk kepala dan bentuk badan. 1) Warna bulu. Warna bulu merpati bervariasi seperti hitam, putih, coklat, megan, gambir, tritis, blantong, kelabu, batik dan blorok. 2) Warna iris mata. Warna iris mata merpati bervariasi. Warna iris mata merpati yaitu kuning, putih (pillow) dan coklat (asem). Selain itu, ada juga merpati yang memiliki warna iris mata yang berbeda pada kedua sisinya, misal iris
12
mata kiri berwarna kuning dan iris mata kanan berwarna coklat (asem) yang disebut iris mata liplap. Ada juga merpati yang memiliki warna iris mata yang berbeda dalam satu mata seperti sebagian mata berwarna putih (pillow) dan sebagian lagi berwarna coklat (asem). 3) Tipe shank. Tipe shank merpati terdiri dari dua jenis, yaitu tipe shank basah dan tipe shank kering. Warna shank merpati yang kering terlihat lebih putih dan seperti bersisik dibandingkan dengan warna shank basah. 4) Tipe bulu sayap. Tipe bulu sayap merpati ada dua jenis, yaitu bulu sayap rapat dan bulu sayap renggang. 5) Bentuk ujung bulu sayap. Bentuk ujung bulu sayap ada dua jenis, yaitu ujung bulu sayap tumpul dan ujung bulu sayap lancip. 6) Bentuk kepala. Bentuk kepala merpati ada tiga jenis, yaitu kepala jenong, kepala perkutut dan kepala curut. 7) Bentuk tubuh. Bentuk tubuh merpati ada dua jenis, yaitu bentuk tubuh seperti kapal dan bentuk tubuh seperti jantung pisang. Peubah sifat kuantitatif yang diamati antara lain bobot badan, lingkar dada, lebar dada luar, lebar dada dalam, dalam dada, panjang dada, panjang punggung, jumlah bulu sayap primer, rentang sayap, panjang sayap, jumlah bulu ekor, panjang bulu ekor, lebar pangkal ekor, lebar bulu ekor dan rataan kecepatan terbang serta pola terbang. 1). Bobot badan. Penimbangan dilakukan pada hari pertama (sebelum dilatih terbang) dan hari ke-14 (setelah pengambilan data kecepatan terbang). Pengukuran bobot badan dilakukan pada pagi hari sebelum merpati diberi makan. Timbangan dan penimbangan bobot badan disajikan pada Gambar 3.
(a)
(b)
Gambar 3. Timbangan Digital (a) dan Penimbangan Bobot Badan (b)
13
2). Ukuran-ukuran tubuh. Bagian tubuh yang diamati yaitu lebar dada luar, lebar dada dalam, dalam dada, panjang dada, lingkar dada, panjang punggung, rentang sayap, panjang sayap, lebar ekor, panjang bulu ekor, lebar pangkal ekor, jumlah bulu sayap primer, dan jumlah bulu ekor. Pengukuran tersebut dilakukan pada hari ke-3 (sebelum dilatih terbang) dan hari ke-14 (setelah diperoleh data rataan kecepatan terbang) untuk merpati jantan. Pengamatan ukuran tubuh pada merpati betina dilakukan hanya sekali yaitu pada hari pertama, karena merpati betina tidak dilatih terbang. Pengukuran lebar dada luar, lebar dada dalam, dalam dada, panjang dada, lebar ekor, dan lebar pangkal ekor dilakukan dengan menggunakan jangka sorong, sedangkan pengukuran lingkar dada, panjang bulu ekor, panjang dada, panjang punggung, panjang sayap dan rentang sayap dilakukan dengan menggunakan pita ukur. Jangka sorong dan pita ukur yang dipakai untuk pengambilan data disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Jangka Sorong (a) dan Pita Ukur (b) a). Lebar dada dalam diperoleh dengan mengukur jarak antara dada bagian kiri dengan dada bagian kanan, sedangkan lebar dada luar diperoleh dengan cara mengukur jarak antara sayap bagian kiri dan sayap bagian kanan. Cara pengukuran lebar dada diperlihatkan pada Gambar 5.
(a)
(b)
Gambar 5. Pengukuran Lebar Dada Luar (a) dan Lebar Dada Dalam (b) 14
b). Panjang dada diperoleh dengan mengukur panjang tulang sternum. Cara pengukuran panjang dada diperlihatkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Pengukuran Panjang Dada c). Lingkar dada diperoleh dengan mengukur pangkal sayap kanan melalui tulang sternum hingga pangkal sayap kiri. Cara pengukuran lingkar dada diperlihatkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Pengukuran Lingkar Dada d). Dalam dada diperoleh dengan mengukur jarak antara tulang punggung hingga tulang sternum. Cara pengukuran dalam dada diperlihatkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Pengukuran Dalam Dada e). Panjang punggung diperoleh dengan mengukur jarak dari pangkal leher hingga tulang pygostile. Cara pengukuran panjang punggung diperlihatkan pada Gambar 9.
15
Gambar 9. Pengukuran Panjang Punggung f). Panjang sayap diperoleh dengan mengukur jarak dari tulang humerus hingga perbatasan bulu primer ke-10 dan tulang sayap. Cara pengukuran panjang sayap diperlihatkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Pengukuran Panjang Sayap g). Rentang sayap diperoleh dengan mengukur jarak dari tulang humerus hingga ujung bulu sayap ke-10. Cara pengukuran rentang sayap diperlihatkan pada Gambar 11.
Gambar 11. Pengukuran Rentang Sayap h). Jumlah bulu sayap primer diperoleh dengan menghitung jumlah bulu sayap primer yang masih terdapat pada sayap. Cara menghitung jumlah bulu sayap primer diperlihatkan pada Gambar 12.
16
Gambar 12. Perhitungan Jumlah Bulu Sayap Primer i). Jumlah bulu ekor diperoleh dengan menghitung jumlah bulu ekor yang masih terdapat pada ekor. Cara menghitung jumlah bulu ekor diperlihatkan pada Gambar 13.
Gambar 13. Perhitungan Jumlah Bulu Ekor j). Panjang bulu ekor diperoleh dengan mengukur jarak antara pangkal bulu ekor hingga ujung bulu ekor. Cara pengukuran panjang bulu ekor diperlihatkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Pengukuran Panjang Bulu Ekor k). Lebar bulu ekor diperoleh dengan mengukur jarak antara bulu ekor sebelah kiri dan bulu ekor sebelah kanan. Cara pengukuran lebar bulu ekor diperlihatkan pada Gambar 15.
17
Gambar 15. Pengukuran Lebar Bulu Ekor l). Lebar pangkal ekor diperoleh dengan mengukur jarak antara sisi kiri hingga sisi kanan tulang pygostile. Cara pengukuran pangkal ekor diperlihatkan pada Gambar 16.
Gambar 16. Pengukuran Lebar Pangkal Ekor 3). Kecepatan terbang dilakukan dan diukur selama dua hari, yaitu pada hari ke13 dan hari ke-14. Pengukuran kecepatan terbang dilakukan pada jarak 100 m, 150 m dan 200 m dengan 3 kali pengulangan pada setiap jarak. Selain catatan waktu, dilakukan pula pengamatan karakteristik dan pola terbangnya. Pengambilan data kecepatan terbang dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 09.00 hingga 11.00. Hal ini dikarenakan kecepatan angin pada waktu tersebut masih seragam, sehingga perlakuan yang diberikan untuk semua merpati yang dilatih terbang sama. Kecepatan terbang merpati diukur dengan menggunakan stopwatch. Data rataan kecepatan terbang diperoleh dengan menghitung jarak yang ditempuh dibagi dengan catatan waktu yang dibutuhkan untuk dapat kembali pulang ke kandang setelah dilepas pada jarak yang telah ditentukan. Jarak yang digunakan yaitu 100 m, 150 m dan 200 m dengan kondisi medan latihan terbang berupa rumah-rumah penduduk, instalasi kabel listrik ke rumah penduduk yang merupakan lintasan terbang merpati, pepohonan dan kabel tegangan tinggi.
18
Selain sifat kualitatif, kuantitatif dan kecepatan terbang, diamati juga konsumsi pakan harian dari sepasang merpati. Konsumsi pakan diamati untuk mengetahui seberapa banyak pakan yang dikonsumsi oleh sepasang merpati setiap harinya. Konsumsi pakan harus sesuai dengan kebutuhan merpati. Pakan yang diberikan tidak terlalu sedikit atau terlalu banyak karena pakan yang dikonsumsi merpati sangat mempengaruhi performa merpati tersebut. Rancangan 1). Data manajemen pemeliharaan disajikan secara deskriptif. 2). Data sifat kualitatif disajikan secara deskriptif. 3). Data sifat kuantitatif disajikan secara deskriptif dan dianalisis rataan, simpangan baku, koefesien keragaman, uji t antara merpati jantan dan betina, uji t merpati jantan sebelum dan setelah dilatih terbang dan korelasi antara rataan kecepatan terbang dengan ukuran-ukuran tubuh yang diamati. Model matematika yang digunakan menggunakan model rancangan menurut Walpole (1992), yaitu :
Keterangan :
= nilai rataan X i = peubah yang diukur, dimulai dari individu ke-i, i = 1, 2, …n n = jumlah ternak
Keterangan : sb = simpangan baku X i = peubah sifat kuantitatif yang diukur, dimulai dari individu ke-i, i = 1, 2, …, n = nilai rataan sifat kuantitatif yang diukur, dimulai dari individu ke-i, i = 1, 2, … n n = jumlah ternak
Keterangan : KK = koefisien keragaman sb = simpangan baku 19
= nilai rataan Uji t merpati jantan sebelum dan setelah dilatih terbang yaitu:
Keterangan : Sd = standar deviasi v = derajat bebas n = jumlah ternak t = nilai hitung d i = selisih peubah yang diukur, dimulai dari individu ke-i, i = 1, 2, … n Uji t antara merpati jantan dan betina yaitu:
Keterangan : S p = standar deviasi v = derajat bebas n = jumlah ternak t = nilai hitung = nilai rataan Korelasi antara rataan kecepatan terbang dan ukuran-ukuran tubuh yaitu:
Keterangan :
r = korelasi
20
X i = peubah sifat kuantitatif yang diukur, dimulai dari individu ke - i, i = 1, 2, …, n Y i = rataan kecepatan terbang yang diukur, dimulai dari individu ke - i, i = 1, 2, …, n n = jumlah ternak Uji lanjut untuk mengetahui keeratan nilai korelasi dengan menggunakan uji t (Irianto, 2010) yaitu:
Keterangan : t = nilai hitung (t-hitung) r = nilai korelasi n = jumlah ternak Glosarium Batik Bekur Blantong Blorok Curut Dondang Gambir Klepek Giring Guide Jenong Joki Kelabu Liplap Megan Ring Telisik Tritis
: Warna bulu merpati dengan pola seperti batik berwarna kecoklatan. : Suara merpati jantan saat mendekati merpati betina. : Warna bulu merpati dengan dua pola warna, bagian kepala, dada dan sayap berwarna putih. : Warna bulu merpati dengan dua pola warna, salah satu warna menyebar dengan pola tidak beraturan. : Bentuk kepala menyerupai curut (tikus), dengan permukaan paruh atas dan dahi sejajar. : Kandang untuk merpati betina saat diluar kandang utama dan kandang untuk membawa merpati jantan saat akan dilepas. : Warna bulu merpati dengan warna dasar coklat tua. : Aktifitas mengepakkan sayap merpati betina secara disengaja untuk memancing merpati jantan. : Kondisi pada saat merpati betina akan bertelur dan merpati jantan selalu ingin dekat dengan merpati betina. : Merpati jantan yang telah mengenal lokasi latihan terbang dan memandu merpati lain pada saat dilatih terbang. : Bentuk kepala merpati dengan bagian dahi yang menonjol. : Peternak yang melatih terbang merpati. : Warna bulu merpati dengan warna dasar abu-abu. : Pola warna mata merpati yang berbeda pada kedua matanya. : Warna bulu merpati dengan warna dasar biru keabu-abuan. : Tempat merpati mendarat saat perlombaan. : Aktifitas merpati saat membersihkan bulu menggunakan paruh. : Warna bulu merpati dengan warna dasar biru keabu-abuan dan memiliki corak hitam.
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Lokasi Penelitian Suhu dan kelembaban lokasi penelitian diamati tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan sore hari. Rataan suhu dan kelembaban pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban pada Lokasi Penelitian Parameter
Waktu Pagi
Siang
Sore
----------------- Rataan ± Simpangan Baku (KK) ----------------Suhu (oC)
26,68 ± 1,07 (4,00) 31,34 ± 0,92 (2,95)
28,41 ± 1,28 (4,51)
Kelembaban (%) 83,60 ± 3,98 (4,76) 66,90 ± 4,53 (6,77)
78,19 ± 5,78 (7,39)
Rataan suhu lokasi penelitian pada pagi hari (sekitar jam 08.00-09.00), siang hari (sekitar jam 13.00-14.00) dan sore hari (sekitar jam 17.00-18.00) masing-masing yaitu 26,68 oC; 31,34 oC dan 28,41 oC. Rataan kelembaban pada pagi, siang dan sore hari masing-masing yaitu 83,60%; 66,90% dan 78,19%. Suhu dan kelembaban pada lokasi penelitian saat pagi, siang dan sore hari selama pengamatan seragam dengan koefisien keragaman berkisar antara 2,95%7,39%. Suhu dan kelembaban lokasi penelitian dari pagi, siang hingga sore hari masih fluktuatif. Pada pagi dan sore hari suhu lokasi penelitian lebih rendah dibandingkan suhu pada siang hari, hal ini diikuti dengan kelembaban pada pagi dan sore hari yang lebih tinggi dibandingkan kelembaban pada siang hari. Hal ini dikarenakan penelitian dilakukan di luar ruangan, sehingga sinar cahaya matahari mempengaruhi suhu dan kelembaban. Suhu berbanding terbalik dengan kelembaban. Jika suhu rendah maka kelembaban tinggi, sebaliknya jika suhu tinggi maka kelembaban rendah. Kandang dalam penelitian ini memiliki lubang-lubang tempat pertukaran udara pada setiap dindingnya, sehingga sirkulasi udara di dalam kandang baik. Selain itu kandang menghadap ke arah timur untuk mendapatkan sinar matahari langsung pada pagi hari. Kandang dengan sirkulasi udara yang baik dan cahaya matahari yang cukup dapat melancarkan siklus reproduksi. Hal ini dikarenakan sirkulasi udara yang baik dapat mengurangi cekaman stres dalam kandang akibat suhu dan kelembaban 22
lingkungan kandang. Selain itu cahaya matahari dapat mersangsang sistem reproduksi merpati betina sehingga proses ovulasi berlangsung lebih cepat. Reproduksi merpati berbeda dengan unggas lainnya. Produksi telur merpati hanya dua butir untuk satu kali periode bertelur, selain itu interval bertelurnya juga lama. Oleh karena itu dibutuhkan manajemen pemeliharaan yang baik agar produksitifitas merpati meningkat. Hal ini bisa dilakukan dengan pemeliharaan semi intesif. Pemeliharaan semi intensif memberikan kesempatan merpati untuk melakukan proses perkawinan setiap saat. Selain itu dengan pemeliharaan semi intensif juga dapat memberikan kesempatan merpati untuk memperoleh grit yang dapat membantu proses pencernaan sehingga sistem pencernaan merpati dapat berjalan dengan baik. Telur yang dihasilkan dari merpati unggul pada setiap periode bertelur sebaiknya tidak dierami secara langsung oleh merpati induknya, namun telur yang dihasilkan sebaiknya dierami oleh indukan lain. Hal ini dilakukan untuk mempercepat interval produksi telur merpati unggul yang tidak mengerami telur, sehingga telur merpati yang dihasilkan akan lebih banyak. Konsumsi Pakan Merpati merupakan jenis unggas yang menyukai makanan berupa biji-bijian, seperti jagung yang dijadikan pakan dalam penelitian ini. Rataan konsumsi pakan jagung dalam penelitian ini yaitu 38,44 ± 8,21 g/pasang/hari dengan koefisien keragaman 21,36%. Hal tersebut menunjukkan konsumsi pakan merpati pada penelitian ini masih beragam, karena konsumsi pakan tertinggi dalam penelitian ini yaitu 61,43 g/pasang/hari dan konsumsi pakan terendah yaitu 25,29 g/pasang/hari. Pakan yang dikonsumsi tergantung dari bangsa merpati, cuaca, nafsu makan, besar badan, serta jumlah dan besar anak (Blakely dan Bade, 1998). Merpati sebaiknya diberi pakan cukup karena merpati memiliki sifat memilih-milih pakan yang disukai dan menghamburkan pakan yang tidak disukainya, oleh karena itu disain tempat pakan sangat penting agar pakan tidak berhamburan. Selain pakan utama berupa jagung, merpati juga harus mendapatkan grit untuk membantu proses pencernaan, oleh karena itu manajemen pemeliharaan yang digunakan dalam penelitian kali ini yaitu semi intensif dimana setiap sore hari merpati dibiarkan bebas untuk memberi kesempatan merpati mencari grit dan
23
melakukan perkawinan. Grit yang diperoleh berupa batu-batu kecil atau kerikil, arang dan abu yang berada di sekitar kandang. Sifat-sifat Kualitatif Sifat-sifat kualitatif merpati yang diamati dalam penelitian ini yaitu warna bulu, warna iris mata, tipe shank, tipe bulu sayap, bentuk ujung bulu sayap, bentuk kepala dan bentuk badan. Warna Bulu Warna bulu merpati masih beragam. Persentase warna bulu merpati dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase Warna Bulu Merpati Lokal Tipe Tinggian Warna Bulu
Jantan
Betina
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
--- (ekor) ---
--- (%)---
--- (ekor) ---
--- (%) ---
Coklat
6
20,00
7
23,33
Tritis
4
13,33
3
10,00
Hitam
1
3,33
1
3,33
Megan
3
10,00
4
13,33
Kelabu
10
33,33
2
6,67
Putih
1
3,33
3
10,00
Blorok
0
-
5
16,67
Blantong
1
3,33
1
3,33
Batik
1
3,33
0
-
Gambir
3
10,00
4
13,33
Warna bulu kelabu merupakan warna bulu terbanyak untuk merpati jantan dalam penelitian ini yaitu 10 ekor (33,33%), sedangkan warna bulu blorok untuk merpati jantan tidak ada dalam penelitian ini karena merpati jantan blorok memang masih jarang ditemui di pasaran. Merpati betina yang memiliki warna bulu terbanyak yaitu coklat yang berjumlah 7 ekor (23,33%). Merpati yang baik memiliki bulu tubuh yang lengkap, lembut dan terasa licin saat dipegang seperti berminyak. Persentase merpati jantan yang memiliki bulu tubuh yang lembut dan terasa licin berjumlah 18
24
ekor (60%), sedangkan merpati betina yang memiliki bulu tubuh yang lembut dan terasa licin berjumlah 9 ekor (30%).
(a)
(b)
(d)
(e)
(g)
(h)
(c)
(f)
(i)
(j) Gambar 17. Warna Bulu Putih (a), Hitam (b), Coklat (c), Blantong (d), Tritis (e), Megan (f), Kelabu (g), Blorok (h), Batik (i) dan Gambir (j)
25
Warna bulu merpati lokal tipe tinggian disajikan pada Gambar 17. Merpati betina lebih sedikit memiliki bulu tubuh yang lembut dan terasa licin dibandingkan merpati jantan, hal tersebut dikarenakan merpati betina lebih sering dipegang oleh peternak untuk keperluan geber (klepek) merpati jantan. Menurut Marshall (2004), bulu halus seperti sutra diduga karena kandungan minyak pada bulu tinggi. Bulu yang kering diduga banyak penyakit, terbang menjadi tidak lurus, daya angkat berkurang sehingga merpati sulit terbang dan membutuhkan lebih banyak energi dan merpati menjadi cepat lelah. Warna bulu merpati jantan maupun merpati betina masih bervariasi, namun pada merpati jantan warna bulu pada bagian leher lebih terang dibandingkan merpati betina, hal tersebut merupakan salah satu ciri untuk membedakan merpati jantan dan merpati betina. Merpati lokal mempunyai warna yang beragam dan mempunyai tiga warna dasar yaitu warna hitam, coklat dan merah. Warna biru (megan) adalah tipe warna bulu burung merpati liar yang dekat dengan warna hitam, sedangkan warna putih adalah albino karena tidak mengandung pigmen sama sekali pada bulu. Warna bulu biru (megan) merupakan warna dari nenek moyang merpati domestik, warna biru disebabkan oleh pigmen hitam yang menyebar (Levi, 1945). Namun menurut Darwati (2012), warna bulu dasar burung merpati lokal ada 5 macam, yaitu hitam (S+
+
A
B -C-), megan (ssB C-), coklat/gambir (S-b-C-;), putih (S- -- cc), dan abu (SsB -C-). Warna Iris Mata Warna iris mata pada dasarnya ada tiga warna yaitu kuning, putih (pillow) dan coklat (asem). Namun ada juga merpati yang memiliki warna iris mata orange, merah muda hingga merah. Warna tersebut merupakan gradasi dari warna-warna dasar. Selain warna dasar dan warna gradasi dari warna dasar tersebut ada sejumlah merpati yang memiliki warna iris mata yang berbeda pada kedua sisinya, seperti warna iris mata bagian kanan putih (pillow) dan warna iris mata bagian kiri coklat (asem). Jenis warna iris mata ini biasa disebut oleh para peternak dengan sebutan warna iris mata liplap. Selain itu ada juga merpati yang memiliki warna iris mata yang berbeda dalam satu mata seperti sebagian mata berwarna putih (pillow) dan sebagian lagi berwarna coklat (asem). Darwati (2003) menyatakan keragaman fenotipe merpati lokal masih tinggi seperti pada warna iris mata. Persentase warna iris mata merpati dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3. 26
Tabel 3. Persentase Warna Iris Mata Merpati Lokal Tipe Tinggian Warna Iris Mata
Jantan
Betina
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
--- (ekor) ---
--- (%) ---
--- (ekor) ---
--- (%) ---
27
90
24
80,00
Putih (pillow)
0
-
2
6,67
Coklat (asem)
1
3,33
2
6,67
Liplap
1
3,33
2
6,67
Campuran
1
3,33
0
-
Kuning
Warna iris mata merpati jantan terbanyak yaitu kuning dan berjumlah 27 ekor atau 90% dari jumlah merpati jantan yang diamati, sedangkan untuk warna iris mata putih (pillow) pada penelitian ini tidak ada. Warna iris mata merpati betina juga didominasi oleh warna kuning berjumlah 24 ekor atau 80%. Pada penelitian ini ditemukan merpati dengan warna iris mata liplap sebanyak dua ekor pada merpati betina dan satu ekor pada merpati jantan. Burung merpati lokal mempunyai warna mata jingga dan kuning (Salis, 2002). Warna iris mata merpati disebabkan oleh iridic pigmen (Levi,1945). Warna iris mata memberikan pengaruh besar terhadap penglihatan. Warna iris mata merpati yang baik adalah warna iris mata kuning. Hal ini mungkin disebabkan warna iris mata kuning tahan terhadap sinar matahari apabila dilepas pada siang dan sore hari. Warna iris mata putih (pillow) dan coklat (asem) kurang baik. Warna iris mata putih (pillow) diduga tidak tahan terhadap sinar matahari, sedangkan warna iris mata coklat (asem) diduga kurang baik jika cuaca mendung. Namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini. Warna iris mata merpati lokal tipe tinggian disajikan pada Gambar 18. Selain warna iris mata, hal lain yang harus diperhatikan yaitu bentuk pupil mata. Mata yang baik harus memiliki bentuk pupil yang bulat utuh, hitam dan tidak pecah. Bentuk pupil yang sempurna akan mempengaruhi kemampuan pupil untuk membesar dan mengecil pada saat terkena cahaya.
27
(a)
(b)
(c)
Gambar 18. Warna Iris Mata Coklat (Asem) (a), Putih (Pillow) (b) dan Kuning (c) Bentuk Kepala Bentuk kepala merpati lokal dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu curut, jenong dan menyerupai burung perkutut. Persentase bentuk kepala merpati dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase Bentuk Kepala Merpati Lokal Tipe Tinggian Bentuk Kepala
Jantan
Betina
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
--- (ekor) ---
--- (%) ---
--- (ekor) ---
--- (%) ---
Curut
13
43,33
7
23,33
Jenong
7
23,33
10
33,33
Perkutut
10
33,33
13
43,33
Bentuk kepala merpati jantan paling banyak pada penelitian ini yaitu curut dan berjumlah 13 ekor dengan persentase 43,33%, sedangkan merpati betina paling banyak memiliki bentuk kepala seperti perkutut dan berjumlah 13 ekor dengan persentase 43,33%. Merpati jantan dengan bentuk kepala jenong pada penelitian ini memiliki rataan kecepatan terbang 9,83 m/detik, rataan terbang merpati jantan dengan bentuk kepala curut yaitu 10,69 m/detik dan rataan kecepatan terbang merpati jantan dengan bentuk kepala perkutut yaitu 10,39 m/detik. Hal tersebut menunjukan bahwa merpati jantan dengan bentuk kepala curut memiliki rataan kecepatan terbang yang lebih tinggi dibandingkan merpati jantan dengan bentuk kepala jenong dan curut. Bentuk kepala merpati lokal tipe tinggian disajikan pada Gambar 19. 28
(a)
(b)
(c)
Gambar 19. Bentuk Kepala Jenong (a), Curut (b) dan Perkutut (c) Berdasarkan pengalaman peternak, merpati jantan dengan bentuk kepala jenong memiliki kemampuan untuk mendarat (menukik) yang baik, sedangkan merpati dengan bentuk kepala curut memiliki kemampuan terbang tinggi hingga terlihat kecil (nitik) di awan. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Bentuk kepala merpati jantan terlihat lebih kasar dan maskulin dibandingkan merpati betina. Selain dari bentuk kepala, paruh dan hidung pun bisa dijadikan peubah untuk membedakan jenis kelamin merpati. Menurut Dewi (2005) merpati betina memiliki bentuk paruh yang panjang dan lurus. Merpati jantan memiliki bentuk paruh yang pendek dengan bagian ujung agak melengkung. Pada hidung merpati jantan terdapat bercak putih, sedangkan hidung merpati betina tidak terdapat bercak putih, hidungnya berwarna merah serta relatif lebih kecil. Bentuk Tubuh Bentuk tubuh dikelompokkan menjadi dua yaitu bentuk menyerupai jantung pisang dan kapal. Darwati (2003) menyatakan bahwa bentuk tubuh merpati performing breed seperti jantung pisang jika digenggam dengan dua tangan, posisi badan dan kaki diselonjorkan ke belakang. Pada posisi tersebut badannya dirasakan padat namun terasa empuk di tangan. Pada saat berdiri badannya terlihat tegap dan dada tampak padat. Bentuk badan yang menyerupai kapal dicirikan dengan tubuh yang panjang menyerupai kapal, jika sedang berdiri maka posisi kepala lebih ke depan dibandingkan kepala dengan bentuk jantung pisang sehingga kepala dan leher sejajar dengan tubuh.
29
Bentuk tubuh antara merpati satu dengan merpati lainnya beragam. Persentase bentuk tubuh merpati dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase Bentuk Tubuh Merpati Lokal Tipe Tinggian Bentuk Tubuh
Jantan
Betina
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
--- (ekor) ---
--- (%) ---
--- (ekor) ---
--- (%) ---
21
70,00
11
36,67
9
30,00
19
63,33
Jantung pisang Kapal
Bentuk tubuh merpati jantan lebih banyak menyerupai jantung pisang dibandingkan bentuk kapal. Merpati jantan yang memiliki bentuk tubuh menyerupai jantung pisang dalam penelitian ini berjumlah 21 ekor dengan persentase 70%, sedangkan merpati jantan yang memiliki bentuk tubuh menyerupai kapal berjumlah 9 ekor atau 30%. Merpati betina lebih banyak memiliki bentuk tubuh menyerupai kapal dan berjumlah 19 ekor dengan persentase 63,33%, sedangkan merpati betina yang memiliki bentuk tubuh menyerupai jantung pisang berjumlah 11 ekor atau 36,67%. Bentuk tubuh merpati lokal tipe tinggian disajikan pada Gambar 20.
(a)
(b)
Gambar 20. Bentuk Tubuh Jantung Pisang (a) dan Kapal (b) Merpati jantan dengan bentuk tubuh seperti jantung pisang dalam penelitian ini memiliki rataan kecepatan 10,42 m/detik, sedangkan merpati jantan dengan bentuk tubuh seperti kapal memiliki rataan kecepatan terbang 10,30 m/detik. Hal tersebut menunjukan bahwa kecepatan terbang merpati jantan dengan bentuk badan seperti jantung pisang lebih tinggi dibandingkan merpati jantan dengan bentuk tubuh seperti kapal. Hal ini diduga bentuk tubuh seperti jantung pisang akan mengurangi
30
terjadinya gesekan antara tubuh dengan udara sehingga hambatan saat terbang minimal dan kecepatan terbang kencang. Merpati jantan memiliki bentuk tubuh yang lebih tegap dibandingkan merpati betina. Bentuk tubuh seperti jantung pisang digemari oleh peternak karena bentuk tubuh merpati jantan yang menyerupai jantung pisang diduga pada saat terbang dapat mendarat (menukik) dengan baik. Burung merpati tinggi yang unggul memiliki gaya turun yang tajam (menukik). Hal ini disesuaikan dengan ring lomba yang menuntut merpati tinggi untuk turun tajam. Menurut Darwati (2003) bahwa postur tubuh burung merpati lokal performing breed yang memiliki ketangkasan tumbler (akrobat di udara) adalah merpati jantan, walaupun tidak menutup kemungkinan betina juga ada. Bentuk Ujung Bulu Sayap Bentuk ujung bulu sayap ada dua yaitu bentuk ujung bulu yang lancip dan bentuk ujung bulu yang tumpul. Persentase bentuk ujung bulu sayap merpati dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase Bentuk Ujung Bulu Sayap Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan
Bentuk Ujung Bulu Sayap
Betina
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
--- (ekor) ---
--- (%) ---
--- (ekor) ---
--- (%) ---
Lancip
8
26,67
8
26,67
Tumpul
22
73,33
22
73,33
Merpati jantan maupun merpati betina memiliki persentase bentuk ujung bulu sayap yang sama yaitu 73,33% atau berjumlah 22 ekor untuk bentuk ujung bulu sayap yang tumpul. Merpati jantan dengan bentuk ujung bulu sayap lancip dalam penelitian ini memiliki rataan kecepatan terbang 10,25 m/detik, sedangkan merpati jantan dengan bentuk ujung bulu sayap tumpul memiliki rataan kecepatan terbang 10,44 m/detik. Hal tersebut menunjukan bahwa kecepatan terbang merpati jantan dengan bentuk ujung bulu sayap tumpul lebih tinggi dibandingkan merpati jantan dengan bentuk ujung bulu ayap lancip. Bentuk ujung bulu sayap merpati lokal tipe tinggian disajikan pada Gambar 21.
31
(a)
(b)
Gambar 21. Bentuk Ujung Bulu Sayap Tumpul (a) dan Lancip (b) Bentuk ujung bulu sayap mempengaruhi saat terbang karena dapat mengurangi gesekan udara pada sayap. Bentuk sayap merpati dapat membuat perbedaan tekanan udara pada bagian atas dengan bawah yang akan menyebabkan daya dorong pada tubuh merpati dari atas ke bawah. Sayap merpati berperan untuk menolak daya gravitasi yang akan menyebabkan burung terbang (Dewi, 2005). Tipe Bulu Sayap Tipe bulu sayap ada dua yaitu tipe bulu sayap rapat dan tipe bulu sayap renggang. Persentase tipe bulu sayap merpati dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Persentase Tipe Bulu Sayap Merpati Lokal Tipe Tinggian Tipe Bulu Sayap
Jantan
Betina
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
--- (ekor) ---
--- (%) ---
--- (ekor) ---
--- (%) ---
Rapat
15
50,00
16
53,33
Renggang
15
50,00
14
46,67
Persentase tipe bulu sayap merpati jantan sama antara tipe bulu sayap rapat dan renggang yaitu 50%, sedangkan untuk merpati betina yang memiliki tipe bulu sayap rapat ada 16 ekor atau 53,33%. Merpati jantan dengan tipe bulu sayap rapat dalam penelitian ini memiliki rataan kecepatan terbang 10,32 m/detik, sedangkan merpati jantan dengan tipe bulu sayap renggang memiliki rataan kecepatan terbang 10,45 m/detik. Hal tersebut menunjukan bahwa kecepatan terbang merpati jantan
32
dengan tipe bulu sayap renggang lebih tinggi dibandingkan merpati jantan dengan tipe bulu sayap rapat. Pernyataan tersebut berbeda dengan Yonathan (2003) yang menyatakan bahwa jarak antar bulu sayap rapat dan bulu sayap lebar dapat membantu merpati saat terbang sehingga kecepatan terbangnya lebih cepat. Hal ini dikarenakan tidak ada udara yang lolos diantara sela-sela bulu sayap dan ketika disibakkan akan menghasilkan ayunan yang kuat. Tipe bulu sayap merpati lokal tipe tinggian disajikan pada Gambar 22.
(a)
(b)
Gambar 22. Tipe Bulu Sayap Rapat (a) dan Renggang (b) Tyne dan Berger (1976) menyatakan bahwa sayap pada burung berfungsi memberikan dorongan pada tubuh sehingga menambah kecepatan terbang. Bulu sayap primer merupakan bagian terpenting pada saat burung terbang karena berfungsi seperti baling-baling ketika burung terbang. Tipe Shank Tipe shank dikelompokkan menjadi dua yaitu tipe shank basah dan kering. Tipe shank basah ditandai dengan shank yang bersih, merah dan tampak mengkilap seperti basah, sedangkan tipe shank kering dicirikan dengan shank yang tampak seperti bersisik, berwarna lebih putih dibandingkan tipe shank basah dan terlihat kering. Warna shank merpati lokal sudah seragam yaitu berwarna merah dan diperkirakan homozigot, namun untuk pola warna bulu masih beragam (Salis, 2002). Persentase tipe shank merpati dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 8.
33
Tabel 8. Persentase Tipe Shank Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan
Tipe Shank
Betina
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
--- (ekor) ---
--- (%) ---
--- (ekor) ---
--- (%) ---
Shank kering
26
86,67
15
50,00
Shank basah
4
13,33
15
50,00
Tipe shank merpati jantan lebih didominasi oleh tipe shank kering yaitu 26 ekor dengan persentase 86,67%, sedangkan untuk mepati betina persentase tipe shank basah dan shank kering sama masing-masing 50%. Tipe shank merpati lokal tipe tinggian disajikan pada Gambar 23.
(a)
(b)
Gambar 23. Tipe Shank Kering (a) dan Basah (b) Sifat-sifat Kuantitatif Sifat-sifat kuantitatif merpati yang diamati dalam penelitian ini yaitu bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh seperti lebar dada luar, lebar dada dalam, dalam dada, lingkar dada, panjang dada dan panjang punggung. Selain itu diamati pula jumlah bulu sayap primer, rentang sayap, panjang sayap, lebar bulu ekor, panjang bulu ekor dan jumlah bulu ekor. Sifat Kuantitatif Merpati Jantan dan Betina Bobot Badan Bobot badan merpati jantan dan merpati betina dalam penelitian ini sangat berbeda nyata. Rataan bobot badan merpati jantan yaitu 341,8 ± 27,14 g, sedangkan merpati betina memiliki rataan bobot badan 304,07 ± 34,71 g. Bobot badan merpati
34
jantan memiliki koefisien keragaman sebesar 7,94%, sedangkan bobot badan merpati betina memiliki koefisien keragaman sebesar 11,42%. Hal tersebut menunjukkan bahwa bobot badan merpati betina lebih beragam dibandingkan dengan merpati jantan. Merpati jantan memiliki rataan bobot badan lebih besar dibandingkan merpati betina, namun dalam penelitian ini ditemukan merpati jantan yang memiliki bobot badan yang lebih rendah dibandingkan bobot badan merpati betina. Bobot badan merpati jantan terendah dalam penelitian ini yaitu 280 g, sedangkan bobot badan merpati betina tertinggi yaitu 360 g. Perbedaan bobot badan ini menunjukkan bahwa bobot badan merpati lokal masih beragam, bobot badan ini dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. Ukuran Tubuh Ukuran tubuh merpati jantan dan betina yang diamati dalam penelitian ini yaitu lebar dada luar, lebar dada dalam, dalam dada, lingkar dada, panjang dada, panjang punggung dan lebar pangkal ekor. Perbedaan ukuran tubuh merpati jantan dan betina disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Ukuran Tubuh Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan dan Betina Peubah
Rataan ± Simpangan Baku (KK) Jantan
Betina
Lebar dada luar (cm)
8,83 ± 0,31 (3,46)A
8,26 ± 0,35 (4,29)B
Lebar dada dalam (cm)
5,44 ± 0,31 (5,63)A
5,10 ± 0,37 (7,31)B
Dalam dada (cm)
6,77 ± 0,25 (3,71)a
6,56 ± 0,37 (5,70)b
Lingkar dada (cm)
26,35 ± 0,75 (2,84)A
Panjang dada (cm)
7,46 ± 0,24 (3,19)A
7,18 ± 0,39 (5,40)B
Panjang punggung (cm)
11,47 ± 0,43 (3,76)a
11,12 ± 0,64 (5,77)b
Lebar pangkal ekor (cm)
3,27 ± 0,18 (5,56)A
3,05 ± 0,20 (6,38)B
25,2 ± 1,11 (4,42)B
Keterangan : * Superskrip pada baris yang sama menyatakan beda nyata. Jika huruf besar berarti berbeda sangat nyata (P<0,01), sedangkan huruf kecil menandakan beda nyata (P<0,05). * KK = koefisien keragaman.
Lebar dada luar, lebar dada dalam, lingkar dada, panjang dada dan lebar pangkal ekor merpati jantan sangat berbeda nyata dengan merpati betina. Selain itu
35
dalam dada dan panjang punggung merpati jantan pun berbeda nyata dengan merpati betina. Hasil tersebut menunjukkan bahwa merpati jantan lebih besar dan lebih panjang dibandingkan merpati betina. Merpati jantan lebih banyak melakukan aktifitas dibandingkan merpati betina, sehingga ukuran tubuh merpati jantan lebih berkembang dibandingkan merpati betina. Hal ini dikarenakan merpati jantan dilatih terbang untuk untuk keperluan lomba balap merpati, berbeda dengan merpati betina yang lebih banyak dikandang atau dipegang oleh joki balap merpati. Selain itu diduga faktor genetik mempengaruhi sifat kuantitatif merpati, karena ada juga merpati jantan yang memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibanding merpati betina, begitu pun sebaliknya. Sayap Jumlah bulu sayap primer, rentang sayap dan panjang sayap diamati antara merpati jantan dan betina. Perbedaan jumlah bulu sayap primer, rentang sayap dan panjang sayap merpati jantan dan betina disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Sayap Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan dan Betina Peubah
Rataan ± Simpangan Baku (KK) Jantan
Betina
10 ± 0 (0)
9,97 ± 0,18 (1,83)
Rentang sayap (cm)
29,95 ± 0,87 (2,90)
29,33 ± 1,14 (3,87)
Panjang sayap (cm)
13,56 ± 0,47 (3,48)
13,41 ± 0,48 (3,57)
Jumlah bulu sayap primer (helai)
Keterangan : KK = koefisien keragaman.
Jumlah bulu sayap primer, rentang sayap dan panjang sayap antara merpati jantan dan merpati betina sama. Jumlah bulu sayap primer merpati biasanya ada 10 helai. Namun dalam penelitian ini ditemukan satu ekor merpati betina yang memiliki jumlah bulu sayap primer 9 helai, sedangkan berdasarkan pengalaman peternak ada juga merpati yang memiliki jumlah bulu sayap primer hingga 11 helai. Rentang sayap merpati jantan dan betina berkisar 29,33-29,95 cm dengan koefisien keragaman 2,90%-3,87%. Panjang sayap merpati jantan dan betina berkisar 13,4113,56 cm dengan koefisien keragaman 3,48%-3,57%.
36
Ekor Jumlah bulu ekor, panjang bulu ekor dan lebar bulu ekor diamati antara merpati jantan dan betina. Perbedaan jumlah bulu ekor, panjang bulu ekor dan lebar bulu ekor merpati jantan dan betina disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Bulu Ekor Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan dan Betina Peubah Jumlah bulu ekor (helai) Panjang bulu ekor (cm) Lebar bulu ekor (cm)
Rataan ± Simpangan Baku (KK) Jantan
Betina
11,97 ± 0,18 (1,53)
12 ± 0 (0) A
11,65 ± 0,43 (3,70)B
4,42 ± 0,53 (11,93)
4,55 ± 0,74 (16,28)
12,22 ± 0,44 (3,61)
Keterangan : * Superskrip dengan huruf besar pada baris yang sama menandakan berbeda sangat nyata (P<0,01). * KK = koefisien keragaman.
Jumah dan lebar bulu ekor antara merpati jantan dan betina sama. Jumlah bulu ekor merpati biasanya ada 12 helai, namun dalam penelitian ini ditemukan satu ekor merpati jantan yang memiliki jumlah bulu ekor 11 helai. Lebar bulu ekor merpati jantan dan betina berkisar 4,42-4,55 cm dengan koefisien keragaman 11,93%-16,28%. Hal tersebut menunjukkan bahwa lebar bulu ekor merpati masih beragam, karena tipe bulu ekor merpati ada dua yaitu tipe menyebar dan tipe menyatu. Panjang bulu ekor antara merpati jantan dan merpati betina sangat berbeda nyata, Panjang bulu ekor merpati jantan cenderung lebih panjang dibandingkan merpati betina, hal ini sesuai dengan bentuk tubuh merpati jantan yang lebih panjang dibandingkan merpati betina. Perbedaan jumlah bulu ekor, panjang bulu ekor dan lebar bulu ekor ini diduga dipengaruhi oleh genetik. Sifat Kuantitatif Merpati Jantan sebelum dan setelah Dilatih Terbang Bobot Badan Bobot badan merpati jantan sebelum dan setelah dilatih terbang sangat berbeda nyata. Bobot badan sebelum dilatih terbang yaitu 341,8 ± 27,14 g dengan koefisien keragaman 7,94%, sedangkan bobot badan setelah dilatih terbang yaitu 336,17 ± 24,04 g dengan koefisien keragaman 7,15%. Hal tersebut menunjukkan bahwa latihan terbang berpengaruh terhadap bobot badan. Merpati dengan bobot
37
badan yang tinggi setelah dilatih terbang akan menurun. Hal ini dikarenakan lemak dalam tubuh merpati selama dilatih terbang akan berkurang, sehingga tubuh merpati semakin kecil tetapi memiliki perototan yang padat. Seperti halnya pada atlit binaraga yang memiliki lemak lebih sedikit dibanding otot karena proses latihan angkat beban yang rutin serta pola makan yang teratur. Namun untuk merpati dengan bobot badan yang rendah, latihan terbang akan membuat bentuk badan semakin padat dan berotot. Ukuran Tubuh Pada saat terbang, bagian-bagian tubuh merpati tentu akan berkontraksi. Beberapa bagian tubuh pasti akan mengalami perubahan selama latihan terbang. Perbedaan ukuran tubuh merpati jantan sebelum dan sesudah dilatih terbang disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Ukuran Tubuh Merpati Lokal Jantan Tipe Tinggian Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang Peubah
Rataan ± Simpangan Baku (KK) H1
H14
Lebar dada luar (cm)
8,83 ± 0,31 (3,46)A
8,73 ± 0,34 (3,86)B
Lebar dada dalam (cm)
5,44 ± 0,31 (5,63)
5,44 ± 0,32 (5,90)
Dalam dada (cm)
6,77 ± 0,25 (3,71)a
6,70 ± 0,22 (3,35)b
Lingkar dada (cm)
26,35 ± 0,75 (2,84)
26,22 ± 0,70 (2,67)
Panjang dada (cm)
7,46 ± 0,24 (3,19)
7,47 ± 0,24 (3,15)
Panjang punggung (cm)
11,47 ± 0,43 (3,76)
11,46 ± 0,30 (2,63)
Lebar pangkal ekor (cm)
3,27 ± 0,18 (5,56)
3,29 ± 0,18 (5,36)
Keterangan : * Superskrip pada baris yang sama menyatakan beda nyata. Jika huruf besar berarti berbeda sangat nyata (P<0,01), sedangkan huruf kecil menandakan beda nyata (P<0,05). * H1 yaitu hari pertama, sedangkan H14 yaitu hari ke-14. * KK = koefisien keragaman.
Latihan terbang merpati berpengaruh terhadap perubahan ukuran-ukuran tubuh merpati. Hasil latihan terbang selama 11 hari menunjukkan bahwa lebar dada luar sebelum dan setelah dilatih terbang sangat berbeda nyata, sedangkan dalam dada sebelum dan setelah latihan terbang berbeda nyata. Lebar dada luar dan dalam dada merpati setelah dilatih terbang nyata lebih kecil dibandingkan sebelum dilatih
38
terbang. Hal tersebut dikarenakan pada saat dilatih terbang, perlemakan pada bagian dada dan sayap berkurang sehingga tubuh menjadi lebih kecil. Namun otot pada bagian sayap yang lebih banyak melakukan aktifitas akan menebal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dewi (2005) bahwa aktifitas terbang pada merpati mengandalkan otot bagian sayap, oleh karena itu merpati yang belum dilatih terbang belum memiliki perototan yang baik di tubuhnya. Proses latihan terbang menyebabkan terbentuknya pangkal sayap yang tebal. Merpati dengan pangkal sayap tebal mampu mengepakan sayap dengan kuat, sehingga kecepatan terbang akan menjadi maksimal. Lebar dada dalam, lingkar dada, panjang dada, panjang punggung dan lebar pangkal ekor sebelum dan setelah diterbangkan sama. Hal ini menunjukkan latihan terbang tidak mempengaruhi ukuran-ukuran tubuh tersebut. Biewener (2012) menyatakan bahwa otot terbang burung dengan ukuran tubuh yang lebih kecil harus mampu melakukan pekerjaan besar untuk menghasilkan tenaga aerodinamis yang dibutuhkan untuk mendukung berat badan di udara dan untuk mengatasi hambatan angin. Sayap Jumlah bulu sayap primer, rentang sayap dan panjang sayap diamati sebelum dan setelah dilatih terbang. Perbedaan bagian sayap merpati jantan sebelum dan setelah dilatih terbang disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Sayap Merpati Lokal Jantan Tipe Tinggian Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang Peubah
Rataan ± Simpangan Baku (KK) H1
H14
10 ± 0 (0)
10 ± 0 (0)
Rentang sayap (cm)
29,95 ± 0,87 (2,90)b
30,10 ± 0,73 (2,43)a
Panjang sayap (cm)
13,56 ± 0,47 (3,48)
13,63 ± 0,36 (2,62)
Jumlah bulu sayap primer (helai)
Keterangan : * Superskrip dengan huruf kecil pada baris yang sama menandakan beda nyata (P<0,05). * H1 yaitu hari pertama, sedangkan H14 yaitu hari ke-14. * KK = koefisien keragaman.
Rentang sayap dalam penelitian ini berbeda nyata sebelum dan setelah latihan terbang. Hal ini dikarenakan masih banyaknya merpati yang mengalami pertumbuhan bulu sayap ke 10 saat dilatih terbang. Jumlah bulu sayap primer
39
sebelum dan setelah dilatih terbang sama yaitu 10 helai. Selanjutnya panjang sayap merpati yang dilatih terbang juga sama karena merpati dilatih terbang sudah dewasa tubuh sehingga tidak terjadi pertumbuhan lagi. Jumlah bulu sayap primer saat merpati jantan diterbangkan harus lengkap, agar kecepatan terbang yang dihasilkan maksimal. Hal ini dikarenakan jika bulu sayap merpati saat diterbangkan lengkap, maka tidak ada udara yang lolos diantara sela-sela bulu sayap sehingga ketika disibakkan akan menghasilkan ayunan yang kuat. Tyne dan Berger (1976) menambahkan bahwa bulu sayap primer merupakan bagian terpenting pada saat burung terbang karena berfungsi seperti baling-baling ketika burung terbang. Ekor Performa bagian ekor merpati jantan disajikan pada Tabel 14. Jumlah bulu ekor, panjang bulu ekor dan lebar ekor sebelum dan setelah dilatih terbang sama. Hal ini menunjukkan bahwa latihan terbang tidak mempengaruhi jumlah bulu ekor, panjang bulu ekor dan lebar ekor. Jumlah bulu ekor, panjang bulu ekor dan lebar ekor sebelum dan setelah dilatih terbang sama. Hal ini dikarenakan merpati yang dilatih terbang sudah dewasa tubuh sehingga tidak terjadi pertumbuhan lagi. Tabel 14. Ekor Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang Peubah
Rataan ± Simpangan Baku (KK) Jantan
Betina
Jumlah bulu ekor (helai)
11,97 ± 0,18 (1,53)
11,97 ± 0,18 (1,53)
Panjang bulu ekor (cm)
12,22 ± 0,44 (3,61)
12,17 ± 0,42 (3,41)
Lebar ekor (cm)
4,42 ± 0,53 (11,93)
4,27 ± 0,55 (12,86)
Keterangan : KK = koefisien keragaman.
Mepati balap yang baik memiliki pangkal ekor yang tebal dengan bulu ekor yang menyatu. Hal ini akan berpengaruh pada saat pendaratan yaitu memungkinkan pendaratan yang keras (Dewi, 2005). Dikemukakan pula oleh Tyne dan Berger (1976) bahwa bulu ekor merpati berfungsi sebagai pengendali ketika burung terbang dan penentu arah belok, turun dan berhenti.
40
Kecepatan Terbang Melatih terbang merpati lokal berbeda dengan merpati pos, agar dapat kembali ke kandang. Merpati lokal dilatih dengan melepas pada satu arah. Latihan terbang dilakukan dari jarak yang terdekat hingga terjauh. Merpati menemukan arah pulang ke kandang saat diterbangkan dengan dua langkah yaitu penentuan arah rumah dan penggunaan kompas matahari untuk terbang ke arah kandang. Ketika burung merpati tidak dapat melihat matahari, mereka menggunakan kompas magnetik. Merpati mampu mengukur perbedaan dalam sudut kekuatan medan magnet (Walcott, 1996). Namun Wiltschko et al. (2000) menyatakan bahwa kompas matahari merupakan mekanisme paling akurat dalam menemukan arah pulang. Gagliardo (2004) menambahkan bahwa merpati dapat bergantung pada peta penciuman dan visual tempat latih terbang agar bisa pulang kembali ke kandang. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat homing diantaranya keakraban dengan kondisi tempat latihan terbang dan kurangnya informasi penciuman. Burung yang sedang terbang memerlukan lebih banyak oksigen dan sistem respirasi harus dapat memenuhi kebutuhan oksigen. Burung ketika terbang memerlukan oksigen 21 kali lebih banyak dibandingkan saat istirahat (Tyne dan Berger, 1976). Merpati saat terbang mengkonsumsi 17,4 kali lipat oksigen, 7,4 kali lipat peningkatan cardiac output dan peningkatan 2,4 kali lipat oksigen darah ekstraksi serta meningkatkan denyut jantung enam kali lipat (Peters et al., 2005). Farner dan King (1972) menyatakan kecepatan bernapas pada burung berbanding terbalik dengan bobot badan burung. Aktifitas burung sangat mempengaruhi temperatur tubuh dan semakin meningkat temperatur akan menambah kecepatan bernapas burung dan meningkatkan volume oksigen sisa yang tertinggal pada paruparu. Merpati memiliki volume oksigen sisa berkisar antara 5-8 cc. Jarak terbang dan usia merpati mempengaruhi status oksidatif (Costantini et al., 2007). Farner dan King (1972) serta Marshall (1960) menjelaskan bahwa respirasi pada burung dimulai dari larynk, trachea, syrinx, paru-paru dan kantung udara. Burung bernafas dengan hidung dan menutup paruhnya. Tyne dan Berger (1976) menyatakan bahwa oksigen dari hasil inspirasi akan didistribusikan ke dalam sel di dalam tubuh yang nantinya digunakan untuk melakukan proses kimia berupa
41
pembakaran atau oksidasi zat-zat makanan. Proses oksidasi ini akan menghasilkan energi dan zat-zat sisa berupa air dan karbondioksida. Kecepatan terbang merpati dalam penelitian ini diukur pada tiga jarak yaitu 100, 150 dan 200 m. Rataan terbang merpati pada jarak 100 m yaitu 10,64 m/detik, untuk jarak 150 m yaitu 10,52 m/detik dan untuk jarak 200 m yaitu 10,01 m/detik. Perbedaan kecepatan ini karena pada saat terbang merpati mengalami percepatan sebelum mencapai kecepatan maksimalnya. Dalton (1977) menambahkan bahwa merpati menggunakan penerbangan lambat pada saat awal start, sehingga memerlukan jarak terbang yang jauh untuk mencapai kecepatan maksimum. Hasil uji t kecepatan terbang merpati pada jarak 100, 150 dan 200 m disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Kecepatan Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian pada Jarak yang Berbeda Jarak
P-Value
100 m dan 150 m
0,658
100 m dan 200 m
0,028 *
150 m dan 200 m
0,090
Keterangan : * = beda nyata (P<0,05)
Kecepatan terbang antara jarak 100 m dan 150 m sama, begitu juga dengan dengan kecepatan terbang antara jarak 150 m dan 200 m. Kecepatan terbang antara jarak 100 m dan 200 m beda nyata, pada jarak 100 m merpati terbang lebih cepat karena pada jarak 100 m merpati terbang dengan pola lurus tanpa berputar. Berbeda dengan Ridwansyah (2011) yang menyatakan bahwa kecepatan terbang merpati balap tipe tinggian pada jarak 4 km adalah 18,65-29,18 m/detik. Perbedaan kecepatan terbang ini dikarenakan jarak terbang yang berbeda, hal ini menunjukkan semakin jauh jarak terbang merpati maka kecepatan terbang merpati semakin tinggi. Selain itu Ridwansyah (2011) menyebutkan bahwa dalam penelitiannya kecepatan terbang burung antar periode giring tidak berbeda nyata, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan terbang merpati cenderung stabil. Pola Terbang Merpati lokal tipe tinggian ketika terbang tidak seperti merpati balap datar yang terbang lurus, karena merpati tipe tinggian terbang dengan berbagai pola. Ada tiga pola terbang merpati tipe tinggian, yaitu terbang berputar dahulu lalu terbang
42
lurus, langsung terbang lurus tanpa berputar dan terbang lurus lalu berputar di tengah perjalanan. Merpati yang terbang lebih jauh seharusnya dapat terbang lebih cepat. Namun dalam penelitian ini semakin jauh jarak terbang merpati semakin rendah kecepatan terbangnya. Hal ini disebabkan jarak terbang yang terlalu pendek sehingga merpati belum mendapatkan kecepatan yang maksimun, karena kecepatan terbang di awal merpati terbang lebih kecil. Pada awal terbang merpati harus berusaha mendapatkan momentum untuk mengangkat tubuhnya untuk dapat terbang, awalan ini yang menyebabkan merpati terbang lambat karena merpati harus mampu mengangkat beban tubuhnya. Persentase pola terbang merpati pada jarak yang berbeda disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Persentase Pola Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian Jarak Terbang Pola Terbang 100 m
150 m
200 m
------------------------------- ekor (%) ------------------------------Lurus langsung
19 (63,33)
17 (56,67)
4 (13,33)
Berputar lalu lurus
10 (33,33)
11 (36,67)
22 (73,33)
Lurus lalu berputar
1 (3,33)
2 (6,67)
4 (13,33)
Pola terbang merpati tipe tinggian pada jarak 100 m dan 150 m paling banyak yaitu pola lurus langsung, sedangkan pada jarak 200 m merpati terbang dengan pola berputar dahulu lalu lurus. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh jarak terbang maka pola terbang merpati akan berputar dahulu lalu terbang lurus, karena pada jarak jauh merpati harus lebih mengingat kembali arah pulang kandang sehingga merpati tersebut berputar-putar hingga menemukan jalan pulang. Setelah itu baru merpati dapat terbang lurus dengan kecepatan maksimal. Kecepatan terbang antar merpati pada penelitian ini berbeda, hal ini disebabkan oleh pola terbang merpati yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pola terbang yang memiliki kecepatan terbang tertinggi hingga terendah yaitu pola terbang lurus (10,48 m/detik), pola terbang lurus lalu berputar (10,26 m/detik) dan pola terbang berputar lalu lurus (9,30 m/detik). Pola terbang lurus merupakan pola
43
terbang dengan kecepatan tertinggi, hal ini dikarenakan dengan pola lurus maka waktu yang diperlukan untuk terbang kembali ke kandang lebih sedikit sehingga rataan kecepatan terbang lebih tinggi. Korelasi Bobot Badan dan Ukuran Tubuh dengan Kecepatan Terbang Bagian-bagian tubuh pada saat merpati terbang tentu banyak yang berkontraksi. Hasil analisis korelasi bobot badan, ukuran tubuh, sayap dan ekor dengan kecepatan terbang disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Korelasi Bobot Badan, Ukuran Tubuh, Sayap dan Ekor Merpati dengan Kecepatan Terbang Korelasi
Peubah 100 m
150 m
200 m
Bobot badan (cm)
0,087
-0,156
-0,099
Lebar dada luar (cm)
0,011
0,055
0,153
Lebar dada dalam (cm)
0,187
0,051
0,322
Dalam dada (cm)
0,071
0,095
0,138
Lingkar dada (cm)
0,102
0,066
-0,073
Panjang dada (cm)
0,041
0,308
-0,080
Panjang punggung (cm)
0,292
0,259
0,005
-
-
-
Rentang sayap (cm)
0,061
0,012
0,005
Panjang sayap (cm)
-0,186
-0,131
0,059
Jumlah bulu ekor (helai)
-0,339
0,162
-0,182
Panjang bulu ekor (cm)
0,140
-0,228
0,091
Lebar ekor (cm)
-0,081
0,229
-0,244
Lebar pangkal ekor (cm)
0,035
0,048
0,113
Jumlah bulu sayap primer (helai)
Hasil analisis korelasi menunjukan bahwa tidak terdapat korelasi antara bobot badan dan ukuran tubuh dengan kecepatan terbang. Artinya tidak hanya ukuran tubuh yang dapat mempengaruhi kecepatan terbang, masih banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi kecepatan terbang. Hal ini seperti dikemukakan Tyne dan Berger
44
(1976) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan terbang merpati adalah kecepatan angin, temperatur, dan motivasi terbang. Berbeda dengan Ridwansyah (2011) yang menyatakan bahwa bobot badan, dalam dada, lebar bulu ekor dan lebar pangkal ekor merpati balap tinggian berkorelasi negatif dengan kecepatan terbang. Semakin kecil nilai peubah tersebut maka semakin tinggi kecepatan terbang merpati. Perbedaan ini mungkin dikarenakan jarak terbang yang berbeda. Kecepatan angin mungkin menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan terbang, namun dalam penelitian ini kecepatan angin pada saat pengambilan data kecepatan terbang hanya berkisar antara 0-0,5 m/detik karena latihan terbang dilakukan pada pagi hari yaitu saat kondisi angin stabil dan tiupan angin tidak kencang. Motivasi terbang diduga paling berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati. Yonathan (2003) mengemukakan pengalamannya bahwa kecepatan terbang merpati dipengaruhi oleh sifat birahi (giring). Kondisi fisiologis juga berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati. Pada saat merpati jantan dilatih dan merpati betina sedang bertelur, maka naluri untuk kembali pulang lebih besar.
45
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sifat kualitatif merpati lokal tipe tinggian masih beragam. Merpati lokal tipe tinggian yang memiliki bentuk kepala curut, bentuk tubuh seperti jantung pisang, bentuk ujung bulu sayap tumpul dan tipe bulu sayap renggang memiliki kecepatan terbang yang tinggi. Bobot badan dan ukuran tubuh merpati jantan lebih besar dan panjang dibandingkan merpati betina. Merpati jantan yang dilatih terbang mengalami perubahan pada bagian tubuhnya seperti bobot badan, lebar dada luar, dalam dada dan rentang sayap. Kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian pada jarak 100 m yaitu 10,64 m/detik, pada jarak 150 m yaitu 10,52 m/detik dan pada jarak 200 m yaitu 10,01 m/detik. Pola terbang merpati lokal tipe tinggian ada tiga yaitu lurus, berputar lalu lurus dan lurus lalu berputar. Pola terbang lurus langsung memiliki kecepatan terbang tertinggi. Bobot badan dan ukuran tubuh tidak ada yang berkorelasi dengan kecepatan terbang. Saran Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai korelasi ukuran tubuh terhadap kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian pada jarak yang lebih jauh dengan jumlah sampel yang lebih banyak.
46
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan kemudahan yang telah diberikan, sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Sri Darwati, M.Si., sebagai dosen Pembimbing Utama dan Dr. Rudi Afnan, S.Pt, M.Sc.Agr., sebagai dosen Pembimbing Anggota atas segala bimbingan dan saran selama penelitian hingga penulisan skripsi. Terima kasih juga kepada Dr. Ir. Afton Atabany, M.Si., sebagai Pembimbing Akademik atas segala bimbingan dan saran yang telah diberikan. Terima kasih kepada Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA., sebagai dosen penguji dalam seminar atas masukan dan sarannya sehingga penulis dapat menyajikan karya ilmiahnya dengan lebih baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu HS, MS., dan Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr sebagai dosen penguji serta M. Sriduresta, S.Pt., M.Sc., sebagai panitia sidang akhir sarjana penulis. Terima kasih juga kepada dosen dan staf Fakultas Peternakan atas segala ilmu dan bantuan yang telah diberikan sehingga perkuliahaan penulis dapat berjalan dengan lancar. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak, Mama, Kak Reny, Kak Rian dan Emak serta keluarga atas do’a dan bantuannya. Penulis pun sangat berterima kasih kepada Rio dan Pak Kardi yang telah membantu dalam pengambilan data selama penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Raden Iraninta Murniasih atas segala bantuan, saran dan keceriaan yang telah diberikan, sehingga penulis lebih bersemangat dalam mengerjakan skripsi ini. Terima kasih juga kepada Aldy, Sugma, Yogi, Yudi, Ade, Ninta, Munthe, Dewi, Cicha dan teman-teman IPTP 45 serta Welly dan Alif atas semangat yang telah diberikan.
DAFTAR PUSTAKA Antawidjaya, T. 1988. Pengaruh pengelolaan loloh paksa (force feeding) terhadap performans piyik dan induk burung merpati Homer King. Tesis. Program Studi Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Biewener, A. A. 2010. Muscle function in avian flight: achieving power and control. Phil. Trans. R. Soc. B. 366: 1.496-1.506. Blakely, J. & D. A. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Terjemahan: B. Srigandono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Constantini, D., G. D. Ariccia., & H. P. Lipp. 2007. Long flights and age affect oxidative status of homing pigeons (Columba livia). J. Exp. Bio. 211: 377381. Dalton, S. 1977. The Miracle of flight. McGraw Hill Book Company http://www. geocities.com/fvarro/pigeons/flight/slowflt.html. [11 Agustus 2012] Darwati, S. 2003. Seleksi merpati lokal sebagai performing breed berdasarkan ketangkasan tumbler. http://rudyct.tripod.com/sem2_023/sri_darwati.htm. [11 Agustus 2012] Darwati, S. 2012. Produktivitas dan pendugaan parameter genetik burung merpati lokal (Columba livia) sebagai merpati balap dan penghasil daging. Disertasi. Program Studi Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Dewi, D. R. K. 2005. Karakteristik sifat kualitatif merpati balap di kabupaten bondowoso. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Farner, S. D. & J. R. King. 1972. Avian Biology. 2nd ed. Academic Press, New York. Gagliardo, A., F. Odetti., & P. Ioale. 2004. Factors reducing the expected deflection in initial orientation in clock-shifted homing pigeons. J. Exp. Bio. 208: 469478. Henderson State University. 2012. Skeletal adaptations of birds for flight. http://www.hsu.edu/pictures.aspx?id=1287. [11 Agustus 2012] Irianto, A. 2010. Statistik: Konsep Dasar, Aplikasi, dan Pengembangannya. Kencana, Jakarta. Knox, I. 2000. Squab. Farm Diversification Information Service, Victoria. Levi, W. M. 1945. The Pigeon. 2nd ed. The R. L. Bryan Company, Columbia, California. Marshall, A. J. 1960. Biology and Comparative Phisiology of Bird. Academic Press, New York. Marshall, R. 2004. Good feather and handling for quality. http://www.birdhealth.com.au/pigeons/handling.htm. [11 Agustus 2012]
48
National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. Ninth Revised Edition. National Academy Press. Washington, D.C. Nowland, W. 2001. Squab Raising. 5th ed. Animal Poultry. New South Wales Department of Agriculture, Orange. Pennycuick, C. J. 1968a. A Wind-tunnel study of gliding flight in the pigeon Columba livia. J. Exp. Bio. 49: 509-526. Pennycuick, C. J. 1968b. Power requirement for horizontal flight in the pigeon Columba livia. J. Exp. Bio. 49: 527-555. Peters, G. W., D. A. Steiner., J. A. Rigoni., A. D. Mascilli., R. W. Schnepp, & S. P. Thomas. 2005. Cardiorespiratory adjustments of homing pigeons to steady wind tunnel flight. J. Exp. Bio. 208: 3.109-3.120. Ridwansyah. 2011. Kecepatan terbang burung merpati balap lokal (tipe tinggian). Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ritchison, G. 2008. Bird Flight II. http:/people.eku.edu/ritchisong/554notes3.html. [11 Agustus 2012] Salis, R. 2002. Studi fenotip burung merpati lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. The Cornell Lab of Otnithology. 2012. Birds. http://www.birds.cornell.edu/allabout birds/studying/feathers/feathers. [11 Agustus 2012] Tyne, J. V & A. J. Berger. 1976. Fundamentals of Ornithologi. 2nd ed. A Willey Interscience Publication. John Willey and Sons, New York-London-SidneyToronto. Walcott, C. 1996. Pigeon homing: observations, experiments and confusions. J. Exp. Bio. 199: 21-27. Walpole, R. E. 1993. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wiltschko, R., M. Walker., & W. Wiltschko. 2000. Sun compass orientation in homing pigeons: comparation for different rates of change in azhmuth. J. Exp. Bio. 203: 889-894. Yonathan, E. 2003. Merawat dan Melatih Merpati Balap. Agromedia Pustaka, Jakarta.
49
LAMPIRAN
50
Lampiran 1. Contoh Perhitungan Hasil Uji t Peubah Sifat Kualitatif Merpati Jantan dan Betina Menggunakan Minitab 14 Uji t 2 Sampel yang Berbeda: Bobot Badan Jantan, Bobot Badan Betina Uji t Sampel yang Berbeda untuk Bobot Badan Jantan vs Bobot Badan Betina
Bobot Badan Jantan Bobot Badan Betina
Jumlah Rata-rata Standar Deviasi SE Mean 30 341,8 27,1 5,0 30 304,1 34,7 6,3
T-Value = 4,69 P-Value = 0,000 DF = 54 Lampiran 2. Contoh Perhitungan Hasil Uji t Peubah Sifat Kuantitatif Merpati Jantan Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang Menggunakan Minitab 14 Uji t Berpasangan: BB1, BB14 Uji t Berpasangan untuk Bobot Badan Hari ke-1 – Bobot Badan Hari ke-14
Bobot Badan Hari ke-1 Bobot Badan Hari ke-14 Difference
Jumlah 30 30 30
Rata-rata Standar Deviasi SE Mean 341,800 27,137 4,955 336,167 24,040 4,389 5,633 14,926 2,725
T-Value = 2,07 P-Value = 0,048 Lampiran 3. Contoh Perhitungan Korelasi Peubah Sifat Kuantitatif dengan Kecepatan Terbang Menggunakan Minitab 14 Korelasi: BB, 100 M Korelasi Pearson dari Bobot Badan dan Kecepatan Terbang 100 M = 0,087 P-Value = 0,649 Lampiran 4. Contoh Perhitungan Hasil Uji t Kecepatan Terbang Merpati Pada Jarak yang Berbeda Menggunakan Minitab 14 Uji t bepasangan: Kecepatan Terbang 100 m, Kecepatan Terbang 150 m Uji t berpasangan untuk Kecepatan Terbang 100 m – Kecepatan Terbang 150 m
Kecepatan Terbang 100 m Kecepatan Terbang 150 m Difference
Jumlah Rata-rata Standar Deviasi SE Mean 30 10,6367 1,2876 0,2351 30 10,5153 1,6282 0,2973 30 0,1213 1,4877 0,2716
T-Value = 0,45 P-Value = 0,658
51