ANIDA Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015 p-ISSN 1410-5705 Online sejak 22 Desember 2015 di http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/anida DOI: http://dx.doi.org/10.15575/anida.v14i2.334
Karakteristik Dakwah Salafiyah Dindin Solahudin
UIN Sunan Gunung Djati Bandung E-mail:
[email protected]
Abstract Salafisme has long been developing into differentiation and divergence based on different interpretation and understanding on the practices of Salaf generation. Every stream of dakwah movement claims to follow salafi way of it’s own interpretation. This study aims at portraying one of salafi understanding and it’s salafi dakwah as a result. The resource of this study is Syaikh Muhammad al-Gazālī who is supposed to bear objective, original views and understanding on Salafism and salafi dakwah. The study shows that, since prophetic era, the first core character of of Salafism has been criticism so that salafi dakwah is not other than critical dakwah against wrong ways of dakwah and worse condition of the target umma. The second core has been constructivism, so that salafi dakwah has not been other than constructive dakwah that persue constructive efforts in building the umma consciousness. The last core has been moderation, so that salafi dakwah has not been other than moderate dakwah that promotes social equilibrium and justice. Kata Kunci: Salafisme, kritisisme, konstruktivisme, moderasi A. Pendahuluan Mengenai sosok Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin (IM), terdapat persepsi miring seperti demikian: “Gurunyapun campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab Mu’tazilah, dan seorang yang berakidah salafi. Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan corak gerakan tersebut.” (Qomar, 2006). Tidak seperti persepsi negatif Qomar, Syaikh Gazālī menyebut fakta keragaman guru itu justru menghasilkan sosok al-Banna yang berjiwa apresiatif terhadap perbedaan pandangan dan lebih terbuka untuk berdialog. Inilah maksud al-Banna ketika ia mengatakan “Sesungguhnya dakwah Ikhwanul Muslimin adalah dakwah salafiyyah…tarekat sunniyyah…hakikat ṣūfiyyah…(Gazālī, 1973: 101-48, 131-4) dan badan politik.” Al-Banna sendiri selalu menegaskan bahwa jalan dakwah yang ditempuhnya tiada lain kecuali jalan yang pernah ditempuh Nabi Muḥammad Saw. (Banna, tt.: 122; Wā’ī, tt.: 51-9.).
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
Karena alasan apresiasi atas perbedaan ini pula mengapa latar belakang pengikut IM itu bersifat heterogen. Muḥammad Quṭb menyediakan bukti begini: “Ratusan ribu orang telah bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Mereka berlatar-belakang kelompok yang bermacam-macam, paham yang berbeda-beda. Di antara mereka ada sekelompok Sufi yang menyangka bahwa kelompok ini adalah Sufi gaya baru.” (Muḥammad Quṭb, tt.: 405). Bahkan al-Banna mengangkat Umar Tilmisani, seorang Syiah, sebagai wakil ketua tiga IM atas keyakinan bahwa Sunni dan Syiah adalah muslim satu akidah dengan perbedaan pada hal-hal yang bisa dikompromikan (Tilmisani, tt.: 24950; Gazālī, 1999: 223). Al-Banna, bersama dengan Maulana Abu A’la alMaududi (1903-79), merupakan sosok moderat dan sekaligus simbol perlawanan terhadap berbagai bentuk kelaliman, termasuk kolonialisme dan imperialisme Barat (Esposito, 1992: 120-1). Potret IM tersebut dapat menjadi latar bagi studi kecil ini untuk menimbang model dakwah Salafi dalam pandangan Syaikh Muhammad al-Gazālī, yang nota bene merupakan seorang tokoh penting IM. Dalam bingkai tiga-wajah dakwah IM, yakni liberal-moderat-fundamentalis, Syaikh Gazālī memiliki pemahaman yang jauh berbeda dari semisal pandangan Qomar, atau kalangan Wahabi pada umumnya, mengenai apa yang disebut sebagai dakwah Salafi (Gazālī, 2007a). Secara garis besar, model dakwah Salafi menurut hemat Gazālī terskema dalam watak dakwah: kritis dan konstruktif, yang mengacu pada dua landasan filosofis: kritisisme dan konsruktivisme. B. Watak Dakwah Kritis Bila generasi Salaf itu diawali sejak periode profetik, Nabi adalah seorang kritikus sosio-religius. Bila periode Salaf itu mengacu pada masa Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in, generasi ini juga dikenal memiliki kepekaan kritik. Bila benar bahwa tren Salafi itu direvitalisasi sepuluh tahun kemudian oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (1702-1792), dan para kaum Wahabian mengklaim diri sebagai kelompok yang paling pantas disebut Salaf, niat awal Ibnu Wahab dan ciri utama kelompok ini juga memang sikap kritis terhadap penyimpangan dan kejumudan. Maka, tidak dapat dipungkiri bahwa watak awal dan utama model dakwah Salafi adalah kritisisme. Dakwah Islam dan ilmu dakwah, bagi Gazālī, harus dikembangkan dengan pendekatan kritik, agar mencapai kemajuan yang sejalan dengan semangat zaman (Fadl, 2006: 115). Kritisisme merupakan kekuatan Syaikh Gazālī sejak awal fikrah dan kiprah dakwahnya. Ini menjadi bukti tersendiri mengenai pengakuan dan penggunaan mazhab teori pengetahuan (naẓariyyah al-ma’rifah) Barat secara proporsional (sesuai
226
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
peruntukannya) oleh Gazālī dalam merumuskan teori keilmuan dakwah, termasuk al-mażhab at-tajrībī (empiricism), al-mażhab al-‘aqlī (rationalism), al-mażhab an-naqdī (criticism), dan al-mażhab aṣ-ṣūfī (misticism) (Majid, 1960: 88-89) Pun demikian, masyarakat mad’ū perlu ditelaah secara kritis untuk menemukan kelemahan dan kekuatan yang dimiliki, peluang dan ancaman yang menghadang, dan kebutuhan-kebutuhannya untuk mengembangkan diri meraih kemajuan. Sebagai misal penting, Gazālī tidak menerima begitu saja dua puluh prinsip yang menjadi doktrin dakwah sang Guru al-Bannā bagi murid-muridnya. Gazālī mengkaji kedua puluh klausul itu, menelaah dan menjabarkannya secara kritis (Gazālī, 1988). Ia bahkan merasa perlu menambahkan sepuluh prinsip dakwah sebagai tambahan atas prinsip dua puluh rumusan al-Bannā itu (Gazālī, 1996: 29). Sikap kritis juga yang kemudian membentuk pola relasi Gazālī dengan peradaban Barat. Menurutnya, pemikiran Islam boleh mengambil sumber dari Barat sepanjang dilakukan dengan proses filterisasi dan adaptasi (Gazālī, 1988d: 39-51; 1998a: 183). Syaikh menyebut perspektifnya sebagai ( نظرة إنصافpandangan keinsafan), dalam arti penglihatan yang penuh penghargaan atas sumber luar seraya penuh kewaspadaan dalam menerimanya. Bagi Gazālī, nilai-nilai fitrah yang bersih ()نتائج الفطرة السليمة, dari manapun ia berasal, mesti diterima sebagai sebuah kebenaran dan kemestian, karena Islam adalah agama fithrah. Tidak mungkin Islam berlawanan dengan karakter aslinya. Sebaliknya, segala pemikiran dan pemahaman yang bersumber dari hawa nafsu dan akal rendah ( )وليد اذلوى واحلججyang menyalahi kebenaran ‘aqlī dan naqlī, meskipun berasal dari pemikir Muslim di dunia Islam, pasti harus ditolak (Gazālī, 1996: 6). Secara epistemologis, dakwah memungkinkan untuk bersifat terbuka terhadap segala masukan positif dan konstruktif dari jalur eksternal. Pola dakwah kritis mengarah kepada lima sasaran bidik: kegiatan dakwah, ilmu dakwah, subjek dakwah, target dakwah, dan pemikir dakwah. Senjata kritisisme untuk membidik sasarannya itu adalah, tentu saja, akal dan logika. Soal nilai akal dalam kerangka agama ()قيمة العقل ىف الدين, Gazālī (2008: 131) menuturkan pendapatnya, Sejatinya, kecerdasan, pikiran kritis, maupun pandangan yang brilian, merupakan unsur-unsur yang harus ada dalam rangka membentuk keimanan yang benar. Sebab, keimanan adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat keyakinan, yang di situ tidak ada lagi keragu-raguan yang tersisa. Bila pengetahuan yang jelas dan pemahaman yang matang ini tidak ada, keyakinan yang ada tidak lagi berada pada tempatnya. Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
227
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
Syaikh hendak mendorong orang-orang yang terkategori bodoh untuk segera “mengaktifkan” akalnya dan keluar dari kubangan kebodohan sehingga hak-haknya sebagai manusia berakal terpenuhi, termasuk hak beragama yang benar (Q.S. 3:190; 13:19; 12:111; 2:269). Atas dasar itu, menurut Gazālī, setiap manusia membutuhkan suatu proses panjang pengembangan kualitas diri dan kecerdasan akalnya (Gazālī, 1998c: 112-13). Akal perlu terlibat dalam proses pembiasaan berpikir kreatif melalui serangkaian latihan penelaahan dan pemecahan masalah (Gazālī, 2003: 218-26; 2007: 76-95). Pola dakwah kritis juga diperlukan bagi dakwah sebagai bagian dari upaya introspeksi. Para juru dakwah dituntut secara kritis mengevaluasi diri mengenai keefektifan dakwahnya (Popper, 2002: 209). Mengenai kepongahan, misalnya, Syaikh mendorong para juru dakwah untuk secara kritis mengoreksi diri dari segala bentuk kesombongan, termasuk keharusan membebaskan diri dari nafsu ‘unjuk gigi’ dalam berdakwah (Gazālī, (1996). Memang di dataran ini terjadi semacam dilema: antara kemestian kritik dan kerentanan arogansi. Namun, dilema semacam itu tidak sulit diatasi sekali seseorang mampu melakukan kritik secara santun penuh kerendahan hati ()تواضع, suatu karakter yang dibutuhkan setiap dā’i, baik akademisi maupun praktisi (Qaraḍawi, 1986: 135-7). Integritas pribadi semacam inilah yang dapat ditangkap dan sekaligus diteladani dari pernyataan rendah-hati Gazālī (2005: 4) mengenai lima buku karya awalnya: وغلوه ىف تشخيص الداء٬وإذاكان ىف ىذه الكتب وىى بعض ما ألفت قبل الثورة عيب فهو محاس الشباب ... وىو عيب تتطاول بو أعناق اليوم٬وتركيب الدواء Jika dalam buku-buku ini, yang merupakan sebagian tulisan saya sebelum revolusi [23 Juli 1952], terdapat kekurangan, itu adalah wujud keterbatasan orang muda, juga keberlebihannya dalam mendramatisasi penyakit dan meracik obat. Ia merupakan suatu aib yang menjadi keprihatinan bersama dewasa ini… Kritik Gazālī secara internal dilancarkan terhadap para dā’i yang ia sebut sebagai [ دعاة فتّانونdā’i penebar fitnah/onar], yang meliputi ادلتحدثون ( اجلهالpara pembicara yang tidak mengerti apa-apa), ( العلماء ادلتزمتونulama pesolek), dan ( العلماء ادلتحللونulama ‘berhalal-ria’) (Gazālī, 2001: 157-63). Otokritik Gazālī juga membidik kelompok dā’i yang cenderung mengambinghitamkan Barat dan pihak-pihak eksternal lainnya sebagai penyebab kemunduran umat Islam. Gazālī (1988a: 21) mengatakan,
228
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
نعم! إنو يستدمي.. وليس من احلق حتميل االستعمار االجنيب والقوى اخلارجية أوزار ختلفنا ادلادي واألديب طورا باالمهال، إننا حنن ادلسلمني الذين فرطنا ىف ديننا وأسأنا إليو.. ضعفنا ولكنو ليس سبب ىذا الضعف .الشنيع وطورا بالتأويل الفاسد وطورا بالتطبيق الغيب Tidaklah benar mempersalahkan kolonialisme asing dan serba kekuatan eksternal lainnya sebagai pemicu keterbelakangan kita secara material dan peradaban.. Memang benar kolonialisme itu telah memperpanjang kelemahan kita, tapi ia bukanlah penyebab kelemahan ini. Kitalah umat Islam sendiri yang telah berlebihan terhadap agama kita dan memperlakukannya secara keliru, ada kalanya dengan benar-benar menyepelekan dan meremehkannya, ada kalanya dengan penakwilan absurd menyesatkan, dan ada kalanya pula dengan penerapan salah-kaprah dalam kehidupan. Selain itu, kritik Gazālī juga mengarah ke kelompok juru dakwah yang mengidap fanatisme sektoral (Gazālī, 1998: 128), khususnya kelompok yang disebut Gazālī sebagai ‘Tukang Fikih’ ( )أىل الفقوdan ‘Tukang Hadis’ (( )أىل احلديثFadl, 2006: 109). Alquran dan Sunnah Nabi itu, hemat Gazālī, membutuhkan penjabaran cerdas agar lebih bernilai kontekstual seiring dengan perkembangan masyarakat kontemporer (Gazālī, 1996: 74; 2008a: 139; 2000: 191-3). Syaikh menggunakan senjata kritik matan dan konteks untuk mengkritisi cara-cara dakwah kelompok Hadis yang terlampau sederhana dalam memahami riwayat-riwayat hadis sehingga kerap menimbulkan fitnah. Padahal, bagi Gazālī, dalam perspektif dakwah, setiap keping hadis mesti dipahami sesuai asbāb al-wurūd-nya yang khas dan diletakkan dalam konteks kekinian dengan segala kebaruannya. Di sini, Gazālī mengkritisi kelompok ini sebagai representasi aliran Islam literalisme, antirasionalisme, dan antiinterpretasi (Gazālī, 1996; 1999: 25-74; Fadl, 2006: 109, 117; QS. 3: 98-115). Begitu pula tingkat kritisisme Syaikh dalam menyikapi kelompok Salaf dan arus pemikiran dakwah salafiyah secara kritis. Gazālī berselisih pendapat dengan sejumlah dā’i kelompok salafiah. Sebenarnya, sebagaimana pada kutipan di awal, IM sendiri ditahbiskan oleh pendirinya al-Bannā sebagai bercorak salafiyah. Meski mengaku Salaf sebagaimana sang guru al-Bannā, Gazālī tetap kritis dan kerap mendiskusikan isu-isu perdebatan salafiyah yang merupakan salah satu pusat perhatian dakwahnya (Gazālī, 1988c: 112-3; 2008d: 56-75; 1998a: 79-94, 124-6; 2007a; 1998b: 124-40; 1998c: 107-10; 1999: 2267; Fadl, 2006 109, 115). Berkenaan dengan modernitas, Syaikh Gazālī mengkritisi kelompok Muslim yang memaknai salafiyah sebagai sikap antikemajuan dengan menolak temuan-temuan ilmiah modern. Padahal,
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
229
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
hemat Gazālī, produk modern itu bisa dimanfaatkan untuk lebih menyiarkan risalah Islam dan bahkan untuk melindungi ajaran-ajarannya dari pelecehan (Gazālī, 1973: 271; 1997: 336). Di sisi lain, ada juga kelompok yang mengaku berhaluan salaf lalu, ironisnya, memandang sinis program penghapusan perbudakan ( )فك رقبةyang menjadi kebijakan Raja Faisal. Mereka dikritik Gazālī sebagai mengabaikan konsep kemerdekaan ( )حريةdalam Islam, karena para budak itu pada dasarnya adalah orang-orang merdeka yang lahir dari orang-orang merdeka pula. Gazālī menyangsikan kesalafiyahan mereka yang hendak melestarikan musibah kemanusiaan bernama perbudakan (Gazālī, 2008c: 32; Azra 1996: 112-3; 2007). Kritik Gazālī juga dilancarkan terhadap sekelompok pengaku Salaf yang menafsirkan Alquran secara literal dan tercerabut dari konteksnya. Ayat tentang perang (QS. 2: 190), misalnya, dipahami sebagai perintah untuk menumpas habis semua orang kafir. Jalan pemikiran semacam itu bertentangan kontras dengan ayat-ayat Alquran yang menghormati keanekaragaman dan kemajemukan (QS. 5: 46-8; 13: 17; 3: 81; 11: 118; 6: 108; 22:40; 109). Islam melarang umat mengangkat pedang sekadar untuk melanggengkan suatu model kehidupan eksklusif bentukan orang-orang pengingkar penuh iri-dengki ( ضن هبا ِّ انتضاء السيف ليستبقي لنفسو حياة )اجلاحدون واحلاقدون.” (Gazālī, 2001c: 39-87; Moqsith Ghazali, 2009: 121-214; Thoha, 2005; Munawar-Rahman, 2010; Sa’dawi, 2011; Wahid, 2007: 613.) Salafiyah adalah satu judul besar bagi sebuah hakikat besar. Landasannya adalah akal merdeka yang jernih dan tidak mengenal lelah merenungkan dan mengkritisi keadaan (Gazālī, 2008: 32-3). C. Watak Dakwah Konstruktif Syaikh Gazālī melihat bahwa paradigma dakwah Salafi bermula dari upaya membangun ulang konstruk kesadaran umat Islam dalam memahami dan mengaplikasikan Islam sebagai sebuah sistem kepercayaan dan pedoman kehidupan. Sebagai Muslim “bawaan” dan “keturunan,” umat Islam perlu secara ‘sengaja’ dan independen membangun (construct) pemahaman Islam sedemikian rupa sehingga nilai-nilai Islam itu terinternalisasi secara mendarah-daging dalam dirinya (Gazālī, 2000c: 37, 41, 58, 69). Gazālī menemukan keterpurukan umat Islam sudah sampai ke titik yang mengancam kelangsungan risalah Islam di atas panggung sejarah kemanusiaan. Maka, “ ومن مث فنحن أحوج ما نكون إىل ادلنطق العلمى الصارم ىف تقومي كل وترتيبو حسب منـزلتو من اليقني،( شيءatas dasar itu, kita benar-benar membutuhkan logika ilmiah yang tepat dalam rangka merekonstruksi segala sesuatu 230
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
dan menatanya kembali sesuai dengan posisinya pada tingkat keyakinan).” Di sini dibutuhkan suatu upaya ‘merakit ulang’ pola berpikir dan sistem berkeyakinan (Gazālī, 1973: 32). Masyarakat Islam, hemat Gazālī, menderita sejumlah penyakit sosial akibat dari kekeliruan mereka dalam mempersepsi dan menindaklanjuti ajaran Islam. Masyarakat kini terjejali sejumlah aliran pemikiran, tradisi, dan agama yang bermacam-macam yang jauh menyimpang dari garis ajaran Islam (Gazālī, 2000b: 13-4; 2008: 103, 128; 1973: 32-3). Tiba saatnya kaum akademisi dakwah berupaya mengkonstruksi ulang sistem keilmuannya agar kembali mengacu kepada sistem akidah Islam sebagai pedoman hidup. Ilmu dakwah berkewajiban mereposisikan sistem keimanan untuk kembali menjadi basis dan sentral paradigmanya (Gazālī, 1997: 137-44). Caranya, hemat Syaikh, cukup sederhana. Para ilmuwan dakwah, dan para dā’i juga, cukup mengikuti cara-cara Alquran menginternalisasikan akidah ke dalam dada manusia. Paradigma dakwah, seperti dicontohkan Alquran (QS. 86: 5-8; 30:8; 50:5-8, inter alia), seyogianya berlandaskan kesadaran terhadap alam kosmos yang merupakan bukti-bukti dan benda-benda “jejak” Tuhan (Gazālī, 1988). Paradigma tersebut dibangun atas dasar ayat-ayat kauniyyah berupa sifat-sifat alam, yang meliputi bumi dan langit, dan ayat-ayat bukti kekuasaan-Nya sebagaimana tergambar pada proses pembentukan manusia, perkembangan hidupnya, hingga akhir hayatnya (Gazālī, 2008: 56; 2000b: 109). Perlu segera dicatat bahwa pembacaan tanda-tanda alam itu tidak kemudian menyekap seseorang ke alam imajinasi dan abstraksi filosofis Gazālī, 2008: 56). Sebagai ilmu, yang berbeda dari filsafat (Gazālī, 1999: 255-6), ilmu dakwah mesti tetap empiris dan memanfaatkan alam dengan segala gejala, proses, dan ketertibannya, untuk memperkuat sistem akidah sebagai landasan paradigmatik yang dikembangkannya (Gazālī, 2000b: 110; 1988: 118-9). Kerancuan akademik semacam itu juga terlihat oleh Syaikh sebagai terdapat dalam tradisi dan metode penelitian ilmiah atau paradigma keilmuan modern. Arah teoretisnya tidak jelas dan pandangannya sering mengalami kekeliruan fatal sebab tidak berlandaskan pada sistem kepercayaan yang benar (Gazālī, 2000b: 111). Padahal, Alquran mengajarkan metode pencarian kebenaran yang sederhana, tidak rumit, dan tentunya mudah diikuti. Di sini terletak peran penting hati sanubari sebagai pembina bagi setiap anggota badan. Sementara akidah yang mantap hanya bisa dibangun di atas landasan dua hal: keyakinan batin (heart) dan kepuasan akal (mind). Ini merupakan kelanjutan langsung dari konsepsi bahwa akidah memiliki
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
231
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
dua sisi: sisi ketuhanan dan sisi kemanusiaan (Gazālī, 2000b: 112-4; 1973: 12-3). Tingkat kemantapan berakidah ini memang tidak terlepas dari rongrongan eksternal yang berupaya melakukan pembusukan ajaran Islam dan pendangkalan akidah umat Islam. Penalaran logis, baik pada tingkat ideal-teoretis maupun real-praktis, senantiasa memengaruhi dialektika filsafat dan dinamika pengejawantahannya. Syaikh mengamati kelompok perongrong ini terkerangkeng oleh sejumlah penyakit kejiwaan, keguncangan pikiran, dan sejenis kegilaan yang diagung-agungkan atas dasar narsisme dan penghambaan terhadap akal (baca: hawa nafsu) sendiri. Celakanya, di hadapan kelompok seperti ini, demikian Syaikh mengamati, masyarakat awam hanya bisa mendengar dan menaati tanpa pertimbangan dan pemikiran semestinya. Ini, sebab itu, menjadi dataran tersendiri yang menuntut para juru dakwah untuk juga menguasai filsafat dengan segala alirannya, agar para dā’i memiliki kapasitas penalaran logis dan wawasan pemikiran yang memadai, di satu pihak, dan agar mereka mampu menyelamatkan mad’ū dari absurditas logis, di pihak lain (Gazālī, 1988: 118-9; 2000b: 110-11). Dewasa ini, ajaran Islam memang tengah diserang oleh berbagai sumber pemikiran dan aliran kepercayaan yang patut diwaspadai. Sasaran mereka tampak jelas, yakni memojokkan risālah Muhammad dengan bersembunyi di balik tajuk dan tagline yang tampak dibuat-buat dan, karenanya mudah segera terdeteksi. Misalnya, kelompok ini mengaku mengacu kepada Alquran tetapi menolak Sunnah, menerima ayat-ayat makkiyyah sambil mengabaikan ayat-ayat madaniyyah, atau bahkan menyingkirkan naṣ syariat yang berkaitan dengan masalah ibadah (Gazālī, 2001b: 58-61). Umat Islam, yang telah memiliki previlage (keistimewaan) dan advantage (keuntungan) dengan menerima wahyu Islam, merupakan kelompok masyarakat yang paling bertanggung jawab untuk mendakwahkan Islam ke berbagai belahan bumi. Namun, sebelum mereka tampil memainkan peranan sebagai juru dakwah Islam, mereka dituntut untuk terlebih dahulu mengkonstruk sistem kepercayaan dan pemahaman yang mengena sesuai dengan ajaran Islam otentik a la generasi Salaf (Gazālī, 2001a: 10). Calon dā’i dituntut untuk terlebih dahulu melakukan permenungan dan pengkajian mendalam dengan menggunakan potensi nalar (akal) yang juga merupakan, layaknya agama, pemberian “gratis” dari Tuhan (Gazālī, 2001b: 14-5). Tahap ini merupakan pra-kondisi dari rangkaian strategi dakwah. Allah memerintahkan untuk menabur benih dan membiarkan matang pada waktu yang tidak diketahui, yaitu pada waktu orang-orang lalai mulai mendapatkan kesadarannya kembali, untuk kemudian mengkonstruk diri. Inilah petunjuk Alquran ketika memberikan arahan 232
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
mengenai strategi dan proses dakwah awal dalam mendakwahi kaum pagan ( )عبدة األوثانdi Mekkah (QS. 88: 21-22; 15: 85; 32: 30; 73:10) dan kelompok Nasrani dan Yahudi ( )أىل الكتابdi Madinah (QS. 4: 63; 5: 13; Gazālī, 1997: 116-7; 1999: 165-9). Sasaran ayat-ayat tersebut adalah mengajarkan kepada kita untuk berlaku lentur, toleran, bertahap dalam dakwah menghadapi kebodohan dan kesesatan. Dakwah hendaknya sedikit demi sedikit melepaskan umat Islam dari kungkungan kejumudan berpikir dengan memberi ruang bagi kebebasan berpikir dan berkreasi. Bila target-target dakwah telah mencapai fase tertentu yang lebih maju, tetapi masih tetap tidak mengakui kebenaran, tindakan lebih tegas bisa jadi menjadi jalan dakwah yang dipilih (Gazālī, 2000b: 16). Sampai di sini, Gazālī melihat terdapat justifikasi untuk langkahlangkah “radikal” bila memang situasi dan kondisi menuntutnya. Baginya, langkah-langkah seperti itu sama sekali tidak tercela bila merupakan tuntutan “skenario.” (Gazālī, 1997: 143). Ia beralasan bahwa Nabi sendiri terpaksa harus melayani orang-orang musyrik dalam perang Badar dan memang kondisi waktu itu menuntut untuk berperang. Syaikh di sini terkesan toleran atas tindak kekerasan (Gazālī, 2000b: 17-8). Akan tetapi, dapat dimengerti dengan mudah bahwa Syaikh tidak bermaksud mendukung tindakan anarkis atau kekerasan semacamnya di luar konteks peperangan yang tentu saja cenderung destruktif (Gazālī, 1999: 75-84; 2000b: 17-8)). Pendek kata, pola dakwah konstruktif Gazālīan bermakna bahwa dakwah seyogianya memperkuat kontruksi keilmuan dakwah, mendorong umat melakukan konstruksi keberislaman, dan cara-cara dakwah niscaya bermakna konstruktif. D. Definisi Dakwah Salafi Sejauh pembacaan Gazālī, tokoh Salaf semacam Ibn Taimiyah (w. 728 H) dan muridnya Ibn Qayyim (w. 751 H) memang telah mewarisi sebagian keyakinan Mu’tazilah, dengan memercayai apa yang mereka anggap benar, seperti masalah af’āl al-‘ibād (perbuatan makhluk), konsep baik dan buruk, serta hikmah dan ta’līl (rasionalisasi). Tapi, Syaikh melihat, keduanya tetap terbuka dan memperlakukan potensi akal secara proporsional, tidak memberinya kebebasan mutlak tidak juga membelenggunya (Jauziyyah, 1998: 63-65). Ibn Qayyim, sebut Gazālī, menandaskan bahwa manhaj yang ditempuhnya adalah mengambil al-haq di mana saja itu ditemukan dan dari kelompok manapun berasal (QS. 17: 81; Fadl, 2001: 94). Salafiyah sejatinya merupakan sebuah arus pemikiran dan ekspresi Islam ‘masa terbaik’ ( )خري القرونyang berusaha menguatkan
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
233
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
komitmennya kepada Alquran dan Sunnah Rasul-Nya. Meski bernama mu’tazilah, yang berarti menyendiri, arus Salafiyah tidak berarti harus menyendiri dan mengasingkan diri dari arus utama masyarakat Islam, alih-alih tetap berupaya menghimpun beragam karya dan kerja kaum Muslim di berbagai bidang peradaban material dan pengetahuan. Ini dilakukan dalam rangka menjunjung kalimah sawā yang mengapilainkan perbedaan ras atau warna. Gazālī menegaskan, pemahaman dan pengamalan Islam seperti ini selaras dengan universalitas dan keabadian Islam, sesuai dengan fitrah kehanifan manusia, dan sesuai dengan keberadaannya yang tegak di atas akal sehat (Gazālī, 2008d: 159-60). Salafiyyah yang dianut para sahabat dan generasi tābi’īn, Syaikh percaya, merupakan perwujudan sesungguhnya pada tingkat kehidupan nyata dari pemahaman yang sempurna terhadap Islam. Realitas kehidupan generasi terdahulu ( )سلفitu juga merupakan semacam ‘bukti fisik’ keimanan yang hidup dan tepat terhadap Dzat yang mewahyukannya dan Rasul yang menyampaikan risalah-Nya. Mereka mengamalkan hukum-hukumnya dan komitmen dengan petunjuk-petunjuknya sebagai tuntutan moralitas (Gazālī, 1988: 124-6). Lebih penting lagi, mereka mendakwahkannya dengan berdasarkan pengetahuan (baṣīrah), hikmah, dan nasihat yang baik, serta berjihad mempertahankannya dengan jiwa, harta, dan lisan, sambil tetap memelihara persatuan dan kesatuan umat (Gazālī, 2001a: 27-32; 2007; 1988: 125). Bagi Gazālī, salafiyah merupakan salah satu ciri dakwah atau satu jenis aliran pemikiran yang patut dianut dan diperjuangkan sepenuh hati, tidak terkecuali dengan cara mengkritisinya. Gazālī mendukung mazhab yang disebut sebagai Salaf itu, karena ia melawan kemusyrikan besar maupun kecil, tampak maupun tersembunyi, dan memperjuangkan tauhid yang benar. Pada saat bersamaan, Gazālī juga, dengan sikap moderatnya, tidak berbenturan dengan‘Asy’ariyyah, khususnya dalam masalah perbuatan manusia (Gazālī, 2001a: 140). Ia melihat bahwa sesungguhnya umat Islam, selama berabad-abad, secara umum, adalah penganut Asy’ariyah, sebuah fakta sosial yang, menurutnya, layak dikritisi juga.Perspektif kritis dapat memetik poinpoin yang dipandang lebih mendekati kebenaran baik dari Asy'ariyah, Mātūrīdiyah, bahkan Mu’tazilah atau filsafat. Hal yang menjadi acuan harus tetap Alquran dan Sunnah, sehingga orang tidak tersekap dalam penghambaan terhadap satu aliran tertentu yang mengakibatkannya tidak lagi berpikiran merdeka dan mandiri (Gazālī, 1998a: 124-40; 1988: 107-10). Gazālī tidak sepakat dengan asumsi sebagian orang yang memahami Salafiyah sebagai berhaluan mono-fiqh, yakni mazhab Imam 234
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
Ahmad bin Hambal. Asumsi ini, tegas Syaikh, merupakan sebuah kekeliruan sebab fiqh mazhab Hambali hanyalah satu diantara sekian garis pemikiran dalam ṡaqāfah Islāmiyah yang menjadi pegangan kaum Salaf. Demikian juga, kala Gazālī mengkritisi tafsir picik-literal, ia membantah pendapat sementara orang bahwa Salafiyah adalah aliran tekstual ( )مدرسة النصyang membatasi penafsiran naṣ pada cakupan literallahiriah. Menurutnya, ini juga merupakan kekeliruan sebab kalangan Salaf juga mengikuti aliran ‘pendapat akal’ ()الرأي, yang secara prinsip sama dengan aliran tekstual ketika meletakkan wahyu sebagai sandaran dan sumber pemikiran (Gazālī, 1997: 333-5). Aliran Salafi tiada lain kecuali masyarakat Muslim yang berupaya konsisten dengan Islam normatif. Syaikh Gazālī (1988: 154) menegaskan demikian:
واالسالم الذى نطلب من ىؤالء أن يعودوا إليو إسالم نظري تصوره أقالم الكتاب .وأفواه اخلطباء الذين أحسنوا فهمو من ينابيعو النقية
Model Islam, yang kita mengimbau umat Islam untuk bergerak kembali ke sana, adalah Islam teoretis-normatif sebagaimana dikonsepsikan oleh pena para ulama penulis dan lisan para ulama penceramah yang memiliki pemahaman yang baik mengacu pada sumber-sumber ajaran Islam yang bersih. Gazālī lantas menunjukkan bagaimana kalangan Salaf telah memberikan teladan yang menarik dan praktis dalam hal menyikapi kesenangan duniawi secara moderat yang, menurut Gazālī, praktik Salaf ini dimungkinkan oleh kenyataan bahwa mereka mendakwahkan risālah Nabi secara ilmiah dan ‘amaliah. Mereka, ungkap Gazālī, melawan sikap beragama yang ekstrem dan selalu berupaya mengacu ke jalan menengah dan moderat, jauh dari sikap ekstrem. Mereka tidak berlebih-lebihan dalam mengamalkan agama ( )التفريطdan tidak juga keterlaluan dalam bersikap longgar dan gampangan terkait keberagamaan ()اإلفراط. Potensi moderasi Gazālī sejak kecil ini menemukan momentumnya saat ia berbenturan dengan orang-orang ekstrem, kalangan literalis yang cenderung anti-interpretasi dan kelompok sekuler dengan interpretasi yang terlampau liberal (Gazālī, 2001a: 196). Secara lebih simpel, Syaikh Gazālī (2008a: 34) menyebut empat hal yang memungkinkan dakwah Islam mencapai tujuannya. أو بتعبري أوضح منع اإلرىاب احمللي أو، منع الفتنة: أوال:والدعوة اإلسالمية لتبلغ أىدافها حتتاج إىل أربعة أمور عرض الدعوة على: ثانيا. فإذا انتقلت الفتنة امتنعت احلرب،الدويل من تقييد الدعاة وتكميم أفواىهم نشر الثقافة اإلسالمية على حنو يرسخ:ثالثا. اجلماىري عرضا صحيحا يغري ذوي الطباع السليمة بقبوذلا
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
235
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
ويضم األجزاء اجلديدة إىل جسم األمة اإلسالمية الكبرية فال يتميز قدمي، وخيلطها مبعامل البيئة،مفاىيم الدعوة ىل بلغ ذلك مداه وفقا خلط، وما مت من تقدم، النظر فيما بذل من جهود وفتح من آفاق: رابعا.من حديث .اإلسالمي ادلرسوم؟ وىل جدَّت عوائق مجدت احلركة اإلسالمية أو أرىقتها ونالت منها Dengan pernyataan di atas, Gazālī menegaskan bahwa dakwah salafi, untuk dapat mencapai tujuan-tujuannya, membutuhkan empat hal. Pertama, upaya dakwah semestinya difokuskan pada upaya mencegah kekacauan atau, dengan bahasa yang lebih jelas, mencegah radikalisme, anarkisme, terorisme dan segala bentuk ekstremisme, baik pada skala lokal maupun global (lihat Gazālī, 1989: 187, 224, 228). Ekstremisme hanya akan membuat dakwah cenderung terbelenggu dan para juru dakwah menjadi terbungkam mulutnya. Bila kekacauan itu telah sirna, perang dapat dihindari dan proses dakwah damai bisa lebih ‘bersuara.’ Kedua, dakwah mesti disajikan ke hadapan publik secara benar sesuai dengan prinsip-prinsip dakwah Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (bandingkan Dindin Solahudin, 2007). Dakwah anggun seperti itu dapat mendorong masyarakat yang memiliki karakter baik untuk menerimanya. Ketiga, dakwah merupakan wahana untuk menyebarkan kebudayaan Islam ke arah internalisasi nilai-nilai Islam dan melembagakannya ke dalam sendi-sendi lingkungan sosial. Unsur-unsur kebaruan dan kemodernan diintegrasikan melalui proses dakwah ke dalam tubuh masyarakat Islam yang besar ini, sehingga tidak terjadi perbedaan kontras antara unsur-unsur klasik dan modern. Keempat, dakwah perlu memcermati apakah kerja keras yang telah dicurahkan, upaya perluasan wawasan, dan kemajuan yang telah dicapai itu telah sampai pada sasarannya sesuai dengan garis Islam yang telah dicanangkan? Dakwah juga mesti memastikan agar pencapaian itu tidak kemudian mengalami suatu pemapanan yang berisiko membuat pergerakan Islam menjadi mandeg dan masyarakat kembali stagnan dalam kejumudan. E. Penutup Di tengah silang-pendapat sekaligus saling-klaim salafiyyah, definisi Syaikh Gazālī mengenai hakikat salafiyyah dan dakwah salafi, yang menjadi turunannya, tentu menawarkan suatu jalan keluar dari kemelut. Memang tawaran Gazālī ini belum tentu juga memuaskan setiap pihak dan kemudian meredakan kemelut itu. Namun, sekurangkurangnya, model dakwah salafi Gazālīan ini bisa membantu meretas pintu awal ke arah pembenahan konsep salafiyyah dan pendefinisian dakwah salafi secara lebih bernas. ***واهلل أعلم
236
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
DAFTAR PUSTAKA Muḥammad, Afif. 2004. Dari Teologi ke Ideologi: Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quṭb, Bandung: Penerbit Pena Merah Azra, Azyumardi. 2007. “Islam Wahabi” dalam Republika, edisi Kamis tanggal 15 Februari 2007. Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-Modernisme, Jakarta: Penerbit Paramadina Bannā, Hasan al-, Majmū’ah Rasā`il Imām Ḥasan al-Bannā. Charon, Joel M., 1979. Symbolic Interactionism: An Introduction, an interpretation, an integration, USA: Englewood Cliffs Solahudin, Dindin. 2007. “ad-Da’wah al-Islāmiyyah fī al-Manẓūr alInsānī” dalam Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies, Vol. 3 No. 9 Januari-Juni 2007. Esposito, John L., 1992. The Islamic Threat: Myth or Reality? New York: Oxford University Press Fadl, Khaled Muhammad Abou El, 2001. God Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses, Lanham, MD: University Press of America Fadl, Khaled Muhammad Abou El, 2006. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi Fadl, Khaled Muhammad Abou El, 2001. Speaking in God’s Name: Islamic law, Authority, and Women, Oxford: One-world Publications Gazālī, Syaikh Muhammad al-, 1973. Rakāiz al-Īmān bain al-‘Aql wa alQalb, Kairo: Dār al-I’tiṣām —————, 1988. Dustūr al-Wiḥdah aṡ-Ṡaqāfiyyah bain al-Muslimīn, Cairo: Dār al-Wafā —————, 1998a. ‘Aqīdah al-Muslim, Damaskus: Dār al-Qalam —————, 2007a. “as-Salafiyyah al-latī Na’rif wa Nuḥib 1” dalam rubrik Abhāṡ wa Maqālāt blogspot Muhammad al-Ghazālī, tersedia: http://www.alghazaly.org —————, 2007b. “as-Salafiyyah al-latī Na’rif wa Nuḥib 2” dalam rubrik Abhāṡ wa Maqālāt blogspot Muhammad al-Ghazālī, tersedia: http://www.alghazaly.org
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
237
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
—————, 2001a. ad-Da’wah al-Islāmiyyah Tastaqbil Qarnahā alKhāmis ‘Asyar Damaskus: Dār al-Qalam —————, 2008a. ad-Da’wah al-Islāmiyyah, Damaskus: Dār al-Qalam —————, 2005. Al-Islām al-Muftarā ‘alaih bain asy-Syuyū’iyyīn wa arRa’simāliyyīn, Cet. VI, Kairo: Nahdhah Miṣr —————, 2008b. Al-Islām wa al-Auḍā’ al-Iqtiṣādiyyah dalam blogspot Muḥammad al-Gazālī, tersedia: http://www.alghazaly.org —————, 2001b. Al-Islām wa aṭ-Ṭāqāt al-Mu’aṭṭalah, Damaskus: Dār al-Qalam —————, 1989. al-Maḥāwir al-Khamsah lī al-Qurān al-Karīm, Kairo: Dār aṣ-Ṣahwah —————, 1996. As-Sunnah an-Nabawiyyah bain Ahl al-Fiqh wa Ahl alḤadīṡ, Cet. XI. Kairo: Dār al-Syurūq —————, 2001c. at-Ta’aṣṣub wa at-Tasāmuḥ bain al-Masīḥiyyah wa al-Islāmiyyah: Daḥḍ Syubuhāt wa Radd Muftarayāt, Damaskus: Dār al-Qalam —————, 1998. Difā' 'an al-'Aqīdah wa asy-Syarī'ah Ḍidda Maṭā'in alMustasyriqīn, Cairo: Dār al-Kutub al-Islāmiyyah —————, 1999a. Hāżā Dīnunā, Beirut: al-Dār al-Syāmiyah —————, 2000a. Humūm Dā’iyah, Damaskus: Dār al-Qalam —————, 1999b. Jihād ad-Da’wah bain ‘Ajz ad-Dākhil wa Kayd alKhārij, Damaskus: Dār al-Qalam —————, 2000b. Kaif Nafham al-Islām, Damaskus: Dār al-Qalam, —————, 1991 Kayf Nata'āmal ma'a al-Qurān, Cairo: al-Ma'had al'Alami li al-Fikr al-Islāmī —————, 2003. Khuluq al-Muslim, Cet. XX, Damaskus: Dār al-Qalam —————, 1988. Khuṭab asy-Syaikh Muhammad al-Gazālī fī Syuūn adDīn wa al-Ḥayāh, Jld I-II, Kompilasi Quṭb Abdul Hamid Quṭb dan disunting oleh Muhammad ‘Asyur, Kairo: Dār al-I’tiṣām —————, 1999c. Lais min al-Islām, Beirut: al-Dār al-Syāmiyah —————, 1997. Ma'a al-Lāh: Drāsāt fī ad-Da’wah wa ad-Du’āt, Cairo: Dār al-Fikr —————, 2008c. Mustaqbal al-Islām Khārij Arḍih dalam blogspot Muḥammad al-Gazālī, tersedia: http://www.alghazaly.org. —————, 2008d. Qażāif al-Haqq, tersedia: www.mustofa.com. 238
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
—————, 2000c. Sirr Ta-akhkhur al-‘Arab wa al-Muslimīn, Damaskus: Dār al-Islām —————, 2002. Syariat dan Akal dalam Perspektif Tradisi Pemikiran Islam, terj. Halid al-Kaff dan Muljono Damopolii atas Turāṡunā alFikrī fī Mīzān al-Syar’i wa al-‘Aql, Jakarta: Lentera —————, 1996. Turāṡunā al-Fikrī fī Mīzān asy-Syar’ī wa al-‘Aql, Mesir: Dār al-Syurūq —————, 1999d. Ẓalām min al-Garb, Damaskus: Dār al-Qalam Ghazali, Abd. Moqsith, 2009. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Depok: Katakita Jauziyyah, Syamsuddin Muḥammad bin Abu Bakar bin Qayyim al-, 1998. al-Fawāid, Beirut: Dār at-Tauzī’ wa an-Nashr al-Islāmiyyah Majid, Sayyid Abd al-, 1960. al-Malakat al-‘Aqliyyah fī al-Qurān al-Karīm dalam Muḥāḍarah ‘Āmmah, Mesir: Mathba’ah al-Azhar Mażkur, Ibrahim, 1979. al-Mu’jam al-Falsafi, Mesir: Majma al-Lughah al‘Arabiyyah Munawar-Rachman, Budhy, 2010. Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya, Jakarta: Grasindo Popper, Karl R., 2002. Masyarakat Terbuka dan Musush-musuhnya, Terj. Uzair Fauzan atas The Open Society and its Enemies, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Qaraḍawi, Yusuf, 2000. Asy-Syaikh al-Ghazālī kamā ‘Araftuh: Rihlah Niṣf Qarn, Kairo: Dār al-Syurūq —————, 1986. Ṡaqāfah ad-Dā’iyah, Kairo: Maktabah Wahbah Qomar ZA, 2006. “Sejarah Suram Ikhwanul Muslimin” dalam AsySyari’ah online edisi 4 Januari 2006, Tersedia: www.akhirzaman.info/Islam/Ikhwanul Muslimin/1542. Quṭb, Muhammad, t.t. Wāqi’unā al-Mu’āṣir, Kairo: Dār al-Miṣr Sa’dāwī, Ṣalāh ‘Abd at-Tawwāb dan Muḥammad al-Haṣṣād, 2011. Qiṣṣah wa qiṣṣah fī Samāḥah al-Islām ma’a gair al-Muslimīn, Cairo: Dār alFaḍīlah Thoha, Anis Malik, 2005. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif Tilmisani, Umar, 1981. Żikrayāt lā Mużakkirāt, Kairo: al-Maktab alIslāmī Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015
239
Dindin Solahudin: Karakteristik Dakwah Salafiyah
Wā’ī, Taufiq al-, t.t. Daūr al-Muslim fī al-Ḥayāh, Kairo: Dār at-Tauzī’ wa an-Nasyr al-Islāmiyyah Wahid, Abdurrahman, 2007. Islam, Pluralism, and Democracy, Trans. Mark Woodward, Arizona: Consortium for Strategic Communication
240
Anida | Vol 14 No 2 Juli-Desember 2015