UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KARAKTERISASI PEKTIN HASIL EKSTRAKSI DARI LIMBAH KULIT PISANG KEPOK (Musa balbisiana ABB)
SKRIPSI
VITA FITRIA NIM. 109102000069
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA 2013
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KARAKTERISASI PEKTIN HASIL EKSTRAKSI DARI LIMBAH KULIT PISANG KEPOK (Musa balbisiana ABB)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
VITA FITRIA NIM. 109102000069
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA 2013
ii
HALAMAIY PER}IYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber yang dikutip maupun
dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Yita Fitria NIn[ :109102{X}0069 Tanda Tangan , 7f Tnnggel
ill
: 12 September20l3
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama
Vita Fitria
NIM
109102000069
Pmgram Studi
Farmasi
Judul
Karaktedsasi Pektin Hasil Ek$trak$i dari Limbah Kulit Pisaug Kepok {Musa balbisiana
ABB)
Menyetujui,
Pembimbing II
Pembimbing I
-l,\
[i
fW*{1^l ( r__,, \J
\r
^
r
4*^+
i
I
Supandi. M.Si. Aot
Ofa Suzanti Betha" M.Si.. Apt
NIP : 1975010420091 220A1
Mengetahui,
Kepala Program Sfirdi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Iknu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
U^r-Drs. Umar Mansu{" M.Sc.. Apt
lv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi ini diajukan
oleh
Nama
Vita Fitria
NIM
109102000069
Program Studi
Farmasi
Judul
Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit
:
Pisang Kepok (Musa balbisiana
ABB)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan unfuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan trlmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
I
Ofa Suzanti Bethq M.Si., Apt
Pernbimbing
II
Supandi, M.Si., Apt
Penguji
I
Nelly Suryani, PhD., Apt
Fenguji
II
Yuni Anggraeni, M.Famr., Apt
Ditetapkan di
lalor'/le
Tanggal
ta
.Sepl:nrbe
( @YYto^Xi'
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Vita Fitria : Farmasi : Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)
Pektin merupakan polimer dari asam D-galakturonat yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 glikosidik. Senyawa pektin banyak digunakan dalam industri farmasi, makanan dan minuman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi pH keasaman dan suhu ekstraksi. Penelitian ini dilakukan dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut asam laktat kemudian ditambahkan aseton ke dalam filtrat untuk mengendapkan pektin dan proses terakhir dilakukan pengeringan untuk mendapatkan pektin kering. Variasi keasaman pelarut adalah pH 1, 1,5 dan 2, suhu ekstraksi 80℃ dan 90℃ serta lama ekstraksi 80 menit. Pektin yang dihasilkan ditentukan karakteristiknya meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat dan derajat esterifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen pektin (5,02%-10,78%), rendemen tertinggi didapat pada pH 1,5 dan suhu 90℃. Kadar air berkisar antara 10,54%-11,96%, kadar air terendah didapat pada pH 2 dan suhu 80℃. Kadar abu berkisar antara 4,25%-8,05%, kadar abu terendah didapat pada pH 1,5 dan suhu 90℃. Berat ekivalen berkisar antara 4094,4-9534,71, berat ekivalen tertinggi didapat pada ekstraksi pH 2. Pektin termasuk dalam pektin metoksil rendah, dengan kadar metoksil antara 1,01%-2,70%. Kadar asam galakturonat berkisar antara 32,74%-78,60%. Derajat esterifikasi berkisar antara 17,13%-20,78%. Spektroskopi FTIR digunakan untuk membandingkan spektrum dari pektin sampel, komersial dan standard dan hasilnya menunjukkan kemiripan masingmasing serapan gugus fungsi. Kata Kunci
: karakterisasi, pektin, ekstraksi, Musa balbisiana ABB
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name Program Study Title
: Vita Fitria : Pharmacy : Characterization of Pectin Extracted from Banana Peels (Musa balbisiana ABB)
Pectin are polymer of D-galacturonic acids connected by α-1,4 glucosidic. Pectin are widely used in pharmaceutical, food dan beverage industries. This reaserch was aimed to investigate the characteristics of pectin extracted from banana peels (Musa balbisiana ABB) using lactic acid solvent with pH variation of acidity and temperature of extraction. The research used an extraction method by using lactic acid solvent in additional to acetone to form the sediment of pectin and the last step was drying in order to get dry pectin. Variation of solvent acidity was pH 1; 1,5 and 2, extraction temperature of 80℃, 90℃ and extraction time of 80 minute. Pectin determined characteristics include yield, water content, ash content, equivalent weight, methoxyl content, galacturonic acid content and degrees of esterification. The results showed that the pectin yield (5.02%-10.78%), the highest yield obtained at pH 1.5 and temperature of 90℃. Water content ranged from 10.54%11.96%, the lowest water content obtained at pH 2 and temperature of 80 ℃. Ash content ranged from 4.25%-8.05%, the lowest ash content obtained at pH 1.5 and temperature of 90℃. Equivalent weight ranged from 4094.47-9534.71, the highest equivalent weight obtained at pH 2. Pectin was included in the low methoxyl pectin, with a methoxyl content between 1.01%-2.70%. Galacturonic acid content ranged from 32.74%-78.60%. Degree of esterification ranged from 17.13%20.78%. FTIR Spectroscopy was used to compare the spectrum of the sample, commercial and standard pectin and the result showed the similarity of each absorption functional groups. Keyword
: characterization, pectin, extraction, Musa balbisiana ABB
vii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Segala puji penulis
panjatkan hanya kepada
Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat kasih sayang, kenikmatan, dan kemudahan yang begitu besar. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan baginda Nabi Muhammad SAW yang membawa petunjuk dan suri tauladan bagi umat manusia, semoga kelak kita semua mendapat syafaat beliau. Skripsi dengan judul: “Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Program studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-
besarnya pada pihak yang membantu dan memberikan bimbingan
dalam
penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan, penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Sukardi dan Ibu Saniyem, kedua orang tua tercinta yang tiada henti-hentinya mendoakan di setiap waktunya, memberikan kasih sayang, motivasi, semangat dan nasihat, tanpa Bapak dan Ibu penulis tidaklah memiliki arti apa-apa. Adik tersayang Ade Rifky Amalia yang selalu memberikan dukungan, semangat dan keceriaan, serta untuk kelurga besar yang tak pernah lupa memberikan doa dan semangat. 2. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Diknas Sumatera Selatan serta jajaran pengurus program Santri Jadi Dokter, selaku pemberi beasiswa sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Ofa Suzanti Betha M.Si, Apt, selaku dosen pembimbing 1 dan Bapak Supandi M.Si, Apt selaku dosen membimbing 2. Terimaksih atas segala
viii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bimbingan, arahan dan kesabaran dalam membimbing hingga skripsi ini selesai. Semoga Allah membalas amal baik ibu dan bapak. 4. Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak Drs. Umar Mansur M.Sc., Apt, selaku kepala prodi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Bapak dan ibu staff pengajar dan karyawan yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Rekan-rekan Santri Jadi Dokter (SJD-Sumsel), teman-teman Farmasi 2009 yang selalu memberikan dukungan, semangat perjuangan serta pengalaman kebersamaan yang tak ternilai. Untuk Tika, Kiki, Rani, Nurul, Maharani, dkk terima kasih atas segala semangat, dukungan, keceriaan dan kebersamaan yang tak terlupakan, sukses untuk kita semua. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memberi sumbangan pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan bagi pembaca pada umumnya yang mempergunakannya terutama untuk proses kemajuan pendidikan.
Jakarta, 12 September 2013 Penulis
ix
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri Hidayatullah Jakaxta, Saya yang bertandatangan di bawah ini
ruIliD
Syarif
:
Nama
Vita Fitria
NIM
109102000069
Program Studi
Farmasi
Fakultas
Fakultas Kedoleteran dan IImu Kesehatan (FKIK)
Jenis Karya
Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetatruan, saya menyetujui skripsiikarya ilmiah saya dengan judul:
KARAKTERISASI PEKTIN HASIL EKSTRAKSI DARI LIMBAH
KIILIT PISANG IffiPOK
(Musa balbisiana ABB)
rmtuk dipublikasikan atau ditaurpilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (Jtr{) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Dengan demikiau persetu$uan publikasi karya ilmiah
ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat
di
: Jakarta
Pada Tanggal : 12 September 2013
Yang menyatakan,
71 (Vita Fitria)
x
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................ HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................. HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. ABSTRAK ........................................................................................... ABSTRACT ........................................................................................ KATA PENGANTAR ......................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ....... DAFTAR ISI ....................................................................................... DAFTAR GAMBAR ........................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................
ii iii iv v vi vii viii x xi xiii xiv xv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 1.3 Tujuan Penelitian................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian ..............................................................
1 3 4 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 2.1 Pektin ................................................................................ 2.1.1 Pengertian, Sumber dan Struktur Pektin ................... 2.1.2 Jenis Pektin .............................................................. 2.1.3 Sifat Pektin............................................................... 2.1.4 Kegunaan Pektin ...................................................... 2.1.5 Ekstraksi Pektin........................................................ 2.2 Karakteristik Pektin ........................................................... 2.2.1 Kadar Air ................................................................. 2.2.2 Kadar Abu ................................................................ 2.2.3 Berat Ekivalen .......................................................... 2.2.4 Kadar Metoksil ......................................................... 2.2.5 Kadar Asam Galakturonat ........................................ 2.2.6 Derajat Esterifikasi ................................................... 2.2.7 Kekuatan Gel ........................................................... 2.2.8 Bilangan Asetil......................................................... 2.3 Pisang Kepok (Musa balbisiana) ....................................... 2.3.1 Uraian Umum Pisang ................................................ 2.3.2 Klasifikasi Pisang Kepok (Musa balbisiana) ............. 2.3.3 Kandungan Kimia Kulit Pisang ................................. 2.4 Asam Laktat ...................................................................... 2.5 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red) ............
5 5 5 7 8 9 11 14 15 15 15 16 16 16 17 17 18 18 19 20 21 22
xi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................... 3.1 Alur Penelitian................................................................... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................. 3.3 Bahan Uji .......................................................................... 3.3.1 Penyediaan Bahan Baku ............................................ 3.3.2 Determinasi Bahan Baku ........................................... 3.4 Alat dan Bahan .................................................................. 3.4.1 Alat ........................................................................... 3.4.2 Bahan........................................................................ 3.5 Prosedur Kerja ................................................................... 3.5.1 Produksi Pektin ......................................................... 3.5.2 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi .......................... 3.5.3 Perbandingan Spektrum FTIR ...................................
24 24 25 25 25 25 25 25 25 26 26 27 29
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... 4.1 Bahan Baku ....................................................................... 4.1.1 Penentuan Bahan Baku ............................................. 4.1.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku ........................... 4.1.3 Persiapan Bahan Baku............................................... 4.2 Ekstraksi Pektin ................................................................. 4.3 Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi ........................................ 4.4 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi................................... 4.4.1 Rendemen ................................................................. 4.4.2 Kadar Air .................................................................. 4.4.3 Kadar Abu ................................................................ 4.4.4 Berat Ekivalen .......................................................... 4.4.5 Kadar Metoksil ......................................................... 4.4.6 Kadar Galakturonat ................................................... 4.4.7 Derajat Esterifikasi .................................................... 4.5 Perbandingan Spektrum FTIR ............................................
30 30 30 30 31 32 34 36 37 39 41 42 44 46 48 49
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 5.1 Kesimpulan ....................................................................... 5.2 Saran .................................................................................
53 53 53
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
55
xii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5. Gambar 3.1. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8.
Struktur Dinding Sel Tanaman .......................................... Struktur Pektin .................................................................. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Tinggi .................. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Rendah ................ Pisang Kepok .................................................................... Alur Penelitian .................................................................. Persentase Rendemen ........................................................ Kadar Air .......................................................................... Kadar Abu ......................................................................... Berat Ekivalen ................................................................... Kadar Metoksil .................................................................. Kadar Asam Galakturonat ................................................. Derajat Esterifikasi ............................................................ Struktur Pektin ..................................................................
xiii
5 7 8 8 20 24 38 40 41 43 45 47 49 52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4.
Standar Mutu Pektin ............................................................ Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope .......................... Bahan Baku ......................................................................... Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi .......................................... Hasil Karakterisasi Pektin .................................................... Data Spektrum FTIR............................................................
xiv
14 14 31 34 36 51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5.
Hasil Determinasi Tumbuhan ............................................ Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang ............. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi .................................. Hasil Spektrum FTIR ........................................................ Proses Ekstraksi dan Alat-Alat yang Digunakan ................
xv
59 60 61 70 73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Komoditas pisang di Indonesia menduduki tempat pertama di antara jenis
buah-buahan lainnya, baik dari segi luas pertanamannya maupun dari segi produksinya. Pada tahun 2010, produksi pisang di Indonesia mencapai 5,8 juta ton atau sekitar 30% dari produksi buah nasional (Kuntarsih, 2012). Sentra produksi pisang di Indonesia adalah, NAD (Pidie, Aceh Besar), Sumatera Utara (Deli Serdang, Serdang Begadai), Sumatera Barat (Pasaman Barat), Lampung (Lampung Selatan, Lampung Timur, Lampung Barat), Jawa Barat (Cianjur, Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, Garut), Jawa Tengah (Kendal, Purbalingga, Banyumas, Cilacap), Jawa Timur (Lumajang, Malang), NTT (Ngada, Nagageo, Ende, Sikka), Kalimantan Selatan (Tapin, Banjar), Kalimantan Timur (Kutai Timur, Kutai Kertanegara) (Departemen Pertanian, 2012). Buah pisang sangat digemari untuk dikonsumsi baik secara langsung sebagai buah segar ataupun sebagai produk olahan. Saat ini kulit pisang digunakan untuk pakan ternak atau hanya dibuang sebagai limbah rumahan atau industri. Pemanfaatan kulit pisang tersebut kurang optimal, padahal kulit pisang mengandung komponen yang bermanfaat bagi manusia. Menurut hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, tanaman pisang mengandung berbagai macam senyawa seperti air, gula pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, pektin, lemak kasar, serat kasar, dan abu. Senyawa pektin cukup besar terkandung di dalam kulit pisang (Satria dan Ahda, 2009). Pektin adalah substansi alami yang terdapat pada sebagian besar tanaman pangan. Selain sebagai elemen struktural pada pertumbuhan jaringan dan komponen utama dari lamela tengah pada tanaman, pektin juga berperan sebagai perekat dan menjaga stabilitas jaringan dan sel (Herbstreith dan Fox, 2005). Struktur pektin yaitu polimer asam α-D-galakturonat yang terikat dengan ikatan
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
glikosidik α(1-4). Sebagian gugus karboksil pada polimer pektin mengalami esterifikasi dengan metil (metilasi) menjadi gugus metoksil (Akhmalludin dan Kurniawan 2009). Pektin dapat dimanfaatkan dalam beberapa bidang industri, misalnya pada industri pangan dan industri farmasi. Dalam industri pangan, pektin berperan sebagai bahan pokok pembuatan jeli, selai, dan marmalade (Herbstreith dan Fox, 2005). Pektin dalam industri farmasi sebagai agen pembentuk gel, pengental, penstabil dan pengemulsi (Commite on Food Chemical Codex, 1996). Pektin juga dapat digunakan sebagai bahan terapi diare, sembelit, dan obesitas (Rowe, et al., 2006). Hingga tahun 2012, pektin yang digunakan di industri-industri Indonesia merupakan barang impor. Data terakhir pada Januari sampai November 2012 jumlah impor substansi pektin, yaitu 2.276.742 kg dengan nilai sebesar US $ 2.132.966 (Badan Pusat Statistik, 2012). Pektin komersial biasanya diperoleh dari kulit buah sitrus atau apel, namun dengan berkembangnya penelitian, pektin juga dapat diperoleh dari pengolahan kulit pisang kepok, kulit pisang raja, buah naga, kulit coklat, limbah pengolahan jeruk, cincau hijau, ampas nanas serta kulit durian. Baker (1997) menyebutkan pektin juga dapat diperoleh dari lemon, aprikot, beri-berian, anggur, labu-abuan dan semangka. Sebagian besar pektin diproduksi dengan mengekstraksi bahan baku dengan larutan asam mineral panas (May, 1990) dan dapat pula menggunakan asam organik (Kertesz, 1951). Karakteristik pektin yang baik berdasarkan IPPA (2002) dan Food Chemical Codex (1996) adalah memiliki kadar air maksimum 12%, kadar abu maksimum 10%, berat ekivalen 600-800 mg, kandungan metoksil tinggi jika >7,12%, bermetoksil rendah jika 2,5-7,12%, kadar asam galakturonat minimal 35%, derajat esterifikasi untuk pektin ester tinggi minimal 50% dan derajat esterifikasi untuk pektin ester rendah maksimum 50%. Menurut Budiyanto dan Yulianingsih (2008) perlakuan suhu, waktu ekstraksi pektin dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap karakteristik pektin yang dihasilkan. Kondisi ekstraksi pektin berpengaruh terhadap karakteristik pektin dan sifat fisik pektin tergantung dari karakteristik kimia pektin.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012) menunjukkan bahwa karakteristik pektin terbaik hasil ekstraksi dari kulit pisang kepok menggunakan asam klorida (HCl) diperoleh pada temperatur 90℃, pH 1,5 selama 80 menit dengan perolehan rendemen tertinggi, kadar air 11,88%, kadar abu 0,98%, dan kadar metoksil 3,72%. Ekstraksi kulit papaya dengan pelarut asam asetat (CH3COOH) oleh Sofiana, et al., (2012), pada temperatur 80℃ selama 2 jam menghasilkan karakteristik pektin terbaik dengan rendemen 3,26%, kadar metoksil 4,65% dan kadar galakturonat 64,02%. Penggunaan asam organik seperti asam laktat dalam ekstraksi pektin sangat jarang dipublikasikan, sehingga peneliti sangat tertarik untuk mengetahui karakter pektin yang dihasilkan. Pengkarakterisasian pektin hasil ekstraksi tersebut diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi suatu peluang dalam mengembangkan sumber pektin baru dengan memanfaatkan kulit pisang kepok sebagai bahan bakunya yang selama ini hanya menjadi limbah.
1.2
Rumusan Masalah Ditinjau dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam
penelitian ini adalah: 1. Belum diketahuinya karakteristik pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi. 2. Bagaimanakah karakteristik pektin yang dihasilkan dan apakah karateristik tersebut sesuai dalam standar mutu yang telah ditetapkan.
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data karakteristik pektin yang
dihasilkan dari ekstraksi limbah kulit pisang kepok menggunakan asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.4
Manfaat Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi karakteristik
pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok menggunakan asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pektin
2.1.1 Pengertian, Sumber dan Struktur Pektin Berdasarkan Herbstreith dan Fox (2005) kata pektin berasal dari bahasa Latin “pectos” yang berarti pengental atau yang membuat sesuatu menjadi keras atau padat. Pektin ditemukan oleh Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun yang lalu. Pada tahun 1790, pektin belum diberi nama. Nama pektin pertama kali digunakan pada tahun 1824, yaitu ketika Braconnot melanjutkan penelitian yang dirintis oleh Vauquelin. Braconnot menyebut substansi pembentuk gel tersebut sebagai asam pektat. Menurut Hasbullah (2001) yang dijelaskan dalam Tarigan, et al., (2012) pektin merupakan polisakarida kompleks yang bersifat asam yang terdapat dalam jumlah bervariasi, terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman. Umumnya pektin terdapat di dalam dinding sel primer. Khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Pektin juga berfungsi sebagai bahan perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lainnya. Substansi pektin tersusun dari asam poligalakturonat, dimana gugus karboksil dari unit asam poligalakturonat dapat teresterifikasi sebagian dengan metanol.
Sumber: IPPA (2002)
Gambar 2.1. Struktur Dinding Sel Tanaman
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
Senyawa pektin adalah asam pektat, asam pektinat dan protopektin menurut (Winarno, 1989 dan Klavons, 1995 dalam Tarigan, et al., 2012). 1. Asam Pektat Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester. 2. Asam Pektinat Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat dengan kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda. 3. Protopektin Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air, terdapat dalam tanaman, jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan asam pektinat. Winarno (2002) mengemukakan komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat dalam buah sangat bervariasi dan tergantung pada derajat kematangan buah. Pada umumnya protopektin yang bersifat tidak larut dalam air dan lebih banyak terdapat pada buah-buahan yang belum matang. Dwidjoseputro (1983) menjelaskan bahwa di dalam buah-buahan yang masih muda, sel-sel yang satu dengan sel-sel yang lain masih dipersatukan dengan kuat oleh protopektin tersebut. Akan tetapi jika buah menjadi dewasa, maka sebagian dari protopektin mengalami penguraian menjadi pektin karena pertolongan enzim protopektinase. Hal ini mengakibatkan terlepasnya sel-sel satu dari yang lain, sehingga buah menjadi lunak. Selanjutnya enzim pektinase meneruskan pengubahan pektin menjadi asam-pektat, hal mana menyebabkan buah menjadi matang. Adapun Rowe, et al., (2006) menjelaskan bahwa pektin merupakan molekul dengan bobot molekul tinggi, kunstituen dalam tanaman yang menyerupai karbohidrat, terutama terdiri dari unit rantai asam galakturonat terikat dengan ikatan 1,4-α-glukosida, dengan berat molekul 30.000-100.000. Pektin merupakan kompleks polisakarida yang terutama terdiri dari residu asam D-galakturonat yang teresterifikasi dalam rantai α-(1-4). Gugus asam sepanjang rantai sebagian besar teresterifikasi membentuk kelompok metoksil. Kadar metoksil pektin bervariasi tergantung pada derajat metilasi (Madhav dan Pushpalatha, 2002).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
Asam α-galakturonat
polimer asam α-galakturonat
Polimer asam α-galakturonat dimana sebagian gugus karboksilatnya teresterifikasi dengan metil menjadi gugus metoksil Sumber: Tarigan, et al., (2012)
Gambar 2.2. Struktur Pektin
Beberapa gula juga ikut dalam pembentukan pektin, diantaranya adalah rhamnosa, galaktosa dan xilosa (Winarno, 2002). Kelompok asam galakturonat baik dalam bentuk bebas, dikombinasikan sebagai metil ester atau sebagai garam natrium, kalium, kalsium atau amonium dan dalam beberapa kelompok pektin amida (IPPA, 2002).
2.1.2 Jenis Pektin Berdasarkan derajat esterifikasi (DE) pektin dibedakan menjadi dua golongan, yaitu pektin dengan kadar metoksi tinggi (HM) dan pektin dengan kadar metoksi rendah (LM). Nilai DE untuk pektin komersial dengan derajat metoksi tinggi biasanya berkisar dari 60-75% dan untuk pektin dengan derajat metoksi rendah berkisar dari 20-40%. Untuk pektin dengan kadar metoksi tinggi memerlukan jumlah minimum padatan terlarut dan pH dalam kisaran yang sempit sekitar 3,0 untuk membentuk gel. Pektin dengan kadar metoksi tinggi bersifat termal reversibel dan secara umum larut terhadap air panas serta seringkali mengandung zat terdispersi seperti dekstrosa untuk mencegah penggumpalan. Pektin dengan kadar metoksi rendah menghasilkan pembentukan gel yang tergantung dengan kadar gula dan tidak sensitif terhadap pH serta memerlukan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
adanya sejumlah kalsium atau kation divalent lainnya untuk pembentukan gel (Sriamornsak, 2003). Pengaruh terbesar pada sifat pektin adalah derajat esterifikasi (DE) yang misalnya menentukan tingkat reaktivitas dengan kalsium dan kation lainnya (International Pectin Producers Association, 2002).
Sumber: IPPA (2002)
Gambar 2.3. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Tinggi
Sumber: IPPA (2002)
Gambar 2.4. Molekul Pektin dengan Kadar Metoksil Rendah
Pektin yang diekstraksi biasanya memiliki lebih dari 50% unit asam yang teresterifikasi sehingga disebut pektin bermetoksil tinggi. Sedangka modifikasi proses ekstraksi atau dengan perlakuan lebih lanjut akan menghasilkan pektin bermetoksil rendah dengan kurang dari 50% grup metil ester (IPPA, 2002).
2.1.3 Sifat Pektin Commite on Food Chemical Codex (1996), menyatakan bahwa pektin sebagian besar tersusun atas metil ester dari asam poligalakturonat dan sodium, potasium, kalsium dan garam ammonium. Pektin merupakan zat berbentuk serbuk kasar hingga halus yang berwarna putih, kekuningan, kelabu atau kecoklatan dan banyak terdapat pada buah-buahan dan sayuran matang. Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak berbau dan mempunyai rasa musilago. Pektin hampir larut sempurna dalam 20 bagian air, membentuk cairan kental, opalesen, larutan koloidal mudah dituang dan bersifat asam terhadap lakmus, praktis tidak larut dalam etanol atau pelarut organik lain. Pektin larut dalam air lebih cepat jika, permukaan dibasahi dengan etanol, dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
gliserin, atau dengan sirup simplek atau jika permukaan dicampur dengan 3 bagian atau lebih sukrosa. Menurut May (1990), pektin merupakan asam poligalakturonat yang bermuatan negatif. Pektin bereaksi dengan makromolekul bermuatan positif. Pembentukan gel dapat terjadi dengan cepat pada pH rendah, tetapi reaksi ini dapat dihambat dengan penambahan garam. Gliksman (1969) di dalam Hariyati (2006) memaparkan pembentukan gel pektin metoksil tinggi terjadi melalui ikatan hidrogen diantara gugus karboksil bebas dan antara gugus hidroksil. Pada pektin metoksil rendah, kemampuan membentuk gel dengan gula dan asam hilang. Sebaliknya pektin ini mampu membentuk gel dengan adanya ion kalsium. Rouse (1977) serta Chang dan Miyamoto (1992) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu meliputi pH, konsentrasi pektin, suhu, ion kalsium, dan gula (Hariyati, 2006). Kekentalan larutan pektin mempunyai kisaran yang cukup lebar tergantung pada konsentrasi pektin, garam, dan ukuran rantai asam poligalakturonat. Meskipun pektin umumnya terkandung di sebagian besar jaringan tanaman, namun sumber yang dapat digunakan untuk pembuatan pektin komersial sangat terbatas. Hal demikian dikarenakan kemampuan pektin untuk membentuk gel tergantung pada ukuran molekul dan derajat esterifikasi (DE). Pektin dari sumber yang berbeda tidak memiliki kemampuan membentuk gel yang sama karena adanya variasi dalam parameter ini (Sriamornsak, 2003).
2.1.4 Kegunaan Pektin Pektin adalah produk alami yang dapat ditemukan dalam dinding sel dari semua tanaman tingkat tinggi. Umumnya digunakan sebagai agen pembentuk gel, penebal dan penstabil. Saat ini pektin merupakan komponen yang tak terpisahkan dari berbagai macam produk baik dalam industri makanan, dimana ia digunakan dalam produksi selai, gula-gula, pasta, dan produk susu. Pektin juga dapat dimanfaatkan dalam industri non-pangan, seperti dalam kosmetik dan farmasi. Beberapa tahun terakhir manfaat pektin semakin penting dan dibutuhkan oleh konsumen (International Pectin Producers Association, 2002).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Pektin merupakan salah satu tipe serat pangan yang bersifat larut dalam air, karena merupakan serat yang berbentuk gel, pektin dapat memperbaiki otot pencernaan dan mendorong sisa makanan pada saluran pembuangan. Pektin juga dikenal sebagai antikolesterol karena dapat mengikat asam empedu yang merupakan hasil akhir metabolism kolesterol. Makin banyak asam empedu yang berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, makin banyak kolesterol yang dimetabolisme sehingga pada akhirnya kolesterol menurun jumlahnya. Selain itu, pektin juga dapat menyerap kelebihan air dalam usus, memperlunak feses, serta mengikat dan menghilangkan racun dari usus (Ide, 2009). Pektin dengan sendirinya atau dengan sifat pembentuk gelnya dimanfaatkan dalam industri farmasi, kesehatan dan pengobatan. Pektin telah digunakan secara potensial sebagai karier atau pembawa untuk pengiriman obat ke saluran pencernaan, seperti matriks tablet, gel beads dan film-coated. Pektin merupakan senyawa menarik bagi keperluan dalam bidang farmasi, misalnya sebagai pembawa berbagai obat untuk aplikasi pelepasan terkontrol. Banyak teknik telah digunakan untuk memproduksi pektin berbasis sistem pengiriman, terutama ionotropik gelasi dan gel coating. Dengan teknik sederhana dan dengan profil toksisitas yang sangat aman, membuat pektin sebagai eksipien menarik dan menjanjikan dalam bidang industri farmasi untuk aplikasi sekarang maupun masa depan (Sriamornsak, 2003). Dalam usus besar, mikroorganisme mendegradasi pektin dan membebaskan rantai pendek asam lemak yang memiliki pengaruh positif pada kesehatan atau dikenal sebagai efek prebiotik (Srivastava dan Malviya, 2011). Srivastava dan Malviya (2011) menjelaskan pektin dapat digunakan sebagai polimer mukoadhesiv, agen pembentuk gel, pengental, pengikat air dan stabilator. Dalam bidang kedokteran dan farmasi, pektin digunakan untuk mengatasi konstipasi dan diare, sebagai salah satu bahan utama yang digunakan dalam Kaopektat, bersama dengan kaolinit. pektin juga digunakan dalam pelega tenggorokan sebagai demulcent, sebagai sumber diet serat, sebagai komponen propilaktit alami untuk melawan keracunan kation toksik, dalam formulasi pelepasan terkontrol, dan dalam penargetan situs spesifik.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
Sriamornsak (2003) menjelaskan dalam jurnalnya bahwa di bidang farmasi pektin digunakan sebagai pembawa obat ke saluran pencernaan, seperti matriks tablet dan sediaan salut tipis. Selain itu dijabarkan pula beberapa menfaat dari pektin, diantaranya adalah mengkonsumsi setidaknya 6 gram per hari pektin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan kolesterol, namun jika kurang dari 6 gram per hari pektin tidak efektif. Pektin bertindak sebagai zat penangkal alami terhadap keracunan dari kation beracun. Telah terbuksti efektif dalam mengatasi keracunan timah dan merkuri pada saluran pencernaan dan organ pernafasan. Ketika disuntikkan secara inravena, pektin menimbulkan efek mempersingkat waktu koagulasi darah yang diambil, sehingga berguna dalam pengendalian perdarahan. Pektin dan kombinasi dari pektin dengan koloid lain yang telah digunakan efektif untuk mengobati diare, terutama pada bayi dan anakanak. Dalam kondisi in-vitro tertentu pektin mungkin memiliki efek antimikroba terhadap Escherichia coli. Pektin dapat mengurangi laju pencernaan oleh immobilisasi komponen makanan dalam usus, menyebabkan penyerapan makanan menjadi lebih sedikit. Ketebalan lapisan pektin mempengaruhi penyerapan karena mengurangi kontak antara enzim usus dan makanan sehingga mengurangi ketersediaan sari makanan. Adanya kapasitas waterbinding yang besar, pektin memberikan rasa kenyang sehingga mengurangi konsumsi makanan. Hasil percobaan menunjukkan perpanjangan waktu paruh pengosongan lambung 23-50 menit dengan makanan yang diperkaya dengan pektin. Sifat-sifat pektin dimanfaatkan dalam pengobatan penyakit yang berhubungan dengan gangguan makan yang berlebihan. Pektin hidrogel telah digunakan dalam formulasi tablet sebagai agen pengikat dan telah digunakan dalam formulasi tablet lepas terkontrol.
2.1.5 Ekstraksi Pektin Ekstraksi pektin merupakan proses pengeluaran pektin dari sel pada jaringan tanaman. Ekstraksi pektin dengan larutan asam dilakukan dengan cara memanaskan bahan dalam
larutan asam encer
yang
berfungsi
untuk
menghidrolisis protopektin menjadi pektin. Ekstraksi ini dapat dilakukan dengan asam mineral seperti asam klorida atau asam sulfat. Semakin tinggi suhu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
ekstraksi, semakin singkat waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang maksimum. Tatapi dalam hal ini faktor keasaman yang digunakan tidak bisa diabaikan. Kisaran pH yang dirokemendasikan 1,5 – 3,0 tetapi pH kisaran pada pH 2,6 – 2,8 lebih sering dipakai (Kirk dan Othmer, 1958 di dalam Akmalludin dan Kurniawan 2009). Beberapa jenis asam dapat digunakan dalam ekstraksi pektin, diantaranya adalah asam tartrat, asam malat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam fosfat tetapi ada kecenderungan untuk menggunakan asam mineral yang murah seperti asam sulfat, asam klorida, dan asam nitrat (Kertesz, 1951 di dalam Hariyati, 2006). Menurut
Sriamornsak (2003) pektin komersial diekstraksi dengan
memperlakukan bahan baku dengan asam mineral encer panas pada pH sekitar 2. Lama waktu ekstraksi bervariasi tergantung dengan bahan baku, jenis pektin yang diinginkan dan tergantung oleh suatu produsen tertentu. Ekstrak pektin panas dipisahkan dari residu padat semaksimal mungkin. Berdasarkan
May
(2000)
pektin
kebanyakan
diproduksi
dengan
mengekstraksi bahan baku dengan larutan asam mineral panas. Setiap produsen pektin telah mengembangkan kondisi yang sesuai dengan jenis bahan baku yang diolah di pabrik mereka, namun tujuannya adalah selalu untuk menghasilkan bubur yang mengandung residu padat yang dapat dengan mudah dipisahkan oleh teknologi yang dipilih, dan fase cair (filtrat) yang mengandung pektin konsentrasi tinggi dan berat molekul tinggi, tanpa menghasilkan viskositas yang berlebihan. Menghilangkan kotoran pada ekstrak cair dilakukan sebelum dilanjutkan untuk mengisolasi pektin padat. Pada prinsipnya, pektin murni dapat diisolasi dengan berbagai cara. Metode yang paling umum digunakan adalah dengan mencampur ekstrak pekat dengan pelarut organik yang melarutkan pektin, tapi memungkinkan banyak kotoran tetap dalam larutan. Standar makanan internasional mengizinkan penggunaan metanol, etanol, atau isopropanol sebagai pelarut organik. Dalam proses ini, ekstrak pektin dapat diperoleh dengan konsentrasi sekitar 2%, dan dicampur dengan alkohol yang cukup untuk membentuk endapan yang selanjutnya dapat dilakukan pemisahan dengan penyaringan atau sentrifugasi. Pektin dipisahkan semaksimal mungkin dari larutan induk, dan dicuci sekali atau
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
beberapa kali dengan air dan alkohol untuk menghilangkan garam dan kotoran lainnya. Menurut Ranganna (1977) pengumpulan pektin dapat dilakukan dengan menggunakan alkohol 95% yang mengandung 2 mL asam klorida setiap satu liter alkohol. Biasanya untuk pengendapan secara komersial digunakan alkohol dan garam metal seperti alumunium hidroksida, kalium sulfat atau alumunium sulfat. Penggunaan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk menghidrolisis protopektin menjadi pektin yang larut dalam air ataupun membebaskan pektin dari ikatan dengan senyawa lain, misalnya selulosa (Kaban, et al., 2012). Disini asam dengan ion H+ berfungsi selain memecahkan ikatan protopektin dengan senyawasenyawa dalam dinding sel tanaman juga menyatukan satu molekul pektin yang lain sehingga terbentuk sebuah jaringan yang dapat memerangkap air (Nurhikmat, 2003). Berdasarkan Rouse (1977) di dalam Astuti (2007) penggumpalan atau koagulasi pektin terjadi karena gangguan terhadap kestabilan dispersi koloidalnya. Pektin adalah termasuk koloidal hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isoelektrik. Seperti koloid hidrofilik umumnya, pektin distabilkan terutama oleh hidrasi partikelnya daripada oleh muatannya. Pektin distabilkan oleh selapis air melalui ikatan elektrostatik antara muatan negatif molekul pektin dan muatan positif molekul air. Penambahan zat pendehidrasi seperti alkohol dapat mengurangi stabilitas disperse pektin karena efek dehidrasi mengganggu keseimbangan pektin-air, sehingga pektin akan menggumpal.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
2.2
Karakteristik Pektin Berikut adalah standar mutu pektin dan spesifikasi pektin, berdasarkan
standar mutu International Pectin Producers Association (2002), Food Chemical Codex (1996) dan Hanbook of Pharmaceutical Excipiens (2006). Tabel 2.1. Standar Mutu Pektin Faktor Mutu
Kandungan
Kadar air
Maks 12%
Kadar abu
Maks 10%
Berat ekivalen
600-800 mg
Kandungan metoksi:
Pektin metoksi tinggi
>7,12%
Pektin metoksi rendah
2,5 – 7,12%
Kadar asam galakturonat
Min 35%
Derajat esterifikasi untuk:
Pektin ester tinggi
Min 50%
Pektin ester rendah
Maks 50%
Kekuatan gel
Min 150 grade
Bilangan asetil
0,15-0,45%
Tabel 2.2 Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope Tes
USP 28
Identifikasi
+
Susut pengeringan
< 10,0%
Arsenik
< 3 ppm
Timah
< 5µg/g
Gula dan asam organik
+
Batas mikroba
+
Uji kadar:
Grup metoksil
< 6,7%
Asam galakturonat
< 74,0%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
Pektin komersial harus memenuhi syarat mutu International Pectin Producers Association (IPPA) dan Food Chemical Codex serta spesifikasi dalam Farmakope di atas. Karakteristik pektin tergantung dari kondisi ekstraksi pektin, dan sifat fisik pektin tergantung dari karakteristik kimia pektin. Pektin hasil ekstraksi terbaik biasanya diperbandingkan dengan pektin komersial. Hal ini dilakukan karena jika diaplikasikan pada industri kebutuhan energi untuk peningkatan suhu dan lama ekstraksi akan meningkatkan biaya produksi. Apabila perlakuan suhu terendah dan waktu paling cepat dapat memberi hasil yang masih diperbolehkan oleh International Pectin Producers Association, Food Chemical Codex dan Farmakope maka hal ini akan sangat menguntungkan jika diaplikasikan (Fitriani, 2003).
2.2.1 Kadar Air Pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan (Departemen Kesehatan, 2000). Kadar air suatu bahan berpengaruh terhadap masa simpan. Kadar air yang tinggi menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas mikroba (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).
2.2.2 Kadar Abu Abu merupakan residu atau sisa pembakaran bahan organik yang berupa bahan anorganik. Kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin. Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, kadar abu dalam pektin semakin rendah (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik (Departemen Kesehatan, 2000).
2.2.3 Berat Ekivalen Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul pektin. Asam pektat murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin akan menyebabkan berat ekivalen semakin rendah (Ranganna, 1977).
2.2.4 Kadar Metoksil Constenla dan Lozano (2003) mendefinisikan kadar metoksil sebagai jumlah mol etanol yang terdapat di dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar metoksil pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin. Berdasarkan kandungan metoksilnya, pektin dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu pektin berkadar metoksil tinggi (HMP), dan pektin berkadar metoksil rendah (LMP). Pektin bermetoksil tinggi mempunyai kandungan metoksil minimal 7%, sedangkan pektin bermetoksil rendah mempunyai kandungan pektin maksimal 7%) (Guichard, 1991 di dalam Hariyati, 2006).
2.2.5 Kadar Asam Galakturonat Perhitungan kandungan asam galakturonat sangat penting untuk mengetahui kemurnian pektin. Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin. Kadar galakturonat dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin (Sofiana, et al., 2012).
2.2.6 Derajat Esterifikasi (DE) Derajat esterifikasi didefinisikan sebagai persentase grup karboksil yeng teresterifikasi. Pektin dengan derajat esterifikasi di atas 50% dinamakan pektin tinggi metoksi dan derajat esterifikasi di bawah 50% dinamakan pektin rendah metoksi (Siamornsak, 2003). Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam Dgalakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol. Semakin tinggi suhu dan lama proses ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksil oleh adanya asam. Ikatan glikosidik gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis
menghasilkan asam
galakturonat. Jika ekstraksi dilakukan terlalu lama, pektin akan berubah menjadi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).
2.2.7 Kekuatan Gel Konsentrasi pektin berpengaruh terhadap pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Grade dari pektin merupakan indikasi penting yang menggambarkan mutu pektin. Grade pektin didefinisikan sebagai jumlah gula yang dibutuhkan oleh satu bagian pektin untuk membentuk gel yang diinginkan pada kondisi yang sesuai. Pektin yang mempunyai grade pektin 100 berarti dapat membentuk gel yang baik dengan 100 gram gula. Penentuan grade pektin biasanya menggunakan metode International Food Technologist (IFT) yaitu dengan membuat gel dengan konsentrasi gula 65% pada pH 2,2 - pH 2,4. Gel kemudian disimpan selama 18-24 jam dan kemudian diuji dengan alat Ridgelimeter (Meilina dan Silah, 2003).
2.2.8 Bilangan Asetil Pektin gula bit mengandung gugus asetil, dimungkinkan juga dalam pektin lain mengandung gugus asetil ini. Jika gugus asetil hadir dalam pektin maka akan menghambat pembentukan jelly. Analisis adanya gugus asetil menggunakan prosedur saponifikasi alkali sederhana diikuti dengan titrasi kembali namun hasilnya tidak menunjukkan hasil yang memuaskan (Ranganna, 1977).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
2.3
Pisang Kepok (Musa balbisiana)
2.3.1 Uraian Umum Pisang Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman buah ini kemudian menyebar luas ke kawasan Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Penyebaran tanaman ini selanjutnya hampir merata ke seluruh dunia, yakni meliputi daerah tropik dan subtropik, dimulai dari Asia Tenggara ke timur melalui Lautan Teduh sampai ke Hawai. Selain itu tanaman pisang menyebar ke barat melalui Samudera Atlantik, Kepulauan Kenari sampai Benua Amerika (Suyanti dan Supriyadi, 2008). Produksi pisang dunia dalam 120 negara diperkirakan mencapai 68 juta setiap tahunnya. Negara-negara Asia Tenggara penghasil pisang yang terkenal diantaranya adalah Filipina, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Indonesia, Filipina dan Thailand merupakan negara penghasil pisang nomor satu di kawasan Asia Tenggara (Verheij dan Coronel, 1992). Pisang merupakan tumbuhan basah yang besar, biasanya mempunyai batang semu yang tersusun dari pelepah-pelepah daun. Tangkai daun jelas beralur pada sisi atasnya, helaian daun lebar, bangun jorong memanjang, dengan ibu tulang yang nyata dan tulang-tulang cabang yang menyirip dan kecil-kecil. Bunga dalam suatu bunga majemuk dengan daun-daun pelindung yang besar dan berwarna merah. Masing-masing bunga mempunyai tenda bunga yang menyerupai mahkota atau jelas mempunyai kelopak dan mahkota yang biasanya berlekatan, zigomorf. Benang sari 6 yang 5 fertil yang satu staminoidal. Bakal buah tenggelam, beruang 3 dengan 1 bakal biji dalam tiap ruang. Tangkai putik berbelah 3-6. Buahnya buah buni atau buah kendaga. Biji mempunyai salut, endosperm dan juga perisperm (Tjitrosoepomo, 1994). Pemanfaatan pisang telah meluas di kalangan masyarakat, baik dari mulai daun, batang, bunga, buah hingga kulitnya. Buah pisang memiliki kandungan kalium yang tinggi, tingginya kandungan kalium dalam pisang membantu mengatasi stress yang memacu gangguan sulit tidur dengan cara menurunkan tekanan darah dan menyingkirkan rintangan berupa penyumbatan dalam pembuluh darah (Apriadji, 2007). Mencegah stroke, memberikan tenaga untuk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
berfikir dan menghindari kepikunan atau mudah lupa (Suyanti dan Supriyadi, 2008). Kulit buah pisang selain untuk pakan ternak juga dapat dijadikan sebagai bahan campuran krim antinyamuk. Kulit buah pisang juga dapat diekstrak untuk dibuat pektin. Bagian dalam kulit pisang matang yang dikerok dan dihancurkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan nata pisang. Sementara tepung kulit pisang yang dicampur dengan ampas tahu dapat digunakan sebagai pakan ayam buras untuk meningkatkan pertumbuhannya. Manfaat lainnya dapat dijadikan sebagai pembunuh larva serangga, yakni dengan menambahkan sedikit urea dan pemberian bakteri. Berdasarkan hasil temuan dari Taiwan diketahui bahwa kulit pisang yang mengandung vitamin B6 dan serotonin dapat diekstrak dan dimanfaatkan untuk kesehatan mata (Suyanti dan Supriyadi, 2008).
2.3.2 Klasifikasi Pisang Kepok (Musa balbisiana) Berikut adalah klasifikasi dari pisang kepok berdasarkan Herbarium Bogoriense: Jenis
: Musa balbisiana (grup ABB)
Suku
: Musaceae Sehingga taksonomi dari Musa balbisiana berdasarkan United States
Department of Agriculture (USDA) adalah: Kerajaan
: Plantae
Subkerajaan
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Subkelas
: Zingiberidae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Musaceae
Genus
: Musa L.
Spesies
: Musa balbisiana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
Sumber: Koleksi Pribadi
Gambar 2.5. Pisang Kepok Pisang kepok (Musa balbisiana) merupakan jenis triploid diberi simbol ABB (Nasir, 2003). Hibridisasi beragam Musa balbisiana menghasilkan keturunan hibrida yang sebagian besar steril terutama genom AB (dessert bananas), AAB (plantains) dan ABB (cooking bananas) (OECD, 2010). Musa balbisiana tersebar dari India termasuk Kepulauan Andam hingga Myanmar utara (Burma), Thailand dan Indocina ke Cina Selatan dan Filipina. Musa balbisiana merupakan salah satu spesiea yang berasal dari Indocina (OECD, 2010). Menurut Cahyono (2009) pisang kepok memiliki banyak jenis, namun yang terkenal adalah pisang kepok kuning dan kepok putih. Daging buah pisang kepok kuning berwarna putih sedangkan kepok putih berwarna putih. Daging buahnya bertekstur agak keras. Pisang kepok kuning memiliki rasa yang lebih manis dan enak dibandingkan kepok putih. Buah pisang kepok tidak beraroma harum. Kulit buah pisang kepok sangat tebal, pada buah yang sudah masak berwarna hijau kekuningan. Dalam satu tandan bisa terdapat hingga 16 sisir dan pada setiap sisirnya terdapat hingga 20 pisang, berat setiap tandannya sekitar 14-22 kg. buah pisang kepok cocok untuk disantap dalam bentuk olahan.
2.3.3 Kandungan Kimia Kulit Pisang Kulit pisang merupakan sumber yang kaya pati (3%), protein kasar (6-9%), lemak kasar (3,8-11%), serat makanan total (43,2-49,7%), dan asam lemak ganda tak jenuh (PUFA), terutama asam linoleat dan α-linolenat, pektin, asam amino esensial (leusin, valin, fenilalanin dan treonin) dan mikronutrien (K, P, Ca, Mg). Kulit pisang juga merupakan sumber yang baik dari lignin (6-12%), pektin (10-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
21%), selulosa (7,6-9,6%), hemiselulosa (6,4-9,4%) dan asam galaktouronat. Pektin yang diekstrak dari kulit pisang juga mengandung glukosa, galaktosa, arabinosa, rhamnosa, dan xilosa. Mikronutrien (Fe dan Zn) ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada kulit dibandingkan pada pulp. Sehingga, kulit bisa menjadi bahan pakan yang baik untuk ternak dan unggas. Kulit pisang juga dapat digunakan dalam minuman anggur, produksi etanol, sebagai substrat untuk produksi biogas dan sebagai bahan dasar untuk ekstraksi pektin. Abu kulit pisang dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman pisang dan sebagai sumber alkali untuk produksi sabun. Ekstrak etanol kulit Musa sapientum dapat digunakan penghambat korosi untuk baja ringan. kulit pisang juga dapat digunakan di pabrik pengolahan air limbah (Mohapatra, et al., 2010).
2.4
Asam Laktat Berdasarkan Rowe, et al., (2006) asam laktat (C3H6O3) memiliki sinonim 2-
hydroxypropanoic acid; a-hydroxypropionic acid; DL-lactic acid; Lexalt L; milk acid; Patlac LA; Purac 88 PH; racemic lactic acid. Berfungsi sebagai agen pengasam. Asam laktat dibuat dari fermentasi karbohidrat, seperti glukosa, sukrosa laktosa dengan Bacillus asam laktat atau mikroorganisme terkait lainnya. -
Titik didih: 122℃ pada 2 kPa (15mmHg)
-
Konstanta disosiasi: pKa = 4,14 pada 22,5℃
-
Kelarutan: larut dengan etanol (95%), eter dan air, praktis tidak larut dalam kloroform.
-
Stabilitas: Asam laktat bersifat higroskopis dan akan membentuk produk kondensasi seperti asam polilaktat pada saat kontak dengan air. Kesetimbangan antara asam polilaktat dan asam laktat tergantung pada konsentrasi dan temperatur. Pada suhu tinggi asam laktat akan membentuk laktida, yang mudah dihidrolisis kembali ke asam laktat. Asam laktat harus disimpan dalam wadah tertutup baik dalam tempat dingin dan kering.
-
Inkompatibilitas: Kompatibel dengan oksidator, iodida, dan albumin. Bereaksi hebat dengan asam fluorida dan asam nitrat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
Asam laktat termasuk dalam golongan asam organik (Dashek dan Micales, 1997). Asam laktat dapat digunakan untuk ekstraksi pektin menurut seperti halnya jenis asam lain yakni asam tartarat, asam malat, asam sitrat, asam asetat dan asam fosforat (Canteri-Schemin, et al., 2005)
2.5
Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red) Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi antara energi cahaya dan
materi. Warna-warna yang nampak dan fakta bahwa orang bisa melihat adalah akibat-akibat absorpsi energi oleh senyawa organik maupun anorganik, yang merupakan perhatian primer bagi ahli kimia organik ialah fakta bahwa panjang gelombang pada suatu senyawa organik menyerap energi cahaya, bergantung pada struktur senyawa itu. Oleh karena itu teknik-teknik spektroskopi dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang tidak diketahui dan untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa yang diketahui (Fessenden dan Fessenden, 1986). Analisa spektroskopi inframerah mencakup beberapa metode yang berdasarkan atas absorbsi atau refleksi dari radiasi elektromagnetik (Rousessac dan Rousessac, 2000). Spektrum inframerah berada di antara daerah sinar tampak dan daerah microwave. Daerah spektrum yang paling baik digunakan untuk berbagai keperluan praktis dalam kimia organik adalah antara 4000-400 cm-1. Rentang bilangan gelombang inframerah dibagi dalam tiga daerah, inframerah jauh (200-10 cm-1), inframerah tengah (4000-200 cm-1) dan inframerah dekat (12500-4000 cm-1) (Watson, 2009). Dua jenis instrumen yang biasa digunakan untuk memperoleh spektrum inframerah yaitu instrumen dispersi, yang menggunakan suatu monokromator untuk memilih masing-masing bilangan gelombang secara berurutan untuk memantau intensitasnya setelah radiasi telah melewati sampel, dan instrumen transformasi Fourier, yang menggunakan suatu interferometer. Instrumen tranformasi Fourier menghasilkan sumber radiasi dengan masing-masing bilangan gelombang dapat dipantau dalam ± 1 detik pulsa radiasi tanpa memerlukan dispersi. Dalam suatu instrumen inframerah transformasi Fourier (Fourier transform infrared, FT-IR), prinsipnya adalah
monokromator digantikan oleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
suatu interferometer. Interferometer menggunakan cermin bergerak untuk memindahkan bagian radiasi yang dihasilkan oleh satu sumber, sehingga menghasilkan suatu interferogram yang dapat diubah dengan menggunakan suatu persamaan yang disebut „Transformasi Fourier‟ untuk mengekstraksi spektrum dari suatu seri frekuensi yang bertumpang tindih (Watson, 2009). Spektroskopi FTIR memiliki banyak keunggulan dibanding spektroskopi inframerah diantaranya yaitu lebih cepat karena pengukuran dilakukan secara serentak (simultan), serta mekanik optik lebih sederhana dengan sedikit komponen yang bergerak (Suseno dan Firdausi, 2008). Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka terdapat sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada struktur pada struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang menyerap energi tersebut terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi rotasi. Pada suhu kamar, molekul senyawa organik dalam keadaan diam, setiap ikatan mempunyai frekuensi yang karakteristik untuk terjadinya vibrasi ulur (stretching vibrations) dan vibrasi tekuk (bending vibrations) dimana sinar inframerah dapat diserap pada frekuensi tersebut (Suseno dan Firdausi, 2008).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1
Alur Penelitian Pengeringan dalam oven
Kulit pisang kepok
Penyaringan
Ampas
Filtrat
Dihaluskan menjadi serbuk
Ekstraksi menggunakan asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi selama 80 menit Penambahan aseton dengan perbandingan volume filtrate 1:1,5
Endapan pektin
Penyaringan
Supernatan
Pencucian endapan dilakukan dengan menggunakan aseton secara berulang-ulang
Endapan pektin
Perbandingan spektrum FTIR antara pektin standard, komersial dan hasil ekstraksi
Pengeringan endapan pektin dalam oven suhu 40℃
Pektin kering
Karakterisasi
-
Rendemen Kadar air Kadar abu - Berat ekivalen - Kadar metoksi - Kadar asam galakturonat - Derajat esterifikasi
Gambar 3.1. Alur Penelitian
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian I, Laboratorium
Penelitian II, Laboratorium Kimia Obat, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia, dan Laboratorium Kimia Analisa Pangan dan Obat, Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2013.
3.3
Bahan Uji
3.3.1 Penyediaan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan berupa kulit pisang kepok yang masih mentah. Bahan uji didapatkan dari limbah pengolahan kripik pisang kepok yang ada di daerah Lampung. Pengambilan bahan baku pada pagi hari tanggal 14 Februari 2013. 3.3.2 Determinasi Bahan Baku Bahan baku berupa kulit pisang kepok yang dilakukan identifikasi terlebih dahulu di Laboratorium Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat.
3.4
Alat dan Bahan
3.4.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat-alat gelas seperti, erlenmeyer (Schott Duran), gelas beker (Schott Duran), gelas ukur, pipet tetes, pipet volume, batang pengaduk, botol timbang, buret, labu Buchner dll. Adapun alat-alat lain diantaranya adalah corong Buchner, hot plate, oven, blender, tanur, krustang, krus porselain, cawan porselain, desikator, kertas saring, statif dan klem, termometer, pH meter, pH indikator universal, magnetic stirrer, neraca analitik, dan Jasco FTIR-6100. 3.4.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam laktat, aquades, asam klorida (HCl), natrium hidroksida (NaOH), natrium klorida (NaCl), aseton teknis, indikator phenolptalein (PP), indikator fenol merah, pektin murni (Sigma), serbuk KBr.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
3.5
Prosedur Kerja
3.5.1 Produksi Pektin a.
Persiapan Bahan Uji Kulit pisang yang didapatkan dari limbah pengolahan kripik pisang kepok
disortir (dipisahkan antara kulit pisang yang bagus dengan yang busuk). Kulit pisang kepok yang berwarna hijau atau kekuningan yang dipilih. Bagian pucuk dan tangkai kulit pisang tidak diambil. Kemudian dilakukan pencucian dengan menggunakan air mengalir agar kulit pisang dapat bersih dari kotoran-kotoran yang menempel. Setelah kulit pisang tersebut bersih, dilakukan pemotongan kecilkecil dan dilakukan pengeringan dengan cara diangin-anginkan yang selanjutnya dikeringkan dalam oven suhu 50℃. Setelah didapatkan kulit pisang kering, selanjutnya dilakukan penghalusan dengan cara diblender dan diayak dengan ayakan mesh 100 (ukuran partikel 105 mikrometer) sehingga didapatkan serbuk kering kulit pisang kepok yang kemudian diukur kadar airnya, kadar air seharusnya tidak lebih dari 10% (Tarigan, et al., 2012). b.
Ekstraksi Pektin Serbuk kulit pisang kepok yang dihasilkan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer sebanyak 60,0 gram, kemudian ditambahkan larutan asam laktat sebanyak 2000 mL dengan variasi pH 1, 1,5 dan 2. Pembuatan larutan asam laktat dengan variasi pH dilakukan dengan cara melarutkan asam laktat dalam aquadest dan pH larutan diukur menggunakan pH meter. Campuran 60,0 gram serbuk kulit pisang kepok dan larutan asam laktat tersebut dipanaskan di atas pemanas listrik dengan pengaturan suhu 80℃ dan 90℃ untuk masing-masing pH disertai pengadukan menggunakan magnetic stirrer. Penghitungan waktu ekstraksi dari saat tercapainya kondisi operasi percobaan yaitu 80 menit. Setelah dipanaskan, campuran tersebut disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan penyaring vakum guna memisahkan ampas dan filtratnya. Filtrat yang didapatkan disebut dengan filtrat pektin (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009; Satria dan Ahda, 2009; Tarigan, et al., 2012). c.
Pengendapan Pektin Pengendapan pektin dilakukan dengan penambahan aseton dalam filtrat
dengan perbandingan tiap 1 liter filtrat ditambahkan dengan 1,5 liter aseton. Filtrat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
pektin tersebut didiamkan selama 10-14 jam. Endapan pektin yang terbentuk kemudian dipisahkan dari larutannya menggunakan kertas saring dengan bantuan penyaring vakum (Akhmalludin dan Kurniawan 2009). d.
Pencucian Pektin Endapan pektin yang terbentuk ditambahkan dengan aseton sambil diaduk
untuk kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan penyaring vakum. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai pektin tidak lagi meninggalkan residu asam. Adapun pektin yang sudah tidak lagi meninggalkan residu asam adalah pektin yang tidak berwarna merah bila ditambahkan dengan indikator phenolphtalein (PP) (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009). e.
Pengeringan Pektin Pektin basah hasil pengendapan yang telah bebas dari residu asam kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 40℃ selama 8 jam. Hasil yang diperoleh disebut dengan pektin kering (Tarigan, et al., 2012).
3.5.2 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi 1. Perhitungan Persen Rendemen Persen rendemen adalah perbandingan gram pektin yang dihasilkan dengan gram bahan baku kering. Rendemen (%) =
bobot total pektin yang diperoleh bobot bahan baku kering
x 100%
2. Penentuan Kadar Air Sebanyak 0,300 gram sampel pektin dikeringkan di dalam oven pada suhu 100oC selama 4 jam menggunakan botol timbang yang telah diketahui bobot kosongnya. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot yang tetap. Kadar Air (%) =
Wa −Wb W
x 100% (Pardede, et al., 2013)
Dimana: Wa = bobot sebelum dikeringkan Wb = bobot akhir setelah dikeringkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
3. Penentuan Kadar Abu (Ranganna, 1977) Krus porselain dikeringkan di dalam tanur pada suhu 600oC kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot wadah. Selanjutnya sebanyak 0,500 gram pektin ditimbang dan di masukkan dalam krus silikat yang telah diketahui bobotnya kemudian di masukkan dalam tanur dengan suhu 600℃ selama 4 jam. Residu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar Abu (%) = = Dimana: W
W 1−W 2 W
x 100%
= bobot sampel awal (g)
W1
= bobot wadah + sampel setelah pemanasan (g)
W2
= bobot wadah kosong (g)
4. Penentuan Berat Ekivalen (Ranganna, 1977) Nilai berat ekivalen digunakan untuk perhitungan kadar asam galakturonat dan derajat esterifikasi. Berat ekivalen ditentukan dengan menimbang 0,25 gram pektin dimasukkan dalam Erlenmeyer 250 mL dan dilembabkan dengan 1,0 mL alkohol. Air suling bebas O2 sebanyak 50,0 mL dan 6 tetes indikator fenol merah ditambahkan. Campuran tersebut kemudian diaduk dengan cepat untuk memastikan bahwa semua substansi pektin telah terlarut dan tidak ada gumpalan yang menempel pada sisi Erlenmeyer. Titrasi dilakukan perlahan-lahan dengan titran standar NaOH 0,1 N sampai warna campuran berubah menjadi merah muda (pH 7,5) dan tetap bertahan selama setidaknya 30 detik. Larutan tersebut dinetralkan yang kemudian digunakan untuk penentuan kadar metoksil. bobot pektin (mg )
Berat Ekivalen = ml NaOH
x N NaOH
5. Kadar Metoksil (Ranganna, 1977) Penentuan kadar metoksil dilakukan dengan menambahkan 25,0 mL NaOH 0,25 N ke dalam larutan netral dari penentuan BE kemudian dikocok dengan benar dan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar dalam Erlenmeyer tertutup. Ditambahkan 25,0 mL HCl 0,25 N dan indikator fenol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
merah kemudian dititrasi dengan titran NaOH 0,1 N hingga larutan berubah menjadi merah muda. Kadar Metoksil (%) =
ml NaOH x 31 x N NaOH x 100 bobot sampel
mg
Dimana 31 adalah berat molekul (BM) dari metoksil
6. Kadar Galakturonat (Ismail, et al., 2012) Kadar galakturonat dihitung dari miliekivalen NaOH yang diperoleh dari penentuan BE (berat ekivalen) dan kandungan metoksil. + meq dari NaOH untuk % Galakturonat = (meq dari NaOH untuk asam bebas bobot sampel (mg )
metoksil ) x 176 x 100
Dimana 176 adalah berat ekivalen terendah asam pektat
7. Derajat Esterifikasi (Schultz, 1965 dalam Hariyati, 2006) Derajat esterifikasi (DE) dari pektin dapat dihitung dengan: DE (%) =
3.6
kadar metoksil x 176 x 100 kadar galakturonat
x 31
Perbandingan Spektrum FTIR Spektrum FTIR digunakan untuk memperoleh informasi serapan gugus
fungsional. Data FTIR diperoleh dengan menggunakan Jasco FTIR-6100 dengan rentang panjang gelombang dari 4000 cm-1 sampai 400 cm-1 (Ismail, et al., 2012). Perbandingan antara sebuk KBr dan masing-masing sampel pektin adalah 100:1 mg. Setelah didapatkan spektrum masing-masing sampel pektin, ketiganya (pektin hasil ekstraksi, komersial dan standard) dibandingkan tiap serapan gugus fungsionalnya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Bahan Baku
4.1.1 Penentuan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kulit pisang kepok yang diperoleh dari pengolahan kripik pisang di daerah Lampung. Kulit pisang merupakan bagian dari buah pisang yang umumnya dibuang sebagai sampah. Limbah kulit pisang kepok dipilih sebagai bahan baku karena pisang kepok lebih sering digunakan sebagai makanan olahan sehingga menghasilkan limbah kulit yang cukup banyak. Pemilihan bahan baku berupa limbah kulit pisang didasarkan pada pemanfaatan limbah yang tidak digunakan menjadi suatu bahan baku produksi pektin. Cahyono (2009) mengungkapkan bahwa kulit buah pisang kepok sangat tebal. Sedangkan pektin terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman dan umumnya terdapat dalam dinding sel, sehingga pemilihan kulit pisang kepok untuk produksi pektin diharapkan mampu menghasilkan pektin yang melimpah pula. Menurut Mohapatra, et al., (2010) kandungan pektin dalam kulit pisang berkisar antara 10-21%. Limbah kulit pisang diperoleh dengan tidak mengeluarkan biaya karena limbah biasanya dibuang begitu saja. Keuntungan dari pemanfaatan limbah tersebut adalah menjadikan biaya produksi pektin dapat lebih ekonomis dan diharapkan tidak mengurangi kualitas pektin yang dihasilkan.
4.1.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku Determinasi tanaman bahan baku dilakukan di Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman bahan baku yang digunakan adalah benar tanaman pisang kepok (Musa balbisiana ABB) famili Musaceae. Hasil determinasi dapat dilihat pada Lampiran 1.
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
4.1.3 Persiapan Bahan Baku Bahan baku limbah kulit pisang yang digunakan adalah kulit pisang yang masih mentah berwarna hijau atau kekuningan. Kebanyakan limbah kulit pisang dari pengolahan kripik pisang menggunakan buah pisang yang masih mentah. Limbah kulit pisang dipisahkan dari tangkai dan ujungnya kemudian dibersihkan dengan dicuci menggunakan air mengalir, dipotong kecil-kecil dan dikeringkan dengan diangin-anginkan dan selanjutnya dikeringkan lebih lanjut menggunakan oven pada suhu 50℃ selama kurang lebih 3 hari hingga kulit pisang benar-benar kering dengan kadar air kurang dari 10%. Kulit pisang yang telah kering selanjutnya dihaluskan hingga berbentuk serbuk dan diayak dengan ayakan mesh 100 (ukuran partikel 105 mikrometer). Pemotongan dan pembelahan bahan-bahan yang akan diekstraksi membantu pengontakan antara padatan dengan pelarut karena pecahnya sel-sel yang mengandung solut (Perina, et al., 2007). Serbuk kulit pisang yang dihasilkan ditentukan kadar airnya. Penentuan kadar air serbuk kulit pisang menggunakan prinsip gravimetri. Kadar air serbuk kulit pisang adalah 8,39% kadar ini tidak lebih dari yang ditetapkan yakni tidak lebih dari 10% (Tarigan, et al., 2012). Pemeriksaan kadar air dilakukan di BPPT LABTIAP Serpong, Banten. Tabel 4.1. Bahan Baku Bahan Baku
Hasil
Bobot kulit pisang kepok awal
5 kg
Bobot serbuk kulit pisang kepok setelah pengeringan Kadar air serbuk kulit pisang
511 gram 8,39%
Kulit pisang kepok yang belum dipisahkan dari ujung dan tangkainya serta belum dibersihkan dari pengotornya seperti tanah yang melekat adalah sebanyak 5 kilogram. Setelah dilakukan pembersihan, pengeringan dan penghalusan menghasilkan serbuk kulit pisang sebanyak 511 gram. Dengan demikian, dibutuhkan banyak bahan baku limbah kulit pisang yang diperlukan untuk menghasilkan serbuk kulit pisang yang banyak pula. Sebab dengan 5 kg limbah kulit pisang segar hanya menghasilkan serbuk kering kulit pisang sebanyak 511 gram. Artinya kandungan air dalam limbah kulit pisang segar cukup tinggi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
sehingga setelah pengeringan menghasilkan sedikit serbuk kulit pisang. Begitu pula dengan banyaknya bagian yang tidak diambil dari kulit pisang tersebut seperti tangkai dan ujung kulit pisang.
4.2
Ekstraksi Pektin Pektin diekstraksi dengan menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi
pH 1, 1,5 dan 2, variasi suhu ekstraksi 80℃ dan 90℃ dengan waktu ekstraksi tetap yakni 80 menit. Waktu ekstraksi ditetapkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012) yang menyatakan bahwa waktu optimum rendemen tertinggi yang diperoleh dari hasil ekstraksi kulit pisang kepok menggunakan pelarut asam klorida adalah selama waktu 80 menit. Sehingga waktu optimum tersebut yang digunakan dalam penelitian ini. Ekstraksi pektin disini dilakukan dengan metode konvensional yakni secara pemanasan langsung, menurut Srivastava dan Malviya (2011) ada dua metode ekstraksi pektin yang biasa dilakukan yaitu pemanasan langsung dan pemanasan menggunakan microwave. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi pektin disini adalah menggunakan pelarut asam organik berupa larutan asam laktat dengan variasi pH. Larutan asam laktat digunakan untuk merombak protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang dapat larut. Berdasarkan Tarigan, et al., (2012) ekstraksi pektin dilakukan dengan hidrolisis asam atau enzimatis. Ekstraksi pektin pada penelitian ini dilakukan dengan hidrolisis asam, asam yang berperan adalah larutan asam laktat. Penggunaan asam laktat dalam ekstraksi pektin sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fellow (2002) dalam Perina, et al., (2007) bahwa asam lain selain HCl (asam klorida), H2SO4 (asam sulfat) dan CH3COOH (asam asetat) yang dapat digunakan adalah asam sitrat, asam laktat dan asam tartrat. Bahan baku berupa serbuk kering kulit pisang kepok berukuran 105 mikrometer, berdasarkan Fellow (2002) di dalam Perina, et al., (2007) menjelaskan bahwa semakin kecil ukuran partikel berarti semakin luas permukaan yang kontak antara padatan dan pelarut serta semakin pendek jarak difusi solut sehingga kecepatan ekstraksi lebih besar. Sebanyak 60,0 gram serbuk kering kulit pisang kepok tersebut di masukkan dalam Erlenmeyer 2000 mL yang kemudian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
ditambahkan dengan larutan asam laktat hingga batas 2000 mL. Dalam Erlenmeyer tersebut dimasukkan pula magnetic stirrer dan pada leher erlenmeyer ditutup menggunakan sumbat kapas. Pemanasan dilakukan diatas hot plate dengan masing-masing pengaturan suhu 80℃ dan 90℃ yang selalu dikontrol dengan termometer agar suhunya tetap. Pengadukan otomatis juga dilakukan dengan kecepatan yang konstan menggunakan magnetic stirrer. Menurut Perina, dkk (2007) pengadukan dalam ekstraksi penting karena meningkatkan perpindahan solut dari permukaan partikel ke cairan pelarut, selain itu pengadukan suspensi partikel halus mencegah pengendapan padatan dan memperluas kontak partikel dengan pelarutnya. Pemanasan dilakukan selama 80 menit dan setelah selesai pemanasan dilakukan penyaringan yang sebelumnya campuran tersebut didinginkan terlebih dahulu. Penyaringan hasil ekstraksi dilakukan dengan menggunakan kertas saring dan bantuan corong Buchner dan pompa sehingga penyaringan dapat berjalan lebih cepat. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan antara filtrat dan ampasnya. Filtrat yang diperoleh ditampung dan selanjutnya dilakukan pengendapan pektin dengan penambahan aseton. Penambahan aseton dalam filtrat dilakukan dengan perlahan sambil diaduk sehingga terbentuk endapan. Endapan yang terbentuk didiamkan selama semalaman (10-14 jam) dan kemudian endapan yang diperoleh dicuci beberapa kali dengan aseton pula hingga bebas dari asam dan dilakukan penekanan terhadap endapan dalam kertas saring sehingga endapan tidak terlalu basah dengan aseton. Endapan yang telah bebas dari asam dan tidak terlalu basah dengan aseton selanjutnya dikeringkan dalam oven menggunakan cawan porselain selama ± 8 jam dengan suhu oven 40℃. Pada awalnya pengendapan pektin dilakukan dengan penambahan etanol 96% ke dalam filtrat, namun menghasilkan endapan yang tidak lebih baik pemisahannya antara supernatan dibandingkan endapan yang terbentuk dengan penambahan aseton dalam filtrat. Agen pengendap pektin yang digunakan dalam penelitan ini adalah aseton yang mampu mengendapkan lebih baik daripada menggunakan etanol 96%. Hal ini sesuai menurut Akhmalludin dan Kurniawan (2009) yang menyatakan bahwa pengendapan dengan aseton lebih disukai karena dapat membentuk endapan yang tegar sehingga mudah dipisahkan dari asetonnya,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
sedangkan pengendapan dengan etanol menghasilkan pektin yang kurang murni karena etanol tidak hanya mengendapkan pektin tetapi juga senyawa lain seperti dekstrin dan hemiselulosa. Endapan kering (pektin) kemudian dapat dihitung hasil rendemen terhadap bahan baku dan pengkarakterisasian diantaranya pengukuran kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksi, kadar asam galakturonat dan derajat esterifikasi. Pektin kering yang diperoleh berwarna kecoklatan hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh bahan baku yang digunakan. Bahan baku berupa serbuk kulit pisang berwarna hitam dan filtrat hasil ekstraksi berwarna kehitamanan pula. Pada penelitian ini, endepan pektin yang telah kering berbentuk tepung setelah dilakukan penggerusan menggunakan lumpang. Jika pektin yang dihasilkan banyak maka dapat dilakukan penghalusan menggunakan alat penghalus seperti blender. Namun, dikarenakan pektin kering yang dihasilkan sedikit maka hanya dilakukan penggerusan menggunakan lumpang.
4.3
Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi Tabel 4.2. Hasil Pemerian Pektin Kondisi ekstraksi
Pemerian Serbuk halus, abu-abu kecoklatan, tidak berbau
pH 1., T: 80℃
Serbuk halus, abu-abu kecoklatan, tidak berbau
pH 1., T: 90℃
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
Serbuk halus, putih, tidak berbau
pH 1,5., T: 80℃
Serbuk halus, putih, tidak berbau
pH 1,5., T: 90℃
Serbuk halus, putih, tidak berbau
pH 2., T: 80℃
Serbuk halus, putih, tidak berbau
pH 2., T: 90℃
Pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini menunjukkan pemerian yang berbeda pada tiap perlakuan pH dan suhu ekstraksi. Pada ekstraksi pH 1 suhu 80 dan 90℃ menghasilkan pektin dengan pemerian bentuk serbuk halus, berwarna abu-abu kecoklatan dan tidak berbau. Berbeda dengan pektin hasil ekstraksi pH 1,5 dan 2 pada suhu 80 dan 90℃ menghasilkan pektin dengan warna yang lebih putih, berbentuk serbuk halus dan tidak berbau. Perbedaan warna pada pektin hasil ekstraksi ini dapat terjadi disebakan oleh penyaringan filtrat yang tidak sempurna. Kertas saring yang digunakan tidak mampu memisahkan secara sempurna antara filtrat dan ampas, akibatnya partikel-partikel serbuk kulit pisang masih terdapat dalam filtrat dan ikut mengendap bersama pektin. Pektin kering
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
yang dihasilkan memiliki warna yang lebih gelap dibanding pada ekstraksi pH 1,5 dan 2 yang penyaringannya jauh lebih sempurna. Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV (1995) pemerian pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan hampir tidak berbau dan mempunyai rasa musilago. Serta berdasarkan Food Chemical Codex (1996) pemerian pektin berupa serbuk kasar hingga halus yang perwarna putih, kekuningan, kelabu atau kecoklatan. Pemerian pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini sesuai dengan literatur yang disebutkan di atas.
4.4
Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi Tabel 4.3. Hasil Karakterisasi Pektin Perlakuan (kondisi eksraksi) pH, suhu (℃) 1,5., 1.5., 1., 90℃ 2., 80℃ 80℃ 90℃
No
Karakterisasi
1., 80℃
1
Rendemen (%)
5,17
9,00
7,05
10,78
5,02
7,82
2
Kadar Air (%)
10,56
11,54
10,59
11,96
10,54
10,89
3
Kadar Abu (%)
6,90
4,70
6,15
4,25
7,92
8,05
4
Berat Ekivalen
5757,44
4094,47
8667,91
6652,12
9534,71
9534,71
5
Kadar Metoksil (%)
2,64
2,70
1,08
1,01
1,19
1,30
6
Kadar galakturonat (%)
72,14
78,60
32,74
33,47
34,46
36,91
7
Derajat Esterifikasi (%)
20,00
19,50
18,72
17,13
19,61
20,00
2., 90℃
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
4.4.1 Rendemen Pektin diperoleh dari jaringan tanaman dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut, dalam hal ini berupa larutan asam laktat dengan variasi pH keasaman. Jumlah pektin yang dihasilkan tergantung pada jenis dan bagian tanaman yang diekstrak. Sebelum dilakukan ekstraksi, bahan dipersiapkan dengan memperkecil ukuran partikel sehingga mempermudah terjadinya kontak bahan dengan larutan yang akan mempermudah proses ekstraksi. Rendemen pektin yang dihasilkan dari limbah kulit pisang kepok berkisar antara 5,17 % - 10,78%. Rendemen tertinggi didapat pada ekstraksi dengan pH 1,5 dengan suhu 90℃ selama 80 menit yakni sebesar 4,85 gram pektin dari 45,00 gram serbuk kulit pisang kepok. Rendemen terendah diperoleh pada ekstraksi pH 2 dengan suhu 80℃ selama 80 menit. Gambar 4.1 menunjukkan semakin tinggi suhu ekstraksi, rendemen pektin yang dihasilkan semakin besar. Suhu ekstraksi yang tinggi menyebabkan peningkatan energi kinetik larutan sehingga difusi pelarut ke dalam sel jaringan semakin meningkat. Berdasarkan Perina, et al., (2007) kenaikan suhu akan meningkatkan kelarutan sehingga menghasilkan laju ekstraksi yang tinggi, secara umum suhu ekstraksi untuk ekstraksi pektin adalah antara 60℃-90℃. Dalam hal ini, rendemen tertinggi yang didapatkan sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012), yang menyatakan bahwa rendemen pektin tertinggi diperoleh dari ekstraksi kulit pisang kepok menggunakan HCl adalah pada pH ekstraksi 1,5 dengan suhu 90℃ dan lama ekstraksi 80 menit yakni sebesar 5,21 gram dari 10 gram serbuk kulit pisang. Rendemen pektin yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Tarigan di atas lebih besar bila dibandingkan dengan rendemen yang dihasilkan dari penelitian ini, namun kondisi pH, suhu dan waktu ekstraksi menunjukkan kesamaan kondisi optimum dihasilkannya rendemen tertinggi meskipun pelarut yang digunakan berbeda.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
Suhu 80ᵒC
Suhu 90ᵒC
persen rendemen (%)
10,78% 9,00% 7,82%
7,05% 5,17%
5,02%
pH 1
pH 1,5
pH 2
Gambar 4.1. Persentase Rendemen
Terlihat dari Gambar 4.1 di atas bahwasanya persen rendemen meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Peningkatan suhu ekstraksi hingga suhu tertentu memang mempengaruhi rendemen pektin yang dihasilkan. Menurut Ranganna (1977) rendemen pektin yang didapat akan maksimum pada suhu tertentu dan mengalami kejenuhan atau rendemen pektin yang didapat akan tetap. Sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pardede, et al., (2013), pada rentang suhu 60℃ hingga 100℃ rendemen pektin yang tertinggi dihasilkan pada suhu 100℃ , hal ini disebabkan suhu yang semakin tinggi menyebabkan ion hidrogen yang dihasilkan akan mensubtitusi kalsium dan magnesium dari protopektin semakin banyak, sehingga protopektin yang terhidrolis menghasilkan pektin juga semakin banyak. Jadi dengan suhu ekstraksi yang tinggi, rendemen pektin akan terus meningkat sampai dicapai keadaan maksimum dimana protopektin telah habis terhidrolis. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Budiyanto dan Yulianingsih (2008) semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu ekstraksi yang digunakan maka semakin besar rendemen yang dihasilkan. Karena pada penelitian ini faktor lamanya waktu ekstraksi tidak berubah maka hanya faktor pH dan suhu yang akan mempengaruhi hasil rendemen. Menurut Puspitasari, et al., (2008) kombinasi keasaman yang terlalu tinggi (pH rendah) dengan suhu yang tinggi harus dihindari karena konversi pektin akan menurun disebabkan pektin yang terkonversi menjadi asam pektat. Peningkatan pH larutan pengekstrak dalam
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
penelitian ini menunjukkan penurunan persen rendemen pektin yang dihasilkan. Larutan pengekstrak pada pH 1,5 menunjukkan pH optimum menghasilkan persen rendemen tertinggi. Sedangkan larutan pengekstrak pada pH 2 menghasilkan persen rendemen terendah. Menurut Gusti (2008) pada ekstraksi pektin menggunakan pelarut dengan pH rendah akan menghasilkan rendemen yang tinggi, hal ini disebabkan karena pada pH yang rendah konsentrasi asamnya lebih tinggi sehingga proses hidrolisa protopektin menjadi pektin terjadi lebih intensif sehingga pada pH rendah menghasilkan rendemen pektin yang lebih tinggi. Akan tetapi menurut Nasution (2002) dalam Gusti (2008) menyatakan bahwa pada pH yang lebih rendah akan mendekomposisi senyawa pektin menjadi asam galakturonat sehingga rendemen pektin yang dihasilkan akan menurun.
4.4.2 Kadar Air Kadar air bahan akan berpengaruh terhadap masa simpan bahan. Jika kadar air dalam bahan terbilang tinggi maka menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas mikroba (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Dengan demikian, usaha untuk memperpanjang masa simpan bahan dilakukan pengeringan sampai dengan batas kadar air tertentu. produk dengan kadar air rendah relative lebih stabil dalam penyimpanan jangka panjang daripada produk yang berkadar air tinggi (Pardede, et al., 2013) Pada penelitian ini, pengeringan pektin dilakukan dalam oven pengering suhu 40℃ selama 8 jam. Pengeringan pada suhu rendah ini bertujuan untuk meminimalkan terjadinya
degradasi
pektin.
Puspitasari,
et
al.,
(2008)
menggunakan suhu 40℃-60℃ untuk mengeringkan pektin hasil ekstraksi dari ampas nanas dan Tarigan, et al., (2012) melakukan pengeringan pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang kepok dengan suhu 40℃ selama 8 jam.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
Suhu 80ᵒC
Suhu 90ᵒC
kadar air (%)
11,96% 11,54% 10,89%
10,56%
pH 1
10,59%
pH 1,5
10,54%
pH 2
Gambar 4.2. Kadar Air Kadar air yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 10,54-11,96%. Batas maksimum nilai kadar air yang diperbolehkan yaitu 12% berdasarkan Food Chemical Codex (1996), artinya kadar air dari pektin yang dihasilkan tidak melebihi standar yang diperbolehkan. Tingginya kadar air pada pektin yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh pengeringan yang tidak maksimal dan juga kondisi penyimpanan pektin sebelum dilakukan uji kadar air. Penyimpanan pada tempat yang lembab dan wadah yang tidak kedap udara akan menyebabkan kerentanan pektin terpapar oleh udara luar, sehingga pektin menjadi lembab kembali. Menurut Firiani (2003), kadar air pektin dipengaruhi oleh derajat pengeringan. Jika derajat pengeringan rendah maka yang terlihat adalah berat rendemen yang lebih besar daripada yang sebenarnya. Pada Gambar 4.2 di atas memperlihatkan bahwa kadar air tertinggi pektin yang dihasilkan adalah pada kondisi larutan pengekstrak pH 1,5 dengan suhu ekstraksi 90℃ dan kadar air terendah pada kondisi pengekstrak pH 2 dengan suhu ekstraksi 80℃. Kadar air yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh rendemen pektin. Semakin tinggi rendemen pektin yang dihasilkan, maka akan semakin tinggi pula kadar airnya (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Terbukti bahwa kadar air tertinggi dimilki oleh pektin dengan rendemen tertinggi, dan kadar air terendah dimiliki oleh rendemen terendah pula.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
4.4.3 Kadar Abu Abu merupakan residu atau sisa pembakaran bahan organik yang berupa bahan anorganik. Kandungan mineral suatu bahan dapat diketahui dari kadar abu yang dimiliki bahan tersebut. Kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, maka kadar abu dalam pektin akan semakin rendah. Jika kadar abu dalam tepung pektin tinggi, maka persentase kandungan pektin yang terdapat di dalamnya semakin rendah sehingga tingkat kemurnian tepung pektin tersebut juga rendah. Kadar abu dalam tepung pektin dipengaruhi oleh adanya residu bahan anorganik yang terkandung dalam bahan baku, metode ekstraksi dan isolasi pektin (Kalapathy, 2001). Suhu 80ᵒC
Suhu 90ᵒC 7,92% 8,05%
kadar abu (%)
6,90%
6,15% 4,70%
pH 1
4,25%
pH 1,5
pH 2
Gambar 4.3. Kadar Abu Hasil penelitian menunjukksn kadar abu tepung pektin yang diperoleh adalah berkisar antara 4,25-8,05%. Batas maksimum kadar abu pektin dalam IPPA (International Pectin Producers Association) (2002) adalah tidak lebih dari 10%. Kadar abu pektin tertinggi terukur pada kondisi ekstraksi pH 2 dengan suhu 90℃ yakni 8,05%, sedangkan kadar abu pektin terendah terukur pada kondisi ekstraksi pH 1,5 dengan suhu 90℃ yakni 4,25%. Pektin dengan kondisi ekstraksi pH 1 suhu 80℃ memiliki kadar abu 6,90% berbeda nyata dengan suhu ekstraksi 90℃ dengan kadar abu 4.70%. begitu pula kondisi ekstraski pH 1,5 suhu 80℃ memiliki kadar abu 6,15% berbeda nyata dengan suhu 90℃ yakni memiliki kadar abu 4,25%. Sedangkan untuk kondisi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
ekstraski pH 2 suhu 80℃ memiliki kadar abu 7,92% dan suhu 90℃ memiliki kadar abu 8,05%, perbedaan suhu disini tidak menghasilkan perbedaan kadar abu yang terukur. Pada dasarnya semakin tinggi suhu maka kecepatan hidrolisis protopektin semakin meningkat sehingga kadar abu juga akan semakin tinggi. Hanya kondisi ekstraski pH 2 yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Untuk kondisi ekstraksi pH 1 dan pH 1,5 tidak sesuai dengan pernyataan tersebut. Pektin merupakan hasil hidrolisis dari protopektin dalam buah-buahan dan sayuran. Protopektin terdapat dalam bentuk kalsium-magnesium pektat. Perlakuan dengan asam mengakibatkan terhidrolisisnya pektin dari ikatan kalsium dan magnesiumnya. Peningkatan reaksi hidrolisis protopektin akan mengakibatkan bertambahnya komponen Ca dan Mg dalam larutan ekstrak. Dengan demikian, semakin banyaknya mineral berupa kalsium dan magnesium akan semakin banyak kadar abu pektin tersebut (Hanum, et al., 2012). Kadar abu dalam pektin akan meningkat seiring meningkatnya konsentrasi asam yang digunakan, suhu dan waktu ekstraksi. Hal demikian disebabkan oleh kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan yang diekstrak. Mineral yang terlarut akan turut mengendap bercampur dengan pektin pada saat proses pengendapan (Kalapathy, 2001). Hasilnya pengukuran kadar abu pektin pada penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan di atas, karena pada konsentrasi asam terendah menghasilkan kadar abu tertinggi, bukan pada konsentrasi asam tertinggi. Kadar abu adalah salah satu parameter mutu pektin yang dihasilkan. Semakin rendah kadar abu, maka mutu pektin semakin meningkat.
4.4.4 Berat Ekivalen Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul pektin. Asam pektat murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun atas asam poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami esterifikasi. Asam pektat murni memiliki berat ekivalen 176. Tingginya derajat esterifikasi antara asam galakturonat dengan metanol mengakibatkan semakin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
rendahnya jumlah asam galakturonat bebas yang berarti semakin tingginya berat ekivalen (Rouse, 1977).
Berat Ekivalen
Suhu 80ᵒC
Suhu 90ᵒC
8667,91
9534,71 9534.71
6652,12
5757,44 4094,47
pH 1
pH 1,5
pH 2
Gambar 4.4. Berat Ekivalen Berat ekivalen yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar antara 4094,479534,71. Pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu 80℃ memiliki berat ekivalen 5757,44 mg sedangkan pada ekstraksi suhu 90℃ memiliki berat ekivalen 4094,47. Berat ekivalen pektin hasil ekstraksi pH 1 dan 1,5 menurun seiring meningkatnya suhu ekstraksi, akan tetapi untuk pektin hasil ekstraksi pH 2 dengan suhu 80℃ dan 90℃ tidak menunjukkan peningkatan ataupun penurunan seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Ekstraksi pH 1,5 suhu 80℃ menghasilkan pektin dengan berat ekivalen 8667,91 dan pada suhu 90℃ sebesar 6652,12. Kemudian untuk ekstraksi pH 2 suhu 80℃ menghasilkan pektin dengan berat ekivalen 9534,71 dan 9534,71 untuk pektin hasil ekstraksi suhu 90℃. Berat ekivalen pektin yang dihasilkan semakin menurun dengan semakin meningkatnya suhu ekstraksi kecuali pada pH 2. Berat ekivalen pektin berdasarkan standar IPPA (International Pectin Producers Association) (2002) yakni berkisar antara 600-800 mg. Pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok ini memiliki berat ekivalen yang tidak memenuhi standar yang ada. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Budiyanto dan Yulianingsih (2008) dan Hariyati (2006) bahwasanya pengaruh kenaikan suhu dan waktu ekstraksi mengakibatkan semakin rendahnya berat ekivalen pektin yang dihasilkan. Pada penelitian ini, berat ekivalen pektin cenderung menurun seiring
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
meningkatkan suhu ekstraksi. Hanya pada kondisi ekstraksi pH 2 saja yang tidak menunjukkan
peningkatan
maupun
penurunan
berat
ekivalen
seiring
meningkatnya suhu ekstraksi. Bobot molekul pektin tergantung pada jenis tanaman, kualitas bahan baku, metode ekstraksi dan perlakuan pada proses ekstraksi. Kemungkinan besar hal yang mempengaruhi nilai berat ekivalen adalah sifat pektin hasil ekstraksi itu sendiri, serta proses titrasi yang dilakukan. Ketika sampel pektin dilarutkan dalam aquadest dan telah benar-benar larut sempurna, dilakukan pengukuran pH menggunakan pH indikator universal. Hasil dari pengukuran pH awal adalah berkisar pH 6, sehingga saat dititrasi menggunakan larutan titran (NaOH) hanya memerlukan sedikit saja larutan NaOH untuk mencapai titik ekivalen (pH netral). Titik ekivalen terlihat saat larutan berubah warna menjadi merah muda dari larutan awal. Sehingga hasil perhitungan berat ekivalen pektin berdasarkan rumus berat ekivalen adalah perbandingan antara bobot sampel pektin terhadap volume titran NaOH yang terpakai dan Normalitas titran (NaOH). Volume titran (NaOH) yang terpakai hanya berkisar antara 0,3-0,7 mL dengan normalitas NaOH 0,0874 N dan bobot sampel 250 mg, sehingga hasil perhitungan menujukkan nilai berat ekivalen yang terlalu besar. Hasil titrasi untuk perhitungan berat ekivalen ini akan mempengaruhi perhitungan selanjutnya seperti kadar metoksil, kadar galakturonat dan derajat esterifikasi.
4.4.5 Kadar Metoksil Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah metanol yang terdapat di dalam pektin. Kadar metoksil pektin dapat menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin yang terbentuk. Pektin dapat disebut bermetoksi tinggi bila memiliki nilai kadar metoksil sama dengan atau lebih dari 7%. Kurang dari 7% disebut pektin bermetoksil rendah.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
Suhu 80ᵒC
Suhu 90ᵒC
kadar metoksil (%)
2,64% 2,70%
1,08% 1,01%
pH 1
1,19% 1,30%
pH 1,5
pH 2
Gambar 4.5. Kadar Metoksil Hasil perhitungan kadar metoksil pektin menunjukkan bahwa persentase metoksil pada pektin ini sangat rendah. Hanya pada ekstraksi pH 1 yang menghasilkan pektin dengan persentase metoksil yang masuk dalam kategori pektin bermetoksil rendah yakni 2,64% dan 2,70%. Berdasarkan Food Chemical Codex (1996) pektin bermetoksil rendah yakni berkisar antara 2,5-7,2%. Sedangkan pada kondisi ekstraksi pH 1,5 dan 2, pektin yang dihasilkan mengandung persen metoksil yang lebih rendah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tarigan, et al., (2012), kadar metoksil pektin yang dihasilkan dari ekstraksi kulit buah pisang kepok menggunakan pelarut HCl menunjukkan kadar metoksil pektin berkisar antara 2,48%-3,72%, termasuk juga dalam kategori pektin bermetoksil rendah. Pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu 80℃ memiliki kadar metoksil sebesar 2,64% dan untuk suhu 90℃ sebesar 2,70%, kadar metoksil meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Sedangkan untuk pektin hasil ekstraksi pH 1,5 suhu 80℃ memiliki kadar metoksil 1,08% dan menurun kadarnya pada pektin dengan suhu ekstraksi 90℃ yaitu sebesar 1,01% meskipun penurunannya tidak terlalu jauh. Kemudian untuk ekstraksi pH 2 suhu 80℃ menghasilkan pektin dengan kadar metoksil 1,1921% dan pada pektin hasil ekstraksi suhu 90℃ besar kadar metoksilnya adalah 1,30%, kadar metoksil meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Berdasarkan Constenla dan Lozano (2003), kadar metoksil pektin akan meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Begitu pula dengan hasil
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
penelitian yang dilakukan oleh Kaban, et al., (2012) dan Tarigan, et al., (2012) yang menunjukkan bahwa kadar metoksil meningkat seiring kenaikan suhu dan waktu ekstraksi, hal ini disebabkan oleh gugus karboksil bebas yang teresterifikasi semakin meningkat. Perhitungan kadar metoksil dipengaruhi oleh banyaknya volume titran (NaOH) yang terpakai pada proses titrasi. Larutan netral pada penentuan berat ekivalen yang selanjutnya ditambahkan dengan 25 mL NaOH 0,25 N dan didiamkan selama 30 menit dalam keadaan tertutup, selanjutnya ditambahkan 25 mL HCl dan indikator fenol merah. pH larutan tersebut kemudian diukur menggunakan pH indikator universal, hasilnya menunjukkan pH larutan berkisar pH 5, sehingga hanya sedikit volume titran yang diperlukan untuk mencapai titik ekivalen (netral) yakni antara 1,0-2,5 mL, mengakibatkan perhitungan persentase kadar metoksil menjadi kecil. Pektin yang dihasilkan dari penelitian ini merupakan pektin bermetoksil rendah yang mampu membentuk gel dengan adanya kation polivalen seperti kalsium. Pektin bermetoksil rendah lebih menguntungkan karena dapat langsung diproduksi tanpa melalui proses demetilasi pektin bermetoksil tinggi menjadi pektin bermetoksil rendah.
4.4.6 Kadar Galakturonat Kadar asam galakturonat serta muatan molekul pektin berperan penting dalam penentuan sifat fungsional larutan pektin. Kadar galakturonat dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin yang terbentuk (Constenla dan Lozano, 2006). Semakin tinggi nilai kadar galakturonat maka mutu pektin juga semakin tinggi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
kadar galakturonat (%)
Suhu 80ᵒC 72,14%
Suhu 90ᵒC
78,60%
pH 1
32,74% 33,47%
34,46% 36,92%
pH 1,5
pH 2
Gambar 4.6. Kadar Galakturonat Kadar galakturonat pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini berkisar antara 30,27%-78,60%. Kadar asam galakturonat untuk pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu 80℃ adalah sebesar 72,14% dan pada suhu 90℃ sebesar 78,60%, kadar galakturonat meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Sedangkan untuk pektin hasil ekstraksi pH 1,5 suhu 80℃ yaitu sebesar 32,74% dan pada suhu 90℃ sebesar 33,47%, kadar galakturonat menurun seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Kemudian untuk pektin hasil ekstraksi pH 2 suhu 80℃ sebesar 34,46% dan pada suhu 90℃ sebesar 36,92%, disini kadar galakturonat meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi seperti pada pektin hasil ekstraksi masing-masing kondisi pH. Kadar galakturonat tertinggi sebesar 78,60% dimiliki oleh pektin hasil ekstraksi pH 1 dengan suhu 90℃, sedangkan kadar terendah yakni 32,74% dimiliki oleh pektin hasil ekstraksi pH 1,5 suhu 80℃. Perbedaan kadar galakturonat pada pektin hasil ekstraksi pH 1,5 dan 2 tidak terlalu jauh. Hanya pada pektin hasil ekstraksi pH 1 yang menunjukkan nilai cukup tinggi. kadar galakturonat yang ditetapkan oleh IPPA (International Petin Producers Association) (2002) yaitu minimal 35% dan ketetapan USP 28 yaitu < 74%. Ada beberapa kadar galakturonat yang masuk dalam standar yang telah ditetapkan tersebut di atas dan ada pula yang terlalu rendah dari standard yang telah ditetapkan. Masing-masing kondisi ekstraksi pH 1., 1,5 dan 2 menunjukkan kadar galakturonat meningkat seiring meningkatnya suhu ekstraksi. Menurut Sofiana, et al., (2012) serta Budiyanto dan Yulianingsih (2008) kecenderungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
kadar galakturonat pektin semakin meningkat seiring meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi karena reaksi hidrolisis protopektin menjadi pektin yang komponen dasarnya asam D-galakturonat. Banyak penelitian lain yang menyebutkan bahwa kadar galakturonat semakin meningkat dengan meningkatnya suhu dan waktu ekstraksi, seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Hariyati (2006) pada pektin hasil ekstraksi dari ampas jeruk Pontianak dan Fitriani (2003) pada pektin hasil ekstraksi dari jeruk lemon. Perbedaan kadar galakturonat dari hasil penelitian ini terhadap hasil penelitian lain mungkin dipengaruhi oleh sumber bahan baku, pelarut dan metode ekstraksi yang digunakan. Menurut Nelson, et al., (1977) dan Towle (1973) di dalam Fitriani (2003), selain asam galakturonat, pektin juga mengandung senyawa-senyawa lain yaitu gula netral seperti D-galaktosa, L-arabinosa dan Lramnosa. Senyawa-senyawa non uronat tersebut dapat terbawa pada waktu proses penggumpalan pektin. Senyawa-senyawa inilah yang mempengaruhi komposisi senyawa pektin. Perbedaan komposisi senyawa pektin mempengaruhi juga terhadap kadar galakturonat dipengaruhi oleh metode ekstraksi yang digunakan. Beberapa senyawa non uronat mungkin dapat dihilangkan melalui pelarutan kembali pektin dalam air dan penggumpalan, tetapi tidak mungkin menghilangkan semua senyawa non uronat.
4.4.7 Derajat Esterifikasi Derajat esterifikasi menunjukkan persentase jumlah residu asam Dgalakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol (Whistler dan Daniel, 1985 di dalam Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Nilai derajat esterifikasi pektin diperoleh dari nilai kadar metoksil dan kadar asam galakturonat.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Derajat Esterifikasi (%)
Suhu 80ᵒC 20,78%
19,50%
pH 1
18,72%
Suhu 90ᵒC 19,61% 20,00% 17,13%
pH 1,5
pH 2
Gambar 4.7. Derajat Esterifikasi Derajat esterifikasi tertinggi pada pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu 80℃ yakni sebesar 20,78% dan terendah yakni 17,13% pada pektin hasil ekstraksi pH 1,5 pH 90℃. Pektin hasil ekstraksi pH 1 suhu 80℃ menunjukkan nilai 20,78% dan pada suhu 90℃ menunjukkan penurunan menjadi 19,50%. Kemudian untuk pektin hasil ekstraksi pH 1,5 dengan suhu 80℃ menunjukkan nilai 18,72% dan mengalami penurunan pada pektin hasil ekstraksi pH 1,5 suhu 90℃ yakni sebesar 17,13%. Sedangkan pada pektin hasil ekstraksi pH 2 dengan suhu 80℃ menunjukkan nilai sebesar 19,61% dan pada suhu 90℃ meningkat menjadi 20,00%. Pada ekstraksi pH 1 dan 1,5, derajat esterifikasi yang dihasilkan menunjukkan semakin meningkatnya suhu ekstraksi semakin menurunnya derajat esterifikasi. Pada ekstraksi pH 2 menunjukkan meningkatnya suhu meningkat pula derajat esterifiksi, meskipun peningkatannya tidak signifikan. Hasil penelitian ini untuk pH 1 dan 1,5 sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Budiyanto dan Yulianingsih (2008) bahwa derajat esterifikasi menurun seiring meningkatnya suhu dan waktu ekstraksi. Tingginya suhu dan lamanya waktu ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksilat oleh adanya asam (Kertesz, 1951 di dalam Hariyati, 2006). Asam dalam ekstraksi pektin akan menghidrolisi ikatan hidrogen. Ikatan gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat. Apabila ekstraksi dilakukan terlalu lama maka pektin akan berubah menjadi asam pektat yang asam galakturonatnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
bebas dari gugus metil ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Menurut Awashti (2011), nilai derajat esterifikasi untuk pektin tinggi metoksil memiliki rentang nilai derajat esterifikasi sebesar 60-70% dan untuk pektin rendah metoksil memiliki rentang 20-40%. Pektin yang dihasilkan pada penelitian ini merupakan pektin dengan kadar metoksil rendah dan memiliki rentang nilai derajat esterifikasi antara 17,13%-20,78%. Jelas bahwa hasil perhitungan derajat esterifikasi di sini lebih rendah dibanding dengan teori yang ada, namun sesuai dengan kadar metoksil yang dimiliki. Sesuai dengan pernyataan yang telah disebutkan di atas bahwasanya nilai derajat esterifikasi diperoleh dari perhitungan antara kadar metoksil dan kadar asam galakturonat. Seharusnya pektin dengan kandungan metoksil rendah memiliki rentang derajat esterifikasi 20-40%, namun pada penelitian ini pektin dengan kadar metoksil lebih rendah dari standard memiliki nilai derajat esterifikasi lebih rendah pula. Pengaruh dari proses titrasi dan sifat pektin yang dihasilkan sangat berperan dalam hasil perhitungan ini.
4.5
Perbandingan Spektrum FTIR Hasil pengukuran spektrum FTIR menujukkan kelompok gugus fungsi dan
memberikan informasi struktural pektin hasil ekstraksi dari bahan baku kulit pisang dan larutan pengekstraksi berupa larutan asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi. Spektrum FTIR pektin hasil ekstraksi dibandingkan terhadap spektrum pektin komersial dan pektin standar dari Sigma. Rentang bilangan gelombang yang digunakan adalah 4000-400 cm-1. Gugus fungsional utama pada pektin biasanya terletak pada area bilangan gelombang 1000-2000 cm-1 (Kalapathy, 2001 di dalam Ismail, et al., 2012). Ikatan karboksil berada pada 1630-1650 cm-1 untuk kelompok karboksil bebas dan 17401760 cm-1 untuk kelompok karboksil teresterifikasi (Gnanasambandam, 1999 di dalam Ismail, et al., 2012). Peningkatan nilai derajat esterifikasi juga akan meningkatkan intensitas dan luas area dari kelompok karboksil teresterifikasi. Kemungkinan dapat digunakan untuk membandingkan jenis pektin dari sumber
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
yang berbeda. Pada bilangan gelombang antara 1100 dan 1200 cm-1 menunjukkan ikatan dari eter (R-O-R) dan ikatan C-C siklik dalam struktur cincin dari molekul pektin. Spektrum melebar pada 2400-3600 cm-1 merupakan lembab dalam pektin yang terserap. Tabel 4.4. Data Spektrum FTIR Area (bilangan gelombang) (cm-1)
No
Keterangan
Standard
Komersial
Sampel
1
3446,17
3393,14
3420,14
-OH
2
2934,16
2934,16
2931,27
Ulur –CH3
3
1698,02
1698,02
1698,02
-C=O
4
1456,96
1456,96
1456,96
Tekuk –C-H
5
1369
1362,46
1329,68
Ulur –C-H
6
1152
1135,87
1151,29
-O- (eter)
Terlihat dari data spektrum FTIR di atas, serapan masing-masing gugus fungsional dari pektin standar, komersil dan pektin hasil ekstraksi menunjukkan adanya beberapa perbedaan. Spektrum menunjukkan puncak serapan lebar yang khas pada bilangan gelombang 3446,17 cm-1 untuk pektin standar, 3393,14 cm-1 untuk pektin komersial dan pada 3420,14 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi, mengindikasikan adanya serpan dari gugs hidroksil. Serapan pada bilangan gelombang 2934,16 cm-1, pada pektin standar dan komersial area bilangan gelombangnya sama namun intensitasnya yang berbeda. Pektin komersial intensitasnya lebih rendah (3,77442%) dibanding pektin standar (4,86817%). Untuk pektin hasil ekstraksi mengalami penggeseran bilangan gelombang yakni pada 2931,27 cm-1 dengan intensitas 3,87382%. Daerah bilangan tersebut menunjukkan serapan dari ulur –CH3. Pada daerah bilangan gelombang 1698,02 cm-1 menunjukkan adanya serapan dari gugus karboksil (-C=O) baik pektin standar, komersil dan pektin hasil ekstraksi ketiganya memiliki serapan yang sama pada daerah bilangan gelombang tersebut, hanya saja intensitas serapannya yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
berbeda. Pektin standar memiliki intensitas 4,01286%, pektin komersial sebesar 4,27052% dan pektin hasil ekstraksi sebesar 4,51358%. Vibrasi dari tekuk –C-H dapat ditemukan pada daerah bilangan gelomang 1456,96 cm-1, baik pada pektin standar, pektin komersial dan pektin hasil ekstraksi. Perbedaannya pada intensitas serapannya saja, seperti pada pektin standar sebesar 4,27893%, pektin komersial sebesar 3,40071% dan pektin hasil ekstraksi sebesar 3,88204%. Terdapat serapan dari eter (-O-) pada bilangan gelombang 1135,87 cm-1 dengan intensitas 2,68231% pada pektin komersial dan pada bilangan gelombang 1151,29 cm-1 dengan intensitas 2,68916% pada pektin hasil ekstraksi.
Sumber: Tarigan, et al., (2012)
Gambar 4.8. Struktur Pektin
Pada struktur pektin di atas, terlihat bahwa gugus fungsional yang terukur oleh spektroskopi FTIR dengan masing-masing serapan pada bilangan gelombang tertentu menunjukkan kesesuain dengan struktur pektin. Terdapat vibrasi OH, ikatan –CH3 pada cabang metoksil (COOCH3), ikatan -C-H, karbonil (-C=O) dan eter (-O-).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Limbah kulit pisang kepok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan pektin. Pektin yang dihasilkan dari ekstraksi menggunakan pelarut asam laktat dengan variasi pH dan suhu ekstraksi menunjukkan pemerian yang sesuai dalam Farmakope Indonesia Edisi IV yaitu serbuk halus berwarna putih atau kecoklatan dan tidak berbau. Rendemen pektin tertinggi dihasilkan pada kondisi ekstraksi pH 1,5 suhu 90℃ yaitu 10,78%. Kadar air pektin yang dihasilkan kurang dari 12% yaitu berkisar 10,54%-11,96%, kadar air terendah pada ekstraksi pH 2 suhu 80℃. Kadar abu pektin kurang dari 10% yaitu berkisar 4,25%-8,05%, kadar abu pektin terendah pada ekstraksi pH 1,5 suhu 90℃. Berat ekivalen pektin yang dihasilkan berkisar 4094,47-9534,7. Kadar metoksil pektin yang dihasilkan berkisar antara 1,01%-2,70%, kadar metoksil pektin yang masuk dalam rentang standar pektin bermetoksil rendah adalah pada ekstraksi pH 1 suhu 80℃ dan 90℃ yaitu sebesar 2,64% dan 2,70%. Kadar galakturonat pektin berkisar antara 32,74%-78,60% dan derajat esterifikasi berkisar antara 17,13%-20,78%. Derajat esterifikasi pektin lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan. Spektrum FTIR antara pektin standar, komersial dan hasil ekstraksi menunjukkan kemiripan. Karakteristik kimia pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok ini menunjukkan kurang memenuhi standar yang telah ditetapkan.
5.2
Saran
1. Perlunya pengembangan metode ekstraksi, pemilihan bahan baku dan pelarut yang cocok untuk menghasilkan pektin dengan karakteistik yang lebih baik, sehingga pektin yang dihasilkan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. 2. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang aplikasi pektin yang telah dihasilkan.
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
3. Perlunya adanya analisa tentang kelayakan dari penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar potensi produksi pektin ini dapat dikembangkan dalam bidang industri.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Akhmalludin., Kurniawan, Arie. 2009. Pembuatan Pektin dari Kulit Cokelat dengan Cara Ekstraksi. Universitas Diponegoro: Semarang. Apriadji, Wied Harry. 2007. Good Mood Food. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Astuti, Sussi. 2007. Efek Pektin Kulit Jeruk Lemon Terhadap Kadar Kolesterol, LDL, HDL dan Trigliserida Serum Tikus. Jurnal Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Media Gizi dan Keluarga, Desember, 31 (2): 84-91. Awasthi, Rajendra. 2011. Selection of Pectin As Pharmaceutical Excepient on The Basis of Rheological Behavior. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. ISSN-0975-1491. Vol 3, Issue 1. Badan Pusat Statistik. 2012. Data Ekspor-Impor. Jakarta. Diakses melalui http://bps.go.id/exim-frame.php?kat=2 pada tanggal 01 Maret 2013. Baker, Robert A. 1997. Reassessment of Some Fruit and Vegetable Pectin Levels. Journal of Food Science Vol. 62 No. 2. Budiyanto, Agus,. Yulianingsih. 2008. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk Siam (Citrus nobilis L). Jurnal Pascapanen 5 (2): 37-44. Cahyono, Bambang. 2009. Pisang Usaha Tani Dan Penanganan Pascapanen Revisi Kedua. Kanisius: Yogyakarta. Canteri-Schemin, Helena Maria., Fertonani, Heloísa Cristina Ramos., Waszczynskyj, Nina., Wosiacki, Gilvan. 2005. Extraction of Pectin from Apple Pomace. Jurnal Internasional Vol. 48, n. 2: pp. 259-266, ISSN 15168913. Committee on Chemicals Codex. 1996. Food Chemicals Codex. National Academi Press: Washington, D. C. Constenla, D,. Lozano, J. E. 2003. Kinetic Model of Pectin Demethylation. Latin American applied Research, 33: 91-96. Dashek, William V dan Micales, Jessie A. 1997. Methods in Plant Biochemistry and Molecular Biology: Chapter 9 Isolation, Separation, and Characterization of Organic Acid. Boca Raton, CRC Press: pp. 107-113. Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan: Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Departemen Kesehatan: Jakarta.
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
Departemen Pertanian RI. 2012. Daerah Sentra Pisang. Direktorat Jenderal Hortikultura: Jakarta. Diakses melalui http://hortikultura.deptan.go.id/?q=node/333 pada tanggal 13 Februari 2013. Dwidjoseputro. 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia: Jakarta. Fessenden, Ralp J,. Fessenden, Joan S. 1986. Kimia Organik Edisi Ketiga Jilid 1, Alih Bahasa: Aloysius Hadyana Pudjaatmaka Ph.D. Penerbit Erlangga: Jakarta. Fitriani, Vina. 2003. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon (Citrus medica var Lemon). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gusti, Nidya. 2009. Pengaruh pH dan Lama Ekstraksi Terhadap Rendemen dan Mutu Pektin dari Kulit Kakao (Theobroma cacao, L). Universitas Anadalas: Padang. Skripsi. Hanum, Farida., Kaban, Irza Menka Deviliany., Tarigan, Martha Angelina. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit Pisang Raja (Musa sapientum). Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 1, No. 2. Hariyati, Mauliyah Nur. 2006. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Limbah Proses Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa). IPB: Bogor. Skripsi Herbstreith, K dan G. Fox. 2005. Pectin. http://www.herbstreithfox.de/pektin/forschung und entwicklung /forschung_entwicklung04a.htm Ide, pangkalan. 2009. Health Secret of Dragon Fruit, Menguak Keajaiban si Kaktus Eksotis dalam Penyembuhan Penyakit. Anggota IKAPI PT. Elex Media Komputindo: Jakarta. Hal. 59 International Pectins Procedures Association. 2002. What is Pectin. http://www.ippa.info/history_of_pektin.htm. Diakses 14 januari 2013. Ismail, Norazelina Sah Mohd., Ramli, Nazaruddin., Hani, Norziah Mohd., Meon, Zainudin. 2012. Extraction and Characterization of Pectin from Dragon Fruit (Hylocereus polyrhizus) using Various Extraction Condition. Sains Malaysiana. UKM: Malaysia. Kaban, Irza Menka Deviliany., Tarigan, Martha Angelina., Hanum, Farida. 2012. Ekstraksi pektin dari Kulit Pisang Raja (Musa sapientum). Jurnal Teknik Kimia. USU : Medan. Kalapathy, U. dan A. Proctor. 2001. Effect of Acid Extraction and Alcohol Precipitation Conditions on The Yield and Purity of Soy Hull Pectin. Food Chemistry 73 : 393 – 396 Kertesz, Z.I. 1951. The Pectin Substances. Interscience Pub. Inc: New York.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
Kuntarsih, Sri. 2012. Pedoman Penanganan Pasca Panen. Departemen Pertanian.: Jakarta.http://ditbuah.hortikultura.deptan.go.id/admin/layanan/Pedoman_Pe nanganan_Pascapanen_Pisang.pdf. Diakses pada 06 Februari 2013. Madhav, Apsara., Pushpalatha, P. B. 2002. Characterization of Pectin Extracted from Different Fruit Wastes. Journal of Tropical Agriculture 40 (2000): 5355. May, C.D. 2000. Handbook of Hydrocolloid, part.10 Pectins. Woodhead Publishing Limited: England. Meilina, Hesti dan Sailah, Illah. 2003. Produksi Pektin dari Jeruk Lemon (Citrus medica). Prosiding Simposium Nasional Polimer V, ISSN 1410-8720. Mohapatra, Debabandya., Mishra, Sabyasachi., Sutar, Namrata. 2010. Banana and Its By-Product Utilisation: An Overview. Journal of Scientific & Industrial Research Vo. 69, May, pp. 323-329. Nurhikmat, A. 2003. Ekstraksi Pektin dari Apel Local: Optimalisasi pH dan Waktu Hidrolisis. Widyariset vol. 4. Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia-LIPI: Yogyakarta. OECD. 2010. Safety Assessment of Transgenic Organisms: OECD Consesus Documents Vol 4. OECD Publishing: Spanyol. http://books.google.co.id/books?id=tqtBqKGPhz8C&pg=PA139&dq=musa +balbisiana+ABB+group&hl=id&sa=X&ei=AXJIUaCPMo3orQeYqYCIC w&redir_esc=y#v=onepage&q=musa%20balbisiana%20ABB%20group&f= false. Diakses pada 20 Maret 2013. Pardede, Antoni., Ratnawati, Devi., HP, Agus Martono. 2013. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Kulit Kemiri (Alleurites mollucana Willd). Media Sains, Vol. 5, No. 1, ISSN 2085-3548. Perina, Irene., Satiruinani., Soetaredjo, Felycia Adi., Hindarso, Herman. 2007. Ekstraksi Pektin dari Berbagai Macam Kulit Jeruk. Widya Teknik Vol. 6 No. 1 (1-10). http://www.academia.edu/3508482/EKSTRAKSI_PEKTIN_DARI_BERBA GAI_MACAM_KULIT_JERUK. Diakses pada 5 Juni 2013. Puspitasari, Dwi,. Dati, Natalia., Endahwati, Luluk. 2008. Ekstraksi Pektin dari Ampas Nanas. Makalah Seminar Nasional Soebardjo BrotohardjonoPengolahan Sumber Daya Alam dan Energi Terbarukan, ISSN 1978-0427. Ranganna, S. 1977. Handbook of Analysis and Quality Control for Fruit and Vegetable Products Second Edition. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited: New Delhi. Rouessac, Francis dan Rouessac, Annick. 2000. Chemical Analysis Modern Instrumentation Methods and Techniques. John Wiley & Sons, LTD: England.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
Rowe, Raymond C., Sheskey, Paul J., Owen, Sian C. 2006. Handbook of Pharmaceutical Exipients Fifth Edition. Pharmaceutical Press: London Satria, H Berry dan Ahda, Yusuf. 2009. Pengolahan Limbah Kulit Pisang Menjadi Pektin. Universitas Diponegoro: Semarang. Sofiana, Heni., Triaswuri, Khrista., Sasongko, Setia Budi. 2012. Pengambilan Pektin dari Kulit Pepaya dengan Cara Ekstraksi. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 1, No. 1, hal 482-486. Sriamornsak, Pornsark. 2003. Chemistry of Pectin and Its Pharmaceutical Uses : A Review. International Journal, Vol. 3. Silpakorn University. Srivastava, Pranati dan Malviya, Rishabha. 2011. Sources of Pectin and Its Applications in Pharmaceutical Idustry-An overview. Indian Journal of Natural Products and Resources Vol. 2(1), March, pp. 10-18. Suseno, Jatmiko Endro dan Firdausi, K Sofjan. 2008. Rancang Bangun Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) untuk Penentuan Kualitas Susu Sapi. Berkala Fisika Vol 11, No.1, Januari, hal. 23-28, ISSN: 14109662. Suyanti dan Supriyadi, Ahmad. 2008. Pisang, Budidaya, Pengolahan dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya: Jakarta. Tarigan, Martha Angelina., Kaban, Irza Menka Deviliany,. Hanum, Farida. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Kepok (Musa paradisiaca). Jurnal Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara. Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan. UGM: Yogyakarta. USDA-NRCS. 2003. The Plants Database. National Plant Data Center: Lousiana. http://plants.usda.gov/java/profile?symbol=MUBA. Diakses pada 18 Maret 2013. Verheij, E. W. M dan Coronel, R. E. 1992. Plant Resources of South-East Asia No. 2 Edible Fruitrs and Nuts. Prosea : Bogor Watson, David G. 2009. Analisis Farmasi: Buku Ajar Untuk Mahasiswa Farmasi dan Praktisi Kimia Farmasi / David G. Watson; Alih Bahasa, Winny R. Syarif; Editor Edisi Bahasa Indonesia, Amalia H. Hadinata. Edisi 2. EGC: Jakarta. Winarno, F.G. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura.M-Brio Press: Bogor.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
LAMPIRAN
59
Lampiran 1 Hasil Determinasi Tumbuhan
60
Lampiran 2 Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB)
61
Lampiran 3 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi
1.
Rendemen Kondisi ekstrasi
Bobot
Bobot
% rendemen= 𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐩𝐞𝐤𝐭𝐢𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐩𝐞𝐫𝐨𝐥𝐞𝐡
bahan baku
pektin hasil
kering (g)
(g)
pH 1., T: 80℃
60,39
3,12
5,17 %
pH 1., T: 90℃
60,10
5,41
9,00%
pH 1,5., T: 80℃
60,52
4,27
7,05%
pH 1,5., T: 90℃
45,00
4,85
10,78%
pH 2., T: 80℃
60,55
3,04
5,02%
pH 2., T: 90℃
60.59
4,74
7,82%
2.
𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐤𝐮 𝐤𝐞𝐫𝐢𝐧𝐠
x 100%
Kadar Air Data penimbangan dan perhitungan karakterisasi kadar air
Kondisi
Bobot
Bobot
Bobot
wadah+sampel
sampel awal
wadah+sampel
sebelum
(W) (g)
setelah
pemanasan (Wa)
pemanasan (Wb)
(g)
(g)
% kadar air
pH 1., suhu 80℃
15,946
0,303
15,914
10,56%
pH 1., suhu 90℃
17,237
0,302
17,202
11,54%
pH 1,5., suhu 80℃
15,946
0,302
15,914
10,59%
pH 1,5., suhu 90℃
17,238
0,301
17,202
11,96%
pH 2., suhu 80℃
11,507
0,294
11,476
10,54%
pH 2., suhu 90℃
11,517
0,303
11,484
10,89%
62
Contoh perhitungan: Bobot wadah+sampel
15,946
sebelum pemanasan (Wa) Bobot sampel awal (W)
0,303
Bobot wadah+sampel
15,914
setelah pemanasan (Wb)
% kadar air = % kadar air =
3.
𝐖𝐚−𝐖𝐛 𝐖
15,946 −15,914 0,303
x 100% x 100% = 10,56%
Kadar Abu Data penimbangan dan perhitungan karakterisasi kadar abu % kadar abu =
Kondisi
pH 1., T: 80℃
pH 1., T: 90℃
pH 1,5., T: 80℃
pH 1,5., T: 90℃
pH 2., T: 80℃
pH 2., T: 90℃
𝑾𝟏−𝑾𝟐 𝑾
x 100%
Keterangan
Ulangan I
II
Bobot wadah (W2) (g)
35,791
25,581
Bobot sampel awal (W) (g)
0,5000
0,5000
Bobot wadah (W2) (g)
12,914
26,767
Bobot sampel awal (W) (g)
0,5000
0,5000
Bobot wadah (W2) (g)
36,529
38,0320
Bobot sampel awal (W) (g)
0,5000
0,5000
Bobot wadah (W2) (g)
23,9570
25,5817
Bobot sampel awal (W) (g)
0,3000
0,3000
Bobot wadah (W2) (g)
25,1742
25,1798
Bobot sampel awal (W) (g)
0,3000
0,3000
Bobot wadah (W2) (g)
26,2674
38,8392
Bobot sampel awal (W) (g)
0,3000
0,3000
63
Bobot tetap wadah+sampel setelah pemanasan (W1) (g) selama 4 jam Kondisi
Ulangan I
II
pH 1., T: 80℃
35,825
25,616
pH 1., T: 90℃
12,938
26,790
pH 1,5., T: 80℃
36,5599
38,0632
pH 1,5., T: 90℃
23,9698
25,5948
pH 2., T: 80℃
25,1978
25,2037
pH 2., T: 90℃
26,2916
38,8633
Perhitungan: I pH 1., T: 80℃
Kadar abu =
35,8250 −35,7910 0,500
x 100% = 6,80%
II Kadar abu = 25,6160 −25,5810 x 100% = 7,00% 0,500 Rerata = 6,90% I
pH 1., T: 90℃
Kadar abu =
12,9380 −12,9140 0,500
x 100% = 4,80%
II Kadar abu = 26,7900 −26,7670 x 100% = 4,60% 0,500 Rerata = 4,70% I
pH 1,5., T:80℃
Kadar abu =
36,5599 −36,5290 0,500
x 100% = 6,10%
II Kadar abu = 38,0632 −38,0320 x 100% = 6,20% 0,500 Rerata = 6,15% I
pH 1,5., T:90℃
Kadar abu =
23,9698 −23,9570 0,300
x 100% = 4,20%
II Kadar abu = 25,5948 −25,5817 x 100% = 4,30% 0,500 Rerata = 4,25%
64
I pH 2., T: 80℃
Kadar abu =
25,1978 −25,1742 0,300
x 100% = 7,87%
II Kadar abu = 25,2037 −25,1798 x 100% = 7,97% 0,300 Rerata = 7,92% I
pH 2., T: 90℃
Kadar abu =
26,2916 −26,2674 0,300
x 100% = 8,07%
II Kadar abu = 38,8633 −38,8392 x 100% = 8,03% 0,300 Rerata = 8,05%
4.
Berat Ekivalen 1. Perhitungan pembakuan NaOH 0,0874 N menggunakan larutan baku standard asam oksalat 0,03 N. -
Normalitas larutan asam oksalat: 0,03 N
-
Volume larutan asam oksalat: 10 mL
-
Volume NaOH yang terpakai V1= 3,4 mL., V2= 3,4 mL., V3= 3,5 mL., Rerata= 3,43 mL Sehingga,
Vasam oksalat x Nasam oksalat = VNaOH x NNaOH 10 mL x 0,03 N = 3,43 mL x NNaOH NNaOH =
10 mL x 0,03 N 3,43 mL
NNaOH = 0,0874 N 2. Volume NaOH yang terpakai pada titrasi penentuan Berat Ekivalen Vol NaOH (mL) Kondisi
Ulangan
Rerata
I
II
III
pH 1., T: 80℃
0,5
0,5
0,5
0,5
pH 1., T: 90℃
0,7
0,7
0,7
0,7
pH 1,5., T: 80℃
0,4
0,3
0,3
0,33
pH 1,5., T: 90℃
0,4
0,4
0,5
0,43
pH 2., T: 80℃
0,3
0,3
0,3
0,3
pH 2., T: 90℃
0,4
0,3
0,2
0,3
65
𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐩𝐞𝐤𝐭𝐢𝐧 (𝐦𝐠)
BE= 𝐕𝐨𝐥 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐱 𝐍 𝐍𝐚𝐎𝐇
sampel: 250 mg
3. Perhitungan Berat Ekivalen
pH 1., T: 80℃ 251 ,6 𝑚𝑔
BE = 0,5 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 5757,44
pH 1., T: 90℃ 250 ,5 𝑚𝑔
BE = 0,7 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 4094,47
pH 1,5., T: 80℃ 250 𝑚𝑔
BE = 0,33 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 8667,91
pH 1,5., T: 90℃ 250 𝑚𝑔
BE = 0,43 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 6652,12
pH 2., T: 80℃ 250 𝑚𝑔
BE = 0,3 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 9534,71
pH 2., T: 90℃ 250 𝑚𝑔
BE = 0,3 𝑚𝐿 𝑥 0,0874 𝑁 = 9534,71 5.
Kadar Metoksil 1. Volume NaOH yang terpakai dalam titrasi untuk penentuan kadar metoksil Volume NaOH (mL) Kondisi
Rerata
I
Ulangan II
III
pH 1., T: 80℃
2,5
2,4
2,45
2,45
pH 1., T: 90℃
2,5
2,5
2,5
2,5
pH 1,5., T: 80℃
1,0
0,9
1,1
1,0
pH 1,5., T: 90℃
1,1
0,9
0,8
0,93
pH 2., T: 80℃
1,0
0,9
1,4
1,1
pH 2., T: 90℃
1,3
1,0
1,3
1,2
66
𝐦𝐋 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐱 𝟑𝟏 𝐱 𝐍 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐱 𝟏𝟎𝟎
% Metoksil =
𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥 (𝐦𝐠)
2. Perhitungan
pH 1., T: 80℃ % Metoksil =
= 2,70%
1,0 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100 250
= 1,08%
0,93 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100 250
= 1,01%
1,1 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100 250
= 1,19%
pH 2., T: 90℃ % Metoksil =
6.
250 ,5
pH 2., T: 80℃ % Metoksil =
2,5 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
pH 1,5., T: 90℃ % Metoksil =
= 2,64%
pH 1,5., T: 80℃ % Metoksil =
251 ,6
pH 1., T: 90℃ % Metoksil =
2,45 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100
1,2 𝑥 31 𝑥 0,0874 𝑥 100 250
= 1,30%
Kadar Asam Galakturonat + 𝐦𝐞𝐪 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐭𝐨𝐤𝐬𝐢𝐥) 𝐱 𝟏𝟕𝟔 𝐱 𝟏𝟎𝟎 % Galakturonat = (𝐦𝐞𝐪 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐚𝐬𝐚𝐦 𝐛𝐞𝐛𝐚𝐬 𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥 (𝐦𝐠)
1. Perhitungan miliequivalen (mEq) dari NaOH untuk asam bebas pada penentuan berat ekivalen: Volume NaOH yang terpakai pada titrasi = 0,5 ml, Normalitas NaOH= 0,0874 Mg NaOH yang terpakai adalah = N=
𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑀𝑟
0,0874 = gram =
1000
x
𝑚𝑙
𝑔𝑟𝑎𝑚 40
x
1000 0,5
0,0874 𝑥 40 𝑥 0,5 1000
gram = 1,748 x 10-3 mg NaOH = 1,748
67
1. Perhitungan berat ion -
Na+
= =
𝑚𝑔 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 𝐴𝑟 𝑁𝑎 𝑀𝑟 𝑁𝑎𝑂𝐻 1,748 𝑥 23 40
= 1,0051 mg -
O2-
=
1,748 𝑥 16 40
= 0,6992 mg -
H+
=
1,748 𝑥 1 40
= 0,0437 mg 2. Perhitungan mEq -
Na+
= =
𝑚𝑔 𝑁𝑎 𝑥 𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑁𝑎 𝐴𝑟 𝑁𝑎 1,0051 𝑥 1 23
= 0,0437 -
O2-
=
0.6992 𝑥 2 16
= 0,0874 -
H+
=
0,0437 𝑥 1 1
= 0,0437 -
= mEq Na+ + mEq O2- + mEq H+
mEq NaOH
= 0,0437 + 0,0874 + 0,0437 = 0,1748 2. Perhitungan miliequivalen dari NaOH untuk metoksil Volume NaOH yang terpakai pada titrasi = 2,45 ml, Normalitas NaOH= 0,0874 Mg NaOH yang terpakai adalah = N=
𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑀𝑟
0,0874 = gram =
1000
x
𝑚𝑙
𝑔𝑟𝑎𝑚 40
1000
x 2,45
0,0874 𝑥 40 𝑥 2,45 1000
gram = 8,5652 x 10-3 mg NaOH = 8,5652
68
1. Perhitungan berat ion -
Na+
= =
𝑚𝑔 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 𝐴𝑟 𝑁𝑎 𝑀𝑟 𝑁𝑎𝑂𝐻 8,5652 𝑥 23 40
= 4,92499 mg -
O2-
=
8,5652 𝑥 16 40
= 3,42608 mg -
H+
=
8,5652 𝑥 1 40
= 0,21413 mg 2. Perhitungan mEq -
Na+
= =
𝑚𝑔 𝑁𝑎 𝑥 𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑁𝑎 𝐴𝑟 𝑁𝑎 4,92499 𝑥 1 23
= 0,21413 -
O2-
=
3,42608 𝑥 2 16
= 0,42826 -
H+
=
0,21413 𝑥 1 1
= 0,21413 -
= mEq Na+ + mEq O2- + mEq H+
mEq NaOH
= 0,21413 + 0,42826 + 0,21413 = 0,85652 meq dari NaOH untuk asam bebas pada penentuan Berat Ekivalen
pH 1., T: 80℃ pH 1., T: 90℃ pH 1,5., T: 80℃ pH 1,5., T: 90℃ pH 2., T: 80℃ pH 2., T: 90℃
0,1748 0,2447 0,1154 0,1503 0,1049 0,1049
meq dari NaOH untuk metoksil
0,8565 0,8740 0,3496 0,3251 0,3846 0,4195
Perhitungan pH 1., T: 80℃ % Galakturonat =
0,1748 +0,8565 𝑥 176 𝑥 100 251 ,6
= 72,14%
69
pH 1., T: 90℃ % Galakturonat =
250
0,1503 +0,3251 𝑥 176 𝑥 100 250
0,1049 +0,3846 𝑥 176 𝑥 100 250
0,1049 +0,4195 𝑥 176 𝑥 100 250
Derajat Esterifikasi %DE = =
𝟏𝟕𝟔 𝐱 % 𝐌𝐞𝐭𝐨𝐤𝐬𝐢𝐥 𝐱 𝟏𝟎𝟎 𝟑𝟏 𝐱 % 𝐠𝐚𝐥𝐚𝐤𝐭𝐮𝐫𝐨𝐧𝐚𝐭
Perhitungan :
pH 1., T: 80℃ DE =
176 𝑥 2,70 𝑥 100 31 𝑥 78,60
= 19,50%
176 𝑥 1,08 𝑥 100 31 𝑥 32,74
= 18,73%
176 𝑥 1,01 𝑥 100 31 𝑥 33,47
= 17,13%
pH 2., T: 80℃ DE =
= 20,78%
pH 1,5., T: 90℃ DE =
31 𝑥 72,14
pH 1,5., T: 80℃ DE =
176 𝑥 2,64 𝑥 100
pH 1., T: 90℃ DE =
= 32,74%
= 33,47%
= 34,46%
pH 2., T: 90℃ % Galakturonat =
7.
0,1154 +0,3496 𝑥 176 𝑥 100
pH 2., T: 80℃ % Galakturonat =
= 78,60%
pH 1,5., T: 90℃ % Galakturonat =
250 ,5
pH 1,5., T: 80℃ % Galakturonat =
0,2447 +0,8740 𝑥 176 𝑥 100
176 𝑥 1,19 𝑥 100 31 𝑥 34,46
= 19,61%
pH 2., T: 90℃ DE =
176 𝑥 1,30 𝑥 100 31 𝑥 36,92
= 20,00%
= 36,92%
70
Lampiran 3 Hasil Spektrum FTIR Pektin Standard, Komersial dan Hasil Ekstraksi
1.
Spektrum FTIR pektin standard
71
2.
Spektrum FTIR pektin komersial
72
3.
Spektrum FTIR pektin hasil ekstraksi
73
Lampiran 4 Proses Ekstraksi dan Alat-Alat yang Digunakan
1.
Proses Ekstraksi
Bahan baku limbah kulit
Serbuk kering kulit
pisang kepok
pisang kepok
Penyaringan filtrat
Pengendapan pektin
Pencucian endapan pektin
Penyaringan endapan
Endapan pektin basah
Endapan pektin kering
pektin
Penggerusan pektin
Pektin
Ekstraksi
74
2.
Alat-alat yang digunakan
Oven
Krus silikat
Timbangan analitik
Desikator
pH meter Buret
Corong+labu Buchner
Botol timbang