KARAKTERISASI MOLEKULER KETAHANAN BEBERAPA KULTIVAR PISANG (Musa spp.) TERHADAP PENYAKIT LAYU PANAMA (Fusarium oxysporum f.sp. cubense)
AGUS SUTANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.) Terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp. cubense) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014 Agus Sutanto NIM A263090101
RINGKASAN AGUS SUTANTO. Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.) terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp. cubense). Dibimbing oleh SUDARSONO sebagai ketua, DEWI SUKMA dan CATUR HERMANTO sebagai anggota komisi pembimbing. Pengembangan komoditas pisang di Indonesia menghadapi kendala perkembangan hama dan penyakit tanaman pisang yang secara signifikan menurunkan produksi pisang secara nasional. Penyakit layu Panama yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) merupakan salah satu penyakit yang sudah tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, dan sangat sulit dikendalikan. Serangkaian kegiatan penelitian dilakukan bertujuan untuk mengisolasi, mengkarakterisasi gen ketahanan (resistance gene analogue, RGA) dan pertahanan (defense gene analogue, DGA) serta mengembangkan marka molekuler ketahanan beberapa kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC. Percobaan dimulai dengan uji ketahanan beberapa kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC untuk memilih kultivar tahan. Hasil pengujian mendapatkan dua kultivar tahan, yaitu Calcuta-4 (introduksi) dan Klutuk Wulung (asli Indonesia) yang akan digunakan untuk percobaan berikutnya yaitu isolasi dan karaterisasi RGA. Dua kultivar hasil percobaan pertama, dan ditambah satu kultivar Rejang (asli Indonesia) berdasarkan hasil dari penelitian sebelumnya menunjukkan ketahanan terhadap FOC digunakan sebagai materi genetik untuk isolasi dan karakterisasi RGA. Dari tiga kultivar diperoleh sebanyak 17 sekuen RGA yang mengandung domain terkonservasi NBS-LRR dan terbagi dalam empat kelompok, yaitu kelompok I beranggotakan 14 sekuen (MNBS1-MNBS14), dan tiga kelompok lainnya beranggotakan satu sekuen yaitu MNBS15, MNBS16 dan MNBS17. Percobaan selanjutnya adalah isolasi dan karakterisasi DGA yaitu gen chitinase dan β-1,3-glucanase. Gen chitinase diisolasi dari dari lima kultivar pisang asli Indonesia, yaitu Rejang, Klutuk Wulung, Kepok, Ambon Hijau dan Barangan. Dari lima produk amplifikasi PCR (satu produk mewakili satu kultivar), diperoleh delapan sekuen putatif gen chitinase (MaChi) yang berukuran 596 pb yang menyandi 148 residu asam amino. Fragmen MaChi mengandung dua intron (158 pb) dan tiga ekson (438 pb). Hasil analisis sekuen menunjukkan fragmen MaChi mempunyai identity 90 % dengan gen chitinase kelas II asal pisang. Gen β-1,3-glucanase diisolasi dari empat kultivar pisang, yaitu Rejang, Klutuk Wulung, Ambon Hijau dan Barangan. Dari empat produk amplifikasi PCR diperoleh empat sekuen putatif gen β-1,3-glucanase (MaGlu) yang berukuran 788 pb yang menyandi 261 residu asam amino. Hasil analisis sekuen menunjukkan fragmen MaGlu mempunyai identity sebesar 99 % dengan gen β-1,3-glucanase yang berasal dari pisang. Berdasarkan fragmen gen yang diperoleh dilakukan identifikasi dan analisis keragaman situs SNP. Situs SNP diidentifikasi dari 14 fragmen RGA (MNBS1-MNBS14), 8 fragmen gen chitinase (MaChi), dan 4 fragmen gen β-1,3glucanase (MaGlu). Berhasil diidentifikasi sebanyak 16 putatif SNP dari 4 fragmen RGA yang berasal dari kultivar Rejang (MNBS2-MNBS5) dan mempunyai 4 haplotipe, sedangkan dari 8 fragmen RGA yang berasal dari
kultivar Calcuta-4 (MNBS6-MNBS14) diidentifikasi sebanyak 9 putatif SNP dan mempunyai 7 haplotipe. Sebanyak 22 putatif SNP diidentifikasi dari 8 fragmen gen chitinase dan mempunyai 8 haplotipe, sedangkan dari 4 fragmen gen β-1,3glucanase berhasil diidentifikasi 8 putatif SNP dan mempunyai 4 haplotipe. Berdasarkan situs SNP yang teridentifikasi, dilakukan pengembangan marka SNAP berbasis RGA dan DGA untuk marka ketahanan terhadap penyakit layu FOC. Dari hasil evaluasi menggunakan pendekatan teknik PCR dan analisis filogenetik dipilih beberapa lokus yang dapat digunakan sebagai marka ketahanan terhadap layu FOC dan bisa mengelompokkan kultivar referensi berdasarkan karakter ketahanan terhadap layu FOC. Lokus-lokus tersebut adalah SNP4_MNBS yang bertautan dengan RGA (gen MNBS), lokus SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi, SNP11_MChi yang bertautan dengan gen chitinase (MaChi), dan lokus SNP1_MGlu yang bertautan dengan gen β-1,3-glucanase. Namun demikian, penggunaan lokus SNP1_MGlu bisa juga dihilangkan, karena tanpa menggunakan primer SNP1_MGlu pengelompokkan kultivar berdasarkan ketahanan terhadap layu FOC menjadi lebih baik. Selain itu, dari penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan susunan basa nukleotida antara kultivar pisang yang rentan dan tahan terhadap penyakit layu FOC, dan perbedaan nukleotida tersebut dapat menyebabkan perubahan residu asam amino. Kata kunci: DGA, haplotipe, marka SNAP, RGA, SNP. .
SUMMARY AGUS SUTANTO. Molecular Characterization of Resistance Banana Cultivars to Panama Wilt Disease Caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Supervisied by SUDARSONO as chairman, DEWI SUKMA and CATUR HERMANTO as member of advisory committee. Sustainability of banana and plantain in Indonesia encounters the development of banana pests and diseases that dramatically decreased national banana production. Panama wilt disease caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) is one of major banana diseases that infected almost all of banana plantation in Indonesia. A series of experiments were carried out to isolate, characterize resistance gene analogues (RGAs) and defense gene analogues (DGAs), and to develop molecular markers for disease resistance against fusarium wilt. The experiment was started by the assessment of resistance banana cultivars against FOC tropical race-4 (TR4), and selected two cultivars showed resistant to FOC i.e. Calcuta-4 and Klutuk Wulung. From those selected cultivars and one resistant cultivar, Rejang, 17 RGAs were isolated and characterized and showed high sequence identity to NBS-LRR. The RGA sequences were designated as MNBS1-MNBS17. Based on phylogenetic analysis, the RGAs were classified into four groups. First group contained 14 RGA sequences (MNBS1-MNBS14), and the other three groups contained one sequence MNBS15, MNBS16, and MNBS17, respectively. The isolation and characterization of DGA (chitinase and β-1,3-glucanase genes) were carried out using local banana cultivars. Eight putative chitinase sequences (586 bp in length) were isolated from Rejang, Klutuk Wulung, Kepok, Ambon Hijau and Barangan. The sequences were showed high identity (90 %) to banana class II chitinase gene and coded by MaChi. Four putative β-1,3glucanase sequences (788 bp in length) were isolated and characterized from Rejang, Klutuk Wulung, Ambon Hijau and Barangan. The sequences shared 99 % identity to banana β-1,3-glucanase, and designated as MaGlu. Based on SNP identification, it was revealed that RGA sequences from Rejang (MNBS2-MNBS5) and Calcuta-4 (MNBS6-MNBS14) contained 16 and 9 putative SNPs, respectively. Based on SNP analysis, RGA sequences of Rejang and Calcuta-4 generated 4 and 8 haplotypes, respectively. Twenty two SNPs were identified from 8 chitinase fragments and generated 8 haplotypes, while 8 putative SNPs were identified from 4 β-1,3-glucanase fragments and generated 4 haplotypes. SNAP markers were developed based on non synonymous SNPs identified from RGA (MNBS) and DGA (chitinase and β-1,3-glucanase) sequences. Using PCR technique and allel specific primers approaches, 7 loci based on RGA and DGA sequences were selected as SNAP markers for FOC resistance banana cultivars, there were SNP4_MNBS, SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi, SNP11_MChi, and SNP1_MGlu. However, the use of SNP1_MGlu locus can be omitted, because without SNP1_MGlu primers, the grouping of banana cultivar base on FOC resistance will be better. Keywords: DGA, haplotype, RGA, SNP, SNAP marker.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KARAKTERISASI MOLEKULER KETAHANAN BEBERAPA KULTIVAR PISANG (Musa spp.) TERHADAP PENYAKIT LAYU PANAMA (Fusarium oxysporum f.sp. cubense)
AGUS SUTANTO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup: - Dr. Sitho Wahyuning Ardie, SP. MSi. - Dr. Dini Dinarti, SP. MSi.
Penguji pada Ujian Terbuka: - Dr. Ir. Nurul Kumaida, MSi. - Prof. (Riset) Dr. Ir. Ika Djatnika, MSc.
Judul Disertasi : Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.) Terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp. cubense). Nama : Agus Sutanto NIM : A263090101
Disetujui: Ketua Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. Ketua
Dr. Dewi Sukma, SP. MSi. Anggota
Dr. Ir. Catur Hermanto, MP. Anggota
Diketahui oleh:
Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E.K, MS.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.
Tanggal Ujian: 4 Februari 2014
Tanggal Lulus
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniah-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan disertasi ini dengan judul: ‘Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.) terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp. cubense)’. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, dan kepada Dr. Dewi Sukma, SP. MSi. dan Dr. Ir. Catur Hermanto, MSc. sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran-saran dan masukan sejak persiapan, pelaksanaan penelitian sampai penyusunan disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr., Dr. Ir. Widodo, MSc., Dr. Sintho Wahyuning Ardie SP. MSi., Dr. Dini Dinarti SP. MSi., Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu EK. MS., Prof. (Riset) Dr. Ir. I. Djatnika, MS. dan Dr. Ir. Nurul Kumaida, MSi., yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pada ujian pra kualifikasi program Doktor, Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka, serta memberikan masukan dan saran perbaikan untuk kesempurnaan disertasi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian Republik Indonesia, yang telah memberi kesempatan dan dukungan biaya kepada penulis untuk melangsungkan studi S3 di IPB. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman di Laboratorium Pemuliaan dan Biologi Molekuler Tanaman, yang telah membantu baik secara fisik maupun psikologis selama berlangsungnya kegiatan penelitian, serta kepada Bapak Panca Jarot Santoso, SP. MSc. yang telah memberikan sebagian bahan kimianya untuk kelengkapan penelitian disertasi ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada istri tercinta Susilowati, serta anak-anak tersayang Ikhsan Fitrianto dan Afifah Nurul’ain yang dengan penuh kesabaran mendampingi penulis selama menempuh pendidikan S3 di IPB. Penulis menyadari masih banyak kekurangan, sehingga besar harapan penulis saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan disertasi. Akhir kata penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pemuliaan dan biologi molekuler tanaman, khususnya tanaman pisang di Indonesia.
Bogor, Februari 2014 Agus Sutanto
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xviii
1
2
3
4
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................. Tanaman Pisang (Musa spp.) .......................................................... Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman Pisang dan Usaha Pengendaliannya .............................................................................. Perbaikan Kultivar Tanaman Pisang ............................................... Interaksi Tanaman dan Penyakit ..................................................... Gen Ketahanan (R gene) .................................................................. Gen Respon Pertahanan ................................................................... Marka Molekuler Pada Tanaman Pisang ......................................... Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan Penelitian ............................................................................. Manfaat Penelitian ........................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ...............................................................
5 7 8 9 11 16 21 22 22 22
UJI DINI KETAHANAN BEBERAPA KULTIVAR PISANG TERHADAP PENYAKIT LAYU FOC VCG 01213/16 (TR4) Abstrak ............................................................................................ Abstract ........................................................................................... Pendahuluan .................................................................................... Bahan dan Metode .......................................................................... Hasil dan Pembahasan ..................................................................... Simpulan .......................................................................................... Daftar Pustaka .................................................................................
25 26 27 28 30 33 33
ISOLASI DAN KARAKTERISASI RESISTANCE GENE ANALOGUE (RGA) ASAL 3 KULTIVAR PISANG YANG TAHAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM Abstrak ............................................................................................ Abstract ........................................................................................... Pendahuluan .................................................................................... Bahan dan Metode ........................................................................... Hasil dan Pembahasan ..................................................................... Simpulan .......................................................................................... Daftar Pustaka .................................................................................
37 38 39 40 43 56 57
ISOLASI DAN KARAKTERISASI GEN CHITINASE ASAL 5 KULTIVAR PISANG Abstrak ............................................................................................ Abstract ........................................................................................... Pendahuluan ....................................................................................
61 62 63
xi
1 2
Bahan dan Metode ........................................................................... Hasil dan Pembahasan ..................................................................... Simpulan .......................................................................................... Daftar Pustaka .................................................................................
63 65 70 71
ISOLASI DAN KARAKTERISASI GEN β-1,3-GLUCANASE ASAL 4 KULTIVAR PISANG Abstrak ............................................................................................ Abstract ........................................................................................... Pendahuluan .................................................................................... Bahan dan Metode ........................................................................... Hasil dan Pembahasan ..................................................................... Simpulan .......................................................................................... Daftar Pustaka .................................................................................
73 74 75 76 77 83 84
IDENTIFIKASI DAN ANALISIS SUBSTITUSI SATU BASA (SNP) DAN KERAGAMAN NUKLEOTIDA RGA DAN DGA ASAL DNA GENOM PISANG Abstrak ............................................................................................ Abstract ........................................................................................... Pendahuluan .................................................................................... Bahan dan Metode ........................................................................... Hasil dan Pembahasan ..................................................................... Simpulan .......................................................................................... Daftar Pustaka .................................................................................
87 88 89 89 91 101 101
PENGEMBANGAN MARKA SNAP BERBASIS RESISTANCE GENE ANALOGUE (RGA) DAN DEFENSE GENE ANALOGUE (DGA) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa spp.) Abstrak ............................................................................................ Abstract ........................................................................................... Pendahuluan .................................................................................... Bahan dan Metode ........................................................................... Hasil dan Pembahasan ..................................................................... Simpulan .......................................................................................... Daftar Pustaka .................................................................................
105 106 107 107 110 128 129
8
PEMBAHASAN UMUM
131
9
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan .......................................................................................... Saran ................................................................................................
137 138
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
139
LAMPIRAN ..................................................................................................
167
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................
170
5
6
7
xii
DAFTAR TABEL 1.
Translasi nilai DSI .................................................................................
30
2.
Status ketahanan/kerentanan 5 kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC
31
3.
Degenerate primer yang digunakan untuk mengamplifikasi NBS-LRR asal DNA genom tanaman pisang ..........................................................
40
Pengelompokan fragmen RGA dari produk PCR berdasarkan asal DNA genom diisolasi .............................................................................
44
Sequence identity antara runutan nukleotida dari fragmen MNBS asal tanaman pisang kultivar Rejang, Calcuta-4 dan Klutuk Wulung dengan Musa NBS-LRR yang telah dideposit pada pangkalan data GenBank .................................................................................................
48
Sequence identity antara runutan prediksi asam amino MNBS asal tanaman pisang kultivar Rejang, Calcuta-4 dan Klutuk Wulung dengan protein Musa NBS-LRR yang telah dideposit pada pangkalan data GenBank ........................................................................................
48
Matrik genetic identity (%) hasil dari analisis pensejajaran sekuen prediksi asam amino Musa RGA dan protein R menggunakan ClustalW2................................................................................................
53
Hasil analisis BLASTN antara sekuen fragman MNBS dengan data genom pisang global (http://banana-genome.cirad.fr/blast) .......................
54
Sekuen primer PCR yang digunakan untuk mengamplifikasi gen chitinase asal fragmen DNA genom pisang dan ukuran produk yang diharapkan ..............................................................................................
64
Sequence identity residu prediksi asam amino dari fragmen chitinase yang diisolasi dari pisang Rejang (MaChi_Rjg) dan 12 chitinase yang berasal dari tanaman lain yang terdeposit dalam pangkalan data GenBank NCBI .............................................................................................
67
Sekuen primer PCR yang digunakan untuk mengamplifikasi gen β1,3-glucanase asal fragmen DNA genom pisang dan ukuran produk yang diharapkan .....................................................................................
77
Sequence identity residu prediksi asam amino dari fragmen β-1,3glucanase yang diisolasi dari pisang Rejang (MaGlu_Rjg) dan 16 glycosida hidrolase famili 17 yang berasal dari tanaman dan organisme lain yang terdeposit dalam pangkalan data GenBank NCBI
80
13.
Pengelompokan RGA berdasarkan asal kultivar pisang ........................
90
14.
Karakter dari 16 SNP yang diidentifikasi pada sekuen RGA (MNBS) dari kultivar Rejang ................................................................................
92
Karakter dari 9 SNP yang diidentifikasi pada sekuen RGA (MNBS) dari kultivar Calcuta-4 ...........................................................................
93
4. 5.
6.
7.
8 9.
10.
11.
12.
15.
xiii
16.
Parameter keragaman genetik RGA asal DNA genom dua kultivar pisang .....................................................................................................
93
17.
Sekuen dan frekuensi haplotipe dari RGA asal DNA genom pisang ....
93
18.
Karakter dari 22 SNP yang diidentifikasi pada sekuen chitinase ..........
98
19.
Karakter dari 9 SNP yang diidentifikasi pada sekuen β-1,3-glucanase
98
20.
Parameter keragaman genetik gen chitinase dan β-1,3-glucanase asal DNA genom pisang ................................................................................
99
Sekuen dan frekuensi haplotipe dari gen chitinase dan β-1,3glucanase asal DNA genom pisang .......................................................
99
Primer alternatif sebagai luaran yang didapat dari proses mendisain primer dengan menggunakan WebSNAPER untuk situs SNP1 dari fragmen gen MNBS ................................................................................
113
Primer SNAP terpilih dari 7 situs SNP asal fragmen gen MNBS yang dapat digunakan untuk menghasilkan marka SNAP ..............................
115
Primer SNAP terpilih dari 3 situs SNP asal fragmen gen β-1,3-glucanase yang dapat digunakan untuk menghasilkan marka SNAP ………….........
115
Primer SNAP terpilih dari 11 situs SNP asal fragmen gen chitinase yang dapat digunakan untuk menghasilkan marka SNAP .....................
116
21. 22.
23. 24. 25. 26.
Data genotipe hasil konversi dari elektroferogram produk PCR menggunakan primer SNAP berbasis RGA pada 10 kultivar pisang ....
121 27.
28.
Data genotipe hasil konversi dari elektroferogram produk PCR menggunakan primer SNAP berbasis gen β-1,3-glucanase pada 10 kultivar pisang ........................................................................................
122
Data genotipe hasil konversi dari elektroferogram produk PCR menggunakan primer SNAP berbasis gen chitinase pada 10 kultivar pisang .....................................................................................................
125
xiv
DAFTAR GAMBAR 1
Asal dan penyebaran kultivar pisang subgroup triploid ........................
4
2
Produksi buah nasional pada tahun 2011 ...............................................
5
3
Kelas utama gen ketahanan (R gene) berdasarkan susunan dan fungsi domainnya, beserta contoh gen ....................................................................
10
Model yang menggambarkan peranan chitinase dan β-1,3-glucanase melawan serangan cendawan patogen (Mauch & Staehelin 1989) .......
16
Diagram alur kegiatan penelitian ‘Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.) Terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp. cubense) .......................................
23
6
Pengaturan teknik penempatan wadah ganda ........................................
28
7
Skor Leaf Symptom Index (LSI) ............................................................
29
8
Skor Rhizome Discoloration Index (RDI) .............................................
29
9
Gejala luar (daun) dan dalam (bonggol) akibat infeksi Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 pada Klutuk Wulung, Ambon Hijau, Calcuta-4, Kepok dan Ketan, 5 minggu setelah inokulasi ............
32
Elektroferogram hasil amplifikasi menggunakan dua pasang kombinasi primer pada pada cetakan DNA genom tiga kultivar pisang .................
43
Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS1 (mewakili kelompok I) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Klutuk Wulung ..................................................................................................
45
Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS15 (kelompok II) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Calcuta-4 ..............
45
Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS16 (kelompok III) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Calcuta-4 .............
46
Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS17 (kelompok IV) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Klutuk Wulung ...
46
Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino MNBS berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan) ..............................
47
Analisis pensejajaran sekuen prediksi asam amino MNBS dengan beberapa protein Musa NBS-LRR dan protein R yang terdeposit pada GenBank ................................................................................................
50
Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino dari MNBS pisang dan beberapa protein Musa NBS-LRR dan protein R tanaman lain berdasarkan analisis pensejajaran menggunakan ClustalW2 dan dibuat berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan) ..........
51
4 5
10 11
12 13 14 15
16
17
18
Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino dari
xv
19 20
21
22
23 24
25
26
27
28 29
MNBS pisang dan Musa NBS-LRR yang terdeposit pada GenBank dan dibuat berdasarkan metode Neighbour Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan) ..............................
56
Elektroferogram produk amplifikasi PCR yang berasal dari DNA genom 5 kultivar pisang, menggunakan pasangan primer Chi2-2 ........
65
Contoh sekuen DNA dan prediksi asam amino dari hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Rejang, menggunakan primer spesifik chitinase. Intron ditandai dengan huruf kecil pada sekuen DNA ..........
66
Hasil analisis pensejajaran sekuen residu asam amino yang diprediksi dari sekuen fragmen produk yang diamplifikasi dari DNA genom kultivar pisang Indonesia (MaChi_Rjg, MaChi_Klt#1 dan #2, MaChi_Kpk#1 dan #2, MaChi_AH#1 dan #2, dan MaChi_Br) dan yang berasal dari chitinase yang tersedia pada GenBank NCBI ............
69
Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen residu prediksi asam amino chitinase yang berasal dari tanaman pisang dan 11 tanaman lain berdasarkan analisis pensejajaran menggunakan ClustalW2 dan dibuat berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan) ..............................
70
Elektroferogram produk amplifikasi PCR yang berasal dari DNA genom lima kultivar pisang, menggunakan pasangan primer MaGlu1
78
(A) Elektroferogram produk PCR pertama dari kultivar Rejang dan Barangan menggunakan primer MaGlu 1. (B) Produk PCR pertama dari kultivar Barangan yang telah dipurifikasi. (C) Produk PCR kedua dari kultivar Barangan menggunakan produk PCR yang telah dipurifikasi sebagai cetakan DNA .........................................................
78
Contoh sekuen DNA dan prediksi asam amino dari hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Rejang, menggunakan primer spesifik β-1,3-glucanase .....................................................................................
79
Pensejajaran prediksi asam amino MaGlu_Rjg, MGlui_Klt, dan MaGlu_AH dengan β-1,3-glucanase, lichenase atau β-1,3:1,4glucanase tanaman lain, dan exo-β-1,3-glucanase dari khamir dan bakteri yang telah terdeposit dalam GenBank NCBI ............................
82
Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen residu prediksi asam amino β-1,3-glucanase yang berasal dari tanaman pisang dan 12 β-1,3glucanase asal tanaman lain, lichenase asal H. vulgare, dan exo-β-1,3glucanase (eGase) asal khamir dan bakteri, berdasarkan analisis pensejajaran menggunakan ClustalW2 dan dibuat berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan) .........................................................................
83
Variasi SNP pada RGA yang berasal dari DNA genom pisang Rejang dan Calcuta-4 .........................................................................................
91
Jejaring haplotipe berdasarkan metode Median Joining (Bandelt et al. 1999) dari RGA asal Rejang dan Calcuta-4 ..........................................
95
xvi
30 31 32 33 34
35
36
37
38 39
40
41
42 43
44
Jejaring tahapan mutasi/sustitusi basa nukleotida sekuen gen MNBS asal tanaman pisang ...............................................................................
96
Variasi SNP pada fragmen gen chitinase dan β-1,3-glucanase yang berasal dari DNA genom beberapa kultivar pisang ...............................
97
Jejaring haplotipe berdasarkan metode Median Joining (Bandelt et al. 1999) dari fragmen gen chitinase dan β-1,3-glucanase .........................
100
Tampilan perangkat lunak WebSNAPER yang digunakan untuk mendisain primer SNAP ........................................................................
109
Representasi situs SNP pada fragmen MNBS asal pisang (Musa spp.). Situs SNP 195 dan 225 tidak menyebabkan terjadinya substitusi asam amino sedangkan situs SNP 215 merubah residu asam amino arginin menjadi lisin ...........................................................................................
111
Representasi situs SNP pada fragmen MNBS. Situs SNP dengan latar belakang kuning adalah situs SNP yang menyebabkan terjadinya substitusi asam amino sedangkan situs SNP di dalam kotak merah adalah situs SNP terpilih untuk pembuatan primer SNAP ..........................................................
111
Keberadaan situs SNP pada fragmen MaGlu asal pisang (Musa spp.). Situs SNP 30, 480, 618 dan 753 tidak menyebabkan terjadinya substitusi residu asam amino sedangkan situs SNP 91, 538, 677 dan 778 yang dapat merubah residu asam amino .........................................
112
Representasi situs SNP pada fragmen gen MaChi dari 5 kultivar pisang. MaChi-Rjg asal Rejang, MaChi_Klt#1 & #2 asal Klutuk Wulung, MaChi_Kpk#1 & #2 asal Kepok, MaChi_AH#1 & #2 asal Ambon Hijau, dan MaChi_Br asal Barangan ..........................................................................
112
Pensejajaran runutan nukleotida dari alternatif primer untuk situs SNP#1 dengan fragmen MNBS ..............................................................
114
Produk PCR hasil amplifikasi dari genom tanaman pisang cv. Klutuk Wulung (A) dan Barangan (B) menggunakan 10 pasang primer SNAP berdasarkan situs SNP pada gen MNBS .................................................
118
Produk PCR hasil amplifikasi dari genom tanaman pisang cv. Klutuk Wulung (A) dan Barangan (B) menggunakan 6 pasang primer SNAP berdasarkan situs SNP pada gen MaGlu ................................................
118
Produk PCR hasil amplifikasi dari genom tanaman pisang cv. Klutuk Wulung (A) dan Barangan (B) menggunakan 22 pasang primer SNAP berdasarkan situs SNP pada gen MaChi ................................................
119
Representasi analisis 5 primer SNAP berbasis RGA pada 10 kultivar pisang .....................................................................................................
120
Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokan kultivar berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNAP berbasis RGA (MNBS) ........................................................................... Representasi analisis 5 primer SNAP berbasis gen β-1,3-glucanase pada 10 kultivar pisang ..........................................................................................
xvii
121
122
45
46 47
48
49
50
51
Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokan kultivar berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNAP berbasis gen β-1,3-glucanase (MaGlu) ..................................................
123
Representasi analisis 5 primer SNAP berbasis gen chitinase pada 10 kultivar pisang .......................................................................................
124
Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokan kultivar berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNAP berbasis gen chitinase (MaChi) .............................................................
125
Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokan kultivar berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi dan SNP11_MCi .................
126
Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokan kultivar berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNP4_MNBS, SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi, SNP11_MChi yang melibatkan primer SNP1_MGlu dan yang tidak ...
126
Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokan kultivar referensi dan 10 kultivar/aksesi lain berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNP4_MNBS, SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi dan SNP11_MChi .......................................
128
Peranan teknologi biologi molekuler dalam kegiatan perbaikan kultivar tanaman pisang .........................................................................
135
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Dendogram hasil analisis filogenetik setiap lokus SNP_MNBS pada 10 kultivar pisang ..................................................................................
167
Dendogram hasil analisis filogenetik setiap lokus SNP_MChi pada 10 kultivar pisang .......................................................................................
168
Prosedur isolasi DNA berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle 1987) yang dimodifikasi oleh Das et al. (2009) ....................................
169
xviii
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu sentra primer keragaman pisang, baik pisang segar, olahan, dan pisang liar. Lebih dari 200 jenis pisang terdapat di Indonesia. Tingginya keragaman ini, memberikan peluang pada masyarakat untuk dapat memanfaatkan dan memilih jenis pisang komersial yang dibutuhkan oleh konsumen. Selain untuk konsumsi segar, beberapa kultivar pisang di Indonesia juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri olahan pisang misalnya industri keripik, sale dan tepung pisang. Perkembangan kebun rakyat dan industri olahan di daerah sentra produksi, dapat memberikan peluang baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Pengembangan komoditas pisang di Indonesia mengalami kendala perkembangan hama dan penyakit yang semakin komplek. Beberapa penyakit penting seperti banana bunchy top virus (BBTV), layu bakteri dan layu Fusarium telah menyebar di daerah sentra produksi pisang (Nurhadi & Setyobudi 2000; Buddenhagen 2009; Hermanto et al. 2011; Molina et al. 2010). Beberapa kultivar komersial seperti Barangan, Ambon Hijau dan Ambon Kuning sangat rentan terhadap BBTV dan layu Fusarium, sedangkan Kepok rentan terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Berbagai usaha pengendalian penyakit pisang baik secara kultur teknis, kimia (Nel et al. 2006) dan biologis (Cao et al. 2004) telah dilakukan namun belum memberikan hasil yang maksimal (Huang et al. 2012). Oleh karena itu, pengendalian penyakit menggunakan kultivar tahan adalah alternatif yang dapat ditempuh. Untuk mendapatkan kultivar tahan penyakit dapat ditempuh dengan melakukan seleksi terhadap sumber daya genetik lokal, mendatangkan kultivar dari luar (introduksi) atau melakukan pemuliaan tanaman secara konvensional (persilangan) ataupun non-konvensional (induksi mutasi dan rekayasa genetika). Pemuliaan tanaman pisang secara konvensional menghadapi kendala sterilitas dan inkompatibilitas bunga pisang, serta waktu yang diperlukan relatif lama. Pemuliaan secara non-konvensional dengan induksi mutasi telah banyak dilakukan, namun sebagian besar mutasi yang diperoleh tidak bisa dikendalikan. Perbaikan kultivar dengan teknik rekayasa genetika merupakan teknologi yang menjanjikan, namun demikian memerlukan pemahaman tentang gen-gen yang bertanggungjawab pada ketahanan terhadap penyakit serta interaksi antara tanaman dengan patogen. Dengan ditemukannya struktur DNA pada tahun 1953 oleh Watson & Crick (1953), serta teknologi rekombinasi DNA pada tahun 1973 oleh Cohen et al. (1973), bioteknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama yang berhubungan dengan biologi molekuler dan selanjutnya menjadi dasar dari bioteknologi modern. Selain itu dengan dikembangkannya teknologi polymerase chain reaction (PCR) oleh Kary Mullis pada tahun 1983 (Gibbs 1991) dan
2
penemuan enzim polimerase yang tahan pada suhu tinggi asal bakteri Thermus aquaticus (Taq) (Saiki et al. 1988), perkembangan teknologi berbasis biologi molekuler semakin pesat termasuk identifikasi gen-gen yang berhubungan dengan karakter spesifik seperti identifikasi gen-gen yang berhubungan dengan mekanisme ketahanan dan pertahanan terhadap penyakit tanaman, serta perkembangan teknologi marka molekuler. Salah satu teknologi marka molekuler yang terbaru adalah marka berdasarkan substitusi satu situs nukleotida tertentu atau disebut single nucleotide polymorphism (SNP). Perubahan satu situs nukleotida bisa secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan perubahan ekspresi suatu gen (Sunyaev et al. 2001). Marka SNP secara intensif telah digunakan dalam bidang kedokteran terutama untuk mendeteksi sel-sel kanker pada manusia (Schaid et al. 2004; Engle et al. 2006), sedangkan di bidang pertanian, marka SNP juga sudah dimanfaatkan untuk identifikasi kultivar dan seleksi lokus-lokus yang berasosiasi dengan karakter tertentu dalam pemuliaan tanaman (Yang et al. 2004; Sun et al. 2011). Marka SNP juga sudah mulai digunakan pada tanaman pisang, yaitu di bidang taksonomi dan pengembangan teknologi MAS pada pemuliaan pisang (Umali & Nakamura 2003; Adesoye et al. 2012). Namun demikian masih belum ada informasi mengenai pemanfaatan marka berbasis SNP untuk ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit.
Tanaman Pisang (Musa spp.) Taksonomi Pisang dan kerabatnya termasuk dalam genus Musa, ordo Zingiberales, dan family Musaceae. Genus Musa terdiri atas 30-40 spesies yang berasal dari Asia Tenggara (Stover & Simmond 1987). Berdasarkan jumlah kromosom, orientasi dan susunan pembungaan, Musa dikelompokkan ke dalam 5 seksi (Karamura 1998). Terdapat 2 seksi yang beranggotakan spesies dengan jumlah kromosom dasar 10 (2n=20) adalah Callimusa dan Australimusa, dan 2 seksi lainnya yang mempunyai kromosom dasar 11 (2n=22) adalah Eumusa dan Rhodochlamys. Seksi yang terakhir adalah Incerta sedis yang terdiri atas Musa ingens Simmond, Musa boman dan Musa lasiocarpa (Daniells et al. 2001) yang mempunyai jumlah kromosom dasar yang berbeda dan masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk pengelompokkannya. Spesies yang termasuk dalam anggota seksi Callimusa dan Rhodochlamys hanya sebagai tanaman hias dan tidak menghasilkan buah yang dapat dimanfaatkan untuk konsumsi. Spesies yang merupakan anggota dari Callimusa adalah Musa salaccensis, Musa coccinea, Musa gracilis dan Musa violascens, sedangkan yang termasuk dalam seksi Rhodochlamys adalah Musa laterita, Musa ornata, Musa sanguinea dan Musa velutina (Karamura 1998). Seksi Australimusa beranggotakan Musa textilis Nees (Abaca) yang seratnya mempunyai nilai ekonomis tinggi, Musa lolodensis di Halmahera dan Papua (Nasution 1993), Musa maclayi, Musa peekelii, Musa jakeyi dan beberapa jenis Fe’i banana (pembawa genom T) yang penyebarannya mulai dari Maluku, Papua seperti Tongka Langit (Musa troglodytarum L.), Papua Nugini sampai wilayah Pasifik (Englberger 2003; Sharrock 2002).
3
Seksi Eumusa adalah merupakan seksi yang mempunyai anggota terbesar, yaitu sebanyak 13-15 spesies (Karamura 1998). Sebagian besar pisang yang dapat dimakan adalah termasuk dalam seksi Eumusa yang merupakan hibrida alami diploid atau triploid dari Musa acuminata (pembawa genom A) sendiri atau dengan Musa balbisiana (pembawa genom B) (Simmond 1962), sehingga menghasilkan kultivar-kultivar diploid (AA) dan triploid (AAA, AAB dan ABB). Sejarah dan Sebaran Evolusi tanaman pisang dari liar menjadi kultivar melibatkan proses supresi produksi biji dan perkembangan partenokarpi (Simmond 1962). Keragaman Musa acuminata sangat tinggi dan telah dikelompokkan ke dalam beberapa sub-spesies (Perrier et al. 2009). Nasution (1991) telah mengidentifikasi sebanyak 15 varietas Musa acuminata di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis pigmen antosianin setidaknya ada 3 sub-spesies dari Musa acuminata yang terlibat dalam pembentukan kultivar diploid (AA) maupun triploid (AAA), yaitu ssp. malaccensis, ssp. zebrina, dan ssp. banksii (Horry & Jay 1988). Namun demikian hasil analisis restriction fragment length polymorphism (RFLP) dari kloroplas dan mitokondria menyarankan spp. errans juga terlibat dalam pembentukan kultivar pisang modern (Carrel et al. 2002).
AAB Pome AAB Others
M. balbisiana
ABB West
burmanica
AAA cvs
Wilayah pertemuan Utara
errans
malaccensis
AAB
microcarpa
zebrina
AA AAA
Wilayah pertemuan Timur
ABB East AAB Popoulu
Wilayah pertemuan Selatan
banksii
AAB Plantains
AAA Highland
Sumber: Perrier et al. (2011)
Gambar 1 Asal dan penyebaran kultivar pisang subgroup triploid. Garis putus biru menunjukkan migrasi M. balbisiana dari Asia Utara dan bertemu dengan spp. banksii membentuk plantain dan triploid ABB. Garis putus merah meunjukkan migrasi spp. banksii dan bertemu dengan spp. zebrina (daerah pertemuan selatan) yang membentuk diploid dan triploid. Garis putus hijau menunjukkan migrasi diploid kultivar AA ke Afrika dan ke Asia Utara yang membentuk triploid AAA di wilayah pertemuan utara dan AAB maupun ABB di Asia Utara. Garis ungu menunjukkan migrasi plantain ke Afrika dan Pasifik. Garis hijau menunjukkan migrasi triploid AAA dari Asia Tenggara ke Afrika.
4
Selanjutnya Perrier et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat 3 wilayah pertemuan antar sub-spesies, yaitu wilayah pertemuan selatan antara New Guinea sampai Jawa merupakan pertemuan antara spp. banksii dan spp. zebrina/microcarpa, wilayah pertemuan utara antara Filipina dan Kalimantan sampai Thailand merupakan pertemuan antara spp. malaccensis/microcarpa dengan spp. errans, dan wilayah pertemuan timur antara New Guinea sampai Filipina merupakan pertemuan antara spp. banksii dengan M. balbisiana yang berasal dari Asia Utara, Filipina dan membentuk kultivar ABB dan AAB (termasuk plantain dan pacific plantain). Dari hasil hibridisasi secara alami tersebut diperoleh progeni-progeni yang dengan campur tangan manusia diseleksi dan disebarkan ke berbagai wilayah di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya sampai ke Afrika (Blench 2009). Ilustrasi asal dan sebaran kultivar pisang triploid ditampilkan pada Gambar 1. Keragaman Pisang Sebagaimana dinyatakan oleh Perrier (2011), bahwa sebagian besar wilyah pertemuan antara spesies/subspesies liar Musa berada di wilayah Indonesia, menjadikan kawasan Indonesia sumber keragaman (centre of diversity) dari kultivar pisang. Dengan ditemukannya kembali 15 subspesies liar Musa acuminata dan 2 spesies liar yaitu Musa salaccensis dan Musa lolodensis (Nasution 1991; 1993), membuktikan bahwa Indonesia juga merupakan sumber asal (centre of origin) pisang dan kerabatnya (Musa spp.). Setidaknya lebih dari 200 kultivar pisang ada di Indonesia (Edison et al. 2001) Keragaman kultivar pisang di Indonesia ditunjukkan dengan ditemukannya semua jenis pisang berdasarkan genomnya, seperti yang bergenom BB: Klutuk Awu dan Klutuk Wulung, bergenom AA: Emas, Berlin/Lampung, Rejang, Lilin/Lidi, Jari Buaya/Rotan, Ketan/Ketip/Uli dan lain-lain, sedangkan yang bergenom AAA seperti Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan, Ampyang, bergenom AAB seperti Raja Bulu, Raja Serai, Tanduk, Candi, dan yang bergenom ABB seperti Kepok, Sobo, Awak (Edison et al. 2001). Selain itu hampir semua subgroup pisang yang telah teridentifikasi terdapat di Indonesia, dan bahkan masih banyak lagi kultivar yang belum masuk ke dalam kategori subgroup yang sudah ada karena memiliki karakter yang berbeda dari subgroup tersebut (Valmayor et al. 2000). Selain kultivar tersebut di atas, sedikitnya ditemukan juga 3 variasi genetik pisang Tongka Langit (Musa troglodytarum L.) di Maluku dan Irian Jaya (Sutanto et al. 2009). Pisang Tongka Langit adalah jenis pisang yang mempunyai kandungan karoten yang tinggi, ditandai dengan daging buahnya warna berwarna oranye. Produksi dan Kendala Pisang dan plantain merupakan salah satu komoditas penting baik di Indonesia maupun di dunia. Produksi pisang dunia menempati urutan kedua setelah jeruk dengan produksi total 106.54 juta ton pada tahun 2011 (http://www.statista.com/statistics/ 264001/worldwide-production-of-fruit-by-variety/). Produksi pisang Indonesia menempati urutan keenam setelah India, Cina, Filipina, Brazil dan Equador, dengan produksi sebesar 6 132 695 ton (http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel= 1&daftar=1&id_subyek=55¬ab=2), dan menyumbang sebesar 5.8% produksi pisang dunia. Di Indonesia, produksi pisang menempati urutan pertama dan berkonstribusi sebesar 32% produksi buah nasional (Gambar 2).
5
Nangka/Cempedak 3% Rambutan 4%
Durian 5% Pepaya 5% Salak 6%
Nenas 8%
Lain-lain 8%
Jeruk Siam 9%
Pisang 32%
Mangga 11% Jeruk 9%
Lain-lain termasuk: Alpukat, jambu biji, duku/langsat, markisa, sawo, manggis, jambu air, sukun, jeruk besar, belimbing, blewah, sirsak, semangka dan melon
Gambar 2 Produksi buah nasional pada tahun 2011 Luasnya daya adaptasi tanaman pisang menyebabkan tanaman pisang dapat tumbuh di berbagai kondisi lingkungan. Namun demikian pertanaman pisang menghadapi banyak kendala hama dan penyakit tanaman seperti: penggerek batang dan bonggol (stem dan corm borer) (Smith 1995), ulat penggulung daun (Christie et al. 1989), nematode (Marin et al. 1998), banana bunchy top virus (BBTV), cucumber mozaik virus (CMV) (Jones 1991), bract streak virus (BSV) (Dahal et al. 2000), bercak daun sigatoka (Stover 1980), layu Fusarium oxysporum fsp. cubense (Ploetz 2000), layu bakteri Ralstonia solanacearum (dulu Pseudomonas solanacearum) (Hayward 1991) dan Xanthomonas campestris/vasicola pv. Musacearum (Tushemereirwe et al. 2003). Dari beberapa penyakit pisang tersebut di atas, virus BBTV, layu Fusarium (FOC) dan bakteri Ralstonia solanacearum menjadi masalah yang sangat serius di Indonesia. Ketiga penyakit tersebut telah ditemukan di seluruh wilayah Indonesia dengan intensitas yang beragam. Layu bakteri telah menghancurkan pertanaman pisang Kepok di Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Sulawesi Selatan, Kendari dan Maluku. Layu fusarium menghancurkan pertanaman pisang Cavendish di Mojokerto dan Lampung, pisang Barangan di Sumatera Utara dan Aceh, pisang Ambon Hijau di Sumatera Barat, pisang Ambon Kuning di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat (Hermanto 2008). Virus BBTV sudah sejak lama endemik di Jawa Barat dan Lampung, dan sudah menyebar ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman Pisang dan Usaha Pengendaliannya Dari semua penyakit yang menyerang tanaman pisang, layu fusarium adalah penyakit yang paling sulit ditanggulangi, karena selain penyebarannya yang sangat mudah melalui saluran irigasi, tanah, peralatan dan bahan tanam, keberadaannya dalam tanah dapat bertahan bertahan puluhan tahun tanpa megurangi daya
6
infeksinya (Agrios 2005). Penyakit layu ini pertama kali ditemukan di Queensland bagian tenggara pada tahun 1874 menyerang kultivar Sugar (Silk). Namun demikian penelitian yang lebih intensif tentang penyakit layu ini diadakan di Costa Rica dan Panama pada awal tahun 1890, karena menyerang perkebunan komersial Grosh Michel untuk tujuan ekspor (Ploetz 1994). Oleh karena itu penyakit layu fusarium pada tanaman pisang lebih dikenal dengan Panama disease. Perkembangan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) penyebab penyakit layu tanaman pisang akibat dari interaksi antara patogen, genotipe tanaman dan pengaruh dari kondisi lingkungan (Moore et al. 1993). Sampai saat ini FOC telah berkembang menjadi 4 ras. Tiap ras menyerang kultivar atau kerabat pisang yang berbeda. Cendawan FOC ras 1 menyerang Ambon Kuning dan Raja Serai, ras 2 menyerang Bluggoe dan beberapa kultivar pisang olah (Moore et al. 1995), ras 3 menyerang Helicona. Ras 4 dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu ras 4 subtropika dan tropika. Ras 4 subtropika menyerang Cavendish dan kultivar yang rentan ras 1 dan ras 2 di Afrika Selatan, Australia, Taiwan dan Canary Island (Gerlach et al. 2000; Su et al. 1986), sedangkan ras 4 tropika menyerang hampir seluruh kultivar komersial di Asia Tenggara dan Australia (Pegg et al. 1994; Ploetz 1994). Berdasarkan sifat kompatibilitas antar isolat, cendawan FOC dikelompokkan menjadi VCG (vegetative compatibility group) (Leslie 1993). Saat ini telah diidentifikasi sebanyak 21 VCG yang menyerang tanaman pisang (Ploetz 1990) dan 15 di antaranya berasal dari Asia Tenggara, 10 VCG telah ditemukan di Indonesia (Pegg et al. 1996). Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh peneliti Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, diperoleh informasi cendawan FOC VCG 01213/16 (ras 4 tropika) ditemukan pada pertanaman pisang di hampir seluruh propinsi di Indonesia (Hermanto et al. 2011). Bukti-bukti tersebut menunjukkan betapa pentingnya FOC pada pertanaman pisang dan memerlukan langkah-langkah pengendalian yang lebih efektif dan efisien. Berbagai usaha pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman pisang telah banyak dilakukan, baik melalui pendekatan kimiawi, agronomis maupun pemuliaan tanaman. Usaha pengendalian secara kimia melalui metode injeksi, perlakuan tanah yang melibatkan fumigasi dan aplikasi amelioran dapat mengurangi serangan, tetapi sulit diaplikasikan dalam skala komersial (Pegg et al. 1993). Selanjutnya Pegg et al. (1996) menyatakan bahwa pestisida, fumigan, penggenangan, rotasi tanaman dan pemanfaatan bahan organik sedikit memberikan pengendalian jangka panjang pada daerah produksi pisang. Penelitian tentang pengendalian secara biologi (biocontrol) menggunakan agensia hayati seperti cendawan Trichoderma dan bakteri Pseudomonas fluorescence (Fishal et al. 2010), atau bakteri endofit yang berasal dari pertanaman pisang (Jie et al. 2009) juga sudah dilakukan dan memberikan hasil yang positif pada lingkungan rumah kaca, namun demikian penerapan secara luas dan skala komersial masih perlu dikaji. Salah satu strategi pengendalian penyakit tanaman pisang yang sangat efektif adalah dengan menggunakan kultivar pisang yang tahan terhadap penyakit (Rowe & Rosales 1996), karena tidak memerlukan bahan kimia sebagai bahan pestisida sehingga aman bagi lingkungan sekitarnya. Penggunaan kultivar tahan
7
terhadap penyakit bisa berasal dari sumber daya genetik yang telah ada ataupun berasal dari program pemuliaan tanaman atau perbaikan kultivar.
Perbaikan Kultivar Tanaman Pisang Pengembangan kultivar tahan penyakit dapat dilakukan dengan cara menseleksi sumber daya genetik yang ada (Orjeda et al. 2000) dan menciptakan kultivar baru baik secara induksi variasi somaklonal (Tang 2005), persilangan konvensional (Rowe & Rosales 1996) maupun transformasi genetika (Becker et al. 2000; Maziah et al.2007; Sreeramanan et al. 2010). Pemuliaan Konvensional Pemuliaan tanaman pisang secara konvensional dimulai pada tahun 1984 oleh Fundación Hondureña de Investigación Agrícola (FHIA), Honduras, melalui program perbaikan pisang diploid dari spesies liar yang berasal dari Papua Nugini, Indonesia, Malaysia dan Filipina dan telah menghasilkan sejumlah tanaman diploid superior, salah satunya adalah SH-2095 yang digunakan sebagai tetua persilangan beberapa kultivar FHIA. Salah satu tanaman hibrida yang dihasilkan adalah FHIA-18 (AAAB) yang tahan terhadap bercak daun sigatoka, layu Fusarium dan nematoda Radopholus similis tetapi mempunyai hasil yang masih rendah yaitu 28.5 kg. Sehingga dilakukan seleksi terhadap hibrida lain dan menghasilkan FHIA-01 (AAAB), FHIA-03 (AABB) dan FHIA-23 (AAAA) yang juga tahan terhadap layu Fusarium dan toleran terhadap hama penggerek batang/bonggol (Rowe & Rosales 1996). Program perbaikan kultivar secara konvensional untuk menghasilkan tanaman yang tahan penyakit juga dilakukan oleh International Institute of Tropical Agriculture (IITA) Nigeria sejak 1991 (Vuylsteke et al. 1993) yang bertujuan untuk menghasilkan tanaman pisang tahan terhadap penyakit bercak daun sigatoka dan hama serta penyakit lainnya, terutama pada jenis plantain dan East African Highland Banana (EAHB) (Lorenzen et al. 2010). Strategi yang ditempuh sama seperti yang dilakukan oleh FHIA yaitu menghasilkan tanaman diploid superior terlebih dahulu yang digunakan sebagai tetua untuk persilangan selanjutnya. Hasil persilangan antar diploid lokal dan introduksi diperoleh 2 hibrida yang tahan terhadap bercak daun sigatoka dan nematoda, yaitu TMB2x5105-1 dan TMB2x9128-3 (Tenkouano et al. 2003). Induksi dan Seleksi Variasi Somaklonal Kelemahan perbaikan kultivar pisang secara konvensional adalah sulitnya mendapatkan tanaman hibrida karena masalah poliploidi dan fertilitas dari kultivar komersial sebagai salah satu tetua persilangan serta tahapan seleksi yang membutuhkan waktu yang relatif lama (Roux et al. 2004). Oleh karena itu beberapa lembaga penelitian seperti Taiwan Banana Research Institute (TBRI) Taiwan (Hwang & Ko 2004), United Plantation (UP) dan Universiti Malaya (UM) Malaysia (Chai et al. 2004), menerapkan teknik induksi mutasi untuk program perbaikan kultivar pisang. Beberapa kultivar hasil mutasi tersebut antara lain Formosana dari Taiwan, yang merupakan variasi somaklonal Giant Cavendish, Novaria dan Mutiara dari Malaysia yang merupakan variasi
8
somaklonal dari Grande Naine dan Rasthali. Kultivar-kultivar tersebut menunjukkan sifat ketahanan terhadap layu FOC. Transformasi Genetika Transformasi genetika adalah teknologi alternatif yang mulai banyak dikaji dan dilakukan baik untuk tanaman pisang secara khusus maupun tanaman lain pada umumnya, karena dengan transformasi genetika, gen spesifik yang dikehendaki dapat disisipkan ke dalam tanaman (Escalant et al. 2004). Dengan makin berkembangnya teknologi regenerasi tanaman pisang melalui teknik kultur jaringan seperti embriogenesis somatik (Meenakshi et al. 2011), perbanyakan mikro (Lee 1993) dan kultur protoplas (Assani et al. 2001), dukungan untuk perbaikan kultivar pisang dengan teknik bioteknologi akan semakin besar karena keberhasilan transformasi genetika juga dipengaruhi oleh daya regenerasi tanaman hasil transformasi. Transformasi genetika pada tanaman pisang telah banyak dilakukan baik menggunakan teknologi particle bombardment (Sagi et al. 1995; Becker et al. 2000) maupun menggunakan teknik Agrobacterium-mediated transformation (May et al. 1995; Ganapathi et al. 2001; Sreeramanan et al. 2010; Paul et al. 2011). Penelitian-penelitian tersebut tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi keberhasilan transformasi saja tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan ketahanan tanaman pisang terhadap patogen seperti BBTV dengan menyisipkan gen Replicase-associated protein (Rep) (Borth et al. 2011), sedangkan untuk ketahanan terhadap Fusarium Sreeramanan et al. (2010) menyisipkan gen chitinase dan Paul et al. (2011) menyisipkan gen anti-apoptosis, yaitu gen Bcl-2 3′ UTR.
Interaksi Tanaman dan Penyakit Interaksi antara tanaman dan patogen terdiri atas interaksi kompatibel, apabila tanaman rentan menjadi sakit pada saat terjadi serangan patogen yang virulen, dan interaksi non-kompatibel, apabila gejala penyakit tidak berkembang pada tanaman tahan pada saat adanya serangan patogen yang tidak virulen. Prinsip dari mekanisme yang berhubungan dengan pertahanan tanaman terhadap patogen tersebut disebut konsep gene-for-gene (Fhlor 1946). Mekanisme ketahanan tersebut melibatkan interaksi molekuler secara langsung ataupun tidak langsung antara produk gen avirulence (avr) sebagai elisitor dengan produk gen ketahanan (R) (Dangl & Jones 2001). Interaksi spesifik dari pengenalan produk gen avr/R menghasilkan pemicuan satu atau lebih sinyal transduksi yang akan mengaktifkan respon pertahanan tanaman untuk mencegah pertumbuhan dan perkembangan patogen dalam tanaman. Aktivasi pertahanan tanaman menyebabkan respon pada areal yang terinfeksi dengan menghasilkan reactive oxygen species (ROS), nitric oxide (NO) (Bowell 1999), akumulasi senyawa fenol, yang sering disebut juga hypersensitive response (HR) dan terjadinya penguatan dinding sel (Gurr & Rushton 2005). Reaksi pertahanan juga termasuk dihasilkannya pathogenesis-related proteins (protein PR) (van Loon & Strien 1999), phytoalexin dan akumulasi etilen (ET) dan asam jasmonat (JA) dan juga terjadi penguatan dinding sel (Hammond-
9
Kosack & Parker 2003). Selain itu dihasilkannya asam salisilat (SA) yang akan menyebabkan terjadinya systemic acquired resistance (SAR), sebuah bentuk pertahanan yang terjadi secara menyeluruh pada bagian tanaman (Punja 2001).
Gen Ketahanan (R gene) Klasifikasi Gen Ketahanan (R gene) Berdasarkan runutan asam amino dan/atau adanya motif/domain terkonservasi, gen ketahanan (R gene) dikelompokkan menjadi 8 kelas. Kelas terbesar pertama adalah cytoplasmic coiled coil-NBS-LRR (CC-NBS-LRR). Kelas CC-NBS-LRR terdapat pada tanaman dikotil dan monokotil (Meyers et al. 2005). Contoh dari kelompok ini adalah RPS2 dan RPM1 yang berasal dari Arabidopsis untuk gen ketahanan terhadap P. syringe (Mindrinos et al. 1994; Grant et al. 1995) dan I2 asal tomat untuk gen ketahanan terhadap Fusarium oxysporum (Ori et al. 1997). Kelas kedua adalah cytoplasmic toll-interleukin-1-receptor-NBS-LRR (TIR-NBS-LRR). TIR-NBS-LRR hanya ditemukan pada tanaman dikotil (Miller et al. 2008). Gen N asal tembakau (Whitham et al. 1994) dan L6 asal linseed (Lawrence et al. 1995) adalah contoh dari TIR-NBS-LRR. Kelas ketiga adalah extracytoplasmic LRR (eLRR) yang melekat pada transmembran domain (TrD). Gen Cf asal tomat untuk ketahanan terhadap Cladosporium fulvum termasuk dalam kelompok ini (Thomas et al. 1998). Kelas keempat adalah gen ketahanan yang mengandung eLRR, TrD dan cytoplasmic serine-threonine kinase (KIN) atau disebut eLRR-TrD-KIN. Contoh dari kelas ini adalah Xa21 asal padi untuk ketahanan terhadap Xanthomonas (Song et al. 1995). Gen RPW8 asal Arabidopsis yang mengandung domain TrD dan CC (Wang et al. 2009) adalah kelompok R gene yang kelima. Gen Ve asal tomat untuk ketahanan terhadap Verticillium arboratrum adalah contoh dari kelas keenam, yang mengandung eLRR, TrD, Pro-Glu-Ser-Thr (PEST) dan motif protein pendek sebagai receptor mediated endocytosis (RME) (Kawchuk et al. 2001). Kelas ke7 merupakan anggota terbaru dari TIR-NBS-LRR, tetapi pada ujung C mempunyai nuclear localization signal (NLS) dan domain WRKY. Gen RRS1 asal Arabidopsis untuk ketahanan terhadap bakteri Ralstonia solanacearum adalah contoh dari kelompok ini (Deslandes et al. 2002). Kelas R gene yang kedelapan adalah yang tidak mengandung NBS dan juga LRR. Sebagai contoh gen Hm1 yang mengkode enzim HC toxin reductase, melindungi tanaman jagung dari cendawan Cochliobolus carbonum (Johal & Briggs 1992). Contoh lain adalah gen Pto yang hanya mengandung Ser-Thr kinase tanpa LRR (Kim et al. 2002) dan Rpg1 yang mengkode receptor kinase-like protein dengan 2 protein kinase (Brueggeman et al. 2002). Ilustrasi kelas gen ketahanan ditampilkan pada Gambar 3. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, sebanyak 91 gen ketahanan telah diisolasi dan dikarakterisasi (Gururani et al. 2012). Lebih dari 70 % di antaranya adalah kelas NBS-LRR. Berdasarkan domain terkonservasi dari R gene, degenerate primer dapat didisain untuk mengamplifikasi resistance gene analogue (RGA) atau sejumlah kandidat gen dari berbagai spesies tanaman seperti kedelai (Kanazin et.al. 1996), slada (Shen et al. 1998), apel (Baek & Choi 2013), linseed (Yaish et al. 2004) dan meggunakan pendekatan PCR. Pendekatan yang sama juga telah digunakan untuk mengamplifikasi RGA dari tanaman pisang.
10
Gambar 3 Kelas utama gen ketahanan (R gene) berdasarkan susunan dan fungsi domainnya, beserta contoh gen. LRR: Leucine rich repeats; NBS: Nucleotide-binding site; TIR: Toll/Interleukin-1-receptors; C-C: Coiled coil; TrD: Transmembrane domain; PEST: Protein degradation domain (proline-glycine-serine-threonine); ECS: Endocytosis cell signaling domain; NLS: Nuclear localization signal; WRKY: Amino acid domain; Hm1: Helminthosporium carbonum toxin reductase enzyme (Gururani et al. 2012) Resistance Gene Analogue (RGA) pada Musa Sejumlah RGA telah diisolasi dari berbagai kultivar/spesies Musa spp., dikarakterisasi dan dideposit di pangkalan data NCBI (GenBank). Pei et al. (2007) berhasil mendapatkan 12 RGA NBS-LRR dari spesies liar Gongjiao (AA), Xinyiyejiao (BB) dan kultivar Zhongshandajiao (ABB), Fenjiao (AAB) dan Williams (AAA). Pereza-Echeverria et al. (2008) berhasil mengisolasi 5 resistance gene candidate (RGC/RGA) asal segregan M. acuminata ssp. malaccensis yang tahan terhadap FOC ras 4 dan menganalisis ekspresi pada tanaman pisang yang diinfeksi oleh cendawan FOC ras 4. Berdasarkan hasil analisis ekspresi, salah satu RGA yaitu RGC2 terekspresi pada saat ada infeksi FOC, 3 RGA terekspresi secara konstitutif dan satu RGA sisanya tidak terekspresi. Resistance Gene Analogue dari kelas serine-threonin kinase juga berhasil diisolasi dari tanaman pisang oleh Pereza-Echeverria et al. (2007) dan diperoleh 7 fragmen RGA yang mempunyai identity 58-68 % dengan gen Pto asal tanaman tomat. Azhar & Heslop-Harrison (2008) berhasil mengisolasi 102 fragmen RGA NBS-LRR dari 42 sampel asal kultivar dan spesies liar Musa, yaitu M. ornata, M. velutina, M. textilis, M. acuminata, M. balbisiana, dan M. sizocarpa. Berdasarkan hasil analisis filogenetik, dari 102 fragmen tersebut diperoleh 3 kelompok RGA. Sun et al. (2009) telah berhasil mengisolasi 20 fragmen RGA asal kultivar
11
Goldfinger (AAAB) yang terbagi dalam 5 kelompok RGA. Sebanyak 4 fragmen RGA asal M. acuminata ssp. malaccensis juga berhasil diisolasi oleh Lu et al. (2011).
Gen Respon Pertahanan Klasifikasi Protein PR Tanaman tingkat tinggi merespon berbagai cekaman fisik, kimia dan biologi dengan berbagai cara. Cekaman tersebut termasuk pelukaan, paparan logam berat seperti merkuri, salinitas, kekeringan, suhu rendah dan serangan patogen cendawan, bakteri dan virus. Tanaman mempertahankan diri dari cekaman tersebut secara fisik dengan menguatkan dinding sel melalui lignifikasi (Bhuiyan et al. 2009), suberisasi (Pla et al. 1998) dan pengendapan callose (Luna et al. 2011); dengan mensintesa senyawa dengan berat molekul rendah seperti phytoalexins yang bersifat racun terhadap organisme pengganggu; dengan menghasilkan beragam protein pathogenesis-related (PR) seperti chitinase, β-1,3glucanase, dan thaumatin-like proteins (Bowles 1990). Sejak ditemukannya protein PR pada tanaman tembakau yang secara hipersensitif bereaksi terhadap infeksi tobacco mosaic virus (TMV) (van Loon & Kammen 1970), penelitian tentang protein PR yang awalnya diberi nama “b” proteins lebih difokuskan pada kemungkinan keterlibatannya untuk pertahanan terhadap patogen. Antoniw et al. (1980) menciptakan istilah ‘pathogenesis-related proteins’ (PRs) yang didefinisikan sebagai protein yang dihasilkan oleh tanaman inang, tetapi diinduksi hanya oleh situasi patogenik atau yang berkaitan. Sampai saat ini protein PR yang telah ditemukan dikelompokkan ke dalam 17 famili berdasarkan struktur primer dan sifat immunologinya (van Loon et al. 2006). Anggota dari PR-1 mengandung protein yang masih belum diketahui cara kerjanya baik secara selular maupun molekular, namun demikian PR-1 telah terbukti menghambat perkembangan cendawan Phytophthora infestans dan Uromyces fabae baik secara in vitro maupun in vivo (Niderman et al. 1995; Rauscher et al. 1999). Famili PR-2 beranggotakan β-1,3-glucanase yang mendegradasi β-1,3-glucan, biopolimer yang ditemukan pada dinding sel cendawan. Famili PR-3, 4, 8 dan 11 beranggotakan chitinase dengan berbagai kelas (I-VII), sedangkan PR-5, 6, 7, 9 dan 10 beranggotakan masing-masing thaumatin-like proteins, protease-inhibitors, endoproteinases, peroxidases, dan ribonuclease-like proteins (van Loon & Strien 1999). Protein yang berfungsi pada permeabilitas membran dimiliki oleh PR-12, PR-13 dan PR-14 yang beranggotakan masing-masing defensin, thionin dan lipid-transfer proteins (LTPs). Oxalat oxidase (OXO) atau germin yang ditemukan pada sereal seperti gandum, padi, jagung, barley, oat termasuk dalam famili PR-15 (Lane et al. 1993; Lane 2000), sedangkan germin-like proteins (GLPs) yang ditemukan pada Arabidopsis thaliana dan Medicago truncata termasuk dalam famili PR-16 (Carter et al. 1999; Doll et al. 2003). Okushima et al. (2000) berhasil mendapatkan satu protein yang tersusun atas 242 asam amino dan berukuran 27 kDa asal kultur sel tembakau. Klon cDNA (NtPRp27) dari gen penyandi protein tersebut mempunyai kemiripan dengan gen WCI-5 asal gandum yang terinduksi oleh BTH yang berperanan dalam mekanisme SAR. Hasil transkripsi gen
12
NtPRp27 terakumulasi pada saat adanya infeksi dari virus mozaic tembakau (TMV), pelukaan dan perlakuan kekeringan. Karena tidak ada kemiripan dengan famili gen PR sebelumnya, maka NtPRp27 dikelompokkan ke dalam PR-17. Satu fitur penting dari kebanyakan protein PR adalah kemampuannya sebagai antifungal effects karena sifatnya sebagai enzim hidrolitik yang berperanan dalam pelemahan dan dekomposisi dinding sel cendawan yang mengandung glucan, chitin dan protein. Enzim tersebut adalah β-1,3-glucanase, chitinase dan proteinase (Selitrennikoff 2001). Sehubungan dengan pengembangan ketahanan tanaman terhadap patogen melalui teknologi transformasi genetika, salah satu strategi yang menjanjikan adalah berdasarkan eksploitasi gen yang menyandi enzim hidrolitik, yaitu β-1,3-glucanase dan chitinase yang berasosiasi dengan respon SAR pada tanaman (Edreva 2005). β-1, 3-Glucanase Enzim β-1,3-glucanases (glucan endo-1,3-β-glucosidases, EC 3.2.1.39) dapat ditemukan pada tanaman, yeast, actinomycetes, cendawan, bakteri, serangga dan ikan (Pan et al. 1989). Enzim ini mengkatalis β-1,3-glucan, yang merupakan polimer dari β-1,3-linked glucose (Simmons 1994). β-1,3-Glucan merupakan komponen utama penyusun dinding sel beberapa cendawan patogen (Wessel & Sietsma 1981; Adam 2004) dan tanaman pada saat perkembangan tertentu (Kaus 1987), yang disebut callose. Walaupun sebagian besar studi β-1,3-glucanase mengenai peranannya dalam pertahanan terhadap patogen, tetapi terdapat bukti yang kuat bahwa enzim tersebut juga terlibat dalam berbagai proses fisiologi dan perkembangan tanaman yang sedang tidak terinfeksi patogen, seperti pembelahan sel (Fulcher et al. 1976), microsporogenesis (Bucciaglia & Smith 1994), perkecambahan dan pertumbuhan tabung polen (Roggen & Stanley 1969), fertilisasi (Lotan et al. 1989; Ori et al. 1990), embriogenesis (Dong & Dustan 1997; Helleboid et al. 1998), pemasakan buah (Hinton & Pressey 1980), perkecambahan benih (Vogel-Lange et al. 1994), dormansi tunas (Krabel et al. 1993), respon terhadap pelukaan, dingin, ozon dan sinar UV B (Thalmair et al. 1996; Hincha et al. 1997). Sejumlah gen β-1,3-glucanase telah teridentifikasi dari berbagai spesies tanaman. Protein yang disandi dari gen tersebut menunjukkan keragaman dalam hal ukuran, isoelectric point (pI), struktur primer, letaknya di dalam sel dan pola regulasinya. Berdasarkan beberapa hal tersebut, β-1,3-glucanase yang ditemukan pada tembakau (Leubner-Metzger et al. 1995), tomat (Domingo et al. 1994), kentang (Oh & Yang 1995) dan tanaman lain, dibagi dalam 4 kelas (LeubnerMetzger & Meins 1999). Sebagian besar β-1,3-glucanase yang telah diteliti termasuk dalam kelas I dan II (Shi et al. 2006). β-1,3-Glucanase yang termasuk dalam kelas I mempunyai berat molekul 33 kDa dan bersifat basic yang ditemukan dalam vakuola sel tanaman. Enzim yang termasuk dalam kelas I ini mempunyai perpanjangan sekuen terkonservasi pada C-terminal yang diduga sebagai sekuen pensinyalan untuk lokalisasi ke dalam vakuola (Shinshi et al. 1988), sedangkan β-1,3-glucanase kelas II, III dan IV bersifat acidic, tidak mempunyai perpanjangan sekuen pada C-terminal dan disekresi ke ruang antar sel dan berat molekul berkisar 34-36 kDa (Beffa et al. 1993; Bucciaglia & Smith 1994). Perbedaan dari ketiga kelas enzim tersebut berdasarkan perbedaan sekuen asam aminonya.
13
β-1,3-Glucanase kelas II asal tembakau yang telah teridentifikasi mempunyai 6 isoform berdasarkan sekuen asam aminonya dengan identity sebesar 82% antar masing-masing isoform, dan sebesar 48.8% bila dibandingkan kelas I (Ward et al. 1991; Leubner-Metzger & Meins 1999). Seperti halnya pada kelas I, sebagian besar β-1,3-glucanase kelas II juga mempunyai signal peptide (Von Heijne 1983). Hasil analisis yang dilakukan oleh Linthorst et al. (1990) menunjukkan bahwa ekspresi acidic β-1,3-glucanase (kelas II) sangat dipicu oleh infeksi TMV atau perlakuan asam salisilat. Protein β-1,3-glucanase kelas III mempunyai berat molekul 35 kDa, mempunyai identity sebesar 43% terhadap kelas I dan kelas II. Gen SGN1 yang termasuk dalam β-1,3-glucanase kelas III berhasil diisolasi dari tanaman kedelai. Hasil karakterisasi dari gen tersebut menunjukkan bahwa ekspresinya dipicu oleh berbagai sinyal yang berhubungan dengan pertahanan, seperti H2O2, asam jasmonat, ethepon, asam salisilat, pelukaan, perlakuan elisitor yang berasal dari Phytophthora spp., dan juga inokulasi dengan Pseudomonas syringae (Cheong et al. 2000). β-1,3-Glucanase kelas IV adalah enzim yang tidak mempunyai sifat antipatogen seperti pada β-1,3-glucanase kelas I, II dan III. Ekspresi dari protein β-1,3-glucanase kelas IV terdapat pada anther dan berhubungan dengan perkembangan polen (Bucciaglia & Smith 1994). Enzim Tag1adalah enzim yang termasuk dalam anggota dari β-1,3-glucanase kelas IV yang ditemukan pada tembakau. Protein Tag1 berukuran 35 KDa dan mempunyai identity 37-38% terhadap β-1,3-glucanase kelas I, II dan III asal tembakau (Leubner-Metzger & Meins 1999). Beberapa hasil penelitian menunjukkan ekspresi enzim β-1,3-glucanase meningkat setelah adanya infeksi patogen, seperti pada barley yang terinfeksi powdery mildew (Ignatius et al. 1994), strawberry yang terinfeksi Colletotrichum fragariae (Shi et al. 2006), cabai yang terinfeksi Xanthomonas campestris pv. vesicatoria dan Phytophthora capsici (Jung & Hwang 2000), kedelai yang terinfeksi Pseudomonas syringae (Cheong et al. 2000), gandum yang terinfeksi Fusarium graminearum (Li et al. 2001), dan peach yang terinfeksi Monilinia fructicola (Zemanek et al. 2002). Chitinase Chitinase (EC. 3.2.1.14) adalah enzim katalis yang memotong ikatan antara C1 dan C4 dari 2 monomer N-acetyl-D-glucosamine dari chitin. Chitinase dihasilkan oleh bakteri, cendawan, hewan dan tanaman. Secara umum chitinase yang dihasilkan oleh tanaman adalah endochitinase yang dapat menghidrolisis chitin. Chitin merupakan komponen penyusun dinding sel cendawan, eksokeleton dari anthropoda dan nematoda (Ebrahim et al. 2011). Chitinase asal tanaman pada umumnya berupa protein dengan berat molekul 25-40 kDa, mempunyai kisaran pH optimum yang cukup lebar, yaitu pH 4-9, dan bersifat stabil pada suhu sampai 60 °C (Collinge et al. 1993). Seperti halnya pada protein PR lainnya, chitinase juga bersifat basic dan acidic. Basic chitinase umumnya ditemukan di vakuola dan acidic chitinase merupakan extraseluler. Berdasarkan aktivitas chitinolytic atau pola hidrolisis chitin, chitinase dibagi menjadi 2, yaitu endochitinase dan exochitinase (Nielsen & Sørensen
14
1999). Endochitinase memotong chitin secara acak pada bagian dalam, menghasilkan molekul-molekul multimer N-acetylglucosamine yang berukuran lebih kecil, seperti chitotriose, chitotetraose dan dimer di-acetylchitobiose. Exochitinase dibagi menjadi 2 sub-kategori, yaitu chitobiodase yang memotong hanya pada microfibril paling ujung dari rantai chitin dan menghasilkan diacetylchitobiose (Harman et al. 1993). Sub-kategori kedua adalah β-1,4-Nacetylglucosaminidase yang memotong produk dari endochitinase dan chitobiodase menghasilkan monomer (Sahai & Manocha 1993). Berdasarkan mekanisme hidrolitik, chitinase dikelompokkan ke dalam 2 famili, yaitu glycoside hydrolase family 18 dan glycoside hydrolase family 19 (Iseli et al. 1996; Henrissat & Bairoch 1993). Berdasarkan struktur primernya, chitinase diklasifikasikan ke dalam 7 kelas, yaitu chitinase kelas I-VII. Chitinase kelas I, II, IV dan VII yang berasal dari tanaman termasuk dalam glycoside hydrolase family 19 (Hamel et al. 1997; Castillo et al. 2007), sedangkan chitinase kelas III, V dan VI yang berasal dari tanaman, cendawan, bakteri, virus dan serangga adalah anggota dari glycoside hydrolase family 18 (Cohen-Kupiec & Chet 1998; Hollis et al. 2000). Chitinase kelas I mempunyai cysteine-rich pada Nterminal dari chitin-binding domain (CBD) dan berhomolog dengan havein, CBD yang berasal dari tanaman karet. Bagian C-terminal dari chitinase kelas I terdapat signal peptide yang berfungsi untuk penempatan ke dalam vakuola (Neuhaus et al. 1991). Antara CBD dengan catalitic domain dipisahkan oleh proline dan glycine-rich hinge. Adanya delesi CBD dan/atau glycine-rich hinge pada chitinase kelas I asal tanaman tembakau dapat mengurangi aktivitas hidrolitik sebesar 50 %, dan fungsinya sebagai anti-cendawan menurun 80 % (Surarez et al. 2001). Chitinase kelas I dibagi menjadi 2, yaitu kelas Ia dan Ib. Perbedaan kelas Ia dan Ib adalah tidak adanya C-terminal signal peptide pada kelas Ib sehingga bersifat acidic dan extracellular (Flach et al. 1992). Chitinase kelas II mempunyai berat molekul 27-28 kDA dan sekuen asam amino yang mirip dengan kelas I tetapi tidak mempunyai N-terminal CBD dan C-terminal signal peptide, dan disekresi di apoplast (Shinshi et al. 1990). Chitinase kelas III merupakan anggota dari PR-8 dan termasuk dalam glycoside hydrolase family 18. Chitinase kelas III mempunyai struktur asam amino catalytic domain yang tidak berbeda dengan kelas I dan II. Sebagian besar chitinase kelas III diklasifikasikan berdasarkan kesamaan yang tinggi terhadap enzim hevamine (lysozyme yang mempunyai aktivitas menyerupai chitinase). asal tanaman karet (Jekel et al. 1991). Chitinase kelas III mempunyai kisaran isoelectric point dan pH optimum yang lebar, dan stabil pada suhu 60-70 °C. Sebagai contoh chitinase dari Beninncasa hispida mempunyai optimum pH 2 tetapi aktivitasnya masih bisa bertahan 50 % pada pH 8 (Shih et al. 2001). Chitinase kelas IV, V, VI dan VII termasuk dalam PR-3. Struktur kelas IV sama dengan chitinase kelas I, mempunyai cystein-rich domain dan struktur utama terkonservasi, tetapi lebih pendek karena terdapat delesi asam amino. Seperti kelas II, chitinase kelas IV juga merupakan extracellular chitinase dan hanya ditemukan pada tanaman dikotil. Sekuen asam amino chitinase kelas V asal tembakau berbeda dengan dengan kelas I-IV, tetapi mempunyai mempunyai kemiripan dengan asam amino dari exochitinase asal bakteri Bacillus circulans, Serratla marcescens and Streptomyces plicatus (Melchers et al. 1994). Chitinase kelas VI berhomolog dengan Ch1 asal sugar beet yang mempunyai setengah sekuen CBD dengan prolin-
15
rich spacer yang panjang (Berglund et al. 1995). Chitinase kelas VII yang diisolasi dari gandum mempunyai identity sebesar 77% dengan chitinase kelas IV asal gandum dan identity yang lebih rendah dari kelas lainnya (Singh et al. 2007). Dinding sel tanaman tidak mengandung chitin, tetapi hama serangga dan sebagian besar cendawan patogen (ascomycetes, basidiomycetes dan deuteromycetes) mengandung chitin dalam dinding selnya (Collinge et al. 1993). Hal ini menimbulkan asumsi bahwa chitinase dihasilkan tanaman terlibat dalam mekanisme pertahanan terhadap patogen baik secara langsung karena sifatnya sebagai anti cendawan atau secara tidak langsung dengan mengeluarkan oligomer chitin yang akan menginduksi respon pertahanan tanaman (Collinge et al. 1993; Surarez et al. 2001; Gomez et al. 2002). Ekspresi sejumlah gen chitinase terinduksi selama infeksi cendawan dan produk chitinase terakumulasi di sekitar dinding sel hifa di daerah infeksi pada tanaman (Wubben et al. 1992). Selain itu terjadi peningkatan ekspresi chitinase yang menyebabkan peningkatan ketahanan terhadap beberapa cendawan yang dinding selnya mengandung chitin (Jongedijk et al. 1995; Jach et al. 1995). Secara alami, chitinase dan β-1,3-glucanase bekerja sama secara sinergis dalam menekan pertumbuhan dan perkembangan cendawan patogen. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mauch et al. (1988) menyatakan bahwa apabila masing-masing chitinase atau β-1,3-glucanase hanya dapat menghambat pertumbuhan satu cendawan saja. Tetapi apabila dikombinasi akan dapat menekan pertumbuhan semua cendawan yang diuji. Sebuah model mengenai peranan chitinase dan β-1,3-glucanase dalam respon pertahanan tanaman terhadap patogen yang diusulkan oleh Mauch & Staehelin (1989) menyarankan bahwa enzim-enzim tersebut terlibat pada tahapan patogenesis yang berbeda. Ketika hifa cendawan patogen mulai memasuki ruang antar sel tanaman inang, akan bersentuhan langsung dengan acidic β-1,3-glucanase yang berada di lamella tengah, selanjutnya β-1,3-glucanase akan mendegradasi β1,3-glucan yang terkandung dalam dinding sel cendawan dan menghasilkan oligosakarida yang berfungsi sebagai ekso-elisitor untuk produksi phytoalexin (Keen & Yoshikawa 1983) dan protei PR lainnya. Acidic chitinase kelas IV dan VII juga ikut berperan dalam mekanisme awal pertahanan terhadap patogen (Gerhardt et al. 1997). Hasil dari interaksi awal antara cendawan patogen dan sel inang ini akan memicu dihasilkannya basic β-1,3-glucanase dan chitinase yang disimpan dalam vakuola. Infeksi lebih lanjut dari patogen akan menyebabkan pecahnya protoplasma sel inang sehingga β-1,3-glucanase dan chitinase yang tersimpan dalam vakuola akan keluar dengan konsentrasi yang cukup untuk menekan pertumbuhan cendawan patogen. Ilustrasi dari mekanisme peranan chitinase dan β1,3-glucanase dalam pertahanan tanaman ditampilkan pada Gambar 4. Sampai dengan saat ini sudah ada 22 fragmen gen β-1,3-glucanase dan 26 fragmen gen chitinase yang telah dideposit ke dalam pangkalan data NCBI (GenBank). Beberapa studi tentang isolasi dan karakterisasi enzim chitinase dan β1,3-glucanase pada tanaman pisang sudah dilakukan. Ekspresi gen yang menyandi chitinase, β-1,3-glucanase dan protein PR lainnya meningkat pada awal proses pemasakan buah pisang (Clendennen & May 1997). Peumans et al. (2000) berhasil mengidentifikasi adanya konsentrasi enzim β-1,3-endoglucanase yang tinggi pada buah pada saat proses pemasakan buah. Namun demikian peranan enzim tersebut pada proses pemasakan buah masih belum jelas.
16
mRNA ER
NUKLEUS
VAKUOLA GOLGI
phytoalexins
RECEPTOR (?) ELISITORS
exo- endo-
pectinase cellulase
chitinase glucanase
MEMBRAN PLASMA
CENDAWAN
DINDING SEL
LAMELLA TENGAH
CENDAWAN
KALI
Gambar 4 Model yang menggambarkan peranan chitinase dan β-1,3-glucanase melawan serangan cendawan patogen (Mauch & Staehelin 1989) Hasil penelitian Tang et al. (2010) menunjukkan bahwa gen chitinase (MaChit) terekspresi secara konstitutif pada saat perkembangan buah sampai buah dipanen, dan puncaknya pada saat permulaan pemasakan buah. Adanya biosintesis etilen pada awal proses pemasakan buah akan memicu ekspresi gen MaPR1 sampai buah masak. Ekspresi kedua gen (MaChit dan MaPR1) tersebut berperan sebagai anti cendawan pada saat buah sebelum masak sampai buah masak, terutama terhadap penyakit anthracnose pada buah yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum musae (Tang et al. 2013). Penelitian untuk meningkatkan ketahanan terhadap beberapa penyakit pisang berbasis gen PR, telah dilakukan dengan cara transformasi genetika. Gen endochitinase (ThEn-42) yang berasal dari Trichoderma harzianum bersama dengan gen stilbene synthase (StSy) asal tanaman anggur dan gen superoxide dismutase (Cu,Zn-SOD) asal tanaman tomat, berhasil ditransformasi ke pisang Cavendish untuk menghasilkan tanaman pisang tahan terhadap bercak daun Sigatoka (Vishnevetsky et al. 2011) menggunakan metode Agrobacterium-mediated, sedangkan Kovács et al. (2013) menggunakan gen chitinase (rcc2 dan rcg3) asal padi untuk menghasilkan tanaman pisang tahan terhadap penyakit yang sama menggunakan metode particle gun bombardment. Untuk menghasilkan tanaman pisang Rastali tahan terhadap layu FOC ras 1, Maziah et al. (2007) menyisipkan gen β-1,3-endoglucanase (pROKla-Eg) asal tanaman kedelai. Metode transformasi yang digunakan adalah Agrobacteriummediated transformation.
Marka Molekuler Pada Tanaman Pisang Marka genetika pada awalnya digunakan untuk pemetaan genetik untuk menentukan runutan gen sepanjang kromosom. Alfers H. Sturtevant menghasilkan peta
17
genetik pertama menggunakan 6 karakter morfologi (disebut faktor) pada lalat buah (Drosophila melanogaster) pada tahun 1913 (Sturtevant 1913). Selanjutnya Kalr Sax menemukan bukti pertautan genetik antara lokus kualitatif dan lokus kuantitatif (QTL) pada kacang buncis (Phaseolus vulgaris) (Sax 1923). Sejak saat itu marka genetik telah berkembang dari marka morfologi kemudian marka isozyme (biokimia) dan marka DNA. Saat ini marka genetika telah digunakan baik untuk penelitian dasar maupun untuk pemuliaan tanaman. Marka Morfologi Marka berdasarkan karakter morfologi mudah diamati tetapi sangat mudah dipengaruhi oleh lingkungan, polimorfisme dan heritabilitas rendah, dan beberapa di antaranya mempunyai perkembangan yang terlambat seperti perkembangan bunga, yang bisa membuat pengamatan skor menjadi terlambat juga (Smith & Smith 1992). Selain itu adanya fenomena satu marka morfologi juga dapat mempengaruhi marka morfologi lainnya atau disebut “Pleiotropy” (Stearns 2010). Yang terpenting, kelemahan dari marka morfologi adalah jumlahnya yang terbatas, sehingga tidak bisa dilakukan analisis seperti QTL. Hal yang sama juga tidak bisa dilakukan oleh marka isozyme (Liersch et al. 2013). Dengan adanya marka DNA atau disebut marka molekuler, keterbatasan yang ada pada marka morfologi dan isozyme dapat diatasi. Beberapa metode telah digunakan untuk mengkaji variabilitas yang ada pada plasma nutfah Musa. Karakter morfo-taksonomi pertama kali dikembangkan dan dioptimalisasi pada tanaman pisang dan diperoleh 119 diskriptor untuk mengkarakterisasi plasma nutfah pisang (Horry & Arnaud 1997). Diskriptor tersebut didasarkan pada karakter dasar yang dimiliki oleh Musa acuminata (mewakili genom ‘A’) dan Musa balbisiana (mewakili genom ‘B’). Namun demikian besarnya pengaruh lingkungan, tahapan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan besarnya keragaman Musa bisa merupakan faktor pembatas untuk penggunaan karakter morfologis di bidang taksonomi. Selain itu karakter morfologi dikendalikan oleh sejumlah kecil gen yang tidak mewakili keragaman genetik dari keseluruhan genom Musa (Saraswati et al. 2011). Marka Isozyme Sebagian besar studi pada Musa menggunakan marka isozyme adalah untuk analisis keragaman genetik (Bath et al. 1992a) dalam genus, mengidentifikasi variasi somaklonal dan mengidentifikasi tanaman hasil fusi protoplas (Bath et al. 1992b). Rivera (1983) menggunakan peroxidase dan polyphenoloxidase untuk membedakan subgroup Saba (ABB) dengan Bluggoe (ABB). Jarret & Litz (1986a,b) menguji efisiensi dan aplikasi beberapa isozyme seperti shikimate dehydrogenase (SKDH), malate dehydrogenase (MDH), peroxidase (PRX), phosphoglucomutase (PGM) dan glutamate oxaloacetate transminase (GOT). Beberapa di antaranya dapat digunakan untuk membedakan klon pada beberapa subgroup Musa. Espino & Pimentel (1990) menggunakan MDH untuk membedakan genom AAB dan ABB dengan genom BB, sedangkan Liyanage et al. (1998) menggunakan alloenzyme dari esterase untuk membedakan kultivar yang mengandung genom”A” dan “B”. Sementara itu Megia et al. (2001) menggunakan isozyme MDH, PRX dan GOT untuk menganalisa keragaman 100 kultivar Musa asal Indonesia yang bergenom AA, AAA, AAB, ABB dan BB, diketahui bahwa polimorfisme yang tinggi ada pada MDH dan PRX. GOT mempunyai polimorfisme terendah. Dhanya et al. (2006) menggunakan PRX untuk
18
mengidentifikasi kultivar yang tahan terhadap banana bract mozaic virus (BBrMv). Marka Molekuler Marka molekuler didefinisikan sebagai segmen DNA tertentu yang mewakili perbedaan pada tingkat genom. Marka molekuler bisa mewakili ekspresi fenotipik suatu karakter ataupun tidak. Marka molekuler menawarkan sejumlah manfaat dibanding marka morfologis antara lain sifatnya stabil dan bisa dideteksi pada semua jaringan tanaman, semua tahap pertumbuhan dan perkembangan tanpa dipengaruhi oleh lingkungan, pleitropic dan epistasi, serta perbedaan genetik dapat diketahui sejak awal pertumbuhan (Agrawal et al. 2008). Marka molekuler secara luas telah digunakan pada tanaman pisang dan kerabatnya (Musaceae) terutama untuk identifikasi variasi dan kekerabatan genetik plasma nutfah pisang, identifikasi duplikasi aksesi pisang di koleksi lapang dan kultur jaringan, monitoring stabilitas genetik materi kultur jaringan, analisis genotipe pisang hasil radiasi dan identifikasi marka suatu karakter dalam program pemuliaan (Pillay et al. 2012). Berdasarkan pola ekspresi polimorfisme, marka DNA dibagi menjadi 2 kategori, yaitu polimorfisme berbasis hibridisasi, dan berbasis polymerase chain reaction (PCR). Marka DNA berbasis hibridisasi yang digunakan adalah restriction fragment length polymorphism (RFLP) (Sanbrook et al. 1989) dan variable number tandem repeats (VNTR) loci (Rogstad 1993; Crouch et al. 1999). Restriction fragment length polymorphism (RFLP) adalah keragaman panjang fragmen DNA karena adanya enzim restriksi yang memotong DNA pada situs yang sesuai dengan situs pemotongan dari enzim restriksi tersebut. RFLP adalah marka kodominan yang dapat membedakan homozigot dan heterozigot. RFLP telah digunakan dalam studi taksonomi, kekerabatan plasma nutfah spesies Musa dan studi keragaman dari genom kloroplas (Gawel & Jarret 1991; Gawel et al. 1992; Nwakanma et al. 2003). Bath et al. (1994) memanfaatkan teknik RFLP untuk membedakan kultivar pisang. Namun demikian RFLP kurang digunakan dalam kegiatan pemuliaan tanaman karena tingginya biaya operasional. Variable number tandem repeats (VTNR) adalah sekuen DNA pendek yang berulang yang ada pada DNA genom. VTNR atau repetitive DNA sequence jumlahnya sangat banyak dan tersebar dalam genom eukariot (Frediani et al. 2004). VTNR bisa berupa minisatelit (10-45 bp) ataupun mikrosatelit (2-6 bp). Identifikasi VTNR pada awalnya menggunakan probe radioaktif, namun demikian sekarang telah banyak menggunakan teknik berbasis PCR. Crouch et al. (1999a) menggunakan analisis VTNR untuk membandingkan kesamaan genetik hibrida full-sib 2x dan 4x plantain dengan genotipe tetuanya. Setelah dipublikasikannya penemuan teknologi PCR oleh Mullis & Faloona (1987), marka molekular berbasis PCR makin berkembang karena kemudahan dan peluang keberhasilannya yang tinggi. Beragam teknik berbasis PCR telah digunakan untuk menganalisis keragaman genetik, hubungan kekerabatan antara spesies liar dengan kultivar Musa, antara lain random amplified polymorphic DNAs (RAPD), microsatellite atau simple sequence repeat (SSR), amplified fragment length polymorphism (AFLP), inter-retrotransposon amplified polymorphism (IRAP), diversity arrays technology (DArT) dan single nucleotide polymorphisms (SNP) . Kelebihan dari RAPD adalah mudah dalam penanganan dan biaya operasional yang relatif murah, dibutuhkan jumlah DNA sedikit dan tidak diperlukan informasi genom dari organisme yang dianalisis. Namun demikian, RAPD mempunyai
19
kelemahan, yaitu reproduktifitas yang terbatas, bersifat marka dominan dan reliabilitas yang tergantung pada keterampilan dari operator. RAPD telah berhasil digunakan untuk menganalisis keragaman plasma nutfah Musa (Howell et al. 1994; Bhat & Jarret 1995; Pillay et al. 2001; Uma et al. 2006; Nsabimana & Staden 2007), membedakan klasifikasi group dari Musa dan kerabatnya (Pillay et al. 2000; Bhat & Jarret 1995), hibrida full-sib populasi pemuliaan plantain (Crouch et al. 2000), menguji keseragaman tanaman hasil perbanyakan embriogenesis somatik (Meenakshi et al. 2011), dan untuk mendeteksi komposisi genom A atau genom B pada plasma nutfah dan hibrida Musa (Oselebe et al. 2006; Pillay et al. 2006). Selain itu peta tautan genetik berhasil dibuat dengan berbagai marka termasuk di antaranya RAPD (Faure et al. 1993). Marka RAPD yang dikonversi menjadi sequence-characterized amplified region (SCAR) digunakan sebagai alat untuk melakukan seleksi tidak langsung ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit bercak daun sigatoka (Nwauzoma et al. 2011) dan layu fusarium (Wang et al. 2012). Mikrosatelit atau simple sequence repeats (SSR) dikembangkan untuk menutupi kekurangan yang terdapat pada RAPD (Jarret et al. 1994; Mattos et al. 2010). Lokus SSR jumlahnya berlimpah dan tersebar secara acak, merupakan lokus spesifik, kodominan dan marka multi-allelic. Keuntungan marka SSR adalah marka yang bisa direproduksi karena jumlahnya yang melimpah, polimorfik dan reliabilitas (Kashi et al. 1997; Li et al. 2004). Marka SSR telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik spesies tanaman, analisis sidik jari, pemetaan genetik. Analisis simple sequence repeat length polymorphism (SSRLP) telah dapat mendeteksi tingkat polimorfisme yang tinggi antar individu populasi pemuliaan Musa (Crouch et al. 2000). Saat ini telah diidentifikasi ratusan marka SSR baik yang berasal dari M. acuminata maupun M. balbisiana (Wang et al. 2010; Amorim et al. 2012). Salah satu marka yang bernama Inter-Retrotransposon Amplified Polymorphism (IRAP) adalah merupakan komplementer marka dominan yang digunakan untuk mendeteksi polimorfisme dalam insersi retrotransposon. Retrotransposon bertindak sebagai agen mutagenik yang memberikan sumber keragaman pada tanaman termasuk Musa (Heslop-Harrison 2000). Kelas utama dari retroelement termasuk di dalamnya terbagi dalam beberapa kelas terutama long interspersed elements (LINES), short interspersed elements (SINES), copia dan gypsylike elements, dan retroviruses. Tao et al. (2005) menggunakan marka IRAP untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi kultivar pisang dan klasifikasi genom Musa. Beberapa penelitian mengenai marka IRAP, menunjukkan bahwa marka IRAP dapat digunakan untuk mengidentifikasi komposisi genom (A atau B) pada pisang-pisang komersial, sehingga akan membantu dalam pengelompokan berdasarkan genomnya (Balint-Kurti et al. 2000; Aert et al. 2004; Nair et al. 2005). Amplified Fragment Length Polymorphisms (AFLP) adalah teknik sidik jari berdasarkan amplifikasi PCR fragmen yang telah dipotong mengunakan enzim restriksi (Vos et al. 1995). Marka AFLP telah banyak digunakan pada berbagai tanaman karena kemampuannya untuk menghasilkan polimorfisme yang tinggi dengan sekali analisis. Marka AFLP telah digunakan untuk mendeteksi keragaman kultivar dan progenitor liar Musa (Ude et al. 2002a,b: Opara et al. 2010). Kelemahan dari AFLP adalah memerlukan manipulasi DNA (ligasi) dan teknik visualisasi yang cukup komplek, serta membutuhkan biaya yang relatif besar. Selain itu analisis AFLP memerlukan kualitas dan kuantitas DNA cukup tinggi. Lheureux et al. (2003) menemukan bahwa 10 marka AFLP bersegregasi dengan ada atau tidak adanya infeksi banana streak badnavirus
20
pada hibrida Musa. Marka AFLP dikombinasi dengan SSR telah digunakan untuk mengidentifikasi sifat partenokarpi, cebol, dan dominasi apikal pada tanaman pisang (Crouch et al. 1999b; Hautea et al. 2004) Diversity Arrays Technology (DArT) teknologi genotyping berbasis hibridisasi DNA tanpa memerlukan informasi sekuen DNA genom. DArT awalnya digunakan pada tanaman padi (Jaccoud et al. 2001) tetapi sekarang sudah digunakan pada tanaman ketela pohon, gandum, Arabidopsis, pisang (Wittenberg et al. 2005; Xia et al. 2005; Zhang et al. 2011; White et al. 2008; Hippolyte et al. 2010). Marka DArT adalah teknologi yang relatif murah yang membutuhkan sedikit DNA, tetapi memberikan hasil yang dapat mencakup informasi genom secara luas (Stodart et al. 2007). Sebanyak 1500 marka DArT telah dihasilkan pada aksesi Musa dan 380 marka di antaranya telah digunakan dalam pembuatan peta genetik BORLI di CIRAD (Hippolyte et al. 2010). Amorim et al. (2009) menggunakan 653 marka DArT untuk mengevaluasi keragaman pisang dengan kandungan karotin tinggi. Kelemahan dari teknologi DarT adalah tergantung pada ketersediaan printer dan scanner microarray, komputer untuk menganalisis, menyimpan dan mengelola data. Namun demikian apabila marka telah disekuen dapat digunakan untuk analisis berbasis PCR dan peralatan elektroforesis standar (Pillay et al. 2012). Single Nucleotide Polymorphisms (SNP) adalah polimorfisme yang disebabkan oleh perbedaan satu situs nukleotida tertentu dalam genom organisme. Keberadaan SNP melimpah dan tersebar pada genom organisme, walaupun kejadian dan distribusinya berbeda tiap organisme, seperti pada jagung terjadi 1 SNP per 60-120 pb (Ching et al. 2002), pada manusia diperkirakan terjadi 1 SNP per 1000 pb (Sachidanandam et al. 2001). Kebanyakan SNP ditemukan di luar dari gen fungsional (non-coding region) (Sherry et al. 2001). SNP yang terdapat pada gen fungsional (coding region) mendapat perhatian khusus karena secara langsung berhubungan dengan sifat yang diekspresikan oleh gen yang bersangkutan, oleh karena itu marka SNP dibuat berdasarkan sekuen dari expresses sequence tags (ESTs) (Shu et al. 2010). SNP yang ditemukan di coding region dibagi menjadi 2, yaitu yang bersifat nonsynonymous yang bisa merubah asam amino, dan yang synonymous yang tidak merubah asam amino (Sunyaev et al. 2001). Makin berkembangnya teknologi sequencing ditandai dengan munculnya high throughput sequencing platform, antara lain Roche/454 FLX (Margulies et al. 2005), Illumina/Solexa Genome Analyzer (Bentley 2006), Applied Biosystems SOLiDTM System, membuat proses sequencing menjadi lebih efisien dan biaya sequencing secara signifikan dapat dikurangi. Sejumlah besar genom dan transkriptom yang berasal dari tanaman jagung (Barbazuk et al. 2007), rapa (Trick et al. 2009) dan manusia (Li et al. 2009) telah di-sequencing untuk mengidentifikasi SNP. Teknik untuk genotyping SNP juga telah berkembang menggunakan Taqman (Shen et al. 2009), Amplifluor (Myakishev et al. 2001), Multiplexed Anchored Runoff Amplification (MARA) (Shapero et al. 2004) dan SNP array (Shen et al. 2005). Namun demikian teknik tersebut memerlukan biaya yang cukup tinggi dan peralatan khusus, sehingga tidak sesuai untuk genotyping SNP berskala kecil. Oleh karena itu sejumlah laboratorium masih melakulan validasi SNP menggunakan teknik berbasis enzim restriksi dan PCR, seperti Cleaved Amplified Polymorphic Sequence (CAPS), derived CAPS (dCAPS) (Thiel et al. 2004; Nasu et al. 2002) dan Allel Specific-PCR (AS-PCR) atau Single Nucleotide Amplified Polymorphism (SNAP) (Drenkard et al. 2000). Sampai saat ini marka berbasis SNP telah secara luas digunakan sebagai marka,
21
antara lain untuk membedakan spesies pada aksesi jeruk (Jiang et al. 2010), membuat peta tautan beresolusi tinggi pada ketela pohon dan kacang tunggak (Rabbi et al. 2012; Mucheroa et al. 2009), mengidentifikasi varietas ginseng (Sun et al. 2011) dan mengidentifikasi Cannabis yang bersifat narkotika atau tidak (Rotherham & Harbison 2011). Sementara itu Varshney et al. (2007) membandingkan marka berbasis SNP, SSR dan AFLP asal barley dan diperoleh bahwa marka berbasis SNP sesuai untuk karakterisasi dan konservasi, sedangkan SSR dan AFLP sesuai untuk analisis keragaman dan sidik jari. Yang et al. (2004) mengidentifikas 2 SNP yang bertautan dengan QTL yang berhubungan dengan warna buah pada tanaman tomat. Namun demikian informasi pemanfaatan marka berbasis SNP pada tanaman pisang masih terbatas pada studi genetik tanaman. Umali & Nakamura (2003) menggunakan marka dCAPS untuk membedakan sitoplasma pisang yang bergenom “A” dan B”. Adesoye et al. (2012) mengidentifikasi SNP yang dapat digunakan untuk pemetaan QTL yang berhubungan dengan kandungan gibberelin dan sifat partenokarpi. Perumusan Masalah Salah satu kendala dalam budidaya tanaman pisang adalah serangan penyakit. Salah satu penyakit utama yang sulit dikendalikan baik secara kimia, kultur praktis maupun biologis adalah layu yang disebabkan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC). Sampai dengan saat ini telah diidentifikasi bahwa cendawan FOC yang menyerang pertanaman pisang di Indonesia adalah FOC ras 1, 2, 4 dan ras 4 tropika (TR-4). Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika pada tahun 2007, diperoleh data bahwa di hampir semua daerah sentra produksi pisang telah ditemukan penyakit layu FOC ras 4 tropika dengan intensitas serangan yang beragam. Hal ini sangat mengancam keberadaan pertanaman pisang komersial, karena beberapa kultivar yang tahan terhadap FOC ras 1, 2 dan 4, ternyata tidak tahan terhadap FOC ras 4 tropika. Di lain pihak sumber daya genetik pisang di Indonesia sangat melimpah dengan ditemukannya beragam kultivar komersial dan non-komersial maupun spesies liar. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan juga ditemukan tidak semua kultivar terinfeksi FOC TR-4 walaupun tumbuh di daerah endemik penyakit tersebut. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme ketahanan dan pertahanan terhadap penyakit di dalam tanaman tersebut. Dengan telah diidentifikasinya sejumlah gen ketahanan (R gene) dan resistance gene analogue (RGA) pada berbagai tanaman, studi isolasi dan karakterisasi RGA pada tanaman pisang dapat dilakukan berdasarkan motif terkonservasi pada gen ketahanan yang tanaman lain. Isolasi dan karakterisasi RGA pada tanaman pisang yang tahan terhadap penyakit layu FOC diharapkan akan diperoleh kandidat gen ketahanan yang nantinya bisa ditransfer ke kultivar komersial lainnya melalui program pemuliaan tanaman. Selain gen ketahanan, perlu dikarakterisasi juga gen-gen yang berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman, 2 di antaranya yang menyandi protein chitinase dan β1,3-glucanase. Kedua kelompok gen baik gen ketahanan maupun gen pertahanan, dapat diidentifikasi adanya SNP yang dapat dikembangkan menjadi marka SNAP, yang bisa diimplementasikan sebagai instrumen seleksi dalam program pemuliaan tanaman.
22
Tujuan Penelitian 1. 2. 3. 4. 5.
Menguji secara dini ketahanan beberapa kultivar pisang terhadap penyakit layu Fusarium VCG 01213/16 (TR4). Mengisolasi dan mengkarakterisasi resistance gene analogue (RGA) pada 3 kultivar pisang tahan terhadap penyakit layu FOC. Mengisolasi dan mengkarakterisasi gen chitinase dan β-1,3-glucanase pada beberapa kultivar pisang. Mengidentifikasi dan menganalisis putatif SNP pada sekuen RGA dan DGA (gen chitinase dan β-1,3-glucanase) asal tanaman pisang. Mengembangkan marka SNAP berbasis RGA dan DGA (gen chitinase dan β-1,3glucanase) untuk marka seleksi ketahanan terhadap penyakit layu FOC.
Manfaat Penelitian Dengan diperolehnya teknik pegujian secara dini, proses seleksi ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit layu Fusarium bisa dilakukan lebih awal, membutuhkan waktu yang lebih singkat, biaya yang relatif rendah serta tidak membutuhkan tempat atau ruang yang luas. Adanya informasi karakter RGA dan DGA (chitinase dan β-1,3-glucanase) yang berasal dari tanaman pisang, akan dapat dilakukan pengujian ekspresi untuk menentukan gen-gen yang bertanggung jawab terhadap ketahanan dan pertahanan tanaman terhadap penyakit pisang khususnya layu FOC. Selain itu di dalam sekuen RGA dan DGA, akan dapat diidentifikasi keberadaan SNP yang bisa dibuat marka SNAP untuk ketahanan terhadap penyakit. Marka yang dihasilkan dapat digunakan untuk mendukung pengembangan marker assisted selection (MAS) yang akan membantu percepatan dan peningkatan akurasi proses seleksi dalam program pemuliaan tanaman pisang.
Ruang Lingkup Penelitian Kegiatan penelitian ini mempunyai ruang lingkup yang berbeda, tetapi saling berkaitan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Adapun tahapan-tahapan percobaan yang dilakukan adalah sebagai berikut: Percobaan 1: Menguji dini ketahanan beberapa kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC VCG 01213/16 (TR4), untuk menentukan kultivar yang tahan layu FOC yang akan digunakan untuk percobaan 2. Percobaan 2: Mengisolasi dan mengkarakterisasi resistance gene analogue (RGA) asal 3 kultivar pisang yang tahan penyakit layu fusarium, menggunakan degenerate primers. Percobaan 3: mengisolasi dan mengkarakterisasi gen chitinase asal 5 kultivar pisang Percobaan 4: mengisolasi dan mengkarakterisasi gen β-1,3-glucanase asal 4 kultivar pisang. Percobaan 5: mengidentifikasi dan menganalisis keragaman substitusi satu basa nukleotida (SNP) pada sekuen RGA dan DGA berdasarkan hasil proses perunutan (sequensing) DNA genom asal beberapa kultivar pisang. Percobaan 6: Mengembangkan marka SNAP berbasis RGA dan DGA (gen chitinase dan β-1,3-glucanase) asal tanaman pisang untuk marka ketahanan terhadap penyakit layu FOC. Alur kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 5.
23
Gambar 5 Diagram alur kegiatan penelitian ‘Karakterisasi Molekuler Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang (Musa spp.) Terhadap Penyakit Layu Panama (Fusarium oxysporum f.sp. cubense)’ .
BAB II UJI DINI KETAHANAN BEBERAPA KULTIVAR PISANG TERHADAP PENYAKIT LAYU Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 (TR4)1 Abstrak Layu fusarium adalah salah satu penyakit utama tanaman pisang di Indonesia. Penyakit tersebut telah menghancurkan pertanaman pisang di hampir seluruh wilayah Indonesia dan sangat sulit dikendalikan baik secara agronomi maupun secara kimia. Namun demikian, beberapa kultivar menunjukkan sifat toleran atau tahan terhadap layu fusarium. Hal ini menunjukkan bahwa kultivar tersebut secara genetik mempunyai gen ketahanan. Pengujian ketahanan tanaman pisang terhadap layu fusarium dapat dilakukan secara terkontrol menggunakan tanaman muda hasil perbanyakan kultur jaringan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketahanan tanaman muda hasil perbanyakan kultur jaringan terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC). Penelitian ini menggunakan 5 kultivar pisang, yaitu Calcuta-4 (Aaw), Ketan (AA), Klutuk Wulung (BB), Kepok (ABB) dan Ambon Hijau (AAA), dan menggunakan teknik wadah ganda. Sebelum ditanam pada cangkir plastik berisi media pasir steril, akar planlet direndam dalam larutan yang mengandung konidia cendawan FOC dengan kepadatan 106 selama 5 menit. Semua cangkir yang telah ditanami kemudian diletakkan pada tray plastik. Data dikumpulkan 5 minggu setelah tanam. Berdasarkan nilai DSI (disease severity index) dari RDI (rhizome discoloration index) dan LSI (leaf symptom index), kultivar-kultivar tersebut dikelompokkan dalam kategori sangat rentan, rentan, tahan dan sangat tahan. Hasil penelitian menunjukkan Klutuk Wulung, Calcuta-4, Ketan dan Kepok termasuk kategori tahan terhadap FOC, sedangkan Ambon Hijau adalah rentan. Semua tanaman tahan mempunyai gejala penyakit pada daun (LSI) dan/atau bonggol (RDI) yang rendah, dan tanaman masih mampu tumbuh dengan baik.
Kata kunci: pengujian dini, pisang, ketahanan, layu fusarium. 1
Bagian bab ini telah dipublikasi dalam Proceedings of the 7th Asian Crop Science Association Conference, 2011, dengan judul: The study and early evaluation of resistance banana accessions for wilt disease caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 (TR4).
26
EARLY EVALUATION OF RESISTANCE OF BANANA CULTIVARS FOR WILT DISEASE CAUSED BY Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 (TR4)1 Abstract Fusarium wilt is one of main diseases of banana in Indonesia. This disease has destroyed banana plantation in almost all parts of Indonesia and it is difficult to be managed by agronomic and chemical controls. However, some species/cultivars show tolerance or resistance to fusarium wilt. It indicates that those species/cultivars have resistance genes in their genomic DNA. The evaluation of banana plants for fusarium wilt resistance can be carried out artificially using young plants from tissue culture. The objectives of this research were to evaluate young acclimatized tissue culture plants for fusarium wilt resistance. The experiment used five banana cultivars; there were Calcuta-4 (AAw), Ketan (AA), Klutuk Wulung (BB), Kepok (ABB) and Ambon Hijau (AAA), and double compartment for planting system. Before planting on the plastic cup containing sterile sand medium, roots of the plantlets were dipped into 106 conidia suspension of Fusarium oxysporum f.sp. cubense for 5 minutes. All of the cups containing inoculated plants were put on the plastic trays. The data were collected 5 weeks after planting. Base on the value of DSI (disease severity index) of RDI (rhizome discoloration index) and LSI (leaf symptom index), cultivars will be categorized into highly susceptible, susceptible, resistant and highly resistant. Result showed that Klutuk Wulung, Calcuta-4, Ketan and Kepok were categorized as resistant, while Ambon Hijau was susceptible. All of resistant cultivars had symptom on leaves (LSI) and/or rhizome (RDI) at low level, and they still grew well.
Keywords: banana, early evaluation, fusarium wilt, resistance 1
Part of this chapter has been published in the Proceedings of the 7th Asian Crop Science Association Conference, 2011, entitled: The study and early evaluation of resistance banana accessions for wilt disease caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 (TR4)
27
Pendahuluan Salah satu tahapan penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman adalah seleksi tanaman untuk memilih karakter yang dikehendaki (Jacobsen 1992). Sehubungan dengan seleksi ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit layu Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) yang ditularkan melalui tanah, seleksi yang paling sering dilakukan adalah dengan mengevaluasi ketahanan tanaman pisang di lapang yang tanahnya telah terinfeksi oleh cendawan FOC. Dengan cara ini akan diperoleh respon tanaman yang merupakan interaksi dari tanaman inang, cendawan patogen dan faktor lingkungan (Agrios 2005). Namun demikian, evaluasi tanaman di lapang memerlukan biaya yang relatif tinggi, tempat yang luas dan resiko cekaman lingkungan lainnya, seperti kekeringan, kelebihan air, serangan hama dan penyakit lain selain penyakit yang diuji. Selain itu munculnya gejala penyakit biasanya lebih lama (4-5 bulan) tergantung dari kepadatan inokulum dan faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan penyakit yang sangat sulit dikendalikan (Morpugo et al. 1994). Usaha untuk menyederhanakan prosedur seleksi telah banyak dilakukan seperti menggunakan tanaman yang masih muda, atau kalus biakan in vitro sebagai materi seleksi (Chand et al., 2008), menggunakan ras patogen atau racun spesifik sebagai agensia seleksi (Hadrami et al. 2005), dan menggunakan rumah kasa atau rumah kaca atau kondisi in vitro sebagai metode seleksi (ŠVábová & Lebeda 2005). Prados-Ligero et al. (2007) mengevaluasi ketahanan tanaman anyelir menggunakan materi stek tunas yang dicelup suspensi konidia Fusarium oxysporum f.sp. dianthi dan selanjutnya menanamnya dalam pot. Dalam waktu 3 bulan sudah bisa diperoleh status ketahanan kultivar anyelir yang diuji. SevernEllis et al. (2003) menggunakan metode aeroponik dalam persiapan materi tanaman pisang untuk pengujian dan merawat tanaman setelah diinokulasi cendawan FOC atau nematoda. Kolonisasi patogen dalam akar tanaman terjadi dalam waktu yang relatif singkat, yaitu 2 minggu untuk cendawan FOC, dan 28 hari untuk nematoda. Evaluasi dini ketahanan pisang terhadap layu FOC menggunakan wadah ganda (double compartment) pertama kali dikenalkan oleh Liew (1996), menggunakan 2 buah cangkir plastik (cup). Salah satu cangkir yang dilubangi alasnya digunakan sebagai tempat tanaman dan media tanam, sedangkan satu cangkir lagi tidak berlubang sebagai tempat penampungan kelebihan air dan nutrisi. Tanaman yang digunakan adalah planlet hasil in vitro yang telah diaklimatisasi dan diinokulasi cendawan FOC dengan cara perendaman akar dalam suspensi konidia cendawan tersebut. Mohamed et al. (2001) melakukan modifikasi dengan menggunakan tray ganda, yaitu tray berlubang tempat tanaman diletakkan di atas tray kedua (tanpa lubang) sebagai penampungan kelebihan air siraman dan nutrisi. Dengan kedua metode di atas, konidia cendawan yang berasal dari akar tanaman karena inokulasi buatan, tidak mengalir ke sembarang tempat, melainkan ditampung pada pot kedua, dan selanjutnya dipanaskan untuk mematikan konidia sebelum dibuang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ketahanan planlet pisang hasil perbanyakan in vitro terhadap penyakit layu Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) dan mempelajari mekanisme ketahanan tanaman terhadap patogen.
28
Bahan dan Metode Penelitian dilaksanakan di laboratorium Pemuliaan dan Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB pada bulan April sampai Agustus 2011. Tanaman yang digunakan adalah 6 kultivar pisang, yaitu Calcuta-4 (AAw), Ketan (AA), Klutuk Wulung (BB), Rejang (AA), Ambon Hijau (AAA) dan Kepok (ABB) yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Bahan tanaman yang dipakai adalah planlet hasil perbanyakan kultur jaringan yang sudah diaklimatisasi dan ditanam dalam media optimum selama satu bulan dengan tinggi mencapai 10-15 cm. Setiap kultivar diperlukan planlet sebanyak 12 tanaman. Isolat FOC TR4 diperoleh dari pisang Barangan yang terserang cendawan tersebut dan diisolasi pada media PDA. Kemudian inokulum dipindah ke media cair Amstrong (Brake et al., 1995) yang mengandung 20 g l-1 sukrosa; 400 mg l-1 MgSO4.7H2O; 1.6 g l-1 KCl; 1.1 g l-1 KH2PO4; 5.9 g l-1 Ca(NO3)2, 0.2 ug ml-1 FeCl3; 0.2 ug ml-1 MnSO4, 0.2 ug ml-1 ZnSO4. Kultur diinkubasi dalam suhu ruang dan dikocok 2 kali sehari selama 7 hari dan disaring dengan 2 lapis kain katun. Konsentrasi inokulum yang dikehendaki sebesar 106 konidia ml-1, dihitung menggunakan Haemocytometer dan segera digunakan untuk inokulasi akar planlet. Pengujian menggunakan teknik double compartment atau wadah ganda yang merupakan modifikasi dari Mohamed et al. (2001) seperti ditampilkan pada Gambar 6. Cangkir plastik tempat media tanam dilubangi bagian bawahnya untuk mengeluarkan kelebihan air dan nutrisi, sedangkan bak plastik (tray) berukuran 30×40×12 cm yang berfungsi sebagai bak penampung kelebihan air dan nutrisi. Sebelum ditanam, planlet diinokulasi dengan larutan konidia (106 konidia ml-1) dengan cara merendam bagian akar selama 5 menit, kemudian ditanam pada cangkir plastik berisi campuran pasir dan arang sekam steril. Penyiraman dilakukan setiap hari dan pemupukan menggunakan pupuk cair Hyponex dilakukan seminggu sekali. Pengamatan gejala luar yang muncul pada daun (leaf symptom index = LSI) dan gejala bagian dalam pada bonggol (rhizome discoloration index = RDI) menggunakan sistem skoring yang buat oleh Mak (2004), ditampilkan pada Gambar 7 dan 8. Pengamatan LSI dilakukan pada 2 minggu setelah penanaman dan diulangi lagi 4 minggu setelah penanaman. Pengamatan visual terakhir pada minggu kelima dengan menghitung LSI dan RDI.
Media steril Penampung kelebihan air/nutrisi
Gambar 6 Pengaturan teknik penempatan wadah ganda
29
1
2
3
4
5
Gambar 7 Skor Leaf Symptom Index (LSI)
Gambar 8 Skor Rhizome Discoloration Index (RDI) Pengamatan gejala luar pada daun atau disebut leaf symptom index (LSI) berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Mak (2004), ditampilkan pada Gambar 7 terdiri atas 5 skor yaitu dari 1-5 dengan kriteria sebagai berikut: 1. Tanaman sehat (tidak ada pewarnaan kuning pada daun) 2. Sedikit pewarnaan kuning atau penguningan daun bagian bawah. 3. Penguningan pada sebagian besar daun bagian bawah. 4. Penguningan secara ekstensif pada sebagian besar daun. 5. Tanaman mati. Pengamatan gejala pada bonggol atau disebut rizhome discoloration index (RDI) berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Mak (2004), ditampilkan pada Gambar 8 terdiri atas 8 skor yaitu dari 1-8 dengan kriteria sebagai berikut: 1. Tidak ada diskolorasi jaringan pada daerah stellar bonggol atau sekitarnya. 2. Tidak ada diskolorasi jaringan pada daerah stellar bonggol; diskolorasi pada daerah pertemuan akar dan bonggol. 3. Diskolorasi sampai 5% dari daerah stellar bonggol. 4. 6-20% dari daerah stellar bonggol. 5. 21-50% dari daerah stellar bonggol. 6. Lebih dari 50% dari daerah stellar bonggol. 7. Seluruh bonggol diskolorasi. 8. Tanaman mati. Setelah diamati dan dicatat LSI dan RDI, kemudian dihitung Disease Severity Index untuk masing-masing LSI dan RDI, dengan rumus: DSI =
Σ(Skor × Jumlah tanaman pada skor tersebut ) Σ(Jumlah tanaman yang diperlakukan )
30
Tabel 1 Translasi nilai DSI Nilai DSI untuk LSI
Nilai DSI untuk RDI
Translasi
1
1
Sangat Tahan
Antara 1.1 - 2
Antara 1.1 - 3
Tahan
Antara 2.1 - 3
Antara 3.1 - 5
Rentan
Antara 3.1 - 4
Antara 5.1 - 8
Sangat Rentan
Dengan didapatkannya nilai DSI untuk LSI dan RDI dari masing-masing aksesi, maka dapat ditentukan apakah aksesi tersebut termasuk dalam kategori Sangat Tahan, Tahan, Rentan dan Sangat Rentan berdasakan hasil translasi nilai DSI. Penentuan kategori berdasarkan nilai DSI ditampilkan pada Tabel 1.
Hasil dan Pembahasan Respon Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang Terhadap Penyakit Layu FOC VCG 01213/16 (TR4) Pada kultivar rentan seperti Ambon Hijau, gejala penyakit berupa klorosis pada daun muncul 2 minggu setelah inokulasi. Klorosis dimulai dari daun yang lebih tua ke daun yang muda, sedangkan pada kultivar tahan Klutuk Wulung tidak ada gejala penyakit pada daun sampai 5 minggu setelah inokulasi. Dalam Tabel 2 diperlihatkan DSI dari LSI dan RDI pada 5 kultivar pisang dan status ketahanan/kerentanan terhadap penyakit layu FOC. Berdasarkan nilai DSI dari LSI dan RDI (Tabel 2), semua kultivar kecuali Ambon Hijau dikategorikan sebagai kultivar tahan. Hanya satu tanaman Ambon Hijau yang tidak bergejala, sementara yang lainnya menunjukkan gejala pada klorosis pada daun (LSI=2-4) dan diskolorasi pada bonggol (RDI=2-5) (Gambar 9B). Ambon Hijau adalah termasuk dalam subgroup Cavendish, yang secara alami rentan terhadap layu FOC TR4. Hal ini sesuai dengan survey yang dilakukan oleh peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (Hermanto et al. 2011), bahwa 81% FOC yang menyerang Ambon Hijau di Indonesia adalah isolat VCG 01213/16 atau disebut ras 4 tropika (TR4). Gejala luar yang menyerang daun dan gejala dalam pada bonggol Ambon Hijau diperlihatkan pada Gambar 9B. Sementara itu, hanya 2 dari 12 tanaman Calcuta-4 menunjukkan gejala FOC (DSILSI=1.25 dan DSIRDI=1.33) dan status dari kultivar ini adalah kategori tahan (Gambar 9C). Calcuta-4 adalah spesies liar Musa acuminata subsp. burmanicoides dan sering digunakan dalam program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan kultivar pisang tahan terhadap layu Fusarium (Tomekpe et al. 2004). Sebanyak 5 dari 12 tanaman Ketan menunjukkan gejala pada daun (LSI=2-3) dan bonggol (RDI=2-3), namun demikian nilai DSI dari LSI dan RDI ditranslasi sebagai kategori tahan (Gambar 9E). Secara alami Ketan merupakan kultivar yang agak tahan sampai tahan terhadap layu FOC. Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya tanaman yang terserang FOC di Lampung, Sumatera Barat dan Jawa Barat, meskipun dengan intensitas yang
31
rendah (Jumjunidang et al. 2008). Ketan mempunyai sinonim di beberapa daerah, seperti Janten (Lampung), Jantan (Sumatera Barat), Uli (Jawa Barat), dan Ketip (Nusa Tenggara Barat dan Bali). Kultivar tersebut populer sebagai pisang olah. Suatu hal yang menarik tampak pada Klutuk Wulung. Sebanyak 2 dari 12 tanaman menghasilkan gejala pada bonggol (RDI=3), namun demikian semua tanaman tidak menghasilkan gejala pada daun (Gambar 9A), oleh karena itu DSI dari LSI dan RDI ditranslasikan ke dalam kategori tahan. Klutuk Wulung dan variannya Klutuk Awu adalah Musa balbisiana yang tersebar di pulau Jawa, yang biasanya ditanam untuk dimanfaatkan daunnya untuk pembungkus, jantungnya untuk sayur, dan buah mudanya untuk rujak. Musa balbisiana banyak diteliti terutama pada aspek molekuler, karena diduga merupakan tetua alami dari pisang-pisang komersial yang ada sekarang (Christelova et al. 2011; Wang et al. 2011). Kultivar tahan FOC lainnya adalah Kepok, sebanyak 2 dari 12 tanaman menunjukkan gejala pada daun dan bonggol (Gambar 9D), dan translasi dari DSI adalah tahan. Kepok adalah kultivar pisang olah yang sangat populer dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kasus serangan penyakit layu pada pisang Kepok pernah ditemukan di Jawa Barat, Yogjakarta, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, walaupun intensitas serangannya relatif rendah. Dalam temuan tersebut Kepok tidak hanya terserang oleh VCG 01213/16 (TR4), tetapi juga VCG 0120 dan 01218 (Hermanto et al. 2011). Tabel 2 Status ketahanan/kerentanan 5 kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 DSI Status
Calcuta-4
Ketan
Klutuk Wulung Ambon Hijau
Kepok
LSI
RDI
LSI
RDI
LSI
RDI
LSI
RDI
LSI
RDI
1 1 1 1 1 1 3 1 2 1 1 1
1 1 1 1 1 1 3 1 3 1 1 1
1 1 1 3 2 2 2 1 2 1 1 1
1 1 1 3 3 2 3 1 3 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 4 1 1 1 1 3 1 1 1
2 2 1 4 2 2 3 2 2 2 2 2
4 2 1 5 4 5 5 4 5 4 3 3
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2
1.25 1.33 Tahan
1.50 1.75 Tahan
1.00 1.42 Tahan
2.17 3.75 Rentan
1.17 1.17 Tahan
Keterangan: LSI = Leaf Symptom Index, RDI = Rhizome Discoloration Index, DSI = Disease Severity Index
32
B
A
D
C
E
Gambar 9 Gejala luar (daun) dan dalam (bonggol) Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 pada Klutuk Wulung (A), Ambon Hijau (B), Calcuta-4 (C), Kepok (D) dan Ketan (E), 5 minggu setelah inokulasi. Mekanisme Ketahanan Tanaman Terhadap Penyakit Layu Fusarium Mekanisme ketahanan tanaman terhadap patogen dimulai sebelum infeksi patogen ke dalam jaringan tanaman. Fusarium oxysporum f.sp. cubense masuk ke tanaman melalui sistem perakaran. Sejak konidia menempel ke akar rambut, akan berkecambah dan masuk ke dalam sel epidermis akar. Akar dari kultivar tahan akan menghasilkan eksudat yang menghambat perkecambahan dan pertumbuhan konidia, sebaliknya eksudat dari tanaman rentan akan merangsang perkecambahan dan pertumbuhan konidia (Li et al. 2011). Patogen cendawan dapat masuk ke dalam akar tanaman melalui berbagai cara, yaitu dengan menembus sel epidermis akar secara langsung, sel epidermis tudung akar dan daerah pemanjangan akar, dan luka alami pada pangkal akar lateral. Selama masa invasi, hifa cendawan menghasilkan enzim yang akan mendegradasi dinding sel dan masuk ke ruang antar sel, tumbuh dan membentuk cabang dan masuk ke sel yang lain. Selain enzim, cendawan patogen juga menghasilkan micotoxin seperti fusaric acid dan beauvericin yang akan
33
mempengaruhi potensial listrik antar membran sel, kebocoran elektrolit, dan respirasi sel akar (Pavlovkin 2006). Membran sel yang rusak menyebabkan dihasilkannya reactive oxygen species (ROS) dan memicu diproduksinya antioksidan seperti superoxide dismutase (SOD), catalase (CAT), peroxidase (POD) (Kuzniak 2001), dan molekul signal transduksi yang akan memicu diproduksinya protein-protein pathogenesis related seperti chitinase dan β-1,3glucanase. Enzim-enzim tersebut akan mendegradasi dinding sel dari cendawan dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan patogen di dalam sel tanaman (Wu et al. 2008). Khusus pada kasus Klutuk Wulung dalam penelitian ini, gejala infeksi FOC tampak pada potongan melintang bonggol, tetapi tidak tampak pada daun (Gambar 9A), menunjukkan terjadinya mekanisme ketahanan dan pertahanan melawan patogen. Perkembangan cendawan dapat dilokalisasi hanya pada bagian bonggol dan dicegah untuk ekspansi lebih lanjut.
Simpulan Dari hasil pengujian kultivar Calcuta-4, Ketan, Klutuk Wulung dan Kepok adalah kultivar yang tahan layu FOC dan Ambon Hijau adalah kultivar yang rentan. Teknik evaluasi ini sangat sesuai untuk menyeleksi kultivar pisang tahan layu Fusarium. Ekspresi penyakit dapat diperoleh dalam waktu 4 sampai 8 minggu. Penggunaan tanaman yang berukuran kecil dapat mengurangi kebutuhan tempat bila dibandingkan dengan seleksi di lapang. Selain itu penggunaan tanaman yang masih muda akan mempercepat waktu karena pengujian dapat dilakukan sedini mungkin tanpa harus menunggu tanaman tumbuh besar. Daftar Pustaka Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. Burlington: Elsevier Academic Pr. hlm 125-174. Brake VM, Pegg KG, Irwin JAG, Chaseling J. 1995. The influence of temperature, inoculum level and race of Fusarium oxysporum f.sp. cubense on the disease of banana cv Cavendish. Aust J Agric Res 46:673-685 Chand R, Sen D, Prasad KD, Singh AK, Bashyal BM, Prasad LC, Joshi K. 2008. Screening for disease resistance in barley cultivars against Bipolar sorokiniana using callus culture method. Indian J Exp Biol 46:249-253. Christelová P, Valárik M, Hřibová E, van den Houwe I, Channelière S, Roux N, Doležel J. 2011. A platform for efficient genotyping in Musa using microsatellite markers. AoB PLANTS plr024 doi:10.1093/aobpla/ plr024 Hadrami AE, Idrissi-Tourane AE, Hassni ME, Daayf F, Hadrami IE. 2005. Toxin-based in-vitro selection and its potential application to date palm for resistance to the bayoud Fusarium wilt. C R Biol 328:732–744.
34
Hermanto C, Sutanto A, Jumjunidang, Edison HS, Daniells JW, Neill WTO, Sinohin VGO, Molina AB, Taylor P. 2011. Incidence and distribution of fusarium wilt Molina disease of banana in Indonesia. Acta Hort 897:313-322. Jacobsen E 1992. Conventional Plant Breeding. Di dalam: Jones L, van DamMieras MCE, Leach CK, editor. Biotechnological Innovations in Crop Improvement. Oxford: Butterworth-Hetnemann Ltd. hlm 37-65. Jumjunidang, Usman F, Yasir H, Sumardi, Sumardiyono, 2008. Laporan Survey Penyakit Layu Pisang di Sumatera Barat, Jawa Barat dan Lampung. Solok: Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Kuzniak E. 2001. Effects of fusaric acid on reactive oxygen species and antioxidants in tomato cell cultures. J Phytopathol 149(10):575-582. Li C, Chen S, Zuo C, Sun Q, Ye Q, Yi G, Huang BZ. 2011. The use of GFPtransformed isolates to study infection of banana with Fusarium oxysporum f.sp. cubense race 4. Eur J Plant Pathol 131:327-340. Liew KW. 1996. Screening for disease resistance in banana plantlets against fusarium wilt. Part B: Modified whole plant screening for resistance against fusarium wilt in bananas. Di dalam: Regional Training Course on Molecular Approaches, Mutation and Other Biotechnologies for the Improvement of Vegetatively Propagated Plants (FAO-UKM); Bangi, 28 Oct - 8 Nov 1996. Malaysia: UKM. Mak C, Mohamed AA, Liew KW, Ho YW. 2004. Early screening technique for Fusarium wilt resistance in banana micropropagated plants. Di dalam: Mohan JS, Swennen R, editor. Banana improvement: cellular, molecular biology, and induced mutations. Italy: FAO Science Publishers, Inc. Mohamed AA, Mak C, Liew KW, Ho YW. 2001. Early evaluation of banana plant at nursery stage for fusarium wilt tolerant. Di dalam: Molina AB, Masdek NH, Liew KW, editor. Banana Fusarium Wilt Management: Toward sustainable cultivation. Los Banos: INIBAPASPNET. hlm 174-185. Morpugo R, Lopato SV, Afza R, Novak FJ. 1994. Selection parameters for resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense race 1 and race 4 on diploid banana (Musa acuminata Colla). Euphytica 75:121-129. Pavlovkin J, Mistríková I, Luxová M, Mistrík I. 2006. Effects of beauvericin on root cell transmembrane electric potential, electrolyte leakage and respiration of maize roots with different susceptibility to Fusarium. Plant Soil Environ 52(11):492–498. Prados-Ligero AM, Basallote-Ureba MJ, López-Herrera CJ, Melero-Vara MJ. 2007. Evaluation of susceptibility of carnation cultivars to fusarium wilt and determination of Fusarium oxysporum f.sp. dianthi races in Southwest Spain. HortScience 42(3):596–599. Severn-Ellis AA, Daneel M, de Jager K, de Waele D. 2003. Development of an aeroponic system to study the response of banana roots to infection with Fusarium oxysporum f. sp. cubense and Radopholus similis. InfoMusa 12(1):22-24 ŠVábová L, Lebeda A. 2005. In vitro selection for improved plant resistance to toxin-producing pathogens. J Phytopathol 153(1):52-64.
35
Tomekpe K, Jenny C, Escalant JV. 2004. A review of conventional improvement strategies for Musa. InfoMusa 13(2):2-6. Wang JY, Huang BZ, Chen YY, Feng SP, Wu YT. 2011. Identification and characterization of microsatellite markers from Musa balbisiana. Plant Breed 130(5):584-590. Wu HS, Yin XM, Liu DY, Ling N, Bao W, Ying RR, Zhu YY, Guo SW, Shen QR. 2008. Effect of fungal fusaric acid on the root and leaf physiology of watermelon (Citrullus lanatus) seedlings. Plant Soil 308:255-266.
BAB III ISOLASI DAN KARAKTERISASI RESISTANCE GENE ANALOGUE (RGA) ASAL 3 KULTIVAR PISANG YANG TAHAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM Abstrak Isolasi dan karakterisasi resistance gene analogue dari kultivar pisang lokal sangat bermanfaat untuk mendukung pengembangan kultivar tahan penyakit layu Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC). Resistance gene analogue (RGA) diisolasi dan dikarakterisasi tiga kultivar pisang tahan FOC menggunakan degenerate primer berdasarkan domain NBS. Dari 91 fragmen yang diproses runutan basa nukleotidanya, 17 fragmen positif mengandung sekuen NBS dan disandi dengan MNBS1-MNBS17. Analisis filogenetik prediksi asam amino MNBS menghasilkan empat kelompok, yaitu kelompok pertama mempunyai 14 anggota (MNBS1-MNBS14) dengan sequence identity sebesar 97.4 %, sedangkan ketiga kelompok yang lain masing-masing mempunyai satu anggota, yaitu MNBS15, MNBS16 dan MNBS17 dengan sequence identity sebesar 28.5 %. Semua MNBS termasuk dalam kategori non-TIR-NBS-LRR. Analisis filogenetik MNBS dengan RGA dan R-gene yang terdeposit pada GenBank menunjukkan bahwa prediksi asam amino MNBS mempunyai sequence identity sebesar 91.798.8 % dengan Musa NBS-LRR dan 19.9-35.5 % dengan R-gene tanaman lain yang telah diketahui. Diantara 17 MNBS tersebut, MNBS17 mempunyai sequence identity sebesar 50.5 % dengan RGC2 (ABY75802) asal Musa acuminata ssp. malaccensis, yang berasosiasi dengan ketahanan terhadap layu FOC.
Kata kunci: ketahanan penyakit, NBS, pisang, RGA 1
Bab ini telah dikirim ke Emirates Journal of Food and Agriculture (EJFA) untuk dipublikasi dengan judul: Isolation and Characterization of Resistance Gene Analogue (RGA) from Fusarium Resistance Banana Cultivars
38
ISOLATION AND CHARACTERIZATION OF RESISTANCE GENE ANALOGUE (RGA) FROM 3 FUSARIUM WILT RESISTANT BANANA CULTIVARS Abstract Isolation and characterization of resistance genes from local banana cultivars should be useful to support development of future FOC resistance cultivars. Resistance gene analogues (RGAs) were isolated and characteized form 3 fusarium wilt resistant banana cultivars using degenerate primers based on NBS domains. Out of 91 fragments sequenced, 17 fragments were positively NBS-type sequences and encoded as MNBS1-MNBS17. Phylogenetic analysis of MNBS deduced amino classified into 4 groups; the first group consisted of 14 members (MNBS1-MNBS14) with 97.4 % sequence identity, the other three groups consisted of one member (MNBS15, MNBS16 and MNBS17, respectively) with 28.5 % identity. All MNBS sequences were chategorized as non-TIR-NBS-LRR. Comparison and phylogenetic analysis of MNBS with other known RGA and R genes showed that deduced amino acid MNBSs shared 91.7-98.8 % identity with Musa NBS-LRR and 19.9-35.5 % identity with known R genes. Among them MNBS17 shared 50.5 % identity with RGC2 (ABY75802) that assosiated to FOC race 4 resistance Musa species.
Keywords: banana, disease resistance, NBS, RGA 1
This chapter has been submitted to the Emirates Journal of Food and Agriculture (EJFA), entitled: Isolation and Characterization of Resistance Gene Analogue (RGA) from Fusarium Resistance Banana Cultivars
39
Pendahuluan Penyakit layu Panama yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) adalah salah satu penyakit yang sangat mematikan dan sulit dikendalikan, karena selain mudah disebarkan oleh air irigasi, tanah, peralatan pertanian dan bahan tanaman, juga keberadannya di dalam tanah mampu bertahan lebih dari 20 tahun tanpa kehilangan daya virulensinya (Agrios 2005). Penyakit layu FOC mempengaruhi 80 % produksi pisang dunia, termasuk pisang Cavendish dan subgrup plantain (Ploetz 2006). Pengendalian layu FOC menggunakan kultur praktis seperti penggunaan fungisida, perlakuan tanah, rotasi tanaman, pemanfaatan bahan organik, dapat mengurangi intensitas serangan, tetapi relatif sulit untuk diterapkan pada skala komersial (Pegg et al. 1993), oleh karena itu penggunaan kultivar tahan merupakan alernatif terbaik untuk mengatasi masalah penyakit layu tersebut. Pengembangan kultivar pisang dapat dilakukan melalui program pemuliaan konvensional yang melibatkan spesies atau kultivar tahan. Namun demikian hal tersebut menghadapi kendala sterilitas bunga dan ploidi dari tanaman pisang (Roux et al. 2004). Program pemuliaan melalui teknik rekayasa genetika merupakan teknik yang menjanjikan, tetapi sampai saat ini gen ketahanan pada tanaman pisang untuk ketahan terhadap layu FOC ras 4 tropika masih belum ditemukan. Sebagian besar gen ketahanan (R gene) yang telah teridentifikasi menyandikan protein reseptor yang mengandung domain nucleotide binding site dan leucine rich repeat (NBS-LRR) yang menghasilkan ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman yaitu serangga hama, cendawan, bakteri, virus dan nematoda (Dangl & Jones 2001). Protein reseptor NBS-LRR mengenali protein efektor patogen dan menghasilkan sinyal transduksi yang akan menstimulir ekspresi pertahanan terhadap patogen (Caplan et al. 2008). Komposisi gen NBSLRR terdiri dari beberapa domain yaitu N-terminal, nucleotide binding site (NBS), dan C-terminal LRR. Khusus domain NBS mengandung motif p-loop atau kinase-1, kinase-2, kinase-3a and hydrophobic (GLPL), yang sangat terkonservasi pada berbagai ATP-/GTP-binding protein dan berbagai organisme (Traut 1994). Berdasarkan motif yang ada pada bagian N-terminal, gen R kelas NBSLRR terbagi dalam dua subkelas. Subkelas I, TIR-NBS-LRR, dimana pada bagian N-terminal berhomologi dengan protein Drosophila Toll dan mammalian Interleukin-1 receptor (TIR) (Meyers et al. 1999), hanya ditemukan pada spesies tanaman dikotil dan gymnospermeae (Tarr & Alexander 2009). Subkelas II yaitu non-TIR-NBS-LRR, mempunyai motif coiled-coil (CC) pada bagian N-terminal, terdapat pada spesies tanama dikotil dan monokotil (McHale et al. 2006). Berdasarkan domain NBS-LRR dari gen R yang telah teridentifikasi, dapat didisain primer degenerate untuk mengisolasi resistance gene analoque (RGA) dari berbagai tanaman seperti kedelai (Kanazin et.al. 1996), slada (Shen et al. 1998), apel liar (Baek & Choi 2013), dan lentil (Yaish et al. 2004) menggunakan pendekatan teknik PCR. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi resistance gene analogue (RGA) yang berasal dari tiga kultivar tahan penyakit layu FOC. Secara khusus masing-masing kegiatan bertujuan untuk: (1) mengamplifikasi fragmen RGA dari DNA genom tanaman pisang tahan layu FOC menggunakan degenerate primer, (2) mengkloning dan sekuensing
40
produk PCR hasil amplifikasi, dan (3) menganalisis sekuen produk PCR berupa analisis BLAST, pensejajaran dan filogenetik.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2011 sampai September 2012 di laboratorium Pemuliaan dan Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Bahan Penelitian dan isolasi DNA Kultivar yang digunakan adalah dua kultivar tahan hasil kegiatan “Uji Dini Ketahanan Beberapa Kultivar Pisang Terhadap Penyakit Layu Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 (TR4)”, yaitu Calcuta-4 (AAw) dan Klutuk Wulung (BB), dan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, yaitu Rejang (AA) (Molina et al. 2010). Bahan tanaman yang digunakan adalah daun muda tanaman hasil perbanyakan kultur jaringan dan isolasi DNA berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle 1987) yang dimodifikasi oleh Das et al. (2009). Prosedur isolasi DNA secara detail ditampilkan pada Lampiran 2. Selanjutnya stok DNA disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -20 °C sampai siap digunakan. Perancangan Primer dan PCR Empat pasang kombinasi degenerate primer dirancang berdasarkan NBSLRR yang mengandung domain P-loop/kinase-1, kinase-2, kinase-3a dan hydrophobic digunakan untuk mengamplifikasi fragmen NBS-LRR asal DNA genom tanaman pisang. Kombinasi pasangan primer tersebut adalah F5(F)+F6(R), F9(F)+F6(R), F5(F)+F10(R), dan F9(F)+F10(R). Informasi sekuen dari degenerate primer tersebut ditampilkan pada Tabel 3. Reaksi PCR dilaksanakan dengan volume 25 µl menggunakan KAPA2GTM PCR Kit (Kapa Biosystems Inc., USA), yang komposisinya terdiri atas 5.0 µl 5 X buffer PCR (di dalamnya terkandung 1.5 mM Mg2+), 0.5 µl MgCl2 25 mM, 0.5 µl dNTPs 10 mM, 1.0 µl masing-masing primer 10 µM (primer forward dan reverse), 30 ng DNA genom, 0.1 µl Taq DNA polymerase (5 U µl -1) dan 15.4 µl ddH2O. Tabel 3
Degenerate primer yang digunakan untuk mengamplifikasi NBS-LRR asal DNA genom tanaman pisang Domain Kode Sekuen Pustaka terkonservasi F5(F) GGIGGIGTIGGIAAIACIAC P-loop Peraza-Echeverria et al. 2008 F6(R) AAGIGCTAAGIGGIAAGICC hydrophobic Peraza-Echeverria domain/GLPL et al. 2008 F9(F) GGNGGNRTIGGIAARACIAC P-loop Sun et al. 2009 Sun et al. 2009 F10(R) GAGGGCNARNGGNAAICC hydrophobic domain/GLPL Keterangan : I= inosine; R= A/G; N=A/C/G/T
41
Proses PCR menggunakan mesin GeneAmp® PCR System 2400 (Perkin Elmer). Denaturasi cetakan DNA pada awal reaksi pada suhu 95 °C selama 3 menit, diikuti dengan 35 kali siklus 95 °C selama 10 detik, 55 °C selama 10 detik dan 72 °C selama 3 detik, dan diakhiri dengan satu siklus 72 °C selama 10 menit. Produk PCR dipisahkan berdasarkan ukuran dengan menggunakan elektroforesis gel agarose 1 % pada mesin elektroforesis dengan tegangan 80 V selama 25 menit. Purifikasi Produk PCR Sebelum dilakukan kloning, produk PCR terlebih dahulu dipurifikasi menggunakan Gel/PCR DNA Fragments Extraction Kit (Geneaid, Taiwan) dengan prosedur standar dari perusahaan tersebut. Sebanyak 100 μl produk PCR dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifus 1.5 ml. Kedalam tabung tersebut ditambah larutan DF buffer dengan volume lima kali volume sampel, dikocok dengan baik menggunakan vortex, kemudian dimasukkan ke dalam DF column dan disentrifus 1.1 x 104 rpm selama 30 detik. Filtrat yang terkumpul dibuang. Ke dalam bagian tengah DF column ditambah 600 μl wash buffer dan dibiarkan selama satu menit. Selanjutnya tabung disentrifus 1.1 x 104 rpm selama 30 detik dan filtrat yang terkumpul dibuang. Tabung disentrifus lagi dengan kecepatan 1.1 x 104 rpm selama tiga menit untuk mengering matrik kolom. DF column dipindah ke tabung mikrosentrifus 1.5 ml yang baru, diberi 50 μl elution buffer dan dibiarkan selama 20 sampai 30 menit. Selanjutnya tabumg disentrifus dengan kecepatan 1.1 x 104 rpm selama dua menit untuk mendapatkan produk PCR murni. Kloning Fragmen RGA Sebelum dilakukan proses kloning, terlebih dahulu harus disiapkan sel kompeten dari E. coli strain DH5α. Pembuatan sel kompeten mengadopsi metode modifikasi buffer CaCl2 yang dikembangkan oleh Li et al. (2010). Produk PCR dikloning ke dalam vektor pGEM-T® EasyVector (Promega, Madison, WI, USA), dengan protokol standar sesuai dengan petunjuk perusahaan. Reaksi ligasi berisi: 5 μl buffer ligase, 1 μl pGEM-T® Easy Vector, 1 μl T4 DNA ligase, 2.5 μl produk PCR (10 ng μl-1), 0.5 μl air bebas nuclease dicampur dan disimpan pada suhu 4 °C selama satu malam. Selanjutnya vektor ditransformasi ke sel kompeten bakteri E. coli strain DH5-α pada keesokan harinya. Tabung berisi sel kompeten yang sebelumnya disimpan dalam freezer, di-thawing dengan meletakkan pada wadah berisi es selama lebih kurang lima menit. Sebanyak 50 μl sel kompeten tersebut secara hati-hati diambil dan dituang ke dalam tabung yang berisi reaksi ligasi. Dengan menggunakan jari, tabung tersebut dijentik agar larutan tercampur dengan sempurna, dan diletakkan dalam es selama 20 menit. Selanjutnya dilakukan heat shock dengan meletakkan tabung ke dalam air hangat dengan suhu 42 °C selama 45 sampai 50 detik, dan segera dipindah ke wadah berisi es dan dibiarkan selama dua menit. Sebanyak 900 μl media SOB dituangkan ke dalam tabung yang berisi sel yang telah ditransformasi, kemudian digoyang (shaker) pada kecepatan 150 rpm dan diinkubasi pada tempat yang bersuhu 37 °C selama 45 sampai 90 menit. Setiap 100 μl larutan berisi sel yang telah ditransformasi, disebar secara merata ke cawan petri yang berisi media padat LB/ampicillin/IPTG/X-Gal dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama satu malam.
42
Seleksi koloni dan purifikasi plasmid Koloni bakteri transforman dipilih yang berwarna putih dan disubkultur ke tabung Falcon yang berisi media LB cair yang ditambah ampicilin (100 mg l-1) sebanyak 4 sampai 5 ml, diinkubasi pada suhu kamar dan digoyang (shaker) selama satu malam. Sebelum dikirim ke 1stBASE (Malaysia) untuk proses perunutan basa nukleotida (DNA sequencing), plasmid dipurifikasi menggunakan High-Speed Plasmid Mini Kit (Geneaid, Taiwan). Suspensi bakteri dipindah ke tabung 1.5 ml dan disentrifus 1.1 x 104 rpm selama satu menit. Supernatan dibuang dan pelet yang terbentuk ditambah lagi dengan sisa suspensi dari tabung Falcon, dan disentrifus lagi. Pelet yang terbentuk ditambah dengan 200 μl PD1 buffer dan divortex agar homogen. Selanjutnya ditambah dengan 200 μl PD2 buffer dan tabung dibalik sebanyak 10 kali agar larutan tercampur dengan sempurna dan didiamkan selama dua menit. Ke dalam tabung dimasukkan PD3 buffer sebanyak 300 μl dan segera dibalik sebanyak 10 kali. Tabung disentrifus 11000 rpm selama tiga menit, supernatan diambil secara hati-hati dan dipindahkan ke PD column yang diletakkan pada tabung 2 ml, dan disentrifus kembali dengan kecepatan 1.1 x 104 rpm selama 30 detik. Filtrat yang terkumpul pada tabung 2 ml dibuang dan PD column diletakkan kembali, ditambah 600 μl wash buffer dan disentrifus 1.1 x 104 rpm selama 30 detik. Selanjutnya dikeringkan dengan cara disentrifus lagi selama tiga menit. Kemudian PD column yang telah kering diletakkan pada tabung 2 ml yang baru. Tepat di bangian tengah PD column ditambah 50 μl elution buffer, didiamkan selama 20 menit dan disentrifuse 1.1 x 104 rpm selama dua menit untuk mendapatkan DNA plasmid yang murni. Konfirmasi adanya insersi Sebelum dikirim ke 1stBASE (Malaysia) untuk proses perunutan DNA, dilakukan konfirmasi adanya insersi dengan melakukan PCR menggunakan pasangan primer F9+F6. Sebelum PCR, plasmid DNA yang sudah dipurifikasi perlu diencerkan sepuluh kali, untuk digunakan sebagai cetakan DNA. Hasil yang positif ditandai dengan terbentuknya pita tunggal dengan ukuran tertentu pada hasil elektroforesis, dikirim ke 1stBASE (Malaysia) untuk proses perunutan basa (DNA sequencing). Analisis Sekuen DNA Sekuen DNA dari vektor dipisahkan secara manual dari hasil proses perunutan DNA klon produk PCR. Sekuen produk PCR yang telah teridentifikasi dianalisis dengan cara membandingkan sekuen DNA dan prediksi asam amino produk PCR tersebut dengan aksesi yang terdeposit dalam pangkalan data GenBank menggunakan alogaritma BLASTn dan BLASTp (http://blast.ncbi.nlm. nih.gov/Blast.cgi). Translasi runutan DNA produk PCR menjadi asam amino menggunakan perangkat lunak Geneious Pro 5.6.6 versi percobaan (Biomatters, USA). Perangkat lunak ClustalW2 (Larkin et al. 2007) digunakan untuk analisis pensejajaran runutan prediksi asam amino dari produk PCR dengan R-gene yang berasal dari tanaman lain, yaitu Arabidopsis thaliana: RPP1 (AAC72977) dan RPP5 (AAF08790), tomat: Prf (LEU65391) dan Mi1,2 (AAC67238), lada: Bs2 (AF202179), kentang: Gpa2 (AF195939), gandum: Yr10 (AF149114), flax: L6 (Q40253), M (AAB47618), tembakau: N (Q40253), dan RGA asal pisang, yaitu RGC3 (ABY75803), RGA-J (ACK44408), RGC2 (ABY75802), CAP66325 dan AFR46148. Hasil pensejajaran asam amino ditampilkan menggunakan
43
perangkat lunak GeneDoc (Nicholas et al. 1997). Analisis filogenetik menggunakan metode Neighbour-Joining dengan bantuan perangkat lunak MEGA 5 (Tamura et al. 2011). Nilai bootstrap 1000 kali pengulangan digunakan untuk menguji keakuratan filogram.
Hasil dan Pembahasan Amplifikasi PCR Menggunakan Degenerate Primer Dari empat pasang degenerate primer yang dicoba untuk mengamplifikasi daerah conserved domain p-loop sampai GLPL, diperoleh kombinasi pasangan primer terbaik adalah F9(F)+F6(R). +F6(R). Pasangan primer tersebut menghasilkan pita amplikon tunggal yang cukup jelas dengan ukuran ~550 pb untuk ketiga kultivar pisang (Rejang, Calcuta-4 dan Klutuk Wulung), sedangkan pasangan primer F9(F)+F10(R) menghasilkan pita lebih dari satu, satu, dengan produk berukuran antara ~550 pb sampai ~1100 pb (Gambar 10). Satu pita amplikon yang berukuran ~550 pb yang merupakan ukuran spesifik untuk motif P-loop sampai GLPL dari NBS. Namun demikian, dua kombinasi pasangan primer F5(F)+F6(R) dan F5(F)+F10(R) tidak menghasilkan produk amplifikasi. Produk PCR ketiga kultivar yang dihasilkan oleh pasangan primer F9(F)+F6(R) digunakan untuk proses analisis selanjutnya. Analisis Sekuen Fragmen Produk PCR dari DNA Genom Pisang Dari 95 sampel produk PCR yang telah dikloning, sebanyak 91 klon mengandung insersi yang berukuran antara 68-959 pb. Berdasarkan analisis predisksi asam amino, ditemukan sebanyak 16 sekuen dengan ukuran 523-638 pb yang tidak mengandung stop codon dan mempunyai ciri RGA kelas NBS-LRR, yaitu mengandung motif terkonservasi P-loop (GG[V/M]GKTT), kinase-2, kinase-3a dan hydrophobic (GLPL). Selanjutnya 16 sekuen tersebut disandi dengan MNBS1MNBS16. Untuk mengetahui identitas 75 sekuen sisanya, dilakuka n analisis BLAST terhadap genom pisang (http://banana- genome.cirad.fr/ ) dan diperoleh sebanyak 18 klon yang beberapa basanya berhomolog dengan basa cDNA yang ada pada pangkalan data genom pisang (data tidak dita mpilkan).
Gambar 10 Elektroferogram hasil amplifikasi menggunakan dua pasang kombinasi primer pada pada cetakan DNA genom 3 kultivar pisang. M=DNA ladder 100 pb, C4=Calcuta-4, R=Rejang dan Klt=Klutuk Wulung.
44
Terdapat satu klon dari 18 klon tersebut, yaitu D6_K14 berukuran 281 pb, dengan 90.78 % nukleotida penyusunnya (query coverage) mempunyai identity sebesar 98.44 % terhadap putative disease resistance protein RGA3, dan mempunyai motif terkonservasi P-loop dan kinase2a. Tidak lengkapnya struktur klon D6_K14 untuk sebuah fragmen NBS kemungkinan disebabkan ligasi fragmen DNA pada plasmid pGem-T ® kurang sempurna akibat proses pengkloningan terjadi secara random. Untuk keperluan analisis selanjutnya klon D6_K14 diberi kode MNBS17. Tujuh belas fragmen RGA tersebut mempunyai identity sekuen DNA sebesar 52.2 % sampai 98.5 % dan sekuen prediksi asam amino sebesar 18.3 % sampai 100 %. Runutan basa nukleotida dan prediksi asam amino dari MNBS1, MNBS15, MNBS16 dan MNBS17 ditampilkan pada Gambar 11, 12, 13 dan 14. Berdasarkan asal klon, dua fragmen RGA berasal dari DNA genom Klutuk Wulung, yaitu MNBS1 dan MNBS17, empat RGA berasal dari Rejang, yaitu MNBS2-MNBS5, dan 11 RGA berasal dari Calcuta-4 (Tabel 4). Analisis Keragaman RGA yang Berasal dari DNA Genom Pisang Berdasarkan hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino fragmen RGA yang didapatkan dari penelitian ini, menunjukan bahwa 17 RGA tersebut terbagi menjadi empat kelompok. Fragmen dengan identity >97 % disebut identik atau berada dalam satu kelompok. Kelompok pertama beranggotakan 14 RGA yaitu MNBS1–MNBS14 yang mempunyai identity 98 %, dimana satu RGA berasal dari Klutuk Wulung (MNBS1), empat RGA berasal dari Rejang (MNBS2-MNBS5), dan sembilan RGA berasal dari Calcuta-4 (MNBS6MNBS14). Tiga fragmen sisanya yang mempunyai identity sebesar 28.5 % dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing beranggotakan satu fragmen. Tabel 4
Pengelompokan fragmen RGA dari produk PCR berdasarkan asal DNA genom diisolasi Kode Ukuran (pb) No. Kultivar Klon*) 1 Klutuk Wulung C8_K1 MNBS1 524 2 D6_K14 MNBS17 281 3 Rejang E1_R5 MNBS2 523 4 H1_R8 MNBS3 524 5 C2_R11 MNBS4 523 524 6 A3_R17 MNBS5 7 Calcuta-4 H8_C4 MNBS6 524 8 G10_C19 MNBS7 524 9 F8_C2 MNBS8 524 10 G11_C27 MNBS9 524 11 F11_C26 MNBS10 524 12 A12_C29 MNBS11 524 13 A10_C13 MNBS12 524 14 G8_C3 MNBS13 524 15 D9_C3 MNBS14 524 16 E8_C1 MNBS15 538 17 C11_C23 MNBS16 638 ) Keterangan: * Kode klon adalah kode yang diberikan selama proses sequencing
45
Kelompok kedua dengan anggota MNBS15 dan kelompok ketiga yang anggotanya MNBS16 dari Calcuta-4, sedangkan MNBS17 yang berasal dari Klutuk Wulung disebut kelompok keempat. Hasil analisis filogenetik 17 fragmen RGA tersebut ditampilkan pada Gambar 15.
Gambar 11 Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS1 (mewakili kelompok I) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Klutuk Wulung. Huruf kapital di bawah sekuen DNA adalah sekuen prediksi asam amino. Residu asam amino di dalam kotak adalah motif terkonservasi dari NBS, yaitu P-loop, kinase-2, kinase-3a dan hydrophobic domain (GLPL)
Gambar 12 Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS15 (kelompok II) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Calcuta-4. Huruf kapital di bawah sekuen DNA adalah sekuen prediksi asam amino. Residu asam amino di dalam kotak adalah motif terkonservasi dari NBS, yaitu P-loop, kinase-2, kinase-3a dan hydrophobic domain (GLPL)
46
Gambar 13 Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS16 (kelompok III) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Calcuta-4. Huruf kapital di bawah sekuen DNA adalah sekuen prediksi asam amino. Residu asam amino di dalam kotak adalah motif terkonservasi dari NBS, yaitu P-loop, kinase-2, kinase-3a dan hydrophobic domain (GLPL).
Gambar 14 Sekuen DNA dan prediksi asam amino fragmen MNBS17 (kelompok IV) hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Klutuk Wulung. Huruf kapital di bawah sekuen DNA adalah sekuen prediksi asam amino. Residu asam amino di dalam kotak adalah sebagian motif terkonservasi dari NBS, yaitu P-loop dan kinase-2. Analisis Sekuen DNA dan Prediksi Asam Amino Fragmen RGA Berdasarkan hasil analisis BLASTn (Altschul et al. 1997) menunjukkan bahwa sekuen DNA dari 17 fragmen RGA yang dihasilkan dari penelitian ini mempunyai identity yang tinggi dengan sekuen DNA Musa NBS-LRR disease resistance protein yang terdapat pada pangkalan data GenBank, ditunjukkan dengan persentase identity dalam Tabel 5. Sekuen DNA fragmen MNBS1MNBS14 mempunyai identity 97-99 % dengan aksesi AJ534312, EU239821, EU855841 dan DQ119306, MNBS15 mempunyai identity 97 % dengan aksesi EF488472, MNBS16 mempunyai identity 95 % aksesi EU855840, dan MNBS17 mempunyai identity 99 % dengan aksesi JX406384 (Tabel 5).
47
84 36 40 9 19
MNBS2 MNBS4
MNBS3 MNBS7 MNBS5 MNBS8
1339
MNBS14 MNBS13 MNBS12
36
MNBS11
100 7
I
3
MNBS6
4
MNBS9
12
MNBS10
MNBS1 53
II III IV
MNBS15 MNBS16 MNBS17
0.1
Gambar 15 Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino MNBS berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan). Cabang yang diberi label I, II, III dan IV mewakili kelompok dari RGA. Skala yang ada di bawah pohon mewakili panjang cabang yang setara dengan rataan substitusi asam amino per situs. Hal yang sama juga diperoleh dari hasil analisis BLASTp (Altschul et al. 1997) pada residu prediksi asam amino asal 17 fragmen RGA (MNBS1-MNBS17). Prediksi asam amino MNBS1-MNBS14 mempunyai identity sebesar 94 % sampai 98 % dengan aksesi CAD58967, ABY75803, ACK44409 dan ABB96971, sedangkan prediksi asam amino dari MNBS15 mempunyai identity 95 % dengan aksesi CAP66325, prediksi asam amino MNBS16 mempunyai identity sebesar 92 % dengan aksesi ACK44408, dan prediksi asam amino MNBS17 mempunyai identity sebesar 97 % dengan aksesi AFR46148 (Tabel 6). Dari 17 sekuen RGA yang dihasilkan dari penelitian ini, 16 RGA yaitu MNBS1–MNBS16 telah dideposit di pangkalan data GenBank dengan nomor aksesi KF034945, KF034946, KF034947, KF034948, KF034949, KF034950, KF034951, KF034952, KF034953, KF034954, KF034955, KF034956, KF034957, KF034958, KF034959, KF034960. Analisis Pensejajaran Sekuen Prediksi Asam Amino Fragmen MNBS Untuk mengetahui konsensus asam amino MNBS, dilakukan analisis pensejajaran runutan prediksi asam amino 17 fragmen MNBS dengan protein Musa NBS-LRR dan protein R yang telah terdeposit pada pangkalan data GenBank.
48
Tabel 5
RGA MNBS1MNB14
MNBS15
MNBS16 MNBS17
Tabel 6
MNBS MNBS1MNB14
MNBS15 MNBS16 MNBS17
Sequence identity antara runutan nukleotida dari fragmen MNBS asal tanaman pisang kultivar Rejang, Calcuta-4 dan Klutuk Wulung dengan Musa NBS-LRR yang telah dideposit pada pangkalan data GenBank Query Identity Aksesi GenBank Coverage Nilai E (%) (%) Musa acuminata NBS-LRR type disease resistance protein mRNA, complete cds (DQ119306) 98 0 99 Musa ABB Group NBS resistance protein (RGA-K) gene, partial cds (EU855841) 98 0 98 Musa acuminata subsp. malaccensis resistance gene candidate NBS-type protein (RGC3) gene, partial cds (EU239821) 98 0 97 Musa acuminata disease resistance protein NBS-LRR type gene (AJ534312) 98 0 97 Musa ABB Group partial nbs gene for NBS-LRR disease resistance protein (AM931365 ) 97 0 97 Musa ABB Group NBS resistance protein (RGA-J) gene, partial cds (EU855840) 76 0 95 Musa AAB Group cultivar Nendran NBSLRR protein gene, partial cds (JX406384) 90 3e-125 99
Sequence identity antara runutan prediksi asam amino MNBS asal tanaman pisang kultivar Rejang, Calcuta-4 dan Klutuk Wulung dengan protein Musa NBS-LRR yang telah dideposit pada pangkalan data GenBank Query Identity Aksesi GenBank Coverage Nilai E (%) (%) NBS-LRR type disease resistance protein [Musa acuminata] (ABB96971) 99 9e-121 98 NBS resistance protein [Musa ABB Group] 97 (ACK44409) 99 3e-120 Resistance gene candidate NBS-type protein, partial [Musa acuminata subsp. malaccensis], RGC3 (ABY75803) 99 3e-115 96 Disease resistance protein NBS-LRR type [Musa acuminata AAA Group] (CAD58967) 81 1e-89 94 NBS-LRR disease resistance protein [Musa AAB Group] (CAP66325) 99 6e-109 95 NBS resistance protein [Musa ABB Group] (ACK44408) 80 9e-107 92 NBS-LRR protein, partial cds [Musa AAB Group] (AFR46148) 93 4e-53 97
49
Hasil pensejajaran asam amino MNBS bersama lima RGA pisang dan sepuluh R-gene tanaman yang telah diketahui, yaitu gen N dari tembakau, Prf dan Mi-1.2 dari tomat, Gpa2 dari kentang, Bs2 dari lada, L6 dan M dari flax, RPP1 dan RPP2 dari Arabidopsis dan Yr10 dari gandum, ditampilkan pada Gambar 16. Berdasarkan hasil pensejajaran prediksi asam amino fragmen MNBS dan protein R tanaman lain terlihat bahwa motif utama NBS-LRR seperti P-loop/kinase-1a (G[V/M/I]GKTT), kinase-2 ([L/V][L/I]DDVW/D), RNBS-B/kinase-3a dan hydrophobic domain (GLPL) sangat terkonservasi pada semua sekuen prediksi asam amino MNBS, Musa NBS-LRR dan protein R tanaman lain, seperti: protein Prf , Mi-1,2, Bs2, Gpa2, Yr10, RPP1, RPP5, L6, M, dan N. Diantara proteinprotein tersebut RPP1, RPP5, L6, M dan N termasuk dalam kelas TIR-NBS-LRR, sedangkan yang lainnya termasuk dalam kelas non-TIR-NBS-LRR. Perbedaan antara TIR-NBS-LRR dan non-TIR-NBS-LRR terdapat pada motif sekuen asam amino yang ada pada daerah N-terminal dan residu asam amino terakhir dari motif kinase-2. Residu terkahir dari kinase-2 pada TIR-NBS-LRR adalah tryptophan (W), sedangkan pada non-TIR-NBS-LRR adalah aspartate (D) (Tarr & Alexander 2009). Selain itu analisis pensejajaran juga menghasilkan matrik genetic identity yang ditampilkan pada Tabel 7. Matrik tersebut menunjukkan sequence identity satu aksesi terhadap aksesi lainnya. Analisis Filogenetik Prediksi Asam Amino MNBS dengan Protein RGA dan R-Gene Tanaman Lain Hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino MNBS yang diperoleh dari penelitian ini, protein Musa NBS-LRR dan protein R tanaman lain yang terdeposit pada pangkalan data GenBank ditampilkan pada Gambar 17. Hasil analisis menunjukkan bahwa protein R dan RGA (termasuk MNBS) terbagi dalam dua kelas, yaitu non-TIR-NBS-LRR dan TIR-NBS-LRR. Semua MNBS dan tanaman monokotil lainnya (gandum dan padi) termasuk dalam kelas non-TIR-NBS-LRR. Dari hasil penelitian sebelumnya tentang NBS-LRR, pada tanaman monokotil hanya ditemukan non-TIR-NBS-LRR (Bai et al. 2002), sedangkan pada tanaman dikotil selain non-TIR-NBS-LRR juga ditemukan TIRNBS-LRR (Pan et al. 2000b). Selanjutnya kelas non-TIR-NBS-LRR dibagi menjadi dua kelompok. Bersama dengan RGC3 Musa (ABY78503), MNBS1-MNBS14 berada dalam kelompok I dengan identity sebesar 96 % sampai 98 %, sedangkan MNBS15, MNBS16 dan MNBS17 berada dalam kelompok II bersama-sama dengan NBS-LRR Musa (CAP66325) dan RGA-J Musa (ACK44408) serta BS2, GPA2, Mi-1,2, Prf dan Yr10 dengan identity sebesar 18 % sampai 95 %. Salah satu hal yang menarik adalah MNBS17 mempunyai identity sebesar 50.5 % dengan RGC2 (ABY75802), dimana RGC2 adalah RGA yang diisolasi dari tanaman pisang tahan FOC ras 4 dan terekspresi pada saat tanaman pisang terinfeksi FOC ras 4 (Peraza-Echeverria et al. 2008). Tanaman telah berhasil mengembangkan mekanisme pengenalan dan perlindungan terhadap patogen. Interaksi antara inang dan patogen akan memicu respon lokal maupun sistemik (Meyer et al. 2003). Gen ketahanan tanaman (R gene) menyandi protein R yang merupakan pertahanan pertama dari tanaman melawan serangan dari patogen Patogen yang dikenali oleh protein R biasanya bersifat spesifik terhadap inang spesifik (Friedman & Baker 2007).
50
C1
C3
C2
C4
Gambar 16 Analisis pensejajaran sekuen prediksi asam amino MNBS dengan beberapa protein Musa NBS-LRR dan protein R yang terdeposit pada GenBank. Daerah domain terkonservasi ditandai dengan garis di atas sekuen (C1=kinase-1a atau P-loop, C2=kinase-2, C3=kinase-3a, dan C4=hydropobic domain atau GLPL)
51
62
42 20
35 8 14
79 85
MNBS9 MNBS6 43 MNBS10 MNBS11 19 MNBS12 MNBS13 5 MNBS14 MNBS8 39 1 MNBS1 27 MNBS7 MNBS3 11 MNBS4 27 100 MNBS2 33 MNBS5 RGC3_(ABY75803) 99 MNBS15 NBS-LRR_(CAP66325) MNBS16 RGA-J_(ACK44408) 100 Prf_(LEU65391) Yr10_(AF149114) 80 Gpa2_(AF195939) Bs2_(AF202179) Mi-1.2_(AAC67238) Xa1_(BAA25068) RGC2_(ABY75802) 93 MNBS17 62 NBS-LRR_(AFR46148) 99 99 M_(AAB47618) L6_(Q40253) N_(Q40392) RPP5_(AAF08790) RPP1_(AAC72977) 98
non-TI R -NBS
TI R -NBS
0.2
Gambar 17 Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino dari MNBS pisang dan beberapa protein Musa NBS-LRR dan protein R tanaman lain berdasarkan analisis pensejajaran menggunakan ClustalW2 dan dibuat berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan). Skala yang ada di bawah pohon mewakili panjang cabang yang setara dengan rataan substitusi asam amino per situs. Ketahanan tanaman terhadap penyakit pada umumnya dimulai dengan pengenalan khusus antara produk gen ketahanan (R gene) dan produk gen avirulen (Avr) (Jones 2001). Keberhasilan pengenalan produk Avr dari patogen oleh produk R gene dari tanaman akan memicu berbagai mekanisme pertahanan termasuk hypersensitive response (HR) dan menghasilkan interaksi tidak kompatibel yang akan mengarah kepada ketahanan tanaman (Baker et al. 1993). Dua motif terkonservasi yang ditemukan pada sekuen prediksi asam amino MNBS yaitu kinase-1a dan kinase-2. Motif kinase-1a (GG[ V/M]GKTT) juga disebut P-loop atau motif Walker A, dibentuk oleh beberapa residu glycine (G) dan residu tetap lysine (K), terlibat dalam mengikat fosfat dari nukleotida (Walker et al. 1982). Motif tersebut berperanan dalam mengikat ATP pada protein I-2 dan M1 dari tanaman kentang (Tameling et al. 2002). Hal yang sama kemungkinan juga terjadi pada protein MNBS. Motif kinase-2 atau Walker B ([L/V][L/I]DDV[W/D]) yang mengandung residu tetap aspartate (D) yang mengkoordinasi ion Mg2+ yang diperlukan untuk reaksi phosphotransfer (Traut 1994). Kinase-3a pada umumnya mengandung tyrosine (Y) atau arginine (R) yang berinteraksi dengan basa purin dari ATP (Traut 1994), sedangkan internal hydrophobic domain yang mempunyai motif terkonservasi GLPL[A/T/S][P/L/I]
52
masih belum diketahui fungsinya. Walaupun demikian, melihat keberadaannya sangat terkonservasi di dalam sekuen R-gene kelas NBS-LRR, diduga domain tersebut mempunyai fungsi penting yang berhubungan dengan aktifitas gen yang bersangkutan (Jones & Jones 1997). Tidak adanya TIR-NBS-LRR tidak hanya terjadi pada tanaman pisang (Musa spp.), tetapi juga dilaporkan pada tanaman monokotil lainnya seperti padi (Zhou et al. 2004), gandum (Zhang et al. 2011), jagung (Xiao et al. 2006), barley (Madsen et al. 2003), sorghum (Cheng et al. 2010), dan tebu (Que et al. 2009). Proses eliminasi TIR-NBS-LRR dari sebagian besar tanaman monokotil kemungkinan terjadi selama masa evolusi, walaupun belum ada informasi yang dapat menggambarkan bagaimana penjelasan dari proses eliminasi tersebut. Pan et al. (2000b) mengusulkan sebuah model yang menunjukkan evolusi NBS-LRR melibatkan dua tahapan. Selama tahap pertama, genom tanaman mempunyai sedikit NBS-LRR, dan selama tahap kedua baik TIR maupun non-TIR mengalami perkembangan dan diversifikasi pada spesies tanaman dikotil. Berdasarkan analisis sekuen yang dilakukan oleh Cannon et al. (2002), gen non-TIR-NBS tampaknya lebih beragam dari pada kelas TIR-NBS, dan hal ini memunculkan spekulasi bahwa non-TIR-NBS lebih dulu keberadaannya dibanding TIR-NBS. Namun demikian, hasil penelitian terbaru tentang evolusi NBS yang dilakukan oleh Yue et al. (2012) menunjukkan bahwa NBS yang ditemukan pada tanaman darat purba (Coleochaetales dan lumut-lumutan) lebih mirip dengan tipe TIR pada level sekuen dan hal ini dapat disimpulkan bahwa NBS tipe TIR telah berkembang terlebih dahulu bila dibandingkan dengan tipe non-TIR. Berdasarkan matrik genetic identity pada Tabel 7, semua prediksi asam amino MNBS yang dihasilkan pada penelitian ini mempunyai identity sebesar 91.7.% sampai 98.8 % dengan protein Musa NBS-LRR yang terdeposit pada pangkalan data bank gen, dan 19.9 % sampai 35 % dengan protein R tanaman seperti Bs2, Gp2, Prf, Yr10 dan Mi-1.2. Hal tersebut mengindikasikan bahwa MNBS kemungkinan mempunyai fungsi sebagai gen ketahanan. Diantara 17 MNBS tersebut, MNBS17 mempunyai identity sebesar 50.5 % dengan RGC2 (ABY75802). Ekspresi RGC2 berhubungan dengan ketahanan layu FOC ras 4 salah satu galur M. acuminata spp. malaccensis (Peraza-Echeverria et al. 2008). Hal ini dapat diasumsikan bahwa MNBS17 kemungkinan mempunyai fungsi ketahanan terhadap layu FOC pada tanaman pisang. Pseudogenitas MNBS dalam Kromosom Pisang Perkembangan teknologi sekuensing telah menghasilkan informasi lengkap tentang runutan DNA genom beberapa jenis tanaman termasuk pisang (D’Hont et al. 2012). Informasi tersebut telah dapat diakses secara gratis dan dapat digunakan untuk menganalisis sekuen DNA yang berasal dari pisang, salah satunya adalah fasilitas BLAST. Hasil yang diperoleh dapat memperlihatkan letak suatu fragmen dalam kromosom pisang maupun jumlah salinan fragmen DNA yang bersangkutan. Hasil analisis BLAST fragmen MNBS ditampilkan pada Tabel 8. Berdasarkan hasil analisis BLAST terhadap DNA genom pisang yang tersedia pada situs http://banana-genome.cirad.fr/blast terlihat bahwa MNBS1-MNBS14, MNBS16 dan MNBS17 mempunyai satu salinan, sedangkan MNBS15 mempunyai 11 salinan yang tersebar dalam dua kromosom pisang, yaitu kromosom nomor 10 dan 11, dan satu salinan secara acak.
53
Tabel 7 Matrik genetic identity (%) hasil dari analisis pensejajaran sekuen prediksi asam amino Musa RGA dan protein R mengguna kan ClustalW2 Aksesi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 95.4 96.0 96.0 96.0 96.6 94.8 96.0 96.0 96.6 96.6 96.6 96.6 96.0 24.7 19.5 20.4 25.3 20.2 23.1 96.0 19.7 22.5 19.9 25.2 22.5 22.2 17.2 19.2 23.0 19.0 25.3 MNBS1 97.1 97.7 95.4 96.0 95.4 95.4 95.4 96.0 96.0 96.0 96.0 95.4 24.1 18.9 19.4 24.7 19.7 20.2 96.0 19.7 23.7 20.5 26.9 22.0 23.4 17.2 18.6 23.6 19.5 25.3 MNBS2 ...... 97.1 97.7 96.6 97.1 97.1 96.0 96.6 96.6 96.6 96.6 97.1 23.6 18.9 19.4 23.6 20.2 20.8 97.1 18.5 23.7 20.5 26.3 21.4 22.8 16.7 18.0 23.0 18.4 24.7 MNBS3 ...... ...... 96.6 97.1 96.6 96.6 96.6 97.1 97.1 97.1 97.1 96.6 23.6 18.9 18.3 25.3 20.2 20.8 98.3 19.7 23.7 21.1 25.7 22.0 22.8 17.2 18.6 23.6 20.1 25.3 MNBS4 ...... ...... ...... 97.1 96.6 97.7 96.6 97.1 97.1 97.1 97.1 97.7 23.6 18.9 19.4 23.6 20.2 21.4 98.8 18.5 23.1 19.9 26.3 22.0 22.8 17.2 18.0 23.0 19.0 24.7 MNBS5 ...... ...... ...... ...... 98.3 99.4 99.4 100.0 100.0 100.0 100.0 99.4 24.7 18.3 20.4 24.7 20.2 21.4 97.1 18.5 23.1 19.9 26.3 22.0 22.8 17.2 18.0 23.0 19.0 24.7 MNBS6 ...... ...... ...... ...... ...... 98.9 97.7 98.3 98.3 98.3 98.3 98.9 23.6 18.3 19.4 23.6 19.7 20.8 96.5 17.9 23.1 19.9 25.7 20.8 22.2 16.7 18.0 23.0 17.8 24.7 MNBS7 ...... ...... ...... ...... ...... ...... 98.9 99.4 99.4 99.4 99.4 100.0 24.1 18.9 19.4 24.1 20.2 21.4 97.7 18.5 23.1 19.9 26.3 22.0 22.8 17.2 18.0 23.0 18.4 24.7 MNBS8 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 99.4 99.4 99.4 99.4 98.9 24.1 17.8 19.4 24.1 19.7 20.8 96.5 17.9 22.5 20.5 25.7 22.0 22.2 16.7 18.6 22.4 19.0 24.1 MNBS9 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 100.0 100.0 100.0 99.4 24.7 18.3 20.4 24.7 20.2 21.4 97.1 18.5 23.1 19.9 26.3 22.0 22.8 17.2 18.0 23.0 19.0 24.7 MNBS10 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 100.0 100.0 99.4 24.7 18.3 20.4 24.7 20.2 21.4 97.1 18.5 23.1 19.9 26.3 22.0 22.8 17.2 18.0 23.0 19.0 24.7 MNBS11 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 100.0 99.4 24.7 18.3 20.4 24.7 20.2 21.4 97.1 18.5 23.1 19.9 26.3 22.0 22.8 17.2 18.0 23.0 19.0 24.7 MNBS12 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 99.4 24.7 18.3 20.4 24.7 20.2 21.4 97.1 18.5 23.1 19.9 26.3 22.0 22.8 17.2 18.0 23.0 19.0 24.7 MNBS13 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 24.1 18.9 19.4 24.1 20.2 21.4 97.7 18.5 23.1 19.9 26.3 22.0 22.8 17.2 18.0 23.0 18.4 24.7 MNBS14 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 49.1 35.5 94.4 30.6 25.4 23.1 47.4 31.2 31.3 33.3 28.9 29.9 21.1 18.6 22.6 26.3 23.4 MNBS15 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 35.5 51.5 32.0 32.0 19.5 91.7 30.8 33.7 31.4 28.4 31.7 18.3 20.7 24.3 24.9 21.9 MNBS16 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 32.3 94.6 50.5 17.2 33.3 32.3 34.4 29.0 25.8 35.5 17.2 16.1 26.9 21.5 29.0 MNBS17 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 30.1 26.6 24.9 51.5 31.8 32.5 32.8 29.5 29.3 21.7 19.2 23.7 28.0 24.0 CAP66325 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 43.4 20.2 31.8 30.1 35.5 28.1 28.9 34.7 20.2 18.0 23.7 22.0 24.9 AFR46148 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 21.4 31.8 25.4 27.7 27.5 23.7 32.9 18.5 17.4 20.2 21.4 22.0 ABY78502 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 19.1 23.1 20.5 25.7 22.5 22.8 17.3 18.0 23.1 19.7 24.9 ABY75803 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 30.1 33.7 31.0 28.9 29.9 20.8 19.8 25.4 24.9 23.7 ACK44408 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 54.8 41.5 33.0 42.5 20.2 18.6 25.4 24.3 25.4 AF202179 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 47.0 31.3 42.8 19.3 19.9 23.5 24.1 25.3 AF195939 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 31.6 49.7 19.3 18.7 21.1 22.2 21.1 LEU65391 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 32.3 21.4 19.2 19.7 25.4 21.4 AF149114 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 22.2 22.2 22.2 26.4 22.8 AAC67238 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 44.2 29.1 38.3 28.6 AAC72977 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 30.8 40.7 30.8 AAF08790 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 40.0 81.7 Q40253 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... 37.7 Q40392 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... AAB47618 ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... Keterangan: Angka pada baris pertama adalah aksesi Musa RGA dan R gene dari GenBank. 1: MNBS1, 2: MNBS2, 3: MNBS3, 4: MNBS4, 5: MNBS5, 6: MNBS6, 7: MNBS7, 8: MNBS8, 9: MNBS9, 10: MNBS10, 11: MNBS11, 12: MNBS12, 13: MNBS13, 14: MNBS14, 15: MNBS15, 16: MNBS16, 17: MNBS17, 18: NBS-LRR Musa (CAP66325), 19: NBS-LRR Musa AAB (AFR46148), 20: RGC2 Musa (ABY78502), 21: RGC3 Musa (ABY75803), 22: RGA-J Musa ABB (ACK44408), 23: Bs2 Lada (AF202179), 24: Gpa2 Kentang (AF195939), 25: Prf Tomat (LEU65391), 26: Yr10 Gandum (AF149114), 27: Mi-1.2 Tomat (AAC67238), 28: RPP1 Arabidopsis (AAC72977), 29: RPP5 Arabidopsis (AAF08790), 30: L6 Linum (Q40253), 31: N Tembakau (Q40392), 32: M Linum (AAB47618)
Tabel 8 Hasil analisis BLASTN antara sekuen fragman MNBS dengan data genom pisang global (http://banana-genome.cirad.fr/blast) MNBS MNBS1MNBS14 MNBS15
Lokus GSMUA_Achr4P28700_001
MNBS16
GSMUA_Achr10P07100_001 GSMUA_Achr10P07140_001 GSMUA_Achr10P07050_001 GSMUA_Achr10P07150_001 GSMUA_Achr10P07080_001 GSMUA_Achr10P07060_001 GSMUA_Achr10P07160_001 GSMUA_Achr11P07440_001 GSMUA_Achr10P07120_001 GSMUA_Achr10P07090_001 GSMUA_AchrUn_randomP28 470_001 GSMUA_Achr10P07100_001 GSMUA_Achr9P20610_001
MNBS17
GSMUA_Achr4P26160_001
Kromosom ke
Mulai
4
27 034 243
10 10 10 10 10 10 10 11 10 10 chrUn_ random 10 9 4
Query Coverage (%) 27 037 098 96 Sampai
17 323 106 17 326 579 17 413 247 17 416 087 17 250 407 17 253 874 17 438 571 17 441 798 17 294 401 17 296 785 17 271 756 17 272 538 17 454 226 17 454 971 5 823 624 5 826 892 17 358 716 17 361 934 17 309 864 17 310 595 138 089 599 138 090 468
Identity (%)
Nama Gen
98
Putative Disease resistance protein RPS5~ RPS5
97 96 97 94 96 25 21 29 69 21 25
92 80 93 80 80 83 95 82 82 95 94
NBS-LRR disease resistance protein, putative~ RGA1 disease resistance protein RGA1~ RGA1 NBS-LRR disease resistance protein, putative~ RGA1 Putative disease resistance protein RGA3~ RGA1 Putative disease resistance protein RGA1~ RGA1 Putative disease resistance protein RGA4~ RGA1 NBS-LRR class resistance protein (Fragment)~ RGA1 NBS-LRR disease resistance protein, putative~ RGA2 Putative disease resistance protein RGA3~ RGA1 Putative disease resistance protein RGA4~ RGA1 Putative disease resistance protein RGA4~ RGA4~ fragment NBS-LRR disease resistance protein, putative~ RGA1 Putative NB-ARC domain containing protein, expressed~ RGA2 Putative disease resistance protein RGA3~ RGA2
17 323 106 24 698 080
17 326 579 24 701 274
97 96
92 97
25 543 881
25 547 093
91
98
55
Kemungkinan besar MNBS1-MNBS14, MNBS16, dan MNBS17 bukan pseudogene, karena salah satu kriteria gen yang termasuk pseudogene adalah mengalami duplikasi (Yao 2006). Fragmen MNBS15 mempunyai identity sebesar 78% dengan pseudogene NBS-LRR yang terdeposit dalam GenBank NCBI (EF488470). Ada kemungkinan MNBS15 adalah pseudogene, tetapi harus dibuktikan melalui uji ekspresi, apakah terjadi translasi protein atau tidak. Hubungan Gen MNBS dengan RGA Pisang yang Terdeposit pada Pangkalan Data GenBank Sampai saat ini sudah terdaftar lebih dari 180 fragmen gen RGA dari kelas NBS-LRR yang diisolasi dari tanaman pisang dalam pangkalan data NCBI. Namun demikian setelah periksa kembali sekuen nukleotida dan asam aminonya, hanya 168 sekuen yang mempunyai ciri-ciri NBS-LRR yaitu yang mengandung motif p-loop/kinase-1a, kinase-2, kinase-3 dan GLPL. Dari hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino 17 gen MNBS yang dihasilkan dalam penelitian ini bersama dengan 168 sekuen asam amino RGA pisang, didapatkan 32 group RGA (Gambar 18). Gen MNBS1-MNBS14 berada pada satu group tersendiri bersama dengan empat RGA dengan nomor aksesi ABB96971, ACK44409, ABY75803 dan CAD58967, dengan identity sebesar 94% sampai 97 %, sedangkan MNBS15 berada satu group dengan aksesi CAP66325, ABS84870 dan CAP66309 dengan identity sebesar 90% sampai 94 %. Gen MNBS16 berada dalam satu group dengan satu RGA ACK44408 dengan identity sebesar 92 %. Begitu juga dengan MNBS17 yang hanya berada dalam satu group dengan satu RGA AFR46148, dengan identity sebesar 97 %. Terdapat delapan group yang hanya beranggotakan satu RGA, dengan anggota masing-masing adalah aksesi CAP66290, ACK44406, ABY75801, ACK44403, ABY75802, ACL55021, ABY75805 dan CAP66264. Berdasarkan hasil dari penelitian ini sebetulnya masih banyak RGA yang bisa dieksplorasi, terutama dari kultivar pisang lokal maupun spesies liar asal Indonesia. Penelitian sebelumnya juga telah berhasil mengamplifikasi sejumlah RGA dari tanaman pisang dan kerabatnya (Pei et al. 2007; Peraza-Echeverria et al. 2008; Azhar & Heslop-Harrison 2008; Sun et al. 2009). Banyaknya RGA tipe NBS-LRR LRR dari tanaman pisang yang teridentifikasi, akan dapat memberikan gambaran besarnya famili NBS dalam tanaman pisang. Namun demikian perlu ditekankan bahwa tidak semua RGA mempunyai fungsi atau disebut pseudogene. Pan et al. (2000a) menemukan bahwa 10 % RGA yang telah teridentifikasi dari tanaman tomat adalah pseudogene. Hasil serupa juga ditemukan oleh Liu & Ekramoddoullah (2003) pada tanaman pinus, bahwa hampir setengah RGA yang teridentifikasi adalah pseudogene dan bahkan beberapa diantaranya ditranskripsi menjadi mRNA. Oleh karena itu karakterisasi RGA perlu dilanjutkan dengan pengujian ekspresi gen terhadap kondisi cekaman patogen, sehingga pada akhirnya akan diperoleh gen ketahanan yang spesifik untuk penyakit tertentu. Selain itu gen ketahanan tersebut bisa dimanfaatkan untuk program perbaikan kultivar pisang tahan penyakit ataupun mengembangkan marka molekuler yang dapat digunakan untuk seleksi ketahanan terhadap penyakit.
us
M
0.1
31
24
33
9
34
37
44
17
18
29
38
9
19
22 23 20 21
9 ) 39 ) 38 3 ) 6 6 66 41 P 63 ) AP A P6 9 (C ( C B rpa (CA 629 6 ) 6 3 A A ca sis AP 6 3 o a ) n us ch iz cce a (C AP6 300 2) 2 (C P 66 634 0 M .s ala ian 0 0 M .m lbis ata (CA AP6 1) 39 0 M .ba min na ) (C 66 54 M a cu isia sis AP 63 ) M. balb ccen a (C A P6 358 p 0 M. ala ocar pa (C AP66 ) .m r 6 iz a a (C 6635 0 M .sch izo c P arp 7) 0 M .sch izoc (CA 6 35 M ch rpa (CAP6 0 1) M.s izoca 62 9 rpa h 3 .sc AP 6 oc a ) 62 M chiz xtilis (C 365 M.s P66 17 M.te ilis (CA 2) 17 77 6636 .text (CAP 0) 99 M xtilis P6628 265) M.te a (CA 26 AP66 minat A AA (C Musa 9628 3) A (A BW Musa AA BR-15 P66270) coides (CA burmani ) (CA P66 271
16
33 38 5 2 0
26
15
15
14
96 burm anicoides ) 11 M.microca rpa (CAP 66351 2 Musa AAA (CAP66329) 0 Musa AAB (CAP66298) 1
Musa ABB (CAP66323 ) Musa ABB (CAP 66383 ) Musa AAA (CA P66 334 ) burmanic oides (CA P6 6269) Mu sa AB B (CAP 6630 2)
12 13
23
82
99
11
46
40
10
30
37
8 9
71 39
M M u .a cu sa uR m AA GA in B a M ta ( (CA AA -G ( AC u R CA A P Mu BR R G (AB K 4 GA P6 662 -6 4 6 W Mu A96 405 E (A 28 96) C sa 2 ) (A CK 1) 99 C K 74) Mu A AA 61 44 44 RG (A 40 Mu 4 B A61 3) sa A ( W9 01) AA 62 A B( 98 AF R G CK4 73) R4 43 C2 61 99 (AB 99) 4 Y7 MN 8) 58 BS 02 17 ) M.a 99 cum in ata M.o (A C rna L5 5 ta (C 0 21 e rra ) n s (C AP66 RG C A P6 2 8 8 ) Musa 5 (A BY7 63 0 99 AAA 5805 5) (CAP ) 66 264) M.vel utina (CAP M.velut 6629 4) 99 ina (C AP66 293)
7
M
5 6
a
4
Mu s
3
BR -5
2
3) 34 ) 66 44 A P 663 5) (C P 34 A 66 sis (C P n e A is ( C 0) cc en s 3) ala cc nsis 164 35 e 5 .m la 66 M ma acc DO AP 6) . l M ma a (A a (C 626 7) . n rp 27 P6 M 66 isia o ca (CA 39 89 4) AP 32 alb icr AA (C 2) 66 .b .m 31 M M sa A iana (CAP 66 u is 3) AP B (C 90 M balb 631 AB 67) P6 M. usa isiana A 662 (C M AP 21 alb na s (C M.b lbisia xtili 11) a te 54 663 25 ax M.b P n A 6 6 ) isia a (C 3 27 balb lbisian P6 6 ) a 39 (CA 262 M.b BB P66 aA 25 74 (CA Mu s 7 286) ABB 66 P 65 sa A Mu AB (C A 9) M usa P 6635 a (CA 360) bisian 28 M.bal (CAP66 bisiana 36 1) M.bal (CAP 66 na sia 37 M.balbi 7) 402 N4 textilis (AF 1 ) 30 M. 638 (ADO51 Musa ABB 51639) Musa ABB (ADO 0) banksii (CAP6631 96 M.balbisiana (CAP66314) M.siamea (CAP66308) 19 Musa AAA (CAP6 6285) 9 Musa ABB (CA 16 P66 303 ) 9 Mu sa AA A (CA P6 6284) 2 M. micr ocarpa (CAP 66 16 M.mal 350) ac cens is (CAP 3 M.mal 66347) acce 16 M.m nsis (C icroca AP66 rpa (C 87 Mu sa 320) AP6 A 34 6352 te xti BB (CA ) P66 lis x 72 261 texti A ) 34 lis x B B (CA 99 P 66 ABB 41 Mu 31 7 sa (CA ) A M.m Mus a AB (C P66 31 3 8) AP AA icro 663 M M us carp B (C 31) 53 M .sch a A AP a( AA u 663 CA 56 M s a izoc ( 3 P6 2) AB arp CA u 63 P6 M sa a B 3 49 63 ) M .sch A AA (CA (CA 6 0 P6 28 ) P 62 M . ma izo ( 63 . a la ca CA 662 55 0 ) M cu m cce rp a P66 63) .a 27 (C in n s c 3 M um ata is (C AP6 ) .b in alb at (CA AP 633 is a (C P6 663 8) ia na A P 6 33 40) (C 6 6 7 ) A P 33 6 6 5) 30 1)
24
31
30
29
28
.acu 92 M
a AA A (C M N AD uR um 58 B S2 G A96 ina K 34 7 ta M (A (A NB ) C BB K4 99 44 S1 96 09 97 1) ) BR NB -1 11 6M SMu L 4 us sa a A RR AA (A AA BR BS B ( - 14 (A FQ A BW 84 8 M 6 us BR 62 aA 69 9628 9 ) -11 5) AA 46 4) Mu sa (AB BR 53 BR AA -10 -17 A ( W9 6 Mu Mu 47 28 AB sa sa 2) W9 AA A (A AAA 6 BR 3 2 3 (AB 79 -7 M BW ) W us a 9 16 Mu R AAA 62 85) 9627 GA -B 8) (AB balb (A C W9 isian K44 6 27 25 97 a x te 4 00 5) xtil is ) (CA Musa P66 ABB 268 32 ) (CAP 75 6632 88 5) MNBS 88 15 NBS-LR R (A BS 84870) banksii (CAP 66 99 98 309) BR-13 Mu 78 sa AAA (AB W96281) BR-8 Musa AAA (ABW96276 ) MuRGA-J (ACK44408 62 ) 98 MNBS16 M.textilis (CAP66290) MuRGA-D (ACK444 02) (ABW 9627 7) 99 BR-9 Musa AAA W9 628 6) 76 a AAA (AB 64) 56 BR-18 Mus (ABU462 A AA 53 Musa 404) 44 CK -F (A 99 MuRGA 06) CK444 AP66295) A-H (A (C 407) MuRG AAB CK44 Musa A-I (A G 99 MuR ) 326 74 P66 78 ) (CA 2 ABB P 66 ) A sa (C 0 Mu 6 28 ia na W9 albis (AB M.b AAA us a ) 2M 5 -1 37 BR 85 P66 4) (CA 637 na 53 P6 isia 8) (C A 36 alb 66 na M.b ) P ia 7 A is 6 99 (C alb 63 s 6 .b li M xti AP 1) (C x te 37 98 na tilis 66 x ia P te A 74 lbis (C ) ax ba ) 73 ian tilis 72 63 ex lbis 4) 63 6) P6 ba M.t 80 P6 37 CA 7 5 01) 99 66 CA s( ( li P ti BY 58 A is il A C t 7 tex ( ( ) . Y M t ex 10 na C 4 AB M. ( 44 isia RG 4 1 lb C ba CK RG M. (A L AG uR M
. ac
(CA P662 74) Musa AA A (CAP 66272) M.acu minata (CAP66 errans 282) (CAP 6630 M.m 5 4) alacc ensis Mu s 18 (CAP a AB 66346 B (C 5 61 e rra AP6 ) ns (C 631 6) AP 6 6 8 M us aA 63 0 AA 6) Mu 35 M.m sa A A (CAP 2 6 B 6 28 3 (AP Mu alacc ) 662 e sa 97) A B nsis (CA 7 B( 0 8 P6 CA 28 M.m Mu 632 P6 sa 6 1 M 3 ) a 22 AA la us 30 60 ) a A cce A( ns C M A 26 M .sia B (C is (C AP6 6 m M .ve 33 AP AP e 23 . 3) 66 66 M balb lutin a (C 3 2 u 19 a 8 A i s 19 9 ) M a A sian (CA P66 9) M .ba AB a (C P66 3 07 u s lbi ) sia (CA AP6 292 a ) P AA n 6 B a (C 66 2 279 ) (A AP 87 ) D 6 D 71 6 3 1 05 5) 5)
M
M
32
0
31
4 BS1 22 MN 8 BS MN 35 3) 580 41 Y7 5 (AB 16 BS C3 MN RG 7 36 1 BS MN 3 0 BS MN 9 0 BS 13 1 MN BS 2 MN B S 1 7 11 MN S 17 B 0 M N BS1 N S6 M N B S4 M B N M
1
18 M.acuminata (CAP66275) 7 Musa AAB (CAP66380) 4 M.acu minata (CAP 19 66276) M.m alaccensis 19 (CA P66348 ) M.a cu min ata 37
56
25
27
26
Gambar 18 Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen prediksi asam amino dari MNBS pisang dan Musa NBS-LRR yang terdeposit pada GenBank dan dibuat berdasarkan metode Neighbour Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan). Aksesi yang diberi tanda elip berwarna merah adalah RGA yang diperoleh dari penelitian ini.
Simpulan Dari tiga kultivar pisang tahan layu Fusarium yaitu Rejang, Calcuta-4 dan Klutuk Wulung diperoleh 17 sekuen RGA (MNBS1-MNBS17) yang mengandung domain terkonservasi NBS-LRR dan terbagi ke dalam empat kelompok. Kelompok I beranggotakan 14 sekuen (MNBS1-MNBS14), dan ketiga kelompok lainnya masing-masing beranggotakan satu sekuen, yaitu MNBS15, MNBS16 dan MNBS17.
57
Prediksi asam amino 17 MNBS mempunyai identity sebesar 91.7 % sampai 98.8 % dengan protein Musa NBS-LRR dan 19.9 % sampai 35 % dengan protein dari gen ketahanan tanaman lain yang telah teridentifikasi. MNBS17 mempunyai identity yang relatif tinggi (50.5 %) dengan RGC2 asal galur M. acuminata ssp. malaccensis yang berasosiasi dengan ketahanan terhadap layu FOC ras 4.
Daftar Pustaka Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. Burlington: Elsevier Academic Pr. hlm 125-174. Altschul SF, Madden TL, Schaffer AA, Zhang J, Zhang Z, Miller W, Lipman DJ. 1997. Gapped BLAST and PSI-BLAST: a new generation of protein database search programs. Nuc Acids Res 25:3389-3402. Azhar M, Heslop-Harrison JS. 2008. Genomes, diversity and resistance gene analogues in Musa species. Cytogenet Genom Res 121(1):59-66. Baek DE, Choi C. 2013. Identification of resistance gene analogs in Korean wild apple germplasm collections. Genet Mol Res 12(1):483-493. Bai J, Pennill LA, Ning J, Lee SW, Ramalingam J, Webb CA, Zhao B, Sun Q, Nelson JC, Leach JE, Hulbert SH. 2002. Diversity in nucleotide binding site--leucine-rich repeat genes in cereals. Genome Res 12:1871-1884. Baker CJ, Mock N, Glazener J, Orlandi E. 1993. Recognitian responses in pathogen/non-host and race/cultivar interactions involving soybean (Glycine max) and Pseudomonas syringae pathovars. Physiol Mol Plant Pathol 43:81-94. Cannon SB, Zhu H, Baumgarten AM, Spangler R, May G, Cook DR, Young ND. 2002. Diversity, distribution, and ancient taxonomic relationships within the TIR and non-TIR NBS-LRR resistance gene subfamilies. J Mol Evol 54:548-562. Caplan J, Padmanabhan M, Dinesh-Kumar SP. 2008. Plant NB-LRR immune receptors: From recognition to transcriptional reprogramming. Cell Host Microbe 3:126-135. Cheng X, Jiang H, Zhao Y, Qian Y, Zhu S, Cheng B. 2010. A genomic analysis of disease-resistance genes encoding nucleotide binding sites in Sorghum bicolor. Genet Mol Biol 33(2):292-297. Dangl L, Jones J. 2001. Plant pathogens and integrated defence responses to infection. Nature 411:826-833. Das BK, Jena RC, Samal KC. 2009. Optimization of DNA isolation and PCR protocol for RAPD analysis of banana/plantain (Musa spp.). Int J Agricul Sci 1(2):21-25. Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation procedure for small quantities of fresh leaf tissue. Phytochem Bull 19:11-15. Friedman AR, Baker BJ. 2007. The evolution of resistance genes in multiprotein plant resistance systems. Curr Opin Genet Dev 17:493–499. Jones DA, Jones JDG. 1997. The role of leucine-rich repeat proteins in plant defences. Adv Bot Res 24:89-167. Jones JDG. 2001. Putting knowledge of plant disease resistance genes to work. Curr Opin Plant Biol 4:281-287.
58
Kanazin V, Marek LF, Shoemaker RC. 1996. Resistance gene analogs are conserved and clustered in soybean. Proc Nat Acad Sci USA 931:1174611750 Larkin MA, Blackshields G, Brown NP, Chenna R, McGettigan PA, McWilliam H, Valentin F, Wallace IM, Wilm A, Lopez R et al. 2007. Clustal W and Clustal X version 2.0. Bioinformatics 23(21):2947-2948. Li X, Sui X, Zhang Y, Sun Y, Zhao Y, Zhai Y, Wang Q. 2010. An improved calcium chloride method preparation and transformation of competent cells. Afr J Biotechnol 9(50):8549-8554. Liu JJ, Ekramoddoullah AKM. 2003. Isolation, genetic variation and expression of TIR-NBS-LRR resistance gene analogs from western white pine (Pinus monticola Dougl. ex. D. Don.). Mol Genet Genom 270:432–441. Madsen LH, Collins NC, Rakwalska M, Backes G, Sandal N, Krusell L, Jensen J, Waterman EH, Jahoor A, Ayliffe M et al. 2003. Barley disease resistance gene analogs of the NBS-LRR class: identification and mapping. Mol Genet Genomics 269:150-161. McHale L, Tan X, Koehl P, Michelmore RW. 2006. Plant NBS-LRR proteins: adaptable guards. Genom Biol 7:212 (doi:10.1186/gb-2006-7-4-212). Meyers BC, Dickerman AW, Michelmore RW, Sivaramakrishnan S, Sobral BW, Young ND. 1999. Plant disease resistance genes encode members of an ancient and diverse protein family within the nucleotide-binding superfamily. Plant 20(3):317-332. Meyers BC, Kozik A, Griego A, Kuang H, Michelmore RW. 2003. Genome-wide analysis of NBS-LRR-encoding genes in Arabidopsis. Plant Cell 15:809-834. Molina AB, Williams RC, Hermanto C, Suwanda, Komolog B, Kokoa, P. 2010. Mitigating the threat of banana Fusarium wilt: understanding the agroecological distribution of pathogenic forms and developing disease management strategies. Australia: ACIAR 76 hlm. Nicholas KB, Nicholas HB Jr., Deerfield DW II. 1997. GeneDoc: analysis and visualization of genetic variation. Embnet News 4:1-4. Pan Q, Liu YS, Budai-Hadrian O, Sela M, Carmel-Goren L, amir D, Fluhr R. 2000a. Comparative genetics of nucleotide binding site-leucine rich repeat resistance gene homologues in the genomes of two dicotyledons: tomato and Arabidopsis. Genet 155:309–322. Pan Q, Wendel J, Fluhr R. 2000b. Divergent evolution of plant NBS-LRR resistance gene homologues in dicot and cereal genomes. J Mol Evol 50:203-213. Pegg KG, Moore NY, Sorensen S. 1993. Fusarium wilt in the Asian Pacific region. Di dalam: Valmayor RV, Hwang SC, Ploetz RC, Lee SW, Roa NV, editor. Procceeding of International Symposium Recent Developments in Banana Cultivation Technology; Pingtung (TWN), 4-18 Des 1992. Los Baños: INIBAP-ASPNET. hlm 225-269. Pei X, Li S, Jiang Y, Zhang Y, Wang Z, Jia S. 2007. Isolation, characterization and phylogenetic analysis of the resistance gene analogues (RGAs) in banana (Musa spp.). Plant Sci 172:1166–1174. Peraza-Echeverria S, Dale JL, Harding RM, Smith MK, Collet C. 2008. Characterization of disease resistance gene candidates of the nucleotide binding site (NBS) type from banana and correlation of a transcriptional
59
polymorphism with resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense race 4. Mol Breed 22(4):565-579. Ploetz RC. 2006. Panama disease, an old nemesis rears its ugly head: Part 2, the cavendish era and beyond. Online. Plant Health Progress (doi:10.1094/PHP-2006-0308-01-RV). Que YX, Xu LP, Lin JW, Chen RK. 2009. Isolation and characterization of NBSLRR resistance gene analogs from sugarcane. Acta Agron Sin 35(4): 631–639. Roux NS, Toloza A, Dolezel J, Panis, B. 2004. Usefulness of embryogenic cell suspensions cultures for the induction and selection of mutants in Musa spp. Di dalam: Mohan JS, Swennen R, editor. Banana improvement: cellular, molecular biology, and induced mutations. Italy: FAO Science Publishers, Inc. hlm. 33-43. Shen KA, Meyers BC, Islam-Faridi MN, Chin DB, Stelly DM, Michelmore RW. 1998. Resistance gene candidates identified by pcr with degenerate oligonucleotide primers map to clusters of resistance genes in lettuce. Mol Plant Microbe Interac 8:815-823. Sun D, Hu Y, Zhang L, Mo Y, Xie J. 2009. Cloning and analysis of Fusarium wilt resistance gene analogues in ‘Goldfinger’ banana. Mol. Plant Breed 7(6):1215-1222. Tameling WIL, Elzinga SDP, Darmin PS, Vossen JH, Takken FLW, Haring MA, Cornelissen BJC. 2002, The tomato R gene products I-2 and Mi-1 are functional ATP binding proteins with ATPase activity. Plant Cell 14(11):2929-2939. Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: molecular evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Mol Biol Evol 28:2731-2739. Tarr DEK, Alexander HM. 2009. TIR-NBS-LRR genes are rare in monocots: evidence from diverse monocot orders. BMC Res Notes 2:197 (doi:10.1186/1756-0500-2-197). Traut TW. 1994. The functions and consensus motifs of nine types of peptide segments that form different types of nucleotide-binding sites. Eur J Biochem 222: 9-19. Walker JE, Saraste M, Runswick MJ, Gay NJ. 1982. Distantly related sequences in the α- and β-subunits of ATP synthase, myosin, kinases and other ATPrequiring enzymes and a common nucleotide binding fold. EMBO J 1(8):945-951. Xiao WK, Xu ML, Zhao JR, Wang FG, Li JS, Dai JR. 2006. Genomewide isolation of resistance gene analogs in maize (Zea mays L.). Theor Appl Genet 113:63–72. Yaish MWF, de Miera LES, de la Vega MP. 2004. Isolation of a family of resistance gene analogue sequences of the nucleotide binding site (NBS) type from Lens species. Genom 47:650-659. Yue JX, Meyers BC, Chen JQ, Tian D, Yang S. 2012. Tracing the origin and evolutionary history of plant nucleotide-binding site–leucine-rich repeat (NBS-LRR) genes. New Phytologist 193:1049–1063.
60
Zhang N, Wang S, Wang HY, Liu DQ. 2011. Isolation and characterization of NBS-LRR class resistance homologous gene from wheat. J Integra Agric 10(8):1151-1158. Zhou T, Wang Y, Chen JQ, Araki H, Jing Z, Jiang K, Shen J, Tian D. 2004. Genome-wide identification of NBS genes in rice reveals significant expansion of divergent non-TIR NBS Genes. Mol Genet Genomics 271:402-415.
BAB IV ISOLASI DAN KARAKTERISASI GEN CHITINASE ASAL 5 KULTIVAR PISANG1 Abstrak Chitinase adalah enzim katalitik yang dihasilkan oleh tanaman yang mempunyai peranan sebagai protein pertahanan tanaman terhadap patogen. Dalam penelitian ini, fragmen gen chitinase diisolasi dan dikarakterisasi dari 5 kultivar pisang Indonesia, yaitu: Rejang, Klutuk Wulung, Kepok, Ambon Hijau dan Barangan. Fragmen gen chitinase telah berhasil diisolasi dari DNA genom 5 kultivar pisang tersebut dan disandi dengan MaChi. Selanjutnya fragmen tersebut dikarakterisasi dan dianalisis, meliputi analisis BLASTp, pensejajaran dan filogenetik. Fragmen gen MaChi teridentifikasi mengandung 3 exon (438 pb) dan 2 intron (158 pb), dan dari 5 produk amplifikasi PCR diperoleh delapan sekuen gen chitinase yang mempunyai keragaman basa nukleotida di dalamnya. Berdasarkan hasil analisis sekuen, fragmen MaChi tersebut mengandung daerah terkonservasi yang menjadi ciri dari glikosida hidrolase famili 19 dan mempunyai identity yang tinggi dengan gen chitinase kelas I atau II.
Kata kunci: chitinase, isolasi, karakterisasi molekular, pisang 1
Bab ini telah dikirim ke Journal of Mathematical and Fundamental Sciences untuk dipublikasi dengan judul: Chitinase (MaChi) Gene from Indonesian Banana Plant: Isolation, Characterization, and the Use as Molecular Marker for Disease Resistance
62
ISOLATION AND CHARACTERIZATION OF CHITINASE GENE FROM 5 BANANA CULTIVARS1 Abstract Chitinase is a catalytic enzyme produced by plants as defense protein against pathogens. In this study, fragments of chitinase gene were isolated and characterized from five Indonesian banana cultivars, e.i: Rejang, Klutuk Wulung, Kepok, Ambon Hijau and Barangan. The fragments of chitinase gene have been successfully isolated from genomic DNA and assigned by MaChi. The fragments were characterized and analyzed, employed BLASTp, multiple alignment and phylogenetic analysis. Fragments of MaChi gene contained three exons (438 bp) and two introns (158 bp). From five PCR products represent five banana cultivars, we obtained eight chitinase gene sequences with nucleotide sequence variabilities. Based on the result of nucleotide sequence analysis, the MaChi fragments contained a typical glycoside hydrolase conserved region of chitinase family 19 and exhibited a high sequence identity to either class I or class II chitinase.
Keywords: banana, chitinase, isolation, molecular characterization 1
This chapter has been submitted to the Journal of Mathematical and Fundamental Sciences, entitled: Chitinase (MaChi) Gene from Indonesian Banana Plant: Isolation, Characterization, and the Use as Molecular Marker for Disease Resistance
63
Pendahuluan Pisang adalah tanaman pangan terpenting keempat di dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang dan menjadi makanan pokok bagi 400 juta penduduk di dunia (CTB Trade for Development 2011). Namun demikian, produksi pisang menghadapi kendala beberapa penyakit serius seperti layu bakteri dan Fusarium (Molina 2010). Perbaikan kultivar untuk ketahanan terhadap penyakit bisa dikembangkan baik menggunakan metode pemuliaan konvensional maupun program rekayasa genetika. Sayangnya sampai saat ini informasi genetik gen ketahanan tanaman pisang terhadap layu FOC ras 4 tropika masih terbatas (Li et al. 2012). Namun demikian beberapa penelitian telah menghasilkan tanaman pisang transgenik yang tahan terhadap layu FOC ras 1, walaupun pengujian masih dalam taraf rumah kaca (Paul et al. 2011; Mohandas et al. 2013). Interaksi antara tanaman dan patogen bisa terjadi dalam bentuk reaksi kompatibel ataupun inkompatibel (Flor 1947). Perwujudan dari reaksi inkompatibel dari adalah respon ketahanan terhadap penyakit (Agrios 2005). Respon ketahanan dari tanaman pada umumnya dikendalikan oleh 2 kelas gen, yaitu gen ketahanan (R-gene) dan gen respon pertahanan (DR-gene) (Yulong 2006). Reaksi tidak kompatibel antara produk gen ketahanan dari tanaman dan produk dari gen avirulen (Avr-gene) patogen akan memicu aktivasi respon pertahanan dari tanaman inang, yang sering termasuk di dalamnya produksi pathogenesis-related (PR) proteins. Sampai saat ini sebanyak 17 kelompok protein PR telah ditemukan dan dikarakterisasi (Edreva 2005). Sejumlah pengujian enzimatik secara in vitro menunjukkan bahwa protein PR-3 menghasilkan aktivitas chitinase. Chitinase adalah enzim yang mempunyai peranan yang kritis dalam pertumbuhan dan perkembangan cendawan, berperanan penting dalam pertahanan terhadap cendawan patogen, dan parasitisme serangga oleh cendawan entomopatogen. Pentingnya chitinase dalam berbagai mekanisme pertahanan telah banyak dikaji (Graham & Sticklen 1994; Zhang et al. 2013). Chitinase (EC. 3.2.1.14) merupakan enzim dengan aktivitas glikosida hidrolase dan mengkatalisis degradasi chitin. Enzim ini terdapat pada berbagai organisme dan berperanan penting baik secara fisiologi maupun ekologi. Chitinase menghidrolisis ikatan β-1,4 glycosidic dari chitin (Dahiya et al. 2006), yang akan menghasilkan pelemahan dinding sel dan menyebabkan sel peka terhadap tekanan osmosis. Enzim chitinases (PR-3) dan β-1,3-glucanases (PR-2) dapat bekerja secara sinergis menghambat pertumbuhan cendawan baik secara in vitro maupun dalam tanaman (Selitrennikoff 2001). Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi chitinase dari fragmen DNA genom asal 5 kultivar pisang Indonesia meliputi analisis BLASTp, pensejajaran dan filogenetik sekuen hasil amplifikasi.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus sampai Desember 2012 di laboratorium Pemuliaan dan Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.
64
Bahan Penelitian dan isolasi DNA Kultivar pisang yang digunakan Rejang (AA), Klutuk Wulung (BB), Ambon Hijau (AAA), Barangan (AAA) dan Kepok (ABB), sedangkan bahan tanaman yang digunakan adalah daun muda tanaman hasil perbanyakan kultur jaringan yang telah berumur 2 bulan setelah aklimatisasi. Isolasi DNA berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle 1987) yang dimodifikasi oleh Das et al. (2009). Selanjutnya stok DNA hasil isolasi disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -20°C sampai siap untuk digunakan. Perancangan Primer dan PCR Sebanyak 2 pasang primer, Chi2-1 dan Chi2-2, didisain berdasarkan sekuen chitinase kelas II asal Musa spp. (FJ040802 dan FJ222751) yang ada di pangkalan data GenBank NCBI, menggunakan perangkat lunak Primer3 (http://biotools. umassmed.edu/ bioapps/primer3_www.cgi). Runutan basa nukleotida primer yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 9. Reaksi PCR dilaksanakan dengan volume 25 µl menggunakan KAPA2GTM PCR Kit (Kapa Biosystems Inc., USA), yang komposisinya terdiri atas 5.0 µl 5 X buffer PCR (di dalamnya terkandung 1.5 mM Mg2+), 0.5 µl MgCl2 25 mM, 0.5 µl dNTPs 10 mM, 1.0 µl masing-masing primer dengan konsentrasi 10 µM (primer forward dan reverse), 30 ng DNA genom, 0.1 µl Taq DNA polymerase (5 U µl-1) dan15.4 µl ddH2O. Proses PCR menggunakan mesin GeneAmp® PCR System 2400 (Perkin Elmer). Denaturasi cetakan DNA pada awal reaksi pada suhu 95 °C selama 3 menit, diikuti dengan 35 kali siklus 95 °C selama 10 detik, 57 °C selama 10 detik dan 72 °C selama 3 detik, dan diakhiri dengan satu siklus 72 °C selama 10 menit. Produk PCR dipisahkan berdasarkan ukuran dengan menggunakan elektroforesis gel agarose 1 % pada mesin elektroforesis dengan tegangan 80 V selama 25 menit. Selanjutnya dilakukan pewarnaan gel menggunakan ethidium bromide dan visualisasi menggunakan transluminator UV. Produk PCR yang menghasilkan pita tunggal dan jelas dikirim ke 1stBASE (Malaysia) untuk proses perunutan basa nukleotida (sequencing). Analisis sekuen produk PCR Untuk mengetahui identitas fragmen DNA hasil amplifikasi PCR, dilakukan analisis dengan cara membandingkan sekuen DNA dan prediksi asam amino dengan aksesi yang terdeposit pada pangkalan data GenBank NCBI menggunakan alogaritma BLASTn dan BLASTp (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi). Translasi sekuen DNA menjadi asam amino menggunakan perangkat lunak Tabel 9
Sekuen primer PCR yang digunakan untuk mengamplifikasi gen chitinase asal fragmen DNA genom pisang dan ukuran produk yang diharapkan Produk yang Primer Sekuen diharapkan (pb) Chi2-1 (F) 5’-CACGAAGAAGAGGGAGATCG-3’ 447 Chi2-1 (R) 5’-CCGTTGATGGAGTTGGTGAT-3’ Chi2-2 (F) 5’-CACGAAGAAGAGGGAGATCG-3’ 438 Chi2-2 (R) 5’-ATGTTGGTGGTGACACCGTA-3’
65
DNAMAN ver. 4.03 (Lynnon Biosoft, Quebec, Canada). Analisis pensejajaran sekuen prediksi asam amino produk PCR dengan 12 sekuen protein chitinase asal tanaman lain yang terdeposit dalam bank data NCBI, yaitu: Musa AB (ACJ06635), Rhododendron irroratum (ADF47472), Triticum aestivum (AAX83262), Arachis hypogaea (ADF87393), Theobroma cacao (EOX95466), Malus domestica (AAM12890), Elaeis guineensis (AEL89178), Oryza sativa (CAA82850 dan BAB21377), Gossypium hirsutum (AAD11255), Hevea brasiliensis (CAD24068), dan Arabidopsis thaliana (NM_191010), menggunakan perangkat lunak GeneDoc ver. 2.7 (Nicholas et al. 1997). Pohon filogenetik didisain berdasarkan metode Neighbor-Joining menggunakan perangkat lunak MEGA5 (Tamura et al. 2011).
Hasil dan Pembahasan Amplifikasi PCR Menggunakan Primer Spesifik Chitinase. Produk amplifikasi pita tunggal yang berukuran sekitar ~600 pb diperoleh dari DNA genom semua kultivar menggunakan pasangan primer Chi21-2 (Gambar 19). Produk dengan ukuran yang sama juga diperoleh dengan menggunakan pasangan primer Chi2-1. Namun demikian produk hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer Chi2-1 sangat tipis dan tidak jelas (gambar tidak ditampilkan). Oleh karena itu hanya 5 produk PCR (satu produk PCR mewakili satu kultivar pisang) hasil amplifikasi PCR menggunakan pasangan primer Chi2-2 yang dikirim ke 1stBASE (Malaysia) untuk diproses runutan basa nukleotidanya. Hasil dari proses perunutan basa nukleotida (sequencing) menghasilkan semua produk PCR berukuran 596 pb. Ukuran fragmen DNA lebih besar dari produk yang diharapkan yaitu sebesar 438 pb. Karena cetakan DNA yang digunakan dalam rekasi PCR adalah DNA genom, maka lebih besarnya produk PCR dari yang diharapkan mengindikasikan adanya intron dalam sekuen produk PCR tersebut. Seperti yang telah diduga sebelumnya, terdapat 2 intron yang tersisip dalam sekuen hasil amplifikasi PCR dari semua kultivar pisang. Sebagai contoh dari sekuen DNA dan residu prediksi asam amino dari produk PCR yang berasal dari salah satu kultivar (Rejang) ditampilkan pada Gambar 20.
1000 500
Gambar 19 Elektroferogram produk amplifikasi PCR yang berasal dari DNA genom 5 kultivar pisang, menggunakan pasangan primer Chi2-2; 1=DNA ladder 100 pb, 2-6=Secara berurutan merupakan produk PCR dari Rejang, Klutuk Wulung, Kepok, Ambon Hijau dan Barangan.
66
Analisis Sekuen Fragmen DNA Genom yang Teramplifikasi Analisis pensejajaran sekuen DNA hasil amplifikasi PCR dengan sekuen chitinase kelas II asal Musa AB, yang tersedia pada pangkalan data GenBank NCBI (aksesi no. FJ222751), mengidentifikasikan adanya 2 intron yang tersisip di antara ekson pada posisi nukleotida 57 sampai 126 dan 281 sampai 368 dari fragmen produk PCR (Gambar 20). Seperti sifat intron pada umumnya, sekuen intron yang teridentifikasi mengandung basa nukleotida TA yang relatif tinggi, yaitu 51.4 % dan 50 %, dan sekuen dimulai dengan GT dan diakhiri dengan AG. Sekuen ekson yang teridentifikasi berukuran 438 pb. Ekson tersebut menyandi 148 residu asam amino. Bagian pertama dari ekson yang teridentifikasi dari fragmen genom yang teramplifikasi menyandikan 18 residu asam amino, mengandung motif SHETT, dan bagian ketiga menyandikan 78 residu asam amino yang mengandung motif NYNYG. Bagian kedua yang terletak di antara bagian pertama dan ketiga, yang menyandi 52 residu asam amino, tidak mengandung motif spesifik. Motif terkonservasi NYNYG berhubungan dengan situs aktif katalitik yang sangat penting dan terdapat pada sebagian besar basic chitinase (Collinge et al. 1993). Motif NYNYG juga terdapat pada chitinase kelas VII yang berasal dari tanaman kapas (Li & Liu 2003). Adanya motif SHETT dan NYNYG juga dilaporkan pada protein gen chitinase yang diisolasi dari tanaman stroberi (Khan 2002). Fwd primer
Rev primer
Gambar 20 Contoh sekuen DNA dan prediksi asam amino dari hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Rejang, menggunakan primer spesifik chitinase. Intron ditandai dengan huruf kecil pada sekuen DNA. Residu asam amino di dalam kotak adalah sebagian motif terkonservasi dari chitinase. Huruf kapital di bawah sekuen DNA adalah sekuen prediksi asam amino. Tanda panah di atas sekuen DNA adalah posisi primer forward (fwd) dan reverse (rev).
67
Berdasarkan adanya motif SHETT dalam produk amplifikasi PCR, dapat disimpulkan bahwa produk amplifikasi tersebut diidentifikasi sebagai fragmen gen chitinase yang berasal dari Musa spp. Berdasarkan hasil sekuensing dari 5 produk amplifikasi PCR diperoleh delapan sekuen dengan variasi nukleotida di dalamnya. Delapan fragmen chitinase yang diisolasi dari DNA genom pisang dalam penelitian ini disandi dengan MaChi_Rjg yang berasal dari Rejang, MaChi_Klt#1 dan #2 berasal dari Klutuk Wulung, MaChi_Kpk#1 dan #2 berasal dari Kepok, MaChi_AH#1 dan #2 berasal dari Ambon Hijau, dan MaChi_Br berasal dari Barangan. Semua sekuen tersebut (delapan sekuen) telah masuk dalam pangkalan data GenBank NCBI dengan nomor aksesi JX984595, JX984596, JX984597, JX984598, JX984599, JX628916, JX628917, dan JX628918. Sequence Identity Chitinase Asal Pisang Berdasarkan analisis BLASTp (Altschul et al. 1997) sekuen prediksi asam amino dari fragmen DNA yang diperoleh dari penelitian ini, terungkap bahwa fragmen DNA tersebut mempunyai kemiripan residu asam amino yang signifikan dengan sejumlah prediksi asam amino dari cDNA chitinase yang berasal dari tanaman. Hal ini terlihat dari persentase identity yang tinggi. Identity asam amino dari semua aksesi berkisar 50 % sampai 90 % (Tabel 10). Query coverage dan nilai E dari sekuen yang dianalisis, masing-masing berkisar 79 % sampai 100 % dan 1e62 – 9e34 (Tabel 10). Berdasarkan hasil analisis BLASTp juga diketahui bahwa sekuen residu prediksi asam amino dari fragmen DNA genom yang teramplifikasi dari penelitian ini mempunyai identity 90 % dengan sekuen asam amino chitinase kelas II yang berasal dari Musa AB (ACJ06635) yang terdeposit dalam bank data NCBI (Tabel 10). Tabel 10 Sequence identity residu prediksi asam amino dari fragmen chitinase yang diisolasi dari pisang Rejang (MaChi_Rjg) dan 12 chitinase yang berasal dari tanaman lain yang terdeposit dalam pangkalan data GenBank NCBI. Penentuan nilai E, persentase query coverage dan identitas sekuen mengunakan alogaritme BLASTp (Altschul et al. 1997) Aksesi ACJ06635 ADF47472 AAX83262 CAD24068 AMM12890 CAA82850 AAD11255 EOX95466 ADF87393 AEL89178 NP_191010 BAB21377
Query coverage (%) Musa AB Group class II chitinase 100 Rhododendron irroratum class II chitinase 100 Triticum aestivum class II chitinase 99 Hevea brasiliensis subsp. brasiliensis class 100 I chitinase Malus domestica class II chitinase 93 Oryza sativa class I chitinase 100 Gossypium hirsutum class I chitinase 100 Theobroma cacao class II chitinase 100 Arachis hypogaea class II chitinase 100 Elaeis guineensis class II chitinase 100 Arabidopsis thaliana class IV chitinase 79 Oryza sativa class IV chitinase 86 Diskripsi
Nilai Identity E (%) 1e-92 90 4e-80 81 8e-77 75 4e-68 72 2e-65 2e-59 5e-68 1e-66 1e-66 1e-62 9e-34 2e-39
71 71 69 68 67 64 50 52
68
Chitinase dikelompokkan dalam glikosida hidrolase famili 18 dan 19 (Henrissat & Bairoch 1993). Anggota dari kedua famili chitinase tersebut dibedakan berdasarkan residu asam amino, struktur 3 dimensi (3D) (Hart et al. 1995; Hahn et al. 2000; Perrakis et al. 1994) dan mekanisme reaksi katalitik. Anggota dari chitinase famili 18 secara luas terdistribusi pada berbagai organisme seperti bakteri, cendawan, virus dan hewan. Chitinase kelas III dan V yang telah teridentifikasi pada tumbuhan tingkat tinggi termasuk dalam chitinase famili 18. Di lain pihak, chitinase famili 19 terdiri dari chitinase kelas I, II dan IV dan sebagian besar terdapat pada tumbuhan. Namun demikian, hasil penemuan yang terbaru mengungkapkan adanya chitinase kelas IV pada Streptomyces (Watanabe et al. 1999) dan Actinobacteria (Kawase et al. 2004; Tsujibo et al. 2003), hal ini mengindikasikan bahwa sebaran yang lebih luas dari chitinase kelas IV yang termasuk dalam famili 19 tidak terbatas hanya pada tumbuhan saja, tetapi juga spesies bakteri yang lain. Sebagai anggota dari glikosida hidrolase famili 19, 4 daerah terkonservasi terdapat pada residu prediksi asam amino. Selain itu 2 residu glutamate (E), sebagai asam amino katalisis, terkonservasi dalam famili glikosida hidrolase tersebut. Residu serine (S) atau threonine (T), sebagai asam amino hidroksil dan berperanan sebagai pengikat molekul air, juga terkandung dalam famili glikosida hidrolase tersebut. Chitinase kelas I mempunyai semua fitur yang merupakan ciri dari hidrolase glikosida famili 19. Di lain pihak, chitinase kelas II mempunyai fitur yang mirip dengan kelas I, kecuali tidak adanya chitin binding dan hinge region. Analisis pensejajaran residu prediksi asam amino dari fragmen genom DNA yang diisolasi pada penelitian ini dengan 12 protein chitinase asal tanaman lain menunjukkan adanya domain terkonservasi dari glikosida hidrolase chitinase famili 19 (Gambar 21). Berdasarkan residu asam amino terkonservasi, fragmen DNA genom yang teramplifikasi pada penelitian ini kemungkinan besar adalah chitinase kelas I atau kelas II yang berasal dari tanaman pisang. Hasil analisis filogenetik menggunakan metode Neighbor-Joining ditampilkan pada Gambar 22. Hasil analisis sekali lagi memperlihatkan sekuen MaChi yang teridentifikasi pada penelitian ini mempunyai kemiripan residu asam amino yang tinggi dengan chitinase kelas I dan II. Sekuen MaChi yang teridentifikasi juga mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan gen chitinase yang diisolasi dari Musa AB (aksesi # ACJ06635). Di lain pihak sekuen MaChi mempunyai hubungan yang jauh dengan chitinase kelas IV (Gambar 22). Sebagai anggota dari glycoside hydrolase family 19 chitinase, 4 motif terkonservasi ditemukan pada semua runutan prediksi asam amino MaChi dari kultivar pisang, yaitu 2 residu glutamate (E), sebagai asam amino katalis, ditemukan pada semua sekuen. Residu serine (S) atau threonine (T) sebagai asam amino hidroksil dan berperan dalam mengikat molekul air. Adanya molekul air sangat diperlukan dalam reaksi katalisis (Brameld & Goddard, 1998). Analisis filogenetik digunakan untuk membandingkan delapan runutan asam amino chitinase pisang yang dikode gen MaChi_Rj, MaChi_Klt#1 dan #2, MaChi_Kpk#1 dan #2, MaChi_AH#1 dan #2, dan MaChi_Br dengan 12 protein chitinase dari GenBank NCBI. Pohon filogenetik (Gambar 22) memperlihatkan bahwa protein dari MaChi mempunyai kemiripan asam amino yang tinggi dengan kelompok chitinase kelas I dan kelas II, dan khususnya dengan chitinase kelas II dari Musa AB, tetapi tidak sama dengan chitinase kelas IV.
69
C1
C3
C2
C4
Gambar 21 Hasil analisis pensejajaran sekuen residu asam amino yang diprediksi dari sekuen fragmen produk yang diamplifikasi dari DNA genom kultivar pisang Indonesia (MaChi_Rjg, MaChi_Klt#1 dan #2, MaChi_Kpk#1 dan #2, MaChi_AH#1 dan #2, dan MaChi_Br) dan yang berasal dari chitinase yang tersedia pada GenBank NCBI. Domain terkonservasi dari chitinase ditandai dengan C1, C2, C3 dan C4. Residu aktif ditandai dengan segitiga hitam, dan residu hidroksil ditandai dengan segitiga putih.
70
Chi_II_ACJ06635
62
MaChi_AH#1
45 25 30 80
MaChi_Br MaChi_AH#2 MaChi_Kpk#2
84
69
MaChi_Klt#2 MaChi_Klt#1
86 53
MaChi_Kpk#1 MaChi_Rjg
30
Chi_II_ADF47472 Chi_I_CAA82850
24
Chi_II_AAM12890
14 97
Chi_II_AAX83262 Chi_I_AAD11255 Chi_I_CAD24068
59
Chi_II_ADF87393 Chi_II_EL89178
100 85
Chi_II_EOX95466 Chi_IV_NP_191010 Chi_IV_BAB21377
100
0.05
Gambar 22 Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen residu prediksi asam amino chitinase yang berasal dari tanaman pisang dan 11 tanaman lain berdasarkan analisis pensejajaran menggunakan ClustalW2 dan dibuat berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan). Skala yang ada di bawah pohon mewakili panjang cabang yang setara dengan rataan substitusi asam amino per situs. Berdasarkan hasil pensejajaran sekuen prediksi asam amino (Gambar 21), terlihat adanya perbedaan residu antar sekuen MaChi, seperti terlihat pada residu asam amino nomor 22, 36, 37, 39, 43, dan seterusnya. Perbedaan residu tersebut disebabkan oleh perbedaan basa nukleotida penyusun kodon. Hal ini mengindikasikan adanya substitusi basa nukleotida (SNP) antar sekuen MaChi tersebut. Keberadaan SNP tersebut berpotensi untuk dapat dikembangkan sebagai marka molekuler.
Simpulan Dalam penelitian ini telah berhasil diisolasi fragmen produk amplifikasi PCR dari DNA genom 5 kultivar pisang. Fragmen MaChi tersebut berukuran 596 pb dan terdiri atas 2 intron (158 pb) dan 3 exon yang berukuran 438 pb, dan menyandi 148 residu asam amino. Berdasarkan hasil proses perunutan basa nukleotida dan analisis prediksi asam amino, dari 5 produk amplifikasi PCR yang mewakili 5 kultivar pisang, diperoleh delapan sekuen MaChi yang mengandung daerah terkonservasi glikosida hidrolase famili 19 dan teridentifikasi sebagai gen chitinase kelas I atau II.
71
Daftar Pustaka Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. Burlington: Elsevier Academic Pr. hlm 125-174. Altschul SF, Madden TL, Schaffer AA, Zhang J, Zhang Z, Miller W, Lipman DJ. 1997. Gapped BLAST and PSI-BLAST: a new generation of protein database search programs. Nuc Acids Res 25:3389-3402. Brameld KA, Goddard WA III. 1998. The role of enzyme distortion in the single displacement mechanism of family 19 chitinases. Proc NatL Acad Sci USA95:4276–4281,. Collinge DB, Kragh KM, Mikkelsen JD, Nielsen KK, Rasmussen U, Vad K. 1993. Plant chitinases. Plant J 3:31-40. CTB Trade for Development. 2011. La Banane, un Fruit en Sursis, Agence Belge de Développement, Bruxelles. Dahiya N, Tewari R, Tiwari RP, Hoondal GS. 2006. Biochemical aspects of chitinolytic enzymes: A review. App Microbiol Biotech 71:773–782. Das BK, Jena RC, Samal KC. 2009. Optimization of DNA isolation and PCR protocol for RAPD analysis of banana/plantain (Musa spp.). Int J Agricul Sci 1(2):21-25. Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation procedure for small quantities of fresh leaf tissue. Phytochem Bull 19:11-15. Edreva A. 2005. Pathogenesis-related proteins: research progress in the last 15 years. Gen Appl Plant Physiol 31:105-124. Flor HH. 1947. Current status of the gene-for-gene concept. Annu Rev Phytopathol 9:275-296. Graham LS, Sticklen MB. 1994. Plant Chitinases. Can J Bot 72:1057–1083. Hahn M, Hennig M, Schlesier B, Hõhne W. 2000. Structure of jack bean chitinase. Acta Crystal Sect D Biol Crystal 56:1096–1099. Hart PJ, Pfluger HD, Monzingo AF, Hollis T, Robertus JD. 1995. The refined crystal structure of an endochitinase from Hordeum vulgare L. seeds at 1.8 Å resolution. J Mol Biol 248:402–413. Henrissat B, Bairoch A. 1993. New families in the classification of glycosyl hydrolases based on amino acid sequence similarities. Biochem J 293:781– 788. Kawase T, Saito A, Sato T, Kanai R, Fujii T, Nikaidou N, Miyashita K, Watanabe T. 2004. Distribution and phylogenetic analysis of family 19 chitinases in Actinobacteria. App Environ Microbiol 70:1135–1144. Khan AA. 2002. Characteriazation of Chitinase Activities, and Cloning, Analysis, And Expression Of Genes Encoding Pathogenesis Related Proteins In Strawberry [disertasi]. Lousiana (US): Louisiana State University. Li J. Liu J-Y. 2003. A novel cotton gene encoding a new class of chitinase. Acta Bot Sin 45:1489-1496. Li CY, Deng GM, Yang J, Viljoen A, Jin Y, Kuang RB, Zuo CW, Lv ZC, Yang QS, Sheng O et al. 2012. Transcriptome profiling of resistant and susceptible Cavendish banana roots following inoculation with Fusarium oxysporum f.sp. cubense tropical race 4. BMC Genomics 13:374 (http://www.biomedcentral.com/ 1471-2164/13/374).
72
Mohandas S, Sowmya HD, Saxena AK, Meenakshia S, Rania RT, Mahmood R. 2013. Transgenic banana cv. Rasthali (AAB, Silk gp) harboring AceAMP1 gene imparts enhanced resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense race 1. Sci Hort 164:392–399. Molina AB, Williams RC, Hermanto C, Suwanda, Komolog B, Kokoa, P. 2010. Mitigating the threat of banana Fusarium wilt: understanding the agroecological distribution of pathogenic forms and developing disease management strategies. Australia: ACIAR 76 hlm. Nicholas KB, Nicholas HB Jr, Deerfield DW II. 1997. GeneDoc: analysis and visualization of genetic variation. EmbNet News 4:1–4. Paul JY, Becker DK, Dickman MB, Harding RM, Khanna HK, Dale JL. 2011. Apoptosis-related genes confer resistance to Fusarium wilt in transgenic ‘Lady Finger’ bananas. Plant Biotechnol J 9(9):1141-1148. Perrakis A, Tews I, Dauter Z, Oppenheim AB, Chet I, Wilson KS, Vorgias CE. 1994. Crystal structure of a bacterial chitinase at 2.3 Å resolution. Structure 2:1169–1180. Selitrennikoff CP. 2001. Antifungal proteins. Appl Env Microbiol 67:2883-2894. Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: molecular evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Mol Biol Evol 28:2731-2739. Tsujibo H, Kubota T, Yamamoto M, Miyamoto K, Inamori Y. 2003. Characterization of chitinase genes from an alkaliphilic Actinomycete, Nocardiopsis prasina OPC-131. App Env Microbiol 69:894–900. Watanabe T, Kanai R, Kawase T, Tanabe T, Mitsutomi M, Sakuda M, Miyashita K. 1999. Family 19 chitinases of Streptomyces species: characterization and distribution. Microbiol 145:3353–3363. Yulong GAO, Wangzhen GUO, Lei W, Tianzhen Z. 2006. Isolation and characterization of resistance and defense gene analogs in cotton (Gossypium barbadense L.). Sci China Ser C: Life Sci 49(6):530-542. Zhang J, Kopparapu NK, Yan Q, Yang S, Jiang Z. 2013. Purification and characterisation of a novel chitinase from persimmon (Diospyros kaki) with antifungal activity. Food Chem 138:1225–1232.
BAB V ISOLASI DAN KARAKTERISASI GEN β-1,3-GLUCANASE ASAL 4 KULTIVAR PISANG Abstrak β-1,3-glucanase adalah enzim katalitik yang dihasilkan oleh tanaman sebagai potein pertahanan terhadap patogen. Dalam penelitian ini, fragmen gen β-1,3glucanase diisolasi dan dikarakterisasi dari 4 kultivar pisang asal Indonesia, yaitu: Rejang, Klutuk Wulung, Ambon Hijau dan Barangan. Fragmen gen β-1,3glucanase telah berhasil diisolasi dari DNA genom 4 kultivar pisang tersebut dan disandi dengan MaGlu. Selanjutnya fragmen tersebut dikarakterisasi dan dianalisis, meliputi analisis BLASTp, pensejajaran dan filogenetik. Fragmen MaGlu mengandung 788 pb yang menyandi 261 residu asam amino. Berdasarkan analisis sekuen, fragmen MaGlu mengandung domain terkonservari dari glikosida hidrolase famili 17 dan mempunyai sequence identity yang tinggi dengan β-1,3glucanase pada tanaman pisang yang terdeposit dalam pangkalan data NCBI.
Keywords: β-1,3-glucanase, pisang, karakterisasi molekuler
74
ISOLATION AND CHARACTERIZATION OF β-1,3-GLUCANASE GENE FROM 4 BANANA CULTIVARS Abstract β-1,3-glucanase is a catalytic enzyme produced by plants as a defense protein against pathogens. In this study, fragments of β-1,3-glucanase gene were isolated and characterized from 4 Indonesian banana cultivars, e.i: Rejang, Klutuk Wulung, Ambon Hijau and Barangan. The fragments of β-1,3-glucanase gene have been successfully isolated from genomic DNA and assigned by MaGlu. The fragments were characterized and analyzed, employed BLASTp, multiple alignment and phylogenetic analysis. Fragments of MaGlu gene contained 788 bp encoded 261 amino acid residues. Based on the result of nucleotide sequence analysis, the MaGlu fragments contained a typical glycoside hydrolase family 17 conserved region and exhibited a high sequence identity to Musa β-1,3-glucanase from GenBank.
Keywords: banana, β-1,3-glucanase, molecular characterization
75
Pendahuluan Salah satu bentuk reaksi dari tanaman dalam menghadapi patogen adalah dengan menghasilkan protein PR yang berfungsi sebagai protein pertahanan yang akan melawan patogen. Protein PR adalah protein yang dihasilkan tanaman baik secara konstitutif maupun yang terinduksi karena adanya serangan patogen (Edreva 2005). Salah satu protein PR untuk melawan patogen cendawan adalah PR-2 atau yang disebut β-1,3-glucanase. Seperti halnya chitinase, β-1,3-glucanase (EC 3.2.1.39) adalah enzim hidrolitik dan banyak ditemukan pada spesies tanaman. β-1,3-Glucanase telah berhasil dikarakterisasi dan diisolasi dari berbagai tanaman seperti tembakau (Loose et al. 1988), kedelai (Takeuchi et al. 1990), karet (Chye & Cheung 1995), padi (Yamaguchi et al. 2002), peach (Thimmapuram et al. 2001) dan stroberi (Shi et al. 2006). Di dalam tubuh tanaman β-1,3-glucanase ditemukan pada berbagai organ tanaman seperti pada akar (Pozo et al. 1999), daun (Hrmova & Fincher 1993), bunga (Bucciaglia & Smith 1994) dan bahkan di bagian buah (Peumans et al. 2000) dan biji (Wu et al. 2001). Di dalam tanaman enzim β-1,3-glucanase dihasilkan secara konstitutif dengan konsentrasi yang rendah, tetapi ketika terjadi serangan cendawan, bakteri ataupun virus, konsentrasinya meningkat secara drastis maupun terinduksi karena adanya serangan patogen (Kan et al. 1992; Castresana et al. 1990; Alonso et al. 1995). Peningkatan konsentrasi bisa terjadi secara lokal maupun sistemik dalam tubuh tanaman (Lusso & Kuc 1995; Ward et al. 1991). Walaupun enzim β-1,3-glucanase dikenal sebagai enzim anti mikroba, tetapi tidak semua β-1,3-glucanase menghasilkan efek penghambatan terhadap cendawan patogen, seperti β-1,3-glucanase kelas II asal tanaman tembakau dan tomat (Sela-Buurlage et al. 1993; Joosten et al. 1995). Namun demikian β-1,3glucanase kelas II masih berperanan dalam pertahanan tanaman karena kemampuannya menghasilkan molekul elisitor yang berasal dari patogen (Ryan & Farmer 1991). Studi tentang ekspresi β-1,3-glucanase pada plantain yang dilakukan oleh Jin et al (2007) mendapatkan hasil bahwa ekspresi β-1,3-glucanase (MpGlu) meningkat pada daun, kulit buah dan daging buah setelah adanya infeksi cendawan FOC. Selain itu hasil pengujian secara in vitro, memperlihatkan efek penghambatan MpGlu terhadap perkembangan koloni cendawan FOC. Coundhury et al. (2009) menemukan pola ekspresi gen β-1,3-glucanase berhubungan dengan pola perubahan fisiologi dan molekuler selama proses pemasakan buah. Protein β1,3-glucanase juga ditemukan dalam jumlah besar pada buah pisang yang sedang mengalami pemasakan (Peumans et al 2000). Studi tentang penggunaan marka molekuler untuk ketahanan terhadap penyakit berbasis gen β-1,3-glucanase belum banyak dilakukan. SanchezBallesta et al. (2008) menemukan marka molekuler berbasis gen β-1,3glucanase yang berhubungan dengan ekspresi gen tersebut dengan penyakit pasca panen dan faktor hormonal yang mempengaruhi proses pemasakan buah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tian et al. (2007) menyarankan bahwa marka biokimia berdasarkan aktivitas β-1,3-glucanase dapat digunakan untuk seleksi ketahanan buah jujube (Ziziphus jujuba Mill) terhadap patogen cendawan.
76
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi β-1,3-glucanase dari fragmen DNA genom asal 4 kultivar pisang Indonesia, meliputi analisis BLASTp, pensejajaran dan filogenetik sekuen hasil amplifikasi.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2012 sampai Maret 2013 di laboratorium Pemuliaan dan Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Bahan Penelitian dan isolasi DNA Kultivar pisang yang digunakan adalah Rejang (AA), Klutuk Wulung (BB), Ambon Hijau (AAA) dan Barangan (AAA), sedangkan bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber DNA adalah daun muda tanaman hasil perbanyakan kultur jaringan yang telah berumur 2 bulan setelah aklimatisasi. Isolasi DNA berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle 1987) yang dimodifikasi oleh Das et al. (2009). Selanjutnya stok DNA disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -20°C sampai siap digunakan. Perancangan Primer dan PCR Amplifikasi PCR menggunakan 2 pasang primer, MaGlu1 dan MaGlu2, yang didisain berdasarkan sekuen β-1,3-glucanase asal Musa acuminata (AF001523) dan Musa balbisiana (AY532923) yang ada di pangkalan data GenBank NCBI, menggunakan perangkat lunak Primer3 (http://biotools. umassmed.edu/bioapps/primer3_www.cgi). Runutan basa nukleotida primer yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 11. Reaksi PCR dilaksanakan dengan volume 25 µl menggunakan KAPA2GTM PCR Kit (Kapa Biosystems Inc., USA), yang komposisinya terdiri atas 5.0 µl 5 X buffer PCR (di dalamnya terkandung 1,5 mM Mg2+), 0.5 µl MgCl2 25 mM, 0.5 µl dNTPs 10 mM, 1.0 µl masing-masing primer dengan konsentrasi 10 µM (primer forward dan reverse), 30 ng DNA genom, 0.1 µl Taq DNA polymerase (5 U µl-1) dan15.4 µl ddH2O. Proses PCR menggunakan mesin GeneAmp® PCR System 2400 (Perkin Elmer). Denaturasi cetakan DNA pada awal reaksi pada suhu 95 °C selama 3 menit, diikuti dengan 35 kali siklus 95 °C selama 10 detik, 58 °C selama 10 detik dan 72 °C selama 3 detik, dan diakhiri dengan satu siklus 72 °C selama 10 menit. Tabel 11 Sekuen primer PCR yang digunakan untuk mengamplifikasi gen β-1,3glucanase asal fragmen DNA genom pisang dan ukuran produk yang diharapkan Produk yang Primer Sekuen diharapkan (pb) MaGlu1 (F) 5’-CCAGCGTCTCCTTTCGATAC-3’ 626 MaGlu1 (R) 5’-AGCCTTCTGGTTCTCGTTGA-3’ MaGlu2 (F) 5’-AACTCGGGTACAAAGCATGG-3’ 718 MaGlu2 (R) 5’-CCCCGATTCGCTGACTACTA-3’
77
Produk PCR dipisahkan berdasarkan ukuran dengan menggunakan elektroforesis gel agarose 1 % pada mesin elektroforesis dengan tegangan 80 V selama 25 menit. Selanjutnya dilakukan pewarnaan gel menggunakan ethidium bromide dan visualisasi menggunakan transluminator UV. Produk PCR yang menghasilkan pita tunggal dan jelas dikirim ke 1stBASE (Malaysia) untuk proses perunutan basa nukleotida (sequencing). Analisis sekuen produk PCR Untuk mengetahui identitas fragmen DNA hasil amplifikasi PCR, dilakukan analisis dengan cara membandingkan sekuen DNA dan prediksi asam amino dengan aksesi yang terdeposit pada pangkalan data GenBank NCBI menggunakan alogaritma BLASTn dan BLASTp (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/ Blast.cgi). Translasi sekuen DNA menjadi asam amino menggunakan perangkat lunak DNAMAN ver. 4.03 (Lynnon Biosoft, Quebec, Canada). Analisis pensejajaran sekuen prediksi asam amino produk PCR dengan 12 sekuen protein β-1,3-glucanase asal tanaman lain yang teridentifikasi dalam bank data NCBI, yaitu: M. acuminata (AAF08679), Z. officinale (ABC69706), E. guineensis (ACF06549), Lilium (ABD85024), H. brasiliensis (AEV41413), O. sativa (BAA77783), P. persica (AAL30425), P. sativum (AAB24398), N. tabacum (AAA63541), C. sinensis (CAA03908), G. max (AAB03501), S. tuberosum (CAA08910), 2 sekuen lichenase atau β-1,3:1,4-glucanase asal H. vulgare (CAB41401 dan CAA36801), 2 sekuen exo-β-1,3-glucanase asal S. cerevisiae (AAA34648) dan B. bacterium (EHR69844), menggunakan perangkat lunak GeneDoc ver. 2.7 (Nicholas et al. 1997). Pohon filogenetik didisain berdasarkan metode Neighbor-Joining menggunakan perangkat lunak MEGA5 (Tamura et al. 2011).
Hasil dan Pembahasan Amplifikasi PCR Menggunakan Primer Spesifik β-1,3-glucanase. Dari hasil amplifikasi PCR DNA genom yang berasal dari kultivar Rejang, Klutuk Wulung, Ambon Hijau, diperoleh pita tunggal yang sangat jelas dan berukuran sekitar ~800 pb (Gambar 23) dengan menggunakan pasangan primer MaGlu1. Namun demikian, dengan menggunakan pasangan primer yang sama dan cetakan DNA genom dari kultivar Barangan, diperoleh pita yang sangat tipis, dan tidak mencukupi untuk proses perunutan basa nukleotida (sequencing). Untuk keperluan tersebut, perlu dilakukan PCR lagi dengan menggunakan produk PCR asal Barangan sebagai cetakan DNA, agar diperoleh produk yang mencukupi untuk sequencing. Sebelum dijadikan sebagai cetakan DNA, gel yang mengandung produk amplifikasi DNA asal kultivar Barangan diambil dan dipurifikasi menggunakan Gel/PCR DNA Fragments Extraction Kit (Geneaid, Taiwan). Selanjutnya produk purifikasi dijadikan sebagai cetakan DNA untuk PCR menggunakan pasangan primer MaGlu1. Amplifikasi PCR kedua dari kultivar Barangan yang menggunakan produk PCR sebagai cetakan DNA tersebut menghasilkan pita yang sangat jelas dengan ukuran ~800 pb (Gambar 24).
78
1000 500
Gambar 23 Elektroferogram produk amplifikasi PCR yang berasal dari DNA genom 5 kultivar pisang, menggunakan pasangan primer MaGlu1; 1=DNA ladder 100 pb, 2-5=Secara berurutan merupakan produk PCR dari Rejang, Klutuk Wulung, Ambon Hijau dan Barangan
(A) (A) M
Rjg
Br
(B) (B)
(C) (C)
Br
Br
1000
500500 pb
Gambar 24 (A) Elektroferogram produk PCR pertama dari kultivar Rejang dan Barangan menggunakan primer MaGlu 1. (B) Produk PCR pertama dari kultivar Barangan yang telah dipurifikasi. (C) Produk PCR kedua dari kultivar Barangan menggunakan produk PCR yang telah dipurifikasi sebagai cetakan DNA. M=DNA ladder 100 pb, Rjg=Rejang, Br=Barangan. . Pasangan primer MaGlu2 menghasilkan lebih dari satu pita yang tidak spesifik yang berukuran ~500 pb sampai ~800 pb (gambar tidak ditampilkan). Oleh karena itu 4 produk PCR (satu produk mewakili satu kultivar pisang) hasil amplifikasi menggunakan pasangan primer MaGlu1 yang dikirim ke 1stBASE (Malaysia) untuk proses perunutan basa nukleotida. Analisis Sekuen Fragmen DNA Genom yang Teramplifikasi Berdasarkan proses perunutan basa nukleotida (sequencing), didapatkan semua produk PCR berukuran 788 pb. Ukuran fragmen DNA lebih besar dari produk yang diharapkan yaitu sebesar 626 pb. Walaupun cetakan DNA yang digunakan dalam reaksi PCR adalah DNA genom, kelebihan nukleotida yang ada pada fragmen bukanlah intron. Hal ini ditunjukkan pada hasil translasi prediksi asam amino menggunakan perangkat lunak DNAMAN (Lynnon Biosoft, Quebec, Canada) (Gambar 25).
79
Gambar 25 Contoh sekuen DNA dan prediksi asam amino dari hasil amplifikasi PCR asal DNA genom pisang Rejang, menggunakan primer spesifik β-1,3-glucanase. Huruf kapital di bawah sekuen DNA adalah sekuen prediksi asam amino. Residu asam amino di dalam kotak adalah motif terkonservasi dari β-1,3-glucanase. Tanda panah di atas sekuen DNA adalah posisi primer forward (fwd) dan reverse (rev). Berdasarkan hasil translasi tersebut terlihat adanya 170 basa yangberada di depan 5’ dari sekuen forward primer dan tidak ditemukan intron maupun stop codon dalam fragmen hasil amplifikasi PCR, sehingga dapat dipastikan fragmen hasil amplifikasi PCR yang berukuran 788 pb tersebut adalah ekson. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya sekuen yang sama dengan primer forward yang letaknya lebih kurang 170 basa sebelum primer forward. Namun demikian pada saat proses direct sequencing, sekuen mirip primer tersebut tidak terbaca. Hasil translasi menunjukkan fragmen amplifikasi PCR yang berukuran 788 pb nukleotida menyandi 243 residu asam amino, dimulai dengan motif RMRLY. Motif tersebut juga ditemukan pada sekuen β-1,3-glucanase asal stroberi (Shi et al. 2006), peach (Thimmapuram et al. 2001), dan kacang kapri (Chang et al. 1992). Sedangkan pada tanaman lain motif tersebut berupa ARMIY atau SRMIY pada padi (Akimaya et al. 2001), RMRIY pada kedelai (Cheong et al. 2000), RLRLY atau KMRIY pada tembakau (Linthorst et al. 1990). Selain itu fragmen hasil amplifikasi PCR juga mengandung motif VGNE pada posisi 63-66, 2 residu tyrosine (Y) dan proline (P) pada posisi 146-148, dan motif SESGWP pada posisi 207-212. Terdapat 2 residu asam amino penting, yaitu tryptophan (W) juga ditemukan dalam fragmen tersebut pada posisi 44 dan 211. Motif-motif tersebut merupakan motif yang terkonservasi pada sebagian besar β-1,3-
80
glucanase yang termasuk dalam glikosida hidrolase famili 17 (Ori et al. 1990; Chang et al. 1993). Berdasarkan motif-motif yang terdapat pada produk amplifikasi PCR tersebut, dapat diduga bahwa produk amplifikasi dari DNA genom pisang diidentifikasi sebagai fragmen gen β-1,3-glucanase. Fragmen β-1,3-glucanase yang diisolasi dari genom pisang dalam penelitian ini disandi dengan MaGlu_Rjg yang berasal dari Rejang, MaGlu_Klt yang berasal dari Klutuk Wulung, MaGlu_AH yang berasal dari Ambon Hijau, dan MaGlu_Br yang berasal dari Barangan. MaGlu_Klt, MaGlu_Rjg dan MaGlu_AH telah masuk dalam pangkalan data GenBank NCBI dengan nomor aksesi JX625914, JX625915, JX984600. Sequence Identity β-1,3-Glucanase Asal Pisang Berdasarkan hasil analisis BLASTp (Altschul et al. 1997) sekuen prediksi asam amino dari fragmen DNA yang diperoleh dari penelitian ini, terungkap bahwa fragmen tersebut mempunyai persentase identity prediksi residu asam amino yang signifikan dengan sejumlah residu asam amino dari cDNA β-1,3glucanase yang berasal dari tanaman lain (Tabel 12). Tabel 12 Sequence identity residu prediksi asam amino dari fragmen β-1,3-glucanase yang diisolasi dari pisang Rejang (MaGlu_Rjg) dan 16 glycosida hidrolase famili 17 yang berasal dari tanaman dan organisme lain yang terdeposit dalam pangkalan data GenBank NCBI. Penentuan nilai E, persentase query coverage dan identitas sekuen mengunakan alogaritma BLASTp (Altschul et al. 1997). Aksesi AAF08679 ABC69706 ACF06549 ABD85024 AEV41413 BAA77783 AAL30425 AAB24398 AAA63541 CAA03908 AAB03501 CAB41401 CAA36801 CAA08910 AAA34648 EHR69844
Query coverage (%) Musa acuminata β-1,3-glucanase 100 Zingiber officinale β-1,3-glucanase 100 Elaeis guineensis β-1,3-glucanase 99 Lilium β-1 3-glucanase 99 Hevea brasiliensis β-1,3-glucanase 99 Oryza sativa β-1,3-glucanase 99 Prunus persica β-1,3-glucanase 99 Pisum sativum β-1,3-glucanase 100 Nicotiana tabacum basic β-1,3-glucanase 99 Citrus sinensis β-1,3-glucanase 100 Glycine max β-1,3-glucanase 99 Hordeum vulgare lichenase 99 Hordeum vulgare lichenase 99 Solanum tuberosum β-1 3-glucanase 99 Saccharomyces cerevisiae 35 exo-β-1,3-glucanase Burkholderiales bacterium 60 exo-β-1,3-glucanase Diskripsi
Nilai E
Identity (%)
0.0 7e-135 1e-136 2e-124 8e-117 4e-97 6e-102 1e-101 3e-100 7e-102 2e-99 6e-92 1e-91 2e-90 2e-06
99 79 76 70 65 60 59 59 59 57 57 53 55 50 27
2e-04
31
81
Identity asam amino dari semua aksesi berkisar 27 % sampai 99 % (Tabel 12). Query coverage dan nilai E dari sekuen yang dianalisis, masing-masing berkisar 35 % sampai 100 % dan 0 – 2e-04 (Tabel 12). Dari hasil analisis BLASTp juga diketahui bahwa sekuen residu prediksi asam amino dari fragmen DNA genom yang teramplifikasi dari penelitian ini mempunyai identity 99 % dengan sekuen asam amino β-1,3-glucanase yang berasal dari Musa acuminata (AAF08679) yang terdeposit dalam bank data NCBI (Tabel 12). Berdasarkan letak glikosida yang dihidrolisis, glikosida hidrolase dibagi menjadi 2 yaitu endo yang menghidrolisis ikatan glikosida pada bagian dalam rantai glikosida, sedangkan exo yang menghidrolisis ikatan glikosida pada bagian pangkal (Davies & Henrissat 1995). Proses hidrolisis ikatan glikosida bisa melalui mekanisme retention ataupun invertion (McCarter & Withers 1994). Kedua mekanisme tersebut melibatkan sepasang carboxylate yang akan memotong ikatan glikosida. Satu carboxylate bertindak sebagai donor proton dan yang lain bertindak sebagai donor elektron (White & Rose 1997). Dalam mekanisme retention jarak antar carboxylate sekitar 5.5 Å dan pada mekansime invertion sekitar 10.5 Å (Rye & Withers 2000). β-1,3-glucanase (EC 3.2.1.39) atau disebut juga 1,3-β-D-glucan endohydrolase termasuk dalam glikosida hidrolase famili 17 bersama-sama dengan lichenase atau β-1,3:1,4-glucanase (EC 3.2.1.73) dan exo-β-1,3-glucanase atau 1,3β-glucan exohydrolase (EC 3.2.1.58) (Henrissat 1991). Seperti halnya pada famili glikosida hidrolase yang lain, proses hidrolisis melibatkan 2 residu aktif glutamate/Glu (E) yang bertindak sebagai donor proton (catalytic acid/base) dan donor elektron (calatytic nucleophile). Di dalam glikosida hidrolase famili 17, residu Glu yang bertindak sebagai donor proton terdapat dalam motif IAVGNE, dan yang bertindak sebagai nucleophile terdapat dalam motif VVSESGW (Jenkins et al. 1995). Sebanyak 2 residu tryptophan (W) merupakan residu yang terkonservasi dalam β-1,3-glucanase dan β-1,3:1,4-glucanase. Residu tersebut berfungsi dalam pembentukan ikatan hidrogen dengan substrak glucan (Ori et al. 1990). Hasil analisis pensejajaran residu prediksi asam amino dari fragmen genom DNA yang diisolasi pada penelitian ini dengan 13 protein β-1,3-glucanase dan β-1,3:1,4-glucanase asal tanaman lain serta exo-β-1,3-glucanase dari khamir dan bakteri, menunjukkan adanya domain terkonservasi dari glikosida hidrolase famili 17 (Gambar 26). Berdasarkan residu asam amino terkonservasi, fragmen DNA genom yang teramplifikasi pada penelitian ini kemungkinan besar adalah β1,3-glucanase yang berasal dari tanaman pisang. Hasil analisis filogenetik memperlihatkan sekuen prediksi asam amino dari MaGlu yang teridentifikasi pada penelitian ini mempunyai identity residu asam amino yang tinggi dengan β-1,3-glucanase (Gambar 26). Sekuen MaGlu yang teridentifikasi juga mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan gen β-1,3-glucanase yang diisolasi dari Musa acuminata (aksesi # AAF08679). Berdasarkan analisis filogenetik juga terlihat bahwa aksesi yang dianalisis terbagi menjadi 3 kelompok yang terdapat dalam glikosida hydrolase famili 17, yaitu β-1,3-glucanase (EC 3.2.1.39), lichenase atau β-1,3:1,4-glucanase (EC 3.2.1.73) yang berasal dari Hordeum vulgare dan β-1,3-exoglucanase [eGase] (EC 3.2.1.58) yang berasal dari Saccharomyces cerevisiae dan Burkholderiales bacterium. Selanjutnya kelompok β-1,3-glucanase terbagi menjadi 2 sub kelompok.
82
C1
C2
Gambar 26 Pensejajaran prediksi asam amino MaGlu_Rjg, MGlui_Klt, dan MaGlu_AH dengan β-1,3-glucanase, lichenase atau β-1,3:1,4glucanase tanaman lain, dan exo-β-1,3-glucanase dari khamir dan bakteri yang telah terdeposit dalam GenBank NCBI. Motif penting dari glikosida hidrolase famili 17 ditandai dengan C1 dan C2. Residu tryptophan (W) ditandai dengan segitiga hitam dan residu katalitik ditandai dengan segitiga putih.
83
70 100 77 85
MaGlu Rjg AAF08679 MaGlu Br MaGlu AH MaGlu Klt
Monocots
ABC69706 ACF06549
46
ABD85024 71
AEV41413 AAA63541
31 34
89
26
CAA03908 AAL30425
D icots
AAB03501
28 52
100
100
E C 3.2.1.39
BAA77783 CAA08910
32
AAB24398 lichenase CAB41401 E C 3.2.1.73 lichenase CAA36801 eGase AAA34648 E C 3.2.1.58 eGase EHR69844
0.1
Gambar 27 Dendogram hasil analisis filogenetik sekuen residu prediksi asam amino β-1,3-glucanase yang berasal dari tanaman pisang dan 12 β-1,3glucanase asal tanaman lain, lichenase asal H. vulgare, dan exo-β-1,3glucanase (eGase) asal khamir dan bakteri, berdasarkan analisis pensejajaran menggunakan ClustalW2 dan dibuat berdasarkan metode Neighbor-Joining. Angka pada sumbu percabangan adalah nilai bootstrap (1000 ulangan). Skala yang ada di bawah pohon mewakili panjang cabang yang setara dengan rataan substitusi asam amino per situs. Sub kelompok pertama β-1,3-glucanase yang berasal dari tanaman monokotil, antara lain MaGlu, M. acuminata (AAF08679), Z. officinale (ABC69706), E. guineensis (ACF06549), Lilium (ABD85024) dan O. Sativa (BAA77783). Kelompok kedua terdiri dari β-1,3-glucanase yang berasal dari tanaman dikotil, yang terdiridari S. tuberosum (CAA08910), N. tabacum (AAA63541), H. brasiliensis (AEV41413), P. sativum (AAB24398), C. sinensis (CAA03908), G. max (AAB03501) dan P. persica (CAA08910). Berdasarkan hasil pensejajaran sekuen prediksi asam amino (Gambar 28), terlihat adanya perbedaan residu antar sekuen MaGlu, seperti terlihat pada residu asam amino nomor 31, 180, 226 dan 260. Perbedaan residu tersebut disebabkan oleh perbedaan basa nukleotida penyusun kodon. Hal ini mengindikasikan adanya substitusi basa nukleotida (SNP) antar sekuen MaGlu tersebut. Keberadaan SNP tersebut berpotensi untuk dapat dikembangkan sebagai marka molekuler.
Simpulan Dalam penelitian ini telah berhasil diisolasi fragmen produk amplifikasi
84
PCR dari DNA genom 4 kultivar pisang. Fragmen MaGlu tersebut berukuran 788 pb yang menyandi 261 residu asam amino. Dari hasil proses perunutan basa nukleotida dan analisis prediksi asam amino, fragmen MaGlu tersebut mengandung daerah terkonservasi glikosida hidrolase famili 17 dan teridentifikasi sebagai gen β-1,3-glucanase.
Daftar Pustaka Akiyama T, Pillai MA. 2001. Molecular cloning, characterization and in vitro expression of a novel endo-1,3-β-glucanase up-regulated by ABA and drought stress in rice (Oryza sativa L.). Plant Sci 161:1089–1098. Alonso E, Niebel FC, Obregon P, Gheysen G, Inze D, Van Montagu M, Castresana C. 1995. Differential in vitro DNA binding activity to a promoter element of the gn1 β-1,3-glucanase gene in hyper sensitively reacting tobacco plants. Plant J 7:309-320. Altschul SF, Madden TL, Schaffer AA, Zhang J, Zhang Z, Miller W, Lipman DJ. 1997. Gapped BLAST and PSI-BLAST: a new generation of protein database search programs. Nuc Acids Res 25:3389-3402. Bucciaglia PA, Smith AG. 1994. Cloning and characterization of Tag1, a tobacco anther β-1,3-glucanase expressed during tetrad dissolution. Plant Mol Biol 24:03-914. Castresana C, Gheysen GCF, Habets M, Inze D, Van Montagu M. 1990. Tissuespecific and pathogen-induced regulation of a Nicotiana plumbaginifolia β-1,3-glucanase gene. Plant Cell 2:1131-1144. Chang MM, Culley DE, Hadwiger LA. 1993. Nucleotide Sequence of a Pea (Pisum sativum L.) β-1,3-Glucanase Gene. Plant Physiol 101:1121-1122. Chang MM, Hadwiger LA, Horovitz D. 1992. Molecular characterization of a pea β-1,3-glucanase induced by Fusarium solani and chitosan challenge. Plant Mol Biol 20(4):609-618. Cheong YH, Kim CY, Chun HJ, Moon BC, Park HC, Kim JK, Lee SH, Han CD, Lee SY, Cho MJ. 2000. Molecular cloning of a soybean class III β-1,3glucanase gene that is regulated both developmentally and in response to pathogen infection. Plant Sci 154:71–81. Chye ML, Cheung KY. 1995. β-1, 3-Glucanase is highly-expressed in laticifers of Hevea brasiliensis. Plant Mol Biol 29:397-402. Coundhury SR, Roy S, Sengupta DN. 2009. Characterization of cultivar differences in β-1,3-glucanase gene expression, glucanase activity and fruit pulp softening rates during fruit ripening in three naturally occuring banana cultivars. Plant Cell Rep 28:1641-1653. Das BK, Jena RC, Samal KC. 2009. Optimization of DNA isolation and PCR protocol for RAPD analysis of banana/plantain (Musa spp.). Int J Agric Sci 1(2):21-25. Davies G, Henrissat B. 1995. Structures and mechanisms of glycosyl hydrolases. Structure 3:853-859. Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation procedure for small quantities of fresh leaf tissue. Phytochem Bull 19:11-15. Edreva A. 2005. Pathogenesis-related proteins: research progress in the last 15
85
years. Gen Appl Plant Physiol 31:105-124. Henrissat B. 1991. A classification of glycosyl hydrolases based on amino acid sequence similarities. Biochem J 280:309-316. Hrmova M, Fincher GB. 1993. Purification and properties of three (1 3)-β-Dglucanase isoenzymes from young leaves of barley (Hordeum vulgare). Biochem. J 289:453-461. Jenkins J, Leggio LL, Harris G, Pickersgill R. 1995. β-Glucosidase, βgalactosidase, family A cellulases, family F xylanases and two barley glycanases form a superfamily of enzymes with 8-fold β/α architecture and with two conserved glutamates near the carboxy-terminal ends of Bstrands four and seven. FEBS Letters 362:281-285. Jin X, Feng D, Wang H, Wang J. 2007. A novel tissue-specific plantain β-1,3glucanase gene that is regulated in response to infection by Fusarium oxysporum fsp. cubense. Biotechnol Lett 29:1431–1437. Joosten MHAJ, Verbakel HM, Nettekoven ME, van Leeuwen J, van der Vossen RTM, de Wit PJGM. 1995. The phytopathogenic fungus cladosporium fulvum is not sensitive to the chitinase and β-1,3-glucanase defense proteins of its host, tomato. Physiol Mol Plant Pathol 46:45–59. Linthorst T HJM, Melcherst LS, Mayer A, van Roekelt JSC, Cornelissent BJC, Bol. JF. 1990. Analysis of gene families encoding acidic and basic β-1,3glucanases of tobacco. Proc Natl Acad Sci 87:8756-8760. Loose M de, Alliotte T, Gheysen G, Genetello C, Gielen J, Soetaert P, Montagu M van, Inze D. 1988. Primary structure of a hormonally regulated βglucanase of Nicotiana plumbaginifolia. Gene 70:13-23. Lusso M, Kuc J. 1995. Evidence for transcriptional regulation of β-1,3-glucanase as it relates to induced systemic resistance of tobacco to blue mold. Mol Plant Microbe Interact 8:473-475. McCarter JD, Withers SG. 1994. Mechanisms of enzymatic glycoside hydrolysis. Curr Opin Struct Biol 4:885-892. Nicholas KB, Nicholas HB Jr, Deerfield DW II. 1997. GeneDoc: analysis and visualization of genetic variation. EmbNet News 4:1–4. Ori N, Sessa G, Lotan T, Himmelhoch S, Fluhr R. 1990. A major stylar matrix polypeptide (sp41) is a member of the pathogenesis-related proteins superclass. EMBO J 9:3429-3436 . Peumans WJ, Barre A, Derycke V, Rouge P, Zhang W, May GD, Delcour JA, van Leuven F, van Damme EJ. 2000. Purification, characterization and structural analysis of an abundant β-1,3-glucanase from banana fruit. Eur J Biochem 267:1188-1195. Pozo MJ, Azcón-Aguilar C, Dumas-Gaudot E, Barea JM. 1999. β-1,3-Glucanase activities in tomato roots inoculated with arbuscular mycorrhizal fungi and:or Phytophthora parasitica and their possible involvement in bioprotection. Plant Sci 141:149–157. Ryan CA, Farmer EE. 1991. Oligosaccharide signals in plants: a current assessment. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol 42:651–74. Rye CS, Withers SG. 2000. Glycosidase mechanisms. Curr Opini in Chem Biol 4:573–580. Sanchez-Ballesta M, Zacarias L, Granell A, Lafuente M. 2008. β-1,3-Glucanase gene expression as a molecular marker for postharvest physiological
86
disorders in citrus fruit and its hormonal regulation. Postharvest Biol Technol 48:146–149. Sela-Buurlage MB, Ponstein AS, Bres-Vloemans SA, Melchers LS, van den Elzen PJM, Cornelissen BJC. 1993. Only specific tobacco (Nicotiana tabacum) chitinases and β-1,3-glucanases exhibit antifungal activity. Plant Physiol 101:857–63. Shi Y, Zhang Y, Shih DS. 2006. Cloning and expression analysis of two β-1,3glucanase genes from Strawberry. J Plant Physiol 163:956-967. Takeuchi Y, Yoshikawa M, Takeba G, Tanaka K, Shibata D, Horino O. 1990. Molecular cloning and ethylene induction of mRNA encoding a phytoalexin elicitor releasing factor, β-1,3-endoglucanase, in soybean. Plant Physiol 93: 673-682. Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: molecular evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Mol Biol Evol 28:2731-2739. Thimmapuram J, Ko TS, Korban SS. 2001. Characterization and expression of β1,3-glucanase genes in peach. Mol Genet Genomics 265:469-479. Tian SP, Yao HJ, Deng X, Xu XB, Qin GZ, Chan ZL. 2007. Characterization and expression of β-1,3-glucanase genes in jujube fruit induced by the microbial biocontrol agent Cryptococcus laurentii. Phytopathol 97:260268. van Kan JAL, Joosten MHAJ, Wagemakers CAM, Berg-Velthuis GCM van den, Wit PJGM de. 1992. Differential accumulation of mRNAs intracellular encoding extracellular PR proteins in tomato induced by virulent and avirulent races of Cladosporium fulvum. Plant Mol Biol 20:513-527. Ward ER, Payne GB, Moyer M B, Williams SC, Dincher S S, Sharkey K C, Beck J J, Taylor HT, Ahl-Goy P, Meins F J et al. 1991. Differential regulation of β-1,3-glucanase messenger RNAs in response to pathogen infection. Plant Physiol 96:390-397. White A, Rose DR. 1997. Mechanism of catalysis by retaining β-glycosyl hydrolases. Curr Opin Struct Biol 7:645-651. Wu C-T, Leubner-Metzger G, Meins FJr, Bradford KJ. 2001. Class I β-1,3glucanase and chitinase are expressed in the micropylar endosperm of tomato seeds prior to radicle emergence. Plant Physiol 126:1299–1313. Yamaguchi T, Nakayama K, Hayashi T, Tanaka Y, Koike S. 2002. Molecular cloning and characterization of a novel β-1,3-glucanase gene from rice. Biosci Biotechnol Biochem 66: 1403-1406.
BAB VI IDENTIFIKASI DAN ANALISIS SUBSTITUSI SATU BASA (SNP) DAN KERAGAMAN NUKLEOTIDA RGA DAN DGA ASAL DNA GENOM PISANG Abstrak Studi tentang identifikasi SNP telah banyak dilakukan, namun demikian masih sedikit informasi tentang SNP pada tanaman pisang terutama yang berhubungan dengan gen-gen yang berfungsi dalam mekanisme ketahanan dan pertahanan tanaman pisang terhadap penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis keragaman putatif SNP berdasarkan sekuen putatif gen RGA dan DGA (chitinase dan β-1,3-glucanase) yang diisolasi dari genom pisang. Analisis SNP terhadap fragmen RGA menghasilkan 16 SNP (2 indel) asal Rejang dengan kepadatan satu SNP setiap 32 basa, dan 9 SNP asal Calcuta-4 dengan kepadatan satu SNP setiap 55 basa, sedangkan dari gen chitinase diidentifikasi sebanyak 22 putatif SNP dengan kepadatan satu SNP setiap 20 basa, dan dari gen β-1,3-glucanase berhasil diidentifikasi 9 SNP dengan kepadatan satu SNP setiap 99 basa. Keragaman nukleotida sekuen RGA berkisar 0.489 % sampai 1.383 % dengan rasio substitusi basa non synonymous (Ka) terhadap basa synonymous (Ks) kurang dari 1 mengindikasikan bahwa keragaman dibentuk oleh seleksi negatif selama proses evolusi. Keragaman nukleotida sekuen DGA berkisar antara 0.508 % sampai 1.416 %. Rasio Ka/Ks > 1 dari gen chitinase mengindikasikan keragaman dibentuk berdasarkan seleksi positif, dan nilai D Tajima negatif mengindikasikan adanya gen chitinase yang dalam kondisi selective sweeping. Keragaman nukleotida β-1,3-glucanase dibentuk berdasarkan seleksi berimbang dengan Ka/Ks <1 dan nilai D Tajima positif. Fragmen RGA asal Rejang menghasilkan 4 kombinasi haplotipe dengan keragaman haplotipe 0.85714, dan Calcuta-4 menghasilkan 7 kombinasi haplotipe dengan keragaman 0.88889. Fragmen gen chitinase menghasilkan 8 kombinasi haplotipe dengan keragaman 0.93333, dan gen β-1,3-glucanase menghasilkan 4 kombinasi haplotipe dengan keragaman 0.85714. Berdasarkan analisis jejaring tahapan mutasi, diketahui pola mutasi RGA terkelompokkan berdasarkan asal kultivar, sedangkan dari hasil analisis jejaring haplotipe pada fragmen gen DGA dapat menunjukkan jarak mutasi antar gen DGA anggota dari haplotipe tersebut.
Kata kunci: DGA, haplotipe, pisang, RGA, SNP
88
IDENTIFICATION AND ANALYSIS OF SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM (SNP) AND NUCLEOTIDE DIVERSITY OF RGA DAN DGA FROM BANANA GENOMIC DNA Abstract Many studies on SNPs in many crops have been done. However, less information regarding SNPs on genes that involved in disease resistance of banana. In this study, RGAs and DGAs sequences isolated from banana were used as sequence materials for SNP identification and SNP diversity analysis. Analysis of SNP revealed that 16 and 9 putative SNPs have been identified from RGA sequences of Rejang and Calcuta-4, respectively. The SNP density was one SNP in every 32 bases for Rejang, and every 55 bases for Calcuta-4. Analysis of SNP identified 22 putative SNPs from banana chitinase genes and 9 putative SNPs from banana β-1,3-glucanase genes. The SNP density was one SNP in every 20 bases for chitinase genes, and every 99 bases for β1,3-glucanase genes. The nucleotide diversity of RGAs ranged from 0.489 % to 1.383.% with Ka/Ks <1, indicated that highly nucleotide diversity was under negative selection during evolution period. The nucleotide diversity of DGAs ranged from 0.508.% to 1.416 % with Ka/Ks >1 for chitinase gene, and negative Tajima’D value, indicated that the genes were under selective sweeping during evolution. β-1,3Glucanase had Ka/Ks <1 and positive Tajima’D value, indicated that nucleotide diversity was under selective balance. RGA sequences from Rejang generated 4 haplotype combinations with haplotype diversity score was 0.85714, while RGA sequences from Calcuta-4 yielded 7 haplotype combinations with 0.88889 of haplotype diversity score. Eight haplotype combinations with 0.93333 of haplotype diversity score were obtained from banana chitinase genes, while 4 haplotype combinations with 0.85714 of haplotype diversity score were generated from banana β-1,3-glucanase genes. Based on the network analysis, nucleotide mutation pattern of RGAs was grouped by cultivar origins. Haplotype network analysis of DGA fragments indicated mutation distances of DGAs as the member of respective haplotype.
Keywords: Banana, DGA, haplotype, RGA, SNP,
89
Pendahuluan Mutasi titik yang terjadi pada makhluk hidup disebabkan oleh perubahan basa nukleotida yang terjadi pada runutan DNA suatu gen. Perubahan basa tersebut ada yang bisa menyebabkan perubahan protein dan ada juga yang tidak. Perubahan basa nukleotida suatu gen dapat berupa substitusi, inversi atau delesi. Substitusi adalah penggantian satu basa bisa dari kelas yang sama dan disebut transisi, ataupun dari kelas basa yang berbeda atau disebut tranversi. Contoh dari transisi adalah basa purin menggantikan basa purin (T C), dan pirimidin menggantikan pirimidin (A G), sedangkan transversi adalah penggantian satu basa dengan basa lain dari kelas yang berbeda, yaitu basa purin menggantikan basa pirimidin atau sebaliknya (A T, A C, C G, G T) (Primmer et al. 2002). Single nucleotide polymorphism (SNP) adalah substitusi basa nukleotida pada satu situs nukleotida tertentu di dalam genom makhluk hidup. Substitusi basa nukleotida (SNP) sangat banyak tersebar dalam DNA genom dan mempunyai potensi sebagai marka. Dengan memahami SNP akan bisa memahami mekanisme mutasi secara molekuler (Li et al. 1984; Zhao & Boerwinkle 2002) dan menduga asal populasi dari makhluk hidup yang ada saat ini (Kaessmann et al. 1999; Zhao et al. 2000; Jorde et al. 2001), karena sebagian profil SNP bisa menggambarkan informasi yang relevan yang melengkapi keseluruhan profil SNP lintas genom (Daly et al. 2001). Frekuensi ditemukannya SNP bervariasi tergantung pada tanamannya. Pada tanaman jagung ditemukan 1 SNP per 31 pasang basa (pb) di bagian noncoding region dan 1 SNP per 124 pb di bagian coding region (Ching et al. 2002). Pada kedelai ditemukan 1.64 SNP per 1 kb coding region dan 4.85 SNP per 1 kb non-coding region (Zhu et al. 2001). Kanazin et al. (2002) melaporkan keberadaan 1 SNP setiap 189 pb pada tanaman barley. Polimorfisme satu nukleotida sangat banyak ditemukan sehingga berpotensi sebagai marka yang tersebar di semua bagian genom tanaman. Keberadaan SNP juga berpotensi ditemukan pada sekuen DNA dari RGA dan DGA (chitinase dan β-1,3-glucanase). Namun demikian, informasi situs SNP pada RGA dan DGA yang berasal dari tanaman pisang belum dievaluasi, apalagi digunakan untuk studi genetik dan seleksi ketahanan terhadap patogen meskipun berbagai marka molekuler yang lain telah digunakan (Lorenzen et al. 2011). Pada masa mendatang penelitian yang berbasis SNP akan terus dilakukan terutama untuk mengembangkan marka molekuler untuk seleksi terhadap karakter tertentu sesuai dengan gen dasar dari SNP tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis keragaman perubahan basa nukleotida pada sekuen RGA dan DGA berdasarkan hasil proses perunutan (sequencing) DNA genom asal beberapa kultivar pisang.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober 2012 sampai Maret 2013 di laboratorium Pemuliaan dan Biologi Molekuler Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.
90
Data Sekuen Penelitian ini menggunakan data sekuen RGA dan DGA yang dihasilkan dari percobaan sebelumnya, yaitu Percobaan 2, 3 dan 4. Data sekuen RGA yang digunakan dalam penelitian ini adalah 14 sekuen yaitu: MNBS1-MNBS14 hasil dari Percobaan 2. Sebelum dianalisis sekuen RGA dikelompokkan berdasarkan asal kultivar pisang (Tabel 13). Data sekuen DGA adalah 8 sekuen gen chitinase (MaChi) yang diperoleh dari Percobaan 3, dan 4 sekuen gen β-1,3-glucanase (MaGlu) hasil dari Percobaan 4. Analisis Data SNP Polimorfisme SNP, rekonstruksi haplotipe, keragaman haplotipe dan pembuatan jejaring haplotipe dianalisis menggunakan SniPlay, perangkat lunak berbasis web untuk SNP (Dereeper et al. 2011). Keragaman runutan nukleotida, jumlah situs synonymous dan non-synomimous, dan uji D Tajima dianalisis menggunakan perangkat lunak DNASP ver. 5.0 (Librado & Rozas 2009). Prakiraan keanekaragaman menggunakan nilai Pi (π). Pi adalah rata-rata jumlah perbedaan per situs antara 2 sekuen atau disebut juga keragaman nukleotida. Rasio substitusi non synonymous (Ka) dan synonymous (Ks) dari daerah coding region, digunakan bantuan perangkat lunak berbasis web ‘Ka/Ks Calculation Tool’ dari Bergen Centre for Computational Service (http://services.cbu.uib.no/tools/kaks). Untuk mengetahui pola mutasi basa nukleotida yang terjadi antar haplotipe, digunakan analisis jejaring haplotipe berdasarkan alogaritma Median Joining (Bandelt et al. 1999). Perangkat lunak yang digunakan adalah Network ver. 4.6.1.1 (http://www.fluxus-engineering.com/sharenet.htm), sedangkan untuk mengetahui pola mutasi basa nukleotida dari keseluruhan fragmen RGA yang diperoleh dari penelitian ini (MNBS1-MNBS14) berdasarkan metode Templeton (1992) dan menggunakan perangkat lunak TCS ver 1.2.1 (Clement et al. 2000).
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tabel 13 Pengelompokan RGA berdasarkan asal kultivar pisang Asal Kultivar RGA Ukuran (pb) Klutuk Wulung MNBS1 524 MNBS2 523 Rejang MNBS3 524 MNBS4 523 MNBS5 524 MNBS6 524 MNBS7 524 MNBS8 524 MNBS9 524 Calcuta-4 MNBS10 524 MNBS11 524 MNBS12 524 MNBS13 524 MNBS14 524
91
Hasil dan Pembahasan Analisis SNP Sekuen RGA Dari data sekuen RGA yang berhasil diisolasi dari penelitian ini, analisis berdasarkan asal kultivar tidak dapat dilakukan pada MNBS yang berasal dari Klutuk Wulung, karena dari kultivar tersebut hanya diperoleh satu sekuen. Untuk analisis SNP diperlukan minimal 2 sekuen. Namun demikian MNBS1 asal Klutuk Wulung tersebut digunakan untuk analisis pola mutasi nukleotida secara keseluruhan bersama-sama sekuen lain yang berasal dari Rejang dan Calcuta-4. Berdasarkan hasil analisis diperoleh jumlah situs SNP RGA yang berasal dari Rejang sebanyak 16 situs (Tabel 14) dan dari Calcuta-4 sebanyak 9 situs (Tabel 15). Substitusi basa yang terjadi baik secara transisi maupun transversi pada sekuen RGA dari kedua kultivar tersebut. Substitusi basa secara transisi pada kedua kultivar lebih tinggi dari pada tranversi, yaitu 64 .% pada Rejang dan 73 % pada Calcuta-4, sedangkan subsitusi secara transversi sebesar 36 % untuk Rejang dan 27 % untuk Calcuta-4 (Gambar 28). Secara umum, frekuensi kejadian substitusi secara transisi lebih tinggi dari pada transversi untuk gen-gen yang menyandi karakter agronomi (Yang et al. 2004; Zeng et al. 2009). Hal Hal ini disebabkan di dalam substitusi secara transisi, basa yang menggantikan dan yang digantikan mempunyai struktur ruang yang seimbang di antara tulang punggung DNA penyusun basa (Guo & Jamison 2005). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa delesi hanya te rjadi pada Rejang. Delesi satu basa hanya terdapat pada bagian akhir dari fragmen MNBS2 dan MNBS4. Berdasarkan hasil analisis SNiPlay dapat diidentifikasi sebanyak 16 situs polimorfisme pada fragmen RGA asal kultivar Rejang, yang terdiri atas 14 putatif SNP dan 2 indel. Putatif SNP yang teridentifikasi sebagian besar adalah bialel, kecuali SNP pada posisi 6 untuk RGA asal Rejang yang trialel (Tabel 13), sedangkan dalam fragmen RGA asal kultivar Calcuta-4 diidentifikasi 9 putatif SNP dan sebagian besar adalah bialel, kecuali posisi 3 (trialel) dan 6 (tetraalel) (Tabel 15).
Jumlah Kejadian
6 5 4 3
Rejang
2
Calcuta
1 0 A-G
T-C
Transisi
C-G
|
T-G
A-T
A-C
Transversi
Gambar 28. Variasi SNP pada RGA yang berasal dari DNA genom pisang Rejang dan Calcuta-4
92
Tolok ukur kestabilan keragaman dapat dilihat dari kepadatan SNP pada daerah yang disandikannya. Kepadatan SNP pada fragmen MNBS asal Rejang lebih tinggi dari pada RGA asal Calcuta-4. Kepadatan SNP fragmen MNBS asal Rejang adalah satu SNP setiap 32 basa nukleotida, sedangkan pada Calcuta-4 adalah satu SNP setiap 55 basa nukleotida. Kepadatan SNP juga sejalan dengan nilai keragaman nukleotida. Keragaman nukleotida dari MNBS asal Rejang sebesar 1.363 % dan keragaman nukleotida MNBS asal Calcuta-4 sebesar 0.489 %. Perbedaan keragaman nukleotida bisa terjadi baik dalam populasi maupun antar populasi, seperti yang terjadi pada RGA asal Panicum virgatum (Zhu et al. 2013). Perbedaan keragaman nukleotida disebabkan beberapa faktor, antara lain ukuran populasi patogen yang berinteraksi dengan R gene tanaman inang (Ravensdale et al. 2011), dan lokasi asal dari populasi inang yang mungkin berhubungan dengan keragaman patogen daerah asal (Barret et al. 2009). Pada penelitian ini Calcuta-4 adalah pisang introduksi yang berasal dari India yang kemungkinan kondisi keragaman patogen yang berbeda dengan di Indonesia, sehingga menyebabkan proses evolusi dari gen RGA yang juga berbeda. Untuk melihat kenetralan mutasi yang terjadi pada sekuen DNA, digunakan rasio antara substitusi nukleotida non-synonymous (yang menyebabkan perubahan residu asam amino), yang dinyatakan dengan Ka dan substitusi nukleotida synonymous (tidak menyebabkan perubahan residu asam amino) yang dinyatakan dengan Ks (Zhang & Yu 2006). Pada penelitian ini baik pada Rejang ataupun Calcuta-4, nilai Ka/Ks adalah kurang dari 1 (Ka/Ks < 1) (Tabel 15), menandakan jumlah substitusi basa nukleotida non-synonymous lebih kecil dari pada synonymous. Hal ini menunjukkan bahwa proses seleksi ke arah pembersihan dari mutasi yang merusak (Hurst 2002). Tabel 14. Karakter dari 16 SNP yang diidentifikasi pada sekuen RGA (MNBS) dari kultivar Rejang. Posisi Variasi Frekuensi SNP Mayoritas alel Minoritas alel SNP substitusi SNP (%) 1 3 [C/G] 25.0 G C 2 6 [A/T/C] 25.0 C T 3 7 [A/G] 50.0 A G 4 15 [A/G] 25.0 G A 5 114 [T/C] 25.0 T C 6 215 [A/G] 25.0 A G 7 309 [T/G] 25.0 T G 8 394 [A/T] 25.0 A T 9 451 [A/G] 25.0 G A 10 452 [A/G] 25.0 A G 11 466 [A/T] 25.0 A T 12 472 [A/G] 50.0 A G 13 507 [T/C] 25.0 C T 14 515 indel (1) 25.0 insertion deletion 15 519 indel (1) 25.0 insertion deletion 16 524 [A/T] 25.0 A T
93
Tabel 15. Karakter dari 9 SNP yang diidentifikasi pada sekuen RGA (MNBS) dari kultivar Calcuta-4. Posisi Variasi Frekuensi SNP Mayoritas alel Minoritas alel SNP substitusi SNP (%) 1 3 [A/T/G] 11.1 G T 2
6
[A/T/C/G]
11.1
C
T
3
7
[A/G]
33.3
G
A
4
41
[A/G]
11.1
A
G
5
177
[T/G]
11.1
G
T
6
189
[A/G]
11.1
A
G
7
215
[A/G]
11.1
G
A
8
270
[A/G]
11.1
G
A
9
500
[A/G]
11.1
G
A
Tabel 16. Parameter keragaman genetik RGA asal DNA genom 2 kultivar pisang Asal Kultivar
Jumlah Jumlah sekuen SNP
Jumlah situs yang dianalisis
Ka/Ks
Keragaman Jumlah Keragaman nukleotida D Tajima haplotipe haplotipe (%)
Rejang
4
16
524
0.3224
1.363
0.80946
4
0.85714
Calcuta-4
9
9
524
0.2602
0.489
-0.07385
7
0.88889
Keterangan: Ka=substitusi non-synonymous, Ks=substitusi synonymous
Tabel 17. Sekuen dan frekuensi haplotipe dari RGA asal DNA genom pisang Kultivar Rejang
Calcuta-4
Haplotipe haplo1 haplo2 haplo3 haplo4 haplo1 haplo2 haplo3 haplo4 haplo5 haplo6 haplo7
Sekuen Haplotipe GCAGTATAGGAGCTTA CCGGTATAGAAACATA GAAACGGAAAAACTTA GCGGTATTGATGTTAT AGAAGAAGA GCAATGGAG ACGAGAGGG GCAAGAGGG GCGAGAGGG GGGAGAGGG GCGGGAGGG
Frekuensi (%) 25 25 25 25 11.1 11.1 22.2 11.1 22.2 11.1 11.1
Hasil uji Tajima (Tajima 1989) yang dilakukan terhadap sekuen RGA terlihat adanya perbedaan nilai D antara RGA yang berasal dari kultivar Rejang dan Calcuta-4. Hasil analisis memperlihatkan kultivar Rejang bernilai positif, sedangkan Calcuta-4 bernilai negatif (Tabel 16). Hal ini menunjukkan tingginya keragaman nukleotida dari RGA yang di dalam Rejang dan diduga terjadi seleksi yang berimbang, yang berarti
94
adanya pembersihan alel-alel yang bersifat merusak dan mempertahankan alel-alel yang menguntungkan (Carlson et al. 2005). Nilai D Tajima negatif dari Calcuta-4 diduga berhubungan dengan suatu proses yang disebut selective sweep dan bottleneck (Galtier et al. 2000), pada saat setelah terjadi pembuangan keragaman alel yang bersifat merusak dan tertinggal satu atau sedikit alel yang menguntungkan dan dipertahankan, kemudian diikuti dengan peningkatan populasi (Innan & Stephan 2000). Selain itu, hasil analisis menggunakan SNiPlay juga menunjukkan adanya keragaman haplotipe dari fragmen RGA asal Rejang dan Calcuta-4. Fragmen RGA asal Rejang mempunyai keragaman haplotipe sebesar 0.857 (Tabel 16) yang terdiri atas 4 haplotipe dengan frekuensi masing-masing haplotipe sebesar 25.% (Tabel 17), sedangkan RGA asal Calcuta-4 mempunyai keragaman haplotipe sebesar 0.889 (Tabel 16) yang terdiri atas 7 haplotipe dengan 5 haplotipe mempunyai frekuensi sebesar 11 % dan 2 haplotipe mempunyai frekuensi sebesar 22 % (Tabel 17). Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa frekuensi haplotipe dipengaruhi jumlah haplotipe dalam populasi, sedangkan jumlah haplotipe tergantung dari ukuran populasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Beaty et al. (2005), yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap nilai keragaman haplotipe. Pada Calcuta-4, ada 2 haplotipe yang mempunyai frekuensi lebih besar dari yang lainnya, yaitu haplo3 dan haplo5, seperti yang digambarkan dalam jejaring haplotipe (Gambar 29B). Dari hasil analisis jejaring menggunakan metode Median-Joining (Bandelt et al. 1999), terlihat pola perubahan yang menunjukkan posisi-posisi nukleotida yang mengalami mutasi, baik yang langsung menjadi suatu haplotipe maupun yang melalui beberapa tahapan mutasi. Satu titik persimpangan yang perubahan nukleotida belum merujuk pada suatu haplotipe tertentu dan disebut median vector (mv) (Gambar 29). Berdasarkan hasil analisis jejaring menggunakan TCS, terlihat bahwa RGA terkelompokkan menurut kultivar asal dari fragmen tersebut diisolasi (Gambar 30). Gen MNBS2-MNBS5 yang berasal dari Rejang berada dalam satu kelompok dan begitu juga dengan MNBS6-MNBS14 berada dalam satu kelompok untuk RGA yang berasal dari Calcuta-4. Gen MNBS1 yang berasal dari Klutuk Wulung berada di luar jejaring (outgroup) diduga karena perbedaan substitusi basa nukleotidanya yang besar sehingga TCS tidak bisa mengidentifikasi hubungan dengan jejaring yang dibentuk oleh RGA asal Rejang dan Calcuta-4. Gambar 30 juga bisa menjelaskan mengenai proses evolusi dari gen MNBS, berdasarkan pola mutasi dari basa nukleotida, sekaligus menggambarkan jarak antar gen berdasarkan pola subsitusi dari basa nukleotida. Terpisahnya RGA asal Klutuk Wulung dengan jejaring RGA asal Rejang dan Calcuta-4 disebabkan oleh adanya substitusi basa nukleotida pada RGA asal Klutuk Wulung yang tidak terdapat pada RGA asal Rejang dan Calcuta-4. Hal ini diduga leluhur dari RGA tersebut yang mungkin berasal dari populasi yang berbeda, atau dapat dikatakan berasal dari spesies yang berbeda. Dalam hal ini MNBS1 berasal dari Musa balbisiana (BB) dan MNBS2-MNBS14 berasal dari Musa acuminata (AA). Kasus serupa juga ditemukan oleh Rabemananjara et al. (2007) pada gen cytochrome b mitokondria asal katak beracun Madagaskar, bahwa perbedaan spesies katak menghasilkan pola jejaring haplotipe dari gen cytochrome b mitokondria yang terpisah.
(B)
(A) Haplo3
Haplo4
Haplo1
Haplo4 Haplo3 Haplo1 Haplo2 Haplo5
Haplo2
Haplo6
Haplo7
MNBS2 MNBS3
MNBS4 MNBS5
MNBS6 MNBS7 MNBS8
MNBS9 MNBS10 MNBS11
MNBS12 MNBS13 MNBS14
Gambar 29 Jejaring haplotipe berdasarkan metode Median Joining (Bandelt et al. 1999) dari RGA asal Rejang (A) dan Calcuta-4 (B). Warna haplotipe mewakili gen MNBS yang menjadi anggota dari haplotipe yang bersangkutan. Ukuran bulatan menunjukkan mutasi/substitusi /substitusi pada sekuen gen MNBS, mv: frekuensi haplotipe. Angka-angka pada alur jejaring menunjukkan posisi mutasi median vector.
96
MNBS13
MNBS1 MNBS 12
MNBS 11
MNBS 9
MNBS 8
MNBS 10
MNBS 14
MNBS 7
MNBS 6
MNBS 4
MNBS 3
MNBS 2
MNBS 5
Gambar 30 Jejaring tahapan mutasi/sustitusi basa nukleotida sekuen gen MNBS asal tanaman pisang. Bentuk kotak mempunyai bobot outgroup yang lebih tinggi dari bulatan. Warna bulatan atau kotak menunjukkan kultivar asal MNBS diisolasi (merah: Klutuk Wulung, biru: Calcuta4, hijau: Rejang). Angka dan huruf pada alur jejaring menunjukkan posisi dan subsitusi basa yang terjadi.
97
Analisis SNP Sekuen Chitinase dan β-1,3-Glucanase Berdasarkan hasil analisis diperoleh jumlah situs SNP sebanyak 22 situs untuk fragmen gen chitinase (Tabel 18) dan 9 situs SNP (satu indel) untuk fragmen gen β-1,3-glucanase (Tabel 19). Substitusi basa secara transisi maupun transversi terjadi pada kedua fragmen gen tersebut. Pada fragmen gen chitinase substitusi basa secara transversi (63.6 %) lebih tinggi dari pada transisi (36.4 %), sedangkan pada fragmen gen β-1,3-glucanase proporsi transisi dan transversi adalah sama, yaitu 50 % (Gambar 31). Walaupun secara umum proporsi transisi lebih tinggi dari transversi (Gojobori et al. 1982; Collins & Jukes 1994), namun demikian proporsi sebaliknya bisa juga terjadi, seperti yang ditemukan oleh Escalante et al. (1988) pada beberapa gen (AMA-1, LSA-1, MSP-1, MSP-2, MSP3, and Pfs8/45) asal Plasmodium falciparum yang mempunyai proporsi transversi lebih tinggi dari transisi. Dari 22 putatif SNP yang yang teridentifikasi pada fragmen gen chitinase, 4 putatif SNP adalah trialel (Tabel 18), sedangkan semua putatif SNP pada fragmen gen β-1,3-glucanase adalah bialel (Tabel 19). Kepadatan SNP fragmen gen chitinase lebih tinggi dari kepadatan gen β-1,3-glucanase. Kepadatan SNP gen chitinase adalah satu SNP setiap 20 basa nukleotida, dan kepadatan gen β-1,3glucanase adalah satu SNP setiap 99 basa nukleotida. Berdasakan analisis netralisme mutasi diperoleh nilai Ka/Ks > 1 untuk gen chitinase, yaitu 7.3043 (Tabel 20). Hal ini menunjukkan proses fiksasi substitusi basa nukleotida non synonymous terjadi begitu cepat dalam proses mutasi dibandingkan dengan substitusi basa nukleotida yang synonymous, yang artinya sedang terjadi proses seleksi positif (Hurst (Hurst 2002) untuk menghasilkan sifat-sifat yang menguntungkan. Skor nilai Ka/Ks < 1 dari gen β-1,3-glucanase sebesar 0.2127, yang artinya sedang terjadi seleksi yang berimbang antara pembersihan alel-alel yang merugikan/merusak dengan mempertahankan alel-alel yang menguntungkan.
7
Jumlah Kejadian
6 5 4 chitinase
3
β-1,3-glucanase
2 1 0 A-G Transisi
T-C
C-G |
T-G
A-T
A-C
Transversi
Gambar 31 Variasi SNP pada fragmen gen chitinase dan β-1,3-glucanase yang berasal dari DNA genom beberapa kultivar pisang.
98
Tabel 18. Karakter dari 22 SNP yang diidentifikasi pada sekuen chitinase Posisi Variasi Frekuensi SNP Mayoritas alel Minoritas alel SNP substitusi SNP (%) 1 65 [T/C/G] 12.5 C G 2 85 [T/G] 12.5 G T 3 107 [A/C/G] 12.5 G C 4 110 [A/C] 12.5 C A 5 111 [A/C/G] 12.5 A G 6 112 [T/G] 50.0 T G 7 117 [A/G] 12.5 A G 8 125 [T/C] 12.5 C T 9 128 [A/T] 12.5 T A 10 129 [A/C] 12.5 C A 11 147 [A/G] 12.5 G A 12 178 [A/G] 25.0 G A 13 210 [A/T] 37.5 T A 14 237 [A/G] 12.5 G A 15 256 [A/G] 12.5 G A 16 262 [C/G] 12.5 C G 17 329 [A/C] 12.5 C A 18 364 [A/C] 12.5 A C 19 373 [T/C/G] 12.5 G C 20 378 [A/C] 12.5 C A 21 383 [A/T] 12.5 T A 22 396 [A/G] 25.0 G A
Tabel 19. Karakter dari 9 SNP yang diidentifikasi pada sekuen β-1,3-glucanase Posisi Variasi Frekuensi SNP SNP substitusi SNP (%) Mayoritas alel Minoritas alel 1 30 [A/C] 25.0 C A 2 91 [C/G] 25.0 G C 3 480 [A/G] 25.0 G A 4 538 [A/C] 25.0 C A 5 618 [A/G] 25.0 G A 6 677 [A/G] 25.0 A G 7 753 [T/C] 25.0 C T 8 778 [A/C] 25.0 C A 9 780 indel (1) 50.0 insertion deletion
99
Tabel 20 Parameter keragaman genetik gen chitinase dan β-1,3-glucanase asal DNA genom pisang Asal Kultivar
Jumlah Jumlah sekuen SNP
Chitinase
8
22
Jumlah situs yang dianalisis
Ka/Ks
438
7.3043
Keragaman Jumlah Keragaman nukleotida D Tajima haplotipe haplotipe (%)
1,416
-0.26287
β-1,34 9 788 0.2127 0,508 0.74644 Glucanase Keterangan: Ka=substitusi non-synonymous, Ks=substitusi synonymous
8
0.93333
4
0.85714
Tabel 21 Sekuen dan frekuensi haplotipe dari gen chitinase dan β-1,3-glucanase asal DNA genom pisang Gen Haplotipe Sekuen Haplotipe Frekuensi (%) Chitinase haplo1 CTGCCTACTCGGTGGCCAGCTA 12.5
β-1,3glucanase
haplo2
CGGCATACTCGATGGCCAGCTG
12.5
haplo3
CGGCAGACTCGGAGGCCCGCTA
12.5
haplo4
CGGCAGACTCGGAGGCCAGCTG
12.5
haplo5
CGGCAGATTCGGTGGCCAGCTG
12.5
haplo6
CGGCATACTCGGTGGCCAGCTG
12.5
haplo7
TGGCAGACTCGGTGGCCAGCTG
12.5
haplo8 haplo1
CGAACTGCAAAAAAAGAATAAG CGGCGACAA
12.5 25.0
haplo2
CGGAGACCT
25.0
haplo3
ACACAGTCT
25.0
haplo4
CGGCGACCA
25.0
Dari hasil uji Tajima diperoleh nilai negatif pada fragmen gen chitinase (-0.26287) dan nilai positif pada fragmen gen β-1,3-glucanase (0.74644). Nilai D Tajima yang ada pada fragmen gen chitinase menunjukkan adanya pembersihan terhadap alel-alel yang tidak menguntungkan setelah diperoleh satu atau beberapa alel yang bersifat menguntungkan atau yang disebut selective sweep (Galtier et al. 2000), sedangkan pada pada fragmen gen β-1,3glucanase terjadi seleksi yang berimbang antara pembersihan alel yang tidak menguntungkan dengan mempertahankan alel yang menguntungkan (Carlson et al. 2005). Hasil analisis SNiPlay menunjukkan keragaman haplotipe dari gen chitinase (0.9333) lebih tinggi dari keragaman haplotipe gen β-1,3-glucanase (0.85714) (Tabel 20). Selain itu jumlah haplotipe dari fragmen gen chitinase (8 haplotipe) juga lebih tinggi dari pada jumlah haplotipe fragmen gen β-1,3glucanase (4 haplotipe) (Tabel 21). Hal ini dipengaruhi oleh jumlah putatif SNP ada di dalam fragmen masing-masing gen dan populasi yang dianalisis.
(A)
Haplo8
Haplo3
(B)
Haplo1
Haplo2
Haplo7 Haplo4
Haplo6
Haplo3
MaChi-Rjg MaChi-Br MaChi-Klt#1 MaChi-Klt#2
MaChi-AH#1 MaChi-AH#2 MaChi-Kpk#1 MaChi-Kpk#2
MaGlu-Rjg MaGlu-Klt MaGlu-AH MaGlu-Br
Haplo1
Haplo4
Haplo5 Haplo2
Gambar 32 Jejaring haplotipe berdasarkan metode Median Joining (Bandelt et al. 1999) dari fragmen gen chitinase (A) dan β-1,3glucanase (B). Warna haplotipe mewakili gen yang menjadi anggota dari haplotipe yang bersangkutan. Angka-angka pada alur jejaring menunjukkan posisi mutasi/substitusi pada sekuen gen, mv: median vector.
101
Hasil analisis jejaring haplotipe menggunakan metode Median Joining (Bandelt et al. 1999) menunjukkan jarak serta pola substitusi basa nukleotida yang terjadi pada fragmen gen chitinase dan β-1,3-glucanase (Gambar 32). Pada fragmen gen chitinase Haplo 8 yang beranggotakan gen chitinase asal Rejang mempunyai jarak terjauh dengan 15 titik mutasi dengan haplotipe terdekat (Haplo2). Hasil analisis jejaring juga memperlihatkan bahwa mutasi yang terjadi pada 2 gen chitinase yang berasal dari satu kultivar yang sama belum tentu mempunyai jarak yang terdekat. Sebagai contoh Haplo1 dan Haplo3 yang masingmasing beranggotakan gen chitinase yang berasal dari Klutuk Wulung mempunyai jarak 8 titik mutasi. Begitu juga dengan Haplo2 dan Haplo5 yang beranggotakan gen chitinase yang berasal dari Ambon Hijau mempunyai jarak 3 titik mutasi (Gambar 32A). Berdasarkan hasil analisis jejaring dapat diduga satu gen chitinase yang berasal dari Rejang sedang mengalami seleksi positif. Dalam jejaring haplotipe fragmen gen β-1,3-glucanase terlihat bahwa Haplo3 yang beranggotakan fragmen gen β-1,3-glucanase yang berasal dari Klutuk Wulung mempuyai jarak yang paling jauh dengan 8 titik mutasi dengan haplotipe terdekat (Gambar 32B).
Simpulan Dari gen MNBS yang diisolasi dari pisang, diidentifikasi sebanyak 9 sampai 14 putatif SNP yang terdiri atas bialel, trialel dan tetraalel, sedangkan dari gen chitinase diidentifikasi sebanyak 22 putatif SNP (bialel dan trialel), dan 9 putatif SNP bialel berasal dari fragmen gen β-1,3-glucanase. Identifikasi dan analisis keragaman putatif SNP yang terdapat pada fragmen gen MNBS, chitinase dan β-1,3-glucanase bisa dijadikan sebagai dasar untuk studi pola mutasi yang terdapat pada gen-gen tersebut dan studi evolusi gen terutama yang berhubungan dengan ketahanan tanaman terhadap penyakit. Dengan menggunakan teknologi bioinformatika, putatif SNP berbasis RGA dan DGA yang teridentifikasi dapat digunakan sebagai marka terutama untuk marka ketahanan terhadap penyakit penting tanaman pisang. Oleh karena itu tahapan selanjutnya adalah seleksi dan evaluasi putatif SNP yang dapat digunakan untuk marka ketahanan terhadap penyakit.
Daftar Pustaka Bandelt HJ, Forster P, Röhl A. 1999. Median-joining networks for inferring intraspecific phylogenies. Mol Biol Evol 6:37–48. Barret LG, Thrall PH, Dodds PN, Merwe M van der, Linde CC, Lawrence GJ, Burdon JJ. 2009. Diversity and Evolution of Effector Loci in Natural Populations of the Plant Pathogen Melampsora lini. Mol Biol Evol 26(11):2499–2513. Beaty TH, Fallin MD, Hetmanski JB, McIntosh I, Chong SS, Ingersoll R, Sheng X, Chakraborty XR, Scott AF. 2005. Haplotype Diversity in 11 Candidate Genes Across Four Populations. Genetics 171: 259–267. Carlson CS, Thomas DJ, Eberle MA, Swanson JE, Livingston RJ, Rieder MJ,
102
Nickerson DA. 2005. Genomic regions exhibiting positive selection identified from dense genotype data. Genome Res. 15(11):1553-1565. Ching A, Caldwell KS, Jung M, Dolan M, Smith OS, Tingey S, Morgante M, Rafalski AJ. 2002. SNP frequency, haplotype structure and linkage disequilibrium in elite maize inbred lines. BMC Genet 3:19. Clement X, Posada D, Crandall K. 2000. TCS: a computer program to estimate gene genealogies. Mol Ecol 9:1657-1659. Collins DW, Jukes TH, 1994 Rates of transition and transversion in coding sequences since the human-rodent divergence. Genomics 20:386–396. Daly MJ, Rioux JD, Schaffner SF, Hudson TJ, Lander ES. 2001. High-resolution haplotype structure in the human genome. Nat Genet 29:229–232. Dereeper A, Nicolas S, Cunff LL, Bacilieri R, Doligez A, Peros J-P, Ruiz M, This P. 2011. SNiPlay: a web-based tool for detection, management and analysis of SNPs. Application to grapevine diversity projects. BMC Bioinforma. 12:134 http://www.biomedcentral.com/1471-2105/12/134. Escalante AA, Lal AA, Ayala FJ. 1998. Genetic Polymorphism and Natural Selection in the Malaria Parasite Plasmodium falciparum. Genetics 149:189–202. Galtier N, Depaulis F, Barton NH. 2000. Detecting bottlenecks and selective sweeps from DNA sequence polymorphism. Genetics 155:981–987. Gojobori T, Li W-H, Graur D. 1982. Patterns of nucleotide substitution in pseudogenes and functional genes. J Mol Evol 18:360–369. GuoY, Jamison DC. 2005. The distribution of SNPs in human gene regulatory regions. BMC Genomics 6:140 doi:10.1186/1471-2164-6-140 Hurst LD. 2002. The Ka/Ks ratio:diagnosing the form of sequence evolution. TRENDS Genet 18(9):486-487. Innan H, Stephan W. 2000. The Coalescent in an exponentially growing metapopulation and its application to Arabidopsis thaliana. Genetics 155:2015–2019. Jorde LB, Watkins WS, Bamshad MJ. 2001. Population genomics: a bridge from evolutionary history to genetic medicine. Hum Mol Genet 10:2199–2207. Kaessmann H, Heißig F, Haeseler A von, Pääbo S. 1999. DNA sequence variation in a non-coding region of low recombination on the human X chromosome. Nat Genet 22:78–81. Kanazin V, Talbert H, See D, DeCamp P, Nevo E, Blake T. 2002. Discovery and assay of single-nucleotide polymorphisms in barley (Hordeum vulgare). Plant Mol Biol 48:529–537. Li W-H, Wu C-I, Luo C-C. 1984. Nonrandomness of point mutation as reflected in nucleotide substitutions in pseudogenes and its evolutionary implications. J Mol Evol 21:58–71. Librado P, Rozas J. 2009. DnaSP v5: A software for comprehensive analysis of DNA polymorphism data. Bioinformatics 25:1451-1452 doi:10.1093/bioinformatics/btp187. Lorenzen J, Hearne S, Mbanjo G, Nyine M, Close T. 2011. Use of molecular markers in banana and plantain improvement. Acta Hort 897:281-287. Primmer CR, Borge T, Lindell J, Sætre GP. 2002. Single nucleotide polymorphism characterization in species with limited available sequence
103
information: High nucleotide diversity revealed in the avian genome. Mol Ecol 11:603-612. Rabemananjara FCE, Chiari Y, Ramilijaona OR, Vences M. 2007. Evidence for recent gene flow between north-eastern and south-eastern Madagascan poison frogs from a phylogeography of the Mantella cowani group. Front Zool 4:1 doi:10.1186/1742-9994-4-1. Ravensdale M, Nemri1 A, Thrall PH, Ellis JG, Dodds PN. 2011. Co-evolutionary interactions between host resistance and pathogen effector genes in flax rust disease. Mol Plant Pathol 12(1): 93–102. Tajima F. 1989. Statistical methods for testing the neutral mutation hypothesis by DNA polymorphism. Genetics 123:585–595. Templeton AR, Crandall KA, Sing CF. 1992. A cladistic analysis of phenotypic associations with haplotypes inferred from restriction endonuclease mapping and DNA sequence data. III. Cladogram estimation. Genetics 132:619–633. Walker JE, Saraste M, Runswick MJ, Gay NJ. 1982. Distantly related sequences in the α- and β-subunits of ATP synthase, myosin, kinases and other ATPrequiring enzymes and a common nucleotide binding fold. EMBO J 1(8):945-951. Yang W, Bai X, Kabelka E, Eaton C, Kamoun S, van der Knaap E, Francis D. 2004. Discovery of single nucleotide polymorphisms in Lycopersicon esculentum by computer aided analysis of expressed sequence tags. Mol Breed 14: 21–34. Zeng X-H, Wei Y-M, Jiang Q-T, Qi P-F, Zheng Y-L. 2009. SNP analysis and haplotype identification in chymotrypsin inhibitor-2 (CI-2) gene of barley. Agric Sci China 8(1):8-14. Zhang Z, Yu J. 2006. Evaluation of six methods for estimating synonymous and nonsynonymous substitution rates. Genom Proteom Bioinforma 4(3):173-181. Zhao Z, Boerwinkle E. 2002. Neighboring-nucleotide effects on single nucleotide polymorphisms: a study of 2.6 million polymorphisms across the human genome. Genome Res 12:1679–1686. Zhao Z, Jin L, Fu YX, Ramsay M, Jenkins T, Leskinen E, Pamilo P, Trexler M, Patthy L, Jorde LB et al. 2000. Worldwide DNA sequence variation in a 10kilobase noncoding region on human chromosome 22. Proc Natl Acad Sci 97:11354–11358. Zhu Q, Bennetzen JL, Smith. 2013. Isolation and diversity analysis of resistance gene homologues from switchgrass. G3 3(6):1031-1042. Zhu YL, Hyatt S, Quigley C, Song QJ, Grimm D, Young N, Cregan P. 2001. Single nucleotide polymorphisms (SNPs) in soybean genes, cDNAs, and random genomic sequence. Di dalam: Proceeding of Plant & Animal Genome IX Conference; San Diego, 13-17 Jan 2001. California.
BAB VII PENGEMBANGAN MARKA SNAP BERBASIS RESISTANCE GENE ANALOGUE (RGA) DAN DEFENSE GENE ANALOGUE (DGA) UNTUK KETAHANAN TERHADAP LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa spp.) Abstrak Pengembangan kultivar pisang tahan penyakit secara konvensional menghadapi kendala lamanya waktu yang diperlukan untuk seleksi dan evaluasi tanaman hasil persilangan, oleh karena itu pendekatan bioteknologi melalui pengembangan marka molekuler merupakan salah metode alternatif yang dapat digunakan. Berdasarkan substitusi basa nukleotida (SNP) yang diidentifikasi pada fragmen resistance gene analogue (RGA), β-1,3-glucanase dan chitinase asal tanaman pisang, dikembangkan marka SNAP untuk seleksi ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit. Tahapan penelitian meliputi (1) penentuan situs SNP asal gen MNBS, β-1,3-glucanase dan chitinase untuk pembuatan primer SNAP, (2) pembuatan primer spesifik alel, (3) pengujian efektifitas primer SNAP dalam mengamplifikasi produk PCR pada DNA genom pisang, (4) pengujian dan pemilihan primer SNAP untuk marka ketahanan terhadap FOC pada 10 kultivar referensi dan beberapa kultivar/aksesi pisang lainnya. Primer SNAP dibuat berdasarkan 14 sekuen MNBS, 4 sekuen β-1,3-glucanase dan 8 sekuen chitinase. Berdasarkan fragmen gen MNBS dihasilkan sebanyak 14 pasang primer SNAP dan 10 diantaranya terbukti efektif mengamplifikasi produk PCR pada kultivar Klutuk Wulung dan Barangan, sedangkan dari fragmen gen β-1,3-glucanase diperoleh 6 pasang primer dan 22 pasang primer dihasilkan dari fragmen gen chitinase. Semua pasangan primer asal fragmen gen β-1,3-glucanase dan chitinase telah terbukti efektif mengamplifikasi produk PCR. Berdasarkan hasil pengujian menggunakan kultivar referensi terpilih 2 pasang primer berdasarkan fragmen gen MNBS, 2 pasang primer berdasarkan fragmen gen β-1,3-glucanase dan 10 pasang primer berdasarkan fragmen gen chitinase, yang digunakan sebagai marka SNAP untuk ketahanan terhadap layu FOC. Marka SNAP tersebut berhasil mengelompokkan kultivar pisang berdasarkan karakter ketahanan terhadap FOC. Hasil penelitian ini merupakan langkah awal dalam pembuatan marka SNAP berdasarkan gen yang bertanggung jawab pada ketahanan dan pertahanan terhadap penyakit tanaman pisang.
Kata kunci: Pisang, SNAP, marka molekuler, RGA, DGA, ketahanan penyakit 1
Bagian bab ini telah diterbitkan di Jurnal Hortikultura Vol. 23 No. 4 dengan judul: Pengembangan Marka SNAP Berbasis Resistance Geneanalogue (RGA) pada Tanaman Pisang (Musa spp.)
106
THE DEVELOPMENT OF SNAP MARKER FOR FUSARIUM WILT RESISTANCE BASED ON RESISTANCE GENE ANALOGUE (RGA) AND DEFENSE GENE ANALOGUE (DGA) ON BANANA (Musa spp.) Abstract The development of resistance banana cultivars through conventional breeding methods encounters some obstacles, because breeding program require a long time for selecting and evaluating of the new hybrids. Therefore, the support of biotechnology approaches and molecular markers in banana breeding will be beneficial. SNAP markers for banana disease resistance were developed based on SNPs identified from RGAs, β-1,3-glucanase dan chitinase genes isolated from banana. The activities include (1) the identification of putative SNPs from RGAs, β-1,3-glucanase dan chitinase genes for generating of SNAP primers, (2) allel specific primer design, (3) the evaluation of effectivity of primers on PCR reactions, (4) selection and evaluation of SNAP primers for FOC resistance marker using 12 banana cultivars. SNAP primers were generated based on 14 MNBS, 4 β-1,3-glucanase dan 8 chitinase sequences. Fourteen allelic specific primers were obtained from MNBS sequences and 10 of them were able to amplified PCR products from genomic DNA of banana cv. Klutuk Wulung and Barangan. Six allelic primers from β-1,3-glucanase gene and 22 primers from chitinase gene were effectively able to amplified PCR products from genomic DNA of the same banana cultivars. Two primers pairs based on MNBS sequences, 2 primers based on β-1,3-glucanase gene sequences, and 10 primers based on chitinase gene sequences were selected for SNAP marker for FOC resistance. This study was the initial effort of SNAP marker development using RGAs and defense genes and potentially can be used for banana disease resistance markers in general.
Keywords: Banana, SNAP, molecular marker, RGA, DGA, disease resistance 1
Part of this chapter has been published in the Jurnal Hortikultura Vol. 23 No. 4, entitled: Pengembangan Marka SNAP Berbasis Resistance Gene Analogue (RGA) pada Tanaman Pisang (Musa spp.)
107
Pendahuluan Marka molekuler seperti RAPD (Howell et al.1994), RFLP (Faure et al. 1993), SSR (Crouch et al. 1998), ISSR (Venkatachalam et al. 2008) dan AFLP (Ude et al. 2002) telah digunakan sebagai alat untuk analisis genetik tanaman pisang. Marka RAPD dan SCAR telah digunakan sebagai indikator seleksi secara tidak langsung untuk ketahanan pisang terhadap penyakit bercak daun sigatoka (Nwauzoma et al. 2011) dan layu Fusarium (Wang et al. 2012). Single nucleotide polymorphism (SNP) adalah marka molekular generasi baru yang telah dikembangkan dan digunakan pada kedokteran, ternak dan tanaman (Gupta et al. 2001). Marka molekuler berbasis SNP telah mulai banyak digunakan untuk studi genotipe (Till et al. 2010), pembuatan peta tautan genetik beresolusi tinggi (Drenkard et al. 2000; Rabbi et al. 2012), identifikasi varietas ginseng (Sun et al. 2011), penentuan spesies dari kerabat jeruk (Jiang et al. 2010), identifikasi Canabis yang menghasilkan produk narkotika atau tidak (Rotherham & Harbison 2011), dan seleksi untuk karakter tertentu (MAS) dalam proses pemuliaan tanaman (Gupta et al. 2001). Metode identifikasi SNP yang masih sering digunakan untuk skala kecil adalah Cleaved Amplified Polymorphic Sequence (CAPS), derived CAPS (dCAPS) (Thiel et al. 2004; Nasu et al. 2002) dan Allel Specific-PCR (AS-PCR) atau Single Nucleotide Amplified Polymorphism (SNAP) (Drenkard et al. 2000; Liu et al. 2012). Dalam aplikasinya marka CAPS dan dCAPS mempunyai keterbatasan yaitu memerlukan enzim nuclease sehingga memerlukan biaya yang masih relatif tinggi, sedangkan marka AS-PCR atau SNAP hanya memerlukan pasangan primer dan teknik PCR dan elektroforesis gel agarose standar (Drenkard et al. 2000). Salah satu contoh pengembangan marka SNAP untuk marka yang berhubungan dengan karakter aroma dan supernodulasi pada tanaman kedelai (Kim et al. 2005; Juwattanasomran et al. 2011), sehingga proses seleksi yang berhubungan dengan kedua karakter tersebut bisa lebih cepat dan efisien. Secara umum penelitian yang dilakukan berusaha mengembangkan marka SNAP untuk seleksi tidak langsung sifat ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit. Secara khusus penelitian yang dilakukan bertujuan untuk: (1) menentukan situs SNP non synonymous pada RGA dan DGA asal tanaman pisang untuk pengembangan marka SNAP, (2) mendisain pasangan primer spesifik alel untuk menghasilkan marka SNAP pada situs-situs SNP yang teridentifikasi, (3) mengevaluasi efektivitas pasangan primer yang didapat untuk menghasilkan marka SNAP, dan (4) mengevaluasi marka SNAP berasis RGA dan DGA sebagai marka ketahanan terhadap FOC pada beberapa kultivar pisang.
Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2012 sampai Juli 2013, di laboratorium Pemuliaan dan Biologi Molekular Tanaman, Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
108
Bahan Penelitian dan Isolasi DNA Pengujian efektivitas primer SNAP dilakukan menggunakan DNA genom yang diisolasi dari daun pisang cv. Klutuk Wulung (BB) dan Barangan (AAA). Penentuan primer SNAP untuk marka ketahanan terhadap penyakit layu FOC, digunakan DNA genom asal kultivar pisang yang mempunyai ketahanan terhadap FOC yang bervariasi sebagai kultivar referensi. Sebagian kultivar yang digunakan sebagai referensi adalah kultivar yang telah diuji ketahanannya terhadap penyakit layu FOC pada Percobaan 1, dan sebagian lagi berdasarkan informasi hasil penelitian sebelumnya (Molina et al. 2010). Untuk tanaman sangat rentan sampai rentan digunakan kultivar Barangan, Ambon Kuning dan Ambon Hijau. Kultivar yang mewakili rentan sampai tahan adalah Ketan, Kepok, Jawaka dan Awak, sedangkan yang mewakili kultivar tahan sampai sangat tahan adalah Calcuta, Rejang dan Klutuk Wulung. Pengujian marka SNAP selanjutnya dilakukan pada 10 kultivar/aksesi yang belum diketahui ketahanannya, yang mewakili spesies liar M. acuminata: HlbS, Slk-29 dan yang kultivar, yaitu: MDO-01, MDO-04, MLU-07, SUM-01, SUM-04, HyKC-01 dan Muli, serta seksi Australimusa AMB-01. Bahan tanaman yang digunakan adalah daun muda dan isolasi DNA berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle 1987) yang dimodifikasi oleh Das et al. (2009). Selanjutnya stok DNA disimpan dalam lemari pendingin bersuhu -20 °C sampai siap digunakan. Identifikasi Situs SNP yang Non-synonymous Diantara sejumlah situs SNP yang teridentifikasi, dipilih situs SNP pada coding region yang menyebabkan terjadinya perubahan residu asam amino atau disebut non-synonymous. Identifikasi situs SNP yang nonsynonymous berbasis RGA dilakukan pada sekuen DNA dari 14 fragmen RGA asal tanaman pisang (MNBS) yang telah diisolasi dari Percobaan 2, sedangkan SNP berbasis DGA dilakukan pada sekuen chitinase hasil dari Percobaan 3, dan sekuen β-1,3-glucanase hasil dari Percobaan 4. Identifikasi situs SNP dengan melakukan pensejajaran sekuen DNA dan prediksi asam amino dari menggunakan perangkat lunak Geneious Pro 5.6.6 versi percobaan (Biomatters, USA). Disain Primer Spesifik Alel untuk Marka SNAP Pasangan primer SNAP didisain berdasarkan situs SNP terpilih dengan menggunakan perangkat lunak WebSNAPER yang tersedia di situs http://ausubellab.mgh.harvard.edu/. Ketika mengakses situs tersebut, pada layar WebSNAPER dipilih menu ‘SNAP Program’. Pengguna program yang baru pertama kali mengakses harus melakukan ‘Sign in’ dan memasukkan alamat email pengguna pada tempat yang tersedia. Setelah ‘Sign in’, muncul kotak dialog (Gambar 1) untuk memasukkan runutan nukleotida dengan situs SNP target yang dievaluasi. Situs SNP target ditandai sebagai [X/Y], dimana X adalah nukleotida untuk alel referensi dan Y adalah nukleotida untuk alel alternatif. Beberapa parameter yang perlu diisi/disesuaikan adalah ukuran produk amplifikasi PCR, suhu TM dan nama primer yang diinginkan. Screen shot perangkat lunak WebSNAPER dan sejumlah isian yang perlu diisi terkait dengan disain marker SNAP disajikan pada Gambar 33.
109
Gambar 33 Tampilan perangkat lunak WebSNAPER yang digunakan untuk mendisain primer SNAP. Runutan nukleotida yang diberi lingkaran adalah posisi single nucleotide polymorphism (SNP) yang digunakan. Setelah semua parameter terisi (Gambar 33), perangkat lunak diaktifkan dengan menekan tombol ‘Submit!’. Perangkat lunak WebSNAPER mengirimkan hasil analisisnya dalam bentuk pesan elektronik ke alamat email pengguna, yang selanjutnya dapat dikonversi dan dibaca dengan menggunakan perangkat lunak pengolah kata. Proses disain primer tersebut diulang kembali untuk setiap posisi SNP pada runutan DNA yang diinginkan. Selanjutnya dari masing-masing hasil analisis untuk setiap situs SNP akan dipilih satu set (4) primer yang terdiri atas sepasang primer untuk alel referensi dan sepasang primer yang lain untuk alel alternatif. Setelah runutan primer diperoleh dan dipilih sesuai dengan jumlah situs SNP, primer disintesis dengan menggunakan perusahaan jasa pembuatan primer. Evaluasi Efektivitas Primer SNAP Untuk menentukan posisi SNP mana saja yang dapat digunakan untuk menghasilkan marka SNAP, setelah disain primer dan pemesanan primer diselesaikan, primer SNAP yang didapat diuji kemampuannya untuk menghasilkan produk amplifikasi dengan menggunakan cetakan DNA genom pisang. Dalam penelitian ini, pengujian efektivitas primer SNAP dilakukan dengan menggunakan DNA genom pisang cv. Klutuk Wulung dan Barangan. Reaksi PCR dilaksanakan dengan volume 25 µl menggunakan KAPA2GTM PCR Kit (Kapa Biosystems Inc., USA), yang komposisinya terdiri atas 5.0 µl 5 X buffer PCR (di dalamnya terkandung 1.5 mM Mg2+), 0.5 µl MgCl2 25 mM, 0.5 µl dNTPs 10 mM, 1.0 µl masing-masing primer dengan konsentrasi 10 µM (primer forward dan reverse), 30 ng DNA genom, 0.1 µl Taq DNA polymerase (5 U µl-1) dan 15.4 µl ddH2O. Proses PCR menggunakan mesin GeneAmp® PCR System
110
2400 (Perkin Elmer). Denaturasi cetakan DNA pada awal reaksi pada suhu 95 °C selama 3 menit, diikuti dengan 35 kali siklus 95 °C selama 10 detik, 60 sampai 62 °C selama 10 detik dan 72 °C selama 3 detik, dan diakhiri dengan satu siklus 72 °C selama 10 menit. Produk PCR dipisahkan berdasarkan ukuran dengan menggunakan elektroforesis gel agarose 1 % pada mesin elektroforesis dengan tegangan 80 V selama 25 menit. Analisis Data Berdasarkan hasil elektroferogram, data keberadaan pita amplifikasi dikonversi menjadi data binary untuk membuat data genotipe. Bila dalam satu lokus hanya primer reference yang menghasilkan produk amplifikasi, disandi dengan ‘1-0-1-0’, bila hanya primer alternate yang menghasilkan produk, disandi dengan ‘0-1-0-1’, sedangkan bila kedua primer menghasilkan produk disandi dengan ‘1-0-0-1’. Selanjutnya dari data genotipe yang diperoleh, dilakukan analisis filogenetik menggunakan perangkat lunak NTSYS ver 2.02 (Exeter Software, New York, USA).
Hasil dan Pembahasan Single nucleotide polymorphism (SNP) adalah polimorfisme yang disebabkan oleh proses substitusi satu basa pada nukleotida dalam genom tanaman (Syvänen 2001). Keberadaan SNP diketahui menyebar di seluruh bagian dari genom tanaman sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai marka molekuler (Gupta et al. 2001). Identifikasi Situs SNP yang Non-synonymous SNP berbasis sekuen RGA. Fragmen MNBS yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 524 pasang basa (pb). Seluruh runutan nukleotida MNBS tersebut merupakan bagian exon dan tidak terdapat intron di dalamnya. Fragmen MNBS menyandi 174 asam amino yang merupakan bagian dari domain motif p-loop sampai dengan GLPL. Berdasarkan hasil pensejajaran runutan DNA diantara 14 MNBS, berhasil diidentifikasi keberadaan 30 situs SNP. Nukleotida pada urutan nomor 215 merupakan situs SNP dengan varian nukleotida [G/A]. Pada posisi tersebut, keberadaan SNP menyebabkan terjadinya substitusi residu asam amino dari arginin (R) menjadi lisin (K) (Gambar 34). Situs SNP seperti pada posisi 215 yang dipilih untuk pengembangan marka SNAP dalam tahap-tahap penelitian selanjutnya. Dari 30 situs SNP yang berhasil diidentifikasi pada fragmen MNBS, diperoleh 20 situs SNP yang menyebabkan terjadinya substitusi asam amino. Selanjutnya, 20 situs SNP tersebut dipilih untuk mendisain pasangan primer SNAP. Meskipun tergolong menyebabkan substitusi residu asam amino, belum tentu dari setiap situs SNP yang terpilih dapat didisain pasangan primer SNAP, karena tidak semua situs bisa menghasilkan pasangan primer. Kegagalan mendisain primer dari situs yang teridentifikasi antara lain disebabkan oleh kurangnya jumlah basa di sekitar situs SNP terutama untuk situs SNP ada di ujung 5’ ataupun 3’ runutan nukleotida fragmen DNA yang digunakan atau karena komposisi nukleotida di sekitar target SNP tidak dapat memenuhi kriteria yang ditentukan di awal proses disain primer.
111
195
215
225
NT
AA
Gambar 34 Representasi situs SNP pada fragmen MNBS asal pisang (Musa spp.). Situs SNP 195 dan 225 tidak menyebabkan terjadinya substitusi asam amino sedangkan situs SNP 215 merubah residu asam amino arginin menjadi lisin. NT: runutan nukleotida DNA dan AA: runutan asam amino yang diprediksi dari runutan NT, segitiga merah: posisi SNP.
Gambar 35 Representasi situs SNP pada fragmen MNBS. Situs SNP dengan latar belakang kuning adalah situs SNP yang menyebabkan terjadinya substitusi asam amino sedangkan situs SNP di dalam kotak merah adalah situs SNP terpilih untuk pembuatan primer SNAP. Nomor di atas runutan DNA mengindikasikan posisi nukleotida dalam fragmen MNBS. EU855841 dan EU239821 adalah RGA asal Musa yang terdeposit dalam GenBank NCBI. Untuk mendisain primer, di sekitar situs SNP disyaratkan keberadaan sebanyak minimal 25 nukleotida. Selain itu untuk mengkonfirmasi apakah situs SNP teridentifikasi benar-benar SNP atau kesalahan proses sekuensing (sequencing error), dalam pemilihan SNP perlu dilibatkan juga aksesi dari gen serupa yang diambil dari GenBank. Untuk mendisain primer spesifik alel, dari alternatif 20 situs SNP pada
112
fragmen MNBS, hanya 8 situs SNP saja yang dipilih (Gambar 35). SNP berbasis sekuen β-1,3-glucanase. Analisis pensejajaran 4 sekuen MaGlu yang berukuran 788 pb yang diperoleh dalam penelitian ini menemukan adanya 8 SNP, tetapi hanya 4 SNP yang menyebabkan perubahan asam amino atau non-synonymous SNP, yaitu nukleotida pada urutan nomor 91, 538, 677 dan 778. Keberadaan situs SNP ditampilkan pada Gambar 36. SNP berbasis sekuen gen chitinase. Berdasarkan analisis pensejajaran 8 sekuen gen MaChi yang berukuran 596 pb yang diperoleh dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 22 situs SNP pada coding region dan 6 situs SNP pada noncoding region. Namun demikian hanya 14 situs SNP yang menyebabkan substitusi 11 residu asam amino (Gambar 37), dan 11 situs di antaranya digunakan untuk mendisain primer SNAP. [G/C]
MaGlu_Klt :
[A/C]
[A/G]
[C/A]
NT
MaGlu_Rjg: MaGlu_AH : MaGlu_Br :
AA
Gambar 36 Keberadaan situs SNP pada fragmen MaGlu asal pisang (Musa spp.). Situs SNP 30, 480, 618 dan 753 tidak menyebabkan terjadinya substitusi residu asam amino sedangkan situs SNP 91, 538, 677 dan 778 yang dapat merubah residu asam amino (segitiga merah). NT: runutan nukleotida DNA dan AA: runutan asam amino yang diprediksi dari runutan NT. Huruf di atas segitiga merah adalah varian nukleotida pada situs non-synonymous SNP.
Gambar 37 Representasi situs SNP pada fragmen gen MaChi dari 5 kultivar pisang. MaChi-Rjg asal Rejang, MaChi_Klt#1 & #2 asal Klutuk Wulung, MaChi_Kpk#1 & #2 asal Kepok, MaChi_AH#1 & #2 asal Ambon Hijau, dan MaChi_Br asal Barangan. Tanda bintang di bawah sekuen adalah posisi SNP, dan angka di atas sekuen adalah posisi basa nukleotida dalam fragmen MaChi asal DNA genom. Basa nukleotida dalam kotak adalah SNP yang digunakan untuk mengembangkan marka SNAP.
Tabel 22 Primer alternatif sebagai luaran yang didapat dari proses mendisain primer dengan menggunakan WebSNAPER untuk situs SNP1 dari fragmen gen MNBS Identitas primer SNP1_MNBS_L_REF_1 SNP1_MNBS_L_REF_1_REV SNP1_MNBS_L_REF_2 SNP1_MNBS_L_REF_2_REV SNP1_MNBS_L_REF_3 SNP1_MNBS_L_REF_3_REV SNP1_MNBS_L_REF_4 SNP1_MNBS_L_REF_4_REV SNP1_MNBS_L_REF_5 SNP1_MNBS_L_REF_5_REV SNP1_MNBS_L_ALT_1 * SNP1_MNBS_L_ALT_1_REV SNP1_MNBS_L_ALT_2 * SNP1_MNBS_L_ALT_2_REV SNP1_MNBS_L_ALT_3 SNP1_MNBS_L_ALT_3_REV SNP1_MNBS_L_ALT_4 SNP1_MNBS_L_ALT_4_REV SNP1_MNBS_L_ALT_5 SNP1_MNBS_L_ALT_5_REV SNP1_MNBS_L_ALT_6 SNP1_MNBS_L_ALT_6_REV SNP1_MNBS_L_ALT_7 SNP1_MNBS_L_ALT_7_REV
Runutan nukleotida CCGCGATTACCATGTGGTG CCGCGATTACCATGTGGTGCTCA GCAGGGCATCTCCATGGGCTC CCCGCGATTACCATGTGGTGTTCA GCAGGGCATCTCCATGGGCTC CCCGCGATTACCATGTGGTGA CCCGCGATTACCATGTGGTGAACA GCAGGGCATCTCCATGGGCTC CCGCGATTACCATGTGGTG CCGCGATTACCATGTGGTGGTCA GCAGGGCATCTCCATGGGCTC CCGCGATTACCATGTGGTGA CCGCGATTACCATGTGGTGAGCA GCAGGGCATCTCCATGGGCTC CCGCGATTACCATGTGGTGAT CCGCGATTACCATGTGGTGATGC GCAGGGCATCTCCATGGGCTC CCGCGATTACCATGTGGTGA CCGCGATTACCATGTGGTGAACC GCAGGGCATCTCCATGGGCTC CCGCGATTACCATGTGGTGA CCGCGATTACCATGTGGTGAGCC GCAGGGCATCTCCATGGGCTC CCGCGATTACCATGTGGTGA CCGCGATTACCATGTGGTGACCC GCAGGGCATCTCCATGGGCTC CCGCGATTACCATGTGGTG CCGCGATTACCATGTGGTGTTCC GCAGGGCATCTCCATGGGCTC CCGCGATTACCATGTGGTG CCGCGATTACCATGTGGTGGTCC GCAGGGCATCTCCATGGGCTC CCGCGATTACCATGTGGTG CCGCGATTACCATGTGGTGCTCC GCAGGGCATCTCCATGGGCTC
Tm (°C) 67.759 66.974 68.352 66.974 68.352 66.974 67.565 66.974 67.759 66.974 67.106 66.974 66.123 66.974 68.219 66.974 68.034 66.974 66.123 66.974 68.034 66.974 68.219 66.974
Panjang (pb ) 23 21 24 21 24 21 23 21 23 21 23 21 23 21 23 21 23 21 23 21 23 21 23 21
Produk PCR (pb) 325
Catatan peringatan
326 326 325 325 325 325
High end self complementarity High end self complementarity
325 325 325 325 325
Keterangan: nukleotida yang diberi garis bawah pada primer forward adalah mismatch. Primer yang yang diberi tanda asterik [*] tidak dipilih untuk menghasilkan marka SNAP karena “high end self complementarity”
114
Disain Primer untuk Marka SNAP Pada Tabel 22 disajikan contoh luaran dari tahapan disain primer SNAP menggunakan perangkat lunak WebSNAPER. Contoh luaran hasil analisis situs SNP posisi #1 tersebut telah dikonversi ke dalam bentuk tabel. Dalam disain primer SNAP dengan menggunakan WebSNAPER, dari satu situs SNP dapat diperoleh sejumlah alternatif pasangan primer untuk menghasilkan marka SNAP. Sebagai contoh, untuk SNP yang dievaluasi posisi #1 telah dihasilkan 12 pilihan pasangan primer SNAP (5 pasang primer reference dan 7 pasang primer alternate) seperti yang ditampilkan pada Tabel 22. Namun demikian 2 primer alternate tidak bisa dipilih karena berpotensi membentuk utas ganda antar pasangan primer (high end self complementarity), yaitu pasangan primer SNP1_MNBS_L_ALT_1 dan SNP1_MNBS_L_ALT_2. Selanjutnya dari 12 alternatif primer yang dihasilkan, hanya akan dipilih sepasang primer untuk alel referensi dan sepasang primer untuk alel alternatif. Salah satu hal penting dalam pemilihan primer SNAP adalah Tm. Pasangan primer harus mempunyai Tm yang tidak jauh berbeda. Pada Tabel 22 terlihat bahwa terdapat satu nukleotida yang berbeda selain pada situs SNP-nya (ujung 3’) dari primer forward terhadap sekuen aslinya, yang disebut ‘mismatch’. Posisi mismatch bisa berjarak satu sampai 4 nukleotida dari situs SNP. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada Gambar 38 yang menunjukkan pensejajaran runutan nukleotida semua primer forward dari Tabel 22 dengan fragmen aslinya (MNBS). Menurut Bru et al. (2008), posisi mismatch dari ujung 3’ sangat berpengaruh terhadap keberhasilan mendapatkan produk PCR. Semakin dekat mismatch dengan ujung 3’ semakin besar kegagalan mendapat produk PCR. Berdasarkan hal tersebut, maka primer SNAP yang dipilih adalah yang mempunyai posisi mismatch dengan jarak paling jauh dari ujung. Gambar 38 adalah contoh pensejajaran runutan nukleotida primer forward untuk SNP1 dari Tabel 22 terhadap fragmen MNBS untuk melihat jarak nukleotida mismatch terhadap ujung 3’ (situs SNP1). Berdasarkan hasil disain primer SNAP, dari 8 situs SNP fragmen MNBS yang dipilih, satu situs SNP (posisi #215) tidak menghasilkan primer SNAP karena primer yang didapat mempunyai peluang membentuk utas ganda dengan dirinya sendiri pada ujung-ujungnya (high end self complementarity). Hal ini dapat mengakibatkan terbentuknya hairpin atau terbentuknya primer dimer sehingga berpotensi mengganggu amplifikasi fragmen target dan produk PCR yang diinginkan tidak dapat dihasilkan (Brownie et al. 1997).
Gambar 38 Pensejajaran runutan nukleotida dari alternatif primer untuk situs SNP#1 dengan fragmen MNBS. Tanda segitiga hitam adalah situs SNP#1 dan segitiga putih adalah posisi mismatch terjauh dari ujung 3’ primer yang didapat.
Tabel 23 Primer SNAP terpilih dari 7 situs SNP asal fragmen gen MNBS yang dapat digunakan untuk menghasilkan marka SNAP SNP Identitas primer 1 SNP1_MNBS_Ref SNP1_MNBS_Alt 2 SNP2_MNBS_Ref SNP2_MNBS_Alt 3 SNP3_MNBS_Ref SNP3_MNBS_Alt 4 SNP4_MNBS_Ref SNP4_MNBS_Alt 5 SNP5_MNBS_Ref SNP5_MNBS_Alt 6 SNP6_MNBS_Ref SNP6_MNBS_Alt 7 SNP7_MNBS_Ref SNP7_MNBS_Alt
Sekuen primer forward (5’ - 3’) CCGCGATTACCATGTGGTGCTCA CCGCGATTACCATGTGGTGCTCC GGCGAGGATCAGCTTCCACCCTTT GGCGAGGATCAGCTTCCACCCTTA GCGAGGCGAGGATCAGATTC GCGAGGCGAGGATCAGATTA TGGTTCGACCGCGAGGCCAG TGGTTCGACCGCGAGGCCAC AACCTCAGCGATTCATTGGCGC ACAACCTCAGCGATTCATTGGCGT CGGAACAACCTCAGCGATTCCTTG CCGGAACAACCTCAGCGATTCACTC CTGTATGATATCCATGGCGGTTC TCTGTATGATATCCATGGCGGTTT
Suhu TM (ºC) Sekuen primer reverse (5’ - 3’) GCAGGGCATCTCCATGGGCTC 67 GCAGGGCATCTCCATGGGCTC 68 68 GGTGATCATGATCGAGGTTGCCAACT GGTGATCATGATCGAGGTTGCCAACT 67 GGAATGGGGAAAACGACGCT 60 GGAATGGGGAAAACGACGCT 59 GGAATGGGGAAAACGACGCTCCT 69 69 GGAATGGGGAAAACGACGCTCCT ATGCAGAAGATCATCGCCAATCGG 66 ATGCAGAAGATCATCGCCAATCGG 66 GGTGATCATGATCGAGGTTGCCAACT 66 67 GGTGATCATGATCGAGGTTGCCAACT 59 ATGCAGAAGATCATCGCCAATC 60 ATGCAGAAGATCATCGCCAATC
Produk (pb) 325 325 250 250 325 325 335 325 287 289 342 343 372 373
Keterangan: Nukleotida yang diberi garis bawah adalah mismatch Tabel 24 Primer SNAP terpilih dari 3 situs SNP asal fragmen gen β-1,3-glucanase yang dapat digunakan untuk menghasilkan marka SNAP SNP Identitas primer 1 SNP1_MGlu_Ref SNP1_MGlu_Alt 2 SNP2_MGlu_Ref SNP2_MGlu_Alt 3 SNP3_MGlu_Ref SNP3_MGlu_Alt
Sekuen primer forward (5’ - 3’) GGATGTCCCCCGATCCGTCG GGATGTCCCCCGATCCGTCC CGATGGCGTCGAACAGGTGCTT GACGATGGCGTCGAACAGGTTTTG GCCTGATCAAGTTCTGGTTGTACGCCT CCTGATCAAGTTCTGGTTGTACGGCC
Keterangan: Nukleotida yang diberi garis bawah adalah mismatch
Suhu TM (ºC) Sekuen primer reverse (5’ - 3’) 67 TTACTCGCCAAGAACTGCACGATGG 66 TTACTCGCCAAGAACTGCACGATGG 67 TACATCCTCCCCGCCATGCG 67 TACATCCTCCCCGCCATGCG 67 GCCCAGGCGTACCTGAGCCC 66 GCCCAGGCGTACCTGAGCCC
Produk (pb) 339 339 334 336 337 336
Tabel 25 Primer SNAP terpilih dari 11 situs SNP asal fragmen gen chitinase yang dapat digunakan untuk menghasilkan marka SNAP SNP Identitas primer 1 SNP1_Mchi_Ref SNP1_Mchi_Alt 2 SNP2_Mchi_Ref SNP2_Mchi_Alt 3 SNP3_Mchi_Ref SNP3_Mchi_Alt 4 SNP4_Mchi_Ref SNP4_Mchi_Alt 5 SNP5_Mchi_Ref SNP5_Mchi_Alt 6 SNP6_Mchi_Ref SNP6_Mchi_Alt 7 SNP7_Mchi_Ref SNP7_Mchi_Alt 8 SNP8_Mchi_Ref SNP8_Mchi_Alt 9 SNP9_Mchi_Ref SNP9_Mchi_Alt 10 SNP10_Mchi_Ref SNP10_Mchi_Alt 11 SNP11_Mchi_Ref SNP11_Mchi_Alt
Sekuen primer forward (5’ - 3’) GCGTGGGGTTACTGCTTCGTCA GCGTGGGGTTACTGCTTCGTCC CGCGTGGGGTTACTGCTTCATGAG CGCGTGGGGTTACTGCTTCATGAC GCGTGGGGTTACTGCTTCATCGGT CGTGGGGTTACTGCTTCATCGGG GGGGTTACTGCTTCATCAGTGCACG TGGGGTTACTGCTTCATCAGTGCACA CTTCATCAGTGAACGGAACCGCC GCTTCATCAGTGAACGGAACCGCT CATCAGTGAACGGAACCCCCAAAA TCATCAGTGAACGGAACCCCCAAAC CCCAAAGGACTACTGCGTCGCAAA CCCAAAGGACTACTGCGTCGCAAG GGTGGCCACCAGGTCTGGGATC GTGGCCACCAGGTCTGGGATG CGACGGCTTGGGCGACTCAGT GACGGCTTGGGCGACTGTGG CGGCGTTGGTTGGCTTTCAA CGGCGTTGGTTGGCTTCGAC CCGGTCGGCGTTGGTTGTCT CCGGTCGGCGTTGGTTGGTG
Keterangan: Nukleotida yang diberi garis bawah adalah mismatch
Sekuen primer reverse (5’ - 3’) GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA GTGGTGACACCGTAGCCCGGAA CGGCTTTCTTGGCCCAGTTATCTCA CGGCTTTCTTGGCCCAGTTATCTCA CGCGTGGGGTTACTGCTTCATCA CGCGTGGGGTTACTGCTTCATCA TGCGCTGCAGGCAAGAAATACTACG TGCGCTGCAGGCAAGAAATACTACG TGCGCTGCAGGCAAGAAATACTACG TGCGCTGCAGGCAAGAAATACTACG
Suhu TM (ºC) 65 65 67 67 67 67 66 67 65 66 66 67 67 66 67 66 67 67 67 66 66 68
Produk (pb) 344 344 345 345 344 343 340 341 330 331 327 328 309 309 263 262 262 261 234 232 237 237
117
Disain primer menggunakan 7 situs SNP menghasilkan total 64 alternatif primer SNAP. Untuk setiap situs SNP diperlukan 2 pasangan primer, yang terdiri atas sepasang primer forward dan reverse untuk alel referensi dan sepasang primer forward dan reverse untuk alel alternatifnya. Dengan demikian, dari 7 situs SNP pada fragmen gen MNBS, dihasilkan 14 pasang primer SNAP seperti yang ditampilkan pada Tabel 23. Cara yang sama dalam mendisain primer SNAP untuk fragmen gen MNBS juga diterapkan untuk mendisain primer SNAP fragmen gen β-1,3glucanase (MaGlu) dan chitinase (MaChi). Di dalam fragmen gen β-1,3glucanase (MaGlu) dari 4 situs SNP yang menyebabkan substitusi residu asam amino, hanya 3 situs yang dipilih untuk mendisain primer SNAP. Satu situs SNP yang berada pada urutan nukleotida nomor 778 tidak dapat digunakan untuk mendisain primer SNAP, karena letaknya terlalu dekat dengan ujung dari fragmen MaGlu (berjarak 9 basa nukleotida), sehingga tidak memenuhi kriteria untuk perancangan primer SNAP menggunakan WebSNAPER. Untuk mendisain primer, di sekitar situs SNP disyaratkan keberadaan sebanyak minimal 25 basa nukleotida. Berdasarkan 3 situs SNP yang digunakan untuk mendisain primer, diperoleh 22 alternatif pasangan primer SNAP. Berdasarkan beberapa kriteria dalam pemilihan primer seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dipilih 6 pasang primer SNAP untuk 3 situs SNP yang terdapat dalam fragmen MaGlu. Pasangan primer terpilih ditampilkan pada Tabel 24. Di dalam fragmen gen chitinase (MaChi), dari 14 situs SNP yang teridentifikasi dipilih 11 situs SNP yang digunakan untuk merancang primer SNAP. Disain primer menggunakan 11 situs SNP menghasilkan total 124 alternatif pasangan primer SNAP. Berdasarkan kriteria tertentu dalam pemilihan primer seperti yang dijelas sebelumnya pada perancangan primer SNAP untuk RGA, diperoleh 22 pasang primer untuk 11 situs SNP yang teridentifikasi pada fragmen gen chitinase, seperti yang ditampilkan pada Tabel 25. Evaluasi Efektivitas Primer SNAP untuk Menghasilkan Marka Kemampuan primer SNAP yang dikembangkan untuk menghasilkan marka SNAP dengan menggunakan genom tanaman pisang perlu dievaluasi. Untuk evaluasi primer dalam penelitian, dari 14 pasangan primer SNAP yang dihasilkan berdasarkan fragmen gen MNBS, ini hanya dievaluasi 10 pasang primer SNAP. Pada Gambar 39 disajikan hasil PCR yang dilakukan dengan menggunakan 10 pasang primer SNAP dan DNA genom pisang cv. Klutuk Wulung atau Barangan. Produk amplifikasi PCR difragmentasi menggunakan teknik elektroforesis gel agarose, di-staining dengan ethidium bromide (EtBr), dan divisualisasi di bawah penyinaran UV. Berdasarkan elektroferogram (Gambar 39), pasangan primer yang diuji mampu menghasilkan produk PCR. Semua pasangan primer yang diuji menghasilkan produk PCR pada kedua pisang Klutuk Wulung dan Barangan yang diuji. Untuk primer SNP6_MNBS_Alt, hasil PCR-nya negatif dan tidak ada produk PCR ketika diuji menggunakan genom pisang Barangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada Klutuk Wulung 5 lokus SNP yang diuji mempunyai kombinasi alel heterozigot, sedangkan pada Barangan, 4 lokus SNP mempunyai kombinasi alel heterozigot dan satu lokus homozigot (lokus SNP6_MNBS).
118
SNP1_MNBS SNP2_MNBS SNP4_MNBS SNP5_MNBS SNP6_MNBS
R
A
R
R
A
A
R
A
R
A
A. B. Gambar 39 Produk PCR hasil amplifikasi dari genom tanaman pisang cv. Klutuk Wulung (A) dan Barangan (B) menggunakan 10 pasang primer SNAP berdasarkan situs SNP pada gen MNBS. R= primer reference, A= primer alternate Produk PCR hasil amplifikasi menggunakan 6 pasang primer SNAP yang dihasilkan untuk fragmen gen MaGlu terhadap DNA genom kultivar Klutuk Wulung dan Barangan ditampilkan pada Gambar 40. Berdasarkan hasil PCR menggunakan DNA genom pisang kultivar Klutuk Wulung dan Barangan sebagai cetakan DNA, semua pasang primer (6 pasang) yang didisain berdasarkan 3 situs SNP dari fragmen MaGlu yang diperoleh dari penelitian ini, mampu menghasilkan produk PCR. Berdasarkan hasil elektroferogram (Gambar 40) terlihat pasangan primer SNP1_MGlu_Ref memberikan hasil negatif pada kultivar Klutuk Wulung, tetapi hasil positif pada kultivar Barangan. Hasil sebaliknya diperoleh apabila menggunakan pasangan primer SNP1_MGlu_Alt. Hal ini menunjukkan lokus SNP1_MGlu kedua kultivar tersebut mengandung alel homozigot, dan sesuai dengan situs SNP yang teridentifikasi pada masing-masing kultivar (Gambar 39). Primer SNP1_MGlu_Ref adalah primer yang mengamplifikasi fragmen MaGlu yang mengandung nukleotida ‘G’ sebagai situs SNP1 pada nukleotida nomor 91, yang terdapat pada Barangan, sedangkan primer SNP1_MGlu_Alt mengamplifikasi fragmen yang mengandung nukleotida ‘C’ (nukleotida nomor 91) pada Klutuk Wulung. Semua pasangan primer SNP2_MGlu dan SNP3_MGlu (reference dan alternate) menghasilkan produk PCR pada kedua kultivar yang diuji. Hal ini menunjukkan baik pada Klutuk Wulung maupun Barangan, kedua lokus tersebut mengandung alel heterozigot. SNP1_MGlu R
A
SNP2_MGlu R
A
SNP3_MGlu R
A
A. B.
Gambar 40 Produk PCR hasil amplifikasi dari genom tanaman pisang cv. Klutuk Wulung (A) dan Barangan (B) menggunakan 6 pasang primer SNAP berdasarkan situs SNP pada gen MaGlu. R= primer reference, A= primer alternate
119
SNP1_MChi SNP2_MChi SNP3_MChi SNP4_MChi SNP5_MChi SNP6_MChi SNP7_MChi SNP8_MChi SNP9_MChi SNP10_MChi SNP11_MChi
R
A
R
A
R
A
R
A
R
A
R
A
R
A
R
A
R
A
R
A
R
A
A. B.
Gambar 41 Produk PCR hasil amplifikasi dari genom tanaman pisang cv. Klutuk Wulung (A) dan Barangan (B) menggunakan 22 pasang primer SNAP berdasarkan situs SNP pada gen MaChi. R= primer reference, A= primer alternate Hasil evaluasi 22 pasang primer SNAP berdasarkan fragmen gen chitinase menggunakan DNA genom pisang Klutuk Wulung dan Barangan ditampilkan pada Gambar 41. Berdasarkan elektroferogram (Gambar 41), pasangan primer yang diuji mampu menghasilkan produk PCR dan terdapat polimorfisme antar primer maupun antar kultivar pisang. Primer SNP4_MChi, SNP5_MChi, SNP7_MChi dan SNP11_MChi mampu menghasilkan produk PCR baik primer reference maupun alternate pada genom kedua kultivar pisang. Hal ini menunjukkan keempat lokus tersebut mempunyai kombinasi alel heterozigot pada kedua kultivar pisang. Lokus SNP1_MChi, SNP8_MChi dan SNP10_MChi mempunyai kombinasi alel heterozigot pada Klutuk Wulung, dan alel homozigot pada Barangan, sebaliknya primer SNP6_MChi dan SNP9_MChi mempunyai kombinasi alel heterozigot pada Barangan dan alel homozigot pada Klutuk Wulung. Lokus SNP2_MChi dan SNP3_MChi mengandung alel homozigot pada kedua kultivar pisang. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat diketahui bahwa dari 11 lokus SNP yang diuji, Klutuk Wulung mempunyai 7 lokus heterozigot dan 4 lokus homozigot, sedangkan Barangan mempunyai 6 lokus heterozigot dan 5 lokus homozigot. Berdasarkan hasil pengujian tersebut dapat disarankan bahwa primer spesifik alel yang didisain bisa digunakan sebagai marka SNAP untuk keperluan analisis lebih lanjut. Sehubungan dengan pengembangan marka SNAP untuk marka ketahanan terhadap penyakit, marka molekuler berbasis SNP sebaiknya dikembangkan dari beberapa gen yang mempunyai peranan dalam ketahanan terhadap penyakit. Sebagai contoh implementasi marka SNAP berbasis SNP yang berasal dari gen MNBS dapat digabungkan dengan SNP yang berasal dari gen chitinase dan β1,3-glucanase tanaman pisang. Pemanfaatan SNP berbasis RGA dan DGA untuk Marka Ketahanan terhadap Penyakit Adanya keragaman SNP yang terkait (linkage) dengan fenotipe tertentu telah dilaporkan pada tanaman padi, kedelai dan bawang putih (Gupta et al. 2001). Mutasi akibat substitusi satu basa bisa merubah susunan asam amino dari polipeptida yang disandi oleh gen dan dapat merubah fungsi dari polipeptidanya (Kowarsch et al. 2010). Marka molekuler berbasis SNP dengan pendekatan PCR adalah lebih mudah dan efisien dalam pelaksanaannya bila dibandingkan dengan pendekatan enzim restriksi (Liu et al 2012). Salah satu marka molekular berbasis SNP yang menggunakan pendekatan teknik PCR adalah allel-specific PCR (AS-PCR) atau dikenal juga dengan nama SNAP (Drenkard et al. 2000).
120
Agar dapat dimanfaatkan sebagai marka ketahanan terhadap penyakit, marka SNAP berbasis RGA dan DGA perlu dievaluasi polimorfismenya dan keterkaitannya dengan sifat resistensi. Evaluasi tersebut perlu dilakukan untuk seluruh marka SNAP berbasis RGA dan DGA yang telah teridentifikasi. Apabila marka SNAP yang diuji mampu mengelompokkan kultivar atau spesies pisang yang berbeda-beda responnya terhadap penyakit, maka marka SNAP tersebut berpotensi digunakan sebagai marka untuk sifat resistensi penyakit. Evaluasi marka SNAP berbasis RGA pada 10 kultivar referensi. Hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNAP berbasis RGA pada 10 kultivar pisang ditampilkan pada Gambar 42. Dengan menggunakan primerprimer SNAP tersebut terlihat adanya polimorfisme pada produk amplifikasi PCR. Primer SNP1_MNBS (reference dan alternate) menghasilkan produk amplifikasi pada 10 kultivar yang diuji, hal ini berarti bahwa lokus SNP1_MNBS yang ada pada semua kultivar tersebut mengandung alel heterozigot, sedangkan primer SNAP yang lain menghasilkan produk amplifikasi yang beragam pada kesepuluh kultivar yang diuji (Gambar 42). Berdasarkan elektroferogram hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNAP berbasis RGA, diperoleh data genotipe seperti ditampilkan pada Tabel 26. Berdasarkan hasil analisis filogenetik terlihat bahwa semua primer SNAP berbasis RGA belum bisa mengelompokkan kultivar pisang berdasarkan sifat ketahanan terhadap penyakit layu FOC. Dalam dendogram tersebut, kultivar rentan berada dalam kelompok yang terpisah dan salah satu kultivar rentan Ambon Kuning menjadi satu kelompok dengan kultivar tahan FOC, Klutuk Wulung. Oleh karena itu untuk menjadikan primer SNAP sebagai marka ketahanan, tidak semua pasangan primer yang digunakan, tetapi dipilih salah satu atau beberapa pasang, serta dikombinasi dengan primer SNAP lain berbasis gen yang berperanan dalam ketahanan terhadap layu cendawan patogen. 1 R
2 A
R
3 A
R
5
4 A
R
A
R
6 A
R
A
R
9
8
7 A
R
A
R
10 A
R
A
SNP1_MNBS
SNP2_MNBS SNP4_MNBS
SNP5_MNBS
SNP6_MNBS
Gambar 42 Representasi analisis 5 primer SNAP berbasis RGA pada 10 kultivar pisang. R= primer reference, A= primer alternate, 1= Rejang, 2= Calcuta4, 3= Klutuk Wulung, 4= Kepok, 5= Jawaka, 6= Ketan, 7= Ambon Hijau, 8= Ambon Kuning, 9= Barangan, 10= Awak. R= primer reference, A= primer alternate
121
Tabel 26 Data genotipe hasil konversi dari elektroferogram produk PCR menggunakan primer SNAP berbasis RGA (MNBS) pada 10 kultivar pisang SNP1_MNBS SNP2_MNBS SNP4_MNBS SNP5_MNBS SNP6_MNBS R A R A R A R A R A Rejang 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 Calcuta-4 1 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 1 0 Klutuk Wulung 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 Kepok 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 Jawaka 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 Ketan 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 Ambon Hijau 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 Barangan 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 Ambon Kuning 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 Awak 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 Keterangan: Jika (+)= ada produk, (-)= tidak ada produk, R(+)-A(-)= 1-0-1-0, R(-)-A(+)= 0-1-0-1, R(+)-A(+)= 1-0-0-1 Kultivar
Pemilihan primer untuk marka SNAP dapat dilakukan dengan menganalisis setiap lokus. Analisis setiap lokus ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kemampuan setiap situs SNP dalam mengelompokan kultivar yang diuji berdasarkan sifat ketahanan terhadap penyakit layu FOC. Hasil analisis filogenetik setiap lokus untuk SNP berbasis RGA terhadap 10 kultivar pisang ditampilkan pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa primer SNP4_MNBS mampu mengelompokkan kultivar rentan (Ambon Kuning, Ambon Hijau dan Barangan) dalam satu kelompok, meskipun kultivar tahan Kepok dan Klutuk Wulung juga terikut dalam kelompok kultivar rentan. Kultivar tahan lainnya (Rejang, Calcuta-4, Jawaka dan Awak) sudah terkelompokkan menjadi satu. Dibandingkan dengan primer lainnya, primer SNP4_MNBS adalah primer yang lebih representatif, sehingga bisa digabungkan dengan primer SNAP berbasis gen chitinase dan β-1,3-glucanase sebagai marka ketahanan terhadap penyakit. Rejang (R) Jawaka (R) Awak (R) Klutuk_Wlg (R)
Amb_Kng (S) Kepok (R) Ketan (R-S) Amb_Hj (S) Barangan (S) Calcuta-4 (R) 0.70
0.77
0.85 Coefficient
0.93
1.00
Gambar 43 Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokkan kultivar berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNAP berbasis RGA (MNBS). Huruf dalam kurung di belakang kultivar menunjukkan karakter ketahanan masing-masing kultivar: R= tahan, S= rentan, R-S= rentan sampai tahan.
122
Evaluasi marka SNAP berbasis gen β-1,3-glucanase pada 10 kultivar referensi. Elektroferogram hasil amplifikasi primer SNAP berbasis gen β-1,3glucanase ditampilkan pada Gambar 44. Berdasarkan hasil amplifikasi terlihat bahwa primer SNP1_MaGlu (reference dan alternate) menghasilkan polimorfisme pada produk amplifikasi PCR asal DNA genom 10 kultivar yang diuji, sedangkan dengan primer SNP2_MGlu dan SNP3_MGlu, baik pasangan primer reference maupun alternate semua menghasilkan produk amplifikasi pada 10 kultivar yang diuji (Gambar 44). Selanjutnya keberadaan pita amplifikasi dikonversi menjadi data binary ditampilkan pada Tabel 26 dan dendogram hasil analisis filogenetik ditampilkan pada Gambar 45. Berdasarkan dendogram pada Gambar 45, terlihat bahwa primer SNAP masih mengelompokkan kultivar rentan (Ambon Hijau, Ambon Kuning dan Barangan) menjadi satu dengan beberapa kultivar Rejang dan Calcuta-4. Oleh karena itu dalam aplikasinya primer SNAP berbasis gen β-1,3-glucanase tersebut perlu dikombinasi dengan primer SNAP berbasis RGA dan chitinase. 1 R
2 A
R
3 A
R
5
4 A
R
A
R
6 A
R
A
R
9
8
7 A
R
A
R
10 A
R
A
SNP1_MGlu
SNP2_MGlu
SNP3_MGlu
Gambar44 Representasi analisis 5 primer SNAP berbasis gen β-1,3-glucanase pada 10 kultivar pisang. R= primer reference, A= primer alternate, 1= Rejang, 2= Calcuta-4, 3= Klutuk Wulung, 4= Kepok, 5= Jawaka, 6= Ketan, 7= Ambon Hijau, 8= Ambon Kuning, 9= Barangan, 10= Awak. Tabel 27 Data genotipe hasil konversi dari elektroferogram produk PCR menggunakan primer SNAP berbasis gen β-1,3-glucanase (MaGlu) pada 10 kultivar pisang SNP1_MGlu
Kultivar Rejang Calcuta-4 Klutuk Wulung Kepok Jawaka Ketan Ambon Hijau Barangan Ambon Kuning Awak
R 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1
SNP2_MGlu
A 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0
1 1 0 0 0 1 1 1 1 0
R 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
SNP3_MGlu
A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
R 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Keterangan: Jika (+)= ada produk, (-)= tidak ada produk, R(+)-A(-)= 1-0-1-0, R(-)-A(+)= 0-1-0-1, R(+)-A(+)= 1-0-0-1
123
Rejang(R) Calcuta-4 (R) Ketan (R-S) Amb_Hj (S) Barangan (S) Amb_Kng (S) Jawaka (R) Awak (R) Klutuk_Wlg (R)
Kepok (R) 0.71
0.78
0.85 Coefficient
0.93
1.00
Gambar 45 Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokkan kultivar berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNAP berbasis gen β-1,3-glucanase (MaGlu). Huruf dalam kurung di belakang kultivar menunjukkan karakter ketahanan masing-masing kultivar: R= tahan, S= rentan, R-S= rentan sampai tahan. Dalam proses analisis, data genotipe yang dianalisis hanya berdasarkan amplifikasi dari primer SNP1_MGlu saja, karena primer SNP lainnya menghasilkan produk yang monomorfik, sehingga kalaupun digunakan data tersebut, tidak akan mempengaruhi luaran, dalam hal ini hasil pengelompokkan dalam dendogram. Evaluasi marka SNAP berbasis gen chitinase pada 10 kultivar referensi. Amplifikasi PCR menggunakan primer SNAP berbasis gen chitinase yang diperoleh dari Percobaan 4 (Tabel 25) terhadap 10 kultivar pisang ditampilkan pada Gambar 46. Berdasarkan hasil amplifikasi PCR, terlihat adanya polimorfisme antar primer SNAP dan juga antar kultivar yang diuji. Primer SNP4_MChi, SNP5_MChi dan SNP7_MChi menghasilkan produk amplifikasi baik primer reference maupun alternate. Hal ini menunjukkan pada lokus tersebut, kesepuluh kultivar mengandung alel heterozigot, sedangkan primer SNAP yang lain menghasilkan produk amplifikasi yang beragam pada kesepuluh kultivar yang dievaluasi (Gambar 46) dan dikonversi menjadi data genotipe seperti ditampilkan dalam Tabel 28. Seperti halnya yang terjadi pada analisis filogenetik data genotipe berdasarkan gen β-1,3-glucanase, hasil skoring data monomorfik tidak digunakan untuk analisis data karena tidak mempengaruhi luaran yang tampak dalam dendogram. Hasil analisis filogenetik memperlihatkan semua primer SNAP berbasis gen chitinase belum bisa mengelompokkan kultivar pisang berdasarkan sifat ketahanan terhadap penyakit layu FOC. Kultivar-kultivar rentan seperti Ambon Hijau, Ambon Kuning dan Barangan berada dalam kelompok terpisah dan masing-masing bersama dengan kultivar tahan seperti Rejang dan Calcuta-4.
124
1 R
2 A
R
3 A
R
4 A
R
5 A
R
6 A
R
A
R
9
8
7 A
R
A
R
10 A
R
A
SNP1_MChi SNP2_MChi SNP3_MChi SNP4_MChi SNP5_MChi SNP6_MChi SNP7_MChi SNP8_MChi SNP9_MChi SNP10_MChi SNP11_MChi
Gambar 46 Representasi analisis 5 primer SNAP berbasis gen chitinase pada 10 kultivar pisang. R= primer reference, A= primer alternate, 1= Rejang, 2= Calcuta-4, 3= Klutuk Wulung, 4= Kepok, 5= Jawaka, 6= Ketan, 7= Ambon Hijau, 8= Barangan, 9= Ambon Kuning, 10= Awak. Hal yang sama juga terjadi pada kultivar tahan FOC. Oleh karena itu untuk menjadikan primer SNAP sebagai marka ketahanan, tidak semua pasangan primer yang digunakan dan dipilih salah satu atau beberapa pasang, serta dikombinasi dengan primer SNAP lain berbasis gen yang berperanan dalam ketahanan terhadap patogen. Pemilihan primer untuk marka SNAP dapat dilakukan dengan menganalisis setiap lokus. Analisis setiap lokus ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kemampuan setiap situs SNP dalam mengelompokan kultivar yang diuji berdasarkan sifat ketahanan terhadap penyakit layu FOC. Keragaan hasil analisis setiap lokus ditampilkan pada Lampiran 2. Dari hasil analisis tiap lokus terpilih kombinasi lokus SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi dan SNP11_MChi yang digunakan sebagai marka SNAP. Hasil analisis filogenetik yang menggabungkan kelima lokus tersebut ditampilkan pada Gambar 48. Namun demikian pengelompokkan kultivar yang diperoleh masih belum sempurna mewakili pengelompokkan berdasarkan karakter ketahanan masing-masing kultivar terhadap FOC. Oleh karena itu dalam aplikasinya primer SNAP berbasis gen chitinase ini perlu dikombinasi dengan primer SNAP berbasis RGA dan β-1,3glucanase
125
Tabl 28
Kultivar Rejang Calcuta-4 Klutuk Wlg Kepok Jawaka Ketan Ambon Hj Barangan Ambon Kng Awak Kultivar Rejang Calcuta-4 Klutuk Wlg Kepok Jawaka Ketan Ambon Hj Barangan Ambon Kng Awak Keterangan:
Data genotipe hasil konversi dari elektroferogram produk PCR menggunakan primer SNAP berbasis gen chitinase (MaChi) pada 10 kultivar pisang SNP1_MChi SNP2_MChi SNP3_MChi SNP4_MChi SNP5_MChi SNP6_MChi R A R A R A R A R A R A 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 SNP7_MChi SNP8_MChi SNP9_MChi SNP10_MChi SNP11_MChi R A R A R A R A R A 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 Jika (+)= ada produk, (-)= tidak ada produk, R(+)-A(-)= 1-0-1-0, R(-)-A(+)= 0-1-0-1, R(+)-A(+)= 1-0-0-1
Rejang (R) Amb_Hj (S) Kepok (R) Awak (R) Jawaka (R) Calcuta-4 (R) Amb_Kng (S) Ketan (R-S) Barangan (S) Klutuk_Wlg (R) 0.84
0.88
0.92 Coefficient
0.96
1.00
Gambar 47 Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokkan kultivar berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNAP untuk 10 lokus berbasis gen chitinase (MaChi). Huruf dalam kurung di belakang kultivar menunjukkan karakter ketahanan masing-masing kultivar: R= tahan, S= rentan, R-S= rentan sampai tahan.
126
Rejang (R) Ketan (R-S) Amb_Hj (S) Amb_Kng (S) Calcuta-4 (R) Barangan (S) Klutuk_Wlg (R) Kepok (R) Jawaka (R) Awak (R) 0.80
0.85
0.90 Coefficient
0.95
1.00
Gambar 48 Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokkan kultivar berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi dan SNP11_MChi. R= tahan, S= rentan, R-S= rentan sampai tahan. (A)
(B)
Gambar 49 Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokkan kultivar berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNP4_MNBS, SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi, SNP11_MChi yang melibatkan primer SNP1_MGlu (A) dan yang tidak (B). R= tahan, S= rentan, R-S= rentan sampai tahan.
127
Dengan menggabungkan primer-primer SNAP terpilih dari ketiga kelompok gen yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu RGA (MNBS), β-1,3glucanase dan chitinase, diperoleh pengelompokkan kultivar berdasarkan karakter ketahanan terhadap FOC yang lebih baik, seperti terlihat pada Gambar 49A dan 49B. Gambar 49A adalah melibatkan primer SNP1_MGlu sedangkan Gambar 49B tanpa melibatkan primer SNP1_MGlu. Dendogram yang dihasilkan baik tanpa atau dengan melibatkan primer SNP1_MGlu dapat mengelompokkan kultivar berdasarkan ketahanan terhadap FOC. Namun demikian dengan tanpa melibatkan primer SNP1_MGlu pengelompokkan yang diperoleh menjadi lebih baik (Gambar 49B) karena dapat memisahkan cabang kelompok kultivar rentan dengan kultivar tahan (pada koefisien kemiripan 83 %). Oleh karena itu untuk pengujian marka menggunakan kultivar/aksesi lain, tanpa melibatkan primer SNP1_MGlu. Evaluasi marka SNAP pada 10 kultivar/aksesi yang belum diketahui karakter ketahanan terhadap FOC. Dendogram hasil evaluasi yang dilakukan menggunakan DNA genom 10 kultivar/aksesi yang belum diketahui karakter ketahanan terhadap FOC bersama dengan 10 kultivar referensi, ditampilkan pada Gambar 50. Berdasarkan koefisien kemiripan sebesar 80 %, kultivar/aksesi tersebut dibagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu R-I (kultivar resisten I) yang terdiri atas 3 kultivar, 2 kultivar adalah Rejang dan Calcuta-4 yang tahan FOC dan satu aksesi AMB-01 (Tongka Langit dari Maluku). Kelompok kedua adalah R-II (kultivar resisten II) yang terdiri atas 10 kultivar/aksesi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Klutuk Wulung, Kepok, Jawaka dan Awak yang diketahui tahan FOC, dan beberapa kultivar seperti Muli, MDO-01, MBO-04, MLU-07, SUM-04 serta satu spesies liar HlbS-01. Kelompok ketiga adalah S (rentan) yang beranggotakan beberapa kultivar rentan seperti Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan dan yang rentan sampai tahan yaitu Ketan. Kultivar Ketan sebetulnya termasuk kultivar yang toleran atau mempunyai ketahanan terhadap FOC sedang. Namun demikian hal ini juga mengkonfirmasi hasil Percobaan 1 (BAB II) bahwa meskipun Ketan dikategorikan kultivar tahan (Tabel 2), tetapi sebanyak 42.% tanaman menunjukkan gejala RDI dan LSI sedang (LSI= 2-3 dan RDI= 2-3), jadi sebetulnya Ketan adalah kultivar yang mempunyai tingkat ketahanan rentan sampai tahan terhadap FOC. Dalam kelompok ketiga ini juga terdapat satu spesies liar Slk-29 dan 2 kultivar (SUM-01 dan HyKC). Walaupun berdasarkan hasil analisis filogenetik marka SNAP terpilih bisa mengelompokkan kultivar berdasarkan ketahanan terhadap FOC, tetapi markamarka tersebut perlu diuji pada populasi bersegregasi. Selain itu untuk validasi marka, diperlukan pengujian lebih lanjut terhadap aksesi-aksesi lain yang juga diuji ketahanannya terhadap cendawan FOC. Namun demikian metode ini merupakan tahapan awal pada pemilihan marka SNAP berdasar situs SNP yang terdapat dalam gen yang bertanggung jawab pada ketahanan dan pertahanan tanaman terhadap patogen. Selain itu, dari penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan susunan basa nukleotida antara kultivar pisang yang rentan dan tahan terhadap penyakit layu FOC, dan perbedaan nukleotida tersebut bisa merubah residu asam amino.
128
Rejang Calcuta-4 AMB-01 Klutuk_Wlg MDO-01 MND-04 MLU-07 SUM-04 Kepok Jawaka Awak HlbS-01 Muli Ketan Amb_Hj Amb_Kng SUM-01 Barangan Slk-29 HyKC
0.76
0.82
0.88 Coefficient
0.94
R1
R2
S
1.00
Gambar 50 Dendogram hasil analisis filogenetik pengelompokkan kultivar referensi dan 10 kultivar/aksesi lain berdasarkan hasil amplifikasi PCR menggunakan primer SNP4_MNBS, SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi dan SNP11_MChi. R1= kultivar tahan I, R2= kultivar tahan II, S= kultivar rentan
Simpulan Pada fragmen RGA (MNBS) asal pisang yang berukuran 524 pb, berhasil diidentifikasi adanya 30 situs SNP, tetapi hanya sebanyak 8 SNP saja yang bisa digunakan untuk mendisain primer SNAP. Selanjutnya dari 8 SNP terpilih, hanya 7 SNP saja yang dapat menghasilkan primer sebanyak 14 pasang untuk pengembangan marka SNAP. Pada fragmen gen β-1,3-glucanase yang berukuran 788 pb diidentifikasi sebanyak 8 situs SNP, tetapi hanya 3 SNP saja yang digunakan untuk pengembangan marka SNAP dan menghasilkan 6 pasang primer SNAP, sedangkan dari fragmen gen chitinase (MaChi) yang berukuran 596 pb berhasil diidentifikasi 22 situs SNP dan sebanyak 11 situs yang menghasilkan 22 pasang primer digunakan untuk pengembangan marka SNAP. Sebanyak 14 pasang primer yang didapat dari fragmen MNBS, 10 pasang primer yang terbukti efektif untuk mengamplifikasi PCR dengan menggunakan genom pisang Klutuk Wulung dan Barangan. Begitu juga dengan 6 pasang primer SNAP yang berasal dari fragmen gen β-1,3-glucanase dan 22 pasang primer asal fragmen gen chitinase, telah terbukti efektivitasnya dalam mengamplifikasi produk PCR asal kedua kultivar pisang tersebut. Penggunaan secara bersama-sama marka SNP4_MNBS dengan SNP2_ MChi, SNP6_ MChi, SNP8_ MChi, SNP10_ MChi dan SNP11_MChi dapat mengelompokkan kultivar pisang berdasarkan taraf ketahanannya terhadap penyakit layu FOC.
129
Daftar Pustaka Brownie J, Shawcross S, Theaker J, Whitcombe D, Ferrie R, Newton C, Little S. 1997. The elimination of primer-dimer accumulation in PCR. Nuc Acids Res 25(6):3235–3241. Bru D, Martin-Laurent F, Philippot L. 2008. Quantification of the detrimental effect of a single primer-template mismatch by Real-Time PCR using the 16s rrna gene as an example. App Env Microbiol 74(5):1660-1663. Crouch HK, Crouch JH, Jarret RL, Cregan PB, Ortiz R. 1998. Segregation at microsatellite loci in haploid and diploid gametes of Musa. Crop Sci 38:211-217. Das BK, Jena RC, Samal KC. 2009. Optimization of DNA isolation and PCR protocol for RAPD analysis of banana/plantain (Musa spp.). Int J Agric Sci 1(2):21-25. Davis RW, Ausubel FM. 2000. A simple procedure for the analysis of single nucleotide polymorphisms facilitates map-based cloning in Arabidopsis. Am Soc Plant Physiol 124(4):1483-1492. Faure S, Noyer JL, Horry JP, Bakry F, Lanaud C, de Leon Gonzales D. 1993. A molecular marker-based linkage map of diploid bananas (Musa acuminata). Theor Appl Gen. 87:517-526. Gupta PK, Roy JK, Prasad M. 2001. Single nucleotide polymorphisms: A new paradigm for molecular marker technology and DNA polymorphism detection with emphasis on their use in plants. Current Sci 80:524–535. Howell EC, Newburry HJ, Swennen RL, Withers LA, Ford-Llyod BV. 1994. The use of RAPD for identifying and classifying Musa germplasm. Genome 37:328-332. Jiang D, Ye Q-L, Wang F-S, Cao L. 2010. The mining of citrus EST-SNP and its application in cultivar discrimination. Agric Sci China 9(2):179-190. Juwattanasomran R, Somta P, Kaga A, Chankaew S, Shimizu T, Sorajjapinun W, Srinives Peerasak. 2012. Identification of a new fragrance allele in soybean and development of its functional marker. Mol Breed 29:13-21. Kim MY, Van K, Lestari P, Moon J-K, Lee S-H. 2005. SNP identification and SNAP marker development for a GmNARK gene controlling supernodulation in soybean. Theor App Genet 110:1003-1010. Kowarsch A, Fuchs A, Frishman D, Pagel P. 2010. Correlated Mutations: A Hallmark of Phenotypic Amino Acid Substitutions. PLoS Comput Biol 6(9): e1000923. doi:10.1371/journal.pcbi.1000923. Liu J, Huang S, Sun M, Liu S, Liu Y, Wang W, Zhang X, Wang H, Hua W. 2012. An improved allele-specific PCR primer design method for SNP marker analysis and its application. Plant Methods 8:34. Molina AB, Williams RC, Hermanto C, Suwanda, Komolog B, Kokoa, P. 2010. Mitigating the threat of banana Fusarium wilt: understanding the agroecological distribution of pathogenic forms and developing disease management strategies. Australia: ACIAR 76 hlm.. Nasu S, Suzuki J, Ohta R, Hasegawa K, Yui R, Kitazawa N, Monna L, Minobe Y. 2002. Search for and analysis of single nucleotide polymorphisms (SNPs) in Rice (Oryza sativa, Oryza rufipogon) and establishment of SNP markers. DNA Res 9:163-171.
130
Nwauzoma, Barth A, Uma S, Saraswathi MS, Mustaffa M. 2011. Developing markers for Sigatoka leaf spot disease(Mycosphaerella musicola Leach) resistance in banana (Musa spp.). Afr J Biotech 10(33):6213-6219. Rabbi IY, Kulembeka HP, Masumba E, Marri PR, Ferguson M. 2012. An ESTderived SNP and SSR genetic linkage map of cassava (Manihot esculenta Crantz). Theor Appl Genet 125:329–342. Rotherham D, Harbison SA. 2011. Differentiation of drug and non-drug Cannabis using a single nucleotide polymorphism (SNP) assay. Forensic Sci Int 207:193–197 Sun H, Wang H-T, Kwon W-S, Kim Y-J, In J-G, Yang D-C. 2011. A simple and rapid technique for the authentication of the ginseng cultivar, Yunpoong, using an SNP marker in a large sample of ginseng leaves. Gene 487:75–79. Syvänen AC. 2001. Acessing genetic variation: genotyping SNPs. Nature Rev. Genet 2:930-942. Thiel T, Kota R, Grosse I, Stein N, Graner A. 2004. SNP2CAPS: a SNP and INDEL analysis tool for CAPS marker development. Nuc Acids Res 32(1) e5. Till BJ, Jankowicz-Cieslak J, Sági L, Huynh AO, Utsushi H, Swennen R, Terauchi R, Mba C. 2010. Discovery of nucleotide polymorphisms in the Musa gene pool by Ecotilling. Theor Appl Genet 121:1381–1389. Ude G, Pillay M, Nwakanma D, Tenkouano A. 2002. Analysis of genetic diversity and sectional relationships in Musa using AFLP markers. Theor Appl Gen 104:1239-1245. Venkatachalam L, Sreedhar RV, Bhagyalakshmi N. 2008. The use of genetic markers for detecting DNA polymorphism, genotype identification and phylogenetic relationships among banana cultivars. Mol Phylog Evol 47:974–985. Wang W, Hu Y, Sun D, Staehekin C, Xin D, Xie J. 2012. Identification and evaluation of two diagnostic markers linked to Fusarium wilt resistance (race 4) in banana (Musa spp.). Mol Biol Rep 39(1):451-459.
BAB VIII PEMBAHASAN UMUM Pengembangan tanaman pisang di Indonesia masih terus berlangsung walaupun menghadapi beberapa kendala baik kendala teknis maupun non teknis. Kendala non teknis berupa makin berkurangnya lahan pertanian karena beralih fungsi menjadi areal pemukiman, pengembangan sarana umum dan lain-lain merupakan kendala yang tidak bisa dihindari. Kendala teknis yang dihadapi adalah penurunan produksi karena masalah cekaman abiotik maupun biotik. Cekaman abiotik seperti kekeringan, kemasaman tanah, kandungan Al yang tinggi merupakan cekaman abiotik yang masih bisa diatasi walaupun kadang memerlukan biaya yang sangat besar karena melibatkan tindakan modifikasi lingkungan. Cekaman biotik adalah cekaman yang ditimbulkan oleh adanya hama dan penyakit tanaman pisang. Masalah penyakit tanaman pisang sudah merupakan masalah nasional, karena penyakit pisang seperti layu yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense, bakteri Ralstonia solanacearum, dan banana bunchy top virus (BBTV) sudah ditemukan di hampir seluruh wilayah Indonesia dengan intensitas serangan yang beragam (Hermanto et al. 2011). Sebagai daerah pusat keragaman pisang, Indonesia mempunyai keragaman genetik pisang yang sangat besar, baik spesies liar maupun kultivar, dan tentunya menyimpan sejumlah besar sumber gen termasuk gen ketahanan terhadap penyakit tanaman. Usaha perbaikan kultivar tanaman untuk menghasilkan kultivar pisang tahan penyakit telah dilakukan antara lain dengan induksi mutasi (Sulyanti 2008; Yanti et al. 2009; Indrayanti 2012) maupun persilangan konvensional yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika yang mengadopsi teknik yang digunakan oleh FHIA (Rowe & Rosales, 1993). Namun demikian sampai saat ini mutan maupun hibrida yang komersial masih belum ditemukan di pasaran karena tanaman masih dalam tahap evaluasi dan perbaikan karakter komersial lainnya. Sementara itu kegiatan inventarisasi dan eksplorasi spesies liar dan kultivar pisang masih terus dilakukan untuk mengumpulkan sumber daya genetik yang nantinya bisa digunakan untuk materi perbaikan kultivar pisang komersial (Sutanto et al. 2004). Walaupun saat ini telah beredar kultivar pisang hibrida hasil persilangan secara konvensional yang tahan terhadap layu FOC, bercak daun sigatoka dan nematoda, yaitu ‘Gold Finger’ yang berasal dari FHIA, Honduras, yang dilepas pada tahun 1988 (Rowe & Rosales 1993), tetapi persilangan secara konvensional menghadapi kendala berupa sterilitas bunga yang tinggi dan kompatibilitas persilangan yang sangat rendah. Untuk menghasilkan kultivar komersial seperti Gold Finger, upaya perbaikan kultivar dimulai dari pengumpulan materi plasma nutfah yang berasal dari Asia Tenggara oleh Dr. Paul Allen pada tahun 1959-1961 (Rosales et al. 1999), dan kegiatan pemuliaan pada tahun 1970-an oleh Dr. Phillip Rowe (Rowe & Rosales 1993). Selain kendala sterilitas bunga dan kompatibilitas persilangan, lamanya proses perbaikan kultivar pisang juga disebabkan proses evaluasi dan seleksi hibrida yang memerlukan waktu yang cukup lama.
132
Penemuan gen ketahanan pada berbagai tanaman seperti gen RPS2 asal Arabidopsis thaliana (Bent et al.1994), Xa1 asal padi (Yoshimura et al. 1998), Bs2 asal tomat (Tai et al. 1999), M asal rami (Anderson et al. 1997), gen N asal tembakau (Whitham et al. 1994), dan L6 asal linseed (Lawrence et al. 1995), dapat dijadikan sebagai cetakan untuk mengisolasi gen ketahanan pada tanaman pisang, karena sebagian besar (70%) struktur gen ketahanan mengandung motif yang sama yaitu NBS-LRR. Sampai saat ini telah ditemukan sebanyak lebih dari 170 resistance gene analogue (RGA) berasal dari tanaman pisang dan kerabatnya yang terdeposit pada pangkalan data GenBank NCBI. Penemuan RGA yang berasosiasi dengan ketahanan terhadap penyakit layu FOC, dapat digunakan untuk menghasilkan kultivar pisang tahan FOC melalui teknologi rekayasa genetika yang membutuhkan waktu relatif lebih singkat dari pada pemuliaan secara konvensional. Sehubungan dengan RGA yang dihasilkan pada penelitian ini, dari 17 RGA yang diperoleh, salah satu RGA yaitu MNBS15 kemungkinan besar adalah pseudogene, yang tidak akan terekspresi pada saat translasi. Tidak terbentuknya produk dari pseudogene karena kemungkinan terdapat mutasi satu basa yang menyebabkan terbentuknya stop codon di dalam sekuen gen sebelum stop codon yang sebenarnya (Benovoy & Drouin. 2006), atau adanya retrotranspositon yang akan menambah jumlah salinan gen yang akan tersisip ke dalam DNA genom (Brosius 1991). Salah satu RGA yang perlu mendapat perhatian adalah MNBS17 yang hanya mempunyai 2 motif terkonservasi, yaitu P-loop dan kinase-2 mempunyai potensi yang besar untuk dikaji dan dikarakterisasi lebih lanjut. Fragmen RGA tersebut mempunyai identity yang tertinggi terhadap RGC2, kandidat gen ketahanan terhadap FOC ras 4 (Peraza-Echeverria et al. 2008), yaitu 50.5 %. Hal yang bisa dilakukan adalah mengamplifikasi fragmen NBS secara utuh dengan merancang sepasang primer menggunakan sekuen RGA yang mempunyai identity tertinggi terhadap MNBS17 sebagai cetakan, yaitu aksesi no. JX406384. Selain itu, perlu dilakukan kloning dan sekuensing RGA yang terdapat pada kultivar dan spesies liar Musa asli Indonesia yang masih banyak dan belum dieksploitasi. Isolasi dan karakterisasi RGA yang dilakukan secara optimal selain dapat menambah perbendaharaan RGA juga menggali potensi pemanfaatan RGA tersebut untuk perbaikan kultivar pisang yang tahan terhadap penyakit tidak hanya layu FOC tetapi juga penyakit penting lainnya. Mutasi adalah salah satu dari proses evolusi (Carlin 2011). Dengan mengetahui dan menelusuri situs-situs SNP yang merupakan representasi situs mutasi, akan dapat ditelusuri proses evolusi suatu gen serta asal dari gen tersebut (Lercher 2002). Perubahan basa nukleotida baik secara transversi, transisi, delesi ataupun insersi pada suatu gen karena mutasi yang disebabkan oleh perubahan lingkungan, paparan bahan kimia atau radiasi yang menyebabkan rusaknya untaian DNA (Clancy 2008). Ketika terjadi perbaikan untaian DNA, perbaikan tersebut tidak sepenuhnya sempurna, sehingga terdapat satu atau beberapa basa nukleotida penyusunnya yang berubah, berkurang atau bertambah. Hal ini yang menyebabkan mutasi (Cleaver 1994). Mutasi pada organisme juga terjadi karena proses adaptasi terhadap perubahan pada organisme predatornya. Contohnya gen ketahanan dan pertahanan di dalam tanaman inang akan terus berkembang variabilitasnya karena perkembangan variabilitas dari patogen. Apabila
133
variabilitas patogen terjadi lebih cepat dari pada tanaman, maka tanaman tidak bisa mengenali dan melakukan perlawanan terhadap patogen (Agrios 2005). Pada kegiatan penelitian ini genotyping SNP menggunakan teknik SNAP yang bisa menggunakan teknik PCR dan elektroforesis gel agarose standar. Identifikasi situs putatif SNP menggunakan gen-gen yang mempunyai peranan dalam ketahanan dan pertahanan tanamam terhadap patogen diharapkan dapat menghasilkan marka yang bisa dipakai untuk seleksi secara tidak langsung ketahanan tanaman terhadap patogen. Dasar dari pemanfaatan situs SNP untuk marka ketahahan adalah bahwa substitusi satu basa nukleotida yang terdapat dalam gen tertentu (coding region) akan dapat menyebabkan perubahan residu asam amino (non synonymous SNP) dalam struktur protein. Perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa residu asam amino dalam struktur protein akan menyebabkan perubahan sifat protein tersebut (Sunyaev et al. 2001). Model pemanfaatan putatif SNP berbasis gen RGA dan DGA pada penelitian ini adalah merupakan langkah awal dalam pengembangan marka SNAP berbasis gen spesifik untuk ketahanan terhadap patogen. Dalam penelitian ini masih belum ditemukan marka SNP tunggal pada masing-masing kelas gen, terutama gen RGA, karena RGA yang dianalisis dalam penelitian ini berasal dari individu yang terbatas (3 kultivar) dan semuanya merupakan kultivar yang tahan terhadap FOC. Untuk mendapatkan gambaran profil dari SNP secara komprehensif diperlukan informasi sekuen dari lebih banyak kultivar yang mewakili baik kultivar tahan maupun rentan terhadap FOC. Pada penelitian ini analisis SNP hanya dilakukan pada MNBS kelompok I yang beranggotakan 14 sekuen, dan tidak menggunakan MNBS15, MNBS16 ataupun MNBS17, karena ketiga MNBS tersebut hanya beranggotakan satu sekuen. Oleh karena itu dengan dilakukannya kegiatan isolasi, kloning dan sekuensing RGA menggunakan cakupan genotipe yang lebih banyak akan diperoleh gambaran keragaman tidak hanya terbatas pada ketiga sekuen tersebut (MNBS15, MNBS16 dan MNBS17), tetapi juga berpotensi ditemukannya MNBS yang lain. Namun demikian marka yang dihasilkan masih perlu divalidasi dengan mengujinya pada populasi bersegregasi agar marka dapat digunakan untuk kultivar/aksesi pisang lainnya. Marka SNAP yang diperoleh selain dapat digunakan untuk mengevaluasi ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit juga bisa digunakan untuk menseleksi calon tetua persilangan, sehingga proses persilangan menjadi lebih singkat. Selain itu model pengembangan marka SNAP berbasis gen spesifik bisa diaplikasikan pada gen spesifik lainnya untuk karakter yang terkait dengan gen tersebut. Peranan Teknologi Biologi Molekuler pada Perbaikan Kultivar Pisang Dengan makin berkembangnya bioteknologi yang ditunjang dengan penemuan teknologi PCR oleh Mullis & Faloona (1987) dan teknologi sequencing (Maxam & Gilbert 1977; Sanger et al. 1977), teknologi marka molekuler makin berkembang dengan menghasilkan teknologi marka DNA yang mampu mendeteksi alel-alel yang terkait dengan karakter agronomis maupun fisiologis tanaman secara akurat. Penggunaan teknologi marka molekuler dapat membantu proses seleksi dalam program pemuliaan tanaman, sehingga waktu untuk pemuliaan tanaman dapat dipotong terutama waktu yang diperlukan untuk seleksi karakter fenotipik (Sleper & Poehlman 2006).
134
Secara umum kegiatan perbaikan kultivar tanaman dimulai dari penyediaan sumber keragaman tanaman, termasuk pada komoditas pisang, yang bisa dilakukan dengan seleksi sumber daya genetik lokal, eksplorasi, mendatangkan dari luar ataupun menginduksi keragaman dari kultivar yang ada (Orjeda et al. 2000; Tang 2005; Rowe & Rosales 1996). Sebagai materi pemuliaan dengan cara persilangan, baik konvensional maupun non-konvensional, disyaratkan mempunyai jarak genetik yang tidak terlalu dekat (mempunyai keragaman tinggi), oleh karena itu diperlukan analisis keragaman dari sumber daya genetik yang ada. Analisis keragaman bisa dilakukan secara morfologis, biokimia maupun molekuler. Analisis keragaman secara molekuler lebih menguntungkan karena dapat melibatkan sejumlah lokus yang sangat besar dan tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca/musim (Agrawal et al. 2008). Berdasarkan hasil analisis molekuler dapat ditentukan tetua-tetua yang akan digunakan sebagai materi pemuliaan. Di lain pihak, teknologi biologi molekuler menyediakan teknik mengisolasi dan mengkarakterisasi gen-gen yang mempunyai fungsi spesifik. Berdasarkan keragaman sumber daya genetik, akan dapat diperoleh profil gen-gen yang diperlukan untuk proses pemuliaan selanjutnya. Dengan teknologi sekuensing diperoleh gambaran gen spesifik secara detail sampai pada level nukleotida. Berdasarkan keragaman nukleotida, marka SNAP dapat dibuat berdasarkan masing-masing gen spesifik. Selain itu untuk menjamin kepastian fungsi dari gen yang telah berhasil diisolasi, dilakukan analisis ekspresi. Pemuliaan tanaman pisang secara konvensional menggunakan tetua terpilih baik hasil seleksi secara morfologis maupun molekuler. Seleksi karakter yang dinginkan pada progeni dapat dilakukan sejak awak tanpa harus menunggu tanaman hasil persilangan tumbuh besar. Tanaman hibrida terseleksi secara molekuler dapat dilanjutkan untuk evaluasi secara morfologis di lapang. Pemuliaan tanaman secara non-konvensional dapat dengan cara induksi variasi somaklonal melalui perbanyakan in vitro atau yang dikombinasi dengan perlakukan mutasi baik secara kimia menggunakan mutagen, maupun fisika dengan cara radiasi sinar gamma (Vinh et al. 2009; Jain 2010). Seleksi tanaman mutan menggunakan teknologi marka molekuler dapat dilakukan sejak tanaman masih muda, dan tanaman muda terseleksi dapat dilanjutkan untuk evaluasi secara morfologis di lapang. Teknologi pemuliaan secara non-konvensional yang lain adalah transformasi genetika. Melalui teknik ini gen-gen spesifik yang dikehendaki dapat disisipkan ke dalam DNA genom tanaman. Untuk mempersiapkan materi untuk ditransformasi, tanaman diperbanyak melalui embriogenesis somatik. Transformasi dilakukan terhadap sel-sel embriogenik yang nantinya akan berkembang menjadi tanaman utuh (Ganapathi et al. 2001). Analisis ekspresi secara molekuler dilakukan sejak dini setelah tanaman ditransformasi dan beregenerasi menjadi tanaman sempurna. Khusus tanaman hasil transformasi genetika, evaluasi secara morfologi maupun molekuler dilakukan secara hati-hati dan akan dilepas setelah betul-betul aman bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Gambaran mengenai peranan teknologi biologi molekuler pada perbaikan kultivar pisang ditampilkan pada Gambar 51.
Gambar 51. Peranan teknologi biologi molekuler dalam kegiatan perbaikan kultivar tanaman pisang
BAB IX SIMPULAN DAN SARAN Serangkaian percobaan yang diulas dalam disertasi ini adalah menggambarkan model pembuatan marka berdasarkan putatif SNP dari gen-gen yang berperanan dalam mekanisme ketahanan dan pertahanan tanaman pisang terhadap patogen. Percobaan dimulai dengan uji ketahanan beberapa kultivar pisang terhadap penyakit layu FOC untuk memilih kultivar tahan. Hasil pengujian mendapatkan 2 kultivar tahan, yaitu Calcuta-4 (introduksi) dan Klutuk Wulung (asli Indonesia). Kedua kultivar tersebut ditambah Rejang digunakan sebagai materi untuk isolasi dan karaterisasi resistance gene analogue (RGA) dan berhasil diisolasi sebanyak 17 sekuen RGA yang mengandung domain terkonservasi NBS-LRR dan terbagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok I beranggotakan 14 sekuen (MNBS1-MNBS14), dan 3 kelompok lainnya beranggotakan satu sekuen yaitu MNBS15, MNBS16 dan MNBS17. Pada saat yang hampir bersamaan dilakukan isolasi dan karakterisasi gen chitinase yang berasal dari 5 kultivar pisang asli Indonesia, yaitu Rejang, Klutuk Wulung, Kepok, Ambon Hijau dan Barangan, dan diperoleh 8 sekuen putatif gen chitinase (MaChi) yang berukuran 596 pb yang menyandi 148 residu asam amino. Fragmen MaChi mengandung 2 intron (158 pb) dan 3 ekson (438 pb). Hasil analisis sekuen menunjukkan fragmen MaChi mempunyai kemiripan 90 % dengan gen chitinase kelas II asal pisang. Selain gen chitinase, juga dilakukan isolasi dan karakterisasi gen β-1,3-glucanase yang berasal dari 4 kultivar, yaitu Rejang, Klutuk Wulung, Ambon Hijau dan Barangan dan didapatkan 4 sekuen putatif gen β-1,3-glucanase (MaGlu) yang berukuran 788 pb yang menyandi 261 residu asam amino. Hasil analisis sekuen menunjukkan fragmen MaGlu mempunyai kemiripan sebesar 99 % dengan gen β-1,3-glucanase yang berasal dari pisang. Identifikasi situs SNP pada 14 fragmen RGA (MNBS1-MNBS14), 8 fragmen gen chitinase (MaChi), dan 4 fragmen gen β-1,3-glucanase (MaGlu) diperoleh hasil sebagai berikut: dari 4 fragmen RGA yang berasal dari kultivar Rejang (MNBS2-MNBS5) diidentifikasi sebanyak 16 putatif SNP dan mempunyai 4 haplotipe, sedangkan dari 8 fragmen RGA yang berasal dari kultivar Calcuta-4 (MNBS6-MNBS14) diidentifikasi sebanyak 9 putatif SNP dan mempunyai 7 haplotipe. Sementara itu, dari 8 fragmen gen chitinase diidentifikasi sebanyak 22 putatif SNP dan mempunyai 8 haplotipe, sedangkan dari 4 putatif SNP fragmen gen β-1,3-glucanase berhasil diidentifikasi 8 putatif SNP dan mempunyai 4 haplotipe. Implementasi dari serangkaian percobaan-percobaan sebelumnya adalah pengembangan marka SNAP berbasis RGA dan DGA untuk marka ketahanan terhadap penyakit layu FOC, dan dari hasil evaluasi menggunakan pendekatan teknik PCR dan analisis filogenetik dipilih beberapa lokus yang dapat digunakan sebagai marka ketahanan terhadap layu FOC dan bisa mengelompokkan kultivar referensi berdasarkan karakter ketahanan terhadap layu FOC. Lokus-lokus tersebut adalah SNP4_MNBS yang bertautan dengan RGA (gen MNBS), lokus
138
SNP2_MChi, SNP6_MChi, SNP8_MChi, SNP10_MChi, SNP11_MChi yang bertautan dengan gen chitinase (MaChi). Selain itu, dari penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan susunan basa nukleotida antara kultivar pisang yang rentan dan tahan terhadap penyakit layu FOC, dan perbedaan nukleotida tersebut bisa merubah residu asam amino. Berdasarkan hasil temuan 17 fragmen putatif RGA (MNBS), diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui apakah RGA yang berhasil diamplifikasi merupakan gen fungsional melalui pengujian ekspresi (cDNA) pada tanaman yang diinfeksi oleh cendawan patogen FOC ras 4 tropika. Agar marka SNAP berbasis RGA dan DGA dapat digunakan sebagai marka ketahanan, maka perlu dilakukan validasi dengan mengevaluasi menggunakan cakupan kultivar pisang yang lebih banyak dan menguji pada populasi bersegregasi.
DAFTAR PUSTAKA Adams DJ. 2004. Fungal cell wall chitinases and glucanases. Microbiology 150:2029–2035 Adesoye A, Mmeka E, Vroh B. 2012. Single nucleotide polymorphism markers discovery in Musa spp. (plantain landraces, AAB genome) and its potentials for use in gibberellic acid and parthenocarpy trait mapping. J Plant Mol Biol Biotechnol 3(1):9-21. Aert R, Volckaert G, Sagi L. 2004. Gene content and density in banana (Musa acuminata) as revealed by genomic sequencing of BAC clones. Theor Appl Genet 109:129–139. Agarwal M, Shrivastava N, Padh H. 2008. Advances in molecular marker techniques and their applications in plant sciences. Plant Cell Rep 27:617–631. Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. Burlington: Elsevier Academic Pr. hlm 125-174. Akiyama T, Pillai MA. 2001. Molecular cloning, characterization and in vitro expression of a novel endo-1,3-β-glucanase up-regulated by ABA and drought stress in rice (Oryza sativa L.). Plant Sci 161:1089–1098. Alonso E, Niebel FC, Obregon P, Gheysen G, Inze D, Van Montagu M, Castresana C. 1995. Differential in vitro DNA binding activity to a promoter element of the gn1 β-1,3-glucanase gene in hyper sensitively reacting tobacco plants. Plant J 7:309-320. Altschul SF, Madden TL, Schaffer AA, Zhang J, Zhang Z, Miller W, Lipman DJ. 1997. Gapped BLAST and PSI-BLAST: a new generation of protein database search programs. Nuc Acids Res 25:3389-3402. Amorim EP, Silva PH, Ferreira CF, Amorim VBO, Santos VJ, Vilarinhos AD, Santos CMR, Souza Júnior MT, Miller RNG. 2012. New microsatellite markers for bananas (Musa spp). Genet Mol Res 11(2):1093-1098. Amorim EP, Vilarinhos AD, Cohen KO, Amorim VBO, dos Santos-Serejo JA, e Silva SO, Pestana KN, dos Santos VJ, Paes NS, Monte DC, dos Reis RV. 2009. Genetic diversity of carotenoid-rich bananas evaluated by Diversity Arrays Technology (DArT). Genet Mol Biol 32(1):96-103. Anderson PA, Lawrence GJ, Morrish BC, Ayliffe MA, Finnegan EJ, Ellis JG 1997. Inactivation of the flax rust resistance gene M associated with loss of a repeated unit within the leucine-rich repeat coding region. Plant Cell 9:641-651. Antoniw JF, Ritter CE, Pierpoint WS, Loon C Van. 1980. Comparison o f Three Pathogenesis-related Proteins from Plants of Two Cultivars of Tobacco Infected with TMV. J Gen Virol 47:79-87. Assani A, Haicour R, Wenzel G, Côte F, Bakry F, Foroughi-Wehr B, Ducreux G, Aguillar ME, Grapin A. 2001. Plant regeneration from protoplasts of dessert banana cv. Grande Naine (Musa spp., Cavendish sub-group AAA) via somatic embryogenesis. Plant Cell Rep 20:482-488. Azhar M, Heslop-Harrison JS. 2008. Genomes, diversity and resistance gene analogues in Musa species. Cytogenet Genom Res 121(1):59-66. Baek DE, Choi C. 2013. Identification of resistance gene analogs in Korean wild apple germplasm collections. Genet Mol Res 12(1):483-493.
140
Bai J, Pennill LA, Ning J, Lee SW, Ramalingam J, Webb CA, Zhao B, Sun Q, Nelson JC, Leach JE, Hulbert SH. 2002. Diversity in nucleotide binding site--leucine-rich repeat genes in cereals. Genome Res 12:1871-1884. Baker CJ, Mock N, Glazener J, Orlandi E. 1993. Recognitian responses in pathogen/non-host and race/cultivar interactions involving soybean (Glycine max) and Pseudomonas syringae pathovars. Physiol Mol Plant Pathol 43:81-94. Balint-Kurti PJ, Clendennen SK, Dolezelova M, Valarik M, Dolezel J, Beetham PR, May GD. 2000. Identification and chromosomal localization of the monkey retrotransposon in Musa spp. Mol Gen Genet 263:908–915. Bandelt HJ, Forster P, Röhl A. 1999. Median-joining networks for inferring intraspecific phylogenies. Mol Biol Evol 6:37–48. Barbazuk WB, Emrich SJ, Chen HD, Li L, Schnable PS. 2007. SNP discovery via 454 transcriptome sequencing. Plant J 51:910–918. Barret LG, Thrall PH, Dodds PN, Merwe M van der, Linde CC, Lawrence GJ, Burdon JJ. 2009. Diversity and Evolution of Effector Loci in Natural Populations of the Plant Pathogen Melampsora lini. Mol Biol Evol 26(11):2499–2513. Beaty TH, Fallin MD, Hetmanski JB, McIntosh I, Chong SS, Ingersoll R, Sheng X, Chakraborty XR, Scott AF. 2005. Haplotype Diversity in 11 Candidate Genes Across Four Populations. Genetics 171: 259–267. Becker DK, Dugdale B, Smith MK, Harding RM, Dale, JL. 2000. Genetic transformation of Cavendish banana (Musa spp. AAA group) cv. Grand Nain via microprojectile bombardment. Plant Cell Rep 19:229–234. Beffa RS, Neuhaust JM, Meins F Jr. 1993. Physiological compensation in antisense transformants: Specific induction of an "ersatz" glucan endo-1,3β-glucosidase in plants infected with necrotizing viruses. Proc Natl Acad Sci USA 90:8792-8796. Benovoy D, Drouin G. 2006. Processed pseudogenes, processed genes, and spontaneous mutations in the Arabidopsis genome. J Mol Evol 62(5):511522 Bent AF, Kunkel BN, Dahlbeck D, Brown KL, Schmidt R, Giraudat J, Leung J, Staskawicz BJ. 1994. RPS2 of Arabidopsis thaliana: a leucine-rich repeat class of plant disease resistance genes. Science 265:1856-1860. Bentley DR. 2006. Whole-genome resequencing. Curr Opin Genet Dev 16:545–52 Berglund L., J. Brunstedt, K.K Nielsen, Z, Chen, JD, Mikkelsen KA. Marcker. 1995. A proline-rich chitianse from Beta vulgaris. Plant Mol Biol 27:211-216. Bhat KV, Bhat SR, Chandel KPS. 1992a. Survey of isozyme polymorphism for clonal identifi cation in Musa. II. Peroxidase, superoxide dismutase, shikimate dehydrogenase and malate dehydrogenase. J Hort Sci 67:737–743. Bhat KV, Bhat SR, Chandel KPS. 1992b. Survey of isozyme polymorphism for clonal identification in Musa. I. Esterase, acid phosphatase and catalase. J Hort Sci 61:507–507. Bhat KV, Jarret RL, Liu ZW. 1994. RFLP characterization of Indian Musa germplasm for clonal identification and classification Euphytica 80:95–103. Bhat KV, Jarret RL. 1995. Random amplified polymorphic DNA and genetic diversity in Indian Musa germplasm. Genet Resour Crop Evol 42:107–118. Bhuiyan NH, Selvaraj G, Wei Y, King J. 2009. Role of lignification in plant
141
defense. Plant Signal Behav 4(2):158-159. Blench R. 2009. Bananas and Plantains in Africa: Re-interpreting the linguistic evidence. Ethnobot Res Appl 7:363-380. Borth W, Perez E, Cheah K, Chen Y, Xie WS, Gaskill D, Khalil S, Sether D, Melzer M, Wang M, Manshardt R, Gonzaled D, Hu JS. 2011. Transgenic banana plants resistance to banana bunchy top virus infection. Acta Hort 897:449-457. Bowell GP. 1999. Role of active oxygen species and NO in plant defence response. Curr Opin Plant Biol 2(4):287-294. Bowles, D.J. 1990. Defense-related proteins in higher plants. Ann Rev Biochem. 59:873-907 Brake VM, Pegg KG, Irwin JAG, Chaseling J. 1995. The influence of temperature, inoculum level and race of Fusarium oxysporum f.sp. cubense on the disease of banana cv Cavendish. Aust J Agric Res 46:673-685 Brameld KA, Goddard WA III. 1998. The role of enzyme distortion in the single displacement mechanism of family 19 chitinases. Proc Natl Acad Sci USA 95:4276–4281,. Brosius J. 1991. Retroposons – seeds of evolution. Science 251(4995):753. Brownie J, Shawcross S, Theaker J, Whitcombe D, Ferrie R, Newton C, Little S. 1997. The elimination of primer-dimer accumulation in PCR. Nuc Acids Res 25(6):3235–3241. Bru D, Martin-Laurent F, Philippot L. 2008. Quantification of the detrimental effect of a single primer-template mismatch by Real-Time PCR using the 16s rrna gene as an example. App Env Microbiol 74(5):1660-1663. Brueggeman R, Rostoks N, Kudrna D, Kilian A, Han F, Chen J, Druka A, Steffenson B, Kleinhofs A. 2002. The barley stem rust- resistance gene Rpg1 is a novel disease-resistance gene with homology to receptor kinases. Proc Natl Acad Sci USA 99:9328-9333. Bucciaglia PA, Smith AG. 1994. Cloning and characterization of Tag1, a tobacco anther β-1,3-glucanase expressed during tetrad dissolution. Plant Mol Biol 24:03-914. Buddenhagen, I. 2009. Blood bacterial wilt of banana: history, field biology and solution. Acta Hort 828:57-68. Cannon SB, Zhu H, Baumgarten AM, Spangler R, May G, Cook DR, Young ND. 2002. Diversity, distribution, and ancient taxonomic relationships within the TIR and non-TIR NBS-LRR resistance gene subfamilies. J Mol Evol 54:548-562. Cao LX, Qiu ZQ, Dai X, Tan HM, Lin YC, Zhou SN. 2004. Isolation of endophytic actinomycetes from roots and leaves of banana (Musa acuminata) plants and their activities against Fusarium oxysporum f. sp. cubense. World J Microbiol Biotechnol 20: 501–504. Caplan J, Padmanabhan M, Dinesh-Kumar SP. 2008. Plant NB-LRR immune receptors: From recognition to transcriptional reprogramming. Cell Host Microbe 3:126-135. Carlin JL. 2011. Mutations are the raw materials of evolution. Nat Edu Knowl 3(10):10. Carlson CS, Thomas DJ, Eberle MA, Swanson JE, Livingston RJ, Rieder MJ, Nickerson DA. 2005. Genomic regions exhibiting positive selection
142
identified from dense genotype data. Genome Res. 15(11):1553-1565. Carreel F, de Leon DG, Lagoda P, Lanaud C, Jenny C. 2002. Ascertaining maternal and paternal lineage within Musa by chloroplast and mitochondrial DNA RFLP analyses. Genome 45:679–692. Carter C, Thombur RW. 1999. Germin-like proteins: structure, phylogeny, and function. J Plant Biol 42(2):97-108. Castillo R, Gómez-Gómez L, Fernández JA. 2007. SafchiA is a new class of defence chitinase from saffron (Crocus sativus l.). Acta Hort 739:195-202. Castresana C, Gheysen GCF, Habets M, Inze D, van Montagu M. 1990. Tissuespecific and pathogen-induced regulation of a Nicotiana plumbaginifolia β-1,3-glucanase gene. Plant Cell 2:1131-1144. Chai M, Ho YW, Liew KW, Asif MJ. 2004. Biotechnology and in vitro mutagenesis for banana improvement. http://www.fao.org/docrep/007/ ae216e/ae216e08.htm#bm08. Download 26/08/13 Chand R, Sen D, Prasad KD, Singh AK, Bashyal BM, Prasad LC, Joshi K. 2008. Screening for disease resistance in barley cultivars against Bipolar sorokiniana using callus culture method. Indian J Exp Biol 46:249-253. Chang MM, Culley DE, Hadwiger LA. 1993. Nucleotide Sequence of a Pea (Pisum sativum L.) β-1,3-Glucanase Gene. Plant Physiol 101:1121-1122. Chang MM, Hadwiger LA, Horovitz D. 1992. Molecular characterization of a pea β-1,3-glucanase induced by Fusarium solani and chitosan challenge. Plant Mol Biol 20(4):609-618. Cheng X, Jiang H, Zhao Y, Qian Y, Zhu S, Cheng B. 2010. A genomic analysis of disease-resistance genes encoding nucleotide binding sites in Sorghum bicolor. Genet Mol Biol 33(2):292-297. Cheong YH, Kim CY, Chun HJ, Moon BC, Park HC, Kim JK, Lee SH, Han CD, Lee SY, Cho MJ. 2000. Molecular cloning of a soybean class III β-1,3glucanase gene that is regulated both developmentally and in response to pathogen infection. Plant Sci 154:71–81. Ching A, Caldwell KS, Jung M, Dolan M, Smith OS, Tingey S, Morgante M, Rafalski AJ. 2002. SNP frequency, haplotype structure and linkage disequilibrium in elite maize inbred lines. BMC Genet 3:19. Christelová P, Valárik M, Hřibová E, van den Houwe I, Channelière S, Roux N, Doležel J. 2011. A platform for efficient genotyping in Musa using microsatellite markers. AoB PLANTS plr024 doi:10.1093/aobpla/ plr024 Christie AW, Sands DPA, Yarrow WHT. 1989. A new threat - the banana skipper. Qld Agric J 115(2):80-81. Chye ML, Cheung KY. 1995. β-1, 3-Glucanase is highly-expressed in laticifers of Hevea brasiliensis. Plant Mol Biol 29:397-402. Clancy S. 2008 Genetic mutation. Nat Educ 1(1):187. Cleaver JE. 1994. It was a very good year for DNA repair. Cell 76:1-4. Clement X, Posada D, Crandall K. 2000. TCS: a computer program to estimate gene genealogies. Mol Ecol 9:1657-1659. Clendennen SK, May CD. 1997. Differential gene expression in ripening banana fruit. Plant Physiol 11(5):463-469 Cohen S, Chang A, Boyer H, Helling R. 1973. Construction of biologically functional bacterial plasmids in vitro. Proc Natl Acad Sci USA 70(11): 3240–3244.
143
Cohen-Kupiec R, Chet I. 1998. The molecular biology of chitin digestion. Curr Opin Biotechnol 9:270-277. Collinge DB, Kragh KM, Mikkelsen JD, Nielsen KK, Rasmussen U, Vad K. 1993. Plant chitinases. Plant J 3:31-40. Collins DW, Jukes TH, 1994 Rates of transition and transversion in coding sequences since the human-rodent divergence. Genomics 20:386–396. Coundhury SR, Roy S, Sengupta DN. 2009. Characterization of cultivar differences in β-1,3-glucanase gene expression, glucanase activity and fruit pulp softening rates during fruit ripening in three naturally occuring banana cultivars. Plant Cell Rep 28:1641-1653. Crouch HK, Crouch JH, Jarret RL, Cregan PB, Ortiz R. 1998. Segregation at microsatellite loci in haploid and diploid gametes of Musa. Crop Sci 38:211-217. Crouch JH, Crouch HK, Constand H, van Gysel A, Breyne P, van Montagu M, Jarret RL, Ortiz R. 1999b. Comparison of PCR-based molecular marker analysis of Musa Breeding populations. Mol Breed 5:233–244. Crouch JH, Crouch HK, Tenkouano A, Ortiz R. 1999a. VNTR-based analysis of 2x and 4x full-sib Musa hybrids. Elect J Biotechnol 2:99–108. Crouch JH, Ortiz R, Crouch HK. 2000. Utilization of molecular genetic techniques in support of plantain and banana improvement. Acta Hort 540:185–191. CTB Trade for Development. 2011. La Banane, un Fruit en Sursis, Agence Belge de Développement, Bruxelles. Dahal G, Hughes J, Gauhl F, Pasberg-Gauhl C. 2000. Symtomatology and development of banana streak, a disease caused by banana streak badnavirus, under natural condition in Ibadan, Nigeria. Acta Hort 540:361-375. Dahiya N, Tewari R, Tiwari RP, Hoondal GS. 2006. Biochemical aspects of chitinolytic enzymes: A review. App Microbiol Biotech 71:773–782. Daly MJ, Rioux JD, Schaffner SF, Hudson TJ, Lander ES. 2001. High-resolution haplotype structure in the human genome. Nat Genet 29:229–232. Dangl L, Jones J. 2001. Plant pathogens and integrated defence responses to infection. Nature 411:826-833. Daniells JW, Jenny C, Karamura DA, Tomekpe K, Arnaud E, Sharrock S. 2001. Musalogue: A catalogue of Musa germplasm. Diversity in the genus Musa. INIBAP, Montpellier, France. Das BK, Jena RC, Samal KC. 2009. Optimization of DNA isolation and PCR protocol for RAPD analysis of banana/plantain (Musa spp.). Int J Agricul Sci 1(2):21-25. Davies G, Henrissat B. 1995. Structures and mechanisms of glycosyl hydrolases. Structure 3:853-859. Dereeper A, Nicolas S, Cunff LL, Bacilieri R, Doligez A, Peros J-P, Ruiz M, This P. 2011. SNiPlay: a web-based tool for detection, management and analysis of SNPs. Application to grapevine diversity projects. BMC Bioinforma. 12:134 http://www.biomedcentral.com/1471-2105/12/134. Deslandes L, Olivier J, Theulieres F, Hirsch J, Feng DX, Bittner-Eddy P, Beynon J & Marco Y. 2002. Resistance to Ralstonia solanacearum in Arabidopsis thaliana is conferred by the recessive RRS1-R gene, a member of a novel family of resistance genes. Proc Natl Acad Sci USA 99(4):2404-2409.
144
Dhanya MK, Rajagopalan B, Umamaheswaran K, Ayisha R. 2006. Isozyme variation in banana (Musa sp.) in response tobract mosaic virus infection. Indian J Crop Sci 1:140–141. D'Hont A, Denoeud F, Aury JM, Baurens FC, Carreel F, Garsmeur O, Noel B, Bocs S, Droc G, Rouard M et al. 2012. The banana (Musa acuminata) genome and the evolution of monocotyledonous plants. Nature 488(7410):213-217 Doll J, Hause B, Demchenko K, Pawlowski K, Krajinski F. 2003. A member of the germin-like protein family is a highly conserved mycorrhiza-specific induced gene. Plant Cell Physiol 44(11):1208–1214 Domingo C, Conejero V, Vera P. 1994. Genes encoding acidic and basis class III ß-1,3-glucanases are expressed in tomato plants upon viroid infection. Plant Mol Biol 24(5):725-732. Dong JZ, Dunstan DI. 1997. Endochitinase and ß-1,3-glucanase genes are developmentally regulated during somatic embryogenesis in Picea glauca. Planta 201(2):189-194. Doyle JJ, Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolation procedure for small quantities of fresh leaf tissue. Phytochem Bull 19:11-15. Drenkard E, Richter BG, Rozen S, Stutius LM, Angell NA, Mindrinos M, Cho RJ, Oefner PJ, Davis RW, Ausubel FM. 2000. A simple procedure for the analysis of single nucleotide polymorphisms facilitates map-based cloning in Arabidopsis. Am Soc Plant Physiol 124(4):1483-1492. Ebrahim S, Usha K, Singh B. 2011. Pathogenesis Related (PR) Proteins in Plant Defense Mechanism. Di dalam: Méndez-Vilas AA, editor. Science against microbial pathogens: communicating current research and technological advances. Spanyol: Formatex Research Centre. 2:1043-1054.\ Edison HS, Sutanto A, Prasetyo BW, Harahap D. 2001. Karakterisasi Beberapa Sifat Genotipe Plasma Nutfah Pisang. Buletin Plasma Nutfah Vol.7 No.2. Edreva A. 2005. Pathogenesis-related proteins: research progress in the last 15 years. Gen Appl Plant Physiol 31:105-124. Englberger L. 2003. Carotenoid-rich bananas in Micronesia. InfoMusa 12(2): 2-5. Engle LJ, Simpson CL, Landers JE. 2006. Using high-throughput SNP technologies to study cancer. Oncogene 25:1594–1601. Escalant JV, Jain SM. 2004. Banana improvement with cellular and molecular biology, and induced mutations: Future and perspectives. http://www.fao.org/docrep/007/ae216e/ae216e0w.htm#bm32. Download 26/08/13 Escalante AA, Lal AA, Ayala FJ. 1998. Genetic Polymorphism and Natural Selection in the Malaria Parasite Plasmodium falciparum. Genetics 149:189–202. Espino RRC, Pimentel RB. 1990. Electrophoretic analysis of selected isozymes in BB cultivars of Philippine bananas. Di dalam: RL Jarret, editor. Identifi cation of Genetic Diversity in the Genus Musa. Los Banos: INIBAP. Faure S, Noyer JL, Horry JP, Bakry F, Lanaud C, de Leon Gonzales D. 1993. A molecular marker-based linkage map of diploid bananas (Musa acuminata). Theor Appl Gen. 87:517-526. Fishal EMM, Meon S, Yun WM. 2010. Induction of tolerance to fusarium wilt and defense-related mechanisms in the plantlets of susceptible berangan
145
banana pre-inoculated with Pseudomonas sp. (UPMP3) and Burkholderia sp. (UPMB3). Agric Sci China 9(8):1140-1149 Flach J, Pilet PE, Jollés P. 1992. What’s new in chitinase research? Experientia, 48:701-716. Flor HH. 1947. Current status of the gene-for-gene concept. Annu Rev Phytopathol 9:275-296. Friedman AR, Baker BJ. 2007. The evolution of resistance genes in multiprotein plant resistance systems. Curr Opin Genet Dev 17:493–499. Friedman AR, Baker BJ. 2007. The evolution of resistance genes in multiprotein plant resistance systems. Curr Opin Genet Dev 17:493–499. Fulcher RG, Mc Cully ME, Setterfield G, Sutherland J. 1976. ß-1,3-Glucans may be associated with cell plate formation during cytokinesis. Can J Bot 54:459-542. Galtier N, Depaulis F, Barton NH. 2000. Detecting bottlenecks and selective sweeps from DNA sequence polymorphism. Genetics 155:981–987. Ganapathi TR, Higgs NS, Balint-Kurti PJ, Arntzen CJ, May GD, van Eck JM. 2001. Agrobacterium-mediated transformation of embryogenic cell suspensions of the banana cultivar Rasthali (AAB), Plant Cell Rep 20:157-162. Gawel NJ, Jarret RL, Whittemore AP. 1992. Restriction fragment length polymorphism (RFLP)-based phylogenetic analysis of Musa. Theor Appl Genet 84:286–290. Gawel NJ, Jarret RL. 1991. Chloroplast DNA restriction fragment length polymorphisms (RFLPs) in Musa species. Theor Appl Genet 81:783–786. Gerhardt LBA de, Sachetto–Martins G, Contarini MG, Sandorini M, de Ferreira RP, de Lima VM, Cordeiro MC, de Oliveira DE, Margis-Pinheiro M. 1997. Arabidopsis thaliana class IV chitinase is early induced during the interaction with Xanthomonas campestris. FEBS Lett., 419: 69-75. Gerlach KS, Bentley S, Moore NY, Pegg KG, Aitken AB. 2000. Characterisation of Australian isolates of Fusarium oxysporum f. sp. cubense by DNA fingerprinting analysis. Aust J Agric Res 51:945–953. Gibbs RA. 1991. Polymerase chain reaction techniques. Curr Opin Biotechnol 2:69-75. Gojobori T, Li W-H, Graur D. 1982. Patterns of nucleotide substitution in pseudogenes and functional genes. J Mol Evol 18:360–369. Gomez L, Allona I, Casado R, Aragoncillo C. 2002. Seed chitinases. Seed Sci Res 12:217-230. doi:10.1079/SSR2002113. Graham LS, Sticklen MB. 1994. Plant Chitinases. Can J Bot 72:1057–1083. Grant MR, Godiard L, Straube E, Ashfield T, Lewald J, Sattler A, Innes RW, Dangl JL. 1995. Structure of the Arabidopsis RPM1 gene enabling dual specificity disease resistance. Science 269:843-846. GuoY, Jamison DC. 2005. The distribution of SNPs in human gene regulatory regions. BMC Genomics 6:140 doi:10.1186/1471-2164-6-140 Gupta PK, Roy JK, Prasad M. 2001. Single nucleotide polymorphisms: A new paradigm for molecular marker technology and DNA polymorphism detection with emphasis on their use in plants. Current Sci 80:524–535. Gurr SJ, Rushton PJ. 2005. Engineering plants with increased disease resistance: What are going to express? Trends Biotechnol 23(6):275-282 Gururani MA, Venkatesh J, Upadhyaya CP, Nookaraju A, Pandey SK, Park SW. 2012. Plant disease resistance genes: Current status and future directions.
146
Physiol Mol Plant Pathol 78: 51-65. Hadrami AE, Idrissi-Tourane AE, Hassni ME, Daayf F, Hadrami IE. 2005. Toxinbased in-vitro selection and its potential application to date palm for resistance to the bayoud Fusarium wilt. C R Biol 328:732–744. Hahn M, Hennig M, Schlesier B, Hõhne W. 2000. Structure of jack bean chitinase. Acta Crystal Sect D Biol Crystal 56:1096–1099. Hamel F, Boivin R, Temblay C, Bellmare G. 1997. Structural and evolutionary relationships among chitinases of flowering plants. J Mol Evol 44:614-624. Hammond-Kosack KE, Parker JE. 2003. Deciphering plant-pathogen communication: Fresh prespectives for molecular resistance breeding. Curr Opin Biotechnol 14(2):177-193. Harman GE, Hayes CK, Lorito M, Broadway RM, Pietro AD, Peterbauer C, Tronsmo A. 1993. Chitinolytic enzymes of Trichoderma harzianum: purification of chitobiosidase and endochitinase. Phytopathology 83:313-318. Hart PJ, Pfluger HD, Monzingo AF, Hollis T, Robertus JD. 1995. The refined crystal structure of an endochitinase from Hordeum vulgare L. seeds at 1.8 Å resolution. J Mol Biol 248:402–413. Hautea DM, Molina GC, Balatero CH, Coronado NB, Perez EB, Alvarez MTH, Canama AO, Akuba RH, Quilloy RB, Frankie RB et al. 2004. Analysis of induced mutants of Philippine with molecular markers Di dalam: S Jain, R Swennen, editors. Banana Improvement: Cellular, Molecular Biology and Induced Mutations. The Netherlands: Kluwer Academic Pub. hlm 45–57. Hayward A. 1991. Biology and epidemiology of bacterial wilt caused by Pseudomonas solanacearum. Annu Rev Phytopathol 29:65-67. Helleboid S, Bauw G, Belingheri L, Vasseur J, Hilbert JL. 1998. Extracellular ß1,3- glucanases are induced during early somatic embryogenesis in Cichorium. Planta 205(1):56-63. Henrissat B, Bairoch A. 1993. New families in the classification of glycosyl hydrolases based on amino acid sequence similarities Biochem J 293:781-788 Henrissat B. 1991. A classification of glycosyl hydrolases based on amino acid sequence similarities. Biochem J 280:309-316. Hermanto C, Sutanto A, Jumjunidang, Edison HS, Daniells JW, Neill WTO, Sinohin VGO, Molina AB, Taylor P. 2011. Incidence and distribution of fusarium wilt Molina disease of banana in Indonesia. Acta Hort 897:313-322. Hermanto C, Sutanto A, Jumjunidang, Edison HS. 2008. Survey reports of the occurrence and severity of banana wilts and associated factors in Indonesia. Indonesian Tropical Fruit Research Institute. Heslop-Harrison JS. 2000. Comparative genome organization in plants: from sequence and markers to chromatin and chromosomes. Plant Cell 12:617–636. Hincha DK, Meins F Jr, Schmitt JM. 1997. ß-1,3-Glucanase is cryoprotective in vitro and is accumulated in leaves during cold acclimation. Plant Physiol 114:1077-1083. Hinton DM, Pressey R. 1980. Glucanase in fruits and vegetables. J Amer Soc Hort Sci 105:499-502. Hippolyte I, Bakry F, Seguin M, Gardes L, Rivallan R, Risterucci A-M, Jenny C, Perrier X, Carreel F, Argout X et al. 2010. A saturated SSR/DArT linkage map of Musa acuminata addressing genome rearrangements among bananas. BMC Plant Biol 10: 65–65.
147
Hollis T, Monzingo AF, Bortone K, Ernst S, Cox R, Robertus JD. 2000. The Xray structure of a chitinase from the pathogenic fungus Coccidioides immitis. Protein Sci 9:544–551 Horry JP, Arnaud E., 1997. Descriptors for Banana (Musa spp.). IPGRI, Rome, Italy. Horry JP, Jay M. 1988. Distribution of anthocyanins in wild and cultivated banana varieties. Phytochemistry 27:2667–2672. Howell EC, Newburry HJ, Swennen RL, Withers LA, Ford-Llyod BV. 1994. The use of RAPD for identifying and classifying Musa germplasm. Genome 37:328-332. Hrmova M, Fincher GB. 1993. Purification and properties of three (1 3)-β-Dglucanase isoenzymes from young leaves of barley (Hordeum vulgare). Biochem. J 289:453-461. Huang YH, Wang RC, Li CH, Zuo CW, Wei YR, Zhang L, Yi GJ. 2012. Control of Fusarium wilt in banana with Chinese leek. Eur J Plant Pathol 134(1): 87–95. Hurst LD. 2002. The Ka/Ks ratio:diagnosing the form of sequence evolution. TRENDS Genet 18(9):486-487. Hwang SC, Ko W.H. 2004. Cavendish banana cultivars resistant to fusarium wilt acquired through somaclonal variation in Taiwan. Plant Dis 88(6):580-588 Ignatius SMJ, Chopra RK. 1994. Effects of fungal infection and wounding on the expression of chitinase and β-1,3-glucanases in near-isogenic lines of barley. Physiol Plant 90:584-592. Indriyanti R. 2012. Resistensi pisang Ampyang (Musa acuminata, AAA, subgroup non-Cavendish) terhadap Fusarium oxysporum f.sp. cubense hasil mutasi induksi dan seleksi in vitro [disertasi]. Bogor: IPB. Innan H, Stephan W. 2000. The Coalescent in an exponentially growing metapopulation and its application to Arabidopsis thaliana. Genetics 155:2015–2019. Iseli B, Armand S, Boller T, Neuhaus JM, Henrissat B. 1996. Plant chitinases use two different hydrolytic mechanisms. FEBS Lett 382:186–188 Jaccoud D, Peng K, Feinstein D, Kilian A. 2001. Diversity arrays: A solid state technology for sequence information independent genotyping. Nucleic Acids Res 29:e25. Jach G, Görnhart B, Mundy J, Logemann J, Leah R, Schell J, Maas C. 1995. Enhanced quantitative resistance against fungal disease by combinatorial expression of different barley antifungal proteins in transgenic tobacco. Plant J 8:97-109. Jacobsen E 1992. Conventional Plant Breeding. Di dalam: Jones L, van DamMieras MCE, Leach CK, editor. Biotechnological Innovations in Crop Improvement. Oxford: Butterworth-Hetnemann Ltd. hlm 37-65. Jain SM. 2010. In Vitro Mutagenesis in banana (Musa spp.) improvement. Acta Hort 879:605-614. Jarret RL, Bhat KV, Cregan PB, Ortiz R, Vuylsteke D. 1994. Isolation of microsatellite DNA markers in Musa. InfoMusa 3: 3–4. Jarret RL, Litz RE. 1986a. Enzyme polymorphism in Musa acuminata Colla. J Hered 77:183–188.. Jarret RL, Litz RE. 1986b. Isozymes as genetic markers in bananas and plantains.
148
Euphytica 35: 539–549. Jekel PA, Hartmann BH, Beintema JJ. 1991. The primary structure of hevamine, an enzyme with lysozyme/chitinase activity from Hevea brasiliensis Latex. Eur J Biochem 200:123-130. Jenkins J, Leggio LL, Harris G, Pickersgill R. 1995. β-Glucosidase, βgalactosidase, family A cellulases, family F xylanases and two barley glycanases form a superfamily of enzymes with 8-fold β/α architecture and with two conserved glutamates near the carboxy-terminal ends of Bstrands four and seven. FEBS Letters 362:281-285. Jiang D, Ye Q-L, Wang F-S, Cao L. 2010. The mining of citrus EST-SNP and its application in cultivar discrimination. Agric Sci China 9(2):179-190. Jie L, Zifeng W, Lixiang C, Hongming T, Patrik I, Zide J, Shining Z. 2009. Artificial inoculation of banana tissue culture plantlets with indigenous endophytes originally derived from native banana plants. Biol Control 51:427–434 Jie L, Zifeng W, Lixiang C, Hongming T, Patrik I, Zide J, Shining Z. 2009. Artificial inoculation of banana tissue culture plantlets with indigenous endophytes originally derived from native banana plants. Biol Control 51:427–434 Jin X, Feng D, Wang H, Wang J. 2007. A novel tissue-specific plantain β-1,3glucanase gene that is regulated in response to infection by Fusarium oxysporum fsp. cubense. Biotechnol Lett 29:1431–1437. Johal GS, Briggs SP. 1992. Reductase activity encoded by the HM1 disease resistance gene in maize. Science 258:985-987. Jones DR. 1991. Status of banana disease in Australia. Di dalam: Valmayor RV et al., editor. Banana Diseases in Asia and the Pacific. Los Baños: INIBAP/ASPNET. hlm 21-37. Jones JDG. 2001. Putting knowledge of plant disease resistance genes to work. Curr Opin Plant Biol 4:281-287. Jongedijk E, Tigelaar H, van Roekel JSC, Bres-Vloemans SA, Dekker I, van den Elzen PJM, Cornelissen BJC, Melchers LS. 1995. Synergistic activity of chitinases and β-1,3-glucanases enhances fungal resistance in transgenic tomato plants. Euphytica 85:173-177. Joosten MHAJ, Verbakel HM, Nettekoven ME, van Leeuwen J, van der Vossen RTM, de Wit PJGM. 1995. The phytopathogenic fungus cladosporium fulvum is not sensitive to the chitinase and β-1,3-glucanase defense proteins of its host, tomato. Physiol Mol Plant Pathol 46:45–59. Jorde LB, Watkins WS, Bamshad MJ. 2001. Population genomics: a bridge from evolutionary history to genetic medicine. Hum Mol Genet 10:2199–2207. Jumjunidang, Usman F, Yasir H, Sumardi, Sumardiyono, 2008. Laporan Survey Penyakit Layu Pisang di Sumatera Barat, Jawa Barat dan Lampung. Solok: Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Jung HW, Hwang BK. 2000. Pepper gene encoding a basic β-1,3-glucanase is differentially expressed in pepper tissues upon pathogen infection and ethephon or methyl jasmonate treatment. Plant Sci 159:97-106. Juwattanasomran R, Somta P, Kaga A, Chankaew S, Shimizu T, Sorajjapinun W, Srinives Peerasak. 2012. Identification of a new fragrance allele in soybean and development of its functional marker. Mol Breed 29:13-21.
149
Kaessmann H, Heißig F, Haeseler A von, Pääbo S. 1999. DNA sequence variation in a non-coding region of low recombination on the human X chromosome. Nat Genet 22:78–81. Kanazin V, Marek LF, Shoemaker RC. 1996. Resistance Gene Analogs are Conserved and Clustered in Soybean. Proc Nat Acad Sci 931(21):1174611750 Kanazin V, Talbert H, See D, DeCamp P, Nevo E, Blake T. 2002. Discovery and assay of single-nucleotide polymorphisms in barley (Hordeum vulgare). Plant Mol Biol 48:529–537. Karamura DA. 1998. Numerical Taxonomic Studies of the East African Highland Bananas (Musa AAA-East Africa) in Uganda [disertasi]. United Kingdom: the University of Reading. Kashi Y, King D, Sol, M. 1997. Simple sequence repeats as a source of quantitative genetic variation. Trends Gen 13(2):74–78. Kauss H. 1987. Some aspects of calcium-dependent regulation in plant metabolism. Annu Rev Plant Physiol 38:47–72. Kawase T, Saito A, Sato T, Kanai R, Fujii T, Nikaidou N, Miyashita K, Watanabe T. 2004. Distribution and phylogenetic analysis of family 19 chitinases in Actinobacteria. App Environ Microbiol 70:1135–1144. Kawchuk LM, Hachey J, Lynch DR, Kulcsar F, van Rooijen G, Waterer DR, Robertson A, Kokko E, Byers R, Howard RJ et al. 2001. Tomato Ve disease resistance genes encode cell surface-like receptors. Proc Natl Acad Sci USA 98(11):6511-6515. Keen NT, Yoshikawa M. 1989. β-1,3-endoglucanase from soybean releases elicitor-active carbohydrates from fungus cell wall. Plant Physiol., 71: 460-465. Khan AA. 2002. Characteriazation of Chitinase Activities, and Cloning, Analysis, And Expression Of Genes Encoding Pathogenesis Related Proteins In Strawberry [disertasi]. Lousiana (US): Louisiana State University. Kim MY, Van K, Lestari P, Moon J-K, Lee S-H. 2005. SNP identification and SNAP marker development for a GmNARK gene controlling supernodulation in soybean. Theor App Genet 110:1003-1010. Kim Y, Lin N, Martin G. 2002. Two distinct Pseudomonas effector proteins interact with the Pto kinase and activate plant immunity. Cell 109:589-598. Kovács G, Sági L, Jacon G, Arinaitwe G, Busogoro J-P, Thiry E, Strosse H, Rony Swennen R, Remy S. 2013. Expression of a rice chitinase gene in transgenic banana (‘Gros Michel’, AAA genome group) confers resistance to black leaf streak disease. Transgenic Res 22:117–130 Kowarsch A, Fuchs A, Frishman D, Pagel P. 2010. Correlated Mutations: A Hallmark of Phenotypic Amino Acid Substitutions. PLoS Comput Biol 6(9): e1000923. doi:10.1371/journal.pcbi.1000923. Krabel D, Eschrich W, Wirth S, Wolf G. 1993. Callase-(1,3-ß-D-glucanase) activity during spring reactivation in deciduous trees. Plant Sci 93:19-23. Kuzniak E. 2001. Effects of fusaric acid on reactive oxygen species and antioxidants in tomato cell cultures. J Phytopathol 149(10):575-582. Lane BG, Dunwell JM, Ray JA, Schmitt MR, Cuming AC. 1993. Germin, a protein marker of early plant development, is an oxalate oxidase. J Biol Chem 268:12239-12242.
150
Lane BG. 2000. Oxalate oxidases and differentiating surface structure in wheat: germins. Biochem J 349: 309-321 Larkin MA, Blackshields G, Brown NP, Chenna R, McGettigan PA, McWilliam H, Valentin F, Wallace IM, Wilm A, Lopez R et al. 2007. Clustal W and Clustal X version 2.0. Bioinformatics 23(21):2947-2948. Lawrence JG, Finnegan EJ, Ayliffe MA, Ellisai JG. 1995. The L6 gene for flax rust resistance 1s related to the Arabidopsis bacterial resistance gene RPSP and the tobacco vira1 resistance gene N. Plant Cell 7:1195-1206. Lee SW. 1993. Improvement of methods used in the regeneration of micropropagated banana plantlets. Di dalam: Valmayor, R.V., S.C. Huang, R. Ploetz, S.W. Lee and N.V. Roa, editor. Proceedings, International Symposium on Recent Developments in Banana Cultivation Technology. Los Banos: INIBAP/ASPNET. hlm 179-192 Lercher MJ, Smith NGC, Eyre-Walker A, Hurst LD. 2002. The evolution of isochores: evidence from SNP frequency distributions. Genetics 162:1805–1810. Leslie JF. 1993. Fungal vegetative compatibility. Ann Rev Phytopathol 31:127-150. Leubner-Metzger G, Fründt C, Vögeli-Lange R, Meins F Jr. 1995. Class i ß-1,3glucanases in the endosperm of tobacco during germination. Plant Physiol 109:751-759. Leubner-Metzger, Meins F Jr. 1999. Functions and Regulation of Plant ß-1,3Glucanases (PR-2). Di dalam: Datta SK, Muthukrishnan S, editor. Pathogenesis-related Proteins in Plants. Boca Raton: CRC Press. hlm 49-76. Lheureux F, Carreel F, Jenny C, Lockhart BEL, Iskra C. 2003. Identification of genetic markers linked to banana streak disease expression in inter-specific Musa hybrids. Theor Appl Genet 106:594–598. Li C, Chen S, Zuo C, Sun Q, Ye Q, Yi G, Huang BZ. 2011. The use of GFPtransformed isolates to study infection of banana with Fusarium oxysporum f.sp. cubense race 4. Eur J Plant Pathol 131:327-340. Li CY, Deng GM, Yang J, Viljoen A, Jin Y, Kuang RB, Zuo CW, Lv ZC, Yang QS, Sheng O et al. 2012. Transcriptome profiling of resistant and susceptible Cavendish banana roots following inoculation with Fusarium oxysporum f.sp. cubense tropical race 4. BMC Genomics 13:374 (http://www.biomedcentral.com/ 1471-2164/13/374). Li J. Liu J-Y. 2003. A novel cotton gene encoding a new class of chitinase. Acta Bot Sin 45:1489-1496. Li R, Li Y, Fang X, Yang H, Wang J, Kristiansen K, Wang J. 2009. SNP detection for massively parallel whole-genome resequencing. Genome Res 19:1124–1132. Li W-H, Wu C-I, Luo C-C. 1984. Nonrandomness of point mutation as reflected in nucleotide substitutions in pseudogenes and its evolutionary implications. J Mol Evol 21:58–71. Li WL, Faris JD, Muthukrishnan S, Liu DJ, Chen PD, Gill BS. 2001. Isolation and characterization of novel cDNA clones of acidic chitinases and β-1,3glucanases from wheat spikes infected by Fusarium graminearum. Theor Appl Genet 102:353-362. Li X, Sui X, Zhang Y, Sun Y, Zhao Y, Zhai Y, Wang Q. 2010. An improved calcium chloride method preparation and transformation of competent
151
cells. Afr J Biotechnol 9(50):8549-8554. Li YC, Koro AB, Fahima T, Nevo E. 2004. Microsatellites within genes: structure, function, and evolution. Mol Biol Evol 21(6):991-1007. Librado P, Rozas J. 2009. DnaSP v5: A software for comprehensive analysis of DNA polymorphism data. Bioinformatics 25:1451-1452 Liersch A, Bocianowski J, Kozak M, Bartkowiak-Broda I. 2013. Comparison of isozyme, RAPD and AFLP markers in genetic similarity assessment of CMS Ogura F1 hybrids of winter oilseed rape (Brassica napus L.) parental lines. Acta Biol Cracov Bot 55(1):49–57. Liew KW. 1996. Screening for disease resistance in banana plantlets against fusarium wilt. Part B: Modified whole plant screening for resistance against fusarium wilt in bananas. Di dalam: Regional Training Course on Molecular Approaches, Mutation and Other Biotechnologies for the Improvement of Vegetatively Propagated Plants (FAO-UKM); Bangi, 28 Oct - 8 Nov 1996. Malaysia: UKM. Linthorst T HJM, Melcherst LS, Mayer A, van Roekelt JSC, Cornelissent BJC, Bol. JF. 1990. Analysis of gene families encoding acidic and basic β-1,3glucanases of tobacco. Proc Natl Acad Sci USA 87:8756-8760. Liu J, Huang S, Sun M, Liu S, Liu Y, Wang W, Zhang X, Wang H, Hua W. 2012. An improved allele-specific PCR primer design method for SNP marker analysis and its application. Plant Methods 8:34. Liu JJ, Ekramoddoullah AKM. 2003. Isolation, genetic variation and expression of TIR-NBS-LRR resistance gene analogs from western white pine (Pinus monticola Dougl. ex. D. Don.). Mol Genet Genom 270:432–441. Liyanage ASU, Manawaprema MMC, Mendis MH. 1998. Differentiation of A & B genome of banana and plantain (Musa spp.) by esterase enzyme. J Natn Sci Coun Sri Lanka 26(2):125-131. Loose M de, Alliotte T, Gheysen G, Genetello C, Gielen J, Soetaert P, Montagu M van, Inze D. 1988. Primary structure of a hormonally regulated βglucanase of Nicotiana plumbaginifolia. Gene 70:13-23. Lorenzen J, Hearne S, Mbanjo G, Nyine M, Close T. 2011. Use of molecular markers in banana and plantain improvement. Acta Hort 897:281-287. Lorenzen J, Tenkouano A, Bandyopadhyay R, Vroh B, Coyne D, Tripathi L. 2010. Overview of Banana and Plantain (Musa spp.) Improvement in Africa: Past and Future. Acta Hort 879:595-604 Lotan T, Ori N, Fluhr R. 1989. Pathogenesis-related proteins are developmentally regulated in tobacco flowers. Plant Cell 1:881-887. Lu Y, Xu WH, Xie YX, Zhang X, Pu JJ, Qi YX, Li HP. 2011. Isolation and characterization of nucleotide-binding site and C-terminal leucine-rich repeatresistance gene candidates in bananas. Genet Mol Res 10(4):3098-3108. Luna E, Pastor V, Robert J, Flors V, Mauch-Mani B, Ton J. 2011. Callose Deposition: A multifaceted plant defense response. Mol Plant Microbe Interact 24:183–193. Lusso M, Kuc J. 1995. Evidence for transcriptional regulation of β-1,3-glucanase as it relates to induced systemic resistance of tobacco to blue mold. Mol Plant Microbe Interact 8:473-475. Madsen LH, Collins NC, Rakwalska M, Backes G, Sandal N, Krusell L, Jensen J, Waterman EH, Jahoor A, Ayliffe M et al. 2003. Barley disease resistance
152
gene analogs of the NBS-LRR class: identification and mapping. Mol Genet Genomics 269:150-161. Mak C, Mohamed AA, Liew KW, Ho YW. 2004. Early screening technique for Fusarium wilt resistance in banana micropropagated plants. Di dalam: Mohan JS, Swennen R, editor. Banana improvement: cellular, molecular biology, and induced mutations. Italy: FAO Science Publishers, Inc. Margulies M, Egholm M, Altman WE, Attiya S, Bader JS, Bemben LA, Berka J, Braverman MS, Chen YJ, Chen Z. 2005. Genome sequencing in microfabricated high-density picolitre reactors. Nature 437:376–80 Marin DH, Sutton TB, Barker KR. 1998. Dissemination of bananas in Latin America and the Caribbean and its relationship to the occurrence of Radopholus similis. Plant Dis 82:964-974. Mattos LA, Amorim EP, de Olivera Amorim VB, de Oliveira Cohen K, da Silva Ledo CA, de Oliveira Silva S. 2010. Agronomical and molecular characterization of banana germplasm. Pesq Agropec Bras 45(2):146-154. Mauch F, Hadwiger LA, Boller T. 1988. Antifungal hydrolases in pea tissue: I. Purification and characterization of two chitinases and two β-1,3glucanases differentially regulated during development and in response to fungal Infection. Plant Physiol 87:325-333. Mauch F, Staehelin AL. 1989. Functional implications of the subcellular localization of ethyleneinduced chitinase and β-1,3-glucanase in bean leaves. Plant Cell 1:447-457 Maxam AM, Gilbert W. 1977. A new method for sequencing DNA. Proc Natl Acad Sci USA 74(2):560–4. May GD, Afza R, Mason HS, Wiecko A, Novak FJ & Arntzen CJ. 1995. Generation of transgenic banana (Musa acuminata) plants via Agrobacterium-mediated transformation, Nat Biotechnol 13:486-492. Maziah M, Sreeramanan S, Puad A, Sariah M. 2007. Production of transgenic banana cultivar, rastali (AAB) via agrobacterium-mediated transformation with a rice chitinase gene. J. Plant Sci 2:504-517. McCarter JD, Withers SG. 1994. Mechanisms of enzymatic glycoside hydrolysis. Curr Opin Struct Biol 4:885-892. McHale L, Tan X, Koehl P, Michelmore RW. 2006. Plant NBS-LRR proteins: adaptable guards. Genom Biol 7:212 (doi:10.1186/gb-2006-7-4-212). Meenakshi S, Shinde BN, Suprasanna P. 2011. Somatic embryogenesis from immature male flowers and molecular analysis of regenerated plants in banana “Lal Kela‟ (AAA). J Fruit Ornamen Plant Res 19(2):15-30. Megia R, Hadisunars, Sulistyaningsih YC, Djuitai NR. 2001. Isozyme polymorphisms for cultivar identification in Indonesian banana. Hayati 8:81–85. Melchers LS, Apotheker-de Groot M, van der Knaap JA, Ponstein AS, SelaBuurlage MB, Bol JF, Cornelissen BJ, van den Elzen PJ, Linthorst HJ. 1994. A new class of tobacco chitinases homologous to bacterial exochitinases displays antifungal activity. Plant J 5:469–480. Meyers BC, Dickerman AW, Michelmore RW, Sivaramakrishnan S, Sobral BW, Young ND. 1999. Plant disease resistance genes encode members of an ancient and diverse protein family within the nucleotide-binding superfamily. Plant 20(3):317-332.
153
Meyers BC, Kaushik S, Nandety RS. 2005. Evolving disease resistance genes. Curr Opin Plant Biol 8:129–134. Meyers BC, Kozik A, Griego A, Kuang H, Michelmore RW. 2003. Genome-wide analysis of NBS-LRR-encoding genes in Arabidopsis. Plant Cell 15:809-834. Miller RNG et al. 2008. Analysis of non-TIR NBS-LRR resistance gene analogs in Musa acuminata Colla: Isolation, RFLP marker development, and physical mapping. BMC Plant Biol 8:15 doi:10.1186/1471-2229-8-15. Mindrinos M, Katagiri F, Yu GL, Ausubel FM. 1994. The A. thaliana disease resistance gene RPS2 encodes a protein containing a nucleotide-binding site and leucine-rich repeats. Cell 76:1069-1099. Mohamed AA, Mak C, Liew KW, Ho YW. 2001. Early evaluation of banana plant at nursery stage for fusarium wilt tolerant. Di dalam: Molina AB, Masdek NH, Liew KW, editor. Banana Fusarium Wilt Management: Toward sustainable cultivation. Los Banos: INIBAP-ASPNET. hlm 174-185. Mohandas S, Sowmya HD, Saxena AK, Meenakshia S, Rania RT, Mahmood R. 2013. Transgenic banana cv. Rasthali (AAB, Silk gp) harboring AceAMP1 gene imparts enhanced resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense race 1. Sci Hort 164:392–399. Molina AB, Williams RC, Hermanto C, Suwanda, Komolog B, Kokoa, P. 2010. Mitigating the threat of banana Fusarium wilt: understanding the agroecological distribution of pathogenic forms and developing disease management strategies. Australia: ACIAR 76 hlm. Moore NY, Bentley S, Pegg KG, Jones DR. 1995. Fusarium wilt of banana. Di dalam: Musa Disease Fact Sheet, No 5. Montpellier: INIBAP. Moore NY, Pegg KG, Allen RN, Irwin JAG. 1993. Vegetative compatibility and distribution of Fusarium oxysporum f. sp. cubense in Australia. Aust J Exp Agric 33:797–802. Morpugo R, Lopato SV, Afza R, Novak FJ. 1994. Selection parameters for resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense race 1 and race 4 on diploid banana (Musa acuminata Colla). Euphytica 75:121-129. Mucheroa W, Diopb NN, Bhat PR, Fenton R, Wanamaker S, Pottorff M, Hearne S, Cisse N, Fatokun C, Ehlers JD et al. 2009. A consensus genetic map of cowpea [ Vigna unguiculata (L) Walp.] and synteny based on EST-derived SNPs. PNAS. 106(43): 18159–18164 Mullis KB, Faloona F. 1987. Specific synthesis of DNA in vitro via polymerase chain reaction. Methods Enzymol 155:350–355. Myakishev MV, Khripin Y, Hu S, Hamer DH. 2001. High-throughput SNP genotyping by allele-specific PCR with universal energy-transfer-labeled primers. Genome Res 11:163–169. Nair AS, Teo CH, Schwarzacher T, Harrison PH. 2005. Genome classification of banana cultivars from South India using IRAP markers. Euphytica 144:285–290. Nasu S, Suzuki J, Ohta R, Hasegawa K, Yui R, Kitazawa N, Monna L, Minobe Y. 2002. Search for and analysis of single nucleotide polymorphisms (SNPs) in Rice (Oryza sativa, Oryza rufipogon) and establishment of SNP markers. DNA Res 9:163-171. Nasution RE. 1991. A taxonomic strudy of species Musa acuminata Colla with its intraspecific taxa in Indonesia. Mem Tokyo Univ Agric 32:1-122.
154
Nasution RE. 1993. Rediscovery of two wild seeded bananas of Indonesia. InfoMusa 2(2):16-18. Nel B, Steinberg C, Labuschagne N, Viljoen A. 2007. Evaluation of fungicides and sterilants for potential application in the management of Fusarium wilt of banana. Crop Protection 26:697–705 Neuhaus JM, Stichert L, Meins FT Jr, Boller T. 1991. A short C-terminal sequence is necessary and sufficient for the targeting of chitinases to the plant vacuole. Proc Natl Acad Sci USA 88:10362-10366 Nicholas KB, Nicholas HB Jr., Deerfield DW II. 1997. GeneDoc: analysis and visualization of genetic variation. Embnet News 4:1-4. Niderman T, Genetet I, Bruyère T, Gees R, Stintzi A, Legrand M, Fritig B, Mösinger, 1995. Pathogenesis-related PR-1 proteins are antifungal. Isolation and characterization of three 14-kilodalton proteins of tomato and of a basic PR-1 of tobacco with inhibitory activity against Phytophthora infestans. Plant Physiol 108:17-27. Nielsen MN, Sørensen J. 1999. Chitinolytic activity of Pseudomonas fluorescens isolates from barley and sugar beet rhizosphere. FEMS Microbiol Ecol 30:217-227 Nsabimana A, Staden J van. 2007. Assessment of genetic diversity of highland bananas from the national banana germplasm collection at Rubona, Rwanda using RAPD markers. Sci Hort 113:293-299. Nurhadi, Setyobudi L. 2000. Status of banana and citrus viral diseases in Indonesia. Di dalam: Molina AB, Roa VN, Bay-Petersen J, Carpio AT, Joven JEA, editors. Managing banana and citrus diseases. Proceedings of a regional workshop on disease management of banana and citrus through the use of disease-free planting materials, Davao City: 14-16 October 1998. Los Baños: INIBAP-ASPNET Nwakanma DC, Pillay M, Okoli BE, Tenkouano A. 2003. PCR-RFLP of the ribosomal DNA internal transcribed spacers (ITS) provides markers for the A and B genomes in Musa L. Theor Appl Genet 108:154–159. Nwauzoma, Barth A, Uma S, Saraswathi MS, Mustaffa M. 2011. Developing markers for Sigatoka leaf spot disease (Mycosphaerella musicola Leach) resistance in banana (Musa spp.). Afr J Biotech 10(33):6213-6219. Oh HY, Yang MS. 1995. Nucleotide sequence of genomic DNA encoding the potato ß-1,3-glucanase. Plant Physiol 107(4):0032-0889 Okushima Y, Koizumi N, Kusano T, Sano H. 2000. Secreted of tobacco cultured BY2 cells: identification of a new member of pathogenesis-related proteins. Plant Mol Biol 42:479-488. Opara UL, Jacobson D, Al-Saady NA. 2010. Analysis of genetic diversity in banana cultivars (Musa cvs.) from the South of Oman using AFLP markers and classification by phylogenetic, hierarchical clustering and principal component analyses. J Zhejiang Univ Sci 11:332–341. Ori N, Eshed Y, Paran I, Presting G, Aviv D, Tanksley S, Zamir D, Fluhr R. 1997. The I2C family from the wilt disease resistance locus I2 belongs to the nucleotide binding, leucine-rich repeat superfamily of plant resistance genes. Plant Cell 9: 521-532. Ori N, Sessa G, Lotan T, Himmelhoch S, Fluhr R. 1990. A major stylar matrix polypeptide (sp41) is a member of the pathogenesis-related proteins
155
superclass. EMBO J 9:3429-3436 . Orjeda G, Escalant JV, Moore N. 2000. The International Musa Testing Programme (IMTP) Phase II - Synthesis of final results. Di dalam: Orjeda G, editor. Evaluating Bananas: A Global Partnership. Montpellier: International Network for the Improvement of Banana and Plantain (INIAP). hlm 7-75. Oselebe HO, Tenkouano A, Pillay M, Obi UI, Uguru MI. 2006. Ploidy and genome segregation in Musa breeding populations assessed by flow cytometry and randomly amplified polymorphic DNA markers. HortScience 131:780–786. Pan Q, Liu YS, Budai-Hadrian O, Sela M, Carmel-Goren L, amir D, Fluhr R. 2000a. Comparative genetics of nucleotide binding site-leucine rich repeat resistance gene homologues in the genomes of two dicotyledons: tomato and Arabidopsis. Genet 155:309–322. Pan Q, Wendel J, Fluhr R. 2000b. Divergent evolution of plant NBS-LRR resistance gene homologues in dicot and cereal genomes. J Mol Evol 50:203-213. Pan SQ, Ye XS, Kuc J. 1989. Direct detection of β-1,3-glucanase on polyacrylamide electrophoresis and asoelectrofocusing gels. Anal Biochem 182:136-140. Paul JY, Becker DK, Dickman MB, Harding RM, Khanna HK, Dale JL. 2011. Apoptosis-related genes confer resistance to Fusarium wilt in transgenic ‘Lady Finger’ bananas. Plant Biotechnol J 9(9):1141-1148. Pavlovkin J, Mistríková I, Luxová M, Mistrík I. 2006. Effects of beauvericin on root cell transmembrane electric potential, electrolyte leakage and respiration of maize roots with different susceptibility to Fusarium. Plant Soil Environ 52(11):492–498. Pegg KG, Moore NY, Bentley S. 1996. Fusarium wilt of banana in Australia: a review. Aust J Agric 47:637-650. Pegg KG, Moore NY, Sorensen S. 1993. Fusarium wilt in the Asian Pacific region. Di dalam: Valmayor RV, Hwang SC, Ploetz RC, Lee SW, Roa NV, editor. Procceeding of International Symposium Recent Developments in Banana Cultivation Technology; Pingtung (TWN), 4-18 Des 1992. Los Baños: INIBAP-ASPNET. hlm 225-269. Pegg KG, Moore NY, Sorensen S. 1994. Variability in populations of Fusarium oxysporum f. sp. cubense from the Asia/Pacific region. Di dalam: Jones DR, editor. The Improvement and Testing of Musa: A Global Partnership. Proceeding of the First Global Conference of the International Musa Testing Program; Honduras, 27–30 Apr 1993. Montpellier: INIBAP. hlm 70–82.. Pei X, Li S, Jiang Y, Zhang Y, Wang Z, Jia S. 2007. Isolation, characterization and phylogenetic analysis of the resistance gene analogues (RGAs) in banana (Musa spp.). Plant Sci 172:1166–1174. Peraza-Echeverria S, Dale JL, Harding RM, Smith MK, Collet C. 2008. Characterization of disease resistance gene candidates of the nucleotide binding site (NBS) type from banana and correlation of a transcriptional polymorphism with resistance to Fusarium oxysporum f.sp. cubense race 4. Mol Breed 22(4):565-579.
156
Peraza-Echeverria S, James-Kay A, Canto-Canché B, Castillo-Castro E. 2007. Structural and phylogenetic analysis of Pto-type disease resistance gene candidates in banana. Mol Genet Genomics 278:443–453 Perrakis A, Tews I, Dauter Z, Oppenheim AB, Chet I, Wilson KS, Vorgias CE. 1994. Crystal structure of a bacterial chitinase at 2.3 Å resolution. Structure 2:1169–1180. Perrier X, de Langhe E, Donohue M., Lentfer C, Vrydaghs L, Bakry F, Carreel F, Hippolyte I, Horry JP, Jenny C et al. 2011. Multidisciplinary perspectives on banana (Musa spp.) domestication. Proc Natl Acad Sci USA www.pnas.org/cgi/doi/ 10.1073/ pnas.1102001108 Perrier X, Bakry F, Carreel F, Jenny C, Horry JP, Lebot V, Hippolyte I. 2009. Combining biological approaches to shed light on the evolution of edible bananas. Ethnobot Res App 7:199-216. Peumans WJ, Barre A, Derycke V, Rouge P, Zhang W, May GD, Delcour JA, van Leuven F, van Damme EJ. 2000. Purification, characterization and structural analysis of an abundant β-1,3-glucanase from banana fruit. Eur J Biochem 267:1188-1195. Pillay M, Ashokkumar K, James A, Kirubakaran SJP, Ortiz MR, Sivalingam. 2012. Molecular Marker Techniques in Musa Genomic Research. Di dalam: Pillay M, Ude G, Kole C, editor. Genetics, Genomics, and Breeding of Bananas. CRC Press. hlm 70-90. Pillay M, Nwakanma DC, Tenkouano A. 2000. Identification of RAPD markers linked to A and B genome sequences in Musa L. Genome 43(5):763-767. Pillay M, Ogundiwin E, Nwakanma DC, Ude G, Tenkouano A. 2001. Analysis of genetic diversity and relationships in East African banana germplasm. Theor Appl Genet 102:965–970. Pillay M, Ogundiwin E, Tenkouano A, Dolezel J. 2006. Ploidy and genome composition of Musa germplasm at the International Institute of Tropical Agriculture (IITA). Afr J Biotechnol 5:1224–1232. Pla M, Huguet G, Verdaguer D, Puigderrajols P, Llompart B, Nadal A, Molinas M. 1998. Stress proteins co-expressed in suberized and lignified cells and in apical meristems. Plant Sci 139: 49–57. Ploetz R.C. 1990. Population biology of Fusarium oxysporum f. sp. cubense. Di dalam: Ploetz RC, editor. Fusarium Wilt of Banana. St. Paul: APS Press. hlm 63–76. Ploetz RC. 1994. Fusarium wilt and IMTP phase II. Di dalam: Jones DR, editor. The Improvement and Testing of Musa: A Global Partnership. Proceeding of the First Global Conference of the International Musa Testing Program; Honduras: 27–30 Apr 1993. Montpellier: INIBAP. hlm Pp 57-69. Ploetz RC. 2000. Panama disease: A classic and destructive disease of banana. Online. Plant Health Progress doi:10.1094/PHP-2000-1204-01-HM. Ploetz RC. 2006. Panama disease, an old nemesis rears its ugly head: Part 2, the cavendish era and beyond. Online. Plant Health Progress (doi:10.1094/PHP-2006-0308-01-RV). Pozo MJ, Azcón-Aguilar C, Dumas-Gaudot E, Barea JM. 1999. β-1,3-Glucanase activities in tomato roots inoculated with arbuscular mycorrhizal fungi and:or Phytophthora parasitica and their possible involvement in bioprotection. Plant Sci 141:149–157.
157
Prados-Ligero AM, Basallote-Ureba MJ, López-Herrera CJ, Melero-Vara MJ. 2007. Evaluation of susceptibility of carnation cultivars to fusarium wilt and determination of Fusarium oxysporum f.sp. dianthi races in Southwest Spain. HortScience 42(3):596–599. Primmer CR, Borge T, Lindell J, Sætre GP. 2002. Single nucleotide polymorphism characterization in species with limited available sequence information: High nucleotide diversity revealed in the avian genome. Mol Ecol 11:603-612. Punja ZK. 2001. Genetic engineering of plants to enhance resistance to fungal pathogen – a review of progress and future prospects. Can J Plant Pathol 23(3):216-235. Que YX, Xu LP, Lin JW, Chen RK. 2009. Isolation and characterization of NBSLRR resistance gene analogs from sugarcane. Acta Agron Sin 35(4): 631–639. Rabbi IY, Kulembeka HP, Masumba E, Marri PR, Ferguson M. 2012. An ESTderived SNP and SSR genetic linkage map of cassava (Manihot esculenta Crantz). Theor Appl Genet 125:329–342. Rabemananjara FCE, Chiari Y, Ramilijaona OR, Vences M. 2007. Evidence for recent gene flow between north-eastern and south-eastern Madagascan poison frogs from a phylogeography of the Mantella cowani group. Front Zool 4:1 doi:10.1186/1742-9994-4-1. Rauscher M, Ádám AL, Wirtz S, Guggenheim R, Mendgen K, Deising HB. 1999. PR-1 protein inhibits the differentiation of rust infection hyphae in leaves of acquired resistant broad bean. Plant J 19:625-633. Ravensdale M, Nemri1 A, Thrall PH, Ellis JG, Dodds PN. 2011. Co-evolutionary interactions between host resistance and pathogen effector genes in flax rust disease. Mol Plant Pathol 12(1): 93–102. Rivera FN. 1983. Protein and isoenzyme banding patterns among Philippine cooking bananas and their wild parents (Musa species). Paradisiaca 6:7-12. Roggen HP, Stanley RG. 1969. Cell wall hydrolyzing enzymes in wall formation as measured by pollen-tube extension. Planta 84:295-303. Rogstad SH. 1993. Surveying plant genomes for variable number of tandem repeat loci. Meth Enzymol 224:278–294. Rosales F. Arnaud E, Coto J. 1999. A Tribute to The Work of Paul Allen: A Catalogue of Wild and Cultivated Bananas. Montpellier: International Network for the Improvement of Banana and Plantain (INIBAP). Rotherham D, Harbison SA. 2011. Differentiation of drug and non-drug Cannabis using a single nucleotide polymorphism (SNP) assay. Forensic Sci Int 207:193–197 Roux NS, Toloza A, Dolezel J, Panis, B. 2004. Usefulness of embryogenic cell suspensions cultures for the induction and selection of mutants in Musa spp. Di dalam: Mohan JS, Swennen R, editor. Banana improvement: cellular, molecular biology, and induced mutations. Italy: FAO Science Publishers, Inc. hlm. 33-43. Roux, N.S. 2004. Mutation induction in Musa – review. http://www.fao.org/ docrep/007/ae216e/ae216e05.htm. Download 26/08/13 Rowe P, Rosales F. 1993. Diploid breeding at FHIA and the development of Goldfinger (FHIA-01). Infomusa 2(2):9-11. Rowe P, Rosales FE. 1996. Current approaches and future opportunities for
158
improving Gros Michel (AAA desert) bananas. Di dalam: Frison EA, Horry J-P, Waele D de, editor. New Frontiers in Resistance Breeding for Nematode, Fusarium and Sigatoka. Montpellier: International Network for the Improvement of Banana and Plantain (INIBAP). hlm 142-148. Ryan CA, Farmer EE. 1991. Oligosaccharide signals in plants: a current assessment. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol 42:651–74. Rye CS, Withers SG. 2000. Glycosidase mechanisms. Curr Opini in Chem Biol 4:573–580. Sachidanandam R, Weissman D, Schmidt SC, Kakol JM, Stein LD, Marth G, Sherry S, Mullikin JC, Mortimore BJ, Willey DL. 2001. A map of human genome sequence variation containing 1.42 million single nucleotide polymorphisms. Nature 409:928–933 Sagi L, Panis B, Remy S, Schoofs H, de Smet K, Swennen R. 1995. Genetic transformation of Banana and plantain via particle bombardment. Biotechnology 13:481-485. Sahai AS, Manocha MS. 1993. Chitinases of fungi and plants: their involvement in morphogenesis and host-parasite interaction. FEMS Micrebiol Rev 11:317-338. Saiki RK, Gelfand DH, Stoffel S, Sharf SJ, Higuchi R, Horn GT, Mullis KB, Erlich HA. 1988. Primer-Directed Enzymatic Amplification of DNA with a Thermostable DNA Polymerase. Science 239:487-491. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular cloning—A laboratory course manual. Cold Spring Harbor Laboratory Press, Cold Spring Harbor, New York. USA. Sanchez-Ballesta M, Zacarias L, Granell A, Lafuente M. 2008. β-1,3-Glucanase gene expression as a molecular marker for postharvest physiological disorders in citrus fruit and its hormonal regulation. Postharvest Biol Technol 48:146–149. Sanger F, Nicklen S, Coulson AR. 1977. DNA sequencing with chain-terminating inhibitors. Proc Natl Acad Sci USA 74(12):5463–5467. Saraswati MS, Uma S, Vadivel E, Durai P, Siva SA, Rajagopal G, Sathiamoorthy. 2011. Diversity analysis in Indian cooking bananas (Musa, ABB) through morphotaxonomic and molecular characterization. Acta Hort. 897: 123-131. Sax K. 1923 The association of size differences with seed-coat pattern and pigmentation in Phaseolus vulgaris. Genetics 8, 552–560 Schaid DJ, Guenther JC, Christensen GB, Hebbring S, Rosenow C, Hilker CA, McDonnell SK, Cunningham JM, Slager SL, Blute ML et al. 2004. Comparison of microsatellites versus single-nucleotide polymorphisms in a genome linkage screen for prostate cancer–susceptibility loci. Am J Hum Genet 75(6): 948–965. Sela-Buurlage MB, Ponstein AS, Bres-Vloemans SA, Melchers LS, van den Elzen PJM, Cornelissen BJC. 1993. Only specific tobacco (Nicotiana tabacum) chitinases and β-1,3-glucanases exhibit antifungal activity. Plant Physiol 101:857–63. Selitrennikoff CP. 2001. Antifungal proteins. Appl Env Microbiol 67:2883-2894. Severn-Ellis AA, Daneel M, de Jager K, de Waele D. 2003. Development of an aeroponic system to study the response of banana roots to infection with
159
Fusarium oxysporum f. sp. cubense and Radopholus similis. InfoMusa 12(1):22-24 Shapero MH, Zhang J, Loraine A, Liu W, Di X, Liu G, Jones KW. 2004. MARA: a novel approach for highly multiplexed locus-specific SNP genotyping using high-density DNA oligonucleotide arrays. Nucleic Acids Res 32:e181. Sharrock S. 2002. Diversity in the genus Musa focus on Australimusa. Di dalam: INIBAP Networking Banana and Plantain: Annual Report 2000, Montpellier, France: International Network for the Improvement of Banana and Plantain (INIBAP). hlm 14–19. Shen GQ, Abdullah KG, Wang QK. 2009. The TaqMan method for SNP genotyping. Method Mol Biol 578:293-306. Shen KA, Meyers BC, Islam-Faridi MN, Chin DB, Stelly DM, Michelmore RW. 1998. Resistance gene candidates identified by pcr with degenerate oligonucleotide primers map to clusters of resistance genes in lettuce. Mol Plant Microbe Interac 8:815-823. Shen R, Fan JB, Campbell D, Chang W, Chen J, Doucet D, Yeakley J, Bibikova M, Garcia EW, McBride C, Steemers F, Garcia F, Kermani BG, Gunderson K, Oliphant A. 2005. High-throughput SNP genotyping on universal bead arrays. Mutation Res 573:70–82. Sherry ST, Ward MH, Kholodov M, Baker J, Phan L, Smigielski EM, Sirotkin K. 2001. dbSNP: the NCBI database of genetic variation. Nucl Acid Res 29:308–311. Shi Y, Zhang Y, Shih DS. 2006. Cloning and expression analysis of two β-1,3glucanase genes from Strawberry. J Plant Physiol 163:956-967. Shih CT, Khan AA, Jia S, Wu J, Shih DS. 2001. Purification, characterization, and molecular cloning of a chitinase from the seeds of Benincasa hispida. Biosc. Biotechnol Biochem 65:501-509. Shinshi H, Neuhaus JM, Ryals J, Meins F Jr. 1990. Structure of a tobacco chitinase gene: evidence that different chitinase genes can arise by transposition of sequences encoding a cysteine-rich domain. Plant Mol Biol 14: 357-368. Shinshi H, Wenzler H, Neuhaus JM, Felix G, Hofsteenge J, Meins F Jr. 1998. Evidence for N- and C-terminal processing of a plant defense-related enzyme: Primary structure of tobacco prepro-β-1,3-glucanase. Proc Natl Acad Sci USA 85:5541-5545 Shu YJ, Li Y, Wu NLH, Bai X, Cai H, Ji W, Zhu YM. 2010. Mining and identification of SNPs from EST sequences in soybean and converting SNP markers into CAPS. Acta Agron Sin 36(4):574–579. Simmond NW. 1962. The Evolution of the Bananas. Longman. London. 170 pp. Simmons CR. 1994. The physiology and molecular biology of plant 1,3-β-Dglucanases and 1,3;1,4-β-D-glucanases. Critic Rev Plant Sci 13:325–387. Singh A, Kirubakaran SI, Sakthivel N. 2007. Heterologous expression of new antifungal chitinase from wheat. Protein Expr Purif 56:100–109. Sleper DA, Poehlman JM. 2006. Plant Breeders and Their Work: Breeding Field Crops. Ed ke-5. Iowa: Willey-Blackwell. hlm 3-6. Smith D. 1995. Banana weevil borer control in south-eastern Queensland. Aust J of Exp Agric 35(8):1165-1172.
160
Smith OS, Smith JSC. 1992. Measurement of genetic diversity among maize hybrids; A comparison of isozymic, RFLP, pedigree, and heterosis data. Maydica 37:53–60. Song WY, Wang GL, Chen LL, Kim HS, Pi LY, Holsten T, Gardner J, Wang B, Zhai WX, Zhu LH, Fauquet C, Ronald P. 1995. A receptor kinase-like protein encoded by the rice disease resistance gene, Xa21. Science 270: 1804-1806. Sreeramanan S, Maziah M, Sariah S, Xavier R. 2010. Agrobacterium-mediated transformation of banana cultivar ‘Rastali’ (Musa, AAB genome) with chitinase gene. Acta Hort 879:637-648 Stearns, F. W. 2010. One hundred years of pleiotropy: A retrospective. Genetics 186(3):767-773 Stodart BJ, Mackay MC, Raman H. 2007. Assessment of molecular diversity in landraces of bread wheat (Triticum aestivum L.) held in an ex situ collection with Diversity Arrays Technology (DArT). Aust J Agric Res 58:1174-1182. Stover R H, Simmonds NW. 1987. Bananas: Tropical Agriculture Series, 3rd Edition. New York: Longman Scientific & Technical. 53–85. Stover RH 1980. Sigatoka leaf spot diseases of bananas and plantains. Plant Dis 64:750-756. Sturtevant AH. 1913. The linear arrangement of six sex-linked factors in Drosophila, as shown by their mode of association. J Exp Zool 14:43–59 Su HJ, Hwang SC, Ko WH. 1986. Fusarial wilt of Cavendish bananas in Taiwan. Plant Dis 70:814–818. Sulyanti E, Zarmiyeni, Suliansyah I, Warnita. 2008. Induksi mutasi genetik pisang barangan merah melalui aplikasi irradiasi gamma. J Seri Hayati 11:48-58. Sun D, Hu Y, Zhang L, Mo Y, Xie J. 2009. Cloning and analysis of Fusarium wilt resistance gene analogues in ‘Goldfinger’ banana. Mol. Plant Breed 7(6):1215-1222. Sun H, Wang H-T, Kwon W-S, Kim Y-J, In J-G, Yang D-C. 2011. A simple and rapid technique for the authentication of the ginseng cultivar, Yunpoong, using an SNP marker in a large sample of ginseng leaves. Gene 487:75–79. Sunyaev S, Ramensky V, Koch I, Lathe W, Kondrashov AS, Bork P. 2001. Prediction of deleterious human alleles. Hum Mol Genet 2001 10:591-597. Surarez V, Staehelin C, Arango R, Holtorf H, Fofsteenge J, Meins F Jr. 2001. Substrate specificity and antifungal activity of recombinant tobacco class I chitinases. Plant Mol. Biol. 45: 609-618 Sutanto A, Edison HS, Hermanto C. 2004. Musa collecting in Maluku and Papua [abstrak]. Di dalam: 1st International Congress on Musa Harsnessing Research to Improve Livehoods; Penang, 6–9 Jul 2004. Montpellier: Bioversity International. hlm 85. Abstr no. 62. Sutanto A, Edison HS, Hermanto C. 2009. Diskripsi Pisang Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Solok. 148 pp. ŠVábová L, Lebeda A. 2005. In vitro selection for improved plant resistance to toxin-producing pathogens. J Phytopathol 153(1):52-64. Syvänen AC. 2001. Acessing genetic variation: genotyping SNPs. Nature Rev. Genet 2:930-942. Tai TH, Dahlbeck D, Clark ET, Gajiwala P, Pasion R, Whalen MC, Stall RE,
161
Staskawicz BJ. 1999. Expression of the Bs2 pepper gene confers resistance to bacterial spot disease in tomato. Proc Natl Acad Sci USA 96:1415314158. Tajima F. 1989. Statistical methods for testing the neutral mutation hypothesis by DNA polymorphism. Genetics 123:585–595. Takeuchi Y, Yoshikawa M, Takeba G, Tanaka K, Shibata D, Horino O. 1990. Molecular cloning and ethylene induction of mRNA encoding a phytoalexin elicitor releasing factor, β-1,3-endoglucanase, in soybean. Plant Physiol 93: 673-682. Tameling WIL, Elzinga SDP, Darmin PS, Vossen JH, Takken FLW, Haring MA, Cornelissen BJC. 2002, The tomato R gene products I-2 and Mi-1 are functional ATP binding proteins with ATPase activity. Plant Cell 14(11):2929-2939. Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: molecular evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Mol Biol Evol 28:2731-2739. Tang CY. 2005. Somaclonal variation: a tool for the improvement of Cavendish banana. Acta Hort 692:61-65 Tang W, Zhua S, Li L, Liu D, Irving DE. 2010. Differential expressions of PR1 and chitinase genes in harvested bananas during ripening, and in response to ethephon, benzothiadizole and methyl jasmonate. Postharvest Biol Technol 57:86–91 Tang Y, Kuang JF, Wang FY, Chen L, Hong KQ, Xiao YY, Xie H, Lu WJ, Chen JY. 2013. Molecular characterization of PR and WRKY genes during SAand MeJA-induced resistance against Colletotrichum musae in banana fruit. Postharvest Biol Technol 79:62–68 Tao NG, Xu J, Cheng YJ, Liu Hong, Guo WW, Yi HL, Deng XX. 2005. Isolation and characterization of copia-like retro transposons from 12 sweet orange (Citrus sinensis Osbeck) cultivars. J Integr Plant Biol 47:1507-1515. Tarr DEK, Alexander HM. 2009. TIR-NBS-LRR genes are rare in monocots: evidence from diverse monocot orders. BMC Res Notes 2:197 (doi:10.1186/1756-0500-2-197). Templeton AR, Crandall KA, Sing CF. 1992. A cladistic analysis of phenotypic associations with haplotypes inferred from restriction endonuclease mapping and DNA sequence data. III. Cladogram estimation. Genetics 132:619–633. Tenkouano A, Vuulsteke D, Makumbi D, Swennen R, Ortiz R. 2003. Diploid banana hybrid TMB2x5105-1 and TMB2x9128-3 with good combining ability, resistance to black sigatoka and nematodes. HortScience 38(3):468-472. Thalmair M, Bauw G, Thiel S, Doehring T, Langebartels C, Sandermann H Jr. 1996. Ozone and ultraviolet B effects on the defense-related proteins ß1,3- glucanase and chitinase in tobacco. J Plant Physiol 148(12):222-228. Thiel T, Kota R, Grosse I, Stein N, Graner A. 2004. SNP2CAPS: a SNP and INDEL analysis tool for CAPS marker development. Nuc Acids Res 32(1) e5 Thimmapuram J, Ko TS, Korban SS. 2001. Characterization and expression of β1,3-glucanase genes in peach. Mol Genet Genomics 265:469-479.
162
Thomas CM, Dixon MS, Golstein C & Jones JD. 1998. Genetic and molecular analysis of tomato Cf genes for resistance to Cladosporium fulvum. Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci. 353: 1413–1424 Tian SP, Yao HJ, Deng X, Xu XB, Qin GZ, Chan ZL. 2007. Characterization and expression of β-1,3-glucanase genes in jujube fruit induced by the microbial biocontrol agent Cryptococcus laurentii. Phytopathol 97:260-268. Till BJ, Jankowicz-Cieslak J, Sági L, Huynh AO, Utsushi H, Swennen R, Terauchi R, Mba C. 2010. Discovery of nucleotide polymorphisms in the Musa gene pool by Ecotilling. Theor Appl Genet 121:1381–1389. Tomekpe K, Jenny C, Escalant JV. 2004. A review of conventional improvement strategies for Musa. InfoMusa 13(2):2-6. Traut TW. 1994. The functions and consensus motifs of nine types of peptide segments that form different types of nucleotide-binding sites. Eur J Biochem 222: 9-19. Trick M, Long Y, Meng J, Bancroft I. 2009. Single nucleotide polymorphism (SNP) discovery in the polyploid Brassica napus using Solexa transcriptome sequencing. Plant Biotechnol J 7:334–346. Tsujibo H, Kubota T, Yamamoto M, Miyamoto K, Inamori Y. 2003. Characterization of chitinase genes from an alkaliphilic Actinomycete, Nocardiopsis prasina OPC-131. App Env Microbiol 69:894–900. Tushemereirwe W, Kangire A, Smith J, Ssekiwoko F, Nakyanzi M, Kataama D, Musiitwa C, Karyaija R. 2003. An outbreak of bacterial wilt on banana in Uganda. InfoMusa 12(2):6-8. Ude G, Pillay M, Nwakanma D, Tenkouano A. 2002a. Analysis of genetic diversity and sectional relationships in Musa using AFLP markers. Theor Appl Gen 104:1239-1245. Ude G, Pillay M, Nwakanma D, Tenkouano A. 2002b. Genetic Diversity in Musa acuminata Colla and Musa balbisiana Colla and some of their natural hybrids using AFLP Markers. Theor Appl Genet 104: 1246–1252. Uma S, Siva SA, Saraswathi MS, Manickavasagam M, Durai P, Selvarajan. 2006. Variation and intraspecific relationships in the Indian wild Musa balbisiana (BB) population as evidenced y RAPD. Genet Res Crop Evol 55:349-355. Umali P, Nakamura I. 2003. Identification of dCAPS markers that discriminate A and B cytoplasms in banana (Musa spp.). Plant Biotechnol 20(2):159-164. Valmayor RV, Jamaluddin SH, Silayoi B, Kusumo S, Danh LD, Pascua OC, Espino RRC. 2000. Banana cultivar names and synonyms in Southeast Asia. Los Banos: International Network for the Improvement of Banana and Plantain – Asia and the Pacific Office (INIBAP-ASPNET). Van Kan JAL, Joosten MHAJ, Wagemakers CAM, Berg-Velthuis GCM van den, Wit PJGM de. 1992. Differential accumulation of mRNAs intracellular encoding extracellular PR proteins in tomato induced by virulent and avirulent races of Cladosporium fulvum. Plant Mol Biol 20:513-527. Van Loon LC, Kammen A van. 1970. Polyacrylamide disc electrophoresis of the soluble leaf proteins from Nicotiana tabacum var. “Smsun” and “Samsun NN” II. Changes in protein constitution after infection with tobacco mosaic virus. Virology 40:199-206 Van Loon LC, Rep M, Pieterse CMJ. 2006. Significance of Inducible Defense-
163
related Proteins in Infected Plants. Annu Rev Phytopathol 44:135–62. Van Loon LC, Strien EA van. 1999. The families of pathogenesis-related proteins, their activities, and comparative analysis of PR-1 type proteins. Physiol Mol Plant Pathol 55(2): 85-97. Varshney RK, Chabane K, Hendre PS, Aggarwal RK, Graner A. 2007. Comparative assessment of EST-SSR, EST-SNP and AFLP markers for evaluation of genetic diversity and conservation of genetic resources using wild, cultivated and elite barleys. Plant Sci 173:638–649 Venkatachalam L, Sreedhar RV, Bhagyalakshmi N. 2008. The use of genetic markers for detecting DNA polymorphism, genotype identification and phylogenetic relationships among banana cultivars. Mol Phylog Evol 47:974–985. Vinh MQ, Thinh DK, Bang DT, At DH, Ham LH. 2009. Current status and research directions of induced mutation application to seed crops improvement in Vietnam. Di dalam: Shu QY, editor. Induced Plant Mutations in the Genomics Era. Itali, Roma: Food and Agriculture Organization of the United Nations. hlm 341-345 Vishnevetsky J, White TL Jr, Palmateer AJ, Flaishman M, Cohen Y, Elad Y, Velcheva M, Hanania U, Sahar N, Dgani O et al. 2011. Improved tolerance toward fungal diseases in transgenic Cavendish banana (Musa spp. AAA group) cv. Grand Nain. Transgenic Res 20:61–72 Vögeli-Lange R, Fründt C, Hart CM, Beffa R, Nagy F, Meins F Jr. 1994. Evidence for a role of ß-1,3-glucanase in dicot seed germination. Plant J 5(2):273-278. Von Heijne G. 1983. Patterns of amino acids near signal-sequence cleavage sites. Eur J Biochem 133:17–21. Vos P, Hogers R, Bleeker M, Reijans M, van de Lee T, Hornes M, Frijters A, Pot J, Peleman J, Kuiper M. 1995. AFLP: a new technique for DNA fi ngerprinting. Nucl Acid Res 23:4407–4414. Vuylsteke DR, Ortiz R, Ferris S. 1993. Genetic and agronomic improvement for sustainable production of plantain and banana in Sub-Saharan Africa. Afr Crop Sci J 1(1):1-8. Walker JE, Saraste M, Runswick MJ, Gay NJ. 1982. Distantly related sequences in the α- and β-subunits of ATP synthase, myosin, kinases and other ATPrequiring enzymes and a common nucleotide binding fold. EMBO J 1(8):945-951. Wang JY, Huang BZ, Chen YY, Feng SP, Wu YT. 2011. Identification and characterization of microsatellite markers from Musa balbisiana. Plant Breed 130(5):584-590. Wang JY, Zheng LS, Huang BZ, Liu WL, Wu YT. 2010. Development, caracterization, and variability analysis of microsatellites from a commercial cultivar of Musa acuminata. Genet Resour Crop Evol 57:553–563. Wang W, Hu Y, Sun D, Staehekin C, Xin D, Xie J. 2012. Identification and evaluation of two diagnostic markers linked to Fusarium wilt resistance (race 4) in banana (Musa spp.). Mol Biol Rep 39(1):451-459. Wang W, Wen Y, Berkey R, Xiao S. 2009. Specific targeting of the Arabidopsis resistance protein RPW8.2 to the interfacial membrane encasing the fungal haustorium renders broad-spectrum resistance to powdery mildew. Plant
164
Cell 21:2898-2913. Ward ER, Payne GB, Moyer M B, Williams SC, Dincher S S, Sharkey K C, Beck J J, Taylor HT, Ahl-Goy P, Meins F J et al. 1991. Differential regulation of β-1,3-glucanase messenger RNAs in response to pathogen infection. Plant Physiol 96:390-397. Watanabe T, Kanai R, Kawase T, Tanabe T, Mitsutomi M, Sakuda M, Miyashita K. 1999. Family 19 chitinases of Streptomyces species: characterization and distribution. Microbiol 145:3353–3363. Watson JD, Crick FHC. 1953. A Structure for Deoxyribose Nucleic Acid. Nature 171(4356):737–738. Wessel JGH, Sietsma JH. 1981. Fungal cell walls: a survey. Di dalam Encyclopedia of Plant Physiology, vol 13 B. Tanner W, Loewus FA (eds). Berlin Heidelberg New York, pp 352-394. White A, Rose DR. 1997. Mechanism of catalysis by retaining β-glycosyl hydrolases. Curr Opin Struct Biol 7:645-651. White J et al. 2008. The genetic diversity of UK, US and Australian cultivars of Triticum aestivum measured by DArT markers and considered by genome. Theor Appl Genet 116:439-453. Whitham S, Dinesh-Kumar SP, Choi D, Hehl R, Corr C, Baker B. 1994. The product of the tobacco mosaic virus resistance gene N: similarity to Toll and the interleukin- 1 receptor. Cell. 78:1101-1115. Wittenberg AH, van Der Lee T, Cayla C, Kilian A, Visser RG, Schouten HJ. 2005. Validation of the high-throughput marker technology DArT using the model plant Arabidopsis thaliana. Mol Gen Genet 274:30-39. Wu C-T, Leubner-Metzger G, Meins FJr, Bradford KJ. 2001. Class I β-1,3glucanase and chitinase are expressed in the micropylar endosperm of tomato seeds prior to radicle emergence. Plant Physiol 126:1299–1313. Wu HS, Yin XM, Liu DY, Ling N, Bao W, Ying RR, Zhu YY, Guo SW, Shen QR. 2008. Effect of fungal fusaric acid on the root and leaf physiology of watermelon (Citrullus lanatus) seedlings. Plant Soil 308:255-266. Wubben JP, Joosten MHAJ, van Kan JAL, de Wit PJGM. 1992. Subcellular localization of plant chitinases and 1,3-beta-glucanases in Cladosporium fulvum (syn. Fulvia fulva) infected tomato leaves. Phys Mol Path 41:23-32. Xia L, Peng K, Yang S, Wenzl P, Vicente MC, Fregene M, Kilian A. 2005. DArT for high-throughput genotyping of cassava (Manihot esculenta) and its wild relatives. Theor Appl Genet 110:1092-1098. Xiao WK, Xu ML, Zhao JR, Wang FG, Li JS, Dai JR. 2006. Genomewide isolation of resistance gene analogs in maize (Zea mays L.). Theor Appl Genet 113:63–72. Yaish MWF, de Miera LES, de la Vega MP. 2004. Isolation of a family of resistance gene analogue sequences of the nucleotide binding site (NBS) type from Lens species. Genom 47:650-659. Yamaguchi T, Nakayama K, Hayashi T, Tanaka Y, Koike S. 2002. Molecular cloning and characterization of a novel β-1,3-glucanase gene from rice. Biosci Biotechnol Biochem 66: 1403-1406. Yang W, Bai X, Kabelka E, Eaton C, Kamoun S, van der Knaap E, Francis D. 2004. Discovery of single nucleotide polymorphisms in Lycopersicon esculentum by computer aided analysis of expressed sequence tags. Mol Breed 14: 21–34.
165
Yanti Y, Habazar T, Mardinus, Manssyurdin. 2009. Perubahan Bentuk Planlet Pisang Raja Sereh Hasil Mutasi dengan Ethyl Methane Sulphonate (EMS) Secara In Vitro. J Natur Indon 2(2):104-108. Yao A, Charlab R, Li P. 2006. Systematic identification of pseudogenes through whole genome expression evidence profiling. Nuc Acids Res 34(16):4477– 4485. Yoshimura S, Yamanouchi U, Katayose Y, Toki S, Wang ZX , Kono I, Kurata N, Yano M, Iwata N, Sasaki T. 1998. Expression of Xa1, a bacterial blightresistance gene in rice, is induced by bacterial inoculation. Proc Natl Acad Sci USA 95:1663-1668. Yue JX, Meyers BC, Chen JQ, Tian D, Yang S. 2012. Tracing the origin and evolutionary history of plant nucleotide-binding site–leucine-rich repeat (NBS-LRR) genes. New Phytologist 193:1049–1063. Yulong GAO, Wangzhen GUO, Lei W, Tianzhen Z. 2006. Isolation and characterization of resistance and defense gene analogs in cotton (Gossypium barbadense L.). Sci China Ser C: Life Sci 49(6):530-542. Zemanek AB, Ko TS, Thimmapuram J, Hammerschlag FA, Korban SS. 2002. Changes in β-1,3-glucanase mRNA levels in peach in response to treatment with pathogen culture filtrates, wounding, and other elicitors. J Plant Physiol 159:877-889. Zeng X-H, Wei Y-M, Jiang Q-T, Qi P-F, Zheng Y-L. 2009. SNP analysis and haplotype identification in chymotrypsin inhibitor-2 (CI-2) gene of barley. Agric Sci China 8(1):8-14. Zhang J, Kopparapu NK, Yan Q, Yang S, Jiang Z. 2013. Purification and characterisation of a novel chitinase from persimmon (Diospyros kaki) with antifungal activity. Food Chem 138:1225–1232. Zhang LY, Liu DC, Guo XL, Yang WL, Sun JZ, Wang DW, Sourdille P, Zhang AM. 2011. Investigation of genetic diversity and population structure of common wheat cultivars in northern China using DArT markers. BMC Genet 12:42 Zhang N, Wang S, Wang HY, Liu DQ. 2011. Isolation and characterization of NBS-LRR class resistance homologous gene from wheat. J Integra Agric 10(8):1151-1158. Zhang Z, Yu J. 2006. Evaluation of six methods for estimating synonymous and nonsynonymous substitution rates. Genom Proteom Bioinforma 4(3):173-181. Zhao Z, Boerwinkle E. 2002. Neighboring-nucleotide effects on single nucleotide polymorphisms: a study of 2.6 million polymorphisms across the human genome. Genome Res 12:1679–1686. Zhao Z, Jin L, Fu YX, Ramsay M, Jenkins T, Leskinen E, Pamilo P, Trexler M, Patthy L, Jorde LB et al. 2000. Worldwide DNA sequence variation in a 10kilobase noncoding region on human chromosome 22. Proc Natl Acad Sci USA 97:11354–11358. Zhou T, Wang Y, Chen JQ, Araki H, Jing Z, Jiang K, Shen J, Tian D. 2004. Genome-wide identification of NBS genes in rice reveals significant expansion of divergent non-TIR NBS Genes. Mol Genet Genomics 271:402-415. Zhu Q, Bennetzen JL, Smith. 2013. Isolation and diversity analysis of resistance gene homologues from switchgrass. G3 3(6):1031-1042. Zhu YL, Hyatt S, Quigley C, Song QJ, Grimm D, Young N, Cregan P. 2001.
166
Single nucleotide polymorphisms (SNPs) in soybean genes, cDNAs, and random genomic sequence. Di dalam: Proceeding of Plant & Animal Genome IX Conference; San Diego, 13-17 Jan 2001. California.
167
Lampiran 1 Dendogram hasil analisis filogenetik setiap lokus SNP_MNBS pada sepuluh kultivar pisang 1 (R)
1 (R)
Rejang
SNP2_MNBS
4 (R)
Kepok
Rejang
SNP4_MNBS
2 (R)
Calcuta-4
5 (R)
5 (R)
Jawaka
6 (R-S)
Awak
Jawaka
10 (R)
Ketan
7 (S) 10 (R) Awak
3 (R)
Amb_Hj
Klutuk
4 (R)
Kepok
6 (R-S)
3 (R)
Klutuk
Ketan
8 (S) Amb_Kng 9 (S)
Amb_Hj
7 (S)
Barangan
8 (S)
Barangan
9 (S)
2 (R)
Calcuta-4 0.17
0.38
0.58 Coefficient
0.79
1.00
Amb_Kng 0.50
1 (R) 2 (R)
0.63
0.75 Coefficient
0.88
1 (R) 2 (R)
Rejang
SNP5_MNBS
Calcuta-4
Rejang
SNP6_MNBS
Calcuta-4
6 (R)
3 (R)
Klutuk
Ketan
4 (R) Jawaka 5 (R)
Amb_Hj
7 (S) 8 (S)
Kepok
Barangan
6 (R-S)
Klutuk
7 (S)
Kepok
8 (S)
Jawaka
9 (S)
Amb_Kng
3(R) 4 (R)
Ketan
Amb_Hj
5 (R) 9 (S)
Barangan
Amb_Kng
10 (R)
10 (R)
Awak 0.50
0.63
0.75 Coefficient
0.88
1.00
1.00
Awak 0.50
0.63
0.75 Coefficient
0.88
1.00
168
Lampiran 2
Dendogram hasil analisis filogenetik per lokus SNP_MChi pada sepuluh kultivar pisang 1(R) 2(R) Klutuk_Wlg 3(R) Kepok 4(R) Jawaka 5(R) Amb_Hj 7(S) Barangan 8(S) Amb_Kng 9(S) Awak10(R) Ketan6(R-S) Rejang
SNP1_MChi
0.50 0.50
0.63
0.75 0.75
0.88
1.00 1.00
1 (R) 2 (R) Kepok 4 (R) Jawaka 5(R) Amb_Hj 7(S) Amb_Kng 9(S) Awak10(R) Klutuk_Wlg 2 (R) Ketan6 (R-S) Barangan 8 (S) Rejang
SNP2_MChi
Calcuta-4
0.50 0.50
Calcuta-4
0.75 0.75
0.63
Coefficient Coefficient
0.88
1(R) 2(R) Klutuk_Wlg 3(R) Kepok 4(R) Jawaka 5(R) Ketan6(R-S) Amb_Hj 7(S) Amb_Kng 9(S) Awak10 (R) Barangan 8 (S) Rejang
1 (R) 2 (R) Kepok 4(R) Jawaka 5(R) Ketan6 (R-S) Amb_Hj 7(S) Barangan 8 (S) Amb_Kng 9 (S) Awak10 (R) Klutuk_Wlg 3 (R)
SNP6_MChi
0.50 0.50
SNP8_MChi
Calcuta-4
0.63
0.75 0.75
0.88
1.00 1.00
0.50 0.50
Calcuta-4
0.63
0.75 0.75
0.88
1(R) 2(R) Ketan6(R-S) Amb_Hj 7(S) Barangan 8(S) Amb_Kng 9(S) Klutuk_Wlg 3(R) Kepok 4(R) Jawaka 5(R) Awak10 (R)
Rejang
Rejang
1 (R) 4 (R) Ketan6 (R-S) Amb_Hj 7 (S) Barangan 8(S) Awak10(R) Calcuta-4 2 (R) Klutuk_Wlg 3 (R) Jawaka 5 (R) Amb_Kng 9 (S)
SNP9_MChi
SNP10_MChi
Kepok
0.75 0.75
0.63
1.00 1.00
Coefficient Coefficient
Coefficient Coefficient
0.50 0.50
1.00 1.00
Coefficient Coefficient
Rejang
0.88
1.00 1.00
Coefficient Coefficient
0.50 0.50
0.63
Calcuta-4
0.75 0.75
0.88
1.00 1.00
Coefficient Coefficient
1 (R) 3 (R) Kepok 4 (R) Jawaka 5 (R) Ketan6 (R-S) Amb_Hj 7 (S) Barangan 8 (S) Amb_Kng 9 (S) Awak10 (R) Calcuta-4 2 (R) Rejang
SNP11_MChi
0.50 0.50
0.63
Klutuk_Wlg
0.75 0.75 Coefficient Coefficient
0.88
1.00 1.00
Kultivar Pisang: 1. Rejang 2. Calcuta-4 3. Klutuk Wulung 4. Kepok 5. Jawaka
6. Ketan 7. Ambon Hijau 8. Barangan 9. Ambon Kuning 10. Awak
R = Tahan, R-S = Tahan - Rentan S = Rentan
169
Lampiran 3 Prosedur isolasi DNA berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle 1987) yang dimodifikasi oleh Das et al. (2009) a. b.
c.
d.
e.
f.
g.
h. i.
j.
Sebanyak lebih kurang 300 mg daun segar diberi nitrogen cair dan digerus menggunakan mortal dan pistil yang telah didinginkan terlebih dahulu. Tepung hasil gerusan segera dimasukkan ke dalam tabung sentrifus 2.0 ml dan diberi larutan buffer ekstraksi [mengandung 3 % CTAB (w/v), Na dalam Cl (2 M), Tris HCl pH 8.0 (100 mM ) and EDTA pH 8.0 (20 mM), PVP (1.5 %), dan mercaptoethanol 2.5 % (v/v)]. Sebelum digunakan buffer dihangatkan terlebih dahulu dalam water-bath (60 ºC) sebanyak 750-1000 μl dan dikocok hingga rata. Sampel dalam tabung diinkubasi dalam water-bath bersuhu 60 ºC selama satu jam dan setiap 10 menit tabung dibolak-balik. Setelah selesai didinginkan pada suhu normal. Chloroform:isoamyl alcohol (24:1) ditambahkan ke dalam tabung sampel dengan volume yang sama dan dicampur dengan baik dengan cara membolak-balikkan tabung sebanyak 20-25 kali, dan kemudian disentrifus pada kecepatan 1.2 x 104 rpm selama 20 menit pada suhu kamar. Pencampuran sampel dalam chloroform:isomyl alcohol dalam waktu yang agak lama (hampir 30 menit) akan membantu mengurangi pigmen (warna kecoklatan) pada DNA. Dengan hati-hati, supernatan diambil dan dipindahkan ke dalam tabung yang baru dan ditambahkan chloroform:isoamyl alcohol (24:1) kedua. Tabung disentrifuse dengan kecepatan 1.2 x 104 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil dan dipindahkan ke dalam tabung yang baru. Ditambahkan 2 X volume ethanol (absolut atau 95 %) dingin dan 10-1 kali sodium acetate 3 M (konsentrasi akhir 0.3 M) ke dalam supernatan dan dibolak-balik (10 menit) dan diinkubasi pada suhu -20 ºC selama minimum 1 jam untuk proses presipitasi. Sampel disentrifus dengan kecepatan 104 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan ethanol 70 % 2 sampai 3 kali. Supernatan dibuang dan pelet DNA dikering-anginkan dan dilarutkan dengan 300 μl buffer TE dan 6 μl RNAase (10 μg μl-1). Sampel diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 2 jam. Sebanyak 600 μl ethanol absolut dingin dan 10 μl sodium acetate 3 M, dan diinkubasi pada suhu -20 ºC selama 1 jam. Larutan sampel disentrifus dengan kecepatan 104 rpm selama 15 menit dan pelet DNA dikeringkan pada suhu 37 ºC dan dilarutkan dengan 100 μl buffer TE atau ddH2O. Sampel DNA disimpan dalam freezer -20 ºC.
170
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 3 Agustus 1967 anak ketiga dari delapan bersaudara pasangan suami istri Moenari dan Sukarti. Pendidikan S1 Budidaya Pertanian diselesaikannya di Universitas Brawijaya Malang pada tahun 1991. Pada tahun 1992 bergabung dengan Sub Balai Penelitian Hortikultura di Tlekung-Batu, Malang, sebagai staf peneliti dan pada tahun 1995 penulis pindah ke Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika di Solok. Penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian pada tahun 1998 untuk melanjutkan studi S2 di Universiti Putra Malaysia, Fakultas Pertanian, di bidang Bioteknologi Pertanian dan selesai pada tahun 2001. Pada tahun 2009 penulis mendapatkan beasiswa dari DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian untuk melanjutkan studi S3 di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, jurusan Agronomi dan Hortikultura, program studi/mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman. Penulis bekerja sebagai Peneliti Muda di Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Di bidang organisasi profesi, penulis terdaftar sebagai anggota Perhimpunan Hortikultura Indonesia (PERHORTI), Pehimpunan Biologi Indonesia (PBI) dan Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI). Selain itu sejak tahun 1995 penulis aktif dalam kegiatan perpisangan antara lain: evaluasi, karakterisasi dan eksplorasi pisang, di bawah koordinasi Bioversity International (dahulu International Network for the Improvement of Banana and Plantain [INIBAP]), dan menjadi anggota dari MusaNet dan ProMusa. Selama mengikuti program S3, penulis telah mengikuti dua kegiatan seminar Internasional. Karya ilmiah yang berjudul ‘The study and early evaluation of resistance banana accessions for wilt disease caused by Fusarium oxysporum f.sp. cubense VCG 01213/16 (TR4)’ disampaikan dalam The 7th Asian Crop Science Association Conference, 2011, dan ‘Chitinase (MaChi) Gene from Indonesian Banana Plant: Isolation, Characterization, and the Use as Molecular Marker for Disease Resistance’ disampaikan pada The International Seminar on Tropical Bio-resources for Suatainable Bio-industry 2013. Selain itu penulis juga telah mendaftarkan sejumlah parsial sekuen gen ke bank gen NCBI (National Centre for Biotechnology Institute). Parsial gen tersebut antara lain: 8 sekuen gen chitinase, 4 parsial sekuen gen β-1,3-glucanase yang berasal parsial dari DNA genom kultivar lokal pisang Rejang, Klutuk Wulung, Kepok, Ambon Hijau dan Barangan, serta 16 sekuen RGA (MNBS) yang berasal dari DNA genom kultivar Rejang, Klutuk Wulung dan Calcuta-4. Gen-gen tersebut telah dipublikasi secara on line pada http://www.NCBI.nlm.nih.gov/genebank dan dapat diakses secara gratis.