JURNAL AGROTEKNOS Juli 2013 Vol. 3 No. 2. Hal 86-93 ISSN: 2087-7706
EVALUASI KETAHANAN KULTIVAR SORGUM TERHADAP PENYAKIT LAYU FUSARIUM Evaluation of Sorghum Cultivars for Fusarium Wilt Resistance ASNIAH*), GUSNAWATY HS, MUHAMMAD TAUFIK Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari
ABSTRACT This study aimed to evaluate the resistance of sorghum cultivars to wilt fusarium. This research was arranged in a randomized block design, with six treatments [brown sorghum, white sorghum and red sorghum with no inoculation fusarium, brown sorghum, white sorghum and red sorghum with inoculation fusarium] with 3 (three) replications. Data observed were plant height, leaf number, leaf area, and heaviest of grain weight for vegetative observation, while for disease character was disease incidence. The results showed that none of sorghum cultivars evaluated showed resistance to wilt fusarium infection. The tolerant response to wilt fusarium was observed on brown sorghum, whereas red and white sorghum were susceptible to wilt fusarium. The heaviest of grain weight was found in brown sorghum (27.86 g/penicle). The wilt fusarium caused disease incidences ranging from 33.33% (brown sorghum) to 50% (red sorghum). Keywords: cultivars, disease incidence, fusarium, sorghum, resistance 1PENDAHULUAN
Sorgum (Sorghum bicolor) adalah tanaman serealia yang potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan di lahan kering. Selain karena memiliki adaptasi agroekologi yang luas sorgum dapat menjadi alternatif untuk bahan pangan, pakan dan industri (Sirappa 2003). Sorgum merupakan komoditas sumber karbohidrat yang cukup potensial (Barikmoa et al. 2004). Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi, sekitar 73 g dalam 100 g biji sorgum dan protein 10.3 protein per 100 g biji sorgum. Sorgum dapat dikembangkan sebagai tanaman penghasil pakan hijauan sekitar 15 – 20 ton ha-1 tahun 1. Sebagaiman tanaman lain ketika dibudidayakan infeksi patogen adalah salah satu faktor penghambat rendahnya produksi sorgum. Infeksi cendawan Fusarium spp. menyebabkan tanaman layu atau penghambatan pertumbuhan termasuk ketika menginfeksi tanaman sorgum. Infeksi patogen pada tanaman sorgum dapat *)
Alamat korespondensi: E-mail:
[email protected]
menyebabkan kehilangan hasil 30 sampai 50% (Loughman et al. 2004). Jauh sebelumnya telah dilaporkan oleh Castor dan Frederiksen (1980) bahwa infeksi F. moniliforme, pada biji sorgum menyebabkan epidemi seluas 600.000 ha di Texas pada tahun 1979 dan kerugiannya mencapai $ 3,2 juta sampai $ 7, 2 juta. Penggunaan varietas untuk mengendalikan penyakit layu Fusarium sp. memberikan beberapa keuntungan seperti aplikasinya lebih mudah, tidak membutuhkan petunjuk khusus serta sangat memungkinkan dikombinasikan dengan berbagai metode pengendalian yang lain. Namun ketersediaan varietas tahan relatif sulit dilakukan karena sifat ketahanan suatu varietas sangat dinamis dapat berubah dari musim ke musim, sehingga evaluasi ketahanan suatu varietas atau kultivar perlu dilakukan secara terusmenerus. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketahanan kultivar sorgum terhadap infeksi penyakit layu Fusarium sp.
Vol. 3 No.2, 2013
BAHAN DAN METODE Bahan-Bahan. Bahan yang digunakan terdiri atas 3 (tiga) kultivar putih, cokelat dan merah, isolat Fusarium sp. berasal dari koleksi Laboratorium Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Inokulum Fusarium sp. Isolat Fusarium sp. terlebih dahulu diremajakan pada Potato Dextrosa Agar (PDA). Selanjutnya Fusarium sp. disuspensikan ke dalam 100 mL akuades steril, dimasukkan ke plastik tahan panas yang telah diisikan dengan 100 g beras ketan yang telah dimasak perah, dan diinkubasikan selama 14 hari. Fusarium sp. yang tumbuh pada media beras ketan ini digunakan sebagai sumber inokulum. Penyediaan Medium Tanam dan Inokulasi Fusarium sp. Medium tanam yang digunakan ialah tanah ultisol bagian lapisan atas dicampur dengan pupuk kandang sapi dengan nisbah 1 : 3. Tanah dan pupuk kandang disterilkan terpisah menggunakan autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit. Polibag berukuran 20 × 30 cm berisi medium tanam diinokulasi dengan Fusarium sp. seminggu sebelum tanam dan satu minggu setelah tanam dengan dosis masing-masing 10 g/polibag. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman. Setiap polibag ditanami 5 benih sorgum, dan dua bibit yang tumbuh baik satu minggu setelah tanam dipertahankan sedangkan bibit yang lain digunting. Pemupukan dilakukan pada satu minggu setelah tanam dengan dosis dua g /polibag. Penyiraman dilakukan dua kali sehari sedangkan penyiangan dilakukan setiap hari. Rancangan Penelitian. Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan yaitu sorgum kultivar putih, sorgum kultivar cokelat, sorgum kultivar merah masingmasing tidak diinokulasi dengan Fusarium sp., sorgum kultivar putih, sorgum kultivar cokelat dan sorgum kultivar merah masingmasing diinokulasi dengan Fusarium sp., setiap perlakukan diulang tiga kali. Selanjutnya data dianalisis dengan Uji T. Sementara kejadian penyakit dilakukan dengan tabulasi sederhana. Parameter Pengamatan. Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah dan
Evaluasi Ketahanan Kultivar Sorgum
87
luas daun, untuk pengamatan luas daun diukur panjang dan lebar daun yang telah membuka penuh, kemudian dihitung dengan menggunakan rumus: P x L x k dimana P = panjang, L= lebar dan k = koefisien luas daun. Nilai koefisien luas daun (k) tanaman sorgum = 0.4754583 diperoleh dengan menimbang setiap sampel daun sebanyak 10 helai. Berat setiap daun tersebut dibagi dengan berat kertas proyeksi, kemudiaan dirata-ratakan (Rumalatu et al. 1998). Peubah lain adalah panjang akar dan berat kering akar, bobot bulir dan kejadian penyakit layu fusarium dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: KP = n/N × 100% (KP = Tingkat kejadian penyakit (%), n = Jumlah tanaman layu, = Jumlah tanaman yang diamati). Pengelompokan Tipe Ketahanan.
Pengelompokan tipe ketahanan tanaman sorgum mengikuti metode pengelompokan menurut Goodman (1987) dengan modifikasi pada kriteria respons tanaman (Tabel 1). HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum rata-rata respon tinggi tanaman sorgum pada pengamatan minggu pertama menunjukkan berbeda tidak nyata antarperlakuan yang diuji kecuali kultivar merah yang diinokulasi Fusarium sp.. dengan yang tidak diinokulasi. Tetapi ada kecenderungan bahwa pada minggu berikutnya perlakuan yang diberikan menunjukkan berbeda nyata. Semua kultivar yang diuji menunjukkan berbeda nyata ketika diinokulasi dibandingkan dengan yang tidak diinokulasi. Tanaman yang tidak diinokulasi lebih tinggi dibandingkan dengan yang diinokulasi. Sementara perbedaan respon tinggi tanaman antarkultivar juga menunjukkan berbeda nyata (Tabel 2 ). Pengamatan minggu ke 3, kultivar sorgum putih yang diinokulasi dengan Fusarium sp. memiliki tinggi 109,75 cm sedangkan yang tidak diinokulasi 125,88 cm menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal yang sama pada kulivar cokelat dan merah, kultivar cokelat yang diinokulasi memiliki tinggi yang lebih pendek yaitu 129,42 cm dibandingkan dengan kultivar cokelat yang tidak diinokulasi 135,17 cm. Kultivar merah yang diinokulasi memiliki tinggi yang juga lebih
88
ASNIAH ET AL.
J. AGROTEKNOS
pendek yaitu 125,83 cm dibandingkan dengan kultivar merah yang tidak diinokulasi 127,17 cm. Sorgum kultivar putih lebih pendek yaitu 34,07 cm sedangkan kultivar cokelat 53,83 cm. Sorgum kultivar putih juga lebih pendek 34,07 cm sedangkan kultivar Tabel 1
merah 50,67 cm. Tidak ada perbedaan yang nyata antarkultivar cokelat dan merah dan pada akhir pengamatan semua perlakuan yang diuji juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (Tabel 2).
Pengelompokan tipe ketahanan
Tipe Ketahanan Tahan Agak Tahan Toleran Rentan
Tinggi tanaman + + +
Respon tanaman Jumlah daun Luas daun + +
+ +
Kejadian penyakit (%) <10 > 10 - 30 > 30 - 50 > 50
Tampilan tanaman Tinggi Agak Tinggi Agak Tinggi Rendah
Keterangan : (+) terhambat, (-) tidak terhambat
Respons pengamatan jumlah dan luas daun tanaman sorgum pada semua kultivar yang diuji baik yang diinokulasi maupun yang tidak diinokulasi menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Kultivar coklat yang tidak diinokulasi Fusarium sp. memiliki luas daun tertinggi 289.40 cm sedangkan yang Tabel 4
diinokulasi 223.68 cm (Tabel 3). Persentase kejadian penyakit layu fusarium pada kultivar putih yang diamati pada 3 – 5 MST adalah 33.33%, sedangkan kultivar coklat pada 5 MST juga 33.33% dan kultivar merah 50% pada minggu yang sama (Tabel 4).
Respons kejadian penyakit pada tiga kultivar sorgum
Persentase Kejadian Penyakit minggu ke (%) I II III IV V Kultivar Putih 0 0 0 0 0 Kultivar Coklat 0 0 0 0 0 Kultivar Merah 0 0 0 0 0 Kultivar Putih + F. oxysporum 0 0 33.33 33.33 33.33 Kultivar Coklat + F. oxysporum 0 0 0 0 33.33 Kultivar Merah + F. oxysporum 0 0 0 0 50 Bobot bulir kultivar coklat berbeda nyata pengelompokan tipe ketahanan tanaman dengan kultivar putih ketika diinokulasi sorgum setelah diinokulasi dengan Fusarium dengan Fusarium sp. yaitu 27.86 g/malai sp. memberikan ilustrasi bahwa ketiga dibandingkan dengan kultivar putih yang kultivar yang diuji tidak satupun yang resisten tidak diinokulasi 35,85 g/malai atau memiliki (Tabel 6). selisih 16.89 g/malai antara kedua perlakuan tersebut (Tabel 5). Hasil pengamatan panjang Tanaman sorgum memiliki karakter akar menunjukkan bahwa semua perlakuan morfologi yang berbeda-beda, perbedaan berbeda tidak nyata baik yang tidak morfologi dari setiap kultivar sorgum cukup diinokulasi maupun yang diinokulasi dengan bervariasi. Variasi tersebut diduga disebabkan Fusarium sp. (Tabel 5). Sementara respons oleh faktor genetik masing-masing kultivar. bobot kering akar antarkultivar ketika Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diinokulasi dengan Fusarium sp. cenderung kultivar coklat menunjukkan tinggi tanaman, berbeda tidak nyata kecuali kultivar cokelat jumlah daun dan luas daun tertinggi di antara dan merah berbeda nyata yaitu kultivar kultivar lainnya, meskipun tanaman tersebut cokelat memiliki berat akar 55,42 g sedangkan diinokulasi dengan Fusarium sp. Diduga kultivar merah 68,23 g atau memiliki selisih kultivar coklat memiliki karakter genetik yang 12.81 g lebih berat dibandingkan dengan dapat menetralisir efek infeksi patogen kultivar cokelat (Tabel 5). Untuk sehingga mampu tumbuh lebih baik dan Perlakuan
Vol. 3 No.2, 2013
Evaluasi Ketahanan Kultivar Sorgum
mampu mentransportasi hasil-hasil fotosintat ke seluruh bagian tanaman. Sulistyono (1998) mencatat bahwa tanaman yang lebih tinggi akan dapat mendistribusikan hara ke seluruh bagian tajuk lebih baik dari pada tanaman Tabel 6
89
yang pendek dengan jumlah daun dan luas daun yang sama. Tanaman yang tumbuh baik mampu menyerap hara dalam jumlah yang banyak (Yosida 1991).
Respons ketahanan pada tiga kultivar sorgum
Perlakuan
Respon Pertumbuhan Tanaman TT
Kontrol Kultivar Putih Kontrol Kultivar Coklat Kontrol Kultivar Merah Kultivar Putih + Fusarium sp. Kultivar Cokelat + Fusarium sp. Kultivar Merah + Fusarium sp.
+ -
JD + -
LD + -
KP 0% 0% 0% 33,33% 33,33% 50%
Tipe Ketahanan
Produksi + -
Tahan Tahan Tahan rentan toleran rentan
Keterangan : (+) = Terhambat, (-) = Tidak terhambat, TT (tinggi tanaman), JD (jumlah daun), LD (luas daun), dan KP (Kejadian penyakit).
Rendahnya kejadian penyakit layu fusarium pada kultivar coklat diduga disebabkan oleh adanya mekanisme ketahanan yang dibentuk baik secara struktural maupun biokimia atau pengaruh lingkungan yang tidak mendukung perkembangan patogen. Bentuk pertahanan struktural yang dikembangkan oleh tanaman adalah dengan menghasilkan dinding sel yang tebal, atau membentuk lapisan gabus atau factor lain yang secara fisik dapat menghambat pergerakan hifa cendawan di dalam jaringan tanaman. Sementara bentuk pertahanan biokimia dengan menghasilkan metabolit sekunder seperti senyawa fenolik, fitoaleksin, biopolymer seperti callosa, lignin, atau glycoprotein yang dapat menghambat perkembangan patogen cendawan sebelum dan setelah proses infeksi terjadi. Seperti yang telah dilaporkan bahwa kulit bawang mengakumulasi katekol dan protocatechui acid yang mencegah infeksi Colletotrichum circinans. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada varietas bawang yang resisten mengandung kedua senyawa fenolik tersebut yang dapat mereduksi perkecambahan spora C. circinans di bawah 2%, sedangkan pada varietas yang rentan tidak mengandung kedua senyawa tersebut sehingga perkecambahan spora mencapai 90% (Latanzio et al. 2006). Jauh sebelumnya Nicholson et al. (1987) telah melaporkan bahwa tanaman yang resisten akan lebih cepat mengakumulasi dua pigmen komplek yaitu apigeninidin dan luteolinidin sebagai hasil infeksi Helminthosporium maydis
(nonpatogen) dan Colletotrichum graminicola (patogen). Di dalam penelitian ini mekanisme ketahanan yang ditampilkan oleh kultivar cokelat belum dapat dijawab dengan baik namun diduga kuat bahwa kultivar tersebut telah memiliki berbagai respon ketahanan yang dapat melawan infeksi F. oxysporum . Terbukti tampilan pertumbuhan atau peubah yang diamati lebih baik dibandingkan dengan kultivar lainnya serta respon kejadian penyakit layu fusarium pada kultivar tersebut lebih rendah 33,33% dibandingkan dengan kultivar lainnya ketika diinokulasi secara mekanis. Sementara faktor lingkungan seperti suhu dan kelembapan juga memiliki pengaruh yang penting bagi perkecambahan spora cendawan untuk selanjutnya melakukan proses penetrasi. Chala et al. (2009) telah mencatat bahwa kejadian penyakit pada tanaman sorgum yang disebabkan oleh antraknosa dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban sekitar pertanaman, selain itu juga dipengaruhi oleh curah hujan. Berdasarkan pada penggolongan tipe ketahanan maka kultivar putih dan merah tergolong rentan, sedangkan kultivar coklat toleran. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil yang diperoleh Soenartiningsih (2009) yang berhasil menemukan varietas sorgum yang tahan terhadap penyakit antraknosa yaitu yaitu galur 15011 B, 15019 B dan Selayar Hitam lima varietas/galur yang agak tahan, lima varietas/galur yang agak rentan dan satu varietas yang rentan. Sementara
90
ASNIAH ET AL.
pada penelitian ini hanya kultivar coklat yang termasuk toleran tidak satupun kultivar yang diuji tahan terhadap penyakit fusarium. Perbedaan ini disebabkan oleh galur dan patogen yang digunakan berbeda serta jumlah kultivar yang digunakan juga berbeda. Oleh karena itu pengujian lanjutan perlu dilakukan dengan menambah kultivar yang diuji. Sementara toleransi kultivar coklat ditunjukkan dengan bobot bulir sorgum yang dihasilkan lebih berat dibandingkan dengan kultivar lainnya. Hal ini disebabkan pada kultivar merah dan putih terjadi reaksi kompatibel antara patogen dengan tanaman inang yang diinfeksi. Menurut Agrios (2005) bahwa kejadian penyakit akan bertambah jika patogen yang menginfeksi tanaman mampu mempenetrasi jaringan tanaman tanpa ada mekanisme perlawanan yang diekspresikan oleh tanaman inang baik perlawanan dalam bentuk ketahanan morfologi maupun biokimia. Powell et al. (1991) telah melaporkan bahwa kandungan lignin paling tinggi terdapat pada bagian batang dari tanaman sorghum. Hal ini sangat memungkinkan karena perananya dalam meningkatkan kekuatan dinding sel dan mendukung pertumbuhan tanaman dan mungkin meningkatkan ketahanannya terhadap infeksi patogen. Sementara toleransi kultivar coklat mungkin disebabkan kemampuan kultivar tersebut mengembangkan berbagai mekanisme ketahanan untuk melawan infeksi fusarium (Henry et al. 2009). Kejadian penyakit kultivar coklat tergolong toleran mungkin disebabkan oleh adanya ketahanan morfologi dan biokimia yang dimiliki tanaman tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Hidayah dan Suhara (2011) yang menyatakan bahwa pada tanaman yang tahan, terjadinya reaksi ketahanan juga dapat disebabkan saat patogen tersebut menginfeksi tanaman, maka pada tanaman tersebut terjadi akumulasi fitoaleksin dalam konsentrasi yang tinggi sehingga dapat membatasi area infeksi patogen, dalam hal ini fitoaleksin sebagai penghambat infeksi. Pada tanaman yang rentan, saat patogen menginfeksi meskipun tanaman dapat memproduksi fitoaleksin namun konsentrasinya rendah sehingga tidak dapat menghambat infeksi patogen tersebut. Oleu (1994) juga menyatakan bahwa tanaman yang memiliki respon tahan dapat
J. AGROTEKNOS menghasilkan metabolit sekunder, fenol, quinon dan fitoaleksin yang bersifat toksin terhadap patogen. Sementara Blanch et al. (2007) melaporkan biopolymer glycoprotein dapat bereaksi sebagai mekanisme ketahanan melawan infeksi smut (Ustilago scitaminea) dengan menginduksi homotypic adhesion dan menghambat perkecambahan teliospore. Pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, bobot bulir dan berat akar) yang baik dan kejadian penyakit yang rendah akan berkorelasi positif dengan produksi tanaman yang baik, ini didukung oleh data dimana perlakuan kultivar coklat menunjukkan berat bulir yakni 27.86 g dan untuk perlakuan tanpa inokulasi fusarium yakni 35.85 g. Sitompul dan Guritno (1995) juga menjelaskan bahwa dengan bertambahnya jumlah daun, maka penyerapan cahaya akan meningkatkan fotosintat yang dihasilkan dan ditranslokasikan untuk pembentukan bagian-bagian tanaman seperti akar, batang dan daun. Demikian juga pada luas daun yang bertambah dapat mempengaruhi efisiensi tanaman dalam menyerap cahaya untuk menghasilkan fotosintat. Meskipun demikian berat akar pada kultivar coklat berbeda nyata dengan kultivar merah. Nampaknya berat akar tidak mempengaruhi efektivitas penyerapan hara. Kultivar coklat mungkin lebih efisien dalam menyerap hara dibandingkan dengan kultivar merah. Meskipun penelitian lanjutan diperlukan untuk menjawab fenomena tersebut. Berdasarkan pada hasil penelitian dapat dilaporkan bahwa kultivar coklat memiliki toleransi terhadap penyakit layu fusarium sehingga dapat berproduksi cukup tinggi, sedangkan kultivar putih dan merah rentan. Namun demikian kajian mendalam mengenai toleransi kultivar coklat perlu diteliti lebih lanjut. Ucapan Terima Kasih. Terima kasih disampaikan kepada Epriani Rimbun atas bantuannya mengumpulkan data penelitian di lapang
DAFTAR PUSTAKA Agrios. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition. Academic Press (US): New York. Barikmoa I, Ouattarab F, Oshauga A. 2004. Protein, carbohydrate and fibre in cereals
Vol. 3 No.2, 2013 from Mali—how to fit the results in a food composition table and data base. J Food Compost Anal. 17(3-4):291-300. doi: 10.1016/j.jfca.2004.02.008 Blanch M, Legaz ME,. Millanes AM, Vicente C. 2007. Glycoproteins of sugarcane plants facilitate the infectivity of Ustilago scitaminea and Xanthomonas albilineans, two sugarcane pathogens. Di dalam: A Mendez-Vilas, editor. Communicating Current Research and Educational and Trends in Applied Microbiologi. Spain (ESP): Formatex Research Center. hlm163-169. Castor L L, Frederiksen R A. 1980. Fusarium head blight occurrence and effects on sorghum yield and grain characteristics in Texas. Plant Disease 64(11):1017-1019. doi: 10.1094/PD-64-1017. Chala A, Alemu T, Prom LK and Tronsmo AM, 2009. Effect of host genotypes and weather variables on the severity and temporal dynamics of sorghum anthracnose in Ethiopia. Plant Pathol J. 9(1):39-46. doi: 10.3923/ppj.2010.39.46 Goodman RN, Brakke MK. 1987. Concentration of maize chlorotin mosaic virus increased in mixed infection with maize dwarf mosaic virus strain B. Phytopathology 77(2):162167. doi: 10.1094/Phyto-77-162. Henry WB, Williams WP, Windham GL, Hawkins LK .2009. Evaluation of maize inbred lines for resistance to Aspergillus and Fusarium ear rot and mycotoxin accumulation. Agron. J. 101(5):1219-1226. doi: 10.2134/agronj2009.0004 Lattanzio V, Latanzio VMT, Cardinali A. 2006. Role of phenolics in the resistance mechanisms of plants against fungal pathogens and insects. Di dalam: Filippo Imperato, editor. Phytochemistry: Advances in Research. India (IN): Research Signpost. hlm 23-67
Evaluasi Ketahanan Kultivar Sorgum
91
Loughman R, Thomas G, Wright D. 2004. Fusarium head blight of cereals and stalk rot of maize, millet and sorghum and their identification. Farmnote. 78:1-3 Nicholson RL, Sharon S, Jeffrey R V, Lyons PC, dan Cadena-Gomez G. 1987. Phytoalexin synthesis by the sorghum mesocotyl in response to infection by pathogenic and nonpathogenic fungi (3deoxyanthocyanidins/resistance to fungal infection/Sorghum bicolor). Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 84(16):5520-5524 Oleu. 1994. Teknologi Produksi Padi Mendukung Swasembada Beras. Bogor (ID): Puslitbangtan. hlm 62. Powell JM, Hons FM, McBee GG. 1991. Nutrient and Carbohydrate Partitioning in Sorghum Stover. Agronomy Journal 83(6):933-937 Rumalatu, F. J., H. Rehata., A. Walsen dan F. J. Hitijahubessy., 1998. Konsep analisis pertumbuhan tanaman [tesis]. Ambon (ID): Universitas Patimura. Ambon. Sirappa, M.P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan dan industri. J. Litbang. Volume (nomor)133140. Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Soenartiningsih. 2009. Evaluasi Ketahanan Beberapa Varietas/Galur Sorgum Dan Efektivitas Fungisida Terhadap Penyakit Anthraknosa. Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 : 505-512 Sulistyono, E. 1998. Adaptasi Padi gogo Terhadap Naungan: pendekatan morfologi dan fisiologi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bogor Yosida, S. 1991. Fondamental Of rise crop Sciense. Manila (PHI): IRRI
92
ASNIAH ET AL.
Tabel 2
J. AGROTEKNOS
Respon tinggi tanaman pada tiga kultivar sorgum pada minggu ke-1, 3 dan 5 Minggu ke-1 (cm)
Perlakuan
Rata-rata perlakuan (… x …)
Kultivar yang tidak diinokulasi Fusarium sp. Kultivar Putih × Kultivar 20.32 Cokelat Kultivar Putih × Kultivar Merah
Antarkultivar yang diinokulasi Kultivar Putih diinokulasi × Kultivar Cokelat diinokulasi Kultivar Putih diinokulasi × Kultivar Merah diinokulasi Kultivar Cokelat diinokulasi × Kultivar Merah diinokulasi
Rata-rata perlakuan (… x …)
Notasi
Minggu ke-5 (cm)
Selisih rata-rata dua perlakuan
Notasi
Rata-rata perlakuan (… x …)
Selisih rata-rata dua perlakua n
Notasi
21.83
-1.52
tn
65.08
71.33
-6.25
tn
125.88
135.17
-9.28
tn
23.17
-2.85
tn
65.08
68.33
-3.25
tn
125.88
127.17
-1.28
tn
23.17
-1.33
tn
71.33
68.33
3.00
tn
135.17
127.17
8.00
tn
13.37
6.95
tn
65.08
34.07
31.02
*
125.88
109.75
16.13
tn
20.83
1.00
tn
71.33
53.83
17.50
*
135.17
129.42
5.75
tn
23.17
17.33
5.83
*
68.33
50.67
17.67
*
127.17
125.83
1.33
tn
13.37
20.83
-7.47
*
34.07
53.83
-19.77
*
109.75
129.42
-19.67
tn
13.37
17.33
-3.97
*
34.07
50.67
-16.60
*
109.75
125.83
-16.08
tn
20.83
17.33
3.50
tn
53.83
50.67
3.17
tn
129.42
125.83
3.58
tn
20.32
Kultivar Cokelat × Kultivar 21.83 Merah Kultivar-Kultivar Yang tidak diinokulasi dan diinokulasi dengan Fusarium sp. Kultivar Putih tidak dinokulasi 20.32 × Kultivar Putih diinokulasi Kultivar Cokelat tidak Diinokulasi × Kultivar cokelat 21.83 yang diinokulasi Kultivar Merah tidak diinokulasi × Kultivar Merah yang diinokulasi
Selisih rata-rata dua perlakuan
Minggu ke-3 (cm)
Keterangan : tn = Kedua perlakuan yang dibandingkan berbeda tidak nyata pada uji t Tabel 3 Respons jumlah daun dan luas daun pada tiga kultivar sorgum Jumlah daun minggu ke- 10
Perlakuan Kultivar yang tidak diinokulasi Fusarium sp. Kultivar Putih × Kultivar Cokelat Kultivar Putih × Kultivar Merah Kultivar Cokelat × Kultivar Merah Kultivar-Kultivar yang tidak diinokulasi dan diinokulasi dengan Fusarium sp. Kultivar Putih tidak dinokulasi × Kultivar Putih diinokulasi Kultivar Cokelat tidak Diinokulasi × Kultivar cokelat yang diinokulasi Kultivar Merah tidak diinokulasi × Kultivar Merah yang diinokulasi Antarkultivar yang diinokulasi Kultivar Putih diinokulasi × Kultivar Cokelat diinokulasi Kultivar Putih diinokulasi × Kultivar Merah diinokulasi Kultivar Cokelat diinokulasi × Kultivar Merah diinokulasi
Rata-rata jumlah daun perlakuan (… x …)
Selisih ratarata dua perlakuan
Notasi
Luas daun minggu ke-5 Rata-rata luas daun perlakuan (… x …)
Selisih ratarata dua perlakuan
Notasi
7.67 7.67 7.33
7.33 7.67 7.67
0.33 0.00 -0.33
tn tn tn
215.39 215.39 289.40
289.40 223.68 223.68
-74.01 -8.29 65.72
tn tn tn
7.67 7.33 7.67
7.67 7.33 7.67
0.00 0.00 0.00
tn tn tn
215.39 289.40 223.68
193.37 233.84 218.51
22.03 55.56 5.17
tn tn tn
7.67 7.67 7.33
7.33 7.67 7.67
0.33 0.00 -0.33
tn tn tn
193.37 193.37 233.84
233.84 218.51 218.51
-40.48 -25.15 15.33
tn tn tn
Keterangan : tn = Kedua perlakuan yang dibandingkan berbeda tidak nyata pada uji t
Vol. 3 No.2, 2013
Tabel 5
Evaluasi Ketahanan Kultivar Sorgum
93
Respon bobot bulir, panjang akar dan berat kering akar pada tiga kultivar tanaman sorgum Panjang akar (cm)
Bobot bulir (g/malai)
Perlakuan
Rata-rata perlakuan (… x …)
Selisih ratarata dua perlakuan
Notasi
Rata-rata perlakuan (… x …)
Berat Kering akar (g)
Selisih ratarata dua perlakuan
Notasi
Rata-rata perlakuan (… x …)
Selisih ratarata dua perlakuan
Notasi
Kultivar yang tidak diinokulasi Fusarium sp. Kultivar Putih × Kultivar Cokelat Kultivar Putih × Kultivar Merah Kultivar Cokelat × Kultivar Merah
9.52
35.85
-26.34
*
40,00
40,67
-0,67
tn
103,93
55,05
48,88
*
9.52
10.55
-1.04
tn
40,00
37,83
2,17
tn
103,93
73,74
30,19
tn
35.85
10.55
25.30
*
40,67
37,83
2,83
tn
55,05
73,74
-18,68
*
40,00
36,50
3,50
tn
103,93
72,59
31,34
tn
40,67
36,17
4,50
tn
55,05
55,42
-0,37
tn
37,83
35,50
2,33
tn
73,74
68,23
5,51
tn
36,50
36,17
0,33
tn
72,59
55,42
17,17
tn
36,50
35,50
1,00
tn
72,59
68,23
4,37
tn
36,17
35,50
0,67
tn
55,42
68,23
-12,81
*
Kultivar-Kultivar Yang tidak diinokulasi dan diinokulasi dengan Fusarium sp. Kultivar Putih tidak dinokulasi × Kultivar 9.52 10.96 -1.45 tn Putih diinokulasi Kultivar Cokelat tidak Diinokulasi × Kultivar 35.85 27.86 8.00 tn cokelat yang diinokulasi Kultivar Merah tidak diinokulasi × Kultivar 10.55 7.26 3.30 tn Merah yang diinokulasi Antarkultivar yang diinokulasi Kultivar Putih diinokulasi × Kultivar 10.96 27.86 -16.89 * Cokelat diinokulasi Kultivar Putih diinokulasi × Kultivar 10.96 7.26 3.71 tn Merah diinokulasi Kultivar Cokelat diinokulasi × Kultivar 27.86 7.26 20.60 * Merah diinokulasi
Keterangan : * = Kedua perlakuan yang dibandingkan berbeda nyata pada uji t, tn= Kedua perlakuan yang dibandingkan berbeda tidak nyata pada uji t