PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU PADA PISANG (Fusarium oxysporum f. sp. cubense) DENGAN SOLARISASI TANAH DAN BAKTERI ANTAGONIS
ANDREE SAYLENDRA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
SURAT PERNYATAAN
Denga ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: ”Pengendalian Penyakit Layu Fusarium pada Pisang (Fusarium oxysporum f. sp. cubense) dengan Solarisasi Tanah dan Bakteri Antagonis”. Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2007
Andree Saylendra Nrp. A451030091
ABSTRACT ANDREE SAYLENDRA. The Control of Fusarium Wilt of Banana (Fusarium oxysporum f.sp.cubense) by Soil Solarization and Antagonist Bacteria. Supervising committee: WIDODO (chairman), SURYO WIYONO (member). The objective of the research is to investigate the effectiveness of soil solarization and antagonist bacteria in controlling fusarial wilt of banana. The experiment was conducted in farmer field and plants on polybag by randomized complete block of two factors. In the green house, factor A is solarization (without solarization, two weeks of solarization, three weeks of solarization, and four weeks of solarization), factor B is antagonist bacteria (without bacteria, bacteria 1, bacteria 2, and bacteria 1+2). The treatment is replicated three times. The number of banana’s plant for each treatments are 5 plants. The treatment in the field, factor A is solarization (without solarization, three weeks of solarization, and four weeks of solarization); factor B is antagonist bacteria (without bacteria, bacteria 1, and bacteria 2). The treatment is replicated three times. The number of banana’s plant for each treatments are 4-6 plants. The result of plants on polybag showed that single treatment of solarization solely can suppress the disease severity and the percentage of diseased root whereas the single treatment of bacteria and combination solarization and bacteria did not significantly affect to diseases severity, diseases incidence, plant height, and stem diameter of banana. The result of field research showed that single treatment of solarization, bacteria even combination between them did not significantly affect to suppress the incident of Foc. Key words: Fusarium oxysporum f.sp.cubense, soil solarization, antagonist bacteria
ABSTRAK ANDREE SAYLENDRA. Pengendalian Penyakit Layu Fusarium pada Pisang (Fusarium oxysporum f. sp. cubense) dengan Solarisasi Tanah dan Bakteri Antagonis. Komisi Pembimbing: WIDODO (ketua), SURYO WIYONO (anggota). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan dari solarisasi tanah dan keefektifan bakteri antagonis yang diaplikasikan pada fase bibit ataupun kefektifan kombinasi solarisasi tanah dan bakteri antagonis untuk mengendalikan penyakit Foc. Percobaan dilaksanakan di lapang dan pada tanaman dalam pot dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial terdiri dari dua faktor. Untuk percobaan di rumah kaca, faktor A yaitu solarisasi (tanpa solarisasi, solarisasi dua minggu, solarisasi tiga minggu, dan solarisasi empat minggu), faktor B yaitu bakteri antagonis (Tanpa bakteri, Bakteri 1, Bakteri 2, Bakteri 1+2). Setiap perlakuan diulang 3 kali. Banyaknya tanaman pisang tiap perlakuan adalah 5 tanaman. Untuk percobaan di lapang, faktor A yaitu solarisasi (tanpa solarisasi, solarisasi tiga minggu, dan solarisasi empat minggu), setiap perlakuan diulang 3 kali. Banyaknya tanaman pisang tiap perlakuan adalah 4-6 tanaman Hasil penelitian pada tanaman dalam pot menunjukkan perlakuan tunggal solarisasi dapat menekan keparahan penyakit Foc dan persentase akar sakit, sedangkan perlakuan tunggal bakteri dan perlakuan kombinasi solarisasi dan bakteri tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap keparahan penyakit, akar sakit, tinggi tanaman, dan diameter tanaman pisang. Perlakuan tunggal solarisasi, bakteri maupun kombinasi keduanya tidak dapat mengurangi kejadian penyakit Foc. Hasil percobaan di lapang menunjukkan bahwa perlakuan tunggal solarisasi, bakteri maupun kombinasi keduanya tidak dapat mengurangi kejadian penyakit Foc. Kata kunci: Fusarium oxysporum f.sp. cubense, solarisasi tanah, bakteri antagonis
© Hak cipta milik ANDREE SAYLENDRA, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian, atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PENGENDALIAN PENYAKIT LAYU PADA PISANG (Fusarium oxysporum f. sp. cubense) DENGAN SOLARISASI TANAH DAN BAKTERI ANTAGONIS
ANDREE SAYLENDRA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi / Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Pengendalian Penyakit Layu Fusarium pada Pisang (Fusarium oxysporum f. sp. cubense) dengan Solarisasi Tanah dan Bakteri Antagonis. Andree Saylendra A451030091
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Widodo, MS. Ketua
Dr. Ir. Suryo Wiyono, MSc.Agr. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Entomologi / Fitopatologi
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc. Tanggal Ujian: 7 November 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya karena perlindungan dan kasih saya ng-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Keberhasilan juga tidak mungkin penulis raih sendirian tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak,
oleh karena itu penulis dengan tulus
menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi- tingginya kepada: 1. Dr. Ir. Widodo, MS selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Suryo Wiyono, Msc.Agr yang bertindak sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bantuan, arahan, bimbingan, curahan, waktu, saran dan nasihat sehingga penulis dapat merumuskan dan memusatkan pikiran mulai dari penyusunan rencana penelitian sampai penyelesaian tesis ini. 2. Dr. Ir. Widodo, MS (Penanggung Jawab Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman IPB),
Dr.
Ir. Pudjianto, MS (Kepala
Laboratorium Rumah Kaca Cikabayan, Departemen Proteksi Tanaman IPB), Prof. Dr. Ir. Sri S Haryadi, MSc (Project Line Manager PKBT IPB), atas segala kemudahan fasilitas dan kebaikan yang diberikan dalam tahapan penyelesaian penelitian untuk aktifitas di laboratorium,
rumah kaca, dan
kebun percobaan. 3. Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Pertanian IPB, Ketua Departemen HPT dan Ketua Program Studi Entomologi-Fitopatologi Sekolah Pascasarjana IPB,
atas kesempatan yang diberikan penulis untuk
melanjutkan pendidikan program magister (S2) di IPB. 4. Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin atas kritik dan sarannya selaku penguji tamu. 5. Staf pengajar dan pegawai yang ada di lingkup Sekolah Pascasarjana IPB, atas waktu, layanan administrasi dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan di IPB. 6. Staf pengajar dan pegawai yang ada di lingkup Departemen Proteksi Tanaman IPB,
atas bantuan waktu dan layanan aministrasi yang diberikan kepada
penulis selama ini. 7. Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika IPB, atas dukungan dana penelitian yang telah diberikan.
8. Ayahanda Ujang Gani dan ibunda Davita Wati, atas asuhan, kasih sayang, doa restu yang tulus, semangat dan motivasi agar ananda tabah dan tegar dalam menghadapi kesulitan selama menempuh pendidikan di IPB. 9. Rekan-rekan seperjuangan di Program Studi Pascasarjana EntomologiFitopatologi (Alal, Opes, Jalu, mbak Yayuk, mbak Rita, pak Irwan, pak Rustam, pak Jekvi, mbak Murni, mbak Husna, mbak Yunik, mbak Siti, Bu Jacklin),
atas jalinan persahabatan,
kerjasama dan kebersaman selama
menempuh pendidikan. 10. Pak Dadang dan mbak Ita, atas bantuan yang telah diberikan selama penulis melaksanakan penelitian di laboratorium Mikologi Tumbuhan dan Klinik Tanaman.
Pak Leman dan mas Mfud,
atas segala bantuan yang telah
diberikan selama penulis melaksanakan penelitian di kebun percobaan PKBT IPB dan rumah kaca Cikabayan IPB.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya, sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Pengendalian Penyakit Layu Fusarium pada Pisang (Fusarium oxysporum f. sp.
cubense)
dengan Solarisasi Tanah dan Bakteri Antagonis. ” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pusat Kajian BuahBuahan Tropika (PKBT) selaku penyandang dana, Project Line Manager PKBT Prof. Dr. Ir. Sri S Haryadi, MSc., Dr. Ir.Widodo, MS. dan Dr. Ir. Suryo Wiyono, Msc.Agr. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dorongan, masukan, serta saran hingga selesainya penelitian ini. Kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis ucapkan banyak terima kasih, dan semoga Tuhan Yang Maha Esa membalasnya. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini memberikan manfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2007
Andree Saylendra
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Enim pada tanggal 20 April 1979 dari Ayah Ujang Gani dan Ibu Davita Wati.
Penulis merupakan put ra kedua dari tiga
bersaudara. Pada tahun 1997 penulis lulus SMU Negeri 5 Tanjung Karang, Bandar Lampung. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi
Entomologi/Fitopatologi Program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN Latar Belakang .........................................................................................
1
Tujuan Penelitian .....................................................................................
4
Hipotesis ...................................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Layu Fusarium pada Pisang ...................................................... 5 Gejala Penyakit Layu Fusarium ...............................................................
6
Pengendalian Penyakit Layu Fusarium ....................................................
6
Solarisasi Tanah .......................................................................................
7
Pseudomonas fluorescens dan Bacillus spp. Sebagai Agen Pengendali Hayati .......................................................................................................
8
Peranan Solarisasi dan Bakteri Antagonis dalam Pengendalian Hayati .. 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 11 Bahan dan Alat ........................................................................................ 11 Metode ...................................................................................................... Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense ................................... Bakteri Antagonis ........................................................................... Perbanyakan Bakteri Antagonis .................................................... Uji Lapang ...................................................................................... Persiapan media tumbuh ...................................................... Inokulasi patogen ................................................................. Solarisasi tanah ..................................................................... Perlakuan bibit pisang dengan bakteri antagonis .................. Rancangan percobaan dan macam perlakuan penelitian ....... Penanaman bibit dan pemeliharaan ...................................... Percobaan padaTanaman dalam Pot .............................................. Persiapan media tumbuh ...................................................... Inokulasi patogen ................................................................. Solarisasi tanah ..................................................................... Perlakuan bibit pisang dengan bakteri antagonis .................. Rancangan percobaan dan macam perlakuan penelitian ....... Penanaman bibit dan pemeliharaan ...................................... Peubah yang Diamati ............................................................................... Periode Inkubasi ............................................................................ Kejadian Penyakit ......................................................................... Keparahan Penyakit ......................................................................
11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 13 13 13 13 13 14 14 14 14 14 15 15
Analisis Mikrob
...................................................................................... 16
Uji Perkecambahan Konidia dan Pembentukan Klamidospora Foc ........ 17 Analisis Data ........................................................................................... 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan pada Tanaman dalam Pot ....................................................... 18 Percobaan Lapang .................................................................................... 31 Pembahasan Umum .................................................................................. 35 SIMPULAN ..................................................................................................... 38 SARAN ............................................................................................................. 38 UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ 38 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 39 LAMPIRAN ...................................................................................................... 45
DAFTAR TABEL Halaman 1. Rerata suhu (0 C) pada tanah yang diukur pada kedalaman 5 cm, 10 cm, dan 15 cm dari permukaan tanah .......................................................
19
2. Rangkuman analisis ragam pengaruh solarisasi tanah dan bakteri antagonis terhadap keparahan penyakit, persentase akar sakit, kejadian penyakit , dan periode inkubasi pada percobaan tanaman dalam pot .......
20
3. Pengaruh solarisasi dan bakteri terhadap keparahan, persentase akar sakit, diameter batang, dan tinggi tanaman .............................................
21
4. Rerata persentase perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora Foc dari berbagai perlakuan filtrat komposit tanah pada masing- masing perlakuan solarisasi dan bakteri ......................................
29
5. Rerata persentase perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora Foc pada berbagai perlakuan filtrat komposit tanah ..........
29
6. Populasi awal dan akhir Fo, Pseudomonas spp., dan Bacillus spp ..........
30
7. Rerata suhu tanah pada solarisasi lapang pada kedalaman 10 cm ...........
31
8. Hasil analisis sidik ragam dari peubah yang diamati (pengamatan dari September 2005-Maret 2006 ...................................................................
33
9. Persentase rerata kejadian penyakit pada tiap perlakuan dari bulan Agustus 2005-Maret 2006 .......................................................................
34
10. Populasi awal dan akhir Fo, Pseudomonas sp.(Pf), dan Bacillus sp. (Bc) ....................................................................................................................
35
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Scoring Cordiero (modifikasi) ..................................................................
16
2. Grafik Rerata suhu harian selama solarisasi (Rumah Kaca Cikabayan 23 Oktober-20 November 2005) ..................................................................
19
3. Gejala (Foc) diskolorisasi pada bonggol pisang pada perlakuan solarisasi dan bakteri pada 120 hari setelah tanam (percobaan pada tanaman dalam pot) .............................................................................................................
23
4. Grafik rerata suhu harian pada kedalaman 10 cm ...................................
32
5. Persentase kejadian penyakit Foc di lapang (Juli 2005-Maret 2006) ......
33
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Analisis ragam terhadap keparahan penyakit layu fusarium pada bonggol pisang pada percobaan tanaman dalam pot ..............................................
46
2. Analisis ragam terhadap akar sakit pada bonggol pisang pada percobaan tanaman dalam pot ....................................................................................
46
3. Analisis ragam terhadap diameter batang pisang pada bonggol pisang pada percobaan tanaman dalam pot ..........................................................
46
4. Analisis ragam terhadap tinggi tanaman pada bonggol pisang pada percobaan tanaman dalam pot ................................................................
46
5. Analisis ragam terhadap kejadian penyakit layu fusarium pisang pada di bulan September 2005 pada percobaan di lapang ....................................
47
6. Analisis ragam terhadap kejadian penyakit layu fusarium pisang pada di bulan Desember 2005 pada percobaan di lapang ....................................
47
7. Analisis ragam terhadap kejadian penyakit layu fusarium pisang pada di bulan Maret 2006 pada percobaan di lapang ...........................................
47
8. Komposisi bahan kimia masing- masing media yang digunakan
47
............
PENDAHULUAN Latar Belakang Saat ini,
layu fusarium pada pisang yang disebabkan oleh Fusarium
oxysporum Schlecht f.sp. cubense (E F Smith) Snyd
and Hans (Foc) sudah
menjadi masalah utama di berbagai pertanaman pisang
dunia. Di Indonesia,
penyakit ini sudah menyebar luas, terutama di daerah Sumatra dan Jawa, Sulawesi Selatan,
dan kepulauan Maluku yang merupakan sentra produksi pisang
(Muharam et. al. 1992) Fusarium oxysporum
f.sp. cubense ini tidak hanya menyerang pisang
produksi yang bisa dimakan tetapi dapat juga menyerang pisang penghasil serat dan pisang hias (Semangun 1994). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit layu pada pisang mempunyai potensi untuk terus berkembang dan menjadi salah satu kendala yang harus dipertimbangkan untuk pengembangan komuditas pisang secara besar-besaran di Indonesia. Fusarium oxysporum
f.sp. cubense merupakan patogen penghuni tanah
yang mempunyai kemampuan hidup sebagai saprofit, dapat mendegradasi lignin dan komplek karbohidrat, juga dapat berasosiasi dengan bahan organik tanah, memiliki ras fisiologi yang berbeda dan dapat menimbulkan penyakit yang bersifat monosiklik sehingga strategi pengendalian yang efektif hingga kini belum ditemukan. Di samping itu, patogen dapat bertahan dalam berbagai jenis tanah sampai puluhan tahun walaupun tanpa inang (Kistler 2001). Berbagai cara pengendalian telah dilakukan untuk menekan serangan Foc. Penggunaan fungisida diketahui selain memberikan dampak positif juga dapat memberikan ancaman terhadap kualitas lingkungan,
keseimbangan ekosistem
maupun kesehatan manus ia. Pemberian fungisida ke dalam tanah kadang-kadang tidak efektif, karena pengaruh senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroflora tanah dapat mendegradasi
fungisida yang diaplikasikan serta
pemakaiannya yang harus diulang sehingga memakan biaya yang cukup besar. Disamping itu, cendawan
baru
perlakuan fungisida dapat merangsang timbulnya strain/ras yang
lebih
resisten
terhadap
fungisida
dan
matinya
mikroorganisme yang berguna dalam tanah serta yang lebih berbahaya adalah residu fungisida yang terdapat pada pisang yang akan dikonsumsi manusia dan
2 akhirnya dapat menyebabkan keracunan bagi manusia maupun hewan (Djatnika et al. 2003) Penanaman kultivar resisten merupakan pengendalian yang sangat murah, mudah,
aman dan efektif apabila tersedia kultivar tahan,
na mun bila terus-
menerus ditanam pada tempat yang sama suatu saat resistensi akan patah karena muncul ras-ras baru Fusarium yang lebih virulen. (Sahlan & Nurhadi 1994). Upaya pengendalian Foc pada saat ini mulai diarahkan pada upaya pengendalian non kimiawi. Solarisasi tanah merupakan salah satu teknik pengendalian non kimiawi yang kini banyak diupayakan dan dapat dikombinasi dengan penggunaan mikroorganisme antagonis.
Keberhasilan pengendalian
dengan teknik solarisasi telah dilaporkan oleh Katan (1976) dalam pengendalian Verticilium dahliae. Selain itu, Torres et al. (1993) juga melaporkan teknik ini berhasil mengurangi penyakit layu fusarium pada semangka. Solarisasi tanah adalah suatu teknik menutup tanah dengan plastik polyethylene selama waktu tertentu yang bertujuan menangkap sinar matahari untuk memanaskan tanah di lahan terbuka atau di rumah kaca. Dalam teknik ini diharapkan energi matahari (energi solar) dapat menginduksi agen biokontrol, gulma,
nematoda, membunuh patogen, serangga arthropoda,
bakteri, dan
komplek penyakit. Solarisasi juga dapat menyebabkan perubahan yang komplek pada biologi, fisik, dan kimia tanah (Katan & De Vay 1991; Pinkerton 2000). Selain itu,
kombinasi antara solarisasi tanah dan bakteri antagonis, dapat
meningkatkan peranan organisme antagonis tersebut dalam tanah (Katan & De Vay 1991). Solarisasi tanah memiliki keuntungan dan kerugian. solarisasi
tanah
adalah
menurunkan
persentase
Keuntungan dari
perkecambahan
spora,
memperlemah patogen, menyebabkan patogen sulit berkecambah, patogen lebih sensitif terhadap fungistatik dan menurunkan inokulum potensial.
Sedangkan
kerugiannya adalah jika patogen yang belum mati, cepat meningkat karena lingkungan sudah berubah (Katan & De Vay 1991). Prinsip dari solarisasi tanah yaitu pemanasan dengan matahari pada tanah yang lembab dengan menggunakan mulsa.
Mulsa ini berupa transparent
polyethylene atau polyvinyl chloride. Solarisasi adalah proses hidrotermal yang
3 yang menyebabkan perubahan secara fisik, kimia dan biologi selama atau sesudah pemberian mulsa pada tanah. Solarisasi sebaiknya dilakukan secara berulangulang, pada kedalaman tanah maksimal, temperatur dipelihara untuk waktu yang lama.
Efek solarisasi biasanya lama, mungkin dapat berdampak pada musim
tanam ke 2 atau ke 4. Karena itu teknik solarisasi memerlukan suatu cara tertentu agar hasil yang didapat maksimal (Katan & De Vay, 1991). Akhir-akhir ini agen antagonis dari kelompok bakteri banyak dieksplorasi sebagai agen pengendali hayati.
Sebagai contoh adalah penggunaan bakteri
rizosfer untuk pengendalian penyakit Fusarium, diantaranya bakteri kelompok Bacillus,
Paenibacillus,
Pseudomonas,
dan
Stenotrophomonas
dalam
pengendalian Fusarium f. sp. ciceris pada tanaman Chickpea (Landa et al. 2001). Pseudomonas kelompok fluoresens dapat digunakan untuk mengurangi penyakit layu fusarium pada tanaman melon (Larkin et al. 1996) dan antraknosa pada tanaman mentimun
yang disebabkan Colletotrichum orbicular dapat ditekan
dengan menggunakan Serratia marcescens (Press et al. 2001). Solarisasi tanah pada lahan pisang yang sudah terserang layu fusarium dapat dijadikan salah satu upaya pengendalian. Solarisasi tanah dapat digabungkan dengan penggunaan bakteri antagonis yang diaplikasikan pada perakaran bibit pisang yang dicelupkan ke dalam suspensi bakteri antagonis sebelum penanaman di lahan.
Bakteri antagonis rizosfer dan endofit yang
diisolasi dari kelompok tanaman graminae diketahui memberikan hasil yang baik dalam menekan populasi dari Foc pada tanaman pisang dalam percobaan rumah kaca (Eliza 2004). Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui kemungkinan penekanan populasi Foc pada tanaman pisang dengan teknik solarisasi tanah dan penggunaan bakteri antagonis. Hasil Penelitian diharapkan solarisasi tanah yang dikombinasi dengan bakteri antagonis ini dapat mendukung upaya pengendalian Foc pada tanaman pisang.
4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman pisang dengan teknik solarisasi tanah dan bakteri antagonis. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat diketahui keefektifan dari solarisasi tanah dan kefektifan bakteri antagonis yang diaplikasikan pada fase bibit ataupun kefektifan kombinasi solarisasi tanah dan bakteri antagonis untuk mengendalikan layu fusarium pada tanaman pisang.
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah penggunaan teknik solarisasi tanah dan bakteri antagonis ataupun kombinasi keduanya mampu mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman pisang.
5 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Layu Fusarium Pada Pisang Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) merupakan cendawan tular tanah (soil borne), penghuni akar (root inhabitant), memiliki ras fisiologi yang berbeda, dan menimbulkan penyakit yang bersifat monosiklik.
Disamping itu
klamidospora Foc dapat bertahan lama dalam tanah dan dapat berkecambah jika ada rangsangan dari ekskresi akar atau eksudat akar.
Klamidospora dapat
bertahan di dalam tanah selama 30 tahun tanpa tanaman inang (Stover 1962), dan dapat juga bertahan sebagai epifit pada akar gulma atau pada tanaman yang mempunyai kekerabatan dekat dengan
pisang (Wardlaw 1972). Penularan
penyakit layu fusarium dapat terjadi melalui bibit, tanah yang terinfeksi, tanah yang melekat pada alat-alat pertanian, dan aliran air permukaan tanah serta sisasisa tana man sakit (Ploetz & Pegg 2000). Cendawan ini hidup di dalam tanah, masuk ke akar melalui lubang alami atau luka lalu masuk ke bonggol dan dari sini patogen berkembang cepat menuju batang sampai jaringan pembuluh. Pada tingkat lanjut miseliumnya dapat masuk ke pembuluh parenkim dan patogen akan membentuk konidia dalam jaringan tanaman dan mikrokonidia dapat
terangkut melalui silem (Wardlaw 1972).
Konidia dapat menghasilkan klamidospora dan akan kembali ke tanah jika tanaman mati. Klamidospora ini dapat bertahan dalam bentuk dorman di dalam tanah selama beberapa tahun (Ploetz 1998). Penyakit layu fusarium lebih merugikan pada tanah aluvial yang asam. Umumnya pada tanah geluh yang bertekstur ringan atau berpasir, penyakit akan lebih cepat meluas (Semangun 1994). Menurut Cook dan Baker (1983) penyakit yang disebabkan oleh Fusarium berkembang baik pada tanah yang berpasir asam. Tanah berpasir yang cepat melewatkan air, kering dan beraerasi baik lebih sesuai bagi Fusarium,
sebaliknya tanah liat alkalin paling tidak sesuai untuk
perkembangan penyakit yang disebabkan Fusarium, karena tanah berliat akan lembab sehingga menghambat perkembangan cendawan ini.
6 Gejala Penyakit Layu Fusarium Pada Pisang Gejala yang klasik dan menyolok dari layu fusarium pada awalnya adalah terjadi penguningan tepi daun pada daun-daun yang lebih tua ( gejala ini awalnya sulit dibedakan dari kekurangan kalium, terutama pada kondisi kering atau sejuk). Gejala menguning berkembang dari daun tertua menuju ke daun termuda. Daundaun yang terserang secara berangsur-angsur layu pada tangkainya atau lebih umum pada dasar ibu tulang daun dan menggantung ke bawah menutupi batang semu. Rata-rata lapisan luar batang palsu terbelah dari permukaan tanah atau terjadi retakan memanjang pada batang semu. Pada bagian dalam apabila dibelah, terlihat garis- garis coklat atau hitam menuju ke semua arah, dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daun dan tangkai. Berkas pembuluh akar tidak berubah warnanya, namun sering akar tana man sakit berwarna hitam dan membusuk (akan tampak pada tanaman yang berumur 5-10 bulan ). Pada beberapa kultivar, daun-daun pada tanaman yang terinfeksi berwarna sangat hijau sampai daun rebah dan menjadi layu. Daun-daun termuda menampakkan gejala yang paling akhir dan seringkali berdiri tegak. Pertumbuhan tanaman tidak terhenti, daun-daun yang baru muncul berkurang sangat tajam dan nampak berkerut semu. Tidak terdapat gejala patogenik pada buah, akan tetapi serangan penyakit dapat menurunkan kualitas dan kuantitas buah (Semangun 1994; Ploetz & Pegg 2000).
Pengendalian Penyakit Layu Fusarium Beberapa
teknik
pengendalian
penyakit
layu
fusarium
telah
direkomendasikan seperti penggunaan fungisida, rotasi tanaman, perendaman lahan, penambahan bahan organik, penggunaan varietas tahan dan pengendalian hayati (Pegg et al. 1996; Stover 1962; Djatnika et al. 2003; Wibowo et al. 2004). Penggunaan fungisida dazomet kurang efektif karena fungisida hanya dapat terserap tanah pada kedalaman beberapa sentimeter (Djatnika et al. 2003). Cendawan Fusarium
mampu menginfeksi perakaran pada daerah yang lebih
dalam lagi dari daerah penyerapan fungisida (Stover 1962). Pengendalian dengan rotasi tanaman dan perendaman lahan selama 6 bulan hanya mampu menekan kejadian penyakit selama 2 tahun (Stover 1962). Penambahan bahan organik
7 hanya mampu menghambat perkembangan layu fusarium dalam jangka waktu yang pendek (Pegg et al. 1996). Penggunaan kultivar tahan merupakan salah satu cara yang aman, akan tetapi untuk mendapatkan kultivar yang tahan agak sulit karena Fusarium memiliki gen virulen yang beragam (Moore et al. 2001), terutama Fusarium dari ras 4 yang memiliki kisaran inang yang luas (Huang and Ko 1990).
Selain itu, untuk mendapatkan kultivar yang tahan menbutuhkan
waktu dan biaya yang tinggi. Pengendalian layu fusarium pada pisang dengan solarisasi tanah dan agen antagonis belum pernah dicoba. Adapun solarisasi tanah telah diketahui dapat menekan populasi Fusarium oxysporum f. sp. lycopesrici (Katan et al. 1976). Penggunaan agen antagonis dari genus Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. untuk pengendalian layu fusarium dalam rumah kaca, juga telah diketahui keberhasilannya (Eliza 2004). Dari hasil penelitian diharapkan solarisasi tanah dan penggunaan agen antagonis dapat dijadikan salah satu upaya pengendalian layu fusarium pada pisang.
Solarisasi Tanah Solarisasi tanah atau pemanasan tanah dengan pemanfaatan
matahari
merupakan teknik untuk menge ndalikan patogen dalam tanah (Katan et al. 1976). Penggunaan solarisasi tanah sudah dilakukan sejak tahun 1976-an di negara Israel dan banyak dikenal dengan beberapa istilah, seperti solar heating of the soil, polyethylene or plastic mulching, solar pasteurization, solar disinfestation dan soil solarization yang telah dikenal sampai saat sekarang (Katan et al. 1976). Solarisasi tanah merupakan suatu teknik pemanasan dengan menggunakan polyethylene atau plastik bening sebagi penutup tanah yang menyebabkan terjadinya pemanasan dalam tanah sehingga terjadi perubahan sifat fisik, biologi dan kimia (Katan dan DeVay 1991). Perlakuan solarisasi tanah dapat menekan populasi Fusarium oxysporum f. sp. lycopersici dan Verticillium dahliae antara 54-100% terga ntung kedalaman letak patogen di dalam tanah (Katan et al. 1976). Menurut Gamliel dan Katan (1993), Pseudomonas sp. kelompok fluoresen yang berasal dari akar tomat atau akar kecambah tomat yang tumbuh dalam tanah yang diberi perlakuan solarisasi mampu menekan kolonisasi Penicillium pinophilum.
8 Solarisasi tanah selama dua bulan dapat mengendalikan penyakit layu fusarium dan meningkatkan hasil hampir lima kali lipat dibandingkan tanaman yang tanahnya tidak disolarisasi (Torres et al. 1993). Solarisasi tanah dapat menekan serangan berbagai jenis patogen tular tanah pada berbagai jenis tanaman seperti Verticillium dahliae pada kentang dan terung, Sclerotium rolfsii yang menyerang kacang-kacangan dengan berkurangnya serangan patogen tersebut produksi dapat meningkat 35%, 123%, dan 215% dibandingkan dengan kontrol masing- masing tanaman. Solarisasi tanah selama 5-7 minggu menekan kejadian penyakit (4676.3%) dan indeks penyakit akar gada (penurunan 64.3-89.3%) serta peningkatan produksi tanaman (123.8-147.6%). Besarnya penekanan penyakit dan keterjadian penyakit tergantung dari lamanya solarisasi tanah.
Terjadinya penekanan
penyakit diduga bukan merupakan pengaruh langsung dari peningkatan suhu akibat solarisasi,
tetapi karena adanya perubahan mikroba tanah,
terutama
aktinomisetes dan bakteri antagonis yang berpotensi sebagai agen antagonis (Katan et al. 1976; Kartini 1996; Rusmawati 2002). Kelebihan lain solarisasi tanah yaitu secara ekonomi lebih menguntungkan dibandingkan dengan cara fumigasi dan tidak membahayakan lingkungan serta tidak meninggalkan residu (Katan et al. 1976).
Selain itu solarisasi tanah
biayanya murah dan dapat digabungkan dengan teknik pengendalian yang lainnya (Chellemi et al. 1997).
Pseudomonas fluorescens dan Bacillus spp. Sebagai Agen Pengendalian Hayati Bakteri genus Pseudomonas mempunyai ciri antara lain berbentuk bulat panjang atau batang,
hampir semuanya motil dengan flagella monotrikus,
politrikus, atau lopotrikus serta hampir semuanya gram negatif atau bersifat aerobik. Genus ini juga bersifat fakultatif aerobik, bersel satu, berukuran 1-3 µm, motil dan menghasilkan pigmen yang dapat berdifusi ke dalam medium biakan King’s B (Alexander 1978). Bakteri P. fluorescens mempunyai kemampuan menghasilkan pigmen berwarna kuning sampai hijau atau kadang-kadang biru (Anas 1989). Pigmen hijau merupakan salah satu kriteria yang dipakai para ahli mikrobiologi dalam memilih P. fluorescens yang bermanfaat, karena pigmen
9 tersebut biasanya dikeluarkan oleh spesies-spesies Pseudomonas penghasil antibiotika seperti pyoverdine, pyrolnitrin dan pyoluteorin (Lynch 1990). Pseudomonas fluorescens strain tertentu merupakan mikroorganisme antagonis yang mampu menekan penyakit yang disebabkan oleh patogen tular tanah diantaranya Aphanomyces eutiches pada pada kacang buncis, F. oxysporum f. sp. lycopersici pada tomat, F. oxysporum f. sp. lini pada rami dan Rhizoctonia solani pada kapas. Penekanan penyakit oleh P. fluorescens strain tertentu terjadi karena bakteri tersebut mampu mengeluarkan antibiotik seperti, pyoluteorin, 2,4 diacetylphloroglucinol dan monoacetilplorglucinol yang dapat menghambat perkembangan patogen (Bakker et al. 2003). Selain itu P. fluorescens
dapat
menekan perkembangan perkembangan penyakit tanaman dengan cara kompetisi unsur besi Fe (III) dan unsur karbon, produksi HCN, merangsang akumulasi fitoaleksin
untuk
ketahanan
tanaman,
kolonisasi
akar
dan
merangsang
pertumbuhan tanaman (Rosales et al. 1995; Widodo et al. 1993) Di Australia,
B. subtilis strain tertentu telah digunakan untuk
mengendalikan Ralstonia solanacearum,
Pythium sp. dan Fusarium sp. dan
berhasil dengan baik. Selain dapat menekan pertumbuhan patogen, bakteri ini juga dapat merangsang pertumbuhan tanaman, meningkatkan bobot kering dan produksi padi-padian sebesar 10%,
karena bakteri tersebut menghasilkan
senyawa mirip gibberelin (Merriman et al. 1975) dan dapat menghasilkan antibiotik serta zat yang menyebabkan terjadinya lisis (Kim et al. 1997). Pada pengujian secara in vitro,
Bacillus spp.
dapat menghambat
pertumbuhan Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Hasil pengamatan mikroskopis, menunjukkan bahwa senyawa antifungal menyebabkan
pembengkakan
hifa
yang dihasilkan bakteri dapat
Fusarium
oxysporum
f.sp.
cubense
mengakibatkan hifa tidak dapat berkembang sempurna (Eliza 2004). Bacillus BC121 mengeluarkan enzim kitinase yang dapat melisis hifa dan dinding sel Culvularia lunata dan beberapa cendawan lainnya yang tersusun oleh senyawa kitin. (Basha & Ulaganathan 2002).
10 Peranan Solarisasi Tanah dan Bakteri Antagonis dalam Pengendalian Hayati Pengendalian hayati adalah pengurangan jumlah inokulum dalam keadaan aktif maupun dorman atau penurunan aktifitas patogen sebagai parasit oleh satu atau lebih organisme yang berlangsung secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang atau antagonis atau dengan introduksi secara massal satu atau lebih organisme antagonis. Usaha penanggulangan penyakit tanaman dengan cara biologis mempunyai peluang yang cerah, organismenya telah tersedia di alam dan tekniknya dapat dimodifikasi dengan lingkungan maupun tanaman inang. Keuntungan pengendalian hayati antara lain : aman terhadap lingkungan, tidak ada efek residu, dan aplikasinya berkelanjutan. (Cook dan Baker 1983). Teknik pengendalian hayati patogen tanaman dengan memanipulasi lingkungan yaitu dengan solarisasi tanah dan dikombinasi dengan bakteri antagonis
yang
diaplikasikan
pada
perakaran
tanaman
telah
diketahui
keberhasilannya. Gamliel dan Katan (1993) melaporkan bahwa perlakuan agen antagonis dari spesies Pseudomonas fluorescens pada perakaran tomat yang kemudian ditanam pada tanah yang telah disolarisasi dapat menekan kolonisasi Penicillium pinophilum, buncis,
mengurangi kejadian penyakit oleh S. rolfsii pada
mengurangi kejadian penyakit layu fusarium pada kapas dan tomat.
Penekanan penyakit terjadi karena sekitar perakaran tanaman.
peningkatan jumlah agen antagonis pada
11 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan jurusan
Proteksi Tanaman IPB, rumah kaca Cikabayan IPB Bogor dan kebun percobaan Pusat Kajian Buah-buahan Tropik di daerah Tajur, Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan April 2005 sampai Maret 2006.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: bibit pisang Cavendish dan Barangan hasil kultur jaringan, plastik PVC (Polyvinyl Chloride), pupuk NPK, pupuk kandang, media PDA (Potato Dextrose Agar), media Komada, media Martin Agar, media SCA (Starch Casein Agar), media TSA (Triptic Soy Agar), media King’s B, media NB (Nutrient Broth), air steril dan lain- lain. Alat-alat yang digunakan yaitu:
jarum ose,
pengaduk, erlenmeyer,
penangas air, microwave, kapas, cawan petri, tabung reaksi, pelubang gabus, pipet, gelas ukur, timbangan, mikroskop, otoklaf, oven, kotak isolasi, alat tulis dan lain- lain.
Metode Isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense Patogen Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) yang digunakan adalah IPB 057 yang merupakan isolat koleksi dari Laboratorium Mikologi Tumbuhan jurusan Proteksi Tanaman IPB.
Sedangkan untuk percobaan di lapang,
digunakan lahan yang sudah terinfestasi secara alami oleh Foc.
Bakteri antagonis Bakteri antagonis yang digunakan yaitu dari kelompok Bacillus sp., dan Pseudomonas fluorescens.
Bacillus sp. ditumbuhkan dalam media TSA yang
diinkubasi selama 48 jam pada suhu ruang, kemudian dimurnikan dan disimpan dalam
media TSA cair pada suhu 40 C.
Bakteri Pseudomonas fluorescens
12 ditumbuhkan dalam media King’s B dan diinkubasi 48 jam pada suhu ruang, kemudian dimurnikan dalam TSA cair dan disimpan suhu 40 C.
Perbanyakan bakteri antagonis Perbanyakan bakteri antagonis dilakukan di Laboratorium
Mikologi
Tumbuhan Jurusan HPT, Fakultas Pertanian IPB. Satu petri bakteri pada media NB (Nutrient Broth) yang telah berumur 48 jam ditambahkan sebanyak 10 ml air steril, kemudian dilakukan pengocokan sehingga biakan tercampur dengan air steril tersebut sampai merata. Selanjutnya suspensi dimasukkan ke dalam 90 ml NB (Nutrient Broth), diinkubasi dan dikocok selama 48 jam.
Uji lapang Persiapan media tumbuh. Tanah dicampur dengan bahan organik kotoran sapi yang telah matang (5:1 v/v) yang diberikan perlubang tanah. Inokulasi patogen. Fusarium oxysporum f.sp. cubense yang digunakan berasal dari lahan yang telah terinfestasi layu fusarium. Diharapkan Foc yang berada di lahan yang akan ditanami pisang dapat menjadi sumber inokulum. Solarisasi tanah.
Solarisasi tanah dilakukan dengan menutup permukaan
lahan menggunakan plastik PVC (Polyvinyl chloride) bening dengan ketebalan 0.05 mm. Sebelumnya tanah lahan diolah dan diairi secukupnya sampai semua lapisan tanah basah.
Solarisasi dilakukan selama
tiga minggu
dan empat
minggu. Untuk kontrol, lahan dibiarkan tanpa ditutup plastik PVC (Polyvinyl Chloride). Perlakuan bibit pisang dengan bakteri antagonis. Perlakuan antagonis dilakukan pada saat akan menanam bibit pisang dengan cara mencelupkan akar tanaman pisang kedalam suspensi bakteri antagonis dengan kepadatan 109 /ml selama 24 jam kemudian dipindahkan ke lahan. Perlakuan bibit pisang dengan bakteri yaitu B1: P. fluorescens PG01 + B. polymixa BG25, B2: P. fluorescens ES32 + B. subtilis SB3 dan B0: tanpa perlakuan bakteri. Rancangan percobaan dan macam perlakuan penelitian.
Penelitian
disusun menurut RAKL dengan dua faktor yaitu solarisasi (tanpa solarisasi [S0], solarisasi tiga minggu [S3] dan solarisasi empat minggu [S4]) dan perlakuan
13 bakteri ( tanpa bakteri [B0], PG01+BG25 [B1], dan ES32+SB3 [B2]). Masingmasing perlakuan diulang tiga kali. Banyaknya tanaman pisang tiap perlakuan adalah 4-6 tanaman. Penanaman bibit dan pemeliharaan. Bibit pisang yang digunakan adalah kultivar Barangan umur 3 bulan yang telah diaklimatisasi dan merupakan hasil perbanyakan kultur jaringan yang diproduksi oleh BIOTROP Bogor. Setelah bibit dicelup dengan suspensi bakteri antagonis selama 24 jam, bibit ditanam ke lahan. Setelah penanaman, bibit tersebut dipupuk dengan NPK (15:15:15) sebanyak 10 gram perlubang tanam setiap bulan denga n cara menaburkan pupuk di sekeliling batang tanaman.
Percobaan pada Tanaman dalam Pot Persiapan media tumbuh. Tanah dicampur dengan bahan organik kotoran kambing yang telah matang (5:1 v/v). Setiap pot (diameter 30 cm) diisi dengan media tumbuh sampai penuh dan rata dengan pinggiran atas pot. Inokulasi patogen. Fusarium oxysporum f.sp. cubense yang digunakan adalah isolat IPB 057 koleksi Lab Mikologi Tumbuhan Institut Pertanian Bogor. Patogen yang digunakan adalah Foc ras 4 yang diperbanyak dalam medium PDB (Potato Dextrose Broth) dikocok selama 7 hari. Foc yang telah diperbanyak disaring dengan kertas Whatman no. 5, pelet yang tertinggal dihancurkan dengan blender dan disuspensikan ke dalam 200 ml air steril kemudian dicampur 1 kg tanah yang telah diserilisasi dengan uap panas (1210 C, 121 lb, 30 menit) 2 kali, lalu diinkubasi selama 4 minggu untuk mendapatkan klamidospora. Kerapatan populasi klamidospora dihitung dengan metode pengenceran pada medium PDA yang ditambah asam laktat 20%.
Tanah yang mengandung klamidospora
disimpan dalam suhu ± 170 C dan digunakan sebagai sumber inokulum (Widodo 2000). Inokulasi patogen dilakukan dengan cara infestasi inokulum pada pot percobaan sebelum solarisasi dengan kerapatan inokulum 103 cfu/g tanah. Solarisasi tanah.
Solarisasi tanah dilakukan dengan menutup permukaan
pot menggunakan plastik PVC (Polyvinyl Chloride) bening dengan ketebalan 0.05 mm. Sebelumnya tanah dalam pot diairi secukupnya sampai semua lapisan tanah basah. Solarisasi dilakukan selama, dua minggu, tiga minggu dan empat
14 minggu. Sebagai kontrol pot dibiarkan tanpa ditutup plastik PVC (Polyvinyl Chloride). Perlakuan bibit pisang dengan bakteri antagonis. Perlakuan antagonis dilakukan
pada saat akan menanam bibit pisang dilakukan setelah solarisasi
dengan cara mencelupkan akar tanaman pisang ke dalam suspensi bakteri antagonis selama 24 jam kemudian dipindahkan ke pot yang diberi perlakuan tanpa solarisasi, solarisasi dua minggu,
tiga minggu dan empat minggu.
Perlakuan pertama; B1 yaitu P. fluorescens PG01 + B. polymixa BG25; B2 yaitu P. fluorescens ES 32 + B. subtilis SB3; B12 yaitu P. fluorescens PG01 + B. polymixa BG25 + P. fluorescens ES 32 + B. subtilis SB3; B0 bibit pisang dicelupkan di air steril. Rancangan percobaan dan macam perlakuan penelitian.
Penelitian
disusun menurut RAKL dengan dua faktor yaitu solarisasi (tanpa solarisasi [S0], solarisasi dua minggu (S2), solarisasi tiga minggu [S3] dan solarisasi empat minggu [S4]) dan perlakuan bakteri ( tanpa bakteri [B0], PG01+BG25 [B1], ES32+SB3 [B2], PG01+BG25+ ES32+SB3 [B12] ). Masing- masing perlakuan diulang tiga kali. Banyaknya tanaman pisang tiap perlakuan adalah 5 tanaman. Penanaman bibit dan pemeliharaan. Bibit pisang yang digunakan adalah kultivar Cavendish yang telah diaklimatisasi selama 2 bulan dan merupakan hasil perbanyakan kultur jaringan. antagonis,
Setelah bibit dicelup dengan suspensi bakteri
bib it ditanam ke dalam pot. Setelah penanaman,
bibit tersebut
dipupuk dengan NPK (15:15:15) sebanyak 1 gram per lubang tanam setiap bulan dengan cara menaburkan pupuk disekeliling batang tanaman.
Peubah yang Diamati Periode Inkubasi Periode inkubasi dihitung dari mulai penanaman sampai munculnya gejala awal yang ditandai dengan terjadinya penguningan daun. Gejala awal nampak pada daun pertama atau daun kedua. Gejala ini biasanya terlihat dari tepi daun menuju ke pangkal atau pelepah daun.
15 Kejadian Penyakit (disease incidence=DI) Tingkat kejadian penyakit dihitung dengan cara mengamati gejala eksternal pada tanaman. Perhitungan dilakukan tiap bulan mulai dari penampakan gejala pertama sampai 120 hari setelah tanam (rumah kaca). Tingkat kejadian penyakit dihitung dengan rumus yang dikemukakan Campbell (1990) menggunakan rumus: DI = n/N X 100% DI
: Disease incidence (% gejala layu)
n
: Jumlah tanaman terserang
N
: Jumlah tanaman yang diamati
Keparahan Penyakit (Disease Severity=DS) Pengukuran kerusakan jaringan pembuluh pada bonggol kultivar pisang dilakukan dengan memotong bonggol tanaman secara horizontal pada bagian tengah bonggol dan dilihat keparahan
gejala dengan membuat skoring.
Keparahan penyakit dapat dihitung dengan rumus yang dikemukakan Campbell (1990) yaitu; DS = ∑(ni X vi) / Z X N
x
100%
DS
: Disease severity (%)
ni
: Jumlah bonggol yang terserang dengan kategori ke i
vi
: Nilai numerik ke i
Z
: Nilai numerik kategori serangan tertinggi
N
: Jumlah bonggol yang diamati Skoring dilakukan dengan metode Cordiero (1994) yang dimodifikasi
dengan cara memotong bagian bonggol mulai dari jarak 1 cm, 2 cm, 3 cm, 4 cm, 5 cm, dan 6 cm dari pangkal bonggol secara horizontal, kemudian nilai skoring ditentukan sebagai berikut : 1
= Tidak ada diskolorisasi pada berkas pembuluh
2
= Ada sedikit diskolorisasi
3
= Diskolorisasi ≤ 1/3 berkas pembuluh
4
= Diskolorisasi > 1/3 – 2/3
5
= Diskolorisasi lebih dari 2/3
6
= Berkas pembuluh penuh diskolorisasi
16 Modifikasi skoring dilakukan seperti yang terlihat pada diagram (Gambar 1).
VI x 6
6 5
VI x 5 VI x 4
4 3 2 1
VI x 3 VI x 2 VI x 1
Bonggol Pisang Gambar 1. Skoring Cordiero (modifikasi)
Analisis Mikrob Analisis populasi mikrob dilakukan pada awal dan akhir percobaan dari sampel komposit tanah
dengan metode pengenceran berseri (serial dilution
method). Sepuluh gram sampel tanah dicampur dengan 90 ml air steril, dikocok 30 menit dengan pengocok putar pada kecepatan 150 rpm, kemudian diambil 1 ml dan dicampurkan kedalam 9 ml air steril begitu seterusnya sampai pengenceran 10-8 . Penghitungan populasi mikrob dilakukan dengan cara menuangkan 0.1 ml pengenceran 10-2 untuk populasi Fusarium, 10-3 untuk cendawan tanah lainnya, 10-5 untuk aktinomisetes dan 10-8 untuk populasi bakteri ke dalam cawan petri berisi
media
tumbuh.
Media
yang
digunakan
adalah
media
PCNB
(Pentachloronitrobenzene), Martin Agar, SCA (Starch Casein Agar), dan TSA (Triptic Soy Agar) kekuatan 0.1,
masing- masing untuk Fusarium, cendawan
tanah, aktinomisetes, dan bakteri. Semua cawan tersebut diinkubasi pada suhu ruang dan dilakukan pengamatan dengan penghitungan jumlah koloni (colony forming unit) dan dikalikan dengan tingkat pengenceran sehingga diketahui populasi per gram tanah.
17 Uji Perkecambahan Konidia dan Pembentukan Klamidospora Foc Uji perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora dilakukan untuk menentukan keberadaan mikrob pada tanah yang menekan patogen. Foc dibiakkan pada media potato dex trose agar (PDA). Setelah 7 hari inkubasi, konidia Foc diambil kemudian dinkubasi awal selama 1 jam pada suhu 240 C pada larutan yang berisi 0.5% L-asparagin dan 0.5% glukosa. Kemudian disiapkan komposit tanah contoh dari percobaan rumah kaca.
Sebanyak 10 g tanah
ditambah 90 ml air dicampur. Kemudian dilakukan langkah- langkah berikut : 1. Perlakuan pertama, larutan disaring dengan kertas Whatman no. 5, suspensi yang dihasilkan, digunakan sebagai tempat uji perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora. Dengan cara mengambil suspensi Foc yang dicampur suspensi tanah (1:1 v/v), lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 240 C dan diamati persentase perkecambahan konidianya. Untuk mengamati tingkatan pembentukan klamidospora, biarkan campuran tersebut selama 7 hari, kemudian teteskan larutan 1 % rose bengal, dan diamati persentase pembentukan klamidosporanya. 2. Perlakuan kedua,
larutan disaring dengan saringan millipore 0.22 µm.
Kemudian suspensi yang dihasilkan digunakan
sebagai tempat uji
perkecambahan konidia dan perkembangan klamidospora seperti langkah pertama. 3. Perlakuan ketiga, larutan disaring dengan kertas Whatman no. 5, suspensi yang dihasilkan diotoklaf. Kemudian dilakukan seperti langkah pertama.
Analisis Data Untuk menguji pengaruh perlakuan
terhadap peubah yang diamati
dilakukan analisis ragam dengan menggunakan Statistix 8.0 (Copyright 19852003 Analytical Software) program. Khusus untuk tingkat kejadian penyakit data yang dianalisis adalah data transformasi vy+0.5. Selanjutnya tiap perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan uji Tukey’s untuk melihat perbedaan tiap perlakuan pada taraf 5%.
18 HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan Pada Tanaman dalam Pot Suhu Tanah Rerata suhu tertinggi pada pengukuran 5 cm dari permukaan tanah yang disolarisasi yaitu pada sore hari sebesar 51.580 C sedangkan pada tanah yang tidak disolarisasi suhu tertinggi yaitu 36.50 C terjadi pada siang hari. Pengukuran suhu pada kedalaman 10 cm dan 15 cm dari permukaan tanah, didapat rerata suhu tertinggi pada tanah yang disolarisasi yaitu 37.810 C pada siang hari dan 39.110 C pada sore hari, sedangkan untuk tanah yang tidak disolarisasi rerata suhu tertinggi yaitu 35.360 C pada siang hari dan 34.610 C pada sore hari (Tabel 1). Secara keseluruhan rerata suhu tanah yang disolarisasi lebih tinggi daripada rerata suhu tanah yang tidak disolarisasi. Pada tabel 1 terlihat bahwa rerata suhu tanah yang disolarisasi pada kedalaman 10 dan 15 cm di bawah 400 C. Pada daerah yang beriklim panas seperti daerah Israel, suhu dapat mencapai 40-500 C pada kedalaman 30 cm (Katan & De Vay 1991). Menurut Bruehl (1987), suhu optimum untuk pertumbuhan Fusarium oxysporum berkisar 24-280 C secara in vitro. Sedangkan suhu optimum yang mematikan patogen Fusarium oxysporum berkisar 38-470 C pada kedalaman 10 cm dari permukaan tanah (Katan & De Vay 1991). Pada gambar 1 juga dapat dilihat bahwa rerata suhu harian tertinggi yaitu pada kedalaman 5 cm dari permukaan tanah pada tanah yang disolarisasi. Suhu harian pada kedalaman lebih dari 5 cm dari permukaan tanah cenderung lebih rendah pada tanah yang disolarisasi. Tidak maksimalnya suhu pada kedalaman lebih dari 5 cm dari permukaan tanah kemungkinan dikarenakan tipe tanah, intensitas cahaya matahari pada saat solarisasi, disolarisasi.
jenis mulsa, dan luasan mulsa yang ditutupkan ke tanah yang Jenis mulsa terbaik untuk solarisasi tanah yaitu mulsa transparan
dari bahan polyethylene dengan ketebalan 0.03 mm (Stevens et al. 1991). Pada percobaan ini, menggunakan mulsa dari bahan polyvinil chloride dengan ketebalan 0.05 mm yang kualitasnya kurang dalam menangkap panas,
mulsa
tersebut ditutupkan pada pot plastik berisi tanah dengan diameter 30 cm dan tinggi
19 35 cm. Penutupan tanah dengan mulsa pada luasan yang sempit, kurang efisien dalam memanaskan tanah,
hal ini menimbulkan efek yang disebut ”border
effect”, dimana suhu pada pinggiran mulsa lebih rendah daripada bagian tengah mulsa, sehingga penyebaran suhu tidak merata dan panas yang dihasilkan kurang optimal (Mahrer 1991). Penggunaan pot plastik yang berdiameter 30 cm dan mulsa dari jenis polyvinil chloride tampaknya kurang efektif dalam memanaskan suhu tanah selain itu juga dipengaruhi intensitas cahaya matahari, karena pada saat dilakukan penelitian ini sering terjadi hujan dan cuaca mendung.
Tabel 1. Rerata suhu pada tanah yang diukur pada kedalaman 5 cm, 10 cm, dan 15 cm dari permukaan tanah Perlakuan / Rerata suhu (0 C) pada kedalaman Pengamatan 5 cm 10 cm 15 cm Solarisasi Pagi 24.92 24.85 25.54 Siang 40.69 37.81 36.42 Sore 51.58 37.15 39.11 Tidak disolarisasi Pagi 23.80 23.80 24.31 Siang 36.35 35.36 32.35 Sore 36.50 34.50 34.61 44 43 42 41 40 39 38
Suhu (Celcius)
37 36 35 34
5 cm Sol
33
5 cm T Sol
32
10 cm Sol
31
10 cm T Sol 15 cm Sol
30
15 cm T Sol
29 28 27 26 25 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Hari ke-
Gambar 2. Grafik Rerata suhu harian selama solarisasi (Rumah Kaca Cikabayan 23 Oktober-20 November 2005)
20 Keparahan Penyakit,
Kejadian Penyakit
dan Masa Inkubasi Foc pada
Percobaan Tanaman dalam Pot Perlakuan solarisasi dapat mengurangi keparahan penyakit dan persentase akar sakit dengan sangat nyata tetapi tidak dapat mengurangi kejadian penyakit, perlakuan bakteri juga tidak dapat mengurangi keparahan dan kejadian penyakit (Tabel 2). Tidak terjadi interaksi antara perlakuan solarisasi dan bakteri dalam menurunkan keparahan penyakit, kejadian penyakit, dan persentase akar sakit (Tabel 2). Tanaman pisang tidak menunjukkan gejala terserang Foc secara visual pada 120 hari setelah tanam, sampai akhir perlakuanpun gejala visual pada pohon pisang tidak tampak, sehingga sulit untuk menentukan masa inkubasi Foc dan kejadian penyakit. Tetapi setelah dilakukan pengamatan pada bonggol pisang pada akhir perlakuan (120 hari setelah tanam), ternyata semua tanaman pisang terinfeksi Foc dengan keparahan yang berbeda setiap perlakuan (Tabel 3).
Tabel 2. Rangkuman analisis ragam pengaruh solarisasi tanah dan bakteri antagonis terhadap keparahan penyakit, persentase akar sakit, kejadian penyakit, dan periode inkubasi pada percobaan tanaman dalam pot Perlakuan Keparahan Persentase Kejadian Periode penyakit akar sakit penyakit inkubasi Solarisasi SN SN TN TN Bakteri TN TN TN TN Solarisasi*bakteri TN TN TN TN SN = Sangat nyata, TN = Tidak Nyata
Menurut Stover (1972), gejala layu fusarium pada pisang di rumah kaca akan muncul 2-4 bulan setelah tanam. Tidak munculnya gejala layu secara visual pada percobaan ini mungkin karena patogen berkurang virulensinya, inokulum, dan jenis ras/tipe Foc. Besar kecilnya tipe inokulum dan banyaknya inokulum pada tanah akan mempengaruhi cepat tidaknya patogen menginfeksi tanaman (Bruehl 1987; Baker & Drury 1981), mungkin hal ini yang menyebabkan lambatnya patogen dalam melakukan
infeksi.
Penelitian yang
dilakukan
Maimunah
(1999)
juga
menyimpulkan bahwa dari pengujian 3 isolat Foc yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda pula terhadap periode inkubasi, kejadian penyakit dan
21 keparahan penyakit. Adanya introduksi agen antagonis juga dapat memperpanjang periode inkubasi (Susanna 2000).
Tabel 3. Pengaruh solarisasi dan bakteri terhadap keparahan, persentase akar sakit, diameter batang, dan tinggi tanaman pisang. Perlakuan Solarisasi
Keparahan
% Akar Sakit
Diameter Batang Semu
Tinggi Tanaman
S0 S2 S3 S4
42.59 a 37.49 b 38.05 b 36.11 b
68.07 a 56.98 b 58.43 b 51.09 c
14.51 a 15.51 a 15.44 a 15.37 a
60.76 a 63.55 a 60.95 a 59.74 a
39.62 a 38.79 a 37.39 a 38.42 a
59.05 a 58.74 a 58.52 a 58.26 a
15.40 a 15.05 a 14.76 a 15.64 a
62.33 a 60.50 a 57.00 a 65.16 a
Bakteri
B0 B1 B2 B12
Pengaruh Solarisasi dan Bakteri Antagonis Keparahan Penyakit Foc. Setelah dilakukan analisis statistik, perlakuan solarisasi mampu menurunkan keparahan penyakit dengan sangat nyata. Sedangkan perlakuan tunggal bakteri tidak mampu menurunkan keparahan penyakit (Tabel 3). Solarisasi yang dilakukan dapat meningkatkan suhu
tanah, selain itu
menurut Katan dan De Vay (1991) solarisasi tanah dapat mengubah sifat fisik dan kimia pada tana h yang secara tak langsung berpengaruh terhadap mikrob. Perubahan fisik dan kimia pada tanah akibat solarisasi ini mungkin dapat menyebabkan Foc menjadi fungistatik,
tetapi tetap bisa berkecambah dan
menginfeksi tanaman, tetapi kemampuannya menurun. (1970),
Menurut Ford et a.l
tanah mengandung suatu substansi yang dapat
menghambat dan
mempercepat pembentukan klamidospora dan perkecambahan konidia Fusarium spp.. Perlakuan bibit pisang dengan bakteri antagonis Pseudomonas spp. dan Bacillus spp. sebelum penanaman ternyata tidak dapat mengurangi keparahan penyakit secara nyata (Tabel 3).
Fenomena ini sering terjadi terhadap agen
antagonis yang mempunyai sifat antagonis pada uji in vitro ternyata ketika dilakukan
uji in vivo tidak merefleksikan kemampuan antagonisnya (Fravel
22 1988).
Hal ini juga dipengaruhi oleh jenis bakteri antagonis, dan varietas
tanaman.
Bakteri yang diaplikasikan pada varietas tanaman yang berbeda
menunjukkan efikasi yang berbeda terhadap patogen tanaman (Wiyono 2003). Tipe tanah sebagai media tanam yang digunakan juga berpengaruh terhadap sifat antagonisme bakteri. Pengujian bakteri antagonis dalam rumah kaca terhadap Foc yang dilakukan oleh Eliza (2004) dengan menggunakan tanah dari daerah Ciapus dan menggunakan pisang ambon kuning menunjukkan bakteri antagonis isolat SB3 dan ES32 dapat menekan keparahan Foc secara nyata.
Tetapi ketika
percobaan ini dilakukan dengan menggunakan tanah dari daerah Cikabayan dan pisang Cavendish serta menggunakan bakteri antagonis yang sama (isolat SB3 dan ES32), bakteri antagonis tidak dapat menekan keparahan penyakit Foc secara nyata. Pencelupan akar pisang dengan age n antagonis selama 24 jam sebelum penanaman ternyata tidak efektif dalam menekan keparahan penyakit Foc, hal yang sama juga diungkapkan oleh Eliza (2004). Menurut Eliza (2004) pencelupan akar pisang selama 24 jam kemudian ditanam pada medium aklimatisasi (arang sekam + pasir yang telah disterilkan ) selama 40 hari, lalu dipindahkan pada media tanam, ternyata lebih efektif dalam menekan keparahan penyakit Foc pada percobaan skala rumah kaca. Pengamatan gejala Foc pada bonggol pisang menunjukkan perlakuan bakteri antagonis campuran SB3 dan ES32 (perlakuan B2) lebih cenderung menghambat B1) dan
Foc dibandingkan dengan campuran PG01 dan BG25 (perlakuan
campuran PG01, BG25, SB3, dan ES32 (perlakuan B12), meskipun
secara statistik hasilnya tidak nyata (Gambar 3). Solarisasi tanah tampaknya merubah sifat fisik dan kimia tanah yang memicu penurunan patogenesitas patogen dan agen antagonis menimbulkan sifat antagonisnya, sehingga terjadi persaingan dalam nutrisi yang memicu agen antagonis
mengeluarkan
senyawa
antifungal,
sehingga
kemungkinan
menghambat pertumbuhan Foc. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Katan & Devay (1991) dan Gamliel & Katan (1993) yaitu semakin lama solarisasi dilakukan akan semakin baik dalam menurunkan patogenesitas patogen dan meningkatkan kemampuan agen antagonis.
23 SOBO
SOB1
A A
SOB2
SOB12
S2BO
S2B1
S2B2
S2B12
Gambar 3 bersambung ke halaman berikutnya
24 S3BO
S3B1
S3B2
S3B12
S4BO
S4B1
S4B2
S4B12
A = Gejala (Foc) diskolorisasi pada berkas pembuluh
Gambar 3. Gejala (Foc) diskolorisasi pada bonggol pisang pada perlakuan solarisasi dan bakteri pada 120 hari setelah tanam (Percobaan tanaman dalam pot)
25 Kelompok bakteri Pseudomonas spp. dan Bacillus spp. juga dilaporkan mempunyai senyawa anti mikrob yang dapat menekan pertumbuhan patogen dan menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen (van Loon 2000; van Loon & Bakker 2004; Sutariati 2006). P. fluorescens ES32 dan B. subtilis SB3 yang digunakan merupakan bakteri endofit yang berada pada jaringan perakaran dan bersifat antagonis terhadap Foc (Eliza 2004). Penghambatan terhadap Foc mungkin terjadi di dalam perakaran tanaman pisang meskipun pada analisis statistik tidak dapat mengurangi keparahan penyakit. Gejala serangan Foc yang terlihat pada bonggol pisang dengan perlakuan bakteri P. fluorescens ES32 dan B. subtilis SB3 lebih rendah dibandingkan kontrol tanpa bakteri (Gambar 3). Menurut Hallman (2001), mekanisme bakteri endofit dalam melindungi tanaman dari patogen yaitu dengan cara kolonisasi jaringan korteks pada akar, produksi metabolit yang menekan patogen, dan menginduksi ketahanan tanaman. Persentase Akar Sakit. Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan solarisasi mampu menurunkan persentase akar sakit dengan sangat nyata, tetapi perlakuan bakteri tidak mempunyai pengaruh terhadap persentase akar sakit (Tabel 3). Meskipun
solarisasi dapat menurunkan
persentase akar sakit, tetapi
persentase akar sakit rata-rata masih di atas 50% dan ini tidak menutup kemungkinan suatu saat persentase akar sakit dapat mencapai 100%. Persentase akar sakit berkorelasi dengan keparahan penyakit, tingginya persentase akar sakit mengakibatkan keparahan yang tinggi. Foc biasanya menginfeksi akar lateral kemudian berkembang menuju bonggol, jadi semakin banyak akar yang terinfeksi, keparahan penyakit layu fusarium akan meningkat (Wardlaw 1972). Banyaknya akar pisang yang terinfeksi Foc karena eksudat yang dikeluarkan akar sangat kaya akan nutrisi diantaranya asam amino dan gula yang berfungsi
sebagai
sumber
nitrogen
dan
karbon
untuk
pertumbuhan
mikroorganisme (Bruehl 1987). Kompetisi sumber nutrisi dan tempat antara bakteri antagonis dan Foc mungkin saja terjadi di daerah rizosfer, karena bakteri antagonis yang diaplikasi merupakan rizo-bakteria yang menghuni daerah sekitar perakaran (P. flourescens PG01 dan B. polymixa BG25) yang menurut hasil
26 penelitian Sutariati (2006) kedua bakteri tersebut dapat menghasilkan senyawa antibiotik, hormon IAA, mensekresikan enzim kitinase, protease dan selulase, memproduksi siderofor dan HCN serta melarutkan posfat. Tetapi agen antagonis tetap tidak bisa menghambat penetrasi dan infeksi Foc pada perakaran pisang. Diduga penghambatan Foc juga terjadi dalam jaringan tanaman oleh bakteri endofit yang diaplikasikan (P. fluorescens ES32 dan B. subtilis SB3), seperti yang terlihat tidak munculnya gejala visual diatas permukaan tanah pada tanaman pisang setelah lebih dari 120 hari setelah tanam. Adapun mekanisme penekanan penyakit oleh bakteri dengan cara kolonisasi jaringan internal inang, kolonisasi jaringan korteks, kolonisasi ruang dan tempat dalam jaringan tanaman, menghasilkan metabolit yang menekan perkembangan patogen, dan menstimulasi ketahanan inang (Hallmann 2001). Hasil pengujian in vitro oleh Eliza (2004) menunjukkan bakteri yang berada dalam jaringan internal akar (endofit) menghasilkan senyawa antifungal yang dapat menghambat Foc. Benhaumou et al. (1996) juga melaporkan
P. flourescens
menghasilkan enzim selulase,
proteinase, dan pektinase yang digunakan untuk penetrasi secara aktif ke dalam jaringan tanaman dan mengkoloni daerah intersellular jaringan korteks akar, terutama bakteri yang bersifat endofit.
Enzim-enzim tersebut juga dapat
mendegradasi dinding sel Foc dan membuatnya lisis.
Tinggi Tanaman. Berdasarkan analisis statistik, perlakuan solarisasi, bakteri tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman (Tabel 3). Bakteri antagonis P. fluorescens ES32 dan B. subtilis SB3 yang digunakan dalam percobaan ini berdasarkan pengujian Eliza (2004) menghasilkan hormon IAA cukup tinggi yang dapat memacu pertumbuhan tanaman pada pisang hal yang sama juga diungkapkan Sutariati (2006) terhadap P. fluorescens PG01 dan B. polymixa BG25 pada tanaman cabai. Eliza (2004) menyimpulkan secara umum bakteri kelompok Bacillus spp. lebih mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman pisang dibandingkan bakteri kelompok Pseudomonas spp. Meskipun hormon IAA yang dihasilkan Bacillus spp. lebih sedikit daripada Pseudomonas spp. Tetapi
27 pada percobaan ini bakteri antagonis tersebut tidak meningkatkan tinggi tanaman pisang. Diameter Batang Semu. Perlakuan solarisasi, bakteri tidak berpengaruh nyata terhadap diameter batang semu tanaman (Tabel 3).
Pengaruh Filtrat Tanah Komposit terhadap Perkecambahan Konidia dan Pembentukan Klamidospora Foc Rerata
Persentase
Perkecambahan
Konidia
dan
Pembentukan
Klamidospora. Hasil pengujian pengaruh filtrat tanah yang disaring dengan kertas saring Whatman no. 5 menunjukkan pada filtrat tanah perlakuan S4B0, S4B1,
dan S4B2, tidak terjadi perkecambahan konidia Foc.
perkecambahan konidia Foc tertinggi terjadi pada S0B0.
Persentase
Pada filtrat yang
disterilisasi dengan uap panas (otoklaf), persentase perkecambahan konidia Foc tertinggi pada S0B0 dan terendah pada S4B0. Pada filtrat tanah yang difiltrasi dengan kertas saring millipore 0.22 µm, persentase perkecambahan konidia Foc tertinggi pada S0B1 (27.88%) dan terendah pada S4B0 dan S4B1 masing- masing 0% (Tabel 5). Hasil uji filtrat tanah yang disaring dengan kertas saring Whatman no. 5 menunjukkan persentase pembentukan klamidospora Foc tertinggi pada pada S0B0 dan terendah pada S4B0.
Pada filtrat yang disteril dengan uap panas,
persentase pembentukan klamidospora tertinggi pada S0B0 dan terendah pada S4B0. Filtrat tanah yang difiltrasi kertas saring millipore 0.22 µm, persentase pembentukan klamidospora tertinggi pada S2B2 dan terendah pada S4B0 (Tabel 5). Secara keseluruhan filtrat komposit tanah yang disaring dengan kertas Whatman
no.
5
menunjukkan
persentase
perkecambahan konidia
dan
pembentukan klamidospora yang lebih rendah daripada memakai kertas saring millipore dan filtrat yang disteril dengan uap panas (Tabel 5). Ketika memakai kertas saring Whatman no. 5, bakteri masih bisa diloloskan. Diduga filtrat tanah untuk pertumbuhan Foc mengandung bakteri yang mengeluarkan senyawa dalam menghambat pertumbuhan konidia dan pembentukan klamidospora hal ini didukung dengan pengamatan mikroskopik, dimana terjadi pembengkakan dan
28 pembentukan tabung kecambah yang abnormal. Ini mengindikasikan adanya kemungkinan produksi senyawa antibiosis. Filtrat
tanah
yang
disterilisasi
dengan
uap
panas
menunjukkan
perkecambahan konidia yang lebih tinggi dan pembentukan klamidospora yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 5). Diduga filtrat tanah yang disterilkan dengan uap panas tidak lagi mengandung bakteri atau cendawan dan senyawa antifungal rusak oleh panas. Mungkin juga tanah mengandung substansi tertentu
yang
menginduksi
perkecambahan
klamidospora menjadi lebih cepat.
konidia
dan
Rendahnya penekanan
pembentukan perkecambaha n
konidia pada filtrat tanah yang disterilisasi dengan uap panas membuktikan bahwa penghambatan perkecambahan konidia disebabkan oleh faktor biologis. Menurut Ford et a.l (1970),
filtrat tanah mengandung suatu substansi yang dapat
menginduksi pembentukan klamidospora dan perkecambahan konidia dari Fusarium spp.. Semakin lama solarisasi
dilakukan,
perkecambahan
konidia dan
pembentukan klamidospora Foc semakin kecil, dan filtrat tanah dari perlakuan B2 dan B12 lebih cenderung menekan perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora Foc (Tabel 4). Semakin lama solarisasi dilakukan akan semakin baik dalam menurunkan patogenesitas patogen dan meningkatkan kemampuan agen antagonis (Katan & De Vay 1991; Gamliel & Katan 1993). Perlakuan B2 dan B12 mengandung bakteri antagonis P. fluorescens ES31 dan B. subtilis SB3 yang menurut penelitian Eliza (2004), P. fluorescens ES31 dapat menurunkan kejadian penyakit layu fusarium pisang pada uji rumah kaca dan filtrat dari B. subtilis SB3 dapat menekan perkecambahan klamidospora Foc pada uji in vitro.
29 Tabel 4. Rerata persentase perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora Foc dari berbagai perlakuan filtrat komposit tanah pada masing- masing perlakuan solarisasi dan bakteri. Perlakuan
Rerata (%) Perkecambahan konidia Foc Pembentukan klamidospora Foc
TS SW SC Rerata TS SW SC S0 53.25 21.37 15.79 30.13 30.13 28.83 15.43 S2 26.39 17.00 7.31 16.90 16.90 14.61 15.17 S3 21.83 4.06 2.53 9.47 9.47 11.70 8.07 S4 16.95 1.95 0.27 6.39 6.39 9.35 5.31 B0 30.44 11.9 11.79 18.04 17.18 10.7 9.73 B1 33.02 13.06 4.62 16.90 18.05 11.53 6.77 B2 28.02 9.36 4.29 13.89 14.95 11.51 5.64 B12 26.79 9.95 5.19 13.98 14.32 9.73 6.05 TS = Filtrat tanah yang disterilisasi dengan uap panas (otoklaf) SW = Filtrat tanah yang disaring dengan kertas Whatman no. 5 SM = Filtrat tanah yang difiltrasi dengan filter bakteri (millipore 0,22 µm)
Rerata 24.80 15.56 9.75 7.02 12.54 12.12 10.70 10.03
Tabel 5. Rerata persentase perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora Foc pada berbagai perlakuan filtrat tanah Perlakuan
S0B0 S0B1 S0B2 S0B12 S2B0 S2B1 S2B2 S2B12 S3B0 S3B1 S3B2 S3B12 S4B0 S4B1 S4B2 S4B12
Rerata (%) Perkecambahan konidia Foc Pembentukan klamidospora Foc TS
SW
SC
Rerata
TS
SW
SC
Rerata
63.13 47.23 53.32 49.31 27.43 33.48 17.07 27.57 22.07 38.07 16.60 10.57 9.13 13.30 25.63 19.73
24.53 27.88 15.13 17.91 21.89 22.43 13.10 10.57 1.57 1.93 6.23 6.50 0.00 0.00 2.98 4.83
32.83 13.33 5.27 11.71 12.87 3.90 8.18 4.30 1.47 1.27 3.70 3.70 0.00 0.00 0.00 1.07
40.17 29.48 24.57 26.31 20.73 19.94 12.78 14.14 8.37 13.76 8.84 6.92 3.04 4.43 9.54 8.54
34.90 26.95 27.83 25.66 16.72 17.91 9.20 14.62 11.87 19.70 9.13 6.12 5.23 7.65 13.65 10.87
18.10 19.44 11.40 12.79 14.44 14.72 20.38 11.12 6.95 6.63 8.62 10.08 3.33 5.33 7.65 4.92
23.42 11.83 5.63 10.19 9.43 6.28 6.09 5.65 3.73 5.63 6.52 5.52 2.33 3.33 4.33 2.87
25.47 19.41 14.95 16.21 13.53 12.97 11.89 10.46 7.52 10.66 8.09 7.24 3.63 5.44 8.55 6.22
TS = Filtrat tanah yang disterilisasi dengan uap panas (otoklaf) SW = Filtrat tanah yang disaring dengan kertas Whatman no. 5
SM = Filtrat tanah yang difiltrasi dengan filter bakteri (millipore 0,22 µm)
30 Populasi Awal dan Akhir Mikrob Populasi Fusarium oxysporum (Fo) pada awal percobaan adalah 5.46-5.76 cfu/gram tanah, setelah percobaan selesai kemudian populasi Fo dihitung kembali dan terjadi penurunan populasi Fo pada setiap perlakuan. Populasi Fo pada akhir percobaan berkisar 4.30-5.00 log cfu/gram tanah (Tabel 6). Keberadaan populasi Pseudomonas spp. dan Bacillus spp. pada awal percobaan ternyata sudah cukup tinggi pada semua perlakuan. Dan populasinya pada akhir percobaanpun masih terus meningkat hampir pada semua perlakuan. Populasi Pseudomonas spp. pada awalnya yaitu 11.41-12.35 log cfu /gram tanah dan pada akhir percobaan yaitu 11.62-12.70 log cfu /gram tanah. Sedangkan populasi Bacillus spp. pada awalnya yaitu 6.18-6.81 log cfu /gram tanah, dan populasi akhirnya yaitu 6.30-7.02 log cfu /gram tanah (Tabel 6).
Tabel 6. Populasi awal dan akhir Fo, Pseudomonas spp., dan Bacillus spp. Perlakuan S0B0 S0B1 S0B2 S0B12 S2B0 S2B1 S2B2 S2B12 S3B0 S3B1 S3B2 S3B12 S4B0 S4B1 S4B2 S4B12 Fo Pf Bc
Populasi awal (log cfu /g) Fo Pf Bc 5.75 12.06 6.74 5.72 12.28 6.40 5.66 12.06 6.48 5.62 12.16 6.81 5.75 11.98 6.54 5.46 12.32 6.30 5.76 12.29 6.18 5.73 12.35 6.74 5.62 11.41 6.60 5.68 12.06 6.60 5.54 12.10 6.48 5.61 12.28 6.70 5.74 12.04 6.18 5.71 11.95 6.18 5.60 11.93 6.48 5.54 12.34 6.30
Populasi akhir (log cfu/g) Foc Pf Bc 4.90 12.41 6.60 5.00 12.36 6.40 4.98 12.34 7.02 4.95 12.59 6.48 4.70 12.65 6.60 4.74 12.73 6.48 4.60 11.62 6.30 4.78 12.69 6.81 4.70 12.64 6.74 4.60 12.63 6.65 4.18 12.68 6.40 4.30 12.70 6.48 4.40 12.68 7.08 4.48 12.54 7.13 4.30 12.81 7.08 4.48 12.76 7.08
= Fusarium oxysporum = Pseudomonas spp. = Bacillus spp.
Peningkatan populasi Pseudomonas spp. dan Bacillus spp. berturut yaitu berkisar 0.21 – 0.35 dan 0.12 – 0.21 kali dalam skala log. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan populasi Pseudomonas spp. dan Pseudomonas spp. sangat kecil. Katan dan De Vay (1991) mengatakan pada saat perlakuan solarisasi,
31 populasi Pseudomonas spp. akan mengalami penurun, tetapi populasinya akan meningkat kembali. Sedangkan Bacillus spp. dapat bertahan pada saat solarisasi dilakukan dengan pembentukan spora yang tahan pada suhu ekstrim. Cendawan Tanah Cendawan tanah yang teridentifikasi dari sampel tanah secara berurutan dari yang terbanyak populasinya yaitu Rhizopus sp., Aspergillus spp., Chaetomium s., Rhizomucor pusillus, Cunninghamella sp.. Adapun cendawan Fusarium yang teridentifikasi yaitu Fusarium solani, dan dua kelompok Fusarium spp.
Percobaan Lapang
Suhu Tanah Rerata suhu tanah tertinggi pada solarisasi 4 minggu yaitu 37.500 C pada sore hari dan solarisasi 3 minggu, rerata suhu tertinggi yaitu pada sore hari sebesar 36.210 C. Sedangkan suhu tertinggi pada tanah yang tidak disolarisasi yaitu 32.920 C (Tabel 7). Kisaran suhu tersebut sudah cukup untuk menekan patogen tanah, tetapi jika patogen berada lebih dalam lagi di tanah, kemungkinan panas matahari tidak mencapai suhu tersebut dan tidak dapat menekan patogen tanah .
Tabel 7. Rerata suhu tanah pada solarisasi tanah dilapang pada kedalaman 10 cm (1 Mei 2005-31 Mei 2005) Rerata Suhu (0 C) Tanpa Solarisasi Solarasi 4 Minggu Solarisasi 3 Minggu Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore Pagi Siang Sore 28.10 31.21 32.92 31.94 35.92 37.50 31.79 34.63 36.21 Gambar 2 menunjukkan grafik rerata suhu harian tanah yang diukur pada kedalaman 10 cm.
Suhu harian tertinggi yaitu 400 C pada solarisasi 4 minggu,
pada solarisasi 3 minggu, suhu harian tertinggi yaitu 360 C sedangkan suhu harian tertinggi pada tanah yang tidak disolarisasi yaitu 330 C.
Terjadi turun naiknya
suhu harian pada pengukuran tersebut, dari grafik terlihat bahwa suhu tanah yang disolarisasi lebih tinggi dari tanah yang tidak disolarisasi. Rerata suhu harian pada
32 perlakuan solarisasi tampaknya kurang maksimal, mungkin dipengaruhi oleh intensitas penyinaran sinar matahari yang pada saat solarisasi dilakukan sering terjadi hujan dan cuaca mendung serta solarisasi yang kurang lama. Tetapi hal ini sudah cukup untuk mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah, juga mikrobnya. Katan et al. (1976) mengatakan peningkatan suhu di dalam tanah akan mempengaruhi
sifat fisik dan kimia tanah, menurunkan populasi gulma dan
patogen tanah, dan meningkatkan populasi mikrob antagonis. 41 40 39 38 37 36
Suhu (Celcius)
35 34 33 32 31 30 29 28
Tanpa Solarisasi
27
Solarisasi 4 Minggu Solarisasi 3 Minggu
26 25 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 2 0 2 1 2 2 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hari ke-
Gambar 4. Grafik Rerata suhu harian pada ke dalaman 10 cm
Kejadian Penyakit Hasil analisis statistik menunjukkan solarisasi, bakteri maupun interaksi solarisasi dan bakteri tidak berbeda nyata terhadap kejadian penyakit Foc (Tabel 8). Hal ini mungkin dipengaruhi lamanya solarisasi, virulensi patogen, intensitas penyinaran sinar matahari, agen antagonis. Makin lama solarisasi tanah dilakukan hasilnya akan semakin baik. Solarisasi selama tiga minggu dan empat minggu tampaknya kurang berpengaruh terhadap kejadian penyakit. Selain itu solarisasi yang sering dilakukan dan banyak berhasil hanya pada tanaman-tanaman semusim (Katan & De Vay 1991). Untuk tanaman perkebunan ataupun tanaman tahunan belum ada laporan yang menyebutkan keberhasilan solarisasi tanah.
33 Sedangkan penyinaran sinar matahari tidak menghasilkan suhu yang cukup untuk menekan patogen Foc apalagi jika Foc berada lebih dalam dari permukaan tanah, solarisasi akan sulit untuk merusak struktur Foc. Agen antagonis yang diaplikasikan ke akarpun tidak dapat mengurangi kejadian penyakit. Hal ini sering terjadi, meskipun pada uji in vitro dan skala rumah kaca agen antagonis yang diaplikasikan dapat menekan Foc (Eliza 2004), tetapi ketika dilepas di lapang, kemampuannya berkurang dalam menekan Foc.
Tabel 8. Hasil analisis ragam dari peubah yang diamati (pengamatan dari September 2005-Maret2006) Perlakuan
Solarisasi Bakteri Interaksi
Sept TN TN TN
Okto TN TN TN
Kejadian Penyakit Nov Des Jan TN TN TN TN TN TN TN TN TN
Feb TN TN TN
Mar TN TN TN
TN = Tidak Nyata
80 S0B0
% Kejadian penyakit
70
S0B1
60
S0B2
50
S3B0
40
S3B1
30
S3B2
20
S4B0 S4B1
10
S4B2
0 Juli Agust Sept Okto Nov Des
Jan
Feb
Mar
Bulan
Gambar 5. Persentase kejadian penyakit Foc di lapang (Juli 2005-Maret2006)
Pengukuran kejadian penyakit dilakukan setiap bulan dengan melihat gejala visual yang muncul pada pisang, yaitu gejala daun menguning pada daun yang
34 paling bawah kemudian lapisan luar batang palsu terbelah dari pangkal batang menuju ke atas (Semangun 1994). Gejala awal Foc muncul pada bulan ke tiga setelah tanam, selanjutnya gejala Foc terus meningkat persentasenya (Gambar 5). Jika dilihat pada tabel 9,
kejadian penyakit pada setiap perlakuan
menunjukkan peningkatan dan pada pengukuran terakhir dibulan Maret, kejadian penyakit terbesar justru pada perlakuan S3B0, S4B1, dan S4B2. Hal ini mungkin saja terjadi karena inokulum Foc yang di lapang bukan merupakan infestasi buatan tetapi lahan yang digunakan memang sudah terinfestasi Foc secara alami dan penyebarannya di lahan tidak merata. Penyebaran lainnya bisa juga melalui air hujan, ataupun alat-alat pertanian yang dipergunakan pekerja kebun (Semangun 1994).
Tabel 9. Persentase rerata kejadian penyakit pada tiap perlakuan dari bulan Agustus 2005-Maret 2006. Perlakuan Agust Sept Okto Nov Des Jan Feb Mar S0B0 0 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 50 S0B1 0 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 42.85 S0B2 0 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 28.6 50 S3B0 0 28.6 28.6 28.6 42.85 42.85 42.85 71.43 S3B1 0 28.6 28.6 28.6 42.85 42.85 42.85 57.14 S3B2 0 28.6 28.6 28.6 35.7 35.7 35.7 35.7 S4B0 0 28.6 28.6 28.6 50 50 50 57.14 S4B1 0 28.6 28.6 28.6 35.7 35.7 35.7 71.43 S4B2 0 28.6 28.6 28.6 42.85 42.85 42.85 71.43 Populasi Awal dan Akhir Mikrob Rerata populasi awal Fusarium oxysporum di tanah sebelum perlakuan ternyata sudah cukup tinggi yaitu 4.98-5.62 log cfu/gram tanah dan populasi akhir yaitu (pengukuran pada bulan Maret 2006) 4.18-5.46 log cfu/gram tanah (Tabel 10). Meskipun terjadi pengurangan populasi Fusarium oxysporum pada akhir pengukuran tetapi populasinya tetap tinggi. Secara umum, populasi bakteri kelompok Pseudomonas spp. dan Bacillus spp. lebih tinggi
pada perlakuan solarisasi. Keberadaan agen antagonis dari
kelompok Bacillus spp. dan Pseudomonas spp. juga cukup tinggi pada awal dan
35 akhir pengukuran, tetapi keberadaannya tidak dapat menekan kejadian penyakit layu fusarium pada pisang.
Tabel 10. Populasi awal dan akhir Fo (Fusarium oxysporum), Pseudomonas spp.(Pf), dan Bacillus spp. (Bc) Pupulasi Awal (log cfu/g) Pupulasi Akhir (log cfu/g) Perlakuan Fo Pf Bc Fo Pf Bc S0B0 5.54 13.16 6.54 5.46 13.19 6.30 S0B1 5.62 13.21 6.40 5.38 13.24 6.00 S0B2 5.08 13.23 6.48 4.81 13.56 6.00 S3B0 5.51 13.28 6.54 4.18 13.02 6.54 S3B1 5.32 12.29 6.65 4.81 13.42 6.81 S3B2 5.54 13.32 6.30 5.04 13.61 6.81 S4B0 4.98 13.31 6.40 4.93 13.68 6.85 S4B1 5.18 13.47 6.60 4.78 13.57 6.54 S4B2 5.04 13.29 6.54 4.88 13.64 7.04 Cendawan Tanah Cendawan tanah yang teridentifikasi dari sampel tanah secara berurutan dari yang terbanyak populasinya yaitu Sclerotium sp., Monilia sp., Phoma sp., Rhizopus sp., Aspergillus sp. 1, Phytophthora sp., dan Aspergillus sp. 2. Sedang kan cendawan fusarium yang teridentifikasi yaitu Fusarium solani dan Fusarium oxyporum.
Pembahasan Umum
Solarisasi tanah merupakan salah satu teknik pengendalian patogen yang juga memodifikasi lingkungan dengan meningkatkan suhu tanah
yang
mengakibatkan perubahan fisik, kimia, dan biologi pada tanah tersebut (Katan & Devay 1991). Pinkerton et al. (2000) mengatakan bahwa efisiensi dari solarisasi tergantung pada panas maksimum, temperatur,
waktu, dan karakteristik tanah.
Peningkatan suhu tanah dapat mempengaruhi patogen secara fisik, kimia, dan biologi (Katan & Devay 1991, Kartini 1996). Tidak maksimalnya suhu tanah
pada kedalaman lebih dari 5 cm dari
permukaan tanah pada percobaan tanaman dalam pot dikarenakan faktor lingkungan yang pada saat percobaan berlangsung sering terjadi hujan sehingga
36 intensitas cahaya matahari berkurang.
Selain itu,
pengunaan pot plastik dan
plastik PVC (Polyvinyl chloride) tampaknya kurang efisien dalam memanaskan tanah. Hal ini menimbulkan mengakibatkan penyebaran suhu tidak merata dan panas yang dihasilkan tidak optimal (Mahrer 1991). Meskipun demikian, solarisasi tanah dapat mengurangi keparahan penyakit dan persentase akar sakit secara nyata walaupun kejadian penyakit 100% dan tidak terjadi gejala visual Foc pada tanaman pisang. Tidak munculnya gejala layu secara visual ini mungkin karena keberadaan inokulum dalam tanah, ras/tipe Foc, dan introduksi agen antagonis (Kartini 1996; Maimunah 1999; Susanna 2000). Perlakuan bibit pisang dengan bakteri antagonis (P. fluorescens ES32, P. fluorescens PG01, B. subtilis SB3, B. polymixa BG25) tidak berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit dan persentase akar sakit, demikian juga dengan tinggi tanaman dan diameter daun. Meskipun percobaan secara in vitro membuktikan bahwa bakteri antagonis tersebut dapat menghambat laju pertumbuhan Foc (Eliza 2004).
Fenomena ini sering terjadi terhadap agen
antagonis yang mempunyai sifat antagonis pada uji in vitro tetapi pada uji in vivo terbatas tidak merefleksikan kemampuan antagonisnya (Fravel 1998). Waktu aplikasi bakteri antagonis, jenis bakteri antagonis dan varietas tanaman juga mempengaruhi keefektifan antagonisme agen antagonis (Eliza 2004; Wiyono 2003). Menurut Eliza (2004) bakteri antagonis yang digunakan dalam percobaan ini mempunyai kemampuan menghasilkan hormon pertumbuhan indole-3- acetic acid (IAA) yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tanaman pisang. Tetapi pada percobaan ini,
bakteri antagonis tidak berpengaruh nyata dalam
meningkatkan tinggi tanaman dan diameter batang. Hal yang sama juga dilaporkan Wiyono (2003),
bahwa produksi IAA yang terlalu tinggi oleh
bakteri dapat menghambat pertumbuhan bit gula.
Produksi IAA yang terlalu
tinggi juga dapat menstimulasi kerentanan tanaman terhadap patogen (Agrios 1997). Perlakuan agen antagonis pada perakaran tanaman dengan bakteri kelompok fluoresen dapat mengurangi kejadian penyakit Sclerotium rolfsii pada buncis dan mengurangi keparahan penyakit layu fusarium pada tomat dan kapas pada tanah
37 yang disolarisasi (Gamliel & Katan 1993). Tetapi hasil percobaan skala rumah kaca terbukti bahwa tidak ada interaksi yang nyata antara solarisasi dan bakteri dalam menurunkan keparahan penyakit, persentase akar sakit, tinggi tanaman, dan diameter batang. Walaupun terjadi peningkatan aktifitas agen antagonis dalam tanah yang disolarisasi, tetapi keberadaannya belum mampu menurunkan keparahan penyakit, persentase akar sakit, tinggi tanaman, dan diameter batang. Diduga
penekanan keparahan penyakit Foc karena perlakuan solarisasi
dipengaruhi faktor lain yang belum diketahui. Pada percobaan di lapang,
perlakuan solarisasi dan bakteri antagonis
ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit Foc. Memang belum ada laporan yang menyebutkan keberhasilan aplikasi solarisasi dan agen antagonis pada tanaman perkebuna n atau tanaman tahunan. Hal ini masih menjadi kendala, mungkin perlu dilakukan solarisasi lebih lama dan terus menerus dan perlu juga dicari formulasi agen antagonis yang tepat untuk dikombinasikan dengan teknik solarisasi.
38 SIMPULAN
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa pada percobaan tanaman dalam pot, perlakuan solarisasi tanah dapat menekan keparahan penyakit Foc dan akar sakit,
perlakuan
bakteri tidak dapat menekan keparahan penyakit Foc.
Perlakuan solarisasi, bakteri dan interaksi solarisasi dan bakteri tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman dan diameter batang semu pisang. Berdasarkan uji perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora Foc, semakin lama solarisasi tanah dilakukan, dapat menekan perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora Foc. Perlakuan B2 ( P. fluorescens ES 32 + B. subtilis SB3) dan B12 (P. fluorescens PG01 + B. polymixa BG25 +
P.
fluorescens ES 32 + B. subtilis SB3) lebih cenderung menekan perkecambahan konidia dan pembentukan klamidospora Foc. Pada percobaan di lapang,
perlakuan solarisasi, bakteri,
dan interaksi
solarisasi dan bakteri tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu fusarium.
SARAN
Dengan melihat percobaan di atas disarankan untuk melakukan solarisasi tanah pada media tanah pembibitan pisang saat aklimatisasi, bisa juga tanah lapang yang akan ditanam bibit pisang
disolarisasi juga. Perlakuan bakteri
antagonis hendaknya dilakukan pada bibit pisang sebelum dan pada tanah yang akan disolarisasi dengan cara menyiramkan suspensi bakteri antagonis ke tanah. Hendaknya dicari formulasi yang tepat untuk aplikasi bakteri antagonis..
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (PKBT) selaku penyandang dana, dan Project Line Manager PKBT Prof. Dr. Ir. Sri S. Haryadi, M.Sc.
39 DAFTAR PUSTAKA
Alexander M. 1978. Introductory to Soil Microbiology. 2nd Ed. Willey Eastern Limited. New Delhi. Anas I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pusat Antar Universitas
Baker R and Drury R. 1981. Inoculums potential and soil borne pathogens: the essence of enemy model is within the frame. Phytophatol 71:363-369. Bakker PAHM, Ran LX, Petersen CMJ, van Loon LC. 2003. Understanding the involvement of rhizobacteria- mediated induction of systemic resistance in biocontrol of plant diseases. Can J Plant Pathol 25: 5-9. Basha S, Ulaganathan K. 2002. Antagonism of Bacillus species (strain BC121) toward Curvularia lunata. Curr sci 2: 1457-1463. Benhamou N, Kloepper JW, Quadt-Hallman A, Tuzun S. 1996. Induction of defense-related ultra structural modifications in pea root tissues inoculated with endophytic bacteria. Plant Physiol 112:919-929. Bruehl GW. 1987. Soil Borne Plant Pathogens. New York:Macmillan. Campbell CL, Madden JW. 1990. Introduction to Plant Diseases Epidemiology. New York: JW & Sons. Chellemi DO, Olson SM, Mitchell DJ, Secker I, Mc Sorley R. 1997. Adaptation of soil solarization to the integrated management of soil borne pests of tomato under humid conditions. Phytopathol 87: 250-258. Cook RJ and Baker KF. 1983. The Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. St Paul: APS Press. hlm 539-541. Cordiero, M. 1994. Scale for Rating The Internal Corm Symptoms Caused by Fusarium wilt. Di dalam: DR Jones, editor. The Improvement and Testing of Musa: A Global Partnership. Proceeding of the Global Conference of International Musa Testing Program held at FHIA, Honduras, INIBAB. P 284. Djatnika I, Hermanto C, Eliza. 2003. Pengendalian hayati layu fusarium pada tanaman pisang dengan Pseudomonas fluorescens dan Gliocladium. J Hortikultura 13: 205-211.
40 Ford EJ, Gold AH, and Snyder WC. 1970. Soil substances inducing chlamydospore formation by Fusarium. Phytopathology 60:124-128. Fravel DR. 1988. Role of antibiosis in biocontrol of plant disease. Annu Rev Phytopathol 26:75-91. Eliza. 2004. Pengendalian layu fusarium pada pisang dengan bakteri perakaran graminae. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gamliel A, Katan J. 1993. Suppression on major and minor pathogens by fluorescent pseudomonad in solarized and non solarized soil. Phytopathology 83: 68-75. Gonzales-Torres R, Melero-Vara IM,Gomez-Vazquez J, and Jimenez- Diaz RM. 1993. The effect of soil solarization and soil fumigation on fusarium wilt of watermelon grown in plastic houses in South-eastern Spain. Plant Pathol 42: 858-864. Hallmann J. 2001. Plant interaction with endophytic bacteria. Di dalam: Jeger MJ, Spence NJ, Editors. Biotic Interaction in Plant-Pathogen Associations. Wallingford: CABI. hlm:87-119. Huang SC and Ko WK. 1990. Tissue culture plantlets as source as resistance to fusarial wilt of Cavendish banana. Di dalam: Hornby D, editor. Biological Control of Soil-borne Plant Pathogens. Wallingford: CAB Publisher. Hlm: 345-354. Kartini. 1996. Solarisasi tanah terhadap kemampuan tumbuh dan patogenisitas sklerotia Sclerotium rolfsii Sacc. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Katan. J, Greenberger, Alon H, and Grinstein A. 1976. Solar heating by polyethylene mulching for the control of diseased caused by soil borne pathogens. Phytopathol 66: 683-688 Katan J. 1980. Soil pasteurization for soil disease control: status and prospects. Plant Dis 64: 450-454 Katan J, and De Vay JE. 1991. Mechanism of pathogen control in solarized soil. Di dalam: Katan J, and Devay J E, editor. Soil Solarization. CRC Press. Boca Raton Ann Arbor Boston. London. Katan J, and De Vay JE. 1991. Soil solarization: historical perspective, principles, and uses. Di dalam: Katan J, and Devay J E, editor. Soil Solarization. CRC Press. Boca Raton Ann Arbor Boston. London.
41 Katan P and De Vay J E.. 1991. Soil solarization. CRC Press. Boca Raton Ann Arbor Boston. London. Kim DS, Cook RJ, Weller DM. 1997. Bacillus sp. L324-92 for biological control of three root disease of wheat of grown with reduce tillage. Phytopathol 87: 551-558. Kistler H. C., 2001. Evolution of Host Specieficity In Fusarium oxysporum. Di dalam: Summerell BA., Leslie JF, Backhouse D, Bryden WL, and Burgess LW, editor. Fusarium. Nelson PE. Memorial Symposium. The American Phytopathological Society. St. Paul, Minnesota. Landa BB, Navas-Cortes JA, Hervas A and Jimenez-Diaz RM. 2001. Influence of temperature and inoculums density of Fusarium oxysporum sp. ciceris on suppresion of fusarium wilt of chickpea by rhizosphere bacteria. Phytopathol 91: 807-816. Larkin RP, Hopkins DL, and Martin FN. 1996. Suppresion of fusarium wilt of watermelon by nonpathogenic Fusarium oxysporum and other microorganisms recover from a disease-suppresive soil. Phytopathol 86: 812-819. Lynch JM. 1990. Microbial Metabolites. Di dalam: Lynch JM, editor. The Rhizhosphere. John Wiley & Sons Ltd. England. Hlm 177-206. Mahrer Y. 1991. Physical Principles of Solar Heating of Soil by Plastic Mulching in Field and Glasshouses and Simulation Models. Di dalam: Katan J, DeVay JE, editor. Soil Solarization. CRC Press. Boca Raton Ann Arbor Boston. London. Maimunah. 1999. Evaluasi resistensi lima kultivar pisang (Musa spp.) terhadap tiga macam isolat dan diferensiasi isolat Fusarium oxysporum f. sp. cubense sebagai penyebab layu. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Merriman PR, Price RD, Baker KF, Kollmorgan JF, Piggott T, and Ridge EH. 1975. In Bruehl GW. Biology and control of soil-borne plant pathology. The American Phytopathological society St. Paul. Hlm. 130-133. More YM., Pegg KG, Ivan W. Hagen B and Bentley S. 2001. Fusarium Wilt of Banana : A Diverse Clonal Pathogen of A Domesticad Clonal Host. Di dalam: Summerell BA, Leslie JF, Backhouse D, Bryden WL, and Burgess LW, 2001. Fusarium.Nelson PE. Memorial Symposium. The American Phytopathological Society. St. Paul, Minnesota.
42 Muharam A, Djatnika I, Sulyo Y, dan Sunarjono H. 1992. Pisang Sebagai Komuditas Andalan , Prospek dan Kendalanya. Prosiding Seminar 5 Nop. 1992. Puslitbanghorti, Balithorti Lembang, Sub Balithorti Segunung. Pp. 13-18. Pegg KG, More NY, Bentley S. 1996. Fusarium wilt of banana in Australia: a review. Aust J Agric Res 47: 637-650 Pinkerton, J. 2000. Soil solarization; A perspective from a northern temperate region. USDA ARS HCRL. Corvallis. Ploetz, R.C. 1998. Fusarium wilt (Panama disease). Di dalam: Ploetz RC, Zentmyer GA, Nishijima WT, Rohrbach KG, Ohr HO, editor. Compendium of tropical fruit disease. St Paul: APS Press. Hlm 10-11. Ploetz RC dan Pegg KG. 2000. Fungal disease of the root, corm and pseudo stem: Fusarium wilt. Di dalam : Jones DR, editor. Disease of Banana, Abaca and Enset. Wallingford: CAB International. Hlm 143-159 Press CM, Loper JE. and Kloepper JW. 2001. Role of iron rhizobacteriamediated induced systemic resistance of cucumber. Phytopathol 91: 593598. Rafael M, Jimenaz-Diaz J, Bejarano MA, Gomez J, Gonjales R, Molero JM. 1991. Control of Verticillium wilt and Fusarium wilt diseases by soil solarization in Southern Spain. Di dalam: DeVay JE, Stapleton JJ, Elmore CL, editor. Katan P and Devay JE. Soil solarization. CRC Press. Boca Raton Ann Arbor Boston. London. Rosales AM, Thomashow L, Cook RJ, Mew TW. 1995. Isolation and identification of antifungal metabolites produced by rice-associated antagonistic Pseudomonas spp. Phytopathol 85: 1028-1032. Rusmawati KY. 2002. Pengaruh solarisasi tanah terhadap penyakit tular tanah dan produksi benih kacang tanah (Arachis hypogaea). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sahlan dan Nurhadi. 1994. Inventarisasi penyakit pisang di sentra produksi Sumatra Barat, Jawa Barat dan Lampung. J. Pen. Hortikul. 6:29-36. Semangun H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sonenshein AL, Hoch AJ, Losick. 2002. Bacillus subtilis and Its Closest Relatives from Genes to Cells. Washington :ASM Press.
43 Stevens C, Khan VA, Brown JE, Hochmuth G, Splittstoesser WE, dan Granberry DM. 1991. Plastic Chemistry and Technology as Related to Plasticulture and Solar Heating of Soil. Di dalam: Katan J, DeVay JE, editor. Soil Solarization. CRC Press. Boca Raton Ann Arbor Boston. London. Stover RH. 1962. Fusarium Wilt (Panama Disease) of Banana and Other Musa Species. Kew Surrey: CMI. Hlm: 45-52 Stover RH. 1972. Banana, Plantain and Abaca Disease. London: The Eastern Press. Hlm 167-178. Susanna. 2000. Analisis introduksi mikroorganisme antagonis untuk pengendalian hayati penyakit layu (Fusarium oxysporum f. sp. cubense) pada pisang (Musa sapientum L.). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutariati GAK. 2006. Perlakuan benih dengan agens biokontrol untuk pengendalian penyakit antraknosa, peningkatan hasil dan mutu benih cabe. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Van Loon LC. 2000. Systemic induced resistance. Di dalam: Slurarenko A, Fraser RSS, Van Loon LC, editor. Mechanisms of Resistance to Plant Diseases. Netherlands: Kluwer Academic Publishers. hlm 521-574. Van Loon LC, Nakker PAHM. 2004. Signalling in rhizobacteria-plant interactions. http://www.bio.uu.nl/fytopath/BookCh.vanLoon.20003pdf [5 Juli 2006]. Wardlaw CW. 1972. Banana Disease. Including Plantains and Abaca. London: Longman, Green and Co LTD. Hlm 188-276. Wibowo A, Sumardiyono C, Suryanti, Damayanti I. 2004. Pengaruh frekuensi aplikasi Fusarium nonpatogenik BNT-12 terhadap perkembangan penyakit layu fusarium pisang di lapang (abstrak). Di dalam: Simposium nasional I tentang Fusarium. Purwokerto, 26-27 Agustus 2004. Purwokerto: Universitas Soedirman. Widodo, Sinaga MS, Anas I, Machmud M. 1993. Penggunaan Pseudomonas spp. kelompok flourescens untuk pengendalian penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicaevor.) pada caisin (Brassica campestris L. Var. Chinensis (Rupr.) Olson. Bull HPT 62: 94-105 Widodo. 2000. Studies on biological control of fusarium basal rot of onion caused by Fusarium oxysporum f. sp. cepae. Graduate School of Agriculture, Hakkaido University, Sapporo. Japan,
44 Wilson CL. 1991. Biological Control of Post-Harvest Disease of Fruit and Vegetables; An Alternative to Synthetic Fungicides. Crop protection. 10: 172-177.
45
LAMPIRAN
46 Tabel Lampiran 1. Analisis ragam terhadap keparahan penyakit layu fusarium pada bonggol pisang pada percobaan tanaman dalam pot Source Blok Solarisasi Bakteri Solarisasi*bakteri Error Total
DF 2 3 3 9 30 47
SS 179.832 284.023 30.811 52.511 287.765 834.942
MS 89.9161 94.6744 10.2702 5.8345 9.5922
F
F
9.87 1.07 0.61
0.0001 0.3763 0.7801
Tabel Lampiran 2. Analisis ragam terhadap akar sakit pada pisang pada percobaan tanaman dalam pot Source Blok Solarisasi Bakteri Solarisasi*bakteri Error Total
DF 2 3 3 9 30 47
SS 331.30 1783.99 4.01 161.05 811.61 3091.96
MS 165.651 594.663 1.336 17.895 27.054
F
F
21.98 0.05 0.66
0.0000 0.9852 0.7362
Tabel Lampiran 3 . Analisis ragam terhadap diameter batang pisang pada percobaan tanaman dalam pot Source Blok Solarisasi Bakteri Solarisasi*bakteri Error Total
DF 2 3 3 9 30 47
SS 8.5663 7.8990 5.3188 13.0137 52.2766 87.0744
MS 87.0744 2.63299 1.77292 1.44597 1.74255
F
F
1.51 1.02 0.83
0.2318 0.3987 0.5944
Tabel Lampiran 4 . Analisis ragam terhadap tinggi tanaman pisang pada percobaan tanaman dalam pot Source Blok Solarisasi Bakteri Solarisasi*bakteri Error Total
DF 2 3 3 9 30 47
SS 62.92 94.97 421.67 786.42 2819.19 4185.16
MS 31.458 31.458 140.556 87.380 93.973
F
F
0.34 1.50 0.93
0.7988 0.2357 0.5140
47 Tabel Lampiran 5 . Analisis ragam terhadap kejadian penyakit layu fusarium pisang di bulan September 2005 pada percobaan di lapang Source Blok Solarisasi Bakteri Solarisasi*bakteri Error Total
DF
SS
2 2 2 4 16 26
113.014 5.227E-31 6.549E-31 3.095E-63 1.520E-30 113.014
MS 56.5068 2.613E-31 3.275E-31 7.737E-64 9.502E-32
F
F
2.75 3.45 0.00
0.0940 0.0569 1.0000
Tabel Lampiran 6 . Analisis ragam terhadap kejadian penyakit layu fusarium pisang di bulan Desember 2005 pada percobaan di lapang Source
DF
Blok Solarisasi Bakteri Solarisasi*bakteri Error Total
2 2 2 4 16 26
SS 89.4234 1.3885 0.1243 1.5332 6.5144 98.9838
MS 44.7117 0.6943 0.0622 0.3833 0.4072
F
F
1.71 0.15 0.94
0.2132 0.8596 0.4654
Tabel Lampiran 7 . Analisis ragam terhadap kejadian penyakit layu fusarium pisang di bulan Maret 2006 pada percobaan di lapang Source DF SS MS F F Blok 2 49.4532 24.7266 Solarisasi 2 3.8488 1.9244 1.67 0.2202 Bakteri 2 0.8150 0.4075 0.35 0.7081 Solarisasi*bakteri 4 1.1433 0.2858 0.25 0.9070 Error 16 18.4846 1.1553 Total 26 73.7448
Lampiran 8. Komposisi bahan kimia masing- masing media yang digunakan .
Media TSA (Triptic Soy Agar) 1/10 Triptic Soy Broth
3 g
Agar
20 g
Air
1000 ml
Media Martin Agar KH2 PO4
1g
MgSO4 .7H2 O
0.5 g
48 Pepton
5g
Dektrosa
10 g
Rose Bengal 1.5%
3.3 ml
Agar
20 g
Aquades
1000 ml
Streptomisin
300 mg
Media PCNB Agar
20 g
Pepton
5g
KH2 PO4
1g
MgSO4 .7H2 O
0.5 ml
Air Destilasi
1000 ml
Streptomisin
300 mg
PCNB 75% WP
1g
Media Nutrient Agar Agar
20 g
Ekstrak daging
3g
Pepton
5g
NaCl
8g
Air Destilasi
1000 ml
Media PDA (Potato Dextrose Agar) Agar
20 g
Kentang/Instan
200/4 g
Dektrosa
20 g
Aquades
1000 ml
Media Kings B Protease pepton
20 g
Gliserol
10 g / 15 ml
49 MgSO4 .7H2 O
1.5 g
K2 HPO4
1.5 g
Agar
15 g
Aquades
1000 ml
Media Komada K2 HPO4
1g
KCL
200 mg
MgSO4 .7H2 O
500 mg
Fe-Na-EDTA
10 mg
L-Asparagine
2g
D-Galactos e
20 g
Agar
15 g
Aquades
1000 ml
Setelah diotoklaf PCNB 75%
1g
Oxygal
500 mg
Na2 B4 O7 .10H2O
300 g
PH 3.2 – 0.2
Phosph acid 10%